Jaka Sembung 2 - Si Gila Dari Muara Bondet(1)

Parmin menempuh perjalanan melalui pedalaman. Ia tidak mau melalui jalan yang dibuat sebagai jalan perintis oleh Kumpeni Belanda yang meminta banyak korban rakyat jelata. Sudah cukup jauh jalan yang ditempuhnya. Sepanjang jalan hanya pohon-pohon besar dan semak-semak belukar yang ia jumpai. Sekali-sekali Parmin juga menemui satu dua orang yang sedang menebang pohon untuk dijadikan kayu bakar. Belum satupun ia menjumpai pondok perkampungan. Parmin terus berjalan menelusuri hutan sampai akhirnya ia tiba di sebuah tempat yang terbuka.

Hari itu teramat panas dirasakan Parmin. Apalagi sekarang ia sudah meninggalkan hutan. Tiada lagi pohon-pohon yang menghalangi sinar matahari yang menyengat ubun-ubunnya dan sekarang sinar matahari terasa membakar ubunubunnya. Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Rasa haus menggerogoti kerongkongannya. Parmin ingin sekali beristirahat untuk sekedar membasahi kerongkongannya yang terasa kering dan ia berharap akan menemukan sebuah warung.

Dengan sabar Parmin terus berjalan perlahan-lahan dengan harapan ia menemukan sebuah warung. Akhirnya tak seberapa jauh ia melangkahkan kaki dari kejauhan terlihat sebuah warung. Parmin segera mempercepat langkahnya menuju warung itu. Setelah sampai, Parmin langsung duduk sambil melepaskan capingnya dan ditaruhnya diatas bangku kayu yang terletak didepan warung itu. Ia menyeka peluh di keningnya dengan kain sarung yang menyilang di dadanya.

Suasana warung itu benar-benar nyaman dan dikelilingi oleh pohon-pohon yang besar dan rimbun. Angin bertiup sepoi-sepoi di daerah sekitarnya membuat orang betah duduk berjam-jam lamanya di warung itu. Pemiliknya seorang bapak-bapak yang berumur sekitar tujuh puluhan dengan kumis dan jenggot yang hampir memutih semuanya.

"Pak, apakah ini yang namanya kampung Celancang?" tanya Parmin sambil terus mengipasi dirinya dengan caping.

"O ya! Ya! Kira-kira satu jam lamanya dengan berjalan kaki." jawab pemilik warung itu sambil mengaduk kopi.

"Tolong buatkan teh tubruk manis, pak!" pinta Parmin.

"Baik nak." sahut pemilik warung sambil memberikan segelas kopi tersebut kepada seorang pembeli yang duduk di bangku sebelah kiri meja dagangannya.

Dari ruang dalam terdengar gelak tawa yang sangat nyaring. Sekelompok orang laki-laki sedang asyik main domino. Mereka berempat. Dua orang bertampang seram dan bertubuh tegap mengenakan kain sarung yang menyilang di dadanya. Satu orang bertubuh gendut memakai belang-belang dan satunya lagi bertubuh kurus memakai baju putih dengan golok terselip dipinggangnya. Mereka masing-masing memakai ikat kepala dengan berbagai corak warnanya. "Wah, hari ini nasibku sedang sial! Aku selalu mati!" teriak si gendut membanting kartu domino yang berada di tangannya ke atas meja.

"Tentu saja karena kau belum mandi!" ledek si kurus sambil memonyongkan bibirnya.

Melihat bibir si kurus yang monyong, kontan saja teman-temannya tertawa terbahakbahak. Demikian juga dengan pemilik warung itu, ia tertawa terpingkal-pingkal sehingga hampir saja gelas berisi kopi yang dibawanya hampir tumpah. Parmin hanya tersenyum melihat tingkah laku mereka dan ia kembali menikmati teh tubruknya.

Sementara itu dari kejauhan terlihat seorang laki-laki berjalan memanggul sebuah peti yang besar dipundaknya yang terbuat dari kayu jati mendekati warung tersebut. Peti yang dibawanya kelihatan sangat berat, tetapi ia tenang saja berjalan seperti membawa peti kertas yang berisi kapas.  

Dengan lirikan matanya, Parmin dapat melihat gerak langkah pemuda itu sangat ringan tanpa menimbulkan suara!

Orang itu masih sangat muda. Hanya saja ia kelihatan tua karena tubuhnya kotor tak teru- rus. Rambutnya panjang sebatas pinggang dan sebuah golok panjang terselip di pinggangnya. Kain sarung menyilang di dadanya yang bidang. Kepalanya berikat kain yang serupa dengan kain yang menyilang didadanya. Pakaian yang melekat di tubuhnya sudah sangat kumal. Tatapan matanya begitu kosong seperti orang yang dilanda kesedihan dan putus asa.

Parmin agak terkejut ketika ia melihat dengan lirikan mata bagaimana cara orang itu berjalan tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Pasti  ia memiliki tenaga dalam yang tinggi dan menguasai ilmu silat yang tinggi pula.

Pemuda pembawa peti itu berhenti sejenak di depan warung kopi.

"Aku haus sekali...! Berilah aku air dingin segelas!!" katanya dengan lirih kepada pemilik warung itu.

Kemudian ia berjalan menghampiri sebuah pohon yang terletak didepan warung tersebut. Ia lalu menaruh peti yang dipanggulnya ke atas tanah dan ia sendiri duduk seenaknya di bawah pohon yang teduh itu.

Selang beberapa saat kemudian terdengar ia mengoceh sendirian dengan suara yang lirih sambil mengelus-elus peti itu. Ia seperti membelai sesuatu yang sangat disayanginya dan perkataannya seperti ditujukan kepada isi peti kayu itu.

"Kita beristirahat dulu ya, sayang? Kita haus sekali, bukan? Bersabarlah sedikit, aku se- dang memesan segelas air putih. Sepanjang hari ini tampaknya kau sangat gelisah, mengapa?" katanya dengan penuh kelembutan dan matanya seakan-akan menembus ke dalam peti kayu itu.

Parmin memperhatikan semua itu. Di hatinya terbersit rasa iba terhadap pemuda itu.

"Siapakah orang itu, pak? Barangkali bapak kenal?" tanya Parmin.

"Ah, kasihan dia! Biarlah kuberi minum anak muda yang miring otaknya itu!" kata pemilik warung sambil menuangkan air putih dalam teko ke dalam gelas. Kemudian ia berjalan meninggalkan warungnya dan Parmin yang sedang makan kue serabi menghampiri anak muda itu.

Beberapa orang anak kecil bertelanjang baju datang mendekati pemuda itu sambil berolokolok.

"Guik! Guik! Ciluuuuuuuuuuuk.....

Baaaaa!! Orang gila! Pakaian mu bau apek! Weeeeee.....!" teriak salah seorang anak yang bertubuh kurus sambil menjulur-julurkan lidahnya ke arah pemuda lusuh yang sedang beristirahat itu.

Seorang anak kecil yang berkopiah membungkukkan tubuhnya memperhatikan peti kayu yang terletak disebelahnya.

"Apa isi peti itu, hai orang gila? Boleh kutukar dengan singkong bakar?"

Tapi ia nampak tenang saja seraya tersenyum-senyum tanpa menghiraukan ocehan anakanak nakal itu. Seorang anak kecil berkepala botak berdiri di belakang pemuda gila itu sambil memperhatikan semua yang ada pada dirinya.

"Lihat! Dia bawa pedang! Bagus juga pedangnya. Buat apa, ya? Idiiiiiiih....!" seru anak itu takut kepada teman-temannya dan ia menyembunyikan dirinya di balik pohon.

"Oee! Oeee! Jelek! Jelek! Weeee...!" ledek yang satunya sambil terus menjulur-julurkan lidahnya.

Pemuda itu kembali tersenyum.

Anak-anak kecil itu tiba-tiba dikejutkan oleh datangnya si pemilik warung yang membawa segelas air putih.

"Hei! Bocah-bocah cilik! Ayo pergi! Pergi semua! Jangan ganggu dia, ayo! Nanti kalau dia marah, rasain lho!" bentak orang tua tersebut menakut-nakuti mereka. Anak-anak itu kemudian kabur sambil tertawa cekikikan dan mencari tempat bermain yang lain.

"Ini air yang kau minta. Jika kau masih haus nanti boleh tambah lagi!"

Pemilik warung itu mengulurkan tangannya untuk memberikan gelas yang dipegangnya kepada pemuda gila itu. Tetapi tiba-tiba sebuah bayangan golok berkelebat menyambar dan gelas tersebut jatuh ke tanah pecah berantakan menumpahkan air yang berada di dalamnya.

Ketika pemilik warung itu menoleh ke belakang ia terperanjat melihat empat orang pendekar yang bertubuh kekar dan berwajah bengis te- lah berdiri di situ. Tanpa banyak bicara lagi ia segera mundur beberapa langkah dan berlari menuju warungnya dengan wajah diliputi kecemasan. Ia membayangkan peristiwa keji bakal terjadi.

"Ha ha ha ha ha ha ha! Lihat monyet ini ternyata masih ada di dunia! Aku telah lama mencarimu untuk kubuat sate!" kata salah seorang di antara mereka sambil menyarungkan goloknya setelah menyabet gelas, tadi. Ia rupanya menaruh rasa dendam terhadap pemuda lusuh itu. Di antara mereka agaknya ada persoalan yang belum terselesaikan.

Si Gila hanya tersenyum menatap orang di depannya.

"He, ayo bangun monyet! Jangan tidur di situ!!" teriak orang itu marah melihat calon korbannya tak merasa gentar sedikitpun disusul sebuah tendangan ke wajah pemuda.

Tetapi apa yang terjadi? Seketika terdengar suara kaki yang beradu keras dengan batang pohon. Ternyata pemuda itu sudah tidak berada di tempatnya. Begitu gesit gerakannya, hingga tahutahu ia sudah berdiri di belakang mereka, tanpa mereka sendiri sempat melihat kapan pemuda itu berkelebat.

Keempat pendekar itu memandang Si Gila setengah heran dan kaget bukan main. Sementara pemuda itu berdiri tegak memandang mereka dengan sinar mata yang menyala-nyala.

"Dulu kalian boleh menghinaku seperti anjing kurap!! Karena aku lemah dan aku bodoh! Te- tapi sekarang jangan coba-coba menganggap remeh orang yang kelihatan lemah!" katanya dengan lantang.

Mendengar kata-kata yang dilontarkan Si Gila kepada mereka, keempat pendekar itu seketika menjadi marah bukan main. Agaknya perkataan itu merupakan suatu tantangan bagi mereka.

Sekilas wajah mereka merah padam. "Bangsat!" teriak pemimpin mereka dengan

gigi yang gemeretuk.

Kemudian keempat pendekar itu segera mengurung Si Gila dengan cepat dari segala arah. Masing-masing membentuk kuda-kuda dengan golok yang terhunus. Sedangkan pendekar yang berkepala botak memutar-mutarkan senjata rante bandulnya sehingga menimbulkan suara yang menderu-deru seperti angin puyuh. Tetapi Si Gila tetap berdiri tak bergeming. Sinar matanya yang tajam siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.

"Siap kawan-kawan!! Aku tidak akan pernah puas kalau belum memusnahkan bangsat ini! Dialah orang yang menghancurkan semua harapanku!" teriak seseorang diantara mereka yang bernama Badar dan menjadi pemimpin dari ketiga orang pendekar lainnya.

Si Gila tetap berdiri tak bergerak. Namun bersikap siap siaga.

"Karena kaulah semua rencanaku menjadi gagal! Kau tikus laknat yang telah mengacaukan hidupku! Kini terimalah ajalmu, monyet gembel!" serunya sambil menyilangkan goloknya ke depan siap menyerang. Suaranya menggeram membentuk raungan akibat dari luapan rasa dendam  yang begitu besar memenuhi dadanya terhadap lawan yang sudah sekian lama dilacak dan diburunya dari kampung ke kampung.

Si Gila tetap saja berdiri tenang ditengahtengah kepungan mereka. Angin bertiup menerpa rambutnya yang panjang. Terlihat betapa gagahnya dia! Wajahnya yang masih belia itu dihiasi bulu-bulu halus yang meremang di atas bibir dan dagunya.

Di saat-saat seperti itu seakan-akan ia menjelma menjadi seorang pendekar tangguh yang gagah perkasa dan bukan lagi seorang pemuda yang tidak waras.

"Bagiku semua ini adalah takdir yang rela kuterima. Semua telah selesai, Badar! Walaupun hatiku sakit, tapi membalas dendam adalah pantang bagiku! Tak ada gunanya dan tak akan merubah jiwaku yang sudah hancur! Juga tidak akan membuat kekasih-ku Nuraini hidup kembali!" katanya lirih.

"Aku enggan meladenimu, Badar! Biarlah kuterima semua penghinaanmu, karena aku memang dilahirkan ke dunia sebagai orang yang hina-dina. Biarlah aku berlalu membawa duka hatiku..." lanjut Si Gila. Namun ucapan yang penuh keikhlasan dan kerendahan diri itu justru membuat hati Badar seperti tersundut api. "Eiiiiiiit... kau menghinaku, monyet! Tahukah kau? Aku tidak akan bisa hidup tenang jika golokku ini belum bermandikan darahmu bangsat...!!" teriak Badar dengan napas yang memburu.

Sementara itu mendengar ribut-ribut di luar, orang-orang yang berada dalam warung itupun segera berhamburan keluar untuk menyaksikan perkelahian tersebut. Mereka rela meninggalkan permainan dominonya yang asyik. Demikian juga dengan Parmin. Ia segera berdiri dan meninggalkan bangku tempat duduknya beberapa langkah ke depan untuk menyaksikan perkelahian itu lebih dekat. Entah mengapa nalurinya menyatakan simpati kepada pemuda yang dijuluki Si Gila dari Muara Bondet itu.

"Hei, lihat ! Itu bukankah Si Gila yang sering luntang-lantung di desa ini? Si Gila dari Muara Bondet!! Mengapa orang-orang itu memusuhinya?" tanya salah seorang yang berada didepan warung kepada teman-temannya sambil bersandar tangan pada tiang penyangga warung. Tapi rupanya tiang itu sudah rapuh ikatannya dan ia terjengkang bersama robohnya tiang tersebut.

Segera Badar mengisyaratkan kepada kawan-kawannya agar serempak menyerang! Dengan satu teriakan yang keras dan panjang, keempat pendekar itu terbang berbarengan menyerang Si Gila dengan senjatanya masing-masing.

"Sikaaaaaaaaaat!!"

"Oh, kalian mencari mati? Maaf, ini bukan salahku!" gumam Si Gila di sela teriakan keempat pendekar itu. 

Tubuh Si Gila dari Muara Bondet dengan lincahnya menghindari serangan senjata rantai bandul itu.

Tiba-tiba secepat kilat Si Gila mencabut pedang dari sarungnya membabat perut dari dua orang penyerang itu dengan satu gerakan yang tak terduga. Kedua orang itu memekik keras dan langsung roboh ke tanah dengan isi perut yang berhamburan keluar. Kemudian Si Gila melesat ke atas menghindari serangan rante bandul si botak yang selalu mengikuti kemana tubuhnya bergerak.

Baru saja ia hendak menginjakkan kakinya di atas tanah, kembali rante bandul itu menyongsongnya. Dengan bersalto di udara Si Gila segera melesat kearah Badar yang sedang mengibasngibaskan golok dengan kelebatan sinarnya membentuk perisai di depan tubuhnya. Dengan satu sabetan yang cepat Si Gila menembus pertahanan Badar, langsung menebas lehernya. Badar memekik tertahan. Dari lehernya yang hampir putus menyembur darah segar ke segala penjuru dan tubuhnya terjungkal ke balik Semak-semak menggelepar-gelepar seperti seekor ayam yang disembelih kemudian diam tak berkutik untuk selama-lamanya.

Melihat teman-temannya tewas secara mengerikan ditangan Si Gila, si botak menjadi kalap bukan main. Ia memutar-mutarkan senjatanya menyerang Si Gila secara membabi buta, udara di sekitar pertarungan itu menjadi panas akibat desingan yang ditimbulkan oleh rante bandulnya yang membelah udara dengan disertai tenaga dalam yang cukup tinggi.

"Ha ha ha ha ha ha! Mungkin kau bisa mengalahkan tiga orang murid dari perguruan silat Ori Malang. Tetapi kau tak dapat mengalahkan aku si rante bandul! Terimalah seranganku, hiaaaaat...!" teriak si botak nyaring seraya meluncurkan senjatanya ke arah Si Gila dengan cepat.

Si Gila melesat menghindari senjata si botak yang seolah-olah mempunyai mata. Tetapi terhadap Si Gila serangan itu selalu mengenai tempat kosong alias terkena angin belaka tanpa dapat melukai tubuh Si Gila. Pohon-pohon kecil banyak yang tumbang akibat terkena hantaman senjata aneh dan mengerikan itu.

Tubuh Si Gila meliuk-liuk di udara menghindari gempuran senjata si botak. Begitu ringan ia melakukan gerakan itu bagaikan segumpal kapas yang melayang. Namun sejauh itu ia belum dapat membalas serangan.

Sementara itu Parmin memperhatikan jalannya pertarungan itu dengan seksama dan perasaan kagum. Ternyata pemuda tak waras itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang setingkat berada di atas ilmu meringankan tubuhnya.

"Memang hebat si rante bandul ini! Tetapi aku berani bertaruh bahwa Si Gila akan bisa menyelesaikannya dalam satu atau dua jurus lagi!"

Pertarungan itu sudah berlangsung cukup lama dan menelan puluhan jurus silat. Mereka mengerahkan semua ilmu yang mereka miliki si botak ternyata mulai kelihatan kewalahan menghadapi serangan balasan yang dilancarkan Si Gila. Melihat Si Gila semakin gencar melancarkan serangan, si botak mengeluarkan jurus andalannya membentuk lingkaran yang melindungi dirinya dari sambaran pedang Si Gila. Putaran rante bandul demikian cepatnya, sehingga dari jauh kelihatan seperti membentuk lapisan cahaya yang membungkus seluruh tubuhnya bagaikan sebuah selimut logam yang begitu ketat membentengi dirinya. Tetapi tiba-tiba dengan satu teriakan histeris, Si Gila berhasil menyusup ke dalam desingan rante bandul si botak dan membabatkan pedangnya membobol perut lawannya.

Si botak memekik keras. Perutnya berhamburan darah segar dan isi yang berada didalamnya. Untuk beberapa saat lamanya ia masih tegak berdiri memegang senjatanya dengan gigi yang gemeretak menahan sakit yang teramat hebat. Tubuhnya bergetar. Dan secara tidak terduga ia meloncat kembali menyerang Si Gila yang sudah siap dengan jurus barunya menyambut si botak. Tetapi di tengah langkahnya tiba-tiba si botak ambruk seperti sebuah nangka busuk yang jatuh ke tanah sebelum dapat menyentuh kulit Si Gila, tewas menyusul teman-temannya.

Si Gila menghela napas panjang sambil menyarungkan pedangnya.

Semua mata melotot kagum! Betapa tidak, orang yang kelihatan lemah, berotak miring dan menjadi bahan ejekan anak-anak ternyata ia adalah seorang jago silat yang luar biasa. Hanya Parmin yang bersikap tenang. Semua orang dalam warung itu diam tak bergeming menyaksikan seluruh kejadian itu dimana Si Gila dalam sekejap mata menghabisi musuh-musuhnya.

"Sungguh hebat! Siapakah pemuda gila itu? Mungkin jarang ada seorang jago silat seperti dia!" desis Parmin kagum.

Si Gila memandangi mayat keempat pendekar itu dengan perasaan menyesal. Wajahnya tertunduk dan suaranya terdengar parau.

"Aku menyesal mengapa kalian tetap saja membandel? Selamat tidur kawan-kawan yang malang...! Sekali lagi maaf...!" katanya sambil membalikkan tubuh menuju pohon rindang itu. Kemudian ia menghenyakkan tubuhnya di samping peti kayu jati yang selama ini selalu dibawanya kemana pergi.

Dari balik semak-semak keluarlah suara kagum bercampur takut dari anak-anak kecil yang tadi memperolok-olok Si Gila.

"Hiiiiiii...orang gila itu membunuh orang seperti membabat rumput saja! Hiiii!" teriak salah seorang anak yang bertubuh gendut sambil menyembunyikan wajahnya di balik rerimbunan pohon.

Jari-jari tangannya menutup muka, sementara tanah di bawah kedua kakinya banjir oleh air kencingnya sendiri.

"Hiiiiii...! Aku takut!!" teriak anak-anak itu gemetaran. Mereka bergerombol seperti anakanak tikus yang saling berpelukan karena takut melihat seekor kucing.

Si Gila lalu mengangkat peti kayu jati itu dan dengan tenang memanggulnya ke atas pundak sambil mengayunkan langkahnya berlalu.

Seakan-akan barusan tidak terjadi sesuatu terhadap dirinya.

"Pantas kau merasa gelisah saja, sayang? Rupanya kau mendapat firasat buruk bahwa kita akan bertemu dengan orang yang membenci kita!" katanya lirih berbisik kepada peti itu.

Si Gila berhenti sejenak seolah-olah ia sedang mendengarkan sesuatu dari dalam peti kayu itu. Lagaknya persis seseorang yang sedang mendengarkan orang lain bicara dari dalamnya.

"Ya, ya! Mari kita pergi! Kita cari tempat yang tenang, bukan? Di mana-mana selalu saja ada perusuh!" sahut Si Gila. Wajahnya bersungut-sungut dan kembali melanjutkan langkahnya yang terhenti semakin jauh meninggalkan pohon rindang itu. Ia berjalan perlahan-lahan meneruskan perjalanannya entah kemana. Peluh membasahi sekujur tubuhnya akibat pertarungan tadi.

Anak-anak kecil yang sedang bersembunyi di balik semak-semak, segera lari tungganglanggang melihat Si Gila berjalan menuju dekat persembunyian mereka.

"Lari! Lariiii...! Nanti kita dibunuhnya kalau tidak cepat lari...!!" teriak mereka semrawut sam- bil berlari seperti sedang dikejar-kejar setan. Salah seorang dari mereka melorot celananya ketika berlari, sehingga ia menjadi repot sambil berusaha memegangi celananya terus mempercepat langkahnya menerobos kebun jagung yang berada didepannya. Berkali-kali ia terjatuh.

Si Gila tersenyum melihatnya.

Lalu ia kembali berjalan menelusuri pinggiran belukar kian jauh meninggalkan perkampungan itu.

Sementara itu Parmin segera membayar minuman dan makanan tanpa menghiraukan si pemilik warung yang tegak mematung karena masih terhanyut dalam peristiwa yang baru saja dilihatnya.

Ketika ia tersadar, segera ia memberikan uang kembalian tetapi Parmin sudah lebih dulu melesat menuju hutan mengejar Si Gila. Pemilik warung itu hanya menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal. Hari ini ia telah bertemu dengan seorang pembeli yang tiba-tiba saja menghilang dari pandangan seperti asap.

Parmin mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya menyusul Si Gila dan langsung bersembunyi di balik sebuah pohon sambil terus memperhatikan Si Gila dengan cermat. Ia berusaha sedapat mungkin supaya tidak mengejutkan pemuda aneh itu.

Sementara Si Gila melangkahkan kakinya dengan tenang. Kepalanya menunduk lesu. Dari mulutnya keluar kata-kata yang aneh. Agaknya ia sedang bercakap-cakap dengan seseorang yang sangat disayanginya. Kadang-kadang ia tersenyum dan tertawa sendiri. Dia terus berjalan menuju arah selatan.

Dia terus berjalan dan terus berjalan.....

Seakan-akan tak peduli walau sampai ke ujung dunia sekalipun.

***

Parmin berjalan mengendap-endap di balik semak-semak terus membayangi Si Gila dari jauh. Ia berusaha agar dirinya tak terlihat oleh pemuda itu.

"Aku harus tahu siapakah pemuda itu sebenarnya? Aku harus hati-hati membuntutinya jangan sampai ketahuan!"

Tak terasa mereka telah jauh menyusup kedalam hutan. Udara sejuk dirasakan Parmin. Angin bertiup dengan lembutnya. Riak-riak dedaunan terdengar begitu merdu di telinga seperti merdunya irama kehidupan. Burung-burung berkicau dan berlompatan kesana-kemari menambah indah suasana dalam hutan itu. Sinar matahari telah mulai menyongsong senja penuh rona ceria.

Semua itu kurang dinikmati oleh Parmin karena matanya terus mengawasi gerak-gerik Si Gila.

Dalam hatinya ia bertanya.

"Apakah isi peti yang dibawanya itu? Dan mau dibawa kemana peti itu? Dia manusia yang luar biasa pertama kujumpai!"

Tiba-tiba suara kicauan burung-burung diatas dahan pohon berhenti, seolah-olah mereka mengisyaratkan sesuatu pada Parmin. Tempat itu menjadi begitu sunyi. Hanya suara derit pohon bambu yang bergesekan dan riak-riak ranting pohon yang tertiup angin mewakili detak jantung dan urat nadi. Sunyi mencekam.

Parmin merasakan suatu firasat buruk yang akan terjadi di hutan ini. Ia segera memusatkan panca inderanya memantau seluruh keadaan hutan ini.

Demikian juga halnya dengan Si Gila. Ia memusatkan pikirannya terhadap isyarat alam yang didengarnya. Mulutnya tetap berbicara aneh kepada peti kayu yang dipanggulnya. Sekan-akan ia membisikkan suasana yang ia rasakan kepada seseorang di dalamnya.

Tiba-tiba berkelebat sebuah benda meluncur secepat kilat membelah dan menyambar ke arah Si Gila. Dengan satu gerakan yang memukau ia meloncat menghindari serangan yang tak terduga itu. Tubuhnya bergerak ringan dan lincahnya seperti tak membawa apa-apa di atas pundaknya.

Benda gelap itu tak mengenai sasarannya, dan menancap pada batang pohon di dekatnya. Ternyata benda itu adalah sebuah kapak besi. Kapak itu hampir seluruhnya menancap ke dalam batang pohon. Berarti orang yang melemparkan senjata tersebut memiliki tenaga dalam yang he- bat. Bayangkan kalau saja kapak itu mengenai tubuh Si Gila!

Dari balik semak-semak melompat sesosok tubuh tinggi besar dengan brewok yang menghiasi wajahnya tertawa terbahak-bahak. Ia tegak berdiri menghadang Si Gila sambil memegang sebuah kapak besi di tangan kirinya, tangan kanannya menyilang di dadanya yang berbulu. Kepalanya memakai ikat dari kulit ular. Kedua kakinya mantap berpijak di atas tanah.

"Kalau kau ingin tetap memiliki nyawamu, serahkan peti itu kepadaku! Tentu di dalamnya berisi emas atau perhiasan berharga yang kau curi dari orang-orang Kumpeni Belanda! Cepat!!" teriak laki-laki itu dengan keras. Suaranya membuat unggas-unggas dalam hutan itu terbang ketakutan.

Si Gila memasang kuda-kudanya dengan sigap menjaga kalau-kalau ada serangan mendadak yang ditujukan kepadanya. Merasa orang itu bermaksud merampas peti yang disayanginya, maka Si Gila segera menaruh peti kayu itu di bawah pohon dan ia mencabut pedangnya membuka jurus untuk meladeni laki-laki bertampang angker itu.

"Tapi bila kau membandel, ketahuilah bahwa sepasang kapak mautku siap membikin tubuhmu menjadi perkedel!" ancam pendekar sepasang kapak maut itu dengan pasti kepada Si Gila. Napasnya terdengar bergemuruh akibat dari nafsu membunuhnya yang meluap-luap. Parmin terkejut melihat orang itu. Ia ingat pesan gurunya agar berhati-hati bila melewati daerah sekitar sungai bondet, karena disitu bercokol seorang begal yang berilmu tinggi dan sangat ganas.

Si Gila marah mendengar ancaman begal itu.

"Peti ini sama harganya dengan nyawaku!

Kalau kau menginginkan peti ini berarti kau harus melangkahi mayatku dahulu!" sahut Si Gila mengibaskan pedangnya.

Merasa ditantang begitu si begal brewok menjadi marah bukan kepalang.

"Aha! Rupanya kau sudah bosan hidup, ya baiklah aku tidak usah lama-lama lagi berbicara. Sekarang yang penting terimalah seranganku ini. Ciaaaaaaaaaat!!" teriak si begal menggelegar merangsak Si Gila. Kapak besinya berputar-putar mencecar tubuh Si Gila dari segala penjuru. Si Gila berkelit kian-kemari menghindari serangan yang bertubi-tubi itu. Sampai suatu saat ia meloncat melewati kepala si begal dan mendarat di belakangnya. Ternyata si begal sengaja mendesak Si Gila agar dapat mengambil kapak besi satunya lagi yang tertancap pada batang pohon tadi. Tepat ketika Si Gila melesat ke belakang melewatinya dengan cepat ia meraih kapak besi tersebut dan mencabutnya.  

Si Gila dari Muara Bondet berkelit dan sepasang kampak maut itu menghantam pohon besar itu. "Tak seorangpun bisa lolos dari si dua sejoli kapak mautku ini dan sudah berpuluh-puluh nyawa orang yang melewati daerah ini kucabut!! Dan sekarang giliranmu...!" pekik si begal kembali menyerang Si Gila dengan cepat.

Parmin mengawasi pertarungan itu dari balik sebuah pohon yang besar. Diameter pohon itu menelan sosok tubuhnya dari pandangan orang lain.

"Dua senjata dimainkan sekaligus! Hebat! Sepasang senjata silat yang berbahaya! Aku sangsi apakah Si Gila mampu mengalahkannya. Aku membantu Si Gila bilamana perlu! Aku tak boleh membiarkan begal itu melukainya!" gumam Parmin.

Wajahnya cemas menyaksikan pertarungan tersebut. Ia merasa dirinya berada pada posisi Si Gila dari Muara Bondet.

"Ilmu silat mereka sebanding! Tetapi ada keunggulan sedikit pada si begal. Ia bertenaga besar dan menggunakan dua buah senjata! Sedangkan Si Gila telah kehabisan tenaga sehabis bertarung dengan keempat pendekar di kampung itu, walaupun jurus-jurus pedang Si Gila sangat cepat dan aneh! Tetapi sepasang kapak itu sepertinya menyerang Si Gila dari segala penjuru!" desis Parmin.

Pertarungan itu telah berlangsung berpuluh-puluh jurus. Keduanya saling melancarkan serangan dengan gencar. Suara bentrokan dua senjata yang terbuat dari logam itu antara kapak si begal dengan golok panjang milik Si Gila terdengar nyaring membelah udara dan menimbulkan bunga-bunga api. Si begal meliuk-liukkan kapaknya seperti kincir angin terus mendesak Si Gila. Ia semakin gencar melancarkan serangannya ketika Si Gila mulai terlihat melemah. Tenaga dalamnya dilipat gandakan. Itu bisa dilihat dari otot-otot tubuhnya yang kencang menegang dan kulit wajahnya yang semakin memerah beringas.

Tetapi didalam keadaan terdesak, Si Gila masih sempat membalas serangan. Dalam suatu kesempatan ia dapat membabatkan pedangnya merobek baju si begal. Melihat bajunya terkena babatan pedang Si Gila, ia segera mengeluarkan jurus andalannya dengan memutar-mutarkan kapaknya mencerca tubuh Si Gila dari atas sampai ke bawah berulang-ulang dalam tempo yang sangat cepat dan secara bersamaan.

Benar-benar pengerahan tenaga dalam yang berlipat ganda. Si Gila tampak kepayahan menghadapi si begal. Ia kalah napas dan mulai kelelahan.

Tak lama kemudian terdengar satu teriakan yang keras, dan kapak si begal merobek dada Si Gila tanpa ampun. Darah mengucur deras dari luka yang menganga di dadanya akibat serangan pada jurus kesepuluh dari rangkaian jurus maut si begal. Si Gila terhuyung-huyung ke belakang meringis kesakitan sambil mendekap dadanya.

"Mampus kau setan alas! Sekarang terimalah ajalmu...!" teriak si begal sambil meloncat ke atas seperti burung elang yang akan menyambar mangsanya dengan kapak besi yang siap membelah kepala Si Gila.

Seketika Parmin terkesiap dan keluar dari persembunyiannya.

"Si Gila dalam keadaan bahaya! Aku harus cepat bertindak...!" Parmin melihat saat-saat kritis itu. Maka dengan satu sentakan yang kuat Parmin melesat menyambar kapak besi yang dipegang si begal hingga terpental sebelum menghantam batok kepala Si Gila yang sudah terpojok tak berdaya.

"He!!" pekik si begal terkejut dan kapak besinya meluncur jauh hilang dibalik semak-semak. Disusul oleh kelebatan sesosok tubuh seorang pemuda.

Parmin berpijak diatas dengan ringannya dan pasang kuda-kuda siap menghadapi si begal yang masih terkejut.

"Eiiiiiitt! Siapakah kau monyet busuk! Menyerang secara sembunyi-sembunyi! Apa hubunganmu dengan gembel yang hampir mampus ini? Apakah kau juga menginginkan isi peti kayu itu?" bentak si begal dengan lantang. Napasnya ngosngosan dengan urat leher menyembul keluar. Sepasang matanya merah seperti saga, sedangkan butir-butir keringat sebesar biji jagung membasahi keningnya yang sebagian tertutup ikat kepala.

"Si Gila minggirlah anda! Hei, begal! Akulah lawanmu yang sebenarnya!" seru Parmin menatap si begal dengan pandangan yang menantang. Sementara Si Gila mengangkat kepalanya sebentar memperhatikan dengan pandangan yang penuh tanda tanya mencoba menerka siapa gerangan orang yang tiba-tiba muncul dan membela dirinya? Tangan kirinya tetap memegangi dadanya yang terus-menerus mengeluarkan darah, sedangkan tangan kanannya menggenggam erat pedangnya yang digunakan untuk menyanggah tubuhnya yang semakin melemah. Ia perlahanlahan beringsut menggerakkan langkahnya yang terseok-seok menjauhi pertarungan menuju peti kayu miliknya.

Tantangan Parmin membuat darah si begal mendidih naik ke ubun-ubunnya dan biji mata yang sudah merah semakin membara.

"Coba katakan namamu, anak muda! Sebelum kepalamu yang besar itu menggelinding kubabat dengan kapakku!!" bentak si begal.

"Aku adalah pembela kaum yang lemah tanpa mengharapkan balas jasa!" sahut Parmin seenaknya. Si begal menggeram merasa tersinggung mendengar perkataan Parmin yang bernada ejekan sengaja menusuk perasaannya. Ia mendengus sengit seraya merangsak Parmin dengan bengis. Jari tangannya diarahkan ke leher Parmin dan kapak besi yang dipegangnya mengarah ke perutnya. Serangan itu sangat cepat dan tak terduga. Parmin melejit ke atas berkelebat menghindari serudukan si begal yang sangat berbahaya itu dan pada saat yang sama ia mengirimkan tendangan ke bahu si begal sehingga terjungkal be- berapa tombak ke belakang. Dengan sigap si begal kembali berdiri langsung membuka jurus baru.

"Oh...boleh juga! Boleh! Ilmu silatmu lebih tinggi dari gembel itu! Siapa gurumu, hei? Rasarasanya aku kenal dengan gaya silatmu!" tanya si begal merentangkan tangannya sebagai tanda untuk memberi kesempatan bicara kepada lawannya sekaligus mencari kemungkinan untuk menyerang lagi.

"Guruku adalah Ki Sapu Angin! Tahukan kau? Kata guruku dulu kau hampir mampus ketika kau coba-coba membegal guruku! Agaknya kau belum kapok juga!" sambut Parmin dibarengi dengan gerakan tangannya membentuk jurus baru. Kaki kirinya agak menekuk dan kaki kanannya diayunkan ke depan berpijak dengan mantap di atas tanah.

Mendengar Ki Sapu Angin adalah guru lawannya, si begal tertawa terbahak-bahak sekuat tenaga hingga merontokkan daun-daun kering disekitar tempat itu. Dan Si Gila yang sedang duduk terkulai segera mengatur napasnya ketika suara tawa dahsyat itu menerpa telinganya.

"Ya benar! Ha ha ha ha ha ha ha! Aku ingat!" seru si begal terbahak tapi lantas wajahnya segera berubah bengis dan seram. Matanya berpijar mencerminkan dendam yang membusuk dalam dadanya.

"Tapi itu lima tahun yang lalu, bukan? Kini suruh gurumu datang melawan aku kembali. Pasti akan kutebus kekalahanku dulu!" "Mulutmu terlalu besar, begal! Hadapi saja muridnya dulu..." ejek Parmin dengan senyum sinis sengaja membangkitkan amarah lawannya.

Begal seketika mendengus keras. Wajahnya merah tembaga. Ia merasa diremehkan oleh pemuda ingusan dihadapannya.

"Bangsaaaaaaat!!"

Ia segera menghujamkan kapaknya mendesak Parmin dengan napas yang bergemuruh ke perut lawannya. Tangan kanannya menyabet celah-celah paha Parmin seperti seekor babi hutan yang menyeruduk mangsanya. Parmin melesat sambil membabatkan goloknya membelah dada si begal dengan sekuat tenaga dan secepat kilat tanpa dapat ditangkis oleh lawannya. Parmin kemudian salto di udara dengan gerakan yang sangat indah dan menjejakkan kakinya di atas tanah begitu ringan, berdiri tegak seraya memasukkan golok kembali ke sarungnya.

Sementara itu si begal memekik keras dalam posisi membelakangi Parmin. Darah lukanya menetes jatuh ke tanah membasahi rumputrumput di ujung kakinya. Tubuhnya bergetar hebat. Tak lama kemudian tubuh tinggi besar itu roboh ke bumi seperti gunung gugur. Tanah di sekitarnya ikut bergetar menahan guncangan yang ditimbulkan olehnya. Napasnya terdengar menggeros seperti seekor kerbau yang sedang sekarat. Kemudian beku tak berkutik lagi.

Maka tamatlah riwayat seorang begal yang ganas dan sangat kejam yang menjadi momok ba- gi orang-orang yang melewati daerah Celancang dan daerah sekitarnya. Bagi Parmin sendiri kematian begal brewok adalah termasuk suatu rangkaian tugas yang telah dipesankan oleh gurunya Ki Sapu Angin.

Parmin menarik napas panjang.

"Dosamu sebagai begal sudah terlalu banyak dan golokku hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak bisa diinsyafkan lagi!" gumam Parmin menatap mayat si begal yang berkubang darah dengan hati lega.

Sedangkan Si Gila duduk bersandar pada sebuah pohon dengan tubuh yang lunglai menatap Parmin kagum. Sinar matanya sudah mulai meredup dan wajahnya terlihat pucat pasi karena banyak mengeluarkan darah dari luka didadanya yang menganga.

Parmin segera menghampiri Si Gila yang mulai kepayahan itu.

Si Gila mengangkat wajahnya.

"Aku tak bisa membalas apa-apa untukmu!" desahnya pelan.

Parmin tersenyum kepada Si Gila seraya membuka baju pemuda itu perlahan-lahan untuk melihat luka yang dideritanya. Sekali-sekali Si Gila meringis kesakitan karena secara tak sengaja bajunya yang dibuka Parmin bergesekan dengan lukanya.

"Aku hanya menunaikan kewajibanku terhadap sesama manusia. Kau adalah orang yang baik. Mari kuperiksa lukamu. Untung tak terlalu dalam dan tidak sampai melukai jantungmu, tetapi mungkin beberapa tulang rusukmu ada yang putus!" kata Parmin sambil meletakkan baju Si Gila di atas akar pohon yang menyembul dari dalam tanah.

Si Gila hanya tertunduk diam. Parmin mengerti apa yang hendak disampaikan Si Gila melalui sorot matanya yang sayu.

Parmin bergegas ke dalam hutan untuk mencari tanaman sebagai bahan ramuan obat yang diperlukan untuk luka bacok itu secepatnya dan sebagai seorang jago silat ia mempunyai ilmu pengobatan yang didapat dari gurunya sebagai bekal untuk menjaga kesehatan tubuhnya sendiri. Setelah sekian lama mencari, akhirnya Parmin menemukan tanaman itu.

"Daun-daun ini bisa ditumbuk halus lalu dicampur sedikit air, dan luka Si Gila pasti bisa kering dalam tempo singkat!" gumamnya sambil memetik daun-daun itu secukupnya. Lalu ia bergegas ke sungai untuk mengambil air. Daun talas hutan dipergunakan untuk menampung air sungai dan ia segera menemui Si Gila yang masih duduk terkulai bersandar pada batang pohon itu. Parmin menumbuk daun-daun yang sudah dicampur dengan air itu di atas sebuah batu. Dalam beberapa saat ramuan tersebut telah siap dipakai. Kemudian Parmin melumuri dan menutup luka Si Gila yang menganga dengan ramuan itu seluruhnya.

Ia merawat Si Gila dengan cermat dan pe- nuh rasa kasih sayang sebagai sahabat.

"Jangan banyak bergerak dulu! Tetaplah bersandar di bawah pohon ini. Mudah-mudahan besok pagi luka anda berangsur-angsur sembuh. Daun-daun ini sangat mujarab untuk mengobati luka-luka bacokan!" ujar Parmin sambil memborehi luka itu dengan lembut.

Si Gila hanya diam saja.

Ia memandang jauh menembus dalam hutan. Sinar matanya agak ceria. Sebentar-sebentar matanya melirik peti kayu jati yang terletak di sebelahnya.

Sinar matahari mulai meninggalkan bumi. Cahayanya yang keemasan tampak berkilauan di ufuk barat menyongsong sang rembulan yang tersenyum menyembul ke bumi. Burung-burung sudah enggan bernyanyi dan kembali ke sarangnya masing-masing. Hanya serangga-serangga malam yang begitu gembira menyambut datangnya malam. Angin bertiup lembut menyapu dedaunan sehingga menimbulkan suara berirama seperti senandung musik malam hari.

***

Parmin menguburkan mayat si begal. Peluh bercucuran di seluruh wajahnya yang tampan. Kemudian ia mengayunkan langkahnya menuju sungai untuk mengambil air wudhu menunaikan khodo sholat maghrib yang disambung dengan sholat isya. Rupanya pertarungan sengit yang ba- ru saja berlalu telah menelan waktu cukup panjang. Malam ini ia terpaksa menginap di dalam hutan menemani Si Gila. Selesai melakukan sholat Parmin melipat kain sarung yang digunakan sebagai sajadah. Si Gila memperhatikan semua yang dilakukan Parmin sambil bertanya-tanya dalam hati. Agaknya ia sedang mempertanyakan untuk apa orang itu begitu patuh melakukan sholat lima waktu?

Malampun tiba. Bulan mengambang di angkasa yang kelabu. Angin bertiup sepoi-sepoi. Mendesir membelai hati yang rindu terhadap sang kekasih. Bisu dalam kenikmatan. Kumandang burung hantu menambah suasana malam itu menjadi kian beku. Perasaan itu menghantui kedua pendekar muda itu.

Parmin duduk dibawah pohon menatap indahnya bulan purnama. Ia teringat kepada Roijah, si Bajing Ireng kekasihnya, membuat hatinya ingin melantunkan lagu kiser kesayangannya. Ia mengeluarkan seruling bambu dari balik bajunya. Kemudian ditiupnya seruling dengan irama yang mendayu-dayu. Rasa rindunya kepada Roijah yang datang merasuk kalbunya membuat irama seruling yang dialunkan Parmin betul-betul meresap ke dalam hati setiap orang yang mendengarkannya. Apalagi bagi mereka yang sedang dimabuk asmara. Parmin tidak mengetahui bahwa lagu yang dibawakannya membuat Si Gila teringat kembali kepada kekasihnya Nuraini yang telah tiada. Tak terasa air mata meleleh membasahi ke- dua pipinya. Mengalir seperti air dari cucuran atap jatuh ke pelimbahan.

Parmin semakin tenggelam dalam senandung lagunya. Ia mencoba membunuh rasa rindunya lewat seruling bambu itu dan Si Gila juga semakin hanyut dalam kenangan masa lalunya yang begitu pahit dan menyedihkan. Rasa sakit yang baru dialaminya sama sekali tak dirasakannya. Yang ada hanya kesedihan berkepanjangan dan duka nestapa yang mewarnai hidupnya selama ini. Sebuah sisa hidup yang tak berarti lagi baginya.

Parmin sempat melirikkan matanya ke arah Si Gila. Ia dapat merasakan kesedihan yang sedang dirundungnya. Seketika serulingnya berhenti dan Parmin segera melompat berdiri tersentak tatkala terdengar olehnya isak tangis Si Gila yang tersedu-sedu seperti anak kecil yang kehilangan barang mainannya. Lalu ia menghampiri Si Gila yang mengelamkan kepalanya di balik kedua kakinya yang menekuk menghimpit kepalanya.

"U...uh...uuh...h! Mengapa aku tidak kau biarkan mati saja di tangan begal itu?" ratapnya penuh penyesalan.

"Kadang-kadang aku merindukan kematian! Ohhh...Nuraini!" teriaknya tersendat-sendat sambil mengangkat kepalanya menengadah ke atas seakan-akan mengadu pada sang rembulan. Tapi pada penglihatannya ternyata bulan hanya diam membisu. Parmin mendekati Si Gila. Lalu berlutut di sebelahnya. Ia merasa berdosa telah membuat Si Gila larut dalam masa lalunya akibat irama seruling yang dimainkannya.

Si Gila memalingkan wajahnya ketika dirasakan Parmin duduk di sebelahnya.

"Oh, untuk apakah aku hidup? Aku tak ingin hidup lagi!" desahnya lirih. Seluruh wajahnya basah oleh keringat dingin dan deraian air mata.

Parmin memegang bahu Si Gila. "Tenanglah, kawan! Sudilah kau menceri-

takan apa yang telah jadi beban pikiranmu? Ceritakanlah!" pinta Parmin berharap dapat meringankan penderitaan jiwa yang dialami Si Gila.

Si Gila kembali menatap begitu sedihnya sambil menelungkupkan dirinya di atas peti kayu jati yang dibawanya. Air mata membasahi peti itu. Parmin hanya bisa memandangi punggung Si Gila dengan perasaan iba dan turut berduka. Ia melihat betapa masalah asmara merupakan segalagalanya bagi kehidupan orang muda seusia Si Gila dari Muara Bondet ini. Lenyaplah sudah sifat gagah seorang jago silat.

Si Gila begitu melankolis, cengeng dan ra-

puh!

"Oh, Nuraini! Mengapa kita harus berpisah,

sayangku? Mengapa hidup ini cuma sebagai mimpi? Lenyap begitu saja seperti dipupus oleh angin?" Si Gila kembali meratapi kekasihnya yang telah tiada dan ia mengadu pada isi peti kayu itu seperti  berdialog langsung  dengan orang yang di- cintainya.

Parmin diam terpaku tanpa bisa berbuat apa-apa.

Lalu ia menghela napas dan berlalu meninggalkan Si Gila yang masih meratap.

"Biarlah ia memuaskan tangisnya! Hanya itu satu-satunya jalan yang terbaik. Dia tadi menyebut-nyebut nama seorang wanita? Aku harus mengetahui rahasia apa yang menyelubungi dirinya dan darimana ia memperoleh ilmu pedang yang hebat itu!" gumam Parmin dalam sambil menyandarkan tubuhnya ke batang pohon. Ia sebenarnya ingin bertanya pada Si Gila lebih jauh tetapi di saat ini tidak mungkin untuk menanyakan hal itu kepadanya.

"Biarlah ia menumpahkan segala perasaannya!" desah Parmin seraya berjalan mencari tempat untuk memejamkan matanya yang mulai diserang kantuk.

Dan malam semakin larut. Bulan dengan setia menyinari alam seluruhnya dan malam itu kedua pendekar muda itu tidur bertikar rumput beratap langit dibuai oleh nyanyian seranggaserangga malam.

Karena lelah menempuh perjalanan sehari suntuk Parmin akhirnya tertidur juga. Tetapi sebagai seorang jago silat nalurinya tetap bekerja memantau daerah sekitar hutan itu menjaga kemungkinan yang dapat saja terjadi mengancam jiwa mereka berdua.

Ia dapat melihat juga Si Gila gelisah dan sering mengigau dalam tidurnya.

"Peti kayu itu sebentar-sebentar dipeluknya. Apakah takut dicuri orang? Apakah di dalamnya berisi emas permata seperti kata si begal tempo hari, atau...apa?" Parmin bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Akhirnya ia tak tahan lagi melawan rasa kantuk yang kembali menghantui dirinya. Tak lama kemudian Parmin dapat memejamkan matanya dan tertidur lelap.

Sementara itu di lain fihak Si Gila duduk terpaku menatap sang rembulan yang seolaholah tersenyum simpul kepadanya. Pikirannya menerawang. Dan malam terus berputar seiring detak jantungnya mengikuti perjalanan sang waktu.

***