Jaka Sembung 6 - Si Cakar Rajawali(3)

Jaka Sembung, adalah salah seorang musuh besarnya. Pendekar dari Gunung Sembung itulah yang telah memberikan kehidupan suram padanya.

Jaka Sembung telah membunuh orang yang dicintainya, gurunya yang bergelar Bergola Ijo. Bahkan selama ini ia memperdalam ilmunya adalah untuk membalaskan dendamnya kepada Jaka Sembung.

Ia tahu Jaka Sembung memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena itulah ia menuntut ilmu bertahun-tahun dan melatih tangan kanannya yang cacat menjadi cakar maut. Barna telah bersumpah akan membalaskan dendam kesumatnya, melenyapkan Jaka Sembung serta saudara-saudaranya. Sebab hanya dengan cara itu ia bisa merasa dendamnya terlampiaskan, atau merasa hutangnya impas.

Dendam memang sering membuat orang menjadi mata gelap. Jika dendam telah merasuki pikiran dan menguasai hati seseorang, maka orang tersebut tidak akan pernah merasa tenang sebelum melampiaskan dendamnya. Cara apa pun akan ia tempuh demi membalaskan dendamnya.

Itulah sebabnya permusuhan di antara sesama pendekar atau para jagoan silat lainnya sering berkepanjangan dan bahkan bisa menjadi semacam mata rantai yang berkesinambungan. Seperti si Cakar Rajawali misalnya, ia menaruh dendam kesumat kepada Jaka Sembung, karena gurunya pernah dirobohkan jagoan dari Gunung Sembung itu.

Kalau misalnya Parmin juga terbunuh di tangan Cakar Rajawali, kawan-kawan Parmin pun tentu akan dendam kepada Cakar Rajawali. Demikian seterusnya, sehingga merupakan lingkaran setan yang tak ada habis-habisnya. Kebanyakan di antara para pendekar yang kurang bijaksana menilai nyawa harus dibayar dengan nyawa.

Padahal itu belum tentu merupakan penyelesaian yang baik dan benar. Kekerasan bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan persoalan. Ada kalanya jalan kekerasan harus dihindarkan. Artinya harus mau mengalah untuk menang.

Sekarang mendengar Ranti mengaku sebagai adik Jaka Sembung, amarah Cakar Rajawali pun tak terkendalikan lagi. Ia merasa tak perlu berpikir dua kali untuk membunuh Ranti.

“Hm, jadi si Parmin itu adalah abangmu? Bagus, berarti kau adalah adiknya. Demi langit dan bumi dan demi arwah guruku, aku telah bersumpah untuk menumpas Jaka Sembung, termasuk sanak familinya hingga habis dari muka bumi ini. Dan kau adalah korban yang pertama!” kata Barna dengan suara meledak-ledak.

Ranti terkejut juga menyaksikan perubahan sikap si Cakar Rajawali. Rupanya lelaki di hadapannya itu menaruh dendam kesumat kepada Jaka Sembung, bahkan telah bersumpah akan menumpas habis siapa saja yang punya hubungan kekeluargaan dengan pendekar Gunung Sembung itu.

Diam-diam Ranti merasa ngeri juga, karena ia tahu si Cakar Rajawali bukanlah orang sembarangan. Pastilah memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Apalagi saat memperhatikan tangan kanan si Cakar Rajawali yang hitam legam dan keras bagaikan baja. Tangan itu pastilah sangat berbahaya.

Dulu ayah angkat Ranti, Gembong Wungu telah sering menceritakan tentang kehebatan-kehebatan para pendekar kesohor. Para jagoan tersebut selalu memiliki keistimewaan tersendiri, misalnya mempunyai senjata yang tidak lazim dimiliki orang, atau jurus-jurus langka.

Tetapi Gembong Wungu belum pernah menceritakan adanya jagoan yang memiliki senjata berupa tangan kanan keras dan bagaikan baja.

Jika bertarung dengan pendekar aneh itu, Ranti tentu akan merasa kikuk sebab selama hidupnya ia belum pernah berhadapan dengan orang seperti itu. Selain itu, melihat sikap si Cakar Rajawali, tahulah Ranti bahwa lelaki itu memiliki tabiat yang sangat ganas dan buas.

Ranti merasa cemas juga. Tetapi ia tak mungkin lagi menghindari pertarungan dengan musuh yang tangguh.

Maka ia pun segera mencabut senjatanya. Kalau ia memang harus mati, biarlah. Toh tidak akan ada yang menangisinya. Bukankah ia tidak punya siapa-siapa lagi?

“Bersiaplah untuk mampus, nona. si Cakar Rajawali akan merobek-robek tubuhmu sebagai pelampiasan dendamku kepada Jaka Sembung. Akan kucabut jantung dan hatimu, lalu kuberikan kepada abangmu itu sebagai tanda mata yang sangat berharga,” kata Barna sambil bersiap-siap untuk menerjang Ranti.

“Jangan kira aku takut padamu, bangsat! Jika kau telah bersumpah menumpas Jaka Sembung dan keluarganya, maka aku pun telah bersumpah melenyapkan kau serta penjahat-penjahat lainnya dari muka bumi ini.”

“Rupanya kau tak berbeda dengan abangmu itu. Mulutmu terlalu besar, nona. Kau betul-betul tak tahu diri. Ajalmu sudah dekat, tapi kau masih berani bicara sesumbar seperti itu.”

“Jangan banyak bicara, bedebah!”

“Baiklah, nona sombong. Hadapilah seranganku!”

Usai berkata demikian, si Cakar Rajawali segera menerjang Ranti dengan dahsyat. Tubuhnya melayang cepat sekali. Kaki kanannya ditekuk dan hampir menempel ke dada, tangan kirinya terulur ke depan, sedangkan tangan kanannya yang hitam keras itu ditarik ke belakang, sewaktu-waktu siap melancarkan serangan maut tak terduga.

Ranti menggeser kaki kanannya ke samping untuk mengelakkan tendangan kaki lawan. Lalu dengan gerakan yang sangat cepat, ia mengayunkan pedangnya ke arah punggung Cakar Rajawali. Orang lain yang ilmunya tak terlalu tinggi tentu akan gugup diserang secepat itu.

Namun si Cakar Rajawali tampak tetap tenang. Sambil tersenyum mengejek, ia mengulurkan tangan kanannya menangkis sabetan senjata lawan.

Terdengar suara berdenting ketika senjata Ranti bertemu dengan tangan kanan lawan, seolah-olah golok itu mengenai benda logam yang sangat kuat. Tak terlihat si Cakar Rajawali merasa kesakitan, bahkan Ranti sendiri yang merasa tangannya kesemutan karena kuatnya tenaga dalam lawan. Ketika ia belum bisa menguasai perasaan kagetnya, tangan maut itu telah terulur mencengkeram senjata di tangan Ranti.

Sambil berseru kaget, Ranti membanting diri ke samping. Tubuhnya berguling-gulingan di atas tanah, lalu ia kemudian meloncat jauh ke belakang.

Gadis itu menenangkan perasaan. Hampir saja tadi, hanya dalam satu gebrakan saja ia tewas di tangan lawan.

Melihat sikap Ranti, maka si Cakar Rajawali pun tertawa kegirangan. Ia benar-benar anggap remeh kepada gadis di hadapannya.

“Tak kusangka kepandaian adik Jaka Sembung hanya seperti itu. Rasanya aku jadi malu jika harus bertarung denganmu. Kalau saja aku belum sempat bersumpah untuk membunuhmu, aku tidak akan mau bertarung denganmu.

“Tapi walaupun demikian, biarlah aku melanggar sumpahku. Sebaiknya kau menyerah saja dan mau menjadi istriku. Sayang kalau nona secantik kau mati dengan sia-sia di tanganku.”

“Bangsat! Kau jangan sombong, monyet!” Ranti segera menerjang dengan dahsyat.

Sekarang ia telah mengeluarkan ilmu silatnya yang paling tinggi. Pedang diputar cepat sekali sehingga seolah-olah berubah jadi banyak sekali, menyerang si Cakar Rajawali dari segala penjuru.

Melihat kecepatan gerak Ranti, agak terkejut juga si Cakar Rajawali dan diam-diam harus mengakui bahwa dalam hal kecepatan gerak, Ranti cukup bisa mengimbanginya. Si Cakar Rajawali pun segera mengeluarkan jurus-jurus mautnya. Setiap pedang lawan menyambar ke arah tubuhnya, ia langsung memapakinya dengan tangan bajanya.

Ranti yang sudah mengetahui kehebatan tangan itu terpaksa harus menarik serangannya, untuk kemudian menyerang dari arah lain. Akibatnya gadis itu menjadi kerepotan sendiri.

Apalagi karena jurus-jurus yang dikeluarkan si Cakar Rajawali selalu penuh dengan perkembangan yang tak terduga. Begitu Ranti menarik pedangnya, si Cakar Rajawali segera balas menyerang dengan gerakan cepat bagaikan kilat.

Pertarungan yang tak disaksikan siapa-siapa itu berlangsung sampai berpuluh-puluh jurus. Namun makin lama, perlawanan Ranti makin lemah. Ia sekarang tak punya kesempatan lagi melakukan serangan balasan, sebab untuk bertahan pun ia harus berjuang mati-matian.

“Kau akan mampus di tanganku, nona!” teriak si Cakar Rajawali. Serangan-serangannya makin gencar, mengurung lawan dari segala penjuru.

Tangan kirinya menyambar ke arah ke dua mata gadis itu dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata. Tak terkatakan betapa terkejutnya Ranti mendapat serangan seperti itu, karena kalau mengenai sasaran, kedua biji matanya pasti akan hancur.

Secepat yang bisa ia lakukan, Ranti mundur dengan posisi menyamping. Serangan tangan kiri lawan bisa ia elakkan, namun pada saat itu cakar maut lawan menyambar dari arah kanan. Ranti makin terkejut, lalu membanting tubuhnya ke atas tanah. Tetapi terlambat sudah, cakar maut lawan telah menyambar tubuhnya.

“Bret!” terdengar suara kain robek di bagian punggung Ranti, sehingga kulit tubuhnya yang putih mulus kelihatan.

Hal itu rupanya membuat Si Cakar Rajawali menjadi berubah sikap. Murid Bergola Ijo itu tadinya ingin menghabisi nyawa Ranti secepatnya, tetapi sekarang ia mengurungkan niatnya, dan ingin mempermainkan gadis itu sepuas hati sebelum membunuhnya.

“Ha-ha-ha, nona manis. Kulit tubuhmu sangat halus. Hatiku jadi berdebar-debar melihatnya,” ejek si Cakar Rajawali sambil tertawa kegirangan. Cakar maut tangan kanannya kembali menyambar baju di bagian bahu Ranti hingga sobek hampir sebatas dada.

“Bangsat! Kubunuh kau!” bentak Ranti, geram bercampur cemas. Ia kembali menyerang dengan ganas, tetapi karena tenaganya sudah sangat terkuras, dengan mudah lawan dapat menghindar.

“Aku senang melihat wanita telanjang menari-nari, nona manis. Ayo, teruskan seranganmu! Nah, sekarang giliran dadamu itu, nona........”

Benar saja, dengan gerakan cepat dan penuh tipu daya, si Cakar Rajawali kembali merobek baju di bagian dada Ranti.

Putri Gagak Ciremai itu menjerit. Dadanya hampir terbuka semuanya sekarang. Sebagai seorang gadis, apalagi yang masih sangat muda belia, ia merasa sangat malu dan merasa sangat terhina. Ingin rasanya ia menangis saking kesal dan marahnya.

“Bangsat! Kalau kau bukan pengecut, bunuhlah aku sekarang juga!” teriak Ranti putus asa.

“Kau pikir aku setolol itu, nona manis? Lelaki mana yang tak tergiur melihat mulus dan montoknya tubuhmu, nona?”

“Diam kau, bangsat!”

“Kau boleh memaki aku sepuas hatimu, nona. Kau berhak memaki-maki aku, sama seperti halnya saat ini aku pun berhak menikmati tubuhmu itu.”

Si Cakar Rajawali menghentikan serangannya. Ia mundur beberapa langkah. Setelah itu, ia menatap tubuh Ranti dari bawah sampai ke atas dengan mata mendelik.

Kedua mata Ranti memerah menahan air mata. Perasaannya tak menentu lagi.

Tangan kanannya memegang senjata, sedangkan tangan kirinya didekapkan untuk menutupi dadanya yang hampir tidak ditutupi pakaian lagi. Pada saat seperti itu, Ranti merasa lebih baik mati. Ia tak tahan lagi menanggung malu, di hadapan lawan.

“Mana abangmu si Jaka Sembung itu? Seandainya ia ada di sini, dia tentu akan senang melihatmu menari-nari seperti sekarang.”

Si Cakar Rajawali kembali menyerang Ranti. Karena tak bisa lagi menguasai perasaannya, Ranti tidak berpikir lagi untuk menyerang. Makin lama pakaiannya makin habis tersobek-sobek oleh cakar maut lawannya. Dan akhirnya, dara itu benar-benar hampir tidak berpakaian lagi.

Sambil menjerit, Ranti berlari menyembunyikan diri ke balik batang pohon kelapa yang banyak tumbuh di sekitar pantai. Ia menangis sedih dan geram. Ia ingin dibunuh secepatnya dan jika ia masih dibiarkan hidup, suatu saat nanti ia bersumpah akan membunuh si Cakar Rajawali.

Ranti tak dapat membayangkan betapa besarnya aib yang akan menimpa dirinya jika si Cakar Rajawali memperkosanya. Ia sedih dan putus asa, juga geram, dan entah apa lagi sehingga perasaannya tidak berbentuk lagi.

“Bunuhlah aku! Oh, jangan siksa aku seperti ini. Bunuhlah, bajingan!” teriak Ranti, dengan air mata menetes membasahi wajahnya.

Si Cakar Rajawali tertawa tergelak-gelak, sambil melangkah ke arah pohon kelapa tempat Ranti menyembunyikan dirinya. Lelaki itu tampak merasa semakin puas melihat Ranti menangis ketakutan dan merintih-rintih meminta dirinya agar segera dibunuh.

“Sabarlah sedikit, nona manis! Sebentar lagi permintaanmu itu akan kupenuhi. Sayang sekali gadis cantik dan molek seperti kau harus tinggal jadi tumpukan daging yang tak laku dijual. Tetapi perlu kau ketahui bahwa ini merupakan langkah awal bagiku untuk membalaskan kesombongan pendekar dari Gunung Sembung.”

“Jangan banyak omong kau! Bunuhlah aku! Bedebah kau!” teriak Ranti lagi.

“Baiklah, agaknya kau memang tidak sabar lagi untuk segera meninggalkan dunia ini.”

Si Cakar Rajawali segera mempersiapkan jurus mautnya. Ia membungkukkan badan dengan posisi kaki kanan di depan. Tangan kirinya dilipatkan di dada, sedangkan tangan kanannya yang merupakan cakar maut itu diangkat tinggi-tinggi. Ia telah siap merobek-robek tubuh Ranti dengan cakar mautnya.

“Tunggulah abangmu si Jaka Sembung di pintu akherat.......” kata Si Cakar Rajawali dengan suara bergetar akibat nafsu membunuh yang tak terkendalikan lagi.

Tetapi di saat yang sangat genting itu, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat. Begitu cepatnya bayangan itu sehingga Si Cakar Rajawali tidak sempat menghindar ketika dadanya dipukul.

Tak ayal lagi, tubuhnya terlempar ke belakang beberapa meter. Ketika ia bangkit kembali, tampaklah seorang pemuda berdiri di tempat itu, yang tak lain tak bukan adalah Si Gila Dari Muara Bondet.

◄Y►

9

Setelah berhasil menyelamatkan Ranti dari pusaran arus air di muara Cimanuk, dan Ranti pergi setelah menuduhnya telah berbuat kurang ajar, perasaan Karta menjadi hancur luluh.

Ia tidak menyangka gadis cantik jelita yang suaranya mirip dengan mendiang kekasihnya sampai hati menuduhnya seburuk itu. Padahal ia telah mempertaruhkan nyawa menyelamatkan gadis itu. Karta sangat kecewa.

Ia memang dapat memahami perasaan Ranti yang tampaknya sedang mengalami pukulan batin yang sangat berat. Jadi kalau sikapnya kurang simpatik, bolehlah dianggap wajar.

Tetapi saat itu, Karta segera memutuskan untuk tidak mau lagi mendekati Ranti. Hati gadis itu terlalu keras. Karta takut jika pertemuannya dengan Ranti akan menambah penderitaannya selama ini.

Maka pendekar itu pun segera melangkah meninggalkan tebing di pinggir muara kali Cimanuk. Langkahnya terasa goyah. Berkali-kali ia memaki dirinya sendiri karena tidak bisa melupakan Ranti.

Karta mengingat saat Ranti menuduhnya telah berbuat kurang ajar, atau telah merusak kesucian gadis itu sewaktu tergeletak dalam keadaan tak sadarkan diri. Bahkan kata-kata itu sangat jelas terngiang-ngiang di telinga Karta. Entah apa alasan Ranti hingga sampai hati menuduhnya seperti itu.

Karta terus melangkah, tanpa tujuan pasti. Ia hanya mengikuti langkah kakinya, dan tidak menyadari bahwa ia sedang melangkah menyusuri pantai laut Jawa.

Angin kencang mengiringi langkah kakinya yang tak pasti. Rambut dan ikat kepalanya melambai-lambai, sepertinya sedang mengucapkan selamat tinggal dunia cinta. Oh, cinta! Engkau yang memberiku kebahagiaan dahulu kala, namun kemudian engkau juga yang memberikan kegersangan hidup bagiku, keluh hati pemuda itu.

Ketika sedang melangkah dengan pikiran yang hanyut di dalam kesedihan, tiba-tiba telinga Si Gila Dari Muara Bondet mendengar suara orang sedang bertempur. Ia segera berlari ke arah suara itu dan semakin terkejutlah ia ketika menyadari bahwa suara itu suara seorang perempuan yang tampaknya sedang bertarung dengan seorang lelaki.

Setelah berada tak jauh dari arena pertarungan itu, alangkah terkejutnya Karta menyaksikan yang sedang bertarung itu adalah Ranti sendiri.

Celakanya lagi, saat itu Ranti dalam keadaan hampir tidak berpakaian dan menyembunyikan dirinya di balik pohon kelapa. Sementara seorang laki-laki tak dikenal sudah bersiap-siap menyerangnya dengan dahsyat.

Maka tanpa pikir panjang lagi, Karta segera menerjang Si Cakar Rajawali. Tubuhnya melesat dan berkelebat bagaikan anak panah. Karena saat itu Si Cakar Rajawali kurang waspada, ia tak menyadari bahwa seseorang sedang menerjangnya. Ia pun terpental terkena hantaman lawan.

“Bangsat! Kau berani menyerang aku, ya? Siapa kau, hah?” bentak Si Cakar Rajawali sambil melompat berdiri. Wajahnya merah padam bagaikan terbakar api, dan sepasang matanya mencorong tajam seolah-olah hendak menelan Karta hidup-hidup.

“Kau keterlaluan, sobat! Sikapmu ini tidak akan bisa dibenarkan siapa pun juga,” kata Karta dengan tenang.

Pendekar Muara Bondet itu sebenarnya sangat marah melihat Ranti diperlakukan seperti itu. Namun sebagai pendekar yang telah bertahun-tahun melanglang buana dalam dunia persilatan, ia merasa lebih baik bersikap tenang.

Lain persoalannya kalau misalnya si Cakar Rajawali tetap ngotot bersikap keras. Bagaimana pun bagi pendekar seperti Karta, mencari musuh itu adalah pantangan. Tetapi jika bertemu musuh, artinya ditantang, ia pantang mundur.

“Bedebah kau! Berani kau mencampuri urusanku! Rupanya belum tahu siapa aku. Akulah si Cakar Rajawali, jagoan tanpa tanding di pantai Cirebon ini. Siapa pun yang berani menantang aku, berarti ia sudah bosan hidup! Atas kelancanganmu ini, maka aku tidak akan memberikan ampun lagi bagimu!”

“Sahabat yang baik hati, sungguh merupakan kehormatan bagiku dapat bertemu dengan pendekar gagah perkasa seperti si Cakar Rajawali. Saya yakin kau adalah seorang pendekar kesatria, yang tidak akan mau berbuat kejam pada orang lain tanpa ada alasannya. Jika boleh aku tahu, kesalahan apakah gerangan yang dilakukan sahabatku itu hingga kau memperlakukannya seperti itu?”

“Oh, jadi kau adalah temannya? Bagus kalau begitu. Berarti kau pun termasuk orang yang harus kulenyapkan dari permukaan bumi ini.

“Ketahuilah, perempuan jalang itu telah menghabiskan ikan rebusku. Tetapi bukan itu yang membuatku harus mencabut nyawanya, melainkan karena dia adalah adik si Jaka Sembung.

“Aku telah bersumpah akan melenyapkan Jaka Sembung dan semua keluarganya dari muka bumi ini! Kau pun termasuk salah seorang di antaranya.”

Diam-diam Karta terkejut juga mendengar kata-kata si Cakar Rajawali. Rupanya lelaki itu pun menaruh dendam kesumat kepada Jaka Sembung. Tetapi apakah memang betul Ranti adalah adik pendekar dari Gunung Sembung itu?

Sejak tadi, Karta telah memperhatikan tangan kanan si Cakar Rajawali, yang hitam legam dan keras bagaikan baja. Agaknya kehebatan tangannya itulah yang membuatnya dijuluki si Cakar Rajawali. Karta mereka-reka dalam hati sambil bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Sebab melihat sikap dan perkataan si Cakar Rajawali, dapatlah dipastikan bahwa lelaki itu pastilah tidak akan mau mengurungkan niatnya apa lagi untuk berdamai.

“Maafkan saya, pendekar Cakar Rajawali. Agaknya kau punya persoalan pribadi yang sangat serius dengan pendekar Jaka Sembung. Tetapi kalau yang berbuat salah hanyalah Jaka Sembung, kenapakah yang lain harus ikut jadi korban? Saya rasa itu bukanlah sikap yang bijaksana.”

“Jangan banyak bacot kau, bedebah! Sekarang sebutkan namamu, agar kau tidak mati penasaran di tanganku. Selain itu, aku pun enggan membunuh orang yang belum kuketahui namanya.”

“Baiklah sobat. Namaku adalah Karta. Tetapi orang sering menyebut diriku sebagai Si Gila Dari Muara Bondet.”

“Oh, pantas saja kata-katamu seperti orang gila. Rupanya pikiranmu tidak waras lagi. Baiklah, sekarang bersiap-siaplah untuk mampus di tanganku!”

“Pendekar Cakar Rajawali, aku sebenarnya tak ingin bertarung denganmu, karena selama ini di antara kita tidak ada persoalan apa-apa. Tetapi karena tampaknya kau tetap memaksaku, aku akan menerima tantanganmu. Kita sama-sama laki-laki. Kau boleh menyerang aku sekarang, aku sudah siap!”

“Mampus kau, bangsat!” Si Cakar Rajawali tiba-tiba meloncat tinggi ke arah Karta. Serangannya persis seperti ketika ia tadi menyerang Ranti. Tangan kirinya dilipat di dada sedang tangan kanannya di angkat tinggi, siap melancarkan serangan maut.

Melihat serangan lawan, Karta menjadi terkejut karena serangan itu sangat berbahaya. Lengah sedikit saja nyawa bisa melayang. Karta pun segera menghunus goloknya, lalu memapaki tubuh lawan dengan sabetan senjata dengan gerakan kilat.

Si Cakar Rajawali tidak mengelak. Ia mengulurkan tangan kanannya menangkis sabetan senjata lawan. Akibatnya, Karta menjadi terkejut sekali, karena goloknya tidak mempan melukai tangan lawan. Bahkan senjata di tangannya terasa ditolak tenaga dalam luar biasa, hingga nyaris terpental dari genggaman tangannya.

Karta terpaksa meloncat jauh ke belakang untuk mempersiapkan serangan baru. Kali ini, ia sendiri yang mulai menyerang. Ia meloncat tinggi ke udara, dan sewaktu tubuhnya meluncur turun, goloknya diayun-ayunkan menyerang lawan dari segala penjuru.

Pertarungan sengit pun terjadi. Kedua pendekar yang sama-sama memiliki ilmu silat tinggi itu saling mengeluarkan segenap kemampuan untuk merubuhkan lawan. Ranti menyaksikan pertarungan itu dari balik batang pohon kelapa.

Diam-diam ia merasa kagum juga menyaksikan bahwa Karta memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi. Tetapi si Cakar Rajawali pun tidak kalah hebatnya. Tangan kanannya yang luar biasa itu berulangkali merepotkan Karta.

Setiap kali diserang, ia selalu menangkis dengan tangan kanannya itu. Ranti menjadi cemas, karena kalau Karta sampai kalah, maka tiada harapan lagi baginya untuk bisa lolos dari maut.

Agaknya Karta pun menyadarinya. Pendekar itu mengeluarkan segenap kemampuannya untuk bertahan menghadapi gempuran lawan, karena ia sadar saat ini ia bukan hanya mempertahankan nyawanya sendiri, tetapi juga nyawa Ranti. Sadar atau tidak sadar, ia sudah bertekad untuk melindungi Ranti sekalipun terpaksa harus mengorbankan nyawa.

◄Y►

10

Makin lama, pertarungan itu makin menegangkan. Memasuki jurus yang keenampuluh, terlihatlah bahwa ilmu silat Karta masih berada di bawah kehebatan Si Cakar Rajawali. Perlawanan pendekar dari muara Bondet itu makin lama makin lemah, bahkan akhirnya hanya bisa bertahan.

“Kau akan mampus di tanganku, Gila!” teriak Si Cakar Rajawali dengan suara mengejek.

“Kaulah yang akan mampus, bangsat!”

Sambil tertawa mengejek, si Cakar Rajawali menerjang Karta dengan jurus mautnya. Diawali tendangan kaki kanan mengarah ke pusar, tangan kirinya kemudian menyambar ke arah ulu hati lawan dengan kecepatan luar biasa.

Karta sangat terkejut menyadari betapa berbahayanya serangan lawan. Buru-buru ia menggeser kakinya ke sebelah kanan, sehingga serangan kaki dan tangan kiri lawan dapat ia hindarkan.

Tetapi tanpa di duga-duga, tangan kiri Si Cakar Rajawali tetap mengikutinya, meluncur ke arah samping dengan posisi menukik bagaikan burung camar menyambar ikan di laut.

Tiada jalan lain bagi Karta selain membantingkan tubuhnya ke sebelah kanan. Sambaran tangan kiri lawan pun lolos, namun pada saat yang hampir bersamaan, tangan kanan Cakar Rajawali menyambar dahsyat ke arah leher Karta.

“Buk........!”

Sambaran cakar maut itu mendarat telak. Akibatnya, tubuh Karta terpental beberapa meter. Bagian lehernya mengeluarkan darah kental kehitam-hitaman. Dan ketika tubuh pendekar itu terbanting ke tanah, darah segar yang juga berwarna kehitam-hitaman tersembur dari mulut serta hidungnya.

Ranti yang menyaksikan keadaan itu menjadi terkejut. Gadis itu ingin meloncat dari balik pohon kelapa untuk menolong Karta tetapi ia mengurungkan niatnya karena menyadari dirinya dalam keadaan berpakaian tidak beres……..

“Mampus kau, bangsat!” bentak Si Cakar Rajawali sambil menerjang Karta dari arah belakang.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Karta yang baru saja bangkit berdiri segera menunduk kemudian menangkap tangan lawan yang saat itu mengincar lehernya. Hanya karena kebetulan saja Karta berhasil menangkap tangan lawan karena mungkin Cakar Rajawali mengiranya tak berdaya lagi.

Ketika Cakar Rajawali masih berada di atas punggungnya, ia membantingkan tubuh pendekar sakti itu ke laut. Sebelum Si Cakar Rajawali muncul di permukaan air laut, Karta sudah menerkamnya.

Terjadilah pertarungan sengit di dalam laut, saling banting-membanting, saling menerkam dan saling berusaha membenamkan lawan.

Makin lama tubuh kedua pendekar yang sedang mengadu nyawa itu makin jauh ke tengah laut. Keduanya hanya kadang- kadang saja muncul ke permukaan, tetapi hanya beberapa saat kemudian sudah terbenam kembali bersama ombak yang datang bergulung-gulung.

Pada pertarungan di dalam laut itu, cakar maut si Cakar Rajawali ingin mencekik Karta hingga tewas. Namun berkat kegigihan Karta, ia berhasil melepaskan diri walaupun lehernya menjadi terluka.

Setelah itu, sambil mengerahkan segenap sisa kekuatannya, Karta muncul ke permukaan air untuk menarik nafas.

Sementara tangan dan kakinya tetap menjepit lawan hingga tetap terbenam di dalam air. Di sinilah terlihat bahwa ilmu berkelahi dalam air Karta lebih unggul di banding Si Cakar Rajawali. Sejak lama Karta sudah terbiasa bermain-main dengan derasnya air kali Bondet.

Sedikit banyaknya kebiasaan itu telah memberinya kepandaian yang sangat membantunya sekarang, dalam menghadapi lawan.

Sedangkan Si Cakar Rajawali sendiri, sekalipun selama ini berlatih di pinggir pantai, ia agak jarang bermain-main dengan derasnya ombak lautan. Makin lama, perlawanannya pun makin lemah, sebab nafasnya mulai hampir putus. Bahkan perutnya terasa mulai kembung karena air laut makin banyak masuk perutnya, tanpa bisa dicegah.

Barangkali ini memang hanya suatu keberuntungan belaka bagi Karta. Ia sendiri harus mengaku bahwa sewaktu bertarung di darat tadi, ia hampir tak bisa memberikan perlawanan berarti lagi bahkan jika pertarungan itu masih berlanjut, tipis harapan baginya untuk memenangkannya.

Makin lama, perlawanan Si Cakar Rajawali makin lemah. Tubuhnya menggeliat-geliat beberapa saat. Setelah itu, jagoan cakar maut itu diam. Sekujur tubuhnya telah lemas dan tidak mempunyai kekuatan lagi untuk menyelamatkan diri. Setelah tubuhnya berkelojotan, nyawanya pun melayang.

Karta pun sebenarnya hampir tidak mempunyai tenaga lagi. Ia nyaris turut tenggelam dalam keadaan lemas. Namun tatkala teringat bahwa di darat masih ada Ranti, ia memaksakan diri untuk berenang.

Sewaktu berada di pinggir pantai, ia hampir tak sadarkan diri lagi. Tubuhnya limbung dan nyaris terjatuh ke laut. Tetapi ia tetap memaksakan diri, tidak mau menyerah pada nasib.

Akhirnya dengan langkah sempoyongan, ia berhasil sampai di pantai. Ia menatap Ranti dengan mata mengabur.

“Karta,” kata Ranti dengan suara bergetar. Seandainya tidak dalam keadaan hampir tidak berpakaian, ia pasti sudah berlari menyongsong pemuda itu, kemudian memeluknya erat-erat.

Karta melangkah lebih dekat ke arah gadis itu. Lalu ia membuka kain sarungnya. Diulurkannya kain sarung itu dan sambil memalingkan muka, Karta berkata.

“Maafkan aku, dik Ranti. Jika kau sudi, pakailah kain sarung ini!”

Setelah kain sarung itu berpindah tangan, Karta melangkah agak menjauh dari pohon kelapa itu. Tubuhnya masih limbung, dan hanya karena ketabahannya saja ia masih bisa berdiri.

Ranti segera melilitkan kain sarung itu ke tubuhnya sebatas dada. Ia merasa seperti lepas dari neraka. Baru sekarang ia sadari bahwa kalau sedang dalam keadaan hampir tidak berpakaian bukan main tersiksanya perasaan.

“Karta.......” kata gadis itu sambil melangkah malu-malu ke arah Karta yang saat itu sedang membelakanginya.

Karta membalikkan badan. Maka tampaklah oleh Ranti bahwa dada dan leher pendekar itu masih mengeluarkan darah akibat luka cakar dari lawannya tadi.

“Ah, kau kembali telah menyelamatkan nyawaku,” ujar Ranti dengan perasaan tak menentu. Wajahnya masih bersemu merah, karena teringat bahwa tadi Karta pun telah mengetahui bahwa dirinya dalam keadaan hampir tidak berpakaian.

“Tidak apa-apa. Dan syukurlah kalau kau tidak kurang suatu apapun,” ujar Karta dengan suara hampir tak terdengar.

“Tapi tampaknya kau sedang mengalami luka yang cukup parah,” kata Ranti cemas.

“Ah, hanya luka kecil saja. Nanti juga akan sembuh sendiri. Aku tidak apa-apa.”

“Pendekar budiman, berilah aku kesempatan untuk membalas budi baikmu. Tapi...... aku…... ah, maafkanlah kesalahanku karena aku telah terlanjur menuduhmu yang bukan-bukan. Sebenarnya aku tidak bermaksud........”

“Sudahlah, dik Ranti. Lupakan saja,” sela Karta pelan.

“Tapi aku…....”

“Maafkan aku, dik. Aku harus pergi. Selamat tinggal........” Setelah berkata begitu, Karta melangkah meninggalkan Ranti.

Namun baru beberapa langkah, tubuhnya limbung dan ambruk ke tanah dalam keadaan tertelungkup. Ranti segera menubruk tubuh pemuda itu. Alangkah cemasnya hati gadis itu manakala menyadari bahwa Karta sedang dalam keadaan tak sadarkan diri.

Rupanya di samping sangat kelelahan, Si Gila Dari Muara Bondet itu juga menderita keracunan yang sangat berbahaya. Tubuhnya membiru, terutama di bagian dada dan lehernya yang terkena cakaran Si Cakar Rajawali.

“Oh, maafkanlah semua kesalahanku…...” bisik Ranti sambil membopong tubuh Karta ke bawah pohon rindang tak jauh dari pantai. Ia membaringkan tubuh pemuda itu dengan posisi kepala tersandar pada batang pohon kelapa.

Melihat keadaan tubuh Karta, tahulah Ranti bahwa pemuda itu sedang keracunan yang sangat berbahaya.

Sewaktu kecil ia sudah sering mempelajari berbagai jenis racun dari ayah angkatnya Gembong Wungu. Sebagai tokoh sesat, si raja rampok itu pun mengetahui banyak sekali tentang racun.

Ranti pun mempelajari sedikit cara-cara pengobatan terhadap orang yang keracunan. Rupanya cakar maut itu mengandung racun, pikir Ranti sambil berharap agar ia dapat mengobati luka yang diderita Karta,

Tanpa merasa sungkan-sungkan lagi, Ranti segera menempelkan bibirnya kepada luka cakar di bagian leher Karta. Lalu ia menyedotnya, sehingga darah semakin banyak mengucur masuk ke mulut gadis itu.

“Aku akan menyembuhkanmu, pendekar budiman!” bisik Ranti sambil menyemburkan darah yang telah disedotnya itu ke tanah. Setelah itu ia kembali menyedot darah dari luka-luka yang diderita Si Gila sampai menurut perkiraannya racun itu tidak terlalu berbahaya lagi.

Ranti lalu berlari-lari kecil ke pinggir hutan untuk mencari daun-daunan yang bisa diramu jadi obat, baik berupa obat yang dioleskan maupun yang diminumkan. Ramuan obat dari daun-daunan itu dioleskan ke semua luka-luka di tubuh Karta. Sehabis itu, ia membalut luka Karta dengan kain baju pemuda itu sendiri.

Selama merawat luka pemuda itu, sadarlah Ranti bahwa Karta sebenarnya adalah pendekar yang sangat baik hati. Karta telah dua kali menyelamatkan nyawanya. Ingat akan kekasaran dan kata-katanya yang keterlaluan, maka penyesalan pun makin menjadi-jadi di dalam hati Ranti.

Saat itu juga, makin sadar juga Ranti bahwa ia mulai merasakan bahwa ia sangat membutuhkan Karta. Diam-diam hatinya tak ingin lagi berpisah dengan pemuda itu.

Tetapi hal itu sekaligus membuatnya cemas. Karena bagaimana kalau misalnya tidak mau memaafkan lagi?

Tadi pendekar itu tampaknya benar-benar telah bertekad bulat untuk meninggalkan Ranti, kalau saja tubuhnya tidak limbung kemudian tak sadarkan diri akibat pengaruh racun di tubuhnya. Biarlah nanti, setelah ia siuman, aku akan minta maaf padanya. Mudah-mudahan saja hatinya masih terbuka menerima perkataan maaf dariku, kata hati gadis itu penuh harap.

Tiba-tiba terdengar suara jeritan panjang seorang lelaki tak jauh dari tempat itu. Ranti menjadi terkejut dan buru-buru bangkit dari duduknya, berpaling ke arah asal suara itu.

Tetapi pandangan matanya masih terhalang oleh batang pohon kelapa yang banyak tumbuh di pantai. Siapakah gerangan lelaki yang menjerit itu tadi? Agaknya ia berada di pinggir pantai, pikir Ranti hati-hati.

Siapa tahu di sekitar tempat itu masih ada orang lain yang bermaksud jelek terhadap dirinya atau Karta.

Ranti bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan dan sudah siap mengorbankan nyawanya sekalipun jika seandainya ada yang bermaksud mencelakakan Karta.

Perlahan-lahan Ranti melangkah ke arah asal suara itu tadi. Matanya menatap liar ke sekelilingnya.

Kemudian ia menyaksikan seorang lelaki tua menggelepar-gelepar di atas pasir pantai. Seekor ular belang sebesar jari kelingking menempel di lengan kanannya. Agaknya lelaki tua itu dipatuk ular berbisa hingga membuatnya menderita keracunan yang sangat berbahaya.

Ranti melangkah lebih dekat untuk meneliti wajah lelaki itu sekaligus untuk memastikan apakah ia mengenalnya atau tidak. Ranti tidak mengenal laki-laki tua bertubuh kurus kerempeng itu.

Melihat keadaannya yang sangat tidak terawat, Ranti menduga lelaki itu adalah gelandangan yang sedang menderita penyakit yang entah bagaimana bisa sampai ke pantai. Di dekat lelaki itu ada bekas-bekas sisa udang hidup. Agaknya lelaki itu sendirilah yang nekad memakannya karena sangat kelaparan.

“Oh, kasihan,” kata Ranti bergumam. Tubuh lelaki itu mulai membiru kehitam-hitaman. Matanya terbalik sehingga yang kelihatan hanya bagian mata yang putih saja, sedangkan mulutnya mengeluarkan busa.

Diam-diam Ranti bergidik ngeri menyaksikan betapa berbahayanya racun ular yang menjalar di tubuh lelaki itu.

Hanya beberapa saat kemudian, tubuh laki-laki itu tidak bergerak-gerak lagi. Denyut nadinya pun diam, beku dan mati. Setelah mengerang perlahan, lelaki itu menghembuskan nafas terakhir.

“Sungguh malang nasibmu,” bisik Ranti prihatin melihat nasib tragis lelaki itu Ranti sama sekali tidak tahu bahwa lelaki yang baru saja menemui ajalnya itu adalah ayah Barna yang merupakan ayah si Cakar Rajawali.

Seandainya Ranti tahu, entah bagaimana sikapnya. Entah ia akan memaki-maki sambil tersenyum puas atau tetap merasa prihatin.

Tadi ketika orang tua itu sedang merangkak-rangkak mencari udang di pasir pantai, tiba-tiba seekor ular belang mematuk tangannya. Bisa ular yang sangat berbahaya itu segera menjalar ke sekujur tubuhnya, masuk ke dalam jantungnya.

Ular belang-belang itu sebenarnya tidak terlalu banyak berkeliaran di sekitar pantai laut Jawa. Tetapi penduduk terutama para nelayan, mengetahui bahwa ular itu sangat berbahaya.

Jika sudah digigit, korbannya dalam waktu yang tidak terlalu lama akan meninggal. Itulah sebabnya ular tersebut sangat ditakuti orang, karena dianggap merupakan binatang yang paling berbahaya di sekitar pantai.

Maka berakhirlah sudah riwayat salah seorang kaki tangan dari tokoh sesat Bergola Ijo, menyusul anaknya Si Cakar Rajawali yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Takkan terdengar lagi sepak terjang mereka yang sangat kejam dan menggegerkan dunia persilatan di tanah Cirebon.

◄Y►

11

Si Cakar Rajawali selama bertahun-tahun memperdalam ilmu terutama kehebatan cakar maut tangan kanannya. Semua itu ia lakukan demi melampiaskan dendam kesumatnya terhadap lawan-lawannya.

Namun sebelum dendamnya terbalaskan, si Cakar Rajawali telah meninggal. Bahkan setelah memperdalam ilmu silatnya, ia tidak sempat bertemu dengan musuh besarnya, Jaka Sembung.

Si Cakar Rajawali hanya sempat bertemu dengan Ranti, kemudian si Gila Dari Muara Bondet. Dan dari pertarungan itu terbuktilah bahwa jerih payah si Cakar Rajawali selama bertahun-tahun ini tidak sia-sia.

Jangankan Ranti, Karta sendiri pun nyaris kehilangan nyawanya di tangan si Cakar Rajawali. Mungkin ini sudah takdir, atau merupakan kehendak Tuhan sendiri untuk menunjukkan bahwa ilmu yang dikuasai bukan satu-satunya faktor penentu kemenangan. Tetapi juga kejujuran dan kebaikan hati!

Ranti telah kembali duduk di sisi Karta. Gadis itu tak henti-hentinya menatap wajah Karta yang pucat. Tampaknya pendekar itu masih sangat lemah. Namun melihat pernapasannya sudah mulai teratur, legalah perasaan Ranti bahwa kesehatan pemuda itu dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi akan sembuh seperti sedia kala.

“Cepatlah sembuh, pendekar budiman!” bisik Ranti sambil membelai rambut Karta dengan penuh kasih sayang.

Agaknya bisikan dan sentuhan yang lembut itu membuat Karta terbangun. Ia membuka kedua kelopak matanya dan mencoba menatap ke sekelilingnya dengan pandangan mata yang masih kabur.

“Oh, di manakah aku sekarang…...?” bisik Karta hampir tak terdengar karena sangat pelan.

“Oh, kau sudah sadar kembali, pendekar budiman? Syukurlah. Aku sangat cemas melihatmu tadi,” kata Ranti gembira melihat lelaki itu telah siuman.

“Kau……. kau Ranti, bukan?”

“Ya, aku Ranti. Tapi tunggulah sebentar. Jangan terlalu banyak bergerak. Kau masih sakit. Aku akan mengambil obat untukmu,” kata Ranti.

Lalu dengan terburu-buru ia meramu obat jamu yang berkhasiat untuk memulihkan tenaga dan mematikan sisa-sisa racun di tubuh Karta.

Dara jelita itu ternyata cukup cekatan juga membuat jamu obat. Tadi ia sudah mencuci mangkok milik si Cakar Rajawali yang terletak tak jauh dari tempat itu. Jamu obat hasil ramuannya di tampung dalam mangkok, lalu disuguhkannya kepada Karta.

“Pendekar budiman, minumlah jamu ini, agar kau cepat segar dan tenagamu pulih kembali!”

“Terima kasih,” kata Karta lalu meneguk jamu itu sampai habis masuk ke dalam perutnya. Tenggorokan dan dadanya terasa lebih hangat dan lega, membuat Karta merasa sangat berterima kasih kepada gadis di hadapannya.

Tetapi ketika ia teringat kembali akan kata-kata Ranti yang keterlaluan, menjadi patahlah semangatnya kembali. Ranti menuduhnya telah berbuat kurang ajar, telah menodai gadis itu sewaktu dia dalam keadaan tak sadarkan diri.

“Dik Ranti, kenapa kau menolongku? Bukankah........”

“Oh, tidak apa-apa,” sela Ranti cepat. “Kau sendiri telah beberapa kali menolong bahkan menyelamatkan nyawaku. Aku pun merasa wajib menolongmu. Bukankah manusia harus saling menolong? Manusia tidak bisa hidup sendiri, harus mempunyai kawan.”

Karta menghela nafas mendengar kata-kata gadis itu. Manusia memang harus berkawan, tidak bisa hidup menyendiri, pikirnya. Tapi dalam keadaan seperti itu, apakah masih terbuka kemungkinan baginya untuk berkawan dengan Ranti?

Karta terkenang lagi kepada Nuraini, mendiang kekasihnya yang lembut dan penuh kasih sayang. Seandainya gadis itu masih hidup atau sekarang berada di sisinya, Karta tentu akan merasa terhibur. Ia bahkan kemungkinan tidak akan merasakan sakit sekarang.

“Mengapa kau diam saja?” tanya Ranti.

“Tidak apa-apa.”

“Kau tentunya masih marah karena sikapku kemarin. Maafkanlah aku, pendekar budiman. Aku telah menuduhmu yang bukan-bukan. Padahal kau tidak berbuat apa-apa, bahkan telah menyelamatkan nyawaku. Sungguh, aku sangat menyesali keterlanjuranku.”

“Jadi kau tidak menuduh aku lagi seperti itu, dik Ranti?”

Ranti tidak segera menyahut. Sebetulnya, walau pun mulutnya berkata seperti itu pada waktu lalu, hatinya tidaklah berkata demikian.

Semua itu hanyalah karena tekanan batin yang masih membekas dalam hatinya akibat kegagalan cintanya terhadap Parmin serta lantaran ia merasa sangat kesepian. Sedangkan pada saat ia bertemu dengan Karta dan setelah melihat keperkasaan dan sifat kesatria lelaki itu timbullah rasa simpatik dan kagum dalam hatinya.

Namun ia khawatir jika kemudian ia jatuh cinta, tetapi Karta tidak merasa demikian, dalam arti kata akan menolak cintanya seperti halnya Parmin. Mengalami kegagalan sekali saja Ranti sudah merasa sangat tersiksa, apalagi kalau sampai dua kali. Sesungguhnya itulah yang membuat sikap Ranti tidak menentu terhadap Karta.

“Dik Ranti, kenapa kau diam saja?” tanya Karta membuat gadis manis itu tersentak dari lamunannya.

“Aku tidak apa-apa. Tapi aku masih sangat berdosa padamu. Aku malu pada diriku sendiri, juga terhadap dirimu. Tapi…... sebenarnya tak ada niat di hatiku untuk menyakitimu. Ah, aku tak tahu harus berkata apa lagi padamu. Biarlah semuanya kusimpan saja di dalam hati.”

Ranti menatap Karta dengan tatapan sendu. Bola matanya tampak berkaca-kaca bagaikan kristal-kristal ditimpa sinar rembulan. Dari situ terpancar sinar redup cinta berpadu dengan keputus- asaan. Atau mungkin ada perasaan lain, hanya gadis itulah yang tahu.

Karta terkejut juga menyaksikan perubahan sikap gadis itu. Ia merasa dadanya berdebar tak karuan manakala disadarinya bahwa dari sinar mata Ranti terpancar sesuatu yang selalu ia temukan dari sinar mata Nuraini.

Apalagi ketika mendengar suara gadis itu mirip sekali dengan suara Nuraini, maka makin tak karuanlah perasaan si Gila Dari Muara Bondet. Ia hampir saja tak bisa menahan diri, dan hendak memeluk gadis itu erat-erat seperti ketika ia mendekap Nuraini pada waktu silam.

“Dik Ranti, kenapa kau masih juga diam?” tanya Karta sambil berusaha agar suaranya tetap kedengaran wajar.

“Entahlah, aku tak tahu. Tapi semuanya terserah padamu saja. Aku sudah menyatakan penyesalanku. Kalau kau masih tetap tidak mau memaafkan aku, biarlah. Mungkin aku akan mengalami perpisahan yang menyakitkan lagi.......” Dan setelah itu, meneteslah air mata Ranti, jatuh satu per satu membasahi pipinya.

Jiwa Karta seakan-akan melayang-layang mendengar ucapan dara jelita itu. Ia merasa dirinya dibawa terbang oleh malaikat-malaikat ke masa silam, ke taman harum wangi penuh kembang mekar berseri.

Seolah-olah dalam mimpi, pendekar gagah perkasa itu menyeka air mata Ranti. Kemudian dibelai-belainya rambut gadis itu dengan segenap perasaannya.

“Jangan menangis, dik Ranti!” bisiknya.

Ranti juga merasa seperti tak sadar ketika menjatuhkan dirinya ke dada Karta yang bidang. Dan tangisnya pun semakin menjadi-jadi.

Setelah kedua insan itu sama-sama bisa menguasai perasaan, maka bertanyalah Karta tentang keheranannya tadi mendengar kata-kata Si Cakar Rajawali ketika mereka belum bertarung.

“Dik Ranti, tadi si Cakar Rajawali mengatakan kau adalah adik Jaka Sembung. Apakah memang benar demikian?”

“Tidak. Antara aku dan dia sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa. Tapi aku sudah menganggapnya saudara sendiri. Ketika si Cakar Rajawali mengatakan aku harus membayar ikannya dengan imbalan tidur bersamanya, aku sangat marah dan tanpa sadar menyebutkan nama Jaka Sembung.”

Karta manggut-manggut mendengar penjelasan Ranti. Sebagai pendekar gagah perkasa yang sering melanglang buana, Jaka Sembung pun pasti dimusuhi oleh banyak jagoan-jagoan dari dunia hitam. Karena pendekar itu selalu membela kaum lemah dari penindasan para penjahat, mau pun kaum penjajah.

Dan itu memang merupakan tantangan yang harus selalu dihadapi para pendekar, termasuk Karta sendiri. Namun sejak dulu, pemuda itu tidak pernah gentar. Apalagi sekarang Ranti telah berada di sisinya.

Esok harinya, ketika matahari mulai bersinar cerah di ufuk timur, Karta dan Ranti meninggalkan pantai laut Jawa. Keduanya melangkah beriringan ke arah barat daya. Ketika mereka memasuki hutan, terdengar burung-burung berkicau merdu seolah-olah sedang mendendangkan tembang nan syahdu.

Semilir angin menyambut kedua insan itu, sejuk dan lembut. Dan daun-daun pun melambai-lambai, seakan-akan mengucapkan selamat jalan kedua pendekar; selamat menunaikan tugas bagi nusa dan bangsa.

T A M A T

Nantikan judul serial Jaka Sembung selanjutnya yang berjudul: LAGU RINDU DARI PUNCAK CIREMAI