Pendekar Rajawali Sakti 103 - Gadis Bertudung Bambu(1)

SATU
“Keparat! Goblok...!”

Brak!

Sumpah serapah terdengar dari dalam sebuah pondok kecil di dalam hutan yang sunyi ini, diiringi oleh terdengarnya suara benda pecah, seperti terpukul oleh tangan yang sangat kuat. Dan tak berapa lama, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun tengah tergopoh-gopoh berlari keluar menerjang pintu yang setengah terbuka.

“Jangan pulang kalau belum bawa kepalanya! Gobloook...!”

Terdengar lagi teriakan memaki dari dalam pondok itu. Sementara, pemuda yang berlari keluar itu disambut beberapa orang laki-laki bertampang kasar, yang gagang goloknya menyembul di balik ikat pinggangnya. Sedangkan pemuda berbaju merah muda yang di pinggangnya bergantung sebilah pedang itu terengah-engah, seraya menyandarkan punggungnya ke batang pohon. Pipinya yang tampak memerah dielus-elusnya. Dan dari sudut bibirnya tampak keluar darah. Dengan punggung tangan, disekanya darah yang mengalir dari sudut bibirnya.

“Kelihatannya dia marah besar padamu, Gondang,” ujar seorang laki-laki bertubuh kekar dan berwajah penuh cambang, seraya menghampiri.

“Bukannya marah lagi. Bahkan malah ingin membunuhku!” dengus pemuda yang dipanggil Gondang itu kesal.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan, Gondang?” tanya seorang lagi yang sejak tadi menggigit-gigit batang rumput.

“Seperti semula,” sahut Gondang lesu.

“Maksudmu...?”

“Apalagi kalau bukan membawa kepala Prabu Gelangsaka!” selak seorang yang berdiri di belakang Gondang.

“Benar, Gondang...?”

Gondang hanya mengangguk lesu saja. Maka semuanya jadi terdiam. Mereka semua tahu, siapa Prabu Gelangsaka itu. Dia adalah seorang raja yang memerintah Kerajaan Jatigelang. Tentu saja tugas itu sangat sulit. Sedangkan mereka sudah pasti harus berhadapan dengan para prajurit dan panglima-panglima berkepandaian tinggi yang mengelilingi Raja Jatigelang itu. Maka mereka kini semua jadi menggerutu dalam hati.

“Gondaaang...!”

Terdengar teriakan keras dari dalam pondok. Seketika semua laki-laki yang ada di sekitar depan pondok itu jadi tersentak kaget. Terlebih lagi, pemuda yang bernama Gondang. Wajahnya seketika jadi memucat.

“Kau belum pergi juga, Gondang...?!”

“Aku akan segera pergi, Nyai!” seru Gondang menyahut.

“Ingat, Gondang. Jangan kembali tanpa kepala keparat itu!”

“Baik, Nyai....”

Gondang mendengus dan menggerutu kesal. Sedangkan yang lain hanya diam saja membisu, memandangi pemuda itu. Entah apa arti pandangan mata mereka. Sementara, Gondang sudah melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon.

“Ayo, kalian semua ikut aku,” ajak Gondang, sambil melompat naik ke punggung kudanya.

Tidak ada seorang pun yang membantah. Walaupun sikap mereka jelas terlihat enggan, tapi semuanya menghampiri kuda masing-masing. Dan tanpa banyak bicara lagi, mereka berlompatan naik. Tak berapa lama kemudian, sekitar tiga puluh orang berkuda itu sudah bergerak meninggalkan pondok kecil di tengah hutan lebat dan sunyi ini. Tidak ada seorang pun yang membuka suara. Sementara, Gondang mengendalikan kudanya paling depan. Tampak jelas dari raut wajahnya, kalau Gondang merasa kesal mendapatkan tugas yang dianggap sangat mustahil dilakukan. Tapi, pemuda itu tidak bisa menolak lagi. Dia tahu, apa yang akan terjadi kalau menolak perintah ini.

“Huh! Edan...! Dasar perempuan sableng! Masak memerintah orang seenaknya saja!” dengus Gondang kesal.

“Tidak perlu mengomel begitu, Gondang. Kalau tidak suka, bukankah ada kesempatan untuk lari saja...? Semua pasti akan mengikuti jejakmu, Gondang,” usul laki-laki bertubuh kekar yang berkuda di sebelah kanan Gondang.

Kata-kata itu rupanya langsung disambut yang lain dengan penuh semangat. Sedangkan Gondang jadi menghentikan langkah kudanya. Dipandanginya mereka satu persatu.

“Kalian akan tetap mengikutiku?” tanya Gondang seperti ragu-ragu.

“Di antara kami semua, hanya kau yang paling tinggi tingkat kepandaiannya, Gondang. Maka sudah sepantasnya kau jadi pemimpin kami semua,” kata laki-laki kekar berbaju warna biru gelap itu tegas.

Gondang jadi terdiam dengan kening sedikit berkerut Kelihatannya keinginan teman-temannya ini sedang dipikirkannya. Sungguh tidak pernah terlintas sedikit pun dalam kepalanya, pikiran semacam itu. Tapi, ke mana mereka akan pergi.,.? Apakah perempuan yang ada di dalam pondok itu tidak akan mencarinya? Dan kalau dia tahu, apa jadinya nanti...? Segudang pertanyaan berkecamuk dalam kepala Gondang.

Memang sulit menentukan keputusan saat ini. Tapi mengingat kekesalan hatinya, agaknya usul laki-laki bertubuh kekar itu bisa juga diterima. Mereka semua memang sudah tertekan, sejak perempuan yang dianggap edan itu membunuh pemimpin mereka yang dulu, dan menguasai mereka semua sampai sekarang. Dan perempuan itu dikenal sebagai Nyai Ramit, seorang tokoh yang kepandaiannya cukup diperhitungkan dalam rimba persilatan.

“Apa lagi yang kau pikirkan, Gondang? Kau tidak percaya pada kesetiaan kami semua...?” desak laki-laki bertubuh kekar itu.

“Aku percaya pada kalian semua. Tapi...,” Gondang tidak meneruskan kata-katanya.

“Tapi apa lagi, Gondang? Bukankah ini kesempatan baik untuk kita semua agar terbebas dari perempuan sinting itu...?” desaknya lagi.

“Kalau Nyai Ramit tahu dan mencari kita semua, bagaimana...?” Gondang malah memberikan pertanyaan.

Tidak ada seorang pun yang bisa menjawab. Mereka hanya saling melempar pandangan saja satu sama lain. Sementara Gondang merayapi wajah-wajah yang kelihatan angker itu satu persatu. Memang, mereka semua bertampang angker dan mengerikan. Hanya Gondang saja yang kelihatan lain. Pemuda ini cukup tampan. Dan pakaiannya juga kelihatan selalu bersih. Bahkan senjatanya juga lain sendiri.

“Kami akan menghadapinya, Gondang,” kata laki-laki bertubuh kekar itu.

Penegasan itu langsung disambut yang lain dengan suara gegap gempita.

“Baiklah kalau begitu. Mulai sekarang, kita harus pergi jauh dari jangkauan perempuan itu!” ujar Gondang, akhirnya mengambil keputusan. Dan keputusan Gondang langsung disambut seruan gegap gempita, membuat seluruh isi hutan ini seakan jadi terbangun. Gondang kini nampak tersenyum.

“Ayo kita pergi!” ajak Gondang, agak lantang suaranya.

“Ke mana, Gondang?”

“Aku tahu ada pengiriman barang untuk kerajaan lewat Hutan Jatiwengker. Kita cegat dan rampas barang-barang itu,” jelas Gondang.

“Kapan, Gondang?”

“Sekarang.”

“Kalau begitu, jangan buang-buang waktu lagi.”

“Yeaaah...!”

Mereka semua langsung saja menggebah kudanya mengikuti anak muda itu, tanpa peduli dengan lebatnya hutan ini. Bahkan kuda-kuda itu terus dipacu cepat, sehingga membuat daun-daun kering beterbangan tersepak kaki-kaki kuda.

***

Hutan Jatiwengker memang kelihatan sangat angker. Tak ada orang yang mau melewatinya. Bahkan untuk melalui tepiannya saja, jarang yang mau. Kecuali, kalau memang dalam keadaan terpaksa. Dan itu pun hanya siang hari. Padahal tidak jauh dari tepian hutan, ada jalan yang cukup besar yang menghubungkan Kotaraja Jatigelang dengan Kadipaten Alas Gadung. Tapi jalan itu selalu saja kelihatan sunyi. Dalam satu pekan, paling hanya sekali saja dilewati orang.

Siang ini udara di sekitar Hutan Jatiwengker terasa begitu panas. Matahari bersinar sangat terik. Sedangkan langit kelihatan begitu bersih, tanpa awan sedikit pun berarak di sana. Rerumputan mulai terlihat meranggas, terpanggang teriknya matahari. Namun panasnya udara siang ini, bukanlah halangan bagi serombongan orang-orang berkuda yang membawa dua buah gerobak pedati yang ditarik sapi. Meskipun lambat, tapi rombongan itu terus bergerak melintasi jalan berbatu yang sunyi dan jarang sekali dilalui orang.

Rombongan itu tampaknya terdiri dari para prajurit Kerajaan Jatigelang. Ini bisa terlihat dari seragam yang dikenakan. Dan tampak berkuda paling depan adalah seorang laki-laki berusia setengah baya berpakaian panglima. Dengan pakaian seperti itu, dia tampak gagah sekali. Semua orang di Kerajaan Jatigelang mengenalnya sebagai Panglima Wanengpati. Seorang panglima yang gagah dan menjadi kepercayaan Raja Jatigelang.

“Panglimaaa...!” Seorang punggawa terlihat memacu cepat kudanya, menghampiri Panglima Wanengpati yang berkuda paling depan. Dilewatinya dua gerobak pedati. Lalu lari kudanya diperlambat, setelah berada di sebelah kanan Panglima Wanengpati.

“Ada apa, Punggawa Rakasa?” tanya Panglima Wanengpati seraya melirik sedikit.

“Maaf, Gusti Panglima. Sebaiknya kita berhenti dulu, menunggu Punggawa Adiyasa yang memeriksa jalan ini di depan,” ujar punggawa yang ternyata bernama Rakasa dengan sikap hormat sekali.

“Itu akan memperlambat waktu perjalanan, Punggawa.”

“Tapi, Gusti Panglima. Jalan ini sudah terkenal dengan....”

“Kau takut...?” selak Panglima Wanengpati, memutuskan ucapan punggawanya.

“Hamba sama sekali tidak takut, Gusti Panglima. Hamba hanya berpikir....”

Belum lagi Punggawa Rakasa menyelesaikan kata-katanya, mendadak saja sebatang pohon berukuran empat kali rentangan orang dewasa di depan mereka tumbang. Untung mereka segera menarik kudanya untuk berhenti, sehingga pohon itu tidak menghantam mereka.

“Berhenti semua...!” teriak Panglima Wanengpati, terdengar lantang menggelegar.

Rombongan prajurit Kerajaan Jatigelang itu seketika berhenti, begitu mendengar teriakan Panglima Wanengpati. Sementara Panglima Wanengpati dan Punggawa Rakasa sudah turun dari kudanya, dan segera melangkah mendekati pohon besar yang tumbang melintang di tengah jalan ini, sehingga tak mungkin dilewati lagi. Padahal, mereka membawa dua pedati yang sarat barang-barang berharga dari Kadipaten Alas Gadung. Sedangkan satu pedati lagi berisi wanita yang jumlahnya sekitar sepuluh orang.

“Perintahkan prajurit untuk bersiaga, Punggawa Rakasa,” perintah Panglima Wanengpati.

“Baik, Gusti,” sahut Punggawa Rakasa.

Punggawa Rakasa langsung berteriak memerintahkan seluruh prajurit untuk bersiaga. Maka, seketika semua prajurit segera meloloskan pedangnya, dan segera berjaga-jaga di sekitar pedati yang masing-masing ditarik dua ekor sapi. Sementara, Panglima Wanengpati terus mengamati pohon yang tumbang melintang di tengah jalan.

“Hm.... Pohon ini pasti sengaja ditumbangkan,” gumam Panglima Wanengpati.

Dan belum lagi panglima itu bisa berpikir lebih jauh, mendadak saja puluhan anak panah meluncur deras dari atas pohon dan semak belukar, bagaikan hujan saja. Seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi dari para prajurit yang tertembus anak panah mendadak itu. Panglima Wanengpati jadi tersentak kaget.

“Cepat berlindung...!” seru Panglima Wanengpati.

Tapi seruannya memang sudah terlambat. Sebentar saja, sudah setengah prajuritnya menggeletak tertembus anak panah. Sementara, sisa prajurit lainnya sudah berlindung. Sedangkan Panglima Wanengpati berdiri tegak di depan salah satu pedati yang berisi penuh peti dari kayu jati. Dan baru saja pandangannya beredar ke sekeliling....

“Seraaang...!”

Bersamaan terdengarnya teriakan keras menggelegar, dari balik semak dan pepohonan bermunculan orang-orang bertampang kasar, bersenjatakan golok terhunus di tangan. Gerakan mereka begitu cepat, hingga membuat para prajurit jadi terperangah. Saat itu juga, Panglima Wanengpati berteriak lantang menggelegar.

“Sambut mereka! Seraaang...!”
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Pertempuran memang tidak bisa terelakkan lagi. Teriakan-teriakan keras menggelegar terdengar saling sambut, ditingkahi denting senjata beradu. Dan saat itu pula, sudah terdengar jeritan-jeritan panjang melengking yang saling susul. Tampak beberapa prajurit mulai berjatuhan berlumuran darah. Sementara orang-orang yang menyerang itu kelihatan ganas sekali, tanpa memberi kesempatan pada para prajurit. Sedangkan Panglima Wanengpati berlompatan menerjang, melindungi dua pedati dan para prajuritnya. Pedang yang tergenggam di tangan kanannya berkelebatan cepat, menghajar para penyerangnya.

“Kau lawanku, Panglima...!”
“Heh...?!”

Panglima Wanengpati agak terkejut juga, begitu tiba-tiba di depannya sudah berdiri seorang pemuda berwajah cukup tampan, menggenggam pedang di tangan kanan. Entah kapan datangnya, tahu-tahu sudah berada di depan Panglima Wanengpati.

“Dengar, Panglima. Kau dan sisa prajuritmu boleh pergi, asalkan kedua pedati itu dan semua isinya ditinggalkan,” tegas pemuda itu.

“Phuih! Tidak ada seorang pun yang boleh menyentuh pedati itu!” dengus Panglima Wanengpati.

“Kalau begitu, terpaksa kepalamu harus kupenggal, Panglima.”

“Setan alas! Hiyaaa...!”

Panglima Wanengpati memang terkenal sebagai orang yang tidak pernah menyerah begitu saja. Terlebih lagi, kalau berhadapan dengan perampok seperti ini. Tanpa banyak bicara lagi, pedangnya segera diacungkan ke atas kepala. Lalu diterjangnya pemuda yang menantangnya ini dengan sebuah kelebatan mengiriskan.

“Haiiit...!”
Wut!

Namun, tentu saja pemuda itu tidak membiarkan kepalanya tertebas pedang Panglima Wanengpati. Maka, cepat-cepat pedangnya digerakkan ke atas kepala dari bawah ke atas. Dan....

Trang!

Dentangan keras terdengar begitu pedang mereka beradu tepat di atas kepala pemuda ini. Begitu kerasnya, hingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Sementara, pemuda berwajah cukup tampan itu segera melompat ke belakang sambil melintangkan pedangnya di depan dada.

“Hiyaaat...!”

Dan Panglima Wanengpati tidak mau lagi memberi hati. Maka langsung saja dia melompat menyerang sambil membabatkan pedangnya, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun mendapat serangan gencar dan dahsyat seperti ini, pemuda itu hanya meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan.

Sementara pertarungan antara prajurit melawan para perampok terus berlangsung sengit. Teriakan-teriakan keras pertempuran terus terdengar, berbaur menjadi satu dengan jeritan melengking mengiringi kematian. Dan tubuh-tubuh bersimbah darah semakin sering berjatuhan. Sebentar saja, sudah tidak terhitung lagi tubuh yang bergelimpangan saling tumpang tindih berlumur darah.

Dan di lain tempat, terlihat Panglima Wanengpati masih terus mencoba mendesak pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya ini. Jurus-jurus cepat dan sangat berbahaya terus dikeluarkan, tapi tampaknya kepandaian yang dimiliki pemuda ini mampu mengimbanginya. Beberapa kali pedang mereka berbenturan, dan menimbulkan percikan bunga api.

“Hiyaaat! Yeah!”
“Hup! Yeaaah...!”

Tiba-tiba saja, pemuda berwajah tampan itu melenting ke udara, tepat di saat Panglima Wanengpati membabatkan pedangnya ke arah kaki. Dan pada saat itu juga....

“Hiyaaa...!”
“Heh...?!”

Panglima Wanengpati jadi terperanjat setengah mati. Tanpa diduga sama sekali, pemuda itu melepaskan satu tendangan setengah berputar yang sangat cepat luar biasa. Akibatnya, Panglima Wanengpati tidak sempat lagi menghindar. Dan....

Plak!
“Akh...!”

Begitu keras tendangan pemuda itu, dan tepat menghantam kepala Panglima Wanengpati. Akibatnya, panglima itu terpental ke belakang dengan tubuh berputar beberapa kali, disertai jerit kesakitan.

Bruk!

Keras sekali Panglima Wanengpati jatuh menghantam tanah. Beberapa kali tubuhnya bergelimpangan di jalan yang berbatu ini. Namun, dia cepat melesat bangkit berdiri. Dan belum lagi bisa berdiri tegak....

“Hiyaaat...!”

Pemuda berbaju merah muda ini sudah melompat dengan kecepatan sangat tinggi, hingga membuat Panglima Wanengpati jadi terperangah.

“Haps!”

Cepat-cepat Panglima Wanengpati mengebutkan pedangnya ke depan, berusaha menghalau serangan anak muda ini. Tapi tanpa diduga sama sekali, pemuda berwajah cukup tampan itu meliukkan tubuhnya ke bawah, dan secara tidak terduga pula, dilepaskannya satu tendangan menggeledek setengah berputar. Begitu cepat serangannya, sehingga Panglima Wanengpati tidak sempat lagi menghindarinya.

Diegkh!
“Akh...!”

Kembali Panglima Wanengpati memekik, begitu dadanya terkena tendangan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dari pemuda lawannya. Dan tubuhnya kembali terhuyung ke belakang beberapa langkah. Dan pada saat itu, pemuda berbaju merah muda ini sudah melesat cepat luar biasa, hingga sulit diikuti mata biasa.

“Hiyaaat...!”
Bet!

Secepat kilat pula, pemuda itu membabatkan pedangnya, tepat mengarah ke leher Panglima Wanengpati. Sedangkan saat itu, Panglima Wanengpati masih belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Maka....

Crang!
“Aaa...!”

Panglima Wanengpati jadi menjerit melengking, begitu pedang anak muda lawannya membabat tepat di bagian tenggorokannya. Tampak Panglima Wanengpati berdiri tegak dengan mulut ternganga dan mata terbuka lebar. Sementara sekitar enam langkah di depannya, pemuda berbaju merah muda ini berdiri tegak dengan pedang berlumuran darah tergenggam di tangan kanan.

Bruk! Tanpa dapat bersuara lagi, Panglima Wanengpati ambruk menggelimpang di jalan tanah berbatu ini. Dan kepalanya langsung terpisah dari leher. Darah seketika menyembur dari leher yang sudah buntung itu.

“Ha ha ha...!”

Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. Sementara kematian Panglima Wanengpati begitu cepat diketahui. Dan ini membuat hati para prajurit yang masih hidup jadi gentar, hingga mudah sekali para perampok membantainya. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar saling sambut. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, tidak ada seorang prajurit pun yang kelihatan masih bisa berdiri.

Sementara pemuda berwajah cukup tampan berbaju merah muda itu menghampiri satu pedati yang berisi wanita-wanita muda berwajah cantik yang tampak ketakutan sekali. Terlebih lagi, pedatinya kini sudah dikelilingi orang-orang bertampang kasar menyeramkan, dengan seringai membelah bibir. Sorot mata mereka begitu liar, seakan-akan mata serigala yang melihat domba gemuk penuh daging.

“Bawa pedati barang itu, dan biarkan perempuan-perempuan ini pergi!” perintah pemuda berbaju merah muda ini.

“Heh...?! Kenapa kau lepaskan mereka...?” sentak seorang laki-laki bertubuh kekar, tidak mau menerima perintah itu.

“Mereka hanya akan membuat susah. Dan, bukan mereka yang kita butuhkan sekarang.”

“Tapi....!"

“Sudah! Ikuti saja perintahku!” Meskipun dengan hati mendongkol, tidak ada seorang pun yang berani membantah. Kini orang- orang bertampang kasar itu menggeret gerobak pedati yang berisi peti-peti barang berharga. Sementara satu pedati lainnya yang berisi wanita, dibiarkan begitu saja.

***
DUA
Siapa yang tahu kalau gerombolan perampok yang menjegal pasukan prajurit Kerajaan Jatigelang ternyata dipimpin oleh Gondang. Dia memang telah memutuskan untuk memimpin anak buahnya lari dari Nyai Ramit, pemimpin mereka yang sekarang. Mereka kini cepat meninggalkan jalan itu, setelah mendapatkan satu pedati penuh berisi barang emas yang sangat berharga.

Kekecewaan anak buah Gondang yang mengharapkan wanita-wanita yang ada di dalam pedati lainnya, bisa terobati setelah mengetahui pedati yang dibawa penuh berisi barang yang tidak ternilai harganya. Namun belum begitu jauh mereka pergi, mendadak saja sesosok tubuh ramping sudah menghadang di tengah jalan. Kemunculan yang begitu tiba-tiba, membuat mereka jadi terkejut.

Gondang yang sudah diangkat menjadi pemimpin, melangkah maju beberapa tindak dengan sikap dibuat garang. Cukup sulit mengenali orang yang menghadang ini, karena memakai tudung bambu yang cukup lebar. Hingga, sebagian besar wajahnya tertutupi. Hanya bagian bibir dan dagu saja yang terlihat. Namun dari bentuk tubuh dan bibirnya yang merah, sudah bisa dipastikan kalau orang itu wanita. Tubuhnya yang ramping, terbungkus baju cukup ketat berwarna hijau muda. Sementara sebilah pedang tergenggam di tangan kanannya.

“Nisanak, menyingkirlah. Biarkan kami lewat,” kata Gondang dibuat ramah suaranya.

“Kalian boleh lewat, asal tinggalkan pedati itu,” tegas sekali suara wanita bertudung ini.

“Jangan bermain-main, Nisanak. Kami tidak ingin menyakiti wanita. Menyingkirlah, sebelum anak buahku merajang tubuhmu,” kata Gondang, mulai bangkit amarahnya.

“Aku hanya berkata sekali. Tinggalkan pedati itu, atau kalian semua akan merasakan akibatnya!”

Gondang jadi menggereng geram mendengar kata-kata wanita bertudung ini. Wajahnya langsung saja memerah. Tapi belum juga pedangnya dicabut, dua orang anak buahnya sudah melangkah maju mendekati.

“Biarkan kami berdua yang menghajarnya, Gondang,” kata salah seorang yang berbaju hitam. Bagian dadanya tampak terbuka lebar, memperlihatkan bulu-bulunya yang cukup lebat.

“Hm...,” Gondang hanya menggumam perlahan saja. Dan Gondang lalu melangkah ke belakang beberapa tindak.

Sementara dua orang yang sudah berusia setengah baya itu melangkah maju beberapa tindak dan langsung menghunus golok. Sedangkan wanita bertudung ini hanya diam saja, tanpa bergeming sedikit pun juga. Seakan tidak dipedulikannya dua orang yang sudah berada begitu dekat, di kanan dan kirinya.

“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, dua orang itu langsung saja melompat menyerang sambil membabatkan golok ke arah kaki dan kepala wanita bertudung ini. Tapi hanya sedikit saja menarik kakinya ke belakang sambil merunduk, serangan dua orang ini berhasil dihindari. Bahkan tanpa diduga sama sekali, wanita bertudung bambu itu melakukan gerakan berputar yang begitu cepat. Dan pada saat itu juga, dilepaskannya dua kali pukulan.

“Hih! Yeaaah...!”

Begitu cepatnya serangan balik yang dilancarkan wanita bertudung ini, sehingga dua orang anak buah Gondang tidak dapat lagi menghindarinya.

Plak!
Duk!
“Ugh...!”
“Aaakh...!”

Dan mereka kontan terpekik, begitu pukulan wanita bertudung ini mendarat telak di dada. Kedua orang itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada. Tampak dari mulut mereka menyemburkan darah kental agak kehitaman. Hanya sebentar saja mereka masih bisa berdiri terhuyung, karena tak lama kemudian langsung jatuh menggelepar ke tanah. Sesaat mereka mengejang, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati.

Melihat dua orang anak buahnya ambruk hanya sekali gebrak saja, bola mata Gondang jadi mendelik. “Setan alas...!” geram Gondang berang.

Wajah pemuda itu kembali memerah menahan marah, melihat anak buahnya menggeletak tak bernyawa lagi.

Sret! Gondang langsung mencabut pedangnya. Maka seketika semua anak buahnya juga segera menghunus golok. Tanpa diperintah lagi, mereka langsung menyebar, mengepung wanita berbaju hijau muda yang kepalanya memakai tudung bambu lebar, sehingga menutupi wajahnya. Namun wanita bertudung itu kelihatan begitu tenang. Sedikit pun tidak mempedulikan keadaannya yang sudah terkepung cukup rapat ini.

“Cincang dia...!” teriak Gondang lantang menggelegar.

“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”

Begitu mendapat perintah, mereka yang sudah mengepung langsung saja berlompatan menyerang. Tapi sungguh di luar dugaan, tepat di saat orang-orang ini berlompatan menyerang, wanita bertudung itu tiba-tiba melesat cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, dia sudah berada di atas dahan pohon. Tentu saja hal ini membuat Gondang dan anak buahnya jadi terlongong bengong. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau gerakan wanita bertudung itu demikian cepat. Malah lesatannya saja sulit diikuti pandangan mata biasa.

“Panah...!” seru Gondang memberi perintah. Sepuluh orang anak buah Gondang yang membawa panah, langsung memasang anak panahnya pada busur. Dan begitu anak-anak panah dilepaskan, seketika itu pula berhamburan ke arah wanita di atas pohon.

“Hup! Hiyaaat...!”

Tapi, begitu cepat wanita bertudung ini melesat, membuat anak-anak panah itu tidak sempat mengenai sasaran. Dan sebelum ada yang sempat menyadari, wanita bertudung ini berkelebat begitu cepat sambil mencabut pedangnya. Lalu....

“Yeaaah...!”
Bet!
Wuk!

Bagaikan kilat, wanita bertudung itu membabatkan pedangnya beberapa kali. Begitu cepat sabetannya, sehingga lima orang anak buah Gondang tidak dapat lagi menghindar. Seketika, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking saling sambut, disusul ambruknya lima orang dengan tubuh terbelah mengucurkan darah segar.

“Keparat...!” desis Gondang geram. “Hiyaaat...!”

Gondang tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Dengan kecepatan bagai kilat, dia melompat menerjang wanita bertudung ini. Pedangnya yang sudah tercabut sejak tadi, langsung dibabatkan ke arah kepala wanita itu.

“Hiyaaa...!”
Bet!
“Hap!”

Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, wanita bertudung itu bisa menghindari sabetan pedang Gondang. Dan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa, tubuhnya berputar sambil melepaskan satu tendangan berputar disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Yeaaah...!"
“Heh...?!”

Gondang jadi terbeliak kaget setengah mati. Cepat-cepat pemimpin begal ini melompat ke belakang, menghindari serangan balasan wanita bertudung itu. Dan pada saat itu, satu orang anak buah Gondang yang berada di belakang wanita bertudung ini sudah melompat sambil menebaskan golok ke arah punggung.

“Haiiit...!”

Tapi wanita bertudung itu rupanya sudah mengetahui bokongan lawan. Maka dengan gerakan berputar cepat, pedangnya dikebutkan dengan tangan terentang lurus.

Wuk!
Cras!
“Aaa...!”

Jeritan panjang kembali terdengar melengking. Maka seketika pembokong itu langsung ambruk menggelepar dengan dada terbelah mengucurkan darah.

“Setan...! Serang! Bunuh dia...!” seru Gondang menggeram berang.

“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Kembali anak buah Gondang yang masih mengepung berlompatan begitu mendengar perintah pemimpinnya.

“Hup! Hiyaaat...!”

Namun bagaikan kilat, wanita bertudung bambu itu memutar tubuhnya sambil mengebutkan pedangnya di tangan kanan. Kemudian tubuhnya melesat menghajar para pengeroyoknya. Maka dalam beberapa gebrakan saja, kembali terdengar jeritan-jeritan panjang dan melengking tinggi, disusul ambruknya anak buah Gondang dengan tubuh bersimbah darah. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah setengah lebih anak buah Gondang yang ambruk tidak bernyawa lagi.

Sementara, wanita bertudung itu terus berkelebatan dengan kecepatan luar biasa sekali. Begitu cepat gerakannya, hingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan hijau dan keperakan saja yang menyambar anak buah Gondang. Jeritan-jeritan menyayat mengiringi kematian pun terus terdengar saling susul.

“Phuih! Kubunuh kau, Perempuan Keparat! Hiyaaat...!”

Gondang semakin bertambah geram saja, melihat anak buahnya terus berjatuhan berlumuran darah dan tidak bangkit-bangkit lagi. Sambil memaki dan berteriak lantang, Gondang melesat menerjang wanita bertudung itu.

“Hiyaaat...!”

Bet!

“Haiiit...!”

Tepat di saat Gondang menyabetkan pedangnya, wanita bertudung itu cepat menggerakkan pedangnya pula untuk menangkis serangan. Begitu cepat gerakan yang mereka lakukan, sehingga benturan keras tidak dapat terelakkan lagi.

Trang! Bunga api terlihat memercik, saat dua pedang itu beradu keras sekali. Dan pada saat itu, terlihat wanita bertudung ini melesat ke belakang sambil menyabetkan pedangnya dua kali. Maka dua orang yang berada paling dekat dengannya langsung menjerit dan bergerak limbung sambil mendekap dadanya yang terbelah.

“Hih! Yeaaah...!”
“Awaaas...!”

Gondang berteriak keras, begitu melihat wanita bertudung itu melepaskan senjata rahasianya yang berbentuk sekuntum bunga mawar dari perak. Namun, teriakan Gondang terlambat. Beberapa senjata rahasia wanita itu ternyata sudah menghantam dada anak buah Gondang.

Crab!
Jleb!
“Aaa...!”

Kembali terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi dan saling sambut, ketika senjata rahasia itu menghantam sasarannya. Saat itu juga, terlihat anak buah Gondang berjatuhan. Maka dalam waktu tidak berapa lama saja, tidak ada seorang pun yang masih berdiri, kecuali Gondang saja. Dan dia juga tadi tidak luput dari serangan-serangan senjata rahasia wanita bertudung ini. Namun berkat kepandaiannya paling tinggi, keselamatannya masih menyertainya.

“Kau juga harus menyusul yang lain, Gondang...!” desis wanita bertudung ini, menggereng geram.

“Heh...?! Kau tahu namaku...?” Gondang jadi terkejut.

Wanita itu tidak menyahut. Tudungnya diangkat, hingga raut wajahnya terlihat jelas. Seketika, kedua bola mata Gondang jadi terbeliak lebar. Dan saat itu juga, nafasnya terasa seperti jadi berhenti mendadak.

“Kau... kau...,” Gondang jadi tergagap.

“Aku tidak suka melihat caramu yang seperti ini, Gondang. Kau tahu, apa akibatnya kalau tidak menuruti perintahku. Kau harus mati, Gondang,” terdengar dingin sekali suara wanita berwajah cantik itu.

“Phuih! Apa yang aku takutkan darimu, Nyai Ramit?! Aku memang telah muak denganmu!” Gondang menyemburkan ludahnya dengan sengit.

Perlahan, kakinya ditarik ke kanan. Memang tidak ada pilihan lain lagi, wanita ini harus dihadapinya. Sementara wanita bertudung bambu itu tetap berdiri tegak, mengikuti gerak langkah yang dilakukan pemuda di depannya.

“Mampus kau! Hiyaaat...!”

Sambil membentak keras menggelegar, Gondang langsung saja melompat menerjang. Pedangnya berputar begitu cepat, hingga bentuknya menghilang tak terlihat lagi. Hanya kilatan cahaya saja yang terlihat bergulung-gulung, mengurung wanita bertudung bambu ini. Namun sampai sejauh ini, sedikit pun tidak terlihat kalau wanita bertudung ini terdesak. Dan semua serangan yang dilakukan Gondang, mudah sekali dapat dihalau. Bahkan ketika pedang Gondang menyabet ke arah kaki, cepat sekali wanita bertudung itu melesat ke atas. Dan dengan satu gerakan yang sukar diikuti pandangan mata biasa, wanita bertudung itu melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu keras, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Yeaaah...!”

Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan wanita bertudung bambu ini, sehingga Gondang tidak dapat lagi menghindar. Dan....

Plak!
“Akh...!”

Gondang jadi menjerit, begitu tendangan wanita bertudung ini tepat menghantam kepalanya. Pemuda itu jadi terpental ke belakang, dan terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya. Tampak darah mengucur keluar dari pelipisnya yang robek, akibat terkena tendangan bertenaga dalam tinggi itu.

“Saatmu sudah tiba, Gondang! Hiyaaat...!” Sambil berteriak keras menggelegar, wanita bertudung bambu itu melompat cepat bagai kilat. Lalu, seketika dilepaskannya satu pukulan dahsyat, disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Sementara, Gondang sudah tidak mungkin lagi menghindarinya. Maka....

Diegkh!
“Hegkh...!”

Gondang hanya dapat mengeluh sedikit, begitu pukulan wanita ini menghantam tepat pada bagian tengah dadanya. Dari mulutnya kontan menyembur darah kental. Tampak pada bagian tengah dada pemuda itu tergambar telapak tangan berwarna hitam yang mengepulkan asap. Kedua bola mata Gondang jadi terbeliak lebar. Darah terus mengalir keluar dari mulut dan hidungnya. Beberapa saat tubuhnya masih bisa berdiri limbung, kemudian ambruk ke tanah di antara mayat anak buahnya. Dan seketika itu juga, nyawanya melayang.

Sementara wanita bertudung itu berdiri tegak memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih di sekitarnya. Terdengar dengusan nafasnya yang begitu berat. Sedikit tudung bambu yang menutupi kepalanya diangkat dengan ujung jari telunjuk. Sehingga, terlihatlah seraut wajah cantik dengan pipi putih agak kemerahan. Bola matanya tampak bundar bercahaya, indah bagai bintang di langit. Namun sorot matanya terlihat begitu tajam. Dan bibirnya yang merah, sedikit pun tidak mengembangkan senyum.

“Hhh! Sudah terlalu lama aku di sini. Sebaiknya aku kembali saja sebelum terjadi sesuatu lagi yang tidak aku inginkan,” gumam wanita itu. Cepat sekali tubuhnya melesat pergi, meninggalkan lawan-lawannya yang sudah bergelimpangan jadi mayat. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan mata tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Dan belum begitu lama wanita bertudung itu lenyap, dari arah jalan terlihat dua orang penunggang kuda menuju tempat pertarungan tadi ini. Dan tampaknya, kedua penunggang kuda itu sudah melihat mayat-mayat yang bergelimpangan, hampir memenuhi jalan tanah berbatu ini. Maka, segera mereka memacu kudanya lebih cepat lagi.

“Hooop...!”
“Hup!”

Kedua penunggang kuda itu langsung berlompatan turun, begitu sampai di tempat mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih. Mereka tampak begitu terkejut sekali. Salah seorang dari penunggang kuda itu memeriksa mayat Gondang. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan, dengan rambut panjang terikat pita putih. Sedangkan seorang lagi adalah gadis berwajah cantik, berbaju biru agak ketat. Dan dia hanya memandangi saja, apa yang diperbuat pemuda itu.

“Kelihatannya mereka baru saja meninggalnya, Kakang,” ujar gadis cantik berbaju biru ketat itu, agak menggumam.

“Hm....” Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung itu hanya menggumam saja sedikit. Perlahan pemuda itu bangkit berdiri, dan kembali mendekati gadis cantik yang juga membawa pedang bergagang kepala naga berwarna hitam pekat di punggungnya. Tampak pada lipatan sabuk yang membelit pinggangnya, terlihat sebuah kipas berwarna putih keperakan.

“Tidak ada yang terluka akibat senjata tajam. Mereka tewas, akibat terkena pukulan bertenaga dalam tinggi,” jelas pemuda itu pelan, seakan bicara pada diri sendiri.

Sedangkan gadis cantik berbaju biru di sebelahnya hanya diam saja. Pandangannya tertuju pada sebuah pedati yang ditarik dua ekor sapi putih, tidak jauh dari mayat-mayat ini. Gadis itu jadi tertarik, lalu melangkah menghampiri pedati itu. Dan pemuda berbaju rompi putih ini juga segera melangkah mengikuti.

“Penuh berisi peti kayu, Kakang,” kata gadis itu memberi tahu, tanpa berpaling sedikit pun. Beberapa saat mereka mengamati pedati ini.

“Kakang, kau kenali lambang ini...? Seperti lambang sebuah kerajaan,” kata gadis itu lagi, sambil menunjuk ke arah gambar yang tertera pada kain tebal penutup pedati.

“Lambang Kerajaan Jatigelang...,” gumam pemuda berbaju rompi putih, langsung bisa mengenali gambar itu. Sesaat mereka jadi terdiam.

“Ayo, Pandan. Kita tinggalkan saja tempat ini,” ajak pemuda itu.

“Eh...?!” Tapi belum juga gadis cantik yang dipanggil Pandan bisa berbicara, pemuda berbaju rompi putih ini sudah cepat menariknya, langsung kembali menghampiri kudanya.

Tanpa bicara lagi, pemuda berbaju rompi putih itu langsung melompat naik ke punggung kuda hitam tunggangannya yang bernama Dewa Bayu. Sedangkan gadis cantik yang dipanggil Pandan itu masih tetap berdiri memegangi tali kekang kuda putihnya. Gadis cantik itu memang Pandan Wangi. Dan di kalangan rimba persilatan julukannya adalah si Kipas Maut, karena kedahsyatan senjatanya yang berbentuk sebuah kipas putih keperakan. Sedangkan pemuda tampan berbaju rompi putih yang kini sudah berada di atas punggung kuda hitamnya, tidak lain adalah Rangga. Dan dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.

“Ayo, Pandan,” ajak Rangga lagi tidak sabar.

“Kenapa harus pergi, Kakang...?”

“Nanti akan kujelaskan. Sebaiknya, cepat naik ke kudamu. Kita pergi dulu dari sini.”

Meskipun masih belum mengerti, Pandan Wangi naik juga ke punggung kudanya. Dan tidak berapa lama kemudian, kedua pendekar dari Karang Setra itu sudah memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan tempat itu. Debu langsung membubung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat bagai dikejar setan.

Dan saat kedua pendekar itu sudah tidak terlihat lagi, dari arah jalan lain, terlihat sebuah pedati bergerak perlahan mendekati tempat ini. Pedati itulah yang berisi para wanita yang dikawal prajurit Kerajaan Jatigelang, yang dirampok kelompok Gondang tadi. Mereka kini terpaksa menjalankan pedatinya sendiri, setelah ditinggalkan oleh para perampok.

Wanita-wanita di dalam pedati itu jadi menjerit terpekik, begitu melihat mayat-mayat bergelimpangan menghadang jalan. Kemudian, salah seorang wanita di dalam pedati itu bergegas turun, dan langsung menghampiri pedati yang berisi penuh peti-peti kayu berukir. Dan tidak lama kemudian, wanita itu kembali lagi ke pedati yang masih berisi wanita-wanita muda berwajah cantik ini.

“Kanjeng Putri..., semua barang di dalam pedati masih lengkap,” lapor wanita itu.

Dan dari dalam pedati, menyembul sebuah kepala dengan raut wajah cantik sekali. “Kau bisa bawa pedati itu, Dayang Sambi?” lembut sekali suara wanita yang disebut Kanjeng Putri itu.

“Bisa, Kanjeng Putri.”

“Bawalah. Ikuti pedati ini dari belakang. Lebih baik, kita kembali dulu ke kerajaan. Sebaiknya urusan pernikahan ini memang dibatalkan dulu.”

“Baik, Kanjeng Putri.” Wanita yang dipanggil Dayang Sambi itu bergegas menghampiri pedati berisi penuh peti kayu, yang di dalamnya terdapat barang-barang berharga. Sigap sekali dia naik ke atas pedati itu. Sementara, pedati yang sarat berpenumpang wanita-wanita ini, sudah bergerak lagi, tanpa mempedulikan mayat-mayat yang bergelimpangan memenuhi jalan.

***
TIGA
Kedatangan dua pedati yang masing-masing hanya berisi wanita serta peti-peti kayu berisi emas tanpa seorang pun prajurit pengawal, tentu saja membuat seluruh penghuni Istana Kerajaan Jatigelang jadi gempar. Terlebih lagi, di antara wanita itu terdapat Rara Ayu Endang Witarsih, putri tunggal Prabu Gelangsaka. Memang perjalanan Rara Ayu Endang Witarsih sebenarnya adalah menuju Kerajaan Soka, untuk menemui calon suaminya di sana. Dan anak Raja Soka memang telah dijodohkan dengan Rara Ayu Endang Witarsih.

Sudah menjadi kebiasaan bagi para raja, bila ingin berkunjung ke kerajaan lain akan selalu membawa oleh-oleh berupa emas dan barang-barang berharga lainnya. Maka tak heran kalau Rara Ayu Endang Witarsih harus dikawal sepasukan prajurit kerajaan. Dan begitu mereka berada di Balai Sema Agung, Rara Ayu Endang Witarsih menceritakan semua yang terjadi di perjalanan. Prabu Gelangsaka jadi menarik napas lega, karena akhirnya Rara Ayu Endang Witarsih selamat. Namun demikian masih tersirat pada raut wajahnya, kalau dia menyimpan kemurkaan atas tewasnya Panglima Wanengpati di tangan para perampok itu.

“Aku sendiri juga bingung, Ayah. Pemimpin perampok itu sama sekali tidak mengganggu kami. Malah meninggalkan begitu saja. Yang diambil hanya pedati yang berisi barang-barang emas saja,” jelas Rara Ayu Endang Witarsih lagi.

“Mereka tidak tahu kalau kau ada di antara dayang-dayangmu, Anakku?” tanya Prabu Gelangsaka.

“Tidak, Ayahanda Prabu. Aku berada di tengah-tengah. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang memeriksa ke dalam pedati,” sahut Rara Ayu Endang Witarsih.

“Lalu apakah kau tahu, siapa yang membasmi perampok-perampok itu?” tanya Prabu Gelangsaka lagi.

Rara Ayu Endang Witarsih hanya menggeleng saja, menjawab pertanyaan ayahnya ini. Sedangkan semua dayang yang duduk bersimpuh di belakang Rara Ayu Endang Witarsih juga menggelengkan kepala, saat Prabu Gelangsaka memandanginya satu persatu. Seakan-akan meminta jawaban dari pertanyaannya tadi.

“Tapi, Ayahanda Prabu...,” ujar Rara Ayu Endang Witarsih bernada terputus.

“Ada apa, Witarsih?”

“Aku melihat ada bekas tapak kaki kuda di antara mayat-mayat perampok itu.”

“Hm...,” Prabu Gelangsaka jadi menggumam pelan.

"Tapi tadi kau mengatakan, perampok- perampok itu semuanya menunggang kuda....”

“Benar, Ayah. Tapi jejak kaki kuda yang kulihat, justru arahnya menuju ke sini. Ke kotaraja ini...,” sahut Rara Ayu Endang Witarsih.

“Oh..., apa mungkin ada di antara mereka yang menyelusup ke sini...?” nada suara Prabu Gelangsaka seperti bertanya pada diri sendiri.

“Mungkin, Ayah,” ujar Rara Ayu Endang Witarsih.

“Kalau begitu, mereka harus segera ditangkap,” kata Prabu Gelangsaka, agak mendesis suaranya. “Berapa orang mereka, Witarsih?”

“Hanya dua orang.”

“Dua orang...,” gumam Prabu Gelangsaka perlahan.

Beberapa saat Raja Jatigelang yang berusia enam puluh tahun itu terdiam dengan kening berkerut. Sedangkan Rara Ayu Endang Witarsih juga terdiam membisu.

“Beristirahatlah dulu, Anakku. Perjalananmu pasti sangat melelahkan,” ujar Prabu Gelangsaka.

“Baik, Ayahanda Prabu.” Setelah memberi sembah hormat, Rara Ayu Endang Witarsih meninggalkan Balai Sema Agung Istana Kera-jaan Jatigelang ini, diikuti dayang-dayangnya dengan sikap begitu hormat.

Mereka juga memberi sembah hormat pada Prabu Gelangsaka, sebelum meninggalkan ruangan yang megah ini. Sementara Prabu Gelangsaka masih terdiam sambil bertopang dagu memikirkan cerita anak gadisnya barusan.

“Aneh...! Siapa perampok-perampok itu...? Aneh sekali tindakan mereka. Tidak seperti perampok lainnya. Hm....,” gumam Prabu Gelangsaka, bicara pada diri sendiri.

Perlahan laki-laki tua ini mengangkat kepalanya. Dan tatapan matanya langsung tertuju pada seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, mengenakan seragam prajurit berpangkat panglima. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang yang cukup panjang. Panglima itu segera memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

“Panglima Sela Gading....”

“Hamba, Gusti Prabu.”

“Kerahkan prajurit-prajuritmu. Cari dua orang perampok itu, dan bawa ke sini dalam keadaan hidup. Aku merasa ada sesuatu yang aneh pada mereka,” perintah Prabu Gelangsaka.

“Segala titah Gusti Prabu akan hamba laksanakan,” sahut Panglima Sela Gading.

“Kerjakan sekarang juga, Panglima Sela Gading.”

“Hamba, Gusti Prabu.”

***

Siang yang panas ini, semakin bertambah panas dengan menyebarnya para prajurit Kerajaan Pringgada ke seluruh pelosok kerajaan ini. Mereka memang dipe-rintahkan untuk mencari perampok-perampok yang dikatakan masih ada dua orang lagi. Dan diduga, kedua perampok itu berada di dalam kotaraja ini. Semua rumah digeledah, dan penghuninya ditanyai. Dan mereka yang dicurigai, langsung ditangkap tanpa mengenal ampun.

Bahkan tidak jarang prajurit-prajurit itu bertindak kasar. Siapa saja yang dicurigai, langsung dirantai, digiring ke istana. Tindakan yang dilakukan Panglima Sela Gading dan para prajuritnya, tentu saja membuat kekacauan di seluruh pelosok Kotaraja Jatigelang ini. Namun tidak ada seorang pun yang tahu, penyebab dari semua tindakan kasar para prajurit itu.

Semua orang hanya saling bertanya saja, tanpa tahu sebabnya. Sementara itu tidak jauh dari gerbang perbatasan kota, di sebuah kedai kecil yang terbuka, Rangga dan Pandan Wangi juga menyaksikan semua tindakan para prajurit. Di dalam hati mereka, tentu saja timbul pertanyaan. Prajurit-prajurit itu memang bertindak kasar. Dan siapa saja yang mencoba melawan, langsung ditangkap tanpa ampun lagi. Bahkan ada beberapa prajurit yang secara kasar mengobrak-abrik beberapa rumah penduduk.

Jerit dan tangis mewarnai seluruh pelosok kerajaan ini. Dan semua tindakan prajurit itu tidak terlepas dari pengamatan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut dari dalam kedai. Bahkan bukan hanya mereka. Beberapa pengunjung kedai yang semuanya berasal dari kalangan persilatan juga menyaksikan.

“Tindakan mereka benar-benar liar! Sama sekali tidak menampakkan kalau mereka adalah prajurit!” dengus Pandan Wangi mulai muak.

“Jangan bicara sembarangan, Nisanak. Kalau mereka dengar, bisa ditangkap nanti,” tegur laki-laki setengah baya pemilik kedai ini memperingatkan.

Pandan Wangi hanya melirik sedikit saja pada pemilik kedai itu. Sedangkan pengunjung lain mulai melirik gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Di anta-ra mereka, ada seorang pemuda berwajah cukup tampan. Bajunya warna putih bersih. Wajahnya juga dihiasi kumis tipis. Dan matanya terus memandangi Pandan Wangi dengan sinar mata sulit diartikan. Sedangkan Pandan Wangi sendiri, sama sekali tidak tahu kalau sejak tadi dipandangi terus-menerus.

“Apa yang mereka cari sebenarnya...? Kenapa sampai menyusahkan rakyat begitu...?” gumam Pandan Wangi, seperti bertanya sendiri.

“Mereka mencari dua orang perampok,” selak salah seorang pengunjung kedai ini.

Pandan Wangi segera memutar tubuhnya ke arah sahutan tadi hingga berhadapan dengan laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Memang dia sejak tadi sebenarnya duduk tepat di depannya. Walaupun usianya sudah hampir setengah baya, tapi wajahnya masih kelihatan tampan. Dan senyumnya begitu menarik. Dari pedang yang tergeletak di atas meja panjang ini, bisa dipastikan kalau dia dari kalangan persilatan.