Jaka Sembung 4 - Raja Rampok Dari Lereng Cermai(1)


MATAHARI tepat berada di atas kepala. Langit biru, sangat jernih. Hanya di langit bagian selatan, di atas bukit kelihatan sepotong awan putih bergerak perlahan ditiup angin. Awan itu melayang berarak, lalu pecah berderai dan hilang entah ke mana.

Desa Perbutulan, sebuah desa di lereng gunung Ciremai, tampak masih sepi. Rumah penduduk masih jarang, dan jarak antara yang satu dengan yang lain cukup jauh. Di belakang perumahan penduduk, tampak rangkaian bukit-bukit yang memanjang dari timur ke barat.

Hutan di situ tidak terlalu lebat, sehingga dengan jelas terlihat dua pohon kelapa menjulang tinggi bagaikan tiang bendera. Daun-daunnya melambai-lambai bagai menari-nari dengan amat riangnya.

Di atas gundukan tanah, akar-akarnya mencengkeram sangat kokohnya membuat pohon kelapa itu tetap berdiri kokoh walau setiap hari dihembus angin. Beberapa ekor burung pipit dengan bulu-bulu berkilauan ditimpa sinar matahari, hinggap di daun pohon kelapa lalu berkicau sepuas-puasnya, mungkin sedang mengabarkan kegembiraannya di siang hari itu.

Tak jauh dari pohon kelapa yang melambai-lambai itu ada sebuah warung sederhana, berukuran sekitar lima kali enam meter. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan atapnya dari rumbia. Agaknya bangunan itu sudah tua.

Beberapa tiang yang terbuat dari kayu bulat mulai lapuk dimakan usia. Sekalipun demikian, warung sederhana itu selalu ramai terutama oleh para penjudi, pemabukan serta jagoan-jagoan desa.

Dari warung itu terdengar suara tawa terbahak-bahak, sambung-menyambung seperti bunyi bedug. Di ruangan tengah, di atas meja dan kursi kayu, sekelompok lelaki sedang asyik minum-minum sambil main judi.

Usia mereka rata-rata empatpuluh sampai limapuluh, tapi tak sedikit pun menunjukkan sikap sebagaimana halnya orangtua yang bijaksana. Selain bertampang seram, cara duduk maupun bicara mereka juga sangat kasar.

Tetapi karena pengunjung lainnya di warung itu mengetahui kehebatan kelompok lelaki itu, tak ada yang berani melarang atau menasehati.

“Puaslah aku semalam ini. Uang dapat hiburan pun dapat,” kata salah seorang di antaranya sambil tertawa terbahak-bahak. Lalu sambil menggebrak meja kuat-kuat, ia berkata kepada pemilik warung dengan suara membentak.

“Hei, Pak Kastam! Tambahkan lagi kue getuk dan tuaknya ini. Bawa saja sekalian gentongnya kemari. Cepat! Jangan kelelar-keleler macam keong. Aku sudah kehausan.”

Dengan langkah tergopoh-gopoh, Pak Kastam mengambil kue getuk beberapa piring, kemudian menyuguhkan beberapa guci tuak ke meja para jagoan desa itu.

“Hai, kawan-kawan. Marilah kita minum sepuas hati kita. Kita nikmati sepuasnya apa saja yang kita hendaki. Hari ini adalah hari yang sangat menyenangkan, bukan?”

Tiba-tiba seorang lelaki asing masuk ke dalam warung. Seketika tawa dan suara pembicaraan mereka terhenti. Suasana yang tadinya hingar bingar berbalik jadi sepi. Lelaki asing itu sejenak berdiri sambil menyapu seisi ruangan dengan tatapan matanya yang mencorong tajam bagai mata pedang.

Usianya sekitar tigapuluh tahun, tubuhnya kekar dan otot-ototnya berisi. Sama seperti para pendekar desa Perbutulan, ia pun mengikat rambutnya dengan sepotong kain.

Pakaiannya serba ungu, dihiasi kain sarung yang dililitkan dari bahu kanan sampai ke pinggang.

Ada satu hal yang paling menarik pada diri lelaki itu, yakni mata kirinya ditutupi kain hitam sehingga mirip kaca mata, yang diikat dengan tali ke belakang kepala. Melihat perawakan serta sinar mata lelaki itu, dapatlah diterka bahwa ia bukanlah orang sembarangan.

“Hei, pemilik warung. Beri aku nasi lengko satu piring dan sambal yang banyak serta arak satu kendi,” kata lelaki itu.

“Ini arak istimewa, tuan. Sudah tersimpan lama di dalam kendi,” kata Pak Kastam saat menyuguhkan minuman itu di hadapan tamunya.

“Bagus! Bagus! Kebetulan sekali aku bertemu dengan cakil-cakil ini. Inikah jago-jago dari desa ini?” tanya si mata satu sambil menatap para pendekar desa Perbutulan dengan sikap mengejek.

Mendengar ucapan yang bernada ejekan itu, para jagoan desa menjadi terkejut. Bukan saja karena tak mengira ada orang yang berani bersikap seperti itu. Tetapi juga karena suara lelaki itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi, sehingga suara yang berat dan serak itu terasa menggetarkan dinding dan menegakkan bulu kuduk orang yang mendengarnya.

Belum hilang rasa terkejut kelompok jagoan desa Perbutulan, si mata satu telah mencengkeram pundak salah seorang di antaranya.

“Hei, cakil. Berikan semua uang yang ada dalam kantong kalian. Hm, seharusnya kalian tahu siapa yang datang ini. Kalian harus menghormatiku. Ayo, kumpulkan uang itu di atas meja!”

Mendengar itu, hilanglah kesabaran para jagoan desa Perbutulan. Bagaikan dikomando, mereka sama-sama bangkit berdiri dan menatap si mata satu dengan sinar mata merah bagaikan memancarkan api.

“Bedebah kau! Berani kurang ajar kepada jago-jago desa Perbutulan ini. Jangan coba-coba unjuk gigi di kandang buaya kalau tak ingin mampus.”

“Ha-ha-ha.......! Buaya-buaya ompong. Kalian belum kenal siapa aku. Jangan kira aku anak kecil yang bisa digertak orang-orang tolol seperti kalian.”

“Lemparkan keluar bangsat yang besar mulut itu!”

Bersamaan dengan itu, para jagoan desa segera menghunus pedang dan mengurung si mata satu. Suasana di dalam warung seketika menjadi tegang. Sepertinya pertumpahan darah tidak akan terhindarkan lagi.

Sekalipun demikian, si mata satu tetap tenang, bahkan masih sempat tersenyum sinis. “Kuperingatkan sekali lagi, serahkan semua uang kalian. Atau kepala kalian akan kubuntungi.”

“Diam kau, bangsat! Serang........!”

Maka terjadilah pertarungan seru di dalam warung yang cukup sempit itu.

Gelas, piring dan kendi beterbangan, meja dan kursi terbalik menimbulkan suara gaduh bercampur dengan suara teriakan dan makian. Pak Kastam, pemilik warung itu lari terbirit-birit menyelamatkan diri karena takut jadi sasaran amukan para lelaki yang sedang bertarung itu.

Tepat seperti yang diperkirakan para jagoan desa Perbutulan, si mata satu ternyata bukanlah orang sembarangan.

Di samping memiliki tenaga dalam yang dahsyat, gerakannya pun sangat cepat dan sukar diikuti pandangan mata. Tak satu pun sabetan pedang lawan mengenai tubuhnya.

Bahkan hanya dalam beberapa jurus saja, si mata satu berhasil memukul dan menendang lawan-lawannya hingga terlempar keluar warung. Sesosok tubuh lawan terpental membobol dinding, sementara seorang lagi melayang membobol atap warung.

Hanya beberapa menit kemudian, warung itu sepi kembali. Para jagoan desa Perbutulan tak berdaya sama sekali menghadapi serangan si mata satu yang luar biasa. Mereka bergelimpangan dengan luka-luka mengucurkan darah segar.

Dengan sangat tenangnya, si mata satu kembali mereguk minumannya. Ia duduk sendirian di dalam ruangan warung yang telah acak-acakkan dengan sikap seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.

Maka saat itu juga, desa Perbutulan menjadi gempar. Gebrakan lelaki asing bermata satu itu segera meluas dari mulut-mulut. Para jagoan desa lainnya maupun penduduk pun bertanya-tanya.

Siapakah gerangan lelaki yang memiliki kesaktian luar biasa itu?

Dari mana asalnya, siapa namanya?

Dan apa maksudnya bikin keonaran di desa Perbutulan?

Sepak terjang si mata satu juga sangat menarik perhatian Gagak Ciremai, guru silat yang paling kesohor di desa Perbutulan. Ia mendapat laporan dari muridnya sore harinya bahwa seorang laki-laki asing bermata satu telah membikin keonaran. Lelaki itu memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga hanya dalam beberapa jurus saja, beberapa jagoan desa telah tewas di tangannya.

“Di antara kami berempat hanya sayalah yang kebetulan lolos dari pedang mautnya. Karena saya saat itu pingsan ditendang. Saya rasa dia datang dari sebelah selatan gunung Ciremai, Pak Guru.”

“Hm....... datang dari jauh untuk mengacau rasanya tidak mungkin. Pasti ada suatu maksud tertentu. Dalam dunia persilatan, jika seseorang sampai begitu jauh menempuh perjalanan dan sengaja membuat kerusuhan di suatu tempat, biasanya dia bermaksud balas dendam.

Tetapi seingatku sejak masa muda aku belum pernah memusuhi orang lain. Apalagi ketika kau sebutkan ciri-cirinya. Seingatku belumlah pernah berurusan dengan pendekar bermata satu seperti dia.”

“Kalau begitu apakah gerangan maksudnya, Pak Guru?”

“Entahlah, aku sendiri belum bisa menerkanya. Tapi kuperingatkan kepada kalian, jangan sampai lebih dahulu mencari permusuhan dengan orang asing mana pun yang datang ke desa ini. Barangsiapa di antara murid-muridku yang melanggar peraturan ini, pasti akan dihukum. Mengerti?”

“Mengerti, Guru!”

Setelah muridnya itu pergi, Gagak Ciremai termenung. Hatinya masih penuh tanda tanya dan otaknya berpikir keras mengingat-ingat barangkali pada waktu dulu ia pernah berurusan dengan lelaki bermata satu.

Tapi rasanya belum pernah sampai usianya yang sekarang telah hampir limapuluh tahun. Gagak Ciremai diam-diam merasa tidak enak, sebab firasatnya mengatakan lelaki bermata satu itu pastilah hendak berurusan dengannya hingga datang ke desa Perbutulan.

Istri Gagak Ciremai rupanya cukup jeli memperhatikan perubahan suaminya. Tak salah lagi, pastilah ada sangkut pautnya dengan kedatangan si mata satu ke desa mereka. Dan itu kemudian ia katakan kepada suaminya.

“Sejak kedatangan orang asing itu, kau tampak selalu resah. Saya rasa ia akan segera meninggalkan desa kita.”

“Pirasatku berkata tidak, istriku. Ia pasti tidak akan angkat kaki dari sini sebelum maksudnya tercapai. Barangkali kau beranggapan ia hanya seorang pengembara yang terpaksa merampok karena kehabisan bekal. Tidak, istriku. Secara tidak langsung, ia telah menantang aku sebagai guru silat di desa ini.”

“Jadi........”

Gagak Ciremai meraih anaknya yang baru berusia satu tahun, dan sambil menggendong buah hatinya penuh kasih sayang, guru silat itu berkata.

“Seorang jago silat harus mempunyai dasar batin yang baik, agar menjadi seorang jago bersifat kesatria. Sebaliknya jika batin itu buruk, jago silat akan menggunakan ilmunya secara sewenang-wenang.

“Ia akan menjadi seorang jagoan sombong, brutal, membunuh orang seperti menepuk lalat. Ia tidak segan-segan membunuh hanya karena uang beberapa gulden saja. Atau melakukan pembantaian hanya untuk membakar amarah musuhnya.

“Itulah makanya perlu kita ajarkan perintah Tuhan kepada murid-murid di perguruan silatku. Ilmu tanpa agama akan runtuh, membuat orang mau berbuat kotor hanya untuk memuaskan nafsu setannya.”

Bisikan Gagak Ciremai ternyata kemudian terbukti juga. Beberapa hari kemudian, tepatnya siang hari, segerombolan lelaki warga desa Perbutulan sedang asyik mengadu ayam, hobby mereka yang tradisional.

Para laki-laki itu saling berteriak-teriak menjagokan ayam kesayangannya. “Ayo, patok merah. Habisi si hitam itu. Jangan kasih hati.”

“Jangan takut, hitam. Hajar si merah sampai mampus,” teriak yang lainnya tak kalah serunya. Mereka semakin terlena dalam ketegangan menyaksikan dua ayam jago itu beradu.

Apalagi pada saat kedua ayam itu sama-sama melayang tinggi ke udara untuk saling menyerang, para penonton menahan nafas. Tetapi tiba-tiba terlihat kilatan cahaya ke tengah arena. Dan apa yang terjadi kemudian sungguh sangat di luar dugaan.

Kedua leher ayam jago itu sama-sama putus sebatas leher, lalu menggelinding di atas tanah. Sedangkan tubuh ayam yang sudah buntung itu sama-sama berkelojotan dengan darah memancar dari lehernya yang telah putus, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.

Belum hilang rasa terkejut para penonton, tiba-tiba terdengar suara serak dan berat dari arah belakang mereka.

“Maafkan, aku telah mengganggu kalian.”

Bersamaan dengan itu mendadak muncul seorang lelaki asing, si mata satu!

“Jadi....... jadi kaukah yang telah membunuh ayam jagoanku? Huh, bangsat tengik. Apa maksudmu, hah?”

“Kau sudah tahu, kenapa masih bertanya? Aku hanya ingin menolong ayam itu agar tidak tersiksa demi memuaskan hati kalian,” kata si mata satu seenaknya.

“Bangsat, picak! Rupanya kau memang coba-coba ingin bermain api dengan jagoan desa Perbutulan. Sekarang aku akan membuat lehermu buntung seperti ayam itu.”

“Ha-ha-ha.......! Kalian tak ubahnya anak-anak ayam yang mencoba melawan elang perkasa. Rupanya kalian tidak sayang nyawa. Aku bisa merobohkan kalian sekejap dengan mata terpejam. Sebaiknya kalian panggil guru kalian untuk menghadapi aku. Kalian dengar itu?”

“Bacotmu terlalu besar, manusia iblis. Langkahilah mayat murid-muridnya lebih dulu. Ayo serbu.......!”

Para lelaki yang tadi asyik menonton adu ayam itu kini menyerang dengan senjata golok di tangan. Tampaknya mereka benar-benar marah sehingga serangannya sangat ganas dan mematikan.

Sabetan-sabetan golok mereka mengarah kepada bagian tubuh yang sangat vital bagi lawan. Namun rupanya ucapan si mata satu bukanlah sekadar bualan belaka.

Semua serangan lawan-lawannya dengan mudah dapat dielakkannya. Bahkan kemudian, dengan golok mautnya ia balas menyerang dengan gerakan yang teramat sulit diikuti mata saking cepatnya. Satu per satu, lawannya bergelimpangan bersimbah darah dengan tubuh terkena sabetan golok.

Dalam beberapa gebrakan, si mata satu menghabisi nyawa lawannya, kecuali satu yang memang sengaja ia biarkan hidup.

“Aku sengaja membiarkan kau hidup, tikus kecil. Pulanglah sekarang juga dan beritahu kepada gurumu bahwa aku menunggunya di lembah Cadas Kuriling. Ayo, cepat!”

Lelaki yang memang murid Gagak Ciremai itu langsung terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Ia segera melaporkan peristiwa itu kepada gurunya.

“Guru, si mata setan itu kembali menebar maut. Ampunilah kami guru, karena kami tak mampu menghadapi pengacau itu. Ia juga berpesan agar guru menemuinya di lembah Cadas Kuriling.”

“Pulanglah, Warso. Aku akan menerima tantangannya.”

Sambil menatap kepergian Warso, Gagak Ciremai menghela nafas dalam-dalam. Keningnya tampak berkerut-kerut, sementara matanya menatap lurus ke luar melalui jendela.

Tak salah lagi, ilmu pedangnya memang luar biasa. Barangkali aku pun tidak akan mampu menghadapinya. Tetapi sebagai guru silat di desa ini dan sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, aku tak mungkin menolak tantangannya. Akan kuhadapi dia, semoga Tuhan melindungiku. Gagak Ciremai berguman dalam hati.

Kemudian ia menuju ke halaman belakang, menemui pesuruhnya Kosim yang saat itu sedang bercanda ria bersama Ranti.

“Kosim, ibu si Ranti tampaknya belum pulang juga. Mungkin dia agak lama pulangnya. Jagalah anakku baik-baik. Aku akan pergi sebentar ke lembah Cadas Kuriling untuk menemui seseorang.”

“Baik, den. Den Ranti akan saya jaga baik-baik. Apakah aden akan lama pulangnya? Kalau ada pesan akan kusampaikan kepada den Ajeng.”

“Oh, tidak. Aku hanya sebentar saja. Mungkin sebelum beduk lohor aku sudah pulang.”

Sehabis berkata begitu, Gagak Ciremai memeluk Ranti. Dibelai-belainya rambut anaknya itu dan diciuminya sepuas-puas hati. Buah hatiku, doakanlah ayahmu....... bisiknya dalam hati.

Entah kenapa kali ini perasaannya sangat terharu. Hampir saja airmatanya jatuh berderai membasahi pipinya. Tetapi sebagai seorang pendekar yang telah puluhan tahun malang melintang di dunia persilatan, ia masih mampu menahan perasaan.

Gagak Ciremai kemudian menyerahkan Ranti kepada Kosim, lalu beranjak meninggalkan rumah, diiringi pandangan mata Kosim yang keheranan. Seakan-akan firasat pesuruh itu membisikkan sesuatu yang tidak baik.......

Matahari mulai bergulir ke arah barat ketika Gagak Ciremai tiba di lembah Cadas Kuriling. Lembah itu sangat sepi, tak ada suara hiruk pikuk orang mengadu ayam atau suara anak-anak yang sedang bermain-main, atau suara teriakan murid-murid Gagak Ciremai saat latihan jurus-jurus ilmu silat.

Di lembah itu ada dataran kecil mirip lapangan. Di pinggirnya, berdiri seorang lelaki, tegak dan tak bergerak-gerak hingga mirip patung.

Itulah dia si mata satu! Pendekar yang dalam beberapa hari ini membuat desa Perbutulan gempar, menatap lurus ke depan.

Matanya yang merah bagaikan memancarkan api hampir tak berkedip. Bibirnya terkatup rapat. Dari wajahnya yang dingin itu terpancar kebengisan dan hawa nafsu membunuh yang sepertinya tak mampu dikekang lagi.

“Ayah, bertahun-tahun aku menuntut ilmu, kemudian mengembara mengelilingi lereng-lereng gunung Ciremai ini. Hari inilah aku akan menebus dendam patimu. Semoga terwujud sumpah yang pernah kuucapkan di hadapan jenazahmu!” Si mata satu berguman di dalam hati.

Tak lama kemudian, Gagak Ciremai tiba di tempat itu. Guru silat yang kesohor itu melangkah perlahan, kemudian berhenti di ujung dataran kecil itu, sementara di ujung yang satu lagi berdiri pula si mata satu. Kedua pendekar itu saling bertatapan.

“Ha-ha-ha, aku sangat gembira melihat kedatanganmu. Benar juga dugaanku, orang yang selama ini kucari-cari bukan pengecut. Kau telah datang ke sini memenuhi tantanganku. Apakah kau sudah siap?” tanya si mata satu sembari mencekal hulu pedangnya.

“Aku datang untuk menyaksikan permainan golokmu yang luar biasa. Mungkin inilah kesempatan yang pertama kali bagiku menyaksikan ilmu golok luar biasa.

“Akan tetapi sebelumnya perkenankanlah aku bertanya, kesalahan apakah yang telah kulakukan hingga Anda mau bersusah payah menyusuri lereng gunung Ciremai ini hanya untuk bertemu dengan aku yang bodoh ini? Siapakah Anda sebenarnya?”

“Hm, rupanya kau telah lupa dengan hutang pati yang telah kau lakukan,” bentak si mata satu dengan sikap yang tiba-tiba saja berubah jadi beringas.

“Tapi baiklah. Aku pun tidak akan puas sebelum kau mengetahui siapa aku sebenarnya. Orang-orang di lereng selatan menyebutku Gembong Wungu. Kedatanganku ke lereng gunung ini untuk menebus hutang nyawamu, Gagak Ciremai.”

“Gembong Wungu, aku tak mengerti maksudmu.”

“Jangan berlagak pilon, Gagak Ciremai. Ingatkah kau seorang lelaki bernama Gembong Kuning yang kau robohkan limabelas tahun lalu di lereng selatan? Aku adalah anak tunggalnya yang saat itu masih ingusan.”

Gagak Ciremai tertegun sejenak.

Ia kembali mengingat-ingat pengalamannya semasa muda, saat itu sering mengembara ke seluruh pelosok Jawa Barat, untuk memperdalam ilmunya, termasuk pula menumpas kaum hitam yang sering membuat penduduk sengsara dan tersiksa.

“Ya, aku ingat. Aku ingat, Gembong Wungu. Tapi kau harus mengerti duduk persoalannya. Ayahmu seorang perampok yang selalu mengancam keamanan penduduk desa di lereng selatan. Karena itu saya harap kau tidak termakan emosi.

“Maksudmu membalas dendam tidak baik, bisa menimbulkan kesan bahwa kau menegakkan kebathilan bukannya kebaikan. Dan perlu kau tahu, saat itu aku sebenarnya tak bermaksud membunuh ayahmu.

“Aku memberinya kesempatan untuk bertobat, tetapi nyatanya ia tetap bandel. Kewajiban seorang pendekar adalah menumpas kejahatan dan menegakkan keadilan. Tuhan selalu berdiri di pihak yang benar, Gembong Wungu.”

“Aku tak butuh ocehanmu gagak pikun. Bagaimana pun, kau telah membunuh ayahku. Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa. Cabutlah senjatamu, kita selesaikan persoalan kita sampai salah seorang di antara kita menghadap akherat.”

“Baiklah, Gembong Wungu. Aku sebenarnya tak ingin berkelahi apalagi adu nyawa denganmu. Tapi karena kau memaksa, aku pun tidak menolak tantanganmu. Aku sudah siap. Majulah Gembong Wungu!”

Kedua pendekar dari lereng utara dan lereng selatan itu sama-sama menghunus senjata. Melihat golok di tangan Gembong Wungu diam-diam terkejut juga Gagak Ciremai.

Golok itu sepintas lalu kelihatannya hanyalah sebatang golok biasa. Namun sebagai pendekar yang sudah cukup banyak makan garam dunia persilatan, tahulah Gagak Ciremai bahwa golok lawan merupakan golok pusaka yang sangat kuat dan berbahaya.

Sambil berteriak dengan suara mengguntur, Gembong Wungu menyerang dengan ganas. Golok pusakanya diayunkan cepat sekali hingga membentuk sinar bagaikan pelangi mengarah ke arah dada Gagak Ciremai. Dengan gerakan yang juga sangat cepat, guru silat desa Perbutulan itu berkelit ke samping, lalu balas menyerang dengan pedangnya.

Pertarungan dua jago silat itu berlangsung sangat cepat. Golok mereka diputar sangat cepat hingga membentuk gulungan sinar kemerah-merahan, kadang-kadang terlihat bagaikan membungkus kedua tubuh pendekar sakti itu.

Tetapi pada saat-saat tertentu, sinar itu mencelat mengincar tubuh lawan. Suara golok beradu dan teriakan nyaring memenuhi lembah Cadas Kuriling. Kedua tokoh dunia persilatan yang sama-sama memiliki ilmu kesaktian tinggi itu mengeluarkan segenap kemampuan untuk melumpuhkan lawan.

Tubuh mereka berkelebatan menyerupai bayang-bayang, sehingga orang-orang biasa atau yang ilmu silatnya rendah pastilah sulit mengikuti gerakan Gembong Wungu dan Gagak Ciremai.

Sampai jurus yang ketujuhpuluhan, pertarungan maut itu masih berimbang. Gagak Ciremai masih mampu mengimbangi serangan lawan dengan jurus-jurus andalannya. Namun setelah itu, mulai terlihat Gagak Ciremai agak keteter.

Diam-diam ia harus mengakui bahwa tenaga lawan lebih kuat dari tenaganya. Selain itu, jurus-jurus Gembong Wungu sangat berbahaya dan sangat tidak terduga.

Jagoan bermata satu itu sering terlihat menyerang secara ngawur, tetapi di saat lawan lengah, tiba-tiba ia menyerang dengan jurus-jurus mematikan. Untunglah Gagak Ciremai selalu hati-hati hingga sampai saat ini masih bisa bertahan.

Memasuki jurus yang kedelapanpuluh, pada saat Gagak Ciremai makin terdesak, tiba-tiba Gembong Wungu menyerang dengan jurus mautnya. Tangan kirinya membentuk cengkeraman menyambar ke arah ubun-ubun lawan sementara pada saat yang hampir bersamaan, kakinya terangkat dengan gerakan kilat menyambar pusar lawan.

Serangan itu begitu berbahaya, kalau mengenai sasaran niscaya lawan akan terkapar. Diam-diam Gagak Ciremai terkejut bukan main. Dengan gerakan secepat yang bisa ia lakukan, ia menggeser kakinya, berkelit ke kanan hingga dua serangan itu tidak mengenai tubuhnya. Namun pada saat itu juga ujung golok Gembong Wungu menyambar perut Gagak Ciremai dengan telak.

Disertai jeritan panjang, tubuh guru silat desa Perbutulan itu ambruk ke tanah. Darah segar memancar dari luka menganga di bagian perutnya.

Sejenak tubuh itu menggelepar-gelepar bagaikan ayam disembelih, lalu kemudian diam tak bergerak. Maka tamatlah riwayat guru silat yang luhur budi itu di ujung golok seorang tokoh hitam dari lereng selatan.

Tiba-tiba Gembong Wungu menyerang dengan jurus mautnya. Tangan kirinya membentuk cengkeraman menyambar ke arah ubun-ubun lawan sementara pada saat yang bersamaan, kakinya terangkat dengan gerakan kuat menyambar pusar lawan.

***

Pada saat yang bersamaan, dengan tangan gemetar, istri Gagak Ciremai membaca secarik kertas yang ditinggal suaminya di atas meja. Isi surat itu singkat saja, namun cukup membuat istri Gagak Ciremai menjadi pucat pasi dengan dada berdebar-debar tak karuan.

Istriku, sayang.

Bukan aku hendak mendahului kehendak yang Maha Kuasa. Kurasa tindakan yang paling tepat adalah menerima tantangan si durjana ini. Bila aku tidak kembali, janganlah kau menangis, tetapi berdoalah. Karena semua ini adalah takdir.......

“Oh, tidak! Tidak........!” jerit istri Gagak Ciremai.

Dengan perasaan tak menentu, wanita itu berlari-lari ke Cadas Kuriling. Ia tak memperdulikan apa-apa lagi. Ia mengerahkan segenap kemampuannya berlari secepat mungkin agar bisa sampai secepatnya ke lembah Cadas Kuriling.

Sambil berlari-lari, wanita itu tak henti-hentinya menangis dan menyebut-nyebut nama suaminya. Sesampai di lembah itu, maka terhenyaklah istri Gagak Ciremai karena jenazah suaminya sudah dikebumikan dua orang murid suaminya itu.

Ia menubruk gundukan tanah merah itu sambil meratap sejadi-jadinya. Perpisahan itu sungguh tak pernah diharapkannya, tetapi kini sudah jadi kenyataan. Lelaki yang sangat dicintainya dengan segenap jiwa raganya telah pergi untuk selamanya. Tiada lagi, semuanya telah hancur. Maka pupus pulalah harapan istri Gagak Ciremai.

Wanita itu menjerit-jerit histeris bagaikan orang yang telah kehilangan kewarasan. Ia bangkit meninggalkan kuburan suaminya dan berlari ke arah semak-semak belukar di tempat itu.

Dua murid Gagak Ciremai terpaku bagai kena sihir. Keduanya hanya melongo saja, dan ketika tubuh istri Gagak Ciremai telah lenyap di balik belukar, mereka tersentak tersadar lalu sama-sama mengejar. Namun tubuh wanita itu benar-benar lenyap entah ke mana.

Tamatnya riwayat Gagak Ciremai di tangan Gembong Wungu ternyata menjadi awal malapetaka bagi penduduk desa Perbutulan.

Jagoan bermata satu dari lereng selatan itu ternyata tidaklah meninggalkan desa itu setelah berhasil melampiaskan dendam kesumatnya kepada musuhnya. Tokoh hitam itu melangkah dengan sikap bengis di antara rumah-rumah penduduk dengan sikap siap sedia membunuh siapa saja yang tampak oleh batang hidungnya.

Sambil membusungkan dada, Gembong Wungu melangkah ke rumah Gagak Ciremai. Ia langsung menendang daun pintu rumah guru silat itu hingga jebol. Kosim yang saat itu meringkuk ketakutan sambil mendekap Ranti semakin ketakutan lagi. Sekujur tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi seolah-olah tak dialiri darah lagi.

“Siapa kau, kunyuk? Heh, anak siapa itu? Bawa anak itu ke mari. Ayo, jangan merondok saja di situ!” bentak Gembong Wungu sambil berkacak pinggang.

“Ja....... jangan, tuan. Jangan....... oh, ampun tuan. Dia tidak berdosa. Jangan membunuhnya!”

“Ke sini, kataku. Aku senang dengan mata si mungil yang bening menantang bagaikan bintang kejora itu. Mari, sayang. Jangan takut, ya........”

Lalu dengan suara yang kembali kasar ia bertanya kepada pesuruh Gagak Ciremai. “Hei, tolol. Siapa namamu?”

“Ko....... Kosim, tuan.......”

“Ha-ha-ha....... Kosim. Saksikanlah. Mulai detik ini si mungil ini menjadi anak angkatku. Akan kudidik dia menjadi seorang pendekar yang gagah berani,” kata Gembong Wungu sambil menimang-nimang anak itu.

Sejak saat itu pula, Gembong Wungu mengangkat dirinya sebagai pengganti kedudukan Gagak Ciremai. Namun banyak di antara penduduk desa yang menolak jadi muridnya, lalu melarikan diri ke desa lain.

Sebaliknya, di desa Perbutulan semakin banyak penjahat, tokoh-tokoh dari dunia hitam. Sebab kemudian ternyata Gembong Wungu bukannya menjadi pemimpin yang baik seperti almarhum Gagak Ciremai, tapi menjadi gembong komplotan garong dan rampok.

Desa Perbutulan yang dulu aman tenteram, kini berubah jadi angker. Penduduk makin hari makin tersiksa oleh kekejaman Gembong Wungu dan pengikutnya. Di sana sini terjadi perampokan, pemerasan, perkosaan dan kejahatan lainnya. Penduduk yang mencoba menentang langsung ditumpas tanpa ampun.

Maka makin banyak jua lah korban yang jatuh di ujung pedang si mata satu serta pengikutnya. Kini tiada lagi penduduk yang bisa hidup dengan tenang.

Siang dan malam mereka tertekan, tersiksa dan selalu diburu kecemasan akan kejamnya penjahat di desa mereka. Keganasan Gembong Wungu serta pengikutnya ternyata tidak hanya di desa Perbutulan saja, tetapi juga merembet sampai ke kota praja.

Ganasnya sepak terjang Gembong Wungu dan pengikutnya sampai pula ke telinga para pejabat pemerintah Kompeni Belanda. Pemerintah penjajah ini pernah mengirimkan bala tentara menumpas komplotan Gembong Wungu. Tetapi dengan mudah, pasukan pemerintah Belanda itu ditumpas pasukan Gembong Wungu.

Pemerintah Belanda akhirnya merasa kewalahan juga. Di samping itu, mereka juga punya perhitungan lain, karena berbagai pertimbangan dan alasan mereka akhirnya merasa tak perlu menumpas komplotan penjahat itu, yang penting anak buah Gembong Wungu tidak mempengaruhi hasil pajak yang dipungut dari daerah-daerah.

Lagi pula Gembong Wungu bertindak hanya terbatas pada kejahatan biasa untuk kepentingan pribadi atau kelompok kecil. Tidak ada tanda-tanda persatuan untuk menjadi pemberontak terhadap penjajah.

***

Waktu pun berputar, biar lambat namun pasti. Berbagai kejadian telah tercatat dalam sejarah, tersimpan dalam ingatan orang dan yang kelak menjadi kenangan. Hari berganti hari kemudian minggu bulan dan tahun pun silih berganti.

Limabelas tahun telah berlalu sejak tewasnya Gagak Ciremai di tangan Gembong Wungu. Selama itu pula penduduk desa Perbutulan hidup tersiksa di bawah kejamnya tangan pendekar bermata satu itu. Bahkan komplotan yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia hitam itu kini sudah membentuk negeri kecil, hidup di balik tembok yang kuat, sebuah negeri rampok.

Selama limabelas tahun itu pula, kedudukan Gembong Wungu makin kuat, tak ubahnya seorang raja. Setiap kata yang keluar dari mulutnya merupakan undang-undang tak tertulis bagi pengikutnya dan berlaku dalam lingkungan desa perampok itu.

Ranti, putri tunggal almarhum Gagak Ciremai itu pun kini sudah menjadi seorang dara jelita yang tangkas. Sejak anak itu pintar berjalan, ia telah digembleng ayah angkatnya.

="text-align: justify;"> Dalam hal yang satu ini, Gembong Wungu memang bersikap lain. Ia dengan tulus ikhlas menurunkan semua ilmu yang ada padanya. Tidaklah mengherankan, jika pada usia seremaja itu, Ranti telah memiliki ilmu yang tinggi. Gadis itu mirip ibunya. Matanya yang mungil selalu berbinar binar.

Rambutnya yang hitam panjang dikuncir ke belakang dengan pita emas. Bibirnya tipis dan merah merekah, sehingga jika mengulum senyuman maka terciptalah keindahan yang mampu menggoda siapa pun yang melihatnya.

Namun karena perlakuan Gembong Wungu, jadilah gadis itu menjadi seorang wanita yang bersikap manja tetapi berwatak keras. Semua kemauannya harus dituruti!

Dan sekalipun ia cantik jelita bagaikan bidadari yang turun dari langit, tak seorangpun lelaki di desa itu berani menggodanya, apalagi bersikap kasar. Para lelaki itu hanya bisa mengagumi kecantikan Ranti secara diam-diam.

Hari itu matahari mulai condong ke barat. Udara mulai menyejuk. Di sebelah selatan desa Perbutulan ada sebuah hutan yang letaknya lebih tinggi di lereng gunung Ciremai.

Angin yang berhembus sepoi-sepoi menyibak rambut seorang pemuda yang sedang duduk sendirian di hutan itu. Ia masih muda, baru berusia sekitar duapuluh tahun, namun sinar matanya tampak memancarkan kedewasaan yang mengagumkan. Wajahnya tampan dan tampak selalu simpatik dan ramah. Tetapi kini, ia duduk termenung.