Jaka Sembung 3 - Menumpas Bergola Ijo(3)


Malam pun telah berganti pagi. Sang surya memancarkan sinarnya yang keperakan menerangi segenap alam raya. Kokok ayam terdengar riuh rendah menyambut datangnya pagi. Burung-burung berkicauan memperebutkan makanan di atas sebuah pohon. 

Dari jauh bukit Gunung Jati dan Gunung Sembung terlihat berjajar sangat indah dengan gumpalan awan putih yang bergulung-gulung menyelimutinya. Daun-daun padi bergerak melambai-lambai bagai tangan seorang penari mengikuti arah tiupan angin. Gemerisik suara air pancuran bambu yang jatuh memercik di atas batu menambah suasana pagi yang indah itu. Perlahan-lahan sang surya bergerak meninggi.

Dari kejauhan terlihat seorang dara berjalan lemah gemulai dengan ayunan pinggulnya yang ramping sambil memegang sebuah bakul yang berisi makanan. Tubuhnya yang sintal berlapiskan kain kebaya bercorak kembang-kembang, berlenggak-lenggok dengan riangnya menelusuri pematang sawah. Jejak kakinya tak membekas pada pematang sawah yang baru saja selesai dibuat orang karena ia tak lain dan tak bukan adalah Ratna Zullifah putri tunggal Kiyai Subekti Achmad.

Ratna berjalan menghampiri seorang pemuda yang bertubuh tegap sedang mengayunkan cangkulnya di tengah sawah. Tubuhnya yang kekar bermandikan keringat terlihat legam berkilat ditimpa sinar sang surya yang menyengat. Otot-otot tubuhnya menonjol gempal ketika ia menancapkan cangkulnya ke lumpur sawah dengan sepenuh tenaga. Pemuda tegap itu adalah Anwar kekasih Ratna. Dan Ratna berjalan tenang sambil melantunkan sebuah nyanyian. Suaranya yang merdu menawan berkumandang dibawah desiran angin yang bertiup sepoi-sepoi di hamparan sawah.

"Burung elang terbang melayang, datang menyambar ayam gundul... tahukah kanda, adinda datang harap dikau meletakkan cangkul."

Anwar yang sedang mencangkul itu tiba-tiba berhenti karena merasakan sesuatu yang merdu merasuk ke dalam telinganya. Ia berdiri tegak menoleh sambil menarik senyum dan ayunan cangkulnya berhenti di awang-awang. Anwar lalu membalas nyanyian itu penuh ceria.

"Ayam putih dipatuk elang, elang mati terkena taji... kekasih hati sudahlah datang, kebetulan kakanda letih dan sunyi."

Kemudian ia meloncat ke pematang sawah dengan sigap. Ia segera mencuci tangan dan kakinya dengan air yang mengalir masuk ke dalam areal sawahnya. Lalu Anwar meraih cangkulnya yang tergeletak di tepi pematang dan tersenyum ceria menyambut kedantangan gadis si jantung hatinya.

"Ah, Ratna! Bisa saja kau membuat aku bertambah cinta kepadamu dan teruslah kau bernyanyi, sayang! Aku akan bertambah semangat mengayunkan cangkul bila kau sudi menemaniku di sini! Kebetulan aku sudah merasa lapar!" ujar Anwar menatap Ratna dalam-dalam yang telah berdiri di hadapannya dengan senyum termanis. Hari ini ia begitu cantik menawan mengenakan kain kebaya dengan rambut yang dibentuk membentuk sanggul. Hatinya bangga mempunyai gadis yang penuh perhatian kepadanya.

Lalu Anwar menggandeng tangan Ratna dengan mesra berjalan ke sebuah pohon yang rindang untuk berteduh dan membuka isi bakul yang dibawa kekasihnya. Genggaman tangan keduanya erat sekali. Mereka duduk santai di atas rumput hijau yang terhampar di bawah pohon itu untuk menyantap makanan. Sementara Ratna memijit mesra punggung tegap Anwar penuh kasih sayang. Sekali-sekali dicubitnya manja membuat Anwar menggelinjang kesakitan.

"Aku tak ingin kau terlalu keras membanting tulang, Anwar! Kekayaan mudah dicari, tetapi aku kuatir kalau-kalau kau jatuh sakit karena terlampau giat bekerja!" kata Ratna manja sambil membelai bahu kekasihnya dengan lembut.

"Ah, itu tak jadi soal! Pokoknya asal ada kau yang setiap saat memijitku seperti ini!" sahutnya sambil mengaduk-aduk air teh dalam gelas keramik dengan sendok.

"Dasar kolokan, ih!" seru Ratna mencubit pinggang Anwar dengan gemas sehingga Anwar menggelinjang kegelian. Hampir-hampir menumpahkan isi gelas yang dipegangnya. Ia membalas mencubit pipi mulus milik kekasihnya dengan gemas pula.

Ratna cemberut senang diperlakukan seperti itu. Dalam hatinya ia bahagia mempunyai kekasih seperti Anwar yang suka bercanda. Ratna lalu membelakangi Anwar sambil menekuk wajahnya.

"Aduh... jangan cemberut seperti itu, sayang." goda Anwar menatap wajah Ratna dalam-dalam.

Ratna pura-pura bersungut-sungut. Tapi tak lama kemudian mereka tertawa ceria berbarengan. Lalu Ratna duduk bersebelahan dengan Anwar bergelayut manja di bahunya. Sepertinya mereka tidak mau dipisahkan oleh siapapun. Dunia ini seolah-olah milik mereka berdua. Terasa hangat menjalar di bahu Anwar sesuatu yang menempel hangat dan lunak pada lengan kirinya. Sesuatu yang tumbuh sebagimana umumnya gadis yang sedang mekar. Seketika itu juga rasa lelah yang menghantui tubuhnya lenyap tak berbekas sama sekali.

"Ratna, semoga Allah memberkahi kita. Aku berjanji pada diriku sendiri bila panen nanti hasilnya memuaskan, aku akan datang melamar kepada ayahmu! Kita segera menikah, sayang!" bisik Anwar sambil mencium lembut kening Ratna.

"Oh, benarkah itu, Anwar!" tanya Ratna sengit.

Anwar menganggukkan kepalanya. Sinar matanya terasa lembut merasuk dalam hati Ratna.

"Aku sangat bahagia mendengarnya!" desah Ratna semakin bergelayut erat di bahu Anwar yang membelai-belai kedua pipinya.

Kemudian mereka mulai menyantap makanan yang terdapat dalam bakul di hadapan mereka. Ratna sengaja memasak sayur asem kegemaran Anwar kekasihnya. Lauk ikan asin dan sambal terasi menyemarakkan hidangan mereka hari ini. Begitu nikmatnya mereka melalap makanan sambil bercanda ria, sampai-sampai mereka tak memperhatikan keadaan di sekelilingnya.

Tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar membuyarkan suasana itu.

"Ya! Kau akan segera menikah di akhirat sana, Anwar!"

Anwar cepat menoleh mencari datangnya suara tak ramah itu. Terlihat dibelakang mereka berdua, tiga orang berdiri tegak berkacak pinggang menatap nanar kepadanya. Tiga orang itu adalah Barna, Warto dan seorang laki-laki berkepala botak dengan sepasang telinganya yang lebar. Di pergelangan tangannya terdapat gelang akar bahar. Demikian juga dengan pergelangan kakinya.

Anwar terperanjat sekali sehingga nasi yang berada di dalam mulutnya menyembur ke luar. Hatinya terbakar mendengar hinaan yang dilontarkan Barna.

"Ayo kita kepung! Cari tempat masing-masing kawan! Tapi awas jangan sampai melukai gadis itu!" teriak Barna keras sambil mencabut golok panjang yang terselip di pinggangnya.

Sementara kawan-kawannya segera mengambil posisi mengurung lawannya dengan ketat. Anwar segera meraih cangkul yang ia letakkan di dekat akar pohon-pohon itu yang menyembul ke luar dengan cepat. Sedangkan Ratna berdiri siap siaga. Matanya menatap Barna dengan penuh kebencian.

"Barna! Kau memang benar-benar manusia licik! Di mana letak kejantananmu sebagai laki-laki? Dasar anak dukun kafir!" maki Ratna dengan sengit.

"Diam!! Siapa suruh kau memilih calon suami kuli cangkul, hah! Harta bapakku cukup untuk dimakan sampai tujuh turunan!" sahut Barna menyombongkan diri. Matanya tak lepas menatap Ratna.

"Kau mengukur nilai seseorang begitu rendahnya! Tahukah kau, derajad manusia hanya dapat diukur dengan budi baiknya bukan dengan harta benda!" sambung Ratna lebih nyaring.

Mendapat jawaban yang terasa menusuk hatinya, seketika darah muda Barna mendidih naik ke ubun-ubunnya. Matanya merah saga. Nafasnya bergemuruh. Ia sakit hati dihina di depan banyak orang, terutama di hadapan Anwar saingannya.

"Persetan! Tidak ada lagi waktu buat main rayu-rayuan! Dan jangan kau mengajariku! Minggir kau!" bentak Barna menggelegar sambil mengibas-ngibaskan golok panjangnya yang teracung di atas kepalanya. Dengan satu teriakan yang melengking ia langsung menerjang Anwar dengan sepenuh tenaga.

Anwar sudah siap mengayunkan cangkulnya menghadapi serangan mereka.

"Ciaaat...!"

Anwar melejit ke atas menghindari sabetan senjata Barna yang rnenderu-deru seperti angin beliung mengarah perutnya dengan cepat.

Melihat pemimpinnya mulai melakukan serangan, Warto dan si botak itu bersiap siaga sambil menghunuskan senjatanya masing-masing. Warto berdiri agak membungkuk sambil memutar-mutarkan sepasang trisulanya dengan cepat dan si botak mengayunkan senjatanya yang berbentuk seperti buah duren dengan tali rantai besi yang panjang menimbulkan suara desingan yang menyakitkan telinga.

Pada saat Anwar akan menjejakkan kakinya di tanah, kembali sabetan golok panjang Barna meluncur ke arahnya, maka terpaksa ia harus bersalto di udara dan langsung melayang menerjang lawannya tepat berada di depannya yang sedang menunggu. Tubuhnya dengan cepat meliuk-liuk dan membabatkan cangkulnya menghantam si botak yang tidak sempat mengelak dengan sekuat tenaga. Terdengar jeritan melengking membelah langit disusul dengan ambruknya tubuh pendek gemuk dengan punggung yang hampir terbelah dua menimbulkan suara yang keras bagai gunung runtuh. Si botak berkelejatan seperti seekor ayam yang dipotong kemudian meregang sejenak dan diam untuk selama-lamanya. Darah segar berlumuran membasahi rumput di sekitarnya. Barna menjadi kalap bukan main melihat temannya tewas secara mengerikan terkena babatan cangkul Anwar. Tanpa bicara lagi ia lantas merangsak Anwar dengan cepat sekali. Golok panjangnya berkelebat ke sana ke mari membentuk sebuah gulungan seperti ombak yang datang menghantam karang di tepi pantai. Sinar kuning memantul akibat kelebatan senjatanya yang begitu cepat.

Anwar meliuk-liukkan tubuhnya di udara sambil berusaha mencari kelemahan lawannya. Pertahanan Barna cukup ketat sehingga ayunan cangkulnya tidak dapat menembusnya. Anwar hanya dapat menghindar tanpa dapat membalas serangan lawannya yang bertubi-tubi. Dengan satu ayunan yang kuat, tiba-tiba cangkulnya beradu keras golok panjang Barna ketika keduanya meloncat secara bersamaan sehingga menimbulkan percikan api di udara. Anwar merasakan tangan kanannya
kesemutan. Tenaga dalamnya kalah setingkat dibandingkan Barna.

Mereka berdua bertarung sudah menghabiskan sekitar tiga puluh jurus silat, tetapi keadaannya masih seimbang. Masing-masing saling mendesak dengan mengeluarkan semua ilmu kepandaian yang mereka dapat dari gurunya. Tapi itu tak berselang lama. Terlihat pertarungan itu mulai pincang. Anwar mulai kewalahan menghadapi serangan Barna yang semakin bertubi-tubi.

Sementara itu melihat kekasihnya terdesak, Ratna segera melompat untuk turut membantu. Tapi tiba-tiba ia hadang Warto yang menyeringai sinis sambil menyilangkan kedua trisula di dadanya. Giginya yang kehitam-hitaman terlihat menjijikan saat ia tertawa.

"Ha ha ha ha ha! Kau benar-benar bandel, Ratna! Jangan turut campur urusan laki-laki. Aku takut melukaimu!"

Ratna tak tahan lagi membendung amarahnya. Lalu dengan sigap ia meloncat menyerang Warto yang segera menggeser tubuhnya sedikit, maka serangan Ratna hanya melukai tempat kosong dengan sia-sia. Gerakannya yang kurang terarah dan kurang lincah itu disebabkan karena ia mengenakan kain kebaya sebagaimana layaknya seorang wanita dalam keadaan sehari-hari.

Ratna hanya mengandalkan jurus tengan kosongnya saja tanpa dapat melancarkan tendangan. Warto cuma mengelak ke kanan dan ke kiri menghindari pukulan lawannya tanpa membalas serangan, karena ia memang ditugaskan agar tidak melukai Ratna.

Sementara itu di luar dugaan, Barna melesat cepat melintas di atas kepala Anwar sambil membabatkan golok panjangnya hingga memutuskan gagang cangkul yang dipegangnya mencoba melindungi batang lehernya sendiri dengan cangkul itu. Seketika mata cangkul itu terpelanting jauh dari Anwar. Ia lalu melempar potongan gagang cangkul itu secara mendadak menghunjam ke arah Barna yang sudah berdiri siap menyabet punggungnya. Dengan satu gerakan yang manis Barna menyabetkan senjatanya untuk menangkis potongan gagang cangkul itu sehingga menjadi potongan-potongan pendek dan berpelantingan jatuh di atas tanah.

Anwar terpana melihat kehebatan permainan golok panjang milik Barna. Ia benar-benar terpaku. Melihat semua itu Barna segera mengambil kesempatan emas itu dengan satu gerakan cepat langsung meloncat menyerang Anwar secara mendadak.

"Nah, kini terimalah ajalmu, monyet sawah! Akhirnya kau akan tahu siapa aku ! Hiyaaat..!" teriakannya menggelegar merobek-robek udara. Golok panjang di tangan kanannya mengacung tinggi siap menebas kepala Anwar yang masih diam terpaku. Ia tak sempat lagi mengelak. Kedua kakinya seakan-akan tak dapat digerakkan untuk menghindar.

"Allahu Akbar!" ucapannya pasrah.

Di saat yang sama, Warto berhasil mendesak Ratna yang kelihatan tenaganya mulai mengendor. Ratna terdesak mundur ke belakang menuju sebuah pohon menghindari babatan sepasang trisula Warto yang bergerak sangat cepat. Dengan satu lontaran yang kuat, Warto melempar trisulanya yang berada di tangan kanannya meluncur ke arah Ratna dan menancap pada kain kebayanya sehingga terpantek di batang pohon yang berada di belakangnya.

"Oh!" Ratna tak dapat bergerak. Tubuhnya terpaku ketat pada batang pohon itu dan Warto tertawa cengengesan melihatnya.

"Agaknya dengan cara ini aku bisa membuatmu diam. Tak usah kuatir Den Ayu, cuma baju kebayamu saja yang cacat!" ujar Warto setengah merayu sambil berkacak pinggang memperhatikan Ratna yang berusaha meronta-ronta melepaskan diri.

Ternyata trisula itu menancap cukup dalam karena diluncurkan dengan tenaga dalam yang
sangat kuat sehingga sulit bagi Ratna untuk membebaskan dirinya.

Pada detik yang sama Barna sedang melayang di udara lalu menukik siap menyambar Anwar seperti seekor burung elang yang sedang mengincar mangsanya. Dan pada detik-detik kritis itu, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat menyambar tangan Barna yang sedang mengayunkan senjatanya mengarah tempat di kepala Anwar.

"Auu....!" teriak Barna kesakitan. Golok panjangnya terpental jauh melejit ke udara lalu jatuh menancap di atas tanah. Sedangkan tubuhnya sendiri terjungkal beberapa meter ke belakang. Kemudian disusul dengan munculnya sesosok tubuh yang tak diketahui dari mana datangnya. Dengan sangat ringan, orang tersebut menapak di atas tanah langsung membentuk posisi siap-siaga menghadapi Barna yang terlentang sambil memegangi tangan kanannya yang biru bengkak akibat pukulan orang itu.

Barna menatap nanar pada orang yang berdiri dihadapannya. Seluruh wajahnya merah padam menahan rasa sakit dan amarah yang bercampur jadi satu.

"Setan! Siapakah kau? Mengapa mencampuri urusan orang lain? Jawab!" hardik Barna sambil berusaha bangun dan pasang kuda-kuda.

Sementara Anwar berdiri heran menyaksikan semua itu. Ia segera tahu bahwa orang yang menolong dirinya tak lain adalah seorang pemuda yang turut shalat berjamaah di masjid Gunung Sembung. Ia tak menyangka sama sekali bahwa pemuda pendatang ini ternyata adalah seorang jago silat yang luar biasa. Apa yang dikatakan gurunya Kiyai Subekti memang benar.

Dan Parmin tersenyum menatap benar. "Aku adalah seorang musafir pembela yang benar dan menumpas yang jahat!" sahut Parmin tenang. Tapi matanya dapat menangkap sebuah serangan seseorang yang berada di belakangnya dengan sebuah senjata trisula yang terhunus siap menghunjam punggungnya.

Tubuh Warto melayang mengancam punggung Parmin. Dengan satu gerakan yang memukau, Parmin membalikkan tubuhnya setengah jongkok lalu menjambret tubuh Warto dengan kuat.

"Ciaat!" kedua tangannya memanggul tubuh Warto yang berusaha meronta-ronta melepaskan diri. Sedangkan senjatanya hilang entah ke mana.

"Lihat, kawanmu ini bisanya cuma membokong lawan dari belakang dan tukang racun seperti pantasnya menjadi umpan buaya-buaya di sungai Pekik ini! Nah, pergilah ke sana!" teriak Parmin sambil melemparkan tubuh Warto ke dalam air sungai Pekik yang banyak dihuni buaya-buaya.

"Aaaa...!" teriak Warto menggema ke seluruh hamparan sawah. Tubuhnya melayang deras ke tengah-tengah sungai dengan posisi kepala berada di bawah.

"Tolooooong!" Warto melengking menyayat hati. Air sungai yang semula tenang, tiba-tiba menggelegak memercikkan airnya ke udara. Air sungai itu seketika berubah menjadi merah oleh darahnya sendiri. Tubuh Warto menggelepar-gelepar di bawah taring seekor buaya yang sedang kelaparan dan melahapnya dengan buas. Tangannya menggapai-gapai meminta pertolongan. Tubuhnya timbul tenggelam dipermainkan amukan buaya-buaya itu. Lalu tubuhnya hilang ke dalam air sungai Pekik meninggalkan gelembung-gelembung buih di atasnya. Satu orang kaki tangan Bergola Ijo kini telah tewas menyusul temannya yang lainnya.

Ratna menutup wajahnya tak tahan menyaksikan peristiwa yang sangat mengerikan itu. Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Anwar melihat itu langsung menghampirinya dan mencabut trisula yang memakai baju kebaya kekasihnya. Ratna lantas menjatuhkan kepalanya di dada bidang Anwar menumpahkan rasa takut yang menjalar dalam dirinya. Mereka saling berpelukan dengan erat.

Barna menyaksikan temannya tewas secara mengerikan, seketika darahnya mendidih deras. Ia menjadi kalap bukan main dan langsung menerjang Parmin secara membabi buta. Dengan mengandalkan pukulan tangan kosongnya Barna mencoba merangsak Parmin sekenanya, sehingga murid Ki Sapu Angin ini hanya dengan menggeser-geser tubuhnya mengelak dari serangan itu. Hawa nafsu membunuh yang menggebu-gebu telah menutup hati Barna sehingga setiap pukulan yang dilancarkannya selalu mengenai tempat kosong. Pada satu kesempatan, tiba-tiba Barna menjatuhkan dirinya untuk meraih golok panjangnya yang tertancap di tanah tepat berada beberapa langkah didepannya. Tetapi usaha itu kalah cepat karena Parmin sudah terlebih dahulu mengetahui siasat buruk itu. Maka dengan satu gerakan cepat tubuhnya meloncat dan menginjak tangan kanan Barna yang hendak menggapai senjatanya.

"Aaaaaow!" teriak Barna kesakitan. Tangan kanannya berderak remuk. Ia menggeliat-geliat di tanah menahan sakit yang luar biasa sambil mengurut tangannya. Sakit dan malu ia dipecundangi seperti itu, apalagi oleh orang yang tak dikenalnya sama sekali.

Parmin menyaksikan Barna sambil tetap berdiri siap siaga. "Dosamu tidak terlalu besar untuk kutangani! Kau hanya diperbudak oleh rasa dendam cinta!" kata Parmin mengingatkan.

Sebenarnya ia merasa kasihan melihat pemuda segagah Barna berbuat pengecut dalam persoalan cinta. Mungkin karena jiwa pemuda itu masih terlalu mentah dan kebetulan pula mendapat seorang guru seperti Bergola Ijo. Parmin tak perlu menyingkirkan Barna karena pemuda saingan Anwar ini tak terlibat dalam permasalahan yang dilakukan Bergola Ijo akhir-akhir ini.

"Pulanglah! Sampaikan kepada gurumu bahwa aku menunggunya di tepi sungai Pekik ini nanti malam! Jika dia benar-benar seorang jagoan, tentu akan datang menyambut tantanganku!" perintah Parmin.

Barna diam saja dan dengan perlahan-lahan ia beringsut sambil tetap memegangi tangan kanannya yang sudah lumpuh itu. Matanya menatap Parmin sejenak seakan-akan ingin menyatakan rasa terimakasih kepada Parmin yang membiarkan dirinya tetap hidup. Ia juga menoleh kepada Anwar yang berdiri di samping Ratna seperti ingin mengucapkan perasaan bersalah dan minta maaf. Namun kedua bibirnya terkatup rapat. Tetapi mereka mengerti.

Kemudian Barna berjalan terseok-seok sambil menundukkan kepalanya. Wajahnya merah padam menahan malu dipecundangi oleh seorang musafir apalagi di hadapan Ratna, gadis yang dicintainya selama ini.

Parmin memandangi punggung Barna sampai menghilang dari pandangannya. Ia bersyukur dalam hati dapat membuat Barna menyadari kekeliruannya. Lalu ia segera mendekati Anwar dan Ratna yang sedang bergandengan tangan dengan mesra. Sepasang merpati itu mengangguk hormat kepada pemuda pendatang yang telah menolong mereka. Parmin mengembangkan senyumnya menyapa mereka.

"Assalamualaikum! Anda berdua baik-baik saja, bukan?"

"Waalaiukum salam! Kami mengucapkan banyak terima kasih atas keringanan tangan anda untuk menolong jiwa kami! Dan kami sangat mengagumi anda!" ucap Anwar dengan bahasa pujian.

"Ah, itu adalah kewajiban kita menolong sesama manusia! Secara kebetulan tadi aku lewat ke sini dan melihat anda berdua dalam keadaan terdesak oleh berandal-berandal itu!" sahut Parmin merendah.

"Kami merasa senang jika anda sudi kiranya mampir ke pondok kami nanti!" sambung Anwar dengan penuh harap.

"Insya Allah! Dan terima kasih atas undangan anda kepada musafir yang hina seperti aku. Dan sudilah anda sampaikan salamku kepada Kiyai Subekti Achmad. Aku sangat mengagumi perjuangan beliau! Sampai jumpa lagi!" kata Parmin melesat hilang di balik semak-semak.

Dua sejoli itu saling berpandangan heran. Di dalam benak mereka penuh dengan berbagai macam pertanyaan. Pemuda pengembara yang selama ini tak menarik perhatiannya selama satu dua kali shalat berjamaah di masjid Gunung Sembung justru sekarang sudi mengulurkan tangannya dan berhasil menyelamatkan mereka berdua. Siapa dia sebenarnya? Dengan ilmu setinggi itu siapakah gurunya? Untuk tujuan apakah dia mengembara sampai ke Gunung Sembung ini? Rasanya mustahil kalau dia cuma hendak berziarah ke makam Sunan Gunung Jati! Mereka berdua diam sejenak.

"Eh, dia menantang guru si Barna! Mungkin dia sengaja datang dari jauh untuk menyelesaikan urusannya!" kata Ratna memecah suasana hening itu.

"Hm...boleh jadi! Tetapi siapakah guru silat si Barna itu?" tanya Anwar sambil melemparkan pandangannya ke arah hamparan sawah-sawah di depannya.

"Mungkin si Barna berguru di desa lain! Kalau dari permainan ilmu silatnya tadi, tentu gurunya sendiri bukan orang sembarangan! Setidak-tidaknya ia setingkat dengan ayahmu, Ratna!" ujar Anwar membuyarkan lamunan Ratna yang diam terpaku. Agaknya ada sesuatu hal yang membuat kekasihnya melamun. Entah apa, Anwar sendiri tidak tahu. Ia lalu menatap mata kekasihnya penuh selidik.

"Eh...iya! Tak kusangka dia menaruh dendam kepadamu, Anwar!" sahut Ratna berusaha menyembunyikan perasaannya itu. Perasaan seorang gadis yang tentunya bangga kalau dirinya sampai diperebutkan oleh pemuda-pemuda yang gagah.

Kemudian Anwar menggandeng tangan kekasihnya dengan mesra kembali ke tempat mereka tadi berteduh untuk meneruskan santapan siang. Tak terasa matahari sudah berada tepat di atas kepala mereka di tengah-tengah lengkungan langit. Sinarnya memancar sangat terik membuat tenggorokkan menjadi kering.

Ratna membenahi sisa makanan ke dalam bakulnya untuk segera pulang. Ia ingin menceritakan seluruh kejadian tadi kepada ayahnya. Sedangkan Anwar kembali menceburkan diri ke tengah sawah melanjutkan pekerjaannya mencangkul sawah dengan penuh semangat sambil bersiul-siul kecil.

Sementara itu Parmin telah kembali ke masjid Gunung Sembung untuk beristirahat dan melaksanakan shalat zuhur. Sepanjang perjalanan, hatinya tergugah memikirkan kecantikan Ratna yang hampir mirip dengan raut wajah Roijah kekasihnya. Dari mulai rambutnya yang panjang hitam legam sampai bibirnya yang tipis merekah. Hanya ada perbedaannya tentu. Roijah adalah seorang gadis yang penuh kelembutan, sedangkan Ratna agak bersifat kelaki-lakian. Ingatannya kembali melayang pada peristiwa-peristiwa lalu ketika saat pertama kali ia berjumpa dengan Roijah kekasihnya alias Si Bajing Ireng. Pada waktu itu ia menolong Roijah yang sedang terancam jiwanya di tangan pendekar botak yang berjulukan Dewa Suci Penyebar Bala. Pertemuan yang singkat itu ternyata membuat hatinya terpateri kepada anak gadis kepala desa Kandang Haur itu dan membuat dirinya tidak dapat mencintai gadis lain.

Parmin tersenyum-senyum sendirian. Karena terbuai oleh lamunan indahnya, tak terasa dirinya telah sampai di depan pintu gerbang masjid Gunung Sembung. Parmin tersentak kaget lalu segera bergegas menuju ke serambi masjid untuk mengambil air wudhu. Wajahnya terasa segar terkena siraman air yang memancur dari guci keramik itu. Pikirannya kembali menjadi jernih. Di dalam shalatnya ia berdoa mohon petunjuk dan kekuatan kepada Allah untuk memusnahkan Sang Angkara Murka yang telah menyebarkan ajaran-ajaran kafir dan telah menimbulkan serangkaian pembunuhan di kawasan Gunung Sembung dan Gunung Jati. Dan seusai melalukan shalat zuhur, Parmin merebahkan dirinya beristirahat untuk memulihkan tenaganya dalam menghadapi pertarungan nanti malam.

***

Hari mulai malam. Bulan purnama memancarkan sinarnya yang keemasan menerangi seluruh jagat raya. Sinarnya memantul ke permukaan air sungai Pekik yang begitu tenang tak beriak, namun di balik ketenangan itu tersimpan sesuatu misteri. Desiran angin berhembus pelan membuat suasana malam itu semakin indah. Suara serangga-serangga malam berkumandang dengan riuhnya berbaur dengan suara nyanyian kodok-kodok sawah yang bersahut-sahutan. Gemerisik batang-batang padi yang saling bergesekan di tiup angin yang kadang-kadang berhembus dengan kencang terdengar seperti iringan gamelan di malam hari.

Tiba-tiba suara riuh serangga-serangga malam terhenti karena permukaan air sungai Pekik yang tadinya tenang menghanyutkan seketika beriak-riak. Terlihat menyembul berpuluh-puluh ekor buaya cukup besar, berjajar seperti potongan balok-balok kayu yang mengapung-apung di permukaan air. Hanya sepasang matanya saja yang memancarkan cahaya berwarna kuning terlihat jelas sehingga dari jauh seolah-olah berpuluh-puluh kunang-kunang sedang beterbangan di permukaan air sungai Pekik.

Pemandangan malam itu sesuai dengan satu bait syair lagu yang menyatakan, "Terang bulan terang di kali, buaya timbul disangka mati."

Buaya-buaya itu benar-benar sedang menikmati keindahan sinar bulan purnama yang memberikan rangsangan bagi mereka untuk melakukan perkawinan sehingga mereka berperilaku sangat ganas. Dan malam itu merupakan malam yang sangat indah bagi buaya-buaya penghuni sungai Pekik.

Sementara dari kejauhan terlihat sesosok tubuh berdiri tegak di tepian sungai Pekik memandang lepas ke permukaan air yang mengalir beriak-riak dihempas gerakan seekor buaya-buaya yang ada di dalamnya. Sebuah pohon yang besar dan rindang dengan batangnya menjorok ke tengah-tengah sungai itu melindungi dirinya dari pancaran bulan purnama. Ia adalah Parmin, seorang musafir pembela kebenaran dan keadilan.

"Aku telah menunggunya di sini sejak tadi! Tetapi belum juga tampak batang hidung manusia kafir itu! Kalau begitu ia memang benar-benar seorang pengecut yang hanya berani membunuh dari belakang!" umpat orang-orang Parmin dalam hati.

Tetapi matanya tetap memantau seluruh penjuru di sekitar sungai Pekik itu. Tak berapa lama kemudian, di seberang sungai tempatnya berdiri terlihat kelebatan sebuah bayangan hijau dan langsung berpijak di atas tanah dengan mantap seperti sebuah meteor yang jatuh ke bumi. Biasan sinar hijau itu masih dapat terlihat walaupun sumber cahayanya sudah sampai di tanah menandakan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu sudah sempurna.

"Nah, itulah dia! Dan kuharap ini adalah malam yang terakhir aku menginap di desa Gunung Sembung!" gumam Parmin menatap lurus-lurus ke seberang sungai Pekik di mana Sang Bergola Ijo berdiri tegak sambil berkacak pinggang.

Tubuh orang itu terlihat dari jauh menyala-nyala seperti sebongkah bara api berwarna hijau. Mereka berdua saling bertatapan tak bergerak sedikitpun. Keduanya masing-masing memusatkan pikiran dan tenaganya. Tercipta suasana yang hening tapi menegangkan. Masing-masing belum mau membuka serangan.

Tiba-tiba terdengar suara berat parau menggelegar merobek-robek kesunyian malam itu.

"Ha ha ha ha ha! Janganlah kau merasa bangga dapat mengalahkan muridku Barna yang tolol itu, hai monyet kecil! Aku telah bertualang ke seluruh benua Asia belum pernah kutemui manusia bermulut besar seperti kau!" teriak Bergola Ijo dengan lantang. Suaranya menggetarkan pohon-pohon di sekitar tempat itu.

Seketika juga suara nyanyian kodok-kodok di sawah terhenti. Daun-daun kering berguguran dari cabangnya tak sanggup menahan getaran yang ditimbulkan oleh suara itu. Betapa dasyat tenaga dalam yang dimiliki Bergola Ijo. Gaungnya terasa menusuk-nusuk telinga Parmin. Tapi ia segera mengatur nafasnya dengan cepat meredam kekuatan gaung itu. Matanya terpejam dengan kedua telapak tangannya merapat keras di depan dada. Kepalanya agak tertunduk. Tak lama kemudian Parmin kembali berdiri tegak dan membuka matanya perlahan-lahan.

"Sejak lahir ke dunia akupun baru menemui seorang jin yang doyan makan nasi seperti manusia! Aku kagum dengan segala tipu muslihatmu sebagai seorang penjilat penjajah bangsaku, hai Tuhan gadungan yang gundul!" ledek Parmin dengan sengit. "Dan jangan kau coba-coba melawan kekuasaan Ilahi! Lawanlah aku, makhluknya terlebih dahulu!" lanjutnya menantang Bergola Ijo.

"Ha ha ha ha ha! Bacotmu ternyata sama lebarnya dengan moncong-moncong buaya ini! Dan tahukah kau, bahwa sebentar lagi buaya-buaya ini akan berpesta pora memperebutkan bangkaimu?" sahut Bergola Ijo menggelegar sambil menunjuk-nunjuk buaya-buaya yang tetap mengambang tenang hilir mudik berenang tanpa merasa terusik dengan kehadiran kedua pendekar yang saling melancarkan perang saraf dari tepi sungai yang berlawanan.

Parmin membalas ancaman lawannya dengan sindiran yang tajam. "Bangkaiku atau bangkai busukmu?"

Seketika wajah Bergola Ijo berubah menjadi merah menyala, matanya nanar. Tangan kanannya yang bersenjatakan sebuah pengait bergetar hebat. Giginya yang besar-besar bergemeretuk keras. Dan secara tiba-tiba dengan satu teriakan yang melengking melumpuhkan urat-urat saraf dan memekakan telinga bagi yang mendengarnya, melompat ke tengah-tengah sungai Pekik untuk menerjang Parmin. Tubuhnya besar dan tinggi itu meluncur cepat menggunakan punggung buaya-buaya itu sebagai batu-batu loncatan untuk menyeberang. Tangan kirinya menyiku di dada dan tangan kanannya yang bersenjata pengait mengacung tinggi siap merobek-robek tubuh lawannya.

Parmin menahan nafas siap dengan jurus silatnya. Bergola Ijo membabatkan senjatanya sekuat tenaga ke arah leher Parmin yang secara bersamaan melenting ke atas untuk mengelak sehingga senjata Bergola Ijo hanya mengenai batang pohon di belakang Parmin dan merobek kulit batang pohon tersebut.

Parmin melejit sambil bersalto ke udara ke tengah-tengah sungai Pekik. Sebelum kakinya menginjak di punggung salah satu buaya Bergola Ijo kembali menyerangnya dengan ganas sambil mengayun-ayunkan senjatanya. Ia segera melesat lagi sambil mencabut goloknya yang terselip di pinggangnya untuk menangkis kilatan senjata lawannya yang bertubi-tubi mencerca tubuhnya.

"Trang!" terdengar suara nyaring berdenting dari dua buah senjata logam yang berisi dengan tenaga dalam masing-masing. Akibatnya mereka berdua terjungkal dan secara berbarengan membuat gerakan salto ke belakang mengimbangi tubuh agar tidak jatuh ke sungai kembali ke tempatnya semula berseberangan.

Masing-masing menapakkan kakinya dengan menatap di tanah. Bergola Ijo memasang jurus-jurusnya lebih handal dan sementara Parmin di seberangnya sedang memasang kuda-kuda sambil memutar-mutarkan goloknya. Mereka menghimpun tenaga dalam. Lalu keduanya melesat bersamaan ke tengah-tengah dan seketika terjadi bentrokan di udara disusul dengan terdengarnya bunyi berdenting dua senjata tajam yang berbenturan menimbulkan percikan bunga-bunga api. Tubuh keduanya melesat ke di atas punggung buaya. Dari sela bibir mereka meleleh darah segar. Tenaga dalam mereka ternyata setara.

Sementara dari jauh di balik semak-semak mengintai sepasang mata liar menyaksikan pertarungan itu. Berkali-kali ia berdecak kagum terhadap kedua pendekar itu. Sekali-sekali ia meringis kesakitan karena udara yang bertiup malam itu sangat dingin menusuk-nusuk luka yang dideritanya. Pergelangan tangan kanannya terlihat di keremangan sinar bulan, agak kehitaman-hitaman seperti dilumuri oleh ramuan obat-obatan. Ia adalah Barna murid Sang Bergola Ijo.

Telah berpuluh-puluh jurus mereka sudah kerahkan dalam pertarungan itu tetapi masing-masing belum berhasil mendesak lawannya. Tubuh keduanya basah bermandikan keringat. Mereka masih seimbang. Sekarang keduanya telah berdiri tegak berseberangan. Bergola Ijo mengangkat senjata ke atas kepalanya perlahan-lahan sambil menggeram dengan tangan kirinya menyiku di depan dadanya. Sedangkan Parmin memusatkan pikirannya untuk mengerahkan jurus andalannya yakni jurus "Hening Cipta" dengan golok yang menyilang di dadanya. Matanya terpejam.

Sesaat kemudian mereka berdua melesat berbarengan ke tengah-tengah sungai dan bentrok di udara. Maka pada kesempatan itulah saat yang paling baik untuk membabatkan senjatanya masing-masing.

"Hiyaaat...!"

Teriak keduanya menggema ke seluruh tempat itu. Tiba-tiba terdengar jerit yang menyeramkan dari sosok tubuh tinggi besar berwarna hijau yang meluncur ke permukaan sungai Pekik.

"Aaaaaaa...!"

Air sungai Pekik memercik tinggi ke udara tatkala tubuh Bergola Ijo amblas ke dalamnya, yang langsung disambut oleh para penghuni sungai tersebut. Terdengar bunyi gemeretak taring-taring tajam buaya mencabik-cabik tubuh itu dengan buas menimbulkan riakan air yang seketika menjadi merah. Dalam sekejap tubuh Bergola Ijo lenyap berkeping-keping masuk ke dalam perut buaya-buaya sungai Pekik yang selalu tidak pernah merasa kenyang.

Tak lama kemudian permukaan air sungai itu kembali tenang seperti sedia kala dan Parmin menjejakkan kakinya dengan mantap di tepi sungai sambil menyarungkan goloknya yang berlumuran darah Bergola Ijo. Rupanya pada saat keduanya perpapasan di udara tadi, golok Parmin terlebih dulu bersarang dan membabat perut Bergola Ijo hingga seluruh isi perutnya terburai keluar tanpa sempat mengadakan serangan balasan.

"Alhamdulillah! Akhirnya aku berhasil memusnahkan setan laknat itu!" ucap Parmin sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangannya merasa bersyukur.

Tiba-tiba ia tersentak kaget mendengar suara manusia berkata pelan memecah keheningan.

"Allahu Akbar! Tuhan telah menumpas orang-orang kafir dan murtad melalui perantara seorang musafir muda yang gagah perkasa. Kami mengucapkan syukur yang sebesar-besarnya kepadamu, ya Allah!! Amin Ya Robal Alamin!"

Parmin menoleh mencari datangnya suara itu. Ternyata di belakangnya telah berdiri Kiyai Subekti Achmad beserta para ulama lainnya yang menatapnya dengan penuh rasa kagum dan suka-cita. Wajah mereka penuh keceriaan.

Kemudian Kiyai Subekti Achmad melangkah ke depan dan berdiri berhadapan dengan Parmin. Sepasang bola matanya berkaca-kaca.

"Ternyata mata tuaku yang sudah rabun ini tak menduga adanya penipuan yang direncanakan untuk menghancurkan keyakinan terhadap ajaran Allah, yang terjadi di sekitarku! Kini kami tahu semua persoalan ini dan kami telah menyaksikan pertarungan dahsyat tadi! Kami sangat berterima kasih dan mengagumimu, pendekar muda!" kata Kiyai Subekti sambil memeluk tubuh Parmin erat-erat, airmatanya berlinang mengalir di pipinya dan jatuh menetes di bahu Parmin yang juga turut merasa haru.

Kiyai Subekti lalu melepaskan pelukannya dan kembali menatap seluruh wajah Parmin dalam-dalam. Senyumnya mengembang sambil meremas bahu murid Ki Sapu Angin itu kuat-kuat. Parmin merasa risih di perlakukan terlalu istimewa oleh Kiyai Subekti Achmad, seorang ulama besar yang terkenal ke seluruh pelosok tanah Cirebon.

Kemudian para ulama lainnya secara bergantian memeluk Parmin mengucapkan selamat dan turut berbangga atas kemenangan yang besar itu.

Sementara awan di langit mulai bergerak sehingga bulan tampak timbul tenggelam di angkasa. Disusul dengan tiupan angin yang berhembus kencang menyapu daerah itu seakan-akan turut mengucapkan selamat kepada Parmin dengan tertumpasnya Sang Angkara Murka. Lalu mereka berjalan beriringan meninggalkan tempat itu menuju ke tempat kediaman Kiyai Subekti Achmad, sebuah madrasah yang telah kesohor di seluruh pelosok tanah Cirebon dan seantero tanah Pasundan.

Hati mereka terasa lega karena salah satu rintangan yang menghalangi perjuangan agama Islam telah musnah.

Di lain tempat tak jauh dari tempat itu, muncul dari balik semaksemak seorang pemuda menatap mereka sampai menghilang di kegelapan malam. Perlahan-lahan Barna mengayunkan langkahnya menuju ketepi sungai Pekik. Ia berdiri tegak memandang tempat di mana guru Bergola Ijo tewas di makan buaya-buaya sungai Pekik, matanya terus memandangi air sungai itu dengan nanar. Tak terasa air matanya meleleh jatuh menetes ke atas tanah. Ia merasa kehilangan orang yang membimbingnya hidup walaupun gurunya merupakan musuh bagi para ulama di daerah Gunung Sembung dan Gunung Jati. Tubuhnya bergetar hebat. Di dalam hatinya mengalir darah dendam kepada Parmin. Ia bersumpah di depan sungai Pekik, pada suatu saat membalas sakit hati dan kematian gurunya terhadap murid Ki Sapu Angin. Dendam yang sangat besar yang tengah berkecamuk di dalam dirinya membuat rasa sakit di pergelangan tangan kanannya seketika hilang tak berbekas.

Setelah cukup lama Barna berdiam diri sambil memandang lepas ke tengah-tengah sungai Pekik, perlahan-lahan langkahnya mengayun meninggalkan tempat itu pergi entah kemana. Seiring dengan suara adzan yang berkumandang dari masjid Gunung Sembung menggema ke seluruh pelosok.

Keesokkan harinya, Kiyai Subekti Achmad beserta para alim ulama lainnya dan sejumlah penduduk desa Gunung Sembung, mengadakan acara sederhana sebagai tanda syukur atas kemenangan umat Islam dalam menghadapi kekuatan Sang Kafir. Di dalam ruangan madrasah ditengah-tengah mereka, terhidang nasi tumpeng lengkap dengan segala lauk-pauknya dan kue-kue khas daerah itu. Parmin duduk bersebelahan dengan Kiyai Subekti Achmad sebagai tamu terhormat. Sebenarnya ia malu diperlakukan seperti itu, tapi demi menghormati Kiyai Subekti terpaksa ia lakukan semua itu.

Tiba-tiba suasana dalam madrasah yang tadinya agak riuh, berubah menjadi hening ketika Kiyai Subekti Achmad terbatuk-batuk memulai acara tersebut. "Kami sebagai orang tertua di Gunung Sembung ini menyatakan penghargaan setinggi-tingginya atas jasa-jasa anda sekalian dalam perjuangan agama Islam! Terutama kepada Parmin sebagai wakil dari kaum muda pendekar bangsa yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap agama, bangsa dan tanah air tercinta! Maka dengan ini perkenankanlah kami memberikan gelar atau nama kependekaran baginya yakni JAKA SEMBUNG!" kata Kiyai Subekti Achmad penuh semangat.

Ia lalu memerintahkan seorang ulama untuk membawakan sebuah kotak kayu jati yang berukir ke hadapannya. Kiyai Subekti perlahan-lahan membuka kotak itu dan mengambil sebuah kalung yang terletak di dalamnya, lantas berdiri diikuti oleh para ulama lainnya dan sejumlah penduduk menyaksikan Kiyai Subekti yang tengah berhadapan dengan Parmin.

"Dan terimalah kalung yang bertuliskan kalimat syahadat ini sebagai tanda kenangan dari kami. Kalung ini adalah harta yang paling berharga yang kami punyai! Dahulu kalung ini adalah hadiah dari Sunan Gunung Jati kepada kakekku karena jasa beliau dalam penyebaran agama Islam!" kata Kiyai Subekti Achmad sambil menyematkan kalung itu di leher Parmin yang tak kuasa menolaknya.

Peristiwa itu terasa sangat sakral. Kemudian Kiyai Subekti memeluk Parmin erat-erat diikuti oleh para ulama lainnya yang hadir di sana. Dan acara selanjutnya ditutup dengan pembacaan doa oleh salah seorang ulama penuh kekusukan.

Selesai memanjatkan doa, secara serempak mereka menyantap hidangan yang tersedia sambil berbincang-bincang penuh suka-cita. Suasana gembira menyelimuti madrasah Kiyai Subekti Achmad. Dan pada hari itu juga rakyat desa Gunung Sembung mengantarkan kepergian Parmin yang sekarang bergelar Jaka Sembung dengan penuh keharuan yang mendalam. Mereka berbondong-bondong melepas Jaka Sembung sampai di perbatasan desa. Banyak di antara mereka yang mengucurkan air mata menghadapi perpisahan tersebut, tak terkecuali Ratna puteri tunggal Kiyai Subekti Achmad. Gadis pendekar yang cantik itu mengusap air matanya dengan sehelai sapu tangan. Sementara pemuda idamannya berdiri di sampingnya memandang kepergian Parmin sampai menghilang di balik pepohonan di kelokan jalan.

"Dia layak mendapat penghargaan dan nama julukan Jaka Sembung itu!" ujar Anwar memancing perasaan Ratna.

"Ya, dia seorang pemuda yang gagah perkasa. Kita sangat merasa kehilangan atas kepergiannya. Andai saja agak lebih lama dia menetap bersama kita..." jawab Ratna tertahan.

"Kita...?" tukas Anwar dengan nada agak cemburu. Agaknya kehadiran Parmin, murid tunggal Ki Sapu Angin di Gunung Sembung, diam-diam membuat murid Kiyai Subekti itu merasa takut kekasihnya sampai jatuh hati.

"Ya, kita! Aku, kau dan seluruh masyarakat di daerah Gunung Jati dan Gunung Sembung ini!" jawab Ratna mengejutkan lamunan Anwar.

"Bukan kau?" kembali Anwar bertanya karena penasaran.

"Heh, kau tak usah cemburu, sayang! Parmin bukan jenis pemuda mata keranjang yang tega merebut kekasih temannya sendiri dan kalau memang aku menyukai dia, aku juga tidak mau bertepuk sebelah tangan!" jawab Ratna menggoda.

Sementara Kiyai Subekti Achmad beserta para ulama lainnya telah kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Demikian juga dengan para penduduk desa Gunung Sembung. Anwar dan Ratna masih berdiri di antara yang mulai melangkah. Orang-orang pulang satu-persatu. Agaknya perpisahan itu menimbulkan hikmah yang sangat besar di antara mereka.

SEKIAN