Jaka Sembung 9 - Membabat Kyai Murtad(3)

Waktu terus berputar membawa irama kehidupan di Desa Cilumus dan sekitarnya.

Parmin dengan sahabatnya, si Burung Beo, berjalan dengan tenang menyelusuri bukit-bukit kecil yang terdapat di Desa Cilumus sebelah Timur guna mencari tempat yang aman untuk mengobati dirinya sendiri yang terkena pukulan dari Kiyai Subeni.

Parmin mendapatkan sebuah pohon besar dengan daun-daunnya yang tumbuh lebat dan ranting- ranting yang menjuntai menambah rindangnya pohon itu. Ia segera bersila di bawahnya.

Dengan posisi tangan berada di kedua belah pahanya dan matanya terpejam memusatkan konsentrasi dengan jurus 'Wahyu Taqwa' suatu ilmu yang amat dahsyat dari jurus silat Gunung Sembung yang diajarkan oleh gurunya yang pertama Ki Sapu Angin. Tetapi kali ini Parmin mempergunakannya tidak untuk bertempur melawan musuh, melainkan untuk menyembuhkan luka dalamnya.

Parmin menyalurkan hawa murni dari bawah perutnya dan seketika uap putih mengepul dari ubun-ubunnya yang jelas terlihat di bawah sinar rembulan yang masuk di sela-sela dedaunan dan dada Parmin turun naik mengatur pernafasannya.

Malam pun merambat perlahan namun pasti, rembulan yang bersinar kini kian condong ke Barat membuat bayangan-bayangan memanjang dan tubuh Parmin tetap pada posisinya semula. Binatang-binatang malam telah kembali ke sarangnya dan rembulan pun telah hilang di balik bukit.

Sinar mentari pagi telah tersembul dari ufuk Timur dan semburat dengan sinar emasnya menerangi ke seluruh mayapada ini.

Burung-burung bernyanyi bersenda gurau beterbangan kian ke mari serta ayam jantan yang berkokok saling bersahut-sahutan menambah suasana menjadi terasa bergairah dalam menyongsong datangnya hari baru. Sinar matahari pagi menembus dari sela-sela dedaunan menyinari wajah Parmin dan seketika membuka matanya sambil menghela napas dalam-dalam menghirup udara pagi yang menyegarkan.

Embun pagi telah menguap dan Parmin segera meninggalkan tempat tersebut dengan keadaan tubuhnya yang segar bugar setelah ia bersemadi semalam suntuk. Langkahnya yang pasti menyelusuri tepian sungai itu dengan tujuan kembali ke pesantren milik Kiyai Subeni.

Parmin berjalan sambil menikmati keindahan alam di sekitarnya sementara di dekatnya air sungai mengalir dengan tenangnya. Parmin terus mengayunkan langkahnya, akan tetapi segera berhenti karena naluri kependekarannya mengatakan ada sesuatu yang tak beres berada di sekitarnya.

Setelah mengamati keadaan sekitarnya dengan sorot matanya yang tajam sambil mengerahkan ilmu 'Menyatukan Sukma' ia melangkah dengan penuh kewaspadaan.

Baru saja Parmin melangkahkan kakinya, tiba-tiba tanah yang di hadapannya meledak seketika seperti terkena dinamit dan dengan segera Parmin bersalto beberapa kali ke belakang.

“Bush! Bush!”

Suara itu menggelegar memecahkan suasana di pagi hari membuat burung-burung beterbangan dan tanah yang terkena benda tersebut menjadi berlubang dan debu-debu pun beterbangan ke sana ke mari.

Dengan cekatan Parmin menghindari setiap serangan yang mengarah ke tubuhnya dan setiap kali benda itu mengenai tempat kosong.

Senjata yang menyerang Parmin itu ternyata berbentuk bundar seperti bola terbuat dari logam keras berduri runcing-runcing dan dikendalikan oleh rantai yang kuat dan panjang sehingga desiran angin yang ditimbulkan sangat kuat dan kencang membuat daun-daun kering beterbangan dan berguguran terkena hempasan anginnya.

Parmin baru ingat akan benda yang menyerangnya yang tak lain adalah kepunyaan seorang dari negeri Hindustan yang bernama Goga Khan dengan ilmu silat tinggi dan pernah bertarung dengannya beberapa bulan yang lalu, ketika Parmin dalam perjalanan menuju Desa Cilumus. Ketika itu Goga Khan terkena golok pendek Parmin yang menggores kulit batok kepalanya dan Goga Khan berjanji akan kembali mencari Parmin untuk membalas kematian kakaknya.

Kini kembali Parmin menghadapi senjata yang dahsyat itu dan dimainkan dengan sangat terampil dan cekatan oleh orang yang berilmu silat tinggi dengan tenaga dalam yang sudah sempurna tingkatnya. Namun dengan ketenangan yang dimilikinya dan ilmu silat Gunung Sembung yang sudah menjadi darah dagingnya, ia hadapi senjata maut Goga Khan dengan tenangnya.

Sementara itu suara berisik pertarungan telah membuat makhluk penghuni sungai mulai bermunculan. Belasan ekor buaya mengangakan moncongnya siap melahap mangsa yang terjerumus ke dalam air.

Tiba-tiba tubuh Parmin meletik ke udara menghindari senjata maut itu dan kemudian dengan gerakan yang sangat ringan seperti kapas, tubuhnya membuat gerakan bersalto beberapa kali dan ia menggunakan punggung buaya-buaya itu sebagai jembatan penyeberangan. Akibatnya adalah.......

“Crot! Crot!”

Suara batok kepala buaya yang pecah terkena senjata maut itu dan darah pun segera mewarnai air sungai. Terhindarlah Parmin dari serangan tersebut, sebaliknya bagi buaya-buaya yang terluka dan berdarah mengundang teman-temannya yang kelaparan dan dengan seketika tubuh kawannya yang sudah tak berdaya lagi menjadi bahan rebutan untuk dimangsa dan air pun berubah menjadi merah berbuih-buih dengan gejolak air yang bergulung-gulung menandai pesta pora binatang yang ganas itu.

Tubuh Parmin yang masih melayang di udara terus dikejar oleh senjata yang dahsyat itu yang bagaikan mempunyai mata mengikuti ke mana Parmin bergerak dan selalu senjata itu mengenai tempat kosong membuat orang yang menyerangnya menjadi semakin marah. Parmin dengan gesit terus menghindar dengan penuh perhitungan.

Gulungan-gulungan sinar dari putaran senjata maut itu terus mengurung tubuh Parmin hingga Parmin menjadi terdesak. Tetapi dengan ilmu silat tinggi yang diwariskan oleh gurunya, Ki Sapu Angin sampai saat ini nyawanya masih selamat dan tubuhnya melentik ke sana ke mari bagaikan seekor udang menerobos celah-celah sinar tersebut.

Baru saja kakinya menyentuh tepi kali, kembali bola logam berduri itu menyerangnya bertubi-tubi dan tubuh Parmin terpaksa kembali melompat tinggi sambil menyabetkan tongkat besi beraninya.

“Trang!”

Suara keras yang ditimbulkan oleh beradunya dua senjata yang telah diisi dengan tenaga dalam itu sehingga menimbulkan bunga-bunga api disusul dengan melayangnya tubuh Parmin ke belakang sambil bersalto dua kali dan mendarat dengan ringan pada sebuah batu besar dengan mantapnya. Sedangkan senjata berduri itu terpental kembali menuju ke arah sang pemilik, dengan cepat mengarah batang leher tuannya tanpa terkendali.

“Siing!”

Senjata maut itu bagaikan anak panah terlepas dari busur mengancam nyawanya. Tetapi dengan kejelian matanya Goga Khan dengan cepat menundukkan kepalanya sehingga senjata mautnya lewat di atas kepalanya sendiri dan menghantam pohon besar sampai terporak poranda.

Duapuluh jurus, tigapuluh jurus hingga limapuluh jurus pertempuran itu terlihat masih seimbang walau telah mengerahkan seluruh kemampuan masing-masing untuk saling menjatuhkan. Desiran angin yang ditimbulkan oleh senjata maut Goga Khan membuat daun-daun kering serta debu-debu beterbangan menutupi pandangan mata Parmin.

Parmin alias Jaka Sembung sambil berkelit memutar tongkatnya dengan cepat sehingga tubuhnya terlindung dari serangan tersebut. Akan tetapi senjata maut itu terus mencecar tubuhnya di sela-sela gulungan debu yang menutupi pandangan dengan dahsyatnya membuat Parmin pontang panting.

“Ha... ha… ha..... ha... ha….! Kali ini kau takkan bisa menghindari sapu jagatku, Gembel busuk!!!” bentak Goga Khan keras dengan senyum sinis sambil memutar senjatanya lebih cepat sehingga menimbulkan suara angin ribut membuat ranting dan debu serta daun-daun kering beterbangan bagai diserang oleh angin beliung.

“Dibandingkan dengan beberapa waktu yang lalu senjata maut ini sekarang lebih dahsyat lagi keampuhannya! Angin sambarannya menimbulkan hawa dingin dan panas!” gumam Parmin kagum dengan sorot mata tajam mengikuti ke mana arah bola logam berduri itu bergerak.

“Hiiyaaat!!” teriak Parmin keras sambil melompat tinggi menghindari senjata maut itu yang mengarah ke perutnya sambil bersalto beberapa kali dan mendarat tepat, tanpa disadari di pinggir batu cadas dan di bawahnya telah siap menanti moncong- moncong buaya yang kelaparan.

“Ha....... ha....... ha.......! Mau lari ke mana kau, Tikus busuk?” Terdengar bentakan keras Goga Khan dengan bibir mencibir sinis melihat lawannya berdiri di mulut jurang dan dengan cepat sekali memutar senjatanya mengurung Parmin. Hawa panas dan dingin yang ditimbulkan senjata tersebut membuat Parmin segera mengeluarkan jurus andalannya.

“Senjatamu memang aneh dalam dunia persilatan! Tetapi janganlah kau tertawa dulu, Sobat!” gumam Parmin dalam hati sambil memasang kuda-kuda dan memusatkan konsentrasinya membuat jurus andalannya dari ilmu silat Gunung Sembung yang dinamakan jurus 'Wahyu Taqwa', jurus pilihan antara hidup dan mati.

“Bismillah.......!” Tubuh Parmin berkelebat menembus lingkaran berduri yang amat dahsyat itu langsung mengancam batok kepala yang botak dari pendekar Hindustan itu.

Dengan gerakan cepat bagaikan anak panah melesat dari busur, tubuh Parmin telah berada tepat di atas kepala Goga Khan yang tak menduga akan datang serangan yang demikian cepatnya. Sedetik kemudian golok pendek Parmin yang tajamnya seperti pisau cukur itu membelah batok kepala belakang Goga Khan.

“Sret!”

“Ach!!”

Suara tertahan yang keluar dari mulut Goga Khan dengan luka di kepala dan darah serta otaknya keluar membasahi punggungnya sehingga darah yang terburai itu mengguyur tubuhnya dan Goga Khan menjadi bergoyang tak sanggup menguasai keseimbangan tubuhnya. Parmin sambil bersalto beberapa kali dengan ujung tongkat besi beraninya menyontek senjata Goga Khan yang sedang meluncur tak terkendali itu.

“Tring!”

Ujung tongkat Parmin menghantam senjata maut Goga Khan dan kini arahnya menuju tubuh Goga Khan yang sedang menahan sakit luar biasa dengan kedua tangannya menutupi luka yang terus mengeluarkan darah segar. Senjata mautnya yang diterpa ujung tongkat Parmin itu tepat mengenai perutnya dan tubuhnya terpental jauh ke tengah kali dengan isi perut berhamburan keluar dan tubuh Goga Khan langsung disambut oleh moncong-moncong buaya yang ganas dan kelaparan.

“Byuur!”

Tubuh Goga Khan tercebur di air kali dan percikan-percikan air kali tersebut seketika berwarna merah akibat darah luka Goga Khan yang segera mengundang penghuni sungai yang sudah siap menunggu.

Pekikan tertahan itu sekejap mata lenyap bersama dengan gemeretaknya taring-taring tajam yang berpuluh-puluh jumlahnya merobek-robek tubuh Goga Khan yang tinggi besar tanpa mengenal ampun sehingga air pun berubah menjadi merah.

Dari atas sebuah batu besar Parmin memperhatikan tubuh Goga Khan yang lenyap dalam gumulan binatang reptil yang mengerikan itu.

“Akhirnya kau menyusul adikmu dengan kematian yang sama!” gumam Parmin dalam hati dan ia teringat kembali beberapa tahun yang lalu, di sebuah tempat di mana Parmin pernah bentrok dengan adiknya Goga Khan, dan adiknya pun mati dengan cara yang dialami kakaknya.

***

5

Sementara itu si Tiga Melati sedang berlari-lari di tengah-tengah dataran luas berbatu dalam udara yang cukup panas sehingga peluh di dahi mereka terlihat jelas berbutir-butir dan sekali-sekali mereka hapus dengan telapak tangan agar pandangannya tidak terganggu.

Pada sebuah tikungan mereka dihadang oleh dua orang yang berwajah seram dan bengis dengan mata yang memancarkan nafsu membunuh. Si Tiga Melati memperlambat larinya dan berhenti di hadapan dua orang tersebut dengan pandangan penuh kewaspadaan.

“Berhenti!! katakan di mana kau sembunyikan pendekar Sembung itu, hah?!” bentak salah seorang dari mereka yang bertampang seram dengan codet sepanjang jari tengah di sebelah pipi kiri dan memiliki ekspresi wajah yang sangat kaku sehingga di waktu bicara bibirnya seperti tidak bergerak.

Si Tiga Melati mendengar pendekar kesayangannya dicari orang tersebut dengan serta merta menyerang mereka.

“Kau pasti anjing-anjingnya Ki Subeni!! Rasakan ini! Hiiyaatt.......!!” teriak Riska sambil menghunus pedangnya dan diikuti adik-adiknya, Risma dan Rani, yang secara serempak mencabut pedangnya dan menyerang teman si Codet.

Pedang Riska lurus ke depan mengarah batang leher si Codet dengan gerakan cepat sekali, tetapi si Codet dengan gesit miringkan tubuhnya ke samping dan loloslah serangan pedang Riska. Sementara itu sambil menjatuhkan dirinya si Codet memberi sebuah tendangan keras dengan kaki kirinya ke arah lambung sebelah kanan Riska, namun dengan jeli Riska melihat gerakan kaki si Codet itu.

“Duk!”

Telapak kaki mereka berbenturan dengan keras membuat tubuh Riska melayang ke atas sedangkan tubuh si Codet berguling-guling di tanah merasakan kesemutan di sekitar kakinya akibat benturan itu.

Akan tetapi belum sempat ia berdiri tiba-tiba tubuh Riska berbalik dan menukik cepat bagaikan seekor burung Rajawali menerkam anak ayam. Pedang Riska lurus ke depan mengarah tubuh si Codet yang terus bergulingan berusaha menghindari setiap tusukan ujung pedang Riska, dan pada kesempatan yang baik si Codet menyabetkan goloknya menangkis pedang lawannya.

“Triing!”

Suara beradunya senjata mereka menimbulkan bunga-bunga api. Tubuh Riska terpental ke belakang sambil mengusap telapak tangannya yang panas akibat benturan itu. Untunglah tidak membuat pedangnya terlepas.

Kesempatan yang sekejap itu dipergunakan si Codet untuk berdiri mengatur pernapasan.

Sementara itu dua adik kandungnya, Risma dan Rani yang di bawah ilmu silat kakaknya bahu membahu menyerang teman si Codet yang setingkat lebih atas dari pada ilmu silat mereka berdua. Namun dengan semangat yang berapi-api mereka berdua masih sanggup melayani serangan kawan si Codet yang menamakan dirinya 'Kudro Pencabut Nyawa'.

Risma dan Rani dengan mengandalkan kegesitan dan kelincahannya terus jumpalitan ke sana ke mari menghindari serangan golok yang dilancarkan dengan bertubi-tubi oleh Kudro Pencabut Nyawa sehingga tubuh mereka seperti gulungan-gulungan sinar yang saling berkelebat di sekitar lawannya.

Pertarungan Riska dan si Codet telah memasuki jurus yang keduapuluh lima. Namun sampai detik ini belum ada tanda-tanda di antara mereka yang kalah. Baju mereka telah basah dengan peluh.

Riska dengan semangatnya yang berapi-api serta kelincahan yang dimilikinya terus mendesak si Codet dengan pedangnya mengarah ke titik kematian di tubuh si Codet.

Memasuki jurus yang ketigapuluh, tiba-tiba Riska membuat gerakan pedang berputar seperti mata bor mengarah biji mata si Codet dan tangan kirinya mengancam batang lehernya. Namun dengan cekatan si Codet menggeser kakinya ke samping.

Ternyata pedang Riska yang mengarah biji mata si Codet hanyalah tipuan belaka dan dengan cepat sekali pedangnya tiba-tiba berputar arah dan dengan suatu sabetan kilat pedangnya berhasil merobek perut si Codet.

“Ach!” Terdengar jeritan si Codet sambil mendekap lukanya dengan kedua belah tangan menahan isi perutnya yang akan berhamburan ke luar, maka seketika melayanglah nyawa si Codet dengan bersimbah darah.

Sementara itu adik kandungnya Risma dan Rani bertarung dengan mati-matian mempertahankan nyawanya yang terancam oleh sabetan dan tusukan golok si Kudro Pencabut Nyawa. Akan tetapi dengan gesit dan cekatan kedua kakak beradik itu selalu dapat menghindari serangan maut itu.

Tiba-tiba si Kudro Pencabut Nyawa mengangkat tinggi-tinggi goloknya dan menyabet-nyabetkan ke udara sehingga menimbulkan suara angin yang menderu-deru membuat debu-debu beterbangan dan menghalangi pandangan mata Risma dan Rani yang mendadak menjadi terdesak. Detik berikutnya dengan cepat tubuh Kudro melayang dengan golok mengancam.

“Ciiyaaat.......!!” teriak Kudro Pencabut Nyawa dengan keras tubuhnya melayang ke arah musuhnya yang sudah tak berdaya itu. Namun sedetik sebelum goloknya menghunjam sasarannya, tiba-tiba berkelebat bayangan orang lain dari arah belakang.

“Seet!”

Sebuah pedang dengan cepat menghantam batang leher si Kudro dan seketika tubuhnya terhenti di udara dan kemudian jatuh berdebam ke tanah dengan kepala terpisah dari tubuhnya serta nyawa melayang entah ke mana. Kiranya yang melakukan itu adalah Riska.

Setelah membersihkan pedangnya dan memasukkannya kembali ke dalam sarungnya, ia menghampiri adik-adiknya untuk segera meninggalkan tempat tersebut guna menemui Parmin di tempat yang telah dijanjikan.

***

Sang waktu serasa berputar dengan cepatnya tanpa kita sadari dan senja pun telah datang dengan bayangan-bayangan memanjang. Pada suatu tempat terlihat empat orang sedang menyusun rencana, mereka tak lain adalah Parmin dan si Tiga Melati. Setelah selesai dengan semua rencana, lalu mereka berpisah.

Hari Jum'at telah datang dan mulai hari itu Kiyai Subeni lebih tekun mengajar pembacaan Al Qur'an kepada Zaitun, sementara teman-teman Zaitun telah pulang semuanya. Zaitun mulai Jum'at itu diharuskan menerima pelajaran tambahan.

Di ruang dalam terlihat Kiyai Subeni sedang bersila dan di hadapannya duduk Zaitun yang sedang mengaji. Ruangan itu hanya diterangi oleh tiga buah pelita yang ditaruh di dinding.

“Zaitun suaramu usahakan lebih keras lagi agar terdengar!” ujar Kiyai Subeni dengan suara yang berwibawa dan sorot matanya tajam menembus lubuk hati Zaitun.

“Pak Kiyai....... hari sudah petang. Bolehkah saya pulang untuk sembahyang maghrib?” tanya Zaitun pelan hampir tak terdengar dengan kepala tertunduk.

“Orang menuntut ilmu tak boleh mengenal waktu! Berilmu adalah bekal untuk beramal! Kalau kau hendak sholat maghrib, kau kerjakan di sini saja, apa salahnya? Orang tuamu telah memberi kepercayaan kepadaku untuk membimbingmu menjadi seorang gadis yang alim dan saleh!”

“Tetapi....... biarlah saya lanjutkan besok sore saja Ki Subeni,” sergah Zaitun dengan suara gemetar.

“Zaitun....... Zaitun! Pandanglah aku, anak manis Ki Subeni!” ujar Ki Subeni berdecak sambil mendekati Zaitun.

“Jangan, Ki! Jangan.......!” sergah Zaitun namun tiba-tiba tanpa disadari tangannya melempar kerudung penutup kepalanya dan memejamkan mata. Bersamaan dengan tangan Ki Subeni mulai meraba leher Zaitun dan dua buah lampu pelita padam seketika sehingga menambah ketegangan di ruangan tersebut.

Sementara itu di tempat lain terlihat si Tiga Melati sedang mengumpulkan penduduk Cilumus dengan berteriak-teriak keras sekali, “Haayoo! Haayoo.......! Kalian, ke luar semua!!” teriak mereka bertiga bersamaan dengan lantang.

Penduduk yang mendengar suara itu lalu berduyun-duyun ke luar dan berkumpul di halaman yang sangat luas.

“Ayo berkumpul semua! Hari ini tiba saatnya kita angkat senjata! Kita enyahkan iblis laknat itu sampai ke akar-akarnya!” teriak Riska bersemangat membakar jiwa penduduk Cilumus.

“Hayooo! Kita serbu beramai-ramai! Kita basmi iblis itu!” teriak Risma dan Rani bersama-sama dengan berapi-api dan disambut dengan gegap gempita oleh penduduk kampung Cilumus.

“Hancurkan.......! Ayo kita serbu!! Kepruk saja!! Tumpaass!! Serrbuuuu!” Suara penduduk Cilumus bersahut-sahutan memecahkan suasana malam yang telah tiba.

Berpuluh-puluh bahkan ratusan penduduk Cilumus tergerak mendengar teriakan-teriakan yang gegap gempita. Dengan senjata-senjata terhunus yang beraneka ragam, ada yang membawa cangkul, arit, golok, beliung dan tak ketinggalan beberapa obor yang mereka bawa sebagai alat penerang.

“Allahhu Akbar!! Allahu Akbar!!!” suara penduduk Cilumus bersemangat bergemuruh ke udara mengikuti si Tiga Melati menuju pesantren Ki Subeni.

Tiba-tiba di tengah perjalanan, di sebuah dataran luas mereka dihadang oleh tujuh sosok tubuh dengan wajah seram dan bengis yang keluar dari balik bebatuan besar.

“Haaiiit.......!! kalian mau mampus semua?!” bentak seseorang dari mereka dengan bengis sambil menghunus pedangnya.

“Grrrt.......!! Jika kalian tidak ingin tertumpas sampai ke anak beranak, jangan coba-coba melangkahkan kaki setapak lagi pun!” hardik seorang dari mereka yang bertubuh jangkung dan kekar dengan bertelanjang dada. Ia dijuluki si 'Raksasa Penyebar Maut'.

Ketujuh orang yang bertampang sangat mengerikan itu sudah terkenal sebagai tukang pukul Kiyai Subeni untuk membungkam orang-orang penduduk Desa Cilumus yang coba-coba menentangnya dan tak segan-segan untuk menghabisi nyawanya pula.

“Demi kesucian agama Islam dan keagungan Tuhan! Seerrbuuu!!” teriak Riska keras sekali membangkitkan semangat penduduk Cilumus dan tubuhnya menerjang si raksasa dengan sabetan-sabetan yang mematikan ke arah lawannya demikian pula yang dilakukan adik-adiknya Risma dan Rani serta penduduk Cilumus.

“Allahh....... hu Akbar!! Allaaa....... hh....... hu Akbar!!” pekik histeris berkumandang saling sahut-sahutan memecahkan kesunyian malam di Desa Cilumus yang sedang berontak. Dan dalam sekejap kemudian terjadilah pertempuran massal yang gegap gempita.

Ki Burik dengan tangan mautnya yang mengandung tenaga dalam menyambar orang-orang yang mendekatinya dan terdengar suara tertahan dengan batok kepala remuk serta dada yang berlubang. Sudah belasan orang yang mati di tangan Ki Burik ini.

Sedang si raksasa dengan gada mautnya yang amat dahsyat itu menghantam orang-orang yang menyerangnya. Tubuh Riska dengan ringannya berkelit menghindari serangan si raksasa itu sehingga yang menjadi sasaranya adalah penduduk Cilumus.

Jerit tangis serta pekik kematian dari penduduk Cilimus serta darah yang terburai tak membuat yang masih hidup menjadi gentar. Bahkan semakin bersemangat dan maju menggantikan kawannya yang gugur tanpa merasa takut sambil berteriak histeris membangkitkan semangat kawan-kawannya dengan senjata terhunus.

***

Sementara itu suasana ketegangan sedang berlangsung di dalam pesantren Ki Subeni, di mana kini Zaitun sudah rebah terpaku dengan pasrah di bawah tatapan mata serigala yang lapar melihat sang calon korban yang sudah tak berdaya.

“Ja....... jang....... ngan Ki.......!” suara Zaitun lirih memelas.

Tangan Ki Subeni telah beraksi terhadap gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba dinding bilik di belakang Ki Subeni jebol dan muncullah sesosok tubuh yang tak lain si Jaka Sembung.

“Braak!!”

“Subeni! Hentikan perbuatan maksiatmu itu!!” bentak Parmin keras sambil melancarkan serangan ke arah pinggang Ki Subeni dengan tendangan yang amat keras sebelum Ki Subeni sempat membalikkan tubuhnya.

“Yaaatt.......!!”

“Buk!!”

Tubuh Ki Subeni terpental beberapa depa menghantam sebuah lemari besar yang berisi jembangan-jembangan antik yang seketika menjadi pecah berkeping-keping.

Sementara itu Zaitun tersadar dari pengaruh hipnotis Ki Subeni, dengan tunggang langgang berlari ke luar sambil meraih kain sarungnya dan berteriak meminta pertolongan.

Ki Subeni dengan gigi gemeretuk menahan marah yang membludak segera bangkit menyerang Parmin dengan cengkeraman tangan yang seketika itu berubah menjadi kemerahan dan mengeluarkan asap mengepul.

“Rak!!”

“Lumaaat!!” bentak Ki Subeni geram dengan nafsu membunuh.

Tetapi dengan cepat Parmin melompat ke samping sehingga tangan maut itu menghantam dinding kayu sampai hancur berantakan. Setelah menghindar, Parmin membuat serangan balasan dan tubuhnya mencelat cepat dengan kaki mengarah lambung Ki Subeni.

“Ciiiyaaatt.......!!” teriak Parmin keras.

“Buk!”

Tanpa Parmin ketahui tangan Ki Subeni segera berubah arah menyerang tubuh Parmin yang masih melayang dan tepat mengenai dada Parmin sehingga tubuhnya terpental ke belakang dan dadanya terasa mau pecah. Darah segar pun ke luar dari mulutnya Parmin berusaha sekuat tenaga untuk berdiri.

Baru saja Parmin berbalik, Ki Subeni sudah menanti dengan tombak di tangan dan secepat kilat menyerang Parmin.

“Jep!”

“Yach!!”

Tombak itu menghunjam bahunya. Sementara itu dengan cepat Parmin menyabetkan golok pendeknya sehingga tubuh Ki Subeni terpental ke belakang dengan dada tergores memanjang dan darah pun keluar dengan derasnya membuat kedudukan menjadi satu-satu.

Dalam keadaan sempoyongan, Parmin berusaha ke luar dengan menabrak pintu untuk menjauhkan dirinya dari Ki Subeni. Tubuh Parmin berguling-guling untuk menghindari lebih jauh lagi sambil berusaha memusatkan konsentrasi dengan jurus 'Hening Cipta'.

Jaka Sembung segera bangkit memasang kuda-kuda dengan kedua tangan menyilang di dada dan siap menantikan serangan Ki Subeni.

“Jangan lari, Monyet!!” bentak Ki Subeni geram dengan mata menyala menahan nafsu yang bergemuruh.

Dengan sekali lompatan, tubuh gendut itu melayang cepat ke arah Parmin dengan kaki lurus ke depan dan tangan siap menerkam. Namun dengan cepat Parmin berkelit ke samping sambil menghunjamkan tombak tadi dengan tenaga dalam penuh.

“Ach!!” Pekik tertahan Parmin mengoyak suasana dan tombak itu menembus tubuh Kiyai itu.

Untuk beberapa saat ia mencoba mencabut tombak tersebut, namun patah menjadi dua bagian mengakibatkan darah bercucuran dari depan dan belakang tubuhnya yang terluka. Ia menggeram hebat dengan mata yang memerah penuh dendam dan nafsu membunuh.

“Ki Subeni. Aku mengagumi anda! Dengan darah yang terus mengucur seperti itu anda kelihatan semakin segar!” ujar Parmin memuji dengan napas tersenggal.

“Seharusnya anda dengan mudah dapat membunuhku! Ilmu silatku tak ada seujung rambut anda! Tetapi satu hal yang anda lupa bahwa Tuhan selalu di pihak yang benar!

“Sangat kusesalkan bahwa orang berilmu tinggi seperti anda berbuat sesuatu yang terkutuk! Anda telah menghina citra muslimin, anda telah mengotori ajaran agama dan keagungan Tuhan!!” lanjut Parmin sambil menyandarkan tubuhnya dan tangan mendekap dadanya yang terluka dalam. Sementara luka di bahunya terus mengucurkan darah.

<>

Kita tinggalkan dua seteru itu dan kini kita kembali kepada pertempuran massal yang sengit antara antek-antek Ki Subeni melawan rakyat desa Cilumus yang dipimpin si Tiga Melati. Betapa pun gigihnya seekor banteng, lama kelamaan akan tumbang karena keroyokan ratusan tikus begitu pun halnya dengan mereka, antek-antek Ki Subeni itu.

Mereka menemui ajalnya satu per satu di tangan rakyat dengan tubuh hancur tak berbentuk. Korban rakyat tak terhitung jumlahnya tetapi orang-orang murtad itu telah tewas semua dan yang tinggal hanyalah dedengkotnya, Ki Subeni.

“Saudara-saudara! Sebagian harus mengurus jenazah-jenazah kawan-kawan kita yang gugur! Sebagian lainnya ikut kami membantu pendekar Gunung Sembung! Risma, Rani, mari jangan terlambat....... serrbuuuu.......!!” si Tiga Melati berkelebat diikuti rakyat desa Cilumus yang berteriak histeris menuju kemenangan yang indah di depan mata.

Angin berhembus kencang menyapu sisa-sisa mendung dan daun-daun kering berguguran. Suasana di halaman pesantren sunyi senyap penuh ketegangan dan dua seteru itu masih berhadap-hadapan.

Ki Subeni tegak menyusun sebuah jurus pamungkas dengan kedua tangannya yang merah membawa sehingga hawa panas menyerang Parmin dan dengan segera Parmin menolak serangan itu. Tubuh Parmin sudah bergetar hebat menahan sakit di dadanya yang terasa remuk.

“Ya....... Allah! Berilah hamba kekuatan!!” gumam Parmin dalam hati memohon.

“Ciiaat.......!!” teriak Ki Subeni keras dengan kedua belah tangan ke depan terbuka, mengarah dada dan perut Parmin. Namun dengan sisa-sisa tenaganya Parmin berkelit sambil bersalto ke udara beberapa kali menghindari serangan tangan maut Ki Subeni.

Di saat keadaan Parmin terjepit, tiba-tiba seperti air bah yang datang. Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus orang datang menyerbu Ki Subeni yang dipimpin oleh si Tiga Melati.

Ki Subeni terperangah sejenak menyadari dirinya telah terkepung dan senjata-senjata tajam yang menghunjam ke arah tubuhnya. Ki Subeni menggeram hebat dan tangan mautnya beraksi membuat pengeroyok itu terpental dengan dada remuk dan mati seketika.

Namun dengan segera pengeroyok lainnya datang secara bergelombang membuat Ki Subeni kewalahan dan ia segera mengambil langkah seribu. Darah menetes sepanjang jalan yang dilaluinya membuat rakyat tidak bisa kehilangan jejak dan terus mengejarnya.

Sekuat-kuatnya tenaga manusia tentu ada batasnya. Setelah kejar mengejar semalam suntuk akhirnya sebuah teriakan panjang mengerikan mengakhiri hidup Kiyai cabul itu. Kemarahan rakyat tak bisa dibendung lagi, membuat tubuh Ki Subeni itu hancur dirajam tanpa secuil daging pun yang selamat.

“Pendekar Gunung Sembung terluka berat! Risma dan Rani! Mari kita segera menolongnya!!” sergah Riska khawatir setelah melihat Parmin yang sempoyongan menahan tubuhnya berdiri.

Seminggu lamanya Parmin dirawat oleh si Tiga Melati. Penduduk Cilumus menunjukkan simpati yang besar dan berdoa semoga Parmin lekas sembuh. Memasuki minggu kedua pendekar kita Jaka Sembung telah berangsur-angsur sembuh kembali dan tubuhnya sehat seperti sedia kala.

Dengan demikian tibalah saatnya Parmin untuk meneruskan perjalanannya, bagaimana pun berat si Tiga Melati yang senantiasa memujanya itu.

“Kalian bertiga telah banyak menolongku dan hendaknya kalian jadikan pegangan bahwa tidak ada manusia yang luar biasa di atas dunia ini! Janganlah kalian mendewakan manusia karena tidak ada manusia yang sempurna!

“Sebagai contoh diriku! Dulu kalian seakan-akan menganggapku sebagai dewa persilatan tetapi seperti kalian lihat sendiri kepandaianku dalam ilmu silat tidak ada seujung rambut pun bila dibandingkan dengan ilmu silat yang dimiliki Ki Subeni!” ujar Parmin menasehati si Tiga Melati yang berusaha mengerti.

Pada hari yang cerah itu Parmin pamitan kepada seluruh penduduk Cilumus dan si Tiga Melati. Dengan rasa berat hati mereka mengantar Parmin sampai ke batas desa dan mereka bersyukur bahwa desa mereka sekarang telah bebas dari cengkeraman sebuah tirani seorang Kiyai cabul. Bersama Jaka Sembung, mereka telah berhasil membabat Kiyai murtad itu.......!

T A M A T

Ikuti kisah Jaka Sembung berikutnya dalam : "Mahligai Cinta Sepasang Pendekar"