Jaka Sembung 4 - Raja Rampok Dari Lereng Cermai(3)

Ribut-ribut kecil seperti yang terjadi malam itu sebenarnya adalah hal biasa bagi penduduk desa Perbutulan. Dan biasanya kalau hal seperti itu terjadi dengan cepat dilupakan orang. Tetapi kejadian malam itu, diam-diam menarik perhatian petani tua di mana Parmin bekerja.

Malam itu, ketika keduanya makan bersama-sama, petani tua itu membicarakan kedatangan wanita asing tersebut.

“Parmin, orang-orang di desa ini sebenarnya menyimpan suatu rahasia. Kau dengar kejadian malam itu? Tentu kau tahu, bukan? Ah, kasihan si Kosim itu. Dia selalu dicekam ketakutan, sehingga tidak pernah berani menceritakan hal-hal yang sebenarnya.”

“Kosim yang mana maksud bapak?”

“Pelayan Ranti sejak kecil. Dia seorang lelaki yang sangat setia kepada juragannya.”

“Rahasia apakah yang bapak maksud?”

“Nanti kau akan mengetahuinya,” kata petani tua sambil menghela nafas panjang-panjang. Wajahnya tampak muram, seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat rumit.

Adapun Ranti sendiri masih tetap penasaran. Nalurinya mengatakan bahwa Kosim mengenal wanita asing itu. Kosim memang tidak mengakuinya, tetapi bisikan nalurinya tidak bohong.

Apalagi sejak kejadian itu, Kosim tampak berubah, sering termenung sendiri dengan wajah muram.

“Pak Kosim, kaulah yang mengasuh aku sejak kecil. Kau selalu baik dan menyayangiku. Sekarang aku minta kau berterus terang padaku.

“Sejak kedatangan pendekar wanita itu, kau tampak jadi berubah. Aku yakin kau pasti sedang menyembunyikan sesuatu. Katakanlah, siapa sebenarnya wanita itu?” kata Ranti pada hari berikutnya.

“Den Ranti, sudah kubilang aku tidak mengenalnya. Kenapa pula Den Ranti beranggapan seperti itu?”

“Firasatku berkata begitu, Pak Kosim. Terus-terang saya sendiri merasa aneh melihat wanita itu. Ketika dia tersenyum manis padaku, dadaku terasa berdebar tak karuan. Heran, tak biasanya aku merasa begitu.”

“Mungkin Den Ranti kurang sehat.”

“Ah, tidak mungkin. Kau jangan mengada-ada, Pak Kosim. Katakanlah sejujurnya apa yang kau ketahui. Aku mempercayaimu, Pak. Karena itu, kau juga harus mempercayaiku.”

“Ah, Den Ranti.......” keluh Kosim dengan suara serak dan hampir tak terdengar.

Wajahnya semakin murung lagi. Teringat dia akan masa silam, suatu masa yang tak pernah lepas dari ingatannya. Dan sejak masa itu hingga sekarang, Kosim menyimpan atau terpaksa memendam sebuah rahasia.

Sering dadanya hendak meledak, bibirnya ingin berteriak mengungkap tabir tersebut. Tetapi ada suatu pertimbangan baginya, yang membuatnya tak berani membeberkannya.

Tanpa terasa air mata lelaki tua itu menetes satu per satu membasahi wajahnya yang mulai keriputan.

Sekarang, ia merasa diri seperti tak berarti karena selama ini tak berani mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Ia tak ingin bersikap seperti itu lagi terus-terusan.

Ia tak ingin membiarkan Ranti hidup lama-lama di dalam kegelapan. Maka dia pun duduk bersimpuh di hadapan Ranti. Dicekalnya kedua lengan gadis itu dengan air mata makin deras membasahi pipi.

“Den Ranti, maafkan aku........”

“Jangan bersikap begitu, Pak Kosim. Jangan menangis, aku jadi ikut sedih. Sekarang katakanlah keadaan yang sebenarnya.”

“Den Ranti, aku sebenarnya takut mengatakannya.......”

“Kenapa harus takut? Siapa yang kau takuti? Kau tak perlu takut. Aku akan melindungimu. Katakanlah, Pak Kosim!”

“Beliau....... beliau adalah ibu kandung Den Ranti sendiri.......”

“Hah, ibuku? Betulkah itu, Pak Kosim? Tapi ayahku mengatakan bahwa ibu meninggal ketika aku berumur satu tahun,” ujar Ranti terkejut bukan main.

“Benar, Den Ranti. Beliaulah ibu kandung Den Ranti sendiri. Beliau menghilang sekitar limabelas tahun yang lalu.......”

“Saya tak mengerti. Bagaimana semua ini bisa terjadi?”

“Baiklah, Ranti. Aku akan menceritakan semuanya. Tetapi sebelumnya aku minta maaf, karena semua ini mungkin sangat mengejutkan Den Ranti.

“Saya sudah mengikuti ayah dan ibumu sejak aden belum lahir. Ayahmu bukanlah seorang perampok, melainkan seorang guru silat yang arif bijaksana. Sedangkan Gembong Wungu sendiri bukan.......”

Tiba-tiba tiga kilatan cahaya keputih-putihan meluncur dari balik dinding. Kilatan itu adalah tiga senjata rahasia berupa pisau kecil.

Tanpa sempat mengelak, tubuh Kosim pada bagian punggungnya tertancap pisau-pisau tersebut.

“Akh.......” jerit lelaki tua itu. Bersamaan dengan itu, tubuhnya ambruk.

Darah segar membasahi sekujur tubuhnya. Beberapa saat kemudian, di situ telah muncul Gembong Wungu. Raja rampok itu berdiri sambil menatap tubuh Kosim dengan mata merah.

“Ayah!?” seru Ranti terkejut, “Kenapa kau membunuhnya? Apa salahnya? Oh, kau sungguh kejam, ayah!”

“Diam! Penghasut itu harus lenyap dari muka bumi ini. Aku dengar semua omongannya. Aku tak segan-segan mencopot batang leher setiap Penghasut yang ada di desa ini.”

“Jika demikian berarti Kosim benar. Kau telah berbohong. Katakan siapa ibuku!” kata Ranti setelah berteriak. Dan sambil berkata begitu, ia menatap ayahnya dengan sinar mata merah bagaikan memancarkan api.

Seolah-olah ia hendak menelan Gembong Wungu hidup-hidup.

“Heh, anak manis. Sejak kapan kau berani menatap aku seperti itu, heh?”

“Aku tak percaya lagi padamu. Ayo, mengakulah sekarang juga.”

Gembong Wungu marah bukan main mendengar ucapan Ranti. Wajahnya merah padam. Bahkan sekujur tubuhnya gemetar menahan gejolak emosi.

Tetapi ia tak ingin menyakiti Ranti. Ia tak mau melampiaskan kekesalannya kepada gadis manis itu. Sambil berteriak nyaring, lelaki bermata satu itu menghunus goloknya. Ia lalu meloncat tinggi kemudian membabat tiang-tiang kandang ayam.

“Akan kulenyapkan orang-orang yang mencoba mengusik kehidupan kita. Ciaaat........!” Gembong Wungu membabat dan menendang kandang ayam.

Demikian marah dan kesalnya jagoan itu, sehingga dalam sekejap saja, kandang ternak itu telah ambruk.

“Siapa yang mau membalas dendam kepadaku? Ayo, siapa? Gembong Wungu tidak gentar sedikit pun juga. Aku adalah raja di seputar lereng Ciremai. Siapa berani menantangku, berarti maut akan menjemputnya!”

Setelah itu, Gembong Wungu menghampiri Ranti yang sedang tersedu-sedu meratapi nasib malang yang menimpa Kosim. Lelaki tua itu selama ini selalu menyayanginya. Selalu memperhatikan dan mengurus segala keperluannya.

Semua kebaikan Kosim, tak mungkin hapus begitu saja dari hati sanubari Ranti. Lelaki itu sudah bagaikan orang tua sendiri bagi Ranti. Tidaklah mengherankan, jika ia sangat terpukul melihat kenyataan lelaki yang disayanginya itu sudah tergeletak tanpa nyawa.

“Ranti, kau tak perlu meratapi bangkai anjing penghasut itu. Tinggalkan dia, cepat!”

Ranti tak menyahut, Ia tetap menangis sesunggukan di depan tubuh pelayannya yang setia itu. Ia benar-benar merasa sangat kehilangan. Dan entah mengapa, tiba-tiba saja timbul rasa benci terhadap lelaki yang selama ini menjadi ayahnya.

Melihat Ranti tidak mau beranjak, Gembong Wungu semakin kesal lalu secepatnya meninggalkan tempat itu. Di depan kandang ayam itu kini berdiri dua lelaki lain, menatap Ranti dan jenazah Kosim dengan tatapan penuh keprihatinan.

“Innalillahi! Iblis itu tak egan-segan membunuh. Kasihan si Kosim. Yah, semua orang di desa ini tak berani membuka rahasia karena nasib seperti inilah yang akan menimpa mereka,” ujar lelaki tua yang kini sedang berdiri bersama Parmin.

Ranti agak terkejut juga mendengar ucapan petani tua itu. Dengan airmata masih berurai membasahi pipi, ditatapnya kedua lelaki itu. Lalu dengan suara parau, gadis itu berkata.

“Apakah kalian juga mengetahui rahasia tentang diriku? Benarkah aku bukan anak Gembong Wungu? Kalau memang benar, siapa ibuku, siapa ayahku?”

“Ranti, Tuhan maha Pengasih dan Penyayang. Sekarang duduklah dan tenangkan perasaanmu. Hapus airmatamu, jangan menangis lagi. Kita doakan saja semoga arwah Kosim diterima di sisi Tuhan yang Maha Esa,” kata petani tua itu dengan sikap lembut.

Dan setelah Ranti duduk dengan sikap yang lebih tenang, petani tua itu melanjutkan.

“Ranti, ayahmu yang sebenarnya adalah Gagak Ciremai. Ia gugur di ujung pedang Gembong Wungu dalam pertarungan di lembah Cadas Kuriling limabelas tahun silam.”

“Jadi........?”

“Aku bersama kawanku yang menguburkan jenazah ayahmu saat itu. Sedangkan ibumu sendiri, sejak saat itu menghilang entah ke mana.

“Kemudian kau dipungut anak oleh Gembong Wungu, selanjutnya menggantikan kedudukan ayahmu. Sayang si Kosim sudah lebih dulu menghadap Tuhan hingga tidak bisa bercerita tentang semua peristiwa itu.”

“Aku adalah salah seorang pengikut ayahmu yang masih mau bertahan di desa terkutuk ini. Karena aku yakin dan ingin menyaksikan bahwa suatu saat kezaliman ini akan berakhir.”

Oh, benarkah itu? Benarkah? Hati Ranti bertanya-tanya dan berkecamuk hebat. Samar-samar terlintaslah bayang-bayang limabelas tahun lalu.

Ia melihat dirinya masih kecil, berusia satu tahun. Ia digendong seorang wanita dan seorang laki-laki. Itukah gerangan ayah dan ibunya?

Tetapi bayangan itu sangat samar-samar dan timbul tenggelam di dalam benaknya. Tetapi sepertinya bayangan wanita itu mempunyai persamaan dengan wajah pendekar wanita berambut awut-awutan yang beberapa malam lalu membunuh penjaga.

Dan kalau memang benar bayangannya itu tidak meleset, pastilah ada hubungannya dengan pendekar wanita itu. Siapakah dia sebenarnya? Apakah itu adalah ibunya yang dikabarkan menghilang limabelas tahun lalu?

Secara tiba-tiba, Ranti bangkit dari duduknya dan tubuhnya melesat cepat ke arah rumahnya. Sambil berteriak histeris, ia menendang pintu hingga terpental. Seorang pelayan wanita di rumah itu menjadi terkejut, lalu sujud gemetar di hadapan Ranti.

“Mana majikanmu Gembong Wungu, hah? Mana dia? Ayo, jawab!”

“Oh, bibi tidak tahu, Den Ranti. Sungguh, bibi tidak tahu kemana juragan pergi.......”

Ranti mendengus kesal. Ia lalu berlari-lari seperti orang kesetanan. Wajah dara jelita itu merah padam, matanya bagai memancarkan api.

Setibanya di gerbang desa, Ranti dihadang para penjaga. Namun dengan kasar, Ranti membentak. “Buka pintunya, cepat! Katakan padaku ke mana Gembong Wungu pergi!”

“Maaf, den Ranti. Ayahmu memerintahkan kami untuk melarang Aden keluar dari lingkungan desa ini,” kata penjaga.

“Apa? Ayahku katamu? Gembong Wungu itu bukan ayahku. Cepat buka pintunya, atau nyawa kalian akan melayang di ujung pedangku!”

“Maaf, Den Ranti. Kami hanya menjalankan perintah. Kawan-kawan kepung dia. Jangan sampai keluar dari desa ini.”

“Bagus kalau begitu. Jangan salahkan jika aku terpaksa menurunkan tangan kejam.”

“Tangkap dia!”

Dengan serempak, para penjaga gerbang menerkam tubuh Ranti. Melihat itu, Ranti tersenyum sinis. Ia sengaja tidak segera mengelak seolah-olah membiarkan dirinya ditangkap. Namun ketika tangan para lelaki itu menyentuh tubuhnya, Ranti meloncat tinggi.

“Trok........!” Kepala para penjaga itu saling beradu dengan kerasnya. Sambil menjerit kesakitan, tubuh para penjaga itu terlempar dan bergulingan di atas tanah.

Kesempatan itu digunakan Ranti meloloskan diri. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh, ia meloncat tinggi ke atas pintu gerbang. Hanya beberapa detik kemudian, tubuhnya telah melesat cepat meninggalkan desa.

Sambil berlari-lari, gadis itu teringat pesan pendekar wanita yang menyatakan ingin bertemu Gembong Wungu setiap saat di lembah Cadas Kuriling. Gembong Wungu yang sangat dibencinya itu sekarang pastilah berada di sana untuk memenuhi tantangan lawan.

Dugaan Ranti memang benar juga. Gembong Wungu pergi ke Cadas Kuriling, bahkan kini sedang berhadap-hadapan dengan pendekar wanita. Kedua pendekar itu kini siap mengadu nyawa. Pedang telah dihunus di tangan, kuda-kuda telah dipasang. Siap menyerang dan diserang.

“Hi-hi-hi.......! Aku gembira karena kau ternyata mau memenuhi tantanganku, bangsat keji. Limabelas tahun yang lalu, suamiku kau robohkan di sini. Sekarang aku datang untuk menagih janji, mencabut nyawamu, bangsat tengik!” seru pendekar wanita itu.

“Kalau begitu susullah suamimu ke akherat, wanita iblis. Aku Gembong Wungu takkan tergeser dari muka bumi ini!”

“Tutup mulutmu, bangsat! Hiyaaat.......!” Wanita itu berteriak nyaring.

Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke arah Gembong Wungu. Sementara ujung pedangnya membentuk sinar-sinar bagaikan kilat mengarah ke tubuh lawan.

Gembong Wungu segera memutar goloknya. Maka tampaklah sinar golok dan pedang bergulung-gulung membentuk semacam tembok pertahanan yang sangat kokoh.

Pada jurus-jurus berikutnya, Gembong Wungu balas menyerang. Ia sangat geram sekarang ditantang seorang wanita yang menurutnya sinting. Ditambah lagi rasa kesalnya dari rumah lantaran kata-kata Ranti yang mengatakan tidak mau percaya lagi padanya. Maka dalam menyerang, Gembong Wungu tidak mau tanggung-tanggung.

Pendekar bermata satu itu mengeluarkan ilmu pedang andalannya “Grojogan Sewu”. Jurus-jurus ilmu pedang ini sangat cepat dan mengandung tenaga dalam yang luar biasa, sehingga pendekar yang tingkat ilmu belum tinggi benar, tidak bisa menguasainya.

Demikian cepatnya gerakan pedang Gembong Wungu, sehingga golok atau pedang pusaka di tangannya seolah-olah berubah jadi banyak sekali, mengincar tubuh lawan dari segala penjuru. Batu-batu beterbangan bercampur debu terkena hantaman tenaga dalam kedua jagoan itu.

Pendekar wanita itu terpaksa harus berjuang mati-matian menghindari serangan lawan. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir mencapai kesempurnaan, ia berkelit di sela-sela ujung senjata lawan.

Diam-diam Gembong Wungu merasa kagum juga melihat kemampuan lawan menghadapi ilmu pedang “Grojogan Sewu” andalannya.

Dahulu Gagak Ciremai sendiri dapat dirobohkannya tanpa mengeluarkan ilmu tertinggi yang dimilikinya itu. Jelaslah sudah bahwa kesaktian pendekar wanita itu lebih tinggi daripada suaminya.

Nafas Gembong Wungu menggeros-geros dan peluh bercucuran membasahi sekujur tubuhnya. Sejenak ia meloncat ke belakang untuk mengatur pernafasan dan mempersiapkan jurus baru.

“Ha-ha-ha.......” Wanita pendekar itu tertawa mengejek, “Tidak percuma selama limabelas tahun ini aku berlatih siang dan malam, di lembah dedemit. Tunjukkan kemampuanmu, Gembong Picak.”

“Wanita sundal! Awas serangan........!”

Dengan teriakan menggeledak menggetarkan tebing-tebing, Gembong Wungu kembali menyerang. Kali ini ia mengeluarkan jurus inti ilmu pedang Grojogan Sewu, yakni jurus “Dewa Bayu Nitis”.

Jurus itu boleh dikatakan tidak lumrah dikuasai manusia. Karena selain sangat cepat hingga yang tampak hanya bayangan, juga karena mempunyai perkembangan yang sangat tak terduga sekaligus amat berbahaya.

Selama melalang buana di dunia persilatan, pendekar mata satu hampir tak pernah mengeluarkan jurus itu. Atau kalaupun terpaksa mengeluarkannya, lawan pastilah tidak akan bisa menyelamatkan diri.

Gembong Wungu meloncat tinggi ke udara. Tangan kirinya dibuka mengeluarkan pukulan jarak jauh.

Hawa panas yang teramat dahsyat menyambar ke arah tubuh lawan. Kaki kiri Gembong Wungu dilipat siap menendang ke arah ulu hati pendekar wanita itu, sedangkan pedangnya diangkat tinggi siap untuk menikam atau membabat.

Semakin terkejutlah istri almarhum Gagak Ciremai menghadapi serangan lawan yang teramat dahsyat dan mematikan itu. Secepat kilat ia mengelak ke kanan, menghindari pukulan jarak jauh lawan. Namun pada saat bersamaan, kaki kiri Gembong Wungu menendang dengan tenaga luar biasa ke arah ulu hati lawan.

Dalam keadaan terdesak, pendekar wanita itu masih sempat berkelit ke sebelah kanan. Maka luputlah tendangan Gembong Wungu yang mengandung maut itu.

Namun saat itu juga, pedang pusaka pendekar bermata satu itu menghujam ke arah perut lawan.

“Crob!” Dengan sangat telaknya, pedang itu merobek kulit perut pendekar wanita.

Disertai jerit panjang yang sangat memilukan, tubuh pendekar wanita itu ambruk ke bumi. Darah segar memancar deras dari luka menganga itu. Sejenak, tubuh itu menggelepar-gelepar bagaikan ayam disembelih. Lalu kemudian diam, tak bergerak-gerak lagi.

“Mampus kau wanita iblis.......!” kata Gembong Wungu sambil menyarungkan pedangnya yang masih berlepotan darah. Setelah itu, ia mengempos tenaga, melesat bagai anak panah meninggalkan tempat itu.

Hanya beberapa detik kemudian, Ranti tiba di lembah Cadas Kuriling.

Dadanya berdegup kencang, dan matanya nanar melihat tetesan darah di sekitar tempat itu. “Ibu........!” Gadis itu berteriak sambil berlari menghampiri tubuh yang sedang terkapar berlumuran darah itu.

Didekapnya tubuh itu erat-erat dan diciuminya, hingga darah wanita itu pun membasahi pakaian Ranti.

“Ibu.......! Ibu, jangan tinggalkan aku. Tidak. Tidak, Bu. Jangan tinggalkan aku. Ibu.......” jerit gadis itu sekuat-kuat tenaga. Dan Tuhan memang maha Pemurah.

Tiba-tiba wanita itu membuka kelopak mata. Tatkala ia menatap wajah Ranti, maka seulas senyum manis menghiasi bibirnya. Menandakan betapa ia sangat bahagia sekarang menyaksikan buah hatinya berada di dekatnya.

“Ranti, anakku. Kau datang, Nak.......” ujar wanita itu tersendat-sendat.

“Ibu, ibu....... kau harus sembuh, Bu.......”

“Tenanglah, anakku. Dekatlah kemari, Nak. Ibu ingin mengusap wajahmu....... ibu ingin memelukmu. Selama limabelas tahun itu memendam rasa mengekang rindu ingin membelaimu. Setiap malam ibu menengokmu tanpa sepengetahuan Gembong Wungu. Tapi selama itu pula kasih ibu tak sampai. Ibu tak berdaya, anakku.......”

“Kuatkan hatimu, Bu. Maafkan anakmu yang tak tahu diri ini.”

“Jangan berkata begitu, anakku. Semua ini sudah takdir. Manusia telah mempunyai garis kodrat hidup masing- masing. Tapi sekarang ibu sangat bahagia, di saat-saat terakhir ini kau datang. Ibu bahagia karena membela almarhum ayahmu, walaupun dendam pati ayahmu belum terbalas. Itu sudah kewajibanku, anakku.......”

Sejenak wanita itu berhenti, seolah-olah sedang mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Setelah itu, ia melanjutkan dengan suara tersendat-sendat dan hampir tak terdengar.

“Ranti, anakku. Maafkan ibumu, sayangku. Rasanya waktu ibu telah tiba. Ibu akan menyusul ayahmu.

“Pesanku....... janganlah kau bermaksud membalaskan dendam, karena kutahu engkau bukanlah tandingan raja rampok itu. Cukuplah kau gunakan kepandaianmu itu untuk perikemanusiaan dan kebajikan. Biarlah Tuhan yang kelak menjatuhkan hukuman kepada bajingan itu. Ranti, selamat tinggal anakku.......”

Seusai mengucapkan kata-kata itu, kepala wanita itu terkulai. Detak jantungnya terhenti, diam dan mati. Ia telah menghembuskan nafas terakhir, hilang bersama angin yang berhembus sepoi- sepoi. Ia telah pergi untuk selama-lamanya tanpa pernah kembali.

“Ibu.......!” Ranti kembali menjerit histeris di atas jenazah ibunya.

Tak terkatakan betapa hancurnya perasaan gadis itu sekarang. Baru bertemu dengan ibunya sudah langsung berpisah. Sungguh sangat menyakitkan karena pertemuan itu ternyata juga sekaligus perpisahan. Maka patahlah segala harapan yang ada dalam hati Ranti.

Pupus gairah hidupnya. Dan mataharinya pun telah tenggelam, dan ia hanya bisa meratapinya. Ketika Ranti meratapi jenazah ibunya, seorang lelaki melangkah sambil menunduk. Wajahnya muram, karena sangat terharu menyaksikan tragedi berdarah yang menimpa keluarga Ranti.

Pemuda yang tak lain tak bukan adalah Parmin itu berusaha menghibur Ranti. Dibelai-belainya rambut gadis itu, dihapusnya airmata yang membasahi pipi Ranti dengan penuh persahabatan.

“Jangan menangis lagi, Ranti. Semua ini sudah takdir. Berdoalah agar arwah ibumu tenang di peristirahatannya yang terakhir.”

Menjelang senja, Parmin menguburkan jenazah ibu Ranti. Ranti belum juga mau berhenti menangis. Ia memeluk tanah merah itu dan meraung-raung hingga suaranya semakin parau.

“Sudahlah, Ranti. Jangan terlalu sedih. Toh semuanya sudah terjadi....... Ayo, sebaiknya kita segera pulang.”

“Tidak! Aku tidak mau pulang. Aku akan membalaskan kematian ibu dan ayahku. Aku tak takut pada Gembong Wungu. Akan kutebas batang lehernya dan kuminum darahnya!”

“Jangan, nona Ranti.......” kata Parmin sambil menarik tangan gadis itu.

“Jangan halangi aku. Aku harus membunuh bajingan itu sekarang juga.”

“Tenang, nona Ranti. Apakah kau telah lupa akan pesan ibumu? Pesan ibumu itu harus kau patuhi. Dan ketahuilah, pembelaanmu nanti pasti sia-sia. Gembong Wungu adalah jagoan silat yang sangat jarang tandingannya.”

“Aku sudah hidup sebatangkara. Apa gunanya hidup lagi?”

“Jangan putus asa, nona! Di dunia ini banyak sekali orang hidup sebatangkara. Bahkan banyak yang lebih sengsara darimu. Percayalah! Pembalasan akan segera datang, walaupun bukan dengan perantaraan tangan nona.”

“Bajingan si Gembong Wungu. Bedebah.......!” Saking kesalnya, Ranti menancapkan pedangnya ke batu karang sekuat tenaga sehingga amblas sampai ke hulu.

Tiba-tiba terdengar gelak tawa, menggelegar dan sambung-menyambung di atas tebing. Parmin dan Ranti terkejut, lalu serempak memutar tubuh, menatap ke arah asal suara itu.

Di atas tebing tampak oleh mereka sejumlah lelaki, mungkin lebih dari tujuh orang. Para lelaki itu rata-rata bertampang seram. Semuanya bersenjatakan golok dan pedang. Melihat tingkah laku dan ciri-ciri mereka, maka tahulah Parmin bahwa kelompok orang itu adalah anak buah Gembong Wungu.

Salah seorang di antaranya, yang agaknya merupakan pemimpin komplotan itu menatap Parmin dengan sinar mata mencorong tajam dan terasa sangat sinis. Sambil menuding Parmin dengan pedang di tangan kirinya, pria itu berkata.

“Hei, santri! Jangan coba-coba mempengaruhi Ranti untuk balas dendam pada Gembong Wungu. Bagaimana pun juga, selama ini Gembong Wungu telah merawat, mendidik dan membesarkan Ranti dengan penuh kasih sayang sebagai ayah.”

Setelah berkata begitu, lelaki itu memberi isyarat melalui gerakan tangan kanan dan kepalanya. Maka berloncatanlah sekitar tujuh lelaki dari balik tebing dan langsung mengepung Parmin dan Ranti.

“Hei, kau! Kedatanganmu ke desa ini hanya membuat kekacauan. Selama ini desa kami aman tenteram, tak pernah terjadi keributan seperti ini.

“Dengan kepintaranmu bersilat lidah, kau membujuk-bujuk orang. Karena pergaulanmulah makanya Ranti akhir-akhir ini jadi berubah. Den Ranti jadi bandel, bahkan telah berani menentang ayahnya.”

“Apakah kau tidak salah bicara, sahabat?” ujar Parmin tenang.

“Diam kau, bedebah! Orang-orang semacam kau dan petani tua itu harus lenyap dari desa ini. Kalian tidak boleh lagi hidup di desa ini, karena kalian hanya menghasut orang-orang saja. Kalian akan menjadi perintang yang semakin lama semakin kuat karena kepintaran kalian membujuk-bujuk orang.”

Setelah berkata demikian, lelaki berkumis tebal itu berpaling kepada teman-temannya yang sebagian lagi masih berada di balik tebing.

“Hai, kawan-kawan. Seret ke mari keledai tua itu. Hari ini akan kita bikin pesta perkedel!”

Dari balik bebatuan, keluarlah beberapa orang laki-laki sambil menyeret petani tua tempat Parmin bekerja. Kakinya diikat begitu juga kedua tangannya diikat ke belakang.

Dari kedua tangan itu kemudian diulur tali untuk menyeret tubuh lelaki tua bernasib malang itu, dengan posisi menelungkup.

Terdengar suara tulang berdetak-detak akibat tubuh yang beradu dengan batu-batu di atas tanah. Baju dan celana petani tua itu sobek dan kulit tubuhnya terkelupas hingga mengeluarkan darah.

“Pak.......?” seru Parmin terkejut.

“Ha-ha-ha.......! Lihat, si tua bangka yang keras kepala ini. Ia berlagak sebagai pahlawan kebenaran. Sekarang rasakan betapa enaknya diseret seperti gedebog pisang.......”

Melihat perlakuan yang tidak berperikemanusiaan itu, tubuh Parmin menggigil, darahnya pun mendidih hingga ke ubun-ubun, menahan amarah melihat kekejian anak buah Gembong Wungu.

Bagaimana pun juga, petani tua itu telah berjasa padanya, dan selama ini selalu bersikap baik. Sekalipun mereka baru kenal, petani itu seolah-olah telah merupakan saudara sendiri bagi Parmin.

“Ha-ha-ha keledai tua! Siapa yang akan menolongmu? Siapa? Kau akan segera mampus sekarang. Tadi kau bilang Tuhan akan menolongmu dan melindungimu........”

“Ya, Tuhan selalu melindungiku.......” kata petani tua itu tersendat-sendat.

“Bangsat, berani ngomong lagi!” bentak anak buah Gembong Wungu sambil menginjak dada petani tua itu.

“Mana pertolongan Tuhanmu? Mana? Omong kosong kau! Nyawamu sekarang berada di tanganku, bukan di tangan Tuhan seperti yang kau bilang. Akulah yang berkuasa sekarang atas nyawamu!”

Melihat perlakuan yang sudah sangat di luar batas itu ditambah lagi oleh ucapan yang sangat kurang ajar, maka habislah kesabaran Parmin. Ia merasa tak mungkin lagi diam. Ia harus segera bertindak. Maka dicabutnya sebuah golok yang disembunyikan di balik bajunya.

“Ciaaat.......!” Pemuda itu berteriak nyaring, sambil meloncat tinggi ke arah anak buah Gembong Wungu. Golok di tangannya ia putar cepat sekali membentuk sinar kemilau dan langsung mengincar dada lawan.

“Bet! bet!”

“Augh.......!” Tanpa sempat mengelak, dua anak buah Gembong Wungu terjungkal terkena sabetan pedang Parmin.

Kedua tubuh pria sejenak berkelojotan dengan darah menyembur dari luka menganga di bagian dada. Setelah itu, nyawa keduanya pun melayang.

“Hai, orang-orang murtad. Tindakan kalian sudah melewati batas. Bukalah mata kalian lebar-lebar. Tuhan telah menolong orang tua itu dengan perantaraan tanganku.”

“Jangan kira kami takut padamu, santri tak tahu diri. Bersiaplah untuk mampus!” Anak buah Gembong Wungu menyerang Parmin dari segala penjuru.

Pedang di tangan mereka berkelebatan mengincar tubuh lawan. Namun dengan sangat tenangnya, Parmin mengelak kemudian balas menyerang dengan jurus-jurus mautnya.

Ternyata, Parmin bukanlah tandingan para anak buah Gembong Wungu. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, Parmin dapat menumbangkan lawan-lawannya, hingga yang masih hidup tinggal seorang saja.

“Aku sengaja membiarkan kau hidup untuk memberimu kesempatan bertobat. Sekarang enyahlah dari sini. Dan jangan lupa, beritahukan kepada Gembong Wungu bahwa aku menunggunya di hutan Plangon!” Dengan tubuh gemetaran, lelaki itu berlari meninggalkan tempat itu.

Ranti segera berlari menghampiri Parmin. Dicekalnya lengan pemuda itu, lalu berkata dengan agak terburu-buru.

“Oh, jadi kau menantang Gembong Wungu? Aku sangat senang mendengarnya. Kau pasti menang! Kau hebat, Parmin! Kau mau membalas dendam atas kematian ayah dan ibuku, bukan?”

“Nona Ranti,” ujar Parmin sambil tersenyum bijaksana, “Aku bukan mau membela atas kepentingan seseorang. Aku berjuang atas nama kebenaran, keadilan, perikemanusiaan dan ketuhanan.”

“Jadi........?”

“Sudahlah. Sekarang kita harus merawat orangtua itu. Tentunya kau mengetahui jenis daun-daunan untuk obat lukanya. Aku minta kau mau mengambilnya. Sementara itu, aku akan menolong pernafasannya agar ia sadar kembali.

“Baiklah, Parmin. Tapi kupikir, kita harus mengungsikannya ke desa lain. Karena tidak mustahil Gembong Wungu telah memasang jebakan untuk kita.”

“Baiklah kalau begitu.”

Kedua pendekar muda usia itu segera mengangkat tubuh petani tua ke desa lain. Di tempat itu, mereka menumpang di rumah seorang petani untuk merawat luka-luka yang diderita pria tua bernasib malang itu.

Kejadian tersebut benar-benar telah mengubah pikiran Parmin. Karena sebenarnya, pemuda itu sedang dalam perjalanan jauh yang sangat penting.

Dan kehadirannya di desa Perbutulan pada waktu itu hanya karena kebetulan saja. Pendekar itu kehabisan bekal sehingga terpaksa menunda perjalanan dengan maksud mencari upah kepada petani di desa itu.

Akan tetapi sekarang, melihat sepak terjang Gembong Wungu dan anak buahnya, ia merasa tak boleh tinggal diam lagi. Darah kependekaran yang mengalir dalam tubuhnya segera bergejolak, bahwa ia harus segera bertindak.

Kesewenang-wenangan itu harus segera dihentikan. Kalau tidak, Gembong Wungu pasti akan semakin menjadi-jadi. Penduduk yang tadinya sudah tersiksa akan semakin tersiksa lagi.

Maka tanpa pikir panjang lagi, pendekar dari pantai utara itu segera memutuskan bahwa ia harus menantang Gembong Wungu. Biarpun secara diam-diam ia sendiri harus mengakui bahwa ilmu Gembong Wungu mungkin berada di atasnya.

Atau kalaupun misalnya setingkat, ia masih kalah dalam hal pengalaman. Apalagi tokoh dunia hitam seperti Gembong Wungu, tentulah tidak akan segan-segan berbuat licik demi hasratnya melenyapkan orang-orang yang berani menentangnya. Tapi sebagai pendekar yang gagah perkasa, Parmin merasa tak punya alasan untuk mundur.

Ia bahkan merasa lebih baik mati daripada harus bersikap pengecut. Maka ketika matahari mulai condong ke arah barat, pemuda itu melangkah ke tepi hutan Plangon. Angin yang berhembus cukup kencang menyambutnya, seolah-olah mengatakan selamat datang wahai pendekar muda yang gagah perkasa.

Di sebuah dataran yang cukup luas, pendekar dari pantai utara itu berdiri tegak menunggu lawan. Dari sekelilingnya terdengar suara monyet-monyet, yang mungkin masih kenal kepadanya, lalu mengucapkan selamat bertemu kembali.

Parmin tidak terlalu lama menunggu, sebab tak berapa lama berselang, muncullah Gembong Wungu di tempat itu. Pendekar bermata satu itu berjalan tegak, bibirnya mengulum senyum sinis seolah-olah tidak memandang mata sebelah pun terhadap calon lawannya.

Sejenak ia menatap Parmin dengan mata tak berkedip dari bawah sampai ke atas, lalu turun lagi. Ia lalu tertawa terbahak-bahak sambil berkata.

“Rupanya kambing kacang semacam inilah yang bermulut lebar mengembik-embik menantang macan dari lereng Ciremai.”

“Selamat datang, Gembong Wungu. Saya ucapkan terimakasih atas kejantananmu datang ke tempat ini.”

“Ha-ha-ha....... santri! Jangan kau kira kau dapat mempengaruhi anak buahku dengan segala ajaranmu itu. Apa sebenarnya yang mendorongmu berani berkaok-kaok dihadapanku? Apakah kau sudah bosan hidup? Sekarang sebutkanlah namamu sebelum lehermu kubuntungi!”

“Namaku? Ah, tentunya kau sudah tahu, Gembong Wungu. Namaku Parmin. Tapi orang-orang sering menyebutku dengan nama Jaka Sembung.......!”

“Oh, rupanya beginilah rupa pahlawan santri dari Gunung Sembung itu. He-he-he....... namaku tentu akan semakin termasyhur setelah melenyapkan kau dari muka bumi ini.”

Tak terkatakan betapa marahnya Parmin mendengar kata-kata Gembong Wungu. Pantaslah selama ini sangat banyak korban yang menemui ajal di ujung golok jagoan bermata satu itu.

Rupanya Gembong Wungu adalah iblis berdarah dingin yang seolah-olah mempunyai prinsip, makin banyak membunuh adalah makin baik. Terutama jika yang dibunuh itu adalah pendekar yang sudah kesohor. Kebiadaban seperti ini harus dihentikan, pikir Parmin geram.

“Dosamu sudah bertimbun-timbun, Gembong Wungu. Kau selalu mengancam ketenteraman dan kedamaian di daerah ini. Kau memperbudak penduduk dan menjadikannya sebagai sapi perahan.

“Nyawa manusia tak kau hargai sedikit pun juga. Kau betul-betul biadab, kau menambah derita bangsa kita yang sedang terjajah. Orang semacam kau seharusnya tak perlu dilahirkan ke dunia ini!”

“Aku tak butuh kotbahmu, monyet sembung!”

“Ingat, Gembong Wungu! Kezaliman pasti akan segera berakhir!”

“Tutup bacotmu, bedebah.......!”

Gembong Wungu tiba-tiba mengayunkan tangan kirinya. Maka tampaklah kilatan-kilatan cahaya menyambar ke arah dada dan pusar Parmin. Dengan sikapnya yang sangat licik, pendekar bermata satu itu menyerang Parmin dengan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil.

Untunglah pendekar yang dijuluki Jaka Sembung itu selalu waspada. Dengan gerakan yang sangat cepat, yang juga disertai teriakan nyaring, ia meloncat menghindari senjata rahasia lawan.

Namun begitu ia menginjakkan kakinya di tanah, sudah menyusul lagi serangan Gembong Wungu. Goloknya ia ayunkan membabat ke arah kedua kaki Parmin.

Terpaksa pendekar muda usia itu meloncat lagi dan bergelantungan ke dahan pohon. Setelah itu ia melompat jatuh ke belakang, mempersiapkan diri menghadapi serangan Gembong Wungu selanjutnya. Ia mencabut goloknya, lalu memasang kuda-kuda dari ilmu silat andalannya.

“Kau pasti mampus di tanganku, Jaka Sembung.......” teriak lelaki bermata satu itu geram. Ia kembali menyerang dengan ganas.

Diam-diam Parmin merasa terkejut juga menyaksikan betapa hebat dan dahsyatnya serangan lawan. Jurus-jurus yang dikeluarkan gembong Wungu selalu mengandung maut dan mempunyai perkembangan yang sulit diterka.

Nyatalah sudah, jagoan bermata satu itu mempelajari ilmu silat kelas tinggi secara sesat. Tak ada jurusnya yang tidak ganas dan penuh tipu daya, sehingga kalau lawan lengah sedikit saja pastilah terjungkal atau tewas seketika.

Maka Parmin segera mengeluarkan jurus-jurus yang sangat baik untuk bertahan. Gulungan sinar goloknya membentuk benteng pertahanan yang sangat kokoh bagaikan tembok batu karang. Dan sekali-kali sinar mata goloknya mencelat mengincar tubuh lawan dengan serangan yang juga berbahaya.

Pertempuran itu makin lama makin seru dan menegangkan. Jurus demi jurus berlalu begitu cepat. Rumput-rumput laksana tercabut dari akar-akarnya dan daun-daunan rontok berguguran terkena sambaran tenaga dalam kedua jagoan yang sedang bertarung mengadu nyawa itu.

Sepuluh, duapuluh, tigapuluh, empatpuluh jurus berlalu dengan keadaan yang cukup berimbang. Serangan golok Gembong Wungu tampak lebih cepat dan berbahaya, sebaliknya Parmin memiliki kelincahan gerak yang sedikit lebih unggul dari lawan.

Memasuki jurus yang kelimapuluh, Gembong Wungu mengeluarkan jurus “Angin Beliung”, yang merupakan puncak dari ilmu pedang andalannya “Dewa Banyu Nitis”.

Begitu menghadapi jurus maut itu, Parmin merasa sangat kewalahan. Nafasnya hampir putus karena harus melakukan jungkir balik beberapa kali di udara tanpa mendapat kesempatan menginjak tanah.

Ketika serangan Gembong Wungu agak mengendur, Parmin meloncat jauh ke belakang, mengatur nafas mempersiapkan jurus baru.

“Ha-ha-ha.......! Cuma sampai disinikah kepandaian pendekar yang diagung-agungkan rakyat Gunung Sembung? Kurasa si Subekti itu terlalu mengobral julukan,” kata Gembong Wungu mengejek.

Parmin tidak memperdulikan sindiran lawan. Ia mulai tenang kembali. Setelah konsentrasi sejenak, ia mulai mempersiapkan jurus ampuh dari ilmu silat “Gunung Sembung” yaitu jurus yang kesembilanpuluh sembilan dengan sebutan jurus “Wahyu Taqwa”.

Guruku bilang jurus ini belum pernah dilumpuhkan oleh cabang persilatan mana pun di tanah Pasundan ini, pikir Parmin.

Disertai teriakan mengguntur, Parmin menyerang Gembong Wungu. Tubuhnya melayang di udara, mempersiapkan serangan maut dari kedua tangan dan kakinya.

Melihat serangan itu, terkejut juga Gembong Wungu, karena tak dapat dipungkiri lagi, serangan itu sangatlah berbahaya. Ia mengelakkan tendangan kaki Parmin, kemudian mengerahkan segenap tenaga dalamnya menangkis sabetan senjata lawan.

“Trang........!” Kedua senjata itu beradu keras.

Bunga-bunga api bertebaran, karena kerasnya pertemuan kedua senjata itu. Kedua tubuh pendekar itu sama-sama terdorong mundur beberapa meter pertanda tenaga dalam mereka cukup berimbang.

Dan apa yang telah terjadi benar-benar mengejutkan kedua pendekar itu. Golok di tangan Parmin terpental jauh, sedangkan golok Gembong Wungu patah pada bagian ujungnya.

Hal itu membuat raja rampok itu sangat geram. Dengan raungan bagai harimau lapar, ia menyerang Jaka Sembung dengan golok buntungnya.

“Kau akan segera mampus, monyet sialan.......!” bentaknya.

Tetapi tiba-tiba pedang di tangannya terhenti di tengah jalan dan ia berteriak kaget ketika seekor monyet menerkam lengannya. Dengan perasaan semakin geram, Gembong Wungu menyabetkan senjatanya dan hewan kecil itu memekik. Tubuhnya melambung ke udara dalam keadaan terbelah dua.

Rupanya kejadian itu membuat monyet-monyet lainnya menjadi marah. Bagaikan hujan yang turun dari langit, berpuluh-puluh bahkan mungkin ratusan jumlahnya, monyet-monyet berloncatan dari pepohonan menyerbu Gembong Wungu, dari segala penjuru.

Dalam beberapa gebrakan, pendekar bermata satu itu memang bisa membunuh beberapa bahkan puluhan monyet yang menyerangnya. Namun karena hewan itu sangat banyak, ia akhirnya kewalahan juga.

Bahkan tak lama kemudian, ia benar-benar tak berdaya. Monyet-monyet itu menggigiti sekujur tubuhnya, bagaikan semut menggerogoti bangkai tikus.

“Aduh....... tolong........ tolong.......!” teriak Gembong Wungu kesakitan.

Tubuhnya menggelepar-gelepar dan bergulingan ke sana kemari dengan tubuh penuh bekas gigitan dan cakaran monyet. Karena sangat panik dan kesakitan, Gembong Wungu kemudian berlari-lari tak tentu arah karena matanya yang tinggal satu itu juga sudah luka dicakar monyet.

Ia terus berlari sambil melolong-lolong menjauhi tempat itu. Nasib naas rupanya telah tiba bagi jagoan sakti itu. Ia justru berlari ke arah jurang yang sangat dalam yang dasarnya penuh batu cadas runcing.

Sambil menjerit panjang, tubuh Gembong Wungu terhempas dan melayang-layang ke dalam jurang, bersama monyet-monyet yang mengerubutinya.

Sambil menghela nafas dalam-dalam, Parmin melangkah perlahan ke pinggir jurang. Ia mencoba melihat ke dasar jurang. Tetapi dia tidak bisa melihat apa-apa, karena dasar jurang itu gelap. Tidak terdengar lagi suara jeritan Gembong Wungu. Tak terlihat lagi sepak terjangnya yang sangat ganas.

“Parmin.......” tiba-tiba terdengar suara halus di belakangnya.

Manakala Parmin menoleh ke belakang, tampaklah olehnya Ranti berdiri sambil menatapnya dengan airmata berlinang-linang.

“Parmin, terimakasih.......” ujar gadis itu lirih.

“Bukan aku yang membunuhnya, nona Ranti. Dia terlalu hebat untuk kukalahkan. Aku hampir saja tewas di tangannya. Tuhanlah yang menghendaki kematiannya.

“Sayang, selama ini ia mempergunakan kehebatannya untuk memerangi bangsa sendiri. Dia menutup mata dari kenyataan bahwa bangsanya sangat menderita karena penjajah,” kata Parmin sedih.

Ranti tidak menyahut. Air matanya makin deras membasahi wajahnya.

“Nona Ranti,” kata Parmin lagi, “Semuanya telah berlalu. Bimbinglah sisa anak buah Gembong Wungu ke jalan yang benar. Tanamkan ke dalam jiwa mereka tentang kesadaran bertanah air. Engkaulah pemimpin mereka di desa ini. Dan kau boleh minta nasehat kepada Pak Tani tua jika hendak memutuskan sesuatu.”

“Kurasa aku tak mampu. Kaulah yang lebih pantas memegang kedudukan itu. Kau merupakan malaikat penolong bagi desa ini, bahkan di seluruh lereng Ciremai ini.”

“Perjalananku masih jauh, Ranti. Aku harus menghubungi pendekar di seluruh daerah selatan ini. Berjanjilah, Ranti. Kita saling bahu-membahu mengusir penjajah dari bumi nusantara ini. Aku segera melanjutkan perjalanan setelah Pak Tani itu sembuh dari lukanya.”

***

Malam itu terang bulan. Angin bertiup lembut mengusap bumi persada. Bintang-bintang bertaburan bagaikan zamrud mutu manikan. Bertebaran di atas permadani biru lazuardi. Semua itu melambangkan perdamaian di desa Perbutulan.

Dan nun di sana, sayup-sayup terdengar alunan seruling dengan nada rindu. Suara merdu seruling itu terhenti ketika Ranti muncul di hadapan Parmin si Jaka Sembung.

“Jadikah kau berangkat besok?” tanya gadis itu.

“Ya, nona Ranti.”

“Aku kesepian tanpa kau. Aku ingin ikut bersamamu ke mana pun kau pergi. Aku....... aku mencintaimu, Parmin.......”

“Nona Ranti, semua orang tentu tertarik padamu karena engkau sangat cantik. Tetapi aku tak boleh ingkar janji. Aku telah berjanji dengan seorang gadis yang setiap saat kurindukan. Seorang lelaki tak boleh mengingkari janjinya, Ranti. Kudoakan semoga engkau memperoleh jodoh yang lebih berarti dariku kelak.”

Esok harinya, Jaka Sembung meninggalkan desa Perbutulan, diantarkan Ranti dan Petani Tua itu. Ia terus menuju selatan. Di sana puncak Gunung Ciremai menjulang megah, seakan-akan menantang minta ditaklukkan. Sedang pada wajah yang ditinggalkan terlukis perasaan berlainan.

Petani Tua itu terharu, sedang pipi Ranti basah oleh airmata menyaksikan keberangkatan pendekar yang dikaguminya, Pendekar Jaka Sembung, yang di pundaknya kini terletak tugas yang sangat penting, demi tanah air tercinta. Bagaimanakah nasib Ranti, gadis pendekar anak angkat Gembong Wungu setelah kepala rampok dari lereng utara Gunung Ciremai itu tewas di tangan Jaka Sembung?

Apa yang ia lakukan dengan dendam cinta tak terbalas? Tak mungkin ia menyerah begitu saja, karena sifat manja dan keras kepala akibat salah-asuh akan mendorongnya untuk berbuat sesuatu diluar dugaan.

S E L E S A I

Tunggulah episode yang berjudul: “AIR MATA KASIH TERTUMPAH DI KANDANG HAUR”