Trio Detektif - Misteri Rumah yang Mengkerut(1)


TRIO DETEKTIF MISTERI RUMAH YANG MENGKERUT

THE MYSTERY OF THE SHRINKING HOUSE
by Alfred Hitchcock Text by William Arden
Alih bahasa: Agus Setiadi
PT. Gramedia Pustaka Utama Cetakan keenam: Februari 2001


PENDAHULUAN

Pertama kali aku berjumpa dengan tiga sekawan remaja pria yang menamakan diri mereka Trio Detektif, aku waktu itu secara sembrono menyatakan kesediaanku untuk menulis pendahuluan untuk laporan kasus-kasus mereka yang paling menarik. Saat itu tak kusadari bahwa mereka kemudian ternyata sangat cekatan. Nanti akan kalian lihat, bahwa aku sekali ini agak segan menulis kata pengantar. Tapi ketiga remaja itu pandai bersiasat. Aku terjebak - dan karenanya kini harus memenuhi janjiku, memperkenalkan Trio Detektif pada pembaca yang baru sekali ini berurusan dengan mereka.
Biro penyelidik remaja yang tangguh ini beranggotakan Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews. Mereka tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di California yang letaknya tidak jauh dari Hollywood. Jupiter otak kelompok itu, sedang Pete ototnya. Dan Bob, yang paling gemar membaca di antara mereka bertiga, bertugas menangani segi riset.
Bertiga, mereka merupakan regu yang tangguh. Penjahat paling licik pun bisa mereka perdayai.
Mereka berhasil mengatasi bermacam-macam situasi yang sangat menyeramkan. Dalam kasus mereka yang terbaru, mereka diminta melacak peninggalan milik seorang seniman yang sudah meninggal. Tugas yang kelihatannya biasa-biasa saja - tapi itu kemudian menyurukkan mereka ke berbagai kejadian misterius dan berbelit-belit.
Rasanya ini sudah cukup sebagai kata pengantar. Selanjutnya silakan baca sendiri... kalau berani!

Alfred Hitchcock

Bab 1
SOSOK SERBA HITAM

Jupiter terkejut.
"Eh - coba lihat itu, Paman Titus!" serunya.
Saat itu truk perusahaan Jones Salvage Yard baru saja berhenti di jalan masuk ke rumah tua yang terletak di Remuda Canyon, di pinggiran kota Rocky Beach. Jupiter duduk bersama temannya, Pete Crenshaw, di dalam kabin truk yang dikemudikan pamannya, Titus Jones.
"Apa?" Paman Titus ikut kaget. "Lihat ke mana, Jupiter?"
"Itu, di sana - di sisi rumah itu!"
Jupiter menuding ke tempat yang sudah diselubungi keremangan senja. Sesuatu berwarna hitam nampak seperti tergantung pada dinding samping rumah kayu yang besar dan sudah tua, yang dibangun di dalam ngarai. "Aku tidak melihat apa-apa di sana, Jupiter Jones," kata Paman Titus. "Nah lu - aku juga tidak, Jupe," kata Pete.
Jupiter melongo. Sosok serba hitam yang dilihatnya tadi, kini tidak ada lagi. Padahal baru saja masih nampak menempel pada dinding samping rumah itu! Sekarang, tahu-tahu menghilang. Atau memang tadi pun tidak ada?
"Aku yakin, aku tadi melihat seseorang di situ!" kata Jupiter. "Seseorang berpakaian serba hitam, di tengah-tengah dinding samping rumah itu!"
Paman Titus memandang rumah kayu besar itu dengan perasaan sangsi. Bayangan ngarai pada dinding rumah terpencil itu, serta pondok di dekatnya, bisa saja menimbulkan pikiran yang aneh-aneh. Tapi lingkungan di situ tenang dan damai.
"Mungkin yang kaulihat itu bayangan, Jupe," kata Paman Titus.
"Bayangan ngarai memang bisa mengelabui penglihatan," kata Pete sependapat.
"Tidak," kata Jupiter berkeras, "aku tadi melihat seseorang berpakaian serba hitam - dan kurasa ia masuk ke rumah itu lewat salah satu jendela!"
Paman Titus bimbang. Ia tahu, keponakannya yang bertubuh gempal itu daya khayalnya luar biasa, dan ia tidak ingin ribut-ribut tanpa alasan. Tapi ia juga tahu, Jupiter biasanya benar.
"Baiklah, kalau begitu," kata Paman Titus kemudian. "Kita beritahukan saja apa yang kaulihat itu pada Profesor Carswell."
Kedua remaja itu mengikuti Paman Titus, menuju pintu depan rumah besar itu lewat jalan yang sudah mulai menyemak. Rumah itu dibangun abad yang silam, dengan bentuk atap yang bersudut-sudut tonggak-tonggak penopang atap selasar, serta pintu depan yang kokoh buatannya.
Pria yang membukakan pintu bertubuh kurus jangkung, dengan rongga mata yang sangat cekung. Ia mengenakan jas wol tebal, padahal saat itu sedang musim panas. Di tangannya ada sebuah buku tebal, berbahasa asing.
"Profesor Carswell?" kata Paman Titus dengan nada bertanya.
Pria itu tersenyum.
"Dan Anda pasti Mr. Jones, dari perusahaan barang bekas. Silakan masuk. Barang-barang yang hendak saya jual Paman Titus langsung memotong.
"Saya tidak bermaksud mengejutkan Anda, Profesor - tapi keponakan saya ini berkeras bahwa ia tadi melihat seseorang berpakaian serba hitam memanjat dinding samping rumah Anda."
"Orang memanjat rumah ini?" Profesor itu memandang ketiga tamunya sambil mengejap-ngejapkan mata. "Kalian pasti salah lihat."
"Tidak, Sir," kata Jupiter berkeras. "Saya yakin tidak salah lihat. Anda punya barang berharga, yang mungkin diincar pencuri?"
"Tidak, Anak muda. Sama sekali tidak," kata Profesor Carswell. "Aku bukannya tidak mau percaya bahwa kau tadi melihat sesuatu, jika kau mengatakan begitu. Aku cuma tidak tahu... ah, tentu saja! Kau tadi mestinya melihat anakku yang sedang bermain-main. Ia memiliki pakaian cowboy berwarna serba hitam - dan aku rasanya tidak mampu meyakinkan Hal, bahwa pintu merupakan jalan masuk yang lebih baik daripada jendela."
Profesor itu mengatakannya sambil tersenyum. Paman Titus mengangguk.
"Ya, pasti itu tadi dia," katanya. "Saya tahu kebiasaan anak laki-laki. Ya, ya!"
"Berapa umur anak laki-laki Anda itu, Sir?" tanya Jupiter.
"Agak lebih muda sedikit dari kau, tapi lebih tinggi. Setinggi temanmu ini." Profesor Carswell mengangguk ke arah Pete.
"Orang yang saya lihat tadi, ukuran badannya jauh lebih tinggi," kata Jupiter dengan tegas.
"O, ya?" Profesor Carswell memandang Jupiter dengan sikap kurang percaya. "Baiklah, Anak muda. Kita lihat saja, apakah pencuri itu ada di dalam."
Profesor itu mengajak mereka memeriksa ruangan-ruangan di tingkat bawah, yang kebanyakan kosong dan dikunci.
"Zaman sekarang ini, profesor jurusan bahasa sebenarnya tidak mampu tinggal di rumah sebesar ini," kata Profesor Carswell dengan nada sedih. "Nenek moyangku dulu nakoda-nakoda kaya, yang dengan kapal-kapal mereka mengangkut barang-barang dari daerah Timur kemari. Mereka yang membangun rumah ini. Sekarang yang tinggal hanya aku seorang diri, serta anak laki-lakiku. Seorang sepupu mewariskannya pada kami setahun yang lalu. Kebanyakan kamar-kamarnya kami tutup sedang rumah kecil yang dulu ditinggali pengurus tempat ini kami sewakan, untuk menutup biaya perawatan."
Mereka tidak menemukan apa-apa di tingkat bawah, lalu naik ke tingkat atas. Kamar-kamar di situ kebanyakan juga kosong. Di situ pun tidak ada siapa-siapa. Jupiter memperhatikan keadaan kamar-kamar itu.
"Tidak banyak yang bisa dicuri di sini," katanya mengakui. "Kau kedengarannya kecewa," kata Profesor Carswell.
"Jupe ini menyukai misteri," kata Pete. "Tapi sudah jelas, di sini tidak ada pencuri."
"Anak Profesor Carswell juga tidak ada," kata Jupiter menegaskan, sambil merenung. "Aku tahu pasti, aku tadi melihat seseorang." Ia menoleh ke arah Profesor Carswell. "Anda menelepon Paman Titus, karena hendak meloakkan beberapa barang. Adakah barang berharga di antaranya?"
"Kalau benar begitu, alangkah baiknya," kata pria jangkung itu. "Tapi yang hendak kujual itu cuma barang-barang peninggalan Mr. Cameron, ketika orang tua yang malang itu meninggal sebulan yang lalu, dalam pondok kami. Isi dua buah kopor, serta sejumlah lukisannya. Mr. Cameron itu pelukis amatiran. Hidupnya menyendiri, seperti pertapa. Miliknya tidak seberapa, dan bahkan sewa rumah selama beberapa bulan terakhir pun tidak bisa dibayarnya. Dengan menjual miliknya yang sedikit itu pada pamanmu, aku berharap akan bisa agak menutup kerugian karena tunggakan sewa rumah itu."
"Orang yang hidup menyendiri, kadang-kadang memiliki barang berharga, yang disembunyikan," kata Jupiter.
Profesor Carswell tersenyum.
"Lagakmu ini seperti detektif saja," katanya.
"Kami memang detektif!" kata Pete dengan segera. "Tunjukkan padanya, Jupe!" Jupiter mengeluarkan secarik kartu nama, di situ tertera:

TRIO DETEKTIF
"Kami Menyelidiki Apa Saja"
? ? ?
Penyelidik Satu - Jupiter Jones
Penyelidik Dua - Peter Crenshaw
Data dan Riset - Bob Andrews

"Wah, wah - benar-benar mengesankan," kata Profesor Carswell. "Tapi sayang, di sini tidak ada apa-apa yang perlu diselidiki. Pasti yang kaulihat tadi itu bayangan ngarai." Saat itu dengan tiba-tiba terdengar suara orang berteriak. "Tolong! Tolong!"
Semuanya kaget. Tiba-tiba wajah Profesor Carswell menjadi pucat. Ia memasang telinga. "Tolong!"
Suara itu datang dari luar rumah. "Ayah!"
"Itu suara Hal - anakku!" seru Profesor Carswell. Seketika itu juga ia lari menuruni tangga, diikuti oleh yang lain-lainnya. Suara berteriak tadi terdengar lagi, di tengah keremangan ngarai. Datangnya dari rumah kecil, yang terletak di sisi sebelah kiri.
"Tolong!"

Bab 2
JUPITER BENAR - DAN KELIRU!

Profesor Carswell lari secepat-cepatnya melintasi lapangan rumput, menuju rumah kecil itu. Paman Titus dan Pete menyusul tidak jauh di belakangnya. Sedang Jupiter - yang tidak bisa dibilang langsing - lari paling belakang, sambil mendengus-dengus. Mereka melewati beranda yang dinaungi tenda terpal yang ditambal, langsung menyerbu masuk ke ruang duduk yang sempit. Ruangan yang tidak banyak perabotnya itu - kosong!
"Harold!" seru Profesor Carswell. Suaranya mengandung nada cemas.
"Ayah! Tolong!"
Suara itu datang dari kamar tidur yang kecil. Pete dan Paman Titus mengikuti Profesor, masuk ke kamar itu. Mereka melihat sebuah ranjang sempit, sebuah kursi, serta sebuah meja tulis besar. Meja itu terguling. Seorang anak laki-laki berbadan kurus tergeletak di lantai, tertindih meja tulis. Profesor Carswell bergegas menghampirinya.
"Aku tidak apa-apa, Ayah," kata anak itu, "cuma tidak bisa berdiri saja."
Profesor Carswell, Pete dan Paman Titus mengerahkan tenaga serempak, mengangkat meja yang menindih Hal Carswell. Anak itu berdiri, lalu membersihkan debu yang menempel pada pakaiannya.
"Aku tadi mendengar bunyi yang mencurigakan di sini," kata Hal menjelaskan pada ayahnya, "karena itu aku langsung masuk. Ternyata ada orang berpakaian serba hitam - dan bertopeng. Ketika aku berteriak, didorongnya meja tulis ini sehingga menimpaku - sedang dia sendiri lari lewat belakang!"
"Kalau begitu Jupe benar!" seru Pete. "Ternyata ia benar-benar melihat seseorang berpakaian hitam-hitam - tapi orang itu dilihatnya bukan saat sedang masuk, tapi ke luar! Jupe..."
Pete mencari-cari di dalam kamar tidur itu, lalu menjenguk ke kamar duduk. Tapi Jupiter tidak ada di dalam rumah
itu.
"Jupiter Jones!" seru Paman Titus memanggil.
"Wah." Pete meneguk ludah. "Ketika kita lari ke luar tadi, ia ada di belakang kita. Ke mana dia sekarang?" Profesor Carswell berpaling pada anaknya.
"Katamu tadi orang bertopeng itu lari lewat belakang? Membawa senjatakah dia, Hal?" "Aku tidak melihat -"
Sekali lagi semuanya dikagetkan suara teriakan. "Aaaahh!"
Profesor Carswell berpaling dengan cepat.
"Bunyinya seperti datang dari parit yang di belakang! Jangan-jangan ada yang terperosok ke situ!" "Dalamkah parit itu?" tanya Paman Titus dengan gugup.
"Tidak begitu dalam, tapi lumayan untuk menyebabkan orang cedera," kata Profesor. "Yuk, ikuti saya."
Profesor jangkung itu bergegas mendului ke bagian belakang rumah kecil itu, lalu menerobos semak gersang yang rapat serta pohon-pohon ek, dalam kegelapan bayangan ngarai yang semakin memanjang. Rombongan kecil itu berhenti di pinggir sebuah parit sempit bersisi curam. Parit itu dalamnya sekitar tiga meter dan memotong dasar ngarai. Alasnya penuh dengan batu-batu yang berserakan, serta pepohonan yang tumbang karena tanah penunjang akarnya sudah tidak ada lagi.
Tapi Jupiter tidak ada di situ - atau pun orang lain.
"Lihat - itu!" seru Pete sambil menuding.
Pada batu-batu yang terhampar agak di sebelah kanan di dasar parit, nampak bercak berwarna gelap. Rombongan kecil itu bergegas turun ke dasar parit, mendatangi batu-batu itu. Pete menyentuh bercak tadi. Basah! "Ini darah," katanya. Sekali lagi ia meneguk ludah.
Tadi, ketika Pete serta yang lain-lainnya menyerbu masuk ke dalam rumah kecil, Jupiter tertinggal jauh di belakang. Ia melihat orang yang berpakaian hitam-hitam lari ke luar dari sebelah belakang rumah, menuju semak belukar di bagian belakang pekarangan rumah itu.
Seketika itu juga Jupiter sadar bahwa kecuali dia, tidak ada lagi yang melihat orang yang lari itu. Dan orang itu pasti sudah sempat menghilang, jika Jupiter masuk ke rumah untuk memberi tahu yang lain-lain. Hanya sesaat saja Jupiter sangsi. Setelah itu ia berbalik, lalu mengejar orang yang lari.
Ia tidak sempat lagi melihat orang itu dengan jelas, sebelum sosok hitam itu menghilang di tengah semak belukar dan pohon-pohon ek yang berdebu. Dengan napas tersengal-sengal Jupiter sampai di tempat yang bersemak. Saat itu dari arah depannya terdengar suara orang berteriak, diiringi bunyi berisik sesuatu jatuh terpeleset, disusul bunyi berdebam, dan suara mengerang.
Jupiter menyelinap di sela-sela semak rapat, menghampiri tepi sebuah parit yang sempit dan curam. Dalam kegelapan bayangan di dasar parit itu, sosok hitam tadi berdiri terhuyung-huyung, lalu lari terpincang-pincang ke arah kanan. Kaki kirinya diseret.
Jupiter meluncur ke dasar parit. Sesampai di situ, ditemukannya bekas darah pada permukaan beberapa bongkah batu. Dari situ nampak jejak darah menuju ke kanan. Jupiter mengikuti jejak itu dengan berhati-hati. Parit itu merupakan tempat yang sangat cocok untuk mengadakan serangan dengan tiba-tiba, jika orang tak dikenal tadi tahu bahwa ia dibuntuti.
Jupiter mulai berlari, ketika dari arah depan terdengar bunyi pintu mobil ditutup, disusul suara mesin yang dihidupkan. Parit yang sedang ditelusuri Jupiter, ternyata kemudian sampai di tepi jalan raya ngarai. Jalan itu melengkung kembali sepanjang sisi tanah milik keluarga Carswell, lalu membelok dan menuju ke arah Rocky Beach. Ketika Jupiter yang mengejar sampai di tepi jalan raya itu, ia masih sempat melihat lampu-lampu belakang mobil tadi yang semakin mengecil, menuju ke Rocky Beach.
* * *
Pete masih memandang bercak darah di batu-batu pada dasar parit, ketika ia kemudian mendengar orang datang. Paman Titus juga mendengarnya.
"Bersembunyi, Peter!" kata Paman Titus. "Semuanya...!"
Semua meringkuk dalam kegelapan bayangan parit, siap untuk menyergap orang yang datang itu - Jupiter muncul dari balik tikungan parit. Peter terkejut.
"Jupe!" serunya. "Apakah yang terjadi tadi?"
"Aku mengejar orang itu - tapi ia berhasil meloloskan diri," kata Jupiter. Paman Titus marah-marah.
"Jupiter Jones!" sergahnya. "Kau ini bagaimana - masa seorang diri hendak menangkap pencuri?!"
"Aku bukan hendak menangkapnya, Paman - tapi cuma ingin melihat mukanya saja. Tapi tidak berhasil, karena terlalu gelap. Lagi pula ia naik mobil."
"Aku tidak mengerti, apa sebenarnya yang dicarinya di sini." Profesor Carswell menggeleng-geleng. "Kurasa, paling-paling ia keliru memilih rumah. Memang rumah-rumah besar di ngarai ini ada yang ditinggali orang-orang kaya! - Yah, pokoknya, bagaimana kalau kita sekarang kembali saja pada urusan kita, Mr. Jones?"
Mereka kembali ke rumah yang kecil. Profesor Carswell menyalakan lampu-lampu, lalu mengeluarkan dua buah kopor kulit yang sudah usang dari lemari dinding kamar tidur. Satu di antaranya berisi pakaian: satu setelan jas resmi model kuno, satu setelan dari bahan flanel, beberapa lembar kemeja, dasi-dasi, serta beberapa pasang kaus kaki. Sedang kopor yang kedua berisi cat untuk melukis, burung hantu yang sudah diawetkan, sebuah patung Dewi Venus berukuran kecil, sebuah teropong besar, serta sebuah kotak berisi sendok garpu dan pisau dari perak.
"Joshua - Mr. Cameron - biasa berpenampilan sembarangan, dan yang dipakainya selalu hanya baju kaus hangat, serta celana panjang kumal," kata Profesor Carswell. "Tapi nampak bahwa ia orang yang terpelajar. Dan kalau makan, selalu memakai barang-barang peraknya ini. Tapi selama tujuh bulan ia tinggal di sini, kerjanya hanya duduk-duduk di halaman di kursi terpal kami, sambil membuat sketsa. Sedang malam hari, ia selalu melukis. Ini - lihat!"
Ia menarik selubung terpal yang menyelubungi suatu tumpukan yang ada di sudut ruangan itu. Ternyata di bawahnya ada lukisan-lukisan. Jumlahnya dua puluh buah. Dan semuanya melukiskan rumah kecil itu, serta pekarangannya. Beberapa di antaranya menampakkan rumah dari jarak sangat dekat, tapi ada pula tempat bangunan itu kelihatan begitu jauh, sehingga yang kelihatan hanya tenda bergaris-garis yang menaungi beranda, dengan tambalannya.
"Lumayan juga," kata Paman Titus menilai. Dengan mata berkilat-kilat diperhatikannya isi kedua kopor itu. Paman Titus memang paling senang membeli barang-barang yang bisa dijualnya lagi kemudian. Istrinya, Bibi Mathilda, sering berkeluh kesah tentang segala barang aneh yang dibawa pulang oleh paman Jupiter itu. Tapi Paman Titus selalu yakin, kapan-kapan pasti akan ada peminat datang. Dan biasanya, ia benar.
"Semuanya ini hendak Anda jual?" tanyanya.
"Ya," jawab Profesor Carswell. "Ketika si tua itu meninggal, ia masih menunggak sewa. Ia kadang-kadang menerima kiriman uang dari Eropa. Lantas saya menulis surat ke alamat pengirim uang itu. Tapi sampai sekarang tidak ada jawaban. Tidak ada orang datang untuk mengurus. Sedang uang itu saya perlukan sekali."
Sementara Paman Titus asyik berunding tentang soal harga dengan Profesor, Jupiter memperhatikan barang-barang peninggalan Joshua Cameron yang tidak banyak. Ia merasa kecewa. Tidak satu pun yang kelihatan benar-benar berharga.
"Mr. Cameron meninggal karena apa, Hal?" tanyanya pada putra Profesor Carswell.
"Sakit," jawab Hal Carswell. "Aku berusaha menolongnya, tapi saat itu ia sudah mengigau karena demam. Tidak henti-hentinya mengoceh, tentang kanvas, serta malang-melintang. Kemudian dokter datang. Mr. Cameron hendak diangkut ke rumah sakit. Tapi sebelum itu terjadi, ia sudah meninggal dunia. Yah - ia memang sudah tua, lagi pula sakit-sakitan."
"Yah," kata Pete, "di antara barang-barang peninggalannya ini, jelas tidak ada yang mungkin diincar pencuri, Jupe. Kurasa orang tadi cuma salah masuk saja."
Jupiter mengangguk, sambil membisu. Kemudian barang-barang peninggalan Joshua Cameron dinaikkan ke truk. Setelah itu mereka berangkat pulang, melewati jalan ngarai yang banyak tikungannya itu. Ketika melintas di depan ujung parit, barulah Jupiter membuka mulut lagi.
"Bukan biasanya pencuri keliru mennilih rumah," katanya. Keningnya berkerut.
"Kurasa kita takkan pernah tahu, apa sebenarnya yang dimaui orang itu tadi," kata Pete!
"Ya, kurasa begitulah," kata Jupiter, lalu mendesah.
Tapi mereka keliru.

Bab 3
SEORANG KLIEN DATANG

Seminggu kemudian, Jupiter sedang bekerja di perusahaan barang bekas bersama anggota Trio Detektif yang ketiga, Bob Andrews. Saat itu hari sudah nnenjelang sore. Bob yang paling dulu melihat mobil Mercedes panjang berwarna kuning yang memasuki pekarangan, lalu berhenti di depan bedeng yang dijadikan kantor perusahaan.
Seorang laki-laki bertubuh kecil dan berpenampilan anggun turun dari kendaraan mewah itu. Rambutnya yang sudah putih berkilat-kilat keperakan kena sinar matahari sore. Ia memakai setelan musim panas berwarna putih, dengan rompi sutra biru. Tangannya yang dihiasi sesuatu yang kemilau, menggenggam tongkat kecil berwarna hitam. Orang itu berhenti sesaat, memandang ke arah Bob dan Jupiter. Kemudian berjalan dengan cepat, masuk ke kantor.
Bob dan Jupiter memandang saja, sambil melongo. Tapi kemudian Jupiter kaget.
"Aduh - sampai lupa! Kita kan disuruh Paman Titus menjaga kantor. Yuk!"
Kedua remaja itu cepat-cepat menuju ke kantor. Saat mereka melewati mobil Mercedes kuning, pintu belakang kendaraan itu terbuka. Seorang nyonya bertubuh tinggi semampai dengan rambut kelabu kebiruan yang disisir tinggi, turun. Nyonya itu memakai gaun sutra putih, dengan hiasan bros sederhana bertatahkan intan. Ia memandang kedua remaja yang kalah tinggi daripadanya, dengan sikap agung.
"Aku ingin bertemu dengan orang yang bernama Mr. Titus Jones. Adakah ia di sini?"
"Paman saya itu menugaskan saya untuk melayani, Ma'am, " kata Jupiter pada wanita berpenampilan agung itu. "O, ya? Anak semuda kau ini, sudah bisa diserahi tanggung jawab?" "Saya rasa bisa, Ma'am, " kata Jupiter dengan tegas.
"Bagus." Nyonya itu tersenyum. "Aku senang melihat sikap yakin, Anak muda."
"Di samping itu," kata Bob menambahkan sambil nyengir lebar, "setelah pukul lima, calon pembeli biasanya sudah jarang datang."
Kini nyonya itu tertawa.
"Aku juga menyenangi kejujuran. Tapi sekarang ada calon pembeli datang. Pengelola hartaku, Mr. Marechal, tadi sudah masuk ke kantor kalian. Jadi kita susul saja dia ke situ."
Ketika Jupe dan Bob yang mengikuti wanita anggun itu masuk, mereka masih sempat melihat laki-laki berambut perak tadi cepat-cepat meninggalkan meja kerja Paman Titus. Jupiter melihat bahwa catatan pembelian perusahaan terletak di atas meja itu. Dan kelihatannya sudah berpindah tempat.
"Armand," kata wanita bersikap penuh wibawa itu, "nampaknya anak-anak inilah yang berwenang di sini."
"Begitu, ya?" Laki-laki itu membungkukkan badan ke arah Bob dan Jupiter. Kedua remaja itu kini melihat apa yang tadi nampak kemilau di tangan orang itu. Ternyata gagang tongkatnya berkepala perak. "Kalau begitu kukatakan saja keperluan kami kemari. Tuan Putri ingin memperoleh kembali peninggalan mendiang Mr. Joshua Cameron yang dijual oleh Profesor Carswell pada perusahaan ini. Tentu saja kami bersedia memberi imbalan yang layak sebagai penggantinya."
"Adakah sesuatu yang berharga di antara benda-benda itu, Sir?" tanya Jupiter dengan bergairah. "Nilainya hanya sebagai kenang-kenangan saja," kata nyonya bertubuh tinggi semampai itu. "Tuan Putri ini adik Joshua Cameron," kata laki-laki pendampingnya menambahkan. "Anda benar-benar ningrat?" kata Bob kagum.
"Ya - atau tepatnya, mendiang suamiku pangeran," kata Tuan Putri sambil tersenyum. "Tapi aku sendiri - sebelum menikah dengan dia - nama keluargaku Cameron. Aku ini adik Joshua yang malang itu. Abangku itu berwatak eksentrik dan suka hidup menyendiri. Karena umurku dua puluh tahun lebih muda, kami berdua tidak begitu dekat. Walau demikian, sedih juga hatiku mengingat ia meninggal dunia seorang diri, di tempat asing."
"Sampai beberapa hari yang lalu, kami masih di Afrika," kata orang yang bernama Mr. Marechal. "Kami baru saja menerima surat Profesor Carswell yang menyampaikan kabar bahwa Joshua meninggal dunia dalam keadaan menyedihkan. Kami langsung terbang ke Amerika pada kesempatan pertama. Tapi malang, peninggalan Joshua sudah dijual Profesor Carswell kemari, untuk menutup tunggakan sewa rumah. Jumlah yang tidak berarti. Kami bersedia memberi imbalan lipat dua dari jumlah itu, asal peninggalan mendiang bisa kami peroleh kembali."
"Akan kami ambilkan sebentar," kata Bob dengan cepat. "Maaf, Tuan Putri."
Sambil membawa buku catatan pembelian, kedua remaja itu pergi ke luar. Jupiter mencari-cari kedua kopor, begitu pula pakaian, serta peralatan makan. Sedang Bob mencari burung hantu yang diawetkan, patung Dewi Venus, serta teropong. Mereka menanyakan tempat penyimpanan lukisan-lukisan yang dua puluh buah pada Hans dan Konrad, kedua abang-adik pemuda Jerman yang bekerja di situ. Lima belas menit kemudian Jupe dan Bob kembali ke kantor dengan sikap lesu.
"Maaf," kata Jupiter dengan sedih. "Barang-barang itu rupanya sudah terjual semua - kecuali pakaian." "Pakaiannya boleh kalian tahan," kata Mr. Marechal. "Tapi kecuali itu, tidak ada yang kalian temukan? Lukisan-lukisan juga tidak?"
"Kalau tentang itu - aneh, barang-barang itu tidak ada di sini," kata Jupiter. "Padahal jarang ada orang datang membeli lukisan."
"Lalu ke mana perginya?" tanya Mr. Marechal. Jupiter menggelengkan kepala.
"Kami memiliki catatan tentang barang-barang yang dibeli, Mr. Marechal - termasuk dari siapa - tapi kalau tentang pembeli, kami tidak punya! Begitu banyak orang kemari untuk membeli satu barang saja, dan kami semua berfungsi sebagai penjual. Konrad, salah seorang pembantu di sini, mengatakan bahwa kalau tidak salah semua lukisan itu dijualnya pada satu orang saja. Tapi ia tidak ingat lagi pada siapa. Saya rasa, kami jarang ingat siapa saja yang kemari untuk membeli sesuatu."
"Wah - sayang sekali, Anak-anak," kata Tuan Putri.
"Tidak bisakah kalian dengan salah satu cara mengetahuinya?" kata Mr. Marechal.
Mendengar pertanyaan itu, mata Jupiter langsung bersinar-sinar.
"Yah, Sir - mungkin bisa saja kami mencarinya, jika..."
Kening Tuan Putri mengkerut, melihat Jupiter agak ragu.
"Jika apa, Anak muda?" kata wanita itu. "Ayo, katakan saja!"
Jupiter menegakkan sikapnya, agar kelihatan berwibawa.
"Jika Anda bersedia memakai tenaga kami, kebetulan kami ini detektif. Maksud saya, saya sendiri, Bob, lalu seorang teman lagi, yaitu Pete. Ini kartu nama kami."
Pemimpin Trio Detektif bertubuh gempal itu menyodorkan kartu bisnis mereka. Selembar kartu berwarna hijau. Pada kartu itu tertera tulisan berikut:
Dengan ini dijelaskan bahwa pemegang kartu ini Petugas Remaja Pembantu Sukarela yang bekerja sama dengan Dinas Kepolisian Rocky Beach. Mohon agar pada yang bersangkutan diberikan bantuan seperti yang diperlukan, untuk mana kami mengucapkan terima kasih.
(ttd.) Samuel Reynolds Kepala Polisi
Tuan Putri tersenyum.
"Sangat mengesankan, Anak-anak, tapi -"
"Maaf, Tuan Putri," kata Mr. Marechal memotong, lalu menganggukkan kepala pada Bob dan Jupiter. "Kita bukan orang sini - lain halnya dengan para remaja ini. Mereka sudah berpengalaman, dan tahu apa yang dicari. Di samping itu, kemungkinannya orang akan lebih bersedia mengembalikan barang-barang peninggalan Joshua, jika yang datang menanyakan anak-anak. Mereka ini nampaknya cukup cerdas. Kenapa tidak kita beri kesempatan saja pada mereka?"
Wanita yang bergelar Tuan Putri nampak menimbang-nimbang sebentar.
"Baiklah, Armand," katanya kemudian, "barangkali Anda benar. Dan aku benar-benar ingin benda-benda warisan keluarga kami bisa kembali - dan begitu pula lukisan-lukisan Joshua yang terakhir sebelum ia meninggal dunia." "Akan kami temukan semuanya, Ma'am, " kata Jupiter dan Bob serempak.
"Bagus," kata Mr. Marechal. "Kalian bisa menghubungi kami di The Cliff House Motel, di daerah pantai. Kami akan seminggu tinggal di hotel itu. Kemudian Tuan Putri harus kembali lagi ke Eropa. Nah - selamat bertugas, Anak-anak. "
Tuan Putri kembali ke mobil, diiringi oleh Mr. Marechal. Begitu Mercedes kuning itu meluncur meninggalkan perusahaan, Bob langsung berpaling pada Jupiter. "He, Jupe! Bagaimana kita bisa -"
Bob tertegun. Dilihatnya Jupiter sedang memandang sebuah mobil kecil berwarna biru yang saat itu melintas di depan gerbang perusahaan, mengikuti Mercedes kuning. "Aneh," kata Jupiter. "Apa yang aneh?" tanya Bob.
"Mobil biru itu langsung menyusul, begitu Mercedes tadi ke luar dari sini. Rupanya tadi diparkir dijalan, tidak jauh dari sini." "Lalu?"
"Tidak banyak orang memarkir kendaraan mereka di sini, kecuali jika hendak kemari," kata Jupiter. "Sedang selama setengah jam belakangan, tidak ada orang datang, kecuali Tuan Putri bersama Mr. Marechal." "Jadi menurutmu, mobil biru itu membuntuti -"
Kata-kata Bob terputus lagi, karena saat itu seorang anak laki-laki yang naik sepeda masuk ke perusahaan. Bob dan Jupiter sudah pernah melihatnya. Dia itu anak Profesor Carswell.
"He!" seru anak berambut coklat dan bertubuh langsing itu, begitu ia melihat keduanya. "Tuan Putri sudah kemari tadi?"
"Baru saja pergi lagi, Hal," kata Bob.
"Kalian mengembalikan barang-barang peninggalan Mr. Cameron padanya?"
"Barang-barang itu, kebanyakan sudah kami jual," kata Jupe. "Tapi kurasa kami bisa mengusahakan agar semuanya kembali."
Hal menghembuskan napas panjang.
"Syukurlah, kalau begitu," katanya. "Tadi siang, Tuan Putri datang ke rumah kami bersama Mr. Marechal. Ketika Ayah mengatakan bahwa barang-barang Mr. Cameron sudah kami jual pada kalian, nyonya itu marah-marah. Katanya kami seharusnya menunggu dulu, sampai ada jawaban atas surat kami. Mr. Marechal menenangkannya. Katanya, kami kan tidak mungkin tahu bahwa Joshua Cameron mempunyai saudara. Tapi aku tahu, ayahku sekarang bingung. Mungkin kami memang tidak boleh langsung menjual barang-barang itu. Tuan Putri bisa menyulitkan kami, jika peninggalan itu ternyata tidak bisa kembali!"
"He, Hal - ketika kedua orang itu datang ke rumah kalian tadi, apakah kaulihat sebuah mobil kecil berwarna biru diparkir di dekat dekat rumah?" tanya Jupiter.
"Mobil biru...?" Hal berusaha mengingat-ingat sebentar. "Ya, aku ingat - memang ada! Sebuah mobil biru kulihat melintas dijalan ngarai, langsung setelah wanita ningrat itu pergi. Di depan rumah kami jarang ada kendaraan lewat, karena jalan itu buntu di ujungnya. Biasanya cuma tetangga-tetangga saja yang lewat. Karena itu aku ingat pada mobil yang kaumaksudkan itu, karena aku tidak mengenalnya. - Tapi kenapa kau bertanya-tanya mengenainya?"
"Kami juga baru saja melihat sebuah mobil biru membuntuti kendaraan Tuan Putri, ketika ke luar dari sini!" kata Bob.
"Maksudmu, ada yang memata-matai wanita ningrat itu?"
"Begitulah kelihatannya," kata Jupiter. Tampangnya serius. "Mula-mula ada orang secara diam-diam memasuki rumah sewa kalian, Hal. Lalu sekarang ada yang mengamat-amati Tuan Putri dan Mr. Marechal. Dan dalam kedua kejadian itu, terlibat barang-barang peninggalan Joshua Cameron. Ada sesuatu yang misterius mengenainya, Teman teman."
"Apakah menurut dugaanmu, Joshua itu memiliki sesuatu yang berharga?" tanya Bob.
"Saat ini aku belum bisa mengatakan apa-apa, Bob. Sekarang kita terlebih dulu harus memikirkan cara mendapatkan kembali barang-barang peninggalan Mr. Cameron dari orang yang membelinya - siapa pun juga orang itu."
"Siapa pun juga orang itu?" kata Hal mengulangi. "Jadi kalian tidak tahu siapa pembeli itu?" "Sama sekali tidak," kata Jupiter dengan polos.
"Kalau begitu bagaimana kalian bisa menemukannya?" tanya Hal dengan nada kaget. "Kurasa aku tahu caranya," kata Bob.
"Betul," kata Jupiter. "Kita menggunakan Hubungan Hantu ke Hantu!"

Bab 4
KEKELIRUAN JUPITER

"Hantu ke hantu?" Hal melongo "Tapi hantu kan tidak ada!"
"Sementara ilmuwan sudah tidak begitu yakin lagi tentang itu," kata Jupiter. "Tapi sistem komunikasi kami sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan hantu."
"Hanya orang dewasa saja yang mengira bahwa yang sedang sibuk itu pasti hantu," kata Bob menambah sambil tertawa.
Tidak lama kemudian Paman Titus datang dengan truknya. Kini Jupe dan Bob bebas tugas, sampai setelah makan malam. Mereka mengajak Hal masuk ke markas rahasia Trio Detektif - sebuah karavan tua yang sudah rusak. Karavan ini tersembunyi letaknya pada satu sisi kompleks perusahaan barang bekas itu, tertutup di balik tumpukan barang bekas. Jalan masuk utama ke situ dinamakan Lorong Dua, sebuah pipa saluran besar dari seng yang tersuruk di bawah barang-barang bekas, menuju sebuah tingkap di lantai karavan. Ketiga remaja itu merangkak-rangkak lewat pipa saluran itu, dan akhirnya muncul di sebuah ruangan sempit yang penuh dengan peralatan. Sebuah meja, kursi-kursi, lemari-lemari arsip, lalu pesawat telepon, serta berbagai peralatan lagi yang dibuat oleh Jupiter untuk keperluan kerja Trio Detektif. Di samping ruang kantor itu masih ada sebuah laboratorium kecil, serta sebuah kamar gelap.
Hal memandang berkeliling dengan perasaan, kagum. Tapi dengan segera ia kembali pada persoalan yang dihadapi.
"Mana mungkin kalian bisa menemukan kembali barang-barang peninggalan Mr. Cameron, jika tidak tahu siapa pembelinya?" tanyanya.
"Teman-temanmu ada berapa orang, Hal?" tanya Jupiter.
"Apa? Teman-teman? Maksudmu teman baik? Kalau itu - sekitar lima orang," jawab Hal. "Kenapa kau bertanya?"
Jupiter menjelaskan, bahwa Hal harus menelepon kelima teman baiknya itu. Pada masing-masing ia harus menyebutkan daftar barang-barang yang dicari. Lalu masing-masing teman itu menelepon lima teman lagi, dan kemudian yang ditelepon menghubungi lima teman selanjutnya. Dan begitu seterusnya. Sementara itu Jupiter, Bob, dan Pete, melakukan hal yang sama.
"Dalam waktu beberapa jam saja, setiap anak di Rocky Beach akan sudah ikut sibuk mencari. Bahkan mungkin anak-anak yang tinggal di Los Angeles, atau di Oxnard."
"Wow! Sampai sejauh itu?" Hal benar-benar terkesan. Dalam hati ia menghitung-hitung, berapa ribu orang yang akan dihubungi dengan cara demikian. "Kita bahkan bisa menghubungi seluruh dunia!"
"Kami selama ini belum pernah sampai sebegitu jauh," kata Jupiter, "tapi itu mungkin saja, jika masalah perbedaan bahasa bisa kita pecahkan."
"Tapi sampai berapa lama kita perlu menunggu sampai ada hasil yang masuk?" kata Hal "Soalnya, aku harus pulang untuk makan malam - lalu setelah itu aku diajak Ayah ke Los Angeles."
"Kalau soal hasil, paling cepat baru besok pagi," kata Jupiter. "Anak-anak yang kita hubungi, pasti baru mulai mencari setelah makan malam, jika orang-orang umumnya sudah pulang ke rumah masing-masing. Nanti waktu menelepon, kita sebutkan barang-barang apa saja yang dicari, berapa imbalan yang kita sediakan, serta ke mana barang-barang itu harus diserahkan. Kita juga perlu mengatakan bahwa anak-anak yang merasa sudah berhasil harus menghubungi kita dulu lewat telepon, untuk memberi tahu apa yang mereka temukan. Dengan begitu bisa kita saring apa-apa yang sudah pasti bukan barang Mr. Cameron - dan anak-anak tidak membanjir kemari."
"Kita perlu menyediakan hadiah untuk anak-anak itu," kata Bob mengingatkan.
"Hmmm." Jupiter berpikir sebentar. "Bagaimana jika kita katakan, barang siapa membawa barang yang memang dicari, boleh memilih sendiri barang yang diingini di perusahaan ini yang nilainya satu dolar ke bawah. Kecuali itu, kita tentu saja membayar kembali harga pembelian barang itu."
Kemudian mereka menyusun pesan yang akan diteruskan pada teman-teman mereka. Jupiter menelepon Pete untuk memberi tahu. Setelah itu mereka pulang ke rumah, untuk makan malam.
Pukul delapan malam itu, anak-anak Rocky Beach sudah sibuk mencari barang-barang peninggalan Joshua Cameron.
* * *
Pukul sembilan keesokan paginya, para anggota Trio Detektif berkumpul di kantor mereka. Ketiga remaja itu menunggu hasil Hubungan Hantu ke Hantu. Semua menatap pesawat telepon dengan sikap tegang.
"Pasti akan banyak barang-barang yang keliru," kata Jupiter mengetengahkan, "tapi karena kita dihubungi lewat telepon, waktu anak-anak itu takkan terbuang percuma."
Jupiter selalu membanggakan kemampuannya mengatur rencana secara matang, serta memperkirakan apa yang akan terjadi. Tapi menjelang pukul sepuluh, nampaknya sekali itu perkiraannya meleset. Pesawat telepon yang ada di dalam kantor mereka, sampai saat itu belum sekali pun berdering! Sikap yakin Jupiter mulai berkurang. Pete nampak merasa tidak enak.
"Mestinya saat ini sudah ada yang menghubungi kita," kata Jupe sambil menggigit-gigit bibir.
Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan. Datangnya dari tingkap di lantai, yang merupakan ujung Lorong Dua. Ketiga remaja yang ada di dalam kantor berpandang-pandangan dengan gelisah. Akhirnya Bob membukakan tingkap itu. Ternyata yang datang Hal Carswell. Anak itu masuk ke dalam ruangan.
"Wah - kenapa kalian semua ada di sini?" tanya anak profesor itu dengan heran. "Di luar banyak sekali anak-anak, dan semuanya mencari-cari kalian!"
"Di luar?" suara Jupiter terdengar agak goyah. "Tapi kita kan menyuruh mereka..."
"Eh - anu, Jupe," kata Pete lambat-lambat, "sedari tadi aku berusaha mengingat-ingat. Kita memang menyuruh menelepon kemari, tapi aku tidak ingat kita menyebutkan nomor pesawat kita pada mereka." "Wah," kata Bob, "aku juga tidak, Jupe?" "Nomor telepon?" kata Hal.
Dengan wajah merah, Jupiter membaca pesan yang ditulisnya kemarin malam, untuk disampaikan pada teman-teman mereka lewat Hubungan Hantu ke Hantu.
"Aku... rupanya aku lupa menuliskannya di sini," kata Jupiter. "Kalau begitu, lekas-lekas saja kita ke luar." "Paman Titus ada di situ tidak?" tanya Pete pada Hal.
"Aku tadi cuma melihat kedua pembantunya yang berbadan besar itu," kata Hal. "Mereka dikerumuni anak-anak." "Mendingan aku tidak ke luar saja, ah," kata Pete. Jupiter menarik napas dalam-dalam. "Kita harus ke luar, Pete," katanya.
* * *
Begitu sampai di luar, mereka menghadapi keadaan yang kacau balau. Pete mengerang.
"Bukan main," kata Hal, "masih saja ada yang datang!"
Perusahaan barang bekas itu penuh dengan anak-anak yang berkeliaran, laki-laki dan perempuan. Mereka berlari-lari sambil ribut berteriak-teriak. Ada yang memanjat-manjat tumpukan barang yang membukit. Jumlah mereka ratusan, berkeliaran seperti semut. Mereka mengerumuni Hans dan Konrad, sambil mengacung-acungkan berbagai benda yang mereka temukan. Sementara itu masih banyak lagi yang datang. Naik sepeda, dengan gerobak, mendorong otopet, atau berjalan kaki. Bahkan ada pula anak-anak belasan tahun yang datang dengan sepeda motor, serta mobil-mobil yang dicat belang bonteng.
"Kalian ini mau apa sih? Aku tidak tahu apa-apa!" seru Hans kebingungan. "Kami tidak menyuruh kalian datang!"
Tiba-tiba beberapa anak melihat Jupiter beserta ketiga kawannya.
"Itu! Itu pasti mereka!" seru salah seorang anak.
Seketika itu juga semuanya membanjir ke arah keempat remaja itu. Air muka Jupiter langsung menjadi pucat pasi. Ketika masih kecil, ia pernah menjadi bintang film, dengan nama Baby Fatso. Dan sejak dikerumuni fansnya dulu, Jupiter paling tidak suka pada kerumunan orang banyak.
"Bagaimana sekarang, Jupe?" seru Bob.
"Aku... aku..." Jupiter terbata-bata.
"Kita lari!" seru Pete panik.
Tiba-tiba Hal Carswell meloncat ke atas sebuah drum bekas tempat bensin. Sambil menghadap ke arah anak-anak yang datang membanjir, ia menyerukan serentetan kata-kata dalam bahasa asing, sambil sibuk melambai-lambaikan tangan. Anak-anak kaget. Mereka tertegun, lalu memandang Hal dengan heran.
"Cepat, Jupe," desak Pete, "apa yang bisa kita berikan pada mereka semua, sebagai hadiah? Cepat!"
"Hadiah... aku..." Jupiter masih tetap gugup. "Yah... kita punya lencana kampanye pemilihan umum yang sudah tidak dipakai lagi, satu tong penuh! Mungkin itu..."
"Bagus!" kata Pete. "Mudah-mudahan saja berhasil!"
Ia menghampiri anak-anak yang berkerumun sambil mengacung-acungkan barang yang hendak mereka jual.
"Oke!" seru Pete. "Semua mendapat lencana kampanye tua, sebagai cendera mata! Tidak ada satu pun yang sama! Setiap anak mendapat lencana yang lain! Siapa yang ingin memperolehnya, harus antri dalam lima barisan - menghadap kami! Barisan pertama di kiri, untuk kopor-kopor! Barisan berikut, burung hantu yang diawetkan, serta patung. Barisan ketiga, teropong. Barisan keempat, peralatan makan dari perak. Sedang barisan terakhir, lukisan! - Jangan mendorong-dorong, semua pasti kebagian! Setiap barisan akan dilayani oleh kami, sekaligus untuk meneliti apa yang kalian bawa. Oke! Sekarang bentuk barisan!"
Anak-anak - termasuk para remaja - bergegas membentuk lima barisan. Semua sadar, itu cara tercepat untuk mengakhiri situasi kacau itu.
"Hebat, Dua," kata Jupiter memuji Pete.
"Ucapkan terima kasih pada Hal, karena ia yang berhasil membuat mereka tenang," kata Pete. "Satu dari kita harus memeriksa dua barisan - dan sebaiknya Hans saja yang membagi-bagikan lencana."
Keempat remaja itu dengan cepat memeriksa barang-barang yang disodorkan, sementara anak-anak berbaris lewat. Yang membawa benda yang tidak dicari, disuruh datang ke Hans, untuk diberi hadiah lencana sebagai hiburan. Sejam kemudian perusahaan itu sudah hampir kosong lagi - sementara Jupiter dan kawan-kawannya sudah berhasil memperoleh burung hantu yang diawetkan, kedua kopor, teropong, serta sendok garpu perak.
"Seorang anak perempuan tadi memberikan alamat orang yang membeli patung Dewi Venus," kata Bob. "Tapi wanita yang membelinya, tidak mau menjualnya lagi. Walau begitu pada anak perempuan itu kuberikan hadiah yang sepenuhnya."
"Bagus," kata Jupiter. "Sekarang, coba kauusahakan apakah kau bisa mendapat patung itu kembali, Bob. Dan Pete, kau menelepon Mr. Marechal dan Tuan Putri di Cliff House Motel. Katakan pada mereka, apa yang telah berhasil kita peroleh kembali."
Kedua anggota Trio Detektif itu bergegas-gegas.
"Wah - hebat sekali hasilnya, Jupiter," kata Hal Carswell. Diperhatikannya barang-barang yang berhasil dikumpulkan. "Tapi di antaranya tidak ada satu pun lukisan!" "Jangan-jangan seseorang dari luar kota yang -"
Jupiter tidak menyelesaikan kalimatnya. Matanya terbelalak, memandang sebuah mobil mengkilat yang saat itu memasuki pekarangan.
Seorang remaja berbadan kurus jangkung turun dari kendaraan itu. Umurnya tidak jauh lebih muda dari Trio Detektif. Remaja itu menatap Jupiter dengan wajah masam. Dan ia menenteng sebuah lukisan!

Bab 5
RONGRONGAN MUSUH LAMA

"Inikah salah satu lukisan yang kaucari itu, Jones?" tanya remaja ceking itu. "Skinny Norris! Mau apa kau kemari?" seru Jupiter.
E. Skinner Norris menatap Jupiter sambil mendelik. Remaja brengsek itu benci pada Trio Detektif. Ia iri pada mereka. Dan karenanya, sejak awal perjumpaan mereka, ia selalu mencoba mengacau apa saja yang dilakukan ketiga remaja yang dibencinya itu. Walau umurnya tidak berbeda dari mereka bertiga, namun Skinny sudah memiliki SIM untuk mobil. Soalnya, tempat tinggal resmi keluarga Norris di negara bagian lain, tempat remaja seumurnya sudah boleh mengemudikan mobil. Kenyataan itu menyebabkan Skinny merasa lebih unggul daripada Trio Detektif.
"Itu urusanku sendiri," tukas Skinny menjawab pertanyaan Jupiter. "Kaubilang saja sekarang, apakah ini salah satu lukisan yang kalian cari, atau tidak!"
Baik Jupe maupun Hal mengenali lukisan itu, yang memang salah satu lukisan terakhir Joshua Cameron. Hal sudah membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu. Tapi Jupiter buru-buru mendului.
"Yah - aku tidak begitu yakin, Skinny. Di mana kau mendapatnya?"
"Itu urusanku," sergah Skinny.
"Kami harus tahu, apakah kau boleh menjualnya," kata Hal mengemukakan alasan. Muka Skinny langsung pucat. "Apa maksudmu?"
"Aku tahu pasti, kau tidak membelinya dari kami," kata Jupiter. "Jangan-jangan kau mencurinya!" kata Hal menuduh.
"Tidak!" kata Skinny dengan sengit. Kemudian matanya menyipit. "Jadi ini memang salah satu lukisan itu! Sudah kusangka."
"Ya, memang," kata Jupiter mengaku. "Kami mau membelinya, Skinny."
"Tidak bisa - pikiranku berubah sekarang," kata Skinny, lalu bergegas kembali ke mobilnya. Ia sudah meninggalkan pekarangan, sebelum anak-anak sempat berbuat apa-apa. Saat itu Pete datang sambil berlari-lari dari kantor. "Mau apa Skinny itu kemari?" tanyanya. "Salah satu lukisan Joshua ada padanya!" kata Hal. "Tapi tahu-tahu ia tidak mau menjualnya," kata Jupiter menambahkan. "Wah," kata Pete, "padahal Mr. Marechal mengatakan, akan datang sekarang."
Sementara mereka menunggu Mr. Marechal, Bob kembali. Ia melaporkan hasil percobaannya, mengusahakan pengembalian patung Dewi Venus.
"Wanita itu tetap tidak mau menjualnya lagi," katanya.
Laporan itu, ditambah dengan tidak berhasilnya mereka memperoleh lukisan yang ada di tangan Skinny, mengurangi kegembiraan atas berhasilnya Hubungan Hantu ke Hantu. Tapi ketika Mr. Marechal datang untuk menjemput kelima barang yang berhasil mereka peroleh kembali, wajah orang itu berseri-seri.
"Kalian ternyata detektif hebat, Anak-anak! Selamat!"
"Tapi patung Venus tidak berhasil kami peroleh," kata Bob. "Patung itu dibeli seorang wanita bernama Mrs. Leary. Tapi ia tidak mau menjualnya kembali. Alamatnya di Rojas Street, nomor 22."
Setelah itu Jupiter menceritakan peristiwa yang terjadi dengan Skinny, serta salah satu lukisan yang berhasil ditemukan.
"Yah - kalau begitu kudatangi saja sendiri Mrs. Leary itu, karena alamatnya kini sudah kuketahui," kata Mr. Marechal. "Sedang pemuda bernama Norris itu, tinggalnya juga di Rocky Beach sini? Keluarganya orang terkenal, katamu tadi?"
"Ya, Sir, " kata Pete. "Mereka tinggal di sebuah gedung besar, di pantai."
"Kalau begitu kalian tentunya pasti bisa menemukan jalan untuk memperoleh kembali lukisan itu, ya? Satu karya terakhir saja dari Joshua, pasti akan sudah menyenangkan Tuan Putri," kata Mr. Marechal. "Sekarang, kalian akan kuberi hadiah tiga dolar untuk tiap-tiap barang yang kalian peroleh, ditambah harga pembeliannya. Jadi untuk jasa kalian, imbalannya lima belas dolar. Bagaimana - cukupkah itu?"
"Yes, Sir!" kata ketiga anggota Trio Detektif serempak.
"Baiklah, kalau begitu." Mr. Marechal tersenyum. "Sekarang kutunggu prestasi yang sebanding dengan lukisan-lukisan itu, Anak-anak."
Jupiter menuliskan kuitansi penerimaan untuk Mr. Marechal, sementara teman-temannya menaruh barang-barang yang sudah ditemukan kembali ke jok belakang mobil Mercedes. Mr. Marechal meminta diri dengan membungkukkan badan sedikit, lalu kembali ke mobilnya sambil mengayun-ayunkan tongkatnya yang bergagang perak. Sedang Hal pulang ke rumahnya, untuk melaporkan keberhasilan pagi itu pada ayahnya.
* * *
Selesai makan siang, Jupe, Bob, dan Pete berkumpul lagi di kantor Trio Detektif. Jupiter duduk di belakang meja, sambil merenung.
"Teman-teman," katanya, "kurasa Skinny tadi sama sekali tidak berniat menjual lukisan itu. Atau setidak-tidaknya, sekarang belum berniat. Kurasa ia tadi cuma ingin mengetahui dari kita, bahwa benar itulah lukisan yang dicari." "Kenapa begitu, Jupe?" tanya Bob.
"Kalau soal kenapa begitu, aku tidak tahu pasti jawabannya, Bob," kata Jupiter. "Barangkali karena ia tahu di mana lukisan-lukisan lainnya, dan ia ingin memastikan dulu bahwa itulah yang kita cari, sebelum ia membawa semuanya
kemari untuk dijual. Atau bisa juga ia disuruh orang lain, dan orang itu tidak tahu pasti seperti apa lukisan-lukisan Joshua Cameron itu. Mungkin orangnya yang naik mobil biru itu." "Siapa dia, ya?" tanya Pete.
"Aku tidak tahu, Dua," kata Jupiter berterus-terang. "Tapi kita harus berusaha menemukan kedua puluh lukisan itu untuk Mr. Marechal - dan caranya ialah lewat Skinny."
"Mungkin juga ia ingin menaikkan harga," kata Bob menduga.
"Itu memang khas Skinny," kata Pete sependapat. "Yuk, kita coba saja meneleponnya."
Jupiter menuruti saran Pete. Sambil memutar nomor pesawat rumah Skinny, ditekannya sakelar pada alat pengeras suara yang disambungkannya dengan pesawat telepon. Sesaat kemudian suara Skinny Norris sudah terdengar dengan jelas.
"Jangan ganggu aku terus, Gendut," sergahnya, begitu mendengar suara Jupiter. "Aku harus pergi ke tempat kerjaku yang baru."
"He, Skinny - kami bersedia membayar dua kali lipat dari harga pembelian lukisan itu," kata Jupiter lewat telepon.
"Lukisan yang mana?" tanya Skinny sambil cekikikan. "Kau tahu lukisan yang mana, Skinny!" bentak Pete.
"Ah - kalian mimpi, barangkali," kata Skinny. Setelah itu ia memutuskan hubungan. Ketiga anggota Trio Detektif berpandang-pandangan.
"Bagaimana jika kita membayanginya, Satu," kata Pete mengusulkan. "Kita buntuti." Jupiter mendesah.
"Skinny punya mobil, Dua - sedang kendaraan kita cuma sepeda. Jika kita tahu harus pergi ke mana, Paman Titus pasti mau mengizinkan kita minta diantarkan oleh Hans atau Konrad dengan truk. Tapi ini - mau ke mana kita? Kita sama sekali tidak tahu, dari mana Skinny mendapat lukisan itu."
"Kita bisa memasang alat pengindera posisi pada mobilnya!" kata Bob. "Katanya tadi, ia harus ke tempat kerjanya. Mungkin lukisan itu ada di sana. Orang tuanya tidak mengizinkannya bekerja terlalu jauh dari rumah. Mungkin jika kita berkeliaran naik sepeda di daerah sekitar rumahnya, nanti salah seorang dari kita akan bisa membuntutinya, dengan jalan mengikuti petunjuk alat kita itu!"
"Yah -" kata Jupiter sambil menimbang-nimbang, "itu bisa saja kita coba! Sebelumnya kita datangi dia dulu di rumahnya, dan kita coba membujuknya sekali lagi. Jika masih saja tidak bisa, kemudian kita pakai..."
Ia berhenti berbicara, karena saat itu terdengar suara seseorang di kejauhan, memanggil-manggil namanya. Pete menghampiri teropong sederhana tapi praktis yang dibuat oleh Jupiter. Modelnya seperti teropong kapal selam. Dengannya mereka bisa mengamat-amati pekarangan perusahaan tanpa mereka sendiri terlihat.
"Bibi Mathilda, Jupe," kata Pete sambil mengintai lewat teropong. "Ia disertai seorang laki-laki. Bibimu nampaknya marah-marah!"
"Siapa laki-laki itu, Dua?" tanya Jupiter.
"Belum pernah kulihat selama ini. Orangnya agak pendek, kekar, memakai setelan berwarna gelap, bertopi, dan - he, Jupe! Ia menenteng sebuah kotak! Kotak besar, tapi tipis!" Jupiter mengintai lewat teropong.
"Kotak begitu biasanya dipakai untuk tempat lukisan! Yuk, kita ke luar." Ketiga remaja itu bergegas ke luar lewat Lorong Dua.

Bab 6
LAKI LAKI BERKAKI TIMPANG

"Nah - akhirnya datang juga kalian!" tukas Bibi Mathilda, melihat anak-anak muncul dari balik tumpukan barang bekas. "Ke mana sih kalian, kalau masuk ke situ? Kalau dicari-cari, tidak pernah bisa ketemu!" "Maaf, Bibi Mathilda," kata Jupiter.
"Sudah, jangan coba-coba cari muka lagi, Jupiter Jones!" kata bibinya memotong dengan cepat. "Tuan ini Mr. De Groot. Katanya ia pedagang lukisan, dari Belanda. Ia ingin bertanya tentang kedua puluh lukisan yang minggu lalu dibeli pamanmu - bersama kalian - di Remuda Canyon. Aku cuma tidak mengerti - untuk apa sih, dua puluh lukisan dari rumah yang itu-itu juga?"
"Yang penting bukan apa yang dilukiskan, Nyonya - tapi ketrampilan melukiskannya," kata orang tak dikenal berbadan pendek kekar itu dengan suara serak.
"Bagi saya, yang penting apa yang saya sukai," balas Bibi Mathilda, "dan lukisan-lukisan itu bagi saya tidak menarik. Tidak satu pun sama dengan yang lainnya - tapi menurut saya, tidak satu di antaranya benar-benar kelihatan seperti rumah."
Bibi Mathilda berpaling lalu kembali ke kantor dengan langkah bergegas. Anak-anak ditinggalkannya berhadapan sendiri dengan Mr. De Groot. Orang yang mengaku pedagang karya seni itu bermata galak.
"Aku datang dari Amsterdam untuk menemui Joshua Cameron," kata orang itu tanpa berbasa-basi lagi. "Ternyata ia sudah meninggal dunia. Kemudian di hotel tempat aku menginap, aku mendengar kabar bahwa ada kelompok yang menamakan diri Trio Detektif, saat ini mencari dua puluh lukisannya! Aku juga mendengar bahwa Trio Detektif itu ada di Jones Salvage Yard ini. Sekarang aku ada di sini, untuk membeli kedua puluh lukisan itu. Adakah barang-barang itu pada kalian?"
Pete menggeleng.
"Belum ada yang dikembalikan kemari, Sir. "
"Satu saja pun belum?" De Groot mondar-mandir sebentar dengan sikap marah, lalu menatap ketiga remaja itu sambil mendelik. "Aku bersedia membayar dengan harga tinggi."
"Skinny Norris tadi kemari dengan salah satu lukisan itu, Mr. De Groot," kata Bob, "tapi..."
Jupiter memandang orang Belanda bertubuh pendek kekar itu, lalu mengalihkan pandangan ke jalan masuk. Setelah itu dipotongnya kalimat Bob yang hendak menjelaskan tentang Skinny.
"Tapi yang dibawanya bukan lukisan yang dicari, Mr. De Groot," kata Jupiter.
"Bukan lukisan Joshua Cameron?"
"Bukan, Sir, " kata Jupiter dengan nada menyesal.
Bob dan Pete berpaling ke arah Jupiter. Nampak bahwa keduanya merasa heran. Tapi mereka tidak mengatakan apa-apa. Berdasarkan pengalaman selama bekerja sama, mereka saat itu sudah tahu bahwa lebih baik jangan meragukan tindakan pemimpin mereka itu, betapa mengejutkan pun tindakan yang diambilnya. Atau betapa aneh! De Groot menatap ketiga remaja yang berdiri di depannya berganti-ganti. Setelah itu ditatapnya Jupiter, sambil mengerutkan kening.
"Mudah-mudahan saja kau tidak membohongi aku," katanya.
"Saya tidak biasa berbohong, Sir, " kata Jupiter dengan sikap jemawa.
"Ya, mungkin saja," kata De Groot. Tapi dari nada suaranya masih terasa adanya sikap curiga. "Norris yang kalian sebut-sebut tadi, anaknya jangkung? Kurus jangkung?" "Dari mana Anda tahu?" kata Pete kaget.
"Aku punya cara untuk itu," tukas De Groot. "Keluarganya orang berada? Mereka memiliki koleksi karya seni? Apakah mereka biasa membeli benda-benda seni?"
"Saya rasa, mereka memiliki koleksi kecil-kecilan," kata Bob membenarkan dugaan itu.
"Kami sebenarnya tidak begitu kenal dengan Skinny Norris, Sir, " kata Jupiter. Ia mengucapkan kata-kata itu dengan wajah polos. "Tempat tinggalnya pun kami tidak tahu persis."
"Jadi kalian tidak bisa membantuku?" De Groot menatap mereka dengan pandangan menyelidik. "Kalau itu mungkin, kami sendiri juga senang, Sir, " kata Jupiter.
"Ya - kalau begitu, jika lukisan-lukisan itu sudah ada lagi di sini, kalian telepon aku di The Dunes Motel, ya? Ingat, kalian akan kuberi imbalan yang sangat pantas!"
Ketiga remaja itu mengangguk. De Groot memutar tubuh, lalu berjalan menuju gerbang perusahaan. Bob dan Pete memandang pedagang karya seni yang pergi itu. Jalannya agak timpang!
"Jupe!" kata Bob. "Jalannya -"
"Ya, timpang," kata Jupe. "Aku sudah melihatnya tadi, ketika ia mondar-mandir di depan kita. Kelihatannya seperti baru saja mengalami cedera. Mungkin karena jatuh ke dalam parit!"
"Mungkin saja dia yang kita kejar-kejar seminggu yang lalu!" kata Bob.
"Itu rupanya alasannya, kenapa kau tadi tidak mau bercerita apa-apa tentang Skinny," kata Pete, "dan bahwa lukisan yang ada pada Skinny, sebenarnya lukisan Joshua Cameron." "Ya, itu memang salah satu alasanku," kata Jupiter mengakui. "Sedang alasan lainnya, Satu?" tanya Bob.
"Aku melihat mobilnya, yang diparkir di luar," kata Jupiter. "Lihat saja sendiri!"
Sesampai di luar, pedagang karya seni itu masuk ke mobilnya. Mobil kecil berwarna biru! Sementara anak-anak masih memandang terus, orang itu pergi dengan kendaraannya. "Mobil itu yang membuntuti Mercedes Tuan Putri!" seru Pete.
"Dan aku tadi bercerita padanya tentang Skinny, dan tentang lukisan yang dibawanya," kata Bob sambil mengeluh.
"Tapi tidak banyak yang kauceritakan," kata Jupiter dengan nada menghibur. "Lagi pula, kurasa apa yang kauceritakan tadi tidak penting. Kurasa Mr. De Groot sebelum kemari sudah tahu apa-apa tentang Skinny - dan sebaiknya kita sekarang cepat-cepat saja kembali menghubungi anak itu!"
"Yuk," kata Pete.
"Aku tidak bisa ikut," kata Bob, "karena ada sesuatu urusan yang harus kuselesaikan untuk ibuku." Jupiter berpikir sebentar.
"Baiklah, Bob," katanya kemudian, "kalau begitu kami mendului dengan alat pemancar mini kita. Kau menyusul saja nanti dengan alat penerima -jika urusan untuk ibumu itu tidak makan waktu terlalu lama." "Tidak!" kata Bob.
"Baiklah. Kalau begitu kita bertemu di rumah Skinny."
* * *
Gedung tempat tinggal Skinny besar, terbuat dari kayu merah. Letaknya di tepi pantai, menghadap sebuah jalan sempit. Antara pantai dan jalan sempit itu ada gang-gang penghubung di sela-sela rumah. Pinggiran jalan dipenuhi pohon-pohon palem, serta perdu kembang sepatu.
Tidak jauh dari rumah Skinny, Jupe dan Pete berhenti di balik perdu kembang sepatu yang lebat di seberang jalan. Dari tempat itu mereka bisa melihat pintu masuk sebelah depan dan samping rumah itu, serta satu-satunya jalan masuk ke garasi. Mobil sport Skinny diparkir di situ.
"Kita ajak dia bicara dulu," kata Jupiter memutuskan.
Sambil menuntun sepeda masing-masing, kedua remaja itu menuju ke pintu depan rumah. Mereka mendengar bunyi jendela dibuka di tingkat atas. Mereka mendongak. Skinny menjenguk ke luar. "Kalian yang sok detektif ini - mau apa lagi sekarang?" serunya dari atas. "Kami cuma ingin membeli lukisan yang tadi itu, Skinny," jawab Pete sambil mendongak. Skinny tertawa mengejek. "Persetan dengan kalian, Crenshaw!" "Kami tahu lukisan itu ada padamu, Skinny," kata Jupiter. Skinny malah mencibir.
"Kalian itu tahu apa, sih?! Ayo cepat pergi, kalau tidak ingin kulaporkan pada polisi! Seenaknya saja - masuk rumah orang tanpa izin!"
Pete dan Jupiter naik ke sepeda masing-masing, lalu pergi dengan sikap lesu. Begitu sudah tidak nampak lagi dari rumah, mereka turun lagi, lalu menuntun sepeda mereka kembali ke balik semak kembang sepatu. Mereka bersembunyi di situ.
"Sekarang aku akan menyelinap dari arah pantai ke mobil Skinny, lalu memasang alat pemancar kita di situ," kata Jupiter. "Kau mengawasi pintu depan dan samping rumah itu, Pete. Dan juga garasi! Jika Skinny nanti ke luar, bersiullah sebagai tanda."
"Oke," kata Pete. "Sekaligus aku menunggu Bob."
Jupiter pergi menyelinap, menuju ke arah pantai. Tapi tiba-tiba ia tertegun. "Ada orang di dekat rumah Skinny!" bisiknya agak keras.
Pete memandang ke arah rumah itu. Seorang laki-laki berpakaian seragam dilihatnya membelok dari jalan sempit, memasuki gang di sisi rumah Skinny yang lebih jauh letaknya dari tempat kedua remaja itu. Orang itu membenamkan topi petnya dalam-dalam menutupi kening, sehingga matanya tidak kelihatan. Langkahnya agak kikuk, seolah-olah direpotkan peti peralatan yang dijinjingnya.
"Itu kan cuma tukang telepon," kata Pete dengan perasaan lega.
Jupiter memperhatikan petugas telepon, sampai orang itu menghilang di balik rumah Skinny. "Ya, memang," katanya. Keningnya berkerut. "Tapi -" "Tapi apa, Satu?" kata Pete.
"Entah," kata Jupe lambat-lambat, lalu kembali menatap ke arah jalan sunyi yang kini sudah lengang kembali. "Ada sesuatu yang janggal - tapi aku tidak bisa mengatakan apa." "Aku akan terus berjaga-jaga," kata Pete berjanji.
Jupiter mengangguk, lalu menyelinap ke arah pantai. Sedang Pete merunduk lagi di belakang semak, untuk mengamat-amati rumah Skinny.
* * *
Sebuah parit membatasi pekarangan rumah Skinny dengan rumah sebelah, sampai ke pantai. Saat musim panas itu tidak ada air di dalamnya. Lewat dasar parit itu, Jupiter bisa menghampiri garasi tanpa dilihat orang.
Ia tidak melihat Skinny. Jupiter mengecek alat pemancar mininya, yang diperlengkapi dengan magnet. Dengannya, alat pengindera posisi itu bisa ditempelkan ke mobil Skinny. Jupiter sendiri yang membuat alat itu di bengkelnya. Pengaturannya sedemikian rupa, sehingga bunyi isyarat pelan yang dipancarkan akan terdengar semakin jelas dan cepat apabila alat penerima isyarat semakin mendekat. Kecuali itu pada alat penerima juga ada jarum penunjuk arah, dari mana isyarat itu datang.
Alat pemancar itu tinggal dipasang pada mobil, lalu dengan alat penerima isyarat mereka nanti bisa membuntuti mobil itu dari jarak yang tidak perlu dekat-dekat.
Jupiter berjalan merunduk-runduk di dasar parit, kemudian berhenti. Ia melihat tukang telepon tadi. Rupanya orang itu mengitari rumah Skinny, dan sekarang berada di sisi tempat terdapatnya garasi. Orang itu membungkuk, mengutik-utik kabel telepon di tempat sambungannya yang masuk ke rumah. Tiba-tiba Jupiter sadar, apa yang menyebabkan ia heran melihat tukang telepon itu. Dijalan tidak ada mobil dinas telepon!
Mana ada tukang telepon datang tanpa kendaraan itu? Orang yang sedang mengutik-utik kabel itu tukang telepon gadungan. Jangan-jangan ia hendak menyadap telepon keluarga Skinny! Jupiter lupa pada alat pengindera yang hendak dipasangnya ke mobil Skinny. Ia merangkak-rangkak menyusur dasar parit, menuju tempat dari mana ia bisa mengintai gerak-gerik tukang telepon palsu itu.
Merangkak-rangkak bukan pekerjaan enteng bagi Jupiter yang berbadan tidak langsing. Napasnya sudah memburu, ketika akhirnya sampai di tempat yang menurut perkiraannya tepat di belakang orang tadi. Ia menunggu sampai napasnya tenang kembali. Setelah itu ia menjulurkan kepalanya dengan hati-hati sekali ke atas. Maksudnya hendak mengintip dari tepi atas parit.
"Huhh!"
Jupiter terdengus kaget, karena tahu-tahu ia bertatapan muka dengan tukang telepon gadungan. Tidak sampai setengah meter dari tempatnya, nampak sepasang mata galak mendelik ke arahnya. Mata De Groot, orang Belanda yang mengaku pedagang karya seni!
Orang Belanda itu menggenggam belati. Ia menatap Jupiter dengan sikap mengancam.
* * *
Sementara itu Pete masih tetap bersembunyi di balik semak kembang sepatu. Ia tidak melihat Skinny, begitu pula Jupiter. Sedang Bob belum muncul-muncul juga. Padahal anak itu harus membawa alat penerima isyarat yang dipancarkan pemancar mini -
"Pete!"
Suara itu datang dari belakang rumah yang letaknya tepat di seberang jalan dari tempat Pete bersembunyi. Jadi dari arah pantai.
"Pete! Tolong!"
Pete bergegas melintasi jalan sempit yang lengang, menuju belakang rumah. Tahu-tahu ada tangan terjulur, mendekap mulutnya. Tangan yang lain memilin lengannya ke belakang. Pete tertangkap!

Bab 7
TERTAWAN

Ketika Bob menuju ke rumah Skinny, ia melihat kedua sepeda Pete dan Jupiter yang ditaruh di belakang semak kembang sepatu. Tapi mana kedua temannya itu? Bob celingukan. Perasaannya tidak enak.
Ia mengerem sepedanya. Saat itu didengarnya bunyi mesin mobil dihidupkan. Datangnya dari sebuah gang di seberang rumah Skinny. Sebuah mobil kecil berwarna biru melesat ke luar membelok ke kanan - dengan cepat sekali sehingga terdengar bunyi ban mendecit-decit - lalu meluncur pergi dengan laju.
Bob mengikuti mobil itu dengan pandangan. Mobil De Groot! Apakah yang dilakukan pedagang karya seni itu di situ?
Tut - tut - tut - tut!
Bob terkejut mendengar bunyi yang datang dengan tiba-tiba dari kantungnya. Dikeluarkannya alat penerima isyarat pengindera. Posisi jarum penunjuk arah nampak sejajar dengan ruas jalan tempat Bob berada. Bunyi isyarat terdengar jelas dan dengan urut-urutan cepat - tapi makin lama makin lemah, dan melambat. Seketika itu juga Bob tahu apa yang telah terjadi.
Alat pemancar mini belum dipasang oleh Jupe dan Pete ke mobil mini. Alat itu masih ada pada mereka! Dan kedua temannya itu ada di dalam mobil De Groot!
Bob memutar sepedanya, lalu mengayuhnya cepat-cepat menyusul mobil biru, yang sementara itu sudah tidak kelihatan lagi. Bob mengayuh sepedanya sambil mengikuti bunyi yang terdengar dari alat penerima, sampai dijalan raya yang menyusur pantai di depan kompleks perumahan di situ. Ia meneruskan pengejaran ke arah pinggiran sebelah utara Rocky Beach. Dua kali ia kehilangan jejak, yaitu ketika jaraknya dari mobil biru yang dikejar terlalu jauh. Tapi ia selalu berhasil menemukan jejaknya kembali. Rupanya mobil biru itu terpaksa berhenti sebentar, karena sesuatu. Mungkin menunggu nyala hijau pada lampu lalu lintas.
Bob tidak mempedulikan segala halangan. Lampu merah pun diterobosnya saja. Tapi kemudian ia kehilangan jejak lagi, untuk ketiga kalinya. Dan kali ini ia tidak berhasil menemukannya kembali.
Bob terus mengayuh sepedanya, dengan perasaan bingung. Matanya mencari-cari, menelusuri jalan-jalan sepanjang pesisir, dan meneliti jalan-jalan samping yang lengang.
Ia semakin jauh meninggalkan kota Rocky Beach.
* * *
Pete dan Jupiter meringkuk di dalam bagasi mobil biru yang dikemudikan oleh De Groot. Mereka diikat dengan kabel telepon, sedang mulut mereka disumpal. Tapi Jupiter masih berhasil menghidupkan alat pemancar mini mereka, sesaat sebelum mobil penculik mereka ke luar dari lorong di seberang rumah Skinny. Baik Jupiter maupun Pete merasa seperti mendengar bunyi rem sepeda di jalan. Tapi sementara itu sekitar sepuluh menit sudah berlalu. Sedang mobil biru yang mengangkut mereka selama itu hanya dua kali saja berhenti, atau dikurangi kecepatannya.
Dengan begitu, Bob takkan mungkin bisa mengikuti, itu pun kalau ia tahu bahwa mereka diculik oleh De Groot.
Jupiter mengumpat-umpat dirinya sendiri dalam hati. Ia merasa sebal, karena tadi tidak sadar bahwa langkah kikuk tukang telepon, sebenarnya disebabkan kaki De Groot yang pincang.
Paling lama sepuluh menit setelah itu mobil yang membawa mereka membelok dari jalan raya, lalu diparkir. Tutup tempat bagasi dibuka. De Groot menarik kedua remaja yang ada di dalamnya satu-satu, lalu mendorong-dorong mereka masuk ke bangunan paling ujung dari sebuah motel yang tidak begitu besar. Sejak menyergap Jupiter, pedagang karya seni itu sedikit pun tidak membuka mulut.
Sesampai di dalam kamar motel, ia mendudukkan mereka berdampingan di bangku. Dibukanya kain yang menyumpal mulut mereka. Setelah itu ia duduk di depan kedua remaja itu, sambil memegang pisau belatinya. Matanya yang cekung ke dalam berkilat-kilat marah.
"Jadi Skinny Norris tidak mendatangi kalian dengan lukisan yang dicari, ya?! Kalian tidak tertarik pada lukisan yang dibawanya. Kalian bahkan tidak mengetahui tempat tinggalnya, ya? Pembohong! Kalian bermaksud hendak mencuri lukisan-lukisan Joshua, untuk kalian miliki sendiri!"
"Itu tidak benar!" seru Pete dengan sengit. "Kami mencarinya untuk Tuan Putri! Lukisan-lukisan itu miliknya!"
"Ah, begitu, ya? Jadi kalian ini bekerja sama dengan Tuan Putri, serta Armand Marechal! Apa yang mereka katakan pada kalian?"
"Mereka ingin memperoleh kembali barang-barang peninggalan keluarga Tuan Putri," kata Jupiter. "Semuanya sudah berhasil kami temukan kembali - kecuali lukisan-lukisan itu."
"Lagi-lagi kau berdusta. Pasti lebih banyak dari itu yang kauketahui. Apakah rencana Marechal? Apakah sebetulnya yang mereka cari? Apa pesan Joshua Cameron pada mereka?"
"Kami hanya tahu bahwa Anda selama ini membuntuti Tuan Putri ke mana-mana," kata Pete, "dan Anda seminggu yang lalu memasuki rumah Profesor Carswell, untuk -"
Jupiter cepat-cepat memotong.
"Kenapa Anda mengira ada pesan Joshua Cameron untuk Tuan Putri? Wanita itu kan tidak dekat -"
"Jangan coba-coba menipu aku, ya!" bentak De Groot, lalu menatap Pete. "Kau tadi hendak mengatakan, kalian tahu aku memasuki rumah Carswell?"
Pete meneguk ludah. Ia kini sadar, Jupiter tidak ingin De Groot tahu bahwa mereka mencurigainya sebagai orang tak dikenal, yang seminggu yang lalu berhasil meloloskan diri di Remuda Canyon.
"Ehh - anu - kami tahu Anda datang ke rumah Profesor Carswell, ketika pertama kalinya Tuan Putri ke sana bersama Mr. Marechal," kata Pete agak kikuk.
De Groot menatap wajah kedua remaja itu dengan sengit.
"Tidak! Ada orang ke sana, sebelum Tuan Putri datang. Seseorang yang misterius. Ya, kan? Dan menurut kalian, orang itu aku. Kenapa?"
Jupiter diam saja. Dan Pete tidak mau kalah bungkam.
"Ah - jadi kalian tidak mengatakan kenapa mencurigai diriku? Dan kalian tidak tahu-menahu tentang pesan mendiang Joshua? Kalian sempat bercakap-cakap dengan Profesor Carswell serta dengan anaknya. Mungkin Joshua menyampaikan pesan secara lisan pada mereka? Kata-kata terakhir, sebelum mati?"
"Kami tidak tahu apa-apa tentang itu, Sir, " kata Jupiter dengan sopan.
Pedagang barang seni itu meneliti wajah mereka.
"Hahh - kalian ini anak-anak goblok, yang tidak tahu apa yang kalian kerjakan!" sergahnya kemudian. Sambil mendelik, ia berdiri.
"Tapi mungkin juga kalian tahu terlalu banyak!"
Sambil menggenggam belatinya, De Groot memperhatikan kedua remaja itu dengan tatapan marah.
* * *
Bob masih terus mengayuh sepedanya menyusur jalan pantai. Hatinya terasa tersiksa, karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia hanya seorang diri. Berapa besarkah kemungkinannya, akan bisa menemukan mobil biru itu? Tapi jika ia menghentikan pencarian sebentar untuk menelepon Chief Reynolds, nanti ia akan kehilangan jejak yang mungkin ada dari kedua temannya.
Akhirnya ia mempercepat kayuhan. Jalan ke utara kini diapit motel-motel. Di sepanjang jalan itu berjejer-jejer tempat penginapan khusus bagi tamu-tamu yang memakai mobil, karena kendaraan mereka bisa diparkir langsung di depan - atau dii bawah - kamar mereka.
Bob bersepeda sambil memasang telinga, kalau-kalau terdengar lagi bunyi isyarat dari alat penerima. Sedang matanya mencari-cari ke kiri dan ke kanan, mencari mobil kecil berwarna biru.
* * *
Sekitar sepuluh menit lamanya De Groot mondar-mandir di dalam kamar, sambil menggenggam belati. Nampaknya ia tidak bisa mengambil keputusan.
"Kalian ini enaknya kuapakan, ya? Kalian cuma merepotkan saja!" Ia mengumpat-umpat. Jupiter meneguk ludah.
"Adakah sesuatu yang berharga di antara barang-barang peninggalan Joshua Cameron...T'
"Kalian ini menyebalkan!" sergah De Groot. "Bagaimana jika kalian bekerja saja untukku dan bukan untuk Tuan Putri?"
"Kami sudah punya klien," kata Jupiter dengan kaku.
"Anak konyol! - Yah, aku tidak bisa membiarkan kalian -"
Pedagang karya seni itu berpaling dengan cepat, karena saat itu pesawat telepon berdering. Ditatapnya sarana komunikasi itu dengan sikap seolah-olah sedang menghadapi ular. Kemudian ia, melangkah mundur, sementara matanya tetap mengawasi Jupe dan Pete. Tangannya meraih gagang telepon.
"Ya?" katanya. Tiba-tiba matanya bersinar. "Bagaimana? Seorang anak laki-laki...? Norris...? Ya, aku tahu anak itu. Tidak..., jangan kirim dia kemari - aku akan ke kantor. Tahan dia di situ!"
Sambil tertawa lebar, dikembalikannya gagang telepon ke tempatnya.
"Nampaknya urusan dengan kalian untuk sementara harus kuundurkan dulu. Anak bernama Norris - yang tidak begitu kalian kenal itu - datang kemari untuk menemuiku!" "Sudah kusangka Skinny punya rencana tertentu!" keluh Pete. "Skinny Norris itu tidak bisa dipercaya, Mr. De Groot," kata Jupiter. "Aku tidak percaya pada siapa pun juga," bentak De Groot.
Mulut Pete dan Jupiter disumpalnya lagi dengan kain. Setelah itu ia meninggalkan bangunan yang ditempatinya, lewat jalan belakang. Begitu orang itu ke luar, Pete dan Jupiter langsung mencoba melepaskan diri. Tapi percuma - ikatannya terlalu erat. Mereka terhenyak kembali ke bangku. Saat itu pintu belakang terbuka lagi. Tanpa bisa berbuat apa-apa, Pete dan Jupiter menatap ke arah itu.
Tahu-tahu Bob muncul di ambang pintu. Anak itu cengar-cengir sesaat. Kemudian dihampirinya kedua rekannya. Dilepaskannya kabel yang mengikat mereka, serta kain yang disumpalkan ke mulut.
"Huh - senangnya hatiku melihat kau muncul!" seru Pete. "Tapi bagaimana..."
"Mulanya aku mengikuti bunyi alat pengindera - tapi kemudian bunyinya lenyap. Jadi aku terus saja dengan sepedaku. Aku sudah hampir putus asa, ketika kemudian terdengar lagi isyarat itu. Tapi aku masih tetap belum tahu di mana kalian berada - sampai teringat pada nama penginapan yang disebutkan De Groot: 'The Dunes'."
"Hebat, Bob," kata Jupiter. "Sekarang kita cepat-cepat pergi dari sini."
"Tapi bagaimana dengan Skinny?" kata Pete. "Ia saat ini ada di kantor penginapan ini, mungkin dengan niat hendak menjual lukisan pada De Groot." Bob malah tertawa.
"Skinny tidak mau menjual apa-apa di sini. Ia bahkan sama sekali tidak ada di sini. Aku yang menelepon kemari tadi. De Groot begitu bernafsu, sampai tidak menyadari bahwa yang didengarnya bukan suara penerima tamu." "Tapi sekarang ia pasti sudah tahu," kata Jupiter. "Cepat - lewat depan!"
Ketiga remaja itu cepat-cepat lari ke pintu depan, lalu mengintip sebentar ke luar. Aman! Mereka kini buru-buru melintasi pekarangan motel, menuju sepeda Bob.
"Pete saja yang menggenjot," kata Jupiter. "Ia yang paling kuat dari kita bertiga. Aku membonceng di belakang, sedang Bob duduk di setang. Cepat!"
Belum sampai dua puluh meter mereka meninggalkan tempat itu, ketika terdengar teriakan marah di belakang mereka. De Groot muncul lewat pintu depan kamar yang baru saja mereka tinggalkan. Orang itu berusaha mengejar. Tapi larinya pincang. Anak-anak semakin menjauh, walau gerak sepeda mereka tidak bisa dibilang laju. De Groot berpaling, lalu lari kembali ke tempat penginapan.
"Ia mengambil mobilnya!" kata Jupiter. "Kita harus bersembunyi!"
"Tidak perlu," kata Bob, sambil memperlihatkan tangannya. Ia menggenggam kabel berwarna. "Aku tadi mencabut kabel starter mobilnya."
"Tindakan yang cerdas sekali, Bob," kata Jupiter dengan nada kagum. "Tapi dengan segera ia akan sudah mendapat mobil lain. Sebaiknya kita percepat saja mengayuh sepeda ini!" "Apa maksudmu - kita?" kata Pete terengah-engah.
Beberapa menit kemudian sebuah truk berhenti di samping mereka. Ketiga remaja itu diajak ikut sampai ke Rocky Beach. Mereka mampir dijalan tempat rumah Skinny, untuk mengambil sepeda Pete dan Jupiter. Setelah itu pulang, tepat waktunya untuk makan malam. Lalu sebelum tidur, ketiga remaja itu berkumpul lagi di kantor mereka.
Sikap Jupiter serius.
"Ada sesuatu yang sangat aneh dalam urusan ini," katanya. "De Groot nampaknya beranggapan bahwa ada sesuatu yang penting sekali - dan hal itu dipesankan oleh Joshua Cameron sebelum ia meninggal dunia. Kita harus menghubungi Tuan Putri dan Mr. Marechal mengenainya."
Tapi tidak ada yang mengangkat, ketika Jupiter mencoba menelepon ke tempat penginapan mereka.
"Kita coba lagi besok pagi," katanya. "Sementara itu kurasa kita harus tahu lebih banyak tentang Joshua Cameron. Besok kau harus segera mengadakan riset di perpustakaan, Bob, mengenai diri Joshua."

Bab 8
KECURIGAAN YANG TIMBUL DENGAN TIBA TIBA

Begitu masuk ke perpustakaan keesokan paginya, Bob langsung menuju ke tempat penyimpanan buku-buku petunjuk. Pengunjung biasa tidak diperbolehkan mencari-cari sendiri di situ. Tapi Bob lain - karena ia bekerja selaku tenaga pembantu di situ. Miss Bennet, pengelola perpustakaan, hanya tersenyum saja ketika Bob lewat.
Kini Bob menghadapi rak tempat buku-buku petunjuk - dan langsung melongo. Hampir semua buku yang tebal-tebal tentang kesenian yang biasanya disimpan di situ, kini tidak ada lagi!
Miss Bennet menoleh, ketika Bob ke luar lagi.
"Ada yang tidak beres, Robert?"
"Mana semua buku petunjuk tentang kesenian yang biasanya disimpan di rak itu, Miss Bennet?" "Sedang dibaca seseorang, di ruang baca yang kecil. Sejak kita buka tadi ia sudah ada di sini - dan kemarin juga. Ada buku tertentu yang kauperlukan? Nanti bisa kumintakan padanya, jika ia sudah selesai." "Tidak, itu tidak perlu," kata Bob cepat-cepat.
"Biar aku mencari keterangan tentang soal lain saja dulu, sambil menunggu orang itu selesai."
Bob menjauh. Begitu tidak kelihatan lagi dari tempat Miss Bennet duduk, ia pun bergegas menuju ke ruang baca yang kecil, lalu mengintip dengan hati-hati ke dalam. Dilihatnya buku-buku tentang kesenian bertumpuk-tumpuk di meja. Di balik buku-buku itu ada orang sedang membaca. Sementara Bob memperhatikan, orang itu mengambil sebuah buku lagi dari tumpukan di depannya. Saat itu Bob melihat mukanya. Ternyata Profesor Carswell!
Bob cepat-cepat mundur lagi. Pikirannya haru-biru. Profesor Carswell - sedang meneliti semua buku petunjuk tentang seni! Walau perasaannya tak menentu, Bob masih berhasil memaksa dirinya duduk di suatu tempat. Dari situ ia tanpa terlihat bisa mengamat-amati pintu ruang baca itu. Tapi ketika Profesor Carswell akhirnya ke luar dari situ, Bob sudah sampai pada kesimpulan bahwa Jupiter pasti menghendaki agar ia mendahulukan tugas risetnya. Urusan dengan Profesor Carswell - itu masih bisa diselesaikan nanti.
Bob mengambil semua buku yang sudah dikembalikan oleh profesor itu, lalu mulai mencari-cari keterangan di dalamnya tentang Joshua Cameron.
"Katamu, Profesor Carswell juga meneliti buku-buku yang sama?"
Kening Jupiter berkerut.
"Ya, betul, Satu," kata Bob. "Semua buku petunjuk tentang kesenian!" "Wah," kata Pete. "Apa sebabnya ia lantas begitu tertarik?"
Ketiga anggota Trio Detektif itu berada di dalam karavan mereka yang tersembunyi di bagian belakang perusahaan barang bekas. Saat makan siang sudah lama lewat. Bob baru saja muncul membawa laporan. Jupiter sibuk mencernakan berita tentang Profesor Carswell, serta hasil riset yang dilakukan oleh Bob.
"Tapi kau sedikit pun tidak menemukan keterangan tentang Joshua Cameron dalam semua buku petunjuk itu?" kata Jupiter lambat-lambat.
"Sepatah kata pun tidak," kata Bob. "Padahal di antara buku-buku yang kuteliti, ada dua yang memuat nama semua pelukis di dunia. Setidak-tidaknya, begitulah yang tertulis di dalam kedua buku itu."
"Mungkin namanya ada di dalam buku lain," kata Jupiter. "Tapi kalau begitu pun, orang itu ternyata tidak terkenal."
"Lalu apa sebabnya De Groot begitu bernafsu menginginkan lukisan-lukisannya?" kata Pete bertanya-tanya. "Mungkin yang sebenarnya diingini olehnya bukan lukisan-lukisan itu," kata Bob menduga.
"Mungkin barang lain yang berharga, yang dulu dimiliki mendiang Joshua - sementara Tuan Putri dan Mr. Marechal sama sekali tidak tahu apa-apa mengenainya." Jupiter mengangguk.
"Itu bisa menjelaskan munculnya orang yang tidak dikenal waktu itu di rumah yang pernah ditinggali Joshua. Mungkin ia ingin mengambil barang berharga itu, sebelum ada orang datang, yang berhak atas barang-barang peninggalan mendiang. Tapi Profesor Carswell sementara itu sudah menjual seluruh peninggalan itu pada Paman Titus! Dan kini orang tak dikenal itu masih terus berusaha mencari."
"Tepat seperti yang dilakukan oleh De Groot!" kata Pete.
"Kalau begitu, kenapa Profesor Carswell tahu-tahu begitu berminat pada buku-buku tentang kesenian?" tanya Bob ingin tahu.
Jupiter menggaruk-garuk hidung.
"Kalian ingat - De Groot ingin sekali mengetahui bunyi pesan - atau kata-kata terakhir mendiang Joshua. Mungkin saja pesan itu memang ada. Menurut Hal, menjelang ajalnya laki-laki tua itu mengigau karena demam. Bisa saja ia saat itu hendak mengucapkan salah satu pesan - dan Profesor Carswell mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui."
"Dan Tuan Putri juga tidak!" kata Bob menambahkan. "Kurasa kita perlu pergi lagi ke Remuda Canyon," kata Jupiter.
* * *
"Wah, entah ya!" kata Hal Carswell. "Tidak bisa kubayangkan, apa sebabnya Ayah sibuk meneliti buku-buku tentang seni."
Keempat remaja itu sedang duduk-duduk di tempat teduh, di halaman depan rumah yang besar di Remuda Canyon. "Seringkah mendiang Joshua bicara tentang lukisan-lukisannya?" tanya Jupiter.
"Tidak," kata Hal. "Dulu ia pernah hendak mengajari aku melukis. Tapi aku sedikit pun tidak berbakat. Aku ingat sekali ia pernah mengatakan sesuatu yang aneh. Katanya, ia pelukis yang paling mahal di dunia - tapi tidak seorang pun mengetahuinya! Ia mengatakannya sambil tertawa - entah apa sebabnya."
"Ya - memang tidak jelas," kata Pete.
"Hmm," gumam Jupiter, untuk menyatakan bahwa ia pun sependapat.
"Aku tidak mengerti, apa sebetulnya yang sedang berlangsung saat ini, Teman-teman," kata Hal lagi. "Semasa hidupnya, Joshua tinggal seorang diri di sini. Tidak pernah ada orang menjenguknya. Tapi kini, setelah ia meninggal dunia, semua lantas tertarik padanya. Saat ini Tuan Putri sedang ada di dalam, bersama Mr. Marechal. Mereka sedang bicara dengan ayahku."
"Wah -jangan-jangan mereka berhasil mengetahui sesuatu!" kata Pete.
"Kita dengarkan saja," kata Jupiter memutuskan.
Di ruang duduk rumah besar, Profesor Carswell sedang menyandar ke dinding perapian. Ia berdiri menghadapi Mr. Marechal dan Tuan Putri. Wanita ningrat itu tersenyum, ketika melihat anak-anak masuk.
"Ah, para detektif remaja kita. Masih sibuk menyelidik? Prestasi kalian memuaskan selama ini," kata nyonya berpenampilan anggun itu.
"Kami belum lagi berhasil menemukan kembali lukisan-lukisan itu, Ma'am," kata Jupiter. "Saya ingin tahu, pernahkah mendiang abang Anda mengadakan pameran lukisan-lukisannya? Atau menjualnya?"
"Tidak, Jupiter - abangku itu pelukis amatir. Tapi walau begitu, aku ingin memiliki lukisan-lukisannya yang terakhir. Mudah-mudahan saja kalian mau melanjutkan pencarian sampai ketemu."
"Tentu saja," kata Jupiter, lalu menambahkan, "jika tidak didului orang lain."
"Orang lain?" kata Mr. Marechal dengan nada heran.
"Ya, seseorang bernama De Groot, yang mengaku pedagang karya seni," kata Jupiter. "Selama ini ia membuntuti Anda terus. Dan ia juga menginginkan lukisan-lukisan Joshua."
Jupiter bercerita tentang tindak-tanduk De Groot, serta pengalaman mereka dengan orang itu. Tuan Putri nampak sangat terkejut dan juga cemas.
"Aduh - keterlaluan! Kalian harus berhati-hati. Aku tidak mengerti, kenapa ia begitu berminat pada abangku. Apakah sebenarnya yang diingini orang itu?"
"Saat ini saya belum tahu," kata Jupiter berterus-terang, "tapi De Groot bukan satu-satunya yang tertarik pada lukisan-lukisan abang Anda. Profesor Carswell juga sibuk meneliti buku-buku tentang seni, di perpustakaan."
Semua menoleh ke arah profesor itu. Hal memandang ayahnya dengan sikap tidak enak. Mr. Marechal mengerutkan kening.
"Anda mengetahui sesuatu yang terlepas dari perhatian kami, Carswell?" tanya pria anggun berambut keperakan itu dengan sikap mendesak.
"Tidak, Marechal. Saya cuma bingung - sama saja dengan Tuan Putri, seperti yang baru saja dikatakan," kata Profesor Carswell. "Saya heran, apa sebabnya dengan tiba-tiba begitu besar minat orang pada Joshua. Karenanya saya ke perpustakaan untuk melihat, apakah abang Tuan Putri itu dikenal di luar lingkungan kita ini. Ternyata saya tidak menemukan keterangan apa pun tentang dirinya. Jadi saya masih tetap tidak bisa menjelaskan alasan minat itu - begitu pula tentang orang tak dikenal, yang beberapa waktu yang lalu dengan diam-diam masuk kemari."
Tuan Putri kaget.
"Ada orang dengan diam-diam kemari, Profesor? Maksud Anda, sebelum aku datang bersama Mr. Marechal? Seseorang, yang mungkin hendak mencuri barang-barang peninggalan Joshua?"
"Kejadiannya seminggu sebelum Anda datang, Tuan Putri," kata Bob menjelaskan. "Dan kami sedikit pun tidak tahu, apa yang dicari orang itu di sini."
"Begitu," kata Tuan Putri, lalu memandang Mr. Marechal.
"Mungkin orang yang bernama De Groot itu," kata Mr. Marechal. "Ia kelihatannya sangat tertarik pada Joshua - minat yang tidak kita ketahui alasannya."
"Ya, ia memang sangat tertarik," kata Pete sependapat.
"Profesor Carswell, dan juga kau, Hal," kata Jupiter setelah beberapa saat, "De Groot nampaknya beranggapan bahwa mendiang Joshua Cameron meninggalkan salah satu pesan yang ditujukan untuk seseorang. Waktu itu dikatakan, menjelang ajalnya ia mengoceh, karena demamnya yang tinggi. Mungkinkah saat itu ia hendak mengatakan sesuatu? Misalnya, meninggalkan pesan untuk seseorang?"
"Itu mungkin saja, Jupiter. Joshua memang kelihatan ingin sekali mengatakan sesuatu," kata Profesor Carswell. "Tapi aku tidak bisa mengetahui, apa yang sedang ada dalam pikirannya. Kata-katanya sama sekali tidak bisa dimengerti. Ia mengoceh tentang malang-melintang, tentang salah, dan juga kanvas. Ia sering mengucapkan kata lukisan, serta sesuatu mengenai karya empu. Menjelang ajalnya, Hal lebih sering mendampingi. Banyak yang masih kauingat dari kata-katanya waktu itu, Hal?"
Hal mengangguk pelan.
"Aku tidak ingat secara persis, tapi berulang kali ia mengucapkan kata-kata seperti. Bilang pada... disusul suara menggumam, begini... hmmm... hilang pada... menggumam lagi... hmmm... melintang... di mana harus malang, melintang... alur salah... karya empu... lukisan-lukisanku... kanvasku... kanvas... salah... malang jadi melintang... bilang pada... hmm... alur salah. Begitu saja terus, berkali-kali. Selalu kata-kata yang sama."
Semua yang ada di dalam ruangan itu saling berpandang-pandangan, seolah-olah ada di antara mereka yang mungkin mengetahui makna ocehan pak tua yang kini sudah tidak ada lagi itu. Tapi tidak seorang pun tahu. Bahkan Jupiter pun kelihatan bingung.
"Aku sama sekali tidak tahu maksudnya," kata Mr. Marechal.
"Ya," kata Tuan Putri sambil mendesah. "Kurasa itu hanya igauannya saja."
"Profesor?" Jupiter memandang ayah Hal. "Apakah mendiang Joshua menyimpan seluruh miliknya di dalam rumah?"
"Ya - kurasa begitulah, Jupiter." Penyelidik Satu Trio Detektif mengangguk.
"Ya, kalau begitu kami pergi saja sekarang," katanya. "Saya masih tetap berperasaan bahwa Skinny Norris tahu, di tangan siapa lukisan-lukisan itu saat ini."
"Kalian harus berhati-hati, Anak-anak," kata Tuan Putri. "Aku cemas, takut terjadi apa-apa dengan kalian. Jika kalian menghadapi kesulitan, telepon kami, ya?"
Ketiga remaja itu berjanji, lalu ke luar. Mereka mengambil sepeda masing-masing, lalu meninggalkan tempat itu. Ketika sampai di depan ujung parit yang tidak nampak dari rumah tadi, tiba-tiba Jupiter membelokkan sepedanya ke kiri, memasuki parit. Walau kaget, Bob dan Pete langsung mengikuti.
"Mau apa kita, Jupe?" tanya Bob, bingung.
"Aku yakin, kata-kata yang diocehkan mendiang Joshua sebenarnya merupakan pesan," kata Jupiter. "Pesan apa, aku belum tahu. Tapi pak tua itu tidak pernah meninggalkan tempat tinggalnya. Jadi jika ia menyembunyikan sesuatu, barang itu tentunya masih ada di rumah itu. Ayo, ikut aku!"
Mereka meninggalkan sepeda-sepeda mereka. Ketiga remaja itu berjalan kaki menyusur parit, lalu masuk ke rumah kecil lewat belakang. Sesaat mereka hanya melihat-lihat saja di dalam, karena belum tahu di mana mereka paling dulu harus mencari. Tahu-tahu terdengar langkah orang datang di luar.
"Cepat!" desis Jupiter. "Kita bersembunyi sambil mengintip!"
Mereka bergegas masuk ke kamar tidur, lalu mengintip dari situ. Mereka melihat Hal Carswell masuk. Anak itu bergegas ke sudut ruang duduk. Sesampai di situ, ia membungkuk, lalu mengangkat selembar papan lantai yang lepas. Tangannya diraihkan ke bawah lantai. Saat itu Trio Detektif melangkah ke luar.
"Ternyata kau tahu apa sebenarnya yang disembunyikan mendiang Joshua, Hall," kata Jupiter dengan sikap menuduh.
Hal terlonjak karena kaget. Tangannya menggenggam sesuatu.

Bab 9
LUBANG GELAP

"Ih - kalian ini mengagetkan orang saja!" kata Hal, setelah meneguk ludah. "Apa yang kauambil dari bawah lantai tadi?" tanya Pete.
"Apa yang kuambil? - Cuma ini saja." Hal membuka genggamannya. Di tangannya nampak sebuah anak kunci model kuno berukuran besar. Ia menatap ketiga remaja yang berdiri di depannya. "He - kalian kembali untuk memeriksa tempat ini, ya! Kalian menduga mendiang Joshua menyembunyikan sesuatu di sini?"
"Menurut kami, itu satu kemungkinan," kata Jupiter membenarkan.
"Pendapatku juga begitu!" kata Hal bersemangat. "Ketika kalian sudah pergi tadi, tiba-tiba aku teringat pada sesuatu. Ayah masih bercakap-cakap dengan Tuan Putri dan Mr. Marechal, jadi aku seorang diri saja kemari." "Apa yang kauingat itu, Hal?" tanya Bob.
"Aku ingat bahwa Joshua biasa menyimpan lukisannya di pondok yang ada di belakang, di dalam ngarai. Pondok itu kosong. Ayahku selalu menguncinya, karena itu bangunan bersejarah, dan ia tidak ingin ada orang iseng masuk dan mengobrak-abrik. Tapi anak kunci pondok itu kuserahkan pada Joshua, ketika ia baru pindah kemari."
"Dan itu anak kuncinya?" tanya Jupiter.
Hal mengangguk.
"Aku tadi berpendapat, karena Ayah masih sibuk bercakap-cakap dengan kedua tamunya, sedang kalian sudah pulang, aku saja seorang diri memeriksa pondok itu."
"Kalau begitu kita beramai-ramai saja ke sana," kata Jupiter memutuskan.
Jupiter mengajak ketiga penyelidik remaja itu menyusur parit, menjauhi jalan raya. Parit itu mengitari sisi pekarangan rumah Profesor Carswell, dan dari situ menikung tajam, kembali ke arah ngarai. Setelah beberapa waktu berjalan, Hal membelok ke kiri, merintis belukar. Anak-anak yang lain mengikuti dari belakang. Setelah beberapa lama menerobos semak belukar kusut, akhirnya mereka sampai di tempat terbuka, beralas tanah liat kering kerontang. Di tempat itu ada sebuah bangunan rendah, beratap batang-batang kayu, dan berjendela yang tingkapnya dari kayu pula. Pondok tua itu, yang dibangun dari batu bata buatan setempat yang dikeringkan dengan sinar matahari, nampak lengang dan terpencil.
"Batu bata jenis begini namanya adobe, " kata Hal menjelaskan. "Yang membangun pondok ini orang Spanyol, pemilik ngarai ini. Tapi sudah lama sekali - paling sedikit satu setengah abad yang lalu. Tanpa kamar mandi, sedang tempat perapian merupakan satu-satunya sumber kehangatan pada musim dingin."
Hal membuka pintu pondok yang terbuat dari beberapa lembar papan kasar dan tebal, dengan simpai-simpai serta engsel dari besi tempa. Ketika sudah berada di dalam, anak-anak melihat bahwa pondok itu hampir tidak ada isinya. Lantai papannya dilapisi debu tebal dan kotoran. Di belakang satu-satunya ruang tengah yang sempit ada sebuah bilik yang lebih kecil lagi. Itulah kamar tidur. Kecuali itu masih ada pula dapur. Jendela-jendelanya yang hanya beberapa buah terpasang pada lubang-lubang dalam, dan di bagian luarnya ditutup dengan papan. Cahaya remang menyusup masuk lewat celah-celah di sela papan penutup. Hawa di dalam ruangan itu sejuk.
"Wah," kata Pete, "dinding ini - mestinya ada satu meter tebalnya!"
"Memang begitu caranya membangun rumah dengan bahan adobe, " kata Jupiter menerangkan. "Bahan itu tidak sekuat batu bata biasa. Jadi dinding yang dibuat dengannya harus tebal, agar cukup kokoh. Pete, coba kaulihat apa yang ada di dapur! Sedang kau, Bob, kau mencari di kamar tidur. Aku dan Hal akan memeriksa ruang tengah ini."
Hal dan Jupiter menemukan kanvas berlembar-lembar yang belum dipakai, dan begitu pula kaleng-kaleng berisi minyak cat dan cairan pengencer. Tapi di situ tidak ada lukisan yang sudah jadi. Mereka menemukan sebuah bingkai berukir-ukir yang bersepuh emas. Jupiter memperhatikan bingkai tebal itu sambil merenung.
"Aku ingin tahu, apa sebabnya mendiang Joshua membiarkan bingkai ini kosong," katanya dengan nada bertanya.
"Ketika ia pindah kemari, bingkai ini menghiasi lukisan orang lain," kata Hal. "Lukisan imitasi - atau reproduksi, menurut istilahnya. Katanya ia tidak menyukai reproduksi, dan karenanya lukisan itu kemudian dibuang."
"Tapi bingkainya tidak," kata Jupiter. "Coba kauperhatikan pola hiasan bingkai ini, Hal."
"Eh - bentuknya berliku-liku, seperti mata gergaji! Malang-melintang! Mungkinkah ketika ia mengoceh tentang, 'malang-melintang' itu, ia bicara tentang bingkai ini?"
"Melihat tebalnya, bisa saja ada sesuatu disembunyikan di dalamnya."
Keduanya memeriksa bingkai berukir-ukir itu. Setiap sambungan diteliti. Pinggiran lekuk-liku ditekan-tekan. Akhirnya Jupiter menggeleng.
"Aku tidak melihat suatu tempat pun, di mana mungkin disembunyikan sesuatu," katanya. Saat itu Pete kembali dari dapur.
"Kalau ada sesuatu yang disembunyikan di ruangan itu, maka mestinya di dalam dinding." "Di sini pun nampaknya tidak ada apa-apa," kata Hal. "He, Teman-teman!" seru Bob dari kamar tidur. "Di sini!"
Bob tegak di depan selembar kasur usang yang tergeletak di sudut bilik itu. Kain bungkusnya berpola garis-garis.
"Ada sesuatu di dalam kasur ini," katanya.
Pete meraba-raba kasur itu, pada bagian yang dituding oleh Bob.
"Wah, betul - ada sesuatu di sini! Rasanya seperti semacam kantung berisi batu. Jangan-jangan batu permata!" "Coba kaurobek dengan pisaumu, Dua," kata Jupiter bersemangat.
Pete mengeluarkan pisau lipatnya. Dengan pisau itu dirobeknya kain kasur yang sudah usang itu. Anak-anak berkerumun, ingin melihat apa yang ada di dalam.
"Apa itu?" tanya Hal dengan heran, begitu melihat kumpulan benda-benda kecil bulat berwarna coklat tua. Kelihatannya seperti batu.
"Buah ek dan tusam," jawab Jupiter sambil tertawa kecut. "Rupanya ini gudang makanan tupai, atau tikus ladang."
Keempat remaja itu memandang kumpulan biji-bijian itu, lalu mulai cekikikan. Mereka geli, karena yang disangka batu permata ternyata hanya biji-bijian. Mereka terpingkal-pingkal, sampai air mata berlelehan membasahi pipi.
Karena keasyikan tertawa, mereka tidak menyadari pintu kamar tidur bergerak. Ketika terdengar bunyi bantingan keras, barulah mereka kaget.
Pete berhenti tertawa. Ia menoleh ke arah pintu.
"Apa...?"
Saat itu terdengar bunyi gerendel pintu sebelah luar didorong. Keempat remaja itu terkunci di dalam kamar tidur. "Kita terkurung!" seru Hal. "He! He - siapa itu di luar!" "Buka pintu! Kami ada di sini!" seru Bob.
Pete menggedor-gedor pintu yang terbuat dari papan tebal. "He!" "Tunggu!" kata Jupiter.
Teman-temannya berhenti berteriak dan menggedor-gedor. Saat itu terdengar bahwa di ruang tengah ada orang. Orang itu bergerak dengan lambat. Mengetuk-ngetuk dinding dan lantai, membanting kanvas-kanvas serta bingkai lukisan yang hanya ada satu, menendang kaleng-kaleng berisi minyak cat dan larutan pengencer.
"Orang itu sedang mencari-cari," bisik Jupiter.
Kesibukan orang di luar itu masih terdengar selama beberapa menit. Sesudah itu berhenti. Anak-anak mendengar bunyi pintu luar ditutup, lalu dikunci. Hal mengeluh.
"Anak kuncinya tadi kutinggal di dalam lubangnya."
Keempat remaja itu mulai lagi berteriak-teriak serta menggedor-gedor.
Keadaan di luar gelap. Sinar bulan yang remang-remang menyusup lewat celah-celah papan tebal penutup jendela yang hanya ada satu di kamar tidur.
Beberapa jam sudah berlalu. Suara anak-anak sudah serak, karena berteriak-teriak. Tapi tidak ada yang bisa mendengar mereka, karena letak pondok itu terlalu jauh dari rumah besar. Apalagi pintu serta jendela tertutup rapat Sedang dinding yang mengelilingi tebal sekali. Tidak mungkin anak-anak bisa ke luar dengan cara membuat lubang dengan pisau lipat yang dimiliki Pete. Anak-anak menemukan suatu bagian yang berongga di bawah lantai. Mereka tahu bahwa di sebelah bawah ada ruang kolong. Tapi tidak ada jalan masuk ke situ.
Anak-anak duduk di atas kasur usang, dengan perasaan putus asa.
"Kita sudah terlambat untuk makan malam," kata Pete sambi! mengeluh.
"Kelihatannya bukan cuma untuk makan malam saja kita akan terlambat," kata Bob dengan muram. "Kita terkurung di sini untuk selama-lamanya."
"Kita pasti didamprat nanti, kalau pulang ke rumah," kata Jupiter sambil mendesah.
"Tidak lama lagi, ayahku pasti akan mulai merasa kehilangan," kata Hal. "Kita pasti akan ditemukannya."
"Kau sering kemari, Hal?" tanya Pete.
"Tidak," kata Hal dengan sikap kurang enak, "tidak sering. Pokoknya, banyak tempat lain yang lebih sering kudatangi."
"Kalau begitu, bisa lama sekali kita menunggu sebelum ayahmu muncul di sini," kata Bob.
Keempat remaja itu terbungkam memikirkan kemungkinan suram itu. Kemudian Pete berdiri. Ia mengentak-entakkan kaki ke lantai, di sebelah lemari dinding yang ada di salah satu sudut kamar. Remaja jangkung itu melakukannya sambil memperhatikan kalau-kalau terdengar bunyi kosong.
"Coba kita bisa turun ke kolong di bawah ini," katanya. "Mungkin dari situ ada jalan ke luar. Tapi alat yang ada pada kita, cuma pisau sakuku."
Hal berdiri menghampiri Pete, lalu ikut mengentak-entakkan kaki ke lantai, sepanjang dinding.
"Aku tidak menyangka, di bawah pondok ini ada ruang kolong," katanya. "Kenapa di sini dibuat, ya? Di daerah California sini, rumah-rumah kan tidak biasa ada kolongnya."
"Memang," kata Jupiter menimpali. "Apalagi pondok tua seperti ini." Ia berpikir sebentar. Kemudian sikap duduknya diluruskan. "Ya - tentu saja!" serunya bersemangat. "Yang di bawah ini bukan ruang kolong! Tapi ketika orang Amerika masih bermusuhan dengan bangsa Spanyol yang menduduki daerah ini, rumah-rumah yang dibangun sering dilengkapi dengan lorong-lorong rahasia untuk lari! Kurasa yang ada di bawah ini pasti lorong semacam itu!"
Jupiter mengamat-amati bilik kecil gelap tempat mereka saat itu sedang terkurung.
"Mestinya dari setiap ruangan di dalam pondok ini ada jalan masuk ke lorong pelarian itu - tapi..." Matanya terpaku ke arah pintu lemari di sudut. "Lemari itu tadi belum kita periksa dengan cermat, Teman-teman!"
Pete yang paling dulu sampai di lemari itu. Ruangan di dalamnya sempit. Debu dan kotoran tebal melapisi alasnya. Bob dan Pete menyingkirkan kotoran itu dengan tangan. Setelah itu Pete mengambil pisau lipatnya. Dengan alat itu dikoreknya celah-celah di antara papan-papan lantai.
"Bagian ini bisa bergerak!" serunya kemudian.
Dibantu oleh Bob, diangkatnya satu bagian dasar lemari. Di bawahnya, kotoran bertumpuk-tumpuk. Di bawah kotoran itu ada semacam tingkap, dengan gelang besi yang sudah berkarat di tengah-tengahnya. Bob dan Pete menarik gelang itu ke atas. Tingkap terbuka. Di bawahnya menganga sebuah lubang sempit yang sangat gelap. Anak-anak menjengukkan kepala, memandang ke bawah.
"Kalian bisa melihat dasarnya?" tanya Bob. Suaranya gugup.
"Tidak," kata Hal. "Semua sama gelapnya!"
"Jika kalian mengira aku mau meloncat masuk ke dalam lubang yang tidak kelihatan dasarnya, otak kalian tidak beres!" tukas Pete. "Aku tetap di sini."
"Orang yang mengurung kita di sini tadi, nanti mungkin kembali lagi," kata Jupiter.
Pete mengerang.
"Ya deh - tapi bukan aku yang paling dulu turun!"
"Coba senter kita tidak kita tinggalkan di sepeda-sepeda kita," kata Jupiter menyesal. Lubang gelap itu menganga di bawah mereka. Akhirnya Bob melangkah maju.
"Aku sajalah yang dulu," kata remaja yang tubuhnya paling kecil itu. "Doakan, ya!"
Bob mengulurkan tubuhnya ke dalam lubang, sambil berpegangan pada tepi sebelah atas. Ia menggelantung sesaat - lalu menjatuhkan diri ke dalam kegelapan yang pekat.

Bab 10
DIKEJAR!

Ketiga remaja yang masih ada di atas memandang ke dalam lubang yang gelap itu dengan perasaan cemas.
"Bob?" seru Pete memanggil.
Dari bawah terdengar suara Bob menjawab.
"Ternyata memang lorong, Teman-teman! Aku tidak bisa melihat apa-apa, tapi bisa kuraba dindingnya yang dari tanah. Sebentar!"
Anak-anak yang ada di dalam lemari di atas mendengar Bob bergerak-gerak di bawah. Beberapa menit kemudian ia berseru lagi. Hanya beberapa menit kemudian - tapi bagi teman-temannya, terasa seperti berjam-jam.
"Aku cuma bisa berjalan sekitar dua meter saja dari sini ke satu arah, yaitu ke arah ruang tengah. Di sebelah sana ada pintu. Aku sudah mencoba membukanya, tapi tidak bisa. Sedang ke arah yang lain, rasanya tidak ada yang menghalangi."
Pete merasa kurang enak.
"Bagaimana kita bisa tahu ke mana arahnya, Jupe?"
"Ya - nanti tahu-tahu tersesat," kata Hal.
Jupiter menggigit bibir, lalu berseru ke bawah,
"He, Bob! Bagaimana udara di situ? Terasa ada angin tidak?"
"Kalau angin, tidak ada!" balas Bob. "Tapi hawa di sini rasanya cukup segar."
Jupiter sangsi sesaat. Ia memandang lagi ke dalam lubang yang gelap. Ke manakah arah lorong yang ada di bawah sana?
"Lorong itu mungkin saja sangat berbahaya untuk dilewati," katanya kemudian. "Jika langit-langitnya runtuh, itu bisa berarti tamatnya riwayat Trio Detektif - dan kau juga, Hal. Tapi kita tidak bisa ke mana-mana, jika menongkrong terus di sini. Dan kurasa lebih baik kita tidak mengambil risiko menunggu orang tadi kembali lagi. Karena siapa tahu, mungkin kali ini ia..."
"Ya, ya - aku percaya," kata Pete buru-buru.
Ia mengulurkan tubuhnya ke dalam lubang, lalu menjatuhkan diri ke bawah. Hal menyusul sesudah itu. Jupiter yang paling akhir.
Sesampai di dasar lorong sempit itu mereka mencoba saling melihat. Tapi rongga itu sangat gelap, sehingga mereka tidak bisa melihat apa-apa. Hawa di situ dingin. Masing-masing remaja itu merasa bahwa teman di sebelahnya menggigil kedinginan.
"Sebaiknya kita mulai saja bergerak sekarang," kata Pete. "Aku paling depan, lalu Jupiter, kemudian Hal - sedang Bob paling belakang. Kita berjalan sambil memegang ikat pinggang teman yang di depan. Dengan begitu tidak mungkin ada yang tersesat. Yuk - kita berangkat!"
Keempat remaja itu beringsut-ingsut maju di dalam lorong yang gelap gulita. Setiap kali, Pete meraba-raba dulu dengan ujung kakinya, sebelum melangkah. Langit-langit lorong itu rendah, sehingga anak-anak terpaksa membungkuk.
"Rasanya lorong ini lurus saja," kata Pete, setelah beberapa waktu. "Tapi aku tidak tahu pasti - karena sudah kehilangan arah."
Dalam kegelapan mutlak itu mereka bergerak terus dengan sangat berhati-hati. Makin lama bagi Pete semakin terasa berat untuk menjejakkan kakinya maju ke depan. Mereka semakin jarang bercakap-cakap, dan akhirnya semua membisu. Kesunyian dan kegelapan total menyelubungi mereka.
"Pete," kata Jupiter setelah agak lama bungkam. "Aku seperti merasakan ada sesuatu bergerak."
Semuanya langsung berhenti.
"Udara?" kata Bob. "Udarakah yang kita rasakan bergerak ini?"
Pete agak mempercepat langkah. Melewati bagian yang agak melengkung ke samping - dan seketika itu juga mereka melihatnya di depan mata. Mereka melihat kegelapan - tapi tidak begitu pekat seperti di sekeliling mereka! "Itu lubang!" seru Pete.
Dua puluh langkah lagi, dan akhirnya mereka sampai di luar. Selama beberapa saat mereka hanya berdiri saja di tengah kegelapan malam, sambil cengar-cengir lega. Mereka sudah selamat - ke luar dari dalam pondok, ke luar dari kegelapan pekat yang menyeramkan di dalam lorong. Dibandingkan dengan tadi, lingkungan sekarang yang disinari bulan rasanya seterang siang hari.
"Kita berada di dalam parit," kata Hal sambil memandang berkeliling.
Mereka diapit sisi-sisi parit yang terjal. Mereka menoleh ke belakang, memandang ke arah mulut lorong. Ternyata dari luar sama sekali tidak kelihatan, karena tertutup tepi atas parit yang menjorok ke depan, serta pohon apel liar yang rimbun di depannya.
"Sekarang kita kembali," kata Jupiter. Semangatnya ternyata sedikit pun tidak mengendur. "Lalu..." "Aaaahhh!"
Suara teriakan itu menggema di tengah kesunyian malam. Datangnya dari tempat yang hanya sekitar sepuluh meter dari keempat remaja itu, dan disusul bunyi gemerasak, lalu debuman keras! "Apa itu...?" tanya Pete dengan gugup. Tahu-tahu di depan mereka muncul sesosok tubuh besar.
"Siapa di situ?" sergah orang itu dengan suara serak. "Ah - kalian lagi rupanya!"
Keempat remaja itu melihat wajah galak orang yang mengaku pedagang benda-benda seni. Diterangi sinar bulan yang temaram, wajah De Groot kelihatan seperti hantu. Orang itu mendekati mereka dengan langkah tertatih-tatih. Pakaiannya kotor kena debu dan sampah, seolah-olah ia baru saja terperosok ke dalam parit.
Anak-anak tidak menunggu-nunggu lagi. Mereka berpaling dengan cepat, lalu mengambil langkah seribu. Mereka lari!
"He - berhenti...!"
Anak-anak lari ke ujung depan parit, tempat mereka tadi meninggalkan sepeda mereka. De Groot mengejar terus, terpincang-pincang melewati dasar parit yang penuh dengan batu. Anak-anak mempercepat langkah mereka.
"Itu sepeda-sepeda kita!" seru Pete. Dipercepatnya lagi langkahnya. Tapi tahu-tahu larinya terhenti dengan tiba-tiba - karena menubruk seseorang! Pete merasa dirinya dicengkeram. Tapi ia berhasil meloloskan diri.
"Awas - ada yang mencegat!" seru Pete. "Lari!"
Orang yang tahu-tahu muncul itu berusaha menghadang anak-anak yang lain, sementara mereka dengan cepat menghindar. "Hal! Ini aku!" "Ayah!"
Profesor Carswell berdiri di samping sepeda-sepeda.
"De Groot," kata Pete tersengal-sengal. "Ia mengejar kami!"
"Kami dikurungnya tadi, di dalam pondok tanah!" kata Hal.
"Untung kami kemudian menemukan lorong rahasia di bawah tanah," kata Bob. "Kalau tidak, pasti sampai sekarang kami masih mendekam di dalam!"
Profesor Carswell memicingkan mata, memandang ke arah parit. "Aku tidak melihat siapa-siapa di sana," katanya. Hanya kesunyian saja yang ada di dalam parit gelap itu.
"Tadi ia ada di sana, Sir, " kata Jupiter. Diceritakannya apa yang terjadi di dalam pondok tua. "Setelah mengurung kami, ia kemudian juga terdengar mencari-cari. Rupanya ia mempunyai dugaan yang serupa dengan kami."
"Dan baru saja ada lagi yang menggeledah pondok itu," kata Profesor Carswell. "Kurasa orang itu pasti juga De Groot."
"Memang," kata Hal. "Setelah itu ia rupanya membuka pintu kamar tidur. Saat itu dilihatnya bahwa kami tidak ada lagi di situ - lalu ia berusaha mengejar. Tapi ia kemudian terperosok jatuh ke dalam parit. Karenanya ia ketahuan, sehingga kami bisa lari."
"Coba aku tadi tidak mencari Hal, lalu menemukan sepeda-sepeda kalian di sini, keselamatan kalian mungkin terancam," kata profesor itu. "Memang - kalian tidak bersalah. Tapi perasaanku was-was, karena ada De Groot berkeliaran di sini. Urusan ini nampaknya sudah terlalu serius bagi kalian!"