Trio Detektif - Misteri Cermin Berhantu(2)



 Bab 9
SURAT YANG MISTERIUS

PUKUL delapan malam sudah lama berlalu ketika Bob dan Pete kembali ke tempat kediaman Mrs. Darnley diantar oleh Worthington.
Jupe dan Jeff sibuk memeriksa isi kedua peti di bilik rahasia. Jean menjaga di pintu depan, sementara Mrs. Darnley berusaha menelepon. Maksudnya hendak memanggil polisi. Tapi tidak bisa tersambung.
"Kami tadi hampir saja berhasil menangkap hantu Chiavo," kata Jean pada Bob dan Pete. "Ia ternyata mendekam di kolong rumah. Lihat saja sendiri tempatnya."
Ia mendului masuk ke ruang perpustakaan. Pintu rahasia terpentang lebar. Jean berseru ke bawah, memanggil Jupiter dan Jeff. Keduanya naik ke atas. Mereka nampak jauh lebih dekil dan berdebu, dibandingkan dengan sorenya. Tapi Jupiter kelihatan riang.
"Dari semula aku sudah tahu bahwa tidak mungkin itu hantu," katanya. "Ada orang bersembunyi dalam sebuah bilik rahasia, di bawah ruangan ini! Bagaimana caranya ia bisa masuk ke situ, aku tidak tahu. Selama mendekam di sana ia hanya makan makanan kaleng yang dingin, roti sandwich yang sudah basi, serta minum air dari botol. Ih! Kami juga menemukan kantung tidur yang sudah usang - dan sebuah cermin, senter, serta bahan perias yang membuatnya nampak kemilau dalam gelap."
Mrs. Darnley datang dari ruang depan.
"Aku tidak bisa menelepon polisi," katanya dengan kesal. "Badai rupanya juga memutuskan kabel-kabel telepon."
"Kan tidak perlu buru-buru, Nek," kata Jean. "Orang menyeramkan tadi sudah lari, dan sekarang kita setidak-tidaknya tahu bahwa ia bukan Senor Santora, atau lelaki kurus yang waktu itu masuk dengan diam-diam kemari. Hantu yang lari tadi jauh lebih jangkung daripada mereka berdua."
"Kapan... bagaimana hantu itu sampai bisa lari lewat pintu depan?" tanya Pete. "Kalian tidak berusaha menahannya?"
"Sekitar dua puluh menit yang lalu," kata Jeff Parkinson. "Kami - aku dan Jupe, masih berusaha menahannya. Aku tadi membawa palu ini. Maksudku hendak menghajar kepalanya. Tapi... tapi ia muncul dari dalam peti di bawah sana tadi sambil menjerit... aku kehilangan akal."
"Benar-benar menyeramkan deh," kata Jean menyela. "Dari semula aku sudah menduga bahwa mungkin akan ada sesuatu yang kelihatan menyeramkan muncul dari bilik itu. Kusangka aku sudah siap untuk menghadapinya. Tapi ketika ia tahu-tahu muncul di sini, aku menjerit. Hanya Jupe saja yang sempat berbuat sesuatu. Disambarnya jubah yang dipakai orang itu, sehingga robek. Besok ia akan menyelidiki, dari mana asal kain itu."
"Bahannya lain dari yang lain," kata Jupe, sambil mengeluarkan sobekan jubah itu dari kantungnya. "Wol tebal, ditelusuri benang perak. Seperti bahan untuk busana teater. Sobekan ini mungkin bisa kita jadikan petunjuk penting, untuk mengetahui siapa hantu misterius kita itu. Dan kalian - apa yang bisa kalian laporkan?"
"Santora sekarang ada di rumah sakit," kata Pete. "Sedang lelaki kecil kurus yang kita sangka orang suruhannya untuk membobol masuk kemari dan mencuri cermin itu, ternyata bukan kaki-tangannya." Dengan ringkas Pete melaporkan kejadian yang dialami di Hotel Beverly Sunset. "Setelah memukul kepala Santora, lelaki kecil itu lari menuruni tangga, dan mungkin keluar lewat pintu untuk pegawai. Worthington dan Bob yang menjaga di depan, tidak melihat orang itu keluar. Kami menunggu terus sampai ada ambulans datang. Santora dibawa pergi dengan kendaraan itu."
"Jengkel rasanya pada diriku sendiri," kata Bob menyesali dirinya. "Aku sebetulnya harus menjaga di pintu pegawai, sementara Worthington yang mengamati pintu depan. Coba itu kulakukan - kami tadi pasti akan bisa membuntutinya. Atau paling kurang, mencatat nomor mobilnya."
"Kami memang sangat teledor tadi," kata Worthington. "Tapi saya dan Robert menyangka bahwa orang itu bermaksud menemui Senor Santora. Karenanya kami merasa tidak perlu mengamati kepergiannya dari hotel. Apalagi setelah kami melihat Senor Santora pulang."
"Tapi bukan kau saja yang menemukan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk, Jupe," kata Pete. Dikeluarkannya kertas kusut yang dikantunginya. "Ini tadi terlepas dari tangan orang itu, di dalam gang. Tapi aku tidak bisa memahami arti tulisannya, karena bukan dalam bahasa Inggris. Tapi jika orang itu menginginkannya, maka mestinya penting artinya. Kelihatannya ini surat, dan nama Anda disebut di dalamnya, Mrs. Darnley."
"O ya?" Mrs. Darnley cepat-cepat duduk.
Tiba-tiba lampu menyala kembali.
"Syukurlah," kata Mrs. Darnley. "Padamkan lilin-lilin itu, Jean! Jangan sampai ada kebakaran di sini. Nah - kita lihat saja apa yang tertulis di kertas yang dipungut Pete itu." Ia mengamati surat itu sekilas, lalu memandang berkeliling. "Ada di antara kalian yang mengerti bahasa Spanyol atau Portugis?"
"Saya mengerti bahasa Spanyol meski hanya sedikit, Mrs. Darnley," kata Jupiter. Diambilnya kertas yang sudah berkerut-kerut itu, lalu dibacanya tulisannya. Keningnya berkerut, sementara tangannya menarik-narik bibir bawah. Begitulah kebiasaannya, jika sedang memusatkan perhatian.
"Surat ini ditulis lima hari yang lalu," katanya sesudah beberapa saat menekuni, "dan ditujukan pada 'Rafael yang budiman'."
"Kalau tidak salah, itu nama kecil Senor Santora," kata Mrs. Darnley. "Ia mengatakannya, ketika pertama kali datang kemari. Kecuali itu apa lagi?"
"Pengirimnya hanya membubuhkan huruf-huruf depan namanya," kata Jupiter, "A.F.G. Sedang mengenai isinya, saya tidak bisa menerjemahkannya secara tepat. Tapi kurang-lebih begini bunyinya:"
Rafael yang budiman,
Menurutku, tindakanmu menceritakan riwayat cermin Chiavo pada Senora Darnley tidak salah, tapi agak lama juga waktu yang diperlukan untuk memperoleh dokumen-dokumen itu. Jika kau bisa membeli cermin itu dengan
segera dan tanpa harus memperlihatkan dokumen-dokumen tersebut, itu lebih baik bagi kita. Juan Gomez membuatku sangat khawatir. Dia itu jahat, dan bisa berbahaya. Aku cemas memikirkan keselamatanmu, begitu pula Senora Darnley dan Republik Ruffino. Gomez tidak boleh sampai berhasil memperoleh rahasia cermin itu. Jika itu sampai terjadi, malanglah nasib kita. Aku mendapat informasi bahwa Juan Gomez punya beberapa orang sepupu di Los Angeles. Mereka tinggal di suatu tempat yang namanya Silverlake. Mungkin informasi ini ada gunanya bagimu. Mungkin saja ia tinggal di tempat sepupu-sepupunya itu. Usahakan mencari keterangan di mana ia tinggal. Kalau sudah kauketahui, amat-amati dia. Dan usahakan agar kau bisa memperoleh cermin itu. Jangan sampai jatuh ke tangannya.
Mengenai dirimu sendiri, berhati-hatilah! Aku merasa diriku sudah tua sekarang. Pada posisiku yang tinggi ini, aku merasa kehilangan dirimu, serta dukunganmu. Aku selalu merasa segar kembali apabila melihat Ruffino lewat matamu, yang lebih muda dan teliti dibandingkan dengan mataku.
A.F.G.
Mrs. Darnley termangu, ketika Jupiter sudah selesai menerjemahkan isi surat itu, yang berlangsung lambat.
"Sangat memilukan," kata wanita itu. "Surat itu rupanya ditulis oleh seseorang yang sudah tua dan kesepian."
"Seseorang yang berkedudukan tinggi," kata Jupiter, "dan merasa cemas - cemas memikirkan keselamatan Santora, keselamatan Anda, dan juga Republik Ruffino. Mrs. Darnley - apakah mungkin Anda mengenal penulis surat ini? Teman Anda itu - Senora Manolos - mungkinkah ia mengenal seseorang, yang namanya berhuruf depan A.F.G.? Suaminya semasa hidup dulu kan berkedudukan tinggi di Ruffino!"
Tapi Mrs. Darnley menggeleng.
"Bertahun-tahun lamanya aku berhubungan lewat surat dengan Isabella Manolos," katanya, "sejak kami sama-sama masih murid sekolah. Tapi surat-surat kami hanya memberitakan hal-hal yang biasa saja - soal-soal sepele. Aku tidak suka pada orang yang dinikahinya, dan kurasa itu diketahui oleh Isabella."
"Kalau Nenek tidak suka pada seseorang, semua akan ikut tahu," kata Jean.
"Itu betul. Yah - aku kadang-kadang memang suka telanjur bicara. Aku memang tidak suka pada Diego Manolos. Aku tidak habis heran, apa sebabnya Isabella mau menikah dengan orang itu! Dan ketika Manolos kemudian menanjak karirnya dan menjadi orang penting dalam pemerintahan, aku semakin tidak suka padanya. Ia punya kebiasaan jelek. Tertawa nyengir, seakan-akan ia yang paling pintar di dunia ini. Oleh sebab itu sedikit sekali yang kuketahui tentang pemerintahan negara Ruffino, serta peran suami Isabella di dalamnya. Jadi aku tidak tahu, siapa penulis surat itu."
"Adakah buku almanak dunia di rumah ini?" tanya Bob. "Buku almanak seperti itu biasanya banyak memuat informasi tentang negara-negara asing."
Jean bangkit dengan cepat.
"Aku punya," katanya. "Kubeli tahun lalu, ketika sedang keranjingan mengisi teka-teki silang."
Buku almanak itu ditemukan, setelah agak lama mencari-cari di antara buku-buku yang terletak di lantai. Dengan cepat Bob meneliti indeks yang tertera di bagian belakang, lalu membalik-balik halaman sampai ke bagian yang memuat informasi tentang Republik Ruffino. Ternyata hanya setengah halaman saja keterangan mengenai republik pulau yang kecil itu. Hanya sekadarnya saja.
"Negara ini menganut prinsip demokrasi," kata Bob, sambil membaca sepintas lalu. "Mirip dengan Amerika Serikat, cuma jauh lebih kecil. Badan penyusun undang-undang di sana senat, ditambah majelis rendah yang anggotanya tujuh puluh delapan orang. Dewan eksekutif bertugas selaku penasihat presiden...."
"Sudahlah, jangan kauulur-ulur begitu," keluh Pete. "Dari tampangmu saja sudah kuketahui bahwa kau menemukan keterangan penting."
Bob tertawa meringis.
"Nama-nama para senator dan anggota majelis rendah tidak tertulis di sini," katanya dengan santai. "Tapi nama presiden mereka - nah, itu ada dalam almanak ini."
"Ya - dan sekarang kausuruh aku menebak kepanjangan dari ketiga huruf singkatan nama itu," kata Pete dengan sinis.
"Presiden Republik Ruffino, menurut almanak ini, bernama Alfredo Felipe Garcia," kata Bob melanjutkan.
Semuanya terdiam selama beberapa saat. Akhirnya Jupiter berdiri, lalu mondar-mandir sambil menarik-narik bibir.
"Jadi ia presiden republik itu," katanya. "Banyak hal yang bisa kita ketahui dari surat itu, walau pengirimnya bersikap sangat berhati-hati. Dari situ kita tahu bahwa kita harus waspada terhadap seseorang yang bernama Juan Gomez. Kurasa Juan Gomez ini lelaki kurus itu, dan ia lawan dari Santora. Kedua-duanya sama-sama menginginkan cermin Chiavo. Hari ini Santora mengalami cedera, diserang lelaki kurus itu. Kurasa Gomez itu memang berbahaya. Kecuali itu dalam surat juga dikatakan secara tidak langsung, bahwa Santora menghendaki cermin itu bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk seseorang yang berkedudukan tinggi di Ruffino. Perkara ini menyangkut sesuatu yang sangat penting - sesuatu yang ada hubungannya dengan cermin hantu itu. Kurasa kita boleh menarik kesimpulan bahwa Santora cuma mengarang-ngarang saja, tentang hubungannya dengan Chiavo. Jika ia berhasil mengajukan dokumen-dokumen yang katanya dari Spanyol, itu pasti merupakan pemalsuan. Aku bahkan sangsi apakah Santora benar-benar orang Spanyol. Menurutku, dia itu warga Ruffino."
Mrs. Darnley menggeleng-geleng.
"Kasihan Isabella Manolos," katanya. "Jika penulis surat itu benar-benar presiden Republik Ruffino, mungkin temanku itu saat ini terlibat dalam kesulitan. Kurasa itu perlu kita selidiki dulu, sebelum kita mungkin menyebabkan terjadinya kericuhan yang tidak menyenangkan."
"Maksud Nenek?" kata Jean dengan nada bertanya.
"Sebaiknya kita hubungi saja polisi, lalu kita laporkan semua yang terjadi selama ini," kata Mrs. Darnley. "Tapi itu malah mungkin menambah masalah." Ia memandang Jupiter, lalu menoleh ke arah Bob dan Pete. "Kalian kuminta menyelidiki cerminku yang berhantu," katanya. "Aku meminta kalian karena penghargaan Worthington terhadap kalian, dan juga karena aku berpendapat bahwa kaum muda kadang-kadang lebih pintar dari mereka yang lebih tua.
Mereka belum begitu berpengalaman, dan karenanya tidak mempunyai prasangka apa pun juga. Mereka tahu, apa pun juga mungkin saja terjadi." "Betul," sela Worthington.
"Saya mengerti, Mrs. Darnley," kata Jupiter Jones. "Saya yakin, kita semua sekarang sama-sama tahu bahwa cermin hantu itu tidak ada hantunya, tapi pasti menyimpan salah satu rahasia. Bagaimana - apakah sebaiknya kita coba saja mengusut, apa rahasia itu?"
Pete mengeluh.
"Aduh - sekarang sudah terlalu malam," katanya. "Lagi pula aku sudah capek sekali. Tapi... yah, baiklah. Kita coba saja. Mestinya ada sesuatu yang tersembunyi di situ. Di salah satu tempat, dan dengan salah satu cara."
Jeff mengambil tangga aluminium dari dapur, serta beberapa perkakas. Dengan susah payah, dan dibantu oleh Worthington, anak-anak menurunkan cermin besar itu dari tempatnya tergantung di dinding. Jupiter melepaskan sekrup yang menempelkan panel kayu yang terpasang di sisi belakang bingkai baja. Ternyata di baliknya tidak ada apa-apa. Setelah itu ditelitinya bingkai baja senti demi senti. Juga tidak ada apa-apa, kecuali sosok-sosok mengerikan, yang menggambarkan makhluk-makhluk perut bumi, serta hantu tanah di sebelah atas, yang bermain-main dengan ular. Tidak ditemukan lubang atau celah, di mana bisa disembunyikan sesuatu. Yang ada hanya bingkai besar dan jelek itu sendiri, selanjutnya kaca cermin antik, serta panel belakang yang kelihatannya sudah beberapa kali dibetulkan. Sejumlah label yang sudah kelihatan dekil dan ditempelkan pada panel kayu, menerakan nama-nama beberapa tukang di Madrid dan Ruffino, yang pernah menangani cermin itu.
Jupiter berjongkok, sambil memperhatikan cermin yang sudah dibongkar itu.
"Ada apa pada cermin ini, yang penting artinya bagi presiden suatu republik?" katanya sambil merenung.

Edit by: zhe (zheraf.wapamp.com)
http://www.zheraf.net

Bab 10 JUBAH PENYIHIR

KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali Bob Andrews ikut ayahnya pergi ke Los Angeles. Di sana ia bermaksud meneliti edisi-edisi lama harian Los Angeles Times, untuk mencari berita-berita yang menyangkut Republik Ruffino. Juga tentang Drakestar, serta rumah ahli sulap itu, yang dibangunnya sendiri di perbukitan di atas kota Hollywood, dan yang sekarang didiami Mrs. Darnley.
Sementara itu Jupe dan Pete pergi ke Hollywood. Mereka membonceng Konrad, yang harus mengantarkan sebuah meja makan antik ke rumah seorang pelanggan The Jones Salvage Yard.
"Santora masih di rumah sakit," kata Jupe, sementara Konrad datang dengan pick-up. "Kemarin malam aku sibuk menelepon rumah sakit-rumah sakit yang ada di Beverly Hills - satu-satu, sampai akhirnya ketemu. Ia ada di Beverly Hills Medical Center. Tapi petugas yang kuhubungi di sana kemarin malam tidak mau memberi keterangan apa-apa, sedang ia sendiri tidak bisa dihubungi. Lalu pagi ini ketika aku menelepon ke sana lagi, mereka menanyakan apakah aku ingin bicara sendiri dengan Santora. Jadi keadaan orang itu mestinya tidak begitu parah."
"Syukurlah," kata Pete. "Aku tidak tahu apakah dia itu orang baik atau orang jahat, tapi tentang orang yang memukulnya, aku tidak usah bingung-bingung lagi. Aku tahu, dia itu brengsek."
"Juan Gomez," kata Jupe. "Nama orang itu Juan Gomez. Tadi aku sempat meneliti buku telepon. Kutemukan beberapa orang bernama Gomez yang bertempat tinggal di kawasan Silverlake. Tapi katakanlah Gomez memang tinggal di tempat sepupunya di sana, kita tetap tidak bisa memastikan apakah nama keluarga sepupunya itu juga Gomez. Dan apakah di rumahnya ada telepon. Tapi untuk hari ini, kita jangan memusingkan soal itu dulu."
"Jadi apa yang akan kita kerjakan hari ini?" tanya Pete.
Jupe mengeluarkan buku catatan dari kantungnya.
"Sobekan jubah hantu gadungan itu kutunjukkan pada Bibi Mathilda," katanya. "Ia sependapat denganku, kainnya bukan kain biasa. Jadi kita sekarang akan mendatangi toko-toko di Hollywood, yang menjual atau menyewakan kostum pentas. Jubah yang dipakai hantu kita itu harus diperolehnya dari salah satu tempat - dan tempat mana lagi yang lebih masuk akal daripada toko seperti itu?"
Sambil merengut, Pete memandang buku catatan yang ada di tangan Jupiter.
"Kulihat kau sudah menyusun daftar," katanya. "Ada berapa toko kostum di Hollywood?"
"Lumayan juga banyaknya," kata Jupiter.
"Bisa pegal kakiku nanti," keluh Pete.
"Kalau ingin berhasil dalam melakukan penyelidikan, kita perlu gigih," kata Jupiter Jones dengan nada mengecam. Pick-up yang dikemudikan Konrad keluar dari jalan raya bebas hambatan. Beberapa menit kemudian Konrad menghentikannya di sudut jalan antara Sunset dan Vine. Jupiter dan Pete turun. "Nanti perlu kujemput lagi?" tanya Konrad.
"Tidak usah, kami pulang dengan bis saja," kata Jupiter. "Mungkin akan sepanjang hari kami di sini."
"Awas, nanti diomeli Bibi Mathilda," kata Konrad mengingatkan. "Ia tidak suka jika hari Sabtu kalian tidak ada."
"Tapi biasanya ia kemudian memaafkan kami," kata Jupe.
Setelah itu Konrad pergi, sementara itu Jupe dan Pete memulai pencarian. Toko kostum pertama yang ada dalam daftar Jupiter berlokasi di Vine, dekat Fountain. Kedua penyelidik remaja itu memasuki sebuah bangunan besar, yang kelihatannya seperti gudang. Dekat pintu masuk ada semacam kantor kecil. Seorang lelaki dengan dagu berlipat-lipat dan kepala botak duduk di situ, sedang membalik-balik halaman sebuah majalah mode. Di belakang ruang kantor itu nampak banyak sekali kostum yang digantungkan pada rak-rak. Segala macam kostum ada di situ, dengan berbagai ukuran maupun warna.
Si Botak mendongak, ketika mendengar langkah Jupe dan Pete yang menghampiri.
"Ya?" katanya.
Jupiter mengeluarkan kain sobekan jubah dari kantungnya.
"Bibiku mencari bahan yang sama dengan ini," katanya. "Ia menyewa kostum, untuk dipakai ke pesta. Ia merobekkannya, dan sekarang harus dibetulkan dulu sebelum dikembalikan. Di toko-toko yang biasa, ia tidak berhasil menemukan bahan seperti ini. Barangkali Anda punya? Bisakah Anda membetulkannya?"
Lelaki botak itu memegang kain itu, lalu meraba-rabanya dengan jempol dan telunjuk.
"Hmmm!" katanya. "Bahannya dari wol. Dulu pabrik Dalton Mills memproduksi bahan seperti ini tapi kami tidak pernah memakainya." Dikembalikannya sobekan kain itu pada Jupiter. "Sayang!" katanya. Jupe dan Pete mengucapkan terima kasih, lalu pergi dari situ. "Sekarang pun aku rasanya mau menyerah saja," kata Pete.
"Kita kan baru mulai," kata Jupiter. "Toko-toko yang menyewakan kostum, tidak pernah membuang barang-barang mereka. Semua dirawat baik-baik, dijahit kalau robek, dan disimpan sampai selama mungkin. Bukan soal apakah bahannya masih baru atau tidak."
Di toko kedua yang didatangi kedua remaja itu, pemiliknya mengatakan belum pernah melihat bahan seperti yang ditunjukkan Jupiter. Begitu pula jawaban yang terdengar di toko ketiga, keempat, dan juga toko kelima. Waktu sudah hampir pukul sebelas ketika Pete dan Jupe tiba di sebuah gedung di Santa Monica Boulevard. Perusahaan berikut yang akan didatangi, Lancet Costume Company, berlokasi dalam gedung itu. Di dalam ada satu bagian tersendiri yang merupakan kantor. Seorang lelaki bertubuh gempal berdiri menyandar ke meja layan, sambil mengisap cerutu.
Jupiter menyodorkan sobekan kain itu, seraya mengulangi dalihnya tentang kostum yang sobek. Lelaki gempal itu melepaskan cerutu yang terselip di antara bibirnya, sementara matanya dipelototkan.
"Bilang pada Baldini, biar dia sendiri yang mengurus!" tukasnya.
"Baldini?" kata Jupe mengulangi.
"Jangan berlagak tolol," bentak orang itu. Diambilnya sobekan kain itu. "Hanya ini satu-satunya," katanya. Nada suaranya berubah, menjadi lebih lembut. "Dalton Mills dulu membuat bahan wol yang ditelusuri benang perak, tapi mutunya tidak sebaik ini. Ini khusus ditenun untuk Drakestar, ahli sulap itu."
Jupiter merasakan jantungnya berdebar keras.
"Salahku sendiri, mengizinkan Baldini yang payah itu menyewa jubah peninggalan Drakestar," kata orang yang menyewakan kostum itu. "Sekarang kalian berdua pergi ke rumah kos brengsek di Virginia dan suruh Baldini mengembalikan jubah itu. Aku bisa membetulkannya, tapi ia harus membayar untuk itu. Menambal dengan jalan menenun kembali, bukan tidak makan biaya. Sekarang pergi!"
"Kain bibiku..." kata Jupiter.
"Nak, ini bukan kain bibimu, dan kurasa kau sama sekali tidak punya bibi. Bilang pada Baldini, ia harus mengembalikan jubah itu. Kalau tidak akan kudatangi dia, lalu kuhajar!"
Jupiter dan Pete keluar dari situ, dengan sikap seperti tidak ada apa-apa. Begitu sampai di luar keduanya terbahak-bahak.
"Hebat! Jadi ada orang bernama Baldini menyewa jubah yang dulu kepunyaan Drakestar, lalu pura-pura menjadi hantu dalam cermin di rumah peninggalan tukang sulap itu! Aku sebenarnya berharap akan bisa menemukan toko kostum yang menyewakan jubah itu, dan dari situ bisa memperoleh petunjuk untuk mengetahui siapa sebenarnya hantu kita itu. Tapi ini benar-benar hebat! Hantu kita itu seorang artis!"
"Dan ia tinggal di sebuah rumah kos brengsek di Virginia," kata Pete. "Tempat itu mestinya di dekat-dekat sini. Soalnya orang tadi mengatakan, jika Baldini tidak segera mengembalikan, ia akan menyusul ke sana."
"Bagaimana - kita ke sana sekarang?" kata Jupiter mengajak.
Keduanya berangkat dengan penuh semangat. Rumah yang dicari ternyata gampang ditemukan. Kebanyakan bangunan di Virginia Avenue merupakan rumah-rumah susun yang tergolong baru. Tapi di antara gedung-gedung itu masih ada sebuah bangunan tua, yang dulu merupakan rumah kediaman pribadi. Bangunan itu nampak kumal. Tapi rumput pekarangan depannya dipotong rapi, sedang dekat beranda ada petak-petak bunga. Pada sebuah papan yang terpasang di depan tertulis pengumuman bahwa di situ masih ada satu kamar kosong.
"Sekarang bagaimana?" tanya Pete. "Apakah kita langsung menanyakan Baldini, untuk melihat apakah betul dia yang menyamar jadi hantu itu?"
"Tapi jangan-jangan ia nanti mengenali aku. Kalau itu terjadi, payah!" kata Jupe. "Begini sajalah - kita pura-pura sedang melakukan penelitian untuk... yah, bilang saja pelajaran ilmu kemasyarakatan di sekolah. Kita tanyakan pada pengusaha rumah kos ini, tentang berapa orang yang tinggal di sini, dan apa saja pekerjaan mereka."
"Baiklah," kata Pete, "tapi kau yang bertanya. Kau lebih cekatan dalam urusan seperti ini."
"Ya, memang," kata Jupe. Dikeluarkannya buku catatan dari kantung. Ia menuju ke serambi, lalu membunyikan bel.
Pintu rumah itu terbuka secelah. Seorang wanita dengan rambut beruban memandang ke luar. "Ya, ada apa?" kata wanita tua itu.
"Maaf jika kami mengganggu," kata Jupiter Jones. "Kami sedang mengadakan penelitian, untuk keperluan pelajaran kami di sekolah."
"He, sekarang kan musim panas," kata wanita itu. Tiba-tiba matanya menyipit, menunjukkan sikap curiga. "Sekolah-sekolah sedang libur." Jupiter memasang tampang sedih.
"Tapi sayangnya, kami berdua tidak ikut libur. Kami tidak lulus ujian bulan Juni yang lalu. Untung masih diberi kesempatan. Jika proyek ini bisa kami selesaikan pada waktunya, kami bisa naik kelas." "Jadi ini penting sekali artinya bagi kami," kata Pete membumbui cerita itu.
"Kalau begitu, baiklah." Wanita tua itu membuka pintu lebih lebar. "Kalian berdua kelihatannya anak baik-baik. Kalian ingin bertanya tentang apa?"
"Pertama," kata Jupe, "berapa orang tinggal di sini?"
"Enam - termasuk aku," kata wanita itu.
Jupiter menuliskan jawaban itu dalam buku catatannya.
"Penyewa kamar-kamar Anda semuanya menetap di sini?" tanya Jupe lagi. "Maksud saya, apakah mereka sering pindah?"
"O tidak, mereka semua menetap di sini!" Wajah wanita tua itu menampakkan perasaan bangga. "Aku selalu mengusahakan agar tamu-tamuku hidup nyaman, dan karenanya mereka juga tidak pindah-pindah. Mr. Henley misalnya - ia sudah lima tahun tinggal di rumah ini."
"Saya lihat ada kamar yang kosong saat ini."
Jupiter menuding papan pengumuman.
"Ya, kamar itu selama ini ditempati Mr. Baldini. Ia pindah kemarin malam. Dengan tiba-tiba saja! Tapi bekas orang teater kadang-kadang suka aneh wataknya. Ya, kan?" "Sebelum pindah, ia sudah lama tinggal di sini?"
"Empat tahun," kata wanita pengusaha rumah kos itu. "Aneh, begitu saja pindah - tanpa memberi tahu sebelumnya. Ia bahkan tidak meninggalkan alamatnya yang baru, untuk tukang pos."
"Ya, itu memang aneh," kata Jupiter, "tapi seperti Anda katakan tadi, orang teater memang suka aneh. Dia itu dulunya aktor?"
"Tukang sulap," kata wanita itu. "Tapi itu dulu. Kini sudah jarang sekali mendapat pesanan main. Karenanya ia sekarang berjualan surat kabar. Kiosnya di sudut jalan antara Santa Monica dan Fountain."
"Ah, begitu ya." Jupiter mengembalikan buku catatannya ke kantung. "Terima kasih banyak. Sekarang tinggal empat wawancara lagi yang harus kami lakukan, dan setelah itu kami selesai dengan proyek ini. Anda benar-benar baik hati."
"Ah, ini kan bukan apa-apa," kata wanita itu.
Pintu rumah ditutup kembali. Jupe dan Pete bergegas-gegas ke Santa Monica lagi, di sana mereka naik ke sebuah bis.
"Kita perlu memastikannya," kata Jupe, "tapi kurasa jika kita nanti sampai di kios di Fountain itu, Baldini takkan ada di situ."
Dugaannya ternyata tepat. Kios di pojok jalan antara Santa Monica dan Fountain itu tutup. Jendela pelayanan dan pintunya digembok. Di sekitarnya bergeletakan tumpukan surat kabar, yang diikat dengan kawat.
"Ia bahkan tidak memberi tahu agen-agen yang dilangganinya terlebih dulu," kata Jupiter. "Baldini - hantu kita itu - menghilang!"

Bab 11 PENCULIKAN

LEPAS siang hari, Jupiter Jones dan Pete Crenshaw turun dari bis di Rocky Beach.
"Kita jangan sampai terlihat oleh Bibi Mathilda," kata Jupe. "Ia tidak memperkirakan kita akan pulang selekas ini. Kalau sampai kelihatan olehnya, kita pasti akan disuruhnya bekerja. Aku ingin menelepon Bob, untuk menanyakan apa yang berhasil ditemukannya di Times. "
"Jadi lewat Kelana Gerbang Merah?" kata Pete.
"Kelana Gerbang Merah," kata Jupe menegaskan.
Kedua remaja itu berjalan mengitar, menuju bagian belakang kompleks The Jones Salvage Yard, di mana sejumlah seniman kota Rocky Beach menghiasi pagar tempat penimbunan barang bekas itu dengan lukisan yang menarik, yang menggambarkan peristiwa kebakaran besar yang terjadi di San Francisco, tahun 1906. Di satu tempat ada gambar seekor anjing kecil yang sedang memandang ke arah api yang berkobar. Salah satu mata anjing itu berlubang, bekas mata kayu. Jupe merogoh ke dalam lewat lubang itu, menarik kancing yang terdapat di balik pagar, lalu mendorong papan-papan di tempat itu. Tiga lembar di antaranya terangkat ke atas. Itulah yang dinamakan Kelana Gerbang Merah. Jupe dan Pete melangkah ke dalam lewat lubang yang terjadi, lalu menyusuri lorong sempit dan tersembunyi di sela tumpukan barang-barang bekas, menuju ke markas.
Ternyata Bob Andrews tidak perlu ditelepon lagi, karena sudah ada di situ. Remaja bertubuh langsing dan berkaca mata itu sedang sibuk mencatat, sementara di atas meja di depannya berserakan majalah dan buku-buku.
Bob menoleh ketika Jupe dan Pete masuk ke dalam karavan lewat Pintu Empat - selembar panel yang dari luar tidak kelihatan, karena tersembunyi di belakang beberapa lembar papan tebal.
"Cepat juga kalian sudah kembali," kata Bob. "Apa hasil penyelidikan kalian?"
Jupiter duduk di kursi bersandaran lurus yang ada di depan meja dan berseberangan dengan Bob. Sedang Pete menarik kursi yang diambilnya dari bagian karavan yang dijadikan laboratorium.
"Kami berhasil mengetahui bahwa hantu dalam cermin itu adalah seorang tukang sulap bernama Baldini, begitu pula bahwa orang itu kini menghilang."
"Aku berani bertaruh, pasti Santora yang menyuruh Baldini beraksi untuk menakut-nakuti Mrs. Darnley, supaya akhirnya Nyonya itu mau menyerahkan cermin itu padanya," kata Pete menambahkan.
"Ada kemungkinan kau keliru," kata Bob dengan tenang.
"Kau menemukan sesuatu?" tanya Jupe. "Tentang Baldini?"
Bob mengangguk.
"Aku mencatatnya, hanya karena artikel itu menyebut-nyebut Ruffino." Ia membalik-balik halaman catatannya. "Di Times tadi aku meneliti mikrofilm edisi-edisi lama. Kucari semua yang menyangkut Ruffino, dan juga Drakestar. Aku tahu, hantu kita itu harus mengenal baik keadaan rumah ahli sihir itu. Karena kalau tidak, mana mungkin ia tahu tentang bilik rahasia itu. Semasa hidupnya Drakestar sering mengadakan pesta, dan ia juga suka jika ada wartawan yang hadir, karena dengan begitu namanya akan dimuat dalam surat kabar. Nah - suatu kali ia mengadakan pesta, untuk menyambut seorang pendatang baru. Seorang artis sulap yang waktu itu baru datang di Amerika Serikat, dari Pulau Ruffino."
"Menarik," kata Jupiter.
"Memang," kata Bob. "Resminya Drakestar waktu itu sudah pensiun, tapi masih suka mengadakan pertunjukan khusus untuk tamu-tamu di rumahnya. Dan ia suka memberi dukungan pada artis-artis sulap yang lebih muda, sejauh ia bisa melakukannya. Baldini salah satu dari artis-artis itu. Kurasa karir Baldini kemudian tidak bisa berkembang di sini. Tapi itu bukan salah Drakestar."
"Jadi Baldini itu ternyata berasal dari Ruffino," kata Jupiter Jones. "Cermin berhantu juga datang dari sana, dan ada seseorang berkedudukan tinggi di negara itu yang menginginkannya, lalu mengutus Santora untuk berusaha memperolehnya. Kemudian masih ada pula lelaki kecil tapi berbahaya itu, yang mungkin bernama Juan Gomez. Mungkinkah Baldini punya alasan tersendiri, untuk memiliki cermin itu?"
"Kurasa ia orang suruhan Santora," kata Pete berkeras. "Kurasa Santora juga berasal dari Ruffino. Ia mengenal Baldini, lalu menyewanya."
"Atau bisa juga Baldini berusaha menakut-nakuti Mrs. Darnley, sampai ia mau menjual cermin itu," kata Jupiter sambil berpikir-pikir. "Atau mungkin pula ia bersekongkol dengan Gomez."
"Jika Gomez begitu menginginkan cermin itu," kata Bob, "dan ia berkomplot dengan Baldini kenapa mereka tidak mencurinya saja, saat di rumah itu tidak ada orang? Mereka kan berdua, sedang dalam minggu ini beberapa kali rumah itu ditinggalkan kosong."
"Tidak mungkin! Cermin itu terlalu berat," kata Pete. "Kita saja harus bertiga, ditambah dengan Jeff dan Worthington, barulah cermin itu bisa diturunkan dari gantungannya di dinding. Satu atau dua orang saja, takkan mungkin membawanya pergi. Tapi jika Baldini itu kelahiran Ruffino, ada kemungkinan ia masih punya teman di sana. Jadi ia mengetahui sesuatu tentang cermin itu. Mungkin saja ia bahkan tahu bahwa Senora Manolos mengirimkannya pada Mrs. Darnley."
"Jadi dilepaskannya usahanya selaku penjual koran, lalu menjadi hantu cermin, dengan jubah peninggalan Drakestar yang disewa," kata Jupe. "Aku suka teka-teki yang berbelit-belit, tapi dalam kasus ini rasanya terlalu banyak orang yang terlibat. Cukup sekian saja tentang Baldini - setidak-tidaknya untuk hari ini. Apa yang berhasil kauketahui tentang Ruffino?"
"Aku menemukan empat artikel surat kabar, ditambah sebuah buku tipis mengenai negeri itu," kata Bob. "Ruffino adalah negara pulau yang kecil. Penduduknya bercocok tanam tebu dan pisang. Iklimnya nyaman, dan tidak sering terjadi apa-apa di sana. Dulunya daerah jajahan Spanyol, sampai tahun 1872, saat mana terjadi revolusi."
"Pasti banyak darah mengalir," kata Pete.
"Tidak! Kejadiannya berlangsung dengan cukup damai," kata Bob. "Sekelompok pedagang dan kalangan politik yang berpengaruh berembuk, lalu memberi tahu gubernur Spanyol waktu itu bahwa ia tidak lagi disukai di pulau itu. Ia disuruh pulang, ke Madrid. Spanyol tidak menyatakan perang, dan orang-orang Ruffino kemudian membentuk pemerintahan mereka sendiri, yang coraknya mirip pemerintahan negara kita. Presiden yang sekarang, Alfredo Felipe Garcia, dengan yang ini sudah untuk kedua kalinya menjabat kedudukan itu. Menurut artikel yang dimuat di bagian belakang harian Times tiga bulan yang lalu, ia hendak mencalonkan diri lagi untuk ketiga kalinya, pada pemilihan umum yang akan diadakan musim dingin ini. Saingannya presiden yang lama - seseorang bernama Simon de Pelar. Ia dikalahkan oleh Garcia dalam pemilihan umum dua belas tahun yang lalu."
"Kalau begitu masa jabatan presiden di sana enam tahun," kata Jupiter.
"Betul, dan seorang presiden boleh mencalonkan diri kembali sebanyak ia mau, tanpa pembatasan. Kita tidak boleh terlalu percaya pada apa yang kita baca dalam buku-buku, tapi dalam buku mengenai sejarah Ruffino yang kutemukan, de Pelar buruk sekali namanya. Posisi-posisi di pemerintahan dijejalinya dengan konco-konconya. Pajak juga dinaikkan. Polisi dijadikan kaki-tangan untuk menerima uang suap dari penjahat, dan Garcia menuduhnya memalsukan dokumen-dokumen resmi, dengan tujuan memperkaya diri sendiri. Kampanye pemilihan umum waktu itu berlangsung kotor sekali. De Pelar menuduh Garcia, bahwa saingannya itu semasa mudanya pencuri kelas teri. De Pelar berani bersumpah bahwa ia bisa membuktikan kebenaran tuduhannya itu. Tapi kenyataannya, ia tidak bisa. Garcia akhirnya memenangkan pemilihan umum - dan jika apa yang tertulis dalam buku ini bisa dipercaya, itu merupakan hal yang patut disyukuri. Andaikan ia tidak menang waktu itu, ada kemungkinan revolusi pecah lagi, dan itu mungkin takkan berlangsung tanpa pertumpahan darah."
Bob menyodorkan buku itu ke seberang meja, ke dekat Jupe dan Pete.
"Itu ada foto Garcia, bersama para penasihatnya," katanya.
Jupiter mengambil buku itu, lalu mengamat-amati foto yang ada di dalamnya.
"Dari penampilannya di sini, Garcia kelihatannya orang yang pantas dijadikan andalan," katanya menarik kesimpulan. "Tapi di pihak lain, penampilan saja belum berarti apa-apa." Dibacanya teks yang tertera di bawah foto itu, untuk mengetahui yang mana Diego Manolos, almarhum suami teman Mrs. Darnley, Isabella. Ternyata orangnya jangkung, berkulit coklat, dengan mata agak terpicing. "Kalau menurut istilah Bibi Mathilda, matanya terlalu rapat," kata Jupe.
"Mata Garcia?" tanya Bob dengan heran. "Bukan. Maksudku mata Diego Manolos."
Tiba-tiba telepon di meja itu berdering, mengejutkan ketiga penyelidik remaja itu.
Bob mengangkat gagangnya.
"Ya?" katanya.
Ia mendengarkan sebentar.
"Kapan?" tanyanya. Lalu mendengarkan lagi.
"Kami akan datang dengan segera," katanya.
"Siapa itu?" tanya Jupiter Jones, ketika Bob sudah meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya.
"Jean Parkinson," kata Bob. "Jeff tadi pagi meninggalkan rumah, hendak ke sebuah toko barang keperluan untuk hobi di Hollywood. Sampai sekarang ia belum pulang. Tapi ada sepucuk surat yang diselipkan dengan diam-diam ke dalam kotak pos di pintu. Jeff diculik orang! Jean meminta kita datang dengan segera ke sana. Ia tidak bisa menghubungi Worthington, jadi kita terpaksa naik taksi!"

Bab 12 KE MANAKAH JEFF?

KETIGA remaja itu naik taksi ke rumah Mrs. Darnley. Hampir pukul tiga, mereka tiba di sana. Mereka langsung masuk ke dalam. Mrs. Darnley mereka jumpai sedang mondar-mandir di ruang duduk yang luas. Jean duduk meringkuk di sebuah kursi. Sambil menarik-narik seberkas rambutnya sendiri, ditatapnya cermin-cermin di mana bayangan neneknya yang mondar-mandir terpantul berkali-kali.
"Anda sudah menelepon polisi, Mrs. Darnley?" kata Jupiter begitu masuk.
"Belum. Dan aku takkan melakukannya. Aku diperingatkan penculik itu, agar jangan menghubungi polisi."
"Penculikan merupakan tindak kejahatan berat," kata Jupiter mengajukan alasan. "Dan polisi senantiasa berhati-hati. Mereka takkan melakukan sesuatu, yang bisa membahayakan keselamatan korban."
"Aku takkan melakukan sesuatu yang memungkinkan mereka menyebabkan keselamatan Jeff terancam!" kata wanita itu dengan nada berteriak. Ia menyodorkan sampul surat yang sudah dibuka pada Jupiter. Remaja itu mengeluarkan surat yang hanya terdiri dari selembar kertas, lalu membaca isinya dengan cepat. Setelah itu ia membacakan untuk yang lain-lainnya:
Mrs. Darnley, cucu Anda ada di tangan saya. Jangan meragukannya, dan jangan menelepon polisi. Cucu Anda sendiri yang akan menelepon Anda. Ia akan menelepon hari ini juga, untuk mengatakan apa yang harus Anda lakukan agar ia dibebaskan kembali. Saya harap Anda mau melakukan apa yang dikatakannya nanti. Saya bisa bertindak kejam, tapi jika itu saya lakukan, selalu karena ada alasan untuk berbuat begitu.
Jupe meneliti kertas surat itu.
"Kertas murahan," katanya, "bisa dibeli di mana saja. Tulisannya dengan huruf-huruf balok. Si penculik memakai bolpen. Dan menurut perkiraan saya, penulis surat ini bukan orang Amerika. Dan saya rasanya bisa menduga, apa yang nanti akan diminta sebagai tebusan."
"Kita semua bisa memperkirakannya," kata Jean. "Cermin hantu itu."
"Mereka boleh mengambilnya!" seru Mrs. Darnley. "Aku menyesal, kenapa pernah melihat barang jelek itu! Jika Santora jahat itu..."
"Senor Santora saat ini terbaring di rumah sakit," kata Bob. "Eh... tepatnya, tadi pagi ia ada di rumah sakit." Tahu-tahu Jupiter berdiri dengan cepat.
"Astaga!" serunya. "Betul juga, tadi pagi ia ada di rumah sakit, tapi mungkin kini sudah diperbolehkan keluar. Lebih baik kita periksa saja."
Saat berikutnya ia sudah sibuk memutar nomor telepon rumah sakit tempat Santora dirawat. Ia berbicara sebentar dengan petugas telepon di ujung sana.
"O, begitu. Terima kasih," katanya menutup pembicaraan.
"Santora sudah keluar," katanya setelah itu pada Mrs. Darnley dan yang lain-lainnya. "Kapan Jeff tadi meninggalkan rumah?"
"Pukul sebelas," kata Jean. "Mungkin juga setengah dua belas."
"Kalau begitu bisa saja Santora yang menculik," kata Jupiter menyimpulkan. "Meski baru pukul setengah sebelas ia meninggalkan rumah sakit, ia masih tetap bisa melakukannya."
Setelah itu Jupe menelepon lagi, menghubungi Hotel Beverly Sunset. Petugas telepon di situ menyambungkannya dengan kamar Santora. Ternyata orang itu sendiri yang menerima. Jupiter cepat-cepat memutuskan hubungan.
"Jadi Santora ada di hotel itu," kata Bob. "Bagaimana jika aku ke sana, untuk mengamat-amatinya? Kalau Pete, jangan-jangan nanti di sana ada orang yang ingat, pernah melihatnya kemarin."
Mrs. Darnley mengambil tasnya yang terletak di atas meja kecil. Dikeluarkannya uang beberapa lembar dari dalam dompet, lalu diberikannya pada Bob.
"Kau pakai taksi saja," kata wanita itu. "Dan kalau sudah sampai di hotel, kau harus menelepon kemari."
Bob menerima uang itu.
"Baik, akan saya kerjakan. Dan jangan khawatir, saya takkan bisa sampai terlihat oleh Santora."
Setelah Bob pergi, mereka yang masih tinggal dalam ruang duduk itu membisu. Keempat-empatnya termangu-mangu. Kening Jupiter berkerut. Pete mendatangi cermin demi cermin, diperhatikannya satu-satu. Gerak-geriknya saat itu, seolah-olah belum pernah melihat bayangannya sendiri dalam cermin.
Pukul empat kurang seperempat, telepon berdering. Jean meloncat bangkit, serempak dengan Jupiter. Mrs. Darnley bergegas mendatangi meja tempat pesawat itu, lalu mendekatkan gagangnya ke mulut.
"Ada apa?" katanya. Suaranya serak.
Setelah mendengarkan sejenak, ia mengatakan, "Terima kasih," lalu menaruh gagang pesawat itu ke tempatnya. "Itu Bob?" tanya Jupiter Jones.
"Betul. Ia mengatakan bahwa Santora sedang makan di restoran hotel. Bob mengamat-amati dari ruang depan. Katanya ia akan tetap di situ."
"Jadi tentang itu sudah beres, untuk sementara ini," kata Jupiter Jones.
"Coba kita bisa tahu, di mana lelaki kurus itu sekarang berada," kata Pete. "Begitu pula Baldini." "Baldini?" kata Jean mengulangi nama itu. "Siapa dia?"
"Tukang sulap, yang berasal dari Ruffino," kata Jupiter menjelaskan. "Dia itulah hantu kalian."
"Lagi-lagi orang dari negeri brengsek itu," keluh Mrs. Darnley. "Aku menyesal sekarang. Kenapa aku harus berurusan dengannya. Coba aku ini tidak pernah kenal dengan Isabella Manolos, pasti tidak mengalami musibah seperti sekarang ini!"
Saat itu sekali lagi pesawat telepon berdering.
"Pasti ini yang kita tunggu-tunggu!" kata Mrs. Darnley. Tiba-tiba sekujur tubuhnya gemetar.
Telepon berdering lagi.
"Anda yang menerima," kata Jupiter. "Saya akan ikut mendengarkan lewat pesawat sambungan yang di dapur."
Ia bergegas ke dapur, di mana John Chan sedang mengelap perkakas makan. Sikapnya seperti biasa, tidak banyak bicara. Jupiter mengangkat gagang pesawat sambungan dari tempatnya di dekat oven. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati, jangan sampai terdengar bunyi yang mencurigakan.
"Aku baik-baik saja, Nek." Jupiter masih sempat mendengar Jeff mengatakannya.
"Syukurlah!"
"Aku tidak bisa mengatakan di mana aku sekarang ini," kata Jeff lagi. "Aku hanya disuruh mengatakan apa yang harus Nenek lakukan. Hanya itu saja. Oke?"
"Baiklah. Katakan apa yang harus kulakukan. Nanti kukerjakan."
"Di San Pedro ada sebuah gudang," kata Jeff. "Letaknya di Ocean Boulevard. Di depannya ada papan nama, dengan tulisan 'The Peckham Storage Company'. Tapi di dalamnya tidak ada apa-apa."
"Jadi sebuah gudang kosong di Ocean Boulevard, San Pedro," kata Mrs. Darnley mengulangi. "Sebentar, kucatat dulu."
"Cermin Chiavo harus diantar ke sana," kata Jeff lagi. "Panggil perusahaan ekspedisi, atau truk, atau siapa saja - suruh mereka mengambil cermin itu, untuk dibawa ke gudang tadi. Kalau sudah, mereka harus langsung pergi dari sana. Cermin itu harus disandarkan ke tiang yang ada di sebelah belakang gudang. Dan sesudah itu, mereka harus segera pergi. O ya, Nek -"
"Apa, Jeff?"
"Malam ini juga, pukul tujuh, cermin itu harus sudah ada di sana." "Baik," kata Mrs. Darnley.
"Nanti sesudah itu beres, aku akan menelepon lagi," kata Jeff. "Kata orang itu aku tidak boleh menelepon Nenek lagi. Tapi baru jika cermin sudah ada padanya." Setelah itu sambungan diputuskan.

Bab 13
BUNYI LONCENG MEMBUKA RAHASIA

"SAAT sekarang ini, di mana aku bisa menghubungi orang yang punya truk?" keluh Mrs. Darnley. "Ini kan sudah pukul empat lewat! Bagaimana jika aku sampai tidak bisa mendapat truk?"
"Akan saya hubungi paman saya," kata Jupiter. "Ia bisa kemari, bersama Hans dan Konrad. Anda tidak perlu cemas, Mrs. Darnley. Paman pasti mau. Cermin itu pukul tujuh nanti pasti akan sudah sampai ke San Pedro."
"Aduh, terima kasih, Jupiter." Mrs. Darnley duduk di sofa. "Kalau begitu bagaimana jika sekarang ini juga kau menelepon pamanmu? Menurunkan cermin itu memakan waktu, dan kita tidak boleh sampai terlambat."
Jupiter menghampiri pesawat telepon, lalu mengangkat gagangnya. Tapi ia tidak langsung memutar nomor untuk memperoleh sambungan. Ia menatap dinding sejenak, lalu tanpa mengatakan apa-apa mengembalikan gagang telepon ke tempatnya.
"Kita terdesak waktu, Jupiter!" seru Mrs. Darnley. "Cepatlah - telepon pamanmu."
"Sebentar," kata Jupe. "Ketika Jeff menelepon tadi, ada bunyi sesuatu yang terdengar. Sesuatu di latar belakang. Bunyi musik. Anda mendengarnya juga?"
"Musik?" Mrs. Darnley nampak bingung. "Aku... aku hanya mendengar suara Jeff saja. Tapi kalau ada bunyi musik, lalu kenapa? Itu kan sama sekali tidak berarti apa-apa. Ayo, Jupiter, teleponlah pamanmu."
"Lonceng-lonceng kecil," kata Jupe. "Bunyi lonceng-lonceng kecil, memainkan sebuah lagu. Mulanya saya tidak mendengarnya. Tapi kemudian terdengar jelas sekali, lalu menghilang kembali. Yang dimainkan lagu anak-anak, Mary Had a Little Lamb. "
"Penjual es krim," kata Pete. Ia berdiri di depan perapian, tidak lagi berjalan dari cermin ke cermin. "Perusahaan Meadow Fresh Ice Cream menjual dagangan mereka dengan mobil keliling yang dilengkapi dengan musik lonceng. Lagu yang dimainkan selalu Mary Had a Little Lamb."
Jupiter duduk di samping meja tempat telepon.
"Mungkin itu bisa kita jadikan petunjuk," katanya. "Mungkin dari situ kita bisa tahu di mana Jeff disekap. Kurasa kita bisa memastikan bahwa ia tidak berada di San Pedro - atau setidak-tidaknya, bukan dalam gudang kosong itu. Penculiknya takkan mau mengambil risiko, menyekapnya di situ. Tadi ketika Jeff menelepon, waktu hampir tepat pukul empat. Jadi sekitar saat itu sebuah mobil perusahaan Meadow Fresh Ice Cream melewati tempat Jeff disekap. Lalu masih ada satu hal lagi." Jupiter memejamkan matanya. Ia memusatkan pikiran, berusaha mengingat-ingat segala hal yang bertalian dengan pembicaraan telepon tadi. "Bunyi berdentang," katanya setelah beberapa saat. "Ketika mobil es krim sudah lewat, terdengar bunyi dentangan. Nyaring kedengarannya - seperti suara lonceng alarm. Lalu terdengar pula semacam getaran."
"Ingatanmu benar-benar luar biasa," kata Mrs. Darnley kagum. "Sedang aku, yang kudengar cuma suara Jeff saja."
"Jupe memang terkenal karena ingatannya yang sempurna," kata Pete. "Tidak ada sesuatu pun yang terlepas dari ingatannya. Semua terekam dalam otaknya."
"Mobil penjual es krim," kata Jupe, "lalu bunyi berdentang, teriring getaran. Lintasan kereta api! Itulah yang biasa terdengar di tempat kereta api melintasi jalan raya! Isyarat lampu berkelip-kelip serta deringan lonceng alarm, untuk memberi tahu mobil-mobil yang lewat bahwa ada kereta api datang. Dan getaran keras itu pasti kereta yang lewat. Di mana pun Jeff berada saat ia menelepon kemari, pukul empat tadi ada mobil es krim lewat di sana. Tempatnya dekat sekali dengan lintasan kereta api, di mana ada kereta lewat beberapa detik kemudian."
"Mobil perusahaan itu pasti lusinan jumlahnya di kawasan Los Angeles," kata Jean.
"Tapi lintasan kereta api, itu tidak banyak," kata Jupe. "Lagi pula, mobil-mobil itu kan punya rute yang sudah tetap. Mobil es krim perusahaan itu setiap hari datang di Rocky Beach sekitar pukul tiga siang. Waktunya tidak pernah meleset lebih dari dua puluh menit. Jika kita bisa menghubungi perusahaan itu..."
"Tapi bagaimana jika yang kaudengar itu tadi bukan kereta api?" kata Mrs. Darnley. "Mungkin saja di tempat itu ada lonceng alarm, yang tahu-tahu berbunyi sendiri tanpa ada yang menyebabkan. Itu kan bisa saja! Dan kemudian ada truk lewat."
"Tidak," kata Jupiter. "Kalau truk, dengan cepat sekali akan sudah lewat. Tapi bunyi bergetar keras itu berlanjut terus selama beberapa saat. Jadi pasti kereta api! Jika nasib kita sedang mujur, kita akan bisa sampai di tempat Jeff sebelum cermin diserahkan pada penculik."
"Kau boleh saja mencobanya," kata Mrs. Darnley, "tapi aku tidak mau jika kau mempertaruhkan keselamatan cucuku. Ayolah, telepon pamanmu sekarang juga. Minta agar ia datang dengan mobil pengangkut."
"Ya, tentu saja." Jupiter memutar nomor The Jones Salvage Yard. Didengarnya suara Bibi Mathilda menjawab di seberang.
"Jupiter Jones! Di mana kau ini?" tukas Bibi Mathilda. "Apa saja yang kaulakukan selama ini? Pergi seharian! Kata Konrad tadi..."
"Maaf, Bibi Mathilda, tapi aku tidak ada waktu untuk menjelaskan sekarang," kata Jupiter dengan cepat. "Tentang itu, nanti sajalah. Paman Titus ada, Bibi?"
Bibi Mathilda diam saja. Jupiter membayangkan tampang bibinya saat itu. Pasti kesal. Cemberut! Tapi sesaat kemudian terdengar lagi suaranya, memanggil Paman Titus.
"Aku sekarang di tempat Mrs. Darnley," kata Jupe pada pamannya. "Ia sedang dalam kesulitan besar, dan memerlukan pertolongan. Bisakah Paman kemari dengan segera, serta membawa salah satu truk kita? Dan ajak Hans dan Konrad! Cermin besar yang di ruang perpustakaan Mrs. Darnley harus diantarkan ke sebuah gudang di San Pedro sebelum pukul tujuh malam ini, dan cermin itu berat. Paman pasti memerlukan bantuan."
"Kau sekarang sedang melakukan pengusutan lagi, Jupiter?" tanya Paman Titus.
"Ya, dan aku tidak punya waktu untuk..."
"Baiklah, aku segera datang," kata Paman Titus cepat-cepat.
Sambil nyengir Jupiter mengucapkan terima kasih pada pamannya, lalu memutuskan hubungan. "Anda boleh merasa aman, cermin itu pasti akan sampai di sana pada waktunya," katanya pada Mrs. Darnley. Sementara itu Pete mengambil buku telepon kawasan Los Angeles yang disimpan di papan dasar sebuah rak buku. "Kantor pusat perusahaan es krim itu di Macy Street," katanya sambil membaca dalam buku itu, "dekat Union Depot. Di kawasan itu banyak sekali rel kereta api bersimpang siur. Mungkinkah Jeff disekap di sekitar situ?" Jupiter menggeleng.
"Rasanya kemungkinan itu kecil sekali," katanya. "Di musim panas seperti sekarang ini, mobil-mobil perusahaan itu berkeliling terus di jalan-jalan, sampai jauh malam. Pukul empat sore, takkan mungkin ada yang di dekat kantor pusat. Semuanya pasti sedang berkeliaran di tempat-tempat pemukiman, di mana banyak anak-anak. Tapi di sana pasti ada pegawai yang mengatur rute mobil-mobil itu. Ia bisa kita tanyai."
"Sebaiknya kaudatangi saja kantor itu," kata Mrs. Darnley. "Keterangan seperti yang kauingini itu takkan mereka berikan, jika kau bertanya lewat telepon. Nih!" Diambilnya lagi beberapa lembar uang kertas dari tasnya, lalu diserahkan pada Jupiter. "Coba kaukorek keterangan dari perusahaan es krim itu. Aku menunggu pamanmu di sini, untuk mengatur agar cermin itu segera dibawa pergi. Tapi hati-hati, ya! Bagiku, cermin hantu itu tidak berarti apa-apa lagi. Aku hanya menginginkan Jeff kembali dengan selamat."
"Saya akan berhati-hati," kata Jupiter berjanji.
"Aku ikut," kata Pete. "Siapa tahu, barangkali saja nanti kita perlu memencar." Mrs. Darnley hanya mengangguk saja. "Aku juga ikut," kata Jean Parkinson. Kini Mrs. Darnley tidak mengangguk.
"Jangan!" katanya. "Aku tidak mau dua cucuku terancam keselamatannya. Kau tidak boleh pergi meninggalkan rumah ini, sebelum Jeff kembali!"

Bab 14
UPAYA PENYELAMATAN

PERUSAHAAN Meadow Fresh Ice Cream Company menempati sebuah bangunan rendah tapi panjang, yang dikelilingi pelataran gersang beralas kerakah Tidak nampak satu pun mobil es krim di situ, ketika taksi yang ditumpangi Jupe dan Pete melintasi tempat parkir, menuju bagian pabrik tempat memuat es krim ke mobil-mobil pengedar.
"Aku tidak mengerti, apa yang kalian cari di sini," kata pengemudi taksi. "Di sini kan tidak dijual es krim. Kalau mau membelinya, harus dari mobil pengedar."
"Kami hendak memesan untuk pesta," kata Jupiter mengajukan dalih.
Taksi dihentikan di samping tempat pemuatan. Jupiter mengeluarkan uang yang diperolehnya dari Mrs. Darnley, lalu menyodorkan lembaran sepuluh dolar pada pengemudi taksi. "Nih, pegang dulu. Tunggu kami di sini," katanya.
Setelah itu ia keluar bersama Pete, lalu naik ke landasan tempat memuat es krim. Dibukanya satu dari sepasang pintu yang ada di situ, lalu masuk ke sebuah ruangan yang mestinya kantor perusahaan itu. Hanya seorang lelaki agak berumur saja, dengan kaca mata berlensa tebal, yang ada di situ. Orang itu sedang sibuk mencatat pada selembar kertas lebar dan bergaris-garis yang terbentang di depannya, sementara tangannya yang satu lagi mendekatkan gagang telepon ke telinga.
"Oke, Flannery," katanya pada orang yang ada di seberang sambungan. "Kau agak terlambat dari jadwal. Tapi biarlah, itu tidak apa-apa. Nanti jangan lewat di depan stadion sebelum pukul delapan. Malam ini ada pertandingan di sana. Jangan sampai terjebak dalam kemacetan lalu lintas."
Orang itu meletakkan gagang telepon, melepaskan kaca mata, lalu memandang Pete dan Jupe dengan mata terpicing.
"Ya - kalian ada perlu apa?" katanya.
Jupiter Jones menuding peta kota Los Angeles berukuran besar, yang tergantung di dinding di belakang lelaki itu. Peta itu dicetak dalam warna hitam dan putih, ditambah garis-garis berwarna merah, biru, hijau, kuning, ungu, dan coklat. Garis-garis itu berpangkal dari kawasan Macy Street, dan memencar ke segala penjuru kota.
"Garis-garis berwarna itu mestinya rute mobil-mobil pengedar es krim Anda," kata Jupiter.
"Betul," kata lelaki tua itu. "Lalu kenapa?"
"Para pengemudinya menghubungi Anda dari berbagai posisi sepanjang rute mereka?" tanya Jupiter.
"Itu sudah jelas," kata orang itu. "Kami selalu harus tahu di mana posisi mereka. Jika selama beberapa waktu tidak ada kabar, kami langsung menelepon polisi. Soalnya, sudah beberapa kali mobil kami dirampok. Kenapa kau menanyakannya?"
"Kami perlu sekali mengetahui pengemudi mana yang pukul empat siang ini melewati lintasan kereta api, saat lonceng alarm berbunyi di situ."
Saat itu telepon yang terletak di atas meja berbunyi.
"Harap jangan jawab dulu," kata Jupiter. Ia mengatakannya dengan tenang, tapi serius. "Biarkan saja berdering sebentar. Urusan kami penting sekali." Lelaki itu mengangkat gagang telepon.
"Meadow Fresh," katanya, lalu menyambung, "Oke, Guilberti - tunggu sebentar, ya? Ada urusan sedikit di sini." Diletakkannya gagang telepon ke meja.
"Tapi cepat sedikit," katanya pada Jupe. "Ada apa? Salah seorang penjual kami kurang mengembalikan kelebihan uang yang kaubayarkan padanya?"
"Saya tidak punya waktu untuk menjelaskan persoalannya," kata Jupiter. "Tolong saja katakan, mobil Anda yang mana yang kemungkinannya sedang lewat di salah satu lintasan kereta api, sekitar pukul empat..."
"Keterangan Anda mungkin bisa menyelamatkan nyawa seseorang," sela Pete dengan tiba-tiba.
Lelaki tua itu terkejut. Nampaknya ia terkesan melihat wajah Pete dan Jupiter yang begitu serius.
Telunjuknya bergerak, menelusuri catatan yang tertera pada lembaran kertas di depannya.
"Alberts melintasi rel kereta Santa Fe di LaBrea," katanya, "tapi itu sebelum pukul tiga. Jadi tidak mungkin dia. Sebentar, sebentar. Ya! Ya, mestinya itu Charlie Swanson. Kalau melihat rutenya, ia melewati lintasan di Hamilton." Lelaki itu berdiri, lalu menunjuk ke sebuah titik pada peta besar di belakangnya. Posisi yang ditudingnya itu terletak di lembah San Fernando. "Pukul empat lewat sepuluh menit tadi ia menelepon dari pompa bensin di dekat situ. Jadi mestinya sekitar pukul empat, ia sedang lewat di Hamilton, menuju ke selatan. Kau ingin menanyakan padanya sendiri?"
"Tidak perlu," kata Jupiter Jones. "Terima kasih!"
Kedua remaja itu bergegas keluar, meloncat turun dari landasan, dan buru-buru membuka pintu taksi. "Cepat!" kata Jupiter pada pengemudi kendaraan itu, lalu menyebutkan alamat yang harus dituju. "Ini mendesak sekali!"
"Beres," kata pengemudi taksi dengan sikap tak acuh, tapi ia berusaha cepat-cepat sampai ke tempat tujuan. Menyelip di antara keramaian lalu lintas di tengah kota, lalu menyusur Hollywood Freeway, menuju San Fernando Valley. Lalu lintas saat itu tidak macet. Tiga puluh menit kemudian, taksi itu sudah meluncur di Hamilton, menuju ke utara.
"Sekarang pelan-pelan," kata Jupiter. Ia dan Pete berbagi tugas, masing-masing meneliti satu sisi jalan itu. Mula-mula nampak rumah-rumah kecil berjejer-jejer di kiri-kanan jalan. Tapi kemudian yang ada hanya tanah-tanah kosong belaka. Di beberapa tempat terpasang papan dengan tulisan bahwa tanah di situ dijual. Kemudian nampak lintasan kereta api di depan. Lintasan itu dilengkapi dengan sinyal otomatis, yang saat itu tidak berbunyi. Pengemudi taksi
memperlambat jalan kendaraannya di situ, lalu memandang sebentar ke kanan dan ke kiri. Jupe melihat bahwa di seberang lintasan ada sebuah rumah yang berdiri sendiri. Sebuah rumah kayu yang kumuh dan nampak dimakan cuaca. Mungkin dulu merupakan bagian dari sebuah kebun jeruk. Beberapa batang pohon jeruk nampak di belakang rumah itu, terpencil dan kelihatan tak terurus. Rumah itu sendiri sudah lapuk. Pada jendela-jendelanya terpasang kawat nyamuk yang kini sudah berkarat, dan beberapa di antaranya bahkan sudah lepas atau robek. Lantai beranda depannya berlubang-lubang, karena papannya sudah ada yang hilang.
"Nah?" kata pengemudi taksi.
"Terus saja dulu," kata Jupiter.
Mereka melewati beberapa bidang tanah kosong lagi, di mana terpasang papan-papan pengumuman bahwa tanah-tanah itu dijual. Satu blok lebih jauh nampak kembali rumah-rumah berukuran kecil dengan halaman rumput yang rapi, serta anak-anak yang bermain-main di trotoar, diterangi sinar matahari sore.
"Di sudut depan nanti kita membelok ke kanan," kata Jupiter.
Petunjuknya diikuti. Pengemudi taksi kemudian menghentikan kendaraannya di tepi trotoar, di depan sebuah rumah. Di situ ada seorang lelaki, yang sedang menyiram rumput. "Sekarang ke mana?" tanya pengemudi taksi.
"Sebentar - harus kupikirkan dulu," kata Jupiter. "Mestinya rumah tua tadi, yang di dekat rel kereta. Rumah-rumah yang lain tidak cukup dekat, jadi tidak mungkin sinyal dari lintasan bisa terdengar di dalamnya. Sedang aku tadi jelas sekali mendengarnya, ketika Jeff menelepon."
"Ya, itu satu-satunya tempat yang mungkin," kata Pete. "Dan cocok sebagai tempat menyepak orang. Biar ia berteriak pun, takkan ada yang bisa mendengar."
Pengemudi taksi itu mendeham.
"Kita kemari ini, hanya untuk melihat rumah tua yang sudah bobrok?" "Bagaimana kita bisa masuk ke sana, ya?" kata Jupiter.
"Untuk apa?" tanya pengemudi taksi. "Kan dari luar pun sudah kelihatan bahwa tidak ada yang tinggal di situ - tapi jika kalian..."
"Ada orang di situ," kata Jupiter, "dan kami harus bisa masuk ke situ, tanpa dilihat olehnya. Ah - kurasa aku tahu cara yang baik."
Ia melihat sebuah mobil pengangkut yang kecil datang dari arah depan. Itu mobil penjual roti. Kendaraan itu berhenti sekitar lima puluh meter dari tempat mereka berada saat itu. Terdengar bunyi tuter, memainkan nada-nada riang. Kemudian pengemudinya turun sambil menjinjing keranjang berisi roti dan kue-kue. Seorang wanita muda keluar dari salah satu rumah di situ. Wanita itu memilih beberapa bungkusan dari keranjang penjual roti, lalu menyerahkan sejumlah uang padanya.
"Itu dia!" seru Jupe. "Kita mengantar roti!"
"Setuju!" seru Pete. Dengan cepat ia keluar dari taksi, lalu lari menghampiri mobil penjual roti sambil melambai-lambai.
"Kalian ini sinting," kata pengemudi taksi, sementara Jupe keluar untuk menyusul Pete. "Aku masih harus menunggu lagi? Menurut meteran, kalian sudah harus membayar lima belas dolar, sedang..." Jupiter menyodorkan lembaran uang sepuluh dolar lagi padanya.
"Ambil saja uang kembaliannya," katanya. "Dan jika nanti kami kelihatan naik ke mobil roti itu, jangan menunggu lebih lama. Anda tidak kami perlukan lagi." "Terserah," kata pengemudi taksi.
Jupiter mendatangi penjual roti. Orangnya masih muda, bertubuh kurus, dengan kulit coklat kemerahan karena sering berjemur. Umurnya baru belasan tahun. Atau mungkin juga sedikit lebih tua dari dua puluh tahun. "Tapi aku tidak diizinkan mengambil orang yang hendak membonceng," kata pemuda itu pada Pete. "Kami bukan hendak membonceng," kata Pete. "Kami hendak mengantar roti ke sebuah rumah di dekat sini." Sementara itu taksi yang tadi datang mendekat. Pengemudinya menjulurkan kepalanya ke luar. "Beres?" tanyanya.
"Apanya yang beres?" tukas tukang roti yang masih muda itu. "Ini baru hari pertama aku menjadi tukang roti. Aku tidak ingin membuat kesalahan."
"Aku mengerti," kata Jupiter bersungguh-sungguh. "Percayalah, kami juga tidak ingin menyebabkan Anda mengalami kesulitan. Nama Anda siapa?"
"Henry. Henry Anderson."
"Begini, Mr. Anderson..."
"Sebut saja Henry. Tapi begini -jika aku berbuat sembrono, dan itu sampai ketahuan - nah, nanti aku terpaksa antri lagi, menadahkan tangan untuk menerima tunjangan pengangguran." Jupiter mengangguk.
"Kami ini mewakili kepentingan Mrs. Jonathan Darnley," katanya dengan gaya orang dewasa. Ia mengeluarkan dompetnya, lalu menyodorkan selembar kartu nama Trio Detektif pada penjual roti itu. "Kami punya alasan untuk menduga bahwa cucu laki-laki Mrs. Darnley disekap di dalam rumah itu."
"Mrs. Darnley?" kata Henry Anderson. "Kurasa aku pernah melihat fotonya, di surat kabar. Tapi, Trio Detektif? Belum pernah kudengar."
"Aku Jupiter Jones," kata Jupe, "dan ini Pete Crenshaw. Rekan kami, Bob Andrews, saat ini sedang mengamat-amati seorang tersangka, di Beverly Hills."
"Wah, seperti cerita TV saja," kata pengemudi taksi, yang masih belum pergi juga.
"Kami ini benar-benar detektif," kata Jupiter berusaha meyakinkan penjual roti. "Selama ini kami sudah sering membongkar berbagai misteri yang memusingkan pihak kepolisian. Tapi dalam kasus ini, polisi sama sekali tidak diberi tahu. Mrs. Darnley takut, kalau-kalau cucunya diapa-apakan oleh penculik."
Henry Anderson membolak-balik kartu nama yang ada di tangannya. Seolah-olah dengan begitu ia akan bisa menemukan jawaban, tentang apa yang harus dilakukan. Dipandangnya Jupe, lalu Pete.
"Kita harus cepat-cepat bertindak," kata Pete. Rupanya timbul pikiran tidak enak dalam hatinya. "Menurut kami Jeff mungkin dalam keadaan selamat - tapi kami tidak bisa mengatakannya dengan pasti. Tadi pukul empat ia masih baik-baik saja, ketika menelepon neneknya untuk memberi tahu tentang tebusan yang dituntut penculik."
"Polisi..." kata Henry Anderson dengan nada bingung.
"Kami tidak berani menghubungi," kata Jupe. "Tidak diizinkan oleh Mrs. Darnley. Kami harus berusaha sendiri, menyelamatkan Jeff."
"Oke," kata Henry Anderson. "Oke, oke, oke! Mungkin aku ini sama sintingnya seperti kalian - tapi jika kalian memang tidak bohong, dan aku tidak membantu..."
"Nah - semoga berhasil," kata pengemudi taksi, lalu pergi dengan kendaraannya. "Apa yang harus kulakukan?" tanya Anderson.
"Pinjamkan topi dan jaket Anda," kata Jupe, "lalu jalankan mobil ini lewat rumah tua yang ada di dekat lintasan kereta api yang di sana itu. Anda berhenti di situ. Nanti aku turun, lalu pergi ke rumah itu dan membunyikan bel."
"Kami tidak biasa membunyikan bel rumah orang," kata Anderson. "Aku cuma membunyikan tuter, dan pembelilah yang keluar."
"Jika penculik itu memang orang yang kami duga, ia takkan mengetahuinya," kata Jupiter menenangkan.
Dua menit kemudian mobil penjual roti itu sudah meluncur lewat tanah-tanah kosong yang ditawarkan untuk dijual. Jupe duduk di belakang, mengenakan jaket dan topi Henry Anderson. Pete meringkuk di lantai, bersandar ke rak tempat roti dan kue-kue.
"Nanti hati-hati, ya," katanya pada Jupe.
"Jangan khawatir," kata Jupe menenangkan. "Jika setelah beberapa saat masuk, aku tidak muncul lagi..." "Itu berarti jangan membuang-buang waktu lagi, kan?" kata Pete. "Jika itu terjadi, aku akan langsung menyusul." "Aku juga," kata Henry Anderson menawarkan diri. Mobil dihentikannya di depan rumah kayu yang sudah bobrok itu. "Ini maksudmu?"
"Betul," kata Jupe sambil turun. Jaket yang dipakainya tidak dikancingkan, karena agak sempit baginya. Diambilnya keranjang yang berisi roti dan kue-kue. Sambil bersiul-siul ia berjalan di lajur beton yang sudah retak-retak, menuju ke tangga beranda rumah bobrok itu. Dengan hati-hati ia naik ke beranda. Setiap papan dicoba dulu, sebelum ia menginjakkan kaki di atasnya. Di pintu ternyata tidak terpasang bel. Karenanya Jupe mengetuk-ngetuk saja.
Ia menunggu sebentar. Di dalam rumah tidak terdengar apa-apa. Sekali lagi ia mengetuk pintu.
"Van Alstyn's Bakery!" serunya, menyebut nama perusahaan roti itu. "Ada orang di rumah?"
Rumah itu tetap sunyi. Jupe bergerak selangkah ke kanan, lalu mengintip ke dalam lewat salah satu jendela depan. Hanya kekosongan saja yang kelihatan di dalam, serta debu dan bercak-bercak bekas air hujan yang merembes masuk lewat dinding. Tapi ia juga melihat sesuatu, yang menyebabkan jantungnya berdebar lebih cepat. Di lantai kamar depan yang berselimut debu, kelihatan ada jejak yang jelas. Ada sesuatu yang diseret dari situ, ke arah belakang rumah. Dan di salah satu sudut ruangan kosong dan berdebu itu nampak sebuah pesawat telepon. Pesawat itu berwarna putih mulus. Kelihatan sekali kalau masih baru!
Jupiter meletakkan keranjang tukang roti di lantai beranda, lalu mencoba memutar tombol pegangan pintu. Ternyata terkunci. Tapi jendela di samping pintu tidak terkancing. Jupiter memegang sisi bawah bingkainya, lalu menarik ke atas.
Diiringi bunyi yang menyakitkan telinga, jendela itu terbuka.
Di dalam rumah masih tetap sunyi.
Jupiter melangkahi ambang jendela, lalu masuk ke dalam. Di belakang kamar depan yang kertas dindingnya sudah robek-robek, terdapat dapur. Jupiter melihat plastik hamparan lantai yang sudah usang, serta sebuah bak tempat cuci piring yang sudah tua. Dengan cepat ia melangkah ke ambang pintu yang menuju ke dapur. Kemudian ia tertegun.
Jeff Parkinson ada di situ. Anak itu tergeletak di lantai, dalam keadaan terikat erat. Mulutnya tertutup sapu tangan dekil. Tapi matanya terbuka, menatap dengan waspada. Matanya menyipit sedikit ketika melihat Jupe muncul di ambang pintu, seolah-olah ia mencoba tersenyum.

Bab 15
BERLOMBA DENGAN WAKTU

JEFF duduk di tengah-tengah dapur, sambil mengusap-usap pergelangan kaki dengan kedua tangannya.
"Kakiku kesemutan," katanya mengeluh. Tapi ia tersenyum, sambil memandang Jupe. Setelah itu beralih ke Pete dan Henry Anderson. Mereka berdua datang sambil berlari-lari, ketika Jupe memanggil.
"Senangnya hatiku melihat kalian muncul," kata Jeff lagi. "Aku tidak yakin apakah penjahat kurus kecil itu benar-benar akan kembali lagi kemari untuk membebaskan aku, apabila cermin itu sudah diperolehnya. Sesudah aku menelepon nenekku, aku diseretnya dari depan kemari, untuk berjaga-jaga kalau ada orang heran melihat mobilnya diparkir di luar, lalu mengintip ke dalam lewat jendela."
"Kecil kurus, katamu?" tanya Jupiter. "Kalau begitu bukan Senor Santora, dan juga bukan hantu kita. Kedua-duanya tidak kecil. Jadi kurasa yang kaumaksudkan, pasti tamu tak diundang yang waktu itu."
"Ya, memang dia orangnya - dan namanya memang Juan Gomez. Ia tidak mengatakan padaku, apa sebabnya ia menghendaki cermin itu."
"Lebih baik kau menelepon nenekmu saja dulu," kata Pete menyarankan.
Jeff mengangguk. Ia berdiri, lalu berjalan dengan limbung. Dihampirinya pesawat telepon putih yang ada di ruang depan, lalu duduk di sebelahnya, diputarnya nomor telepon rumah Mrs. Darnley. terdengar bunyi deringan di seberang sambungan.
"Halo, Nek," kata Jeff kemudian. "Ini aku - Jeff. Aku selamat."
Tidak jelas apa yang dikatakan oleh Mrs. Darnley di seberang sambungan.
"Aku benar-benar selamat," kata Jeff lagi. "Aku ditemukan oleh Jupe dan Pete."
Ia masih berbicara lagi selama kira-kira semenit, lalu diserahkannya gagang telepon pada Jupiter.
"Bob ingin bicara," katanya.
"Bob? Eh - kusangka Bob saat ini ada di Beverly Hills, mengamat-amati Santora!" kata Jupe, sambil menerima gagang telepon yang disodorkan. "Halo, Bob? Apa yang terjadi? Mana Santora?"
"Aku gagal!" kata Bob. Suaranya terdengar sangat lesu. "Ia berhasil meloloskan diri dari pengamatanku. Sekitar pukul empat tadi ia keluar dari kamarnya, lalu pergi. Aku langsung membuntuti. Ternyata ia punya mobil, diparkir di salah satu jalan di samping hotel. Ia masuk ke dalam mobilnya, lalu segera pergi. Aku tidak bisa menyusul, karena saat itu tidak ada taksi lewat. Aku lantas menelepon kemari - maksudku ke rumah Mrs. Darnley. Jean yang menerima mengatakan bahwa kalian berdua tidak ada, sedang berusaha mencari Jeff. Karena itu aku pulang saja kemari."
"Bagaimana dengan cermin?" tanya Jupiter.
"Pamanmu baru saja beberapa menit yang lalu berangkat ke San Pedro, bersama Hans dan Konrad," kata Bob. "Mereka membawa cermin itu yang seperti diminta akan mereka antarkan ke tempat yang ditentukan. He - kalian sekarang di mana sih? Bagaimana dengan Jeff? Betul tidak apa-apa? Mrs. Darnley ingin..."
Kalimatnya terputus, dan disambung suara Mrs. Darnley.
"Siapa yang menculik cucuku?" tanya wanita itu.
"Lelaki bertubuh kecil yang masuk secara paksa ke rumah Anda, dan kemudian ketahuan ketika sedang berada di ruang perpustakaan, Mrs. Darnley," kata Jupe.
"Juan Gomez?" kata Mrs. Darnley meminta penegasan.
"Memang itu namanya," kata Jupiter. "Menurut Jeff, kini ia sedang dalam perjalanan menuju San Pedro."
"Aku tadi tidak sempat melihat nomor mobilnya," keluh Jeff. "Sialan! Aku tidak memperhatikan, karena saat itu aku setengah mati ketakutan. Ia bersenjata pistol."
"Sudahlah, jangan kausesali hal itu," kata Jupiter Jones. "Mrs. Darnley, karena Jeff sudah aman sekarang Anda bisa menelepon polisi, agar mereka mengepung gudang di San Pedro itu. Paman Titus akan mengantarkan cermin itu ke sana bersama Hans dan Konrad, lalu kalau Gomez nanti muncul di sana, polisi bisa langsung meringkusnya. Dengan begitu penculik cucu Anda akan tertangkap - tapi..." Jupe berhenti sebentar, lalu menyambung sambil nyengir, "tapi kalau itu kita lakukan, mungkin kita takkan pernah bisa mengetahui segala seluk-beluk misteri ini. Mungkin kita takkan pernah tahu apa hubungan antara orang itu dengan Santora, atau dengan Baldini. Itu, tukang sulap yang menjadi hantu Chiavo."
"Aku ingin mengetahui segala-galanya!" kata Mrs. Darnley dengan tegas.
"Setuju!" kata Jupiter Jones. "Kalau begitu kita tidak boleh membuang-buang waktu lagi. Saya dan Pete akan langsung menuju ke gudang itu. Tolong katakan pada Bob, agar menggabungkan diri dengan kami di San Pedro. Suruh dia menunggu di suatu tempat, dari mana ia bisa melihat kami saat kami membelok keluar dari jalan bebas hambatan. Kami akan ke sana naik taksi, lalu sesampainya di persimpangan kami berhenti untuk..."
"Kalian tidak perlu naik taksi ke sana!" sela Henry Anderson.
"Apa katamu?" tanya Jupiter, yang sementara itu sudah merasa akrab dengan penjual roti yang masih muda itu.
"Aku mengatakan, kalian tidak perlu naik taksi. Kalian akan ke sana naik mobil tukang roti! Aku tadi untung-untungan mempercayai cerita kalian, dan ternyata kalian tidak bohong. Jadi aku sekarang ingin ikut terus, sampai urusan ini benar-benar selesai!"
"Mobil roti!" seru Pete dengan gembira. "Asyik! Takkan ada yang menyangka tukang roti sebenarnya detektif!"
"Kami akan naik mobil roti milik perusahaan Van Alstyn's Bakery," kata Jupiter pada Mrs. Darnley di seberang sambungan. "Setelah menjemput Bob, kami akan mengamat-amati penculik itu, saat ia masuk ke dalam gudang. Jika ia membawa teman, teman itu akan kami lihat juga. Cermin itu terlalu berat, tidak mungkin satu orang saja akan kuat mengangkatnya. Jadi ia pasti membawa teman!"
Jeff mengambil gagang telepon dari tangan Jupiter.
"Nenek, aku ikut dengan Jupe dan Pete." Dengan cepat gagang telepon dikembalikan ke tempatnya, sebelum neneknya sempat melarang.
"Yuk, kita cepat-cepat berangkat!" kata Pete. "Sekarang sudah hampir pukul enam!"
"Ocean Avenue?" tanya Henry Anderson dengan heran, ketika Jupiter menyebutkan ke mana mereka harus pergi. "Katamu tadi, San Pedro. Ke sanakah kita sekarang?"
"Betul, di situ lokasinya," kata Pete. "Dan kita harus sudah ada di sana sebelum pukul tujuh. Bagaimana - bisa tidak?"
Anderson meringis.
"Mungkin kue-kueku nanti ada yang berantakan di tengah jalan, tapi kita takkan sampai terlambat," katanya berjanji.
Setelah itu mereka bergegas ke luar, menuju mobil roti. Pete dan Jeff masuk ke bagian belakang, lalu duduk di lantai sambil bersandar pada rak-rak tempat roti dan kue. Jupiter juga duduk di lantai, tapi di depan - di samping satu-satunya tempat duduk, yang tersedia untuk pengemudi kendaraan itu. Henry Anderson menutup pintu mobil. Ditekannya pedal gas dalam-dalam, seakan siap-siap untuk berpacu. Mereka berangkat. Dalam waktu sepuluh menit saja mereka sudah sampai di Hollywood Freeway. Di jalan raya bebas hambatan itu Anderson mempercepat jalan kendaraannya, sampai ke batas kecepatan yang diizinkan.
"Tidak bisa lebih cepat lagi?" seru Pete yang duduk nongkrong di belakang. "Sekarang sudah pukul enam lewat lima!"
"Kalau mobil ini kupacu melebihi batas kecepatan yang diizinkan, atau terlalu sering berpindah jalur, nanti patroli jalan raya akan menahan kita," seru Anderson membalas. "Tenang-tenang sajalah - kita takkan terlambat sampai di sana!"
Pukul enam lewat dua puluh lima menit, mobil roti itu membelok ke Harbor Freeway. Lewat jalan bebas hambatan kawasan pelabuhan itu mereka menuju ke gudang di San Pedro. Sesaat kemudian merasa bahwa Anderson memperlambat jalan kendaraan.
"Ada apa?" tanya Pete dari belakang.
"Lalu lintas di sini ramai," kata Anderson dengan tenang. "Tapi tidak apa, karena tidak macet. Untung sekarang hari Sabtu! Coba kalau tidak - kita bisa macet di sini."
Pete sudah gelisah saja di belakang. Berulang kali Henry Anderson terpaksa menenangkannya. Tapi Jupiter melihat bahwa pemuda itu pun kelihatannya mulai gelisah.
Kemudian lalu lintas kendaraan menipis, sehingga jalan kendaraan bisa dipercepat lagi. Mobil itu meluncur di jalur cepat, di samping jalur pemisah di tengah. Ketika sudah mendekati daerah pantai, sinar matahari sore menjadi buram.
"Kita akan memasuki kabut," kata Anderson "Kawasan pelabuhan sebentar lagi tertutup kabut."
"Tidak apa," kata Jupiter menenangkan. "Sebelum ini kami sudah pernah beraksi di tengah kabut."
"Kita sudah hampir sampai." Anderson menggerakkan mobil ke pinggir, lalu membelok ke luar dan memasuki Ocean Avenue.
Anderson menghentikan mobil di persimpangan jalan yang pertama. "Perlukah kubunyikan tuter?" katanya.
"Tidak usah," kata Jupe. "Bob datang dari Hollywood, jadi ia pasti sudah lebih dulu tiba. Ia ada di sekitar sini. Biar dia saja menemukan kita."
"Ini sudah pukul tujuh kurang sepuluh!" seru Pete dengan gugup dari belakang.
"Itu berarti kita masih punya waktu sepuluh menit," jawab Jupiter.
Seseorang bertubuh langsing muncul dari sebuah gerbang pintu di seberang jalan.
"Dia itukah teman kalian?" kata Anderson sambil menunjuk.
Jupe berdiri untuk menengok.
"Ya, itu Bob." Ia melambai. Bob membalas, lalu lari menyeberang. Ia bergegas-gegas masuk ke mobil. "Maaf ya, Santora tadi berhasil lolos dari pengamatanku," katanya. Ia menoleh ke arah Jeff, sambil tersenyum. "Kau ini macam-macam saja, membuat orang ketakutan."
"Apalagi aku sendiri," kata Jeff. "Belum pernah seumur hidupku aku setakut tadi!"
"Nanti sajalah kita bicara tentang itu," kata Jupiter Jones mengecam. "Kita terus di jalan ini," katanya pada Anderson. "Jalan pelan-pelan, seolah-olah menunggu dipanggil orang yang hendak membeli roti." Anderson melakukan apa yang diminta oleh Jupiter.
"Sebetulnya kami memang punya mobil untuk kawasan San Pedro," katanya. "Tugas kelilingnya pagi-pagi. Pembelinya kebanyakan para pekerja di galangan, dan di berbagai perusahaan angkutan di sekitar sini. Kita ini sebetulnya mencari apa?"
"Sebuah gudang kosong, yang dulunya ditempati sebuah perusahaan penggudangan barang, yang namanya 'Peckham Storage Company'. Di depan bangunan itu masih terpasang papan nama perusahaan itu. Jika kita sampai di sana nanti, kau harus berbuat seolah-olah mobilmu ini mogok."
"Itu soal gampang," kata Anderson.
Mereka menelusuri jalan besar yang saat itu nyaris lengang. Gudang-gudang dan kantor-kantor pelayaran yang mengapit di kiri-kanan, semuanya sudah tutup. Sebuah mobil berpapasan dengan mereka, menuju ke jalan bebas hambatan di sebelah barat. Seorang laki-laki memakai pakaian kerja berjalan di trotoar, membawa jaket. Ketika mereka sudah hampir sampai di Ocean Boulevard, kabut pun mulai menyusup masuk di antara gedung-gedung. Mereka melewati deretan dermaga yang sunyi sepi. Sekali-sekali nampak perairan tempat kapal-kapal berlabuh, di belakang dermaga-dermaga itu.
"Itu dia," kata Anderson, dengan suara lirih.
Jupe dan Bob cepat-cepat menegakkan tubuh. Sambil berlutut mereka memandang dari balik jendela ke luar. Di sebelah kanan nampak sebuah bangunan persegi empat, terbuat dari batu bata. Bangunan itu kelihatan kumal. Kecuali karena memang sudah tua, juga karena jelaga yang menempel di dindingnya. Tulisan pada papan nama yang terpasang di depannya sudah buram, tapi masih bisa dibaca. Sebuah truk besar milik Paman Titus diparkir di depannya.
"Paman Titus masih ada situ," kata Jupiter pada teman-temannya yang duduk di belakang.
"Itu berarti si penculik belum muncul," kata Pete. Nadanya terdengar lega.
"Kita terus dulu," kata Jupe pada Anderson. "Kira-kira setengah blok lebih jauh, baru kaumatikan mesin." Mobil roti itu berjalan dengan pelan melewati gudang. Setelah itu minggir ke dekat trotoar. Mesinnya dimatikan. Jupe dan Bob bergegas ke belakang kendaraan itu, lalu memandang ke luar lewat jendela belakang. Mereka melihat Paman Titus keluar dari dalam bangunan, lalu naik ke kabin truknya, diikuti oleh Hans dan Konrad. "Beres," kata Jupe. "Petunjuk sudah dipatuhi. Sekarang kita tinggal menunggu." Henry Anderson membuka pintu mobilnya. "Mau ke mana?" tanya Pete.
"Aku harus mengutak-utik mesin," kata Anderson. "Apakah yang dilakukan orang yang mobilnya mogok? Pasti turun, lalu memeriksa mesin. Kalau tidak begitu, kan aneh!" Jupiter tertawa geli.
"Rupanya kau punya bakat untuk menjadi detektif jempolan, Henry Anderson!"

Bab 16
MEMPEREBUTKAN CERMIN BERHANTU

HENRY Anderson mengutak-utik mesin mobil roti itu. Dibukanya busi-busi, dibersihkan, lalu dipasang lagi. Radiator dilihat isinya, baterai diperiksa.
Sementara itu Jeff ikut meringkuk bersama Trio Detektif dalam kendaraan itu. Jupe mengintip sebentar dari balik jendela. Kepalanya tetap dirundukkan, agar tidak ada yang bisa melihat dirinya dari jalan. Pete berlutut di balik jendela sebelah belakang. Ia juga mengamati keadaan dijalan.
"Perasaanku tidak enak," kata Pete setelah beberapa saat. "Kabut semakin tebal, dan hari juga mulai gelap. Bisa saja penjahat itu sekarang sudah ada di dalam gudang. Dan kalau ia masih lama lagi di situ, bisa jadi kita tidak melihatnya saat ia keluar nanti."
"Kurasa ia belum ada di dalam," kata Jupiter Jones. "Tolol, kalau ia melakukannya untuk menunggu cermin itu dibawa ke situ. Soalnya, kalau Mrs. Darnley menghubungi polisi, ia akan terjebak. Menurut dugaanku saat ini ia berkeliaran di luar, untuk memastikan bahwa polisi tidak menunggu untuk menyergapnya nanti. Dan jika itu yang dilakukannya, ada kemungkinan ia merasa curiga pada Henry, teman kita yang di luar."
Jupiter mengetuk-ngetuk jendela dengan pelan. Henry Anderson mendengarnya, lalu pergi ke sisi kendaraan itu.
"Mungkin lebih baik jika kau berhenti saja mengutik-utik mesin," kata Jupe padanya. "Kenapa tidak pura-pura menelepon saja, minta pertolongan? Bukankah itu yang akan kaulakukan, jika mobilmu benar-benar mogok?"
Anderson mengangguk.
"Baiklah. Kalau begitu pergi saja sekarang, mencari telepon. Kita nanti memang memerlukannya, jika penculik itu muncul. Kalau sudah ketemu, kau kembali lagi kemari. Menurut perasaan kami, kau membuat penculik itu gelisah." "Wah - itu tidak boleh sampai terjadi," kata Anderson, lalu pergi. Lima menit sudah lewat, ketika - "Itu!" kata Pete berbisik.
Jupe cepat-cepat pindah ke bagian belakang mobil. Pete menuding. Seorang lelaki kurus berpakaian serba hitam keluar dari balik pagar yang mengelilingi sebuah tempat penjualan kayu. Orang itu memandang ke arah mobil roti dengan sikap curiga.
"Itu kan orangnya?" tanya Jupiter pada Jeff Parkinson.
"Kurasa ya," kata Jeff. "Sulit mengatakannya dengan pasti, karena terhalang kabut ini."
"Sebentar lagi kita akan bisa tahu," kata Bob.
Lelaki itu mulai berjalan menyusur trotoar, menuju ke arah mobil.
"Astaga!" desah Pete. "Ia menuju kemari."
"Cepat, semuanya menunduk!" kata Jupiter.
Saat itu terdengar suara Henry Anderson yang riang di luar.
"Selamat malam," sapanya.
"Ya," kata lelaki berpakaian hitam itu. "Malam-malam begini, masih berjualan juga."
"Maksudku ingin mendapat tambahan penghasilan," kata Anderson. "Ide konyol! Tak kusangka San Pedro begini sepi pada malam Minggu - dan sekarang mobilku mogok pula. Pasti habis aku nanti, diomeli majikanku. Eh - bagaimana, mau beli roti? Atau kue-kue?"
"Roti? Ya. Ya, boleh juga. Coba lihat roti Anda."
Anak-anak meringkuk di ujung belakang mobil, sambil berusaha mengecilkan tubuh. Henry Anderson masuk ke ruang depan, lalu menggapai-gapai ke belakang. Rupanya ia mencari keranjang roti.
Bob menyambar barang yang dicari, lalu menyodorkannya pada Henry. Henry berpaling. Nyaris saja keranjang yang dipegangnya membentur lelaki kurus yang berdiri dekat sekali di belakangnya.
"Aku menjual roti tawar biasa," kata Henry. "Tapi ada jenis-jenis lainnya. Yang rasa masam, roti hitam, roti Prancis, lalu..."
Lelaki itu menyedot hidung.
"Tidak jadi saja, ah," katanya.
"Pastei Prancis?" kata Henry menawarkan. "Kue mangkok?" "Tidak sajalah, terima kasih. Maaf."
"Ah, tidak apa," kata Henry. "Aku toh harus menunggu mobil derek." "Kalau begitu selamat malam," kata lelaki kurus itu. "Sama-sama."
Orang itu berpaling, lalu menuju ke arah gudang. Anak-anak menarik napas lega.
"Nyaris saja ketahuan," kata Bob. "Untung kau cepat datang, Henry."
"Dua blok dari sini ke arah timur ada telepon umum," kata Henry melaporkan.
Mereka memperhatikan lelaki tadi menyeberang jalan, menghampiri pintu gerbang gudang, lalu setelah menoleh ke belakang sejenak, cepat-cepat membuka pintu itu dan masuk ke dalam. "Bagaimana - kita susul dia?" tanya Jeff. "Lebih baik kita tunggu sebentar," kata Jupiter lirih.
Kemudian muncul seseorang lagi di jalan. Orang itu lebih tinggi daripada lelaki yang muncul dari balik pagar tempat penjualan kayu. Orang yang datang kemudian, tidak memandang ke kanan maupun ke kiri, melainkan langsung menuju pintu gudang, lalu masuk ke dalam.
"Kalau tidak salah, itu Santora," kata Pete.
"Tepat seperti yang kuharapkan akan terjadi!" kata Jupiter Jones dengan gembira. "Sekarang kita masuk ke sana, lalu kita lihat saja apa yang terjadi di dalam. Henry, beri kami waktu sepuluh menit di dalam, lalu sesudah itu kau ke bilik telepon untuk menghubungi polisi. Apa pun yang terjadi nanti, polisi pasti akan kita perlukan."
"Baik," kata Henry.
Trio Detektif dan Jeff Parkinson keluar dari mobil roti, lalu bergegas menghampiri gudang. Sesampainya di pintu, mereka berhenti.
"Tak terdengar apa-apa," bisik Bob. "Hanya bunyi air saja. Gudang ini mestinya dibangun di atas air."
Ditariknya gagang pintu. Pintu terbuka tanpa menimbulkan bunyi. Keempat remaja itu melihat dinding-dinding di dalam, serta sebuah pintu lagi. Di sisi kanan ada jendela berterali. Letaknya tinggi. Lewat jendela itu, cahaya remang petang yang berkabut memancar ke dalam. Mereka ternyata berada di sebuah ruang kecil dan kosong, berhadapan dengan pintu berdaun ganda, dengan kaca pada bagian atasnya.
Keempat remaja itu mengendap-endap mendekati pintu sebelah dalam itu. Mereka memandang ke ruangan sebelah lewat panel kaca. Ruangan sebelah ternyata luas sekali, dan lapang. Pada langit-langitnya yang tinggi ada jendela-jendela kaca. Sudut-sudut ruangan itu sangat gelap. Juan Gomez berdiri di ujung seberang. Ia sedang memperhatikan cermin yang diantar Paman Titus ke situ, dengan dibantu Hans dan Konrad. Cermin itu disandarkan ke salah satu tonggak baja yang menopang kerangka atap.
Di antara pintu dan lelaki kecil itu nampak sosok gelap. Pasti itu Santora. Lelaki misterius yang mengaku keturunan Chiavo Sang Penyihir itu berdiri mematung sambil memandang, sementara ia sendiri diperhatikan oleh anak-anak dari balik pintu. Jupe menekan salah satu pintu itu, yang langsung terbuka sedikit. Keempat remaja itu berdiri diam-diam, nyaris tidak berani bernapas. Mereka memperhatikan, sambil memasang telinga.
Lelaki kurus berpakaian serba hitam itu meraba-raba bingkai cermin. Setelah itu ia berjalan lambat-lambat mengitarinya. Kemudian ia mengeluarkan sebuah obeng dari kantungnya.
"Apa yang kaucari, Penjahat?" tukas Santora dengan tiba-tiba.
Lelaki kurus itu terkejut. Obeng terlepas dari pegangannya, sementara ia menatap Santora yang berdiri di tengah keremangan ruangan itu.
"Jangan bergerak," kata Santora. "Aku membawa pistol, dan aku takkan segan-segan mempergunakannya."
Santora melangkah maju. Saat itu anak-anak melihat bahwa ia memang menggenggam pistol. Senjata api itu diarahkan lurus-lurus ke kepala lelaki kecil yang ada di depannya.
"Masih hendak kauteruskan juga kelaknatan ini, Gomez?" tukas Santora. "Manolos sudah mati, dan jandanya kini hidup dengan tenang. Wanita itu tidak tahu apa-apa."
"Dia itu manusia dungu," kata si lelaki kecil.
"Kau yang dungu, Gomez," kata Santora. "Kaulah yang mengarahkan perhatian kami pada cermin itu. Di situ kan rahasia itu disembunyikan? Selama ini, bertahun-tahun! Itulah rahasia kekuasaan Manolos - cermin Chiavo. Cermin itu harus dimusnahkan!"
"Ini milikku!" kata Gomez berkeras. "Aku dijanjikan akan memperolehnya. Sekian tahun lamanya aku bekerja untuk dia, dan ia berjanji bahwa cermin ini akan menjadi milikku. Tapi ketika ia mati, jandanya yang goblok itu mengirimkannya ke luar negeri sementara aku sedang tidak ada, karena..."
"Karena kau sedang mendekam dalam penjara," kata Santora menyambung. Ia duduk di atas sebuah peti kemas. "Kau ini benar-benar malang, Juan Gomez. Kau mendekam dalam penjara ketika tuanmu mati, karena kau tertangkap basah ketika hendak mencopet seorang wisatawan Inggris. Gomez yang malang! Kau kalah. Kau selalu kalah. Cermin itu harus dimusnahkan, demi keselamatan Republik."
"Tidak!" teriak Gomez. "Cermin ini milikku! Aku dijanjikan akan memperolehnya."
"Manolos bohong," kata Santora dengan tegas. "Kau dibohonginya. Kenapa kausangka ia takkan mau membohongimu, jika orang lain semua dibohongi olehnya? Kausangka kau orang istimewa, ya? Tapi sekarang segala-galanya sudah berakhir. Cermin itu akan kumusnahkan."
"Tidak bisa!" teriak Gomez. "Perasaanmu halus. Aku tahu watakmu. Kau tidak bisa menggertak aku! Kau, dengan muka dan tingkah lakumu yang serba halus! Aku tidak bisa kaugertak! Kau takkan mampu menumpahkan darah orang lain!"
Gomez yang sudah bingung itu tahu-tahu menerjang ke arah lawannya yang menggenggam pistol.
Terdengar suara letusan, serta bunyi peluru terpantul pada besi, lalu menembus kayu di sebelah atas ruangan itu. Santora berteriak, sambil berusaha mencampakkan lelaki kecil yang menyerangnya. Ia melakukannya dengan sikap seperti mencampakkan binatang yang menjijikkan. Pistol terlepas dari pegangannya, dan tergeleser di lantai.
Santora dan Gomez membalikkan tubuh dengan cepat, sama-sama hendak mengambil pistol yang tercampak itu. Gomez berteriak marah, ketika dilihatnya senjata api itu meluncur ke sebuah lubang yang terbuka di lantai, lalu jatuh ke dalamnya. Terdengar bunyi benda tercebur ke air.
Santora meluruskan sikapnya berdiri.
"Nah," katanya. "Mungkin kau tadi benar. Mungkin aku lebih suka tidak menembakmu. Tapi kau takkan bisa pergi dari sini dengan cermin itu." Dipungutnya sepotong kayu yang ada di dekatnya. Ia melangkah, lalu berdiri menghadapi cermin.
"Sekarang akan kukerjakan apa yang menyebabkan aku kemari," katanya. "Cermin ini akan kumusnahkan." Saat itu Jupiter muncul dari balik pintu.
"Sebelum itu Anda lakukan," katanya dengan tenang, "ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan."
Lelaki yang bernama Juan Gomez melongo, menatap keempat remaja yang tahu-tahu ada di situ. Begitu pandangannya tertumbuk pada Jeff Parkinson yang disangkanya masih tersekap di dalam rumah tua itu, ia berteriak - lalu menyerbu ke arah Trio Detektif.
"Berhenti!" seru Pete. Ia berkelit melewati Jupiter yang berdiri di depannya, lalu menubrukkan dirinya ke arah pinggang penculik itu. Gomez langsung roboh sambil menjerit kesakitan. Pete cepat-cepat mendudukinya.
"Lama-lama ini bisa menjadi kebiasaan," katanya. "Kubantu kau," kata Jeff, lalu ikut duduk menindih Gomez.
"Nah," kata Jupiter Jones pada Santora yang terheran-heran, "kami memang masih remaja, tapi masih ada kami berdua menghadapi Anda yang seorang diri. Tidak ada yang bisa meninggalkan tempat ini, sampai kami sudah memperoleh jawaban tentang beberapa hal yang ingin kami ketahui."

Bab 17
CERMIN CHIAVO MEMBEBERKAN RAHASIANYA

JUAN Gomez tidak meronta-ronta lagi. Kini ia berbicara dengan suara yang tidak jelas, meski kedengarannya seperti menyumpah-nyumpah.
"Jangan pecahkan cermin itu, Senor Santora," kata Jeff. "Tidak peduli milik Anda atau bukan, tapi jangan Anda pecahkan! Nenek saya bisa pingsan nanti!"
"Lagi pula," kata Jupiter Jones, "jika Anda memecahkannya, mungkin saja Anda akan membeberkan rahasia itu pada Juan Gomez. Sedang dia, saya rasa ia tidak tahu apa sebenarnya rahasia itu."
"Aku tahu," kata Gomez. "Dari semula aku sudah tahu. Tapi buktinya, itulah yang kuinginkan."
"Kalau begitu saya bisa mengatakannya dengan cara lain," kata Jupiter lagi. "Gomez tidak tahu, pada bagian mana dari cermin itu bukti yang dicari-cari disembunyikan. Dan saya rasa Anda juga tidak mengetahuinya, Senor Santora. Sedang tentang cerita Anda bahwa Anda keturunan Chiavo Sang Penyihir, saya rasa itu bisa kita lupakan saja, karena itu cuma karangan Anda saja."
"Aku takkan mengatakan apa-apa," kata Santora.
"Saat ini Anda belum perlu mengatakan apa-apa," kata Jupiter padanya. "Misalnya saja kami tahu bahwa Anda ini bekerja atas perintah Presiden Republik Ruffino. Anda pasti bukan keturunan Chiavo, tapi bisa saja - apa? Anda putra Presiden Garcia?"
Santora terhenyak duduk di atas peti kemas yang tadi.
"Kau!" katanya. "Kau yang dengan diam-diam masuk ke kamarku di hotel. Kau membongkar surat-suratku!" "Bukan, itu bukan Jupe, tapi Gomez," kata Pete. "Ia yang memukul kepala Anda, sampai Anda pingsan. Saat itu saya ada di luar. Saya mendengar segala-galanya, dan saya juga melihat Gomez pergi!" Lelaki kecil yang ditindih Pete dan Jeff meronta-ronta lagi, sambil mengumpat-umpat.
"Orang itu!" keluhnya. "Orang yang selalu berpakaian apik itu - ia bicara demi kebaikan Republik! Dia itu keponakan Garcia, si Gagah, si Jujur, yang menganggap dirinya penyelamat negara Ruffino! Apa - dia pencuri! Pamannya pencuri, dan keponakannya juga sama saja!"
Jupiter mendeham.
"Ketika Presiden Garcia menang dalam pemilihan umum dua belas tahun yang lalu, lawannya melancarkan tuduhan bahwa ia bukan orang yang jujur. Kata lawannya waktu itu, ia punya bukti bahwa Garcia dulunya penjahat. Tapi saingan itu tidak bisa menunjukkan bukti-bukti mengenai hal itu, dan kemudian Garcia memenangkan pemilihan itu. Bukti-bukti itu! Bukankah Garcia tahun ini harus mencalonkan diri lagi untuk dipilih menjadi presiden yang berikut? Bagaimana jika ada yang bisa menyodorkan bukti-bukti tuduhan bahwa ia pernah melanggar hukum? Apakah yang akan terjadi?"
"Itu akan merupakan tragedi bagi Ruffino," kata Santora.
"Sebentar lagi polisi akan tiba di sini, Senor Santora," kata Jupiter. "Kami yang memanggil! Mereka nanti pasti ingin tahu apa sebabnya cermin itu begitu penting, sampai Gomez menculik cucu Mrs. Darnley dalam usaha untuk memperolehnya secara paksa. Saya rasa saya tahu."
Santora terkejut.
"Kau tahu? Tapi itu kan mustahil!"
"Urusannya menyangkut pemerasan kan, Senor Santora?" kata Jupiter Jones. "Isabella Manolos sama sekali tidak tersangkut di dalamnya. Ia sama sekali tidak tahu dengan cara bagaimana almarhum suaminya bisa memperoleh kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan Republik Ruffino. Ia tidak tahu, tapi kami bisa menduga. Ia memiliki bukti-bukti itu! Bukti-bukti kebenaran tuduhan terhadap presiden kalian yang sekarang. Manolos semasa hidupnya melakukan pemerasan terhadap Presiden Garcia, dengan ancaman akan membeberkan rahasia yang akan merusak nama baiknya."
Santora terhenyak.
"Polisi kalian tidak boleh sampai menemukannya!" katanya. "Sebelum pamanku menjadi kepala negara, rakyat Ruffino sangat menderita. Waktu itu keadaan di sana sudah begitu gawatnya, sehingga sudah hampir pecah revolusi. Di bawah pemerintahan pamanku keadaan berubah, menjadi tenang dan makmur. Kalau dulu penduduk yang miskin hidup seperti hamba sahaya, kini di mana-mana terjadi kemajuan. Garcia harus tetap menjadi presiden. Kami tidak mau kembali lagi hidup seperti masa silam, yang penuh dengan penderitaan. Pemerintahan pamanku, sedikit pun tidak ada cacat celanya. Pembantu-pembantunya semua orang-orang yang bijaksana dan terhormat - kecuali Manolos, bandit itu."
"Pemeras?" desak Jupiter ingin tahu.
Santora mengangguk dengan sedih.
"Baiklah. Aku akan mengatakannya - lalu jika kau tahu di mana rahasia yang tersembunyi pada cermin itu, kurasa kau akan mau mengatakannya padaku." Santora memandang ke arah Juan Gomez.
"Bangsat yang terkapar di lantai itu - ia dulu pelayan Diego Manolos. Kalian tahu orang seperti apa dia itu - pencopet, maling kelas teri! Dan kini kalian mengatakan bahwa ia juga penculik. Aku tidak heran mendengarnya. Orang itu berbahaya, tidak mengenal kasihan, dan tanpa perasaan. Sepuluh tahun lamanya ia menjadi pelayan Manolos. Jadi bisa kalian bayangkan sendiri, orang macam apa Manolos itu semasa hidupnya. Senora Manolos, teman Senora Darnley - adalah seorang wanita cantik, tapi wanita kadang-kadang tidak memakai akal sehat, kalau memilih calon suami. Akibatnya, Senora Manolos kemudian hidup menderita."
"Perempuan dungu!" teriak Juan Gomez.
"Diam!" bentak Santora. "Semasa mudanya pamanku juga pernah bersikap tolol. Banyak anak muda yang juga begitu. Pamanku dikirim ke Spanyol, untuk menuntut ilmu di universitas. Di sana ia berkenalan dengan Diego Manolos, yang juga disekolahkan ke Spanyol. Manolos memiliki cermin peninggalan Chiavo, Sang Penyihir. Manolos membelinya secara wajar. Mungkin itu kejujuran terakhir yang dilakukan olehnya. Chiavo memang punya seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu punya anak laki-laki pula, dan begitu seterusnya, sampai anak laki-laki yang terakhir. Keturunan terakhir Chiavo perempuan. Dia ini tidak menikah. Ketika Manolos menjumpainya, ia sudah uzur dan sangat miskin. Tinggalnya di sebuah kota kecil, di kawasan Kastilia. Keturunan Chiavo itu memiliki cermin hantu warisan moyangnya. Ia punya cermin, tapi uang tidak ada. Padahal uanglah yang sangat diperlukannya.
"Manolos sendiri waktu itu miskin, tapi masih muda. Kecuali itu ia juga memiliki daya fantasi. Ia meminjam uang untuk bisa membeli cermin itu, yang kemudian dikirimkannya ke Madrid. Di mana-mana ia berbicara mengenai cermin itu. Di kedai-kedai minum, di tempat-tempat ceramah. Ia memiliki cermin Chiavo. Cerita itu tersebar ke mana-mana, dan orang mulai bertanya-tanya. Benarkah cermin itu bisa menunjukkan masa yang akan datang? Manolos berlagak seakan-akan cermin itu sungguh-sungguh mengandung kekuatan gaib. Ia berlagak bisa melihat ke masa depan, dengan bantuan cermin itu.
"Perkembangan selanjutnya datang dengan segera. Mula-mula ia didatangi rekan-rekan mahasiswa dari universitas, dan pada mereka Manolos meramalkan berbagai hal yang akan terjadi. Ramalannya selalu hanya samar-samar saja, tapi para pemuda dungu itu sendiri yang ingin percaya. Kadang-kadang ramalannya menjadi kenyataan - atau setidak-tidaknya hampir kena, sehingga mulai timbul anggapan bahwa Manolos benar-benar bisa melihat masa depan lewat cermin Chiavo. Setelah itu berdatanganlah kaum berharta di kota itu, untuk minta diramalkan nasib mereka.
"Kemudian Manolos menunjukkan belangnya. Wataknya yang asli keluar! Seorang pria yang sudah tua sekali dan menderita penyakit encok disarankannya agar berlayar, apabila ingin sembuh. Lelaki uzur itu berangkat. Dan saat ia sedang berlayar, rumahnya dirampok habis-habisan. Pada seorang wanita, Manolos mengatakan bahwa uang yang dimilikinya perlu diberkahi. Seluruh uang yang dimilikinya harus dibawa ke pendetanya di gereja tempat ia biasa bersembahyang. Wanita itu menuruti nasihat Manolos. Tapi di tengah jalan, uangnya itu dicopet. Masih banyak lagi kejadian-kejadian seperti itu. Tidak perlu kubeberkan semua. Kalian pasti bisa membayangkan sendiri, kalau melihat kecerdasan kalian yang masih begini remaja."
"Licik sekali permainannya!" seru Pete. "Tapi polisi Spanyol - tidakkah mereka mencium adanya kejahatan itu?"
"Ya, kemudian," kata Santora. "Tapi sebelumnya, bahkan sebelum ia mulai melakukan kejahatan, Manolos sudah mengarahkan perhatian khusus pada pamanku. Semasa masih muda pun pamanku sudah bercita-cita, ingin mengubah keadaan di Ruffino. Ia sering bicara mengenai cita-citanya, dan Manolos mendengarkan. Dalam hati saat itu Manolos mestinya sudah menduga bahwa pamanku bisa menjadi orang penting. Dan ia bertekad, ingin ikut menikmati pengaruh Paman kelak. Di samping itu keluarga Garcia tergolong kaum berharta. Timbul ide dalam hati Manolos, untuk melakukan pemerasan. Ia akan menggunakan cermin itu untuk... itu, yang biasa dilakukan penjahat terhadap orang penting yang tidak disukai, dalam film-film gangster..."
"Maksud Anda, menjebak?" kata Bob. "Manolos hendak menjebak paman Anda?"
"Ya, ya - betul. Itu yang hendak dilakukan olehnya. Kebetulan Manolos punya kenalan seorang gadis, yang bekerja sebagai pelayan pada suatu keluarga golongan terkemuka. Gadis itu sangat terpengaruh oleh Manolos. Dengan bantuan cerminnya, diyakinkannya gadis itu bahwa ia ditipu majikannya. Gadis itu berhasil diyakinkan bahwa ia adalah korban ketidakadilan, ia berhak untuk melakukan pembalasan. Manolos mengatakan, ia mengenal seorang pria yang bersedia membeli perhiasan milik majikan gadis itu dengan harga tinggi. Gadis itu disuruhnya mengambil perhiasan itu, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kotak yang harus dibungkus dengan kertas merah. Urusan selebihnya akan diatur olehnya. Pria itu nanti akan menjumpainya untuk menyerahkan uang pembayaran yang dimasukkan dalam sampul, lalu gadis itu harus menyerahkan kotak yang berisi perhiasan pada orang itu. Gadis itu menurut saja. Dicurinya perhiasan majikannya, lalu dijumpainya pria yang penampilannya sudah dijelaskan Manolos padanya. Pria itu menyerahkan sebuah sampul padanya, dan gadis itu memberikan kotak yang terbungkus kertas merah pada orang itu. Pria itu pamanku!"
"Pencuri!" sergah Juan Gomez.
"Pamanku tidak tahu-menahu tentang urusan itu!" balas Santora sambil berteriak pula. "Ia mengira, dengan perbuatannya itu ia telah menolong Manolos. Dikiranya dalam sampul yang diserahkannya itu ada surat untuk gadis itu, dan kotak yang diterimanya berisi hadiah untuk Manolos. Gadis itu dijumpainya dijalan, dekat sebuah pancuran air. Manolos ternyata juga di situ, bersembunyi dengan membawa kamera foto. Manolos memotret pamanku ketika berjumpa dengan gadis itu. Dalam fotonya nampak paman menyerahkan sebuah sampul padanya!"
"Tentu saja kejadian itu kemudian diketahui oleh polisi di sana," kata Jupe.
"Itu sudah dengan sendirinya! Gadis itu sangat terkejut ketika membuka sampul yang diterima, karena isinya bukan uang, melainkan lembaran kertas belaka. Gadis itu sangat ketakutan. Kemudian, ketika majikannya mengetahui perhiasannya lenyap dan langsung memanggil polisi, sambil tersedu-sedan gadis itu mengakui segala-galanya. Tapi saat itu pamanku sudah dalam perjalanan pulang, kembali ke Ruffino. Jadi ia tidak mendengar berita bahwa ia dituduh bersekongkol dengan pencuri. Lama sekali ia tetap tidak tahu apa-apa mengenai hal itu. Sedang Manolos - ia berhasil meloloskan diri pada saat yang tepat dari Madrid, dengan membawa cermin, foto Paman dan gadis malang itu, yang dibuatnya secara sembunyi-sembunyi - serta perhiasan yang dicuri. Begitu ia pergi, muncul berita-berita dalam surat kabar tentang dirinya, serta kejahatan yang dilakukan olehnya melalui cermin yang dikatakan ajaib itu."
"Jadi ia kembali ke Ruffino, dan di sana langsung melakukan pemerasan terhadap paman Anda?" kata Pete.
"Ia memang kembali ke Ruffino, tapi mulanya ia belum melakukan apa-apa," kata Santora. "Soalnya ia punya uang, yang diperolehnya sebagai hasil kejahatan di Spanyol. Ia menunggu. Ia menikah dengan Isabella, karena wanita malang itu anak satu-satunya dari seorang hartawan. Dan ia menunggu. Kemudian, dua belas tahun yang lalu, ketika tiba saat pemilihan umum, ketika di negeri kami nyaris saja pecah revolusi - saat itulah ia beraksi. Pamanku dikiriminya satu kopi dari foto yang dibuatnya, disertai kopi berita-berita yang dimuat dalam harian-harian di Spanyol mengenai peristiwa itu. Pamanku pernah terlibat dalam kasus kejahatan, dan itulah buktinya. Tidak peduli bahwa
Paman Garcia tidak pernah tahu-menahu mengenai urusan itu. Tidak peduli kejadian itu sudah lama lewat. Kopi itu buktinya, yang bisa menghancurkan nama pamanku. Ia takkan bisa memenangkan pemilihan umum.
"Akhirnya pamanku tunduk. Diturutinya tuntutan bajingan itu. Mula-mula dalam bentuk uang. Tapi dengan segera itu saja sudah tidak lagi dianggap cukup. Manolos menuntut kekuasaan. Dan ia diberi kekuasaan. Manolos memiliki rumah yang besar, dan juga martabat - tapi itu tidak banyak. Setiap tahun, pada hari pemilihan umum diadakan, pamanku setiap kali menerima satu kopi lagi dari foto itu, serta kopi artikel-artikel surat kabar lama yang membahayakan nama baiknya. Akhirnya Manolos meninggal dunia, dan kami - aku dan Paman - kami berharap dengan begitu musibah akan berakhir. Kami mengira pemerasan takkan berlanjut lagi.
"Aku mendatangi Senora Manolos. Kasihan. Ia kujumpai sedang menangis. Aku sebenarnya ingin minta izin padanya, apakah aku boleh menggeledah rumahnya. Itu bukan pertanyaan yang gampang diajukan, karena Senora Isabella benar-benar wanita terhormat. Sebelum aku bisa mengambil keputusan tentang cara yang paling baik untuk mengajukan permintaan izin itu, ia menyampaikan keluhan padaku, mengenai Juan Gomez ini. Kata Senora Isabella, cermin peninggalan almarhum suaminya dikirimkan olehnya pada seorang teman yang tinggal di Los Angeles, lalu Gomez ketika mengetahui hal itu lantas marah sekali padanya. Gomez berteriak-teriak mencaci-maki, menggoblok-goblokkan dirinya. Senora Isabella cemas sekali saat itu, takut kalau-kalau dipukul oleh Gomez.
"Saat itulah aku langsung tahu. Negatif dari foto itu pasti disembunyikan dalam cermin itu. Satu-satunya orang pada siapa Manolos mungkin menceritakan rahasianya, hanya Gomez saja - Gomez, pelayan bajingan! Lalu ketika sore itu juga Gomez berangkat dengan pesawat terbang ke Los Angeles, saat itu aku merasa pasti bahwa dugaanku benar!"
"Jadi Anda lantas menyusul kemari, lalu berusaha membeli cermin itu dari Mrs. Darnley," kata Jupiter Jones menyimpulkan. "Ketika upaya Anda itu tidak berhasil, Anda lantas menceritakan kisah karangan Anda sendiri, bahwa Anda keturunan Chiavo. Lalu ketika siasat itu juga tidak berhasil, sementara paman Anda mendesak agar Anda cepat-cepat bertindak, Anda menyewa tenaga Baldini. Tukang sulap itu Anda suruh pura-pura menjadi hantu dalam cermin."
Santora menundukkan kepala.
"Aku sebenarnya malu," katanya. "Aku tidak berniat menakut-nakuti wanita dan anak-anak. Tapi, habis bagaimana - aku sudah kehabisan akal."
Setelah itu ruangan senyap sejenak. Terdengar bunyi derap langkah berat di luar, di depan gudang, disusul bunyi pintu yang dibuka.
"Polisi datang," kata Pete. Ia hendak berdiri, membebaskan Gomez dari tindihan.
"Apa yang kita katakan pada polisi nanti?" kata Santora. Mukanya pucat lesi. "Mereka pasti akan memeriksa cermin itu!"
"Ha!" Gomez tertawa jelek. Ia menggeliat untuk melepaskan diri dari tindihan Pete dan Jeff, lalu cepat-cepat berdiri. Disambarnya potongan kayu yang sudah tidak dipegang lagi oleh Santora, lalu sambil menggenggamnya ia meloncat ke arah cermin. "Aku harus mendapat bukti itu!" teriaknya, "dan sesudah itu takkan ada lagi yang berani..."
Tiba-tiba ia terpaku pada posisi setengah merunduk, sementara matanya menatap ke dalam cermin hantu yang memantulkan bayangan samar dari mukanya sendiri yang sedang menyeringai karena takut bercampur berang. Kayu yang dipegangnya terlepas. Ia menjerit dengan suara mengerikan, lalu lari. Tapi ia tersandung kakinya sendiri, lalu jatuh ke dalam lubang yang ada di lantai.
Terdengar bunyi ceburan di bawah. Detik berikutnya nampak sinar terang memasuki ruangan, disertai suara sejumlah orang berpakaian seragam.
Sekali lagi terdengar jeritan seram yang tadi. Datangnya dari arah air yang ada di bawah lantai gudang.
"Negatif itu!" kata Santora dengan bisikan parau. "Mana negatif foto itu?"
Jupiter melangkah ke balik cermin. Dengan jempol dan telunjuk dikelupasnya selembar label yang tertempel pada panel belakang. Label itu diserahkannya pada Senor Santora, berikut suatu benda lain.
"Mikrofilm," kata pria itu dengan suara lirih. "Ya, tentu saja. Tidak mungkin barang lain. Mikrofilm, di balik salah satu label yang ditempelkan di panel belakang cermin. Di balik label yang paling baru."
Senor Santora cepat-cepat mengucapkan terima kasih, lalu menyelipkan film berukuran sangat kecil beserta robekan label ke dalam kantungnya.
"Jeff Parkinson?" seru salah seorang petugas kepolisian, yang berpangkat sersan. "Di antara kalian ada anak yang bernama Jeff Parkinson?"
"Saya," kata Jeff.
Dua orang polisi berdiri dekat lubang di lantai, sambil mengulur tali. Dengan cepat Gomez sudah mereka hela keluar dari air. Penculik itu roboh ke lantai, lalu menangis tersedu-sedu.
Sersan polisi memandang lelaki basah kuyup yang meringkuk itu dengan wajah masam, lalu menoleh ke arah Jeff. "Dia itu orang yang menculikmu?" katanya. "Betul. Namanya Juan Gomez."
"Dan orang ini?" Sersan itu menganggukkan kepala ke arah Santora. "Ini Senor Santora," kata Jupe dengan singkat. "Teman kami. Ia menolong kami." "Kenapa orang ini?" seru salah seorang polisi. Ia membungkuk, memperhatikan Gomez. "Hantu itu!" kata Gomez terbata-bata. "Aku melihatnya... dalam cermin! Cermin itu... aku..." "Ada apa dengan cermin itu?" Sersan polisi memandang cermin Chiavo dengan perasaan heran. "Cermin itu dulu milik seorang penyihir termasyhur," kata Jupiter Jones. "Kata orang, di dalamnya ada hantu. Penculik itu sangat takut kelihatannya, ya? Mungkin karena ia merasa melihat hantu." Polisi itu mendengus. Ia tidak mau percaya.
"Orang bisa saja terkecoh khayalannya sendiri," kata Jupiter, "apalagi dalam keadaan remang-remang seperti di tempat ini."
"Ya, kalau itu bisa saja," kata petugas polisi itu.
Anak-anak, dan juga Senor Santora, memandang ke dalam cermin yang tersandar di gudang berdebu itu, mencerminkan dinding-dinding telanjang serta sarang labah-labah. Cermin itu kelihatan biasa saja. Cermin kuno, yang kebetulan jelek sekali bingkainya.
Tapi walau begitu anak-anak bergidik juga sedikit. Mereka tidak menunggu lebih lama lagi ketika sersan polisi menyuruh mereka keluar. Mereka keluar dengan segera.

Bab 18
UNDANGAN UNTUK ALFRED HITCHCOCK

DUA minggu kemudian Jupiter beserta kedua rekannya datang berkunjung ke kantor Alfred Hitchcock. Jupiter membawa sampul surat, yang diserahkannya pada sutradara film yang terkenal itu. Ia tidak mengatakan apa-apa, selain menyodorkan sampul itu.
"Eh?" kata Mr. Hitchcock. Dibukanya sampul itu, lalu dikeluarkannya kertas surat berwarna kuning gading yang kelihatannya mahal. Dibacanya sekilas beberapa baris kata-kata yang tertulis di situ, lalu diletakkannya surat itu ke atas mejanya. "Jadi aku diundang Mrs. Jonathan Darnley untuk menghadiri jamuan makan malam, pada kesempatan mana aku akan bisa berkenalan dengan Senor Rafael Santora," katanya. "Aku kenal Mrs. Darnley, dan aku tahu pasti ada alasan tertentu, kenapa kalian yang disuruhnya membawa undangan ini."
Bob tersenyum. Ia menyodorkan sebuah map arsip pada Mr. Hitchcock.
"Saya rasa ini bisa dianggap informasi yang harus dirahasiakan," katanya. "Tapi kami mengatakan pada Senor Santora bahwa Anda tertarik pada kasus ini. Dan juga bahwa Anda bisa menyimpan rahasia." "Berani juga kau berkata begitu," kata Mr. Hitchcock, sambil membuka map.
Sementara ketiga remaja itu menunggu tanpa berbicara, Mr. Hitchcock membaca catatan yang diketik oleh Bob, mengenai Kasus Cermin Berhantu. Akhirnya sutradara terkenal itu selesai membaca halaman paling akhir. Kini ia menoleh ke arah Jupiter.
"Kurasa kau bisa menebak apa rahasia yang ada pada cermin itu setelah mendengar tentang adanya sebuah foto," katanya. "Begitu pula di mana foto itu disembunyikan."
"Memang," jawab Jupiter. "Ketika Senor Santora bercerita tentang pamannya yang diperas dengan sebuah foto sebagai alat, saya langsung tahu bahwa pasti foto itu ada negatifnya, yang disembunyikan di salah satu tempat. Karena cermin sudah kami periksa dengan cermat - sampai dibongkar segala - maka satu-satunya tempat yang mungkin hanyalah di balik label-label yang ada di belakangnya. Label-label itu seperti yang biasa dipasang tukang reparasi perabot. Manolos memindahkan foto dan artikel koran-koran yang dikatakannya merupakan bukti itu ke mikrofilm, karena negatif yang biasa ukurannya terlalu besar, tidak bisa disembunyikan di balik label seperti itu. Setiap tahun dilepaskannya mikrofilm itu dari label yang menutupi, lalu dibuatnya kopi foto yang baru untuk kemudian disampaikan pada Presiden Garcia. Sementara ini kami sudah mendengar bahwa Manolos memiliki kamar gelap untuk mencetak foto di rumahnya. Setelah mencetak kopi baru, mikrofilm itu disembunyikannya lagi, di bawah label baru. Saya rasa label-label itu dicurinya. Atau bisa juga sengaja disuruh cetak olehnya."
"Aku heran, kenapa ia begitu mempercayai Juan Gomez," kata Mr. Hitchcock. "Padahal orang itu kan jelas-jelas bajingan. Apa sebabnya Manolos membiarkan Gomez tahu bahwa bukti-bukti itu disembunyikan di balik cerminnya itu?"
"Tentang itu, kita takkan mungkin bisa mengetahuinya dengan pasti," kata Jupiter. "Gomez tetap membisu. Mungkin Manolos berhasil menjinakkan Gomez dengan janji bahwa rahasia itu kapan-kapan akan diwariskan padanya. Bisa juga Gomez selama itu cuma menduga-duga saja, bahwa cermin itulah sumber kekuasaan Manolos. Mungkin Gomez membantu Manolos mengambil mikrofilm itu setiap tahun, walau saya yakin ia takkan mungkin diizinkan melihat apa yang dilakukan sesudah itu."
"Repot sekali, padahal hanya menyangkut sebuah mikrofilm saja," kata sutradara itu. "Ia kan bisa menyembunyikannya di mana saja."
"Manolos itu ternyata hebat daya fantasinya," kata Jupiter Jones. "Perbuatannya mengandung semacam keindahan - walau keindahan yang tidak patut ditiru. Mulanya cermin itu dipergunakannya untuk menyebabkan seorang gadis pelayan yang malang di Madrid mau melakukan kejahatan. Kejahatan itu kemudian disalahgunakan oleh Manolos untuk melancarkan tuduhan palsu terhadap Garcia. Dan bukti yang memberatkan kedudukan Garcia kemudian disembunyikannya di belakang cermin itu juga."
"Memang indah," kata Mr. Hitchcock. "Lalu apa kata polisi tentang segala urusan ini?"
"Mereka beranggapan, Gomez itu orang sinting," kata Pete, "dan bisa dipastikan bahwa tidak ada yang akan membantah anggapan itu. Biar saja ia dikira gila!" Mr. Hitchcock mengangguk.
"Dan aku yakin, polisi akan membiarkan Gomez terkurung selama waktu yang tidak bisa dibilang sebentar. Tapi coba katakan, bagaimana caranya sampai Gomez bisa tahu di hotel mana Santora menginap? Dan kenapa Santora bisa muncul tepat pada waktunya di gudang yang di San Pedro itu?"
"Senor Santora dan Gomez, keduanya sama-sama saling membuntuti," kata Jupe menjawab. "Keduanya sama-sama khawatir, jangan-jangan lawan berhasil lebih dulu memperoleh cermin itu. Menurut dugaan kami, Gomez bisa tahu bahwa Santora datang, karena ia terus mengamat-amati rumah Mrs. Darnley. Mungkin ia melihat Santora datang ke sana, lalu setelah itu membuntutinya sampai ke hotel. Ia tahu bahwa Santora pasti akan berusaha merintangi niatnya. Karena itu ia mendului, dan menyerang Santora.
"Sedang Santora mengetahui di mana Gomez tinggal dengan cara yang tidak sempat kami lakukan. Ia menyewa mobil lalu berkeliaran di kawasan Silverlake, sampai berhasil mengetahui tempat tinggal sepupu Gomez di situ. Dari situ ia membuntuti Gomez. Dengan cara itu ia jadi tahu tentang rumah kosong di tanah yang dulunya perkebunan di lembah San Fernando. Tapi ia tidak tahu, apa sebabnya orang yang dibuntutinya itu menaruh minat pada rumah itu. Pada hari ia diperbolehkan meninggalkan rumah sakit, ia berhasil menemukan Gomez di rumah tua itu. Tapi ia tidak menduga bahwa Jeff ada di dalam. Santora hanya melihat mobil Gomez yang diparkir di depan, dan yang kemudian dibuntutinya sampai di San Pedro."
"Senor Santora bernasib mujur, karena bisa saja Gomez membunuhnya," kata Mr. Hitchcock. "Tapi bagaimana dengan tukang sulap itu? Bagaimana dengan Baldini? Aku rasa-rasanya pernah mendengar nama itu."
Jupiter Jones terkekeh pelan.
"Santora tahu siapa Baldini, karena pernah melihatnya mengadakan pertunjukan di Ruffino. Baldini itu banyak kemahirannya, antara lain bisa meloloskan diri, entah dengan cara bagaimana. Kata Santora, ia pernah melihat Baldini diborgol dan dilibat dengan rantai yang kemudian dikunci dengan beberapa gembok. Tapi dalam tiga detik saja ia sudah bebas kembali. Semua kunci berhasil dibuka olehnya dalam waktu sesingkat itu. Santora merasa yakin, Baldini pasti sanggup memasuki rumah Mrs. Darnley yang begitu kokoh pengamanannya.
"Santora menemukan Baldini dengan cara yang gampang sekali. Diteleponnya agen-agen yang menjadi perantara pertunjukan untuk kelab-kelab malam, sampai akhirnya ia menemukan agen yang mewakili kepentingan Baldini. Mulanya ia berniat menyuruh Baldini menyelinap keluar-masuk rumah itu, untuk pura-pura menjadi hantu cermin di situ. Tapi Baldini ternyata kenal dengan Drakestar. Ia juga tahu tentang pintu rahasia di dinding ruang perpustakaan, serta bilik tersembunyi yang ada di bawahnya. Baldini masuk ke rumah Mrs. Darnley, lalu tinggal di situ selama masih diperlukan. Imbalan yang diberikan Santora padanya cukup besar jumlahnya, dan kecuali itu Santora juga mengatakan bahwa penyaruan itu hanya keisengan semata-mata, untuk mempermainkan Mrs. Darnley.
"Kasihan Baldini - ketika kami menemukan pintu rahasia di dinding itu lalu menuruni tangga yang ada di belakangnya, ia tidak mau tahu lagi apakah itu keisengan atau bukan. Ia langsung lari! Sesudah itu, ketika sudah berhasil meloloskan diri dari rumah Mrs. Darnley yang terkunci rapat, ia menarik kesimpulan bahwa ia terlibat dalam urusan yang rupanya terlalu berat baginya. Ia cepat-cepat pindah dari tempat pemondokannya, lalu menyembunyikan diri. Ia tidak mau lagi berurusan dengan kami, begitu pula dengan Santora.
"Tapi kini Mrs. Darnley sudah memaafkannya. Ia memasang iklan pemberitahuan di majalah Variety dan di Hollywood Reporter, agar Baldini tahu bahwa urusan itu sudah beres. Tukang sulap itu akan ikut hadir pula dalam perjamuan makan yang diadakan Mrs. Darnley. Ia akan datang dengan jubah Drakestar, untuk memperagakan pertunjukan Drakestar yang gemilang. Ia akan menghilang - lewat pintu rahasia itu."
"Pintu itu mestinya sangat kokoh buatannya," kata Mr. Hitchcock. "Ingin juga aku melihatnya."
"Anda akan bisa melihatnya, jika menghadiri undangan itu," kata Pete menjanjikan.
"Asyik, ah," kata Alfred Hitchcock. "Dan kurasa Henry Anderson, pemuda tukang roti yang hebat itu, kan tidak sampai mengalami kesulitan dengan majikannya, ya?"
"Sama sekali tidak! Segala petugas polisi yang mengepung gudang di San Pedro waktu itu rupanya kemudian merasa lapar. Mereka memborong semua roti dan kue-kue yang dibawanya. Tentu saja majikannya sangat senang ketika ia kembali dengan mobil yang sudah kosong." Pete tertawa nyengir, lalu meneruskan, "Tapi kini Henry menganggap pekerjaan sebagai tukang roti itu terlalu membosankan, karena tidak ada serunya! Ia sekarang ingin menjadi detektif swasta! Mrs. Darnley sudah berjanji untuk sejauh mungkin menolongnya ke arah itu."
"Hebat!" kata Mr. Hitchcock. "Dan kalian tadi benar, segala hal yang kalian berikan padaku akan tetap kurahasiakan. Jika kalian berniat akan menerbitkan kisah kasus ini sebagai buku, aku yakin kalian juga akan melakukan hal yang sama. Demi nama baik negara yang terlibat, kalian harus mengubah namanya."
"Itu sudah pasti," kata Jupiter Jones berjanji.
"Lalu jika aku hadir dalam perjamuan makan itu, apakah aku juga akan bisa melihat cermin berhantu yang diributkan dalam kasus ini?" tanya Mr. Hitchcock. Jupiter mengangguk.
"Tapi tidak lagi digantungkan di ruang perpustakaan," katanya. "Soalnya, Senora Santora akan datang dari Ruffino, sedang ia benci sekali pada cermin itu. Karenanya Mrs. Darnley lantas menyuruh agar cermin itu ditaruh saja di bilik yang tersembunyi di bawah lantai itu. Saya rasa Mrs. Darnley sekarang juga tidak suka lagi pada alat pengaca itu. Gara-gara cermin itu, nyaris saja ia kehilangan Jeff. Lagi pula..."
Jupiter Jones tidak melanjutkan kalimatnya. Pandangannya menerawang.
"Kau kan tidak berniat mengatakan, bahwa Mrs. Darnley merasa ngeri?" tanya Mr. Hitchcock.
"Bukan, bukan itu. Tapi Gomez kan mengatakan bahwa ia melihat sesuatu di dalamnya, dan... yah, kemudian orang itu ditimpa bencana, kan? Kini ia meringkuk di penjara, mungkin untuk waktu yang lama."
"Kalau kalian sendiri, bagaimana pendapat kalian mengenai cermin itu?" tanya Mr. Hitchcock.
Jupiter tersenyum.
"Menurut saya, cermin itu jeleknya luar biasa - dan jika saya pemiliknya, saya juga akan menyembunyikannya di kolong rumah!"
Tamat