Pendekar Mabuk 27 - Keris Setan Kobra(2)


  6
BOCAH yang sudah tidak mau menjadi penggembala kambing lagi itu, sekarang seakan menjadi pengamat dunia persilatan.
Sebab ia selalu mengikuti para tokoh sakti beraliran putih, terutama Suto Sinting. Tempo hari ia ingin ikut Ki Gendeng Sekarat ke Pulau Serindu, tetapi Ki Gendeng Sekarat keberatan. Ki Gendeng Sekarat hanya berjanji suatu saat akan datang lagi menemui Angon Luwak dan memberikan Ilmu mainannya.
Maka bocah itu pun menggelandang menyusuri jejak kepergian Suto Sinting. Terutama setelah ia sekian hari lamanya kebingungan mencari Suto tidak ada, kini ia sudah temukan pendekar kebanggaannya itu, maka diikutinya terus ke mana pun perginya Pendekar Mabuk tersebut. Walaupun pada awal keberangkatan Suto ke Jurang Lindu sudah berpesan agar Angon Luwak bermain dengan Logo dan tetap tinggal bersama Logo untuk suatu saat akan dihubungi lagi, tapi bocah itu nekat mengikuti arah kepergian Suto secara diam-diam.
Sebenarnya Pendekar Mabuk mengetahui gerak-gerik bocah yang mengikutinya itu, tapi Suto sengaja berpura- pura tidak mengetahui dan membiarkannya. Karena ia mengakui bahwa di dalam jiwa Angon Luwak telah bangkit semangat kependekaran yang sebenarnya perlu dibina sejak sekarang. Sayangnya Suto tidak punya
waktu, sehingga ia hanya bisa membiarkan jiwa kependekaran itu berkembang dalam diri Angon Luwak dengan cara mengikuti segala gerak dan langkahnya.
Tentu saja Angon Luwak ikut berhenti ketika langkah Suto Sinting pun tak dilanjutkan. Langkah Suto terhenti karena dari empat pohon muncul empat sosok yang saling berloncatan dengan gerak-gerak liar dan beringasnya. Angon Luwak cepat sembunyikan diri dan mengintai kejadian yang akan terjadi antara Pendekar Mabuk dengan keempat sosok berwajah angker itu.
Rupanya dari keempat sosok berwajah angker itu masih punya satu orang lagi yang bersembunyi dari balik pohon, kira-kira dua puluh langkah di depan Suto Sinting. Orang tersebut kini muncul dengan kalem, membawa tongkat berkepala bola besi berduri. Orang itu berusia sekitar lima puluh tahun, berambut panjang warna abu abu dengan jubahnya yang berwarna biru tua.
Suto picingkan mata untuk melihat jelas raut wajah orang berjenggot abu-abu itu. Agaknya ia tokoh yang dihormati oleh keempat orang yang tadi melompat dari pohon mirip bajing loncat itu. Wajahnya kurus, tapi jika ia melangkah tanah di sekitarnya terasa bergetar halus. Rumput-rumput yang tidak terpijak bergetaran, rumput yang terpijak menjadi layu seketika. Warna hijaunya berubah menjadi kekuning-kuningan, sedikit coklat. Jika bukan berilmu tinggi tak mungkin bekas tapak kakinya membuat rumput menjadi kuning layu.
Bocah kecil itu terbengong heran dan kagum melihat bekas tapak kaki orang berjubah biru itu. Tapi Suto
Sinting tetap tenang dan tidak merasa heran dengan hal itu. Ia bahkan sedikit tersenyum berkesan menganggap wajar hal hal seperti itu.
Ke empat orang yang masing-masing bersenjata golok lebar itu mengurung Suto lebih rapat lagi, tapi mereka memberi tempat bagi hadirnya si jubah biru.
Dan kehadiran si jubah biru hanya dipandangi Suto dengan kalem, tak ada rasa gentar atau takut sedikit pun. Bahkan ia sempat menenggak tuak dan meneguknya beberapa kali. Pada waktu ia menenggak tuak, seseorang ingin menyerangnya, memanfaatkan kesempatan itu sebagai peluang emas untuk merobohkan Pendekar Mabuk. Tetapi si jubah biru memberi isyarat dengan tangan, melarang anak buahnya menyerang Suto dalam keadaan sedang menenggak tuak.
"Gayamu mirip seperti apa yang diceritakan oleh mereka di kedai-kedai, Suto Sinting!" kata si jubah biru dengan suara serak.
"Maaf, boleh kutahu siapa kalian? Mengapa mengurungku begini?"
Tanpa senyum sedikit pun, si jubah biru menjawab,
"Buka matamu dan ingat baik-baik. Orang yang sedang bicara denganmu inilah yang berjuluk si Jejak Iblis, ketua Perguruan Pasir Tawu."
"Senang sekali aku mengenal nama julukan dan nama perguruan yang baru sekarang kudengar."
Jejak Iblis sipitkan mata dalam memandang. "Kupikir yang bernama Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak itu adalah orang pandai dan punya wawasan luas. Ternyata
pendapatku keliru. Pendekar Mabuk adalah orang yang pandangannya sempit dan pengetahuannya cekak. Sampai sampai Perguruan Pasir Tawu dan nama Jejak Iblis saja baru didengarnya sekarang. Kasihan sekali kau, Nak!"
Ejekan yang disertai geleng-geleng kepala itu sebenarnya membuat Suto Sinting tersinggung. Tetapi Suto mampu atasi dirinya agar tidak terpancing oleh kemarahannya sendiri. Sebab jika ia terpancing oleh kemarahannya, maka ia tidak akan dapat memusatkan kekuatannya pada seluruh indera yang ada. Sedangkan dalam keadaan terkepung begitu, seluruh indera harus bekerja dengan baik, sampai pada indera keenam pun harus digerakkan dengan baik-baik. Jika tidak, maka bahaya yang datang sewaktu-waktu bisa jadi merenggut nyawanya dalam waktu satu gebrakan saja.
"Apa maksudmu menemuiku dengan cara seperti ini. Jejak Iblis?"
"Tentu saja aku tak ingin kau lolos dari tanganku," jawabnya kalem.
Suto kerutkan dahi, terkesiap sesaat, lalu bertanya,
"Mengapa kau tak ingin aku lolos dari tanganmu? Apakah aku punya salah pada perguruanmu?"
"Tidak," jawab Jejak Iblis pelan tapi berkesan tegas. "Hanya saja, kami telah disewa seseorang untuk menangkapmu atau membunuhmu dan merebut keris pusaka milik mendiang Empu Sakya."
Mendengar penjelasan itu Pendekar Mabuk segera tahu apa maksud pembicaraan tersebut dan siapa orang
yang dimaksud.
"Nila Cendani yang menyewamu, bukan?"
"Syukur jika kau telah mengetahuinya. Tapi ada yang perlu kau ketahui lagi, bahwa Nila Cendani itu masih punya darah keturunan denganku, walaupun dalam urutan silsilah jauh. Ia sering membantu perguruanku, dan sekarang malahan menyewa perguruanku untuk tugas ini. Tentunya jika tidak disertai imbalan cukup besar aku tidak akan bersedia turun tangan sendiri, Suto Sinting."
"Berapa besar imbalanmu, sehingga kau mau memihak ratu yang sesat itu?"
"Separo harta karun yang dipendamnya di Teluk
Sumbing akan menjadi milikku."
"Harta karun?!" gumam Suto heran. "Apakah Nila
Cendani punya harta karun?!"
"Tak perlu banyak tanya," kata Jejak Iblis. "Serahkan saja keris itu sebelum aku bertindak kasar yang akan membuatmu menyesal, Suto Sinting."
"Aku tidak mempunyai keris apa-apa. Yang kupunya hanya bumbung tempat tuak ini," sambil Suto mengangkat bumbung tuaknya, sebagai siasat menjaga diri sewaktu-waktu.
Firasat Suto itu ternyata benar. Begitu dia menyatakan tidak mempunyai Keris Setan Kobra, tongkat si Jejak Iblis diacungkan ke depan sebagai isyarat. Maka dua anak buahnya yang ada di kanan kiri Suto segera lakukan lompatan kilat sambil menebaskan golok lebar mereka.
Wuuut, wuuut...! Trak, trak...!
Suto Sinting bergerak memutar. Gerakan memutar itu
ternyata merupakan jurus penangkis bagi serangan lawan dari kanan kiri. Gerakan dengan tubuh limbung bagaikan orang mabuk itu mampu membuat kedua golok lebar tertahan oleh bambu bumbung tuaknya secara hampir bersamaan.
Hantaman golok ke bumbung tuak mempunyai kekuatan balik yang cukup besar, membuat kedua tangan si penyerang tersentak ke belakang dan mereka terbawa sentakan itu hingga terjungkal ke belakang tak tentu arah.
Hub...! Suto Sinting kembali berdiri dengan satu kaki berjingkat, kaki yang satunya menempel di atas telakan kaki yang berjingkat. Tubuhnya melengkung ke depan dan oleng sedikit bagaikan orang dilanda hawa mabuk. Tapi sebenarnya Suto masih dalam keadaan sadar, tak mengalami mabuk sedikit pun. Gerakan itu membuat mata Jejak Iblis menyipit, bagai mencari kelemahan dan mempelajari kelengahan Pendekar Mabuk.
Dua orang yang terjungkal cepat berdiri. Kini orang yang ada di belakang Suto bergegas menyerang dengan lompatan yang bersamaan. Mereka lakukan semua itu tanpa suara pekik dan teriak apa pun. Jurus mereka punya gerakan kembar. Arahnya sama-sama ke punggung Suto. Tetapi jurus itu segera dipatahkan oleh kilatan cahaya putih yang melesat ke dua arah. Kilatan cahaya putih itu adalah pantulan sinar matahari pada
sebuah benda yang melayang dan tahu-tahu menancap ke punggung kedua penyerang itu.
Ziiing, ziing...! Jlub, jlub...!
Brrrruuuk...!
Keduanya jatuh bersama. Mereka terkapar mengejang di tanah berumput. Matanya terbeliak-beliak bagaikan mempertahankan nyawanya agar jangan pergi dari raga. Tentu saja hal itu mengejutkan dua anak buah Jejak Iblis yang tadi dijungkirbalikkan Suto. Sedangkan Jejak Iblis sendiri hanya picingkan mata menahan murka yang siap dilepaskan sewaktu-waktu. Rumput yang diinjaknya berasap tipis, pertanda terbakar oleh kekuatan tinggi yang tersalur ke kaki berkata menahan murka.
Suto Sinting memandangi dua orang yang masih berkelojotan itu. Ia tak melihat bentuk senjata rahasia yang menancap di tubuh kedua korban itu. Matanya segera menyapu sekeliling, mencari orang yang merobohkan anak buah Jejak Iblis. Tapi ia tidak melihat gerakan dan tempat yang mencurigakan.
Jejak Iblis berseru kepada kedua anak buahnya yang tadi dijungkirbalikkan Pendekar Mabuk, "Agaknya suasana kurang tepat untuk kalian! Bawa kedua temanmu itu, Pulang! Biar kuhadapi sendiri anak muda dan konco bancinya itu!"
Maka kedua anak buah Jejak Iblis segera menyambar tubuh kedua orang yang membiru tubuhnya itu. Mereka memanggulnya dan segera melesat berlari membawa pergi orang yang terluka itu. Kini tinggal Jejak Iblis sendirian menghadapi Suto Sinting, ia maju beberapa
langkah tanpa gentar dan tatap tenang. Suto Sinting pun juga tetap tenang dengan bumbung tuak ada di tangan kanan.
"Rupanya kau punya pengawal yang berjiwa pengecut, Suto!"
"Aku tidak punya pengawal siapa-siapa. Kalau toh ada orang yang menyerang pihakmu, mungkin karena kau punya urusan sendiri dengan orang itu!" kata Suto Sinting dengan tetap berdiri tegak, gagah, dan tampak jantan.
"Kita bertarung secara jantan! Jika kau kalah kau harus serahkan keris pusaka itu. Jika kau menang, aku akan serahkan nyawaku! Setuju''
"Tidak!" sahut Suto cepat. "Karena aku tidak mempunyai keris pusaka. Jadi aku tidak punya sesuatu yang harus dipertaruhkan. Kusarankan, jangan mau kehilangan untuk hal yang sia-sia, Jejak Iblis!"
"Aku harus memaksamu! Bersiaplah untuk jurus awalku ini, Suto!"
Zliing...! Senjata rahasia melesat lagi dengan cepat sebelum Jejak Iblis bergerak. Dengan cepat Jejak Iblis sentakkan tangan pemegang tongkat dan bola berduri di ujung tongkat itu berputar cepat menghadang senjata rahasia tersebut!
Logam kecil itu mental karena putaran bola berduri. Logam kecil itu melesat ke arah Suto Sinting. Agaknya memang diarahkan ke sana oleh gerakan jurus memutar tongkat oleh Jejak Iblis. Tapi dengan tangkas Pendekar Mabuk menahan gerakan benda itu menggunakan
bumbung tuaknya. Jraaab...! Benda itu menancap di bambu bumbung tuak. Ternyata benda itu berbentuk segi tiga kecil.
"Rindu Malam...?!" gumam hati Suto mengenali jenis senjata rahasia itu.
Dugaannya tepat sekali. Memang Rindu Malam ada di sekitar tempat itu. Jejak Iblis memaksanya keluar dari persembunyiannya yang sudah diketahui oleh Jejak Iblis lewat datangnya senjata rahasia tersebut. Tangan kiri si Jejak Iblis menyentak ke arah kerimbunan di balik pohon-pohon pendek. Sinar merah seperti meteor melesat dan menghantam pohon-pohon pendek itu.
Duaaar...! Blegaaar...! Gemanya menggaung kemana- mana.
Rindu Malam lebih dulu melompat keluar dari persembunyiannya sebelum sinar merah itu meledakkan pohon-pohon pendek. Gerakan saltonya di udara sangat cepat, menyerupai baling-baling yang tertiup angin kencang. Tahu-tahu gadis berambut pendek seperti potongan lelaki itu sudah berdiri di samping Suto Sinting dalam jarak tiga langkah. Kakinya sedikit merenggang, badannya tegak, wajahnya tampak tegas memandang Jejak Iblis. Matanya yang indah itu berkesan lembut dan kalem namun punya kharisma tersendiri.
"Menyingkirlah, biar kutangani orang ini," bisik Rindu Malam dengan suara pelan yang mampu didengar oleh telinga Jejak Iblis. Maka tokoh tua itu segera berkata kepada gadis cantik itu,
"Jangan paksakan dirimu berkorban untuk pria seperti
dia, Nona. Suto Sinting hanya bagus di wajah tapi buruk di hatinya. Terbukti dia sudah tega membunuh orang yang selama ini dikenal baik oleh para tokoh persilatan!" "Kurasa Suto hanya punya wajah bagus, tapi hati buruknya adalah milikmu, Pak Tua!" jawab Rindu Malam sambil maju dua langkah. "Apa pedulimu jika aku berdiri di pihaknya? Apakah kau akan takut
menghadapiku?!"
"Jejak Iblis orang yang tak pernah punya rasa takut kepada siapa pun!"
"Bagus kalau begitu! Jika kau memang ingin bertarung melawan Suto, akulah wakilnya dan mari kita tentukan siapa yang unggul di antara kita!"
Suto hanya membatin, "Konyol juga gadis ini. Apa dia tak bisa menilai kehebatan ilmu Jejak Iblis melalui rumput yang layu dan menguning jika habis dipijaknya? Apakah getaran tanah yang timbul karena langkah kaki Jejak Iblis tak membuatnya memperhitungkan tantangannya? Benar-benar gila gadis ini. Untuk apa sebenarnya dia mau korbankan diri membelaku?"
Setelah saling pandang beberapa saat antara Rindu Malam dengan Jejak Iblis, kini giliran wajah Suto Sinting yang terperanjat kaget melihat mata Jejak Iblis mulai keluarkan darah, seperti lelehan air mata. Sedangkan bola mata Rindu Malam masih kelihatan tajam dan hanya mengalami perubahan tipis, yaitu sedikit merah di bagian tepiannya.
"Rupanya mereka adu kekuatan tenaga dalam lewat pandangan mata?!" pikir Suto Sinting. "Dan, sepertinya
Rindu Malam punya kekuatan lebih tinggi dari Jejak Iblis. Buktinya Jejak Iblis menjadi berdarah sedangkan Rindu Malam tidak mengalami hal seperti itu. Oh, hebat sekali gadis ini sebenarnya?!"
Darah yang mengalir dari kedua rongga mata Jejak Iblis semakin banyak. Tangan Rindu Malam menggenggam tidak terlalu kuat, tetapi tangan Jejak iblis menggenggam kuat. Bahkan sebagian kukunya ada yang menembus masuk ke besi tongkatnya, pertanda ia bertahan mati-matian agar tak tumbang melawan gadis muda yang ternyata berilmu tinggi itu.
Tiba-tiba Jejak Iblis melesat begaikan kapas terhempas angin. Tubuh Rindu Malam pun ikut menyambut serangan lawan. Wuuut...! Sedangkan Suto melompat mundur memberikan tempat lebih leluasa bagi keduanya.
Jejak Iblis menghantamkan bola berduri di ujung tongkat itu. Wuuung...! Tapi tangan Rindu Malam menyambar pedang di punggungnya dengan sangat cepat. Tahu-tahu pedang itu sudah ditebaskan menyambut gerakan bola berduri. Traang! Traak...! Buk...!
Tongkat itu patah seketika. Bola berduri jatuh di tanah. Sedangkan pedang Rindu Malam masih tetap utuh tanpa rusak sedikit pun. Tubuhnya segera berputar cepat di udara setelah melakukan jurus tebas pedang jitunya itu, dan kakinya berhasil berkelebat menendang wajah Jejak Iblis. Plook...!
Wajah orang berjenggot pendek abu-abu itu terlempar
ke samping, membuat keseimbangan tubuhnya limbung. Akhirnya ia jatuh pada saat menapakkan kakinya ke tanah. Saat wajahnya terlempar karena tendangan cepat Rindu Malam tadi, Suto melihat ada percikan merah yang keluar dari mulutnya, itulah darah yang ditimbulkan dari tendangan bertenaga dalam tinggi.
"Edan! Cepat sekali gerakannya. Sulit kupatahkan?!" pikir Jejak Iblis dengan napas mulai terengah-engah. Sementara itu, Rindu Malam masih berdiri dengan tegak dan sigap, pedangnya tergenggam di tangan kanan dengan kokoh.
Jejak Iblis berdiri lagi. Tongkatnya dibuang karena merasa tak berfungsi. Getaran tanah yang ditimbulkan akibat jatuhnya dirinya tadi mulai reda dan diam seperti sediakala.
"Sebuah gerakan yang amat terlatih," kata Suto dalam hati memperhatikan cara Rindu Malam memasukkan pedang dengan cepatnya itu.
Kini Rindu Malam mulai pasang kuda-kuda karena lawannya telah membuka jurus baru tanpa senjata. Tiba- tiba tubuh Jejak Iblis melayang bagaikan seekor garuda ingin mematuk jantung lawannya. Rindu Malam pun sentakkan kaki dan ternyata mampu melesat naik lebih tinggi dari kepala Jejak Iblis. Ia bersalto satu kali sambil kakinya menjejak ke bawah. Duuuhg...! Kepala Jejak Iblis dijadikan sasaran kakinya. Suaranya terdengar jelas, menimbulkan kesan jejakan kaki Rindu Malam itu cukup telak mengenai sasaran.
Bruuuk...! Jejak Iblis jatuh dengan satu lutut
menyentuh tanah. Hidungnya mengeluarkan darah kental akibat tendangan tersebut, ia segera bangkit dan berbalik badan menghadapi Rindu Malam yang sudah berdiri dengan tegak dalam jarak tujuh langkah darinya itu.
Rupanya tendangan kaki Rindu Malam berkekuatan tenaga dalam sangat tinggi, sehingga saat ini tubuh Jejak Iblis mengepulkan asap putih dari pori-pori. Warna kulit membiru tampak ada di bagian dahi, lalu warna memar itu berjalan turun sampai ke dagu, leher, dada, dan akhirnya sampai ke bagian bawah lainnya dalam keadaan memar membiru semua.
Jejak Iblis mulai gemetaran. "Titik urat sarafku dilumpuhkan! Siapa perempuan muda itu yang mampu menyerang titik urat sarafku? Kalau tak segera kuobati, pasti jantungku akan berhenti dalam waktu dekat ini!" Setelah berpikir begitu. Jejak Iblis pun akhirnya berkata, "Kau hebat, Nona! Tapi suatu saat aku akan datang untuk membalas kekalahan ini."
Selesai bicara begitu, tubuh Jejak Iblis melesat kembali bagaikan sebatang panah dilepaskan dari busurnya. Sebenarnya Suto ingin mengejar, tapi Rindu Malam berseru,
"Biar aku saja yang mengejarnya!" Claap...! Tubuh
Rindu Malam pun berkelebat pergi dengan sangat cepat.
Kejap berikutnya terdengar suara Angon Luwak berseru,
"Auuh...! Tolooong...! Kang Suto, tolooong...!" "Angon Luwak!" seru Suto dengan cepat, lalu ia
berkelebat pergi ke arah tempat datangnya suara Angon
Luwak. Samar-samar terdengar suara derap kaki kuda yang menjauh. Tapi suara Angon Luwak pun semakin menjauh.
"Kaaang...! Kang Sutooo...! Tolong, Kaaang...!"
Tanpa disengaja seorang penunggang kuda berpakaian hitam-hitam menggamit kedua tangan Angon Luwak, sehingga bocah itu tidak bisa menggenggam apa-apa. Sementara itu, Suto yang mengejarnya melalui pohon ke pohon mengetahui Raden Udaya dan Malaikat Beku berlari menunggang kuda di depan orang berpakaian hitam tersebut. Suto Sinting segera lompat turun dan menerjang penunggang kuda berpakaian hitam. Wuuusss...! Bruuuss...!
Tahu-tahu tubuh Angon Luwak sudah di atas pundak Pendekar Mabuk. Sedangkan orang berpakaian hitam itu tumbang, jatuh dari atas kuda dan memekik keras.
"Aaaa...hhgg...!"
Rupanya ia jatuh tepat di atas tonggak kayu runcing. Pinggangnya terhunjam tonggak kayu runcing itu. Jreeb...! Ia mengerang kesakitan, sementara Suto membawa Angon Luwak lari lebih cepat dan lebih jauh lagi. Raden Udaya dan Malaikat Beku memandang peristiwa itu dari kejauhan dengan jengkel sekali.
"Biar kukejar dia!" kata Malaikat Beku tak sabar
menahan kemarahannya.
*
* *
7
ORANG berjubah kuning dengan pakaian hijau bagian dalamnya itu berdiri dengan tegak dan gagah, padahal usianya sudah mencapai sembilan puluh tahun lebih. Rambutnya putih meriap-riap dipermainkan angin yang berhembus ke tanah Jurang Lindu itu. Orang itu tak lain adalah Ki Sabawana, yang lebih dikenal dengan nama si Gila Tuak, guru dari Pendekar Mabuk; Suto Sinting.
Sementara itu, perempuan cantik yang tampak masih muda padahal sudah berusia tujuh puluh tahun lewat itu, berdiri di samping si Gila Tuak dengan kaki sedikit renggang dan kedua tangan ke belakang. Rambut perempuan cantik itu terurai, warnanya hitam mengkilap halus. Pakaiannya merah, jubahnya ungu muda. Ia berdada montok, bentuk tubuhnya masih saja menggiurkan setiap lelaki hidung belang. Perempuan cantik itu tak lain adalah Bidadari Jalang, juga gurunya Suto Sinting yang oleh Suto disebutnya Bibi Guru.
Mereka berdua berhadapan dengan beberapa orang, antara lain seorang lelaki berjubah biru dengan pakaian dalam abu-abu, rambut putihnya panjang lewat punggung, tubuhnya kurus dan jangkung. Salah satu matanya buta sebelah kiri. Ia adalah tokoh tua berusia delapan puluh tahun, namanya Ki Darma Paksi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Titisan Ilmu Setan").
Di samping Darma Paksi adalah lelaki berpakaian abu-abu juga dengan jenggot panjangnya yang putih
berusia tujuh puluh tahun lebih, berkumis pendek dan badannya juga kurus, ia adalah Ki Argapura yang dikenal dengan julukan si Penggal Jagat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Ladang Pertarungan").
Di belakang Ki Argapura berdiri tegak seorang lelaki berpakaian serba putih, kurus, bungkuk, rambut putih tipis, mata sipit, jenggot panjang, kumis putih melengkung ke bawah, menggenggam pipa tembakau. Dia dikenal di rimba persilatan dengan nama Tabib Awan Putih, yang berusia delapan puluh tahun. Sedangkan di sampingnya berdiri pula lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun, bercelana biru dan jubah abu-abu, rambut botak tengah warna putih, berbadan gemuk, ia lelaki yang sejak tadi mengunyah makanan dari kantung kulit di pinggangnya, ia adalah Ki Madang Wengi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Mustika Serat Iblis")
Di samping kanan Ki Madang Wengi, di bawah pohon berdaun lebat, berdiri pula seorang lelaki, tokoh tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Bajunya juga serba putih model biksu, rambutnya putih digelung tengah, jenggotnya panjang, badannya kurus. Dia adalah Ki Jangkar Langit, pemilik pusaka Tombak Maut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka Tombak Maut").
Sedangkan orang yang sejak tadi duduk di atas batu dengan mata cekungnya menatap Bidadari Jalang, bertubuh kurus dan berkulit hitam dengan rambutnya
berwarna putih itu tak lain adalah Ki Sonokeling, yang bisa merubah wujudnya menjadi seekor macan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Malaikat Jubah Angker").
Tak jauh dari Ki Sonokeling berdiri seorang wanita cantik berpakaian ungu ketat dilapis jubah ungu yang warnanya lebih tua lagi. Perempuan berusia tua sekali tapi masih kelihatan seperti gadis berusia dua puluh lima tahun itu tak lain adalah Pelangi Sutera atau Sumbaruni, Ibu dari anak jin: Logo. Wanita inilah yang sebenarnya sedang disusul oleh Suto Sinting. Wanita inilah yang dikhawatirkan hendak menantang adu kekuatan ilmu dengan Dyah Sariningrum karena ia mencintai Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Tanpa Tapak"), ia juga bersebelahan dengan Ki Lumakaono yang berjuluk Pawang Gempa dan Ki Parandito yang berjuluk Juru Bungkam.
Jurang Lindu itu juga dihadiri oleh seorang tokoh kawakan yang masih tampak cantik dan muda, rambutnya disanggul, sesuai wajahnya yang bulat telur. Wanita ini mempunyai nama asli yang tidak boleh disebutkan, karena dapat mendatangkan badai besar jika nama aslinya itu disebutkan siapa saja. Ia adalah maha guru di Kuil Elang Putih berjuluk Embun Salju, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Rahasia Pedang Emas").
Masih banyak lagi tokoh tua beraliran putih yang hadir di antara mereka, sehingga hari itu Jurang Lindu penuh dengan tokoh tua aliran pulih yang masing-
masing punya pemikiran yang sama, yaitu menuntut Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Kedua tokoh itu dituntut atas tindakan murid mereka; Suto Sinting, yang dikabarkan membunuh Ki Empu Sakya, seorang tokoh tua yang tak pernah mau menyakiti siapa pun sejak ia menjadi seorang empu. Perbuatan baik semasa hidup sang empu membuat mereka merasa tidak rela atas perlakuan yang menyebabkan kematian sang empu.
"Aku berani bertaruh nyawa, bahwa Suto tidak mungkin melakukan tindakan seperti itu!" tegas Bidadari Jalang, bekas tokoh hitam yang sekarang sudah berubah aliran menjadi tokoh putih dan mengasingkan diri di Lembah Badai.
"Saksi mata mengatakan Suto-lah pelakunya," kata Ki Madang Wengi. "Aku menjadi kecewa sekali mendengar muridmu bertindak sekejam itu kepada orang seperti Empu Sakya itu, Gila Tuak!"
"Saksi mata hanya menyebutkan ciri-ciri orang yang membunuh Empu Sakya. Di dunia ini ada banyak orang yang punya ciri-ciri sama, apalagi ciri-ciri penampilan. Wajah yang hampir serupa pun banyak dijumpai di permukaan bumi ini, padahal mereka bukan saudara sedarah kandung," sanggah Gila Tuak.
"Kalau sekiranya kalian berdua sudah tak mampu mengajar murid kalian, serahkan saja padaku untuk menanganinya! Suto Sinting harus kalian jatuhi hukuman supaya tidak melakukan tindakan seperti itu lagi!" kata Jangkar Langit dengan tegasnya.
"Jangkar Langit benar," sahut si Penggal Jagat, Ki
Argapura. "Aku menyesal mengajarkan ilmu pedangku kepada Suto Sinting jika ternyata jiwanya tak sebersih ilmu-ilmu yang dimilikinya! Kusarankan untuk melepaskan gelar pendekarnya sebagai hukuman atas tindakan itu, Gila Tuak!"
"Ya, ya, ya....," celoteh mereka seperti gaung lebah. Kemudian Tabib Awan Putih pun berkata,
"Mencabut kependekarannya adalah tindakan yang lebih bijaksana! Aku setuju!"
"Aku juga setuju sekali untuk mencabut gelar pendekar pada diri muridmu itu, Gila Tuak dan Bidadari Jalang!" timpal Ki Sonokeling.
"Aku tidak setuju!" sentak gadis cantik yang tak lain adalah Sumbaruni, bekas istri jin itu.
Semua mata memandang Sumbaruni. Semua mulut menjadi berhenti berucap. Sumbaruni atau Pelangi Sutera melangkah pelan mendekati Gila Tuak, tetapi pandangan matanya tertuju kepada mereka, ia tampak tegas dan berwibawa di depan para tokoh tua itu, sebab mereka tahu Sumbaruni punya ilmu dari tokoh sakti yang lebih tua dari mereka, yaitu Eyang Bayudana. Nama Bayudana adalah nama sejajar dengan Purbapati dan Nini Galih, gurunya Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Tentu saja Sumbaruni lebih berwibawa dari mereka. Kedudukannya sejajar dengan Gila Tuak dan Bidadari Jalang, Embun Salju, dan seorang tokoh lain yang kehadirannya di situ diwakili oleh utusannya bernama Kelana Cinta.
"Gelar kependekaran Suto Sinting tidak layak dicabut
sebelum kalian bisa buktikan secara nyata bahwa dia bersalah!" tegas Sumbaruni.
"Tapi saksi mata yang...."
"Saksi mata itu telah mati!" sahut Sumbaruni cepat dan keras, membuat Ki Darma Paksi tak jadi lanjutkan kata.
"Aku yakin Suto tidak bersalah!" tambah Sumbaruni setelah semua diam selama satu helaan napas. "Siapa di antara kalian yang mau bangkitkan jenazah Empu Sakya dan tanyakan langsung siapa pelakunya?! Siapa yang mau?!"
Tak ada suara lagi yang terdengar. Ki Madang Wengi hanya mengunyah makanannya tanpa mau berikan jawaban apa pun. Ki Sonokeling pandangi Ki Argapura yang hanya diam termenung memandang tanah di depannya.
"Kalian tak bisa mengecam Gila Tuak dan Bidadari Jalang seenaknya sendiri! Kalian juga harus mampu buktikan secara nyata, bukan secara kabar burung bahwa Suto Sinting memang bersalah. Kalau kalian mau berolah pikir," kata Sumbaruni si Pelangi Sutera itu, "... coba kalian renungkan, mengapa saksi mata itu mati? Dan kematiannya itu menurut para penduduk desa Kukusan, tetangga-tetangga Ki Empu Sakya, adalah disebabkan karena ada seseorang yang membunuhnya. Mbok Wiji dilenyapkan, itu pertanda seseorang tak mau rahasianya terbongkar jika Mbok Wiji terlalu banyak bicara tentang kesaksiannya. Cukup dengan kesaksian tentang tabung bambu tempat tuak saja yang diharapkan
oleh seseorang, selebihnya ia tak ingin Mbok Wiji bicara misalnya tentang wajahnya, rambut si pembunuh, warna bajunya atau yang lainnya! Jelas ini adalah fitnah yang bermaksud untuk menjatuhkan nama harum Pendekar Mabuk dan suatu tujuan untuk menjatuhkan nama harum para gurunya!"
Gila Tuak segera berkata kepada Embun Salju, "Embun Salju, kau tentunya dapat melihat kejadian sebelum Empu Sakya terbunuh melalui ketajaman Indera keenammu yang dinamakan Ilmu 'Jalur Gaib'. Coba kau gunakan ilmu itu untuk mengetahui kebenaran peristiwa itu."
Embun Salju tarik napas dengan tetap bersikap tenang, "Ilmu 'Jalur Gaib' sepertinya ada yang menutup, sehingga sudah kucoba berulang kali untuk melihat kejadian sebelum Empu Sakya terbunuh, tapi selalu gagal."
"Itu berarti orang yang membunuh Empu Sakya punya Ilmu 'Perisai Sukma'!" sahut Sumbaruni dengan cepat dan keras.
"Benar pendapatmu, Sumbaruni," kata Embun Salju. "Setahuku orang yang punya ilmu 'Perisai Sukma' adalah Empu Sakya sendiri."
"Yang lain?"
Embun Salju angkat pundak dan bentangkan tangan pertanda tidak tahu jawabannya. Lalu, terjadilah masa bungkam beberapa saat. Mereka saling berpikir dan berkecamuk sendiri-sendiri.
Tiba-tiba Bidadari Jalang, memecah kesunyian di
antara mereka dengan ucapan yang jelas didengar oleh semua pihak.
"Seingatku, Tabib Awan Putih mempunyai ilmu
'Perisai sukma'.'
Tabib Awan Putih sedikit menggeragap. "Hmm... eeh... iya, benar."
Pusat pandangan tertuju pada Tabib Awan Putih.
Semakin gugup tabib tua dari Tiongkok itu dipandangi oleh mereka.
"Tapi... tapi aku tidak menutup 'Jalur Gaib'-mu, Embun Salju!"
"Ya, aku merasakan bukan tenagamu yang menutup
'Jalur Gaib'-ku ini. Tapi tenaga orang lain yang sulit kukenali, karena mirip tenaga Empu Sakya sendiri."
Gila Tuak segera berkata, "Suto, muridku, tidak mempunyai Ilmu 'Perisai Sukma'. Dia tidak mempunyai ilmu itu karena aku tidak memilikinya."
"Jadi, pembunuh Empu Sakya adalah orang yang punya ilmu 'Perisai Sukma'," simpul Sumbaruni. "Menurut Embun Salju, ilmu "Perisai Sukma' itu bukan dari kekuatan Tabib Awan Putih. Jika begitu, dari siapa ilmu itu datangnya? Jika kita bisa kenali pemilik 'Perisai Sukma' yang bukan dari Tabib Awan Putih, maka kita akan dapatkan titik terang tentang siapa pembunuh Empu Sakya sebenarnya! Tapi aku tidak setuju dengan pendapat kalian yang memojokkan Suto, sebab Suto Sinting tidak mempunyai ilmu 'Perisai Sukma'."
Pertemuan para tokoh tingkat tinggi itu cukup seru. Menegangkan juga. Jika tidak ada sumbang saran dan
pemikiran dari Sumbaruni, jelas Gila Tuak dan Bidadari Jalang akan terdesak oleh tuntutan mereka. Tidak menutup kemungkinan akan hadirnya pertikaian di antara gurunya Suto dengan para tokoh tingkat tinggi itu.
Seorang wanita muda berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, masih cantik dan berambut cepak seperti potongan lelaki, tapi mengenakan rantai emas berbatu merah delima di tengahnya, segera unjuk bicara. Tokoh ini mewakili seseorang. Dan ia dikenal oleh beberapa orang dengan nama Kelana Cinta. Ki Jangkar Langit mengenal Kelana Cinta sebagai gadis pengelana, Madang Wengi mengenal Kelana Cinta sebagai gadis pengembara yang tidak pernah terlibat persoalan memalukan. Sedangkan Embun Salju mengenal Kelana Cinta sebagai wanita yang melakukan tapa berkeliling dan berbicara tentang cinta, namun sikap dan perilakunya bukan binal atau jalang. Melainkan justru selalu menjaga harga diri dan martabat kaum wanita.
Kelana Cinta berkata, "Aku kenal seseorang yang punya ilmu itu, tapi aku tak bisa sebutkan. Aku akan temui dia dan menanyakan kebenarannya. Orang itu selain mempunyai ilmu 'Perisai Sukma' ia juga mempunyai ilmu 'Jalur Gaib'."
Embun Salju terkejut, karena merasa kesaktiannya diungguli oleh orang yang diceritakan oleh Kelana Cinta. Ia penasaran, dan segera bertanya dengan sifat sedikit mendesak.
"Siapa orang itu? Katakan saja sekarang juga. Aku ingin menemuinya juga untuk perkara lain. Katakan saja,
Kelana Cinta."
Gadis berpakaian merah jambu segar dengan pedang di punggung itu hanya tersenyum ramah. "Maaf, aku tak bisa, karena ini memang sumpahku. Tapi aku berjanji akan secepatnya membawa kabar kepadamu, Embun Salju. Yang jelas, orang yang kukenal itu tidak mungkin orang yang membunuh Empu Sakya. Sebab ia pun berteman baik dengan Empu Sakya."
Kita tinggalkan dulu persidangan di Jurang Lindu itu. Ada sesuatu yang menarik untuk disimak, karena punya hubungan dengan soal cinta, tapi tidak ada kaitannya dengan Kelana Cinta.
Dengan susah payah, Mega Dewi memang bermaksud mencari Jurang Lindu. Ia ingin bertemu dengan Gila Tuak dan mengadukan kekejaman Suto menurut anggapannya. Tetapi di perjalanan ternyata ia dicegat oleh seorang pemuda tampan yang cukup dikenalnya. Pemuda itu mengenakan pakaian bagus, bercorak bangsawan, berambut rapi, dan bersenjata pedang dengan sarung emasnya. Pemuda itu tak lain adalah Raden Udaya. Ia sendirian, karena memang ia ingin bertemu empat mata dengan Mega Dewi untuk utarakan persoalan cintanya.
"Sudah beberapa kali kukatakan, Raden... aku tidak bersedia menerima cintamu!" tegas Mega Dewi dengan wajah tak ada senyum sedikit pun.
Tetapi Raden Udaya masih bersikap sabar dan tidak tersinggung, ia mendekat lagi dan berkata dengan suaranya yang dibuat semesra mungkin.
"Mega Dewi, apakah kau melihat aku lakukan suatu kesalahan yang menyakitkan hatimu, sehingga aku tak layak menjadi pendamping mu?"
"Tidak. Kau sangat baik padaku, Raden Udaya. Selama ini kita bersahabat tanpa ada pertengkaran apa pun. Tapi hanya sebatas bersahabat saja."
"Apakah persahabatan yang manis tak layak berlanjut ke jenjang perkawinan, Mega Dewi?"
"Tidak semua persahabatan harus berakhir di perkawinan. Ada yang menjadi langgeng dan sama-sama terkubur di dalam tanah, namun tetap bersahabat di alam sana. Kumohon kau tidak menjadi pemuda yang picik dan mengartikan sebuah persahabatan sebagai alasan untuk jatuh cinta, Raden."
Pemuda yang sebenarnya tampan juga itu segera tarik napas dalam-dalam. Kini ia merasakan perih di tepian hatinya. Wajah tampannya tertunduk murung. Mega Dewi kasihan, tapi tak mau memberi hati kepada pemuda itu, takut disalahartikan lagi.
"Mega Dewi," kata Raden Udaya pelan sekali. "Tahukah kau, bahwa kau telah sangat mengecewakan hatiku yang amat sayang kepadamu ini?"
"Aku tahu, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku memang tidak mencintaimu. Haruskah aku berdusta untuk sebuah cinta palsu? Banggakah dirimu jika mendapat cinta palsu?"
"Memang tidak. Tapi siang malam yang terbayang dalam benakku hanya dirimu, Mega Dewi. Siang malam yang ada di hatiku hanyalah senyummu, tawamu, dan
candamu. Sayang sekali sejak kau mengenal Pendekar Mabuk itu kau tidak punya tawa dan canda padaku seperti dulu. Mungkinkah kau telah perbandingkan diriku dengannya dan menganggapnya lebih unggul dariku?"
"Udaya!" ketus Mega Dewi mulai tersinggung hatinya "Hubungan kita tak ada sangkut pautnya dengan Pendekar Mabuk! Kau sangka aku jatuh cinta padanya? Kau sangka aku mudah tergiur dengan ketampanannya?" "Jika tidak, mengapa kau menjauhiku, Mega Dewi?!" "Karena ayahmu itu, sang Adipati, adalah orang yang pernah melukai ibuku. Melukai hati Ibu semasa Ibu masih seusiaku. Untung Ibu bertemu dengan ayahku, dan menjadi terobati luka hatinya. Ketahuilah, Udaya... sang Adipati pernah mempermainkan cinta ibuku, sehingga Ibu hampir-hampir menjadi gila karena kekejian cintanya. Dan sekarang aku membalaskan sakit hati almarhumah ibuku itu melalui dirimu, yaitu putra
sang Adipati!"
Raden Udaya tertegun bengong. Matanya memandang tak berkedip. Untuk beberapa saat lamanya mereka saling pandang, sehingga akhirnya Raden Udaya pun berkata dengan nada menggeram jengkel.
"Kalau begitu kau memang punya niat jahat padaku tanpa kusadari sebelumnya!"
"Kalau kau anggap begitu, aku tak keberatan. Sekarang apa maumu?"
"Tak ada kemauan lain kecuali hanya ingin mengisap madumu!" jawab Raden Udaya, kemudian segera
menyergap memeluk Mega Dewi dan menciuminya dengan kasar. Tentu saja Mega Dewi berontak dengan sengit, ia sadar dirinya akan diperkosa oleh pemuda itu. Maka ia tak tanggung-tanggung menghantamkan telapak tangannya ke dada pemuda tersebut. Duuuhg...! Craaas...!
Raden Udaya terpental jauh. Dadanya hangus karena pukulan bertenaga panas cukup tinggi itu. Untung ia kenakan baju pelapis dari baja, sehingga kulit dadanya tidak mengalami hangus berat, tapi pakaian bagusnya menjadi terbakar sebatas lebar pukulan telapak tangan Mega Dewi.
Malaikat Beku muncul dan segera melompat dari punggung kuda. Cambuknya disambar dan hendak dilecutkan ke tubuh Mega Dewi. Tetapi Mega Dewi segera larikan diri, tak mau layani persoalan itu. Sedangkan Raden Udaya berseru melarang Malaikat Beku yang ingin mengejar Mega Dewi dengan cambuknya.
"Biarkan dia! Suatu saat akan kubuat bertekuk lutut di hadapanku!"
"Kita sudah gagal mengejar Suto dan bocah itu, aku jadi muak sendiri! Aku ingin melampiaskan murkaku kepada gadis itu, Raden!"
"Jangan! Dia masih bisa berguna bagi hidupku kelak!" kata Raden Udaya, dan sebagai orang sewaannya, Malaikat Beku tak berani membantah larangan itu. Walau hatinya dongkol karena gagal mengejar Suto dan Angon Luwak, namun agaknya ia
harus menelan kedongkolan itu dengan sangat terpaksa.
Suto Sinting memang berhasil selamatkan Angon Luwak dari penculikan anak buah Raden Udaya yang bernama Kromosudo itu. Kegagalan menculik Angon Luwak membuat Kromosudo dihajar habis oleh cambuk Malaikat Beku. Bahkan sekarang disuruh Raden Udaya untuk pulang ke kadipaten dan mengurus kuda-kuda piaraan yang ada di istal kadipaten. Padahal semula Kromosudo adalah prajurit pengawal kepercayaan Raden Udaya. Sejak Raden Udaya memperoleh pengawal pribadi yang berilmu tinggi yakni Malaikat Beku, tenaga dan kepandaian Kromosudo terbuang begitu saja, karena memang tidak sebanding dengan kesaktian Malaikat Beku. Walaupun Kromosudo sakit hati, namun ia tak bisa berbuat apa-apa.
Raden Udaya maupun Malaikat Beku tidak tahu bahwa Suto membawa Angon Luwak ke gua tempat mereka bertemu Ki Gendeng Sekarat yang membawa Raja Maut dalam keadaan luka parah itu. Di gua itu, Suto Sinting memarahi Angon Luwak yang tak mau pulang ke rumah dan tetap mengikuti Suto.
"Kalau kau menguntitku terus, kau akan mati sia-sia karena bisa dijadikan umpan bagi musuh-musuhku. Kau akan dijadikan pelampiasan kemarahan mereka. Sedangkan kau tidak punya ilmu setinggi mereka. Lebih baik kau tinggal di rumahmu, atau kau bermain dengan Logo, nanti toh aku akan ke gua di pantai Semberani itu."
"Aku mengikutimu karena ada sesuatu yang ingin
kukatakan kepadamu, Kang," kata bocah berambut lurus itu.
"Apa yang ingin kau katakan padaku?" Suto berkerut
dahi.
"Kau dicari orang banyak karena dituduh membunuh
Ki Empu Sakya."
"Aku tahu! Aku sudah mendengar berita itu."
"Kau dituduh merampas pusaka milik Ki Empu Sakya, yaitu Keris Setan Kobra, Kang! Mereka banyak yang berkeinginan untuk merebut keris itu darimu!"
"Itu pun aku sudah tahu, Angon Luwak!"
"Tapi aku yakin keris itu tidak ada di tanganmu, Kang. Karena aku tahu di mana tempat persembunyian keris itu. Apakah kau juga sudah tahu, Kang?"
Pertanyaan bernada mengejek itu membuat Suto Sinting berwajah tegang karena sedikit terperangah. Pendekar Mabuk bahkan sempat cemas, lalu memandang ke sana-sini, takut percakapan itu didengar orang.
"Apa benar kau tahu tempat penyimpanan keris itu?!" Angon Luwak yang lugu itu mengangguk. "Ketika kudengar kabar orang mencarimu dan menganggap keris itu ada di tanganmu, aku menengok tempat penyimpanan keris itu. Ternyata masih ada di tempat. Lalu kubiarkan di tempatnya dan aku ingin mencari cara untuk meyakinkan mereka, bahwa kau tidak mempunyai keris itu. Tapi aku sudah lebih dulu dikejar-kejar oleh dua
orang kadipaten."
Suto sedikit bimbang. "Jangan-jangan kau
membohongiku?" "Tidak, Kang."
"Bagaimana kau bisa mengetahui tempat
penyimpanan keris itu?" suara Suto semakin lirih.
"Ki Empu Sakya pernah bercerita padaku tentang pohon yang punya kesaktian besar. Namanya pohon Kenari Raja. Pohonnya besar, daunnya rindang, batangnya ditumbuhi duri runcing-runcing. Menurut cerita Ki Empu Sakya, pohon itu menyimpan kekuatan sakti yang sampai sekarang tak diketahui orang. Letak kekuatan sakti ada di dalam batang pohon itu. Suatu saat kutemukan pohon itu tak berapa jauh dari hutan di belakang rumahnya. Aku heran dan ingin tahu kekuatan apa yang ada di dalam pohon itu. Ternyata pohon itu berongga dan di sisi luarnya mempunyai pintu bikinan manusia. Waktu kubuka, ternyata berisi keris. Aku takut, dan kututup lagi. Tapi aku yakin, itulah keris pusaka Setan Kobra. Karena kulihat sepintas saja, gagangnya seperti kepala ular kobra!"
Suto Sinting menjadi berdebar-debar. "Benarkah
cerita bocah ini?" pikirnya.
*
* *

8
POHON Kenari Raja salah satu jenis pohon langka pada masa itu hingga masa sekarang. Di seluruh hutan Tanah Jawa hanya ada beberapa batang pohon Kenari
Raja yang tumbuh mendekati kaki bukit. Bahkan namanya pun tak banyak yang tahu. Pohon itu memang besar, mirip pohon beringin. Daunnya lebat, cabang- cabangnya kekar, batang pohon ditumbuhi duri-duri runcing. Keistimewaan pohon itu terletak di bagian tengah batang yang berongga menyerupai cerobong asap. Sekalipun begitu kayu pohon Kenari Raja sangat keras, melebihi kerasnya kayu pohon jati.
Pendekar Mabuk ingin membuktikan kata-kata bocah penggembala itu. Sang bocah sendiri ingin menunjukkan kebenaran omongannya. Maka mereka pun pergi ke hutan yang letaknya searah bagian belakang rumah Ki Empu Sakya. Suto Sinting sempat berkata dalam hatinya, "Hutan ini sepertinya hutan yang pernah dilewati pada waktu kami berurusan dengan Iblis Naga Pamungkas? Hmmm... ya, ya. Aku ingat betul. Bahkan di bawah pohon inilah aku bertarung melawan Wiratmoko, si Iblis Naga Pamungkas itu, sebelum Ki Empu Sakya ingin melawannya." (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Naga Pamungkas").
"Benarkah ini pohon yang kau maksud, Angon
Luwak?"
"Benar, Kang. Ki Empu Sakya membuat pintu di batang pohon itu dengan memotong sebagian batangnya. Potongannya tidak dibuang, tapi ditutupkan kembali dan dikunci memakai pantek besi. Itu pantek besinya. Coba kau geser sedikit pantek besinya, pasti sebagian batang yang terpotong bisa kau lepas."
Bocah berusia sepuluh tahun mengenakan baju tanpa
lengan warna abu-abu dengan celana hitamnya sebatas betis, ternyata bukan bocah pendusta. Apa pun yang dikatakannya memang benar. Suto menggeser pantek besi menyerupai paku, dan kulit pohon seakan terkelupas dalam ukuran besar. Ternyata itulah pintu ynng dimaksud Angon Luwak sebagai penutup rongga batang pohon.
Suto Sinting berhasil melepas potongan batang yang dikatakan 'pintu' itu, dan ternyata di dalam batang pohon tersebut terdapat sebilah keris bergagang kepala seekor ular kobra yang mengembangkan cuping di kanan kirinya. Warna gagang berbentuk kepala ular itu hitam keling, mengkilat. Suto Sinting terperanjat sejenak, lalu dengan hati-hati mengambil keris tersebut setelah lebih dulu memberi sikap hormat agar tak kualat.
Jantung Pendekar Mabuk berdetak-detak keras ketika memegang keris yang menjadi bahan rebutan dan incaran orang banyak itu. Hatinya berdebar-debar, perasaan senang dan bangga tersirat lewat senyuman di wajahnya.
Sarung keris terbuat dari ukiran logam emas. Panjangnya dua jengkal lebih sedikit, tapi tak sampai tiga jengkal. Ketika Suto Sinting melolos keris itu dari sarungnya, tampaknya cahaya merah api yang memercik-mercik di sekeliling mata keris. Keris itu berkelok-kelok dan membentuk badan ular kobra hingga ekor. Bagian ekornya itulah yang runcing dan tajam, warna hitam perunggu.
Angon Luwak memandang dengan mulut
melompong. Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam senyum kebanggaannya. Andai kata saat itu ia mau bayangkan wajah seseorang lalu menusukkan keris itu ke batang pohon apa saja, maka orang yang dibayangkan itu akan mati pada saat keris ditusukkan ke pohon. Tetapi Suto tidak ingin mengotori bayangan otaknya. Suto hanya merasa perlu menyelamatkan keris tersebut dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, seperti Nila Cendani, si Ratu Tanpa Tapak itu.
"Pantas kalau keris ini menjadi bahan rebutan dan incaran orang banyak. Percikan sinar merah ini menunjukkan kesaktian yang selalu ada di dalam keris ini, Angon Luwak."
"Kalau memiliki keris ini bisa jadi pendekar ampuh, Kang?"
"Memang. Tapi kalau jiwanya tak kuat, ia bisa
menjadi orang paling jahat. Sebab dengan membayangkan wajah seseorang, keris ini bisa untuk membunuh orang tersebut dari jarak sejauh apa pun."
"Ck, ck, ck, ck..., sakti sekali keris ini, ya Kang? Mengapa Ki Empu Sakya tidak mau menggunakannya? Dia bisa menjadi pendekar tanpa tanding, Kang."
"Ki Empu Sakya bukan orang jahat. Beliau tidak ingin melukai siapa pun, tidak mau memusuhi siapa pun, karena ingin mencapai kesempurnaan hidup," kata Suto sambil memasukkan keris tersebut ke sarungnya. Kini keris yang sudah berada dalam sarungnya digenggam erat, masih dipandangi beberapa saat.
"Kau ingin memegangnya?" tanya Suto kepada
Angon Luwak.
Bocah itu menggeleng. "Tidak, Kang. Nanti kalau aku tak sadar malah keris itu remuk dalam genggaman tanganku," katanya, karena Angon Luwak tahu ia mempunyai ilmu 'Genggam Buana' pemberian Ki Gendeng Sekarat yang bisa meremukkan apa saja yang digenggamnya kuat-kuat.
Suto Sinting tersenyum geli mendengar jawaban polos bocah itu. Tapi senyum itu hilang seketika karena kemunculan seseorang yang melompat dari balik semak belukar di seberang sana. Rupanya perjalanan Suto dan Angon Luwak ada yang menguntitnya sejak tadi. Orang tersebut tak lain adalah Jejak Iblis, yang tubuhnya telah terluka bagai tercabik-cabik binatang buas. Pakaiannya rusak mirip gelandangan. Separo wajahnya memar membiru lantaran dihajar habis-habisan oleh Rindu Malam yang ketika itu mengejar pelariannya. Rupanya Jejak Iblis masih belum jera dan tetap mengincar keris pusaka tersebut.
"Wah, Kang... dia datang lagi, Kang," kata Angon
Luwak dengan cemas.
"Tenanglah. Cari tempat yang aman buat persembunyianmu. Aku akan menghadapi orang itu, Angon Luwak," bisik Suto Sinting dengan mata tetap memandang Jejak Iblis yang kehadirannya tadi membuat tanah bergetar. Kini ia melangkah mendekati Suto. Langkahnya itu membuat tanah bergetar dan daun berguncang.
"Akhirnya kupergoki juga kebusukanmu, Suto
Sinting. Kau benar-benar memiliki keris itu," kata Jejak
Iblis dengan nada datar dan dingin.
"Aku baru sekarang memegang keris ini dan menemukannya di sini!" kata Suto.
"Bagus. Jika begitu, serahkanlah padaku sebelum kesabaranku hilang."
Orang ini benar-benar ngotot, menurut pikiran Suto.
Sudah babak belur masih saja mengejar dan menginginkan keris tersebuL Suto sangat prihatin dengan watak Jejak Iblis yang tak pernah bisa menghargai nyawanya itu.
"Keris ini tidak akan kuserahkan ke tangan orang- orang seperti mu, Jejak Iblis. Apa pun yang akan kau perbuat terhadapku, aku akan melayanimu!"
Jejak Iblis mulai menggeram. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat. Tapi pada saat itu pula melesatlah sebuah bayangan yang menerjangnya dari samping.
Bruss...!
Jejak Iblis kaget bukan kepalang. Ia terlempar tujuh langkah dari tempatnya berdiri. Bayangan yang menerjangnya itu ternyata seorang gadis cantik berpakaian putih yang tak lain adalah Rindu Malam.
"Dia lagi...?' gumam Suto dalam hatinya.
Rindu Malam menatap Suto sebentar, ia berkata, "Selamatkan keris itu, akan kutumbangkan orang ini!"
Luka-luka Jejak Iblis semakin parah, tapi orang itu tak ada kapoknya, ia bangkit dan mengambil sikap siap menghadapi pertarungan dengan gadis cantik itu.
Sementara itu Suto Sinting yang ingin segera pergi terpaksa batalkan niatnya karena dari sisi lain muncul tiga orang brewok yang mempunyai wajah kembar. Semuanya berambut botak bagian depan, tapi brewoknya lebat. Wajahnya angker dan matanya garang. Badan mereka besar, kekar, senjata mereka sama-sama tombak bermata pedang. Di bawah ujung tombak itu terdapat ronce-ronce benang merah.
"Agaknya aku harus menghadapi mereka," pikir Suto sambil menyelipkan Keris Setan Kobra ke pinggangnya.
Sementara itu, Suto Sinting sempat melihat gerakan Rindu Malam yang bersalto cepat sekali di udara menyerang tubuh Jejak Iblis yang sedang melompat menyerangnya pula.
Dalam sekejap Suto melihat Rindu Malam dan Jejak Iblis beradu telapak tangan di udara. Plak...! Blaaar...! Ledakan dahsyat terdengar mengguncangkan tempat itu. Cahaya api merah berpendar bersamaan bunyi ledakan tadi.
Jleeg...! Rindu Malam mendaratkan kakinya ke tanah dengan sigap, tanpa luka apa pun. Sementara itu, Jejak Iblis kehilangan dua tangannya. Terpotong tepat di pergelangan tangan. Wajahnya yang tadi tampak biru separo bagian, kini menjadi hitam hangus, tinggal kelopak matanya yang tampak merah. Rambutnya pun mengepulkan asap dan akhirnya rontok semua. Lelaki itu masih berdiri dengan sedikit limbung dan gemetaran.
"Jurus apa yang digunakan Rindu Malam itu? Dahsyat sekali?" pikir Suto.
Agaknya kali ini Jejak Iblis mengakui kekalahannya. Ia sudah kehilangan tenaga cukup banyak, ia sudah merasakan dirinya amat lemah dan parah. Suto yakin kali ini Jejak Iblis tak sanggup lagi melawan Rindu Malam karena sudah kehilangan kedua tangannya. Keyakinan Suto itu menemui kebenarannya. Karena kejap berikutnya Jejak Iblis segera larikan diri dalam keadaan tak mampu melompat secepat dulu. Ia berlari terhuyung-huyung sambil meninggalkan ancaman bagi Rindu Malam.
"Aku akan menuntut balas kekalahan ini! Ingat!" Rindu Malam tidak mengejarnya, hanya
menghempaskan napas lega. Tapi ia segera berbalik arah, karena ia tahu ada tiga orang brewok yang sedang berhadapan dengan Suto Sinting. Gadis itu melenting ke atas dan bersalto dua kali, lalu mendarat tepat di samping Suto Sinting. Jleeg...! Tegap dan kokoh sekali berdirinya. Matanya yang indah menatap tajam pada tiga orang brewok itu.
"Ilmumu cukup hebat, Nona Cantik," ujar brewok berbaju merah. "Tapi ilmu itu hanya bisa untuk mengalahkan si Jejak Iblis. Jangan harap kau bisa mengalahkan Tiga Jagal dari Utara."
Rindu Malam tersenyum sinia. "Apa maksud kalian datang kemari?"
Brewok berbaju hitam menjawab, "Untuk apa lagi kami datang kalau bukan untuk keris pusaka itu? Kami telah menyadap pembicaraan Pendekar Mabuk dengan bocah kumal itu, dan kami sengaja biarkan mereka
menemukan keris itu lebih dulu. Buat kami lebih mudah merebut keris itu daripada menemukan tempat penyimpanannya! Hea, ha, ha, ha, ha...I"
Brewok baju hijau juga tertawa dan berkata, "Jangan kalian khawatirkan kami. Kami tidak akan seganas dugaan kalian jika berhasil merebut keris itu. Kami sudah cukup sakti tanpa keris itu. Kami hanya ingin menjualnya kepada seseorang, dan menukarnya dengan separo harta karun yang dipendam di daerah Teluk Sumbing itu! He, he, he, he...!"
"Nila Cendani yang kau maksud?!" seru Suto.
"Benar, Pendekar Tampan! Rupanya kau telah mengetahui si cantik bertangan besi itu," jawab brewok berbaju hitam.
Rindu Malam berbisik, "Mundurlah, biar kuhadapi mereka!"
"Mereka agaknya berilmu tinggi dan ganas-ganas! Biar aku saja yang menghadapinya."
"Jangan buang-buang tenagamu," kata Rindu Malam kepada Suto. "Aku mampu kalahkan mereka dalam satu gebrakan."
"Jangan sombong, Rindu Malam."
"Aku bicara karena aku punya bukti! Mundurlah dulu ke bawah pohon. Jadilah penonton yang baik, Suto."
Suto Sinting akhirnya angkat pundak pertanda
terserah apa maunya si gadis cantik itu. Pendekar Mabuk menepi ke bawah pohon Kenari Raja. Di sana ia meneguk tuaknya. Santai sekali sikapnya dalam suasana seperti itu.
"Kalahkan aku jika kau ingin menghadapi Suto
Sinting, Pendekar Mabuk itu!" kata Rindu Malam.
"Hei, Nona... tidakkah kau sayang dengan kecantikan dan kehangatan tubuhmu itu, hah? Daripada kau bertarung melawan kami, lebih baik menjadi istri kami bertiga, kau akan mendapatkan kepuasan sepanjang hidupmu."
"Iya, benar! He, he, he...!" brewok berbaju hijau menimpali dengan tawanya yang memuakkan Rindu Malam.
Sreet...! Rindu Malam cabut pedangnya dari punggung. Tiga Jagal dari Utara segera persiapkan diri menghadapi lawannya dengan berjajar masing-masing sejarak dua langkah. Mereka mulai memainkan jurus kembar tiga. Mengibaskan tombak pedangnya ke beberapa arah, lalu sama-sama berhenti bergerak dalam keadaan tombak diarahkan ke depan dengan kaki merendah.
"Serang!" teriak brewok berbaju merah. Lalu ketiganya menyatuhkan ujung tombak. Traak...! Mata tombak berbentuk pedang putih itu saling menempel. Dari perpaduan pedang itu melesat sinar biru sebesar gagang tombak itu.
Slaaap...!
Rindu Malam rendahkan kaki, pedangnya berdiri di depan dengan ujungnya ditahan memakai telapak tangan kiri. Selarik sinar biru besar itu menghantam pertengahan pedang Rindu Malam. Traang...! Seperti tombak menancap pada dinding cadas, sinar biru itu
ditahan oleh Rindu Malam. Pedangnya menjadi menyala biru terang. Tiga Jagal dari Utara kerahan tenaga dalam lebih kuat lagi agar sinar birunya bisa mematahkan pedang Rindu Malam dan mengenai dada gadis itu. Tetapi sampai tubuh mereka gemetaran, keringat mereka mengucur, sinar biru itu tetap tidak mampu mematahkan pedang Rindu Malam.
Tiba-tiba tangan kiri Rindu Malam yang menempel di balik ujung pedang disentakkan bagaikan memukul pedang sendiri dengan pangkal telapak tangan.
Dees...!
Tiba-tiba sinar biru itu berubah menjadi ungu dan putus dari larikannya. Sinar ungu bagaikan membalik ke senjata Tiga Jagal dari Utara dan meledakkan senjata mereka di sana.
Blaaar...! Traaaang...!
Tombak mereka hancur berkeping-keping, gagangnya terpotong-potong menyebar ke sana-sini. Tiga Jagal dari Utara saling terpental terbang ke belakang. Mereka jatuh terbanting dengan kerasnya. Bruuuk...!
Rindu Malam merubah posisi kuda-kudanya dengan sedikit tegak dari semula. Pedangnya dimainkan ke kanan, kiri, depan, dan belakang. Lalu gerakan pedang yang menimbulkan suara dengung segera berhenti dalam keadaan terangkat di atas kepala bagian samping kanan. Tangan kiri Rindu Malam terjulur ke depan sedikit ditekuk dalam keadaan menggenggam kuat-kuat.
"Jurus apa lagi yang digunakan si manis ini?" pikir
Suto masih tetap tidak mau ikut campur pertarungan itu. Sebab ia merasa bahwa Rindu Malam ingin unjuk kebolehan ilmu di depannya. Dan Suto tak mau mengecewakan gadis itu dengan ikut campur dalam pertarungan satu melawan tiga itu. Ia hanya akan berbuat jika Rindu Malam terdesak dalam bahaya.
Tiga Jagal dari Utara masih bisa bangkit walaupun masing-masing dada mereka telah kepulkan asap. Suto tahu, mereka luka di bagian dalam akibat ledakan sinar ungu tadi. Tetapi agaknya mereka semakin murka dan penasaran untuk membalas sarangan Rindu Malam.
Kini ketiganya sama-sama melompat maju melakukan serangan dengan jurus yang sama. Telapak tangan mereka yang digunakan menjadi andalan sebagai ganti senjata, karena telapak tangan mereka kini menyala biru terang. Suto menyimpan kecemasan, karena ia tahu tiga brewok itu kini menggunakan pukulan maut yang tentunya punya kekuatan dahsyat.
"Heaaat...!" mereka berteriak keras bersama-sama. Rindu Malam berguling di tanah bagaikan bola.
Menggelinding dengan cepat dan tahu-tahu sudah berdiri
tepat pada saat tiga brewok mendaratkan kaki mereka di tempat Rindu Malam berdiri tadi. Jrreg...!
Pada saat itulah Rindu Malam yang beradu punggung dengan tiga lawannya segera berbalik cepat, pedangnya ditebaskan menyamping. Craaas...!
"Ahhhg...!"
Tiga Jagal dari Utara sama-sama memekik tertahan. Pedang Rindu Malam berhasil melukai mereka dalam
satu sabetan cepat. Bekas luka sabetan pedang itu menyala, mengeluarkan lidah api yang membakar luka tersebut. Tak heran jika Tiga Jagal dari Utara saling berkelojotan meraung-raung di tanah, berguling-guling dirajang rasa sakit yang luar biasa. Api yang menyala akibat tebasan pedang itu sukar dipadamkan walaupun sudah dipakai berguling-guling. Bahkan api itu semakin lama semakin berkobar membakar separo tubuh mereka bagian bawah. Teriakan histeris memilukan hati.
Suto Sinting tak tega. Ia segera meneguk tuak, menyimpannya di mulut, lalu melakukan satu lompatan panjang sambil menyemburkan tuak dari mulutnya. Wuuurrsss...!
Api itu padam, tapi tubuh mereka telah hangus dan berasap. Mereka masih hidup, sedang merasakan sakit yang tiada taranya. Bagian perut ke bawah dalam keadaan luka bakar yang amat parah. Mereka tak mampu berdiri lagi.
Rindu Malam terperanjat melihat tindakan Suto Sinting yang memadamkan api dengan semburan tuaknya tadi. Dalam gumamannya yang didengar Suto, Rindu Malam berkata dengan nada kecewa.
"Baru sekarang ada orang yang mampu memadamkan api pedangku. Jurus 'Pedang Lahar' selama ini tak pernah ada yang mampu mengalahkannya. Sekali orang itu terbakar, akan selamanya terbakar. Tapi sekarang ternyata ada orang yang mampu memadamkan api pedangku itu. Luar biasa!"
"Aku kasihan. Terlalu menyiksa jika membiarkan
mereka terbakar dan akhirnya mati. Kalau memang kau ingin bunuh mereka, bunuhlah dengan cepat, jangan membiarkan mereka tersiksa lama baru menemui ajalnya," kata Suto Sinting.
"Aku tak berani lakukan jika kau tidak menghendaki demikian," kata Rindu Malam.
"Sebenarnya aku bisa memulihkan luka bakar itu, tapi
biarlah luka itu sebagai pelajaran bagi mereka agar tidak berpihak kepada yang jahat dan tidak rakus dengan harta harapannya."
Rindu Malam mengangguk-angguk. Seakan ia tak berani menentang keputusan Pendekar Mabuk. Matanya memandang Suto dalam kebeningan yang meneduhkan.
"Apa rencanamu sekarang?"
"Menyerahkan keris ini kepada guruku, entah mau diapakan," jawab Suto.
"Bolehkah aku ikut?"
Suto diam sesaat mempertimbangkan. Setelah itu ia berkata, "Baiklah...." Baru sampai di situ kata-kata Suto, tiba-tiba ia mendengar suara pekikan Angon Luwak di persembunyiannya. Suto cepat palingkan wajah memandang ke arah suara pekikan Angon Luwak yang sepintas itu. Firasatnya mengatakan, bahwa anak itu dalam bahaya.
Ternyata sekelebat bayangan terlihat membawa lari Angon Luwak. Rindu Malam dan Suto sama-sama tercengang. Pendekar Mabuk bergegas mengejar bayangan yang membawa lari Angon Luwak. Tapi tangan Rindu Malam menahan.
"Biar kukejar dia dan kubebaskan anak itu. Kau pergilah ke tempat gurumu, kita akan bertemu di Pantat Semberani!"
Suto menghempaskan napas, lalu anggukkan kepala. Slaaap...! Rindu Malam tak banyak bicara, segera lari kejar bayangan yang menculik Angon Luwak. Gerakan larinya sangat cepat, menyamai gerakan Pendekar Mabuk yang juga berlari menuju Jurang Lindu.
Zlaaap...!
Pertemuan para tokoh tingkat tinggi masih terjadi di Jurang Lindu. Mereka bukan lagi memperdebatkan kesalahan Suto Sinting, melainkan menyingkap tabir rahasia mengenai siapa orang yang telah membunuh Ki Empu Sakya itu. Jangkar Langit mempunyai pendapat,
"Empu Sakya pasti dibunuh pada saat sedang tidur. Sebab kelemahannya memang dalam keadaan tidur."
Ki Madang Wengi menyahut, "Benar. Setahuku Empu Sakya punya kelemahan pada saat tidur. Di saat itulah seluruh kesaktian dan kekuatannya pergi dan ia menjadi orang yang kosong ilmu. Karenanya Empu Sakya termasuk manusia yang jarang tidur."
"Siapa saja yang tahu kelemahan Empu Sakya?" tanya Bidadari Jalang.
"Kurasa tidak banyak," jawab Ki Argapura. "Hanya sahabat dekatnya, seperti kita-kita ini yang mengetahuinya."
"Mungkinkah satu di antara kita ini yang telah membunuh Empu Sakya?" kata Ki Sonokeling sambil memandangi mereka satu persatu. Mereka pun menjadi
saling pandang bernada curiga.
Pada saat itulah, Pendekar Mabuk muncul di antara mereka. Kehadirannya membuat semua mata tertuju kepada Pendekar Mabuk. Mata mereka pun tertuju pada Keris Setan Kobra yang terselip di ikat pinggang Suto yang berwarna merah itu. Pendekar Mabuk tak pedulikan pandangan mereka, tapi ia segera tundukkan kepala memberi hormat kepada sang Guru, juga menghormat kepada para tokoh tua lainnya.
"Aku melihat senjata terselip di pinggangmu, Muridku," tegur Gila Tuak.
"Apakah itu Keris Setan Kobra?" tanya Bidadari
Jalang memancing kejujuran.
"Benar, Bibi Guru. Saya menemukan keris ini di penyimpanannya dan segera membawa kemari untuk diselamatkan dari tangan para angkara murka."
Suto Sinting mengambil keris itu, lalu dengan kedua tangan diserahkan kepada Gila Tuak. Ia dalam keadaan merendah, satu lututnya menempel tanah. Gila Tuak menerima keris itu dengan bingung dan punya rasa tak enak kepada para tokoh lainnya.
''Bagaimana keris ini bisa jatuh ke tanganmu, Muridku?"
Maka, Suto Sinting pun menceritakan perjalanan menemukan keris bersama bocah desa yang menjadi tetangga Ki Empu Sakya itu. Semua yang hadir di situ mendengar cerita Suto tanpa ada yang memotong dengan pertanyaan apa pun.
"Banyak orang yang menghadang saya, memaksa
saya menyerahkan keris itu sebelum saya mendapatkannya. Pada umumnya mereka adalah orang- orang yang disewa oleh Nila Cendani, si Ratu Tanpa Tapak yang sangat bernafsu untuk mendapatkan keris itu guna membalas kekalahannya dalam pertarungan dengan saya."
Ki Parandito segera menyahut, "Ya, aku dengar sendiri saat ia lari meninggalkan ancaman dan menyebut-nyebut niatnya untuk membalasmu setelah mendapatkan Keris Setan Kobra. Tapi apakah mungkin Nila Cendani yang membunuh Empu Sakya?"
"Mungkin saja!" jawab Ki Darma Paksi.
Embun Salju segera berkata, "Tapi Nila Cendani tidak mempunyai ilmu 'Perisai Sukma'. Dari mana ia menutup ilmu 'Jalur Gaib'-ku selama ini?"
Semua saling bungkam dan saling pandang. Gila Tuak segera membuka kebungkaman dengan mengajukan tanya,
"Mau kita apakan keris ini?"
Ki Madang Wengi menjawab, "Lenyapkan saja supaya tidak jadi bahan rebutan. Salah-salah bisa jatuh ke tangan orang-orang seperti Nila Cendani dan kehidupan di bumi bisa dirusaknya dengan Keris Setan Kobra itu."
"Aku setuju. Lenyapkan saja keris itu," kata Ki
Argapura.
"Baiklah," ujar Gila Tuak. Ia meletakkan keris itu diatas sebuah batu. "Suto, lenyapkan dengan tuakmu!" perintah Gila Tuak.
Maka, Suto pun segera melaksanakan perintah tersebut, ia menenggak tuak, tapi tidak ditelan semuanya. Sebagian disimpan di mulut, lalu tuak di mulut disemburkan ke keris tersebut.
Wuuurrsss...!
Jurus 'Sembur Siluman' digunakan oleh Suto Sinting. Keris itu lenyap, seperti halnya benda lain jika disembur tuak dengan jurus 'Sembur Siluman' akan hilang seketika itu juga. Tetapi sebenarnya sewaktu-waktu Suto bisa memunculkan keris itu lagi dengan menggunakan ilmu
'Jelma Siluman' dengan kekuatan pandangan matanya.
Lenyapnya keris itu membuat mereka menghela napas lega. Tetapi tiba-tiba terdengar langkah kaki berlari-lari menuju tempat mereka. Suara meratap pun terdengar makin mendekat.
"Kang Sutooo...! Kaaang...!"
"Angon Luwak!" teriak Suto dengan kaget sekali, sebab Angon Luwak dalam keadaan terluka parah. Suto Sinting menyongsongnya, lalu mengangkat bocah itu yang terkulai lemas sebelum sampai di antara para tokoh tua. Suto Sinting segera membawa Angon Luwak ke depan gurunya. Yang lainnya ikut memandangi bocah itu dengan iba hati.
"Agaknya ia terkena pukulan tenaga dalam yang tidak semestinya dilepaskan untuk bocah sekecil dirinya," ujar Ki Argapura, entah bicara kepada siapa.
Pendekar Mabuk segera berusaha meminumkan tuaknya ke mulut Angon Luwak. Setelah ia menunggu kesembuhan Angon Luwak dengan menceritakan
tentang Raden Udaya yang waktu itu ditemuinya sedang mengejar-ngejar Angon Luwak. Suto Sinting juga menceritakan keadaan Tiga Jagal dari Utara yang dikalahkan oleh seorang gadis pengagumnya, tapi Suto tidak sebutkan nama gadis itu. Karena menurut Suto, nama Rindu Malam tidaklah terlalu penting bagi mereka. Yang terpenting adalah sikap gadis itu sebagai pengagumnya yang mau korbankan nyawa demi membela dirinya dan ikut menyelamatkan Keris Setan Kobra itu.
"Jangan-jangan dia jatuh cinta padamu?" kata
Sumbaruni bernada cemburu.
Embun Salju tersenyum tipis, Bidadari Jalang juga tersenyum, Nyai Punding Sunyi pun tersenyum. Malahan Ki Madang Wengi pun berkata,
"Ingat, Sumbaruni... usiamu sudah di atasku. Jangan main cemburu begitu."
Sumbaruni tersinggung dan bicara dengan lantang, "Apa pedulimu kalau aku jatuh cinta pada pemuda seperti Suto, Madang Wengi?! Toh keadaan diriku masih tetap muda dan membutuhkan pasangan yang seimbang."
Beberapa tokoh tua terkekeh geli. Tapi mereka tidak lanjutkan kata-kata, sebab Angon Luwak mulai sadar dan bocah itu agaknya sudah mulai bisa diajak bicara. Luka-lukanya memang belum sembuh keseluruhan, tapi sudah lebih baik daripada semula.
"Apa yang terjadi padamu, Angon Luwak?' tanya
Suto di depan mereka.
"Orang kadipaten itu... mau membunuhku, Kang," jawab Angon Luwak. "Tapi Rindu Malam datang selamatkan aku, dan menyuruhku lari mencarimu ke arah timur, lalu... kulihat dirimu ada di sini."
"Sekarang di mana Rindu Malam?"
"Sedang... sedang bertarung melawan pengawalnya orang kadipaten itu."
Suto mengerti maksudnya. Orang kadipaten yang dimaksud pasti Raden Udaya. Pengawalnya adalah Malaikat Beku. Tapi ada sesuatu yang ingin diketahui oleh Suto melihat Raden Udaya tampak bernafsu sekali untuk membunuh Angon Luwak.
"Sebenarnya, persoalan apa yang membuatmu selalu dikejar-kejar oleh Raden Udaya itu, Angon Luwak?"
"Persoalannya...," Angon Luwak diam sebentar, memikirkan jawabannya. Yang lain, para tokoh tua tingkat tinggi itu, menunggu jawaban dengan tanpa ada yang bersuara. Bocah itu pun akhirnya berkata lagi,
"Persoalannya karena aku punya nyawa dan orang itu akan lenyapkan nyawaku. Tentunya aku tak mau karena nyawaku cuma satu, Kang."
Beberapa dari mereka ada yang tertawa dalam gumam mendengar kepolosan Jawaban Angon Luwak. Yang lainnya hanya tersenyum, termasuk Bidadari Jalang. Suto Sinting menjelaskan maksudnya.
"Benar. Mereka akan melenyapkanmu karena kau punya satu nyawa. Tapi apa sebabnya sehingga ia ingin melenyapkanmu, Angon Luwak?"
"Karena... karena saya waktu itu melihat
pengawalnya orang kadipaten itu membunuh Mbok Wiji di tanggul sungai, Kang."
"Raden Udaya membunuh Mbok Wiji?"
"Pengawalnya, Kang. Raden Udaya hanya memerintahkan."
"Mbok Wiji?!" gumam mereka satu persatu. Sumbaruni berkata, "Mbok Wiji adalah saksi mata
yang melihat pembunuh Empu Sakya. Mengapa ia membunuh Mbok Wiji?"
"Melenyapkan sakai mata!" jawab Bidadari Jalang. "Bukankah tidak ada hubungannya dengan dirinya?"
kata Ki Argapura.
"Mbok Wiji yang sebarkan cerita tentang ciri-ciri pembunuh itu, yakni tentang bumbung tuak dari bambu. Dan semua orang tahu, pembawa bambu tuak adalah Suto. Maka tersebarlah berita, bahwa Suto adalah pembunuh Empu Sakya," kata Sumbaruni. "Tetapi jika Mbok Wiji bicara lebih banyak atau dihadapkan pada Suto, maka mungkin Mbok Wiji akan menyatakan bahwa wajah pembunuh bukan wajah yang dimiliki Suto."
"Berarti Raden Udaya-lah pembunuhnya?" Ki
Sonokeling ambil kesimpulan begitu.
"Tapi Udaya tidak punya ilmu tinggi, dan tidak punya ilmu 'Perisai Sukma'."
"Aku curiga pada pengawalnya, si Malaikat Beku itu!" kata Suto bagaikan bicara sendiri. "Sebaiknya kutemui mereka. Angon Luwak, di mana Rindu Malam bertarung dengan pengawalnya Raden Udaya itu?'
"Di pantai, Kang...," jawab Angon Luwak. Suto Sinting pun pamit kepada gurunya untuk menyusul Raden Udaya ke pantai. Ki Madang Wengi
mengikutinya.
*
* *

9
PANTAI itu termasuk jajaran wilayah Pantai Semberani, walau letak pertarungan mereka jauh dari kaki Bukit Semberani. Tak heran jika di situ ternyata telah berdiri pula seorang tokoh tua berambut abu-abu yang tak lain adalah Raja Maut. Tokoh tua itulah yang menyaksikan pertarungan Rindu Malam dengan Malaikat Beku. Ledakan-ledakan yang terjadi akibat pertarungan ilmu Rindu Malam dengan Malaikat Beku mengguncang tanah pantai, menggetarkan Bukit Semberani, sehingga memancing Raja Maut keluar dari pondoknya, ingin melihat apa yang terjadi di sekitarnya.
Agaknya Rindu Malam terdesak oleh kekuatan Malaikat Beku. Tubuhnya berulang kali terjungkal akibat hentakan gelombang tenaga dalam yang dahsyat dari cambuk si Malaikat Beku. Cambuk itu bukan sembarang cambuk. Kenyal dan alot. Mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup tinggi, sehingga sejak tadi sulit dipotong oleh pedang Rindu Malam.
"Kurasa gadis itu akan terdesak dan celaka jika aku tak segera turun tangan," pikir Raja Maut. "Tapi
haruskah aku ikut campur tangan dengan urusan mereka? Ah, kurasa jika hanya menyelamatkan gadis itu, tak seberapa berat ikut campurku terhadap urusan mereka."
Malaikat Beku memutar-mutar cambuknya di udara. Kejap berikut cambuk itu dilecutkan ke tanah berpasir. Taaar...! Ujung cambuk menghantam tanah berpasir. Lalu dari dalam tanah itu menyembur puluhan jarum warna merah yang melesat ke arah Rindu Malam, Zraaaak...!
Rindu Malam masih terjatuh dari satu sentakan kuat tadi. Ketika ia bangun separo berdiri, tiba-tiba ia diserang pukulan jarum tersebut. Zrubb...!
"Ahhg...?!" Rindu Malam terkejut, tak sempat menghindar. Tubuhnya segera mengejang di tempat. Kepalanya terdongak dengan wajah menyeringai menderita. Tubuh gadis itu segera berasap, menyebarkan bau busuk, seperti bau mayat yang sudah terkubur satu minggu lamanya.
"Sudah kuingatkan agar kau lari dariku, Nona. Tapi agaknya kau memang ingin lekas modar! Sekarang terimalah jurus 'Cambuk Pembelah Raga' ini! Heeaaaat...."
Cambuk itu melayang di udara. Saat itu seluruh tali cambuk berubah menjadi membara merah dan berasap. Cambuk itu pun dilecutkan ke tubuh Rindu Malam yang mengejang kaku karena jarum beracun tadi.
Taaar...! Glegaaar...!
Suara ledakan membahana terdengar menyeramkan.
Gelombang air laut naik setinggi atap rumah, bergulung- gulung menuju ke tengah samudera. Mestinya tubuh Rindu Malam akan hancur terpotong-potong menjadi beberapa puluh bagian. Tetapi pada saat cambuk sedang dilecutkan, Raja Maut bergerak lebih dulu dan lebih cepat, ia menyambar tubuh Rindu Malam. Wuuut...! Tahu-tahu sudah ada di balik gugusan batu karang. Jauhnya lebih dari lima belas langkah dari tempat Malaikat Beku berdiri. Sedangkan Raden Udaya hanya terperangah bengong, masih duduk di atas kudanya di belakang Malaikat Beku, berjarak lewat dari dua puluh langkah. Sejak tadi ia menyaksikan pertarungan hebat itu, dengan senyum kebanggaan, karena Malaikat Beku yang dijagokan ternyata mampu menunjukkan kehebatan ilmu dan jurus-jurusnya.
Bukan hanya Raden Udaya yang kecewa melihat Rindu Malam terselamatkan oleh gerakan cepat Raja Maut, tetapi Malaikat Beku pun sangat kecewa dan murkanya kian bertambah.
"Keparat kau, Tua Bangka!" teriaknya penuh luapan amarah. "Kuhancurkan sekalian tubuhmu dengan Cabuk Urat Setan-ku ini! Heaaah...!"
Malaikat Beku berlari mengejar Raja Maut yang menunggu dengan siap. Tetapi gerakan Malaikat Beku itu dipatahkan oleh sebuah serangan yang datang dari arah samping kirinya. Dees...! Sebuah sentilan jari tengah membuat Malaikat Beku terlempar hampir masuk ke perairan laut. Jurus 'Jari Guntur' mengawali kehadiran Suto di pantai itu.
"Bangsat! Siapa yang mau ikut campur lagi, hah?!" teriak Malaikat Beku.
"Aku...!" jawab Suto, lalu muncul dari
persembunyiannya. Hal itu membuat Raden Udaya terkejut dan cemas. Tapi membuat Raja Maut tersenyum lega. Sementara Rindu Malam terkapar dengan tubuh membiru dan tak bisa berbuat apa-apa. Raja Maut mencoba menawarkan racun di tubuh Rindu Malam dengan menyalurkan hawa dingin ke tubuh gadis itu. Wuuut...! Jleeg...!
Suto Sinting melompat dan berdiri tegak tak jauh dari Malaikat Beku. Di ujung sana, Raden Udaya yang menjadi takut menyimpan kecemasannya. Lalu ia putuskan untuk menyingkir sementara dari tempat itu, menunggu hasil akhir pertarungan yang bakal terjadi dengan seru itu.
Tetapi ketika Raden Udaya membelokkan arah kudanya, tiba-tiba seseorang telah melemparkan batu kerikil sekecil kacang tanah. Wuuut...! Teeb...! Raden Udaya jatuh dari punggung kuda, tapi ia tak bisa bergerak lagi, sekujur tubuhnya menjadi kaku. Rupanya seseorang telah menotok jalan darahnya memakai batu kerikil itu. Kini yang dapat dilakukan oleh Raden Udaya hanya menggerakkan kepala saja, termasuk mulut dan matanya. Tapi bagian tubuh lainnya kejang seperti tubuh patung batu.
"Siapa ini yang menotokku?!" teriaknya dengan berang.
Suara tawa seperti menggumam terdengar. Seorang
lelaki bertubuh agak gemuk muncul sambil mengunyah makanan. Ki Madang Wengi itulah orang yang telah menotok jalan darah Raden Udaya untuk menahan agar anak Adipati itu tidak pergi dari tempatnya. Ki Madang Wengi hanya terkekeh-kekeh mendengar sebaris cacian dari Raden Udaya yang minta dibebaskan dari totokannya. Ki Madang Wengi bahkan duduk di atas batu sambil memperhatikan ke arah pertarungan Malaikat Beku dan Suto Sinting.
Sebelum itu, Suto Sinting yang tampak tenang sempat menenggak tuaknya, menelannya beberapa teguk. Membiarkan Malaikat Beku melecutkan cambuknya ke arah tubuh Suto. Tubuh Pendekar Mabuk itu melesat lompat ke samping menghindari cambuk tersebut dengan tetap menenggak tuaknya. Setelah selesai menenggak, barulah ia memandang dengan senyum penuh tantangan.
Sementara itu dari kejauhan terdengar suara Raja Maut berseru kepada Pendekar Mabuk, "Habisi saja dia, Suro! Dia adalah Kalatandu, cucu sesat Empu Sakya yang banyak mengetahui rahasia dan kelemahan Empu Sakya!"
Suto manggut-manggut memandangi Malaikat Beku sambil menyunggingkan senyum sinis. Malaikat Beku tempak berang kepada Raja Maut. Tetapi jaraknya yang jauh membuat ia tak berani menyerang, karena takut diserang Suto dari belakang. Hatinya hanya membatin,
"Busuklah mulut si tua bangka itu! Dia tahu siapa diriku!"
Sedangkan Suto Sinting segera perdengarkan
suaranya yang kelem, "Ooo... jadi kau yang bernama
Kalatandu?"
"Ya! Memang aku Kalatandu!" sentak Malaikat
Beku.
"Kurasa kau yang membunuh Mbok Wiji!"
"Memang. Perempuan itu kubunuh supaya tidak banyak bicara tentang diriku. Sebab hanya dialah yang mengetahui saat aku membunuh Empu Sakya, kakekku sendiri itu. Tapi dia hanya tahu ciri-ciri yang ada padaku. Sengaja kubawa bumbung tempat tuak seperti bumbungmu itu, supaya orang akan menyangka kaulah pelakunya. Ternyata rencanaku itu berhasil. Tapi aku jadi khawatir kalau Mbok Wiji bicara tentang wajahku dan ciri-ciri lainnya!"
"Dugaan para tokoh pun begitu, Kalatandu."
"Persetan dengan dugaan para tokoh. Sekarang sudah telanjur terbuka. Tapi kau tak bisa menyalahkan aku saja, sebab anak Adipati itulah yang memerintahkan diriku dan mengupahku untuk menjatuhkan namamu! Dengan begitu kau akan dibenci oleh Mega Dewi dan Mega Dewi akan mencintai Udaya! Anak Adipati itulah yang mengatur siasat dengan menggunakan bambu tuak pada saat aku membunuh kakekku yang sedang tidur itu."
"Kenapa kau tega membunuh kakekmu sendiri." "Karena aku sudah tak sabar lagi menunggu keris
pusaka itu belum juga diwariskan padaku. Sayangnya waktu Kakek sudah kubunuh, aku tidak menemukan letak penyimpanan keris itu. Tapi aku cukup puas dapat
membunuh Empu Sakya dengan keris peninggalan Ibuku. Kurasa Mbok Wiji juga tahu kalau aku keluar dari belakang rumah Empu Sakya sambil membawa keris, ia pasti akan menceritakan kepada orang-orang tentang keris yang kubawa itu, sehingga orang sangka kaulah pembunuhnya dan berhasil membawa keris pusaka!"
"Terima kasih atas pengakuanmu, Kalatandu," kata
Suto kalem sekali.
"Sengaja kubeberkan supaya kau tidak penasaran dalam perjalanan menuju ke alam baka, Suto Sinting! Tentunya kau pun tahu bahwa bocahmu itu perlu kubunuh karena dia mengetahui saat aku membunuh Mbok Wiji. Jika tidak kubunuh dan ia buka rahasia itu, maka orang cerdas akan bisa menyimpulkan siapa pembunuh Empu Sakya sebenarnya. Tapi sayang... bocahmu itu licin seperti belut dan selalu dinaungi dewa keberuntungan, sehingga sampai sekarang masih belum berhasil kulenyapkan!"
"Kau tak akan berhasil membunuhnya semasa
Pendekar Mabuk masih hidup."
"Kalau begitu sekaranglah saatnya untuk minggat ke neraka! Heaaat...!"
Taaar...!
Cambuk dilecutkan, ujungnya melepaskan sinar api yang berkerilap menyambar tubuh Suto Sinting. Tapi Pendekar Mabuk berhasil bersalto dua kali ke belakang dengan gerakan cepat. Gerakan itu membuat cambuk Kalatandu mengenai tempat kosong. Kalatandu menjadi
sangat penasaran, ia menggeram sambil segera lakukan lompatan menyerang. Cambuknya diputar di atas kepala menimbulkan bunyi dengung yang amat kuat, lalu dilecutkan ke arah Suto kembali.
Taaar...!
Suto Sinting menangkis cambuk itu dengan bambu tuaknya. Cambuk menjadi terjerat bambu tuak. Lalu Suto sentakkan dengan keras, penuh kekuatan tenaga dalam, sehingga tubuh yang melayang itu tersentak maju ke arahnya, kemudian ujung bambu disodokkan ke depan. Wuuuk...! Buuuhg...! Tepat mengenai dada Kalatandu.
"Uhhg...!" tubuh Kalatandu belum sampai menyentuh tanah sudah terlempar lagi ke belakang. Wajahnya menjadi merah dan mulutnya keluarkan darah akibat sodokan bambu tuak yang bernama jurus 'Mabuk Pelebur Gunung'. Tubuh Suto pun melangkah dua tindak dengan menggeloyor seperti orang mau jatuh karena mabuk. Tapi itulah jurus mautnya yang membahayakan lawan.
Kalatandu masih bisa bangkit. Padahal wajahnya sudah biru legam, demikian pula bagian lengannya. Rambutnya rontok dan menjadi beterbangan tertiup angin pantai. Suto menganggap Kalatandu berilmu tinggi, karena biasanya lawan yang terkena jurus 'Mabuk Pelebur Gunung' akan mati beberapa saat setelah rambutnya rontok.
"Rupanya ia punya baja pelapis jiwa di dalam tubuhnya!" pikir Suto, namun ia masih menampakkan
ketenangannya.
Kalatandu menepukkan tangannya di atas kepala. Plaaak...! Claaap...! Sinar putih melesat menghantam Suto Sinting. Dengan cepat Suto berguling ke tanah menyambar cambuk yang jatuh, lalu cambuk itu dilecutkan ke arah datangnya sinar tersebut. Taaar...!
Kilatan cahaya biru keluar dari ujung cambuk dan menghantam sinar putih.
Blegaaar...!
Ledakan terjadi dengan dahsyat. Gugusan batu karang setinggi rumah menjadi rontok berjatuhan menutup sebagian tepian pantai. Tetapi Kalatandu masih tetap berdiri tegak tanpa bergeser dari tempatnya sedikit pun. Bahkan kedua tangan yang tadi bertepuk satu kali di atas kepala itu ditarik turun sampai ke dada secara pelan-pelan, kemudian disentakkan ke depan dengan kaki merenggang rendah. Wuuut...! Slaaap...!
Sinar merah meluncur selarik lurus dari ujung dua tangan yang menyatu itu. Suto Sinting menangkisnya dengan bumbung tuak. Taaas...! Sinar merah itu menjadi besar dan bentuk besarnya bergerak makin mendekati ujung tangan Kalatandu. Akhirnya Kalatandu ketakutan sendiri dan melepaskan kedua tangannya sambil melompat menghindar. Wuuut...! Blaaar...! Sekali lagi gugusan batu karang menjadi sasaran sinar itu. Dihantam kuat dalam bentuk satu ledakan, dan tahu-tahu gugusan batu karang itu lenyap, tinggal setumpuk pasir putih kecoklatan sebagai tanda batu karang itu lebur menjadi selembut itu. Kalatandu sempat terperangah heran dan
tegang.
Tapi pada saat itu, Suto Sinting masih memanfaatkan senjata Kalatandu itu dengan melecutkan cambuk tersebut ke udara tiga kali. Tar, tar, tar...! Dan kilatan cahaya api merah kebiru-biruan melesat menghantam tubuh Kalatandu.
Duaaar...! Ketiganya menghantam bersama, tubuh Kalatandu terlempar jauh. Ketika ia jatuh ke tanah, ternyata satu kakinya sudah tak ada, satu tangannya jatuh di sebelah sana, dan daun telinganya pun entah jatuh di mana. Kalatandu masih mencoba berdiri untuk lakukan serangan dengan satu tangan. Namun Pendekar Mabuk segera melompat dan lecutkan cambuk ke arah punggung lawan.
Taaar...! Craas...!
Tenaga dalam yang dimiliki Suto membuat ujung cambuk bagaikan pedang tajam. Punggung Kalatandu koyak lebar. Tak diduga ujung cambuk itu mengenai jantung dari belakang, jantung itu pecah dan Kalatandu pun tak mampu berkutik lagi. Ia rebah tanpa nyawa dengan tubuh berlumur darah.
Kejadian itu dilihat jelas dengan mata Raden Udaya, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena masih dalam pengaruh totokan Ki Madang Wengi. Sedangkan Ki Madang Wengi segera membawanya ke tempat para tokoh yang berkumpul di Jurang Lindu. Mereka sepakat menyerahkan Raden Udaya kepada sang Adipati untuk dihukum karena kesalahannya mengupah Kalatandu membunuh Ki Empu Sakya.
"Katakan kepada sang Adipati, jika ia tidak bisa menghukum secara adil, kita yang akan mengadili sesuai cara kita sendiri!" kata Jangkar Langit kepada Ki Madang Wengi dan Ki Sonokeling yang ditugaskan membawa Raden Udaya ke kadipaten.
Suto Sinting pun berhasil mengobati luka racun Rindu Malam, yang apabila terlambat sedikit lagi akan menewaskan nyawa gadis cantik itu. Raja Maut tersenyum tipis, wajahnya tampak ceria.
"Sekarang namamu sudah bersih dari para tokoh aliran putih, Suto. Kurasa Madang Wengi mampu membuka mulut Raden Udaya untuk mengakui segala tindakannya bersama Kalatandu, si cucu sesat itu."
Suto Sinting tersenyum lega. Tapi ia segera membawa Rindu Malam melangkah agak jauh dan bertanya kepada si cantik itu,
"Siapa kau sebenarnya, sehingga berani mengorbankan nyawa untuk persoalanku ini? Katakan sejujurnya, Rindu Malam."
Gadis itu menatap sebentar, lalu tundukkan kepala sambil berkata,
"Aku seorang utusan yang ditugaskan membantu menyelesaikan perjalanmu, setelah itu membawamu ke negeriku."
"Utusan dari mana?"
"Negeri Ringgit Kencana," jawab Rindu Malam pelan tapi jelas. Sangat mengejutkan Suto. "Ratu Asmaradani mengutusku menjemputmu, Suto!
"Asmaradani?! Bukankah wanita itu hanya ada dalam
mimpiku?! Tapi kenapa ternyata ada dalam kenyataan?!" pikir Suto dengan terheran-heran.
Lalu terbayang dalam ingatan Suto tentang
mimpinya, seorang wanita cantik yang mengaku bernama Asmaradani memberikan setangkai mawar warna pelangi. Mawar itu tanpa duri, dan punya aroma wangi yang amat lembut, membekas di hati. Saat terbayang mawar yang mirip dengan hiasan di ujung gagang pedang Rindu Malam itu, Suto mendengar suara gadis itu berkata,
"Kami punya kesulitan, dan hanya kau yang bisa melepaskan kesulitan itu."
"Kesulitan apa?!"
Rindu Malam belum menjawab, segera muncul gadis yang rambutnya cepak seperti lelaki, tapi mempunyai rantai emas berbatu mirah delima di keningnya. Gadis itu tak lain adalah Kelana Cinta, yang hadir di pertemuan para tokoh tingkat tinggi di Jurang Lindu tadi.
Rindu Malam merunduk memberi hormat. Ternyata Kelana Cinta mempunyai jabatan lebih tinggi dari Rindu Malam.
"Persoalannya sudah selesai, Rindu Malam. Pelakunya adalah Raden Udaya dengan menggunakan kesaktian seseorang yang mempunyai ilmu 'Perisai Sukma'."
"Ia bernama Kalatandu, Perwira Kelana Cinta," kata Rindu Malam, yang ternyata seorang perwira, jabatan tinggi bagi mata-mata Negeri Ringgit Kencana, yang punya hak mewakili ratunya untuk kepentingan apa pun.
"Baik. Sekarang sudah tiba saatnya menjemput Pendekar Mabuk karena kurasa sang Ratu sudah menunggunya terlalu lama."
"Suto, mari ikut kami ke Negeri Ringgit Kencana," kata Rindu Malam.
"Aku... hmmm... baiklah, aku bersedia. Tapi jelaskan dulu kesulitan apa yang harus kuhadapi untuk menolong kalian?"
"Ratu Asmaradani bisa jelaskan padamu. Jika kau ingin tahu kesulitan itu, cepatlah temui ratu kami!" kata Kelana Cinta dengan sikap sopan dan tampak menghormat kepada Pendekar Mabuk. Si tampan Suto Sinting itu hanya tertegun bengong dengan dahi berkerut
tajam.

SELESAI
Segera terbit!!! BANDAR HANTU MALAM