Pendekar Mabuk 31 - Pedang Kayu Petir(1)

1
Selama tujuh hari tujuh malam negeri Muara Singa mengadakan pesta besar-besaran. Berbagai pertunjukan hiburan digelar dari alun-alun sampai ke pinggir pantai. Berbagai makanan lezat pun dibeberkan pada tenda- tenda hidangan. Siapa saja, tanpa terkecuali, boleh menikmati hidangan lezat itu tanpa dipungut biaya sedikit pun. Rakyat jelata selain bisa menikmati hidangan lezat yang selama ini hanya bisa dinikmati oleh orang-orang istana, juga mendapat santunan berbagai pakaian, kain maupun keperluan dapur.
Pesta besar ini diadakan untuk menyambut kedatangan ratu baru yang memang berhak memiliki kekuaaaan di negeri Muara Singa. Ratu baru itu tak lain adalah Ratu Gusti Galuh Puspanagari. Dulu dikenal sebagai Palupi, si gadis gila, yang punya julukan lebih
dikenal lagi sebagai si Tandu Terbang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Tandu Terbang"). Tampuk pimpinan diserahkan kepadanya dari Purnama Laras, karena Purnama Laras merasa tidak memiliki hak atas negeri tersebut dikarenakan ia hanya seorang anak angkat sang Penguasa Muara Singa. Pesta besar itu pun atas saran Purnama Laras yang sama sekali tidak sakit hati ataupun sedih, namun justru, bangga dan gembira melepas jabatannya sebagai ratu di negeri itu.
Pendekar Mabuk, Suto Sinting, sengaja ditahan oleh Purnama Laras dan Palupi agar tidak meninggalkan Muara Singa selama pesta berlangsung. Pendekar Mabuk termasuk orang berjasa dalam pengembalian kekuasaan kepada Palupi. Tanpa munculnya Pendekar Mabuk pada waktu itu, Tandu Terbang sudah merencanakan akan membabat habis orang Muara Singa yang tidak mau akui dirinya sebagai alih waris negeri tersebut. Tetapi agaknya orang dalam Tandu Terbang yang ternyata adalah Palupi itu, merasa terkesan oleh penampilan Suto dan ketampanannya, ia tak berani lakukan kekerasan di istana ketika berhadapan dengan Suto, dan akhirnya jalan damai pun bisa ditempuh.
Pada satu kesempatan, Purnama Laras yang dikenal sebagai wanita berbudi luhur dan berjiwa besar itu, sempat bicara empat mata dengan Pendekar Mabuk. Pada saat itu malam tiba dan mereka bicara di sudut taman. Harum bunga sedap malam menyebar di sekeliling mereka. Tetapi roncean bunga melati yang selalu segar dan menjadi penghias sanggul Purnama
Laras lebih tajam tercium hidung Pendekar Mabuk yang bangir itu.
"Sudah cukup lama aku memendam hasrat ingin
bertemu denganmu," kata perempuan berusia tiga puluh tahun itu. "Tetapi baru sekarang hasrat itu terpenuhi dalam keadaan aku sudah tidak menjadi ratu lagi."
"Apakah kau menyesal?"
"Sama sekali tidak," jawab Purnama Laras. "Justru aku bertekad melindungi Galuh untuk mempertahankan negeri ini. Aku sangat terharu jika ingat cerita hidupnya semasa kecil, dibuang oleh ibu angkatnya hanya karena tak suka menerima bayi yang dilahirkan dari madunya. Rasa ibaku ini terwujud dalam rasa kasihan, dan akhirnya timbul rasa sayangku kepada Galuh Puspanagari."
"Aku bangga dan kagum dengan sifatmu, Purnama Laras. Jarang kutemukan wanita sebijak dirimu," sanjung Pendekar Mabuk dengan mata memandang raut wajah ayu yang disinari cahaya obor di sudut taman itu. Yang dipandang hanya tersenyum dan tundukkan kepala merasa malu.
"Terlepas dari kedudukanku yang dulu dan sekarang, sesungguhnya keinginanku untuk bertemu denganmu punya alasan sendiri, Suto."
"Katakanlah urusanmu itu, Purnama Laras."
"Aku butuh seorang senopati. Aku banyak mendengar cerita tentang kesaktianmu dari mulut ke mulut, lalu aku ingin mengangkatmu sebagai senopati dalam kepemerintahan Muara Singa ini. Kami belum
mempunyai senopati atau seorang panglima perang, itulah sebabnya aku pernah merencanakan mengundangmu sebagai tamu agung untuk membicarakan tawaran ini. Dalam benakku hanya ada dua pilihan, mengangkatmu sebagai panglima perang atau menemukan Pedang Kayu Petir."
Suto terkejut mendengar nama pedang itu disebutkan, ia ingat kembali bahwa pedang tersebut pernah disebut- sebutkan oleh Palupi yang sekarang menjabat sebagai ratu negeri Muara Singa itu. Tetapi sampai malam itu, Suto belum pernah bicara dengan Palupi secara sungguh-sungguh tentang Pedang Kayu Petir.
Dulu Suto pernah menyangka bahwa pedang yang disebut-sebut sebagai pedang pusaka maha sakti itu dimiliki oleh ratu Purnama Laras. Karena Palupi si gadis gila itu mengetahui tentang rahasia pedang tersebut, maka Ratu Purnama Laras mengerahkan orang-orangnya untuk menangkap Palupi dan membunuhnya, supaya rahasia pedang pusaka itu tidak bocor dari mulut si gadis gila. Tapi dugaan Suto itu ternyata meleset. Purnama Laras memang tidak tahu-menahu tentang pedang tersebut dan bahkan berminat untuk mendapatkannya.
"Mengapa kau mempunyai dua pemikiran seperti itu, Purnama Laras? Apa alasanmu ingin mengangkatku sebagai panglima perang atau memiliki Pedang Kayu Petir?" tanya Suto Sinting dengan rasa ingin tahu.
"Karena negeri ini sebenarnya dalam ancaman bahaya tokoh sakti yang ilmunya tak tertandingi oleh orang- orang Muara Singa. Tokoh sakti itu dapat dikalahkan
dengan kesaktian Pendekar Mabuk, atau dengan menggunakan Pedang Kayu Petir sebagai pusaka pedang maha sakti. Sebab itu, dulu aku menyuruh para pengawalku untuk menangkap Palupi sebab ia sebut- sebutkan pedang tersebut. Aku ingin menangkap bukan dengan maksud jahat, melainkan ingin mengorek keterangan darinya tentang Pedang Kayu Petir itu."
Suto Sinting manggut-manggut, diam sebentar lalu mulai perdengarkan suaranya yang lembut itu,
"Siapa tokoh sakti yang kau maksud sebagai pengancam bahaya negeri ini?"
"Raja Tumbal, penguasa Lumpur Maut."
"Raja Tumbal...? Bukankah dia yang membunuh adik
Pendita Arak Merah, atau adik gurunya Palupi?"
"Aku tak mendengar soal itu. Yang kutahu, Raja Tumbal menghendaki negeri ini. Beberapa waktu yang lalu, tepatnya lima purnama yang lalu, Raja Tumbal datang menemuiku dan ingin merebut Muara Singa, ia adalah kakak dari ibu angkatku; Raden Ayu Indriakara. Ia merasa bahwa negeri ini adalah negeri leluhurnya dan yang berhak menjadi penguasa adalah dirinya. Aku diberi waktu sampai tiga purnama untuk meninggalkan negeri ini, jika tidak maka semua penghuni istana akan dibantai habis olehnya dalam waktu sekejap. Dan aku percaya ia sanggup membantai kami dalam sekejap, karena ia memiliki pusaka yang bernama Seruling Malaikat."
Suto Sinting kerutkan dahi. "Seruling Malaikat? Aku baru mendengar nama pusaka itu. Apa kehebatannya
sehingga kau tampaknya amat ketakutan dengan pusaka
Seruling Malaikat itu?"
"Seruling Malaikat, menurut para tokoh tua, adalah sebuah seruling yang jika ditiup dengan sembarangan tanpa nada pun bisa membuat lawan yang dituju menjadi pecah raganya bila mendengar suara seruling tersebut. Konon, getaran seruling dapat menyatu dengan mata dan batin kita. Pada saat kita melihat musuh yang dituju oleh batin kita untuk dimusnahkan, maka getaran suara seruling tersebut mengirimkan gelombang tenaga dalam luar biasa besarnya hingga ketika masuk gendang telinga lawan dapat membuat raga lawan meledak."
Suara gumam Pendekar Mabuk sangat lirih, kepalanya terangguk-angguk sebagai tanda sangat bersungguh-sungguh mempercayai cerita tersebut. Hatinya menjadi tertarik untuk membicarakan tentang pusaka Seruling Malaikat itu.
"Dari mana Raja Tumbal memperoleh pusaka sehebat itu?"
"Menurut cerita para tokoh tua, Seruling Malaikat dulu milik seorang dewa yang terusir dari kayangan dan menjelma menjadi seorang penggembala kerbau. Dewa itu bernama Bramujaya. Ia menjalani masa hukuman menjadi manusia dengan dibekali Seruling Malaikat. Hukumannya akan selesai jika menikahi seorang wanita yang berpenyakit kusta sangat parah. Tetapi sebelum hal itu terjadi, Bramujaya sudah berhasil dikalahkan oleh Siluman Tujuh Nyawa, ia mati dibunuh tokoh sesat itu. Tapi Siluman Tujuh Nyawa tidak tahu bahwa Bramujaya
mempunyai pusaka sebuah seruling. Seruling itu ditemukan oleh petapa sakti yang bernama Begawan Demang Buwana...."
"Siapa?!" Suto terpekik kaget, wajahnya menjadi tegang. "Begawan Demang Buwana?!"
"Benar. Kenapa kau tampak terkejut sekali?" Purnama Laras merasa heran.
"Hmm... ya, aku sangat terkejut, sebab... sebab ketika aku dalam perjalanan kemari bersama Dungu Dipo, kami sempat bermalam di pondok sang Begawan di dalam hutan di tepi sebuah telaga. Kami disambut baik oleh Eyang Begawan Demang Buwana. Bahkan kami sama- sama minum tuak sebagai penghormatan dan...."
Purnama Laras tertawa kecil sambil menepiskan tangan di depan wajah sebagai tanda meremehkan cerita Pendekar Mabuk. Tentu saja cerita itu tak jadi dilanjutkan oleh Suto. Pendekar tampan itu justru merasa heran melihat tawa wanita cantik yang lembut dan bersahaya itu.
"Mengapa kau menertawakan ceritaku?" "Karena aku tahu kau sedang membual."
"Ini sungguh-sungguh terjadi," kata Suto agak ngotot. "Aku tidak percaya," Purnama Laras gelengkan kepala sambil tersenyum. "Begawan Demang Buwana sudah wafat lima puluh tahun yang lalu. Ia meninggal dalam usia sekitar seratus tahun. Dan kematiannya itu disebabkan oleh perbuatan Siluman Tujuh Nyawa yang terlambat mendengar tentang pusaka Seruling Malaikat. Pada waktu itu, Seruling Malaikat sudah diturunkan
kepada murid sang Begawan, dan terus turun-temurun sampai akhirnya ada kabar bahwa Seruling tersebut jatuh ke Sumur Tengah Samudera. Cara mengambilnya harus dengan lakukan semadi rendam. Dan Raja Tumbal telah lakukan semadi rendam hingga akhirnya berhasil memperoleh Seruling Malaikat. Jadi kalau kau bercerita bertemu dan bermalam di pondok Begawan Demang Buwana, itu adalah hal yang mustahil, apalagi hal itu terjadi belum lama ini. Tak akan ada tokoh tua yang mau percaya dengan pengakuanmu tadi, Suto."
Kini Suto Sinting termenung lama dengan dahi masih berkerut. Dalam hatinya berkata, "Jadi siapa orang yang kutemui bersama Dungu Dipo dalam hutan itu? Siapa orang yang memintaku meminum tuak dalam mangkok sebagian dan sisanya diminum olehnya itu?"
Senyum perempuan yang suka dengan bunga melati itu masih menampakkan rasa tidak percayanya kepada ucapan Suto tadi. Suto Sinting sangat penasaran jadinya. "Kalau kau tak percaya, kau bisa tanyakan sendiri kepada Dungu Dipo," kata Suto meyakinkan kata- katanya. "Kami bermalam di pondok itu dan dijamu
dengan minuman tuak dalam mangkok." "Kau berani bersumpah?"
"Sumpah apa pun aku berani, bahwa aku dan Dungu Dipo bertemu dengan Eyang Begawan Damang Buwana. Bahkan aku sempat bertanya tentang Padang Kayu Petir kepadanya, tapi beliau tak tahu di mana pedang itu berada. Juga ketika kutanyakan siapa orang dalam tandu merah itu, beliau hanya mengatakan, ada lapisan tenaga
dalam yang tak bisa ditembus teropong indera keenamnya dan membuat tandu itu tak bisa diketahui siapa orang yang ada di dalamnya."
Kini ganti Purnama Laras yang tertegun bengong. Kejap berikutnya ia menggumam, "Aneh sekali. Jika benar begitu, berarti kau dan Dungu Dipo telah bertemu dengan jelmaan sang Begawan. Mungkin punya maksud tertentu, entah ingin menolongmu atau ingin sampaikan pesan padamu."
"Pesan...? Rasa-rasanya tak ada pesan apa-apa. Mungkin saja hanya ingin menolongku. Mungkin- mungkin ada seseorang yang menyuruhnya menyediakan pondok untuk bermalam bagiku?" kata Suto seperti bicara pada diri sendiri, lalu dalam benaknya terbayang wajah Ratu Kartika Wangi sebagai orang yang menyuruh Begawan Demang Buwana untuk sediakan pondok baginya. Karena dalam pembicaraan kala itu, sang Begawan menyinggung-nyinggung nama Ratu Kartika Wangi, calon mertua Suto Sinting.
"Baiklah, kita lupakan dulu tentang pertemuanku dengan sang Begawan itu," kata Suto. "Sekarang bagaimana dengan Raja Tumbal?"
"Untuk mengalahkan Seruling Malaikat-nya kupikir aku harus menggunakan Pedang Kayu Petir kalau memang tak sanggup menandingi kesaktian pusaka tersebut. Persoalannya adalah, saat ini sudah hampir masuk purnama ketiga, berarti aku dan para pejabat di istana harus segera tinggalkan negeri ini. Raja Tumbal akan ganti menguasai negeri ini."
"Apakah kau sudah bicarakan kepada Palupi, termasuk tentang Pedang Kayu Petir yang saat menjadi orang gila disebut-sebutkan itu?"
"Aku belum berani membicarakan karena ia masih menikmati masa kegembiraan. Setelah pesta ini usai, aku akan membicarakannya."
Tak ingin mengganggu kebahagiaan dan kegembiraan yang sedang berlangsung pada diri seseorang, sungguh merupakan sikap yang baik dan patut dikagumi. Suto Sinting mengerti betul maksud hati Purnama Laras. Tetapi menurutnya, persoalan Raja Tumbal adalah persoalan yang tak bisa ditunda. Secepatnya harus dicari jalan keluarnya, mengingat Raja Tumbal memiliki pusaka Seruling Malaikat yang dapat menjadi alat pembantai bagi orang-orang Muara Singa.
"Apakah menurutmu dengan adanya Palupi menjadi ratu di negeri ini, Raja Tumbal merasa masih mampu mengungguli kekuatan yang ada di sini?" Tanya Suto kepada Purnama Laras seusai mereka lakukan santap malam bersama. Pertanyaan itu diucapkan secara berbisik. Jawabannya pun cukup pelan, sehingga hanya Pendekar Mabuk sendirilah yang mendengarnya.
"Kabarnya, suara Seruling Malaikat tak bisa ditangkal dengan ilmu dan kesaktian apa pun. Jadi sesakti-saktinya Galuh Puspanagari jika mendengar suara Seruling Malaikat ia akan hancur juga."
Jawaban itu cukup dipakai bahan pertimbangan bagi Suto. Pertimbangan itu akhirnya memperoleh keputusan bahwa ia harus bicara empat mata dengan Galuh
Puspanagari yang lebih suka dipanggilnya Palupi itu. Pendekar Mabuk merasa perlu menjajaki ketinggian ilmu Palupi dalam menghadapi Seruling Malaikat nanti. Jika memang ternyata menurut kesimpulan Suto ilmu yang dimiliki Palupi tidak mempunyai kesanggupan untuk menghadapi Seruling Malaikat, maka ia harus memaksa Palupi untuk mengambil Pedang Kayu Petir. Suto mempunyai dugaan bahwa Pedang Kayu Petir dimiliki oleh Palupi dan disimpan di suatu tempat. Pedang itu pasti dibungkus oleh tenaga pelapis yang sukar diteropong oleh kekuatan batin maupun mata indera keenam, seperti halnya tandu merahnya yang tak bisa ditembus oleh mata batin orang sakti, sehingga tak diketahui siapa penghuni tandu tersebut selama ini.
Hanya saja, Pendekar Mabuk merasa tak enak hati, karena Palupi bersedia bicara di dalam kamarnya, ia tak mau percakapannya didengar orang lain. Ia membawa Suto ke kamar tidurnya yang mewah dan megah serta kedap suara itu. Suto Sinting justru menjadi kikuk berada di tempat yang menimbulkan suasana hangat bagi hasrat cinta dua orang berlainan jenis itu.
"Kau pucat sekali," kata Palupi sambil tersenyum- senyum. "Jangan takut, aku sudah berjanji tidak akan memaksamu untuk memperkosaku seperti saat aku berpura-pura gila itu. Duduklah dengan tenang."
Suto Sinting geli sendiri membayangkan peristiwa lain.
"Karena itu jangan diresapi kenangan masa laluku, nanti hasratmu berontak dan menuntutku," kata Palupi
masih bersikap sebagai teman, bukan sebagai ratu. Hanya kepada Suto saja ia tak bisa bersikap sebagai ratu yang mestinya penuh ketegasan dan wibawa, menjaga kharisma seperti Purnama Laras dulu.
"Tapi seandainya memang kau ingin menuntutku karena resapan kenangan itu, aku pun tak keberatan untuk memenuhi tuntutanmu," kata Palupi penuh arti yang amat dalam bagi perasaan seorang lelaki muda seperti Suto. Tapi hal itu hanya ditanggapi oleh Suto dengan senyum menawan. Suto tak sadar, jika ia sering memamerkan senyumnya, berarti menambah gejolak gairah memberontak di dalam batin Palupi. Untung selama ini Palupi mampu menahan diri sehingga tidak berkesan sebagai wanita murahan.
"Baiklah, Suto... apa yang ingin kau bicarakan padaku? Pesta ini esok telah usai. Apakah itu berarti esok kau akan tinggalkan negeriku? Apakah tak bisa tinggal lebih lama lagi atau justru selama-lamanya saja?" "Jawabannya tergantung pembicaraan kita nanti," kata Suto dengan tenang. Meski di dalam kamar tidur seorang ratu, namun bumbung tuak selalu dibawanya, sehingga sewaktu-waktu Suto tak segan-segan menenggak tuak dari bumbungnya. Padahal Palupi sudah siapkan sepoci tuak dan cangkirnya, tapi Suto hanya sesekali minum tuak dari cangkir itu. Ia merasa lebih mantap jika minum tuak dengan menenggak dan mengangkat bumbung bambunya. Suatu kebiasaan yang sudah menjadi kesukaan memang sulit ditinggalkan
begitu saja.
"Apa yang ingin kubicarakan memang ada kaitannya dengan semasa kau menjadi gadis gila," kata Suto Sinting.
"Soal... soal perkosaan?"
"Bukan!" jawab Suto malu. "Pada waktu itu kau sebut-sebut Pedang Kayu Petir. Kau masih ingat, bahwa kau bilang telah sembunyikan Pedang Kayu Petir di sebuah gua di Bukit Tungkai?"
Palupi tersenyum dan manggut-manggut. Senyumnya itu sukar dipastikan artinya, bisa senyum malu, bisa senyum geli bisa juga senyum meremehkan. Tapi Suto tak peduli sehingga tetap ajukan tanya lagi pada Palupi,
"Benarkah pedang pusaka itu ada di salah sebuah gua di Bukit Tungkai?"
"Aku tidak tahu," jawab Palupi.
"Palupi, kita sama-sama butuhkan pedang itu. Aku juga butuh, kau juga nantinya akan butuh pedang itu. Tolong bicaralah jujur padaku."
"Aku benar-benar tidak tahu tentang pedang itu. Memang aku pernah dengar namanya, pernah dengar ceritanya, tapi aku tidak tahu di mana pedang itu."
"Mengapa kau waktu itu selalu menyebut-nyebutkan
Pedang Kayu Petir?"
"Aku hanya memancing perhatian bagi orang-orang yang bernafsu memiliki pedang tersebut. Tentu saja bukan orang berilmu rendah yang menghendaki pedang itu, pasti orang berilmu tinggi. Lalu, aku bisa kenali orang-orang berilmu tinggi itu, dan bisa tahu apakah dia berpihak kepada Purnama Laras, atau berpihak kepada
orang lain. Sasaran utamaku pada waktu itu adalah Purnama Laras dan orang-orangnya. Karena aku tak tahu hati Purnama Laras ternyata amat mulia. Jika aku ingin lakukan penyerangan, aku harus tahu siapa-siapa saja yang akan kuhadapi nantinya. Jadi kupancing mereka dengan berita adanya Pedang Kayu Petir pada diriku. Sebab aku tahu pedang itu pasti masih diminati oleh para tokoh sakti."
Napas Suto terhempas panjang sebagai penghilang kedongkolan, ia segera bertanya, "Lantas apa kesimpulanmu kala itu?"
"Ternyata Purnama Laras sangat berhasrat untuk memiliki pedang itu, juga dirimu kulihat sangat bernafsu untuk memilikinya, tapi tak kulihat kau ada di pihak Purnama Laras. Sementara tokoh lain yang berhasrat dengan pedang itu tak kulihat ada di pihak Purnama Laras. Jadi aku merasa akan berhadapan dengan Purnama Laras sendiri, tapi didukung oleh pihak lain yang berilmu tinggi. Bahkan aku tak sangka kalau Nyai Paras Murai ternyata ada di pihak Purnama Laras walau tak menghendaki pedang itu. Aku sangat menyesal sekali telah bertarung dengan Nyai Paras Murai yang ternyata justru orang pertama yang menyambut kelahiranku di muka bumi ini. Aku merasa berdosa dengan beliau. Tapi aku sudah meminta maaf berulang kali dan menganggap Nyai Paras Murai sebagai orangtua sendiri. Aku pun telah berdamai dengan Hantu Tari yang ternyata adalah saudara sepupuku sendiri, walau sepupu tiri."
Kamar tidur menjadi hening karena mulut Suto terbungkam dalam termenungnya. Matanya lurus ke satu sisi, sementara mata Palupi menatapi Suto tiada henti, penuh debar-debar keindahan dalam hatinya, penuh rasa kagum dan salut dengan sikap Suto. Batinnya mengatakan, "Pendekar tampan ini biarpun punya wajah mampu melumpuhkan wanita hingga bertekuk lutut di hadapannya, namun ia sama sekali tidak mau berkurang ajar padaku. Sikapnya pun tak sombong, punya ketegasan dan kebijakan. Aku suka padanya. Sangat suka!"
Untuk memecah kesunyian, Palupi segera ajukan tanya kepada Suto dengan berpindah duduknya di samping kiri Suto. Ia mencoba mengusap pundak dan lengan Suto seraya berbisik,
"Mengapa kau sangat berharap mendapatkan pedang yang sudah bertahun-tahun dinyatakan hilang?"
"Demi keselamatan negeri ini juga," jawab Suto dengan sikap duduk masih sedikit bungkuk, kedua sikunya bertumpu pada kedua paha. Ia bicara sambil menoleh ke arah Palupi dan tampak lebih gagah sikapnya seperti itu. Lengannya kelihatan lebih kekar, ketampanannya tampak lebih jantan lagi.
"Apa maksudmu berkata begitu?"
"Ada seorang musuh yang ingin menyerang negeri ini dan merebutnya, ia berilmu tinggi dan mempunyai pusaka yang hanya bisa ditandingi dengan Pedang Kayu Petir."
Palupi diam sesaat, tampak tenang. Tak kelihatan
terkejut walaupun masih dipandangi Suto. Kejap berikut, Suto mendengar suara gadis itu berkata lembut,
"Orang yang kau maksud itu adalah Raja Tumbal!"
Suto menegakkan sikap duduknya. "Dari mana kau tahu? Apakah Purnama Laras sudah menceritakan ancaman Raja Tumbal?"
"Belum. Tapi aku pernah menyadap pembicaraan Raja Tumbal dengan orang-orang kepercayaannya, itulah sebabnya aku memusuhi orang Lumpur Maut. Di samping ingin membalaskan kematian adik guruku, juga ingin melumpuhkan Raja Tumbal sebelum ia menguasai negeri Muara Singa ini. Jika memang Purnama Laras sudah mendapat kabar tentang niat Raja Tumbal, maka sekarang aku tahu mengapa Purnama Laras sangat bernafsu untuk memiliki Pedang Kayu Petir."
"Apakah kau sudah tahu bahwa Raja Tumbal mempunyai pusaka yang bernama Seruling Malaikat?"
"Sudah!" jawabnya tanpa senyum.
"Bagaimana menurutmu? Apakah perlu dihadapi dengan pedang pusaka itu atau cukup dengan ilmu dan kesaktianmu saja?"
Wajah gadis berjubah ungu itu tampak dingin. Matanya memandang lurus, menerawang tak tentu makna. Bibirnya terkatup, napasnya teratur lembut. Sesaat kemudian barulah ia bicara dengan mata masih memandang hampa.
"Apakah kau bersedia membantuku?" "Maksudmu?"
Ia menatap Suto, wajahnya penuh kesungguhan
dalam bicara.
"Aku tak akan sanggup melawannya, apalagi ia mempunyai pusaka Seruling Malaikat," ia berhenti sampai di situ, sepertinya ada sesuatu yang membuatnya sedih dan sulit dikatakannya.
Pendekar Mabuk menatap penuh perhatian dan bicara sangat pelan.
"Mengapa begitu? Bukankah seorang Tandu Terbang adalah tokoh sakti yang cukup menggetarkan isi dunia?"
"Kesaktianku sebagian telah hilang jika aku menjadi ratu. Itu adalah perjanjian yang kubuat dengan guruku; Pendita Arak Merah. Aku tak bisa lagi menjelma sebagai Tandu Terbang, kekuatan tenaga dalamku juga tak setinggi semula. Kuperoleh kesaktian setinggi itu hanya untuk merebut hak warisku, yaitu negeri ini. Jika aku telah memiliki negeri ini, maka beberapa kesaktianku itu akan lenyap. Jadi pada waktu itu aku dihadapkan dengan dua pilihan; tetap berilmu tinggi sebagaimana yang dimiliki Tandu Terbang, atau menjadi seorang ratu yang adil dan bijaksana dengan kehilangan beberapa kesaktian. Aku memilih menjadi ratu karena memang aku harus mewarisi kekuasaan leluhurku. Dan jika aku menjadi ratu yang tidak adil dan bijaksana, maka kesaktianku akan berkurang lagi."
"Aneh...?!" gumam Suto Sinting sambil berkerut dahi dan manggut-manggut.
"Dalam keadaan seperti dulu, aku sanggup menumbangkan Raja Tumbal. Sayang tak pernah berhasil kutemui kecuali hanya begundalnya saja. Tapi
dalam keadaan setelah menjadi ratu dengan penobatan resmi ini, aku merasa kalah ilmu dengan Raja Tumbal. Tapi... hanya kau yang tahu hal itu. Kumohon jangan sampai bocor kepada siapa pun."
Suto kian mengangguk-angguk. "Aku paham maksudmu."
"Jadi, dalam menghadapi Raja Tumbal nantinya aku
sangat membutuhkan bantuanmu. Kecuali aku bisa memiliki Pedang Kayu Petir, mungkin aku berani hadapi sendiri paman tiriku itu. Tanpa pedang tersebut, aku butuh berlindung di belakangmu, Suto. Maukah kau menjadi panglima perangku?" tanya Palupi yang membuat Suto bingung menjawabnya.
*
* *

2
SEBENARNYA Suto tidak ingin mempunyai jabatan yang akan mengikat kebebasannya. Menjadi senopati atau panglima perang adalah pekerjaan yang menyita waktu. Banyak kesibukan yang harus dipersiapkan untuk menghadapi lawan, termasuk melatih bala tentaranya, mengatur siasat perang nantinya. Suto enggan melakukan hal-hal seperti itu. Tetapi dalam hatinya ia mempunyai suatu tekad untuk membantu Palupi menyelamatkan negeri Muara Singa, sebab ia tahu memang Palupi-lah pewaris negeri itu yang sebenarnya.
"Jika keadaan Palupi memang sudah demikian,
berarti kemenangan akan ada di tangan Raja Tumbal. Seruling Malaikatnya bisa digunakan seenak pusarnya sendiri untuk membantai orang-orang Muara Singa. Kasihan Palupi, baru beberapa waktu memiliki hak warisnya sudah harus dirampas lagi oleh orang lain. Agaknya aku harus memihaknya dan memperkuat pertahanan negeri ini. Tapi aku harus tahu bagaimana cara melawan kekuatan Seruling Malaikat itu?"
Pendekar Mabuk segera membayangkan cara kerja pusaka Seruling Malaikat. Getaran maut akan tersalurkan melalui gelombang suara. Mengatasi gelombang suara tidak bisa seperti mengatasi sinar pukulan tenaga dalam yang bisa dilihat arah dan gerakannya. Apalagi gelombang suara itu mempunyai hubungan erat dengan mata dan batin. Raja Tumbal bisa saja menghancurkan lawannya dari jarak jauh asal masih bisa melihat sang lawan dan batinnya menghendaki kehancuran orang tersebut. Gelombang suara seruling dapat melesat masuk ke telinga lawan tanpa diketahui gerakan dan bentuknya.
"Repotnya lagi, gelombang suara itu bukan saja membuat gendang telinga pecah, melainkan raga pun bisa pecah dan hancur berkeping-keping. Berarti kekuatannya lebih tinggi dibanding jurus 'Siulan Peri' yang ada padaku. Jurusku itu hanya bisa memecahkan gendang telinga saja. Jika diadu dengan suara Seruling Malaikat, maka 'Siulan Peri'-ku akan kalah. Aku harus mencari tahu bagaimana melawan Seruling Malaikat, dan di mana letak kelemahan pusaka tersebut. Yang
berbahaya adalah jika Raja Tumbal ada di suatu tempat yang tak kuketahui, tapi ia bisa melihatku dari tempat tersebut. Maka diriku pun akan hancur begitu Seruling Malaikat mulai ditiupnya."
Menurut perhitungan, bulan purnama akan tiba sebelas hari lagi. Apakah Raja Tumbal akan datang tepat pada saat bulan purnama tiba atau lebih beberapa hari dari saat purnama tiba? Bagi negeri Muara Singa sama saja, kehancuran akan segera tiba tepat malam purnama atau lewat dari itu. Karenanya persiapan menghadapi serangan orang-orang Lumpur Maut harus sudah disusun secara matang sejak sekarang.
"Aku akan menghadap guruku," kata Suto kepada Palupi yang didampingi oleh Purnama Laras, Nyai Paras Murai, Hantu Tari, Batu Sampang, dan Dungu Dipo.
Suto menyambung kata-katanya, "Dalam waktu sesingkat ini, tak mungkin kita bisa dapatkan Pedang Kayu Petir yang belum diketahui di mana tempatnya. Yang kulakukan adalah mencari tahu di mana kelemahan Seruling Malaikat itu. Aku akan tanyakan kepada guruku tentang hal itu. Aku harus pergi selama empat atau lima hari."
Nyai Paras Murai yang kini dianggap keluarga Istana itu berkata, "Kurasa Gila Tuak juga tak tahu bagaimana cara mengalahkan gelombang suara. Seingatku, sejak dulu tak pernah ada lawan yang bisa kalahkan Seruling Malaikat."
Purnama Laras memotong, "Tapi mengapa Begawan
Demang Buwana dapat dikalahkan oleh Siluman Tujuh
Nyawa?"
"Karena Seruling Malaikat telah diturunkan kepada muridnya," jawab Nyai Paras Murai. "Kabarnya, sekarang pun jika Siluman Tujuh Nyawa melawan Raja Tumbal ia akan mampu mengalahkannya, karena Siluman Tujuh Nyawa sudah kuasai ilmu yang bernama
'Redam Guntur', yaitu menutup semua lubang tubuhnya agar tidak bisa dimasuki suara apa pun."
"Apakah kita perlu minta bantuan kepada Siluman Tujuh Nyawa?" tanya Dungu Dipo yang ditanggapi dengan ketus oleh Hantu Tari,
"Kalau kau mau jadi pengikut sesatnya, silakan kau lari dan bergabung kepada Siluman Tujuh Nyawa!"
Dungu Dipo bersungut-sungut tak mau bicara lagi. Batu Sampang tetap diam memperhatikan tiap pembicaraan tersebut. Sedangkan Palupi sejak tadi berkerut dahi walau tetap berlagak tenang, namun sebenarnya bingung menghadapi lawannya nanti. Bahkan ketika Hantu Tari ajukan tanya kepada Palupi,
"Apakah kau tak sanggup menghadapinya dengan kesaktianmu?"
Suto tahu Palupi akan bingung menjawabnya, karena itu Suto lebih dulu berkata sebagai wakil Palupi dalam menjawab,
"Seorang ratu tak baik jika turun tangan sendiri, kecuali keadaan sudah sangat terpaksa! Palupi memang akan turun tangan, tapi sebelum ia turun tangan tentunya kita lebih dulu menghadapi lawan tersebut. Yang kita bicarakan ini adalah seandainya kita hadapi Raja
Tumbal, lantas dengan kekuatan apa kita harus melawannya. Kalau kita mengandalkan kekuatan dan kesaktian Palupi, lantas untuk apa kita diajak berunding di sini?"
Sebuah pembelaan telah dilakukan Suto. Palupi merasa sedang ditutupi kelemahannya. Rupanya Suto Sinting benar-benar menjaga rahasia kelemahan ilmu Palupi, sehingga pendekar tampan itu merasa harus berpikir dan berjuang sendiri mencari jalan keluar dari masalah yang masih buntu itu.
"Pembelaannya terhadapku cukup membuat hatiku semakin bangga padanya," pikir Palupi. "Tapi apakah pembelaan itu berarti awal tumbuhnya rasa cintanya pada diriku? Semoga saja begitu. Seandainya tidak begitu, aku pun tak boleh sakit hati, karena cinta bebas memilih dan tak baik dipaksakan. Aku hanya bisa berharap agar ia dekat dengan hatiku, jauh dari hati perempuan lain. Mulai sekarang harus kupahami bahwa tidak setiap harapan menjadi kenyataan. Jika harapan itu jauh dari kenyataan, aku tak boleh terlalu kecewa. Untuk membendung rasa kecewa agar tidak melukai hatiku, sebaiknya segalanya kuserahkan kepada garis kehidupanku saja. Biar sang nasib yang menentukan perjalanan kasihku."
Termenungnya Palupi membuat Suto curiga. Ketika yang lainnya meninggalkan tempat setelah Suto putuskan untuk menunggu kedatangannya pulang dari menghadap Gila Tusk, maka Suto pun berbisik kepada Palupi yang masih melamun itu,
"Palupi...!" sentakan lembut mengguncang tubuh Palupi. Sang Ratu tersipu malu, apalagi setelah Suto bertanya, "Apa yang kau lamunkan? Sepertinya bukan masalah yang sedang kita bicarakan. Kau melamunkan soal lain, Palupi!"
Palupi kian melebarkan senyumnya, namun ia menjawab dengan tegas, "Ya, memang soal lain. Soal kepergianmu nanti,"
"Maksudmu bagaimana?"
"Entahlah, tiba-tiba kubayangkan Istana mewah ini akan menjadi sepi tanpa dirimu, Suto!"
Suto ingin tertawa, ia bahkan menjawab dengan
konyol, "Kalau mau ramai, bakar saja Istana ini. Pasti ramai!"
Palupi tertawa, tangannya mencubit lengan Suto. Hatinya berbunga indah, dan Suto mulai paham dengan gelagat itu. Maka ia segera berkata lebih bijak,
"Jangan menggantungkan hidup pada seseorang. Gantungkanlah hidup pada dirimu sendiri dan seluruh manusia di muka bumi ini. Jika kau terlalu menggantungkan hidup pada seseorang, maka jiwamu akan mati pada saat orang itu pergi. Hidupnya jiwa tidak bisa bergantung pada satu jiwa saja. Itulah yang kumaksud 'hidup' dalam artian jiwa yang butuh semangat."
"Aku mengerti," jawab Palupi dengan senyum lebih wibawa lagi. "Aku harus mencoba menghidupkan jiwaku tanpa harus bergantung pada jiwamu."
"Aku yakin kau mampu, Palupi."
"Baiklah. Lalu..., kapan kau akan berangkat temui gurumu?"
"Sekarang juga!" jawab Suto dengan tegas.
"Perlu pendamping?" "Tak perlu."
"Bawalah seekor kuda supaya lebih cepat sampai dan kembali kemari."
"Pada waktu kuda sampai di tempat guruku, aku sudah bisa kembali sampai di sini lagi. Kau mengerti maksudku?"
Palupi mengangguk kalem. "Artinya gerakanmu akan lebih cepat daripada gerakan seekor kuda pacu!"
Seekor kuda bagi Pendekar Mabuk merupakan perintang perjalanan saja. Ia akan dibuat lebih sibuk dengan membawa kuda daripada pergi sendirian. Setidaknya soal makan saja harus dipikirkan untuk sang kuda. Tapi jika pergi sendirian ia hanya memikirkan makan untuk perutnya saja. Karenanya Suto tak pernah mau membawa seekor kuda dalam bepergian ke mana saja, sebab ruang geraknya akan dibatasi oleh keberadaan kuda tersebut.
Perjalanan Suto terpaksa menyimpang arah karena mendengar denting suara pedang beradu. Rasa ingin tahu siapa yang bertarung dengan mengadu pedang membuat Pendekar Mabuk berlari menuju ke balik bukit gundul itu. Untuk menyingkat waktu, Suto Sinting membatalkan niatnya untuk mengitari bukit gundul yang tak seberapa tinggi, melainkan mendaki bukit itu dengan gerak silumannya yang secepat kilat itu. Zlaaap...
Seorang wanita cantik berusia sekitar tiga puluh tahun dengan pakaian hijau dirangkap jubah merah jambu, sedang berhadapan dengan perempuan usia sebaya dengan pakaian ketat warna hitam dan rambut acak-acakan berkesan liar. Wanita berpakaian hitam itu mempunyai gerakan yang sangat lincah dan cepat. Pedangnya bergagang hitam mampu berkelebat nyaris tak terlihat mata. Tapi wanita berjubah merah jambu itu pun mempunyai jurus pedang yang sering membuat lawan nyaris tertipu.
Suto Sinting sedikit terperanjat melihat wanita berjubah merah jambu sebab ia sangat kenal dengan wanita itu. Sebuah peristiwa terbayang dalam benak Pendekar Mabuk begitu melihat wanita yang menjadi anak Adipati Suralaya. Wanita itu tak lain adalah Delima Gusti, yang dulu pernah menolong Suto Sinting dalam keadaan terkena racun 'Lebah Setan' dari Dewa Sengat. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Cambuk Getar Bumi"). Sedangkan wanita berambut acak-acakan itu belum pernah dikenal Suto sama sekali, sehingga batin Suto bertanya-tanya; siapa wanita yang mempunyai jurus pedang cukup hebat itu?
"Pakaiannya seperti dari karet. Ketat sekali dengan tubuhnya yang meliuk-liuk penuh tantangan bercumbu itu," pikir Suto. "Siapa sebenarnya perempuan berambut acak-acakan itu? Sebenarnya dia cantik, sayang tak mau merawat kecantikannya sehingga tak terlalu kelihatan menyolok. Hanya dadanya saja yang sangat menyolok karena besar dan sesak itu. Agaknya ia mempunyai jurus
pedang yang cukup hebat, terbukti Delima Gusti berulang kali terdesak dan hampir terpenggal lehernya. Hmmm... kalau kubiarkan saja, Delima Gusti bisa mati di ujung pedang perempuan berkulit kuning langsat itu."
Pandangan mata Suto Sinting tersentak lebar ketika melihat perempuan itu berani lemparkan pedangnya ke dada Delima Gusti. Wuuut...! Pedang itu kenai tempat kosong karena Delima Gusti menghindar dengan lompatan ke samping.
Weess...!
Dan ternyata dengan sentakan tangan yang terjulur bergerak ke belakang, pedang bergagang hitam itu bisa kembali mundur dengan cepat. Wuuut!
Taab...!
Dalam sekejap pedang itu sudah kembali ke tangan pemiliknya. Jurus itu belum pernah dilihat oleh Suto Sinting. Tangan perempuan berpakaian hitam itu seperti mempunyai daya sedot yang mampu membuat pedangnya yang sudah melayang lurus menjadi kembali ke tempat semula. Tentu saja hal itu bisa dilakukan karena tenaga dalam yang tinggi dan sangat terkendali.
"Bahaya sekali jurus pedangnya itu," gumam Suto masih belum mau bertindak.
Tetapi di lain sisi, Delima Gusti pun lakukan jurus yang memukau, ia tak mau mundur setapak pun ketika lawannya maju menyerang. Pedangnya berkelebat cepat membuat tangkisan-tangkisan sambil mencuri kesempatan untuk merobek perut atau dada lawannya. Bahkan dalam satu keeempatan, Delima Gusti berhasil
lemparkan pedangnya lurus ke depan, tapi tubuhnya segera melompat dan hinggap di pedang yang sedang melayang. Wuuutt...!
Delima Gusti bagaikan terbang dengan berdiri di atas pedangnya yang datar. Ujung pedang diarahkan ke leher lawan. Bahkan ketika lawan menghindar ke kiri, Delima Guatl membelokkan arah terbangnya pedang, sehingga pedang itu mengejar lawan ke kiri juga. Slaaap...!
Pedang menukik naik karena lawan lakukan lompatan ke atas. Arah pedang tertuju ke perut lawan. Kaki Delima Gusti seakan menjadi pengganti tangan yang hendak menghunjamkan pedang itu ke tubuh lawan. Kibasan pedang perempuan berpakaian hitam itu ditangkis dengan sentakan tenaga dalam yang keluar dari telapak tangan Delima Gusti, sehingga tangan yang hendak menebaskan pedang tersentak ke belakang, tak jadi maju ke depan. Tapi pedang di kaki Delima Gusti melesat naik dan berputar membuat Delima Gusti berjungkir balik di udara dengan kaki tetap menempel pada pedang. Untung saja perempuan yang menjadi lawannya cepat bersalto ke belakang, jika tidak perutnya akan jebol ditembus oleh pedang Delima Gusti.
"Ternyata jurus pedang Delima Gusti juga tidak bisa diremehkan?!" gumam Suto bicara sendiri. "Mungkin itulah yang dinamakan jurus 'Pedang Terbang'."
Karena keenakan nonton jurus pedang yang demikian hebat, Suto hampir saja lupa melerai pertarungan itu. Kesadarannya timbul ketika Delima Gusti terdesak di bawah pohon setelah menerima tendangan keras tepat di
ulu hatinya dari wanita berambut acak-acakan itu. Duuhg...! Wuuus...!
Delima Gusti terkapar di bawah pohon. Punggungnya
tadi membentur batang pohon dengan keras. Darah keluar dari mulut Delima Gueti. Tapi ia masih berusaha untuk segera bangkit, walaupun dalam keadaan sempoyongan. Kelemahan itu tidak disia-siakan oleh lawannya. Lawan segera menerjang dengan pekik melengking penuh hasrat membunuh.
Hiaaat...!"
Pedang bergerak cepat ke sekeliling tubuh, tak tahu akan menebas melalui sisi mana. Delima Gusti pasti tak mampu menangkis serangan itu. Maka, Suto Sinting segera kirimkan pukulan ringan namun cukup melumpuhkan. Jurus 'Jari Guntur' digunakan. Sentilan jarak jauh dari jari tangan kanannya melepaskan tenaga dalam tanpa sinar. Tess...! Wuuud...!
Buuhg...! Pukulan tenaga dalam itu mengenai dada perempuan berpakaian ketat tereebut. Gerakan majunya terhenti seketika, tubuhnya melayang balik dengan terjungkir satu kali dan jatuh dalam jarak tiga tombak dari tempatnya melompatnya tadi. Ia terengah-engah dengan keadaan setengah merangkak. Dadanya dipegangi karena merasa sakit, merasa seperti dijejak dengan dua kaki kuda.
Delima Gusti merasa heran, namun cepat tanggap bahwa ada orang yang telah membantunya dari suatu tempat. Delima Gusti segera sapukan pandangan mata ke segala arah. Lalu temukan sosok seorang lelaki berdiri di
atas bukit gundul. Dari bumbung tuak di pundak kanan, Delima Gusti segera mengenali bahwa lelaki di atas bukit itu tak lain adalah Suto Sinting. Maka ia pun mendesah di sela engahan napasnya, "Suto...?!"
Keadaan seperti itu adalah kelengahan yang berbahaya bagi Delima Gusti. Perempuan berpakaian hitam ketat itu ternyata memanfaatkan kelengahan tersebut dengan melepaskan seberkas sinar yang disentakkan dari ujung jari tangan kiri. Claap...! Sinar merah terang berkelebat menuju Delima Gusti.
Suto Sinting yang mengetahui keadaan gawat itu segera menyentakkan jari tangannya juga setelah jari itu disentuhkan di dahi. Wuuut...! Suto bagaikan membuang sesuatu di ujung dua jarinya, lalu seberkas sinar ungu melesat melebihi kecepatan sinar merah perempuan berpakaian hitam itu. Zlaaap...!
Sinar ungu itu tepat membentur sinar merah sebelum mencapai tubuh Delima Gusti. Benturan tersebut hadirkan gelombang panas yang meledak dan menghentak ke berbagai penjuru.
Blaaarr...!
Jurus 'Turangga Laga' telah menyelamatkan Delima Gusti dari ancaman maut sinar merah lawannya. Namun daya ledak yang menimbulkan gelombang panas menyentak kuat telah menerbangkan tubuh Delima Gusti hingga terpelanting tak tentu arah. Demikian pula lawannya, terpelanting membentur pohon menerabas semak belukar dan jatuh berdebum di balik semak. Suto Sinting segera turun dari atas bukit untuk menolong
Delima Gusti.
"Su... Suto...!" Delima Gusti semakin parah, darah keluar dari mulut semakin banyak. Wajahnya sepucat mayat. Suto Sinting segera menyangga kepala Delima Gusti, lalu meminumkan tuaknya. Dua teguk tuak masuk ke tubuh Delima Gusti. Suto Sinting segera letakkan kembali kepala Deiirrta Gusti ke tanah. Karena pada waktu itu, perempuan berambut acak-acakan itu telah melompat keluar dari balik semak dan berseru dengan suara sedikit serak,
"Manusia licik! Siapa kau, hah?! Apa urusanmu sehingga berani mencampuri pertarunganku ini?!"
"Maaf, Nona. Aku hanya tidak menghendaki temanku ini mati di tanganmu!" kata Suto sedikit keras namun tidak menampakkan sinar bermusuhan.
"Dia harus mati!" sentaknya sambil menuding Delima Gusti pakai tangan kiri, sebab tangan kanannya masih pegangi pedang. "Kalau kau mau ikut dia ke alam baka, sekarang juga aku akan mengirimnya ke sana! Hiaaah...!"
Claaap...! Sentakan telapak tangan kiri yang kuat melepaskan selarik sinar kuning lurus besarnya seukuran gagang tombak. Suto Sinting segara menghadang sinar kuning itu dengan bumbung tuaknya. Dees...! Wuuuk...! Sinar kuning itu berbalik arah, dua kali lebih besar dari aslinya dan dua kali lebih cepat dari gerakan semula.
"Edan!" pekik perempuan itu geram. Dia terkejut melihat sinar kuningnya berbalik arah. Ia segera sentakkan kaki dan, wwwut...! Tubuhnya melesat ke
atas. Sinar kuning itu lewat di bawah kakinya. Namun ila tak tahu kalau jaraknya dekat dengan pohon. Maka ketika sinar kuning itu menghantam pohon, suara ledakan yang timbul menggelegar itu hasilkan gelombang panas yang menyentak ke berbagai arah.
Blegaaar...!
Tubuh perempuan itu tersentak ke depan dan jatuh tersungkur dengan keras. Wajahnya beradu dengan rumput. Dadanya yang membusung montok itu pun bagaikan dibantingkan ke tanah. Bung...!
"Eegh...!" suaranya tertahan karena hentakan itu. Kejap berikut terdengar suara erangan kecil, ia menggeliat dan bangkit pelan-pelan. Matanya memandang ganas walau berdirinya masih belum bisa tenang, limbung ke kiri-kanan. Suto Sinting sengaja dekati perempuan itu.
"Maaf, itu seranganmu sendiri," katanya dengan lembut.
Walau matanya menatap tajam dan berkesan ganas, tapi hati perempuan itu berkata, "Tak pernah ada yang bisa membalikkan pukulan 'Lancang Kuning'-ku itu. Jika dia bisa berbuat seperti tadi, berarti ilmunya cukup tinggi. Uuh...! Punggungku terasa panas sekali. Kurasa ada bagian tubuh yang hangus. Tulang punggungku pun terasa retak. Aku butuh waktu untuk atasi luka dalamku ini. Hmmm... sayang sekali dia tampan, kalau tidak, sudah kulepaskan jarum pamungkasku ke arahnya sekarang juga. Sial!"
Suto Sinting berkata dengan lembut, senyumnya tipis
memikat hati wanita.
"Kalau kau tidak menyerangku, kau tidak akan celaka, Nona!"
"Jangan banyak mulut! Suatu saat kita pasti bertemu, dan akan kubalas kekalahanku ini!" Setelah berkata demikian, Suto Sinting melihat perempuan itu mundur tiga tindak, kemudian berbalik dan cepat pergi tinggalkan tempat. Gerakannya cukup cepat, karena dalam kejap berikutnya sudah tidak terdengar langkah dan gerakan larinya.
Delima Gusti menyusul Suto dengan badan masih sedikit lemas, tapi rasa sakit di bagian dada sudah hilang. Napasnya masih sedikit terengah-engah.
"Seharusnya jangan kau biarkan dia melarikan diri!" kata Delima Gusti.
"Siapa dia sebenarnya?" mata Suto masih
memandang ke arah kepergian perempuan tadi.
"Dia dikenal dengan nama Angin Betina. Murid Nini Pancungsari, tentunya kau masih ingat nama Nini Pancungsari!"
"Ya, aku ingat. Nini Pancungsari yang bekerja sama dengan Sri Maharatu untuk membunuh Bandar Hantu Malam, tapi akhirnya mati sebagai bahan percobaan pusaka Cambuk Getar Bumi di tangan Sri Maharatu."
"Benar. Dia berkelana mencari pembunuh gurunya." "Lalu, mengapa seharusnya tak kubiarkan melarikan
diri?"
"Dia mencarimu, mau membunuhmu, karena ada kabar yang mengatakan bahwa pembunuh gurunya
adalah Suto Sinting."
"Mengapa terlibat bentrokan denganmu?"
"Karena... karena ketika kami sama-sama satu kedai, kudengar sesumbarnya yang memuakkan, yaitu akan memotong-motong tubuhmu menjadi delapan bagian. Aku tak rela kau mati di tangannya. Maka kuhadang dia di perjalanan dan kucoba untuk melumpuhkannya. Ternyata ia cukup tangguh. Tapi aku yakin tak ada sekuku hitamnya jika dibandingkan ilmumu."
"Berarti dia hanya tahu nama tanpa tahu rupa?" "Kurasa begitu. Buktinya, dia justru pergi, padahal
dia mencarimu. Dia tak tahu kalau yang dihadapi adalah
Pendekar Mabuk; Suto Sinting!"
Tawa Suto pendek saja. Kalem, tak terpancing kemarahan, ia bahkan menenggak tuaknya beberapa teguk. Saat itu Delima Gusti berkata,
"Kau mau ke mana, Suto?"
"Menemui guruku untuk suatu keperluan. Kau sendiri mau ke mana?"
"Menemui Resi Wulung Gading, mau menanyakan ciri-ciri Pedang Kayu Petir."
Seketika itu juga Suto Sinting tersentak kaget, matanya cepat memandang tajam pada Delima Gusti, lalu dia ajukan tanya pada wanita cantik itu,
"Kenapa kau ingin mengetahui ciri-ciri Pedang Kayu
Petir?"
"Seseorang ingin melamarku dan memberiku maskawin Pedang Kayu Petir!"
"Hah...?!" Suto terbelalak. "Siapa orang itu?
"Gandar Saka, dari Lumpur Maut!"
Suto makin terkejut. "Gandar Saka? Bukankah dia yang berjuluk Raja Tumbal?!"
*
* *

3
SUTO SINTING terpaksa menemani Delima Gusti dalam perjalanan ke Lembah Sunyi, untuk menemui Resi Wulung Gading. Hal itu dilakukan Suto demi memperoleh keterangan sejelas-jelasnya dari Delima Gusti tentang kebenaran kata-katanya itu. Sebab, hati Pendekar Mabuk kini diliputi kecemasan yang tersembunyi. Jika benar Pedang Kayu Petir akan dijadikan maskawin bagi Raja Tumbal untuk melamar Delima Gusti, itu berarti Pedang Kayu Petir sudah ada di tangan Raja Tumbal. Semakin sulit menumbangkan orang yang telah memiliki pusaka Seruling Malaikat itu.
"Kabarnya memang begitu, Gandar Saka sudah berusia banyak, tapi ia masih awet muda karena memang mempunyai ilmu awet muda. Ia seperti lelaki berusia tiga puluhan," tutur Delima Gusti.
"Kau pernah bertemu dengannya?"
"Pernah, yaitu ketika ia selamatkan ayahku dari ancaman orang-orang Pulau Dadap. Waktu itu kami masih bermusuhan dengan Pulau Dadap. Setelah itu aku tak pernah bertemu lagi, karena aku jarang ada di kadipaten. Belakangan kudengar dia menemui Ayah dan melamarku dengan maskawin Pedang Kayu Petir."
"Lalu apa kata ayahmu?"
"Ayah tertarik dengan Pedang Kayu Petir itu. Kata Ayah, pedang itu sangat sakti, dapat lukai semua orang berilmu setinggi apa pun, karenanya pedang itu ditakuti oleh semua orang sakti dari golongan hitam maupun putih. Katanya pula, seluruh kekuatan lawan sesakti apa pun jika matanya sudah memandang Pedang Kayu Petir, maka kekuatan itu akan lumpuh tak akan bisa digunakan selama masih berada di sekitar pedang tersebut. Karenanya mudah digunakan membunuh tokoh yang ilmunya setinggi langit pun. Bahkan kabarnya pedang itu paling ditakuti oleh tokoh sesat terkenal, yaitu Siluman Tujuh Nyawa."
Sebagian keterangan sudah didengar Suto dari beberapa tokoh tua, termasuk Resi Wulung Gading. Tapi agaknya sang Adipati, ayah Delima Gusti itu lebih banyak mengetahui tentang pedang tersebut. Tak heran jika sang Adipati sangat tertarik untuk memiliki Pedang Kayu Petir.
"Apakah waktu Gandar Saka datang kepada ayahmu sudah membawa pedang tersebut?" tanya Suto bersifat menyelidik.
"Belum. Kurasa Gandar Saka tidak bodoh, membawa-bawa pedang pusaka tanpa jelas lamarannya diterima atau tidak. Salah-salah direbut orang di tengah jalan," jawab Delima Gusti.
"Menurutmu sendiri bagaimana? Apakah kau mau menikah dengan Gandar Saka?"
"Ayah hanya mengatakan, kesempatan mendapatkan
pedang maha sakti itu hanya satu kali ini. Belum tentu tujuh turunan kita bisa punya kesempatan lagi. Jadi, Ayah sarankan padaku agar jangan sia-siakan kesempatan ini. Aku didesak untuk menerima lamaran Gandar Saka, toh pedang itu nantinya akan menjadi milikku. Jadi kupikir-pikir, kuterima saja lamarannya demi dapatkan pedang itu. Sesakti apa pun si Gandar Saka, kalau pedang itu sudah ada di tanganku, aku bisa lepaskan diri dari tali perkawinan itu. Kalau dia melawan, aku punya senjata untuk melumpuhkannya!"
"Jadi kau tidak mencintainya?"
"Aku tahu orang Lumpur Maut itu busuk-busuk hatinya! Untuk apa aku jatuh cinta pada lelaki berhati busuk, kecuali untuk dapatkan pedang maha sakti!"
Terdengar suara tawa Suto pendek saja, seperti orang menggumam. Sambil tetap melangkah menuju Lembah Sunyi, hati Suto Sinting berkecamuk sendiri.
"Cerdik juga otak perempuan ini. Rela menjadi istri Raja Tumbal hanya untuk dapatkan senjata sesakti itu. Tetapi apa jadinya jika ternyata pedang itu palsu? Padahal Delima Gusti sudah telanjur menjadi istri Raja Tumbal? Mau melawan tanpa pedang asli, jelas ia tak akan mampu mengalahkan Raja Tumbal. Bahaya juga kalau Delima Gusti tidak hati-hati. Dia bisa terjebak dalam lumpur mautnya Raja Tumbal!"
"Apakah kau keberatan kalau aku menerima lamaran Gandar Saka?" pancing Delima Gusti. "Kalau memang kau keberatan aku bersuamikan dia, kubatalkan niatku memperoleh pedang pusaka itu, asal aku dapat pangganti
seorang suami yang serupa persis denganmu."
Suto Sinting tertawa pendek. "Agaknya perempuan ini menyimpan hati untukku tapi tak berani berterus terang," pikir Suto. "Terserah, itu haknya untuk jatuh cinta kepada siapa saja. Yang jelas aku tak boleh mengikatnya kalau aku tak siap membalas cintanya."
"Jawablah, Suto," Delima Gusti sengaja hentikan langkah. "Jawablah apakah kau keberatan aku menikah dengan Raja Tumbal?"
Suto tersenyum menawan. Lembut dan meneduhkan hati.
"Yang membuatku kecewa kalau kau terjebak
lumpurnya Raja Tumbal itu!" "Maksudmu?"
"Pedang itu ternyata palsu, tapi kau sudah terikat tali perkawinan dengannya. Kau tak akan bisa memberontak. Kalau toh kau memberontak, kau akan kalah bertanding ilmu dengannya. Ingat, dia punya pusaka Seruling Malaikat!"
Delima Gusti tarik napas panjang-panjang, lalu melangkah lagi sambil berkata dengan pelan,
"Ituiah sebabnya perlu kutanyakan dulu kepada Resi Wulung Gading tentang ciri-ciri pedang tersebut. Bila perlu, akan kuminta Resi Wulung Gading datang pada saat penyerahan pedang dan memeriksanya."
Gagasan itu dianggap cukup bagus oleh Pendekar Mabuk. Tapi ia yakin, jika pedang itu asli, pasti akan direbut oleh Resi Wulung Gading, sebab Pedang Kayu Petir adalah pedang milik leluhurnya dan hanya sang
Resi yang berhak memegang pedang tersebut. Sekalipun pedang tersebut sudah dinyatakan hilang puluhan tahun, tetapi sang Resi pasti tetap merasa harus merebutnya jika ia tahu di mana pedang itu berada.
Mereka tiba di padepokan sang Resi ketika matahari mulai bergeser ke barat. Cahayanya masih terang benderang. Kedatangan mereka disambut oleh dua murid sang Resi yang luput dari pembantaian Dampu Sabang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bandar Hantu Malam"). Kedua orang itu adalah Dul dan Sukat.
"Guru tidak ada di tempat," kata Sukat
"Ke mana beliau?"
"Pergi ke Jurang Lindu," jawab Dul.
"Ke Jurang Lindu?!" Suto berkerut dahi.
"Ya. Beliau ingin temui seorang tokoh sakti di sana bergelar si Gila Tuak!" kata Sukat tanpa menyadari bahwa yang diajak bicara adalah murid si Gila Tuak. Hal itu membuat Delima Gusti memandangi ke arah Suto, sebab ia tahu bahwa Suto Sinting adalah murid si Gila Tuak. Tapi karena Suto berpikir beberapa saat, maka Delima Gusti pun segera ajukan tanya kepada Sukat.
"Kapan beliau pulang kemari?"
"Menurut hitungan, hari ini Guru pulang. Mungkin sedikit sore baru tiba."
"Kalau begitu begini saja," kata Suto kepada Delima
Gusti. "Kau tunggu sang Resi datang di sini, aku akan bergegas ke Jurang Lindu, siapa tahu kepulangan beliau ditunda. Aku akan ceritakan tentang dirimu yang ada di sini serta maksud dan tujuanmu mencari beliau."
"Baik. Aku setuju. Aku akan menunggumu juga walau sudah bertemu dengan sang Resi nanti. Jadi kuharap dari temui gurumu kau kembali ke sini dan kita pergi bersama. Mungkin ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan."
Sambil berlari menggunakan gerak siluman menuju Jurang Lindu, benak Suto selalu berkecamuk terutama tentang dua hal yang disangsikan.
"Benarkah pedang itu sudah ada di tangan Raja Tumbal? Serela itukah ia memberikan pedang maha sakti itu hanya untuk mempersunting seorang wanita anak Adipati? Alangkah bodohnya Gandar Saka jika hal itu benar-benar terjadi." j
Lalu pikiran Suto pun beralih pada kesangsian kedua, "Benarkah Delima Gusti ingin dilamar Gandar Saka dengan maskawin Pedang Kayu Petir? Jangan-jangan Delima Gusti hanya membual di depanku untuk memancing perasaanku, apakah mencintainya atau tidak? Alangkah beruntungnya Delima Gusti jika memang hal itu benar-benar terjadi."
Tepat menjelang petang, Suto Sinting tiba di kediaman gurunya; si Gila Tuak. Tetapi tempat itu ternyata kosong. Gila Tuak tak ada di tempat. Resi Wulung Gading juga tidak ada di tempat. Tak pernah ada tanda ke mana Gila Tuak pergi. Hal itu membuat Suto menjadi bingung sendiri.
"Kalau begitu aku harus pergi ke Lembah Badai untuk temui Bibi Guru Bidadari Jalang. Siapa tahu Guru ada di sana bersama Resi Wulung Gading! Setidaknya
aku bisa tanyakan kepada Bibi Guru tentang kelemahan Seruling Malaikat. Pasti Bibi Guru mengetahuinya, mungkin juga kenal dengan Raja Tumbal."
Zlaaap...! Dengan gunakan gerak siluman Suto menuju Lembah Badai. Lembah itu adalah satu-satunya lembah yang sering dilanda badai. Konon tak jauh dari pondok Bidadari Jalang terdapat pusaran angin yang mampu menyedot benda apa pun yang melintas di atasnya, itulah sebabnya lembah itu dinamakan Lembah Badai.
Sejak Bidadari Jalang mengasingkan diri di Lembah Badai, membersihkan diri dari tindakan sesatnya selama ini, ia tinggal di pondok itu bersama seorang pelayan wanita yang bernama Biyung Supi. Usianya sekitar empat puluh tahun. Konon seorang janda yang nyaris mati di tangan perampok, lalu diselamatkan oleh Bidadari Jalang dan akhirnya mengabdi di sana. Biyung Supi orang yang pendiam, rajin bekerja, dan taat pada perintah majikannya. Badannya kurus, rambutnya panjang tapi selalu digelung rapi. Kulitnya sawo matang. Sisa kecantikannya masih terlihat lewat kebangiran hidung dan keindahan bentuk mata serta bibirnya. Kegemarannya mengenakan kebaya hijau muda dengan kain batik warna coklat cerah.
Perempuan ituiah yang menyambut kedatangan Suto dan memberitahukan,
"Gusti Ayu Bidadari Jalang sedang pergi, Tuan
Pendekar."
"Ke mana perginya, Biyung?"
"Secara pasti saya tidak tahu, Tuan Pendekar. Tetapi tadi Eyang Guru Gila Tuak dan Resi Wulung Gading menjemputnya. Mereka pergi bertiga. Kalau tak salah dengar, mereka akan hadiri pertemuan para tokoh tua yang akan membicarakan soal kemunculan Pedang Kayu Petir."
Pendekar Mabuk terperanjat sedikit, namun segera bersikap biasa kembali.
"Kapan mereka akan pulang?"
"Saya tidak mendengar percakapan tentang kapan beliau pulang."
"Apakah kau juga tidak tahu di mana mereka
berkumpul?"
"Tidak mendengar nama tempat disebutkan oleh beliau, Tuan Pendekar."
Petang mulai datang. Dengan hati sedikit kecewa
karena tidak berhasil temui guru-gurunya, Suto pun kembali ke Lembah Sunyi, ia perlu bicarakan tentang pertemuan para tokoh tua itu kepada Delima Gusti. Siapa tahu perempuan cantik itu mengetahui adanya pertemuan tersebut dan bisa sebutkan tempatnya. Jika Suto tahu tempatnya, sudah pasti ia akan menyusul para gurunya ke tempat pertemuan itu. Sebab pembicaraan yang dibahas sangat menarik perhatiannya, yaitu tentang kemunculanTedang Kayu Petir.
"Ternyata pedang itu memang benar-benar muncul lagi di permukaan bumi," pikir Suto dalam perjalanannya. "Terbukti para tokoh tua berkumpul untuk membicarakannya. Berarti apa yang dikatakan
Delima Gusti itu benar, bahwa Pedang Kayu Petir ada di tangan Raja Tumbal dan akan dijadikan maskawin. Barangkali para tokoh tua mendengar pedang pusaka maha sakti itu akan dijadikan maskawin, sehingga hal itu perlu dibicarakan secara penuh perhatian. Mungkin tindakan itu dianggap penghinaan terhadap pusaka maha sakti, atau mereka berusaha selamatkan pedang itu dari tangan Raja Tumbal?"
Pendekar Mabuk hanya meraba kemungkinan- kemungkinan yang bisa terjadi dan bisa dilakukan oleh para tokoh tua. Diam-diam dia mempunyai kecemasan walau kecil sekali. Kecemasan itu berupa bayangan kesaktian Raja Tumbal jika pedang maha sakti itu tak jadi diberikan kepada orangtua Delima Gusti. Menurut Suto, kesaktian Raja Tumbal akan semakin berlipat ganda; punya pedang maha sakti dan Seruling Malaikat. Siapa orangnya yang bisa mengalahkan dua pusaka dalam satu tangan itu?
Suto sempatkan diri berhenti sejenak, ia menenggak tuaknya. Ternyata tuak tinggal sedikit, ia harus mengisi bumbung itu dengan tuak yang baru. Ia tak mau kehabisan tuak di perjalanan. Gagasan yang terlintas adalah singgah di desa Pucangan, karena desa itulah yang terdekat dari tempatnya berhenti.
"Aku akan mampir ke kedainya Ki Rosowelas dan mengisi tuak di sana. Sekalian ingin melihat kabarnya Sundari, anak gadis Ki Rosowelas itu," pikir Suto sambil segera melesat ke arah desa Pucangan di kaki Gunung Keong Langit. Dari desa itu dapat ditempuh jalan
menuju Lembah Sunyi lebih dekat lagi asal mau melintasi lereng Gunung Keong Langit, bekas persinggahan Bandar Hantu Malam yang bernama asli Ki Randu Papak itu.
Satu hal yang tak disangka-sangka terjadi di kedai Ki Rosowelas. Kedai masih buka, pembelinya cukup ramai karena salah satu warga desa ada yang punya hajat, mengawinkan anaknya dengan menanggap ronggeng. Rumah yang sedang punya hajat itu tidak seberapa jauh dari kedai Ki Rosowelas. Karenanya banyak pembeli ysng hilir mudik ke kedai tersebut.
Suto Sinting sengaja muncul dari pintu dapur. Sundari berteriak kegirangan, lalu tanpa sungkan- sungkan memeluk Suto sebagai ungkapan rasa girangnya. KI Rosowelas pun tampak gembira sekali menerima kedatangan Suto, bahkan sempat menceritakan keadaan Suto yang waktu itu ditemukan seperti orang gila. Suto mengerti maksud Ki Rosowelas, dan ia jadi malu membayangkan masa linglungnya karena terkena racun 'Lebah Setan' itu. Temu kangen itu terjadi di dapur, sehingga tidak mengganggu orang lain dan tidak terganggu oleh orang lain.
"Aku hanya ingin mengisi bumbung tuakku yang hampir kering, Sundari. Setelah itu aku harus pergi ke Lembah Sunyi."
"Mengapa buru-buru, Suto? Bermalamlah di sini saja! Besok baru teruskan perjalananmu," bujuk Sundari dengan penuh harap, karena gadis itu sebenarnya menyimpan cinta dan kekaguman terhadap Pendekar
Mabuk.
Sambil mengisi tuak ke bumbung, Ki Rosowelas juga menyarankan agar bermalam di tempatnya. Bahkan Pak Tua itu tambahkan kata,
"Mumpung ada tanggapan ronggeng semalam suntuk lho. Pasti seru dan sangat sayang kalau dilewatkan."
"Kapan-kapan saja aku bermalam lagi di sini, Ki.
Sekarang aku punya urusan yang lebih penting daripada nonton ronggeng semalam suntuk," kata Suto. Ia menerima bumbungnya kembali setelah bumbung itu penuh tuak.
"Ada makanan apa di depan, Ki?"
"Biasa... ketan, singkong rebus, ubi goreng, pisang goreng, jadah, dan... cobalah lihat sendiri sana," kata Ki Rosowelas yang sudah menganggap Suto seperti anak sendiri. Diam-diam Sundari persiapkan kamar untuk bermalam Suto. Ia yakin dengan bujukan dan rengekan manjanya, Suto pasti akhirnya akan bermalam di kedainya itu. Setidaknya akan terpaksa bermalam jika kamar sudah disiapkan oleh Sundari.
Ketika Suto ingin mengambil makanan sebagai pengganjal perut, tiba-tiba matanya memandang ke arah bangku sudut. Di sana duduk seorang wanita berambut acak-acakan, mengenakan pakaian ketat warna hitam, wajahnya tampak angker walau sebenarnya cantik. Suto terkejut memandang wanita itu yang tak lain adalah Angin Betina, lawan Delima Gusti yang konon sedang mencari Suto untuk dibunuh.
Melihat si murid Nini Pancungsari itu duduk
sendirian dalam keadaan sedang termenung, Suto Sinting pelan-pelan mendekatinya dengan senyum tipis telah mekar di bibirnya dan sepotong pisang goreng ada di tangannya. Wanita berwajah liar itu terkejut ketika sadar ada lelaki telah berdiri di depannya. Ia langsung pegang gagang pedang, namun segera batalkan niat mencabutnya setelah matanya menatap jelas-jelas siapa pemuda yang mendatanginya itu.
"Kampret busuk! Si tampan itu lagi yang muncul!" gumamnya dalam hati.
"Boleh aku duduk di bangku depanmu ini, Nona
Cantik?"
Angin Betina diam saja, berkesan angkuh dan sinis. Tapi ketika Suto duduk di bangku depan mejanya, ia segera buang muka bagai tak ingin beradu pandang dengan Suto Sinting. Lagaknya itu membuat Suto kian melebarkan senyum geli.
"Untuk apa kau berada di desa ini, Angin Betina?" Seet...! Wajah sangar itu berpaling memandang Suto.
"Dari mana kau tahu namaku?!" ucapnya bernada ketus. "Banyak hal yang kuketahui tentang dirimu.
Sesungguhnya kau berhadapan dengan seorang peramal," kata Suto mulai membual dalam canda batinnya.
Mata Angin Betina terkesiap. "Apa saja yang kau tahu tentang diriku?"
"Kau sedang dilanda kemarahan yang tertunda, tapi juga menyimpan duka atas suatu musibah yang terpaksa harus kau hadapi."
Angin Betina tidak memberikan pendapat. Diam beberapa saat. Karena Suto pun diam agak lama dan mereka saling adu pandang, Angin Betina tak kuat menahan debar-debar di hatinya, maka ia alihkan perhatian hatinya dengan tanya,
"Apa lagi yang kau tahu?"
"Kau... sedang berkabung atas kematian gurumu." Suto memandang dengan sengaja tak berkedip supaya
kelihatan sedang meneropong mata dan membaca pikiran wanita itu. Si wanita mulai tertarik dan mendesak pertanyaan,
"Kalau kau memang peramal, sebutkan nama guruku!"
"Hmmm... gurumu adalah Nini Pancungsari, orang berilmu tinggi yang punya dendam dengan tokoh sakti bernama Bandar Hantu Malam!"
Angin Betina mulai semakin tertarik dengan gerak mata yang sedikit melebar tanda terperanjat. Padahal semua keterangan itu sudah diperoleh Suto jauh sebelum ia bertemu dengan Angin Betina.
"Apa kau tahu siapa pembunuh guruku?"
"Hmmm... ya, tahu! Tapi berbeda dengan alam pikiranmu."
"Jelaskan!"
"Gurumu bertarung melawan Bandar Hantu Malam, bekerja sama dengan Sri Maharatu. Mereka berhasil membunuh Bandar Hantu Malam, gurumu mengambil kalung pusaka Bandar Hantu Malam, sedangkan Sri Maharatu mengambil pusaka Cambuk Getar Bumi. Tapi
Sri Maharatu orang kejam. Gurumu dipakai bahan percobaan kesaktian cambuk itu. Sri Maharatu melecutkan cambuknya dan gurumu pun mati. Sri Maharatu baru percaya bahwa cambuk itu adalah cambuk pusaka yang mempunyai kesaktian tinggi."
"Sri Maharatu...?!" gumamnya mulai berkerut dahi. "Aslinya memang dia pembunuh gurumu. Tapi...
sepertinya kau telah memperoleh berita yang salah. Kau pasti sangka orang lain yang membunuhnya."
"Memang benar. Tapi tahukah kau siapa orang yang kusangka membunuh guruku?"
"Menurut pikiranmu yang kubaca saat ini, kau
menyangka Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting itulah orang yang kau anggap membunuh gurumu."
Keheranan Angin Betina mulai terlihat jelas dari gumamnya, "Aneh! Tepat sekali!" sorot matanya pun mempunyai nada keheranan cukup dalam. "Aku ingat, kala itu Guru memang dihampiri oleh Sri Maharatu dari Pulau Dadap, dan mereka menyebut-nyebut cambuk pusaka yang bernama...."
"Cambuk Getar Bumi!"
"Ya. Tepat. Rupanya ini kelicikan Sri Maharatu?!" "Benar. Tapi dia sekarang sudah tiada. Tewas
terpotong-potong di depan tiga saksi, yaitu Delima Gusti, Resi Wulung Gading, dan Putri Kunang, adik tiri Sri Maharatu."
"Siapa yang membunuh Sri Maharatu?" "Pendekar Mabuk, Suto Sinting."
Angin Betina nyata-nyata terkejut mendengar nama
itu disebutkan sebagai pembunuh Sri Maharatu. Karena di dalam hatinya sudah mempunyai perubahan dendam, ia ingin mencari Sri Maharatu untuk membalas kematian gurunya. Namun ia sangat tak menyangka kalau Sri Maharatu justru telah mati di tangan orang yang pertama kali dicurigai membunuh gurunya.
"Bagaimana kau bisa tahu semua itu?"
"Karena aku seorang peramal," jawab Suto dengan senyum tipis mengguncangkan hati Angin Betina. Keketusan dan keangkuhannya mulai mengendor. Ia meneguk arak pesanannya dalam cangkir kecil. Matanya masih memandang Suto dengan kesan nakal. Senyumnya pun tipis punya arti jalang. Lalu ia berkata pelan,
"Terlalu tampan kau untuk seorang peramal."
"Orang cantik sepertimu yang menjadi dukun bayi juga banyak," kata Suto.
Angin Betina lebarkan senyum, bernada geli mendengar kelakar Suto.
"Kau sudah tahu namaku. Sekarang aku perlu tahu, siapa namamu?"
Suto diam sesaat mempertimbangkan jawabannya. Karena terlalu lama membungkam, Suto kembali didesak Angin Betina,
"Siapa namamu? Katakan saja. Aku tak pernah menghina nama sejelek apa pun!"
"Namaku... Pancawala!"
"Oh, nama yang bagus sekali," ucap Angin Betina dengan lirih.
Suto sengaja tak mau sebutkan namanya, takut kalau Angin Betina tidak mau percaya dengan ceritanya tadi. Ia bergegas tinggalkan Angin Betina sebentar karena Sundari lambaikan tangan kepadanya. Suto bergegas ke dapur dan mendengar Sundari berkata,
"Jangan dekati wanita itu! Dia sedang mencarimu untuk dibunuh!"
Ki Rosowelas menyahut, "Tidak apa-apa. Aku tadi sudah ceritakan banyak-banyak tentang dirimu. Saat kau masuk dapur tadi, ia bertanya padaku mengapa kelihatannya di dapur terjadi kegembiraan. Lalu kuceritakan secara singkat siapa dirimu. Apa yang kudengar dari orang-orang tentang keberhasilanmu membunuh Sri Maharatu yang mencuri cambuk pusakanya Bandar Hantu Malam juga kuceritakan dan...."
"Jadi dia... dia sudah tahu namaku, Ki?"
"Sudah! Sudah tahu!" jawab Ki Rosowelas dengan bangga. "Malah dia merasa menyesal telah mengancam oang yang telah membalaskan kematian gurunya itu."
Suto Sinting tertegun bengong dan menjadi tak enak hati. Jika begitu maka bualannya tadi sia-sia. Suto jadi salah tingkah, namun segera punya niat meluruskan pengakuannya tadi. Ia segera temui Angin Betina lagi dan berkata dengan lagak kikuknya.
"Hmmm... maaf, kurasa...."
"Aku besok akan pergi ke Bukit Lajang, apakah kau mau ikut Pancawala?"
"Hmmm... anu... namaku bukan Pancawala. Namaku
Suto Sinting dan...." "Ah, Pancawala!"
"Bukan kok. Namaku Suto Sinting! Aku tadi...."
"Sekali Pancawala tetap Pancawala. Jangan berubah- ubah!"
Suto mengendur, "Hmmm... iyalah... Pancawala juga boleh...."
Angin Betina tersenyum. "Aku mau ke Bukit Lajang, kau mau ikut?" ulangnya.
"Untuk apa ke sana?"
"Menyadap pembicaraan tokoh sakti yang sedang membicarakan tentang munculnya Pedang Kayu Petir."
"Hahh...?!" Suto terkejut, hal ini pun termasuk sesuatu yang tak disangka-sangka. Ternyata Angin Betina justru mengetahui di mana tempat pertemuan para tokoh sakti itu. Padahal Suto sedang berusaha mencari tahu dengan menghubungi Delima Gusti, itu pun belum terlaksana karena harus singgah di kedai tersebut. Agaknya tawaran itu tak bisa ditolak oleh Suto.
"Baiklah. Aku besok mau ikut denganmu ke Bukit
Lajang."
"Kalau begitu, malam ini kau pasti setuju jika kita bermalam di sini!"
"Bermalam. Mak... maksudmu.... Eh, tapi di sini hanya ada satu kamar kosong!"
"Cukup untuk berdua, bukan?" "Eh... tapi... tapi begini saja..."
"Kalau kau tak mau bermalam denganku, aku tak mau mengajakmu ke Bukit Lajang," kata Angin Betina.
Suto semakin bingung dan sulit bicara.
*
* *

4
TiDUR bersama bagi Suto punya dua pengertian; memang benar-benar tidur, atau justru tidak bisa tidur. Jika memang benar-benar tidur, Suto tidak keberatan. Tapi jika ternyata justru tidak bisa tidur, itu yang repot. Suto tidak berani lakukan yang begituan, karena segala gerak-geriknya selalu dipantau oleh calon istrinya; Dyah Sariningrum. Suto Sinting tak mau kecewakan sang kekasih, ia juga tak ingin nodai cintanya yang seputih salju itu.
Angin Betina dibiarkan tidur di kamar yang dulu pernah disewa oleh Suto. Ia sendiri tidur di bangku panjang kedai. "Asal sekarang ia tidur, aku juga tidur, bukankah itu namanya juga tidur bersama? Cuma beda tempat," pikir Suto. Ia sudah persiapkan alasan untuk mengelak kekecewaan Angin Betina jika esok mereka sama-sama bangun dari tidurnya.
Ternyata ketika Suto Sinting bangun dari tidurnya di pagi hari, kamar tempat bermalam Angin Betina itu sudah kosong. Sundari memberitahukan bahwa Angin Betina sudah pergi meninggalkan tempat ketika ayam berkokok. Suto Sinting sempat tertegun di tempat. Dongkol hatinya karena merasa ditinggalkan.
"Sial! Dia benar-benar meninggalkan aku!" gerutu
Suto Sinting. "Rupanya yang dikehendaki bukan tidur bersama tapi melek bersama. Ah, dasar perempuan. Kalau sudah ada maunya dan tidak dituruti sering bikin ulah yang menjengkelkan. Tapi sebaiknya kulacak kepergiannya. Pasti belum terlalu jauh."
Suto Sinting temui Sundari di dapur. "Apakah kau tahu saat ia pergi?" "Ya. Aku sudah bangun kala itu." "Ke mana arah kepergiannya?"
"Ke selatan," jawab Sundari sambil merasa heran. "Kenapa kau tanyakan? Apakah kau ingin menyusulnya? Susullah ke sana kalau kau ingin peluk dia!" Sundari bernada cemburu, tapi hanya ditanggapi dengan senyum geli oleh Suto.
"Arah selatan, Bukit Lajang?! Hmm...! Masa' iya aku tak bisa sampai di sana kalau sudah kudapatkan arahnya?" pikir Suto Sinting yang akhirnya segera pergi ke arah selatan. Untuk menyusul Angin Betina, Suto terpaksa gunakan gerak silumannya yang mampu berlari secepat angin, melebihi kecepatan anak panah lepas dari busurnya.
Apa yang dibicarakan oleh para tokoh tua mengenai pedang maha sakti itu sungguh membuat hati sangat penasaran. Setidaknya mereka juga akan bicara tentang Raja Tumbal. Suto ingin tahu tentang segala sesuatunya yang berhubungan dengan kesaktian Raja Tumbal, terutama Seruling Malaikat-nya. Tanpa mengetahui seluruh kekuatan Raja Tumbal, tak mungkin dapat diketahui kelemahan dan kekurangannya.
Hanya saja, menyusul Angin Betina tidak semudah menyusul terbang sang garuda. Sudah beberapa saat Suto Sinting lakukan perjalanan cepatnya ke arah selatan, tapi sosok Angin Betina tidak dilihatnya. Bahkan tiba-tiba Suto Sinting menyadari bahwa dirinya sudah berada di perbatasan sebuah desa yang pernah disinggahinya pula; desa Kukusan.
Desa itu adalah desa tempat tinggai mendiang Empu Sakya, si pemilik Keris Setan Kobra. Di desa itu pula Suto Sinting ingat tentang seorang bocah penggembala kambing yang akhirnya sempat berkelana mengikutinya, namun bocah itu merasa menjadi murid Ki Gendeng Sekarat karena mendapatkan satu ilmu dari si tukang tidur itu; ilmu 'Genggam Buana'. Bocah berusia sepuluh tahun itu tak lain adalah Angon Luwak, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Keris Setan Kobra").
"Barangkali Angon Luwak bisa tunjukkan di mana letak Bukit Lajang itu," pikir Suto. "Tapi apakah anak itu ada di rumah? Hmm... seandainya tak ada, mungkin aku bisa minta bantuan keluarganya, atau kakaknya yang jualan legen dan pernah disangka sebagai diriku itu, Sabani!"
Rumah keluarga Angon Luwak akhirnya ditemukan setelah bertanya kepada salah satu penduduk desa. Seperti dugaannya, Suto Sinting berhasil temui Sabani, kakak Angon Luwak yang pekerjaannya jualan legen, yaitu air bunga kelapa yang bisa dibuat gula aren, sejenis gula merah, yang pada umumnya dibawa dalam tempat tabung bambu seperti tempat tuaknya Pendekar Mabuk
selama ini.
Sabani tampak girang sekali melihat kedatangan Suto ke rumahnya, karena ia pernah ditolong dan diselamatkan oleh Pendekar Mabuk ketika terancam maut dari tangan orang-orang perguruan Lumbung Darah.
"Wah, mimpi apa aku semalam, kok sekarang kedatangan tamu agung yang menjadi kebanggaan adikku. Selamat datang, Kang Pendekar!" sambut Sabani. Ia sedikit membungkuk sebagai tanda menghormat sopan kepada Suto Sinting.
Dengan keramahannya, Pendekar Mabuk menepuk- nepuk punggung Sabani. Basa-basi terjadi sesaat, karena jika terlalu lama bisa benar-benar basi. Suto Sinting segera menanyakan tentang Angon Luwak.
"Bocah itu sudah beberapa hari murung dan lesu karena kehilangan jejakmu, Kang. Baru sekitar dua-tiga hari ia menjadi ceria setelah sering diajak bermain perang-perangan oleh teman-temannya," kata Sabani.
"Di mana dia sekarang?"
"Kalau tak salah ada di tegalan, Kang. Kalau mau ketemu dia, biarlah kupanggilkan dulu. Kang Pendekar di sini saja," sambil Sabani bergegas pergi. Tapi lengannya segera dicekal Pendekar Mabuk hingga langkahnya tertahan.
"Biar kutemui saja di tegalan. Aku mau bikin kejutan untuknya."
Pendekar Mabuk segera bergegas ke tegalan atau ke ladang yang belum ditanami tanaman baru. Di sana
bocah-bocah seusia Angon Luwak sedang bermain perang-perangan. Ada sekitar delapan anak yang bermain di sana. Angon Luwak pura-pura menjadi pendekar, sedangkan teman-temannya ada yang menjadi penjahat, ada yang berlagak menjadi guru sakti. Mereka bertarung-tarungan menggunakan tombak dari pelepah pisang, ada yang pura-pura membawa kapak dari pelepah daun kering, ada yang membawa pedang- pedangan dari kayu, ada juga yang lemparkan senjata rahasia dari sabut dan tempurung kelapa. Mereka berciat-ciat ramai sekali, membuat Suto tertawa-tawa sendiri dari kejauhan. Suto sengaja biarkan mereka bermain dan hanya dipandangi dari bawah sebuah pohon berdaun rindang.
"Angon Luwak...," gumamnya. "Kangen juga aku padanya. Jiwa pendekar ada di dalam darahnya, ia memang butuh seorang guru untuk membimbing darah satrianya. Sayang sekali aku tak punya waktu, sehingga tak bisa ajarkan ilmu silatku kepada Angon Luwak. Aku suka kepada anak itu. Nakalnya adalah nakal sang ksatria yang tidak takut menentang bahaya," kecamuk Suto dalam hati sambil tersenyum-senyum.
"Gayanya sudah seperti seorang jago pedang saja," gumam Suto menertawakan gaya Angon Luwak yang belum punya jurus silat sedikit pun tapi sudah sok berlagak bisa silat. Pedang-pedangannya dimainkan asal tebas sana-sini membuat teman-temannya terpaksa mati walau belum sampai terkena pedang-pedangannya. Teriakan Angon Luwak melengking-lengking sambil
lompat sana-sini dan akhirnya jatuh telentang sendiri karena salah satu temannya ada yang menyampar kakinya.
"Curang kamu, Din! Jangan sampar kaki, ah!" Angon
Luwak menggerutu.
"Saladin benar, Wak! Main silat itu boleh sampar kaki."
"Sampar mulut juga boleh," kata Saladin.
"Ya, ya...! Bolehlah!" kata Angon Luwak, "Tapi aku belum kalah lho!"
"Mana bisa?! Pendekar kalau sudah jatuh ke tanah namanya sudah kalah!" seru teman di belakangnya.
"Tapi kan belum mati!" Angon Luwak ngotot.
"Harus mati! Sudah jatuh kok tidak mau mati? Kamu sudah jadi mayat!"
"Tapi aku tidak kena pusaka kok. Aku jatuhnya
karena disampar kakinya!"
"Kamu jadi mayat jangan ngotot!" seru Saladin. "Kalau ngotot nanti liang kuburmu sempit lho!"
"Ah, tidak bisa! Tidak bisa! Aku masih gagah kok, belum kalah!" Angon Luwak masih tak mau dianggap kalah.
Teman-temannya membela Saladin, "Kamu sudah kalah! Sekarang pendekarnya ganti Saladin!"
"Tidak mau!"
"Kamu jadi penjahat sakti!"
"Tidak, tidak! Penjahat tidak ada yang sakti!" Angon
Luwak cemberut.
"Wong sudah kalah kok marah!" kata Saladin.
"Terus maumu apa, hah?!" Angon Luwak menantang. Saladin juga berani.
"Terserah, maumu apa? Mau tarung denganku?
Boleh!"
"Huhh... tak bacok kamu!" Angon Luwak berlagak mau menebaskan pedang-pedangannya. Saladin maju dengan berani sambil busungkan dada.
"Mau bacok aku? Silakan! Nih, bacok! Bacoklah dadaku! Nih...!"
Cras...! Angon Luwak membabatkan pedang- pedangannya.
Teman-temannya terkejut seketika. "Lho... terluka?!
Saladin terluka?!"
"Coba lihat! Wah, iya... dia benar-benar terluka!" kata yang lain.
Angon Luwak tertegun bengong. Suto Sinting pun
jadi kaget bukan kepalang. Ternyata dada Saladin benar- benar terluka karena sabetan pedang-pedangannya Angon Luwak. Lukanya memanjang dari ketiak kiri ke pinggang kanan, luka itu menyala hijau berpendar- pendar seperti nyala kunang-kunang. Angon Luwak ketakutan. Lebih takut lagi setelah teman-temannya menjauh dan tubuh Saladin segera jatuh terkapar, kejang-kejang bagai ayam disembelih.
"Bagaimana ini, Wak?! Kuadukan kakaknya Saladin lho! Pokoknya kamu yang melukai Saladin!"
"Jangan! Jangan bilang siapa-siapa, Man!" Angon
Luwak ketakutan.
Teman-temannya juga ketakutan dan lari
berhamburan. Angon Luwak pun lama-lama ikut melarikan diri, karena tubuh Saladin memancarkan sinar hijau seperti sinar pada lukanya. Tubuh Saladin terlonjak-lonjak dengan sentakan keras, sehingga tubuh itu bisa bergeser sendiri ke sana-sini dalam keadaan terkapar.
"Celaka! Kenapa anak itu?!" pikir Suto dengan tegang. Pada waktu itu, Angon Luwak masih belum larikan diri, masih mundur pelan-pelan dengan wajah tegang. Suto segera melesat menghampiri Saladin yang menurutnya dalam bahaya. Tapi gerakan Suto menjadi lamban. Langkahnya terasa berat. Jaraknya dengan Saladin yang sekitar lima belas langkah itu ditempuh dengan waktu lambat. Suto mencoba berlari menggunakan gerak silumannya, tapi yang bisa dilakukan berlari biasa. Bahkan ketika ia mencoba melompat untuk bersalto cepat supaya segera sampai di tempat Saladin, ternyata ia tak bisa bersalto lagi. Ia justru jatuh berdebam seperti pepaya matang.
"Aneh?! Kenapa aku tidak bisa melenting di udara dan tak mampu lakukan gerakan salto?!" pikirnya dengan heran.
Setelah Suto jatuh itulah, Angon Luwak ikut-ikutan larikan diri seperti teman-temannya. Tapi Angon Luwak lari ke arah hutan, karena takut kena marah kakaknya Saladin atau keluarganya bocah itu. Ia lari untuk bersembunyi sebab merasa telah membunuh Saladin.
Kejutan-kejutan tubuh Saladin mulai melemah. Biasanya jika sudah begitu pertanda kematian akan tiba.
Suto Sinting sangat cemas melihat keadaan Saladin yang sekujur tubuhnya masih menyala hijau walau sudah mulai redup.
"Benar-benar gawat anak ini! Dia mau mati!"
Suto Sinting cepat-cepat tenggak tuaknya, lalu tuak di mulut disemburkan ke tubuh Saladin. Itu yang dinamakan pengobatan 'Sembur Husada', yaitu cara mengobati luka dengan semburan tuak. Luka memang bisa sembuh cepat dan segera lenyap tanpa bekas, tetapi yang diobati akan lupa ingatannya kepada Suto. Seandainya sebelumnya Saladin sudah mengenal Suto, maka jika ia diobati dengan jurus 'Sembur Husada', setelah lukanya kering ia akan lupa siapa Suto dan merasa seperti belum pernah mengenal Suto, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka Tuak Setan").
'Sembur Husada' berani dilakukan oleh Pendekar Mabuk, sebab ia merasa seandainya Saladin lupa pada dirinya tak jadi soal, toh memang sebelumnya tak pernah mengenal Suto, jadi tak perlu mengembalikan ingatan bocah itu.
Brrwwesss...!
Tuak disemburkan. Biasanya cukup satu kali. Tapi agaknya kali ini Suto harus mengulangi sampai tiga kali semburan. Lalu, sinar hijau yang memancar dari tubuh Saladin itu padam. Perlahan-lahan dada Saladin yang basah tuak itu mulai bergerak-gerak. Luka memanjang menjadi mengatup kembali. Sinar hijau pada luka pun lama-lama hilang bersama lenyapnya luka yang
mengoyak dada.
Saladin tampak mulai bisa bernapas. Erangannya lirih sekali, tapi matanya mulai berkedip-kedip membuka pelan. Suto Sinting membantu Saladin untuk bangun dan duduk. Napas Saladin terhempas lepas seperti merasakan kelegaan. Ia memandangi sekeliling dengan bingung, juga menatap Suto dengan heran.
"Teman-temanku pada ke mana tadi, Kang?"
"Pulang," jawab Suto juga masih menyimpan keheranan tersendiri.
Saladin bangkit, tengok sana-sini, menggerutu pelan, "Uuh... payah! Mereka tinggalkan aku karena tak ada yang mau akui kalau aku pantas jadi pendekar!"
Saladin langkahkan kaki tiga tindak, lalu berhenti dan menengok ke arah Suto.
"Aku pulang, Kang!"
"Ya," jawab Suto dengan masih tertegun bengong, bagai terkesiap melihat Saladin sehat dan segera berlari pulang.
Tinggallah Pendekar Mabuk sendirian di tegalan itu dalam keadaan dikerumuni keheranan yang tiada tara. Keheranan itu meliputi masalah luka di dada Saladin, juga nyala sinar hijaunya, juga tentang dirinya yang tak bisa bersalto lagi, tak bisa gunakan gerak siluman, dan akhirnya Suto penasaran. Lalu ia coba kembali untuk gunakan gerak silumannya, berlari cepat melebihi kilat. Napasnya mulai ditahan didada, kaki pun menyentak pelan di tanah.
Deeg...! Wwweesas...!
Seet...! Suto berhenti dan kembali tertegun bengong menyadari bahwa dirinya sudah mampu bergerak secepat kilat seperti biasanya. Bahkan ketika dicobanya melenting di udara dan bersalto mundur dua kali, ternyata hal itu mampu dilakukan dengan baik, seperti biasanya pula.
"Luar biasa anehnya diriku hari ini?! Tadi tidak bisa bergerak cepat. Melompat pun jatuh. Tapi sekarang hal itu bisa kulakukan. Ada apa sebenarnya pada diriku? Sepertinya tadi aku kehilangan ilmuku, dan sekarang ilmuku sudah kembali lagi?! Hmmm... pasti ada orang usil di sekitar sini yang menggangguku! Aku ingin tahu siapa orangnya?"
Suto Sinting segera gunakan ilmu 'Lacak Jantung', mendengarkan detak jantung seseorang yang bersembunyi di sekitarnya. Tapi ternyata ia tidak mendengar detak jantung seseorang. Alam menjadi sepi, hanya angin yang mendesah pelan.
Zlaaap...! Zlaaap...! Zlaaap...!
Suto melesat ke sana-sini dengan gerak silumannya untuk mencari kemungkinan orang sakti bersembunyi di sekitarnya. Karena ia menduga orang yang mengganggunya tadi mampu menghentikan detak jantung pada saat dilacak. Tetapi ternyata keadaan di sekitarnya sepi-sepi saja. Tak ada manusia di sana-sini.
"Apakah dia sudah pergi? Hmmm... pergi dengan anak itu! O, ya... ke mana si Angon Luwak tadi?" pikir Suto sambil tengok sana-sini. Maka ia pun segera melangkah kembali menuju rumah Angon Luwak,
karena ia menyangka anak itu pulang ke rumah dan bersembunyi di kolong balai. Suto tersenyum membayangkan bocah itu sembunyi di kolong balai dalam keadaan ketakutan karena merasa baru saja membunuh teman sepermainan. Bayangan itu akhirnya membuat langkah Suto Sinting terhenti dengan sendirinya. Senyum hilang, kerutan dahi jadi tajam.
"Iya, ya... kenapa Saladin mengalami luka seaneh itu? Dia hampir saja mati. Padahal hanya terkena goresan ujung pedang-pedangan si Angon Luwak. Mengapa sampai bisa menyala hijau seperti kunang-kunang? Apakah Angon Luwak punya ilmu lain tanpa disadarinya? Setahuku, Angon Luwak hanya punya ilmu
'Genggam Buana' dari Ki Gendeng Sekarat. Ilmu itu tidak akan bisa membuat lawan menyala hijau seperti tadi. Hanya bisa meremukkan sesuatu yang digenggam dengan napas tertahan."
Langkah dilanjutkan tapi pelan-pelan, karena batin
Pendekar Mabuk masih terus berkecamuk.
"Kenapa Saladin bisa terluka separah itu? Padahal ia hanya ditebas dengan pedang-pedangan. Pedang itu dari kayu biasa. Sepertinya dari kayu randu karena warnanya putih dan tampaknya ringan dijinjing. Kayu itu juga kelihatan sudah lapuk, geripis pinggirannya. Gagangnya coklat, juga tampak sudah lapuk. Tak ada kehebatan apa- apa yang bisa diiihat dari pedang itu. Ah, sungguh mengherankan sekali, sepertinya tak masuk akal jika tubuh Saladin bisa terluka seaneh itu hanya ditebas dengan pedang-pedangan. Pasti Angon Luwak punya
ilmu baru yang bisa membuatnya seperti memegang pedang asli."
Tiba-tiba langkah Suto terhenti lagi. Dahi masih
berkerut dan memandang dalam terawang keheranan. "Tunggu dulu!" katanya dalam hati. "Pedang itu dari
kayu yang mudah patah. Bentuknya sangat sederhana, berkesan dibuat secara kasar. Kayu itu tampaknya lapuk dan memang geripis pinggirannya. Hmmm... lapuk? Lapuk berarti lama! Jangan-jangan... jangan-jangan pedang-pedangan itulah yang dinamakan Pedang Kayu Petir?!"
Wajah Pendekar Mabuk mulai menegang. Hatinya berdebar-debar.
"Apa benar Pedang Kayu Petir seperti itu? Ah, terlalu mengada-ada! Bukan! itu bukan Pedang Kayu Petir, itu hanya pedang-pedangan milik seorang bocah yang dibuat secara kasar dan menirukan bentuk pedang biasa. Berarti ada tenaga sakti yang tersalur di pedang- pedangan itu. Entah dari tangan Angon Luwak atau dari kekuatan batin seseorang yang punya niat jahil? Sebaiknya kutemui Angon Luwak dan kuperiksa diri anak itu. Pedang-pedangannya pun perlu kuperiksa untuk meyakinkan bahwa pedang itu bukan pedang berisi tenaga dalam!"
Sampai di rumah Angon Luwak, Sabani justru merasa heran dan berkata,
"Angon Luwak belum pulang, Kang Pendekarl
Apakah di tegalan tak ada?"
"Ada. Tapi dia sudah berlari pulang bersama teman-
temannya."
"Ah, belum! Sejak tadi aku belum lihat dia pulang, Kang?!"
"Coba cari di kolong balai, mungkin dia bersembunyi di sana atau di tempat yang pantas untuk bersembunyi."
"Bersembunyi?! Kenapa bersembunyi?! Apakah dia takut melihatmu, Kang?"
"Tidak. Hanya sekadar mau main-main denganku. Cobalah cari dulu...!" desak Suto yang akhirnya membuat Sabani terpaksa mencari adiknya di kolong balai, di belakang lemari, di dapur, bahkan di kandang ayam.
"Tidak ada, Kang Pendekar! Ibu saya juga bilang belum lihat dia pulang."
"Wah, ke mana anak itu, ya?" gumam Suto Sinting. "Coba biar saya yang cari, Kang. Kang Pendekar
diam di sini dulu."
Sabani sangat menghormati kedatangan Suto, sehingga tak segan-segan bergerak cepat ke rumah teman-teman adiknya. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan tangan hampa dan napas terengah-engah pertanda habis lari.
"Tidak ada, Kang! Semua rumah temannya sudah saya sambangi tapi Angon Luwak tidak ada di sana. Malah beberapa temannya bilang, Angon Luwak habis membunuh Saladin! Saya jadi takut, Kang!"
"Tidak. Angon Luwak tidak sejahat itu. Apakah kau tidak bertemu Saladin?"
"Bertemu! Lalu saya tanya, 'Apakah kau tadi dibunuh
sama Angon Luwak?', dan Saladin bliang; 'tidak'. Lalu saya pikir, benar juga. Kalau dia sudah dibunuh pasti dia tidak bisa menjawab 'tidak'."
Suto Sinting tersenyum tipis, tertawa pendek dalam gumam. Lalu ia berkata, "Kalau begitu biar kucari sendiri anak itu. Mungkin dia bermain di hutan."
"Mungkin malah sedang nongkrong di Telaga Jompo, Kang."
"Telaga Jompo...?!" Suto berkerut dahi dengan heran. "Telaga Jompo ada di atas bukit seberang itu. Hampir dekati puncaknya. Telaga Jompo adalah telaga yang bisa sembuhkan orang lumpuh, Kang. Airnya sangat berkhasiat untuk penyembuhan. Beberapa hari yang lalu, kutemukan Angon Luwak duduk termenung di Telaga
Jompo dengan sedih karena kehilangan jejakmu!"
"Apa benar dia ada di sana?" pikir Suto Sinting, lalu bergegas pergi ke Telaga Jompo.
*
* *

5
BUKIT itu bernama Bukit Kukusan, sama dengan nama desa di kakinya. Bukit tersebut berseberangan dengan bukit yang dulu digunakan mendiang Empu Sakya untuk larikan diri dari kejaran Iblis Naga Pamungkas. Bukit Kukusan mempunyai jenis tanaman jati dan cemara liar. Hutannya tak terlalu lebat, semaknya juga tak terlalu rimbun, mudah untuk dilalui.
Ketinggian bukit itu tidak seberapa, artinya masih memungkinkan didaki oleh anak seusia Angon Luwak.
Tetapi Pendekar Mabuk merasa baru kali itu
mendengar ada telaga di bukit tersebut yang bisa sembuhkan orang lumpuh. Rasa penasaran Suto bukan terletak pada khasiat air telaga, melainkan kepada keanehan Angon Luwak. Rasa penasarannya itu begitu besar, sehingga Pendekar Mabuk merasa lebih penting mengejar Angon Luwak ketimbang mengejar Angin Betina ke Bukit Lajang.
Di dalam hati Suto, pada sisi hati yang terkecil, masih menyimpan dugaan tentang pedang-pedangan Angon Luwak yang diduga adalah Pedang Kayu Petir. Harapan kebenaran atas pedang itu memang sangat kecil, namun justru mengganggu ketenangan berpikir Pendekar Mabuk. Itulah sebabnya, Suto merasa perlu memeriksa pedang-pedangan tersebut walau sisi hati lainnya mengatakan;
"Pekerjaan yang gila dan bodoh! Sudah tahu pedang- pedangan untuk bermain anak kecil masih diharapkan sebagai Pedang Kayu Petir. Rasa-rasanya aku sudah tak waras lagi, terlalu tergila-gila dengan pedang maha sakti itu!"
Sekalipun sisi hati lainnya berkata begitu, kenyataannya Suto Sinting tidak mau hentikan langkah dan tetap maju menuju Telaga Jompo. Namun kejap berikut langkah itu terpaksa dihentikan. Kemunculan dua orang berpakaian seperti biksu membuat Suto Sinting terpaksa hentikan langkahnya. Dua orang yang
secara tak sengaja berpapasan dengan Suto ternyata berasal dari arah atas bukit. Mereka pun sama-sama hentikan langkah karena melihat sosok penampilan pemuda tampan menyandang bumbung tuak, pakaian baju coklat tanpa lengan, celana putih kusam dan rambut panjang selewat pundak tanpa ikat kepala. Ciri-ciri itulah yang membuat dua tokoh tua berusia sekitar delapan puluh tahun ke atas itu juga hentikan langkah.
Wajah mereka wajah seorang paderi, atau layaknya seorang imam agung sebuah aliran kepercayaan. Kepala mereka gundul, sehingga raut wajah tenangnya terlihat dengan jelas. Tapi di balik ketenangan itu, Pendekar Mabuk temukan kegelisahan yang tersembunyi, dan kecurigaan yang sengaja ditutup dengan sikap wibawa kedua tokoh.
Mereka mengenakan kain pembalut tubuh warna merah yang menyilang ke pundak kiri. Tapi baju longgar yang dikenakan mereka berbeda warna, yang satu berwarna kuning, yang satu berwarna biru. Mereka sama-sama beralis tebal putih. Yang satu berkumis dan berjenggot putih, yang satunya tidak berkumis dan tidak berjenggot. Tubuh mereka sedikit gemuk, yang berkumis lebih gemuk dari yang tidak berkumis.
"Salam damai dari kami untukmu, Anak Muda. Kalau tak salah ciri-ciri yang kami lihat, kau adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting!" kata yang berpakaian biru.
"Benar, Eyang," jawab Suto sopan. "Kalau boleh saya tahu, siapakah Eyang berdua ini? Sebab saya baru sekarang melihatnya."
"Aku Pendeta Jantung Dewa dari Biara Genta," kata yang memakai baju biru tanpa kumis dan jenggot, matanya sedikit sipit. "Di sampingku ini adalah kakakku yang bernama Pendeta Mata Lima dari Biara Damai."
Orang yang diperkenalkan sebagai Pendeta Mata Uma itu diam saja, tak ada anggukan apa pun. Kesannya lebih kaku dari Pendeta Jantung Dewa. Bola matanya tak sesipit si Jantung Dewa, bahkan besar dan mempunyai pandangan tajam. Sekalipun demikian, Pendekar Mabuk tetap tunjukkan sikap hormat dengan anggukkan badan dan wajah penuh keramahan.
"Sangat kebetulan sekali kita bertemu di sini, Suto Sinting," kata si Jantung Dewa. "Sesungguhnya adalah hal yang paling sulit menemui Pendekar Mabuk yang sedang banyak dibicarakan oleh kalangan tokoh tua belakangan ini."
"Apakah Eyang berdua memang bermaksud menemui saya?"
"Tidak utama!" sahut Mata Lima.
Kata-kata selanjutnya diteruskan oleh si Jantung Dewa, "Yang paling utama adalah melacak benda pusaka itu."
"Benda pusaka apa maksudnya?"
Pendeta Mata Lima yang sebenarnya hanya punya dua mata, empat dengan mata kaki itu, segera menjawab dengan suaranya yang agak besar dan berwibawa,
"Sebagil pendekar yang sedang kondang namanya, tentunya kau sudah mengerti pusaka yang kami maksudkan. Tak perlu lagi berlagak bodoh di depan
kami. Kau punya pikiran dan angan-angan yang dipenuhi oleh pusaka itu."
"Pedang maha sakti itu, maksudnya?"
"Nah, kau sudah menjawab pertanyaanmu sendiri, Anak Muda!"
Tak ada gentar bagi Pendekar Mabuk menatap bola mata si baju kuning itu. Hatinya membatin, "Sepertinya dia punya maksud tertentu padaku yang kurang beres. Ada apa sebenarnya?"
Pendeta Jantung Dewa dari Biara Genta pun segera berkata, "Pendekar Mabuk, jika kau tahu di mana benda pusaka itu, tolong tunjukkan kepada kami, sebab kami sangat membutuhkannya untuk memerangi lawan yang ingin memporakporandakan biara kami berdua."
"Apa alasan Eyang menduga saya mengetahui benda tersebut?"
"Hasil pertemuan kami menyimpulkan bahwa benda itu ada di sebelah utara tempat kami berkumpul. Tongkat penunjuk milik Resi Wulung Gading mengarah ke utara. Getarannya sangat jelas, sehinga kami berlomba-lomba lari ke utara mengejar Pedang Kayu Petir itu. Secara kebetulan, kami berdua temukan kau ada di sini, menyongsong perjalanan kami. Sudah tentu kami yakin, bahwa kaulah orang yang mengetahui di mana benda pusaka itu berada."
"Eyang salah! Justru saya sedang kebingungan mencari benda tersebut," kata Suto sambil hatinya berucap untuk diri sendiri, "Berarti pertemuan para tokoh tua di Bukit Lajang telah usai. Apakah Angin
Betina sempat hadiri pertemuan itu atau kecele, karena pertemuan sudah bubar pada saat ia sampai di Bukit Lajang?!"
"Jangan berpikir soal perempuan, Anak Muda," kata Pendeta Mata Lima secara tiba-tiba, membuat Suto Sinting terperanjat dan menjadi malu.
"Agaknya ia tahu kata hatiku dan bisa membaca jalan pikiranku," pikirnya.
Kemudian dengan sikap dibuat tenang, Pendekar
Mabuk berkata kepada Pendeta Mata Uma,
"Eyang Pendeta Mata Lima, saya kagum mengetahui Eyang dapat membaca pikiran saya. Barangkali itu salah satu kesaktian Eyang sebagai Pendeta Mata Lima, yang mampu memandang dengan mata batin tentang pikiran seseorang. Sayang sekali Eyang punya pandangan batin yang keliru dengan menyangka saya adalah orang yang mengetahui pedang maha sakti itu."
"Mataku juga dapat melihat apa yang kau lihat. Bola matamu menampakkan bayangan pedang maha sakti itu, berarti kau sudah melihat pedang tersebut."
Senyum disunggingkan selebar mungkin, namun tak mengurangi sikap sopannya. Suto merasa geli dengan tebakan tokoh tua yang kaku itu.
"Eyang salah pandang!" kata Suto. "Benar-benar salah pandang. Sebab saya merasa belum pernah melihat pusaka tersebut."
"Jangan bertele-tele, Anak Muda!" Pendeta Mata Lima tampak mulai tak sabar. "Sekali lagi kuingatkan, kami benar-benar butuh pedang itu untuk memerangi
orang seaat yang ingin memporakporandakan biara kami. Jadi tolong beritahukan kepada kami dimana benda itu berada. Jangan membuat kami harus memaksamu dengan kekeraaan. Karena demi selamatkan biara kami, jika sangat terpaksa kami tak segan-segan lakukan kekerasan."
"Hmm..., dia mulai mengancam! Sudah salah, ngotot lagi! Payah juga orang ini. Percuma jadi pendeta kalau masih suka ngotot terhadap kesalahannya," pikir Suto Sinting, lupa bahwa pikiran itu bisa dibaca lawannya. Tentu saja sang lawan tampakkan perubahan wajah yang makin nyata. Pendeta Mata Lima mulai geletukkan giginya. Tasbih hitam dari bebatuan bening yang sebesar-besar melinjo itu mulai diremas-remasnya.
Pendeta Jantung Dewa berkata masih dengan suara tenang, "Apa yang dikatakan kakakku itu memang benar, Pendekar Mabuk. Kami tak peduli kau adalah murid dari si Gila Tuak, tapi jika tak mau bantu kami dengan menunjukkan benda itu, kami akan tega memaksamu menggunakan kekerasan. Barangkali memang itulah jalan yang kau kehendaki. Kami maklum, karena darah pendekarmu masih muda, masih suka menguji ilmu seseorang."
"Sama sekali tidak!" bantah Suto dengan cepat. "Saya tidak menyukai kekerasan jika tidak dipaksa dan didesak. Saya mengatakan kebenaran diri saya. Tapi jika Eyang-eyang ini tidak mau percaya dan menganggap perlu gunakan kekerasan, dengan rendah hati saya terpaksa melayaninya!"
"Di matamu ada bayangan Pedang Kayu Petir!" sentak Pendeta Mata Lima. "Kau tak bisa bohongi pandangan mataku, Suto Sinting!"
"Saya katakan sekali lagi, pandangan Eyang salah!" "Tidak, Suto!" sahut Pendeta Jantung Dewa dengan
kalem. "Apa kata kakakku itu memang benar, karena aku sendiri melihat bayangan pedang ada di matamu, ditambah lagi bayangan seorang wanita berambut acak- acakan dan berpakaian hitam ketat dengan dada besar menggiurkan dan...."
"Ssst...! Yang itu jangan dijelaskan!" sentak si Mata
Lima dengan geram.
"Maaf, semoga Sang Hyang Widi mengampuni ucapanku tadi," ucap Jantung Dewa dengan lirih penuh penyesalan.
Suto ingin berkecamuk lagi di dalam hatinya, tapi ia batalkan karena kecamuknya akan diketahui oleh Pendeta Mata Lima. Kini ia bahkan berkata dengan tegas dan lebih bersikap berani.
"Eyang-eyang Pendeta, saya mohon maaf tidak bisa membantu maksud Eyang. Jadi, izinkan saya lewat tanpa ada sikap memaksa!"
"Tidak bisa!" si Mata Lima berkata dengan tegas juga. "Kami tak bisa lepaskan orang yang tahu tentang pedang itu! Dengan menyesal dan sangat terpaksa, aku harus tunjukkan padamu bahwa kami benar-benar membutuhkannya!"
"Apa maksud kata-katanya?" pikir Suto Sinting setelah mereka bertiga sama-sama diam. Tapi mata Suto
segera melihat bahwa tasbih hitam yang ada di tangan Pendeta Mata Lima itu diremas-remas semakin kuat. Remasan itu kepulkan asap putih, dan tiba-tiba Suto Sinting rasakan perutnya bagai dipelintir sekuat tenaga, hingga akhirnya ia jatuh terbanting.
"Uuhg...!" Bruuk...!
"Gila! Rupanya dia telah serang diriku dengan kekuatan batinnya melalui tasbih itu!" gerutu Suto dalam hati. Ia pun segera bangkit.
Namun baru saja ia ingin menegakkan badan, tiba- tiba Pendeta Mata Lima sabetkan tasbihnya ke udara. Zraak...! Bunyi gemeresak akibat sabetan tasbih berbatu hitam itu seperti terlepasnya ratusan jarum dari baskom lebar. Bunyi itu membuat Suto Sinting terpental ke belakang karena merasa dihempas oleh gelombang hawa panas yang amat besar. Bahkan Pendekar Mabuk sempat gelagapan dengan mata terpejam-pejam.
Bruuuk...!
"Edan! ilmu apa ini, aku seperti dilanda seribu kuda?!" gerutunya lagi di dalam hati. "Aku harus tunjukkan pembalasan supaya mereka tahu bahwa aku tidak bersalah."
Dalam keadaan duduk, Suto Sinting segera sentilkan jarinya yang berarti jurus 'Jari Guntur' dilepaskan dari tempatnya. Tesss...!
Wuuud...! Daahk...!
Seperti batu menghantam papan, tubuh Pendeta Mata
Lima masih berdiri tegak tak bergeming. Sedangkan Pendeta Jantung Dewa justru mundur dengan tenang, seakan menyerahkan perkara itu kepada kakaknya.
"Jurus 'Jari Guntur' tidak mempan untuknya! Luar biasa besar kekuatan orang tua itu?!" pikir Suto sambil berdiri lagi. Ia segera membuka tutup bumbung dan menenggak tuak beberapa teguk.
Pada saat Suto mendongak untuk menenggak tuak, Pendeta Mata Lima segera lepaskan pukulan tasbihnya dengan kibasan memutar di atas kepala dan menyentakkan ke depan. Crak...! Slaaap...!
Dari tasbih itu keluar sinar merah pijar sebesar bola bekel. Sinar merah itu melesat menghantam Suto Sinting. Tapi ekor mata Suto yang melihat kelebatan itu segera tanggap, ia merendahkan badan dengan berlutut satu kaki. Bumbung tuaknya segera ditegakkan dengan dipegang dua tangan. Tepat di depan wajahnya, bumbung tuak itu menghadang laju sinar merah. Akhirnya sinar itu membentur bumbung tuak.
Blaaar...!
Suatu keanehan terjadi. Sinar tidak membalik arah seperti biasanya, tapi meledak di tempat. Jika bukan ilmu yang tinggi, tak mungkin tak bisa dikembalikan.
Hentakan daya ledak sinar merah tadi membuat Suto Sinting terjungkal ke belakang dengan sekujur tubuh terasa panas. Bahkan empat pohon di sekitarnya menjadi keriput. Kulit batangnya mengelupas keriting, daun- daunnya menguning dengan cepat. Bahkan ada yang langsung berwarna coklat kering. Tetapi Suto Sinting
hanya mengalami raaa panas yang sekejap saja segera hilang tak berbekas.
Pendeta Mata Lima sendiri terpental dan menabrak
adiknya yang berdiri di belakang. Jika tidak tentunya ia akan terlempar membentur pohon cemara di arah belakangnya. Akibat terpentalnya Pendeta Mata Uma yang tak diduga-duga itu, Pendeta Jantung Dewa roboh dan jatuh telentang tertindih tubuh kakaknya yang lebih gemuk darinya.
Buuhg...! Suaranya keras bagaikan sebongkah batu besar jatuh ke tanah. Pendeta Jantung Dewa terpekik dengan suara tertahan.
"Heegh...!"
Mereka berdua sibuk menjaga keseimbangan dan buru-buru berdiri. Mereka sama-sama berpikir, harus cepat berdiri sebelum dilihat anak muda itu. Akibat terburu-buru ingin cepat berdiri lagi, mereka saling geret dan tindih, sehingga mirip orang berebut sesuatu yang membuat jatuh mereka justru lama. Suto Sinting sudah berdiri tegak dan memperhatikan mereka saling berebut kesempatan bangun.
"Bocah itu tidak bisa dianggap enteng, Mata Lima!" kata Pendeta Jantung Dewa setelah keduanya sama-sama berdiri dan selesai saling gerutu.
"Sudah kuduga dia memang tangguh. Tapi tak kusangka setangguh ini, sehingga serangan tingkat tigaku membuatnya masih setegar itu!"
"Kalau begitu, biar kuhadapi dia. Jurus 'Jala Surga' bisa bikin dia jera dan mau membantu kita."
Si Jantung Dewa segera maju dua tindak. Wajahnya tetap kalem, matanya yang kecil menatap Suto berkesan dingin. Suaranya terdengar jelas tanpa tekanan kemarahan sedikit pun.
"Kau boleh saja merasa bangga karena bisa bertahan menghadapi pukulan tingkat tiga dari kakakku, Suto. Tapi kau tak akan bisa bertahan melawan jurus 'Jala Surga'-ku ini, Nak!"
Sraaab...!
Tiba-tiba Pendeta Jantung Dewa sentakkan tangan kirinya dengan telapak tangan membentuk cakar elang. Dari telapak tangan itu melesat berlarik-larik sinar biru membentuk jala yang menyerupai benang laba-laba. Sinar-sinar biru itu melesat ke arah tubuh Suto Sinting dengan kecepatan tinggi, seakan tak mungkin bisa terhindari. Dan memang menurut pengakuan hati si Jantung Dewa, jurus 'Jala Surga'-nya selama ini tak pernah ada yang bisa menghindarinya. Namun ia tak tahu bahwa Suto punya gerak siluman yang mampu bergerak melebihi kecepatan anak panah. Zlaaap...!
Tahu-tahu ia sudah pindah tempat di belakang Pendeta Mata Lima dalam jarak hanya empat langkah. Sedangkan sinar birunya Pendeta Jantung Dewa mengenai seonggok tanah keras. Jaaab...! Tanah keras itu merekah, dari rekahannya keluar asap putih dan cahaya sinar biru membara di dalamnya. Kejap berikutnya tanah itu kembali utuh, namun rumput- rumputnya rontok dan mengering kecoklatan.
"Mana dia tadi?" Pendeta Jantung Dewa mencari-cari
Suto tanpa menengok kepada kakaknya. Pendeta Mata Lima juga menengok ke sana-sini dan begitu menengok ke belakang terpekik kaget.
"Hahhh...!"
Wajahnya lucu. Wajah tua berkumis dan berwibawa itu membelalakkan mata dan melebarkan mulut karena kaget. Bahkan tubuhnya sempat terlonjak satu tindak ke samping. Tapi wajah itu buru-buru dibuat tenang dan berwibawa, walau yang terlihat adalah wajah menahan rasa malu dan jengkel. Sedangkan Pendeta Jantung Dewa tetap tenang memandangi Suto yang tersenyum geli melihat kelucuan wajah Pendeta Mata Lima itu.
"Hebat sekali kau bisa hindari jurus 'Jala Surga'-ku," kata Pendeta Jantung Dewa sambil manggut-manggut. "Tapi dapatkah kau tetap bertahan dengan sabuk Telur Naga'-ku ini?! Hiaah...!"
Sreet...! Wuuut...!
Sabuk dari batu-batuan merah bening yang menyerupai rantai itu tahu-tahu dilepaskan dari pinggang dengan satu kali tarik. Sabuk itu menyabet ke arah Pendekar Mabuk. Memang tidak mengenai tubuh Suto, tapi lecutannya keluarkan sinar api merah yang mirip bunga api menggerombol dan menghantam ke arah dada Suto Sinting. Bumbung tuak masih di tangan Suto, sehingga dengan cepatnya Suto sentakkan bumbung tuak ke depan dalam keadaan datar. Sodokan bumbung tuak itu keluarkan sinar kuning. Jurus 'Naga Sontok' menghantam bunga api dan menimbulkan ledakan dahsyat yang sempat mengguncangkan tanah,
merontokkan bebatuan yang dalam posisi miring, menumbangkan tiga pohon jati berukuran sedang.
Zlaap...!
Blegaaar...!
Tubuh kedua pendeta itu terjungkal bagaikan dilemparkan badai besar. Mereka berguling-guling berbeda arah. Hampir saja sebatang pohon yang roboh menindih perut Pendeta Mata Lima. Bruus...!
"Uuhg...!"
Pohon itu hanya menjatuhi kaki kanan Pendeta Mata Lima, sementara adiknya diam tak bergerak karena sebongkah batu besar menggelinding dan menggencet tubuh itu dengan pohon yang masih berdiri tegak. Hanya kakinya yang tampak bergerak-gerak kebingungan mencari panjatan untuk mendorong batu besar itu.
Pendekar Mabuk hanya terpental beberapa langkah dari tempatnya. Namun sempat meringis kesakitan karena pinggulnya bagai retak karena saat terlempar pinggul itu menghantam sebatang pohon cemara hingga daun-daun cemara berguguran. Suto Sinting masih bisa berdiri walau penuh gerutu karena harus singkirkan daun-daun cemara dari tubuhnya, ia lekas tenggak tuaknya untuk hilangkan rasa sakit di tulang pinggulnya.
"Hiaaaah...!"
Suto kaget mendengar suara teriakan besar. Ternyata Pendeta Mata Lima sentakkan kaki yang tertindih pohon itu. Sentakan kaki ke atas membuat batang pohon terlempar terbang ke arah belakang, lalu jatuh di semak- semak berjarak delapan langkah dari tempatnya. Sebuah
kekuatan tenaga dalam yang besar telah dilepaskan Pendeta Mata Lima demi singkirkan batang pohon yang membuat tulang keringnya terasa patah itu.
"Hiaaah...!"
Suto kaget lagi mendengar suara sentakan keras. Disusul dengan suara gemuruh sekilas. Ternyata suara itu datang dari Pendeta Jantung Dewa yang berhasil pecahkan batu besar itu menjadi serpihan kecil. Dengan begitu tubuhnya yang tergencet batu dapat bebas walau tulang rusuknya masih terasa sakit, sepertinya ada yang patah.
"Kalau kulayani, bisa-bisa salah satu ada yang mati konyol," pikir Suto. "Sebaiknya kutinggal pergi menuju Telaga Jompo. Agaknya tak jauh lagi dari sini. Kalau memang mereka mengejar, akan kuajak bermain kucing- kucingan! Tak mungkin mereka bisa temukan aku."
Zlaaap...! Suto Sinting sentakkan kaki dan lenyap bagaikan ditelan bumi. Padahal ia berlari cepat melebihi kilat menuju ke puncak bukit. Pendeta Mata Lima bisa lihat gerakan cepat itu karena ketajaman matanya, ia berseru kepada Pendeta Jantung Dewa,
"Anak itu lari ke puncak! Kejar dia!"
Tanpa menunggu jawaban, Pendeta Mata Lima bergerak cepat hampir menyamai gerakan Suto Sinting. Adiknya menyusul dengan kecepatan sama. Jika mereka tidak berilmu tinggi, mustahil mereka mampu bergerak cepat dalam keadaan tulang kaki dan tulang rusuk terasa remuk. Mereka punya cara sendiri untuk hilangkan rasa sakit itu.
Sayangnya gerakan mereka sengaja dipatahkan oleh pukulan seseorang yang menyerang dengan sinar putih keperakan. Dua sinar putih keperakan itu menghantam lambung mereka dan sulit dihindari atau ditangkis lagi.
Claap...! Des, des...!
"Aahg...!" keduanya sama-sama mengerang pendek,
kemudian tumbang ke bumi. Serangan itu belum membuat mereka mati, namun cukup membuat mereka tak berdaya. Penyerangnya masih sembunyikan diri, memperhatikan keadaan mereka dari tempat yang amat
terlindung.

* * *



PENDEKAR MABUK