Pendekar Mabuk - Cambuk Getar Bumi(2)



Suto masih sibuk memperhatikan bumbung tuaknya, ia benar-benar tak mengerti bumbung tuak itu untuk apa.
Ketika dibuka penutupnya, ia mencium bau aroma tuak. Ia merasa asing dengan aroma tuak, sehingga hidungnya mendengus tak suka mencium bau tuak.

Maka ketika ia bergegas pergi meninggalkan gua, bumbung tuak itu ditinggalkannya pula. Ia melangkah tanpa tujuan dan serba heran memandangi alam sekitarnya, iatak tahu ada di mana saat itu.

Namun ketika ia berhenti dan menoleh ke belakang, ternyata bumbung tuak itu tergeletak tak jauh dari kakinya berpijak. Hanya saja, Suto tak mau hiraukan bumbung tuak itu, sehingga ia melangkah kembali tanpa membawa serta bumbung tuak tersebut, ia tak tahu kalau bumbung tuak itu selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi, seakan seorang teman yang amat setia mengikutinya.

"Perutku lapar sekali. Mau makan apa aku ini? Di mana ada desa? Di mana ada kedai? Oh, mungkin itu sebuah kedai," Suto mendekati tempat yang diduga sebuah kedai, ternyata hanya pepohonan bercabang rendah yang dahan-dahannya mengembang bagaikan payung. Jaraknya tak jauh dari tanah. Tapi Suto menggerutu,

"Uuh...tak adapenjualnya. Mungkin masih tidur."

Rupanya sengatan Lebah Setan itu membuat Suto menjadi linglung, lupa ingatan, lupa tentang apa saja yang pernah dialaminya. Yang ada dalam pikirannya hanyalah cambuk. Terbayang bentuk cambuk, dan mulutnya mengucapkan kata cambuk berulang kali dengan pelan. Sengatan lebah itu mempunyai racun yang membuat seseorang hanya ingat pada satu benda, yaitu benda yang sedang dipikirkan pada saat Lebah Setan itu menancapkan sengat beracunnya.

"Cambuk... cambuk..., ya cambuk...! Cambuk apa namanya? Oh, ya... namanya Cambuk Getar Bumi. Siapa pemiliknya? Ya, cambuk! Pemiliknya ya cambuk itu sendiri. Hmm... enaknya lapar-lapar begini makan cambuk saja. Pasti gurih!"

Suto tersenyum-senyum sambil jalan melenggang. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Ki Rosowelas, si pemilik kedai yang tinggal di Desa Pucangan, di mana Suto pernah bermalam di rumah Ki Rosowelas, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bandar Hantu Malam"). Waktu itu, ternyata Suto sudah sampai di perbatasan Desa Pucangan, tapi ia tidak mengenali desa itu.

"Suto...! " tegur Ki Rosowelas yang waktu itu baru pulang dari mencari kayu bakar, ia memikul kayu bakar dan meletakkannya ketika melihat Suto jalan melenggang memasuki perbatasan desa. Namun teguran itu tidak dibalas oleh Suto Sinting. Ki Rosowelas hanya dipandanginya dengan dahi berkerut, seolah-olah merasa heran, merasa baru kali itu bertemu orang berusia enam puluh tahun itu. Ki Rosowelas sendiri mulai heran melihat sikap Suto.

"Suto, Bandar Hantu Malam telah dibunuh oleh seseorang, apakah kau sudah mengetahuinya?"

"Hantu? Di mana ada hantu?" Suto agaktegang.
"Bandar Hantu Malam!" tegas Ki Rosowelas.

"Ah, biar saja hantu muncul malam hari. Itu memang sudah pekerjaannya," Suto bersungut-sungut dan hendak pergi. Ki Rosowelas segera menahannya karena rasa heran kianmeninggi.

"Suto, mengapa kau bicaranya tak karuan begitu? Ada apa sebenarnya?!"
"Suto, Suto...! Kau ini bicara kepada siapa, PakTua?"
Ki Rosowelas bingung dan terbengong-bengong. Suto segera berkata,
"Kalau ada hantu muncul malam hari, harus segera dicambuk!"

Ki Rosowelas tidak menjawab, tidak berkata apapun. Tapi hatinya segera membatin, "Sepertinya dia mengalami keanehan. Dia seperti bukan Suto yang dulu datang dan bermalam di rumahku. Tapi... tapi wajahnya adalah wajah Suto Sinting, yang pernah kalahkan bayangan hitam alias Nyai Sedah itu?!"

Sambil memikul kayu bakarnya, Ki Rosowelas mengejar Suto. Mendekati rumah penduduk desa pertama, Suto tersusul. Ki Rosowelas terengah-engah dan menghadang langkah Pendekar Mabuk. Pemuda itu berhenti dan memandang dengan bersungut-sungut. Ki Rosowelas segera berkata,

"Suto, apakah kau tak ingat padaku?"
"Apakah kau yang bernama Cambuk Getar Bumi?!"
"Aduh! Mengacau sekali bicaramu! Aku adalah Ki Rosowelas, bapak Sundari!"
"Sundari itu... pemilik cambuk?"

"Aaah...!" Ki Rosowelas jengkel, menghentak- hentakkan kakinya seperti anak kecil. "Sundari itu anakku!"

"Jadi... anakmuitu cambuk?"

Ki Rosowelas tarik napas dalam-dalam, garuk-garuk kepalasebentar, iamenggumam bernada gerututak jelas. Suto Sinting memperhatikan dengan bingung. Lalu pemuda itu berkata,

"Minggirlah. Jangan halangi langkahku. Aku mau cari makan!"
"Makanlah di kedaiku! Mari...!"
"Apakah di kedaimu ada makanan cambuk?"

"Cambuk lagi, cambuk lagi!!" geram Ki Rosowelas. Luar biasa jengkelnya, tapi luar biasa pula bingungnya menghadapi keanehan Pendekar Mabuk. Tak peduli keadaan pikunnya Suto, Ki Rosowelas segera membawa pemuda itu ke kedainya. Waktu itu, kedai sedang ditunggui oleh Sundari, anak gadisnya yang berkulit hitam manis dan pernah menaruh hati kepada Suto. Melihat kedatangan Suto, wajah gadis desa itu berseri- seri menyambutnya. Tapi Suto Sinting bingung menghadapi gadis manis itu dan dahinya berkerut tajam seraya bertanya,

"Kau siapa?'
"Masa lupa? Aku Sundari!"
"Sun... dari... dari mana?" tanya Suto bingung.
"Bapak... kenapa dia ini, Pak?" tanya Sundari kepada Ki Rosowelas.
"Itulah yang membuatku bingung sejak tadi. Dia seperti orang gila!"
Suto berkata lantang, "Aku lapar ..!"
"Mau makan?! Maumakan, ya?!" tawar Sundari.
Suto mengangguk-angguk. "Ya. Makan."
"Lauknyapakai apa?"

"Cambuk!" jawab Suto. Sundari terbengong dan memandangi bapaknya "Dari tadi yang disebutkan hanya cambuk," kata Ki Rosowelas. "Jangan-jangan dia kesurupan. Coba ambilkan bawang putih di dapur, Sundari!"

Sundari bergegas ke dapur dengan hati sedih dan cemas. Tapi Suto berkatakepada Ki Rosowelas,

"Hei, Pak Tua...! Mana enak makan cambuk pakai bawang putih?!"

Waktu itu di kedai hanya ada satu pembeli, yaitu seorang lelaki berpakaian serba hitam, usianya sekitar tiga puluh tahun lewat sedikit. Lelaki itu memperhatikan Suto, sesekalitersenyum geli mendengar kata-kata Suto. Tapi baik Ki Rosowelas maupun Suto tak peduli dengan tamu yang sedang makan itu.

"Pak Tua, kalau kau mau hidangkan cambuk dengan bawang putih, aku tidak mau makan. Tapi kalau diberi garam sedikit, aku mau makan. Cambuk Getar Bumi enaknya dicocol pakai garam, dimakan mentah-mentah. He he he he...!"

Ki Rosowelas bermaksud memborehkan bawang putih ke dahi Suto, juga dibagian jempol kakinya. Karena menurutnya cara mengusir setan yang masuk dalam tubuh manusia kesurupan dengan memborehkan bawang putih yang sudah dikunyahkan. Tetapi pada waktu itu Suto Sinting justru menendang Ki Rosowelas karena tak mau menerima borehan bawang putih. Untung tendangannya tak seberapa keras, sehingga Ki Rosowelas hanyajatuhterjengkangke belakang.

"Dasar bodoh kau, Pak Tua! Jempol kakiku tidak lapar! Kenapa mau kau beri bawang putih?! Yang lapar perutku!" ia menepuk-nepuk perut. "Aku mau makan! Makan pakai Cambuk Getar Bumi!" bentak Suto, sangat memprihatinkan Ki Rosowelas dan Sundari. Bahkan Sundari sempat menangis duka dan meratap di pundak ayahnya dengan suara lirih.

"Dia telah gila, Pak...! Dia tidak ingat kita lagi...!" Suto akhirnya mencaplok apa saja yang tersaji di meja. Sikapnya yang gagah dan sopan sebagai seorang pendekar sudah tidak ada lagi padanya. Bahkan setelah mencaplok makanan hingga perut terasa kenyang, Suto pergi meninggalkan kedai Ki Rosowelas tanpa pamit kepada Sundari maupun bapaknya.

Mereka tak berani menarik kembali, selain hanya merasakan sedih melihat seorang pendekar yang dulu dikaguminya, kini menjadi gila dan lupa akan diri mereka. Sundari menangis dalam pelukan ayahnya, sampai-sampai mereka lupa menagih uang kepada orang berpakaian serba hitam yang tadi makan di situ. Mereka biarkan orang itu pergi begitu saja, walau sempat memasukkan kerupuk ke dalam sarung yang melilit dipinggangnya.

Bumbung bambu itu mengikuti terus dari belakang. Tapi Suto sama sekali tak mau pedulikan bumbung bambu itu. Ia melangkah ke mana kakinya ingin melangkah. Tak punyatujuan dan arah.

Sementara itu, di suatu tempat di sekitar bukit cadas yang tak begitu tinggi itu, terjadi sebuah pertarungan sengit antara Muka Besi dan seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang masih tampak cantik dan menggairahkan bentuk tubuhnya.

Perempuan itu kenakan pakaian putih dengan dirangkap jubah biru muda, serasi dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Pakaian putihnyahanya menutup sampai bagian dada, tepiannya dililit benang emas, sehingga belahan dadanya terlihat menantang dipandang setiap lelaki. Perempuan berambut panjang dengan sanggul di tengahnya berhias bunga mawar merah itu kelihatan kalem-kalem saja menghadapi Muka Besi.

Di pinggangnya terselip cambuk berwarna hitam dengan gagang berhias benang-benang merah sebagai ronce- roncenya. Bagian ujung cambuk tampak nyala sinar biru berpijar-pijar bagaikan sinar kunang-kunang. Jika malam terlihat dengan jelas sekali.

Muka Besi memperhatikan lawannya dengan mata tak berkedip, bukan tertarik pada kecantikannya, melainkan tertarik pada cambuk si perempuan itu, sebab ia tahu cambuk itu adalah cambuk pusaka milik Bandar Hantu Malam. Itulah yang dinamakan Cambuk Getar Bumi. Rupanya perempuan cantik itulah yang berhasil mendapatkan Cambuk Getar Bumi dengan cara membunuh Bandar Hantu Malam.

"Jadi memang kaulah pembunuh kakakku itu, Sri Maharatu?!"

Perempuan yang ternyata adalah Sri Maharatu itu sunggingkan senyum sinis kepada Muka Besi. Suaranya yang bening segera terdengar jelas di telinga si Muka Besi,

"Benar, Muka Besi. Dan tentunya aku tidak sendirian. Aku bekerja sama dengan musuh lama kakakmu, yaitu Nyai Pancungsari. Dia memperoleh kalung merah milik kakakmu itu dan aku memperoleh Cambuk Getar Bumi yang kala itu sudah di tangannya dan ingin dilecutkan ke tubuh Nyai Pancungsari."

"Kalau begitu sepantasnya kau mati menebus nyawa kakakku!" geram Muka Besi.

"Kita lihat saja siapa yang mati, kau atau aku. Tapi kusarankan, jika ingin panjang umur, tinggalkan aku dan jangan dekati lagi aku! Karena aku bisa bikin kau seperti Tiga Utusan Lereng Iblis itu. Barangkali kau melihatnya semalam, atau setidaknya kau menemukan mayat mereka di perjalanan."

"Ya. Sudah kuduga Tiga Utusan Lereng Iblis itu terbunuh oleh Cambuk Getar Bumi. Tapi yang kuburu bukan cambuk itu, melainkan hutang nyawa yang harus kautebus dengan nyawajuga, Sri Maharatu!"

"Kalau kau keras kepala, aku tak segan-segan pergunakan cambuk ini!"

"Persetan dengan ancamanmu! Heaah...!" tokoh tua itu segera lepaskan pukulan jarak jauhnya. Kedua tangannya yang berjari rapat dan lurus itu dilipat ke dalam lalu disentakkan ke depan dalam keadaan telapak tangan tengkurap. Dari ujung-ujung jari tangan itu keluar sepuluh larik sinar putih menyilaukan yang serempak menyerang tubuh Sri Maharatu. Zraaabb...!

Murid Pendita Arak Merah dari Tibet itu hanya diam saja, tapi kedua tangannya saling beradu di depan dada. Sinar biru keluar menyebar dari perpaduan telapak tangan di depan dada. Semasa telapak tangan itu masih saling menempel, sinar biru itu membentuk perisai didepannya, sehingga sinar putih yang terdiri dari sepuluh larik itu ditahan oleh sinar biru tersebut. Zruub...!

Tak ada bunyi ledakan apa pun. Kedua sinar sama- sama padam. Tapi sepuluh jari tangan Muka Besi menjadi melepuh dan mengeluarkan asap. Muka Besi menahan rasa sakit itu dengan menggeletukkan gigi, hingga tubuhnya gemetaran dan keringat dinginnya mengucur dari kulit kepala. Napasnyatertahan berulang- ulang yang mengakibatkan ia terengah-engah dicekam murkanya.

Sri Maharatu hanya sunggingkan senyum sinis.

"Cambuk Getar Bumi belum kugunakan, kau sudah kewalahan melawanku, Muka Besi! Karena itu kusarankan sekali lagi, pergi dan tinggalkan aku selamanya!"

"Keparat!" geram Muka Besi, lalu tiba-tiba tubuhnya melayang cepat bagaikan seekor singa hendak menerkam mangsanya. Wuuuttt...! Kedua telapak tangannya membara merah dan berasap. Bau besi terbakar menyebar ke mana-mana.

Sri Maharatu rendahkan badan dengan menarik kaki kanannya ke belakang dan melipat lutut kirinya sedikit, lalu telapak kanannya yang terbuka di samping dan menghadap ke depan itu keluarkan sinar biru yang berbentuk seperti anak panah berukuran kecil dan pendek.

Claappp...!

Sinar biru itu ditahan dengan telapak tangan kanan Muka Besi yang telah membara dan berasap. Duaarr...! Ledakan cukup kuat terjadi, gelombang hawa panas menyentakkan tubuh Sri Maharatu hingga perempuan itu terpelanting dan badannya nyaris berputar dua kali. Ia sempoyongan dan berpegangan batang pohon. Sedangkan Muka Besi masih tetap tegar, menapakkan kakinya di tanah dengan mantap. Matanya memandang tajam pada lawannyayangterdesak.

Muka Besi tak mau beri kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Sebelum Sri Maharatu berdiri tegak, Muka Besi sudah lebih dulu lepaskan pukulan jarak jauh bersinar hijau bening dari dua jari tangannya yang bengkak itu.

Claapp...!

Sinar itu melesat cepat melebihi anak panah lepas dari busur. Sasarannya adalah dada Sri Maharatu. Tetapi perempuan itu segeratarik jubahnya dan menghadang ke depan dada. Deeb...! Sinar hijau tertahan, lalumembalik arah kepada si Muka Besi. Tentu saja Muka Besi menjadi panik sesaat, ia melompat menghindari sinarnya sendiri.

Blaarrr...! Gugusan batu cadas menjadi sasaran sinar hijau itu. Batu tersebut bukan hanya hancur, namun menjadi serbuk lembut yang menggunduk di tempatnya. Sedangkan Sri Maharatu tak sabar, segera pergunakan cambuk pusaka itu. Ia lecutkan cambuk ke tanah. Taarrr...! Blegaarrr...!

Tanah berguncang hebat. Tempat yang terkena ujung cambuk itu terbelah sampai pada tempat berdiri Muka Besi. Tubuh Muka Besi tersedot masuk ke dalam belahan tanah dengan cepat, tanpa bisa lakukan gerakan apa pun, sehingga suara pekiknya menggema di dalam tanah, dan tanah itu pun terkatup merapat kembali seperti sediakala. Sri Maharatu sunggingkan senyum melihat Muka Besi terkubur dalam tanah bagaikan ditelan bumi.

** 6

TERNYATA tanpa disadari oleh Sri Maharatu, ada sepasang mata yang memperhatikan pertarungannya dari kejauhan. Sepasang mata itu tak lain milik anak Adipati Suralaya; Delima Gusti. Perempuan ini setelah berhasil atasi luka dalamnya akibat pukulan Dewa Sengat, segera berkeliaran lagi memburu cambuk pusaka tersebut.

Dialah orang pertama yang melihat Cambuk Getar Bumi ternyata ada di tangan Sri Maharatu. Kesempatan itu diluar dugaannya sendiri, saat ia selesai sembuhkan luka dalamnya dengan semadi gantung; kaki di atas kepala di bawah, tiba-tiba ia mendengar langkah-langkah kaki manusia berlari, ia mengikuti langkah kaki itu, ternyata tiga orang utusan dari Lereng Iblis. Mereka mengejar Sri Maharatu dan akhirnya Delima Gusti melihat sendiri bagaimana Sri Maharatu menumbangkan tiga utusan tersebut dengan menggunakan cambuk itu.

Sejak itulah Delima Gusti mengikuti gerak langkah Sri Maharatu, sambil berpikir bagaimana cara mencuri cambuk tersebut. Karena menurutnya, tak mungkin ia bisa rebut cambuk itu dengan pertarungan. Tanpa cambuk itu saja Sri Maharatu akan unggul melawannya, apalagi dengan cambuk di tangannya.

Delima Gusti hanya bisa membayang-bayangi gerakan Sri Maharatu yang menurut dugaannya menuju ke pantai dan ingin kembali ke Pulau Dadap. Tetapi di perjalanan, Sri Maharatu diserang oleh Muka Besi. Serangan itu hampir saja kenai Delima Gusti yang bersembunyi di tempat jauh. Delima Gusti sudah menduga, si Muka Besi akan tumbang di tangan Sri Maharatu. Dugaan itu timbul setelah Delima Gusti melihat Kipas Racun Peri yang menjadi senjata andalan Muka Besi jatuh terlepas karena pukulan tenaga dalam Sri Maharatu. Kipas itu hancur berkeping-keping, sehingga tak bisa digunakan lagi. Namun si Muka Besi tetap berlari mengejar Sri Maharatu ketika Sri Maharatu enggan melayaninya.

Pertarungan kedua Muka Besi dengan Sri Maharatu semakin membuat Delima Gusti merasa ngeri berhadapan dengan Sri Maharatu, sekali pun perempuan itulah yang ada di dalam dendamnya. Delima Gusti hanya berani hadapi Sri Maharatu jika Cambuk Getar Bumi ada di tangannya. Kini ia berpikir, dengan cara apa ia bisa memiliki cambuk itu? Tipuan dan kelicikan apa yang harus dipergunakan, agar Cambuk Getar Bumi jatuh ke tangannya dan ia bisa melampiaskan dendamnya kepada Sri Maharatu?

Renungannya di atas pohon terhenti manakala ia melihat Suto Sinting melangkah dengan santainya. Tiba- tiba di dalam otaknya terpetik gagasan untuk memanfaatkan Pendekar Mabuk tanpa peduli harus membujuk dan merayunya lebih dulu. Maka, Delima Gusti pun segera turun dari tempat pengintaiannya, karena pada saat itu Sri Maharatu sedang terlibat pembicaraan dengan orang-orang desa yang akan dijadikan orang upahan sebagai pendayung perahunya nanti.

Melihat kemunculan Delima Gusti yang cantik dan bertubuh menggairahkan itu Suto hanya tersenyum menyeringai. Senyumnya itu berkesan malu-malu kucing. Sikap itu telah membuat Delima Gusti mulai curiga, namun kecurigaannya disembunyikan rapat-rapat di dalam hatinya.

"Mana bumbung tuakmu, Pendekar Mabuk?" tanya Delima Gusti melihat Suto tanpa membawa bumbung tuaknya. Suto hanyatersenyum-senyum norak.

"Apakah aku pantas berjuluk Pendekar Cambuk?!"
"Aku menyebutmu Pendekar Mabuk! Bukan Pendekar Cambuk?!"
"Namamu siapa, Bibi?"

Delima Gusti kian berkerut dahi. Ia belum bicara, Suto sudah menduluinya,

"Cantik sekali wajahmu, Bi. Apakah kau sudah punya suami? Kalau belum, kusarankan bersuamilah Cambuk Getar Bumi. Hidupmu akan bahagia dan indah."

"Aneh. Kenapa ia bicaranya seperti itu?" pikir Delima Gusti. Matanya masih memandangi Suto yang cengar- cengir, ia menghardik untuk mengembalikan sikap Suto yang tidak sepantasnya dimiliki seorang pendekar kondang.

"Hei...! Sadar, Suto!"

Suto Sinting terlonjak kaget, lalu punya rasa takut yang tercermin dari wajahnya. Delima Gusti menatap kiantajam, Suto tunjukkan kepala tan da takut.

"Pandanglah aku!"

Suto menggeleng dengan tetap menunduk takut.

"Pandanglah aku, Suto!" gertak Delima Gusti. Tapi Suto bahkan melarikan diri kembali arah. Delima Gusti semakin penasaran melihat sikap Suto seperti itu. Ia segera mengejarnya dan tahu-tahu menghadang di depan Suto Sinting. Pemuda tampan itu segera mundur dengan wajah tegang, tubuhnyamerapat di sebuah pohon.

"Aku Delima Gusti! Kenapa kau takut padaku seperti itu? Apakah kautak ingat siapa diriku?"
Suto gelengkan kepala dengan wajah menyedihkan.

"Aku Delima Gusti! ingat, aku yang pernah mengejarmu dan mendugamu sebagai pemilik Cambuk Getar Bumi! Aku yang kau kejar-kejar saat di telaga karena membunuh anak buahku sendiri yang akan buka rahasia tentang siapa yang menyuruhnya menyerang Putri Kunang! Apakah kau masih tak ingat?"

Suto menggeleng lagi dengan wajah kian tampak menyedihkan.

Delima Gusti membatin, "Rupanya dia lupa ingatan. Siapa yangtelah membuatnya begini?"
Perempuan itu kembali mencoba bertanya, "Siapa namamu?"
Pemuda tampan seperti pendekar bego, hanya gelengkan kepala saja.
Delima Gusti menggertak, "Siapanamamu?!"

"Ent... entah.... Namaku... namaku...?" Suto berpikir sejenak, tampak susah payah mengingat-ingat namanya. "Namaku... hmm... namaku Cambuk! Ya, Cambuk Getar Bumi!" karena memang hanya nama itu yang diingatnya

Delima Gusti geleng-geleng kepala, merasa sangat heran. Suto ikut geleng-geleng kepala, benar-benar seperti orang yang amat bodoh.

"Pasti ada seseorang yang membuatnya menjadi gila seperti ini. Masa dengan namanya sendiri sampai lupa begitu? Parah sekali keadaannya!" pikir Delima Gusti, kemudian ia bersikap lunak karena tahu bahwa Suto akan ketakutan jika dibentak-bentak. Delima Gusti sunggingkan senyum ramah, ia dekati Pendekar Mabuk yang tundukkan kepala kembali. Matanya sebentar- sebentar melirik ke depan dengan takut-takut. Dagunya diangkat pelan-pelan oleh Delima Gusti. Wajah itu terdongak dan dipandanginya dengan lembut. Rasa takut Suto berkurang.

"Dengar, namamu adalah Suto Sinting! Suto Sinting!" Delima Gusti menjelaskan dengan suara tegas. Suto memperhatikan gerakan bibir perempuan itu. Matanya memandang tak berkedip bagai penuh kekaguman.

"Namamu adalah Suto Sinting! Gelarmu Pendekar Mabuk! Jelas? Pendekar Mabuk! Coba tirukan... Suto Sinting, Pendekar Mabuk. Ayo, tirukan...! Suto Sinting.Suto...."

Pemuda bertampang bego itu justru memegang bibir Delima Gusti bagaikan menangkap seekor kupu-kupu, pelan, pelan, pelan... cup! Bibir dipegang.

"Puih...!"

Suto terkejut, tangannya ditarik mundur dengan takut.

"Disuruh menghafal namanya malah bibir orang diobok-obok!" gerutu Delima Gusti dengan jengkel. Diam-diam dia menaruh rasa iba dan sangat prihatin melihat keadaan Suto Sinting. Rasa iba itu dipendam dalam hati, namun sikapnyayang menjadi baik dan ingin mengembalikan ingatan Suto merupakan cermin dari rasa iba hatinya.

"Apakah seluruh kesaktiannya juga hilang?" pikir Delima Gusti ketika ia termenung beberapa saat lamanya, dan membiarkan Suto bermainkan jubah merah jambunya. "Sebaiknya kucoba gerakan silatnya apakah masih ada. Jika hilang sama sekali, berarti pemuda ini benar-benar parah dan layak dilindungi."

Delima Gusti tiba-tiba berkelebat menampar Suto Sinting. Plokkk...! Suto terpekik kesakitan dan mundur beberapa langkah dengan mengusap-usap pipinya .

"Lawan aku! Ayo, lawan aku...!" kata Delima Gusti. Kemudian kakinya berkelebat menendang dada Suto tanpa tenaga dalam. Wuuttt...! Duugg...! Pendekar Mabuk terpental jatuh dan memekik tertahan.

"Uuhg...!" ia menyeringai kesakitan memegangi dadanya.

"Lawan aku! Kalau kau tak mau melawanku, kau bisa kehilangan nyawa! Ayo, lawan aku, Suto...!" dan kakinya pun menendang, kali ini tendangan sengaja di arahkan ke samping telinga Suto. Ia hanya ingin memancing gerakan naluri seorang pendekar untuk menangkis tendangannya. Tapi tendangan yang dipelesetkan ke arah kiri itu justru di luar dugaan membuat Suto bergerak ke kiri dan akhirnya wajah Suto jadi sasaran kaki Delima Gusti. Plokkk...!

"Uuffh...!" Suto memejamkan mata dan merunduk sambil menutupi wajahnya

"Astaga!" Delima Gusti segera meraih Suto dan memeluknya. "Maaf, maafkan aku! Kalau ada orang menendang ke kiri jangan bergerak ke kiri, kau menghindar ke kanan, jadi tendanganku tidak akan kenai wajahmu!" Delima Gusti menyesal. Tendangannya tadi agak keras. Sekalipun tanpa tenaga dalam namun membuat bibir Suto sedikit bengkak.

Delima Gusti merangkulnya untuk menunjukkan sikap bahwa ia sebenarnya tidak bermaksud menyakiti Suto. Hatinya pun berkata,

"Ternyata gerak nalurinya pun tak mampu diingat lagi. Ia kehilangan ilmu-ilmunya dan menjadi manusia tanpa kekuatan apa pun. Kasihan sekali. Padahal orang banyak yang mengincarnya dan menduga ia sebagai pembunuh Bandar Hantu Malam, sekaligus pencuri Cambuk Getar Bumi. Padahal pembunuh dan pencurinya adalah Sri Maharatu sendiri. Kalau saja tak kudengar pengakuan Sri Maharatu kepada si Muka Besi, mungkin sampai saat ini aku masih menduganya sebagai pembunuh dan pencuri."

Hati perempuan itu punya kekhawatiran besar terhadap jiwa Suto Sinting. Sebab ia yakin, jika orang- orang pemburu Cambuk Getar Bumi bertemu dengan Suto, pasti mereka anggap Suto berpura-pura gila, atau segera menyerangnya dengan jurus maut, karena mereka tahu bahwa Suto orang berilmu tinggi. Mereka tak tahu kalau Suto sudah kehilangan ilmunya dan menjadi linglung.

Niat untuk memperdaya Sri Maharatu dengan memanfaatkan Suto akhirnya dibatalkan. Delima Gusti justru berpikir mencari cara untuk sembuhkan Pendekar Mabuk, atau setidaknya menyembunyikan si tampan itu agar aman dari serangan orang-orang pemburu Cambuk Getar Bumi.

Namun niat itu pun belum sempat terlaksana, karena pada saat itu Suto Sinting segera diserang oleh seseorang dengan menggunakan sinar merah yang menyerupai lemparan senjata rahasia. Claapp...! Untung kewaspadaan Delima Gusti cukup tinggi. Kilatan cahaya merah itu tertangkap oleh ekor matanya. Tubuh Pendekar Mabuk segera ditariknya merapat ke tubuh, lalu Suto diajaknya jatuh berguling. Dengan begitu sinar merah itu kenai pohon yang ada di seberang sana.

Duaarr...! Pohon itu pun pecah terbelah menjadi dua, masing-masing tumbang ke kiri dan ke kanan dengan timbulkan bunyi gemuruh.

Delima Gusti cepat membawa Suto berlindung di balik pohon. "Kau tetap di sini! Jangan ke mana-mana! .

Ada orang yang ingin membunuhmu. Mengerti?!"

Suto mengangguk-angguk dengan wajah tegang penuh rasa takut. Delima Gusti segera lemparkan pandang ke arah semak-semak tempat datangnya sinar merah tadi. Tak ada gerakan di sana. Tampaknya sepi- sepi saja, tanpa ada seorang pun yang bersembunyi di balik semak-semak.

Gerak naluri Delima Gusti seakan perintahkan kepalanya untuk berpaling ke belakang, ternyata saat itu sedang melesat sinar merah seperti tadi yang datang berlawanan arah. Sinar itu kini terarah ke punggung Delima Gusti, sehingga ketika ia berpaling, sinar itu tepat menuju ke dadanya

Wuutt... !

Delima Gusti cepat sentakkan tangan kirinya ke depan dan dari telapak tangan kirinya yang sikunya ditopang tangan kanan itu melesatlah sinar biru berpendar-pendar dan menghantam sinar merah itu. Wuusss... !

Blaarr... !

Ledakan timbul dengan dahsyat. Tubuh Delima Gusti tersentak mundur tiga langkah dengan kedua tangan tetap bertahan di dada. Sedangkan tubuh Suto terlempar sejauh enam tombak dan mengerang di sana dalam keadaan terkapar menyedihkan.

Pada saat itu, Delima Gusti segera melihat sekelebat bayangan berpindah tempat, dari tempat datangnya sinar kedua ke sisi lain lagi. Delima Gusti segera cabut cincin bergerigi di ujung gagang pedangnya, lalu melemparkannya dengan lemparan miring. Ziingng...! Wesss... !

Duaar...! Bunyi ledakan timbul kembali ketika cincin bergerigi itu disambut oleh pukulan bersinar putih. Cincin bergerigi itu hancur berkeping-keping sebelum sampai padatempatnya.

Kejap berikutnya sesosok tubuh melompat bersalto dari arah datangnya pukulan sinar putih. Seorang lelaki tua berdiri menghadap ke arah Suto Sinting, tapi matanya memandang kepada Delima Gusti. Mata perempuan itu terkesiap sejenak mengingat wajah tokoh tua berjubah merah. Setelah ingat siapa tokoh itu, ia segera bergumam dengan nada geram. "Setan Samudera!"

Orang kurus berwajah angker dengan rambut putih botak depan itu memang Setan Samudera. Ia sengaja menyerang Suto dengan sinar merahnya, karena ia sangka pendekar sakti itu masih berilmu tinggi. Jika Suto masih berilmu tinggi, maka serangan sinar merahnya tadi hanya akan melumpuhkan saja tidak akan menghancurkan tubuh bertenaga dalam tinggi, ia tak tahu, seandainya sinar merahnya tadi mengenai dada Suto, maka pemuda itu pun akan hancur terbelah menjadi dua bagian seperti pohon yang bernasib malang itu.

Kini melihat Suto terkapar dengan erangan kecil, Setan Samudera sedikit heran dan menyangka kekuatan Suto sebagai pendekar terkenal di rimba persilatan hanya sampai di situ saja. Setan Samudera tidak mau menyia- nyiakan waktu, ia bergegas ingin memaksa Suto untuk serahkan Cambuk Getar Bumi. Namun ketika ia melangkah satu tindak, Delima Gusti kirimkan pukulan bersinar merah dari tangan kanannya. Claap...! Sinar itu sengaja diarahkan di depan kaki Setan Samudera. Duaarr...! Setan Samudera bergerak mundur dan tanah menjadi berlubang, sebagian tanah menyembur ke atas menyebarkan debu.

Delima Gusti melangkah dekati Suto dengan mata pandangi Setan Samudera. Sebaliknya, si wajah angker pun tatap mata perempuan itu dengan tajam dan tak berkedip, ia kelihatan menyimpan kemarahannya kuat- kuat.

"Jangan coba-coba menyentuh pemuda tak berdaya ini!" kata Delima Gusti. "Dia bukan tandinganmu untuk saat ini, Setan Samudera! Dia kehilangan segala- galanya, dan akulah yang menjadi pelindungnya."

"Kebetulan sekali kalau dia kehilangan segala- galanya, aku akan mudah memaksanya menyerahkan cambuk pusaka warisan orangtuaku itu!"

"Cambuk Getar Bumi tidak adapadanya!"

"Tahu apa kau, Perempuan Ganjen!" hardik Setan Samudera. "Kau pikir dia akan jatuh cinta padamu jika kau perlihatkan kesetiaanmu di depannya?! Hmm...! Pemuda seperti dia tak pernah punya cinta yang tulus. Dia pemuda mata keranjang yang mudah jatuh di pangkuan wanita mana pun!"

"Itu bukan urusanmu, Setan Samudera! Kalau kau inginkan Cambuk Getar Bumi, pergilah ke pantai, cambuk itu ada di tangan Sri Maharatu, orang Pulau Dadap! Kulihat sendiri kehebatan cambuk itu saat memangsa korbannya; si Muka Besi!" kata-kata tersebut ditekankan, sehingga Setan Samudera terperanjat dengan mata sedikit menyipit sangsi.

"Kau ingin mengelabuiku, Perempuan Ganjen?!"

"Tua bangka, kalau kau tak percaya, pergilah ke arah pantai. Temui Sri Maharatu sebelum dia menyeberang dengan perahunyamenuju Pulau Dadap. Kalau kau tetap di sini, kau akan kecewa, dan aku pun kecewa sekali jika cambuk pusaka itu jatuh ke tangannya. Sebab dengan begitu, aku tidak akan bisa melampiaskan dendamku kepada Sri Maharatu. Jelas aku akan kalah jika ia menggunakan Cambuk Getar Bumi!"

Setan Samudera belum berkedip dalam menatap Delima Gusti, tapi hatinya bicara pada diri sendiri,

"Sepertinya dia berkata yang sebenarnya. Aku tahu, dia anak Adipati Suralaya. Orang kadipaten punya persoalan sendiri dengan orang Pulau Dadap. Wajar jika ia merasa tak rela jika cambuk itu jatuh ke tangan Sri Maharatu, sebab ia akan tumbang berhadapan dengan Sri Maharatu! Hmm... sebaiknya, kukejar saja Sri Maharatu ke arah pantai sebelum ia menyeberang ke Pulau Dadap!"

Tanpa pamit ini-itu, Setan Samudera sentakkan kaki dan melesat dengan cepat, pergi tinggalkan Delima Gusti. Hati Delima Gusti sedikit lega, setidaknya Suto telah terhindar dari ancaman salah duga yang dapat membawa maut bagi jiwanya itu. Maka, Delima Gusti pun segera menolong Suto yang masih terkapar dan mengerang lirih, merasakan panas dan sakit pada dadanya.

"Ke mana aku harus sembunyikan orang ini?" pikir Delima Gusti setelah ia salurkan hawa dingin ke tubuh Suto, dan rasa sakit Pendekar Mabuk berangsur-angsur berkurang. Delima Gusti berkata,

"Lihat, orang jubah merah tadi mau membunuhmu, bukan?! Nyawamu terancam, banyak orang yang ingin membunuhmu! Kau mau selamat ataumaumati?"

"Mati dengan selamat," jawab Pendekar Mabuk tak paham maksud kata-katanya sendiri.

"Kau harus selamat! Jangan mau mati!" gertak Delima Gusti dengan jengkel. Suto Sinting hanya angguk-anggukkan kepala.

"Kalau kau mati, nyawamu hilang dari raga, kau bisa jadi hantu bergentayangan ke sana-sini setiap malam!"

"Hiii...!" Suto bergidik ngeri.

"Kalau kau mau selamat, berarti kau tidak mati. Dan itu berarti pula kau harus turuti kata-kataku! Aku akan melindungimu. Mengerti?"

Pendekar Mabuk mengangguk, tapi sambil berkata, "Dengan cambuk?"

"Dengan apa saja, aku akan melindungimu! Sekarang, ikutlah aku dan jangan jauh-jauh dariku!"

"Tap... tapi... tapi aku harus ambil cambuk."
"Mau ambil cambuk ke mana?!"
"Di... di... di mana saja. Akutaktahu!"

Delima Gusti mendesah jengkel, lalu menarik tangan Suto dan diajaknya pergi, ia yakin Setan Samudera berhasil menghambat perjalanan Sri Maharatu. Setidaknya selama Setan Samudera menghambat Sri Maharatu, ia punya waktu untuk sembunyikan Suto. Setelah itu baru menyusul, melihat perkembangan di pantai.

Delima Gusti punya seorang kenalan yang pondoknya tak jauh dari tempat itu. Ia membawa Pendekar Mabuk ke pondok tersebut. Orang yang dituju Delima Gusti merasaterkejut melihat keadaan Suto yang kosong ilmu, kosong ingatan. Orang tersebut tak lain adalah Resi Wulung Gading. Pendekar Mabuk tak ingat tempat itu, juga merasa tak kenal dengan Resi Wulung Gading.

"Aku sudah mengenalnya, Delima Gusti. Dia kemarin datang kemari dan ceritakan tentang dirimu yang mengaku sebagai murid Bandar Hantu Malam "

"Kuakui itu memang siasatku, Eyang Resi. Aku memang sangat berharap dapatkan cambuk itu, karena aku ingin melawan Sri Maharatu. Aku menyesali tindakanku terhadap Suto kemarin itu. Ternyata dia tak bersalah, dan sebagai penebus kesalahanku, aku ingin selamatkan dia, Eyang Resi."

Resi Wulung Gading angguk-anggukkan kepala samar-samar, ia tahu betul bahwa Delima Gusti sebenarnya bukan golongan tokoh hitam. Hanya karena diburu dendam ia menjadi bernafsu sekali untuk dapatkan cambuk itu dengan cara apa pun.
Kini penyesalan Delima Gusti diakui Resi Wulung Gading sebagai sikap bijak yang patut disambut dengan
kebijakan pula.

"Dendam memang sering membuat mata manusia menjadi gelap, terutama mata hati. Dendam juga dapat membuat pikiran manusia menjadi buntu dan akhirnya mencari jalan pintas. Karena itu kuingatkan kepadamu, Delima Gusti, kendorkanlah urat dendammu. Jangan semata-mata hidup untuk turuti hati yang dendam. Biarlah pembalasan tiba dengan sendirinya, karena Yang Maha Kuasa adalah Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Siapa salah akan kalah, siapa benar tetap tegar!"

"Aku mengerti, Eyang Resi."

"Sekarang pantaulah sampai di manatingkah laku Sri Maharatu! Firasatku mengatakan, dia akan hancur dalam waktu dekat. Cambuk itu telah terkena kutuk, kutuk itulah yang akan hancurkan dirinya Hanya saja, siapa yang bakal menjadi pemilik Cambuk Getar Bumi setelah Sri Maharatu, aku tak punya firasat akan hal itu. Keadaan Sri Maharatu yang memiliki cambuk itu bisa kau jadikan pelajaran dalam hidupmu dan untuk hidup selanjutnya."

"Baik, Eyang Resi. Lalu, bagaimana dengan Pendekar Mabuk ini?"

"Akan kurawat!" jawabnya tegas. "Mudah-mudahan aku bisa kembalikan ingatannya dan ilmu-ilmunya. Sebab menurutku, dia telah terkena racun sengatan seekor lebah. Jurus itu bernama jurus 'Lebah Setan', pemiliknya tak lain adalah si Dewa Sengat. Berhati- hatilah kau jika bertemu dengannya."

Terbayang wajah Dewa Sengat dan Putri Kunang. Geram di hati Delima Gusti membuatnya ingin berhadapan kembali dengan Dewa Sengat dan Putri Kunang. Tetapi hal yang terpenting dipikirkannya adalah, mungkinkah Resi Wulung Gading bisa kembalikan ilmu dan ingatan Pendekar Mabuk?

***7

SETAN Samudera yang penasaran ingin buktikan kata-kata Delima Gusti, akhirnya menemukan apa yang diharapkan. Di depannya tampak seorang perempuan cantik bermata jalang mengenakan jubah biru muda lembut, perhiasannya lengkap, sanggulnya diberi hiasan bunga mawar merah. Setan Samudera tak asing dengan perempuan itu.

"Sri Maharatu!" gumamnya penuh debar-debar ketidaksabaran. "Cambuk itu memang ada padanya. Selagi diselipkan di pinggangnya, sebaiknya kupukul dari belakang," pikir Setan Samudera.

Sri Maharatu sedang bicara dengan dua nelayan sambil berjalan, tiba-tiba dua larik sinar warna merah dan hijau melesat menghantam punggungnya. Slaapp! Tapi gerak naluri Sri Maharatu cukup tinggi, ia merasa ada sesuatu yang bergerak cepat menuju ke arahnya.

Dengan cepat ia sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melesat ke atas, bersalto di tempat, lalu kedua nelayan yang ada di kanan kirinya itu dirapatkan dengan cara menarik dua kepala tersebut menggunakan tangannya. Kedua orang itu saling terhempas berbenturan, dan pada saat itulah sinar merah dan hijau menghantam dua nelayan tersebut.

Zraab...! Jraabbb...!

Tak ada bunyi ledakan apa pun, tapi kedua nelayan itu sama-sama terhenyak sekejap. Tubuh Sri Maharatu berhasil mendarat di tanah belakang kedua nelayan tersebut, lalu lompat ke samping, berjungkir balik dengan menggunakan kedua tangannya menapak di tanah.

Wut, wut, wut...! Jleegg!

Sedangkan kedua nelayan itu menemui ajal secara bersamaan. Yang satu menjadi arang, hangus terbakar sekejap oleh sinar merah, dan yang satunya lagi punggungnya berlubang sebesar buah kelapa, lalu jatuh terpuruk tanpa nyawa sedikit pun.

Sri Maharatu tak pedulikan nasib kedua nelayan itu. Kini yang dipandangi adalah wajah Setan Samudera. Wajah angker itu ditatap oleh mata indah berkesan jalang dengan senyum sinis menggoda murka. Setan Samudera hentikan langkah setelah berada dalam jarak tujuh langkah di depan Sri Maharatu. Pancaran matanya tampak bernafsu sekali memandangi Cambuk Getar Bumi yang ada di pinggang perempuan berpinggul menggairahkan itu.

"Sudah mendengar kabarnya si Muka Besi?" tanya Sri Maharatu dengan sinis.

"Akutak peduli dengan nasib si Muka Besi!" geram Setan Samudera. "Yang kupedulikan adalah pusaka leluhurku itu! Kalau kau tak mau serahkan padaku, kau akan hancur melebihi nasib dua orang itu!"

Sri Maharatu tetap tenang dan tersenyum-senyum sinis. Sambil bermainkan rambut yang meriap ke dada kanannya, Sri Maharatu berkata dengan nada mengejek,

"Apakah leluhurmu masih ada yang sanggup melawanku? Mengapa tak kau bawa kemari sekalian? Atau mungkin kau ingin menyusul Muka Besi sendirian?"

"Keparat kau, Perempuan Lacur!" geram Setan Samudera. "Mulutmu perlu disumbat dengan ini, heaah...!" tangan kanan Setan Samudera melemparkan sesuatu yang diambil dari balik lengan jubah kirinya. Wuuttt...!

Gerakannya yang begitu cepat membuat Sri Maharatu hanya bisa menghindar dengan cara melompat ke atas tegak lurus dari tempatnya. Sambil melompat tangannya pun melepaskan pukulan bersinar putih perak yang melebar dari kedua jarinya Zraabb...!

Benda yang dilemparkan Setan Samudera itu tak lain adalah puluhan jarum merah yang membara bagaikan terpanggang api. Puluhan jarum merah itu dihantam oleh sinar putih perak di pertengahan jarak.

Syuurrbb...!

Jarum-jarum itu bagaikan masuk ke dalam gumpalan uap air, tak ada suara dentuman yang membahana. Jarum-jarum itu lenyap bersama hilangnya sinar putih perak tepat ketika Sri Maharatu turun dan mendarat ke tempat semula. Yang ada hanya kepulan asap putih tipis, dalam sekejap hilang tersapu angin.

"Jurusmu masih ringan, Setan Samudera! Sebaiknya kau pulang saja, jangan hadapi aku biar awet umurmu!" ejek Sri Maharatu.

"Tutup mulutmu, Perempuan Binal! Terimalah jurus 'Bangau Pelebur Jasad' ini jika kau mampu! Heaah...!"

Setan Samudera sentakkan tangan kirinya yang menguncup dan dari kuncup tangan itu melesat sinar biru bening ke arah Sri Maharatu. Slaapp...! Sedangkan tangan kanannya yang berkelebat ke atas kepala segera diayunkan ke depan dengan meliuk ke samping lebih dulu. Kuncup jemari tangan kanan itu juga lepaskan selarik sinar warna kuning bening. Slaapp...! Dua sinar itu menyatu di pertengahan jarak dan melesat makin cepat ke arah lawan dengan berubah warna menjadi hijau tua dan berukuran besar.

Wuusss...!

Perempuan cantik itu segera rapatkan kedua telapak tangan di dada, dan dari telapak tangan itu menyebarlah sinar biru membentuk perisai di depannya Sinar hijau tersebut menghantam sinar biru perisai dengan kuat.

Blegarrr...!

Warna hijau kebiru-biruan pecah dalam sekejap. Gelombang ledakannya begitu kuat, sehingga tubuh Sri Maharatu terlempar ke belakang dalam keadaan hilang keseimbangan. Brrukss...! Ia jatuh di semak-semak bagaikan sebuah karung yang dilemparkan begitu saja.
Setan Samudera sendiri tak kelihatan wujudnya. Sri Maharatu yang bangkit dengan gerutuan tak jelas sempat kebingungan mencari Setan Samudera.

Ketika mendengar suara erangan tipis dan pendek, mata Sri Maharatu memandang ke atas pohon yang ada di belakang Setan Samudera saat perpaduan dua pukulan hebat tadi. Rupanya gelombang ledakan itu melemparkan Setan Samudera tinggi-tinggi hingga tubuhnyatersangkut di atas pohon.

Sekalipun kepala terasa sedikit pening, tapi Sri Maharatu sempat tertawa melihat lawannyatersangkut di atas pohon. Lalu, ia buru-buru lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar biru berbentuk anak panah yang keluar dari telapak tangan kanannya dalam satu hentakan, seraya ia berseru lantang,

"Turun kau, Tuabangka!"
Slaap...!

Melesatnya sinar biru berbentuk anak panah pendek itu sangat cepat, sehingga Setan Samudera dibuat kaget dalam sekejap. Kemudian dengan gunakan tangannya menyentak di dahan, tubuh Setan Samudera melesat menerabas dedaunan.

Zraaakk...!

Ia berpindah dahan di lain pohon. Keadaannya telah berdiri tegak di atas sana sambil memperhatikan sinar birunya lawan yang menghantam dahan tempatnya tersangkut tadi.

Jruubb...! Praasss ..!

Dahan itu pecah menjadi potongan-potongan kecil dan jatuh menggunduk di tempatnya tumbuh. Dari bagian batang bawah sampai di bagian pucuk tak ada yang tak terpotong seukuran satu jengkal. Jumlahnya puluhan potong, mungkin seratus potong lebih, dan hebatnya dapat tertata rapi membentuk gunungan kayu yang sudah kering.

"Edan! Ilmu apa yang dipakai si murid Pendita Arak Merah itu?!" pikir Setan Samudera. "Se baiknya kugunakan jurus andalanku sebelum cambuk itu digunakan lebih dulu olehnya. Sebab kalau cambuk itu sudah di tangannya, aku akan sulit mengalahkannya," pikir Setan Samudera sambil bergerak turun dari atas pohon, jubahnya berkelebat bagaikan sayap burung perkasa.

Begitu tiba di tanah, kedua tangannya segera merentang cepat, lalu meliuk-liuk, mengibas ke sana-sini dengan kaki di angkat silih berganti, melompat-lompat di tempat, membungkuk, merendah dan memutar badan dengan cepat.

Weesss... !

Pada saat tubuh memutar dan kembali pada arah semula itulah, kedua tangan yang beradu pergelangannya disentakkan ke depan dan menyemburlah sinar merah bagaikan kobaran lidah api. Besar dan ganas gerakannya. Woosss...! Jurus 'Mulut Naga Liar' itu biasanya digunakan untuk menyerang lawan yang berjumlah lebih dari sepuluh orang, karena semburan api yang berbentuk sinar merah besar itu mampu menghanguskan sepasukan prajurit dalam sekejap. Tiga langkah sebelum nyala api besar itutiba, biasanya lawan sudah hangus lebih dulu.

Tapi agaknya kali ini Setan Samudera berhadapan dengan lawan yang ilmunya lebih tinggi. Sri Maharatu segera tarik jubahnya dan dihadangkan ke depan, sehingga sinar merah besar dan ganas itu berhasil ditahan dengan jubah sutera yang amat tipis namun mempunyai kekuatan tenaga dalam tinggi. Zeerrb...!

Sinar besar itu menyusut dalam jarak tiga langkah sebelum menyentuh jubah, lalu ketika menyentuh jubah, sinar merah besar itupadam seketika. Blaaab...! Tinggal asapnya yang mengepul sangat tipis dan membuat Setan Samudera terbengong-bengong memandanginya.

"Tak pernah ada benda yang mampu bertahan menerimapanasnya sinar merahku itu. Pintu baja setebal gerbang banteng pun lumer dalam sekejap. Tapi jubah tipis itu kekuatannya melebihi pintu baja tebal. Tak sedikit pun ada bekas menghangus di jubah tipis itu. Luar biasa!" gumam hati Setan Samudera.

Tetapi agaknya ia tak mau menyerah begitu saja. Ia segera mainkan jurus lagi untuk serangan berikutnya, namun tiba-tiba tangan Sri Maharatu menyambar cambuk di pinggangnya membuat Setan Samudera diam- diam menjadi tegang memandanginya. Kedua tangannya telah menggenggam, genggaman itu telah berasap, siap untuk dilemparkan.

Namun gerakannya terlalu lambat menurut Sri Maharatu, sehingga ketika cambuk pusaka itu dilecutkan, genggaman tersebut masih merapat. Taarrr...! Cambuk Getar Bumi berkelebat dengan ujungnya menyala biru pendar-pendar. Cambuk itu sempat dihindari oleh Setan Samudera yang melompat naik ke udara, tapi ujung cambuk bagaikan memburunya naik pula, lalu melilit di bagian dada dan perut dengan timbulkan suara ledakan cukup keras. Duaarr...!

Seketika itu asap hitam mengepul tebal membungkus tubuh Setan Samudera. Asap hitam yang sulit diterobos pandangan mata manusia biasa itu bergumpal-gumpal sesaat. Setan Samudera yang tak terdengar suaranya. Ketika asap itu terhembus angin dan lenyap, yang ada di depan Sri Maharatu adalah potongan tubuh Setan Samudera yang menjadi empat bagian, karena ada empat lilitan cambuk di tubuhnya.

Tubuh yang terpotong itu tidak keluarkan darah sedikit pun. Namun jelas hal itu membuat Setan Samudera tak mampu bernapas lagi, dan matilah ia dirajang oleh cambuk pusaka leluhurnya sendiri. Sri Maharatu sunggingkan senyum kemenangan sambil menarik tali cambuk dengan tangan kiri dan menggulungnya rapi. Mulutnya mengucap kata bagaikan bicara pada mayat yangterpotong.

"Sudah kuingatkan sebelumnya, tapi kau tidak mau percaya padaku, Setan Samudera. Kini, rasakan sendiri bagaimana nasibmu terkirim ke alam baka sana! Semoga semua ini menjadi hikmah dan pelajaran bagimu, Setan Samudera!"

Pada waktu cambuk melilit tadi, ternyata Delima Gusti sudah tiba di semak-semak belakang Sri Maharatu. Ia terbelalak menyaksikan adegan mengerikan. Jantungnya berdetak-detak melihat nasib Setan Samudera yang menjadi korban keganasan Cambuk Getar Bumi itu. Kematiannya berbeda dengan cara kematian yang dialami Muka Besi. Tapi buat Delima Gusti, cara itu lebih kejam daripada cara kematian si Muka Besi.

Sementara itu, di Padepokan Lembah Sunyi, Resi Wulung Gading sibuk memulihkan ingatan Pendekar Mabuk. Pemuda itu sengaja ditotok jalan darahnya supaya tidak bisa bergerak ke mana-mana. Ia dibaringkan di atas lantai berlapiskan permadani.

Resi Wulung Gading segera tempelkan telapak tangan kanannya ke dada Suto, tepat di ulu hatinya. Tangan itu menyala pijar warna hijau. Sinar pijar hijau itu kian melebar, membuat sebagian dada Suto pun menjadi menyala pijar hijau. Itulah jurus pengobatan yang dinamakan Tapak Lumut Dewa', yang mampu untuk menawarkan segala macam racun.

Kini tubuh Suto menjadi menyala hijau sampai batas perut ke atas. Kepalanya pun memancarkan cahaya hijau membuat rambutnya bagaikan berwarna putih uban. Makin lama sinar pijar hijau itu merambat sampai ke telapak kaki, sehingga lengkaplah sekujur tubuh Suto menerima getaran hawa suci yang dinamakan Tapak Lumut Dewa' itu.

Tangan Resi Wulung Gading ditarik dari dada Suto. Warna hijau pijar pada tangan itu menjadi padam. Tapi warna hijau pijar di sekujur tubuh Suto masih saja menyala, bahkan makin lama makin terang. Resi Wulung Gading terkejut dan menjadi bingung sendiri.

"Biasanya begitu tangan kutarik ke atas, tubuh yang menyala ini menjadi padam seketika. Tapi mengapa sampai telapak tanganku sendiri sudah padam, tubuh bocah ini masih menyala hijau begini?!"

Resi Wulung Gading menunggunya beberapa saat, tetapi sampai lama ternyata tubuh Suto masih seperti beling mengandung fosfor, hijau terang dan memijar. Tubuh itu masih belum bisa bergerak sedikit pun. Resi Wulung Gading kian kebingungan.

"Apakah aku salah mantera? Ah, kurasa tidak! Nyatanya tanganku bisa menyala hijau, berarti aku tidak salah mantera dan tidak salah pernapasanku. Wah, kalau bocah ini tubuhnya menjadi hijau selamanya, bagaimana?!" gumam Resi Wulung Gading sambil menahan kegelisahan dan kecemasannya.

Tokoh tua yang usianya sudah banyak dan layak jika menjadi pikun, lupa ini-itu, ternyata masih punya cara lain untuk padamkan sinar hijau yang membungkus tubuh Suto. Cara tersebut menggunakan jari tengah tangan kanannya. Jari tengah itu ditempelkan di tengah kening, antara kedua alis Pendekar Mabuk. Dengan sedikit ditekan, jari itu mulai menyala putih menyilaukan dengan kepulan asap tipis di sekelilingnya Tiba-tiba, slaappp...! Sinar putih menyilaukan itu masuk ke tubuh Pendekar Mabuk, warna hijaunya lenyap dan berganti warna putih perak menyilaukan. Kini tubuh Suto bagaikan dilapisi sinar perak, dan sampai beberapa saat tak mau padam-padam.

"Wah, sekarang malah ganti sinar tapi masih tak mau padam juga?!" gumam Resi Wulung Gading. "Racun 'Lebah Setan' ternyata memang sulit dilumpuhkan. Mungkin harus Dewa Sengat sendiri yang mengobati Suto. Tapi... kurasa dia tak mau. Sebab aku tahu persis wataknya, tak pernah mau mengobati orang yang terkena serangan jurus mautnya Orang itu dibiarkan berupaya mencari obat sendiri, yang jika terlambat bisa mengakibatkan nyawa orang itu lenyap. Jadi, kalau toh Suto dihadapkan kepada Dewa Sengat, dia tidak akan mau obati Suto!"

Resi Wulung Gading memang baru kali ini mencoba menawarkan racun sengat dari jurus 'Lebah Setan', dan ternyata dia tidak mampu lumpuhkan kekuatan racun sengat tersebut, ia berjalan mondar-mandir di samping tubuh Suto yang dibaringkan. Resi Wulung Gading memeras otak mencari jalan keluar, sambil sebentar- sebentar melirik tubuh Suto yang masih memancarkan nyala sinar putih perak menyilaukan.

"Celaka kalau sampai begini seterusnya, ia bisa menjadi bahan tontonan orang banyak. Citranya sebagai Pendekar Mabuk akan lenyap, dan si Gila Tuak dan Bidadari Jalang pasti akan menuntutku! Hmmm... lalu bagaimana cara memadamkan sinar itu dari tubuhnyal Aku tak pernah alami kejadian seperti ini! Haruskah disiram dengan air satu ember?! Oh, tidak! Dia bukan kompor! Tak bisa dipadamkan dengan siraman air atau rendaman karung basah. Pasti ada caranya. Hmmm...!" gumam itu memanjang dalam renungan yang mencemaskan jiwanya.

Setelah beberapa saat merenung, Resi Wulung Gading segera tampakkan wajah lega berseri, ia berkata seperti bicara pada diri sendiri,

"Aku lupa tidak membuka jalur nadinya! Pantas sinarnya tak mau padam!" Maka, dengan gunakan dua jari tangannya, Resi Wulung Gading menotok telapak kaki Suto Sinting. Teebb...! Satutotokan membuat tubuh itu tersentak, kaki terangkat naik karena kaget dan dagu Resi Wulung Gading tertendangtak sengaja.

Plookk...!

"Uh...! Terima kasih atas pembalasanmu, Suto," ucapnya pelan sambil mengusap-usap jenggotnya. Selembar jenggot tersangkut di jari kaki Suto yang tadi tersentak ke atas. Selembar jenggot itu diambil oleh pemiliknya, dipandanginya dengan rasa amat sayang, tapi akhirnya sang Resi geleng-geleng kepala dan membuang selembar jenggotnya ke samping.

Suto Sinting sudah mulai bisa gerakkan tangannya. Nyala sinar perak itu telah padam sejak sentakkan totok di telapak kaki tadi. Resi Wulung Gading semakin kelihatan lega ketika Suto sudah mulai buka mata dan berkedip-kedip.

"Racun itu telah punah, pasti ia kembali pada dirinya, kembali dalam ingatan semula," ucap sang Resi, lalu Pendekar Mabuk pun ditegurnya,

"Bagaimana keadaanmu, Suto?! Sudah ingatkah kau siapa diriku?"
"Cambuk...," jawab Suto lirih. Resi Wulung Gading bersungut-sungut.
"Hmmm... masih gila juga?!" ia melangkah dan garuk-garuk kepalanya.

Ternyata Pendekar Mabuk memang belum bisa terhindar daripengaruh racun sengatan 'Lebah Setan' itu. Ia masih tidak ingat siapa dirinya, yang diingat hanyalah kata cambuk. Lebih parah lagi, ternyata Suto Sinting sekarang malahan tidak bisa bangkit dari pembaringannya. Bahkan untuk gerakkan tangan agar naik ke atas pun tak bisa. Kepalanya hanya bisa berpaling ke kiri dan kanan, itu pun dilakukan dengan pelan-pelan sekali.

"Aduh, kenapa malah jadi lumpuh begini?!" pikir Resi Wulung Gading dengan bingung dan menahan kejengkelan. "Rupanya pengaruh kekuatan racun Lebah Setan' itu sungguh hebat. Jika dicoba untuk ditawarkan atau diobati akan membuat si penderita semakin parah dan mengakibatkan lumpuh. Aku tak tahu akan hal itu. Kasihan Suto, sekarang seperti bayi baru selapan hari, hanya bisa menengok ke kiri-kanan dengan pelan. Hmm... aku harus mencari cara untuk memulihkan keadaan bocah ini! Ah, sayang ada beberapa jurus dan ilmu pengobatan yang telah kulupa karena ketuaanku. Dulu aku mempunyai seratus macam pengobatan. Kini yang kuingat hanya dua-tiga macam saja."

Pikir punya pikir, akhirnya Resi Wulung Gading mempunyai gagasan baru setelah melihat tanda merah di kening Pendekar Mabuk. Tanda itu berasal dari penguasa Puri Gerbang Surgawi di alam gaib. Tidak setiap orang bisa sampai ke negeri itu. Hanya orang- orang berilmu tinggi dan yang mempunyai tanda khusus seperti Suto yang bisa keluar masuk negeri yang dipegang oleh Ratu Gusti Kartika Wangi, calon mertua Suto, sebab Suto adalah calon istri Dyah Sariningrum, anak dari Ratu Kartika Wangi.
"Bagaimana kalau Suto kubawa kepada beliau?

Kuserahkan kepada Ratu Kartika Wangi. Mudah- mudahan penguasa bijak itu mampu sembuhkan Suto dan bisa membuat Suto pulih kekuatan dan ingatannya seperti sediakala."

Tanpa banyak menunggu pertimbangan lain, Resi Wulung Gading segera angkat tubuh pemuda tampan itu. Sekalipun tubuhnya kelihatan berkulit lumer dan tampak ketuaannya sangat melemah, namun ternyata sang Resi masih punya tenaga simpanan cukup banyak, sehingga ketika mengangkat tubuh Pendekar Mabuk ia tak memerlukan urat mengencang ataupun suara ngotot mengeras di leher. Nyiiing...! Seperti mengambil sarung dan disangkutkan di pundaknya .

Ketinggian ilmu yang tersimpan dalam diri Resi Wulung Gading membuatnya mampu menembus lapisan alam kehidupan nyata dan tak nyata Cukup dengan melangkah keluar dari kamar pengobatan itu, sang Resi yang menyampirkan tubuh Suto di pundaknya itu telah menembus alam kehidupan lain, yang menurut pandangan Dul dan Sukat, sang Resi menghilang begitu melangkah keluar dari kamar. Kehadiran sang Resi sudah diteropong oleh indera keenam Ratu Kartika Wangi.

Maka dikerahkanlah sejumlah prajurit Negeri Puri Gerbang Surgawi alam gaib untuk menyambut kehadiran sang tokoh sakti yang sudah mulai pikun karena ketuaannya itu. Wanita-wanita cantik berseragam sama berjajar memagari lorong yang menuju singgasana. Mereka menyambut kedatangan sang Resi dengan taburan bunga yang aromanya enak dihirup lama-lama.

Sang Resi pun tampakkan senyum keramahannya sambil masih tetap memanggul Suto yang mirip sarung basah disangkutkan di pundak itu, (Untuk lebih lengkap tentang negeri ini, baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").

Seorang wanita cantik berwajah bulat telur dengan cahaya mata yang memancarkan pesona dan kebijakan, duduk di singgasana mengenakan jubah ungu dan semuanya serba ungu. Dialah yang bernama Ratu Kartika Wangi, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi untuk alam gaib. Sang Ratu sedikit tegang ketika melihat Pendekar Mabuk dibaringkan di lantai oleh Resi Wulung Gading. Sang Ratu pun segera ajukan tanya kepada sang resi.

"Resi Wulung Gading, apa maksudmu membawa Manggala Yudha Kinasih kemari dan kau baringkan seenaknya sajadi lantai?"

"Ampun, Gusti Ratu Kartika Wangi...," sang Resi menghormat karena kedudukan dan kesaktiannya masih dibawah sang Ratu. Katanya lagi,

"Suto Sinting telah benar-benar sinting, Gusti Ratu! Ia terkena racun sengatan 'Lebah Setan' dan lupa siapa dirinya, lupa siapa saya, serta lupa bagaimana menggunakan jurus-jurusnya! Ia menjadi polos tanpa kekuatan apa pun."

"Racun sengat 'Lebah Setan'...? Hmm..., kalau tak salah itu ilmunya si Dewa Sengat!"

"Betul, dan memang orang itulah yang menyengatnya. Eh, yang melepaskan lebah dan lebah itu menyengat Suto!"

"Kudengar di sana sedang heboh tentang cambuknya si Warok Guci Wangsit?!"

"Benar. Dan Suto dituduh pencuri cambuk pusaka itu, Gusti Ratu. Mereka salah paham, dan mengakibatkan Suto menderita begini."

Ratu Kartika Wangi manggut-manggut. "Terlalu berani Dewa Sengat melukai calon menantuku separah ini. Aku khawatir dia akan binasa oleh Cambuk Getar Bumi itu. Kalau tak salah, sekarang cambuk itu ada di tangan Sri Maharatu!"

"Memang benar. Begitulah menurut laporan Delima Gusti, putri sang Adipati Suralaya. Jika cambuk di tangan Sri Maharatu, saya khawatir akan timbulkan korban sangat banyak. Saya yakin, Pendekar Mabuk itu mampu kalahkan Sri Maharatu jika keadaannya pulih seperti sediakala. Jadi saya mohon, Gusti Ratu Kartika Wangi sudi kiranya membantu memulihkan keadaan Suto Sinting."

"Jangan khawatir, Wulung Gading," lalu sang Ratu memandang kepada seorang pengawal yang ada di tepian pintu menuju ke luar.

"Hidupkan Kolam Sabda Dewa, dan mandikan Suto di sana!"

Kolam Sabda Dewa adalah kolam keramat yang bisa merubah nasib sesuai yang diinginkan orang yang bersangkutan, jika orang itu mandi di dalamnya. Namun apakah Kolam Sabda Dewa juga bisa memulihkan kekuatan dan ingatan Pendekar Mabuk?

***8

PUTRI Kunang menggerutu sejak tadi. Pengaduannya tentang melihat seekor naga diabaikan oleh sang Guru. Sangat tidak dipercayai sekalipun ia ngotot setengah mati. Itu saja sudah membuatnya menjadi dongkol. Belum lagi adanya dugaan bahwa Cambuk Getar Bumi ada di tangan orang lain, itu menambah kedongkolan Putri Kunang.

"Jika benar begitu, lantas untuk apa kita siksa Pendekar Mabuk, Guru?! Kasihan dia! Tak ada salah apa-apa menjadi sasaran kemarahan orang banyak, menjadi sasaran kelicikan kita juga!"

"Itu hanya sebuah dugaan, Putri Kunang. Kita lihat saja kenyataannya!"

"Kenyataannya kita belum temukan cambuk itu, sedangkan kita juga sudah kehilangan Pendekar Mabuk yang ganteng itu. Aaah...! Kenyataan ini terlalu pahit bagiku, Guru!"

Sang Guru diam saja, merasa serba salah memberi jawaban. Memang kenyataan itu dirasakan cukup pahit. Waktu mereka kembali ke gua di pagi hari, ternyata Suto Sinting sudah tidak ada di tempat, sedangkan semalam mereka melacak suara dan cahaya cambuk tidak berhasil. Bukan hanya Putri Kunang yang dongkol hatinya, melainkan sang Guru pun merasakan kedongkolan itu amat menggemaskan. Ditambah lagi separo hari mereka mencari jejak Suto dan cambuk itu ternyata tidak menemukan hasil apa pun.

Sampai akhirnya, Dewa Sengat tiba-tiba menghadapi serangan berupa tiga pisau terbang yang melayang bersamaan ke arahnya. Tiga pisau terbang itu berukuran satu jengkal dan ujung gagangnya mempunyai rumbai- rumbai benang merah terang.

Zingng...!

Dada sang Guru yang menjadi sasaran tiga pisau terbang tersebut. Tetapi dengan kewaspadaan tinggi dan gerakan yang lincah, Dewa Sengat cukup mampu menghindari tiga pisau terbang tersebut, ia melenting tinggi dan bersalto satu kali, sehingga pisau terbang itu lewat di bawahnya. Wesss...!

Jraabb...! Ketiganya menancap di batang pohon. Putri Kunang terkesima sejenak melihat batang pohon itu langsung mengering, kulitnya mengelupas, daunnya menjadi coklat rengas. Putri Kunang tahu, mata pisau tersebut pasti mempunyai jenis racun yang mampu mengeringkan darah dalam sekejap.

"Tampakkan dirimu jika kau seorang berilmu tinggi!" sentak Dewa Sengat seraya menatap kerimbunan hutan di depannya. Seruan itu terjawab dengan kemunculan seorang lelaki berperawakan tinggi, besar, berkumis lebat, rambutnya abu-abu karena bercampur uban. Lelaki itu kenakan ikat kepala yang menutup sebagian besar ram but depannya. Ikat kepala itu berwarna merah. Tubuhnya yang kekar berkesan gemuk itu mempunyai kulit warna gelap, membuat wajah angkernya semakin tampak menyeramkan bagi manusia biasa. Orang tersebut kenakan pakaian serba merah, di dampingi dua orang yang berpakaian hitam-hitam. Dua pendampingnya itu masih berusia muda, sekitar dua puluh lima tahun. Badannya kurus, namun wajah mereka tampak bengis, tak takut mati.

"O, rupanyakau Baureksa?!" sapa Dewa Sengat yang mengenali orang berkumis tebal dan berpakaian serba merah itu.

"Siapa dia, Guru?"

"Penguasa Lereng Iblis!" jawab Dewa Sengat berbisik kepada muridnya.

"Dewa Sengat!" terdengar suara Baureksa begitu lantang dan garang. "Sebenarnya akutak ingin berurusan dulu denganmu sebelum Cambuk Getar Bumi berhasil pindah ke tanganku. Tapi aku terpaksa melakukannya sekarang juga, karena tiga utusanku. Tapi aku terpaksa melakukannya sekarang juga, karena tiga utusanku kudapatkan mati di daerah ini!"
"Lalu apamaksudmu? Mau meneruskan perkara lama yang belum terselesaikan?"

"Terpaksa harus diselesaikan sekarang juga karena kau sudah membuatku kehilangan kesabaran, Dewa Sengat! Masalahnya bukan saja dendam atas kematian adikku di tanganmu, tapi juga demi membalaskan kematian tiga utusanku itu!"

"Aku tidak merasa membunuh tiga utusanmu!"

"Omong kosong! Siapa lagi orang yang bisa membunuh tiga utusanku itu selain dirimu? Karena mereka mempunyai jurus 'Awak Baja', yang tidak mempan diserang dengan senjata apa pun. Hanya kau yang tahu rahasia jurus 'Awak Baja' itu, dan kebetulan kutemukan dirimu berada di sekitar sini!"

Putri Kunang menatap gurunya, seakan menunggu perintah. Tapi sang Guru tetap tenang memandang Baureksa dengan penuh waspada. Orang bertubuh besar itu maju dua tindak, pendamping kanan-kirinya ikut maju dua tindak. Kini jarak mereka menjadi sekitar lima langkah. Masing-masing siap serang dan siap hadapi serangan. Putri Kunang pun ikut siaga di samping gurunya.

"Baureksa, kalau aku membunuh seseorang aku tak pernah dustai tindakanku itu. Tapi kalau aku tidak membunuh, jangan paksa aku mengakuinya, nanti kau sendiri yang kehilangan nyawa, Baureksa!"

"Enak sekali mulut tuamu bicara, Dewa Sengat! Rasa-rasanya kau perlu cobai kehebatan ilmuku belakangan ini!"

"Kalau kau jual, akubeli!"
"Keparat! Suhito, Roka, serang dia!"
"Heaaat...!" kedua orang berpakaian hitam itu segera melompat maju dengan mencabut golok masing-masing.

Putri Kunang bergerak tanpa perintah gurunya, ia segera lompat maju dengan pedang terhunus dan siap hadapi kedua orang berpakaian hitam itu. Trang! Witt, wutt, wuttt, trangng...! Putri Kunang pamerkan jurus 'Pedang Angin' andalannya Gerakannya begitu cepat melebihi gerakan angin, tak mudah dilihat ke mana arah pedangnya berkelebat. Sehingga dalam waktu singkat Suhito dan Roka tumbang di tangan Putri Kunang. Cras...! Craasss...! Suuhito robek perutnya dan Roka robek lehernya. Tentu saja mereka segera menggelepar dan tak bernapas lagi selama-lamanya.

Kematian Suhito dan Roka yang begitu singkat membuat mata Baureksa mendelik. Wajahnya kian merah, semakin menyeramkan. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat sehingga kulit-kulit tubuhnya tampak bertonjolan urat kekar, ia menggeram kepada Putri Kunang, lalu melompat dengan tangannya menyebarkan sesuatu ke arah Putri Kunang.

Wrrr... !

"Mundur!" teriak Dewa Sengat, dan seketika itupula Putri Kunang bersalto mundur dua kali. Dewa Sengat menerabas serbuk besi beracun dengan menghentakkan tangannya ke depan dan menyemburlah asap bercampur hembusan angin kencang yang membuat serbuk besi beracun itu beterbangan membalik ke arah penyebarnya.

Tetapi pada waktu itu Baureksa sudah menduga kemungkinan seperti itu, sehingga ia sudah lebih dulu sentakkan kakinya lagi dan melompat ke samping. Dari samping ia lepaskan pukulan jarak jauh bercahaya hijau, menyerupai bentuk piringan bergerigi. Slaappp...! Arahnyake pinggang Dewa Sengat. Tetapi Dewa Sengat dengan cepat sentakkan tangan kirinya ke samping, terlepaslah sinar merah menyerupai bintang berekor yang melesat menghantam sinar hijau.

Duaarrr.. !

Gelombang ledakan itu membuat Dewa Sengat tersentak mundur dua tindak, Baureksa pun mundur dua tindak. Keduanya masih sama-sama berdiri dengan tegar, tanpa goyah sedikit pun. Mata mereka saling pandang tajam setelah asap putih dari ledakan tadi menghilang dari pandangan mata mereka.

"Kuingatkan padamu, Baureksa...," kata Dewa Sengat. "Kau tidak akan mggul jika melawanku. Kau masih butuh waktu sepuluh tahun lagi untuk berguru kepada orang berilmu tinggi, baru bisa melawanku, Baureksa!"

"Tutup bacotmu, Dewa Sengat!" geram Baureksa. Tangannya bergerak pelan-pelan dengan penuh tenaga. Kedua tangan itu mengembang, dan akhirnya saling bertemu di dada, saling rapat dan masih tetap bergetar. Matanya tetap memandang tajam ke arah Dewa Sengat tanpa berkedip sedikit pun. Getaran tubuhnya itu rupanya memancarkan gelombang tenaga dalam berhawa panas. Gelombang hawa panas itu dikumpulkan menjadi satu dan dipusatkan di bola matanya. Maka dalam beberapa kejap berikutnya, dari kedua bola mata itu melesatlah dua larik sinar merah terarah ke dada Dewa Sengat. Claapp...!

Tapi barutiba di pertengahan jarak, sinar merah dua larik dihadang oleh dua sinar kuning yang melesat dari kedua ujung jari Putri Kunang. Akibatnya dua sinar itu saling berbenturan dan timbulkan ledakan yang cukup dahsyat.

Blaarrr...!

Baureksa membuka muka karena ledakan itu menyentakkan tenaga balik yang membahayakan bagi matanya. Pada saat itu Dewa Sengat bersiul panjang. Suiiittt...!

Baureksa tak pedulikan siulan lengking memanjang itu. Ia segera serang Dewa Sengat dengan jurus lain. Kali ini sinar biru sebesar ibu jarinya melesat dari tengah telapak tangan kanannya. Slaappp...! Sinar biru lurus itu kembali dihadang oleh Putri Kunang dengan gunakan sinar kuningnya tadi yang kini lebih besar lagi ukurannya dari yang tadi, karena sinar kuning itu melesat dari ujung lima jari yang menguncup menjadi satu. Slaappp... !

Blegaarr... !

Baureksa dan Putri Kunang sama-sama tersentak mundur. Putri Kunang sempat berpikir, "Gila! Besar sekali tenaganya itu. Tanganku sampai terasa ngilu, kulit jarikuterasa panas?!"

Sementara itu Baureksa pun membatin, "Muridnya ini lebih berbahaya dari gurunya. Serangannya selalu bertenaga tinggi. Tanganku dibuat semutan akibat benturan dengan sinar kuningnya Kurasa lebih baik muridnya kthancшkan dulu!"

Tetapi hasrat itu belum sempat terlaksana, tahu-tahu terdengar suara gemuruh di belakang Baureksa yang membuat orang itu berpaling ke belakang, ia terkejut melihat puluhan lebah datang membentuk barisan hitam yang terbang ke arahnya. Baureksa mulai tegang. Karena di sebelah utara dan selatan pun tampak bayangan hitam bagaikan mendung berarak-arak mendekatinya, gaung suara lebah itu be^emn^ mirip suara banjir datang dari berbagai arah.

"Bangsat! Dewa Sengat mau main-main seperti anak kecil saja!" pikirnya penuh kejengkelan. Maka Baureksa pun melepaskan pшkшlan-pшkшlan bersinar yang membuat lebah-lebah itu berantakan, namun segera kembali membentuk barisan menyerang ke arah Baureksa. Dirasakan semakin banyak yang mati semakin berlipat ganda yang datang.

Baureksa sibuk hadapi lebah-lebah itu. Dewa Sengat menyambarkan tangannya di tempat kosong. Tangan itu menggenggam sesaat dan ditarik di depan dada. Ketika genggamannya dibuka, teryata ada dua ekor lebah merah yang melesat terbang dari genggaman itu. Wuungng...! Dua lebah merah itu menyerang punggung dan leher Baureksa.

"Auh...!" Baureksaterpekik kaget mendapat sengatan di dua tempat. Tapi seketika itu pula tubuhnya mengejang, jantungnya bagaikan sulit dipakai bernapas. Jantung itu berhenti dalam tiga hitungan, dan akhirnya tubA Baureksa yang besar dan berwajah angker itu roboh bagaikan nangka busuk jatuh dari atas pohon. Buugh...! Wajahnya tetap mengejang, matanya tetap mendelik, semua tubuhnya tetap dalam keadaan seperti pada saat berdiri tadi. Namun ia sudah tidak bernapas mulai saat itu sampai selamanya Sedangkan lebah-lebah yang berdшyшn-dшyшn itu segera menyergapnya beramai- ramai. Lebah-lebah itu bukan haus madu, melainkan haus darah. TubA Baureksa akhirnyatertutup rapat oleh ratusan lebah yang membentuk warna hitam bergaung, merindingkan bulu kuduk siapa pun yang melihatnya.

"Tinggalkantempat ini, Muridku!" ucap Dewa Sengat bagaikan sebuah perintah yang harus ditaati oleh sang murid. Maka, mereka pun bergegas pergi mencari Pendekar Mabuk sambil mencari siapa pemegang pusaka Cambuk Getar Bumi sebenarnya.

Pada waktu itu, Delima Gusti sedang mencari jalan pintas untuk mencapai pantai. Kelebatan bayangan dirinya terlihat oleh mata Putri Kunang. Ia segera berkata pada gurunya,

"Delima Gusti berlari ke utara, Guru! Jangan-jangan dia yang berhasil temukan Cambuk Getar Bumi dari tempat persembunyiannya?!"

"Kejar dia!"

Wuuttt...! Putri Kunang tidak tunggu perintah kedua, ia segera melesat mengejar Delima Gusti dengan gunakan ilmu peringan tubuhnya, sehingga mampu berlari dengan cepat. Dewa Sengat mengikuti dari belakang, sebab pikirnya,

"Biarlah kali ini muridku yang akan selesaikan urusan dengan Delima Gusti. Kecuali jika Delima Gusti memegang cambuk pusaka itu, baru aku yang maju."

Putri Kunang pun mengambil jalan pintas untuk memotong di depan langkah Delima Gusti. Gerakannya yang cepat dan menerabas semak belukar mana pun juga membuat ia tiba di jalanan depan Delima Gusti. Akibatnya, putri sang Adipati itu pun hentikan langkah dan mulai pasang waspada melihat kem^^^n Putri Kunang di depannya, ia melirik ke samping kanan, tampak Dewa Sengat sedang menuju ke tempat itu juga. Hati Delima Gusti membatin,

"Guru sesat itu selalu ikut campur tangan шrшsan muridnya. Mereka suka main keroyokan! Hmmm...! Kalau terpaksa harus kulawan sampai titik darah penghabisan, apa boleh buat! Kukerahkan semua tenagaku, kukeluarkan semua jurus simpananku untuk melawan mereka berdua!"

Putri Kunang dan Dewa Sengat pandangi Delima Gusti dari rambut sampai kakinya. Mereka memeriksa keadaan Delima Gusti yang ternyata tidak memegang Cambuk Getar Bumi. Dewa Sengat kendorkan ketegangan, tapi Putri Kunang masih tetap siap lepaskan serangan sewaktu-waktu.

"Mau apa kau menghadangku?!" ketus Delima Gusti dengan matamenyipit sinis.
"Tentu sajameneruskan pertarungan kita kemarin!"
"Aku tak punya waktu! Aku harus kejar kakak tirimu itu, karena dia sudah berhasil dapatkan Cambuk Getar Bumi."

"Hahh...?!" Putri Kunang terpekik, wajahnya tegang, matanya mendelik. Dewa Sengat pun kaget, sehingga ia anggap Delima Gusti hanya menyebar isu belaka, maka ia pun melangkah dekati Delima Gusti dan berkata dengan suara tegas bernada menghardik.

"Jangan sembarangan bicara kalau mшlшtmшtak mau hancur, Delima Gusti!"

Delima Gusti sunggingkan senyum sinis. "Kalian jadi ketakutan sekali kelihatannya. Baru mendengar kabarnya saja sudah ketakutan, apalagi jika kalian lihat Sri Maharatu memotong-motong tшbшh Setan Samudera dengan cambuk itu, dan melihat Sri Maharatu menenggelamkan si Muka Besi di dalam bumi dengan cambuk itu, mungkin kalian akan terkencing-kencing di tempat!"

"Kurang ajar! Hiih...!" Putri Kunang terhina dan melepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar kuning dari ujung jari tangannya. Slaappp...!

Delima Gusti menangkisnya dengan sentakan kaki ke tanah, dan dari tanah di kakinya itu melesat sinar merah seperti bintang berekor. Claapp...! Kedua sinar bertabrakan dan meledak di pertengahan jarak. Blaarrr...!

Kedua perempuan itu saling berlompatan ke belakang menghindari gelombang ledak yang cukup punya tenaga kurang kuat itu. Putri Kunang segera cabut pedangnya, dan Delima Gusti pun cabut pedang juga, memainkan jurus pedang pembuka. Wutt, wutt, wutt...!

"Hentikan!" sentak Dewa Sengat dengan berwibawa dan berwajah angker. Seruan itu bukan hanya untuk Delima Gusti, namun juga untuk muridnya sendiri, sehingga sang murid tak berani lanjutkan gerakan berikutnya.

"Delima Gusti! Benarkahkata-katamutadi?!"

"Kalau tak benar, mengapa aku harus lari ke arah utara?! Kau tahu arah utara adalah arah pantai! Kulihat Sri Maharatu membawa cambuk pusaka itu ke arah pantai. Dugaanku mengatakan, bahwa Sri Maharatu akan bawa Cambuk Getar Bumi pulang ke Pulau Dadap. Aku harus mencegahnya!"

Wajah Putri Kunang mulai menampakkan kecemasannya, ia pandangi wajah gшrшya yang agak penuh pertimbangan itu. Sementara sang Guru mempertimbangkan langkah, sang murid berkata kepada Delima Gusti,

"Mana mungkin kakak tiriku itu berhasil mendapatkan Cambuk Getar Bumi? Itu berarti ia harus bertarung dulu dengan Bandar Hantu Malam. Dan ia tak akan semudah itu dapat kalahkan Bandar Hantu Malam!"

"Memang!" jawab Delima Gusti, "la bekerja sama dengan tokoh tua yang berjuluk Nini Pancungsari! Mereka berhasil membшnшh Bandar Hantu Malam ketika Bandar Hantu Malam mau gunakan cambuk itu. Nini Pancungsari mengambil kalung merah si Bandar Hantu Malam, sedangkan Sri Maharatu mengambil cambuk pusaka tersebut. Tiga utusan dari Lereng Iblis dibabatnya habis. Tapi aku tak melihat jelas pertarungan itu. Yang kulihat dengan jelas-jelas adalah saat ia melawan si Muka Besi dan Setan Samudera!"

Setelah hening sesaat, tiba-tiba Dewa Sengat ucapkan kata, "Masuk akal!"

Ucapan itu membuat kendor ketegangan Putri Kunang. Pedangnya disarungkan kembali. Wajah gadis cerewet itu menjadi murung, dicekam kecemasan juga dicekam kekecewaan, ia melangkah jauhi gurunya, bersandar di bawah pohon dengan wajah cemberut dan kedua tangannya bersidekap di dada. Sang Guru memperhatikan kekecewaan muridnya, hatinya tak tega, lalu didekatinya sang murid.

"Putri Kunang...."

Belum selesai bicara, Putri Kunang sudah menyahut dengan bersшngut-sшngшt,

"Percuma aku minta bantuan Guru kalau kenyataannya justru dia yang dapatkan cambuk itu! Jelas aku akan kalah dalam pertarungan di malam purnama nanti!"

"Kita masih punya cara lain, Putri Kunang."

"Tidak ada cara lain! Dia pasti akan шnggшl dan menjadi penguasa di Pulau Dadap! Aku akan hancur terpotong atau ditelan bumi karena cambuk itu!"

Dewa Sengat tarik napas sabarkan diri. Putri Kunang mulai menangis.

"Kasihan Suto, jadi korban kebodohan kita! Kalau Guru tidak gunakan 'Lebah Setan', mungkin kita bisa minta bantuan kepadanya!"

Sang Guru masih diam, prihatin mendengar kabar itu. Sesekali matanya memandang Delima Gusti yang masih diam di tempatnya, seakan menunggu keputusan bersama. Sebab dalam hati Delima Gusti pun berkata,

"Akan kumanfaatkan kekuatan Dewa Sengat untuk mencuri kelengahan Sri Maharatu. Begitu Dewa Sengat bertarung melawan Sri Maharatu, aku harus mencari kesempatan untuk merebut cambuk itu dari pinggangnya!"

Terdengar lagi suara Putri Kunang berkata bagaikan bicara pada diri sendiri,

"Aku tidak akan pulang ke Pulau Dadap! Percuma aku pulang ke sana, hanya akan serahkan nyawa saja. Percuma aku punya Guru kalau begini, tak bisa selamatkan diriku, tak bisa selamatkan hak warisku!"

"Jangan berkata begitu, Putri Kunang!"

"Harus berkata bagaimana?!" ucapnya sambil mengisak dalam tangis. "Kalau Guru sayang padaku, rebutlah cambuk itшшttkkш."

"Aku tak punya alasan untuk merebut cambuk itu, Muridku!"

"Tak perlu alasan apa-apa untuk orang macam dia, Guru! Kalau aku mampu, akan kulakukan sendiri. Tetapi ilmuku masih rendah, tanpa cambuk itu pun Sri Maharatu dapat dengan mudah kalahkan diriku, karena ia mewarisi sebagian besar ilmu Pendita Arak Merah, gurunya!"

Dewa Sengat diam berpikir, saat itu Delima Gusti berani diri untuk mendekati mereka, ia ingin katakan sesuatu, tapi Putri Kunang lebih dulu bicara kepada gurunya dengan isak tangis yang mengguncangkan tubuh.

"Aku akan berhenti jadi muridmu, Guru! Aku tidak akan mau berguru lagi padamu kalau kau tak bisa rebutkan cambuk itu untukku!"

Setelah tarik napas panjang-panjang, Dewa Sengat pun akhirnya berkata, "Baiklah, muridku...!" ia mengusap-usap rambut Putri Kunang. "Berat hatiku ditangisi murid tercinta, apa pun jadinya akan kurebutkan cambuk itu mtu^u. Tapi ingat, jika terjadi sesuatu pada diriku, itu adalah tanda kasih sayangku kepadamu, Muridku. Jika sampai aku tumbang di tangannya, larilah dan jangan hadapi dia dalam waktu sekarang. Kembangkan ilmu silat aliran Lebah Maut, pelajari semua ilmu yang ada di dalam kitab kita itu. Hanya itu pesanku padamu, Putri Kunang. Sekarang aku akan berangkat mencarinya!"

"Aku harus ikut!"
"Jangan! Kalau dia melihatmu, maka dia akan mengejarmu dengan cambuk itu, Muridku!"
"Aku akan membantu Guru melawannya!"
"Itu lebih berbahaya. Salah-salah kau lebih dulu celakaketimbang diriku, Putri Kunang."

Delima Gusti menimpali dengan memaksakan diri, "Aku juga akan membantumu, Dewa Sengat! Sri Maharatu tak akan bisa kalahkan kekuatan kita bertiga. Tapi aku dan Putri Kunang tidak akan menyerang secara terang-terangan. Biarlah kami berbuat sedikit curang, karena kecurangan untuk orang semacam Sri Maharatu tidaklah berarti kelemahan bagi kita!"

"Aku setuju!" sahut Putri Kunang.

Dewa Sengat berpikir sesaat, setelah itu menjawab, "Baiklah kalau memang kalian keras kepala mau membantuku! Kita berangkat sekarang juga, dan hati- hatilah. Jangan sampai dia mengetahui keberadaan kalian!"

Maka bergegaslah mereka menuju ke pantai mencari Sri Maharatu yang diperkirakan sedang mempersiapkan diri melakukan penyeberangan, menuju Pulau Dadap, tempat yang diharapkan di mana ia akan menjadi penguasa terhormat.

*** 9

OMBAK laut berglllшng-gшlшng dengan tenang. Tidak seliar biasanya. Karena saat itu angin berhembus sepoi-sepoi basah, tanpa badai dan topan yang memancing amukan sang ombak. Cuaca cerah sungguh baik untuk berlayar. Dan di sudut sana, tampak seorang wanita berjubah biru muda sedang mempersiapkan diri, menyewa sebuah perahu bersama pendayungnya. Perempuan itu tak lain adalah Sri Maharatu, dengan cambuk pusakanya yang terselip di pinggang, digulung membentuk lingkaran kecil.

Dewa Sengat semakin percaya dengan ucapan Delima Gusti. Matanya tertuju pada cambuk di pinggang Sri Maharatu. Hatinya mulai berkecamuk sesuai dengan jalan pikirannya yang sedang mencari cara menyerobot cambuk itu.

"Kalau dia kuserang secara bertubi-tubi, dia tidak akan punya kesempatan untuk mencabut cambuk itu. T api sekali dia punya kesempatan, habislah aku! Seranganku harus terarah pada tangan kanannya, sebab ia akan gunakan tangan kanan untuk mencabut cambuk di pinggang kirinya. Kalau kugunakan jurus 'Jeritan Kumbang', dia bisa dikerumuni puluhan bahkan ratusan lebih lebah hutan yang haus darah. Tapi dengan cambuknya dia bisa kalahkan pasukan lebahku. Se baiknya, sebelum ia gunakan cambuk itu dalam menghadapi pasukan lebahku, aku harus bisa menyambarnya lebih dulu dari belakang. Ya, kurasa cara yang terbaik adalah memancingnya dengan pasukan lebah."

Jaraknya yang masih cukup jauh dari Sri Maharatu membuat Dewa Sengat tak ragu-ragu lepaskan siulan lengking memanjang sebagai isyarat memanggil pasukan lebahnya Siulan itu berhenti, Dewa Sengat maju dekati sasaran sebelum pasukan lebah datang, ia bermaksud bersembunyi di balik gmdukan batu karang yang berwarna putih kecoklatan itu. Tetapi sial, ia kepergok mata Sri Maharatu yang kalaitutak sengaja berpaling ke arahnya dan mengetahui kehadirannya

Dewa Sengat terpaksa urungkan niat untuk bersembunyi, ia sengaja tampakkan diri dekati Sri Maharatu yang memandangnya dengan senyum sinis. Dalam hati Sri Maharatu berkata, "Pasti dia datang untuk rebut cambuk ini! Dan pasti dia datang bersama Putri Kunang! Hmm... ke mana murid bengalnya itu? Apakah bersembunyi di suatu tempat? Oh, aku harus hati-hati jika begitu."

"Kau mencari cambuk ini, Dewa Sengat?" pancing Sri Maharatu sambil mencabut cambuk dari pinggangnya.

Dewa Sengat mengeluh dalam hati, "Wah, belum- belum dia sudah cabut cambuk itu! Sukar menyerobotnya jika sudah dalam genggaman tangannya. Bahaya sekali! Aku bisa celaka kalau tak hati-hati dengan gerakannya."

Melihat cambuk yang melingkar itu telah dilepaskan menjadi terjulur panjang, dua nelayan yang hendak menjadi pendayung dan akan disewa perahunya segera singkirkan diri. Mereka tahu gelagat, bakal terjadi pertarungan yang dapat membuat mereka jadi korban salah sasaran. Mereka segera pergi jauh-jauh, namun juga tidak mau tinggalkan begitu saja. Mereka memandang dari kejauhan dengan perasaan ingin tahu apa yang bakal terjadi sebenarnya.

Sri Maharatu melangkah ke samping, kian lama kian memperpendek jarak. Sedangkan Dewa Sengat berdebar-debar menunggu pasukan lebahnya yang tak kunjung datang. Sementara itu, Putri Kunang dan Delima Gusti saling berbisik dari tempat persembunyian mereka.

"Celaka! Dia sudah genggam cambuk itu, Delima Gusti!"
"Bakalan sulit merebutnya, kecuali jika tangan kanannya itu yang diserang secara bertubi-tubi."
"Kalau begitu, pusatkan serangan ke tangan kanannya biar cambuknyaterlepas. Kita berpencar dua arah!"

"Kurasa itu gagasan yang baik," dan Delima Gusti pun memisahkan diri. Hatinya me^us^ rencana, "Begitu cambuk terlepas, akan kusambar lebih dulu sebelum Putri Kunang mendapatkannya!"

Dewa Sengat sengaja tidak bicara, sebab menurutnya sudah tak ada kata-kata lagi untuk Sri Maharatu. Membujuknya jelas tak mungkin, menantangnya pun sudah tak perlu kata-kata, karena perempuan itu tahu maksud kedatangan Dewa Sengat ke situ. Yang dibutuhkan Dewa Sengat adalah kesempatan untuk menyerang telak dan mematikan. Sebab itu, ia tak banyak bergerak kecuali matanya yang memandang tajam penuh waspada.

"Mengapa diam saja, Dewa Sengat? Kau takut melihatku menggenggam cambuk pusaka ini? Hi hi hi hi...! Baru sekarang kulihat seorang Guru pucat wajahnyamenghadapi lawan muridnya!"
Kata-kata itu membuat Dewa Sengat bagai dibakar darahnya. Darah itu mendidih dan naik ke kepala. Tapi Dewa Sengat berusaha menaban ledakan amarahnya, ia berpшra-pшra tidak mendengar hinaan itu. Ia hanya berkata pelan,

"Tak kusangka kaulah orangnya yang membшnшh Bandar Hantu Malam dan bekerjasama dengan Nini Pancungsari!" Dewa Sengat hanya mengшlшr waktu sambil menunggu pasukan lebahnya datang.

"Dari mana kau tahu?" tanya Sri Maharatu sambil t ersenyum bangga.
"Nini Pancungsari sendiri yang menceritakannya padaku."

Sri Maharatu lepaskan tawa mengikik dengan keras. "Tak mungkin, Dewa Sengat! Tak mungkin Nini Pancungsari sendiri yang menceritakannya, sebab nenek tua itu segera ^ЬишИ setelah cambuk ini ada dalam genggamanku."

"Kejam!" geram Dewa Sengat.

"Ya. Mungkin layak dibilang kejam, tapi aku hanya sekadar menguji keaslian cambuk pusaka ini. TubA Nini Pancungsari terbelah menjadi dua ketika kutebas dengan lecutan cambuk ini, lalu ia menggelinding ke jurang bersama kalung merahnya Bandar Hantu Malam. Hi hi hi hi...!"
Dewa Sengat mulai lega, awan hitam berarak-arak mulai datang dari arah selatan. Awan hitam yang dilihatnya itulah pasukan lebah yang ditшnggш-tшnggш. Bahkan kini pasukan lebah lain mmd pula berarak- arak dari timur dan barat. Dewa Sengat mulai punya semangat. Napasnya ditarik panjang-panjang sebagai persiapan melepas jшrшs-jшrшs mautnya.
Sri Maharatu mendengar suara gemuruh dari tiga arah. Tanpa berpaling memandang ke tiga arah itu ia sudah dapat menduga apa yang terjadi, ia pun sudah bisa simpulkan apa yang membuat Dewa Sengat sejak tadi tidak bergerak menyerang.

"Rupanya dia mencari kesempatan untuk menyerobot cambuk ini saat aku sibuk menghadapi pasukan lebahnya," pikir Sri Maharatu.

Sambil sunggingkan senyum sinis, Sri Maharatu berkata kepada Dewa Sengat,

"Rtpanyakaш sedang menunggu pasukan lebahmu itu Dewa Sengat? Dan kau akan curi kesempatan untuk menghantamku lalu menyerobot cambuk ini? Oh, mudah sekali pikiranmu kubaca, Dewa Sengat!"

Tokoh tua itu tak bisa bilang apa-apa. Ia hanya memikirkan cara terbaik untuk segera lakukan gerakan serang. Tapi lawannya ternyata punya kecerdasan otak tersendiri.

Sri Maharatu segera gerakkan cambuknya Matanya masih memandangi Dewa Sengat tapi cambuk segera dilecutkan di atas kepalanya ketika bunyi gemuruh lebah itu kian mendekat.

Wuutt...! Taarr...! Taarrr...! Taarrr...!

Bumi pun berguncang. Yang keluar dari ujung cambuk itu adalah puluhan petir yang menyebar ke segala penjuru. Gelegar suara petir menghadirkan gema dan gelombang sentakan amat dahsyat. Air laut bergolak karena diguncang gempa setempat. Dan lidah-lidah petir itu menyambar habis lebah-lebah yang datang dari tiga arah. Binatang bersengat itu dihujani petir dan dilalap dalam sekejap. Sedangkan Dewa Sengat tak bisa lakukan serangan karena mata Sri Maharatu tertuju kepadanya.

Habis sudah pasukan lebah andalan Dewa Sengat. Alam menjadi hujan bangkai lebah di beberapa tempat. Hening tercipta beberapa saat. Senyum kemenangan Sri Maharatu tersungging kian membakar darah Dewa Sengat.

Wuuttt...! Akhirnya Dewa Sengat menangkap udara, menggenggam, dan membuka genggamannya. Maka lima lebah merah yang tadi mematikan Baureksa menyebar ke arah Sri Maharatu. Wwwrrr...!

Sri Maharatu sentakkan tangan kirinya. Claapp...!

Sinar merah lebar melesat dan menghantam habis lima ekor lebah merah itu. Craasss...! Tak satu pun ada yang ut uh bangkainya.

Putri Kunang mengetahui kebingungan gurunya. Tak mendapat kesempatan baik untuk lakukan serangan. Maka, Putri Kunang pun segera lepaskan sinar kuning dari dua jarinya ke arah pergelangan tangan Sri Maharatu.

Claappp...! Dengan gerakan cepat, Sri Maharatu yang merasakan gelombang panas mendekatinya dari samping kanan, segera sentakkan tangan kirinya ke kanan dengan badan meliuk ke kanan pula. Claaappp...! Sinar merah kembali menghancurkan sinar kuning lawan. Bllaarrr...!

Pada saat itulah, pancingan Putri Kunang dianggapnya berhasil. Karena Dewa Sengat segera lepas jurus mautnyaberupa sepuluh larik sinar ungu dari ujung jari-jarinya. Zraaabbb...!
Sayangnya Sri Maharatu mampu bergerak lincah dengan menarik jubahnya ke depan dan menghadang sepuluh sinar ungu itu. Sehingga sinar-sinar tersebut memantul balik dan nyaris kenai tubA Dewa Sengat sendiri. Untung Dewa Sengat segera berjungkir balik di udara, sehingga sinar itu melesat ke arah lautan dan menggelegar di sana.

Tetapi seketika itu pula cambuk pusaka berkelebat melecut tubuh Dewa Sengat dengan kecepatan tinggi. Taarrr...! Craass...! Cambuk itu melilit dari pundak kanan ke pinggang kiri. Tali cambuk menyala biru seketika itu juga. Asap mengepul dengan tebal.

Ketebalannya tidak bisa ditembus mata manusia biasa, sehingga Putri Kunang dan Delima Gusti menjadi tegang dan kebingungan mencapai sasaran pandang di balik gumpalan asap itu.
Ketika asap telah menepi dan lenyap terbawa angin pantai, Putri Kunang mendelik melihat gurmya telah terkapar dalam keadaan tubA terpotong menjadi dua bagian dari pundak ke pinggang. Tentu saja Dewa Sengat tak punya nyawa lagi, dan ia tergeletak bagaikan bonekakayu yang tak berguna lagi.

"Gtrшшш...!" teriak Putri Kunang sambil menangis, ia keluar dari tempat persembunyiannya, menghamburkan tangis ke mayat gшrшya.

"Akhirnya kau mшcшl juga, Anak Bengal! Hi hi hi...!" Sri Maharatu melecehkan tangis Putri Kunang. "Menangislah tujuh hari lamanya, maka mayat gшrtmш akan membшsшk di depanmu, tak akan bangkit lagi!"

"Manusia kejam!" geram Putri Kunang. Ia segera bangkit dan tangan kanannya menyentak lurus, dengan telapak tangan lurus yang tengkurap. Lalu dari tangan itu menyemburlah puluhan kunang-kunang beracun warna hijau yang segera menerjangtubuh Sri Maharatu.
Tetapi kunang-kunang beracun itu pun dengan mudah dilenyapkan oleh sinar merahnya Sri Maharatu. Wuusss... ! Lenyapnya kunang-kunang beracun itu membuat Sri Maharatu lepaskan tawa kemenangan yang mengikik. Putri Kunang kian geram, lalu ia pun mencabut pedangnya.
"Hei, kau mau bertarung melawanku, Anak Bengal?! Bukankah pertarungan kita kurang tiga hari lagi, tepat malam purnama? Tahanlah dulu!"

"Pertarungan kita memang kurang tiga hari lagi, tapi sekarang aku menuntut balas kematian gшrшkш dulu! Hiaaat...!"

Putri Kunang melompat cepat dengan pedang siap ditebaskan. Tetapi Sri Maharatu segera melompat juga dengan kaki berkelebat dan ujung kakinya melepaskan sinar putih kecil. Slaap...! Deeb...!

"Uuhg...!" Putri Kunang terpental mundur dengan suara pekiktertahan. Sinar putih kecil bagaikan perak itu mengenai dadanya, ia terjungkal dan dadanya menjadi biru legam. Wajahnya pucat, walau ia masih berusaha untuk bangkit. Mulutnya mulai keluarkan darah kental.

"Dia terluka!" gumam Delima Gusti dari persembunyiannya.

Sri Maharatu tertawa dan berseru, "Kalau kau kehendaki pertarungan sekarang juga, maka terimalah ajalmu ini, Anak Bengal!"

Cambuk terangkat dan hendak dilecutkan. Jelas jika mengenai punggung Putri Kunang, maka tubA gadis cerewet itu akan terpotong menjadi dua bagian, seperti nasib gurunya.
Tapi ketika cambuk hendak dilecutkan, Delima Gusti lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar biru dari telapak tangannya. Claapp...! Selarik sinar biru tepat kenai bawah ketiak tangan kanan Sri Maharatu. Desss...!

Wuuttt...! Bruukkk!

Tшbшh Sri Maharatu terlempar limatombak jauhnya.

Padahal seharusnya tubA itu hancur berkeping-keping, tapi karena mempunyai kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi, maka tubA itu hanya hangus di bagian bawah ketiak dan terlempar berguling-guling. Sayang cambuknya tidak terlepas dari tangan, sehingga Delima Gusti tak dapat menyambarnya.

"Uuhhg...!" Sri Maharatu mengerang kesakitan, tak lama kemudian memuntahkan darah segar. Tapi matanya masih memandang ke arah kernm^^ Delima Gusti. Cambuknya dapat berkelebat sewaktu-waktu.

"Putri Kunang! Cepat tinggalkan dia! Kau terluka parah!" seru Delima Gusti. Putri Kunang setшjш, namun ia tak mampu berdiri karena kekuatannya semakin berkurang, tubuhnya menjadi lemas. Wajahnya mulai membiru.

Delima Gusti segera menyambar tшbшh Putri Kunang. TubA itu dipanggul di pundaknya. Pedang Putri Kunang jatuh dan dibiarkan saja. Kemudian, Delima Gusti membawanya lari saat Sri Maharatu mulai bangkit berdiri.

"Hei, mau lari ke mana kalian, hah?!"

Teriak Sri Maharatu tidak dihiraukan. Delima Gusti merasa perlu menyelamatkan Putri Kunang. Sekalipun negerinya bermшsшhan dengan orang-orang Pulau Dadap, tapi Delima Gusti telah memperoleh kesimpulan bahwa permusuhan itu timbul karena ulah Sri Maharatu.

Putri Kunang sebenarnya tidak bersalah, karena segala perintah keluar dari mulut Sri Maharatu. Jika Sri Maharatu mati, mungkin saja antara orang-orang Pulau Dadap dan orang-orang Kadipaten Suralaya akan berdamai.

Delima Gusti berlari lebih cepat lagi, tetapi gerakan Sri Maharatu yang mengejarnya jauh lebih cepat lagi. Luka dalam yang cukup berat itu bagaikan tidak mengurangi kekuatan Sri Maharatu. Bahkan ia tampak semakin ganas dan bernafsu sekali untuk membшnшh adik tirinya serta Delima Gusti.

Taarrr...! Cambuk dilecutkan di udara, lalu hujan petir pun datang.

Blegaarr...! Blegaarr...! Blegaarr...!

Delima Gusti berlari dengan melompat ke sana-sini sehingga ia dapat lolos dari hujan petir. Arah pelariannya tak bisa dipastikan, karena Sri Maharatu mengejarnya secara membabi buta. Sesekali menghujani mereka dengan petir-petir yang dapat menghancurkan tubA mereka dengan sentuhan sedikit saja.

"Yaaah...?!" Delima Gusti terperangah, ia salah arah. Ia telah berlari ke bibir tebing karang. Tak ada jalan lain di depannya. Hanya ada jurang yang amat dalam, dibawahnya batu-batu karang runcing yang dihantam ombak besar. Tak mungkin digunakan untuk terjun, sama saja bunuh diri.

Sambil masih memanggul-manggul tшbшh Putri Kunang, Delima Gusti kebingungan mencari arah pelariannya, ia segera membalik arah, tapi Sri Maharatu telah mmd di depannya dan menyergapnya dengan cambuk siap dilecutkan.

"Mau lari ke mana kau, Tikus Busuk?!" kata Sri Maharatu sambil menyeringai.

Delima Gusti membatin, "Celaka! Tak ada cara lain kecuali menghadapinya!" Maka ia pun menur-mk^ tubA Putri Kunang yang semakin lemas, wajahnya kian membiru, napasnya mulai menipis. Iba hati Delima Gusti kepada Putri Kunang bukan membuat semangatnya tinggi, melainkan justru turn. Sebab dalam alam pikirannya, jika Sri Maharatu terhadap adik tirinya saja tega melukai separah itu, apalagi terhadap dirinya yang dianggap mшsшh bebuyutan. Pasti Sri Maharatu tak akan segan-segan pergunakan Cambuk Getar Bumi untuk mempercepat kematian musuh bebuyutannya.

"Mati aku! Tapi aku harus mencoba melawannya. Aku tak mau mati dalam keadaan menyerah! Aku ingin matiterhormat!" kata Delima Gusti.

"Tikus busuk!" sentak Sri Maharatu, "Sudah tiba saatnya kau gugur di tangan musuh lamamu ini! Dan kali ini Cambuk Getar Bumi yang akan menghantarkan dirimu ke gerbang alam kelanggengan!"

Sreettt...! Delima Gusti cabut pedangnya. Sri Maharatu siap-siap lecutkan cambuk pusaka itu. Namun mendadak ia mendengar seruan keras dari belakangnya.

"Hentikan!"

Sri Maharatu berpaling ke belakang sebentar, dahinya berkerut, ia segera lompat ke samping, karena tak mau dibokong oleh Delima Gusti saat ia memperhatikan orang yang berseru itu. Sedangkan Delima Gusti tercengang sesaat, lalu wajahnya cerah dan senyumnya mengembang, ia pun berseru girang,

"Sutooo.! Suto...!"

Pendekar Mabuk berhasil melacak kepergian lewat gelegar hujan petir tadi. Rupanya pendekar yang semula kehilangan ingatan dan ilmunya itu menjadi pulih seperti sediakala setelah dimandikan di Kolam Sabda Dewa. Bahkan kehadirannya di bukit karang itu disertai Resi Walung Gading yang menjadi pemandu dalam pelacakan Cambuk Getar Bumi itu.
Bumbung tuak yang selalu mengikutinya itu pun sudah ada di tangannya kembali begitu Suto temukan kesadarannya. Kini ia justru menengak tuaknya dengan tenang, seakan tak merasa takut didera cambuk pusaka itu.

"Tampan sekali dia? Hmmm... rupanya dia yang bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang kondang itu?" gumam hati Sri Maharatu. "Ala, Mak...?! Sayang sekali kalau pria setampan itu harus kulukai dengan cambuk ini?!"

Suto Sinting melangkah dekati Sri Maharatu, sementara Resi Wulung Gading tetap tinggal di tempat, menjadi penonton yang baik, seperti Delima Gusti.

Senyum jalang Sri Maharatu mulai disunggingkan. Kerlingan matanya sengaja dipamerkan agar Suto tergoda. Pendekar Mabuk membalas dengan senyuman lembutnya yang menawan. Tapi ia segera berkata dengan nadategas.

"Cambuk itutercemar kutuk. Kalau kau tidak segera menghancurkannya kau akan menjadi orang sesat sepanjang masa. Jika kau mati, rohmu akan hinggap pada binatang-binatang menjijikkan."

"Jadi apa maksudmu datang kemari, Pendekar Tampan?"

"Menghancurkan cambuk itu, supaya tidak menjadi sumber malapetaka bagi kehidupan manusia di muka bumi!" jawab Pendekar Mabuk dengantegas.

"Tidak bisa. Aku lebih setuju kalau kau ikut pulang ke Pulau Dadap dan menjadi suamiku. Aku sudah dua tahun menjanda, Pendekar Mabuk!"

"Lupakan tentang harapanmu itu, yang penting serahkan dulu cambuk itu padaku dan akan kthancшrkan sekarang juga, supayakau bebas dari hidup sesat!"

Sri Maharatu semakin berkerut dahi. "Kalau begitu kau ada di pihak Delima Gusti?!"

"Aku ada di pihak yang benar!"

"Hmmm... rupanya kau si tampan yang patut dihancurkan pula?!" Sri Maharatu manggut-manggut. "Bersiaplah untuk hancur, Pendekar tampan yang bodoh!"

Melihat cambuk mulai mau digerakkan, Suto Sinting segera menggerakkan kedua tangan, membuka jurus yang akan membingungkan penglihatan Sri Maharatu. Seett...! Slaapp...! Jurus 'Sapta Tingal' digunakan oleh Pendekar Mabuk. Jurus itu membuat wujud Pendekar Mabuk ada tujuh orang. Dan tentu saja mencengangkan Delima Gusti serta Sri Maharatu.

"Edan! Suto Sinting ada tujuh...?!" gumam Delima Gusti.

Tujuh sosok, tujuh ciri dan tujuh rupa Pendekar Mabuk itu segera bergerak sendiri-sendiri, mereka membentuk lingkaran mengшrшg Sri Maharatu. Gerakkan mereka semakin cepat dan membuat Sri Maharatu yang diputari itu bingung menentukan mana Pendekar Mabuk yang asli.

Taarrr...! Cambuk dilecutkan, mengenai tubA Pendekar Mabuk. Tapi^u^ itu lenyap tak berbekas. Itu berarti tubA yang palsu. Cambuk pun dilepas kembali, sekaligus menyambar dua sosok Pendekar Mabuk. Tarr, tarr...!

Dua sosok itu pun lenyap tak berbekas, tidak terpotong seperti Dewa Sengat.

"Mana yang asli! Sebutkan dirimu! Mana yang asli...?!"

Keempat sosok Suto itumenjawab, "Akшшш.J"

Sri Maharatu bingung, ia segera melecutkan cambuknya ke salah satu bayangan kembar itu. Tapi lagi-lagi ia salah sasaran. Dan pada waktu ia melecutkan cambuknya itu, Suto Sinting sentakkan telapak tangan ke depan dengan hembusan napas melalui hidung, bukan melalui mulut. Jurus 'Yudha' dipergunakan. Dari tangan itu melesat logam putih berbentuk bintang kecil-kecil, jumlahnya lebih dari sepuluh bintang. Claapp...! Jruubbb...! Bintang-bintang itu menancap terbenam di pinggang kanan Sri Maharatu. Perempuan itu hanya tersentak kaget dan segera pan dangi Suto.

Namun ia hanya bisa diam memandang tanpa bergerak-gerak lagi. Ketika angin berhembus, daun telinganya jatuh sendiri, disusul jari-jari tangannya yang jatuh ke tanah, lalu bagian-bagian tubA lainnyamenjadi rontok dan kepala perempuan itu pun menggelinding ke tanah. Plok...! Masih tetap melotot namun tak bergerak lagi.

Itulah kehebatan jurus 'Yudha' pemberian Ratu Kartika Wangi. Suto menggunakan jurus itu atas anjuran calon mertuanya yang telah memandikan dirinya di Kolam Sabda Dewa, yang membuat kekuatan dan ingatannya pulih kembali. Kematian Sri Maharatu membuat Delima Gusti dan Resi Wulung Gading terbengong tak mampu kedipkan matanya. Andai Delima Gusti tidak terpaku bengong di tempat, tentunya ia segera menyambar Cambuk Getar Bumi yang jatuh di tanah itu.

Kesadaran akan cambuk itu terlambat, karena Pendekar Mabuk telah menyemburnya dengan tuak, dan Cambuk Getar Bumi pun lenyap karena jurus 'Sembur Siluman' itu. Kini cambuk pusaka telah tiada, Sri Maharatu pun telah binasa.

Suto Sinting dan Resi Wulung Gading mendapat undangan upacara penobatan Putri Kunang sebagai penguasa tunggal Pulau Dadap. Bahkan Delima Gusti pun hadir dalam acara tersebut. Kehadirannya itu yang menjadi titik awal perdamaian antara orang-orang Pulau Dadap dengan orang-orang Kadipaten Suralaya.

SELESAI
Pendekar Mabuk Segera menyusul: TANDU TERBANG