Pendekar Mabuk 22 - Lentera Kematian(1)

KEGELAPAN malam bagaikan selubung kematian warna hitam. Sekalipun langit cerah berbintang tanpa rembulan, tapi tak sedikit pun bias sinar cerah ada yang menerangi jalanan di ujung jembatan bambu.
Jembatan itulah yang menghubungkan Tanah Merah dengan Lembah Kabut.

Rindangnya dedaunan di sekitar Jembatan bambu itu yang membuat kadang sinar rembulan pun tak bisa menerobos masuk untuk menyinari jalanan penghubung itu. Sementara mereka yang akan melintas dari Tanah Merah ke Lembah Kabut tak punya pilihan lain kecuali melewati jalanan tersebut.

Karena di bawah Jembatan bambu yang sering berderit reot jika terkena angin kencang itu adalah jurang yang amat dalam dan tak mungkin bisa dilalui orang. Tetapi sudah tiga malam ini di ujung jembatan nyala api lentera yang cukup menerangi keadaan sekitarnya. Memang tak bisa sampai ke seberang jembatan bias sinar lentera itu, tapi setidaknya bisa digunakan pemandu langkah sebelum memasuki jembatan bambu.

Seorang berpakaian putih bersama kedua temannya ingin menyeberangi jembatan tersebut. Meraka dari Lembah Kabut menuju Tanah Merah. Orang berpakaian putih itu berkata kepada kedua temannya.

Ada lentera penerang jalan! Lumayan bisa kita bawa sampai ke ujung jembatan, lalu kita tinggalkan di ujung sana, biar orang dari sana nanti membawanya kembali dan meninggalkan di sini!.

"Ambillah! Memang sangat beruntung membawa lentera melintasi jembatan. Setidaknya kaki kita tidak salah langkah masuk ke jurang sedalam itu!"

Orang berpakaian putih itu mengambil lentera dan menentengnya sambil melangkah menyeberangi jembatan. Dua temannya mengikuti dari belakang. Langkah mereka sangat lancar karena penerangan itu. Sekalipun jembatan bergoyang-goyang tapi langkah mereka menapak dengan pasti. Dan ketika mereka sampai di seberang jembatan, lentera itu diletakkan pada sebuah batu, biar dipakai menyeberang oleh orang lain yang mau menuju ke Lembah Kabut.Namun tiga langkah setelah itu, orang berbaju putih tiba-tiba jatuh, Brukk...! Ia mengerang sebentar. Temannya menolong, yang berbaju kuning mengangkat kepala orang yang jatuh, yang berbaju hijau menarik lengannya.

Tetapi si baju putih tiba-tiba mengejang dan berkeringat sekujur tubuhnya . Kejap berikutnya si baju putih itu pun tersentak, napasnya tertahan. lalu menghembus lepas dan tak bergerak lagi. "Wirya...! Wiiir....!" temannya yang berbaju kuning menepuk-nepuk pipi si baju putih itu. "Ya, ampuuun... dia mati, Kas!"

"Pasti ada orang yang menyerangnya dengan senjata rahasia! " kata Kasmo, yang berbaju hijau itu. "Coba periksa seluruh tubuhnya, Rantu!"

Segera yang berbaju kuning bernama Rantu itu, memeriksa bagian punggung Wirya. Ternyata tak ada luka seujung jarum pun. Juga di bagian sekitar tengkuk, leber, lengan, kaki, tak ada luka bekas tusukan atau goresan senjata rahasia.

Hanya saja, Kasmo dan Rantu menjadi heran melihat keringat Wirya begitu banyak dan berbau amis, seperti amisnya darah. "Apa dia kena sambet penunggu jembatan itu ya,Kas?"

"Kurasa... Uhg...! Uuhg...!"

"Kas...! Kasmo....?!"

Kasmo mendelik, ingin mengucapkan sesuatu tak bisa. Tubuhnya kejang seketika, lalu ia rubuh dalam keadaan kaku. Matanya terbeliak, tubuhnya berkeringat, makin lama semakin banyak keringat yang mengucur dari tubuhnya. Kejap berikutnya, Kasmo pun menghembuskan napas terakhirnya.

"Kasmo...?!" pekik Rantu dengan panik dan ketakutan, ia memandangi kedua temannya yang tahu-tahu mati secara misterius itu. Ia segera bangkit dan melarikan dengan sekuat tenaga. Namun belum sempat tiga tindak ia melangkah, tiba-tiba tubuhnya pun terasa keras, kejang, dan ia rubuh ke tanah dalam keadaan menggelepar-gelepar sebentar. Badannya mengucurkan keringat. Setelah itu napasnya pun tak tertahankan lagi, lepas begitu saja untuk kemudian diam selama-lamanya.

Dalam waktu singkat, tiga orang telah menjadi korban. Padahal mereka adalah orang-orang Lembah Kabut. Orang-orang Lembah Kabut terkenal kuat dan ganas-ganas. Pada umumnya berilmu tinggi karena di Lembah Kabut itulah terletak benteng Perguruan Kobra Hitam. Perguruan ini sangat ditakuti di kalangan dunia persilatan, karena keganasan ilmu yang dimiliki oleh masing-masing murid perguruan tersebut.

Tapi agaknya kematian yang dialami oleh ketiga orang Lembah Kabut telah membuat seseorang terkikik geli dan kegirangan di balik kerimbunan semak belukar itu. Suara kikik tawa yang tertahan itu segera lenyap setelah terdengar langkah orang dari arah Tanah Merah. Dua orang melangkah menuju Lembah Kabut, yang satu berpakaian hitam-hitam, yang satu mengenakan pakaian putih-putih seperti Wirya tadi. Mereka melangkah dengan gagahnya, karena di pinggang mereka terselip golok panjang yang siap cabut dan bacok sewaktu waktu ada musuh menyerang.

Dua orang gagah berdada kekar itu segera tersentak kaget melihat ketiga mayat bergelimpangan di jalanan ujung jembatan bambu.

"Edan!" geram yang berpakaian putih. 'Mereka mati di sini, Guntolo! Siapa yang menyerang mereka?!"

"Periksa sekeliling tempat ini, Cambang !" perintah yang berpakaian hitam-hitam.

"Kurasa pembunuhnya belum jauh dari sini!"

Cambang ganti memerintah Guntolo,

"Ambil lentera itu, kita periksa bersama di sebelah timur itu!"

Dengan menenteng lentera mereka memeriksa kerimbunan hutan sebelah timur. Sebentar kemudian mereka memeriksa kerimbunan hutan yang di sebelah barat. "Tak ada manusia disini, Gun!"

"Coba kita periksa sampal di ujung jembatan sana!" "Bukankah itu wilayah kita?"

"Barangkali orang itu sedang menyusup ke wilayah kita!" Cambang dan Guntolo bergegas menyeberangi jembatan bambu. Langkah mereka tampak tergesa-gesa dengan mata memandang nanar. Tiba-tiba Guntolo yang memegangi lentera itu tersentak, "Uhg,..!"

"Gun! Kenapa...?!"

"Dadaku sakit!" lentera diletakkan oleh Guntolo di atas sebuah batu datar setinggi pinggangnya. Selesai meletakkan lentera tubuhnya limbung dan dipapah oleh Cambang.

"Gun, ada apa...?!" Cambang menjadi tegang dan mulai cemas .

Guntolo mengejang, kejot-kejot sebentar. Tubuhnya berkeringat deras . Amis baunya . Kemudian tubuh itu tersentak satu kali, untuk kemudian melemas mati.

"Gun...?! Guntolo...?!" Cambang mengguncang-guncang tubuh temannya itu. Namun beberapapa saat kemudian, ia sendiri mengalami nasib seperti Guntolo. Kejang, tak bisa bicara, mendelik, berkeringat banyak, dan bau amis, akhirnya menghembuskan napas terakhir dengan terkulai lemas.

Suara tawa mengikik dari dalam kerimbunan hutan itu terdengar lagi. Tapi tawa itu tertutup sesuatu, sepertinya tangan orang Itu sendiri yang menutup mulutnya. Lima korban jatuh sudah. Apa penyebabnya, tak jelas. Tapi sudah pasti ada saksi mata yang melihat kematian aneh itu. Apakah saksi tersebut juga tahu penyebab kematian aneh tersebut?

Esoknya, gemparlah seluruh Lembah Kabut membicarakan tentang kematian kelima orangnya. Peristiwa itu sungguh membuat dunia seakan menjadi heboh, karena kematian lima korban itu ternyata membawa korban lain.

Setiap orang yang mengangkut korban tersebut beberapa saat kemudian mengalami nasib yang sama. Mengejang, kaku, mata melotot, dan keluarkan keringat amis, setelan itu mati. Dalam waktu singkat sembilan korban mati dengan keadaan sama seperti kelima korban malam hari itu.

Kesembilan korban itu segera ditolong, dirawat mayatnya, tapi toh tetap saja membawa korban baru sehingga jumlah keseluruhan sampai siang hari ada dua puluh tiga korban yang mati aneh. Kedua puluh tiga korban itu sama-sama keluarkan keringat berbau amis.

Perguruan Kobra Hitam ditimpa musibah misterius. Logayo, sebagai ketua perguruan tersebut segera keluarkan perintah,

"Jangan sentuh lagi mayat-mayat korban!"

"Bagaimana kami mau memakamkan mereka Ketua?!Mengapa Ketua melarang kami menyentuh mayat-mayat saudara kami ini?!" Ekayana mengajukan pertanyaan yang bersifat menentang keputusan dan perintah sang ketua.

Dengan suara penuh kegusaran karena memendam murka, Logayo berseru kepada Ekayana,

"Matamu buta! Mayat-mayat itu ternyata beracun, tahu?! Siapa yang menyentuhnya, akan tertular racun dan mengalami mati yang sama dengan mayat sebelumnya! Dan racun itu amat ganas. Tak memberi kesempatan bagi orang yang terkena untuk ber- obat ke mana pun juga! Kalau kau ingin mati seperti mereka, sentulah mayat mereka, Ekayana!"

"Beracun...?!" Ekayana menggumam, dahinya berkerut "Siapa yang mempunyai racun seganas itu?!

"Ambil sebagian keringat mereka memakai alat, dan suruh Brajawisnu menyelidikinya. Racun jenis apa dan siapa pemiliknya!"

Ekayana adalah orang kedua setelah Logayo. Ia banyak bertugas sebagai penghubung antara Logayo dengan para anggota lainnya. Perguruan itu, bukan semata-mata tempat menimba ilmu dan menuntut kesaktian tinggi, melainkan juga sebuah perkumpulan orang-orang sesat yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kesenangan pribadi, atau keuntungan bersama.

Braj awisnu adalah pakar racun yang juga menjadi guru di situ. Jika para anggota atau murid Perguruan Kobra Hitam ingin belajar ilmu racun, Brajawisnu-lah gurunya. Jika mereka ingin memperdalam ilmu pedang, Ekayana-lah gurunya. Untuk setiap bagian mempunyai setiap guru sendiri-sendiri. Ekayana mempunyai julukan sebagai Malaikat Maha Pedang. Brajawisnu mempunyai julukan Iblis Maha Racun, dan sebagai ketua perkumpulan orang sesat, Logayo mempunyai julukan sendiri, yaitu Dewa Murka.

Itulah sebabnya orang-orang Tanah Merah heboh dan saling mengatakan, "Dewa Murka mengamuk! Dewa Murka marah besar karena musibah yang menimpa Benteng Kobra Hitam!" Orang-orang Tanah Merah bukan orang-orang seganas kelompoknya Logayo. Di Tanah Merah juga ada perguruan, yaitu di seberang sebuah perkampungan orang-orang kate.

Penduduknya kerdil-kerdil dan mempunyai masyarakat kerdil tersendiri. Hidup mereka dari bercocok tanam. Karenanya, perkampungan itu dinamakan Perkampungan Orang Kate, cukup luas dan banyak penduduknya.

Di seberang Perkampungan Orang Kate itu terdapat sebuah perguruan yang bernama Perguruan Elang Putih, dipimpin oleh seorang guru yang beraliran ilmu putih, bergelar si Embun Salju, ia seorang perempuan tua yang awet muda, Cantik dan anggun laksana seorang ratu yang bijaksana.

Tak banyak tokoh persilatan yang tahu nama aslinya, karena setiap nama aslinya disebutkan, maka hujan petir akan turun bersama deru hembusan badai yang mengamuk. Karenanya, para tokoh rimba persilatan lebih sering menyebut namanya sebagai Embun Salju. Bagi mereka yang sudah tahu nama asli Embun Salju, mereka tetap menyimpan nama itu, karena tak mau kedatangan hujan petir dan amukan badai.

Perguruan Elang Putih ini benar-benar perguruan murni yang mengajarkan ilmu-ilmu kebaikan . Mereka menempati sebuah kuil kuno yang letaknya tak seberapa jauh dari pantai. Dan perguruan ini pernah diserang oleh Perguruan Kobra Hitam, namun mereka kehilangan jejak karena kuil tersebut bagaikan lenyap dimakan bumi beserta para penghuninya.

Itulah sebabnya, Perguruan Kobra Hitam tak berani mendekati orang-orang Elang Putih. Dewa Murka sendiri mengingatkan kepada orang-orangnya agar menghindari permasalahan dengan orang-orang Elang Putih. Tetapi hal itu dilakukan secara diam-diam supaya tak kentara bahwa Dewa Murka merasa sungkan dan agak takut kepada Embun Salju.

Melewati wilayah Tanah Merah, terdapat sebuah desa yang makmur dan berpenduduk padat juga. Desa itu bernama Desa Kanjengan, karena masih dalam kekuasaan seorang adipati yang berkuasa sejak turun temurun dan berkedudukan jauh dari Desa Kanjengan.

Hal yang dipertanyakan oleh orang-orang Lembah Kabut adalah, siapa pemilik racun maut itu? Orang-orang Desa Kanjengan? Atau salah satu dari Perkampungan Orang Kate? Atau orang dari Elang Putih? Atau dari tempat lain. Mengingat banyaknya orang tidak menyukai sikap dan tingkah laku orang-orang Kobra Hitam, maka Brajawisnu mengatakan kepada mereka yang hadir dalam pertemuan di bangsal tersebut,

"Orang-orang Kate tidak mungkin berani melintasi jembatan itu, bahkan mendekatinya pun tak akan berani. Sedangkan orang-orang Desa Kanjengan sudah gentar lebih dulu jika orang kita ada di sana. Tapi orang-orang dari Elang Putih masih punya kemungkinan berani menyeberang ke Lembah Hitam ini dengan menyebar racun dijembatan.Tapi seingatku , orang-orang Elang Putih tidak mempunyai racun jenis ini!"

"Racun apa itu?"

"Ini yang dinamakan Racun Getah Tengkorak. Getah itu sebenarnya dari sejenis tanaman langka berkayu warna putih kurus sebesar tulang, bercabang-cabang mirip tengkorak"

"Di mana adanya tanaman itu?" tanya Dewa Murka.

"Setahuku ,"kata Brajawisnu, 'Tanaman aneh itu tumbuh di hutan bersalju. Tapi tidak setiap hutan bersalju punya tanaman aneh itu."

"Hutan bersalju? ! " gumam Ekayana . "Mungkinkah si Embun Salju yang membawanya dari suatu tempat yang bersalju?"

"Jangan terkecoh dengan nama dan alam sebenarnya," kata Brajawisnu. "Embun Salju hanya sebuah nama, bahkan mungkin belum tentu ia mengenal tanaman aneh dan Racun Getah Tengkorak ini"

Logayo segera berkata, "Jangan terpancing oleh dugaan yang gegabah! Bisa-bisa kita bentrok dengan Embun Salju!"

"Mengapa takut?" sela Ekayana.

"Mengapa harus jera?!" Suara Logayo membentak kasar, "Aku bukan takut kepada Embun Salju! Tapi aku menghindari pertumpahan darah yang bisa membuat orang-orang kita banyak yang mati! Sementara persoalannya belum jelas bahwa Embun Salju yang memiliki racun itu! Bodoh!"

Ekayana mengambil napas, menahan kesabaran. Ia mengangkat tangannya sambil berkata,

"Baiklah, baiklah...! Kita cari dulu kemungkinan di tempat lain. Embun Salju adalah kemungkinan terakhir jika memang di tempat lain tak ada orang yang memiliki Racun Getah Tengkorak itu!"

Kemudian setelah terjadi hening sekejap, Logayo bertanya kepada Brajawisnu dengan sisa suara geramnya. "Siapa lagi yang pantas kita curigai menurutmu?"

"Tabib Cawan Maut!" jawab Brajawisnu.

"Apa urusannya orang setua renta begitu masih mau mengganggu ketenangan kita?!" Ekayana menyanggah, karena ia tahu, Tabib Cawan Maut sudah sangat tua, bahkan untuk berjalan pun sudah payah, pelan, terbungkuk-bungkuk, sempoyongan, dan tertatih-tatih.

Tabib Cawan Maut tak pernah keluar dari pondoknya. Mereka yang butuh obat datang kepadanya dan ia tak pernah bersedia dibawa keluar dari rumah.

"Mengapa kau mencurigai orang setua Tabib Cawan Maut?" tanya Logayo kepada Brajawisnu.

"Dia punya pelayan, Jongos Daki namanya. Bisa saja yang melepaskan racun itu adalah Jongos Daki."

"Alasannya?"

"Kita pernah menghajar Jongos Daki ketika ia menyembunyikan Shinta dari kejaran kita dulu! Barangkali dia masih punya dendam kepada kita dan baru dilampiaskan setelah tiga tahun peristiwa itu terjadi,"

"Kecil kemungkinannya!" sahut Pancakana, guru untuk jurus-jurus cambuk maut yang bergelar Hantu Naga Belah. "Kurasa Jongos Daki sudah melupakan peristiwa yang sudah tiga tahun berlalu itu!"

Logayo manggut-manggut dengan mata masih lebar dan brewoknya diusap-usap. Lalu, ia bertanya lagi kepada Brajawisnu, "Selain Jongos Daki dan Tabib Cawan Maut, siapa lagi yang memungkinkan bisa memiliki Racun Getah Tengkorak itu?"

"Tabib Awan Putih," jawab Brajawisnu.

"Dia tidak punya masalah dengan kita! Dia hanya kenal sama kita dan tidak bikin perkara apa pun!"

" Tapi dia seorang tabib, Tabib dari Cina. Sangat tahu akan Racun Getah Tengkorak," kata Brajawisnu. "Bisa saja dia disuruh seseorang dengan upah tinggi untuk menyerang kita dengan racun ganas ini!"

"Masuk akal,"kata Pancakana, lalu diam lagi, "Selain Tabib Awan Putih?"

"Orang-orang Sedayu!"

Tiba-tiba Logayo menarik wajahnya dari sedikit maju menjadi tegak.

Ekayana juga terkesiap mendengar nama Sedayu. Pancakana sendiri menyipitkan mata dengan dahi segera berkerut.

"Mungkinkah mereka menyerang kita?" ucap Logayo pelan.

"Kenapa tidak? Sedayu merasa jengah dan bosan melayani cinta Ekayana. Ia merasa tak mampu menghindar, maka ia bunuh kita satu persatu dengan cara seperti yang sudah kita lihat sendiri"

"Bukankah Sedayu mencintai Ekayana?" kata Pancakana. "Memang. Tapi cinta yang bagaimana? Setelah ia menguasai semua Jurus pedang Ekayana, apakah dia masih cinta? Jika benar masih mencintai Ekayana, mengapa dia selalu menolak jika Ekayana mengajaknya menikah?"

"Jika benar orangnya Sedayu," kata Logayo, lantas, dari mana dia mendapatkan Racun Getah Tengkorak yang amat langka itu?"

"Pranawijaya...!" jawab Ekayana sendiri.
"Benar!" Brajawisnu menegaskan.

"Pranawijaya seorang pengelana, ia juga mempunyai jurus pedang yang cukup lumayan, Ia sedang naksir Sedayu, walau Sedayu tidak nyata-nyata membuka hati untuknya. Tapi dengan bantuan memberikan Racun Getah Tengkorak, Sedayu dapat terkesan dan tertarik nyata-nyata kepada Pranawijaya. Mungkin juga Pranawijaya sendirilah yang menyebarkan racun itu ke tubuh korban kemarin malam!" kata Ekayana dengan wajah tanpa senyum dan sedikit memerah.

"Tapi mengapa kita yang diserang sedangkan urusannya adalah urusan antar pribadi. Kau dan dia !" kata Logayo.

Ekayana yang menjawab lagi, "Mungkin. . . mungkin Sedayu sendiri juga tidak suka dengan perkumpulan kita ini! Untuk membuat perguruannya naik, ia harus menggempur perguruan kita! Setidaknya jika berhasil, ia akan mendapat pujian dan sorotan dari para tokoh persilatan! Dan Pranawij aya hadir sebagai pelaku impian Sedayu!"

Logayo menggeram pelan, tapi segera menyentak. "Serang orang-orang Sedayu!"

2

DEBUR ombak bagaikan nyanyian alam kubur yang terpendam lama. Ketika lidahnya menghantam batuan karang, sang ombak pun pecah tak berbentuk lagi. Namun kejap berikut toh ia datang lagi dengan garangnya menghantam batuan karang tanpa kenal menyerah dan pasrah. Seperti ombak itulah gemuruh laga dua tokoh tua yang sedang bertarung di atas dua gugusan batu karang.

Gugusan batu karang itu terpisah antara sepuluh tombak jauhnya. Di masing-masing gugusan karang itu duduk dua sosok manusia lanjut usia yang dapat dilihat dari putihnya rambut mereka, atau keriputnya kulit wajah mereka.

Seorang lelaki berambut panjang dan rata dengan uban itu membiarkan rambutnya dipermainkan angin laut, hingga sesekali menyirat di wajahnya yang berkumis dan berjenggot putih itu.

Ia duduk bersila mengenakan jubah putih dalam usia sekitar tujuh pulu tahun, sedangkan lawannya yang sejak tadi tampak tangguh menahan kekuatan tenaga dalamnya itu juga duduk bersila di atas gugusan karang di seberangnya.

Tokoh tua yang satu ini pernah muncul dan berhadapan dengan Pendekar Mabuk dalam kisah 'Manusia Seribu Wajah'. Orang itu berbadan kurus seperti lawannya, bermata cekung dan berkulit keriput, rambutnya putih beruban rata disanggul tengah, sisanya dibiarkan meriap sekeliling konde itu. Ia mengenakan jubah hitam dan celana putih. Biasanya tokoh wanita berilmu tinggi ini bersenjata tongkat lengkung warna hitam, tapi kali ini tongkat itu diletakkan di sampingnya, ia tak lain adalah Nini Pasung Jagat. Guru dari si bencong Tanjung Bagus.

Perempuan itu duduk bersila dengan kedua tangan di dada, yang kiri menyangga pergelangan tangan kanan yang membuka telapaknya dan menghadap ke samping dalam keadaan tegak lurus.

Matanya sedikit terpejam, bagai tengah mengerahkan segala kekuatannya untuk menyerang lawannya lagi. Sementara itu, si Jubah Putih juga duduk bersila dengan kedua tangan di depan dada, hanya dua telunjuk dan dua ibu jarinya yang saling bertemu, sisa jari lainnya menggenggam.

Orang itu juga tampak sedang memusatkan segenap jiwa, batin dan pikirannya untuk mengeluarkan serangan tenaga dalam kepada lawannya.

Mulut mereka sama-sama bungkam mencapai lima puluh helaan napas. Tetapi tiba-tiba dari ujung jari telunjuk si Jubah Putih melesat sinar biru memanjang bagaikan sebatang tongkat kecil. Sinar biru itu melesat menuju Nini Pasung Jagat.

Tetapi dari tengah kening Nini Pasung Jagat mendadak keluar sinar merah berbentuk bola sebesar jeruk nipis. Cahaya merah berpendar-pendar itu berkelebat bagai di panahkan dari tengah dahi Nini Pasung Jagat, kemudian menghantam sinar biru bagaikan menyongsong serangan sang lawan.

Blarrr...!

Entah untuk yang keberapa kalinya bunyi ledekan menggelegar itu terjadi di atas perairan laut biru itu. Ledakan yang kali ini ternyata menimbulkan gelombang angin kencang yang membuat seluruh rambut si Jubah Putih berkelebat ke belakang dengan kuatnya, jubahnya pun terhempas ke belakang bagai mau robek dari jahitannya.

Sedangkan Nini Pasung Jagat pun mengalami hal serupa, bahkan tubuhnya sedikit guncang akibat menahan gelombang angin yang ditimbulkan dari benturan dua sinar bertenaga dalam tinggi tersebut.

Masih hening sesaat di antara kedua tokoh sakti itu. Mereka bagai mengumpulkan tenaga kembali, membiarkan suara debur ombak mengisi keheningan di antara mereka berdua. Hanya saja, kejap lain sang nenek mulai memperdengarkan suaranya yang lantang itu,

"Menyerahlah. Padmanaba! Serahkan pusaka itu untuk kuberikan dan kuwariskan kepada muridku!"

"Berteriaklah sekuatmu memohon begitu, Nini Pasung Jagat! Sampai tenggorokanmu pecah dan mulut tuamu robek, tak akan aku serahkan benda itu kepadamu!" seru Ki Padmanaba alias si Jubah Putih itu dengan suara tua yang masih lantang juga.

"Kau benar-benar keras kepala, Padmanaba! Kau ternyata lebih sayang dengan benda itu daripada dengan nyawamu ! Benar-benar manusia bodoh dan dungu kau, Padmanaba! "

"Terserah apa katamu. Pasung Jagat! Yang jelas aku mempertahankan amanat guru kita, bahwa benda itu tak boleh jatuh ke tangan orang lain, sekalipun ke tanganmu dan ke tangan muridku sendiri! Karenanya benda itu tak pernah kuserahkan kepada siapa pun ! Cucuku pun tak kuwarisi pusaka tersebut apalagi kamu. Pasung Jagat!"

"Benar-benar serakah " geramm Nini Pasung Jagat. Matanya memandang dengan tajam dan ganas.

"Cukup lama pusaka itu ada padamu, sekarang giliran aku yang harus memegang pusaka itu, Padmanaba! Kalau kau tak memberikannya, aku akan merebut darimu sekalipun harus membunuh nyawa saudara seperguruan sendiri!"

"Aku siap menerima ancamanmu, Pasung Jagat! Kapan saja kau ingin mencabut nyawaku, aku telah siap menghadapimu! Hanya yang kukhawatirkan, apakah kamu sendiri mampu mempertahan kan nyawamu dari tanganku ini. Pasung Jagat!"

"Jangan kau meremehkan aku. Padmanaba! Ilmu yang kumiliki bukan saja ilmu dari guru kita, melainkan kuperoleh dari beberapa tempat, beberapa orang, dan beberapa waktu! Kau tak akan bisa menandingi kesaktianku, Padmanaba! Percayalah, tak akan bisa!"

"Pasti bisa!" jawab Ki Padmanaba dengan tegas dan penuh keyakinan. "Kau pikir aku tidak mempersiapkan diri untuk melawanmu sejak dulu, hah? Aku tahu suatu saat kau akan merebut pusaka itu dariku! Jadi aku sudah persiapkan jurus pencabut nyawa untukmu, Pasung Jagat!".

"Keparat busuk kau. Padmanaba!" geram Nini Pasung Jagat, kemudian kedua tangannya terangkat ke atas dalam keadaan tetap duduk bersila. Wajahnya menyeringai bengis memancarkan geram nafsu untuk membunuh saudara seperguruannya itu.

Tetapi agaknya Ki Padmanaba sendiri tidak kalah siap. la segera membuka telapak tangannya dan meletakkan ke samping. Dalam keadaan terbuka menghadap ke bawah ujung jari-jarinya. Dan ketika dari kedua tangan Nini Pasung Jagat mengeluarkan sinar hijau berturut-turut dengan cepatnya menyerang bak senjata rahasia itu, Ki Padmanaba menyentakkan kedua telapak tangannya ke depan, tak sampai lurus kedua tangan tersentak, ternyata dari telapak tangan keduanya menyorotkan sinar biru pecah bagaikan lampu besar di ujung mercu suar.

Wussst...!

Sinar terang warna biru itu membentuk kabut setelah bertemu dengan sinar hijaunya Nini Pasung Jagat. Kabut itu membungkus sinar hijau tersebut, hingga terjadi beberapa kali letupan yang teredam suaranya. Tub, belp... tubb, tub, bleb...!

Namun Nini Pasung Jagat ternyata sudah menduga akan terjadi hal seperti itu. Dan ia telah siapkan serangan lain melalui kedua matanya. Dalam sekejap dari kedua matanya itu melesat mengeluarkan dua berkas sinar ungu yang melesat cepat meng­hantam dada Ki Padmanaba. Agaknya sinar ungu itu sangat di luar dugaan Ki Padmanaba, sehingga ia sangat terkejut ketika sinar ungu itu melesat menghantam dadanya. Dabb....!

Bagai mendapat dua pukulan besar dada Ki Padmanaba terasa mau jebol sampai ke belakang.

Pukulan itu sangat dahsyat. Berat dan kuat, sehingga tubuh kurus Ki Padmanaba pun terpental hebat. Tubuh itu melayang bagaikan dilemparkan dan jatuh di pasir pantai yang jaraknya dari tempat ia duduk tadi sekitar lima belas tombak. Brugggh...! Bruss....!

Tubuh itu sempat menyerosot di pasir pantai dalam keadaan terkapar. Dada nya menjadi hitam, pakaiannya menjadi hangus. Dan wajahnya pun pucat pasi, tak bisa bernapas.

Pada waktu itu, seorang pemuda gagah dan tampan, berpakaian coklat dan celana putih, tiba di pantai tersebut. Langkahnya terhenti ketika dilihat-nya sesosok tubuh menyerosot ke arah depan kaki nya.

Dan pemuda berambut panjang lemas dan tak mengenakan ikat kepala itu segera terkesiap mata nya, kaget melihat wajah orang yang menyerobot di depan kakinya itu. "Ki Padmanaba...?!" cetusnya kemudian.

Pemuda yang menyandang bumbung tempat tuak di punggungnya itu segera berjongkok untuk memeriksa keadaan orang sakti yang dikenalnya itu.

"Ki Padmanaba? Apa yang terjadi?!"

Mata tua yang sedang sekarat itu sempat memandang ke arah pemuda yang tak lain adalah si Pendekar Mabuk itu. Mulutnya yang sulit bernapas segera mengucapkan kata pelan, "Suto.... Sinting..."

"Ya, saya Suto Sinting, murid dari si Gila Tuak, sahabat Ki Padmanaba itu! Kita pernah bertemu walau satu kali. Masih ingatkah Ki Padmanaba pada guru saya? "

"Selamatkan... pusaka... Pucuk Cemara Tunggal dalam purnama..." Ki Padmanaba tidak menggubris pertanyaan Pendekat Mabuk tadi, tapi ia mengucapkan kata kata yang menyerupai sebuah pesan itu.

"Ki Padmanaba, minumlah tuak saya ini untuk..., untuk...," Suto Sinting ingin menuangkan tuak ke mulut Ki Padmanaba yang berwajah seputih kapas itu. Namun ternyata Ki Padmanaba sudah tidak bernapas lagi. Matanya terpejam sedikit dengan mulut ternganga, tubuhnya dingin membeku dan tak bergerak sedikit pun.

"Oh, terlambat aku memberinya minum tuak ini ! " gumam Suto dalam nada penuh kekecewaannya. " Kalau saja aku sempat memberinya minum tuak ini, pasti luka hangus di dadanya akan cepat sembuh, ia akan tertolong jiwanya. Kasihan, Ki Padmanaba...! Mengapa begitu bertemu denganku lagi pada saat ia ingin menghembuskan napas terakhirnya? Sungguh tak kusangka peristiwa ini akan kuhadapi. Dan... dan apa yang diucapkannya tadi? Seperti sebuah pesan atau amanat?!"

Mendadak Suto dikejutkan dengan kehadiran tokoh tua yang menjadi lawan Ki Padmanaba tadi.

Kesadaran Suto dari lamunannya membuat pemuda itu berjingkat lompat ke belakang dan siap menghadapi serangan dengan kuda kuda kekarnya. Matanya menjadi terkesiap ketika memandang kearah tokoh tua yang bermata cekung itu,

"Oh, kau rupanya, Nini Pasung Jagat...?!"

"Iyaah. . . ! Aku yang membunuh Ki Padmanaba! Mau apa kau, Suto Sinting, Pendekar Mabuk?! Mau apa, hah...?!" ucapan Nini Pasung Jagat pelan, tapi penuh tekanan menggeram dengan wajah memandang angker.

Terlintas dalam sekejap ingatan Suto pada saat bertemu dengan tokoh itu di saat ia ingin menyembuhkan si Kembang Hitam (Baca Serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah")

Teringat pula kehebatan ilmu Nini Pasung Jagat yang mempunyai Jurus andalan kala itu bernama 'Rembulan Jantan'. Hampir saja Suto Sinting mati atau celaka oleh Jurus tersebut. Nenek yang satu ini memang agak berbahaya. Kelihatannya biasa-biasa saja, tapi serangannya bisa membawa maut yang sukar dilawan.

Terasa heran Suto mendengar pengakuan Nini Pasung Jagat telah membunuh Ki Padmanaba. Padahal Ki Padmanaba ilmunya cukup tinggi, hampir memadai dengan Ki Jangkar Langit atau hampir menyamai ilmu bibi Guru Suto yang bernama Bidadari Jalang itu.

Jika Ki Padmanaba bisa terbunuh oleh Nini Pasung Jagat, berarti Nini Pasung Jagat setidaknya mempunyai ilmu seimbang dengan Ki Padmanaba, bisa jadi lebih tinggi. Atau karena saat pertarungan Ki Padmanaba agak lengah? Pendekar Mabuk tidak tahu bahwa Ki Padmanaba dan Nini Pasung Jagat adalah saudara seperguruan.

Hanya saja, selepasnya Nini Pasung Jagat dari gunung tempat dirinya digembleng itu, ia segera mencari guru lain dan menekuni beberapa kitab pu­saka yang pernah dipinjam, dicuri, atau ditemukan secara tak sengaja. Itulah yang membuat Nini Pasung Jagat kelihatan lebih unggul dari Ki Padmanaba . Suto pun tidak tahu persoalan sebenarnya antara kedua tokoh tua itu, tapi ia didesak oleh Nini Pasung Jagat.

"Apa yang ia katakan tadi, Suto?!"
"Apa maksudmu?" Suto berlagak bego.

"Kulihat di kejauhan tadi, ia bicara padamu! Apa yang ia katakan padamu?! Katakanlah pula padaku, Bocah Sinting?!" perempuan tua yang masih tersisa rias kecantikan usangnya itu menggertak bagai mengancam maut kepada Suto Sinting. Tapi pemuda tampan yang murah senyum itu justru meneguk tuaknya beberapakali dengan cara mendongak dan menuangkan bumbung tuak tersebut.

"Benar-benar sinting kau! Diajak bicara orang tua malah menenggak tuak! Hihh...!"

Wutt....!

Pukulan tenaga dalam jarak jauh dilepaskan dari sentakan pendek tangan kiri Nini Pasung Jagat. Pukulan Jarak Jauh itu tidak bercahaya, namun dapat dirasakan oleh Suto hembusan anginnya yang menuju ke arah pinggangnya. Maka, dengan kalem Suto menyentitkan Jari telunjuknya, mengirim tenaga dalam melalui Jurus 'Jari Guntur'-nya itu. Wuttt... ! Dubbb...!

Nini Pasung Jagat terguncang sedikit tubuhnya. Pukulan tenaga jarak jauhnya bagaikan membalik sebagian dan menghentak perutnya, ia menjadi lebih geram dengan mata memandang penuh ketajaman permusuhan.

Di dalam hatinya ia membatin,

"Bocah ini memang tak bisa dianggap sepele! Seluruh kekuatan dan kesaktian dia ada dalam diri bocah ini ! " sambil sang nenek membayangkan seraut wajah yang menjadi gurunya Suto Sinting, yaitu seraut wajah si Gila Tuak yang punya nama asli Sabawana.

"Bocah sinting! " seru Nini Pasung Jagat, "Aku tahu, Ki Padmanaba adalah sahabat gurumu! Pasti ada pesan rahasia yang disampaikan oleh Padmanaba sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya tadi, sebab ia pun pasti tahu bahwa kau adalah murid sahabatnya. Pertemuan di ambang kematiannya, adalah suatu keberuntungan besar bagi Ki Padmanaba. Tapi sekalipun hanya berupa pesan, aku harus merebut pesan itu darimu, Suto!"

"Apa yang diucapkan tadi oleh Ki Padmanaba, sedang kupikirkan, Nini! Sebab aku lupa!' jawab Pendekar Mabuk dengan senyum tenangnya.

"Sabawana tidak akan mempunyai murid bodoh, pasti ia memilih murid yang cerdas! Jadi aku tidak percaya, kalau kau lupa dengan pesan Padmanaba tadi, Bocah Sinting!"

Suto tertawa pelan, geli sendiri melihat sikap si nenek yang sangat penasaran itu. Kemudian tetap dengan kalem Suto pun berkata kepada Nini Pasung Jagat,

"Manusia itu mempunyai kodrat yang sama, ingat dan lupa selalu ada pada diri setiap manusia,Nini!"

"Tak perlu bertele-tele kau bicara padaku, Suto! Katakan apa yang diucapkan Padmanaba tadi?! Lekas!" sambil Nini Pasung Jagat mulai mengangkat tongkatnya.

"Apa maumu menggertakku begitu. Nini? Bukankah lebih baik kita tidak saling bermusuhan, ketimbang harus saling membunuh?"

"Apa pun yang terjadi, kau memang harus kubunuh,Suto!"
"Hanya untuk sebuah pesan dari mulut orang yang sudah mati, kau tega membunuhku, Nini?"

"Bukan hanya karena itu!" gertak Nini Pasung Jagat dengan suara semakin keras dan wajah kian beringas.

"Jadi karena apa lagi jika bukan karena itu?"
"Kau murid si Gila Tuak! Itulah sebabnya aku harus membunuhmu!"

Berkerut tajam dahi Suto Sinting mendengar jawaban tersebut, ia pun segera bertanya dengan nada heran,

" Mengapa sebab itu? Apa salahnya aku menjadi murid si Gila Tuak di matamu? Aku tak pernah mengganggu ketenangan dan kedamaianmu, bahkan kau yang menggangguku dan menyerangku lebih dulu pada waktu kita Jumpa di Pulau Hitam itu?!"

"Hm. ..!" Nini Pasung Jagat mencibir sinis, , melangkah pelan mengelilingi Suto Sinting dengan mata tertuju ke arah Suto. Tajam. "Kau tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara aku dan gurumu!"

Hati Pendekar Mabuk semakin tertarik dan menjadi ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi antara Nini Pasung Jagat dengan si Gila Tuak, gurunya itu. Sengaja Pendekar Mabuk tak bertanya apa apa, tapi dengan kerutan dahinya yang dipamerkan semakin tajam itu, Nini Pasung Jagat merasa mendapat pertanyaan yang membuat ia harus melanjutkan ucapannya. Langkahnya terhenti lebih dulu, baru mulut sang nenek mulai bicara kembali.

"Entah beberapa puluh tahun yang lalu, lebih dari setengah abad, ada seorang gadis yang mencintai Sabawana. Begitu besar cintanya, sehingga gadis itu mau berkorban meninggalkan keluarganya, meninggalkan adik-adiknya, ayahnya, ibunya, hanya untuk mengikuti pengembaraan Sabawana. Beratap langit, bertudung hujan, gadis itu dengan setianya mendampingi Sabawana! Tetapi alangkah sakit hati gadis itu, setelah tahu Sabawana ternyata tidak bersedia menikah dengan gadis itu. Bahkan ia jatuh cinta dengan perempuan lain! Sekalipun mahkota sang gadis masih tetap terjaga, tapi pengorbanannya yang meninggalkan seluruh keluarga serta kampung halaman, kesetiaannya yang tak pernah lapuk dipanggang mentari serta digores badai hujan itu, adalah suatu hal yang amat menyakitkan jika dikhianati ! Sampai sekarang gadis itu masih sakit hati kepada Sabawana alias si Gila Tuak. Dan gadis itu adalah aku sendiri, Suto! "

"Oh...?!" Pendekar Mabuk terperanjat sekejap, kemudian segara kembali menenangkan hati dan jiwa nya.

"Sampai sekarang aku masih mendendam kepada gurumu, Suto! Empat kali aku bertemu dengannya dan mencoba membunuhnya untuk melampiaskan sakit hatiku, tapi selalu gagal. Dia memang jauh lebih sakti dariku! Tapi setelah usiaku mencapai se tua ini, tentunya ilmuku terus bertambah! Akan kucari si Gila Tuak untuk kubunuh!'

"Kau tak akan berhasil. Nini!"

"Harus berhasil" jawab Nini Pasung Jagat dengan menyentak keras. "Kau pikir aku akan gagal membunuh si Gila Tuak itu karena dia mempunyai murid yang lebih muda, lebih tangguh dan lebih perkasa ini? ! Hmm. . . ! Tidak! Aku tidak akan gagal membunuhnya, Suto! Karena sebelum aku membunuhnya, mungkin aku harus membunuh muridnya dulu! Karena aku benci pada ilmu yang dimiliki oleh si Gila Tuak, dan ilmu itu ada padamu, maka aku harus membunuhmu! Kalau toh tidak berhasil membunuhmu lebih dulu, tentu saja aku membunuh Gila Tuak lebih dulu, baru menyusul membunuh muridnya! "

Berdetak setiap denyut nadi yang ada dalam diri Suto. Merah telinganya mendengar kata-kata Nini Pasung Jagat. Tak ketinggalan gigipun menggeletuk kuat-kuat menahan amarahnya. Apalagi setelah Suto Sinting mendengar kata-kata Nini Pasung Jagat selanjutnya itu, yang mengatakan,

"Gila Tuak di mataku saat ini tidak lebih dari seekor semut yang siap digilas kapan saja! Seluruh ilmu dan kesaktian Gila Tuak ada di telapak kakiku, sebagian ada di pantatku, tahu?! Dan menurutku. Gila Tuak memang pantas mati dalam keadaan tercabik-cabik tubuhnya, biar semua orang tahu, bahwa Gila Tuak telah modar tak bergeming lagi namanya yang besar itu! "

Darah Pendekar Mabuk bagaikan mendidih, ia selalu tak rela dan marah jika nama gurunya dijelek-jelekkan atau dihina. Dan apabila Suto Sinting mulai marah, napasnya pun berubah menjadi napas yang mengerikan.

Jika ia saat itu menyentakkan napasnya ke arah Nini Pasung Jagat, maka nenek tua itu sudah pasti akan melayang terbang terhempas badai yang amat dahsyat. Pepohonan akan tumbang, batu-batu besar akan beterbangan, awan hitam datang dan bergulung-gulung di langit, sambil sang petir menghujani bumi. Itulah kedahsyatan ilmu Napas Tuak Setan yang ada dalam diri Pendekar Mabuk.

Napas maut itu tidak akan ada seandainya Suto tidak menelan Pusaka Tuak Setan, yang mestinya dimusnahkan namun secara tidak sengaja tertuang masuk ke dalam mulutnya dan tertelan. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").

Tetapi Pendekar Mabuk itu selalu berusaha agar tidak menggunakan jurus 'Napas Tuak Setan' yang bisa mendatangkan bencana dan korban bagi pihak tak bersalah. Hanya dalam keadaan sangat terpaksa saja, maka Suto mau tak mau melepaskan jurus "Napas Tuak Setan" tersebut.

Seperti saat ini Suto Sinting masih berusaha menahan diri agar tidak melepaskan Napas Tuan Setan nya. Sekalipun demikian, karena di dalam hati Suto bergemuruh darah murka akibat gurunya dihina sedemikian rupa oleh Nini Pasung Jagat, maka napas biasanya saja sudah bisa membuat pasir-pasir pantai beterbangan. Butiran pasar di bawah kaki Suto yang terkena hembusan napas biasanya itu menjadi cekung dalam, karena pasir itu menyirat ke mana mana terkena angin kencang dari napas Pendekar Mabuk.

Pendekar Mabuk berdiri tegak dengan mata memandang dingin ke arah Nini Pasung Jagat, ia tak mau menundukkan kepala, takut napasnya membuat tanah di bawah kaki menjadi kian cekung ke dalam. Tetapi dengan keadaan berdiri tegak, mata memandang Nini Pasung Jagat, wajah terangkat datar ke depan, napasnya toh masih membuat rambut Nini Pasung Jagat meriap-riap ke belakang, bagaikan mendapat semburan angin dari arah depannya.

Di dalam hatinya Nini Pasung Jagat mulai berkata dalam kecemasan.

"Celaka! Kurasa bocah sinting ini juga punya "Napas Tuak Setan'! Apakah Sabawana memberikan Pusaka Tuak Setan kepada bocah ini? Oh, sinting betul si Sabawana jika benar begitu! Bukankah dia sendiri tak berani meminum Tuak Setan karena takut mencelakai orang tak bersalah melalui napasnya?! Tapi mengapa bocah bau kencur ini bisa mengeluarkan napas sekuat dan sepanas ini? Padahal ia bernapas dengan biasa-biasa saja?! Oh, kulit wajahku yang kena napasnya ini menjadi seperti berada di depan kawah gunung berapi. Panas sekali. Rambutku bisa keriting terbakar kalau terlalu lama berada di depan bocah sinting ini ! Agaknya aku memang ha rus menyingkir lebih dulu! Pusaka itu harus kutemukan, setelah itu baru aku melawan bocah sinting ini!'

Terdengar Pendekar Mabuk berkata dengan suara datar menandakan sedang memendam kemarahan besar dalam hatinya,

"Jangan sekali-sekali menghina Guru di depanku, Nini Pasung Jagat! Kau tak akan mendapat ampun sedikit pun dariku jika hal itu kau lakukan lagi ! Kau tak akan mendapat kesempatan untuk menyerangku jika aku sudah menuntut penghinaan itu padamu, Nini! Ingatlah kata kataku ini!"

"Persetan dengan kata katamu! Aku tetap akan mencari Si Gila Tuak lebih dulu untuk membunuhnya! " kata Nini Pasung Jagat memaksakan diri agar tidak kelihatan gentar.

" Tetapi untuk sementara ini, ada yang kucari dan lebih penting dari urusanku denganmu dan si Gila Tuak, Suto! Aku harus menemukan apa yang kucari itu lebih dulu, setelah itu aku datang padamu untuk membunuhmu! Tak peduli kau punya 'Napas Tuak Setan', aku sanggup membunuhmu, Juga menginjak-injak kepala gurumu! "

"Nini ...! " bentak Suto dengan kemarahan meluap. Bentakan itu tiba-tiba mendatangkan angin kencang yang sempat membuat tubuh Nini Patung Jagat terpental mundur lebih dari lima tombak.

Brukk...! Ia jatuh di tanah dengan wajah tegang dan cemas.

"Edan! Membentak saja suaranya sampai bikin heboh bumi! Oh. batu itu menjadi pecah dan pohon itu pun kulitnya mengelupas?! Benar-benar sinting murid si Gila Tuak itu! Aku harus segera pergi!"

Tanpa banyak bicara lagi. Nini Pasung Jagat segera melarikan diri. Suto Sinting bergegas mengejarnya, karena ia takut Nini Pasung Jagat membunuh si Gila Tuak sebelum Pendekar Mabuk sempat membunuh perempuan tua itu.

3

Nenek tua yang ternyata usianya jauh lebih muda dari dugaan banyak orang itu, ternyata pula mempunyai kecepatan berlari seperti kilatan anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Suto Sinting mempunyai Jurus gerak siluman dalam melarikan diri, yang mempunyai kecepatan melebihi badai .Tetapi mungkin karena ia salah arah, sehingga ia kehilangan jejak Nini Pasung Jagat.

Terlalu lama ia mencari Nini Pasung Jagat, sehingga tanpa disadari kemarahan di dalam hatinya sudah menurun dengan sendirinya. Terutama setelah dalam hatinya menemukan suatu pendapat yang menenangkan jiwa, kemarahan itu menjadi susut sedikit demi sedikit.

"Sekalipun Nini Pasung Jagat bisa bertemu dengan Guru, tak mungkin ia bisa mengalahkan kesaktian Guru. Aku percaya, Guru tak akan kalah jika menghadapi amukan dendam cinta masa mudanya Nini Pasung Jagat. Bisa jadi Nini Pasung Jagat jatuh berlutut dan mengharapkan cinta pada Guru, karena Guru mempunyai Ilmu 'Sukma Kasmaran Tumbang '. Sudah berpuluh-puluh tahun Ilmu itu tidak digunakan oleh Guru, hanya semasa mudanya ilmu itu digunakan untuk menundukkan perempuan sejahat apa pun menjadi pasrah kepada beliau. Tapi jika sekarang guru masih mau gunakan ilmu itu, pasti Nini Pasung Jagat tidak akan bisa berkutik lagi ! "

Pendekar Mabuk bahkan tersenyum.

"Biarlah dua asmara usang bertemu lagi dalam kenangan masing-masing, Kurasa aku tak perlu mencemaskan keadaan Guru. Tapi... tapi bagaimana jika ilmu 'Sukma kasmaran Tumbang' itu sudah tidak dimiliki Guru lagi? Bukankah ilmu itu telah diwariskan kepadaku? Walau tak pernah kugunakan, tapi aku merasakan jelas kehadiran iImu 'Sukma Kasmaran Tumbang' itu. Dan... Guru bisa berbahaya dalam menghadapi Nini Pasung Jagat?!"

Gundahnya hati Suto saat itu, terbawa lelap di alam tidumya yang ada di atas pohon. Pada saat tidur itulah, segala amarah dan kecemasan mengendap diam di lubuk hati, tertutup oleh selaput ketenangan jiwa. Sehingga, pada saat ia bangun esok paginya, tak ada lagi kecemasan dan kegundahan selain hanya hasrat untuk menguntit kepergian Nini Pasung Jagat, ingin tahu apakah nenek tua itu pergi menemui si Gila Tuak, atau mencari benda yang dimaksud?

"Apa benda yang dimaksud itu? " pikir Suto Sinting . "Mengapa ia mendesakku untuk mendengar pesan yang diucapkan oleh Ki Padmanaba sebelum menghembuskan napas terakhirnya itu?!"

Dalam renungannya, Suto menjadi terngiang kata-kata Ki Padmanaba yang berbunyi, "Selamatkan pusaka Pucuk Cemara Tunggal dalam purnama...! ".

Suto bicara sendiri dengan suara pelan.

"Tak jelas apa maksudnya! Pusaka Pucuk Cemara Tunggal. . . pusaka bentuk apa itu? Di mana letaknya? Sepintas kelihatannya Ki Padmanaba menyuruhku menyelamatkan pusaka, tapi dimana aku harus menemukan pusaka itu, sebab ia tidak menyebutkan tempatnya. Apa yang dimaksud dalam purnama itu? Apakah aku harus pergi ke bulan untuk mendapat kan pusaka di sana? Mustahil sekali kedengaran! Tapi agaknya pusaka itulah yang diinginkan oleh Nini Pasung Jagat. Dan pasti pusaka itu sangat berbahaya Jika jatuh di tangan orang seperti Nini Pasung Jagat, sehingga Ki Padmanaba menyuruhku menyelamatkan pusaka tersebut. Ah, membingungkan sekali pesan terakhir Ki Padmanaba itu! Sungguh tak jelas ke mana arah langkahku untuk memenuhi pesannya tersebut, tak jelas apa yang harus kutemukan: kitab, pedang, tombak, keris, atau batu atau apa....? Dan anehnya, mengapa aku sejak saat itu jadi mempunyai kewajiban besar, yaitu kewajiban memenuhi pesan yang disampaikan menyerupai perintah tersebut? Mengapa aku jadi punya rasa harus menyelamatkan pusaka tersebut? Bukankah aku tidak menjadi pewaris pusaka itu dan tidak berhak memilikinya?!"

Luar biasa bingungnya Suto menghadapi teka-teki tersebut. Karena timbulnya perasaan aneh di dalam hatinya itulah yang membuat Pendekar Mabuk jadi repot sendiri memikirkan pusaka Pucuk Cemara Tunggal.

Suara hati kecil yang mengatakan, "Aku harus mendapatkan pusaka itu ! " adalah sebuah kata hati yang lahir tanpa kehendak hati nurani Suto sendiri. Sepertinya ada kekuatan yang memaksa Suto harus mencari pusaka itu dan menyelamatkannya dengan sekuat tenaga . Ini yang kadang membuat Pendekar Mabuk jadi bertanya tanya,

"Apakah arwah Ki Padmanaba bermukim dalam hati kecilku dan memerintahku seperti ini?!"

Renungan Pendekar Mabuk terhenti sebentar. Matanya melihat sekelabat manusia lewat menembus dedaunan semak hutan. Arahnya tidak menuju ke tempatnya. Tapi mata Suto tak bisa dibohongi, bahwa manusia yang berkelebat dengan pakaian kuning itu tak lain adalah seorang perempuan. Muda atau tua, belum bisa dipastikan. Hanya saja, melihat langkahnya yang cepat dan memburu itu, Suto menjadi ingin tahu, apa yang diburu oleh perempuan itu,

"Jangan-jangan ia dikejar oleh Nini Pasung Jagat?!" pikir Pendekar Mabuk yang membuat ia semakin ingin mengikuti perempuan berpakaian kuning gading itu.

Rupanya ia seorang gadis yang menyandangi pedang di punggungnya. Tubuhnya sekal, padat, tidak terlalu kurus, tidak pula gemuk. Rambutnya pendek berponi tanpa ikat kepala, Gerakannya cukup lincah. Gadis itu juga punya ilmu peringan tubuh yang bisa membuatnya melesat naik ke atas dahan sebuah pohon dengan satu kali kaki menjejak bumi. Bahkan ia mampu melompat dari dahan ke dahan tanpa timbulkan banyak suara. Sampai pada suatu saat, ia melompat turun dengan bersalto satu kali. Wuttt...! Jlegg....!

Ia mendarat di depan langkah seorang pemuda berwajah tampan dan bertubuh tegap, gagah, berambut pendek, dengan ikat kepala kuning emas. Pemuda itu mengenakan pakaian serba hijau, dengan ikat pinggangnya kain rajutan benang emas. Pedangnya ada di pinggang kiri.

Pemuda itu menghembuskan napas kesal melihat gadis berpakaian kuning gading itu tahu-tahu menghadang langkah di depannya. Ia tampak gemas namun kegemasan itu tertahan melalui hembusan napasnya yang mendengus tanda kesal hati nya.

"Mau apa lagi kau, Kirana?!" geram pemuda berpakaian hijau itu.

Si gadis yang ternyata bernama Kirana itu segera menjawab dengan wajah cemberut ketus,

"Jawab dulu pertanyaanku tadi! Ke mana kau akan pergi, Pranawijaya?! Kau tadi belum menjawab pertanyaanku tapi sudah kabur!"

Pranawijaya, pemuda tampan itu, tertawa kecil di sela kedongkolan hatinya, kemudian berkata,

"Kirana, aku sudah dewasa, sudah besar, sama halnya dengan dirimu. Ke mana aku akan pergi, tak perlu kau tahu, Kirana! Kau memang punya perhatian padaku! Tapi tidak harus mengetahui segala hal sekecil apa pun dari apa yang kulakukan. Kita sudah sama-sama dewasa,jangan sama sama mengusik 'pribadi masing-masing!"

"Hmmm. . . ! Kirana mencibir, semakin cantik ia jika mencibir dengan matanya yang bundar bening itu kian indah dipandangnya. Kirana berkata dengan wajah cemberut. "Pasti kau mau menemui Sedayu!"

Pranawijaya tersenyum, lalu tertawa dalam gumam dengan satu tangan bertolak pinggang,

"Kalau memang benar begitu, kau mau apa? ! " kata Pranawijaya .
"Jauhi dia!" Jawab Kirana dengan tegas dan ketus sekali.

Pranawijaya semakin memperpanjang tawanya.

"Dengar kataku, Prana!" bentak Kirana. Masih banyak perempuan lain yang layak kau jadikan sahabat atau layak kau cintai, tapi jangan Sedayu!"

"Cinta tidak bisa dirakit dan direncanakan, Kirana! Cinta tidak bisa diperintah, karena dia bergerak secara naluriah ! "

"Pokoknya jangan kau dekati lagi Sedayu!" bentak Kirana. "Aku justru tega membunuhmu jika kau bercinta dengan Sedayu. Prana!"

Berkerut dahi Pranawijaya memandang tajam matanya kepada Kirana yang tampaknya bersungguh-sungguh itu . Perasaan heran dipendam dalam hati Pranawijaya ketika ia berkata,

"Kau tak bisa melarangku, Kirana!"

"Aku melarangmu karena aku tak ingin membunuhmu! Tapi jika kau tak mau hiraukan laranganku itu maka jangan salahkan aku jika aku pun terpaksa tega membunuhmu. Prana!"

"Apa alasanmu? Apa alasanmu melarangku jatuh cinta pada Sedayu?"

"Kau tak perlu tahu alasanku!" ucap Kirana dengan wajah semakin kelihatan sangar-sangar cantik.

"Sedayu sangat baik padaku! Sedayu cantik dan ia mencintaiku juga, tapi ia tidak berani ucapkan sebelum aku mendului mengucapkan cintaku di depannya!"

"Tapi dia adalah perempuan iblis yang layak dibunuh!"
"Kirana!" sentak Pranawijaya kelihatan mulai geram kepada gadis berdada sekal dan montok itu.

"Jangan kau memancing perselisihan denganku, Kirana! Aku pun bisa tega membunuhmu kalau kau memusuhi Sedayu, mengerti?!"

"Kau pikir aku takut dengan gertakan dan ancamanmu?! "

" Hmm ........ ! Sama sekali tidak, Pranawijiya! Aku tetap akan membunuh Sedayu jika bertemu dengannya!"

"Kenapa?!" bentak Pranawijaya tak sabar lagi.

"Karena dialah yang membunuh guruku, Prana! Dia membunuh guruku dari belakang! Bukankah sikap seperti itu adalah sikap perempuan berjiwa iblis?!"

"Tutup mulutmu, Kirana?!" teriak Pranawijaya.

"Aku tak akan tutup mulut sebelum kau mau menuruti permintaanku, jangan dekati Sedayu dan jangan jatuh cinta dengan perempuan laknat itu! " kata Kirana dengan nada makin lama semakin tinggi.

"Soal dia membunuh gurumu, itu urusan pribadimu! Tak ada sangkut-pautnya dengan urusan pribadiku! Tak akan membuat aku berhenti mengejar cinta Sedayu!"

Kirana menghempaskan napas, mencoba menahan kemarahannya yang hampir saja meledakkan dada itu. Kemudian ia berkata dengan suara agak rendah,

"Kalau kau mencintai dia, sedangkan aku harus membunuhnya, itu berarti kau akan membela dia dan kau akan bertarung denganku!"

"Apa boleh buat!"

"Kau bilang kita punya urusan pribadi masing-masing dan tak boleh saling mencampuri! Lalu aku punya urusan pribadi dengan Sedayu karena dia membunuh guruku. Jika kau ikut campur apakah itu namanya bukan kau ikut campur urusan pribadi ku?"

"Karena urusan pribadimu menyangkut urusan pribadiku, Kirana! Cinta adalah sesuatu yang sangat pribadi, hingga terasa pantas jika harus dibela sampai mati!"

"Tahi kucing soal cinta!" bentak Kirana meninggi lagi suaranya.

"Mungkin dugaanmu tentang pembunuh gurumu itu salah, Kirana . Mungkin bukan Sedayu yang membunuhnya!"

"Jelas Sedayu yang membunuhnya ! la tinggalkan guruku setelah melemparkan tiga senjata rahasianya dari belakang. Guruku terkapar di bawah Cemara Tunggal, ia sangka saat itu Guru sudah mati, tapi ketika bertemu denganku, Guru masih sempat memberitahu siapa pelaku penyerangan itu. Setelah menyebutkan nama Sedayu. Guru pun wafat dan aku segera membawanya pergi dari Cemara Tunggal!"

"Ada apa gurumu ke Cemara Tunggal?"

"Itu urusan Guru, aku tidak tahu! Yang jelas sekarang, jauhi Sedayu atau kita bertarung lebih dulu sebelum tiba saatnya aku membunuh perempuan iblis itu!"

Srett. . . ! Kirana segera mencabut pedang dari punggungnya. Matanya telah memperlihatkan sikap bermusuhan yang siap tarung itu. Maka Pranawijaya pun melayaninya dengan mencabut pedangnya dari pinggang.

"Baiklah kalau kau memaksa, Kirana! Kusanggupi desakanmu ini! Bersiaplah untuk mati demi membela gurumu, Kirana!"

"Kau pun bersiaplah untuk mati demi membela perempuan liar yang bersekutu dengan orang-orang Kobra Hitam itu!"

"Omong kosong!" bentak Pranawijaya dengan marah sekali. Lalu,ia pun segera melompat maju dengan kilatan pedangnya menyambar dada Kirana. Dengan cepat Kirana menangkisnya dalam satu ke lebatan. Trangng...!

Begitu pedang tertangkis, kaki Kirana menjejak ke depan dengan kuatnya. Wuttt...! Beggh...!

Perut Pranawijaya menjadi sasaran empuk tendangan cepat itu. Pranawijaya mundur dua tindak. Tapi ia tidak merasa gentar sedikit pun. Ia kembali menebaskan pedangnya dengan satu sentakan kaki maju ke depan. Wuttt...!

Kirana menghindar ke samping hingga tebasan dari atas ke bawah yang seharusnya memenggal pundaknya itu terhindar jelas-jelas.

Kirana membalas dengan menebaskan pedang nya bertubi-tubi ke tubuh Pranawijaya. Kegeraman-nya tercurah sambil melontarkan pekik,

"Hiaaat....!"

Trang tang trang trang,..! Wugggh...! Trang! Behgg...! Plokk...!

Pukulan Pranawijaya mengenai wajah Kirana, tendangan kakinya yang memutar, menampar wajah itu juga. Kirana terhempas ke samping, dan jatuh dalam posisi tengkurap. Pada waktu itu Pranawijaya segera menebaskan pedangnya ke punggung Kirana sambil berteriak penuh amarah yang meluap,

"Demi cintaku pada Sedayu, aku terpaksa harus membunuhmu, Kirana. Hiaaat...!"

Wuttt...! Tubb...! "Aaaah...!"

Teriakan itu cukup keras dan mengejutkan. Bukan Kirana yang berteriak, melainkan Pranawijaya yang kesakitan sambil memegangi pergelangan tangannya, dan pedangnya sendiri jatuh ke tanah di depannya.

Kirana terkejut melihat Pranawijaya mengalami pembengkakan pada punggung tangan kanannya yang tadi dipakai menggenggam pedang itu. Punggung tangan tersebut menjadi bengkak dan membiru, Kirana tak tahu, bahwa pada saat Pranawijaya hendak mengayunkan pedangnya untuk membabat punggung, tiba-tiba sebulir batu kecil sebesar butiran jagung melayang dengan cepat. Mencelat dari satu sisi dan menghantam punggung lengan tersebut.

Pada saat itulah, Pranawijaya menjadi kesakitan, karena punggung tangannya bagaikan dihantam kuat kuat dengan sepotong besi baja. Sekujur tubuhnya terasa sakit, sepertinya ada urat yang ditarik dengan paksa. Rasa sakit itu membuat tubuh Prana-wijaya lemas sekejap, hingga pedangnya jatuh.

Ketika rasa sakit seluruh tubuhnya lenyap, kini se olah-olah semua rasa sakit bersarang di punggung tangannya.

Kirana yang merasa tidak melakukan hal itu segera membelalakkan mata dan berkata, "Siapa yang melakukan?!"

"Aku!" Jawab seseorang yang tahu-tahu sudah berada di belakang Kirana.

Cepat-cepat Kirana ber paling memandang ke belakang, dan dilihatnya seorang pemuda tampan seusia Pranawijaya telah berdiri dengan badan tegap, tinggi, dan wajah sangat menawan. Kirana terperanjat sesaat memandangi pemuda yang belum dikenalnya itu, kemudian wajah terperanjat itu berubah menjadi ketus dan berkesan benci.

Pranawij aya bergegas mengambil pedangnya dengan tangan kiri, kemudian berseru kepada si pelempar batu kerikil tadi, yang tak lain adalah Suto Sinting si Pendekar Mabuk. "Apa perlumu mengganggu urusan kami, heh?!" bentak Pranawijaya.

"Kau kejam! Kau ingin membunuhnya dari belakang!" Jawab Pendekar Mabuk. "Kalau memang kau kesatria berjiwa pendekar, hadapi dia dari depan, dan bunuh dia dari depan juga!"

"Persetan dengan omonganmu! Membunuhmu dari depan pun aku sanggup, Manusia usil! Hiaaat...! "

Pranawijaya menyerang Suto dengan menggunakan pedang di tangan kiri . Pedang itu ditebaskan ke perut Suto, tapi dengan sigap Pendekar Mabuk sedikit melompat mundur dan menangkisnya dengan gerakan bumbung yang sejak tadi sudah dijinjing nya itu. Trakk...!

Cepat-cepat pula tangan itu ditendang dari bawah oleh Suto Sinting. Plakkk..!

Tangan pemegang pedang tersentak naik ke atas bagaikan disambar petir dari bawah. Karena keras sentakan tangan itu, pedang yang digenggamnya terlempar ke belakang. Wurrsss..! Jrab!

Padang itu menancap ke tanah. Sedangkan Pendekar Mabuk cepat membuat gerakan berputar, dan kakinya menampar wajah Pranawijaya dengan kuat kuat Plakkk...!

Pranawijaya terjerembab ke belakang. Kepalanya membentur batu . Dugggh ...! Tulang pipinya yang menjadi sasaran, hingga tulang pipi itu sedikit bengkak memerah.

Semua gerakan yang dilakukan Suto begitu cepat dan tak tertangkap pandangan mata Pranawijaya maupun Kirana. Menyadari gerakan secepat itu dari lawannya, Pranawijaya segera menggunakan pukulan jarak jauh. Ia melepaskan pukulan lewat dua jari telunjuk dan jari tengah yang disentakkan ke depan, seperti dicolokkan ke alam bebas. Zlapp. zlapp...!

Dua sinar merah berbentuk pipih seperti dua lembar daun beringin, melesat mengarah ke tubuh Pendekar Mabuk. Tapi dengan gerakan cepat pula, Pendekar Mabuk menghadangkan bumbung tuak nya, sehingga dua sinar merah itu menghantam bumbung tuak tersebut.

Tubb tubb...! Wosss, wosss...!

Sinar merah itu membalik arah ke tempat semula dengan lebih cepat dan lebih besar. Pranawijaya terbeliak kaget, kemudian berguling-guling di rerumputan semak. Tetapi, satu dari dua sinar merah itu tak sempat dihindari. Sinar itu mengenai ujung pundak Pranawijaya. Desss....!

"Aahg...!" Pranawijaya memekik dengan mata terpejam dan mulut menganga, wajahnya menyeringai.

"Jahanam kau! Hiaaat...!" Kirana yang terkejut melihat Pranawijaya terkena pukulan balik itu menjadi naik pitam. Ia melompat dan menebaskan pedangnya ke leher Suto. Dengan cepat Suto Sinting merendahkan badan sambil menadahkan bumbung tuaknya menggunakan dua tangan.

Trakk...!

Pedang itu mengenai bumbung tuak. Benturan itu ternyata mempunyai saluran tenaga dalam yang cukup besar, sehingga tangan Kirana yang memegang pedang terlempar keras ke belakang, dan hampir saja copot dari engselnya jika tubuhnya tidak segera ikut terbawa terlempar dan jatuh berguling-guling.

"Kenapa kau justru menyerangku?! Aku membelamu. Bodoh!" sentak Suto yang merasa dongkol dengan sikap Karina. Dilihatnya ke arah Pranawijaya, ternyata pemuda itu sudah melarikan diri dengan cepatnya sambil mengambil pedangnya yang menancap di tanah.

"Pranaa...!" teriak Kirana. Tapi ia tak segera mengejarnya karena ia melihat Pendekar Mabuk bergegas mau mengejar, sehingga Kirana justru menghadang di depan Suto. "O, kau tak menghendaki pemuda itu kubawa kemari untuk meminta maaf kepadamu?!"

"Aku tak membutuhkan jasamu!" jawab Kirana dengan ketus.

"Aneh kau ini!"kata Suto sambil sunggingkan senyum di bibirnya. "Kau hampir mati. Aku menyelamatkan nyawamu, tapi kau justru memusuhiku? Begitukah caramu berterima kasih kepada seorang penolong?!"

"Aku tidak butuh pertotonganmu! teriak Kirana dengan gusar. Dia tidak mungkin membunuhku!" "Kenapa?"
"Dia kakakku!"

"Ooo...!" Suto mangut-mangut sambil membuka tutup bumbung tuak. "Tapi agaknya kau menghalangi cintanya tadi! Seseorang bisa gelap mata dan tak mengenal saudara jika sudah terganggu cintanya! Dia bisa menjadi buas dan liar seperti seekor binatang!"

"Persetan celotehmu! Aku harus mengejar Prana agar tidak menemui Sedayu dan membocorkan rencanaku!"

"Hei,. tunggu! Aku ingin tahu tentang Cemara Tunggal yang kau sebutkan tadi , Kirana!"

Kirana tidak peduli saat pemuda itu menyebut namanya, ia terus berlari mengejar Pranawijaya, kakaknya. Pendekar Mabuk meneguk tuak sebentar, kemudian segera mengejar Kirana dengan gerakan jurus silumannya. Zlappp...!

Dalam waktu sekejap, Suto Sinting sudah tiba di depan Kirana, membuat langkah gadis cantik itu ter henti dan terperanjat melihat Suto tahu-tahu sudah ada di depan langkahnya, antara lima tombak.

"Kau tadi kudengar menyebut nyebut tentang Cemara Tunggal! Aku ingin tahu tentang Cemara Tunggal itu, Kirana!"

"Tanyakan pada nenek moyangmu! Jangan ke padaku!" ketus Kirana sambil bergegas meninggal kan tempat. Tapi tangan Suto sempat meraih dan mencekal lengan Kirana, sehingga gadis itu terhenti dan mengibaskan pegangan tangan Suto dengan wajah masih cemberut.

"Jangan ganggu aku lagi! Kau dan aku tidak ada hubungan apa apa, dan tidak punya persoalan apa-apa!" kata Kirana.

"Percayalah padaku, Kirana...! Kalau kau berkeras hati melarang Pranawijaya bertemu dengan Sedayu, kau pasti akan dibunuh ! Kulihat cahaya cinta Pranawijaya pada Sedayu sangat berkobar-kobar. Kulihat kobaran itu tampak jelas di kedua matanya saat kau menghina Sedayu!"

"Aku tak peduli ! Dan ingat..., aku tak butuh per tolonganmu! Jangan melindungi aku!" sentak Kirana dengan amat ketus dan galak, ia sengaja bersikap begitu, karena sebenarnya ia merasa takut kepada hatinya sendiri. Hatinya saat itu berdebar-debar dan menimbulkan letupan-letupan keindahan pada saat memandang ketampanan Suto Sinting itu.

Kirana ingin membuang letupan indah itu agar ia tidak terperangkap oleh khayalannya sendiri dengan bersikap galak. Namun sikap galak itu justru membuat Suto Sinting melebarkan senyumannya, dan senyuman itulah yang menjadikan Kirana semakin gelisah dicekam keindahan yang nyaris menjerat hatinya.

Maka, dengan cepat ia pun melarikan diri menggunakan tenaga peringan tubuhnya. Dan Pendekar Mabuk mengejarnya terus, karena ingin tahu tentang Cemara Tunggal yang tadi ia dengar disebutkan Kirana.

4

Di Lereng Tudung Bumi sedang terjadi keributan. Lereng Tudung Bumi adalah tempat tinggal Sedayu bersama beberapa murid-murid peninggalan mendiang gurunya. Sejak gurunya wafat, Sedayu-lah yang berkuasa di perguruan tersebut dan menjadi guru bagi para murid yang pada umum-nya terdiri atas perempuan itu.

Tetapi saat ini, Perguruan Tudung Bumi sedang diserang oleh orang-orang dari Kobra Hitam, dipimpin langsung oleh Ekayana, yang berjuluk Malaikat Maha Pedang itu. Pada mulanya Ekayana hanya ingin menangkap Sedayu. Setidaknya ia ingin berbicara lebih dulu dengan Sedayu tentang pembunuhan beracun yang menewaskan orang-orang Kobra Hitam itu. Tetapi Sedayu menanggapinya dengan marah, karena beberapa orangnya Ekayana yang sudah mengepung perguruan itu dianggap sudah merupakan penyerangan dengan maksud tak baik.

Sedayu pun segera memerintahkan murid-muridnya untuk menyerang orang-orangnya Ekayana. Di depan Ekayana, Sedayu berkata,

"Serang mereka ! Jangan biarkan satu pun yang mengepung tempat kita! Itu sudah merupakan tindakan yang jelas bermusuhan!"

"Tunggu!" Ekayana berteriak. "Aku perlu bicara dulu padamu Sedayu! Kalau memang bisa, aku tak ingin ada pertumpahan darah di antara kita, Sedayu!"

"Kau telah mengawali pertumpahan darah dengan memotong telinga anak buahku yang berjaga di perbatasan, Ekayana!"

"Karena aku terpaksa dan perlu memberi pelajaran padanya!" jawab Ekayana membela diri.
Tapi Sedayu tetap berkata, "Itu sudah merupakan tantangan bagi kami!"
"Aku minta maaf!"
"Bisa kumaafkan, tapi harus kau ganti dengan daun telingamu sendiri yang harus kupotong!"
"Sedayu..?!" geram Ekayana.

Sedayu berseru kepada anak buahnya,
"Seraaang,..!"

Ekayana pun berteriak kepada anak buahnya,
"Hancurkan mereka!"

Maka, terjadilah pertempuran hebat antara kelompok Ekayana dengan kelompoknya Sedayu. Anehnya, Ekayana justru meninggalkan Sedayu dan membabat habis beberapa anak buah Sedayu. Sementara itu, Sedayu pun cukup banyak menewaskan anak buah Ekayana yang jumlahnya lebih dari dua puluh lima orang itu.

Sedayu mempunyai kekuatan pertahanan tak seimbang dengan orang-orang ganas dari Lembah Kabut, Perguruan Kobra Hitam itu. Dalam waktu tak terlalu lama, tinggal beberapa anak buahnya yang masih tersisa. Melihat keadaan begitu, Sedayu segera melarikan diri, dan Ekayana mengejarnya. Pedang yang sudah bermandikan darah itu masih tergenggam di tangan Sedayu dan Ekayana.

Pelarian Sedayu tiba di lereng sebuah bukit yang jarang ditumbuhi oleh pepohonan tinggi, hanya beberapa semak menggerumbul terpisah di sana-sini, bebatuan yang menjulang tinggi, dan rumput kering di sekelilingnya.

Di sana, Ekayana berhasil melepaskan pukulan jarak jauhnya yang membuat Sedayu terpelanting dan jatuh. Pelarian Sedayu untuk sementara waktu terhenti. Kini ia berhadapan dengan Ekayana, orang yang sering datang membawa segenggam kemesraan padanya, dan Sedayu pun sering memanfaatkan kemesraan itu sebagai pengisi hatinya yang kosong, sebagai pemuas dahaganya yang selalu kerontang jika tak jumpa Ekayana dalam sepekan.

Tapi agaknya kali ini Ekayana datang tidak membawa segenggam kemesraan, melainkan segenggam maut di ujung pedang. Sedayu sendiri siap mencabut maut tersebut dengan petaka yang sudah disiapkan di ujung pedangnya pula.

Pukulan jarak jauh itu hanya membuat nyeri di tulang belakang. Tapi Sedayu cepat mengatasi rata nyeri itu dengan menghirup napas panjang-panjang dan menahannya beberapa saat.

Perempuan berpakaian biru muda itu kini tegak di depan lelaki berpakaian kulit bulu beruang putih yang tanpa lengan, menyerupai rompi panjang itu. Mereka saling berpandangan mata tajam beberapa saat, kemudian Sedayu yang membuka suara lebih dulu,

"Tak kusangka kau keji padaku, Ekayana!"
"Karena kau pun kejam terhadapku, Sedayu!"
"Di mana letak kekejamanku padamu? Bukankah setiap kau datang aku selalu menyambutnya dengan hangat?"

"Tapi kau punya rencana busuk di balik kehangatan cintamu, Sedayu! Kau telah menyebar racun di antara orang-orangku, sehingga cukup banyak jumlah yang mati termakan racun Getah Tengkorak yang kau sebar di Lembah Kabut itu!"

"Apa yang kau bicarakan sebenarnya, Ekayana?! Kau seperti bayi yang tidur siang hari dan sedang mengigau! " kata Sedayu sambil berkerut dahi menandakan keheranannya.

Ekayana menahan luapan amarahnya sambil sesekali menggelutukkan giginya, dan berkata kepada Sedayu,

"Jangan berpura-pura bodoh, Sedayu! Pasti akulah sasaran yang akan kau bunuh, karena kau sudah bosan padaku! Kau ingin menyingkirkan diriku, dan sekaligus ingin menjadikan perguruanmu menjadi terkuat di jajaran Tanah Selatan ini. Lalu kau sebarkan racun itu pada malam hari! Entah siapa yang kau suruh, tapi aku yakin kau ada di balik racun itu Sedayu!"

"Kurobek mulutmu jika berani bicara selancang itu lagi, Ekayana!" geram perempuan berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu. "Aku tak punya tindakan sebodoh itu! Kalau aku mau, cukup dengan membunuhmu, aku bisa menggemparkan dunia persilatan di Jajaran Tanah Selatan!"

"Kalau kau tak bersalah, kau tak akan lari, Sedayu! Dan kemana arah tujuanmu melarikan diri, sudah dapat kuketahui! Pasti kau akan minta bantuan kepada Pranawijaya! Pria itu yang sekarang mengisi hatimu. bukan?!"

"Tutup mulutmu, Ekayana!" bentak Sedayu dengan gusar. Ekayana tertawa keras hingga tubuhnya terguncang-guncang. Ia kegirangan melihat wajah Sedayu menjadi merah karena tertebak hatinya. Tapi ia tak tahu bahwa hal itu justru membuat Sedayu menjadi bertambah benci dan murka kepadanya. Karena itu, Sedayu pun segera melepaskan serangan pedangnya lebih dulu. "Hiaaah...!"

Wusss...! Pedang Sedayu menebas leher Ekayana, tapi dengan cepat Ekayana tahu-tahu sudah berada di belakang Sedayu. Pedangnya ditebaskan dari atas ke bawah dengan tujuan membelah punggung Sedayu. Tetapi, Sedayu sudah lebih dulu berputar balik, sambil kelebatkan arah pedangnya ke arah Ekayana. Trangng...!

Pedang Ekayana yang hampir membelah tubuh Sedayu itu berhasil ditangkis. Tetapi, Ekayana segera memutar badan dan sentakkan kaki .

Wuttt...! Wess.,.! Plok!

Wajah Sedayu terkena tendangan kuat. Terlambat sedikit saja kaki Ekayana bergerak mundur setelah menendang, maka ia akan menjadi buntung dibabat pedang Sedayu. Tapi karena gerakan kaki begitu cepatnya, maka wajah Sedayulah yang menjadi sasaran, membuat Sedayu terpental antara tujuh langkah jauhnya.

Pada saat Sedayu dalam keadaan bergegas bangkit, Ekayana sudah menusukkan pedangnya dari jarak jauh. Maka, seberkas sinar kuning melesat dari ujung pedang itu. Zlappp...!

Sinar kuning seperti kumpulan benang-benang kasur itu menghantam tubuh Sedayu.

Tetapi sebelum sempat mencapai tubuh Sedayu, seberkas sinar putih perak melesat dan mematahkan gerakan sinar kuning tersebut. Duarrr...!

Tubuh Sedayu jatuh tersungkur lagi karena gelombang ledakan itu menghentak kuat. Ia terguling-guling tiga kali, kemudian segera berpegangan pada salah satu sisi batu. Ia menghempaskan napas kelelahan di sana, kemudian cepat bangkit berdiri dengan bersiap menyerang Ekayana. Tapi alangkah terkejutnya Sedayu setelah mengetahui, ternyata di depannya ada Pranawijaya yang sedang memunggungi, dan berhadapan dengan Ekayana.

Sedayu segera berseru,

"Pranawijaya, menyingkirlah! Biar kuhadapi dia!" Pranawijaya menjawab dengan tanpa memandang Sedayu, tapi menatap Ekayana yang tampak menyunggingkan senyum tipis sambil mengusap-usap kumis tipis di wajahnya.

"Istirahatlah, Sedayu! Orang ini bagianku!"

"Aha...! Seorang ksatria datang mau menolong tuan putri yang cantik?! Duhai. . . . seperti dongeng sebelum bayi tidur saja! Ha ha ha ha...!"

"Tutup bacotmu, Ekayana! Kita selesaikan perkara ini secara jantan...!"tantang Pranawijaya sambil mencabut pedangnya. Dalam hati ia menggerutu,

"Sial! Gara-gara tanganku masih memar akibat terlempar kerikil di sana, pegangan pedangku masih belum begitu kuat! Tapi lumayan, luka di pundakku sudah bisa kusembuhkah dengan hawa murniku sendiri, walaupun masih terasa mengilukan tulang sebelah kanan...,"

Terdengar suara Ekayana berseru, " Orang gendeng. ...! Kalau kau sudah bosan hidup, majulah, biar perempuan itu tahu bagaimana cara membelah kepalamu seperti membelah sebuah semangka!"

"Kau benar-benar manusia banyak bacot, Ekayana! Heaaah....!"

Ekayana diam saja ketika Pranawijaya maju menyerang dalam satu lompatan. Pedang segera ditebaskan. Tapi serta-merta Ekayana bergerak menangkis dengan cepat sekali.

Trang...! Brett..!

"Auuhg...!" Pranawijaya terpekik. Gerakan pedang Ekayana yang berkelebat cepat itu merobek perut Pranawijaya.

Segera tangan kiri Pranawijaya mendekap lukanya dengan jatuh terlutut di tanah. Kalau pada saat itu, Ekayana segera menyerang, ia pasti bisa dengan mudah memenggal kepala Pranawijaya.

Tetapi Ekayana segera meninggalkan Pranawijaya, karena dilihatnya Sedayu segera melarikan diri begitu melihat Pranawijaya terkena sabetan pedang lawan. Ekayana berlari mengejar Sedayu sambil berseru,

"Jangan lari kau, Sedayu...! Aku tak akan kehilangan jejakmu walau kau lari ke lubang semut sekalipun!"

Pranawijaya tak bisa mengejar Ekayana. Ingin rasanya ia menahan pemuda itu agar tidak mengejar Sedayu. Tetapi luka di perutnya itu cukup membuat ia gemetar sekujur tubuh dan panas dingin. Maka, segera ia mencari tempat dan melakukan semadi secepatnya, ia memompa hawa muminya ke perut, supaya lukanya tak menjadi parah. Toh luka itu sendiri tidak sampai ke bagian yang paling dalam. Masih bisa disembuhkan dengan hawa murninya.

Sementara itu, Ekayana benar-benar tak memberi kesempatan Sedayu untuk melarikan diri, ia berhasil mencegat Sedayu di tanah datar berpepohonan lebat itu. Sedayu terpaksa menghentikan langkahnya dan kembali bersiap menghadapi pedang Ekayana. Dalam hati Sedayu pun mengakui kehebatan pedang Ekayana,

"Gerakan pedang orang ini memang hebat. Rasa-rasanya aku sedang dipermainkan olehnya! Kalau dia mau, dia bisa membunuhku saat Pranawijaya belum datang! Buktinya, ia bisa lukai Pranawijaya dengan secepat itu!"

"Sedayu!" seru Ekayana. "Mau lari ke mana lagi? Ke tempat yang rimbun? Merayuku untuk bercumbu? Oh. tidak! Tidak bisa, Sedayu! Saat ini bukan saat bercumbu, tapi saatku membalas kematian orang orangku yang kau musnahkan dengan racunmu itu!"

"Aku tidak melakukannya !" bentak Sedayu. Tapi kalau kau tetap menganggapku begitu, apa pun keinginanmu akan kulayani! Jangan anggap hanya kau yang jago main pedang! Aku pun bisa menandingi-mu!"

"Bagus ! Aku lebih suka membunuh orang yang punya ilmu pedang, daripada yang hanya punya ilmu memuncakkan gairah! He he he...!"

"Manusia berotak kotor! Terimalah pedang 'Jegal Baja'-ku ini! Hiaaat!" Sedayu melompat menyerang, pedangnya menebas cepat ke kiri dan ke kanan bagai membuat garis silang beberapa kali. Ekayana sempat mundur dua tindak, kemudian dengan cepat ia kelebatkan pedangnya dari bawah ke atas. Wrruttt....! Trangng...!

Pedang Sedayu terpental melayang jauh. Perempuan itu menjadi tegang karena tanpa pedang lagi di tangannya.

Ekayana tersenyum menang. Tapi segera ia menghentakkan kakinya ke depan, melangkah satu kali dan pedangnya menebas miring dari bawah kanan ke atas kiri. Wesst...! Trangngng...!

Sepotong dahan kering melesat menghalangi gerakan pedang itu. Sepotong dahan itu terbelah menjadi dua, padahal seharusnya dada Sedayu yang sekal itu yang terbelah menjadi dua. Ada seseorang yang menyerang dan melemparkan sebatang dahan itu. Ekayana segera mencari orang itu ke samping kanan-kiri.

Tapi ketika ia menengok ke belakang, tiba-tiba sebuah kaki menjejak wajahnya dengan sangat kuat dan cepat.

Plokk...!

"Uhff...!" Ekayana terpental ke belakang, jatuh terkapar di rerumputan. Dengan cepat ia kibaskan pedangnya sambil tiduran ketika sebatang tongkat hendak menancap di dadanya. Trakk...! Lalu, dengan sentakan pinggang, Ekayana melenting naik dan berdiri dengan tegap lagi . Kedua tangannya menggenggam pedang, matanya melirik taj am ke arah seseorang yang ada di samping kirinya.

"Bangsat tua ...! Kau rupanya!" geram Ekayana yang sudah mengenali tokoh tua bertongkat itu tak lain adalah Nini Pasung Jagat.

5

TERLINTAS dugaan kuat di dalam pikiran Ekayana, "Jangan-jangan nenek tua ini yang menabur racun di Lembah Kabut?! Karena sudah tiga kal dia bentrok denganku, satu kali bentrok dengan Brajawisnu!"

Ekayana membiarkan Sedayu mencari pedangnya yang mental tadi. Kini perhatian Ekayana lebih tertuju kepada tokoh tua yang sudah lama dikenal nya. Bahkan sama seperti dulu, setiap bertemu dengan tokoh tua itu, sepertinya bentrokan harus terjadi dan tak pernah bisa dielakkan. Kali ini pun tokoh tua itu sudah memancarkan sinar permusuhan di dalam tatapan matanya yang cekung dan angker itu.

"Kakekmu sudah kubantai mati!" kata Nini Pasung Jagat.

Terperanjat Ekayana mendengarnya. Jantungnya bagaikan mau berhenti saat itu juga. Tapi ia bertahan untuk tenang dan membantah pengakuan tersebut dengan berkala,

"Tidak mungkin! Kau tidak mungkin unggul melawan kakekku!"

"Padmanaba tidak ada sekuku hitamnya jika dibandingkan dengan kesaktianku, Ekayana! Tengoklah di pesisir, barangkali bangkainya masih tersisa beberapa bagian, kalau belum habis dimakan burung!"

"Tidak mungkin!" bentak Ekayana mlaui naik pitam. "Mungkin saja! Sebab dia tidak mau tunjukkan padaku di mana dia simpan pusaka itu?! Dia tidak mau serahkan pusaka peninggalan guru kami, sehingga dia serahkan nyawanya secara cuma-cuma ! Hik, hik, hik hik ....! "

Nini Pasung Jagat tertawa terkikik-kikik. Ekayana menggeram. Dadanya naik turun karena napasnya terengah-engah menahan luapan amarah. Bahkan ia biarkan Sedayu yang diam-diam melarikan diri darinya.

"Agaknya memang benar pengakuan itu, " kata Ekayana di dalam hatinya.

" Kakek selama ini tidak tahu apa yang kulakukan di dalam tubuh Perkumpulan Kobra Hitam ini! Kakek selama ini menganggapku sebagai orang baik-baik yang layak menerima sebuah pusaka jika memang waktunya tiba dan dirasakan sudah saatnya harus ada di tanganku. Kakek pernah bilang, bahwa pusaka itu diincar terus oleh Nini Pasung Jagat. Rupanya sekaranglah saatnya bagi si nenek tua ini untuk mendesak Kakek Padmanaba untuk mendapatkan pusaka itu, dan aku percaya kalau Kakak Padmanaba mempertahankan sampai mati! Tapi aku tak pernah tahu. apa dan di mana pusaka itu sebenarnya. Kakek tak pernah mau menceritakannya kepadaku, sekalipun aku adalah cucu kesayangannya!"

Nini Pasung Jagat segera lontarkan kata kepada Ekayana yang menatapnya dalam bungkam, tak berkedip, dan tetap menggenggam pedangnya yang siap tebas itu.

"kalau kau seorang cucu yang cerdas dan pintar, kau tentunya tidak akan mengikuti jejak kakek mu yang bodoh itu! Kalau kakekmu bertahan sampai kehilangan nyawanya dan tak mau serahkan pusaka itu, tentunya kau tak akan ikut-ikutan menyerahkan nyawa kepadaku jika aku inginkan pusaka itu, Ekayana. Bukankah begitu. Nak?!"

"Persetan dengan bujukanmu! Aku tak tahu-menahu tentang putaka itu!" bentak Ekayana dengan marahnya.

"Yang kupikirkan sekarang, bagaimana menanam mayatmu nanti jika kau telah kupotong-potong dalam satu jurus pedangku ini!"

"Hi hi ni hik...!" Nini Pasung Jagat menertawakan. Bocah ingusan seperti kamu berlagak mau menggertak ku yang tua begini? O, alaa. . Nak, Nak! Sadarlah bahwa nyawamu tadi sudah di ujung tongkatku ini! Kalau aku tidak kasihan padamu, sudah melayang sejak tadi sukmamu itu, Ekayana! Tapi karena aku yakin, kau pasti tahu di mana pusaka itu disimpan, maka kuharap kau mau menyebutkannya, walau tak harus mengambilnya sendiri. Biarlah aku yang mengambilnya!"

"Dasar Nenek budek! Sudah kubilang, aku tak tahu menahu tentang pusaka itu, tapi masih saja memancing kemarahanku untuk segera meledak sekarang juga! Kalau memang itu maumu, terimalah jurus 'Pedang Pembelah Petir' ini, heaaah...!"

Wusss...! Wuttt...!

Ekayana melompat menyerang dengan cepat. Pedangnya ditebaskan dalam beberapa gerakan tapi kelihatannya hanya satu gerakan. Dan hal itu membuat Nini Pasung Jagat tersentak mundur lalu ber salto ke belakang satu kali dan ganti menebaskan tongkatnya untuk menggempur kepala Ekayana, Wuesss...!

Dengan lincah Ekayana bergerak ke samping dan mengirimkan tendangan miring kepada lawan nya.

Wuttt...! Degg...!

Tendangan itu ditahan dengan kepala tongkat, kemudian kepala tongkat menyodok ke depan mengikut gerakan kaki Ekayana. Buhgg...!

"Ehg...! Ekayana mendelik, perutnya bagai di sodok dengan batu sebesar gunung. Ia terpental ke belakang hingga berguling-guling dan membentur pohon tubuhnya. Ekayana tak bisa bernapas dalam beberapa kejap. Nini Pasung Jagat menyerangnya lagi sebelum anak muda itu kelihatan segar kembali . Kali ini ia melepaskan pukulan tenaga dalam melalui sentakan tangan kirinya. Wuttt..!

Sinar merah terlepas dan melesat menghantam Ekayana, Tapi oleh Ekayana sinar itu ditangkisnya dengan menghadangkan pedangnya di depan wajah. Pedang itu keluarkan cahaya perak berkilauan, seluruh tubuh pedang yang memancar membentuk perisai. Dan sinar merah itu menghantam cahaya perak yang berkilauan dengan kuat. Blarrr...!

Mau tak mau Ekayana kembali terpekik tertahan, karena gelombang ledakan itu sangat kuat menghantam dadanya, sementara Nini Pasung Jagat hanya tersentak mundur antara tiga tindak, ia terhuyung-huyung mau jatuh, namun buru-buru bertahan pada sebuah pohon besar.

"Edan! Pukulan apa tadi yang dilepaskannya padaku?!" pikir Ekayana sambil bergegas bangkit dengan melalui rambatan pada sebatang pohon. "Kulit tubuhku terasa mau pecah dan tercabik-cabik terhantam ledakannya tadi. Untung aku bisa menahannya, kalau tidak, habislah riwayatku tadi! Agaknya ia cukup tangguh untuk ditumbangkan! Ia bisa lolos dari gerakan jurus '"Pedang Pembelah Petir"tadi. Biasanya lawan yang kuserang dengan jurus itu. tubuhnya akan terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Jurus itu sukar dihindari atau ditangkis! Tapi nenek tua itu ternyata mampu menyelamatkan diri dari jurus pedangku itu! Luar biasa!"

Napas dihela dalam-dalam beberapa kali. Ekayana memandang kanan-kiri, melihat arah pelarian Sedayu sambil berpikir,

"Bimbang juga pikiranku, Sedayu atau nenek tua ini yang sebenarnya menaburkan racun Getah Tengkorak?! Jika nenek ini yang berbuat, mengapa Sedayu melarikan diri? Pasti dia menghindar dari maut karena merasa bersalah! Kalau begitu, Sedayu saja yang kucecer lebih dulu! Urusan nenek edan ini nanti saja, setelah kuselesaikan urusanku dengan Sedayu, baru aku menuntut balas atas kemauan kakek dari tangan si nenek edan ini!"

Tiba-tiba terdengar suara Nini Pasung Jagat menyentak keras,

"Ekayana! Kalau kau bersikeras ingin menyerahkan nyawa daripada menyerahkan pusaka itu, maka terimalah jurus 'Rembulan Jantan' ini, hiaaah...!"

Sebuah pukulan tongkat yang memutar memercikkan cahaya kuning bagai piringan. Cahaya kuning itu melayang, melesat cepat dalam keadaan datar. Clappp...!

Begitu cepatnya sampai-sampai tak memberi kesempatan Ekayana untuk menarik napas, ia segara kibaskan pedangnya dengan memutar di atas kepala juga, dan dari kibasan itu keluar percikan sinar merah yang membentuk piringan bundar pula. Clapp...! Blarrr...! Glarrr...!

Begitu dahsyatnya ledakan itu hingga bisa terjadi dua kali. Itu karena kedua sinar maut sama sama berkekuatan tinggi dan sama sama ingin tetap menyerang lawan. Akibatnya ledakan kedua adalah ledakan penghabisan dari sebuah serangan yang dahsyat.

Dua kali ledakan dahsyat itu membuat Nini Pasung Jagat terpental dan tubuhnya jatuh terjepit di sela dua pohon yang merapat tumbuhnya itu. Sementara Ekayana jatuh di atas semak semak berduri yang rimbun.

Tubuhnya tergores duri bagai disergap mata pisau ratusan buah. Untunglah Ekayana cepat gunakan ilmu peringan tubuhnya, sehingga duri duri itu tidak sempat menancap di kulit tubuhnya dan ia segera melesat lompat dari sana. Sementara itu, Nini Pasung Jagat terpaksa menghentakkan kedua tangannya ke kanan kiri dan merubuhkan dua pohon itu sekaligus dalam satu kali hentakan kuat.

Krakkk...Brukk! Grubukkk...!

Kalau tidak begitu, ia tidak bisa lepas dari himpitan dua pohon yang tumbuhnya merapat itu. Ia tersangkut dan terjepit kuat hingga sukar meloloskan diri dengan cara wajar. Melihat Nini Pasung Jagat berusaha meloloskan diri, Ekayana segera sentakkan kakinya dan melesat pergi tinggalkan tempat.

Saat itu Nini Pasung Jagat tidak melihat gerakan minggat Ekayana. Ia hanya tertegun bingung dan celingak-celinguk begitu bisa lepas dari dua pohon yang menghimpitnya itu. Ia mencari-cari Ekayana yang disangka mati di suatu tempat. Namun begitu ia melihat kelebatan Ekayana di kej auhan sana, ia pun menggeram sambil memukulkan tongkatnya ke tanah. Setelah itu segera mengejar Ekayana sambil berkata dalam hati.

"Anak itu harus kutemukan, harus kutangkap! Tidak akan kubunuh sebelum kupaksa ia menjawab di mana pusaka kakeknya itu berada! Jika memang ia tak tahu atau tetap ngotot, terpaksa harus kubunuh daripada kelak ia membokongku dari belakang! Sudah tentu ia tidak akan tinggal diam setelah tahu akulah yang membunuh kakeknya!"

Kalau tidak karena punya dugaan kuat kepada Sedayu sebagai orang penyebar racun di Lembah Kabut, Ekayana pasti akan menggempur terus ke adaan Nini Pasung Jagat tadi. Tapi kali ini agaknya ia harus melupakan hal itu dan mengejar sedayu dengan mengandalkan gerak nalurinya.

Sayang di penjalanan ia sempat melihat Tanjung Bagus, yang berambut panjang selewat punggung, memakai bunga kemboja putih di atas telinga kanan nya. Cepat-cepat Ekayana menghampiri lelaki yang berdandanan wanita, dengan wajah cantik dan ber kesan binal itu. Pakaian pinjung sebatas dada menutupi gundukan daging yang tak seberapa besar tapi berkesan montok. Celana dan pinjung ketat warna kuning itu dirangkapi kain jubah warna merah jambu.

*****