Pendekar Mabuk 24 - Malaikat Jubah Keramat(2)



  Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba.
Sinar hijau tadi melesat lagi, dan kali ini Marta Kumba menyentakkan tangannya pula dan dari tangan itu keluar sinar merah yang menghantam sinar hijau. Blarrr...!

Wuuttt...! Brruskk...!

Tubuh Marta Kumba terpental lagi dan jatuh terguling-guling akibat gelombang ledakan yang amat besar dan kuat menyentak tubuhnya. Sedangkan Gandarwo hanya terbahak-bahak dan tetap berdiri di tempatnya dengan kokoh.

Wuttt... crasss...! Pedang Ratna Prawitasari menebas dan melukai lengan Gandarwo. Lelaki besar itu tersentak kaget dan mendelik melihat lengannya berdarah. Wajahnya yang angker menjadi semakin menyeramkan. Kemudian ia menggeram dan mencabut kapaknya.

"Gggrrrr...! Kau telah berani melukaiku, Gadis Dungu!"

"Karena kau melukai dia lagi!" kata Ratna Prawitasari sambil menuding Marta Kumba yang berdarah lagi mulutnya, tapi tidak separah tadi.

"Kalau begitu kalian berdua akan kulumatkan menjadi satu!"
"Lakukanlah!" sentak Ratna Prawitasari dengan tak sabar.

"Heaaah...!"

Gandarwo segera menebaskan kapaknya ke samping kiri untuk memenggal kepala Ratna Prawitasari. Tetapi Ratna Prawitasari segera membungkuk dan menebaskan pedangnya ke arah perut Gandarwo.

Wuttt...! Wuttt...!

Serangan mereka sama-sama meleset ke sasaran. Lalu, kaki Gandarwo menyentak maju menendang Ratna Prawitasari dengan tendangan miring. Ratna Prawitasari menangkisnya dengan tangan kiri. Debb...! Wuttt!
Ratna Prawitasari terpental jauh. Tenaga tendang itu amat besar, bukan saja menyentakkan tubuh Ratna Prawitasari, namun juga membuat tulang lengan yang dipakai menangkis itu terasa mau patah.

Dalam keadaan duduk, Marta Kumba melepaskan pukulan jarak jauhnya yang memancarkan seberkas sinar merah. Tapi sinar merah itu dihantam dengan sinar biru yang keluar dari ujung kapak Gandarwo.

Debb...! Blarrr...!

Zzrruttt...! Tubuh Marta Kumba terdorong cepat dalam keadaan tetap duduk, membuat pasir-pasir pantai berserakan dan akhirnya berhenti karena punggungnya membentur batu. Deggh...!

"Aaauh...!" Marta Kumba mengerang kesakitan. Tubuhnya menjadi satu dengan pasir pantai.

Melihat keadaan Marta Kumba diperlakukan demikian, kemarahan Ratna Prawitasari semakin bertambah. Dengan satu sentakan kaki, tubuhnya melenting di udara dan bersalto satu kali. Tubuh itu melayang melewati kepala Gandarwo, kemudian kaki Ratna Prawitasari menendang ke belakang dan tepat mengeni! bagian belakang kepala Gandarwo.

Duhgg... !

Gubruugg...! Tubuh besar itu tumbang, terguling ke depan karena tendangan yang amat kuat. Orang yang berambut acak-acakan itu segera mengibaskan kepalanya satu kali, membuang pening yang tiba-tiba menyerangnya itu.

Ia berdiri dan mencari sasarannya. Namun, Ratna Prawitasari segera melepaskan pukulan jarak jauhnya dengan sentakan pendek tangan kirinya. Wuttt... ! Zlaappp... !

Warna merah seperti bola api menyala dan berukuran satu genggaman tangan itu melesat menghantam dada Gandarwo. Dasss...!

"Uhhgg...!" Gandarwo mendelik, mulutnya ternganga, ia bagai mengalami kesulitan bernapas. Tapi dada yang terkena pukulan merah itu menjadi berasap putih. Hangus sebagian dada itu.

"Hiaaat...!" Ratna Prawitasari memekik sambil melompat, lalu ia menyerang bersama kibasan pedangnya.
Trangng...! Kapak Gandarwo masih sempat berkelebat menangkis, tapi kaki Ratna Prawitasari dengan cepat menendang bawah ketiak lawan dengan sentakan bertenaga dalam cukup tinggi. Duesss...!

"Haagh...!" Gandarwo semakin terpekik tertahan dalam keadaan tubuh besarnya melesat terpental ke belakang. Ia jatuh bergedebuk dan berguling-guling, kemudian di sana ia memuntahkan darah dari mulutnya.

Pada waktu itu, Ratna Prawitasari sudah memekik lagi,

"Hiaaattt...!"

Melihat Ratna Prawitasari mau menyerang kembali, Gandarwo segera berdiri dan melompat pergi dengan cepat-cepat, ia melarikan diri dan Ratna Prawitasari yang penasaran dan marah karena melihat Marta Kumba diperlakukan seperti tadi, segera mengejarnya dengan seruan keras,

"Jangan lari kau, Manusia angker...! Kau telah melukai dia dan harus kau tebus dengan nyawamu, iblis...!!"

"Ratna, sudahlah!" seru Marta Kumba yang segera bergegas ikut berlari juga walau tak bisa cepat karena pinggang dan punggungnya masih terasa sakit. Tapi seruan itu tidak dihiraukan Ratna Prawitasari, dan gadis itu tetap memburu lawannya dengan pedang siap di tangan.

Gandarwo menjadi ketakutan melihat gadis muda itu mengamuk tak kenal kata ampun. Maka, dengan sekuat tenaga Gandarwo pun menyelamatkan diri. Sebab ia tahu, gadis itu bernafsu sekali untuk membunuhnya, dan ternyata ia punya ilmu cukup tinggi juga.

Kejap berikutnya, Gandarwo menemukan celah sempit di sebuah tebing karang bercadas putih. Dengan agak susah payah ia masuk ke dalam celah sempit yang menurut dugaannya sebuah gua kecil.

Slepp...! Gandarwo merapatkan tubuh ke balik celah sempit itu dengan kapak siap menghadang. Jika musuhnya mengetahui ia masuk ke situ dan musuhnya ikut masuk, maka ia siap menyambutnya dengan tebasan kapaknya yang sudah pasti akan mengenai sasaran tak kenal ampun lagi.

Ratna Prawitasari tahu lawannya masuk di celah sempit itu. Tapi ia tak segera mengejarnya masuk. Marta Kumba menyusul dari belakang dan berkata,

"Sudahlah, biarkan ia lari!"
"Dia patut mendapat hajaran lebih banyak lagi supaya tidak berani berbuat seenaknya lagi kepadamu!"
"Lukaku tak seberapa parah, Ratna!"
"Tapi aku belum puas jika dia belum bertekuk lutut d! depanmu dan mengharapkan ampunan darimu!"
"Terserah kamulah...!" Marta Kumba pasrah.
"Kulihat dia masuk ke dalam gua itu!"
"Kau akan dihadangnya di sana!"

"Ya, aku tahu! Sebaiknya kututup saja pintu gua yang sempit itu!"

Ratna Prawitasari segera sentakkan tangan kirinya lurus ke depan. Wuttt...! Dan sinar biru melesat ke atas, menggempur cadas bercampur karang yang ada di atas lubang gua itu. Blarrr...!

Wurrrr... ! Grubuk grubuk grubuk... !

Reruntuhan cadas bercampur karang itu menimbun celah sempit tersebut dan menutup rapat. Bahkan sebongkah batu jatuh di depan mulut gua dan membuat mulut gua semakin kuat tertutup batu besar. Tak sembarang orang bisa mendorong batu tersebut, sebab bagian yang runcing menancap masuk ke dalam celah, menutup dan mengunci.

Marta Kumba berkata, "Kalau begitu caranya, dia tidak akan bisa keluar dari gua itu, Ratna!"

"Biar! Biar dia mati di sana. Kurasa gua itu adalah sarang ular berbisa! Orang ganas macam dia memang layak mati dimakan ular, daripada kerjanya mengganggu perempuan-perempuan lemah!"

"Rupanya kau kena dia, Ratna?!"

"Ya. Dia yang bernama Gandarwo! Setiap dia masuk kampung, penduduk menjadi ketakutan, masuk pasar, pasar jadi bubar! Dialah biang keributan dan momok bagi masyarakat di mana ia berada!"

Ratna Prawitasari menghembuskan napas kecapekan, ia duduk di atas batang pohon yang telah tumbang beberapa waktu lamanya. Marta Kumba pun duduk di sampingnya, dan Ratna Prawitasari memandangi dari arah samping.

"Sakitkah tubuhmu?"
"Tak seberapa sakit. Hanya tulang punggungku yang terasa mau patah akibat terbentur batu besar tadi."
"Coba lihat, membaliklah ke sana...!"

Marta Kumba membalikkan badan. Ratna Prawitasari memijat bagian tulang punggung yang ada di belakang leher. Rupanya tulang punggung itu dipegang ujungnya, dan dari jari tangan yang menekan ujung tulang punggung memancar tenaga inti hawa murni. Terasa oleh Marta Kumba gerakan halus yang meresap dingin sampai ke tulang ekornya di bagian dekat pantat.

Beberapa saat kemudian, rasa sakit itu pun hilang dan tubuh Marta Kumba menjadi terasa segar, ia bergerak membungkuk maupun meliuk ke kanan-kiri, terasa enteng tanpa rasa sakit.

"Hebat! Rupanya kau anak tabib, Ratna?!"
"Mungkin," jawab Ratna Prawitasari dengan ketus bersikap acuh tak acuh. "Sekarang sudah enak?"

"Terasa lebih enak dari sebelumnya!"
"Kalau begitu, kita lanjutkan pertarungan kita!"
"Aku... aku... aku tak sanggup!"

Ratna Prawitasari berdiri. "Harus sanggup!" katanya tegas.

"Tidak, Ratna! Kalau kau mau pukul aku, pukullah! Kalau kau mau bunuh aku, bunuhlah! Tapi jangan paksa aku melawanmu!"

"Kita bertarung demi memperebutkan jubah keramat itu!"

"Tidak! Aku tidak ingin memperebutkan lagi! Kalau kau mau memiliki jubah itu, aku akan bantu mencarikan tempat masuk ke dalam ruang bawah tanah itu!"

"Kenapa kau jadi tidak ingin memiliki jubah keramat itu?!"
"Lebih baik kau yang memilikinya daripada aku harus bertarung dan harus melukaimu!"
"Kenapa?!" bentak Ratna Prawitasari keras.

"Karena... karena aku tak tahu mengapa aku jadi begini. Aku... mungkin kata orang, aku sedang jatuh cinta. Tapi menurutku, mungkin cuma hiasan saja. Ah, tak tahulah! Jangan desak aku untuk menjawabnya!

Sebaiknya kita kembali ke sana dan kubantu kau mendapatkan jubah keramat itu, daripada kita bertarung berdebat memperebutkan jubah yang belum jelas ada di mana pintu masuknya!"

Dengan suara rendah Ratna Prawitasari pun berkata, "Kau punya perasaan aneh padaku, Marta?"

"Ya. Aneh sekali."

Ratna Prawitasari memandang, sambil manggut- manggut kecil, dan berkata pelan,

"Aku pun punya perasaan aneh padamu! Itu sebabnya aku marah melihat kau dilukai oleh Gandarwo!"
"Itu namanya perasaan kasih sayang, Ratna!"

"Mungkin!" jawab Ratna Prawitasari masih berkesan tegas tanpa senyum. "Kita kembali ke petilasan itu! Lekas, jangan sampai orang lain mendahului kita menemukan jalan masuknya!"

Dan mereka pun bergegas pergi, namun kali ini Ratna Prawitasari membiarkan Marta Kumba menggandeng
tangannya. Makin berdesir indah hati Ratna Prawitasari.
***6
LANGKAH Pendekar Mabuk dan Ki Sonokeling masih tampak santai, tidak terlalu lamban, namun juga tidak cepat. Suto bersemangat untuk datang ke Petilasan Teratai Dewa, karena ia tahu Rangka Cula akan datang ke sana. Ia tak perlu susah-susah mencari Rangka Cula, cukup dengan menghadangnya di sana saja.

Percakapan Rangka Cula dengan Nyai Cungkil Nyawa membuat Suto berkesimpulan demikian. Dan ia harus mempersiapkan diri melawan Rangka Cula yang jago ilmu pedang, jago ilmu sihir, ilmu racun, dan ilmu toya itu.

Tapi satu hal yang dikhawatirkan Pendekar Mabuk adalah perihal pedang emas yang harus direbutnya dari Rangka Cula itu. Jika tokoh lain mengetahui bahwa pedang emas itu adalah pusaka Pedang Wukir Kencana milik Ki Padmanaba, yang mempunyai kedahsyatan serta kesaktian tinggi itu, maka sudah pasti banyak musuh yang harus dihadapi Suto untuk memperebutkan pedang tersebut.

"Menurut cucuku, Rangka Cula menyandang pedang emas di punggungnya," kata Ki Sonokeling. "Aku jadi curiga, jangan-jangan itu pedang emas pusakanya Ki Padmanaba!"

"Ki Sonokeling kenal dengan Ki Padmanaba?"

"Kenal. Semasa mudanya aku sering bertandang ke tempat tinggalnya. Tapi sejak ia menikah, aku tak pernah lagi bertemu dia. Hanya saja, aku tahu bahwa dia mempunyai pedang pusaka yang sungguh ampuh. Orang bodoh pun bisa memainkan pedang dengan jurus-jurus mautnya jika memegang pedang itu!"

"Andai pedang itu benar milik pusaka Ki Padmanaba, apakah Ki Sonokeling ingin memilikinya juga?"

"Buatku, hidup ini sudah tidak membutuhkan pedang- pedangan," jawab Ki Sonokeling. "Orang setua aku, apalagi yang diharapkan? Tinggal menunggu ajal menjemput saja!'

"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?"

"Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu."

"Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?"

"O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!"

"Ooo...!" Suto manggut-manggut.
"Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya?!"
"Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!"
"Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut- manggut.

"Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan ternyata dia adalah Rangka Cula! Sangat berbahaya jika pedang itu jatuh di tangan orang sesat seperti Rangka Cula!"

"Jadi...."

Tiba-tiba Suto mendorong tubuh Ki Sonokeling hingga orang itu tersungkur jatuh ke samping, kata- katanya terputus. Dan sebuah benda melesat cepat, melintasi tubuh Ki Sonokeling. Wuttt...! Jrubbb...! Kalau Suto tak mendorong tubuh Ki Sonokeiing, maka benda itu akan menancap di dada Ki Sonokeling. Benda tersebut adalah sebatang anak panah yang datangnya dari arah samping depan.

Zingngng...! Jrubb!

"Aaaah...!" tiba-tiba terdengar suara orang memekik. Lalu sesosok tubuh jatuh dari atas pohon. Wuttt...! Brukk!

Sebentar kemudian, ketika Pendekar Mabuk dan Ki Sonokeiing berdiri, terdengar lagi suara orang memekik dari atas pohon belakang Suto.

"Aaahg...!"
Brruk... !

Ki Sonokeling memandangi dua orang yang jatuh secara bergantian, ia menggumam heran,

"Kenapa orang itu?"
"Kita periksa salah satunya!"

Lalu, Suto Sinting dan Ki Sonokeling memeriksa orang pertama yang jelas telah melepaskan anak panahnya ke arah Ki Sonokeling. Melihat orang itu, Ki Sonokeling berkerut dahi, kemudian menggumam,

"Ini muridnya Mandraloka...?!"
"Siapa Mandraloka itu, Ki?"

"Salah satu orang yang bernafsu untuk memiliki jubah keramat itu hingga mengirimkan beberapa muridnya untuk membongkar makam. Tapi aku dan Nyai Cungkil Nyawa berhasil mengalahkan mereka. Walau begitu, Mandraloka masih penasaran, sekali tempo ia mengirimkan muridnya untuk mencari dan membongkar makam, tapi aku atau Nyai Cungkil Nyawa selalu berhasil membunuhnya. Sampai lama-lama agaknya murid-murid Mandraloka habis binasa di tanganku dan di tangan Nyai Cungkil Nyawa! Mungkin sekarang tibalah dendam Mandraloka dan menyuruh muridnya yang masih tersisa untuk membunuhku. Kurasa ia juga mengirimkan muridnya untuk membunuh Nyai Cungkil Nyawa!"

Pendekar Mabuk mendengarkan penjelasan itu sambil memandangi dahi orang yang mati itu. Dahi tersebut ditancap kuat oleh senjata rahasia logam putih tajam mempunyai bentuk bintang segi enam. Pendekar Mabuk mulai menaruh curiga. Waktu itu, Ki Sonokeling bertanya,

"Siapa yang membunuhnya? Kaukah, Suto?"
"Bukan!"

Suto dan KI Sonokeling memeriksa orang kedua yang juga jatuh dari pohon. Ternyata orang itu mati dalam keadaan lehernya tertancap senjata rahasia yang sama dengan yang ada di dahi mayat pertama. Suto semakin curiga.

"Aaaahg...!"

Kembali terdengar suara orang memekik di arah belakang Pendekar Mabuk dan Ki Sonokeling. Mereka berdua sama-sama berpaling wajah ke belakang dan melihat orang sedang berdiri, memegang panah yang siap dilepaskan, tapi tak jadi dilepaskan karena tahu-tahu ia tumbang dengan mata mendelik. Setelah diperiksa oleh Suto dan Ki Sonokeling, orang itu mati karena lehernya tertancap senjata bintang segi enam juga.

"Siapa yang melakukan ini semua?" gumam Ki Sonokeling.

Suto hanya tersenyum. Kemudian meneguk tuaknya dengan tenang. Ki Sonokeling semakin bingung melihat sikap Pendekar Mabuk yang tenang-tenang saja itu. Dan setelah beberapa saat Suto selesai menenggak tuak, tiba- tiba matanya memandang sekeliling dan berseru,

"Kiranaaa...! Keluar kau!"

Maka sesosok tubuh berpakaian kuning gading muncul dari balik semak belukar. Melompatlah gadis berambut pendek berponi di dahinya, berwajah cantik dengan hidungnya yang mancung dan matanya yang bundar bening berbulu lentik itu. Wuttt...! Ia bersalto di tanah dua kali, lalu mendaratkan kakinya di depan Pendekar Mabuk dan Ki Sonokeling.

Kirana, gadis yang mendampingi Pendekar Mabuk saat mencari pedang emas itu, tersenyum tipis dengan pandangan mata yang masih memancarkan keberanian dan ketegasan. Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng kepala sebentar sambil memperhatikan Kirana, kemudian berkata kepada Ki Sonokeling yang ada di sampingnya,

"Dialah yang membunuh Logayo, ketua Perguruan Kobra Hitam, yang menjadi atasannya Rangka Cula!"
"Dia...?! Oh, hebat sekali dia kalau begitu?!" Ki Sonokeling manggut-manggut.

Suto segera berkata kepada Kirana,

"Kenapa kau menyusul juga akhirnya?"
"Karena aku mencemaskan dirimu, Suto! Takut ada bahaya mengancam dan kau hanya sendirian!"
"Sudah kubilang, kau tak perlu ikut! Aku bisa jaga diri sendiri, Kirana!"
"Termasuk bisa membunuh pemanah gelapmu tadi?"

Suto melemaskan tangannya, mendesah kesal. "Itu hanya satu orang dan belum sempat melukaiku!"

"Satu orang yang kau ketahui mau memanahmu, tapi yang belum kau ketahui, berapa orang?! Apakah kau pikir saat kau membawa lari nenek tua itu, kau tidak dibuntuti orang?'

"Maksudmu?!" Suto Sinting terperanjat dan berkerut dahi.
"Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!"
"Lima orang?!"

"Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya. "Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Suto!"

"Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Suto.
"Semalam!" jawab Kirana.
Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?"

"Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Suto, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini. Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata,

"Kita jadi seperti punya pengawal, Suto!"

"Suto," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"

Suto angkat bahu, 'Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"

Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap ke arah punggung Kirana. Wuttt...! Suto segera menarik tangan Kirana, memeluknya dan tangannya berkelebat menangkap benda itu di belakang Kirana. Tabb...!

Sebilah pisau terselip di dua jari Pendekar Mabuk. Pisau itu ditunjukkan kepada Kirana sambil berkata,
"Kuharap kau tidak merepotkan aku, seperti saat ini!"

Kirana tersenyum tipis. "Baru satu kali kau menyelamatkan nyawaku, Suto! Jangan banyak mengaturkulah...!"

"Apa katamu, hah?!" sentak Suto sambil mendorong tubuh Kirana ke samping. Tubuh itu membentur Ki Sonokeling, dan tubuh mereka rubuh saling tindih. Sementara itu, bumbung tuak Pendekar Mabuk berkelebat ke tempat Kirana tadi berdiri. Sinar merah yang melesat cepat dari balik pohon itu membentur bumbung tuak Pendekar Mabuk, dubb...! Sinar tersebut membalik arah dengan lebih cepat dan lebih besar bentuknya. Kemudian sinar merah itu menghantam pohon besar di seberang sana.

Duarrr...! Wwrrr....! Brrrukk...! Grussakkk...!

Pohon itu tumbang setelah terjadi ledakan akibat benturan sinar merah yang berbalik arah itu. Dari balik pohon besar tersebut melesat sesosok tubuh berambut putih dengan diikat kain merah.

Pendekar Mabuk berkata kepada Kirana, "Dua...!" sambil memperlihatkan dua jarinya. Maksudnya Suto mengingatkan Kirana, bahwa ia telah menyelamatkan nyawa Kirana dua kali. Kalau tadi tidak didorong Pendekar Mabuk, maka sinar merah itu jelas akan menghancurkan tubuh Kirana.

Ki Sonokeling segera bangkit dan memandang orang yang baru saja muncul dari balik pohon. Orang itulah yang tadi melemparkan pisau dan melepaskan pukulan jarak jauh dalam bentuk sinar merah. Ki Sonokeling segera menggumam,

"Mandraloka...?!"

Suto pun cepat paham, rupanya orang berpakaian abu-abu dan menyandang pedang di pinggangnya itulah yang bernama Mandraloka. Sudah cukup tua, berusia sekitar enam puluh tahunan, tapi masih kelihatan gagah dan sigap. Badannya tak terlalu gemuk, namun berkesan masih kekar. Matanya tajam memandang dengan alisnya yang telah berwarna putih campur hitam sedikit.

"Mandraloka!" seru Ki Sonokeling, "Apa maksudmu menyerang kami dengan mengorbankan murid- muridmu, hah?!"

"Maksud apa lagi kalau bukan maksud membunuhmu terutama, Ki Sonokeling, kedua membunuh gadis itu! Karena sisa muridku dihabisi oleh gadis itu saat membuntuti pemuda berbaju coklat itu, sejak dia membawa kabur Nyai Cungkil Nyawa sampai berjalan malam bersamamu! Gadis itu agaknya gadis yang bodoh, karena melibatkan diri dalam urusan kita, Sonokeling!"

Kirana menyahut dengan lantang, "Muridmu membahayakan keselamatan orang jelek ini!" sambil menuding Suto, "Jadi aku terpaksa bertindak membunuhnya. Kurasa lebih baik muridmu yang mati dari pada orang jelek ini!" Kembali ia menuding Pendekar Mabuk, tapi tangannya segera ditampel oleh Pendekar Mabuk yang sedikit cemberut.

Mandraloka berkata dengan suaranya yang berat,

"Kurasa kalian telah bersekongkol, dan terpaksa aku harus memusnahkan kalian bertiga!"

Suto Sinting segera maju dua tindak dan bertanya,

"Apakah aku juga ingin kau musnahkan?"
"Ya!"
"Kalau begitu, kau melawan aku saja, tak perlu dengan kedua orang ini!"

Mandraloka tersenyum sinis "Aku ingin kalian bertiga maju bersama! Jangan kau sendiri, Anak ingusan! Kalau kau sendirian yang maju, nanti memboroskan ilmuku saja!"

"Biar aku saja, Suto!" kata Kirana sambil maju ke depan Suto. Dengan cepat lengannya ditarik Suto dan disingkirkan ke belakang.

"Aku sanggup melawannya!" bentak Kirana pada Suto.

"Kau memang sanggup, tapi dia tidak sanggup!" Suto ganti membentak, sengaja mengecilkan kemampuan Mandraloka, supaya nafsu amarah Mandraloka semakin terpancing dan akan membahayakan dirinya sendiri.

Ternyata pancingan Pendekar Mabuk mengenai sasaran. Mandraloka menggeram, wajahnya makin merah pertanda marahnya mulai memuncak, ia segera bergerak maju dua tindak. Namun tiba-tiba kembali tersentak mundur terhuyung-huyung.

Rupanya Ki Sonokeling telah melepaskan kekuatan tenaga dalamnya dari jarak jauh dengan menggerakkan tangannya dengan pelan seperti orang menari. Tangan itu melambai ke sana kemari dengan gerakan kaki melangkah dan terangkat pelan-pelan. Setiap gerakan Ki Sonokeling menghadirkan kekuatan tenaga dalam yang terpancar lebih cepat dari gerakannya sendiri.

Mandraloka dibuat terhempas ke sana kemari dan sukar membalas serangan ke arah Ki Sonokeling. Melihat jurus Ki Sonokeling seperti orang menari dengan gemulai itu, Suto Sinting dan Kirana segera mundur beberapa tindak, membiarkan Ki Sonokeling melawan Mandraloka sendirian. Suto dan Kirana sama- sama memandang dengan mulut bengong, karena baru sekarang mereka melihat orang bertarung mengadu nyawa dengan gerakan selemah itu.

Tubuh Mandraloka mental ke samping kiri dan berguling-guling. Ki Sonokeling membalikkan badan, menghadap ke arah Mandraloka, kakinya terangkat maju dengan gerakan pelan tangannya naik ke atas, yang satu lurus ke depan. Dan Mandraloka terjengkang lagi ke belakang bagai terkena pukulan yang begitu besarnya.

"Apa dia dulunya seorang penari?" bisik Kirana.
"Entahlah!" balas Suto membisik.
"Jurusnya aneh sekali! Aku jadi ingin mempelajarinya!"

"Mana bisa? Dia lebih lemas, lebih gemulai dalam bergerak daripada gerakanmu yang mirip gerakan raksasa murka," bisik Suto dan segera dipukul lengannya oleh Kirana, tapi ia tak mempedulikan. Mata Suto masih memandang ke arah Ki Sonokeling yang benar-benar seperti penari istana. Kelenturan tubuhnya melebihi lenturnya tubuh perempuan.

Dalam satu kesempatan, Mandraloka berhasil melepaskan pukulan jarak jauh yang memancarkan sinar warna kuning. Tetapi ketika sinar itu mendekati Ki Sonokeling, tubuh Ki Sonokeling bergerak miring meliuk dengan tangan mengibas pendek, lalu tubuh berputar cepat. Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur.

"Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.

Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih- tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.

Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret. Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah. Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning melesat dengan cepat dan menghantam batu di samping Mandraloka.

Duarrr .... !

Batu pecah. Bongkahannya menghantam kepala Mandraloka. Plok!

"Aaaauh...!" Kepala Mandraloka dihantam keras oleh batu itu, tapi tak sampai bocor.

Memar, sudah jelas. Dan ketika ia ingin melepaskan serangannya lagi, tiba-tiba Ki Sonokeling melompat dengan sentakan pelan. Di udara ia berjungkir balik dua kali, dan begitu mendarat ke bumi, sudah menjadi seekor harimau loreng.

"Grrrrr...!"

"Hahh...?!" Kirana terpekik kaget dan ketakutan, ia segera membalikkan tubuh mau lari, tapi terhadang tubuh Suto, akhirnya ia melompat dalam gendongan Pendekar Mabuk seperti seekor monyet melompat ke dalam gendongan induknya. Clubb...!

"Hai, apa-apaan ini?!" Pendekar Mabuk sempat kaget menerima tubuh Kirana yang tahu-tahu menemplok di depannya.

"Aku paling takut sama harimau!" ratap Kirana tampak ketakutan sekali.

"Turun!" Plak...! Pendekar Mabuk menepuk pantat Kirana, tapi Kirana masih belum mau turun dan ia gemetaran, wajahnya menjadi pucat ketakutan.

Sementara itu, Mandraloka segera melesat melarikan diri setelah melihat Ki Sonokeling berubah menjadi seekor harimau loreng. Harimau itu mengejarnya sebentar, kemudian segera kembali menemui Pendekar Mabuk setelah Mandraloka menghilang dan tak terkejar.

"Turunlah, Kirana! Harimaunya sudah tak ada!"

Kirana menoleh ke belakang. Harimau memang sudah tak ada. Ia pun turun sambil berkata, "Lain kali aku tak mau ikut kamu kalau harus menemui harimau! Aku paling takut sama harimau, tahu?! Dan..."

Kirana berhenti bicara. Matanya terbelalak, karena Harimau itu ternyata ada di belakang Suto sedang mendekam duduk.

"Uaaa...!" Kirana berlari secepat-cepatnya hingga tak sadar tubuhnya menabrak pohon. Bruss...!

Pendekar Mabuk hanya menertawakan hal itu hingga terpingkal-pingkal.

* * *

AGAKNYA Marta Kumba memang sudah membulatkan hatinya untuk tidak memiliki jubah keramat itu. Ia sudah berjanji kepada Ratna Prawitasari untuk tidak berbuat curang, ia berkata,

"Milikilah jubah keramat itu nanti, tapi biarkan aku memiliki dirimu, Ratna."

Gadis cantik yang pemberani itu menjawab, "Rasa- rasanya sulit melarang keinginanmu yang satu ini!"

Tak sadar gadis itu bahwa sebenarnya kemenangan berada di tangan Marta Kumba. Kalau memang nantinya jubah keramat itu bisa menjadi milik Ratna Prawitasari, dan Ratna Prawitasari menjadi milik Marta Kumba, berarti Marta Kumba yang menang. Karena dengan memiliki Ratna Prawitasari berarti ia juga memiliki jubah keramat itu.

Yang menjadi masalah sekarang adalah, apakah benar jubah keramat itu bisa menjadi milik Ratna Prawitasari? Apakah benar mereka bisa berhasil mendapatkan benda pusaka yang punya keampuhan aneh itu? Bukankah untuk menemukan pintu ke ruang bawah tanah petilasan itu, adalah hal yang paling sulit? Bukankah jika mereka ingin membongkar petilasan itu, mereka harus menghadapi Nyai Cungkil Nyawa? Apakah ilmu mereka sudah cukup menandingi ilmunya Nyai Cungkil Nyawa? Belum lagi jika Ki Sonokeling ikut memihak Nyai Cungkil Nyawa, apakah mereka mampu mengimbangi jurus tarian milik Ki Sonokeling?Bisa ataupun tidak, toh nyatanya mereka berdua sudah tiba kembali ke petilasan tersebut. Tetapi mereka terkejut manakala seorang nenek rada bungkuk menghadang di lantai depan petilasan itu.

"Hei, menyingkirlah sana! Kalau kalian mau pacaran, cari tempat yang lain! Ini bukan tempat mesum!" kata Nyai Cungkil Nyawa sambil menggerak-gerakkan tongkatnya.

"Kami ke sini bukan untuk bermesum ria, Nek!" kata Marta Kumba sambil menahan tangan Ratna Prawitasari yang ingin maju menyerang nenek itu. Kemudian, nenek itu bertanya ketus,

"Jadi mau apa?!"
"Mau apa saja itu bukan urusanmu!" sahut Ratna Prawitasari dengan garang.

Nyai Cungkil Nyawa memandang dengan rasa tak suka, dan ia berkata kepada Marta Kumba,

"Gadismu ini mulutnya seperti cabe rawit! Kecil-kecil sudah pandai membuat telinga pedas!"

Marta Kumba menyahut, "Makanya kalau makan cabe rawit jangan salah masuk ke telinga, Nek! Ke mulut!"

"Wah, bodoh juga kau rupanya!" gumam Nyai Cungkil Nyawa sambil bergerak dengan kesan mau meninggalkan mereka, tak mau melayaninya. Tapi ia meninggalkan kata,

"Kalau kalian nekat mau pacaran di sini, kalian berdua akan mati!"
Ratna Prawitasari menyahut dengan galak, "Kau mengancam kami?!"

Nenek itu berbalik memandang mereka lagi,

"Ya...!" setelah itu berjalan memunggungi mereka berdua.

Ratna Prawitasari menjadi jengkel dan marah. Dengan cepat ia melompat dan melancarkan tendangan kakinya ke punggung yang bongkok itu. Tetapi dengan cepat tubuhnya itu tiba-tiba mental membalik ke belakang dan menabrak Marta Kumba.

Brrusss...!

"Auh...!" Marta Kumba terpekik karena dagunya tersodok kepala Ratna Prawitasari.

"Kurang ajar! Dia membalikkan serangankul" geram Ratna Prawitasari. Ketika ia mau maju menyerang lagi, Nyai Cungkil Nyawa membalikkan badan. Langkah Ratna Prawitasari tertahan.

"Sepertinya aku pernah mengenali jurus membokong orang dari belakang! Hmmm... siapa? Siapa kamu, Cah Ayu?"
"Ratna! Ratna Prawitasari!" sebut Ratna Prawitasari dengan tegas.

"Hmmm...." Nenek itu berkerut dahi memikirkan sesuatu sebentar, setelah itu baru berkata, "O, tidak, tidak...! Aku tidak kenal kamu. Aku lupa, bahwa semua orang yang suka menyerangku dari belakang sudah kubunuh semua!"

"Bicaranya pelan tapi memerahkan telinga orang ini!" bisiknya kepada Marta Kumba.

Pemuda berkumis tipis itu hanya tersenyum dan berkata kepada nenek bergusik itu,

"Kau siapa, Nek? Mengapa ada di sini? Kau juga menghendaki jubah keramat itu?!"

Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!"

"Makam...?! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?"

"Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!"

"Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari. "Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!"

"Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba.
"Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...?!"
"Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari.

"Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.

Terdengar suara dengus dari hidung Ratna Prawitasari menandakan kekesalan hatinya. Kemudian, Ratna Prawitasari memberikan isyarat dengan mata kepada Marta Kumba agar menyerang nenek itu secara bersamaan. Marta Kumba mengangguk, maka melompatlah mereka dari arah kanan belakang dan kiri belakang. Wuttt... wuuttt...!

Tiba-tiba kaki Nyai Cungkil Nyawa menjejak tanah di depannya, dan tubuhnya melayang mundur bersamaan majunya kedua tubuh anak muda itu. Dengan meluncur mundur, nenek itu melintas di pertengahan Marta Kumba dan Ratna Prawitasari.

Wusss...!

Lalu tongkatnya segera menyodok ke kanan-kiri dengan pegangan pada bagian tengah tongkat. Dug dug... !

"Uuhg...!" Marta Kumba terpekik dengan suara tertahan, ia langsung membungkuk, merasakan sakit pada pinggang kirinya yang terkena sodokan tongkat, dan Ratna Prawitasari pun membungkuk merasakan sakit pada pinggang kanannya.

"Kurang ajar orang pikun itu!" geram Ratna Prawitasari sambil menahan rasa sakit, karena pinggang kanannya terasa bagai disodok dengan tongkat besi yang cukup keras dan kuat sodokannya.

"Sudah kubilang, jangan nekat kalau mau selamat!" kata Nyai Cungkil Nyawa dengan tenang.
"Habisi saja dia!" ujar Ratna Prawitasari kepada Marta Kumba.

"Baik!" jawab Marta Kumba. Kemudian ia lebih dulu mencabut pedangnya dan Ratna Prawitasari pun segera mencabut pedang. Serta-merta mereka melompat dengan gerakan pedang menebas dan menyabet. Wess wesss...!

Nenek itu mundur setindak, lalu dengan cepat tongkatnya bergerak menghantam pergelangan tangan kedua anak muda itu. Tak tak...!

Trang...! Pedang Marta Kumba jatuh dan ia mengerang kesakitan. Tulang pergelangan tangannya menjadi bengkak dan membiru. Demikian pula halnya dengan Ratna Prawitasari yang cepat merunduk, memegangi pergelangan tangannya dengan merintih tertahan, tapi pedangnya masih mampu digenggam walau tak sekuat tadi.

Pukulan itu ternyata punya pengaruh lain. Sekujur tubuh mereka menjadi dingin sekali. Semakin lama semakin dingin bagian dalam tubuh mereka. Tak sadar mereka pun menggigil dengan persendian terasa menjadi kaku semua. Untuk bergerak pun sulit rasanya. Mereka akhirnya sama-sama mendekam jongkok dengan tubuh berguncang kedinginan.

Pada saat itu, Nyai Cungkil Nyawa segera berkata, "Sekarang, saatnya membunuh kalian berdua yang nekat minta dicabut nyawanya!"

Nyai Cungkil Nyawa menakut-nakuti dengan mengangkat kedua tangan, ssakan benar-benar ingin menghantam mereka dengan pukulan yang mematikan. Tetapi tiba-tiba, tubuh Nyai Cungkil Nyawa tersentak ke depan dan terguling-guling jauh dari Marta Kumba dan Ratna Prawitasari. Bahkan tubuhnya yang kurus itu membentur bekas dinding yang tinggal separo bagian.

Brusskk...!

"Monyet edan...!" makinya sambil mengerang dan berusaha untuk berdiri lagi.

Ia memandang ke arah datangnya serangan, ternyata di sana sudah berdiri seorang lelaki berpakaian abu-abu, rambut panjang warna putih diikat kain warna merah. Dialah Mandraloka yang sudah bertampang lumayan bonyok akibat dilemparkan ke sana-sini oleh Ki Sonokeling tadi.

"Oh, ternyata sekarang kau sendiri yang datang untuk mengurus jenazah kedua muridmu ini, Mandraloka?!"
"Kedua anak ini bukan muridku!" ucap Mandraloka dengan geram.
"Lantas mengapa kau menyerangku?"

"Bukan menyerangmu, tapi membunuhmu! Tapi rupanya kau punya pelapis tenaga dalam cukup tinggi sehingga pukulanku tadi hanya membuatmu terpental! Bersyukurlah bahwa kau masih bisa bicara padaku! Tapi sebentar lagi kau akan mati, Nyai Cungkil Nyawa!"

"Mengapa kau membunuhku?"
"Baru mau membunuhmu!"
"Iya. Tapi mengapa kau punya rencana begitu?"
"Karena kau telah menghabisi murid-muridku!"

"O, karena itu? Bukankah jauh-jauh hari sudah kubilang padamu agar jangan mengirimkan muridmu ke sini, nanti muridmu bisa mati dan kau akan kehabisan murid! Aku sudah mengingatkan padamu begitu, tapi kau masih nekat mengirimkan muridmu untuk mencuri jubah keramat itu! Maka tak salah tindakanku jika muridmu kubunuh, sebab dengan mengirimkan muridmu ke sini, berarti kau menunjukkan pada muridmu jalan tercepat menuju neraka!"

"Iblis betina kau...!" geram Mandraloka.

Sementara itu, Ratna Prawitasari berhasil berdekatan dengan Marta Kumba dan ia mulai berbisik,

"Nenek itu bukan lawan kita! Aku bisa merasakan tingginya ilmu yang ada pada dirinya!"

"Tulangku lemas semua, seperti keropos seluruhnya!"

"Bertahanlah dan kita cepat tinggalkan tempat ini untuk sementara waktu! Biarkan dulu nenek itu melawan kakek itu. Siapa tahu keduanya sama-sama mati! Kita bisa bebas mengacak-acak tempat ini! Ayo, kita lari, Marta... ! Mari kubantu...!"

Nyai Cungkil Nyawa sebenarnya mengetahui kedua remaja itu melarikan diri secara diam-diam, tapi ia memang membiarkannya, ia lebih penting berhadapan dengan Mandraloka, seorang guru yang dianggap banyak menyesatkan muridnya itu.

"Sekarang apa maumu kemari? Mau menuntut balas kematian murid-muridmu atau mau mencuri jubah keramat itu?!"

"Keduanya!" jawab Mandraloka.
"Sekali lagi kau tampakkan diri sebagai guru yang serakah, Mandraloka!"
"Persetan dengan apa katamu, Nenek gerumpung! Hiaaah...!"

Mandraloka melompat dengan cepat dan bersalto di udara satu kali. Nyai Cungkil Nyawa pun sentakkan kaki dan tubuhnya melenting di udara tanpa membawa serta tongkatnya. Kedua tangannya segera dihantamkan ke depan saat Mandraloka mendekat, dan kedua tangan itu kini beradu dengan kedua telapak tangan Mandraloka. Plak, plakk! Duarrr...! Glarrr...!

Dentuman yang dahsyat terdengar menggema ke mana-mana, membuat reruntuhan pesanggrahan itu berguncang. Sebagian batunya yang kecil-kecil berjatuhan dan bergerak-gerak seperti mengalami gempa. Daun-daun di sekitar petilasan itu pun berguncang, sebagian ada yang rontok, terutama yang sudah kering dan layu.

Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikit pun.

Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring.

Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.
Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu, nenek bergusik melompat dari ketinggian tempatnya dan mendarat dengan sigap, ia segera mengambil tongkatnya lagi, lalu melangkah mendekati Mandraloka.
Cepat-cepat Mandraloka mengambil sikap kuda-kuda dengan tangan siap menyerang. Tapi Nyai Cungkil Nyawa menertawakan, dan berkata,

"Mau apa lagi kamu, hah?! Mau apa lagi...?! Mau hangus sekujur tubuhmu? Iya?! Mau mati seketika? Atau mau mati dengan tersiksa? Pilih salah satu!"

Mandraloka seperti mengambil sesuatu dari keningnya, lalu dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa. Wuttt...! Rupanya sinar biru bundar seperti bola bekel yang diambil dari tengah dahinya itu. Sinar biru tersebut merupakan inti tenaga dalam yang berpusat pada otaknya.

Nenek bergusik itu sempat terkesiap, ia tahu itu ilmu berbahaya. Maka ia tak berani menangkisnya, ia hanya melompat dan berguling-guling cepat di tanah tak berbatu itu. Sedangkan sinar bulat biru melesat lolos dari dirinya dan menghantam sisa dinding reruntuhan.

Zrrrappp...!

Dinding itu hilang lenyap tanpa bekas. Beberapa sisa pilar yang terkena percikannya juga hilang lenyap. Bahkan sebuah pohon yang terkena percikan sinar yang memecah biru itu juga lenyap tak berbekas. Bekas akarnya pun tak ada. Sepertinya pohon itu belum pernah tumbuh di tanah tempatnya tadi berada.

Alangkah berbahayanya jika sinar biru tadi mengenai tubuh Nyai Cungkil Nyawa. Dan kejadian itu membuat kedua tokoh tua itu tertegun bengong. Nyai Cungkil Nyawa bengong karena melihat kedahsyatan serangan lawannya tadi, Mandraloka bengong karena menyesali kegagalan serangan mautnya, ia tak menyangka serangan secepat itu bisa dihindari oleh Nyai Cungkil Nyawa.

Lebih menyesal lagi setelah tiba-tiba ia merasakan tulang rusuknya menjadi sangat panas karena mendapat sodokan dari tongkat Nyai Cungkil Nyawa yang datangnya tak diduga-duga. Duggg...!

Mandraloka tersentak dan terpelanting seketika, ia sadar akan bahaya yang bisa menggempur kepalanya dalam keadaan ia mulai lemah begitu. Maka tanpa pamit lagi, Mandraloka cepat angkat kaki dan pergi melarikan diri. Padahal Nyai Cungkil Nyawa kala itu sudah siap melepaskan pukulan pamungkasnya yang jarang bisa dihindari lawan.

"Monyet kusut betul si Mandraloka itu! Dia buat berantakan tempat ini, dia lenyapkan beberapa petilasan yang ada! Tapi, biarlah... yang penting dia tidak temukan pintu menuju makam!" gerutu Nyai Cungkil Nyawa sambil bersungut-sungut dan mendekati bekas dinding yang lenyap itu.

Baru tujuh tindak ia melangkah, tiba-tiba tubuhnya berbalik dan tangannya melesat berkelebat. Wuttt...! Sinar merah dilepaskan dari telapak tangannya, seperti ia membuang sesuatu dalam keadaan tangan tetap sejajar dengan dadanya.

Crass... !

Sinar merah itu mengenai kaki orang, dan orang itu memekik tertahan kuat.

"Uuhg...!"

Orang itu jatuh ke tanah dalam keadaan duduk.

Padahal ia tadi sudah berusaha melompat dan menghindari sinar merah, tapi rupanya ia sedikit terlambat, sehingga betisnya terkena sinar merah itu. Betis tersebut menjadi bengkak membiru dan ada satu titik pori-pori yang menggelembung kecil, lalu pecah.

"Aaauuhh...!" orang itu merintih kesakitan dengan menggeliat memegangi kaki kirinya.

Orang itu berkepala gundul, tak mengenakan baju, celananya biru, ikat pinggangnya merah. Orang itu berbadan besar, gemuk, matanya besar, hidungnya bulat, parutnya gendut, kulitnya hitam. Di pinggangnya tersalip benda kecil bundar, namanya yoyo. Itulah senjata orang gemuk bulat itu.

Nyai Cungkil Nyawa memandangnya penuh curiga, ia merasa asing dengan wajah orang itu. Karenanya, ia segera hartanya,

"Siapa kamu?"

"Ya. Aku memang tamu! Tapi tamu tak sengaja!" jawab orang gundul itu dengan menyeringai kesakitan. Jawabannya itu membuet nenek bergusik berkerut dahi dan merasa heran, ia mengulang pertanyaannya,

"Siapa kamu?!"
"Siapkan jamu! Oh, untuk apa aku menyiapkan jamu? Aku bukan tukang jamu gendongan!"
"Budek! Kubilang, siapa kamu?l" teriak nenek bergusik.

"O, kau tanya padaku, siapa aku?!" Orang itu mengejang sebentar, melirik lukanya di betis. Ternyata yang semula hanya setitik menjadi lebar dan tampak membusuk. Namun ia segera memperkenalkan diri. "Aku... Hantu Laut!"

"Jangan menakut-nakuti aku! Aku tidak takut sama hantu!"
Orang gundul itu berteriak, "Hantu Laut itu namaku! Bukan aku menakut-nakuti kamu sama hantu!"

"Ooo...!" Nenek itu merendahkan suara dan manggut- manggut. Kemudian nenek bergusik mengajukan pertanyaan lagi,

"Mau apa kau kemari?!"
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa- bawa almari?!"
Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari?!"

"Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tombak Maut").

"Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Suto Sinting! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa ...."

"Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Suto Sinting?"

"Aku anak buahnya Suto Sinting! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai dipugar di Pulau Serindu, dan Suto harus menghadiri peresmian itu dan .... "

"Aku kenal dengan Suto! Tapi ke mana aku harus menunjukkan tempat dia kepadamu? Aku sendiri tak tahu apakah dia masih di gubuk itu atau sudah pergi dengan Ki Sonokeling! Tapi... aku kenal baik sama dia! Aku adalah kawannya!"

"Kawan ya kawan, tapi bagaimana dengan lukaku ini? Semakin lama semakin besar boroknya!"

"Itu yang sedang kupikirkan, sebab aku tak bisa menyembuhkan racun yang sudah kulepaskan melalui pukulanku tadi! Mungkin kau harus menunggu Pendekar Mabuk sampai tiba di sini."

"Apa dia mau kemari?"

"Itu yang tidak kutahu. Apakah dia ke sini atau ke sana...?!" Nyai Cungkil Nyawa menjadi bingung bercampur rasa sesal.

*** 8

GANDARWO merasa terjebak oleh umpannya sendiri, ia tak bisa keluar dari dalam gua yang hanya mirip cadas berongga itu. Kalau ia gunakan tenaga dalamnya untuk menggempur batu penutup, maka pantulannya pasti akan mengenai dirinya juga. Di situ ruang sangat sempit, hanya muat untuk dua orang.

Dalam keadaan gelap itu, Gandarwo mempunyai sisi keuntungan, ia mempunyai kapak yang ujungnya menyala merah membara. Tapi di dalam gelap itu, ujung kapaknya menjadi terang bagai lentera. Dan karena mendapat penerangan dari ujung kapaknya itu, Gandarwo dapat melihat relief gambar bunga pada dinding gua sempit itu. Gandarwo memperhatikan sambil bicara sendiri,

"Siapa yang memahat gambar bunga di gua ini? Orang tersesat, atau orang yang menumpang berteduh karena hujan? Tapi... rasa-rasanya ini gambar bunga teratai?" tangan Gandarwo meraba-raba pahatan gambar bunga teratai itu.

Tanpa disadari, tangannya menekan sesuatu yang ada di tengah gambar teratai. Sesuatu itu seperti sebuah batu cincin berukuran besar berwarna ungu atau biru tak jelas, karena cahaya yang timbul dari ujung tongkat kapak itu adalah cahaya merah, jadi warna batu cincin itu samar- samar kelihatannya. Dan kalau tidak ada penerangan, gambar dan warna batu cincin itu tidak akan kelihatan.

Ketika tangannya menekan batu cincin tersebut, tiba- tiba dinding gua bergeser ke arah kiri. Gandarwo kaget. Ternyata dinding gua bergambar teratai itu adalah sebuah pintu. Di balik dinding tersebut terdapat ruangan panjang yang layaknya disebut lorong. Beratap tinggi dan lebar.

"Lorong...?!" mata Gandarwo mulai berbinar-binar. "Jangan-jangan inilah jalan masuk menuju ruang bawah tanah di patilasen itu? Lorong ini mempunyai lantai yang kelihatannya sengaja dirapikan oleh orang untuk jalan keluar-masuk! Coba aku menyusuri lorong ini, sampai di mana ujungnya?"

Ruangan itu lembab, tapi melalui penerangan cahaya kapak, Gandarwo melihat ruangan itu bersih, seperti ada yang merawatnya. Dinding kanan-kiri pun kelihatan halus, rata. Tidak seperti dinding gua alami. Langkah Gandarwo semakin mantap dan cepat .

Ternyata lorong itu cukup panjang dan sunyi. Hal yang membuat Gandarwo berdebar-debar antara cemas dan girang adalah bau wangi yang tercium olehnya di sepanjang lorong tersebut. Bau wangi itu seperti bau wangi bunga-bunga taman yang biasanya ada di keraton atau Istana. Ditambah lagi, semakin ke dalam lorong itu semakin lebar, dindingnya semakin licin dan halus.

Kapak digenggam, dibawa seperti membawa obor. Langkah dipercepat, mata membelalak ke kanan-kiri dan depan. Gandarwo mulai menemukan jalanan berlantai marmer. Warna marmer itu putih kehijau-hijauan. Semakin berdebar-debar hati Gandarwo, semakin dipercepat langkahnya. Walaupun lorong itu berliku- liku, namun membuat Gandarwo merasa tidak capek menyusurinya.

Semakin jauh semakin ditemukan relief dinding dengan gambar bunga teratai, yang kira-kira setiap sepuluh langkah terdapat satu gambar relief bunga teratai itu. Lebih jauh lagi, Gandarwo menemukan dinding mulai bermarmer hitam keputih-putihan. Lorong itu pun semakin membentuk ruangan yang lebar.

"Tak salah lagi, pasti ini jalan menuju ruang bawah tanah itu. Pasti gua kecil tadi adalah pintu yang sulit ditemukan orang!" Gandarwo kegirangan, langkahnya semakin tergesa-gesa. Ia merasakan jalanan menjadi menurun sedikit demi sedikit, dan bau wangi semakin tajam tercium olehnya.

Tiba-tiba terdengar suara, zrrrakk...! Gandarwo berguling ke depan dengan cepatnya. Delapan tombak membentuk pintu teralis turun dari atap lorong. Crakk...! Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga.

"Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum kegirangan. "Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati- hati dalam perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu Indrabayu!"

Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya pula.

Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam. Gandarwo buru-buru menutup hidung dan mulutnya serta menahan napas dan berlari menuruni tangga tersebut. Asap itu menurutnya pasti asap beracun. Terhirup sedikit sangat berbahaya.

Tangga berkelok-kelok membawa Gandarwo terus ke arah kedalaman. Seolah-olah akan mencapai dasar bumi. Sampai suatu saat, tibalah ia di ujung tangga, dan ia temukan ruangan besar penuh dengan perhiasan, senjata, pakaian, dan barang-barang mewah yang layaknya milik seorang raja.

Ruangan itu berbentuk lingkaran yang dindingnya mempunyai batu-batu putih memancarkan sinar fosfor. Batu-batu putih yang jumlahnya lebih dari tiga puluh biji itulah yang membuat ruangan itu menjadi terang- benderang, sehingga setiap barang bisa dilihat dengan tanpa menggunakan bantuan sinar merah di ujung kapaknya.

Di ruangan itulah, Gandarwo menemukan jenazah Prabu Indrabayu yang dilapisi kotak kaca. Jenazah itu masih utuh tanpa cacat sedikit pun. Gandarwo berdebar- debar melihat jenazah berpakaian seorang raja dalam keadaan dibaringkan di atas meja marmer berbentuk bundar, seperti penampang bunga teratai. Dan di dalam peti kaca itulah terdapat jubah berwarna hitam dari bahan sejenis beludru berbulu halus dan lembut kelihatannya.

Jubah hitam itu bertepian hiasan bunga teratai kecil- kecil berwana putih. Tengahnya berwarna merah. Gandarwo membatin sambil berdebar-debar gemetar,

"Tak salah lagi, pasti itulah jubah keramat. Hmmm...! Tapi bagaimana cara mengambilnya? Kotak kaca ini kelihatannya tidak berpintu. Peti mati seperti ini, memang susah dicari pintunya. Kadang memang tidak diberi pintu supaya peti itu kosong udara dan mayat tidak lekas busuk. Kurasa begitulah keadaan peti mati berkaca itu. Selain tidak berudara, juga mayat tersebut dibalsam sebelumnya! Ah, persetan dengan jenazah itu, yang kubutuhkan jubah tersebut! Kuhancurkan saja petinya itu!"

Gandarwo mendekat, perutnya menyentuh tepian meja marmer. Kapaknya sudah diangkat mau dihantamkan ke kaca itu, tapi tiba-tiba lapisan kaca bagian atas bergerak sendiri turun membuka. Srrrt...! Gandarwo terbelalak bengong. Setelah itu ia memandang ke kanan-kiri mencari tahu apa yang menjadi penyebab peti kaca itu bisa membuka sendiri. Rupanya perutnya tak sengaja telah menekan semacam tombol merah yang merupakan kunci pembuka tutup peti. Tombol itu hampir rata dengar tepian meja sehingga tak mudah diketahui orang. Dan lagi-lagi Gandarwo menyentuhnya dengan tidak sengaja.

Jubah segera diambil. Gandarwo pun mundur dari tepian meja, kaca penutup peti bergerak sendiri, kembali menutup seperti semula. Gandarwo tertawa terbahak- bahak kegirangan, ia telah menemukan apa yang dicari- cari sejak ia berusia dua puluh tiga tahun itu. Ternyata pencariannya dan ketekunannya itu tidak sia-sia. Itu sebabnya Gandarwo tertawa sambil jejingkrakan seperti anak kecil mendapatkan baju baru yang diidam-idamkan selama ini.

Jubah itu segera dipakainya. Walau tadinya Gandarwo sangsi, apakah jubah itu muat untuk tubuhnya yang besar, sedangkan jubah itu kecil, tapi ketika dipakai, jubah itu seperti mekar sendiri menyesuaikan bentuk ukuran tubuh orang yang memakainya. Ketika jubah itu dipakai, ada semacam sinar yang membungkus tubuh Gandarwo dalam sekejap. Clap...! Gandarwo menjadi bangga dan merasa dirinya gagah dengan mengenakan jubah itu.

Pada bagian leher jubah terdapat krah yang lebar dan kaku, membentuk seperti kelopak-kelopak bunga teratai. Krah itu berdiri kaku bagai melapisi sekeliling leher. Warnanya hitam bergaris-garis kuning emas. Jubah itu juga mempunyai tali pengikat bagian depan sampai dada, terbuat dari tali kuning emas. Jubah itu menyebarkan bau wangi yang menyegarkan pernapasan.

"Dengan mengenakan jubah ini, apa yang kubayangkan akan menjadi kenyataan! Jadi, aku tak perlu mengambil emas atau barang apa pun di sini! Kalau aku mau, dalam waktu singkat barang-barang di sini bisa pindah ke pondokku dalam sekejap dengan cara membayangkannya saja! Huah ha ha ha ha...! Eh, tapi... tapi tunggu dulu! Di sebelah sini ada satu peti mati lagi yang juga berkaca? Milik siapa? Kok kosong? Tidak ada penghuninya? Oh, masih tampak rapi dan bersih, sepertinya belum pernah dipakai. Oh, ya... tahu aku! Pasti ini peti mati untuk Istri Prabu Indrabayu yang sudah disediakan di sini, tapi entah karena apa, jenazah Istri prabu itu tidak jadi dimakamkan di sini! Ah, persetan dengan semua itulah!"

Ketika Gandarwo menginjakkan kakinya untuk menaiki tangga yang dilewatinya, ia diam sebentar, ia bermaksud mencoba kehebatan jubah keramat itu. Dibayangkan dalam otaknya, tangga itu bergerak jalan sendiri membawanya ke tempat masuknya tadi. Dan ternyata dalam kejap berikutnya, tangga itu memang berjalan sendiri. Tanpa susah-susah Gandarwo menaiki anak tangga, ia sudah dibawa oleh anak tangga itu naik ke atas dan sampai di lantai bermarmer putih itu.

"Ha ha ha ha ha...!" Gandarwo tertawa terbahak- bahak kegirangan. Bahkan ketika ia melewati tempat- tempat yang ada jebakannya, ia membayangkan semua jebakan itu lenyap dan tak berfungsi lagi. Ternyata jebakan-jebakan itu memang lenyap, jalanan menjadi mulus dan lancar.

Ketika tiba ia di mulut gua tempatnya masuk pertama kali, ia memandangi mulut gua yang tertutup batu rapat itu. Dan tiba-tiba batu itu lenyap karena Gandarwo membayangkan pintu gua itu tidak ada penutup apa-apa. Bahkan ia membayangkan lubang masuk pintu gua itu menjadi lebar, dan ternyata terbukti menjadi lebar sehingga ia bisa keluar dengan mudahnya.

"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo, hah?! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha...!"

Clapp...! Seekor kuda muncul di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas pada tepian pelananya.

Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari dan Marta Kumba. Mereka sama-sama tertegun bengong di tempat pengintaiannya melihat Gandarwo keluar dari gua sudah mengenakan jubah, dan melihat seekor kuda muncul dengan secara ajaib.

"Dia telah mendapatkan jubah itu, Ratna!"
"Kurasa gua itulah pintu masuk ke ruang bawah tanah!"

"Sepertinya begitu! Jadi dia sangat beruntung masuk ke goa itu dan pintunya kau tutup. Mungkin dalam upaya mencari jalan keluar itulah, ia menemukan jalan menuju ruang bawah tanah di petilasan teraebut. Dan dia menemukan jubah itu!"

"Tapi apakah benar jubah itu adalah jubah keramat yang pernah menghebohkan dunia persilatan dan diperebutkan oleh para tokoh persilatan? Jangan-jangan itu jubah biasa?!"

"Kurasa tidak! Kurasa jubah itu memang jubah keramat. Aku pernah mendengar percakapan Paman Julung Boyo dengan Tapak Getih, bahwa jubah itu mempunyai kekuatan daya cipta yang tinggi."

"Maksudnya?"

"Orang yang memakai jubah itu, apa yang dibayangkan atau dikhayalkan, akan menjadi kenyataan dalam sekejap! Buktinya, tadi tahu-tahu di depan Gandarwo sudah ada kuda yang muncul secara gaib. Pasti tadi Gandarwo membayangkan seekor kuda hitam!"

"Oh, luar biasa kesaktian jubah itu! Kusangka hanya akan membuat orang yang memakainya menjadi bertambah banyak ilmunya dan kesaktiannya tak bisa dikalahkan. Ternyata punya daya cipta yang tinggi! Oh, aku jadi ingin sekali memiliki jubah itu, Marta Kumba! Mengapa kita kalah dengan Gandarwo...?!"

Ratna Prawitasari menjadi murung. Badannya yang tadi lemas dan sudah menjadi sehat kembali, sekarang menjadi lemas lagi. Ia tampak sedih dan kecewa sekali. Marta Kumba yang melihatnya, segera memeluknya dan berkata,

"Jangan sedih, Ratna! Aku akan merebut jubah itu untukmu! Aku akan merebutnya untukmu! Jangan sedih,Ratna...!"

"Dapatkah kau merebutnya?"

"Harus dapat! Aku harus berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan jubah itu! Jubah itulah tanda cintaku padamu, Ratna!"

"Apakah kau cinta padaku?"

"Ya!" jawab Marta Kumba dengan berdebar-debar antara takut dan malu. Tapi kemudian Ratna Prawitasari menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu dengan hangat dan penuh kemesraan yang Iidah, ia berucap kata lagi,

"Marta..., aku kepingin sekali punya jubah itu!" Ia mulai bernada manja, dan keberanian Marta mulai terbakar.
"Aku akan berangkat sekarang juga untuk merebut jubah itu dari tangan Gandarwo yang berwajah angker itu!"

Maka berangkatlah Marta Kumba mengejar kepergian Gandarwo yang telah mengubah namanya menjadi Malaikat Jubah Keramat. Khawatir terjadi sasuatu pada diri Marta Kumba, Ratna Prawitasari mengikutinya dari kejauhan, menjaga kemungkinan datangnya bahaya yang menyerang Marta Kumba.

Kuda hitam itu masih menyusuri pantai. Marta Kumba mengejarnya dengan susah payah, karena kuda itu berlari dengan cepat. Tapi pemuda itu agaknya tidak putus asa untuk mengejar kuda tersebut. Demi cintanya kepada Ratna Prawitasari, ia berlari terus memburu manusia berwajah angker yang memakai Jubah Keramat itu. Sementara itu di belakangnya, Ratna Prawitasari mengikuti dan mengawasi keadaan di sekitar tempat kekasihnya berada.

Sampai tiba di suatu tempat, Marta Kumba melihat kuda itu berhenti. Tapi agaknya ia tak bisa mendekat, karena di sana ada satu orang lagi yang pernah dilihat oleh Marta Kumba di patilasan. Orang itu adalah Mandraloka, yang sengaja menghadang kuda hitam dan membuat Gandarwo menghentikan langkah sang kuda.

"Gandarwo...! Kulihat kau mengenakan jubah semegah itu! Apakah itu jubah keramat yang dihebohkan para tokoh persilatan selama ini?!"

"Huah ha ha ha... ! Mandraloka, mata tuamu ternyata belum rabun! Memang inilah jubah keramat yang dijadikan incaran para tokoh rimba persilatan selama ini! Akulah pemeliknya! Dan perlu kau ingat, jangan kau sebut lagi namaku Gandarwo! Tetapi sebut aku Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha ha...!"

"Aku sangsi dengan bualanmu, Gandarwo!" kata Mandraloka sambil menahan rasa sakit akibat serangan dari Nyai Cungkil Nyawa tadi. Kemudian ia berkata,

"Jika benar jubah itu adalah jubah keramat, tunjukkan padaku kehebatannya!"

Mandraloka sengaja memancingnya demikian, karena ia punya niat untuk merebut jubah itu dengan bertarung melawan Gandarwo. Tetapi terlebih dulu ia harus tahu persis bahwa jubah itu memang jubah keramat. Mandraloka tidak mau membuang tenaga secara sia-sia dengan mengadakan pertarungan melawan Gandarwo, jika ternyata jubah itu hanyalah jubah tipuan belaka.

Gandarwo berseru, "Kau ingin melihat kesaktian jubahku ini? Baik. Apa yang kau inginkan? Apa yang harus kulakukan?"

"Lenyapkan pohon besar itu dalam sekejap!" sambil Mandraloka menuding sebatang pohon besar berdaun rindang seperti beringin, yang tingginya melebihi pohon kelapa.

"Huah ha ha ha ha... ! Buat Malaikat Jubah Keramat, itu pekerjaan yang amat mudah, Mandraloka! Lihat, pohon itu sudah hilang dengan sendirinya!"

Mandraloka memandang ke arah pohon yang tadi ditudingnya, dan ia terbelalak kaget, ternyata pohon besar itu sudah tidak ada. Lenyap tanpa bekas. Tapi Mandraloka masih diliputi kebimbangan, dan segera ia berkata,

"Munculkan lagi dalam keadaan penuh dengan buah!"

"Apa yang kau katakan itu memang benar, pohon itu sudah berbuah lebat, Mandraloka!" sambil berkata begitu, Gandarwo membayangkan pohon tadi muncul dalam keadaan berbuah.

Maka, terbelalaklah mata Mandraloka melihat kemunculan pohon tersebut yang kini sudah berbuah lebat. Gemetar persendian tulang Mandraloka, berdebar hatinya, berdetak cepat jantungnya. Dalam hati ia mengakui kebenaran jubah tersebut. Maka dengan suara lantang ia berseru dan mencabut pedangnya,

"Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan nyawamu sekarang juga?!"

Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib. Gandarwo tertawa terbahak- bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.

Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat. Gandarwo menggeram dengan pancaran mata kemarahannya,

"Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu?!"
"Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung melawanmu!"
"Kasihan...!"

"Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan kuat. Gandarwo membayangkan Marta Kumba bunuh diri dengan pedangnya, maka terjadilah hal itu dan membuat sepasang mata yang mengintai kejadian itu menjadi mencucurkan air mata. Tangis itu terpendam, lalu gadis berjubah hijau muda itu pun cepat melarikan diri ketakutan melihat kekasihnya mati bunuh diri. Ia tahu, itu perbuatan pikiran jahat Gandarwo.

Dan tawa Gandarwo pun bergema ke mana-mana sebagai tawa tokoh sakti yang bergelar Malaikat Jubah Keramat.

* * *9

HANTU Laut memberitahukan tugasnya kepada Pendekar Mabuk, setelah Suto Sinting memberinya minum tuak sebagai pengobat kakinya yang luka. Kalau Suto terlambat datang, maka borok itu akan mengganas sampai pada bagian pahanya. Untung Suto cepat datang bersama Kirana dan Ki Sonokeling, sehingga Hantu Laut tak sampai mengalami luka ke bagian paha, kecuali hanya sekitar betis dan mata kaki.

"Jadi, aku harus ke Pulau Serindu?"

"Betul, Suto! Sebelum selesai purnama, kau harus sudah sampai ke sana! Karena Gusti Ratu Mahkota Sejati tinggal menunggu kedatanganmu, maka peresmian istana dari pemugarannya kembali itu akan dilaksanakan!"

"Aku boleh ikut?!" tanya Nyai Cungkil Nyawa. Hantu Laut salah dengar sehingga ia berkata,
"Kenapa kau harus takut, Nek?! Tidak ada yang perlu ditakuti!"
"Kataku, Ikut! Bukan takut!"
"O, kau mau ikut? Boleh saja ya, Suto?!"

Pendekar Mabuk hanya manggut-manggut sambil tersenyum. Nyai Cungkil Nyawa bersungut-sungut sambil menggerutu,

"Sejak tadi aku ngomong sama orang ini, kupingku jadi budek sendiri, Suto!"
Ki Sonokeling tertawa lebih terkekeh dari yang lain. Ki Sonokeling menimpali dengan ucapan,
"Di tempat seperti ini mana ada yang jualan nasi gudeg, Nyai!"

"Budek! Kupingku jadi budek! Bukan aku kepingin nasi gudeg! Waaaah, kamu kenapa jadi ketularan budek begitu, Sonokeling?!"

"Lho, bukannya ngomong soal nasi gudeg sejak tadi?!" ujar Ki Sonokeling sambil bengong. Yang lainnya pun segera tertawa.

Pendekar Mabuk segera mendekati Kirana yang sejak tadi cemberut dan tak mau ikut tertawa.

Suto berkata pelan,
"Kenapa kau cemberut terus?"
"Kau mau pergi!"
"Ada tugas lain, Kirana."
"Tapi kau belum selesaikan tugasmu merebut pedang emas!"
"Akan kulakukan sebelum aku pergi ke Pulau Serindu!"
"Betul?"

"Ya! Jangan khawatir, aku tak akan menggantungkan tugas yang belum selesai. Sekarang mari kita cari Rangka Cula!"

"Kau bilang dia akan kemari sendiri!"
"Kalau kita menunggu akan lama jadinyal"

"Rangka Cula biar aku yang hadapi!" celetuk Nyai Cungkil Nyawa. "Kalau kau mau pergi, pergilah sana! Soal pedang emas itu, akan kusimpan sampai kau datang mengambilnya!"

Tiba-tiba muncul Ratna Prawitasari yang berlari dengan terangah-engah dan ketakutan, ia sendiri terkejut melihat di patilasan itu banyak orang, bukan hanya Nyai Cungkil Nyawa sendiri, ia menjadi ragu untuk mendekat, tapi wajah takutnya semakin jelas dan mengundang keheranan bagi semua yang ada di situ.
Melihat kehadiran Ratna Prawitasari, Nyai Cungkil Nyawa menjadi berang lagi dan berteriak menghardik,
"Belum kapok kamu, hah?! Masih saja mau mengacak-acak tempat ini? Mau cari mampus kamu, hah?!"

"Hmm... anu... tidak, Nek!" Ratna Prawitasari melelehkan air mata karena terbayang saat ia menangkap ular di kaki Marta Kumba yang duduk di batu, dan batu itu sekarang ada di samping kirinya.

Ratna Prawitasari tertunduk menahan tangis yang sukar dikendalikan. Nyai Cungkil Nyawa segera mendekati dengan dahi berkerut pertanda heran melihat tangis gadis itu.

"Ada apa kau menangis?" tanya Nyai Cungkil Nyawa. "Merengek-rengek supaya aku kasihan padamu dan memberitahukan letak pintu itu?"

Ratna Prawitasari menggeleng, kemudian dengan berburai air mata, Ratna Prawitasari menatap nenek itu dan berkata pelan,

"Aku sudah tahu pintu itu ada di mana. Tapi sia-sia kalau aku masuk ke gua itu!"

Terperanjat Nyai Cungkil Nyawa begitu Ratna Prawitasari sebutkan kata gua. Ia segera membatin, "Dia benar-benar telah temukan pintunya! Tapi mengapa dia menangis?"

Ratna Prawitasari melanjutkan bicaranya, "Jubah itu sudah dicuri orang!"

"Hahh...?!" suara kejutan ini hampir serempak diucapkan oleh Nyai Cungkil Nyawa dan Ki Sonokeling. Lalaki berkulit hitam itu pun segera mendekati Ratna Prawitasari dan bertanya,

"Benarkah jubah itu sudah dicuri orang?!"
Ratna Prawitasari menganggukkan kepala. "Gandarwo-lah orangnya!"

"Gandarwo...?!" kedua kakek-nenek itu sama-sama terpekik dan matanya saling mendelik, lalu pelan-pelan wajah mereka berpaling saling memandang dengan mata tetap mendelik.

"Dia telah membunuh Mandraloka dan... kekasihku; Marta Kumba!" tertunduk lagi wajah Retna Prawitasari, ia sembunyikan tangis di sana. Haru hati mereka, namun geram pula membayangkan Gandarwo berhasil menemukan jubah keramat itu. Semua tak ada yang bicara. Semua bagai terpaku bungkam oleh berita tersebut. Pendekar Mabuk ikut mendekat pada waktu Ratna Prawitasari berkata,

"Gandarwo menobatkan dirinya sebagai orang yang bergelar Malaikat Jubah Keramat, ia menunggang kuda hitam berpelana emas, yang muncul sendiri dari daya cipta di dalam pikirannya!"

"Keparat si Gandarwo busuk itu!" geram Nyai Cungkil Nyawa. Wajah tuanya tampak memerah menahan amarah. Matanya memancarkan murka yang tertahan. Lalu ia berkata kepada Ki Sonokeling,

"Tetaplah di sini bersama mereka, aku akan mencari Gandarwo!"
"Jangan!" kata Ki Sonokeling. "Kalau kau melawannya, aku harus ikut! Kalau kau mati, aku pun ikut!"

Ratna Prawitasari pun menambahkan kata, "Dia dapat memenggal kepala Mandraloka tanpa menyentuh. Hanya dilihatnya saja, Nek. Kau pun bisa dipenggal seperti itu! Jangan ke sana! Sebaiknya menghindar saja!"

"Memenggal dengan hanya melihat...?!" gumam Nyai Cungkil Nyawa sambil merenung dalam kebimbangan. "Jubah itu... pasti jubah itu yang membuatnya dapat begitu!"

Pendekar Mabuk segera ikut bicara, "Apa kelemahan jubah itu, Nyai?"

"Kelemahannya...?!" Nyai Cungkil Nyawa berpikir beberapa saat, kemudian menjawab, "Tidak ada kelemahannya! Kecuali jika jubah itu dilepas, baru orang itu menjadi lemah!"

"Kalau begitu, biarlah aku yang menghadapinya," kata Pendekar Mabuk dengari tegas dan mantap. Semua mata memandang ke arah Suto, termasuk Ratna Prawitasari.

Tiba-tiba terdengar suara menyahut, "Aku yang menghadapi!"

Semua berpaling ke arah orang yang menyahut pembicaraan itu. Ternyata Rangka Cula sudah berdiri dalam jarak tujuh tombak dari tempat mereka. Nyai Cungkil Nyawa menggeram benci, ia ingin bergerak maju, tapi tangan Suto menahannya dan berkata,

"Mundurlah semua! Ini bagianku...!"

Semua menuruti kata Suto. Mereka mundur dengan wajah tegang ketika Suto melangkah mendekati Rangga Cula. Orang berwajah dingin itu diam saja. Suto berhenti dalam jarak lima langkah di depan Rangka Cula. Ia meneguk tuaknya sebentar, setelah itu berkata kepada Rangka Cula.

"Kita bertemu lagi, Rangka Cula!"
"Ya," Rangka Cula menjawab pendek.
"Aku akan merebut pedang itu lagi darimu!"
"Silakan!"
"Kau jago pedang, dan aku juga bisa memainkan pedang! Kita bertarung secara jantan!"
"Baik!"
"Kirana, pinjam pedangmu!" seru Pendekar Mabuk dengan gagahnya.

Kirana cepat mencabut pedangnya, dan dilemparkan ke arah Pendekar Mabuk. Tabb... ! Pendekar Mabuk menangkap pedang itu dengan cekatan. Bumbung tuak diselempangkan ke punggung. Pedang dipegang dengan dua tangan.

"Kau sudah siap, Rangka Cula?!"
"Sudah!"
"Cabut pedangmu!"
"Nanti!"

Suto mulai melangkah maju dua tindak. Rangka Cula mulai memegangi gagang pedang dari Cula badak itu. Suto diam, dengan kedua kaki merapat dan siap menebaskan pedangnya. Pedang itu sudah ada di sisi kanan dalam genggaman dua tangan, mengarah ke atas ujungnya. Rangka Cula sendiri memandang tak berkedip dengan kedua kaki yang satu ditekuk ke depan, satunya lagi dia tarik ke belakang, siap melakukan lompatan maut.

Mereka yang menyaksikan adegan itu menjadi berdebar-debar tegang. Ratna Prawitasari sendiri tahu, siapa Rangka Cula. Ia pernah melihat pertarungan Rangka Cula dengan se seorang yang mahir main pedang, tapi Rangka Cula unggul dan ternyata lebih mahir dari orang tersebut. Sekarang Ratna Prawitasari merasa cemas dan hatinya bertanya-tanya, "Mampukah pemuda tampan itu mengalahkan ilmu pedangnya Rangka Cula?!"

Cukup lama mereka saling pandang dan saling menunggu kesempatan lengah lawannya. Tak ada gerakan apa pun pada diri mereka. Sungguh amat menegangkan bagi penontonnya.

Tetapi, kejap berikut terdengar Rangka Cula berseru, "Hiaaat...!"

Wuttt, wuttt... ! Keduanya sama-sama berkelebat maju. Rangka Cula melompat sambil mencabut pedangnya, Pendekar Mabuk melompat sambil kelebatkan pedangnya. Mereka tiba di tempat berbeda, saling memunggungi. Sama-sama diam mematung beberapa saat.

Lalu, mulailah menetes darah dari lengan Suto, dekat pundak. Kirana tersentak kaget melihat lengan Suto berdarah. Tapi Kirana juga sedikit lega melihat pergelangan tangan Rangka Cula juga berdarah. Keduanya sama-sama luka. Keduanya sama-sama tangguh.

Tetapi Rangka Cula segera berbalik manakala Pendekar Mabuk masih memunggunginya, lalu ia menebaskan pedangnya ke punggung Pendekar Mabuk dengan cepat.

Wuttt... ! Trangng... ! Pendekar Mabuk menangkisnya tanpa memandang gerakan pedang lawan. Hanya dengan menengadahkan pedangnya ke atas kepala dan badannya sedikit merendah, pedang lawan tertangkis. Dan dengan cepat Pendekar Mabuk sedikit naikkan badan, lalu tangannya berkelebat menebas ke atas dengan cepat. Trangng... !

Wuttt... ! Pedang Rangka Cula terpilin pedang Pendekar Mabuk. Zrrrakk...! Pendekar Mabuk menyentakkan kuat, dan pedang itu lepas dari genggaman Rangka Cula. Itu karena genggaman tangan Rangka Cula sudah mulai melemah akibat terluka dalam oleh pedang Pendekar Mabuk dalam jurus pertama tadi.

Rangka Cula segera melompat mundur ketika ia sadar tangannya sudah tidak memegang pedang. Kini pelan- pelan ia mulai mencabut pedang emas di punggungnya.

Kirana sudah mulai cemas, Ki Sonokeling pun menjadi tegang tak berkedip.

"Heeaaah...!" Suto memekik sambil bersalto ke samping, tapi pedang di tangannya dilemparkan cepat ke arah Rangka Cula. Wuttt...! Trangng...! Rangka Cula mengibaskan pedang emas untuk menangkis pedang yang melesat ke arah dadanya itu. Tapi di luar dugaan, Suto Sinting cepat melepaskan jurus Yudha', yaitu tangan disentakkan dalam keadaan miring dan dari tangan itu melesatlah sinar perak berbentuk bintang yang menembus perut Rangka Cula.Clappp...! Hanya Nyai Cungkil Nyawa yang melihat sinar perak itu berbentuk bintang.

Zrrrubb... ! Jurus 'Yudha' mengenai sasarannya. Rangka Cula diam saja. Berdiri mematung dan tak bergerak. Pendekar Mabuk menarik napas dan menghembuskan dengan kelegaan tersendiri. Bahkan ia sempat minum tuaknya dan membuat mereka yang menyaksikan pertarungan itu menjadi heran.

Kejap berikutnya, mereka makin dibuat heran. Daun telinga Rangka Cula jatuh. Plukk...! Ruas jari tangannya menyusul jatuh. Pluk! Kini pergelangan tangan kirinya jatuh. Plukkk...! Dan tiap ruas tulang pada tubuh Rangka Cula mulai berjatuhan, terpoteng tanpa darah. Pendekar Mabuk sendiri segera mengambil pedang emas itu dengan tenangnya. Dan tangan yang memegangi pedang emas itu pun jatuh terpotong rapi.

Kini pedang emas sudah ada di tangan Suto Sinting. Dan tubuh Rangka Cula yang terkena jurus 'Yudha' itu menjadi terpotong-potong dengan sendirinya setiap ruasnya, sampai terakhir kepalanya jatuh ke tanah dalam keadaan sudah tidak sempurna lagi. Brukk...! Tubuh Rangka Cula rubuh dalam keadaan paha dan lutut sudah terpisah. Dan itulah kehebatan jurus Yudha', yang menjadi satu dengan jurus 'Manggala', pemberian dari seorang ratu di alam gaib, yaitu Ratu Kartika Wangi. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").

"Suto...! Kau berhasil...!" teriak Kirana dengan girangnya, ia segera memeluk Pendekar Mabuk yang sudah memegangi pedang emas bersama sarungnya. Yang lain pun tersenyum merasa lega bercampur kagum. Terutama Ratna Prawitasari, tak henti-hentinya ia tersenyum memandangi kehebatan Suto, tak henti- hentinya ia terkesima memandangi ketampanan Suto, hingga lupa berkedip sejak tadi.

Namun, kegembiraan itu segera susut setelah mereka mendengar suara ringkik kuda. Mata mereka berpaling ke belakang dan melihat seekor kuda hitam ditunggangi orang berwajah angker dengan rambut panjang acak- acakan, mengenakan jubah yang mengejutkan wajah Nyai Cungkil Nyawa. Orang itu adalah Manusia Jubah Keramat yang enggan dipanggil dengan nama Gandarwo.

"Sedang apa kalian berkumpul di sini?! Mencari jubah keramat?! O, lupakan jubah itu! Lihat... jubah itu sudah kupakai! Dan akulah orang terkuat di seluruh pelosok penjuru dunia dengan gelar Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha ha...!"

Nyai Cungkil Nyawa mau bergerak, tapi mata Pendekar Mabuk memberikan isyarat agar nenek itu diam saja. Suto pun segera melangkah maju mendekati Gandarwo, yang lain tinggal di tempat semula. Yang lain memandang dengan berdebar-debar.

"Benarkah jubah itu jubah keramat, Malaikat Jubah Keramat?" tanya Suto dengan kalem, tidak menampakkan sikap permusuhan, tapi pedang emas sudah disiapkan di tangan kiri, masih dalam sarungnya.

"Kalau kau tak percaya, tanyakan saja pada nenek tua itu!" kata Gandarwo dengan sedikit ngotot.
"Melihat warnanya dan bentuknya yang megah, aku percaya kalau jubah itu jubah angker!"
"Jubah keramat! Bukan jubah angker!"
"O, ya...! Jubah keramat yang sakti!" Suto tersenyum.
"Betul!"
"Dan tentunya kau adalah orang sakti yang berilmu tinggi!"
"Tak salah lagi! Huah ha ha ha...!" Gandarwo kegirangan mendapat pujian dari Suto.
"Bagaimana kalau kutukar dengan pedang emas ini?!" kata Suto.
"Pedang emas?! Oh, tidak...! Aku tidak...."

"Dengar dulu, Malaikat Jubah Keramat!" potong Suto. "Pedang ini sangat bagus, lihat ukiran di dalamnya...!" Pendekar Mabuk meloloskan pedang dari sarung pedang, lalu menunjukkan ukiran naga di tengah mata pedang itu sambil berkata,

"Nah, lihat... ukiran ini merupakan ukiran keramat juga "

Pada waktu Gandarwo ikut memperhatikan ukiran pedang emas itu, tiba-tiba Suto menyentakkan pedang tersebut dengan cepat. Jrubb...! Tepat menusuk jantung Gandarwo. Orang itu, yang masih di atas punggung kuda, segera mendelik dan ternganga mulutnya. Untuk kemudian tumbang dari atas punggung kuda. Brukkk... ! Dan kejap berikutnya ia menghembuskan napasnya yang terakhir.

Pendekar Mabuk segera melepas jubah yang dipakai Gandarwo. Sementara orang-orang yang menyaksikan gerakan cepat Pendekar Mabuk dalam menusukkan pedang tadi, masih tertegun bengong tak berkedip. Karena mereka sama sekali tidak menyangka kalau Suto akan melakukan gerakan secepat itu. Bahkan mereka tak menyangka Suto Sinting mempunyai rencana seperti itu. Kirana sendiri sempat cemas mendengar pedang emas mau ditukar dengan jubah keramat.

Pendekar Mabuk melakukan rencana tersebut, karena ia tahu bahwa lawannya sudah siap menyerang sewaktu- waktu, ia sama saja melawan pikiran seseorang yang bisa menghadirkan bencana dan maut setiap kejapnya. Untuk melawan pikiran berbahaya itu, Suto hanya mengalihkan pikiran tersebut hingga lawan pun lengah.

Mereka yang menyaksikan tindakan Pendekar Mabuk itu baru sadar dari rasa kagetnya setelah Pendekar Mabuk melipat jubah itu dan menyerahkannya kepada Nyai Cungkil Nyawa.

"Nyai, simpanlah kembali pada tempatnya, setelah itu tutup rapat-rapat pintu menuju makam! Tak perlu ada orang yang keluar masuk ke dalam makam Prabu Indrabayu."

"Suto...!" nenek itu memandang dengan iba hati dan kagum terhadap ketulusan hati Pendekar Mabuk, ia pun segera berucap kata,

"Terima kasih banyak atas bantuanmu, Bocah Sinting! Aku tak mengerti harus bagaimana membalas budi baikmu ini!"

"Balaslah pada orang lain yang membutuhkan budi baikmu, Nyai!" jawab Pendekar Mabuk yang membuat Ki Sonokeling geleng-geleng kepala dan menggumam, "Sebuah kalimat yang bagus...."

"Sekarang, tugasku telah selesai! Pedang emas sudah kembali ada di tanganku, dan jubah keramat sudah kembali di tanganmu, Nyai. Rasa-rasanya kita harus berpisah untuk sementara waktu, karena aku punya tugas lain. Kalau ada orang yang berani mencuri jubah ini lagi, katakan padanya, aku Suto Sinting, murid si Gila Tuak, akan berhadapan dengan orang itu!"

Tiba-tiba ada yang menyahut, "Aku setuju!" semua berpaling ke arah orang yang baru datang itu, dan Kirana segera sunggingkan senyum sambil menyapa, "Nyai Guru Embun Salju...?!"

Orang sakti dari Perguruan Elang Putih itu datang. Rupanya ia juga mencemaskan diri Suto, sehingga ia pribadi menyempatkan pergi dari kuil Elang Putih untuk menjaga kemungkinan bahaya yang bisa terjadi pada diri Pendekar Mabuk.

"Aku telah mendapatkan pedang ini, Nyai Embun Salju!" kata Suto sambil mendekat bersama Kirana. Ratna Prawitasari pun ikut mendekat dan berkata,

"Sembah hamba, Nyai Guru...!" Ratna Prawitasari menundukkan kepala memberi hormat kepada Embun Saiju. Rupanya Ratna Prawitasari adalah murid Perguruan Elang Putih yang dibuang dari Tanah Merah karena harus menjalani hukuman buang untuk sebuah kesalahan. Tapi Embun Salju dalam kesempatan itu memberi ampunan pula kepada Ratna Prawitasari, sehingga Ratna Prawitasari disarankan untuk ikut pulang ke kuil Elang Putih.

"Suto juga berhasil selamatkan jubah keramat milik Prabu Indrabayu, Guru!" kata Ratna Prawitasari yang sudah mengetahui nama Suto.

"Prabu Indrabayu?!" Embun Salju menggumam. "Oh ya... benar! Aku baru ingat, ini bekas Pesanggrahan Teratai Dewa?! Di sinilah Prabu Indrabayu disemayamkan bersama istrinya yang tercinta, yang bernama Sendang Kedaton ...... "

"He!, bukankah itu nama asli Nyai Cungkil Nyawa, penjaga makam di sini, Nyai Embun Salju?!" kata Suto.

"Bukan! itu nama istri tercinta Prabu Indrabayu!"
"Itu nama penjaga makam di sini, Nyai!" Pendekar Mabuk ngotot.
"Kalau tak percaya kita tanya pada orangnya...,"

Pendekar Mabuk berpaling ke belakang mencari Cungkil Nyawa.

"Nyai...?! Nyai Cungkil Nyawa...?!"

Ki Sonokeling yang menjawab, "Dia lenyap... hilang dari sampingku!"

"Oh, kalau begitu dia adalah jelmaan istri Prabu Indrabayu...?!" gumam Pendekar Mabuk sambil termenung terheran-heran.

Dan sejak itu tak pernah ada yang menemui Nyai Cungkil Nyawa, ia hilang selama-lamanya.

SELESAI
Menyusul: NAGA PAMUNGKAS