Pendekar Mabuk 26 - Ratu Tanpa Tapak(2)



Ki Lumaksono pun kerahkan tenaga dalamnya melalui tongkat tersebut. Sehingga kejap berikutnya golok tersebut menjadi merah membara,
bagaikan terpanggang api yang amat panas. Lalu Ki Lumaksono meludahi golok itu. Jrooss...! Golok itu padam dan tahu- tahu sudah menjadi arang tak berguna. Pruuus...! Golok itu hancur menjadi serpihan hitam.

Mata Tamboi terbelalak. Ki Lumaksono cepat sentakkan kakinya ke depan. Wuuut...! Tak sampai menyentuh perut Tamboi. Tapi kekuatan tenaga dalam yang terpancar di ujung kaki itu menghantam telak ulu hati

Tamboi. Buuhg...!

"Heggh...!" Tamboi kian mendelik. Mulutnya ternganga seketika sambil semburkan darah segar dari mulutnya, ia tertatih-tatih limbung mundur. Kedua tangannya masih merenggang badannya sedikit membungkuk ke depan. Akhirnya Tamboi pun jatuh tepat di depan kuda Lasogani. Bruugh ...!

"Tewas...," gumam Balung Kere dengan sedih melihat nasib temannya.
"Tewas matamu!" sentak Lasogani kepada Balung Kere dengan marah sekali. "Maju, balas dia!"

"Hiaaat...!" suara kecilnya melengking seketika walaupun ia belum melompat dan belum bergerak apa- apa.

"Hiaat...!" teriaknya lagi panjang dan lengking sambil mencari di mana kapaknya tadi tertinggal saat jatuh.

"Hiaaat...!" teriaknya sekali lagi. Tapi tiba-tiba, plook... !

Wajah kurus itu ditampar kuat oleh Lasogani yang melompat dari punggung kuda. Balung Kere terpental jatuh telentang dengan gelagapan. Wajahnya merah karena bekas tamparan keras tadi.

"Napas Setan! Tangani dua orang itu! Cepat!"

Napas Setan yang sejak tadi diam saja di samping kuda Ki Gendeng Sekarat segera turun. Wajahnya angker. Tak ada senyum sedikit pun. Napas Setan segera mencabut golok berujung trisula dari tempatnya di sisi pelana kuda. Pada saat itu Ki Gendeng Sekarat perdengar suaranya.

"Kau akan mati juga di tanganku, Nak!"

Napas Setan yang kira-kira berusia sekitar empat puluh tahun itu memandang Ki Gendeng Sekarat yang tundukkan kepala karena tidur, ia menggeram dan segera ingin menikamkan tombak trisulanya. Tapi Lasogani segera berseru,

"Bukan dia! Tapi dua orang itu, Tolol!"

Napas Setan mendengus benci sebelum pergi. Ki Gendeng Sekarat masih terkulai tidur bagai tak pedulikan dengusan itu.

"Cepaaat...!" teriak Lasogani dengan berang sekali. Napas Setan tiba-tiba sentakkan kaki dan tubuhnya melayang menukik dengan tombak trisula mengarah ke dada Ki Lumaksono.

"Heaaahhh...!" teriaknya serak dan menyeramkan, sesuai dengan tubuhnya yang kekar dan tinggi.

Tetapi Ki Lumaksono justru melompat ke samping, tak mau menangkis atau membalas serangannya. Namun Ki Parandito yang ada di belakangnya segera sentakkan tongkatnya lurus ke depan. Claaap...! Dari ujung tongkatnya keluar panah kecil berwarna merah. Panah itu rupanya adalah panah be si yang amat beracun dan bertenaga dalam tinggi. Napas Setan segera menangkis dengan tombak trisula, mengibaskan panah itu ke
samping.

Trang...! Duaaar...!

Nyala api memercik akibat tangkisan dua senjata ampuh itu. Ledakan yang timbul merontokkan dedaunan di sekeliling mereka. Bahkan ada beberapa dahan yang masih muda patah dan berjatuhan. Tombak trisula itu diputar cepat.

Wut, wut, wut... ! Tahu-tahu sudah berada di samping Napas Setan yang berdiri tegak dengan kaki kekar merenggang sedikit, ia menampakkan sikap perkasanya dengan lirikan mata yang tajam mempunyai gairah membunuh dengan kejamnya. Lirikan mata itu membuat Ki Lumaksono tersenyum tipis. Ki Parandito segera melangkah dengan santai sambil mengayunkan tongkatnya.

Kini jarak Ki Parandito dengan Napas Setan hanya tiga tindak. Tokoh tua berjubah merah itu menampakkan ketenangannya walau ia berkata dengan suara berat, "Keluarkan semua ilmumu, aku akan melayanimu, Bocah Bagus!"

Fuih..! Napas Setan sentakkan napasnya melalui hidung. Ki Parandito kaget menerima napas yang bagaikan gelombang panas cukup besar itu. Wuuut...! Tubuh Ki Parandito terlempar tujuh langkah ke belakang tanpa berguling-guling.

Ki Lumaksono juga kaget. Segera disentakkan tongkatnya menghantam tanah. Duuug...! Lalu bumi berguncang bagaikan dilanda gempa. Tubuh Napas Setan terlempar ke atas. Wuuut...! Keseimbangannya limbung. Ki Parandito yang sudah tegak kembali itu segera sentakkan tongkatnya. Wuuut...! Claaap...! Anak panah merah meluncur dari ujung tombak. Karena Napas Setan dalam keadaan kaget saat terlempar di luar dugaan, maka ia tak sempat menangkis anak panah itu. Akibatnya anak panah yang kali ini menancap tepat di jantungnya. Jruub! Blaaar...!

Pecah. Anak panah itu bagai tombol peledak, begitu menyentuh benda langsung meledak. Karena yang disentuh adalah jantung Napas Setan, maka jantung itu pun segera pecah bersama serpihan tubuh Napas Setan.

Lasogani belum sempat menyadari saat terjadinya peristiwa itu, karena ia sendiri terguncang dan terlempar ketika Ki Lumaksono timbulkan gempa setempat. Tubuh Lasogani menjatuhi Balung Kere yang terhimpit badan kuda milik Tamboi.

"Mati aku...!" suaranya berat dan ngotot dengan mata mendelik. Balung Kera berusaha menahan beban. Karena bukan hanya kuda dan tubuh Lasogani yang kebetulan jatuh menindih dirinya, tapi kedua tubuh temannya yang sudah dilumpuhkan Ki Gendeng Sekarat dan Raja Maut itu juga terlempar karena gempa dan jatuh tepat menutup wajahnya.

Ki Gendeng Sekarat hampir saja tumbang dari atas kuda karena getaran gempa tadi. Ia hanya terkulai di punggung kuda dalam keadaan tengkurap. Tapi masih saja tertidur. Bahkan semakin merebah, menempelkan pipinya di leher kuda bagaikan tidur di atas bantal. Dengkurannya terdengar samar-samar.

Sementara itu si Patuh Pendek, orang yang berleher pendek dan menjadi satu-satunya penjaga tawanan, juga terpelanting jatuh dari punggung kuda akibat getaran gempa tadi. Namun ia tidak mengalami cedera apa-apa karena ketika jatuh ia cepat-cepat berpegangan pelana kuda.

Lasogani bangkit dengan bertambah berang. "Jahanam busuk!" makinya dengan memandang tajam kedua lawannya.

"Balung Kere...! Jaga tawanan itu. Balung Kere...?! Mana dia, Paruh Pendek?! Balung Kere...! Bangsat itu lari?!"

"Aku di siniii...," seru Balung Kere tertutup badan kuda dan kedua tubuh temannya. Kuda itu sendiri mengalami patah kaki hingga sulit berdiri.

Lasogani makin jengkel melihat Balung Kere tak berkutik, ia biarkan orang itu melepaskan diri dari tubuh kuda yang meringkik ringkik itu. Ia segera dekati Paruh Pendek, orang yang bagai tak memiliki leher itu.

"Maju, lawan mereka. Bunuh semuanya! Aku yang jaga tawanan ini!"
"Dari tadi mestinya kau tugaskan aku begitu!"

"Kerjakaaan...!" teriak Lasogani yang bertubuh kekar berkumis tebal dan berkepala sedikit botak bagian belakangnya.

Paruh Pendek maju menghadapi Ki Lumaksono dan Ki Parandito. Tombak berujung sabit diambil dari tempatnya di samping pelana kuda. Kilatan matahari memantul dari ketajaman sabit tersebut.

Lasogani sempat menggerutu melihat Ki Gendeng Sekarat yang tidur tengkurap di atas punggung kuda.

"Monyet juling! Yang lain bertarung taruhan nyawa, dia malah enak-enak tidur. Uuuh...! Kalau tak takut perintah sang Ratu, sudah kubunuh orang ini sejak tadi!"

Paruh Pendek memainkan jurus tombaknya di depan Ki Parandito. Gerakan jurusnya begitu cepat, sehingga tombak itu bagaikan membentuk perisai yang rapat dan sukar ditembus.

Tetapi Ki Parandito bukan orang bodoh, ia sengaja diam saja dan tetap tenang, seperti yang dilakukan Ki Lumaksono. Ia memperhatikan gerakan itu baik-baik. Tapi anehnya Paruh Pendek sejak tadi bergerak terus tiada hentinya, seakan tak pernah merasa lelah dalam gerakan secepat itu. Wajahnya bagai sulit dipandang lagi karena kecepatan gerak tombaknya menutupinya. Suara gerakan tombak itu mendengung bagaikan lebah.

"Mundur. Biar aku yang hadapi," kata Ki Lumaksono kepada Ki Parandito.

Tongkat warna coklat segera diputar di atas kepala. Bunyinya seperti gaung gangsing. Itu menandakan putaran tongkat lebih cepat dari putaran gerak tombak Paruh Pendek. Rupanya kecepatan putaran tongkat itu menimbulkan lingkaran gelombang cahaya biru. Semakin lama semakin melebar dan mendekati gerakan tombak Paruh Pendek. Sedangkan gerakan tombak itu makin lama makin keluarkan asap yang membungkus diri.

"Heaaah...!" sentak Ki Lumaksono sambil hentakkan kaki ke tanah. Duug...!

Lingkaran sinar biru melesat menerjang asap tersebut. Memerciklah bunga api beberapa saat mirip percikan kembang api mainan. Tetapi dalam kejap berikut, sebuah ledakan dahsyat terdengar menggelegar dan membahana. Duaaar... !

Asap semakin tebal, menjulang ke langit bagai letusan gunung. Warnanya hitam kebiru-biruan. Suara gaung gangsing hilang. Suara dengung lebah hilang. Mereka memandang tubuh Paruh Pendek yang dibungkus asap tebal itu. Tegang dan penasaran, ingin tahu hasilnya.

Asap itu makin lama makin menipis. Dan wujud Paruh Pendek terlihat samar-samar. Orang itu masih berdiri tegak dengan tombak tergenggam di tangannya. Tapi pakaiannya sudah rusak berat. Compang-camping mirip gelandangan. Pakaian itu rusak karena ledakan dahsyat tadi. Ki Lumaksono dan Ki Parandito merasa heran. Dalam bisikan Ki Parandito terdengar melambangkan rasa kagumnya.

"Biasanya orang yang terkena jurus 'Petir Biru' milikmu itu akan hancur. Tapi orang itu tetap utuh. Hanya pakaiannya yang rusak berat. Hebat sekali?!"

Ki Lumaksono agak malu juga mendengar bisikan itu. Seolah-olah jurus andalannya tidak berguna bagi lawan seperti si Paruh Pendek. Ki Lumaksono hanya diam, terpaku di tempat memandangi Paruh Pendek.

Asap makin hilang, wujud Paruh Pendek makin jelas. Lasogani sedikit lega melihat temannya tak mengalami cedera. Balung Kere yang sudah berhasil bangkit lagi itu tertegun bengong melihat keadaan Paruh Pendek yang hampir tidak berpakaian itu.

"Serang lagi! Serang lagi mereka, Paruh Pendek!" seru Balung Kere memberi semangat. Tetapi Paruh Pendek tetap diam di tempat dengan senyum tetap tersungging tipis sejak tadi.

Lasogani pun segera memberi perintah, "Balas perbuatan mereka, Paruh Pendek. Balas sekarang juga, Bodoh!"

Tetapi Balung Kere menjadi berkerut dahi melihat Paruh Pendek tidak bergerak sejak tadi. Pelan-pelan ia mendekat dan memeriksanya, ia menyentuh tubuh Paruh Pendek dengan maksud untuk menyadarkan temannya itu. Tapi alangkah kagetnya setelah tangan Balung Kere menyentuh lengan Paruh Pendek, ternyata daging lengan itu terbawa ke tangan Balung Kere. Pluk...! Daging yang lengket di jari Balung Kere jatuh ke tanah. Balung Kere penasaran, ia memegang punggung Paruh Pendek. Croob...!

"Astaga! Dia sudah mati empuk!" seru Balung Kere kepada Lasogani.

Sentuhan itu membuat tubuh Paruh Pendek terguncang dan akhirnya jatuh. Lasogani mendelik melihat Paruh Pendek jatuh bagaikan pepaya busuk. Lembek dan langsung bonyok. Rupanya sejak tadi Paruh Pendek sudah tak bernyawa, ia mati dalam keadaan daging dan tulangnya menjadi empuk bagai habis direbus lahar gunung berapi. Tombaknya sendiri segera menjadi debu sampai bagian besi sabitnya.

Ternyata jurus 'Petir Biru' milik Ki Lumaksono punya akibat yang amat buruk bagi lawan. Kali ini memang lawan tak bisa hancur, namun mati empuk seperti pepaya busuk. Ki Parandito akhirnya tersenyum tipis dan manggut-manggut, mengakui kehebatan jurus itu. Hanya Ki Lumaksono yang mampu pelajari jurus itu, karena dulu Ki Parandito gagal menerima jurus tersebut dari gurunya.

"Kalian benar-benar keterlaluan!" geram Lasogani. "Sudah saatnya kalian mati di tanganku, Tua Bangka! Heaaatt...!" Lasogani segera melompat menyerang Ki Lumaksono dengan tangan kosong. Tapi kedua telapak tangannya sudah berubah menjadi bara merah yang mengepulkan asap.

Balung Kere pun tak mau tinggal diam karena tak mau disalahkan Lagi. Ia melompat dengan kapak siap dihantamkan ke kepala Ki Parandito. Gerakannya cukup cepat dan liar. Tetapi Ki Parandito segera melompat juga menyongsong serangan lawannya. Tongkatnya dikibaskan menghadang ayunan kapak tersebut. Traaang...! Trrang...! Praak...! Kapak itu bagaikan membentur besi baja. Parahnya lagi, ujung tongkat Ki Parandito sempat menghantam gagang kapak dan membuat gagang kapak patah seketika.

Kapak itu menjadi sangat pendek. Balung Kere kaget saat dia memandangi kapaknya. Kesempatan itu digunakan oleh Ki Parandito untuk menendang dada Balung Kere dengan tendangan putar yang amat cepat.

Weees... ! Buuhg... !

"Uuhhg...!" Balung Kere terlempar jauh dan memuntahkan darah kental, ia mendelik dan tercengap- cengap sambil pegangi dadanya.

Pada saat itu, Lasogani sedang beradu kekuatan tenaga dalam dengan Ki Lumaksono. Ketika kedua telapak tangan Lasogani menghantam tubuh Ki Lumaksono, tongkat tokoh tua berjubah abu-abu itu menyilang di dada. Akibatnya telapak tangan itu terhalang tongkat Ki Lumaksono memegangi bagian tengah tongkat sedangkan tangan Lasogani ada di kanan- kiri tongkat. Mereka saling dorong dan saling adu kekuatan.

Tongkat itu pun mengepulkan asap hitam karena remasan tangan Lasogani membakar kayu coklat tersebut Ki Lumaksono salurkan tenaga dalamnya lebih tinggi lagi ke tongkat itu. Sebab jika tongkat patah, maka tangan lawan akan menyentuh dadanya, dan pasti tubuh Ki Lumaksono akan bolong terbakar tangan membara tersebut.

Wuuut...! Buuhg...! Tongkat Ki Parandito tiba-tiba berkelebat menghantam pinggang belakang Lasogani. Akibatnya Lasogani mendelik dan tak bisa terpekik karena rasa sakit yang luar biasa bagaikan mematahkan tulang belakangnya. Pada saat ia mendelik dan kekuatannya berkurang, Ki Lumaksono menendang lurus ke ulu hatinya. Tak sampai menyentuh, namun tenaga dalam yang keluar dari ujung kaki sama besar dengan yang dilepaskan untuk Tamboi tadi. Buuhg...!

"Uuhg...!" Lasogani terlempar mundur dan jatuh terguling-guling, ia memuntahkan darah dari mulutnya, tapi hanya sedikit. Ia masih sanggup berdiri dengan satu lutut. Itu menandakan ilmunya lebih tinggi dari Tamboi tadi. Jika tidak, maka nasibnya akan semalang Tamboi. Nyatanya Lasogani masih bisa angkat wajah dan menggeram penuh dendam.

"Kuat juga dia?!" gumam Ki Lumaksono. "Biar kuhabiskan kalau dia tak mau lepaskan Gendeng Sekarat!" kata Ki Parandito sambil melangkah maju sampai berjarak empat tindak dari depan Lasogani. Ia berkata dengan tenang tanpa engahan napas.

"Bebaskan Gendeng Sekarat dari pengaruh rantai pusakamu itu! Atau kau akan menemui nasib seperti ketiga temanmu itu?'

"Kau yang akan menyusul mereka ke alam baka! Hiaaat...!" Lasogani sentakkan tangannya dalam keadaan masih berdiri satu lutut. Cahaya kuning melesat menghantam Ki Parandito. Tapi tangan Ki Parandito pun melepaskan pukulan maut bersinar merah. Pukulan sinar itu saling membentur. Blaar...! Lasogani terpelanting jatuh ke belakang. Wajahnya merah matang.

Ki Parandito ingin menghabisi lawannya agar tak terlalu membuang waktu banyak. Tetapi ketika ia melompat dengan tongkat siap dihunjamkan, tiba-tiba sekelebat bayangan melintas dan menerjangnya dari samping.

Wuuut...! Bruuus...!

Ki Parandito terpental jatuh enam langkah jauhnya. Tubuh yang menerjangnya berdiri dengan sigap dan kekar. Ki Parandito terkejut, demikian pula Ki Lumaksono yang mendelik melihat siapa tokoh yang datang bermaksud menyelamatkan Lasogani dan Balung Kere itu.

"Guru ....... !" Ki Lumaksono tersentak dengan suara berat.

Orang yang baru datang itu berambut panjang sampai sebatang pinggang, warnanya putih rata. Berpakaian jubah putih kusam hingga menyerupai warna coklat. Tubuhnya kurus, matanya dingin. Kukunya panjang dan runcing. Kemunculannya membuat Ki Parandito mundur hingga berjajar dengan Ki Lumaksono.

"Apakah dia benar-benar guru kita: Eyang Sokobumi?!"
"Tak salah lagi, Parandito!" jawab Ki Lumaksono dengan gemetar.
"Tapi... bukankah beliau telah wafat sepuluh tahun lamanya?"

"Ya. Tapi Ratu Tanpa Tapak telah mencuri mayatnya dan kini membangkitkan beliau untuk menjadi pihaknya."

"Celaka! Kita tak mungkin bisa mengalahkan beliau!" gumam Ki Parandito dengan suara gemetar pula.

Pendapat Ki Lumaksono itu benar, sama dengan pendapat Raja Maut. Setelah Raja Maut ditemukan Suto Sinting pada malam itu juga, ia berhasil ditolong dengan bantuan tuaknya. Hanya Suto Sinting yang ada di situ bersama Angon Luwak. Pelangi Sutera ditinggalkan di gua tepi pantai bersama si anak jin; Logo itu. Kedatangan Suto Sinting hampir saja terlambat.

Luka dalam Raja Maut lebih parah dibanding luka yang diterima dari Nyai Demang Ronggeng. Tapi luka separah apa pun, jika sudah terkena tuaknya Suto dari bumbung sakti itu, maka kesembuhan pun akan cepat datang dan jiwa sang luka pun tertolong.

Di ujung pagi, Raja Maut sudah bisa diajak bicara dan badannya merasa segar. Mereka membicarakan penangkapan atas diri Ki Gendeng Sekarat. Raja Maut tampak sedih dan kecewa karena ia gagal menyelamatkan sahabatnya itu.

"Aku yakin, Gendeng Sekarat dalam bahaya besar jika jatuh di tangan Nila Cendani! Perempuan itu berilmu tinggi, demikian pula para bawahannya."

"Apakah termasuk Ki Parandito dan Ki Lumaksono?'

Raja Maut cepat pandangi Suto dengan rasa kaget dan heran. "Mengapa kau menyangka Parandito dan Lumaksono adalah orangnya Nila Cendani?!"

Suto sedikit kesulitan menjelaskannya, karena sebenarnya ia sudah tahu bahwa keterangan dari Pelangi Sutera saat bertemu di pantai dulu adalah keterangan palsu. Tapi Suto punya cara lain memperkuat dugaannya.

"Ki Parandito dan Ki Lumaksono pernah temui saya dan meminta bantuan saya untuk merebut mayat gurunya."

"Maksudmu jenazah si Sokobumi?"
"Betul. Menurut mereka, jenazah Eyang Sokobumi dicuri oleh Nila Cendani!"

"Celaka!" gumam Raja Maut dengan menerawang tegang. "Berarti dia akan menggunakan kekuatan Sokobumi untuk maksud-maksud tertentu."

"Tapi Eyang Sokobumi sudah tak bernyawa lagi, bukan?'

"Nila Cendani bisa membangkitkannya dan membuatnya bernyawa dengan memindahkan kekuatan hidup milik seseorang. Kekuatan hidup itu hanya menggerakkan tubuh yang mati, tapi naluri dan tenaga intinya masih menggunakan tenaga inti yang dimiliki si mayat semasa hidupnya. Jadi jika Nila Cendani berhasil menghidupkan Sokobumi, maka kekuatan inti yang ada ialah kekuatan inti Sokobumi semasa hidupnya. Padahal semasa hidupnya Sokobumi adalah orang sakti yang ketinggian ilmunya hampir sejajar dengan gurumu; si Gila Tuak!"

"Bahaya juga kalau begitu," gumam Pendekar Mabuk.

"Jika kita harus menyelamatkan Gendeng Sekarat, besar kemungkinan kita akan berhadapan dengan Sokobumi, itu kalau Nila Cendani sudah membangkitkan jenazah Sokobumi!"

"Kalau begitu aku harus segera bertindak sebelum Nila Cendani membangkitkan jenazah Eyang Sokobumi!"

"Firasatku mengatakan, kau terlambat! Getaran naluriku mengatakan, Sokobumi telah dibangkitkan. Tapi entah di mana ia sekarang. Satu-satunya jalan kau harus minta bantuan gurumu; si Gila Tuak. Sebab aku tak yakin kalau kau mampu kalahkan Sokobumi!"

* * *

6

JIKA Pendekar Mabuk menghubungi gurunya, akan membutuhkan waktu lama. Perjalanan ke persinggahan gurunya tidak cukup ditempuh waktu satu malam saja. Dan itu berarti keterlambatan yang berbahaya bagi nasib Ki Gendeng Sekarat. Karenanya, Suto Sinting akhirnya sepakati usul Raja Maut. Suto Sinting mengejar orang - orang Gunung Sesat sementara Raja Maut pergi temui si Gila Tuak.

Angon Luwak bersikeras mau ikut Suto Sinting, tapi berulang kali Suto melarangnya. Suto tak ingin bocah tanpa dosa itu ikut menjadi korban keganasan Nila Cendani bersama orang-orangnya.

Sebab itu Suto sarankan Angon Luwak untuk pulang ke desanya atau ikut Raja Maut. Angon Luwak sedih, ia akhirnya memutuskan untuk pulang ke desanya. Tapi benarkah ia rela pulang begitu saja, sedangkan hatinya sudah telanjur menaruh kekaguman kepada Suto dan Ki Gendeng Sekarat?

Tidak. Angon Luwak bocah bandel, ia hanya pura- pura pulang ke desanya. Tapi diam-diam ia mengikuti ke mana perginya Pendekar Mabuk. Hatinya punya niat keras untuk ikut membebaskan Ki Gendeng Sekarat yang dianggap sebagai gurunya, ia pun tak rela kalau Ki Gendeng Sekarat dijatuhi hukuman mati oleh orang - orang sesat. Hasrat membela guru sangat besar di hati bocah itu.

Suto Sinting tidak menyangka, sebab perhatiannya tercurah kepada cara menyelamatkan Ki Gendeng Sekarat sebelum tukang tidur itu diadili oleh Ratu Tanpa Tapak. Ia harus bisa mencegat perjalanan para utusan itu. Sebab diam-diam Suto punya kecemasan juga jika terus berhadapan dengan Ratu Tanpa Tapak. Kecemasan itu adalah rasa takut terpikat dan dipikat, seperti yang dikhawatirkan oleh Pelangi Sutera.

Perjalanan Pendekar Mabuk mengejar rombongan pembawa Ki Gendeng Sekarat akhirnya menemui sedikit hambatan. Hambatan itu datang dari Ki Lumaksono dan Ki Parandito. Mereka terkulai di rerumputan ketika Suto melintasi daerah itu. Wajah mereka memar membiru, jubah mereka robek-robek, bahkan mata kiri Ki Lumaksono menjadi lebam. Darah mengering di lubang hidung, mulut, dan telinga mereka. Luka dalam diderita berat oleh kedua tokoh tua yang menurut Ki Gendeng Sekarat punya ilmu tinggi.

Suto Sinting menjadi heran menemui kedua tokoh tua itu dalam keadaan luka parah begitu, ia segera menolong mereka, meminumkan sedikit tuak kepada mereka, setelah itu baru ajukan tanya secara sopan.

"Siapa yang lakukan semua ini, Ki?"

Ki Lumaksono berkata, "Guru kami. Beliau menghajar habis diri kami."
Dahi pendekar tampan itu berkerut tajam. "Maksudnya... Eyang Sokobumi?'

Ki Parandita menjawab, "Benar. Ratu Tanpa Tapak berhasil menghidupkan guru kami. Sekarang guru kami ada di pihaknya. Usaha kami merebut Ki Gendeng Sekarat dari tangan para utusan gagal karena kemunculan Eyang Sokobumi."

"Celaka!" gumam Suto dalam kecemasan yang bernada geram. "Sudah lamakah mereka pergi dari sini?"

"Mungkin sudah sampai di Gunung Sesat," jawab Ki Lumaksono.
"Aku harus segera ke sana!"

"Tunggu!" tangan Ki Parandito menahan lengan Suto Sinting. Sikap itu membuat Suto heran dan menatap dengan dahi berkerut.

"Kau tak boleh melawan guruku!" kata Ki Parandito lagi.
"Kenapa tak boleh?"

"Apa pun yang terjadi, kami ada di pihak Guru. Jika kau melawan guru kami, berarti kau melawan kami, Suto Sinting!"

Napas panjang dihempaskan dari hidung Suto Sinting. Kejengkelan terpendam kuat-kuat. Ia mencoba untuk tidak marah namun bersikap sabar terhadap kedua tokoh tua itu.

"Apakah kita harus biarkan seseorang berada di jalan yang sesat, Ki? Apakah kita harus hormati orang yang sudah bukan lagi berkehendak atas dirinya sendiri? Kurasa itu tidak benar, Ki. Kita harus melawan tindakan siapa pun yang berjalan di jalur yang salah. Kurasa pendapat ini sama dengan pendapat Ki Parandito dan Ki Lumaksono, karena guruku pun berpendapat begitu. Jadi bukan pribadi Eyang Sokobumi yang kulawan, melainkan kekuatan iblis yang disalurkan lewat dirinya oleh Ratu Tanpa Tapak itu."

"Kami masih menghormati Eyang Guru!" kata KI Lumaksono.
"Dan ikut memihak Ratu Tanpa Tapak?" tanya Suto Sinting.

Pertanyaan itu membuat kedua tokoh tua itu sama- sama diam. Mereka tak mengerti persis apa yang harus mereka lakukan. Tapi akhirnya Ki Lumaksono mempunyai pendapat yang menurutnya lebih bijaksana.
"Begini saja, Suto. Seranglah Ratu Tanpa Tapak itu, bebaskan sahabatku Gendeng Sekarat. Tapi jangan lukai jasad guru kami."
"Bagaimana bisa jika Eyang Sokobumi bertindak sebagai orang andalan Ratu Tanpa Tapak? Aku harus barhadapan dengan beliau. Dan tak mungkin aku bisa tidak melukainya jika aku sendiri dilukai."

"Jika kau nekat melukai beliau, aku akan pertaruhkan nyawa untuk membela!" sahut Ki Parandito dengan nada mulai meninggi.

"Jika memang terpaksa, mungkin kita memang harus bertarung, Ki!" kata Suto Sinting dengan tegas pula.

Sekalipun luka itu masih ada walau tak seberapa parah, Ki Parandito segera berdiri dan ambil sikap perlawanan. Melihat saudara seperguruannya ambil sikap perlawanan, Ki Lumaksono pun bangkit juga bersikap serupa.

Suto Sinting sedikit bingung. Melawan mereka bukan hal yang ditakuti. Tapi menghindari pertarungan yang tidak semestinya terjadi adalah sesuatu yang sulit dicari jalan keluarnya. Karena kedua tokoh tua itu sama-sama bersikeras membela gurunya, walaupun mereka tahu yang bertindak itu adalah bukan gurunya melainkan kekuatan jahat Ratu Tanpa Tapak. Suto Sinting masih diam, tak mau bertindak gegabah. Matanya memandangi mereka secara bergantian. Tegang juga suasana di antara mereka bertiga.

Ki Parandito menarik napas, lalu menahannya di dada dengan satu hentakan tangan menggenggam di dada. Seet...! Suto Sinting merasakan ada tenaga yang menahan lehernya kuat-kuat. Ia tercekik tiba-tiba. Tapi secepatnya ia hembuskan napas dari hidung tanpa dendam dan kemarahan.

Fuuih...!

Napas yang melesat dari lubang hidung itu menuju ke bawah, seakan menghantam tangan yang mencekik lehernya. Seketika itu pula leher Pendekar Mabuk merasakan terbebas dari himpitan kuat. Tapi di seberang sana tubuh Ki Parandito terpelanting ke kiri bagaikan ada yang menendangnya dari kanan.

Wuuut...! Bruuhg...!

Ki Parandito jatuh, namun tak sampai parah, ia masih bisa berlutut dengan berpegangan pada tongkatnya. Napasnya terengah-engah dengan wajah menahan rasa sakit, ia bahkan sempat terbatuk-batuk beberapa kali.

Pawang Gempa memandangi rekannya dengan menyimpan rasa kagum kepada Suto.

"Gila anak muda itu! Dengan kekuatan napas inti ia mampu membuat Parandito terpelanting begitu. Agaknya harus kucoba dengan jurus 'Lindu Jantan'. Apakah ia bisa mengatasi jurusku itu?"

Pawang Gempa segera menggenggam kuat tongkatnya. Tiba-tiba ia bergerak memutar di luar dugaan Suto. Satu putaran langsung menyodokkan kepala tongkat ke tanah tempat Suto berdiri.

Wuuuk...! Suuut... !
Kraaak... !

Tanah itu retak dalam satu sentakan. Dari dalam keretakan keluar nyala bara merah berasap. Kaki Suto Sinting menjadi merenggang ke kiri dan kanan. Karena keretakan itu cukup lebar, maka kaki Suto Sinting pun memanjang ke samping hingga nyaris sejajar dengan permukaan tanah. Kedua kaki Suto masih berpijak pada tanah sehingga ia tidak jatuh terperosok dalam keretakan itu.

Dalam keadaan kaki merentang sejajar, Pendekar Mabuk segera hentakkan kedua pundaknya ke bawah. Wuuut... ! Tubuhnya pun melesat ke atas dan bersalto di tempat yang aman. Jleeg...! Ia berdiri dengan tegap. Kaki kanannya segera menghentak ke tanah. Duug...!

Dan tubuh Ki Lumaksono tiba-tiba amblas ke tanah sedalam satu lutut. Bluuus...!

"Hahh...?!"

Ki Lumaksono kaget sekali tubuhnya bisa terpendam satu lutut, seperti ada kekuatan yang menyedot dari dalam bumi. Tongkatnya pun ikut terbenam ke dalam tanah dengan batas yang sama.

Ki Parandito terkejut, melongo sebentar, lalu berkata, "Dia menguasai ilmu 'Telan Bumi'. Hati-hati, Lumaksono!"

Repotnya lagi, tubuh Ki Lumaksono bagaikan dijepit oleh tanah yang menelannya, sehingga tak bisa bergerak dan berusaha keluar dari sana. Ia sempat tegang sesaat. Tapi Suto Sinting segera menghentakkan tumit kakinya ke tanah dengan pelan.

Duug...!
Bruuus... !

Tubuh Ki Lumaksono terbang ke atas bagaikan ada yang mencabut atau mendorongnya dari dalam tanah. Tubuh yang melayang itu segera bersalto satu kali dan mendarat dengan sigap. Matanya beradu pandang dengan mata Suto Sinting.

"Ilmumu sungguh mengagumkan, Nak," kata Ki Lumaksono.
"Terpaksa kulakukan karena kau menyerangku, Ki."
"Heaaat...!"

"Tahan!" sentak Ki Lumaksono kepada Juru Bungkam itu. Ki Parandito hanya membuka kuda-kuda, lalu berhenti tak lanjutkan gerak. Matanya melirik Ki Lumaksono yang segera mendekatinya dari belakang ke samping kanan.

Dengan tetap memandang Suto yang berdiri tenang, Ki Lumaksono berkata kepada Ki Parandito,

"Agaknya jalan pikirannya cukup baik. Kita yang keliru."

Ki Parandito menarik napas, mengendurkan ketegangan uratnya.

"Apakah kau akan biarkan guru kita dihajar oleh anak semuda dia?"

"Kalau beliau masih guru kita, beliau tidak akan menghajar kita," jawab Ki Lumaksono pelan, lebih berkesan sedih. Ki Parandito segera hembuskan napas pelan juga. Ia termenung beberapa saat memandangi saudara seperguruannya.

Suto Sinting perdengarkan suaranya dengan lebih tenang lagi, tak ada kesan bermusuhan.

"Aku hanya ingin memukul kekuatan jahat yang bersarang di dalam raga Eyang Sokobumi. Kasihan sekali beliau, sudah tiada tapi raganya masih dipermainkan oleh kekuatan jahat dari Ratu Tanpa Tapak. Kumohon langkahku ini bisa dimengerti, Ki."

Ki Lumaksono pun berkata, "Baiklah. Kudampingi kepergianmu ke Gunung Sesat, Suto Sinting. Kami akan ada di belakangmu, siap membantumu sewaktu-waktu."

"Terima kasih," jawab Suto dengan senyum lega.
"Aku mohon seteguk tuakmu. Luka dalamku agak parah lagi karena seranganmu tadi, Suto."

Senyum Pendekar Mabuk kian melebar. "Ambillah, Ki. Maafkan kelancanganku tadi. Aku sangat terpaksa."

Ki Parandito meneguk tuak Suto. Ki Lumaksono juga ikut-ikutan minta seteguk. Kemudian keduanya bergegas berangkat ke Gunung Sesat. Tapi sepuluh langkah kemudian, ketiga orang itu terpaksa harus berhenti karena dari atas pohon turun sesosok tubuh hitam berukuran tinggi dan besar. Orang berkulit hitam itu mengenakan cawat dan kepalanya gundul berkuncir tengah. Kuncirnya melengkung ke belakang sedikit kaku.

"Logo...?!" sapa Suto Sinting dengan heran. Anak jin itu maju satu tindak. Hembusan napasnya membuat rambut Suto meriap ke samping.

"Ibu tidak izinkan kau temui Nila Cendani, Suto," kata Logo dengan suara besarnya.
"Tak ada alasan melarangku ke sana. Ibumu tak punya hak apa-apa terhadap diriku, Logo!"

"Aku ditugaskan menghambatmu, Suto Sinting." Napas Suto ditarik dalam-dalam, memendam kejengkelan yang tak ingin dilampiaskan kepada Logo. Sebab ia tahu Logo hanya anak jin yang lugu dan polos, segala tindakannya hanya semata-mata mengikuti perintah orang yang dihormati.

Pandangan mata Suto tertuju pada kedua tokoh tua tersebut. Ternyata mereka tampak cemas melihat kemunculan Logo. Mereka sembunyikan gelisah dengan memandang arah lain. Suto Sinting menegur dengan suara pelan.

"Haruskah kusingkirkan dengan kekerasan, Ki?"

"Jangan! Jangan begitu!" KI Lumaksono semakin jelas kecemasannya. Bahkan saat berkata begitu ia merasa takut dan sedikit menggeragap.

"Anak jin itu mempunyai seorang ibu yang berilmu tinggi. Sebenarnya kalau kau mau tahu, gadis yang bernama Pelangi Sutera itu sebenarnya...."

"Sumbaruni, ibu dari anak jin itu!" sahut Suto Sinting membuat kedua tokoh tua itu terperangah heran.

"Kau sudah mengenalnya?"

"Ya. Tapi dia tak punya hak untuk melarangku bertemu dengan Ratu Tanpa Tanpa Tapak. Dia bukan apa-apaku, bukan pula pihak sang Ratu."

"Tapi...," Ki Parandito agak ragu, "Kalau bisa... hmmm... terserah kau sajalah!" akhirnya ia pasrah, tak bisa memberi pendapat apa-apa.

Murid sinting si Gila Tuak segera berkata kepada Logo, "Jangan halangi aku, nanti aku bisa menyerangmu dan kau akan sakit, Logo!"

"Harus! Karena Ibu perintahkan begitu padaku."
"Kalau begitu jangan salahkan aku jika kau menerima sikap kasarku."
"Tidak," jawab Logo sambil menggelengkan kepala.

Ki Parandito dan Ki Lumaksono mundur, seakan tidak mau ikut campur dalam perkara itu. Tetapi Suto Sinting masih berdiri dengan tenang. Logo juga masih memandang penuh siaga. Suto segera gunakan jurus 'Jari Guntur' dari jarak lima langkah di depan Logo. Ia menyentilkan jarinya dua kali.

Tas, tas...!

"Uuhg...!" Logo terkejut dan menggeram, berdirinya langsung lemah, ia memegangi kedua lututnya yang terasa bagaikan dihantam palu godam. Bahkan kini ia jatuh terduduk karena lututnya tak kuat menyangga beban berat tubuhnya yang besar itu.

Dengan cepat Suto Sinting sentakkan kaki dan tubuhnya melayang di udara. Melesat melewati kepala Logo yang juga dipakai pijakan kaki kirinya. Dari kepala Logo, Suto menyentakkan kaki kirinya dan melesat lagi lebih jauh.

"Jangan nekat, Sutooo...!" teriak Logo dengan panik, ia berusaha mengejar Suto Sinting, tapi tubuhnya jatuh lagi karena lututnya belum kuat menyangga beban berat tubuh.

"Kita lari lewat sana!" bisik Ki Parandito kepada Ki Lumaksono. Keduanya segera lari menyusul dengan kecepatan bagaikan angin berhembus tapi melalui arah sisi lain.

"Ibuuu...! Suto pergiii.. ! Suto pergi, Ibuuu...!" teriak Logo menggetarkan semua pohon yang ada di sekelilingnya, merontokkan dedaunan yang ada.

***7

ANGON Luwak kehilangan jejak. Tentu saja, sebab Suto menggunakan jurus peringan tubuh dalam larinya. Kecepatannya tidak ada sekuku hitam dengan kecepatan lari bocah berusia sepuluh tahun itu. Tak heran jika Angon Luwak tertinggal sangat jauh.

Tetapi Angon Luwak tidak mau menyerah, ia menggunakan ilmu kira-kira. Dari tempatnya berhenti ia memandang sekeliling. Tak ada tanda-tanda yang bisa digunakan untuk menjadi penunjuk jalan. Bocah itu segera memanjat pohon kelapa untuk memetik buah kelapa dan mengambil airnya, ia haus sekali. Dan pada saat ia sampai di atas pohon kelapa, ia melihat sebuah gunung menjulang tak seberapa tinggi. Arahnya ada di sebelah utaranya.

"Pasti itulah yang bernama Gunung Sesat! Berarti aku harus melangkah ke arah sana. Pasti lama-lama akan sampai juga."

Pikiran Angon Luwak sangat sederhana. Maka selesai bersusah payah membolongi kelapa untuk diminum airnya, Angon Luwak pun segera menuju ke arah utara. Bocah itu bukan hanya pantang menyerah, namun juga tak mudah lelah. Larinya tidak cepat, tapi yakin dan pasti arah yang dituju adalah benar.

"Kalau aku bisa ikut membebaskan Guru, pasti aku akan dikasih ilmu lagi. Kalau aku tidak bisa ikut membebaskan Guru, ilmuku hanya sekecil ini. Jadi, aku harus bisa ikut serta dalam membebaskan Guru. Kang Suto memang tak mengizinkan, tapi Guru pasti senang jika melihat aku ikut membebaskan beliau," pikir Angon Luwak secara sederhana sekali. "Kalau aku mati, Guru akan semakin bangga punya murid berani mati."

Tentunya memang begitu. Seorang guru akan merasa bangga punya murid berani mati. Tapi bukan berarti mati konyol pun harus berani. Kalau saja Ki Gendeng Sekarat tahu bahwa Angon Luwak nekat menyusul ke Gunung Sesat, tentu saja Ki Gendeng Sekarat tidak akan setuju, sebab bagi Angon Luwak itu namanya mati konyol. Sayangnya Ki Gendeng Sekarat tidak tahu kehadiran Angon Luwak di tanah wilayah Gunung Sesat. Ki Gendeng Sekarat sedang sibuk menghadapi penguasa lalim daerah itu.

Sebuah istana kecil dipagar benteng tinggi dari batuan hitam yang kokoh. Di dalam benteng yang ada di kaki gunung itu tidak hanya terdapat bangunan istana saja, tapi juga ada bangunan kuil pemujaan, ruang pertarungan, ruang sidang, barak punggawa tempat untuk tidur para anak buah Ratu Tanpa Tapak, dan beberapa bangunan lainnya.

Ki Gendeng Sekarat tiba di tempat itu masih dalam keadaan tidur, ia diseret memasuki gerbang benteng oleh Sokobumi. Rantai Neraka masih melilit di tubuh Ki Gendeng Sekarat. Rantai itu makin kuat menjerat tubuh karena di perjalanan tadi Ki Gendeng Sekarat sempat berusaha meronta lepas dari rantai itu. Tapi usahanya gagal karena rantai makin kuat menjerat dengan sendirinya.
Bruuk...!

Sokobumi mendorong Ki Gendeng Sekarat dengan kasar. Orang itu jatuh, kepalanya membentur lantai marmer istana. Barulah ia sadar dan terbangun dari tidurnya, ia memandang dengan mata mengerjap- ngerjap. Ternyata ia sudah berhadapan dengan seorang wanita cantik dan tampak masih muda seperti berusia dua puluh delapan tahun.

Hidungnya mancung, kulitnya putih, bibirnya menggemaskan dan tampak selalu basah. Matanya bening indah tapi berkesan jalang. Perempuan cantik itu kenakan jubah hijau dengan dalaman kuning beludru yang ketat tubuh, dadanya kelihatan membusung montok menggemaskan tiap lelaki. Rambutnya disanggul bagian tengah, sisanya meriap ke bawah. Perhiasannya lengkap dari kalung, cincin, sampai gelang kaki.

"Nila Cendani," gumam Ki Gendeng Sekarat begitu mengenali perempuan yang duduk di singgasana berukir emas itu.

"Syukurlah kalau kau masih ingat aku!" kata Ratu Tanpa Tapak alias Nila Cendani. Ia kelihatan angkuh dan berwibawa. Tapi buat Ki Gendeng Sekarat keangkuhan dan kewibawaan itu tidak ada apa-apanya.

"Kelancanganmu tidak bisa dimaafkan lagi, Gendeng Sekarat! Gara-gara ulahmu aku gagal mendapatkan pusaka Keris Setan Kobra. Padahal yang kukirim adalah utusanku yang terpilih. Aku kecewa padamu, Gendeng Sekarat."

"Aku tidak," kata Ki Gendeng Sekarat seenaknya sambil matanya memandangi isi istana yang berpliar beton dilapisi lempengan logam putih mengkilap.

Ratu Tanpa Tapak memandang dengan mata menyipit sedikit, pertanda ia sedang menahan kebencian. Ki Gendeng Sekarat sama sekali tak punya rasa takut atau gugup. Walaupun ia tahu saat itu dikelilingi orang-orang pilihan Nila Cendani, termasuk Sokobumi, tapi ia bagaikan tidak menghiraukan mereka sedikit pun. Ia berdiri seenaknya di depan seorang ratu yang dihormati mereka.

"Gendeng Sekarat!" sentak Ratu Tanpa Tapak. "Kau kujatuhi hukuman mati karena kesalahanmu!"

"Kesalahan yang mana?"
"Membunuh utusanku pada saat mereka hampir mendapatkan keris pusaka!"

"Itu bukan kesalahanku, itu kesalahanmu. Mengapa kau kirimkan utusanmu untuk merebut keris pusaka milik Empuk Sakya. Bukankah keris itu bukan milikmu dan kau tak punya hak apa-apa? Kau yang salah, Nila Cendani!"

"Setan! Aku tidak pernah salah. Aku berhak punya keinginan apa saja. Siapa pun yang menentangku layak dihukum mati!"

"Dunia ini bukan milikmu sendiri, Nila Cendani! Dunia ini milik orang banyak. Mereka bukan sekadar numpang di dunia ini, tapi punya hak memiliki dan merawat kelestariannya. Mengapa kau merasa berhak berkeinginan apa saja? Kau pikir para anak buahmu itu tidak punya keinginan apa-apa? Kurasa mereka juga punya keinginan dalam hidupnya. Tapi mereka tidak semata-mata bertindak jahat demi keinginannya tercapai?! Betul begitu, Saudara-saudara?!"

"Betuulll...!" jawab mereka serempak tanpa sadar.

"Diam semua!" bentak sang Ratu, membuat mereka jadi takut dan sadar bahwa jawaban serempak mereka itu tidak benar. Seharusnya mereka tidak menjawab begitu. Ratu bisa marah dan menyangka mereka mendukung Ki Gendeng Sekarat.

Setelah hening tercipta beberapa saat dan wajah ratu cemberut kusam, terdengarlah suara sang Ratu berkata dengan tegas.

"Kau layak mendapat hukuman pancungl"

"Aku tidak mau," jawab Ki Gendeng Sekarat seenaknya. "Kau pikir dipancung itu enak? Tidak! Tidak enak. Aku tidak mau kehilangan kepala."

"Kau tak bisa menolak keputusanku! Akulah yang berkuasa di sini!" suara Nila Cendani semakin kuat dan keras. Tapi Ki Gendeng Sekarat hanya tersenyum kalem tanpa gentar sedikit pun.

"Aku tidak bersalah di mata dunia. Aku tidak mau dipancung."

"Bersalah atau tidak, keputusannya ada di pengadilanku. Dan kau kunyatakan bersalah karena membunuh Gaok Lodra dan Nenggolo, serta membuntungi tangan Sabit Guntur. Maka kau kujatuhi hukuman mati dengan dipancung! Sebelum hukuman itu kau jalankan, kebijaksanaanku mengatakan bahwa kau boleh mengajukan satu permintaan yang akan kupenuhi sebagai permintaan akhir hidupmu. Sebutkan permintaanmu, Gendeng Sekarat."

"Aku minta dibebaskan."
"Bukan itu maksudku!" sentak Ratu Tanpa Tapak. "Permintaan yang lain!"
"Baik. Aku minta kau bunuh diri di depanku."
"Kurang ajar!" geram Ratu Tanpa Tapak. Matanya mendelik sangar.

"Kau menyuruhku mengajukan permintaan terakhir, giliran kuajukan permintaan kau selalu marah. Kau ini ratu apa kusir delman?"

Nila Cendani tarik napas kuat-kuat, menggeram gemas menahan murka.

"Kebijaksaanku kucabut kembali. Kau tidak kuizinkan mengajukan permintaan apa-apa!" katanya, dan membuat Ki Gendeng Sekarat terkekeh-kekeh. Seorang pengawal mendekat dan memukul wajah Ki Gendeng Sekarat dengan hantaman tangan kanan.

Tetapi Ki Gendeng Sekarat tahu-tahu sudah berpindah tempat, sehingga orang itu bagaikan memukul tempat kosong, ia bahkan kebingungan mencari di mana sasarannya berada. Ketika ia berpaling ke belakang, ploook...! Kaki Ki Gendeng Sekarat menendang pipinya.

Bruuuk...!

Orang itu jatuh tanpa sungkan-sungkan lagi. Mulutnya menyemburkan darah, ia terkapar di lantai. Kejang-kejang sesaat, lalu diam tak bergerak. Setelah diperiksa, ternyata mati tanpa sungkan-sungkan pula.

"Tendangannya punya jalur tenaga ke arah jantung," pikir Nila Cendani. "Pasti ia gunakan ilmu 'Kendali Indera'. Ada baiknya kalau kupakai sebagai tontonan rakyatku, biar mereka terhibur. Dia akan kuadu dengan Sokobumi."

Lalu, Ratu Tanpa Tapak segera berseru, "Gendeng Sekarat, aku punya gagasan baru. Kau akan kubebaskan jika memenangkan pertarungan sebanyak lima kali dengan orang-orang pilihanku. Kau bebas jika bisa membunuh mereka di arena!"

"Aku bukan kuda lumping yang enak dijadikan tontonan."
"Kalau kau tak mau, sekarang juga akan kulaksanakan hukumanmu itu!"

KI Gendeng Sekarat diam beberapa saat. Caranya berpikir sambil memandang ke sana-sini, seenaknya saja dalam bersikap. Hal itu membuat geram dan kebencian bagi beberapa pengawal pilihan Niia Cendani. Salah seorang pengawal pilihan yang bernama Jagalopa segera berkata setelah memberi hormat kepada Ratu Tanpa Tapak lebih dulu.

"Gusti Ratu, izinkan saya menjadi orang pertama yang diadu dengan orang itu! Saya sanggup membuatnya mati dalam dua jurus saja!"

Nila Cendani sunggingkan senyum, sebuah seringai kebanggaan seorang ratu yang mendengar keberanian pengawalnya.

"Baik. Gendeng Sekarat, pertama-tama kau akan kuadu dengan Jagalopa. Apakah kau mampu mengalahkan pengawal pilihanku itu?"

Ki Gendeng Sekarat memandang orang bertubuh tinggi, tegap, berkumis, dan berambut panjang, usianya sekitar tiga puluh dua tahun. Badan kekarnya mempunyai otot yang bertonjolan. Ki Gendeng Sekarat hanya tersenyum.

"Ini kesempatan meruntuhkan Nila Cendani dari dalam. Kalau tantangan ini kutolak, maka aku akan kehilangan kesempatan menghancurkan kekuasaannya," pikir Ki Gendeng Sekarat. Maka ia pun segera menyanggupi tantangan itu.

"Siapkan arena!" seru Nila Cendani kepada anak buahnya.

Arena yang digunakan adalah tempat berlatih para anak buah Nila Cendani. Tempat itu berbentuk tapal kuda mempunyai barisan tangga-tangga sebagai tempat duduk penonton. Orang-orang pengikut Ratu Tanpa Tapak berkumpul mengelilingi arena.

Sedangkan di bagian lain, terdapat panggung kehormatan yang dipakai duduk sang Ratu bersama beberapa pengawalnya.

Sebelum maju ke arena, Ratu Tanpa Tapak turun dari takhtanya untuk mendekati Ki Gendeng Sekarat. Langkahnya tegap, tapi bekas langkahnya tidak meninggalkan bayangan telapak kaki.

Bahkan suara langkahnya tak terdengar sama sekali. Rupanya perempuan cantik itu berjalan tidak menyentuh tanah karena ketinggian ilmu peringan tubuhnya. Karena telapak kakinya jarang menyentuh tanah, maka permukaan telapak kaki itu selalu tampak bersih dan sering dirawat seperti merawat wajahnya. Bersih, putih, dan halus lembut. Itulah sebabnya ia berani bergelar Ratu Tanpa Tapak. Seandainya ia berjalan di tempat yang kotor, maka kakinya tidak akan kotor dan tempat itu tidak akan membekas telapak kakinya.

"Ingat, lima kali pertarungan kau menang, kau bebas dari hukuman!"

"Seratus kali pertarungan pun kusanggupi," kata Ki Gendeng Sekarat. Karena menurutnya, semakin banyak orang yang diadu dengannya semakin banyak kesempatan melumpuhkan kekuatan orang-orang Gunung Sesat.

Nila Cendani hanya tersenyum sinis, lalu kembali ke tempat duduknya sambil berseru kepada seorang pengawal,

"Lepaskan rantainya, tapi biarkan kedua tangannya terbelenggu ke depan!"
"Curang!" sahut Ki Gendeng Sekarat.

Ratu Tanpa Tapak berpaling, "Itulah syarat untuk bebas dari hukuman!"

Lasogani yang masih menderita luka dalam terpaksa melepaskan rantai yang melilit di tubuh Ki Gendeng Sekarat. Rantai yang membelenggu pergelangan tangannya masih tetap saling terkait kuat.

Tetapi Lasogani mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengendorkan rantai pembelenggu tangan. Dengan keadaan rantai sedikit kendor, Ki Gendeng Sekarat disuruh memutar tangannya dengan cara melewati pantat dan kedua kakinya, sehingga tangan menjadi ada di depan.

Secepatnya Lasogani mempererat kembali rantai belenggu tangan dengan ilmu 'Rantai Neraka'-nya itu. Ki Gendeng Sekarat geleng-geleng kepala sambil tertawa kecil memperhatikan kedua tangannya tetap terantai.

"Kalau kusentakkan, rantai ini tak mungkin lepas tapi justru semakin kuat menjerat. Sebaiknya kubiarkan saja. Aku harus bisa bertarung dengan kedua tangan terbelenggu ke depan. Ini masih untung daripada kedua tangan terbelenggu ke belakang," pikirnya waktu di tengah arena.

"Bagaimana dengan kipasku yang ada di balik bajuku ini? Ah, merepotkan kalau harus kuambil. Biar saja. Tak perlu pakai senjata. Kakiku lebih tajam dari pedang. Kekuatan batinku lebih runcing dari tombak. Tak ada yang kusangsikan lagi."

Jagalopa melengkapi dirinya dengan dua pisau di pinggang dan satu tombak bermata kapak dua sisi. Ia juga mengenakan baju besi untuk penutup dada sampai atas perutnya. Ulu hatinya terlindung baju besi yang beratnya lebih dari dua puluh lima kilogram itu.

Bagian pergelangan tangannya memakai gelang besi yang lebarnya setengah jengkal dan dilengkapi dengan duri- duri besi runcing. Duri-duri besi runcing itu mempunyai racun yang berbahaya jika mengenai kulit tubuh lawan. Sedangkan dua jari tengah kanan-kiri mengenakan cincin berduri cula yana konon keganasan racunnya sangat tinggi.

"Pertarungan dimulai!" seru seorang pengawal setelah diberi isyarat oleh Nila Cendani. Gong pun segera ditabuh.

Doooeeeng... !

Jagalopa maju ke tengah arena dalam riuh sorak para penonton yang tak lain adalah kawan-kawannya sendiri. Ki Gendeng Sekarat memandangi kedatangan Jagalopa dengan tertawa geli.

"Kau mau bertarung atau mau main wayang?" katanya mengejek, sengaja memancing kemarahan lawan biar tenaga terkuras oleh kemarahannya sendiri.

"Tutup mulutmu, Bangkai Busuk!"

"He, he, he, he...! Kalau kau jalan di pasar pakai pakaian itu, tidak membuat orang sepasar bubar, tapi malah akan diikuti anak-anak kecil disangka orang gila takut masuk angin!" ledek Ki Gendeng Sekarat membuat darah Jagalopa makin mendidih, napasnya memburu cepat karena kemarahannya yang meluap.

"Hiaaat...!" Jagalopa segera menebaskan tombak berujung kapak besar dua sisi itu sambil melompat ke depan. Wuuuusss...! Tombak kapak itu melesat di atas kepala Ki Gendeng Sekarat. Kalau tak merundukkan kepala secepatnya, pasti leher akan terpenggal habis. Jagalopa mengulangi beberapa kali, tapi Ki Gendeng Sekarat hanya menghindar terus-menerus.

Para penonton geregetan sendiri, saling berteriak kepada Ki Gendeng Sekarat, "Serang! Ayo, serang!"

"Balas! Jangan menghindar saja! Balas...!"

"Lima puluh sikal untuk kemenangan Jagalopa! Ayo, kau berani berapa sikal? Cepat, mumpung tak ada penjaga melihat pertaruhan kita!" bisik seseorang.

"Baik. Lima puluh sikal. Tapi kalau tawanan kita yang menang kau bayar aku dua puluh lima sikal saja tak apa!" kata temannya. Suasana itu dipergunakan untuk berjudi bagi sekelompok orang yang memang gemar judi.

Agaknya Ki Gendeng Sekarat berhasil memancing murka Jagalopa sehingga lelaki bertubuh kekar dan berotot itu mulai kehabisan tenaga. Gerakannya tidak segesit serangan pertama. Ki Gendeng Sekarat bersalto mundur untuk melihat seberapa cepat Jagalopa mampu mengejarnya. Ternyata tak seberapa cepat.

"Tiba saatnya melumpuhkannya," kata Ki Gendeng Sekarat dalam hati.

Ki Gendeng Sekarat berjalan ke kiri, Jagalopa berjalan ke kanan. Mereka sama-sama mencari kesempatan untuk menyerang. Tapi agaknya Jagalopa lebih dulu merasa punya celah untuk serangan berikutnya. Tombak kapaknya dikibaskan dari bawah samping kiri ke atas samping kanan. Itu gerak tipuan. Wuuut... !

Ki Gendeng Sekarat melompat mundur. Pada saat itu Jagalopa maju dua tindak dan membalikkan gerakan kapak dari atas ke bawah, tepat membelah kepala Ki Gendeng Sekarat. Tapi lawannya itu justru menyambut gerakan kapak dengan kedua tangannya yang dirantai. Craaak...!

Mata kapak masuk ke pertengahan jarak pergelangan tangan. Rantai itu terhantam mata kapak yang dialiri tenaga tinggi. Akibatnya rantai tersebut putus dengan menimbulkan percikan api dan kepulan asap.

"Edan!" geram Lasogani melihat rantainya putus. "Jagalopa bodoh sekali! Mengapa ia adu kekuatannya dengan kekuatan yang kutinggalkan di rantai. Tentu saja aku kalah, sebab dia memang punya tingkatan lebih tinggi dariku?!"

Ucapan itu terdengar di telinga Nila Cendani. "Tenanglah. Jagalopa tak akan kalah walau tawanan kita telah bebas dari belenggu. Dia masih punya banyak kesempatan untuk menumbangkannya.'

Ki Gendeng Sekarat nyengir kegirangan. Kini tangannya bebas bergerak walau masih bergelang rantai di masing-masing lengan. Begitu Jagalopa menyerang lagi dengan tebasan tombak kapaknya, Ki Gendeng Sekarat menangkis gagang kapak ditepatkan pada sisi rantai. Traaak...! Tombak terhenti, tangan kiri Ki Gendeng Sekarat segera mencekal dan meremasnya. Kruuus... !

"Hahh...! Besi gagang tombak itu remuk diremasnya?!" ujar seorang penonton dengan terbengong melompong. Tentu saja mata kapak pun terlepas dari gagangnya. Ki Gendeng Sekarat segera menggunakannya untuk menyerang Jagalopa dengan melemparkan kapak itu seperti melemparkan sebuah pisang. Ziiing...!

Jagalopa merunduk menghindari kapak terbangnya. Tetapi tak disangka-sangka kapak itu berbelok arah dalam putaran cepat. Tahu-tahu datang dari arah kiri Jagalopa. Ki Gendeng Sekarat memancing perhatian Jagalopa dengan serangan kaki yang menendang beruntun di depan wajah. Tentu saja Jagalopa sibuk menghindari tendangan kaki itu, sampai ia ta sadar kapak itu datang.

Wuuut...! Craaas...!

Mata kapak yang terbang tepat menebas leher Jagalopa. Rupanya ia dikendalikan oleh kekuatan Indera Ki Gendeng Sekarat, sehingga ketika kepala Jagalopa sudah menggelinding jatuh, kapak itu masih terbang di antara para penonton. Membabat siapa saja yang ada di depannya.

"Aaaaah...!"
Crassss... !
"Auhhh...!"
"Aaaaaahg...!"

Keadaan menjadi kacau. Mata kapak yang terbang itu mengamuk membawa korban cukup banyak. Kapak terbang memutar cepat bagaikan baling-baling sampai ke tempat sang Ratu. Para pengawal di panggung kehormatan itu lari pontang-panting menghindari kekuatan kapak terbang tersebut.

Craas... !
"Aaahg...!"

Lasogani mendelik, tengkuknya dihajar kapak dan terkoyak lebar. Akhirnya ia tumbang tanpa nyawa.

Blaaar...! Glegaaar...!

Ledakan menggelegar terjadi setelah Ratu Tanpa Tapak melepaskan pukulan selarik sinar merah dari telapak tangan kirinya. Sinar merah menghantam kapak terbang dan hancurlah kapak itu.

Suasana gaduh yang tunggang-langgang mulai reda kembali. Tetapi mereka kebingungan melihat arena kosong. Ki Gendeng Sekarat hilang dari arena.

"Setan buntung!" maki Ratu Tanpa Tapak. "Dia melarikan diri saat suasana menjadi kacau. Pasti tak jauh dari sini."

"Gusti Ratu, tawanan kita melarikan diri! Hilang dari arena!"

Seruan itu membuat tangan Ratu Tanpa Tapak berkelebat bagaikan memercikkan air. Tapi yang keluar dari jemarinya adalah sinar-sinar api yang memercik mengenal dada pengawal itu.

Craaasss...!

"Aaahg...!" Pengawal itu memekik dengan mata mendelik. Dadanya menjadi berasap. Banyak lubang hitam di dada itu. Ternyata bagian dalam dadanya telah terbakar. Tak heran jika pengawal itu pun tumbang dan enggan bernapas karena kehilangan nyawa.

"Tutup pintu gerbang! Jaga sekeliling benteng dengan ketat!" teriak Ratu Tanpa Tapak. "Cari dia! Cari semuanya. Dia pasti masih ada di sini!"

Orang-orang yang tergabung dalam benteng segera berlarian sambil mencabut senjata masing-masing. Mereka menyebar mencari Ki Gendeng Sekarat ke berbagai arah. Jumlah mereka lebih dari lima puluh orang. Ratu Tanpa Tapak sendiri bergegas masuk ke istana didampingi oleh seorang pengawal muda yang tak pernah pakai baju dan berkulit coklat.

Linggana. Itulah pengawal pribadi Ratu Tanpa Tapak yang berilmu tinggi, dan belum pernah tidur dengan perempuan, sehingga masih bisa disentuh atau menyentuh Ratu Tanpa Tapak.

"Beri kabar padaku kalau tawanan itu sudah tertangkap!" kata Ratu Tanpa Tapak sambil masuk ke kamar pribadinya, sedangkan Linggana menjaga di depan pintu kamar tersebut.

"Aku di sini, Nila Cendani!"

"Hahh...?!" Ratu Tanpa Tapak kaget setengah mati. Ternyata Ki Gendeng Sekarat sedang berbaring di atas ranjangnya. Murka sang Ratu bukan kepalang besarnya.

Tapi senyum sang tawanan kian berkesan kurang ajar.

***8

SEMENTARA itu dalam perjalanannya menuju Jurang Lindu, Raja Maut juga mengalami hambatan yang menyebalkan. Nyai Demang Ronggeng muncul pada saat Raja Maut mendekati kawasan Jurang Lindu, tempat si Gila Tuak berada. Rupanya ikut campurnya Ki Gendeng Sekarat dalam pertarungan di tengah laut tempo hari membuat Nyai Demang Ronggeng sangat penasaran.

Dalam pikirannya, selama Raja Maut masih hidup maka ketenangannya akan terganggu sewaktu- waktu demi menyelamatkan Kitab Sukma Sukmi. Tak ada jalan lain untuk memperoleh ketenangan hidup kecuali dengan cara membunuh Raja Maut. Karenanya, Nyai Demang Ronggeng memburu Raja Maut untuk dilenyapkan.

Pertemuannya dengan Raja Maut kali ini adalah sesuatu yang tak diduga. Nyai Demang Ronggeng bermaksud mencari muridnya; Tandak Ayu, untuk memberi tugas melenyapkan Raja Maui. Ia belum tahu kalau Tandak Ayu sudah mati di tangan Citradani, murid Embun Salju dari Perguruan Kuil Elang Putih, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Naga Pamungkas").

Tetapi kali ini yang ditemui justru Raja Maut sendir. Tak heran jika Nyai Demang Ronggeng langsung mengatakan,

"Pucuk dicinta ulam tiba!" sambil senyum sinisnya mengembang.

Raja Maut pun mengambil sikap tenang walau berkesan menyimpan dendam.

"Kalau kau ingin lanjutkan pertarungan kita, kuharap jangan sekarang, Nyai Demang Ronggeng. Aku masih punya urusan yang lebih penting dari melenyapkan dirimu," kata Raja Maut sambil menggenggam erat tongkatnya yang terbuat dari jenis akar hitam meliuk- liuk seperti ular itu.

"Kau takut menghadapiku lagi, Prasonco?!"

"Apakah kau dewa pencabut nyawa, sehingga aku harus takut padamu? Hmm...! Kau tidak ubahnya seperti lalat bagiku, Kiswanti! Sekali tepuk habislah riwayatmu. Tapi aku merasa sekarang belum saatnya untuk menepuknya."

"Sesumbarmu dari dulu selalu melebihi geledek, Prasonco. Tapi tak pernah ada bukti sedikit pun yang bisa kau tunjukkan di depanku."

"Sekarang apa maumu sebenarnya?!" Raja Maut tak sabar lagi.

"Tentunya melenyapkan sepupu seperguruanku!" jawab Nyai Demang Ronggeng, ketus sekali.

"Kalau perlu, Gendeng Sekarat pun akan kulenyapkan biar tak mengganggu Kitab Sukma Sukmi lagi!"

"Jangan sesali tindakanku ini, Kiswanti! Heaah...!"

Wuuut... !

Raja Maut lemparkan tongkatnya. Dalam keadaan terbang tongkat itu berubah menjadi seekor ular hitam bermata merah. Claap...!

Ular itu langsung menyerang Nyai Demang Ronggeng dengan gerakan amat cepat. Mulutnya ternganga menampakkan kedua gigi depannya yang runcing dan sangat berbisa. Dari mulut itu pun tersembur keluar asap beracun warna biru keabu-abuan. Wooos...!

Nyai Demang Ronggeng segera mengambil kipas merah berbulu yang terselip di pinggangnya sambil lakukan lompatan ke atas. Kipas itu pun cepat-cepat dibuka terbentang dan dikibaskan dengan seluruh tenaga dalamnya. Wuuusst...!

Asap beracun dari mulut ular membalik mengenai badan ular itu sendiri. Sang ular menjadi kelojotan. Tapi ia berusaha lompat menyerang lawannya dengan semakin ganas. Nyai Demang Ronggeng tak mau buang- buang waktu, ia lepaskan pukulan tenaga dalam melalui kipas yang dikatupkan. Dari ujung kipas keluar sinar merah bagaikan selarik tali kaku.

Slaaap...! Dueer...!

Kepala ular hancur seketika. Asap mengepul membungkus tubuh ular. Dan ketika asap itu lenyap, ternyata bangkai ular berubah menjadi sebatang tongkat seperti semula dengan ujungnya yang hancur sebagian. Tongkat itu segera dipungut Raja Maut dengan menggulingkan diri, lalu berdiri satu lutut dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui telapak tangan kirinya. Slaap...! Sinar hijau berbentuk piringan melesat menghantam dada Nyai Demang Ronggeng.

Blaar...!

Ledakan cukup dahsyat terjadi ketika sinar hijau itu ditangkis dengan kipas merah yang dibentangkan di depan dada. Ledakan itu membuat tubuh Nyai Demang Ronggeng terpental ke belakang, bahkan sempat berjungkir balik di tanah.

"Sekali lagi kuingatkan padamu, Kiswanti... jangan sesali tindakanku ini. Kau memaksaku menyelesaikan urusan sekarang juga. Maka akan kurampungkan setuntas mungkin!"

Kiswanti atau Nyai Demang Ronggeng tidak membalas ucapan apa pun. Tapi tubuhnya segera bangkit berdiri pelan-pelan. Kedua tangannya membentang lalu meliuk ke kiri bersama tubuhnya, sedangkan kedua kakinya merapat dan berdiri di atas jari-jarinya. Nyai Demang Ronggeng pun memutar tubuh pelan-pelan dengan gerakan orang menari.

"Celaka! Dia mulai pergunakan jurus 'Tarian Mayat'," pikir Raja Maut. "Jurus ini tak boleh diremehkan. Aku juga harus gunakan jurus 'Tarian Ular' untuk mengimbanginya!"

Maka tubuh Raja Maut pun segera merendah serendah mungkin. Kedua kakinya saling berjajar ke depan, tongkatnya meliuk ke belakang bersama tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menguncup merayap di tanah. Kini tubuhnya pun mulai meliuk-liuk bagai seekor ular menari.

Nyai Demang Ronggeng bergerak gemulai dengan kedua tangan lama-lama saling melilit tubuh sendiri, kaki melompat-lompat dalam keadaan merapat. Dan tiba-tiba kedua tangan yang melilit itu membentang dengan cepat dalam satu sentakan kuat bersama seruan lengkingnya.

"Hiaaaah...!"

Dari sekujur tubuh keluar sinar biru yang menyebar ke berbagai arah. Tiga pohon yang ada di belakangnya hangus seketika dan menjadi keropos meninggalkan kepulan asap. Demikian pula batu di sebelah kirinya menjadi onggokan arang tanpa kekerasan sedikit pun. Sinar biru itu pun menghantam ke arah Raja Maut sebagai akibat terlepasnya jurus 'Tarian Mayat' andalannya. Namun Raja Maut telah bersiap diri melawannya.

Tubuh Raja Maut pun melompat bagai seekor ular melayang menyerang mangsa. Tongkatnya ditancapkan ke tanah. Jrub...! Lalu dari tanah sekitar tongkat itu melesat sinar merah berbentuk bayangan puluhan ekor ular yang menyerang Nyai Demang Ronggeng. Sinar merah dalam bentuk bayangan ular itu menghantam sinar biru. Jurus 'Tarian Mayat' beradu dengan jurus 'Tarian Ular'.

Akibatnya, bumi bagaikan kiamat. Ledakan dahsyat terjadi menggemparkan keadaan sekeliling.

Blegaaar...!

Kedua tubuh itu saling terlempar berbeda arah. Gelombang ledakan dahsyat membuat beberapa pohon hangus dan tumbang tak beraturan. Rumput ilalang tiba- tiba menjadi kering, rata dengan tanah. Semak lainnya ada yang terbakar walau tidak keluarkan lidah api, namun bara dan asapnya masih ada. Batu-batu hancur menjadi serbuk sesuai warna aslinya.

Gemuruh itu guncangkan bumi, seakan langit akan runtuh, tanah akan merekah. Perpaduan jurus maut itu telah mengundang perhatian tersendiri bagi manusia maupun hewan yang ada di sekitar tempat itu sekalipun jauhnya lebih dari lima puluh langkah. Tak ada hewan yang tetap tinggal di situ. Semua berlarian meninggalkan tempat tersebut dengan rasa takut.

Raja Maut terkapar dengan wajah biru legam. Darah keluar dari lubang hidung dan mulutnya. Darah itu berwarna hitam. Tepian mata menjadi merah bagaikan terkelupas. Kulitnya melepuh di sana-sini. Namun ia masih berusaha bangkit walau dengan susah payah dan napas sukar dihela.

Nyai Demang Ronggeng sendiri sudah berdiri sejak tadi. Keadaannya masih tergolong segar walaupun mulutnya melelehkan darah tapi tak banyak. Wajahnya hanya pucat pias, kain jubahnya tercabik-cabik bagian tepinya. Kipas merah masih utuh tanpa kerusakan apa pun.

Nyai Demang Ronggeng masih bisa sunggingkan senyum kemenangan melihat Raja Maut dalam keadaan luka parah. Ini menandakan bahwa jurus 'Tarian Mayat' ternyata lebih unggul dibanding jurus 'Tarian Ular'. Nyai Demang Ronggeng tampak bangga, namun masih menyimpan rasa penasaran, sehingga ia pun berseru,

"Saatnya untuk menyelesaikan hidupmu, Prasonco!" dan kipas merah yang dibentangkan itu segera dikibaskan dari kiri ke kanan. Wuuut...! Memancarlah cahaya merah bagai lempengan pedang panjang bergerak menyamping seakan ingin memotong-motong tubuh Raja Maut. Slaaap...! Wuuuusss...!

Tetapi tiba-tiba sinar merah panjang itu terhantam sinar ungu kecil di bagian tengahnya.

Jlegaaaar...!

Tubuh Nyai Demang Ronggeng bukan saja terpental melainkan terjungkal di udara dan terhempas tanpa keseimbangan tubuh lagi. Ia terbang bagaikan segenggam kapas yang disapu badai besar. Jika tidak ada sisa pohon di belakangnya, ia akan terhempas sampi! jauh. Tapi karena ada sisa pohon yang menjadi arang, maka tubuhnya terhenti di sana. Braaasss...!

Praaak... !

Pohon itu roboh dan hancur, tubuh Nyai Demang Ronggeng terpuruk di bawah bekas pohon itu. Mulut, hidung, dan telinganya keluarkan darah. Kulit tubuhnya menjadi legam membiru seperti keadaan Raja Maut. Pakaiannya rusak, tataan rambutnya pun berantakan. Sebagian ujung rambut menjadi keriting karena terbakar oleh gelombang panas dari ledakan tadi.

Siapa orang yang melepaskan pukulan dahsyatnya berupa sinar ungu kecil itu? Nyai Demang Ronggeng yakin, pukulan itu jelas bukan pukulan milik Raja Maut. Ia kenal betul jenis jurus-jurus yang dimiliki Raja Maut.

Wajahnya terangkat pelan-pelan, dan matanya pun memandang samar-samar wujud sesosok lelaki berpakaian serba hijau tapi mengenakan baju jubah kuning. Rambutnya putih rata, kumis, jenggot, alis tebalnya juga putih rata. Rambut itu mengenakan ikat kepala kain hitam, tapi jelas bukan Ki Gendeng Sekarat yang juga rambut putihnya diikat kain hitam.

Keremangan pandang akibat luka dalam itu lama- lama membuat Nyai Demang Ronggeng mengenali lelaki yang berusia sekitar sembilan puluh tahun lebih itu.

"Gila Tuak...!" gumam Nyai Demang Ronggeng dengan suara gemetar.
"Apakah kau tetap ingin membunuh sepupu seperguruanmu ini, Kiswanti?!"

Daya tahan perempuan itu terasa semakin melemah, ia merasa tak mungkin bisa melawan tokoh sakti yang selama ini sembunyikan diri dari keramaian. Nyai Demang Ronggeng gemetar di hadapan guru Pendekar Mabuk itu. Ia merasa tak akan sanggup melawan si Gila Tuak, apalagi dalam keadaan terluka parah. Maka tak ada cara lain untuk selamatkan diri kecuali cepat-cepat lari meninggalkan Raja Maut dan tanah yang ternyata telah masuk kawasan Jurang Lindu itu.

"Sial! Gila Tuak ikut campur. Modar aku!" gerutunya sambil melarikan diri tanpa pamit.

Sabawana yang bergelar si Gila Tuak itu membiarkan Nyai Demang Ronggeng melarikan diri.

Tokoh sakti yang sebenarnya enggan campur tangan di rimba persilatan lagi itu, kali ini terpaksa pergunakan jurus kecil-kecilan saja untuk selamatkan Raja Maut yang menjadi sahabatnya itu.

"Pasti perkara Kitab Sukma Sukmi!" kata Gila Tuak dengan tegas.

"Ya, memang," jawab Raja Maut dengan keadaan napas sesak tubuh lemas. "Tapi aku ke sini sengaja untuk temui kau, Gila Tuak."

"Kalau begitu, mari kubantu pergi ke pondokku. Kau butuh pertolongan secepatnya, Prasonco!"

"Bb... ba... baik," jawab Prasonco dengan susah payah. "Aku hanya ingin sampaikan kabar... muridmu melabrak Nila Cendani."

"Nila Cendani?!" Gila Tuak menjadi heran. "Apa urusannya Suto sampai melabrak Ratu Tanpa Tapak itu?'

"Gendeng Sekarat ditawan mereka!"

"Oh, dasar gendeng orang itu. Mau-maunya ditawan? Apakah dia tak bisa bereskan Nila Cendani sendiri, sehingga muridku jadi ikut campur?"

"Kau pikir Gendeng Sekarat mampu kalahkan ilmunya Nila Cendani?"

Gila Tuak diam, tapi ia masih membantu Raja Maut untuk melangkah pelan-pelan. Kejap berikutnya Raja Maut berkata,

"Datanglah ke Gunung Sesat. Bantu muridmu, Gila Tuak! Bocah itu bisa celaka dan mati konyol kalau melawan Nila Cendani!"

"Tidak," jawab Gila Tuak dengan tegas. "Aku tidak ingin memanjakan bocah tanpa pusar itu. Kalau dia berani melabrak ke sana, berarti dia sudah punya perhitungan matang. Kalau dia ada apa-apa, itu salahnya sendiri. Aku mendidiknya bukan dari segi otot dan tenaga saja, tapi otaknya pun kusuruh menggunakan sebaik mungkin. Biarlah dia membebaskan Gendeng Sekarat dengan caranya sendiri."

Raja Maut terbengong mendengar pernyataan dan sikap Gila Tuak. Ia tak menyangka sebagai guru Gila Tuak tega membiarkan muridnya melawan orang sesakti Nila Cendani itu. Tapi Raja Maut tak tahu bahwa Gila Tuak merasa tenang, tidak merasa khawatir dan cemas akan keselamatan Suto Sinting. Gila Tuak yakin, Suto mampu kalahkan Nila Cendani, si Ratu Tanpa Tapak itu. Ia tak sangsi lagi dengan kemampuan muridnya, karena di dalam diri Suto bukan hanya ada warisan ilmunya saja, tapi juga warisan ilmu dari Bidadari Jalang pun ada pada Pendekar Mabuk, dan anak itu telah menelan Tuak Setan, sehingga jika napas Tuak Setan dipergunakan maka Nila Cendani bukan apa-apa bagi Pendekar Mabuk.

"Kau tak takut kalau muridmu mati di tangan Ratu Tanpa Tapak?!"

"Jika Siluman Tujuh Nyawa saja dibuatnya lari pontang-panting, tentunya Nila Cendani akan dibuat tak berdaya oleh Suto, sebab Siluman Tujuh Nyawa punya ilmu lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki Nila Cendani!"

Raja Maut bengong lagi. Ia kenal betul nama Siluman Tujuh Nyawa yang punya nama asli Durmala Sanca itu. Ia tak sangka kalau Siluman Tujuh Nyawa yang terkenal sakti dan ganas itu lari pontang-panting dalam pengejaran Pendekar Mabuk.

Kalau saja Raja Maut mendengar kabar itu sejak lama, maka ia tidak akan datang temui si Gila Tuak dan menyampaikan kecemasannya itu.

Alam pikiran Suto Sinting ternyata sama dengan pikiran gurunya. Ketika dalam perjalanan menuju kaki Gunung Sesat, hatinya pun berkata,

"Kenapa aku harus takut dengan Ratu Tanpa Tapak? Siluman Tujuh Nyawa saja kuhadapi dan kukejar-kejar, apalagi hanya Nila Cendani?! Apakah kesaktian Nila Cendani lebih tinggi dari Durmala Sanca, si Siluman Tujuh Nyawa itu?! Ah, sekalipun lebih tinggi, aku tak takut. Cepat atau lambat aku harus bisa membebaskan Ki Gendeng Sekarat sebelum orang yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri itu mendapat celaka di tangan Ratu Tanpa Tapaki"

Langkah Pendekar Mabuk sengaja dihentikan sejenak. Matanya mulai menangkap bayangan sebuah benteng di kejauhan sana. Warna hitam memanjang sudah pasti benteng istana Ratu Tanpa Tapak. Suto Sinting meneguk tuaknya yang tadi ketika melewati sebuah desa sempat diisi dengan tuak baru di sebuah kedai.

Glek, glek, glek...!

Tiga teguk cukup untuk menyegarkan tubuh. Tuak itu, ibarat zaman sekarang merupakan dopping bagi seluruh ilmu dan kekuatan Suto. Kesegaran dan keberaniannya semakin bertambah jika habis meneguk tuak. Wajah Suto Sinting saat itu berseri-seri memandangi benteng sang Ratu.

"Kuhancurkan benteng itu, atau aku masuk menyelinap secara diam-diam?" pikirnya penuh perhitungan.

Perhitungannya menjadi buyar karena tiba-tiba ia merasakan ada suatu gelombang panas yang menyerangnya dari samping kiri. Suto Sinting sentakkan kaki dan tubuhnya pun melambung di udara dengan cepat. Suuuut... !

Blaaar...!

Gelombang panas itu mengenai sebuah pohon dan pohon itu rompal bagian batangnya. Hampir saja tumbang terpotong. Melihat keadaan pohon hanya rompal, berarti penyerangnya menggunakan tenaga dalam yang tidak begitu tinggi. Mungkin ia tidak bermaksud membunuh Suto Sinting. Tapi siapa penyerangnya itu?

"Oh, kau...!" Suto Sinting bernada keluh.

Gadis berpakaian ketat ungu muda dengan bentuk belahan dada yang menantang itu tak lain adalah Pelangi Sutera. Ibu dari anak jin; si Logo, ternyata telah menyusulnya dan bermaksud menghalangi niat Suto datang ke benteng itu.

"Sudah kubilang, jangan temui Ratu Tanpa Tapak. Mengapa kau nekat?' kata Pelangi Sutera yang bernama asli Sumbaruni itu.

"Apa hakmu melarangku, Sumbaruni?!"
"Ini bukan masalah hak. Ini masalah kecemasanku."

"Itu tak perlu," jawab Suto kalem sambil tersenyum geli. "Untuk apa kau mencemaskan diriku, Sumbaruni? Tak akan ada gunanya."

Perempuan yang tampak masih muda sekian kali lipat dari usia sebenarnya, mendekati Suto dengan sorot pandang matanya yang berwibawa dan punya kharisma tersendiri. Suto Sinting membiarkannya dan juga memandangi tanpa kesan bermusuhan. Dalam jarak dua langkah, Sumbaruni berhenti dan saling adu pandang beberapa saat. Lama-lama terdengar suaranya berucap bagai bisikan.

"Aku tak mau kau terjerat cinta di sana!"

Suto Sinting tertawa dengan suara pelan. "Jangan takut. Aku punya penangkalnya, Sumbaruni."

"Omong kosong! Kau akan kalah jika Nila Cendani pergunakan ilmu 'Serap Sukma Asmara' yang dimilikinya. Aku tahu kau masih perjaka, dan kau pasti bisa menyentuh serta menyerangnya. Kalian bisa bersentuhan, dan itu sangat berbahaya bagi keadaan jiwa mudamu, Pendekar Mabuk."

"Apa kehebatan ilmu 'Serap Sukma Asmara' itu, sehingga kau amat mengkhawatirkan diriku, Pelangi Sutera?"

"Apabila dia menggigit bibirnya sendiri dalam senyum, maka hatimulah yang digigitnya. Jika hatimu sudah digigit, maka kau akan jatuh cinta padanya, kau akan tunduk dengan segala perintahnya, dan kau akan menjadi pelayan cintanya sepanjang masa. Sampai saatnya dia tidak lagi membutuhkan dirimu, kau akan sanggup memenuhi perintahnya untuk lakukan bunuh diri."

"Bagaimana kalau sebelum dia menggigit bibirnya, aku lebih dulu menggigitnya?" kata Suto menganggap canda kecemasan itu. Tapi Sumbaruni menjadi sangat jengkel, maka ditamparnya pipi Suto tidak terlalu keras. Plaak...! Suto sengaja tidak menangkis dan tidak menghindar, ia justru semakin tertawa geli.

"Aku bersungguh-sungguh, Suto. Aku benar-benar takut."

Kata-kata itu diucapkan sangat pelan dan dengan wajah sedih, penuh kecemasan. Akhirnya Suto Sinting mencoba memahami perasaan Pelangi Sutera, ia tahu wanita itu amat mencintainya dan berharap dapat hidup bersamanya. Sekalipun Suto tetap ingat pada calon istrinya: Dyah Sariningrum, tapi Suto menghargai perasaan seorang wanita seperti Pelangi Sutera itu. Maka ia pun berkata dengan nada bersungguh-sungguh.

"Percayalah, aku tidak akan terpikat oleh perempuan itu. Aku mampu menghindarinya, Pelangi Sutera."

Tapi perempuan itu gelengkan kepala dan berkata, "Aku sangsi...."

Suto Sinting menarik napas panjang. "Baiklah. Kau sangsi atau tidak aku tetap harus ke sana dan membebaskan Ki Gendeng Sekarat!"

"Suto...!"

"Aku tak bisa berlama-lama diam di sini sementara nyawa Ki Gendeng Sekarat sedang di ujung lidah perempuan itu!" kata Suto sambil segera melangkah menuju benteng tersebut. Kecemasan Pelangi Sutera semakin kuat, sehingga dengan gerakan cepat perempuan itu tiba-tiba sudah berdiri menghadang langkah Suto Sinting.

"Kalau kau nekat ke sana, aku terpaksa melumpuhkanmu, Suto!" ancamnya dengan suara dingin.
"Aku tak mau. Aku pasti akan melawanmu, Pelangi Sutera!"
"Baik. Kalau begitu kita coba siapa yang unggul dalam pertarungan kita!"

Slaaap...! Tiba-tiba gerakan tangan Pelangi Sutera bagaikan melemparkan senjata rahasia ke dada Suto Sinting. Tapi yang keluar dari lemparan tangannya itu adalah sinar kuning berbentuk bintang berputar. Kecepatan lemparan sinar itu sangat tinggi. Suto Sinting tak sempat menghindar dan menangkis. Akibatnya sinar kuning itu memang mengenai dada Suto Sinting. Duuub... !

"Uuuffh...!" Suto Sinting mengejang dengan mata terpejam kuat. Tubuhnya melengkung, kedua tangannya mendekap dada. Napasnya bagaikan tersumbat di dalam dada. Kerongkongannya seakan kering dan lengket, tak bisa bersuara.

Baru sekarang Suto Sinting menerima serangan secepat itu. Lebih cepat dari loncatan kilat. Lebih cepat dari tarikan napas. Dan jurus itu sangat aneh. Tubuh Suto menjadi lemas. Lemas sekali. Matanya berkunang- kunang. Untuk menggerakkan jemarinya saja tak mampu. Akhirnya Suto Sinting jatuh terkulai.

Bruuuk...! Punggungnya tak bisa dipakai untuk duduk. Tulang punggung sepertinya hilang sama sekali. Urat-urat dalam tubuhnya bagaikan putus semua. Bruuuk...! Suto terpuruk, mirip cucian basah jatuh dari jemurannya. Tapi otaknya masih berjalan, kesadarannya masih ada. Matanya masih bisa berkedip-kedip, hanya saja kekuatannya bagaikan dikebiri, lenyap tanpa bekas sedikit pun dari dirinya.

"Maafkan aku, Suto," Pelangi Sutera mendekat dan berwajah sedih. Tangannya mengusap-usap rambut Suto setelah ia berlutut di depan pemuda tampan itu.

"Maafkan aku, karena kau bandel dan aku tak punya cara lain! Aku terpaksa menggunakan jurus 'Anak Rembulan' supaya kau tidak bisa menemui Ratu Tanpa Tapak itu. Kau akan lumpuh selama belum mendapat seranganku kembali. Aku akan menyerangmu menggunakan jurus 'Lidah Mentari' untuk membakar kekuatanmu agar pulih lagi. Tetapi itu nanti, setelah aku berhasil membebaskan orang yang kau anggap seperti ayahmu sendiri itu. Aku sendiri yang akan menyelamatkan Ki Gendeng Sekarat, Suto. Aku terpaksa melawan cucuku sendiri demi menyelamatkan hatimu dari jeratan ilmu 'Serap Sukma Asmara' milik Nila Cendani!"

Sebenarnya ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh Suto Sinting, tapi lidahnya bagaikan tak bisa digerakkan sama sekali. Lidah itu lemas tak punya urat. Akhirnya Suto hanya diam saja, matanya berkedip-kedip memperhatikan wajah Pelangi Sutera yang penuh sesal dan kegeraman.

Wanita cantik ibu anak jin itu pergi bagaikan anak panah yang melesat dari busurnya. Arahnya menuju benteng hitam itu. Tapi otak Suto masih sempat berpikir dalam kecemasan.

"Jika dia kalah melawan Ratu Tanpa Tapak, jika dia mati, lantas bagaimana nasib Ki Gendeng Sekarat? Bagaimana dengan nasibku ini?! Hanya dia yang bisa pulihkan kekuatanku dengan jurus 'Lidah Mentari'. Tapi kalau dia mati, siapa yang akan lepaskan jurus 'Lidah Mentari' kepada diriku? Tak ada. Dan itu berarti aku akan lumpuh selama-lamanya! Celaka! Apakah dia bisa unggul melawan Ratu Tanpa Tapak?"

***

PADA saat itu, Ki Gendeng Sekarat sudah berhasil dilumpuhkan oleh Ratu Tanpa Tapak. Ketika di kamar tidur sang Ratu, Ki Gendeng Sekarat berhasil diserang dengan dua jurus jebakan. Empat jari tangan Nila Cendani disentakkan, maka melesatlah empat larik sinar hijau dari masing-masing ujung jari berkuku runcing itu. Arahnya sengaja sedikit ke kanan, supaya Ki Gendeng Sekarat menghindar ke kiri. Sraab...!

Dugaan Nila Cendani benar. Ki Gendeng Sekarat berguling di atas ranjang ke arah kanan. Tapi pada saat itu juga Nila Cendani sentakkan keempat jari kanannya yang memancarkan empat larik sinar putih perak berkilauan.

Sraaab...! Arahnya lebih ke kiri dari tubuh Ki Gendeng Sekarat, sehingga ketika Ki Gendeng Sekarat menghindari ke kiri, maka ia terperangkap sinar putih perak itu.

Jraaab... !
"Uuhg...!"

Tubuh Ki Gendeng Sekarat mengejang dengan kepala terdongak menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Tubuh itu menjadi kaku dan kejang sekali. Nila Cendani segera memanggil pengawalnya.

"Tangkap dan ikat dia dengan akar Serat Hantu!" perintah sang Ratu.Dalam beberapa waktu, keadaan kejang itu sudah menjadi kendor. Ki Gendeng Sekarat memang hanya mengalami kekakuan sesaat. Jurus sinar perak tadi memang berguna hanya untuk melumpuhkan lawan, bukan untuk membunuh. Tetapi sekalipun keadaan Ki Gendeng Sekarat sudah menjadi seperti biasa, namun ia tak dapat berbuat apa-apa, karena kedua tangannya dikebelakangkan dan diikat dengan akar Serat Hantu.

Akar Serat Hantu adalah tali dari jenis tanaman yang mengandung racun. Semakin lama menempel di kulit tubuh, maka orang tersebut akan mengalami perasaan takut kepada siapa pun. Terbukti semakin lama terikat dengan akar itu, Ki Gendeng Sekarat semakin deg-degan dan memandang siapa saja dengan rasa takut. Bahkan ia tak berani menatap ratu yang cantik itu, karena kecantikan tersebut dianggapnya sesuatu yang amat menakutkan. Tak heran jika napas Ki Gendeng Sekarat terengah-engah terus karena diliputi perasaan takut.

"Pancung dia di pelataran depan!" perintah Ratu Tanpa Tapak kepada para pengawalnya, lalu kedua orang pengawal segera membawa Ki Gendeng Sekarat ke pelataran depan istana. Ki Gendeng Sekarat ketakutan melihat dua pengawal yang membawanya.

"Tidak! Tidak! Jangan dekati aku! Aku takut pada beruang! Takuuut...!"

Plook! Wajah itu ditampar seenaknya oleh seorang pengawal.

"Aku bukan beruang, Goblok!"

"Jangan! Jangan! Aku takuuut...!" teriak Ki Gendeng Sekarat sambil meronta-ronta. Biasanya ia tak pernah punya rasa takut, apalagi sampai berteriak-teriak begitu. Bahkan ketika menuruni tangga serambi istana, Ki Gendeng Sekarat yang menundukkan wajahnya menjadi menjerit dan melompat-lompat,

"Aaaa... ! Takuuut... ! Takuuut... ! Ada semut dua ekor mau mengeroyokku! Uwaaa...!" Ia semakin meronta- ronta menghindari dua ekor mata semut yang menurut penglihatannya amat besar dan ingin mencaplok kakinya.

Tentu saja hal itu menjadi bahan tertawaan orang-orangnya Nila Cendani yang siap menyaksikan hukum pancung di pelataran istana.

Di sana sudah ada dua tiang pengikat tangan orang yang akan dipancung. Tetapi karena keadaan Ki Gendeng Sekarat harus tetap berlilitkan akar Serat Hantu, maka Ki Gendeng Sekarat tidak jadi diikatkan pada dua tiang, melainkan seluruh tubuhnya disuruh merendah dan diikat pada satu tiang saja dalam keadaan berlutut. Lalu sebatang kayu menekan punggungnya supaya merunduk.

Dengan begitu, leher Ki Gendeng Sekarat mudah terpancung oleh algojo yang ditugaskan. Algojo itu mengenakan kain selubung penutup kepala warna hitam, bagian atasnya runcing, yang terlihat hanya bagian matanya saja. Ki Gendeng Sekarat sempat berteriak ketakutan.

"Jangaaan...! Huaaww...! Jangan dekatkan aku dengan setan pocong! Aku takut! Takuuut...!"

Yang lain tertawa mendengar algojo dikatakan setan pocong. Algojo sendiri sebenarnya tertawa geli, tapi karena mulutnya tertutup selubung hitam maka tak diketahui bahwa ia ikut menertawakan sang tawanan. Sedangkan Ratu Tanpa Tapak hanya tersenyum sinis, siap memperhatikan hukuman pancung dilaksanakan.

Sang Algojo menunggu perintah pancung dari ratunya. Pedang besar sudah siap di tangan, ia berdiri dengan kaki sedikit merenggang.

Ki Gendeng Sekarat sempat melirik kepada pedang yang putih besar berkilauan, ia sempat merintih ketakutan dalam keadaan tertunduk.

"Oh, gigi siapa itu yang dibawa-bawanya. Besar sekali! Ooh... aku takut sekali pada gigi itu. Singkirkan gigi itu, Ratuuu...!"

Gelak tawa mereka sengaja dibiarkan oleh sang Ratu, karena setiap orang yang diikat dengan akar Serat Hantu memang tingkah ketakutannya menggelikan. Setelah tawa itu mereda, Ratu Tanpa Tapak pun segera berkata dengan suara keras dan tegas.

"Demi membalas kematian dua utusan kita yang hampir mendapatkan keris pusaka Setan Kobra itu, maka orang ini layak dihukum mati dengan dipancung. Inilah satu bukti, bahwa aku; Ratu Tanpa Tapak, akan selalu melindungi orang-orangku dari gangguan siapa pun."

Setelah itu, Ratu Tanpa Tapak memandang algojo dan berseru, "Laksanakan!"

Algojo mengangguk, lalu mengangkat pedang besarnya. Pada saat pedang terangkat tinggi-tinggi dan siap diayunkan, tiba-tiba seberkas sinar merah menyerupai ujung anak panah melesat cepat dan menembus dada sang algojo.

Wuuut...! Sraab...!
Blaaarr... !

Seluruh orang menjerit dan menjadi panik melihat tubuh sang Algojo pecah. Ki Gendeng Sekarat sendiri berteriak-teriak sangat ketakutan. Beberapa pasang mata tertuju ke atas benteng, ternyata di sana telah berdiri seorang perempuan yang mengenakan jubah ungu tua dengan pedang di punggung dibungkus kain beludru warna ungu pula.

"Serang dia!" teriak Sabit Guntur yang berdiri di samping kanan Nila Cendani.

"Heeaaaahhhh...!" semua menyerang Pelangi Sutera dengan senjata dan tenaga dalam masing-masing. Tetapi wanita muda itu cepat menghilang, tahu-tahu berada di samping Ki Gendeng Sekarat. Pedangnya dicabut, dan ditebaskan dengan cepat ke arah Ki Gendeng Sekarat.

Wes, wes, wes, wes, wuuut...! Tras...!

Dalam gerakan pedang yang begitu cepat, semua tali yang mengikat Ki Gendeng Sekarat telah terputuskan. Ki Gendeng Sekarat bebas dari pengaruh akar Serat Hantu. Ia segera terbelalak melihat Pelangi Sutera yang dikenalinya itu.

"Sumbaruni...?!"
"Habisi mereka, Gendeng Sekarat! Jangan bengong saja! Hiaaat...!"

Pertarungan pun terjadi dengan seru. Ki Gendeng Sekarat mendampingi Samburani menyerang mereka. Tak satu pun ada yang mampu melukai atau memukul jatuh kedua tokoh tua tersebut.

Tetapi mereka berdua tidak bisa menyerang Ratu Tanpa Tapak, karena mereka berdua sudah bukan perawan dan perjaka lagi. Akibatnya mereka hanya terdesak beberapa kali oleh serangan Ratu Tanpa Tapak yang menggunakan jurus- jurus berbahaya. Tiga tiang utama istananya sendiri sempat hancur menjadi debu karena serangannya yang dihindari oleh Pelangi Sutera.

"Monyet busuk! Bagaimana dia bisa masuk ke bentengku?!" pikir Nila Cendani memandangi Sumbaruni. Ratu Tanpa Tapak tidak tahu kalau semua penjaga di pintu gerbang sudah dilumpuhkan oleh Pelangi Sutera terlebih dulu, sehingga wanita itu dapat dengan mudah melompat naik ke dinding benteng dan menggagalkan acara hukuman pancung tersebut.

Kini lebih dari tiga puluh orang terkapar tanpa nyawa karena amukan Ki Gendeng Sekarat dengan Pelangi Sutera. Sabit Guntur sendiri yang tangannya buntung juga mati di tangan Ki Gendeng Sekarat dengan tebasan kipas putihnya.

Sementara itu Nila Cendani semakin murka, menyerang mereka berdua dengan melayang tanpa menginjak tanah sejak tadi. Ki Gendeng Sekarat sempat terjungkir baik ke belakang ketika ia mencoba menahan pukulan sinar hijau dari mata Nila Cendani. Pukulan itu amat kuat dan berbahaya, membuat Ki Gendeng Sekarat hampir saja mati membeku jika tidak menahannya memakai bentangan kipas putihnya.

Tetapi sebagai akibat, ia terlempar dan terkapar dalam jarak sepuluh langkah dari tempatnya. Telinga dan hidungnya mengucurkan darah segar. Sedangkan Pelangi Sutera masih menebaskan pedangnya ke sana-sini. Tebasan pedangnya itu seperti kilasan angin yang tak diketahui datangnya, tak didengar suaranya, tiba-tiba saja korbannya merasakan hawa dingin pada tubuhnya. Tahu- tahu kepalanya jatuh dari raga, atau dadanya robek, tembus dan sebagainya. Bahkan ada yang masih sempat melakukan lompatan menyerang tanpa disadari bahwa kedua kakinya telah ditebas buntung oleh pedang ungunya Pelangi Sutera.

"Sumbaruni!" sentak Nila Cendani. "Hentikan tingkah keparatmu itu, Setan!"

Pelangi Sutera menghentikan serangannya, ia memandang dengan senyum sinis. Anak buah Nila Cendani tinggal beberapa gelintir manusia saja. Mungkin hanya delapan atau sembilan orang yang masih hidup tanpa luka. Mereka berada di belakang Ratu Tanpa Tapak. Siap menyerang kapan saja perintah datang.

"Apa maksudmu ikut campur urusanku ini, hah?!" bentak Nila Cendani.

Sumbaruni hanya menjawab dengan sinis, "Aku hanya ingin membebaskan si Gendeng Sekarat ini!"

"Apa urusanmu dengannya?"
"Tidak ada!"
"Kalau begitu kau memang cari penyakit dengan mendatangi kekuasaanku ini!"

"Nila Cendani, pandanglah aku. Siapa diriku sebenarnya? Mengapa kau masih bersikap keras di depan nenekmu ini?! Kembalilah ke jalan yang benar, Nila Cendani! Kau boleh tempati gunung ini tapi lakukanlah kebaikan!"

"Persetan dengan nasihatmu! Aku harus menjadi penguasa dunia! Siapa pun tak boleh menentang kehendakku. Tak peduli kau adalah nenekku, kalau kau menentang keinginanku, kau harus kumusnahkan, Sumbaruni!"

"Sayang sekali jiwamu benar-benar sesat!"

"Peduli apa denganmu! Kalau kau memang mau menentangku, coba lukai aku! Coba sentuh diriku!"

"Sesumbarmu seperti kaleng rombeng! Jangan kau pikir tak ada orang yang mampu melukaimu. Nila Cendani!"

"Hmmm...! Aku tahu kau sudah tak perawan lagi! Kau sudah beranak dan ke mana anakmu itu? Si anak jin itu akhirnya berkhianat padaku dan menjadi menuruti perintahmu, bukan? Hmmm...! Aku dapat meneropongnya dari sini, Sumbaruni. Sekali aku bertemu dengannya, maka ia tak akan selamat dari tanganku!"

Sumbaruni merasa dibakar darahnya mendengar anaknya diancam, ia segera melepaskan pukulan dari tangan kirinya, berupa percikan sinar warna-warni seperti pelangi. Tetapi sinar-sinar itu tak ada yang mengenai tubuh Nila Cendani, bahkan menyimpang pecah mengenai empat anak buah Nila Cendani yang semuanya menjadi pecah tanpa serpihan daging dan tulang lagi kecuali semburan darah kental ke sana-sini.

Ratu Tanpa Tapak kian murka, ia mencabut kipas berbulu merak yang terselip di pinggang belakang. Kipas itu ditebaskan. Wuuuut...! Maka ratusan jarum beracun memancar menyebar.

Srrraabb...! Jruuub...!
"Auhg...!"
"Aaahg...!"

Jarum-jarum yang bergerak bagaikan angin itu menancap di tubuh Pelangi Sutera dan Ki Gendeng Sekarat. Seketika itu pula tubuh mereka menggigil dan membiru. Pori-pori kulit mereka melebar dan mengeluarkan cairan merah darah.

"Kita harus lekas pergi dari sini, Sumbaruni!" bisik Ki Gendeng Sekarat dengan menahan sakit di sekujur tubuhnya. "Kita tak akan bisa melukainya!"

Wuuut...! Wuuut...!

Pelangi Sutera segera melesat pergi mendengar usul Ki Gendeng Sekarat, dan Ki Gendeng Sekarat sendiri ikut melesat menyamai kecepatan gerak Pelangi Sutera. Pintu gerbang ditabraknya.

Duaaar...! Jebol menjadi kepingan-kepingan besi bercampur kayu.

Tetapi kekuatan gerak mereka terbatas, tenaga mereka telah direnggut racun ganas. Begitu mereka tiba di depan pintu gerbang dalam jarak dua puluh langkah, mereka berdua saling berjatuhan.

Tubuh mereka semakin merah karena penuh cairan darah yang keluar dari pori- pori tubuhnya.

"Gendeng... aku tak kuat," ratap Pelangi Sutera ketika jatuh tersungkur dan mencoba merangkak untuk bangun. Ki Gendeng Sekarat pun terpelanting jatuh karena tenaganya bagaikan hilang.

"Hi, hi, hi, hi...!" terdengar tawa Ratu Tanpa Tapak yang menyusul keluar bersama sisa anak buahnya. "Kalian tak akan bisa hidup lebih dari seratus hitungan! Jarum 'Pengikis Jantung' mempunyai racun yang tak mudah ditawarkan. Tapi ada baiknya daripada kalian terlalu lama menunggu ajal. Akan kupercepat dengan jurus pembantaiku ini! Hiaaaat...!

Wuuut... ! Sinar merah meluncur dari mata Nila Cendani. Sinar merah itu semula berbentuk lidi kecil, tapi makin jauh makin menyebar lebar dan menghantam tubuh Ki Gendeng Sekarat dengan Pelangi Sutera.

Hanya saja, sebelum kedua sinar yang terlepas dari kedua mata Nila Cendani itu sampai di tubuh mereka berdua, seberkas sinar ungu melesat dan menghantam kedua sinar merah tersebut secara melintas cepat dari samping kanan.

Blaaar...! Glegaaarrr...!

Bunyi ledakan itu luar biasa dahsyatnya. Tubuh Ki Gendeng Sekarst dan Pelangi Sutera sama-sama terpental dan terguling-guling di rerumputan. Tapi yang lebih aneh lagi, tubuh Ratu Tanpa Tapak pun terlempar ke belakang dan sempat berjungkir balik sampai jatuh tersungkur di tanah belakangnya, ia segera bangkit dengan merasa heran mengalami peristiwa seperti itu.

Matanya segera memandang mencari penyerang yang menggunakan sinar ungu itu. Ketika pandangan matanya menemukan sesosok pemuda tampan berdiri tegak dengan baju coklat tanpa lengan, Ratu Tanpa Tapak itu terperangah dan berdebar-debar hatinya.

Sedangkan saat itu, Pelangi Sutera yang masih bertahan untuk bisa bangkit walau dengan setengah merangkak, segera serukan gumam keheranannya.

"Suto...?!"

Tentu saja Pelangi Sutera merasa terheran-heran, sebab ia tak menyangka kalau Suto bisa pulih seperti sediakala, padahal mestinya harus dihantam dengan jurus 'Lidah Mentari' dulu supaya kekuatannya pulih kembali. Tapi ternyata tanpa pukulan itu Pendekar Mabuk sudah bisa berdiri tegak dan pulih seperti sediakala. Pelangi Sutera menyangka saat itu Suto masih terpuruk lunglai tanpa daya di bawah pohon.

Di samping Suto Sinting berdiri seorang bocah berusia sepuluh tahun. Angon Luwak. Apakah bocah itu yang sembuhkan Suto dan pulihkan kekuatan si Pendekar Mabuk itu? Rasa-rasanya tak mungkin, menurut Pelangi Sutera. Jurus 'Anak Rembulan' tak ada yang bisa menyembuhkan kecuali orang yang punya pukulan 'Lidah Mentari'. Sedangkan orang yang punya jurus 'Lidah Mentari' tak ada lainnya kecuali dirinya sendiri.

Pelangi Sutera tidak tahu bahwa kehadiran Angon Luwak telah menyelamatkan Suto Sinting dari pengaruh jurus 'Anak Rembulan'. Bocah itu tahu keadaan Suto yang lemas pasti karena sakit.

Tapi ia tak tahu sakit apa yang diderita Suto sebab Suto tidak bisa kasih penjelasan padanya.

Namun bocah itu punya gagasan untuk meminumkan tuak dari bumbung ke mulut Suto. Sebab ia pernah melihat Suto mengobati Raja Maut dengan cara seperti itu. Tuak tersebut mempunyai kekuatan dahsyat melebihi pukulan 'Lidah Mentari'. Dengan meminum tuak itu, meka kekuatan Suto menjadi pulih kembali dan badannya menjadi lebih segar.

Kini kecemasan Pelangi Sutera bukan terletak kepada mati-hidupnya Pendekar Mabuk, melainkan terletak pada hati si pendekar tampan itu. Ketika Suto meminumkan tuaknya ke mulut Pelangi Sutera dan Ki Gendeng Sekarat, wanita cantik berhati jahat yang ingin menguasai dunia itu sedang berusaha bangkit dengan dibantu sisa anak buahnya yang masih perjaka.

Hanya ada dua orang yang masih perjaka, sehingga bisa menyentuh Ratu Tanpa Tapak. Dan agaknya karena sinar ungunya Suto tadi, sang Ratu Tanpa Tapak kali ini terpaksa menapakkan kakinya ke tanah sebab ia mengalami luka panas di bagian urat nadinya.

"Oh, pemuda itu...?! Ketampanannya sangat menggiurkan hatiku, kegagahannya sangat menarik perhatianku. Sebaiknya kuusahakan untuk berdamai saja dengannya dan aku bisa menarik hatinya untuk menjadi pelayan cintaku...," pikir Ratu Tanpa Tapak yang sudah kehilangan banyak anak buah itu.

"Sut... Suto... hati-hati, dia memandangimu dengan aneh," bisik Pelangi Sutera. Tetapi Pendekar Mabuk hanya tersenyum dan berkata lirih,

"Sudah kupersiapkan perisai penolak ilmu cinta segala macam. Kau tak perlu khawatir. Akan kutangani dia!"

"Hati-hati, Suto," ujar Ki Gendeng Sekarat yang sedang menunggu pulihnya kekuatan karena ia sudah meneguk tuak beberapa kali.

Suto Sinting tampil ke depan, sengaja berjalan mendekati Ratu Tanpa Tapak. Sang Ratu tersenyum nakal, ia mulai mengigit bibirnya. Tapi serta-merta Suto segera lepaskan pukulan mautnya. Jurus 'Surya Dewata' dari kedua tangan yang memancarkan sinar ungu menghantam tubuh Nila Cendani dengan amat cepat.

Claaap...! Blaaarrr...!

"Aaahg...!" Ratu Tanpa Tapak terpekik tertahan. Tubuhnya terpental sampai membentur sisi gerbang.

Duuurrr...!

Benteng itu berguncang nyaris roboh karena benturan tubuh sang Ratu. Bagian atas benteng ada yang rontok sebagian. Jika bukan ilmu yang dahsyat yang melayangkan tubuh cantik itu, tak mungkin benteng sekokoh itu bisa bergetar sedemikian rupa.

Jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin pula Nila Cendani akan terlempar sejauh itu. Pasti dia akan pecah dan mati seketika. Tak sampai bergeser sejengkal pun. Tapi karena Nila Cendani orang berilmu tinggi, maka pukulan 'Surya Dewata' hanya membuatnya terpental terbang dan berdarah di bagian kepalanya, hidung, telinga, mulut, dan lubang tubuh lainnya.

Ia masih hidup. Masih bisa berdiri dengan sempoyongan. Masih bisa berteriak nyaring dan keras sekali,

" Sokobumiii...! Keluar dari tempatmu!"

Kejap berikutnya, tembok tebal yang menjadi dinding benteng itu jebol diterjang sesosok tubuh dari dalam. Tubuh yang mampu melesat menjebol tembok benteng sekeras itu adalah tubuh kurus, berambut panjang sepinggang, berkuku runcing, itulah jazad dari almarhum Sokobumi yang telah dihidupkan lagi oleh Nila Cendani menggunakan sumber kekuatan inti orang lain.

"Suto! Biar kami yang hadapi!" teriak seseorang yang ternyata Ki Lumaksono. Ia dan Ki Parandito sempat tersesat jalan dan tiba di tempat ketika Nila Cendani terlempar tadi.

Kedua tokoh tua itu segera melesat mendekati Suto. "Biar kami yang hadapi, supaya kami tak sakit hati jika beliau terluka!"

Tapi baru saja mereka bersepakat begitu, Sokobumi melepaskan serangannya berupa puluhan bintang yang menyerang kedua tokoh tua dan Suto Sinting. Puluhan bintang itu tentu saja berkekuatan tenaga dalam sangat tinggi. Gerakannya sangat cepat dan nyaris tidak terlihat lagi.

"Awas...!" teriak Suto sambil menendang dengan kedua kaki ke kiri dan ke kanan secara serempak.

Tendangan itu mengenai tubuh Ki Lumaksono yang ada di kirinya dan Ki Parandito yang ada di kanannya. Akibatnya mereka berdua terlempar jauh dan terhindar dari puluhan bintang berbahaya itu. Sedangkan untuk menyelamatkan dirinya, Suto segera mengibaskan bumbung tuaknya ke depan.

Wuuut...! Srrraaabbb...!

Bumbung itu bagaikan mempunyai tenaga magnit. Bintang-bintang itu menjadi mengarah ke bumbung bambu tersebut. Semuanya menuju bambu tuak, tapi tidak sampai menancap. Bintang-bintang itu membalik arah setelah saling memantul di kulit bambu. Traaak... ! Praaaffs...!

Bintang-bintang itu menjadi lebih besar dari ukuran semula dan kecepatan geraknya melebihi kecepatan semula. Sokobumi tampak kebingungan menangkis bintang-bintang yang kembali ke arahnya dengan menggunakan sehelai ilalang yang dicabutnya.

Trang, trang, triing...! Traang...! Jrab, jrab, trang...! Jrruub... !

Ilalang yang dijadikan pedang memang mampu menangkis beberapa bintang, tetapi lebih dari tujuh bintang menancap di tubuh Sokobumi. Bintang-bintang yang menancap itu akhirnya meledak secara bersamaan dan membuat tubuh Sokobumi hancur berkeping-keping, tak mungkin bisa dibangkitkan lagi dengan kekuatan apa pun.

Blaaarrr...!

"Guruuu..,!" teriak Ki Lumaksono dan Ki Parandito secara bersamaan.

Sementara itu, Ratu Tanpa Tapak terperanjat kaget bukan kepalang melihat kehebatan ilmu pemuda tampan itu. Tapi ia menjadi ketakutan dan segera melarikan diri sambil berseru,

"Tunggu pembalasanku setelah kudapatkan Keris Setan Kobra...!"
"Jangan lari kau, Cantik!" teriak Suto Sinting, lalu segera mengejarnya.

Pelangi Sutera pun berseru tegang, "Tidaaak...! Jangan kejar dia, Sutooo!"

Tetapi Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak itu tetap mengejar dengan kecepatan melebihi melesatnya anak panah, ia tak peduli seruan Sumbaruni, juga tak peduli dengan ratapan kedua tokoh tua; Pawang Gempa dan Juru Bungkam itu. Ki Gendeng Sekarat segera bangkit, keadaannya lebih baik. Ia segera terkejut begitu melihat Angon Luwak bergegas mau mengikuti Suto.

"Angon Luwak! Jangan kejar dia!"
"Tapi..., bagaimana jika Kang Suto dilawan memakai Keris Setan Kobra, Guru?"

"Keris?! Oh, bahaya! Memang bahaya kalau Nila Cendani berhasil dapatkan keris pusaka itu. Dia bisa mati tanpa jasad sedikit pun!" gumam Ki Gendeng Sekarat. Lalu, Sumbaruni segera berkata,

"Kita harus susul dia! Jangan sampai dia terpikat oleh jeratan cinta Nila Cendani!"
"Cinta, cinta...! Keris itu sangat berbahaya!" bentak Ki Gendeng Sekarat.

"Keris tidak berbahaya! Cinta yang berbahaya! Cinta melebihi senjata apa pun, baik kekuatannya maupun bahayanya!"

Setelah berkata demikian, Sumbaruni segera melesat pergi dengan kecepatan gerak mengimbangi Suto Sinting. Ki Gendeng Sekarat mau tak mau segera berlari menyusulnya.

Angon Luwak hanya tertegun bengong, memandang anak buah Ratu Tanpa Tapak yang lari pontang-panting ke berbagai arah, memandang kedua tokoh tua yang menangisi kehancuran jasad jenazah gurunya, Sokobumi, juga memandang kepergian Ki Gendeng Sekarat dan Pelangi Sutera.

Bocah itu hanya berkata lirih pada dirinya sendiri,

"Mereka mencari keris milik Ki Empu Sakya! Apakah mereka tahu di mana Ki Empuk Sakya menyembunyikan Keris Setan Kobra itu? Aku tak yakin mereka bisa menemukannya. Tapi seandainya mereka mau membawaku pergi, aku yakin mereka berhasil mengetahui letak keris itu disembunyikan oleh Ki Empu Sakya!"

Angon Luwak berjalan pelan-pelan sambil memandangi kedua tokoh tua yang masih menangisi kehancuran jenazah gurunya itu.

SELESAI
Segera menyusul: KERIS SETAN KOBRA