Pendekar Mabuk 25 - Naga Pamungkas(2)



 Setelah merenung sejenak, Suto pun berkata seperti bicara pada diri sendiri,


"Lalu, apa alasannya murid Nyai Demang Ronggeng menyerang Ki Gendeng Sekarat? Apakah itu perintah dari gurunya?"

"Mungkin saja. Dan tidak menutup kemungkinan kalau sekarang Ki Gendeng Sekarat pergi menemui Nyai Demang Ronggeng untuk menuntut balas atas penyerangan muridnya itu."

"Apakah kau tahu di mana Nyai Demang Ronggeng bertempat tinggal?"

"Sayang sekali tidak," jawab gadis berkepang dua dengan tegas. "Tapi aku kenal seseorang yang mengetahui tempat tinggal Nyai Demang Ronggeng. Orang itu tinggal di desa Kukusan, dia seorang pandai besi yang berjuluk Ki Empu Sakya!"

Mendengar nama Ki Empu Sakya, bocah penggembala itu menyahut. "Aku tahu rumah Ki Empu Sakya, Kang!"

"O, kau tahu?"
"Ya. Kedua orang bengis yang mengejarku itu tadi memaksaku untuk mengantarkan ke rumah Ki Empu Sakya. Tapi aku tak mau. Kang."

"Kenapa kau tak mau?"

"Karena orang bengis itu pasti akan memaksa Ki Empu Sakya untuk meminta pusaka secara kasar. Aku kasihan kepada Ki Empu Sakya."

"Pusaka apa?"
"Setahuku, banyak orang yang membujuk Ki Empu Sakya untuk mendapatkan keris pusaka yang bernama Keris Setan Kobra, Kang."

"Keris Setan Kobra?!" Mega Dewi terkejut secara terang-terangan. Suto semakin ingin tahu melihat kekagetan Mega Dewi. Tapi sebelum Suto Sinting bertanya, gadis berkepang dua itu sudah lebih dulu jelaskan maksudnya.

"Keris Setan Kobra mempunyai kekuatan ampuh. Siapa yang terkena keris itu akan hilang lenyap tak berbekas sedikit pun. Hanya orang-orang tertentu yang mengetahui kehebatan keris tersebut dan mengetahui siapa pemiliknya. Ayahku pernah membujuk Ki Empu Sakya untuk memiliki keris itu, setidaknya meminjamnya untuk jaga-jaga diserang oleh Iblis Naga Pamungkas. Tapi Ki Empu Sakya mempertahankan keris tersebut."

"Kalau begitu sebaiknya kita temui saja Ki Empu Sakya. Kurasa Ki Gendeng Sekarat pergi ke sana menanyakan di mana tempat tinggal Nyai Demang Ronggeng."

"Mari kutunjukkan rumah Ki Empu Sakya, Kang!" Angon Luwak menawarkan jasa. Padahal tanpa Angon Luwak, Mega Dewi sendiri sudah tahu rumah Ki Empu Sakya, karena dulu ia pernah diajak almarhum ayahnya pergi ke tempat Empu sakti itu.

Ternyata orang yang berjuluk Ki Empu Sakya itu adalah seorang lelaki kurus bertubuh pendek, seperti anak kecil. Tinggi badannya sedikit melebihi tinggi tubuh Angon Luwak. Tetapi dari raut wajahnya, dari uban rata di rambut dan jenggot tipisnya, orang dapat menduga bahwa Ki Empu Sakya adakah lelaki yang berusia di atas enam puluh tahun. Ia gemar mengenakan pakaian putih dengan ikat kepala kain hitam. Pakaiannya menyerupai pakaian biksu, hanya dililitkan ke tubuh dan sisanya diselempangkan ke pundak kanan. Ikat kepalanya menutup sebagian rambut putih, bersimpul di bagian belakang.

Sekalipun demikian keadaan Ki Empu Sakya, namun Mega Dewi dan Suto Sinting sangat menghormat kepada Ki Empu Sakya. Sebaliknya Ki Empu Sakya pun bersikap hormat dan sungkan kepada Suto. Sampai- sampai ketika ia menerima kedatangan Suto, ia lebih dulu membungkukkan badan memberi hormat setelah menatap Suto beberapa saat.

"Jangan menghormat kepadaku, Ki Empu Sakya." kata Suto. "Aku merasa malu menerima hormatmu."
"Anak muda, bagi orang lain bisa saja tidak menghormatmu, tapi bagiku harus menghormatmu, karena aku melihat tanda di keningmu. Kau pasti orang pilihan yang punya gelar tinggi dari Gusti Ratu Kartika Wangi, penguasa Puri Gerbang Surgawi di alam gaib."

Mega Dewi kerutkan dahinya mendengar kata-kata itu. Ia pandangi Suto Sinting pada saat Ki Empu Sakya berkata,

"Hanya seorang Manggala Yudha yang mendapatkan tanda seperti itu di keningmu, Anak Muda."

Suto Sinting menjadi tak enak hati dipandangi oleh Mega Dewi. Tapi apa boleh buat, tanda merah di keningnya itu tak bisa ditutupi. Hanya orang-orang berilmu tinggi yang bisa melihat tanda merah kecil sebesar biji jagung itu. Jika Ki Empu Sakya bisa melihatnya, berarti dia orang berilmu tinggi.

"Apa maksud kata-kata Ki Empu Sakya itu?" bisik Mega Dewi kepada Suto.

"Lupakan saja kata-kata tersebut. Biarkan beliau beranggapan apa saja," Suto menyembunyikan penghormatan itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: 'Manusia Seribu Wajah').

Angon Luwak menceritakan pengejaran kedua orang bertampang bengis itu kepada Ki Empu Sakya. Lelaki kurus dan kecil yang sudah banyak umur itu mengusap-usap kepala Angon Luwak sambil mengucap terima kasih atas tekad sang bocah yang tidak mau menunjukkan tempat tinggalnya.

"Si Kapak Kembar adalah orang sesat yang ingin menguasai aliran hitam sejak dulu. Sekalipun ia tak bakal mampu memaksaku, tapi aku menghargai niat baikmu, Angon Luwak. Sekarang pulanglah dulu dan urus kambingmu, aku akan melayani kedua tamuku ini. Nanti malam datanglah kemari bersama teman-temanmu, aku akan mendongeng tentang tokoh-tokoh yang masuk dalam aliran hitam. Kau dan teman-temanmu pasti akan tertarik mendengarkannya."

"Terima kasih, Ki, Aku akan memberitahukan mereka untuk datang mendengarkan ceritamu!" Angon Luwak berseri-seri kegirangan. Rupanya bocah itu akrab dengan Ki Empu Sakya, karena Ki Empu Sakya sering kumpulkan bocah-bocah desa Kukusan untuk menceritakan dongeng tentang jago-jago silat dan para tokoh tua di rimba persilatan.

"Bagaimana kabar ayahmu, Mega Dewi?"

Pertanyaan itu dijawab dengan linangan air mata. Gadis berkepang dua menceritakan pertarungan ayahnya dengan Iblis Naga Pamungkas. Cerita itu membuat Ki Empu Sakya tank napas dalam-dalam, menyembunyikan perasaan duka, menahan geram kemarahan. Ternyata ia termasuk orang yang pandai mengendalikan nafsu amarah, sehingga dalam sekejap ia sudah kelihatan tenang kembali.

Lalu, Suto Sinting pun menanyakan tentang Ki Gendeng Sekarat, karena Ki Empu Sakya tidak mau membicarakan tentang Iblis Naga Pamungkas. Mungkin ia tak ingin membuat hati Mega Dewi semakin pedih jika hal itu dibicarakan panjang-lebar. Mungkin juga Ki Empu Sakya menghindari percakapan tentang keris pusakanya itu, sehingga ia lebih tertarik untuk menjawab pertanyaan Suto Sinting.

"Gendeng Sekarat memang baru saja pergi dari sini, tapi bukan untuk menanyakan tempat tinggal Nyai Demang Ronggeng. Ia hanya menengokku dan mencarimu, Suto Sinting. Ia sekarang pergi ke arah barat."

"Jika begitu saya harus segera menyusulnya, Ki Empu Sakya."

"Silahkan. Tapi kuharap Mega Dewi mau tinggal di sini untuk beberapa saat. Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Mega Dewi. Tentunya berkaitan dengan kematian ayahmu itu. Apakah kau bersedia?"

"Saya bersedia," jawab Mega Dewi setelah memandang Suto sesaat, karena hatinya ingin ikut Suto, tapi si sisi lain ia merasa perlu berbicara tentang kematian ayahnya dengan tokoh tua yang berpenampilan kalem itu.

Kini Pendekar Mabuk mengejar Ki Gendeng Sekarat hanya sendirian. Sesuai dengan keterangan Ki Empu Sakya, Suto berlari ke arah barat. Harapannya dapat menyusul Ki Gendeng Sekarat. Sebab ia tahu, jika Ki Gendeng Sekarat mencarinya, berarti ada pesan yang harus disampaikan kepada Suto dari Dyah Sariningrum, calon istrinya yang dicintai itu. Ingat tentang wanita cantik yang dicintainya itu, pikiran Pendekar Mabuk ingat pula pada seraut wajah beku milik Siluman Tujuh Nyawa.

Tokoh sesat yang selalu tampil dengan jubah hitam bagaikan El Maut itu sampai sekarang belum berhasil dipenggal kepalanya oleh Suto Sinting, padahal kepala itu merupakan syarat untuk mengawini Dyah Sariningrum. Sayang sekali Siluman Tujuh Nyawa itu terlalu licin, sehingga sudah beberapa saat lamanya Suto tidak berhasil menjumpai tokoh sesat yang amat ditakuti oleh beberapa tokoh sakti di kalangan aliran
hitam itu.

Perjalanan Suto Sinting terpaksa terhenti karena merasa dihadang oleh seorang pemuda berpakaian merah dengan hiasan benang emas. Pemuda itu tampak seperti keturunan bangsawan dilihat dari jenis pakaian dan penampilannya. Ia menyelipkan sebilah pedang bertarungkan logam emas. Pedang kecil itu mempunyai hiasan bebatuan indah pada bagian gagangnya. Pemuda itu berusia sedikit lebih muda dari Suto Sinting. Wajahnya tampan dengan kumis tipis yang menampakkan kesan keningratannya.

Pemuda itu turun dari atas kuda putihnya, sementara kedua pengawalnya berbadan besar juga segera melompat turun dari masing-masing kudanya. Salah seorang pengawal yang mengenakan ikat kepala dari logam perak itu maju mendampingi pemuda tampan tersebut, sedangkan yang satunya lagi mengurus kuda, membawanya ke bawah pohon.

"Paman Gandra, tak salah lagi penglihatanku, pemuda liar inilah yang tadi kulihat berjalan bersama Mega Dewi!" kata pemuda berpakaian bangsawan itu kepada pengawalnya.

"Kalau begitu biar saya yang menanganinya, Raden Udaya!" kata sang pengawal yang bernama Gandra dengan suaranya yang besar. Ia segera memanggil temannya, "Rangku, kepung orang ini!"

Wuut...! Jleeg...!

Orang bermata lebar yang dipanggil dengan nama Rangku itu cepat melompat dan bersalto di udara satu kali. Dalam sekejap ia sudah berada di sebelah kiri Suto Sinting. Gandra yang berkumis tebal itu ada di sebelah kanan, sedangkan pemuda tampan yang bernama Raden Udayo itu berhadapan di depan Suto.

Pendekar Mabuk hanya kerutkan dahi sebentar, lalu kembali bersikap tenang. Matanya memandang ke arah Raden Udaya tanpa kesan takut sedikit pun.

"Apa maksudmu menghentikan langkahku, Raden Udaya?" tanya Suto dengan mengutip nama yang disebutkan Gandra tadi.

"Kita punya perhitungan sendiri atas kelancanganmu berani pergi dengan Mega Dewi!" kata Raden Udayana dengan ketus dan bernada sombong.

"Apa salahku pergi dengan gadis itu?"

"Dia kekasihku! Dia calon istriku?" sentak Raden Udaya mulai menampakkan kemarahannya.

Tetapi Suto Sinting justru tersenyum geli. Ia meneguk tuaknya bagai tak peduli kemarahan lawannya. Ia kelihatan tak khawatir sedikit pun walau telah dikepung oleh Gandra dan Rangku yang masing-masing telah mencabut senjatanya berupa trisula dan kapak dua mata.

"Paman Gandra, hajar dia! Beri pelajaran supaya tahu adat!"

Gandra ingin maju menyerang, tapi tiba- tiba punggungnya bagaikan ada yang menendang dengan sangat kuat. Pukulan jarak jauh dilepaskan seseorang dari tempat persembunyian.

Pukulan itu membuat Gandra terhentak dengan napas tertahan dan badan melengkung ke depan. Ketika badan itu kembali tegak, tahu-tahu darah mengalir dari mulut lelaki berkumis lebat itu.

"Paman Gandra! Kenapa kau?!" Raden Udaya kaget dan menjadi tegang.
"Keparat! Mau coba-coba melawan orang kadipaten kamu, hah?! bentak Rangku kepada Suto Sinting.
"Hei...! Bukan aku yang menyerangnya!" kata Suto membela diri.

Sementara Gandra segera terkulai lemas dan ditolong oleh Raden Udaya, Rangku menyerang Suto Sinting dengan menebaskan kapak bermata dua dalam satu lompatan liarnya.
"Heaaah ..!"
Clap...! Deess...!

Kilatan cahaya hijau terlihat melintas di depan Suto dari arah kanan ke kiri. Cahaya hijau kecil itu tepat kena di dada Rangku.

Orang itu robek seketika. Mengerang dan berkelojotan di tanah.

"Aaahhgg...! Uuhgg...!"

Wajah Rangku menjadi biru, matanya mendelik, mulutnya keluarkan cairan berbusa warna merah darah. Hal itu membuat Raden Udaya semakin panik. Putra adipati itu mulai ciut nyali melihat dua pengawalnya roboh dalam waktu yang sangat singkat. Hanya satu jurus saja. Raden Udaya memandang ngeri kepada Rangku yang masih kelojotan bagai ingin temui ajalnya.

Suto Sinting sendiri merasa heran melihat kejadian itu. Dalam hatinya ia bertanya. "Siapa orang yang telah membantuku secara diam-diam?"

Pertanyaan itu segera terjawab dengan munculnya seorang pemuda berpakaian biru cerah. Pemuda itu muncul dari balik pohon dengan senyum kemenangan.

"Wiratmoko?!" gumam Suto dengan terperangah. Lalu ia pun sunggingkan senyum geli melihat kemunculan Wiratmoko.

Raden Udaya lebih terkejut lagi melihat kemunculan pria berambut ikal agak panjang itu. Wajah berkumis tipis itu makin tegang dan menjadi pucat pasi. Ia melangkah mundur beberapa tindak begitu Wiratmoko memandang ke arahnya. Ia tampak sekali ketakutan.

"Bawa pergi kedua pengawalmu kalau kau tak ingin lebih parah dari mereka!" kata Wiratmoko dengan tegas.

Perintah itu membuat Raden Udaya gemetar. Dengan susah payah ia membawa kedua pengawalnya yang masih bernyawa, menaikkan ke punggung kuda masing-masing, lalu segera membawanya pergi dengan terburu-buru. Tawa keras dari Wiratmoko terdengar di sela derap kaki kuda.

"Kenapa kau menolongku, Wiratmoko?"

"Karena kau pernah selamatkan nyawaku dari pukulan maut seseorang. Ini sebagai ucapan terima kasihku padamu, Suto Sinting!" jawab Wiratmoko dengan wajah berseri-seri tampak ceria sekali. Ia menepuk-nepuk pundak Suto Sinting bagai melepas rasa rindu karena lama tak jumpa.

"Tapi kenapa waktu itu kau menghilang?"

"Karena aku kebingungan mencarimu," jawab Wiratmoko. "Kau kucari ke mana-mana untuk mengucapkan terima kasihku padamu, tapi baru sekarang kujumpa dirimu, Suto Sinting. Benar-benar hebat. Kau pandai menghilang rupanya."

"Justru kau yang pandai menghilang, karena aku tak berhasil temukan dirimu setelah itu," kata Suto dengan sikap bersahabat sekali. "O, ya... kau kenal dengan Raden Udaya itu tadi?"

"Dia kenal diriku, karena aku pernah bantu ayahnya mengusir dua pengacau dari pelataran kadipaten. Aku tak tahu nama pemuda itu, tapi aku tahu dia putra seorang adipati. Ah, sudahlah! Lupakan pemuda yang memang sombong dan sering berlagak jago itu. Sekarang kau mau ke mana, Suto?"

"Mencari seseorang. Tokoh tua yang sangat akrab denganku. Namanya Ki Gendeng Sekarat. Dia mencariku, pasti ada keperluan penting untuk urusan pribadi. Kabarnya dia pergi ke arah barat dan aku mengejarnya, tapi terhalang oleh orang kadipaten itu."

Wiratmoko manggut-manggut. "Mari kudampingi. Sekalian aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu, Suto."
Sambil melangkah seiring, Suto bertanya, "Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Tentang orang yang menyerangku dari belakang itu. Apakah kau tahu siapa orangnya?"
"Apakah kau tak kenali jenis pukulan mautnya?"

"Tidak," jawab Wiratmoko dengan sungguh- sungguh. "Sebab itulah aku ingin tahu, siapa orangnya yang bisa menyerangku sedahsyat itu. Kalau tak ada kau, aku pasti akan mati dalam beberapa kejap saja."

"Ya. Aku memang mengenalnya, karena aku sempat jumpa dengannya dua kali setelah ia berhasil memukulmu itu. Orang tersebut adalah tokoh tua, berjenggot abu-abu, rambutnya panjang tak diikat, juga berwarna abu abu, mengenakan jubah putih kusam, tongkat hitam meliuk-liuk seperti seekor ular."

"Hmmm...," Wiratmoko menggumam sambil manggut-manggut.
"Kau pasti mengenali ciri-ciri itu!"

"Ya. Dia adakah si Raja Maut, tokoh tua dari Bukit Sembereni. Dia adalah musuh bebuyutan guruku..."
"Dampu Sabang?" potong Suto.

Wiratmoko terkejut. "Dari mana kau tahu nama guruku?"
"Raja Maut yang mengatakannya."

"Oh...?" wajah Wiratmoko tampak menyembunyikan kecemasan. "Apa saja yang ia katakan padamu, Suto?"

"Tidak banyak. Dia hanya bilang, bahwa kau murid tunggal Dampu Sabang. Dia mengingatkan padaku agar jangan turut campur dengan urusannya. Rupanya kau punya urusan pribadi dengan Raja Maut itu, Wiratmoko."

"Memang. Urusan itu sangat pribadi sehingga tak bisa kuceritakan padamu. Yang jelas, Raja Maut adalah tokoh tua yang serakah dan ingin menguasai dunia persilatan. Dia ingin menumbangkan beberapa tokoh tua dengan ilmu yang baru diperolehnya."

"Ilmu apa?"
"Naga Pamungkas!"

Suto Sinting terkejut sampai hentikan langkah, "Jadi, dia itulah orangnya yang bergelar Iblis Naga Pamungkas?"

"Betul!" jawab Wiratmoko dengan tegas. "Dia ingin membunuh para tokoh tua dari golongan hitam ataupun putih. Salah satu orang yang akan dibunuhnya adalah gurumu sendiri; si Gila Tuak!"

Bagaikan petir menyambar di ujung hidung Suto. Rasa kagetnya membuat napas tertarik kuat dan jantung bagaikan berhenti. Darah Suto mendidih mendengar gurunya akan dibunuh.

Terbayang nasib Ki Lurah Pramadi yang mati di tangan Iblis Naga Pamungkas. Suto tak ingin gurunya mengalami nasib yang sekejam itu.SEKALIPUN Suto Sinting mengetahui bahwa Raja Maut pergi ke Pulau Blacan, tapi Wiratmoko sarankan tak perlu mengejarnya ke sana. Menurut Wiratmoko lebih baik cari dulu Ki Gendeng Sekarat, siapa tahu membawa pesan lebih penting dari mengejar Raja Maut ke Pulau Blacan.

"Biarkan dia berhadapan dengan Nyai Demang Ronggeng di Pulau Blacan. Dia pasti akan dikubur hidup-hidup oleh Nyai Demang Ronggeng!" kata Wiratmoko yang membuat Suto Sinting sempat terperanjat.
"Jadi, Nyai Demang Ronggeng bersemayam di Pulau Blacan?"

"Ya. Dan aku tahu bahwa Nyai Demang Ronggeng punya kesaktian yang mampu membuat Raja Maut tumbang atau melarikan diri terbirit-birit."

"Seberapa dekat kau mengenal Nyai Demang Ronggeng?"

"Tidak terlalu dekat. Hanya mendengar ceritanya dari mulut ke mulut!"

"Pantas jika Iblis Naga Pamungkas ingin membunuh Ki Gendeng Sekarat, rupanya Raja Maut yang bergelar Iblis Naga Pamungkas itu juga mengkincar kematian Nyai Demang Ronggeng. Padahal Nyai Demang Ronggeng dan Ki Gendeng Sekarat adalah saudara seperguruan, sama-sama murid Eyang Pramban Jati."

"O, jadi Ki Gendeng Sekarat juga akan dibunuh oleh Iblis Naga Pamungkas? Kau tahu dari siapa, Suto?"

"Namanya Mega Dewi, anak gadis Ki Lurah Pramadi yang mati dibunuh oleh Iblis Naga Pamungkas. Dialah yang memberitahukan rencana Iblis Naga Pamungkas yang akan membunuh Ki Gendeng Sekarat. Karenanya aku harus segera menemukan Ki Gendeng Sekarat dan memberitahukan ancaman itu, sekaligus melindunginya dari keganasan Iblis Naga Pamungkas itu!"

Setelah melangkah sambil termenung sesaat, tiba-tiba langkah Wiratmoko terhenti. Tangannya menahan tangan Suto dengan dahi berkerut. Suto memandang dengan rasa ingin tahu.

"Jangan-jangan Raja Maut memburu Mega Dewi? Sebab Mega Dewi adalah anak Ki Lurah Pramadi, tentunya Raja Maut tak ingin ada bibit dendam yang kelak dapat menjadi duri dalam hidupnya. Aku yakin Raja Maut tidak pergi ke Pulau Blacan, tapi mencari Mega Dewi untuk dibunuh, biar kelak tak ada yang menyimpan dendam kepadanya."

Suto kian tajam mengerutkan dahinya. "Perkiraanmu mendekati kebenaran," katanya dalam gumam. "Tapi selama aku bersama Mega Dewi, aku tak pernah jumpa dengan Raja Maut. Kupikir dia benar-benar pergi ke pulau Blacan."

"Dia pun mencari Mega Dewi, tapi tak ditemuinya. Andai dia bertemu maka kau akan tahu permusuhannya yang ganas itu kepada Mega Dewi. Hmmm... sekarang Mega Dewi ada dimana?"

"Di rumah Ki Empu Sakya. Kurasa dia aman bersama Ki Empu Sakya, sebab kabarnya Ki Empu Sakya mempunyai keris pusaka yang amat ampuh, yaitu Keris Setan Kobra."

"Celaka! Raja Maut pasti menuju ke sana!" kata Wiratmoko dengan tegang.
"Dari mana kau yakin begitu?"

"Sebab Keris Setan Kobra adalah pusaka yang diincarnya. Dia takut dikalahkan dengan keris pusaka itu. Aku pernah dengar keampuhan keris pusaka tersebut. Wajar jika Raja Maut sebagai Iblis Naga Pamungkas ingin menguasai keris pusaka itu supaya tak ada saingannya."

"Tapi Ki Empu Sakya pasti mampu mengatasi Raja Maut!"

"Belum tentu!" bantah Wiratmoko tegas- tegas. "Jika Ki Empu Sakya terlambat menggunakan keris itu, ia akan mati di tangan Raja Maut. Tak urung gadis itu pun akan dibunuhnya dan keris itu akan diperolehnya."

"Benar juga perhitunganmu," gumam Suto mulai bingung. "Apa yang harus kulakukan jika begini? Mencari Ki Gendeng Sekarat atau kembali ke rumah Ki Empu Sakya untuk menyelamatkan Mega Dewi?"

"Begini saja," kata Wiratmoko. "Kau teruskan mencari Ki Gendeng Sekarat, aku akan pergi ke rumah Ki Empu Sakya untuk menyelamatkan Mega Dewi. Berikan arah rumah Ki Empu Sakya, karena aku belum pernah ke sana. Nanti setelah kau berhasil bertemu dengan Ki Gendeng Sekarat, susullah kami. Aku dan Mega Dewi menunggu kedatangan kalian di rumah Ki Empu Sakya."

"Apakah kau sanggup mengalahkan Raja Maut?"
"Tentunya jika dengan dibantu Ki Empu Sakya kami bisa kalahkan dia!"

"Baiklah. Jika begitu kita berpencar mulai sekarang!" Suto memutuskan langkah. Ia meneruskan mencari Ki Gendeng Sekarat sedangkan Wiratmoko segera pergi ke rumah Ki Empu Sakya setelah mendapat keterangan arah rumah empu sakti itu.

Pengejaran menyusul Ki Gendeng Sekarat bukanlah sesuatu yang mulus. Suto kembali mengalami hambatan dengan munculnya kelinci yang berlari-lari di tepian semak.

"Hei, itu seperti kelinci yang kuburu tempo hari?!" pikirnya. Suto sempat tersenyum geli kemudian segera mengejar- ngejar kelinci itu. Ciri yang tak dapat dilupakan Pendekar Mabuk pada kelinci itu adalah terletak di bagian ujung telinga kiri. Kelinci itu mempunyai bulu hitam di telinga kirinya, berbentuk seperti gambar hati.

Bulu hitam kecil itu mempercantik kelinci tersebut, sehingga waktu itu Suto Sinting tak tega untuk menyantap kelinci itu. Kali ini ia menangkapnya karena gemas dan ingin bercanda dengan kelinci cantik tersebut.
Anehnya, kelinci itu kini tidak terlalu liar dan mudah ditangkap. Dua kali gagal, ketiga kalinya kelinci itu sudah jatuh dalam genggaman kedua tangan Pendekar Mabuk.

"Nah, nah, nah... kau tertangkap sekarang! Mau ke mana kau, Manis? Mau menggodaku lagi? Oh, kau memang nakal! Hhmmm...!" Suto Sinting menempelkan mulut kelinci ke pipinya dengan gemas-gemas senang. Sambil melangkah ia berbicara dan bercanda dengan kelinci itu.

Perut kelinci digelitiknya sehingga binatang itu menggerinjal beberapa kali karena kegelian. Suto tertawa senang melihat kelinci itu kegelian.

Namun ketika Suto Sinting melewati bawah pohon rindang dengan ilalang rimbun di sana- sini, tiba-tiba tubuhnya terpental ke belakang bagai ditendang kelinci.

Slaaap...! Cahaya terang menyala kuat timbulkan tenaga pendorong yang membuat Suto hampir jatuh terjengkang ke belakang. Matanya pun segera terbelalak lebar melihat kelinci itu berubah wujud menjadi wanita cantik berwajah bulat telur, hidung mancung, mata sedikit lebar berkesan nakal menggoda. Rambutnya disanggul sebagian, dadanya sekal dibungkus pakaian kuning cerah. Di rambutnya yang disanggul terlilit pita kuning. Sebilah pedang tersandang di punggungnya.

Pendekar Mabuk terperangah kagum melihat kecantikan wanita jelmaan kelinci itu. Perempuan tersebut tertawa kecil dengan sikap malu-malu. Rupanya ia masih merasakan sisa geli karena gelitikan Suto tadi. Suto sendiri menjadi tersipu karena ketika kelinci tadi diciumkan ke pipinya, berarti gadis cantik itulah yang tadi mencium pipinya.

"Kkkau... kau jelmaan kelinci buruanku yang dulu pernah kutangkap itu?"

"Benar. Sekarang kau tahu wujudku, karena... karena kau telah menyuruhku mencium pipimu, Pemuda Tampan."

Suto semakin malu dan tersipu. Untuk menutupi rasa malunya ia tertawa bagaikan orang menggumam. Wajahnya dipalingkan ke arah lain sesaat, lalu kembali lagi memandang Tandak Ayu ketika gadis itu mendekatinya.

"Apakah sekarang kau masih berani menggelitik perutku?"

Suto Sinting semakin salah tingkah. Rasa sesal dan malu bercampur menjadi satu, menimbulkan rasa geli sendiri di dalam hatinya.

"Kalau kau masih ingin menggelitikku, silakan!" Tandak Ayu menantang dengan semakin maju. Matanya memandang nakal, penuh godaan yang mendebarkan hati setiap lelaki. Senyumnya pun merupakan senyum pemikat, yang hampir-hampir membuat Suto Sinting nekat mendekati wajah itu.

"Maaf, aku tak tahu kalau kau kelinci jelmaan," kata Suto sambil melangkah ke batang pohon. Pundak dan lengannya disandarkan di batang pohon itu,tapi matanya masih tertuju kepada Tandak Ayu.

"Kalau tak salah dengar, namamu Suto Sinting, bukan?"
"Ya. Tapi aku belum tahu namamu," kata Suto Sinting.

"Namaku...," Tandak Ayu berpikir sejenak. "Namaku Suti Asmara. Panggil saja Suti." Tandak Ayu memalsukan nama karena maksud tertentu.

"Suti? Oh, hampir sama dengan namaku?"

"Memang sepertinya kita memang dijodohkan: Suto ketemu Suti, sungguh pasangan yang serasi dan pasti akan abadi."

Agaknya Tandak Ayu tertarik kepada ketampanan Suto Sinting. Tetapi Suto segara membatasi diri dan menjaga perasaannya agar tidak mudah terpikat oleh rayuan Tandak Ayu. Suto hanya tertawa kecil mendengar kata- kata itu.

Tandak Ayu melangkah sambil memetik-metik daun ilalang, lama-lama berada dalam jarak dekat dengan Pendekar Mabuk. Jaraknya yang hanya dua langkah membuat Suto sempat kian berdebar-debar karena melihat jelas rona kecantikan Tandak Ayu dan belahan dadanya yang menonjol bagaikan sengaja dipamerkan itu.

"Kelihatannya kau lelah dalam perjalananmu, Suto. Apakah kau tak ingin beristirahat di balik rimbunan semak sebelah sana? Tempatnya teduh dan sepi. Rapat dari incaran mata manusia nakal." kata Tandak Ayu dengan suara merdu.

"Aku memang lelah, tapi bagiku cukup beristirahat di bawah pohon ini saja."

"Di sini tak aman," bisik Tandak Ayu yang kian merapat. Kini ia berani menaruh tangannya di pundak Suto Sinting. Senyum dan tatapan mata kian menggoda. Gemuruh di dalam dada Suto berusaha ditekan habis- habisan, namun hal itu amat sulit dilakukan oleh Suto.

"Aku bisa memijat bagian tubuhmu yang lelah, Suto."
"Aku tak sangka kalau kau ternyata tukang pijat."

"Iiih...! Menghina!" Tandak Ayu merajuk, manja, mencubit pipi Suto Sinting. Suto semakin panas dingin. Tandak Ayu tak mau berhenti membujuk, suaranya semakin terdengar manja menggairahkan.
"Aku bukan seorang tukang pijat. Tapi aku bisa memijat. Dan hanya kepadamu hal itu bisa kulakukan, Suto. Cukup lama aku mengikutimu secara diam-diam, lalu aku ingin sekali memijat bagian tubuhmu yang lelah. Tapi..., kalau kulakukan di sini bisa dilihat orang. Aku malu. Kita ke semak-semak sana saja."
"Apa bedanya memijat di sini dan di sana?" pancing Suto ingin tahu.
"Di sana aku berani memijat bagian mana saja, sesuai dengan yang kau suka. Di sini aku tak bisa menuruti permintaanmu," jawabnya dalam berbisik, mata beningnya tak berkedip, bahkan sedikit sayu ketika memandangi wajah Suto Sinting dari jarak dekat.
"Ayolah ke sana...," Tandak Ayu menarik- narik tangan Suto, tapi pemuda itu hanya tersenyum-senyum tak mau beranjak dari tempatnya.
Tiba-tiba dari semak di belakang Tandak Ayu melesat sekelebat bayangan yang langsung menendang punggung wanita itu. Wruuss...! Duuhg...!
"Aahg...! Tandak Ayu terpekik tertahan.
Tubuhnya terpental ke depan dan berguling- guling di rerumputan.
Suto Sinting terkejut bukan kepalang tanggung. Sampai-sampai ia segera pasang kuda-kuda untuk menyerang. Tapi kuda-kuda itu segera mengendur setelah Suto mengenal wajah penyerang tersebut.
"Kirana...?!"
"Maaf aku mengganggumu, karena aku tahu dia perempuan jalang!" kata Kirana dengan wajah ketus, seakan menaruh cemburu kepada peristiwa tadi.
Sebelum Suto Sinting bicara lagi, dari arah lain muncul Citradani yang melompat dengan lincahnya, lalu mendaratkan kaki dengan sigap. Kemunculan Citradani membuat Suto makin terperangah heran.
"Citradani?! Kau ada di sini pula?"
"Ya, aku dan Kirana mencarimu. Ternyata kau justru berkasih-kasih dengan perempuan jalang itu!"
"Aku tidak... tidak... hmmm.... Dia yang merayuku dan mengajakku ke semak-semak sana. Katanya dia mau memijatku, sesuai dengan bagian yang kuperintahkan untuk dipijat."
"Kenapa kau tak pergi ke semak-semak sana?" ketus Kirana.
"Karena..., karena aku tak berani. Di sana banyak setan. Aku takut dikalahkan oleh
setan."
"Perempuan itulah ratu setan!" geram Citradani sambil menuding Tandak Ayu yang kini telah berdiri. Tulang punggungnya bagaikan mau patah karena tendangan Kirana. Mata Tandak Ayu memandang benci kepada Kirana dan Citradani.
"Kalian memang cari penyakit!" geram Tandak Ayu.
"Memang benar. Mau apa kau?!" sentak Citradani sambil maju selangkah.

"Tunggu! Kalian salah paham. Jangan bentrok karena kesalahpahaman!" cegah Pendekar Mabuk. Ketika mau maju, tangan Kirana yang ada di sampingnya segera menahan lengannya.

"Biarkan Citradani menanganinya. Dia punya urusan pribadi dengan perempuan jalang itu!" kata Kirana masih ketus seperti tadi.

"Tapi kalian salah paham. Aku belum diapa-apakan oleh Suti!"
"Siapa yang bernama Suti? Dia...?! Hmmm...!" Citradani mencibir sinis. "Namanya Tandak Ayu, bukan Suti!"

"Tandak Ayu...?!" Suto Sinting terkejut, ingat dengan cerita Angon Luwak tentang pertarungan singkat Tandak Ayu dengan Ki Gendeng Sekarat.

Suto segera berkata dengan sikap tak bersahabat lagi, "Kalau begitu kau adalah murid Nyai Demang Ronggeng, yang menyerang Ki Gendeng Sekarat dengan berubah wujud menjadi harimau hitam?!"
Tandak Ayu melirik sinis pada Suto. Hatinya menjadi dongkol karena rayuannya tidak berhasil. Tapi perhatiannya kini tercurah kepada Citradani, karena Citradani berseru dengan suara lantang.
"Kembalikan kalung pusaka Lintang Suci itu, atau kuhabisi riwayatmu sekarang juga, Tandak Ayu!"

Mendengar kalung pusaka Lintang Suci disebut-sebut, mata Suto segera memperhatikan kalung berbandul kristal bentuk bintang segi lima di leher Tandak Ayu. Hatinya pun berkata, "O, benar. Kalau begitu dia memang Tandak Ayu. Dia punya urusan pribadi dengan Citradani, terbukti kalung yang pernah diceritakan Citradani kepadaku itu ada di leher Suti, eh.... Tandak Ayu!"

Terdengar pula Tandak Ayu perdengarkan suaranya kepada Citradani, "Kalau kau bisa langkahi mayatku, ambillah kalung ini!"

"Mulut ember, sesumbar seenaknya saja. Akan kubuktikan bahwa aku bisa melangkahi mayatmu tujuh kali bolak-balik!"

"Lakukanlah! Aku sudah siap menerima seranganmu. Citradani!"
"Heaaat...!" Citradani lompat ke depan, tubuhnya berputar cepat melayangkan tendangan kipasnya. Wuuutt...! Tendangan itu dihindari oleh Tandak Ayu.

Kejab berikutnya Tandak Ayu berhasil pukul punggung Citradani dengan sentakan telapak tangannya.

Duuuhg...!

"Uhhg...!" Citradani tersentak ke depan, darah muncrat dari mulutnya. Hal itu membuat Suto Sinting sempat cemas. Kirana sudah gatal, tak sabar ingin ikut terjun ke pertarungan itu. Tetapi ia menahan diri mengingat pertarungan itu adalah urusan pribadi meraka masing-masing.

Rupanya Citradani masih kuat walau telah menyemburkan darah segar dari mulutnya. Terbukti ia segera berbalik menghadap ke arah lawannya dengan pedang dicabut dari sarungnya. Sraaang...! Rupanya Tandak Ayu tak mau kalah serang, ia pun mencabut pedang dari punggungnya. Pedang itu lebih panjang dari pedang milik Citradani. Tapi Citradani tidak gentar sedikit pun.

"Hiaaaat...!"
"Heaaah...!"
Wuuut, wuuut...! Trang, trang, trang, trang...!

Mereka sama-sama lompat ke udara dan beradu pedang di sana dengan gerakan sama cepatnya. Satu pun tak ada yang terluka. Tetapi Citradani sempat menggunakan kakinya untuk menendang dan tepat mengenai bawah pundak kiri lawannya.

Duuhg... !
Wuuuus...! Brruk...!

Tandak Ayu jatuh di rerumputan. Citradani yang telah pijakan kakinya ke tanah tak mau beri kesempatan sedikit pun kepada lawan. Ia gulingkan tubuhnya ke tanah, lalu pedangnya disabetkan ke arah perut Tandak Ayu.

Trang...! Pedang Tandak Ayu masih bisa menangkisnya sambil ia berguling dan cepat bangkitkan diri. Asap dan bau hangus tercium hidung Suto dan Kirana akibat perpaduan dua pedang berkekuatan tenaga dalam itu.
Kini keduanya sama-sama berdiri tegak lagi. Masing-masing mata tertuju dengan tajam. Napas Tandak Ayu tampak lebih memburu karena tendangan kaki Citradani tadi bagaikan menyumbat saluran pernapasan sehingga napasnya menjadi berat dihela. Bagian dalam tubuh Tandak Ayu terasa nyeri semua, namun ditahannya kuat-kuat. Bahkan Tandak Ayu sempat berkoar di hadapan Citradani.

"Kau tak akan berhasil menumbangkan diriku, Citradani! Mengapa gadis buruk itu tidak kau suruh membantumu sekalian?"

Kirana merasa sebagai orang yang dimaksud dan dikatakan gadis buruk. Hatinya semakin dibakar api kemarahan. Ia menggeram dan mengepalkan kedua tangannya. Ia bergerak maju, namun tertahan tangan Suto.

"Kita menjadi penonton yang baik saja!" kata Suto Sinting yang membuat Kirana lepas desah kejengkelannya.
Tiba-tiba Citradani sentakkan tangan kirinya walaupun tangan kanan sudah memainkan jurus pedangnya.

Sentakan tangan kiri keluarkan cahaya merah bagaikan selarik sinar yang tertuju ke dada Tandak Ayu. Slaaap...! Tandak Ayu sempat terkejut, tapi dengan cepat ia silangkan pedangnya di depan dada. Sinar merah itu menghantam pedang tersebut.

Blaaar...! Traang...!

Pedang Tandak Ayu patah menjadi delapan keping. Mata Tandak Ayu terperangah melihat pedangnya patah. Kini tinggal bagian gagangnya saja yang digenggamnya. Maka gagang pedang itu segera dibuang. Kedua tangan segera dirapatkan. Melihat gelagat begitu, Citradani tahu kalau Tandak Ayu mau merubah wujudnya. Maka serta-merta Citradani melompat maju sambil tebaskan pedang ke arah leher Tandak Ayu,

"Heaaah...!"
Craaas...!

"Aaauuh..." Tandak Ayu memekik kesakitan. Telapak tangan kirinya putus ditebas pedang lawan dan jatuh ke tanah. Pluk...! Dan darah pun mengucur deras dari pergelangan tangan. Hal itu membuat mata Tandak Ayu berkunang-kunang. Citradani mengetahui lawannya mulai lemah. Ia tak mau buang buang waktu. Ia berbalik memunggungi lawannya, namun pedangnya segera ditekuk ke belakang dan dihujamkan dengan kuat.

Jruuub...!

"Uuhg...?!" Tandak Ayu terpekik tertahan. Mulutnya ternganga. Ulu hatinya ditembus pedang Citradani tanpa ampun lagi. Ia mengejang sesaat, lalu Citradani menarik pedangnya hingga lepas dari tubuh lawan.

Brruk...!

Tandak Ayu roboh dengan mulut terbuka berusaha mencari napasnya. Matanya mulai terbeliak-beliak mendekati ajal. Citradani dengan cepat melepaskan kalung pusaka Lintang Suci dari leher Tandak Ayu. Mulut perempuan yang menjelang ajal itu bergerak-gerak, bersuara lirih tapi terdengar sampai di telinga Suto dan Kirana.

"Sam... paikan... salamku... pada.... Wiratmoko..." Suto berkerut dahi mendengar nama Wiratmoko, ia makin mendekati Tandak Ayu bersama-sama Kirana.

Saat itu Citradani perdengarkan suaranya,

"Apakah kalung ini pemberian Wiratmoko?"
"Bet...tul. Seb... sebagai...tanda cintanya padaku... "
"Memang keparat betul Wiratmoko itu!"
"Kkkau... akan... mati di tangan ... Iblis Naga... Pamungkas itu..."
"Siapa Iblis Naga Pamungkas itu?!"
"Wii...rat... mo... ko... "

"Wiratmoko?!" sentak Suto dengan amat terkejut, lalu wajah itu menjadi tegang sekali, sedangkan wajah Tandak Ayu menjadi kendur, napasnya terhempas. Saat itulah Tandak Ayu hembuskan napasnya yang terakhir. Suto Sinting mundur dengan dahi berkerut tajam.

"Wiratmoko...?!" gumamnya lagi dalam kebimbangan. "Benarkah dia yang berjuluk Iblis Naga Pamungkas? Bukankah orang yang berjuluk itu adalah si Raja Maut? Tapi... tapi menurut keterangan Mega Dewi, ayahnya mati di tangan Iblis Naga Pamungkas ketika lawannya itu mencabut pedang dan menebaskannya di punggung Ki Lurah Pramadi. Sedangkan Raja Maut tidak mempunyai senjata pedang, tapi... tapi Wiratmoko mempunyai pedang, dan gagang pedangnya berbentuk kepala naga. Oh, celaka! Aku telah tertipu olehnya! Benar kata Tandak Ayu, Wiratmoko itulah si Iblis Naga Pamungkas. Kalau begitu Mega Dewi dan Ki Empu Sakya dalam bahaya!"

Citradani tersenyum lega. Kalung pusaka milik gurunya telah kembali diperolehnya. Itu berarti dia dapat diterima kembali sebagai murid Embun Salju dan berhak tinggal di Kuil Elang Putih.

Kepada Kirana, Citradani berkata, "Kalung inilah pusaka yang kumaksud. Wiratmoko adalah pemuda yang berhasil merayuku dan mencuri kalung ini."

"Kalau begitu...," Kirana tak jadi berkata- kata karena ia melihat Suto segera berlari meninggalkan tempat itu. Ia bahkan berteriak keras,

"Suto, tungguuu...!" Kirana pun segera menggunakan ilmu peringan tubuhnya, berlari mengejar Suto Sinting yang mampu bergerak seperti anak panah lepas dari busurnya. Melihat Kirana berlari mengejar Suto Sinting, Citradani pun ikut-ikutan berlari menyusul Kirana.

KALAU saja Pendekar Mabuk kala itu tidak berbalik arah dan meneruskan langkahnya, maka ia akan bertemu dengan Ki Gendeng Sekarat di kaki bukit Cadas Putih. Itupun kalau mata Suto Sinting cukup awas, sebab siang itu Ki Gendeng Sekarat ternyata tertidur di atas sebuah pohon berdaun lebat. Pohon itu mempunyai dahan yang berjajar rapat dan enak dipakai untuk tidur. Orang yang doyan tidur itu tidak mau menyia-nyiakan tempat seperti itu, tak heran jika dalam waktu cepat ia sudah tidur dengan dengkuran yang amat lirih.

Dengkuran itu tak terdengar dari jalanan di bawah pohon tersebut. Ketika jalanan itu dipakai lewat tiga kuda, tak satu pun dari ketiga penunggang kuda tersebut mendengar dengkuran Ki Gendeng Sekarat. Bahkan tiga orang itu sempat beristirahat di bawah pohon tersebut karena tak jauh dari sana ada sendang kecil berair jernih. Mereka menyempatkan cuci muka dan minum air sendang itu.

Tiga orang tersebut adalah para utusan dari Gunung Sesat yang dikuasai oleh tokoh golongan hitam berjuluk Ratu Tanpa Tapak. Tiga utusan tersebut berbadan kekar semua, tingginya sama, ilmunya pun sama setingkat, keganasannya juga sama liarnya. Wajah mereka tak ada yang menunjukkan wajah damai. Bengis dan angker semuanya.

Nenggolo, walaupun tanpa kumis tebal seperti Gaok Lodra, tapi punya wajah runcing, mata cekung berkesan dingin, gigi tonggos bertaring runcing. Sedangkan si Sabit Guntur mempunyai kumis setebal Gaok Lodra, matanya juga lebar ganas, tapi mempunyai codet di pipi kanan yang menambah angker wajahnya. Senjata mereka pun termasuk jenis senjata besar.

Pedang, sabit, dan rantai bola berduri, semua berukuran besar. Mereka mempunyai usia yang hampir sama, sekitar tiga puluh lima tahun, tapi tingkat kecerdasannya berbeda. Gaok Lodra terhitung paling rendah kecerdasannya dibanding kedua temannya itu.

Tak heran jika Gaok Lodra bicara dengan suara keras ketika mengatakan,

"Yang penting kita sudah tahu letak rumah Empu Sakya. Tak perlu terburu-buru sampai di sana. Keris Pusaka Setan Kobra pasti berhasil kita rebut dan kita serahkan kepada sang Ketua!"

"Ssst...! Jaga mulutmu, jangan seperti ember sumur yang bisa bocor sewaktu-waktu. Tugas ini tak boleh diketahui siapa pun!" kata Nenggolo sambil mendekati kudanya.
"Di sini tak ada manusia, kenapa takut
bicara?"
"Apa 'dapurmu' itu bukan manusia?!" hardik Sabit Guntur. "Sekalipun tak ada orang lain kecuali kita bertiga, tapi kita harus menjaga mulut supaya tidak bicara sembarangan. Apalagi membicarakan soal keris pusaka itu, lebih baik dengan berbisik saja!"
Nenggolo menyentakkan kepala Sabit Guntur. "Kau sendiri bicaranya cukup keras! Goblok! Memberi peringatan kepada teman kok diri sendiri bicaranya keras-keras," Nenggolo bersungut-sungut. Kemudian ia duduk di batu tepat bawah pohon.
"Menurutmu apakah ada orang lain yang mendahului kita merebut keris Pusaka Setan Kobra itu?" tanya Gaok Lodra kepada Sabit Guntur.
"Sekalipun ada tak mungkin berhasil. Empu Sakya bukan orang berilmu rendah. Hanya kita-kita orang saja yang bisa mengungguli ilmunya Empu Sakya!"
Mereka terus bicara, mengatur siasat dan mencari kemungkinan-kemungkinan yang perlu disiapkan. Tanpa mereka sadari, seseorang yang tidur di atas pohon itu mendengar semua percakapan tersebut. Sekalipun dalam keadaan tertidur nyenyak, namun telinga terpasang tajam, sehingga suara bisikan pun bisa sampai di telinga Ki Gendeng Sekarat.
Beberapa saat setelah beristirahat, ketiga utusan dari Gunung Sesat itu lanjutkan perjalanannya menuju desa Kukusan. Agaknya salah seorang dari mereka pernah menyelidiki rumah Ki Empu Sakya, sehingga ia tahu persis keadaan di mana dan tempat-tempat yang harus dijaga agar Ki Empu Sakya tak bisa lolos. Orang yang mengetahui keadaan di sana itu adalah Nenggolo, sehingga secara tak langsung kedua temannya menganggap Nenggolo sebagai ketua perjalanan.
Dengan mata masih lengket dan sukar dibuka, Ki Gendeng Sekarat mulai turun dari pohon. Kakinya sempat terpeleset, ia hampir jatuh terpelanting. Untung tangannya segera berpegang pada batang pohon, tapi kepalanya terbentur batang tersebut. Duug... !
"Aduh...!" Ki Gendeng Sekarat akhirnya buka mata sambil meringis mengusap-usap keningnya. Kalau tidak terbentur, mungkin ia masih dalam keadaan tertidur sambil berjalan.

Dengan mata terbuka, Ki Gendeng Sekarat segera mengikuti tiga utusan tersebut. Mulutnya berucap kata sendirian.

"Mereka pasti orang-orang Ratu Tanpa Tapak! Untung mereka bicara di bawahku, sehingga aku tahu tujuan mereka. Empu Sakya akan terdesak jika melawan mereka bertiga. Ilmu orang-orang Gunung Sesat tak boleh direndahkan. Aku harus menolong Empu Sakya untuk selamatkan Keris Setan Kobra. Kalau sampai Keris Setan Kobra jatuh ke tangan Ratu Tanpa Tapak, hancurlah seluruh isi dunia ini. Ratu keji tak berperasaan itu akan melenyapkan semua penduduk bumi yang tidak mau tunduk kepadanya.

Tapi kalau bisa, sebelum mereka tiba di desa Kukusan sudah kulumpuhkan lebih dulu. Yah, terpaksa kerahkan tenaga untuk mengejar mereka! Sialnya mereka berkuda semua. Mau tak mau aku harus berpacu kalahkan tenaga kuda!"

Ilmu peringan tubuh yang dimiliki Ki Gendeng Sekarat bukan ilmu tingkat rendah. Tak heran jika ia mampu bergerak secepat badai menerabas semak belukar memotong arah untuk bisa menghadang tiga utusan Gunung Sesat itu.

Gerakan larinya yang cepat itu membuat tubuhnya bagaikan ditiup angin semilir dan rasa kantuknya datang lagi. Matanya pun mulai mengecil dan kepala mulai terangguk-angguk, namun langkah larinya tetap cepat tak berkurang sedikit pun.

Bruus...! Serumpun pohon pisang diterjangnya. Wajahnya tersabut daun pisang. Perih. Tapi justru membuat kantuknya jadi hilang. Matanya pun terbuka kembali dengan terang. Ketika tiba di perbatasan desa, rasa kantuk itu sama sekali lenyap dan membuat tubuh Ki Gendeng Sekarat tampak tegar. Ia menunggu tiga utusan yang menurut perkiraannya tidak lama lagi akan datang melalui jalan tersebut.

Beberapa saat kemudian, suara deru kuda mulai terdengar di kejauhan. Makin lama semakin jelas, pertanda derap kaki kuda itu makin mendekati tempat Ki Gendeng Sekarat menunggu mereka.

Kejap berikutnya, bayangan hitam tampak datang dari arah barat. Ki Gendeng Sekarat saat itu berada di balik pepohonan. Salah satu pohon randu dihantam dengan pangkal telapak tangannya, Duuugh... !

Wwrrr...! Pohon itu berguncang, makin lama makin miring dan akhirnya tumbang dalam keadaan akarnya tercabut, mencuat ke atas. Bruuuss ... !

"Sial!" maki Ki Gendeng Sekarat buru-buru mengucal matanya. Tanah akar memercik dan membuat mata Ki Gendeng Sekarat kelilipan. Ia sedikit kebingungan menghilangkan tanah yang masuk matanya, sedangkan tiga utusan itu sudah semakin dekat. Mau tak mau sambil mengucal mata, Ki Gendeng Sekarat lompatkan badan dan lepaskan tendangan bertenaga dalam cukup tinggi ke arah batang pohon jati.

Wuuut...! Duuugh...!

Kraaaaakk...! Bruuuusg...! Pohon itu pun tumbang melintang jalan seperti pohon yang tadi. Keadaan tersebut membuat tiga penunggang kuda segera hentikan perjalanannya. Jalanan tertutup, kuda tak dapat lewat begitu saja karena dahan pohon mencuat ke sana-sini tak beraturan.

"Ada seseorang yang berniat menghadang perjalanan kita, Gaok Lodra!" kata Nenggolo dengan mata memandang ke arah sekeliling. Kedua rekannya itu pun memandang sekeliling. Sabit Guntur perdengarkan suaranya mirip orang menggerutu.

"Cari penyakit betul orang itu. Agaknya dia mengetahui rencana kedatangan kita!"

"Kalian kalau bicara memang mirip mulut kalkun!" gerutu Nenggolo ditujukan kepada kedua rekannya. "Coba periksa di semak- semak sebelah kiri itu!"

Gaok Lodra memacu kudanya untuk menerabas semak-semak sebelah kiri, sebab pohon yang roboh adalah pohon pada jajaran sebetah kiri mereka. Gaok Lodra menerabas masuk semakin dalam, memeriksa keadaan di sekitar pohon yang roboh itu. Sementara itu, Nenggolo dan Sabit Guntur menunggu dengan waspada.
Ki Gendeng Sekarat bersembunyi di atas salah satu pohon yang masih utuh. Ketika Gaok Lodra melintasi bagian bawah pohon, Ki Gendeng Sekarat segera cabut kipas putihnya lalu lompat ke bawah bagaikan kelelawar terbang.

Wuuut...! Craaass...!

Ki Gendeng Sekarat daratkan kakinya ke tanah tanpa bunyi gaduh. Hal itu membuat Gaok Lodra sedikit terkejut. Matanya segera memandang tajam kepada Ki Gendeng Sekarat. Orang yang dipandang hanya tersenyum tipis dengan kipas masih tertutup dan ada di tangan kanannya.

"Manusia atau jin kau ini?" geram Gaok Lodra tetap tenang di atas kuda.

"Apa saja anggapanmu tak jadi masalah bagiku," kata Ki Gendeng Sekarat, "Aku hanya inginkan kau dan kedua rekanmu itu kembali ke Gunung Sesat dan jangan coba-coba merampas Keris Setan Kobra dari tangan Empu Sakya!"

"Hmm...!" Gaok Lodra tersenyum sinis. "Kau belum tahu kekuatan orang-orang Gunung Sesat rupanya. Perlu kau catat dalam ingatanmu, orang-orang Gunung Sesat tak akan mundur sebelum tugasnya berhasil. Tak satu pun ada yang mampu menahan niat kami, tak satu pun ada yang mampu menyentuh tubuh kami. Jadi kusarankan, pergilah dan jangan halangi kami!"

"Betulkah tak satu pun ada yang mampu menyentuh tubuh kalian?"

"Coba saja kalau kau ingin bukti!" tantang Gaok Lodra.
"Sudah kucoba, dan ternyata aku mampu memotong telingamu."

Gaok Lodra terkesiap. Ia segera memegang daun telinga kirinya yang mulai terasa dingin itu. Dan ternyata daun telinga itu telah hilang dari tempatnya.

"Hahhh...?!" Gaok Lodra terkejut sekali, matanya terbelalak melihat tangannya berlumur darah. Rasa sakit mulai terasa dan ia mulai meringis menahan rasa perih itu. Darah pun ternyata sudah sejak tadi meleleh hingga membasahi pundak dan lengan kirinya.

"Telingaku ..?! Oh...?! Telingaku?!" suara Gaok Lodra gemetar.

Ia baru menyadari bahwa daun telinganya telah terpotong dan jatuh di bawah kaki kuda. Hal itu dilakukan Ki Gendeng Sekarat pada saat ia meluncur turun dari atas pohon dan mengibaskan kipasnya dengan sangat cepat, sehingga pemotongan itu tidak terasa bagi si korban.

Kemarahannya yang meluap membuat Gaok Lodra tak mampu lagi serukan suara, ia hanya menggeram dengan wajah merah dan gemetar.

"Bangsat kau...!"
"Eh, jangan memakiku. Tak sopan itu!"

Gaok Lodra segera cabut rantai bola berduri dari tempatnya di pelana kuda.

"Eh, jangan mau menyerangku, kau bisa kehilangan nyawa. Bukan telinga saja yang hilang!"

"Gggrrr...!" Gaok Lodra benar-benar merasa dipermainkan nafsu amarahnya.

Sementara itu, Nenggolo dan Sabit Guntur mulai tak sabar menunggu hasil pemeriksaan Gaok Lodra. Nenggolo pun berseru keras,

"Apa yang kau temukan di sana, Gaok Lodra?!!"

"Aahg...!" terdengar suara pekik pendek tertahan dari dalam kerimbunan semak itu. Suara pekik tertahan yang pendek itu membuat Sabit Guntur menggerutu sambil bersungut-sungut.

"Kurang ajar! Disuruh memeriksa keadaan malah buang hajat dulu!"

"Memang menjengkelkan pergi bersama Gaok Lodra. Sebentar-sebentar cari tempat buat buang hajat." Nenggolo menimpali.

Tapi beberapa saat kemudian terdengar langkah kuda dan ringkikan yang pelan. Kaki kuda menerabas semak ilalang. Nenggolo dan Sabit Guntur sudah pasang wajah geram dan cemberut. Nenggolo sempat berkata kepada Sabit Guntur,

"Jangan terlalu dekat dengannya kalau dia habis begitu! Pasti tak pernah bersih dan menjengkelkan!"

Nenggolo palingkan wajah, buang muka ketika moncong kuda mulai terlihat. Tapi Sabit Guntur memperhatikan kemunculan kuda dengan dahi berkerut. Matanya menjadi terbelalak ketika sosok kuda tunggangan Gaok Lodra terlihat jelas, dan tubuh Gaok Lodra terkulai di atas punggung kuda. Keadaannya masih seperti menunggang kuda, tapi tubuhnya membungkuk ke depan sementara wajah tertunduk.

"Gaok Lodra!" panggil Sabit Guntur. Tapi tak ada jawaban. Gaok Lodra tetap terbungkuk dan tertunduk lemas. Seruan itu membuat Nenggolo segera palingkan wajah dan pandangi Gaok Lodra. Sang kuda mendekat dengan sendirinya. Nenggolo menghampiri, lalu menegakkan tubuh Gaok Lodra.

"Bangsat!" geramnya penuh amarah. Leher Gaok Lodra telah robek dan orang itu tidak bernyawa lagi. Kedua temannya menjadi panik, tegang, senjata mulai dicabut karena sadar ada musuh di balik semak belukar itu.

"Serang dia!" perintah Nenggolo sambil memacu kudanya untuk menerabas masuk ke semak ilalang yang rimbun itu.

Wuuut...! Wes, wes, jleeg...!

Ki Gendeng Sekarat justru bersalto di udara dua kali dan tiba di tempat kuda Gaok Lodra berdiri. Sedangkan kedua musuhnya masuk ke dalam mencarinya sambil meluncurkan kata makian yang kasar dan
kotor, sulit ditirukan.

Ki Gendeng Sekarat segera sentakkan kedua tangannya ke depan, dan mayat Gaok Lodra pun terlempar dengan sendirinya ke arah semak-semak tempat kedua temannya mencari musuh itu. Wuuut...! Buuhg...!
"Aoow...!" pekik Sabit Guntur. Rupanya ia kejatuhan mayat Gaok Lodra. Ki Gendeng Sekarat tertawa tanpa suara, tapi bersikap menunggu kemunculan lawannya dengan terlebih dulu mengusir kuda bekas tunggangan Gaok Lodra.

"Maling busuk! Monyet kembung!" rutuk Sabit Guntur. "Nenggolo, orang itu ada di jalanan!"
Kedua kuda muncul bersama penunggangnya yang sudah semakin merah wajahnya. Melihat Ki Gendeng Sekarat berdiri dengan berkipas-kipas santai, Nenggolo segera melompat dari punggung kuda bersama pedang besarnya yang mampu untuk memotong tubuh lawan dengan sekali tebas.

"Hiaaat...!"

Wuuung...! Suara pedang besar mendengung ketika menebas tempat kosong, karena Ki Gendeng Sekarat ternyata sudah ada di sisi lain yang berlawanan arah dengan serangan Nenggolo. Keadaannya yang ada di belakang kedua tunggangan Sabit Guntur membuat Ki Gendeng Sekarat mencocokkan ujung kipasnya ke pantat kuda. Tentu saja ujung kapas itu dialiri tenaga dalam tinggi.

Cruk...!

"Hieeeee...!" Kuda meringkik sambil terlonjak mengamuk. Sabit Guntur terlempar ke depan, jatuh ke tanah dalam keadaan telentang. Kaki kuda yang mengamuk tanpa permisi menginjak-nginjak dada dan perut Sabit Guntur, lalu lari tunggang langgang karena merasa sakit yang amat berat akibat ditusuk pakai ujung kipas.
"Uuhhg...!" Sabit Guntur mendelik susah bernapas karena dadanya terasa remuk diinjak-injak kuda yang mengamuk. Ia berusaha bangkit pelan-pelan dan berusaha mencari kesempatan untuk menghirup udara. Mulutnya tercengap-cengap dengan mata sesekali terbeliak.

"Biadab! Siapa kau sebenarnya, hah?!" bentak Nenggolo kepada Ki Gendeng Sekarat. Pedangnya siap terangkat di atas kepala dengan kuda-kuda siap serang.

"Sampaikan salamku kepada Ratu Tanpa Tapak. Katakan kepadanya, Gendeng Sekarat tidak izinkan dia memiliki pusakanya Empu Sakya!"

"Persetan dengan ucapanmu! Heaaah...!" Nenggolo menyerang maju dengan pedang dikibaskan ke berbagai arah secara cepat. Bunyi gaung dari logam besar itu sempat membuat daun-daun ilalang terbabat putus dengan sendirinya. Tentu saja gerakan tebas pedang itu disertai tenaga dalam tinggi yang memancar ke sana-sini. Tetapi Ki Gendeng Sekarat tetap berdiri tegak dan berkipas-kipas dengan santai. Rupanya angin kibasan kipas itu menolak datangnya kekuatan tenaga dalam dari kibasan pedang besar. Sekalipun kipas itu hanya bergerak pelan, namun memancarkan angin penolak tenaga luar yang cukup kuat. Nenggolo beberapa kali tersentak mundur ketika mau dekati Ki Gendeng Sekarat. Manakala kibasan kipas itu berhenti, Nenggolo berhasil mendekat dan tebaskan pedang memotong perut Ki Gendeng Sekarat. Wuuut...! Slaap...!
Ki Gendeng Sekarat hentakkan kedua kaki dan tubuhnya terangkat tinggi, sehingga pedang besar itu tak berhasil kenai tubuhnya. Tapi kaki Ki Gendeng Sekarat cepat bergerak maju menendang tepat di dahi Nenggolo. Praak...!

Ki Gendeng Sekarat bagaikan menendang sebongkah keramik. Tendangan cukup kuat dan keras membuat darah menyembur dari mulut, hidung, dan telinga Nenggolo. Orang itu pun terpelanting memutar sambil tetap memegangi pedangnya. Pada waktu itu, Sabit Guntur baru saja berdiri dan siap menggunakan sabitnya.
Tapi gerakan putar Nenggolo mengenai dirinya. Pedang besar menebas tangan kiri Sabit Guntur tanpa disengaja. Craas...!
"Aoooww...!" Sabit Guntur memekik keras- keras karena tangan itu segera putus tepat pada bagian siku. Tangan yang buntung membuat Sabit Guntur semakin liar. Ia menebaskan sabitnya dengan gerakan cepat.

Tak ayal lagi leher Nenggolo pun putus terpotong oleh kekuatan sinar biru petir itu. Sabit Guntur mendelik melihat sinar birunya justru memotong leher teman sendiri.

"Keparat...! Heaaaat...! Sabit Guntur mengibaskan sabitnya beberapa kali, sehingga sinar biru petir terlepas dari ujung sabit, jumlahnya lebih dari lima sinar. Semuanya tertuju ke arah Ki Gendeng Sekarat.

Dengan menggunakan kipasnya. Ki Gendeng Sekarat membuang sinar-sinar ke arahnya, dan sinar-sinar itu membentur benda apa saja yang dicapainya. Bunyi ledakan dahsyat terjadi berkali-kali, merobohkan dua batang pohon dan yang terakhir membuat Ki Gendeng Sekarat terpental ke belakang, karena salah satu sinar biru petir sengaja ditangkis oleh kipasnya. Akibatnya daya ledak itu menghentak melemparkan Ki Gendeng Sekarat ke belakang. Bruuk!

"Uhg...! Sial! Pinggangku bisa bengkak atau patah kalau begini?!" gerutu Ki Gendeng Sekarat sambil mencoba bangkit kembali.

Tapi pada saat itu, Sabit Guntur yang merasa tak akan mampu melawan Ki Gendeng Sekarat segera lompat ke kuda bekas tunggangan Nenggolo. Dengan menggunakan satu tangan ia memacu kudanya, melarikan diri, meninggalkan tempat tersebut.

Ki Gendeng Sekarat sengaja tak mau mengejarnya, karena tulang punggungnya terasa ngilu sekali. Bertepatan dengan hilangnya Sabit Guntur, muncul sesosok bayangan yang berkelebat ke arah Ki Gendeng Sekarat. Dengan cepat Ki Gendeng Sekarat siap-siap kibaskan kipasnya untuk merobek kulit tubuh bayangan yang baru datang. Namun gerakan itu segera tertahan karena Ki Gendeng Sekarat segera mengetahui bahwa bayangan yang datang ke arahnya itu adalah sosok tubuh Pendekar Mabuk.

"Ki Gendeng Sekarat...?!"
"Ah, Gusti Manggala Yudha... Kenapa baru sekarang munculnya?" gerutu Ki Gendeng Sekarat.

Ia bersungut-sungut sambil mencari tempat untuk duduk. Sebatang kayu yang tadi ditumbangkan berhasil diduduki, napasnya terlepas lega. Sementara itu Suto Sinting memandangi mayat Nenggolo dan potongan tangan Sabit Guntur.

"Apa yang terjadi, Ki?"

"Mereka ingin mendatangi Empu Sakya untuk merebut Keris Setan Kobra. Mereka orang-orang utusan dari Gunung Sesat, anak buah Ratu Tanpa Tapak!"

"Ratu Tanpa Tapak?!" gumam Suto Sinting dengan dahi kian berkerut.
"Kau sendiri bagaimana bisa sampai sini? Kulihat arahmu dari desa Kukusan!"

"Benar, Ki. Aku dari rumah Empu Sakya untuk menyelamatkan Empu Sakya dan Mega Dewi, anak Ki Lurah Pramadi."

"O, ya... aku kenal orang itu!"
"Mereka terancam maut di tangan iblis Naga Pamungkas. Aku terkecoh..."
"Tunggu! Maksudmu Iblis Naga Pamungkas itu siapa? Wiratmoko?!"
"Benar. Murid Dampu Sabang, Ki. Dia juga mengancam nyawamu. Kaulah sasaran berikutnya."

"Dampu Sabang!" geram Ki Gendeng Sekarat sambil matanya menyipit, menatap arah jauh, bagaikan mengenang peristiwa lama.

"Tapi ketika aku tiba di rumah Empu Sakya, mereka sudah tak ada, Ki!"
"Maksudmu?"

"Empu Sakya dan Mega Dewi tidak ada di tempat. Keadaan rumahnya sudah porak- poranda. Aku tak tahu pasti apakah mereka dibawa lari oleh Iblis Naga Pamungkas, atau melarikan diri dan sekarang masih dalam pengejaran murid Dampu Sabang itu?!"

RUPANYA Ki Empu Sakya sudah mengetahui akan kedatangan Wiratmoko yang membawa Pusaka Pedang Naga Pamungkas. Sebelum musibah itu datang, firasat batin Ki Empu Sakya untuk memberi isyarat. Maka ia pun segera membawa pergi Mega Dewi. Tentu saja gadis itu merasa bingung ketika tahu-tahu disuruh berkemas dan diajak pergi.

"Kita mau ke mana, Ki?!"
"Ke mana saja, yang penting selamat untuk dirimu," jawab Ki Empu Sakya.
"Selamat? Apakah jiwaku terancam bahaya?"
"Bukan jiwamu saja, tapi jiwaku juga dalam bahaya."
"Aku tak mengerti maksud Ki Empu Sakya."

Setibanya di lereng bukit, Ki Empu Sakya baru menjelaskan maksudnya kepada Mega Dewi.

"Iblis Naga Pamungkas sedang menuju ke rumahku. Pasti ia menghendaki nyawamu dan pusakaku."

Mega Dewipun segera terkejut mendengar penjelasan itu. Ia mulai gemetar karena hatinya diguncang rasa takut namun dibakar rasa dendam pula. Akhirnya Mega Dewi punya gagasan untuk melawan Iblis Naga Pamungkas itu."Kalau kau mengizinkan, pinjamkanlah pusakamu itu, Ki. Akan kupakai untuk membalas kematian ayahku kepada Iblis Naga Pamungkas."

Ki Empu Sakya gelengkan kepala, "Jangan membiasakan dendam bersarang dalam hatimu, Anak Manis. Kematian adalah perjalanan akhir dari suatu kehidupan di alam fana, dan perjalanan awal dari suatu kehidupan di alam baka. Tak perlu kau buru dengan dendam. Itu hanya akan merusak ketenangan jiwamu."

"Tapi... orang itu memang layak dimusnahkan, Ki. Jika tidak ia akan memakan korban lebih banyak lagi."

"Menurutku itu bukan tugasmu, Mega Dewi. Sekalipun kau kupinjami keris pusakaku, tapi jika ketinggian ilmumu tidak seimbang, sama saja kau akan menemui ajal di tangannya. Kekuatan keris itu tidak bisa dipakai untuk menentukan kemenangan. Tergantung ketinggian ilmu kanuragan kita. Kecuali jika lawanmu tidak akan menyerang, maka kau tetap akan menang dengan menggunakan keris pusakaku itu."

"Tapi...," Mega Dewi berkerut dahi memperhatikan Ki Empu Sakya, "Ku lihat kau tidak membawa benda apa-apa, Ki. Apakah keris pusaka itu ditinggalkan di rumahmu itu?"

Ki Empu Sakya tersenyum tipis, "Biar siapa pun menggali rumahku tidak akan menemukan Keris Pusaka Setan Kobra. Keris itu kusimpan di suatu tempat yang tak mudah diketahui oleh siapa pun, kecuali diriku sendiri."

"Tapi..."

Kata-kata itu tak jadi dilanjutkan karena Ki Empu Sakya segera menarik tangan Mega Dewi dan menutup mulut gadis itu dengan tangan. Mereka masuk ke semak-semak yang rimbun, karena Ki Empu Sakya mendengar suara langkah kaki orang mendekat ke arahnya juga detak jantung orang lain yang ada di kejauhan sana.

"Apakah ia datang kemari, Ki?" bisik Mega Dewi.
"Entahlah. Yang jelas ada seseorang yang bergerak kemari. Sebentar lagi kita akan tahu siapa orangnya."

Anehnya telinga Mega Dewi tidak mendengar suara langkah kaki orang. Yang didengar hanya hembusan angin lereng bukit. Bahkan mereka sempat mendekam di semak- semak itu cukup lama. Kaki Mega Dewi sampai terasa pegal.

"Orangnya masih jauh, tapi telinga Ki Empu Sakya sudah mendengar langkahnya. Sungguh tinggi ilmu pendengaran Ki Empu Sakya ini."

Mulanya Mega Dewi sempat sangsi, "Jangan-jangan tak ada yang datang kemari?! Sudah sembunyi lama sekali tapi tak ada yang datang, uuh...! Menyebalkan sekali. Pasti Ki Empu Sakya salah dengar atau mungkin salah duga."

Tapi beberapa saat setelah membatin kata begitu, gadis berkepang dua mendengar langkah kaki menginjak rerumputan. Langkah itu makin mendekat ke arahnya. Mega Dewi menjadi yakin, memang ada yang mendekati tempat mereka.

Sesosok tubuh kecil muncul dari balik tikungan semak. Mega Dewi dan Ki Empu Sakya sama-sama hempaskan napas lega, lalu keduanya berdiri dan keluar dari persembunyian.

"Ya, ampuun...! Kenapa kau ikut kemari. Angon Luwak?!" tegur Ki Empu Sakya kepada bocah penggembala kambing itu.

"Aku hanya ingin beri tahukan padamu, Ki... ada orang yang mengobrak-abrik rumahmu. Orangnya membawa pedang bergagang kepala naga dari logam putih." tutur Angon Luwak penuh kesetiaan.

"Iblis Naga Pamungkas!" gumam Mega Dewi percaya dengan firasat yang dimiliki Ki Empu Sakya. Ia semakin kagum terhadap ketinggian ilmu orang tua bertubuh kecil itu.

"Sekarang apa yang harus kita lakukan, Ki?"
"Ke goa! Aku punya goa tempatku bertapa dulu. Mudah-mudahan belum tertutup reruntuhan batu."
"Aku ikut, ya Ki?" usul Angon Luwak.
"Apakah kau tak akan dicari oleh orangtuamu?"

"Orangtuaku yang suruh aku memberitahukan padamu tentang kedatangan orang itu, Ki," jawab Angon Luwak dengan lugu.

"Baiklah kalau kau memaksa mau ikut. Tapi tempatnya tinggi. Kalau kau lelah mendaki tak ada orang yang sanggup menggendongmu."

"Aku akan berjalan sendiri. Ki," kata Angon Luwak dengan penuh semangat. Bocah itu sangat kagum dengan Ki Empu Sakya, juga menyukai petualangan di rimba persilatan. Cerita-cerita tentang tokoh golongan putih yang pernah dan sering dituturkan oleh Ki Empu Sakya memacu jiwa bocah itu untuk masuk ke dunia persilatan golongan putih. Karenanya, semangat untuk mengikuti Ki Empu Sakya cukup tinggi. Orang tuanya sendiri tak mampu mencegah kehendaknya.

Pada saat Ki Empu Sakya membawa Mega Dewi ke goa bekas tempat pertapaannya dulu, Wiratmoko sedang sibuk membongkar seluruh isi rumah Ki Empu Sakya. Ia lakukan dengan kasar, sehingga rumah bambu itu sempat miring ke kiri karena diguncang kekasaran Wiratmoko. Hatinya jengkel sekali menemukan rumah itu telah kosong, bahkan keris pusaka yang dicarinya pun tidak ada.

Saat ia keluar untuk mencari jejak kepergian Ki Empu Sakya, tiba-tiba muncul seorang berpakaian serba merah. Rambutnya panjang berwarna merah, juga jenggot dan kumisnya yang berwarna merah. Orang bertubuh tinggi, besar dan bermata lebar. Wajah angkernya tampak menyeramkan. Kulitnya sedikit coklat kemerah-merahan.

"Oh, rupanya kau datang untuk maksud yang sama, Dewa Api?" sapa Wiratmoko kepada orang yang berusia sekitar empat puluh tahun itu.

"Aku hanya ingin bertemu dengan Empu Sakya. Bukan ingin bertemu denganmu, Wiratmoko!"
"Empu Sakya sudah pergi, lari terbirit-birit sebelum aku datang!" kata Wiratmoko dengan sikap sombongnya.

"Apakah dia lari membawa pusakanya?"

"Tidak. Pusakanya berhasil kudapatkan dan kini baru saja selesai kusembunyikan," jawab Wiratmoko dengan harapan Dewi Api tidak akan memburu pusaka itu lagi jika sudah ditemukan oleh dirinya.

Tapi rupanya Dewa Api punya rencana tersendiri. Tokoh yang dikenal di rimba persilatan dengan keganasan napas apinya itu dulu pernah dihajar habis oleh Dampu Sabang, guru Wiratmoko, tetapi sebelum ajalnya tiba ia sudah lebih dulu melarikan diri. Dewa Api adalah salah satu golongan hitam yang punya musuh banyak dan ingin membalas dendam kepada musuh- musuhnya dengan menggunakan keris pusakanya Empu Sakya.

Karenanya, dengan penuh tekad Dewa Api memaksa Wiratmoko untuk serahkan Keris Pusaka Setan Kobra kepadanya.

"Apa pun ancamanmu aku tidak akan serahkan keris itu, Dewa Api!"
"Kalau begitu kau harus lumer di ujung napasku, Wiratmoko!"

"Akan kubalik kenyataannya nanti!" kata Wiratmoko dengan tenang. Dewa Api agaknya belum mengetahui bahwa Wiratmoko telah berhasil menemukan Pedang Naga Pamungkas yang konon telah terkubur ratusan tahun, milik seorang raja penguasa alam gaib.

Kedua tangan Dewa Api yang berkuku panjang itu segera membentang terbuka. Kedua kakinya pun merendah, matanya memandang tajam. Tapi Wiratmoko tidak punya rasa gentar sedikit pun. Ia tak mau membuang—buang waktu, maka dicabutlah Pedang Naga Pamungkas dari sarungnya. Sraang...!

Dewa Api sempat terkesip melihat pedang itu kepulkan asap putih yang tiada habisnya. Ia menaruh curiga, tapi kecurigaan itu segera disingkirkan dengan bantahan, "Tak mungkin anak ingusan itu memiliki Pedang Naga Pamungkas. Pasti pedang itu tipuan belaka."

"Majulah, Dewa Api...!" geram Wiratmoko memancing kemarahan Dewa Api.

"Heaaahh...! Dewa Api sentakkan napas dari mulutnya. Napas itu berubah menjadi lidah api yang menjilat dalam kobaran tinggi. Woosss... !

Wiratmoko cepat sentakkan kaki dan bersalto di udara melintasi atas kepala Dewa Api. Dengan cepat Dewa Api lepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui kelima jari tangan kanannya. Ujung kelima jari keluarkan lima larik sinar merah api yang bertujuan membungkus tubuh Wiratmoko.

Tetapi Wiratmoko lebih lincah lagi, ia berkelit dengan menggulingkan tubuh ke tanah, sehingga lima larik sinar itu mengenai sebatang pohon dan pohon itu terbakar dengen cepat. Nyaris tak terlihat bentuk daunnya lagi kecuali kobaran api yang mengerikan.

Pada saat Wiratmoko terguling ke tanah, kaki Dewa Api berusaha menginjaknya. Buuhg...! Injakan itu meleset, membuat tanah yang terkena injakan kaki menjadi hangus dan berasap. Warna tanah menjadi hitam arang.

Wiratmoko berkelebat bangkit dalam liukan tubuh bagaikan menari berputar. Tepat ketika ia tegak, tubuhnya merendah dan pedangnya menebas dengan cepat dari kanan ke kiri. Wuuut...! Crass...!

"Ohhg...!" Dewa Api terbelalak merasakan perutnya robek terkena pedang lawan. Luka itu tidak timbulkan darah. Tapi asap makin lama makin tebal. Asap putih kekuning- kuningan itu bagai keluar dari luka panjang di perut. Semakin lama asap itu semakin banyak, semakin membungkus tubuh Dewa Api. Walau ia melawan dengan semburan apinya, tapi hal itu tidak menolong. Asap kian rapat membungkus tubuh Dewa Api. Suara Dewa Api segera hilang. Napas tak terdengar lagi. Ia roboh tanpa suara dan asap masih membungkusnya. Beberapa penduduk desa memperhatikan pertarungan itu dari jarak jauh. Mereka menjadi sangat terkejut ketika asap itu hilang dan tubuh Dewa Api telah berubah menjadi tulang-tulang atau kerangka keropos, seperti kerangak mayat yang sudah puluhan tahun lamanya.

"Edan! Senjata apa itu membuat lawan bisa jadi kerangka seketika?!" bisik salah seorang penduduk desa.
"Sudahlah, jangan dibicarakan. Nanti dia dengar dan menghampiri kita. Kita bisa dibuat menjadi tulang seperti itu. Terus kalau kita mau cuci muka bagaimana, coba?! Ayo, pergi saja sebelum dia mendatangi kita!" kata teman orang tadi. Ia sangat ketakutan dan wajahnya menjadi pucat.

Seorang perempuan desa yang tak seberapa jauh tinggalnya dari rumah Ki Empu Sakya segera didekati Wiratmoko. Tentu saja perempuan itu menggigil ketakutan karena ia juga mengintai pertarungan tadi. Ia merasa ngeri membayangkan nasibnya akan seperti Dewa Api jika pemuda tampan berhati kejam itu melakukan hal yang sama seperti tadi.

Ternyata Wiratmoko hanya bertanya, "Tahukah kau ke mana perginya Ki Empu Sakya dan seorang gadis cantik berpakaian hijau?"

"K... ke... ke selatan," jawab perempuan itu merasa lebih baik berterus terang daripada bernasib seperti Dewa Api.

"Terima kasih," jawab Wiratmoko dengan senyum kemenangan. Ia pun segera bergegas ke arah selatan.
Waktu Suto Sinting tiba di rumah Ki Empu Sakya, ia terkejut melihat keadaan sudah berantakan. Ia ingin menanyakan kepada salah satu penduduk desa tersebut, tapi tiba- tiba mendengar ledakan di tempat pertarungan Ki Gendeng Sekarat, sehingga niatnya untuk bertanya ditundanya sesaat.

Kini setelah Suto datang bersama Ki Gendeng Sekarat, Suto pun menanyakan perihal Ki Empu Sakya kepada perempuan yang tadi mengigil ditanyai Wiratmoko. Perempuan itu takut kalau Suto dan Ki Gendeng Sekarat adalah orang yang lebih kejam lagi, sehingga pertanyaan tersebut dijawab dengan benar.

"Mereka... mereka pergi ke selatan!"
"Apakah bersama orang lain?"

"Tid... tidak. Tapi saya lihat seorang pemuda tampan yang membunuh orang besar sampai menjadi tulang itu juga menyusulnya ke selatan."

"Dari mana dia tahu kalau Ki Empu Sakya pergi ke selatan?"
"Saya memberitahukan. Karena... karena saya takut," jawab perempuan itu dengan polos.

Itulah sebabnya ketika Ki Empu Sakya bersama Mega Dewi sedang mendaki bukit menuju goa, gerakannya terlihat oleh Wiratmoko dari kaki bukit. Pemuda itu tertawa kecil, lalu berlari mengejarnya. Suara langkah kaki membuat Ki Empu Sakya segera menyuruh Mega Dewi dan Angon Luwak untuk bersembunyi.

"Terpaksa aku harus menghadapinya. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak melakukan pertarungan dengan siapa pun. Tapi agaknya kali ini aku dipaksa. Apa boleh buat."

"Tapi kau tidak membawa keris pusaka, Ki!"
"Akan kuhadapi tanpa pusaka itu. Cepatlah bersembunyi!"

Ki Empu Sakya merasa sudah tak mungkin menghindari Wiratmoko dengan melarikan diri. Cepat atau lambat Wiratmoko pasti akan berhasil menemukannya. Maka pilihan terakhir membuat Ki Empu Sakya sengaja bersikap menunggu kedatangan lawannya di tanah datar berpohon jarang itu.

"Kalau memang bisa kukalahkan dengan omongan, tak akan kulakukan pertarungan. Tapi jika memang tak berhasil kutundukkan dengan kata-kata, aku terpaksa bertindak dan ini merupakan pertarungan akhirku!" ucapnya bagaikan bicara dengan diri sendiri, tapi Mega Dewi mendengar dari tempat persembunyian. Lawan yang ditunggu pun datang. Wiratmoko sunggingkan senyum jumawa, tapi Ki Empu Sakya hanya diam saja.

Matanya memandang tajam tak berkedip, penuh wibawa dan kharisma.

"Apa maksudmu mengejar-ngejarku, Wiratmoko?!"
"Tentunya kau tahu sendiri apa maksudku."

"Memang. Tapi siapa tahu apa yang telah kuketahui itu salah, karena tidak selamanya orang sesat akan berjalan di tempat yang salah. Suatu saat dia akan kembali ke jalan yang benar. Siapa tahu kau kembali ke jalan yang benar! Jadi aku perlu menanyakan maksudmu, Wiratmoko!"

Tawa Wiratmoko bernada angkuh, melecehkan kata-kata Ki Empu Sakya.

"Tiap orang punya pandangan yang berbeda, Ki Empu Sakya. Kau boleh memandang langkahku adalah sesat, tapi aku menganggap langkahku ini benar. Setia pada perintah Guru. Dan kalau aku inginkan keris pusakamu itu hanya semata-mata agar jangan jatuh ke tangan orang serakah. Kau tidak mempunyai kekuatan seperti yang kumiliki, Ki Empu Sakya. Aku khawatir keris itu mampu di rebut oleh orang serakah. Aku akan mempertahankan dan menyelamatkannya."

"Gurunya sendiri sesat, bagaimana muridnya?!" sahut Mega Dewi yang tahu-tahu muncul dari persembunyian. Rupanya Mega Dewi tak tahan menyimpan dendam dan kebencian di balik persembunyiannya. Ia keluar dengan mata tajam penuh tantangan. Tapi Wiratmoko menyambutnya dengan tenang, bahkan sempat tersenyum sinis memuakkan hati gadis berkepang dua itu.

"Mega Dewi," tegur Ki Empu Sakya. "Kembalilah ke tempatmu. Biar kuhadapi orang ini!"

"Tidak! Kalau toh aku harus mati seperti ayahku, aku rela mati sekarang juga! Pemuda iblis itu bagianku, Ki Empu Sakya! Aku tak mau takut oleh pusakanya. Aku pun punya pedang yang mampu kalahkan pusakanya itu. Siapa cepat dia menang, siapa lambat dia tumbang!" kata Mega Dewi dengan kegeraman yang amat dalam. Ia bahkan maju mendekati Ki Empu Sakya dan berkata kepada Wiratmoko dengan mata menyipit benci.

"Cabut pedangmu, kita adu kecepatan dan ketangkasan!"
"Mega Dewi...," bujuk Ki Empu Sakya.

"Biarkan aku menghadapinya, Ki! Hiaaat...!" tiba-tiba Mega Dewi cabut pedangnya dan segera lompat serang Wiratmoko. Wuuut...!

Wiratmoko sempat terkejut dengan hadirnya serangan yang secara tiba-tiba itu. Ia cepat hindarkan diri dengan lompat ke samping yang membuat tebasan pedang pendek itu meleset dari sasarannya. Pedang yang menyerupai pisau itu segera dikibaskan ke samping, breet...!

Wiratmoko tersentak kaget. Pipinya tergores ujung pisau tajam. Kemarahan Wiratmoko meluap, sedangkan keberanian Mega Dewi kian tinggi.

Sraang...! Wiratmoko mulai cabut Pedang Naga Pamungkasnya. Asap mengepul tipis dari mata pedang. Ki Empu Sakya mulai cemas. Lalu dengan kecepatan tinggi ia berkelebat menerjang Wiratmoko sambil tangan kirinya menyentakkan pukulan berwarna sinar merah, sedangkan tangan kanannya menyambar tubuh Mega Dewi. Wuuut...! Claap...! Blaar...!

Wiratmoko berhasil menahan pukulan sinar merah itu dengan pedang tersebut. Dentuman keras menggelegar membanana, namun tidak menimbulkan sentakan kuat yang mampu mengguncangkan sikap berdiri Wiratmoko.

Gema ledakan itu diterima oleh telinga Pendekar Mabuk dan Ki Gendeng Sekarat. Langkah mereka semakin cepat, arahnya kian jelas. Dalam sekejap mereka sudah sampai ke tempat pertarungan tersebut. Pada saat itu, Ki Empu Sakya sedang menuju Mega Dewi untuk diam di tempat. Tapi karena Mega Dewi memberontak terus, akhirnya Ki Empu Sakya menotok jalan darahnya.

Deb... !

Mega Dewi diam tak berkutik lagi. Tapi matanya masih bisa memandang dan memahami keadaan sekeliling. Sedangkan Angon Luwak masih ada di tempat persembunyiannya. Ketika ia melihat kehadiran Ki Gendeng Sekarat, hatinya menjadi girang, wajahnya pun ceria.

"Nah, Guru datang!" katanya dengan suara pelan. Wiratmoko tersenyum kalem melihat kedatangan Pendekar Mabuk. Pedang Naga Pamungkas masih tergenggam di tangannya. Ki Gendeng Sekarat diam menatap Wiratmoko dengan pandangan dingin. Ki Empu Sakya tak jadi lanjutkan langkahnya, karena mereka segera mendengar suara Suto berkata kepada Wiratmoko dengan nada tegas.

"Tak kusangka akhirnya kaulah lawanku, Wiratmoko!"

"Suto Sinting, kumohon kau tak perlu ikut campur urusan ini, karena di antara kita tidak punya masalah apa-apa. Jangan melibatkan diri dalam permasalahanku, Sobat."

"Kau punya tugas dari Dampu Sabang untuk membunuhku!" kata Ki Gendeng Sekarat. "Sekarang lakukanlah, Wiratmoko! Aku sudah ada di depanmu!"

"Tidak!" sentak Suto Sinting. "Ki Gendeng Sekarat, kumohon dengan hormat, menyingkirlah dan biarkan aku yang menghadapinya."

"Aku masih mampu melumpuhkan tikus sawah itu! Biarkan aku saja!"
"Ki Gendeng Sekarat, menyingkirlah!"
"Tidak!"

"Ini perintah dari Manggala Yudha!" seru Suto Sinting. Ki Gendeng Sekarat jadi memandang, lemas, dan akhirnya ia melangkah menepi. Jika Suto sudah gunakan gelar kehormatannya seperti itu, Ki Gendeng Sekarat tak akan berani menentang keputusan Suto Sinting. Tetapi hal itu digunakan Suto bukan semata-mata untuk menyombongkan gelar kehormatannya, namun hanya untuk menghindari korban yang tak diinginkan. Suto tahu wajah Ki Gendeng Sekarat memang kecewa, tapi ia paksakan diri untuk tidak pedulikan wajah kecewa Ki Gendeng Sekarat itu.

"Wiratmoko, sekarang kita tentukan siapa yang unggul dalam pertarungan ini. Tapi jika kau turuti saranku, pulanglah dan tinggalkan tugas dari gurumu yang sesat itu. Jangan gunakan lagi Pedang Naga Pamungkas itu. Hiduplah dengan damai terhadap sesama, dan jadilah pembela kebenaran."

"Cuih...!" Wiratmoko jadi jengkel dan meludah. "Aku tak butuh saranmu! Kalau kau telah pastikan diri sebagai tandinganku, sebaiknya kita mulai saja pertarungan ini! Kau akan menjadi kerangka tulang keropos dalam waktu kurang dari seratus hitungan, Suto Sinting!"

Suto pun melangkah ke kiri ketika Wiratmoko melangkah ke kanan, mereka membentuk lingkaran gerak dan masing- masing memandang dengan mata tajam penuh kewaspadaan. Suto Sinting telah memindahkan bumbung tuaknya ke tangan, sehingga sewaktu-waktu mampu digunakan sebagai senjata pengganti pedang. Sedangkan senjata Wiratmoko sendiri sejak tadi kepulkan asap terus, seakan dalam kelaparan dan menunggu mangsanya tiba.

"Hiaaat...!" Wiratmoko maju menyerang dengan satu lompatam rendah. Pedang ditebaskan dari atas ke bawah.

Blaaar... !

Pedang itu membentur bambu tuak. Sedikit pun tak ada luka pada bambu. Tetapi akibat benturan itu, gelombang ledakan terjadi amat kuat dan Wiratmoko terlempar hingga tujuh langkah dari tempatnya berdiri semula. Ia segera bangkit, lalu dengan lompatan ringan yang menghasilkan tenaga tinggi, ia meluncur bagaikan terbang dengan pedang terarah ke depan. Sasarannya adalah dada Suto Sinting. Tetapi ketika ujung pedang itu sudah mendekat, tiba-tiba Wiratmoko menggerakkan pedang ke bawah, lalu menebas ke samping.

Wuuut...!

Suto Sinting sentakkan kaki dan lompat tinggi di atas permukaan tubuh Wiratmoko. Kakinya segera menendang ke depan. Dees...! Pelipis Wiratmoko menjadi sasaran kaki Suto. Pemuda itu terpelanting jatuh akibat tendangan keras yang membuat telinganya mulai berdarah.

Wiratmoko berlutut setengah merangkak merasakan sakit di telinganya. Ia yakin gendang telinganya menjadi pecah akibat tendangan tadi. Amarahnya kian bertambah, sehingga dengan gerakan cepat ia berkelebat melancarkan jurus 'Pedang Sapu Jagal'. Gerakan itu hampir saja tak terlihat oleh mata Suto Sinting. Namun kelebatan asapnya membuat tangan Suto menggerakkan bumbung tuak untuk menangkisnya. Trang...!

Duaaar...!

Suto memutar tubuh, bumbungnya disodokkan ke belakang, tepat mengenai punggung Wiratmoko. Buuhg...!

"Hegghh...?!" Wiratmoko mendelik, napasnya bagai tersumbat dan tak mampu dihela lagi. Kerongkongannya terasa amat kering karena sodokan bambu itu mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup tinggi. Ia pun segera menguasai keadaan dirinya dengan mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya. Kejab berikut ia kembali sigap di depan Suto.

"Bambu itu benar-benar gila! Kerasnya melebihi baja mana pun. Agaknya aku tak bisa menggunakan wujud nyata dalam menyerangnya," pikir Wiratmoko.

Tiba-tiba ia menggerakkan pedang dengan sangat cepat, menebas kanan, kiri, depan, belakang, memutar, dan begitu seterusnya sehingga tubuhnya sendiri mulai dibungkus asap putih. Makin lama asap itu semakin tebal dan sepenuhnya raga Wiratmoko berubah menjadi asap.

Suto Sinting mencoba menyodokkan bambunya, tapi menemui tempat kosong. Asap itu tidak berubah sedikit pun. Asap itu masih tetap menggenggam pedang walau tak terlihat tangan penggenggamnya. Semua yang ada di situ mempunyai rasa kagum yang tak sama besar-kecilnya. Wuuus...!

Pedang itu berkelebat nyaris merobek punggung Suto. Tetapi berhasil dihindari dengan berguling ke depan satu kali dan kembali berdiri dengan sigap.

"Suto akan kewalahan jika melawan asap begitu. Tak ada yang bisa dipukul," pikir Ki Gendeng Sekarat.

Tetapi apa yang dipikirkan Ki Gendeng Sekarat ternyata berbeda dengan apa yang dipikirkan Pendekar Mabuk.

Tutup bambu itu dibuka oleh Suto Sinting. Keadaan bambu dimiringkan, lubang bambu yang berisi tuak tinggal sedikit itu diarahkan ke depan. Ketika Wiratmoko bergerak dalam bentuk asap dan ingin menebaskan pedangnya kembali, kaki Suto pun menghentak ke tanah satu kali. Duug...!

Tiba-tiba dari bumbung bambu itu keluar tenaga penghisap yang amat kuat. Asap tersebut tersedot masuk ke dalam bumbung bambu. Terdengar suara Wiratmoko yang berseru lantang,

"Hai, jurus apa ini?! Hai... tunggu! Tunggu, Suto !"

Syuuurrp...!

Deb...! Suto segera menutup lubang bambu ketika asap itu tersedot habis masuk ke dalam bambu. Terdengar suara Wiratmoko menjerit-jerit di dalam bumbung bambu.

"Lepaskan aku! Lepaskan! Suto...! Aaauh,
Di dalam bumbung itu tersimpan cincin Manik Intan yang mempunyai kekuatan tersendiri. Mungkin kekuatan cincin itulah yang menghajar Wiratmoko di dalam bumbung bambu. Yang jelas seruan dan ratapan Wiratmoko tidak dihiraukan oleh Suto Sinting. Pedang Naga Pamungkas yang jatuh tak ikut tersedot ke dalam bambu itu segera dipungutnya. Tapi ternyata gerakan Suto terlambat. Pedang itu sudah disambar lebih dulu oleh bocah kecil; Angon Luwak. Semua mata memandang kaget kepada Angon Luwak.

"Angon Luwak, serahkan pedang berbahaya itu kepada Kang Suto!" perintah Ki Empu Sakya.

"Tidak!" kata Angon Luwak. Ia mendekati Ki Gendeng Sekarat, lalu di depan gurunya Angon Luwak unjuk kebolehan ilmu genggamannya. Gagang pedang diremas kuat- kuat. Praaas...! Hancur menjadi serbuk halus. Lalu mata pedang yang berasap itu pun diremas pelan-pelan. Sinar putih berkilauan memancar. Tapi mata pedang itu pun hancur menjadi serbuk halus. Toosss...! yang menghajarku ini?! aaauh... huuggh... ! aaauh...! Hai, siapa Hai... aauh... Sutooooo...!"

"He, he, he, he...!" Ki Gendeng Sekarat tertawa terkekeh-kekeh sambil mengusap usap rambut Angon Luwak.
"Tidak ada yang bisa gunakan kejahatan pakai pedang ini lagi, Guru!"

"Bagus, bagus, bagus...!"

Ki Gendeng Sekarat manggut-manggut, membuat Suto Sinting dan Ki Empu Sakya pun tersenyum geli melihat kebanggaan Angon Luwak, walau tadi Ki Empu Sakya sempat kaget melihat Angon Luwak meremukkan gagang Pedang Naga Pamungkas. Setelah mendengar Angon Luwak menyebut Ki Gendeng Sekarat dengan sebutan 'guru', maka Ki Empu Sakya pun segera tahu bahwa Ki Gendeng Sekarat telah memberikan ilmu itu kepada Angon Luwak.

"Ki Empu Sakya, kumohon bebaskan totokan Mega Dewi."
"Oh, iya...! Hampir saja aku lupa!"

Taab... ! Ki Empu Sakya bebaskan totokan Mega Dewi. Tapi pada saat itu tahu-tahu Suto telah melesat pergi dengan cepatnya. Mega Dewi melihat Suto sudah ada di seberang jauh, di kaki bukit tersebut.

"Sutooo...! Mau ke mana kau?!"

"Membuang asap ini ke Sumur Tembus Jagat?" seru Pendekar Mabuk, karena menurutnya tak ada tempat lain untuk memenjarakan Wiratmoko kecuali di Sumur Tembus Jagat. Sedangkan Wiratmoko yang ada di dalam bambu itu menjadi amat ketakutan mendengar dirinya akan dibuang ke Sumur Tembus Jagat.

"Jangan, Suto...! Jangan buang aku ke sana! Jangan, Suto! Sutoooo...!"

Tapi Suto Sinting tetap berlari menuju ke Bukit Mati Langit tempat di mana Sumur Tembus Jagat berada.

"Sutooo...! seru suara wanita yang tak lain adalah Kirana.

"Aku ikut!"

Gadis itu pun berlari mengejar Suto,kini ia tidak bersama Citradani, sebab Citradani harus segera pulang ke Kuil Elang Putih untuk serahkan kalung pusaka Lintang Suci itu.

"Aku ikut, Sutooo...!"

"Terserah!" teriak Suto di kejauhan sambil membiarkan dirinya dikejar Kirana yang cantik dan bandel itu.

SELESAI
Segera menyusul RATU TANPA TAPAK