Trio Detektif - Misteri Gunung Monster(1)



KATA PENGANTAR

SALAM sejahtera, para penggemar misteri yang budiman,

Sekali lagi aku mendapat kehormatan untuk menyajikan kasus terbaru ketiga penyelidik remaja yang sementara ini pasti sudah merupakan kenalan baik kalian, yaitu "Trio Detektif". Mereka berpegang pada semboyan, "Kami Menyelidiki Apa Saja"-dan itu memang sesuai dengan kenyataan. Penyelidikan mereka biasa dilakukan dari kantor mereka yang resmi, yang bertempat di sebuah karavan bekas di sebuah perusahaan jual-beli barang loakan, yaitu "The Jones Salvage Yard" di Rocky Beach, sebuah kota kecil yang tidak begitu jauh letaknya dari kota pusat perfilman Amerika, Hollywood. Tapi kali ini selera petualangan membawa mereka ke lereng-lereng pegunungan Sierra Nevada. Petualangan mereka berawal dengan kunci yang hilang. Tapi dengan segera masalah menjadi bertambah rumit, ketika mereka mendengar tentang adanya rahasia aneh yang mengancam diri seorang wanita bernama Anna. Dalam pelacakan yang dilakukan, Trio Detektif juga berhasil menemukan kebenaran yang terdapat di balik legenda tentang seorang pertapa, begitu pula tentang suatu makhluk misterius, "Kaki Besar".
Jika di antara pembaca ada yang baru sekali ini akan merasakan asyiknya mengikuti liku-liku petualangan Trio Detektif, bagi mereka kurasa cukup jika kukatakan bahwa Jupiter Jones-atau Jupe, bagi teman-temannya-pemimpin dan Penyelidik Satu dari tim penyelidik remaja ini, bertubuh gempal, sangat lincah dalam menggunakan otaknya, serta memiliki bakat yang luar biasa dalam mencium adanya masalah yang dirasakan perlu diteliti lebih lanjut. Sedang Pete Crenshaw yang paling jangkung, dan juga paling tangkas jasmaninya. Ia tidak bisa dibilang penakut, walau memiliki kecenderungan sehat untuk menjauhkan diri dari bahaya. Bob Andrews yang pendiam dan tekun, bertugas mengelola catatan. Kegemarannya melakukan riset, menyebabkan ia cukup berperan dalam Trio Detektif.
Demikianlah secara ringkas data-data tentang diri mereka. Dan kini selamat datang di "Gunung Monster"!
ALFRED HITCHCOCK

Bab 1
SKY VILLAGE

"WOW!" Pete Crenshaw berseru kagum. Baru sekali itu ia melihat "Sky Village"-atau "Desa Langit". "Tempat ini, lingkungannya seperti yang biasa nampak dalam film. Mestinya di tempat ini dibuat film!"
Bob Andrews berlutut di samping Pete, di bak belakang mobil pick-up. "Tapi yang jelas, bukan film Mr. Hitchcock," katanya, sambil memandang berkeliling. "Kota ini terlalu berkesan sehat-tidak cocok untuk dijadikan lokasi pembuatan film misteri."
Kini Jupiter Jones pun ikut berlutut di samping Bob. Ia bertopang dengan kedua lengan bawahnya pada pinggiran bak.
"Mr. Hitchcock tahu, misteri bisa terjadi di mana saja," katanya mengingatkan kedua temannya. "Tapi kau memang benar, Bob. Kota ini kesannya terlalu baru. Tidak kelihatan wajar."
Mobil yang mereka tumpangi mendaki jalan yang curam, dan melewati sebuah toko yang menjual peralatan olahraga ski. Toko itu dibuat dengan meniru bentuk pondok kayu daerah pegunungan Alpen, di Eropa Tengah. Di samping toko itu ada sebuah hotel kecil, dengan atap rumput tiruan. Baik toko maupun hotel itu tutup, karena saat itu sedang musim panas. Daun-daun jendela kayu yang dicat biru terang menutupi jendela-jendela sebuah restoran bergaya Swiss. Nampak beberapa orang berjalan dengan santai di trotoar yang diterangi sinar matahari. Di sebuah tempat penjual bensin, seorang pegawainya yang mengenakan seragam kerja dari kain jeans yang sudah luntur nampak sedang tidur-tiduran sambil duduk di sebuah kursi.
Mobil dibelokkan memasuki tempat penjualan bensin itu, lalu dihentikan di dekat salah satu pompanya. Hans dan Konrad ke luar dari kabin. Kedua pemuda bangsa Jerman itu sudah bertahun-tahun bekerja pada Bibi Mathilda dan Paman Titus, suami-istri keluarga Jupiter yang memelihara anak itu. Hans dan Konrad bertugas memilih-milih, membersihkan, dan kemudian menjual barang-barang yang dibeli Paman Titus, untuk dijual kembali di "Jones Salvage Yard". Mereka selalu datang ke tempat kerja dengan pakaian rapi. Tapi belum pernah serapi hari itu. Hans mengenakan baju santai yang sedikit pun belum menampakkan kerut. Padahal perjalanan dari Rocky Beach, lewat Lembah Owens, dan kemudian naik ke desa Sky Village di lereng pegunungan Sierra Nevada yang selama musim dingin merupakan tempat berolahraga salju dan es, tidak bisa dibilang dekat. Celana Konrad masih licin setrikaannya, dan sepatunya mengkilat.
"Mereka ingin tampil rapi, kalau nanti berjumpa dengan Anna, sepupu mereka," bisik Bob pada Jupe. Jupiter mengangguk sambil tersenyum. Sementara ia bersama kedua temannya memandang dari bak belakang mobil, kedua pemuda Jerman bertubuh kekar itu menghampiri pegawai pompa bensin yang sedang tidur-tiduran. "Maaf, Pak," sapa Hans.
Pegawai itu mendengus, lalu mengangkat kelopak matanya.
"Maaf, saya ingin bertanya-di manakah tempat tinggal Anna Schmid?" tanya Hans lagi.
"The Slalom Inn?" Orang itu berdiri, lalu menunjuk ke arah deretan pohon tusam yang memagari jalan. "Terus saja sampai melewati pohon-pohon itu. Nanti Anda akan melihat sebuah rumah putih, di sebelah kiri. Anda tidak mungkin keliru, karena itu rumah paling ujung, sebelum jalan membelok ke arah tempat perkemahan."
Hans mengucapkan terima kasih. Ia berbalik, hendak kembali ke mobil.
"Anna tahu bahwa Anda akan datang?" tanya pegawai pompa bensin. "Beberapa jam yang lalu, aku melihatnya lewat naik mobil, menuju ke arah Bishop. Kurasa ia sekarang belum kembali dari sana." "Kalau begitu kami tunggu saja," kata Konrad.
"Tapi mungkin akan lama," kata orang itu. "Hampir segala-galanya di Sky Village sini ditutup selama musim panas. Jadi kemungkinannya Anna pergi ke Bishop untuk berbelanja."
"Kami sudah biasa menunggu," kata Konrad dengan riang. "Sejak masih sama-sama kecil di tanah air dulu, kami tidak pernah lagi berjumpa dengan dia. Itu sewaktu kami belum pergi ke Amerika Serikat."
"Wah," kata orang itu, "teman lama dari kampung, rupanya! Anna pasti senang, melihat kalian nanti."
"Kami bukan teman, tapi keluarga," kata Konrad. "Kami berdua ini sepupunya. Kami sengaja datang dengan tiba-tiba, tanpa lebih dulu memberi tahu. Sebagai kejutan!"
"Mudah-mudahan saja Anna menyukai kejutan," kata orang itu. Kemudian ia tertawa geli. "Dan kalian juga! Selama beberapa minggu belakangan ini, Anna sibuk sekali."
"Ah-begitu, ya?" kata Hans.
"Nanti akan kalian lihat sendiri." Mata pegawai pompa bensin itu bersinar-sinar. Melihat sikap orang itu, Jupe teringat pada beberapa teman Bibi Mathilda, yang gemar mengumpulkan pergunjingan tentang para tetangga di Rocky Beach.
Hans dan Konrad masuk lagi ke mobil.
"Kurasa tidak banyak kejadian di sini yang tidak diketahui orang itu," kata Pete, ketika kendaraan itu sudah meluncur lagi.
"Mungkin tidak banyak pekerjaannya selama musim panas, sehingga banyak waktunya untuk mengamat-amati orang-orang yang lewat," kata Bob. "Berapa banyaklah orang yang mampir membeli bensin di tempatnya, apabila salju sudah mencair?"
Mobil pick-up itu berjalan dengan pelan di jalan desa. Mereka melewati sebuah kedai tempat menjual es krim. Kedai itu buka. Lalu sebuah toko kecil yang menjual segala macam keperluan sehari-hari. Toko itu tutup, dan nampak gelap, begitu pula kedai yang menjual cendera mata.
"Aku ingin tahu, Anna sibuk dengan urusan apa," kata Pete. "Desa ini benar-benar mati saat ini."
"Menurut Hans dan Konrad, sepupu mereka itu selalu bisa menemukan kesibukan yang memberi keuntungan padanya. Ia datang ke Amerika Serikat sepuluh tahun yang lalu. Mula-mula bekerja sebagai pelayan di sebuah hotel, di
New York. Kata Hans, enam bulan kemudian ia sudah menjadi kepala pelayan di situ. Dan dalam waktu hanya enam tahun, simpanannya sudah cukup banyak, sehingga mampu membeli losmen kecil di Sky Village sini. Setahun kemudian dibelinya sebuah lift untuk mengangkut pemain ski ke atas lereng. Pemasukan dari situ mestinya sedap, apabila salju sudah turun."
"Semuanya itu dibelinya dengan uang yang berasal dari gaji selaku kepala pelayan?" tanya Pete.
"Tidak semuanya! Kecuali itu ia juga masih punya pekerjaan lain-pekerjaan sambilan. Ia juga menanamkan uangnya dalam saham-saham berharga. Anna itu lincah dalam urusan bisnis. Hans dan Konrad sangat membanggakan kehebatan sepupu mereka. Surat-surat Anna selalu mereka bacakan pada siapa saja yang mau mendengarkan. Kamar-kamar mereka penuh dengan foto-foto yang dikirimkan oleh Anna. Ketika Bibi Mathilda dan Paman Titus secara tiba-tiba memutuskan untuk berlibur selama dua minggu dan karenanya perusahaan ditutup selama waktu itu, Hans dan Konrad cepat-cepat saja memanfaatkan peluang itu untuk pergi kemari."
"Untung saja," kata Pete. "Kalau tidak, mana mungkin kita bisa melancong untuk berkemah kemari? Aku sudah lama ingin mencoba olahraga memanjat tebing! Kudengar, tempat perkemahan Sky Village hebat-dan tidak pernah penuh."
"Terlalu jauh dari jalan raya yang ramai," kata Bob.
"Mudah-mudahan saja Anna tidak keberatan mendapat kunjungan yang begini tiba-tiba," kata Jupe. "Hans dan Konrad sebelumnya sudah berusaha menelepon dia sebelum kita berangkat, tapi sepupu mereka itu tidak ada di rumah waktu itu. Mereka tentu saja sudah bersiap-siap untuk ikut berkemah dengan kita, agar tidak terlalu membebani sepupu mereka."
Sementara itu mobil mendaki terus, melewati deretan pohon tusam yang tadi ditunjukkan oleh pegawai pompa bensin. Begitu pepohonan itu sudah dilewati, ketiga remaja yang duduk di bak belakang bisa melihat lereng tempat bermain ski.
Saat itu kelihatannya berupa jalur berwarna coklat gersang, di sisi timur gunung. Dari atas sampai ke bawah, jalur itu nampak licin. Seolah-olah ada raksasa yang mencukur habis pepohonan dan semak belukar yang mungkin dulu tumbuh di situ, sehingga pemain ski dapat meluncurinya ke bawah tanpa hambatan sama sekali. Sejumlah menara dari baja berderet-deret di atas jalur itu, saling dihubungkan dengan kabel-kabel. Pada kabel-kabel itu tergantung kursi-kursi, yang terpasang dengan jarak sekitar tujuh meter.
Mobil pick-up bergerak meminggir, lalu berhenti di depan sebuah rumah besar bercat putih, yang letaknya nyaris menempel ke lereng tempat bermain ski. Menurut tulisan pada papan yang terpasang di depan, di situlah "The Slalom Inn".
"Kelihatannya Anna masih tetap hebat dalam urusan mengurus kerapian," kata Bob.
Losmen itu berwujud bangunan kayu yang apik bercat putih, nampak kemilau diterangi matahari sore. Kaca-kaca jendelanya begitu bersih, sehingga nyaris tak nampak. Berlainan dengan sekian banyak bangunan di Sky Village, losmen milik Anna Schmid tidak meniru-niru gaya Swiss atau Austria. Tempat penginapan itu merupakan rumah pegunungan yang biasa-biasa saja, dengan serambi lebar di bagian depannya. Pintu losmen itu dicat merah terang, sementara tanaman hias di dalam pot-pot berwarna merah dan biru diatur berjejer di atas sandaran pagar serambi.
Jalan masuk yang terdapat di sebelah kiri losmen dihampari lapisan kerikil yang rapi. Di tempat parkir yang kecil nampak sebuah mobil station-wagon yang kotor berdebu, serta sebuah mobil sport merah yang bersih mengkilat.
Hans dan Konrad turun dari kendaraan mereka, diikuti oleh ketiga remaja yang duduk di bak belakang.
"Keadaan Anna nampaknya baik," kata Hans.
"Sejak dulu memang sudah selalu begitu," kata Konrad. "Kau masih ingat, Hans-dulu ketika baru berumur sepuluh tahun, ia sudah lebih jago dari ibu kita dalam membuat kue-kue. Kita waktu itu suka sekali datang ke rumah Anna, karena selalu disuguhi coklat panas dan kue-kue."
Hans tersenyum. Sementara itu matahari sudah mendekati sisi atas tebing yang tegak di atas lereng tempat bermain ski. Udara pegunungan yang tipis, terasa sejuk.
"Kita masuk saja, yo," ajak Hans. "Kita tunggu sampai Anna sudah kembali dari berbelanja. Siapa tahu, mungkin kita nanti akan disuguhi kue-kue buatannya."
Hans dan Konrad menaiki jenjang serambi. Tapi Jupiter, Pete, dan Bob tetap berada di bawah.
"Kalian tidak ikut?" tanya Hans.
"Mungkin kami sebaiknya terus saja dulu, ke tempat perkemahan," kata Bob. "Kalian kan sudah lama sekali tidak berjumpa dengan sepupu kalian itu! Kami tidak ingin mengganggu." Hans dan Konrad tertawa.
"Masa kalian mengganggu?" kata Hans. "Kalian kan bukan orang lain! Kami sudah menulis surat pada Anna, menceritakan kehebatan kalian. Menurut pendapatnya, kalian ini anak-anak pintar. Dalam surat-suratnya, kami selalu diundang untuk mengunjunginya-dan ia meminta agar kalian juga diajak."
Akhirnya ketiga remaja itu mengikuti Hans dan Konrad, naik ke serambi. Pintu depan losmen ternyata tidak dikunci. Di belakangnya terdapat sebuah ruangan lapang yang dilengkapi dengan kursi-kursi empuk berlapis kulit, serta sebuah sofa panjang yang dibungkus kulit pula. Di situ ada lampu-lampu tembaga yang kemilau, sedang di atas perapian dari batu di ujung ruangan itu ada mangkuk-mangkuk minum dari timah mengkilat. Di meja makan yang besar di sebelah kanan sudah diatur tempat untuk empat orang. Di belakangnya ada pintu, yang menuju ke dapur. Dekat dinding sebelah kiri ada tangga bergaya antik, menuju ke tingkat atas. Ruangan itu berbau asap kayu dan bahan pengilap mebel, berbaur dengan bau samar. Mencium bau itu, Jupiter langsung menarik kesimpulan bahwa Anna masih tetap hebat dalam urusan membuat kue.
"Anna!" Hans memanggil-manggil. "Kau ada di rumah, Anna?"
Tidak ada yang menjawab.
"Kalau begitu kita tunggu saja," kata Konrad. Ia berkeliaran di dalam ruangan itu. Sambil lalu diusapnya sandaran kursi-kursi yang dilapis kulit. Wajahnya berseri-seri, nampak puas.
"Semuanya serba bermutu," katanya. "Ya- keadaan sepupu kita memang baik sekali."
Ia sampai di depan sebuah pintu yang terdapat di dinding sebelah kanan. Di situ terpasang tulisan, "Dilarang masuk". Tapi pintu itu terbuka. Konrad menjenguk ke dalam ruangan yang ada di belakangnya. "Hah," katanya.
"Ada apa?" tanya Pete ingin tahu.
"Manusia ternyata tidak ada yang sempurna," kata Konrad, "dan itu termasuk Anna, sepupu kami." Hans menghampiri saudaranya, ikut memandang ke dalam kamar, lalu menggeleng-geleng dengan sikap pura-pura kaget.
"Anna, Anna," katanya. "Akan habis-habisan kau kami ganggu kalau pulang nanti. Jupe-coba kaulihat kantor pengatur rumah tangga yang hebat ini."
"Lebih baik jangan masuk," kata Pete menyarankan. "Ibuku selalu marah-marah jika aku berani membuka laci meja tulis atau dompetnya."
Jupiter Jones hendak duduk di salah satu kursi yang ada di situ. Tiba-tiba Hans menoleh ke arahnya. "Jupe," katanya. "Bob, Pete-kurasa ada sesuatu yang tidak beres di sini!"
"Apa maksudmu?" Jupiter pergi ke pintu, lalu memandang ke dalam ruangan sempit, yang kelihatannya merupakan kantor losmen itu.
Sebuah meja dengan kertas-kertas berserakan di atasnya, terletak menghadap pintu. Di dekat meja itu ada lemari arsip yang dua lacinya tertarik ke luar. Map-map arsip dan kertas-kertas tersebar di lantai, bercampur dengan isi sebuah keranjang sampah yang terguling. Laci-laci meja juga dikeluarkan, dan diletakkan tersandar ke dinding. Ambang jendela di balik kursi meja kerja penuh dengan amplop surat, foto-foto, serta kartu pos bergambar. Sebuah rak buku yang semula tersandar ke dinding roboh ke lantai, sementara jepitan kertas yang berasal dari sebuah piring yang dibalikkan, terserak di lantai.
"Ada yang menggeledah kantor ini!" kata Pete, yang berdiri di belakang Jupiter.
"Kelihatannya memang begitu," kata Jupe, "dan pelakunya orang yang sangat sembrono-atau sangat terburu-buru."
"Cari apa kalian di sini?" sergah seseorang bersuara serak. Suara itu datang dari ruangan besar di belakang mereka. Anak-anak berpaling dengan cepat.
Seorang laki-laki berdiri di dekat tangga. Orang itu memegang senapan buru!

Bab 2
KEJUTAN ANNA

"CEPAT, katakan-apa yang sedang kalian lakukan di sini?" Laki-laki yang berdiri di dekat tangga itu menggerakkan senapan yang dipegangnya dengan sikap tidak sabar. Pete langsung mengendap.
Laki-laki itu maju beberapa langkah. Orang itu tinggi dan berbahu bidang, dengan rambut lebat berwarna coklat tua. Matanya menatap tajam, dengan sinar yang sangat dingin. Senapannya diacungkan ke arah kelompok yang berkumpul di dekat pintu kantor.
"Ayo bicara!" tukasnya sekali lagi dengan sikap mengancam.
"Anda-Anda siapa?" kata Konrad, tanpa melepaskan matanya dari senapan yang teracung.
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia mengulangi pertanyaannya. "Kenapa kalian masuk ke situ? Tidak lihat tulisan dilarang masuk? Aku sepantasnya-"
"Nanti dulu!" Suara Jupiter Jones memotong kalimat orang yang marah-marah itu. Jupiter menegakkan tubuhnya selurus mungkin. "Ada baiknya jika Anda memberi penjelasan," katanya dengan nada seangkuh mungkin.
"Apa?"
"Tempat ini nampaknya habis digeledah," kata Jupe. "Ada kemungkinan polisi akan ingin tahu apa yang Anda lakukan di sini, dan apa sebabnya Anda begitu cepat main senapan."
Padahal Jupiter sebenarnya sadar, keadaannya saat itu tidak memungkinkan dia memanggil polisi. Namun sikapnya yang begitu mantap nampak membingungkan laki-laki yang memegang senapan itu. Kening orang itu berkerut. Diturunkannya laras senapan, sehingga mengarah ke lantai.
"Kau hendak memanggil polisi?" katanya.
"Rasanya itulah yang sebaiknya," kata Jupe dengan gayanya yang berwibawa. "Tapi di pihak lain, mungkin lebih bijaksana jika kita tunggu dulu sampai Miss Schmid sudah kembali dari Bishop. Biar dia sendiri yang mengajukan pengaduan."
"Miss Schmid?" kata orang itu. Kemudian ia tertawa. "Ada beberapa hal yang perlu kalian ketahui rupanya," katanya.
Saat itu terdengar bunyi pintu mobil ditutup di luar, disusul langkah bergegas-gegas di serambi. Pintu depan terbuka, dan seorang wanita bertubuh jangkung masuk. Ia membawa kantung kertas berisi belanjaan. "Kusine* Anna!" seru Hans. Ia memakai bahasa Jerman. (fn=sepupu)
Wanita yang baru masuk itu tertegun. Mula-mula ia memandang laki-laki yang memegang senapan, lalu berpindah menatap Hans dan Konrad, lalu akhirnya Jupe serta kedua temannya. Setelah itu kembali lagi pada laki-laki yang memegang senapan.
"Sepupu Anna?" kata Hans sekali lagi, kini dengan nada bertanya.
"Sepupu Anna?" kata laki-laki bersenapan dengan heran, lalu menyambung, "Astaga! Kalian berdua rupanya Hans dan Konrad, dari Rocky Beach! Aku tadi tidak mengenali, karena tampang kalian berbeda dari foto-foto yang ditunjukkan Anna padaku. Kenapa tidak bilang apa-apa? Untung saja kalian tadi tidak kutembak!"
"Anda teman Anna?" tanya Konrad.
"Bisa dibilang begitu," jawab laki-laki itu. "Kau rupanya tidak mengabari sepupu-sepupumu, Anna! Padahal kau kan sudah berjanji, sebelum kita pergi ke Danau Tahoe."
"Aduh, Hans dan Konrad!" Wanita itu meletakkan kantung belanjaannya ke atas meja. Satu tangannya merapikan letak kepangan rambut pirangnya yang dililitkan melingkari kepala. Setelah itu ia tersenyum lebar. "Hans dan Konrad!" Diulurkannya kedua belah tangannya ke arah Hans yang datang menghampiri. Hans mengecup pipi wanita itu.
"Sudah begitu lama kita tidak berjumpa," kata wanita itu.
Konrad mendorong Hans dengan sikunya ke samping, lalu mengecup pipi wanita itu pula.
"Dan coba lihat kalian sekarang-sudah besar-besar, sampai tak kukenali lagi," kata wanita itu, yang mestinya Anna Schmid. Diperhatikannya kedua pemuda Jerman yang berdiri di depannya, silih berganti. "Tidak-biar kalian sudah mengirimi aku foto-foto kalian, aku tetap saja tidak bisa mengetahui mana yang Hans, dan mana Konrad." Suaranya hangat, dan bernada riang. Bicaranya cepat, nyaris tidak berlogat Jerman.
Hans dan Konrad tertawa, lalu memperkenalkan diri masing-masing. Setelah itu mereka memperkenalkan Jupiter, Pete, dan Bob.
"Kalian pernah menulis surat padaku tentang anak-anak pintar ini," kata Anna. "Sangat pintar," kata Hans menegaskan.
Konrad mengatakan sesuatu dalam bahasa Jerman, sambil menepuk-nepuk Jupiter.
Seketika itu juga senyuman Anna lenyap.
"Lebih baik kita bicara dalam bahasa Inggris," katanya.
Tapi Konrad kembali mengatakan sesuatu dalam bahasa Jerman.
"Aku tahu-rasanya memang lebih akrab jika kita berbahasa Jerman," kata Anna, "tapi lebih baik kita berbahasa Inggris saja." Ia menghampiri laki-laki yang masih tetap berdiri di dekat tangga, lalu menggandeng orang itu. "Suamiku tidak mengerti bahasa Jerman. Kita harus menghormatinya."
"Suamimu?" kata Konrad.
"Anna!" seru Hans. "Kapan kau-"
"Minggu lalu," kata laki-laki itu. "Kami menikah minggu lalu, di Danau Tahoe. Namaku Joe Havemeyer." Berita itu menyebabkan suasana senyap sesaat. "Jadi ini rupanya kejutan Anna!" kata Pete kemudian.
Anna tertawa. Hans dan Konrad mengucapkan selamat sambil merangkul sepupu mereka. Anna memperlihatkan cincin kawinnya yang berbentuk polos, terpasang agak longgar pada jari tengah tangan kirinya. Kemudian Hans dan Konrad menyalami Joe Havemeyer, untuk mengucapkan selamat.
Jupiter Jones paling tidak senang jika ada urusan yang belum selesai. Ia menunggu sampai kegembiraan yang menyusul setelah berita mengejutkan itu agak reda. Kemudian ia masuk ke ruang kantor, sambil menggamit Anna agar ikut dengannya.
"Coba lihat ini," katanya, sambil menggerakkan tangan untuk menunjukkan kertas-kertas yang berserakan di lantai. "Sewaktu Anda pergi tadi, rupanya ada orang masuk kemari, lalu menggeledah kantor Anda. Mungkin sebaiknya Anda memberi tahu polisi, atau-"
Tahu-tahu Anna Schmid tertawa.
"Lucu sekali," katanya, "dalam surat Hans dan Konrad dikatakan bahwa kau dan kedua temanmu detektif. Lucu sekali!"
Jupiter tidak suka ditertawakan. Ia merasa mukanya menjadi panas. Jupiter merengut.
"Jangan marah," kata Anna buru-buru. "Aku percaya, kalian pasti detektif yang baik. Kau tadi benar. Ada orang menggeledah ruangan ini. Kamilah yang melakukannya-aku dan suamiku." Jupiter diam saja. Ia bersikap menunggu.
"Soalnya begini," kata Anna menjelaskan, "aku kehilangan anak kunci. Aku sangat memerlukannya - dan karena itu kucari ke mana-mana."
"Mungkin kami bisa membantu," kata Pete. "Atau tepatnya, barangkali Jupe bisa membantu. Ia paling pintar, kalau diminta memikirkan kemungkinan letak barang yang salah taruh."
"Dan kami berpengalaman dalam urusan mencari," sambung Bob. "He, Jupe-kau kebetulan membawa kartu nama kita, untuk diberikan pada Miss Schm... maksudku, Mrs. Havemeyer?"
Jupiter masih agak jengkel karena merasa ditertawakan oleh Anna. Tapi dikeluarkannya juga dompetnya. Kartu nama yang dimaksudkan ditemukan olehnya setelah mencari-cari sebentar, lalu disodorkan pada Anna. Wanita itu membaca tulisan yang tertera di situ.

TRIO DETEKTIF
"Kami Menyelidiki Apa saja"
? ? ?
Penyelidik Satu - Jupiter Jones
Penyelidik Dua - Pete Crenshaw
Catatan dan Riset - Bob Andrews

"Bagus sekali," kata Anna mengomentari.
"Terima kasih," balas Jupe dengan sikap kaku. "Prestasi kami selama ini boleh dibanggakan. Kami berhasil mengupas sejumlah teka-teki yang membingungkan orang-orang yang jauh lebih tua daripada kami. Ketiga tanda yang Anda lihat itu melambangkan hal-hal tak diketahui, dan kami selalu siap untuk mengusutnya sampai tuntas."
"Apakah memang selalu begitu caranya berbicara?" tanya Joe Havemeyer sambil nyengir pada Hans.
"Maksudmu dengan kata-kata seperti dari buku?" kata Hans. "Jupe memang gemar membaca apa saja, dan kadang-kadang ia bisa menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi-sementara orang lain bingung semua. Biar dia saja yang mencari anak kunci kalian yang hilang itu. Nanti pasti ketemu!"
"Terima kasih banyak," kata Joe Havemeyer, "tapi kurasa untuk menemukan anak kunci yang salah taruh, kami tidak memerlukan regu penyelidik remaja. Barang itu ada di sini-jadi nanti pasti akan ketemu juga."
Tanpa mengatakan apa-apa, Anna mengembalikan kartu nama Trio Detektif pada Jupe.
"Baiklah, kalau begitu," kata Jupe. "Kemungkinannya akan ketahuan juga nanti, di mana anak kunci itu disimpan. Sementara itu lebih baik kami terus saja dulu. Di pegunungan hari cepat menjadi gelap! Kami ingin sudah sampai di tempat perkemahan lalu memasang tenda kami, sementara hari masih terang."
"Kami ikut," kata Hans. "Kapan-kapan kan bisa kembali lagi kemari, untuk melanjutkan obrolan."
"Wah, jangan begitu dong," kata Joe Havemeyer dengan ramah. "Sewaktu menikah minggu lalu, aku dan Anna tidak mengadakan pesta. Tapi karena kedua sepupumu kebetulan berkunjung, Anna, kenapa kita tidak mengadakan pesta saja? Hans dan Konrad tidak perlu ikut berkemah dengan anak-anak. Kita kan punya satu kamar yang kebetulan sedang kosong."
Anna kelihatannya kaget mendengar usul itu. Hans melihat gerak air muka sepupunya itu, lalu hendak menolak. Tapi Konrad cepat-cepat mendului.
"Terima kasih-tentu saja ajakan itu kami terima dengan senang hati," katanya. "Ayah Anna sudah tidak ada lagi." "Ya, Anna pernah menceritakannya," kata Joe Havemeyer. "Lalu kenapa?"
"Jadi hanya kami berdua sajalah keluarganya di sini," sambung Konrad. "Dan Anna perlu punya kerabat yang bisa mewakilinya." Setelah itu ia menoleh ke arah sepupunya itu, lalu mengatakan sesuatu dalam bahasa Jerman.
"Kita berbahasa Inggris di sini," kata Anna dengan ketus. "Dan jika kalian hendak berbicara dengan Joe tentang diriku, seharusnya itu sudah dilakukan sebelum kami berdua menikah. Itulah saatnya yang tepat."
"Tapi kau kan tidak memberi kabar pada kami bahwa kau akan menikah, Anna," kata Konrad mengemukakan alasannya.
"Itu juga memang tidak perlu," balas Anna. "Kalian tidak perlu cemas. Joe berpenghasilan cukup. Dan ia akan tinggal di sini, membantuku mengelola losmen. Selama musim dingin, ia yang mengurus lift untuk mengangkut pemain ski ke atas. Itu semua sudah diatur. Kau tidak usah pidato-pidatoan lagi!"
Wajah Konrad memerah. Ia langsung bungkam. Joe Havemeyer menenangkan Anna yang kemudian pergi ke dapur dengan membawa belanjaannya, tanpa memandang kedua sepupunya lagi. "Lebih baik kami pergi saja sekarang," kata Hans dengan sedih.
"Sudahlah-jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati," kata Havemeyer. "Anna memang cepat naik darah-tapi saat makan nanti ia pasti sudah riang kembali, seperti biasa. Aku tahu, ia senang sekali kalian datang. Ia begitu sering bercerita tentang kalian. Soalnya cuma dia itu sangat bangga, karena mampu hidup mandiri. Ia tadi merasa tersinggung, ketika kau mengambil sikap sebagai kerabat pria yang harus melindungi wanita yang lemah."
Konrad mengusap mukanya.
"Aku tadi memang goblok," katanya. "Soalnya-terakhir kalinya aku melihat Anna, ia masih anak-anak. Jadi kuanggap diriku pengganti ayahnya."
"Itu dia masalahnya," kata Havemeyer. "Tapi lihat saja nanti-urusannya pasti akan beres kembali."
Ternyata itu memang benar. Menjelang saat makan malam, Hans dan Konrad sudah memasukkan barang-barang mereka ke kamar besar yang kosong di sisi utara. Hanya ada empat kamar tidur di losmen itu, dua di antaranya ditempati tamu yang membayar. Jadi Jupe, Bob, dan Pete memasang tenda mereka di bawah pohon-pohon tusam di sebelah utara rumah, di sisi kanannya. Itu karena desakan Joe Havemeyer. Sungai kecil yang mengalir di tempat perkemahan saat itu sedang tohor (Tohor? Apa artinya?), karena sudah lama tidak hujan. Apalagi selama musim dingin yang lalu juga sedikit sekali salju turun. Jadi mendingan anak-anak berkemah di dekat rumah saja-karena di situ ada sumber air yang bisa diandalkan. Havemeyer juga memaksa agar mereka ikut makan di losmen malam itu. Kedua tamu yang menginap juga akan diajak hadir dalam pesta keluarga mereka. Tapi takkan dibiarkannya Mr. Jensen dan Mr. Smathers merusak suasana nanti.
Anak-anak untuk pertama kalinya melihat kedua orang itu, sesaat sebelum makan malam. Mr. Smathers bertubuh kecil dan kurus. Umurnya mungkin lima puluh tahun-tapi bisa juga sudah lebih tua. Ia memakai celana pendek, serta sepatu khusus untuk mengembara, yang tingginya hampir sampai ke lutut. Sedang Mr. Jensen lebih muda, lebih tinggi, dan juga lebih kekar. Rambutnya yang coklat dipangkas pendek. Wajahnya tidak tampan, tapi juga tidak jelek.
Sewaktu Anna datang dari dapur dengan membawa hidangan daging panggang, Mr. Smathers mendecakkan lidahnya dengan sikap kurang senang.
"Ih, daging," tukasnya.
"Sudah-jangan pidato lagi," kata Mr. Jensen. "Aku kebetulan suka sekali daging panggang! Aku akan sangat berterima kasih, jika Anda tidak menyebabkan aku merasa berdosa, setiap kali memasukkan sepotong daging ke mulut."
"Semua satwa merupakan makhluk sahabat kita," kata Mr. Smathers. Bola matanya yang biru pucat ditatapkan ke arah Mr. Jensen. "Dan sesama sahabat, tidak saling memangsa."
Anna tersenyum ke arah Mr. Smathers. Nampaknya wataknya yang periang sudah pulih kembali.
"Aku tidak kenal sapi yang telah berbaik hati, memberikan dagingnya untuk kita makan sekarang. Jadi tidak usahlah kita pusing-pusing memikirkannya. Tapi untuk Anda, sudah khusus kubuatkan hidangan sayur bayam kental, wortel mentah, serta kecambah alfalfa."
"Sedap." Mr. Smathers menutupi kemejanya dengan serbet, siap untuk menikmati hidangan sayur-mayur. Sedang Mr. Jensen memperhatikan Joe Havemeyer mengiris daging panggang.
"Apakah ada niat Anda kapan-kapan menghidangkan daging rusa, jika musim berburu sudah tiba?" tanya Jensen ingin tahu. "Tadi siang, dijalan ke Bishop aku beberapa kali berhasil membidik rusa."
"Anda menembaknya?" tanya Bob.
"Mr. Jensen ini penggemar daging," kata Smathers. "Ia pasti akan dengan senang hati menembak rusa dengan senapan, jika itu tidak melanggar undang-undang. Tapi untungnya ada undang-undang yang melarang. Jadi Mr. Jensen hanya bisa membidik dengan kamera foto saja."
"Aku ini juru foto profesional," kata Jensen menjelaskan. "Spesialisasiku margasatwa. Banyak majalah yang mau membeli foto-foto satwa liar yang asli dengan harga tinggi."
"Seperti binatang buas saja," tukas Mr. Smathers, "hidup dari makhluk lain."
"Tapi aku kan cuma memotret mereka saja, bukan membunuh," bantah Jensen.
Smathers mendengus.
Sementara itu Joe Havemeyer telah selesai mengiris-iris daging panggang.
"Mr. Smathers datang kemari, karena ingin mengembara jalan kaki ke gunung," katanya pada Hans, Konrad, serta anak-anak. "Aku lantas mendapat ilham karenanya. Di atas lereng tempat bermain ski ada padang rumput. Dan di sebelah atasnya lagi terbentang hutan belantara yang sangat luas. Kami akan berusaha menarik para penggemar olahraga jalan kaki untuk datang kemari dalam musim panas. Kami akan mengiklankan hidangan masakan yang enak, serta tempat beristirahat yang nyaman, di tengah-tengah alam lingkungan yang masih asli."
Mr. Smathers berhenti sebentar makan kecambah.
"Jika itu Anda lakukan, maka dengan cepat lingkungan yang Anda iklankan itu takkan asli lagi," katanya. "Beberapa gelintir pelancong saja takkan mengusik ketenangan burung dan beruang," kata Havemeyer. "Beruang-beruang daerah sini sama sekali tidak takut manusia."
"Alaa-hanya karena kemarin malam ada yang mengacak-acak tong sampah..." kata Mr. Smathers. "Sampah sampai berserakan ke mana-mana," tukas Havemeyer.
"Bukan salah mereka," balas Smathers. "Tahun ini terlalu kering. Tidak banyak makanan yang bisa mereka temukan di atas gunung. Jadi mereka terpaksa turun ke desa. Tapi siapa sebenarnya yang lebih besar haknya? Beruang-beruang itu sudah hidup di kawasan ini, jauh sebelum di sini ada desa."
"Kalau beruang pada umumnya, itu memang benar. Tapi beruang yang kemarin malam, tidak!" tukas Havemeyer. "Awas-kalau ia berani datang lagi!"
"Barbar!" seru Smathers.
Anna memukulkan tangannya yang terkepal ke meja.
"Sudah, cukup!" teriaknya. "Malam ini kita berpesta merayakan pernikahanku! Aku tidak suka pesta ini dirusak pertengkaran!"
Semua menjadi tidak enak. Semua membisu. Jupe mencari-cari bahan pembicaraan yang rasanya takkan memancing pertengkaran baru. Ia teringat, tadi sore melihat ada lubang galian di belakang losmen.
"Anda berniat membangun tambahan pada losmen?" tanyanya pada Anna. "Tadi kulihat di belakang ada lubang galian. Apakah itu untuk pondasi bangunan baru?"
"Untuk kolam renang," kata Havemeyer.
"Kolam renang?" Hans mengulangi kalimat itu dengan nada heran. "Kalian hendak membuat kolam renang di sini? Mana mungkin ada yang mau berenang! Hawa di sini terlalu dingin."
"Tapi saat tengah hari, kadang-kadang bisa sangat panas," kata Havemeyer. "Kecuali itu, airnya akan kami hangatkan. Jadi nanti dalam iklan, kami tidak hanya akan membanggakan alam lingkungan yang masih asli, tapi juga kemungkinan untuk berenang menghilangkan lelah sehabis mengembara. Mungkin juga kolam renang itu akan kami beri atap, sehingga bisa dipakai sewaktu musim dingin. Bayangkan-main ski dan berenang, pada hari yang sama!"
"Rencana Anda tidak setengah-setengah rupanya," kata Mr. Jensen. Jupe agak kaget, karena orang itu mengucapkannya dengan nada agak tajam.
"Anda kurang senang?" tukas Havemeyer.
Tapi sebelum Jensen sempat menjawab, terdengar bunyi berisik di belakang rumah. Bunyi tong sampah terguling. Havemeyer mendorong kursinya ke belakang, lalu cepat-cepat mendatangi lemari dinding rendah yang terdapat di bawah tangga yang menuju ke tingkat atas. "Jangan!" teriak Smathers.
Sementara itu Havemeyer sudah berpaling. Tangannya memegang sepucuk senapan yang kelihatannya mahal. "Jangan!" seru Mr. Smathers sekali lagi. Ia cepat-cepat lari ke arah dapur.
"Jangan ikut campur, Smathers!" Havemeyer bergegas mengejar orang itu, diikuti oleh Hans, Konrad, dan juga anak-anak. Mereka masih sempat melihat Smathers membuka pintu belakang. "Pergi!" seru orang itu ke luar. "Cepat bersembunyi! Jangan kemari!"
Havemeyer mencengkeram lengan laki-laki bertubuh kecil itu, lalu menyentakkannya ke samping. Jupe dan kedua temannya sempat melihat sekilas sosok gelap sesuatu bertubuh besar yang lari ke arah pepohonan yang membatasi sisi bawah lereng tempat main ski. Kemudian penglihatan mereka terhalang oleh tubuh Havemeyer, yang berdiri di tengah pintu. Ia membidikkan senapannya. Sesaat kemudian terdengar bunyi desingan lembut.
"Sialan!" tukas Havemeyer.
"Meleset kan?" kata Mr. Smathers. Kedengarannya ia senang.
Havemeyer berbalik, masuk lagi ke dapur.
"Anda ini perlu kuhajar!" katanya pada Smathers.
Pete memegang lengan Jupe, mengajaknya ke ruang duduk depan.
"Kaulihat senapannya?" bisiknya sebelum kembali ke meja makan.
Jupiter mengangguk.
"Senapan pembius," katanya lirih. "Aneh- untuk apa menembak beruang dengan senapan pembius? Padahal kan ada senapan buru?"

Bab 3
TAMU TAK DIUNDANG

JUPITER sudah berbaring di dalam kantung tidurnya. Ia menatap ke dalam gelap, sambil menggerak-gerakkan jari-jari kakinya.
"Ada kasus baru lagi untuk Trio Detektif," katanya.
Bob berbaring di sebelah Jupiter. Ia membalik tubuh, lalu menegakkannya sedikit dengan bertelekan pada siku. "Apakah kita akhirnya diminta mencarikan anak kunci Anna?" tanyanya.
"Tidak. Sehabis makan tadi, Hans dan Konrad minta padaku agar kita mengadakan penyelidikan mengenai suami Anna. Mereka berperasaan tidak enak tentang Joe."
Pete, yang berbaring di sebelah Bob, menguap keras-keras.
"Aku pun begitu pula," katanya. "Ada sesuatu yang tidak beres dengan orang itu. Maksudku, kita tadi siang kan cuma melihat kantor saja. Tapi reaksinya-bisa dibilang mengancam hendak membunuh kita."
"Dan ia menggunakan senapan pembius untuk mengusir beruang," kata Jupiter. "Itu kan aneh! Lagi pula, untuk apa ia punya senapan pembius? Tapi bukan urusan senapan yang menyebabkan perasaan Hans dan Konrad tidak enak, melainkan kolam renang. Mereka khawatir, jangan-jangan sepupu mereka yang rajin dan selalu praktis, ternyata menikah dengan pria yang akan menghambur-hamburkan uangnya untuk membiayai proyek yang konyol-konyol. Kurasa harus kita akui, kolam renang bukan suatu tambahan yang menguntungkan bagi losmen yang kamar tamunya cuma tiga. Pemasukan takkan bisa menutup biaya pembuatannya.
"Hans dan Konrad juga merasa tidak enak, karena Havemeyer tidak punya pekerjaan tetap. Menurut mereka, orang seumur dia harus bekerja. Ketika ia membantu mereka membawa barang-barang mereka ke dalam rumah, ia bercerita bahwa ia mewarisi harta dari keluarganya, dan sebelum bertemu dengan Anna ia tinggal di Reno. Mobil sport merah yang diparkir di pelataran itu miliknya. Nomornya keluaran negara bagian Nevada. Jadi soal itu tidak perlu kita teliti lagi."
"Lalu apa yang kita kerjakan?" tanya Pete. "Pergi ke Reno, lalu berbicara dengan para tetangganya yang dulu?" "Kurasa itu tidak perlu," kata Jupe. "Bob, ayahmu punya kenalan di Reno?"
Ayah Bob wartawan suatu surat kabar yang terbit di Los Angeles. Banyak wartawan kenalannya di berbagai kota di kawasan Barat.
"Reno?" kata Bob. "Tidak, sepanjang ingatanku, Ayah tidak pernah menyebut-nyebut kenalan yang tinggal di kota itu. Tapi aku bisa minta padanya agar menghubungi biro kredit di Reno, untuk minta laporan tentang Havemeyer. Jika orang itu pernah mengambil kredit jenis apa pun juga, biro kredit pasti akan punya data mengenai dirinya. Kata Ayah, dari data-data itu bisa diperoleh banyak keterangan mengenai orang-orang. Di bank mana saja mereka punya simpanan, berapa banyak uang mereka yang ditaruh di situ, apakah mereka menepati waktu dalam membayar tagihan - pokoknya hal-hal seperti itulah."
"Bagus," kata Jupiter. "Besok kita menelepon ayahmu." Ia duduk, lalu menyingkapkan penutup tenda. "Joe Havemeyer sedang di kantor Anna sekarang," katanya.
"Kurasa ia tidak perlu menaati tulisan 'Dilarang Masuk' yang terpasang di pintu," kata Pete. Ia ikut duduk, lalu mengintip ke luar.
Lewat jendela kantor yang tidak bertirai, anak-anak bisa melihat suami Anna. Orang itu duduk menghadap meja tulis, membelakangi jendela. Ia sedang menyortir kertas-kertas korespondensi, dan memasukkannya ke dalam map-map.
"Ia membereskan kertas-kertas yang berantakan," kata Pete. "Aneh-kenapa bukan Anna yang melakukannya. Katanya, wanita itu sangat rapi!!"
"Terus terang saja, aku agak kecewa pada Anna," kata Jupe. "Dan kurasa Hans dan Konrad juga begitu. Anna nampaknya tidak begitu senang, ketika Havemeyer mengajak mereka menginap di losmen. Anna juga tidak mau berbahasa Jerman dengan mereka. Pada hakikatnya, ia tidak banyak berbicara dengan kedua sepupunya. Ia membiarkan suaminya saja yang berbicara."
"Reuni keluarga tidak selalu berlangsung seperti diharapkan," kata Pete mengomentari. Ia tadi menyusup ke dalam kantung tidurnya dengan celana jeans dan baju hangat. Sekarang ia meraba-raba dalam gelap, mencari sepatunya. "Setidak-tidaknya, kue kering buatan Anna ternyata seenak yang dikabarkan," katanya. "Aku ke dalam sebentar, ah! Mumpung Havemeyer masih bangun. Aku ingin minta segelas susu, serta makanan kecil untuk mengganjal perut."
"Dasar Pete-ingatnya cuma makan saja," kata Jupe sambil mengeluh. Tapi ia pun memasang sepatunya.
"Aku juga ikut!" kata Bob, sambil membuka kancing tarik kantung tidurnya.
"Sebentar!" kata Jupiter dengan tiba-tiba. "Suara apa itu?"
Bob dan Pete tertegun. Dari arah belakang tenda terdengar suara geraman lirih, bernada ingin tahu. "Beruang!" bisik Pete.
"Jangan bergerak," ujar Jupe memperingatkan.
Terdengar bunyi ranting patah, serta kaisan seperti bunyi buah tusam yang disepak ke samping. Kemudian anak-anak melihat beruang itu. Ia berhenti di depan tenda. Anak-anak bisa melihatnya dengan jelas, karena sosoknya diterangi sinar lampu yang memancar ke luar dari jendela kantor. Beruang itu besar - dan nampaknya lapar. Ia mengendus-endus, sambil menghadapkan kepala ke arah mereka.
"Pergi!" desis Pete dengan perasaan ngeri.
"Ssst!" kata Bob mengingatkan. "Jangan kaukagetkan dia!"
Beruang itu menatap mereka tanpa bergerak. Anak-anak tidak berani bergerak. Mereka hanya bisa memandang kembali. Tapi hanya sebentar saja perhatian beruang itu tertarik pada tenda serta ketiga penghuninya. Ia bersin, lalu berjalan dengan gerakan lamban ke sisi belakang losmen.
Pete mengembuskan napas lega.
"Rupanya ia cuma ingin mencari makanan di dalam tong sampah," bisik Bob.
Beberapa detik kemudian terdengar bunyi berisik tong sampah yang digulingkan. Anak-anak melihat Joe Havemeyer melompat dengan cepat dari belakang meja, lalu bergegas hendak ke luar. Tapi sebelum ia sampai di pintu kantor, nampak kilatan sinar menyilaukan di belakang losmen. Sedetik kemudian terdengar suara dengkingan liar, disusul jeritan. Jeritan manusia!
Jupe dan kedua temannya bergegas ke luar dari dalam tenda, lalu lari menuju ke belakang losmen. Begitu membelok di sudut belakang, mereka masih sempat melihat sosok beruang yang gelap, lari ke atas lereng tempat main ski. Dari arah pepohonan yang terdapat di selatan losmen terdengar bunyi ranting-ranting berpatahan, seakan-akan ada seseorang-atau sesuatu- di situ yang lari pontang-panting di tengah semak.
Saat itu lampu di atas pintu belakang losmen dinyalakan. Pintu terbuka dengan cepat. Joe Havemeyer muncul bergegas-gegas di beranda belakang, dengan senapan pembius siap untuk ditembakkan. Ia memandang dengan kening berkerut ke arah anak-anak, lalu ke tong sampah yang isinya terserak di kaki tangga.
Kemudian napasnya tersentak. Ia melihat Mr. Jensen. Juru foto spesialis kehidupan alam itu tergeletak dalam posisi menelungkup, di tengah sampah yang berserakan. Orang itu memakai piama yang ditutupi dengan mantel mandi. Kamera fotonya terletak di sampingnya, hancur berantakan.
"Ada apa...?" seru Havemeyer.
"Ada tamu tidak diundang," kata Jupe. Ia membungkuk, memperhatikan juru foto yang terkapar di tanah. "Seekor beruang. Dan Mr. Jensen kelihatannya mengalami cedera!"

Bab 4
SEEKOR BERUANG-ATAU DUA?

JOE HAVEMEYER meletakkan senapannya, lalu berlutut di sisi Jensen yang tidak sadarkan diri. "Kalian melihat kejadiannya?" tanya Havemeyer pada anak-anak.
"Kami melihat seekor beruang lewat di depan tenda kami," kata Bob. "Ia menuju kemari, lalu kami mendengar bunyi tong sampah terguling. Setelah itu kami melihat kilatan cahaya, disusul suara mendengking. Setelah itu terdengar suara Mr. Jensen menjerit."
Di losmen, lampu-lampu kamar menyala semua. Anna muncul di ambang pintu.
"Joe? Ada apa?" serunya.
"Jensen," jawab Joe dengan pendek. "Ia rupanya mencoba memotret beruang. Binatang itu menyerangnya. Sebaiknya kita bawa saja ke dokter."
Saat itu Mr. Smathers muncul di ambang pintu, lalu berdiri di belakang Anna. Rambutnya yang beruban dan sudah jarang nampak acak-acakan. Mantel mandi dipakainya terbalik.
"Ada keributan apa?" tanyanya.
Hans dan Konrad ikut ke luar, lalu menuruni tangga serambi. "Ada kejadian apa di sini?" tanya Hans.
Jensen mengerang. Ia membalikkan tubuh, menarik lututnya ke dada, berusaha duduk. Havemeyer duduk di tangga. Tampangnya ketakutan sekali. Tapi sekaligus juga lega. "Anda tidak apa-apa?" tanyanya pada Jensen.
Juru foto itu mengernyitkan muka, lalu meletakkan tangan kanannya ke tengkuk. "Ada yang memukul aku," katanya.
"Anda boleh mengucap syukur, karena masih bisa bernapas," kata Havemeyer. "Orang lain yang diserang beruang, tidak bisa bercerita lagi mengenai pengalaman mereka."
Jensen berlutut, lalu berdiri. Ia bersandar ke dinding rumah.
"Aku memang diserang," katanya. Ia menggeleng-geleng, seperti hendak menjernihkan pikiran. "Aku diserang- tapi bukan oleh beruang tadi. Ada orang menyelinap, lalu memukul tengkukku dari belakang."
"Ah!" kata Havemeyer dengan nada tidak percaya. "Pasti beruang itu yang memukul Anda. Ia terkejut ketika lampu blitz Anda tiba-tiba menyilaukannya. Beruang bisa cepat sekali gerakannya."
"Itu juga saya ketahui. Tapi bukan beruang yang tadi itu yang menyerangku. Aku melihatnya muncul dari jendela kamarku. Aku cepat-cepat mengambil kameraku, lalu ke luar. Saat aku sedang membidik ke arah beruang, tahu-tahu kudengar ada orang di belakangku. Saat itu lampu blitz menyala, dan tidak sampai sedetik kemudian-bukk!"
Jensen menegakkan tubuhnya, lalu menatap dengan mata terbelalak ke arah Mr. Smathers, yang berdiri di sisi Anna di beranda.
"Anda!" teriak Jensen. "Anda, dengan pikiran konyol Anda tentang binatang-Anda-lah yang memukulku tadi! Apakah Anda beranggapan aku ini melanggar hak kebebasan pribadi beruang itu?"
"Sudahlah, perasaan Anda saat ini sedang kacau," kata Havemeyer, sambil membimbing Jensen. "Kita ke dokter saja sekarang."
"Aku tidak perlu dokter. Polisi harus dipanggil kemari!"
"Mr. Jensen," kata Jupiter, sambil melangkah maju. "Bisa saja tadi ada seekor beruang lagi. Kami bergegas kemari, begitu terdengar suara Anda berteriak. Kami melihat seekor beruang lari ke atas lereng tempat main ski. Tapi kami juga mendengar bunyi sesuatu yang lari merambah semak di antara pepohonan di sebelah sana."
"Bukan beruang yang memukulku tadi!" kata Jensen berkeras, sambil memandang Mr. Smathers dengan marah.
"Bukan kebiasaanku menyakiti sesama makhluk," kata Smathers dengan sikap tersinggung. "Lagi pula, tidak mungkin aku yang memukul Anda. Aku tadi sudah di tempat tidur. Kalau tidak percaya, tanya saja pada Mrs. Havemeyer. Ia ada di serambi dalam, ketika aku ke luar dari kamarku."
Anna Schmid mengangguk.
"Itu memang benar, Mr. Jensen," katanya. "Ketika mendengar sesuatu di luar, aku dengan segera pergi melihat. Aku berada di ujung atas tangga, ketika Mr. Smathers membuka pintu kamarnya."
"Kejadiannya begitu cepat," kata Havemeyer menenangkan. "Anda tidak mungkin bisa mengingatnya dengan persis. Apalagi setelah kepala Anda kena pukul."
"Tengkuk," kata Jensen mengotot. "Tengkukku yang ditinju. Sejak kapan beruang bisa meninju?"
"Sudahlah-masuk saja dulu, nanti kita memanggil dokter," kata Havemeyer membujuk-bujuk. Ia berbicara dengan lembut, seperti menghadapi anak yang sedang marah.
"Aku tidak perlu dokter!" teriak Jensen. "Panggilkan polisi. Di sini ada penjahat, yang suka menyerang orang tak bersalah!"
"Orang tak bersalah, selarut ini mestinya sudah berbaring di tempat tidur," kata Mr. Smathers, "dan bukan menakut-nakuti makhluk lain dengan jepretan lampu blitz kameranya!"
"Kameraku!" Dengan cepat tangannya bergerak, hendak mengambil bekas-bekas kameranya yang tergeletak di tanah. "Nah, hebat!" Dipungutnya dua bagian yang sudah terlepas, lalu dipandangnya dengan marah gulungan film yang tergantung-gantung. "Perusak!" seru Jensen. Tuduhan itu rasanya seperti diarahkan pada Mr. Smathers.
"Kamera jika jatuh, tentu saja rusak," kata Smathers. "Dan jika Anda ingin memanggil polisi, aku dengan senang hati mau memberi keterangan, apabila mereka sudah ada di sini nanti. Tapi sementara ini aku akan masuk lagi ke tempat tidur. Jangan bangunkan, selama tidak ada alasan penting untuk itu."
Smathers masuk lagi ke rumah, meninggalkan Jensen yang masih marah-marah.
"Mr. Smathers benar," kata Havemeyer. "Memang sebaiknya kita semua tidur saja lagi." Ia menoleh ke arah Trio Detektif. "Bawa kantung tidur kalian ke dalam," katanya pada mereka. "Jangan tidur di luar, mengingat adanya beruang berkeliaran di sini."
"Itu tadi bukan beruang!" seru Jensen.
"Kalau bukan beruang, lalu apa?" balas Havemeyer. "Jupe tadi mendengar sesuatu berlari menerobos semak di bawah pepohonan yang di sebelah sana. Jadi kecuali ada seseorang dari desa yang secara tiba-tiba menjadi penjahat, mestinya itu seekor beruang yang lain. Bagaimana sekarang-kita memanggil dokter, atau tidak? Jika kita memanggil sheriff*, paling-paling ia akan mengatakan pada Anda, jangan suka berkeliaran malam-malam, karena itu mengganggu ketenangan satwa liar." (fn=kepala polisi desa)
Kata-katanya itu benar. Dan Jensen juga menyadarinya.
"Ya, ya, baiklah. Tapi aku tidak memerlukan dokter. Ia tidak perlu dipanggil." Sambil mengusap-usap tengkuk, ia naik ke serambi belakang, lalu masuk ke dapur.
Lima belas menit kemudian, Jupe dan kedua temannya sudah berbaring kembali ke dalam kantung tidur masing-masing, yang dipindahkan ke ruang duduk yang lapang. Mereka menunggu di dalam ruangan yang gelap, sampai di tingkat atas tidak terdengar apa-apa lagi. Setelah itu barulah Pete membuka mulut.
"Jensen tadi masih mujur," katanya. "Tidak banyak orang yang cuma begitu saja keadaannya, setelah diserang beruang. Tentu saja jika yang menyerangnya itu memang beruang."
"Pikiran kita serupa," kata Jupe sambil mengerutkan kening. "Mungkinkah beruang memukul orang sampai pingsan, tapi tanpa meninggalkan bekas apa-apa? Sedang kulit pada tengkuk Jensen, lecet saja pun tidak!"
"Tapi penyerangnya tidak mungkin orang dari losmen ini," kata Bob. "Hans dan Konrad, bukan kebiasaan mereka memukul orang. Joe Havemeyer ada di dalam kantor ketika peristiwa itu terjadi, sedang Anna dan Mr. Smathers saling memberi kesaksian bahwa kedua-duanya saat itu masih di dalam rumah. Biar ia mampu memanjat dinding sekali pun, mustahil Mr. Smathers bisa begitu cepat kembali ke kamarnya, sehingga Anna melihatnya ke luar dari situ lagi ketika ia hendak menuruni tangga."
"Jadi yang menyerang, kalau bukan seekor beruang lain, haruslah seseorang yang bukan dari losmen ini," kata Jupe. "Besok pagi begitu hari sudah terang, kita ke kerumunan pepohonan di sebelah selatan, ke mana penyerang tak dikenal tadi lari setelah memukul Mr. Jensen. Iklim selama ini memang kering, tapi lingkungan pepohonan itu mestinya cukup lembab, sehingga jejak orang yang lari di situ akan nampak di tanah. Siapa pun yang memukul Jensen, jejaknya mestinya nampak di situ. Setelah melihatnya, kita akan bisa tahu apakah yang memukul itu beruang - atau manusia."

Bab 5
ANAK KUNCI YANG HILANG

JUPITER terbangun, karena lengannya digoyang-goyangkan oleh Pete. "Kita terlambat," kata Pete. "Keluarlah dari kantung tidurmu, lalu lihat sendiri." Jupiter duduk. Ruangan itu masih remang-remang. "Joe Havemeyer mendului kita," kata Pete lagi.
Bob yang berbaring di samping Jupiter membalikkan tubuh, lalu menggeliat. "Mendului kita? Apa yang dilakukannya?" tanyanya.
"Kita tidak bisa lagi memeriksa pekarangan belakang untuk mencari jejak beruang, atau jejak manusia, atau jejak apa saja," kata Pete memberi tahu. "Lihat saja sendiri. Kalau cuma kuceritakan, kalian pasti takkan percaya."
Bob dan Jupe berdiri, lalu mengikuti Pete ke dapur. Pete menuju ke jendela dekat tempat masak, lalu menuding ke luar.
"Menarik," kata Jupe mengomentari.
"Wah, itu kan... edan!" kata Bob kaget. Ia memandang dengan kening berkerut, memperhatikan suami Anna, yang saat itu sedang menyapu pekarangan belakang.
"Tadi ia sudah menyapu di bawah pepohonan," kata Pete. "Ketika kalian kubangunkan, ia baru saja selesai di sana."
"Hmm." Jupiter merenung. "Nampaknya ia dengan sengaja hendak menghapus jejak-jejak yang mungkin ada dari penyerang Mr. Jensen. Aneh sekali." Ia melangkah ke pintu, membukanya, lalu muncul di serambi dengan kaki yang hanya terbungkus kaus. Ia menyapa dengan riang, "Selamat pagi!"
Joe Havemeyer nampak agak terkejut. Tapi kemudian ia tersenyum.
"Pagi," balasnya. "Bagaimana-bisa tidur enak, setelah ribut-ribut itu?"
"Nyenyak sekali," kata Jupiter. "Pagi-pagi begini Anda sudah bangun," sambungnya, sambil menatap sapu di tangan orang itu.
Havemeyer menegakkan kembali tong sampah yang terguling, lalu menyapu kotoran yang terserak di sekitar tangga serambi, mengumpulkannya menjadi tumpukan rapi.
"Banyak yang harus dikerjakan," katanya pada Jupe. "Sampah yang berserakan ini harus dibersihkan, karena kalau tidak pasti akan banyak sekali beruang datang kemari. Lalu sehabis sarapan nanti, aku akan meneruskan pekerjaan membuat kolam renang. Pakailah sepatu kalian dulu-nanti kutunjukkan!"
Sampah yang sudah disapu dimasukkannya ke dalam tong, yang kemudian ditutup. Setelah itu ia naik ke serambi.
Jupe mengikuti Havemeyer, masuk ke dapur. Bob dan Pete berdiri di dekat tempat cuci piring, dengan lagak seperti baru bangun.
"Pagi," kata Havemeyer menyapa mereka. "Kalian mau ikut melihat kolam renang yang sedang kubuat?"
Anak-anak memakai sepatu, lalu mengikuti orang itu ke lubang galian yang letaknya sekitar lima belas sampai dua puluh meter di belakang rumah.
"Penggalian ini dilakukan oleh beberapa orang yang kudatangkan dari Bishop, dengan alat-alat berat," kata Havemeyer. "Papan cetakan akan kupasang sendiri, dan aku sendiri pula yang akan menuangkan beton. Tapi jika penggalian kulakukan sendiri, bisa-bisa setahun penuh aku sibuk dengan pekerjaan itu."
"Ya, memang," kata Pete, sambil memandang ke dalam lubang. "Dalamnya paling sedikit tiga meter!"
"Empat," kata Havemeyer.
"Tapi tidak ada tempat yang dangkal," kata Pete.
"Ya, betul," kata Havemeyer.
Kening Pete berkerut.
"Belum pernah kulihat kolam renang seperti ini," katanya. "Jika tidak ada bagian yang dangkal, lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak bisa berenang, tapi ingin berendam saja di dalam air?"
"Kau kelihatannya mengerti tujuanku," kata Havemeyer. "Orang yang tidak bisa berenang, tidak bisa mempergunakan kolam ini. Aku pernah melihat seseorang yang tidak bisa berenang terpeleset di dalam kolam renang. Itu tidak lucu."
"Ah," kata Pete.
Saat itu terdengar suara Hans dan Konrad menyapa dengan riang dari arah rumah. "Kami ada di sini," seru Havemeyer membalas.
Kedua pemuda Jerman bersaudara itu bergegas menuruni tangga serambi, lalu datang menghampiri. "Wah," kata Hans ketika melihat lubang galian. "Kolam renang, ya?" katanya. Ia menunjukkan sikap seseorang yang sudah bertekad hendak tetap ramah. "Ya, kolam renang," kata Havemeyer. "Kau sendiri yang akan membuatnya?" tanya Konrad. Havemeyer mengangguk.
"Membuat kolam renang bukan pekerjaan enteng," kata Hans. "Saat ini kami sedang cuti. Kami akan membantu."
"Jangan, jangan," kata Havemeyer buru-buru. "Kalian kan sedang berlibur di sini. Aku tidak ingin kalian..."
"Apa salahnya dalam memanfaatkan masa cuti sambil membantu suami sepupu kami?" kata Konrad. Kata-kata yang diucapkannya terdengar ramah, tapi nadanya sangat tandas. Seolah-olah menegaskan bahwa ia tidak mau dibantah.
Havemeyer mengangkat bahu, lalu mulai menjelaskan rencana pembuatan kolam renang yang diniatinya pada Hans dan Konrad. Sementara itu anak-anak kembali ke losmen dengan santai.
"Dengan membantu membangun kolam renang, Hans dan Konrad kini punya alasan untuk tetap berada di sini serta mencari keterangan lebih banyak tentang Joe Havemeyer," kata Jupe dengan suara pelan.
"Aku sangsi, apakah otak orang itu beres," kata Pete dengan tegas. "Maksudku, belum pernah kulihat kolam yang tidak ada bagian dangkalnya."
Sarapan pagi itu berlangsung dalam suasana tidak enak. Mr. Jensen makan sambil membisu terus. Ia bahkan tidak mau memandang ke arah Mr. Smathers. Sedang Mr. Smathers secara menyolok menolak ketika disuguhi telur. Ia bahkan nampak ngeri, ketika Anna masuk dengan membawa piring berisi sosis. Anna sendiri hanya sedikit sekali makannya. Ia duduk sambil memutar-mutar cincin kawin yang terpasang di jarinya. Ia sibuk menyuruh-nyuruh agar ada yang mau tambah. Havemeyer menolak. Kemudian ia pergi ke luar bersama Hans dan Konrad, untuk memulai pekerjaan membuat kolam renang. Mr. Smathers mengambil sebuah roti bundar yang empuk, tapi memasukkannya ke dalam kantung kemeja. Setelah itu ia keluar, lalu berjalan menuju ke arah tempat perkemahan. Selesai sarapan, Mr. Jensen mengucapkan terima kasih dengan nada masam pada Anna, lalu mengatakan hendak pergi ke Bishop, karena ada urusan di sana.
Anna memandang dengan sedih, memperhatikan makanan yang tersisa.
"Rupanya pagi ini tidak ada yang merasa lapar," katanya pada anak-anak.
"Semuanya enak sekali," kata Jupiter cepat-cepat. "Saya jadi teringat pada Bibi Mathilda."
"Bibi Mathilda?" kata Anna. "O, ya-nyonya yang begitu baik pada Hans dan Konrad."
"Ia juga pintar masak," kata Jupiter.
"Lihat saja potongan Jupiter," sela Pete sambil tertawa kecil.
"Aku dan Bibi Mathilda akan melakukan diet," kata Jupe, "begitu aku sudah ada lagi di Rocky Beach." Bob tertawa.
"Itu cerita lama," katanya. "Aku baru mau percaya kalau sudah melihatnya, Baby Fatso."
"Ya deh! Ya deh!" Jupiter begitu jengkel, sampai ia nyaris berteriak.
"Baby Fatso?" tanya Anna. "Aku rasanya seperti pernah mendengar nama itu."
"Jika Anda gemar menonton acara larut malam di televisi, ada kemungkinan Anda akan melihat Jupe. Dia ini semasa kecilnya bintang film yang sangat terkenal."
"Begitu, ya. Hans dan Konrad tidak bercerita apa-apa tentang itu dalam surat-surat mereka padaku." Wajah Anna tiba-tiba bertambah cerah. "Mereka selalu bercerita bahwa kalian ini anak-anak pintar, yang pandai menyelidik."
"Anda sudah melihat kartu nama kami," kata Jupe dengan kaku. Ia masih agak sakit hati, karena sehari sebelum itu tawarannya ditolak mentah-mentah.
"Kartu nama kalian? Ya, betul juga-dan ternyata reaksiku kemarin terlalu terburu-buru. Aku sudah ke mana-mana mencari anak kunci yang hilang itu, tapi belum juga ketemu. Padahal itu penting sekali. Barangkali kalian bisa menemukannya untukku."
"Anda berniat mengontrak Trio Detektif?" tanya Jupiter.
"Mengontrak?"
"Maksud Jupe, Anda menugaskan kami untuk mencari anak kunci yang hilang itu," kata Bob menjelaskan. "Kami kadang-kadang memang minta bayaran untuk jasa kami, tapi kali ini tidak. Kami di sini kan menumpang di rumah Anda-dan masakan Anda enak sekali."
"Jauh lebih nikmat daripada makanan kalengan yang kami beli, ketika kami mengira akan tinggal di tempat perkemahan selama berlibur," kata Pete.
"Terima kasih." Anna tersenyum. "Mengontrak. Ya, aku ingin mengontrak kalian, guna menemukan anak kunci itu. Urusan ini benar-benar konyol. Soalnya begini. Sewaktu aku berangkat dari sini untuk pergi ke Danau Tahoe, aku tidak ingin membawa-bawa anak kunci itu. Karenanya lantas kusimpan di suatu tempat yang sulit diketahui orang lain. Payahnya-sekarang aku sendiri tidak ingat di mana tempat itu."
"Anak kunci itu seperti apa bentuknya?" tanya Jupiter.
"Kecil-seperti ini." Dengan meregangkan ibu jari dan telunjuknya, Anna menunjukkan ukuran benda yang panjangnya sekitar lima senti. "Anak kunci itu untuk membuka peti besiku."
"Jadi memang penting," kata Pete. "Tapi kenapa tidak Anda hubungi saja bank, dan melaporkan bahwa anak kunci itu hilang? Mereka tentunya bisa memberikan duplikatnya."
"Ayahku pernah kehilangan anak kunci peti besinya yang di bank," kata Bob. "Ia sama sekali tidak mengalami kerepotan karenanya. Ia memang harus menghubungi seorang petugas di banknya, dan kalau tidak salah mereka harus mengganti kunci peti besinya. Untuk itu memang diminta bayaran-tapi bayarannya tidak terlalu tinggi."
"Aku malu," kata Anna. "Orang bank di Bishop sangat menaruh hormat padaku. Mereka tahu aku ini orang yang sangat teliti, dan ketika aku membutuhkan uang untuk membeli lift guna mengangkut para pemain ski, mereka langsung memberi pinjaman padaku. Karenanya aku tidak ingin pergi ke bank dan mengakui kecerobohanku, sehingga anak kunci yang begitu penting artinya sampai bisa hilang."
"Baiklah," kata Jupiter. "Rasanya Trio Detektif pasti bisa menolong Anda, supaya Anda tidak perlu merasa malu di bank. Mencari anak kunci itu bukan hal yang mustahil, karena losmen ini tidak besar. Ngomong-ngomong, di mana Anda biasanya menyimpan anak kunci itu?"
"Di dalam laci mejaku. Tapi sekarang..." Anna membentangkan kedua lengannya, dengan sikap putus asa. "Aku masih ingat bahwa waktu itu aku berpikir bahwa losmen akan kosong selama aku pergi, dan karenanya anak kunci itu harus kusembunyikan-jangan sampai diambil orang yang masuk secara diam-diam. Tapi aku tidak ingat lagi, di mana aku menaruhnya waktu itu."
"Kalau begitu kami mulai saja mencari," kata Pete. Ia mendorong kursinya ke belakang, lalu berdiri.
"Apakah sebaiknya kami mulai saja di ruang kantor?" tanya Jupiter.
"Kami sudah mencari di situ-tapi tidak ada," kata Anna.
"Tidak ada salahnya mencari sekali lagi." Air muka Jupiter memancarkan harapan. "Mungkin ada tempat yang tidak Anda teliti."
"Silakan." Anna mulai membenahi meja makan.
Anak-anak langsung masuk ke ruang kantor, di mana masih berserakan kertas-kertas serta buku-buku kas.
"Kurasa kita cuma akan membuang-buang waktu saja di sini, Jupe," kata Pete. "Ruangan ini sudah dibongkar habis-habisan oleh Anna beserta suaminya. Jarum yang tercecer pun, pasti sudah mereka temukan."
"Aku sependapat denganmu." Jupiter duduk dekat meja. Dari arah dapur terdengar bunyi piring-piring, serta air yang mengalir ke dalam bak tempat cuci piring. "Tapi ada kemungkinan kita akan bisa mengetahui apa yang sedang dilakukan suami Anna di sini kemarin malam, ketika semuanya sudah masuk ke tempat tidur. Hans dan Konrad kan meminta kita agar mencari keterangan sebanyak mungkin tentang Havemeyer. Jadi pertama-tama kita selidiki, apa yang begitu menarik perhatiannya di kantor ini."
Jupe membalik-balik setumpuk kertas yang terletak di atas meja.
"Hm," gumamnya, lalu berkata, "Sepucuk surat dari Hans-dan yang ini dari Konrad. Surat ini dikirim lebih dari dua tahun yang lalu. Anna rupanya menyimpan semua surat dari kedua sepupunya."
"Tapi itu kan bukan alasan bagi Havemeyer untuk membaca sampai larut malam," kata Bob. Ia mengambil sebuah buku kas dari tumpukan di rak, lalu membalik-balik halamannya.
"Hans dan Konrad kan ada di sini sekarang," katanya lagi, "jadi jika ada sesuatu yang ingin diketahuinya tentang mereka, ia bisa menanyakannya secara langsung."
"Itu betul," kata Jupe. Ia duduk bertelekan siku sambil menarik-narik bibirnya yang sebelah bawah. Itu merupakan tanda pasti bahwa ia sedang sibuk berpikir.
"He-ini ada sesuatu," kata Bob. Didorongnya buku kas yang sedang disimaknya ke seberang meja, ke arah Jupiter. "Catatan simpanan Anna."
"Tebal sekali buku catatan banknya," kata Pete.
"Ini bukan buku bank, tapi catatan biasa tentang simpanannya di bank. Pada satu jalur tertulis jumlah uang yang dimasukkan, lalu ada jalur lain untuk catatan uang yang diambil. Sedang jalur terakhir pada setiap halaman merupakan catatan jumlah uang yang ada."
Jupiter membalik-balik halaman buku catatan keuangan itu sampai kira-kira setengahnya, lalu berhenti.
"Catatan terakhir, dua minggu yang lalu," katanya pada Bob dan Pete. "Dua minggu yang lalu, Anna memasukkan 175 dolar ke tempat ia biasa menabung. Pengeluaran sama sekali tidak ada. Pada kolom terakhir tertera bahwa simpanannya berjumlah 10.823 dolar."
"Wow!" kata Pete dengan nada kagum. "Jika itu semua dalam bentuk uang tunai, maka keadaan Anna lebih baik daripada sembilan puluh persen penduduk Amerika Serikat. Data itu kudengar dalam pelajaran ilmu kemasyarakatan yang kuperoleh semester yang lalu. Sebagian terbesar dari penduduk Amerika Serikat tidak memiliki uang tunai. Bukan itu saja, tapi utang mereka pun begitu besar, sampai kalau ban mobil mereka bocor saja pun, mereka sudah akan kebingungan."
"Jadi keadaan ekonomi Anna ternyata sangat memuaskan," kata Jupe dengan gayanya yang sok tua. "Kita harus secepat mungkin berhasil menemukan anak kunci itu. Kemudian kita pergi ke tempat telepon di desa, lalu menghubungi ayahmu, Bob. Aku ingin sekali tahu, apakah biro kredit di Reno memiliki data tentang Havemeyer."
"Menurutmu, ia mungkin hendak berusaha menguasai duit yang dimiliki Anna?" tanya Pete.
"Kemungkinan itu ada! Yang jelas, Hans dan Konrad berpendapat begitu. Dan nampak jelas pula bahwa Hans dan Konrad menyebabkan Havemeyer merasa kikuk. Ia tidak senang, ketika mereka memutuskan untuk memanfaatkan masa cuti mereka di sini dengan membantunya membuat kolam renang. Dan reaksi itu aneh. Kolam renang itu sendiri juga aneh. Lalu kesibukan Havemeyer pagi-pagi sekali, menyapu pekarangan. Lalu senapan buru. Semuanya serba aneh- tidak bisa dimengerti."
Tiba-tiba Jupiter mengangkat tangannya, memberi isyarat agar pembicaraan jangan diteruskan. Anak-anak mendengar langkah orang berjalan di ruang duduk. Beberapa detik kemudian Anna Schmid muncul di ambang pintu kantor.
"Nah, bagaimana?" katanya dengan nada bertanya.
"Anda tadi benar," jawab Jupiter. "Anak kunci itu tidak ada di sini."
"Kami akan melanjutkan pencarian ke seluruh ruangan di losmen ini," kata Bob. "Apakah Mr. Smathers dan Mr. Jensen tidak akan merasa keberatan jika kami nanti juga mencari di dalam kamar-kamar mereka? Mungkinkah Anda menyembunyikan anak kunci itu di dalam kamar tamu?"
"Itu mungkin saja," jawab Anna. "Soalnya, ketika aku pergi untuk menikah, kedua kamar itu sedang kosong. Tapi jangan kalian sentuh barang-barang mereka. Kecuali tidak perlu, mereka pun pasti akan sangat marah jika barang mereka diperiksa."
"Tidak, kami takkan menyentuh barang-barang mereka," kata Jupe sambil berdiri. "Bagaimana jika kamar ini kami rapikan kembali?"
"Lebih baik aku saja yang melakukannya," kata Anna. "Kalian tidak akan tahu, ke mana masing-masing barang seharusnya diletakkan."
"Baiklah." Jupiter melangkah hendak meninggalkan ruangan. Tapi ketika sudah hampir sampai di pintu ia tiba-tiba berhenti. Rupanya seperti ada sesuatu yang saat itu melintas dalam ingatannya.
"Anda memakai buku cek Anda belakangan ini?" tanyanya pada Anna. "Soalnya saya tidak melihat buku cek di antara tumpukan yang terserak di atas meja maupun di lantai."
"Aku tidak punya buku cek," kata Anna. "Aku selalu membayar dengan uang tunai."
"Untuk apa saja?" Jupiter nampak tercengang. "Tidak berbahayakah itu? Maksud saya, menyimpan uang sebanyak itu di dalam rumah?"
"Uangku yang di sini tidak banyak," jawab Anna. "Uang tabunganku kutaruh di bank, di dalam peti besi. Itulah sebabnya, kenapa anak kunci yang hilang itu begitu penting artinya. Sebentar lagi aku harus membayar sejumlah tagihan. Untuk itu aku perlu mengambil uang dari bank. Kecuali itu Joe-suamiku-juga memesan semen, untuk membuat kolam renang. Jika semen pesanan itu datang, aku ingin langsung membayarnya."
"Dengan uang tunai?" tanya Jupe.
"Itu lebih aman," kata Anna menegaskan. "Jika aku punya buku cek, itu bisa dicuri orang, lalu uangku bisa diambil dengan jalan memalsukan tanda tanganku. Tapi dengan uang tunai, yang kusimpan di sini hanya seperlunya saja. Uang itu takkan mungkin bisa dicuri orang, karena selalu kubawa ke mana saja aku pergi. Dan malam hari kusembunyikan di bawah bantal."
"Kurasa polisi pasti tidak menyetujui sistem Anda itu, Mrs. Havemeyer," kata Jupiter. "Jika segala-galanya Anda bayar dengan uang tunai, orang akan tahu bahwa Anda cukup sering membawa uang dalam jumlah besar. Bagaimana kalau Anda ditodong?"
Anna Schmid tersenyum.
"Kurasa orang yang berani mencoba, pasti akan ditembak suamiku," katanya. "Saya percaya!" kata Pete.

Bab 6
GUNUNG MONSTER

SEPANJANG pagi itu anak-anak sibuk mencari dengan cermat. Hamparan-hamparan di lantai mereka balikkan. Mereka mengintip ke bawah meja di semua kamar. Mereka meraba-raba sisi atas bingkai jendela dan pintu. Pete naik ke atas kursi, lalu menurunkan piring-piring dari rak-rak paling atas di dapur. Bob mengguncang-guncang semua botol yang ditemukan, membalik cangkir-cangkir, serta mengaduk-aduk tempat tepung dan gula dengan sendok panjang. Jupe memeriksa setiap kasau yang nampak di tingkat dua. Setelah itu ia pergi ke ruang bawah tanah, lalu menyodok-nyodok setiap celah dan relung dinding semen di situ. Sepatu-sepatu Anna dikeluarkan dari dalam lemari, lalu diperiksa. Kantung-kantung jas dan mantelnya diteliti, begitu pula isi semua tasnya.
"Anda yakin anak kunci itu Anda simpan si sini?" tanya Jupe, ketika ia serta kedua temannya menghentikan pencarian untuk makan siang. "Anda tahu pasti tidak tercecer-misalnya saja di bank, ketika Anda ke sana?"
Anna yakin.
"Aku menyerah," kata Pete dengan lesu.
"Seluruh tempat ini sudah kami periksa dengan cermat. Mana mungkin Anda menyembunyikannya dengan begitu baik, tapi sekarang tidak ingat lagi tempatnya? Itu benar-benar luar biasa!"
Anna mendesah. Diletakkannya sebuah piring besar berisi sejumlah roti panggang berisi keju ke meja.
"Sebaiknya kalian beristirahat saja dulu sekarang-dan besok baru mencari lagi," katanya mengusulkan. "Sementara itu aku akan berusaha mengingat-ingat. Aku sebenarnya sudah berusaha selama ini, tapi tetap saja tidak ingat lagi."
"Jangan dipaksa," kata Jupiter menasihati. "Bahkan jangan dipikirkan. Nanti dengan sendirinya akan teringat lagi." Anna tidak ikut makan dengan anak-anak. Ia pergi ke kantornya, lalu menutup pintu.
"Kenapa soal ini begitu diributkannya?" kata Bob. "Padahal ia kan bisa minta anak kunci lain, atau menukar kunci peti besinya dengan yang baru."
Jupiter hanya bisa mengangkat bahu. Mereka makan tanpa berbicara. Setelah itu mereka buru-buru mencuci piring, lalu pergi ke pekarangan belakang. Di situ Jupiter berdiri sambil memperhatikan tanah yang sudah disapu bersih. Kini jejak kaki yang nampak di situ berasal dari semua yang sejak pagi mondar-mandir dari losmen ke kolam renang.
"He, Jupe!"
Ternyata Hans yang memanggil. Pemuda Jerman itu berdiri di tepi lubang galian yang akan dijadikan kolam renang. Anak-anak mendengar bunyi berdebum-debum. Ada orang sedang memukul-mukul sesuatu di dasar lubang itu.
Jupe, Pete, dan Bob bergegas menghampiri, lalu memandang ke bawah. Mereka melihat Konrad di dalam lubang itu, sedang sibuk memaku papan, untuk dijadikan cetakan beton yang kemudian akan dituang.
"Ada yang berhasil kalian temukan?" tanya Hans pada anak-anak. Konrad langsung berhenti memaku. Ia menunggu jawaban.
"Kami tadi mencari anak kunci Anna yang hilang," kata Jupiter. "Tapi kami tidak berhasil menemukannya. Dan kini kami bisa memusatkan perhatian pada Havemeyer. Aku yakin, kami akan bisa memperoleh informasi mengenai dirinya. Bob masih harus menelepon dulu. Tapi mana Havemeyer?"
Hans menuding ke arah puncak lereng tempat bermain ski.
"Ia tadi naik ke atas sana, dengan membawa senapan, serta beberapa barang yang diangkut dengan ransel. Katanya, ada pekerjaan yang harus dilakukannya di padang rumput. Tapi nanti ia akan kembali lagi."
Jupiter mengajak kedua temannya pergi ke desa. Dengan segera mereka sudah sampai di pompa bensin, tempat Hans dan Konrad sehari sebelumnya menanyakan alamat Anna Schmid. Pegawai yang kemarin tidak nampak saat itu. Tempat penjualan bensin itu kelihatannya sedang tidak dibuka. Di satu sudut pekarangan pompa bensin itu ada bilik telepon. Bob masuk ke dalam, menutup pintu, lalu menelepon ayahnya di kantor redaksi surat kabar tempat ia bekerja.
"Bagaimana?" tanya Pete, ketika Bob ke luar lagi beberapa saat kemudian.
"Kita sedang mujur," kata Bob. "Ayahku sempat mengomel karena aku menelepon ketika ia sedang sibuk bekerja. Tapi kemudian dikatakannya bahwa ia punya kenalan wartawan yang tinggal di Reno. Ia akan menghubungi kenalannya itu, untuk melihat informasi apa saja yang bisa diperolehnya mengenai diri Joe Havemeyer. Aku disuruh ayahku meneleponnya lagi besok malam, di rumah."
"Lumayanlah," kata Jupiter.
Setelah itu anak-anak menuju ke arah tempat perkemahan, melewati Slalom Inn.
"Liburan ini tidak seperti yang semula kubayangkan," kata Pete. "Kita kan berniat akan berkemah, serta mengembara ke gunung dan memancing ikan. Tapi kini ternyata kita berkemah di dalam ruang duduk losmen, serta makan masakan Anna. Coba cuaca agak berkabut-rasanya seperti di rumah saja, di Rocky Beach."
"Kita bisa saja berkemah," kata Bob. "Kemah kita bisa saja kita pindahkan sore ini kemari. Tapi Hans dan Konrad, kemungkinannya takkan ikut dengan kita. Perasaan mereka terlalu gelisah, tentang suami Anna. Tapi kita bisa saja jadi berkemah."
"Tidak takut beruang?" tanya Jupiter sambil nyengir.
"Beruang yang kemarin malam itu kan tidak mengganggu kita," balas Bob. "Ia kan cuma mencari makanan saja."
"Tapi ada sesuatu yang menyerang Mr. Jensen," kata Jupiter mengingatkan. "Dan apa sebabnya Havemeyer buru-buru menyapu pekarangan belakang tadi pagi, sehingga semua jejak terhapus?"
Ketika sudah melewati tikungan jalan, ketiga remaja itu melihat tempat perkemahan di depan mereka. Tempat itu terdiri dari lima tempat api di tanah yang terbuat dari batu, serta lima meja piknik terbuat dari kayu merah. Di sebelah kanan ada kali kecil, yang saat itu hampir kering sampai ke dasarnya yang berbatu-batu. Dan di seberang tempat perkemahan itu nampak jalan setapak yang berkelok-kelok menyusur belukar.
Pete memperhatikan kali yang sudah hampir tidak berair lagi, sambil menyisir rambut dengan tangan.
"Sekarang aku mengerti maksud Havemeyer, ketika ia mengatakan di sini air merupakan masalah," katanya. "Jika kita berkemah di sini, nanti kita akan terpaksa saban kali mengambil air ke losmen."
"Itu terlalu merepotkan," kata Jupiter. "Di samping itu, aku ingin tidak terlalu jauh dari sana-setidak-tidaknya sampai kita sudah lebih banyak tahu tentang Havemeyer. Terlalu banyak hal-hal aneh menyelubungi orang itu. Dan serangan terhadap Mr. Jensen...."
"Tidak mungkin itu perbuatan Havemeyer," kata Bob. "Kita kan melihatnya di dalam kantor, saat Jensen dipukul sampai pingsan."
"Memang, tidak mungkin Havemeyer pelakunya. Tapi ada sesuatu yang tidak beres di losmen itu. Dan aku ingin tahu, apa itu!"
Saat itu terdengar bunyi gemerisik dalam semak di belakang mereka. Ketiga remaja itu kaget. "Terkejut?" tanya seseorang dengan nada geli. "Maaf deh!"
Jupiter berpaling dengan cepat. Dilihatnya pegawai pompa bensin yang kemarin muncul dari tengah semak kecil berbunga ungu. Orang itu kelihatannya sedang sibuk menjejalkan koran bekas yang kotor berlumpur ke dalam sebuah karung goni.
"Kalian agak pengejut rupanya," kata orang itu lagi. Matanya bersinar geli. "Kudengar ada beruang mengejutkan kalian di losmen tadi malam."
"Dari mana Anda tahu?" tanya Jupe.
"Mr. Jensen mampir tadi pagi, membeli bensin," kata orang itu menjelaskan. "Kulihat sikap lehernya kaku, lalu kutanyakan sebabnya. Aku senang bertanya-tanya tentang keadaan orang. Wah-Mr. Jensen tadi marah sekali. Katanya ada yang meninju tengkuknya, ketika ia hendak memotret seekor beruang."
"Sepanjang pengetahuan kami, memang itulah yang terjadi," kata Bob. "Menurut Mr. Havemeyer, yang menyerang itu kemungkinannya seekor beruang lain."
"Aneh-ada beruang yang begitu kelakuannya," kata orang itu. "Tapi entahlah, siapa tahu! Yang jelas, tahun ini memang banyak beruang berkeliaran masuk ke desa. Itu selalu terjadi saat-saat musim kering yang lama. Beruang-beruang itu mencari makanan yang tersisa di dalam tong-tong sampah. Aku selalu membiarkan mereka berkeliaran. Karenanya aku juga tidak pernah diganggu."
Orang itu memperhatikan tempat perkemahan.
"Nah, begini kan lebih pantas kelihatannya," katanya kemudian. "Minggu lalu ada pasangan dari kota datang kemari. Wah, mereka itu joroknya bukan main! Di mana-mana nampak kertas berserakan. Kulit jeruk seenaknya saja dibuang ke kali."
"Anda bertanggung jawab atas kebersihan tempat perkemahan ini?" tanya Bob.
"Sebenarnya tidak," kata pegawai pompa bensin itu, "tapi tempat perkemahan ini boleh dibilang satu-satunya daya tarik di sini selama musim panas. Dan bagiku perlu ada orang datang membeli bensin di tempatku. Orang-orang yang gemar berkemah biasa saling memberi tahu tentang keadaan di berbagai tempat perkemahan. Jika tempat ini mendapat nama buruk, bisa jadi aku kemudian akan terpaksa menutup pompa bensin mulai bulan Mei sampai saat salju turun lagi. Kalau itu kulakukan, lalu aku harus hidup dari apa?"
"Betul juga kata Anda," kata Bob.
"Ngomong-ngomong, namaku Richardson," kata orang itu. "Lengkapnya Charlie Richardson. Tapi orang sini biasa menyapaku dengan panggilan Gabby-Pengoceh." Orang itu tertawa geli. "Kenapa, ya, aku disebut begitu?"
"Ya, aku juga heran," kata Pete sambil tertawa. Ia mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. "Namaku Pete Crenshaw, dan dia ini Jupiter Jones. Sedang yang berkaca mata itu Bob Andrews."
Gabby Richardson bersalaman dengan mereka.
"Kalian hendak pindah dan berkemah di sini?" tanyanya. "Ketika lewat di depan losmen Anna tadi, kulihat tenda kalian terpasang di bawah pepohonan."
"Tadi malam kami tidur di dalam rumah," kata Jupe. "Mr. Havemeyer mengatakan itu lebih aman, setelah beruang datang mengacak-acak isi tong sampah."
Gabby Richardson tertawa.
"Jelas sekali suami Anna Schmid belum begitu lama di Gunung Monster," kata Gabby Richardson. "Masa, baru ada satu dua beruang saja sudah ngeri."
"Gunung Monster?" kata Pete mengulangi.
"Yep," kata Gabby membenarkan. "Yah-demi para wisatawan, mungkin lebih baik kusebut Gunung Lofty, seperti yang tertera secara resmi di dalam peta. Tapi sewaktu aku masih anak-anak, dan baru ada lima keluarga bertempat tinggal di sini, kami menamakannya Gunung Monster." Ia menuding ke sebuah menara pengawas yang hanya nampak samar, jauh di atas lereng sebelah utara. "Kalian lihat menara pengamat kebakaran yang di atas sana itu? Sekarang sudah tidak dipakai lagi. Tapi dulu ketika masih ada penjaga di situ, nama resminya Menara Gunung Monster."
Pete duduk di bangku dekat salah satu meja piknik.
"Apa sebabnya dinamakan begitu?" tanyanya ingin tahu.
Gabby datang menghampiri, lalu duduk di sebelahnya. Ia duduk sambil bersandar ke meja.
"Waktu aku masih anak-anak," katanya, "kaum dewasa suka bercerita bahwa di atas gunung ada monster-monster. Makhluk-makhluk raksasa yang hidupnya di dalam gua, dan suka makan anak-anak kecil yang masih suka berkeliaran di luar apabila hari sudah gelap."
Bob tertawa mendengarnya.
"Kedengarannya seperti cerita seorang ibu yang menakut-nakuti anaknya, agar mau menurut," katanya.
"Mungkin juga," kata Richardson membenarkan, "tapi waktu itu kami percaya seratus persen. Dan apa yang tidak diceritakan kaum dewasa, kami sendiri yang menambah-nambahkan. Kami saling membuat teman ketakutan setengah mati dengan cerita-cerita tentang makhluk-makhluk menyeramkan yang suka ke luar malam-malam saat bulan
purnama, gentayangan di sekitar rumah mencari jalan untuk bisa masuk. Dulu di sini pernah tinggal seorang pemburu binatang liar. Ia bersumpah, pernah melihat jejak kaki semacam makhluk yang besar di salju, jauh di atas-di dekat sungai es. Menurut pemburu itu, yang dilihatnya itu jejak kaki manusia yang tidak memakai alas kaki. Tapi itu omong kosong. Mana mungkin ada orang bisa berkeliaran di atas salju tanpa alas kaki? Jari-jari kakinya pasti beku." "Kedengarannya kalian dulu senang ditakut-takuti seperti begitu," kata Pete.
"O, ya-tapi kami juga tidak berani berada di luar jika hari sudah gelap. Aneh! Pertapa itu mestinya terpengaruh karena cerita-cerita yang pasti juga diketahuinya. Tapi kenyataannya tidak begitu."
"Pertapa?" Bob duduk di atas batu, di dekat meja piknik yang disandari Richardson. "Tadi monster, dan sekarang pertapa. Mengasyikkan sekali masa kanak-kanak Anda!"
"Ketika aku masih anak-anak, pertapa itu belum ada," kata Richardson. "Ia baru kemari tiga... ah, tidak, empat tahun yang lalu. Ia naik ke atas gunung dengan berjalan kaki dari Bishop, sambil memanggul bungkusan. Orangnya masih muda-Sekitar dua puluh lima sampai tiga puluh tahun umurnya. Ia datang saat musim panas. Waktu itu sedang tidak begitu banyak orang datang kemari. Jadi ketika kulihat dia berdiri di tengah jalan dengan tampang seperti kebingungan, aku lantas bertanya padanya apakah aku bisa membantu. Ia mengatakan, ia mencari tempat yang cocok untuk bersemadi. Kukatakan padanya, di Sky Village sini tidak ada gereja. Tapi ternyata bukan itu yang dicarinya. Ia mencari tempat di mana ia bisa duduk dengan khusyuk, sehingga jiwanya bisa menyatu dengan jagat raya."
"Yah-menurutku, apa salahnya jika ada orang menginginkan itu. Lantas kukatakan padanya, coba saja di padang rumput sebelah atas lereng tempat bermain ski. Saat musim panas, jarang ada orang datang ke sana. Kusangka ia hanya ingin duduk mengheningkan cipta selama satu sore saja di sana. Tapi dugaanku itu keliru. Ia ternyata membangun pondok kecil di atas sana. Ia membeli bahan bangunan untuk itu di desa. Tapi tidak pernah turun untuk membeli makanan. Kurasa ia makan buah-buahan hutan, seperti beruang-atau biji-bijian, seperti bajing."
"Kembali ke penghidupan asli, rupanya," kata Bob. "Lalu apa yang terjadi dengan dia?"
"Yah," kata Gabby Richardson, "menurut pendapatku pribadi, orang jika begitu lama menyendiri, pikirannya pasti akan kacau. Pertapa muda itu tidak pernah mau berbicara dengan siapa pun juga. Jika ada orang datang, ia langsung mengurung diri di dalam pondoknya. Ia mampu bertahan selama tiga bulan. Kemudian, pada suatu hari ia turun ke desa. Aku sendiri tidak melihatnya. Tapi Jeff, yang biasa membantu-bantu di pasar apabila tempat itu sedang buka, ia mengatakan bahwa orang muda itu berlari-lari turun sambil berteriak-teriak mengatakan di padang rumput ada monster. Sambil berteriak-teriak begitu, pertapa itu lari terus, menuju ke arah Bishop."
Pete bergidik.
"Setelah itu Anda tidak pernah melihatnya lagi?" tanyanya. "Tidak," jawab Richardson.
Jupiter menatap ke arah puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi di depan mata. "Monster," gumamnya. "Hmm-aku ingin tahu...." Richardson meluruskan duduknya sambil mendengus.
"Kalian jangan terlalu serius menanggapinya," kata orang itu. "Pemuda itu begitu lama hidup menyendiri di atas sana, sampai akhirnya merasa melihat yang bukan-bukan saja. Semua orang akan begitu. Tidak baik, jika hidup selalu menyendiri." Gabby berdiri. "Jika kalian ingin berkemah di sini, berkemah sajalah dengan tenang. Jangan khawatir tentang monster! Sedang beruang takkan mengapa-apakan kalian, jika tidak diganggu. Yang penting, jangan meninggalkan makanan secara sembarangan di luar."
Setelah itu dipanggulnya karung yang berisi kertas-kertas sampah, lalu melangkah ke jalan yang menuju ke desa. Di ujung perkemahan ia berhenti sebentar, lalu berpaling.
"Dan jangan membuang sampah sembarangan!" serunya mengingatkan.
"Pasti tidak!" kata Bob berjanji.
Pegawai pompa bensin itu meneruskan langkah. Beberapa menit kemudian, ia sudah tidak kelihatan lagi.
"Gunung Monster," kata Bob. "Itu pasti cuma dongeng bikinan orang-orang dewasa saja, yang ingin agar anak-anak mereka mau menurut. Tidak mungkin di sini ada makhluk-makhluk misterius seperti itu. Sierra Nevada kan bukan pegunungan Himalaya! Daerah sini kan sudah sering dilewati iring-iringan pengangkut barang sejak zaman dulu. Banyak sekali wisatawan dan orang-orang berkemah yang..."
"Tapi tidak ke semua tempat," kata Jupiter memotong. "Daerah pegunungan ini sangat luas. Masih banyak tempat yang belum pernah didatangi pengembara dan orang-orang yang hendak berkemah."
"Hih-kau ini membuat aku seram saja, Jupe," kata Pete sambil bergidik. "Apakah kau hendak mengatakan, yang dilihat pertapa itu benar-benar monster?"
"Cerita yang sangat tidak masuk akal pun, biasanya mengandung kebenaran-walau hanya sedikit saja," kata Jupiter Jones. "Kecuali kisah tadi merupakan isapan jempol Gabby saja, kita bisa berasumsi bahwa pertapa yang diceritakannya itu benar-benar ada, dan pertapa itu melihat sesuatu yang menyebabkan ia ketakutan, dan-"
"Ssst!" desis Bob. Sikapnya nampak tegang. Ia memandang ke seberang kali. "Ada orang di sana!"
Ketiga remaja itu mendengar bunyi gemerisik pelan di tengah belukar yang tumbuh di seberang kali. Mereka melihat ranting-ranting bergerak. Padahal saat itu tidak ada angin bertiup.
Pete berdiri seperti patung. Matanya terpaku ke arah belukar di seberang. Ia merasa seperti melihat bayangan gelap bergerak di situ.
Bunyi gemerisik terdengar semakin jelas. Dan semakin mendekat. "Ada sesuatu di situ," bisik Bob, "dan ia menuju kemari!"

Bab 7
MAKHLUK MISTERIUS?

BUNYI rambahan di tengah belukar itu semakin mendekat. Keringat dingin membasahi tubuh Jupe dan kedua temannya. Dalam pikiran mereka terbayang gambaran berbagai makhluk aneh... gergasi dan raksasa gentayangan di dalam rimba... monster-monster berwujud seram, yang menyebabkan seorang pertapa lari menuruni gunung sambil berteriak-teriak ketakutan... sosok-sosok gelap dan misterius, mengendap-endap di balik bayangan malam, saat bulan purnama....
Tiba-tiba bunyi itu lenyap. Belukar di seberang kali tidak kelihatan bergerak-gerak lagi. Anak-anak menahan napas. Apakah makhluk itu hendak menyerang?
"Wah, wah! Maaf, ya." Mereka mendengar suara yang sudah pernah mereka dengar. "Nyaris saja kau terinjak."
Pete mengembuskan napasnya. Baru saat itulah ia sadar bahwa sejak tadi ia menahan napas. Ia megap-megap, menghirup udara pegunungan yang sejuk dan segar.
"Itu kan Mr. Smathers!" kata Jupiter dengan suara seperti tercekik. Kerongkongannya terasa kering. Ia menyandarkan punggung ke meja piknik. "Uhh-leganya hatiku!"
Bob tertawa. Tapi bunyinya bernada histeris.
"Kau menyangka yang datang itu makhluk misterius dari Gunung Monster?" katanya. "Untuk sesaat, begitulah sangkaanku."
"Itu karena pengaruh sugesti," kata Jupe. "Kita tadi mendengar kisah seram, dan karenanya langsung setengah mati ketakutan begitu mendengar ada yang datang tapi tak nampak wujudnya." Ia melantangkan suaranya. "Mr. Smathers?"
Wajah Mr. Smathers yang kurus muncul dari balik semak di seberang kali. Ia memandang ke arah anak-anak. Pria bertubuh kecil itu memakai topi dari kain terpal. Ia rupanya tidak sadar bahwa hidungnya merah karena terbakar sinar matahari, sedang keningnya luka karena tergores sesuatu.
"Kalian mengganggu ketenangan hutan," katanya. Ia mengatakannya dengan nada galak. Tapi sambil tersenyum sekilas.
"Anda mengejutkan kami," kata Pete. "Kami tadi menyangka Anda beruang-dan itu sudah yang paling tidak menakutkan."
"Aku tidak keberatan jika siang ini aku seekor beruang," kata Smathers. "Aku tadi menemukan sarang lebah pada sebatang pohon. Coba aku ini beruang, pasti sudah berpesta pora tadi!" Ia keluar dari tengah belukar, lalu berdiri di tepi kali. Saat itu anak-anak melihat bahwa ia menggendong seekor skunk*. Ia menggendongnya dengan hati-hati sekali, seperti ibu menggendong bayinya. (fn=sejenis sigung, seekor binatang yang dalam keadaan terdesak akan menghamburkan bau busuk)
"Ihh!" seru Pete kaget.
Smathers memperhatikan binatang berbulu hitam dengan jalur putih di punggung, yang sedang digendong olehnya. "Cantik, ya?" katanya.
"Aduh, Mr. Smathers!" kata Bob dengan gugup. "Cepat, letakkan kembali ke tanah!" Tapi Smathers malah tertawa.
"Kau takut melihat temanku ini?" Dielus-elusnya dagu binatang itu dengan telunjuk. "Konyol, ya?" katanya pada binatang itu. "Anak-anak itu takut bahwa kau akan menyemburkan isi kelenjar baumu ke arah mereka. Padahal kau tidak berniat melakukannya, kan? Kecuali jika terpaksa."
Smathers meletakkan binatang itu ke tanah.
"Sana, pergilah," katanya. "Tidak semua orang mengenalmu sebaik aku."
Binatang itu berjalan beberapa langkah, lalu berhenti dan menoleh ke belakang. Seolah-olah bertanya pada Smathers.
"Ya, pergilah," kata Smathers lagi. "Aku hendak bercakap-cakap sebentar dengan ketiga remaja teman kita ini, dan kau menyebabkan mereka gugup. Maaf ya tadi, aku mengganggu ketika kau sedang enak-enak tidur, karena kecerobohanku berjalan. Tapi aku berjanji, itu takkan terulang lagi."
Skunk itu nampaknya seperti puas mendengar janji itu. Ia menghilang ke tengah belukar, sementara Mr. Smathers menuruni tebing kali, lalu menyeberanginya.
"Skunk itu makhluk menarik," katanya, setelah sampai di dekat anak-anak di tempat perkemahan. "Kita sebenarnya tidak boleh pilih kasih-tapi harus kuakui, aku sedikit lebih menyukai skunk, dibandingkan dengan satwa lain-lainnya. "
"Jika aku tidak melihatnya sendiri tadi, aku takkan mau percaya," kata Bob. Kening Pete berkerut.
"Itu jadi pasti tipuan," katanya kemudian. "Skunk itu tadi pasti jinak, peliharaan seseorang. Dan kelenjar-kelenjarnya yang menyemburkan bau busuk sudah dibuang."
"Itu kan perbuatan keji!" tukas Mr. Smathers. "Ya, aku tahu-memang ada orang yang suka menjinakkan skunk untuk dijadikan binatang peliharaan di rumah, setelah kelenjar-kelenjarnya disingkirkan. Tapi apa yang terjadi setelah itu?"
"Tidak ada sesuatu pun yang terjadi," kata Pete. "Justru karena itulah kelenjar-kelenjarnya dibuang-agar jangan sampai terjadi apa-apa."
"Itu penalaran khas manusia, yang menganggap dirinyalah pusat kehidupan," kata Smathers. "Sebagai contoh, kita ambil saja seekor binatang, yang dikaruniai sistem bela diri yang sempurna. Begitu sistem itu disingkirkan, binatang itu menjadi tidak berdaya lagi. Binatang itu akan sepenuhnya tergantung pada manusia, karena tidak memiliki kemampuan lagi untuk mempertahankan diri terhadap serangan musuh. Nah-kalau sudah begitu, si manusia dengan
bangga akan mengatakan bahwa binatang itu miliknya yang sudah jinak. Seakan-akan makhluk bisa memiliki makhluk lain. Keji-benar-benar keji!"
Anak-anak membisu. Mereka agak kaget, mendengar kesengitan Mr. Smathers mengucapkan kata-kata itu.
"Sekarang," sambung Mr. Smathers sesaat kemudian, "andaikata manusia mau menggunakan akal mereka serta meluangkan waktu untuk memahami sesama makhluk, tidak perlu terjadi kebiadaban seperti itu. Kita semua akan bisa masuk ke hutan rimba-asal kita mau bersikap pantas-dan kita akan dapat mengunjungi sahabat-sahabat kita, satwa liar yang hidup di dalamnya. Kita akan memiliki kesantunan, untuk membiarkan mereka hidup dengan bebas."
Mr. Smathers mengeluarkan sebuah kantung kertas dari sakunya, lalu menaburkan beberapa butir kacang ke telapak tangannya.
"Harap diam-nanti akan kutunjukkan pada kalian maksudku," katanya pada anak-anak. Ia meruncingkan bibirnya, lalu memperdengarkan bunyi mengerik.
Seekor burung blue jay yang sedang melintas di atas mendengar bunyi itu. Dikitarinya tempat perkemahan satu kali, lalu turun ke tanah dekat kaki Smathers. Anak-anak yang juga ada di situ sama sekali tak dipedulikannya. Burung itu berteriak sekali, sambil memandang Smathers.
"Sabarlah sedikit," kata Smathers. "Tunggu teman-teman yang lainnya dulu."
Burung itu berbunyi dengan ribut. Kedengarannya seperti mengomel.
"Sebentar saja," kata Smathers pada burung itu. "Sungguh-takkan lama."
Seekor bajing tanah muncul, lalu lari menghampiri Smathers. Burung blue jay menjerit dengan nada tidak sabar, dibalas oleh bajing dengan ocehan jengkel.
"Sudah. Jangan bertengkar," kata Smathers. "Bawaanku cukup banyak-kalian semua pasti akan kebagian."
Bajing berhenti mengoceh. Ia mengusap-usap mukanya dengan kaki depan, seolah-olah merasa malu.
Kemudian muncul dua ekor chipmunk, yang masih sejenis dengan bajing tanah. Kedua binatang itu melintasi tempat perkemahan, dekat sekali lewat di depan Pete.
"Nah, akhirnya datang juga kalian!" kata Smathers. "Baiklah, sekarang kita bisa mulai."
Bajing tanah menunggu, sementara Smathers menyodorkan telapak tangannya ke arah burung blue jay. Burung itu mematuk dua butir kacang, lalu melompat-lompat ke pinggir sedikit, sementara Smathers menyodorkan telapak tangannya pada bajing tanah. Setelah itu kedua chipmunk mendapat giliran.
"Kalian lihat," kata Smathers pada Jupe, Bob, dan Pete, "mereka mau saling memberi kesempatan, asal kita memberi penjelasan pada mereka. Tidak ada yang mendorong-dorong. Tidak ada yang berebut."
Anak-anak tetap tidak berbicara. Tapi Jupe mengangguk tanda mengerti.
Ketika kedua chipmunk sudah memakan habis kacang terakhir, Smathers menyuruh binatang-binatang itu pergi, seperti guru membubarkan murid-murid seusai belajar. Burung blue jay terbang ke puncak sebatang pohon tusam yang besar, lalu hinggap di situ sesaat sambil berteriak-teriak dengan suara nyaring. Setelah itu ia pergi. Bajing tanah lari lalu menyusup ke bawah tumpukan batu yang terdapat di tebing kali. Sedang kedua chipmunk naik ke atas pohon.
"Kuakui, aku memanjakan mereka," kata Smathers. "Tapi makhluk apa pun, pasti senang jika sekali-sekali dimanjakan."
"Ya, Anda memanjakan mereka," kata Jupe. "Para pengawas di Taman-taman Nasional selalu memperingatkan para pengunjung, agar satwa liar penghuni tempat itu jangan diberi makan. Jika mereka sudah terbiasa makan kacang, jagung panggang, dan sebagainya, mereka akan lupa caranya mencari makan sendiri."
"Itulah sebabnya kenapa aku tidak suka datang ke Taman-taman Nasional," tukas Mr. Smathers. "Di mana-mana selalu ada saja orang-orang goblok berkerumun membawa makanan sampah kebudayaan untuk diberikan pada satwa liar. Dan binatang-binatang itu makan sampai kekenyangan. Lalu apabila musim dingin tiba, orang-orang itu pulang ke rumah masing-masing, tanpa sedikit pun memikirkan bencana yang mereka timbulkan. Banyak sekali satwa liar yang mati kelaparan! Itu pembunuhan namanya-seperti menembak rusa dengan senapan. Aku hanya membawa beberapa butir kacang untuk sahabat-sahabatku-dan aku sudah memperingatkan bajing tanah dan kedua chipmunk tadi, agar jangan suka menerima makanan dari manusia yang tidak mereka kenal. Mereka mengerti apa yang akan terjadi, jika itu mereka lakukan. Mereka tahu bahwa aku cuma sekali-sekali saja memanjakan mereka. Sama saja halnya seperti membelikan es krim untuk keponakan yang paling kita sayangi."
"Jadi Anda telah menjelaskan pada binatang-binatang tadi, bahwa mereka harus berhati-hati terhadap manusia," kata Bob. "Menurut Anda, mereka mengerti?"
"Aku tahu bahwa mereka mengerti," kata Smathers menandaskan. "Mereka sendiri yang mengatakan begitu. Tapi kalau tentang blue jay tadi, aku tidak begitu yakin. Burung itu rakus. Ada kemungkinan ia itu tahunya cuma mengisi tembolok saja. Tapi burung itu cantik, ya?"
"Sangat indah," kata Jupiter Jones.
"Untung baginya, ia tidak termasuk jenis burung langka," kata Smathers lagi. "Coba burung blue jay jarang ditemukan, pasti ada saja orang sinting yang datang memburunya, untuk kemudian dimasukkan ke kebun binatang. Itu juga merupakan kekejaman!"
Wajah Mr. Smathers memerah. Ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
"Aku pernah membaca, bahwa binatang yang hidup di kebun binatang lebih panjang umurnya," kata Pete dengan hati-hati.
"Lebih panjang umur? Yah, itu mungkin saja-jika itu bisa dibilang hidup. Mereka dikandangkan, atau terkurung di dasar sebuah lubang besar. Dan jika satwa yang dikurung itu tergolong besar, para penjaga begitu takut pada mereka, sehingga selalu hanya berani mendekat jika membawa senapan pembius. Dan itu kausebut hidup?"
"Kurasa aku takkan suka dibegitukan," kata Pete mengakui.
"Kau tahu bahwa kau takkan suka." Mata Mr. Smathers menyipit. "Pembius!" tukasnya. "Aku tahu apa sebabnya kunyuk di losmen itu membawa-bawa senapan pembius! Tapi selama aku masih ada, ia takkan pernah bisa mempergunakannya!"
"Apa sebabnya Mr. Havemeyer menyimpan senapan pembius?" tanya Jupiter Jones.
"Apa?" Smathers menatap Jupe sambil melotot, seakan-akan berhadapan dengan musuh. "Itu takkan kukatakan pada kalian," katanya. "Jika kukatakan, ada kemungkinan kalian akan percaya-dan itu akan merupakan bencana!" Setelah itu ia meninggalkan tempat perkemahan, menuju ke losmen.
"Apa maksudnya?" tanya Bob. "Jika kita percaya, itu akan merupakan bencana. Kenapa begitu?"
"Havemeyer rupanya hendak menangkap sesuatu hidup-hidup," kata Jupiter lambat-lambat. "Satu-satunya alasan menggunakan senapan pembius ialah menembak binatang tanpa membunuhnya. Apakah ia ingin menangkap beruang? Kurasa tidak. Itu bukan hal yang sulit dipercaya. Tidak! Smathers berbicara tentang sejenis binatang, yang mungkin kita anggap tidak mungkin ada. Nah-makhluk macam apakah itu?"
Jupiter berhenti berbicara, seolah-olah enggan mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Ia memandang kedua temannya dengan mata terbuka lebar.

Bab 8
RAHASIA JOE HAVEMEYER

KETIKA anak-anak sudah hampir sampai di losmen, mereka melihat sebuah truk datang dengan pelan dari arah desa. Pengemudinya memindahkan persneling ke gigi yang lebih rendah, agar kendaraan berat itu mampu menanggulangi jalan yang menanjak itu.
"Rupanya itu semen yang dipesan untuk membuat kolam renang," kata Pete.
Truk membelok, memasuki pekarangan depan losmen, dan terus lewat pelataran parkir, menuju pekarangan belakang. Pengemudinya turun, lalu bersama Joe Havemeyer menurunkan muatan semen berkarung-karung serta pasir. Karung-karung semen ditumpukkan di atas papan-papan alas di dekat lubang galian untuk kolam renang. Hans dan Konrad tidak ada di situ.
"Banyak sekali semennya," kata Bob sambil memperhatikan.
"Kolam renangnya kan besar," kata Pete. "Luas, dan dalam. Tahukah sepupu Anna bahwa semen yang dipesan akan datang hari ini. Ia kan mengatakan ingin langsung membayar dengan uang tunai. Tapi sampai sekarang anak kuncinya yang hilang belum kita temukan kembali."
"Jika nama baiknya benar-benar seperti yang dikatakan, aku yakin ia akan bisa menandatangani penerimaan pesanan itu tanpa harus membayar sekarang ini juga," kata Jupe. "Atau mungkin juga suaminya yang akan membayar. Kan dia yang begitu bersemangat, ingin membuat kolam renang."
Anak-anak masuk ke losmen lewat pintu depan. Di ruang duduk tidak ada siapa-siapa. Tapi suara Hans dan Konrad terdengar di tingkat atas.
"Anna!" Joe Havemeyer memanggil istrinya dari pekarangan belakang. "Anna! Coba kemari sebentar!"
Anak-anak mendengar langkah Anna yang mantap di dapur. Disusul bunyi pintu belakang yang dibuka, lalu ditutup lagi. Jupe, Bob, dan Pete berjalan dengan santai ke dapur. Jendela yang terdapat di atas tempat cuci piring terbuka. Lewat jendela itu mereka melihat Anna mendatangi Havemeyer, yang masih berdiri bersama pengemudi truk semen. Anna mengenakan celemek. Sambil berjalan menghampiri, ia mengeringkan tangannya pada selembar lap piring.
"Itu sudah semuanya yang kauperlukan?" tanyanya pada suaminya.
Havemeyer mengangguk.
"Aku sudah bisa mulai sekarang," katanya.
"Baiklah." Anna menerima surat yang disodorkan pengemudi truk, lalu menelitinya sebentar. "Semuanya beres?" tanyanya pada Joe.
"Sudah kuperiksa tadi," jawab Joe. "Surat tagihan itu cocok."
"Baiklah." Kini Anna berpaling pada pengemudi truk. "Aku sedang tidak punya uang tunai hari ini," katanya. "Majikan Anda tidak berkeberatan, jika semen itu baru kubayar minggu depan?" "Itu tentu saja bisa, Miss Schmid," kata orang yang ditanya. "Mrs. Havemeyer," kata Anna membetulkan.
"Ah, maaf! Mrs. Havemeyer. Jika Anda tandatangani saja surat tagihan itu agar ada catatan bagi kami bahwa semen yang dipesan sudah diterima, nanti kami bisa-"
"Menandatangani?" Untuk pertama kalinya Anna nampak agak sangsi. Sikap tubuhnya berubah. Nampak tegang.
"Begitulah kebiasaannya," kata pengemudi truk. "Jika kami tidak dibayar langsung sewaktu menyerahkan barang, surat tagihan harus ditandatangani."
"Oh," kata Anna. "Baiklah, kalau begitu. - Aku masuk saja sebentar ke dalam, untuk menandatanganinya."
"Tidak usah repot-repot." Pengemudi truk itu mengeluarkan bolpen dari kantung bajunya, lalu menyerahkan alat tulis itu pada Anna. "Ini-Anda tandatangani saja di mana Anda mau. Barangkali lebih enak jika kertas itu ditaruh saja di spatbor."
"Oh!" Anna memandang suaminya, lalu kembali menatap pengemudi truk. Lap piring yang dipegang diserahkannya pada suaminya, lalu diletakkannya surat tagihan ke spatbor truk. Dengan bolpen pinjaman ditulisnya sesuatu pada surat itu. Menurut ketiga remaja yang memperhatikan dari dapur, nampaknya agak lama juga wanita itu membuat tandatangannya. Setelah selesai, surat tagihan dikembalikan pada pengemudi truk, beserta bolpennya. "Bisa begitu, kan?" tanyanya.
Pengemudi truk menerima kertas yang disodorkan sambil melihatnya dengan sekilas saja.
"Ya-beres, Mrs. Havemeyer."
"Tulisanku biasanya lebih rapi," kata Anna. "Tapi aku tadi sedang mengaduk adonan untuk membuat roti. Jadi tanganku agak pegal. Tulisanku gemetar sedikit."
"Setiap orang juga pernah sekali-sekali mengalami keadaan begitu," kata pengemudi truk dengan gembira. Surat tagihan dilipatnya, lalu dimasukkan ke dalam kantung. Ia masuk lagi ke kendaraannya, lalu mengundurkannya ke jalan.
"Goblok!" bentak Havemeyer, ketika truk itu sudah tidak kelihatan lagi.
"Kan sudah kukatakan, aku tidak mau melakukannya," kata Anna. "Kenapa bukan kau saja yang menandatangani tadi?"
"Langganan lama perusahaan bahan bangunan itu Anna Schmid, bukan Joe Havemeyer," kata suaminya. "Tapi kau tadi sama sekali tidak perlu mengoceh macam-macam pada orang itu. Ia kan pengemudi truk bukan guru yang mengajar tulisan halus." Havemeyer diam sejenak, lalu mengulangi umpatannya. "Goblok!"
Anna membalik tubuh dengan cepat, lalu melangkah menuju ke rumah. Tapi setelah beberapa langkah, ia berhenti lagi.
"Kau sendiri yang goblok," tukasnya sambil menatap Havemeyer. Suaranya pelan, tapi bernada sengit. "Kau- dengan lubang konyolmu itu. Kurasa kau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada!"
"Aku yakin bahwa yang kulihat itu benar-benar ada," tandas Havemeyer. "Mula-mula di padang rumput di atas sana-lalu kemudian ia turun kemari."
"Aku tetap saja tidak percaya," kata Anna.
"Kau memang tidak mau percaya pada apa saja, jika kau tidak bisa merabanya, atau mencicip, atau menghitung lalu memasukkannya ke bank," tukas Havemeyer. "Kau ini hidupmu maunya begitu-begitu terus. Kau takkan menyadari jika ada gagasan yang hebat, walau itu melintas di depan matamu. Tanpa aku-"
"Ya, ya, aku tahu. Itu semua sudah kuketahui. Kau punya idam-idaman indah, ya? Kau memiliki daya khayal-ya, kan? Tanpa kau, apalah aku ini? Itu kan, yang hendak kaukatakan?-Kurasa, tanpa kau, keadaanku akan lebih baik. Akulah yang selalu harus memikul risiko, sedang kau aman-kau, dengan idam-idaman indahmu!"
"Lihat saja nanti," kata Havemeyer.
"Ya, kita lihat saja!" balas Anna dengan ketus, lalu meneruskan langkah menuju dapur.
Anak-anak kembali ke ruang duduk, lalu bergegas mengambil sikap seperti sejak tadi sudah duduk-duduk di situ. Sesaat kemudian Anna masuk dengan langkah kesal. Ia tertegun ketika melihat anak-anak ada di situ. "Ah," katanya. "Kalian sudah kembali rupanya. Aku tidak tahu." Jupiter meletakkan majalah yang pura-pura sedang dibacanya, lalu berdiri.
"Kami tadi melihat-lihat tempat perkemahan," katanya pada Anna. "Di situ kami bertemu dengan Mr. Smathers, lalu mengobrol sebentar dengan dia." Anna mengangguk. "Orang itu aneh," katanya.
"Ia mengaku bisa berbicara dengan binatang, dan mereka memahaminya." Anna mengangkat bahu dengan sikap masa bodoh.
"Huhh-laki-laki!" tukasnya. "Semuanya sama saja-berotak kapas!" Ia melewati anak-anak, lalu menaiki tangga menuju tingkat atas. Tidak lama kemudian terdengar bunyi pintu kamar ditutup dengan keras. "Kurasa masa bulan madu sudah berlalu," kata Bob. Pete menggaruk-garuk telinga.
"Aku tidak mengerti," katanya sambil mengerutkan kening. "Ia tidak mau menandatangani surat tanda penerimaan semen yang dipesan. Ia juga berbohong pada pengemudi truk itu-karena ia tidak sedang membuat roti. Lalu risiko apa pula yang disebut-sebutnya itu?"
Jupe bersandar ke dinding tempat pendiangan.
"Anna beranggapan bahwa suaminya melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Ia tidak percaya bahwa apa yang dilihat Joe di padang rumput di atas, dan yang kemudian turun kemari itu benar-benar ada." Pete berdiri, lalu berjalan mondar-mandir dengan kepala tertunduk.
"Mungkinkah kisah yang diceritakan Gabby Richardson tadi ada benarnya," katanya menggumam. "Senapan pembius," kata Jupiter. "Senapan pembius-dan sesuatu yang dilihat oleh Havemeyer di atas sana, di padang rumput." Ia memandang kedua temannya. "Kurasa aku tahu, untuk apa senapan pembius itu bagi Havemeyer!" Setelah itu semuanya sama-sama membisu. Kira-kira setengah menit kemudian, barulah Bob membuka mulut. "Ia hendak berburu monster," katanya dengan suara pelan. "Itu... itu kan edan!" kata Pete tergagap.
"Gila-gilaan," kata Jupiter membenarkan, "tapi kurasa itulah yang dilakukan olehnya. Sekarang dengar dulu. Kita sekarang ini kan sedang liburan di sini. Kenapa kita tidak mengadakan pengembaraan besok, pergi ke padang rumput itu?"
"Mengembara-atau mencari monster?" tanya Pete.
"Kita mengadakan ekspedisi pelacakan," kata Jupe. "Jika memang benar ada sesuatu yang aneh gentayangan di atas sana, kurasa kita akan mampu menemukan jejaknya. Itu mestinya ada!"
"Jangan-jangan makhluk yang tidak meninggalkan jejak," kata Pete. Mukanya agak pucat.
"Makhluk itu pasti meninggalkan jejak," kata Jupiter dengan nada yakin. "Joe Havemeyer buru-buru menyapu pekarangan tadi pagi, supaya tidak ada orang lain melihat jejak itu. Tidak mungkin itu beruang-karena jejak kaki beruang kan tidak merupakan keanehan. Jadi mestinya makhluk lain."
Jupe tertawa nyengir.
"Mr. Smathers tahu makhluk apa itu, tapi ia takkan mau mengatakannya. Tapi sekarang aku mengerti, kenapa Joe membuat lubang yang dikatakannya untuk dijadikan kolam renang. Dari semula aku sudah merasa bahwa lubang di tanah itu mengingatkan aku pada sesuatu. Dan sekarang aku ingat lagi. Lubang itu mengingatkan aku pada lubang tempat binatang buas, di Kebun Binatang San Diego!"