Trio Detektif - Misteri Rumah yang Mengkerut(2)



Bab 11
JUPITER MENGAMBIL KESIMPULAN


Begitu tiba di rumah masing-masing, Jupiter serta kedua rekannya didamprat, karena tidak muncul pada waktunya untuk makan malam. Bibi Mathilda mengomel. Katanya, begitulah kalau anak tidak diberi kesibukan! Untung saat itu di TV muncul acara kegemarannya. Perhatian Bibi Mathilda langsung terpusat ke situ, sehingga lupa memberi tugas-tugas kerja tambahan untuk Jupiter. Pete sebenarnya sehabis makan malam disuruh memotong rumput halaman. Saat itu pertengahan musim panas, jadi sampai pukul delapan malam di luar masih cukup terang. Karena tidak jadi malam itu, ia disuruh ayahnya melakukan tugas itu begitu bangun keesokan paginya. Jadi ketika Pete akhirnya masuk ke kantor Trio Detektif, ternyata ia yang paling belakang muncul.
"Harus memotong rumput halaman dulu," kata Pete menjelaskan keterlambatannya. Ia tidak meneruskan, karena saat itu dilihatnya sikap kedua rekannya. Bob dan Jupiter duduk terhenyak menghadap meja. Bob nampak lesu sekali. Sedang Jupiter lemas.
"Tampang kalian kelihatannya seperti baru mendengar kabar ada kenalan baik yang mati!" kata Pete, lalu buru-buru menambahkan. "Tidak - aku cuma main-main saja! Jangan-jangan nanti benar-benar terjadi - Tapi ada apa sih?"
"Kita baru saja dipecat Mr. Marechal," kata Bob dengan sikap sedih. Jupiter mendesah.
"Baru beberapa menit yang lalu ia menelepon kemari. Ternyata ia diberi tahu oleh Profesor Carswell, tentang kejadian di pondok kemarin malam. Mr. Marechal mengatakan bahwa situasi yang dihadapi kini sudah menjadi sangat berbahaya - dan karenanya lebih baik jika polisi dihubungi. Menurutnya, kita kini takkan mungkin bisa berbuat banyak lagi. Ia akan mengirimkan uang sekadarnya, sebagai imbalan atas jerih payah kita selama ini."
"Aduh," kata Pete, sambil menghenyakkan tubuh ke kursi. "Kegagalan kita yang pertama."
"Padahal masih banyak hal-hal yang membingungkan," keluh Jupiter.
"Yah -" kata Bob dengan murung, "kurasa kita harus tetap bingung saja."
Jupiter mengangguk lambat-lambat. Setelah itu ia membisu. Matanya menerawang. Pete memperhatikan temannya itu.
"Jangan terburu menyerah, Bob," katanya. "Menurut perasaanku, Jupiter tidak menerima bahwa kita dipecat - apalagi tetap bingung. - Tapi jika kita masih meneruskan penyelidikan kita, jangan-jangan Mr. Marechal nanti marah, Jupe!"
"Bagaimana kita bisa meyakinkannya agar kita diizinkan terus?" tanya Bob.
"Kita harus menyadarkannya bahwa urusan ini bukan hanya apa yang diketahuinya saja - tapi lebih dari itu! Ini misteri, Bob! Kita harus bisa membuka matanya, bahwa kita satu-satunya yang mampu membongkar misteri ini!"
"Tidak tahu, ya," kata Pete sambil menggeleng. "Mungkin pendapat Mr. Marechal benar. Tidak banyak yang bisa kita jadikan pegangan, untuk melanjutkan penyelidikan."
"Siapa bilang?! Kita kan mengetahui kata-kata terakhir yang diucapkan mendiang Joshua Cameron sebelum ia mati. Ditambah dengan hasil kesimpulan kita."
"Kesimpulan yang mana?" tanya Pete bingung.
Jupiter menyodorkan badannya ke depan.
"Pertama, mendiang Joshua pasti memiliki sesuatu yang lebih berharga - atau setidak-tidaknya lebih penting - dari dugaan kita. Kedua, mungkin lebih dari satu orang yang mengetahui hal itu. Ketiga, kedua puluh lukisan yang lenyap, ada sangkut-pautnya dengan rahasia itu. Dan keempat, kata-kata yang diucapkan Joshua sewaktu mengigau, sebenarnya merupakan pesan!"
Setelah itu remaja berwajah bulat itu menyandarkan punggungnya ke belakang.
"Sekarang kita tinggal menguraikan teka-teki kata-kata pesan mendiang Joshua Cameron! Itu jika kata-kata yang diucapkannya memang benar begitu."
"Maksudmu, Hal serta ayahnya mungkin berbohong?" kata Bob kaget.
"Kita tahu, profesor itu perlu uang," kata Jupiter. "Kita juga tahu, mendiang Joshua menunggak sewa rumah selama beberapa bulan sebelum ia meninggal. Bukan itu saja - Profesor Carswell bahkan meminjaminya uang. Bisa saja ayah Hal selama itu tahu bahwa ada sesuatu milik Joshua yang berharga. Atau bisa juga dugaannya timbul setelah ada orang dengan sembunyi-sembunyi masuk ke rumah yang ditempati mendiang."
"Kurasa takkan mungkin Hal bohong pada kita," bantah Pete.
"Ya - barangkali," kata Jupiter. "Kalau begitu kita anggap saja kata-kata terakhir yang diucapkan Joshua, memang begitu. Ketika Hal mengatakannya, aku sempat mencatat."
Jupiter mengambil secarik kertas, lalu meletakkannya di atas meja.
"Menurut Profesor Carswell, Joshua menyebutkan kata-kata, lukisan, malang-melintang, salah, kanvas, dan karya empu, " kata Jupiter sambil membaca. "Sedang Hal, yang selama saat-saat terakhir lebih sering menemani pak tua itu, keterangannya lebih terperinci. Katanya, mendiang Joshua dalam demamnya mengocehkan kata-kata berikut: Bilang pada... " Jupiter tersenyum sekilas. "Hal teliti sekali - bahkan gumaman pun masih diingatnya! Yah pokoknya kucatat semua bunyi yang katanya ke luar dari mulut orang tua itu. Kumulai saja lagi membaca, termasuk bunyi menggumam, ya! Nah, Bilang pada... hmm... bilang pada... hmmm... melintang... di mana harus malang, melintang... alur salah... karya empu... lukisan-lukisanku... kanvasku... kanvas... salah... malang jadi melintang... bilang pada... hmmm... alur salah. Berulang-ulang, begitu terus - atau setidak-tidaknya dengan kata-kata yang begitu."
Pete menggaruk-garuk kepala.
"Kalau dilihat dari kata, Bilang pada..., rasanya itu memang pesan, sedang kata-kata malang-melintang, dan alur salah, merupakan petunjuk arah. Pokoknya ada yang salah. Lalu yang benar, yang mana?"
"Ya - rasanya bagian itu masih kurang. Tapi kata yang dipakai bukan jalan, melainkan alur. " "Lantas - artinya, Jupe?" tanya Bob.
"Entahlah, aku sendiri juga sama sekali buta," kata Jupiter. "Di samping itu, kenapa mendiang Joshua menggumam, setiap kali setelah menyebutkan kata-kata Bilang pada?"'
"Itu kan tidak aneh! Namanya juga orang sakit parah!" kata Pete.
"Ya - kurasa itu penyebabnya," kata Jupiter. Keterangan itu memang masuk akal.
Bob mengamat-amati deretan kata-kata yang tertulis di atas kertas.
"Karya empu dan lukisan-lukisanku, mungkin berarti Joshua menganggap lukisan-lukisannya sangat hebat - walau ia cuma pelukis amatir saja. Sedang, kanvas-kanvasku atau kanvas - itu istilah pelukis menyebut lukisan-lukisannya. "
"De Groot nampaknya menilai lukisan-lukisan Joshua bermutu," kata Pete.
"Mungkin itu jawabannya!" seru Bob. "Mungkin saja Joshua Cameron sebenarnya pelukis hebat. Hebat tapi eksentrik, sehingga tidak mau memamerkan, atau menjual lukisan-lukisan hasil karyanya! Mungkin De Groot beranggapan, ia bisa menjual lukisan-lukisan Joshua dengan harga tinggi!"
"Itu mungkin saja - tapi kalau begitu kata-kata terakhir yang diucapkan mendiang tentunya bukan pesan tertentu," kata Jupiter mengetengahkan. "Padahal aku yakin, itu pasti pesan. Lalu masih ada satu lagi yang belum kumengerti. Apa sebabnya ia menggumam? Kau tadi mengatakan itu biasa, karena ia sedang sakit parah saat itu, Pete! Baiklah - tapi kenapa gumamannya selalu sehabis menyebutkan kata-kata Bilang pada...? Jangan-jangan gumamannya itu berarti ia hendak menyebutkan nama seseorang! Tapi siapa?"
"Tuan Putri, dan Mr. Marechal," kata Pete menduga.
"Kenapa harus Mr. Marechal? Ia kan cuma pegawai Tuan Putri saja! Kenapa tidak ditujukan langsung pada Tuan Putri? Wanita itu kan adiknya! Lalu kalau yang dimaksudkan Tuan Putri, kenapa tidak dikatakan, Adikku? Jangan-jangan Joshua ingin menyebutkan nama seseorang, tapi ia tidak ingin orang yang tidak berkepentingan ikut tahu! Atau - mungkin pesan itu ditujukan pada suatu komplotan -"
"Komplotan?" Pete melongo.
"Komplotan penjahat, barangkali? Atau penyelundup?" Jupiter menduga-duga. "Mendiang kan selalu menyendiri. Tidak pernah meninggalkan rumah - seolah-olah ketakutan! Mungkin ia menyembunyikan diri di situ!"
"Dan De Groot itu salah seorang anggota komplotan," sambung Pete. "Ia mencari harta curian - atau sesuatu yang diselundupkan kemari!"
"Itu bisa menjelaskan, apa sebabnya De Groot mencari-cari di dalam pondok, setelah kita dikurungnya di dalam kamar tidur," kata Jupiter. "Sedang gagasan Bob bahwa lukisan-lukisan Joshua itu sebenarnya berharga, tidak cocok dengan tindak tanduk De Groot tadi malam di dalam pondok. Orang itu takkan mengobrak-abrik seisi pondok, jika yang dicari dua puluh buah lukisan." Jupiter berhenti. Di wajahnya kini nampak perasaan gelisah.
"Ada apa, Jupe?"
"Aku tidak tahu pasti," jawab Jupiter lambat-lambat. "Tapi sewaktu aku baru saja bicara tentang kemarin malam di dalam pondok, tiba-tiba kurasa ada sesuatu yang tidak cocok. Aku berperasaan bahwa ada sesuatu yang meleset dari perhatianku - tapi apa, aku tidak tahu!"
"Bagiku, kemarin malam rasanya tidak ada yang aneh," kata Pete. "Itu kalau tindakan De Groot mengurung lalu mengejar-ngejar kita, tidak bisa dibilang aneh!"
"Mungkin kau benar," kata Jupiter. "Pokoknya, sementara ini sudah cukup banyak yang berhasil kita simpulkan. Dengannya kita bisa meminta pada Mr. Marechal, agar kita diizinkan meneruskan penyelidikan. Biar aku dan Pete saja yang mendatanginya."
"Lalu aku? Apa yang harus kukerjakan selama itu?" tanya Bob.
"Kita masih harus menemukan kembali lukisan-lukisan itu, Bob. Aku tidak menganggap mustahil gagasanmu tadi, bahwa lukisan-lukisan itu mungkin berharga - dan mungkin itu yang dicari-cari De Groot," kata Jupiter menjelaskan. "Jadi kaudatangi Skinny Norris, lalu kautanyai anak brengsek itu. Usahakan mengetahui, dari mana ia memperoleh lukisan yang dibawanya waktu itu kemari."

Bab 12
KEGAGALAN

'Cliff House Motel', ternyata merupakan tempat tetirah yang apik di tepi Samudra Pasifik, sekitar satu mil di sebelah selatan Rocky Beach. Pete dan Jupiter menaruh sepeda mereka di luar, lalu memasuki ruang depan yang gemerlapan. Seorang pria jangkung berpenampilan angker duduk di belakang meja pendaftaran. Orang itu memandang kedua remaja yang masuk dengan sikap curiga.
"Ada keperluan apa?" tanya orang itu.
Pete langsung gugup menghadapi sikap begitu. Tapi Jupiter tidak gampang digertak. Ia menegakkan sikapnya. Ketika membuka mulut, tahu-tahu ia berbicara dengan logat Inggris yang kentara.
"Tolong beritahukan kedatangan kami pada Tuan Putri," katanya. Ditatapnya petugas motel itu dengan kepala terdongak sedikit. "Katakan Jupiter Jones Keempat, bersama Mr. Peter Crenshaw. Sekaligus tolong beritahukan pula pada Monsieur Marechal bahwa kami datang."
Pete harus menahan gelak yang nyaris tersembur ke luar. Ia sudah pernah mengalami Jupiter berlagak dengan gaya begitu. Tapi petugas motel, belum pernah. Orang itu nampak sangsi. Gaya Jupiter menyapanya tadi, memang persis sikap bangsawan Inggris.
"Nanti dulu," kata Jupiter lagi, "mungkin jika Anda mau memberi tahu nomor kamar yang ditempati Armand, biar kami sendiri saja yang langsung ke sana."
"Eh -" kata petugas itu, "Mr. Marechal menempati bangunan nomor sepuluh. Akan saya panggilkan pelayan..."
"Tidak, jangan repot-repot," kata Jupiter dengan lagak anggun. "Kami sendiri bisa menemukannya. Marilah kita ke sana, Peter."
Dengan kepala masih terdongak, Jupiter melangkah dengan anggun menuju pintu samping, masuk ke halaman dalam motel mewah itu.
Begitu pria angker tadi tidak bisa melihatnya lagi, Jupiter langsung bersikap biasa kembali.
"Pada papan penunjuk itu tertera bahwa nomor sepuluh letaknya di sebelah kiri, Pete," katanya sambil tertawa.
"Lagakmu seperti tadi, kapan-kapan akan menyebabkan kita mengalami kesulitan," kata Pete. "Paling sedikit, digampar orang!"
"Mustahil. Pegawai tempat-tempat mewah seperti ini, gampang sekali digertak. Mereka harus selalu berhati-hati, jangan sampai menyinggung perasaan orang - karena bisa saja itu orang penting," kata Jupiter. Kedua remaja itu melewati jalan setapak yang diapit semak kembang sepatu dan kamelia.
Mereka mendengar suara tamu-tamu yang menginap di situ berenang sambil bercengkerama di kolam renang. Ada pula yang mengobrol di teras tempat minum-minum. Bangunan-bangunan, begitu pula petak-petak kamar yang lebih murah, terserak di halaman luas yang tersendiri letaknya itu.
"Ini bangunan nomor sembilan," kata Jupiter setelah beberapa saat berjalan. "Jadi nomor sepuluh mestinya yang berikut di balik pohon palem ini."
Kedua remaja itu mengitari pohon palem - lalu tertegun. Mereka melihat seseorang berdiri di depan jendela bangunan nomor sepuluh! Orang itu sedang mengintip ke dalam. Kemudian menghampiri pintu kamar, lalu berusaha membukanya dengan paksa!
"Jupe!" seru Pete. "Itu kan..."
Seruannya terlalu lantang. Orang yang mengintip itu mendengarnya. Ia berpaling dengan cepat, memandang ke arah Jupe dan Pete. "Skinny Norris!"
Pete dan Jupiter melihat musuh lama mereka itu melongo. Mereka menghampirinya dengan cepat. Tapi Skinny lebih cepat lagi. Ia berpaling, lalu lari menerobos tumbuh-tumbuhan lebat yang menghijaukan halaman motel. "Kejar dia, Dua!" seru Jupiter.
Pete mengejar remaja ceking itu. Mereka berkejar-kejaran di sela-sela pohon palem dan semak kembang sepatu. Jupiter sadar, ia sendiri takkan mampu menyergap Skinny, jika ia akan mengejarnya secara langsung. Ia berpikir-pikir sejenak. Jika Skinny ingin meloloskan diri lewat bagian depan motel, anak itu harus lari mengitari sisi belakang kolam renang. Ia harus lari lewat situ, karena dikejar oleh Pete dari belakang!
Kini Jupiter berlari - langsung menuju sisi kolam renang.
Ia sampai di teras tempat tamu duduk-duduk sambil menikmati minuman mereka. Dengan napas memburu, dari situ ia menuju pelataran yang beralaskan beton hijau di dekat kolam. Perhatiannya tertuju ke seberang, mencari-cari Skinny, atau Pete. Karenanya ia tidak melihat Mr. Marechal datang. Tahu-tahu pria berambut keperakan itu sudah berdiri di depannya.
Untung saja Jupiter masih sempat menahan langkah. Kalau tidak, pasti ditubruknya orang itu. "Jupiter! Sedang apa kau di sini?" tukas Mr. Marechal. "Beginikah cara kerjamu menyelidik? Menubrukku?" "Sir, " kata Jupiter tersengal-sengal, "kami baru saja memergoki Skinny Norris, yang hendak memasuki kamar Anda secara paksa! Pete sekarang sedang mengejar anak itu, dan saya hendak menyergapnya lewat sini!" "Skinny? Maksudmu, remaja yang datang membawa salah satu lukisan Joshua Cameron?" "Betul, Sir. Jika Pete berhasil -"
Saat itu Pete muncul. Ia menyusur tepi kolam dengan langkah gontai, menuju jalan masuk. "Ia berhasil meloloskan diri," katanya. "Sayang, Mr. Marechal."
"Ya, sayang." Kening Mr. Marechal berkerut. "Tapi apa yang hendak dicarinya di kamarku?" "Barang-barang yang berhasil kami temukan kembali - apakah semuanya ada di situ, Sir?" tanya Jupiter. "Maksud saya, barang-barang peninggalan Joshua Cameron?"
"Ya," jawab Mr. Marechal. "Tapi mau apa Norris dengan barang-barang itu? Burung hantu yang diawetkan? Peralatan makan dari perak? Teropong? Untuk apa..." Mr. Marechal tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia kini memandang ke teras. "Tuan Putri menggamit. Kurasa ia menyuruh kita ke sana. Ia prihatin memikirkan urusan ini."
Pete dan Jupiter berpaling. Mereka melihat Tuan Putri duduk menghadap sebuah meja di teras. Mereka mengikuti Mr. Marechal menghampiri wanita ningrat itu. Tuan Putri nampak cemas.
"Kalian dalam kesulitan, Anak-anak?"
Dengan segera Mr. Marechal bercerita tentang Skinny Norris, sambil menggerakkan tangannya menyuruh anak-anak duduk.
"Tapi kalian kemari ini bukan untuk mengejar Norris, kan?" kata pria anggun itu. "Tentunya ada keperluan." "Izinkanlah kami meneruskan penyelidikan, Sir, " kata Pete dengan cepat. "Kami -" "Kami sebenarnya mau saja, Anak-anak - tapi..."
"Sementara ini sudah ada beberapa kesimpulan yang berhasil kami tarik, Sir, " kata Jupiter cepat-cepat, lalu memaparkan bahwa Joshua Cameron mestinya memiliki sesuatu yang berharga, lalu ada orang mengetahuinya, begitu pula bahwa lukisan-lukisan yang lenyap ada sangkut pautnya dengan urusan itu, dan kata-kata terakhir yang diucapkan Joshua, sebenarnya merupakan pesan dengan makna tertentu. "Kami rasa kemungkinannya ada dua, Sir. Kemungkinan pertama, mungkin Joshua sebenarnya pelukis bermutu, dan karena itu lukisan-lukisannya bernilai tinggi. Dan itu diketahui oleh De Groot. Atau kemungkinan kedua, Joshua sebenarnya anggota salah satu geng, dan ia menyembunyikan harta yang berharga. Atau barang selundupan!"
"Geng?" kata pengelola harta Tuan Putri. "Maksudmu komplotan? Komplotan penjahat? Abang Tuan Putri kaukatakan anggota geng? Kalian ngawur!"
"Tapi," sela Tuan Putri lambat-lambat, "orang yang bernama De Groot itu kenyataannya memang mencari-cari sesuatu. Dan dari keterangan kalian, orang itu tidak bisa dibilang menyenangkan."
"Mungkin saja Joshua hanya diperalat, Sir, " kata Jupiter lagi.
"Hmmm." Mr. Marechal termenung sebentar, lalu memandang Tuan Putri. "Mendiang abang Tuan Putri memang eksentrik sifatnya. Mungkin kalian benar-benar menemukan jejak sesuatu yang penting, Anak-anak! Tapi dengan begitu urusannya malah semakin berbahaya, sehingga perlu ditangani polisi."
"Tapi kami bisa membantu, Mr. Marechal -" kata Jupiter memprotes.
"Itu tidak bisa kuizinkan! Sayang, Anak-anak. Kalian pulang sajalah sekarang."
Pete dan Jupiter berdiri lambat-lambat, lalu meninggalkan teras. Sekali itu mereka benar-benar gagal.

Bab 13
SERANGAN TIBA TIBA

Jupiter dan Pete berjalan dengan lunglai kembali ke tempat sepeda mereka. Mereka tidak sadar bahwa penjaga pintu datang menyusul. Ketika Jupe hendak naik ke sadel, tahu-tahu ia merasa lengannya dipegang orang. "Kalian ini detektif?" tanya penjaga pintu. Pete meneguk ludah. "Kami..."
"Katakan, cepat - betul atau tidak?" "Be - betul," kata Jupiter tergagap. "Kalau begitu ikut aku. Cepat!"
Kedua remaja itu berpandang-pandangan, sama-sama mengangkat bahu, lalu mengikuti penjaga pintu yang sementara itu sudah masuk kembali ke ruang depan. Mereka melihat petugas penerima tamu yang angker menatap mereka. Pelayan-pelayan yang berdiri di pintu-pintu memandang ke arah mereka. Apa salah mereka?
Penjaga pintu menyilakan mereka masuk ke sebuah ruangan kecil di samping, lalu menutup pintu.
Tuan Putri duduk seorang diri di dalam ruangan itu.
"Aku yang memanggil kalian," katanya. Ia tersenyum. "Hatiku tidak enak melihat kalian kecewa, setelah begitu berjerih payah untuk kami."
"Maksud Anda, kami boleh meneruskan penyelidikan?" seru Pete. "Dan Mr. Marechal - pikirannya juga berubah, Ma'am?" Jupiter memandang Tuan Putri dengan sikap bertanya.
"Tidak - dan mungkin sikapnya itu benar," kata Tuan Putri. "Tapi kalian sudah menunjukkan bahwa kalian ini cerdas, serta tahu apa yang kalian kerjakan. Karenanya, kurasa kalian lebih bisa diandalkan, daripada yang disangka Mr. Marechal."
"Itu betul, Ma'am!" ujar Pete dan Jupiter serempak.
"Aku ingat, kalian mempunyai kartu yang tertulis bahwa kalian didukung oleh kepala polisi kota ini," kata Tuan Putri melanjutkan. "Jika kalian kuizinkan meneruskan penyelidikan untukku, maukah kalian berjanji akan bertindak dengan hati-hati?"
"Ya, tentu saja!" kata Pete dengan mantap.
"Bagus," kata Tuan Putri. Air mukanya kini menampakkan perasaan murung. "Aku harus tahu, apakah kesimpulan kalian itu benar atau tidak. Seperti sudah pernah kukatakan, aku sebenarnya tidak begitu dekat dengan mendiang abangku. Ia berwatak aneh, suka menutup diri. Aku... aku tidak tahu, apa sebenarnya pekerjaannya. Ia kelihatannya tidak pernah memiliki tempat tinggal yang tetap. Dan ia bergaul dengan orang yang aneh-aneh."
"Mungkin saja ia cuma diperalat penjahat," kata Jupiter.
"Itu masih mendingan daripada ia sendiri penjahat! Tapi walau begitu..." Tuan Putri mendesah, "hasil kerja kalian selama ini kelihatannya memuaskan, dan kurasa kalian tentu akan berhasil menyelidiki kebenaran tentang abangku. Aku ingin mengetahuinya - agar tidak selalu dirundung ketidakpastian."
"Maaf, Tuan Putri," kata Jupiter, "adakah sesuatu yang Anda temukan pada benda-benda yang selama ini berhasil kami temukan kembali?"
"Tidak, Jupiter. Menurut dugaanmu, apakah benda berharga itu? Itu jika memang ada suatu benda yang berharga." "Itu belum kami ketahui," kata Jupiter berterus terang.
"Tapi menurut perasaanmu, benda itu disembunyikan Joshua di salah satu tempat - dan kata-katanya yang terakhir merupakan pesan tertentu, yang ditujukan pada seseorang? Pesan untuk mengatakan, di mana benda yang disembunyikan itu berada?"
"Tentang itu, saya yakin sekali," kata Jupiter dengan mantap.
"Baiklah kalau begitu. Tapi hati-hati, ya! Terutama dalam menghadapi orang yang bernama De Groot itu. Jangan sampai aku menyesal, karena menyuruh kalian terus. Jika ada sesuatu yang berhasil kalian ketahui, laporkanlah dengan segera padaku."
Sambil tersenyum, wanita ningrat itu mempersilakan anak-anak pergi lagi. Kedua remaja itu bergegas-gegas pergi ke sepeda mereka. Mereka merasa berbahagia.
* * *
Pete dan Jupiter merangkak di dalam pipa saluran yang merupakan Lorong Dua, menuju kravan yang tersembunyi. Ketika keduanya muncul lewat tingkap di lantai, ternyata Bob sudah menunggu mereka di dalam. "Aku punya kabar baru, Teman-teman!" kata Bob, begitu ia melihat kedua rekannya. "Kami juga!" balas Pete.
"Kita diizinkan melanjutkan penyelidikan," kata Jupiter dengan bangga. Diceritakannya kejadian yang dialami di motel tempat Tuan Putri dan Mr. Marechal menginap.
"Jadi dari sana Skinny tadi rupanya, ketika ia dengan bergegas-gegas muncul dengan mobilnya," kata Bob. "Tampangnya saat itu kelihatannya ketakutan. - Wah, jadi kita boleh meneruskan penyelidikan? Asyik!"
"Kau tadi melihat Skinny di rumahnya, Bob?" tanya Jupiter. "Dan kau membawa kabar tentang dia?"
"Betul," kata Bob. "Begitu datang, ia langsung masuk ke rumah, lalu mendekam terus di situ. Tapi sebelumnya aku sudah sempat bercakap-cakap dengan tukang kebun keluarga Norris. Dari orang itu aku mendapat keterangan tempat Norris bekerja."
"Pentingkah itu, Bob?" tanya Pete.
"Di mana?" desak Jupiter.
"Ia bekerja sebagai asisten Mr. Maxwell James!" "Maxwell James?" Pete nampak bingung. "Itu kan..."
"Pelukis kenamaan itu!" kata Jupiter dengan mata bersinar-sinar. "Lukisan-lukisannya terkenal di seluruh dunia! Dan orang itu tinggalnya di sini, di Rocky Beach!"
"Di sebuah gedung besar, dengan studio yang letaknya tersendiri," kata Bob. "Kenapa bisa begini kebetulan, ya? Kita mencari-cari sejumlah lukisan, dan kini ternyata bahwa Skinny bekerja pada seorang pelukis kenamaan."
"Menurutku, itu sudah bukan kebetulan lagi," kata Jupiter. "Sehabis makan nanti, kurasa kita perlu berkunjung ke tempat Mr. Maxwell James."
* * *
Ketiga remaja itu menyandarkan sepeda mereka di luar, tidak jauh dari pintu gerbang besi yang tinggi. Itulah jalan masuk ke pekarangan Mr. Maxwell James. Dari luar mereka bisa melihat menara-menara dari sebuah gedung besar yang mirip kastil, menjulang di atas puncak pepohonan rimbun. Pintu gerbang terbuka. Sore hari itu nampaknya tidak ada siapa-siapa di sekitar situ.
"Kalau begitu kita masuk saja," kata Pete setelah beberapa saat celingukan.
Mereka masuk lewat gerbang yang lebar, lalu menyusur jalan sempit berkelok-kelok, di antara tetumbuhan yang lebatnya seperti di dalam rimba. Tahu-tahu terdengar jeritan melengking. Bunyinya seperti wanita - atau anak kecil - yang kesakitan.
"Suara apa itu?" tanya Bob berbisik-bisik.
"Aku tidak ingin tahu," kata Pete sambil mengerang. "Yuk, kita ke luar lagi!" Suara menjerit tadi terdengar sekali lagi. Datangnya dari sebelah kiri mereka. "Ada yang memerlukan pertolongan!" seru Bob. "Yuk," ajak Jupiter. "Tapi hati-hati, jangan sampai kelihatan."
Mereka menyelinap dengan berhati-hati, menerobos belukar. Teriakan melengking itu terdengar lagi - kini langsung dari arah depan! Jupiter menyibakkan dedaunan lebat ke pinggir. Di depan mereka nampak tempat lapang yang tidak begitu luas.
Dan di situ ada binatang sejenis kucing sedang merunduk. Kucing besar, dengan bulu bertotol-totol!
Anak-anak berdiri seperti terpaku. Tenggorokan mereka terasa kering. Tanpa ada yang bicara, mereka menatap sepasang mata hijau yang seolah-olah memukau mereka! Makhluk besar seperti kucing itu mengangakan mulut dengan taring-taring yang panjang - lalu terdengar lagi suara jeritan yang tadi.
"Macan tutul!" seru Jupiter. "Lari!"
"Jangan!" kata Pete dengan tegas "Jangan lari! Tetap di tempat kalian!" Saat itu terdengar suara seseorang di belakang mereka.
"Nah! Ketahuan sekarang!" sergah orang itu. "Jangan coba-coba melarikan diri."
Ketiga remaja itu berpaling dengan cepat. Mereka melihat seorang laki-laki bertubuh besar seperti beruang, dengan janggut dan rambut lebat berwarna merah. Mata orang itu berkilat-kilat karena marah. Di tangannya tergenggam sebilah tombak. Mata tombak itu langsing dan panjang - sekitar satu meter!
Jupiter dan kedua rekannya mencari-cari jalan untuk melarikan diri. Mereka berbalik, menghadap macan tutul tadi. Tiba-tiba binatang buas itu menyergah, lalu meloncat - ke arah mereka!

Bab 14
LUKISAN BERHANTU

Binatang buas itu menerpa ke arah anak-anak - tapi kemudian seperti membentur dinding yang tidak kelihatan. Macan tutul itu terbanting ke tanah, lalu menyelinap ke tempat yang lapang. Di situ ia mendekam, sementara matanya yang hijau masih terus menatap ke arah anak-anak.
"Bagaimana...," kata Bob dengan suara gemetar.
Pete mengulurkan tangannya ke depan, ke luar dari dedaunan di depan mereka. Ia menyentuh dinding yang tidak kelihatan tadi pada jarak tidak sampai setengah meter di depan mereka.
"Kaca!" katanya. "Macan tutul itu dikurung di dalam kandang berdinding kaca. Jarak kita dari dinding itu begitu dekat, sehingga kita tidak melihatnya. Tempat lapang di depan itu dikelilingi dinding kaca!"
"Ya, tentu saja," kata laki-laki berjanggut merah yang masih ada di belakang mereka. "Kalian kan tidak beranggapan macan tutul Afrika kubiarkan lepas, sehingga bisa berkeliaran di Rocky Beach?"
"Saya... saya rasa kami tidak sempat berpikir panjang tadi," kata Jupe.
"Kenapa Anda menaruhnya di dalam kandang kaca, Sir?" tanya Bob.
"Kalau tidak begitu, bagaimana aku bisa mempelajari gerak-geriknya, meneliti otot-otot, caranya berjalan, duduk, dan berteriak?" kata laki-laki berjanggut itu.
"Andalah pelukis itu!" kata Jupiter, begitu hal itu disadarinya. "Anda Mr. Maxwell James!" "Dan Anda saat ini sedang melukis macan tutul itu," kata Bob menduga.
"Aku sedang melukis berbagai tema Afrika. Misalnya saja tombak ini. Ini tombak yang jarang ada. Matanya sangat panjang, dan langsing. Tombak suku Massai. Gunanya untuk berburu singa. Tapi bukan itu saja kegunaannya!" Mr. James mengacungkan tombak itu lurus-lurus ke arah anak-anak. "Sekarang katakan, mau apa kalian bertiga masuk ke studioku!"
"Kami tidak masuk ke studio Anda," kata Pete membela diri dengan sengit, "dan kami tidak berniat jahat!" "Kalau begitu, kenapa kalian menyelinap-nyelinap di sini?"
"Kami ini penyelidik, Mr. James," kata Jupiter. "Kami kemari untuk bicara dengan Anda tentang asisten Anda, Skinny Norris. Tapi sekarang -"
"Norris? Anak brengsek itu? Sekarang aku yakin, kalian pasti kemari dengan niat jahat! Ayo, masuk ke rumahku. Akan kupanggil polisi!"
Pelukis itu mengacungkan tombak dengan sikap mengancam. Jupiter dan kedua rekannya berjalan dengan langkah lesu, masuk ke gedung besar yang mirip kastil. Mr. James menggiring mereka ke sebuah ruang baca yang penuh dengan buku.
"Jika Anda hendak menelepon polisi, Sir, " kata Jupiter, "mintalah agar dihubungkan dengan Chief Reynolds. Ia mengenal kami."
"Kepala polisi itu kenal kalian?" Mr. James nampak agak ragu. Jupiter melihat peluang.
"Mungkin ada gunanya jika Anda bersedia membaca kartu nama kami."
Dikeluarkannya kartu bisnis Trio Detektif, lalu disodorkannya pada pelukis itu. Mr. James membaca tulisan yang tertera di situ, sambil mengerutkan kening.
"Ini kelihatannya memang tanda tangan Chief Reynolds," katanya agak menggerutu.
"Kalau Anda masih belum percaya juga, silakan menelepon Alfred Hitchcock, sutradara film itu!" kata Pete.
"Menelepon Alfred?" Mr. James menatap mereka sambil melotot. "Sekarang kalian terjebak sendiri. Ia kebetulan kenalan baikku. Akan kutelepon dia sekarang ini juga!"
Pelukis itu mengangkat gagang teleponnya, lalu memutar beberapa nomor berturut-turut. Begitu terdengar suara di seberang sambungan, ia minta bicara dengan Mr. Hitchcock.
"Alfred? Di sini Max James. Aku menelepon dari rumahku. Di sini ada tiga orang remaja yang masuk secara diam-diam kemari. Mereka... Apa? Ya - itulah nama-nama mereka. Seorang di antaranya menyerahkan kartu nama tadi. Bagaimana Anda bisa tahu? O..., begitu... Jadi mereka tidak berbohong...? Baiklah, Alfred. Yuk, sampai lain kali!"
Pelukis itu meletakkan gagang telepon, lalu memandang ketiga remaja di depannya.
"Jadi kalian ini ternyata benar-benar detektif. Kata Alfred tadi, kalian jujur, dan juga cerdas. Jadi rasanya tombak ini tak kuperlukan."
Mr James menyandarkan tombak suku Massai-nya ke sudut mangan.
"Mr. Hitchcock sudah sering memberikan dukungan pada kami," kata Jupiter dengan sikap formal.
"Ya, begitulah katanya tadi," kata Mr. James membenarkan. "Walau begitu ia juga mengatakan, jika aku ingin hidup tenang, lebih baik aku jangan sampai terlibat urusan dengan kalian bertiga. Ia juga mengatakan, kalian ini cenderung berfantasi yang macam-macam." Mr James menggumam. "Mungkin itulah yang kuperlukan."
"Untuk menyelidiki misteri di studio Anda, Sir?" tanya Jupiter.
"Apa? Dari mana kau tahu bahwa di studioku ada misteri?"
"Anda tadi menuduh bahwa kami berbuat sesuatu di studio Anda," kata Jupiter. "Jadi ada sesuatu terjadi di sana. Anda juga mengatakan bahwa Anda mungkin memerlukan fantasi -jadi hal yang terjadi itu mestinya misterius." "Itu penarikan kesimpulan yang cerdas." "Adakah sangkut pautnya dengan lukisan yang dicuri?"
"Dari mana lagi kau mengetahui hal itu? - Tapi bukan dicuri, melainkan diambil tanpa minta izin, dan kemudian dikembalikan. Pelakunya sudah kupecat. Tapi itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan misteri yang kuhadapi. Kita bicara secara gamblang saja, Anak-anak - aku seolah-olah memiliki sejumlah lukisan yang ada hantunya!"
"Lukisan - berhantu?" seru Bob dan Pete serempak.
"Penjelasan lain, tidak ada," kata Mr. James. "Letak studioku agak jauh dari sini. Dua pagi yang terakhir, ketika aku memasuki studioku itu untuk bekerja - tahu-tahu kulihat letak lukisan-lukisan itu sudah berubah. Benda-benda lain pun ikut berubah letak. Tidak ada yang hilang, semua masih rapi seperti biasa - hanya beberapa barang berpindah tempat."
"Apakah lukisan-lukisan yang Anda katakan berhantu itu seperti lukisan yang diambil, lalu dikembalikan lagi, Sir? " tanya Jupiter.
"Ya, memang!" jawab Mr. James. "Semuanya kubeli beberapa waktu yang lalu, di suatu perusahaan barang bekas."
"Kalau begitu saya rasanya bisa menjelaskan apa yang terjadi," kata Jupiter. Kemudian ia bercerita tentang Joshua Cameron, tentang Tuan Putri dan Mr. Marechal, serta tentang De Groot. "Jadi menurut dugaan saya, ada orang memasuki studio Anda untuk meneliti lukisan-lukisan itu!"
"Begitu," kata Mr James. "Tapi - ada tapinya! Malam hari, studioku itu tidak bisa dimasuki orang, karena terkunci rapat!"

Bab 15
MEMASANG PERANGKAP

"Terkunci rapat?" seru Bob.
"Ya, jadi tidak mungkin bisa dimasuki orang! Dan dari dalam, tidak bisa ke luar," kata Mr. James. "Kalian ingin memeriksa studioku itu?" "Ya, Sir!" kata Pete.
Ketiga remaja itu mengikuti Mr. James. Mereka diajak ke luar dari rumah yang besar, melintasi pekarangan yang seakan-akan rimba, dan melewati macan tutul di dalam kandangnya. Studio pelukis itu ternyata juga merupakan bangunan dari batu, dengan jendela-jendela berterali kokoh serta dengan pintu dari besi. Sebelum masuk, Jupiter meneliti kunci pintu sebentar. Ternyata memang aman, tidak mungkin bisa diutik-utik.
"Orang yang ahli pun pasti membutuhkan waktu sejam, sebelum bisa membukanya secara paksa," kata Mr. James mengomentari. "Lagi pula, di situ sama sekali tidak nampak tanda-tanda ada yang mengutik-utik."
Di dalam, Jupiter mula-mula meneliti engsel pintu. Juga tidak nampak bekas apa-apa di situ.
"Pintu masuk kemari cuma satu itu, Jupiter," kata Mr. James.
Ruang studio itu luas, dilengkapi dengan rak-rak untuk menaruh macam-macam. Sinar matahari masuk lewat dua jendela dorong, serta sebuah jendela kaca besar di langit-langit. Kedua jendela dorong membuka ke arah dalam, dan sisi luarnya diamankan dengan terali yang kokoh. Sedang jendela yang di langit-langit sama sekali tidak bisa dibuka. Di dalam studio itu tidak ada alat penghangat ruangan. Sebuah kipas angin kecil terpasang pada lubang yang tinggi letaknya, pada dinding sebelah belakang. Dari kipas angin itu ada kabel listrik yang menghubungkannya dengan stop-kontak yang letaknya di dekat lantai. Lantai ruangan terbuat dari batu masif, tanpa ruang kolong di bawahnya. Baik di lantai maupun di dinding yang mana pun, sama sekali tidak ditemukan lubang atau rongga. Ruangan itu memberikan kesan kekar, seperti benteng. Tidak ada jalan masuk ke luar yang lain, kecuali pintu besi yang hanya satu.
"Dan setiap malam, pintu itu selalu kukunci," kata Mr. James.
"Wah," kata Pete kagum. "Tapi mungkin juga barang-barang itu bergerak karena gempa. Di sini kan sering terjadi gempa bumi yang tidak begitu terasa."
"Tidak, Pete," bantah Mr. James. "Lukisan-lukisan itu tidak cuma bergerak saja, tapi kutemukan di dalam celah penyimpanan yang keliru pada rak-rak."
"Rak-rak yang itu, Mr. James?" tanya Jupiter.
Ia menuding sebuah rak besar yang penuh dengan lukisan yang sudah selesai.
"Bukan - rak itu berisi lukisan-lukisanku," kata pelukis kenamaan itu. "Kanvas-kanvas yang kubeli di perusahaan waktu itu, kutaruh di rak yang sebelah sana."
Mr. James menunjuk ke sebuah rak yang lebih kecil. Kanvas-kanvas yang ada di situ kebanyakan masih polos, belum ada lukisannya. Jupiter melihat pinggiran dari dua lukisan Joshua Cameron yang terakhir.
"Bolehkah kami melihat kesemua lukisan itu, Mr. James?" tanya Jupiter.
"Tentu saja! Tolong aku mengeluarkannya, Anak-anak."
Beberapa menit kemudian, kedua puluh lukisan itu sudah tersebar di dalam studio, disandarkan ke dinding, serta rak-rak yang ada di situ.
"Kenapa lukisan-lukisan ini Anda taruh di rak tempat kanvas-kanvas yang masih kosong, Mr. James?" tanya Jupiter.
"Karena kubeli untuk kulukisi dengan karyaku sendiri. Para pelukis banyak yang punya kebiasaan begitu. Aku selalu mencari-cari kanvas yang sudah ada lukisannya. Minggu lalu untuk pertama kali aku secara untung-untungan saja mampir di perusahaan pamanmu. Siapa tahu, di situ ada lukisan-lukisan tua. Ternyata aku menjumpai kedua puluh lukisan ini."
"Untuk Anda jadikan dasar bagi lukisan Anda sendiri?" kata Bob.
Mr. James mengangguk.
"Kalau begitu," kata Jupiter, "lukisan-lukisan ini Anda anggap tidak bermutu? Sama sekali tidak ada harganya?"
"Bagiku tidak, Jupiter - dan aku belum pernah mendengar nama Joshua Cameron," kata Mr. James. "Tapi ngomong-ngomong, lukisan-lukisan ini menampakkan ketrampilan teknik yang sangat baik. Selaku pelukis, Cameron betul-betul ahli - bahkan sangat ahli. Memang aneh, kenapa namanya sama sekali tidak dikenal."
"Ia belum pernah mengadakan pameran," kata Pete menjelaskan, "dan juga tidak pernah ada lukisannya yang dijual olehnya."
"Ya - tadi kalian sudah mengatakan, wataknya eksentrik," kata Mr. James sambil mengangguk. "Sayang - karenanya dunia kehilangan pelukis yang baik."
"Karya-karya Joshua sebetulnya bisa bernilai tinggi?" tanya Jupiter. "Maksud saya, jika ada yang menganggap lukisan-lukisan ini berharga, dan karenanya ingin membeli?"
"Mungkin saja," Mr. James memperhatikan lukisan-lukisan itu dengan sikap ragu. "Tapi aku menyangsikannya. Untuk menjadi pelukis besar, ketrampilan yang bagaimanapun hebatnya masih belum mencukupi. Untuk itu diperlukan kehalusan perasaan, gaya - pokoknya sesuatu yang membuat lukisan kita berbeda dari karya-karya orang lain. Kalian lihat, betapa berbedanya masing-masing lukisan ini? Seolah-olah yang membuat pelukis yang berbeda-beda! Para pelukis kebanyakan memiliki gaya sendiri yang khas, sedang Joshua Cameron ini, kelihatannya sama sekali tidak memiliki gaya khas."
"Maksud Anda, kebanyakan pelukis selalu melukis begitu-begitu terus?" tanya Bob.
"Ada juga perubahan, tapi tidak banyak. Sedang lukisan-lukisan ini dibuat dengan dua puluh gaya yang berbeda-beda - dan tidak satu pun bisa dibilang merupakan gaya asli. Mr. Cameron meniru karya pelukis-pelukis lain, dan
tidak mengungkapkan gayanya sendiri yang khas. Tidak ada pembeli karya seni berpengetahuan luas yang akan menilai karya-karya ini berharga."
"Bolehkah kami meneliti lukisan-lukisan ini, Sir?" tanya Jupiter.
"Silakan!"
Ketiga remaja itu menghampiri kedua puluh lukisan itu, untuk diteliti. Lukisan-lukisan itu tidak diberi bingkai, melainkan hanya terpentang di atas kerangka kayu. Penelitian mereka tidak membuahkan hasil apa-apa.
"Jelas tidak ada apa-apa yang disembunyikan pada salah satu lukisan ini," kata Pete. "Juga tidak nampak pesan apa pun."
"Betul," kata Jupiter, sambil menatap lukisan-lukisan itu. Masing-masing lukisan menampakkan rumah kecil di Remuda Canyon, yang ditinggali Joshua sampai akhir hayatnya. Tiba-tiba Jupiter membungkuk, mengamat-amati salah satu lukisan itu dengan lebih teliti. "He - lukisan-lukisan ini kelihatannya diberi nomor urut! Ini nomor satu, dan..."
Ketiga remaja itu kembali meneliti lukisan-lukisan itu. Dan benarlah - masing-masing diberi nomor tertentu, yang dibubuhkan dengan cat di salah satu sudut. Lukisan-lukisan itu dipindah-pindahkan letaknya sampai berjejer menurut urutan angka, dari satu sampai dua puluh. Setelah itu mereka mundur beberapa langkah, untuk memperhatikan dari agak jauh. Mr. James ikut-ikutan memperhatikan.
Ternyata lukisan nomor satu menampakkan rumah itu dilihat dari jarak sangat dekat. Sedang pemandangan dari kejauhan, merupakan lukisan paling akhir.
"Aku masih tetap tidak mendapat kesan adanya salah satu pesan," kata Pete, setelah beberapa lama mengamat-amati.
"Aku juga tidak," kata Bob.
"Kalau melihat lukisan-lukisan ini berturut-turut dari nomor satu sampai nomor dua puluh," kata Jupiter, "rumah itu nampaknya seperti mengkerut. Pepohonan di latar depan, batu-batu, dan kursi kanvas - pada kedua puluh lukisan ini, ukurannya tetap sama besar. Tapi rumahnya mengecil, akhirnya yang kelihatan pada lukisan terakhir cuma tenda yang menaungi beranda."
"Kau benar, Jupe!" seru Bob. "Memang - rumah itu nampaknya seperti mengecil, dan bukan semakin jauh letaknya. Tapi apa yang dimaksudkan dengan itu?"
"Jadi sebagai tambahan lukisan-lukisan berhantu, kalian kini menghadapi misteri rumah yang mengkerut," kata Mr. James sambil tersenyum.
"Aku tahu, lukisan-lukisan ini mengandung salah satu arti penting," kata Jupiter, "dan itulah sebabnya kenapa ada orang memindah-mindahkan letaknya, malam-malam."
"Tapi tidak ada orang bisa masuk kemari saat itu, Jupiter," kata Mr. James. Jupiter menggeleng dengan sikap yakin.
"Tidak ada ruang tertutup, tempat benda-benda bisa bergerak sendiri."
Penyelidik Satu Trio Detektif itu duduk di sebuah bangku panjang yang diselubungi hamparan, lalu memandang berkeliling. Mr. James duduk di sofa. Sedang Bob dan Pete mengambil kursi berlengan.
"Jika kita bisa mengetahui siapa orang yang malam-malam masuk kemari," kata Jupe, "mungkin kita akan bisa tahu, apa sebabnya lukisan-lukisan ini penting."
"Bagaimana caranya?" tanya Pete.
Jupiter berdiri. Dibukanya pintu satu-satunya lemari yang ada di dalam studio itu. Rak-rak lemari itu berisi kaleng-kaleng, kuas, serta perlengkapan lainnya untuk melukis. Sisi belakangnya dinding batu.
"Hanya ada satu cara untuk itu," kata Jupiter. "Salah seorang dari kita bersembunyi di dalam lemari ini, untuk melihat apakah malam ini ada lagi orang masuk kemari."
"Baiklah, Jupiter - aku yang akan bersembunyi di situ," kata Mr. James.
"Tidak, Mr. James. Anda harus mengunci pintu dari luar, lalu pergi. Aku yakin, Anda pasti diamat-amati. Orang itu takkan masuk kemari sebelum ia tahu pasti bahwa Anda sudah pergi, setelah mengunci pintu studio ini." "Wah," kata Bob, "malam ini aku ada pekerjaan, disuruh ayahku." "Dan aku," kata Jupiter, "aku harus ada di luar, untuk mengintai." Pete mengerang.
"Nanti, nanti, tunggu dulu!" katanya. "Aku harus berpikir sebentar! Pasti ada sesuatu yang malam ini harus kulakukan di tempat lain!"
"Kita harus mengetahui apa sebetulnya yang terjadi, Pete," kata Jupiter.
"Ya, ya - aku juga ingin tahu bagaimana benda-benda bisa bergerak di dalam studio yang terkunci rapat," kata Pete. Sambil bergidik, ia menambahkan, "Tapi saat mengetahuinya, aku tidak ingin berada di dalam ruangan ini!" "Kami kan ada di luar, Pete," kata Mr. James menenangkan.
Kemudian Jupiter memaparkan garis-garis besar rencana untuk malam itu. Setelah itu anak-anak pulang ke rumah masing-masing. Jupe dan Pete minta izin untuk menginap di rumah Mr. James malam itu. Sehabis makan malam, keduanya bergegas kembali ke tempat kediaman pelukis itu, lalu menyelinap-nyelinap lewat pekarangan yang merimba, menuju ke studio. Selama beberapa waktu mereka menunggu sambil bersembunyi di luar. Mereka membuka mata dan telinga, kalau-kalau ada orang lain di sekitar situ. Tapi keadaan kelihatannya aman. Dengan cepat Pete melesat masuk ke situ, lalu bersembunyi di lemari. Pintunya dibiarkannya menganga secelah. Dengan begitu ia bisa melihat jendela-jendela, serta separuh ruangan. Di luar, Jupiter menyembunyikan diri di tengah serumpun semak. Dari tempat itu ia bisa mengamat-amati jalan masuk ke studio.
Sesuai dengan rencana yang sudah diatur oleh Jupiter, tidak lama sebelum matahari terbenam Maxwell James muncul dari gedung besar tempat tinggalnya, menuju ke studio. Ia berjalan dengan langkah berisik. Pelukis itu memeriksa lemari, untuk melihat apakah Pete sudah ada di situ. Setelah itu ia berbenah sebentar, lalu mengunci
jendela-jendela. Selesai dengan pekerjaan itu, ia ke luar lagi. Pintu besi ditutup, lalu dikunci. Kemudian ia kembali ke rumah, menunggu hari sudah gelap. Saat itu ia akan datang lagi, untuk menggabungkan diri dengan Jupiter.

Bab 16
RUANGAN TERKUNCI RAPAT

Pete mengintip lewat celah pintu lemari. Dilihatnya di luar sudah mulai gelap. Ia merasa pegal, karena sikap duduknya tidak enak. Tapi ia tidak berani bergerak, karena takut bunyinya terdengar orang lain. Satu jam sudah berlalu.
Tapi tidak ada sesuatu pun yang terjadi. Hawa di dalam lemari mulai terasa panas dan pengap. Pete bertanya-tanya dalam hati, apakah Jupiter dan Mr. James sudah siaga di luar. Kakinya mulai kesemutan - dan itu menyebabkan Pete merasa gelisah.
Berapa waktu kemudian Penyelidik Kedua Trio Detektif itu mulai merasa lapar. Ia membawa bekal beberapa potong sandwich. Diambilnya sebuah, lalu dikunyahnya dengan hati-hati -jangan sampai menimbulkan bunyi. Satu jam lagi sudah berlalu.
* * *
Sinar bulan yang seperti tersaring daun-daun pepohonan rimbun, menimbulkan bayang-bayang tak menentu. Jupiter dan Mr. James berjongkok di belakang semak lebat, sambil mengamat-amati pintu studio yang terkunci. Sampai pukul sepuluh malam, mereka masih belum melihat apa-apa. Studio tetap gelap, dan sunyi sepi.
Tidak nampak orang menyelinap di pekarangan tempat kediaman Mr. James, dengan tumbuh-tumbuhan lebatnya yang memberikan kesan seolah-olah berada di dalam rimba.
Tidak ada apa-apa yang terjadi selama itu - atau setidak-tidaknya, sesuatu yang lain dari biasa. Macan tutul mondar-mandir di dalam kandang kaca, sambil menggeram-geram. Suara serangga memecah kesunyian malam, sementara satwa malam yang kecil terdengar menyelinap pelan di tengah belukar.
Jupiter menggeser sikap dengan gelisah. Ia mendesah.
Tidak suatu apa pun terjadi.
* * *
Pete bersusah payah, berusaha mengusir kantuk yang datang menyerang. Ia masih meringkuk di dalam lemari sempit yang pengap. Kelopak matanya terasa semakin berat. Ada sesuatu yang menyebabkan kepalanya pusing. Rasa mengantuk melanda kesadarannya. Berulang-ulang, seperti gelombang.
Peter berusaha bertahan dengan susah payah. Tapi setiap kali, matanya terpejam kembali. Dua kali ia terlelap sesaat. Ketiga kalinya ia kaget, terbangun setelah agak lama terlena. Kini ia sadar apa yang menyebabkan kepalanya terasa begitu ringan.
Uap!
Lemari itu penuh dengan kaleng-kaleng berisi cat pelarut dan cairan pengencer. Uap yang berasal dari segala cairan itu mengisi lemari. Hawa panas, kesunyian, ditambah lagi dengan uap yang memabukkan, menyebabkan Pete tidak kuat menahan rasa kantuknya.
Ia terlelap. Ia tidak tahu, seberapa lama. Tapi ketika ia kemudian mendusin - tahu-tahu timbul perasaannya bahwa ia tidak seorang diri lagi di dalam studio.
Ada sesuatu di situ!
Pete menggoyang-goyangkan kepala, berusaha menjernihkan pikirannya. Sadarkah ia saat itu? Atau tidur? Pikirannya seakan-akan terselubung kabut tebal.
Sesuatu yang dirasakannya ada itu bergerak kian kemari. Suatu sosok langsing nampak seperti mengambang diterangi sinar bulan temaram. Sosok itu seakan-akan mengambil sebuah lukisan, lalu melayang dengannya menuju sebuah jendela yang diamankan dengan terali. Sesampai di situ lukisan tadi tahu-tahu lenyap - seperti disulap!
Sosok samar tadi mengambang di dekat jendela itu. Rasanya lama sekali wujud ituu di situ - sementara Pete berusaha keras menggugah dirinya agar bisa berbuat sesuatu.
Kemudian muncul sebuah lukisan di dekat sosok aneh itu. Lukisan itu meliuk-liuk samar. Sosok itu melayang kembali dengannya ke rak. Di situ diambilnya lukisan lain, lalu dibawa ke jendela yang berterali.
Pete mencoba berdiri. Tapi lututnya terasa lemas. Ia tidak berhasil menggerakkan kakinya.
Sosok samar itu melayang, mendekati dirinya.
Pete membuka mulut. Berusaha menjerit.
* * *
Jupe dan Mr. James mendengar teriakan samar. "Tolong!"
Hampir-hampir tak terdengar. Dan datangnya dari dalam studio! "Cepat, Jupiter!" kata Mr. James.
Keduanya bergegas bangkit, lalu lari menuju pintu besi. Di dalam studio masih tetap gelap, dan sunyi. Mr. James mengambil anak kunci, lalu berusaha membuka pintu. Ia tidak langsung berhasil, karena memang tidak gampang membuka kunci dalam gelap. Tapi akhirnya pintu terbuka. Mr. James mementangkannya lebar-lebar, lalu bergegas masuk.
"Nyalakan lampu, Jupiter! Di sana, dekat pintu!"
Jupiter menemukan saklar yang dimaksudkan, lalu menyalakan lampu.
Ruang studio itu kosong.
Mr. James lari menghampiri lemari, diikuti oleh Jupiter. Pete masih tetap duduk di lantai. Matanya nyalang. Tapi ia kelihatannya seperti linglung.
"Astaga! Uap larutan dan cairan pengencer!" gumam Mr. James. "Cepat - tarik dia ke luar, Jupiter!"
Pete dipapah sehingga berdiri. Kaki Penyelidik Kedua itu kesemutan. Jupiter dan Mr. James terpaksa membimbingnya berjalan bolak-balik, sampai peredaran darahnya normal kembali. Sementara itu pikiran Pete dengan cepat menjadi jernih lagi, karena menghirup udara segar di dalam studio.
"Wow!" katanya. "Aku tadi tidak mampu melawan rasa kantuk. Tapi aku melihatnya! Sesuatu yang aneh - seperti hantu!"
"Lihatlah!" seru Jupiter.
Salah satu lukisan Joshua Cameron tergeletak di lantai, di dekat salah satu jendela yang berterali. Jendela itu terbuka.
"Hantu itu yang melakukannya!" Pete menggigil, lalu cepat-cepat duduk di bangku yang beralas hamparan, seolah-olah memerlukan tumpuan. Kemudian diceritakannya bagaimana hantu itu dilihatnya mengambang bolak-balik sambil membawa lukisan-lukisan.
"Tadi memang ada yang masuk kemari," kata Jupiter, "tapi bukan hantu. Tidak bisa kuterima ada hantu yang kebetulan tertarik pada lukisan-lukisan Joshua Cameron." "Tapi aku melihat hantu itu!" kata Pete berkeras.
"Berpikirlah yang logis, Dua. Kau tadi mengantuk dan mabuk karena pengaruh uap segala cairan di dalam lemari. Ketika melihat seseorang di sini, kau menyangka yang kaulihat itu hantu."
"Kalau begitu bagaimana ia bisa masuk kemari?" tanya Mr. James. "Hanya hantu saja yang bisa menyusup lewat terali jendela itu. Dan kita tadi tidak melihat ada orang menghampiri pintu."
"Jadi - ia pasti masuk lewat jalan lain," kata Jupiter. Ia memandang berkeliling, mengamat-amati dengan saksama. Tiba-tiba matanya bersinar.
"Itu - di sana!" serunya.
Pete dan Mr. James mengikuti arah telunjuk Jupe yang menuding ke arah sebelah atas dinding belakang studio. Di tempat itu biasanya nampak kipas angin yang dipasang di dalam tembok. Tapi kini, hanya lubang menganga saja yang kelihatan. Kipas anginnya tidak ada lagi. Kabel listrik yang biasanya tergantung kendur di situ, kini nampak terbentang kencang. Dari stop-kontak ke lubang - dan dari situ ke luar.
Jupiter menghampiri kabel itu, lalu menariknya pelan-pelan. Dari balik dinding terdengar bunyi sesuatu yang menggeser.
"Kipas angin Anda ternyata tidak begitu kokoh pemasangannya, Mr. James," kata Jupiter. "Orang yang disangka hantu oleh Pete itu membongkar dan menariknya ke luar, tapi dibiarkan tergantung pada kabel. Dan ia kemudian masuk kemari lewat lubang kecil itu!"
"Tapi sisi-sisi lubang itu kan cuma sekitar tiga puluh senti saja lebarnya, Jupe!" kata Pete. "Siapa yang bisa masuk lewat lubang sekecil itu?"
"Orang yang bertubuh kecil, atau sangat kurus," jawab Jupiter.
Mr. James menggeleng-geleng dengan takjub.
"Aku seharusnya tahu, kejadian ini bisa dijelaskan dengan akal sehat," katanya. "Memang tak pernah terpikir olehku untuk memeriksa baut-baut kipas angin itu."
"Saya juga tidak," kata Jupiter dengan nada menyesali diri. Ia paling tidak senang melakukan kekeliruan. Karenanya ia jengkel sekali, kenapa tadi siang tidak melakukan pemeriksaan dengan lebih cermat Ditatapnya lubang tempat kipas angin itu dengan wajah masam. Tapi pelan-pelan air mukanya berubah - menjadi terheran-heran.
"Tapi ada satu soal yang membingungkan," katanya, seolah-olah pada diri sendiri. "Kita tadi dengan segera kemari, begitu terdengar Pete berteriak. Dalam beberapa detik saja, aku dan Mr. James sudah ada di sini. Orang tadi itu takkan mungkin sempat memanjat ke atas lagi, lalu meloloskan diri tanpa ketahuan lewat lubang itu."
Mr. James memandang berkeliling, lalu mengangkat bahu.
"Yang jelas, sekarang tidak ada siapa-siapa lagi di sini - kecuali kita bertiga!"
"Ya, itu betul, Jupe," kata Pete menimpali.
Jupiter menoleh ke arah Pete - lalu membelalakkan mata!
"Ada apa, Jupe?" tanya Pete gugup.
"Kurasa aku tahu jawabannya," kata Jupiter dengan suara lirih. "Aku tahu di mana 'hantu' kita itu!" "Di mana?" seru Pete.
"Lihatlah ke bawah," kata Jupiter. "Kau duduk di atasnya."
Pete terlonjak bangkit seperti disengat. Ia menoleh ke bawah, memandang bangku panjang diselubungi hamparan tempat ia duduk selama itu.
"Nah - sekarang keluarlah dari peti!" kata Jupiter dengan lantang.
Sunyi sesaat. Tapi kemudian hamparan yang tadi diduduki Pete terangkat satu sisinya, lalu jatuh ke lantai. 'Bangku' itu ternyata peti yang tutupnya membuka ke atas. Pete, Jupiter, dan juga Mr. James terkejap-kejap memandang orang yang keluar dari peti itu dengan takut-takut.
"Skinny Norris!" seru Pete.

Edit by: zhe (zheraf.wapamp.com)
http://www.zheraf.net

Bab 17
KARYA EMPU YANG HILANG

Skinny Norris duduk terhenyak di sudut studio. Mukanya pucat. Pete berdiri di dekatnya, untuk menjaga.
"Bagaimana kau bisa mengetahui bahwa ia ada di dalam peti itu?" tanya Maxwell James pada Jupiter.
"Ketika ia tadi masuk, hamparan di atas peti tergeser sehingga sudutnya kelihatan sedikit," kata Jupiter. "Karenanya saya sadar bahwa dugaan saya semula keliru. Itu bukan bangku, tapi peti! Dan karena tidak ada tempat lain di sini tempat orang bisa bersembunyi, maka saya langsung tahu bahwa orang itu pasti ada di dalamnya!"
"Penarikan kesimpulan yang logis," kata Mr. James. Kemudian ia berpaling memandang Skinny Norris. "Rupanya dipecat karena mengambil lukisan tanpa izin masih belum cukup bagimu, ya! Kau harus kembali, dan masuk ke studioku dengan diam-diam! Untuk apa kau berbuat begitu?"
"Kenapa aku dipecat?!" balas Skinny dengan sikap menantang. "Aku kan mengembalikannya lagi?"
"Bukan itu persoalannya. Kau mengambil sesuatu yang bukan milikmu, tanpa minta izin terlebih dulu," bentak Mr. James. "Apa yang kaulakukan beberapa malam belakangan di studioku ini? Apa urusanmu dengan lukisan-lukisan Joshua Cameron?"
"Macam-macam saja yang ingin Anda ketahui," kata Skinny dengan nada mengejek.
"Kau menyodorkannya lewat jendela pada seseorang yang ada di luar, lalu menerimanya kembali," kata Jupiter. "Siapakah orang itu, dan mau apa dia dengan lukisan-lukisan itu?" "Aku takkan mau bilang apa-apa padamu!"
"Apakah orang yang di luar itu De Groot, pedagang lukisan?" tanya Pete. "Aku tidak kenal orang bernama De Groot," kata Skinny.
"Kau tidak mau mengatakan apa-apa?" kata Mr. James dengan galak. "Baiklah, Anak muda! Yang kaulakukan, bukan 'meminjam' lukisan. Kau melakukan tindakan masuk ke tempat orang secara paksa. Itu merupakan tindak kejahatan berat. Kita lihat saja, apa kata polisi mengenainya!"
"P-po-polisi?" Skinny tergagap-gagap. "Aduh jangan, jangan, bisa mati aku nanti dihajar ayahku. Aku tidak bermaksud..."
Saat itu Pete melihat wajah seseorang yang sedang mengintip lewat jendela sebelah belakang. "Jupe!" serunya. "Ada orang di..."
Kata-katanya terpotong bentakan orang yang dilihatnya.
"Jangan bergerak!" seru orang itu dengan suara tidak begitu jelas. "Aku memegang pistol! Cepat, Norris!" Jupe dan Pete tidak mengenali suara itu.
"Jangan bergerak," kata Mr. James pada mereka berdua. "Nanti ia benar-benar menembak."
Pintu besi yang mereka belakangi terdengar berdentang, saat Skinny lari ke luar lewat situ. Kemudian menyusul bunyi langkah orang yang di jendela. "Orang itu lari!" seru Pete.
"Skinny juga," kata Jupe, lalu mengeluh. "Padahal ia sudah tertangkap!"
"Sudah - biar sajalah," kata Mr. James. "Skinny takkan lari ke mana-mana. Ia harus memberikan penjelasan yang memuaskan padaku! Kalau tidak, akan kulaporkan pada polisi."
"Nah - sekarang kita sudah tahu, orang yang secara diam-diam masuk kemari itu ternyata Skinny! Dan kita juga tahu, ia bekerja sama dengan seseorang," kata Jupe. "Tapi kita belum tahu, siapa orang itu, dan untuk apa mereka melakukannya. Mau apa orang yang di luar tadi itu dengan lukisan-lukisan Joshua?"
"Skinny tadi mengulurkannya ke luar satu demi satu," kata Pete sambil mengingat-ingat, "tapi semuanya kemudian dikembalikan lagi oleh orang itu. Jadi bukan lukisan-lukisan itu sendiri yang diingini. - Kecuali jika ia menukarnya dengan lukisan-lukisan lain! Mencuri yang asli, dan ditukar dengan tiruan!"
"Tidak," kata Mr. James. "Lukisan-lukisan di lantai itu yang asli. Itu sudah pasti!"
Jupiter membungkuk. Ditelitinya salah satu lukisan yang tergeletak di lantai di dekat jendela. Ia menggelengkan kepala dengan sikap tidak mengerti.
"Jika lukisan-lukisan ini membentuk suatu pesan tertentu, aku tidak... eh - Mr. James!" Jupiter mengamat-amati salah satu sudut lukisan itu. Mr. James menghampirinya. "Sudut lukisan ini kelihatannya basah!" kata Jupiter.
"Basah?" Mr. James menyentuh kanvas itu. "Eh - betul basah! Ada yang mengutik-utik lukisan ini. Diretusir!" "Untuk apa?" tanya Pete.
Mr. James mengusap sudut kanvas yang terasa basah itu.
"Yah - mungkin ada yang ingin melihat apakah di bawah lukisan Joshua Cameron ini ada lukisan lain. Untuk itu dikikisnya lapisan cat di sudut ini, lalu dilapisi dengan cat untuk menyembunyikan perbuatannya." Tampang Jupiter saat itu seolah-olah ia baru saja mendapat ilham.
"Ada sesuatu di bawah lukisan? Mr James - bolehkah kami meminjam telepon Anda sebentar? Saya perlu menelepon seseorang. Sekarang belum terlambat!"
* * *
Setengah jam kemudian Profesor Carswell datang bersama Hal naik mobil. Jupe, Pete, dan Mr. James menunggu di depan gedung tempat tinggal pelukis itu. Profesor Carswell dan anaknya diperkenalkan oleh Jupiter pada Mr. James. "Ada apa, Jupe?" tanya Hal ingin tahu.
"Ikut sajalah dulu ke belakang, ke studio Mr. James," kata Jupiter.
Sebelum Hal dan ayahnya datang, Pete dan Jupiter menurunkan lagi semua lukisan Joshua yang sudah ditaruh di atas rak. Dan begitu Profesor Carswell beserta anak laki-lakinya masuk ke studio, mereka langsung melihat lukisan-lukisan itu.
"Kalian sudah menemukan kembali semuanya!" seru Hal.
"Prestasi yang bagus, Anak-anak," kata Profesor Carswell. "Kalian sudah memberi tahu Tuan Putri? Ia pasti senang mendengarnya."
"Belum, Sir, " kata Jupiter. "Kami meminta Anda kemari karena kami memperoleh dugaan tentang apa sebetulnya yang sedang terjadi. Rasanya kami sekarang sudah tahu apa yang begitu berharga, sehingga semua menginginkannya." "Kita tahu?" kata Pete.
"Ya, betul," kata Jupiter. "Kau ingat tidak, Hal - bingkai bercat keemasan yang di pondok itu? Katamu waktu itu, bingkai itu dulu pernah ada lukisannya."
"Bingkai keemasan?" kata Profesor Carswell mengulangi. "Aku tidak merasa pernah melihat lukisan di dalam bingkai begitu, Hal."
"Itu sewaktu Mr. Cameron baru saja pindah ke rumah yang kita sewakan padanya, Ayah," kata Hal menjelaskan. "Aku kebetulan saja melihatnya pada suatu hari. Menurut Joshua, itu bukan lukisan asli, tapi reproduksi. Ia mengatakan, ia hendak membuang lukisan itu. Setelah itu aku tidak melihatnya lagi. Tinggal bingkainya saja ditaruh di dalam pondok di belakang."
"Masih ingatkah kau lukisan apa itu?" tanya Jupiter.
Hal Carswell menggaruk-garuk kepala.
"Ya - ada gunung, beberapa ekor kuda, lalu pohon yang kelihatannya pohon palem, serta beberapa orang yang hampir-hampir telanjang di depan pondok rumbia. Tapi gunungnya berwarna ungu, kuda-kuda biru, pohon-pohon palem kuning, sedang orang-orang dilukis dengan warna merah!"
"Apa?" seru Mr. James. Mata pelukis itu terbelalak. "Kau yakin lukisan itu begitu wujudnya, Hal?"
"O, ya - warna-warnanya aneh sekali!"
"Anda mengenali lukisan itu, Sir?" tanya Jupiter dengan cepat.
"Tunggu sebentar!" Mr. James mencari-cari di antara sejumlah buku yang besar-besar, yang diatur pada sebuah rak. Diambilnya satu, lalu dibalik-balik halamannya dengan cepat "Ini! Inikah lukisan yang kaulihat itu, Hal?" Hal memperhatikan gambar di dalam buku besar yang disodorkan padanya. Yang lain-lain ikut berkerumun. "Ya, betul!" kata Hal dengan mantap. "Persis seperti ini!"
"Kalau begitu, yang kaulihat itu reproduksi sebuah lukisan yang sangat terkenal, karya seorang pelukis besar bangsa Prancis yang bernama Francois Fortunard. Karya empu, Anak-anak - tapi sayangnya, sekarang tidak ada lagi, dimusnahkan orang-orang Nazi Jerman ketika mereka menduduki Prancis semasa Perang Dunia II. Mereka membenci karya-karya Francois Fortunard. Kejadian yang sangat menyedihkan bagi dunia seni lukis. Tapi -" air muka Mr. James kini nampak aneh, "- lukisan itu sebelum dimusnahkan merupakan milik pribadi seseorang, dan selama ini aku tak tahu bahwa ada reproduksi daripadanya."
"Saya rasa memang tidak pernah dibuat, Sir, " kata Jupiter. "Saya rasa lukisan itu tidak dimusnahkan, dan selama ini ada di tangan Joshua Cameron!"
"Wow!" seru Pete. "Lalu berapa nilainya sekarang?"
"Lukisan Fortunard yang mana pun, nilainya sangat tinggi," kata Mr. James. "Tapi yang dikabarkan musnah itu, kemungkinannya lebih tinggi lagi nilainya. Bisa saja setengah juta dolar! Jupiter - kau sungguh-sungguh beranggapan...?"
"Saya yakin, mendiang Joshua memiliki sesuatu yang sangat berharga, dan ia menyembunyikannya di salah satu tempat," kata Jupiter. "Ketika mengoceh dalam demam menjelang ajalnya, ia menyebut-nyebut kata karya empu. Itu alasannya kenapa ada orang menginginkan lukisan-lukisannya - karena menyangka di bawah cat salah satu di antaranya ada sesuatu!"
"Lukisan Fortunard!" seru Mr. James, sambil memandang kedua puluh lukisan yang berjejer di depannya. "Kalau begitu kita lihat saja!"
"Nanti dulu!" kata Profesor Carswell. "Bagaimana kita bisa melihat, tanpa merusak apa yang ada di sebelah bawah?"
"Itu memang pekerjaan rumit," kata Mr. James. "Tapi saya kebetulan pernah mempelajari teknik pemugaran lukisan. Jadi saya tahu cara yang aman."
Pelukis berjanggut lebat itu mengambil cairan pelarut, selembar kain empuk, serta beberapa perlengkapan lain. Dengan hati-hati sekali digosok-gosoknya lukisan rumah dengan kain empuk yang sudah dibasahi dengan bahan pelarut. Ternyata di bawah lapisan cat tidak ada apa-apa. Yang nampak hanya kain kanvas saja. Dengan cat, dipulihkannya wujud bagian yang dihapus itu, sehingga nampak seperti semula. Setelah itu ia melakukan hal yang serupa pada lukisan berikut.
Setengah jam lamanya ia sibuk. Akhirnya ia berdiri lagi, dengan sikap lesu.
"Tidak ada apa-apa di bawah lukisan-lukisan itu, Jupiter," katanya. "Rupanya kau keliru. Lukisan Fortunard itu benar-benar sudah musnah." Jupiter menggigit bibir.
"Padahal saya tadi yakin sekali, Sir! Lukisan-lukisan ini pasti merupakan kunci misteri dari sesuatu yang sangat berharga!"
"Itu mungkin saja benar, Jupiter," kata Mr. James. "Tapi kalau begitu jawabannya pasti lain. Lukisan-lukisan ini memang seperti apa adanya - lukisan mendiang Joshua!"
"Kalau begitu kami ambil saja semuanya sekarang," kata Profesor Carswell. "Besok akan kami kembalikan pada Tuan Putri, dan ia akan mengembalikan uang Anda sebanyak yang Anda bayarkan sewaktu membeli, Mr. James."
Anak-anak membantu memasukkan kedua puluh lukisan itu ke mobil Profesor Carswell, yang kemudian pulang bersama Hal.
"Kalian berdua menginap saja di sini," kata Mr. James pada Jupe dan Pete. "Malam sudah terlalu larut. Mungkin nanti terpikir oleh kalian penjelasan lain, apa sebabnya lukisan-lukisan itu kelihatannya begitu berharga. Dan mungkin Skinny Norris bisa memberikan keterangan lebih lanjut," katanya menambahkan dengan geram. "Besok kita cari anak itu, lalu kita suruh membuka mulut."

Bab 18
SKINNY LENYAP!

Keesokan paginya Jupiter harus pulang, karena disuruh menjaga kantor perusahaan paman dan bibinya. Paman Titus secara tiba-tiba harus pergi untuk membeli sesuatu, bersama Hans dan Konrad. Jadi hanya Pete saja yang ikut dengan Mr. James, ke rumah Skinny Norris.
"Saya tidak melihat mobil Skinny, Mr. James," kata Pete, setiba mereka di sana.
"Mungkin ayah atau ibunya bisa mengatakan ke mana dia pergi," kata pelukis itu.
Mrs. Norris yang membukakan pintu. Wajah wanita itu langsung berubah, begitu melihat mereka.
"Kusangka..." kata Mrs. Norris, lalu berpaling dengan marah ke arah Pete. "Kauapakan Skinner, Peter Crenshaw? Setiap kali ia terlibat denganmu - serta dengan Jupiter Jones, temanmu yang konyol itu - selalu ada-ada saja yang terjadi dengan dirinya! Sekarang apa lagi yang kalian lakukan terhadap anakku itu?"
"Pete dan temannya tidak berbuat apa-apa, Mrs. Norris," kata Mr. James dengan ketus. "Malah sebaliknya - dan jika ada hal-hal tidak enak yang terjadi dengan anak Anda apabila ia berurusan dengan Pete dan Jupiter, saya merasa curiga bahwa kesalahan terletak di pihak Skinner!"
"Anda ini siapa?" tukas Mrs. Norris.
"Nama saya Maxwell James."
"Pelukis pada siapa Skinner selama ini bekerja? Apa sebabnya Anda memecatnya dengan tidak semena-mena?"
"Begitu kata anak Anda?" kata Mr. James. "Kelihatannya Skinner memang suka berdusta - bahkan pada Anda." Kemudian diceritakannya alasan memecat Skinny, yaitu karena mengambil sebuah lukisan tanpa terlebih dulu minta izin.
Mrs. Norris nampak merasa tidak enak.
"Itu tidak diceritakan Skinner pada saya. Maaf, Mr. James. Anak saya itu kadang-kadang memang suka bertindak kurang bijaksana - dan saya tahu Peter dan Jupiter sering membuatnya jengkel."
"Saya rasa ia hanya iri saja, Mrs. Norris," kata Mr. James. "Sekarang, bisakah kami bicara sebentar dengan dia?" "Ia tidak ada di rumah, Mr. James."
"Kalau begitu, ke mana perginya? Sungguh, Mrs. Norris, ada urusan penting yang perlu saya bicarakan dengan anak Anda itu," kata Mr. James lagi. Tiba-tiba ibu Skinny nampak cemas.
"Saya... saya tidak tahu di mana anak itu, Mr. James. Ia... ia tidak pulang kemarin malam!" "Sampai sekarang?" kata Pete kaget.
"Ya!" Kini nampak bahwa Mrs. Norris sudah benar-benar ketakutan. "Ketika kalian membunyikan bel tadi, kusangka itu Skinner - atau orang yang tahu di mana anakku itu. Ayahnya sementara ini sudah ke polisi."
"Mrs. Norris," kata Pete, "adakah Skinny menceritakan sesuatu tentang apa yang dilakukannya, setelah dipecat oleh Mr. James?"
"Aku sudah berusaha mengingat-ingat," kata Mrs. Norris, "tapi yang kuingat hanya bahwa ia bekerja untuk seseorang, dan ia mengatakan bahwa ada sesuatu yang merupakan kunci untuk mendapat kekayaan. Aku tidak mengerti apa yang dimaksudkannya dengan kata-kata itu. Tapi aku sekarang cemas sekali. Jika ada harta terlibat dalam urusan itu, segala hal bisa terjadi dengan Skinner!"
"Kalau saya jadi Anda, saya takkan terlalu cemas, Mrs. Norris," kata Mr. James. "Terus terang saja, Skinny tadi malam mengalami kesulitan dengan saya. Saya rasa ia ketakutan mendengar saya menyebut-nyebut polisi, dan karenanya lantas bersembunyi agar tidak ditangkap."
"Mudah-mudahan saja memang benar begitu, Mr. James," kata ibu Skinny. "Tapi walau demikian saya masih saja merasa cemas. Selama ini ada seorang laki-laki naik mobil biru berkeliaran di dekat-dekat sini. Ada yang melihat Skinny bercakap-cakap dengan orang itu. Bukan itu saja, telepon kami pun disadap orang. Saya sangat cemas, jangan-jangan Skinner diculik!"
Bob muncul di perusahaan barang bekas, tepat ketika Paman Titus kembali bersama Hans dan Konrad. Kini Jupiter bebas tugas selama beberapa waktu. Diajaknya Bob masuk ke markas Trio Detektif, untuk memikirkan kasus yang sedang dihadapi.
Dengan cepat Jupe menuturkan kejadian malam sebelumnya di studio Mr. James, sementara Bob mendengarkan dengan penuh minat. Ia juga merasa kecewa, ketika mendengar bahwa di bawah kedua puluh lukisan Joshua ternyata tidak ada apa-apa.
"Jadi lukisan Fortunard yang bernilai tinggi itu tidak ada pada pak tua itu?" kata Bob dengan sedih. "Jadi ternyata memang musnah sewaktu perang. Dan yang ada pada Joshua, cuma reproduksinya saja."
"Tidak! Aku tetap yakin bahwa lukisan Fortunard itu ada di tangan Joshua, dan pak tua itu menyembunyikannya," kata Jupiter berkeras. "Ketika Hal secara kebetulan melihatnya, Joshua berlagak seolah-olah itu cuma reproduksi saja. Kemudian lukisan itu disembunyikan di tempat yang tidak bisa ditemukan orang lain. Lalu ketika ia jatuh sakit, ia berusaha meninggalkan pesan tentang tempat lukisan itu disembunyikan. Pesan itu dikarangnya dalam kata-kata sandi, supaya baik Hal maupun ayahnya tidak tahu makna sebenarnya."
Jupiter mengambil kertas yang tertera kata-kata terakhir yang diucapkan Joshua, lalu membentangkannya di atas meja.
"Nah - kata-kata malang-melintang, dan alur salah, mungkin merupakan kata-kata petunjuk arah. Tapi ia sekali menyebutkan kata salah saja, tanpa alur. Jadi bisa juga itu bukan penunjuk arah. Mungkin artinya, harus dicari sesuatu yang salah. Sesuatu yang mestinya lain."
"Maksudmu, dibuat dengan cara lain?" tanya Bob. "Mungkin kelihatannya salah? Itu ada hubungannya dengan malang-melintang!"
"Tepat, Bob," kata Jupiter. "Aku yakin, ketika mendiang Joshua berulang-ulang menyebutkan lukisan-lukisanku dan kanvasku, ia hendak mengatakan bahwa lukisan-lukisannya merupakan kunci untuk memahami makna pesannya itu. Ada sesuatu tentang lukisan-lukisannya itu yang seharusnya bisa memberi keterangan pada kita, di mana lukisan Fortunard disembunyikan!"
"Tapi keterangan yang bagaimana, Jupe?" Bob menatap kata-kata pada kertas yang terbentang di atas meja. "Kau dan Pete sudah memperhatikan lukisan-lukisan itu dari j arak sangat dekat." Jupiter menggelengkan kepala dengan sikap tidak puas.
"Kuakui, saat ini pikiranku macet. Tapi masih ada petunjuk lain yang bisa kita jadikan pegangan - yaitu wujud rumah yang pada kedua puluh lukisan itu makin lama makin kecil. Apa sebabnya Joshua melukiskan rumah itu seperti semakin mengkerut, sedang benda-benda lain di dalam lukisan-lukisan itu tetap sama besar ukurannya?"
Bob berpikir-pikir.
"Mungkin ia hendak menyatakan, singkirkan rumah itu dari lukisannya, Jupe? Jangan-jangan ia menyembunyikannya di bawah rumah!"
"Yah...," kata Jupiter lambat-lambat "...itu mungkin saja. Tapi kalau begitu, rumah itu mestinya kan tidak ditampilkan sama sekali dalam lukisan terakhir."
"Bagaimana kalau di atas salah satu pohon? Atau di salah satu benda yang tetap sama ukurannya di dalam kedua puluh lukisan itu! Jika kita perhatikan lagi, mungkin nanti akan kita temukan satu benda yang selalu sama wujudnya!"
"Itu juga satu kemungkinan. Aku ingin sekali lagi meneliti lukisan-lukisan itu nanti, sesudah Pete dan Mr. James kembali dari menanyai Skinny Norris. Mungkin juga jawabannya akan sudah dikatakan oleh Skinny pada mereka."
"Wah, mungkinkah ia mau mengatakannya, Satu?"
"Kalau mungkin sih, mungkin saja - tapi aku agak sangsi, Bob. Maksudku, kurasa orang untuk siapa Skinny bekerja takkan terlalu banyak bercerita padanya." "Aku bahkan yakin begitu," kata Bob sependapat.
"Sementara itu," kata Jupiter meneruskan, "ada soal lain yang sangat membingungkan bagiku." "Apa itu, Jupe?"
"Kau ingat tidak cerita Hal - katanya Joshua pernah mengatakan bahwa dia pelukis paling mahal di dunia, tapi tak seorang pun mengetahuinya? Hal bercerita, Joshua tertawa setelah mengatakan begitu. Apa sebabnya ia tertawa, dan apa maksudnya?"
"Mungkin maksud Joshua, lukisan-lukisannya mahal karena merupakan kunci untuk mengetahui di mana karya empu pelukis Fortunard ditaruh olehnya."
"Kemungkinan itu juga sudah terpikir olehku," jawab Jupiter. "Tapi kurasa makna ucapan Joshua itu lebih bersifat umum -jadi bahwa lukisan-lukisan ciptaannya bernilai tinggi, tapi tidak terkenal."
"Yah - Mr. James kan mengatakan bahwa di segi teknik melukis, Joshua sangat hebat, dan De Grool nampaknya menilai lukisan-lukisannya bermutu."
"Tapi Mr. James juga mengatakan bahwa Joshua tidak punya gaya sendiri yang khas, dan oleh sebab itu lukisan-lukisannya tidak bermutu. Itu seharusnya kan diketahui pedagang lukisan. Kurasa De Groot membohongi kita. Menurutku, ia sama sekali bukan pedagang seni."
"Wah! - Kalau begitu siapa dia, Jupe? Anggota geng?"
"Aku tidak tahu pasti," kata Jupiter berterus terang, "tapi aku yakin De Groot tahu bahwa mendiang Joshua memiliki lukisan Fortunard yang terkenal itu, dan ia ingin memperolehnya!"
"Menurut perkiraanmu, mungkinkah pesan mendiang Joshua ditujukan pada De Groot?" tanya Bob. "Itu mungkin saja," jawab Jupiter. "Kurasa..."
Saat itu terdengar bunyi orang merangkak di bawah lantai, di dalam Lorong Dua. Sesaat kemudian tingkap terbuka, dan Pete naik ke dalam kantor. Penyelidik Dua Trio Detektif itu menatap kedua rekannya dengan tampang serius. "Skinny lenyap, Teman-teman! Menurut dugaan ibunya, ia mungkin diculik orang!" "Diculik!" seru Bob kaget.
"Siapa yang menculiknya, Pete?" tanya Jupiter dengan cepat.
"Orang tuanya tidak tahu, Satu. Tapi kata ibunya tadi, ia melihat mobil biru itu di sekitar rumah mereka. Dan ada yang melihat Skinny bercakap-cakap dengan orang yang ada di dalam mobil itu." "De Groot!" tukas Bob.
"Mrs. Norris juga mengatakan bahwa telepon rumah mereka disadap orang," kata Pete menambahkan. "Mestinya itulah yang sedang dilakukan De Groot ketika kita waktu itu melihatnya di sana. Maksudku, ketika ia kemudian meringkus kita berdua."
"Ya," kata Jupiter membenarkan. "Tahukah Mrs. Norris apa yang dilakukan Skinny, atau untuk siapa anaknya itu bekerja?"
"Tidak, Satu," jawab Pete. "Ia hanya tahu bahwa Skinny bekerja untuk seseorang, dan bahwa Skinny mengatakan ada sesuatu yang merupakan kunci untuk mendapat harta!" Jupiter memeras otak.
"Teman-teman," katanya kemudian, "tugas Skinny adalah menyodorkan lukisan-lukisan itu lewat jendela studio ke luar, kepada orang untuk siapa ia bekerja. Itu bukti bahwa lukisan-lukisan itu memang kunci segala-galanya! Dan penculikan terhadap dirinya hanya mungkin berarti satu hal - yaitu Skinny sudah terlalu banyak mengetahui, dan ada yang tidak menginginkan dia membuka mulut. Aku berani bertaruh, orang itu pasti bernama De Groot!"
"Kasihan Skinny," kata Bob. "Ada-ada saja kesulitannya!"
"Ya, memang," kata Jupiter, "dan jika kita ingin menolongnya dari kesulitannya yang sekarang, kita harus cepat-cepat berusaha membongkar teka-teki pesan yang terkandung pada lukisan-lukisan Joshua! Yuk - kita ke Remuda Canyon!"

Bab 19
TERJEBAK!

Ketiga remaja penyelidik itu bersepeda ke rumah Profesor Carswell. Di tengah jalan Pete bercerita bahwa Mr. James sudah pergi ke polisi, untuk melaporkan peristiwa yang terjadi malam sebelumnya di studio.
"Mr. Norris sudah menghubungi polisi sehubungan dengan lenyapnya Skinny," kata Pete menambahkan.
"Mereka kini pasti sibuk mencari-cari mobil biru De Groot," kata Jupiter. "Tapi jika kita bisa menebak makna teka-teki kata-kata terakhir Joshua serta kedua puluh lukisannya, kurasa kita akan bisa lebih lekas menemukan orang itu."
"Menurutmu, De Groot sudah berhasil menguraikan teka-teki itu?" tanya Bob.
"Paling sedikit, sudah hampir! Mungkin itu sebabnya ia menculik Skinny," kata Jupiter. "Untuk mencegah kemungkinan Skinny sudah membocorkan rahasia, sebelum mendapatkan lukisan berharga itu."
Akhirnya mereka sampai di rumah kayu besar di ngarai. Mereka melihat Hal berdiri di beranda rumah kecil. Begitu melihat mereka datang, anak itu bergegas menyongsong. Sikapnya tidak tenang.
"Ada orang kemari lagi tadi pagi!" seru Hal. "Ruangan di dalam habis diobrak-abriknya!"
"Apakah kedua puluh lukisan itu ada di situ?" tanya Jupiter.
"Tidak, ditaruh di rumah kami. Kami tadi pagi berusaha menghubungi Tuan Putri dan Mr. Marechal, tapi mereka sedang ke luar," kata Hal lagi. "Lalu ayah ke tempat penginapan mereka untuk bicara secara langsung dengan Tuan Putri, untuk mengatakan bahwa lukisan-lukisan itu ada pada kami, tapi masih ada orang mencari-cari terus."
"Kalian melihat orang datang tadi?" tanya Jupiter.
"Ya - di dekat garasi," kata Hal. "Cuma sekilas saja, tapi jelas bahwa ia laki-laki. Orang itu kemudian lari ke arah parit di belakang. Kami kemudian menemukan rumah kecil berantakan karena dibongkar orang." "Kita periksa saja ke garasi," kata Pete.
"Mungkin orang itu menjatuhkan sesuatu di sana," sambung Bob.
Keempat remaja itu pergi ke garasi yang terletak di belakang rumah besar, lalu menyebar untuk memeriksa di sekitar situ. Tapi mereka tidak menemukan apa-apa. Akhirnya mereka berkumpul lagi dengan lesu, di depan garasi. "Sama sekali tidak ada bekas-bekas ia kemari," kata Bob.
"Ya, bahkan tapak kaki pun tidak ada," kata Jupiter. "Yuk, kita ke rumah kecil sekarang. Aku ingin melihat..." Saat itu mereka mendengar suara samar-samar. Keempat remaja itu berpandang-pandangan. Suara yang terdengar tadi aneh. Seperti binatang kecil yang mengerang dengan leher tercekik. "Bu - bunyi apa itu?" kata Hal tergagap. "Ssst," desis Jupiter.
Bunyi seperti tercekik itu terdengar samar. Tapi rasanya berasal dari tempat yang tidak jauh dari mereka. Kedengarannya seperti ada orang yang berusaha berteriak, tapi dengan muka tertekan ke tanah. Suara gumaman tak jelas. Kemudian menyusul bunyi benturan sesuatu. Datangnya dari dalam garasi yang tertutup.
"Di dalam garasi!" seru Pete.
"Ada orang di situ!" kata Bob.
Pete lari ke pintu tempat penyimpanan mobil itu, lalu berusaha membukanya dengan jalan menarik-narik. Tapi pintu itu sedikit pun tidak bisa digerakkan.
"Macet!" seru Hal. "Yuk, kita coba lewat pintu samping!" Ia berlari ke sisi garasi. Tapi sesampai di situ, langsung tertegun.
"He!" serunya dengan heran, sambil menatap pintu samping yang kecil. Pintu itu digembok. "Ada apa, Hal?" tanya Bob.
"Pintu ini tidak pernah kami gembok, kecuali apabila hendak pergi agak lama. Kenapa sekarang..."
Hal mengeluarkan berkas kunci dari kantungnya. Dipilihnya sebuah anak kunci, lalu dengan tergesa-gesa dibukanya gembok yang mengunci pintu samping itu. Begitu sudah terbuka, keempat remaja itu memburu masuk ke dalam garasi, lalu memandang berkeliling dengan sikap mencari-cari. Garasi itu kelihatannya kosong. Yang nampak hanya sejumlah peralatan, serta papan-papan bekas yang berserakan.
Kemudian mereka melihat sesuatu bergerak-gerak di sudut! Seseorang berbaring dalam keadaan terikat di situ. Matanya berputar-putar, sedang mulutnya tersumbat. Orang itulah yang kedengaran suaranya tadi. Rupanya ia mencoba berteriak, walau mulutnya tersumpal kain.
"Itu Skinny!" seru Bob.
Remaja itu cepat-cepat dibebaskan dari ikatan. "Apakah yang terjadi, Skinny?" tanya Pete.
Skinny Norris duduk. Mukanya pasi, sedang matanya nampak ketakutan. Digosok-gosoknya pergelangan tangannya yang terasa nyeri, karena selama itu terikat erat. Ia gemetar.
"Tak pernah kusangka bahwa aku akan senang melihat kalian bertiga," katanya dengan gugup. "Wah - maaf ya, jika selama ini aku menyulitkan kalian terus. Aku menyesal sekali."
"Ya, ya," gumam Pete. Ia tahu, saat itu Skinny pasti sedang bingung dan ketakutan. Tapi begitu perasaan itu sudah berlalu, ia sangsi apakah Skinny akan masih tetap merasa berutang budi.
"He, Skinny - ceritakanlah apa yang terjadi dengan dirimu!" kata Jupiter tidak sabaran.
"Ke mana saja kau sepanjang malam?" desak Bob.
"Yah -" kata Skinny dengan gugup, "setelah aku berhasil meloloskan diri di studio, kami kemudian kemari. Begitu sampai di sini, aku diikatnya. Itu terjadi di salah satu tempat di belakang sana. Nyaris saja aku terperosok ke dalam parit itu - karena tidak nampak dalam gelap, kecuali jika tahu bahwa di situ ada parit. Aku ditertawakannya. Katanya, semua harus terperosok dulu sebelum tahu bahwa di situ ada parit."
Jupiter menatap remaja jangkung itu.
"Ya - semua pasti pernah terperosok sekali," katanya lambat-lambat.
"Lalu tadi, pagi-pagi benar, aku dikurungnya di dalam garasi ini, sampai sekarang. Aku tidak berani bersuara - karena orang itu mungkin masih ada di sekitar sini. Tapi kemudian kudengar suara kalian bercakap-cakap. Lalu aku berusaha berteriak."
"Untung saja - untukmu!" kata Pete.
"He, Jupe!" sapa Bob. "Apakah yang sedang kaupikirkan?"
Dilihatnya Jupiter masih terus menatap Skinny, seolah-olah melihat sesuatu yang ganjil pada wajah remaja ceking itu. Ketika ia akhirnya membuka mulut, suaranya seakan-akan bergetar. "Skinny - siapakah yang..."
Saat itu pintu samping tertutup dengan keras, sehingga anak-anak yang ada di dalam garasi terlonjak karena kaget. Detik berikutnya mereka mendengar bunyi pintu digembok. Mereka terkurung di dalam garasi yang gelap, karena di situ sama sekali tidak ada jendela.
"He!" seru Hal. "Kami ada di sini!"
Seruannya tak dijawab.
"Cepat - intiplah ke luar lewat celah-celah pintu dan lubang-lubang di dinding!" seru Jupiter dengan cepat.
Pete dan Bob mengintip ke luar lewat celah-celah di sisi kiri dan kanan pintu depan. Jupiter mendekatkan matanya ke sebuah lubang bekas mata kayu, pada papan dinding sebelah belakang. Sedang Hal mengintai lewat retakan pada daun pintu samping.
"Aku melihat seseorang!" bisik Hal.
Anak-anak yang lain menghampirinya, lalu ikut mengintip lewat retakan pada daun pintu samping. Mereka melihat ke luar, yang diterangi sinar matahari menjelang siang. "De Groot!" kata Pete berbisik.
Orang Belanda bertubuh pendek kekar itu berdiri dengan kening berkerut memandang garasi. Sementara anak-anak mengintip dirinya, orang itu memandang berkeliling. Sikapnya seperti sedang mencari-cari sesuatu. Atau seseorang. "Keluarkan kami dari sini, De Groot!" seru Hal.
"Kami tahu apa yang Anda cari!" kata Bob menambahkan dengan sengit.
De Groot memandang ke arah garasi. Tampangnya masam.
"Bagi kalian lebih aman jika tetap di situ. Sekarang tutup mulut! Aku..."
Orang Belanda itu berpaling dengan cepat. Ia memandang ke arah rumah besar yang di depan, lalu berlari-lari menuju belukar di belakang garasi. Ia kini tidak kelihatan lagi. Selama semenit, tidak terjadi apa-apa di luar.
Kemudian anak-anak yang terkurung di dalam garasi mendengar langkah orang datang. Ternyata Mr. Marechal yang muncul.
"Mr. Marechal!" seru Pete memanggil orang itu. "Hati-hati, De Groot ada di luar!"
Pria berambut keperakan itu kaget, lalu memandang ke arah garasi.
"Ia pergi ke belukar di sebelah belakang!" seru Bob.
Mr. Marechal berpaling, memperhatikan belukar.
"Kami dikurungnya di sini. Bukakan pintu, Sir!" teriak Hal.
Mr. Marechal datang menghampiri.
"De Groot sendiri saja, Anak-anak?"
"Ya," balas Pete. "Skinny Norris ada di sini, bersama kami!"
"Norris?" kata Mr. Marechal. "Begitu, ya! Awasi anak itu! Aku curiga terhadapnya. Kalau kalian tidak hati-hati, nanti tertipu olehnya!"
Pria bertubuh kecil itu memeriksa pintu samping.
"Digembok!" serunya sesaat kemudian. "Bagaimana dengan pintu depan?" "Macet, tidak bisa dibuka," kata Hal menjelaskan. "Tapi kunci pintu samping ada pada saya. Sebentar, saya sorongkan ke luar." "He, Jupiter -" kata Skinny. Tapi Jupiter langsung memotong. "Diam!" desisnya.
Hal memisahkan sebuah anak kunci dari berkas yang ada padanya, lalu membungkuk. Maksudnya hendak menyodorkan anak kunci pembuka gembok itu lewat celah di bawah daun pintu. Tapi entah bagaimana - tahu-tahu ia bertabrakan dengan Jupiter. Hal hilang keseimbangannya. Terdengar bunyi berdenting.
"Wah - anak kunci itu jatuh!" seru Hal. "Coba cari di lantai!"
Mr. Marechal berseru dari luar.
"Ada apa, Anak-anak?"
"Kunci itu terjatuh," jawab Hal. "Di sini gelap sekali. Kami sekarang berusaha mencarinya." "Cepatlah sedikit," desak Mr. Marechal dari luar.
Pete, Bob, dan Hal merangkak-rangkak dalam gelap, sambil meraba-raba lantai. Skinny masih terhenyak di sudut. Dalam gelap nampak biji matanya, yang nampak ketakutan. Sedang Jupiter masih belum beranjak dari tempatnya, sejak bertubrukan dengan Hal.
"Aku tidak bisa menemukannya," keluh Pete.
"Aku juga tidak," kata Bob.
"Di mana, ya?" desah Hal, sambil meraba-raba lantai beton. "Ada mobil datang," kata Jupiter dengan tiba-tiba.
Anak-anak lari untuk mengintip ke luar - kecuali Skinny, yang masih selalu meringkuk di sudut. Mr. Marechal menoleh ke arah depan. Anak-anak mendengar bunyi mobil berhenti dijalan masuk menuju rumah Profesor Carswell.
Kemudian mereka melihat Mr. Marechal berbalik, lalu lari ke arah belukar di belakang garasi, menuju ke parit dalam ngarai.
"Rupanya ia melihat De Groot!" kata Hal. "Aduh - lihatlah!" seru Pete.
Tiba-tiba De Groot muncul di tepi belukar, lalu lari ke arah sama seperti yang dituju Mr. Marechal tadi. Dan orang Belanda berwajah masam itu menggenggam pistol!

Bab 20
SEORANG PENJAHAT TERSINGKAP KEDOKNYA

Anak-anak mengintip ke luar tanpa bisa berbuat apa-apa. Baik De Groot maupun Mr. Marechal sudah tidak kelihatan lagi. Beberapa saat kemudian Profesor Carswell muncul, bersama Tuan Putri. Mereka datang dari arah rumah besar.
"Ayah!" seru Hal memanggil.
Profesor Carswell berpaling dengan cepat.
"Hal? Di mana kau?"
"Di sini, Ayah - di dalam garasi! Kami terkurung di sini!"
Profesor Carswell bergegas menghampiri, diikuti oleh Tuan Putri. Profesor membuka gembok pintu samping dengan anak kunci yang ada padanya, lalu masuk ke dalam. Anak-anak mengerumuninya, sementara Tuan Putri datang menggabungkan diri.
"Kenapa kalian sampai bisa terkunci di dalam sini, Anak-anak?" tanya Profesor Carswell.
"De Groot yang melakukannya tadi," kata Pete menjelaskan. "Lalu Mr. Marechal hendak membebaskan kami, tapi anak kunci Hal terjatuh sewaktu ia hendak menyodorkannya ke luar - dan kami tidak bisa menemukannya lagi. Kini De Groot mengejar-ngejar Mr. Marechal. Orang Belanda itu membawa pistol!"
"Armand tadi ada di sini?" tanya Tuan Putri. "Dan De Groot juga?"
"Anda tidak tahu Mr. Marechal kemari, Tuan Putri?" kata Jupiter secara tiba-tiba. Nada suaranya aneh. "Anda tercengang?"
"Ya, aku heran," kata Tuan Putri, "Aku baru saja memberi tahu Profesor Carswell bahwa Mr. Marechal meninggalkan tempat penginapan sejak kemarin malam. Sejak itu belum kembali lagi. Aku tidak tahu alasannya, dan begitu pula ke mana ia pergi. Ia tidak mengatakan apa-apa padaku."
Profesor Carswell menyambung,
"Tuan Putri juga mengatakan bahwa ia kemarin petang melihat mobil biru De Groot di motel."
"Dan sekarang De Groot mengejar Mr. Marechal, dengan membawa pistol!" kata Pete dengan cemas.
"Coba anak kunciku tadi tidak terjatuh, sehingga Mr. Marechal bisa mengeluarkan kita dari sini, mungkin De Groot tadi takkan berani muncul dari persembunyiannya," kata Hal. "Kita harus menyelamatkan Mr. Marechal!"
"Tidak!" kata Jupiter dengan tenang. "Kita tidak perlu menyelamatkannya. Dan anak kuncimu tadi tidak hilang."
Pemimpin Trio Detektif yang bertubuh gempal itu menggeser kakinya. Ia membungkuk, lalu memungut anak kunci - yang rupanya sejak tadi ada di bawah telapak sepatunya! Diacungkannya anak kunci itu, sementara semua memandangnya dengan heran.
"Jupe!" seru Bob. "Kenapa kau..."
"Selama ini anak kunci itu ada di bawah kakimu?" kata Pete dengan heran. Jupiter tidak menjawab. Ia berpaling, memandang Skinny Norris yang masih duduk di pojok. "Kau sudah aman sekarang, Skinny. Nah - katakanlah siapa yang menculikmu, lalu mengurungmu di sini. Katakan, untuk siapa kau bekerja selama ini." "Tentu saja untuk De Groott" kata Hal. "Bukan," kata Jupiter singkat. Skinny membasahi bibirnya dengan sikap gugup.
"Kau benar, Jupiter. Aku bekerja untuk Mr. Marechal. Aku didatanginya, sesudah aku membawa lukisan yang kuambil dari Mr. James ke tempat kalian. Aku disewanya untuk menyodorkan lukisan-lukisan yang ada di studio Mr. James ke luar lewat jendela, supaya ia bisa memeriksa apakah ada sesuatu yang tersembunyi di bawah lapisan cat salah satu lukisan pak tua yang sudah mati itu. Aku mau membantunya, karena sebal setelah dipecat oleh Mr. James."
"Jadi selama ini kau bekerja untuk Mr. Marechal?" tanya Bob dengan heran.
"Kan sudah kukatakan, tak seorang pun dari kalian tahu apa sebenarnya yang terjadi," kata Skinny. Sikapnya mulai tidak enak lagi, setelah tahu bahwa tidak ada lagi bahaya yang mengancam dirinya.
"Ya - aku mestinya waktu itu sudah langsung menangkap maksudmu," kata Jupiter membenarkan. "Marechal tadi tidak bermaksud membebaskan kita, Teman-teman. Bahkan sebaliknya, mungkin ia berniat meringkus kita, menemani Skinny! Atau mungkin juga mengambil tindakan yang lebih gawat lagi! Itulah sebabnya kenapa anak kunci itu kusembunyikan di bawah telapakku. Dalam keadaan terkurung, kita lebih aman."
"Wah - aku benar-benar tertipu oleh Mr. Marechal," kata Pete. Ia bergidik.
"Aku juga," kata Tuan Putri mencampuri percakapan. "Kau yakin tentang hal itu, Jupiter?"
"Ya, Tuan Putri," jawab Jupiter dengan mantap. "Cerita Skinny membuktikan bahwa Marechal itu berbahaya. Dan begitu kenyataan itu diketahui, dengan segera berbagai hal yang semula membingungkan, kini mulai bisa dimengerti. Misalnya saja - sampai sekarang polisi belum turun tangan. Padahal Marechal mengatakan ketika memberhentikan kita, ia hendak menghubungi polisi. Tapi itu tidak dilakukan olehnya, kan?"
"Ya, kurasa memang begitu," kata Tuan Putri.
"Tentu saja," kata Jupiter, "karena kalau polisi muncul, segala rencananya bisa berantakan. Kita dipecat olehnya, bukan karena urusan ini terlalu berbahaya. Tidak - soalnya, ia tidak ingin kita campur tangan! Kita hendak disingkirkannya, karena ia sudah punya Skinny."
Ia melihat berkeliling sebentar, lalu meneruskan,
"Dan kini kita juga tahu, apa sebabnya Skinny kemarin pagi datang ke tempat penginapan Anda," katanya pada Tuan Putri. "Saat itu ia sebenarnya hendak mendatangi Marechal. Ia lari, karena hendak menghindarkan kemungkinan kami memojokkannya dengan berbagai pertanyaan. Tapi kami salah menafsirkan sikapnya itu. Kami sangka ia hendak masuk dengan sembunyi-sembunyi, lalu lari ketika melihat kami muncul di sana."
"Nah - kalian kan ternyata tidak sehebat sangkaan kalian sendiri," kata Skinny mengejek. Jupiter tidak mempedulikannya.
"Tuan Putri - Mr. Marechal sebenarnya kan tidak pernah menghubungi wanita yang tidak mau menjual kembali patung Dewi Venus peninggalan abang Anda?" katanya. "Sepanjang pengetahuanku, tidak," jawab Tuan Putri.
"Itu sudah kusangka," kata Jupe. "Ia lebih tertarik pada lukisan-lukisan yang hilang, dan bukan pada barang-barang warisan keluarga Anda. Dan begitu mendengar Hal menyebutkan kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Joshua Cameron sebelum pak tua itu menghembuskan napas terakhir, Marechal lantas tahu dengan pasti bahwa kunci teka-teki ada pada lukisan-lukisan itu."
"Kunci, Jupiter?" Kening Tuan Putri berkerut. "Kunci apa?"
"Kunci untuk mengetahui tempat Joshua menyembunyikan lukisan karya Francois Fortunard yang hilang, Tuan Putri. Lukisan yang kata orang sudah musnah, dan yang menurut Mr. James nilainya sekarang sangat tinggi."
"Nanti dulu, Jupiter," kata Profesor Carswell, "dari mana Marechal bisa mengetahui bahwa lukisan hebat itu ada pada mendiang Joshua? Tuan Putri tidak tahu apa-apa mengenainya. Padahal ia mestinya kan lebih tahu tentang abangnya sendiri, dibandingkan dengan Marechal."
"Tidak, Sir, " kata Jupiter dengan sikap yakin. "Menurut saya, Tuan Putri selama ini dibohongi oleh orang itu. Selama terkurung di sini tadi, saya sempat menarik beberapa kesimpulan. Sekarang saya yakin, bukan De Groot yang mengurung kami di dalam pondok di belakang dua hari yang lalu, dan kemudian menggeledah tempat itu. Dan bukan De Groot pula orang yang masuk kemari secara diam-diam, ketika Paman Titus datang untuk membeli lukisan-lukisan Joshua dari Anda. Tidak, bukan De Groot - melainkan Marechal! Dari semula ia sudah tahu tentang lukisan Fortunard itu. Ia kemari dengan diam-diam, sebelum kemudian muncul dengan Tuan Putri - untuk mengambil lukisan itu!"
"Bagaimana ia bisa tahu apa yang ada pada abangku?" tanya Tuan Putri.
"Dari semula ia sudah tahu, Tuan Putri," jawab Jupiter. "Anda ingat tidak - Hal pernah mengatakan bahwa mendiang abang Anda sewaktu mengoceh ketika demam, mengatakan. Bilang pada... lalu menggumam? Nah - abang Anda saat itu sama sekali bukan menggumam, walau bunyinya memang seperti menggumam. Ia mengatakan Bilang pada M. M. - dan bukan Hmmm. Bilang pada Marechal! Itu karena Marechal sebenarnya sejak lama sudah punya hubungan dengan Joshua. Mereka itu bersekutu."
"Sekutu?" kata Tuan Putri dengan heran. "Sekutu dalam hal apa? Maksudmu - usaha yang melanggar hukum?"
"Saya rasa begitulah, Tuan Putri. Sesuatu yang ada pertaliannya dengan lukisan Fortunard yang lenyap. Saat ini saya tidak tahu pasti apa yang kita hadapi - tapi saya yakin bahwa itu merupakan tindak kejahatan."
"Aku sungguh-sungguh kaget mendengarnya, Jupiter!" kata Tuan Putri. "Kalau begitu polisi harus segera dihubungi untuk menangkap Armand - sebelum ia bisa berbuat apa-apa lagi!"
"Dan jangan lupa, De Groot mungkin masih berkeliaran di sekitar sini," kata Bob menambahkan. "Ia pun terlibat, dengan salah satu cara."
"Akan kutelepon polisi dengan segera," kata Profesor Carswell. "Kau ikut, Skinny!"
"Kita semua ikut," kata Jupiter. "Aku ingin melihat lukisan-lukisan itu sekali lagi. Teka-teki di mana lukisan yang merupakan karya empu itu disembunyikan harus bisa kita pecahkan, sebelum didului oleh Marechal atau De Groot. Kalau itu terjadi, polisi bisa terlambat nanti!"

Bab 21
MALANG DAN MELINTANG

Semua bergegas-gegas, masuk ke rumah besar. Profesor Carswell langsung masuk ke ruang tengah bersama Skinny, untuk menelepon polisi. Sedang anak-anak yang lain pergi dengan Tuan Putri ke ruang duduk. Di situ nampak kedua puluh lukisan Joshua Cameron, berjejer-jejer di sepanjang dinding.
"Aku sudah mengatur letak lukisan-lukisan itu menurut urut-urutan nomornya, Jupiter," kata Hal. "Nomor satu paling kiri, lalu berturut-turut ke kanan. Nomor dua puluh, paling kanan."
Semua yang ada di situ memperhatikan kedua puluh lukisan, yang menggambarkan rumah kecil yang itu-itu juga. Masing-masing lukisan dibuat dengan gaya berbeda. Dan masing-masing menampakkan pemandangan serupa, dengan ukuran yang sama - kecuali rumah kecil itu sendiri. Tuan Putri terkejap-kejap bingung, karena baru sekali itu ia melihatnya.
"Wah," katanya, "rumah kecil itu nampaknya seperti semakin mengkerut. Efek yang luar biasa. Menakjubkan!" "Ya," kata Jupiter sambil merenung, "kelihatannya mendiang abang Anda itu pelukis yang sangat trampil. Kurasa tidak gampang menciptakan efek seperti begini." "Tapi apa maknanya, Jupe?" tanya Pete.
"Yah -" kata pemimpin Trio Detektif yang bertubuh tidak langsing itu, "menurut Bob, mungkin ada sesuatu pada kedua puluh lukisan ini, yang wujudnya selalu persis sama. Misalnya saja, sebatang pohon! Kalian melihat sesuatu yang begitu?"
Semua memperhatikan lukisan-lukisan itu dengan cermat. Satu demi satu, mereka menggeleng. Segala yang nampak pada lukisan-lukisan itu selalu tetap sama ukurannya - kecuali rumah kecil dengan tenda bergaris-garis meriah dan bertambal yang menaungi beranda. Tapi di pihak lain, tidak ada yang tetap sama bentuk, warna, maupun letaknya.
Hanya Hal saja yang tiba-tiba mendapat gagasan.
"Rasanya seperti melihat dengan mikroskop, atau teleskop, ya?" katanya, sambil terus memperhatikan rumah kecil yang semakin mengkerut. "Maksudku, seolah-olah kita sedang memandang rumah itu dengan instrumen tertentu." "Maksudmu?" tanya Jupiter lambat-lambat.
"Maksud Hal, seolah-olah perhatian kita diarahkan dengan sengaja pada rumah itu," kata Bob menjelaskan "Seolah-olah memberi tahu, rumah kecil itulah satu-satunya yang penting pada kedua puluh lukisan ini."
Tiba-tiba mata Jupiter terbuka lebar. Ditatapnya deretan lukisan itu dengan mata terkejap-kejap cepat. Lalu ia bergegas mengeluarkan kertas dengan tulisan kata-kata terakhir yang diucapkan Joshua Cameron dari kantungnya. Ditelitinya kertas itu dengan mata bersinar-sinar.
"Bilang pada M., " ucapnya sambil membaca. "Itu berarti bilang pada Marechal. Tentang itu, aku sudah yakin sekarang. Lukisan-lukisanku, dan karya empu, berarti petunjuk tentang di mana lukisan berharga itu disembunyikan, terdapat pada kedua puluh lukisannya. Di mana harus malang, melintang, dan alur salah, kurasa berarti bahwa kita harus mencari sesuatu yang salah alur - sesuatu yang melintang, padahal mestinya malang!"
Jupiter meletakkan carik kertas itu.
"Sejauh ini, pesan Joshua berbunyi begini, Bilang pada Marechal, kunci tempat penyembunyian karya empu ada pada lukisan-lukisanku, dalam sesuatu yang melintang di tempat yang seharusnya malang!" Ia memandang berkeliling dengan sikap bangga. "Kini tinggal satu patah kata Joshua, yang belum kita uraikan maknanya!"
Semua membisu karena merasa bingung. Kemudian Pete membungkuk, memperhatikan kata-kata yang tertulis pada kertas itu.
"Kanvasku, " katanya sambil membaca. "Lalu kemudian, kanvas - begitu saja! Rupanya Hal tidak begitu yakin mengenainya. Tapi apa maksud kata itu, Jupe?"
"Perhatikanlah kedua puluh lukisan ini!" kata Jupiter. Semua memperhatikan.
"Rumahnya! Perhatikan rumah yang semakin mengecil itu!" kata Jupe menyuruh. "Pada lukisan paling ujung begitu kecilnya, sehingga perhatian kita hampir sepenuhnya terarah pada..." "Tenda beranda!" seru Bob. "Tenda bergaris-garis!" kata Hal. "Tenda dari kain kanvas!" kata Pete.
"Ya - dan bertambal-tambal, Teman-teman," kata Jupiter menegaskan. "Salah satu tambalan itu, garis-garisnya salah alur!"
"Garis-garis yang arahnya melintang," kata Bob dengan kagum, "sedang garis-garis tenda membujur - atau malang!"
"Kita ke rumah kecil!" kata Jupiter berseru.
Para remaja itu lari ke luar. Mereka melintasi halaman, menuju ke rumah kecil. Tuan Putri tidak mau ketinggalan. Sesampai di sana Jupiter mendongak, memperhatikan tambalan yang ukurannya kurang lebih sama dengan lukisan-lukisan Joshua Cameron. Kain kanvas bergaris-garis itu ditambalkan dengan garis-garis yang alurnya keliru!
Pete dan Hal bergegas mengambil tangga dari garasi. Pete memanjatnya, dan dengan pisau lipatnya ia memutuskan jahitan dari tambalan itu. Kain kanvas penambal terlepas dari tempatnya semula. Pete mengulurkannya pada Jupiter yang menunggu di bawah. Jupiter langsung menggulung kain kanvas itu, sementara matanya masih menatap kain tenda.
Di tempat kain kanvas dilambaikan tadi, seharusnya tidak ada apa-apa. Atau tepatnya, ada lubang. Tapi ini tidak. Di situ ada tambalan kain kanvas lagi! Dengan sangat berhati-hati, Pete memotong empat jahitan halus pada masing-
masing sisi kain kanvas yang tak bergaris-garis itu. Kain itu lepas. Kini nampak kain tenda yang sebenarnya. Sama sekali tidak nampak lubang di situ.
"Tenda ini sebenarnya sama sekali tidak perlu ditambal," kata Pete.
"Bawa tambalan kedua itu turun, lalu balikkan!" kata Jupiter.
Pete turun. Kain kanvas polos yang dipegangnya dibalikkan olehnya. Semua yang ada di situ langsung melongo, ketika melihat apa yang ada di balik kain kanvas polos itu. Warna-warna cemerlang, yang seakan-akan berkilauan kena sinar matahari. Mereka melihat gambar gunung berwarna ungu, kuda-kuda biru, pohon-pohon palem berwarna kuning, dan sekumpulan manusia yang semuanya merah. Pete memegang lukisan Francois Fortunard yang hilang!
"Bawa masuk ke dalam," kata Jupiter.
Pete membawa lukisan itu dengan hati-hati ke dalam rumah, dibantu oleh Bob. Tuan Putri menyentuhnya dengan sikap yang nyaris hormat, sementara Bob dan Pete meletakkan lukisan itu di atas meja.
"Nilainya pasti luar biasa tingginya, Anak-anak," kata wanita berpenampilan anggun itu. "Bagaimana sampai bisa ada di tangan abangku?"
"Yah - ma 'am.kata Jupiter.
Saat itu Profesor Carswell masuk, bersama Skinny.
"Polisi sebentar lagi datang. Aku tadi bicara dengan Chief Reynolds, dan... kalian sudah menemukannya! Di mana?"
Dengan cepat anak-anak menceritakannya.
"Hebat, Jupiter!" kata profesor itu. "Siapakah yang mengira bahwa tempatnya di balik tambalan tenda tua yang sudah bertambal-tambal? Tempat penyembunyian yang sempurna! Kedap air, aman, dan tidak pernah jauh dari Joshua! Kusarankan agar lukisan itu digulung saja. Tapi hati-hati!"
Sementara yang lain-lain memperhatikan, Bob dan Pete dengan hati-hati sekali menggulung lukisan berharga itu, lalu menyerahkannya pada Jupiter. Skinny memandang dengan wajah masam.
"Nah, Tuan Putri," kata Profesor Carswell sambil tersenyum, "kalau nanti ternyata bahwa lukisan itu bukan curian, maka Anda-lah pemiliknya yang baru. Harta yang tak ternilai!"
"Curian?" kata Tuan Putri. "Maksud Anda, Joshua mencurinya?"
"Tidak," kata Jupiter. "Saya rasa itu bukan barang curian, tapi -"
Saat itu nampak bayang-bayang seseorang yang masuk. Bayang-bayang kurus yang menggenggam pistol. Dari arah pintu terdengar seseorang berbicara sambil terkekeh. "Tapi sekarang akan kucuri!"
Mr. Marechal berdiri di ambang pintu. Pistol yang ada di tangannya diacungkan dengan sikap mengancam. Tuan Putri menatap orang itu dengan marah.
"Pencuri laknat! Kau takkan bisa meloloskan diri!"
"Bisa saja!" Mr. Marechal tersenyum mengejek. "Jangan coba-coba menghalangiku, Tuan Putri! Aku takkan segan-segan menggunakan pistol ini!"
Laki-laki bertubuh kecil itu menatap dengan bernafsu ke arah kanvas tergulung yang ada di tangan Jupiter.
"Kuucapkan selamat padamu, Jupiter. Kau menduluiku menemukan jawaban teka-teki mendiang Joshua. Untungnya, selama ini aku terus mengamat-amati. Sekarang..."
Mr. Marechal tertegun. Kepalanya dimiringkan. Semua yang ada di ruangan itu mendengar bunyi sirene di kejauhan, yang menuju ke arah ngarai. Mr. Marechal memberi isyarat dengan pistolnya.
"Sudah cukup banyak kita bicara! Sekarang serahkan padaku - cepat!"
Jupiter tidak langsung menurut. Tangannya masih tetap menggenggam gulungan kanvas.
"Sudah kuperingatkan tadi -" seru Mr. Marechal, sambil membidikkan pistol.
"Serahkan padanya, Jupiter," kata Profesor Carswell.
"Cepat!" sergah Mr. Marechal.
Jupiter meneguk ludah. Disodorkannya kanvas yang tergulung. Mr. Marechal merampasnya, lalu lari ke luar sambil mengacung-acungkan pistol. Begitu orang itu sudah ke luar, semua memburu ke jendela. "Kejar dia!" seru Tuan Putri.
"Jangan - terlalu berbahaya," kata Profesor Carswell. "Biarkan ia lari."
Tanpa bisa berbuat apa-apa, mereka memperhatikan Mr. Marechal lari melintasi halaman, lalu menyusup masuk ke dalam semak di pinggir jalan. Sesaat kemudian mobil Mercedes kuning melesat ke jalan, menuju arah ke luar dari ngarai. Sementara itu sirene mobil polisi terdengar semakin mendekat.
"Polisi akan mencegatnya!" kata Profesor Carswell.
"Tidak," Jupiter menggeleng. "Polisi mencari mobil kecil berwarna biru, bukan Mercedes kuning." Dan seperti biasa, Jupiter ternyata benar. Ketika mobil polisi muncul semenit kemudian, mereka tidak menggiring Mercedes kuning.

Bab 22
KEPALSUAN TERBONGKAR

Semuanya bergegas ke luar, menyongsong Chief Reynolds yang datang bersama anak buahnya. Dengan cepat Profesor Carswell menceritakan apa yang baru saja terjadi.
"Wah - padahal kami tadi berpapasan dengan Mercedes kuning itu!" kata Chief Reynolds dengan kecut.
"Anda harus dengan segera mengejar Marechal!" kata Tuan Putri mendesak. "Orang itu penjahat! Nanti ia minggat dengan lukisan berharga itu!"
"Itu tidak mungkin," kata Jupiter. Ia memandang berkeliling, sambil nyengir puas. "Untung Anda tadi membunyikan sirene, Chief Reynolds. Marechal begitu kaget dan takut mendengarnya, sehingga tidak diperhatikannya kanvas yang dirampasnya dari tanganku."
Jupiter mengacungkan kanvas lain, yang juga tergulung!
Selama sesaat, semua yang ada di situ hanya bisa melongo saja, memandang Jupiter serta lukisan cemerlang itu. Tapi setelah itu mereka tertawa serempak. Chief Reynolds menepuk-nepuk pundak Jupiter.
"Hebat, Jupiter," kata kepala polisi itu. "Marechal seharusnya lebih berhati-hati menghadapi orang seperti kau ini. Ia tidak mengenal akal bulusmu - lain daripada kami!" Chief Reynolds tertawa lagi. Kemudian ditugaskannya salah seorang bawahannya untuk menyampaikan instruksi lewat radio pada seluruh mobil patroli, agar mencegat Mercedes kuning yang dikendarai Marechal.
"Kita menang, Jupe!" seru Pete dan Bob bersama-sama.
"Belum, Kawan-kawan," kata Jupiter. "Kita sudah berhasil menyelamatkan lukisan Fortunard yang hilang - tapi Marechal masih harus dibekuk."
"Itu sekarang tidak sulit lagi, Jupiter," kata Chief Reynolds dengan nada yakin. "Lain soalnya, jika ia tadi lari dengan membawa lukisan itu - karena ia akan bisa mengancam akan memusnahkannya, atau kita yang secara tidak sengaja menyebabkannya rusak. Tapi sekarang ia takkan mungkin terlalu jauh melarikan diri - karena padanya hanya ada gulungan kain tenda biasa!"
"Di samping itu, De Groot juga masih harus ditemukan," kata Profesor Carswell mengingatkan. "Mungkin kedua orang itu bekerja sama dalam urusan ini."
"Itu sudah pasti," kata Pete. "Jadi sebaiknya lukisan Fortunard itu tetap kita awasi baik-baik!"
"Yah," kata Tuan Putri, sambil tersenyum ke arah anak-anak, "kalian benar-benar sudah membuktikan kemampuan kalian padaku. Kurasa De Groot sekarang takkan lagi bisa merampas lukisanku itu. Aku berniat memberi imbalan yang pantas sekali pada kalian."
Wajah Bob dan Pete berseri-seri mendengar kata-kata pujian wanita anggun itu. Tapi Jupiter nampak seperti sedang memikirkan sesuatu. Ia menatap lukisan yang berhasil diselamatkan itu sambil merenung.
"Chief," kata Profesor Carswell, "milik siapakah sebenarnya lukisan itu sekarang? Rasanya Tuan Putri pemiliknya yang sah - kecuali jika Joshua Cameron dulu memperolehnya dengan jalan mencuri. Kalau bukan begitu, kenapa ia harus menyembunyikannya?"
"Aku yakin, abangku tidak mencurinya. Joshua memang sangat aneh wataknya - tapi ia bukan pencuri."
"Memang," kata Jupiter dengan tiba-tiba, "kurasa lukisan itu tidak dicurinya - dari siapa pun juga."
"Kalau begitu, aku berniat menyumbangkannya pada salah satu museum yang baik," kata Tuan Putri. "Hasil karya genius seperti itu pantasnya menjadi milik seluruh dunia."
"Kami tentu saja perlu mengadakan pengusutan dulu mengenainya," kata Chief Reynolds, "dan selama itu lukisan kami tahan. Tapi jika ternyata Jupiter benar, lukisan itu bukan curian, saya yakin museum mana pun akan sangat berterima kasih menerimanya sebagai sumbangan, Tuan Putri. Sekarang -"
"Awas!" seru Tuan Putri dengan tiba-tiba. "Itu - di sana, di dekat garasi! De Groot!"
Semua berpaling dengan cepat. Tapi tidak ada siapa-siapa di dekat garasi.
"De Groot ada di situ! Aku baru saja melihatnya!" kata Tuan Putri bersikeras. "Ia berdiri di sudut garasi. Ia memegang pistol! Ketika aku berteriak, ia langsung lari lagi ke belakang!"
"Ia takkan bisa meloloskan diri!" tukas Chief Reynolds dengan geram. "Aku serta anak buahku akan mencegatnya dari sisi kiri rumah. Profesor - Anda beserta anak-anak muda ini ke kanan. Jika nanti melihat De Groot, usahakan menggiring dia ke arah kami. Pemuda Norris ini Anda bawa - urusannya akan kutangani nanti. Tuan Putri, Anda yang mengawasi lukisan."
Anak-anak mengikuti Profesor Carswell menghampiri garasi. Skinny Norris juga ikut, walau dengan sikap enggan. Ia seolah-olah takut pada De Groot. Tapi mereka tidak menjumpai orang Belanda itu. Di sisi belakang garasi, mereka bertemu lagi dengan Chief Reynolds beserta anak buahnya.
"Kalian melihatnya?" tanya kepala polisi Rocky Beach itu.
"Tidak," kata Profesor Carswell. "Apakah yang masih bisa diperbuatnya sekarang, karena di sini ada Anda beserta para anak buah Anda?"
"Aku tidak tahu," kata Chief Reynolds. "Ia bisa dengan mudah saja bersembunyi di sekitar sini. Menurutku, sebaiknya kita -"
"Chief!" seru Jupiter dengan tiba-tiba. "Kita harus dengan segera kembali ke depan! Cepat!" "Kenapa, Jupiter?" tanya Chief Reynolds dengan heran. "Cepat, Sir! "
Jupiter berlari mendului menuju sisi depan rumah besar. Tapi Bob yang paling dulu melihat kedua orang yang lari dijalan masuk ke pekarangan. "Itu dia - De Groot!"
"Dan Tuan Putri!" kata Hal sambil menuding. "Ia dikejar-kejar De Groot!"
"Tuan Putri lari membawa lukisan itu!" kata Pete.
"Kita tertipu oleh De Groot," seru Profesor Carswell. "Ia tadi rupanya mengambil jalan memutar untuk merampas lukisan itu, sementara kita mengejar ke belakang. Tapi Tuan Putri lari untuk menyelamatkan lukisannya. Ia berusaha mencapai mobilku!"
Para petugas kepolisian mencabut pistol mereka. Tuan Putri sudah hampir sampai ke mobil profesor, sementara De Groot yang mengejar berada tidak jauh di belakangnya. Chief Reynolds melepaskan tembakan peringatan. Kedua orang yang kejar-mengejar itu langsung berhenti. Polisi, Profesor Carswell, begitu pula anak-anak, berlari-lari menghampiri mereka.
"Tertangkap kau sekarang, De Groot!" kata Bob dengan sikap penuh kemenangan.
"Untung saja!" kata Tuan Putri. "Ia tadi berusaha merampas lukisanku! Tangkap dia, Chief!"
"Ya," kata Chief Reynolds. "Anda kutangkap, Mr. De Groot. Anda berhak -"
"Tidak," kata Jupiter memotong, "bukan De Groot! Tuan Putri yang harus Anda tangkap!"
Selama sesaat, semuanya melongo.
"Leluconmu itu tidak lucu, Jupiter!" tukas Tuan Putri.
Jupiter menggeleng.
"Ini bukan lelucon, Tuan Putri! Anda tadi berusaha melarikan diri dengan lukisan itu. Anda tahu -jika lukisan itu sampai diteliti, Anda pasti takkan memperolehnya. Anda bahkan akan dipenjarakan sebagai akibatnya! Dan De Groot tadi berusaha menahan Anda, supaya j angan bisa meloloskan diri!"
"Omong kosong!" kata wanita berpotongan anggun itu. "Ini lukisanku!"
"Ya, memang," kata Jupiter membenarkan, "karena itu lukisan Joshua, sedang Joshua mempunyai dua orang sekutu - Anda dan Marechal."
"Jadi itu kauketahui, ya?" kata De Groot. "Rupanya aku mengambil sikap keliru selama ini. Aku seharusnya bekerja sama dengan kalian, dan bukan malah mencegah kalian bertindak. Aku ternyata terlalu meremehkan kemampuan kalian!"
"Kau ini bicara tentang apa sebenarnya, Jupiter?" kata Chief Reynolds memotong. "Siapakah De Groot ini?" "Saya rasa dia ini semacam polisi, dari Belanda," kata Jupiter. "Ia selama ini mengejar-ngejar Marechal, dan juga Tuan Putri."
De Groot mengangguk.
"Remaja ini benar, Chief," katanya. "Saya ini detektif swasta dari Amsterdam. Sudah bertahun-tahun saya menyelidiki tindak-tanduk Joshua Cameron serta kawanannya. Saya mendengar kabar tentang karya empu-nya. Lalu ketika saya mendengar bahwa ia meninggal dunia di Rocky Beach sini, saya lantas bergegas-gegas kemari, untuk mencegah kemungkinan Marechal, atau Tuan Putri mengambilnya."
"Mereka berdua sekutu Joshua," kata Jupiter menyambung. "Mr. Marechal mencoba menohok kawan seiringnya, yaitu Tuan Putri. Ketika kita tadi menggagalkan percobaannya itu, Tuan Putri kemudian berusaha mendapatkan lukisan dengan jalan pura-pura melihat De Groot muncul di samping garasi, sehingga kita beramai-ramai mengejar ke sana. Ketika ia sudah sendiri, Tuan Putri berusaha membawa lari lukisan, dengan mobil Profesor Carswell. Tapi selama itu De Groot ternyata mengamat-amatinya terus. Dan begitu melihat Tuan Putri hendak minggat, ia langsung mengejar."
"Tepat!" kata De Groot. "Dan kini Tuan Putri ini akan bisa memikirkan perbuatannya, di dalam penjara!" "Kalau begitu lukisan Fortunard itu memang barang curian?" kata Chief Reynolds.
"Tidak, Sir- bukan dicuri," kata Jupiter. "Pada hakikatnya, bahkan tidak ada - karena sudah dimusnahkan Nazi semasa Perang Dunia II, seperti dikatakan oleh James." "Tapi..." kata Chief Reynolds.
"Kita semua kan bisa melihatnya ada di sini, Jupiter!" kata Bob dengan heran. Jupiter tersenyum getir.
"Kalian ingat tidak - Joshua dulu pernah berkata pada Hal bahwa ia pelukis paling mahal di dunia, tapi tidak ada orang yang tahu? Nah - kenyataannya memang begitu!"
"Ah," kata De Groot. Nada suaranya menunjukkan kekaguman. "Jadi semuanya itu kauketahui, Anak muda? Kalau begitu, kau ini benar-benar detektif berotak tajam!"
"Apa yang kauketahui itu, Jupe?" seru Pete bingung.
"Bahwa mendiang Joshua Cameron memang pelukis yang hebat. Ia pelukis yang ahli - dalam menciptakan pemalsuan! Lukisan Fortunard yang sangat tinggi nilainya ini sebenarnya cuma pemalsuan semata-mata. Fortunard palsu! Itu sebabnya Marechal dan Tuan Putri begitu ingin memperolehnya - untuk kemudian dijual pada salah seorang korban!"
"Nanti dulu!" potong Chief Reynolds. "De Groot kan baru saja mengatakan, ia kemari karena tahu bahwa mendiang Joshua memiliki sebuah lukisan yang merupakan karya empu."
"Itu memang benar, Chief," kata Jupiter. "Karya empu-nya sendiri, yang terakhir. Karya empu dalam memalsukan lukisan!"

Bab 23
ALFRED HITCHCOCK KALAH TELITI

Alfred Hitchcock mengumpat lewat hubungan telepon.
"Haruskah aku tidak habis-habisnya memberikan kata pengantar bagi laporan kalian?"
"Anda baca sajalah dulu laporan kami, Sir, " kata Bob dengan nada memohon. "Dalam kasus ini, Jupiter benar-benar cemerlang. Akan banyak yang bisa Anda pelajari dari situ."
Selama beberapa saat, sutradara kenamaan itu membisu. Tapi kebisuan yang menimbulkan perasaan tidak enak.
"Apakah dengan begitu kau hendak mengatakan bahwa aku kalah cerdas dibandingkan dengan Jupiter Jones, Bob Andrews?" katanya kemudian.
"Bukan begitu maksud saya tadi, Sir, " kata Bob cepat-cepat. "Saya yakin, Anda pasti bisa menjadi detektif yang hebat jika... eh, maksud saya..."
Mr. Hitchcock mengumpat lagi. Setelah diam sebentar, ia menyambung, "Baiklah, Bob Andrews! Datanglah ke kantorku dengan laporan kalian itu. Aku akan membacanya, dan juga akan menuliskan kata pendahuluan untuknya - tapi dengan satu persyaratan."
"Persyaratan yang bagaimana, Sir?" tanya Bob dengan perasaan was-was.
"Jika nanti ternyata aku tidak berhasil menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan Jupiter sialan itu! Jika ada satu kesimpulan saja tidak bisa kuambil, barulah aku mau menuliskan kata pengantar untuk kalian!"
Bob meneguk ludah, mendengar persyaratan itu. Tapi kemudian ia berkata, "Baiklah, Sir!"
"Kalau begitu, kalian datang saja besok!"
* * *
Keesokan harinya Bob, Pete, dan Jupiter muncul di kantor sutradara kenamaan itu. Mr. Hitchcock menghadapi berkas laporan mereka. Setelah beberapa lama membaca, ia mendongak. Ditatapnya ketiga remaja itu sambil tersenyum.
"Jadi De Groot yang bertingkah laku kasar itu ternyata detektif, sedang Mr. Marechal yang selalu necis, dan Tuan Putri yang anggun, sebenarnya penjahat! - Ah, betapa gampangnya jika dengan melihat penampilan saja kita sudah bisa tahu apa sebenarnya mereka! - Sudah tertangkapkah Mr. Marechal sementara ini?"
"Sudah, Sir, " kata Pete, "dan sekarang ia dan Tuan Putri saling beber-membeberkan kesalahan! Ternyata selama bertahun-tahun mereka mengeruk untung dengan cara melanggar hukum, yaitu dengan menjual lukisan-lukisan palsu buatan Joshua pada pembeli yang awam di bidang seni lukis di Eropa. Setahun yang lalu mereka tertangkap, lalu dijatuhi hukuman ringan. Sedang mendiang Joshua berhasil meloloskan diri. Ia minggat ke Amerika dengan membawa lukisan palsu ciptaannya yang terakhir. Jadi -"
"Stop!" kata Mr. Hitchcock dengan tiba-tiba. "Sekarang akan kupaparkan kesimpulan-kesimpulanku. Karena sedang mendekam di penjara, Marechal dan Tuan Putri tidak bisa bereaksi atas surat Profesor Carswell yang memberitahukan bahwa Joshua meninggal dunia. Itu baru bisa mereka lakukan, setelah dibebaskan kembali. Marechal dibebaskan satu minggu lebih dulu daripada Tuan Putri. Ia langsung berangkat ke Amerika dan menuju ke mari. Ia berniat jahat, hendak mendului Tuan Putri mengambil lukisan palsu itu untuk dimilikinya sendiri. Tapi Marechal tidak berhasil menemukannya. Kakinya cedera karena terperosok ke dalam parit di ngarai. Karenanya ia kemudian kembali ke Eropa, menunggu sampai kakinya sudah pulih lagi - dan sekaligus menjemput Tuan Putri."
"Memang begitulah kesimpulan saya," kata Jupiter membenarkan.
"De Groot, begitu mendengar kabar bahwa Joshua meninggal dunia, buru-buru menyusul mereka berdua kemari. Ketika menyadari bahwa Marechal menunjukkan minat pada Skinny Norris, ia lantas menarik kesimpulan bahwa penipu itu bermaksud hendak menjual lukisan palsu itu pada keluarga Norris. Itulah sebabnya ia menyadap telepon mereka. Ia berharap, dengan begitu bisa mengikuti segala tindak-tanduk Marechal, sehingga orang itu nanti bisa tertangkap tangan."
Jupiter mengangguk saja.
Wajah Mr. Hitchcock berseri-seri.
"Mendiang Joshua menyembunyikan lukisan palsunya yang hebat itu, karena tidak ingin ada orang yang tidak berkepentingan - seperti Hal - melihatnya. Kemudian ia mengatur siasat untuk memberi tahu pada sekutu-sekutunya, di mana lukisannya itu disembunyikan - kalau ada sesuatu terjadi dengan dirinya. Kuduga, ia tidak berani menulis surat pada mereka mengenainya. Oleh sebab itu ia melukiskan dua puluh lukisan rumah yang makin mengkerut wujudnya. Tapi ironisnya - ia kemudian membocorkan rahasianya pada orang lain, yaitu ketika mengoceh sewaktu sedang demam, sementara Hal ada di sisinya.
"Begitu Marechal mendengar tentang kedua puluh lukisan itu, ia dengan segera tahu bahwa itu merupakan petunjuk tempat lukisan palsu yang hebat itu disembunyikan. Kata-kata terakhir Joshua menambah keyakinannya bahwa lukisan-lukisan itu memang merupakan kunci - walau ia tidak pernah sepenuhnya berhasil memahami makna keseluruhannya. Setelah Skinny muncul dengan membawa salah satu lukisan itu, Marechal menghubunginya. Skinny, karena jengkel setelah dipecat, konyolnya mau saja dibujuk untuk menyodorkan lukisan-lukisan itu ke luar lewat jendela studio Mr. James, sehingga Marechal bisa menelitinya satu-satu."
"Waktu itu Marechal - seperti saya juga - mengira bahwa lukisan palsu itu ada di bawah lapisan cat lukisan salah satu rumah itu," kata Jupiter.
"Kesimpulan begitu wajar, walau keliru," kata Mr. Hitchcock. "Tapi Marechal kemudian melanjutkan pencarian - dan ialah yang mengurung kalian di dalam pondok tanah di ngarai belakang rumah Profesor Carswell. Kemudian
Skinny ketahuan oleh kalian di dalam studio, sehingga Marechal merasa terpaksa menculik anak itu, agar rahasianya tidak dibocorkan. Untungnya sewaktu kalian dikurung di dalam garasi, kalian berhasil pada waktunya mengetahui bahwa Marechal sebenarnya penjahat. Dengan begitu ia tidak berhasil menawan kalian - atau melakukan sesuatu yang lebih gawat lagi! Sedang yang mengurung kalian di situ tentu saja De Groot - dengan maksud agar kalian aman! Ngomong-ngomong, kaki De Groot yang timpang - itu mestinya karena cedera lama, ya?"
"Betul, Sir, "kata Bob. "Sudah bertahun-tahun jalannya timpang."
Mr. Hitchcock mengangguk.
"Kalian menemukan lukisan palsu yang hebat itu didasarkan penalaran yang bagus sekali - tapi itu sudah kalian jelaskan dalam laporan. Lalu kemudian, Jupiter, kau menarik kesimpulan bahwa mendiang Joshua, dan juga Marechal, sebenarnya pemalsu lukisan. Yang belum kauketahui waktu itu ialah peranan Tuan Putri di dalamnya. Kecurigaanmu terhadapnya baru timbul ketika wanita itu mengatakan melihat Mr. De Groot di dekat garasi. Soalnya, sepanjang pengetahuanmu, selama berada di Rocky Beach, Tuan Putri belum pernah berjumpa dengan orang itu. Kau lantas menarik kesimpulan, kalau begitu keduanya sudah pernah saling berjumpa sebelum itu. Dan karena sejak semula De Groot sudah membuntuti Marechal, dan karena ia tidak pernah berbuat apa-apa selain berusaha menakut-nakuti kalian sehingga menjauhi Marechal, kau mengambil kesimpulan bahwa De Groot pasti polisi - atau semacam itu. Lalu ketika ia pada akhir persoalan mengejar Tuan Putri, kau langsung berkesimpulan bahwa dengan begitu Tuan Putri pasti termasuk kawanan mendiang Joshua pula - dan saat itu hendak minggat dengan membawa lukisan Fortunard palsu!"
Jupiter mengeluh.
"Ya, memang begitulah penalaran saya, Sir. "
"Tapi," sela Pete dengan bergairah, "dari mana Jupe bisa menduga bahwa mendiang Joshua itu sebenarnya pemalsu lukisan, Mr. Hitchcock?"
"Itu kan jelas sekali, Peter! Misalnya saja ucapan Joshua secara sambil lalu pada Hal, bahwa ia pelukis mahal, tapi tidak ada yang tahu. Ditambah lagi dengan keterangan Mr. James pada kalian, bahwa mendiang Joshua memiliki keahlian selaku pelukis, tapi sayangnya dalam kedua puluh lukisannya ia meniru berbagai gaya yang berlain-lainan. Siapakah yang dengan demikian baik bisa melukis dengan begitu banyak gaya berbeda - tapi tetap tak dikenal seumur hidupnya? Pemalsu lukisan!"
"Memang begitulah pengambilan kesimpulan saya, Sir, " kata Jupiter membenarkan.
"Dan dengan begitu kasus ini selesai," kata sutradara ternama itu. Wajahnya berseri-seri. "Dan karena semua penalaran dapat kumengerti, itu berarti aku terlepas dari kewajiban menuliskan kata pengantar untuk kalian!" "Ya - begitulah, Sir, " gumam Bob dengan murung.
"Bagus!" kata Mr. Hitchcock. "Sekarang aku ingin bertanya sedikit. Bagaimana nasib oknum-oknum yang terlibat dalam kasus ini?"
"Yah -" kata Jupiter. "Marechal sudah diajukan ke pengadilan, dengan tuduhan menculik Skinny Norris. Sudah pasti ia akan dipenjarakan untuk kejahatan itu. Tuan Putri tidak terlibat di dalamnya, tapi polisi di sini menahannya sampai ada keputusan pihak berwenang di Eropa mengenai dirinya. Kemungkinannya ia akan dipenjarakan di sana, untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukannya di masa silam. De Groot sudah kembali ke Amsterdam. Kliennya seorang hartawan yang pernah ditipu kawanan pemalsu itu, yang ingin melihat mereka dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Hartawan itu sama sekali tidak puas ketika Tuan Putri dan Marechal hanya dijatuhi hukuman penjara satu tahun, sedang Joshua berhasil melarikan diri. Kini orang itu pasti senang sekali!"
Mr. Hitchcock mengangguk.
"Lalu apa yang terjadi dengan lukisan hebat yang sebenarnya hasil pemalsuan itu?"
"Secara teknis, lukisan itu memang milik Tuan Putri," kata Jupe. "Tapi kini barang itu tidak ada nilainya lagi baginya. Ia tidak menginginkannya lagi, karena ia tidak bisa berbuat apa-apa dengannya. Karena itu ia menyerahkannya pada Profesor Carswell, untuk membayar tunggakan sewa rumah mendiang Joshua. Padahal nilainya jauh lebih tinggi dari jumlah uang sewa yang ditunggak. Seorang pengumpul karya seni palsu sudah menyatakan ingin membeli dengan harga cukup tinggi. Dengan uang itu, Profesor Carswell hendak memugar rumah besarnya, berikut pondok bersejarah yang ada di belakang."
"Kecuali itu sudah ada pula sejumlah orang yang ingin membeli kedua puluh lukisan karya mendiang Joshua," kata Bob. "Lukisan-lukisan ini kini sudah dikembalikan pada Mr. James."
"Bagaimana dengan Skinny Norris?"
"Skinny seperti biasanya - bertindak tanpa memakai otak," kata Jupiter. "Polisi tidak bermaksud melancarkan tuduhan terhadap dirinya - tapi orang tuanya memutuskan untuk menyuruhnya sekolah lagi." "Bagus," kata Mr. Hitchcock. "Nah - aku saat ini sedang sibuk, dan jika -"
"Sebentar, Mr. Hitchcock," kata Pete dengan sekonyong-konyong. "Saya rasa ada satu kesimpulan yang belum Anda jelaskan! Maksud saya, dari mana Jupe mengetahui ketika De Groot mengurung kami di dalam garasi, dan tindak-tanduknya mencurigakan, bahwa Marechal sebenarnya yang penjahat? Itu kesimpulan yang paling menentukan dalam kasus kami ini, Sir. "
"Bagaimana? Kan..."
"Skinny waktu itu ketakutan sekali, sehingga tidak mengatakan apa-apa pada kami," kata Bob cepat-cepat. "Dan jika Jupiter saat itu tidak menduga demikian, ada kemungkinan Skinny takkan pernah mengatakannya pada kami." Mr. Hitchcock meneliti berkas laporan anak-anak. Ia membalik-balik halaman.
"Nah - ini dia!" katanya kemudian. "Di sini dikatakan bahwa Jupiter tahu bahwa Marechal itu penjahat ketika ia menyadari bahwa ucapan Bilang pada... yang disambung dengan gumaman, sebenarnya berbunyi Bilang pada M.!"
"Bukan - bukan itu yang menyebabkan saya tahu!" kata Jupiter sambil tertawa. "Itu baru kemudian. Ketika kami berada di dalam garasi, Skinny mengatakan sesuatu. Dan ucapannya itulah yang menyebabkan saya tahu bahwa penjahatnya Marechal."
"Skinny waktu itu mengatakan... ia mengatakan..." Mr. Hitchcock menatap halaman laporan di depannya dengan mata mendelik. Kemudian perhatiannya beralih pada anak-anak, yang ditatapnya dengan mata yang masih tetap mendelik. "Sialan! Nah - apakah yang dikatakan oleh Skinny, yang menyebabkan kau tahu De Groot tidak bersalah, dan Marechal-lah penjahat yang sebenarnya?"
Jupiter meringis senang.
"Skinny bercerita bahwa penculiknya sambil tertawa mengatakan, semua harus terperosok dulu sebelum tahu bahwa di situ ada parit."
"Ya, ya, betul! - Lalu? Cepat, katakan!" ujar Mr. Hitchcock dengan sikap tidak sabar.
"Ketika kami berhasil meloloskan diri malam-malam dari pondok di ngarai, De Groot kemudian terperosok ke dalam parit di sana," kata Jupiter dengan singkat. Mr. Hitchcock mengerang.
"Aduh - tentu saja! De Groot takkan mungkin terperosok, jika ia saat itu tahu bahwa di situ ada parit! Itu berarti bahwa tidak mungkin De Groot yang sebelum itu mengurung kalian di dalam pondok. Dan tidak mungkin pula dia orang yang masuk secara diam-diam ke dalam rumah tempat tinggal mendiang Joshua ketika kalian pertama kali datang ke sana, walau jalannya pincang. Begitu kenyataan itu kausadari, kau langsung menarik kesimpulan bahwa orang yang masuk itu mestinya Mr. Marechal!" Sutradara itu mengumpat. "Kalian berhasil!"
"Dari semula saya sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres, sewaktu berada di dalam pondok," kata Jupiter dengan sikap puas.
Mr. Hitchcock mengeluh sekali lagi.
"Keterlaluan! Tapi aku ternyata gagal. Ada satu kesimpulan yang tidak kulihat - dan karenanya aku harus menulis kata pengantar untuk laporan kalian ini!"
"Terima kasih, Sir!" kata Bob dengan gembira.
"Kami benar-benar berterima kasih, Sir, " kata Pete menimpali.
"Sebagai penghibur, Mr. Hitchcock," kata Jupiter sambil tersenyum, "kami sudah meminta pada Mr. James, agar salah satu lukisan rumah mengkerut itu boleh kami hadiahkan pada Anda." Ia membungkuk, untuk mengambil lukisan yang selama itu terletak di lantai.
"Kadang-kadang," kata Mr. Hitchcock sambil menerima lukisan itu, "kalian ini sama liciknya dengan penjahat-penjahat yang kalian hadapi! Ayo - sekarang pergi dari sini!"
Ketiga remaja itu cepat-cepat ke luar. Mereka meninggalkan Mr. Hitchcock, yang sedang asyik memperhatikan lukisan hasil karya mendiang Joshua Cameron - empu pencipta lukisan palsu.
Mr. Hitchcock tertawa.