Pendekar Mabuk 22 - Lentera Kematian(2)




Bagi lelaki yang belum tahu siapa Tanjung Bagus itu, maka ia akan terangsang melihatnya karena dianggap sebagai perempuan yang punya daya pikat tinggi dan menggairahkan.

Padahal orang itu sebenarnya seorang lelaki yang punya nama asli Legowo. Ekayana melompat dan tahu-tahu berdiri di depan Tanjung Bagus.

Orang itu memekik genit dan latah, "Eh, alah... kadal, babi, kambing, cicak, semut, gajah..! Iih! Bikin kaget saja kamu!" sambil tangan nya melambai dan tubuhnya melenggok ganjen.

Kalau Ekayana tidak sedang marah, ia akan ter tawa dan terus menggoda kelatahan Tanjung Bagus. Tapi karena ia sedang marah kepada gurunya Tanjung Bagus, maka wajah Ekayana tetap diam, dingin, dan memancarkan nafsu untuk membunuh. Tanjung Bagus sedikit curiga, tapi ia hanya meliriknya dengan pasang gaya genit supaya menarik minat lelaki tampan di depannya. Bahkan ia berkata,

"Lain kali kalau mau temui aku jangan gitu, ah! Kita kan kaget , Ekayana!. Mau apa sebenarnya kamu, ha? Mau apa? Ngomonglah ! Aku siap menerima ajakanmu untuk apaaa . . saja ! " lalu ia tersenyum nyengir, Menurutnya senyuman itu manis, tapi menurut Ekayana memuakkan.

Ekayana diam saja, masih membisu di tempat Tanjung Bagus memandangnya dengan mata nakal.

Senyumnya adalah senyum jalang yang biasa dipakai menggoda lelaki atau lebih tepatnya menjebak lelaki yang diminatinya. "Mau apa kamu menghadangku, Ekayana? Ngomonglah...!"

"Mau membunuhmu ! " bentak Ekayana keras membuat Tanjung Bagus terlonjak kaget dan berucap latah,

"E, alah... babi, kambing, tikus, bebek, kucing,ayam...! Aduh, suaramu itu lho! suka bikin jantung cotot, eh... comot, eh...copot!"

Tanjung Bagus bahkan berjalan melenggok lenggok mendekati Ekayana seraya berkata lagi,

"Datang-datang kok mau membunuhku? Ada masalah apa, Ekayana? Kamu kalau sedang cemberut gitu ganteng sekali lho! Betul kok! "

Srett...! Wutt,,,! Pedang dicabut, ditebaskan dari bawah ke atas dalam satu gerakan mencabut.

Crasss...! Tanjung Bagus diam, memandang Ekayana dalam senyum. Tapi senyumnya itu lama-lama kendor. Tanjung Bagus tetap tak bergerak dan tak berkedip. Lama lama tubuhnya mulai meliuk mau tumbang, perut sampai dada robek dalam, bahkan leher pun sempat robek karena tebasan kilat pedang Ekayana.

Brukkk...! Tanpa bicara 'A', I atau U, Tanjung Bagus rubuh dan tak bernyawa lagi. Ekayana yang sejak tadi juga diam dengan pedang terangkat habis dipakai menyabet tubuh lawannya, kali ini menarik badannya yang melangkah maju menjadi sejajar tegak. Pedangnya pun sudah diturunkan. Wajahnya masih berkesan bengis.

"Tak dapat membunuh gurunya, muridnya pun jadi!" katanya. " Tapi ini belum lunas! Nini Pasung Jagat masih harus membayar nyawa kakek dengan nyawanya sendiri!" sambil menggumam begitu, Ekayana membersihkan darah dipedangnya memakai rambut mayat Tanjung Bagus. Dan tanpa ia sadari, hal itu dilihat oleh Nini Pasung Jagat dari kejauhan sehingga berteriaklah nenek ganas itu.

Wess...! Ekayana cepat tinggalkan tempat, tak mau melayani Nini Pasung Jagat yang segera mendekati mayat muridnya. Ia terperanjat kaget melihat Tanjung Bagus sudah tidak bernyawa lagi. Ia berseru,

"Banci...! Banci, kau mati, Nak...? Oh, murid ku...?!" Nini Pasung Jagat meratap.

Tanjung Bagus satu-satunya murid yang setia padanya, karena itu Nini Pasung Jagat sangat sayang kepada Tanjung Bagus walaupun anak itu banci. Melihat kematian muridnya, Nini Pasung Jagat meluap murkanya kepada Ekayana. Bahkan ia berteriak sambil mengangkat kedua tangannya yang memegangi tongkat di sebelah kanan itu,

"Ekayana. . . ! Aku bersumpah akan membunuh mu untuk menebus kematian muridku! Tunggu aku, Ekayanaaa.. .!"

Entah mendengar atau tidak Ekayana saat itu, yang jelas pemuda berpakaian kulit beruang putih bercelana hitam itu berlari mengikuti petunjuk nalurinya dalam mengejar Sedayu. Dan ternyata, Sedayu memang ada dalam arah yang dituju.

Tetapi ternyata Pranawijaya sudah lebih cepat bergerak memotong jalan dan berhasil menyusul Sedayu.

Keadaan luka di perut PranawiJaya telah tertutup kain pengikat pinggang, dan beberapa ramuan daun telah dimakan dan diborehkan pada lukanya itu. Keadaan tersebut membuat Pranawijaya tak berkurang kekuatannya.

"Sedayu...! panggilnya dari belakang. Sedayu menoleh dan juga berseru kaget,
"Prana...! Oh, Prana... syukurkah kau selamat!"

Sedayu memeluk Pranawijaya. Agaknya memang hati perempuan itu saat ini sedang tertuju pada Pranawijaya, sehingga dengan erat dan hangat ia memeluk Pranawijaya, bahkan menciuminya penuh gairah.
Tetapi kecemasan telah membuat gairah itu surut dan terpendam untuk sementara waktu.

"Dia masih mengejarmu, Sedayu?"

"Ya. Masih! Tapi tadi kulihat dia bertarungdengan tokoh tua, dan aku punya kesempatan melarikan diri kemari! Oh, syukurlah aku bisa bertemu denganmu lagi Prana!" sambil Sedayu memeluk Pranawijaya lagi.

"Tenangkan hatimu! Aku punya tempat persembunyian yang cukup aman buat kita, Sedayu!" sambil tangan Pranawijaya mengusap usap rambut Sedayu yang bersandar di dadanya dengan hangat.

"Di sana kau aman dari gangguan siapa saja. Sedayu! Kau bisa istirahat dengan tenang!"

Tiba-tiba ada yang menyahut, "Iya. Kuburan itulah tempatnya beristirahat dengan tenang!"

Pranawijaya terkejut, demikian pula Sedayu, ia buru-buru menjauhkan jarak dengan Pranawijaya. Keduanya buru-buru memandang ke atas pohon, ternyata di sana sudah bertengger seorang gadis cantik berpakaian kuning gading. Dialah Kirana! Wuggg...!

Kirana melompat turun dari atas pohon. Jaraknya hanya tiga langkah dari depan Sedayu. Matanya memancarkan gairah untuk membunuh Sedayu. Tetapi Sedayu tak gentar sedikit pun, bahkan berkata dengan nada menggeram gemas,

"Bocah usil! Begitukah kerjamu setiap hari mengintip orang yang sedang bermesraan?!"

"Kerjaku setiap hari mengincar kamu untuk ku bunuh, Sedayu! "

Kirana bicara dengan keras dan berani.

"Kirana, jaga bicaramu!" Pranawijaya membentak.

Tapi Kirana justru bersuara lebih keras lagi,

"Kau boleh berada di pihak dia, Prana! Aku tak akan gentar melawan kalian berdua!"

Sedayu segera berkata.

"Bocah bodoh kamu ini! Tak ada masalah apa apa mau membunuhku?!"

"Kau yang berlagak bodoh. Sedayu! Kau telah membunuh guruku, tapi berlagak tidak mempunyai masalah apa apa denganku?!"

"Ooo... jadi kau menuntut kematian gurumu itu?!" Sedayu manggut-manggut sambil pamerkan wajah sinisnya. "Jangan banyak bicara! Terima saja pembalasanku ini! Heaah...!

Srett...! Wuttt wuttt...!

Dua kali Kirana berkelebat menebaskan pedangnya ke wajah Sedayu, tapi bisa dihindari oleh Sedayu dengan memiringkan badan dan merunduk satu kali. Tapi dengan cepat Kirana membalikkan badan dan dengan tendangan berputar, ia mencapai dada Sedayu, lalu menyentakkan kakinya kuat-kuat. Behgg...!

"Uhg...! Sedayu terpekik tertahan karena sentakan itu. Tubuhnya tersentak ke belakang, dan kini merapat dengan sebatang pohon . Dengan cepat Kirana melompat dan membabatkan pedangnya ke arah leher Sedayu.

Crass...! Pedang itu melukai batang pohon, karena Sedayu segera berguling ke tanah sambil mencabut pedang, kemudian dengan cepat ia berdiri sigap, menatap Kirana yang sedang ditahan dari belakang oleh Pranawijaya. "Hentikan, Kirana! Hentikan...!"

"Setan kau. Prana! Hihh...!" Kirana menendang bagaikan kuda, Pranawijaya terkena tendangan itu di perutnya yang masih luka, ia memekik,

"Auuh.. . ! "dan terhuyung huyung mundur dua tindak. Melihat Pranawijaya terkena tendangan yang menyakitkan, Sedayu segera melepaskan serangan nya dengan jurus pedang menebas dari atas ke bawah sambil ia memekik keras, "Hiaaah...!" Wuttt. . ! Trang...!

Kirana berhasil menangkis pedang itu, tapi oleh Sedayu pedang tersebut diputar dan disentakkan ke samping. Clakk. . . ! Pedang itu terlepas dari genggaman Kirana. Segera tubuh Kirana ditodong ujung pedang Sedayu sambil Sedayu berkata penuh kegeraman hati,

"Lihat! Betapa mudahnya aku membunuhmu saat ini, bukan?! Jangan sekali-sekali kau bertingkah di depanku dan berkoar mau membunuhku! Kau bisa terbunuh sendiri oleh ucapanmu, Kirana!"

"Setan jalang kau, Sedayu!" Wuttt...! Plakk...!

Di luar dugaannya, Kirana menyentakkan kaki ke atas sambil tubuhnya melengkung ke belakang dan berjungkir balik dengan cepat. Gerakan kaki yang dilakukan bersamaan dengan berjungkir balik, itu telah mengenai tangan Sedayu, sehingga tangan itu tersentak naik, dan pedangnya terlepas, karena tulangnya terasa ngilu akibat tendangan kaki bertenaga dalam itu.

Clap Clap...!

Kedua perempuan itu kini sudah kembali menggenggam pedang masing-masing. Kirana siap-siap menyerang. Tapi tahu-tahu dari arah belakang ia merasakan ada gerakan dingin yang mendekatinya dengan cepat. Maka serta-merta ia berlutut satu kaki dan menadahkan pedang menyilang di atas kepala dengan tangan kiri menopang ujung pedangnya. Trangngng...!

Gerakan Pranawijaya yang ingin membelah kepala adik sendiri dengan pedang itu berhasil ditangkis. Tapi tiba-tiba tubuh Kirana dijatuhkan dan berputar cepat menyabet kaki kakaknya dengan pedang berkecepatan tinggi.

Wuuttt...! Kaki itu melompat dengan cepat dan menendang waj ah Kirana. Plokk...!

"Auh ...!" Kirana memekik kesakitan, tulang pipi nya bagaikan mau pecah akibat tendangan Pranawijaya.

Sedayu segera menyerang dengan pedang menebas ke tanah. Tapi Kirana berguling ke samping, lalu pedangnya berkelebat menyabet tangan Sedayu. Wuttt...! Crass...!

Tangan Sedayu terlambat sedikit menghindari sabetan pedang Kirana, akibatnya tangan itu tergores mata pedang yang tajam. Untung tak seberapa dalam. Hanya agak panjang lukanya dan mengeluarkan darah yang membuat mata Pranawijaya terbelalak marah.

"Kau benar-benar cari mampus, Kirana!" teriak Pranawijaya.

Pada waktu itu, Kirana sudah siap berdiri dengan sigap dan mengangkat pedangnya ke samping dada kanan dengan kaki sedikit merendah, rapat antara yang kiri dengan yang kanan. Tubuhnya sedikit serong, sehingga sewaktu waktu datang serangan tinggal menebaskan pedangnya. Wuttt...! Crass...!

"Aahg....!"

Sedayu yang terpekik saat itu. Pranawijaya terkejut dan menoleh ke belakang, ia tambah terbelalak melihat Ekayana sudah berada di sana, baru saja berhasil menyabetkan pedangnya dan melukai punggung Sedayu. Untung tidak terlalu parah, sehingga Sedayu bisa cepat melompat menjauhinya dan bergabung dengan Pranawijaya.

"Bangsat! Kau harus menebus lukanya dengan nyawamu, Ekayana ! " bentak Pranawijaya lalu cepat maju menyerang bersama pedangnya.

"Hiaaah...!"

Wuttt wuttt., trang trang...! Plok...!

Wajah Pranawijaya menjadi merah. Sebuah tendangan bertenaga dalam tinggi menghantam wajahnya, membuat ia terpental mundur empat langkah. Melihat Pranawijaya terjungkal jatuh dalam keadaan payah, Kirana segera berteriak garang dan menyerang Ekayana. "Heaaat...!"

Wuttt, wuttt...! Trang trang trang...! Behgg!

Kini tendangan kaki Kirana yang menghantam telak perut Ekayana. Pemuda itu tersentak mundur tiga langkah, lalu berdiri tegak lagi.

"Kau mau ikut campur rupanya!"

"Kau mau membunuh kakakku! Maka aku yang akan berhadapan denganmu ! " kata Kirana, masih saja membela kakaknya walaupun tadi hampir saja ia mati di ujung pedang Pranawijaya.

"Kepung dia" seru Sedayu dengan masih kuat melakukan serangan walau sudah terluka punggungnya. Pranawijaya yang mendengar seruan itu segera bangkit dan mengepung Ekayana. Kini, Ekayana dikeroyok tiga orang yang masing-masing punya kemampuan memainkan pedang.

"Sedayu!" kata Ekayana. "Sebaiknya kau menyerah saja dan kubawa ke Lembah Kabut untuk diadili di sana! Daripada kau di sini mati di tanganku, lebih baik kau diadili oleh Logayo. Aku bisa membelamu untuk mendapatkan keringanan hukuman darinya!"

"Cuih...!" Sedayu meludah. 'Lebih baik kau bawa kepalaku ke sana ketimbang aku harus diadili sementara aku tak bersalah!"

"Mengakulah.,Sedayu! Orang-orangku sudah banyak yang tahu bahwa kaulah yang menyebar racun Getah Tengkorak di tempatku! Kau tak bisa mengelak lagi, Sedayu!"

"Mendengar nama racun itu saja baru dari mulutmu! Bagaimana mungkin aku bisa menggunakan racun tersebut? ! Dari mana aku mendapatkannya!? Kau jangan mengada-ada, Ekayana! Bilang saja kau cemburu karena kau tahu aku sekarang berpindah pelukan pada Pranawijaya!"

"Baiklah kalau kau tetap membandel! Aku; Malaikat Maha Pedang, terpaksa merampungkan tugasku dengan berat hati!"

"Seraaang...!" teriak Sedayu memberi perintah. Maka, Pranawijaya dan Kirana pun menyerang Ekayana secara serempak. Ekayana sendiri hanya diam saja ketika mereka bertiga bergerak maju, tapi tiba-tiba ia menggunakan jurus 'Pedang Pembelah Petir' nya itu. Wuttt...!

Cras...! Crass...! Trang...!

Dalam satu gerakan cepat, pedang Ekayana telah berhasil merobek dada Sedayu dan leher Pranawijaya. Sementara gerakan berikutnya dapat ditangkis oleh Kirana, sehingga gadis itu hanya terpental akibat kekuatan tenaga dalam yang mengalir dalam pedang Ekayana.

Begitu Kirana berhasil cepat berdiri, takut diserang lagi, ia menjadi tertegun melihat kakaknya rubuh tak bernyawa dan Sedayu pun tergolek mati di samping Pranawijaya.

"Prana...?!"

Kirana ingin berteriak, tapi tak mampu, sehingga yang keluar hanya berupa desah kesedihan mendalam. Ia pun tak bisa mendekati mayat kakaknya karena serangan dari Ekayana kembali membahayakan j iwanya .

Kirana menangkis serangan itu dua kali dan berhasil menendang tubuh Ekayana hingga terjeng kang jatuh sang lawan, kemudian ia cepat-cepat melarikan diri meninggalkan lawannya yang membahayakan itu.

Ia berlari sambil membawa kesedihan atas kematian kakaknya, namun juga membawa ketegangan karena Ekayana berlari mengejarnya.

6

KALAU Kirana tidak lari, dia akan mati. Kirana tahu persis kekuatan ilmu pedang lawannya itu. Ia tak mau mati konyol melawan sesuatu yang jelas lebih tinggi ilmunya dari ilmu yang dimilikinya.

Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana menghindari kejaran dari Ekayana. Agaknya orang itu bernafsu juga untuk membunuh Kirana dalam kaitan pengeroyokannya bersama Pranawijaya dan Sedayu . Sudah pasti Ekayana menganggap Kirana berkomplot dengan kedua orang tersebut.

Padahal Kirana sendiri sebenarnya merasa tak menyukai Sedayu dan kecewa sekali Sedayu mati di tangan Ekayana.

Pelarian di ujung senja itu membawa Kirana ke sebuah pantai. Sampai di sana, Kirana merasa bingung harus bersembunyi di mana, sementara dia tahu persis, Ekayana masih terus membuntutinya. Bahkan kali ini Kirana terpekik kaget dengan pedang cepat berkelebat ke belakang sambil membalikkan badan, karena ia mendengar suara seorang lelaki di belakangnya,

"Mau menyeberang lautan?!" Wuttt...!

"Hai, tunggu dulu!" seru pemuda itu yang ternyata adalah Suto Sinting. Untung Suto segera sentakkan badan ke belakang, sehingga pedang itu lewat di depan perutnya dalam jarak satu jengkal.

"Oh, kau...!" Kirana menggeram jengkel-jengkel senang. Napasnya dihempaskan lepas .

Cepat-cepat ia buang muka karena tak mau terlalu lama memandang senyuman Pendekar Mabuk yang membahayakan hatinya itu.

"Lain kali berteriaklah dulu kalau mau mendekatiku! Jangan begitu caranya! Hampir saja aku membunuhmu!"

"Bukankah itu lebih baik bagimu?" kata Suto menggoda. "Kau sudah hampir membunuhku tadi pagi!"

"Aku... aku khilaf!" jawab Kirana. "Sekarang... sekarang aku dalam bahaya ! Aku menghadapi musuh yang punya ilmu pedang cukup tinggi! Kakakku dan Sedayu kekasihnya, mati di tangan Ekayana! Dia sedang mengejarku, dan kusangka kau adalah Ekayana! Karenanya kutebaskan pedangku lebih dulu sebelum dia membunuhku!"

"O, kau mau dibunuh oleh orang yang bernama Ekayana?"

"Ya. Aku sudah mencoba melawannya, tapi kurasa aku kalah!" Pendekar Mabuk tertawa, "Kalau tak kalah, tak mungkin kau lari sampai ke sini!"

Kirana ingin mengucapkan kata kala lagi, tapi ia bimbang, bingung, dan akhirnya hanya menghempaskan napas sambil angkat bahu. Ia duduk di atas sebuah batu yang tingginya sebatas pinggulnya. Ia masih memegangi pedang di tangannya. Sementara itu, Suto Sinting menenggak tuaknya beberapa teguk dan merasakan kesegaran tuak melalui hembusan napas lewat mulutnya.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Kiran setelah membisu beberapa saat. Ia memandang Suto sekejap,lalu buru-buru memandang laut yang ingin menelan matahari senja itu. "Kau mulai ramah padaku rupanya! Mungkin kau punya maksud tersembunyi di balik keramahan mu?"

"Yang ingin kutahu, siapa dirimu!" Kirana membelalakkan mata seperti dipaksakan untuk menjadi galak lagi. Suto menertawakan sekejap, kemudian ia menjawab dengan suaranya yang lembut, melenakan kalbu,

'Namaku Suto Sinting! Secara kebetulan saja aku sedang mencari apa arti Cemara Tunggal!"

"Arti Cemara Tunggal ? ! " Kirana berkerut dahi memandang Suto .

"Maksudku, aku tidak tahu apakah Cemara Tunggal itu nama sebuah tempat, nama pusaka, nama tokoh tua., atau nama makanan!"

Kirana diam. Tapi kemudian ia tertawa berderai.

Suto sedikit malu tersipu, namun ia segera berkata lagi,

"Aku memang bodoh dalam hal itu!"
"Aku bisa menolongmu, tapi kau harus menolongku!"
"Apa yang harus kulakukan untuk menolongmu?"
"Menghadapi Ekayana!"

Pendekar Mabuk makin melebarkan senyum, bahkan tertawa dalam nada gumam. Kirana berkata lagi,

"Kau bersedia?"

"Sebenarnya bersedia, tapi karena kau tadi pagi sudah mengatakan bahwa dirimu tak butuh pertolonganku, maka kuurungkan pertolonganku untukmu!" goda Suto sambil mulai membuka tutup bumbung tuaknya.

"Kalau kau tak mau menolongku, aku juga tak mau menolongmu! Padahal aku tahu banyak tentang Cemara Tunggal!" Kirana membuang muka ber-lagak acuh tak acuh.

Suto membiarkannya, malahan ia menenggak tuak beberapa teguk. Setelah itu ia melangkah bersebelahan dengan Kirana. Ikut memandang ke arah lautan lepas.

"Indah sekali pemandangan senja di tepi pantai itu! Hampir setiap ada kesempatan, aku selalu meluangkan waktu untuk menikmati keindahan seperti saat ini!"

"Hei, bagaimana dengan tawaranku tadi?!" Kirana merasa sedang dialihkan bicaranya, sehingga ia tak mau melayani pembicaraan Suto, namun memaksa Suto untuk kembali ke percakapan semula.

Suto Sinting hanya memandang dengan senyum menawan tersungging di bibirnya yang masih tampak basah karena tuak tadi.

"Apakah kau benar benar membutuhkan bantuanku?"
"Ya," jawab Kirana dengan tegas dan jelas.
"Kau tidak kecewa seperti saat mendapat pertolongan dariku tadi pagi?!"
"Tidak akan! Karena ini demi menyelamatkan nyawaku!"
"Yang kulakukan tadi pagi juga demi menyelamatkan nyawamu "

"Tapi lawanku adalah kakak sendir! Dan aku tak yakin dia akan tega membunuhku! Tapi kali ini, Ekayana yang menjadi lawanku. Dia orang buas dari sekian banyak manusia bejat yang tinggal di Lembah Kabut dan dalam benteng Perguruan Kobra Hitam! Kurasa dia benar-benar ingin membunuhku, dan aku butuh pelindung!"

"O,begitu?" Suto sengaja menggoda dengan lagak acuh tak acuhnya, dan juga lagak bodohnya. Kirana ingin marah karena merasa sedang dipermainkan, tapi sisi hatinya yang lain merasa senang dengan cara Suto mempermainkannya.

"Baiklah," kata Pendekar Mabuk akhirnya. "Ku ingatkan saja padamu, lain kali jangan kau sesumbar dan sesombong begitu! Sekarang aku akan menolongmu!"

"Kalau kau tak suka, tak apalah! Aku tak akan memaksamu minta tolong," kata Kirana dengan sikap angkuhnya ditonjolkan.

Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala, merasa aneh dengan lagak gadis cantik berhidung mancung itu.

"Sebutkan dulu, apa nama Cemara Tunggal itu?"

"Setahuku itu nama sebuah tempat , letaknya di Bukit Canang ! Disana memang ada sebuah cemara yang tumbuh sendirian, tanpa tanaman lain, berbentuk lurus, tinggi, seperti sebuah menara atau prasasti tugu bersejarah. Hanya ada satu cemara di sekitar Bukit Canang."

"Hmm... di mana tempat itu? Maksudku, Bukit Canang terletak di sebelah mana?" tanya Sulo semakin serius.

Tapi tiba-tiba Kirana terperanjat. Matanya melebar seketika, karena ia melihat sekelebat sinar hijau tua yang melesat ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Kirana yang terkesiap dan tak sempat menghindar itu dihantam sinar hijau tua dalam bentuk seperti ujung anak panah.

Melihat hal itu, Suto bergerak cepat di luar dugaan Kirana. Bumbung tuaknya dihadangkan di depan Kirana, dan sinar hijau itu membentur bumbung tersebut. Trangng...!

Bagai dua besi baja beradu suara nya. Sinar hijau itu membalik kearah pemiliknya dengan lebih besar dan lebih cepat gerakan terbangnya.

Zlappp...!
Duarrr.. . ! Brrrukk... !

Sebatang pohon kelapa menjadi sasaran sinar hijau tersebut, sebab pemiliknya segera melompat menghindari sinar yang membalik. Dan pohon kelapa itu pecah berantakan pada bagian yang terkena sinar hijau, sehingga sisanya di bagian atas tumbang tanpa ampun lagi. Bau terbakar menyengat hidung. Bagian batang kelapa yang hancur kepulkan asap dalam keadaan hangus, bahkan masih terdapat bara api yang menyala di sana. Sedangkan buahnya menggelinding berserakan di pasir pantai tersebut.

"Itu yang bernama Ekayana!" bisik Kirana.

Bisikan itu terucap setelah mereka sama-sama memandang kemunculan Ekayana yang tadi bersalto di udara menghindari sinar hijaunya yang membalik arah itu.

"Diamlah di sini, biar aku yang menemui dia!" bisik Suto Sinting.
"Hati-hati, dia jago pedang!"

"Aku jago lari" jawab Suto seenaknya saja sambil meninggalkan Kirana sendirian. Ia melangkah mendekati Ekayana yang berdiri dengan pedang telah tergenggam di tangannya.

Ekayana berkerut dahi merasa asing dengan wajah Suto Sinting yang baru kali itu ditemuinya. Kerutan dahi membuat wajah Ekayana yang berkumis tipis dan tampak ganteng pula itu menjadi berkesan tegang.

Sementara itu, Suto tetap tampak lebih tenang dan kalem penampilannya.

"Kekasihmukah itu?" tanya Ekayana dengan nada sinis dan keras. Kirana yang mendengar menjadi deg-degan. Lebih deg-degan lagi saat Suto menjawab,

"Ya, dia kekasihku! Mau apa kau?!"
"Dia akan kubunuh!"

"Silahkan! " jawab Suto seenaknya saja. Kemudian ia menyisih, seakan membuka jalan untuk Ekayana. Kirana menjadi kebingungan.

"Sinting betul itu orang! Disuruh melindungiku malah membiarkan orang itu akan membunuhku? ! " pikir Kirana dengan ketegangan yang disembunyikan.

Ekayana sendiri menjadi curiga melihat Pendekar Mabuk memberi jalan kepadanya. Ekayana tidak segera bergerak melangkah mendekati Kirana. Ia bahkan menatap Suto dengan mata sedikit menyipit, memperlihatkan sikap permusuhannya.

"Silahkan...! " ulang Suto dengan kalem, tangannya bergerak melambai, selayaknya orang memper silakan tamu yang mau lewat.

"Kau tak kecewa dan tak menyesal kalau sampai kekasihmu itu mati di ujung pedangku?!"
"Tidak!" jawab Suto terang-terangan dan nyeplos begitu saja.

"Kenapa kau tidak menyesal kalau dia mati?"
"Karena aku yakin kau tidak akan bisa menggerakkan pedangmu!" Jawab Pendekar Mabuk.
"Hm...!" Ekayana tersenyum sinis.

Pendekar Mabuk segera membuka bumbung tuak, dan menenggaknya beberapa saat. Kemudian melangkah mendekati Kirana.

"Jangan sakit hati pada ucapanku!" bisik Suto.
"Kau mempersilakan dia membunuhku! Bagaimana aku tak sakit hati?"

"Percayalah, dia tak akan bisa menggerakkan tangannya! Pedang itu tak akan bisa ditebaskan ke tubuhmu, walau kakinya bisa berjalan mendekatimu! Lihat saja nanti!"

Benar saja apa yang dikatakan Pendekar Mabuk itu. Ekayana ingin menggerakkan pedangnya yang sudah terangkat di atas pundak kanan dengan menggunakan kedua tangan. Pedang itu sebenar nya sudah siap menebas lawan. Tapi Ekayana kebingungan menggerakkan kedua tangan, Bahkan untuk membungkukkan badannya saja terasa kaku, tak bisa ditekuk sedikitpun. Kedua tangan itu bagaikan membeku, urat-uratnya sangat keras dan kaku. Sedikit pun jarinya tak ada yang bisa digerakkan. Tetap saja menggenggam gagang pedang dengan keras.

"Bangkai busuk kenapa tangan dan badanku jadi kaku begini?! Apakah pemuda brengsek itu telah menotok jalan darahku untuk bagian tangan dan badan? Sejak kapan dia menotokku?!" pikir Ekayana dengan terheran-heran. Kirana sendiri memandangnya dengan heran sekali.

Dalam hatinya ia berkata, "Orang tampan ini sintingnya kelewat batas! Tak kulihat gerakan menotoknya, tapi tahu-tahu Ekayana tak bisa menggerakkan kedua tangannya? ! Tinggi juga ilmu Suto Sinting ini? Murid siapa dia?!"

Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum memandangi Ekayana,yang mirip patung sedang jadi tontonan itu.

Kemudian, Kirana berbisik,

"Sejak kapan kau menotoknya?"
"Lewat gerakan tanganku waktu mempersilakan dia berjalan!"
"Ooo...,"

Kirana manggut-manggut, namun dalam hatinya berkata,

"Memang edan dia ini ! Hanya dengan gerakan tangan selembut itu ia bisa kirimkan tenaga dalam untuk menotok Iawan dalam jarak tiga langkah di depannya! Luar biasa sekali ilmunya!"

Ekayana bersusah payah melepaskan diri dari pengaruh totokan tersebut . Bahkan ia berlari ke dekat pohon kelapa, dan dibentur-benturkan badannya ke sana, tangannya yang jadi sasaran pembenturan itu.

Tapi pengaruh totokan tangannya belum bisa terlepas. Masih saja tangan itu kaku. Keduanya memegang gagang pedang yang sudah ada di atas pundaknya. Punggungnya sendiri tak bisa ditekuk, walau ia telah menggerakkan tenaganya sekuat mungkin.

"Hoi...! Monyet...!" panggil Ekayana.

"Kau memanggil dirimu sendiri atau memanggil orang lain?!" tanya Suto dengan nada melecehkan.
Ekayana hanya menggeram dengan wajah merah menahan amarah. "Bebaskan aku dari pengaruh totokanmu! Jangan berani-beranian mempermainkan orang Kobra Hitam begini, Kunyuk!"

"Kobra Hitam?! Apa hebatnya Kobra Hitam itu? Mengapa kau sombongkan di depanku?! Kalau orang Kobra Hitam itu orang kuat , sakti, jagoan, tidak mungkin bisa meratap ratap minta dibebaskan totokan jalan darahnya!" Pendekar Mabuk tertawa pelan.

Luapan amarah sudah tak terbendung lagi sebenarnya. Tapi Ekayana terpaksa tak bisa melampiaskan selain hanya bisa berah-uh-ah-uh, memaksakan tenaga untuk melepaskan diri dari pengaruh totokan itu.

"Bangsat kaut" geram Ekayana. "Kalau kau merasa berilmu tinggi, mari kita bertarung secara kesatria! Ambil pedang dan kita beradu nyawa dengan pedang!"

"Aku tidak mau!" jawab Suto sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak bisa jurus pedang! Tapi kalau jurus memenggal kepala tanpa menggunakan pedang atau senjata apa pun, aku bisa!"

"Manusia busuk kau! Banci! Cengeng dan kecil nyalimu!" Ekayana sengaja memancing kemarahan Pendekar Mabuk.

Tapi Suto hanya tertawa sambil tetap berada di samping Kirana.

"Kau mengatai dirimu sendiri!" kata Suto. "Kalau kau tidak merasa banci, cengeng, dan kecil nyalimu, coba kau lepaskan diri dari pengaruh totokan itu! Coba!" tantang Suto makin memanaskan hati Ekayana.

Saat itu, darah Ekayana benar-benar mendidih. Tapi karena tak bisa berbuat apa-apa, Ekayana hanya bisa menggeram penuh kejengkelan.

"Tunggu! Jangan pergi ke mana pun kalian! Aku akan datang kembali menemui kalian di sini!" setelah berkata begitu, Ekayana segera pergi meninggalkan pantai dengan berlari lari, tangan keduanya masih menggenggam pedang di atas pundak kanannya.

Suto menertawakan dan Kirana pun cekikikan geli melihat Ekayana lari dalam keadaan seperti itu. Mereka tak tahu apa yang dicemaskan hati Ekayana sebelum berlari meninggalkan tempat,

"Nini Pasung Jagat pasti sedang memburuku! Kalau aku dalam keadaan seperti ini. Nini Pasung Jagat pasti dengan mudah membunuhku. Sebelum nenek setan itu muncul, aku harus melarikan diri lebih dulu. Kurasa Brajawisnu ataupun Pancakana, dapat menolongku membebaskan pengaruh totokan iblis ini! Kelak jika aku berhadapan dengan pemuda berbumbung tuak itu, aku harus lebih waspada lagi! Memang edan ilmu yang dimiliki pemuda itu!"

Nini Pasung Jagat adalah orang yang ditakuti Ekayana pada saat mengalami nasib seperti itu. Tetapi, Kirana mempunyai dugaan lain, dan segera berkata kepada Pandekar Mabuk,

"Pasti dia pulang untuk memanggil orang orangnya! Sebaiknya kita cepat menyingkir dari tempat ini, Suto!"

"Mengapa harus menyingkir? Biar saja ia datang bersama orang-orangnya! Tak ada salahnya dia ke sini membawa teman, barangkali butuh ngobrol bersama di tepi pantai!"

"Suto! Orang orang Kobra Hitam itu ganas-ganas dan berilmu tinggi . Kau jangan meremehkan mereka ! " Kirana tampak cemas .

"Kalau aku meremehkan mereka, kenapa?"
"Kau bisa dibunuh oleh mereka!" sentak Kirana tak sabar.
"Kalau aku dibunuh mereka?"
"Matilah kau!"
"Ya, sudah. Biar saja mati. Memangnya kenapa kalau aku mati? Apa kau merasa rugi?!"

Kirana gelisah dan jengkel sendiri, akhirnya menjawab dengan wajah cemberut ketus, "Tidak!"

Dan Pendekar Mabuk tahu perasaan hati Kirana sebenarnya, karena itu ia menertawakan gadis itu. Sang gadis semakin tersipu dongkol.

7

RUMAH terdekat dari pantai itu adalah tempat kediaman Tabib Cawan Maut. Rumah itu ada di tepi laut, tapi di sebuah bukit karang yang sepi oleh penghuni, sunyi oleh binatang burung, karena tak ada tanaman di atas bukti karang itu. Bukit tersebut jika lewat siang hari tertutup bayangan tebing karang yang tinggi, letaknya di seberang bukit karang. Antara bukit tersebut dengan tebing karang yang tinggi terdapat selat berombak besar. Curam dan berkesan ganas alam di bawah bukit itu.

Tabib Cawan Maut membuat atap lebar dan panjang dari daun kelapa dan nipah. Dengan adanya tempat bernaung yang panjang dan lebar itu, rumah gubuk kediaman Tabib Cawan Maut menjadi teduh dan nyaman ditempati . Di situ ia tinggal dengan seorang pelayannya, lelaki berusia sekitar lima puluh tahun yang bernama Jongos Daki.

Dulu kerjanya mendaki gunung untuk mencari tanaman yang dibutuhkan sebagai campuran ramuan obat. Itulah sebabnya ia dikenal dengan nama Jongos Daki. Sekali pun orangnya agak gemuk dan pendek, tapi kerjanya cepat, gerakannya gesit dan lincah. Kirana mengenal Jongos Daki, dan memanggil nya dengan sebutan Paman. Kepada Tabib Cawan Maut pun, Kirana cukup kenal baik, karena dulu ia sering disuruh oleh gurunya, si Punding Sunyi, untuk memesan berbagai macam obat -obatan yang di perlukan.

Seringnya datang memesan obat-obatan, membuat hubungan mereka menj adi baik. Tak heran jika kehadiran Suto dan Kirana ke rumah itu disambut dengan baik oleh Tabib Cawan Maut dan Jongos Daki .

"Cukup lama kau tidak kemari, Kirana?! Apakah orang-orang Mawar Seruni dalam keadaan sehat semuanya?" kata Tabib Cawan Maut kepada Kirana.

"Untuk sementara ini, kami dalam keadaan baik dan sehat-sehat saja, Tabib! Hanya... Guru yang..."
"Ada apa dengan gurumu?" sergah lelaki tua yang sudah kempot dan keriput wajahnya itu. Badannya kurus, matanya cekung, punggungnya sedikit bungkuk, rambutnya panjang beruban rata. Suto mengira-ngira usia tabib itu sekitar delapan puluh tahunan.

"Katakan apa sebenarnya yang terjadi pada gurumu, Kirana?" desak Tabib Cawan Maut dengan suara tua yang bergetar itu. "Guru telah tewas, Tabib!" Jawab Kirana dengan sedih. "Punding Sunyi tewas...?!" mata tabib itu menj adi sayu saat memandang Kirana. Dan gadis berambut poni yang cantik itu hanya menganggukkan ke palanya. Kemudian menceritakan siapa pembunuhnya dan bagaimana saat bertemu dengan gurunya yang terluka itu.

"Sebenarnya kalau belum terlambat, bisa kutawarkan racun itu! Sedayu punya racun berbahaya dari kakeknya dulu, dan nama racun itu adalah Racun Lintah Merah. Aku punya obat penawarnya, "kata tabib.

"Tapi rupanya semua itu sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Kematian tetap saja harus terjadi dan tak bisa dielakkan lagi! Kesembuhan pun datangnya dari dia, yang menguasai kita sekalian.Cuma kadang-kadang orang salah mengartikan, bahwa kesembuhan datangnya dari tanganku, atau tabib lain! Padahal aku dan tabib-tabib lainnya itu ha nya semata-mata sebagai perantara dari penyembuhan-Nya."

Banyak yang dibicarakan oleh Kirana dan Tabib Cawan Maut. Karena asyiknya mereka bicara, Suto keluar menikmati pemandangan dan udara malam, karena saat itu rembulan muncul separo bagian di balik awan bermega putih perak. Memandang malam, menikmati sunyi, merupakan sesuatu yang berarti sekali bagi jiwa Pendekar Mabuk itu.

Setidaknya ia memperoleh sebentuk ketentraman jiwa yang begitu menyegarkan.

Sesaat kemudian, Jongos Daki muncul dan mendekati Suto yang duduk di pelataran dekat pagar tebing samping. Suto duduk di sebuah bangku dari kayu gelondongan, hanya dikemas bagian atasnya supaya enak dipakai duduk. Jongos Daki membawa kan empat potong jagung rebus yang konon diambilnya dari ladang petani yang sudah kenal baik dengannya, beberapa waktu yang lalu.

Di bangku itu, mereka duduk menghadap ke tebing tinggi dan laut yang menggelora. Suara debur ombaknya terdengar jelas dari tempat mereka berada. Tanpa sadar percakapan mereka sampai pada Kirana.

"Dia gadis yang cantik dan menggairahkan. Kalau dulu aku tidak dikebiri oleh seseorang yang berjiwa binatang, mungkin aku juga merasa tertarik dengan perempuan secantik Kirana. Dan, kurasa kau sendiri sependapat denganku, Suto, bahwa Kirana sudah cukup umur dan layak untuk bersuami!"

"Ya, saya sependapat dengan Paman Jongos Daki. Tapi siapa lelaki yang akan menjadi suami Kirana, kita tak tahu. Atau mungkin Paman tahu siapa kekasih Kirana?"

"Dia tak pernah bercerita tentang seorang kekasih sejak aku mengenalnya! Bahkan membawa seorang teman lelaki, baru sekarang. Kaulah orangnya. Dan, kusangka kau adalah kekasihnya! Aku merasa kagum saat dia datang bersamamu, dan hatiku berkata, sungguh serasi Kirana memilih calon suami. Ternyata..."

Jongos Daki tertawa sendiri sambil menikmati jagung rebusnya. Suto pun jadi ikut tertawa sambil melemparkan bonggol jagung yang sudah habis termakan bulir-bulirnya.

"Tapi apa benar kau bukan kekasihnya?" Jongos Daki menyatakan kesangsiannya yang dipendam sejak tadi. "Bukan, Paman!"

"Mengapa kau tidak mengambil dia sebagai istrimu saja? Kurasa tak ada ruginya beristrikan wanita secantik Kirana itu! Keberaniannya pun membuatku kagum."

"Saya sudah punya kekasih sendiri, Paman, " j awab Suto jujur.

"Boleh tahu siapa wanita yang beruntung menjadi kekasihmu?" Jongos Daki tersenyum- senyum. Suto agak tersipu walau akhirnya ia berkata,

"Seseorang yang tinggalnya jauh dari sini. Ada di sebuah pulau."
"Sebutkan nama pulaunya, maka aku akan mampu menebaknya!"

Suto berpaling memandang Jongos Daki,

"Paman punya banyak pengalaman mengarungi lautan?"

"Dulu aku ikut sebuah kapal. Ayolah, sebutkan nama pulau itu! Setidaknya aku bisa menebak siapa kekasihmu itu. Suto."

"Baiklah, Pulau itu bernama Pulau Serindu!"
"Hah,..?!"

Jongos Daki terperanjat kaget, mulutnya sampai ternganga lebar, matanya mendelik dan wajahnya menjadi tegang, ia mengusap kedua lengannya yang terasa merinding mendengar nama Pulau Serindu. Hal itu membuat Suto menjadi terheran-heran dan segera mengajukan tanya bernada bimbang,

"Kenapa..., kenapa Paman kelihatan kaget?"

"Setahuku, Pulau Serindu adalah tempat berdirinya Istana Puri Gerbang Surgawi, dan aku tahu penguasa di Pulau Serindu itu adalah Gusti Mahkota Sejati, yang mempunyai nama asli Dyah Sariningrum!"

"Dialah kekasihku, Paman," Jawab Suto sambil tersenyum. 'Edan! Tak mungkin!" Jongos Daki agak ngotot. "Mengapa tak mungkin?"

"Dyah Sariningrum adalah perempuan yang di incar oleh Siluman Tujuh Nyawa, tak ada orang yang berani mendekatinya! Kalau kau ingin menjadi kekasih atau bahkan suami dari Gusti Mahkota Sejati, itu berarti kau harus berhadapan dengan Siluman Tujuh Nyawa!"

"Maksud Paman, orang yang bernama asli Durmala Sanca itu?!"
"Benar! Benar sekali! Apakah... apakah kau kenal dia?"
"Aku sedang memburunya untuk memenggal kepalanya!"

"Eh, Jangan begitu bicaramu! Hati-hatilah! Kalau ada yang mendengar, kau bisa celaka diamuk oleh murkanya!"

Jongos Daki tampak bersunguh-sungguh dalam kecemasannya. Tetapi Suto Sinting tetap tenang dan berkata,

"Kalau Paman bisa mempertemukan saya dengan dia, saya akan kasih hadiah kepada Paman Jongos!"
"Kau... kau benar-benar sedang memburunya?"

Tidak dijawab oleh Pendekar Mabuk, melainkan Pendekar Mabuk ganti bertanya, "Paman tahu betul tentang Siluman Tujuh Nyawa itu?"

Paman Jongos Daki terbungkam mulutnya. Seperti ada rasa sesal terhadap apa yang pernah diucapkan tadi. Setelah diam beberapa saat dan sadar jawabannya ditunggu oleh Suto, Jongos Daki pun menjawab dengan suara pelan,

"Dulu aku adalah anak buahnya!"
"Oh...?!" kini Pendekar Mabuk yang terperanjat kaget.

"Tapi aku melarikan diri, tak tahan hidup sesat dengan kelompoknya. Bahkan, seperti yang kukatakan tadi, aku dikebiri oleh manusia berjiwa binatang,sehingga aku tidak punya selera lagi terhadap perempuan secantik apa pun dia. Dan orang yang mengebiri aku itu adalah Durmala Sanca keparat!"

Jongos Daki menuturkan kisahnya dengan mengenang penuh duka. Suto Sinting tidak memotong ucapan demi ucapan dari Jongos Daki. Ia sengaja membiarkan mantan anak buah Siluman Tujuh Nyawa itu membeberkan rahasia Siluman Tujuh Nyawa.

"Durmala Sanca adalah orang yang sulit dibunuh. Ia punya otak penuh dengan kelicikan dan kekejaman. Tak pernah ada anak buahnya yang bisa lari dengan selamat kecuali aku. Itu pun karena aku ditolong olah seorang tokoh sakti yang bernama Ki Padmanaba."

Kembali Suto tersentak kaget begitu Jongos Daki menyebutkan nama Ki Padmanaba. Cepat-cepat Pendekar Mabuk bertanya kepada Jongos Daki, "Apakah Paman banyak mengetahui tentang Ki Padmanaba?'

"Hmmm.. yah, sedikit banyak tahulah! Dulu aku pernah mengabdi menjadi pelayannya. Tapi semenjak dia mengangkat murid yang bernama Ekayana, aku mengundurkan diri, tak tahan melihat tingkah laku muridnya yang sekaligus cucunya sendiri itu."

"Hmmm...!" Suto manggut-manggut.

"Kakek dan cucunya sangat bertolak belakang sifatnya. Ekayana itu sombong dan berjiwa kejam. Kakeknya kebalikannya dan ..... "

"Tunggu, Paman!" kali ini Suto baru memotong pembicaraan karena dirasakan ada yang perlu ditanyakan sebelum percakapan menginjak ke masalah lain.

"Apakah Paman tahu, bahwa Ki Padmanaba mempunyai sebuah pusaka yang sangat dirahasiakan?"
"Hmmm... ya, memang dia punya! Dia pernah bercerita padaku tentang pusaka tersebut. Tapi tak pernah ditunjukkannya kepadaku."

"Kalau boleh saya ingin tahu, apa jenis pusaka-nya itu?"
"Sebuah pedang."

"O, sebuah pedang!" Suto manggut-manggut lalu merenung beberapa kejap. Jongos Daki menambahkan kata, "Pedang itu bernama... kalau tak salah ingatan ku... pedang itu bernama Pedang Wukir Kencana."

"Wukir Kencana?!" Pendekar Mabuk mengejanya ulang. "Kabarnya, ini menurut cerita Ki Padmanaba, pedang itu terbuat dari emas murni yang cukup berat. Seluruhnya dari emas. Bagian tengahnya berukir gambar seekor naga. Kedua sisinya sangat tajam. Kata dia, pedang itu bisa membelah benda apa pun juga, termasuk pilar baja, juga bisa dipakai memburu lawan. Ke mana pun lawan bersembunyi pedang itu akan bergerak dengan sendirinya menunjukkan tempat lawan yang bersembunyi. Tangan kita yang memegang nya hanya bisa mengikuti saja ke mana kemauan pedang tersebut bergerak."

"Hebat sekali," gumam Suto memuji. Jongos Daki menambahkan kata setelah ia mengingat-ingat cerita yang didengar dari mulut Ki Padmanaba sendiri.

"Bahkan Ki Padmanaba pernah bilang padaku, bahwa pedang itu bisa membuat orang sebodoh apa pun bisa main pedang dengan dahsyat jika memegang pedang tersebut. Karenanya, dulu Ki Padmanaba pernah berjuluk Dewa Pedang Pamungkas!"

"Lalu... kenapa tidak digunakan terus oleh Ki Padmanaba?"

"Ia sudah bersumpah pada diri sendiri agar tidak menggunakan pedang warisan gurunya itu, karena pernah terjadi suatu peristiwa menyedihkan buat si Dewa Pedang Pamungkas itu."

"Peristiwa apa?" desak Suto Sinting.

"Pedang dipakai oleh istrinya, dan istrinya itu membunuh orangtua Ki Padmanaba sendiri! Sejak itu, sejak Ki Padmanaba akhirnya membunuh istrinya sendiri ketika tidur malam, Ki Padmanaba tidak mau menggunakan pedang tersebut. "

"Apakah istrinya Jago pedang?"

"Konon, Istrinya perempuan biasa yang lemah dan penurut.Tapi ketika cekcok dengan mertuanya, ia mengambil pedang itu dan bisa jago bermain pedang, padahal mertuanya juga sangat tinggi ilmu pedangnya, tapi bisa dikalahkan oleh istri Ki Padmanaba. Karena seperti yang kukatakan tadi, Pedang Wukir Kencana bisa membuat seseorang menjadi jago pedang jika membawa atau menggunakan pedang tersebut! Itulah bahayanya Pedang Wukir Kencana jika jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Karena itu, Ki Padmanaba menyimpan pusaka tersebut, entah di mana tempat penyimpanannya!"

Kini mulai jelas teka-teki yang selama ini meresahkan pikiran Suto, bahwa ada pusaka yang disimpan oleh Ki Padmanaba di Cemara Tunggal, yang ada di Bukit Canang itu. Pusaka itu adalah sebuah pedang sakti.

Pantas kalau dalam pesan terakhirnya sebelum wafat, Ki Padmanaba menyebutkan kata-kata 'selamatkan'. Mungkin yang dimaksud agar jangan sampai pedang itu jatuh ke tangan orang-orang sesat. Renungan itu dibawa oleh Suto sampai ke peraduan. Tempatnya tidur, bersebelahan dengan tempat tidurnya Jongos Daki. Mereka tidur di ruangan terbuka, dalam arti tanpa dinding penyekat .Tabib Cawan Maut pun tidur di dipan sebelah kanan, sementara itu Kirana berada di dipan lain, jauh dari Suto. Sebenarnya tadi Kirana ingin menempati tempat tidur yang dipakai oleh Jongos Daki, namun ia tak enak hati karena Jongos Daki lebih dulu membaringkan badan di tempat tersebut.

Sementara itu, di tempat lain, terjadi sebuah pesta yang tidak terlalu mewah, namun cukup meriah. Perguruan Kobra Hitam yang mengadakan pesta mabuk-mabukan. Pasalnya, mereka menyambut gembira atas berita terbunuhnya Sedayu, si penyebar racun maut itu.

Pada mulanya, berita tersebut tidak dipercayai oleh Logayo, si Dewa Murka yang menjadi ketua perguruan tersebut. Terlebih kedatangan Ekayana membuat suatu kegaduhan lebih dulu. Ekayana datang dalam keadaan tangan masih kaku tertotok jalan darahnya, dan tak bisa membungkuk sedikitpun.

Pada waktu ia ingin menemui Logayo di serambi belakang, Ekayana datang dari arah belakang Logayo. Ketika ia menyapa Logayo, orang itu berpaling. Tapi karena melihat kedua tangan Ekayana menggenggam pedang di pundak kanan, Logayo merasa mau diserang oleh Ekayana.

Maka dengan cepat kakinya menendang empat kali berturut-turut ke arah dada, perut, leher, dan wajah Ekayana. Tendangan itu adalah tendangan yang mematikan. Gerakannya cepat, beruntun dan bertenaga dalam tinggi.

Tentu saja hal itu membuat Ekayana terpental dalam keadaan berdarah dari mulut dan hidungnya. Suaranya menjadi serak, dan bibirnya jontor ke depan. Untung tak sampai rompal giginya. Kalau Ekayana bukan orang berilmu tinggi, pasti sudah mati terkena tendangan beruntun yang dinamakan jurus "Patuk Kobra Liar".

"Apa maksudmu mau membunuhku. hah?!" bentak Logayo dengan murka.

Pada waktu itu, beberapa orang sudah mengepung Ekayana dengan senjata masing-masing, termasuk Pancakana dan Brajawisnu.

Tetapi ketika mereka memaksa bangun Ekayana, dan tangan Ekayana masih tetap seperti orang mau membabatkan pedangnya, mereka menjadi berkerut dahi dan terheran-heran. Logayo berseru,

"Sarungkan pedangmu atau kusuruh mereka merajangmu sekarang juga, Ekayana!"
"Tid.. tidak bisa..."
"Bangsat! Jadi kau benar-benar menghendaki kematianku? Kau mau membunuhku, hah?!"

Ekayana menggeleng-geleng dengan sedih, menahan marah dan jengkel yang tak tersalurkan. Lalu, ia berkata,

"Aku kena totok dalam keadaan begini! Tanganku sejak dari sana tidak bisa turun!"

Setelah dijelaskan lebih rinci lagi maka meledaklah tawa Logayo bersama yang lainnya. Rupanya Logayo salah duga dan menyangka mau dibabat pedang oleh Ekayana, padahal Ekayana mau memberi laporan dan meminta tolong tentang tangannya yang kaku itu. Andai Ekayana datangnya tidak dari belakang Logayo dan menyapanya tidak dari jarak dua langkah di belakang Logayo, tentunya Logayo tak akan berpikiran buruk.

Peristiwa salah paham itu sungguh menggelikan bagi mereka, tapi memalukan bagi Ekayana. Untuk menghibur hati Ekayana, Logayo membuat pesta kecil-kecilan dengan beberapa guci arak yang paling bagus dan berharga mahal.

Apalagi setelah Brajawisnu dan beberapa orang membuktikan mayat Sedayu terkapar di samping Pranawijaya, mereka semakin yakin dan mengelu-elukan Ekayana, memuji dan menyanjung-nyanjung Ekayana. Bahkan Logayo berkata,

"Tak ada lagi yang perlu dicemaskan oleh kita sekarang ini! Dua orang itu sudah mati. Sedayu dan Pranawijaya! Dan kalau bukan karena kehebatan Ekayana, tak mungkin dalam waktu sesingkat ini mereka bisa terbunuh!"

Malam menyusup di antara sunyi. Pesta minum, pesta perempuan jalanan, pesta judi terbeber luas di balik tembok tinggi yang disebut bentang itu. Malam yang pekat, hadirkan gelap karena cahaya rembulan tak bisa menerobos masuk melewati celah dedaunan yang merapat, menutupi jembatan bambu yang menghubungkan Lembah Kabut dengan Tanah Merah.

Tapi di tengah malam, seseorang meletakkan lentera di ujung jalan jembatan bambu itu. Lentera itu terletak di atas batu pada sisi ujung jembatan yang akan menuju ke Lembah Kabut. Dua orang lewat, mereka habis membeli makanan dari sebuah desa dan sedang menuju pulang ke lembah tersebut. Sebelum melewati jembatan bambu yang gelap, orang yang berpakaian biru segera menyuruh temannya yang berpakaian kuning untuk membawa lentera itu.

"Bawalah lentera itu! Kurasa memang disediakan untuk penerang jalan di tengah jembatan!"

Si baju kuning merasa tidak keberatan, karena membawa lentera tidaklah terlalu sulit, tidak pula berat. Lentera itu mempunyai kawat lengkung ke atas sebagai tempat menjinjing. Namun seperti yang sudah sudah orang berpakaian kuning itu tiba-tiba jatuh begitu selesai meletakkan lentera di ujung jembatan, dengan maksud jika ada yang mau menyeberang jembatan dari arah Lembah Kabut ke Tanah Merah, lentara itu bisa dibawa menyeberang lagi.

Peristiwa sama seperti malam sebelumnya. Orang berpakaian kuning tiba-tiba mengejang, keringatnya mengucur keluar dan berbau amis, temannya menolong, kemudian keduanya sama sama mati .

Hanya saja kali ini muncul sesosok bayangan hitam yang mendekati kedua mayat tersebut. Orang itu mengenakan kerudung ketat di sekujur tubuhnya, memakai pakaian hitam, bertutup kepala hitam, hanya bagian matanya yang tampak. Kakinya dibungkus alas kaki hitam, tangannya mengenakan sarung tangan kulit binatang warna hitam pula. Orang itu menyeret dan menyembunyikan mayat kedua orang itu ke semak semak pinggir jalan menuju jembatan. Lentera masih diletakkan di tempatnya.

Beberapa saat kemudian, muncul empat orang. Rupanya mereka rombongan tamu yang diundang pesta oleh Logayo. Mereka mau pulang, dan menyeberangi jembatan. Salah seorang berkata, "Bau amis daerah sini, ya?"

"Air Jurang itu mungkin menguap dan karena tak pernah mengalir deras, maka comberan di dasar jurang itu menyebarkan bau amis," kata temannya.

"Wah, gelap sekali lewat tengah jembatan! Bisa-bisa kita kejeblos di tengah jembatan sana!"
"Bawa saja lentera itu, nanti letakkan di ujung jembatan sana!" kata yang satunya lagi.

Dalam beberapa saat saja, empat orang itu sudah terkapar mati di Tanah Merah dalam keadaan berkeringat dan berbau amis. Orang berpakaian serba hitam itu segera memindahkan lentera ke tanah wilayah Lembah Kabut.

Ketika itu, tiga orang tamu mau lewat jembatan untuk pulang. Ketiganya pun akhirnya meninggal karena membawa lentera tersebut, tanpa diketahui bahwa tubuh yang mati itu pun menularkan racun ganas, yang jika disentuh tangan orang, maka orang itu akan terbunuh oleh racun tersebut.

Setelah mendapat mangsa kira-kira sepuluh orang lebih , manusia berpakaian hitam-hitam itu segera menjejer-jejerkan mayat tersebut di ujung jembatan pada wilayah Lembah Kabut. Beberapa orang keluar dari benteng, mereka mau menyeberang ke Tanah Merah.

Melihat mayat-mayat itu, mereka terkejut dan segera menyingkirkan mayat-mayat, membawanya ketepian. Maka, jatuhlah beberapa orang itu, mati tak bernyawa serupa dengan mayat-mayat yang disingkirkan oleh mereka sendiri. Logayo tertegun dengan wajah memerah memandang mayat mayat yang jumlahnya lebih dari tiga puluh orang itu, setelah pagi hari jumlahnya dihitung dengan tepat.

Murka Logayo tak bisa dilampiaskan kepada siapa pun saat itu, karena penjaga pintu gerbang pun kedua duanya mati karena racuntersebut. Logayo tak tahu, bahwa orang berpakaian serba hitam itu telah memindahkan lenteranya di dekat jalanan menuju pintu gerbang.

Hal itu dilakukan setelah ia melihat sendiri banyak korban yang berjatuhan di ujung jembatan. Dan kali ini pancingannya kembali mengenai sasaran. Satu dari petugas pintu gerbang itu tertarik dengan lentera tersebut, lalu mengambilnya dan membawanya kepada teman satu tugas itu. Kemudian, orang tersebut jatuh tak bernyawa, temannya menolong dan jatuh pula tak bernyawa.

Dari dalam muncul beberapa orang dan tanpa sadar langsung saja menolong kedua penjaga tersebut. Akibatnya, jatuh lagi korban Racun Getah Tengkorak itu. Sedangkan si pemasang jerat yang menggunakan lentera itu, lebih dulu meninggalkan tempat dengan meniup lentara dan api lentara menjadi padam.

"Setan Alas!" geram Logayo sambil mengepalkan kedua tangannya. "Sedayu sudah dibunuh, Pranawijaya juga sudah, tapi ternyata masih saja ada orang yang menyebarkan racun itu kepada kita! Lama-lama habislah orang-orangku dimakan racun ganas itu."

Mereka yang dipanggil menghadap Logayo, menundukkan kepala dengan rasa takut menghadapi murka Logayo. Segera orang itu berseru dengan urat leher sebesar jari bertonjolan keluar, "Brajawisnu! Tugasmu cari pelakunya dan bunuh seketika itu juga memakai racun andalanmu!"

"Baik! " kata Brajawisnu. Tapi dalam hatinya ia bertanya pada diri sendiri, "Siapa pelakunya itu?! Sulit sekali memastikannya!"

8

SUTO merencanakan untuk mencari pusaka itu di Cemara Tunggal. Ia akan mendesak Kirana agar mau mengantarkan ke Bukit Canang. Tetapi, ketika bangun di pagi hari, ternyata Kirana sudah tidak ada di tempat tidurnya.

Sementara itu, Tabib Cawan Maut dan Jongos Daki belum bangun. Suto bangun lebih dulu karena tiba tiba hatinya tersentak kaget tanpa tahu apa sebabnya.

"Kirana hilang?! Pasti dia mau menghindar dari janjinya! Aku sudah tolong dia, tapi dia tidak mau tunjukkan di mana Bukit Canang dan Cemara Tunggal itu! Kurang ajar!"

Suto meneguk tuaknya sebentar, kemudian bergegas pergi walaupun hari masih terlalu pagi. Ia tak sempat membangunkan Jongos Daki atau Tabib Cawan Maut karena tergesa-gesa. Hatinya diliputi rasa jengkel dan ia berharap bisa mengejar Kirana. Karena tergesa-gesa itulah maka Pendekar Mabuk pun lupa menutup pintu kembali.

Namun, baru saja ia melangkah tiga tindak dari depan pintu, ia melihat Kirana berjalan santai dengan kedua tangan berada di belakang dan tampak sedang menikmati udara pagi yang segar. Pendekar Mabuk menghembuskan napas lega.

Ternyata Kirana bukan lari melainkan sudah bangun sejak tadi, dan sedang menikmati udara segar di pagi yang cerah. Gadis itu melangkah memasuki pekarangan berpagar balok-balok kayu setinggi satu dada.

Kirana justru berkerut dahi melihat Suto Sinting sudah menyelempangkan bumbung tuaknya ke punggung, itu pertanda Suto mau pergi . Maka ketika ia mendekati Suto, mulutnya ingin mengajukan sebuah pertanyaan, tapi Suto Sinting sudah lebih dulu memperdengarkan suaranya,

"Rupanya kau sudah bangun dari tadi, Kirana?!"

Dengan tenang, Kirana menjawab, "Aku tak bisa tidur!"

"Kenapa?"

"Karena tidur sendirian," Jawab Kirana acuh tak acuh.

Ia melangkah mendekati pagar samping dan memandang ombak laut di pagi hari yang bergulung gulung dengan indahnya. Suto Sinting menenggak tuaknya sebentra, lalu memperdengarkan suaranya kembali.

"Apakah biasanya kau selalu mempunyai teman tidur?" Kirana memandang Suto dengan cepat, agak cemberut. Lebih berkesan melirik sewot. Kemudian ia berucap kata pelan,

"Hati hati kalau bicara! Jangan membuatku tersinggung! Aku bukan perempuan murahan yang setiap malam berganti ganti teman tidur!"

Suto tertawa menyepelekan kecemberutan itu.

"Aku tidak berprasangka begitu, Kirana! Siapa tahu setiap malamnya kau punya teman tidur wanita yang bisa diajak ngobrol sebelum lelap tertidur. Itu maksudku!"

Kirana tahu bahwa Pendekar Mabuk hanya mengalihkan praduga saja, ia tidak memberi ucapan tentang apa yang ia tahu dari nada bicara Suto tersebut, tapi ia hanya berkata,

"Karena aku susah tidur, maka kugunakan jalan jalan begitu kulihat cahaya matahari mulai tiba."
"Kusangka kau pergi, sehingga aku ingin menyusulmu. Maksudku, mengejar kepergianmu!"

"Mengejarku?! Apa kau mau mengejarku kalau aku pergi meninggalkan kamu?!" pancing Kirana.
"Kenapa tidak?"
"Sungguh?" gadis itu mulai sunggingkan senyum manis walau tipis.
"Ya, sungguh!"
"Kenapa kau mau mengejarku?" pancing Kirana dengan hati makin berdebar-debar.
"Karena aku membutuhkan kamu, Kirana," jawab Suto pelan.
"Membutuhkan.... dalam arti bagaimana?" pancing Kirana lagi .
"Aku harus ke Cemara Tunggal, dan aku butuh bantuanmu untuk mencapai ke sana!"

Kirana menarik napas panjang panjang, kemudian dihembuskan dengan lepas. Tampak ada rona kecewa di wajah cantik itu. Suto Sinting tahu, jawaban apa sebenarnya yang diharapkan Kirana, tapi Suto merasa tak bisa memberikan jawaban yang diharapkan oleh gadis itu. Maka, Suto pun bertanya pelan,

"Apakah kau menolak dan keberatan kuminta bantuanmu mengantar ke Cemara Tunggal?"
"Kalau aku keberatan, kau mau apa?" ketus Kirana bernada dongkol.

"Aku akan mencarinya sendiri, biar susah payah bagaimanapun juga! Mungkin aku bisa bertanya dan minta tolong perempuan lain yang tahu letak Cemara Tunggal."

Mendengar kata-kata itu, Kirana melirikkan matanya dengan masih berwajah cemberut tipis, lalu berkata.

"Aku yang antar kau! "

Ada rona cemburu kali ini di wajah Kirana. Pendekar Mabuk hanya tertawa sambil membuang pandangan ke arah laut, tak mau memandang gadis yang tersipu dongkol itu. Menginjak sedikit siang, mereka berang kat ke Cemara Tunggal. Perjalanan hampir mencapai setengah hari. Bukit Canang terletak di antara dua gunung besar. Bukit itu sebenarnya tidak terlalu tinggi. Untuk mendaki puncaknya hanya membutuhkan waktu beberapa saat saja, tak sampai lima ratus langkah.

Pada satu lereng bukit, memang terlihat tanah kosong yang ditumbuhi oleh rumput dan beberapa batu besar . Tapi di bagian tengah tanah kosong itu, terdepat sebatang pohon cemara tinggi. Pucuknya meliuk-liuk dipermainkan angin. Hanya satu pohon cemara yang ada. Dan itulah yang dinamakan Cemara Tunggal oleh setiap orang.

"Sebenarnya apa yang kau cari di sini?" tanya Kirana yang sebenarnya tidak mau tahu urusan Pendekar Mabuk itu. Akhirnya ia tak kuat menahan rasa ingin tahunya, hingga terlontar pertanyaan seperti itu.

"Sebelumnya aku ingin tahu, apa yang dicari oleh gurumu saat kau temukan tewas di sini?!"

"Aku tidak tahu! yang jelas, dulu semasa mudanya, Guru punya tempat tinggal di daerah ini. Tepatnya di lereng sebelah selatan sana, di balik bukit ini!"

"Apakah sekarang tempat tinggalnya itu masih ada?" "Tinggal petilasannya saja. Semua bangunan telah roboh diamuk badai yang datang kala itu."

"Hmmm...!" Sambil memandang sekeliling, Suto mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi diam-diam hatinya bertanya, mana tempat yang memungkinkan untuk menyimpan sebuah pedang?

"Menurutmu, apa yang dicari gurumu di petilasan tempat tinggalnya dulu itu?!"

"Sudah kubilang, aku tak tahu!" sentak Kirana. "Tapi sebelum guruku pergi, sudah pamit kepada salah satu temanku bahwa dia mau ke Cemara Tunggal. Lalu aku menyusulnya kemari dan menemukan Guru sudah terkapar di batu sebelah sana itu!" sambil Kirana menuding ke arah dua batu yang berjejeran, masing-masing tingginya sebatas dada manusia dewasa.

"Mari kita ke sana ! " ajak Pendekar Mabuk dan hal itu semakin membuat Kirana terheran-heran.

Sampai di batu dua jajar itu pun, Kirana bertambah kerutkan dahi melihat Suto berusaha mendorong batu itu dengan tenaga biasa. Suto juga memandangi sekeliling batu tersebut. Kirana tidak tahu bahwa Suto menduga ada lubang atau ruangan di bawah tanah yang pintunya melalui tempat sekitar batu tersebut.

Suto menyangka cara membuka pintu ruangan itu dengan menggeser batu tersebut. Tapi ternyata, Suto segera menghapus dugaan itu. Karena menurutnya, tak ada pintu apa-apa, sebab rumput di sekelilingnya tak memberi tanda bekas diinjak manusia atau terdapat satu garis aneh. Tak ada hal itu. Jadi Suto berkesimpulan, mungkin di tempat lain pusaka itu disembunyikan.

"Suto, kalau kau tak mau jujur padaku, aku akan pergi dan tak mau menemanimu di sini!" ancam Kirana. "Apa yang kau cari di sini sebenarnya?!"
"Sebuah pusaka, " jawab Pendekar Mabuk setelah diam beberapa saat.

Jawaban itu tidak membuat Kirana kaget namun justru menyunggingkan senyum dan sekarang malahan tertawa geli. Suto-lah yang menjadi terheran-heran melihat sikap Kirana. "Maksudmu pusaka milik Ki Padmanaba?!"

Terkesiap mata Pendekar Mabuk mendengar Kirana menyebutkan nama itu. Ia segera berkata lirih, seperti ditujukan pada dirinya sendiri, "Kau mengenal nama itu rupanya?!"

"Ki Padmanaba adalah teman dari guruku Nyai Punding Sunyi. Dan kabar tentang Ki Padmanaba punya pusaka ampuh itu sudah lama beredar, tapi tak satu pun ada yang menemukannya . Karena itu, kabar tentang pusaka Ki Padmanaba itu dianggap omong kosong belaka!"

"Omong kosong? ! " Pendekar Mabuk berkerut dahi makin tajam. "Kalau kau mau tanya soal pusaka, tanyalah kepada Ekayana! Karena dia adalah cucunya Ki Padmanaba!"
"Dari mana kau tahu?"

"Sudah lama!" jawab Kirana acuh tak acuh, kadang gadis ini memang menjengkelkan, kadang menggelikan juga. "Kalau memang pusaka itu hanya omong kosong, mengapa gurumu datang ke sini? Pasti dia saat itu sedang mencari pusaka tersebut!"

"Setahuku guruku tak pernah tertarik dengan pusaka Ki Padmanaba! Bahkan diajak bicara tentang hal itu pun beliau tak mau. Sudah bosan membicarakannya dari dulu!"

"Sudah bosan, atau menutup diri supaya orang tak banyak membicarakan dan mengincarnya?. Siapa tahu diam-diam gurumu mempelajari tentang rahasia pusaka tersebut, sampai suatu saat menemukan rahasia penyimpanan pusaka itu, dan akhirnya datang sendiri untuk mengambilnya secara diam-diam?!"

Sambil berkata begitu, Suto melangkah mendekati pohon cemara yang seperti anak sebatang kara itu. Kirana mengiringi di samping kiri Suto sambil merenungkan penjelasan Suto Sinting tadi .

"Orang pintar," kata Pendekar Mabuk lagi. " Jelas tak akan banyak bicara tentang rahasia pusaka itu. Ia akan bersikap tenang, kalau perlu bersikap masa bodoh dan tidak mempercayai adanya pusaka ampuh milik Ki Padmanaba. Tapi diam-diam ia mencari dalam hatinya, dengan begitu ia merasa sebagai pemburu pusaka sendirian tanpa ada orang lain yang menjadi saingannya!"

"Mungkinkah Guru begitu?!" gumam Kirana, setelah mereka berhenti tepat di bawah cemara.

Pendekar Mabuk tidak melayani kata-kata Kirana untuk sejenak. Suto sibuk memeriksa batang pohon cemara tersebut. dari atas sampai bawah ia pandangi dengan baik-baik. Batangnya dipukul pukul pelan, karena ada kemungkinan pedang pusaka itu disimpan dalam batang cemara. Jika memang benar, berarti batang itu berongga di dalamnya. Melalui pukulan pukulan, Pendekar Mabuk dapat mendengarkan bunyi gema jika memang ada bagian dalam batang yang berongga. Tapi nyatanya tidak ada.

Suto Sinting membatin kata. "Cemara Tunggal dalam purnama? Apa maksudnya? ! Pedang itu tersimpan di Cemara Tunggal dalam purnama. Apakah yang dimaksud bentuk lingkaran yang ada di sekitar pohon cemara ini? ! "

Suto pun berkeliling memandangi tempat-tempat tertentu, mencari bentuk lingkaran. Tapi bentuk itu sendiri tak ada, bagaimana mungkin bisa menemukan pusaka tersebut?

Suto duduk di bawah cemara itu. Kirana pun ikut duduk di sebelahnya. Mereka sama-sama merenung, dan agaknya Kirana mulai tertarik dengan kemungkinan Suto, bahwa Nyai Punding Sunyi agak-nya mulai mengetahui letak pusaka tersebut setelah sekian lama memikirkan tempat penyimpanannya. Andai kata benar, lalu mengapa Nyai Punding Sunyi dibunuh oleh Sedayu? Benarkah gara-gara saling tersinggung dengan ucapan yang terjadi setahun yang lalu? Apakah bukan berarti Nyai Punding Sunyi telah rnenemukan pedang pusaka itu, lalu dicuri oleh Sedayu? Tapi mengapa Sedayu tidak menggunakannya untuk melawan Ekayana? Mengapa Sedayu mati di tangan Ekayana?

Pemikiran seperti itu, ada di dalam benak Suto Sinting. Tetapi sampai hampir menj elang senj a, mereka masih saj a duduk di situ, dan Suto belum menemukan jawaban yang pasti.

Sampai akhirnya Kirana berkata, "Kelihatannya ada orang sedang berlari kemari, Suto! " seraya ia menatap ke arah kanan. Suto ikut memandang jauh. Dan ternyata benar, ada seseorang yang berlari menuju ke arah Cemara Tunggal itu. Orang tersebut mengenakan pakaian abu-abu dan berbadan sedikit pendek dan agak gemuk. Semakin dekat semakin jelas bentuk waj ahnya,

"Paman Jongos Daki!" gumam Kirana.

"Benar! Kelihatannya memang dia. Tapi mengapa dia menyusul kita kemari? Pasti ada sesuatu yang penting."

Mereka berdua bergegas menyongsong kedatangan Jongos Daki yang tampak berwajah tegang. Kirana yang menyapa lebih dulu dengan cemas, karena firasatnya mengatakan ada yang tak beres telah terjadi di kediaman Tabib Cawan Maut itu. "Ada apa, Paman?!"

Jongos Daki menjawab dengan napas terengah-engah. Agaknya ia melarikan diri terus-menerus tanpa berhenti dari bukit karang itu sampai ke Bukit Canang. "Tabib... tewas!"

"Hahh...?!" Suto dan Kirana sama-sama terkejut dan terbelalak.

"Apa yang terjadi sebenarnya, Paman?!" "Orang... orang-orang Kobra Hitam menyerang. Tabib tewas dan aku melarikan diri dalam pengejaran mereka."

"Mengapa tabib dibunuh?" tanya Pendekar Mabuk, sementara Kirana termenung sambil menggumam lirih, "Kobra Hitam...!"

Jongos Daki menjawab, "Permasalahannya tak begitu jelas, Suto. Tapi kudengar salah seorang bicara menuduh kepada tabib, dan karena Tabib Cawan Maut menyanggah tuduhan itu, maka diseranglah tabib oleh mereka yang berjumlah tiga orang itu!"

"Tuduhan apa yang dilemparkan pada Tabib Cawan Maut?!"

"Tuduhan... meracuni orang orang Kobra Hitam! Mereka menyangka tabib mempunyai Racun Getah Tengkorak dan dipakai membunuh banyak orang Kobra Hitam! Padahal, tabib merasa tidak memiliki racun Getah Tengkorak yang amat jarang terdapat di sembarang tempat itu. Tabib hanya merasa, racun seperti itu memang ada. Tapi ia tak menyimpannya walau sedikit pun!"

Napas Jongos Daki masih terengah-engah sewaktu Pendekar Mabuk termenung sedih membayangkan kematian Tabib Cawan Maut. Kirana pun menundukkan kepala, tanda ikut berkabung atas meninggalnya tabib yang dikenalnya dengan baik itu.

"Tolong aku...! Mereka mengejarku dan juga menuduhku orang yang menyebarkan racun itu!" kata Jongos Daki. "Mengapa Paman tidak melawannya?" tanya Kirana.

"Tak mungkin. Mereka yang datang berilmu tinggi semua. Ekayana, Brajawisnu, dan Pancakana! Mereka orang-orang kuat di Kobra Hitam!"

"Ya. ya... aku paham. Tapi seharusnya mereka tidak membabi-buta begitu!" kata Kirana dengan menggenggamkan tangannya kuat-kuat.

Kepada Pendekar Mabuk yang tertegun. Kirana bertanya. "Maukah kau lari bersembunyi bersama kami? Mereka pasti mengejar sampai kemari!"

" Akan kuhadapi mereka ! Tak perlu lari ! " kata Pendekar Mabuk dengan tenang. Kemudian ia meneguk tuaknya beberapa kali.

9

TIGA orang berkuda mendekati Cemara Tunggal. Dari kejauhan sudah kelihatan mereka bertiga tampak bernafsu sekali untuk membunuh orang yang mereka duga sebagai penyebar Racun Getah Tengkorak. Wajah mereka tampak beringas dan buas. Seolah-olah tiga ekor singa yang kelaparan dan memburu mangsa siapa saja yang ditemuinya.

Melihat tiga ekor kuda berderap menuju Cemara Tunggal, Jongos Daki mulai tampak cemas dan bergeser berdirinya ke belakang Suto Sinting. Kirana sendiri kelihatan memendam kegelisahan, hatinya waswas, sehingga ia berlagak mendekati Jongos Daki ke belakang Suto Sinting.

Berbeda dengan Pendekar Mabuk, ketika melihat tiga ekor kuda menuju tempat mereka berada, ia justru meneguk tuaknya beberapa kali dan dengan tenang melangkah ke tanah yang datar. Jongos Daki dan Kirana bergegas mengikuti Suto dari belakang.

Ketika itu Pendekar Mabuk segera membalikkan badan dan berkata kepada mereka, "Jangan dekat-dekat. Menjauhlah dan carilah tempat bersembunyi!"

"Kau sendirian, Suto!" bisik Kirana.
"Dari dulu memang aku sendirian," jawab Suto.

Jongos Daki ikut bicara,

" Mereka bukan orang sembarangan.Mereka pasti orang-orang pilihan dari Kobra Hitam yang kusaksikan sendiri ilmu mereka begitu tingginya."

Kirana menimpali,

"Mereka bersenjata, sedangkan kau tidak,Suto. Pakailah pedangku!"

"Bawalah buat menjaga dirimu sendiri," kata Suto Sinting. "Mana yang paling berbahaya dari ketiga orang itu?" tanyanya .

"Ekayana lebih berbahaya dari keduanya itu," jawab Kirana.

"Baiklah, kalau begitu kulumpuhkan Ekayana lebih dulu! Lekas menjauhlah. Mereka mulai semakin dekat kemari! Bersembunyilah di balik dua batu besar itu, supaya jangan sampai kalian menjadi sasaran pukulan tenaga dalam mereka jika meleset mengenaiku! Pergilah ke sana, Kirana. Jangan bengong saja!"

Ada kebimbangan di hati Kirana. Ada kecemasan untuk meninggalkan Pendekar Mabuk sendirian menghadapi tiga orang ganas itu. Tak tega hati Kirana sebenarnya membiarkan Suto bertarung sendirian. Tapi karena Suto mendesaknya terus, akhirnya Kirana pun mengikuti saran Pendekar Mabuk yang masih kelihatan tetap tenang itu.

Setelah Kirana dan Jongos Daki bersembunyi di balik dua batu berjajar yang dipakai tempat bersandarnya Nyai Punding Sunyi pada saat sebelum ajal tiba, Pendekar Mabuk maju beberapa tindak menyambut kedatangan tiga orang ganas itu.

Kuda kuda mereka berhenti dalam jarak antara sepuluh tombak dari tempat Pendekar Mabuk berdiri, Suto berdiri di dekat gugusan batu yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya. Di sana ia sedikit bersandar punggung pada batu tersebut, kedua tangannya terlipat di dada. Ia sengaja menunggu ketiga orang itu mendekatinya. Tapi ketiga manusia beringas itu masih tetap berada di punggung kuda.

Ekayana sudah terbebas dari totokan pada tangannya. Logayo sendiri yang membebaskan totokan darah tersebut. Kini ia kelihatan tampak siap bersama pedangnya di pinggang, kepalanya diikat kain putih bagai seseorang yang sudah siap mati dalam pertempuran.

Ia berada di tengah, di antara Brajawisnu dan Pancakana yang berwajah lonjong, beralis tebal, dan kumisnya turun ke bawah sampai dagu itu. Pancakana juga berambut panjang, tapi diikat kain merah sebagai lambang berani mati.

Ia bersenjatakan cambuk berujung mata pisau. Sedangkan Brajawisnu yang berjubah ungu tua dengan usia sekitar enam puluh tahun itu, kelihatan tak sabar ingin segera turun dan menyerang pemuda tampan di depannya itu. Brajawisnu yang bermata cekung dan dingin itu berambut panjang pula tapi tak diikat.

Orang yang tak pernah tersenyum itu menyimpan beberapa pisau terbang di balik jubahnya, karena memang pisau-pisau terbang itulah senjata yang paling diandalkan. Karena pada pisau-pisau itulah Brajawisnu yang ahli racun itu membubuhkan berbagai macam jenis racun untuk setiap mata pisaunya.

Ketiga manusia yang masing-masing berjuluk Malaikat Maha Pedang, untuk Ekayana, Iblis Maha Racun untuk Brajawisnu, dan Hantu Naga Belah untuk Pancakana, segera turun dari punggung kuda setelah diberi aba-aba oleh Ekayana. Tali kekang kuda ditambatkan begitu saja di rimbunan semak yang menggerombol tak jauh dari mereka. Kemudian dengan langkah pelan dan menegangkan mereka bertiga mendekati Pendekar Mabuk yang tetap berdiri dengan tenang, memandang dengan kalem, bahkan terhias senyum tipis membayang di bibirnya.

Saat itu, Ekayana sempat berbisik kepada kedua temannya, "Itu yang kubilang pemuda setan kurap! Dia yang menotokku dengan cara yang tak kuketahui."

"Sikapnya sengaja menunggu kedatangan kita," gumam Brajawisnu. "Apakah dia berpihak pada Jogos Daki?"

"Entahlah. Tapi tadi kulihat Jongos Daki bersama Kirana, orang Perguruan Mawar Seruni!"

"Kalau begitu, jelas sudah pemuda mabuk itu pasti berpihak kepada Jongos Daki. Atau, mungkin saja dialah orangnya yang menyebarkan Racun Getah Tengkorak di tempat kita," kata Pancakana.

Brajawisnu menggeram, "Habisi dia sekalian!"

Ekayana berkata,

"Biarkan aku dulu yang maju melawannya.Kalian berdua jagai aku dari kejauhan!"
"Baik," jawab Pancakana sedangkan Brajawisnu hanya menggumam.

Ekayana meneruskan langkah lebih mendekati Pendekar Mabuk, sementara Brajawisnu dan Pancakana diam di tempat. Tapi keduanya saling berjaga-jaga. Pancakana sudah kelihatan mulai mengambil cambuk mautnya dari pinggang. Cambuk itu masih tetap digulung tiga lilitan, dan digenggam dengan tangan kanannya.

"Kita bertemu lagi, bangsat!" kata Ekayana sengaja memancing kemarahan Suto dengan makian. Tapi Pendekar Mabuk tetap tenang dan bahkan menyunggingkan senyum berkesan meremehkan.

"Terlalu lama aku menunggumu di pantai, jadi aku pindah ke sini untuk menunggumu, Ekayana."

"Bagus. Tapi aku ke sini juga mengejar Jongos Daki." "Untuk apa kau mengejar lawan yang lebih rendah ilmunya dari mu?"

"Jongos Daki dan Tabib Cawan Maut bekerja sama menyebarkan Racun Getah Tengkorak untuk membunuh sekian banyak orang-orangku! Mereka layak mendapat anugerah kematian dari tangan kami!"

"Apakah mereka sudah terbukti bersalah?"

"Hanya Tabib Cawan Maut yang mengetahui adanya racun itu! Hanya saja, entah siapa yang disuruhnya menaburkan racun itu ke tempat kami, mungkin Jongos Daki, mungkin juga kau! Atau mungkin kalian berdua bekerja sama!"

"Tak perlu pakai alasan macam-macam tuduhan! Aku tahu apa yang kamu inginkan datang kemari, Ekayana!"

"Benar! Kau pasti tahu kalau aku ingin mencabut nyawamu. Bangsat Kurap! Jika kau tak sabar, bersiaplah menghadapi pedangku! Kali ini tak kubiarkan kau bergerak sedikit pun! "

Srett...! Ekayana mencabut pedangnya sambil melompat dan menyabetkan ke dada Pendakar Mabuk.
Tapi serangan yang cepat itu segera dihindari oleh Suto dengan gerak silumannya. Zlapp...!

Tahu-tahu Suto berada di samping Ekayana, sementara itu Ekayana menyabetkan pedangnya dari atas ke bawah dan mengenai batu yang tadi dipakai sandaran Pendekar Mabuk. Tringngng...!

Percikan api keluar akibat kecepatan tebas pedang di permukaan batu keras itu.

"Gerakan jurus pedangmu belum sempurna, Ekayana!" kata Suto Sinting sengaja memancing luapan amarah lawannya. Ternyata pancingan itu termakan oleh Ekayana, sehingga ia bergerak semakin tanpa perhitungan. Nafsunya untuk membunuh Pendekar Mabuk meluap-luap dan tak terkendali lagi.

"Terima jurus ' Pedang Pembelah Petir ' ini, Monyet busuk! Hiaah! "

Wuttt...! Wes wes wes wes wwukk...!

Ekayana bergerak dengan cepat. Kelihatannya hanya satu kali menebaskan pedangnya, padahal beberapa kali gerakan tebas pedang telah dilakukan, kurang dari satu helaan napas. Tetapi akhirnya Ekayana bingung sendiri, karena ternyata ia menebas tempat kosong bebarapa kali. Sedangkan orang yang dijadikan sasaran tahu-tahu sudah berada dalam jarak lima tombak di belakangnya, sedang menengadahkan kepalanya, meminum tuaknya beberapa teguk.

Brajawisnu berbisik kepada Pancakana, "Dia punya gerakan yang tak bisa dilihat mata kita! Dia cukup berbahaya!" "Kalau kau takut, mundurlah! Biar aku yang hadapi dia!" "Setan kau! Jangan bicara begitu! Dia boleh punya gerakan secepat setan, tapi belum tentu bisa mengimbangi gerakan pisau terbangku! Lihat...!" Wuttt...!

Tiba-tiba tangan Brajawisnu berkelebat ke depan. Rupanya dia telah mencabut pisau dan melemparkannya ke arah Pendekar Mabuk yang baru saja selesai meneguk tuaknya. Gerakan pisau terbang yang amat cepat itu masih bisa ditangkis oleh bumbung tuak Suto dalam keadaan Suto melimbungkan diri seperti gerakan orang mabuk.

Trakkk....! Pisau itu mengenal bumbung tuak, dan bumbung itu dibelokkan sedikit oleh Pendekar Mabuk dalam gerakan cepat. Akibatnya pisau itu memantul tapi tidak berbalik ke arah penyerangnya, melainkan meluncur dengan kecepatan tinggi ke arah Ekayana. Zuttt...! Crabb..!

"Aaah...!" Ekayana terpekik, pisau itu menancap di bawah pundak kirinya. Brajawisnu dan Pancakana mendelik kaget melihatnya.

"Ekayana...?!"pekik Pancakana segera melompat menghampiri Ekayana yang menjadi merah bagian pundak, dada serta lengan kirinya itu. Racun ganas pada pisau tersebut membuat Ekayana menjadi lemah.

Brajawisnu merasa bersalah, menyesal sekali Ekayana bisa terkena pisau beracun itu. Hatinya menjadi panas kepada Suto Sinting yang seenaknya saja menangkis pisau terbangnya. Brajawisnu merasa diremehkan. Karenanya, setelah melemparkan sebutir obat kepada Ekayana dan menyuruh Ekayana menelan butiran sebesar tahi kambing itu, Brajawisnu segera menghadapi Pendekar Mabuk.

"Keparat kau! Terlalu meremehkan kami dengan kesombonganmu! Hadapi aku si Iblis Maha Racun ini!"

"Baik. Kulayani permintaanmu!" kata Pendekar Mabuk. Brajawisnu segera menyerang dengan menyentakkan tangannya dalam keadaan telapak tangan terbuka mekar dan menghadap ke bawah, lalu dari dalam tangan jubahnya melesatlah dua mata pisau kecil yang berwarna putih mengkilat, bercahaya karena pantulan sinar matahari. Zlaapp, zlappp...!

Pendekar Mabuk sentakkan kakinya pelan ke tanah, tubuhnya melesat naik dan bersalto maju dua kali. Jlegg...! Ia sudah ada di depan Brajawisnu dalam jarak hanya dua langkah, sedangkan dua pisau tadi meluncur terus mengenai pohon di tempat jauh. Pohon itu tumbang dengan menimbulkan suara gemuruh yang mengerikan.

Hadirnya Suto Sinting di depan mata membuat Brajawisnu terkejut. Saat terkejut itulah Suto segera melepaskan tendangan beruntun ke wajah dan tubuh Brajawisnu.

Tendangan beruntun itu sangat cepat. Sepertinya tendangan satu kali lepas saja, tapi sesungguhnya punya lima tendangan yang mengenai sasaran dengan cepat. Dari wajah sampai ke perut Brajawisnu rata mendapat bagian tendangan ber tenaga dalam tinggi itu.

Jeb jeb jeb jeb jeb !

"Hiaaaah....!" pekik Pendekar Mabuk untuk tendangan yang terakhir kalinya, yaitu melompat dan memutar tubuh dengan cepat. Kakinya melayang kuat menghantam wajah kiri Brajawisnu,

Plokkkk...!

Telak sekali tendangan yang terakhir itu, membuat Brajawisnu terlempar dan jatuh menabrak Ekayana yang sudah siap menyerang Suto kembali itu. Akibat tabrakan tersebut, Ekayana jadi ikut terpental dan jatuh tertindih Brajawisnu. "Braja....!" pekik Pancakana yang hampir saja tadi ikut tertabrak tubuh Brajawisnu. Mata Pancakana menjadi terbelalak karena ia melihat dengan jelas pedang Ekayana menembus lambung Brajawisnu dan tembus ke pinggang sebelahnya.

"Ekayana! Kau telah membunuh Brajawisnu!" teriak Pancakana dengan panik. Ekayana sendiri terkejut luar biasa setelah menyadari pedangnya menembus tubuh teman sendiri.

"Bangsaaaattt....!" teriak Ekayana dalam amukannya yang meledak-ledak. Ia sangat menyesal karena merasa sepertinya dialah yang membunuh teman sendiri.

Malaikat Maha Pedang itu segera menyerang Pendekar Mabuk bersama-sama dengan Pancakana. Cambuk berujung pisau itu dilecutkan, tak ada suara yang keluar dari cambuk itu. Wutt...!
Hanya itu yang didengar dari lecutan cambuk, Suto menghindarinya dengan melompat ke kiri.

Wutt...!

Kembali cambuk dilecutkan, Suto menghindar ke depan dan bersalto. Begitu mendaratkan kaki, pedang Ekayana berkelebat dengan cepatnya. Wesss....!

Trakkk! Suto menangkis dengan bumbung tuak, lalu dengan cepat bumbung tuaknya dihantamkan ke wajak Ekayana. Duarrrr...!

Terdengar suara ledakan ketika bumbung tuak menghantam kepala Ekayana. Setetah itu, Ekayana tak berkutik lagi. Rubuh dalam keadaan hancur kepalanya.

"Jahanam kau!" geram Pancakana dengan mata makin melotot.. Ia mengamuk melihat Ekayana mati dengan keadaan sangat menyedihkan. Maka cambuknya pun dilecutkan beberapa kali ke tubuh Suto Sinting. Wuttt, wutt, wutt, wuttt ...!

Zrattt...! Cambuk melilit di bumbung tuak yang ditangkiskan Pendekar Mabuk. Pancakana berusaha menarik cambuknya, tapi dengan mengerahkan tenaga sebesar apa pun, cambuk itu tetap melilit ke bumbung tuak. Maka, dengan kedua tangannya Suto pun menyentakkan bumbung tuak itu ke belakang, dan satu kali sentak tubuh Pancakana melayang terbang karena tarikan cambuknya. Begitu tubuh Pancakana mendekat, bumbung tuak segera dimiringkan dan kini bagian bawah bumbung disodokkan ke dada Pancakana dengan kuat. Duhggg....!

"Ughh....!" Pancakana terpental balik dengan cambuk terlepas. Tubuhnya melayang dan jatuh sejauh lima tombak. Ia jatuh di bawah kaki kuda dalam keadaan wajah menjadi biru legam, rambutnya mulai rontok tertiup angin.. Sedikit demi sedikit akhrirnya rambut itu habis dari kepala Pancakana. Kepala orang itu menjadi plontos dan berwarna biru legam.

Rupanya sodokan bumbung tadi mempunyai kekuatan dahsyat yang tak diduga-duga oleh siapa saja. Pancakana sendiri tak menyangka kalau akan tersodok bumbung tuak pada saat Suto Sinting menggeloyor seperti orang mabuk mau jatuh. Rupanya itulah jurus "Mabuk Pelebur Gunung" yang dimiliki oleh Pendekar Mabuk.

Pancakana merasa seperti ada jutaan semut yang menggerayangi dan menggerogoti bagian dalam dadanya. Jantungnya terasa sakit, demikian pula paru parunya bagai mulai kropos . Cepat-cepat ia berusaha melomnpat ke punggung kuda. Dengan sikap sedikit telungkup menahan sakit, ia memacu kuda untuk meninggalkan tempat tersebut. Orang berkepala pelontos gundul itu melarikan diri dari pertarungannya, karana ia merasa jiwanya tak akan bisa tertolong lagi tapi perlu memberi laporan kepada sang ketua Perkumpulan Kobra Hitam.

Kirana segera berlari dan melompat, tahu-tahu ia sudah duduk di atas punggung kuda. Suto segera berseru, "Kirana! Mau apa kau?" "Mengejar setan busuk itu!"

"Tak perlu! Dia akan mati begitu tiba di tempat, atau mungkin dalam perjalanannya!"

Akhirnya Kirana pun turun dari kuda, tak jadi mengejar Pancakana. Tiba-tiba terdengar suara letupan keras. Tar tarrr...!

Suto Sinting tegang dan bersiap menghadapi serangan lagi. Matanya memandang sekeliling dengan tajam. Tapi Kirana segara berkata dengan tenang.

"Tak ada apa-apa. Suto! Itu hanya suara lecutan cambuk Pancakana yang tertinggal!" "Yang tertinggal?!" Suto heran.

"Cambuk itu tadi melebihi kecepatan suara. Dan itulah kehebatan cambuk Pancakana, bisa meredam suara pada saat dilecutkan ke lawan, sehingga lawan akan merasa menyepelekan kekuatan cambuk itu"

Jongos Daki muncul dari balik batu. Pada saat ia mendekati Suto dan Kirana, suara cambuk Pancakana yang tadi dilecutkan empat kali tanpa suara itu, kali ini terdengar lagi.

Tar tar tar tarrrr...!

Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng kepala. Ia mengguman, "Cukup dahsyat sebenarnya, cambuk itu, tapi sayang digenggam tangan sesat, jadi tak berguna bagi hidupnya sendiri.!"

"Logayo pasti akan murka mendapat kabar dua orang kuatnya kau rubuhkan, Suto " kata Kirana.

"Lebih murka lagi melihat Pancakana seolah-olah kau kirim kembali sebagai bangkai! Dia pasti akan mencari kita!"

"Aku siap menghadapinya kapan saja. Yang penting bagiku sekarang adalah mencari tahu, di mana pusaka Ki Padmanaba disimpannya?"

Jongos Daki berkata, "Aku sendiri tak tahu. Tapi yang jadi buah pikiranku sekarang ini adalah, siapa orang yang menabur racun di antara orang orang Kobra Hitam itu?! Siapa pemilik Racun Getah Tengkorak yang langka dan sulit diperoleh itu?"

Kirana berkata.

"Barangkali untuk mencari tahu tempat penyimpanan pusaka Ki Padmanaba, kita bisa tanyakan kepada Nyai Embun Salju, ketua Perguruan Elang Putih, yang nama aslinya tak boleh disebutkan oleh siapapun karena bisa mendatangkan hujan petir dan amukan badai!" "O, begitu dahsyatnya nama itu sendiri?" kata Suto dengan kagum. "Kalau begitu, cepat bawa aku kepada Nyai Embun Salju! Kita perlu mengetahui dimana Ki Padmanaba menyimpan pusaka tersebut."

Jongos Daki bertanya kepada Kirana, "Mengapa harus kepada Nyai Embun Salju kita bertanya?!"

"Karena Nyai Embun Salju adalah kakak dari Ki Padmanaba, tapi mereka hanya satu ibu lain bapak!" jawab Kirana "Yang kutakutkan kalau Nyai Embun Salju tidak mengetahui tempat pusaka itu di simpan, tapi justru kakak ipar Ki Padmanaba mengetahuinya."

"Kakak ipar?! Maksudnya kakak dari istrinya Ki Padmanaba?" tanya Suto Sinting dengan semakin ingin tahu. "Benar! Karena ketika Ki Padmanaba membunuh istrinya, kakak iparnya mengancam akan merebut pusaka itu ! Dan kakak iparnya itulah yang mem pengaruhi istri Ki Padmanaba untuk membunuh mertua sang istri, yaitu membunuh orangtua Ki Padmanaba!"

"Siapa kakak iparnya Ki Padmanaba itu?!"

"Logayo, ketua perguruan Kobra Hitam!" jawab Kirana dengan tegas.

Pendekar Mabuk berkerut dahi dan memandang ke arah jauh. Sebenarnya ia tak ingin terlibat dalam masalah pusaka, yang bukan hak miliknya itu. Tapi amanat dari Ki Padmanaba saat menjelang ajalnya tiba itu, membuat Suto semakin merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan pusaka itu agar tidak jatuh ke tangan orang sesat.

Sementara itu sebuah pertanyaan masih menyelinap di dalam hati Suto tentang siapa penyebar Racun Getah Tengkorak itu sebenarnya?

TAMAT
Segera menyusul: RAHASIA PEDANG EMAS