Pendekar Mabuk 25 - Naga Pamungkas(1)



 SEKELEBAT bayangan melintasi hutan di kaki bukit. Orang mengenal bukit itu dengan nama Bukit Mata Langit.
Tak ada orang yang berani melintasi hutan di Bukit Mata Langit itu, karena mereka takut terperosok ke sebuah lubang yang amat dalam.

Lubang itu tertutup oleh tanaman rambat sehingga tidak mudah diketahui oleh siapa pun. Tanaman rambat yang menutup rapat lubang tersebut seolah-olah berguna sebagai tanaman penjebak. Kelihatannya tempat itu datar dan bertanaman rambat biasa, tapi sebenarnya di bawah tanaman rambat itu terdapat lubang besar yang mengerikan. Lubang itu dikenal orang dengan nama Sumur Tembus Jagat.

Hanya orang-orang yang tersesat saja yang berani masuk dan melintasi hutan Bukit Mata Langit itu. Salah satu orang yang tersesat adalah pemuda berpakaian coklat dengan celana putih. Pemuda itu berambut panjang dan mempunyai ketampanan menghebohkan kaum wanita.

Di punggung pemuda itu tersandang sebatang bambu tempat tuak. Melihat ciri-ciri tersebut, para tokoh dunia persilatan sudah tak asing lagi dan sangat mengenalnya. Pemuda itu tak lain adalah Pendekar Mabuk si Gila Tuak yang dikenaldengan nama Suto Sinting.

"Kurang ajar! Lari ke mana dia tadi? Sepertinya masuk ke semak-semak sebelah sana. Sebaiknya kuhadang lewat sini saja," pikir Suto dengan mulai melangkah mengendap-ngendap. Rimbunan semak dikelilinginya. Mata tajam si tampan itu tidak berkedip menatap bagian bawah semak-semak itu. Napasnya tertahan beberapa saat agar tak menimbulkan bunyi yang mencurigakan.

Slap, slap... !

Bayangan putih melompat dari bawah semak belukar itu, menerobos masuk ke rimbunan semak tak berduri. Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki dan ikut menerabas semak tak berduri. Bruus...! Buh...!

"Auh...!"

Pendekar Mabuk terpekik karena sakit. Rupanya di dalam semak tak berduri itu terdapat bongkahan batu besar yang tertutup hijaunya dedaunan. Wajah Pendekar Mabuk menabrak batu itu hingga terpaksa pejamkan mata sesaat karena menahan rasa sakit di tulang hidungnya.

"Sial! Untung tulang hidungku tak sampai patah!" gerutunya sambil mengusap-usap wajah. Dagunya pun terasa sakit karena diadu dengan batu.

Slap, slap... !

Bayangan putih melesat lagi meninggalkan semak duri itu. Suto Sinting cepat lompatkan diri ke arah yang sama, lalu menerkam bagai seekor singa. Bruuus... !

"Kena kau sekarang!" Seekor kelinci hutan tergenggam di kedua tangan Pendekar Mabuk. Kelinci hutan itu berusaha meronta dengan matanya yang memancarkan ketakutan, tapi kedua tangan Suto semakin erat menggenggamnya. Wajah pemuda itu pun menampakkan kelegaan hatinya. Kelinci buruannya berhasil ditangkap, dan siap untuk dijadikan santapan dengan membakarnya.

Tetapi mata bening sang kelinci membuat Pendekar Mabuk menjadi tak tega untuk membunuh binatang tersebut. Mata bening binatang itu bagai memandangi Suto dan mohon belas kasihan.

"Ah, kau...!" gumam Suto dengan hati mulai kecewa. "Kau manis sekali, sehingga membuat hatiku iba. Ah, benar-benar tak tega kalau aku harus menyantap mu. Tapi.... perutku lapar, suaranya sampai seperti lesung bertalu. Aku harus menyantapmu, Kelinci yang baik hati. Maafkan aku."

Mata kelinci itu berkedip-kedip seakan pasrah pada sang nasib. Hati Pendekar Mabuk itu kian bimbang diguncang rasa iba hati.

"Ah, kasihan sekali kau. Kenapa wajahmu tidak buruk saja, supaya aku tega menyantapmu? Kau terlalu manis dan lembut. Hmmm... kalau begitu, biarlah aku menahan lapar untuk sementara. Pergilah sana. Aku tak jadi menyantapmu." kata Suto Sinting sambil melepaskan binatang tersebut. Tambahnya lagi, "Tolong panggilkan serigala. Biar aku menyantap dagingnya sebagai penggantimu, Kelinci!"

Slap, slap... !

Kelinci itu melompat dua kali, kemudian berhenti. Ia berpaling memandangi Suto, dan pemuda itu tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Kelinci itu pun melompat lagi beberapa kali dan masuk ke semak-semak tanaman berdaun lebar. Bruush... !

Pendekar Mabuk segera meraih bumbung tuaknya. Ia menenggak tuak dari bumbung itu beberapa teguk. Napasnya terhempas lepas menandakan kelegaan. Walau perut lapar, asal sudah kemasukan tuak, rasa lapar itu bagaikan mereda untuk beberapa saat.

Suto Sinting memang merasa lebih baik menahan rasa lapar ketimbang menahan rasa haus tuak. Ia paling tak bisa menahan haus tuak. Baginya, seteguk tuak mempunyai kekuatan melebihi sepiring nasi, bahkan menyamai kenyangnya makan seekor kelinci hutan yang dibakar. Walau kadang Suto merasa bosan dengan tuak dan ingin sesekali menelan nasi atau daging dan makanan lainnya, tapi jika memang tak ada makanan lainnya, tuak pun masih bisa menjadi pengganjal rasa laparnya.

Suto Sinting baru saja ingin melangkahkan kakinya, tiba-tiba dari semak-semak berdaun lebar tempat menghilangnya kelinci itu muncul seraut wajah cantik berkulit kuning. Tentu saja Suto Sinting terkejut kaget dan jadi terbengong beberapa saat.

"Lho...? Kelinci itu kusuruh memanggil serigala tapi kenapa yang muncul seraut wajah cantik? Jangan-jangan kelinci itu

tak bisa membedakan antara serigala dan gadis cantik? Oh, dasar kelinci bodoh!" gumam Suto dalam hati.
Wajah cantik itu tampak menyimpan ketegangan. Wajah cantik itu pun menyembunyikan kecemasan di balik sikap tertegunnya dalam memandangi Suto Sinting.

Pakaiannya yang berwarna merah muda sangat memancing perhatian, karena pada bagian dadanya terbuka sedikit lebar, sehingga belahan dada itu pun tersumbul lebih jelas dan sepertinya tantangan lain bagi Suto. Bukan tantangan adu ilmu kanuragan, namun tantangan adu kekuatan batin. Dan ternyata batin Suto masih kuat untuk tidak mudah tergiur dan terpancing bayangan mesra kepada gadis berambut panjang itu.

"Apakah kau jelmaan seekor kelinci yang tadi kutangkap dan kulepaskan lagi, Nona?" tegur Suto Sinting dengan senyum dan keramahan yang membuat gadis itu justru merasa kian cemas. Ia mundurkan langkah satu tindak dengan mati tak berkedip.

Suto merasa heran melihat sikap sang gadis. Ia mencoba mendekatinya. Tapi gadis itu justru melompat mundur dan mencabut pedangnya yang terbuat dari logam kuningan. Sraaang...!

Mau tak mau Pendekar Mabuk hentikan langkah. Gadis itu pasang kuda kuda, seakan siap serang dengan jurus pedangnya. Bibirnya yang mungil dan tampak selalu basah itu masih terkatup tanpa berucap sedikitpun. Matanya yang bening bak kelinci tadi sekarang menatap tajam bersikap bermusuhan.

"Sekali lagi aku hanya ingin bertanya, apakah kau jelmaan dari kelinci yang kulepaskan tadi?"

Gadis itu diam saja. Matanya sedikit menyipit. Suto langkahkan kaki satu tindak. Tapi tiba-tiba gadis itu sentakkan kakinya ke tanah dan melompat menyerang Pendekar Mabuk. Dengan cepat bambu tuak diraih Suto dan berkelebat menangkis tebasan pedang gadis berpakaian merah jambu itu. Traang...!

Pedang itu bagaikan membentur sebongkah besi baja. Benturan pedang dengan bambu tuak memercikkan bunga api warna merah. Akibat benturan pedang dengan bambu telah membuat tubuh gadis itu terpental. Kekuatan tenaga dalam yang menghantam bambu lewat pedangnya telah berbalik mengenai dirinya sendiri. Tak heran jika gadis itu akhirnya terjungkal ke belakang dalam keadaan hilang keseimbangan. Brrug...!

Jaraknya hanya empat langkah dari tempat Pendekar Mabuk berdiri. Kalau saja Suto mau menyerangnya, itu bukan pekerjaan yang sulit. Tapi ternyata Suto tidak mau memberikan serangan balasan. Ia hanya melangkah satu tindak lagi dan si gadis buru-buru bangkit dari kejatuhannya. Kuda- kuda terpasang lagi, mata semakin tajam, napas kian menderu.

"Tulangku terasa ngilu semua," pikir gadis itu. "Kekuatan apa yang ada pada bambu itu, sehingga tenaga dalamku menjadi berbalik menyerangku? Rupanya pemuda ini bukan manusia hutan sembarangan. Aku tak boleh menganggap remeh kepadanya. Hmmm... tapi ketampanannya membuat keberanianku sempat susut beberapa kali. Kurang ajar! Persetan dengan ketampanan itu. Aku harus bisa melupakannya kalau tak ingin mati di ujung bambunya itu!"

"Tahan seranganmu, Nona," kata Suto Sinting dengan kalem. "Aku bukan musuhmu. Toh aku telah melepaskanmu dan tak jadi menyantapmu," tambah Suto karena ia yakin gadis itu jelmaan dari kelinci tadi.
Sang gadis masih belum mau bicara kecuali hanya memandang tajam.

Tak ada kesan bersahabat atau ramah sedikit pun. Yang ada hanya kesan sinis. Bahkan cenderung menampakkan sikap angkuhnya.

"Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa aku tak tega menyantapmu? Kenapa kau masih memusuhiku? Apakah kau pikir aku masih ingin menyantapmu?"

"Tutup mulutmu, Pemuda Binal!" geram gadis itu. Suto hanya tertawa kecil mendengar dirinya dipanggil pemuda binal oleh gadis itu.

"Aku bukan pemuda binal. Aku pemuda sinting, sebab namaku Suto Sinting!"

Tiba-tiba gadis itu mengendurkan ketegangannya. Matanya yang tajam dalam memandang kini sudah mulai surut dan berangsur-angsur lembut. Sikap kuda-kudanya pun mulai tegak. Tapi pedangnya masih tergenggam erat di tangan.

"Ben... benarkah kau... kau bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu?"
"Benar," jawab Suto dalam ulasan senyum tipis yang menambah pesona ketampanannya.

Gadis itu menjadi gelisah menerima tatapan mata yang begitu lembut dari Suto Sinting. Kegelisahan tersebut segera ditutupi dengan sikap curiga yang dibuat-buat. Gadis itu memaksakan diri untuk tersenyum sinis.

"Tak mungkin kau si Pendekar Mabuk yang kesohor itu! Pendekar Mabuk tak akan keluyuran ke hutan ini. Karena di sini tak ada pusaka dan orang sakti."

"Kau pikir aku mencari pusaka? Oh, tidak. Sama sekali tidak, Nona Cantik. Aku ke sini karena tersesat gara-gara mengejarmu tadi."

Dahi si cantik berkerut. "Mengejarku?"

"Maksudku, waktu kau menjadi kelinci tadi, aku mengejar-ngejarmu untuk kujadikan santapanku. Tapi begitu kau berubah menjadi gadis yang cantik, aku malu untuk menyantapmu dan..."

"Aku bukan siluman kelinci!" sergah gadis itu. "Aku manusia biasa dan seumur hidupku belum pernah berubah menjadi kelinci."

"O, maaf. Jadi...," Suto tertawa, tak jadi melanjutkan kata-katanya karena merasa malu dengan salah duganya itu.

"Namaku Citradani, bekas murid Perguruan Kuil Elang Putih."

"Ooo...." Suto manggut-manggut. "Kalau begitu kau muridnya Ratu Embun Salju?"

Citradani terkejut. "Kau mengenal bekas guruku itu?"

"Cukup kenal. Juga kepada Anjarwati, Mahasi, Dewi Anjani, dan yang lainnya, aku pun mengenal mereka. Bukankah mereka teman-temanmu?"

"Benar. Tapi sekarang sudah tidak lagi." jawab Citradani sambil memasukkan pedang
ke dalam sarungnya.

"Kenapa kau sampai keluar dari Kuil Elang Putih?"

"Karena melanggar kesalahan." Citradani kelihatan sedih mengenang masa lalunya. Ia bersandar di sebuah pohon dalam keadaan masih berdiri. Suto kian mendekat, matanya memandang sekeliling sebagai tanda bahwa ia selalu waspada di mana pun berada.

"Kalau boleh kutahu, apa kesalahanmu terhadap Kuil Elang Putih?"
"Aku menghilangkan sebuah pusaka yang bernama Lintang Suci."
"Lintang Suci? Sebuah pedang atau..."

"Sebuah kalung," jawab Citradani dengan memotong kata-kata Suto Sinting. "Kalung itu bisa untuk mengubah-ubah diri menjadi bentuk apa pun. Rantai kalung itu pernah patah. Tak ada yang bisa menyambung rantai emas kalung itu, sebab rantai tersebut terbuat dari emas keramat. Hanya ada satu orang yang bisa menyambung rantai emas keramat itu. Orang tersebut adalah Ki Padmanaba... "

Suto terperanjat. "Ki Padmanaba?! Dia sekarang sudah meninggal!"

"Mungkin saja begitu. Karena peristiwa yang kualami itu sudah cukup lama. Aku ditugaskan membawa pusaka Lintang Suci kepada Ki Padmanaba. Ketika kalung tersebut sudah tersambung rantainya, tugasku adalah membawa pulang kepada Guru Ratu Embun Salju. Tetapi di perjalanan aku tergoda oleh seorang pemuda, dan kami pun saling berkasih-kasihan. Aku tak tahu kalau pemuda itu sudah lama mengincar kalung Lintang Suci. Aku tertipu. Saat aku tak sadar, kalung itu berhasil dicurinya dan dia pergi entah ke mana. Aku ditolak pulang ke Kuil Elang Putih, tak diizinkan kembali ke sana jika tidak bersama pusaka tersebut. Mau tak mau aku harus mencari pusaka kalung Lintang Suci itu supaya aku bisa diterima kembali di Kuil Elang Putih."

Suto Sinting angguk-anggukkan kepalanya. "Sampai sekarang kau belum temukan di mana pemuda itu berada?"

"Belum. Sesekali aku melihat kelebatan bayangannya. Tapi tiap kali kukejar ia bisa menghilang dalam persembunyiannya. Aku selalu kehilangan jejak. Seperti saat ini aku melihatnya melintas kemari. Kukejar dia dan akhirnya aku kehilangan jejak kembali. Tahu- tahu aku bertemu denganmu. Aku sangsi, kusangka kau adalah pemuda itu yang merubah diri dengan kekuatan kalung Lintang Suci itu."

"Lalu, kau percaya kalau aku bukan pemuda itu?"
"Percaya."
"Apa yang membuatmu percaya padaku?"

"Tebasan pedangku walaupun ditangkis akan memudarkan samarannya dan membuatnya kembali ke wujud aslinya."

"Ooo...," Suto manggut-manggut. Ia ingin bicara lagi, tapi tiba-tiba tangannya berkelebat cepat menempel di dada Citradani.

Citradani terpekik kaget dan malu, dadanya terpegang oleh tangan Suto.

Plaaak... !

Sebuah tamparan pedas diterima oleh pipi Suto. Pemuda itu meringis kesakitan. Pipinya sempat merah sedikit.

"Kurang ajar kau!" gertak Citradani.

"Maaf..." kata Suto, lalu tangan yang tadi menempel di dada Citradani hingga menyentuh ujung bukitnya itu kini diperlihatkan kepada gadis itu.

Sebuah senjata rahasia telah terselip di antara jemari Suto. Citradani terperanjat dan segera menyadari apa sebenarnya yang dilakukan oleh Suto. Ternyata Pendekar Mabuk baru saja menyelamatkan jiwa Citradani dari ancaman senjata rahasia yang dilemparkan oleh seseorang dari tempat yang tersembunyi.

Senjata rahasia itu berupa sepotong bulu landak yang tajam dan beracun ganas. Jika tangan Suto tidak menutup ujung bukit dada Citradani maka senjata rahasia itu yang akan menancap di sana. Tapi dengan gerakan tangan Suto menutup ujung bukit dada Citradani, maka senjata rahasia itu hanya terselip di sela jari Suto dan dijepit kuat agar tak menyentuh kulit dada gadis itu.

"Kau mengenal siapa pemilik senjata ini?" tanya Suto Sinting.
"Tidak. Tapi aku melihat sekelebat bayangan lari ke sana. Aku akan mengejarnya!"
"Tunggu dulu, aku akan...."

Wuuusss... !

Citradani sudah melesat lebih dulu sebelum Suto selesai bicara. Kecepatan gerakannya yang menyerupai hembusan angin itu menandakan bahwa gadis itu sebenarnya berilmu tinggi. Setidaknya ia mempunyai ilmu tenaga peringan tubuh yang cukup tinggi. Suto memang bisa mengungguli kecepatan gerak Citradani, tapi ia tak mau. Suto lebih tertarik dengan suara teriakan seseorang yang terdengar samar-samar dari tempatnya.

"Toloong...!"

Suara itu kecil sekali, kentara kalau letaknya sangat jauh. Maka, Pendekar Mabuk pun segera melesat ke arah yang berlawanan dengan Citradani.

"Biarlah Citradani mengejar penyerang gelapnya. Aku percaya dia mampu menjaga diri dengan ketinggian ilmunya itu. Aku akan menolong seseorang yang agaknya dalam bahaya besar," kata Suto membatin. Suara orang minta tolong itu hanya sesekali terdengar. Sepertinya orang tersebut berusaha untuk melepaskan diri dan kesulitannya, tapi merasa cemas dan takut gagal, sehingga sesekali ia berteriak minta tolong. Pendekar Mabuk sempat kehilangan arah ketika suara teriakan itu menghilang. Ia kebingungan mengambil arah langkah kakinya.

"Di mana orang itu? Kenapa suaranya tak terdengar lagi? Apakah kepalanya sudah telanjur ditelan harimau? Mengapa ia tak coba-coba berteriak lagi dari dalam perut harimau, siapa tahu mulut harimau itu kebetulan ternganga dan suaranya bisa sampai ke luar perut harimau?" gumam Suto Sinting bagai orang gila yang bicara sendiri. Langkahnya masih tergesa-gesa sambil memastikan arah dan mencari orang yang dalam bahaya itu. Telinganya dipasang baik- baik, sampai akhirnya angin pegunungan membawa suara teriakan tersebut dari arah timur.

"Tolooong...!"

"Nah, suaranya di sana! Ya, di timur sana! Aku harus segera menolongnya!" tekad Suto. Sikap berbuat baik kepada seseorang dan saling tolong-menolong memang selalu dimiliki dalam jiwa Suto Sinting.

Genangan air yang dipijak Suto membuatnya sedikit curiga. Kelembaban tanah di sekitarnya membuat Pendekar Mabuk semakin hati-hati dalam melangkah. Matanya memandangi padang ilalang yang mengelilingi tanaman rambat seperti kangkung yang merimbun seluas sepuluh langkah lebih.

"Sepertinya di depanku itu adalah paya- paya yang berbahaya. Tapi kenapa ditumbuhi tanaman rambat cukup lebat dan luas? Oh, ada sesuatu yang bergerak di ujung sana?"

Mata Suto Sinting memperhatikan tanaman rambat yang bergerak-gerak. Letaknya di seberang sana, sehingga jika Suto ingin mendekati gerakan tersebut ia harus melewati bentangan tanaman rambat itu. Karena curiga ladang yang akan dilintasi adalah paya-paya atau rawa yang tertutup tanaman, maka Pendekar Masuk terpaksa menggunakan ilmu peringan tubuhnya untuk melintasi tempat tersebut.

Tab, tab, tab, tab... !

Pendekar Mabuk melompati daun demi daun. Ilmu peringan tubuhnya yang tinggi membuat telapak kakinya yang menyentuh ujung daun tidak terbenam. Daun itu pun bagaikan tidak tersentuh apa pun kecuali angin kecil. Pada saat melintasi daun-daun tersebut, Suto baru menyadari bahwa ia sedang berjalan di atas lubang besar, yaitu lubang yang tertutup tanaman rambat dengan rata dan tak kentara. Suto menyadari hal itu setelah ia merasakan tekanan daun yang dipijaknya terasa sangat ringan. Berarti di bagian bawah daun tak ada alas penyangga, tak ada air, tak ada tanah. Daun itu bagaikan tumbuh mengambang di udara.

"Lubang besar! Gawat! Salah perhitungan sedikit tubuhku bisa tenggelam ke dalam lubang besar ini?!" pikir Suto Sinting sambil semakin mendekati benda yang bergerak- gerak di bawah kerimbunan tanaman rambat itu.

"Tolooong...!"

Suara itu sangat jelas, datangnya dari gerakan-gerakan di bawah tanaman itu. Suto segera menyimpulkan,

"Ternyata ada orang yang terperosok di sana! Ia tak bisa naik. Oh, kasihan sekali."

Suto menyangka orang yang terperosok itu mengalami kesulitan untuk naik ke permukaan karena dililit tanaman rambat. Maka dengan gerakan cepat Pendekar Mabuk menyambar telapak tangan seseorang yang tampak tersumbul dari bawah kerimbunan tanaman rambat. Sayang sekali sebelum Suto berhasil menyambar tangan orang tersebut, tiba-tiba si pemilik tangan telah melesat keluar dari kedalaman lubang. Bruuussh...!

Jleeg...!

Dengan bersalto dua kali di udara, orang tersebut berhasil menempatkan diri di tanah datar. Berdiri dengan tegak. Memandang Suto dengan senyum berkesan jumawa.

Orang itu adalah seorang lelaki berusia sekitar dua puluh delapan tahun, seusia dengan Suto. Rambutnya ikal sedikit panjang diikat dengan ikat kepala dari kain berbenang emas.

Pakaiannya biru muda cerah. Di pinggangnya menyandang pedang pendek seukuran satu depa. Gagang pedang berwarna putih perak.

Gagang pedang itu berbentuk kepala naga, bagian mata kepala naga terdapat batuan warna merah cerah.
Suto Sinting hampir saja terkecoh masuk ke lubang besar itu. Untung ia segera meliukkan badan dengan menggunakan selembar daun untuk tumpuan jarinya, sehingga dalam sekejap Suto pun sudah berdiri tegak di depan lelaki sebayanya itu. Mata memandang penuh curiga, sedangkan lelaki itu menatap dalam senyum sinisnya.

"Sayang sekali kau yang datang. Padahal aku hanya ingin memancing seseorang yang bukan dirimu. Sobat!" kata si baju biru itu.

"Siapa kau?! Mengapa berpura-pura minta tolong?"

"Aku Wiratmoko. Aku orang yang gemar bercanda. Hmmm... aku sengaja ingin menjebak temanku sendiri. Aku ingin menertawakannya jika ia terkecoh olehku."

"Siapa temanmu itu, Wiratmoko?"
"Kau tak perlu tahu. Sobat," jawabnya dalam senyum. "Yang jelas, jika maksudmu baik padaku, sebutkan namamu supaya kita saling kenal."

"Namaku Suto."

"Nama yang sederhana, tapi mudah diingat, mudah pula dihilangkan dari ingatan," kata Wiratmoko bernada angkuh. "Apakah kau tersesat di hutan ini?"

"Tidak semata-mata tersesat."

"Ha, ha, ha, ha...," Wiratmoko tertawa melecehkan. "Jangan menutupi kebodohanmu. Suto. Aku tahu kau benar-benar tersesat. Buktinya kau tidak mengetahui bahwa tanah yang kau lalui tadi adalah permukaan sebuah lubang maut yang bernama Sumur Tembus Jagat."

Suto Sinting berkerut dahi, matanya memandang ke arah tanaman rambat yang tadi dilaluinya. Ia baru tahu bahwa lubang itu adalah Sumur Tembus Jagat.

Tapi ia tak paham apa artinya.

"Sumur Tembus Jagat ini termasuk sumur tanpa dasar. Jika seseorang masuk ke dalamnya ia tak akan bisa ditemukan lagi. Mungkin mati di pertengahan lorong sumur atau terbuang ke sisi belahan bumi lainnya. Yang jelas tak akan ada orang bisa selamat dari maut yang ada di Sumur Tembus Jagat itu. Beruntung sekali kau mempunyai ilmu peringan tubuh cukup tinggi, sehingga kau tidak terperosok ke dalam sumur itu waktu mau menolongku."

Napas Pendekar Mabuk terhempas bagaikan melepas kelegaan. Ia meneguk tuaknya sebentar, dan pada saat itu Wiratmoko memperhatikan dengan dahi berkerut. Sepertinya ia menemukan sesuatu pada diri Suto, namun ia tidak mau menyebutkannya.

Ketika Suto selesai meneguk tuaknya, tiba- tiba ia melihat kilatan cahaya putih yang menyerang ke arah Wiratmoko dari belakang. Suto Sinting segera berseru, "Awas...!"

Suto terlambat berbuat sesuatu. Wiratmoko sendiri juga terlambat mengetahui datangnya bahaya. Kilatan cahaya putih yang melesat itu menghantam punggung Wiratmoko. Duub...! Tubuh Wiratmoko kejang seketika, matanya mendelik dan semua gerakannya terhenti. Ia bagaikan menjadi patung bernyawa. Kulit wajahnya yang coklat cerah itu menjadi kemerah-merahan. Hidungnya mulai melelehkan cairan merah kehitaman.

Kejap berikut muncul seorang kakek berjenggot panjang warna abu-abu. Ia datang begitu saja, tak diketahui dari mana asalnya. Suto Sinting sempat terperangah dengan kemunculan kakek itu.

"Jangan berkawan dengan dia kalau kau ingin selamat!" kata kakek berjubah putih kumal itu. Setelah berkata demikian, tubuhnya melesat bagaikan terbang ke atas, hinggap di dahan pohon yang dipunggunginya. Suto ingin mengatakan sesuatu, tapi sang kakek pergi dengan cepat seperti lenyap ditelan angin.

PENGEJARAN Citradani sampai ke pesisir selatan. Musuh yang melemparkan senjata rahasia dan berhasil ditangkap oleh Suto itu ternyata seorang perempuan berusia lima tahun lebih tua dari usia Citradani yang mencapai dua puluh empat tahun itu. Perempuan yang dikejar Citradani itu mengenakan pakaian kuning menyala, rambutnya disanggul sebagian. Perempuan itu hentikan langkah ketika telah mencapai pesisir selatan. Ia tampak dengan terpaksa melayani maksud pengejaran Citradani. Keduanya kini saling berhadapan dalam jarak lima langkah.

"Ternyata kaulah orangnya, Tandak Ayu!" geram Citradani.

Tandak Ayu yang berhidung mancung dengan bentuk wajah bulat telur itu tersenyum sinis. Pedang yang ada di punggungnya masih belum diraih. Tapi sikap berdirinya yang tegak dengan kaki sedikit merenggang menandakan ia siap mencabut pedang sewaktu-waktu.

"Ternyata kau seorang wanita yang pengecut, Tandak Ayu!"

"Jaga mulutmu agar tak robek dari mulutku, Citradani," ucap Tandak Ayu dengan kalem namun menandakan kegeramanhatinya.

"Mengapa kau ingin membunuhku dengan senjata rahasiamu itu, hah?"
"Karena aku tak ingin kau memiliki barang yang kau cari-cari selama ini!"

Jawaban itu membuat Citradani berkerut dahi. Matanya segera tertuju ke leher Tandak Ayu. Hatinya pun terkejut melihat Tandak Ayu ternyata mengenakan kalung Lintang Suci.

"Jahanam kau, Tandak Ayu! Rupanya kaulah pemakai kalung itu!" Citradani semakin menggeram, bagaikan menahan amarah mati- matian. Tandak Ayu hanya sunggingkan senyum sinis.

"Serahkan benda itu padaku sebelum terjadi pertumpahan darah, Tandak Ayu!"
"Rebutlah dengan nyawamu kalau kau mampu!" tantang Tandak Ayu.

"Jangan menyesal kau, Pencuri Busuk! Hiaaat...!" Citradani menerjang bagaikan kilatan cahaya yang melesat dari sebuah pukulan. Begitu cepatnya gerakan itu, hingga Tandak Ayu tak sempat berkedip dan menghindar. Tahu-tahu ia merasakan tubuhnya dilanda gumpalan badai yang membuatnya terpental sejauh lima tombak.

Brruhg...!

Tandak Ayu jatuh terpuruk. Mulutnya keluarkan darah segar. Tapi ia segera bangkit sebelum Citradani lancarkan pukulan tenaga dalamnya tanpa wujud itu.

Wuuut... !

Tandak Ayu melenting ke udara dalam satu sentakan kakinya. Pukulan tenaga dalam Citradani yang dilepaskan melalui telapak tangan kirinya itu mengenai tempat kosong.

Akibatnya pasir yang terkena pukulan itu menyembur ke atas. Pasir yang berwarna putih itu menjadi hitam legam saat menyembur ke atas, menandakan pukulan tenaga dalam tersebut cukup berbahaya jika mengenai tubuh lawannya. Beruntung Tandak Ayu mampu menghindarinya. Jika tidak ia akan menjadi hangus seperti pasir-pasir tersebut.

Tangan perempuan berpakaian kuning dengan ikat rambut pita kuning itu segera merapatkan kedua telapak tangannya di dada. Dalam sekejap ternyata ia telah berubah menjadi seekor kelinci putih. Claaap...!

Citradani hanya tersenyum sinis. Ia tahu Tandak Ayu bisa berubah begitu karena kekuatan kalung Lantang Suci yang dikenakan. Bahkan menjadi binatang yang lebih menyeramkan pun sangat mudah. Citradani segera memahami, bahwa yang dimaksud kelinci buruan Suto tadi rupanya adalah perubahan dari wujud asli Tandak Ayu. Tapi si pemuda tampan itu tentunya tidak mengetahui bahwa kelinci tersebut adalah
Tandak Ayu.

Kelinci putih itu melompat di balik karang. Citradani segera menghantamkan pukulan jarak jauhnya bercahaya merah. Wuuut...! Blaaar... !

Karang hancur seketika menjadi serbuk warna merah membara dan panas. Kelinci itu hilang. Entah kemana perginya. Citradani mencari kebingungan. Hatinya kian panas, dadanya ingin meledak karena kehilangan lawannya. Ia hanya bisa menggerutu, "Kurang ajar! Dia pasti berubah menjadi undur-undur!"

Sambil mengorek-ngorek tanah berpasir mencari undur-undur jelmaan Tandak Ayu, Citradani bertanya-tanya dalam hatinya,

"Bagaimana mungkin kalung itu bisa ada di tangannya? Apakah ia berhasil merebut kalung itu dari si tampan berhati iblis itu? Semudah itu kah Tandak Ayu mampu merebutnya? Padahal aku tahu persis ilmu si Tandak Ayu tidak seberapa tinggi. Sekalipun ia murid Nyai Demang Ronggeng yang kesohor dengan ilmu 'Tarian Mayat'-nya, tapi aku yakin ia belum mewarisi ilmu itu. Nyai Demang Ronggeng tak akan semudah itu menurunkan ilmu andalannya kepada sang murid!"

Mencari undur-undur adalah pekerjaan yang memuakkan bagi Citradani. Harus sabar dan tekun. Setiap tanah dikoreknya pelan-pelan. Sementara itu gemuruh dalam dada Citradani sudah semakin menyerupai lahar gunung berapi yang ingin mendobrak kepundannya.

"Kugites dan kutumbuk selembut mungkin kalau undur-undur itu berhasil kutemukan!" geram Citradani sambil menyiapkan segenggam batu.

Ketekunan mengorek-ngorek tanah membuat Citradani terkejut ketika mendengar sapaan dari belakangnya.
"Rupanya ada anak kecil yang gemar memburu undur-undur!"

Seet...! Citradani cepat palingkan wajah. Cepat pula ia berdiri ketika diketahui telah berdiri seorang gadis berpakaian kuning gading dan berambut lurus dengan poni di dahinya. Gadis itu tersenyum geli. Tapi Citradani justru makin cemberut. Lalu ia sentakkan tangannya yang mengeluarkan cahaya merah berkelebat.

Wuuut...!

Gadis berambut lurus itu pun menyentakkan tangannya hingga dari telapak tangan melesat sinar hijau yang langsung membentur sinar merah itu.

Wuuut...!
Blaar...!

Ledakan dahsyat menggelegar, menggema bagai memenuhi alam lautan. Ledakan itu timbulkan gelombang hebat, hingga keduanya sama-sama terpental menjauh dan saling berjatuhan tanpa bisa menjaga keseimbangan badan. Dua gugusan batu karang itu retak, padahal jaraknya ke kanan-kiri mereka cukup jauh.

Ombak lautan yang sedang menuju ke pantai pun menyibak tinggi berbalik arah. Gemuruh ombak bagai suara bumi mau kiamat. Rupanya keduanya sama-sama melepaskan pukulan berbahaya yang berkekuatan cukup tinggi.

Beberapa saat kemudian, gadis berambut lurus yang menyandang pedang berhias batu ungu di ujung gagangnya itu berdiri dengan sedikit limbung. Kejap berikutnya ia mampu tegak kembali dan memperhatikan Citradani yang bangkit dengan terhuyung-huyung pula.

"Gila dia melepaskan pukulan yang tidak tanggung-tanggung," pikir gadis berambut lurus itu. "Kalau tidak kuhadapi dengan pukulan mautku, mungkin aku akan mati dalam beberapa kejap saja."

Sementara itu, Citradani pun membatin, "Hebat sekali dia, bisa menandingi jurus 'Merah Delima' yang hanya bisa ditangkis oleh orang-orang berilmu tinggi. Jika begitu, dia mempunyai ilmu cukup tinggi pula. Mungkin memang Nyai Demang Ronggeng telah mewariskan segala ilmunya kepada Tandak Ayu. Oh, aku harus hati-hati menghadapinya."

Kini keduanya sama sama mendekat dalam langkah yang penuh waspada. Masing-masing siap lepaskan serangan penangkis dengan mata tak berkedip sedikit pun. Dalam jarak enam langkah, mereka saling berhenti.

"Apa maksudmu menyerangku, Gadis Kecil?"

Citradani menggeletukkan gigi dipanggil 'gadis kecil' karena ia merasa sudah dewasa dan mampu merobek mulut lawannya itu. Pandangan mata Citradani menjadi semakin benci dan mempertajam permusuhannya. Tapi ia menjadi sedikit heran melihat kalung Lintang Suci yang berbentuk bintang segi lima dari batuan kristal putih itu tidak kelihatan di leher lawannya.

"Tak perlu berpura-pura, Tandak Ayu! Sekali ini kalau kau tak mau serahkan benda itu, akan kubuat musnah tanpa bekas dirimu!"

Dahi gadis yang tangannya bertato mawar merah tepat di pergelangannya menjadi berkerut tajam menandakan keheranannya.

"Siapa Tandak Ayu itu? Benda apa yang kau inginkan dariku?"

"Hmm...! Kau pikir aku mudah tertipu oleh penyamaranmu?!" Citradani melangkah ke kiri membentuk lingkaran, sedangkan gadis itu melangkah ke kanan penuh waspada.

"Mungkin kau salah duga. Aku bukan Tandak Ayu!"

"Akan kupaksa mulutmu agar mengaku. Hiaaat...!" Citradani melompat maju, menghantamkan pukulannya ke wajah gadis berambut lurus. Gadis itu menangkis dengan telapak tangannya. Plaak...! Pukulan Citradani mengenai telapak tangan itu. Percikan bunga api menyembur dari perpaduan tangan mereka. Citradani merasa tertahan pukulannya, sehingga ia terpaksa melepaskan pukulan tangan kirinya dengan cepat ke arah dada gadis itu. Tapi lagi-lagi pukulan itu mampu ditangkis dengan mengadu pergelangan tangan yang menimbulkan bunyi: kraak... !

Wuuut... ! Bag, bag... !
Duaaar... !

Kedua telapak tangan mereka saling beradu, ledakan kecil kembali terdengar menandakan kedua pukulan mereka cukup bertenaga tinggi. Keduanya pun sama-sama terpental mundur, namun mereka tak sampai jatuh seperti tadi. Keduanya sama-sama berdiri dengan kaki merenggang dan memasang kuda-kuda siap serang.

"Edan! Bagian dalam tubuhku seperti sedang dibakar api setelah mengadu telapak tangan tadi." kata gadis itu dalam hati, "Apa maunya dia sebenarnya?"

"Serat-serat dagingku bagai disayat-sayat!" pikir Citradani. "Perih semua sekujur tubuhku karena beradu telapak tangan dengannya. Ilmunya memang tak boleh disepelekan. Tapi kurasa ilmu itu bukan dari Nyai Demang Ronggeng. Lalu dari mana Tandak Ayu memperoleh ilmu seperti itu?"

Setelah keduanya menyalurkan hawa murni dalam tubuh masing-masing, rasa sakit yang mereka alami pun mulai reda. Napas mereka yang terengah-engah menjadi tenang kembali. Tapi kedua mata mereka masih saling beradu pandang dengan sama-sama tajamnya.

"Aku tak akan membiarkan kau lolos, Tandak Ayu. Sebelum ku peroleh benda itu darimu, akan kusiksa dirimu dengan jurus 'Pembakar Jantung'-ku nanti!"

"Persetan dengan anggapanmu! Aku bukan Tandak Ayu!"
"Omong kosong! kau pasti Tandak Ayu yang merubah diri menjadi wujud lain!"

"O, kurasa kau benar-benar salah anggapan. Perlu kuluruskan. Aku bukan Tandak Ayu. Namaku adalah Kirana, murid Nyai Punding Sunyi dari Perguruan Mawar Seruni!"

Citradani diam sebentar, mulai merenungi kemungkinan salah pahamnya. Wajah Kirana diperhatikan baik-baik dengan hati dililit kebimbangan. Sementara itu, Kirana sendiri segera ajukan tanya kepada Citradani.

"Sebutkan siapa dirimu, supaya kesalahpahaman ini tidak merenggut nyawa kita salah satu."
"Aku Citradani, bekas murid dari Kuil Elang Putih."

Kirana terkejut, "Jadi, kau muridnya Ratu Embun Salju?"

Citradani ganti terkejut. "Kau mengenal guruku? Apakah kau punya hubungan dengan guruku?"

"Aku pernah saling membantu dengan orang-orang Kuil Elang Putih..." Kirana pun menjelaskan peristiwa yang dialami bersama Embun Salju dan Pendekar Mabuk, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Rahasia Pedang Emas").

Kirana menambahkan penjelasannya pula,

"Dan aku sekarang dalam perjalanan mencari Pendekar Mabuk; Suto Sinting!"

Citradani mengendurkan ketegangannya, meredakan kemarahan dan permusuhannya. Bahkan ia berjalan mendekati Kirana. Berdiri di depan gadis itu dengan jarak dua langkah. Matanya tidak lagi tajam, bahkan berkesan penuh penyesalan.

"Maaf, aku memang salah duga kalau begitu. Kusangka kau adalah Tandak Ayu, karena Tandak Ayu tadi mengenakan pakaian kuning juga dan ia mempunyai pusaka milik guruku itu yang bisa membuat dirinya mampu berubah-ubah wujud."

Citradani segera menceritakan riwayatnya menjadi murid yang tersingkir dari Kuil Elang Putih. Pertemuannya dengan Suto pun diceritakan pula oleh Citradani. Bahkan Citradani sempat bertanya dalam nada curiga.

"Apakah kau kekasihnya Suto Sinting?" Kirana tersenyum kecil. "Aku hanya sahabatnya, karena memang begitulah anggapan Suto kepadaku selama ini."

"Mengapa kau tak mau menjadi kekasihnya?"

"Hanya gadis bodoh yang tak mau menjadi kekasihnya. Kalau Suto mau, aku tak akan pernah bisa menolak. Tapi agaknya Suto sudah mempunyai gadis pilihan."

"Siapa gadisnya itu?"

"Tanyakan sendiri kepada Suto Sinting. Yang jelas, sekarang aku ingin mencarinya, karena aku sudah lama tidak jumpa dengannya. Aku suka berpetualang bersamanya."

Kini Citradani mulai tersenyum penuh persahabatan. "Kurasa kau menunggu hati Suto mencair dan mau menjadi kekasihmu."

"Itu harapan terakhir yang berusaha kulupakan," kata Kirana.
"Kalau begitu, mari kutunjukkan di mana aku bertemu Suto tadi."
"Lalu bagaimana dengan lawanmu, si Tandak Ayu?"

"Sudah terlalu sulit untuk kukejar jika ia sudah berubah menjadi undur-undur. Tapi aku yakin suatu saat aku akan bertemu dengannya lagi dan mampu merebut kembali kalung Lintang Suci itu."

"Akan kubantu kau, karena hubunganku dengan gurumu pun baik!"

Citradani segera membawa Kirana ke kaki Bukit Mata Langit. Kirana tak tahu tempat itu. Tapi Citradani tak tahu kalau Suto sudah pergi dari kaki Bukit Mata Langit. Pendekar Mabuk telah membawa pergi Wiratmoko yang terkena pukulan kakek berjenggot panjang yang amat berbahaya. Suto membawa Wiratmoko menjauhi tempat itu. Ia tiba di kaki bukit lain yang jarang ditumbuhi tanaman.

Bongkahan-bongkahan batu cadas lebih banyak tumbuh di sana, membentuk dinding-dinding alami, seperti lorong-lorong pendek.

Di sanalah tubuh Wiratmoko dibaringkan dalam keadaan kaku, mata mendelik dan mulut ternganga.

Sementara itu, dari lubang hidungnya masih keluarkan cairan darah merah busuk yang memang menyebarkan aroma tak sedap. Suto Sinting segera menuangkan tuaknya pelan-pelan ke mulut Wiratmoko yang ternganga itu. Sedikit demi sedikit tuak tersebut masuk ke tenggorokan Wiratmoko. Beberapa kejap berikutnya Wiratmoko tampak mulai bisa menelan tuak tersebut.

Tangannya mulai melemas. Dadanya bernapas dengan teratur. Matanya mulai bisa berkedip-kedip. Apa yang membuatnya kaku menjadi lemas. Darah tak keluar lagi dari hidungnya. Semakin lama semakin membaik keadaan Wiratmoko. Bahkan pemuda itu sempat tertidur beberapa saat, dan Suto Sinting membiarkannya. Ia hanya berpikir membayangkan wajah kakek berjenggot panjang itu.

"Siapa tokoh tua itu? Mengapa ia menyerang Wiratmoko dengan jurus mautnya? Mengapa pula ia melarangku bergaul dengan Wiratmoko? Apakah ia tak mau melibatkan diriku? Apakah dia tak mau bentrok denganku? Mengapa tak mau? Ah, aneh sekali tokoh tua itu. Seharusnya aku mengejarnya dan menanyakan penyebab kata-katanya itu. Tapi.... ke mana aku harus mencarinya?"

Suto Sinting mencoba naik ke tempat yang lebih tinggi. Dengan satu kali sentakkan kaki ke tanah, tubuhnya sudah bisa melesat ke atas, bersalto satu kali dan hinggap di gugusan cadas yang tinggi. Dari sana Suto memandang alam sekitarnya. Beberapa saat ia memandang, tak ditemukan gerakan mencurigakan di sekitar tempat itu. Bahkan bayangan berkelebat dari tokoh tua tadi pun tidak dilihatnya. Suto Sinting akhirnya menenggak tuaknya dengan tetap berdiri di ketinggian tersebut.

Tapi pada waktu Pendekar Mabuk ingin bergerak turun dari ketinggian, tiba-tiba pandangan matanya menangkap suatu gerakan lari yang amat cepat. Hampir-hampir tak bisa dipandang mata. Gerakan lari itu seperti bayangan putih yang samar-samar berkelebat menyelinap melalui celah-celah pohon di seberang sana.
Suto segera melesat dengan cepat. Gerakannya melebihi kecepatan bayang putih itu. Dalam waktu singkat Suto Sinting sudah berhasil berdiri menghadang langkah bayangan putih. Orang tersebut segara hentikan langkahnya dan merasa kaget melihat Suto sudah berdiri di depannya.

"Kau lagi!" gumam kakek berjenggot panjang itu.

Ternyata harapan Suto terkabul. Ia berhasil bertemu dengan kakek penyerang Wiratmoko. Mata Suto memperhatikan dengan seksama. Kakek itu mengenakan jubah putih lusuh dan menggenggam tongkat berkelok- kelok seperti seekor ular warnanya hitam. Rambutnya yang panjang sepunggung tidak diikat apa pun, sehingga hembusan angin memainkan rambut itu, menyingkap dan menutup sebagian wajahnya. Kakek kurus itu mempunyai sapasang mata yang cekung dan tubuh yang kurus. Namun sorot pandangan matanya itu bagai mempunyai kekuatan yang membuat lawan atau orang lain menjadi segan kepadanya. Suto pun merasa demikian, namun ia memaksakan diri untuk tetap berdiri menghadang kakek tersebut.

"Maaf, Pak Tua...." sapa Suto dengan sopan, "Aku terpaksa menghentikan langkahmu. Ada sesuatu yang ingin kuketahui darimu dan membuatku sangat ingin tahu."

Kakek berambut panjang itu berkata, "Menyingkirlah, Murid si Gila Tuak. Jangan campuri urusanku!"
Suto Sinting terkejut mendengar kakek itu mengenal nama gurunya.

"Sekali lagi,maafkan aku, Pak Tua. Aku hanya ingin mengetahui siapa dirimu, sehingga menyerang Wiratmoko dan melarangku berteman dengannya?"

"Tanyakan saja pada gurumu siapa Raja Maut. Dia kenal namaku itu dan tentunya dia mendengar persoalanku dengan Wiratmoko yang menjadi murid tunggal nya Dampu Sabang."

"Siapakah Dampu Sabang itu, Pak Tua?"

"Tanyakan pada gurumu, Bodoh!" bentak Raja Maut dengan wajah semakin tampak keras dan berwibawa.
"Aku harus selesaikan urusanku dengan seseorang di Pukau Blacan. Lain kali kita bertemu lagi, Suto Sinting!"

Slaap... !

Raja Maut pergi dengan sangat cepat sehingga berkesan seperti menghilang. Suto Sinting ingin mengejarnya, tapi tertahan oleh keragu-raguan. Ia pun bergegas kembali ke tempat Wiratmoko dibaringkan. Ia ingin bertanya kepada Wiratmoko tentang gurunya yang bernama Dampu Sabang itu.

Tetapi alangkah terkejutnya Pendekar Mabuk ketika mengetahui Wiratmoko sudah tak ada. Bekas telapak kakinya pun tak terlihat, sehingga dalam hati Suto Sinting pun timbul kesangsian kembali.
"Apakah dia pergi dengan sendirinya, atau ada yang membawanya lari? Jika ia pergi sendiri ke mana arahnya, jika ada yang membawa lari siapa orangnya?"

MATAHARI pagi mulai meninggi. Sinarnya memancar terang menyiram tubuh kekar Pendekar Mabuk yang sedang berjalan menyusuri lembah. Lembah itu berpohon renggang dengan jenis tanaman terbanyak adalah cemara. Cemara liar mempunyai dahan besar dan bercabang-cabang. Pada salah satu dahan itulah terdengar suara tangis seorang gadis yang meratap memilukan.

Langkah Suto Sinting terhenti di bawah pohon itu. Wajahnya mendongak memperhatikan gadis berkepang dua dan berwajah mungil cantik. Pakaiannya hijau terang, menyelipkan pisau emas di pinggangnya yang berukuran sekitar dua jengkal.

Gadis itu menangis dengan keadaan duduk di dahan besar, dagunya diletakkan di atas kedua lutut yang ditekuk ke atas.

"Kasihan. Gadis itu menangis sendirian di atas pohon tak ada temannya," pikir Pendekar Mabuk, "Kedengarannya tangis itu sangat memilukan hati. Apa gerangan yang terjadi sehingga ia harus menangis di atas sana? Oo... ya, ya... aku tahu, pasti dia menangis karena tak bisa turun dari atas pohon. He, he, he... gadis itu cantik tapi bodoh. Sudah tahu tak bisa turun dari atas pohon mengapa harus naik ke atas sana?"

Pendekar Mabuk segera serukan suaranya,

"Gadis manis, maukah kau kutolong untuk turun dari pohon itu?

Tangis tersebut tiba-tiba hilang, tapi isaknya masih terdengar sesekali. Gadis itu buru-buru menghapus air matanya. Ia memalingkan wajah bagaikan ingin bersembunyi dari tatapan mata Suto Sinting.

"Lain kali kalau tak bisa turun dari pohon jangan coba-coba naik ke atas pohon, Nona!"

Setelah berkata demikian, Suto segera menendang pohon tersebut dengan tendangan miring. Wuuut...!

Duuhg...!
Wwwrrr... !

Pohon itu terguncang hebat. Gadis berkepang dua itu terpelanting jatuh tak sempat berpegang dahan di atasnya. Ia menjerit saat melayang dari atas pohon tersebut.

"Aaa...!"
Buhhg... !

Suara jatuhnya bagai nangka jatuh dari atas pohon. Beruntung ia jatuh di semak ilalang, sehingga tubuhnya tak terluka sedikit pun. Hanya tulang pinggulnya sedikit terasa ngilu karena membentur tanah keras.

"Kurang ajar!" bentak gadis itu ketika berdiri. Ia langsung melesat bagaikan terbang menyerang Pendekar Mabuk dengan tendangan kakinya. Wuuus...!

Plak, plak...!

Dua tendangan beruntun itu berhasil ditangkis dengan kibasan tangan Suto. Kibasan yang kedua membuat tubuh itu terpelanting dan jatuh dalam keadaan bagai orang mau merangkak.

"Maaf, aku lupa menadah tubuhmu saat jatuh dari atas tadi," kata Suto. "Tapi seharusnya kau berucap terima kasih kepadaku, karena aku sudah membantumu turun dari atas pohon."

"Dasar bodoh!" geramnya dalam sentakan menampakkan kejengkelan hatinya. "Aku menangis bukan karena tak bisa turun dari atas pohon!"

"Lho...?!" Suto Sinting terbengong malu.
"Aku menangis karena sebab lain, tahu?!" bentak gadis berkepang dua itu.

"Mmm...maaf. Maafkan aku kalau begitu. Aku salah duga. Habis kau tak mau menjawab pertanyaanku yang pertama, jadi kusimpulkan sendiri apa yang kulihat dalam tangismu, Nona. Maafkan aku. Aku tak sengaja mengganggu tangismu. Jika begitu, biarkan aku pergi dan silakan melanjutkan tangismu lagi."

Suto berbalik arah dan melangkah. Dua langkah kemudian ia merasa ada angin panas yang menuju ke arah punggungnya. Suto Sinting cepat balikkan badan. Ternyata gadis berkepang dua itu melepaskan pukulan jarak jauh tanpa sinar. Pukulan itu ditangkis Suto dengan menyilangkan bumbung tuak ke depan dada.

Wuuut...! Duub...! Wuuuss...!

Bumbung tuak itu memantul balikkan pukulan tersebut sehingga gadis itu kebingungan menghadapi serangannya sendiri. Serangan tersebut mempunyai tenaga lebih besar dari yang dikeluarkan. Akibatnya gadis itu melompat ke kiri dan kakinya terhempas kuat akibat terkena tenaga pantulan tersebut. Tubuh yang melompat itu cepat berputar terjungkir dan jatuh telentang dengan amat menyedihkan. Blaak...!

"Uuh...!" Ia mengerang, meringis kesakitan. Pinggangnya terasa patah.

"Jangan menyerangku, Nona. Kau bisa celaka jika menyerangku. Kecuali jika aku mau kau serang, kau tak akan celaka. Lain kali jika ingin menyerangku, bilanglah dulu padaku supaya aku rela menerima seranganmu."

"Setan!" geramnya sambil berdiri. "Kau pasti teman orang itu!"

Suto celingak-celinguk ke sekelilingnya. "Orang yang mana maksudmu?"
"Iblis Naga Pamungkas!"

Suto Sinting kerutkan dahi, karena merasa asing dengan nama tersebut. Gadis berkepang dua yang punya tahi lalat kecil di sudut mata kirinya itu hanya mencibir sinis melihat keheranan Suto.

"Aku tidak kenal dengan nama itu."
"Bohong!"
"Aku berani bersumpah. Justru kalau kau mau, tolong jelaskan siapa orang berjuluk Iblis Naga Pamungkas itu?"
"Tentu saja orang yang mempunyai Pedang Naga Pamungkas!"
"Aku tidak tahu siapa pemilik pedang tersebut, Nona."

Gadis itu diam. Tangannya membersihkan tanah yang melekat di pakaian hijau cerahnya itu. Sambil menepiskan tanah-tanah dari pakaiannya, matanya memandang tajam penuh selidik. Dari ujung rambut Suto diperhatikan sampai ke bagian kakinya. Suto Sinting tetap kalem. Bahkan ia sempat meneguk tuaknya dari bumbung bambu satu kali. Kesannya menganggap ringan kepada gadis yang sedang cemberut itu.

"Baiklah, Nona," kata Suto, "Kalau kau tak mau jelaskan apa sebab kau menangis dan apa hubungannya dengan Iblis Naga Pamungkas, aku akan teruskan langkahku mencari seorang teman."

"Siapa dirimu sebenarnya? Sebutkan dulu, baru aku akan jelaskan masalahku."
"O, kau tanya namaku? Namaku Suto Sinting," jawab Suto dengan kalem, tapi membuat mata gadis itu terbelalak dan berbinar-binar.

"Jadi...jadi kau yang berjuluk Pendekar Mabuk itu?"
"Hei, kau mengenali julukanku?"

Ketegangan gadis itu pun mengendur. Ia mempercayai pengakuan Suto, karena ia ingat ciri-ciri Pendekar Mabuk yang sering didengarnya dari mulut para tokoh rimba persilatan. Gadis itu kini duduk di sebongkah batu di bawah pohon yang tadi digunakan untuk menangis. Ia merenung sesaat, dan Pendekar Mabuk mendekatinya dengan senyum masih tersungging di bibirnya.

"Kalau kau sudah tahu siapa diriku, sekarang giliranku mengetahui dirimu."

Tanpa memandang Suto, gadis itu menjawab dengan suara datar,

"Namaku Mega Dewi. Ayahku Ki Lurah Pramadi. Semalam tewas dikalahkan oleh Iblis Naga Pamungkas dalam keadaan sangat mengerikan. Kalau kau ingin melihat jenazah ayahku ada di bawah tiga pohon rapat sebelah barat itu."

Gadis yang mengaku bernama Mega Dewi itu memandang tiga pohon cemara liar yang tumbuh berjajar merapat di sebelah barat mereka. Suto Sinting hanya memperhatikan pohon itu, belum mau bergerak sedikitpun. Namun ketika Mega Dewi melangkah menuju pohon yang dimaksud, Suto segera
mengikutinya.

"Itulah jenazah ayahku," ucap Mega Dewi sambil menahan tangis, walau air matanya kembali meleleh membasahi pipinya yang merah jambu itu.

Suto Sinting terperangah kaget melihat jenazah Ki Lurah Pramadi. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Semalam?! Pertarungan itu terjadi semalam?!"
"Ya. Semalam. Aku lari bersembunyi di atas pohon sampai pagi menjelang dan kau pun datang."

Suto kembali menatap jenazah Ki Lurah Pramadi yang telah berwujud menjadi tengkorak rapuh, seperti layaknya orang yang mati sudah bertahun-tahun. Tak ada kulit atau daging yang tersisa sedikit pun. Bahkan bentuk kerangkanya sudah kusam. Sebagian ada yang rapuh. Tengkorak kepalanya bagian kiri terlihat keropos. Sisa rambutnya pun tak ada. Itulah sebabnya Suto merasa tak yakin jika Ki Lurah Pramadi dibunuh tadi malam.

"Aku tak percaya kalau ayahmu dibunuh tadi malam."

"Mulanya aku pun tak percaya dengan penglihatanku. Tapi mau tak mau aku terpaksa percaya karena aku melihat sendiri pertarungan itu. Sebelum Ayah tiada, beliau sempat berseru agar aku bersembunyi dan menjauhi pertarungannya. Maka aku pun bersembunyi di pohon sana."

Mata Pendekar mabuk masih menatap heran pada kerangka mayat Ki Lurah Pramadi itu. Ia bergumam dengan suara terdengar di telinga Mega Dewi,

"Jurus apa yang digunakan iblis Naga Pamungkas, sehingga lawannya bisa menjadi seperti ini? Alangkah bahayanya jurus itu?"

"Ia menggunakan Pedang Naga Pamungkas," kata Mega Dewi. "Kuperhatikan dari kejauhan, ia menggunakan pedang itu pada saat ia telah terdesak oleh serangan ayahku. Ia tebaskan pedang itu menyilang, melukai punggung Ayah. Lalu asap tebal membungkus tubuh Ayah, setelah itu Ayah pun roboh tanpa suara lagi. Iblis Naga Pamungkas pergi tinggalkan Ayah setelah tak berhasil mencariku. Ketika kuhampiri, ternyata Ayah sudah dalam keadaan seperti ini."

"Apa masalahnya sehingga ayahmu bentrok dengan Iblis Naga Pamungkas?"
"Balas dendam!" jawab Mega Dewi.
"Balas dendam yang bagaimana? Coba jelaskan!" desak Suto penasaran sekali.

"Ayahku termasuk musuh utama dari gurunya Iblis Naga Pamungkas. Konon, ayahku pernah membunuh salah satu dari ketiga istri gurunya Iblis Naga Pamungkas."

"Siapa gurunya Iblis Naga Pamungkas itu?"
"Aku tak mendengar ia sebutkan nama sang Guru, aku hanya mendengar persoalannya saja, bahwa Iblis Naga Pamungkas ditugaskan oleh gurunya untuk membantai habis para musuh utamanya.

"Apakah kau tahu siapa saja musuh utamanya?"

"Tidak. Tapi kudengar ia menyebutkan orang berikutnya yang akan disambangi dengan Pedang Naga Pamungkasnya itu."

"Siapa nama orang tersebut?"
"Ki Gendeng Sekarat."
"Hahh...?!" Suto Sinting terkejut dengan melebarkan matanya.

Mega Dewi menatap heran, "Apakah kau kenal dengan nama itu?"

"Sangat kenal. Ki Gendeng Sekarat adalah bekas pelayan guruku dan hubunganku dengan beliau sangat baik. Beliau banyak membantuku dalam beberapa urusan. Jelas aku tak akan membiarkan Iblis Naga Pamungkas menghabisi nyawa Ki Gendeng Sekarat!" Pendekar Mabuk termenung beberapa saat membayangkan wajah Ki Gendeng Sekarat. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Prahara Pulau Mayat"). Bagi Suto, Ki Gendeng Sekarat bukan saja seorang sahabat, namun sudah dianggap seperti orang tua sendiri, pengganti gurunya dalam meminta berbagai pertimbangan. Tentu saja Suto tak ingin nasib Ki Gendeng Sekarat seperti nasib Ki Lurah Pramadi.

"Tahukah kau ke mana perginya Iblis Naga Pamungkas itu?" tanya Suto bagai kehilangan senyum.
"Yang kutahu ia menghilang setelah bergerak ke utara," jawab Mega Dewi.
"Kalau begitu, akan kukejar dia ke sana. Selamat tinggal, Mega Dewi."
"Tunggu!" cegah Mega Dewi membuat Suto urungkan langkah.

Mega Dewi mendekat saat Suto berpaling memandangnya. "Aku harus ikut denganmu, Suto!"

"Tidak ada keharusan. Aku tak mau pergi denganmu, karena aku tak ingin kau menjadi korban seperti ayahmu."

Mega Dewi menggelengkan kepala.
"Aku harus ikut demi membalas kematian ayahku. Aku harus ikut sumbangkan tenaga buat kalahkan Iblis Naga Pamungkas. Aku tahu, aku akan kalah jika melawannya sendiri. Tapi dengan membantumu, aku sudah merasa membalaskan kematian ayahku."

"Kalau kau sendiri yang akhirnya menjadi korban, bagaimana?"

"Aku sudah siap mati demi pembelaan terhadap ayahku. Percuma aku hidup tanpa bisa membalaskan dendam atas kematian ayahku, karena aku sendiri hidup sudah tak memiliki orangtua lagi. Ayahku tiada, ibuku pun sudah lama meninggal. Kini hidupku sebatang kara, tak punya arti bagi saudara dan orangtua." Mega Dewi menangis dengan tundukkan wajah. Suto Sinting hanya menarik napas. Menahan keharuan dan rasa iba hati atas nasib Mega Dewi.

Ki Gendeng Sekarat yang menjadi sasaran keganasan Iblis Naga Pamungkas tidak tahu kalau dirinya sedang diincar bahaya. Ki Gendeng Sekarat justru sedang mencari Suto Sinting untuk satu keperluan, yaitu tugas dari Gusti Mahkota Sejati, penguasa Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu yang mempunyai nama asli Dyah Sariningrum. Wanita anggun dan cantik itu adalah calon istri Suto. Ia menderita sakit karena rindu ingin jumpa dengan Suto, karenanya Ki Gendeng Sekarat ditugaskan mencari Suto agar membawanya pulang ke Puri Gerbang Surgawi untuk beberapa saat.

Tetapi dalam perjalanannya itu, Ki Gendeng Sekarat yang doyan tidur itu memang telah tertidur di bawah pohon tepi jalan menuju sebuah desa. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun berambut ikal putih mengenakan ikat kepala hitam itu dengan enaknya duduk melonjor kaki, punggung bersandar batang pohon, mulut ternganga mengeluarkan dengkur tipis. Ia tampak nyenyak sekali dalam tidurnya. Senjatanya yang berupa kipas putih masih terselip di pinggang.

Seorang bocah penggembala kambing melintas di jalanan depan Ki Gendeng Sekarat. Bocah itu tersenyum geli melihat Ki Gendeng Sekarat tidur seenaknya. Dengan usil bocah berusia sekitar sepuluh tahun itu melemparkan batu ke arah Ki Gendeng Sekarat. Wuuut..! Lalu ia bersembunyi di balik bongkahan batu cadas, membiarkan kambingnya memakan rumput di seberang sana.

Tetapi sang bocah segera kaget, karena batu yang dilemparkan itu tiba-tiba ditangkap oleh tangan kiri Ki Gendeng Sekarat. Taaab...! Bocah itu bertambah heran karena pada saat batu tertangkap tangan Ki Gendeng Sekarat masih tertidur dengan nyenyak. Dengkurnya terdengar samar-samar.

"Dia pasti bukan pengemis. Dia pasti orang sakti," pikir bocah itu. "Alangkah senangnya jika aku diangkat murid oleh orang itu. Tanpa bangun dulu dia bisa tangkap lemparan batuku. Ah, kucoba sekali lagi untuk melemparkan batu yang lebih kecil lagi ke arahnya. Apakah ia masih bisa menangkapnya?"
Wuuut...! Batu itu dilemparkan dari balik persembunyian, tapi dengan cepat tangan Ki Gendeng Sekarat berkelebat menyambar batu tersebut. Taab...! Dan posisi tidurnya hanya sedikit bergeser lebih merendah lagi, namun dengkurannya tetap terdengar samar-samar.

"Gila dia masih tetap tidur?!" pikir bocah penggembala dengan herannya.

Tiba-tiba bocah itu terkejut saat ingin keluar dari persembunyian. Hal yang membuatnya terkejut adalah munculnya seekor harimau hitam dari arah timur. Harimau hitam itu melangkah dengan pelan, lalu hidungnya mendengus-dengus bagaikan mencium bau sedapnya makanan. Suara geramannya pun mulai terdengar. Bocah penggembala kambing menjadi gemetar ketakutan.

"Celaka! Harimau itu menuju kemari. Pasti ia akan menyantapku, bukan menyantap kambing-kambingku?! Aduh, bagaimana ini? Kalau aku lari pasti akan dikejarnya. Aku akan kalah cepat dengan larinya." Bocah penggembala kambing masih bersembunyi di balik bongkahan batu cadas, ia bermaksud memanjat pohon, tapi ia segera sadar bahwa harimau kumbang itu mampu memanjat pohon dengan cepat. Menggigil juga sekujur tubuh yang mengeluarkan keringat dingin itu. Harimau tersebut semakin dekat.

"Oh, dia menuju ke orang tua itu? Celaka! Orang itu masih tetap tidur, tak mengetahui kalau ada bahaya datang. Aku harus segera bertindak untuk menyelamatkan orang tua yang tertidur itu. Jika tidak, pasti dia akan mati diterkam harimau hitam."

Bocah penggembala segera mencari sebongkah batu. Ia temukan batu sebesar dua kali genggaman tangannya. Pada saat itu harimau hitam sudah semakin dekat dengan Ki Gendeng Sekarat. Binatang itu sudah bersiap- siap untuk melompat dan menerkam Ki Gendeng Sekarat. Bocah penggembala segera keluar dari persembunyiannya. Ia berlari lebih mendekati lalu melemparkan batu itu ke arah harimau hitam.

"Mati kau macan keling!"
Wuuut... ! Buuhg... !
"Ggrrrrr...!"

Batu itu mengenai perut sang harimau. Untuk sesaat harimau itu terlonjak ke samping. Lalu arahnya berbalik menghadap kepada bocah tersebut. Matanya memancarkan keganasan yang mengerikan. Bocah itu menggigil dan tak sempat berlari karena paniknya. Harimau hitam segera melompat dengan mulut ternganga dan taringnya yang runcing siap merobek tubuh bocah tersebut.

"Grrraaaow...!"

Wuuuusst...! Bocah kecil itu menutup mata kuat-kuat, mulutnya juga ternganga karena ingin berteriak namun tak mampu keluarkan suara. Tubuhnya terasa melayang, sehingga ia merasa sudah mati dan tinggal rohnya saja yang melesat terbang di udara bebas.

Namun ketika ia buka mata, ternyata ia dalam pelukan Pak Tua yang masih tetap tertidur dengan mata terpejam walau sudah berpindah tempat. Rupanya bocah itu disambar oleh Ki Gendeng Sekarat sehingga terkaman harimau hitam itu tidak menemukan sasarannya, melainkan menemukan tempat kosong.

"Bocah dungu! Untuk apa kau melawan macan hitam itu, hah?! Bisa mati sia-sia kau, Nak! Cepat sembunyi di belakang pohon itu!"

Kata-kata Ki Gendeng Sekarat membuat si bocah terbengong-bengong, karena Ki Gendeng Sekarat bicara dalam keadaan tertidur. Suaranya pun parau bagaikan orang sedang mengigau.

"Cepat sembunyi, Bodoh! Macan itu berbalik ke arah kita!" kata Ki Gendeng Sekarat sambil mendorong bocah itu agar segera lari ke balik pohon.

Bocah itu memang lari untuk sembunyi, tapi wajahnya masih berpaling memandang ke arah harimau hitam yang kini sedang mengaum mengerikan dengan melompat cukup tinggi hendak menerkam Ki Gendeng
Sekarat. Dalam keadaan masih tidur, Ki Gendeng Sekarat segera sentakkan telapak tangan kirinya ke depan. Sepercik sinar kuning terlepas terbang dan menghantam tubuh harimau hitam itu. Buuhg...!

"Grraaaoow...!" Binatang tersebut terjungkal ke belakang sambil keluarkan raung yang mendirikan bulu kuduk si bocah.

Harimau itu jatuh berguling-guling bagaikan diterjang badai amat besar. Tubuhnya sempat membentur bongkahan batu cadas yang tadi dipakai bersembunyi si bocah penggembala. Binatang itu meraung-raung di sana. Dan tiba-tiba tubuhnya menyala terang, amat menyilaukan, membuat si bocah mengecilkan mata. Ketika sinar putih menyilaukan itu hilang, bocah penggembala terkejut bukan kepalang, karena wujud harimau hitam itu berubah sama sekali, berganti rupa perempuan cantik berpakaian kuning terang.

Terdengar pula suara Ki Gendeng Sekarat yang masih berdiri sambil tertidur, kepalanya terkulai lemas ke samping.

"Kalau tak salah kenal... kau adalah Tandak Ayu, murid Nyai Demang Ronggeng! Aku masih ingat wajahmu, Cah Ayu!"

"Ternyata kau belum pikun, Raja Molor!" ucap Tandak Ayu sambil bergegas berdiri, merapikan pakaian sebentar, memandang dengan sengit karena penyamarannya mampu dipudarkan oleh pukulan Ki Gendeng Sekarat.

"Mengapa kau menyerangku, Tandak Ayu!"

"Seseorang telah berpesan padaku, agar jika bertemu denganmu aku harus membunuhmu, Ki Gendeng Sekarat."

"Lupakan pesan itu dan jangan lakukan, nanti kau menyesal akibatnya!" kata Ki Gendeng Sekarat masih dengan tertidur nyenyak.

Agaknya Tandak Ayu tidak pedulikan anjuran itu. Ia segera cabut pedang di punggungnya. Serrt...! Kemudian segera melompat ke arah Ki Gendeng Sekarat. Ia lakukan tanpa suara supaya Ki Gendeng Sekarat tak sadar jika sedang diserang dengan pedang. Tandak Ayu tidak mengetahui bahwa Ki Gendeng Sekarat lebih berbahaya dalam keadaaan tidur daripada dalam keadaan melek. Pedang perempuan itu menebas dari atas ke bawah, sasarannya pundak Ki Gendeng Sekarat. Tetapi dengan sigap dan cepat Ki Gendeng Sekarat sentakkan tangannya yang tahu-tahu sudah menyambar kipas putih. Traak...!

Kipas putih itu menahan gerakan pedang di atas punggung, lalu tangan Ki Gendeng Sekarat yang satunya lagi menghantam siku pemegang pedang. Kraak...!

"Aauh...!" Tandak Ayu memekik. Tulang lengannya terasa patah karena sentakan telapak tangan Ki Gendeng Sekarat. Sedangkan bocah penggembala itu semakin terkagum-kagum melihat kehebatan jurus Ki Gendeng Sekarat, karena ia tahu bahwa Ki Gendeng Sekarat melakukan perlawanan masih dalam keadaan tidur.
"Tinggalkan diriku dan jangan lakukan pesan seseorang itu. Tandak Ayu! Semua tulangmu bisa patah kalau kau nekat menyerangku, Cah Ayu!"

"Persetan! Aku masih punya tangan kiri yang lebih berbahaya dalam memainkan pedangku. Hiaaah...!"

Wuuut...! Wuuuurt..!

Ki Gendeng Sekarat kibaskan kipasnya dalam jarak dua langkah dari tempat Tandak Ayu. Angin besar melanda dan menumbangkan tubuh Tandak Ayu hingga perempuan itu terjungkir balik terhempas tak tentu arah. Praaak.. ! Kepalanya membentur gugusan batu cadas. Darah mengucur, namun ia masih sempat larikan diri.

"Bagus! Pergilah dengan cepat sebelum murkaku datang, Tandak Ayu!"
"Kita akan bertemu lagi, Ki Gendeng Sekarat!"
"Terserah kalau memang kau tak jera dengan bocornya kepalamu itu!"

Tandak Ayu telah sampai di kejauhan dalam waktu yang hanya beberapa kejap.

Bocah penggembala keluar dari persembunyiannya, memandangi arah pelarian Tandak Ayu. Ia terbengong beberapa saat di tempatnya, merasa heran dengan perempuan yang bisa merubah diri menjadi seekor harimau hitam. Menurut bocah itu, Tandak Ayu pun punya ilmu tinggi dan cukup sakti, tapi kenapa hanya sekali gebrak dengan kipas Ki Gendang Sekarat saja bisa lari tunggang- langgang. Jika bukan karena Ki Gendeng Sekarat punya ilmu lebih tinggi, tak mungkin Tandak Ayu melarikan diri walau kepalanya sempat bocor dan berdarah.

"Aku harus bicara dengan Pak Tua itu," kata hati bocah penggembala. Tapi ketika ia berpaling memandang Ki Gendeng Sekarat, ternyata orang tersebut telah kembali ke tempat duduknya semula, tertidur dengan bersandar pohon dan sedikit merebah dari semula. Suara dengkurannya terdengar samar-samar.

"Yaah... tidur lagi?!" bocah itu mengeluh kecewa. Tapi ia nekat membangunkan Ki Gendeng Sekarat yang dikaguminya itu.

"Kek... Kakek... Kek, bangunlah sebentar, Kek." Bocah itu hanya berani berkata-kata namun tak berani menyentuh tubuh Ki Gendeng Sekarat.

"Kakek yang sakti, bangunlah sebentar...." Ki Gendeng Sekarat tetap tertidur, matanya bagaikan lengket dan tak bisa dibuka. Tapi ia menjawab suara si bocah dengan suara parau.

"Ada apa? Mau melemparkan batu lagi?"
"Buk... bukan... bukan itu, Kek. Hmmm... anu... saya... saya ingin menjadi muridmu, Kek."
"Murid apa?" jawab Ki Gendeng Sekarat dengan sangat lemah dan malas.
"Saya... saya ingin menjadi sakti seperti Kakek."

"Sakti? Sakti itu apa? Tak tahu aku. Tidurlah sini di sampingku kalau kau ingin menjadi muridku. Murid tidur, apa susahnya? Tidur tak perlu dipelajari dan tak perlu dicari gurunya. Sini, tidur di sampingku!"

Sang bocah bingung dan terbengong- bengong. Ia ragu menuruti saran tersebut.

"Apakah dengan tidur di sampingnya aku bisa menjadi sakti seperti dia?" pikir sang bocah dengan lugu.BOCAH berkulit hitam tertidur di samping Ki Gendeng Sekarat. Dalam tidurnya ia bermimpi sedang dilatih ilmu kanuragan oleh Ki Gendeng Sekarat.

"Namamu siapa, Nak?"
"Angon Luwak, Kek."

"Angon Luwak? Lho, apakah tidak keliru? Setahuku kau angon kambing, alias menggembala kambing."
"Itu pekerjaanku, Kek. Tapi namaku sejak kecil adalah Angon Luwak, Kek"

"Ya sudahlah. Itu urusan orangtuamu. Kalau aku jadi orangtuamu tak mau berikan nama seperti itu. Sekarang yang penting kau ingin belajar ilmu silat padaku. Aku akan berikan beberapa jurus untuk membela dirimu jika dalam bahaya. Tapi tak boleh kau gunakan untuk sombongkan diri. Setuju?!"

"Ya, Kek. Setuju."
"Bagus. Sekarang remaslah batu hitam ini sampai pecah."

Dalam mimpi sang bocah, ia diberi batu hitam oleh Ki Gendeng Sekarat. Batu itu disuruh meremasnya sampai pecah. Angon Luwak tak sanggup lakukan walau sudah berulang kali mencobanya.

"Sulit, Kek.""Memang sulit. Kalau cari yang mudah, ya bakar jagung lalu dimakan,itu mudah," kata Ki Gende Sekarat.

"Kerahkan semua tenagamu ke tangan kanan. Kencangkan semua otot, tahan napasmu dalam meremas batu itu. Lakukan!"

Bocah yang mengaku bernama Angon Luwak itu melakukan sebisa-bisanya. Tentu saja ia tetap tak bisa meremas batu hitam itu. Ia meringis dan berkata,

"Malah sakit, Kek."
"Ya memang sakit. Kalau yang tidak sakit adalah makan nasi pakai ayam bakar. Itu tidak akan sakit."
"Kalau bisa pelajaran yang lainnya saja, Kek."

"Pelajaran yang lainnya aku sudah tak ingat bagaimana mengajarkannya. Yang kuingat pelajaran meremas benda keras menjadi hancur. Kalau kau tak mau pelajaran itu, ya sudah cari guru lain saja," kata Ki Gendeng Sekarat dengan seenaknya.

Angon Luwak melakukan pelajaran meremas batu berkali-kali, tapi yang ia peroleh hanya telapak tangan yang lecet dan perih. Ki Gendeng Sekarat menyuruh Angon Luwek membuka telapak tangannya yang perih itu.
"Coba buka telapak tanganmu!"

Angon Luwak membuka telapak tangannya. Tiba-tiba Ki Gendeng Sekarat memukulkan telapak tangannya sendiri ke telapak tangan bocah itu. Plaak...! Sekilas cahaya putih perak memancar dari perpaduan telapak tangan tersebut. Bocah itu heran, namun rasa herannya harus segera disingkirkan karena Ki Gendeng Sekarat segera berkata,

"Telapak tangan yang kiri juga dibuka sekalian!"

Angon Luwak membuka telapak tangan yang kiri. Ki Gendeng Sekarat memukulkan telapak tangannya sendiri ke telapak tangan kiri Angon Luwak. Plaak...! Sinar putih perak berkilat kembali. Hanya sekejap dan sangat cepat, tahu-tahu sudah hilang tanpa asap sedikitpun. Tapi Angon Luwak merasakan getaran panas yang masuk dalam tubuhnya melalui lengan tersebut.

"Sekarang, coba remas lagi batu hitam itu!" perintah Ki Gendeng Sekarat.

Bocah kecil berambut lurus agak panjang itu menggenggam batu hitam dan meremasnya dengan mengencangkan seluruh urat lengan. Praak...!

"Wah, bisa! Bisa hancur, Kek?!" bocah itu kegirangan.

"Belum," kata Ki Gendeng Sekarat. "Kau belum berhasil. Batu itu harus menjadi lembut. Tidak boleh menjadi bongkahan- bongkahan kecil begini."

"Harus lembut seperti pasir, Kek?"
"Terserah. Mau seperti pasir atau seperti debu pokoknya lembut!" kata Ki Gendeng Sekarat. "Ayo, ulangi lagi!"

Batu yang lainnya diambil. Diremas dalam genggaman. Praak...! hancur lagi, tapi masih belum selembut pasir. Angon Luwak mencobanya berkali-kali hingga menghabiskan beberapa bongkah batu hitam.

Sampai akhirnya, kejap berikut ia meremas batu hitam yang ukurannya sedikit lebih besar dari genggaman tangannya.
Pruuss...!

Batu hitam itu menjadi lembut seperti pasir. Angon Luwak tertawa kegirangan sambil berseru kepada Ki Gendeng Sekarat,

"Berhasil, Kek! Aku berhasil meremas sampai lembut. Lihat, Kek...!"

Ki Gendeng Sekarat memeriksa sebentar, lalu menggumam sambil manggut-manggut, "Ya, ya... baik. Kau sudah berhasil. Sekarang kau sudah jadi muridku dan sudah tamat belajar."

"Lho, kok cuma sebentar, Kek? Pelajarannya kok cuma satu saja?"

"Iya. Karena kalau semua ilmuku kau pelajari, kau tak punya waktu cukup untuk mewarisi semua ilmuku. Lihat, kambingmu sudah berlari-lari tak tentu arah. Kejar supaya tak hilang."

Angon Luwak berlari, kakinya tersandung akar pohon lalu jatuh. Bruuk...! Angon Luwak menggeragap ketika terbangun dari tidurnya. Ia memandang sekeliling, ternyata kelima kambingnya masih memakan rumput di tempatnya. Tetapi Ki Gendeng Sekarat sudah tak ada disampingnya.

"Ah, sayang semuanya cuma mimpi. Tapi ke mana perginya kakek itu?"

Angon Luwak menganggap semua itu hanya mimpi. Merasa ditinggalkan oleh Ki Gendeng Sekarat, ia segera bangkit dan menghampiri kambingnya. Salah satu kambing ada yang memisahkan diri dan ingin makan tanaman beracun. Angon Luwak segera menghalau kambingnya supaya jangan makan tanaman beracun. Ia mengambil batu dan melemparkannya sambil berseru,

"Husy...Husyah...!"
Batu pun dilemparkan. Wuuur...!

"Lho...?!" Angon Luwak terperanjat dan sangat heran. Batu yang dilemparkan ternyata telah menjadi serpihan-serpihan lembut walau tidak selembut pasir. Mata bocah itu memandangi serpihan tersebut, juga memandangi kedua telapak tangannya. Ia memungut batu lagi. Ia mencoba meremasnya seperti yang dilakukan dalam mimpinya. Pruuus...! Ternyata batu yang diremasnya menjadi pasir hitam.

"Hahh...?!" Angon Luwak kian terperanjat. "Aku benar-benar bisa meremas batu sekeras itu? Ah, sepertinya apa yang kulakukan tadi hanya dalam mimpi, mana mungkin bisa menjadi nyata? Tapi..., sebaiknya kucoba lagi dengan batu yang agak besar dan lebih keras lagi."

Angon Luwak memungut batu yang ukurannya sedikit lebih besar dari genggaman tangannya. Ia meremasnya dengan satu sentakan tangan menggenggam.

Pruus...!

Ternyata batu itu berhasil diremukkan hingga menjadi pasir hitam. Angon Luwak tersenyum, matanya berbinar-binar. Ia segera memungut sebatang dahan kayu yang masih belum keropos tapi sudah kering.

Pruuus...! Batang kayu itu pun hancur lebur dalam genggaman tangannya.

"Oh, aku telah bisa...! Aku berhasil mempunyai jurus 'Peremuk Benda'. Oh, ternyata mimpiku itu bisa menjadi kenyataan? Alangkah girangnya aku hari ini! Tapi..., tapi apakah ini pun bukan sekadar mimpi seperti tadi?" pikir bocah itu dengan bingung sendiri. Kemudian ia segera lari menemui orangtuanya untuk mengabarkan berita kehebatannya itu.

Tetapi dalam perjalanan menuju desanya, ia dihadang oleh dua orang berwajah bengis. Yang satu mengenakan pakaian hitam-hitam, yang satunya lagi mengenakan pakaian biru tua. Keduanya sama-sama menyandang senjata kapak di pinggang.

Kapak mereka sama panjang dan sama bentuknya. Kedua lelaki berwajah bengis itu berusia sekitar tiga puluh tahun lebih sedikit. Angon Luwak sama sekali tidak mengenal siapa kedua orang berwajah bengis itu. Tapi hati kecilnya yakin bahwa kedua orang tersebut adalah orang jahat.

"Hei, Bocah...!" sapa yang baju hitam. "Di mana rumah Empu Sakya?"

"Empu Sakya?" bocah itu termenung memikirkannya. Ia tahu rumah Empu Sakya.

Ia kenal nama Empu Sakya, yaitu seorang pembuat senjata ken's pusaka bernama Ken's Setan Kobra. Angon Luwak juga pernah mendengar beberapa orang memburu Keris Setan Kobra, tapi keris itu selalu dipertahankan oleh Ki Empu Sakya.

Bahkan kabarnya pernah ada orang yang berminat menukar Keris Setan Kobra dengan sekantong permata, tapi ditolak oleh Ki Empu Sakya. Melihat tampang bengis kedua orang itu, Angon Luwak menjadi curiga. Ia beranggapan kedua orang bengis itu pasti akan memaksa Ki Empu Sakya agar menyerahkan pusakanya tersebut dengan cara kasar dan kejam.

"Anu... saya tidak tahu kok, Paman." jawab Angon Luwak setelah dibentak dengan pertanyaan serupa.

"Kau bocah desa Kukusan, bukan?" tanya si baju biru.
"Betul, Paman."
"Kau pasti tahu rumah Empu Sakya! Karena dia tinggal di desa Kukusan."
"Tidak. Saya tidak tahu, Paman."

Yang berbaju hitam segera meremas rambut Angon Luwak. "Antarkan kami kesana, kalau tak mau kepalamu kupancung biar pisah dengan ragamu!"

Angon Luwak meringis kesakitan. "Ampun, Paman... saya... saya memang tidak tahu, Paman. Saya tidak tahu!"

"Kecil-kecil sudah mau berbohong kamu, hah?!" si baju hitam semakin memperkuat jambakannya sampai kaki Angon Luwak berjingkat-jingkat mengimbangi tarikan rambutnya ke atas.

"Sakit, Paman...," rengeknya sambil tangannya berusaha menggenggam pergelangan tangan si baju hitam. Sementara itu, si baju biru hanya tertawa-tawa sambil berkata,

"Tank terus ke atas sampai copot kulit kepalanya, Wongso! Masa kau kalah sama anak kecil, ha, ha, ha...!"
Jambakan itu terasa semakin sakit. Tangan Angon Luwak kian meremas pergelangan tangan Wongso. Kraak...!

"Aaaouh...! " Wongso terpekik kesakitan dengan mata mendelik. Tulang di pergelangan tangannya menjadi remuk karena genggaman Angon Luwak. Pekikan itu disertai raungan rasa sakit yang membuat Wongso terbungkuk- bungkuk sambil mendekap pergelangan tangan kanannya.

"Kenapa kau ini, hah?! Digenggam bocah ingusan saja menjerit-jerit seperti itu?!"

"Matamu picek, Mayong! Tukang lenganku remuk!" geram Wongso sambil menyeringai kesakitan.

Mendengar ucapan itu, Mayong segera memandang tajam kepada Angon Luwak yang telah mundur sejauh tujuh langkah. Bocah bercelana kumal warna hitam dengan baju kusut warna hitam tanpa lengan itu semakin ketakutan mendapat pandangan sangar dari Mayong.

"Hei, kemari kau!" gertak Mayong memanggil Angon Luwak.
"Tidak. Saya tidak mau!"

"Ke sini kau!" bentak Mayong makin keras sambil menghampiri Angon Luwak. Dengan cepat bocah itu pun segera melarikan diri kembali ke arah semula.

"Berhenti kau!" seru Mayong, lalu mengejar bocah itu dengan nafsu ingin menangkapnya. Tapi Angon Luwak berlari ketakutan secepat mungkin. Mayong berseru mengancamnya,

"Kalau kau tak mau berhenti kulempar kapak kepalamu, Bocah Tolol!"

Angon Luwak tak pedulikan ancaman itu. Ia tetap berlari dan tetap dikejar oleh Mayong, sementara Wongso mengikuti dari belakang sambil masih mendekap pergelangan tangan kanannya yang segera berwarna biru legam itu.

"Bangsat betul bocah itu!" geram Wongso. Lalu berseru kepada Mayong, "Lepaskan kapakmu! Bunuh bocah itu! Dia benar-benar telah meremukkan tukang tanganku, Mayong!"

Langkah Mayong berhenti sebentar. Kapak dicabut dari pinggang, lalu dilemparkan ke punggung Angon Luwak. Wuuung ..! Jraab...!

"Haihhh...?!" Angon Luwak terbelalak kaget. Kapak itu menyambar di atas kepalanya kalau saja ia tidak jatuh tersandung batu. Kapak itu menancap di batang pohon tepat di depan Angon Luwak. Serta merta Angon Luwak bangkit dan mencabut kapak tersebut. Tapi karena daya tancapnya cukup dalam, maka kapak itu tak mudah dicabut.

"Hoi...! Berani kau mencabut kapakku, hah?!" bentak Mayong sambil bergegas menyusul bocah kecil itu.
Karena kapak sukar dicabut maka genggaman tangan Angon Luwak menjadi sangat kuat. Dan gagang kapak pun menjadi hancur seketika itu pula. Proos...!

Mayong terhenti dari langkahnya karena kaget melihat gagang kapaknya menjadi debu sebagian. Wongso pun mendelik melihat hal itu. Bahkan bocah itu sendiri sempat kaget karena tak sengaja meremukkan gagang kapak dari kayu jati yang amat keras itu.

Melihat kapak berhasil diremukkan, maka Angon Luwak coba coba meremas bagian mata kapak yang tidak sempat terbenam di batang pohon.

Pruuuss... !

Kapak besi itu hancur jadi serbuk lembut diremas dengan kedua tangan. Hal itu menambah kedua manusia bertampang bengis sama-sama kian terperanjat begong. Angon Luwak membuang rasa bangganya, karena sadar sebentar lagi ancaman bahaya akan datang. Maka ia segera larikan diri kembali tak mempedulikan remukan kapak besi tersebut.

"Bocah setan" maki Mayang. "Kapakku bisa diremukkan dengan tangan sekecil itu. Kurang ajar!"

"Kejar dia sampai dapat dan bunuh tanpa ragu lagi!" teriak Wongso sambil menahan rasa sakit pada pergelangan tangan yang remuk itu.

Angon Luwak semakin mempercepat larinya mendengar seruan Wongso. Kini ia dikejar-kejar dua orang dewasa. Dikepung dua arah. Sampai akhirnya Angon Luwak terpojok ketika membawa pelariannya ke atas bukit. Ia tak dapat bergerak lagi karena di depannya ada jurang cukup dalam, sementara dua pengejarnya sudah merapat di belakangnya.

"Mau lari ke mana kau, Bocah Setan?!" bentak Mayong. Lalu ia mencabut kapak dari pinggang Wongso, karena ia tahu Wongaso tak bisa menggunakan kapak itu dalam keadaan tangan kanannya remuk, sedangkan tangan kiri Wongso tidak begitu piawai untuk memainkan senjata apa pun.

Mata bocah itu membelalak tegang. Napasnya terengah-engah. Ia tak punya jalan keluar lagi kecuali nekat menerobos kepungan dua orang tersebut. Tapi kapak yang diayun- ayunkan oleh Mayong itu membuat hati bocah itu menjadi ciut nyali dan menggigil tubuhnya.

"Kalau kau bisa remukkan kapakku, maka kepalamu pun akan kuremukkan!" geram Mayong sambil kian mendekat. Angon Luwak kian tegang, wajahnya pucat pasi, tak bisa keluarkan suara apa pun.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara dari belakang Mayong dan Wongso,

"Memalukan sekali. Bocah kecil dikeroyok dua orang. Bersenjata lagi! Benar-benar memalukan!"

Kedua lelaki bertampang bengis itu segera balikkan badan menatap orang yang dianggap bicara sembarangan itu. Ternyata seorang gadis berkepang dua. Di belakang gadis itu ada seorang pemuda menyandang bumbung tempat tuak. Mereka tak lain adalah Pendekar Mabuk dan Mega Dewi.

"Jangan lancang mulutmu, Gadis Dungu! Kapak ini bisa beralih sasaran ke lehermu, tahu?!" geram Mayong kepada Mega Dewi.

Gadis itu hanya tersenyum sinis. Suto Sinting diam saja, seakan tidak mau ikut campur. Karena ia merasa yakin bahwa Mega Dewi pasti mampu menumbangkan dua orang bengis itu. Mega Dewi maju sendirian tanpa rasa takut sedikit pun, sebab ia percaya kalaupun ia terdesak dan hampir kalah, pasti Suto Sinting tak akan tinggal diam.

"Apa salah bocah itu sampai kalian berdua mengeroyoknya? Apakah tak malu pada diri sendiri?!"

"Persetan dengan kata-katamu! Kami punya urusan sendiri, kau tak perlu ikut campur!" geram Wongso dengan menahan rasa sakit dan berpura-pura tidak mengalami remuk tulang.

"Biarkan bocah itu pergi. Jangan kalian takut-takuti dengan kapak itu!"

"Berani-beraninya kau memerintah si Kapak Kembar, hah?! Apakah kau belum mendengar keganasan kami, si Kapak Kembar ini?!"

"Tak perlu kudengar, karena keganasanmu hanya kepada anak kecil. Kau tak akan berani ganas kepada orang seusiaku!"

Wongso menggeram dengan gigi menggeletuk, wajahnya merah menahan marah. Sama halnya dengan Mayong. Matanya mulai semburat merah menandakan kemarahannya mulai naik ke ubun-ubun.

"Apa maumu sebenarnya, Gadis Dungu?!"

"Bebaskan bocah itu. Kalau kalian ingin murka, jangan kepada bocah itu. Dia bukan tandingan kalian. Akulah tandingan kalian!"

"Keparat! Rasakan jurus 'Kapak Malaikat' ini, Gadis Dungu! Heaaah...!"

Mayong maju menyerang dengan tubuh berputar bagaikan gangsing dan kapaknya siap membabat apa saja yang dikenainya. Tetapi Mega Dewi segera sentakkan kakinya ke tanah, tubuhnya melenting di udara. Kakinya menjejak bagai orang berlari cepat, tepat mengenai kepala Mayong beberapa kali dan secara beruntun.

Dug, dug, dug, dug... !

Mayong menggeloyor hendak jatuh. Namun ia berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya. Saat itu juga dipijakkan kakinya ke tanah. Jleeg .! Tahu-tahu Wongso menyerang dengan tendangan putar yang amat kuat.

Wuuut...! Plook... !

Wajah Mega Dewi terkena tendangan putar itu. Ia terpelanting hampir jatuh ke jurang.

Untung ia bisa menahan gerakannya, sehingga urung masuk ke jurang. Ia sentakkan kakinya dan bersalto mundur dua kali. Tab, tab...! Tahu-tahu tiba di samping Wongso.

Kaki Wongso segera menyambar kembali dengan jurus tendangan yang sama. Mega Dewi rendahkan badan, lalu dengan tangan bertumpu di tanah ia menendang rusuk Wongso dengan kaki kanannya yang miring. Duuus... !

"Ahg...!" Wongso tersentak hingga terhuyung huyung beberapa langkah. Pada waktu itu Mayong datang menghantamkan kapaknya untuk membelah punggung Mega Dewi. Namun dengan cepat Mega Dewi bangkit, berbalik arah dan tahu-tahu pisaunya sudah terhunus.

Pisau itu ditikamkan ke arah bagian bawah ketiak tangan pemegang kapak yang berhasil ditangkis dengan kaki merentang tinggi. Jruub...!

"Aaahg...!"

Mayong terpekik. Kapaknya jatuh ke tanah. Bocah berkulit hitam itu segera menyambar kapak itu pada saat Mayong dibabat ujung pisau dari samping kanan ke kiri. Breeet...!

Dada Mayong koyak seketika. Darah mengalir deras. Robekan itu sampai mengenai rahang Mayong. Serta-merta Mega Dewi lompat ke kiri untuk cari tempat lebih leluasa lagi.

Wajah Mayong menyeringai menahan sakit pada lukanya. Ia berusaha mengambil kapak yang jatuh. Namun terkejut melihat kapak itu sudah di tangan Angon Luwak. Bocah itu meremas mata kapak dengan kuat. Praaas...! Hancur menjadi serbuk besi yang amat mengagumkan. Kapak itu tinggal bagian gagangnya saja, lalu gagang kapak itu diserahkan kepada Mayong.

Ketika Mayong ingin meraih dengan terbungkuk-bungkuk karena sakit. Angon Luwak menghantamkan gagang kapak ke kepala Mayong dengan telaknya.

Pletok... !
"Adaaaoow...!" kedua tangan Mayong jadi berpegangan pada kepalanya. Gagang kapak dibuang. Angon Luwak berlari mendekati Mega Dewi, seakan berlindung di sana dari pembalasan Mayong.

"Tinggalkan mereka! Cepat!" seru Wongso sambil menahan sakit di rusuknya. Mereka pun segera lari. Tak sedikit pun berpaling ke belakang. Tapi Suto dan Mega Dewi tertegun bengong memandangi Angon Luwak, merasa kagum melihat bocah kecil mampu meremukkan besi mata kapak itu. Suto segera bertanya,

"Siapa yang memberimu ilmu untuk meremukkan benda keras itu, Nak?"
"Kakek... eh, anu... guru saya. Kang."
"Siapa gurumu?" tanya Suto lagi.

"Hmmm... namanya...," Angon Luwak mengingat-ingat. "Entah. Saya lupa namanya, Kang."
"Lho, kok sampai lupa? Kau belajar di mana?"
"Di... di alam mimpi, Kang."

Pendekar Mabuk dan Mega Dewi saling pandang. Mereka sama sama heran. Kemudian mereka kembali memandang Angon Luwak. Mega Dewi bertanya setelah memasukkan pisaunya.

"Jawab yang benar, di mana kau belajar ilmu itu?"
"Di mimpi, Kang. Sumpah!"
"Di mimpi...?!" gumam Suto Sinting.

Angon Luwak berkata, "Soalnya, guruku tukang tidur, Kang."
"Maksudmu tukang tidur bagaimana?" tanya Mega Dewi.
"Dia bertarung sambil tidur."
Suto menyahut dalam gumam, "Jangan- jangan Ki Gendeng Sekarat!"
"Nah, betul!" teriak Angon Luwak. "Itu nama guruku dalam mimpi, Kang. Ki Gendeng Sekarat!"

Suto dan Dewi semakin terperangah dan sama-sama beradu pandang.

"Sejak kapan Ki Gendeng Sekarat mengangkat murid?" gumam Suto seperti bicara pada diri sendiri.
"Pokoknya ya sejak aku disuruh tidur di sampingnya," kata Angon Luwak menyangka diajak bicara Suto.
"Sekarang ke mana gurumu itu? Ke mana Ki Gendeng Sekarat?!"
"Pergi."
"Pergi ke mana?"
"Ndak tahu, Kang! Waktu aku bangun dari tidur dia sudah pergi!"
"Coba tunjukkan di mana tempat kalian tidur! Siapa tahu aku bisa melacaknya dari sana!" kata Suto.

Kemudian Angon Luwak membawa mereka ke tempat pertemuannya dengan Ki Gendeng Sekarat.

PENDEKAR Mabuk lemparkan pandangan ke sekeliling tempat pertemuan Angon Luwak dengan Ki Gendeng Sekarat. Tak ada jejak yang bisa digunakan untuk melacak perginya Ki Gendeng Sekarat. Angon Luwak menceritakan pertarungan Ki Gendeng Sekarat dengan seekor harimau hitam jelmaan seorang perempuan yang diingatnya bernama Tandak Ayu. Mendengar nama Tandak Ayu, Mega Dewi terperanjat dan wajahnya berubah tegang. Hal itu diketahui oleh Suto Sinting.

"Apakah kau kenal dengan Tandak Ayu?"

"Dia muridnya Nyai Demang Ronggeng, satu-satunya tokoh tua yang punya jurus 'Tarian Mayat'," jawab Mega Dewi menyimpan kecemasan.

"Tarian Mayat?" gumam Suto. "Seingatku Ki Gendeng Sekarat juga mempunyai jurus 'Pembangkit Mayat', dan ia bisa membekali ilmu tinggi kepada mayat-mayat yang dibangkitkan. Ketika dia tinggal di Pulau Mayat, dia punya pasukan mayat sendiri."

Wajah gadis itu kian menegang, "Apakah Ki Gendeng Sekarat pernah tinggal di Pulau Mayat?"

"Justru pertemuanku dengannya justru di Pulau Mayat."
"Kalau begitu dia murid dari EyangPramban Jati?!"
"Benar. Dia pernah menceritakan hal itu kepadaku. Dari mana kau tahu?"

"Ayahku pernah bercerita tentang murid Eyang Pramban Jati. Menurut Ayah, murid Eyang Pramban Jati ada dua, yaitu Ki Gendeng Sekarat dan Nyai Demang Ronggeng. Tapi murid perempuan Eyang Pramban Jati lari ke aliran sesat. Hanya Ki Gendeng Sekarat yang berhasil menyerap semua ilmu Eyang Pramban Jati. Dulu, ayahku pernah ditolong oleh Ki Gendeng Sekarat dan menjadi bersahabat."

*****