Pendekar Mabuk 33 - Kitab Lorong Zaman(2)



5
BUKAN hanya si penolong saja yang mendapat pengobatan melalui tuak Suto, melainkan Logo juga mendapatkannya. Mulutnya yang ternganga tak bisa terkatup lagi karena totokan jalan darahnya itu membuat Suto mudah menuangkan tuaknya ke mulut itu, seperti menuang air dalam selokan kecil. Krucuk, krucuk, krucuk...! Glek, glek, glek...!
Mau tak mau tuak itu terminum dengan sendirinya. Setelah beberapa saat, Suto pun membebaskan totokannya pada Logo. Sementara orang yang tadi menyelamatkan Suto dari pancungan senjata Siluman Tujuh Nyawa itu segera mengambil pedangnya yang terlempar jauh. Pedang itu kini dimasukkan ke dalam sarung pedang dan digenggam dengan tangan kirinya.
Sang pengintai yang tadi mengikuti pertarungan itu segera pergi, karena menurutnya tak ada sesuatu yang perlu disimak lagi. Jurus-jurus maut yang dikeluarkan dalam pertarungan tadi sudah dicatat dalam benaknya, ia merasa lebih penting melanjutkan perjalanannya daripada menyimak percakapan antara Suto Sinting dengan tokoh perempuan berambut acak-acakan yang gemar kenakan pakaian seperti terbuat dari karet yang ketat sekali dengan tubuhnya dan berwarna hitam. Perempuan itu berwajah cantik, namun berkesan liar karena rambutnya tak pernah tertata rapi dan selalu acak acakan seperti perempuan gila. Perempuan itu tak lain adalah Angin Betina, orang yang terang-terangan mencintai Suto Sinting dan tak pernah rela melihat Suto disakiti orang lain. (Tentang Angin Betina, baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pedang Kayu Petir").
Wanita berhidung kecil tapi mancung, berbibir sedikit tebal tapi indah itu segera dekati Pendekar Mabuk yang sedang bicara dengan Logo, anak jin. Orang gundul berkuncir dan kenakan anting satu di sebelah kiri itu duduk bersandar pada sebatang pohon yang belum sempat tumbang akibat pertarungan tadi. Keadaan Logo sudah kembali seperti semula; polos, jujur, dan kekanak-kanakan.
"Kau ingat siapa diriku?" tanya Suto mencoba ingatan Loga. "Suto Sinting," jawab Logo dengan polos, matanya memandang lugu.
"Siapa ibumu?"
"Ibu Sumbaruni," jawabnya lagi.
"Bagus. Kau sudah memperoleh jati dirimu kembali," kata Suto sambil berdiri dari jongkoknya, ia segera memandang Angin Betina dan bertanya,
"Bagaimana keadaanmu?"
"Tak apa. Sudah segar kembali berkat tuakmu."
"Sepertinya aku tak percaya kalau ada perempuan yang berani menyerang Siluman Tujuh Nyawa dalam keadaan sedang murka seperti tadi. Kupikir tadi bukan kau yang datang menolongku. Sungguh aku kagum dengan keberanianmu, Angin Betina."
Wanita tanpa senyum itu hanya menghela napas satu kali dan berkata, "Aku sendiri tak sangka kalau punya keberanian seperti itu. Padahal aku tahu persis ilmuku tidak ada sekuku hitamnya dengan Siluman Tujuh Nyawa. Dulu mendiang guruku; Nyai Pancungsari berpesan wanti-wanti padaku agar hindari pertemuan dengan Siluman Tujuh Nyawa. Tapi sekarang justru aku hampiri tokoh sesat itu dan menyerangnya. Kurasa ini karena hatiku tak rela jika melihat kau disakiti orang lain, dan aku sudah berjanji pada dirimu akan melindungimu. Jika kau mati, pada saat itulah aku sudah menjadi bangkai.  Aku tak ingin kau mati lebih dulu dariku, Suto."
Suto Sinting hanya tersenyum, diam-diam merasa kagum dengan kesetiaan cinta Angin Betina yang sudah berulangkali ditolak tapi masih saja ngotot ingin mencintai Suto Sinting. Sebaris kalimat yang pernah diucapkan Angin Betina selalu terbayang dalam ingatan Suto;
"Kau boleh menolak cintaku tapi jangan larang aku untuk tetap mencintaimu!"
Ungkapan hati itu sekarang pun terngiang kembali di hati Suto Sinting. Ada keharuan yang membersit di tepian hati, namun Suto Sinting tak mau hanyut dalam keharuan itu, sehingga ia segera alihkan percakapan ke masalah lain.
 "Bagaimana kau tahu kalau aku ada di sini?"
"Aku baru saja pulang dari pondoknya Resi Wulung Gading. Kudengar suara gelegar ledakan dari sini, lalu aku penasaran dan ingin melihat siapa orang bertarung. Ternyata kau dan Siluman Tujuh Nyawa. Aku tak tahu orang hitam keling ini ada dipihakmu atau di pihak Siluman Tujuh Nyawa. Yang kutahu, aku harus selamatkan dirimu dari pancungan si raja sesat itu!"
Logo bangkit dan berkata dengan nada protes, "Aku bukan hitam keling. Kata ibu aku hitam manis!"
"Iya, benar. Kau hitam manis. Angin Betina salah ucap!" kata Suto yang segera menenangkan Logo kembali. Angin Betina hanya sunggingkan senyum tipis. Matanya melirik Suto pada saat Pendekar Mabuk itu berkata,
"Dia anaknya Sumbaruni yang sedang dicari-cari."
Angin Betina manggut-manggut samar, nyaris tak terlihat gerakan kepalanya, ia hanya berkata dengan nada ketus karena dipengaruhi rasa cemburu,
"Maksudmu, Sumbaruni yang jatuh cinta padamu itu?"
Suto tidak menjawab. Hanya tersenyum kecil, karena ia tahu jika pertanyaan itu dijawab dengan sanggahan akan menghadirkan perang mulut saat itu juga. Suto Sinting bahkan segera alihkan pembicaraan lagi ke arah Logo.
"Logo, apakah kau ingat mengapa kau mengejar-ngejar perempuan tadi?"
"Karena disuruh."
"Siapa yang menyuruh?"
"Siluman Tujuh Nyawa."
"Bagaimana kau bisa mengenalnya?"
"Ditolong dia."
"Sejak kapan?"
"Sejak jatuh dari atas jurang."
"Hmmm...?!" Suto manggut-manggut  sambil menggumam. Rupanya saat Logo dikabarkan jatuh terpeleset di Jurang Petaka, ia segera diselamatkan oleh Siluman Tujuh Nyawa. Lalu hidup bersama tokoh sesat itu selama beberapa waktu. Agaknya Logo mendapat pengaruh buruk dari tokoh sesat itu, atau jiwanya berhasil dipecundangi oleh Siluman Tujuh Nyawa, sehingga Logo menjadi pengikutnya yang setia dengan perintah dan tugas-tugasnya. Pantas jika Siluman Tujuh Nyawa ingin membunuh Logo, sebab ia takut Logo buka rahasia tentang tempat persembunyiannya selama ini. Tentunya Siluman Tujuh Nyawa tahu, bahwa kesadaran Logo bisa dipulihkan kembali oleh Suto, sehingga anak jin itu akan ingat tentang dirinya dan tentang hal-hal yang dilakukan di Jurang Petaka bersama si tokoh sesat itu.
Logo mengaku pernah mendapat siraman cahaya dari sepasang mata dinginnya Siluman Tujuh Nyawa, sehingga ia merasa semua orang adalah musuhnya. Yang dianggap sahabat atau orang baik hanyalah Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa itu.
"Lalu, mengapa Siluman Tujuh Nyawa menyuruhmu mengejar-ngejar perempuan itu? Apa yang ia harapkan? Apakah kau tahu?"
"Tahu," jawab Logo, tapi setelah itu diam saja, tak menjelaskan apa yang diketahuinya. Pada saat itu Angin Betina merasa kurang tertarik dengan percakapan tersebut, sehingga ia memotong dengan kata-kata,
"Resi Wulung Gading menyuruhku menengok Biara Genta. Menurut firasat beliau, ada bahaya di sana. Aku sekarang mau ke Biara Genta, apakah kau mau ikut denganku atau mengantar bocah itu sambil memadu rindu kepada ibunya?"
Suto sengaja tak menanggapi sungguh-sungguh, karena hanya akan memancing pertengkaran mulut. Nada cemburu itu hanya dibiarkan saja, kecuali sepatah kata melintas, "Sebentar...," setelah itu Suto kembali bicara kepada Logo.
"Jika kau tahu apa yang diharapkan Siluman Tujuh Nyawa, tolong jelaskan!"
"Aku disuruh merebut."
"Merebut perempuan itu tadi?"
Logo menggelengkan kepala dengan mulut melongo.
"Lantas disuruh merebut apa?"
"Pusaka."
"Pusaka apa?"
"Kitab!" jawab Logo pendek-pendek, karena memang itu kebiasaannya bicara. Begitulah keadaan Logo aslinya, bicara selalu pendek dan apa perlunya saja.
Tapi mendengar Logo disuruh merebut pusaka dan pusaka itu adalah sebuah kitab, kening Suto menjadi berkerut. Angin Betina juga memandang penuh perhatian, karena merasa tertarik ingin mengetahui tentang kitab yang dimaksud Logo itu. Maka Angin Betina pun segera ajukan pertanyaan.
"Kitab pusaka apa? Kau ingat namanya?"
"Tidak," jawab Logo sambil menggeleng iugu.
"Coba ingat-ingat... apa nama kitab itu?" kata Suto.
Logo berkerut dahi, tundukkan kepala beberapa saat, lalu ia pandangi Suto dan menggeleng.
"Jadi, kau tak ingat nama kitab itu?"
"Tidak."
"Apakah Siluman Tujuh Nyawa tak sebutkan nama kita itu?"
"Memang tidak."
"Pantas," gerutu Angin Betina. "Biar disuruh mengingat satu tahun penuh tak akan ingat namanya, sebab memang nama kitab itu tak disebutkan."
"Siluman Tujuh Nyawa hanya suruh aku rebut kitab yang ada pada perempuan itu," kata Logo agak panjang setelah diam beberapa saat dan menyusun kalimat seperti itu dalam benaknya.
"Aku akan menuju Biara Genta. Kalau kau tak mau ikut, akan kutinggalkan," kata Angin Betina yang mulai tidak tertarik dengan kebodohan Logo lagi.
"Aku juga akan ke sana," kata Suto. "Perjalananku terhenti karena melihat Lancang Puri bertarung melawan Logo."
"Lancang Puri...?!" gumam Angin Betina dengan dahi berkerut.
"Dia adalah cucunya Pendeta Mata Lima."
Kerutan dahi Angin Betina kian tajam. "Cucu...?!
Setahuku Pendeta Mata Lima dan Pendeta Jantung Dewa tidak pernah kawin. Bagaimana mungkin dia bisa punya cucu?"
"Hmmm... yah, mungkin cucu angkatnya?!"
"Aku curiga!" kata Angin Betina. "Aku kenal Lancang Puri, keponakan dari tokoh berdarah dingin yang menguasai Pulau Lanang, hidupnya tergantung dari kemesraan seorang lelaki. Nama perempuan itu adalah Nyai Gandrik!"
"Tepat sekali dugaanmu. Lancang Puri memang bersama Nyai Gandrik."
"Hati-hati jika bertemu dengan Nyai Gandrik. Kesaktian dan kekuatannya ada pada cumbuan asmara seorang lelaki. Kau akan dibuat jatuh berlutut jika sudah berhadapan dengannya. Karena dia punya penyakit kutukan, dalam satu purnama tak bergumul dengan lelaki, ia akan mati lemas."
Pendekar Mabuk menjadi sangat tertarik dengan cerita itu, terutama tentang pengakuan Lancang Puri, sebagai cucu Pendeta Mata Lima. Atas persetujuan  Angin Betina, akhirnya Logo diizinkan ikut ke Biara Genta, karena Suto Sinting merasa khawatir jika Logo disuruh pulang ke gua pantai Bukit Semberani sendirian. Takut dikuasai oleh Siluman Tujuh Nyawa lagi. Maka sambil melangkah menuju Biara Genta, Suto Sinting mendesak agar Angin Betina lanjutkan ceritanya tentang Nyai Gandrik dan Lancang Puri.
"Percayalah padaku, Lancang Puri bukan cucunya Pendeta Mata Lima. Tak ada hubungan apa pun dengan pendeta kakak beradik itu. Mendiang guruku sangat kenal dengan Nyai Gandrik, beberapa kali aku pernah ikut dalam pertemuan mereka. Lancang Puri mempunyai perguruan sendiri yang bernama Perisai Sakti. Aliran silatnya merupakan aliran silat gabungan antara jurus-jurusnya Resi Demang Sudra dan jurus-jurus Nyai Gandrik. Sebab di dalam perguruan itu, Nyai Gandrik adalah sesepuh dan guru agung."
"Kau pernah jumpa dengan Lancang Puri?"
"Pernah satu kali, tapi ia tidak kenal diriku. Akupun tak berminat mengenalnya karena kesombongannya sebagai guru di antara para muridnya."
"Masih semuda itu sudah menjadi guru?"
"Sebenarnya yang banyak berperan dalam perguruan Perisai Sakti adalah Nyai Gandrik. Jabatan guru disandangnya sebagai bahan kebanggaan dan angkuh- angkuhan saja. Sebenarnya Lancang Puri ilmunya belum seberapa. Aku masih sanggup menumbangkannya."
"Apakah kau juga tahu tentang Urat Setan?"
Langkah perempuan berwajah cantik tapi berkesan liar itu terhenti sesaat. Matanya menatap lurus kepada Suto Sinting.
"Kau mengenal Urat Setan juga?"
"Kulihat Lancang Puri bertarung melawan Urat Setan gara-gara rebutan sebuah pusaka."
"Urat Setan satu perguruan dengan Lancang Puri, tapi beda masa. Urat Setan sudah pergi dari perguruan dan diusir oleh Resi Demang Sudra, lalu beberapa saat barulah sang Resi mengangkat murid lagi yaitu Lancang Puri. Jika mereka berebut pusaka, pastilah pusaka peninggalan gurunya itu."
"Kalau begitu, pusaka tersebut adalah kitab, dan kitab itu sekarang ada di tangan Lancang Puri. Buktinya Logo diperintahkan Siluman Tujuh Nyawa untuk merebut kitab tersebut."
"Kurasa memang begitu. Tapi sebaiknya kita tak perlu ikut campur karena itu urusan perguruan mereka."
"Aku setuju. Tapi aku masih merasa heran, mengapa Lancang Puri harus mengaku sebagai cucu dari Pendeta Mata Lima. Ia sangat sedih ketika mengetahui Biara Damai lenyap tak berbekas dan...."
"Lenyap...?!" Angin Betina memotong dengan nada heran. Langkahnya terhenti lagi, dan telinganya menyimak baik-baik cerita dari Suto tentang nasib Biara Damai dan Pendeta Mata Lima yang bagaikan ditelan bumi setelah reruntuhan itu terbungkus asap kuning.
Wajah cantik berkesan ganas itu menjadi tegang. Kecemasan tersembunyi di balik sikap diamnya itu.
Lalu, ia segera berkata, "Kalau begitu kita harus lekas-lekas tiba di Biara Genta. Mungkin hal itulah yang diterima firasat Resi Wulung Gading sebagai firasat tak baik tentang kedua biara tersebut."
Gerak langkah mereka kian dipercepat, sepertinya sangat terburu-buru. Ternyata dalam waktu lebih singkat lagi mereka sudah sampai di Lembah Canang. Tetapi mereka sama-sama tertegun bengong mencari Biara Genta. Mereka berdiri di atas tanah lapang berumput tipis tanpa pohon kecuali di tepian jauh sana, wajah Angin Betina kian menampakkan kecemasannya.
"Hilang...?!" gumam Suto Sinting seperti bicara pada diri sendiri.
"Tak mungkin. Kurasa kita salah alamat."
"Tidak, Angin Betina! Aku ingat betul, di sinilah letak bangunan Biara Genta berdiri. Aku masih ingat patokannya, yaitu, tiga pohon pinang tinggi yang tumbuh di kaki bukit itu. Tiga pohon pinang tinggi itu tumbuh tepat membentuk garis lurus dengan pintu gerbang biara tersebut. Dan di sinilah letak garis lurus itu, Angin Betina."
"Ya," jawab Angin Betina pelan sekali dengan wajah tegang. "Berarti nasib Pendeta Jantung Dewa dan biaranya sama persis dengan nasib Pendeta Mata Lima dan biaranya juga?!"
"Maksudmu, seseorang telah membantai habis penghuni biara beserta Pendeta Jantung Dewa, lalu orang itu memusnahkan reruntuhan dan korbannya dengan cara seperti yang kulihat di Biara Damai itu?"
"Tepat! Kurasa begitu."
"Lalu, menurutmu siapa yang melakukanpemusnahan seperti ini?!"
Bingung juga menjawab pertanyaan itu. Angin Betina hanya diam sambil matanya memandang ke sana-sini dengan tegang, ia sedang berpikir, siapa pelakunya? Dan pada saat hening itu, tiba-tiba Logo berkata kepada Suto,
"Aku mendengar suara orang merintih di kejauhan sebelah utara sana!"
"Orang merintih? Hmmm... mari kita periksa, Logo!"
Suto Sinting dan Logo bergerak ke arah utara. Angin Betina masih terpaku heran di tempat berdirinya, ia hampir-hampir tak percaya melihat bangunan biara sekokoh dan sebesar itu bisa lenyap dengan ajaib sekali. Tak bisa dibayangkan ilmu apa sebenarnya yang dipergunakan untuk melenyapkan bangunan sebesar itu bersama para penghuninya? Apakah para penghuninya dibunuh dulu semuanya, baru dilenyapkan?
Angin Betina bergegas menyusul Suto dan Logo. Ternyata kedua orang itu telah menemukan seorang korban yang terjepit di sela-sela dua batu. Entah terjepit secara tak sengaja atau memang sengaja bersembunyi di dua batu besar lalu tak bisa keluar karena dadanya terluka parah, yang jelas orang itu masih hidup. Dilihat dari pakaiannya yang serba kuning dan kepalanya polos tanpa rambut, orang berusia sekitar empat puluh tahun dan bertubuh kurus itu pasti murid dari Biara Genta yang sempat larikan diri. Luka di dadanya itu menghitam bekas torehan pedang atau senjata tajam lainnya. Luka itu tidak hanya menghitam, namun juga membusuk sehingga tumbuh belatung yang merayap ke sekitar luka, bagaikan menggerogoti sisa daging yang masih ada.
Keadaan orang itu sudah parah. Sangat pucat, menyerupai kertas putih. Tapi Suto Sinting segera menuangkan tuak ke mulut orang itu, meminumkannya beberapa teguk. Logo diperintahkan menyingkirkan salah satu batu besar yang menghimpit tubuh kurus itu. Orang tersebut akhirnya berhasil diangkat dari celah- celah dua batu besar, ia dibaringkan di bawah pohon. Tapi keadaannya bukan semakin sembuh namun semakin parah. Napasnya tersengal-sengal dengan mata mulai terbeliak-beliak.
Ia hanya sebutkan kata, "Kitab... Lorong Zaman...dicuri... orang...."
Wajah Angin Betina tersentak kaget dan kian tegang. Padahal kitab itulah yang membuatnya ingin masuk ke perguruan salah satu dari dua pendeta kakak-beradik itu. Ia ingin pelajari isi Kitab Lorong Zaman.
"Mengapa ia menjadi bertambah parah setelah minum tuakku?" gumam Suto seperti bicara pada diri sendiri. Rupanya gumaman itu sempat didengar oleh si sakit, dan si sakit berkata terputus-putus.
"Aku... telah... bersumpah... tidak akan... minum tuak lagi. Jika aku minum... tuak... maka aku... akan mati.... Dan, sekarang... aku meminumnya...."
"Ya, ampun...?! Maafkan aku, aku tidak tahu kalau kau punya sumpah seperti itu. Maafkan aku!" kata Suto penuh sesal karena telah meminumkan tuaknya dengan maksud mengobati orang tersebut. Tetapi justru orang tersebut sekarang menghembuskan napas terakhirnya tanpa memberi penjelasan siapa orang yang datang menyerang biara dan mencuri Kitab Lorong Zaman.
Angin Betina diam dalam keadaan murung di kejauhan sana. Suto Sinting tahu, Angin Betina sangat kecewa. Sebab ketika ia utarakan maksudnya kepada Suto untuk menjadi murid salah satu dari kedua pendeta itu, Suto sarankan agar Angin Betina tinggalkan jalan sesatnya. Dan ternyata wanita itu sudah menuruti kata-kata Suto. Ia tidak lagi menjadi tokoh silat beraliran hitam, ia bahkan menjadi prajurit di istana Muara Singa, kepala pengawal Ratu dan termasuk orang andalan Ratu Galuh Puspanagari.
Tapi keinginannya untuk pelajari isi Kitab Lorong Zaman cukup besar, sehingga ia mengundurkan diri dari jabatan itu dan ingin bergabung dengan salah satu pendeta kakak-beradik itu. Sebelumnya ia perlu meminta saran kepada Resi Wulung Gading, tapi justru Resi Wulung Gading menyarankan agar Angin Betina selekasnya datang ke Biara Genta, karena firasat sang Resi mengatakan ada sesuatu yang membahayakan Biara Genta. Karenanya Angin Betina segera menuju ke Biara Genta dan bertemu Suto di perjalanan tadi.
Kitab Lorong Zaman itu ternyata telah dicuri oleh seseorang. Biara Genta dan Biara Damai telah lenyap bagaikan tak pernah ada di permukaan bumi. Semua penghuninya ikut lenyap kecuali seorang korban yang baru saja menghembuskan napas terakhir. Hati Angin Betina sangat sedih memendam kekecewaan. Padahal Kitab Lorong Zaman itu mempunyai ilmu yang istimewa dan sangat menarik untuk dipelajari. Kitab itu yang membuat seseorang bisa mempunyai ilmu 'Tembus Waktu' sehingga bisa melompat ke kehidupan masa lalu atau masa mendatang.
"Siapa pencurinya? Lancang Puri-kah? Tapi sehebat itukah ilmu Lancang Puri?" pikir Angin Betina dalam kesendirian.

*
* *

6
PELARIAN Lancang Puri tertahan karena rubuhnya dua pohong menghadang langkahnya. Brruuk, gusraak...! Andai saja Lancang Puri tidak hentikan langkah secara mendadak, tubuhnya akan tertimpa dua pohon yang tumbang dari kanan-kirinya. Secepat kilat Lancang Puri sentakkan kaki, melenting ke atas dan bersalto mundur dua kali. Wuk, wuuk...! Jleg! Hati perempuan itu mulai curiga, dan kecurigaannya ternyata benar. Tumbangnya pohon itu disebabkan ulah seseorang yang pasti sudah dikenalnya. Orang tersebut tak lain adalah si Urat Setan. Wajah tuanya muncul dari sisi kiri dengan tenang dan dingin. Tapi Lancang Puri tampak sedikit tegang. Tidak setenang waktu berhadapan di petilasan Biara Damai itu.
"Kali ini kau tak bisa menyangkal anggapanku lagi, Lancang Puri. Kulihat sendiri Biara Genta telah kau lenyapkan bersama Nyai Gandrik, bibimu! Tentunya Kitab Lorong Zaman telah ada di balik jubahmu itu!"
Sambil berkata demikian, Urat Setan melangkah tenang dekati Lancang Puri hingga jaraknya mencapai tiga tombak. Lancang Puri memandang sengit kepada Urat Setan. Mulutnya masih terbungkam dengan sikap berdiri sedikit merenggang.
"Demi keselamatan nyawamu, Lancang Puri, sebaiknya serahkan saja kitab pusaka itu padaku!"
"Kitab itu tidak ada padaku! Kalau kau menginginkannya, kejarlah bibiku yang menuju Pulau Lanang itu!"
"Aku bukan anak kecil yang mudah kau bodohi, Lancang Puri. Jika kitab itu ada pada bibimu, kau tak akan beri tahukan hal itu padaku. Jadi, aku semakin yakin bahwa kitab pusaka itu ada padamu!"
"Kau tak akan memperoleh apa-apa jika mendesakku. Mungkin malah akan memperoleh celaka yang membuatmu menyesal seumur hidup, Urat Setan!"
Mata Urat Setan memandang penuh selidik. Dilihatnya Lancang Puri tidak membawa benda apa pun. Tapi Urat Setan masih curiga dengan keadaan di balik jubah putih Lancang Puri.
"Setidaknya kitab itu disembunyikan di pinggang belakang," pikirnya dengan mulut terkatup rapat. "Aku harus bisa memastikan adakah sesuatu di pinggang belakangnya itu?"
Sesaat kemudian, Urat Setan perdengarkan suaranya, "Jika kau masih bersikeras sembunyikan kitab itu di pinggang belakangmu, maka aku pun tak akan ragu-ragu lagi untuk mengakhiri riwayat hidupmu, Lancang Puri!"
"Gertakanmu tidak membuatku ciut nyali, Urat Setan! Bertindaklah sekehendak hatimu, aku akan melayani dengan tanpa ragu pula!"
"Keparat kau!" geram Urat Setan mulai tak bisa bersabar lagi. Tiba-tiba tubuhnya tersentak maju dan melayang di udara. Wuuuttt...!
Lancang Puri tidak menghindar, melainkan justru menyambut serangan itu dengan gerakan melesat ke depan, kedua tangannya siap dihantamkan lawan.
Wuuuttt...!
Plak, plak, plak, duaarr...!
Beradu kecepatan pukulan tangan di udara menghasilkan bunyi ledakan yang membuat mereka sama-sama terpental. Bunyi ledakan tadi terjadi ketika telapak tangan mereka beradu dan memercikkan sinar merah terang. Rupanya mereka sama-sama pergunakan jurus serupa dan mempunyai kekuatan yang seimbang. Perpaduan dua jurus serupa hanya membuat tubuh mereka sama-sama terpental tanpa luka sedikit pun. Dalam kejap berikutnya, mereka sudah sama-sama terpental berdiri sigap dan siap lakukan serangan berikutnya.
Urat Setan mengambil sikap berdiri tegak, keduakakinya merenggang dan sedikit merendah. Lalu kedua tangannya bertelapak mengembang, tapi ibu jarinya terlipat sementara jari-jari lainnya merapat lurus. Kedua tangan itu berada di masing-masing pinggang dalam keadaan telapakannya terbuka ke atas. Dengan sentakan tak bernapas, kedua telapak tangan itu disodokkan lurus ke depan, namun tak sampai membuat sikunya tegak. Suuutt...!
Clap, clap...! .
Dua sinar merah lebar melesat dari kedua tangan tersebut. Sebelum mencapai pertengahan jarak, sinar itu bergabung menjadi satu dan membentuk wujud gumpalan asap merah membara sebesar bola. Gumpalan sinar merah membara itu melesat lebih cepat lagi ke arah sasaran.
Lancang Puri segera berlutut satu kaki. Kemudian tangan kanannya membentuk cakar dan disentakkan di atas kepala. Dari tengah cakar itu melesat sinar hijau lebar membentuk piringan. Penampang sinar itulah yang bagaikan tangan raksasa menangkap bola asap merah membara. Zluubb...! Sinar hijau menggulung gumpalan asap merah sesaat, kejap berikutnya kedua sinar yang bertarung sendiri itu sama-sama meledak.
Blegaarr...!
Ledakan itu melepaskan angin badai ke berbagai arah. Menghentak begitu kuatnya, sehingga tubuh Urat Setan terlempar membentur gundukan batu cadas di belakangnya, sedangkan tubuh Lancang Puri buru-buru tiarap, namun terdorong pula oleh hembusan angin membadai hingga ia bagaikan diseret dari belakang. Untung kedua kakinya segera menemukan akar pohon yang menonjol besar, sehingga ia bisa bertahan menghadapi dorongan angin badai itu. Brruuukk...! Blaaammm...!
Dua pohon tumbang lagi karena dihempas angina badai yang keluar dari ledakan dua sinar tadi. Lancang Puri tidak pedulikan tumbangnya dua pohon itu. Ia cepat-cepat berdiri dan berlari menuju lawannya sambil mencabut pedang. Sraang...! Wuuttt...! Tubuhnya melompat ketika berjarak lima langkah dari si Urat Setan yang baru saja berdiri. Pedang pun ditebaskan dengan gerak tipuan ke arah pundak kiri lawan. Wuuss...!
Slaap...! Urat Setan bagai menghilang seketika. Pedang itu mengenai tempat kosong. Sedangkan Urat Setan tahu-tahu sudah berada di belakang Lancang Puri. Sebuah pukulan tangan kanan yang menyodok ke depan dilakukan dengan kaki menghentak ke bumi. Jluugh...! Dan tiga pisau terbang melesat dari tangan itu, bagaikan keluar dari dalam kain jubah yang membungkus lengannya secara longgar itu. Slap, slap, slap...!
Punggung Lancang Puri menjadi sasaran paling empuk bagi tiga pisau terbang itu. Sayang sekali seberkas sinar lurus lebar meluncur dari arah samping berbentuk seperti bambu tanpa ruas. Sinar hijau tua itu menghantam tiga pisau terbang tersebut. Prakkk...! Blaarr...!
Tiga pisau terbang hancur menjadi berkeping-keping, menyebar ke arah samping. Tak satu pun bagian kepingan itu yang kenai tubuh Lancang Puri. Perempuan itu cepat balikkan badan dan sedikit terperanjat setelah mengetahui bahwa dirinya tadi nyaris mati jika tidak tertolong oleh melesatnya sinar hijau tua itu. Ia segera berpindah tempat dengan satu lompatan menyamping. Keadaannya sekarang sedikit terhadang gugusan batu cadas.
Urat Setan dongkol sekali. Semestinya ia sudah bisa membunuh Lancang Puri, tapi karena ada yang ikut campur dalam pertarungannya, maka Lancang Puri masih berdiri tegar di depannya. Bahkan perempuan itu kini sudah berada di atas gugusan batu cadas dengan pedang tergenggam penuh tantangan. Jubahnya yang putih melambai-lambai tertiup angin.
"Laknat! Busuk! Siapa yang berani ikut campur urusanku, hah?!" teriak Urat Setan dengan berang sambil matanya memandang ke sana-sini, bagai tak pedulikan keadaan Lancang Puri yang bisa menyerangnya sewaktu-waktu itu.
Tiba-tiba dahan pohon yang tepat berada di atas kepala Urat Setan itu patah dalam keadaan meruncing. Ujung runcingnya meluncur ke bawah bagaikan ingin memantek kepala Urat Setan. Krak...! Wuuusstt...!
Urat Setan sigap, ia segera berguling ke samping dan cepat cabut cambuknya dari pinggang. Dengan satu kaki berlutut ia lecutkan cambuk itu ke arah dahan besar yang meluncur ke bawah itu. Taarr...! Dahan tersebut terkena cambukan satu kali, pecah menjadi serpihan-serpihan sebesar kelingking.
"Siapa yang membantuku? Tak kulihat gerakan orangnya?" pikir Lancang Puri. "Yang jelas jurus itu bukan milik Bibi Gandrik. Gaya menyerangnya tidak menyerupai penyerangan Bibi Gandrik. Pasti ada orang lain. Apakah pendekar tampan itu yang menolongku? Ah, aku jadi serba salah kalau berhadapan dengan Suto, si pendekar tampan itu."
Terdengar seruan Urat Setan yang sudah semakin marah itu, "Keluar kau, Bangsat! Maju ke depanku kalau kau ingin menjajal ilmuku!"
Dari semak belukar muncul sesosok tubuh berbadan tegap dan berparas tampan. Lancang Puri sempat terkejut melihat kemunculan orang itu. Hatinya mulai membatin, "Celaka! Pemuda itu lagi! Dia pasti masih terkena pengaruh Racun Edan Cumbu-ku!"
Dewa Rayu sengaja tampakkan diri dan dekati gugusan batu cadas tempat berdirinya Lancang Puri. Tapi pandangan matanya tertuju ke arah Urat Setan. Pemuda yang masih dalam pengaruh Racun Edan Cumbu itu sudah dalam keadaan tidak serapi dulu. Kain bajunya membuka hingga menampakkan dadanya yang bidang. Letak sabuknya pun tidak mengikat baju lagi. Letak ikat kepala dari lempengan perak pun sudah tidak lurus dan rapi seperti semula, ia tampil dalam keadaan kusut, seperti orang tidak tidur dua hari dua malam.
"Bocah edan! Jangan coba-coba menjadi satria di depanku kau!" geram Urat Setan dengan mata memandang lurus penuh kemarahan. Cambuknya masih tergenggam di tangan kanan dan siap lecut kapan saja dibutuhkan.
Dewa Rayu tidak banyak bicara. Matanya memandang Lancang Puri yang ada di atas gugusan batu. Sekejap saja ia memandang, lalu pandangan itu ditujukan kepada Urat Setan, dan suaranya terdengar lantang penuh pada permusuhan.
"Aku tak peduli akan menjadi satria atau menjadi setan seperti kau, Pak Tua. Tapi kuingatkan satu kali saja, jangan ganggu kekasihku itu jika kau ingin panjang umur dan cepat dapat jodoh!"
"Bangsat! Kusingkirkan penghalang ini dengan jurus 'Cambuk Ular Kadut'! Terimalah, Bocah bodoh!Heaaah...!"
Cetaaarr...!
Cambuk melecut di udara, ujungnya melepaskan sinar merah bagaikan kawat berkelok-kelok. Sinar merah itu bergerak cepat mirip gerakan seekor ular terbang.  Ketika sudah dalam jarak dekat, barulah Dewa Rayu  melompat dan bersalto ke belakang, lalu kedua tangannya meliuk bagai memutar pergelangan tangan dan menyentak ke depan pada saat telapak tangan menghadap ke depan. Wuuuttt...! Claapp...! Sinar hijau tua terlepas dari telapak tangan tersebut. Kedua sinar bergabung membentuk wujud seperti sebatang bamboo tua. Sinar itu menghantam sinar merah berkelok-kelok bagaikan ular.
Zraasb...!
Tak ada bunyi ledakan apa pun. Tetapi kedua sinar itu sama-sama berhenti di udara. Sinar merah yang lebih kecil bagaikan mendekam di dalam sinar hijau. Dewa Rayu terkesiap memandangi sinar hijaunya tidak pecah dan tidak bergerak lagi, diam di udara dengan gerakan-gerakan kecil seperti sedang mengunyah sinar merah.
Tetapi mendadak sinar hijau itu bergerak berkelok-kelok pula seperti ular dan melesat menuju Dewa Rayu. Melihat sinar hijaunya yang ditumpangi sinar merah kecil tadi bergerak ke arahnya, Dewa Rayu segera sentakkan kaki hingga tubuhnya melenting di udara. Wuuuttt...! Kakinya segera menjejak sebatang pohon, dan tubuhnya menjadi meluncur deras ke arah Urat Setan. Sementara itu sinar hijau berkelok-kelok kembali diam di tempat, bagai mencari ke mana arah kepergian mangsanya.
Pedang dicabut dari pinggang Dewa Rayu. Sraang...! Tubuhnya yang meluncur bagaikan terbang itu segera dihadang oleh cambuk Urat Setan. Cambuk itu dilecutksn satu kali dengan satu hentakan suara keras.
"Heeaaah...!"
 Taarr...! Ujung cambuk keluarkan sinar merah lagi seperti ular terbang. Tapi kali ini Dewa Rayu kibaskan pedang ke samping, dan sinar merah itu menyambar ujung pedang, lalu memantul ke arah Urat Setan menjadi tiga sinar memanjang berwarna merah berkelok-kelok. Zzraasap...! Tiga sinar merah yang memanjang tiada putus dari ujung pedang tersebut menghantam tubuh si Urat Setan. Traat... dueer...! Tubuh Urat Setan yang bermaksud menghindar menjadi terjungkal bersama cambuknya. Kaki kirinya terbakar, api menyala membungkus kaki itu. Tapi dengan satu kali hembusan napas tenaga dalam berhawa dingin, api itu padam kembali.
"Puiih...!"
Sedangkan pedang Dewa Rayu masih memancarkan kilatan-kilatan cahaya merah kecil-kecil dan memanjang. Sebenarnya cahaya itu akan diarahkan kembali ke tubuh si Urat Setan. Tetapi sinar hijau besar yang berkelok-kelok karena ditumpangi sinar merah pertama tadi sedang meluncur ke arah Dewa Rayu. Mau tak mau pemuda tampan itu mengarahkan percikan tiga sinar dari ujung pedangnya.
 Traatt... blaaarr...!
 Kini sinar hijau itu meledak dengan dahsyat.
Gelombang ledaknya menghentak dan menaburkan hawa panas yang tinggi. Kulit pohon mengelupas dan dedaunan menjadi keriting karena hawa panas itu. Sedangkan tubuh Dewa Rayu cepat-cepat bersembunyi di balik batang pohon besar yang juga ikut terkelupas kulitnya di bagian yang mengarah ke ledakan tadi. Sedangkan Urat Setan sempat berlompatan penuh makian menghindari hawa panas yang menyengat kulit tubuhnya.
"Bocah Edan! Jurus apa yang digunakan itu?!" rutuk Urat Setan sambil berlindung di balik pohon besar juga.
Ketika gelombang hawa panas hilang, kedua tokoh yang bertarung itu sama-sama keluar dari pohon. Tapi pedang Dewa Rayu yang terbuat dari logam kuningan mengkilap mirip emas itu masih memercikkan tiga larik sinar berkelok-kelok. Pedang itu tetap terangkat lurus dan tiga sinarnya menjilat bumi sekitar tempatnya berpijak.
Lancang Puri ternyata sudah lenyap dari atas gugusan batu cadas. Tentunya kesempatan itu dipergunakan untuk melarikan diri daripada harus melayani pertarungan dengan Urat Setan. Melihat hilangnya Lancang Puri, Urat Setan sempat terperanjat, lalu dilihatnya teriakan perempuan itu sudah berada di tempat yang jauh, menyelinap di sela-sela jajaran pohon hutan.
"Lancang Puri! Jangan lari kau! Tunggu...!" teriak Urat Setan sambil bergegas melarikan diri mengejar Lancang Puri. Tetapi Dewa Rayu berkelebat dengan gerakan saltonya dan tahu-tahu sudah menghadang jangkah Urat Setan.
"Tak kuizinkan kau mengejar kekasihku, Pak Tua!"
"Kurajang habis tubuhmu kalau tak mau minggir dari depanku, Bocah dungu!" sambil cambuknya siap-siap mau dilecutkan. Tapi Dewa Rayu tak merasa takut sedikit pun. Pedangnya yang masih memercikkan tiga larik sinar kecil menjilat-jilat bumi itu segera ditebaskan ke depan. Wuutt...! Srraaat...! Tiga sinar merah menyambar tubuh si Urat Setan. Namun orang itu mampu bergerak cepat bagaikan menghilang, tahu-tahu sudah berada di belakang Dewa Rayu. Ia melecutkan cambuknya di udara dengan kibasan tangan bolak-balik. Ujung cambuk itu melecut berkelok-kelok dan menaburkan sinar-sinar merah kecil.
Tar, tar, tar, tar, tar, tar...!
Hujan sinar merah kecil mirip gerakan ular ganas segera menyerang Dewa Rayu. Jumlah sinar tersebut lebih dari dua puluh larik berukuran masing-masing satu atau dua jengkal panjangnya. Dewa Rayu sempat kebingungan menghindari sinar merah sebanyak itu. Ujung pedangnya sudah tak bisa menyerap sinar itu lagi karena tiga larik sinar masih memercik dari ujung pedang tersebut.
Dalam keadaan terdesak seperti itu, sesosok tubuh tiba-tiba menyambar Dewa Rayu dari arah belakang. Wuuttt...! Tubuh Dewa Rayu bagaikan diajak terbang ke tempat seberang, sementara hujan sinar merah segera mengejar ke arah seberang juga. Sinar-sinar itu bergerak bagai rombongan ular terbang yang tak mau biarkan lawan atau mangsanya lolos dari pengejaran.
Orang yang menyambar tubuh Dewa Rayu itu segera sentakkan tangan kanannya, dan gumpalan asap hitam bagaikan awan mendung menyembur dari telapak tangan itu. Kian lama kian tebal dan menyergap rombongan sinar merah yang menghujani Dewa Rayu tadi. Kejap berikutnya, terdengar gelegar ledakan yang cukup dahsyat sempat membuat tanah bergetar hebat, blegaaarrr...!
Beberapa pohon yang tumbang tak dihiraukan oleh mereka. Bagian tanah yang retak pun tak diperhatikan lagi. Kini sasaran orang yang menyambar Dewa Rayu adalah Urat Setan. Dipandanginya Urat Setan dengan mata angker penuh gairah untuk membunuh.
"Jahanam kau, Harimu Jantan! Rupanya kau ingin ikut modar juga dengan bocah dungu itu, hah?!"
Harimau Jantan tertawa terkikik-kikik. "Hik, hik, hik, hik...!" Tawanya itu mirip kuntilanak, sehingga Dewa Rayu menjadi terheran-heran memandangi orang yang menyambarnya itu. Harimau Jantan berkata kepada
Dewa Rayu dengan suara perempuannya,
"Diamlah di sini, biar kuhadapi si Urat Setan! Lihatlah bagaimana membunuh urat yang hidup dengan liar! Hik, hik, hik...!" Lalu tangannya sempat mencubit pipi Dewa Rayu dengan gemas. "iiih... gantengnya!" ia melenggok manja. Tapi tiba-tiba tubuhnya melesat cepat. Walau gemuk, namun mampu berkelebat secepat daun kering diterbangkan angin badai. Weesss...!
"Mati kau, Urat Setan...!" teriaknya dalam suara kecil dan golok pun dicabutnya. Golok itu segera berkelebat menebas ke depan pada saat cambuk hitam kemerahan itu mau melecut tubuhnya. Traakkk...! Cambuk melilit di mata golok putih, dan golok itu tiba-tiba bersinar membara warna merah, bagaikan terpanggang api.
Harimau Jantan menyentakkan ke samping. Wuuuttt...! Teess...! Tapi cambuk itu putus seketika. Urat Setan terbelalak melihat cambuknya putus.
"Hiaaah...!" pekik Harimau Jantan dengan sentakkan tangan kiri yang membentuk cakar harimau. Dari tangan kirinya keluar asap hitam seperti tadi, namun sebelum menjadi gumpalan besar sudah dihantam oleh pukulan tenaga dalam Urat Setan. Blaarr...! Pukulan tanpa sinar itu justru menghasilkan sinar ledak warna putih ketika membentur asap hitamnya Harimau Jantan.
Dewa Rayu yang telah memasukkan pedang ke  sarungnya segera berkelebat pergi ke arah pelarian Lancang Puri. "Aku tak bisa berpisah terlalu lama denganmu, Kasih! Lancang Puriii....! Peluklah aku, Sa-yaaang...!" serunya sambil melesat pergi, dan seruan itu didengar oleh kedua tokoh yang sedang bertarung itu, tetapi mereka tak bisa hiraukan Dewa Rayu karena keduanya saling serang dengan sengit.
Pada saat itu Suto Sinting tiba di tempat tersebut bersama Logo. Ia berpencar dengan Angin Betina untuk mencari Lancang Puri yang diduga keras telah mencuri Kitab Lorong Zaman. Pendekar Mabuk menahan gerakan langkah Logo dan menyuruh Logo bersembunyi di balik dua pohon yang tumbuh merapat itu.
"Siapa mereka?" tanya Logo.
"Urat Setan dan Harimau Jantan. Keduanya punya dendam yang harus diselesaikan secara jantan. Tapi aku sangsi apakah Harimau Jantan itu benar-benar jantan, sebab gerakannya seperti gerakan seorang putri raja memainkan jurus golok dengan gemulai."
"Apakah aku perlu turut campur?"
"Jangan, Logo! Itu bukan urusan kita. Kita tonton saja seperti apa keunggulan jurus mereka," kata Suto Sinting dengan mata tertuju ke arah pertarungan.
Gerakan Harimau Jantang memang lebih mirip gerakan silat seorang wanita malu-malu kucing. Kadang ia berlindung di balik pohon dan menampakkan kepalanya sambil tersenyum-senyum malu tapi kejap berikut tangan kirinya melepaskan pukulan tenaga dalam yang bergerak dengan cepat. Wuutt...!Dees! Pukulan itu terkena telak di dada Urat Setan, sukar ditangkis dan dihindari.
"Uuuhg...!" Urat Setan terbungkuk, dadanya terasa mau jebol. Namun ia segera sigap kembali dan membalas dengan melepaskan pukulan jarak jauh.
Clap, Clap, Clap,..!.
Tiga sinar merah berbentuk tiga pisau terbang melesat ke arah Harimau Jantan. Tapi tiga sinar itu mampu dipatahkan dengan kibasan goloknya yangbergerak cepat nyaris tak terlihat kecuali kilatan cahaya logamnya terkena pantulan sinar matahari.
Harimau Jantan akhirnya memutar tubuh bagaikan sedang menari, dan goloknya dilemparkan pada saat tubuh berputar. Lemparan golok itu sama sekali tidak diduga-duga oleh lawan, sehingga Urat Setan terperanjat, tahu-tahu ulu hatinya telah ditancap oleh golok tersebut. Jruub...!
"Aahg...!" mata Urat Setan mendelik, kaku sebentar, lalu tumbang dalam keadaan tengkurap. Bluuss...! Tentu saja golok itu semakin menembus tubuhnya karena membentur tanah.
"Goblok, goblok, goblok...!" seru Harimau Jantan dengan langkah melenggok-lengok dekati Urat Setan. "Sudah tahu golok ada di depannya kok jatuhnya ke depan. Uuh... payah! Lain kali pakai cara sendiri kalau mau jatuh, biar... lho, sudah mati?!" katanya sambil menggulingkan tubuh Urat Setan yang tidak bernapas lagi itu.
"Ya, ampuuun... mau mati kok tidak bilang dulu. Kalau begini aku tidak bisa titip pesan sama nenek moyangku di alam baka sana. Ah, masa bodohlah!" golok pun dicabut dengan gerakan gadis ganjen mencabut sesuatu dengan jijik.
"Eh, ke mana tadi si tampan berkumis tipis?! Aduh, pasti bersembunyi cari tempat untukku! Hmmm... awas nanti kalau tertangkap, kusekap dia semalam suntuk, biar tahu rasa bagaimana nikmatnya bercumbu denganku. Hik, hik, hik...!"
Harimau Jantan pergi searah dengan kepergian Dewa Rayu. Arah yang diambil secara untung-untungan itu membuat Suto Sinting berkerut dahi dan berkata, "Pasti yang dimaksud si Dewa Rayu. Hmm... mau diapa-kan anak muda itu?".

*
* *

7
PENGEJARAN Dewa Rayu tanpa disengaja berhasil menemukan Lancang Puri. Sebenarnya Dewa Rayu sudah salah langkah, salah arah, tapi justru arah yang dituju itu adalah jalan pintas menuju jalanan yang dipergunakan Lancang Puri. Maka ketika Dewa Rayu melihat Lancang Puri berlari dari arah samping kanannya, ia segera mendaki bukit cadas yang tak seberapa tinggi itu dan melompat turun dengan gerakan bersalto tiga kali. Wuk, wuk, wuk...! Jleeg...!
Kedua kaki pemuda tampan yang terpengaruh Racun Edan Cumbu itu mendarat di tanah dengan sigap. Tepat ketika itu kaki Lancang Puri mencapai tanah di sampingnya. Langkah perempuan itu pun terhenti dengan suara dengus kedongkolan melalui lubang hidungnya yang mancung itu.
"Sial! Ketemu dia lagi!" gerutunya dalam hati. "Lancang Puri, mengapa kau tinggalkan aku, Sayang?!" rayu pemuda tampan setengah gila itu. "Dekatlah aku, pelukiah aku erat-erat! Kalau kau tak mau, biarlah aku memelukmu, Sayang...!"
Dewa Rayu mendekat dengan kedua tangan merentang siap memeluk. Namun Lancang Puri tiba-tiba hantamkan telapak tangan kanannya ke dada Dewa Rayu.
Deeegh...!
"Pergi kau dan jangan ganggu aku lagi!" bentaknya.
Dewa Rayu diam bagaikan patung dengan kedua tangan masih merenggang seperti hendak memeluk. Matanya tak berkedip, mulutnya terkatup rapat. Tetapi dari mulut itu segera merembas keluar lelehan darah kental warna merah segar. Pukulan di dadanya telah membuat luka di bagian dalam, luka itulah yang menyemburkan darah naik ke mulut dan membuat pandangan mata mulai kabur.
Pemuda yang sudah kasmaran itu akhirnya limbung ke samping. Namun ia masih berusaha untuk tetap berdiri dan bersuara parau,
"Lancang Puri... ciumlah aku seperti kemarin. Ciumlah dengan penuh cinta, Sayangku...!" sambil ia berusaha mendekat. Lancang Puri semakin benci melihat lelaki yang terlalu mudah mengobral rayuan. Maka ditendangnya dada pemuda itu dengan tendangan lurus ke depan, ujung kakinya menyodok ulu hati Dewa Rayu.Wuutt...! Duuhg...!
"Eeehg...!" Dewa Rayu terpekik tertahan. Tendangan itu bukan sembarang tendangan. Tenaga dalam disalurkan melalui kaki, sehingga tak heran jika tendangan itu mampu membuat tubuh Dewa Rayu tersentak naik, darahnya kian mucrat dari mulut. Matanya mulai terbeliak-beliak pertanda nyawa mulai siap-siap pergi dari raga tampan itu.
Namun tiba-tiba sekelebat bayangan berjubah hitam melintas dan menyambar tubuh Dewa Rayu. Wuuut...! Dalam waktu sekejap tubuh pemuda itu sudah ada di pundak orang tersebut. Terkulai lemas di pundak itu.
"Kalau tak suka, jangan bunuh dia! Biar kurawat di Pulau Lanang!"
"Bibi...?!"
"Aku membutuhkan dia sebelum purnama tiba!"
"Jika itu kehendak Bibi, silahkan saja. Aku tak akan mengganggunya lagi."
"Cepat ke pantai, ambil kitab itu di sana, pada tempat yang sudah kujanjikan. Aku akan langsung menuju Pulau Lanang bersama pemuda ini!"
Sepasang mata yang mengintai dari balik celah batu hanya membatin, "O, kitab itu ada di pantai? Sebaiknya aku ke sana sekarang juga. Tapi... di sebelah mana kitab itu disembunyikannya? Pantai itu luas, tak mungkin aku harus menggali pasir pantai seluas itu?!"
Si pengintai menjadi tertarik dengan kemunculan orang gemuk berpakaian serba hijau itu. Rupanya si pengintai mengenali orang gemuk berwajah angker, sehingga ia membatin,
"Harimau Jantan?! Apakah ia juga ikut merebutkan kitab pusaka itu?!"
Suara Karto Kusir yang menjuluki dirinya Harimau Jantan terdengar cempreng dan kecil, mirip seorang istri yang cerewet. Matanya memandang ke arah Nyai Gandrik yang memanggul tubuh Dewa Rayu dan hendak dibawanya pergi.
"Hei, Gandrik?! Mau dibawa ke mana si tampan itu?! Dia bagianku! Lepaskan dia, biar kudekap semalam suntuk baru kuberikan padamu, Gandrik!"
"Hancurkan mulut kotor itu, Lancang Puri!" perintah Nyai Gandrik dengan nada tegas dan berkesan bengis. Lancang Puri hanya anggukkan kepala tipis. Lalu ia biarkan bibinya pergi membawa Dewa Rayu yang terluka parah.
"Hei, tunggu...! Kurusuh meletakkan pemuda itu kok malah dibawa lari?! Gandrik...! Gandrik...! Aduuuh... itu orang kenapa jadi tuli, ya?"
Wuuttt...! Harimau Jantan yang banci itu segera melesat mengejar Nyai Gandrik yang berlari cepat sambil memanggul Dewa Rayu. Tapi gerakan Harimau Jantan terhalang karena serangan tenaga dalam dari tangan kanan Lancang Puri. Tenaga dalam itu melesat tanpa warna dan menghantam rusuk kiri Harimau Jantan. Buuugg...!
"Uuhg...!" Harimau Jantan mengejang dalam keadaan terlempar dan jatuh berdebam di tanah cadas, ia mengerang sejenak dengan wajah menyeringai. Sementara itu Nyai Gandrik sudah semakin jauh dalam pelariannya.
"Kalau kau nekat mengejar bibiku, kau akan lebih menderita lagi, Harimau Banci!" kata Lancang Puri yang sudah mengenal lelaki itu.
"Bibimu mencuri kekasihku!" kata Harimau Jantan sambil berdiri. "Aku sedang naksir pemuda itu, tapi dibawanya lari. Tentu saja aku marah. Mengapa kau melarangku mengejarnya?"
"Dewa Rayu akan menjadi obat bagi bibiku! Kau jangan mengganggunya lagi! Carilah pria lain yang pantas menjadi pasangan cinta edanmu itu, Karto Kusir!"

"Aku tidak mau! Aku kepingin pemuda itu!"
"Kalau kau masih nekat mengejar bibiku, aku terpaksa bertindak lebih kasar lagi padamu, Karto Kusir!"
"Eh, kau kira aku takut padamu? Kau kira aku takut? iya?" sambil mulutnya maju, dimonyong-monyongkan dengan genit, ia meliuk ganjen dengan bersungut-sungut. Lalu bibirnya mencos sana-sini ketika berkata,
"Biar kamu muridnya Resi Demang Sudra, aku tak gentar melawanmu. Kecantikanmu pun tak sebanding dengan kecantikanku. Bagaimanapun juga lelaki akan mengatakan aku lebih ayu, lebih manis darimu. Hmmm...! Kusosor baru kapok kau!"
Kemudian Harimau Jantan nekat berlari mengejar Nyai Gandrik. Tetapi Lancang Puri segera lepaskan pukulan seperti tadi dan tepat kenai punggung Harimau Jantan. Buuhg...! Gasruuuk...! Harimau Jantan tersungkur ke tanah.
"Eh, copot...! Aauh...!" pekiknya bernada genit-genit menjijikkan. Hampir saja kumisnya menyapu tanah kalau kedua tangan tak segera bertumpu dan menyentak naik dengan cepat. Tak heran jika dalam sekejap kurang ia sudah berdiri dan berpaling kepada Lancang Puri. Orang itu walaupun berbadan gemuk, tapi kelincahannya melebihi orang yang berbadan kurus.
"Kurangajiiiaar...!" umpatnya dengan bibir miring tajam hampir mirip gagang centong nasi. "Tindakanmu sudah keterlaluan, Lancang Puri. Aku harus memberi pelajaran baru untukmu! Hiaaah...!"
Harimau Jantan melompat dan menerjang Lancang Puri. Oleh perempuan itu terjangan tersebut justru disambut dengan terjangan lebih cepat lagi. Tubuh mereka saling beradu di udara. Bruuuss...! Des, des...! Pangkal telapak tangan Lancang Puri berhasil menyodok dagu Harimau Jantan dua kali. Tetapi kedua tangan Harimau Jantan pun berhasil mencakar dada Lancang Puri yang hanya tertutup pinjung sebatas belahan dadanya. Breet...!
Ketika mereka sama-sama terpental dan bangkit berdiri kembali, Harimau Jantan meludahkan darah dari mulutnya. Rupanya mulutnya berdarah karena hantaman telapak tangan Lancang Puri tadi. Dua giginya tanggal, dua lagi hampir ikut rontok, hanya goyang sedikit. Sedangkan dada mulus Lancang Puri menjadi terluka. Luka goresan itu sangat dalam, karena tiba-tiba saja tadi jari-jari Karto Kusir yang banci itu dapat keluarkan kuku runcing yang tak begitu tajam, mirip kuku seekor harimau.
Dengan napas terengah-engah karena menahan sakit di dagunya yang terasa remuk, Harimau Jantan berkata setelah melihat dada lawannya koyak tiga baris.
"Tak akan ada obatnya! Jurus 'Cakar Harimau Siang' akan membusukkan sekujur tubuhmu. Sampai tengah malam nanti kau akan mati dalam keadaan membusuk sekujur tubuh tanpa kecuali. Racun itu sulit ditawarkan, sama halnya dengan Racun Edan Cumbu-mu itu. Hik, hik, hik...!"
"Jahanam kau, Karto Kusir!" geram Lancang Puri dengan mata menyipit dendam dan kedua tangan menggenggam kencang, ia merasakan panas luar biasa pada luka-lukanya, namun berusaha ditahannya kuat-kuat.
"Kau akan menjadi wanita terbusuk di dunia. Hik, hik, hik, hik...! Jika kau mau sembuh, kau harus dapatkan kembali pemuda tampan itu untukku, maka aku akan memberikan obat penawar racun 'Cakar Harimau Siang' itu!"
"Persetan dengan ucapanmu! Kubalas dengan kematianmu, Karto Kusir! Hiaat!" Pedang pun segera dicabut dari sarungnya. Sraang...! Lancang Puri memainkan jurus kembangan sebentar dengan menebas-nebaskan pedang ke sekelilingnya. Harimau Jantan hanya menyeringai sambil melangkah ke samping, membentuk lingkaran untuk pelajari kelemahan Lancang Puri.
"Pakailah sepuluh pedang biar hatimu puas. Kau tak akan bisa menggoreskan pedang itu ke tubuhku, Lancang Puri! Kau tak akan bisa kalahkan aku!"
"Lihat saja jurus pedangku, Manusia kotor!" geram Lancang Puri makin merasa tersinggung karena ejekan itu. Maka dengan cepat ia segera melompat maju dan pedangnya ditebaskan ke samping kanan-kiri, lalu berkelebat miring dari kanan ke kiri. Wuuutt....' Weesss...! Tubuh lawan lompat mundur tepat pada waktunya. Akibat lompatan mundur itu, pedang Lancang Puri selalu temui tempat kosong.
Tetapi Harimau Jantan sama sekali tak menduga kalau tebasan pedang menyamping itu telah lepaskan sinar kuning melebar dan langsung menyergap dadanya. Jlaaab...! Beegh...!
Sinar kuning dari tepian pedang bagaikan menghantam dada dengan sangat kuat. Tubuh gemuk berdada keras bagai batu gunung itu tersentak mundur dan terlempar jauh ke belakang. Blaaak...! Tubuh gemuk itu jatuh terkapar dengan kedua tangan terentang.
"Aaahhg...!" suara kecil meraung kesakitan. Tapi toh nyatanya Harimau Jantan masih bisa bangkit berdiri  dengan terbatuk-batuk sesaat. Dada itu tidak jebol, bahkan membekas merah atau biru juga tidak. Hal itu membuat mata Lancang Puri terkesiap heran.
"Biasanya jurus 'Pedang Belerang' bisa menjebolkan dada orang, tapi kenapa dada itu masih utuh tanpa luka membekas sedikit pun? Luar biasa lapisan tenaga dalamnya! Tanpa lapisan tenaga dalam yang kuat tak mungkin dada itu menjadi sekokoh gunung batu," pikir Lancang Puri sambil memainkan pedangnya sekadar menunggu saat menyerang selanjutnya.
Sementara itu, orang yang mengintai dari balik celah batuan cadas itu berkata dalam hatinya, "Sebaiknya kutunggu Lancang Puri pergi ke pantai dan kuikuti secara diam-diam. Kalau dia kuserang sekarang juga, maka aku tidak bisa mengetahui di mana kitab pusaka itu disembunyikan."
Suto Sinting dan Logo tiba di tempat itu dari arah seberang si pengintai. Pada waktu Suto tiba di sana, Harimau Jantan sedang lakukan serangan dengan goloknya. Lompatannya yang menyerupai lompatan seekor harimau menerkam mangsa itu tidak dihindari oleh Lancang Puri. Tetapi tiba-tiba Lancang Puri sentakkan pedangnya ke depan bagai dihujamkan. Bertepatan dengan itu, dari ujung pedang melesat jarum-jarum emas yang banyak jumlahnya. Zraab...!
Jarum-jarum emas itu menerjang tubuh Harimau Jantan. Golok segera ditebaskan dengan cepat untuk singkirkan jarum-jarum itu. Percikan api terlihat saat golok menyala merah dan membentur jarum-jarum emaa. Tetapi gebasan golok itu tidak mampu menyingkirkan semua jarum yang jumlahnya cukup banyak itu. Sebagian jarum ada yang menerjang ke tubuh Harimau Jantan baik di dada maupun di pundak atau tempat lainnya. Jraabb...!
"Aaaahg...!" Harimau Jantan terpekik lagi. Tapi kali ini ia berhasil berdiri dengan tubuh mengejang. Tubuh itu akhirnya berlutut, kepala terdongak ke atas menahan sakit. Asap mulai keluar dari tubuh itu. Tampak perubahannya begitu nyata, tubuh tersebut segera menghitam, rambut-rambut rontok, alis dan kumis yang tebal juga rontok.
"Tak lama lagi kau akan mati hangus seperti para pendeta itu, Karto Kusir!" geram Lancang Puri tak sadar di belakangnya ada Suto dan Logo.
Zlaaap...!
Pendekar Mabuk berkelebat cepat melebihi anak panah setelah menenggak tuak sebentar. Lalu tubuh yang mengepulkan asap dan nyaris menjadi hangus itu disembur dengan tuak dalam mulut Suto.
Brrruuss...!
Jurus 'Sembur Husada' dilakukan oleh Pendekar Mabuk demi selamatkan Harimau Jantan dari ancaman mati hangus seperti Pendeta Mata Lima itu. Kehadiran Suto ternyata sempat mengejutkan Lancang Puri. Ia segera memasukkan pedangnya. Sementara itu matanya kembali memandangi Harimau Jantan dan kejadian aneh kembali membuat mata perempuan cantik itu terperanjat heran.
Tubuh Harimau Jantan yang nyaris mati terbakar hangus itu berubah menjadi kecoklat-coklatan. Kulitnya yang semula mulai mengelupas menjadi terkatup rata kembali. Harimau Jantan tak jadi mati terbakar hangus, bahkan ia menjadi sehat walau terpaksa terkulai lemas beberapa saat. Tapi dilihat dari keadaan kulit tubuhnya, jelas kekuatan api dahsyat di dalam tiap jarum emas itu telah mampu dipadamkan oleh semburan tuak Suto Sinting.
"Mengapa kau menolongnya? Dia orang jahat! " kata Lancang Puri. Suto Sinting menjawab diiringi senyum tipisnya,
"Sejahat-jahatnya dia, kurasa lebih jahat wajah cantikmu, Lancang Puri! Rupanya kaulah yang membunuh Pendeta Mata Lima dan Pendeta Jantung Dewa!"
Lancang Puri diam, lidahnya bagaikan kelu sesaat. Tapi batinnya berkata,
"Sial, dia sudah mendengar ucapanku tadi! Sekarang ganti aku yang diintainya. Kemarin dia yang kuintai saat melawan Siluman Tujuh Nyawa. Rahasia jurusnya sempat kuketahui tapi rahasia kekejianku sekarang justru diketahui olehnya. Tentu saja rahasia jurus 'Jarum Emas'-ku juga diketahuinya. Apa boleh buat, kurasa aku harus mengakuinya daripada dia mengecamku sebagai wanita pembohong. Kurasa dengan mengakui perbuatanku, dia punya peniiaian baik tersendiri padaku."
"Apakah kau juga yang menenggelamkan kedua biara itu ke dalam bumi, Lancang Puri!" tanya Suto ingin tahu.
Perempuan cantik itu akhirnya menjawab, "Tidak. Bukan aku yang melenyapkan reruntuhan biara dan para mayatnya. Aku hanya membantai mereka karena ingin kuasai ilmu yang ada di dalam Kitab Lorong Zaman. Tentang menghancurkan biara dan melenyapkannya itu tugas dari bibiku; Nyai Gandrik!"
"Tak kusangka kau sekejam itu, Lancang Puri."
"Aku terpaksa melakukannya karena Kitab Lorong Zaman sulit dicuri sebelum kedua pendeta itu mati!"
"Berarti tindakanmu itu tidak terpuji."
"Terserah apa anggapanmu. Kubutuhkan jurus-jurus di dalam Kitab Lorong Zaman, karena ada sesuatu yang ingin kuambil dari masa lalu guruku."
"Sesuatu apa?"
"Panji-panji Mayat!"
Bukan Suto Sinting saja yang berkerut dahi, tapi orang yang bersembunyi di celah batuan cadas itu juga berkerut dahi. Bahkan orang itu berkata dalam hatinya,
"Kalau tak salah, mendiang guru pernah ceritakan tentang pusaka bernama Panji-panji Mayat. Benda itu adalah sebuah bendera. Siapa yang membawa benda Panji-panji Mayat, ia akan menjadi orang yang mampu membangkitkan mayat di mana pun berada dan mempunyai sejumlah pasukan mayat yang tunduk pada perintahnya. Konon pusaka Panji-panji Mayat pernah dimiliki oleh seseorang yang menjadi raja dengan jumlah rakyat terdiri dari orang yang pernah mati. Bahkan ilmu orang yang pernah mati itu dapat disedot dan diambil menjadi milik si pemilik Panji-panji Mayat. Tapi... apakah Suto Sinting mengetahui hal itu?"
Suto Sinting menyimpan pertanyaan dalam hatinya. Kini yang dilontarkan adalah pertanyaan lain, "Apakah kitab itu sekarang ada padamu, Lancang Puri?"
"Tidak ada!" jawab Lancang Puri dengan tegas.
"Jujurlah padaku. Kitab itu perlu diselamatkan agar tidak menjadi bahan incaran para tokoh sesat dan dipergunakan untuk keperluan yang dapat mengacaukan kehidupan di muka bumi."

"Kalau kau kehendaki kitab itu juga, sama saja kau kehendaki nyawaku, Suto. Bagaimanapun juga aku tak akan berikan kitab itu pada siapa pun! Kupertaruhkan dengan selembar nyawaku, Suto!"
"Aku tidak menghendaki pertarungan denganmu, Lancang Puri. Tetapi barangkali kau perlu belajar dari pengalaman. Aku siap memberimu pelajaran."
"Tantanganmu  cukup halus, Suto!" kata Lancang Puri dengan tersenyum sinis. "Tapi percayalah, aku tak akan menghindari tantanganmu. Akan kulayani tantangan itu apa pun jadinya nanti!"
Pada saat itu Suto Sinting hanya tersenyum, tak mau mengawali serangan lebih dulu. Bahkan ia bermaksud membujuk dengan kata-kata saja. Tapi mendadak Harimau Jantan bangkit dan langsung lepaskan serangan jarak jauh berupa sinar biru dari telapak tangannya. Claapp...!
Lancang Puri Tangkas dan sigap, ia segera kibaskan tangan kanannya berkelebat ke kiri. Dari lengan jubahnya keluar sinar merah lebar dan menjadi perisai bagi sinar birunya Harimau Jantan. Blaarr...!
"Tahaan...!" seru Suto seraya berdiri di pertengahan jarak antara Harimau Jantan dan Lancang Puri. Harimau Jantan memandangi Suto dengan heran dan segera menyapa dengan suara perempuannya,
"Siapa kau? Berani betul kau menahan seranganku, hah?!"
Suto Sinting memaklumi jika Harimau Jantan tidak mengenalinya lagi, sebab setiap orang yang disembuhkan dengan jurus 'Sembur Husada' setelah sembuh akan lupa tentang siapa Suto. Kenangan dalam otaknya ikut lenyap bersama penyakit yang disembur memakai tuak, karenanya ia tidak akan mengenali Suto lagi. Mau tak mau Suto menjelaskan dari awal siapa dirinya dan kapan pertemuannya, barulah orang tersebut mengenali Suto dan teringat kembali hal-hal yang pernah dialami bersama Suto.
Tetapi kali ini Suto Sinting tidak sempat berikan penjelasan kepada Harimau Jantan karena serangan dari pihak Lancang Puri datang secara beruntun. Serangan itu berupa kibasan pedang yang memancarkan sinar kuning ke mana-mana, sehingga Suto dan Harimau Jantan bagaikan dihujani sinar kuning yang dapat menjebolkan dada manusia itu. Clap, Clap, Clap, Clap, Clap...!
Suto Sinting dan Harimau Jantan menghindarinya saling berlompatan. Tapi pada satu kesempatan, sinar itu menghantam pinggang kiri Suto ketika Suto menangkis sinar kuning lainnya dengan bumbung tuak. Dees..! Pendekar Mabuk jatuh terpental ke arah bebatuan cadas, sedangkan tubuh gemuknya Harimau Jantan juga terlempar karena hantaman sinar kuning yang berserabutan itu.
Melihat Suto jatuh, Logo tak mau diam saja. Ia segera melompat dan berkelebat menendang punggung Lancang Puri. Buuhg...! Tendangan itu sangat telak dan keras. Lancang Puri bukan saja jatuh tersungkur namun juga terseret maju hingga berguling-guling. Jika tidak terhalang dua batu besar setinggi lutut, tubuh Lancang Puri masih terguling-guling karena hentakan keras tendangan itu. Dan melihat Lancang Puri terkapar di sana, Logo segera berlari dengan dua lompatan besarnya, lalu kaki kanannya siap-siap menginjak kepala Lancang Puri. Pada saat itu Suto Sinting terperanjat dan berseru,
"Jangan...!"
Tapi agaknya Logo mau nekat memecahkan kepala Lancang Puri dengan kaki besarnya. Hanya saja, sekelebat sinar perak kecil melesat dan menghantam lengan anak jin itu. Dess...! Sekalipun bentuknya sinar perak kecil tapi rupanya mempunyai tenaga dorong yang luar biasa besarnya.
Tubuh anak jin yang marah melihat Suto diserang itu segera terlempar bagaikan daun yang terhempas badai. Wuuusss...! Lalu ia jatuh terpelanting mendekati sebuah pohon besar yang tumbuh dengan daunnya yang rindang. Brruk.! Anak jin itu menggeram jengkel. Kakinya menendang batang pohon besar itu.
Duuurr...!
Daun-daun berguguran nyaris menimbun tubuhnya yang masih terkapar di tanah. Sementara itu orang yang melepaskan pukulan jarak jauh berupa sinar putih perak itu segera muncul dari persembunyiannya. Orang itulah yang mengintai dari celah bebatuan cadas sejak tadi.
"Angin Betina!" sapa Suto Sinting sambil bergegas menghampiri wanita berpakaian hitam ketat dan berambut acak-acakan itu. "Untung kau mampu menyingkirkan Logo. Apakah kau sudah sejak tadi bersembunyi di sana?"
"Ya, dan aku juga mendengar di mana kitab itu disembunyikan. Tapi secara tepatnya belum kuketahui. Sebaiknya biarkan perempuan itu melarikan diri, kita ikuti dari belakang saja. Dia pasti mengambil kitab itu di pantai."
"Di pantai?" Suto balas bersuara bisik. Anak jin itu berdiri dan hendak menyerang Lancang Puri yang sudah bangkit dengan mulut berdarah sedikit. Lancang Puri sendiri siap lepaskan serangan.
Tapi Pendekar Mabuk segera berseru,
"Tahan! Jangan lakukan serangan apa pun, Logo! Tahan amarahmu!"
Logo diam bagaikan patung, tapi matanya mendelik lebar menyeramkan dengan mulutnya meringis menyeringaikan suara geramannya. Lancang Puri mundur dengan siap-siap lepaskan jurus 'Jarum Emas'-nya jika Logo maju menyerang. Tanpa bilang apa-apa, Lancang Puri segera melesat pergi larikan diri. Hatinya hanya membatin,
"Sebaiknya menyelamatkan diri daripada melawan mereka! Mereka bukan orang tandinganku jika menyerang secara keroyokan. Pasti aku akan mati konyol dan akhirnya tak jadi pelajari ilmu di dalam kitab itu! Apa kata mereka, biarlah. Yang penting aku harus segera lari dan membawa kitab itu dari tempat persembunyiannya!"
"Biarkan dia lari," ulang Angin Betina dalam bisikannya kepada Suto.
Pendekar Mabuk perhatikan Harimau Jantan, takut kalau Harimau Jantan menyerang Lancang Puri dari jarak jauh. Tapi rupanya Harimau Jantan justru sedang berlutut dan kakinya gemetaran melihat sosok hitam Logo yang bertubuh lebih besar dan lebih tinggi darinya itu. Wajah Harimau Jantan menjadi pucat ketika Logo melangkah dekati Suto yang berarti harus melewati depannya. Tubuh itu kian gemetaran, sisa kumisnya yang masih menempel namun sudah telanjur terbakar jarum emas tadi menjadi rontok kembali.
Melihat Harimau Jantan ketakutan, Suto Sinting dekati orang itu dan menepuk pundaknya seraya berkata, "Jangan takut!. Dia bukan makhluk jahat!"
"Tap... tapi... tapi dulu aku pernah ditendang jin waktu buang air di bawah pohon. Aku jera dan takut ditendang lagi. Dulu aku tak bisa buang air besar selama tujuh hari gara-gara ditendang jin...!"
"Dia anak jin, tapi tidak segalak dugaanmu. Dia anak yang baik semasa kita bersahabat baik dengannya."
Logo perdengarkan suaranya yang besar tapi masih bernada bocah, "Aku mau kejar dia!"
"Jangan!" cegah Angin Betina. "Kita ikuti saja dia dari kejauhan!"
Suto menyahut, "Kau saja yang mengikutinya, Angin Betina. Aku akan potong jalan menuju pantai secepatnya bersama Logo. Aku akan menyusuri pantai untuk menghadangnya sewaktu-waktu lolos darimu."
"Baik!"
Harimau Jantan yang takut melihat Logo segera menyahut, "Aku pulang saja! Toh aku sudah membalas kematian ketiga muridku dari tangan Urat Setan!"
"Bagaimana dengan pemuda yang dibawa lari Nyai Gandrik itu?" tanya Angin Betina kepada Harimau Jantan.
"Hmmm... eh..biarlah. Aku cari pemuda ganteng lainnya. Yang ini juga boleh," sambil tangannya mencubit dagu Suto Sinting.
Bertt...! Buuhk...! Angin Betina berkelebat memutar tubuh dan menendang dada Harimau Jantan. Dada sekeras batu itu berhasil terguncang keras dan tubuh Harimau Jantan tumbang ke belakang. Angin Betina menghampirinya dan dengan tegas ia mengancam, "Jangan mengusik dia kalau kau tak ingin hancur di tanganku!"

*
* *

8
PANTAI yang dituju Lancang Puri adalah pantai berdinding tebing karang pada sebelah timur dan barat. Di pantai itu terdapat sebuah makam kuno yang menurut cerita para tokoh tua adalah makam seorang tokoh sakti bernama Ki Balantara. Makam itu sudah puluhan tahun ada di pantai tersebut. Sebagian tanahnya sudah membatu. Konon jika air laut sedang pasang, makam itu tak pernah terendam air. Bahkan jika ombak menyapu sampai tepian hutan, makam itu tak pernah terkena ombak, sehingga keadaannya selalu kering.
Lembayung senja mulai menua. Matahari di cakrawala kian tenggelam. Tapi suasana senja tidak membuat Lancang Puri lupa dengan tempat itu. Bibinya telah membawa lari Kitab Lorong Zaman dari Biara Genta dan menyimpannya di sela-sela bebatuan bagian kiri makam Ki Balantara.
Sementara Nyai Gandrik membawa lari kitab pusaka itu, Lancang Puri pun disuruhnya lari berbeda arah untuk memancing Urat Setan yang juga menghendaki kitab tersebut. Dengan cara begitu Nyai Gandrik dapat membawa lari kitab pusaka itu dengan bebas tanpa penghadang satu pun. Justru orang akan terkecoh dan menyangka kitab ada di tangan Lancang Puri. Tetapi mereka sebelumnya sudah sepakat untuk menyimpan kitab di tempat itu, untuk kemudian akan diambil Lancang Puri jika keadaan sudah aman dan dibawanya lari ke Pulau Sabung, tempat Perguruan Perisai Sakti berada. Pulau Sabung letaknya tak seberapa jauh dengan Pulau Lanang, sehingga sewaktu-waktu Nyai Gandrik bisa berkunjung ke perguruan milik keponakannya itu. Tetapi alangkah kecewanya Lancang Puri ketika mengetahui kitab itu tidak ada di tempat yang dijanjikan dan disepakati dengan bibinya. Batu-batu dibongkarnya semua, pasir dikeruknya, tapi kitab tersebut tetap tidak ditemukan. Lancang Puri menjadi berang dan jengkel sekali.
"Bibi menipuku!" geramnya penuh kemarahan. "Kitab itu pasti dibawanya ke Pulau Lanang untuk dipelajari sendiri! Jahat!" Lancang Puri menendang bongkahan batu yang segera melayang dan pecah di udara. Prakk! Gemuruh kemarahan di dalam dada semakin ingin meledakkan seluruh tubuhnya. Napas pun terengah-engah karena tak bisa lampiaskan kemarahan kepada bibinya. Lancang Puri sama sekali tak menduga kalau bibinya akan berkhianat.
"Aku harus melabrak Bibi ke Pulau Lanang! Tak peduli dia bibiku sendiri jika menghalangi niatku pelajari ilmu Kitab Lorong Zaman, akan kulawan dengan pertaruhkan nyawaku!"

Sepasang mata Angin Betina yang mengintip dari atas pohon memperhatikan gerakan-gerakan Lancang Puri, sehingga ia dapat menyimpulkan apa yang terjadi pada diri Lancang Puri.
"Ternyata ia ditipu oleh bibinya sendiri. Hmm...! Berarti kitab itu sekarang ada di tangan Nyai Gandrik! Aku harus merebutnya dengan cara bagaimanapun. Mungkin aku memang harus menyusulnya ke Pulau Lanang!"
Angin Betina masih di atas poon berdaun lebat. Keadaannya di atas pohon tak mudah diketahui orang dari bawah, karena dahan pohon itu sendiri tumbuh bersilang-silang dengan rapat.
Dari atas pohon itu juga, Angin Betina melihat gerakan seseorang yang berlari menembus hutan. Pandangan mata yang tak sengaja itu membuatnya tercengang, dan segera mengejar orang tersebut dari pohon ke pohon bagaikah seekor kelelawar betina. Angin Betina lakukan pengejaran terhadap orang itu karena dilihatnya tangan kiri orang itu menentang sebuah kitab berwarna hijau dan berukuran sedikit besar serta tebal.
Dalam waktu singkat, Angin Betina mampu menghadang langkah orang yang membawa kitab berwarna hijau tua itu. Jleeg...! Orang itu kaget melihat Angin Betina tahu-tahu sudah berada di depan langkahnya. Angin Betina menyapa lebih dulu dengan nada ketus dan sinis.
"Ternyata kau yang mencuri Kitab Lorong Zaman itu, Harimau Jantan?!"
Dengan suara genitnya Harimau Jantan menjawab, "Kebetulan saja. Saat kucari Urat Setan, kutemukan Lancang Puri dan Nyai Gandrik sedang berembuk tentang kitab ini. Lalu kulihat Nyai Gandrik sembunyikan kitab ini di dekat makam Ki Balantara. Lalu kuikuti dia, ternyata dia mau colong kekasihku, si tampan yang dihajar Lancang Puri itu. Aku sakit hati sekali. Sakiiit... sekali! Maka kucuri saja kitab ini sebagai ganti dibawanya si tampan itu!"
"Sekarang kitab itu serahkan padaku."
"Tak bisalah, ya...?!" ia melengos ganjen. Kitab didekap. "Aku juga mau pelajari ilmu yang ada di dalamnya."
Tiba-tiba sekelebat benda kuning emas menyerang Harimau Jantan dari belakang. Zraabb...! Ternyata benda kuning emas itu  adalah sekumpulan jarum beracun milik Lancang Puri. Rupanya Lancang Puri mendengar suara orang berlari dan ia mengikutinya sampai tempat tersebut.
Jarum beracun ganas yang mematikan itu tak bisa dihindari lagi oleh Harimau Jantan. Tubuhnya mengejang dan dalam sekejap ia telah tumbang menjadi hangus seperti nasib kedua pendeta kakak-beradik itu. Semua pakaian dan goloknya juga ikut terbakar. Tetapi Kitab Lorong Zaman tetap utuh tanpa bekas hangus sedikit pun.
Melihat Harimau Jantan mati hangus, Angin Betina segera menerjang mayat itu sebelum rubuh. Wuuutt...! Bresss...! Mayat itu terpental dan Kitab Lorong Zaman sudah berada di tangan Angin Betina.
Lancang Puri berang. "Jahanam! Serahkan kitab itu!" teriaknya keras-keras.
Angin Betina hanya memandang dengan mata galaknya tapi dengan senyum kemenangan. Sementara itu kitab diselipkan di sabuk hitam yang melilit pada pinggangnya. Pedang masih bersarung tetap digenggam di tangan kiri, kapan saja siap dicabut.
"Cepat serahkan kitab itu atau kuakhiri masa hidupmu?!" bentak Lancang Puri dengan mata mendeiik penuh kecemasan-bercampur kemarahan.
"Kau yang pantas mengakhiri masa hidup karena tanganmu berlumur darah! Dua biara kau bantai sedangkan mereka tidak bersalah kepadamu. Sungguh tindakan yang menyerupai naluri seekor binatang."
"Setan kau! Tak perlu banyak bicara! Kubuktikan ancamanku tadi. Hiaaah...!"
Angin Betina cepat cabut pedangnya ketika pedang Lancang Puri berkelebat ingin membelah kepalanya. Trangng...! Pedang itu ditangkisnya. Suaranya menggema ke mana-mana. Trang, trang... traang...! Wut, wut, wut... trang!
Kedua perempuan itu beradu kecepatan bermain pedang. Gerakan jurus pedang mereka begitu cepat, sehingga sulit diikuti oleh mata manusia biasa. Tetapi Angin Betina ternyata mampu bergerak menyamai gerakan angin. Dalam kejap berikutnya, pedangnya berkelebat dalam gerak tipuan. Lancang Puri salah hindar, akibatnya pinggangnya tersabet pedang Angin Betina. Craass...!
"Aaahg...!" Lancang Puri tersentak mundur dan melayang jatuh karena setelah tersabet pedang, kaki Angin Betina menendangnya dengan kuat. Brrukk...!
Angin Betina sedikit terperanjat melihat tubuh Lancang Puri jatuh tepat di depan kaki seorang perempuan berjubah hitam. Perempuan itu tak lain adalah Nyai Gandrik, Bibi Lancang Puri yang disangka telah berkhianat.
"Kau memang punya jurus pedang hebat, Angin Betina! Tapi tetap saja harus menebus kekalahan keponakanku dengan nyawamu!"
"Nyai Gandrik, sekalipun kau sahabat mendiang guruku, tapi aku tidak akan mundur demi pertahankan kitab ini!"
"Bagus! Bersiaplah untuk menerima akibatnya, Angin Betina!"
Selesai bicara begitu, kedua tangan Nyai Gandrik bergerak mempertemukan ujung jari tengah kiri dan kanan. Dari ujung jari tangan itu melesat sinar kuning ke atas, lalu jatuh ke bawah tepat di atas kepala Angin Betina. Tentu saja Angin Betina tidak mau pandangi sinar kuning yang melesat ke atas itu, karena takut kehilangan kewaspadaan dan dapat dicuri kesempatannya pada saat ia memandang ke atas. Nyai Gandrik dapat lepaskan pukulan mautnya saat Angin Betina mendongak ke atas.
Tetapi rupanya gerakan sinar kuning yang seperti bola itu dilihat oleh Suto Sinting dari pantai. Pendekar Mabuk menghantam sinar kuning itu dari kejauhan dengan pukulan 'Surya Dewata' yang bersinar ungu itu.
Blaarrr...! Sinar kuning itu meledak di udara sebelum jatuh ke kepala Angin Betina. Itu pun tak membuat mata Angin Betina mendongak ke atas. Matanya tetap tertuju kepada Nyai Gandrik yang terkejut melihat sinar kuningnya meledak di angkasa.
"Pasti itu pekerjaan Pendekar Mabuk yang berada di pihakmu, Angin Betina!"
"Aku tak peduli pekerjaan siapa, yang jelas kalau kau nekat menyerangku maka aku pun akan menyerangmu, Nyai Gandrlki"
"Persetan dengan kata-katamu! Hiaaah...!"
Nyai Gandrik sentakkan kedua tangannya ke samping, dan tiba-tiba tubuhnya bercahaya merah membara. Cahaya merah itu melesat bagai membentuk kepingan ke arah Angin Betina. Angin Betina melawan kepungan itu dengan tebasan pedangnya yang mampu bergerak sangat cepat dan hadirkan angin kencang berhawa panas. Namun sinar-sinar merah itu agaknya tak bisa ditembus oleh kekuatan ilmu lain, sehingga akhirnya tubuh Angin Betina dihantam cahaya merah lebar membungkus diri. Zlaapp...! Wuuurrb...!
"Aaaahg...!"
Angin Betina mengejang dengan wajah menyeringai kesakitan. Tubuhnya berubah menjadi merah membara bagaikan tanpa kulit lagi. Pada saat itu Suto Sinting, berkelebat dari arah samping. Sinar merah dari tubuh Nyai Gandrik itu dihantam dengan kibasan bumbung tuaknya. Wuuukk...! Blaarr...!
Sinar merah itu bagaikan membalik arah karena terkena bumbung tuak. Kini tubuh Nyai Gandrik terhempas dan membentur pohon. Tubuh Angin Betina sudah padam, tak menyala merah lagi. Tapi keadaannya terkulai lemas dengan napas kian menipis.
Suto Sinting segera tuangkan tuak ke mulut gadis berwajah cantik liar itu. Ia lakukan hal itu agar tak terlambat kehilangan nyawa Angin Betina. Entah berapa teguk tuak diminumkan ke mulut Angin Betina. Yang jelas mata Suto memandangi Nyai Gandrik yang terlempar dalam keadaan kulitnya terkelupas itu. Perempuan tersebut menggeram panjang. Ingin lakukan penyerangan lagi namun segera bimbang. Akhirnya ia segera menyambar Lancang Puri yang masih bernapas namun terluka parah itu. Dalam keadaan wajah dan tubuh melepuh dan terkelupas, Nyai Gandrik menggeram tinggalkan ancaman,
"Suatu saat akan kubalas kekalahanku ini! Tunggu saat yang baik, Suto!"
Wuuuttt...! Ia masih mampu bergerak cepat dan pergi membawa Lancang Puri. Rupanya ia menyimpan perahu di sebelah timur tebing. Di perahu itu terdapat tubuh Dewa Rayu yang masih terluka parah. Dengan perahu itu ia membawa pergi kedua orang tersebut ke Pulau Lanang, sementara Suto Sinting segera membantu Angin Betina yang mulai sadar dan memegangi Kitab Lorong Zaman. Logo hanya diam saja, memandangi keadaan Angin Betina dengan wajah menampakkan kelegaannya. Sebenarnya Logo ingin ajukan usul untuk mengejar Nyai Gandrik, tapi belum-belum Suto sudah berkata,
"Biarkan dia lari. Siapa tahu dia jera dan tak mau menjadi pencuri lagi!"
Angin Betina meraih pundak Suto, lalu dibimbing untuk berdiri. Napasnya masih terengah-engah walau tak terlalu memburu. Kitab Lorong Zaman dicabut dari pinggangnya. Dipandanginya beberapa saat, lalu ia berkata kepada Suto,
"Aku akan minta pendapat Resi Wulung Gading dulu, bolehkah pelajari isi kitab ini sementara pemiliknya sudah dibunuh oleh mereka?"
"Itu langkah yang baik! Tak ada jeleknya kalau sekarang kita singgah dulu ke Muara Singa, esok baru pergi menghadap Resi Wulung Gading."
"Kau akan mendampingiku, Suto?"
"Kalau kau tak keberatan."
Senyum Angin Betina mekar dengan indah dan manis sekali. Ia berkata dalam bisik, "Sepanjang masa pun, aku tak akan pernah keberatan didampingimu."
"Kalau sepanjang masa, itu namanya ngelunjak!" canda Suto Sinting yang membuat mereka tertawa kecil. Tapi Logo tidak mau tertawa dan bahkan berwajah cemberut. Sepertinya ada yang tidak berkenan di hati anak jin itu.
Suto heran dan bertanya, "Kenapa kau tidak ikut tertawa, Logo?"
Anak jin itu menjawab, "Katanya kau ingin kawin dengan ibu, tapi kenapa sekarang berkasih-kasihan dengan Angin Betina?!"
Suto diam, saling pandang dengan Angin Betina yang langsung kehilangan senyum cerianya begitu mendengar kata-kata Logo.

SELESAI

Segera menyusul
PERAWAN MAHA SAKTI