Pendekar Mabuk 23 - Rahasia Pedang Emas(1)




 KUIL dikelilingi tembok tinggi itu hanya berwarna hitam keseluruhannya. Batu-batuan yang dipakai untuk bangunan kuil tersebut konon berasal dari letusan gunung berapi beberapa puluh tahun yang lalu.
Batuan itu mulanya sebuah gumpalan lahar yang mengeras, membeku dari tahun ke tahun, dan membentuk warna hitam pada permukaannya.

Batuan itu punya kekerasan yang menyerupai besi. Tak mudah dihancurkan dengan tangan kosong atau tenaga dalam yang sedang-sedang saja. Batuan itu pula yang membentengi kuil yang menjadi satu dengan pemukiman para murid Perguruan Elang Putih.

Tetapi pada satu kesempatan, seseorang memandang kuil itu sebagai bangunan mewah berwarna putih bersih. Baik bangunan kuilnya sendiri maupun pemukiman para murid dan tembok tinggi yang mengelilinginya, adalah berwarna putih bersih. Kuil itu tampak seperti suatu tempat yang berkharisma tinggi dan punya keagungan terpendam.

Dua pemandangan yang berbeda sering membuat seseorang berdebat sengit mengenai Kuil Elang Putih itu. Yang satu bersikeras mengatakan kuil itu berwarna hitam batu, yang satu mengatakan kuil itu berwarna putih bersih, bahkan jika ada tiga orang, maka yang ketiga akan ngotot mengatakan kuil itu berwarna abu-abu.

Kadang kadang mereka sama-sama datang ke sebuah bukit, yang bisa dipakai memandang kearah Kuil Elang Putih untuk membuktikan pendapat mereka. Jika ada tiga orang, maka dua diantaranya akan terbengong karena merasa pendapatnya ternyata salah.Ketua Perguruan Elang Putih adalah seorang guru yang punya kesaktian sejajar dengan para tokoh tua di kalangan rimba persilatan. Sebuah kekuatan yang dimilikinya bisa membuat pandangan mata tiap orang berbeda-beda tentang warna bebatuan yang dipakai membangun kuil tersebut.

Guru besar itu berusia lebih dari delapan puluh tahun, tapi ia tampak masih muda dan cantik, seperti masih berusia sekitar empat puluh tahun kurang. Guru besar itu bernama Embun Salju. Hampir setiap tokoh tua rimba persilatan mengenal nama Embun Salju.

Tapi hanya beberapa yang mengenal nama asli Embun Salju. Dan pada umumnya, mereka yang mengetahui nama Embun Salju sebenarnya, tidak ada yang berani menyebutkannya. Karena sesuatu kekuatan ajaib akan datang pada saat orang menyebut nama Areswara Kandita. Badai mengamuk dan hujan petir datang pada saat orang menyebutkan nama Areswara Kandita. Sebab konon, Kandita adalah nama kecil Ratu Penguasa Laut Kidul yang tak boleh sembarangan menyebutkannya.

Menurut cerita silsilah Nyai Embun Salju, ibunya pernah mempunyai dua orang suami, dan dari suami yang pertama melahirkan Embun Salju, dari suami yang kedua melahirkan Ki Padmanaba. Ibu dari Embun Salju itu adalah prajurit setia dari Ratu Laut Kidul. Pada saat perempuan itu melahirkan Embun Salju, sang Ratu menitipkan nama Kandita pada bayi itu dan tak boleh disebutkan oleh siapa pun. Itulah sebabnya, setiap orang menyebut nama Areswara Kandita, keajaiban alam terjadi.

Embun Salju mewarisi ilmu-ilmu dan kesaktian yang dimiliki oleh ibunya. Bahkan dulu ia pernah terpilih sebagai pengganti ibunya menjadi prajurit Laut Selatan, tetapi sang ibu memohon kepada sang Ratu agar anaknya dibebaskan memilih tempat tinggal kehidupannya. Embun Salju memilih tinggal di alam kasatmata, menjadi manusia sejati yang mempunyai sisi kehidupan berbeda dengan kehidupan di dalam Kerajaan Laut Selatan.

Mengenai silsilah cerita hidup Areswara Kandita sudah banyak diketahui oleh para tokoh rimba persilatan. Dan hal itulah yang membuat para tokoh menjadi segan terhadap Nyai Guru Embun Salju. Bahkan beberapa tokoh sesat, seperti Logayo dari Perguruan Kobra Hitam, tak berani bikin persoalan dengan Embun Salju. Para tokoh sesat punya pendapat, lebih baik bentrok dengan tokoh sakti lainnya dari aliran putih, ketimbang harus bentrok dengan perempuan cantik yang menggairahkan itu.

Hanya orang-orang bodoh, orang orang nekat, dan orang-orang tak waras saja yang sengaja membuat persoalan dengan Embun Salju. Seperti halnya seorang perempuan tua yang sengaja mencegat langkah kedua murid Embun Salju itu. Perempuan tersebut berpakaian jubah hitam dengan pakaian dalamnya yang serba putih kusam. Rambutnya yang putih dikonde tengah, sisanya meriap ke mana-mana. Perempuan tua yang layak dipanggil nenek itu membawa sebatang tongkat berujung lengkung dari kayu warna hitam. Tubuhnya yang kurus dan matanya yang cekung, membuat ia cepat dikenali oleh para tokoh tua di rimba persilatan. Nenek itu tak lain adalah saudara seperguruan mendiang Ki Padmanaba. Dia bernama Nini Pasung Jagat. Dialah yang berhasil membunuh Ki Padmanaba, yang dulu bergelar Dewa Pedang Pamungkas (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Lentera Kematian").

Nini Pasung Jagat memburu pusaka milik Ki Padmanaba. Tapi ia tak berhasil mendesak Ki Padmanaba untuk menyerahkan pusakanya itu, sampai akhirnya Ki Padmanaba dibunuhnya. Ia mencoba mendesak Ekayana, cucu Ki Padmanaba, tapi Ekayana juga tidak tahu menahu tentang pusaka Ki Padmanaba tersebut, bahkan sekarang Ekayana telah mati di tangan Pendekar Mabuk yang dikenal dengan nama Suto Sinting. Padahal Nini Pasung Jagat sangat berkeinginan utuk memiliki pusaka Ki Padmanaba yang bernama Pedang Wukir Kencana.

Dengan pusaka itu, dia mempunyai kekuatan yang dapat dipakai untuk mengalahkan setiap orang yang melawannya, karena Pedang Wukir Kencana mempunyai keampuhan anatara lain, orang sebodoh apapun jika memegang Pedang Wukir Kencana, maka orang itu akan bisa bermain ilmu pedang dan mengeluarkan jurus jurus pedang maut yang sukar ditandingi.

Sayangnya, Nini Pasung Jagat sudah beberapa kali mencari Kuil Elang Putih tapi tak pernah ditemukannya. Untuk menemukan tempat kediaman Embun Salju, Nini Pasung Jagat membutuhkan waktu sudah mencapai hampir satu bulan lamanya, tapi kuil itu belum juga ditemukan. Nini Pasung Jagat merasa heran sekali, padahal beberapa waktu sebelumnya, ia pernah melihat kuil tersebut berada diseberang sebuah bukit gundul yang hanya bertanaman pohon sekitar sepuluh batang dan jaraknya berjauhan itu.

Karena gagal mencari Kuil Elang Putih, Nini Pasung Jagat menghadang dua anak buah Embun Salju. Ia mengenal kedua anak buah Embun Salju itu dari kalung yang dikenakan oleh kedua gadis itu. Kalung itu dari tali hitam, dengan liontin sepasang sayap terbentang yang bagian tengahnya berbentuk jantung atau hati, yang mirip daun waru itu. Liontin kecil itu terbuat dari logam putih mengkilat pada bagian sayap yang terbentang, dan bagian bentuk jantung terbuat dari logam emas kuning. Itulah ciri-ciri orang Elang Putih. Wuttt...! Jlegg...!

Nini Pasung Jagat mendaratkan kakinya dari atas ketinggian pohon, tepat di depan dua gadis orang Elang Putih itu. Keduanya sama-sama terkejut melihat wajah nenek yang belum dikenalinya itu.

"Mahasi, kau mengenal dia?" bisik gadis berpakaian hijau muda itu kepada temannya yang berpakaian merah jambu. Temannya yang bernama Mahesi itu menjawab dengan bisikan juga,

"Aku tak kenal dia! Tapi aku kenal sikapnya yang ingin berbuat jahat kepada kita, Anjarwati!"
"Haruskah kita melawan?"

"Kita lihat saja nanti, bersiap-siaplah dan waspada selalu," kata Mahasi yan usianya agaknya lebih tua dari Anjarwati.

Jika Anjarwati berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, maka Mahasi berusia sekitar tiga puluh tahun.
Terdengar suara Nini Pasung Jagat tertawa cekikikan, lalu berkata sambil memandang Mahasi dan Anjarwati secara bergantian,

"Kalau tak salah penglihatan mata tuaku, kalian adalah murid-murid dari Elang Putih!"
"Benar!" jawab Mahasi yang berdada lebih montok dari Anjarwati.
"Kalau begitu sangat kebetulan sekali aku bisa jumpa kalian!"
"Siapa kamu, Nenek Tua?"
"Gurumu pasti kenal aku"
"Tapi kami tidak kenal kamu!" balas Anjarwati.

"Namaku cukup dikenal di dunia persilatan sebagai tokoh sakti yang berbahaya jika dipancing kemarahannya. Aku adalah Nini Pasung Jagat!"

Anjarwati dan Mahasi berwajah biasa-biasa saja, tak ada rona kaget atau heran. keduanya tetap memandang Nini Pasung Jagat. Kini justru nenek tua itu yang merasa heran dan berkata,

"Kalian tidak terkejut mendengar namaku?"
"Kami tidak mengenal kehebatan namamu, Nini! Jadi kuanggap kau manusia biasa," jawab Anjarwati.

"Dasar murid-murid bodoh! Mau-maunya Embun salju mempunyai murid sebodoh kalian berdua!" kecam Nini Pasung Jagat dengan rasa dongkol karena dirinya dianggap orang biasa-biasa saja.

"Apa maumu menghadang kami, Nini?!" tanya Mahasi tanpa nada keras ataupun bermusuhan. Mahasi menjaga sikap supaya tetap tenang dan punya wibawa di depan orang yang belum dikenalnya itu.

"Aku ingin bertemu Embun Salju!" jawab Nini Pasung Jagat. "Tapi sejak beberapa hari bahkan beberapa minggu lamanya aku mencari Kuil Elang Putih, aku tak pernah menemukannya! Jadi kuharap kau mau membawaku menghadap gurumu, si Embun Salju itu!"

Mahasi dan Anjarwati saling pandang, mereka tahu, Guru sedang melakukan semadi. Dan biasanya jika Guru mereka sedang melakukan semadi, maka kuil itu lenyap dan tidak tampak di mata orang selain di mata orang-orangnya sendiri. Dalam keadaan semadi, Embun Salju merasa perlu menggunakan "Ajian Halimun" nya, yang membuat kuil lenyap dari pandangan orang, dengan maksud supaya tidak ada orang datang untuk mengganggu masa semadinya.

"Nini Pasung Jagat'" kata Mahasi, "Kami tidak bisa membawamu ke tempat kami, karena guru sedang melakukan 'sepi jiwa' dan tak boleh diganggu oleh siapa pun!"

"Katakan aku yang datang. Nini Pasung Jagat, saudara seperguruan Ki Padmanaba, adik guru kalian itu!"
"Kami tetap tidak bisa mempertemukan kau dengan Guru!" jawab Anjarwati lebih tegas lagi.

"Harus bisa! Kepada orang lain, boleh saja ia tidak bisa diganggu dalam keadaan 'sepi jiwa' alias semadi. Tapi kepadaku ia tidak boleh bersikap begitu!"

"Siapa dirimu, Nini? Seorang ratu bukan, seorang saudara juga bukan, dewa pun bukan! Mengapa Guru kau paksa tunduk dengan perintahmu?! Jangan terlalu menyombongkan diri didepan kami , Nini!"

"Dasar anak-anak dungu" geram Nini Pasung Jagat. "Aku bisa membuat kuil itu menjadi hancur dalam sekejab kalau kalian menentang keinginanku! Lekas, bawa aku kepada Guru kalian!"

"Kami tidak sanggup!" jawab Mahasi lebih lunak.

"Kalau begitu aku harus memaksa kalian dengan cara lain! Jangan salahkan aku jika kugunakan cara kasar untuk membuat kalian menghormat padaku!"

"Cara apa pun yang ingin kau lakukan, lakukanlah! Tapi kami tetap tak mau membawamu menghadap Guru!"

Nini Pasung Jagat mengangkat kedua tangannya, dalam keadaan kedua telapak tangan tengkurap dan mengembang membuka, tangan itu disentakkan pendek-pendek saja. Bett...! Lalu dari kedua tangan itu muncul sinar kuning yang melesat bagaikan dua mata pisau. Sinar kuning itu terbang dengan cepatnya menyerang Mahasi dan Anjarwati.

Seketika itu pula, Mahasi dan Anjarwati menundukkan kepalanya tanpa melakukan gerak apa pun. Dan tiba-tiba dalam jarak tiga jengkal di depannya, sinar kuning itu membelok arah masing-masing ke kanan dan ke kiri. Sinar kuning itu bagaikan membentur dinding transparan yang tak mudah ditembusnya. Sinar itu bagaikan dibuang oleh Anjarwati dan Mahasi. Akibatnya, dua buah pohon yang menjadi sasaran sinar kuning itu. Duarr, duarrr...!

Kedua pohon itu tumbang dan menjadi hangus pada bagian yang terkena benturan sinar kuning. Sementara itu, Nini Pasung Jagat sedikit terkesiap melihat cara kedua lawannya menghindari serangan tenaga dalam berwarna kuning itu. Kedua gadis cantik itu sama-sama kembali tegakkan kepala dan memandang Nini Pasung Jagat, Mahasi berkata,

"Sebaiknya biarkan kami lewat, Nini! Jangan ganggu kami lagi!"
"Kalian harus kupaksa mau menuruti keinginanku! Heeaah...!"

Nini Pasung Jagat melompat secara tiba-tiba, kaki tuanya itu begitu cepat menendang ke kanan-kiri secara serentak. Plak, bukk...! Kedua kaki yang tiba-tiba menendang dalam tendangan bersamaan itu mengenai wajah Anjarwati, yang satu bisa ditangkis dengan kelebatan tangan Mahasi.

Akibat tendangan itu, Anjarwati terpelanting jatuh dalam jarak antara empat langkah dari tempatnya berdiri semula. Nini Pasung Jagat segera melompat berguling sambil menyanggah tongkatnya yang tadi dilepaskan pada waktu ia melepaskan pukulan tenaga dalam berwarna kuning itu. Kini dengan tongkatnya ia menyabet kepala Anjarwati yang baru saja bangkit dari jatuhnya. Wuttt!

Anjarwati tundukkan kepala seketika itu, dan tongkat tersebut terpental sendiri bagai memukul benda yang empuk seperti karet. Dalam kesempatan itu, Mahesi segera melompat dan mencabut pedangnya. Ia ingin menyerang Nini Pasung jagat yang membahayakan Anjarwati.

Namun tiba-tiba ujung tongkat yang bawah menyodok ke belakang dan hampir saja mengenai mata Mahasi. Untung Mahasi segera kelebatkan pedangnya menangkis sehingga ia terhindar dari sodokan tongkat yang berbahaya itu. Dikatakan tongkat berbahaya, karena ketika pedang Mahasi menepisnya, terjadi percikan api yang cukup terang dan suara letupan kecil menyertainya. Tarrr...!

Nini Pasung Jagat segera membalik dan menendangkan kakinya yang kanan untuk menampar pipi Mahasi. Plokkk...! Telak sekali pipi Mahasi terkena tendangan bertenaga dalam itu, yang membuat Mahasi berjungkir balik di tanah karena terpental, nyaris membentur batok kepalanya.

Pada saat itu pula, Anjarwati mencabut pedangnya dan menyerang Nini Pasung Jagat dari belakang. Tetapi gerakan nenek tua itu cukup lincah, ia segera menyodokkan tongkatnya ke belakang dengan posisi satu kaki berlutut di tanah.

"Heaaaah....!" Pekiknya keras dan mantap.

Sodokan itu tepat mengenai ulu hati Anjarwati. Sodokan itu membuat Anjarwati mendelik, lalu memuntahkan darah kental di mulutnya. Pedang di tangannya jatuh, mulut mengeluarkan asap biru samar-samar. Anjarwati pun segera rubuh, untuk beberapa kejap ia tak bernyawa lagi. Terkulai lemas di samping pedangnya.

"Anjar...!" seru Mahasi dengan mata membelalak kaget bercampur marah. Ia melihat temannya gugur dengan satu kali sodokan tongkat itu. Itu membuat Mahasi naik pitam dan segera menyerang Nini Pasung jagat yang terkekeh-kekeh menertawakan kematian Anjarwati.

"Kubalas kematian temanku itu., Nenek tua! Hiaaaaaat...!"

Trak Trak behgg...!

Nini Pasung Jagat berkelebat, tangannya bergerak cepat memainkan tongkat lengkungnya. Pedang Mahesi yang ditebaskan beberapa kali itu berhasil ditangkisnya, bahkan tongkat itu berhasil membuat gerakan menggebuk dengan kuat, mengenai pinggang belakang Mahasi, membuat tubuh Mahasi melengkung kesakitan, dan ia pun jatuh dalam keadaan berlutut.

"Bawa aku kepada gurumu, atau kubawa nyawamu ke neraka?!" ancam Nini Pasung Jagat dengan membiarkan Mahasi mengerang lirih kesakitan.

Tulang punggung Mahasi terasa patah. Kulit pinggangnya bagaikan melepuh memar membiru, sakit sekali disentuh dengan pelan pun. Mahasi bagai kehilangan tenaga setelah digebuk pinggangnya, gebukan itu jelas gebukan bertenaga dalam cukup besar, sehingga membuat seluruh urat tubuh Mahasi bagaikan putus.

"Pukulan tongkatnya benar-benar maut" pikir Mahasi sambil memulihkan keadaannya. "Aku hampir saja dibuatnya lumpuh! Rasa-rasanya aku harus lakukan penyerangan mematikan! Tak boleh sekadar mengajarnya sebagai pelajaran saja! Jurus pedang maut harus kugunakan, karena sudah terpaksa!"

Terdengar suara Nini Pasung Jagat membentak, "Bangkit! Cepat bawa aku kepada gurumu, Bocah Bodoh!"
Mahasi pun segera berdiri. Pinggang yang terasa sakit itu ditahannya kuat-kuat. Jurus pedang maut segera digunakan. Mahasi memejamkan mata, dan pedangnya menjadi menyala merah membara.

Wusssst... !

Pedang yang seperti habis dipanggang di dalam api itu dikibaskan ke arah Nini Pasung Jagat. Hawa panas melebihi lahar gunung berapi mulai menyebar. daun-daun menjadi layu dan rontok, ranting dan dahan pun mengerut layu. Rumput menguning, lalu kering berwarna coklat.

Seharusnya tubuh manusia akan melepuh dan merah matang karena hembusan hawa panas dari pedang Mahasi, tetapi Nini Pasung Jagat hanya berdiri dengan diam, mata memandang sayu, tangan menggenggam tongkatnya kuat-kuat. Tubuhnya bergetar. Lalu, tiba-tiba kepala tongkat yang berbentuk lengkung itu disodokkan ke depan.

Wusss... !

Kepala tongkat itu menyemburkan asap putih, dan asap putih menggumpal bagaikan kabut, lalu melesat membungkus pedang Mahasi yang masih diangkat untuk ditebaskan kembali, begitu pedang berwarna merah membara itu dibungkus kabut putih, tiba-tiba terdengar seperti besi membara dimasukkan ke dalam air dingin.

Jrosss...!

Tiba-tiba pula pedang itu menjadi padam, kembali ke warna aslinya. tak ada nyala merah membaralagi dan gumpalan kabut itu pun bagai terserap habis.

"Hiaaaah...!"

Zlappp...! Sinar biru melesat dari pangkal telapak tangan Nini Pasung Jagat. Sinar biru itu menghantam cepat, tapi pedang Mahasi berkelebat menangkisnya. Trangng...blarrr...!

Tubuh Mahasi terpental akibat pedangnya dipakai menangkis sinar biru itu. Ledakan tersebut menimbulkan gelombang besar yang membuat tubuh Mahasi terbang ke belakang, lalu membentur pohon besar. Begggh...!
"Hehggg...!" Mahasi tersentak napasnya, tersembur darah merah dari mulutnya. Ia terluka bagian dalam. Lukanya amat membahayakan, sehingga dengan cepat ia melarikan diri meninggalkan pertarungannya. Nini Pasung Jagat sengaja mengejar untuk mengikuti kepergian lawannya.BUKIT gersang di depan Kuil Elang Putih itu dinamakan orang sebagai Bukit Perawan. Dikatakan demikian, karena bukit itu jika malam bulan purnama sering digunakan muda-mudi untuk saling memadu kasih. Kadang beberapa gadis yang belum punya pasangan, datang ke bukit itu untuk menikmati suasana terang bulan purnama, dan disana mereka mendapat teman bicara, mendapat kenalan, kemudian saling jatuh cinta.

Namun sejak orang-orang Kobra Hitam dalam pimpinan Dewa Murka yang bernama asli Logayo bercokol di lembah Kabut, Bukit Perawan itu menjadi sepi. Orang-orang perguruan Kobra Hitam yang beraliran sesat itu sering datang ke bukit tersebut mencari mangsa. Karena, letak lembah kabut tak seberapa jauh dari Bukit Perawan. Dengan menyebrangi Perkampungan Orang-orang Kate, mereka bisa mencapai Bukit Perawan, tetapi jika dari Kuil Elang Putih, hanya berjalan lurus menerobos hutan kecil, sudah bisa mencapai Bukit Perawan yang tak seberapa tinggi itu.

Kali ini, dua orang bertampang menyeramkan sedang duduk di atas sebuah batu di Bukit Perawan itu. Dua orang tersebut sudah lebih dari tiga hari berada disana, menunggu sesuatu yang sangat diharapkan. Mereka adalah Logayo dan Rangka Cula.

Seperti telah dikisahkan dalam 'Lentera Kematian', Logayo mempunyai orang-orang kuat yang menjadi guru untuk masing-masing ilmu. Mereka adalah Ekayana, guru pedang yang bergelar Malaikat Maha Pedang. Brajawisnu, guru ilmu racun yang bergelar Iblis Maha Racun, dan Pancakana, guru ilmu cambuk yang bergelar Hantu Naga Belah. Tiga orang kuat itu mati di tangan Suto Sinting, Pendekar Mabuk. Pancakana sempat melaporkan pertarungannya dengan Suto Sinting, dan selesai melaporkan kematian kedua rekannya, Pancakana pun menghembuskan napas terkahirnya di depan Logayo.

Kini Logayo tinggal mempunyai satu orang kuat, yaitu Rangka Cula. Orang yang bertubuh kurus kering bermata cekung angker dan berambut kucal tanpa ikat kepala itu, adalah orang istimewa buat Logayo. Rangka Cula boleh dikatakan guru segala macam ilmu. Ia menguasai ilmu pedang, sejajar dengan Ekayana, ia menguasai ilmu racun sejajar dengan Brajawisnu, ia menguasai ilmu cambuk sejajar dengan Pancakana, bahkan ia juga menguasai ilmu toya dan ilmu panah yang cukup handal. Rangka Cula juga mempunyai kekuatan batin cukup tinggi, sehingga di kalangan orang-orang Kobra Hitam ia dikenal dengan julukan Manusia Maha Sihir.

Rangka Cula ditugaskan dalam keadaan sangat genting. Dia termasuk orang yang jarang bicara jika tidak perlu. Tak pernah tersenyum,tak pernah bercanda. Ia yang mendapat tugas menyelidiki kematian orang-orang Kobra Hitam yang mayatnya bergelimpangan di dekat jembatan bambu. Rangka Cula itu pula yang mengetahui adanya seseorang berpakaian serba hitam sampai kepala, dan hanya kelihatan bagian matanya saja. Rangka Cula melihat orang itu meletakkan lentera dan lentera itulah sumber racun ganas yang selama ini mematikan banyak orang Kobra Hitam.

Sayang sekali Rangka Cula tak berhasil menangkap manusia serba hitam itu. Tetapi lentera yang berlumur Racun Getah Tengkorak telah berhasil disita olehnya. Dan pada saat lentera itu ditemukan, orang-orang Kobra Hitam tinggal delapan orang termasuk Logayo sendiri dan Rangka Cula. Jumlah orangnya yang mati karena racun itu mencapai empat puluh lebih. Kobra Hitam kini kehabisan anggota, nyaris musnah semua dimakan Racun Getah Tengkorak.

Secara kejiwaan, Logayo kalah total dengan manusia serba hitam itu. Hatinya menjadi sangat penasaran, ingin mengetahui siapa sebenarnya orang serba hitam yang mempunyai Racun Getah tengkorak itu? Untuk menanyakan hal tersebut, Logayo perlu menemui Embun Salju. Pengalaman Logay di rimba persilatan, belum seberapa jika disbanding Embun salju, karena memang Embun salju sebenarnya tokoh tua namun berwajah muda dan cantik.

Tetap rupanya Logayo tidak bisa langsung menemui Embun Salju, karena ia tidak bisa melihat Kuil Elang Salju. Kuil itu hilang, dan Logayo menunggu di Bukit Perawan sampai beberapa hari. Ia menunggu munculnya kuil tersebut dengan ditemani Rangka Cula. Repotnya, walaupun ia mempunyai teman di sana, tapi sama saja ia sendirian, karena Rangka Cula jarang mau bicara. Sekali bicara hanya sepatah dua patah kata saja.

Ilmu kekuatan batin Rangka Cula tak bisa dipakai menembus hilangnya Kuil Elang Putih. Berkali-kali Logayo memerintahkan Rangka Cula untuk melacak hilangnya kuil tersebut, berualng kali pula Rangka Cula meneropomng dengan kekuatan batinnya yang mampu menghadirkan ilmu sihir maut, tapi Rangka Cula tetap tidak berhasil.

Setelah beberapa hari, barulah mereka menemukan bentuk Kuil Elang Putih. Kuil tersebut muncul kembali, dan Logayo merasa lega. Maka, Logayo segera membawa Rangka Cula menuju Kuil Ealng Putih. Logayo tahu, jika Kuil Elang Putih sudah bisa dilihat mata telanjang, maka itu berarti Embun salju sudah siap menerima tamu siapa saja.

Kehadiran Logayo dan Rangka Cula disambut oleh perempuan cantik berpakaian ketat, dadanya terlihat mulus dari belahan yang tersumbul dibalik pakaian ketatnya itu. Rambut disanggul sebagian. Perempuan cantik itu semakin kelihatan cantik dengan pakaian warna ungunya. Namun Logayo dan Rangka Cula tak berani bersikap kurang ajar kepada perempuan yang dikenalnya bernama Dewi Anjani itu.

"Aku ingin bertemu dengan Embun Salju," kata Logayo dengan sikap halus yang masih tampak kasar dan kampungan.

"Ada perlu apa?" Tanya Dewi Anjani dengan keramahan yang penuh wibawa, membuat lawan bicaranya sering merasa sungkan.

"Aku punya kesulitan. Aku mau minta bantuan. Maksudku, minta saran dan pendapat kepada Embun Salju!"
"Tunggu sebentar, aku bicarakan dengan beliau!"

Dewi Anjani pun pergi, sementara Logayo dan Rangka Cula belum diizinkan masuk pekarangan kuil tersebut. Mereka dibiarkan berdiri diluar pintu gerbang dengan dua penjaga bersenjatakan tombak. Logayo tak sabar dan kelihatan gelisah. Ia tak suka diperlakukan seperti itu, tapi ia terpaksa dan setengah dipaksa untuk mau menerima perlakuan demikian. Iseng-iseng ia bertanya kepada Rangka Cula,

"Bagaimana menurutmu?"

"Bertele-tele!" jawab Rangka Cula dengan datar dan dingin. Ia masih menenteng pedang panjangnya yang jarang diselipkan di pinggang. Pedang panjangnya itu mempunyai gagang runcing dari cula badak. Itu sebabnya ia dikenal di dunia persilatan sebagai Rangka Cula, manusia kurus tinggal kerangka, ibaratnya, dan bersenjata pedang bergagang cula badak.Wajahnya yang dingin tapi berkesan angker itu ditatap Logayo, kemudian Logayo bertanya lagi,

"Kita harus sabar menunggu, mengikuti aturan di sini!"

"Terjang saja!" ucap Rangka Cula, kemudian bergegas masuk dengan melompat mendobrak pintu. Tapi Logayo buru-buru menahannya.

"Jangan! Nanti bisa membuat rencana kita kacau! Kita harus tunjukkan sikap baik kepada Embun Salju, supaya Embun Salju mau membantu kita menangkap manusia serba hitam itu! Setidaknya kita bisa tahu, apakah orang dari sini atau bukan yang mempunyai Racun Getah tengkorak itu!"

"Baik!" jawab Rangka Cula dengan pandangan mata dingin.

Dalam beberapa saat kemudian, Logayo dan Rangka Cula diterima oleh Embun Salju disebuah ruang semacam bangsal pertemuan. Embun Salju sempat memukau Logayo dengan kecantikannya yang serupa dengan bidadari kayangan. Berpakaian serba putih, dengan jubah putihnya juga yang dari bahan lembut bagaikan sutera, dengan pinjung sebatas dada yang berwarna putih dan menampakkan gumpalan mulus tak bercacat sedikit pun. Wajahnya sendiri begitu memukau, berhidung mancung, berbibir tak terlalu tebal namun menggairahkan, bermata sedikit besar namun berbentuk indah dan berbulu lentik, mengenakan kalung ciri Elang Putih yang berukuran lebih besar dari kalung-kalung yang dikenakan oleh anak buahnya.

Rambutnya diurai panjang sebatas pinggang dengan ikat kepala dari logam emas berukir membentuk mahkota berbatu indah. Di ujung mahkotanya membentuk hiasan sekor elang sedang membentangkan sayapnya dengan mata elang yang merah dari bebatuan merah delima kecil.

Logayo sempat berbisik kepada Rangka Cula, "Kalau dia bukan orang sakti, mau rasaanya aku mengawininya!"

Tak ada senyum atau tawa di mulut Rangka Cula, ia hanya mengangguk tipis. Tapi Embun Salju segera berkata dan tersenyum tawar,

"Jangan berpikiran menyimpang, Logayo! Katakan saja apa maksud kedatanganmu menemuiku?"

Logayo menjadi tersipu malu karena bisik-bisiknya tertangkap oleh indera pendengaran Embun Salju. Kejap berikutnya, Logayo pun segera berkata,

"Aku mengalami musibah, Embun Salju."

"Itu karena kau penyebar musibah," jawab Embun Salju dengan penuh wibawa dan kharisma tinggi. "Lanjutkan...!"

Rangka Cula sudah menggenggamkan tangan mendengar ucapan Embun Salju tadi. Tapi Logayo segera memandang, memberi isyarat agar Rangka Cula tetap tenang. Logayo segera melanjutkan kata-katanya dengan suara berat, sesuai dengan badannya yang besar seperti raksasa, berwajah ganas, dan brewokan.

"Ada seseorang yang membantai habis anak buahku. Ia menggunakan sebuah lentera!"

"Sebuah lentera?!" guman Embun Salju dengan dahi berkerut. "Bagaimana maksudmu? Sebuah lentera dipakai membunuh?"

"Benar. Lentera itu adalah jebakan. Lentera itu dilapisi racun ganas, siapa yang memegang lentera itu akan termakan racun ganas. Tak sampai lebih dari seratus helaan napas, orang itu akan mati. Dan mayatnya mengeluarkan banyak keringat berbau amis darah. Siapa menyentuh mayat itu, dia akan ketularan dan mati pula dalam keadaan sama seperti korban sebelumnya. Jadi racun itu adalah racun berantai, satu kali mengenai orang, bisa empat-lima orang yang mati bersamanya."

"Racun Getah Tengkorak!" sebut Embun Salju, menunjukkan bahwa ia juga mengenal jenis racun.
"Racun itu sangat langka dan sukar didapat."
"Memang benar! Lalu, apa maksudnu mengutarakan semua ini padaku, Logayo?!"
"Apakah kau mempunyai racun itu?"

"Tidak," jawab Embun Salju. "Tapi kalau kau menginginkan Racun Getah Tengkorak, aku bisa menunjukkan dimana kau bisa memperoleh pohon tengkorak itu, lalu carilah sendiri getahnya !"

"Kau tahu di mana terdapat pohon tengkorak itu ? "
"Tahu."
"Kau pernah menunjukkan tempat itu kepada seseorang ?"

"Belum, " jawab Embun Salju. "Dan kalau kau mencurigai orangku yang berbuat begitu, kau salah alamat ! Kalau orangku mau membunuh kalian, pasti akan datang dan bertarung sampai mati ! Tidak ada yang menggunakan cara seperti itu !"

"Aku tidak menuduh dan mencurigai orang-orangmu, tapi."

"Pertanyaanmu sudah mewakili kecurigaanmu terhadap kami !" sahut Embun Salju dengan cepat, membuat orang berperawakan seperti raksasa itu menjadi gelagapan sebentar.

"Baiklah," akhirnya Logayo secara tak langsung mengakui kekeliruannya. "Sekarang aku ingin minta pendapatmu, siapa kira-kira orang yang memiliki Racun Getah Tengkorak itu?"

"Yang kukenal disini hanya satu orang," jawab Embun Salju.
"Siapa?!" desak Logayo dengan berdebar-debar.
"Manusia serba hitam!"

"Ya, memang kami memergoki manusia berpakaian serba hitam, tapi kami tak mengenali wajahnya dan tak berhasil menangkapnya. Siapa manusia serba hitam itu?"

"Jompo Keling."

Logayo berkerut dahi karena merasa asing dengan nama itu, "Jompo Keling...?!" Ia menggumam sambil menatap Rangka Cula. Orang yang ditatapnya juga memandangnya beberapa kejap, kemudian dengan bibir terkatup ia menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak mengenal nama Jompo Keling.

"Siapa Jompo Keling itu, Embun Salju?!"
"Tokoh tua, bekas seorang pengembara yang sudah mengasingkan diri dari dunia persilatan!"
"Aku.... aku tidak kenal dengan Jompo Keling. Mengapa dia menyerangku?"
"Pasti kau punya salah padanya!"

"Aku tidak kenal dengan dia! Bagaimana aku punya salah dengannya jika aku tidak mengenalnya dan belum pernah bertemu dengan dia!"

"Tidak mungkin!" Embun Salju geleng-geleng kepala. "Kau pasti punya salah kepada orang itu."
"Hmmm... bagaimana ciri-cirinya?!"

"Kulitnya serba hitam keling, sampai pada kuku jari tangan dan kakinya, bahkan sampai pada giginya juga berwarna hitam!"

Logayo memandang Rangka Cula lagi. Oang berjubah abu-abu itu mengeleng-geleng kepala pelan. Hampir tak terlihat. Kemudian Logayo menatap Embun Salju dan berkata,

"Tidak. Kami tidak pernah berjumpa orang seaneh itu! Hmmm. di mana tempat tinggalnya orang itu?!"

"Dia pengembara, aku tak tahu di mana ia tinggal. Tapi kalau kau mau menemui kuburannya, aku bisa menunjukkan di mana tempat ia dikuburkan!"

Terperanjat Logayo seketika itu juga. Berkerut keningnya memandang Rangka Cula. Tapi yang dipandang hanya dingin-dingin saja, tanpa rasa kaget dan heran.

"Jadi, orang yang bernama Jompo keeling itu sudah meninggal?"
"Sudah lima tahun yang lalu!" jawab Embun Salju dengan tegas.

"Lima tahun.?!" Sudah lima tahun dia dikubur?! Aneh...!" ucap Logayo semakin dibuat bingung oleh jawaban-jawaban Embun Salju. Kemudian sambungnya lagi,

"Peristiwanya baru beberapa hari yang lalu, Embun Salju! Rangka Cula ini yang melihat sendiri orang serba hitam membawa lentera. Baru beberapa hari yang lalu!" tegas Logayo dalam keheranannya.

"Kalau begitu, orang berpakaian serba hitam itu bukan Jompo Keling. Pasti orang lain!"
"Siapa?"
"Aku tidak tahu."
"Dia punya murid?"

"Dia pengembara yang tak pernah punya murid, tapi tentunya dia punya banyak sahabat, karena dia orang baik!"

"Hmmm...!" Logayo berpikir sebentar. Kemudian bertanya lagi,
"Apakah dia punya cucu atau ahli waris?"
"Dia hidup sebatang kara sampai saat matinya!" jawab Embun Salju.
"Hmmm...! Lalu, siapa orang berpakaian serba hitam dan menggunakan Racun Getah Tengkorak itu?"

"Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu kali ini, Logayo. Yang jelas, orang itu pasti kenal kamu, pasti punya dendam padamu, dan pasti bukan Jompo Keling."

Logayo menarik napas. Ia merasa menemukan jalan buntu walau sudah mendapat beberapa keterangan tentang racun itu. Kemudian, ia mencoba bicara lagi dengan Embun Salju,

"Apakah... apakah kau bisa membantuku menangkap orang itu?"

"Aku punya urusan sendiri. Tak baik aku ikut campur urusan orang lain, sementara aku belum becus mengurus diri sendiri!"

"Aku minta bantuan padamu! Bukan kau ikut campur, tapi aku meminta bantuanmu, Embun Salju! Bantuan untuk menangkap orang berpakaian serba hitam dan mempunyai Racun Getah Tengkorak!"

"Kobra Hitam sudah cukup banyak punya orang sakti dan berilmu tinggi. Kurasa bantuanku tak ada artinya!"
"O, tidak! Bukan begitu, Embun Salju.! Kami tidak punya orang sakti seperti kau."

"Buktinya orang Kobra Hitam sudah berani cari gara-gara dan berbuat onar di mana-mana! Bukankah itu berarti orang Kobra Hitam sakti-sakti dan tidak ada yang mampu mengalahkannya?"

Kata-kata itu sangat tajam, bagaikan pisau cukur yang menggores hati Logayo dan Rangka Cula. Sebuah sindiran yang menyerang batin membuat darah Logayo mulai panas. Wajahnya kaku dan matanya tajam memandang Embun Salju. Begitu pula halnya dengan Rangka Cula. Tulang gerahamnya yang tampak menonjol di pipi itu bergerak-gerak menggeletuk mendengar sindiran menyakitkan itu. Tangan Rangka Cula sudah memegang gagang pedang. Matanya yang dingin juga menatap Embun Salju.

Tetapi Embun Salju dan Dewi Anjani yang mendampinginya tetap tenang. Tak sedikitpun kelihatan cemas melihat sikap memandang Logayo mengandung makna permusuhan. Bahkan Embun Salju berkata,

"Kalau kita menanam padi, kita pasti akan menuai padi. Kalau kau menanam maut, kau pun akan menuai maut!"

"Kau tak perlu mengguruiku, Embun Salju!" suara Logayo sudah mulai bernada menggeram.

"Kalau kau tak memerlukan Guru, jangan datang kemari dan bertanya tentang racun itu!" balas Embun Salju dengan sikap tenang.

Mata tajam dan angker itu melirik Rangka Cula. Sekilas Rangka Cula membalas, kemudian kembali memandang Embun Salju. Yang dipandang pun tak mau berkedip menatapnya. Embun Salju dan Rangka Cula saling pandang beberapa saat lamanya. Hening diantara mereka.

Tiba-tiba dari mata Embun Salju yang indah itu mengeluarkan asap samar-samar seperti terbakar suatu kekuatan batin dari lawan yang dipandanginya. Asap itu makin jelas berwarna kehitam-hitaman. Mata Embun Salju masih belum berkedip. Dewi Anjani mulai cemas, tangannya sudah berada di gagang pedang, siap mencabut sewaktu-waktu.

Tetapi asap tipis itu segera menghilang. Kini pusat perhatian Logayo dan Dewi Anjani beralih pada Rangka Cula. Logayo terkesiap melihat ada air mata yang keluar dari sudut mata Rangka Cula. Air mata itu berwarna merah. Dan Logayo tahu persis, itu bukan air mata, tapi darah! Merembes darah itu keluar dari kedua mata Rangka Cula.

Tubuh Rangka Cula bergetar, berkeringat, dan keringat itu mulai berubah warnanya menjadi kotor, tidak bening lagi. Makin lama keringat itu berubah abu-abu seperti nanah menyebarkan bau amis. Wajah Rangka Cula pun memucat, bibirnya yang gemetar membiru. Darah masih mengucur dari kelopak matanya. Kedua tangannya meremas kuat-kuat sampai sebagian kukunya ada yang menembus masuk ke dalam kulit telapak tangannya.

"Cukup! Cukup!" teriak Logayo dengan keras. Rangka Cula pun tertunduk kepalanya, lemas gerakannya. Ia hampir jatuh dan segera ditangkap tangan Logayo, sedangkan Embun Salju tetap sunggingkan senyum tipis, sebagai senyum kemenangan dalam beradu kekuatan batin.LEWAT tengah siang, penjaga pintu gerbang Kuil Elang Putih dikejutkan dengan munculnya Mahasi yang berwajah pucat pasi. Langkahnya gontai, namun berhasil mendekati pintu gerbang kuil dan segera ditolong oleh salah seorang penjaga pintu gerbang itu.

"Mahasi?! Ada apa.?!" seru orang yang menangkap tubuh Mahasi yang terkulai lemas itu. Ia segera berseru kepada rekannya yang ada di bagian dalam, di balik pintu gerbang itu,

"Panggil Dewi Anjani! Mahasi terluka!"

Orang yang menjaga bagian dalam itu terkejut melihat Mahasi mengeluarkan darah dari mulutnya, pakaiannya terkena bercak-bercak darah dan sangat mengkhawatirkan. Orang itu segera berlari menemui Dewi Anjani yang menjadi perantara antara Nyai Guru Embun Salju dengan para murid lainnya.

"Dewi Anjani....! Mahasi terluka!"
"Hah...?! Di mana dia sekarang?!"
"Ada di pintu gerbang!"

Waktu itu, Dewi Anjani sedang bicara dengan Embun Salju mengenai Racun Getah Tengkorak dan musibah yang melanda Perguruan Kobra Hitam. Mendengar Mahasi terluka, Dewi Anjani segera berlari ke pintu gerbang, sedangkan Embun Salju melangkah cepat sampai di depan balairung.

Di sana ia berdiri dengan tangan dikebelakangkan, memandang kearah pintu gerbang yang menjadi gaduh karena kemunculan Mahasi. Segera Dewi Anjani membawanya ke balairung itu, tapi Embun Salju memerintahkan Anjani untuk membawa Mahasi ke ruang penyembuhan.

Hanya Embun Salju dan Dewi Anjani yang masuk ke ruang penyembuhan, yang lainnya berjaga-jaga di luar dan saling membicarakan. Embun Salju segera melakukan pengobatan terhadap diri Mahasi, yang saat itu sudah dibaringkan di atas sebuah ranjang dari batu plesteran yang dilapisi tikar tebal.

"Buka semua pakaian!" kata Embun Salju. "Jangan sampai ada penghambat jalan darahnya! Ia terluka cukup parah. Tapi masih bisa diselamatkan!"

Setelah Dewi Anjani melepaskan semua pakaian Mahasi dengan cepat, maka Embun Salju segera menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Mahasi. Telapak tangannya menjadi bercahaya putih keperakan. Kedua telapak tangan itu ditempelkan terutama di bagian dada Mahasi yang masih kencang namun montok itu. Telapak tangan itu bukan menempel tepat di dua buah bukit Mahasi, melainkan di bagian atasnya.Kejap berikutnya, Mahasi menjadi gemetar.

Sekujur tubuhnya bergerak seperti orang menggigil. Telapak tangan Embun Salju yang menyala putih perak itu masih menempel di atas dada Mahasi. Telapak tangan itu berasap tipis. Dan ruangan yang tertutup itu menjadi dingin beberapa saat. Dewi Anjani sendiri sampai mendekap kedua lengannya sendiri.

Telapak tangan Embun Salju berpindah ke bagian perut Mahasi. Menempel di sana dan membuat Mahasi mengerang kecil sambil menggigil. Udara di kamar bertambah dingin bagaikan di dalam ruang es. Tubuh Dewi Anjani sendiri samapi menggigil juga menahan hawa dingin itu.

Beberapa saat setelah itu, cahaya perak padam dari tangan Embun Salju. Kini Embun Salju memusatkan kekuatannya pada kedua jarinya, yaitu jari tangan kanan-kiri. Kedua jari itu menekan bagian pelipis Mahasi. Dan kedua jari itu pun menyala merah bagaikan besi terbakar. Pada saat itu, ruangan yang dingin menjadi berkurang. Lalu, menjadi hangat. Dan Embun Salju berhenti melakukan pengobatan.

Mahasi tersentak tiba-tiba dan segera memuntahkan darah hitam. Muntahnya darah hitam itu membuat Embun Salju tersenyum. Ia berkata kepada Anjani,

"Dia tertolong! Lekas ambilkan air hangat untuk diminumkan!"

Menurut Embun Salju, terlambat sedikit saja, Mahasi akan mati. Pukulan yang diterimanya dari lawan telah membuat jantungnya merembaskan darah di luar saluran darah semestinya. Pukulan itu mempunyai hawa pembusuk, yang dapat membuat sekujur tubuh Mahasi menjadi busuk.

"Siapa yang melakukannya?" tanya Embun Salju setelah Mahasi agak segar dan sudah mengenakan pakaiannya kembali.

"Seorang perempuan tua yang mengaku bernama Nini Pasung Jagat!"
"O, dia.?!" Embun Salju mangut-mangut.
"Siapa Nini Pasung Jagat itu, Nyai Guru?" tanya Dewi Anjani.
"Saudara seperguruan adik tiriku, Padmanaba!"

"Dia memaksa saya untuk bertemu dengan Guru, tapi saya menolak membawanya kemari. Bahkan...bahkan Anjarwati..."

"O, iya! Bukankah kau pergi dengan adikku Anjarwati? Ke mana dia sekarang?!" sergah Dewi Anjani.
"Dia tewas, dibunuh orang itu!"

"Hahh...?!" Dewi Anjani terpekik kaget. Embun Salju terkesiap dan segera menarik napas dalam-dalam, menahan sesuatu yang ingin meledak dari dalam dadanya, yaitu sebuah murka.

Dewi Anjani merah mukanya. Terengah-engah napasnya. Matanya menyipit memancarkan duka dan dendam yang bergumul menjadi satu. Ia berkata kepada Embun Salju dengan suara gemetar menahan luapan marah,

"Guru, izinkan saya mencari dia dan membalas kematian Anjarwati!"
"Dia bukan lawanmu, Anjani!"
"Saya harus membalas kematian itu, Guru!"
"Silakan kalau kau nekat!" jawab Embun Salju.

Pada saat Dewi Anjani keluar dari kamar penyembuhan, seorang murid berusia muda, sekitar dua puluh dua tahun, segera datang dengan napas terengah-engah dan wajah tegang.

"Kakak, di luar ada seorang pengacau! Perempuan tua yang mengaku Nini Pasung Jagat mendesak masuk dan membunuh dua penjaga! Sekarang sedang dihadapi oleh Irandani dan Pujarini, Kak!"

Laporan itu didengar oleh Embun Salju. Langkah kaki perempuan berpakaian serba putih itu masih tetap tenang. Ia menyusuri lorong penghubung dari ruang penyembuhan ke balairung dengan langkah tidak terlalu tergesa-gesa, tapi hatinya membatin,

"Apa maunya nenek itu datang dan mengamuk padaku? Seingatku tak ada salahku padanya! Haruskah aku turun tangan dan mengakhiri riwayat hidupnya? Lalu, bagaimana dengan Ki Padmanaba? Apakah dia tidak menuntut balas padaku jika aku membunuh Pasung Jagat?!"

Embun Salju masih belum tahu, bahwa Ki Padmanaba sudah dibunuh oleh Nini Pasung Jagat. Karenanya, Embun Salju merasa bimbang dan ragu-ragu untuk bertindak lebih tegas lagi. Karena pada dasarnya Embun Salju tidak mau bentrok dengan adiknya, walau hanya adik tiri, karena selama ini ia telah menjalin hubungan persaudaraan yang baik dan saling menolong.

Dewi Anjani sengaja menyuruh beberapa orangnya untuk mendesak Nini Pasung Jagat supaya menjauhi pintu gerbang. Penjagaan di pintu gerbang lebih diperketat lagi. Dewi Anjani sendiri segera keluar dari halaman kuil tersebut dan melihat dengan mata kepala sendiri si nenek tua itu membunuh Irandani dan Pujarini.

"Keji...!" geram Dewi Anjani, lalu dengan cepat ia menyentakkan kedua tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh sebagai pendorong tubuh lawan. Wukkk...! Tenaga yang terkirim itu melesat menghantam Nini Pasung Jagat. Tenaga itu membuat Nini Pasung Jagat terlempar jauh bagai boneka kayu yang dibuang begitu saja.

Brukk...! Nini Pasung Jagat jatuh di rerumputan beralang-alang lumayan tinggi. Tapi ia segera bangkit dalam satu sentakan pimggul, tahu-tahu ia sudah berdiri dan menggenggam tongkatnya dengan kuat.

Matanya memandang seorang perempuan muda seusia Mahasi yang sedang menghampirinya.

Di tempat yang agak jauh dari pintu gerbang itulah, Dewi Anjani mulai siap menghadapi lawannya yang menurutnya berjiwa kejam. Terlihat dari caranya membunuh Irandani dan Pujarini bagai tanpa mengenal belas kasihan sedikit pun. Bayangan yang ada di benak Dewi Anjani, seperti itulah adiknya dibunuh oleh nenek tua itu.

"Apakah kau orang andalan Elang Putih?!" sindir Nini Pasung Jagat. Tetapi Dewi Anjani menjawab dengan suara keras,

"Aku adalah orang utusan dari neraka untuk mencabut nyawamu!"

"Oho, he he he he.!" Nini Pasung Jagat terkekeh-kekeh mendapat gertakan seperti itu. "Rupanya kau lebih galak dari mereka yang telah melawanku, Nona Cantik!"

Srett...! Dewi Anjani mencabut pedangnya dengan wajah semakin kaku dan mata penuh hasrat membunuh.

"Oho, punya pedang juga kau, Nak? Apakah cukup mahir memainkannya? Jika tidak, sebaiknya biarkan aku masuk menemui Embun Salju untuk membicarakan sesuatu!"

"Kau harus melunasi hutangmu lebih dulu, NeNek iblis! Kau berhutang nyawa padaku, karena kau telah membunuh Anjarwati, adikku! Sekarang tiba saatnya kau harus menyusul roh adikku dan meminta maaf di sana! Heeeaaah...!

Dewi Anjani tidak memberi kesempatan Nini Pasung Jagat untuk melontarkan kata-kata lagi. Ia langsung melompat dan menyerang dengan menebaskan paedangnya yang berkelebat simpang-siur membingungkan untuk ditangkis.

Wut wut wess wuttt wut wut wess. trak! Wut trak!

Nini Pasung Jagat sempat dibuat kewalahan menghadapi gerakan pedang yang bersimpang-siur tak jelas ke mana arahnya itu. Dan memang kehebatan jurus 'Elang Mengamuk Bintang' adalah terletak pada kecepatan tebas yang sukar dipastikan ke mana arahnya. Hanya sesekali bisa ditangkis, hanya sesekali lolos terhindar, tapi beberapa kejap berikutnya, terdengar suara lembut yang mendirikan bulu kuduk tiap orang.

Cras cras cras...!
Buhgg... !

Dewi Anjani tahu-tahu terpental agak jauh. Tubuhnya melayang karena terkena sodokan tongkat Nini Pasung Jagat. Ia jatuh terkapar dalam jarak antara empat tombak dari tempatnya bertarung. Sementara itu, kedua paha Nini Pasung Jagat tampak terluka dan punggungnya terkena sabetan pedang. Sayangnya, tidak terlalu parah dan berbahaya. Hanya luka biasa dan tidak akan merenggut nyawa nenek tua itu. Bahkan yang menderita luka tidak menggubrisnya sama sekali. Hanya memandangnya sebentar, lalu terkekeh-kekeh sendiri, sebab ia tahu lukanya tidak berbahaya.

Napas Dewi Anjani menjadi sesak. Ia terkena sodokan tongkat pada bagian rusuk. Rusuk itu bagaikan patah salah satu tulangnya. Sakit jika dipakai untuk bergerak. Napas pun segera dipaksakan untuk bisa dihirup panjang-panjang lalu ditahannya beberapa saat di dalam rongga dada. Pada saat itu, Nini Pasung Jagat berjalan dengan sanatainya mendekati Dewi Anjani.

"Kalau kau mau menyusul adikmu, mari kubantu, Cah Ayu..!" seraya tongkatnya diangkat dan hendak dihantamkan ke kepala Anjani. Tetapi tiba-tiba terdengar suara orang berseru dari arah pintu gerbang kuil tersebut,

"Hentikan, Pasung Jagat!"

"Aha.! Akhirnya kau muncul juga, Embun Salju! Hik hik hik!" Nini Pasung Jagat memandang kehadiran Embun Salju yang melangkah dengan penuh wibawa mendekatinya. Nini Pasung Jagat tersenyum kegirangan. Sementara itu, Dewi Anjani pun bangkit perlahan-lahan setelah mengumpulkan kekuatan kembali.

Tiba-tiba, pedangnya berkelebat dari belakang Nini Pasung Jagat, Wuttt.! Trak.! Tongkat Nini Pasung jagat menghadang gerakan pedang itu kearah pundak. Jika tidak terhalang tongkatnya, maka pedang Anjani akan menebas pundak dan membuat pundak itu terpotong.

Secepatnya Nini Pasung Jagat membalik sambil mengibaskan tongkatnya. Tapi pada saat itu pula Dewi Anjani menundukkan kepala dan memejam. Tongkat itu bagai mengenai lapisan membal dan sukar terpecahkan.

Wutt.! Wungngng.! Tongkat itu membalik dari arah pukulannya. Gerakan membalik itu menimbulkan kekuatan sendiri tanpa disengaja dan membuat Nini Pasung Jagat terhuyung-huyung ke belakang mau jatuh. Dewi Anjani cepat berkelebat utnuk membelah kepala Nini Pasung Jagat.

Tetapi suara gurunya membuat ia berhenti dari segala gerakkannya.

"Anjani.!"

Hanya suara itu yang membuat Dewi Anjani tak berani teruskan niatnya. Karena nada suara itu sudah sangat dipahami oleh Dewi Anjani, bahwa Guru dalam keadaan marah dan tidak pernah mau bertimbang rasa jika sudah menghardik dengan suara berat begitu.

Dewi Anjani akhirnya mundur dan segera mengambil tempat dibawah pohon. Di sana ia bersiap melepaskan serangan kepada Nini Pasung Jagat jika sampai terjadi pertarungan dengan Embun Salju dan sang Guru itu terdesak. Di bawah pohon itulah, Dewi Anjani berjaga-jaga sambil menunggu kesempatan untuk melepaskan pembalasan atas kematian adiknya yang disayangi itu.

"Aku mau bicara padamu, Embun Salju!" kata Nini Pasung Jagat.

"Dengan mulut atau dengan pedang?!" tanya Embun Salju bagaikan menantang.

"Terserah padamu, dengan pedang pun aku siap!" jawab Nini Pasung Jagat menampakkan keberaniannya.
"Dengan pedang, aku tak bersedia! Aku bukan jagal, bukan pembunuh, dan bukan binatang! Aku manusia!"
"Apa kau menganggapku binatang?"

"Hanya seekor binatang yang tega membunuh manusia, karena ia merasa tidak sejenis dengan manusia!" jawab Embun Salju dengan sindiran tajam yang penuh kharisma.

"Terserahlah apa katamu, yang jelas aku ingin bicara padamu!"
"Bicaralah sekarang juga!"
"Kau tidak mengajakku masuk ke dalam?"
"Hanya tamu yang kuajak masuk ke dalam dan bicara di sana!"
"Apakah aku bukan kau anggap tamu?!"
"Kalau kau tamu, kau tidak akan datang dengan tidak sopan dan menewaskan beberapa muridku!"

"Hik hik hik hik...! Kau marah padaku rupanya?! Oh, jangan! Jangan kau marah padaku, karena kau nanti akan kubunuh jika sampai hilang kesabaranku. Embun Salju!"

"Kalau begitu kita tidak perlu bicara! Kita tentukan saja siapa yang harus mati sekarang ini, kau atau aku!"
"O, tidak tidak tidak...! Bukan begitu maksudku! Hmmm...!"
"Jika tidak, bicaralah seperlunya dan setelah itu pergi dan tempat suciku ini!"
"Baiklah! Aku hanya ingin menanyakan tentang pusaka titipan dari adikmu, si Padmanaba!"
"Aku tidak tahu-menahu tentang pusaka itu!" ujar Embun Salju bernada jengkel.

"Padmanaba bilang pusaka itu dititipkan padamu dan dia menyuruhku mengambilnya!" pancing Nini Pasung Jagat.

"Padmanaba tidak pernah bilang begitu pada si apa pun!" kata Embun Salju. Wajahnya yang cantik memancarkan kemarahan.

"Tapi dia memang menitipkan pusakanya kepadamu, bukan?!"

"Kau tak perlu memancingku, Pasung Jagat! Kau tak akan memperoleh apa-apa dariku walau de ngan cara memancing seribu tanya! Sebaiknya kau pergi dari sini, karena aku tidak tahu menahu tentang pusaka yang kau kejar-kejar itu!"

"Omong kosong! Sebagai kakaknya, pasti kau tahu!"
"Kenapa tidak kau tanyakan pada Ki Padmanaba sendiri?!"

"Dia sudah kubunuh!" sentak Nini Pasung Jagat karena jengkel, pancingannya diketahui Embun Salju. Mendengar tentang Kematian Ki Padmanaba, Embun Salju hanya menyipitkan matanya memandang tajam kepada Nini Pasung Jagat. Kemudian dadanya tampak membusung sebentar, menahan napas, mengendalikan luapan amarahnya.

"Jika begitu," kata Embun Salju dengan tenang, "Pergilah ke alam baka dan tanyakan kembali kepada Padmanaba, adikku itu!"

"Kau mengancamku, Embun Salju?!"

"Kunyatakan, aku tak tahu menahu tentang pusaka itu! Kalau kau menganggap aku menantangmu beradu nyawa, kulayani keinginanmu!" jawab Embun Salju dengan tegas dan selalu jelas.

"Baik! Aku punya cara sendiri untuk memaksa mulutmu agar mengatakan hal yang sebenarnya tentang pusaka itu! Hiaaah...!

Zlappp...!

Tangan yang memegang tongkat itu menyentak maju. Dari kepala tongkat keluar sinar merah sekecil buah buni. Jika bukan mata yang awas dan terlatih, tak mungkin bisa melihat gerakan sinar merah kecil itu, karena gerakannya begitu cepat, melebihi anak panah.

Embun Salju tetap di tempat, tak bergeser sedikit pun. Ia hanya mengelebatkan tangannya ke dada, seperti menangkap sesuatu yang digenggamnya. Ternyata sinar merah kecil itu yang ditangkapnya. Kemudian sinar itu dilemparkan ke arah pohon yang jauh dari mereka.

Wuttt..! Blarrrr...!

Pohon itu pecah seketika setelah dilempar dengan sinar kecil tersebut. Pecahan pohon itu menjadi kecil-kecil, sepertinya habis dipahat dalam waktu sangat singkat. Daunnya tak berbekas sedikit pun. Rantingnya menjadi serbuk. Dan hal itu mencengangkan setiap orang yang melihatnya. Termasuk Nini Pasung Jagat sendiri.
Yang membuat tercengang nenek haus pusaka itu adalah cara Embun Salju menangkap sinar merah kecil itu. Selamanya tak pernah ada orang yang berhasil menangkap sinar tersebut, kecuali hanya menangkis dan menghindarinya. Jelas caranya menangkap sinar dalam keadaan tetap utuh dan tidak meledak di tangan adalah cara yang hanya bisa dilakukan oleh orang berilmu tinggi.

Sekalipun begitu, Nini Pasung Jagat masih belum jera melawan Embun Salju. Ia segera melepas kan jurusnya yang bernama 'Darah Geni'. Tangan kanannya melepaskan tongkat dan menyentak ke depan, lalu melesatlah selarik sinar merah bagaikan bentuk pelangi melengkung. Sinar merah itu tidak patah, tetap mengalir deras dan menghantam Embun Salju.

Telapak tangan kiri Embun Salju hanya menadah di depan dada, menghadang sinar merah itu. Kini sinar tersebut melengkung dari tangan kanan Nini Pasung Jagat ke tangan kiri Embun Salju. Tetapi beberapa kejap berikutnya, sinar merah itu berubah sedikit demi sedikit menjadi keputih-putihan, berpijar-pijar bagai nyala matahari, sampai akhirnya sinar merah itu berubah putih keperakan. Tetap mengalir dari tangan Embun Salju ke tangan Nini Pasung Jagat.

Tubuh Nini Pasung Jagat gemetar. Kuda-kudanya semakin rendah bagai sedang menahan sesuatu yang amat berat. Keringatnya pun mulai bercucuran di bagian kening. Semakin lama tubuh itu semakin menggigil bagai orang kedinginan. Rupanya Embun Salju yang berdiri dengan tenang bagai tanpa tenaga itu telah melepaskan jurus 'Darah Kutub' yang amat dingin melebihi batu es.

Makin lama semakin tampak menggigil tubuh nenek tua itu. Bahkan sebagai pengimbang kekuatannya, ia melepaskan satu pukulan mautnya lagi melalui tangan kiri. Zlappp...! Sinar hijau melesat ke arah Embun Salju. Itulah jurus 'Jalur Baja' yang amat berbahaya dan bisa membuat orang menjadi meleleh jika terkena jurus itu karena kekuatan panasnya luar biasa.

Tetapi tangan kanan Embun Salju menyambut nya dengan tenang. Sinar hijau yang melesat lurus tanpa bengkok sedikit pun itu ditahan dengan telapak tangan kanan Embun Salju. Dan lama-kelamaan sinar hijau itu bagaikan dibungkus oleh sinar putih perak. Sinar putih perak itu merayap pelan-pelan sampai akhirnya masuk ke telapak tangan Nini Pa­sung Jagat. Sinar itu juga merupakan tenaga dalam yang sama, yaitu jurus 'Darah Kutub'.

Tiga jurus maut kini meresap masuk ke dalam tubuh Nini Pasung Jagat, yaitu jurus 'Darah Geni'nya sendiri, jurus 'Jalur Baja'-nya sendiri, dilawan dengan jurus 'Darah Kutub' yang amat dingin menggigilkan tiap persendian tubuhnya. Bahkan semakin lama Nini Pasung Jagat bertahan, semakin tampak busa-busa salju bertumbuhan di bagian rambut, alis, leher, pergelangan tangannya, dan hampir seluruh tubuh Nini Pasung Jagat menjadi putih, dibungkus busa salju.

Nenek yang ngotot tak mau kalah itu tiba-tiba bercahaya sekujur tubuhnya. Blappp...! Sinar merah memancar dari seluruh tubuh. Zlappp...! Embun Salju melepaskan tangannya, menjauhi tubuh lawan yang menyala
memancarkan sinar merah itu. Tubuh tersebut mulai menyentak-nyentak tak bisa bersuara. Jatuh ke tanah dan berkelojotan bagai ayam disembelih. Beberapa saat kemudian, tubuhnya diam tak bergerak. Cahaya merah surut, lalu padam dan wajah Nini Pasung Jagat kelihatan merah kehitaman seperti tembaga.

"Kuburkan dia!" kata Embun Salju kepada Dewi Anjani, dan ia pun segera meninggalkan tempat dengan tenang. Dewi Anjani menyuruh anak buahnya untuk menguburkan Nini Pasung Jagat.

SEBENARNYA bisa saja mayat Nini Pasung Jagat dibuang ke laut. Atau bila perlu dibuang ke jurang curam. Tapi Embun Salju tidak sekejam itu. Kematian adalah sesuatu yang layak mendapat penghormatan sekalipun sekecil biji semangka. Dengan menguburkan mayat Nini Pasung Jagat sudah merupakan suatu penghormatan kecil yang dilakukan oleh Embun Salju.

Hanya saja, Embun Salju tidak ingin mayat itu dimakamkan di Tanah Merah, tempat di mana Kuil Elang Putih berada. Mayat itu harus dimakamkan di luar perbatasan Tanah Merah. Karena itu, para pengubur membawa mayat Nini Pasung Jagat ke Pulau Kubangan, sebuah pulau kecil yang tidak berpenghuni.

Di sana ada delapan kuburan, yaitu kuburan para musuh yang mati di tangan Embun Salju dan matinya di Tanah Merah. Hanya enam orang yang membawa mayat itu ke Pulau Kubangan, sedangkan yang memakam kan jenazah Irandani dan Pujarini hampir seluruh penghuni Kuil Elang Putih. Jenazah Anjarwati pun dimakamkan di tempat pemakaman khusus orang-orang Kuil Elang Putih.

Menjelang petang, ketika senja makin menua, Embun Salju kedatangan tiga orang tamu. Wajah Embun Salju yang masih dilapisi masa berkabung itu membuatnya seperti merasa enggan untuk menerima tamu. Tetapi demi mendengar nama Kirana, adalah salah satu dari ketiga tamu tersebut, mau tidak mau Embun Salju bergegas menyambutnya.

Dan ternyata Kirana datang bersama Jongos Daki, yang sudah dikenal Embun Salju sebagal pelayan Tabib Cawan Maut. Tetapi satu orang tamunya lagi itu belum pernah dilihat oleh Embun Salju. Karenanya Embun Salju menatap dengan dahi berkerut ke arah wajah pemuda tampan yang berbadan tinggi, tegap serta gagah. Dialah Suto Sinting, Pendekar Mabuk yang ketampanannya sering menggoda hati wanita.

Tetapi karena Embun Salju belum mengenal wajah tampan itu, merasa baru pertama kali ini berjumpa, maka Embun Salju pun bertanya kepada Suto Sinting,

"Kalau boleh kutahu, siapa namamu dan dari mana asalmu?"

Kirana yang buru-buru memberi jawaban, seakan dia merasa bangga bisa mengenalkan nama pendekar yang sedang banyak menjadi bahan pembicaraan orang di rimba persilatan itu,

"Dia bernama Suto Sinting, Nyai...!"

"Oh..?!" Embun Salju terperanjat. Cepat-cepat matanya beralih ke Suto Sinting tak berkedip, tapi mulutnya bicara kepada Kirana,

"Maksudmu, dialah si Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak dariJurang Lindu itu?"

Kirana menjawab, "Benar. Agaknya kau banyak tahu tentang dia, Nyai! Apakah semua tokoh di rimba persilatan tahu banyak tentang orang sinting itu?!" canda Kirana.

"Entahlah," jawab Embun Salju sambil menyunggingkan senyum manis. Sungguh lebih manis dari senyuman Kirana atau senyuman Dewi Anjani saat jumpa di depan kuil pemujaan tadi.

Embun Salju melanjutkan ucapannya setelah melihat Suto pun membalas senyumannya,

"Yang kutahu nama Suto Sinting selalu berdampingan dengan nama Pendekar Mabuk. Dan semua perempuan di rimba persilatan membicarakan tentang ketampanannya, kegagahannya, serta daya tariknya yang luar biasa. Tapi, menurutku... biasa-biasa saja!"

"Maksud Nyai, ketampanannya biasa-biasa saja?"

"Artinya, kalau perempuan bicara tentang ketampanan seorang pria, itu biasa-biasa saja!" jawab Embun Salju sambil matanya melirik sebentar ke arah Pendekar Mabuk yang sejak tadi masih diam saja. Setelah itu, ia kembali bicara kepada Kirana,

"Agaknya ada sesuatu yang penting dengan kedatanganmu bersama Suto Sinting ini?!"
"Benar, Nyai! Banyak yang ingin kami bicarakan."
"Tentang apa, Kirana?"

Kirana melirik Suto, maksudnya menyuruh Suto menceritakan apa yang ingin diketahui olehnya tentang pusaka Ki Padmanaba itu. Tetapi Suto masih diam saja, dan Jongos Daki pun diam saja. Terjadilah masa hening beberapa kejap di antara mereka berempat. Kemudian, Kirana berkata kepada Pendekar Mabuk,

"Ceritakanlah apa yang kau alami di pantai itu, Suto!"

Kirana dan Jongos Daki terperanjat setelah Suto bicara dengan suaranya yang menjadi serak dan sangat kecil kedengarannya,

"Bagaimana aku mau bicara, ada seseorang yang menotok pita suaraku di tenggorokan! Aku tak bisa bicara!"

"Hei, kenapa suaramu jadi hilang begitu?!" kata Jongos Daki dengan wajah menegang.

Embun Salju tersenyum. Ia memandang Suto sekejap, kemudian berkata, "Bicaralah! Kau sudah bebas!"

"Hem...!" Suto mendehem. "Terima kasih," katanya dengan suara jelas. Rupanya Embun Salju yang punya keusilan mencoba ilmunya Pendekar Mabuk. Ia menotoknya lewat pandangan mata, sehingga su ara Suto bagai tertahan tak bisa keluar karena jalan darah menyumbat pita suara di tenggorokan.

"Maaf, sekadar perkenalan saja," kata Embun Salju merasa menang karena orang yang kondang kesaktiannya saja masih bisa dipermainkan dengan jurus totok melalui pandangan matanya. Pendekar Mabuk hanya tersenyum. Ia mengusap-usap tenggorokannya sejenak, bahkan menenggak tuaknya beberapa teguk untuk membasahi kerongkongannya, setelah itu berkata kepada Embun Salju,

"Ilmumu cukup tinggi, Nyai. Kau bisa menotokku lewat pandangan matamu. Jika bukan berilmu tinggi tak mungkin bisa melakukannya."

"Sekali lagi aku minta maaf, itu hanya salam perkenalanku saja," jawab Embun Salju, sambil duduk di bangku bundar setinggi satu lutut.

"Tak apa, Nyai. Cuma aku sangsi apakah kau sekarang masih bisa berdiri di depan kami, Nyai?!"
"Apa maksudmu, Suto?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Kirana dengan wajah penuh keheranan.
"Tak apa," jawab Embun Salju. "Mungkin Suto punya cara perkenalan sendiri."
"Saya semakin tak jelas dengan pembicaraan ini!" kata Kirana.

"Suto menotokku dan membuatku tak bisa berdiri." jawab Embun Salju dengan menahan malu. Ia tak mau memperagakan sikapnya yang berusaha berdiri. Ia hanya menggerakkan pinggangnya sedikit, ternyata masih belum bisa dipakai untuk berdiri.

"Suto," kata Kirana dengan sedikit sewot "Aku mengajakmu kemari bukan untuk pamer ilmu! Lepaskan totokanmu pada Nyai Guru!"

"Aku tidak menotoknya!" kata Suto sambil menunjuk Embun Salju, "Justru dia yang menotokku!"
"Tapi Nyai Guru tidak bisa berdiri! Pasti sama dengan yang kau lakukan kepada Ekayana di pantai itu!"
"Tidak!" jawab Pendekar Mabuk agak ngotot.

Embun Salju tersenyum dan berkata, "Sudahlah, Kirana! Dia sudah melepaskannya pada saat dia menunjukkan tangannya padaku!"

Maka, Embun Salju membuktikannya dengan berdiri tegak di depan tamu-tamunya. "Aku sudah dibebaskan oleh kenakalannya!"

Mata Kirana memandang tak berkedip kepada Embun Salju. Pada saat Embun Salju duduk kembali, Kirana berkata,

"Bukankah Nyai Guru orang yang susah ditotok oleh lawan?"

"Hanya lawan yang berilmu tinggi yang bisa menotokku," jawab Embun Salju dengan jujur, dan secara tak langsung mengakui keunggulan ilmu Pendekar Mabuk. Pemuda itu hanya tersenyum tipis, mengalihkan pandangan mata, karena tak sanggup menatap senyuman Embun Salju yang begitu indah. Luar biasa indahnya, sehingga setiap Embun Salju tersenyum, jantung Suto berdebar-debar, hatinya gemetar,
"Baiklah!" kata Embun Salju. "Ceritakanlah persoalanmu, Suto!"

"Aku mendapat tugas untuk mencari pusaka dan menyelamatkannya. Pusaka itu adalah milik Ki Padmanaba."
"Siapa yang menugaskan begitu?"

"Ki Padmanaba sendiri, sebelum ajalnya tiba, ia berbisik kepadaku! Pada waktu itu, aku segera menghadapi Nini Pasung Jagat, sebab Nini Pasung Jagat juga menghendaki pusaka itu sampai menewaskan Ki Padmanaba. Tetapi aku masih sangsi, apakah benar pusaka itu ada?"

Embun Salju diam sejenak, bibirnya sengaja menyunggingkan senyum dan membuat Suto Sinting salah tingkah. Kemudian Embun Salju berkata sambil bergantian menatap Kirana, Suto, dan Jongos Daki.
"Mengenai Nini Pasung Jagat yang mengejar pusaka itu, memang benar! Tadi siang dia habis mengamuk di sini dan mendesakku untuk memberitahukan di mana pusaka Ki Padmanaba adikku di simpan. Bahkan aku kehilangan kesabaran melihat tiga muridku dibunuhnya, lalu dia kubunuh dan sekarang sedang dibawa ke Pulau Kubangan untuk di­makamkan sebagaimana mestinya..."

"Oh, jadi nenek tua itu sudah mati?" potong Suto dengan cepat.

"Sudah!" jawab Embun Salju sambil menarik napas dalam-dalam. Lalu katanya lagi,

"Mengenai pusaka itu ada atau tidak, kusarankan pada kalian atau siapa pun, tak perlu mencari pusaka itu!"
"Maksudnya?" desak Kirana.
"Pusaka itu tidak ada. Itu hanya omong kosong adikku saja!"

Jongos Daki menyahut, "Tapi bagaimana dengan cerita tentang istri Ki Padmanaba yang membunuh mertuanya sendiri dengan pedang pusaka itu? Bukankah cerita itu benar adanya dan Ki Padmanaba pun segera membunuh istrinya, lalu beliau berjanji agar tidak menggunakan pedang tersebut, sehingga pedang tersebut disimpannya?"

Sekali lagi Embun Salju menarik napas dan setelah itu baru berkata, "Soal istri Padmanaba yang membunuh ayahnya Padmanaba, atau ayah tiriku, itu memang benar. Tapi tidak dengan pedang pusaka. Hanya dengan pedang biasa!"

"Bukankah istri Ki Padmanaba tidak bisa bermain pedang? Dan ayah Ki Padmanaba jago pedang juga? Mungkinkah jago pedang bisa dikalahkan dan dibunuh oleh seorang perempuan yang tidak mahir menggunakan pedang?" kata Jongos Daki, seakan mendesak supaya Embun Salju mengatakan yang sebenarnya.

"Seseorang jika memang sudah mencapai naasnya, yang tidak mungkin membunuhnya bisa menjadi mungkin membunuhnya!" jawab Embun Salju tak begitu jelas dalam pernyataannya.

Jongos Daki mendesak lagi, "Setahu saya, Nyai... Ki Padmanaba tidak pernah bohong kepada siapa pun. Mungkinkah dia menceritakan hal itu kepada saya sebagai cerita bohong belaka?"

"Seseorang perlu bersikap jujur, tapi kadangkala kebohongan pun dibutuhkan demi kebaikan bersama, bukan untuk menguntungkan diri pribadi!" sekali lagi jawaban Embun Salju kali ini terasa mengambang, seakan ia sengaja membuat tamu-tamunya menjadi penasaran mencari kepastian jawabannya masing-masing.

"Jadi tentang pusaka itu tidak ada, Nyai?" Kirana minta penegasan.

"Lupakan tentang pusaka itu!" jawab Nyai Guru Embun Salju. "Sekarang aku ingin menjamu kalian untuk makan malam bersama. Kalau tak salah lihat, Jongos Daki sudah lapar sekali malam ini!"

Jongos Daki tersenyum malu sambil mengusap-usap perutnya.

"Dan Suto kelihatannya sudah terlalu lelah, butuh istirahat!"
"Kali ini tebakanmu salah, Nyai!" jawab Suto. "Aku hanya ingin menyendiri untuk beberapa saat!"

"O, ya...itu perlu untuk menenangkan pikiranmu yang gundah. Aku punya taman kecil di belakang sana...!" Embun Salju menunjuk kearah belakang yang dimaksud adalah halaman belakang kuil. Lalu, Embun Salju berkata lagi,

"Di sana tempatnya nyaman, sepi, dan hening. Kalau kau mau menenangkan diri sekarang juga, kuantarkan kau ke sana!"

Embun Salju berdiri dan berseru memanggil Dewi Anjani. Setelah yang dipanggil muncul, Embun Salju berkata,

"Bawa tamu kita bersantap malam. Nanti aku menyusul. Aku mau antarkan Pendekar Mabuk ini untuk ke taman belakang...!"

"Baik, Guru!"

"Sebaiknya kau makan bersama sekalian, Suto!" sahut Kirana dengan maksud supaya Suto tidak ke taman bersama Embun Salju. Tapi Suto kurang tanggap akan hal itu, sehingga dia berkata,

"Kalian berdua saja. Temani Paman Jongos Daki makan malam. Wajahnya telah pucat sejak tadi. Aku butuh ketenangan sebentar saja!"

Kirana mau tak mau pergi bersama Paman Jongos Daki. Hatinya menahan dongkol dan waswas. Rupanya ada benih-benih kecemburuan yang tumbuh di hati Kirana. Jongos Daki yang tahu persis hal itu segera berbisik kepada Kirana,

"Buanglah pikiranmu yang bukan bukan. Suto tidak akan melakukan apa yang kau cemaskan sekarang ini!"

"Ah, Paman...!" Kirana menepiskan tangan dan bersikap biasa-biasa saja, seakan tidak mempunyai benih kecemburuan.

Taman yang dimaksud adalah ladang bebatuan dengan aneka macam jenis batu hias. Ada yang berwarna ungu berbentuk seperti pohon kaktus, ada yang beerwarna putih mirip ikan melompat, ada pula yang berwarna hijau seperti bentuk pohon cemara, tingginya seukuran tinggi manusia dewasa. Yang namanya tanaman asli hanya rumput-rumput hias. Sisanya batu-batuan hias dengan bentuk dan warna yang mempesona.

Di sudut taman itu, ada batu yang berbentuk seperti kerbau sedang mengeram di kubangan lumpur. Warnanya kuning kehitaman. Batu itulah yang biasa dipakai duduk-duduk menikmati ketenangan di taman yang luasnya separo halaman depan. Di sanalah Embun Salju membawa Suto dan mempersilakan duduk.

"Di sini kau akan merasa tenang dan nyaman," katanya.
"Kurasa lebih tenang berada di dekat batu merah itu."

"Batu ini mempunyai kekuatan gaib. Bisa membuat hati yang gundah menjadi tenang, pikiran yang kusut memjadi tenang, jiwa yang guncang pun menjadi nyaman. Duduklah dan coba beberapa saat!"

Baru sekarang Suto mendengar ada batu yang punya pengaruh seperti itu jika diduduki. Karena ingin membuktikan kebenaran kata-kata orang sakti itu, maka Suto pun duduk di batu yang mirip kerbau mengeram di lumpur itu. Ternyata biasa-biasa saja menurut Suto. Yang membuat sedikit tenang adalah keberadaan Embun Salju, yang duduk di batu hitam seberangnya, dan wajahnya berhadap-hadapan dengan Pendekar Mabuk.

Wajah itulah yang memancarkan ketenangan, kedamaian, dan kenyamanan. Apalagi dibumbui dengan senyum tipis menggemaskan hati, sungguh sesuatu yang indah dan enak dinikmati. Tanpa ada wajah Embun Salju di depannya, mustahil batu yang diduduki Soto itu mempunyai pengaruh seperti yang dikatakan Embun Salju tadi.

"Apakah Kirana itu kekasihmu?"
"Bukan," jawab Suto Sinting.

"Lalu mengapa kau bersamanya?" Suto diam sesaat dan memikirkan jawabannya, tapi Embun Salju sudah lebih dulu berkata,

"Kau mencari pusaka adikku dengan membawa-bawa Kirana, apakah tak terpikirkan bahwa dia akan menjadi duri di dalam usahamu menyelamatkan pusaka itu?"

"Mulanya aku butuh dia, karena dia tahu letak Cemara Tunggal!"
"Ada apa dengan Cemara Tunggal? Aku tahu tempat itu, adanya di Bukit Canang."

"Pesan Ki Padmanaba menyebutkan Cemara Tunggal."
"Maksudmu, dia menyimpan pusaka itu di sana?"

"Aku tak tahu pasti, Nyai. Karena aku masih bingung, apakah pusaka itu memang ada atau tidak? Mana yang benar?"

Embun salju menarik napas dan menghembuskannya dengan pelan-pelan, setelah itu berkata kepada Suto,
"Kau benar-benar sanggup bertanggung jawab dengan pusaka itu?" tanpa memandang Embun Salju sudah merasa dirinya diperhatikan Pendekar Mabuk dangan dahi berkerut, pertanda Pendekar Mabuk curiga padanya.

"Aku akan bertanggung jawab! Nah, sekarang katakan yang sebenarnya, Nyai Embun Salju! Karena aku merasa seolah-olah aku punya hutang besar kepada arwah Ki Padmanaba jika aku tidak melaksanakan amanatnya itu. Aku sendiri tak tahu, mengapa aku jadi punya perasaan seperti itu. Padahal aku merasa pusaka itu bukan pusaka warisanku, aku tak punya hak untuk memiliki pusaka itu, dan aku tak tahu, setelah kudapatkan pusaka itu lantas mau dikemanakan, aku tak tahu!"

"Kalau begitu, kekuatan batin Padmanaba menyertaimu terus saat ini ini, Suto Sinting!"

"Baiklah. Anggap saja memang begitu. Lalu, untuk apa kekuatan batin mendiang Ki Padmanaba menyertaiku jika pusaka itu tidak ada seperti yang kau katakan tadi?"

Embun Salju memandang tanpa senyum, kelihatan wajahnya bersungguh-sungguh menanggapi omongan Suto Sinting. Lalu dia berkata,

"Sebenarnya pusaka itu memang ada!" Embun Salju sengaja berhenti sebentar untuk melihat perubahan wajah di muka Suto. Karena wajah itu tetap tenang dan tidak merasa kaget ataupun heran, tapi justru tampak bersunguh-sungguh menyimak tiap ucapan yang didengarnya, maka Embun Salju pun melanjutkan ucapannya,

"Sengaja kukatakan kepada siapa pun bahwa pusaka itu tidak ada, supaya mereka tidak saling berebut dan akhirnya saling bunuh! Sampai sekarang aku tak tahu siapa yang berhak memiliki pusaka itu. Tapi dengan jujur kukatakan, aku tak mengerti di mana Padmanaba menyimpan Pedang Wukir Kencana itu."

Pendekar Mabuk manggut-manggut dan kelihatan tetap tenang. Ia tidak seperti orang yang haus benda pusaka dan bernafsu untuk memilikinya. Ia hanya kelihatan seperti orang yang gelisah karena mengemban tugas yang tak bisa diselesaikan. Air muka seperti itulah yang membuat Embun Salju merasa perlu bicara apa yang sebenarnya ia ketahui,

"Dalam amanatnya," kata Suto. "Ki Padmanaba mengatakan padaku, 'Selamatkan pusaka Cemara Tunggal dalam purnama', begitu yang kudengar dari mulutnya yang kemudian menghembuskan napas terakhir. Aku tak mengerti persis apa maksudnya, tapi aku yakin pusaka itu ada di Cemara Tunggal. Hanya saja, aku sudah cari beberapa waktu bersama Jongos Daki dan Kirana, tapi tidak kutemukan pusaka itu."

"Dalam purnama...?!" Embun Salju menggumam dengan dahi berkerut. Ia merenung beberapa saat.

Kemudian ia pun bicara dengan pelan, masih seperti orang menggumam,

"Repotnya pusaka itu tidak bisa ditembus oleh mata hatiku, tak ada orang yang bisa meneropong pusaka itu, sehingga sampai sekarang tak ada yang menemukannya! Itulah kehebatan Pedang Wukir Kencana. Sulit ditemukan oleh orang yang bukan pemiliknya atau yang bukan diberi tugas merawatnya."

"Menurutmu apakah aku diberi tugas untuk merawat pusaka itu, Nyai? Sebab aku merasa...."

"Tunggu...!" potong Nyai Guru Embun Salju dengan tiba-tiba, sepertinya ada yang penting dan mengagetkan hatinya. Pendekar Mabuk segera berdiri dan memandang sekeliling, bersikap waspada karena menyangka ada bahaya yang mengancam keselamatan Embun Salju.

"Duduklah, tak ada bahaya apa-apa," kata Embun Salju. "Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku telah menemukan kuncinya!"

"Kunci apa maksudmu, Nyai?"
"Kunci membuka jalan ke tempat penyimpanan pusaka itu!"

"Pembuka jalan?!" gumam Suto heran. "Apakah ada jalan menuju ke suatu tempat yang dipakai menyimpan pusaka itu?"

"Tidak begitu maksudku, Suto! Tapi kunci itu menunjukkan di mana pusaka tersimpan."
"Menurutmu di mana?"

"Di purnama...! Ya, seperti malam sekarang ini adalah malam bulan purnama, Suto!"
"Jadi kau menyuruhku terbang ke bulan untuk mengambil pusaka itu, Nyai?"

"Bukan itu maksudku?" kata Embun Salju, ia berdiri menandakan sangat gembira karena telah menemukan kunci tersebut. Ia berjalan mendekati tempat duduk Suto Sinting dan berdiri di depan pemuda tampan itu, sehingga pemuda tersebut sedikit mendongak memandangnya,

"Coba ulangi pesan Padmanaba padamu!"

Suto mengulangi ucapan Ki Padmanaba, "Selamatkan pusaka Cemara Tunggal dalam purnama!" Suto termenung sebentar, ada sesuatu yang lupa. Lalu ia berkata lagi,

"Eh, bukan... bukan begitu! Tapi begini, 'Selamatkan pusaka di pucuk Cemara Tunggal dalam purnama...' Kira-kira begitu kurang lebihnya, Nyai!"

"Nah, semakin jelas! Sekarang adalah malam purnama. Rembulan menampakkan diri secara utuh di langit. Tapi saat ini belum puncak purnama. Puncaknya nanti, di pertengahan malam."

"Jadi bagaimana maksudmu?"

"Cari bayangan pucuk cemara pada saat puncak purnama tiba. Di mana bayangan pucuk cemara itu ada di situlah pusaka itu tersimpan. Jika ia jatuh di tanah, maka galilah tanah itu, pasti Padmanaba menyimpan pusakanya di tanah itu!"

"Begitukah...?!" gumam Suto seperti bicara sendai, karena ia mengucapkan kata tanya dalam keadaan matanya merenung.

"Kalau kau sanggup melakukannya, berangkatlah mulai sekarang Pendekar Mabuk, bawalah peralatan gali seperlunya! Dan kusarankan jangan pergi bersama siapa pun! Sebab pusaka itu banyak yang mengincar!"

"Baiklah kalau kau yakin begitu, aku akan berangkat sekarang! Lalu, setelah itu aku harus ke mana membawa pusaka itu?"

"Bawalah kemari dulu, nanti kita bicarakan!"REMBULAN tampak utuh di langit cerah. Warnanya kuning keperak-perakan. Cahayanya sangat terang menyorot ke bumi. Cahaya itu sangat dibutuhkan oleh sepucuk cemara yang tumbuh sendirian di sebuah bukit. Dan di bawah cemara itu, seseorang telah menunggu sejak tadi, memperhatikan bayangan pucuk cemara yang jatuh di tanah tak berbatu, juga tak bertanaman lain kecuali rumput. Orang itu menyandang sebuah cangkul yang tidak terlalu besar, berukuran sedang sehingga mudah di bawanya ke mana-mana.

Orang itu tak lain adalah Suto Sinting, yang sejak tadi entah sudah berapa kali menenggak tuaknya, menunggu saat purnama tepat berada di pertengahan malam. Pucuk cemara yang bayangannya jatuh ke tanah itu diperhatikan terus sejak tadi. Dalam hati ia mengakui kebodohannya yang tak bisa menerjemahkan arti amanat mendiang Ki Padmanaba itu.

Pucuk cemara itu bayangannya bukan jatuh di tanah sekitar batu yang dipakai bersandar gurunya Kirana sebelum wafat, bukan di sekitar batu yang pernah dicoba didorong-dorong oleh Suto itu, melainkan di tanah seberangnya. Jika Pendekar Mabuk pada waktu itu menggali seluruh tanah di sekitar dua batu yang berdekatan itu, maka ia tidak akan menemukan apa-apa kecuali kekecewaan, sebab banyangan pucuk cemara tidak jatuh ke sana. Bukan ke arah timur, melainkan ke arah barat. Barangkali dulu banyak pemburu pusaka Ki Padmanaba itu yang terkecoh mencari di tanah sebelah timur pohon cemara tunggal itu, sehingga sampai sekarang pusaka itu belum ditemukan.

Hal yang dikhawatirkan Suto adalah, kalau-kalau dugaan Embun Salju itu salah. Maka Suto hanya akan menemukan kelelahan dan kekecewaan yang mendongkolkan hati. Tetapi menurut naluri Suto, dugaan Embun Salju tidak banyak salahnya. Seandainya Suto menggali tempat kosong, itu lantaran kurang tepat waktu purnamanya. Tetapi di antara garis sejajar dari bayangan pucuk cemara itulah kira-kira pusaka itu dipendam oleh Ki Padmnaba.

Dari sikapnya yang duduk dengan santai, tiba-tiba Suto terpaksa harus berdiri. Angin berhembus mulai kencang, hawa dingin datang di luar kewajaran. Ini sudah merupakan tanda-tanda ajaib pada alam sekeliling tempat penyimpanan pusaka tersebut.Mata Pendekar Mabuk segera terkesiap, karena ia menangkap ada kilatan cahaya bening yang muncul dari tanah. Kilatan cahaya yang hanya sekejap itu berwarna putih, seperti logam terkena sinar, tapi kurang dari setengah helaan napas, cahaya itu sudah lenyap. Suto yakin, di sanalah pusaka itu dipendam oleh pemiliknya. Karena pucuk cemara mempunyai bayangan ke arah tanah yang memercikkan cahaya terang sekejap itu.

"Bayangan pucuk cemara itu jatuh di sana, ditempat cahaya terang sekejap tadi. Berarti aku harus segera menggali tanah tersebut. Agaknya cahaya terang sekejap tadi merupakan pertanda gaib yang muncul untuk menunjukkan bahwa di sanalah ditanam sebuah pusaka yang cukup dahsyat itu!" kata Suto dalam hatinya. Maka ia pun bergegas menggali tanah di sekitar cahaya dan bayangan pucuk cemara berada.

Suto menggalinya dengan cepat, menggunakan tenaga simpanannya yang mampu menggerakkan tangan melebihi anak panah kecepatannya. Sementara itu, angin semakin kencang bertiup. Dedaunan mulai berterbangan. Hawa dingin bertambah mencekam, seakan ingin membekukan darah.

Langit masih terang, tapi gelegar guntur mulai terde-ngar bersahutan dari langit timur dan langit barat. Trak...! Cangkul mengenai benda padat dan keras. Pendekar Mabuk mulai hati-hati dan memperlambat gerakan cangkulnya.

Dalam beberapa saat kemudian, mulailah tampak sebuah benda berwarna hitam samar-samar karena masih bercampur dengan tanah. Semakin dibersihkan tanah di sekelilingnya dengan cangkul, semakin terlihat jelas bentuk benda hitam yang memancang itu. Ternyata adalah sebuah peti besi berukuran lebar antara dua jengkal, panjangnya seukuran sebuah pedang. tinggi kotak itu antara satu jengkal. Kotak besi itu segera diangkat oleh Suto dari galiannya. Tidak terlalu berat, tapi sedikit licin karena kotak besi itu ditumbuhi lumut lumut tipis. Dengan sangat hati-hati Suto meletakkan kotak panjang itu di tepi liang galiannya. Napasnya terhempas lepas, menandakan cukup lega dengan apa yang ditemukannya itu.

Namun ketika Suto ingin membuka tutup kotak besi itu, tiba-tiba sekelebat benda mengkilat melesat ke arahnya. Zingng...! Benda itu melintas tepat didepan mata Pendekar Mabuk. Andai Pendekar Mabuk tidak menarik kepala ke belakang, maka ia akan menjadi sasaran senjata rahasia tersebut.

"Aaaa...!"

Suto terkejut mendengar suara pekik manusia di sebelah kanannya. Padahal benda itu muncul dan berkelebat dari samping kirinya. Rupanya benda itu mengenai orang yang sedang mengangkat pedangnya dan ingin menebaskan pedang itu ke punggung Suto.

Jaraknya hanya tiga langkah dari tempat Suto membungkuk tadi.

Orang yang masih diam mengangkat pedang ke atas dalam keadaan tertancap senjata rahasia berbentuk bintang segi enam di tengah jidatnya itu, bukan orang yang dikenal oleh Suto Sinting. Usianya sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun, bertubuh sedikit gemuk, berkumis tebal, berwajah sangar. Dari wajahnya dan keadaannya yang ingin membunuh Suto dari belakang itu sudah bisa disimpulkan, dia orang jahat yang layak menerima senjata rahasia itu.

Brukk...! Orang itu jatuh ke belakang dan tak bernyawa lagi. Suto baru saja mau memeriksa mayat orang itu, tiba-tiba ia melihat sekelebat cahaya terang yang melesat terbang seperti tadi. Arahnya juga dari tempat yang sama Zingng...!

Dan anehnya benda itu tidak melayang ke arah Suto, namun ke arah lain. Suto mengikuti dengan kecepatan pandangan matanya. Tahu-tahu ia melihat seseorang yang berdiri di balik batu berongga setinggi manusia. Orang itu memekik seketika, karena senjata rahasia yang melesat itu tepat masuk ke dalam celah rongga batu yang digunakan orang itu mengintai kegiatan Suto. Crabb...!

"Aahg...!" orang itu hanya memekik pendek, lalu terdengar tubuhnya jatuh ke tanah dan tak terdengar lagi gerakannya.

"Gila!" gumam Suto dalam hatinya, "Rupanya ada orang yang sejak tadi mengintaiku, menunggu aku menemukan benda pusaka itu. Tapi ada yang bermaksud untuk merebutnya dengan mencelakai aku, ada yang bermaksud melindungi diriku! Hmm...! Siapa orang yang melindungi dengan senjata rahasia bintang segi enam itu?!"

Mata Suto Sinting memandang ke arah semak yang ada di sebelah kirinya tadi. Ia berseru tak terlalu keras,
"Keluarlah kalau kau mau membantuku!"

Kemudian muncul seraut wajah yang sudah tidak asing lagi bagi Suto Sinting, yaitu wajah berambut poni, bermata bulat bening, dan berhidung mancung. Siapa lagi kalau bukan si cantik Kirana. Dan kemunculannya itu membuat Suto sedikit terperangah lalu bertanya,

"Dari mana kau tahu kalau aku ada di sini?!"

"Aku tak melihatmu di Kuil Elang Putih. Aku melihat Nyai Guru Embun Salju sendirian termenung di taman. Waktu kutanyakan tentang kamu, ia menjawab bahwa kau sedang beristirahat di kamar. Aku tak percaya, karena aku tahu kau belum makan dan kau tidak mungkin masuk kamar tanpa menemuiku dulu. Aku merasa ada kejanggalan, lalu kusimpulkan bahwa kau telah diberitahu oleh Nyai Embun Salju mengenai rahasia pedang pusaka itu! Kau pasti kemari, karena kau tak bisa mengartikan pesan yang diucapkan oleh Ki Padmanaba sebelum ajalnya tiba. Tapi aku yakin, Nyai pasti bisa mengartikannya! Ternyata benar!"

Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng kepala sambil nyengir. Kemudian ia memandang dua orang yang tumbang karena lemparan senjata rahasia Kirana itu. Dan Suto pun berkata,

"Untung kau menyusulku, sehingga kedua orang itu tak sempat melenyapkan nyawaku!"
"Sejak tadi kuperiksa diam-diam keadaan di sekeliling tempat ini. Sengaja tak kutemui dirimu, takut mengganggu ketenangan berpikirmu. Dan..., yang kulihat tadi hanya dua orang itu, maka kusiapkan serangan untuk mereka jika sewaktu-waktu membahayakan dirimu!"

"Terima kasih! Kau telah menyelamatkan nyawaku!"

"Hutang kita impas! Aku tak punya hutang nyawa lagi padamu!" kata Kirana sambil memandangi kotak tersebut.

Suto berkata, "Kita lihat seperti apa isinya!" sambil Suto membungkuk dan hendak membuka penutup kotak itu. Tapi tiba-tiba kaki Kirana menginjak kotak tersebut. Tabb...! Kaki itu tepat ada di antara kedua tangan Suto Sinting dan di depan wajah Suto.

Pelan-pelan wajah Pendekar Mabuk mendongak memandang Kirana yang berdiri dengan satu kaki menginjak kotak. Lalu, Kirana pun mencabut pedangnya pelan-pelan dan diangkat ke atas pelan pelan pula. Mata Pendekar Mabuk memandangi pe­dang itu dengan tak berkedip.

"Apa maksudmu, Kirana?!"

"Jangan dari situ membukanya! Dari sebelah sini, sehingga kau tidak langsung berhadapan dengan lubang kotak!"

Sekalipun heran terhadap maksud Kirana, tapi Suto Sinting mengikuti saran Kirana. Ia berpindah tempat ke samping kanan Kirana. Kemudian kotak itu dibuka penutupnya dengan cara menariknya ke atas, bukan mengangkatnya ke atas. Dengan begitu penutup peti menjadi pelindung bagi perut dan dada Suto.
Lanjut ke bagian 2
***