Pendekar Mabuk 23 - Rahasia Pedang Emas(2)



 Begitu kotak dibuka, melesatlah dua ekor ular putih sebesar jempol kaki. Dan pedang Kirana cepat menebas ular putih yang tampak ganas itu. Wuttt, wuttt...! Cras cras...!


Ular putih itu terpotong keduanya mati tak berkutik lagi. Jika terlambat Kirana menebaskan pedangnya, maka ular putih itu akan lepas dan mungkin akan menyerang Suto dan Kirana sendiri, atau akan menyerang orang lain yang tidak tahu-menahu mengenai pusaka itu.

Karenanya, Kirana sudah mempersiapkan pedangnya sejak tadi. Dan seandainya Suto membuka kotak tersebut di tempat semula, maka begitu tutup kotak dibuka, maka ia akan diserang dua ekor ular ganas tersebut. Beruntung Kirana mengingatkan Pendekar Mabuk untuk membuka kotak dari arah seberangnya.

"Namanya Ular Sanca Ratu," kata Kirana."Jenis ular ganas yang langka, dan menjadi liar jika terkena udara malam. Ular Sanca Ratu mampu tidak bernapas sampai bertahun tahun, tidak bergerak sedikitpun, kecuali terkena udara malam! Sanca Ratu hanya terdapat di pegunungan es! Racun gigitannya luar biasa ganasnya. Tak usah sampai tergigit, tersentuh kulitnya pun bisa membuat seseorang mati dalam tiga helaan napas."

"Luar biasa...?!" gumam Suto merasa kagum dengan cara Ki Padmanaba memasang perangkap bagi orang yang ingin mencuri pedang pusakanya itu.

Kini kotak besi itu dalam keadaan terbuka. Ternyata di dalamnya berisi kotak lagi. Namun kali ini kotak tersebut terbuat dari kayu cendana yang menyebarkan aroma wangi semerbak. Apalagi angin berhembus pada saat itu, aroma wanginya menyebar kemana-mana.

Kotak itu berwarna coklat muda, ukurannya sedikit lebih kecil dari ukuran kotak besinya. Suto segera mengambil kotak kayu cendana itu. Namun tiba-tiba kaki Kirana segera menendangnya kuat-kuat. Wuttt...! Behgg...! Pendekar Mabuk terpental jatuh ke samping. Tendangan itu cukup kuat dan membuat Suto Sinting tak bisa bernapas sesaat.

Setelah bisa bernapas, Pendekar Mabuk pun berdiri secepatnya dan memandang Kirana yang masih menggenggam pedang dengan kedua ta­ngannya. Pedang itu menyilang di depan dada, sedikit miring ke kanan.

"Mengapa kau menyerangku, Kirana?"
"Karena kau ceroboh, Suto!"
"Ceroboh bagaimana?!"
"Kotak kayu itu jangan sekali-kali kau sentuh!"
"Apa sebabnya?!"

Dengan nada pelan, Kirana menjawab, "Kotak itu dilumuri racun yang amat berbahaya! Siapa menyentuhnya dia akan mati dan mayatnya pun akan beracun. Siapa menyentuh mayatnya juga akan mati dan begitu seterusnya. Satu orang yang menyentuh kotak itu, bisa lima atau enam orang yang ikut mati. Bisa juga lebih dari enam orang!"

"Mengagumkan sekali!" gumam Suto Sinting sambil berdecak.

"Ambil pengait dan kita angkat kotak kayu itu dari dalam kotak besi ini! Kulihat di sisi kedua ujung nya ada tempat pegangan tangan. Hmmm...!"

"Bagaimana kalau pakai ranting?!"

"Bisa, bisa...!" jawab Kirana sambil memasukkan pedang ke sarungnya setelah dibersihkan dengan dedaunan, sehingga darah ular Sanca Ratu itu hilang dari mata pedang.

Tapi sisanya akan membekas dan menjadikan racun ganas yang menambah kekuatan dan keganasan pedang tersebut. Siapa tergores, dia akan mati dengan cepat karena darah ular itu beracun.

Dengan bantuan ranting bertunas pendek, mereka berdua mengeluarkan kotak kayu cendana tersebut dari kotak besinya. Tetapi baru saja kotak kayu itu mereka letakkan di rerumputan, tiba-tiba sebuah serangan ganda datang secara bersamaan dari belakang Kirana dan Pendekar Mabuk. Pukulan tenaga dalam itu menghantam punggung mereka dan membuat mereka terlempar ke depan dan berjumpalitan di tanah.

Wuttt, wuttt...!
Gusrakkk... brrussss...!

Begitu Suto dan Kirana bergulingan di tanah akibat pukulan tenaga dalam itu, tiba-tiba sesosok bayangan berpakaian kuning melesat, menyambar kotak kayu itu. Zlappp...! Wuttt...! Kemudian bayangan kuning itu pun menjauh dan berhenti di bawah pohon cemara tunggal itu.

"He he he he...! Akhirnya kudapatkan juga pedang pusaka ini! He he he he...!"

Suto bergegas mengejarnya, tapi Kirana menghadang dan mencegah.

"Jangan! Biarkan saja dia menikmati kegembiraannya yang cuma sebentar itu!"

Suto memandang sosok berbaju kuning, seorang lelaki kurus, berambut pendek putih, mengenakan ikat kepala merah. Tubuhnya jangkung, namun kerutan dan kekurusan wajahnya menampakkan dirinya sudah berusia lebih dari enam puluh tahun. Ia menggenggam tongkat warna putih, tangannya yang kiri memeluk kotak kayu cendana itu.

"Bumbung tuakku ada di punggung, tapi dia bisa menyerangku dari belakang! Biasanya pukulan tenaga dalam dari mana pun bisa memantul balik jika mengenai bumbung tuakku! Tapi pukulan orang itu tidak! Siapa dia sebenarnya, Kirana?"

"Dia berjuluk Serigala Liar! Musuhnya Ki Padmanaba sejak semasa mudanya! Sudah lama ia mengincar pedang itu tapi tak pernah berhasil. Baru sekarang ia memperolehnya. Dan dia punya ilmu cukup tinggi yang tak bisa ditangkis dan dilawan oleh ilmu tenaga dalam dari mana pun juga! Kurasa gurumu kenal sama Serigala Liar itu!"

"Ya, ya...aku ingat dulu Guru pernah bercerita tentang tokoh sakti bernama Serigala Liar! Tapi bukankah sekarang dia sudah bertobat dan mengasingkan diri di Gunung Malabar?!"

"Dia menyebarkan kabar itu sendiri! Yang jelas dia bersembunyi di sekitar tempat ini entah di mana dan entah sudah berapa tahun! Dulu dia pernah mencari pusaka itu di sekitar sini sampai satu tahun penuh hanya untuk mencari, tapi tak pernah berhasil. Mungkin karena jengkelnya, dia tunggui tempat ini dari sisi mana kita tak tahu! Dan begitu ia mencium bau cendana, ia yakin pasti pedang pusaka itu ada yang menemukannya, karenanya ia segera datang kemari!"

"Kalau begitu, kita rebut pedang itu supaya..."
"Tak perlu...! Lihat dia sekarang ini!" kata Kirana memotong.

Orang berjuluk Serigala Liar itu tertawa kegirangan sambil menimang-nimang kotak kayu cendana itu. Tetapi tiba-tiba tawanya menjadi hilang, tubuhnya tersentak kejang, mulutnya ternganga. Ia menarik napas dengan susah payah. Megap-megap sebentar, lalu roboh dengan kelojotan beberapa saat.

Keringatnya mulai mengucur dan berbau amis. Kejap berikutnya, Serigala Liar tak bergerak lagi untuk selama-lamanya, ia mati dalam keadaan mulut ternganga dan mata terbeliak tak berkedip lagi.

"Dia mati, Kirana!"
"Ya. Memang mati. Tapi jangan sentuh mayatnya, bisa-bisa kau ikut mati!"
"Apakah dia mati karena racun di kotak kayu tersebut?!"

"Betul! Sekarang kita tarik kotak itu dari pelukannya, lalu kita buka tutupnya. Ingat, jangan pakai tangan telanjang! Pakailah kayu pengait untuk menariknya, dan gunakan beberapa daun untuk membungkus tanganmu supaya saat kau membuka kotak itu tidak terkena racun yang ada di tutup kotak tersebut!"
Pendekar Mabuk melakukan apa yang disarankan Kirana. Ternyata ia selamat. Kotak bisa dibuka dan sebuah pedang yang terbuat dari logam emas murni tampak membujur panjang di dalam kotak kayu cendana itu. Suto Sinting segera mengambil pedang itu dengan pelan-pelan, tangannya berusaha jangan sampai menyentuh permukaan kotak kayu bagian luar.

"Woww...!" desah Suto penuh kekaguman. Ia tersenyum girang dan Kirana memperhatikan dengan rasa bangga dan gembira. Pedang itu diperhatikan oleh mereka berdua, dari bentuknya yang mempunyai dua ujung runcing di kanan-kiri gagang, gambar ukiran naga di tengahnya, bagian tajamnya yang mengelilingi mata pedang itu, semuanya membuat kedua orang itu terkagum-kagum. Jika diberdirikan terbalik, panjang pedang setinggi bawah pinggul Suto. Bentuknya kelihatan besar dan berat, tapi sebenarnya ringan dijinjing, sarung pedangnya juga dari logam emas berukir gambar naga dengan seni ukir yang cukup tinggi. Mempunyai tali dari bahan kulit tebal, itu berarti pedang tersebut biasanya diletakkan di punggung pembawanya.

"Kau tampak gagah jika memegang pedang itu, Suto. Jauh lebih gagah dibanding jika tidak memegang pedang itu!" kata Kirana sambil memandangi Suto dengan senyum berseri seri, berhamburan rasa bangga dan kagum.

"Tapi ini bukan hak milikku! Pedang ini bukan warisan untukku!" kata Pendekar Mabuk kepada Kirana. Tapi gadis itu berkata,

"Sekarang sudah menjadi milikmu dan kau berhak memakainya kapan saja, Suto! Kaulah pemilik Pedang Wukir Kencana ini!"

"Mengapa begitu? Aku hanya menemukannya sesuai amanat Ki Padmanaba! Aku tidak punya hubungan saudara dengan Ki Padmanaba!"

"Memang. Tapi barang siapa yang bisa menemukan pedang ini, maka dialah yang berhak mewarisinya! Karena itu banyak orang berburu pedang ini di masa lalu! Tapi tak ada yang berhasil!"

"Siapa yang menemukan pedang ini, dialah yang berhak mewarisinya?!"
"Benar, Suto!"
"Dari mana kau tahu hal itu? Dan... kurasakan dari tadi kau banyak tahu tentang pedang ini?!"

"Aku anak angkat Ki Padmanaba!" jawab Kirana. "Sejak usia delapan tahun aku diasuh oleh beliau! Pada saat beliau ingin menyembunyikan pedang pusaka ini, aku mengetahuinya! Hanya saja tidak boleh ikut saat ia menyembunyikan pedang ini! Dan aku disumpah untuk tidak membocorkan rahasia pedang emas ini! Jika aku membocorkan begitu saja, aku akan mati dimakan sumpah dan kutukku sendiri! Karenanya aku takut ingin mengatakan yang sebesarnya kepadamu. Suto! Bahkan kepada guruku Nyai Punding Sunyi pun aku tak berani mengatakannya!"

"Kenapa kau tidak berguru kepada Ki Padmanaba?"

"Ki Padmanaba hanya menurunkan ilmu kepada cucunya, yaitu Ekayana! Ilmu itu tak diturunkan kepada orang lain, supaya ilmu yang dimiliki cucu kesayangannya itu tidak ada yang menyamai! Dan aku ditolong oleh Ki Padmanaba, menjadi anak angkatnya karena sesuatu hal. Bukan karena ingin dijadikan murid. Dia sayang kepadaku, karena itu dia hanya bisa memberi banyak wejangan kepadaku, dan menceritakan beberapa pengetahuannya tentang dunia persilatan!"

Suto menyarungkan pedang itu sambi berkata,

"Pantas kau tahu tentang jebakan ular dan racun didalam kotak itu! Kau juga tahu tentang Ular Sanca Ratu sampai sekecil-kecilnya, juga tahu tentang racun maut yang merenggut nyawa Serigala Liar itu!"

"Namanya Racun Getah Tengkorak!"

Suto terkesiap memandang Kirana. Ia berkata, "Bukankah racun itu yang diributkan oleh orang-orang Kobra Hitam? Kau tahu tentang Racun Getah Tengkorak rupanya?!" Suto manggut-manggut.

"Karena akulah yang menggunakan racun itu pada sebuah lentera, untuk menjebak orang-orangnya Logayo!"

"Kau....?!" Suto menegaskan keheranan dan rasa kagetnya. "Jadi, kau yang melakukan pembunuhan di pihak orang-orang Kobra Hitam itu?! Jadi kaulah orang yang dicari-cari mereka?!"

"Ya. Memang aku. Racun itu kudapatkan dari Ki Padmanaba. Ki Padmanaba mendapatkannya dari seorang sahabatnya yang bernama si Jompo Keling. Ketika mau meninggal, Jompo Keling menyerahkan racun itu kepada Ki Padmanaba. Ketika aku akan berguru kepada Nyai Punding Sunyi, aku dibekali oleh Ki Padmanaba Racun Getah Tengkorak. Karena Ki Padmanaba tahu, aku akan membalas dendam kepada Logayo dan orang -orangnya!"

"Membalas dendam?! Ada salah apa mereka padamu, Kirana?!"

KETIKA berusia delapan tahun, gadis kecil yang bernama Kirana hidup bersama kedua orangtuanya dan lima kakak perempuannya. Sebetulnya ia mempunyai enam saudara, satu kakaknya laki-laki berusia sepuluh tahun. Tapi kakak lelakinya itu sejak bayi sudah dipungut oleh bibinya, sehingga gadis kecil Kirana hanya mengenal kelima kakak perempuannya.

Gadis ini tergolong gadis yang nakal dan bandel. Sering ia mengganggu kakak-kakaknya hingga mereka menangis, atau marah dan memukulnya. Dan jika sudah begitu, gadis kecil Kirana dihajar oleh orangtuanya. Kadang ia dihukum dengan tidak di beri makan sehari penuh, tapi kenakalannya membuat ia pandai mencuri makanan dan menghabiskan persediaan makanan, sehingga kakak-kakaknya tidak mendapat bagian makanan. Hukuman yang paling sering ia lakukan adalah dikurung di atas loteng, pintu loteng ditutup dari luar dan setelah matahari mau tenggelam, barulah ia dilepaskan.

Sekalipun ia sering dihukum oleh orangtuanya dengan dimasukkan ke dalam loteng dan tidak diberi makan seharian penuh, gadis kecil Kirana itu tidak ada jeranya. Kenakalannya semakin terasa bertambah, sampai-sampai kedua orang tuanya dan kelimam kakak perempuannya kewalahan menghadapinya.

Dan pada suatu hari, gadis kecil Kirana dihukum oleh orangtuanya karena melempar cangkir dan mengenai kening salah satu kakaknya, ia segera dimasukkan ke dalam loteng dan dikunci dari luar. Sampai petang tiba, ia masih belum dibebaskan. Tangisnya yang menjerit-jerit di atas loteng tak dihiraukan oleh mereka, hingga akhirnya gadis itu tertidur kelelahan di sana.

Kira-kira tengah malam, gadis kecil Kirana terbangun dari tidur nyenyaknya di atas loteng. Suara gaduh di bawah membuatnya terbangun, suara jeritan ibunya dan kakak kakak perempuannya membuat Kirana bertanya tanya dalam hati, apa yang terjadi di bawah. Mula mula Kirana justru kegirangan mendengar kakak-kakaknya jejeritan. Gara-gara mereka ia dihukum ayahnya di dalam loteng itu.

"Sekarang, biarlah mereka ganti dihajar oleh Ayah!" pikir gadis kecil ketika itu. Tetapi hatinya semakin bertanya tanya setelah ia mendengar suara orang lain yang bukan anggota keluarganya. Suara itu adalah suara orang lelaki yang terdengar kasar membentak-bentak, tapi sebagian ada yang tertawa terbahak-bahak.

Gadis kecil Kirana penasaran. Ia mencoba membuka pintu lotengdengan mendorongnya kuat kuat, tapi tidak berhasil. Ia menjadi ketakutan mendengar suara bentakan-bentakan kasar dan keras itu. Kemudian ia memutuskan diri agar tidak berusaha keluar dari loteng. Namun hatinya yang penasaran segera menemukan lubang loteng yang bolong akibat dua ekor kucing kawin di situ beberapa waktu yang lalu.

Melalui lubang sebesar telapak tangan itulah, Kirana kecil mengintai kejadian di bawah sana. Ternyata ada enam orang bertampang kasar dan ganas-ganas merampok rumahnya. Pada waktu itu, keluarga Kirana termasuk keluarga kaya dan terhormat. Kakeknya mantan seorang saudagar dan warisan hartanya jatuh ke anak tunggalnya, yaitu ayah Kirana. Harta itulah yang menjadikan para perampok tergiur dan segera menjarahnya. Kirana gemetar melihat enam orang itu. Mulutnya tak bisa dipakai untuk berteriak, matanya tak bisa berkedip, tulang-tulangnya terasa lemas.

Hal yang membuat Kirana kecil menjadi lebih ketakutan lagi adalah melihat ayahnya dibantai seperti seekor kambing. Ibunya diperkosa, dan kelima kakaknya juga diperkosa oleh keenam manusia kejam itu. Kirana menyaksikan semua itu dengan mata terbelalak dan tak bisa bergerak. Kirana ingin menangis, tapi tak mampu sama sekali.

Kakaknya yang nomor lima, yang masih berusia empat belas tahun itu, juga diperkosa oleh laki-laki bertubuh tinggi besar, seperti raksasa. Kirana melihat jelas bagaimana kakak-kakaknya meronta, menjerit dan tidak kuasa menghadapi kekejaman para perampok itu. Dan yang paling membuat jiwa Kirana terguncang tatkala melihat harta mereka disikat habis, kehormatan mereka dirampas dengan keji. Kirana ingin menjerit sekeras-kerasnya, tapi lidahnya kelu dan tenggorokannya tak bisa dipakai untuk melontarkan suara, sepertinya tenggorokan itu tersumbat sesuatu yang menyesakkan pernapasan. Sejak itulah, gadis kecil Kirana menjadi bocah yatim-piatu. Tanpa ayah, tanpa ibu, tanpa saudara.

Satu-satunya saudara adalah kakak lelakinya yang ikut bibinya sejak kecil. Kakak lelakinya itu adalah Pranawijaya, yang kini telah tewas di tangan Ekayana. Tetapi apa yang bisa diperbuat oleh Pranawijaya kala itu? Tak ada yang bisa diperbuat, karena Pranawijaya masih berusia sekitar sepuluh tahun.

Akhirnya, gadis kecil Kirana bertemu dengan seorang tokoh sakti yang kala itu baru saja selesai mengalahkan lawannya dalam suatu pertarungan di tepi pantai. Gadis kecil Kirana yang berpakaian com- pang-camping dan seperti bocah liar itu, akhirnya diangkat anak oleh tokoh sakti tersebut, yang tak lain adalah Ki Padmanaba.

Sebenarnya ia ingin dirawat oleh bibinya. Tetapi tiga hari ia ikut bibinya, ia memergoki bibinya sedang berduaan mesra dengan salah satu anggota komplotan perampok itu. Gadis kecil Kirana segera menarik kesimpulan, bahwa perampokan di rumahnya itu ternyata didalangi oleh bibinya sendiri.

Terukir dendam di hati bocah kecil itu. Terbayang terus wajah enam perampok yang membunuh, dan memperkosa keluarganya. Wajah yang paling jelas melekat di ingatan Kirana adalah wajah brewok bertubuh tinggi, besar, seperti raksasa. Wajah itu adalah wajah Logayo.

Ketika ia menginjak usia lima belas tahun, Ki Padmanaba menitipkan Kirana untuk belajar ilmu silat kepada seorang kenalannya yang berjuluk Punding Sunyi. Selain Ki Padmanaba tidak ingin menurunkan ilmunya kepada siapa pun kecuali kepada cucunya Ekayana, penitipan Kirana kepada Nyai Punding Sunyi itu juga dilakukan untuk menghindari perselisihan yang sering terjadi antara Kirana dengan Ekayana. Kedua anak itu sering bertengkar dan Ki Padmanaba dibuat kewalahan.

Sekalipun demikian, Kirana tetap merasa berhutang budi kepada Ki Padmanaba. Sesekali ia sering berkunjung kekediaman Ki Padmanaba untuk menerima wejangan tentang hidup di permukaan bumi ini. Atau kadang-kadang Ki Padmanaba yang menengok Kirana di Perguruan Mawar Seruni sambil membawa oleh-oleh cerita tentang orang-orang sakti dan pusaka-pusakanya.

Setelah ia berusia dua puluh lima tahun, dendam itu mulai meletup-letup lagi di dalam dadanya. Sepuluh tahun ia menempuh ilmu dan berguru kepada Nyai Punding Sunyi, cukup sudah rasanya ia punya kekuatan untuk membalas orang-orang bengis yang merampok dan memperkosa ibu serta kakak-kakak perempuannya. Satu persatu mereka dicari oleh Kirana dan berhasil dibunuh. Dari enam perampok, hanya satu yang belum berhasil dibunuh oleh Kirana, yaitu Logayo. Sedangkan bibinya sendiri sudah terlanjur mati karena sebab lain sebelum Kirana berhasil membunuhnya pula.

Ketika memburu dendamnya itulah, Kirana bertemu kembali dengan Pranawijaya yang sudah sama-sama dewasa. Kirana menyarankan agar kakaknya ikut membantunya mencari pembunuh keluarganya. Tapi rupanya Pranawijaya sudah terlanjur termakan didikan bibinya, hingga membuat ia menolak ajakan Kirana.

"Biarlah masa lalu tenggelam bersama kenangannya sendiri, kita tak perlu memburu sesuatu yang sudah berlalu! Nanti hidupmu terikat oleh kenangan yang dapat menyusahkan dirimu sendiri!" kata Pranawijaya.

Mulanya ada kebencian di hati Kirana kepada kakaknya itu. Tapi setelah dipikir-pikirnya, rupanya sang kakak sudah banyak terpengaruh oleh didikan bibinya sehingga tidak mau melakukan balas dendam. Pranawijaya merasa menjadi anak bibinya, karena memang sejak bayi ia dididik dan dibesarkan oleh bibinya. Kadang Kirana menyalahkan ibunya, mengapa membiarkan anak lelaki satu-satunya itu dirawat oleh bibinya, sehingga sang anak kurang mempunyai rasa belapati terhadap sang ibu.

"Jika aku membencinya, maka aku semakin tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini! Pranawijaya adalah satu-satunya saudaraku yang masih hidup. Tak baik jika aku membencinya!" pikir Kirana kala itu.

Lima perampok yang menewaskan keluarganya itu telah dibunuh satu persatu. Kirana tinggal menyelesaikan satu orang lagi, dan agaknya itu bukan pekerjaan yang ringan. Logayo menjadi besar, makin bertambah sakti, makin punya anak buah yang jumlahnya cukup banyak. Kirana merasa tidak mampu mengalahkan Logayo. Karena itulah ia datang kepada Ki Padmanaba beberapa waktu sebelum Ki Padmanaba meninggal.

"Kalau kau nekat melawan orang besar itu, kau akan mati konyol," kata Ki Padmanaba. "Kau jangan melawannya dengan otot, tapi lawanlah dengan otak!"

"Sampai saat ini otak saya menjadi seperti tak berguna, Ki! Saya belum menemukan cara untuk mengalahkan Logayo, mengingat anak buahnya begitu banyak dan masing-masing mempunyai ilmu tinggi!"

"Kau ingat Racun Getah Tengkorak yang kuberikan dulu?"

"Ya. Saya ingat, Ki! Saya masih menyimpannya!" jawab Kirana.

"Gunakan racun itu untuk membasmi perguruan sesat itu! Mintalah bantuan kakakmu Ekayana! Cari dia dan kurasa dia mau membantumu!"

Selama ini Ki Padmanaba tidak tahu kalau cucu kesayangannya telah menjadi anggota perguruan sesat itu. Kirana ingin mengatakan bahwa Ekayana ada di pihak Logayo, tapi ia tak sampai hati. Jelas hal itu akan mengecewakan hati Ki Padmanaba dan membuatnya sedih. Karena itu, Kirana tidak mau mengatakan apa yang sebenarnya. Ia hanya bilang,

"Baiklah, Ki! Saya akan gunakan racun itu untuk membunuh Logayo dan orang-orangnya! Rasa-rasanya, jika Logayo belum mati, hidup saya selalu dibayang-bayangi oleh arwah keluarga saya, Ki!"

"Aku bisa merasakan perasaanmu saat ini! Aku bisa memahami gejolak dendammu karena kau melihat sendiri peristiwa itu! Kalau toh aku sarankan agar tidak mengumbar dendam, maka dalam usiamu semuda ini, kau belum bisa memahami kata-kata dan saranku itu, Kirana! Jadi, berbuatlah sesuai dengan nalarmu yang bekerja saat ini! Asal demi satu kebaikan, memberantas kejahatan, menegakkan kebenaran, hal itu sah-sah saja, Kirana! Aku tidak ingin menjadi orangtua yang kolot, tapi sebisa mungkin aku berdiri sebagai sang bijak."

Kirana segera memutar otak untuk mencari cara menyebarkan racun maut tersebut. Jika melalui pengiriman makanan atau minuman, jelas akan mudah diketahui oleh orang-orangnya Logayo, sebab Logayo punya ahli racun, yaitu Brajawisnu dan Rangka Cula. Kirana memikirkan hal itu berhari-hari, sampai akhirnya ditemukanlah sebuah cara dengan menggunakan lentera. Dan ternyata caranya itu cukup berhasil (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Lentara Kematian").

Tetapi racun itu hanya membuat jiwa Logayo menjadi guncang, karena menghadapi kematian anak buahnya yang begitu banyak. Logayo sendiri masih hidup. Kirana belum tahu bagaimana harus mengalahkan Logayo sementara Racun Getah Tengkorak semakin menipis. Jika melalui lentera lagi jelas akan dicurigai. Ia harus menggunakan cara lain. Tapi cara lain itu belum ditemukan gagasannya.

Kirana mengakhiri cerita hidupnya dengan air mata mengering di pipinya. Terangnya sinar bulan malam itu membuat Suto Sinting melihat jelas bekas-bekas air mata yang mengering di pipi. Terharu juga hati Suto Sinting mendengar kisah hidup gadis cantik yang luput dari korban pemerkosaan orang-orang kejam itu.
"Sekarang, setelah kematian Pranawijaya, lengkap sudah aku hidup sebatang kara di muka bumi ini, Suto! Sendiri, tanpa Ayah, tanpa Ibu, tanpa kakak, tanpa adik, tanpa saudara, juga tanpa kekasih!"

Suto Sinting meraih gadis itu dan memeluknya ke dada. Sikap itu membuat Kirana semakin trenyuh dan menghiba tangisnya. Pendekar Mabuk mengusap-usap rambut gadis itu seraya berkata,

"Hidup itu mahal, Kirana! Hidup itu harus ditebus dengan pengorbanan, bukan hanya pengorbanan harta dan nyawa, tapi juga jiwa dan perasaan! Kita satu nasib, Kirana! Kita sama-sama sebatang kara di pemukaan bumi ini. Pada usia delapan tahun pula aku kehilangan anggota keluargaku dan diselamatkan oleh guruku dari ancaman pembantaian seseorang. Aku dapat merasakan sebesar apa dendammu kepada Logayo itu. Tapi hidup ini tidak hanya memburu dendam! Hidup ini sebenarnya indah, kalau kita bisa menyingkirkan dendam dan kebencian di dalam hati sanubari kita. Itu pekerjaan yang paling sulit bagi tiap manusia, karenanya banyak manusia yang berpendapat, hidup ini kejam!"


"Jika kau tak punya adik, aku juga tak punya adik. Jika kau tak punya kakak, aku juga tak punya kakak, juga tak punya orangtua, dan oleh sebab itu Kirana... tak ada jeleknya jika kita saling bersaudara dengan limpahan kasih sayang, bukan? Anggaplah aku kakakmu, maka akan kuanggap kau adikku yang paling cantik, tapi paling bandel..."

Ada tawa di bibir Kirana. Ada haru di mata gadis itu. Tapi tak ada ampun di dalam hati gadis itu untuk Logayo!SEBELUM fajar menyingsing di ufuk timur, kuil Elang Putih dihebohkan oleh datangnya seorang petugas penguburan mayat Nini Pasung Jagat. Orang itu bernama Minarsih, yang berangkat ke Pulau Kubangan bersama lima orang untuk menguburkan mayat Nini Pasung Jagat di sana.

Minarsih datang dalam keadaan sendirian. Wajahnya menjadi memar membiru seperti habis dihajar olah seseorang memakai benda keras. Bibirnya berdarah, dan satu tulang rusuknya patah. Kehadirannya itu membuat seluruh penghuni Kuil Elang Putih menjadi terbangun dari tidur nyenyaknya.

Dewi Anjani segera membawa Minarsih ke ruang penyembuhan sebelum Nyai Guru Embun Salju datang ke ruang tersebut. Jongos Daki juga ada di sana dan menjadi kebingungan melihat keadaan yang menjadi serba tegang itu.

"Ada apa ini?" tanya Jongos Daki kepada salah seorang murid di situ. Orang tersebut menjawab dengan nada tegang juga,

"Nini Pasung Jagat bangkit kembali!"
"Apa dia sudah mati, sehingga dikatakan bangkit kembali!"

"Ya. Guru yang membunuh Nini Pasung Jagat kemarin siang. Mestinya sbelum tengah malam, Minarsih dan teman-teman yang bertugas menguburkan mayat Nini Pasung Jagat sudah kembali pulang. Kami juga cemas karena sampai lewat tengah matan Minarsih dan teman-temannya belum pulang. Ternyata mereka mengalami suatu bencana!"

"Bencana...?!"

Minarsih sempat menuturkan bencana itu kepada gurunya di ruang penyembuhan,

"Ketika kami belum selesai menggali, mayat Nini Pasung Jagat mulai bergerak-gerak. Dan secara mengejutkan ia bangkit, duduk di usungan. Kami berenam menjadi takut dan segera melompat menjauhi mayat itu. Kami menyangka dia adalah hantu yang masuk ke dalam raga Nini Pasung Jagat. Ternyata bukan!" kata Minarsih.

"Jadi dia memang Nini Pasung Jagat?" tanya Dewi Anjani.
"Benar! Dia adalah Nini Pasung Jagat! Dia belum mati."

"Aneh," gumam Embun Salju. "Pukulan 'Darah Kutub'-ku masih bisa membuatnya bertahan hidup? Seharusnya tidak demikian! Memang aku tahu ia melepaskan pukulan 'Darah Geni' dan 'Jalur Baja', tapi pukulan 'Darah Kutub'-ku toh bisa melumpuhkannya!"Minarsih diam, tak bisa mendebat namun tak berani mencabut pernyataannya bahwa Nini Pasung Jagat memang hidup kembali. Dewi Anjani pun berkerut heran, demikian pula Embun Salju. Ruangan menjadi sepi sejenak.

Setelah itu, Embun Salju melakukan penyembuhan terhadap luka-luka yang diderita Minarsih.

Selesai melakukan penyembuhan yang membuat keadaan Minarsih sedikit lebih segar dari semula datang, Embun Salju menyuruh Minarsih melanjut kan kisahnya.

"Kami berenam diserangnya, Guru! Ia tahu bahwa kami adalah murid Guru Embun Salju, tapi ia tak tahu di mana saat itu ia berada! Kami didesak untuk membawanya pulang ke sini! Kami berenam bersepakat untuk menolak desakan itu!"

"Apakah kalian tidak melawan?"
"Kami melawan. Guru! Nini Pasung Jagat kami keroyok berenam. Tapi dia tetap tegar dan semakin berbahaya setiap pukulan yang dilepaskannya. Pertama-tama Kurnia tewas dalam keadaan kepala hancur, menyusul kemudian Ambar Gati tewas dalam keadaan dadanya remuk dihantam oleh Nini Pasung Jaga..."

"Mengapa kalian tidak melepaskan pukulan 'Geprak Tulang'?!"
"Sudah, Guru! Tapi tak mempan!" jawab Minarsih.
"Tak mempan bagaimana? Meleset maksudmu?"

"Bukan meleset. Guru! Tubuh Nini Pasung Jagat tak hancur dihantam pukulan 'Geprak Tulang'."

"Aneh. Kuat sekali dia, Guru?" gumam Dewi An-jani dan bertanya kepada gurunya. Embun Salju diam termenung memikirkan kehebatan Nini Pasung Jagat. Lalu, di dalam hatinya Embun Salju berkata,

"Orang yang bisa bertahan menerima pukulan 'Geprak Tulang' adalah orang yang mempunyai jurus 'Sumsum Besi'. Apakah dia mempunyai jurus 'Sumsum Besi'?"

Kemudian Embun Salju bertanya kepada Minarsih, "Apakah kalian menggunakan 'Perisai Gaib'?"

"Ya. Kami menggunakan jurus 'Perisai Gaib'. Tapi dia masih bisa menembusnya. Korban orang yang menggunakan 'Perisai Gaib' adalah Kurnia, Guru!"

Dewi Anjani terkesiap matanya, memandang heran dan tegang, "Dia bisa menembus 'Perisai Gaib'?"

"Betul, Dewi! Aku sendiri hampir saja menjadi sasaran karena mengandalkan 'Perisai Gaib'!"
"Rasa-rasanya tak mungkin, Minarsih. Sebab, waktu ia bertarung melawanku di depan sana, aku juga menggunakan jurus 'Perisai Gaib', tapi ia tidak bisa menyentuhku!"

"Nyatanya ia bisa menerobos lapisan batin yang membungkus raga kita dalam jarak satu langkah berkeliling itu, Dewi!"

Embun Salju semakin dibuat penasaran dan terheran-heran. Ia berkata lirih dalam gumam, seolah-olah ditujukan pada diri sendiri,

"'Perisai Gaib' bisa ditembusnya? Berarti dia mempunyai jurus 'Pukulan Tembus Jiwa'!"
"Sepertinya memang begitu, Guru!"

"Lalu mengapa ia tidak gunakan saat melawan Anjani di depan?"

"Saya tidak tahu, Guru! Yang jelas, ketika pedang kami menyerangnya bersamaan, pedang kami menjadi patah, kecuali pedang saya, Guru! Tubuh Nini Pasung Jagat menjadi keras, sekeras baja!"

"Menjadi keras? Maksudmu kebal, begitu?!" tanya Dewi Anjani.

"Bukan hanya kebal, tapi keras! Keras seperti baja. Pedangku menebasnya dan tak bisa melukai kulit tubuhnya, tetapi justru menghadirkan percikan bunga api, terutama jika kami menebasnya kuat-kuat. Dan suara yang keluar dari tebasan pedang ke tubuhnya pun aneh. Seperti pedang menebas baja dengan sentakan kuat!"

"Itu tidak mungkin, Minarsih! Tidak mungkin!" bantah Dewi Anjani.
"Betul, Dewi! Betul!"
"Apa kau tak lihat waktu aku berhasil melukai bagian kakinya?!"

"Ya. Memang aku melihatnya sendiri, ia terluka tiga tempat karena sabetan pedangmu. Tapi bekas luka itu tak ada saat ia bangkit lagi, dan pedang kami tak bisa melukainya!"

Memang sulit dipercaya bagi Dewi Anjani. Sebab ia merasa pernah melukai kulit tubuh Nini Pasung Jagat di tiga tempat. Jika sekarang Minarsih mengatakan bahwa Nini Pasung Jagat kebal senjata, itu sungguh aneh. Dewi Anjani curiga. Minarsih mengarang cerita karena suatu hal yang dirahasiakan. Kemudian ia mendekati Embun Salju dan berbisik pelan sekali,

"Sepertinya ada yang tidak beres pada diri Minarsih, Guru!"

Embun Salju manggut-manggut. Kemudian ia berkata kepada Minarsih,

"Bagaimana luka-lukamu? Masih terasa sakit?"
"Hanya perih sedikit, Guru!"

"Itu berarti sebentar lagi lukamu akan sembuh, bibirmu yang robek akan mengering Dan..., sebaiknya keluarlah dulu. Aku mau bicara berdua dengan Dewi Anjani."

"Baik, Guru!"

Di luar, Minarsih kembali bercerita dengan penuh semangat dan berapi-api. Beberapa temannya mengerumuni, termasuk Jongos Daki yang merasa tertarik dengan berita aneh tersebut. Jongos Daki menyimak tiap kata yang diucapkan Minarsih, seolah-olah mencatatnya dalam otak.
Sementara itu, di dalam ruang penyembuhan, Embun Salju bertanya kepada Dewi Anjani,

"Apa yang kau maksud dengan ketidakberesan Minarsih tadi?"
"Dia mengarang sebuah cerita seru untuk menutupi sesuatu yang belum jelas kita ketahui!"
"Minarsih berbohong kepada kita?"
"Betul, Guru!"

"Tidak mungkin!" bantah Embun Salju. "Minarsih bicara apa adanya. Aku melihat jelas dari sorot matanya, ia tidak menyimpan kebohongan sedikit pun!"

"Tapi seperti yang kita ketahui bersama, Minarsih adalah seorang penakut. Guru! Mungkin ia dibayang-bayangi oleh rasa takutnya sendiri, sehingga sepertinya ia melihat adegan yang mengerikan di depan matanya. Bayangan itu bisa menjadi seperti nyala, seolah-olah memang benar-benar dilihatnya. Jadi, ia mengatakan sejujurnya apa yang terbayang di matanya itu. Guru!"

Kembali perempuan cantik yang anggun dan bijaksana itu merenung diri beberapa saat. Setelah itu ia berkata kepada Dewi Anjani, "Jika benar ia dihantui ketakutannya sendiri, sehingga apa yang terbayang itu menjadi seperti nyata lantas ke mana orang-orang lainnya? Mengapa mereka tidak kembali bersama Minarsih? Kemana Kurnia, Ambar Gati, Inriana, dan yang lainnya?"

Dewi Anjani menjawab dengan mata menera wang dalam renungannya,

"Saya khawatir, jangan-jangan mereka dibunuh oleh Minarsih sendiri!"
"Dibunuh?! Atas dasar apa Minarsih membunuh kelima temannya itu?"

"Mungkin dendam pribadi," jawab Dewi Anjani dalam nada ragu.

"Satu hal yang perlu kau ingat, Anjani...! Dari enam orang yang kutugaskan memakamkan mayat Nini Pasung Jagat, dua orang berilmu tinggi di dalamnya, yaitu Ambar Gati dan Sampur Welas. Ilmunya sejajar dangan Mahasi! Tak mungkin Minarsih bisa mengalahkan Ambar Gati dan Sampur Welas!"

"Mungkin dengan kelicikannya, Guru!"

Embun Salju manggut-manggut pada akhirnya. Ia mengguman pelan. "Ya, mungkin dengan kelicikannya!Tapi aku tidak pernah mendidik murid-murid ku menjadi orang licik, Anjani!"

"Memang, Guru! Tapi jiwa seseorang siapa yang tahu. Jalan pikiran orang siapa yang bisa menerka."
"Berarti kau meremehkan kesanggupanku meneropong jiwa, batin, dan pikiran seseorang, Anjani?!"

"O, tidak begitu maksud saya. Guru! Hmm... maksud saya, setelah Minarsih ada di pulau itu, barangkali kelicikan-kelicikan itu timbul, lepas dari teropong Guru."

"Bisa saja begitu! Tapi kulihat tadi dia tidak mempunyai kelicikan! Kuteropong batinnya, dia tulus dan jujur mengatakan apa adanya, Anjani!"

Dewi Anjani menarik napas panjang-panjang. Ia merasa tak berani membantah dan mendebat lagi. Akhirnya ia berkata,

"Baiklah. Anggap saja Minarsih benar. Lalu. apa yang membuat Nini Pasung Jagat menjadi kebal senjata dan keras kulitnya seperti baja? Kalau dia mau, pasti sudah ia keluarkan ilmu itu saat melawan saya dan melawan Guru sendiri kemarin siang!"

"Itu yang harus kuselidiki! Mungkin dia menjadi kebal jika berada di tanah kuburan? Mungkin kulitnya menjadi baja jika terkena sinar rembulan? Bisa saja kemungkinan kemungkinan itu terjadi, Anjani! Tapi alangkah baiknya jika kutugaskan kau untuk mencari tahu kebenaran cerita Minarsih! Pergilah ke Pulau Kubangan dan selidiki apa yang terjadi di sana sebenarnya!"

"Baik, Guru!" jawab Dewi Anjani dengan patuh. Dewi Anjani segera menemui Mahasi yang sudah sehat dan cepat pulih seperti sediakala itu. Kemudian ia berkata kepada Mahasi, "Ikut aku ke Pulau Kubangan, Mahasi!"

"Ke Pulau Kubangan?! Untuk apa ke sana?!" tanya Mahasi.

"Guru memberiku tugas untuk menyelidiki keadaan di sana, sekaligus mencari tahu kebenaran cerita Minarsih itu!"

"Kurasa itu hanya isapan jempol saja, Anjani! Bilanglah pada Guru agar jangan mempercayai cerita Minarsih!"

"Sudah kulakukan sampai berdebat seru dengan beliau, tapi Guru tidak mau percaya padaku! Dan sekarang untuk membuktikan mana yang benar, Guru menugaskan aku ke sana! Kau ikut aku ke sana sambil mencari bukti-bukti bahwa Nini Pasung Jagat hidup kembali! Itu kalau memang dia hidup kembali! Dan Guru berpesan agar kepergian kita jangan diketahui oleh siapa pun, sehingga Minarsih tidak curiga dan tidak tahu bahwa ceritanya itu sedang kita selidiki!"

"Baiklah! Aku ikut berangkat sekarang juga! Aku siap!"

Pertama-tama yang mereka temukan adalah sebuah perahu di pantai yang biasa digunakan untuk bertolak ke Pulau Kubangan. Perahu itu adalah perahu milik orang-orang Kuil Elang Putih. Tampak ada simbol seekor elang di atas dasar papan lambung nya yang putih itu.

Perahu tersebut kelihatan dilabuhkan dengan tergesa-gesa. Tali penambatnya hanya disangkutkan pada sebongkah batu yang sewaktu-waktu bisa lepas dan membuat perahu terbawa ombak. Pada perahu itu juga ditemukan bercak-bercak darah, menandakan terjadi pertempuran juga di atas perahu itu. Siapa yang bertempur, tak bisa dipastikan secara jelas. Mungkin Minarsih dengan teman sendiri, atau Minarsih dengan Nini Pasung Jagat, jika memang nenek itu bangkit dari matinya.

"Apakah kita perlu melaporkan keadaan perahu ini kepada Guru lebih dulu, Anjani? "

"Tidak usah! Kita langsung bertolak ke Pulau Kubangan saja! " Kedua perempuan itu naik ke atas perahu setelah melepaskan tambang penambatnya. Tetapi tiba-tiba Mahasi berteriak,

"Anjani, awaaas...!"

Mahasi melompat sambil menedang Dewi Anjani. Tendangan itu hanya berupa jejakan kuat yang membuat Dewi Anjani terlempar jatuh ke laut, sementara itu Mahasi sendiri juga jatuh ke laut dangkal. Byurrr...! Dan tiba-tiba sinar merah itu melesat menghantam perahu putih.

Zlapppp.! Blubbb.! Zrrubbb.!

Mahasi dan Dewi Anjani sama-sama membelalakkan matanya lebar-lebar di dalam kekuyupan sekujur tubuh mereka. Betapa mereka tidak terkejut dan terbelalak jika mereka melihat perahu itu tiba-tiba menjadi setumpuk serbuk kayu yang segera terhempas buyar dibawa ombak pantai. Perahu itu bagaikan lenyap sewaktu dihantam oleh sinar merah dari arah hutan pantai.

"Apa yang terjadi?!" seru Dewi Anajani karena kagetnya.
"Ada yang menyerang kita dari hutan timur sana!" jawab Mahasi.

Mereka segera bergegas mencari tempat berlindung. Sebongkah batu karang besar menjadi sasaran berlindung mereka. Mata mereka memandang ke arah sebatang pohon berdaun merah kehitaman. Dari bawah pohon itulah Mahasi melihat sinar merah tadi menyerang mereka. Jika ia tidak menendang Dewi Anjani, maka Dewi Ajani akan menjadi bubuk seperti perahu tersebut.

"Siapa yang menyerang kita?!" tanya Dewi Anjani dengan tegang karena amarahnya menjadi meluap namun tertahan di dalam dada.

"Entah! Tak kulihat manusianya. Aku hanya melihat sinar merah yang melesat dari bawah pohon itu!"
"Pancinglah dengan pukulan jarak jauhmu! Saran Dewi Anjani.

Mahasi segera berdiri dan melepaskan pukulan jarak jauhnya yang memancarkan sinar kuning panjang berkelebat bagai bintang jatuh dari langit.

Wuuuttt...!
Blarrr...!

Tanaha di bawah pohon besar berdaun merah kehitaman itu menyembur ke atas dalam satu ledakan. Pohon besar itu berguncang, daunnya yang keringpun berguguran.

Dan pada saat itu, sesosok tubuh berjubah hitam melesat dari balik pohon besar itu. Ia muncul menampakkan diri secara nyata, dan berjalan santai sambil terkekeh-kekeh.

"Anjani! Lihat orang itu! Bukankah dia Nini Pasung Jagat?!"

Dewi Anjani tertegun sebentar, nyaris tidak mempercayai penglihatannya. Kemudian ia berkata,
"Kalau begitu apa yang diceritakan Minarsih itu memang benar. Nini Pasung Jagat memang bangkit lagi dari kematiannya! Edan! Punya ilmu apa dia sebenarnya?!"

"Dia mendekati kita, Anjani! Apa yang harus kita lakukan?!"

"Serang dia!" tegas Dewi Anjani, lalu dia mendului muncul dari persembunyian dan melepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar putih keperakan yang tak begitu jelas karena sinar matahari menyamainya. Anehnya, nenek tua itu matanya lebih awas, dan ia melompat ke samping untuk menghindari sinar putih perak itu.

Wesss...!

Dalam sekejap nenek tua bertongkat lengkung itu sudah berada di depan Dewi Anjani dan Mahasi. Kedua gadis itu mulai bersikap waspada. Mereka tanpa disengaja mencabut pedang secara bersamaan. Serrtt...!

"Aha, kau mau membunuhku pakai pedang, bocah-bocah dungu?!" He he he he ....!" Nini Pasung Jagat melecehkan mereka berdua.

Dewi Anjani sempat berbisik kepada Mahasi,

"Tebas dia! Gunakan jurus 'Elang Mengamuk Bintang'. Kalau ternyata dia tidak mempan dilukai, cepat kabur dan jangan hadapi dia lagi! Lapor ke Guru secepatnya!"

"Ya, aku setuju!"

Nini Pasung Jagat berkata, "Hampir saja aku salah arah melacak tempat tinggal gurumu, Bocah-bocah dungu! Untung kulihat kalian muncul, sehingga bisa kujadikan patokan arahku menuju Kuil Elang Putih! He he he he.!

"Setan Jahanam....!" Geram Dewi Anjani, "Saatnya sekarang kau mati untuk yang kedua kalinya! Heeah...!

Dewi Anjani menyerang dengan jurus 'Elang Mengamuk Bintang'. Mahasi puin ikut menyerang dengan jurus yang sama. Gerakan mereka sama cepatnya. Tapi Nini Pasung Jagat hanya terkekeh-kekeh membiarkan kedua musuhnya bertingkah seperti itu.

Trang cring cring trang tring cringng...!

Pedang mereka sebenarnya mengenai tubuh Nini Pasung Jagat lebih dari depalan kali. Tapi tubuh itu tetap utuh. Hanya percikan-percikan bunga api yang kelihatan dari tebasan pedang ke kulit tubuh nenek tua itu. Bahkan dalam satu kali gebrakan, Nini Pasung Jagat berhasil membuat tubuh kedua gadis itu terpental jauh.

Wuttt...! Brukk brruk...!

Dewi Anjani terpental ke barat, Mahasi terpental jatuh ke timur. Nini Pasung Jagat tertawa mengikik bagaikan kuntilanak. Tak ada bagian tubuhnya yang lecet atau terluka. Mahasi dan Dewi Anjani merasa bagaikan memenggal pilar baja yang merusak tepian pedang saja.

Tanpa diberi aba-aba lagi, Mahasi segera melesat lari demikian juga Dewi Anjani. Melihat lawannya lari, Nini Pasung Jagat segera mengejarnya sambil berteriak-teriak tak karuan. Makian dan ancaman berhamburan keluar dari mulut nenek yang kini bertubuh aneh itu.KALAU bukan karena ada halangan di perjalan, Pendekar Mabuk dan Kirana tiba di Kuil Elang Putih pada pagi hari.

Tapi pada saat fajar, langkah mereka berdua dihadang oleh seorang perempuan cantik berambut uban rata dengan panjangnya melebihi pantat. Rambut putih itu dibiarkan meriap, bahkan sebagian ada yang bergerai di depan dadanya. Perempuan itu mengenakan pakain biru muda dalam bentuk pakaian jubah berlengan longar. Sedangkan bagian dalamnya mengenakan pakaian penutup dada dari bahan satin warna merah tua, sama dengan warna celana ketatnya yang sebatas betis itu.

"Selamat pagi, Tuan Pendekar dan Putri Kirana...!" sapanya dalam senyum sinis. Sapaan itu membuat Suto Sinting menjadi heran dan sebentar kemudian berbisik kepada Kirana,

"Siapa dia, Kirana?"

"Ratu Fajar Garang! Musuh dari mendiang guruku yang juga bernafsu ingin memiliki pusaka Pedang Wukir Kencana itu!"

"Oo...! Jadi sekarang ia ingin merebut pedang ini?"
"Kurasa begitu! Lawan dia dengan lari cepatmu, Suto!"
"Mengapa harus pakai lari segala?"

"Mengulur waktu, supaya lewat dari fajar! Kesaktiannya hanya dalam cahaya fajar. Lewat dari fajar, ia sudah menjadi orang lemah yang hanya pandai mengelabui lawannya dengan segala macam tipu muslihat! Dia jago tipu, Suto!"

Terdengar Ratu Fajar Garang berkata kepada Suto, "Kalau tak salah lihat, kau Pendekar Mabuk yang mengalahkan Mahendra Soca dalam satu perjudian nyawa!" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Ladang Pertarungan")

"Benar. Dari mana kau tahu?"
"Aku hadir di Ladang Pertarungan itu! Aku melihat kehebatanmu, dan aku terkesan dengan ilmu pedangmu!Tapi untuk saat-saat fajar begini, kau tidak akan bisa menandingi ilmu pedangku, Pendekar Mabuk"

"Apa maksudmu berkata begitu?!"

"Serahkan pedang emas di tanganmu itu, atau kau kubantai seperti saat membantai Mahendra Soca, si Wajah Hitam itu?!"

"Boleh kau ambil pedang ini, asal kau bisa mengejarku!"

Zlapppp...! Pendekar Mabuk berlari melebihi hembusan badai. Tahu-tahu ia berada jauh di ujung sana.

Ratu Fajar Garang terbegong memandang gerakan Suto Sinting yang begitu cepatnya. Dari sana terdengar Suto berseru,"Fajar Garang! Ambillah pedang ini kalau kau mampu menjamahnya!"

"Keparat kau, Pendekar Mabuk! Aku tak akan terpancing oleh kelicikanmu! Hiaaah...!"

Wuttt.! Ratu Fajar Garang menyerang Kirana yang tersenyum-senyum melihat Suto melakukan rencana yang dibisikkan tadi. Kirana tidak menyangka akan mendapat serangan tiba-tiba dari Ratu Fajar Garang. Ia berkelebat pula menghindari tendangan maut lawannya, tapi tangan Ratu Fajar Garang segera mengibas ke samping sambil mencabut pedangnya dari pinggang kiri. Wuttt...! Brettt...!

"Aaauh...!" Kirana terpekik keras, punggungnya terkena kibasan pedang. Ia rubuh tak berkutik. Ratu Fajar Garang segera menyergap Kirana dan menjambak rambut gadis itu. Pedangnya ditempelkan di leher Kirana, dan ia pun berseru,

"Pendekar Mabuk! Tukar pedang itu dengan nyawa gadis ini!"

"Sial!" sentak Suto Sinting dengan hati dongkol. "Bodoh amat Kirana itu! Mengapa dia tetap di tempat, sementara aku sudah lari menjauhi si rambut putih itu?! Sekarang nyawanya terancam! Benar-benar bodoh kau, Kirana!"

Tak habis-habisnya Suto menggerutu dalam hati. Jelas ia tak bisa membiarkan Kirana dipenggal atau digorok lehernya begitu saja oleh Ratu Fajar Garang. Tetapi ia pun tak bisa menyerahkan pedang emas itu kepada perempuan berambut putih yang jelas berjiwa keji itu. Repotnya lagi, perempuan berambut putih tapi masih cantik itu tidak memberi kesempatan kepada Pendekar Mabuk memikirkan bagaimana menyelamatkan pedang emas dan nyawa Kirana. Perempuan itu berseru kembali,

"Kuhitung tiga kali kalau kau tak mau serahkan pedang itu, kutarik pedangku ini dan putuslah leher kekasihmu, Pendekar Mabuk!"

"Persetan!" geram Suto Sinting "Kalau kuserang dari sini, bisa jadi tubuh Kirana yang akan dipakainya sebagai tameng! Rasa-rasanya tak mungkin aku bisa menyerangnya jika Kirana masih dalam ancamannya!"

"Satu...!" Ratu Fajar Garang mulai menghitung.

"Benar-benar sial!" geram Pendekar Mabuk lagi. Kemudian dengan gerakan cepatnya, tahu-tahu Suto sudah berada di depan Ratu Fajar Garang.

"Baru hitungan kesatu kau sudah kembali, itu tandanya kau sayang kepada kekasihmu ini, Pendekar Mabuk!"

"Lepaskan dia dan hadapilah aku jika kau memang punya kesaktian yang bisa menandingi jurus pedangku!" pancing Suto Sinting.

Ratu Fajar Garang yang berbibir memikat hati itu tertawa pelan,bernada melecehkan pancingan Pendekar Mabuk itu. Ia segera berkata,

"Aku tak akan melawanmu sebelum aku memiliki pedang itu! Serahkan pusaka Ki Padmanaba itu, dan kulepaskan gadis ini!"

"Tinggalkan aku, Suto! pergilah! Cepat pergi...!" seru Kirana sambil menyeringai menahan rasa sakit di punggungnya. Pendekar Mabuk dalam keadaan bimbang. Ratu Fajar Garang kembali berkata,

"Aku tadi baru menghitung satu kali. Sekarang hitungan berikutnya.Dua!"

"Suto, jangan hiraukan nyawaku! Pikirkan nyawa orang banyak jika pedang itu jatuh ke tangan iblis berambut putih ini!"

"Diam kau, Kirana!" bentak Ratu Fajar Garang sambil mengencangkan jambakan tangannya ke rambut Kirana. Wajah Kirina makin menyeringai kesakitan dan ia tak berani berbuat apa apa karena pe­dang sudah mengiris sebagian kulit lehernya.

"Baiklah!" sentak Suto tiba tiba. Ia mulai nampak menyerah.
"Jangan. Suto! Pergi! Larilah!" seru Kirana. Tapi Suto berkata,
"Aku tak tega meninggalkan dirimu dalam keadaan seperti ini, Kirana! Kau harus kuselamatkan!"

"Bagus!" kata Ratu Fajar Garang, "Itu namanya seorang kekasih yang benar-benar mencintai gadisnya! Hi hi hi...! Aku jadi iri, kepingin punya kekasih setampan kamu, segagah kamu, dan sesetia kamu, Pendekar Mabuk!"

"Ratu Fajar Garang! Kuserahkan pedang ini padamu, tapi kau harus melepaskan gadis itu!"
"O. tentu, tentu...!"
"Kalau kau ingkar janji, kuhancurkan pedang itu dan kutunggu siang tiba baru menyiksamu sekeji mungkin!"
"Ratu Fajar Garang tak pernah bicara plin-plan, Pendekar Mabuk! Kau patut percaya padaku!"

"Baik. Aku percaya! Ambillah pedang ini!" Wuttt...! Pendekar Mabuk melemparkan pedang itu ke arah sampingnya dalam jarak sekitar tujuh tombak. Ratu Fajar Garang terperanjat, Kirana sendiri sebenarnya juga kaget dan menyesal, mengapa Suto menyerahkan pedang itu begitu saja. Sedangkan Suto sendiri memandangi Ratu Fajar Garang dengan mata tajamnya.

"Mengapa kau lemparkan pedang itu ke sana?! Aku ada di sini, Goblok!" bentak Ratu Fajar Garang.
"Untuk menjamin keselamatan gadis itu, kau harus melepaskannya lebih dulu, baru bisa mengambil pedang itu! Kalau kau ingkar janji, aku bisa mengambilnya lebih cepat darimu, Ratu uban...!"

"He he he he...! Rupanya kau minta jaminan juga, Pendekar Mabuk! Akan kubuktikan bahwa Ratu Fajar Garang kalau bicara tidak pernah plin-plan! Nih, ambil gadismu!"

Wuttt...! Brukk...! Kirana disentakkan hingga menabrak Pendekar Mabuk. Lehernya tidak jadi digorok oleh Ratu Fajar Garang. Perempuan beruban rata itu segera lari menuju ke pedang emas yang tergeletak di rerumputan. Tetapi, pada saat itu pula tangan kanan Suto bergerak menyentak ke depan dalam keadaan telapak tangan terbuka miring. Sett...!

Zlap zlappp...!


Pada waktu itu, perempuan tersebut sedang mau mengambil pedang dalam gerakan membungkuk. Dan ketika ia terkena jurus 'Manggala', keadaannya menjadi tetap diam dan tak bergerak sebagaimana posisi mengambil pedang. Suaranya tak ada, gerakannya pun hilang. Kirana memandangnya dengan rasa takjub. Ia membatin,

"Lagi-lagi Pendekar Mabuk mengeluarkan ilmu totoknya yang sering membuatku kagum. Benar-benar dia laki-laki yang penuh daya kagum di benak dan hati setiap wanita!"

Dengan tenang Pendekar Mabuk mengambil pedang tersebut. Ratu Fajar Garang pun tidak mencegah ataupun menghalanginya lagi. Dengan tenang pula Suto Sinting segera menyelempangkan pedangnya itu di punggung, menjadi satu dengan bumbung tuak dan menyuruh Kirana segeta meneguk tuak beberapa kali.
"Untuk mengeringkan lukamu!" kata Suto. Dan Kirana pun tidak menolak. Ketika ia selesai meneguk tuak, rasa perih di punggung mulai berkurang, lalu ia berkata kepada Suto sambil memandang Ratu Fajar Garang.

"Jangan bebaskan dia sampai matahari meninggi. Biar orang menemukan dirinya dalam keadaan begitu!"
"Dia akan bebas sebentar lagi. Kalau ada angin datang, maka dia akan bebas dengan sendirinya!"
"Kalau begitu, lekas kita tinggalkan dia!"
"Tak perlu terburu-buru, Kirana! Aku ingin melihat dia bebas."
"Kau ini sinting betul, Suto! Orang orang...!"
"Ssst...! Ada angin datang! Perhatikan dia!" potong Suto.

Mata Kirana tertuju ke arah Ratu Fajar Garang yang masih dalam keadaan membungkuk. Angin pun berhembus dari selatan ke utara. Dan mata Kirana mulai terbelalak lebar. Apa yang dilihatnya hampir tak
dipercayainya.

Tubuh yang menjadi patung itu ternyata mulai ambrol. Bagian rambutnya berserakan dihembus angin. Lalu bagian betisnya juga berhamburan, dan ketika angin bertiup semakin kencang, tubuh Ratu Fajar Garang itu pun terbang berhamburan dalam keadaan sudah menjadi debu. Rupanya saat ia terkena Jurus 'Manggala', seketika itu pula tubuhnya menjadi debu. Namun karena cepatnya perubahan dari manusia menjadi debu, keadaannya masih tetap menggumpal berbentuk sama seperti wujud aslinya. Setelah datang angin, baru kelihatan dan diketahui bahwa tubuh itu telah menjadi debu seluruhnya. Tak ada sisa tulang ataupun secabik pakaiannya.

"Ilmu apa yang kau pakai itu, Suto?!" gumam Kirana masih dengan mata terbelalak walau debu Ratu Fajar Garang telah lenyap habis sama sekali tanpa bekas sedikit pun.

"Itu yang dinamakan Jurus 'Manggala' ! Kalau tidak dalam keadaan terpaksa dan harus mengambil kecepatan tertentu, jurus itu jarang kugunakan!"

"Luar biasa! Maukah kau mengajariku, Suto?!"
"Bisa kita bicarakan setelah kita berada di Kuil Elang Putih!" jawab Suto Sinting sambil mencubit dagu Kirana.

Bergegaslah mereka menuju Perguruan Elang Putih. Mereka harus membicarakan tentang pedang itu kepada kakak dari Ki Padmanaba, yaitu Embun Salju. Dalam perjalanan, Kirana sempat berkata kepada Suto Sinting yang baru saja meneguk tuaknya.

"Hati-hatilah dengan Nyai Guru Embun Salju!"
"Ada apa dengan dia?"
"Dia cantik, Suto!"
"Kurasa semua orang akan berkata begitu!"
"Dia sangat memikat hati buat setiap lelaki."
"Kuakui hal itu, Kirana!"
"Jangan kau terpikat dengannya, Suto!"
"Seandainya terpikat, mengapa?"
"Kau melukai hatiku!" jawab Kirana sambil bersungut-sungut.

Pendekar Mabuk tertawa pelan. "Kau tak perlu merasa terluka!"

"Itu hakku! Aku mau terluka atau tidak, itu urusanku! Kau tak berhak melarangku begitu."

"Yang kumaksud, kau tak perlu merasa sakit hati, karena aku tak akan terpikat oleh kecantikan Nyai Guru Embun Salju!"

"Sungguh?"

"Bisa kau percaya omonganku!" ucap Suto tegas.

Tapi tiba-tiba ketika matahari mulai merayap pada jalurnya, dari arah depan mereka terlihat sesosok bayangan berpakaian abu-abu mendekati arah mereka. Orang yang berlari dengan terburu-buru itu sangat dikenali oleh Suto dan Kirana. Sebab itulah Suto berkata kepada Kirana,

"Bukankah itu Paman Jongos Daki?"
"Benar! Pasti ada apa-apa lagi, sehingga ia menyusul kita!"

Mereka mempercepat langkah supaya lebih cepat bertemu dengan Jongos Daki. Orang bertubuh agak pendek itu semakin kelihaian tegang wajahnya. Ketika ia sudah berhadapan dengan Suto, napasnya terengah-engah dan keringatnya mengucur membasahi pakaian.

"Ada apa, Paman?" tanya Pendekar Mabuk.
"Nyai embun Salju diserang...!"
"Siapa yang menyerang?" Kirana terpenjarat.
"Nini Pasung Jagat!"

"Hah...?! Pasung Jagat?! Bukankah dia sudah mati dan dikuburkan di Pulau Kubangan?!"
"Benar, Kirana! Tapi dia bangkit lagi dan mengamuk di sana!"

Suto berkata dengan tenang. "Tak perlu cemas! Embun Salju pasti bisa mengatasinya!"

"Justru Nyai Embun Salju sekarang dalam keadaan terdesak!" kata Jongos Daki. "Aku diperintahkan menyusulmu, Suto!"

"Nyai terdesak ..?! Orang sakti seperti dia terdesak oleh kekuatan Nini Pasung Jagat?! Sungguh tidak masuk akal kedengarannya!" ujar Pendekar Mabuk sambil mengerutkan dahinya kuat kuat.

Jongos Daki memandang ke arah pedang emas. Wajahnya menjadi berseri-seri. Ia segera berkata dengan nada girang.

"Kau telah berhasil menemukan pusaka pedang emas itu, Suto?!"
"Ya. Seperti yang kau lihat inilah, Paman!"

"Bagus, bagus...! Jongos Daki segera mangut-mangut. Kemudian ia berkata dengan penuh semangat.

"Kalau begitu, cepatlah jalan duluan. Gunakan jurus larimu yang cepat melebihi setan ketakutan itu, Pendekar Mabuk. Biar aku dan Kirana menyusul dari belakang! Nyai Embun Salju sangat membutuhkan bantuanmu!"

"Kalau begitu, aku harus berangkat lebih dulu!"

"Berangkatlah, Suto! Lekas...! Jangan sampai kau terlambat tiba di sana! Kalahkan Pasung Jagat dengan pedang itu!"

Zlappp...! Suto pun pergi, tahu-tahu sudah ada di ujung sana. Kelihatan jauh dan kecil dari tempat Kirana dan Jongos Daki berada.

Embun Salju terdesak mundur oleh serangan Nini Pasung Jagat. Bahkan satu kali ia terkena pukulan bercahaya biru dari tangan Nini Pasung Jagat. Segera Mahasi dan Dewi Anjani memerintahkan beberapa murid lainnya untuk memagari Embun Salju.

"Nyai Guru harus beristirahat dulu! Jangan teruskan penyerangan ini!" kata Dewi Anjani.

"Siapa yang akan menahan amukan Nini Pasung Jagat itu kalau bukan aku? Kalian akan mati sia-sia kalau mencoba menyerangnya!"

"Kami akan pancing dia agar menjauh dari kuil ini!" kata Mahasi. Lalu, Dewi Anjani menambahkan kata,
"Kami ulur waktu sampai Pendekar Mabuk tiba di sini!"
"Apa Jongos Daki sudah berangkat?"
"Sudah sejak tadi, Guru!" jawab Dewi Anjani.

"Guru terluka dan harus disembuhkan dulu! Kami akan ulur waktu untuk menunggu kedatangan Pendekar Mabuk!"

"Baik, Baik...! Tapi lukaku ini tak seberapa. Tak perlu cemas!" kata Embun Salju sambil melangkah mundur. "Buat dia agar sibuk ke arah lain, sementara aku meredam luka dalamku ini!"

Dewi Anjani membawa beberapa orang untuk memancing serangan nenek gila itu kearah lain. Dewi Anjani memilih orang-orang yang pandai berkelit dan lincah dalam bergerak. Mereka tidak akan melakukan serangan balas. Sekalipun mereka melepas kan pukulan, mereka tahu pukulan itu tidak akan dapat melukai tubuh Nini Pasung Jagat. Jadi serangan mereka hanya bersifat memancing gerakan saja.

Mahasi mendampingi gurunya dan membawa ke balairung. Embun Salju melakukan semedi beberapa saat. Penyembuhan terhadap luka di dalamnya dilakukan dengan cepat. Hanya beberapa waktu saja ia kembali dalam keadaan segar. Dan tepat pada waktu itu, sekelebat bayangan melompati tembok halaman kuil yang mirip benteng tingginya itu. Ba­yangan tersebut segera mendarat di depan balairung.

"Suto...! Syukurlah kau cepat datang!" Embun Salju menyambut dengan ceria. Lebih ceria lagi setelah ia melihat di tangan kanan Suto menggenggam sebilah pedang emas. Dan Embun Salju tahu, pedang itu adalah pusaka milik mendiang adiknya.

"Kau berhasil rupanya!"
"Berkat petunjukmu, Nyai!" jawab Suto. "Apa yang terjadi di depan sana, Nyai?"
"Nini Pasung Jagat bangkit lagi!"
"Mengapa kau tak bisa atasi dia? Apakah dia mempunyai ilmu lebih tinggi darimu, Nyai?"

"Sesuatu telah terjadi di luar perkiraanku, Suto! Nini Pasung Jagat menjadi kebal senjata! Kulit tubuhnya keras bagaikan baja, dan tak bisa dilukai dengan senjata apa pun! Bahkan pukulan tenaga dalamku tak bisa melumpuhkan dia. Padahal terkena tepat di dadanya, dan meledak di sana, tapi tak membuat dia terluka kecuali hanya tersentak mundur atau terpental beberapa jarak saja."

"Mengapa dia bisa menjadi kebal begitu?"

"Saat dia melepaskan pukulan 'Darah Geni', aku melawannya dengan pukulan 'Darah Kutub' yang mempunyai hawa dingin serta titik beku paling tinggi. Dia pun melepaskan pukulan 'Jalur Baja', yang begitu panas dan dapat melelehkan tubuh manusia, bahkan besi pun bisa lumer jika dihantam pukulan 'Jalur Baja'-nya itu.

Ternyata pukulan 'Darah Geni' dan 'Jalur Baja' sama-sama mempunyai titik panas yang luar biasa. Dan pukulan itu membeku di dalam darahnya karena kuhantam terus dengan hawa dingin yang bertitik beku tinggi. Dan akibat dari ketiga jurus itu menjadi satu di dalam darahnya, maka membentuk satu lapisan pelindung, membuat kulitnya, uratnya, tulang-tulangnya bahkan rambutnya jadi mempunyai lapisan baja yang tak bisa dilukai atau digores oleh senjata apa pun!"

"Hmmm...! Kalau begitu, pedang emas ini yang akan melukainya! Aku harus segera masuk ke pertarungan tu, Nyai! Permisi!"

Zlappp....!

Pendekar Mabuk pun cepat tinggalkan tempat.NINI Pasung Jagat gemas melihat tingkah Dewi Anjani dan teman-temannya yang hanya menyerang dan mundur, menyerang lalu mundur lagi, makin lama makin jauh dari tanah depan kuil. Tetapi karena rasa penasarannya terhadap Dewi Anjani yang tak bisa dibunuh dan mampu menghindar terus dengan lincahnya, Nini Pasung Jagat mengejar lawannya sampai di Bukit Perawan. Dari depan kuil bisa terlihat jelas pertarungan Nini Pasung Jagat dengan Dewi Anjani dan lima anak buahnya yang lincah-lincah itu.

Pada satu kesempatan, Dewi Anjani berhasil terpental dan hangus bagian punggungnya. Ia terluka kena pukulan telapak mautnya Nini Pasung Jagat. Dalam keadaan lemah Dewi Anjani merangkak mencari tempat aman. Tapi pada waktu itu, Nini Pasung Jagat sudah tiba di depannya.

Jlegg...!

"Serang dia supaya tidak mencelakakan Anjani!" kata temannya. Maka mereka pun menyerangnya dengan pukulan jarak jauh secara bersamaan. Namun pukulan itu tidak ada yang melukai kulit tubuh Nini Pasung Jagat, dan karenanya tidak dihiraukan oleh nenek gila pusaka itu.

"Sudah saatnya tongkatku menghabisi nyawamu. Bocah Dungu! Hiaah!" Nini Pasung Jagat menancapkan tongkatnya ke punggung Dewi Anjani yang sudah tak sanggup melakukan apa-apa lagi itu. Tetapi tiba-tiba tubuh nenek tua itu terpental kesamping dan membentur sebatang pohon berakar pipih.

Brrukkk...!

"Monyeeeet...!" teriaknya dengan keras, ia pun segera bangkit.

Suatu tenaga yang begitu besar telah dilepaskan oleh seseorang. Tenaga itu yang membuat Nini Pasung Jagat terpental jauh. Dan ketika ia bangkit memandang ke arah Dewi Anjani, rupanya di sana sudah berdiri lelaki berpakaian coklat dan celana putih, punggungnya menyandang bumbung tuak.

"Rupanya kau murid sinting si Gila Tuak itu! Hah...! Sangat kebetulan sekali kau hadir dalam keadaan tubuhku sudah menjadi sekeras baja begini! Kulampiaskan dendamku kepada si Gila Tuak di depanmu, Suto!"

"Hei," panggil Pendekar Mabuk kepada anak buah Dewi Anjani. Bawa dia menjauhi! Sambil tangan kirinya menopang tubuh Dewi Anjani. Lalu, Dewi Anjani pun dibawa pergi menjauh oleh anak buahnya. Tapi mereka belum turun dari puncak bukit yang tak seberapa tinggi itu. Bahkan di sisi lain pun muncul dua orang yang terengah-engah tegang. Merekaadalah Kirana dan Jongos Daki.

"Suto, habisi dia!" seru Kirana.

"Aku dengar!" seru Pendekar Mabuk tanpa menoleh pada Kirana. Ia berdiri dengan tegapnya. Tangan kiri memegang pedang emas dengan sarung pedangnya, tangan kanan siap melakukan gerakan secepat kilat.
Pada waktu itu, mata Nini Pasung Jagat tertuju pada pedang emas itu. Mata tua tersebut berbinar-binar. Bibirnya menyunggingkan senyum yang lebih cocok dikatakan sebagai seringai.

"Aha...! Pedang Wukir Kencan ada di tanganmu, Suto?! Oooh...ho ho ho...! Pucuk dicinta ulam tiba! Itu yang kucari-cari!"

"Barangkali kematian yang kau cari, bukan pedang ini, Nini!"

"Dengar Cah bagus kayak tikus...! Pedang itu adalah milik guruku, dan hanya murid-muridnya yang berhak memegang dan memiliki pedang emas itu! Ki Padmanaba atau aku! Bukan kau! Karena kau bukan murid Guru kami, Suto!"

"Tapi aku yang mendapat amanat dari Ki Padmanaba untuk menyelamatkan pedang ini, agar tak jatuh ke tangan orang-orang sesat seperti kamu, Nini!"

"Kalau kau nekat menggunakan pedang itu, maka kau akan mati termakan kutuk yang ada di dalam kekuatan pedang itu!"

Kirana berteriak dari jauh, "Jangan percaya, Suto!"

Pendekar Mabuk tersenyum memandangi Nini Pasung Jagat yang tampak berang mendengar seruan Kirana. Tapi Nini Pasung Jagat tidak menghiraukan seruan tersebut, ia maju setindak sambil mengulurkan tangannya dengan pelan,

"Berikan padaku! Jika Ki Padmanaba sudah tiada, berarti akulah pewaris pedang emas itu!"
"Tak ada pesan dari Ki Padmanaba untuk menyerahkan pedang ini kepadamu, Nini!"
"Dia lupa menyebutkannya!"

"Kurasa tidak. Yang ada hanyalah pesan untuk menghabisi nyawamu, karena kau telah membunuhnya dengan keji, Nini!" kata Suto dengan tangan kanan mulai memegang pedang, tepat pada gagangnya.

Nini Pasung Jagat menjadi tegang, ia tahu kehebatan pedang itu, sehingga ia merasa cemas. Dalam batinnya ia berkata sendiri,

"Pedang itu sangat berbahaya! Dipegang orang bodoh pun bisa membuat orang tersebut pandai memainkan jurus-jurus pedang maut, apalagi dipegang bocah sinting murid si Gila Tuak itu! Agaknya aku harus membujuknya dengan cara halus. Aku tak berani merebutnya dengan kasar. Tapi... sekarang tubuhku sudah menjadi sekeras baja! Kulitku tak bisa dilukai! Mengapa aku harus takut menyerangnya? Kurasa Pendekar Mabuk tak bisa dibujuk secara halus! Dia bukan orang bodoh. Jadi, aku memang harus merebutnya dengan pertarungan. Mudah-mudahan dia belum tahu kalau kulitku sudah sekeras baja dan tak mempan digores dengan senjata apa pun!"

Nini Pasung Jagat melangkah ke samping beberapa tindak, arahnya memutari Pendekar Mabuk. Tapi Sinting ikut bergerak memutar pelan-pelan. Tangannya sudah menggenggam gagang pedang. Ia selalu mengambil posisi menyamping. Pedang terangkat di depan dada bersama sarungnya. Tapi belum dicabut. Karena sekali cabut, langsung akan berkelebat. Itu sebabnya Pendekar Mabuk mengambil posisi menyamping kanan dan bergerak terus supaya posisinya tetap sama dengan gerakan Nini Pasung Jagat.

"Kau memaksaku untuk merebutnya, Suto! Kau belum tahu siapa aku yang sekarang ini!"

"Kalau kau memang mampu merebutnya, Rebutlah! Itu berarti kau punya keberanian menghadapi anak sekecil aku, Nenek Kempot!"

"Jahanam kau..! Heaaah...!"
Zlappp... !

Pendekar Mabuk berkelebat bagai orang menyeberang jalan dengan cepatnya. Tak satu pun mata yang melihat gerakan Suto menyeberang melintasi tubuh Nini Patung Jagat. Mereka tahu-tahu sudah melihat Suto berpindah posisi, pedangnya sudah dilepas dari sarung pedang, tapi sarung pedang tetap terangkat ke depan.
Nini Pasung Jagat diam di tempat.

Berdiri agak membungkuk sedikit. Jari-jari tangannya begerak pelan. Ia masih memunggungi Suto. Suto sendiri tidak bergerak dari tempatnya. Namun matanya melirik tajam ke arah Nini Pasung Jagat.

"Habisi dia! Lekas habisi dia?" seru Kirana bagai tak sabar, karena ia melihat Pendekar Mabuk punya kesempatan untuk memenggal kepala Nini Pasung Jagat dari belakang. Kirana jadi geram dan gemas sendiri melihat Pendekar Mabuk tidak bergerak menebaskan pedangnya. Ia ingin maju, tapi tangannya ditahan oleh Jongos Daki.

"Biarkan dulu!" kata Jongos Daki mengingatkan. Cukup lama kedua tokoh yang bertarung itu sama-sama diam tak bergerak. Sementara orang-orang yang menonton dari depan pintu gerbang kuil mulai berteriak-teriak, sama dengan seruan Kirana.

Mereka mendesak supaya Pendekar Mabuk cepat- cepat memenggal kepala Nini Pasung Jagat. Tetapi Pendekar Mabuk tidak menghiraukan teriakan mereka yang samar samar kedengarannya itu.

"Huuuhh...!" teriak mereka di sana setelah melihat Suto memasukkan pedang emas ke sarung pedang.

Sedangkan Kirana, Dewi Anjani, Jongos Daki, dan yang ada di bukit itu, memandang dengan mata tak berkedip. Mereka melihat cairan menetes dari bagian bawah perut Nini Pasung Jagat. Cairan itu bukan merah, melainkan kuning keemasan, seperti logam emas yang dipanaskan dan mencair.

Tes... tes... tes...! Makin lama menjadi semakin banyak. Tubuh Nini Pasung Jagat masih diam mematung. Tangannya bergerak-gerak. Tetapi, kejap berikutnya, para penonton yang ada di belakang Suto itu menjadi terperangah kaget ketika tubuh Nini Pasung Jagat tumbang ke belakang. Brukkk...!

Mereka melihat dengan mata kepala sendiri, dari bagian bawah pusar sampai ke pertengahan kening Nini Pasung Jagat, ternyata terbelah tipis namun jelas dalam. Sabetan pedang Pendekar Mabuk membentuk garis lurus dari bawah putar sampai ke pertengahan kening. Dan tak seorang pun yang melihat saat Pendekar Mabuk menyabet pedang emas itu ke tubuh Nini Pasung Jagat.

"Luar biasa...!" gumam Kirana semakin terkagum kagum kepada Suto.

Nini Pasung Jagat menghembuskan napas terakhir dalam keadaan mata terbuka lebar dan mulut ternganga sedikit. Rupanya kulit tubuh yang telah berubah menjadi sekeras baja itu hanya bisa dilukai oleh pedang emas tersebut.

Nini Pasung Jagat lupa, selain pedang itu membuat seseorang bisa memainkan jurus pedang maut jika menggenggam pedang itu, pedang tersebut juga bisa memotong semua benda, sekalipun gunung baja yang menjulang tinggi. Dan setiap lawan yang terkena pedang tersebut, darahnya berubah kuning keemasan, namun cepat berbau busuk dan berubah menjadi hitam dalam setengah hari saja.

Rubuhnya Nini Pasung Jagat membuat orang-orang di depan gerbang kuil bersorak kegirangan. Sorak itu segera mereda dan hilang setelah seseorang muncul di tengah arena pertarungan tadi. Orang tersebut bertubuh tinggi, besar, seperti raksasa. Dialah Logayo ketua perkumpulan atau perguruan sesat Kobra Hitam yang hampir gulung tikar.

Kemunculan Logayo yang bergelar Dewa Murka, kali ini tidak didampingi oleh Rangka Cula. Mungkin karena tergesa-gesa dan bernafsu sekali melihat kelebatan pedang emas dari kejauhan, sehingga ia tidak sempat mengajak Rangka Cula.

Tetapi kemunculan itu membuat hati Kirana menjadi seperti ditusuk dengan seribu jarum berkarat. Dendam di dalam hatinya terbakar lagi. Bayangan saat orang seperti raksasa itu memperkosa ibu dan seorang kakaknya, terbayang jelas di mata Kirana.

Sekalipun waktu itu Logayo masih muda, tapi Kirana masih ingat dengan wajahnya, brewoknya, matanya yang lebar ganas dengan alisnya yang tebal, tubuhnya yang besar, suaranya yang berat dan besar itu juga, semuanya melekat erat dalam ingatan Kirana.

Pelan-pelan Kirana bangkit dengan jantung bergemuruh, berdebar debar dan sedikit gemetar. Tinggal satu orang itu yang belum dilenyapkan oleh dendam Kirana. Kini orang tersebut muncul di depan Pendekar Mabuk dan berkata dengan gaya memuakkan,

"Hebat sekali jurus pedangmu, Anak Muda! Aku terkesima melihat jurusmu yang luar biasa itu! Tapi kau menggunakan pedang emas milik Ki Padmanaba kelihatannya! Apakah kau telah mencuri pedang itu dari tangan bekas adik iparku, hah?!"

"Aku tak kenal siapa dirimu, Raksasa brewok!"

"O, kau belum mengenalku? Hua ha ha ha ha....! Kasihan betul kau ini! Aku adalah Logayo, si Dewa Murka, ketua Perguruan Kobra Hitam yang disegani banyak orang!"

"Tapi mengapa aku tidak merasa segan sedikitpun padamu?!"

Tawa itu lenyap seketika. Wajahnya menjadi bengis. Logayo memandang angker kepada Suto Sinting. Dengan melihat raut wajahnya yang begitu angker dan buas saja orang sudah bisa dibuat ketakutan, apalagi jika melihat murkanya. Logayo berkata dengan nada geram yang menyeramkan,

"Jangan kau pancing nafsuku untuk membunuhmu. Anak Muda! Jangan lagi kau berkata begitu di depan orang-orang seperti saat ini! Kalau kau ucapkan lagi kata kata yang sama, kuremukkan kepalamu dengan kedua tanganku!" kedua tangannya saling meremas.

"Aneh. Kau bicara seperti itu, wajah dibuat seangker itu, tapi aku tak punya rasa takut sedikit pun padamu. Malah merasa geli!" Suto tertawa pendek dipaksakan.

"Ggrrr...! Kurang ajar betul kau!" geramnya semakin kuat. Tangannya menggenggam keras-keras dan mengepulkan asap putih bagai terbakar kedua genggamannya itu. Ia melangkah maju dua tindak. Jaraknya menjadi lebih dekat dengan Suto, sekitar tiga langkah.

"Seharusnya kau kubunuh karena berkata begitu! Tapi sebagai jaminan dan tebusan, cukup kau serahkan pedang itu padaku! Karena aku adalah kakak ipar dari Ki Padmanaba!"

"Kalau kau menghendaki pedang ini, berarti kau menghendaki kematianmu, Logayo! Apakah kau belum jera dengan habisnya anak buahmu dengan Racun Getah Tengkorak itu?!"

Terperanjat Logayo mendengarnya. Merah wajahnya seketika itu.

"Jadi kau yang menjadi manusia serba hitam dan memasang jerat melalui lentera kematian itu, hah?! Kau yang menyebar racun setan itu dan membuat matinya anak buahku itu, hah?!"

"Bukan aku, Logayo! Jangan salah duga!"
"Jika bukan kau, siapa?!" bentaknya.
"Aku...!"

Tiba-tiba Kirana tampil sambil menyebutkan kata dengan keras. Ia menatap mata Logayo dengan beringas, seakan ingin menelan orang sebesar itu. Ia maju sampai berada di depan Pendekar Mabuk, seakan mengambil alih perkara itu dari Suto. "Akulah yang memasang lentera beracun itu, Logayo! Aku yang menghabisi anak buahmu! Karena kaulah yang membantai habis keluargaku, ketika kau dan kelima begundalmu itu menjadi perampok di rumahku atas perintah Lastri , bibiku sendiri itu!"

"Lastri Wiku...?! Ggrrr...! Rupanya kau anak Bantar Sogi yang paling bungsu itu, hah?!"

"Betul! Dan semua teman-temanmu sudah kubunuh untuk membayar hutang lamanya. Sekarang tinggal kau yang belum kulenyapkan, Logayo! Kau harus mau di tanganku!"

"Bocah dungu! Kumakan kau bulat-bulat sekarang juga! Grrr!"

Logayo menggeram dan mengangkat kedua tangannya. Tapi Kirana segera berkelebat ke belakang, tangan kanannya menyambar gagang pedang yang masih digenggam kuat oleh Suto. Pedang emas itu tercabut di luar dugaan Pendekar Mabuk. Bahkan kini Kirana dengan gerakan cepat berkelebat menerjang orang bertubuh besar seperti raksasa itu sambil menebaskan pedangnya dari bawah ke atas. Brettt...!

"Ehhg...! gerakan Logayo terhenti seketika. Perutnya terbelah. Semua orang melihat gerakan pedang itu membabat dari bawah ke atas. Kemudian dengan cepat pula, Kirana menghujamkan pedang itu, menusukkan ke arah jantung Logayo, "Hiaaahh...!"

Jrubbb...!

Pedang menghujam masuk ke jantung. Darah yang berubah menjadi kuning keemasan itu muncrat ke mana-mana. Logayo masih bisa mendelik dan bergerak-gerak ingin mencabut pedang itu. Tetapi tenaganya makin lemah. Tangannya menggapai ingin meraih rambut Kirana yang masih memengangi gagang pedang itu dengan kuat-kuat. Tapi tangan itu tak sempat menggapai rambut, jatuh lemas ke samping, mulutnya memuntahkan cairan kuning emas sebagai ganti warna merah pada darahnya. Kemudian tubuh dan kepalanya tampak terkulai lemas. Kirana menjejak tubuh besar itu dengan kuat untuk mencabut pedang yang tembus ke belakang punggung Logayo.

Dubb...! Wuttt...! Tubuh Logayo terpental ke belakang. Slubb...! Pedang emas pun tercabut sudah. Kini digenggam oleh Kirana dengan dua tangan. Matanya memandang ganas ke mayat Logayo. Napasnya terengah-engah. Pedang masih berdiri tegak, siap disabetkan kapan saja.

"Kirana...,' sapa Suto pelan dan hati-hati. "Kirana, sudah selesai sekarang...! Sudah cukup dendammu terlampiaskan..."

Kirana menatap Suto, mata gadis itu berkaca-kaca memandangnya. Kemudian, meleleh air matanya ketika ia terbayang wajah-wajah keluarganya, ayahnya, ibunya, dan satu persatu wajah kakak perempuannya yang berjumlah lima orang itu. Seakan Kirana telah menebuskan nyawa mereka dengan membantai seluruh orang yang terlibat dalam peristiwa perampokan di rumahnya itu.

Dengan matinya Logayo, pimpinan perampok dan pemerkosa kelima kakak serta ibunya itu, Kirana semakin menyadari bahwa sekarang hidupnya benar-benar telah sendirian. Tanpa arah dan tujuan yang pasti. Tanpa dendam dan kegelisahan lagi. Maka, menangislah ia dalam pelukan Pendekar Mabuk, sementara Pendekar Mabuk pun berusaha menenangkan tangis itu dengan bisikan-bisikan yang meneduhkan hati Kirana.

Pedang emas telah dimasukkan ke dalam sarungnya. Pendekar Mabuk pun segera menuntun Kirana untuk melangkah dalam rangkulan kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya.

Ketika menuruni bukit, mereka berpapasan dengan Embun Salju yang agaknya menyongsong kemenangan Pendekar Mabuk dalam melawan manusia berkulit baja itu. Buru-buru Kirana mengusap air matanya dan melepaskan rangkulan tangan Suto begitu ia melihat Embun Salju menjemputnya. Sekejap, Embun Salju sempat berkata kepada Dewi Anja-ni dan kelima anak buahnya,

"Suruh orang-orangnya Mahasi membuang mayat-mayat di atas bukit itu, Anjani!"
"Baik, Guru...!"

Kemudian, senyum menawan mekar di bibir Embun Salju ketika ia menatap ke arah Suto dan Kirana. Terucap kata olehnya,

"Terima kasih, kau telah mengalahkan musuh kami yang paling berbahaya itu, Suto!"
"Berkat pedang pusaka milik adikmu, Nyai! Tanpa pedang ini mungkin aku belum bisa mengalahkannya!"

"Pedang itu memang dahsyat, Suto!" Embun Salju memandang kagum ke arah pedang pusaka itu. "Boleh kulihat bentuk ukirannya? Sepertinya punya arti tersendiri!"

"Kenapa tidak? Ini pedang adikmu, jadi kau punya hak untuk menyimpannya, Nyai! Aku bukan pewarisnya!" Pendekar Mabuk segera menyodorkan pedang itu dan diterima oleh Embun Salju.

"Tapi menurut pesan Ki Padmanaba," kata Kirana, "Siapa yang bisa menemukan pedang emas itu, berarti dialah pewarisnya, Suto!"

"Kurasa itu perlu dibicarakan lebih lanjut dengan kakak Ki Padmanaba sendiri. Bukankah begitu, Nyai?!"

"Ya, memang perlu kita bicarakan! Tapi... tunggu!" tiba-tiba Nyai Guru Embun Salju menjadi tegang.

Matanya melirik sekeliling. Lalu mata itu tertuju pada rimbunan pohon bambu yang ada di samping kaki Bukit Perawan itu.

"Ada apa, Nyai?" tanya Kirana.

"Seseorang sedang bersembunyi di sana kurasakan getaran batinnya, dia ingin merebut pedang ini! Sebentar, kucari dia!"

Wuttt...! Embun Salju melesat pergi. Suto tertegun memandang kearah rimbunan bambu.

Kirana segera berkata, "Tak Ingin kau kejar orang itu?!"

Suto menghembuskan napas. "Biarlah Nyai Embun Salju yang menanganinya! Kurasa ia tak akan celaka. Toh ia bersama pedang emas itu!"

Suto segera melangkah menuju ke kuil, Tetapi Kirana segara berkata, "Hatiku merasa tak enak dengan sikap Nyai Embun Salju tadi!"

"Tak enak bagaimana?"

Tiba-tiba Embun Salju datang dari arah kuil mendekati Suto dan Kirana. Mereka terkejut melihat Embun Salju tidak membawa pedang.
"Suto...?! Jadi siapa yang yang mengubah diri menjadi Embun Salju?"

"Celaka! Mengapa Embun Salju bisa ada dua? Apakah dia mempunyai adik kembar «atau mungkin kakak kembar?"

"Setahuku, dia tidak punya saudara kembar!" Kirana makin tegang.
"Lalu... yang berkelebat ke rumpun bambu tadi siapa?"

Embun Salju mendekat dan memandang heran kepada Suto dan Kirana. Kemudian ia bertanya, "Ada apa, Suto?!"

"Nyai... apakah kau tadi menerima pedang emas dariku?!"

"Pedang emas? Oh, tidak! Aku baru saja mau mengucapkan selamat atas kemenanganmu dan terimakasih atas bantuanmu! Kami sudah menyiapkan pesta kecil untuk kalian!"

"Tapi... tapi tadi ada orang serupa dengan kau, Nyai! Dia meminjam pedang itu dan... dan berkelebat ke arah rimbunan bambu! Kalau tak percaya, tanyakan kepada Dewi Anjani yang diberi perintah untuk membuang mayat-mayat di atas bukit itu!"

"Membuang mayat?! Aku tak pernah menyuruh anak buahku untuk membuang mayat! Setiap mayat yang mati di Tanah Merah ini pasti kusuruh menguburkannya baik-baik!" kata Embun Salju.

"Celaka! Celaka, Nyai! Pedang itu dibawa orang yang mirip kamu!"
"Persis...?"
"Persis sekali, Nyai!" jawab Kirana.

Embun Salju berkerut dahi dan termenung. Kemudian ia mengguman,

"Hanya ilmu sihir yang bisa membuat seseorang bisa menirukan bentuk dan wajahku! Di sini orang yang bisa melakukan ilmu sihir seperti itu adalah Rangka Cula, anak buah Logayo yang kau bunuh itu, Kirana!"

"Kalau begitu, aku harus mengejarnya sekarang juga, Nyai!"

Pendekar Mabuk segera bergegas tapi Kirana menahannya, "Aku ikut!"

Suto bingung menjawab. Haruskah ia membawa Kirana dalam mengejar pencuri pedang emas itu? Apakah tidak akan merepotkan dirinya nanti? Akan berhasilkah ia merebut pedang itu jika membawa Kirana?

TAMAT
Segera terbit: MALAIKAT JUBAH KERAMAT