Trio Detektif - Misteri Anjing Siluman(2)



­Bab 9 MALING MENELEPON

­SEPANJANG malam yang masih tersisa, Trio Detektif melanjutkan penjagaan di apartemen Mr. Prentice.
Tapi mereka tidak mengalami kedatangan bayangan, maupun gangguan lain-lainnya. Keesokan harinya, pagi-pagi Mr. Prentice sudah sibuk menggoreng telur dan memanggang roti.

"Nah, Anak-anak," katanya sambil menghidangkan sarapan pada ketiga remaja yang menemani. "Bagaimana-ada kesimpulan yang bisa kalian ambil?"

"Ya, ada! Pikiran saya macet!" kata Pete.

"Jangan buru-buru bilang begitu," kecam Jupiter. "Urusannya baru mulai menjadi menarik. Berbagai hal perlu kita pikirkan."

"Apa misalnya?"

"Misalnya saja maling itu. Kenyataan bahwa ia memanfaatkan gereja yang di sebelah, menimbulkan pertanyaan dalam diriku."

"Boleh saja kau merasa tertarik," kata Mr. Prantice. "Tapi apa hubungannya maling itu dengan bayangan yang muncul dalam apartemenku ini?"

"Terus terang, saya tidak tahu," kata Jupe. "Tapi menurut perasaan saya, pasti ada hubungannya, Mr. Prentice, apakah Anda biasanya melihat bayangan itu pada waktu-waktu tertentu saja? Saya sudah dua kali melihatnya, menjelang malam. Kapan Anda biasanya melihatnya?"

Fenton Prentice mengingat-ingat sebentar. "Biasanya begitulah, saat sore atau menjelang malam," katanya kemudian. "Dan mungkin juga sekali dua kali agak lebih siang."

"Tidak pernah tengah malam?"

"Saat itu biasanya aku sudah tidur. Tapi seingatku, aku belum pernah melihatnya kalau kebetulan terbangun tengah malam."

Jupe mengangguk.

"Kalau begitu, kami pergi saja sekarang, lalu nanti datang lagi-itu jika Anda tidak keberatan. Saya mendapat ide bagi langkah berikut dalam menangani kasus ini. Untuk itu perlu diadakan persiapan-dan itu harus dilakukan di Rocky Beach. Dan... kalau tidak salah, masih ada beberapa tugas lain yang harus diselesaikan oleh Bob dan Pete. Sementara itu Anda pasti aman karena kecil sekali kemungkinannya bayangan itu akan muncul sebelum kami kembali."

Selesai sarapan, anak-anak minta diri. Ketika mereka sedang menuruni tangga untuk menuju pekarangan, mereka melihat Sonny Elmquist yang saat itu sedang duduk dengan santai di kursi di tepi kolam. Pemuda itu bergegas bangkit, begitu melihat mereka.

"He, kudengar kalian melihat hantu pastor itu. ya!" katanya pada Jupe. "Coba tadi kalian langsung mampir sebentar di apartemenku, untuk memberi tahu. Aku tertarik pada hal-hal seperti itu."

"Memberi tahu Anda?" Jupe memandang Elmquist dengan heran. "Mana mungkin aku memberi tahu Anda? Saat itu Anda masih berada di tempat Anda bekerja,kan?"

"Tadi malam aku kebetulan ada di rumah," kata pemuda itu. "Aku tidak terus-menerus bekerja. Mana ada orang yang begitu?"

"Dari mana Anda tahu bahwa Jupe melihat hantu pastor itu?" tanya Pete.

"Gampang saja. Mrs. O'Reilly bercerita pada Mrs. Bortz, lalu Mrs. Bortz bercerita pada Hassell, dan kemudian Hassell mengatakannya padaku."

Jupe dan kedua rekannya terus berjalan ke luar. Diikuti Elmquist.

"Tapi itu benar, ya? Kau kemarin malam benar-benar melihatnya?" tanya Elmquist dengan nada ingin tahu.

"Aku melihat seseorang," kata Jupe.

Anak-anak meninggalkan Elmquist di depan gedung apartemen. Mereka menuju Wilshire Boulevard, jalan raya yang terdapat di ujung Paseo Place.

"Elmquist itu aneh orangnya," kata Pete, ketika mereka sudah duduk di bis yang menuju Rocky Beach.

"Karena ia menaruh minat pada hal-hal seperti hantu, mandala, dan falsafah Timur?" kata Jupe. "Zaman sekarang hal seperti itu sudah tidak aneh lagi." Ia menyandarkan diri ke punggung kursi.

­"Dan beberapa di antara pemikiran yang dikemukakannya sulit dibantah kebenarannya. Segala agama yang besar mengajarkan bahwa tidak baik jika orang terlalu mementingkan kekayaan dan harta benda."

"Tergila-gila pada harta, merupakan pangkal segala maksiat," kata Bob.

"Tepat! Tapi di lain pihak, aku mengerti maksudmu yang sebenarnya, Pete. Memang ada sesuatu yang aneh pada diri Elmquist. Dan itu ialah-nampaknya ia memiliki kemampuan menembus dinding, Benar-benar misterius!"

Menjelang pukul setengah sepuluh pagi, ketiga remaja itu sudah kembali berada di Rocky Beach.

"Kurasa kini sudah waktunya kita menelaah hal-hal yang berhasil kita ketahui sampai sekarang," kata Jupe, sementara mereka berjalan meninggalkan halte bis. "Yuk, kita ke Markas dulu."

Sepuluh menit kemudian, ketiga detektif remaja itu sudah duduk menghadap meja tulis di dalam karavan usang yang mereka jadikan kantor.

"Sekarang ada tiga misteri yang perlu kita usut," kata Jupe. Kedengarannya ia bergembira menghadapi kenyataan itu. "Pertama: bayangan yang merongrong Mr. Prentice. Siapakah dia, dan bagaimana caranya masuk ke dalam apartemen? Lalu misteri berikut: maling yang mencuri Anjing Karpatia. Siapa dia, dan kenapa gereja dijadikannya tempat bersembunyi? Dan yang terakhir pastor yang tahu-tahu lenyap. Siapa dia, dan kalau ada, apa hubungannya dengan kedua misteri yang lainnya? Sebaiknya kita membahasnya satu demi satu, secara berurutan."

"Kusangka kita sudah tahu siapa sebenarnya bayangan di dalam apartemen itu," kata Pete. "Berdasarkan penglihatanmu, dan juga Mr. Prentice, bayangan itu Sonny Elmquist."

"Memang betul," kata Jupiter, "tapi kami hanya melihatnya sekilas saja. Mudah-mudahan saja kalian berdua kapan-kapan juga bisa melihat bayangan itu."

"Setidak-tidaknya, kita tahu pasti bahwa bayangan itu bukan Mrs. Bortz," sela Bob. "Kalau dia, bisa masuk karena memiliki kunci!"

Jupe mengangguk.

"Lagi pula bentuk perawakannya lain-terlalu gemuk, sementara bayangan itu kurus. Kalau Elmquist-nah, dialah yang cocok potongannya! Tapi aku tetap masih belum bisa membayangkan, bagaimana caranya ia bisa masuk ke apartemen Mr. Prentice. Dan bagaimana mungkin, seseorang sekaligus ada di dua tempat? Dua kali aku melihat bayangan itu, padahal Elmquist sedang tidur di apartemennya sendiri."

"Mungkin saja bayangan itu orang lain," kata Pete sambil mengangkat bahu.

"Tapi Elmquist tahu tentang mandala," kata Bob mengetengahkan. "Ia memaparkan wujudnya dengan begitu persis, sehingga pasti pernah melihatnya. Sedang Mr. Prentice sudah jelas tidak pernah mengajaknya masuk ke apartemennya."

­"Jadi Sonny Elmquist merupakan tersangka kita yang utama dalam kasus bayangan itu," kata Jupe menarik kesimpulan, "tapi kita tidak mempunyai bukti ataupun penjelasan untuk memperkokoh sangkaan itu. Sekarang, kita beralih ke kasus maling. Dari indikasi-indikasi yang ada, bisa ditarik kesimpulan bahwa dia orang sekitar situ juga-atau bahkan tinggal satu gedung dengan Mr, Prentice-karena tahu di mana ia bisa memperoleh anak kunci untuk masuk ke dalam gereja. Siapa saja di sekitar situ yang tahu-menahu tentang patung Anjing Karpatia, begitu pula bahwa barang itu bernilai tinggi?"

"Bagaimana dengan bayangan itu?" kata Pete mengajukan dugaan. "Mungkin saja bayangan itu melihat kertas-kertas mengenai hal itu di meja tulis Mr. Prentice, atau bisa juga ia menangkap pembicaraan lewat telepon."

"Bagaimana dengan Mrs. Bortz?" kata Bob. "Ia bisa saja melihat surat-surat tentang patung anjing itu, sewaktu sedang memuaskan rasa ingin tahunya, memeriksa apartemen Mr. Prentice."

"Jika wanita itu tahu, setiap orang di sekitar tempat itu kemudian pasti juga ikut tahu!" kata Pete.

"He, Jupe," kata Bob, "menurutmu, apakah maling itu masuk ke rumah Niedland khusus untuk mencuri Anjing Karpatia?"

"Sulit untuk memastikannya. Dari mana ia tahu, bahwa saat itu Anjing Karpatia sedang ada di situ? Mungkin ia masuk dengan harapan akan menemukan sesuatu yang berharga di dalam. Jika tinggalnya di sekitar situ, tentunya ia tahu bahwa rumah itu kosong. Jadi ia masuk, menemukan patung itu, tapi kemudian buru-buru lari sewaktu polisi muncul. Ia lari ke dalam gereja, dan di situ menyamarkan diri menjadi patung St. Patrick. Nekat sekali orang itu! Berdiri diam-diam berselubung jubah dan memakai mitra, sementara polisi berkeliaran di dalam mencari dia!"

"Polisi kemudian pergi, tapi pengurus gereja datang lagi," kata Bob menyela. "Karenanya maling itu lantas memukulnya sampai pingsan, lalu melarikan diri!"

"Kurasa kita bisa menyimpulkan bahwa maling itu menggunakan kekerasan," kata Jupiter sependapat. "Soalnya,ia sadar bahwa lambat-laun Earl pasti akan melihat bahwa di situ ada patung yang sebelumnya tidak ada. Jadi besar sekali kemungkinan maling itu yang memukul Earl sehingga pengurus gereja itu pingsan. Anjing Karpatia itu disembunyikannya di salah satu tempat di dalam gereja, lalu kemarin malam ia kembali lagi untuk mengambilnya."

"Kenapa harus begitu?" tanya Pete. "Kenapa tidak diselipkannya saja dalam kantung atau di balik jasnya, lalu pergi malam itu juga? Kenapa harus disembunyikan dulu di dalam gereja?"

"Terlalu besar risikonya, jika langsung dibawa," jawab Jupe. "Mungkin dia takut, jangan-jangan polisi masih berkeliaran di sekitar situ dengan mobil patroli. Bisa saja ia khawatir tahu-tahu dicegat dan ditanyai, dan mungkin juga bahkan digeledah. Ia berpendapat, lebih aman Anjing Karpatia disembunyikannya selama satu hari di gereja, dan keesokan malamnya baru diambil lagi."

"Jadi kemarin malam ia muncul lagi, menyamar sebagai pastor," kata Pete.

"Tidak, kurasa bukan begitu," kata Jupe. "pastor yang kemudian menghilang itu hanya berdiri saja di dekat altar, sewaktu aku melihatnya. Maling itu mestinya langsung mendatangi tempat patung kristal itu disembunyikan, dan kemudian dengan segera pergi lagi. Aku didorongnya karena rupanya menghalang-halangi, lalu ia ke luar dan mengunci pintu dari luar."

"Kalau begitu, siapa pastor misterius itu?" tanya Bob.

"Mungkin Sonny Elmquist?" kata Pete menebak

"Ia kan suka pada hantu, dan kemarin malam ia ada di rumah. Mungkin saja ia bersekongkol dengan maling itu."

"Itu kombinasi yang sulit diterima akal sehat," kata Jupe. "Seseorang yang ingin menjauhkan diri dari segala keinginan yang bersifat duniawi, bekerja sama dengan maling?"'

"Tapi ia kan mengatakan bahwa ia perlu uang, Jupe!" kata Bob mengingatkan dengan bersemangat. "Ingat tidak, saat ini ia kan sedang asyik menabung, karena ingin ke India!"

"He, jangan-jangan Elmquist itu sendiri malingnya!" kata Pete buru-buru.

­"Kau melupakan satu hal. Elmquist sedang tidur di apartemennya, ketika polisi mengejar-ngejar maling itu lewat pekarangan," kata Jupe. "Dan ia berdiri di depan gereja bersama kita, sementara polisi sibuk menggeledah bangunan itu-saat mana maling yang dicari-cari ada di dalam, menyamar menjadi patung orang suci."

"Tapi Elmquist kelihatannya bisa hadir di dua tempat pada waktu yang sama," kata Bob. "Jika ia bisa gentayangan di dalam apartemen Mr. Prentice pada saat ia juga ada di apartemennya sendiri yang terletak di seberang kolam di bawah, maka tidak aneh jika ia bisa ada di dalam dan di luar gereja pada saat yang sama!"

Jupe menggeleng-geleng, Kelihatan bahwa ia jengkel.

"Tidak, itu tidak mungkin," katanya dengan sebal, karena menghadapi jalan buntu. "Tapi tentang satu hal, aku sependapat denganmu. Banyak hal tentang Sonny Elmquist yang belum kita ketahui. Kurasa kita perlu mengamat-amati orang itu, dan aku punya akal bagaimana kita akan melakukannya. Aku sudah merencanakan-"

Kalimatnya terpotong deringan telepon yang terletak di atas meja. Dengan segera Jupiter menyambar gagangnya.

"Ya?" katanya. "Ah, Mr. Prentice! Sebentar."

Jupiter mendekatkan gagang telepon itu ke sebuah alat khusus yang terdiri dari mikrofon dan pengeras suara. Ia sendiri yang membuat alat itu, dari pesawat radio yang sudah rusak. Sekarang
ketiga remaja yang ada di dalam karavan bisa mendengar dengan jelas kata-kata pria tua penggemar seni itu.

"Silakan, Mr. Prentice," kata Jupiter.

"Aku baru saja ditelepon orang." Suara Mr Prentice bergetar, karena tegang. "Penelepon itu mengatakan, Anjing Karpati­ saat ini ada padanya. Kau kan mengatakan, benda seni seperti itu sulit dijual. Nah-orang itu ternyata menemukan orang yang paling cocok sebagai pembeli. Ia menawarkannya padaku, dengan harga sepuluh ribu dolar­!"

­Bab 10 PERACUNAN

­TRIO Detektif hanya bisa membisu, karena kaget.

"Jupiter? Kau masih ada di sana, Jupiter?" terdengar suara Mr. Prentice bertanya dengan cemas.

"Eh–anu , ya! Ya, Sir, saya masih ada di sini." Jarang terjadi Jupiter benar-benar kaget Tapi pemberitahuan pria tua itu menyebabkan ia kehilangan akal sejenak.

"Aku...perasaanku tidak enak, harus berurusan dengan penjahat," sambung pria tua itu, "tapi anjing Karpatia harus kuperoleh. Patung itu milikku, dan jika tidak kuusahakan memperolehnya sekarang, jangan-jangan nanti lenyap untuk selama-lamanya. Aku bermaksud membayar tebusan yang dimintanya. Aku punya waktu dua hari untuk mengumpulkan uang sebanyak yang diminta."

"Anda sudah menghubungi polisi?"

"Aku tidak berniat berbuat begitu. Aku tidak mau mengambil risiko maling itu gentar. Kalau itu sampai terjadi, bisa-bisa Anjing Karpatia tidak kuperoleh kembali."

"Saya rasa sebaiknya Anda menimbang-nimbang dulu, sebelum bertindak," kata Jupe. ­"Anda berurusan dengan penjahat yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Jangan lupa apa yang dilakukannya terhadap Earl."

"Justru itulah! Karena takut ketahuan, maling itu memukulnya. Aku tidak ingin menyebabkan dia punya alasan untuk merasa takut padaku. Bagaimana, kapan kalian kembali kemari? Terus terang saja, perasaanku tidak enak, menunggu seorang diri di sini."

"Apakah bayangan itu muncul lagi?"

"Bukan begitu, tapi aku tahu bahwa setiap saat mungkin ia muncul... ketegangan itu yang menyebabkan aku tidak tahan."

"Saya rasa kami masih sempat naik bis yang pukul tiga," kata Jupe, sambil memandang Bob dan Pete untuk meminta persetujuan. Kedua temannya itu mengangguk. "Sebelum gelap, kami sudah akan tiba di tempat Anda."

Jupiter mengakhiri pembicaraan, lalu meletakkan gagang telepon ke tempatnya.

Ia mendesah.

"Sekarang kita mendapat tugas tambahan, menyelamatkan dia dari rongrongan maling itu!" katanya. "Sebaiknya sekali ini kita berbekal pakaian, karena mungkin harus tinggal di apartemen Mr. Prentice selama beberapa hari. Nanti kita bertemu lagi di halte bis, sebelum pukul tiga."

"Bagaimana idemu tadi, tentang cara mengamat-amati Elmquist?" tanya Pete.

­"Nanti saja kujelaskan," jawab Jupiter. "Aku belum selesai dengan rencana mengenai dia."

Setelah itu Bob dan Pete pulang dulu Bob hendak ke perpustakaan umum Rocky Beach. Di sana-untuk mengisi waktu luangnya-ia bekerja sebagai tenaga lepas, dengan tugas mencatat dan menaruh buku-buku di rak. Pete masih harus menyelesaikan beberapa tugas suruhan ibunya.

Waktu yang masih tersisa dari pagi sampai siang dipergunakan oleh Jupiter untuk membersihkan karat sejumlah kursi dan meja taman yang disuruh-betulkan oleh Bibi Mathilda, untuk kemudian dijual lagi. Setelah makan siang, Jupiter sibuk bekerja di bengkelnya, membetulkan beberapa peralatan elektronik yang kemudian dimasukkannya ke dalam kotak kardus. Kotak itu dibawanya ke halte bis. Ia juga menyandang sebuah ransel yang penuh berisi pakaian bersih.

"He, apa isi kotak yang kaubawa itu?" tanya Bob. "Ciptaan baru lagi, ya?"

"Ini kamera televisi dan pesawat penerimanya, yang dihubungkan dengan kabel," kata Jupe. "Dulunya dipakai di sebuah pasaraya."

"Ya, betul!" kata Pete. "Alat itu memang dipasang di mana-mana sekarang. Dengan alat itu petugas keamanan bisa mengamat-amati orang yang dicurigai akan mencuri sesuatu."

"Dari mana kau memperoleh peralatan itu?"

"Toko tempat alat ini dulu dipasang, mengalami musibah kebakaran," kata Jupe menjelaskan. "Kamera-kamera dan pesawat-pesawat monitor ikut rusak karenanya. Paman Titus berhas memborong semuanya, dengan harga yang sangat murah. Bisa dibilang dihadiahkan saja padanya, Aku membetulkan perangkat ini. Ternyata sama sekali tidak sukar."

"Jadi rupanya dengan alat itu kita akan mengamat-amati Sonny Elmquist!" ujar Bob.

"Tepat! Karena di apartemen Mr. Prentice tidak ada jendela yang menghadap ke balkon, tanpa alat seperti ini kita tidak mungkin dapat mengawasi pekarangan di bawah tanpa ketahuan. Tentu saja kita bisa duduk-duduk di balkon atau di samping kolam. Tapi aku tidak ingin Elmquist-atau siapa pun juga-tahu bahwa kita sedang mengamat-amati. Di luar pintu depan apartemen Mr. Prentice ada tanaman besar dalam pot. Kamera bisa kita sembunyikan di situ. Sedang kita duduk di dalam mengamati lewat pesawat monitor."

"Asyik, kita akan punya acara TV pribadi!" kata Pete.

Sejam kemudian ketiga remaja itu memasuki gerbang depan gedung apartemen tempat tinggal Mr. Prentice. Kedatangan mereka disongsong Mrs. Bortz, yang kelihatannya selalu saja ada di mana-mana.

"Kalian datang lagi?" kata wanita itu. Ia memandang kotak kardus, yang saat itu dijinjing Pete. "Apa itu?" tanyanya.

"Pesawat TV," jawab Jupe dengan singkat "Hadiah Natal untuk Mr. Prentice, tapi baru sekarang sempat kami bawa."

­Jupe memandang ke balik punggung wanita pengurus gedung apartemen itu, ke arah pekarangan. Mr. Murphy, makelar saham itu, sedang duduk-duduk sambil merokok di tepi kolam renang. Rupanya sedang menikmati kehangatan matahari sore. Sebentar-sebentar ia menjentikkan abu rokoknya ke asbak khususnya. Ketika melihat anak-anak datang, ia tersenyum.

"Kalian menginap lagi di tempat Mr. Prentice malam ini?" katanya.

"Kelihatannya begitulah," jawab Jupe.

"Bagus." Mr. Murphy memadamkan rokoknya. "Kakek itu pasti kesepian. Ada baiknya bagi dia, jika sekali-sekali ada yang menemani. Keponakanku baru saja pergi, menginap di tempat temannya. Tapi sekarang, aku sudah merasa kesepian." ia berdiri, lalu masuk ke apartemennya.

Mr. Prentice berdiri di ambang pintu apartemennya, menunggu ketiga remaja itu. Mereka menunjukkan kamera TV serta pesawat monitornya, sambil menjelaskan kegunaannya. Mr. Prentice bergairah mendengar rencana itu. .

"Kita akan memasangnya saat petang nanti," kata Jupe, "sebelum lampu-lampu di pekarangan dinyalakan. Kalau tidak salah, sekitar setengah enam, kan?"

Mr. Prentice mengangguk.

"Lampu-lampu akan menyala secara otomatis, tidak lama setelah matahari terbenam."

Pukul lima lewat dua puluh menit, Jupe mengintip ke luar lewat pintu depan, "Cepat, Kawan-kawan, sementara tidak ada yang melihat." Disuruhnya Bob dan Pete berdiri di pinggir balkon, untuk menghalangi pandangan orang yang mungkin ada di bawah, ke arah pohon karet dalam pot yang dipajang di luar apartemen Mr. Prentice. Kemudian dengan cepat ditaruhnya kamera TV berukuran kecil itu di tempat yang sudah direncanakannya. Kaki-kaki kamera yang pendek ditancapkannya di tanah yang mengisi pot, lalu diaturnya posisi lensa sehingga mengarah ke bawah, ke pekarangan.

"Kamera itu bekerja dengan baterai," katanya sambil mengajak kedua temannya masuk lagi ke apartemen. "Gambar-gambar yang direkam hanya bisa dipancarkan sejauh beberapa meter saja. Tetapi untuk keperluan kita, itu sudah memadai."

Ditutupnya pintu apartemen, lalu diletakkannya pesawat monitor di atas sebuah rak buku. Setelah mengatur kabel-kabelnya, ia memutar sebuah tombol. Sekejap kemudian nampak layar monitor menjadi agak terang. Tapi hanya samar-samar.

"Aku tidak bisa melihat apa-apa di situ, Jupe!" keluh Pete,

"Tunggu saja dulu, sampai lampu-lampu di pekarangan menyala," kata Jupe.

Beberapa menit kemudian pada layar monitor nampak jelas pekarangan yang ada di luar gedung. Anak-anak memperhatikan dengan penuh minat, bersama Mr. Prentice. Sementara mereka masih asyik memandang, nampak Sonny Elmquist muncul dari apartemennya, menuju gang di sebelah belakang dan masuk ke situ. Kemudian pemuda itu muncul lagi dengan tas berisi cucian. Ia kembali ke apartemennya, dan langsung masuk.

Setelah itu muncul seorang wanita muda bertubuh montok dan berambut pirang. Dari arah kemunculannya, wanita itu rupanya baru saja datang lewat gerbang depan.

"Itu Miss Chalmers," kata Fenton Prentice.

Miss Chalmers baru saja hendak membuka pintu apartemennya, ketika Mrs. Bortz muncul di belakangnya. Pengurus gedung apartemen itu memegang bungkusan, yang kemudian diserahkannya pada wanita muda itu.

"Rupanya ada kiriman untuk Miss Chalmers," kata Mr, Prentice. "Mrs. Bortz selalu menandatangani tanda terima jika ada kiriman barang lewat pos, dan penerimanya kebetulan sedang tidak ada."

"Sudah pasti ia melakukannya dengan senang hati," kata Pete.

"Memang," kata Mr. Prentice. "Dengan begitu ada peluang baginya untuk tahu lebih banyak lagi mengenai para penyewa apartemen di gedung ini."

­Sementara itu Mrs. Bortz masih nampak bercakap-cakap dengan Miss Chalmers. Rupanya ia sengaja mengulur-ulur waktu, karena ingin tahu isi bungkusan yang baru saja diserahkan.

Akhirnya Miss Chalmers mengangkat bahu dengan sikap pasrah. Ia menaruh tasnya di meja dekat kolam, lalu duduk untuk membuka bungkusan.

Saat itu Alex Hassell keluar dari apartemennya. Ia berhenti, memandang ke arah Miss Chalmers.

"Kelihatannya sulit bagi para penghuni gedung ini untuk tidak dicampuri urusannya oleh orang lain, ya," kata Pete mengomentari.

Mr. Prentice mendecakkan lidah dengan jengkel.

"Mestinya Miss Chalmers jangan mau mengalah pada Mrs. Bortz, perempuan menyebalkan itu," tukasnya. "Ia terlalu baik hati! Miss Chalmers, maksudku!"

Sementara itu Miss Chalmers sudah selesai membuka kertas pembungkus kiriman yang ditujukan padanya, dan kini mengangkat tutup sebuah kotak yang ada di dalamnya. Anak-anak melihat wanita muda itu tersenyum, lalu memungut sesuatu dari dalam kotak dan memasukkannya ke dalam mulut, sementara tangannya dengan cepat menjemput benda lain dari dalam kotak itu.

"Permen," kata Jupiter.

"Perempuan itu tak perlu sering-sering berenang, jika bisa menahan diri kalau melihat permen," kata Mr. Prentice.

Pada layar monitor nampak Miss Chalmers menyodorkan kotak permen pada Mrs. Bortz, seakan-akan baru ingat untuk menawarkannya sebagai basa-basi. Tapi tahu-tahu tangannya tersentak, berpindah mencengkeram kerongkongan. Kotak yang dipegangnya jatuh ke tanah, dan permen yang ada di dalamnya bergelindingan ke luar.

Napas Pete tersentak

"Kenapa?" ,_

Miss Chalmers terhuyung bangkit dari kursi yang didudukinya. Ia terbungkuk, lalu roboh ke tanah. Ia terkapar di situ, menggeliat-geliat.

Trio Detektif lari ke pintu apartemen, lalu buru-buru membukanya. Mereka mendengar suara Mrs. Bortz berseru dengan cemas.

"Kenapa Anda, Miss Chalmers?"

"Aduh, sakit!" rintih Miss Chalmers. "Aduh, sakit sekali rasanya!"

Jupe, Pete, dan Bob lari menuruni tangga. Ketika M­r. Prentice yang menyusul tiba di pekarangan, Jupiter sudah sibuk mengendus-endus sepotong permen coklat yang terjatuh dari kotak. Miss Chalmers menangis kesakitan, sedang Mr. Murphy yang bergegas keluar dari apartemennya membungkuk untuk memperhatikan wanita muda itu.

Sonny Elmquist juga ada di situ. Pintu apartemennya terpentang lebar.

"Apa itu?" tanya Mrs. Bortz. Ditangkapnya lengan Jupe lalu diguncang-guncangkannya, sehingga coklat yang ada di tangan remaja itu remuk dan isinya yang kental melumuri telapak tangan. Jupe mendekatkan tangannya itu ke hidung, mengendus-lalu menengadah dengan cepat

­"Kita harus memanggil ambulans!" serunya cemas. "Isi permen coklat ini mengandung sesuatu yang tidak beres! Kurasa dia diracun orang!"

­Bab 11 JAGA MALAM

­SUDAH, jangan membuang-buang waktu lagi!" kata Mr. Murphy. "Kuantarkan dia dengan mobilku, Ke klinik gawat darurat!"

"Saya ikut!" kata Mrs. Bortz menawarkan diri.

"Jangan lupa membawa permen coklatnya, " kata Jupe, "supaya bisa diteliti!"

Mr. Murphy mengeluarkan mobilnya dari garasi. Pete menggotong Miss Chalmers dan membaringkannya di jok belakang. Mrs. Bortz menyelubungi tubuh wanita muda itu dengan selimut. Jupiter memungut kotak yang berisi permen coklat, lalu menyodorkannya pada Mrs. Bortz. Sesaat kemudian Mr. Murphy sudah memacu mobilnya, meninggalkan tempat itu.

"Racun!" kata Mr. Prentice. "Kasihan Miss Chalmers. Siapa yang begitu tega, meracuninya?"

"Belum tentu ia diracun orang, Mr. Prentice," kata Jupe menegaskan, "cuma sewaktu saya cium tadi, coklat itu aneh baunya."

Namun dua jam kemudian mereka memperoleh kepastian. Mr. Murphy dan Mrs. Bortz sudah kembali dari klinik, gawat darurat Rumah Sakit Pusat. Wajah mereka sangat tegang.

­"Belum pernah aku mengalami dihina seperti tadi itu!" tukas Mrs. Bortz.

"Apa yang terjadi?" tanya Mr. Prentice. Ia baru saja selesai makan malam bersama Trio Detektif, ketika terdengar bunyi mobil Mr. Murphy kembali. Mereka bergegas-gegas menyongsong ke bawah.

"Polisi-polisi itu!" kata Mrs. Bortz dengan sengit "Macam-macam saja pertanyaan mereka yang tidak enak padaku-berapa lama kotak berisi permen coklat itu ada di tanganku, misalnya. Bayangkan!"

"Mereka kan cuma ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi," kata Mr. Murphy. Suaranya terdengar letih.

"Takkan mungkin aku sampai meracuni siapa pun juga. Tak usah, ya!" tukas Mrs. Bortz. Sambil menghentak-hentakkan kaki ia pergi ke apartemennya, lalu masuk sambil membanting pintu, yang kemudian dikunci dari dalam.

"Apa sebenarnya yang terjadi tadi, Mr. Murphy?" tanya Alex Hassell, yang baru saja datang dari ruang tempat cuci.

"Ternyata permen coklat itu memang berisi racun," kata Mr. Murphy. "Saat ini sedang diteliti di laboratorium rumah sakit, untuk memastikan racun jenis apa. Isi perut Miss Chalmers dipompa keluar, dan kini ia dibaringkan di ruang khusus untuk diamati kondisinya. Polisi tentu saja langsung dihubungi, dan mereka kemudian menanyai Mrs. Bortz tentang bungkusan yang diserahkan olehnya pada Miss Chalmers. Perempuan itu selalu, saja menanggapi segala hal, seolah-olah langsung ditujukan pada dirinya pribadi. Ia bersikap seolah-olah polisi menuduhnya mengirimkan permen beracun itu pada Gwen-pada Miss Chalmers, maksudku. Padahal tidak ada yang menuduhnya begitu."

"Dengan cara bagaimana bungkusan berisi permen coklat itu dikirimkan?" tanya Jupiter.

"Lewat pos. Tidak ada yang aneh tentang soal itu."

Pintu apartemen Mrs. Bortz terbuka lagi. Wanita pengurus gedung apartemen itu rupanya sudah berhasil menenangkan perasaannya. Ia melangkah ke luar, lalu memandang ke arah kolam.

"Kurasa segala-galanya ada gunanya," kata wanita itu. "Gwen Chalmers satu-satunya di antara kita semua yang masih suka berenang dalam keadaan cuaca yang begini dingin. Sekarang ia takkan bisa berenang lagi, setidak-tidaknya selama beberapa hari. Jadi aku bisa menyuruh orang untuk menguras dan membersihkan kolam ini, selama dia masih sakit. Sebetulnya sudah lama kolam ini harus dibersihkan."

Mulut Mr. Murphy bergerak, seakan-akan hendak mengatakan sesuatu. Tapi tidak jadi. Ia hanya mengangkat bahu, menyalakan rokok, lalu masuk ke apartemennya. Ia diikuti oleh Alex Hassell, yang juga pergi meninggalkan tempat itu. Mr. Prentice memandang Mrs. Bortz dengan masam, lalu menuju ke tangga.

­"Perempuan itu benar-benar tidak punya perasaan," gerutunya pada anak-anak yang menyertainya ke atas. "Bayangkan, pada saat seperti sekarang ini, masih sempat-sempatnya dia memikirkan urusan kebersihan kolam!"

"Kira-kira siapa ya yang mungkin meracuni Miss Chalmers?" tanya Mr. Prentice sekali lagi, setengah pada dirinya sendiri, ketika mereka sudah kembali berada di dalam apartemennya.

"Seseorang yang mengenal wanita itu, atau kebiasaannya," kata Jupiter. "Orang, yang tahu begitu wanita muda itu membuka kotak permen, ia pasti akan langsung makan satu atau dua potong. Pertanyaan yang lebih mendesak ialah, apa sebabnya ada orang berniat meracuninya?"

Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaannya itu.

Jupiter duduk bersila di lantai, sambil menatap layar monitor televisi. Pekarangan di bawah yang kini sudah diterangi lampu-lampu, nampak kosong.

"Tempat tinggal Anda ini sangat menarik," kata Jupe pada Mr. Prentice. "Belum sampai tiga hari mengenal Anda, kami sudah berhasil menangkap basah seseorang yang suka secara sembunyi-sembunyi masuk kemari-yaitu Mrs. Bortz-dan dua kali saya melihat orang lain di apartemen ini yaitu bayangan itu. Anda kecurian sebuah hasil karya seni yang tidak mungkin bisa diganti, dan sebagai kelanjutannya ditelepon., orang yang menuntut agar Anda menebus benda itu. Lalu kini, salah seorang tetangga Anda keracunan."

"Jangan lupa orang yang bertugas mengurus gereja di sebelah," kata Bob mengingatkan. "Kepalanya dipukul orang. Dan Jupe dikurung di dalam gereja, karena ia memergoki hantu pastor, atau pokoknya melihat seseorang."

"Kejadian-kejadian itu begitu kebetulan semuanya," kata Jupiter. "Pasti ada pertaliannya, antara yang satu dengan yang lain. Tapi sejauh ini, hanya lokasinya saja yang merupakan satu-satunya hal yang berhubungan. Segala-galanya terjadi di dalam atau di dekat gedung ini."

"Ya, dan semuanya terjadi pada saat Sonny Elmquist ada di sekitar ini," kata Pete. "Tidak pernah pada waktu ia sedang di tempat kerjanya."

Tiba-tiba Mr. Prentice nampak cemas.

"Jangan-jangan dia bisa mendengar percakapan kita," katanya. "Jika memang betul dia bayangan itu, dia bisa saja ada di sini mendengarkan pembicaraan kita, tanpa kita ketahui."

Bob pergi memeriksa seluruh ruangan, sambil menyalakan lampu-lampu. Tapi tidak nampak bayangan mengendap-endap di mana pun juga. Sinar lampu-lampu yang menerangi ruang-ruang apartemen yang kosong, menenangkan perasaan Mr. Prentice, yang kemudian menyibukkan diri, mencuci piring-piring bekas makan malam. Sedang Trio Detektif memusatkan perhatian pada layar monitor TV.

­Selama beberapa jam selanjutnya tidak terjadi apa-apa di pekarangan bawah. Hanya sekali Mrs. Bortz muncul, membawa sampah untuk dibuang ke tong sampah di belakang. Anak-anak mulai bosan. Mereka sudah mengantuk.

Tiba-tiba Jupe tersentak.

"Lihat!" serunya dengan suara tertahan. Sonny Elmquist muncul dari apartemennya. Ia berdiri di pinggir kolam, menatap ke dalam air. Anak-anak memperhatikannya dengan penuh minat.

Kemudian pintu apartemen Mr. Murphy terbuka. Pria bertubuh gempal itu ke luar. Ia merokok sambil memegang asbak yang biasa dipakainya.

Tangannya bergerak sedikit, memberi isyarat berupa salam pada Elmquist. Kemudian ia memadamkan rokoknya, meletakkan asbak ke sebuah meja, lalu keluar lewat gerbang depan.

Beberapa saat kemudian terdengar bunyi mesin mobil dihidupkan. Pete pergi ke jendela yang menghadap ke jalan sebelah depan.

"Ia pergi dengan mobilnya," katanya melaporkan. "Ngebut!"

"Mungkin ingin jalan-jalan sebentar," kata Mr. Prentice. "Kelihatannya ia tidak tenang sewaktu kembali dari rumah sakit. Mungkin tadi tidak bisa tidur."

Sementara itu Sonny Elmquist masuk lagi ke apartemennya, lalu menarik tirai-tirai agar menutupi jendela.

Pete mengumpat dengan kesal.

­"Kita tidak bisa melihat apa yang dilakukannya di dalam," katanya.

"Pasti ia hendak bersiap-siap untuk pergi bekerja," kata Jupiter. "Ia harus sudah ada di pasar pada saat tengah malam."

Saat itu tahu-tahu semua lampu di pekarangan padam. Seketika itu pula layar monitor televisi menjadi pudar-tinggal sejalur cahaya terang yang berasal dari celah di antara tirai-tirai yang menutupi jendela apartemen Elmquist.

"Makin sialan saja!" kata Pete mencaci. "Sekarang kita sama sekali tidak bisa melihat apa-apa."

"Lampu-lampu itu nyalanya memang diatur secara otomatis," kata Mr. Prentice menjelaskan. "Pukul sebelas, semuanya padam."

"Kalau begitu tamatlah pengamatan kita lewat TV," kata Jupe, lalu memadamkan pesawat monitornya.

"Yah--dalam keadaan gelap seperti di luar saat ini, kita memang tak memerlukannya lagi," kata Pete. "Jika Elmquist hendak pergi bekerja malam ini, dan jika betul dia yang suka masuk-masuk kemari, maka itu harus dilakukannya selama satu jam mendatang ini, atau tidak sama sekali! Kalian berdua di sini saja, menemani Mr. Prentice. Aku akan ke balkon, mengamat-amati dari situ. Takkan ada yang bisa melihat aku, karena aku akan bersembunyi di belakang tanaman karet."

"Nanti kalau kau melihat sesuatu, jangan kaubunyikan bel," kata Jupe mengingatkan.

­"Kauketuk saja pintu, pelan-pelan. Kami akan langsung keluar."

"Oke." Pete mengenakan jaketnya, yang untuk berolahraga ski. Sesaat lampu-lampu di apartemen Mr. Prentice dipadamkan, untuk memberi kesempatan pada Pete menyelinap ke luar tanpa dilihat orang. Dengan cepat ia membuka pintu, lalu melangkah ke balkon. Pintu ditutup lagi, tapi sekali ini tidak dikunci. Pete tahu bahwa Jupe dan Bob menunggu di balik pintu, siap untuk keluar begitu ia membutuhkan bantuan.

­Lampu-lampu di dalam apartemen Elmquist masih menyala sebentar, tapi kemudian padam. Pete menunggu pemuda itu muncul, untuk pergi bekerja. Tapi tidak terjadi apa-apa di seberang. Pantulan remang cahaya lampu-lampu di kota menyebabkan tempat di sekitar kolam tidak sepenuhnya gelap gulita. Pete tahu, jika ada sesuatu bergerak di bawah, ia pasti akan melihatnya. Tapi tidak ada yang bergerak di situ.

Tidak lama sesudah tengah malam, ada seseorang masuk lewat gerbang depan. Pete langsung tegang. Tapi hanya sesaat. Ia tenang lagi, ketika sosok gelap itu berhenti sebentar dekat meja di pinggir kolam. Ternyata orang itu Mr. Murphy. Ia mengambil asbak yang tadi diletakkannya di situ. Makelar saham itu masuk ke apartemennya, dan sejenak kemudian sebuah lampu dinyalakan dalam ruangan yang jendela-jendelanya tertutup tirai.

Mata Pete terkejap. Selama beberapa saat-yaitu sementara Mr. Murphy mengambil asbaknya lalu membuka pintu apartemennya-perhatian Pete tidak terarah pada pintu apartemen Elmquist. Dan rupanya selama beberapa saat itulah pemuda itu keluar dari tempat kediamannya. Diterangi cahaya remang yang berasal dari celah tirai jendela apartemen Mr. Murphy, Pete bisa melihat bahwa Elmquist mengenakan mantel mandi dan selop. Pemuda itu mengitari kolam dengan langkah menyelinap, menghampiri pintu apartemen Mr. Murphy.

Mata Pete terkejap lagi. Dan... tahu-tahu Elmquist lenyap! Sekitar dua puluh meter dari pintu depan apartemennya, pemuda itu tahu-tahu menghilang!

Pete buru-buru mengetuk pintu apartemen Mr. Prentice. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung menyelinap menuruni tangga, menuju pekarangan di bawah. Maksudnya hendak mencegat di depan pintu tempat tinggal Elmquist, menunggu pemuda itu apabila kembali nanti.

Baru saja ia sampai di pelataran ubin yang mengelilingi kolam renang, tahu-tahu kakinya menginjak sesuatu. Sesuatu yang lunak-dan hidup!

Terdengar jeritan menyeramkan, jeritan makhluk yang tersiksa!

Sambil bergidik, Pete berusaha melompat ke samping. Tapi makhluk hidup yang bergerak-gerak itu menyusup di sela kedua kakinya. Pete berteriak, lalu jatuh tersungkur ke depan.

Jeritan menyeramkan itu terdengar lagi. Seperti sedang menonton film slow-motion, Pete melihat tepi kolam bergerak ke arahnya, ia melihat sesuatu mencengkeram kakinya. Ia merasakan kuku-kuku mencengkeram daging. Dan tahu-tahu ia merasakan tubuhnya terbanting ke air kolam, teriring bunyi ceburan,

Pintu apartemen Alex Hassell terbuka dengan cepat.

Lampu-lampu di pekarangan menyala serentak.

Kepala Pete timbul di permukaan air kolam. Ia megap-megap, meludahkan air yang mengandung khlor.

Makhluk yang menjerit tadi mendesis, berenang ke tepi, lalu diangkat ke luar oleh Alex Hassell. Makhluk itu ternyata kucing. Seekor kucing berbulu hitam.

"Anak kejam!" tukas Alex Hassell, memaki Pete.

Pete merangkak keluar dari dalam air. Ia menggigil, karena hawa malam itu sangat dingin.

"Mr. Prentice!"' seru Mrs. Bortz. Wanita itu muncul berselubung mantel kamar, dengan rambut digulung kecil-kecil. "Mr, Prentice! Anda harus melarang anak-anak itu, jangan sampai mereka keluyuran ke luar malam-malam begini!"

Jupiter menuruni tangga, menuju pekarangan. Tahu-tahu Sonny Elmquist sudah berdiri di ambang pintu apartemennya.

­"Saya... saya tadi tidak bisa tidur," kata Pete dengan suara pelan, mencari-cari alasan.

Kini pintu apartemen Mr. Murphy terbuka.

"Ada apa lagi sekarang?' seru makelar saham itu dengan jengkel.

"Anak kurang ajar ini menginjak seekor kucingku!" kata Alex Hassell. Kucing yang basah kuyup itu digendongnya. "Sudahlah, jangan menangis," katanya dengan lembut. "Kau ikut saja denganku, ke dalam. Nanti kau ku rawat. Jangan kauacuhkan anak jahat itu!"

"Aku tidak mau melihatmu berkeliaran di luar sini lagi!" kata Mrs. Bortz dengan marah pada Pete.

"Itu takkan terjadi lagi, Ma'am," kata Pete.

Mrs. Bortz masuk lagi ke apartemennya, lalu memadamkan lampu-lampu.

"Anda tidak dinas lagi malam ini?" tanya Jupe, sambil memandang Elmquist. Pemuda itu mengangguk.

"Apa boleh buat, malam ini pun ada lagi keributan di sini," kata Jupe.

"Aku tadi hampir... aku nyaris melihat..."

"Apa?" tanya Jupe dengan cepat.

"Tidak apa-apa." Elmquist mengusap-usap matanya. "Aku tadi bermimpi, rupanya. Ketiduran..."

Pemuda bertubuh ceking itu masuk lagi ke dalam, lalu menutup pintu apartemennya.

Pete bergegas menaiki tangga, menuju apartemen Mr. Prentice. Jupiter mengikutinya dari belakang. Prentice sudah siap di ruang duduk dengan handuk besar. Sedang Bob sibuk di kamar mandi, membuka keran-keran untuk menyiapkan air hangat.

"Dari mana datangnya Elmquist tadi?" tanya Pete dengan heran, sambil membuka jaketnya.

"Ketika aku sedang di luar tadi, aku melihatnya berjalan mengitari kolam. menuju tempat tinggal Mr. Murphy. Tahu-tahu ia lenyap. Tidak kelihatan lagi, di mana pun juga kucari dengan mataku. Karenanya aku lalu turun. Maksudku hendak mencarinya di bawah. Tahu-tahu terinjak oleh ku kucing sialan itu, lalu-"

"Ya, aku melihat saat itu," kata Jupe. "Kau tercebur ke dalam kolam. Lalu Elmquist keluar dari apartemennya."

"Tapi itu mustahil!" kata Pete dengan tegas. "Ketika aku terjatuh ke dalam kolam, ia tidak berada dalam apartemennya. Tidak mungkin ia ada di situ. Ia sedang menuju tempat tinggal Murphy, ketika tahu-tahu menghilang!"

­Bab 12 KECELAKAAN?

­SETELAH itu Bob dan Jupe silih berganti melakukan pengamatan dari atas balkon. Sampai pukul empat dinihari tidak kelihatan gerakan apa pun juga di pekarangan, yaitu sampai Mrs. Bortz keluar dari apartemennya. Ia memakai jas dari kain wol tebal. Begitu melihat Mrs. Bortz, Jupiter cepat-cepat mengendap masuk ke apartemen Mr. Prentice.

"Mrs. Bortz hendak pergi," kata Jupe melaporkan pada Mr. Prentice. Pria yang sudah berumur lanjut itu semalaman tidak masuk ke kamar tidurnya. Ia duduk bersandarkan bantal di sudut sofa. Sekali-sekali terlelap, tapi langsung terbangun lagi.

"Tentu saja," katanya menanggapi laporan Jupiter.

"Pukul empat pagi?" tanya Jupiter dengan heran.

Mr. Prentice menguap.

"Pasar kan buka dua puluh empat jam sehari," katanya mengingatkan. "Mrs. Bortz selalu berbelanja setiap hari Kamis, dan ia selalu berangkat pukul empat pagi."

Jupiter hanya bisa melongo.

"Katanya, saat ini pasar sedang sepi," kata Mr. Prentice. "Tapi menurut hematku, pada waktu seperti sekarang ini ia bisa merasa pasti bahwa takkan terjadi apa-apa di sini. Jadi ia takkan rugi, jika tidak melihat dan harus pergi. Mr. Murphy baru pukul lima nanti berangkat ke kantornya. Sedang penghuni apartemen lainnya, sekarang ini pasti masih tidur semuanya."

Bob dan Pete muncul dari ruang hobi. Sepanjang sisa malam itu mereka tidur-tiduran di situ.

"Maksud Anda, begitu besar rasa ingin tahunya, sehingga tidak berani meninggalkan tempat ini kecuali jika semua penghuni sedang tidur?" kata Pete.

"Tingkah lakunya memang aneh, malahan bisa dibilang penyakit," kata Mr. Prentice. "Mrs. Bortz itu seperti labah-labah, yang tidak bisa meninggalkan sarangnya. Satu-satunya minat perempuan itu hanya terhadap orang-orang yang tinggal di sini, yang terus-menerus diawasinya. Itulah tujuan hidupnya."

Bob pergi ke jendela yang menghadap ke jalan di depan, lalu menarik tirai ke samping. Ia mendengar bunyi mesin mobil dihidupkan. Dilihatnya sinar merah lampu belakang sebuah kendaraan menerangi lantai semen di sebelah bawah jendela. Kemudian sebuah sedan berwarna kelabu muncul lambat-lambat dari bawah gedung.

"Heran, baterainya tidak kosong, jika cuma sekali seminggu ia memakai mobilnya," kata Bob.

­"Cukup sering ia terpaksa memanggil montir dari bengkel," kata Mr. Prentice.

Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan memecah kesunyian dinihari, diiringi suara orang menjerit.

Mr, Prentice terlonjak dari sofa.

Jupiter melompat, menghampiri jendela.

Pada jarak yang belum begitu jauh, nampak sedan tadi mula-mula menyodok ke kiri, kemudian ke kanan. Asap mengepul dari bawah kap. Sekali lagi terdengar jeritan Mrs. Bortz, Sedan yang saat itu kelihatannya sudah tidak bisa dikendalikan lagi-membentur pinggir trotoar, menyebabkan kedua ban depannya pecah.

Dengan bunyi yang menyakitkan telinga, kendaraan itu menubruk sebuah pipa hidran yang terpasang di trotoar.

Mrs. Bortz menjerit lagi. Berkali-kali ia menjerit. Pipa hidran itu patah pada bagian pangkalnya, dan air menyembur ke atas dari sebelah bawah mobil.

"Panggil pemadam kebakaran!" seru Pete pada Mr. Prentice.

Bob lari ke pintu.

"Kita harus cepat-cepat menolongnya, sebelum air memenuhi mobil," katanya.

Ketika anak-anak, sampai di pekarangan, mereka melihat Mr. Murphy yang memakai mantel mandi bergegas keluar lewat gerbang depan, bersama Elmquist yang menyelubungi piyamanya dengan mantel.

­"Itu Mrs. Bortz!" seru Mr. Murphy. Pria bertubuh besar itu lari menghampiri mobil ringsek yang dibanjiri air dari pipa hidran yang patah.

Anak-anak melewati Elmquist, dan kemudian berhasil mendului Mr. Murphy. Mereka mengarungi genangan air yang dingin seperti es, lalu menggerapai di tengah-tengah semburan air dingin, berusaha mencapai pintu sedan.

Mrs. Bortz duduk seperti patung di belakang kemudi. Dengan mata menatap nanar, ia menjerit dan terus menjerit, seperti tidak bisa berhenti.

"Mrs. Bortz!" Jupiter menyentak-nyentak pegangan pintu. Ternyata dikunci dari dalam. Mr. Murphy menggedor-gedor kaca jendela di sisi yang dekat dengan wanita itu. Mrs. Bortz berpaling, menatap pria itu dengan pandangan kosong.

"Buka pintu!" teriak Mr. Murphy. "Buka penguncinya!"

Tangan wanita itu menggerayang, berusaha menarik tombol pengunci pintu. Detik berikutnya Mr. Murphy menyentakkan pintu itu, sehingga terbuka. Bersama Bob ditariknya wanita yang sudah panik itu ke luar.

Sementara itu terdengar bunyi sirene mengaung-ngaung, makin lama makin dekat. Sebuah kendaraan barisan pemadam kebakaran berhenti. Sejumlah pria bermantel hujan hitam berloncatan turun. Seorang di antaranya dengan cepat memperhatikan apa yang terjadi di situ, lalu berpaling untuk mengatakan sesuatu pada pengemudi mobil penolong itu. Pengemudi itu memasukkan persneling kendaraannya lalu melesat ke pojok jalan.

Sesaat kemudian air sudah tidak lagi menyembur dari pipa hidran yang patah. Mr. Murphy, Elmquist, Bob, dan Jupe berdiri di dekat Mrs. Bortz.

Wanita itu tidak bisa mengatakan apa-apa, karena masih terlalu kaget.

"Kenapa airnya begitu cepat berhenti menyembur?" tanya Mr. Murphy pada salah seorang petugas pemadam kebakaran.

"Di pojok jalan ini ada keran utama," jawab petugas yang ditanya. Ia memandang Mrs. Bortz. "Anda yang tadi mengemudikan mobil ini?" katanya.

Mrs. Bortz tidak menjawab.

"Sebaiknya kita bawa saja dia ke dalam," kata Mr. Murphy. "Kalau lama-lama berdiri di sini, bisa terserang radang paru-paru nanti."

Dengan susah-payah Bob dan Jupe membimbing Mrs. Bortz menaiki tangga depan, masuk ke gedung apartemen. Mr. Murphy mengambil kunci-kunci apartemen wanita itu, untuk membukakan pintu. Petugas pemadam kebakaran tadi datang ke situ, lalu berdiri di ambangnya. Seorang polisi muncul di belakangnya.

"Siapa yang menabrak pipa hidran itu tadi?" tanya polisi itu ingin tahu.

Mrs. Bortz berdiri di tengah-tengah ruang duduk apartemennya.

­"Ada orang menembakku tadi," katanya. Ia berbicara dengan mulut terkatup.

"Sebaiknya Anda ganti dulu pakaian yang basah itu, Ma'am," kata polisi itu dengan tenang. "Lalu jika perasaan Anda sudah agak lebih enak. mungkin Anda bersedia untuk menceritakannya lebih lanjut."

Mrs. Bortz mengangguk, lalu pergi ke belakang. Saat itu barulah Jupiter sadar bahwa giginya gemeletuk.

"Aku juga ingin ganti pakaian dulu," katanya pada polisi itu, yang menanggapinya dengan pertanyaan,

"Kau melihat sesuatu tadi?"

"Ya, aku melihat mobil itu berangkat dari garasi di bawah gedung ini," jawab Jupiter.

"Baiklah, kalau begitu kauganti dulu pakaianmu yang basah itu. Setelah itu kembali lagi kemari."

Petugas itu berpaling pada Bob dan Pete. "Kalian berdua juga."

Beberapa menit kemudian ketiga remaja itu sudah kembali ke apartemen Mrs. Bortz dengan pakaian kering, untuk menyampaikan laporan pada polisi tadi.

Sementara itu sebuah mobil derek tiba di jalan itu. Beberapa orang berseragam polisi dan seorang lagi berpakaian preman berkerumun di sekeliling mobil yang ringsek.

"Jika benar ada yang menembaknya, tembakan itu jelas meleset," kata polisi yang berpakaian preman.

­"Bahwa ada tembakan, itu sudah pasti," kata Jupiter. "Saya mendengar letusannya. Saat mobil yang dikendarai Mrs. Bortz mulai berjalan, terdengar bunyi tembakan,... atau bisa juga ledakan."

Mobil sedan yang miring ke samping di atas pipa hidran yang patah, diterangi lampu-lampu sorot mobil derek.

"Tidak ada lubang bekas peluru," kata polisi yang berpakaian preman sambil memeriksa.

Saat itu Jupiter melihat sesuatu di trotoar. Secarik kertas yang kelihatannya berwarna merah, basah terendam air. Ia membungkuk untuk memungut potongan kertas itu, kemudian mengamat-amatinya.

"Kepulan asap hitam," katanya.

"Apa katamu?" tanya polisi berpakaian preman, yang rupanya detektif.

"Setelah tembakan atau ledakan terdengar, ada asap mengepul keluar dari bawah kap mobil ini."

Detektif itu pergi ke bagian depan mobil Mrs. Bortz, lalu membuka kapnya.

Seorang polisi berpakaian seragam menyorotkan senternya ke arah mesin. Potongan-potongan kertas dan sesuatu yang kelihatannya seperti kain penyumbat yang terbakar berserakan di atas mesin itu. Pipa-pipa radiator hangus, sedang tali kipas putus.

"Bukan tembakan," kata detektif polisi menarik kesimpulan, "Bahan peledak. Tadi ada sejenis bom dipasang di bawah kap ini!" Dibantingnya kap sehingga tertutup kembali. "Bawa pergi!" serunya pada pengemudi mobil derek. "Bawa ke garasi kantor polisi!"

Kini detektif itu berpaling pada anak-anak.

Sementara itu Mr. Murphy sudah menggabungkan diri lagi, dan Sonny Elmquist berdiri sambil mendekam dekat tangga yang menuju ke pekarangan gedung. Alex Hassell juga keluar. Nampaknya ia mengenakan celana panjangnya. tanpa membuka piyama terlebih dulu.

"Ada yang mencelakakannya!" katanya.

"Ada yang tidak senang padanya?" tanya detektif polisi.

"Seisi gedung," kata Mr. Murphy dengan sebal "tapi tidak bisa saya bayangkan ada orang yang sampai memasang bom di dalam mobilnya."

Makelar saham itu menguap.

"Namaku Murphy," katanya pada detektif polisi. "Lengkapnya John Murphy. Aku tinggal di apartemen 1E, dan aku tadi tidak melihat apa-apa. Hanya mendengar bunyi ledakan, disusul bunyi mobil ini menabrak sesuatu. Aku langsung lari ke luar bersama anak-anak ini, lalu menolong nenek itu keluar dari mobilnya. Nah, karena kami semua tidak sempat tidur lama, hari ini aku tidak ke kantor. Aku akan tidur lagi sekarang. Jika Anda masih ingin mengajukan pertanyaan lagi padaku, silakan, tapi jangan sebelum tengah hari. Aku mau tidur dulu."

Dengan langkah berat, makelar saham itu menaiki tangga lalu masuk ke pekarangan.

Detektif polisi memperhatikan dia pergi. "Rupanya selama beberapa hari belakangan ini keadaan di blok ini benar-benar aneh," katanya mengomentari.

"Memang!" kata Pete. Dengan mata terpicing ia memandang ke arah timur, di mana sinar samar kemerah-merahan mulai menerangi langit. "Jika dalil mengenai perimbangan rata-rata memang benar, maka mestinya keadaan di sini pagi ini akan tenang. Apa lagi yang masih bisa terjadi?"

­Bab 13 KEBAKARAN!

­SEHABIS mengalami malam yang begitu menegangkan, Mr. Prentice dan ketiga remaja yang benar-benar sudah capek itu langsung tidur nyenyak. Ketika matahari sudah tinggi, Mr. Prentice bangun lalu menyajikan hidangan sarapan yang sedap untuk anak-anak. Jupe menyalakan pesawat monitor TV, tapi hanya sekali-sekali saja memandangnya sekilas. Gedung apartemen itu sepi.

"Aku harus ke bank," kata Mr. Prentice. "Sampai besok, aku sudah harus mengumpulkan sepuluh ribu dolar dalam bentuk uang kertas recehan. Aku akan senang sekali jika salah seorang dari kalian mau menemani aku ke sana."

"Tentu saja kami bersedia, Mr. Prentice," kata Jupe. "Tapi saya rasa sebaiknya Anda beri tahukan niat Anda itu kepada polisi."

"Tidak," kata Mr. Prentice. "Aku tidak berani mengambil risiko, karena Anjing Karpatia terlalu berharga bagiku, Jika pencurinya merasa dirinya terancam, ada kemungkinan patung itu akan dimusnahkan olehnya. Kita harus memenuhi tuntutannya."

Jupiter pergi ke jendela yang menghadap ke jalan. Di bawah nampak sebuah taksi berhenti.

­Pengemudinya menuruni tangga depan gedung, menjinjing sebuah kopor. Ia diikuti oleh Mrs. Bortz.

"Mrs. Bortz pergi," kata Jupiter, sementara taksi tadi berangkat.

"Ia punya saudara perempuan di Santa Monica," kata Mr. Prentice. "Ia selalu mengungsi ke sana jika sedang sakit, atau mengalami kesulitan."

"Saya rasa saat ini ia memang dalam kesulitan," kata Pete. "Ada bom yang dipasang dalam mobilnya, itu kan-"

Kalimatnya terpotong bunyi kaca pecah di luar. Bunyinya terdengar jelas, meski pintu ke balkon saat itu tertutup.

"Kebakaran!" seru seseorang di luar. "Tolong, ada kebakaran!"

Seketika itu mereka berempat yang ada di dalam apartemen Mr. Prentice memburu ke luar.

Di tingkat bawah nampak api berkobar melalap tirai jendela-jendela apartemen yang didiami John Murphy. Sonny Elmquist, dengan rambut acak-acakan dan tanpa sepatu sibuk memecah kaca jendela-jendela itu dengan kursi besi yang biasanya ada di tepi kolam.

"Ya, Tuhan!" seru Mr. Prentice, lalu cepat-cepat masuk lagi. ke apartemennya untuk menelepon pemadam kebakaran.

Pete menuruni tangga dan sudah menyambar sebuah kursi lagi, sementara Jupe dan Bob baru saja sampai di bawah.

Alex Hassell muncul dari apartemennya dengan langkah tersaruk-saruk.

­"Mr. Murphy!" teriak Pete. Disingkirkannya pecahan kaca dari kusen jendela, lalu diayun-ayunkannya tangannya untuk memadamkan api yang menjalar pada tirai-tirai.

"Ini!" Jupiter menyambar alat pemadam api yang dilihatnya dalam sebuah ceruk dekat tangga lalu lari ke arah api. Dengan segera busa menyembur keluar dari alat itu, menyelubungi api yang langsung padam dengan bunyi mendesis.

Begitu api sudah padam, anak-anak dan Elmquist buru-buru masuk lewat jendela yang sudah tidak berkaca lagi. Jupe mengarahkan alat pemadam api ke sebuah sofa yang sudah mulai terbakar di dekat jendela. Kemudian disemprotnya pula pohon Natal yang terdapat di belakang sofa itu, sebagai tindakan pengaman.

Anak-anak terbatuk-batuk. karena ruangan itu penuh asap. Mereka berseru memanggil-manggil tapi tidak terdengar suara Mr. Murphy menjawab.

Jupe dan Pete merunduk untuk menghindar dan gangguan asap, lalu bergerak maju. Mereka menjumpai Mr. Murphy tergeletak di ambang pintu antara ruang duduk dan kamar tidur.

"Kita harus cepat-cepat membawanya ke luar!" kata Pete dengan napas sesak. Dipegangnya lengan orang itu lalu tubuhnya dibalikkan sehingga mukanya menghadap ke atas. Ditepuk-tepuknya muka orang itu beberapa kali.

Tapi Mr. Murphy tetap tidak bergerak.

"Kita seret dia ke luar," kata Jupe. Dipegangnya salah satu lengan orang itu, sedang Pete memegang lengan yang satunya lagi. Bob bergegas menghampiri, lalu mengangkat kedua kaki Mr. Murphy. Di belakang mereka terdengar Sonny Elmquist tersedak dan terbatuk-batuk.

"Cepat keluar!" seru Pete memperingatkan. "Atau Anda juga ingin ikut pingsan, ya?!"

Elmquist pergi ke pintu lalu membukanya. Dengan sikap tubuh yang masih merunduk, Trio Detektif menggotong pria yang pingsan itu ke pintu, menuju tempat yang terang di mana terdapat udara segar.

Tubuh Mr. Murphy yang tidak sadarkan diri itu berat sekali rasanya, seberat batubara sekarung penuh. Tapi anak-anak berhasil dengan cepat menggotongnya sampai di luar. Buru-buru makelar saham itu mereka bawa sampai ke pinggir kolam, lalu ditelentangkan di tanah. Sinar matahari yang menyilaukan menerangi wajahnya yang pucat-pasi.

"Aduh," keluh Mr. Prentice.

Alex Hassell menatap dengan mata melotot.

"Apakah dia... apakah..."

Pete mendekatkan telinganya ke dada Mr. Murphy.

"Masih hidup," katanya singkat.

Saat itu regu pemadam kebakaran tiba dengan ambulans, dan membawa tabung zat asam.

Mereka cepat-cepat masuk ke apartemen Mr. Murphy, untuk memadamkan sisa-sisa api yang masih menjalar di tirai dan bantalan sofa.

­Pemimpin regu pemadam kebakaran tiba beberapa menit kemudian, dan langsung menggabungkan diri dengan anak buahnya yang masih sibuk di dalam apartemen,

Salah seorang petugas ambulans melepaskan topeng zat asam yang tadi dipasang di wajah Mr. Murphy ketika makelar saham nampak tersentak menarik napas. Mr. Murphy membuka matanya lalu tangannya bergerak untuk menyingkirkan topeng tadi.

"Nasib Anda masih mujur," kata pengemudi ambulans padanya. "Tadi terlalu banyak asap yang masuk ke dalam paru-paru Anda. Cuma itu saja."

Mr. Murphy berusaha duduk.

"Tenang-tenang sajalah dulu," kata petugas ambulans. "Anda akan kami bawa ke klinik gawat darurat."

Mr. Murphy kelihatannya hendak menolak. Tapi saat itu ia ambruk lagi ke ubin pekarangan.

"Bawa usungan kemari, George," kata pengemudi ambulans pada rekannya.

John Murphy diam saja. Dibiarkannya dirinya diangkat, lalu ditaruh di atas usungan. Kedua petugas ambulans tadi menyelubungi tubuhnya dengan sehelai selimut berwarna kelabu, lalu hendak membawanya pergi.

"Tidakkah sebaiknya ada yang ikut menemani dia?" tanya Alex Hassell.

"Keponakanku," kata Mr. Murphy dengan suara lemah. "Aku akan meminta keponakanku datang."

­Sesaat kemudian mobil ambulans berangkat dengan sirene meraung-raung.

Kepala regu pemadam kebakaran muncul di ambang pintu apartemen Mr. Murphy.

"Kejadian biasa," katanya, sambil menyodorkan sebatang rokok yang tinggal setengah, Rokok itu basah kena busa yang disemprotkan dari alat pemadam api. "Tertidur ketika sedang merokok. Rokoknya jatuh ke sofa, yang kemudian terbakar karenanya. Api dari sofa menjalar ke tirai-tirai, lalu...,"

"Untung aku melihatnya." Sonny Elmquist masih tetap belum bersepatu. Wajahnya pucat sekali.

"Untung bagi orang tadi. Ia bisa tewas jika Anda tidak lekas melihatnya. Pohon Natal yang di dalam itu pohon sungguhan. Jika tersambar api, dengan sekejap mata seluruh ruangan akan ikut terbakar."

"Ia tidur dengan rokok yang masih menyala?" tanya Jupiter.

"Itu sering terjadi, Nak," kata kepala regu pemadam kebakaran.

"Tapi orang itu memiliki asbak khusus," kata Jupe. "Menurut dia, asbak itu hebat-rokok bisa dibiarkan di dalamnya dengan aman. Tidak mungkin jatuh."

"Apa pun bisa terjadi apabila seseorang yang mengantuk menyalakan rokok," kata kepala regu pemadam kebakaran.

"Dan Mr. Murphy tadi memang mengantuk sekali," kata Mr. Prentice mengetengahkan kenyataan itu. "Katanya, ia hendak tidur terus sampai tengah hari. Rupanya ia kemudian merebahkan diri ke sofa, lalu langsung tertidur."

"Tapi kami menjumpainya terkapar di lantai, di ambang pintu kamar tidur. Jika benar ia tadi tidur di sofa, apa sebabnya ia tidak membuka pintu saja, lalu keluar?" tanya Jupiter.

"Rupanya ia bingung, karena begitu banyak asap di dalam," kata petugas pemadam kebakaran itu dengan sabar. "Orang memang gampang sekali bingung, dalam keadaan seperti itu. Karena sudah diselubungi asap, ia tidak tahu lagi jalan keluar."

Jupiter serta yang lain-lainnya meninggalkan para petugas pemadam kebakaran yang sibuk membongkar sofa untuk memastikan bahwa tidak ada lagi api yang masih tersisa di dalamnya.

"Repot juga nanti membereskan apartemen ini," kata Alex Hassell mengomentari.

"Mrs. Bortz pasti marah-marah apabila melihatnya." Sonny Elmquist mengatakannya dengan air muka yang nampak senang. "Eh, mana Mrs. Bortz?"

"Baru saja pergi, naik taksi," kata Bob.

"Ke mana Mr. Murphy dibawa ambulans itu?" tanya Jupe pada kepala regu pemadam kebakaran.

"Ke tempat penerimaan pasien, di Rumah Sakit Pusat itu rumah sakit yang menangani kasus-kasus darurat di daerah ini. Jika yang bertugas di sana memutuskan bahwa ia belum bisa disuruh pulang, ia akan tetap di sana-atau dipindahkan ke rumah sakit lain, jika itu diminta olehnya."

­Jupiter mengangguk.

"Rumah Sakit Pusat," katanya mengulangi.

"Miss Chalmers juga dirawat di situ. Tapi... apa sebabnya Mr. Murphy samp3i harus dibawa ke sana?"

"Itu kan tempat klinik untuk kasus-kasus darurat," kata petugas pemadam kebakaran tadi menjelaskan.

"Bukan itu maksud saya," kata Jupe. "Mr. Murphy selalu berhati-hati dengan rokoknya. Tidak semestinya ia sampai menyebabkan kebakaran. Inilah yang tidak bisa kumengerti!"

­Bab 14 BADAN HALUS YANG GENTAYANGAN

"BANGUNAN ini membawa sial," kata Alex Hassell ketika regu pemadam kebakaran sudah pergi lagi.

"Mula-mula Gwen Chalmers, setelah itu Mrs. Bortz, dan sekarang Murphy!"

"Segala-galanya bermula dengan peristiwa pencurian itu," kata Mr. Prentice. Ia mengatakannya tanpa memandang ke arah Sonny Elmquist yang berbaring di kursi malas, dengan mata terpicing untuk menahan sinar matahari yang menyilaukan. "Keadaan di sini cukup tenteram sampai tiga malam yang lalu, ketika maling itu lari lewat pekarangan sini. Sejak itu segala-galanya kacau-balau!"

Jupiter mengangguk

"Ada satu kesimpulan yang jelas," katanya "Anjing Karpatia ada di sini! Dan besar kemungkinan orang yang mencurinya juga ada di sini!"

"Kau ini bicara tentang apa, Anak muda?" tukas Mr. Hassell. "Di sini sama sekali tidak ada anjing, baik anjing curian atau bukan. Kucing-kucingku pasti tahu, jika ada anjing di sinH"

"Anjing itu berujud sebuah patung, terbuat dari kristal," kata Fenton Prentice menjelaskan. "Anjing itu dibuatkan untukku oleh Edward Niedland, dan aku meminjamkannya pada seniman itu untuk keperluan pamerannya di Galeri Maller. Lalu Senin malam dicuri dari tempat tinggal mendiang Edward."

Alex Hassell terbahak mendengar keterangan itu.

"Jadi itu rupanya yang dimaksudkan oleh Mrs. Bortz! Ia mengatakan padaku bahwa Anda akan mendapat anjing, dan karenanya aku sebaiknya berjaga-jaga demi kucing-kucingku. Anjing dari kaca! Hahh!"

Prentice mendesah.

"Perempuan itu membaca surat-surat pribadiku. Aku yakin, ia pasti menyangka aku akan mendapat anjing sungguhan. Lalu ia mengoceh tentang anjing itu pada setiap orang di gedung ini--dan kemudian seseorang mencuri patung anjingku!"

"Orang itu bukan aku!" ujar Mr. Hassell ketus.

"Kecuali itu, aku tidak mau tinggal di sini selama ada yang suka meracuni orang lain dan meledakkan mobil. Aku mau pindah ke rumah penginapan!"

Ia bergegas masuk ke apartemennya. Tidak lama kemudian ia keluar lagi dengan menjinjing kopor dan kandang tempat membawa binatang peliharaan.

"Pukul lima nanti aku akan kembali sebentar, untuk memberi makan kucing-kucingku," katanya.

"Tabitha tentu saja kubawa. Jika ada yang perlu menghubungi, aku menginap di Ramona Inn, sampai keadaan di sini sudah normal kembali."

Ia menatap Mr. Prentice sambil melotot. "Anda boleh saja menggeledah tempat tinggalku,", katanya, "tapi minta dulu surat izin dan kepolisian. Kalau tidak, awas!"

Ia berjalan ke luar dengan langkah-langkah kaku. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi mobil berangkat di luar.

"Jika Anda merasa perlu, apartemenku juga boleh diperiksa," kata Sonny Elmquist. "Tengah hari nanti aku harus berangkat ke tempat kerja, tapi sebelum itu cukup banyak waktu. Untuk itu Anda tidak perlu membawa surat izin."

"Tengah hari?" kata Bob. "Kusangka Anda bekerja malam hari."

"Hari ini aku mengambil giliran kerja siang," kata Elmquist. "Salah seorang rekan tidak masuk, karena sakit."

"Aku yakin, Anjing Karpatia tidak ada di apartemen Anda," kata Jupiter dengan suara pelan. "Patung itu tidak ada di apartemen yang mana pun juga di gedung ini."

Sonny Elmquist kelihatan agak kecewa. Ia mengangkat bahu, lalu kembali ke tempat tinggalnya.

"Dari mana kau bisa tahu pasti?" tanya Mr. Prentice.

"Alasannya sederhana saja, karena Mrs. Bortz suka sekali mengintip-intip, untuk mengetahui urusan orang lain," kata Jupiter menjelaskan, "dan kebiasaannya itu dilakukannya di sini. Semua orang mengetahuinya. Selama ini ia tidak pernah pergi dari sini. Baru sekarang ia tidak ada. Ia memiliki kunci maling, dan dengannya setiap apartemen bisa dimasuki. Jika saya mencuri Anjing Karpatia dan saya tinggal di gedung ini, patung itu takkan saya sembunyikan di apartemen saya."

"Betul! Yah, kurasa pendapatmu itu benar."

"Tapi itu tidak berarti patung anjing itu tidak ada di dekat-dekat sini. Kalau bukan begitu kenyataannya, apa sebabnya ada seseorang yang begitu bernafsu, ingin menyingkirkan sebanyak mungkin penghuni gedung ini dari sini? Kemarin Miss Chalmers diracuni. Hari ini Mrs. Bortz nyaris celaka, karena ada bom dipasang dalam mobilnya. Lalu terjadi kebakaran di apartemen Mr. Murphy. Saya agak heran, tentang kejadian itu. Saya perlu bicara dengan Mr. Murphy, jika keadaannya sudah mendingan, mungkin ada sesuatu yang bisa diingatnya. "

Kening Bob berkerut.

"Menurut dugaanmu, kebakaran itu terjadi karena disengaja?" katanya.

"Kemungkinan itu ada."

"He, jangan-jangan Sonny Elmquist pelakunya! Begitu lekas ia tiba di apartemen itu. Barangkali mula-mula ia masuk dengan menembus dinding untuk menimbulkan kebakaran, lalu setelah itu baru ia berlagak menyelamatkan Mr. Murphy, sebelum kobaran api tidak bisa diatasi lagi!"

"Teori segila itu, bagaimana membuktikan benar tidaknya?" tanya Pete.

­"Mula-mula," kata Bob dengan mantap, "aku akan menghubungi DR. Barrister." Orang yang disebutnya itu seorang profesor antropologi di Universitas Ruxton, tidak jauh dari situ. Ilmuwan itu sebelumnya sudah pernah memberi bantuan pada Trio Detektif, dengan pengetahuannya tentang perdukunan dan ilmu gaib. "Mungkin saja bukan Elmquist yang menyebabkan kebakaran itu, tapi yang jelas kelihatannya ia memiliki kemampuan gaib, bisa menembus dinding. DR. Barrister mungkin bisa memberi penjelasan mengenai hal itu."

"Kalau aku, mendingan berurusan dengan alam kehidupan yang biasa-biasa saja. Dunia nyata!" kata Pete. "Aku akan membuntuti Elmquist, apabila ia pergi ke tempat kerjanya nanti. Katanya ia akan pergi ke pasar, tapi itu katanya. Belum tentu benar! Di samping itu nanti aku juga bisa memeriksa, apakah Mr. Hassell benar-benar pindah ke tempat penginapan yang disebutkannya tadi."

­"Dan aku," kata Jupiter, "aku akan ke rumah sakit. Aku memerlukan beberapa keterangan dari Miss Chalmers, dan juga dari Mr. Murphy."

Mr. Prentice kelihatan kaget mendengar niat Trio Detektif.

"Nanti dulu! Kan sudah kukatakan tadi, aku berniat pergi ke bank dengan ditemani salah seorang dari kalian. Aku tidak ingin seorang diri membawa uang tebusan itu."

"Memang sebaiknya jangan, dan Anda juga tidak boleh tinggal seorang diri saja di sini," kata Jupe,

"Anda punya kawan yang bisa menemani?"

"Ya, tentu saja ada! Charles Niedland!"

Dengan segera ia menelepon orang itu, yang langsung berjanji akan segera datang ke Paseo Place.

Setelah menelepon DR. Barrister, Bob buru-buru berangkat dengan taksi. Dua puluh menit kemudian ia sudah berada di ruang kantor guru besar itu di Universitas Ruxton. DR. Barrister yang biasanya selalu lemah lembut itu, kini kelihatan bergairah.

"Ada apa lagi sekarang?" katanya. "Kasus gaib apa lagi yang ditemukan Trio Detektif?"

Bob bercerita tentang bayangan misterius, yang suka muncul di apartemen Mr. Prentice.

"Hmmm!" kata DR. Barrister menanggapi. "Rasanya itu bukan termasuk bidangku. Keahlianku adalah tentang kepercayaan dan adat kebiasaan tradisional suku-suku Maori, tentang praktek perdukunan di Karibia, serta kawasan-kawasan lainnya. Sedang yang kauceritakan itu kelihatannya merupakan peristiwa yang seratus persen tergolong ilmu gaib. Aku percaya pada banyak hal yang bagi orang lain dianggap mustahil, tapi aku tidak percaya hantu itu ada. Walau begitu-" wajah DR. Barrister nampak cerah kembali, "aku punya rekan yang pikirannya terbuka mengenai hal-hal seperti itu."

­Bob tertawa gembira.

­"Sudah saya sangka, Anda pasti akan bisa menolong kami."

"Dengan senang hati aku melakukannya," jawab DR. Barrister. "Yuk, kukenalkan kau pada Profesor Lantine. Dia itu ketua Departemen Parapsikologi di Universitas Ruxton. Separuh tenaga pengajar di sini menganggap wanita itu sinting, sedang yang separuh lagi cemas, jangan-jangan pikiran mereka bisa dibaca olehnya. Kau pasti senang berkenalan dengan dia."

Profesor Lantine, yang mereka jumpai di sebuah bangunan kecil dari batu bata di belakang ruang olahraga, ternyata berumur sekitar empat puluhan, wajahnya enak dilihat. Ketika Bob diantar DR. Barrister masuk ke kantornya itu, ia sedang membaca surat-surat. Dengan senyuman lebar dipandangnya DR. Barrister, sambil melambaikan selembar kertas.

­"Ini ada surat dari seorang pria di Dubuque, yang mengatakan bahwa ia sering didatangi hantu saudara perempuannya-padahal ia sama sekali tidak punya saudara perempuan."

"Macam-macam saja surat yang Anda terima, Eugenia," kata DR. Barrister. Dihampirinya meja kerja Profesor Lantine, lalu duduk di depan sarjana itu. Dengan isyarat tangan disuruhnya Bob duduk.

"Remaja ini bernama Bob Andrews," kata DR. Barrister memperkenalkan. "Anggota sebuah badan penyelidik swasta, dan dia punya cerita yang kurasa akan menarik minat Anda."

­"Penyelidik swasta? Detektif, begitu?" kata Profesor Lantine. Matanya memancarkan sinar jenaka. "Apakah kau tidak agak terlalu muda untuk itu?" u.

"Ada untungnya berusia muda," kata DR. Barrister mengomentari. "Orang muda masih memiliki banyak energi, rasa ingin tahu, dan belum begitu dibebani purbasangka. Bob, coba kau cerita kan saja kasus kalian yang sekarang pada Profesor Lantine."

Sekali lagi Bob bercerita tentang kejadian-kejadian di apartemen Mr. Prentice. Kini ditambah dengan pengalaman Jupe yang memergoki "hantu" pastor yang tahu-tahu lenyap di dalam gereja di sebelah apartemen itu.

"Ya, ya," kata Profesor Lantine.

"Anda pernah mendengar tentang hantu pastor itu?" tanya Bob.

"Pastor yang sekarang pernah menghubungi aku beberapa waktu yang lalu, tentang hal itu," kata Profesor Lantine. "Aku sering diminta meneliti kejadian-kejadian seperti itu, Father McGovern sendiri belum pernah melihat hantu itu, tapi wanita yang mengurus rumah tangganya sampai setengah mati gugupnya karena hal itu. Orang yang dilihat temanmu di dalam gereja-pria kurus berambut putih dan mengenakan pakaian pastor cocok sekali dengan keterangan tentang mendiang pastor yang lama. Orangnya kurus, sedang rambutnya sudah putih semua. Fotonya terpasang di ruang duduk rumah pastor. Tapi sewaktu menanyai pengurus rumah tangga itu, aku menjumpai satu fakta yang menarik. Wanita itu berasal dari sebuah kota kecil di Irlandia, yaitu dan Dungalway. Gereja di kota kecil itu termasyhur karena kata orang di situ ada hantu seorang pastor yang hilang di laut. Aku sempat berjaga selama beberapa malam di dalam gereja St. Jude, tapi aku tidak melihat apa-apa. Aku juga sudah berbicara dengan berbagai orang, penghuni rumah-rumah di sepanjang Paseo Place. Walau lumayan juga banyaknya orang yang tergolong sudah berumur percaya bahwa hantu pastor itu ada, tapi tak seorang pun di antara mereka pernah melihatnya. Kurasa hantu itu hanya ada dalam pikiran Mrs. O'Reilly saja. Tanpa menyadarinya, wanita itu menciptakannya berdasarkan dongeng-dongeng, yang dulu pernah didengarnya, sewaktu masih anak-anak. Tapi bayangan misterius yang muncul dalam apartemen, itu soal lain lagi." Kepala Profesor Lantine maju ke depan. "Kau tadi mengatakan, orang itu muncul di dalam apartemen Mr. Prentice, sementara kalian mengetahui-sejauh itu bisa diketahui-saat itu ia sedang tidur nyenyak di dalam apartemennya sendiri?"

"Betul," kata Bob mengiakan,

Profesor Lantine tersenyum.

"Asyik!" ujarnya dengan gembira. "Rupanya badan halus orang itu suka mengembara."

"Ya, kelihatannya memang begitulah," kata Bob sependapat. "Tapi bagi Mr. Prentice, itu sama sekali tidak asyik. Bagaimana hal itu bisa dilakukan oleh Elmquist?"

Profesor Lantine mendatangi sebuah lemari arsip, lalu mengeluarkan beberapa map dari situ.

"Jika badan halusnya benar-benar bisa mengembara," katanya, "badan halus itu keluar dari tubuh kasarnya saat ia sedang tidur, lalu badan halus itu gentayangan ke mana-mana."

Mendengar penjelasan itu, Bob melongo.

Profesor Lantine duduk lagi, lalu membuka salah satu map yang tadi diambil.

"Kami tidak banyak memiliki kasus yang sudah diteliti sesuai dengan persyaratan laboratorium," katanya. "Orang-orang yang melakukan hal-hal seperti itu jarang yang mau datang ke laboratorium. Mereka tidak mau menceritakannya pada orang lain. Kalau tidak menganggap diri mereka sendiri mulai sinting, mereka berpendapat bahwa mereka memiliki kemampuan gaib. Tapi baru saja tahun lalu ada seseorang datang ke laboratorium kami. Ia ibu rumah tangga yang biasa-biasa saja. Tinggalnya di Montrose. Namanya tidak bisa kusebutkan, karena itu harus dirahasiakan."

Bob mengangguk.

"Ia mengatakan bahwa sudah sejak beberapa waktu tidak bisa tenang," kata Profesor Lantine lagi. "Ia sering mimpi nyata."

DR. Barrister menggerakkan kepalanya ke depan.

"Maksud Anda, hal-hal yang dimimpikannya kemudian benar-benar terjadi?"

­"Bukan begitu. Ini salah satu contoh: ia mimpi menghadiri perayaan ulang tahun di rumah ibunya yang tinggal di Akron. Segala-galanya terlihat jelas olehnya. Ibunya yang berulang tahun, dan kedua saudara perempuannya juga ada di situ. Dilihatnya lapisan kue ulang tahun berwarna putih, dengan huruf-huruf merah muda serta sebatang lilin. Keesokan paginya ia menceritakan seluruh mimpinya itu pada suaminya. Si suami tidak begitu peduli, sampai wanita itu menerima surat dari saudara-saudaranya. Dalam surat itu disertakan sebuah foto dari perayaan ulang tahun ibu mereka.

"Apa yang nampak dalam foto itu persis sekali dengan yang dilihatnya dalam mimpi. Para anggota keluarga memakai pakaian yang persis seperti yang dilihatnya, dan kue ulang tahun ternyata memang berlapis putih dengan huruf-huruf merah jambu, dengan sebatang lilin di tengah-tengah. Suami wanita itu kaget setengah mati, lalu mendesaknya agar mendatangi kami.

"Pada kami, wanita itu berterus terang. Katanya kejadian seperti itu lumayan sering dialami olehnya. Hal itu menyebabkan perasaannya tidak enak, dan ia berusaha untuk tidak mengacuhkannya. Tapi pada saat bermimpi, ia sering melihat hal-hal yang terjadi di tempat yang mestinya jauh sekali, dan ia sama sekali tidak tahu-menahu tentang apa sebetulnya yang sedang terjadi. Lalu kemudian ternyata bahwa apa yang dilihatnya dalam mimpi itu memang benar-benar terjadi."

­"Anda tadi mengatakan, itu Anda uji dalam kondisi laboratorium," kata Bob.

"Betul. Kami berhasil membujuknya untuk tinggal selama beberapa hari di sini, di universitas. Ia tidur di sebuah kamar di laboratorium, di mana kami bisa mengamat-amati dia lewat jendela dengan kaca yang tembus pandang hanya dari satu sisi saja. Jadi sementara kami bisa melihatnya, ia sendiri tidak bisa melihat kami. Ia tahu, di rak yang terdapat di atas tempat tidurnya-letaknya tinggi, sehingga tidak bisa diraih olehnya-ada secarik kertas dengan sebuah nomor tertulis di atasnya. Nomor itu terdiri dari sepuluh angka, dan tidak seorang pun dari kami tahu bagaimana wujud nomor itu. Seorang sekretaris kami pinjam dari kantor lain, untuk mengetik sepuluh angka secara acak. Tanpa melihat lagi hasil ketikannya, sekretaris itu kemudian melipat kertas tersebut,lalu memasukkannya ke dalam sebuah sampul.

"Setelah malam pertama menginap di laboratorium, ibu rumah tangga dari Montrose itu ketika ditanya ternyata tidak dapat menyebutkan nomor tersebut. Tapi ia bisa mengatakan wujud sampulnya, yang disegel dengan lilin biru. Padahal sepanjang malam ia tidak pernah meninggalkan tempat tidur.

"Setelah itu kami meminta salah seorang pesuruh membuka sampul itu, mengeluarkan kertas yang ada di dalamnya tanpa melihat apa yang tertulis di situ, lalu meletakkan kertas itu dengan posisi terbalik di atas rak. Malam
berikutnya, wanita itu tidur lagi di bawah rak tersebut. Dan keesokan paginya, ia sudah mengetahui nomor yang tertulis. Kami mengambil kertas itu lalu meneliti angka-angka yang diketikkan di situ. Ternyata wanita itu benar!"

"Dan Anda sepanjang malam mengamati terus?" tanya Bob. "Ia tidak pernah bangun, dan berusaha meraih kertas yang ada di atas rak?"

"Berdasarkan apa yang kami lihat sepanjang malam, sedikit pun ia tidak bergerak selama tidur Tapi dengan salah satu cara, pikirannya meninggalkan badannya dan membaca nomor tadi. Atau menurut istilah kami, tubuh halusnya meninggalkan badan kasar."

Bob berpikir-pikir sejenak. "Tapi itu belum membuktikan apa-apa," katanya kemudian.

"Itu bisa dijadikan bukti, bagaimana orang yang memasuki apartemen klien kalian bisa mengetahui bahwa klien kalian memiliki sebuah mandala," kata DR. Barrister.

"Tapi tak seorang pun melihat wanita itu bergerak," kata Bob. "Sedang klien kami benar-benar melihat Sonny Elmquist, atau bisa juga seseorang yang mirip sekali dengan dia, berada dalam apartemennya."

"Dan itu selalu terjadi saat Elmquist sedang tidur?" kata Profesor Lantine.

"Ya, begitulah, sepanjang pengetahuan kami."

"Memang aneh, tapi bukan tidak pernah terjadi," kata sarjana wanita itu. "Ini ada satu kasus lagi, yang agak lain." Ia membuka map berikut. "Ini seorang pria, tinggalnya di Orange. Sepanjang hidupnya ia suka bermimpi yang aneh-aneh. Ia mimpi berada di berbagai tempat dan melihat berbagai peristiwa, yang kemudian ternyata memang benar-benar terjadi. Tapi berlainan halnya dengan kasus wanita dari Montrose tadi, ia-atau tubuh halusnya-dilihat orang di tempat-tempat yang didatangi selama bermimpi!

"Pria dari Orange ini punya teman di Hollywood-kita bilang saja, namanya Jones. Pada suatu malam Jones ini sedang duduk-duduk sambil membaca buku di rumahnya. Tiba-tiba anjing menggonggong-gonggong. Jones mengira, pasti ada orang berkeliaran dalam pekarangannya. Ia pergi memeriksa. Di serambi depan dilihatnya ada orang, yaitu temannya yang tinggal di Orange tadi. Begitu jelas Jones melihat orang itu, sehingga ia menyapanya. Tapi orang dari Orange itu tidak menjawab. Temannya itu membalikkan tubuh, lalu menaiki tangga ke tingkat atas. Dengan segera Jones menyusulnya. Sesampainya di atas, ternyata tidak ada siapa-siapa di situ.

"Jones begitu bingung mengalami kejadian itu, sehingga dengan segera ia menelepon temannya di Orange. Ternyata selama itu temannya sedang tidur nyenyak, dan katanya mimpi berada di rumah Jones, melihat Jones sedang membaca, lalu mendatanginya di serambi depan. Dalam mimpinya, pria dari Orange itu merasa dirinya terancam ketika disapa oleh Jones. Ia lari ke tingkat atas, lalu bersembunyi dalam sebuah lemari di situ. Mimpinya berakhir ketika telepon berdering."

"Bukan main!" kata Bob terkesan.

"Ya," kata Profesor Lantine. "Memang sangat mengesankan-dan sekaligus juga menyeramkan. Menakutkan bagi orang-orang yang memiliki kemampuan begitu, tapi juga menakutkan bagi orang lain yang melihat mereka gentayangan."

"Mr. Prentice memang sangat ngeri ketika melihat Sonny Elmquist," kata Bob. "Tapi dari mana kita bisa tahu dengan pasti, ia betul-betul memiliki kemampuan seperti itu?"

"Itu tidak bisa dipastikan," kata Profesor Lantine. "Ada kemungkinan pemuda itu bersedia datang kemari, untuk menjalani eksperimen di bawah pengamatan kami. Eksperimen-eksperimen begitu bisa membuktikan bahwa ia memiliki kemampuan aneh itu. Tapi bisa juga tidak membuktikan apa-apa."

"Begitu, ya," kata Bob sambil mengangguk. "Dan sementara itu, Mr. Prentice sama sekali tak bisa apa-apa? Maksud saya, mencegah Elmquist--atau badan halusnya-masuk dengan seenaknya saja?"

"Jika pemuda itu benar-benar memiliki kemampuan itu, tidak-Mr. Prentice tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Tapi klien kalian itu tidak perlu merasa khawatir. Orang-orang yang berkemampuan demikian, sebenarnya tidak berbahaya. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa melihat saja, secara pasif."

­"Maksud Anda, mereka tidak bisa memegang apa pun juga?"

"Setidak-tidaknya, pada saat-saat seperti itu kelihatannya mereka tidak bisa mempengaruhi keadaan lingkungan secara jasmani," kata Profesor Lantine menjelaskan. "Ibu rumah tangga dari Montrose itu misalnya, ia tidak bisa membaca nomor pada kertas yang dimasukkan ke dalam sampul yang disegel. Ketika kertas dikeluarkan dari sampul, barulah ia bisa membacanya."

"Jadi jika Elmquist tergolong orang berkemampuan begitu, ia tidak bisa berbuat apa-apa saat badan halusnya sedang gentayangan, " kata Bob menarik kesimpulan.

"Ya, begitulah, sepanjang pengetahuan kami sampai sekarang."

"Sonny Elmquist ingin berkelana ke India," kata Bob. "Katanya, ia ingin berguru di sana."

Profesor Lantine mengangguk.

"Memang, banyak sekali orang yang beranggapan bahwa tokoh-tokoh mistik di India memiliki pengetahuan rahasia yang tidak bisa diketahui orang Barat," kata ahli parapsikologi itu. "Tapi itu kusangsikan. Walau begitu, jika Elmquist benar-benar bisa mengembara dalam tidur, mungkin ia berpendapat akan bisa tahu lebih banyak mengenai hal itu di India."

"Yah-jadi begitulah urusannya. Ya... soal bayangan di apartemen Mr. Prentice," kata Bob. "Sekarang bagaimana dengan hantu pastor itu? Bagaimana?" ­

Profesor Lantine menanggapi pertanyaan sambil mengangkat bahu.

"Sejauh ini aku belum memperoleh satu bukti pun bahwa hantu pastor itu ada, kecuali dalam pikiran Mrs. O'Reilly, pengurus rumah tangga pastor gereja St. Jude yang sekarang. Mungkin temanmu benar-benar melihat hantu pastor itu dalam gereja. tapi mungkin pula tidak. Selama aku belum pernah melihat hantu, padahal sudah bertahun-tahun kerjaku hanya berburu hantu. Mungkin saja hantu memang ada. Siapa tahu?"

­Bab 15 PARA KORBAN

­KETIKA Bob Andrews sudah berangkat ke Universitas Ruxton, Jupiter menelepon Rumah Sakit Pusat. Dari petugas yang menerima teleponnya ia mendapat keterangan bahwa John Murphy, setelah memperoleh perawatan karena paru-parunya terlalu banyak kemasukan asap, kemudian dipindahkan ke sebuah-rumah sakit swasta, ke Belvedere Clinic. Dokter pribadinya merupakan anggota staf rumah sakit itu. Sedang Gwen Chalmers masih ada di Rumah Sakit Pusat.

Jupiter memutuskan untuk mendatangi wanita itu dulu.

Miss Chalmers ternyata berbaring di sebuah kamar yang hanya berisi satu tempat tidur. Wanita muda itu dijumpai Jupe sedang duduk di pembaringannya, sambil menatap sedih ke luar jendela.

"Hai," ujarnya menyapa, ketika melihat Jupe muncul di ambang pintu. "Kau kawan Mr. Prentice, kan?"

"Betul," jawab Jupiter. "Bagaimana keadaan Anda sekarang?"

"Lumayan, jika diingat bahwa ada orang yang berusaha membunuhku," katanya. "Dan saat ini ­aku kelaparan. Selama ini aku cuma diberi agar-agar dan susu saja." Dengan kesal disepaknya seprai penutup tempat tidur. "Jangan mau diracuni," katanya pada Jupe.

"Sedapat mungkin, memang lebih baik jangan," kata Jupe. Diperhatikannya wanita muda itu. Walau nampak risau, wajah Miss Chalmers tidak membayangkan watak orang yang sulit. Di pinggir-pinggir mulutnya nampak kerutan yang mengarah ke atas, menandakan bahwa ia suka tertawa.

"Racun apa yang hampir mencelakakan Anda?" tanya Jupiter. "Tahukah Anda?"

"Sejenis bahan kimia biasa," kata Miss Chalmers. Nada suaranya getir. "Polisi menyebutkan namanya, tapi aku tidak ingat lagi apa persisnya. Yang jelas bukan arsenikum atau strikhnin-itu, jenis-jenis racun yang biasanya dipakai untuk membunuh, dalam kisah-kisah detektif."

"Untung Anda selamat!" kata Jupiter. "Jika yang Anda makan waktu itu strikhnin, Anda takkan ada di sini sekarang!"

"Ya, aku juga tahu! Mestinya aku mengucap syukur, bahan kimia itu cuma membuat aku muntah-muntah. Mendapat hadiah permen coklat yang diberi racun saja sudah cukup dramatis." Ia tertawa.

"Bagaimana, ada jejak yang berhasil dilacak pihak kepolisian?"

"Kata mereka, racun tidak mungkin bisa dilacak jejaknya," jawab Miss Chalmers. "Sedang permen coklatnya, merek yang kuterima itu bisa dibeli di mana saja."

Pandangannya beralih ke tanaman dalam pot yang terletak di meja kecil di samping pembaringannya.

"Hadiah?" tanya Jupe.

Miss Chalmers mengangguk.

"Kiriman kawan-kawan di kantor," katanya. "Tadi pagi aku menelepon ke sana, dan tidak lama kemudian tanaman itu sudah ada di sini. Senang juga rasanya."

"Anda suka bergaul, ya?" kata Jupe mengomentari.

Miss Chalmers tertawa.

"Persis polisi, pertanyaanmu itu! Hampir sepanjang pagi mereka sibuk menanyai aku, ingin tahu apakah aku punya musuh. Pertanyaan konyol! Orang seperti aku, mana punya musuh?"

"Saya percaya," kata Jupiter. "Mr. Prentice tentu akan merasa lega jika nanti mendengar bahwa Anda tidak apa-apa."

"Orang itu baik," kata wanita muda itu. "Aku suka padanya. Aku ikut senang mendengar bahwa ia akan mendapat anjing."

Sikap Jupiter langsung berubah.

"Anjing Karpatia?" katanya, meminta penegasan.

"Betul! Katanya..."

"Ia bercerita pada Anda, bahwa ia akan mendapat Anjing Karpatia?"

­Kening Miss Chalmers Jerkerut, seperti sedang berusaha mengingat.

"Tidak, setelah ku ingat-ingat, ia tidak mengatakannya padaku. Kurasa yang bercerita Mrs. Bortz. Ya, betul, sekarang aku ingat lagi. Sabtu yang lalu, ketika aku sedang di kolam renang, Mrs. Bortz juga ada di dekat situ, pura-pura sedang menunggu tukang pos. Saat itu ia bercerita, Mr. Prentice akan mendapat anjing, tapi tanpa melaporkan secara resmi padanya. Mrs Bortz merasa agak tidak enak karenanya. Ia kurang setuju di tempat kami ada anjing, walau aku tidak melihat alasan kenapa itu tidak boleh. Alex Hassell, begitu banyak kucing-kucing gelandangan yang tidak henti-hentinya berdatangan ke apartemennya."

Jupe mengangguk.

"Barangkali ada sesuatu yang bisa saya bawakan dari rumah?" katanya menawarkan.

Miss Chalmers menggeleng.

"Mereka di sini sudah menyediakan sikat gigi, sisir, dan... pokoknya semua yang kuperlukan," katanya. "Lagi pula, besok atau lusa aku pasti sudah boleh pulang. Kini aku masih perlu berbaring di sini untuk pengamatan saja."

Setelah pamitan, Jupe meninggalkan tempat itu.

Ia berjalan sambil merenung.

Jadi Miss Chalmers ternyata tahu tentang Anjing Karpatia, meski ia pun salah tangkap mengenai persoalan yang sebenarnya. Nampaknya semua penghuni gedung apartemen itu tahu bahwa Mr. Prentice tidak lama lagi akan mendapat anjing tertentu. Tapi berapa banyak di antara mereka yang tahu bahwa anjing itu sebenarnya patung kristal hasil kerja Edward Niedland, seniman pematung yang sudah meninggal dunia?

Mungkinkah Elmquist? Bagaimana dengan Murphy? Rasanya menarik juga mendengar apa kata Murphy mengenai hal ini.

Sebuah taksi sedang mangkal di depan rumah sakit. Pengemudinya duduk dengan santai di belakang kemudi, asyik membaca surat kabar.

"Anda tahu Belvedere Clinic?" tanya Jupe padanya.

"Tentu saja tahu. Di persimpangan Wilshire dan Yale."

"Saya mau ke sana," kata Jupe sambil masuk ke taksi.

"Oke." Pengemudi taksi menghidupkan meterannya, lalu menjalankan taksinya meninggalkan Rumah Sakit Pusat. Jupe melihat bahwa jalan yang ditempuh mengarah ke daerah tempat tinggal Mr. Prentice. Dan Belvedere Clinic ternyata sebuah rumah sakit swasta kecil. Letaknya cuma dua blok dari Paseo Place.

Setelah membayar uang taksi, Jupe masuk ke dalam bangunan rumah sakit itu.

Dibandingkan dengan Rumah Sakit Pusat, Belvedere Clinic merupakan rumah sakit yang megah. Ruang tempat pendaftaran beralas permadani tebal, dan dihiasi dengan pajangan Natal.

Resepsionis tidak berpakaian putih seperti di rumah sakit biasa, melainkan mengenakan semacam celemek berwarna merah jambu. Wanita itu mengangkat telepon lalu menghubungi kamar yang ditempati John Murphy, untuk memberi tahu bahwa ada Jupiter Jones yang ingin mengunjunginya. Kemudian, sambil tersenyum manis, resepsionis itu menyebutkan nomor kamar yang harus didatangi Jupe.

Kamar yang ditempati Mr. Murphy terletak pojok, dan berukuran besar. Sinar matahari memancar masuk lewat dua buah jendela. Mr. ­urphy berbaring di tempat tidur. Wajahnya yang biasanya kemerah-merahan, kini nampak pucat-pasi, hampir seputih bantal yang menyangga kepalanya, Harley Johnson, keponakan pria itu duduk di kursi yang terdapat di ujung bawah tempat tidur. Ia memandang pamannya dengan sikap geli bercampur jengkel.

Mr. Murphy nampak kesal, ketika melihat Jupiter muncul di ambang pintu kamar.

"Mudah-mudahan kau datang bukan untuk menguliahi aku pula," tukasnya. "Telingaku sudah tuli, mendengar Harley mengomel sejak tadi."

"Sudah selalu kukatakan, Paman bisa mati karena kebiasaan merokok itu," kata Harley. "Tak kusangka itu akan demikian cepat menjadi kenyataan!"

"Aku sedang capek," kata Mr. Murphy dengan nada seperti merajuk. "Saat itu aku cuma sedang capek saja. Biasanya, aku selalu berhati-hati. Aku bahkan tidak pernah menaruh rokok di tempat tidur. "

­"Kalau begitu Paman harus tidur di kamar tidur, dan bukan di sofa," kata Harley.

Mr. Murphy mengerang.

"Tidak ada yang lebih menyebalkan, daripada keponakan yang sok tahu."

"Jadi itukah yang terjadi?" tanya Jupiter. "Anda tertidur di sofa sewaktu sedang merokok?"

"Ya, kurasa begitulah kejadiannya," kata Mr. Murphy. "Aku tidak melihat kemungkinan lainnya. Aku cuma masih ingat masuk kembali-setelah mobil Mrs. Bortz meledak-lalu duduk. Saat itu aku ingin merokok sebatang lagi, lalu sesudah itu tidur. Rupanya aku benar-benar tertidur. Tahu-tahu ketika terbangun, kamar sudah penuh asap. Aku masih berusaha lari ke pintu, tapi kemudian jatuh pingsan."

"Anda menuju arah yang keliru waktu itu," kata Jupe. "Anda menuju ke kamar tidur."

Mr. Murphy mengangguk.

"Untung kau menolong aku keluar," katanya.

"Bukan saya sendiri," kata Jupe. "Saya, bersama Bob, Pete. dan Sonny Elmquist. Dialah yang melihat ada api berkobar dalam apartemen Anda."

"Aku tidak begitu suka padanya," gumam Mr. Murphy. "Orangnya aneh! Sekarang aku berhutang budi padanya."

"Mr. Murphy," kata Jupiter, "Anda tahu tentang anjing yang akan diperoleh Mr. Prentice?"

"Anjing?" Mr. Murphy mengangkat kepalanya. "Mau apa Prentice dengan seekor anjing? Kabarnya, apartemen orang itu penuh dengar barang-barang antik. Anjing? Ah, yang benar saja!"

Mrs. Bortz agak ribut karenanya," kata Jupiter

"Ah, perempuan itu memang gampang seka ribut. Lagi pula, siapa sih yang memperhatikan ocehan Mrs. Bortz? Lidahnya bercabang dua, dan kedua-duanya tidak henti-hentinya bergerak. mengoceh ke sana kemari."

Mr. Murphy merentangkan tubuh, seperti orang yang sangat capek.

"Mungkin aku akan pindah dari sana," katanya ia memandang Jupe. "Kau dan teman-temanmu sebaiknya lekas-lekas saja pergi dari tempat itu. Di situ tidak aman."

Kini Harley berdiri.

"Sudahlah, urusan itu jangan Paman pikirkan sekarang," katanya menenangkan. "Kata dokter Paman harus banyak beristirahat. Nanti akan kubereskan apartemen Paman. Kalau Paman sudah merasa lebih sehat, kita bisa mencari apartemen lain."

Mr. Murphy tersenyum.

"Kau memang anak yang baik, Harley. Kadang-kadang kurasa kau lebih baik menjaga diriku dibandingkan dengan aku terhadapmu."

Harley pergi bersama Jupe, meninggalkan tempat itu.

"Paman ku itu terlalu banyak merokok," kata Harley. "Ia juga terlalu sibuk bekerja, dan banyak pikiran. Sedikit banyak bisa dibilang-untung kebakaran itu terjadi."

­Dengan cepat Jupiter menoleh, menatap pemuda itu.

"Bukan maksudku aku senang paman ku harus masuk rumah sakit," kata Harley cepat-cepat. "Tapi belakangan ini ia sering gelisah, sulit bisa tidur dengan enak. Aku melihatnya sewaktu menginap di tempatnya selama hari-hari Natal yang lalu. Beberapa kali ia terbangun lalu mondar-mandir. Ia mengira, saat itu aku sedang tidur nyenyak. Kurasa bisnisnya saat ini tidak begitu baik jalannya. Asap api kebakaran yang masuk ke paru-parunya tidak banyak, karena kalian cepat menggotongnya ke luar. Tapi dokter pribadinya menghendaki ia berbaring beberapa hari lagi di rumah sakit. Selain untuk diteliti, juga untuk memberi kesempatan padanya agar bisa tidur dengan tenang."

"Kurasa pamanmu itu memang memerlukannya," kata Jupe, sementara mereka berjalan menyusur Wilshire Boulevard, menuju Paseo Place. "Keadaan di gedung apartemen itu belakangan ini memang kacau. Ketika ada pencurian waktu itu, kau sedang ada di sana tidak?"

"Maksudmu ketika ada maling yang lari melintasi pekarangan, dari jalan yang di sebelah? Tidak, waktu itu aku tidak ada di sana. Aku pergi makan-makan dengan beberapa orang teman, sebelum nonton. Paman John yang kemudian menceritakan kejadiannya. Dan kudengar setelah itu terjadi pula kasus peracunan dan peledakan mobil. Paman John tadi memang benar, tempat itu sekarang tidak aman lagi."

"Ada orang bercerita padamu bahwa Mr. Prentice akan mendapat anjing?" tanya Jupe.

"Tidak. Tapi memang tidak ada yang mungkin bercerita, padaku, kecuali paman ku. Maksudku aku tidak suka keluar ke pekarangan pada waktu aku mengunjunginya. Aku tidak tahan mendengar ocehan Mrs. Bortz."

Harley bersiul ketika melihat keadaan jendela-jendela apartemen pamannya. Pecahan kaca masih menancap di kusen di sana-sini, sedang tirai-tirai bekas kebakaran masih bergelantungan.

"Kurasa sebaiknya aku memanggil tukang kaca saja dulu," katanya sambil mengeluarkan seberkas anak kunci dari kantungnya. "Keadaan di dalam pasti sama acak-acakannya. Aku salah pilih waktu rupanya, ketika meninggalkan Paman." Ia meluruskan bahunya, lalu masuk ke apartemen Mr. Murphy.

Jupe masih berdiri sebentar di pekarangan, sebelum naik ke tingkat atas. Ia mencoba mengatur pikirannya. Betulkah Miss Chalmers tidak ada sangkut-pautnya dengan segala urusan itu? Betulkah Mr. Murphy sungguh-sungguh tidak tahu apa-apa tentang Anjing Karpatia? Dan Harley, betulkah bahwa ia juga tidak tahu apa-apa? Kalau begitu, hanya Sonny Elmquist saja satu-satunya yang belum jelas kedudukannya. Ia satu-satunya tetangga yang mungkin tahu-menahu tentang patung anjing dari kristal itu. Dan Elmquist pula satu-satunya tetangga yang kini masih ada dalam gedung apartemen itu.

Kemudian timbul pikiran lain dalam benak Jupe. Ada orang yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk menyingkirkan orang-orang lain dari gedung itu. Jangan-jangan Trio Detektif akan mendapat giliran yang berikut!

­Bab 16 PATUNG ANJING SILUMAN

­CHARLES Niedland yang datang membukakan pintu, ketika Jupiter membunyikan bel apartemen Mr. Prentice.

"Ayo, masuklah," kata Mr. Niedland. "Temanmu Bob baru saja kembali dari Ruxton. Ia sudah tidak sabar lagi, ingin menceritakan sesuatu."

Bob duduk di sofa, buku catatannya terbuka di hadapannya. Mr. Prentice duduk di sebuah kursi antik berukuran mungil.

"Bagaimana keadaan Miss Chalmers?" tanya pria tua itu.

"Sudah lumayan," kata Jupe.

"Syukurlah kalau begitu," kata Mr. Prentice.

"Dan Mr. Murphy? Kau juga menjenguknya?"

"Ya. Keadaannya tidak gawat. Anda sudah mengambil uang untuk menebus patung anjing itu?"

Charles Niedland menuding ke arah sebuah kantung belanjaan dari kertas yang terletak di atas meja tempat lampu.

"Seumur hidupku, belum pernah aku segugup tadi," katanya. "Dalam dompetku biasanya hanya ada uang sekitar tiga dolar, serta sejumlah kartu kredit untuk berbelanja di toko-toko. Tapi tadi, Fenton Prentice enak saja berjalan kaki, dengan uang sepuluh ribu dalam kantung belanjaan!"

Jupe memandang kantung kertas itu. Ia tersenyum.

"Cerdik," katanya mengomentari. "Kantung itu begitu biasa wujudnya, sehingga tidak menarik perhatian orang."

Saat itu bel berbunyi lagi. Charles Niedland kembali membukakan pintu, lalu menyilakan Pete masuk.

"Manajer pasar itu tidak suka melihat anak-anak yang masuk lalu membaca-baca majalah yang dipajang, tanpa membeli apa-apa," katanya menyampaikan laporan. "Aku disuruhnya keluar. Aku lantas membeli majalah Los Angeles Magazine. Tapi tetap saja aku disuruhnya keluar."

Pete menghenyakkan diri ke sofa, duduk di samping Bob.

"Tapi tidak apalah," katanya lagi. "Sekarang kita tahu, saat ini Sonny Elmquist betul-betul ada di sana. Dan Mr. Hassell, ia juga benar-benar pindah ke tempat penginapan yang disebutkan olehnya."

Bob membungkukkan badannya ke depan.

"Baiklah. Kalau begitu, kita sekarang akan membicarakan Sonny Elmquist."

"Apa hasil penelitianmu?" tanya Jupiter.

"Ternyata memang ada orang yang bisa sekaligus berada di dua tempati" kata Bob, lalu menceritakan penjelasan yang diperolehnya di Universitas Ruxton, tentang badan halus yang bisa mengembara.

"Dengan perkataan lain," kata Jupe ketika Bob sudah selesai menyampaikan laporan, "ada kemungkinan Elmquist memang bisa menembus dinding dan pintu yang dalam keadaan terkunci."

"Kurasa ia bisa mendatangi tempat-tempat yang diinginkannya-dan mungkin bahkan tempat-tempat yang dia sendiri tidak tahu bahwa akan ke situ," kata Bob. "Sampai seberapa jauh kemampuannya mengendalikan badan halusnya, aku tidak tahu. Kita bahkan tidak bisa tahu secara pasti bahwa badan halusnya bisa mengembara. Tapi jika ia tergolong orang yang pernah diwawancarai DR. Lantine, ia hanya bisa mengembara sewaktu ia sedang tidur."

"Bagus!" kata Pete dengan cepat. "Jadi hari ini kita bisa memastikan, bahwa badan halusnya tidak mungkin mengintip kita. Di pasar ia takkan mendapat peluang untuk ketiduran. Dengan manajer seperti yang tadi, hal itu takkan mungkin terjadi."

Fenton Prentice bangkit dari kursinya, lalu menaruh kantung yang berisi uang ke dalam sebuah lemari kaca kecil yang bagian tengahnya agak menjorok ke depan. Kemudian dikuncinya lemari itu.

"Kurasa ia takkan menjengukkan kepala badan halusnya ke balik pintu ini," katanya.

"Kalaupun itu dilakukannya, paling-paling hanya kantung kertas saja yang akan dilihat," kata Bob.

"Menurut DR. Lantine, badan halus yang berkeliaran sementara orangnya sendiri tidur, tidak bisa berbuat apa-apa terhadap lingkungan di mana ia berada."

"Itu rupanya penjelasan kenapa tidak ada sesuatu pun yang berpindah tempat di sini, sejak kuambil anak kunci yang ada pada Mrs. Bortz," kata Mr. Prentice. "Perempuan itu yang membuka-buka laci, dan menyebabkan barang-barang berpindah tempat."

"Betul," kata Jupiter, "dan dengan begitu kita sekarang juga bisa mengerti, bagaimana Sonny Elmquist sampai tahu tentang mandala Anda. Ia pun bisa tahu-menahu tentang Anjing Karpatia. Mungkin saja badan halusnya menangkap percakapan Anda dengan Mr. Niedland lewat telepon. Tapi, jika badan halusnya tidak bisa memindahkan apa-apa, maka itu berarti bukan dia yang mencuri patung anjing itu. Soalnya, itu kan terjadi ketika ia sedang tidur."

Kening Jupiter berkerut, sementara tangannya sibuk mencubiti bibir bawahnya.

"Sulit diterima akal sehat," katanya lagi, "tapi cuma itu satu-satunya penjelasan yang cocok. Badan halus Elmquist rupanya bisa meninggalkan tubuh kasarnya-kecuali jika di gedung ini ada orang yang persis sekali seperti dia. Sedang kurasa tidak mungkin ada dua orang yang seratus persen serupa bisa ada di sebuah gedung selama berbulan-bulan, tanpa hal itu menarik perhatian orang lain."

"Memang tidak mungkin, dengan adanya Mrs. Bortz di sini," kata Mr. Prentice.

­Sementara itu Pete sudah meninggalkan tempat duduknya yang semula. Kini ia berdiri di jendela. Ia mengatakan bahwa keponakan Mr. Murphy nampak hendak pergi meninggalkan gedung itu

"Jadi tinggal kita sendiri saja di sini." Jupiter menatap lemari tempat Mr. Prentice tadi menyimpan uang tebusan. "Sebuah kantung, berisi uang." katanya sambil merenung. "Tapi uang itu tidak kelihatan, karena ada di dalam kantung." Bibirnya bergerak-gerak, membentuk senyuman. Tiba-tiba matanya berkilat-kilat.

"Ada apa, Jupe?" tanya Bob, yang menyadari bahwa Jupe pasti telah berhasil menemukan sesuatu.

"Kalian mau mendengar cerita?" kata Jupe.

"Aduh, Jupe!" keluh Pete. "Langsung saja kaukatakan apa maumu, jangan ditambahi bumbu-bumbu dulu!"

"Ceritanya mengenai pembunuhan," kata Jupe, tanpa mengacuhkan Pete. "Kisah ini pernah kubaca, tapi sudah lama sekali. Tentang pembunuhan yang dilakukan dengan senjata yang tidak nampak."

"Ya?" kata Fenton Prentice.

"Seorang pria beserta istrinya sedang makan bersama seorang teman, di sebuah ruangan tertutup," ujar Jupe membuka cerita. "Ketika sedang asyik makan, terjadi pertengkaran antara si suami dengan teman tadi. Pertengkaran itu memuncak, dan akhirnya kedua pria itu berkelahi. Pergulatan mereka menyebabkan lilin di meja terjatuh, lalu padam. Padahal lilin itu satu-satunya sumber cahaya di dalam ruangan itu. Kemudian si istri mendengar suaminya menjerit, dan ia merasa ada sesuatu menarik gaunnya. Wanita itu menjerit. Jeritannya didengar para pelayan, yang langsung berlari-lari masuk. Mereka menemukan si suami sudah tewas, sedang pada gaun istrinya nampak darah berlumuran. Si suami tewas tertusuk-tapi di ruangan itu sama sekali tidak ditemukan senjata. Para pelayan mencari-cari, dan kemudian polisi juga sibuk mencari-cari. Tapi semua tidak menemukan senjata tajam di situ. Mula-mula ditarik kesimpulan, si suami pasti mati dibunuh setan."

"Praktis sekali hidup pada zaman itu," kata Charles Niedland mengomentari. "Senjata tajam tidak ditemukan, jadi korban pasti tewas dibunuh setan!"

"Kenyataannya," sambung Jupiter, "pria yang tewas itu dibunuh dengan senjata yang tidak kelihatan-yaitu pisau yang terbuat dari kaca. Pembunuhnya-teman yang makan bersama suami-istri itu-menikam si suami dalam kegelapan, lalu mengusapkan darah yang menempel di pisau kaca itu pada gaun istri korbannya. Setelah itu pisau tadi dimasukkannya ke dalam sebuah tempat air yang ada di atas bupet. Karena terbuat dari kaca, pisau itu tidak kelihatan di dalam air. Sekarang saya ingin bertanya, Mr. Prentice. Apa sebabnya ada orang ingin meracuni Miss Chalmers? Adakah salah satu alasan tertentu, di samping kenyataan bahwa setiap malam ia biasa berenang di kolam yang di luar itu?"

"Astaga!" kata Charles Niedland.

"Kemudian Mrs. Bortz," sambung Jupe. "Wanita itu memang terlalu ingin mencampuri urusan orang lain, tapi selama ini belum pernah ada yang hendak mencederai dirinya-sampai ia mengatakan hendak menyuruh kolam dikeringkan, karena perlu dibersihkan. Mr. Prentice, selama ini kita mencari-cari patung anjing dari kristal yang seakan-akan lenyap, karena kenyataannya memang tidak kelihatan. Persis seperti pisau kaca yang disembunyikan di tempat air dalam cerita saya tadi."

"Kolam renang!" seru Bob. "Patung itu ada di dalam kolam renang!"

Jupiter berdiri sambil bercekak pinggang. Air mukanya membayangkan rasa puas.

"Besok Anda akan menyerahkan tebusan untuk anjing kristal itu," katanya. "Bagaimana Jika kita mengambilnya sekarang, hari ini? Saatnya benar-benar cocok untuk itu, karena selain kita tidak ada orang lain di gedung ini."

"Wah, wah, wah!" Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Mr. Prentice.

Jupiter meringis.

"Bob," katanya, "kau pergi ke ujung jalan masuk di belakang. Kau jaga, jangan sampai ada yang masuk lewat situ. Pete, kau mengamati jalanan dari gerbang depan."

­"Lalu kau, apa yang akan kaulakukan?" kata Pete.

Jupe menuju balkon, sementara jari-jari tangannya sibuk membuka kancing bajunya.

"Aku hendak berenang."

Bob dan Pete pergi ke pos penjagaan masing-masing, sedang Mr. Prentice dan Mr. Niedland mengikuti Jupiter ke kolam renang.

Sementara itu hanya celana dalam saja yang masih membungkus tubuh remaja itu. Sambil menggigil kedinginan, Jupe masuk ke air pada bagian yang dangkal.

"Hati-hati, hati-hati," kata Mr. Prentice dengan gugup.

Jupe mengarungi air menuju bagian yang dalam, sambil memperhatikan lantai ubin kolam yang berwarna biru dan kuning keemasan. Ketika sudah masuk ke air sampai setinggi dagu ia membungkuk, membiarkan dirinya terbenam dalam air. Setelah itu ia mulai menendang-nendang, berenang pada posisi sedikit di sebelah atas dasar kolam.

­Sesaat kemudian tangannya dijulurkan, mengambil sesuatu.

"Ia menemukannya!" bisik Fenton Prentice bergairah. "Bukan main, ia berhasil menemukannya!"

Jupe melesat ke permukaan. Tangannya memegang sebuah benda yang terikat pada seutas tali. Dengan tangan yang satu lagi ia berenang ke tepi. Benda yang ditemukannya disodorkan ke arah Fenton Prentice.

"Anjing Karpatia!" kata pria berumur lanjut itu. Diambilnya patung yang disodorkan oleh Jupiter lalu diamat-amatinya dari berbagai sudut. Patung itu indah. walau menimbulkan kesan aneh. Patung anjing berotot kekar, dengan kepala besar dan kokoh. Pinggiran matanya yang besar dan bulat berlapis emas, dan busa yang juga dibuat dari emas kelihatan seperti menetes dari moncongnya.

Tinggi patung itu sekitar lima belas senti, dan dasarnya sampai ke ujung telinga. Di antara kedua kaki binatang itu ada tengkorak manusia. Pada pinggangnya terikat seutas tali yang lumayan panjangnya.

"Begitu sederhana caranya," kata Jupiter "Maling itu bahkan tidak perlu masuk ke dalam kolam. Patung ini diturunkannya dengan tali ini. Begitu menyentuh dasar, tali dilepaskan. Karena tali ini juga berwarna keemasan, jadinya tidak nampak di tengah-tengah ubin yang berwarna biru dan kuning keemasan."

"Benar-benar cerdik!" kata Charles Niedland

"Bolehkah saya minta kembali?" kata Jupiter pada Fenton Prentice.

"Apa katamu?" kata Prentice.

"Kata saya, bolehkah saya minta patung itu. Saya hendak menaruhnya kembali di dalam kolam."

"Untuk apa?"

­"Karena ada kemungkinan malingnya akan datang malam ini, untuk mengambilnya. Ia masih memperkirakan Anda akan menyerahkan uang tebusan itu besok. Anjing ini kita kembalikan ke tempat semula, lalu kita akan melakukan pengamatan lewat monitor TV di apartemen Anda-untuk melihat siapa sebenarnya maling itu!"

"Aku mengerti sekarang." Tapi Fenton Prentice tidak mau melepaskan patung anjing itu.

"Usulnya itu masuk akal, Fenton," kata Charles Niedland.

"Tapi... tapi jangan-jangan patung ini nanti rusak! Kan bisa retak, atau bahkan patah!"

"Sejauh ini maling itu memperlakukannya dengan berhati-hati," kata Jupe. "Kurasa ia akan tetap hati-hati."

Fenton Prentice mendesah, lalu menyerahkan patung kristal itu pada Jupe, yang kemudian mengulurkannya dengan bantuan tali, kembali ke tempat semula di dalam air.

"Sekarang aku perlu handuk," katanya. "Jangan sampai ada orang tahu, aku masuk ke dalam kolam. Tidak boleh kelihatan jejak kaki di ubin."

Charles Niedland bergegas naik ke apartemen Mr. Prentice. Tidak lama kemudian ia sudah kembali, dengan membawa beberapa lembar handuk serta sebuah keset yang tebal. Jupe keluar dari dalam kolam langsung ke keset, lalu buru-buru mengeringkan badan.

Saat itu Pete berlari-lari masuk dari depan.

"Hassell datang!"

­"Panggil Bob!" kata Jupe sambil menyambar pakaiannya. "Cepat, semuanya naik ke atas. Sementara mereka semua bergegas masuk apartemen Mr. Prentice, terdengar bunyi langkah orang menaiki tangga yang menghubungkan trotoar dengan gerbang depan. Jupe menghidupkan pesawat monitor TV, lalu memperhatikan Alex Hassell yang berjalan dengan langkah kaki melintasi pekarangan di bawah. Orang langsung masuk ke apartemennya.

"Ia sama sekali tidak memandang ke arah kolam," kata Jupe.

"Kenapa harus memandang?" tanya Bob.

"Karena walau tadi aku sudah sangat berhati-hati, tapi air kolam masih saja bergerak-gerak sedikit. Memang selalu begitu, jika ada yang masuk. Baru setelah beberapa waktu nanti airnya akan menjadi tenang kembali."

"Kalau begitu bukan Alex Hassell malingnya," kata Pete menarik kesimpulan.

"Bukan dia malingnya, atau ia takut kalau-kalau diawasi. Mungkin saja ia melihat keadaan kolam, tapi karena cukup cerdik masih bisa menahan diri. Kita lihat saja nanti."

Sementara itu nampak kucing-kucing gelandangan mulai masuk satu demi satu ke pekarangan. Binatang-binatang itu duduk membentuk setengah lingkaran di depan pintu apartemen Alex Hassell. Mereka menunggu dengan tenang.

Kemudian Alex Hassell muncul, membawa beberapa buah piring berisi makanan. Kucing-kucing ­mulai makan, ditunggui oleh orang itu. Ia mengelus-elus dan berbicara pada mereka. Ketika makanan di piring sudah habis, kucing-kucing gelandangan itu pergi lagi. Tidak lama kemudian Alex Hassell pun pergi meninggalkan gedung itu lagi.

Anak-anak membantu Fenton Prentice memasak - untuk makan malam. Setelah itu mereka makan. Sambil mengunyah, salah seorang dari ketiga anggota Trio Detektif secara bergilir terus mengamati layar monitor. Pukul sebelah malam, lampu-lampu di pekarangan padam.

Pete mengambil jaketnya dari dalam lemari, "Nah, kita mulai lagi jaga malam di balkon."

"Aku ikut menjaga," kata Jupe.

"Aku juga," kata Bob sambil berdiri. "Malam ini harus terjadi sesuatu--dan aku ingin melihatnya!"

Bab 17 BAYANGAN BERTINDAK

­SAAT tengah malam, pintu gerbang depan terbuka Sosok tubuh Elmquist yang kurus dan melengkung muncul di bawah, dan langsung menuju apartemennya. Selama beberapa saat nampak nyala lampu di dalam. Setelah itu padam kembali.

Anak-anak yang berada di atas balkon menunggu lagi.

Sebuah pintu terbuka, lalu ditutup kembali.

Anak-anak bisa melihat bahwa ada sesuatu yang bergerak-gerak di bawah!

Pete mencengkeram lengan Jupe.

Sosok yang hanya kelihatan samar-samar itu bergerak lambat-lambat, menuju sisi kolam yang dangkal. Bayangan itu meluncur masuk ke air lalu bergerak maju. Gerakannya tidak terlalu mengusik permukaan air yang tenang.

Tiba-tiba ketiga remaja yang mengintai dari atas balkon mendengar orang itu menarik napas.

Kemudian dia menyelam, disertai bunyi kecipak pelan. Setelah itu kelihatan sejalur sinar di dalam air. Rupanya orang yang menyelam itu membawa senter yang kedap air. Sinarnya bergerak kian kemari, menerangi dasar kolam.

­Sepotong tangan kelihatan, diterangi sinar senter. Tangan itu bergerak ke bawah, memegang sesuatu yang tidak kelihatan!

Kemudian orang itu muncul kembali dari dalam air, lalu keluar dari kolam. Dan beberapa saat kemudian terdengar bunyi pintu terbuka lalu tertutup kembali.

Pete menjulurkan tangannya ke arah belakang, lalu mengetuk pintu apartemen Mr. Prentice dengan pelan. Dengan segera pintu itu terbuka.

"Elmquist!" kata Pete berbisik.

Ketiga remaja yang selama itu mengintai kini bergegas menuruni tangga, diikuti oleh Mr. Prentice dan Charles Niedland.

Apartemen yang ditempati Sonny Elmquist tetap gelap. Tidak nampak sinar lampu di balik jendela-jendelanya.

"Jangan-jangan tadi itu badan halusnya yang gentayangan lagi, sementara ia sendiri tidur nyenyak di dalam," kata Pete lirih.

"Omong kosong!" kata Jupiter tegas. Ia menekan bel apartemen Elmquist, menunggu sebentar, lalu sekali lagi membunyikannya.

"Elmquist!" serunya memanggil. "Buka pintu, Elmquist! Cepat buka! Kalau tidak kaubuka, akan kupanggil polisi, biar mereka mendobraknya!"

Pintu apartemen dibuka. Elmquist muncul berselubung mantel mandi. Di bawahnya menjulur sepasang kaki tanpa alas.

"Ada apa?" katanya. "Aku sedang tidur. Mau apa?"

­Tangan Jupiter bergerak ke balik pintu, meraba sakelar yang ada di situ lalu menyalakan lampu. Di bawah sinarnya yang terang nampak bahwa rambut Elmquist basah, melekat ke kepalanya.

"Anda tadi masuk ke kolam," kata Jupiter dengan nada mendakwa.

"Aku tidak-" Sebelum bisa meneruskan bantahannya, Elmquist merasa ada air menetes dari rambutnya ke kening. "Aku baru mandi," katanya.

"Tidak, Anda tadi masuk ke kolam," kata Jupiter. "Itu, ada jejak kaki dari sana, menuju ke pintu ini."

Elmquist memandang ke bawah. Bukti itu memang kelihatan jelas.

"Baiklah, aku tadi memang masuk ke kolam. Di pasar tadi sibuk sekali. Karenanya aku kemudian berenang sebentar, untuk menghilangkan ketegangan. Lalu kenapa, kalau aku memang masuk ke kolam?"

"Mana patung itu? Mana Anjing Karpatia-ku?" seru Mr. Prentice. "Bandit! Maling!"

"Aku tidak mengerti, kalian mau apa sebenarnya!" kata Elmquist. Tapi matanya melirik ke samping, ke arah dapur yang kecil.

"Patung itu kurasa ada di dalam salah satu lemari dapur," kata Jupiter. "Anda tadi tidak punya waktu untuk menyembunyikannya di tempat lain."

"Jangan seenaknya saja menuduh-nuduh orang!" kata Elmquist.

"Mr. Prentice," kata Jupiter, "kurasa sebaiknya Anda menelepon polisi saja. Minta mereka datang, dengan membawa surat perintah untuk melakukan penggeledahan."

"Kalian tidak berhak menggeledah rumahku!" seru Elmquist. "Mana mungkin tengah malam begini bisa mendapat surat perintah penggeledahan!"

"Kata-kata Anda itu mungkin benar," kata Jupe. "­Baiklah, kalau begitu kami akan menunggu sampai hari sudah pagi, lalu saat itu baru menghubungi polisi. Selama itu kami akan menjaga di pekarangan! Anda takkan bisa meninggalkan apartemen itu, tanpa ketahuan oleh kami."

"Kalian tidak boleh berbuat begitu!" Suara Elmquist bertambah nyaring. Ia sudah hampir berteriak. "Itu... itu merongrong namanya!"

"Kenapa Anda katakan merongrong?" balas Jupe. "Kan tidak ada undang-undang yang melarang kami duduk-duduk di pekarangan, dari mana kami bisa melihat jika Anda meninggalkan apartemen ini. Sudahlah, kenapa Anda malah menyulitkan diri sendiri? Serahkan saja Anjing Karpatia itu sekarang, agar kami tidak perlu meminta polisi mengambilnya."

Selama beberapa detik Elmquist menatap Jupiter dengan mata melotot. Tapi kemudian ia mundur selangkah.

"Aku menaruhnya di dalam oven," kata pemuda kurus itu dengan sebal. "Aku sebetulnya hendak mengembalikannya pada Anda, Mr. Prentice. Sungguh!"

­Fenton Prentice mendengus.

"Kau akan mengembalikannya, setelah mendapat uang sepuluh ribu itu, ya?"

"Sepuluh ribu?" Sonny Elmquist saat benar-benar kelihatan bingung. "Uang sepuluh ribu yang mana?"

"Anda tidak tahu?" kata Jupiter Jones. "sungguh-sungguh tidak tahu-menahu tentang uang itu?"

Elmquist menatap mereka dengan pandangan nanar.

"Kusangka kalau patung anjing itu n kukembalikan pada Mr. Prentice, aku akan diberinya uang sedikit sebagai hadiah, Tapi sepuluh ribu?"

Fenton Prentice masuk ke dapur, melewati Sonny Elmquist yang masih tetap kelihatan bingung. Pria tua itu membuka pintu oven. Patung anjing itu ternyata memang ada di dalamnya-masih dengan tali yang terikat di pinggang.

"Mr. Prentice, saya rasa dia ini memang tidak tahu apa-apa tentang uang itu," kata Jupiter "Bukan dia maling yang kita cari. Ia cuma kebetulan saja melihat sesuatu dalam tidurnya."

Sonny Elmquist kaget. Wajahnya yang memang sudah pucat, nampak bertambah pucat lagi. Ia meneguk ludah beberapa kali, menyebabkan jakunnya bergerak-gerak naik-turun.

"Apa saja yang Anda lihat, Elmquist?" desak Jupe. "Apabila Anda tertidur sementara pesawat TV Anda menyala, apa saja yang Anda lihat?"

­Sonny Elmquist menggigil.

"Aku sendiri tidak bisa mencegahnya," katanya. "Aku mimpi tentang macam-macam. Kan bukan salahku jika aku bermimpi macam-macam?"

"Anda mimpi tentang apa?" desak Jupiter sekali lagi.

"Aku mimpi tentang seekor anjing. Anjing yang terbuat dari kaca. Aku mimpi bahwa ada orang datang larut malam, dalam gelap. Ia memasukkan anjing dari kaca itu ke dalam air. Tapi aku tidak bisa melihat, siapa orang itu."

Jupiter berpaling pada teman-temannya. "Kurasa ia mengatakan yang sebenarnya," katanya.

­Bab 18 TEBUSAN YANG DIJADIKAN JEBAKAN

­TAMPANG Sonny Elmquist nampak, kecut. "Aku tadi mengambil patung anjing itu untuk Prentice. Sungguh, aku benar-benar berniat akan mengembalikannya kemudian, Percayalah, bukan aku yang mencurinya!"

"Memang, bukan Anda," kata Jupe. "Ketika pencurian itu terjadi, Anda sedang tidur. Tapi kemudian Anda mengambil patung itu, lalu menyembunyikannya. Itu bukan perbuatan yang jujur."

Charles Niedland menyandarkan punggungnya ke dinding.

"Cepatlah berpakaian, lalu ikut kami ke atas," katanya menyuruh. Tapi Elmquist menanggapinya dengan mata melotot.

"Anda tidak berhak menyuruh-nyuruh aku!" teriaknya. "Anda bukan pemilik gedung ini."

"Dan Anda tidak berhak dengan seenaknya saja memasuki apartemenku, tidak peduli dalam wujud apa," kata Fenton Prentice. "Anda ikuti saja perintah, atau kupanggil polisi, biar Anda ditahan karena menyembunyikan barang curian!"

Elmquist berbalik, lalu masuk ke kamar tidurnya. Pintu kamar itu ditutupnya dengan keras. Kemudian terdengar bunyi pintu-pintu lemari dibuka dan ditutup dengan kasar, serta laci-laci ditarik ke luar.

Tidak lama kemudian Elmquist sudah muncul lagi, dengan baju hangat berwarna hitam dan celana panjang berwarna cerah.

"Sisa malam ini Anda harus menunggu di ruang dudukku, dan sama sekali tidak boleh tidur," kata Mr. Prentice.

Sonny Elmquist mengangguk, dengan wajah masam.

Mr. Prentice menimang-nimang patung kristalnya.

"Kurasa tentunya kau masih ingin memergoki maling itu malam ini juga, Jupiter," katanya.

"Kalau bisa-itu jika ia belum lari, mendengar kita tadi ribut-ribut," jawab Jupiter.

Dengan sikap enggan, Mr. Prentice menyodorkan patung miliknya, sementara Charles Niedland menggiring Elmquist ke tingkat atas. Anak-anak mengembalikan Anjing Karpatia ke dalam air, lalu melanjutkan pengintaian dari atas balkon.

Tapi orang yang ditunggu-tunggu tidak kunjung muncul. Jika memang ia berniat mengambil patung itu, rupanya bukan malam itu akan dilakukannya. Waktu berjalan terus. Akhirnya fajar mulai menyingsing, menampakkan langit kelabu dan berkabut.

"Maling itu sebenarnya sama sekali tidak perlu mengambil lagi patung itu dari dalam kolam," kata Jupiter kemudian. "Ia bisa saja memberi tahu Mr. Prentice di mana barang itu berada, setelah menerima uang tebusannya:'

Pintu apartemen di belakang anak-anak terbuka.

"Bagaimana kalau kita sarapan saja dulu," Mr. Prentice dengan nada mengajak. Pria nampak sudah jauh lebih segar dari sebelumnya. Dan seperti biasa, ia berbusana rapi.

Semua duduk untuk menikmati sarapan kecuali Sonny Elmquist. Pemuda itu d terhenyak di sebuah kursi di ruang hobi. Ia tak mau diajak makan. Diajak bicara pun, ia tetap membisu.

Selesai sarapan, Jupiter mengambil selembar surat kabar terbitan sehari sebelumnya, menggunting-gunting menjadi sejumlah lembar empat persegi panjang. Masing-masing lembar itu berukuran sekitar lima kali dua belas setengah senti.

"Untuk apa?" tanya Bob.

"Mestinya sebentar lagi maling itu akan memberi tahu, kapan uang tebusan harus diserahkan," kata Jupiter menjelaskan. "Tapi karena Mr. Prentice sekarang sudah tahu di mana patung anjingnya disembunyikan, tentunya ia tidak mau lagi menyerahkan uang sungguhan."

"Untuk apa masih repot-repot, pakai menyerahkan sesuatu segala?" tanya Pete.

"Karena kita ingin tahu, siapa sebenarnya maling itu," kata Jupiter. "Lembaran-lembaran kertas yang akan kujadikan pengganti uang ini nanti kita bungkus, lalu bungkusnya kita olesi obat buatanku. Ada kemungkinan kita nanti tidak bisa melihat maling itu sewaktu ia mengambil uang tebusan yang diminta. Tapi begitu bungkusan yang nanti kusiapkan dipungutnya, pada tangannya kemudian akan ada belang-belang hitam yang tidak bisa dihapus. Dengan begitu, kita akan tahu siapa dia sebenarnya!"

"Kau rupanya yakin bahwa kita mengenal dia," kata Fenton Prentice.

"Tentu saja kita mengenal maling itu," kata Jupe dengan gembira. "Orang itu tahu kegemaran Gwen Chalmers akan permen coklat. Ia juga tahu kebiasaan Mrs. Bortz, pergi berbelanja pukul empat pagi. Jadi ia pasti orang sini juga!"

"Alex Hassell!" seru Pete. "Ia satu-satunya yang masih ada!"

Jupe tersenyum. Tapi tanpa mengatakan apa-apa.

"Kau tahu siapa orangnya," kata Prentice.

"Tahu sih tahu, tapi saya tidak bisa membuktikan bahwa memang dialah malingnya," kata Jupe. "Atau lebih cocok kalau dikatakan, belum bisa. Tapi apabila nanti ia mengambil bungkusan yang dikiranya berisi uang, nah-saat itu kita akan punya bukti nyata!"

Setelah itu Jupe tidak mau mengatakan apa-apa lagi. Ketika tukang pos datang membawa surat pukul sepuluh, di atas meja ruang duduk sudah ada dua tumpukan kertas surat kabar yang digunting-gunting dan diatur rapi.

Surat yang ditujukan pada Fenton Prenoce ternyata diketik, dan tidak ditandatangani pengirimnya.

­BUNGKUS UANG ITU DALAM KERTAS PEMBUNGKUS BERWARNA COKLAT DAN LETAKKAN DALAM KERANJANG SAMPAH DI JALAN MASUK KE TAMAN, TEPAT PUKUL LIMA SORE INI.

­Pesan itu diketik pada selembar kertas surat biasa, sedang stempel pos yang tertera di sampul menunjukkan bahwa surat itu dikirimkan sehari sebelumnya.

"Bagus!" kata Jupe sambil tersenyum puas. Kemudian ia mengoleskan bahan kimia hasil adonannya ke lembaran-lembaran kertas surat kabar yang dibuat berukuran persis sama dengan lembaran uang dolar, sementara Mr. Prentice mengambilkan kertas pembungkus ­berwarna coklat Tumpukan "uang" dibungkus dengan kertas pembungkus itu, yang kemudian diolesi pula dengan obat pemberi tanda.

"Beres," kata Jupe pada Mr. Prentice, setelah selesai dengan persiapannya. "Pukul lima nanti. Anda pergi ke tempat yang ditentukan dalam surat tadi, lalu Anda taruh bungkusan ini ke keranjang sampah di sana, sesuai dengan permintaan maling itu. Saya anjurkan Anda memakai sarung tangan-jangan yang masih baru-untuk menghindari kotornya tangan Anda kena obat saya. O ya, sebelum itu Anda sebaiknya menghubungi polisi dulu. Mereka akan mengepung taman, lalu jika si maling sudah mengambil bungkusan ini, mereka akan langsung menyergapnya."

"Tapi bagaimana jika ada gelandangan yang kemudian mengambil bungkusan ini," kata Mr. Prentice. "Kan cukup banyak orang yang suka mengorek-ngorek keranjang sampah, mencari-cari sesuatu yang masih bisa dimanfaatkan."

"Saya rasa si maling pasti akan mencegah jangan sampai hal itu terjadi," kata Jupe. "Ia tentunya mengamat-amati dari salah satu tempat."

"Nanti kita tidak ikut melihat akhir kasus ini?" tanya Pete.

"Tentu saja kita ikut. Pukul lima nanti, kita pun akan mengamat-amati keranjang sampah itu. Walau Anda takkan bisa melihat kami, Mr. Prentice, tapi kami sudah jelas akan ada di sana pula!"

Bab 19 ALIBI YANG SEMPURNA

­SEPEREMPAT jam sebelum pukul lima sore, Bob, Pete, dan Jupiter sudah bersembunyi dalam semak yang terdapat di samping rumah Pastor. Di taman sempit di ujung jalan hanya ada seorang petugas kebersihan. Orang itu mondar-mandir membawa tongkat dan sebuah karung. Sampah yang ditemukan di antara rerumputan ditusuknya dengan tongkat, lalu dimasukkan ke dalam karung.

"Maling itu akan datang dari arah jalan besar," kata Jupiter meramalkan.

Sebuah kendaraan pengangkut surat kabar muncul dari ujung jalan, lalu berhenti di samping trotoar dekat jalan masuk ke taman. Seorang pria melompat turun dari bak belakang, mengeluarkan setumpuk surat kabar, lalu menaruhnya di atas trotoar. Kemudian mobil itu pergi lagi, pria itu tetap berdiri di samping tumpukan surat kabar.

Sikapnya seolah-olah sedang menunggu pembeli.

­Tahu-tahu ada yang membuka salah satu jendela rumah Pastor.

"Kurasa akan lebih nyaman jika kalian menunggu di dalam," kata orang itu. Anak-anak rasanya mengenal suaranya.

­Pete berpaling. Dilihatnya Father McGovern berdiri di balik jendela yang terbuka, sambil mengisap pipa.

"Rasanya tidak pantas, jika kalian merunduk-runduk begitu, di tengah semak," kata pastor itu. "Pergilah ke pintu depan, nanti kubukakan! Kalian bisa mengamat-amati dari sini."

Jupiter merasa mukanya menjadi merah.

"Kalian bukannya tidak kelihatan, jika tetap bertahan di situ," kata Father McGovern lagi. "Ayo, masuklah! Polisi pasti tidak senang, jika tahu kalian mencampuri urusan mereka lagi."

Ketiga remaja itu lekas-lekas keluar dari dalam semak, lalu masuk ke rumah.

"Aku tadi melihat kalian menuju kemari," kata pastor itu pada mereka. "Orang-orang yang di luar itu--yang berdiri dekat tumpukan surat kabar, dan yang menggotong karung-mereka kelihatannya sedang menunggu seseorang. Apakah itu ada hubungannya dengan Earl serta kasus pencurian waktu itu?"

­"Saya rasa mereka polisi yang menyamar, Father," kata Jupiter.

"Kalau salah satu dari mereka, aku tahu pasti," kata Father McGovern. "Orang yang membawa karung itu Sersan Henderson. Ia mendatangi Earl di rumah sakit. Aku bertemu dia di sana. Yang satu lagi-orang yang kelihatannya penjual surat kabar-aku tidak tahu. Tapi tidak biasanya ada penjual surat kabar di luar taman."

"Anda ini berbakat jadi detektif, Father!" kata Bob. "Bagaimana keadaan Earl sekarang?"

"Sebentar lagi juga sembuh. Kurasa ia malah senang ketika mendengar bahwa mungkin ia jatuh karena dipukul orang. Ia tidak suka mengakui kemungkinan bahwa ia terpeleset," Pastor itu menyalakan pipanya yang sementara itu padam.

"Sedang Mrs. O'Reilly," sambungnya, "siang ini ia bebas tugas. Itulah sebabnya kenapa aku bisa santai-santai mengisap pipa di-sini."

Jupiter Jones meringis, lalu melirik arlojinya.

"Hampir pukul lima," katanya.

Fenton Prentice nampak berjalan ke arah taman membawa bungkusan kertas berwarna coklat. Sesampainya di jalan setapak yang menuju ke dalam taman, ia berhenti. Di situ ada sebuah keranjang sampah yang sudah hampir penuh sesak. Prentice memandang sejenak ke sekelilingnya, lalu meletakkan bungkusan tadi ke keranjang sampah. Setelah itu la pergi dari situ.

Seketika itu juga muncul seorang lelaki dari sudut jalan yang berbatasan dengan Wilshire Boulevard. Penampilannya benar-benar menampakkan bahwa orang itu gelandangan. Kerah jasnya yang compang-camping dilipat ke atas, untuk menutupi kenyataan bahwa ia tidak memakai kemeja. Lutut celananya menggembung, sedang ujung bawah salah satu pipa celananya robek-robek,

"Kasihan, orang yang malang itu!" kata Father McGovern.

­Gelandangan itu menghampiri jalan masuk ke dalam taman. Saat itu petugas kebersihan sedang meneliti sesuatu yang ditemukannya di rerumputan beberapa meter dari situ. Sedang penjual surat kabar sibuk menghitung barang jualannya.

Gelandangan berpakaian compang-camping tadi mengorek-ngorek keranjang sampah. Secepat kilat bungkusan kertas coklat sudah berada dalam genggamannya. Dan detik berikutnya tidak kelihatan lagi, menghilang masuk ke balik jas.

Tahu-tahu penjual surat kabar berlari, mendatangi gelandangan itu.

Petugas kebersihan menjatuhkan tongkat dan karung yang dibawa, lalu ia pun lari mendatangi.

Gerakan mereka dilihat oleh si gelandangan. Ia melesat, lari ke jalan. Dengan cepat Pete membuka jendela ruang duduk, lalu meloncat ke luar lewat situ.

Terdengar bunyi tuter. Nyaris saja gelandangan yang lari itu ditabrak mobil, yang untungnya cepat-cepat membanting setir ke samping untuk menghindarinya. Gelandangan itu tidak peduli. Ia terus saja berlari.

Sementara Pete lari mengejar, polisi-polisi itu berteriak. Seorang dari mereka menembakkan pistolnya ke atas, Gelandangan yang lari sudah mencapai sudut jalan, lalu menghilang ke kanan.

"Permisi, Father!" kata Jupiter, lalu melompat pula lewat jendela, disusul oleh Bob.

"He, Buyung! Minggir!" seru polisi yang menyamar menjadi penjual surat kabar, ia ­memberi isyarat pada Pete agar jangan terus mengejar.

Sebuah mobil polisi datang, lalu berhenti di tepi trotoar. ­

"Ia lari ke barat, masuk ke jalan Wilshire," seru Sersan Henderson yang menyamar menjadi petugas kebersihan taman pada rekannya yang ada dalam mobil patroli.

"Tunggu!" seru Jupiter.

Para petugas polisi itu memandangnya sambil melotot

"Apa katamu?" tanya seorang dari mereka.

"Anda tidak perlu buru-buru," kata Jupiter:" "Aku tahu di mana orang itu sekarang-beserta bungkusan uang tebusan yang isinya cuma guntingan koran saja. Maling itu takkan mau repot-repot bersembunyi, karena merasa punya alibi yang benar-benar kokoh."

"Ah, kau ini rupanya anak pintar yang diceritakan oleh Mr. Prentice," kata Sersan Henderson.

"Baiklah, di mana orang itu sekarang?"

"Di Belvedere Medical Clinic, Atau tepatnya, sebentar lagi ia akan ada di sana," jawab Jupiter Jones. "Rumah sakit swasta itu cuma beberapa blok saja letaknya dari sini!"

Polisi yang mengemudikan mobil patroli mengerutkan kening.

"Oke! Ayo ikut!" katanya kemudian.

Jupe dan kedua temannya bergegas-gegas masuk ke mobil polisi, yang kemudian dengan cepat meninggalkan tempat itu. Beberapa saat kemudian mereka sudah. sampai di Belvedere Clinic. Resepsionis yang mengenakan celemek merah jambu marah-marah, ketika Trio Detektif bersama para petugas polisi menyerbu masuk tanpa mengatakan apa-apa padanya.

Di lantai dua mereka bertemu dengan seorang perawat yang sedang bertugas. Wanita itu tertegun, lalu menatap mereka dengan heran.

"Ingin bertemu dengan siapa?" tanya perawat itu. "Kenapa resepsionis tidak memberi tahu?"

"Sudahlah, kami ini sedang buru-buru," kata Jupiter. Ia menyusur lorong, menuju kamar sudut yang ditempati John Murphy.

Pintu kamar itu tertutup. Jupe mendorongnya sehingga terbuka. John Murphy sedang berbaring di tempat tidur, berselubung selimut sampai ke dagu. Pesawat TV yang ditaruh berhadapan dengan tempat tidur menyala. Murphy mengalihkan perhatiannya dari pesawat itu. Dipandangnya rombongan yang muncul di ambang pintu.

"Ada apa?" katanya dengan nada bertanya.

"Bungkusan uang itu Anda taruh di dalam lemari, Mr. Murphy?" tanya Jupe. "Atau Anda sembunyikan di bawah selimut?"

Mendengar pertanyaan itu Mr. Murphy langsung duduk. Mukanya merah padam, sedang napasnya tersengal-sengal. selimut yang semula menyelubungi tubuhnya merosot ke bawah. Ternyata Mr. Murphy hanya memakai jas yang sudah compang-camping, tanpa kemeja.

­Jupiter membuka pintu lemari. Bungkusan tadi ada di situ, masih dalam keadaan tertutup rapi.

Mr. Murphy mengerang.

"Andaikan Anda tadi sempat menyingkirkan bungkusan ini sambil lari kemari, kami masih akan tetap tahu, Mr. Muprhy," kata Jupiter. "Bungkusan ini diolesi dengan bahan kimia khusus, dan tangan Anda sebentar lagi akan kelihatan berbelang-belang hitam."

Mr. Murphy menunduk, memperhatikan kedua belah tangannya.

Kini Sersan Henderson melangkah maju, "Anda berhak tidak menjawab," katanya mengingatkan hak-hak asasi yang dimiliki Mr. Murphy.

"Anda berhak..."

"Sudahlah, aku juga tahu hakku," kata pria yang masih tetap berada di tempat tidur. "Kukenakan pakaianku dulu-lalu sesudah itu aku ingin menelepon pengacaraku."

Sersan Henderson menatap Trio Detektif dengan perasaan kagum.

"Mr. Prentice memang sudah mengatakan, kalian ini pintar," katanya. "Padahal ini benar-benar alibi yang sempurna. Bersembunyi di rumah sakit swasta. Siapa akan mengira..."

"Mr. Murphy sendiri yang menyebabkan terjadinya kebakaran di dalam apartemennya," kata Jupiter. "Ia memerlukan alasan untuk bisa masuk ke rumah sakit ini! Ia tahu bahwa antara hari-hari Natal dan Tahun Baru takkan banyak pasien di sini. Ia sebenarnya tidak cedera. Dan begitu sudah mengetahui pola tugas para perawat, dengan gampang saja ia bisa menyelinap keluar-masuk. Mereka di sini tidak mengawasi dirinya dengan ketat, karena ia ada di sini agar bisa beristirahat dan tidur!"

­Bab 20 LAPORAN PADA MR.HITCHCOCK

­PERTENGAHAN bulan Januari, barulah Trio Detektif mendapat peluang untuk menyampaikan laporan pada Alfred Hitchcock. Sutradara kenamaan itu mereka jumpai di kantornya, sedang membalik-balik halaman majalah kesenian yang berjudul Art News.

"Jika kalian kemari ini hendak menyampaikan laporan tentang kasus Anjing Karpatia," kata Mr. Hitchcock, "kalian tidak perlu repot-repot. Dalam majalah ini ada artikel mengenai karya-karya mendiang Edward Niedland, lengkap dengan ilustrasi. Ada foto patung anjing kristal itu, serta legenda tentang anjing itu."

Mr. Hitchcock meletakkan majalahnya.

"Tapi jika kalian bermaksud menceritakan bagaimana Anjing Karpatia akhirnya bisa dikembalikan pada Fenton Prentice, dengan senang hati aku bersedia mendengarnya. Laporan mengenai hal itu dalam majalah ini sangat ringkas."

"Mr. Prentice tidak suka jika kehidupan pribadinya dibeberkan pada masyarakat ramai," kata Bob.

"Begitulah kabarnya," kata Mr. Hitchcock. "Tapi ia masih sempat menyebut tiga orang remaja dari Rocky Beach yang banyak membantunya dalam menghadapi kasus itu. Karenanya aku sudah memperkirakan bahwa kalian kapan-kapan pasti akan kemari. Dan kurasa kalian sementara ini sudah sempat menuliskan kasus itu."

Bob menyodorkan sebuah map arsip pada sutradara itu.

"Aha!" kata Mr. Hitchcock sambil menerimanya.

Seperti biasanya, ia kemudian tidak mengatakan apa-apa lagi, selama asyik menyimak catatan yang disusun oleh Bob. Ketika akhirnya selesai, ditutupnya lagi map itu. Ia membisu sejenak, dengan kening berkerut

"Benar-benar menakjubkan!" katanya kemudian. "Padahal aku bukan orang yang gampang merasa takjub. Ada orang yang badan halusnya bisa meninggalkan tubuh kasar saat ia sedang tidur, lalu badan halus itu keluyuran ke mana-mana! Dibandingkan dengan Elmquist ini, hantu bukan apa-apanya!"

"Sampai sekarang ia belum juga mau mengakui kemampuannya yang luar biasa itu," kata Bob. "Seperti kata Profesor Lantine, banyak orang seperti dia yang menyembunyikan kemampuan mereka. Mereka sendiri merasa ngeri terhadap kemampuan yang mereka miliki."

"Itu bisa kumengerti!" kata Mr. Hitchcock. "Sekarang kau, Jupiter! Dari mana kau tahu, maling itu pasti Murphy?"

"Persoalannya gampang sekali, Sir," kata Jupe. "Pertama-tama, saya menarik kesimpulan bahwa pelakunya harus seseorang yang tinggalnya di sekitar situ. Seseorang yang tahu tentang tempat penyimpanan berkas kunci gereja di rumah Pastor. Kemudian, ketika Miss Chalmers dan Mrs. Bortz dengan jalan kekerasan disingkirkan dari tempat itu, saya lantas tahu bahwa pencuri itu pasti salah seorang penghuni gedung apartemen itu. Hanya penghuni gedung itu saja yang mengetahui secara terinci segala kebiasaan kedua wanita itu--dan bahwa kolam renang merupakan tempat, penyembunyian yang aman, begitu kedua wanita tadi sudah tidak ada lagi di situ.

"Lalu selanjutnya, Elmquist sedang tidur di apartemennya ketika pencurian itu terjadi. Jadi tidak mungkin dia pelakunya. Dugaan saya ini dipertegas oleh hasil penyelidikan Bob di Universitas Ruxton. Di sana Bob mendapat keterangan bahwa Elmquist bisa saja berada di dua tempat pada waktu bersamaan. Tapi dalam keadaan seperti itu ia tidak bisa berbuat apa-apa, dan tidak bisa memindahkan apa-apa. Harley Johnson memiliki alibi waktu pencurian itu terjadi. Ia sedang bepergian bersama beberapa orang temannya, dan itu bisa dengan mudah diperiksa kebenarannya. Jadi yang tinggal hanya Alex Hassell, dan John Murphy."

"Pada waktu pencurian terjadi, baik Hassell maupun Murphy sama-sama sedang tidak ada di rumah masing-masing," kata Jupiter melanjutkan.

"Dan kedua-duanya mendengar ucapan Mrs. Bortz yang berniat memanggil tukang untuk disuruh menguras kolam. Kemudian saya teringat, kata-kata itu menyebabkan John Murphy terkejut. Dan malamnya, ia pergi dengan mobilnya."

"Pasti untuk mencari bahan peledak," sela Mr. Hitchcock. "Barang seperti itu, tidak biasa disimpan di dalam rumah."

"Ia mendatangi seorang teman, yang memproduksi bahan-bahan kimia," kata Jupe. "Peledak yang dipasangnya di dalam mobil Mrs. Bortz sebenarnya tidak berbahaya. Hanya bunyi dan asapnya saja yang menyeramkan. John Murphy hanya ingin menyebabkan Mrs. Bortz merasa resah, sehingga lupa pada niatnya semula, yaitu membersihkan kolam renang. Setidak-tidaknya, untuk beberapa hari saja sudah cukup. John Murphy memang hanya memerlukan barang sehari dua saja.

"Saya sebenarnya bisa lebih cepat merasa pasti bahwa Murphy-lah pencurinya, jika tidak terjadi kebakaran di apartemennya. Menurut saya itu tidak mungkin terjadi secara tak disengaja, mengingat kenyataan bahwa Mr. Murphy sangat hati-hati dengan rokoknya. Saat itu kelihatannya ia merupakan satu korban lagi dari penjahat yang dicari-cari. Dipikirkan sepintas lalu, ia tidak punya hubungan sama sekali dengan kolam renang. Tapi waktu itu saya menduga, mungkin saja pencuri itu ingin menyingkirkan setiap orang yang mungkin merupakan saksi. Karenanya saya lantas mulai menduga-duga, pelakunya pasti Alex Hassell. Dialah yang dengan salah satu cara berhasil masuk ke apartemen Mr. Murphy, lalu menimbulkan kebakaran di situ. Kalau memang benar dia orangnya, bisa saja kami tidak melihatnya saat itu, karena kami tidak begitu memperhatikan layar monitor TV waktu api mulai berkobar. Setelah itu Hassell bisa saja langsung pindah ke tempat penginapan, dengan maksud menyusun alibi. Persis seperti yang dilakukan oleh Mr. Murphy, dengan kepindahannya ke rumah sakit.

"Tapi ketika surat dari pencuri yang berisi petunjuk-petunjuk tentang cara penyerahan uang tebusan itu datang, saya lantas sadar bahwa pencurinya tidak mungkin Alex Hassell-tapi Murphy. Soalnya, uang itu diminta agar ditaruh di dalam keranjang sampah tepat pukul lima sore. Padahal, pada jam itu, Mr. Hassell selalu ada di apartemennya, untuk memberi makan kucing-kucingnya! Jika Mr. Hassell pelakunya, uang tebusan itu mestinya harus diserahkan pada saat yang lain-dan bukan pukul lima sore."

Mr. Hitchcock tertawa.

"Memang, takkan mungkin justru pukul lima. Andaikan ia sampai hati membiarkan kucing-kucingnya menunggu, ia takkan berani memilih waktu pukul lima. jika saat itu ia tidak nampak di depan apartemennya, maka hal itu pasti akan dirasakan aneh oleh para penghuni yang lain. Tapi apa sebabnya Mr. Murphy sampai mengambil risiko yang begitu besar, untuk memperoleh uang sepuluh ribu? Dia kan makelar saham yang memiliki nama baik. Begitu perlu uangkah dia?"

­"Setidak-tidaknya, begitulah menurut pendapatnya sendiri," jawab Jupiter. "Sewaktu diperiksa polisi, akhirnya ia mengaku bahwa selaku wali Harley, ia mempergunakan uang simpanan warisan pemuda itu untuk mengadu untung dalam bursa saham. Uang yang dipertaruhkannya itu kemudian licin tandas. Padahal bulan depan, Harley akan sudah cukup umur. Dan saat itu Mr. Murphy harus menjelaskan ke mana perginya uang itu. Dan penjelasan ini bisa menyebabkan ia dijebloskan ke dalam penjara. Karena itulah ia sangat memerlukan uang sebanyak sepuluh ribu dolar, untuk dimasukkan ke dalam simpanan Harley."

"Menyedihkan," ujar Mr. Hitchcock. "Cerita lama yang selalu terulang."

"Harley sudah memaafkan walinya," kata Jupiter lagi. "Tapi tentu saja urusan ini sudah terlepas dari tangannya. Sekarang tergantung pertimbangan pengadilan. John Murphy ternyata memang memukul Earl, dan memang dia yang mengirimkan permen coklat berisi racun pada Gwen Chalmers, dengan maksud agar wanita muda itu jatuh sakit untuk beberapa waktu sehingga tidak mungkin bisa berenang. Dan John Murphy pula yang melakukan pencurian, serta mencoba memeras Mr. Prentice."

"Dengan begitu kita sampai pada pokok persoalan lain," kata Mr. Hitchcock. "Dari mana Mr. Murphy tahu bahwa Anjing Karpatia hari itu ada di Lucan Court?"

"Sonny Elmquist yang mengatakan padanya!" ujar Bob. "Dugaan Jupe ternyata tepat. Memang ada hubungan antara pencurian dan bayangan yang muncul di dalam apartemen Mr. Prentice. Hari Senin malam itu badan halus Elmquist yang sedang mengembara secara kebetulan mendengar Mr. Prentice mengatur urusan penyerahan patung anjing itu dengan Charles Niedland, lewat telepon. Setidak-tidaknya, itulah yang terjadi menurut kesimpulan kami. Elmquist membantah-katanya, ia mendengar cerita itu sebelumnya, dari Mrs. Bortz. Tapi wanita itu tidak tahu dengan pasti, kapan tepatnya Mr. Prentice akan mendapat Anjing Karpatia."

"Pokoknya, ketika badan halus Elmquist sudah kembali dari pengembaraannya dan ia sudah bangun lagi, ia berjumpa dengan Mr. Murphy, di pekarangan. Saat itulah ia bercerita tentang Anjing Karpatia pada orang itu. Elmquist sendiri tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksudkan. Tapi Mr. Murphy bisa menduga, karena ia mengenal nama Mr. Niedland. Karenanya ia lantas pergi ke Lucan Court dengan mengenakan topeng dan membawa pistol. Maksudnya hendak menodong Mr. Niedland."

"Ia benar-benar nekat, rupanya," kata Mr. Hitchcock mengomentari.

"Memang, dan sesudahnya ia bahkan semakin nekat!" sela Pete. "Maksud saya, mulanya ia menyangka akan bisa menyambar anjing kristal itu, lalu lari pulang dengannya. Kemudian urusannya bahkan menjadi lebih gampang kelihatannya, ketika ternyata bahwa Mr. Niedland tidak ada di rumah mendiang saudaranya. Tapi sial bagi Mr. Murphy; ia ketahuan oleh polisi yang kemudian bahkan hampir-hampir berhasil menangkapnya. Mr. Murphy tidak berani langsung ke rumah saat itu. Karenanya ia lantas lari masuk ke dalam gereja. Di situ ia menyamar menjadi patung. Setelah menggetok kepala Earl yang malang dengan gagang pistolnya, patung curian itu kemudian disembunyikannya. Ia sendiri menyelinap ke luar. Topeng dan pistol dicampakkannya ke keranjang sampah dekat taman, lalu ia berjalan santai ke rumahnya."

"Lalu keesokan malamnya ia kembali lagi untuk mengambil patung, dengan menyamar menjadi hantu pastor!" kata Mr. Hitchcock menyimpulkan.

Tapi Jupe menggeleng. "Tidak! Mr. Murphy mengatakan bahwa ia pun melihat pastor itu'"

"Hm," gumam sutradara kenamaan itu.

"Mr. Murphy sangat terkejut ketika meliatnya," sambung Pete. "Tapi ia berhasil menguasai perasaan, lalu lari ke luar. Jupe dikuncinya di dalam gereja. Kemudian, ketika keadaan sudah tenang kembali, anjing kristal curiannya dimasukkannya ke dalam kolam. Menurut dugaan kami badan halus Elmquist saat itu sedang gentayangan lagi, dan melihat Mr. Murphy di pinggir kolam. Malam itu Elmquist sedang ada di rumah."

­"Lalu, apa yang sekarang terjadi dengan Elmquist?" tanya Alfred Hitchcock

"Ia tidak akan diapa-apakan," kata Pete. "Memang, mungkin saja ia berniat menguasai patung Anjing Karpatia, tapi itu belum dilakukan olehnya. Ia tidak sempat melakukannya! Pemuda itu masih selalu berharap akan bisa ke India, tapi saat ini ia hanya pergi sampai ke wilayah barat kota Los Angeles saja. Ia pindah ke sana. Mr. Prentice menghubungi pemilik gedung apartemen itu, dan mereka mendesak Elmquist agar pindah dari situ."

"Sejak itu, pernahkah badan halusnya datang lagi ke rumah Prentice?" tanya Mr. Hitchcock.

"Tidak. Sejak ia pindah dua minggu yang lalu, Mr. Prentice bisa hidup tenteram. Mrs. Bortz pun sementara ini sudah pindah. Katanya, lingkungan Paseo Place sudah brengsek sekarang, dan ia tidak mau memikul tanggung jawab kalau terjadi

apa-apa lagi di sana. Kini di gedung apartemen itu sudah ada manajer yang baru, juga seorang wanita. Orangnya santai, katanya ia tidak peduli apa yang dilakukan para penghuni di situ, asal jangan terlalu keras menyetel peralatan stereo, dan tidak berenang lewat pukul sepuluh malam. Mr. Prentice merasa sangat lega, karena tidak ada lagi yang suka mengintip-intip."

"Jadi masalahnya sudah beres sekarang," kata Mr. Hitchcock. "Tapi masih ada satu urusan yang belum jelas, yaitu tentang hantu pastor itu."

"Mungkin itu badan halus Elmquist," kata. Jupiter. "Pada waktu gentayangan, badan halus itu selalu tampil dengan pakaian yang dikenakan tubuh kasarnya. Dan dengan kemeja putih berkerah bulat yang menutup leher serta baju hangat berwarna hitam, dari kejauhan bisa saja ia disangka pastor. Tapi sulitnya, rambut mendiang pastor itu putih mulus, padahal Elmquist rambutnya hampir-hampir hitam. Belum lagi soal lilin. Menurut keterangan Profesor Lantine, badan halus tidak bisa memegang apa-apa. Jadi lilin, tentunya juga tidak bisa.

"Kemungkinan kedua, hantu pastor itu sebenarnya Elmquist sendiri. Setelah, badan halusnya melihat patung anjing kristal itu di dalam gereja, mungkin Elmquist sendiri lalu pergi ke sana untuk memeriksa. Jika kita anggap ia memang bermaksud mencuri, ia bisa saja menyamar menjadi hantu pastor, untuk menakut-nakuti siapa saja yang kebetulan masuk saat itu. Tapi penjelasan ini juga ada sulitnya, yaitu bagaimana Elmquist-yang sekali ini benar-benar Elmquist yang asli-bisa keluar lagi, jika pintu-pintu kemudian dikunci setelah saya ditolong?"

Alfred Hitchcock mengangguk.

"Dengan begitu tinggal kemungkinan ketiga, yaitu... "

"Hantu pastor itu benar-benar ada!" kata Bob menyambung. "Entahlah, rasanya kita takkan tahu mana yang benar."

SELESAI