Trio Detektif - Misteri Jejak Bernyala(2)




  Bab 10
KETAHUAN
"HE, Bob! Kau cedera?"    

Jupiter berlutut di samping lubang yang menganga. Hanya
samar-samar saja dilihatnya Bob yang berusaha bangkit dengan
susah payah, di dalam sebuah ruangan yang nampaknya
merupakan gudang bawah tanah.
Bob mengumpat.
"Kau cedera, Bob?"
Bob berdiri, sambil melengkungkan bahu. "Kayaknya sih, tidak!"
Jupiter merebahkan diri ke tanah, lalu mengulurkan tangan ke
dalam lubang. "Ayo, kutolong kau naik!" katanya pada Bob.
Bob berusaha memanjat ke atas, sambil berpegangan pada
tangan Jupiter, serta menopangkan satu kaki ke sebuah rak.
Tapi rak yang dipijak itu ambruk. Bob jatuh terjengkang.
Nyaris saja Jupiter ikut tertarik ke dalam lubang.
Bob mengumpat. Tapi kemudian terkesiap, karena tiba-tiba ada
sinar terang disorotkan ke arah mereka.
"Jangan bergerak!" kata seseorang. Ditilik dari suaranya, orang
itu penghuni Hilltop House yang lebih muda.
Jupiter tidak bergerak, sedang Bob tetap duduk di tanah di
dasar lubang. Ia menatap ke atas, lewat jajaran papan lapuk
yang pecah karena terinjak olehnya tadi.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya laki-laki yang
memegang senter.
Hanya Jupiter saja yang masih bisa mempertahankan sikap
berwibawa, sambil berbaring tertelungkup.
"Saat ini saya sedang berusaha menolong teman saya keluar
dari lubang ini," katanya. "Saya harapkan bantuan Anda, agar
kita bisa selekas mungkin mengetahui apakah ia mengalami
cedera."    
"Kurang ajar-!" sergah laki-laki itu. Suara berat yang tertawa
terkekeh memotong kalimatnya.
"Sabar, Demetrieff," kata orang yang tertawa itu, yaitu lakilaki
yang berkepala botak. Ia berlutut, dengan ketangkasan
yang tak terduga, mengingat tubuhnya yang tidak bisa dibilang
langsing. Ia mengulurkan tangannya ke arah Bob. "Kau bisa
meraih tanganku?" katanya. "Di tempat ini tidak ada tangga."
Bob berdiri, lalu mengulurkan tangan ke atas. Dengan cepat ia
sudah ditarik laki-laki botak itu ke atas.
"Nah, bagaimana keadaanmu?" tanya orang itu pada Bob.
"Tidak ada tulang yang patah? Syukurlah. Patah tulang, bukan
merupakan hal yang menyenangkan, kalau kuingat ketika aku
jatuh tertindih kudaku. Baru dua bulan kemudian aku bisa
menunggang kuda lagi. Sangat menyebalkan, jika harus
berbaring saja, tanpa bisa berbuat apa-apa." Si Botak diam
sejenak, lalu menyambung dengan nada datar, "Tentu saja kuda
itu kutembak mati."
Bob meneguk ludah. Sedang Jupiter merasa tubuhnya
merinding.
"Kias Kaluk memang terkenal tidak sabar menghadapi
kecerobohan," kata laki-laki yang lebih muda.
Jupiter berdiri lambat-lambat, sambil membersihkan debu
yang menempel. "Kias Kaluk?" ucapnya dengan nada bertanya.
"Bisa juga kaukatakan, Jenderal Kaluk," kata laki-laki yang
muda itu lagi. Saat itu barulah Jupiter melihat, bahwa kecuali
senter, orang itu juga menggenggam pistol.
"Jenderal Kaluk." Jupiter menganggukkan kepala ke arah lakilaki
yang botak, lalu menoleh lagi ke arah pemegang pistol. "Dan
Anda Mr. Demetrieff," katanya.    
"Dari mana kau tahu?" tanya Demetrieff.
"Jenderal Kaluk tadi menyapa Anda dengan nama itu," kata
Jupiter. Si Botak yang ternyata jenderal, terkekeh lagi.
"Daya tangkap telingamu hebat, Sobatku yang montok,"
katanya pada Jupiter. "Aku menaruh minat pada remaja begitu,
karena banyak yang mereka dengar. Bagaimana jika kita
sekarang masuk ke rumah, untuk membicarakan apa saja yang
mungkin kaudengar malam ini?"
"He, Jupe," sela Bob dengan cepat, "kita kan tidak berniat
begitu! Maksudku, aku tidak apa-apa, jadi kita pergi saja -" Ia
terdiam, karena laki-laki yang bernama Demetrieff
menggerakkan pistol ke arahnya.
"Tidaklah bijaksana, jika lubang menganga di halaman Anda ini
kita biarkan begini," kata Jupiter. "Mungkin saja nanti ada lagi
anggota Klub Olahraga Jalan Kaki Chaparral yang mengambil
jalan pintas lewat sini, lalu terperosok ke dalamnya. Kalau itu
sampai terjadi, siapakah yang bertanggung jawab jika ada
tuntutan? Anda, Mr. Demetrieff? Atau Jenderal Kaluk?"
Jenderal berkepala botak itu tertawa lagi.
"Pikiranmu lincah, Sobat," katanya pada Jupiter. "Tapi kurasa
pemilik rumah inilah yang harus bertanggung jawab. Walau
begitu patah tulang bukan merupakan hal yang menyenangkan,
seperti sudah kukatakan tadi. Demetrieff, di belakang istal
ada beberapa lembar papan."
"Kurasa bukan istal, tapi garasi," sela Bob.
"Pokoknya, itulah yang kumaksudkan. Ambil papan-papan itu,
lalu tutup lubang ini dengannya." Laki-laki botak yang rupanya
lebih tua itu memandang ke dalam lubang, memperhatikan rak
yang patah serta lantai tanah di bawah. "Kelihatannya ada    
sambungan dasar bangunan yang menjorok ke dalam kebun.
Kurasa gudang tempat menyimpan minuman anggur."
Demetrieff mengambil dua lembar papan yang lembab dan
dekil dari belakang garasi, yang kemudian cepat-cepat
diletakkan menutupi lubang.
"Itu sudah cukup - setidak-tidaknya untuk sementara waktu,"
kata Jenderal Kaluk. "Sekarang kita masuk ke rumah, di mana
kau nanti kuminta bercerita tentang Klub Olahraga Jalan Kaki
Chaparral yang kausebut-sebut tadi. Sebutkan pula sekaligus
nama kalian, dan apa sebabnya kalian memilih jalan pintas lewat
halaman ini."
"Dengan senang hati," kata Jupiter.
Laki-laki yang bernama Demetrieff menggerakkan tangannya,
menunjuk ke arah pintu dapur. Jenderal Kaluk berjalan di
depan, diikuti oleh Jupe dan Bob. Mereka masuk lewat dapur
yang nampak berdebu dan tak terurus, menuju ke ruang baca.
Sesampainya di sana Jenderal Kaluk langsung duduk di kursi
lipat. Disuruhnya Bob dan Jupiter duduk di tempat tidur lipat
yang ada di ruangan itu.
"Kami tidak bisa melayani kedatangan kalian dengan lebih baik,"
kata jenderal itu. Kepalanya yang botak berkilat kena sinar api
yang berkobar dalam pendiangan. "Kalian mau minum teh panas,
barangkali?"
"Terima kasih, Sir," kata Jupiter sambil menggeleng, "saya
tidak biasa minum teh."
"Saya juga tidak," kata Bob.
"O ya, aku lupa," kata jenderal itu. "Anak-anak Amerika tidak
biasa minum teh atau kopi - begitu pula anggur. Kalian umumnya
minum susu. Ya, kan?" Jupiter membenarkan pertanyaan itu.    
"Yah - kami tidak punya susu di sini," kata Jenderal Kaluk.
Demetrieff berdiri di sampingnya agak ke belakang.
"Demetrieff," kata Jenderal Kaluk, "pernahkah Anda
mendengar klub itu?" "Tidak," jawab Demetrieff singkat.
"Itu klub setempat," kata Jupiter cepat-cepat. "Berjalan kaki
merintis chaparral lebih menyenangkan jika dilakukan siang
hari. Tapi anggota perkumpulan kami kadang-kadang iseng,
malam-malam merintis jalan-jalan di hutan, jika cuaca sedang
cerah seperti sekarang ini. Sambil berjalan, bisa didengar
suara-suara binatang dalam semak belukar. Kadang-kadang
mereka juga bisa dilihat jika kita berdiri diam-diam. Saya
pernah melihat seekor rusa, dan beberapa kali ada skunk
melintas di depan saya."
"Sangat menarik," kata laki-laki yang bernama Demetrieff.
"Mestinya kalian juga mengamat-amati burung, ya?"
"Kalau malam hari, tidak," kata Jupiter dengan jujur. "Kadangkadang
memang terdengar suara celepuk, tapi kalau melihat,
tidak pernah. Siang hari banyak burung di chaparral, tapi
Ia tertegun, karena saat itu Jenderal Kaluk memberi isyarat
dengan tangan, menyuruhnya berhenti.
"Nanti dulu," kata laki-laki botak itu. "Chaparral - baru
sekarang aku mendengarnya. Tolong jelaskan artinya!"
"Chaparral berasal dari bahasa Spanyol, artinya 'belantara',"
kata Jupiter. "Segala tumbuhan yang ada di lereng sini, yaitu
pohon-pohon yang kerdil serta semak belukar, semuanya
merupakan bagian dari chaparral. Tumbuh-tumbuhan itu sangat
tahan hidup di kawasan yang gersang, di mana hujan jarang
turun. California merupakan satu di antara sedikit kawasan    
yang punya chaparral. Karena itulah timbul minat yang besar
terhadap tumbuh-tumbuhan yang hidup di sini."
Bob duduk sambi! mendengarkan. Dalam hati ia mengagumi daya
ingat Jupiter, yang hafal hampir seluruh ulasan tentang
chaparral, yang belum lama berselang pernah dimuat dalam
majalah Nature. Tapi Bob juga tahu, daya ingat sehebat itu
tidak jarang terdapat di kalangan aktor, karena biasa
menghafal teks. Dan Jupiter ketika masih kecil, pernah
menjadi aktor film.
Sementara itu Jupiter melanjutkan penjelasannya. Ia
mengoceh tentang bau chaparral saat musim semi, sehabis
hujan. Ketika ia sedang menjelaskan tentang akar-akar yang
membuat tanah di lereng tidak gampang longsor, Jenderal
Kaluk mengangkat tangannya lagi.
"Cukup," katanya. "Aku bisa mengerti, kekagumanmu terhadap
tumbuh-tumbuhan chaparral. Tumbuhan yang tabah, jika
tumbuh-tumbuhan bisa dikatakan memiliki ketabahan. Tapi
sekarang mengenai persoalan kita. Siapa nama kalian?"
"Jupiter Jones," kata Jupe.
"Bob Andrews," kata Bob menimpali.
"Baiklah! Sekarang coba katakan, mau apa kalian di
pekaranganku."
"Kami mengambil jalan pintas," kata Jupiter menjelaskan,
tanpa berbohong. "Kami tadi naik ke bukit dari Rocky Beach
melalui jalan setapak, lalu menyusuri puncak sampai kemari.
Dari atas kami bisa turun ke jalan raya, lewat jalan pribadi
Anda."
"Tapi itu kan jalan pribadi!"    
"Memang, Sir - kami juga tahu. Tapi Hilltop House ini sudah
bertahun-tahun tidak ada penghuninya, dan sementara itu
penggemar olahraga jalan kaki sudah biasa memintas lewat
jalan rumah Anda."
"Mulai sekarang kebiasaan itu harus dihilangkan," kata
Jenderal Kaluk. "Tapi kurasa kita sudah pernah berjumpa
sebelum ini, Jupiter Jones."
"Kalau berjumpa, sebetulnya belum, Sir," kata Jupe. "Tapi Mr.
Demetrieff kemarin berbicara dengan saya, ketika mobil Anda
salah membelok dari jalan raya."
"Ya, betul juga katamu! Dan saat itu di tempatmu ada seorang
laki-laki tua berjenggot. Siapa dia?"
"Kami mengenalnya dengan julukan Potter," kata Jupiter. "Saya
rasa, itu memang namanya yang sebenarnya - Alexander
Potter." "Temanmu?" tanya Jenderal Kaluk.
"Kenalan," kata Jupiter mengakui. "Semua orang di Rocky
Beach mengenal Potter." Jenderal Kaluk mengangguk.
"Aku rasanya pernah mendengar tentang dia." Ia menoleh ke
arah Demetrieff. Cahaya api di pendiangan menyebabkan
kulitnya yang cokelat nampak berkilat-kilat. Jupiter melihat
bahwa pipi orang itu penuh kerut yang halus sekali. Kaluk
ternyata bukan tak berumur. Ia sudah tua.
"Demetrieff," kata jenderal itu, "bukankah Anda yang
bercerita bahwa di daerah sini ada pengrajin tembikar
terkenal yang membuat guci?" "Dan macam-macam lagi," sela
Bob menambahkan.
"Aku ingin sekali bertemu dengan orang itu," kata Jenderal
Kaluk. Ia tidak bertanya. Tapi walau begitu, ia berhenti    
berbicara dengan sikap seolah-olah menunggu jawaban. Tapi
Jupiter diam saja, begitu pula Bob.
"Tokonya terletak di kaki bukit tempatku ini," kata jenderal
itu setelah beberapa saat. "Itu tokonya," kata Jupiter.
"Dan saat ini ia sedang kedatangan tamu," sambung Jenderal
Kaluk. "Seorang wanita muda, bersama seorang anak laki-laki.
Kalau aku tidak salah, kau kemarin membantu mereka, sewaktu
mereka datang di toko itu."
"Ya, betul," kata Jupiter.
"Begitulah seharusnya, bantu-membantu," kata jenderal itu.
"Kau mengenal mereka?"
"Tidak, Sir," kata Jupiter. "Mereka kenalan Mr. Potter, yang
datang dari salah satu tempat di kawasan Midwest."
"Kenalan," kata Jenderal Kaluk. "Senang, jika banyak kenalan.
Tapi mestinya pembuat guci - dan macam-macam lagi itu - ada
di bawah, untuk menyambut kedatangan kedua kenalannya."
"Orang itu... yah, ia agak aneh. Eksentrik!"
"Kelihatannya memang begitu. Ya, aku ingin sekali bisa
berjumpa dengan dia. - Bukan cuma ingin, tapi aku harus bisa
berjumpa dengan dia!" Tiba-tiba si Botak meluruskan sikap
duduknya, sambil mencengkeram lengan kursi. "Di mana dia?"
tanyanya. "Hah?" Bob melongo.
"Kau sudah mendengar pertanyaanku tadi. Di mana orang yang
kalian sebut Potter itu?" "Kami tidak tahu," kata Jupiter.
"Mustahil!" tukas Jenderal Kaluk. Pipinya yang kering nampak
memerah, "Ia ada bersamamu kemarin. Dan hari ini kau
membantu kenalan-kenalannya, ketika mereka tiba di
rumahnya. Kau tahu di mana orang itu berada!"    
"Tidak, Sir," kata Jupiter. "Kami tidak tahu ke mana perginya,
setelah ia meninggalkan perusahaan kami kemarin."
"Ia yang menyuruh kalian kemari!" Dakwaan itu diucapkan
dengan ketus.
"Itu tidak benar!" bantah Bob dengan keras.
"Jangan coba membual, tentang mengembara di tengah
chaparral!" teriak jenderal itu. Ia menggamit pendampingnya.
"Demetrieff! Mana pistolmu!" Laki-laki yang lebih muda itu
menyerahkan senjatanya pada Jenderal Kaluk. "Kau tahu
tugasmu," kata Jenderal Kaluk dengan sengit. Demetrieff
mengangguk. Ia mulai membuka ikat pinggangnya. "Eh, tunggu
dulu!" seru Bob.
"Duduk!" tukas Jenderal Kaluk. "Demetrieff - yang gendut itu,
yang pandai berbicara. Aku ingin mendengar ia berbicara lebih
banyak lagi."
Demetrieff pergi ke belakang tempat tidur yang diduduki oleh
Bob dan Jupiter. Jupiter merasakan ikat pinggang yang
terbuat dari kulit dililitkan ke kepalanya.
"Sekarang kau bicara tentang Potter," kata Jenderal Kaluk. "Di
mana orang itu?"
Lilitan ikat pinggang diperkencang. "Aku tidak tahu," kata
Jupiter.
"Ia dengan begitu saja pergi meninggalkan itu - eh, itu,
perusahaanmu, dan sejak itu kau tidak melihatnya lagi?" Katakata
itu diucapkan oleh si Botak dengan nada nyaris mengejek.
"Tepat, itulah yang terjadi kemarin."
Lilitan ikat pinggang diperkencang sedikit lagi.    
"Dan ia saat itu menunggu kedatangan tamu-tamu - kenalannya,
seperti kaukatakan tadi - yang telah kaubantu dengan begitu
baik hati?" "Ya, betul!"
"Lalu polisi kalian tidak berbuat apa-apa?" desak Kaluk.
"Mereka tidak mencari orang itu, yang pergi begitu saja?"
"Kita ini hidup di negara bebas," kata Jupiter. "Tidak ada yang
berhak mencegah, jika Potter sendiri ingin pergi."
"Negara bebas?" Mata jenderal itu berkedip-kedip. Ia
mengusap-usap dagunya yang tidak ditumbuhi rambut. "Ya. Ya,
aku pernah mendengar tentang itu. Tapi waktu itu ia tidak
mengatakan apa-apa padamu? Kau berani bersumpah?"
"Ia sama sekali tidak mengatakan apa-apa," kata Jupiter
dengan mantap. Ditatapnya jenderal itu, tanpa berkedip.
"Begitu." Jenderal Kaluk berdiri, lalu menghampiri Jupiter.
Ditatapnya remaja itu selama beberapa saat. Kemudian ia
mendesah. "Baiklah. Kita harus membebaskan mereka,
Demetrieff. Anak ini mengatakan yang sebenarnya."
Pendampingnya yang lebih muda, berusaha membantah.
"Tidak mungkin bisa begitu banyak hal-hal yang kebetulan,"
katanya.
"Mereka ini cuma anak-anak, yang ingin tahu saja," kata
Jenderal Kaluk sambil mengangkat bahu, "sama saja seperti
anak-anak pada umumnya, yang suka ingin tahu. Mereka tidak
tahu apa-apa."
Jupiter dibebaskan dari ikat pinggang yang selama itu melilit
kepalanya. Bob menghembuskan napas lega. Tidak disadarinya
bahwa selama itu ia menahan napas.
"Kalian seharusnya kami serahkan pada polisi kalian yang hebat,
yang tidak berusaha mencari orang yang menghilang," tukas    
Demetrieff. "Akan kami katakan pada mereka bahwa kalian
telah melakukan pelanggaran. Kalian memasuki tanah pribadi
tanpa izin."
"Seenaknya saja Anda bicara tentang melanggar hukum!" tukas
Bob. "Jika kami laporkan apa yang terjadi tadi di sini..."
"Kau takkan melapor," kata Jenderal Kaluk. "Apa yang telah
terjadi di sini tadi? Aku tadi bertanya tentang seorang
seniman termashur, dan kalian memberi tahu bahwa kalian
tidak tahu di mana orang itu berada. Itu kan biasa saja? Orang
itu terkenal, dan pernah ada tulisan dalam majalah-majalah
tentang dirinya. Sedang tentang ini -" Jenderal Kaluk
menimang-nimang pistol yang ada di tangannya, "tentang benda
ini, Mr. Demetrieff punya izin memilikinya, dan kalian tadi
memang masuk ke tanah pribadi tanpa izin. Tapi tidak terjadi
apa-apa di sini tadi. Kami malah bermurah hati! Kalian boleh
pergi sekarang - dan jangan kembali lagi!"
Dengan segera Bob berdiri, sambil menarik Jupiter agar ikut
dengannya.
"Sebaiknya kalian turun lewat jalan yang biasa," kata Jenderal
Kaluk. "Dan ingat, kami akan terus mengamat-amati."
Kedua remaja itu tidak berbicara, sampai sudah meninggalkan
rumah itu, dan bergegas-gegas menuruni jalan pribadi yang
menghubungkan Hilltop House dengan jalan raya di bawah.
"Biar diupah pun, aku takkan mau lagi ke sana!" kata Bob
dengan sepenuh hati.
Jupiter menoleh, memandang ke arah tembok batu yang
menopang teras Hilltop House. Diterangi sinar bulan, nampak
jelas jenderal tadi berdiri bersama Demetrieff di sana. Kedua
orang itu berdiri seperti patung, mengamat-amati.    
"Pasangan jahat," kata Jupiter. "Aku yakin sekali, Jenderal
Kaluk pasti sudah sering mengetuai proses pemeriksaan."
"Jika maksudmu ia sudah biasa memaksa orang agar mengaku,
aku setuju sekali dengan pendapatmu," kata Bob. "Untung saja
kau bertampang jujur!"
"Lebih menyenangkan lagi bisa bicara tanpa berbohong," kata
Jupiter.
"Kau memang sama sekali tidak bohong," kata Bob menyindir.
"Sejauh mungkin, aku sudah berusaha begitu. Anak bisa juga
kan disebut kenalan?"
Mereka sampai di bagian jalan yang menikung. Hilltop House
tidak nampak lagi, tertutup semak yang ada di sisi kiri jalan.
Saat itu, dari arah sebelah bawah bukit itu nampak kilatan
sinar, langsung disusul bunyi yang tidak begitu nyata. Sesuatu -
yang mungkin juga lebih dari satu - melesat lewat di atas
kepala Bob, dan berhamburan dalam semak.
"Tiarap!" seru Jupiter.
Bob langsung menelungkup, bersebelahan dengan Jupiter.
Kedua remaja itu menunggu, tanpa berani bergerak. Mereka
mendengar bunyi berderak-derak di tengah belukar. Arahnya
datang dari kanan. Setelah itu sunyi, kecuali suara seekor
burung malam.
"Peluru mimis?" tanya Bob menebak.
"Melihat bunyinya tadi, begitulah," kata Jupiter menarik
kesimpulan. Ia merangkak maju, sampai ke tikungan berikut di
sebelah bawah. Bob mengikutinya. Mereka terus merangkak,
menuruni bukit. Ketika sudah sekitar lima puluh meter, kedua
remaja itu meloncat bangkit, lalu cepat-cepat lari ke arah jalan
raya.    
Pintu pagar di ujung bawah jalan pribadi itu tertutup. Tanpa
memeriksa lagi apakah pintu itu digembok atau tidak, Jupiter
langsung memanjatnya ke seberang. Bob bahkan melewatinya
dengan jalan melompat. Mereka lari ke jalan raya, menuju
gerbang pagar rumah Potter. Mereka langsung masuk, dan baru
berhenti ketika sudah sampai di serambi depan.
"Tembakan tadi!" kata Jupiter tersengal-sengal. "Datangnya
tidak mungkin dari arah Hilltop House. Jenderal Kaluk dan
Demetrieff masih berdiri di teras, saat kita menikung." Ia
mengatur napas sebentar, lalu menyambung, "Ada orang
mengintai di bukit, dengan senapan. Bob! Ada orang lain yang
terlibat dalam urusan ini!"

Bab 11
HANTU DATANG LAGI
JUPITER Jones menekan tombol bel di samping pintu rumah
Potter. Tiba-tiba sebuah jendela di tingkat atas terbuka.
Terdengar suara Eloise Dobson berseru, Siapa r
Jupiter mundur dari naungan atap serambi, kembali ke
halaman. "Jupiter Jones, Mrs. Dobson, bersama Bob Andrews."
"O," kata Mrs. Dobson. "Tunggu sebentar."
Jendela ditutupnya lagi. Sesaat kemudian terdengar bunyi
anak kunci diputar, disusul suara gerendel ditarik. Pintu rumah
terbuka, dan Pete menjenguk ke luar. "Ada apa?" tanya Pete.
"Tenang sajalah - biar kami masuk dulu," kata Jupiter dengan
suara pelan.
"Aku kan tenang. Ada apa?"
Jupe dan Bob melangkah masuk ke ruang depan.    
"Aku tidak ingin menimbulkan kecemasan Mrs. Dobson," kata
Jupiter cepat-cepat, "tapi orang-orang di Hilltop House itu -"
Ia tidak meneruskan, karena saat itu Mrs. Dobson muncul di
ujung atas tangga, lalu menuruninya.
"Kau mendengar letusan nyaring semenit yang lalu, Jupiter?"
tanya wanita muda itu. "Bunyinya seperti tembakan."
"Cuma suara knalpot mobil, dijalan raya," kata Jupiter cepatcepat.
"Mrs. Dobson, ini teman kami, Bob Andrews."
"Apa kabar, Mrs. Dobson," sapa Bob.
Mrs. Dobson tersenyum, lalu membalas sapaan itu.
"Kenapa kalian berdua selarut ini kemari?" tanyanya, ketika
sudah sampai di bawah. Saat itu Tom Dobson muncul di atas
tangga, lalu menuruninya. Ia membawa baki, dengan cangkircangkir
kosong bertumpuk-tumpuk di atasnya. "He, Jupe!"
katanya menyapa. Jupiter memperkenalkan Bob pada Tom.
"Wah!" kata Tom. "Penyelidik ketiga!" "Apa katamu?" kata Mrs.
Dobson.
"Ah, tidak apa-apa, Bu - aku cuma main-main saja," kata Tom.
"Hm!" Mrs. Dobson menatap anaknya dengan pandangan
menyelidik, seperti yang biasa dilakukan para ibu. "Sekarang
bukan waktunya main-main," katanya kemudian. "Ada apa lagi
dengan kalian sekarang? Aku bukannya tidak menghargai usaha
kalian. Aku bahkan senang sekali, Pete menginap di sini untuk
menemani kami. Tapi aku tidak suka kalau kalian main rahasiarahasiaan!"
"Maaf, Mrs. Dobson," kata Jupiter. "Saya dan Bob sebenarnya
tidak bermaksud datang kemari. Tapi kami tadi berjalan-jalan
menyusuri jalan darurat di puncak bukit, dan kemudian kami
melihat kedua orang yang ada di Hilltop House."    
Bob tersedak, karena kaget.
Sedang Jupiter melanjutkan dengan tenang.
"Hilltop House itu rumah besar yang ada di belakang rumah ini,
tapi letaknya lebih tinggi, hampir di puncak bukit. Rumah itu
sejak kemarin ditempati dua orang penyewa baru. Dari teras
sana, mereka bisa langsung melihat ke dalam kamar-kamar
tidur sebelah belakang rumah ini. Karenanya kami merasa perlu
memberi tahu Anda, agar Anda menurunkan kerai-kerai jendela
di kamar-kamar itu."
"Hebat!" Mrs. Dobson terduduk di jenjang pangkal tangga.
"Sempurnalah kejadian-kejadian sepanjang hari ini. Mula-mula
jejak kaki berapi, lalu si Sinting dari hotel, dan sekarang
sepasang pengintip."
"Si Sinting dari hotel?" tanya Bob. "Siapa yang sinting, dan
dari hotel mana?"
"Seorang pria, bernama Farrier," kata Pete menjawab. "Ia
muncul di sini sekitar setengah jam yang lewat. Katanya, ingin
melihat apakah semua sudah beres, dan apakah ada yang bisa
dilakukannya untuk Mrs. Dobson."
"Pemancing ikan yang periang," kata Jupiter.
"Terlalu periang, bagiku," kata Mrs. Dobson. "Entah kenapa,
tapi perasaanku tidak enak menghadapi orang itu. Kenapa ia
begitu ngotot? Senyumannya tak pernah lepas, sampai
melihatnya saja pun otot-otot mukaku sudah terasa pegal. Dan
ia selalu begitu... begitu..."
"Rapi?" tebak Jupiter.
"Yah - bisa juga dikatakan begitu." Mrs. Dobson duduk
bertopang dagu. "Penampilannya seperti... yah, seperti bonekaboneka
pajangan di toko-toko besar. Kurasa ia sama sekali    
tidak pernah berkeringat. Pokoknya, ia tadi mencoba
memancing ajakan untuk minum kopi di sini. Tapi kukatakan
bahwa aku ingin berbaring sambil mengompres kepala dengan
lap basah. Ia langsung mengerti, lalu pergi lagi."
"Ia kemari naik mobil?" tanya Jupiter.
"Ya, tentu saja," jawab Pete. "Mobil Ford tua, berwarna
cokelat. Ia kemudian pergi, lewat jalan raya."
"Hmm," kata Jupiter. Kemudian, "Bisa saja ia berpesiar,
menyusuri pantai. Nah - kurasa sebaiknya kami pulang saja
sekarang. Sampai besok, Mrs. Dobson."
"Selamat malam, Anak-anak," kata Mrs. Dobson. Diambilnya
baki berisi tumpukan cangkir dari tangan Tom, lalu pergi ke
dapur.
Jupiter memanfaatkan kesempatan itu. Ia cepat-cepat
bercerita pada Tom dan Pete, tentang kejadian di Hilltop
House, serta tembakan yang kemudian menyusul. Sekali lagi ia
berpesan pada keduanya, agar menurunkan kerai jendelajendela.
Setelah itu ia keluar, bersama Bob. Mereka
mendengar bunyi anak kunci diputar, serta gerendel
disorongkan.
"Lega hatiku mengetahui bahwa Potter melengkapi rumahnya
dengan banyak kunci-kunci pengaman," kata Jupiter.
Kedua remaja itu menyusuri tepi jalan raya, kembali ke Rocky
Beach.
"Apakah menurutmu, mereka yang di rumah itu benar-benar
dalam bahaya?" tanya Bob.
"Tidak," kata Jupiter. "Kurasa tidak. Kedua laki-laki di Hilltop
House itu mungkin saja ingin tahu tentang mereka, tapi kita    
sekarang tahu bahwa minat mereka sebenarnya terarah pada
Potter. Dan mereka tahu, Potter tidak ada di rumahnya."
"Bagaimana dengan orang yang di bukit tadi?" kata Bob. "Itu -
yang melepaskan tembakan ke arah kita!"
"Kitalah yang diancam," kata Jupiter. "Tidak ada tanda-tanda
bahwa ia menakut-nakuti keluarga Dobson. Dan Mr. Farrier
begitu ngotot mencurahkan perhatiannya pada Mrs. Dobson,
padahal Mrs. Dobson jelas tidak memberi hati padanya. Bibi
Mathilda bahkan terang-terangan bersikap kasar padanya
siang tadi. Itu menarik, karena orang pada umumnya takkan
mendesak-desakkan diri lagi, jika sudah jelas kelihatan bahwa
kedatangannya tidak disukai. Lalu mobil Ford cokelat itu juga
menarik."
"Kenapa begitu?" kata Bob. "Kan ada jutaan mobil seperti itu?"
"Soalnya, tidak cocok dengan penampilan pemiliknya," kata
Jupiter menjelaskan. "Penampilannya terlalu rapi seperti yang
diakui oleh Mrs. Dobson. Jadi bisa dibayangkan, mestinya ia
naik mobil yang lebih anggun - seperti mobil sport yang diimpor
dari luar negeri, misalnya. Kecuali itu, sementara ia nampak
begitu seksama mengurus penampilan dirinya, tapi mobilnya
dibiarkan berselimut debu. Dicuci saja pun tidak!"
Sementara itu mereka sudah hampir sampai di Rocky Beach.
Kedua remaja itu mempercepat langkah, karena tahu-tahu
khawatir kalau dicari-cari oleh Bibi Mathilda. Tapi
ketika mereka sampai di rumah keluarga Jones, tempat itu
sepi. Jupiter mengintip ke dalam lewat jendela. Dilihatnya
Paman Titus masih tetap tertidur dengan nikmat, sementara di
televisi sedang diputar film tua.    
"Temani aku sebentar," kata Jupiter pada Bob. "Aku masih
harus menutup pintu gerbang perusahaan."
Mereka pergi ke seberang, lalu masuk lewat pintu gerbang
besar. Lampu menyala terang di bengkel Jupiter di luar. Ketika
Jupiter hendak memadamkannya, ia melihat lampu merah yang
terdapat di atas mesin cetak berkelip-kelip. Itu tanda bahwa
pesawat telepon di markas berdering.
"Selarut ini?" kata Bob dengan heran. "Siapa-"
"Pete!" kata Jupiter. "Pasti Pete." Dengan cepat
disingkirkannya terali penutup Lorong Dua, dan beberapa saat
kemudian kedua remaja itu sudah berada di dalam markas.
Jupiter menyambar gagang telepon, mendekatkannya ke
telinga.
"Cepat kembali!" Suara Pete terdengar tegang. "Kejadian itu
berulang lagi!"
"Ada jejak kaki lagi?" tanya Jupiter.
"Ya - tiga, di tangga," kata Pete. "Cepat-cepat kupadamkan
tadi. Tercium bau aneh. Dan Mrs. Dobson mengalami gangguan
syaraf."
"Kami akan segera datang," kata Jupiter, lalu mengembalikan
gagang telepon ke tempatnya.
"Ada jejak kaki menyala lagi," katanya pada Bob. "Sekali ini di
tangga. Pete juga mengatakan bahwa saat ini Mrs. Dobson
sedang galau pikirannya. Itu bisa kumengerti." "Kita kembali ke
sana?" tanya Bob. "Ya, kita kembali," jawab Jupiter.
Keduanya bergegas-gegas keluar lagi, lewat Lorong Dua. Ketika
mereka sedang mengunci pintu gerbang, Bibi Mathilda
membuka pintu rumah. "Apa saja yang kalian lakukan di sana
selama itu?" serunya.    
"Ada yang perlu kami atur," kata Jupiter membalas pertanyaan
itu, lalu bergegas menghampiri bibinya. "Kami ingin menjenguk
Mrs. Dobson serta anaknya sebentar," katanya. "Bibi tidak
berkeberatan, 'kan?"
"Aku keberatan," kata Bibi Mathilda. "Malam sudah larut, tidak
sopan kalau sekarang masih datang berkunjung. Kecuali itu, kau
kan tahu bahwa aku tidak senang jika kau malam-malam masih
ada dijalan raya."
"Sepeda kami kan ada lampunya," kata Jupiter, "dan kami akan
berhati-hati. Mrs. Dobson tadi siang kelihatannya begitu
bingung. Karena itu kami ingin melihat sebentar ke sana,
apakah semuanya sudah beres."
"Yah... baiklah, Jupiter. Tapi kalian berdua hati-hati, ya!" Bibi
Mathilda tertegun sekejap, lalu bertanya, "Mana Pete?"
"Sudah pergi," jawab Jupiter singkat.
"Baiklah. Jika kalian masih ingin pergi, cepatlah sedikit -
karena malam semakin larut. Dan ingat - hati-hati dijalan!"
"Kami akan berhati-hati," kata Jupiter.
Perjalanan kembali ke rumah Potter hanya memakan waktu
beberapa menit saja, karena kali ini mereka naik sepeda.
Sesampainya di sana mereka menggedor-gedor pintu depan,
sambil memanggil-manggil. Pete membukakan pintu.
"Seluruh rumah sudah kauperiksa?" tanya Jupiter, begitu
sudah ada di dalam rumah.
"Aku? Seorang diri?" kata Pete. "Aku tidak senekat itu! Tanpa
itu pun aku sudah cukup sibuk - memadamkan jejak kaki yang
menyala, lalu lari ke telepon umum dijalan untuk menelepon
kalian, sedang Mrs. Dobson sedang histeris, tidak bisa diajak
bicara secara normal."    
Benarlah. Mrs. Dobson saat itu sedang galau pikirannya. Bob
dan Jupiter mengikuti Pete naik ke tingkat atas, menuju ke
kamar tidur besar di depan.
Mereka menjumpai Mrs. Dobson tertelungkup di atas tempat
tidur, sambil menangis tersedu-sedu. Anaknya duduk di
sampingnya. Tom menepuk-nepuk bahu ibunya. Anak itu nampak
sangat gugup.
Bob pergi ke kamar mandi. Dibukanya keran air, lalu
dibasahinya selembar lap penyeka tubuh.
"Nah! Itu, mulai lagi!" teriak Mrs. Dobson. "Apa yang mulai
lagi?" tanya Jupiter.
"Sekarang berhenti," kata Mrs. Dobson. "Baru saja ada bunyi
air mengalir."
"Saya yang menyebabkannya, Mrs. Dobson." Bob masuk sambil
menenteng lap basah. "Saya rasa Anda mungkin perlu ini."
"Oh." Mrs. Dobson menerima lap basah yang disodorkan, lalu
menyeka wajah dengannya.
"Kalian belum lama pergi," kata Pete menjelaskan, "ketika tahutahu
terdengar bunyi air mengalir dalam pipa-pipa. Padahal
tidak ada satu keran pun yang dibuka! Lalu ketika kami sudah
ada di kamar tidur masing-masing, terdengar bunyi gedebuk di
bawah. Mrs. Dobson keluar untuk memeriksa. Saat itulah
nampak tiga jejak kaki berapi di jenjang. Cepat-cepat
kulemparkan selimut di atasnya, sehingga api padam. Tapi
bekasnya masih kelihatan."
Jupiter dan Bob kembali ke tangga, untuk memeriksa bekas
jejak yang hangus itu.
"Persis seperti yang didapur," kata Jupiter. Disentuhnya salah
satu jejak itu dengan ujung jari. Lalu diciumnya bau yang    
menempel di ujung jarinya itu. "Baunya aneh - seperti bahan
kimia tertentu."
"Lalu apa kesimpulan kita, kalau begitu?" tanya Pete. "Kita
menghadapi hantu yang sarjana kimia?"
"Saat ini sebenarnya sudah terlalu larut," kata Jupiter, "tapi
kusarankan untuk memeriksa seluruh rumah ini."
"Takkan ada yang bisa masuk kemari tadi, Jupe," kata Pete
berkeras. "Rumah ini terkunci rapat, melebihi lemari besi di
Bank Sentral."
Tapi Jupiter tetap ingin memeriksa. Rumah itu diteliti dengan
seksama, dari ruang bawah tanah sampai ke ruang loteng. Tapi
tidak ada apa-apa lagi di situ, kecuali Mrs. Dobson beserta
putranya, Trio Detektif, serta koleksi benda seni tembikar
yang banyak jumlahnya.
"Aku ingin pulang," keluh Eloise Dobson.
"Ya, kita pulang, Bu," kata Tom berjanji. "Besok pagi, ya?"
"Kenapa tidak sekarang ini juga?" tanya Mrs. Dobson.
"Ibu kan capek!"
"Kau sangka aku bisa tidur di tempat ini?" tanya Mrs. Dobson.
"Anda akan merasa lebih aman jika kami semua menginap di sini
malam ini?" tanya Jupiter Jones.
Eloise Dobson menggigil. Ia merentangkan tubuh di tempat
tidur, menendang-nendang kaki pembaringan itu.
"Aku akan merasa lebih aman," katanya mengaku. "Bisakah
barisan pemadam kebakaran juga diminta ikut menginap?"
"Moga-moga saja kita tidak memerlukan mereka," kata Jupiter.
"Sekarang Ibu beristirahat saja dulu, ya Bu?" Tom Dobson
pergi ke lemari di gang, mengambilkan selimut bagi ibunya. Mrs.
Dobson masih berpakaian seperti siangnya.    
"Aku harus berganti pakaian dulu," kata Mrs. Dobson dengan
suara lesu. Tapi ia tidak berdiri. Ia menutupi mata dengan
lengan. "Jangan padamkan lampu," katanya.
"Tidak," kata Tom.
"Dan jangan pergi," gumam ibunya.
"Aku tetap di sini, Bu," kata Tom.
Mrs. Dobson tidak mengatakan apa-apa lagi. Wanita malang itu
tertidur, karena sangat capek.
Anak-anak berjingkat-jingkat keluar, lalu berkelompok di ujung
tangga sebelah atas.
"Akan kuambil selembar selimut lagi, lalu tidur di lantai, di
kamar ibuku," kata Tom dengan suara pelan. "Kalian benarbenar
akan menginap semalaman di sini?"
"Bibi Mathilda bisa kutelepon," kata Jupiter. "Akan kuberi
tahu bahwa ibumu sedang galau pikirannya, dan ingin ditemani.
Setelah itu Bibi Mathilda mungkin bisa memberi tahu Mrs.
Andrews."
"Biar aku sendiri yang menelepon ibuku," kata Bob. "Akan
kukatakan padanya, aku menginap di rumahmu."
"Barangkali sebaiknya kita menelepon polisi," kata Tom.
"Selama ini, itu tidak banyak gunanya," kata Jupiter. "Kunci
pintu baik-baik, begitu kami keluar untuk menelepon sebentar."
"Jangan khawatir," kata Pete.
"Nanti kalau kami kembali, akan kuketuk pintu tiga kali
berturut-turut," kata Jupiter lagi. "Kutunggu sebentar, lalu
kuketuk lagi tiga kali."
"Oke, mengerti." Pete memutar anak kunci dan menarik
gerendel, untuk membukakan pintu. Bob dan Jupiter    
menyelinap ke dalam kegelapan, menuju ke bilik telepon umum
di pinggir jalan raya.
Bibi Mathilda sangat prihatin ketika mendengar bahwa Mrs.
Dobson kacau pikirannya, dan ingin ada yang menemani. Jupiter
tidak mengatakan apa-apa, tentang jejak kaki berapi yang
muncul lagi. Waktu menelepon selama tiga menit hampir
seluruhnya dipakai oleh Jupiter untuk mencegah Bibi Mathilda,
yang hendak membangunkan Paman Titus, dan mengajaknya
menjemput Mrs. Dobson serta anaknya dengan truk, untuk
diamankan di rumah mereka.
"Mrs. Dobson sudah tidur sekarang," kata Jupiter akhirnya.
"Ia tadi cuma mengatakan, ia akan merasa lebih aman jika kami
semua menemaninya di rumah ini."
"Tapi tempat tidur di situ kan tidak banyak," kata Bibi
Mathilda keberatan. "Ah, itu tidak jadi soal," kata Jupiter.
"Seadanya sajalah!"
Akhirnya Bibi Mathilda mengalah. Jupiter diperbolehkannya
menginap. Setelah itu ganti Bob yang menelepon. Ibunya
ternyata langsung mengizinkan, ketika diberi tahu bahwa ia
malam itu diajak Jupiter menginap. Bob tidak mengatakan, di
mana ia menginap.
Setelah itu keduanya kembali ke rumah Potter. Pintu depan
diketuk dengan cara yang sudah disepakatkan. Pete
membukakan pintu.
Seperti kata Bibi Mathilda, di situ memang tidak cukup tempat
tidur - biarpun Tom Dobson sudah berbaring di lantai, di kamar
tidur ibunya. Tapi menurut Pete, itu soal kecil. Secara bergilir,
seorang dari mereka harus bangun untuk menjaga, sementara
yang dua lagi tidur. Bob dan Jupiter menyetujui saran itu, dan    
Jupiter secara sukarela mengatakan bahwa ia saja yang
pertama-tama menjaga selama tiga jam berikut sejak saat itu.
Bob masuk ke kamar tidur Potter, lalu merebahkan diri di
pembaringan sempit dan rapi yang ada di situ. Sedang Pete
masuk ke kamar tidur yang sebetulnya disediakan untuk Tom
Dobson.
Jupiter duduk di lantai, di kaki tangga. Ia menyandarkan
punggung ke dinding, sementara matanya menatap bekas-bekas
hangus yang nampak di jenjang tangga. Jejak kaki tanpa
sepatu. Ia berpikir, sambil mencium-cium ujung jari-jarinya.
Bau bahan kimia yang tercium ketika tadi ia menyentuh jejakjejak
itu, kini sudah tidak ada lagi.
Pasti untuk menimbulkan nyala api tadi dipakai bahan yang
gampang sekali menguap. Jupiter berpikir-pikir, berusaha
mengetahui jenis bahan itu. Tapi kemudian ia menarik
kesimpulan, yang penting bukan bahan itu. Tapi kenyataan ada
orang yang masuk ke rumah yang terkunci rapat-rapat dari
dalam, untuk menimbulkan kesan yang menyeramkan itu.
Bagaimanakah cara melakukannya? Dan siapa yang
melakukannya?
Jupiter Jones merasa pasti tentang satu hal, yaitu bukan
hantu yang melakukan keisengan itu. Jupiter tetap tidak
percaya bahwa hantu itu ada.

Bab 12
PUSTAKA TERSEMBUNYI
JUPITER terbangun. Didengarnya bunyi kesibukan di dapur
yang terletak di bawah. Ia mengerang pelan, lalu memutar    
tubuhnya yang tergeletak di tempat tidur Tom Dobson.
Jupiter memandang arlojinya. Pukul tujuh lewat sedikit.
"Kau sudah bangun?" Bob Andrews menjenguk ke dalam dari
ambang pintu.
"Ya, sekarang aku sudah bangun." Jupiter bangkit dengan
gerakan lambat.
"Mrs. Dobson marah-marah," kata Bob. "Sekarang ia sedang
masak, di dapur."
"Bagus - aku memang sudah lapar. Tapi kenapa ia marahmarah?
Tadi malam katanya ingin lekas-lekas pulang."
"Tapi sekarang tidak lagi. Pagi ini ia sudah siap untuk
mengobrak-abrik kota Rocky Beach. Bukan main, pengaruh
tidur nyenyak satu malam. Yuk, ikut aku ke bawah. Kau pasti
asyik melihatnya. Aku teringat pada Bibi Mathilda-mu, jika ia
sedang giat-giatnya."
Jupiter tertawa geli. Ia masuk ke kamar mandi, untuk mencuci
muka. Kemudian ia memasang sepatunya kembali - hanya itu
saja yang sempat dibukanya sebelum tidur - lalu ikut dengan
Bob ke dapur.
Pete dan Tom sudah ada di situ. Mereka memperhatikan Mrs.
Dobson, yang sibuk menggoreng telur sambil mengoceh.
Macam-macam yang diocehkannya. Tentang Potter, tentang
rumah, jejak kaki yang menyala, serta ayah yang tidak tahu
diri, menghilang sementara anak satu-satunya sudah repotrepot
naik mobil melintasi hampir sepanjang benua, untuk
menjenguknya.
"Dan jangan kalian sangka, ibu akan diam saja," kata Mrs.
Dobson. "Tidak! Pagi ini juga aku akan ke kantor polisi untuk    
menyampaikan laporan kehilangan mengenai dirinya. Dengan
begitu polisi harus mencarinya."
"Tapi apakah akan ada gunanya, Mrs. Dobson?" tanya Jupiter
agak sangsi. "Jika Potter menghilang karena kemauannya
sendiri, sulit sekali rasanya-"
"Aku tidak mau ia hilang," potong Mrs. Dobson. Ia meletakkan
piring berisi telur dan daging goreng di atas meja. "Aku ini
anaknya, dan ia ayahku, dan ia harus membiasakan diri pada
kenyataan itu. Sedang kepala polisi kalian harus melakukan
sesuatu terhadap jejak-jejak kaki itu. Itu pasti suatu
kejahatan."
"Kemungkinannya, percobaan pembakaran," kata Bob.
"Apa pun sebutannya, pokoknya harus berhenti. Sekarang
kalian makan. Aku hendak ke kota."
"Ibu sendiri belum sarapan," kata Tom.
"Aku tidak perlu sarapan!" tukas ibunya. "Sekarang makan! Ayo!
Dan jangan ke mana-mana. Aku cuma sebentar!"
Mrs. Dobson menyambar dompetnya, yang diletakkan di atas
lemari es. Ia mencari-cari kunci mobil di dalamnya, lalu
bergegas keluar. Sedetik kemudian terdengar bunyi mesin
mobil biru dihidupkan di luar.
"Ibuku bangkit lagi semangatnya," kata Tom. Ia merasa agak
kikuk.
"Telur ini enak," kata Jupiter. Ia makan sambil berdiri,
menyandar ke ambang pintu. "Sebaiknya kita cepat-cepat saja
mencuci piring yang kotor, sebelum ia kembali."
"Pengalamanmu bertahun-tahun tinggal bersama Bibi Mathilda,
ternyata membuatmu sangat mampu menyelami perasaan
seseorang," kata Bob.    
"Memang sudah sepantasnya, jika ibumu marah pada kakekmu,"
kata Jupiter pada Tom. "Tapi menurutku, Potter tidak berniat
menyakiti hatinya. Ia sama sekali tidak ingin menyakiti hati
siapa pun. Ia memang suka menyendiri, tapi kurasa wataknya
sangat lembut." Jupiter menaruh piringnya di bak cuci. Ia
teringat lagi pada kedua laki-laki yang naik mobil Cadillac,
serta perjumpaan mereka dengan Potter. Jupiter ingat,
bagaimana
Potter saat itu berdiri di jalan masuk Jones Salvage Yard,
sambil menggenggam medalionnya.
"Rajawali berkepala kembar," kata Jupiter. "Tom, kau
mengatakan bahwa kakekmu kadang-kadang mengirim hasil
ciptaannya pada kalian. Pernahkah ia mengirimkan sesuatu
dengan hiasan rajawali berkepala kembar?"
Tom mengingat-ingat sebentar, lalu menggeleng.
"Ibuku menyukai burung," katanya pada Jupiter. "Kakek
biasanya mengirimkan barang-barang dengan hiasan burung,
tapi burung biasa saja - bukan yang aneh-aneh, seperti
lempengan di kamar tidur atas itu."
"Tapi bentuk rajawali itu dipakainya di medalionnya," kata
Jupiter. "Ia juga memakainya sebagai hiasan lempengan yang
kausebutkan. Hmm - hiasan untuk kamar kosong. - Kenapa ia
mau repot-repot membuat benda sebesar itu, kemudian
memasangnya di kamar kosong?"
Jupiter mengeringkan tangannya dengan lap, lalu bergegas
pergi ke atas. Seketika itu juga anak-anak yang lain berhenti
sarapan. Mereka menyusul Jupiter, yang sementara itu sudah
memasuki kamar yang ditempati Mrs. Dobson.    
Rajawali yang berwarna merah seakan-akan menatap marah,
dari atas pendiangan.
Jupiter meraba-raba tepi lempeng tembikar itu.
"Kelihatannya disemenkan ke dinding," katanya.
Tom Dobson pergi sebentar ke kamarnya. Ia kembali dengan
membawa kikir kuku. "Coba dengan ini," katanya.
Jupiter mengambil kikir itu. Dengan alat itu ia mencongkelcongkel
pinggir lempeng tembikar berukuran besar itu.
"Tidak bisa," katanya setelah beberapa saat. "Kurasa Potter
menambahkan lapisan semen lagi pada dinding di atas
pendiangan ini - dan hiasan besar ini juga ikut disemen."
Jupe mundur beberapa langkah. Diperhatikannya bentuk
rajawali besar yang paruhnya terbuka itu.
"Pasti bukan pekerjaan enteng," katanya mengomentari.
"Ukurannya besar sekali." "Tapi memang sudah hobinya, kok,"
kata Tom.
"Eh - nanti dulu!" kata Jupiter. Dihampirinya lempeng tembikar
itu. "Rupanya tidak terdiri dari satu bagian yang utuh! Tolong
ambilkan kursi, supaya aku bisa berdiri di atasnya."
Pete bergegas ke dapur di tingkat bawah, untuk mengambil
kursi.
Jupiter berdiri di atas kursi. Tangannya meraih ke atas, ke
arah kepala rajawali yang sebelah kanan.
"Mata ini tidak sama dengan yang satunya lagi," katanya.
"Dibuat secara terpisah." Ditekannya bulatan porselen putih
yang merupakan bola mata. Bulatan itu tertekan ke belakang.
Terdengar bunyi detakan pelan, dan seluruh bagian dinding di
atas pendiangan bergerak membuka sedikit.   
"Pintu rahasia," kata Jupiter. "Kalau dipikir-pikir, memang
masuk akal." Ia turun dari kursi. Dipegangnya hiasan yang
merupakan bagian pinggir panel dinding itu, lalu ditarik. Panel
itu terbuka dengan mudah. Engselnya ternyata selalu diminyaki.
Para remaja yang ada di dalam kamar itu berkerumun,
memandang ke dalam semacam rongga yang dalamnya sekitar
lima belas senti. Lemari rahasia yang tingginya mulai dari sisi
atas pendiangan sampai ke langit-langit itu dibagi oleh empat
papan rak. Pada papan-papan itu terdapat tumpukan surat
kabar. Jupiter mengambil selembar di antaranya.
"Wah - ini kan koran daerah kami, tapi sudah tua!" seru Tom.
Diambilnya surat kabar yang dipegang oleh Jupiter, lalu
diamat-amatinya sekilas. "Yang ini memuat berita tentang aku,"
katanya.
"Kenapa sampai ada berita mengenai dirimu?" tanya Bob.
"Waktu itu aku memenangkan hadiah dalam perlombaan
mengarang," kata Tom.
Jupiter membuka surat kabar lagi, yang jauh lebih usang.
"Iklan pernikahan ibumu," katanya pada Tom.
Tumpukan surat kabar itu memang semuanya terbitan
Belleview, kota asal Mrs. Dobson serta anaknya, Tom. Dan
surat-surat kabar tersebut ternyata memuat berita-berita
tentang kehidupan keluarga Dobson. Kelahiran Tom, serta
berita dukacita ketika neneknya meninggal. Ada berita tentang
perayaan pembukaan toko yang dikelola ayah Tom, serta satu
lagi tentang pidato ayahnya itu pada kesempatan Hari Veteran.
Segala kesibukan keluarga Dobson yang dimuat dalam harian
itu, ternyata disimpan oleh Potter.    
"Pustaka rahasia," kata Pete. "Dan kau serta ibumulah yang
merupakan rahasia besar di dalamnya."
"Rasanya diperhatikan karenanya," kata Tom.
"Ia sangat tertutup," kata Jupiter. "Tidak ada yang tahu
selama ini bahwa kalian itu ada. Aneh! Dan yang lebih aneh lagi,
dalam koleksi rahasianya ini sama sekali tidak ada apa-apa
tentang Potter sendiri."
"Itu kan tidak aneh," kata Pete. "Potter tidak suka namanya
dimuat dalam pers - sepanjang ingatanku."
"Betul," kata Jupiter. "Tapi kedua orang di Hilltop House
kemarin mengatakan, ulasan mengenai karya seninya pernah
dimuat dalam majalah. Dan apabila cerita tentang karya seni
kita dimuat dalam majalah, maka sudah wajar jika majalah yang
memuat cerita itu kita simpan. Ya, 'kan?"
"Betul," kata Bob.
"Jadi ada dua dugaan yang mungkin benar," kata Jupiter.
"Kemungkinan pertama, Potter sedikit pun tidak memiliki rasa
bangga pada diri sendiri. Atau, sebenarnya sama sekali tidak
ada berita mengenai dirinya dalam majalah - kecuali foto di
majalah Westways. Dan tentang itu, Potter sama sekali tidak
tahu-menahu, sampai hari Sabtu yang lalu. Ia tidak senang
ketika melihat fotonya dimuat dalam majalah."
"Apa arti semuanya itu?" tanya Tom Dobson.
"Artinya, Potter selama ini ingin merahasiakan eksistensi
kalian. Dan ia juga sama sekali tidak ingin dirinya dikenal di
kalangan luas. Mungkin ia mempunyai alasan kuat untuk
bersikap begitu. Kami tidak tahu apa alasannya, Tom - tapi
kemarin malam kami mendengar kedua orang yang menyewa
Hilltop House menunjukkan minat yang sangat besar terhadap   
kakekmu. Mereka datang di Rocky Beach, hampir dua bulan
setelah lembaran Westways muncul dengan foto kakekmu. Ada
kesimpulan yang bisa kautarik dari situ?"
"Ada kemungkinan Kakek melarikan diri," kata Tom. "Tapi
melarikan diri dari apa?" "Apa yang kauketahui tentang
Lapatia?" tanya Jupiter. "Belum pernah kudengar. Apa itu?"
"Lapatia itu nama negara - sebuah negara kecil, di benua Eropa.
Di sana pernah terjadi pembunuhan politik, bertahun-tahun
yang silam." Tom Dobson hanya mengangkat bahu. "Kata Nenek,
Kakek berasal dari Ukraina," katanya. "Kau pernah mendengar
nama Azimov?" tanya Jupiter lagi. "Tidak."
"Mungkinkah itu nama kakekmu, sebelum ia menukarnya
menjadi Potter?" "Tidak. Nama kakekku yang asli sangat
panjang. Panjang sekali. Kau takkan bisa mengucapkannya."
Jupiter berdiri sambil mencubiti bibir bawahnya.
"Ia sudah begitu repot, hanya untuk menyembunyikan
setumpuk koran tua saja," kata Tom. "Padahal ada cara yang
jauh lebih mudah, jika memang begitu penting artinya. Ia bisa
saja memasukkannya ke dalam suatu berkas bersama rekeningrekening
tua - itu, seperti dalam kisah Surat yang Dicuri,
karangan Edgar Allan Poe."
Pete menjamah lempeng tembikar yang berat itu.
"Itu akan lebih bisa diterima akal sehat," katanya. "Benda
seperti ini dalam kamar kosong, sudah pasti akan menarik
perhatian - kalau memang itu yang dikehendaki."
"Sedang Potter tidak menghendakinya," kata Jupiter. "Ia
malah sama sekali tidak suka jika ada perhatian terarah
padanya."    
Jupiter membungkuk. Ia memperhatikan perapian yang ada di
bawah lempeng tembikar itu. Tempat itu benar-benar bersih.
Nampak jelas bahwa perapian itu belum pernah dipakai. Jupiter
berjongkok. Dimasukkan kepalanya ke dalam tempat itu. Ia
memandang ke atas.
"Tidak ada cerobong asap," katanya. "Ini perapian bohongbohongan."
"Mungkin Potter sendiri yang membuatnya," kata Bob menduga.
"Kalau begitu, apa gunanya katup kecil ini?" tanya Jupiter.
Dibukanya sebuah klep dari logam, yang terpasang di dasar
perapian itu. "Pada pendiangan yang benar, katup ini gunanya
untuk membuang abu. Jadi untuk apa dipasang pada perapian
palsu, yang tak pernah berabu?"
Jupiter menyusupkan tangannya ke dalam lubang yang tadi
tertutup katup. Ia merogoh-rogoh lantai pendiangan yang
terbuat dari batu bata. Tiba-tiba ujung jarinya menyentuh
benda yang terbuat dari kertas.
"Ada sesuatu di sini!" serunya. "Sebuah sampul!" Sampul itu
dicongkelnya sehingga ke luar, lalu katup dari logam itu
dibiarkannya menutup kembali.
Sampul yang dikeluarkannya terbuat dari kertas tebal dan
disegel.
"Lemari rahasia di balik lempeng tembikar di atas sebenarnya
hanya untuk mengalihkan perhatian saja," kata Jupiter menarik
kesimpulan. Diacungkannya sampul yang ada di tangannya.
"Kurasa rahasia sebenarnya ada di sini. Nah, apa yang akan kita
lakukan sekarang, Tom? Barang ini milik kakekmu. Saat ini ia
menghilang, sedang kau klien kami. Apa yang kita lakukan
sekarang?"    
"Kita buka," kata Tom, tanpa ragu-ragu.
"Aku sudah berharap-harap, semoga itulah yang akan
kaukatakan," gumam Bob. Jupiter membuka segel penutup
sampul. "Apaan -?" tanya Tom ingin tahu.
Jupiter menarik selembar kertas kulit tebal yang dilipat tiga,
dan membentangkannya dengan hati-hati sekali. "Apa itu?"
tanya Tom lagi. Kening Jupiter berkerut.
"Entah! Kelihatannya seperti semacam sertifikat," katanya.
"Mungkin ijazah - tapi untuk itu, ukurannya kurang besar."
Anak-anak yang lain mengerubunginya. "Tulisannya dalam
bahasa apa?" tanya Pete. Bob menggeleng.
"Aku tidak mengenalnya," katanya. "Aku belum pernah melihat
bahasa seperti ini." Jupiter pergi ke jendela. Di situ
didekatkannya dokumen dengan tulisan tangan itu ke matanya.
"Hanya ada dua yang bisa kukenali," katanya setelah
mengamat-amati selama beberapa saat. "Yang satu, cap yang
ada di bagian bawah. Bentuknya sudah kita kenal, yaitu rajawali
berkepala kembar. Sedang yang satunya adalah tulisan nama ini
- Kerenov. Rupanya pada suatu ketika ada yang menyampaikan
suatu penghargaan tertentu pada seseorang bernama Alexis
Kerenov. Kau pernah mendengar nama itu, Tom?"
"Tidak," kata Tom. "Tapi tidak mungkin itu nama Kakek.
Seperti sudah kukatakan, nama aslinya panjang. Sangat
panjang!"
"Tapi kau kan ingat nama ini, Bob?" kata Jupiter.
"Ya, tentu saja," kata Bob. "Kerenov adalah seniman pengrajin
yang menciptakan mahkota untuk Federic Azimov."
Tom memandang kedua anak itu silih berganti. "Federic
Azimov? Siapa itu?"    
"Dia itu raja Lapatia yang pertama," kata Jupiter menjelaskan.
"Hidupnya sekitar empat abad yang lalu." Tom Dobson menatap
Trio Detektif dengan sikap bingung. "Tapi apa hubungannya
dengan kakekku?" tanyanya.
"Kami juga tidak tahu," jawab Jupiter, "tapi kami berniat akan
menyelidikinya."

Bab 13
RAJAWALI YANG LAIN
JUPITER menumpukkan koran-koran tua terbitan Belleview di
rak yang ada di atas pendiangan dengan rapi, lalu menutup
kembali panelnya.
"Ibumu sebentar lagi akan sudah kembali," katanya pada Tom
Dobson, "dan kurasa ia akan ditemani Chief Reynolds. Aku
cenderung beranggapan bahwa kita takkan bisa menolong
kakekmu, jika dokumen yang kita temukan tadi kita serahkan
pada Chief Reynolds. Trio Detektif sedang melacak alur-alur
penyelidikan tertentu, yang ada hubungannya dengan negara
Lapatia, serta wangsa Azimov. Bagaimana, Tom - setujukah kau
kalau kita melanjutkannya, sampai sudah cukup bukti-bukti
yang nanti bisa diserahkan pada polisi?"
Tom menggaruk-garuk kepalanya dengan sikap bingung.
"Apa pun yang sedang kalian lakukan saat ini, yang jelas kalian
sudah jauh berada di depanku," katanya. "Baiklah. Kalian tahan
saja dokumen itu - untuk sementara waktu. Dan bagaimana
dengan koran-koran yang ada di balik lempeng tembikar?"
"Mungkin polisi akan menemukan tempat penyimpanan rahasia
itu," kata Jupiter. "Tapi kurasa tidak apa-apa kalau itu terjadi, 
karena mestinya untuk itulah lemari rahasia itu dibuat - untuk
mengalihkan perhatian dari rahasia yang sebenarnya."
"Mudah-mudahan saja aku masih bisa berjumpa dengan
kakekku," kata Tom. "Mestinya ia sangat luar biasa."
"Pengalaman itu pasti akan menarik," kata Jupiter.
Bob menjenguk ke luar, lewat jendela.
"Mrs. Dobson sudah kembali," katanya.
"Dengan Chief Reynolds?" tanya Jupe.
"Di belakangnya ada mobil patroli," kata Bob.
"Astaga! Piring-piring bekas sarapan!" seru Pete.
"Ya, betul!" kata Jupiter Jones. Keempat remaja itu bergegas
menuruni tangga. Saat Mrs. Dobson sudah memarkir mobil,
melintasi halaman muka, lalu masuk lewat pintu depan, saat itu
pula Jupiter membuka keran air panas dan mengalirkannya ke
dalam bak cuci, sementara Tom mengorek-ngorek sisa-sisa
sarapan yang menempel di piring, dan Bob sudah siap untuk
mengeringkan dengan lap.
"Wah, terima kasih," kata Mrs. Dobson dengan senang, ketika
melihat kesibukan mereka di dapur.
"Sarapannya tadi enak, Mrs. Dobson," ujar Pete.
Chief Reynolds masuk ke dapur, diikuti oleh Officer Haines.
Kepala polisi Rocky Beach itu tidak mempedulikan anak-anak
yang lain. Ia mencurahkan kejengkelannya pada Jupiter.
"Kenapa aku tidak kauberi tahu kemarin malam?" tukas Chief
Reynolds. "Saat itu Mrs. Dobson sedang kacau pikirannya,"
kata Jupiter.
"Dan sejak kapan kau menjadi anggota Lembaga Bantuan Kaum
Wanita?" tanya kepala polisi itu. "Jupiter Jones - kalau kau      
tidak berjaga-jaga, nanti tahu-tahu kepalamu bisa terpental
dari tubuhmu."
"Ya, Sir," kata Jupe.
"Jejak kaki berapi!" dengus kepala polisi itu. Ia berpaling pada
bawahannya. "Periksa rumah ini, Haines," katanya.
"Kami sudah melakukannya, Chief," kata Jupiter melaporkan.
"Tidak ada siapa-siapa di sini."
"Kau keberatan, jika kami melakukannya dengan cara kami
sendiri?" kata Chief Reynolds menyindir. "Tentu saja tidak,
Sir."
"Sekarang kalian semua keluar," kata kepala polisi yang sedang
jengkel itu. "Ayo, keluarlah. Sana - main bola, atau apa saja,
seperti kebiasaan anak-anak normal." Anak-anak bergegas ke
halaman. "Selakikah ia segalak itu?" tanya Tom.
"Hanya jika ada hal-hal yang tidak diberitahukan Jupe
padanya," kata Bob. "Itu bisa kumengerti." Tom duduk di
jenjang depan, di antara kedua guci besar yang berhiaskan
kawanan rajawali berkepala dua. Jupiter mengamat-amati salah
satu guci itu sambil mengerutkan kening. "Ada apa?" tanya Bob.
"Salah satu dari kawanan rajawali ini kepalanya hanya satu,"
kata Jupiter dengan nada heran.
Anak-anak yang lain mengerumuni guci itu. Benarlah, salah satu
rajawali dari kawanan yang menghiasi benda tembikar itu tidak
memiliki pasangan kepala yang sebelah kanan. Jadi kelihatannya
seperti burung rajawali biasa, yang memandang ke kiri.
"Menarik," gumam Jupiter.
Bob mengitari guci yang satu lagi. Ditelitinya kawanan rajawali
yang melingkari guci itu. "Yang di sini, semua berkepala dua,"
katanya. "Mungkin kakekku salah buat," kata Tom.      
"Potter tidak mungkin membuat kekeliruan seperti ini," kata
Jupiter. "Hasil ciptaannya selalu sempurna. Jika ia berniat
menghiasi guci ini dengan kawanan rajawali berkepala kembar,
pasti itu akan dibuatnya."
"Mungkin ini juga merupakan pancingan," kata Bob, "seperti
lemari rahasia di kamar tidur tadi. Adakah sesuatu di
dalamnya?"
Jupiter mencoba mengangkat tutup guci itu. Ternyata tidak
bisa. Ketika dicoba dengan jalan memutarnya, juga tidak bisa.
Jupiter meneliti bagian sisi guci itu, lalu dasarnya yang
disemenkan ke jenjang. Ditekannya kepala rajawali yang hanya
satu, seperti yang dilakukannya terhadap mata rajawali yang
menghias lempeng tembikar di kamar tidur. Tapi kini tidak ada
yang terbuka.
"Memang cuma pancingan," gumamnya.
Saat itu Chief Reynolds muncul di beranda.
"Kalau aku ini percaya pada takhyul, pasti kukatakan bahwa
rumah ini ada hantunya." Kepala polisi Rocky Beach itu seakanakan
bicara pada dirinya sendiri.
"Ya, memang misterius," kata Jupiter. Kemudian
diceritakannya tentang bau bahan kimia aneh yang tercium
pada jejak kaki berapi itu.
"Kaukenali bau itu?" tanya Chief Reynolds. "Minyak tanah -
atau semacam itu?"
"Bukan," kata Jupiter. "Bukan bau yang lazim! Tajam menusuk
hidung."
"Hmm," kata Chief Reynolds. "Di laboratorium sudah ada
contoh dari linoleum yang hangus itu. Mungkin para ahlinya      
akan bisa menemukan sesuatu. Ada lagi yang bisa kalian
ceritakan tentang kasus ini?"
Para anggota Trio Detektif saling berpandangan, lalu menoleh
ke arah Tom Dobson.
"Tidak, Sir," kata Tom.
"Kalau begitu kalian boleh pergi," kata kepala polisi itu, dengan
sikap agak ketus. "Baik," kata Bob. "Aku memang harus pulang
untuk berganti pakaian, lalu pergi ke perpustakaan." Jupiter
pun menghampiri sepedanya.
"Bibi Mathilda pasti sudah menunggu-nunggu dengan tidak
sabar," katanya.
Ketiga anggota Trio Detektif melambaikan tangan ke arah Tom
Dobson, lalu cepat-cepat naik ke sepeda masing-masing dan
mengayuhnya ke jalan raya, menuju Rocky Beach. Ketika sampai
di persimpangan dekat Jones Salvage Yard, Jupiter menepikan
sepedanya ke trotoar, lalu berhenti di situ. Kedua temannya
ikut berhenti.
"Aku ingin tahu, apakah pemancing amatiran itu ada sangkut
pautnya dengan keributan ini," kata Jupiter.
"Ia cuma menyebalkan saja," kata Pete tandas.
"Mungkin juga," kata Jupiter. "Tapi ia selalu saja kebetulan
ada sebelum terjadi sesuatu - atau segera sesudah terjadi
sesuatu. Ia memarkir mobilnya di seberang rumah Potter
ketika ada orang menggeledah tempat itu, dan aku kemudian
diserang dengan tiba-tiba sampai terjatuh. Lalu tadi malam ia
muncul lagi dengan maksud hendak mengunjungi Mrs. Dobson,
tidak lama sebelum jejak kaki berapi muncul lagi. Bisa juga dia
orang di lereng bukit, yang mengarahkan tembakan pada kita.      
Kita tahu pasti, tembakan itu tidak mungkin dilepaskan kedua
laki-laki di Hilltop House."
"Tapi kalau dia, apa alasannya?"
"Siapa yang tahu?" kata Jupe. "Mungkin juga ia termasuk
kawanan yang menyewa Hilltop House. Jika kita berhasil
menyibakkan rahasia Potter, mungkin kita akan bisa
mengetahui banyak hal." Jupiter mengeluarkan dokumen kuno
dari kertas kulit, yang ditemukannya di dasar pendiangan palsu.
Ia menyerahkannya pada Bob. "Nih - adakah kemungkinan kau
bisa mengenali bahasa yang dipakai di dokumen ini, atau bahkan
menerj emahkannya?"
"Akan kuusahakan sebisa-bisaku," kata Bob. "Tapi aku berani
bertaruh, ini pasti bahasa Lapatia."
"Bagus, jika kau bisa," kata Jupiter. "Dan tolong selidiki pula
lebih banyak tentang wangsa Azimov, karena kurasa itu akan
ada gunanya bagi kita. Lalu nama Kerenov yang tertera pada
piagam ini juga sangat memancing minat."
"Kerenov, seniman pembuat makota itu? Baiklah - akan kucari
keterangan mengenai dirinya." Bob mengantungi sampul berisi
dokumen kuno itu, lalu berangkat meneruskan perjalanan pulang
ke rumahnya.
"Pukul berapa sekarang?" tanya Pete dengan gelisah. "Ibuku
pasti sudah bingung!"
"Baru pukul sembilan," kata Jupiter. "Masa ia bingung, jika kau
tidak segera muncul? Aku sebenarnya masih berniat
mendatangi Miss Hopper."
"Di Seabreeze Inn? Apa hubungan wanita itu dengan kasus
ini?" 
     "Tidak ada," jawab Jupiter. "Tapi pemancing amatiran yang
periang itu menginap di hotelnya, dan Miss Hopper biasanya
sangat menaruh minat terhadap kesejahteraan tamu-tamunya."
"Oke, kalau begitu kita ke sana," kata Pete. "Tapi jangan lamalama.
Aku ingin sudah ada di rumah, sebelum Ibu menelepon
Bibi Mathilda-mu." "Ya, sebaiknya memang begitu," kata
Jupiter sependapat.
Mereka menjumpai Miss Hopper di ruang depan hotelnya. Miss
Hopper sedang sibuk berembuk dengan Marie, pembantu di
situ.
"Apa boleh buat," kata Miss Hopper. "Anda lewatkan saja dulu
nomor 113. Nanti sehabis makan siang saja Anda kembali ke
situ."
"Salahnya sendiri, kalau aku sama sekali tidak
membersihkannya," tukas Marie. Wanita itu bergegas keluar,
sambil mendorong gerobaknya yang berisi alat-alat pembersih.
"Ada yang tidak beres, Miss Hopper?" tanya Jupiter.
"Ah, Jupiter! Dan kau juga, Pete! Selamat pagi. - Ah,
sebetulnya tidak ada apa-apa, cuma Mr. Farrier saja. Marie
tidak bisa membersihkan kamarnya, karena ia memasang tanda
"jangan diganggu" di depan pintu. Marie selalu ribut, jika tidak
bisa bekerja dengan urut-urutan seperti yang biasa dilakukan
olehnya."
Miss Hopper diam sebentar, lalu menyambung dengan nada
seperti hendak menceritakan suatu rahasia, "Aku tadi malam
mendengar Mr. Farrier pulang. Waktu itu sebetulnya sudah
dinihari. Pukul tiga."
"Menarik - karena pemancing ikan biasa bangun pagi," kata
Jupiter.      
"Ya, mestinya memang begitu," kata Miss Hopper. "Mr. Farrier
kemarin begitu tekun meladeni Mrs. Dobson, jadi aku
bertanya-tanya dalam hati saat itu, mungkin Mr. Farrier
selama itu sibuk membantu wanita muda itu pindah."
"Sampai pukul tiga pagi?" kata Pete dengan heran.
"Tidak, Miss Hopper," kata Jupiter. "Kami baru saja dari
rumah Potter, dan malam tadi Mr. Farrier tidak menemani Mrs.
Dobson."
"Wah - kalau begitu, ke mana saja dia, sampai selarut itu?"
kata Miss Hopper, bertanya-tanya pada dirinya sendiri. "Yah,
masa bodohlah, itu kan urusannya sendiri! - Dan bagaimana
kabar Mrs. Dobson pagi ini? Aku tadi melihatnya lewat dengan
mobilnya."
"Keadaannya lumayan. Ia ke kota tadi untuk menyampaikan
keluhan resmi pada Chief Reynolds. Ia menghendaki agar
ayahnya dicari sampai ketemu." Jupiter menceritakan hal itu
pada pemilik Seabreeze Inn, karena Miss Hopper lambat laun
pasti akan mengetahuinya juga.
"Itu memang sudah sepantasnya," kata Miss Hopper. "Tapi
aneh sekali perbuatan Potter - pergi begitu saja, tanpa
memberi tahu siapa-siapa. Yah - tapi dia memang aneh
orangnya!"
"Ya, memang," kata Pete menimpali.
"Kami harus pergi sekarang, Miss Hopper," kata Jupiter. "Kami
mampir ini hanya untuk memberi tahu bahwa Mrs. Dobson
beserta putranya sudah mapan di rumah Potter, mengingat
bahwa Anda selalu sangat telaten terhadap tamu-tamu Anda."
"Terima kasih, Jupiter," kata Miss Hopper.      
"Dan mudah-mudahan Mr. Farrier nanti sudah bangun sebelum
saat makan siang," kata Jupe menyambung.
"Itu akan menyenangkan hati Marie," kata Miss Hopper. "Kita
tidak boleh bersikap terlalu keras pada Mr. Farrier. Kasihan -
nasibnya benar-benar sial!" "O ya?" kata Jupiter.
"Ya - ia sudah empat hari di sini, hanya untuk memancing ikan.
Tapi sampai sekarang belum berhasil menangkap barang seekor
pun."
"Sangat menjengkelkan," kata Jupiter. Ia dan Pete minta diri
pada Miss Hopper.
"Di Rocky Beach sini, mau ke mana sih kalau pukul tiga dinihari
masih ada di luar?" tanya Pete, ketika sudah berada di luar.
"Bisa ke beberapa tempat," kata Jupiter. "Pertama-tama,
tentu saja memancing di bawah sinar bulan. Atau bisa juga
menunggu sambil memegang senapan di lereng bukit. Atau
iseng, menakut-nakuti orang dengan jejak kaki yang menyala."
"Kemungkinan terakhir bisa kuterima," kata Pete, "asal ada
kemungkinan baginya untuk masuk ke dalam rumah. Semua
jendela di tingkat bawah kan terkunci, Jupe. Sedang di pintu
depan ada dua pasang kunci serta sebuah gerendel, dan pintu
belakang diamankan dengan sebuah gerendel pula, di samping
kunci yang biasa. Ia takkan mungkin bisa masuk."
"Tapi kenyataannya, ada yang masuk," kata Jupiter.
"Menurut pendapatku, cuma satu saja yang bisa," kata Pete.
"Cuma Potter saja yang memiliki kunci-kuncinya."
"Dengan begitu kita kembali pada pertanyaan yang menyangkut
alasannya," kata Jupiter mengingatkan. 
     "Mungkin saja ia tidak menyukai mereka yang menginap di
rumahnya," kata Pete. "Kau sendiri tahu, itu tidak masuk akal,"
kata Jupiter.
"Tapi kemungkinan lainnya lebih konyol lagi," kata Pete. "Potter
pergi lalu meninggal dunia di suatu tempat, dan kini kembali
untuk menjadi hantu di rumahnya." Setelah itu Pete menaiki
sepedanya, lalu mengayuhnya cepat-cepat, pulang ke rumahnya.
Sedang Jupiter masuk ke Jones Salvage Yard, mendatangi Bibi
Mathilda yang cemas, serta Paman Titus yang prihatin.
"Bagaimana keadaan Mrs. Dobson?" Itulah yang pertama-tama
ditanyakan Bibi Mathilda.
"Pagi ini sudah lumayan lagi," kata Jupiter. "Tapi kemarin
malam perasaannya sangat galau - bahkan bisa dibilang
histeris." "Apa sebabnya?" tanya Paman Titus.
"Karena ada lagi jejak-jejak kaki berapi muncul," kata Jupiter.
"Kini di jenjang tangga ke tingkat atas."
Bibi Mathilda mengucap-ucap.
"Tapi ia tetap berkeras hendak tetap tinggal di rumah itu?"
tanyanya kemudian.
"Kurasa kalau mau pun, kemarin malam ia sama sekali tak
sanggup pindah, Bibi Mathilda," kata Jupiter.
"Kenapa saat itu aku tidak cepat-cepat kauberi tahu, Jupiter,"
tukas Bibi Mathilda dengan nada menyesali. Ia menoleh ke arah
suaminya. "Titus Andronicus Jones!"
"Ya, Mathilda?" jawab Paman Titus. Ia selalu langsung berjagajaga,
apabila disapa dengan namanya yang lengkap.
"Ambil truk," kata Bibi Mathilda. "Kita harus ke sana, untuk
membujuk anak yang malang dan bingung itu agar mau pergi      
dari rumah yang menyeramkan itu, sebelum terjadi apa-apa
dengan dirinya."
Paman Titus bergegas mengambil truk.
"Sedang kau, Jupiter," kata Bibi Mathilda dengan galak, "aku
sangat jengkel padamu! Kau terlalu nekat. Kau perlu diberi
pekerjaan, supaya jangan mulai iseng lagi."
Jupiter diam saja. Bibi Mathilda selalu gemar menyuruh
bekerja, biarpun ia tidak berbuat apa-apa.
"Itu, ada beberapa perhiasan kebun dari batu marmer, yang
dibawa pamanmu dari rumah yang dibongkar di Beverly Hills,"
kata Bibi Mathilda lagi. "Semuanya perlu dibersihkan, karena
kotor sekali! Kau tahu di mana ember disimpan, begitu pula
sabun."
"Ya, Bi," kata Jupiter.
"Dan kerjamu jangan sambil bermalas-malas, ya!" kata bibinya.
Bibi Mathilda dan Paman Titus berangkat, naik truk. Jupiter
melapangkan sebagian dari sisi belakang perusahaan, lalu mulai
membersihkan patung-patung taman serta guci-guci penghias
kebun dengan air sabun. Benda-benda itu sangat kotor.
Nampaknya sudah bertahun-tahun tidak pernah dibersihkan.
Jupiter sibuk menggosok, membersihkan muka sebuah patung
kerubin yang memegang buah apel. Beberapa saat kemudian
Hans menghampirinya.
"Aku tadi melihat bibimu bicara padamu," kata pemuda Jerman
itu, sambil melirik ke arah sikat pada ember berisi air.
Jupiter mengangguk. Dilapnya patung kerubin dari marmer itu.
Setelah itu dialihkannya perhatian pada sebuah guci gendut,
dengan hiasan buah anggur mengelilinginya.      
"Ke mana semuanya?" tanya Hans ingin tahu. "Aku tadi masuk
ke rumah, tapi tidak ada siapa-siapa di situ. Kantor juga
kosong."
"Bibi Mathilda dan Paman Titus sedang ke rumah Potter, untuk
melihat keadaan Mrs. Dobson," kata Jupiter.
"Hahh!" dengus Hans. "Biar diupah sejuta dolar pun, aku tidak
mau lagi ke rumah itu. Tempat itu berhantu. Potter sinting itu
gentayangan di sana, dengan kaki telanjang. Aku melihatnya -
dan kau juga!"
Jupiter berjongkok.
"Kita tidak melihat Potter," katanya. "Kita melihat jejak kaki."
"Kalau bukan jejak kakinya, lalu jejak kaki siapa lagi?" desak
Hans.
Jupiter tidak menjawab. Ia menatap guci gendut yang
menunggu giliran dibersihkan. Guci itu jelek bentuknya. Jupiter
teringat pada guci-guci buatan Potter, yang jauh lebih menarik
bentuknya.
"Guci-guci di serambi depan rumah Potter, bentuknya jauh
lebih bagus dari ini," kata Jupiter.
"Ya, memang. Buatannya memang bagus! Tapi ia tetap saja
sinting," kata Hans. "Kurasa tidak," kata Jupiter. "Tapi aku
ingin tahu, apa sebabnya salah satu rajawali yang menghiasi
guci itu cuma satu kepalanya."
"Itu kan malah biasa - rajawali berkepala satu," kata Hans.
"Memang, biasanya memang begitu," jawab Jupiter Jones.
"Tapi Potter kelihatannya lebih suka rajawali berkepala
kembar."

Bab 14      
PEMANCING IKAN YANG PERIANG
SAAT tengah hari, barulah Bibi Mathilda kembali bersama
Paman Titus ke Jones Salvage Yard. Bibi Mathilda mengatakan
bahwa Eloise Dobson ternyata sangat keras kepala. Walau
sudah didesak oleh Chief Reynolds, kemudian dibujuk-bujuk
dengan sangat oleh Bibi Mathilda, tapi Mrs. Dobson tetap
berkeras. Dengan sikap agak marah wanita muda itu
mengatakan bahwa tidak ada yang bisa mengusirnya pergi dari
rumah ayahnya.
"Padahal kemarin malam ia sendiri yang ingin pergi," kata
Jupiter.
"Mestinya saat itu juga kauusahakan agar ia pergi," tukas Bibi
Mathilda, lalu bergegas menyeberang jalan untuk menyiapkan
makan siang.
Jupiter menyemprotkan air ke benda-benda marmer yang
paling akhir dicuci olehnya. Setelah itu ia mandi. Sehabis
makan siang, ia kembali lagi ke perusahaan. Bibi Mathilda tadi
tidak sempat memberi petunjuk tentang tugas-tugas yang
perlu dilakukan siang itu. Karenanya Jupiter bergegas masuk
ke markas lewat Lorong Dua, lalu meninggalkan pekarangan
Jones Salvage Yard tanpa kelihatan, karena memilih jalan
lewat Kelana Gerbang Merah. Setelah berada di luar, ia pun
bergegas-gegas menuju ke kantor polisi.
Chief Reynolds dijumpainya sedang duduk merenung di
belakang meja kerjanya.
"Ada sesuatu yang ingin kausampaikan, Jones?" tanya kepala
polisi Rocky Beach itu.      
"Di Seabreeze Inn ada seorang tamu pria, yang perhatiannya
terhadap Mrs. Dobson agak berlebihan," kata Jupiter.
"Kalau menyangkut urusan begitu, kurasa Mrs. Dobson bisa
mengurus dirinya sendiri," kata Chief Reynolds.
"Bukan itu yang menjadi pikiran saya," kata Jupiter. "Pria itu
memberi kesan pada Miss Hopper bahwa ia ada di sini karena
hendak memancing ikan. Tapi selama ini tidak seekor ikan pun
ditangkapnya."
"Lalu? - Mungkin nasibnya sedang sial."
"Itu memang mungkin saja. Tapi hari Sabtu yang lalu mobilnya
diparkir di seberang jalan di depan rumah Potter, ketika ada
orang menyerang saya dalam kantor di rumah itu. Lalu, ia juga
berusaha mengunjungi Mrs. Dobson kemarin malam, tidak lama
sebelum jejak-jejak kaki yang menyala muncul di tangga. Belum
lagi pakaiannya!"
"Ada apa dengan pakaiannya?"
"Sepanjang penilaian saya, semuanya masih sangat baru," kata
Jupiter. "Penampilannya seperti akan berperan dalam salah
satu film. Dan pakaiannya yang dipakai tidak cocok dengan
wujud mobilnya. Mobilnya sudah tua, dan agak penyok-penyok.
Mobil Ford berwarna cokelat. Mungkin ada baiknya ditanyakan
ke pusat data nomor mobil di Sacramento. Orang itu mengaku
bernama Farrier."
"Mungkin ia mengaku begitu, karena memang itulah namanya,"
kata Chief Reynolds. "Coba dengar sebentar, Jupiter Jones!
Aku tahu, kau menganggap dirimu yang terhebat setelah
Sherlock Holmes, tapi aku lebih senang jika kauhentikan
kebiasaanmu ikut campur dalam hal-hal yang bukan urusanmu.
Aku saat ini menghadapi masalah yang tidak enteng. Mrs.      
Dobson itu nampaknya mengharapkan dariku, paling lambat
malam nanti sudah berhasil menemukan ayahnya yang hilang -
itu jika Potter memang ayahnya. Dengan jumlah anak buahku
yang cuma delapan orang, aku diharapkan menggeratak di
pegunungan pesisir barat, mencari seseorang yang tidak ingin
ditemukan. Aku juga diharapkan mengusut, bagaimana ada
orang bisa masuk ke sebuah rumah yang terkunci, lalu
menimbulkan api di tangga sebelah dalam rumah."
"Anda sudah menerima laporan laboratorium tentang linoleum
yang hangus itu?" tanya Jupiter.
"Kalaupun sudah, kau pasti takkan kuberi tahu," kata Chief
Reynolds. "Sekarang pergilah - biarkan aku pusing sendiri di
sini."
"Anda tidak bermaksud menghubungi kantor data nomor mobil
di Sacramento?" tanya Jupiter.
"Tidak," kata Chief Reynolds. "Dan jika kau masih terus
merongrong orang yang bernama Farrier itu, aku sendiri akan
menyatakan dirimu sebagai pengganggu ketentraman umum."
"Baiklah," kata Jupiter. Ia keluar dari kantor kepala polisi itu,
lalu bergegas-gegas menuju ke Seabreeze Inn. Dengan
perasaan puas dilihatnya mobil Ford tua berwarna cokelat
sudah tidak ada lagi di tempat parkir. Jupiter tahu bahwa Miss
Hopper mempunyai kebiasaan tidur siang, dan saat itu mungkin
sudah pulas di apartemen pribadinya. Dengan begitu tinggal
Marie saja yang perlu diperhitungkan, di samping satu atau dua
tamu hotel yang mungkin secara kebetulan lewat nanti.
Tidak ada orang di ruang depan hotel kecil itu. Pintu di
belakang meja resepsionis tertutup. Jupiter berjingkatjingkat
ke balik meja itu. Jupiter kenal baik dengan Miss      
Hopper. Ia tahu, selaku pengelola hotel wanita itu selalu
menjaga kerapian. Anak kunci kamar nomor 113 ditemukannya
di tempat yang semestinya, di dalam laci meja Miss Hopper
yang paling bawah. Jupiter mengambil anak kunci itu tanpa
menimbulkan bunyi sedikit pun, lalu berjalan dengan santai ke
arah beranda belakang. Ia tidak melihat Marie, dan tidak ada
tamu hotel yang duduk-duduk di teras yang menghadap ke
pantai.
Jupiter melenggang dengan santai menyusuri beranda, dengan
tangan terbenam di dalam kantung. Ketika sampai di depan
pintu kamar nomor 113, ia berhenti lalu menunggu sebentar,
sambil memasang telinga. Tak kelihatan seorang pun di hotel
kecil itu.
"Mr. Farrier?" panggil Jupe, sambil mengetuk pintu. Tidak
terdengar suara Mr. Farrier menjawab.
Dengan sangat hati-hati, Jupiter menyelipkan anak kunci yang
diambilnya tadi ke dalam lubang kunci pintu kamar itu. Pintu
terbuka, dan ia pun melangkah masuk. "Mr. Farrier?" panggil
Jupiter lagi, dengan suara pelan.
Tapi kamar itu kosong. Kosong dan rapi. Rupanya Marie tadi
masih sempat membereskan tempat tidur, serta membersihkan
karpet dengan alat pengisap debu.
Jupiter menutup pintu kamar dengan hati-hati, lalu mulai
beraksi. Laci-laci bupet ternyata kosong, begitu pula laci-laci
meja tulis. Mr. Farrier sama sekali tidak mengeluarkan isi
kopor-kopornya yang bagus - kecuali beberapa helai jas
perlente model sport yang digantungkan dalam lemari, bersama
sekitar setengah lusin kemeja putih mulus dengan leher gulung,
serta beberapa potong celana panjang dari kain katun biru      
yang disetrika licin. Jupiter memeriksa kantung-kantung segala
pakaian itu. Tapi ia tidak menemukan apa-apa.
Setelah itu ia mengalihkan perhatiannya pada kopor-kopor. Ada
dua buah kopor dalam kamar itu. Satu di antaranya terletak
dalam keadaan terbuka di atas bangku kecil, di sisi kaki tempat
tidur. Kopor itu berisi barang-barang yang memang biasanya
ada dalam kopor. Piama, kaus kaki, sepasang sepatu bersol
karet yang nampaknya belum pernah dipakai, selanjutnya
pakaian dalam, serta beberapa potong pakaian yang perlu
dicuci.
Kopor yang satu lagi terletak di lantai, di samping bangku kecil.
Kopor itu tertutup. Tapi ketika Jupiter mencoba membukanya,
ternyata tidak dikunci. Isinya juga pakaian. Semuanya baru,
dan dari merek yang terpasang rupanya dibeli di berbagai toko
penjual busana pria, di Los Angeles. Pada satu kemeja bahkan
masih terpasang kartu harganya. Jupiter kaget sekali, ketika
melihat berapa harga kemeja itu.
Jupiter mencari-cari terus. Jari-jarinya menyentuh kertas
yang melapisi dasar kopor. Pakaian-pakaian isi kopor itu
dikeluarkannya dengan hati-hati sekali, supaya jangan ada yang
kusut. Kemudian pandangannya terarah pada selembar surat
kabar yang terlipat di dasar kopor. Ternyata itu lembaran
harian Los Angeles Times yang memuat iklan-iklan. Sebuah
iklan di bagian "Berita Pribadi" ditandai dengan lingkaran. Iklan
itu bunyinya
begini: "Nicholas. Aku menunggu. Tulis pada Alexis di P.O. Box
213, Rocky Beach, California. "
Jupiter mengeluarkan surat kabar itu. Ternyata di bawahnya
ada lembaran lainnya lagi, yaitu sebagian dari lembaran iklan      
harian New York Daily News. Pada lembaran itu juga ada iklan
yang sama bunyinya. Dan di bawah lembaran harian kota New
York itu ada lembaran iklan harian Chicago Tribune, juga
dengan iklan yang sama. Semuanya terbitan tanggal 21 April
tahun itu.
Kening Jupiter berkerut. Ia mengembalikan lembaran Chicago
Tribune ke dalam kopor, disusul lembaran New York Daily
News di atasnya, dan paling atas lembaran iklan harian Los
Angeles. Setelah itu dikembalikannya pula tumpukan pakaian.
Kopor ditutup kembali, lalu diletakkan lagi di lantai.
Jupiter menarik kesimpulan, bahwa apa pun yang menyebabkan
pemancing ikan perlente itu datang ke Rocky Beach, urusan itu
sedikit atau sama sekali tidak ada hubungannya dengan ikan.
Jupiter cepat-cepat memeriksa kamar mandi. Ia hanya melihat
alat cukur serta handuk bersih saja di situ. Ketika ia hendak
keluar, didengarnya orang berjalan dengan cepat di beranda
luar, disusul bunyi anak kunci diputar di pintu kamar nomor 113.
Jupiter memandang berkeliling dengan cemas. Dilihatnya
takkan mungkin ia bisa menyusup ke bawah tempat tidur, lalu
cepat-cepat ia masuk ke lemari pakaian. Ia bersembunyi di
belakang salah satu jas Mr. Farrier yang bersih, lalu menahan
napas.
Didengarnya Farrier masuk ke dalam kamar sambil bernyanyinyanyi
kecil. Orang itu menghampiri tempat tidur, berdiri
sebentar di situ, lalu masuk ke kamar mandi. Pintu kamar mandi
ditutup, dan sesaat kemudian terdengar bunyi air mengalir
dalam bak rendam.
Jupiter keluar dari dalam lemari, lalu berjingkat-jingkat
menuju pintu, yang dengan cepat sudah dibuka olehnya. Di      
kamar mandi, air masih mengalir terus ke dalam bak rendam.
Jupiter melangkah mundur ke beranda, sambil menutup pintu
kamar nomor 113. Sesaat sebelum pintu tertutup, Jupiter
masih sempat melihat bahwa Mr. Farrier tadi rupanya
meletakkan sesuatu di tempat tidur.
Pemancing amatiran yang bertingkah laku selalu riang itu
ternyata membawa-bawa pistol!

Bab 15
RENCANA JUPITER
PETE sudah menyelesaikan tugasnya, memotong rumput
halaman. Ia sedang mengaduk sirup jeruk, ketika telepon
berdering.
"Pete?" kata Jupiter lewat alat penghubung jarak jauh itu.
"Bisakah kau datang ke markas, segera setelah makan malam?"
"Bisa saja, asal tidak akan makan waktu sepanjang malam," kata
Pete. "Ibuku takkan mengizinkan aku menginap lagi, dua malam
berturut-turut."
"Pasti takkan sampai larut," kata Jupiter menjanjikan. "Aku
punya beberapa informasi baru dan menarik, yang mungkin bisa
berguna bagi klien kita. Aku sudah meninggalkan pesan untuk
Bob. Mungkin jika ia datang dari perpustakaan nanti, ia juga
membawa informasi yang berguna bagi kita."
"Yang bisa kita pergunakan," kata Pete.
Harapan Jupiter ternyata memang beralasan. Ketika Bob
muncul di markas malam itu, jalannya terhuyung-huyung,
karena membawa dua buku besar, dengan sejumlah kertas
terselip sebagai tanda halaman.      
"Kamus bahasa Lapatia," kata Bob dengan riang. "Lapatia-
Inggris. Kalian takkan bisa membayangkan, betapa sulitnya
memperoleh kamus ini. Kami terpaksa mengusahakan pinjaman
khusus dari sebuah perpustakaan besar di Los Angeles. Ayahku
yang mampir untuk mengambilnya, ketika ia tadi pulang kerja.
Sedang yang ini, buku sejarah Lapatia yang lengkap."
"Hebat!" kata Pete bersemangat.
"Kau sudah berhasil mengetahui isi dokumen yang kita temukan
di bawah pendiangan rumah Potter?" tanya Jupiter.
"Hampir seluruhnya. Sisanya bisa kita tebak maknanya," kata
Bob. "Untung saja bahasa Lapatia, tidak seperti bahasa Rusia
yang memiliki aksara sendiri. Bahasa Lapatia memakai aksara
Latin, seperti kita. Jika aku harus menerjemahkan dari aksara
lain, bisa-bisa aku bunuh diri nanti, karena kebingungan."
"Bagaimana dengan dokumen itu?" tanya Jupiter.
Bob mengeluarkan kertas kulit yang terlipat dari sela halaman
kamus, lalu meletakkannya ke atas meja. Di sampingnya ia
menaruh secarik kertas. Pada kertas itulah ia menuliskan
terjemahan kata-kata yang tertera pada dokumen kuno itu,
dengan berulang kali menghapus dan mencoret.
"Bunyinya kurang lebih begini," kata Bob. '"Ketahuilah, bahwa
pada hari ini, tanggal 25 Agustus tahun 1920, Alexis Kerenov,
yang telah menginjak usia dewasa, dan telah mengucapkan
sumpah setia pada rajanya, dengan ini dianugerahi gelar
Pangeran Malenbad, dan diserahi tugas menjaga makota dan
tongkat kebesaran kerajaan Lapatia, yang harus dilindungi
dengan jiwa raganya dari rongrongan musuh, serta demi
kedamaian raja.'      
"Nah - begitulah kurang-lebih," kata Bob. "Kecuali itu masih
ada pula materai dengan lambang rajawali, serta tanda tangan
seseorang. Tapi tanda tangan itu tak terbaca."
"Semakin penting kedudukan seseorang, tanda tangannya
cenderung semakin tak terbaca. Tapi mungkinkah Azimov?"
"Apa pun mungkin," kata Bob sambil mengangkat bahu.
"Barangkali Azimov - atau salah satu variasi daripadanya -
karena keluarga Kerenov ternyata tergolong orang besar di
Lapatia. Boris Kerenov kemudian tidak menghilang begitu saja,
melainkan selalu ikut aktif membantu." Bob membuka buku
satunya lagi, yang beberapa halamannya telah ditandai dengan
kertas-kertas yang disisipkan. "Buku ini dilengkapi dengan
indeks," katanya dengan nada senang, "jadi dengan begitu kita
tidak perlu menyimak seluruh isi buku. Boris Kerenov, seniman
pengrajin yang menciptakan makota untuk Pangeran
Federic, kemudian menjadi penasihatnya ketika Federic
memutuskan untuk mengangkat dirinya sendiri menjadi raja. Ia
membuatkan jalan-jalan di sekitar Puri Madanhoff, dan ia juga
menjadi pengawas ketika puri itu kemudian diperluas. Kerenov
menganggap bahwa raja memerlukan tongkat kebesaran, dan
karena itu ia lantas menciptakan tongkat kebesaran wangsa
Azimov. Federic memberi imbalan atas jasanya itu, dengan
mengangkatnya menjadi Pangeran Malenbad. Menarik untuk
diketahui, bahwa Malenbad itu merupakan kawasan yang dulu
berada di bawah kekuasaan Ivan yang Gagah."
"Nanti dulu," kata Pete memotong. "Ivan yang Gagah itu kan
bangsawan yang membangkang, dan tidak mau mengucapkan
sumpah setia pada Pangeran Federic, dan sebagai akibatnya,
nyawanya dicabut?"      
"Lalu kepalanya ditancapkan pada tombak di atas tembok Puri
Madanhoff. Ya, dialah orang itu! Kerenov kemudian mengambil
batu delima milik Ivan untuk dijadikan penghias makota
kerajaan, sedang ia sendiri dianugerahi tanah milik bangsawan
yang bernasib sial itu, ditambah gelar pangeran serta tugas
selaku penjaga harta kebesaran raja. Hal itu masuk akal,
karena ialah penciptanya. Kerenov menjadi kayaraya, begitu
pula keturunannya sesudah itu. Buku ini penuh dengan nama
keluarga besar itu. Semua putra sulung dari putra sulung
diangkat menjadi Pangeran Malenbad, dan menjabat kedudukan
penjaga makota dan tongkat kebesaran raja."
Bob membalik-balik halaman sebentar, lalu meneruskan
penuturannya.
"Keluarga Kerenov bahkan bisa dibilang lebih menarik,
dibandingkan dengan wangsa Azimov," katanya. "Selama
beberapa waktu mereka tinggal di puri Ivan yang lama di
Malenbad. Tapi sekitar tiga abad yang lampau mereka pergi
dari puri itu, pindah ke ibu kota Madanhoff. Kalian pasti
senang mendengar penyebab kepindahan itu."
"Kami pasti senang? Kenapa begitu?" tanya Jupiter tidak
mengerti.
"Soalnya begitu aneh, sehingga aku sendiri nyaris tidak
percaya sewaktu membacanya," kata Bob. "Rupanya waktu itu
di Malenbad terjadi keributan. Salah seorang putri Kerenov -
gadis itu bernama Olga - dituduh menjadi tukang tenung."
"Apakah itu tidak berbahaya?" tanya Pete. "Maksudku,
mendakwa anak gadis pangeran sebagai tukang tenung?"
"Saat itu di kawasan sana sedang dilanda kepanikan, tentang
ilmu tenung. Penduduk saling tuduh-menuduh, dan tidak ada      
yang bisa menghindarkan diri dari kemungkinan dituduh. Gadis
malang itu bernasib sial. Ia bentrok dengan ayahnya, karena ia
ingin menikah dengan pemuda pemilik losmen, sedang ayahnya
tidak setuju. Kecuali itu, sang Pangeran sendiri repot
memikirkan nasibnya sendiri, karena ia pun dituduh menjadi
tukang tenung. Ia bahkan terpaksa meminta tolong pada
keturunan Azimov yang berkuasa saat itu untuk menyelamatkan
dirinya. Jadi gadis malang tadi akhirnya dihukum mati. Ia
dibakar hidup-hidup."
"Iiih," kata Pete sambil bergidik.
"Dibakar?" Jupiter nampak sangat tertarik. "Dan kemudian
keluarga Kerenov pergi meninggalkan puri mereka yang di
Malenbad?"
"Betul! Soalnya, setelah mati dibakar, gadis itu - atau mungkin
harus dikatakan hantunya - kembali lagi ke puri itu,
gentayangan ke mana-mana dengan meninggalkan..."
"Jejak kaki yang menyala!" seru Jupiter.
"Tepat!" kata Bob. "Puri itu ditinggalkan, dan kini tinggal puingpuingnya
saja. Keluarga Kerenov tetap tinggal di ibu kota, dan
kemudian menghilang semasa revolusi seperti yang kita
ketahui, terjadi sekitar tahun 1925. Setelah itu nama mereka
tidak disebut-sebut lagi dalam buku ini."
Ketiga remaja itu membisu selama beberapa waktu, memikirkan
informasi yang diperoleh.
"Aku berani menebak - tapi tebakan yang beralasan kuat,
berkat jasa Bob - siapa nama asli Mr. Alexander Potter," kata
Jupiter kemudian.
"Jika tebakanmu itu Alexis Kerenov, aku sependapat
denganmu," kata Bob.      
"Tapi menurut Tom, nama kakeknya sangat panjang," kata Pete
meragukan, "dan banyak huruf c dan z di dalamnya."
"Potter pasti tidak memakai nama aslinya sewaktu bertemu
dengan wanita yang kemudian menjadi istrinya," kata Jupiter
menarik kesimpulan. "Dan ingat tidak - bagaimana gambaran
yang dipaparkan nenek Tom mengenai suaminya?"
"Badannya bau tanah lempung?" kata Pete.
"Ya. Betul! Dan bahwa sangat penggugup, dan semua pintu
diamankan dengan paling sedikit tiga pengunci. Potter adalah
seseorang yang menyimpan suatu rahasia, tapi ia juga
seseorang yang hendak menyampaikan berita tertentu."
"Apa?" tanya Bob.
Jupiter memaparkan dengan ringkas pengalamannya siang itu.
Diceritakannya tentang pemeriksaannya terhadap kamar hotel
tempat pemancing amatiran menginap, tentang pistol yang
diletakkan di tempat tidur, begitu pula tentang lembaranlembaran
surat kabar dengan iklan yang sama bunyinya.
"Satu koran terbitan New York, lalu lembaran iklan Los
Angeles Times, dan Chicago Tribune, " katanya. "Semuanya
terbitan hari yang sama - tanggal 21 April. Dan ketiga iklan itu
semuanya meminta Nicholas agar menulis pada Alexis, dengan
alamat suatu kotak nomor tertentu di kantor pos Rocky
Beach."
"Nicholas?" kata Bob mengulangi nama itu.
"Pada indeks bukumu itu ada nama Nicholas yang kiranya ada
sangkut pautnya dengan kasus kita?" tanya Pete.
"Anak tertua Raja William IV dari Lapatia namanya Nicholas,"
kata Bob. Ia membalik-balik halaman buku yang sedang
dihadapi. Setelah menemukan apa yang dicari, diputarnya letak      
buku itu, sehingga Jupe dan Pete bisa ikut melihat foto
terakhir yang dibuat keluarga Kerajaan Lapatia. Di foto itu
nampak Raja William IV, permaisurinya yang menggemari
kemewahan, serta keempat putra mereka, mulai dari pemuda
bertubuh jangkung yang berdiri di belakang raja, sampai yang
termuda, seorang anak laki-laki yang umurnya saat itu sekitar
sepuluh tahun. "Pemuda yang berdiri di belakang raja itulah
Nicholas. Putra Makota Nicholas," kata Bob menjelaskan.
"Dan William IV-lah yang kemudian tewas karena jatuh dari
balkon," kata Jupiter. "Sedang permaisurinya minum racun,
menurut keterangan dalam ensiklopedi. Apa yang terjadi
dengan Nicholas?"
"Ia dikatakan mati gantung diri."
"Putra-putra selebihnya?"
"Kedua putra yang di tengah juga mati gantung diri, menurut
para jenderal yang mendalangi perebutan kekuasaan. Sedang
putra bungsu mengalami kecelakaan, mati tenggelam ketika
sedang mandi dalam bak rendam."
"Hmm." Jupiter menarik-narik bibirnya. "Sekarang kita anggap
saja, Nicholas waktu itu tidak mati menggantung diri. Kalau ia
masih hidup, berapakah umurnya sekarang?"
"Lebih dari tujuh puluh tahun," kata Bob.
"Dan berapakah umur Potter, rasa-rasanya?"
"Kira-kira sebegitu jugalah, - He, Jupe, kau kan tidak
menganggap bahwa Potter itu mungkin saja putra makota?"
"Tidak - menurutku, ia sebenarnya Alexis Kerenov, yang
menghilang saat keluarga Azimov ditumpas. Kapankah kejadian
itu, tepatnya?"      
"Tanggal 21 April, 1925," kata Bob, setelah mencari sebentar
dalam buku yang dihadapi.
"Dan tanggal 21 April tahun ini, seseorang bernama Alexis,
yang menurut kita kemungkinannya Potter, memasang iklan
dalam beberapa koran yang terbit di tempat-tempat yang
tersebar jauh, berisi permintaan pada seseorang yang bernama
Nicholas agar menulis padanya. Iklan itu rupanya menyebabkan
Mr. Farrier - yang sebenarnya sama
sekali bukan penggemar olahraga memancing ikan - datang ke
Rocky Beach. Ia tidak mungkin Nicholas Azimov, karena terlalu
muda."
"Mungkin iklan itu pula yang menarik kedua orang dari Lapatia
itu untuk datang kemari," kata Bob. "O ya, di sini ada sedikit
informasi tentang diri Jenderal Kaluk. Ia ikut berperan dalam
penggulingan kekuasaan waktu itu, dan sejak itu termasuk
kelompok jenderal yang berkuasa di Lapatia. Di halaman 433
ada fotonya."
Jupiter mencari halaman 433.
"Teks di bawah ini mengatakan bahwa jenderal itu berumur 23
tahun, ketika foto ini dibuat tahun 1926," katanya. "Sejak
masa itu tampangnya tidak banyak berubah, karena waktu itu
pun kepalanya sudah botak. Aku ingin tahu apakah ia benarbenar
botak, atau kepalanya gundul karena dicukur licin. Itu
satu cara lain dari yang lain agar tidak nampak tua. Tanpa
rambut dan alis, takkan ada yang akan nampak beruban."
"Memang takkan ketahuan umur sebenarnya, asal bentuk tubuh
tidak lantas kendur," kata Pete.
"Jenderal Kaluk jelas tidak kendur sikapnya," kata Jupiter.
"Umurnya kurasa sepantar dengan Pangeran Nicholas-jika      
putra makota Lapatia itu sekarang masih hidup - dan juga
sepantar dengan Potter. Tapi menurutku, bukan iklan-iklan itu
yang menyebabkan ia datang ke Rocky Beach, tapi foto yang
dimuat di Westways. Demetrieff mestinya penduduk Los
Angeles, karena di sana ada kantor Kamar Dagang Lapatia.
Ingat, Kaluk mengatakan bahwa Potter pernah diberitakan
dalam majalah-majalah sini. Sepanjang pengetahuanku, hanya
Westways saja satu-satunya berkala yang pernah memuat foto
Potter. Mungkin Demetrieff melihat foto itu serta medalion
dengan bentuk rajawali yang tergantung di dada Potter, lalu ia
menyampaikan laporan pada atasannya di Lapatia."
"Dan kemudian jenderal itu kemari."
"Tepat! Orang yang benar-benar tidak menyenangkan. Tapi
dengan menduga-duga saja seperti sekarang ini, kita masih
tetap tidak bisa menolong klien kita, Tom Dobson. Rasanya
sudah jelas bahwa seseorang yang mengenal sejarah keluarga
Kerenov, termasuk kisah jejak kaki bernyala dalam puri
berhantu, kini mencoba menakut-nakuti Mrs. Dobson serta
Tom, agar mereka pergi dari rumah Potter. Dan hanya ada satu
alasan perbuatan itu, yaitu dikira bahwa dalam rumah itu ada
suatu benda berharga. Tapi Mrs. Dobson tidak tahu apa-apa
tentang keluarga Kerenov, ditambah lagi sifatnya yang keras
kepala - jadi ia tidak mau pergi dari sana. Jika kita bisa
membujuk Mrs. Dobson dan Tom agar meninggalkan rumah itu
dan kembali ke Seabreeze Inn - mungkin setelah itu kita akan
bisa melihat aksi yang lebih berarti, daripada cuma jejak kaki
berapi saja."
"Seperti memasang jebakan, misalnya," kata Pete.      
"Ya - cuma jebakan ini berupa rumah kosong. Mrs. Dobson dan
Tom tidak boleh ada di sana. Kedua laki-laki yang menempati
Hilltop House tidak berbuat apa-apa sejak Mrs. Dobson pindah
ke sana bersama putranya. Sedang orang yang mengaku
bernama Farrier tidak melakukan tindakan yang lebih berarti
selain berusaha mengundang dirinya sendiri minum kopi
bersama Mrs. Dobson. Dan Potter masih belum muncul-muncul
juga."
"Jadi Mrs. Dobson kita bujuk agar mau pindah, dan setelah itu
kita melakukan pengamatan," kata Pete.
"Betul! Tapi kita harus sangat hati-hati."
"Dan kau harus sangat pandai membujuk," kata Pete. "Dalam
menghadapi ibu Tom, aku kadang-kadang teringat pada Bibi
Mathilda-mu."

Bab 16
JEBAKAN MENGENA
KETIKA ketiga remaja itu tiba di rumah Potter, hari sudah
pukul tujuh lewat. Pete menggedor-gedor pintu depan,
sementara Jupiter berseru-seru menyebut namanya sendiri.
Tom Dobson membukakan pintu.
"Silakan masuk," katanya. "Kedatangan kalian benar-benar pada
waktunya."
Jupiter beserta kedua rekannya mengikuti Tom Dobson ke
dapur. Mrs. Dobson duduk di kursi yang ada di situ, sambil
memandang nyala hijau yang berkelip-kelip lalu padam di atas
lantai linoleum, dekat pintu ke ruang bawah tanah.     
"Hal-hal seperti itu lama-kelamaan tidak mengejutkan lagi,"
kata wanita muda itu dengan suara datar.
"Anda tadi sedang di mana?" tanya Jupiter.
"Di atas," kata Mrs. Dobson. "Tiba-tiba terdengar bunyi keras
di bawah sini. Tom segera turun untuk memeriksa - dan ia
menemukan jejak-jejak yang menyenangkan ini."
"Kalian ingin memeriksa rumah?" kata Tom Dobson mengajak.
"Ketika kalian datang, aku baru saja hendak melakukannya."
"Kurasa tak ada hal-hal baru yang akan kita jumpai nanti," kata
Jupe menyangsikan.
"Kita kan sudah pernah melakukan pemeriksaan," kata Pete,
"begitu pula bawahan Chief Reynolds."
"Ngomong-ngomong, ada kabar dari kepala polisi itu?" tanya
Jupiter. "Sama sekali tidak," kata Mrs. Dobson.
"Mrs. Dobson," kata Jupiter, "kurasa sebaiknya Anda berdua
pindah saja dari sini - makin cepat, makin baik."
"Aku tidak mau!" kata Mrs. Dobson. "Aku datang kemari untuk
melihat ayahku, dan aku takkan mau ke mana-mana sebelum
bertemu dengan dia."
"Seabreeze Inn kan tidak jauh letaknya dari sini," kata Bob
dengan lembut.
"Bibi Mathilda pun pasti senang menampung Anda untuk
beberapa hari," kata Jupiter menawarkan.
"Anda tidak perlu meninggalkan Rocky Beach," kata Pete
mendesak. "Yang penting, pergi dari rumah ini." Mrs. Dobson
memandang ketiga remaja itu sambil melotot. "Kenapa sih,
kalian bertiga ini?" tukasnya.     
"Tidakkah terlintas dugaan dalam diri Anda, bahwa ada orang
yang berusaha menakut-nakuti supaya Anda meninggalkan
rumah ini?" tanya Jupiter.
"Tentu saja - aku kan tidak begitu dungu, sehingga tidak bisa
merasakannya. Tapi aku tidak begitu gampang ditakut-takuti!"
"Menurut dugaan kami, orang yang menimbulkan jejak kaki
berapi ini tidak melakukannya karena iseng saja," kata Jupiter.
"Siapa pun orangnya, yang jelas ia banyak sekali mengetahui
tentang ayah Anda, serta tentang sejarah keluarga ayah Anda.
Ia jauh lebih banyak tahu daripada Anda - walau ia takkan
menduga bahwa Anda sebenarnya tidak banyak diberi tahu.
Menurut teori kami, orang itu ingin melapangkan medan. Ia
ingin memeriksa rumah ini, tanpa ada yang mengganggu.
Karenanya kami sarankan agar Anda memberi kesempatan itu
padanya. Kami minta agar Anda pindah saat ini juga, sementara
di luar hari masih cukup terang, biar orang itu melihat Anda
pergi. Anda naik mobil ke Rocky Beach, dan untuk sementara
jangan kembali dulu kemari. Kami bertiga akan melakukan
pengamatan. Kami ingin melihat apa yang akan terjadi di sini,
setelah Anda pergi."
"Kau main-main, ya?!" seru Mrs. Dobson.
"Tidak, kami bersungguh-sungguh," jawab Jupiter.
"Kalian menginginkan aku pergi dari sini, membiarkan orang
aneh yang gentayangan meninggalkan jejak kaki menyala itu
datang dan mengacak-acak rumah ayahku?"
"Kurasa itu satu-satunya cara agar kita bisa mengetahui apa
tujuan semuanya ini: menghilangnya ayah Anda, penggeledahan
di kantor rumah ini pada hari Anda tiba di sini, lalu jejak-jejak
berapi - pokoknya, segala-galanya!"      
Eloise Dobson menatap Jupiter dengan kening berkerut.
"Chief Reynolds sudah bercerita tentang dirimu," katanya.
"Dan juga tentang kalian, Bob dan Pete. Kalau tidak salah, ia
mengatakan bahwa bakat kalian untuk menimbulkan keributan
hanya tersaingi oleh kemampuan kalian melakukan
penyelidikan."
"Pujian terselubung," kata Jupiter mengomentari.
"Baiklah," kata Mrs. Dobson sambil berdiri. "Aku dan Tom akan
pergi dari sini, dengan kesibukan yang akan kami buat nampak
menyolok. Setelah itu kalian bertiga bersembunyi dan
mengamat-amati rumah ini. Kuturuti permintaan kalian itu.
Pintu rumah akan kami biarkan dalam keadaan terbuka, supaya
orang sinting itu bisa masuk dengan leluasa - walau
kelihatannya ia tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk itu,
selama ini. Tapi aku tidak tahu apakah yang diharapkannya bisa
ditemukan di sini - kecuali jika ia penggemar benda-benda
tembikar. Rumah ini tidak ada apa-apanya."
"Kita lihat saja nanti," kata Jupiter.
"Tapi ada satu hal yang ingin kuketahui," kata Mrs. Dobson.
"Aku ingin tahu, rahasia besar apakah yang tersembunyi dalam
silsilah keluarga ayahku."
"Sekarang tidak ada waktu untuk menjelaskannya, Mrs.
Dobson," kata Jupiter. "Setengah jam lagi di luar akan sudah
gelap. Jadi cepatlah - kita mulai sibuk mengurus kepindahan
Anda!"
"Baiklah," kata Mrs. Dobson mengalah. "Tapi ada satu hal lagi."
"Apa itu?" tanya Jupiter.
"Begitu kami berdua nanti sampai di kota, aku akan langsung ke
kantor polisi dan memberi tahu kepala polisi di sana tentang      
rencana kalian," kata wanita muda itu. "Jika nanti ada yang
main kasar, kalian pasti akan memerlukan bantuan."
Ketiga remaja anggota Trio Detektif tidak langsung
menanggapi. Kemudian Jupiter membuka mulut,
"Ya, mungkin sebaiknya begitu!"
"Aduh, Jupe," kata Pete memprotes, "bisa kacau urusannya,
jika polisi nanti datang dengan sirene menguing-nguing!"
"Kurasa Mrs. Dobson pasti bisa meyakinkan Chief Reynolds
agar jangan datang sambil membunyikan sirene mobil," kata
Jupiter. Ia berpaling pada Mrs. Dobson lagi. "Kami nanti akan
ikut pulang ke Rocky Beach, naik sepeda kami. Tapi begitu
sudah tidak nampak lagi dari sini, kami akan menyembunyikan
sepeda-sepeda kami dalam belukar di pinggir jalan, lalu
berjalan kaki lagi kemari. Semak belukar yang tumbuh di
lereng, saat ini sedang berdaun lebat. Orang yang ada di jalan
raya takkan bisa melihat kami. Kami nanti juga takkan nampak
dari Hilltop House. Tolong beri-tahukan pada Chief Reynolds,
kami akan mengamat-amati rumah ini dari balik pagar tanaman
oleander yang ada di belakang rumah."
"He - apakah kita tidak harus berangkat sekarang?" kata Bob
mendesak. "Hari sudah mulai gelap!"
"Ayo, Tom," kata Mrs. Dobson.
Keduanya bergegas naik ke tingkat atas. Trio Detektif yang
menunggu di dapur, mendengar bunyi lemari-lemari dibuka dan
ditutup, serta kopor-kopor diletakkan dengan keras ke lantai.
Empat menit kemudian, Eloise kembali menuruni tangga sambil
membawa sebuah kopor kecil, serta sebuah kotak tempat
kosmetik. Tom mengikutinya, menjinjing dua kopor yang agak
besar.      
"Kalian cepat sekali!" kata Jupiter memuji. "Tidak ada yang
kelupaan? Sikat gigi, sabun _?"
"Tidak ada yang kelupaan," kata Mrs. Dobson. "Tapi aku tadi
memasukkannya asal saja!"
"Nanti kan bisa dibereskan dengan tenang," kata Jupiter.
Diambilnya kopor kecil yang dijinjing wanita muda itu, sedang
Pete mengambil salah satu kopor besar yang dibawa Tom.
"Yuk, kita berangkat," kata Jupe, setelah memandang
berkeliling untuk memastikan bahwa tidak ada yang kelupaan
lagi.
Iring-iringan itu melintasi lorong, menuju pintu depan. Ketika
melewati pintu ruang kantor, tahu-tahu Mrs. Dobson berhenti.
"Tunggu!" serunya. "Tom! Ambil kotak itu!"
"Kotak apa?" tanya Pete.
"Aku sempat memeriksa barang-barang kepunyaan ayahku,"
kata Mrs. Dobson dengan nada membela diri. "Aku bukan
hendak menyelidik, tapi cuma ingin tahu saja - dan kemudian
kutemukan sebuah kotak berisi berbagai barang. Tidak ada
yang berarti bagi orang lain-seperti foto ayah dan ibuku, yang
dibuat saat hari pernikahan mereka, serta seberkas suratsurat
dari ibuku, serta beberapa dari aku, dan - pokoknya, aku
tidak ingin ada orang lain mengacak-acaknya, Jupiter!"
"Kami mengerti, Mrs. Dobson," kata Jupiter. Diambilnya kopor
kedua yang dijinjing Tom Dobson, sementara anak itu bergegas
masuk ke ruang kantor Potter. Dengan segera ia sudah keluar
lagi, membawa sebuah kardus.
"Kakekku kelihatannya menyimpan segala-galanya," katanya
pada anak-anak yang lain.      
Pete membuka pintu depan. Iring-iringan itu keluar satu-satu,
lewat di antara kedua guci besar pengapit jenjang rumah,
menuju ke mobil Mrs. Dobson, yang diparkir di dekat gudang
tempat Potter menyimpan bahan-bahan keperluannya.
"Sayang Anda memutuskan untuk lebih baik pergi saja, Mrs.
Dobson," kata Jupiter dengan suara yang sengaja dikeraskeraskan.
Mrs. Dobson memandangnya dengan mulut ternganga.
"Hah?"
"Anda harus berlagak ketakutan," bisik Jupiter, memberi
petunjuk.
"Ah," kata Mrs. Dobson, lalu menyambung dengan suara
nyaring, mendekati histeris, "Kau sinting, Jupiter Jones, jika
menyangka aku mau tinggal lebih lama di rumah ini, sementara
ada orang yang mencoba melakukan pembakaran!"
Ia meletakkan kotak kosmetiknya di samping mobil, lalu
membuka tutup bagasi.
"Mendingan juga tidak punya ayah, daripada begini," kata
wanita itu lagi, nyaris berteriak-teriak. "Mendingan dulu aku
dilahirkan sebagai anak yatim."
Mrs. Dobson mencampakkan kotak kosmetiknya ke dalam
bagasi.
"Jika aku tak pernah lagi melihat Rocky Beach - atau rumah ini
- aku malah mengucap syukur! Tom! Kemarikan kotak itu!"
Tom menyodorkan kotak yang berisi surat-surat tua pada
ibunya. Ketika Mrs. Dobson hendak memasukkan kotak itu ke
dalam mobil, tiba-tiba terdengar suara seseorang menyergah.
Datangnya dari sisi gudang.      
Semua berpaling ke arah itu. Pemancing amatiran yang selalu
perlente berdiri di situ, diterangi sinar matahari petang yang
kuning keemasan. Dan pria pesolek itu menggenggam pistol!
"Jangan ada yang bergerak, kalau tidak ingin cedera," kata
Farrier. Orang itu mengarahkan laras pistolnya pada Eloise
Dobson.
"Kurasa ada sesuatu yang meleset dalam rencana kita," kata
Pete.
"Kemarikan kotak itu," kata Farrier. "Atau lebih baik, buka dan
tumpahkan isinya ke tanah."
"Isinya cuma seberkas surat-surat tua, yang dialamatkan pada
kakekku," kata Tom Dobson.
"Buka, kataku!" bentak Farrier. "Aku ingin melihat sendiri
isinya." "Jangan kaulawan orang ini," kata Jupiter.
Tom menarik napas panjang. Diambilnya kotak kardus itu dari
dalam mobil. Ia membukanya, lalu menumpahkan isinya ke
tanah. Sampul-sampul surat berhamburan.
"Surat-surat!" seru pemancing perlente itu. Dari suaranya
terdapat kesan bahwa ia benar-benar tak menyangka hal itu.
"Apakah Anda tadi mengira isinya makota kecil bertatahkan
intan, atau begitu?" tanya Tom Dobson.
Pria yang mengaku bernama Farrier maju selangkah.
"Apa yang kalian -" Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak
jadi. "Kopor-kopor itu," katanya kemudian, "bawa lagi ke dalam
rumah. Ukurannya sebenarnya terlalu kecil, tapi siapa tahu -"
Eloise Dobson berjongkok, lalu memasukkan kembali sampulsampul
surat yang berserakan di tanah ke dalam kotaknya.
Sedang anak-anak mengeluarkan kopor-kopor dari bagasi mobil
Mrs. Dobson. Setelah itu semua digiring masuk ke rumah,      
sementara Mr. Farrier berjalan paling belakang dengan pistol
teracung.
Eloise Dobson marah-marah di ruang depan, sementara anakanak
dipaksa menumpahkan isi kopor-kopor wanita muda itu ke
lantai. Tas kepunyaan Tom juga dibuka. Isinya diserakkan di
lantai, untuk diperiksa oleh Mr. Farrier.
"Jadi kalian tidak menemukannya, ya?" kata Farrier kemudian.
"Ketika aku tadi melihat kotak kardus itu, aku merasa pasti..."
"Menemukan apa, sih?" tukas Mrs. Dobson.
"Anda tidak tahu?" tanya Farrier. Nada suaranya sangat licin.
"Tidak - kelihatannya Anda memang benar-benar tidak tahu.
Mungkin memang lebih baik bagi Anda, Mrs. Dobson yang
budiman, bahwa Anda sama sekali tidak mengetahuinya.
Sekarang - semua masuk ke ruang bawah tanah!"
"Aku tidak mau!" teriak Mrs. Dobson.
"O ya, Anda harus mau, Mrs. Dobson," kata Farrier. "Aku
sudah memeriksa ruangan di bawah itu. Dindingnya dari batu
bata tebal, dan lantainya semen. Kalian bisa beristirahat
dengan tenang di situ, sementara aku menyelesaikan urusanku.
Di ruang bawah tanah itu tidak ada jendela."
"Anda yang menggeledah kantor, hari Sabtu itu," kata Jupiter
menuduh.
"Sayangnya, aku tak sempat selesai," kata Farrier. "Saat itu
aku hanya menemukan satu harta saja." Ia mengeluarkan
seberkas anak kunci dari kantungnya.
"Berkas kunci yang selalu dibawa-bawa Potter!" kata Jupiter.
"Kurasa ini duplikatnya," kata Farrier sambil tertawa nyengir.
"Ia baik hati, mau membiarkannya tergeletak di dalam laci
meja. Ayo, sekarang semua turun ke bawah!"      
Iring-iringan itu berjalan, menyusuri lorong, melintasi dapur,
lalu menuruni tangga ke ruang bawah tanah. Mrs. Dobson
berhenti sebentar di pangkal tangga untuk menyalakan lampu.
Setelah itu ia turun, masuk ke dalam ruang kosong yang
berdinding batu bata.
"Kalian takkan terlalu menderita di situ," kata Farrier dari
atas tangga. "Dan tidak lama kemudian pasti akan ada orang
kemari, mencari-cari kalian."
Setelah itu ia menutup pintu. Terdengar bunyi anak kunci
diputar, lalu dicabut dari lubangnya. Sebuah gerendel digeser.
"Sekarang aku menyesal, kenapa Kakek begitu gemar
memasang kunci pengaman di mana-mana," keluh Tom.
Jupiter duduk di kaki tangga, sambil memandang berkeliling.
"Tempat ini memang tidak menyenangkan, jika kita harus agak
lama di sini - tapi ini masih mendingan, daripada kaki dan
tangan kita diikat. Kurasa dugaan kita benar, dan
orang yang mengaku bernama Farrier itu sekarang pasti akan
melakukan penggeledahan dengan cermat, di seluruh ruangan.
Pasti kotak kardus berisi surat-surat tadi yang
menyebabkannya. Ketika ia melihat kotak itu, ia langsung
menarik kesimpulan bahwa kita menemukan apa yang selama ini
dicari-cari olehnya. Jebakan kita mengena!"
"Ya, memang," kata Pete dengan getir, "cuma sialnya, kita
sendiri yang terperangkap di dalamnya!"

Bab 17
SANG JENDERAL TAMPIL      
PARA tawanan itu duduk dengan sikap senyaman mungkin di
anak tangga, sambil mendengarkan kesibukan pemancing
gadungan yang sibuk mencari-cari di atas, di dalam rumah.
Terdengar bunyi laci-laci ditarik di dapur. Pintu-pintu lemari
dihempaskan. Langkah kaki bergegas ke sepen, disusul bunyi
panci-panci berjatuhan. Dinding diketuk-ketuk.
Mereka mendengar Farrier keluar dari dapur, lalu menyusuri
gang menuju kantor Potter. Terdengar bunyi barang berat
tergeser, disusul bunyi gedebuk. Debu berhamburan dari
langit-langit ruang bawah tanah itu.
"Ia menggulingkan lemari arsip," kata Pete menebak.
Meja tulis Potter yang usang digeser. Bunyinya terdengar
jelas, di atas papan lantai. Kemudian menyusul lagi bunyi
dinding diketuk-ketuk.
"Apakah polisi menemukan perpustakaan rahasia Potter?"
tanya Jupe pada Tom. "Tidak," jawab Tom.
"Kalian bersikap sembunyi-sembunyi terhadapku," tukas Eloise
Dobson. "Perpustakaan rahasia yang mana?"
"Bukan apa-apa, Bu," kata Tom. "Cuma setumpuk koran tua, di
balik lempeng tembikar di kamar tidur."
"Untuk apa koran-koran tua disembunyikan?" tanya Mrs.
Dobson.
"Supaya kalau ada orang datang mencari, ia akan menemukan
sesuatu," kata Jupiter.
Saat itu terdengar bunyi benda berat pecah di atas.
"Aduh," kata Mrs. Dobson. "Itu pastijambangan besar, yang di
gang."
"Sayang," kata Jupiter.      
Langkah kaki Farrier terdengar menuju ke tangga, yang
kemudian dinaikinya dengan bergegas-gegas.
"Pasti dia yang menimbulkan jejak kaki yang bernyala itu!" kata
Mrs. Dobson.
"Ya," kata Jupiter. "Ia memiliki berkas kunci rumah ini, jadi
bisa datang dan pergi seenak hatinya. Kurasa ia masuk lewat
pintu belakang, karena pintu depan diberi pengaman tambahan
dengan gerendel sorong."
"Dan jejak-jejak itu..." kata Tom.
Tiba-tiba Jupiter mengangkat tangannya.
"Ssst - dengar!"
Semua diam.
"Aku tidak mendengar apa-apa," kata Tom setelah beberapa
saat.
"Ada orang datang, dan naik ke beranda belakang," kata
Jupiter. "Setelah berusaha membuka pintu, kemudian pergi
lagi."
"Syukurlah," kata Eloise Dobson. "Kita berteriak sekarang!"
"Lebih baik jangan, Mrs. Dobson," kata Bob dengan sungguhsungguh.
"Soalnya, yang kita hadapi bukan cuma Farrier yang
menyebalkan itu saja, melainkan ada lagi dua orang yang benarbenar
menyeramkan, di Hilltop House."
"Orang-orang yang mengintai kemari itu?" kata Mrs. Dobson.
"Kurasa perbuatan mereka tidak cuma terbatas sampai itu
saja," kata Jupiter memberi tahu. "Hilltop House mereka sewa
karena suatu alasan tertentu - yaitu karena letaknya di
sebelah atas rumah ini."
Jupiter memberi isyarat, menyuruh diam. Terdengar bunyi
orang berjalan di atas, dalam gang.      
"Farrier tadi lupa mengunci pintu depan," bisik Pete.
"Urusan ini bisa bertambah menarik jadinya." Jupiter naik
sampai ke ujung atas tangga, lalu menempelkan telinga ke daun
pintu. Samar-samar didengarnya suara orang berbicara.
Jupiter mengacungkan dua jari, untuk mengisyaratkan bahwa
yang baru datang itu dua orang.
Kedua orang itu menyusuri gang hampir sampai ke dapur, lalu
kembali lagi. Saat itu terdengar langkah orang lain di tangga ke
tingkat atas, disusul suara teriakan, dan bunyi letusan.
"Itu bunyi tembakan!" kata Jupiter.
Setelah itu tidak ada teriakan-teriakan lagi. Tapi para tawanan
yang terkurung di ruang bawah tanah, mendengar orang
berbicara dengan suara galak, disusul langkah di tangga, serta
bunyi seperti orang tersandung. Langkah-langkah itu masuk ke
dapur, disusul bunyi kursi ditarik.
"Ayo duduk, dan awas kalau berani bergerak," kata seseorang
dengan suara galak. Mendengar suaranya, pasti itu Jenderal
Kaluk.
Jupiter turun beberapa jenjang, menjauhi pintu yang membuka
ke dapur.
Pintu itu terbuka. Sosok tubuh jenderal yang kekar dari
Lapatia memenuhi ambangnya.
"Nah?" kata jenderal itu. "Sahabat mudaku Jones! Dan Master
Andrews. Kuminta kalian semua naik."
Kelima tawanan itu masuk ke dapur. Lampu di langit-langit
menyala. Eloise Dobson tersentak ketika melihat Farrier.
Pemancing amatiran yang perlente itu duduk di salah satu kursi
yang ada di situ. Ia menekankan sapu tangan ke pergelangan      
tangannya yang sebelah kanan. Jaketnya yang putih dinodai
bercak berwarna merah.
"Nyonya kaget melihat darah?" tanya Jenderal Kaluk. "Anda
tidak usah takut. Orang ini tidak luka parah." Ia menyodorkan
kursi ke arah Mrs. Dobson, dari menyuruhnya duduk. "Aku
tidak menyukai kekerasan, kecuali jika memang perlu," katanya.
"Orang ini kutembak, hanya untuk mencegah kemungkinan aku
ditembak olehnya."
Mrs. Dobson duduk di kursi yang disodorkan.
"Kurasa kita perlu memanggil polisi," katanya dengan suara
gemetar. "Di depan ada telepon umum, di pinggir jalan raya.
Tom, coba kau -"
Jenderal Kaluk menggerakkan tangannya, menyuruh wanita
muda itu diam. Orang Lapatia yang satu lagi, Demetrieff, pergi
ke ambang pintu dapur, lalu berdiri di situ. Ia menggenggam
senjata api - sebuah revolver.
"Kurasa orang ini bisa kita lupakan saja, Nyonya, karena tidak
penting," kata Jenderal Kaluk, sambil menggerakkan kepala ke
arah Farrier. "Tidak kuketahui bahwa ia ada di sekitar sini.
Coba dari semula aku sudah tahu, pasti sudah kuambil langkahlangkah
untuk mencegah gangguannya pada Anda."
"Anda dan orang itu kedengarannya seperti kawan lama," kata
Jupiter menyela. "Atau mungkin lebih tepat kalau dikatakan,
musuh lama?"
Jenderal dari Lapatia itu tertawa. Bunyinya pendek, dan tidak
enak didengar.
"Musuh? Orang ini tidak cukup penting, sehingga bisa disebut
musuh. Ia penjahat - penjahat yang biasa-biasa saja. Pencuri!"
Jenderal Kaluk mengambil kursi, lalu duduk. "Memang urusanku      
untuk mengetahui hal-hal seperti itu, Nyonya," katanya pada
Mrs. Dobson. "Di antara berbagai tugasku di Lapatia, aku juga
mengawasi kepolisian nasional. Kami memiliki catatan tentang
orang ini. Nama samarannya banyak - Smith, Farrier,
Taliaferro - semuanya nama palsu. Ia pencuri permata. Anda
sependapat 'kan, bahwa itu merupakan perbuatan j ahat?"
"Sangat jahat!" kata Eloise Dobson dengan cepat. "Tapi... tapi
di rumah ini kan sama sekali tidak ada permata. Apa yang
hendak di... kenapa Anda ada di sini?"
"Kami tadi melihat dari teras kami, ketika orang jahat ini
kelihatannya merongrong Anda serta sahabat-sahabat mudaku
ini. Dengan sendirinya kami lantas datang untuk memberi
bantuan."
"Aduh, terima kasih!" kata Mrs. Dobson, sambil cepat-cepat
bangkit dari kursinya. "Terima kasih banyak. Sekarang tinggal
menelepon polisi, lalu -" "Sabar, Nyonya - itu nanti saja
dilakukan. Sekarang harap duduk lagi." Mrs. Dobson duduk lagi.
"Aku lupa memperkenalkan diriku," kata jenderal itu. "Kias
Kaluk! Dan Anda siapa, Nyonya?"
"Aku Eloise Dobson. Mrs. Thomas Dobson. Dan ini anakku,
Tom." "Dan Anda teman Alexis Kerenov?" Mrs. Dobson
menggeleng. "Belum pernah kudengar nama itu," katanya. "Ia
juga dikenal dengan nama Potter," Jenderal Kaluk menjelaskan.
"Mrs. Dobson ini memang kenalan Potter," sela Jupiter dengan
cepat, "dari pedalaman. Kan sudah pernah kukatakan." Jenderal
dari Lapatia itu menatap Jupiter dengan masam.
"Biar nyonya ini menjawab sendiri," katanya, lalu menatap Mrs.
Dobson lagi. "Anda kenalan Potter?"      
Eloise membuang muka. Sikapnya gelisah, seperti orang yang
tidak begitu pandai berenang, yang tahu-tahu menyadari bahwa
ia berada di tengah air yang dalam. "Ya," kata wanita muda itu
dengan suara lirih. Mukanya memerah. Jenderal Kaluk
tersenyum.
"Kurasa Nyonya tidak mengatakan yang sebenarnya," katanya.
"Harap diingat, aku ahli dalam soal-soal begini. Sekarang,
Nyonya ceritakan bagaimana caranya berkenalan dengan orang
yang dikenal dengan nama Potter itu?"
"Yah," kata Mrs. Dobson, "lewat... lewat surat. Kami melakukan
surat-menyurat, dan..."
"Sebagian besar dari usaha Potter dilakukan lewat pos!" kata
Pete dengan cepat.
"Ya, betul," kata Bob. "Dan ia mengirimkan barang-barangnya
ke Mrs. Dobson, lalu Mrs. Dobson menyuratinya, lalu -"
"Berhenti!" bentak jenderal itu pada Bob. "Omong kosong!
Kausangka aku mau percaya pada ocehanmu itu? Wanita ini
menulis surat pada seorang laki-laki tua pembuat tembikar, dan
isi surat-surat antara mereka berdua begitu menarik, sehingga
wanita ini datang ke kota kecil ini, lalu masuk ke rumah laki-laki
tua itu - pada hari laki-laki tua itu menghilang. Itu yang harus
kupercaya? Aku ini bukan orang bodoh!"
"Jangan berteriak!" Padahal Eloise Dobson sendiri juga
berteriak. "Lancang sekali Anda, berani masuk kemari! Dan aku
tidak peduli, apakah Farrier ini mencuri makota Kerajaan
Inggris - yang jelas, kita perlu memanggil dokter untuk
merawat lukanya. Ia... darahnya berceceran ke lantai!"
Jenderal Kaluk melihat sekilas ke arah Farrier, serta ke
beberapa tetes darah yang menitik ke lantai.      
"Perasaan Nyonya terlalu lembut," kata jenderal itu pada Mrs.
Dobson. "Nantilah, Mr. Farrier akan kami urus, jika sudah
waktunya. Sekarang, harap Anda ceritakan bagaimana Anda
bisa berkenalan dengan Mr. Potter."
"Itu bukan urusan Anda!" teriak wanita muda itu. "Tapi jika
Anda memang ingin tahu
"Jangan, Mrs. Dobson," kata Jupiter meminta.
"Ia ayahku!" kata Mrs. Dobson menyelesaikan kalimatnya
dengan nada menantang. "Ia ayahku, dan ini rumahnya. Anda
sama sekali tidak berhak masuk kemari. Dan jangan Anda
berani -"
Jenderal Lapatia itu mendongakkan kepalanya. Ia tertawa
terbahak-bahak. "Itu sama sekali tidak lucu!" bentak Mrs.
Dobson.
"Ini malah sangat lucu!" kata jenderal itu, sambil terpingkalpingkal
terus. Kemudian dipandangnya pria Lapatia yang lebih
muda, yang selama itu berdiri menjaga di ambang
pintu. "Demetrieff, kita ternyata memperoleh sesuatu yang
sangat berarti! Anak perempuan Alexis Kerenov ada di tangan
kita!" Jenderal itu mendekatkan diri pada Mrs. Dobson.
"Sekarang Anda katakan saja, ada yang ingin kuketahui.
Setelah itu kami akan mengurus Mr. Farrier, yang begitu Anda
cemaskan kelihatannya." "Apa yang ingin Anda ketahui?" tanya
Mrs. Dobson.
"Ada suatu barang tertentu - sesuatu yang nilainya sangat
tinggi - milik rakyat kami," kata jenderal itu. "Anda tahu, apa
yang kumaksudkan?" Eloise Dobson menggeleng.      
"Ia tidak tahu," kata Jupiter Jones dengan sungguh-sungguh.
"Mrs. Dobson tidak tahu apa-apa-tentang Lapatia, atau tentang
apa saja!"
"Tutup mulutmu!" bentak Jenderal Kaluk. "Aku menunggu,
Nyonya Dobson!"
"Aku tidak tahu," kata Eloise Dobson. "Kata Jupiter tadi
benar. Aku ini tidak tahu apa-apa. Aku belum pernah
mendengar nama Alexis Kerenov. Nama ayahku Alexander
Potter!"
"Dan ia tidak menitipkan rahasia itu pada Anda?" desak
jenderal itu.
"Rahasia? Rahasia apa?" seru Mrs. Dobson bingung.
"Menggelikan!" tukas jenderal itu sambil mendengus. "Ia pasti
mengatakannya pada Anda. Itu kewajibannya. Dan Anda kini
harus mengatakannya padaku!" "Tapi aku benar-benar tidak
tahu apa-apa!" teriak Mrs. Dobson.
"Demetrieff!" teriak Jenderal Kaluk. Kelihatannya ia tidak bisa
lagi mengendalikan diri. "Dia ini harus berbicara!" Demetrieff
melangkah maju, mendekati Mrs. Dobson.
"He! Jangan sentuh ibuku!" teriak Tom Dobson. Ia berusaha
mencegat. Tapi Demetrieff mendorongnya ke samping.
"Masukkan mereka ke ruang bawah tanah!" kata Jenderal Kaluk
pada Demetrieff. "Semua, kecuali wanita keras kepala ini!"
Pete merasa bahwa sudah tiba waktu baginya untuk beraksi.
Sambil berteriak, diterjangnya pria Lapatia yang lebih muda
itu, diikuti oleh Bob. Pete bergerak menyambar tangan yang
memegang senjata api, sedang Bob menyergap kaki orang itu.      
Demetrieff terdengus lalu roboh. Revolver-nya meletus, tapi
dengan laras terarah ke atas, sehingga pelurunya hanya
menembus langit-langit.
Tembakan itu disusul bunyi tembakan lain, yang jauh lebih
nyaring. Pintu belakang terbuka dengan tiba-tiba. Tahu-tahu
Potter sudah muncul di ambangnya, menggenggam senapan buru
model kuno yang agak berkarat.
"Jangan bergerak!" seru Potter.
Langkah Jupiter terhenti, di antara pintu ruang bawah tanah
dan kursi yang diduduki Jenderal Kaluk. Jenderal itu tetap
duduk, sedang Pete dan Bob terkapar di lantai, menindih
Demetrieff yang jatuh terjengkang.
"Kakek?" kata Tom Dobson.
"Selamat malam, Tom," kata Potter. "Aku menyesali semua
kejadian ini, Eloise, Anakku!"
Jenderal Kaluk beranjak, hendak berdiri. Seketika itu juga
laras senapan buru di tangan Potter bergerak ke arahnya.
"Jangan bergerak, Kaluk," kata Potter. "Dalam laras ini masih
ada satu peluru lagi - dan dengan senang hati aku akan
melepaskannya ke arah mukamu."
Jenderal Kaluk duduk lagi.
"Jupiter," kata Potter lagi, "tolong kumpulkan semua senjata
api yang ada, ya! Dari teman jenderal yang terkapar di lantai,
dan aku yakin jenderal kita ini juga membawa sepucuk.
Jenderal Kaluk dari dulu sudah gemar pada senjata api."
"Baik, Mr. Potter," kata Jupiter, "maksudku, Mr. Kerenov."

Bab 18
BERKOMPROMI      
SEMUA membisu, sementara Jupiter Jones mengambil
revolver Demetrieff, dan setelah itu menggeledah Jenderal
Kaluk serta mengambil pistol otomatis milik Farrier yang ada
padanya. Senjata api itu lebih kecil ukurannya dari revolver,
tapi sama saja bahayanya.
"Taruh senjata-senjata itu dalam sepen lalu kaukunci pintunya,
Jupiter, dan serahkan anak kuncinya padaku," kata Potter.
Jupiter melakukan seperti disuruh. Potter menyelipkan anak
kunci pintu sepen yang diserahkan padanya ke dalam kantung
yang tersembunyi di balik jubahnya. Setelah itu barulah ia
agak santai. Ia menyandarkan diri ke sebuah lemari.
Saat itu barulah Eloise Dobson menangis.
"Sudahlah, Anakku," kata Potter menenangkan. "Semuanya
sudah berlalu. Selama ini aku terus mengawasi bajinganbajingan
ini. Takkan kubiarkan mereka berbuat apa-apa
terhadapmu."
Mrs. Dobson berdiri. Ia menghampiri Potter. Laki-laki tua itu
menyerahkan senapannya pada Jupiter, lalu merangkul anaknya.
"Ya, ya, aku tahu," katanya. Ia tertawa. Mrs. Dobson
dijauhkannya sedikit, sehingga wanita itu mau tidak mau
terpaksa melihat rambut, jenggot, dan jubahnya, yang
semuanya nampak kotor.
"Kau pasti kaget melihat diriku, ya?" kata Potter. "Tidak ada
orang yang mempunyai ayah seperti Alexander Potter." Mrs.
Dobson mengangguk, lalu menggeleng, lalu menangis lagi.
Jenderal Kaluk mengatakan sesuatu dalam bahasa asing aneh,
yang pernah didengar oleh Bob dan Jupiter di Hilltop House.      
"Kuharap kau berbicara dalam bahasa Inggris," kata Potter
pada jenderal itu. "Sudah lama aku tidak mendengar bahasa
asliku, sehingga aku tidak begitu memahaminya lagi."
"Aneh!" seru jenderal itu dengan heran.
"Dan siapa orang itu?" kata Potter. Ia menuding Mr. Farrier,
yang masih meringkuk di kursi yang didudukinya, sambil
memegang pergelangan tangannya yang luka kena tembak.
"Orang yang tidak berarti," kata Jenderal Kaluk. "Pencuri!"
"Namanya Mr. Farrier, Kakek," kata Tom Dobson. "Menurut
Jupe, dialah yang menakut-nakuti kami, supaya kami
meninggalkan rumah ini." "Menakut-nakuti kalian? Dengan cara
bagaimana?"
"Pada tiga kesempatan yang berbeda waktu," kata Jupiter
Jones, "di rumah ini nampak jejak kaki yang mengobarkan api.
Anda bisa melihat tiga jejak yang hangus dekat sepen, dan dua
dekat pintu ruang bawah tanah. Lalu di tangga ada tiga lagi."
"Wah!" seru Potter. "Jejak kaki berapi? Rupanya kau
mempersiapkan diri dengan baik, Farrier - kau tahu tentang
hantu keluarga kami. Kenapa tangan orang itu berdarah,
Jupiter?"
"Ditembak Jenderal Kaluk," kata Jupiter.
"Oh, begitu," kata Potter. "Dan benarkah orang ini masuk ke
rumahku secara diam-diam, serta berusaha menakut-nakuti
keluargaku?"
"Anda takkan bisa membuktikannya," kata Farrier dengan
geram. "Berkas anak kunci cadangan Anda ada padanya," kata
Jupiter.
"Kurasa kita perlu memanggil Chief Reynolds," kata Potter.
"Aku sama sekali tidak mengira, Eloise. Aku begitu prihatin
terhadap kemungkinan Kaluk akan berbuat apa-apa terhadap
kalian, sehingga aku tidak begitu memperhatikan rumahku
sendiri."
Jenderal Kaluk menatap Potter dengan sikap kagum.
"Jadi kau selama ini mengamat-amati diriku, Alexis?"
"Aku mengawasi dirimu, sedang kau mengamat-amati anakanakku,"
jawab Potter. "Kalau aku boleh bertanya, Sobat - di
mana saja kau selama tiga hari belakangan ini?" tanya Jenderal
Kaluk.
"Di atas garasi Hilltop House ada loteng," kata Potter singkat.
"Pintu-pintu garasi memang terkunci, tapi di sisi utaranya ada
sebuah jendela."
"Begitu," kata Jenderal Kaluk. "Ternyata dalam usia tuaku
sekarang ini, kecermatanku sudah mulai berkurang."
"Bahkan sangat berkurang," kata Potter. "Sekarang kita
telepon saja Chief Reynolds, Jupiter - untuk menggiring orangorang
ini dari sini."
"Tunggu sebentar, Alexis," kata Jenderal Kaluk. "Masih ada
urusan tentang sejumlah perhiasan yang dilarikan dari
pemiliknya yang sah, bertahun-tahun yang silam."
"Keluarga Azimov-lah pemiliknya yang sah," balas Potter. "Dan
tugasku menjaga keamanan perhiasan itu."
"Pemiliknya yang sah, rakyat Lapatia," kata jenderal itu.
"Keluarga Azimov sudah tidak ada lagi!"
"Bohong!" tukas Potter dengan berang. "Nicholas tidak tewas
di Puri Madanhoff. Kami bersama-sama melarikan diri. Menurut
rencana, di Amerika kami akan berkumpul lagi. Itu sudah kami
atur sejak semula. Aku harus mencari cara untuk      
menyampaikan berita padanya. Selama ini aku menunggu-nunggu
terus."
"Alexis yang malang," kata Jenderal Kaluk. "Seumur hidupmu
kau menunggu dengan sia-sia. Nicholas tidak berhasil minggat.
Ia bahkan tidak bisa mencapai stasiun kereta api, karena sudah
lebih dulu ketahuan." Jenderal Kaluk merogoh kantung jasnya
yang sebelah dalam, lalu mengeluarkan sebuah foto, yang
disodorkannya pada Potter.
Hampir semenit lamanya Potter memandang foto itu.
"Pembunuh!" sergahnya kemudian pada jenderal yang datang
dari Lapatia.
Jenderal Kaluk mengambil foto itu lagi dari tangan Potter.
"Itu bukan kemauanku," katanya. "Jangan lupa, Yang Mulia kan
sahabatku!"
"Lalu begitu caramu memperlakukan sahabat-sahabatmu?"
tanya Potter.
"Kejadian itu tidak bisa dielakkan lagi," kata Jenderal Kaluk.
"Mungkin ada keadilan terselubung di dalamnya. Entahlah - kita
tidak bisa menilainya lagi sekarang. Wangsa Azimov
memperoleh kekuasaan melalui pertumpahan darah, dan
kemudian berakhir dalam genangan darah pula. Tapi satu hal
sudah jelas, Alexis - keluarga itu sekarang tidak ada lagi. Dan
bagaimana dengan kau sendiri? Seumur hidupmu kau menunggu.
Menunggu di belakang pintu terkunci rapat. Menunggu di balik
samaran jenggot tebal, serta jubah manusia eksentrik. Hidup
terpisah dari keluarga. Kau tentunya tidak melihat anak
perempuanmu tumbuh menjadi dewasa, ya?"
Potter menggeleng.      
"Untuk sebuah makota," kata jenderal itu lagi. "Semuanya ini
kaulakukan demi sebuah makota, tanpa ada kepala yang berhak
lagi memakainya." "Apa maumu sebenarnya?" tanya Potter
kemudian.
"Aku hendak membawanya kembali, ke Madanhoff," kata
jenderal itu. "Makota itu akan ditaruh di Museum Nasional di
sana, di tempat yang semestinya. Rakyat menghendaki makota
itu ada di sana, seperti yang dijanjikan para jenderal pada
mereka, sekian tahun yang silam."
"Janji itu tidak diucapkan secara serius, melainkan hanya
merupakan penenang saja!" teriak Potter.
"Ya, aku tahu. Aku sebenarnya juga tidak setuju, tapi Lubaski
berkeras terus - dan ketika janji itu sudah diucapkan, kami
terpaksa berusaha menepatinya. Kalau tidak, kepercayaan
rakyat pasti akan goyah."
"Pembohong!" teriak Potter dengan berang. "Pembunuh! Kau
berani mengoceh tentang kepercayaan rakyat?!"
"Aku sudah tua sekarang, Alexis," kata Jenderal Kaluk, "dan
kau juga! Rakyat Lapatia kini hidup berbahagia - sungguh,
percayalah, mereka hidup berbahagia. Seberapa besarkah
kecintaan yang ada dulu, terhadap wangsa Azimov? Wangsa itu
sekarang sudah tidak ada lagi. Apalah gunanya bagimu, jika kau
menolak permintaanku? Kau sudi menjadikan dirimu pencuri?
Aku tidak percaya. Makota itu ada di tanganmu. Kau sudah
bersumpah, makota itu akan selalu kaulindungi. Itulah sebabnya
aku kemari. Serahkanlah makota itu padaku, dan biarlah kita
berpisah selaku teman."
"Kita berdua takkan pernah bisa menjadi teman," kata Potter.      
"Kalau begitu, setidak-tidaknya janganlah kita berpisah
sebagai musuh," kata jenderal Lapatia itu dengan nada
memohon. "Sebaiknya kita pertimbangkan, apa yang lebih
berguna bagi kita semua. Kita lupakan, apa saja pengorbanan
kita berdua."
Potter diam saja.
"Makota itu tidak mungkin bisa kaujadikan milikmu," kata
Jenderal Kaluk. "Bagimu tidak ada pilihan lain, Alexis. Hanya
ada satu tempat yang tepat untuk makota itu, yaitu di
Madanhoff. Pikirkanlah, apa akibatnya bagi dirimu, jika
diketahui bahwa makota itu ada padamu? Dan apa akibatnya
bagi Lapatia? Aku tidak tahu pasti, tapi aku bisa
membayangkannya! Timbul sikap saling curiga-mencurigai,
kekacauan, dan barangkali juga revolusi. Apakah kau
menghendaki revolusi pecah lagi di sana, Alexis?"
Potter nampak ngeri membayangkan kemungkinan itu.
"Baiklah, akan kuambil dan kuserahkan padamu."
"Barang itu ada di sini sekarang?" tanya Jenderal Kaluk.
"Ya, ada di sini," jawab Potter. "Sebentar."
"Mr. Potter?" Jupiter menyela pembicaraan.
"Ya, Jupiter?"
"Bagaimana jika saya yang mengambilnya?" tanya Jupiter.
"Tempatnya dalam guci itu, 'kan?"
"Kau ini anak pintar, Jupiter. Betul, ada dalam guci. Coba tolong
ambilkan!"
Jupiter pergi ke luar, kurang lebih selama semenit. Selama itu
tidak ada yang berbicara di dalam. Ketika Jupiter masuk lagi,
ia membawa sebuah bungkusan berukuran besar. Beberapa      
helai kain empuk membungkus sebuah benda, yang diletakkan
oleh Jupiter di atas meja.
"Kau saja yang membukanya," kata Potter. Jenderal Kaluk
mengangguk, tanda setuju. "Kau pasti ingin tahu," katanya.
Jupiter membuka bungkusan itu. Kain-kain penyelubung
disingkapkannya. Di atas meja dapur rumah Potter terletak
sebuah makota indah, terbuat dari emas dan lapis lazuli. Bagian
atasnya bertatahkan batu delima besar, dengan sebuah bentuk
rajawali berwarna merah. Rajawali itu berkepala kembar, dan
kedua paruhnya yang runcing ternganga.
"Makota Kerajaan Lapatia!" kata Bob kagum.
"Tapi... kusangka makota itu ada di museum, di Madanhoff!"
kata Pete.
Jenderal Kaluk bangkit dari kursinya. Dipandangnya benda
indah itu dengan sikap, yang hampir-hampir bisa dikatakan
hormat.
"Yang ada di Madanhoff merupakan duplikat," katanya. "Tiruan
yang sangat baik, walau dibuat tanpa bantuan seorang Kerenov.
Kurasa ada beberapa orang ahli di bidang ini - seperti Farrier
ini, misalnya - yang mungkin menduga duduk perkara
sebenarnya, tapi rahasia itu tetap terjaga dengan baik. Makota
duplikat itu selalu berada di balik kaca pengaman, sedang para
pengunjung tidak bisa terlalu dekat menghampirinya, karena
ditahan semacam pembatas ruangan. Belum begitu lama
berselang ada seorang juru foto yang mendapat izin untuk
memuat foto makota tiruan itu dalam buku yang hendak
dibuatnya. Orang itu ahli di bidang fotografi, bukan permata.
Karena itu kami mengabulkan permohonannya."      
"Bagaimana Anda bisa yakin, rahasia itu akan tetap tersimpan,"
kata Farrier dengan wajah masam. "Di sini saja sudah ada
beberapa saksi hidup."
"Kau boleh bicara sesukamu," tukas Jenderal Kaluk. "Karena
takkan ada yang mau percaya!"
Jenderal itu mengambil makota dari atas meja, lalu
mengulurkan tangan ke arah Potter. Tapi Potter membuang
muka.
"Baiklah, Alexis," kata Jenderal Kaluk. "Kita takkan berjumpa
lagi setelah ini. Kudoakan semoga kau berbahagia."
Setelah itu ia melangkah ke luar, diikuti oleh Demetrieff, pria
langsing yang tak pernah tersenyum itu.
"Jupiter," kata Potter, "kurasa sekarang kau sudah bisa
memanggil polisi, meminta mereka datang."

Bab 19
LAPORAN PADA ALFRED HITCHCOCK
SEMINGGU kemudian, Mr. Alfred Hitchcock, sutradara film
termashur itu, duduk di kantornya. Ia membalik-balik catatan
yang disusun oleh Bob Andrews, tentang Potter serta
rahasianya yang mengasyikkan.
"Jadi makota itu ternyata disembunyikan di dalam guci di
depan toko Potter, di tempat yang banyak dilewati orang-orang
yang datang ke tempat itu," kata Mr. Hitchcock. "Penjahat
yang bernama Farrier itu mungkin berulang kali melewatinya,
ketika ia sedang sibuk menakut-nakuti Mrs. Dobson, agar
wanita itu serta anak laki-lakinya pergi dari rumah itu."      
"Farrier mengatakan bahwa ia sudah mencoba membuka guci
itu," kata Jupiter Jones. "Tapi karena ia beroperasi di malam
hari, ia tidak punya waktu - begitu pula cahaya yang cukup
terang - untuk bisa memeriksa guci dengan cermat, dan tidak
melihat rajawali berkepala satu, yang memandang ke kiri.
Tutup guci itu bisa dibuka dengan jalan memutarnya - ke arah
kiri. Tempat-tempat bertutup, umumnya dibuka dengan jalan
memutarnya ke arah yang berlawanan, yaitu ke kanan. Itulah
isyarat yang telah disepakatkan antara Potter dan Pangeran
Nicholas, ketika keduanya melarikan diri dari puri, ketika
terjadi pemberontakan di Lapatia. Nicholas harus mencari
bentuk seekor rajawali berkepala satu di tengah kawanan
rajawali berkepala kembar, lambang Lapatia. Rajawali yang
berbeda wujud itu merupakan petunjuk tentang tempat makota
disembunyikan."
"Dan Potter, sebelum revolusi pecah di Lapatia, memang sudah
berniat hendak mendalami seni pembuatan benda-benda
tembikar?" tanya Alfred Hitchcock.
"Tidak, belum," kata Bob, yang duduk di samping Jupiter. "Ia
kemudian menjadi pembuat tembikar, karena harus mencari
nafkah. Tapi ia bisa saja membuat bentuk rajawali itu dengan
berbagai cara. Misalnya saja dalam bentuk lukisan, coretan di
dinding, atau... atau..."
"Sulaman," sela Pete, dari sisi kiri Jupiter.
"Sekarang tentang orang yang bernama Farrier," kata Mr.
Hitchcock. "Dalam laporan kalian ini tertulis bahwa ia
ditangkap oleh Chief Reynolds, dengan tuduhan memasuki
rumah orang dengan itikad buruk. Kurasa dengan tuduhan itu,
ia takkan bisa terlalu lama ditahan. Bagaimana kemungkinannya,      
menurut dugaan kalian - apakah ia akan ikut menjaga rahasia
makota Lapatia?"
"Bagi dirinya memang sebaiknya jika ia tetap bungkam tentang
urusan itu," kata Jupiter. "Tuduhan yang sekarang jauh lebih
ringan kemungkinan hukumannya, dibandingkan dengan dakwaan
melakukan pencurian berat. Saat ini ia mendekam di penjara
Rocky Beach, merenungkan segala dosanya - yang ternyata
lebih banyak dari yang kami duga semula. Semua pakaian
anggun yang dipakainya, ternyata dibeli dengan kartu kredit
yang ditemukannya di dalam dompet yang tercecer di jalan.
Saya tidak tahu tuduhan apa yang akan dikenakan untuk
penyalahgunaan kartu kredit, tapi mungkin itu termasuk kasus
pemalsuan."
"Itu paling sedikit," kata Mr. Hitchcock sependapat. "Ia
mestinya sedikit sekali memiliki uang tunai."
"Boleh dibilang tidak punya sama sekali," kata Bob.
"Mobilnya bobrok sekali," kata Jupiter. "Itulah yang
menyebabkan saya mulai merasa curiga padanya, karena
kendaraan itu tidak selaras dengan penampilannya. Saya rasa ia
takkan mampu membayar sewa kamarnya di Seabreeze Inn.
Potter mengatakan bahwa ia merasa ikut bertanggung jawab.
Karenanya ia akan melunaskan utang Farrier pada Miss
Hopper."
"Sikap yang sangat murah hati," kata Mr. Hitchcock
mengomentari.
"Chief Reynolds juga menemukan bahan yang dipakai Farrier
untuk menciptakan jejak kaki yang mengobarkan api. Bahan itu
ditaruh di bagasi mobil orang itu, yang diparkir di pinggir jalan
raya, di tempat yang tidak kelihatan dari rumah Potter," kata      
Bob. "Menurut Chief Reynolds, kami tidak perlu tahu bahan
yang dipergunakan. Menurutnya, informasi tentang hal-hal
seperti itu lebih baik tidak disebar luas."
"Orang itu rupanya lumayan juga imajinasinya."
"Maksud Anda, Farrier? Memang. Catatan tentang
kejahatannya panjang, dan ia sudah pernah mendekam di
berbagai penjara termashur. Ia dulu pencuri ulung, yang
mengkhususkan diri pada permata. Menurut Chief Reynolds,
namanya menjadi terlalu terkenal. Polisi di mana pun dengan
segera memasang mata-mata, begitu Farrier diketahui muncul
di salah satu kota. Tindakan itu menyebabkan ia merasa sulit
bergerak dengan leluasa. Selama ini ia berusaha mencari
nafkah, dengan jalan membuka toko kecil di Los Angeles, yang
menjual perlengkapan untuk hobi."
"Jadi artikel dalam Westways yang kemudian menyebabkan ia
datang ke Rocky Beach?" tanya Mr. Hitchcock.
"Bukan," kata Jupiter Jones. "Ia mengatakan bagaimana ia
memperoleh petunjuk pertama tentang di mana makota itu,
sementara kami menunggu Chief Reynolds datang untuk
menangkapnya. Farrier mengatakan, ia mempunyai kebiasaan
membaca iklan di surat kabar Los Angeles Times. Seperti
halnya sejumlah ahli tentang urusan demikian, dari semula ia
sudah menduga bahwa yang dipamerkan di museum kota
Madanhoff bukanlah makota yang asli, melainkan duplikatnya.
Ia pernah mengadakan riset tentang sejarah Lapatia. Ia tahu
tentang lenyapnya Alexis Kerenov, yang keluarganya sejak
turun-temurun selalu merupakan penjaga makota kerajaan.
Jadi ketika Farrier melihat iklan dengan nama-nama Alexis dan
Nicholas dalam harian Times, ia langsung teringat pada      
Pangeran Nicholas, yang menurut keterangan resmi dikatakan
mati gantung diri di tengah-tengah revolusi yang pecah waktu
itu. Farrier bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah iklan itu
ada hubungannya dengan urusan makota Lapatia. Secara
untung-untungan, ia membeli koran-koran terbitan Chicago dan
New York. Ternyata pada dua koran itu ditemukannya iklan
yang sama bunyinya. Farrier memutuskan untuk datang
sebentar ke Rocky Beach. Pada suatu sore yang cerah, ia
berlenggang memasuki toko Potter..."
"Dan melihat medalion yang berhiaskan lambang rajawali
berkepala kembar," kata Mr. Hitchcock menyelesaikan kalimat
itu. "Itu satu hal yang tidak kumengerti. Apa sebabnya Potter
- atau lebih tepat, Kerenov - selalu memakai medalion itu?"
"Ia sendiri mengakui, itu sebenarnya merupakan kecerobohan
di pihaknya," kata Jupiter. "Tapi mungkin ia merasa kesepian,
dan medalion yang tergantung di lehernya itu mengingatkannya
pada masa lampau yang lebih menyenangkan. Kecuali itu, ia
merasa bahwa kecil sekali kemungkinannya ada orang dari
Lapatia dengan tiba-tiba muncul di Rocky Beach - kecuali jika
memang dipanggil. Sedang iklannya - setiap tahun ia memasang
iklan itu di semua surat kabar terkemuka di Amerika Serikat -
dialamatkan pada Nicholas. Ia merasa, hanya Nicholas saja
yang akan bisa memahami iklan itu, karena itu merupakan
bagian dari persepakatan mereka berdua, sebelum melarikan
diri dari Puri Madanhoff. Waktu itu mereka sudah sepakat
untuk menempuh jalan sendiri-sendiri, menuju Amerika
Serikat. Kemudian Alexis setahun sekali akan memasang iklan,
yaitu pada hari peringatan revolusi, sampai Nicholas
menemukannya. Lalu jika terjadi apa-apa dengan diri Alexis      
sebelum Nicholas bisa menjumpainya, Nicholas setidaktidaknya
akan bisa mengetahui di kota mana Alexis tinggal,
dengan jalan memeriksa iklan dari berbagai surat kabar
terbitan lama. Dan di kota tempat Alexis terakhir tinggal, ia
harus mencari bentuk rajawali berkepala satu, di tengah
kawanan berkepala kembar."
"Rencana yang berbelit-belit," kata Mr. Hitchcock menanggapi,
"serta mengandung banyak kemungkinan terjadinya hal-hal
yang kebetulan. Tapi kurasa mereka memang tidak sempat lagi
menyusun rencana yang lebih praktis, mengingat api revolusi
yang sedang
berkobar di sekeliling mereka waktu itu. Jadi Alexis kemudian
menunggu-nunggu terus, hampir seumur hidupnya."
"Padahal Nicholas ternyata tidak berhasil melarikan diri."
"Foto apakah yang ditunjukkan jenderal dari Lapatia itu pada
Potter?" tanya Mr. Hitchcock.
"Ia tidak mau mengatakan," kata Pete. "Yang jelas, foto itu
menampakkan sesuatu yang mengerikan."
"Dan merupakan bukti bahwa Nicholas benar-benar sudah
mati," sambung Jupiter.
"Potter pasti sangat terkejut, ketika melihat foto itu," kata
Mr. Hitchcock. "Tapi di pihak lain, dengan begitu ia menyadari
bahwa ia selama itu menunggu dengan sia-sia, bertahun-tahun
lamanya."
"Kelihatannya sampai saat terakhir ia masih berharap Nicholas
akan muncul kembali, dan wangsa Azimov bisa kembali
menduduki tahta kerajaan," kata Bob.
"Kalau itu terjadi," kata Pete, "Potter akan kembali menjadi
Pangeran Malenbad, sedang Mrs. Thomas Dobson, dari desa      
Belleview, Illinois, kemudian akan menjadi putri bangsawan.
Ingin tahu juga, bagaimana perasaan Mrs. Dobson, menjadi
orang ningrat." Pete terkekeh geli.
"Apakah sementara ini ia sudah mau memaafkan ayahnya?"
tanya Mr. Hitchcock.
"Ya," kata Bob. "Ia masih ada di rumah ayahnya, membantu
urusan penjualan. Ia dan Tom akan tinggal sampai akhir musim
panas ini."
"Dan kedua orang Lapatia itu, sekarang sudah pulang ke negara
mereka?"
"Begitu makota yang dicari-cari sudah ada di tangan mereka,
keduanya langsung pergi," kata Jupiter. "Tentang kedua orang
dari Lapatia itu, kita hanya bisa menduga-duga saja. Misalnya,
tentang kedatangan mereka ke Rocky Beach, mungkin karena
mereka melihat artikel dalam Westways. Saya rasa mereka
menyewa Hilltop House, dengan niat melancarkan perang urat
syaraf terhadap Potter. Rencana mereka kacau, ketika Potter
tahu-tahu menghilang, sedang sebagai gantinya seorang wanita
muda beserta seorang anak laki-laki masuk ke rumah itu. Tapi
mereka terus melakukan pengamatan, sampai mereka melihat
Farrier beraksi di halaman depan rumah Potter. Keduanya
lantas bergegas-gegas menuruni bukit, karena tidak mau ada
orang lain mendului mereka memperoleh makota Azimov.
"Jenderal Kaluk, besar kemungkinannya dikirim ke Rocky
Beach, karena ia pernah berjumpa secara langsung dengan
Alexis Kerenov, dan karenanya akan bisa lebih cepat mengenali
orang itu, dibandingkan dengan Demetrieff, yang belum pernah
melihat Potter secara langsung. Dan Kaluk ternyata memang
berhasil mengenali kenalan lamanya itu, walau kini berjenggot      
lebat dan berambut putih yang dibiarkan panjang. Wajah
Potter ternyata tidak banyak berubah, sedang Kaluk sedikit
pun tidak berubah parasnya."
"Kalau kasus ini dibuat film, pasti asyik! Ya kan, Mr.
Hitchcock?" tanya Pete. "Maksudku, jejak kaki yang menyala,
lalu hantu gentayangan, serta anak yang tidak tahu apa-apa -
ditambah dengan makota yang lenyap!"
"Beberapa hal di antaranya memang menarik untuk dijadikan
film," kata Mr. Hitchcock. "Tapi ada beberapa hal yang tidak
dijelaskan dalam laporan kalian. Misalnya, bunyi air yang
mengalir dalam pipa ledeng di rumah Potter, padahal saat itu
tidak ada keran yang dibuka."
"Itu Potter, yang membuka keran di luar rumah," kata Jupiter.
"Di garasi tempatnya bersembunyi tidak ada keran. Ia tidak
bisa masuk ke Hilltop House, karena kedua orang dari Lapatia
itu tidak pernah pergi. Jadi Potter terpaksa datang malammalam
ke rumahnya, untuk mengambil air. Tapi ia tidak ingin
dirinya dilihat Mrs. Dobson. Potter merasa, lebih baik anaknya
itu tetap tidak tahu apa-apa tentang urusannya. Kedua orang
Lapatia di Hilltop House tidak bisa melihatnya saat ia sedang
mengambil air di keran, karena tempat itu terlindung di balik
tanaman oleander yang memagari bagian belakang rumah.
Karena
semak itu juga keduanya tidak bisa melihat Farrier, yang
masuk ke rumah lewat pintu belakang."
"Tapai bagaimana Farrier bisa masuk ke rumah pada
kesempatan pertama, ketika ia kemudian menemukan berkas
anak kunci cadangan?" tanya Mr. Hitchcock.      
"Itulah ironisnya," kata Jupiter. "Waktu itu Potter rupanya
begitu sibuk dengan persiapan menyambut kedatangan anak
serta cucunya, sampai sekali itu kesiagaannya mengendur. Ia
lupa mengunci pintu rumahnya baik-baik. Menurut Farrier, ia
sedikit pun tidak mengalami kesulitan ketika masuk lewat pintu
depan. Ia hanya perlu mencongkel satu kunci saja. Katanya
pada Chief Reynolds, ia saat itu cuma ingin tahu saja tentang
rumah itu. Tapi kemudian, setelah Mrs. Dobson bersikap tak
acuh sewaktu didekati, kemarahannya timbul. Lalu ia berusaha
menakut-nakuti, dengan menciptakan jejak-jejak kaki yang
mengobarkan api."
"Kepala polisi Rocky Beach mempercayai cerita itu?" tanya Mr.
Hitchcock dengan nada heran.
"Sama sekali tidak. Tapi dengan begitu bisa diketahui
bagaimana Farrier bisa masuk ke rumah, lalu mengambil berkas
anak kunci duplikat yang disimpan dalam laci meja tulis di
kantor Potter."
"Masih ada satu lagi yang ingin kutanyakan," kata Mr.
Hitchcock. "Ada orang yang melepaskan tembakan ke arah
kalian, ketika kalian menuruni bukit dari Hilltop House. Apakah
orang itu Farrier?"
"Bukan - itu juga Potter," kata Bob. "Ia sudah minta maaf atas
kejadian itu. Ia melakukannya karena ingin menyuruh kami
cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Ia menganggap lebih
baik kami tidak berurusan dengan kedua orang di Hilltop
House, karena ia tahu mereka sangat berbahaya. Ia mempunyai
sepucuk senapan buru, yang disimpannya dalam gudang
perbekalan. Jadi senjata itu bisa diambilnya, kapan saja ia
memerlukannya."      
"Nah, bagaimana pendapat Anda?" tanya Pete mendesak.
"Tidakkah kisah ini cocok untuk dijadikan film?"
"Aku tidak berminat," kata Mr. Hitchcock dengan singkat.
"Ah." Terdengar jelas bahwa Pete merasa kecewa.
"Walau begitu," kata Mr. Hitchcock lagi, "Alexis Kerenov,
Pangeran Malenbad, sekarang sudah bergabung lagi dengan
anak serta cucunya. Jadi kasus misterius ini berakhir dengan
menyenangkan."
"Mrs. Dobson sangat pandai memasak," kata Jupiter. "Sebagai
akibatnya, Potter kini sudah bertambah gemuk. Ia juga pergi
berbelanja ke Los Angeles, membeli pakaian serta sepatu. Ia
berniat ikut kembali ke Belleview bersama Mrs. Dobson saat
musim gugur nanti, untuk berkenalan dengan menantunya. Ia
tidak ingin teman-teman anaknya mengira ia..."
"Orang gila," sela Pete.
"Orang yang eksentrik," kata Jupiter membetulkan. Ia
berhenti sebentar, lalu mengakhiri, "Potter memang
eksentrik!"
Selesai