Pendekar Mabuk 34 - Perawan Maha Sakti(2)

Pertarungan dua harimau itu cukup seru. Mereka saling cakar dan saling terkam. Tapi agaknya si loreng hitam-putih yang unggul, karena tubuhnya tak terluka sedikit pun, sedangkan si loreng hitam-kuning tampak berdarah di bagian tengkuk dan wajahnya. Si loreng hitam-putih menyerangnya dengan buas, sampai akhirnya loreng hitam-kuning larikan diri, loreng hitam- putih mengejar.


Napas Suto yang semula berat menjadi ringan kembali. Hatinya membatin,

"Bagus! Kejar terus dia sejauh mungkin, dengan begitu diriku akan selamat dari ancaman maut mulut kalian!"

Kini yang diharapkan Suto adalah kehadiran Angin Betina. Suto ingin cepat-cepat tinggalkan sarang harimau itu. Napasnya yang sudah lega dan enteng tak mau menjadi berat lagi karena kemunculan binatang buas lainnya. Hal yang dicemaskan Suto ialah kemunculan seekor ular yang jelas tak mungkin bisa diajak berunding lagi.

Tetapi sampai beberapa saat lamanya Angin Betina belum kembali. Pasti sedang sibuk lakukan pertarungan dengan Sumbaruni.

"Atau mungkin malah sudah mati dihajar Sumbaruni?!" pikir Suto.

"Eh... tapi sepertinya ada suara langkah kaki yang datang dari arah kiri? Oh, syukurlah! Pasti Angin Betina gagal temui Sumbaruni dan kembali dengan wajah murung. Masa bodohlah! Dia mau berhasil tumbangkan Sumbaruni atau tidak, yang penting dia akan cepat-cepat singkirkan aku dari sini!" seraya mata Suto melirik ke kiri. Tepat ketika ia melirik ke kiri, langkah kaki yang didengarnya sudah dekat dan suara pun terdengar menggetarkan jantung.

"Grrraaaoowww...!"

"Yaaaah... dia lagi?!" ucap Suto membatin dengan sambil matanya meredup pertanda hatinya melemah kembali. Harimau loreng hitam-putih muncul lagi dengan sorot matanya yang tajam. Langkahnya bagaikan ingin mengguncang bumi karena badan harimau itu cukup gemuk. Makin lama langkahnya makin pelan ketika jaraknya kian dengan Suto.

"Rupanya dia masih ingat ada makanan yang tersisa di sini sehingga balik kembali. Sial! Kalau yang ini... sekali caplok kepalaku pasti masuk. Mudah-mudahan dia langsung menggigit patah leherku jika kepalaku sudah masuk ke mulutnya. Jangan sampai hanya dikulum-kulum saja, bisa putus jantungku tanpa luka leherku," pikir Suto dalam kepasrahannya.

"Ggrrraaaaooww...!"

Suto mencoba mengajak bicara karena tak punya akal apa-apa lagi, "Jangan begitulah. Kita kan teman? Kita bersahabat saja."

"Ggrraaooowwm...!"

"Berhentilah di situ. Jangan dekati aku. Aku tak berdaya. Tidakkah kau kasihan padaku? Jika kedatanganku di sini mengganggu wilayahmu, jangan salahkan aku. Salahkanlah Angin Betina. Cari dia dan gigitlah dia, karena dia yang menempatkan aku di sini!"

Harimau itu benar-benar berhenti dalam jarak tiga langkah sebelum mencapai Suto Sinting. Ada keheranan di hati Suto pada saat itu, "Dia berhenti karena mendengar kata-kataku atau berhenti untuk memperhitungkan bagian mana yang harus disantapnya lebih dulu?"
Ekornya bergerak-gerak bagai kipas tak berkembang.

Matanya yang bundar ganas masih memandang penuh selera makan. Hembusan napasnya terasa menerpa lengan Suto Sinting. Tak heran jika kulit Suto Sinting pun merinding karena merasakan awal dari bencana yang akan menimpanya.

Suto Sinting yang tak punya daya dan tak punya akal lagi mencoba mengajak binatang itu untuk bicara,

"Duduklah yang sopan. Jangan berdiri terus di situ. Tak ada jeleknya kau menghormati calon korbanmu sebelum kau menyantapnya."

Eh, binatang itu benar-benar duduk. Kedua kaki belakangnya dilipat, merapat dengan tanah, kedua kaki depannya ditekuk sebatas persendian. Matanya melirik ke sana-sini dengan gerakan kepala yang lamban. Ekornya berkopat-kapit seakan siap menyabet lalat yang ingin mengganggunya.

Dalam hati Suto Sinting merasa heran melihat harimau loreng putih-hitam duduk sesuai perintahnya. "Jangan-jangan dia mengerti bahasa manusia? Atau sengaja menikmati wujud calon mangsanya sepuas mungkin baru bertindak? Oh, ya... bukankah aku punya jurus 'Siulan Peri' yang bisa bikin gendang telinga manusia dan hewan menjadi sakit? Bagaimana kalau kucoba untuk mengusir hewan ini?"

Suto Sinting segera mencoba bersiul. "Suiisss... suiiiis...!"

"Sial! Siulanku tak bisa keras dan bening. Pasti ini pengaruh 'Anak Rembulan' yang melumpuhkan seluruh ilmuku juga."

Jurus 'Siulan Peri' tidak dapat digunakan. Suto Sinting semakin pasrah. Hanya ada satu harapan, yaitu mengajak bicara binatang itu, siapa tahu bisa dijinakkan dengan kata-kata. Maka, Suto Sinting pun kembali melirik ke kiri.

"Hahh...?!" mata Suto kalau bisa mendelik pasti akan mendelik, karena harimau loreng hitam-putih itu ternyata sudah berubah wujud menjadi seorang lelaki kurus yang duduk dengan santai, kedua kakinya ditekuk sampai hampir menyentuh dada. Kedua tangannya mendekap kaki itu. Orang tersebut nyengir geli memandangi Suto yang terperanjat kaget.

Lelaki berpakaian serba hitam, berambut putih, dan berusia lanjut itu segera menyapa dengan suara kekeh tawanya,

"Baru sekarang aku melihat pendekar hebat tak terkalahkan berwajah pucat dan berkeringat dingin. He, he, he, he...!"

"Ki Sonokeling...!" keluh Suto menyebut nama orang yang sudah dikenalnya. "Kalau aku bisa bergerak sudah kupukul kau, Ki Sonokeling!"
Orang tua itu semakin terkekeh geli. Ki Sonokeling adalah tokoh tua, teman dari si Gila Tuak yang dulu pernah jumpa dengan Suto Sinting dalam peristiwa di Petilasan Teratai Dewa, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Malaikat Jubah Keramat"), ilmu orang tua itu memang dapat merubah diri menjadi seekor harimau. Tapi hal itu sangat di luar dugaan Suto Sinting.

"Aku baru saja mau beranjangsana ke tempat tinggal gurumu, Suto. Kebetulan aku lewat jalanan sebelah selatan sana. Kudengar ada suara aum harimau. Maka kudekati tempat ini, dan ternyata kau dalam ancaman bahaya si loreng tadi. Kulihat kau dalam keadaan lemas tak berdaya, maka aku terpaksa mengusir si loreng tadi dengan merubah diri seperti kawanannya."

Napas Pendekar Mabuk menjadi enteng kembali. "Pantas kau bisa mengerti bahasaku," ujarnya bernada gerutu. "Lain kali jangan memandangiku dengan menyeramkan begitu. Jantungku nyaris terbelah menjadi tujuh, Ki."

"He, he, he, he.... Maafkan aku, Suto. Aku senang menggoda anak muda yang selama ini menjadi kebanggaanku. Tapi... ngomong-ngomong mengapa kau sampai seperti ini, Suto? Apa yang membuatmu terkulai lemas tak berdaya ini?"

Suto Sinting tidak langsung menjawab tapi justru berkata, "Tolong tuangkan tuak ke mulutku, Ki Sonokeling. Apakah di sekitar sini ada bumbung tuakku?"

"Ya, ada di atas kepalamu."
"Tuangkanlah, biar kuminum beberapa teguk."
"Katakan dulu apa yang membuatmu menjadi begini?"

"Tuangkanlah dulu, nanti kujelaskan!" kata Suto, karena pikirnya hal yang paling utama adalah meneguk tuak untuk peroleh kekuatan kembali daripada menjelaskan masalahnya dalam keadaan masih terkapar tanpa daya. Bisa-bisa Ki Sonokeling pergi memburu Angin Betina dan Sumbaruni sebelum menuangkan tuak ke mulutnya.

Tokoh tua itu akhirnya menuangkan tuak tersebut. Beberapa teguk tuak ditelan Suto. Sebagian tuak ada yang tersiram di wajah. Suto gelagapan dan berkata sedikit seru, "Hati-hati! Jangan sampai masuk ke hidung dan mata. Perih!"

"Maaf, aku geli melakukan hai ini. Ingat waktu aku mengisi air di lubang belut pinggir sungai!"
"Jangan anggap mulutku seperti lubang belut, Ki."
"Maaf, aku terlalu jujur!"

Tuak sudah tertelan beberapa teguk. Bahkan Suto sempat tersedak batuk. Kemudian ia diam beberapa saat, pejamkan mata sambil mengatur pernapasannya. Ki Sonokeling memandang ke sana-sini, seakan menjaga keamanan Suto, murid sahabat karibnya itu.
Beberapa saat kemudian, jemari tangan Suto mulai bisa digerakkan, disusul dengan anggota tubuh lainnya, dan kini Suto pun mulai bisa bangkit. Duduk dengan kaki dilonjorkan, dipijat-pijatnya sendiri karena merasa kaku pada bagian persendian lututnya.

"Sekarang kau sudah bisa jelaskan masalahmu?" tanya Ki Sonokeling.
"Kau kenal Sumbaruni?"
"Ya. Bekas istri Jin Kazmat itu maksudmu?"
"Benar. Dialah yang membuatku lemas tak berdaya."

Ki Sonokeling kerutkan dahi tuanya yang memang sudah berkulit mengkerut itu, matanya menatap heran pada Suto Sinting. Sebelum Suto Sinting ucapkan kata, Ki Sonokeling sudah lebih dulu berujar,

"Mengapa ia memusuhimu? Padahal ketika kami ingin mencabut gelar kependekaranmu dalam peristiwa kematian Empu Sakya itu, Sumbaruni orang yang paling ngotot membelamu. Ada persoalan apa sehingga Sumbaruni tega melumpuhkanmu?!"

"Bukan dengan maksud benci atau bermusuhan. Maksudnya baik, tapi caranya yang tidak kusetujui."

Suto Sinting mencoba berdiri, ternyata bisa tegak, ia melemaskan gerakan kaki dan tangan, juga melicikkan pinggangnya yang tadi terasa kaku dan pegal itu. Setelah merasa dirinya pulih seperti sediakala, penjelasan yang ditunggu Ki Sonokeling itu dilanjutkan.

"Sumbaruni melarangku bertarung dengan Dara Cupanggeni yang menjuluki dirinya Perawan Maha Sakti, murid Sunti Rahim. Mungkin kau kenal nama Sunti Rahim."

"Ya, ya... aku sangat kenal nama itu. Dan aku sedang mau bicarakan kepada gurumu; Gila Tuak, tentang sebuah ilmu yang hanya dimiliki oleh Sunti Rahim."

Suto Sinting berkerut dahi, "Maksud Ki Sonokeling, ilmu 'Bias Dewa'?"

"Benar. Karena aku merasakan adanya pengaruh ilmu 'Bias Dewa' beberapa kali. Saat kumandi di pancuran, air pancuran berhenti mendadak. Kejap berikutnya bergerak seperti biasa lagi. Aku jadi ingat ilmu 'Bias Dewa' yang bila digunakan bisa membuat alam mati dalam sekejap."

"Kalau begitu semua tokoh tingkat tinggi tentunya mengetahui tentang penggunaan ilmu 'Bias Dewa' itu?"

"Kurasa begitu. Tapi setahuku ilmu tersebut tak bisa dipergunakan oleh Sunti Rahim, sebab dia sudah tidak perawan lagi."
"Muridnya yang menggunakannya, Ki. Perawan Maha Sakti julukannya."

"Pantas! Pasti dia masih gadis, masih perawan, dan... itu sangat berbahaya. Dia akan kalahkan siapa saja dengan ilmu 'Bias Dewa' itu, Suto. Kau pun tak mungkin bisa tandingi ilmu 'Bias Dewa'. Jadi..., kurasa langkah yang diambil Sumbaruni memang benar, hanya caranya sedikit salah. Kusarankan juga, jangan hadapi murid Sunti Rahim itu, Suto. Kau bisa ditumbangkannya!"

Kemudian Suto Sinting ceritakan masalahnya dengan Bongkok Sepuh sampai ia mencoba menghadapi Perawan Maha Sakti dan disambar oleh Sumbaruni, lalu disambar pula oleh Angin Betina. Ki Sonokeling menerawang memandangi dedaunan sambil berkata bagai orang menggumam,

"Sebenarnya Setan Arak tak boleh begitu! Urusan pribadinya harus dia hadapi sendiri, jangan memaksa seseorang untuk ikut mencampurinya!"

"Dia sangat ketakutan, Ki!"
"Sekarang di mana Setan Arak? Aku mau temui dia!"

"Bertarung dengan Sumbaruni. Namun terlepas dari masalah pribadi Setan Arak, menurutku Perawan Maha Sakti memang harus dilumpuhkan, ia mencoba menantang Gerhana Mandrasakti, juga ingin membalaskan sakit hati gurunya kepada Bibi Guru Bidadari Jalang. Malahan jika perlu ia akan melawan Kakek Guru Gila Tuak, Ki. Banyak tokoh sakti yang akan ditumbangkannya, karena ia ingin diakui sebagai orang terkuat di dunia persilatan, sebagai Perawan Maha Sakti yang patut dihormati oleh semua tokoh!"

"Hmmm... begitu?" Ki Sonokeling manggut- manggut. Suto Sinting meneguk tuaknya lagi. Sebentar kemudian berkata,
"Aku harus mencegah niat jahatnya itu, Ki. Aku harus menghadapinya!"

Ki Sonokeling tarik napas, melangkah menjauhi Suto dengan berpikir, lalu kembali lagi dekati pendekar tampan yang telah gagah perkasa kembali itu.

"Ini pekerjaan yang sulit. Apalagi kau tadi menceritakan tentang ilmu 'Darah Gaib' yang juga dimiliki oleh Perawan Maha Sakti. Jelas ini hal yang paling sulit untuk dihadapi. Kau tidak mudah menumbangkannya, Suto. Dia kebal, tapi juga punya ilmu berbahaya. Dalam sekejap saja kau bisa dibuatnya tak bernyawa."

"Aku akan melawannya dengan Cincin Manik Intan. Ki!" sambil Suto memperlihatkan cincin yang dikenakan terbalik di tangannya. Ki Sonokeling pandangi cincin pusaka itu beberapa saat sambil berpikir, lalu memandang Suto dengan berkata pelan,

"Aku tak yakin cincin ini bisa menembus 'Darah Gaib'. Setahuku ilmu 'Darah Gaib' adalah ilmu kebal yang tertinggi, sejajar dengan ilmu kebal bagi pemilik pusaka Seruling Malaikat. Jadi, terus terang saja aku tak yakin kalau sinar maut Cincin Manik Intan ini dapat
menembus lapisan gaib tubuh Perawan Maha Sakti."

"Bagaimana jika menggunakan jurus 'Manggala Yudha'-ku itu, Ki?"
"Aku tidak tahu secara pasti, tapi hati kecilku tetap sangsi akan keberhasilan jurus itu."

Suto Sinting diam sesaat. Dalam hatinya timbul niat untuk berlaku curang, mencoba jurus-jurus mautnya dari belakang Perawan Maha Sakti. Tapi niat itu disingkirkan karena hati kecil Suto seakan tak ingin melakukan pertarungan dengan cara membokong lawan. "Jadi menurutmu kedua ilmu itu tidak mempunyai kelemahan apa pun, Ki?" tanya Suto membuka kebisuan mereka.

"Setinggi-tinggi ilmu memang ada kelemahannya, kecuali ilmunya Yang Maha Kuasa. Tapi setahuku, kedua ilmu itu memang tak memiliki kelemahan kecuali dengan cara merengguk keperawanan gadis itu."

Suto Sinting menatap tajam dengan dahi berkerut. Ki Sonokeling merasa perlu berikan alasan terhadap kata- katanya.

"Ingat, kedua ilmu itu hanya bisa dimiliki oleh orang yang masih perawan. Jadi jika Dara Cupanggeni alias Perawan Maha Sakti sudah tidak perawan lagi, maka ilmu itu akan sirna dengan sendirinya."

"Kau menyuruhku memperkosa dia?"Ki Sonokeling terkekeh geli. "Bukan. Bukan begitu maksudku, Suto. Ini penalaran saja. Hilangnya kedua ilmu itu apabila si pemiliknya sudah tidak suci lagi. Tentang bagaimana caranya membuat dia tidak suci, aku tidak tahu. Secara lahiriah memang aku tahu dan jago membuat perawan tidak suci, tapi secara batiniah aku tak mengerti bagaimana cara mendekatinya dan membujuknya. Sebab biasanya orang yang sudah telanjur memiliki kedua ilmu itu, ia akan selalu menjaga kesuciannya. Sebelum niatnya tercapai, ia tidak akan serahkan kesuciannya kepada pria mana pun."

"Bagaimana kalau ternyata dia mampu kubuat kasmaran padaku?"

"Itu terserah dirimu, kau tak perlu mengundangku untuk menyaksikan caramu melumpuhkan kedua ilmu itu," Ki Sonokeling tersenyum-senyum.

Suto Sinting diam termenung dalam sunggingan sisa senyum gelinya. Ia mempertimbangkan langkahnya. Ia merasa mampu menundukkan hati gadis itu menjadi kasmaran kepadanya, tapi sanggupkah ia menodai gadis itu sementara ia sangat menjaga kesetiaan cintanya terhadap Dyah Sariningrum? Gusti Mahkota Sejati calon istrinya itu pasti akan tahu jika ia berbuat tak senonoh dengan perempuan lain, karena segala gerak-gerik Suto terpantau dari Pulau Serindu. Setidaknya sang Ratu Kartika Wangi, sebagai calon mertuanya itu pun akan mengetahui jika Suto telah menodai seorang gadis.

"Jika alasanku demi menyelamatkan dunia dari kehancuran kedua ilmu itu, apakah mereka bisa menerimanya?" gumam Suto Sinting dalam hatinya.

***5

TOKOH tua yang punya ilmu 'Singa Lohdaya' itu juga menyinggung-nyinggung tentang Pedang Kayu Petir. Terlintas dalam pikiran Pendekar Mabuk untuk meminjam Pedang Kayu Petir kepada Resi Wulung Gading. Tetapi lebih dulu ia harus segera susul Angin Betina agar tidak mati di tangan Sumbaruni.

Sementara itu Ki Sonokeling tetap teruskan perjalanan ke Jurang Lindu untuk temui si Gila Tuak dan bicarakan tentang kemunculan ilmu 'Bias Dewa' itu.

Apa yang dikhawatirkan Suto sebenarnya memang telah terjadi. Pertarungan antara Sumbaruni dengan Angin Betina pada mulanya hanya sebatas luapan amarah tak terlalu membahayakan. Sumbaruni memaklumi kemarahan Angin Betina yang belum memahami maksud dan tujuannya dalam melumpuhkan Pendekar Mabuk.

Pertemuan mereka terjadi setelah Sumbaruni dan Bongkok Sepuh merasa sama-sama kehilangan Suto dan segera mencarinya bersama pula. Angin Betina kebingungan mencari jejak Sumbaruni. Namun dengan firasatnya akhirnya Sumbaruni ditemukan juga saat hendak menuruni lereng. Tempat sedikit tandus itulah yang dijadikan ajang pertarungan oleh Angin Betina.

Serangan sinar putih perak dari Angin Betina menghantam Sumbaruni dari belakang. Tetapi Sumbaruni cepat tanggap akan datangnya bahaya, ia segera melenting ke udara dan bersalto satu kali, sehingga sinar putih perak itu lolos dari tubuhnya. Duaaar...! Sinar itu menghantam sebongkah batu besar di seberang sana. Batu tersebut hancur berkeping- keping.

Bongkok Sepuh yang sebenarnya tidak membenci Sumbaruni dan hanya merasa jengkel saja itu segera melepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui sodokan ujung tongkatnya ke arah datangnya sinar putih tadi. Dari tongkat itu melesat sinar hijau lurus dan menghantam dua pohon berjajar. Blaaar...!

Namun sebelum kedua pohon itu tumbang bersamaan, dari balik pohon itu telah melesat sesosok bayangan hitam yang cepat berkelebat bagaikan angin berpindah tempat. Sosok bayangan itu akhirnya tampakkan diri dan Sumbaruni kenali orang tersebut yang tak lain adalah Angin Betina.

"Kau rupanya?!" Sumbaruni sunggingkan senyum sinis, karena ia tahu belakangan ini Angin Betina adalah gadis yang sering bersama Suto Sinting. Rasa cemburu Sumbaruni timbul, namun mampu dikendalikan dengan teratur.

"Aku ke sini hanya untuk bikin perhitungan denganmu, Sumbaruni!"

Angin Betina bicara dengan tegas dan jelas. Pandangan matanya menampakkan sinar permusuhan yang cukup besar. Sumbaruni hanya sunggingkan senyum kian sinis, karena cepat mengerti maksud Angin Betina yang tak lain pasti berkaitan dengan Suto Sinting.

Karenanya Sumbaruni berkata kepada Bongkok Sepuh,

"Setan Arak, menyingkirlah dulu di bawah pohon sana. Ini urusan perempuan!"

"Siapa bilang aku ingin campuri urusanmu," kata Bongkok Sepuh sambil bersungut-sungut melangkah, menjauhi kedua perempuan itu, berdiri di bawah pohon rindang sambil pegangi tongkatnya."

Sumbaruni dekati Angin Betina dan berkata dengan keras, "Perhitungan tentang apa maksudmu?!"

"Kau telah lumpuhkan Suto, dan kau harus menebusnya dengan nyawa!"

"Tak salah dugaanku. Kau adalah gadis bodoh yang tak mengerti bagaimana cara menyelamatkan seseorang yang dicintainya!"

Angin Betina diam saja. Matanya memandang angker dengan rambut acak-acakan yang menambah seram raut mukanya. Tangan kirinya memegang pedang bersama sarungnya, tangan kanannya menggenggam di samping, tapi dalam sekejap dapat cabut pedang itu untuk lakukan penyerangan.

Sumbaruni berkata lagi, "Aku memang melumpuhkan Suto Sinting demi menyelamatkan jiwanya yang ingin menghadapi Dara Cupanggeni alias Perawan Maha Sakti! Jika ia berhadapan dengan Perawan Maha Sakti, maka dalam waktu dua kejap ia akan menjadi bangkai berbelatung menjijikkan, karena Perawan Maha Sakti mempunyai dua ilmu unggulan; 'Darah Gaib' dan 'Bias Dewa'. Kau mungkin masih belum tahu tentang dua ilmu unggulan itu, karena kau memang masih hijau, Angin Betina!"

"Kurasa aku sudah mampu memenggal kepalamu walau sehijau apa pun!"

Senyum sinis Sumbaruni yang juga bernama Pelangi Sutera kala menjadi panglimanya Ratu Asmaradani, penguasa negeri bawah laut itu, kembali membias di depan mata Angin Betina. Senyum itu berkesan meremehkan dan memancing hasrat pertempuran di hati Angin Betina.
"Dengar, Gadis Bodoh...!" kata Sumbaruni seenaknya saja. "Kalau kau tak ingin pendekar tampan itu celaka, jangan izinkan dia menemui Perawan Maha Sakti. Cegah dia dengan berbagai cara, supaya kita tetap bisa bertemu dengannya kapan saja!"

"Kau tak perlu memerintahku, Sumbaruni! Aku hanya merasa perlu menuntut tindakanmu yang melenyapkan segala kekuatan pada diri Suto!"

"Aku bisa memulihkannya kembali kalau ia berjanji tidak akan menghadapi Perawan Maha Sakti!" kata Sumbaruni dengan membanggakan diri.

"Pulihkan sekarang juga, atau kutebaskan pedang ini ke lehermu!"

"Hei, jangan galak-galak padaku, Gadis Bodoh! Kau bisa celaka sendiri kalau bersikap galak padaku!"

"Cabut pedangmu dan kita tentukan siapa yang celaka!"

Angin Betina tak tersenyum sedikit pun. Tangannya sudah menggenggam gagang pedang. Sumbaruni memperhatikan dengan kesan remeh. Lalu ia berkata sambil berpaling hendak meninggalkan Angin Betina,

"Sebaiknya kuteruskan mencari anakku daripada mengurusimu!"

Sumbaruni hendak bergerak pergi, tapi Angin Betina maju sambil membentak,

"Selesaikan urusanmu denganku, Sumbaruni!"

Sentakan itu membuat Sumbaruni mulai tak sabar lagi. Kakinya segera berkelebat menendang dengan gerakkan tubuh memutar balik. Wees...! Plaaak...! Tendangan putar itu ditangkis oleh tangan Angin Betina yang menggenggam pedang dan sarungnya. Angin Betina cepat memunggungi Sumbaruni, lalu tangan kanannya menyodokkan siku ke belakang. Jarak yang rapat dengan lawan membuat siku itu berhasil kenai ulu hati Sumbaruni. Duuhg...!

"Eehg...!"

Sumbaruni tersentak dengan suara tertahan. Tapi dengan cepat tangannya menghantam tengkuk kepala Angin Betina. Wuuut...! Tepat tangan menyentak tubuh Angin Betina merunduk dan kedua kakinya menjejak ke belakang dengan sangat cepat bagaikan seekor kuda menyepak lawan. Bluuhg...!

Perut Sumbaruni menjadi sasaran kedua kaki bertenaga dalam itu. Tubuhnya pun melayang ke belakang namun cepat diatas dengan sentakkan kaki di atas batu. Sentakan kaki itu membuat tubuh Sumbaruni melenting di udara dan bersalto maju satu kali. Wuuuk... !

Jleeg...!

Sumbaruni mendarat dengan sigap. Kedua kakinya sedikit merenggang, napasnya tertarik panjang untuk atasi rasa mual akibat tendangan tadi. Sedangkan Angin Betina sudah sejak tadi siap mencabut pedang dengan mata angker memandangi lawannya. Sementara itu, Bongkok Sepuh membatin dari kejauhan,

"Bocah liar itu punya gerakan cukup hebat. Cepat dan tepat! Sumbaruni bisa tumbang kalau dia meremehkan bocah liar itu."

Sumbaruni pun juga membatin, "Agaknya aku tak boleh main-main dengannya. Ia bersungguh-sungguh ingin menuntut balas dan mencelakakan diriku. Benar- benar gadis bodoh! Aku harus memberi pelajaran padanya!"

Pedang di punggung Sumbaruni sengaja tidak dicabut. Ia segera melepaskan jurus 'Anak Rembulan' dengan maksud ingin lumpuhkan Angin Betina. Kilatan cahaya kuning terlepas dari kibasan tangannya.

Tetapi Angin Betina yang sudah siaga dari tadi segera hentakkan kaki yang membuat tubuhnya melonjak tinggi, lalu dari tangan kanannya terlepaslah sinar putih perak menghantam sinar kuning tersebut. Claaap...! Blaaar... !

Asap mengepul dari ledakan besar itu. Angin Betina daratkan kakinya ke tanah. Namun baru saja mendarat, empat larik sinar biru dari empat jari kanan Sumbaruni menghantamnya dengan gerakan cepat. Zraaab...!

Angin Betina sudah telanjur menapakkan kaki, mau tak mau ia hadapi sinar biru empat larik itu dengan mencabut pedangnya dan mengibaskannya ke samping. Kibasan pedang itu keluarkan nyala sinar putih perak menyilaukan dan berbenturan dengan keempat sinar biru tadi.

Slaaap...! Blegaaarrr...!

Angin Betina terlempar sendiri karena gelombang hentakan tenaga ledak tersebut. Sedangkan Sumbaruni melenting ke atas dan bersalto di udara dua kali. Ketika tubuhnya mendarat ia melihat Angin Betina baru saja hendak bangkit dari jatuhnya.

Maka dengan kekuatan tenaga dalam jarak jauh, Sumbaruni sentakkan tangan kirinya. Wuuuut...! Tubuh Angin Betina terlempar ke atas. Tangan kanan Sumbaruni segera digerakkan memutar dalam satu ayunan kuat. Wuuut... ! Dan tubuh Angin Betina yang melayang itu menjadi berputar cepat. Terjungkal tak mampu kuasai keseimbangan. Bahkan ketika Sumbaruni gerakkan tangan kanannya ke kiri, tubuh Angin Betina terlempar keras dan membentur pohon di sebelah kanannya.

Duuurrrr...! Beehg...!

"Uuhg...!" Angin Betina meringis. Ia terkapar dengan dihujani rontokan daun-daun pohon yang ditabraknya itu. Sumbaruni segera melesat mendekatinya.

Weess...!

Angin Betina yang pandangannya sedikit buram itu tak tahu kalau Sumbaruni sudah berdiri di belakangnya. Tahu-tahu rambutnya merasa ada yang menjambak dari belakang. Kepalanya diputar cepat hingga menghadap Sumbaruni, lalu telapak tangan kiri Sumbaruni dihantamkan ke wajah Angin Betina. Plook...!

"Uhg...!" Angin Betina tersentak dan membentur pohon yang tadi juga.

Keadaan Angin Betina yang menggeragap segera disambut dengan tendangan kaki kanan Sumbaruni yang mampu bergerak cepat dan kenai perut sampai kepala lawan secara beruntun.

Des, des, des, des, des, des... !

Lalu tubuh Sumbaruni memutar dan kaki kirinya yang berkelebat menendang bagaikan menampar wajah Angin Betina yang sudah melelehkan darah dari mulut.

Ploook... !
Weees...!

Tubuh Angin Betina terlempar ke samping lima langkah jauhnya. Ia jatuh terpuruk di sana. Sekujur tulangnya bagaikan patah semua. Seluruh isi perutnya terasa ingin dimuntahkan. Tendangan bertenaga dalam secara beruntun tadi membuat darah keluar cukup banyak dari mulutnya. Jika bukan orang berlapiskan tenaga dalam tinggi, Angin Betina pasti sudah mati dihajar habis seperti itu. Ia mengalami luka remuk dalam. Tangannya sudah tak kuat menggenggam pedang lagi, sehingga pedang itu terlepas dan jatuh dalam jarak lebih dari satu jangkauannya.

Bongkok Sepuh membatin, "Bocah liar itu bisa mati di tangan Sumbaruni kalau Sumbaruni mau pergunakan pedangnya. Tapi mengapa Sumbaruni agaknya tak mau membinasakan gadis liar itu?"

"Di mana Suto! Katakan!" bentak Sumbaruni sambil berdiri di samping Angin Betina yang berusaha bangkit dengan berlutut. Angin Betina tidak menjawab. Sumbaruni menendang pinggang Angin Betina dengan seenaknya. Buuhg... !

Tendangan itu pasti bertenaga dalam juga, terbukti tubuh Angin Betina dapat terlempar empat langkah jauhnya dari tempatnya ditendang. Darah kembali keluar dari mulut Angin Betina yang tersungkur di sana.

Kepala Bongkok Sepuh manggut-manggut, "Rupanya alasan itulah yang membuat Sumbaruni tak berani membunuh gadis liar itu. Ia butuh keterangan tentang di mana Suto Sinting disembunyikan. Hmmm... tapi, hei...?! Siapa itu yang datang kemari dari arah sana? Oh, bahaya...!" Zlaaap...!

Sumbaruni tak tahu kalau Bongkok Sepuh telah lenyap larikan diri. Perhatian Sumbaruni masih tertuju pada Angin Betina dengan kemarahan yang berusaha tidak dilepaskan seluruhnya.

"Kalau kau tak mau katakan, aku akan menghajarmu lebih parah lagi!" sentak Sumbaruni. Angin Betina masih diam, memendam murka yang tak mampu dilepaskan karena sekujur tubuhnya bagai kehilangan daya lagi. Tulang-tulangnya seakan remuk semua, dipakai bergerak terasa sangat sakit. Bahkan untuk bernapas pun sakit. Ulu hatinya bagai diganjal dengan mata pisau yang jika digunakan untuk menarik napas terasa perih.

Tiba-tiba Sumbaruni mendengar suara tepukan pelan bernada mencemoohkan kemenangannya terhadap Angin Betina. Sumbaruni buru-buru berpaling ke belakang dan hatinya sempat terkejut melihat sesosok wanita cantik rambutnya digulung di tengah kepala dengan dililit pita hijau muda.

"Perawan Maha Sakti...?!" desahnya dalam hati yang menjadi tegang. Tapi Sumbaruni berusaha sembunyikan perasaan cemas dan ketegangannya dengan melangkah
dekati Dara Cupanggeni, tinggalkan Angin Betina.

"Siapa kau?" sapa Sumbaruni berlagak tak mengenal pendatang baru itu.

"Aku murid Sunti Rahim. Namaku Dara Cupanggeni. Julukanku Perawan Maha Sakti! Mungkin baru sekarang kau melihatku, demikian juga aku melihatmu. Tapi aku cukup salut melihat kemenanganmu. Kau pasti orang hebat dan berilmu tinggi!"

Sumbaruni tidak kasih jawaban apa-apa. Matanya menatap tak berkedip, mulutnya terkatup rapat, tapi batinnya berkecamuk sendiri. Akhirnya Perawan Maha Sakti perdengarkan suaranya lagi,

"Siapa namamu, Sobat?!"

"Pelangi Sutera!" jawab Sumbaruni sengaja menyembunyikan nama aslinya. Sebab nama aslinya itu tentunya dikenal pula oleh guru Perawan Maha Sakti. Sumbaruni menjaga keadaan agar jangan menjadi panas, karena ia belum siap hadapi Perawan Maha Sakti dengan ilmu 'Bias Dewa'-nya.

Angin Betina mendengar nama Perawan Maha Sakti disebutkan. Ia bergegas bangkit untuk melihat dengan lebih jelas lagi sosok gadis yang ditakuti Sumbaruni, dan yang membuat Sumbaruni melarang Suto berhadapan dengan gadis berjuluk Perawan Maha Sakti itu. Tapi kekuatan Angin Betina sangat terbatas, sehingga ia hanya bisa duduk bersandar di bawah pohon itu sambil meraih pedangnya.

"Agaknya lawanmu sebentar lagi kehilangan nyawa, Pelangi Sutera. Rupanya kau orang berilmu tinggi.

Bagaimana jika ilmumu diajarkan kepadaku sekitar tiga- empat jurus saja?!"

Sumbaruni diam karena memilih jawaban yang tepat. Ia tahu bahwa dirinya sedang dipancing untuk lakukan pertarungan. Ia tak mau terpancing saat itu. Karenanya ia pun segera bertanya,
"Apa maksudmu berkata begitu? Hendak menantangku?!"

Perawan Maha Sakti tersenyum angkuh. "Kalau kau merasa mampu melawanku, anggap saja kata-kataku tadi adalah sebuah tantangan bagimu. Bagaimana?"

"Kita tak punya persoalan apa-apa, Dara Cupanggeni. Mengapa harus saling beradu nyawa?"
"Karena aku selalu ingin membuat orang sakti mana pun bertekuk lutut di hadapanku. Jadi jika sekarang kau mau berlutut di depanku dan mengakui kesaktianku, maka pertarungan itu tidak pernah ada!"

"Keparat betul anak ini!" geram batin Sumbaruni. Matanya melirik ke arah seberang, ternyata di sana sudah tidak ada Bongkok Sepuh. Batin Sumbaruni berucap lanjut,

"Pantas Setan Arak sudah menghilang lebih dulu, karena dia tahu yang akan datang adalah Perawan Maha Sakti. Hmmm... bocah ini benar-benar pintar memancing kemarahan seseorang. Aku harus lebih hati-hati lagi menghadapi pancingannya."

Terdengar suara Perawan Maha Sakti berseru, "Mengapa diam saja, Pelangi Sutera?! Apakah kau sangsi dengan pengakuanku, bahwa aku adalah Perawan Maha Sakti yang layak dihormati? Kalau kau sangsi, apakah kau ingin mencoba bermain dua-tiga jurus denganku?"

Sumbaruni tetap diam. Tantangan itu sebenarnya memanaskan darah, tapi Sumbaruni tetap mengendalikan hawa murkanya. Sedangkan Angin Betina yang mendengar lagak bicara Perawan Maha Sakti itu ikut dibakar kemarahan. Kalau saja keadaannya tidak terluka cukup parah, Angin Betina pasti akan menerjang Perawan Maha Sakti tak peduli apa pun akibatnya nanti.

"Hei, apakah kau tiba-tiba menjadi tuli, Pelangi Sutera?" Perawan Maha Sakti dekati Sumbaruni. Yang dilakukan Sumbaruni hanya menarik napas.

Gadis itu berkata lagi, "Berlututlah sekarang juga sebagai tanda kau mengakui kehebatanku!"

"Persetan dengan kata-katamu, Dara Cupanggeni!" geram Sumbaruni dengan gigi menggeletuk dan mata menyipit. Tapi hal itu justru membuat Perawan Maha Sakti tertawa kegirangan.

"Bagus! Kau sudah berani memakiku, itu bagus! Berarti kau berani melawanku!"

"Apa yang kutakuti dari dirimu?!" kata Sumbaruni bagai penuh dendam. Sambungnya lagi,

"Jika kau ingin adu kesaktian denganku, jangan sekarang! Sebab sekarang aku masih punya urusan dengan pihak lain! Tentukan tempatnya di mana kita akan bertanding laga satu lawan satu?!"

Rupanya Sumbaruni tak mau terhina dan diremehkan begitu saja. Ia sengaja mengulur waktu untuk menunda hasrat Dara Cupanggeni yang ingin melawannya.

"Bagus sekali! Aku suka jiwa-jiwa pemberani sepertimu, Pelangi Sutera. Aku punya tempat pertarungan tersendiri. Kau tahu letak Bukit Perawan?!"

"Ya," jawabnya tegas.

"Aku membuka pertarungan bebas di Bukit Perawan. Datanglah tiga hari lagi terhitung mulai esok! Kutunggu kau di Bukit Perawan!" ucapnya sambil masih tersenyum sinis.

"Aku tak akan kecewakan dirimu. Aku akan ada di sana tepat pada waktunya!"

Wuuut...! Sumbaruni tidak memberi kesempatan Perawan Maha Sakti untuk bicara terlalu banyak lagi. Ia segera pergi tinggalkan tempat itu. Perawan Maha Sakti hanya tertawa kecil melihat kepergian Sumbaruni. Sesaat kemudian ia pun segera pergi ke arah timur. Ia tak pedulikan Angin Betina, dianggap tak ada siapa pun di situ sejak kepergian Sumbaruni.

Angin Betina sempat merasa cemas karena kepergian Perawan Maha Sakti ke arah tempatnya menyembunyikan Suto Sinting. Angin Betina khawatir gadis angkuh itu temukan Suto dan Suto akan dihabisi di sana.

Sebab itu Angin Betina kerahkan tenaga yang tersisa untuk segera pergi menyusul ke arah timur. Namun, ketika ia mampu berdiri, baru satu langkah sudah terhuyung-huyung dan jatuh.

"Angin Betina...!" seru sebuah suara yang tak lain adalah suara Suto Sinting. Pendekar tampan itu terperanjat cemas melihat keadaan Angin Betina yang penuh luka memar dan mulut serta hidungnya berdarah. Ia segera menghampirinya, memapah gadis itu ke tempat teduh.

"Sumbaruni-kah yang melakukannya?"
"Ya," jawab Angin Betina pelan sekali.

Suto Sinting buru-buru membuka tutup bumbung tuaknya sambil berkata, "Sudah kuingatkan, jangan hadapi Sumbaruni. Dia tak mudah ditumbangkan!" Suto segera menyuruh Angin Betina meminum tuaknya.

Sesaat kemudian Suto berkata, "Aku akan ke pondoknya Resi Wulung Gading untuk meminjam Pedang Kayu Petir. Aku akan kalahkan Perawan Maha Sakti dengan pedang itu."

Angin Betina gelengkan kepala. "Justru aku pergi dari sana mau kasih tahu kau, bahwa Resi pergi berziarah ke makam Nini Galih sambil membawa pedang itu."

"Celaka!" gumam Suto. "Aku tak tahu di mana makam Eyang Nini Galih?!"

***6

MENDENGAR cerita dari Angin Betina, Pendekar Mabuk menjadi cemaskan nasib Sumbaruni. Menurutnya, Sumbaruni sendiri terlalu berani jika menerima tantangan itu. Suto Sinting yakin, Sumbaruni akan binasa jika melawan Perawan Maha Sakti.

"Aku harus temui Sumbaruni!" kata Suto sebelum mereka bergegas pergi.
"Untuk apa menemuinya? Mau minta dilumpuhkan lagi?!"

"Justru aku yang ganti akan melumpuhkannya!" tegas Suto Sinting. "Aku tak izinkan dia menerima tantangan itu."

"Kalau dia berani, mengapa harus dilarang? Itu haknya untuk menerima tantangan atau menghindarinya!" Angin Betina agak ngotot, karena dalam hatinya sangat setuju jika Sumbaruni maju ke pertarungan. Dengan begitu, Sumbaruni akan tumbang di tangan Perawan Maha Sakti. Jika Sumbaruni tumbang, menurut Angin Betina ia akan bebas mendekati Suto dan tak ada yang mengganggu dengan kecemburuan-kecemburuan seperti yang terjadi belakangan ini.

Pendekar Mabuk sendiri paham dengan maksud hati Angin Betina. Karenanya, ia segera membendung hasratnya yang ingin menggagalkan pertarungan Sumbaruni melawan Perawan Maha Sakti. Tetapi pada dasarnya, sebelum hari pertarungan itu tiba, Suto Sinting harus bisa melumpuhkan Perawan Maha Sakti.

Satu- satunya cara ialah dengan meminjam Pedang Kayu Petir. Karena Pedang Kayu Petir saat itu dibawa berziarah oleh Resi Wulung Gading, sedangkan Suto tidak tahu di mana makam Nini Galih, gurunya Bidadari Jalang itu, maka Suto harus pergi ke Lembah Badai untuk temui Bidadari Jalang dan tanyakan letak makam itu.

"Aku setuju, dan aku ikut ke sana!" kata Angin Betina.

Maka pergilah mereka menuju ke Lembah Badai. Jalan pintas tercepat untuk menuju Lembah Badai melalui arah timur. Angin Betina mencegah langkah Suto.

"Sebaiknya lewat arah lain saja, sebab Perawan Maha Sakti tadi melesat ke arah timur. Kita hindari perjumpaan dengannya sebelum kita dapatkan pedang pusaka itu."

Mau tak mau Suto Sinting merubah arah ke selatan. Angin Betina hampir tertinggal ketika Suto Sinting gunakan 'Gerak Siluman'-nya. Ternyata gerakan itu mempunyai kecepatan melebihi angin, sehingga Angin Betina benar-benar tertinggal dalam jarak tak begitu jauh. Gadis itu berseru dengan dongkol karena merasa tak mampu menyamai gerakan Suto. Akibatnya Suto Sinting kurangi kecepatan larinya sehingga mereka bisa melesat dalam seiring.

"Ternyata kecepatan jurus 'Jejak Kilat'-ku tidak bisa mengungguli kecepatan gerakmu, Suto," kata Angin Betina mengakui kelebihan Pendekar Mabuk.

"Kalau kau mau perdalam jurusmu itu, kau bisa samai gerakanku."
"Apakah kau mau ajarkan jurus 'Gerak Siluman'-mu itu?"

"Tak terlalu sulit untuk mengajarkannya padamu, karena kau sudah punya dasar gerakan kilat seperti ini!"

"Tapi...," ucapan itu tak dilanjutkan, karena tiba-tiba mereka harus hentikan langkah. Seseorang melesat di jalanan depan mereka. Mau tak mau mereka pun berhenti dan menatap orang yang menghadang di depan jalan itu.

Suto Sinting berbisik kepada Angin Betina, "Kau masih ingat orang itu?"

"Ya. Dia si tampan berjuluk Dewa Rayu!"

"Tepat sekali. Ternyata ingatanmu sangat tajam untuk wajah-wajah tampan," goda Suto Sinting sambil dekati pemuda berkumis tipis yang menghadang jalan mereka itu. Angin Betina hanya bersungut-sungut dengan gerutu tak jelas.

"Rupanya kau telah sehat kembali, Dewa Rayu," sapa Suto Sinting, sebab Dewa Rayu beberapa waktu yang lalu terluka parah karena dihajar habis oleh Lancang Puri, keponakannya Nyai Gandrik. Dan Nyai Gandrik sendiri yang membawa lari tubuh Dewa Rayu dalam keadaan terluka parah untuk dibawa ke Pulau Lanang dengan tujuan sangat pribadi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kitab Lorong Zaman").

Angin Betina menimpali perkataan kepada Dewa Rayu, "Rupanya Nyai Gandrik telah mengobati luka- lukamu dengan caranya sendiri, Dewa Rayu. Sayang kau kelihatan pucat dan letih. Mungkin karena kewalahan melayani Nyai Gandrik!"

"Nyai Gandrik curang!" kata Dewa Rayu. "Dia sembuhkan luka parahku, dia juga menyembuhkan diriku dari pengaruh 'Racun Edan Cumbu', tapi dia tanamkan 'Racun Cumbu Abadi' dalam diriku, sehingga... hasratku untuk bercinta tak pernah ada puasnya."

Angin Betina sembunyikan tawa geli. Ia tahu bahwa Nyai Gandrik termasuk tokoh tua jago pelet. Hasrat kepada lelaki sangat besar, sebab ia mempunyai penyakit yang membuatnya akan mati jika dalam satu purnama tidak bercumbu dengan lelaki. Sebab itu Angin Betina tak heran jika Dewa Rayu ingin dikuasai Nyai Gandrik dengan cara menanamkan 'Racun Cumbu Abadi', supaya pemuda tampan dan perkasa itu selalu mempunyai kebutuhan yang sama dengannya.

"Apa kekuatan dan bahayanya 'Racun Cumbu Abadi' itu?" tanya Suto.

"Setiap saat hasratku menyala-nyala. Jika hasrat bercumbu kutahan sampai tiga hari, maka aku akan kehilangan tenaga. Lebih dari tiga hari, aku akan menjadi lumpuh. Genap tujuh hari, aku akan mati rasa seumur hidup. Jadi aku selalu harus lakukan keinginan bercumbuku untuk dapatkan kekuatan hidup."

"Tentu saja Nyai Gandrik membuatmu menjadi seperti itu, karena ia berharap kau mau melayaninya setiap saat," ujar Angin Betina.

"Aku tahu, karenanya aku lari darinya."

"Mengapa kau lari darinya? Bukankah bersamanya kau akan tetap dapatkan kekuatan karena bisa bercumbu kapan saja kalian inginkan?" kata Suto.

Dewa Rayu tundukkan kepala sebentar, lalu berucap dengan memandang Suto.

"Aku telah membunuh Lancang Puri, keponakannya."
"Oh...?!" Suto dan Angin Betina sama-sama terperanjat.
"Bagaimana kau bisa membunuh Lancang Puri, sedangkan setahuku Lancang Puri berilmu tinggi," Angin Betina bernada kurang percaya.

Dewa Rayu jelaskan, "Lancang Puri memaksaku bercumbu tanpa setahu Nyai Gandrik. Kulayani dia, tapi aku juga ingat dengan 'Racun Edan Cumbu'-nya yang membuatku akhirnya jadi begini. Maka ketika ia sedang menikmati asmaranya, kutancapkan pisau di punggungnya sebagai pembalasan atas dendam kekalahanku! Lalu... aku melarikan diri dari Pulau Lanang."

Rupanya kejadian itu terjadi saat Lancang Puri berkunjung ke Pulau Lanang yang dikuasai oleh bibinya itu. Pada awalnya, Lancang Puri memang tidak bergairah kepada Dewa Rayu, mungkin karena masih dalam keadaan memusatkan pikiran ke masalah Kitab Lorong Zaman.

Tetapi lama kelamaan, seringnya Lancang Puri melihat bibinya bermesraan dengan Dewa Rayu, hasratnya menjadi terbakar. Rasa penasaran dan ingin mencoba menambah hasrat bercumbunya kian besar, sehingga Lancang Puri pun melepaskan hasrat itu kepada Dewa Rayu. Ia tidak menyangka kalau Dewa Rayu ternyata masih punya dendam kekalahan tempo hari yang membuat Dewa Rayu akhirnya menderita ancaman 'Racun Cumbu Abadi'.

"Lalu, apa maksudmu menghadang langkah kami di sini, Dewa Rayu?" lanjut Pendekar Mabuk dalam sapaannya.

"Aku merasa sudah mulai kehabisan tenaga. Aku butuh seorang perempuan."
"Apa maksudmu?!" hardik Angin Betina mulai curiga.

Dewa Rayu berwajah sedih. Ia sulit menjawab, namun akhirnya dipaksakan juga untuk bicara apa adanya.

"Aku membutuhkan kau!"
"Edan!" sentak Angin Betina.

"Sudah dua hari aku tidak melakukannya. Sekarang hari ketiga. Badanku sudah mulai merasa lemas."

"Persetan dengan badanmu! Kau anggap apa aku ini, sehingga kau berani menghadangku dan membutuhkan diriku untuk melayanimu?!"

"Jika memang terpaksa, mungkin aku harus melakukannya dengan kekerasan."

Suto Sinting tersenyum tipis. Hatinya membatin, "Berani juga dia bersikap seperti ini di depan Angin Betina. Apakah dia tidak perhitungkan bahwa aku ada di pihak Angin Betina?"
Menurut dugaan Suto, hal itu berani dilakukan oleh Dewa Rayu karena pemuda bekas anak Raja Pengging itu sudah sangat kepepet. Mungkin sejak tadi ia tidak temukan perempuan di hutan itu, sehingga ketika melihat Angin Betina ia beranikan diri untuk menyatakan maksudnya.

Tak heran jika Angin Betina pun tersinggung dengan pernyataan Dewa Rayu, apalagi diucapkan di depan Suto, sebagai orang yang dicintai, tentu saja Angin Betina akan tunjukkan sikap menantang keras ajakan Dewa Rayu, sekalipun Dewa Rayu punya ketampanan yang hampir senilai dengan ketampanan si Pendekar Mabuk. Setidaknya saat-saat seperti ini adalah saat kesempatan bagi Angin Betina untuk tunjukkan kesetiaan hatinya kepada Suto Sinting.

Wajar-wajar saja jika Angin Betina segera cabut pedangnya dan berkata dengan suara keras,

"Kupertaruhkan nyawaku untuk menjaga kehormatanku! Kalau kau memang inginkan tubuhku dan berani memaksaku, aku pun inginkan nyawamu dan berani memenggalmu, Dewa Rayu."

Sraang...! Pedang pemuda berkumis tipis itu juga dicabut dari sarungnya dengan tenang.

"Lebih baik aku mati dalam pertarungan daripada menjadi lumpuh dan mati rasa seumur hidupi"

"Wah, benar-benar nekat anak ini!" gumam Suto membatin dengan perasaan geli. Ketika Angin Betina dan Dewa Rayu mulai bersiap untuk saling lepaskan serangan, Pendekar Mabuk segera berseru dengan sunggingkan senyum meremehkan pertarungan tersebut.

"Tahan amarahmu, Angin Betina!"
"Minggirlah kau, biar kutangani sendiri penghinaan pribadiku ini!"

"Tahanlah. Ada jalan yang lebih baik daripada harus beradu nyawa begini," ujar Suto Sinting dengan kalem, ia masuk ke pertengahan jarak antara Angin Betina dengan Dewa Rayu.

"Dewa Rayu, mendekatlah kemari. Barangkali tuakku bisa lenyapkan kekuatan 'Racun Cumbu Abadi' itu!"

"Tuakmu tidak punya kekuatan apa-apa. Aku masih ingat saat kau guyur wajahku dengan tuakmu, ternyata aku masih dalam pengaruh 'Racun Edan Cumbu'-nya si Lancang Puri."

"Barangkali kekuatan 'Racun Edan Cumbu' dengan 'Racun Cumbu Abadi' agak berbeda. Cobalah dulu, siapa tahu 'Racun Cumbu Abadi' bisa ditawarkan dengan tuakku!"

Pada mulanya Dewa Rayu ngotot tidak mau meminum tuak, melainkan butuh seorang perempuan. Angin Betina yang sudah sangat muak itu hampir- hampijr menebaskan pedangnya ke leher Dewa Rayu. Tapi berkat kesabaran Suto dalam membujuk, akhirnya Dewa Rayu mau meminum tuak dari bumbung bambu itu.

Rupanya kekuatan 'Racun Cumbu Abadi' cukup besar. Racun itu jika bercampur dengan tuak hanya akan datangkan rasa kantuk yang amat kuat, namun tidak membuat racun itu menjadi tawar. Dewa Rayu jatuh terkulai setelah sesaat menenggak tuak. Akhirnya ia tertidur di bawah pohon dalam keadaan duduk bersandar.

"Setan itu malah ngorok!" gerutu Angin Betina. "Tinggalkan saja dia! Untuk apa mengurusinya?!"

"Tunggu sebentar, aku jadi punya rencana sendiri untuknya."
"Rencana apa?"

"Memanfaatkannya untuk menghadapi Perawan Maha Sakti."

Angin Betina pandangi Pendekar Mabuk dengan perasaan heran, ia mencoba menduga rencana tersebut, membayangkan pertarungan Dewa Rayu dengan Perawan Maha Sakti. Akhirnya Angin Betina mendesis dan berkata,

"Dia pun akan hancur di tangan Perawan Maha Sakti kalau benar Perawan Maha Sakti memiliki ilmu sehebat itu."

"Mungkin pertarungannya agak berbeda dengan pertarungan yang kau bayangkan."

"Kau akan menghantam Perawan Maha Sakti dari belakang saat ia bertarung melawan Dewa Rayu?"

"Tidak. Seingatku, Guru pernah berpesan padaku: 'Jika kau tak bisa atasi lawanmu dengan ilmu, atasi lawanmu dengan kecerdasan otak'. Berarti aku harus gunakan siasat untuk mengalahkan Perawan Maha Sakti."

"Siasat yang bagaimana?"

Suto Sinting sunggingkan senyum, seakan telah terbayang kemenangan di tangannya. Tapi ia tidak jelaskan siasatnya itu. Ia hanya berkata,

"Carikan sebuah tempat untuk menyembunyikan pemuda itu!"

Angin Betina mendesah malas. Suto Sinting membujuk sampai akhirnya Angin Betina memandang ke sana-sini, lalu berkata, "Seingatku di sebelah barat bukit ini ada gua yang biasa digunakan bermalam para pengelana. Entah gua itu masih ada atau sudah tertutup, aku kurang bisa memastikan. Tapi ada baiknya kalau kita periksa dulu ke sana!"

Ternyata gua yang dimaksud Angin Betina adalah gua yang pernah digunakan Suto untuk menolong mengobati Raja Maut dalam peristiwa Ratu Tanpa Tapak. Gua itu masih ada. Tempatnya termasuk bersih untuk sebuah gua di lereng bukit. Letaknya sedikit tersembunyi, karena empat langkah di depan pintu gua terdapat tanaman semak yang rimbun dengan sebatang pohon berdaun lebat. Menurut Suto Sinting, gua itu layak dipakai untuk menyembunyikan Dewa Rayu.

Ketika mereka membawa masuk Dewa Rayu yang tertidur itu, Angin Betina sempat menahan lengan Suto hingga langkah Suto terhenti di pintu gua. Mata Angin Betina memandang ke arah timur. Suto mengerti maksud Angin Betina, sehingga ia segera memandang ke arah timur juga.
Lembah sebelah timur merupakan tempat yang ditumbuhi pohon berjarak renggang, sehingga apa yang ada di lembah itu dapat terlihat dengan jelas dari depan gua tersebut. Di sana terjadi pertarungan yang tak asing lagi bagi Suto Sinting.

Perawan Maha Sakti ada di lembah itu, hanya saja siapa lawannya kali ini masih belum diketahui Suto Sinting. Dengan terburu-buru Suto Sinting masuk ke gua yang tidak terlalu dalam tapi ditumbuhi banyak bebatuan datar yang menjulang di sana-sini itu. Ia meletakkan tubuh Dewa Rayu yang masih tertidur pulas. Setelah itu ia berkata kepada Angin Betina yang masih melongok ke luar, memandang ke arah lembah.

"Angin Betina, kau tunggu di sini! Aku akan ke lembah timur sana!"
"Mau apa?!" Angin Betina cemas bercampur curiga.

"Lakukan saja perintahku. Tetaplah di sini dan jaga dia agar jangan sampai pergi," kata Suto seraya bergegas keluar gua.

"Suto, apa yang akan kau lakukan di sana? Katakan!"
"Nanti sepulangnya dari sana akan kukatakan."

"Aku tidak ingin kau bertarung melawannya!" geram Angin Betina sambil dekati wajah Suto dan dipandanginya dalam jarak amat dekat. Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum menawan yang menjengkelkan hati Angin Betina.

"Aku tidak akan bertarung dengannya. Kali ini kuturuti keinginanmu," ujar Suto sambil menepuk-nepuk pipi Angin Betina. Sikap itu menyenangkan bagi Angin Betina. Tepukan pipi diterima sebagai tepukan mesra.

Angin Betina merasa mendapat perhatian, karena Suto mau turuti keinginannya untuk tidak bertarung dengan Perawan Maha Sakti itu. Akibatnya, Angin Betina pun tak bisa tolak tugasnya menjaga Dewa Rayu, sekalipun hatinya muak melihat pemuda tampan berkumis tipis itu.

Pendekar Mabuk sempat meneguk tuaknya lebih dulu sebelum tiba di pertarungan itu. Ketika sampai di balik pohon dekat tempat pertarungan, ternyata lawan yang dihadapi Perawan Maha Sakti adalah lelaki berjubah hitam yang usianya sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya kurus, rambutnya panjang, kuku tangannya panjang dan tajam-tajam. Suto tidak mengenali siapa lelaki berwajah dingin itu. Karenanya ia sempat menyimak percakapan mereka ketika mereka hentikan pertarungan sejenak, yaitu pada saat lelaki berjubah hitam terpental karena pukulan jarak jauhnya Perawan Maha Sakti.

"Sekali lagi kuberi kesempatan padamu untuk tetap hidup, asal kau segera pulang dan memanggil Gerhana Mandrasakti. Jangan sampai kesempatan yang kuberikan ini kucabut kembali, Kucing Terbang!"

Suto membatin, "O, rupanya kucing itu bernama Kucing Terbang. Dia pasti orang Tebing Karma, anak buah Gerhana Mandrasakti.

Terdengar suara si Kucing Terbang yang serak pada saat ia bangkit dari jatuhnya, "Tebus dulu nyawa kedua saudara sepupuku itu, baru kuturuti perintahmu, Gadis Jalang!"

"Nyawa kedua saudaramu adalah korban ketidaktaatannya kepada perintahku! Kalau waktu itu Kapak Iblis dan Setan Akhirat segera pergi memanggil Gerhana Mandrasakti, mereka pasti akan selamat sampai sekarang juga!"

"Untuk apa taat kepadamu? Kau pikir siapa dirimu, hah?!" Kucing Terbang menampakkan sikap bermusuhannya, sedikit pun tak merasa gentar menghadapi lawannya.

"Sekalipun menurut mata-mata Tebing Karma yang melihat pertarunganmu dengan kedua saudaraku itu, kau mempunyai jurus maut, tapi jangan merasa bangga dulu jika berhadapan denganku; si Kucing Terbang! Jurus mautmu itu belum tentu bisa tandingi jurus 'Meong Seribu Kaki'! Majulah kalau kau mau tahu kehebatan jurusku: 'Meong Seribu Kaki'!"

Suto Sinting menahan geli. Tersenyum sambil geleng-gelengkan kepala. Hatinya membatin,

"Kucing Terbang terlalu berani. Dia belum tahu kekuatan 'Bias Dewa'-nya Dara Cupanggeni. Biar pakai jurus 'Meong Seribu Kaki' atau 'Meong Seribu Istri', tetap saja akan tumbang jika Perawan Maha Sakti sudah lepaskan jurus 'Bias Dewa'-nya."

Beberapa saat setelah Suto berpikir demikian, tiba- tiba ia rasakan dirinya tertegun mematung. Laaap...! Jantung bagaikan berhenti, semuanya terasa mati. Ternyata saat itulah Perawan Maha Sakti lepaskan jurus 'Bias Dewa'-nya yang menghantam leher Kucing Terbang.

Dees...!

Akibatnya bisa dibayangkan sendiri; nasib Kucing Terbang seperti nasib Kapak Iblis dan Setan Akhirat. Ia tumbang dan segera dikerumuni belatung dalam waktu beberapa saat saja.

Suto Sinting yang mulai sadar kembali setelah nyala sinar merah dari telunjuk gadis itu padam, segera memandang ke arah pertarungan dengan wajah sedikit tegang. Matanya lebih tertuju pada mayat Kucing Terbang. Ia hanya geleng-gelengkan kepala merasa prihatin melihat nasib korban jurus maut Itu.

Perawan Maha Sakti bermaksud tinggalkan tempat. Suto Sinting bergegas keluar dari persembunyiannya, langsung melompat dalam gerakan salto beberapa kali. Sampai akhirnya ia tapakkan kakinya di tanah belakang gadis itu tanpa terdengar suara kaki menyentuh tanah.

"Dara...!" Suto Sinting langsung menyapa. "Masih ingat aku tentunya!"

Perawan Maha Sakti yang berpaling segera putar tubuhnya hingga berhadapan langsung dengan Pendekar Mabuk. Gadis itu masih diam memandang dengan wajah tanpa senyum. Sikap bermusuhannya masih terbayang walau tipis. Tetapi Suto Sinting tampak tenang, bahkan sunggingkan senyum ketampanannya.

"Kau ingin lanjutkan pertarungan kita yang tertunda itu?!" tantang Perawan Maha Sakti secara tak langsung.

Tetapi tantangan itu dijawab dengan senyum lebar oleh Suto Sinting. Perawan Maha Sakti sempat membatin, "Pantas namanya Suto Sinting, agaknya dia benar-benar sinting; ditantang malah cengar-cengir?!"

"Menciptakan pertarungan itu mudah," kata Suto. "Tapi menciptakan perdamaian itu susah."

Gadis cantik berbibir merekah itu pandangi Suto tak berkedip. Ia tak tahu bahwa Pendekar Mabuk mempunyai satu jurus yang sebenarnya sudah jarang digunakan. Jurus itu adalah pemberian dari Bibi Gurunya, Bidadari Jalang yang sering dipergunakan semasa Bidadari Jalang menjadi tokoh aliran hitam. Jurus tersebut sering mengembang dengan sendirinya, tapi tidak terlalu parah bagi korbannya. Namun jika dipergunakan dengan sengaja, jurus itu mampu membuat lawannya tak berkutik.

Seperti kata Ki Sonokeling, gadis yang memiliki ilmu 'Darah Gaib' dan 'Bias Dewa' biasanya sangat berhati- hati menjaga jiwanya. Ia mencoba untuk tidak jatuh cinta kepada lelaki sebelum apa yang diinginkan dari dua ilmu itu terlaksana. Begitu pula Perawan Maha Sakti, sekalipun Suto dipandangnya sebagai pemuda yang menawan, tampan, gagah, dan perkasa, namun Perawan Maha Sakti menutup pintu hatinya untuk tidak terpikat dengan pendekar tampan itu.

Hanya saja, di saat menjelang senja tiba itu, pertemuannya dengan Pendekar Mabuk rupanya mempunyai makna lain dalam hidup Perawan Maha Sakti. Suto Sinting pergunakan jurus pemberian Bidadari Jalang yang dinamakan jurus 'Senyuman Iblis'. Dengan menahan napas pada saat tersenyum, menyalurkan kekuatan batin dan hawa murni pada saat memandang, maka memancarlah kekuatan gaib yang membuat senyuman itu luar biasa memikatnya.

Andai pada waktu itu Perawan Maha Sakti pejamkan mata, maka ia tidak akan terperangkap gelombang gaib senyuman Suto Sinting. Tapi karena Perawan Maha Sakti justru memandang tanpa berkedip dan menikmati keindahan senyuman tersebut, maka hatinya menjadi berdebar-debar dan berbunga indah. Semakin lama mereka saling pandang, semakin lama gadis itu menikmati senyuman Suto, semakin resah jiwanya dan bayangan kemesraan bercumbu menggoda hati, tak bisa dihindari lagi.

"Celaka! Dia begitu menggetarkan hatiku dan batinku menuntut kemesraan. Aduh...! Aku tak bisa mengatasi rasa terpikatku ini. Kurang ajar sekali pemuda yang satu ini. Sikapnya benar-benar menyenangkan hatiku, membuat khayalanku terbang ke mana-mana. Oh, Dewa... baru sekarang kuperhatikan bahwa senyumnya benar-benar enak dinikmati. Wajahnya yang tampan, sangat serasi dengan tubuhnya yang kekar, berotot, perkasa, dan... oh, kulihat genangan keringatnya membersit di leher, mengalir sampai di dadanya. Oh, Dewa... bagaimana cara menghentikan khayalanku ini?!"

Sementara itu, Pendekar Mabuk pun membatin, "Kau boleh andalkan ilmu 'Darah Gaib'-mu untuk menolak serangan-serangan keras, senjata tajam, dan tenaga dalam penghancur raga. Tapi mampukah 'Darah Gaib'- mu itu menolak kehadiran 'Senyuman Iblis'-ku? Mampukah kau bertahan jika batinmu yang kuserang dengan kemesraan? Mampukah kau menghindari pancaran bunga cintaku jika hatimu yang kutuju? Oh, tingkahmu sudah mulai serba salah. Mau apa kau? Kalau kutinggalkan, bagaimana? Mampukah kau biarkan aku pergi?"

Suto Sinting yang punya ilmu edan-edanan itu sering bersikap konyol. Ketika dilihatnya mata Perawan Maha Sakti mulai redup dan menjadi sayu, senyum tipisnya kian mekar penuh harap, napasnya mulai tampak tak teratur, bibirnya sering digigit sendiri, pandangan matanya salah tingkah, saat seperti itulah yang dimanfaatkan Suto Sinting untuk mempermainkan hati gadis itu dengan kekonyolannya.

"Dara Cupanggeni," ucap Suto dengan suara merdu yang kian menawan hati bagi gadis berjubah ungu itu. Sang gadis segera angkat wajah dan pandangi Suto dengan menggigit bibir bawahnya.

"Untuk melanjutkan pertarungan kita yang tertunda itu, aku sama sekali tak keberatan. Satu-satunya hal yang membuatku berat hati adalah jika sampai kulit halusmu itu tergores atau terluka. Hatiku retak jika melihatmu sampai terluka. Aku sendiri tak tahu, mengapa aku punya perasaan begitu. Bahkan aku merasa lebih rela kehilangan nyawa dibandingkan harus melihat tubuhmu ada yang terluka."

Perawan Maha Sakti semakin berdebar-debar indah mendengar ucapan itu. Sangkanya hati Suto benar-benar tulus mengucapkan perasaan sebenarnya. Padahal kata- kata itu adalah seonggok gombal yang sudah lama tak pernah digunakan oleh Suto Sinting. Kali ini ia terpaksa menggunakannya demi runtuhkan kedua ilmu berbahaya itu.

Katanya lagi seraya mendekat dan mengusap pipi gadis itu dengan punggang telapak tangannya, "Ilmu setinggi apa pun bisa kucari dan kupelajari. Tapi kecantikan seperti ini hanya ada satu di dunia, yaitu hanya kau pemiliknya."

"Jangan merayuku," ucapnya lirih sekali, hampir tak terdengar. Pandangan matanya semakin sayu karena terbuai keindahan dalam hatinya.

"Kalau kata-kataku ini kau anggap rayuan, izinkan aku merayumu beberapa saat sebelum akhirnya kita harus bertarung. Tapi sesungguhnya apa yang kukatakan adalah curahan hatiku yang sukar kubendung sejak aku harus berhadapan denganmu. Mestinya aku tak ingin temui kau lagi, karena kau mempunyai ilmu yang dahsyat. Tetapi harapan hatiku menuntut jiwaku untuk bisa bertemu denganmu walau untuk yang terakhir kalinya. Harapan hati itu hanya semata-mata ingin curahkan perasaan yang kukatakan ini. Hanya itu tujuanku menemuimu sore ini, Dara Cupanggeni. Setelah itu, marilah kita ianjutkan pertarungan kita yang tertunda itu."

Perawan Maha Sakti menatap sedikit mendongak karena Suto lebih tinggi darinya. Wajah ayu berbibir merekah penuh gairah itu menggeleng pelan-pelan. Lalu terdengar suaranya bagai orang mendesah dicekam asmara.

"Tidak. Aku tidak ingin lanjutkan pertarungan denganmu. Aku... aku...," Perawan Maha Sakti tundukkan wajahnya, terdengar lagi lanjutan katanya,

"Aku tak sanggup bertarung melawanmu. Aku benar- benar tak sanggup."

Suto Sinting raih dagu gadis itu dan diangkatnya pelan hingga matanya menatap lembut si mata sayu itu. Lalu dengan senyum berkekuatan gaib, Suto Sinting berucap kata lirih,

"Jangan lemahkan hatimu. Mari lanjutkan pertarungan kita."

"Tidak, Suto," ucapnya pelan sekali. Lalu gadis itu menggigit bibirnya sendiri, seperti ada suatu perasaan yang ingin meledak dalam dadanya tapi ditahan kuat- kuat.

"Lalu apa yang kau inginkan?"

"Hmmm... ehh... ppe... peluklah aku walau sekejap saja, Suto."

Bukan Suto Sinting yang memeluk, tapi Perawan Maha Sakti yang mendahului memeluk Suto. Kepalanya disandarkan di dada Suto dengan mata terpejam seakan meresapi kehangatan yang mengalir dari tubuh Pendekar Mabuk, sebab Pendekar Mabuk pun membalas pelukan itu erat-erat. Perawan Maha Sakti merasa dirinya terbenam sangat dalam hingga menyentuh kehangatan dasar hati Suto.

* * *7

SEMENTARA itu, Angin Betina yang resah di dalam gua segera melongok keluar dan memandang ke arah lembah. Matanya terbelalak, wajahnya bagai disiram air panas melihat Suto sedang berpelukan dengan Dara Cupanggeni. Jantung Angin Betina seakan dibetot dari dalam, terasa ingin meledak dadanya.

"Setan! Iblis! Peri! Hantu! Buaya buntung...!" makinya dalam geram dengan kedua tangan menggenggam kencang sekali. "Dasar sapi otak kerbau! Katanya mau berhadapan dengan gadis itu ternyata malah berpelukan! Katanya bermusuhan dengan gadis itu, nyatanya malah berkasih-kasihan. Uuuhhh...!" Angin Betina jengkel sekali. Darahnya bagaikan mendidih dan mengguyur seluruh kepala. Kedua kaki dan tangannya gemetar menahan amukan yang mendesak untuk meledak.

"Pendekar cap tikus!" cacinya sambil mondar-mandir di dalam gua dengan pedang terhunus. "Apa yang harus kulakukan jika begini?! Membantai mereka berdua? Atau pergi meninggalkan mereka selamanya?! Uuhh...! Dasar lelaki mata keranjang, mata serokan ikan, mata buaya, mata kucing, mata... mata sapi juga! Benci aku padanya! benci aku! Benciiiii...!"
Duuurrr...! Sebongkah batu ditendang langsung hancur menjadi kerikil-kerikil lembut. Kemarahan Angin Betina berkobar karena kecemburuan dalam hatinya meluap-luap. Ia kembali masuk ke dalam gua dengan mondar-mandir salah tingkah sendiri. Pedang yang sudah dihunus ingin dipancungkan ke leher Dewa Rayu yang sedang tertidur, tapi niat itu segera dibatalkan. Ia kembali melongok keluar, memandang ke lembah.

"Dasar buaya kampung kumuh!" makinya lagi. "Dari tadi belum mau melepaskan pelukannya! Iiih... benci aku! Benciii...!"

Plook... ! Angin Betina menampar pipinya sendiri untuk lampiaskan kegeraman yang menyiksa batin itu. Ketika ia melongok keluar lagi, ternyata di lembah sudah tidak ada Suto Sinting.

Mata Angin Betina membelalak tegang, mencari-cari Suto ke sekitar lembah dengan pandangan matanya yang tersembunyi di celah bebatuan. Suto tidak kelihatan, tapi Perawan Maha Sakti masih diam di sana, duduk di sebatang kayu pohon kering yang tumbang sudah sekian lama.

"Ke mana si buaya kampung kumuh itu? Mengapa tidak ada? Mengapa gadis itu masih di sana? O, aku tahu... ! Pasti si buaya kampung kumuh sedang cari tempat buat kencan mereka! Setan peot! Sebaiknya kuhampiri gadis itu dan kuserang dari belakang sebelum dibawa kencan oleh si buaya mata kodok!"

Rupanya Suto Sinting memang berjanji akan kembali lagi, sehingga Perawan Maha Sakti masih menunggu di sana. Suto Sinting pamit mau cari tempat buat tidur mereka, karena senja mulai tua dan mereka harus punya tempat untuk bermalam. Perawan Maha Sakti setuju sekali, bahkan hatinya yang sudah kasmaran itu bersorak kegirangan. Suto tidak langsung menuju ke gua, melainkan mengambil jalan putar, sehingga ia muncul dari arah sisi kiri gua tersebut.

"Hei, mau ke mana kau?!" sergah Suto dengan suara berbisik ketika dilihatnya Angin Betina hendak tinggalkan gua dengan pedang terhunus.

Angin Betina menatap dengan mata mengecil tanda menyimpan benci. Bicaranya pun ketus. Giginya bagai tak mau terbuka.

"Iblis kau, Suto! Peri hamil busung kau!"

"Hei, hei... kenapa kau marah begitu? Masuklah! Lekas masuk, kita bicaral"

Suto menarik lengan Angin Betina untuk dibawa masuk ke gua. Angin Betina sentakkan lengannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman Suto Sinting.

"Jangan sentuh diriku lagi! Kau telah puas memeluknya!"
"Angin Betina, ini siasat! Hanya siasat semata!"
"Siasat untuk menutupi kerakusanmu?! Siasat untuk memuaskan hasratmu? Iya?!"

Angin Betina angkat pedangnya untuk ditebaskan, Suto Sinting hanya merunduk dan menyilangkan tangannya seakan ingin menangkis pedang itu dengan tangan.

"Tunggu dulu. Kujelaskan dulu rencanaku!"

Angin Betina hempaskan napas dengan dongkol sekali. Ia tak suka melihat Suto berpelukan dengan wanita lain, tapi ia harus menahan rasa tak suka itu untuk dengarkan penjelasan dari Pendekar Mabuk.

"Kau menyingkirlah dulu. Pindah di tempat lain yang tersembunyi!"

"Apa...?! Kau menyuruhku pergi dari gua ini dan gua ini akan kau pakai untuk bermesraan dengan gadis liar itu?!" mata Angin Betina mendelik.

Suto masih menjaga sikap sabarnya. "Tenang dulu, dengarlah penjelasanku!" Suto Sinting mendekat. Angin Betina buang muka. Ia berkata lagi,

"Aku berhasil menjerat hatinya. Ia terpikat padaku. Ia kasmaran padaku. Lalu kami sepakat untuk mencari tempat buat bermalam. Ia senang sekali ketika kukatakan bahwa aku berusaha mencari tempat yang nyaman dan enak untuk bermalam bersama. Ia bahkan mau menungguku di sana, dan aku berjanji akan kembali lagi secepatnya."

Angin Betina menjauh, memandang ke arah luar gua, melirik ke arah Dara Cupanggeni yang bagai perawan setia menunggu sang kekasihnya datang. Suto Sinting bicara dari belakang Angin Betina dengan suara pelan tapi jelas.

"Ia bergairah sekali untuk tidur bersamaku. Aku berhasil memancing gairahnya dan dia...."
"Tentu saja dia bersedia sekali tidur denganmu!" potong Angin Betina dengan ucapan cepat. Suto Sinting sempat gelagapan, lalu tertawa kecil.

Angin Betina buang muka lagi seraya berkata, "Dia boleh tidur denganmu jika dia bisa lepaskan nyawaku dari raga! Akan kutantang dia sekarang juga!"

"Hei, tunggu dulu!" cegah Suto Sinting menarik pundak Angin Betina.

Gadis berambut acak-acakan itu menepiskan tangan Suto dengan kasar. Tapi ia tidak tahu bahwa saat ia mengucapkan niatnya untuk menantang Perawan Maha Sakti, Suto telah lakukan sesuatu di belakangnya; memejamkan mata dan mengarahkan wajahnya kepada Dewa Rayu yang sedang tidur itu.

Maka ketika Angin Betina berbalik arah dan memandang Suto dengan sengit, tiba-tiba wajah tegang itu mengendur, mata sipit itu melebar, mulut runcing itu ternganga. Di belakang Suto ia melihat sosok Suto Sinting sedang tertidur, sedangkan sosok Dewa Rayu tidak ada.

Angin Betina jadi tergeragap,

"Lho, it... kok... kuk... puas... di... nguk... ngok... ngek...."

Suto Sinting hanya tertawa dengan mulut terbungkam, hingga yang terdengar hanya gumam terpatah-patah. Katanya dalam senyum, "Makanya jangan salah anggap dulu. Dengarkan penjelasanku, baru ngotot kalau memang tak setuju!"

"Tap... tapi... siapa yang tidur itu?"
"Dewa Rayu!" jawab Suto dengan kalem.

"Mengapa wajahnya, perawakannya, pakaiannya, semuanya seperti dirimu?"

"Aku menggunakan ilmu 'Seberang Raga'. Biasanya ilmu 'Seberang Raga' kugunakan untuk mengecoh pandangan lawan. Benda apa pun bisa menyerupai diriku dan akan kembali ke wujud semula jika batinku sudah melepaskan ilmu 'Seberang Raga' itu."

"Jadi apa maksudmu?"

"Kupancing Perawan Maha Sakti agar masuk ke gua ini. Dia akan menemui Dewa Rayu yang disangka diriku. Lalu... tentu saja dia akan bermalam di gua ini bersama Dewa Rayu. Sementara itu, kita mencari tempat lain untuk bersembunyi, tapi jangan jauh-jauh dari sini untuk menjaga kalau terjadi sesuatu pada diri Dewa Rayu."

Angin Betina manggut-manggut dengan kemarahan yang mereda. "Ternyata kau bukan buaya kampung kumuh, tapi kancil mata keranjang!" ejek Angin Betina.

Suto hanya tersenyum. "Sekarang, kita bangunkan dulu Dewa Rayu...!"

Dengan susah payah mereka membangunkan Dewa Rayu. Percikan tuak di wajah Dewa Rayu baru bisa membuat pemuda berkumis tipis yang sudah menjadi serupa betul dengan Suto itu menggeragap dan bangun dari tidurnya. Ia terkejut mendapatkan dirinya sudah mengenakan pakaian mirip dengan Suto Sinting.

Tapi ia menjadi lebih terbelalak melihat Angin Betina dan mulai mendesis dengan pandangan mata penuh gairah. Dewa Rayu pun berkata kepada Suto,

"Tuakmu hanya bisa membuatku mengantuk. Tapi hasratku untuk bercinta dengan seorang wanita masih menyala-nyala. Semakin kuat mencekam jiwaku!"

"Karena itulah kau kudandani seperti diriku!"

"Apa maksudmu mendandaniku seperti ini?" tanyanya penuh keheranan. Bahkan ia juga merasa heran melihat bumbung tuak ada di sampingnya.

Suto Sinting jelaskan, "Kau akan kuberikan obat pelega jiwa. Tapi kau harus bisa berpura-pura menjadi diriku."

"Aku tak mengerti maksudmu?!" Dewa Rayu kerutkan dahi.
"Kami mau kasih kamu perempuan!" sentak Angin Betina dengan kasar.

"Pokoknya nanti kalau ada gadis cantik datang kemari berjuluk Perawan Maha Sakti, jangan kecewakan dia. Turuti saja apa keinginannya. Kau tetap harus merasa menjadi Suto Sinting, tak perlu sering-sering minum tuak tak apa, tapi kau harus merasa menjadi diriku dan merasa sudah kenal lama dengan Perawan Maha Sakti."

"Mengapa begitu?"

"Karena aku punya kencan dengan Perawan Maha Sakti, tapi tidak bisa melaksanakan. Aku harus temui seorang tokoh tua yang sedang ziarah dan tak kutahu di mana makam itu. Aku dan Angin Betina akan pergi, baik-baiklah di sini dan jangan ke mana-mana!"

Dalam hati Angin Betina kagum dengan kecerdasan Suto Sinting. "Biar sinting tapi otaknya encer juga!" katanya membatin sambil ia duduk di atas pohon berdaun rindang. Sementara itu Suto Sinting sedang memancing Perawan Maha Sakti agar memasuki gua tersebut. Angin Betina masih bisa pandangi pertemuan Suto dengan Perawan Maha Sakti di lembah, karena pohon tempatnya bersembunyi tak jauh dari gua tersebut.

Di sana, Suto Sinting kembali mekarkan senyum pemikatnya. Hati Perawan Maha Sakti kian berbunga- bunga. Senyum gadis itu menampakkan kegirangan hati yang sepertinya baru kali ini dialami dan dirasakannya.

"Kusangka kau tak akan kembali lagi."

"Kau pikir aku lelaki yang bodoh?! Mana mungkin akan kubiarkan gadis secantik kau duduk sendirian di sini sampai petang tiba?"

Mereka berhadap-hadapan, jaraknya sangat dekat. Tangan Perawan Maha Sakti sempat berbuat nakal, mencubit pipi Suto, mengusap rambut panjangnya, dan semua itu membuat Angin Betina di atas pohon salah tingkah lagi. Ia lekas-lekas buang muka sambil menggerutu dan bersungut-sungut,

"Mudah-mudahan lain kali Suto tidak temui lawan yang seperti itu! Menyakitkan hati kalau dipandang. Sudah kubilang jangan bersentuhan lagi, eeh... malah nempel! Ah, dasar buaya kampung kumuh bermata kodok!"

Perawan Maha Sakti berkata, "Sebentar lagi petang tiba. Apakah kau sudah dapatkan tempat untuk bermalam?"

"Ya. Aku sudah dapatkan sebuah gua di sebelah sana!" seraya Suto menunjukkan tempat gua tersebut. Senyum gadis itu mekar berseri-seri, matanya tampak berbinar-binar penuh kegembiraan.

"Kalau begitu, tak ada jeleknya jika sekarang juga kita ke sana saja!"

Suto anggukkan kepala. "Aku menjadi pelayanmu jika kau bisa mencapai gua itu lebih dulu dariku."

"O, kau mengajak beradu kecepatan lari? Baik! Kita mulai sekarang!"

Wees...!

Zlaaap...! Suto Sinting menggunakan 'Gerak Siluman' hingga Perawan Maha Sakti tertinggal jauh. Tapi gadis itu melihat Suto masuk ke gua tersebut. Padahal hanya masuk selintas, kemudian keluar lagi dengan gerakan cepat yang nyaris tak tertangkap mata Perawan Maha Sakti. Maklum, remang petang kian menua, sehingga mata gadis itu sulit menangkap kelebatan bayangan Suto Sinting.

"Ternyata kau lebih dulu sampai di sini," kata Perawan Maha Sakti kepada Dewa Rayu yang disangka Suto Sinting. Dewa Rayu hanya tersenyum dan berkata,

"Cukup lama aku menunggumu di sini. Tak sabar rasa hatiku untuk segera membawamu terbang tinggi- tinggi."

"Terbang? Oh..., hi, hi, hi, hi...!"

Suara tawa lirih terdengar sampai di atas pohon tempat Suto dan Angin Betina bersembunyi. Jarak pohon dengan gua yang tak seberapa jauh membuat suasana malam kian memperjelas suara-suara mesra di dalam gua itu. Kadang terdengar suara cekikikan, kadang terdengar suara desahan memanjang menyerupai erangan orang kesakitan. Sementara mereka yang di atas pohon hanya bisa saling bungkam, membiarkan malam meluncur bersama rembulan separo bagian, membiarkan suara- suara mesra berhamburan di dalam gua sana. Angin Betina membayangkan apa yang terjadi di dalam gua itu, terlalu kuat bayangan tersebut, akibatnya jantungnya berdetak-detak dan tubuhnya berkeringat dingin.

"Suto," bisiknya kepada Suto Sinting yang duduk di dahan sampingnya, "Aku berkeringat dingin. Hi, hi, hi, hi...!"

"Pakailah bajuku kalau kau kedinginan," balas Suto.

"Bukan kedinginan!" sentak Angin Betina dalam bisik. "Aku tergoda dengan suara-suara mereka itu."

"Kalau begitu, pejamkan mata dan tidurlah. Biar aku saja yang menjaga mereka dari sini."
Dahan yang besar dan pipih itu bisa dipakai untuk merebahkan badan. Suto Sinting tahu, Angin Betina bergairah mendengar suara-suara mesra dari dalam gua. Apa yang diharapkan Angin Betina juga diketahui Suto. Tapi Suto tidak mau memberikannya. Ia hanya menghibur hati Angin Betina dengan membiarkan gadis itu berbaring di pangkuannya, rambutnya diusap-usap oleh Suto, sampai akhirnya Angin Betina tertidur dengan sendirinya.

Suto sengaja tidak tidur, sebab jika ia tidur maka pengaruh kekuatan ilmu 'Seberang Raga' akan lenyap. Dewa Rayu menjadi wujud sebenarnya. Suto menjaga agar kekuatan ilmu itu masih tetap ada sampai esok pagi. Setidaknya memberi kesempatan panjang bagi Dewa Rayu untuk melenyapkan kedua ilmu andalan Perawan Maha Sakti yang amat berbahaya itu.

Melintasi pertengahan malam, ketika malam dicekam sepi, Suto Sinting mendengar suara isak tangis samar- samar dari dalam gua tersebut. Angin Betina terbangun oleh suara tangis itu.

"Suara siapa?" tanyanya kepada Suto.
"Jelas suara perempuan. Pasti suara Dara Cupanggeni."
"Mengapa menangis? Apakah Dewa Rayu berubah wujud?"

"Kurasa dia menangis karena sadar bahwa kedua ilmu andalannya telah hilang!" jawab Suto pelan sekali.

"Kalau begitu... dia sudah tidak perawan lagi?"

"Mungkin saja begitu. Tapi bisa jadi tangis itu disebabkan karena Dewa Rayu tak bisa memenuhi seleranya, atau mungkin kakinya kejatuhan batu atau hal-hal lainnya."

"Bagaimana kalau kita intip lebih dekat?"
"Jangan! Nanti keadaan menjadi kacau-balau jika Dara Cupanggeni mengetahui aku ada di luar gua."

Sampai pagi tiba, Angin Betina tidak bisa tidur lagi. Tapi mereka masih di atas pohon. Dan ketika matahari mulai merayap naik, mereka melihat Perawan Maha Sakti keluar dari gua dalam keadaan lesu.

'Hei, dia keluar sendirian. Mana si Dewa Rayu? Mengapa tidak ikut keluar juga?" kata Angin Betina berbisik.

"Jangan-jangan... jangan-jangan Dewa Rayu dibunuh olehnya?!"

"Coba kau periksa gua itu, dan aku akan mengikutinya dari belakang!" kata Angin Betina, lalu ia melesat berpindah pohon tanpa timbulkan suara. Suto Sinting segera melesat ke arah gua dengan melintasi dahan-dahan pohon lainnya. Dara Cupanggeni berjalan dengan gontai, seperti orang putus asa.

Suto Sinting terkejut melihat gua dalam keadaan kosong. Dewa Rayu tak ada di tempat, tapi baju dan celananya tertinggal di sana, juga bumbung tuaknya.

"Ke mana perginya? Apakah dia pergi tanpa kenakan pakaian apa-apa?"

Suto Sinting segera susul kepergian Perawan Maha Sakti. Tapi pada waktu itu Perawan Maha Sakti sudah terhenti langkahnya karena Angin Betina nekat menghadang dari arah depan. Perawan Maha Sakti segera tegakkan badan dan pasang lagak sebagai orang yang tidak mengalami duka apa pun.

"Siapa kau?" sapanya dengan ketus kepada Angin Betina.

"Angin Betina! Aku kekasih Suto! Kau ingat saat bertemu dengan Sumbaruni? Akulah yang dihajar habis- habisan oleh perempuan itu."

"O, ya...! Aku ingat tentang itu. Tapi aku tidak tahu kalau kau kekasih Pendekar Mabuk! Pendekar tampan itu mengaku padaku tidak mempunyai kekasih siapa pun!"

"Kau telah ditipunya! Dan kulihat semalam kau masuk ke gua bersamanya!"
"Ya, benar!" jawabnya tegas penuh keberanian yang dlberani-beranikan.

Angin Betina pandangi wajah itu, bahkan seluruh tubuh dari atas ke bawah dipandanginya. Angin Betina temukan noda merah di leher Perawan Maha Sakti . Noda merah itu ada di kanan dan kiri leher.

"Noda merah apa itu?" pikir Angin Betina. "Pukulan maut atau ciuman maut?"

Perawan Maha Sakti merasa kikuk dipandangi demikian, ia segera sentakkan suara untuk membuang kekakuannya.

"Apa maksudmu menghadangku?! Kau ingin tuduh aku yang membawa lari Suto Sinting itu?! Hmm...! Kalau itu maumu, kau salah duga! Aku tidak membawa pergi Suto Sinting! Justru aku merasa kecewa karena Suto telah dibawa lari seseorang ketika kami sedang bercengkerama!"

Angin Betina terperanjat, namun buru-buru ditutupi dengan tarikan napas.

"Siapa yang membawanya lari?!"

"Tak kukenal! Aku tak sempat mempertahankan karena aku ditotok melalui pandangan matanya yang tajam itu!"

Angin Betina berpikir, " apakah orang yang membawa lari itu tahu bahwa pemuda tersebut adalah Dewa Rayu? Jangan-jangan Dewa Rayu diculik orang sebelum merenggut kesucian gadis ini? Keadaanku gawat juga kalau ternyata gadis ini masih perawan. Berarti dia bisa serang diriku dengan jurus 'Bias Dewa'-nya itu. Hmmm... sebaiknya aku menyingkir saja sebelum luapan amarahnya dilampiaskan padaku!"

Tanpa pamit apa-apa Angin Betina cepat-cepat pergi, berkelebat bagaikan angin pegunungan berhembus di pagi hari. Gerakan cepat itu segera dihentikan ketika berpapasan dengan Pendekar Mabuk.

"Bagaimana keadaannya?"
"Gua kosong. Dewa Rayu tak ada. Tapi pakaiannya ada di tempat."

"Berarti pengakuan gadis itu memang benar," kata Angin Betina seperti bicara pada diri sendiri. Lalu ia ceritakan apa yang diceritakan Perawan Maha Sakti. Suto Sinting berkerut dahi, pertanyaan dalam benaknya sama dengan pertanyaan batin Angin Betina.

"Apakah dia sudah kehilangan kesuciannya saat Dewa Rayu diculik orang?"

"Aku tak tahu dengan pasti. Aku hanya melihat noda merah di lehernya, yang menurutku adalah noda kemesraan yang diberikan oleh Dewa Rayu."

"Berarti penculik itu orang berilmu tinggi yang bisa menyelinap masuk ke dalam gua tanpa kulihat. Padahal aku semalaman tidak tidur."

"Mungkin pada saat kau memandang ke arah lain, penculik itu masuk ke gua dan membawa pergi Dewa Rayu. Barangkali juga kejadiannya ketika tengah malam terdengar suara tangis. Itulah suara tangis Dara Cupanggeni yang kehilangan Suto Sinting-nya!"

"Tapi menurutmu tadi, dia ditotok dengan pandangan mata?!"

"Memang. Tapi totokan yang bagaimana? Mungkin hanya totokan yang membuatnya tidak bisa bergerak kecuali hanya bersuara dan menangis saja?"

"Kalau begitu...,' kata Suto setelah diam. "Aku harus menjajal ilmunya. Aku akan bertarung dengan Perawan Maha Sakti. Jika dia masih perawan, maka dia akan lepaskan jurus mautnya itu. Tapi jika ia tidak perawan lagi, ia akan pergunakan jurus lain yang tidak berbahaya!"

"Aku keberatan!" debat Angin Betina. "Kalau ternyata dia masih perawan, belum sempat direnggut Dewa Rayu, maka kau akan jadi korban jurus mautnya itu! Sebaiknya aku saja yang mencoba bertarung dengannya!"

Suto berpikir, "Belum tentu Angin Betina bisa hindari jurus mautnya. Daripada dia yang celaka, lebih baik aku yang mencobanya dengan caraku sendiri. Seandainya Perawan Maha Sakti sudah tak berilmu maut, siapa tahu ia masih punya ilmu dahsyat lainnya yang sukar ditandingi oleh Angin Betina?"

Tiba-tiba Suto Sinting gerakkan tangannya, menyentil tiga kali ke arah depan. Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan, segumpal tenaga melesat dari sentilan itu mengenai beberapa tempat di tubuh Angin Betina. Perempuan itu terkejut sesaat, untuk selanjutnya badannya tak bisa bergerak kecuali mulutnya yang berseru dengan marah,

"Setan kau, Suto! Lepaskan totokan ini! Hei, Suto...! Lepaskan totokan ini atau kuhajar kau!"
"Aku harus hadapi Perawan Maha Sakti. Maafkan aku, nanti kulepaskan kalau aku sudah bertemu dia!"

"Buaya kampung miskin! Jangan hadapi dia!" teriak Angin Betina, tapi Suto Sinting tetap melesat dengan kecepatan gerak silumannya. Zlaaap...! Sebaris makian terdengar makin kecil dan hilang karena kecepatan Suto mencapai tempat yang jauh dalam beberapa kejap saja.

"Itu dia orangnya!" Suto membatin. "Sebelum ia lepaskan jurus mautnya, aku harus mendahului melepaskan pukulan jarak jauh. Jika ternyata masih belum bisa menembus lapisan 'Darah Gaib'-nya, berarti dia masih perawan dan aku harus cepat lari sebelum ia membalas dengan jurus 'Bias Dewa'-nya."

Suto Sinting hentikan langkah dalam jarak delapan tindak di belakang Perawan Maha Sakti. Ia menyapa dengan satu sentakan, "Daraaa...!"

Gadis itu langsung berpaling ke belakang. Ia terperanjat melihat Suto. Keceriaannya terlintas sekejap, karena Suto Sinting segera lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar biru besar dari telapak tangan. Ciaaap... !

Tentu saja munculnya sinar biru itu mengejutkan bagi Perawan Maha Sakti. Dengan gerak naluri kedua tangannya menghadang dada dan keluarkan sinar merah membias dari kedua telapak tangan itu. Namun sebelum sinar merah sempat melesat, sinar birunya Suto dari jurus 'Tangan Guntur' telah lebih dulu menghantam tangan bersinar merah itu. Deeess...!

Blaaar..!
"Uuhg...!"

Terdengar pekik tertahan dari mulut Perawan Maha Sakti. Gadis itu terlempar ke atas, melayang-layang dalam keadaan tubuh berasap, menandakan jurus 'Tangan Guntur' berhasil kenai tubuh lawan.

"Pukulanku kena sasaran?! Berarti dia sudah tidak mempunyai lapisan 'Darah Gaib' lagi. Ilmu 'Bias Dewa'- nya juga pasti telah hilang. Jika begitu... ternyata dia sudah tidak perawan lagi?!"

Tubuh yang berasap itu tepat jatuh di kedua tangan seseorang yang berkelebat dari balik sebatang pohon besar. Brlleb...! Gerakannya sangat cepat, seimbang dengan kecepatan 'Gerak Siluman'-nya Suto Sinting. Tokoh yang baru datang itu berambut putih, tapi wajahnya masih cantik, hidungnya kecil bangir. Ia mengenakan jubah abu-abu dengan pakaian dalamnya berwarna kuning gading. Matanya memandang tajam kepada Suto, suaranya terdengar ketus penuh dendam.

"Tunggu pembalasanku! Kalau sampai muridku ini tak tertolong, kuhancurkan dirimu di depan Bidadari Jalang!"

Zlaaap...! Tokoh berambut putih meriap-riap itu bagaikan lenyap. Suto Sinting tertegun bengong beberapa saat, lalu hatinya membatin, "Berarti dia adalah Nyai Sunti Rahim; gurunya Dara Cupanggeni?!"

Sambil menuju ke tempat Angin Betina tertotok, Suto berbicara sendiri dalam hati, "Perawan Maha Sakti sudah tak perawan lagi. Kedua ilmu mautnya sudah hilang. Buktinya jurus 'Tangan Guntur'- ku bisa celakai dirinya. Syukurlah jika dua jurus maut itu telah lenyap darinya. Cuma yang membuatku heran, siapa orang yang menculik Dewa Rayu itu?"

SELESAI
Pendekar Mabuk Segera terbit!I!