Pendekar Mabuk 33 - Kitab Lorong Zaman(1)




1
ASAP masih mengepul tipis pada celah-celah bebatuan. Warna hitam menghiasi pemandangan sekitar celah berasap. Warna hitam itu juga terdapat pada tubuh mayat-mayat yang bergelimpangan di sana-sini. Para korban menderita mati hangus akibat suatu pukulan dahsyat.
Sudah tentu orang berilmu tinggi yang mampu melakukan semua itu.
Di atas reruntuhan yang serba hitam dan masih hangat itulah, sesosok pemuda tampan berambut lurus sepanjang lewat pundak berdiri memandangi keadaan sekelilingnya. Pemuda yang mengenakan baju coklat tanpa lengan dan celana putih kusam itu menahan haru di dalam hatinya. Mata memandang ke sana-sini dengan sedih. Bambu bumbung tempat tuak masih disandang di pundak kanan. Si tampan bertubuh tegap dan gagah itu tak lain adalah Suto Sinting, Pendekar Mabuk, murid tokoh aliran putih kesohor; si Gila Tuak.
Setelah menatap sekelilingnya yang serba hitam itu, sang pendekar tampan melompat ke sana-sini untuk mencari sosok korban yang dikenalnya. Sosok korban itu akhirnya ditemukan tergeletak hangus di sela-sela reruntuhan kuil. Hati Suto kian trenyuh memandangi korban yang hampir tak bisa dikenalinya lagi itu. Tetapi melihat bentuk wajahnya dan tasbih batu hitam sebesar melinjo itu tergeletak tak jauh dari tangan korban, maka Suto Sinting yakin betul bahwa mayat itu adalah mayat Pendeta Mata Lima.
Biara Damai hancur menjadi arang. Guru di biara itu, Pendeta Mata Lima, ikut hancur bersama biaranya. Mengenaskan sekali. Tak ada satu pun murid Pendeta Mata Lima yang bisa tertolong dan diselamatkan. Pendekar Mabuk hanya mengeluh dalam hatinya,
"Terlambat. Aku terlambat tiba di sini. Kurasa biara ini dihancurkan beberapa saat sebelum aku tiba di sini. Siapa pelakunya?"

Keluh dalam renungan itu terputus. Pendekar Mabuk merasa gelombang hawa panas hendak menerpa tubuhnya. Buru-buru ia hentakkan kaki kirinya ketanah bebatuan yang dipijaknya. Wuuuttt...! Tubuhnya melenting ke atas dalam gerakan cepat. Tak berapa lama ia sudah mencapai sebuah dahan yang ada pada pohon berdaun lebar dan rindang. Jleegg...! Kakinya mendarat di pohon itu tanpa timbulkan suara, bahkan tak ada getar sedikit pun pada pohon tersebut. Ini menunjukkan ilmu peringan tubuh Pendekar Mabuk sangat tinggi dan mampu membuat lawan kebingungan mencari keberadaannya.
Rupanya gelombang hawa panas itu tidak tertuju kepadanya, tapi ke permukaan tanah bekas biara tersebut. Seberkas sinar kuning berbentuk bola seukuran genggaman tangan bayi melesat bagai jatuh dari langit. Gerakannya lurus ke bumi dan menghantam tanah bekas biara itu tanpa timbulkan suara gelegar apa pun. Hanya menyerupai suara besi panas dimasukkan dalam air.
Joosss...!
Saat sinar kuning menghantam bumi dan timbulkan suara aneh, asap mengepul dengan sedikit tebal dan berwarna kuning indah. Asap kuning itu menyebar, semakin lama semakin tebal, semakin lebar, sampai akhirnya menutupi reruntuhan bangunan biara tersebut.
Dari atas pohon tempat persembunyiannya, Suto Sinting memandang dengan mata penuh keheranan. Kini yang dapat dilihatnya hanyalah bentangan asap kuning yang kian menebal dan bergulung-gulung. Semua warna hitam dari reruntuhan tak dapat terlihat lagi. Mayat-mayat hangus yang bergelimpangan di sana-sini juga tak terlihat karena tertutup ketebalan asap kuning yang menyerupai kabut aneh membungkus permukaan tanah.
"Siapa pemilik sinar kuning aneh itu?" pikir Suto Sinting, matanya memandang sekeliling dari atas pohon, tapi ia tidak temukan sosok orang yang dicurigai. Tempat di sekitar itu tampak sepi, seakan tak ada kehidupan apa pun kecuali kehidupan dirinya sendiri. Ilmu lacak jantung dipergunakan oleh Suto, tapi ia tidak menangkap suara detak jantung orang lain, kecuali jantungnya sendiri. Itulah sebabnya Pendekar Mabuk merasa aneh, karena hati kecilnya merasa yakin adanya seseorang yang mengirimkan sinar kuning tersebut. Tak mungkin sinar kuning itu jatuh sendiri dari langit, itulah keyakinan Suto Sinting.
Keheranan Suto Sinting semakin besar lagi setelah melihat asap kuning yang melapisi permukaan tanah  dengan ketebalan setinggi lutut itu, ternyata cepat sekali hilangnya bagaikan terserap ke dalam bumi. Hilangnya kabut kuning itu bersamaan pula hilangnya reruntuhan biara tersebut. Semua benda, baik batu, kayu, maupun mayat yang bergelimpangan tadi ternyata lenyap bagaikan ditelan bumi.
"Ajaib sekali!' gumam hati Pendekar Mabuk dengan mata tak berkedip. "Semuanya lenyap tak berbekas?! Reruntuhan bekas pilar sebesar itu bisa hilang tanpa tersisa serpihannya sedikit pun?! Luar biasa hebatnya sinar kuning tadi? Hampir-hampir aku tak mempercayai penglihatanku sendiri!"
Memang sulit dipercaya. Tanah di mana semula terdapat reruntuhan biara yang terbakar habis bersama penghuninya itu kini menjadi rata. Rata dan berwarna coklat kehijauan, karena ada rumput-rumput yang tumbuh pendek bagaikan baru saja bersemi. Tak terlihat bekas reruntuhan sedikit pun, sehingga bagi orang yang baru datang akan menyangka di tanah tersebut tak pernah ada bangunan biara dengan kuil bertingkatnya yang telah hancur terbakar. Tanah tersebut seperti tanah lapang yang mempunyai kesuburan tersendiri dan bersuasana tenang, hening, dan bersih dari sampah dan kotoran apa pun.
Rasa heran yang begitu besar telah menguasai hati Pendekar Mabuk, membuatnya tertegun bagaikan patung di atas sebatang dahan pohon. Karena pada saat itu terbayang dalam benaknya, seandainya ia tadi tidak cepat hindari sinar kuning yang datang dari langit, lurus ke kepalanya itu, pasti saat ini ia sudah ikut lenyap bersama reruntuhan biara dan para mayat korban. Pasti saat ini ia tidak bisa berdiri di atas dahan dan menyaksikan keajaiban yang sulit dipercayai oleh siapa pun jika dituturkannya.
"Ternyata hari ini aku hampir saja musnah dan berakhir masa hidupku," pikir Suto Sinting setelah ia sadar dari ketertegunannya dan buru-buru menenggak tuaknya beberapa teguk. "Apakah si pemilik sinar kuning tadi bermaksud melenyapkan diriku, atau melenyapkan sisa reruntuhan biara? Jika ia bermaksud melenyapkan diriku, berarti dia adalah musuhku. Jika bermaksud melenyapkan sisa reruntuhan biara, berarti dialah orang yang menghancurkan biara itu!"
Baru saja Pendekar Mabuk ingin turun dari pohon untuk mencari seseorang di sebelah timur, tapi niatnya itu tertahan oleh kemunculan seseorang yang berlari dari suatu arah dan berhenti di tengah tanah lapang bekas reruntuhan itu. Orang tersebut memandang ke sana-sini dengan bingung, raut wajahnya penuh dengan perasaan heran yang membimbangkan hatinya sendiri.
"Siapa perempuan itu?" pikir Suto Sinting dengan hati sedikit berdebar karena perempuan yang ada di tengah tanah lapang itu berpakaian seronok dengan wajah cantik dan tubuh sangat elok menantang gairah lelaki.
"Aku merasa baru kali ini melihatnya. Sepertinya  perempuan itu sedang mencari-cari biara yang lenyap. Mungkin ia merasa bahwa di situ dulunya ia temukan sebuah biara, tapi sekarang tak berbekas sedikit pun. Pasti dia terheran-heran, dan akan semakin heran jika kuceritakan apa yang terjadi pada Biara Damai bersama para penghuninya."
Perempuan itu berambut panjang, digelung sebagian, mengenakan tusuk konde dari logam putih anti karat berbentuk bintang dengan satu sisinya runcing memanjang, ia kenakan pakaian pinjung sebatas dada warna merah jambu, ketat sekali sehingga gumpalan dua daging di dadanya sedikit tersumbul, menampakkan kemulusan kulit putihnya dan kepadatan yang aduhai mendebarkannya. Pakaian pinjung merah jambu dengan celana beludrunya yang sama warna itu dilapisi dengan jubah putih berhias benang emas pada tepiannya, ia bukan saja tampak cantik, namun juga tampak anggun dengan wajah bulat telurnya berhidung mancung dan bermata sedikit lebar, indah tapi punya kesan tegas. Dilihat dari raut muka dan kecantikannya, perempuan itu menampakkan usia matang yang mencapai sekitar tiga puluh tahun.
"Tak ada salahnya kalau ia kutemui. Barangkali ia membutuhkan penjelasan dariku tentang Biara Damai dan Pendeta Mata Lima," ucap Suto membatin. Sebelum bergegas menemui perempuan cantik itu, Suto Sinting lebih dulu meneguk tuaknya beberapa kali sebagai penyegar semangat.
Tetapi niat Suto untuk turun dari atas pohon tertunda kembali, karena tiba-tiba ia dikejutkan dengan munculnya tiga pisau terbang yang masing-masing berukuran satu jengkal. Tiga pisau terbang itu melesat berjajar bersamaan menuju ke arah punggung perempuan berjubah putih sutera itu. Hampir saja tangan Suto menyentak ke depan untuk melepaskan pukulan penghancur tiga pisau terbang itu. Namun niat tersebut tertunda pula karena tiba-tiba perempuan cantik itu berkelebat membalik dan tahu-tahu telah menyambar tiga pisau terbang itu dengan pedangnya. Trang, trang, trang.

"Wow...! Gerakan pedangnya cukup hebat. Lincah dan cepat!" puji Suto dalam hati sambil mengantongi kelegaan. Sesungguhnya Pendekar Mabuk akan merasa kecewa jika perempuan anggun itu terluka oleh salah satu dari tiga pisau terbang tersebut. Maka ketika ia melihat pisau terbang mental kedua arah dan salah satunya menancap di sebatang pohon, hati Pendekar Mabuk merasa senang dan lega sebab perempuan anggun itu tak jadi terluka.
Sekelebat bayangan melesat cepat bagaikan badai menerjang perempuan anggun. Wuuuttt! Terjangan itu kembali disertai kilatan dua logam putih yang tak lain adalah dua pisau terbang sejenis dan serupa dengan yang tadi. Mestinya kedua pisau itu menancap di dada perempuan anggun, sebab jarak lemparnya lebih dekat lagi. Hati Suto Sinting berdesir cemas.
Namun ternyata gerakan perempuan itu tak bisa dianggap enteng oleh lawan, ia mampu bersalto ke belakang dan menendangkan kakinya dengan tendangan tampar menggunakan telapak kaki beralas kulit itu.
Tendangan tamparnya membuat kedua pisau itu bagaikan dibuang ke arah samping dan keduanya menancap di sebuah pohon kapuk randu. Jrab, jrab...! Perempuan itu terhindar lagi dari maut yang membahayakan jiwanya. Jika ia tergores sedikit saja oleh pisau terbang itu, maka tubuhnya yang putih mulus itu akan menjadi busuk, karena memang demikianlah nasib sebuah pohon yang tertancap pisau terbang yang dilemparkan pertama tadi. Pohon itu menjadi busuk sedikit demi sedikit.
"Racun berbahaya ada di mata piaau terbang itu," pikir Suto sambil tak berkedip memperhatikan keadaan di tanah lapang bekas reruntuhan biara tadi. Kini yang terlihat di depannya adalah seorang perempuan cantik dan anggun, sedang berhadapan dengan seorang lelaki tokoh tua berjenggot putih.

"Aku belum pernah melihat tokoh tua itu?" pikir Suto Sinting. "Siapa orang itu dan ada persoalan apa dengan si cantik berbibir merekah itu?"
Lelaki tokoh tua yang dimaksud Suto berusia sekitar delapan puluh tahunan, ia mengenakan jubah abu-abu dengan rambut putihnya yang sedikit panjang tanpa ikat kepala sehingga meriap-riap diterbangkan angin yang berhembus agak kencang. Tubuhnya kurus, kulitnya berkeriput, tapi masih tampak tegar dan kuat. Berdirinya tegak, tanpa bungkuk sedikit pun. Di pinggangnya terselip senjata cambuk digulung berwarna hitam kemerah-merahan.
Suto mendengar perempuan cantik itu menggeram kepada lawannya dengan mata sedikit menyipit menandakan benci.
"Manusia licik kau, Urat Setan! Setua itu masih saja mau bertindak curang! Hmm...! Benar-benar orang tua yang tak tahu malu, menyerang orang muda dari belakang. Sama halnya kau telah mengakui bahwa ilmumu ternyata tak ada sekuku hitamnya dibandingkan ilmu-ku, Urat Setan!"
Pendekar Mabuk membatin, "O, rupanya dia yang berjuluk si Urat Setan? Aku pernah dengar namanya ketika makan di sebuah kedai. Urat Setan atau Ki Brajalinu adalah ketua Perguruan Hantu Terbang. Pantas jika di jubahnya terdapat gambar tengkorak bersayap. Seingatku, orang-orang kedai pernah menyebutkan  bahwa Urat Setan berilmu tinggi, tapi juga termasuk tokoh pembunuh berdarah dingin, ia pernah ditolak menjadi pengikut Siluman Tujuh Nyawa, musuh utamaku yang masih kukejar-kejar itu. Konon penolakan itu dikarenakan Urat Setan tidak berhasil mencuri sebuah pusaka sebagai syarat menjadi anggota Siluman Tujuh Nyawa. Sekarang ia berhadapan dengan perempuan cantik itu, apakah karena dalam upaya memburu sebuah pusaka atau karena ada persoalan lama yang perlu diselesaikan secara tuntas? Hmm... sebaiknya kusimak saja percakapan mereka itu."
Menurut dugaan dan takaran sepintas, perempuan itu akan tumbang di tangan ketua Perguruan Hantu Terbang. Sebagai ketua perguruan, tentunya Urat Setan tidak berilmu pas-pasan. Dan kemudaan usia perempuan itu jika dibandingkan dengan usia Urat Setan sangat menyolok. Kemudian usia tersebut menggambarkan kerapuhan ilmu si perempuan yang diduga mudah tumbang oleh ilmunya Urat Setan. Tetapi perempuan tersebut tampaknya tak gentar sedikit pun menghadapi musuh tuanya, ia tetap berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit merenggang dan tangannya masih menggenggam pedang perunggu.
Urat Setan perdengarkan suaranya, "Perempuan binal, kalau kau meremehkan diriku sama saja kau sedang menggali liang kuburmu sendiri. Serangan awalku tadi hanya sebuah permainan iseng untuk mengganggumu. Kalau aku mau, sangat mudah menghancurkan tubuhmu yang montok itu dari belakang."
"Kau tak akan mampu, karena itu kau tak melakukannya, Urat Setan!"
Dengan sikap dingin Urat Setan berkata, "Sangat mampu, Lancang Puri. Tapi aku tak ingin kau mati sebelum kau serahkan benda itu padaku!"

"Hmmm...!" perempuan itu mencibir dan mendesis benci.
Hati si tampan di atas pohon itu membatin, "O, ternyata perempuan cantik itu bernama Lancang Puri. Hmm... sebuah nama yang bagus dan mudah kuingat. Tapi siapa sebenarnya Lancang Puri, aku belum tahu secara pasti. Tak pernah kudengar nama Lancang Puri disebutkan oleh para tokoh di rimba persilatan. Mungkin dia tokoh dari pulau lain yang jauh dari tanah ini?"
Terdengar lagi suara Lancang Puri yang merdu itu berkata lantang sementara sikap bermusuhannya kian tampak jelas,
"Urat Setan! Perguruanmu tak pernah punya persoalan dengan perguruanku. Selama ini kami selalu menghindari bentrokan dengan perguruanmu, karena kita satu Eyang Guru, satu aliran silat. Tapi jangan anggap hal itu disebabkan karena pihak perguruanku takut kepadamu, Urat Setan! Jika sekarang kau membuat persoalan denganku, maka akan kutumpas habis seluruh anggota perguruanmu yang kudengar mulai mempunyai aliran menyimpang dari ajaran Eyang Guru Resi Demang Sudra!"
Pendekar Mabuk kembali membatin, "Berani amat Lancang Puri mengancam seperti itu? Lagi pula, ia membawa-bawa nama Resi Demang Sudra, apakah ada hubungannya dengan Eyang Begawan Demang Budana atau Nyai Demang Ronggeng?" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Keris Setan Kobra" dan "Tandu Terbang").
Tokoh tua yang benar-benar tidak sebanding jika melawan perempuan semuda itu, ternyata masih tetap berpenampilan dingin, seakan tak punya perasaan apa pun. Pandangan matanya tampak datar dalam menatap Lancang Puri. Kedua tangannya terlipat di dada. Berdirinya tetap tegak, bagaikan tonggak batu yang tak akan tumbang walau diterjang badai besar.
"Tak perlu banyak sesumbar Lancang Puri. Yang kuinginkan hanyalah pusaka itu. Serahkan padaku dan aku tak akan mengganggumu lagi!"
"Pusaka apa?!" Lancang Puri berkerut dahi walau bernada kesal. "Aku tak tahu arah pembicaraanmu, Urat Setan!"
"Jika begitu, aku harus membuatmu tahu dengan kekerasanku!"
"Sejak tadi sudah kutunggu tindakan jantanmu, Urat Setan. Mengapa justru kau berhenti menyerangku? Apakah kau ingin menyerangku dari belakang lagi?"
"Sungguh bocah dungu tak tahu dikasih ampun kau ini!" geram Urat Setan, tiba-tiba ia sentakkan kedua tangannya ke samping, membentang lebar-lebar, lalu telapak tangannya saling beradu di depan dada. Plakkk...! Dari ujung perpaduan kedua telapak tangan itu melesat sinar merah yang menerjang dada Lancang Puri. Claapp...! Selarik sinar merah itu besarnya seukuran kelingking. Gerakannya sangat cepat, walau ternyata masih kalah cepat dengan gerakan Lancang Puri yang bagai tanpa menghentakkan kaki tahu-tahu sudah melesat ke atas dan bersalto maju dua kali. Wuusss! Wut, wutt...!
Jlaabb...! Durrb...!
 Sinar merah menghantam pohon besar, bunyi ledakannya bagai punya peredam. Tak menggelegar, namun cukup membuat pohon besar itu tumbang dalam terpotong-potong menjadi puluhan bagian. Beerrk...! Pohon itu menumpuk tanpa menimbulkan suara keras.
"Maut juga sinar merahnya itu!" gumam Suto dalam hati, namun matanya segera berpindah ke arah tubuh Lancang Puri yang bergerak turun dari udara tepat di depan Urat Setan. Pedang perempuan itu menebas cepat ke berbagai sisi sehingga tak terlihat gerakan mata pedangnya. Yang terdengar hanya desing suara tebasan bagal hembusan angin kencang terpotong-potong. Wus, wus, wus, wus!
Blaabb...!
Tiba-tiba seberkas sinar putih lebar menghantam tubuh Lancang Puri. Rupanya tebasan pedang itu dapat dihindari oleh gerakan kilat Urat Setan yang tidak bergeser dari tempatnya kecuali meliuk ke kanan, kiri, dan belakang. Tak satu pun ada tebasan yang kenai sasaran. Sebaliknya justru Urat Setan dapat memukul Lancang Puri dengan pukulan tenaga dalam bersinar putih silau keluar dari telapak tangannya.
Akibat pukulan itu, tubuh Lancang Puri tersentak kuat-kuat, melayang ke belakang bagaikan daun kering terhempas badai, ia tak dapat menjaga keseimbangan tubuhnya, akhirnya jatuh terpuruk tepat di dekat pohon yang terpotong menjadi beberapa puluh bagian itu.
Bruukk...!
"Wah, matilah perempuan itu!" pikir Suto agak tegang.
Tapi ternyata dugaan hati Pendekar Mabuk masih salah. Dalam beberapa kejap saja Lancang Puri sudah mampu berdiri tegak walau mulutnya melelehkan darah tak seberapa banyak. Itu sudah merupakan tanda, Lancang Puri terluka bagian dalamnya. Agaknya luka itu tak dipedulikan dan tak mengurangi ketegarannya, ia berdiri dengan kedua kaki agak renggang dan pedang masih di tangan kanannya.
Pedang itu segera disabetkan ke depan. Wuusss...! Urat tubuhnya yang mengencang menandakan tenaga dalamnya sedang disalurkan menyentak ke pedang tersebut. Dan dari pedang itu keluarlah puluhan jarum emas yang menyerang ke tubuh Urat Setan. Jarum-jarum emas itu bagaikan disemburkan dari ujung pedang yang runcing lurus itu. Zraabb...!
Entah berapa jumlah jarum yang melesat dari ujung pedang itu, Suto Sinting tak sempat menghitungnya. Namun yang jelas jarum-jarum emas itu menyambar lebar bagai hendak mengurung tubuh Urat Setan. Apa yang terjadi jika jarum-jarum kuning emas itu mengenai tubuh Urat Setan? Suto juga tak tahu, karena ternyata Urat Setan sudah berpindah tempat dengan cepat dan nyaris tak terlihat gerakannya, sehingga jarum-jarum itu menancap di beberapa pohon.
Jraabbb...!
Tiga pohon yang menjadi sasaran jarum-jarum emas itu tiba-tiba berubah warnanya dari hijau menjadi coklat, dan kian lama cepat berubah menjadi hitam. Daun- daunnya rontok dalam keadaan kering garing. Tiga pohon itu dalam waktu dua helaan napas sudah berubah menjadi kayu bakar yang berasap dan masih berdiri menunggu angin kencang menumbangkannya.
"Gila! Pohon itu langsung menjadi arang. Alangkah dahsyatnya jarum-jarum itu. Untung Urat Setan mampu bergerak secepat kilat, sehingga selamat dari ancaman hangus jarum-jarum emas itu!" pikir Suto terbengong kagum.
Gerakan Urat Setan yang amat cepat itu membuat Lancang Puri nyaris terlambat bergerak, karena tiba-tiba dari arah sampingnya melesat sinar merah berbentuk pisau terbang, jumlahnya tiga sinar yang menerjang berjejeran. Sraabb...! Sinar merah berbentuk pisau terbang itu keluar dari lengan berjubah longgar yang disentakkan ke depan. Wuuttt...!
Tubuh Urat Setan tahu-tahu seperti menghilang, padahal bergerak sangat cepat dan kini sudah berdiri di sebelah kirinya Lancang Puri. Pada waktu itu Lancang Puri sedang sibuk menghindari sinar merah berbentuk pisau itu. Di luar dugaannya ia sudah diserang lagi dari sisi yang berlawanan dengan sinar merah yang sama, berbentuk tiga pisau terbang. Claapp...!
Boleh jadi Lancang Puri dapat hindari sinar merah dari kanannya, tapi ia tak akan bisa hindari tiga sinar merah dari sebelah kirinya yang mempunyai jarak lebih dekat dan kecepatan lebih tinggi dari sinar sebelah kanan. Lancang Puri pasti terkena sinar dari sebelah kirinya itu. Mungkin akan mati hancur atau hangus atau entah bagaimana saja hasilnya, yang jelas menurut dugaan Suto perempuan itu akan mati di tangan Urat Setan.
Merasa sayang melihat perempuan cantik mati dalam keadaan terdesak, Suto Sinting beranikan diri melepaskan pukulan jarak jauhnya yang bernama jurus 'Tangan Guntur'. Kedua tangan disentakkan ke depan dari atas pohon, lalu melesat sinar biru bagaikan kilat dan menyambar tiga sinar merah berbentuk pisau terbang itu. Claappp...!
Blaarr...!
Urat Setan terpelanting karena sentakan gelombang  ledak itu sampai tubuhnya berputar empat kali dan menabrak pohon. Bruusss...! Sedangkan Lancang Puri terpental dalam keadaan tubuh melayang dan jatuh terjungkal, hampir saja pedangnya menembus perut sendiri. Di sana ia terkapar dan mengerang lirih.
"Jahanam kau, Lancang Puri!" seru Urat Setan yang kini nyata-nyata tampak marah. "Rupanya kau telah kuasai ilmu 'Pantulan Cakra' secara diam-diam! Tunggu aku di sini! Akan kuambilkan Cermin Neraka untuk melawanmu!"
Wuuttt...! Urat Setan melesat pergi dengan cepat. Namun Suto Sinting melihat jenggot orang itu terbakar sebagian dan wajahnya pucat pasi.
*
* *
2
SETIDAKNYA Lancang Puri akan menderita luka parah yang mengancam jiwa jika sinar merah itu tidak  segera dipatahkan oleh Pendekar Mabuk. Lancang Puri juga akan sekarat dan mati jika Pendekar Mabuk tidak segera muncul dari persembunyiannya dan memberikan pertolongan dengan tuaknya. Karena perempuan itu meneguk tuak dari bumbung dengan cara terpaksa, maka luka dalam yang dideritanya itu lenyap dalam beberapa saat, tubuhnya menjadi segar kembali.
Melihat siapa yang menolongnya, Lancang Puri memandang dengan sikap ragu dan heran. Akhirnya tercetus pula kata tanya yang mewakili keheranan dan keraguan dalam hatinya itu,
"Apakah kau yang bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang kesohor itu?"
Dengan senyum ramah menawan hati, pendekar tampan itu berkata, "Namaku memang Suto Sinting, gelarku memang Pendekar Mabuk, namun aku bukan orang kesohor. Aku orang biasa-biasa saja."

"Oh, syukurlah aku bisa jumpa kau," ucap Lancang Puri dengan wajah kian menjadi cerah ceria. Hatinya membatin, "Tak kusangka akhirnya aku akan berhadapan muka dengan pendekar yang digembar-gemborkan ketampanannya itu. Dan ternyata memang tampan, pantas jika para tokoh wanita di rimba persilatan banyak yang menyanjung dan membicarakannya. Kuakui dia memang tampan dan  sangat menawan hati, tapi haruskah aku seperti wanita lain yang selalu ingin berdekatan dengannya? Oh, tidak! Aku tidak boleh sama seperti mereka!"
Hati membatin demikian, tapi mulut berkata lain, "Apakah kau yang menolongku? Maksudku, kau yang selamatkan aku dari serangan Urat Setan tadi?"
Dengan canda Suto menjawab, "Bukan. Mungkin orang lain." Tapi tentu saja Lancang Puri tidak percaya dan mengerti jawaban itu hanya sebuah kelakar. Lancang Puri membalas kelakar itu dengan tawa kecil, senyum lembut yang tipis. Senyum itu yang membuat kecantikannya terlipat ganda dan mendebarkan hati.
"Terima kasih atas pertolongan dan penyelamatanmu ini. Aku tak tahu dengan cara bagaimana harus membalas budi baikmu ini, Pendekar Mabuk."
"Kurasa dengan menceritakan siapa dirimu, kau sudah membalas budi baik yang kau maksud itu, Lancang Puri."
"Oh, aku baru saja mau ceritakan siapa aku, tapi ternyata kau sudah tahu namaku? Bagaimana mungkin kau bisa mengetahuinya, Pendekar Mabuk?"
"Kudengar percakapanmu dengan si Urat Setan itu. Kudengar ia memanggilmu dengan nama Lancang Puri."
Perempuan itu sempat membatin, "Dia cukup cerdas. Kurasa aku harus hati-hati jika bicara dengannya."
Perempuan yang mempunyai kecantikan matang itu berkata pula, "Aku memang punya persoalan sedikit dengan Urat Setan. Repotnya, jika aku berhadapan dengannya, hatiku selalu tak tega untuk membunuhnya. Bagaimanapun juga kami sebenarnya masih satu aliran ilmu silat warisan Eyang Guru kami."
"Resi Demang Sudra?"
"Benar," jawab Lancang Puri sambil membatin, "Ah, dia benar-benar tahu segalanya kalau begitu."
"Siapakah Eyang Guru Resi Demang Sudra itu?" tanya Suto Sinting dengan sorot pandangan mata lembut penuh persahabatan tertuju ke wajah Lancang Puri. Tambah Suto lagi, "Apakah ada hubungannya dengan Begawan Demang Buwana dan Nyai Demang Ronggeng?"
Lancang Puri justru terkesiap. "Kau mengenal nama mereka berdua?" katanya lirih bagai menggumam.
"Aku pernah bertemu dengan mereka," jawab Suto dengan kalem. Jawaban itu membuat Lancang Puri kian terkesiap dan merasa heran.
"Jika kau bertemu dengan Nyai Demang Ronggeng, Itu hal yang wajar dan sangat memungkinkan, karena Nyai Demang Ronggeng adalah adik bungsu dari delapan bersaudara. Tapi aku tak yakin mendengar pengakuanmu, bahwa kau pernah bertemu dengan Eyang Begawan Demang Buwana, sebab menurutku beliau sudah meninggal sebelum kau lahir. Eyang Guru Resi Demang Sudra adalah adik kedua Eyang Demang Buwana. Ketika aku diangkat sebagai murid dari Resi Demang Sudra, kakak beliau itu sudah tiada. Sudah lama moksa."
"Aku tak begitu berharap kau mempercayai pengakuanku itu, karena memang aku sendiri kaget ketika diberi tahu bahwa Begawan Demang Buwana itu sebenarnya sudah lama meninggal sebelum pertemuanku dengan beliau itu. Yang ingin kutanyakan, apakah Urat Setan itu memang benar satu guru denganmu?"
"Ya. Tapi dia jauh lebih lama menjadi murid Eyang Guru Resi Demang Sudra. Bahkan ketika ia murtad dan terusir dari padepokan, aku belum menjadi murid Resi Demang Sudra, itulah sebabnya kuakui ilmuku dibawah ilmu si Urat Setan, karena hampir semua Ilmu Eyang Guru diwariskan padanya. Tapi ada beberapa ilmu andalan yang tidak diwariskan kepadanya, melainkan diwariskan kepadaku. Jadi aku merasa berani dan merasa mampu jika harus bertarung melawan Urat Setan."
"Kudengar ia menghendaki sebuah pusaka darimu. Kalau boleh kutahu, pusaka apa itu?" tanya Suto setelah diam beberapa kejap.
Lancang Puri tidak langsung menjawab, ia memandang keadaan sekeliling, bagaikan ingin mencari letak biara yang hilang. Bahkan ia perdengarkan suaranya yang mirip orang menggumam itu,
"Aneh sekali. Mengapa tidak ada di sini?"
"Maksudmu... Biara Damai?" sahut Suto.
Perempuan itu cepat palingkan wajah pandangi Pendekar Mabuk.
"Apakah kau tahu tentang Biara Damai?"
"Aku juga kenal dengan Pendeta Mata Lima."
"Oh, kalau begitu... kalau begitu kau tahu di mana kakekku itu berada?"
"Kakekmu? Maksudmu Pendeta Mata Lima itu?"
"Benar. Beliau adalah kakekku yang sudah lama tidak kutengok. Tapi ketika aku datang ke sini, sepertinya aku salah alamat. Mengapa di sini tidak ada bangunan biara dengan kuil-kuilnya? Padahal seingatku bangunan itu dulu ada di sini, di tanah lapang ini. Seandainya pindah, setidaknya sisa petilasannya ada walau hanya berupa tonggak batu. Mengapa kenyatasnnya tanah ini menjadi bersih tanpa jejak petilasan biara itu?"
"Biara Damai telah hancur, hangus menjadi arang, dan lenyap secara aneh bersama korban-korban yang bergelimpangan di sana-sini, termasuk Pendeta Mata Lima."
"Oh...?! Benarkah itu, Suto?!" Lancang Puri terbelalak kaget dengan mata melebar dan mulut ternganga kecil.
"Waktu aku tiba di sini beberapa saat sebelum kemunculanmu tadi, puing reruntuhan biara masih ada, termasuk jenazah kakekmu. Tapi beberapa saat kemudian seberkas sinar kuning datang dan menyebarkan kabut tebal, lalu kabut itu lenyap bersama petilasan biara. Semua yang ada di atas tanah ini bagaikan tersedot ditelan bumi. Seseorang telah melakukan hal itu dengan maksud yang tak kuketahui. Siapa orangnya pun aku tak bisa menerkanya, karena setahuku musuh utama Pendeta Mata Lima adalah Raja Tumbal. Tapi sekarang Raja Tumbal sudah tiada. Mengapa setelah kematian Raja Tumbal justru bencana itu datang dengan sangat menyedihkannya bagi Biara Damai? Aku turut berduka cita sedalam-dalamnya atas kematian kakekmu itu, Lancang Puri."
Perempuan itu tundukkan kepala dengan murung. Cukup lama ia membungkam mulut, bagaikan sedang meresapi sebuah duka atas kematian seorang kakek.
"Lancang Puri," Suto memecah kebisuan di antara mereka. "Kudengar tadi Urat Setan mau mengambil Cermin Neraka, apa itu sebenarnya Cermin Neraka?"
Setelah menarik napas bagai menyimpan duka, Lancang Puri menjawab, "Cermin Neraka adalah sebuah senjata dari kaca yang dapat memantulkan serangan lawan sebelum serangan itu melesat lebih jauh dari tangan lawan, ia menduga sinar biru tadi datang dari pantulan mataku, sebab ia menyangka aku memiliki Ilmu 'Pantulan Cakra'. Padahal Ilmu 'Pantulan Cakra' belum sempat diturunkan oleh Eyang Guru kepadaku, tapi Eyang Guru sudah wafat lebih dulu."

Pendekar Mabuk menggumam lirih sambil mangut-manggut. Lalu katanya, "Agaknya Urat Setan bernafsu sekali ingin membunuhmu jika kau tidak serahkan pusaka yang dimaksud kepadanya. Aku ingin tahu, pusaka apa itu?"
Perempuan itu menatap dengan bibir terkatup. Sepertinya ada kebimbangan yang sedang dilawan dalam hatinya. Sayang sekali sebelum ia menjawab pertanyaan yang sudah dua kali dilontarkan Suto itu, tiba-tiba tubuhnya harus bergerak melesat. Tubuh berjubah putih itu melenting di udara dan bersalto dua kali melintasi atas kepala Suto. Jleegg...! Ia mendaratkan kedua kakinya tepat di belakang Suto, membuat pendekar tampan itu cepat balikkan badan.
Ternyata Lancang Puri sedang sentakkan tangan kirinya ke depan, sebuah sinar merah lebar melesat dari tangan kanan itu. Sinar tersebut menyongsong datangnya sinar hijau lurus dari segerombol semak ilalang.
Claapp...!
Blaarr...!
Sinar hijau itu dipecahkan oleh sinar merah lebar, bunyi ledakannya cukup menggelegar pertanda kedua sinar itu mempunyai tenaga dalam tinggi dan saling beradu di pertengahan jarak. Hentakan gelombang ledaknya membuat tubuh Lancang Puri tersentak mundur. Hampir saja jatuh kalau tidak segera diterima oleh kedua tangan Suto, sehingga perempuan itu bagaikan jatuh dalam pelukan pendekar tampan.
Rupanya ada seseorang yang ingin menyerang Pendekar Mabuk dari belakang. Kilatan cahaya hijau yang baru sekelebat itu ditangkap mata Lancang Puri, lalu perempuan itu bergegas menahan dan mematahkan  sinar hijau yang ingin membunuh Pendekar Mabuk. Menurutnya, jika ia tidak segera bertindak maka Pendekar Mabuk akan dihantam sinar hijau itu, kecilnya akan terluka parah, besarnya akan mati dalam keadaan tubuh hancur atau terbakar bagian dalamnya. Lancang Puri merasa sayang jika pemuda tampan itu harus mati di depan matanya, sehingga ia cepat lakukan penyelamatan sekaligus membalas hutang budinya terhadap penyelamatan Suto atas dirinya tadi.
Padahal sebelum Lancang Puri bergerak, Suto sudah rasakan ada sesuatu yang tak beres di belakangnya yang membuat nalurinya memaksa untuk berpaling ke belakang. Hanya saja gerakan berpaling ke belakang itu belum sempat dilakukan sudah didului oleh gerakan terbang bersalto dari Lancang Puri. Maka Pendekar Mabuk pun hanya tersenyum dalam hati, karena ia tahu perempuan tersebut bermaksud membalas budi baik yang diterimanya tadi.
"Seseorang ingin membunuhmu, ia berada di semak-semak sebelah timur itu!" kata Lancang Puri. "Akan kupaksa keluar dengan caraku sendiri!" tambahnya.
Suto ingin mencegah, tapi tangan Lancang Puri sudah lebih dulu bergerak cepat, menghentak ke depan seperti tadi, dan sinar merah lebar melesat dari telapak tangannya. Sinar itu menghantam semak ilalang rimbun.
Wuuttt...! Zaark!
Duaar...!
Wut, wut, wut...! Sesosok tubuh melenting di udara dan bersalto tiga kali, keluar dari balik semak yang kini sedang terbakar karena serangan sinar merah.

Seorang pemuda ganteng berdiri di depan Suto dan Lancang Puri. Pemuda itu kenakan baju ungu satin, rapi, dan bersih. Rambutnya yang ikal panjang dilapisi dengan ikat kepala dari lempengan perak hias berwarna merah dan hijau. Pedang pendek di pinggang bersarung logam kuningan ukir. Melihat kumis tipis pemuda itu, Suto merasa pernah bertemu dengan orang tersebut. Setelah diingatkan sebentar, Suto pun segera tahu bahwa pemuda itulah yang bernama Dewa Rayu, yang tempo hari diintip Suto hendak bermesraan dengan gadis dari Ringgit Kencana, anak buah Rindu Malam yang bernama Kusuma Sumi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Seruling Malaikat").

"Apakah kau mengenalnya?" tanya Lancang Puri berbisik di samping Suto.
"Namanya Dewa Rayu. Putera raja Pengging yang dibuang, lalu menjadi muridnya Patih Janur Sulung di Bukit Karangapus, tapi ia memihak perguruan Pasir Tawu karena setelah kematian sang guru ia ikut dengan adik gurunya yang bernama Dwipajati alias si Jejak Iblis."
"Jejak Iblis...!" suara Lancang Puri menggeram bagai menyimpan dendam tersendiri. Suto segera tambahkan bisikannya.
"Tapi orang yang bernama Jejak Iblis itu sekarang sudah mati di tangan Rindu Malam, orang dari negeri Ringgit Kencana."
Lancang Puri tampak terperanjat sedikit dan cepat melirik Pendekar Mabuk. Tapi sang pendekar murid Gila Tuak itu tetap tenang menatap Dewa Rayu yang juga berpenampilan tenang namun bersikap sinis kepada Suto.
Terdengar Suto menyapa Dewa Rayu yang pernah dibuatnya malu di depan Rindu Malam itu, "Apa maksudmu menyerangku dari belakang, Dewa Rayu?"
"Biar kau mati!" jawab Dewa Rayu dengan seenaknya, tapi segera lemparkan pandangan ke arah Lancang Puri. Perempuan cantik yang selayaknya sudah bersuami itu menatap dengan mata tak berkedip. Hatinya sempat membatin,
"Ganteng juga dia?! Aku menyukai pria berkumis tipis seperti dia. Tapi... ah, lupakan saja dulu. Ada hal lain yang harus kupikirkan dengan sungguh-sungguh.Tak mau tercampur aduk oleh perasaan asmaraku."
"Mengapa kau inginkan kematianku, Dewa Rayu?" tanya Suto setelah meneguk tuaknya beberapa kali.
"Karena kau adalah satu-satunya orang yang menjadi penghalangku."
"Penghalang dalam hal apa?"
"Jika tak ada kau, Rindu Malam akan jatuh dalam pelukanku."
Suto Sinting sungglngkan senyum geli. "O, rupanya  kau punya hati kepada Rindu Malam?"
"Aku mencintainya dan ingin mengawininya."
"Bagus. Itu sikap seorang lelaki yang jantan," kata Suto sambil menghabiskan sisa senyumnya.
"Karena itu," kata Dewa Rayu, "Kita harus bertarung pertaruhkan nyawa untuk tentukan siapa yang berhak menjadi suami Rindu Malam!"
"Tunggu...," Suto belum selesai bicara, tahu-tahu Dewa Rayu berkelebat cepat menerjang Pendekar Mabuk dengan gerakan tubuh memutar cepat. Kakinya menampar wajah Pendekar Mabuk. Plookk...! Wuuttt...! Pendekar Mabuk nyaris terlempar bagaikan sehelai daun kering. Tendangan itu cukup keras. Tapi urat di wajah Suto cepat mengencang dan membuat tendangan keras itu tidak menyakitkan kecuali hanya menyentak dan membuatnya terhuyung-huyung ke samping belakang.
Sebenarnya Pendekar Mabuk bisa saja menangkis tendangan itu. Tapi ia merasa tak perlu lakukan karena sempat melihat tangan Lancang Puri berkelebat menahan gerakan kaki Dewa Rayu. Suto tak sangka kalau tangkisan Lancang Puri ternyata meleset dan akhirnya tendangan itu kenai wajah Suto. Namun hati Pendekar Mabuk masih bersabar dan tak merasa sakit hati, sebab ia tahu bahwa Dewa Rayu salah anggapan, menyangka Rindu Malam kekasih Suto.
Tetapi agaknya tindakan itu tidak bisa diterima di hati Lancang Puri. Serangan Dewa Rayu yang kenai wajah Suto membuat Lancang Puri marah, karena merasa sayang jika Suto diserang orang. Menurut Lancang Puri, ketampanan Suto sungguh lebih menawan dan seperti bola kristal yang amat disayangkan jika disentuh dengan kasar. Sebab itulah Lancang Puri segera membalaskan serangan yang mengenai wajah Suto itu dengan sebuah tendangan kaki bergerak memutar cepat ke udara. Dengan melompat ke atas, tubuh berputar cepat, kedua kakinya pun berhasil menampar wajah Dewa Rayu secara berturut-turut. Plak, plak, plak!
Dewa Rayu terpelanting tak tentu arah. Wajahnya bagai dihantam godam. Pandangan matanya sempat gelap sesaat. Pada saat itulah Lancang Puri menerjang Dewa Rayu dengan tendangan menyerupai seekor kuda betina mengamuk.
Bruusss...! Kuuuttt...! Bluugh...!
Tubuh Dewa Rayu tahu-tahu terkapar di bawah pohon yang jaraknya tujuh langkah dari tempatnya semula, ia mengerang lirih sambil berusaha bangkit dengan wajah menyeringai. Dadanya dipegangi karena merasa sakit, seolah-olah tulang dadanya remuk karena tendangan terakhir tadi.
"Lancang Puri! Tahan seranganmu!" seru Suto Sinting, karena ia melihat Lancang Puri bergegas hendak lakukan serangan lagi kepada Dewa Rayu. Seruan itu berhasil menahan gerakan Lancang Puri, sehingga perempuan itu hanya hempaskan napas panjang sambil tetap pandangi Dewa Rayu.
"Dia salah pengertian, Lancang Puri. Jangan layani serangannya."
"Aku jengkel dengannya!" geram Lancang Puri.  "Setelah kutahu namanya, baru kuingat bahwa dia pernah mempermainkan cinta anak buahku dan membuat anak buahku itu mati bunuh diri karena cintanya dikhianati oleh tikus itu!"
"Tahan amarahmu," kata Suto pelan bernada sabar.
 "Ingin rasanya aku meremukkan mulut dan leher si mata keranjang itul"
Rupanya ucapan tersebut didengar oleh Dewa Rayu yang sudah berdiri dan mengendalikan rasa sakit dengan tarikan napasnya beberapa kali. Dewa Rayu pun segera berkata penuh kegeraman dan kejengkelan,
"Jangan sesumbar di depanku, Perempuan gatal! Aku bisa membuatmu bertekuk lutut di depanku dan mengemis cinta padaku!"
"Semudah itukah kau membayangkannya?! Hmm..., Justru kau yang akan merangkak di depanku dan menangis-nangis memohon kehangatan dariku!"
"Kalau begitu kita buktikan siapa yang akan mengemis cinta di antara kita! Hiaaatt...!" Dewa Rayu melompat maju sambil menyentakkan tangan kirinya dalam keadaan telapak tangan terbuka. Dari telapak tangan itu menyembur asap kuning tipis ke arah wajah Lancang Puri.
"Racun Kuda Binal!" seru Dewa Rayu pada saat asap kuning itu menyembur.
Rupanya Lancang Puri tak mau kalah, ia pun segera sentakkan tangan kanannya yang berjari lurus dan rapat, bagai menusukkan sebilah pedang. Wuuttt...!
"Racun Edan Cumbu!" seru Lancang Puri bersamaan menyemburnya asap hijau dari ujung jari-jarinya. Wuusss...! Asap itu menerpa asap kuningnya Dewa Rayu. Wajah pemuda itu bagaikan disambar asap tersebut, sedangkan wajah Lancang Puri juga diterpa asap kuning. Pada saat kedua asap itu saling bertabrakan di pertengahan jarak, memerciklah bunga api berbintik-bintik mirip ratusan kunang-kunang, namun segera lenyap setelah kedua asap itu tetap melesat ke arah masing-masing.
Suto Sinting berkerut dahi dari tempatnya, ia sempat melompat mundur karena tak mau diterpa asap dari siapa pun. Bahkan ia juga menahan napas beberapa saat supaya asap itu tidak ada yang terhirup masuk ke pernapasannya. Sebab dalam benak Pendekar Mabuk segera berpikir, "Kedua asap beracun, mungkin sangat berbahaya. Kalau aku ikut menghirup asap itu, aku pun bisa jadi korban kedua racun tersebut."
Kini Pendekar Mabuk sengaja berdiri di bawah pohon sambil menenggak tuak, sebagai sikap jaga-jaga kalau-kalau ada uap racun yang terhirup maka tuaknya akan menawarkan racun tersebut. Setelah itu, Pendekar Mabuk jadi berkerut dahi memandangi Dewa Rayu dan Lancang Puri.
"Aneh...?! Kok mereka jadi begitu?" pikir Suto Sinting.
Dewa Rayu berdiri tegak memandangi lurus ke arah Lancang Puri. Perempuan itu pun berdiri tegak menampakkan sikap tegasnya dan tak mau menyerah kalah. Tetapi kejap berikutnya, mata Dewa Rayu menjadi redup, mata Lancang Puri menjadi sayu. Keduanya melangkah pelan-pelan menempuh jarak yang sebenarnya bisa dicapai dalam empat langkah saja.
Setelah jarak mereka kurang dari satu langkah, mereka sama-sama berhenti. Suto Sinting melihat Dewa Rayu mulai bernapas tidak teratur. Keringatnya mulai tersumbul berbintik-bintik di kening, pelipis, dan sekitar hidung. Lancang Puri sendiri kelihatan menahan sesuatu yang bergejolak dalam hatinya, ia tampak berjuang mengalahkan sesuatu yang bergejolak itu sampai-sampai kedua tangannya menggenggam dengan gemetar. Napasnya pun mulai tampak tidak teratur. Lalu, Pendekar Mabuk mendengar suara pelan yang diucapkan oleh Dewa Rayu,
"Kau... kau menggairahkan sekali, Sayangku."
Lancang Puri membalas dengan ucapan lembut yang lebih lirih, "Kau pun... kau pun demikian. Oh... peluklah aku. Peluklah, lekas...!" rintihnya pelan.
Tangan Dewa Rayu bergerak pelan, ragu-ragu, sementara Lancang Puri memandang penuh gairah dengan menggigit bibir beberapa kali. Akhirnya karena Dewa Rayu hanya menyentuh kedua pundaknya saja, Lancang Puri menerkam tubuh pemuda berkumis tipis itu. Ia memeluk dengan penuh ungkapan gairah. Pelukan itu disambut hangat oleh Dewa Rayu. Wajah Lancang Puri diciuminya dengan penuh nafsu. Bibir perempuan itu dilumat habis, dan perempuan itu pun melumat pula dengan lebih bersemangat lagi. Tangan mereka mulai meremas apa saja yang bisa mendatangkan rasa nikmat, sampai-sampai Lancang Puri membantu Dewa Rayu melepaskan jubah yang dipakainya.
"Gawat...?!" pikir Suto dalam ketegangan. "Keduanya jadi bergairah?! Itu berarti keduanya saling terkena racun masing-masing. Lancang Puri terkena asap Racun Kuda Binal-nya Dewa Rayu, dan Dewa Rayu terkena asap Racun Edan Cumbu-nya Lancang Puri. Akhirnya keduanya sama-sama bertekuk lutut dan saling bergairah. Ya, ampuuun... mimpi apa aku semalam sehingga siang ini punya tontonan gratis seperti ini?!"
Suto Sinting sendiri hanya tersenyum-senyum geli dengan jantung berdebar-debar karena memandangi mereka berdua sudah sama-sama berada di permukaan tanah berumput, saling bercumbu dan bergulat walau
belum tiba pada puncak keinginan. Mereka masih sama-sama kenakan pakaian walau sudah berantakkan tak seperti semula.
"Mau dipisah, sayang. Tidak dipisah, jalang. Ah, serba bingung kalau begini, serba salah aku jadinya!" pikir Suto dengan jengkel sendiri.
Wuutt...! Tiba-tiba sesosok bayangan hitam menyambar tubuh dan jubah Lancang Puri ketika Dewa Rayu berada dibawahnya. Suto Sinting sempat kaget dan tak menduga kalau ada orang yang tega lakukan hal itu. Tentu saja Dewa Rayu berteriak berang karena kemesraannya terputus.
"Bangsat! Mau dibawa ke mana kekasihku itu!"
Lancang Puri berteriak pula, "Lepaskan aku! Aku ingin dalam pelukannya! Lepaskan aku, Bibi!" Perempuan itu bagai ingin menangis.
Perempuan tua, berpakaian serba hitam dan berusia sekitar lima puluh tahun itu segera mengenakan jubbah putih ke tubuh Lancang Puri sambii membentak, "Ada tugas lain, Lancang Puri! Kita harus cepat tangani!"
"Tidak! Tidak... mau! Aku ingin dalam pelukan Dewa Rayu. Aku cinta kepadanya, Bibi! Lepaskan aku...!"
Dewa Rayu pun bergegas merebut Lancang Puri sambil berseru, "Lepaskan kekasihku atau kubunuh kau, Nyai Gandrik! Hiaaat...!"
Wuutt...!
Claap...! Dess...!
Sinar merah kecil melesat dari tangan orang yang dipanggil dengan nama Nyai Gandrik itu. Sinar tersebut membuat Dewa Rayu tersentak ke tempat semula dan mengerang panjang dengan dada bagaikan terbakar hebat bagian dalamnya.
"Aaaahh...! Lancang Puri... peluklah aku! Peluklah aku, Puriii...!"
"Dewa Rayu... aku ikut! Aku ikut kau! Ambillah aku, Sayang...!"
Lancang Puri yang meronta-ronta saat dibetulkan letak pakaiannya itu akhirnya ditotok oleh Nyai Gandrik.
Teess...!
"Racun Kuda Binal memang berbahaya bagimu, Lancang Puri! Aku harus segera menawarkan racun itu dulu! Ingat pusaka itu, Lancang Puri! Ingat!"
Weesss...! Lancang Puri dipanggul dan segera dibawa pergi oleh perempuan bersanggul utuh dengan rambut bercampur uban sebagian. Sementara itu Dewa Rayu masih menggeliat dan mengerang-erang bagaikan merasakan luka bakar di dalam dadanya.
Suto Sinting hanya geleng-geleng kepala memandangi kejadian itu sambil menggumam lirih,

"Siapa perempuan yang dipanggil sebagai Bibi dan oleh Dewa Rayu dipanggil Nyai Gandrik itu? Ia juga menyebut-nyebut pusaka. Hmm... pusaka apa sebenarnya? Aku jadi penasaran sekali. Tapi, oh... hampir saja aku lupa. Dewa Rayu butuh pertolongan. Racun Edan Cumbu itu agaknya akan semakin menghancurkan tubuhnya yang terkena pukulan sinar merahnya Nyai Gandrik tadi!"
Pendekar Mabuk segera bergegas hampiri Dewa Rayu. Tapi pemuda berkumis tipis itu justru mendelik dan berteriak keras,
"Minggir kau! Kau bukan Lancang Puri, tak pantas memelukku. Minggir!"
"Siapa yang mau memelukmu?!" sentak Suto agak jengkel.
"Aku tak mau bercumbu denganmu!"
"Aku juga tak mau! Kau kira aku sudah gila?! Mau diobati malah menuduh yang bukan-bukan." gerutu Suto sambil mencoba memaklumi keadaan yang terjadi.
*
* *

3
RACUN Edan Cumbu ternyata cukup berbahaya. Sulit ditawarkan dengan tuaknya Suto. Sudah tiga kali Suto berhasil paksa Dewa Rayu untuk meminum tuaknya, tapi Dewa Rayu masih berceloteh menyebut-nyebut nama Lancang Puri. Bahkan Dewa Rayu sempat menangis seperti anak kecil, duduk di tanah sambil menyentak-nyentakkan kakinya.
"Aku ingin dipeluk Lancang Puri. Aku ingin dicium dia! Aku tidak mau dicium sapi, aku mau dicium dia!' Lancaaang...! Lancang Puriii...! Aku rindu padamu, Sayangku. Oooh... di mana kau sayang...?!"
"Celaka!" pikir Suto Sinting. "Ternyata Racun Edan Cumbu sulit disembuhkan. Lebih berbahaya dari Racun Kuda Binal-nya pemuda malang ini. Hmmm... bagaimana cara menawarkan racun itu?"
Selagi Suto berpikir dalam renungannya, tiba-tiba Dewa Rayu bangkit dan melepaskan bajunya. Suto Sinting kaget dan buru-buru mencegah,
"Hei, mau apa kau melepas baju?! Jangan dilepas! Memalukan!"
"Persetan dengan laranganmu, Beruk Hitam! Aku mau tidur bersama Lancang Puri. Aku mau bercumbu dengannya."
"Tapi di sini tidak ada Lancang Puri!"
"Itu...! Itu dia ada di situ!"
"Mana? Itu pohon kapuk randu. Batangnya berduri. Kalau kamu memeluknya dan bercumbu dengannya, tubuhmu bisa tercabik-cabik!"
"Omong kosong!" bentak Dewa Rayu sambil menghindari jangkauan tangan Suto. "Nah, itu dia...! Itu Lancang Puri lari ke sana!" sambil Dewa Rayu menuding seekor landak jantan yang berkelebat masuk ke semak-semak. "Lancaaang...!" Teriaknya sambil melompat masuk ke semak-semak. Bruusss...!
"Aaaa...!" Dewa Rayu berteriak, keluar dari semak tubuhnya berdarah terutama bagian kedua lengannya. Karena ketika ia menerkam makhluk yang dianggap Lancang Puri itu, ternyata yang diterkam dan dipeluknya adalah seekor landak berduri tajam.
Sambil meraung kesakitan, Dewa Rayu berlari-lari menuju tempat tak pasti. Gerakannya cepat sekali, sambil sebentar-sebentar terdengar suaranya yang memanggil-manggil Lancang Puri. Suto Sinting yang melihat keadaan itu menjadi sangat kasihan, maka ia segera menyusul Dewa Rayu.
"Bocah itu harus diselamatkan. Jika tidak, bisa-bisa ia menjadi seorang pemerkosa berdarah dingin. Kebutuhan batinnya-yang menggila karena racun itu dapat membuatnya beranggapan setiap wanita adalah Lancang Puri!"
Suto Sinting memang tidak pergunakan gerak siluman yang mampu berlari dan bergerak secepat badai, dua kali kecepatan anak panah yang melesat dari busurnya. Suto hanya berlari biasa, karena menganggap Dewa Rayu tak akan berlari cepat. Tapi ternyata Suto kehilangan jejak pemuda berkumis tipis itu, sehingga tiba di suatu tempat, matanya memandang ke sana-sini dengan clingukan. Ia menyimak suara, tapi tak ada seruan Dewa Rayu yang memanggil-manggil Lancang Puri.
"Ke mana bocah itu?" pikir Suto sambil melangkah yang akhirnya membawanya tiba di sebuah pantai. Pandangan matanya dilemparkan ke arah lautan. Tak ada siapa-siapa di lautan sana. Dewa Rayu tak tampak di sela-sela karang atau di atas bebatuannya.
Tetapi tiba-tiba gelombang panas datang dari arah belakang Suto Sinting. Dengan cepat Suto Sinting lakukan lompatan ke atas dan bersalto satu kali. Wuuuttt...! Jleeg...! Dalam kejap berikutnya ia sudah berdiri di atas gugusan batu karang yang permukaannya datar. Gelombang hawa panas itu menghantam gugusan  batu karang yang tumbuh di permukaan air laut. Duaaarr...! Gugusan batu karang itu pecah menyebar dan tak terlihat lagi wujudnya.
Ternyata penyerangnya itu adalah Urat Setan yang segera muncul dari balik sebuah pohon besar. Rupanya Urat Setan saat lari dari pertarungan dengan Lancang Puri tidak pergi jauh, melainkan bersembunyi di suatu tempat untuk mengintai apakah Lancang Puri mati atau luka parah. Ternyata Urat Setan semakin tertarik dengan pengintaiannya setelah tahu bahwa sinar biru yang menghancurkan sinar merahnya itu ternyata berasal dari tangan Pendekar Mabuk. Dan baru kali itu ia tahu sosok Pendekar Mabuk yang dikenalnya dari mulut orang-orang persilatan. Rasa kecewanya atas ikut campurnya Suto dalam pertarungan dengan Lancang Puri membuat Urat Setan mencari kesempatan baik untuk membalas Dan ternyata di pantai itulah Urat Setan merasa memperoleh kesempatan bagus untuk melepaskan pembalasannya.
"Tak perlu berbasa-basi lagi, aku sudah tahu, bahwa kaulah orang yang mematahkan seranganku terhadap Lancang Puri!" ucap Urat Setan dengan nada dingin.
"Aku hanya mencegah agar di antara kalian jangan saling membunuh," kata Suto beralasan, lalu ia cepat-cepat menenggak tuaknya.
Urat Setan merasa disepelekan oleh sikap kalemnya Suto yang tidak punya rasa kaget dan takut atas kemunculannya. Maka ketika Suto sedang menenggak tuaknya, sebuah pukulan bersinar merah dalam bentuk pisau terbang dilepaskan. Claaapp...! Sinar merah berbentuk pisau terbang itu menghantam pinggang Suto. Tetapi karena Suto cepat-cepat turunkan bumbung tuaknya, maka sinar itu menghantam bumbung tuak tersebut. Trak... deesss...!
Sinar merah itu berbalik arah dengan gerakan lebih cepat. Bentuknya yang menyerupai pisau terbang itu menjadi lebih besar, sehingga layak dikatakan berbentuk golok terbang. Hal itu sangat mengejutkan Urat Setan, sehingga hampir saja orang itu mati karena sinarnya sendiri kalau tak segera melompat ke samping dan berguling-guling di pasir pantai.
Wuuuss...! Blegaarr...!
Dentuman keras menggema di pantai itu. Dentuman tersebut terjadi karena sinar merah besar telah membentur sebatang pohon di hutan pantai. Pohon itu pecah menjadi potongan-potongan sebesar lengan bayi dan menumpuk di tempatnya. Kejadian itu membuat Urat Setan tertegun memandanginya dan membatin,
"Gila! Bisa seperti itu jadinya? Aku harus hati-hati melawan anak muda itu. Kalau perlu kutinggalkan saja, karena tak punya urusan penting denganku!"
Tetapi agaknya Urat Setan perlu mengatakan sesuatu  kepada Suto Sinting, sehingga dengan sikapnya yang kembali dingin itu, ia berseru dari tempatnya yang berjarak sekitar tujuh langkah dari batu yang dipijak Suto.
"Pendekar Mabuk, kusarankan agar lain kali kau tak perlu ikut campur dengan urusanku. Pembelaanmu terhadap Lancang Puri adalah tindakan yang sia-sia. Kau akan kecewa jika berada di pihaknya, karena Lancang Puri bukan perempuan baik-baik. Dia perempuan keji yang mewarisi watak bibinya; Nyai Gandrik. Seperti kau ketahui sendiri, Lancang Puri mempunyai Racun Edan Cumbu yang tak akan bisa disembuhkan dengan obat penawar apa pun, seperti yang dialami pemuda yang tadi kau panggil sebagal Dewa Rayu itu. Racun itu amat kejam. Dapat membuat penderitanya menjadi gila cumbuan, gila gairah, tak segan-segan melampiaskan kepada siapa pun dan apa pun. Dalam waktu kurang dari tiga hari Racun Edan Cumbu akan merusak urat syaraf penderitanya. Bukan saja menjadi gila, namun juga menghancurkan hati, jantung, paru-paru, dan limpanya!"
"Haruskah aku mempercayai kata-katamu Urat Setan?!"
"Terserah dirimu! Tetapi kau bisa buktikan kebenarannya. Tunggu tiga hari lagi, dan lihatlah nasib si Dewa Rayu itu. Jika ia tidak terbunuh oleh orang lebih dulu, maka dalam tiga hari kau akan temukan Dewa Rayu mati dalam keadaan membusuk dan berbelatung di sekujur tubuhnya."
"Sebutkan obat penawarnya. Kau pasti tahu, Urat Setan!"
"Tidak. Aku tidak tahu, sebab Racun Edan Cumbu itu bukan milik guru kami, melainkan milik Nyai Gandrik, bibinya Lancang Puri. Jika kau ingin mencari obat penawar racun itu, carilah pada Nyai Gandrik. Tapi aku sangsi, mungkin kau tak akan mampu menghadapi ilmunya yang lumayan tinggi itu."
Suto Sinting diam memandangi lawannya dengan mata tajam tak berkedip. Ada beberapa pertimbangan yang berkecamuk dalam benaknya. Namun sebelum ia sempat bicara, ternyata Urat Setan lebih dulu berkata,
"Baiklah. Kita tak punya urusan apa-apa. Jangan bikin persoalan lagi kepadaku, Pendekar Mabuk!"
"Tunggu!" sergah Suto sambil lompat dari atas gugusan batu dan turun ke bumi. Langkah Urat Setan yang ingin tinggalkan tempat itu menjadi terhenti, ia berpaling menatap Suto kembali dengan sorot pandangan matanya yang dingin.
"Aku tahu kau dan Lancang Puri memperebutkan sebuah pusaka. Aku ingin tahu, pusaka apa itu? Hanya sekadar ingin tahu biar hatiku tak penasaran!"
"Aku bukan orang bodoh. Kalau kau tahu, kau akan ikut memperebutkannya juga, Pendekar Mabuk. Aku tak mau ada pihak lain yang ikut memperebutkannya!"
"Aku berjanji tidak akan ikut memperebutkan pusaka itu jika kau memberitahukan padaku apa pusaka yang kalian perebutkan itu?'
"Aku tak punya waktu lagi! Aku harus segera susul Lancang Puri dan Nyai Gandrik sebelum mereka kuasai pusaka itu secara nyata!"
Weesss...!
Setelah bicara begitu, Urat Setan bagaikan menghilang. Gerakan kepergiannya disertai gerakan ilmu peringan tubuh, sehingga ia seperti menghilang. Suto bisa saja mengimbangi gerakan itu, tapi ia tak mau mengejar Urat Setan karena lebih tertarik merenungi kata-kata Urat Setan tadi tentang Racun Edan Cumbu. Benarkah tak bisa ditawarkan? Benarkah obat penawarnya hanya ada pada diri Nyai Gandrik?
Belum lama Urat Setan pergi, muncul sekelebat bayangan dari arah berlawanan. Bayangan itu segera menjelma menjadi sesosok tubuh gemuk dan beralis tebal. Seorang lelaki berwajah galak itu mempunyai kumis lebat dengan kulit wajah hitam, bagaikan terlalu sering terbakar sinar matahari. Matanya lebar dan rambutnya lebat, diikat dengan kain biru separo selendang. Orang gemuk itu mengenakan pakaian serba hijau tua, tapi bajunya tidak dikancingkan, sehingga dadanya yang berbulu tampak berminyak dan membusung seperti sebongkah batu gunung yang amat keras, ia mengenakan gelang akar bahar di tangan kirinya. Senjata yang ada di pinggangnya adalah sebilah golok bergagang kepala singa. Usianya sekitar lima puluh tahun, tapi rambutnya belum ada yang beruban.
"Angker sekali wajah orang ini?" pikir Suto. "Kurasa dia orang yang galak dan berdarah dingin.  Mudah tersinggung dan mudah mencabut nyawa orang. Wajahnya yang sadis itu dapat mengecilkan nyali lawan sebelum bertarung dengannya. Hmm... tapi siapa orang ini? Aku merasa baru melihatnya sekarang."
Mata lebar itu melirik ke kanan-kiri sebentar, seakan memeriksa keadaan sekelilingnya demi keamanan jiwa. Sebentar-sebentar ia mengusap kumisnya yang lebat dengan lagaknya yang benar-benar menakutkan nyali orang awam.
"Apa maksudmu menemuiku di sini, Paman?" Suto menyapa dengan sopan, walau penuh curiga dan waspada terhadap orang tersebut.
"Aku mencari seseorang," jawabnya. Dan Suto Sinting terkejut sekali serta menahan tawa dalam hati.
"Ya, ampun...?! Suaranya seperti suara perempuan manja?! Mirip gadis pingitan yang sedang kasmaran. Idiih... amit-amit!" pikir Suto geli sendiri.
"Kenapa tersenyum-senyum?" sambil orang itu mendekat dengan gaya perempuannya. "Kenapa senyum-senyum terus, heh? Ih, benci aku!" lalu ia mencubit lengan Suto Sinting. Cubitannya lembut, takterasa sakit, tapi justru sangat menggelikan bagi Suto. Akhirnya Suto tak tahan dan ia pun tertawa dengan mulut tertutup tangan sendiri.
Orang gendut berwajah sangar itu cemberut, buang muka sebentar, dan melirik genit sambil tangannya bermain ujung bajunya.
"Diajak bicara malah cengengesan. Genit amat kau, Cah Bagus!" katanya sambil bersungut-sungut, benar-benar mirip gadis yang sedang sewot.
Suto Sinting mencoba menahan tawa, tapi senyum gelinya tak bisa hilang.
"Siapa namamu, Paman?"
"Jangan panggil aku paman, ah! Panggil saja... Bibi! katanya genit sekali. "Atau... kalau tidak panggil saja; Sayang, gitu!"
Suto terpaksa buang muka, memunggungi orang berwajah ganas namun bersikap selembut perawan pingitan itu. Suto memunggunginya bukan lantaran muak, tapi mencoba sembunyikan tawanya tanpa suara. Tawa itu hanya mengguncang-guncang badan, membuat orang gemuk yang ganjen itu kian mendekat dan mencubit pinggang Suto lagi sambil berkata,
"Ada apa tertawa terus? Suka, ya? Suka...?!"
Tentu saja Suto masih belum bisa menghentikan tawanya. Bagi Suto perbedaan wajah dengan gaya dan suara itu sangat menggelikan, karena baru sekarang ia bertemu orang berwajah angker, sadis, tapi bergaya perempuan manja.
"Cah bagus, tataplah aku," katanya. Suto memaksakan diri dengan menahan geli sekali, mencoba memandang ke arah orang sadis itu.
"Kau tadi menanyakan namaku, bukan?"
"Ya, benar. Sebab... sebab kita baru kali ini berjumpa."
"Nama julukanku Harimau Jantan."
"Harimau Jantan...?!" Suto menggumam sambil membatin, "Apa dia bisa mengaum?"
"Seram ya nama julukanku itu?" katanya dengan suara kecil.
"Iya. Seram sekali. Tapi nama aslimu siapa?" Suto sengaja menggoda.
"Nama asliku... Karina Tosi Kusuma Sirna, disingkat Karto Kusir."
Bisa dibayangkan betapa gelinya Pendekar Mabuk mendengar nama cantik yang disingkat menjadi Karto Kusir itu. Tak aneh lagi kalau Pendekar Mabuk terkikik-kikik tak kuat menahan tawa geli yang mengeraskan urat perut itu. Harimau Jantan hanya memandangi Suto yang terbungkuk-bungkuk sambil memunggungi. Mungkin karena tak kuat menahan jengkel akibat ditertawakan, Harimau Jantan menendang pantat Suto Sinting dengan keras. Beet...! Buuhk...!
Wuuut...! Gubrass...!
Pendekar Mabuk terjungkal di pasir pantai. Tawanya terhenti sejenak karena kaget mendapat tendangan keras. Tulang ekornya sampai terasa ngilu. Suto Sinting cepat bangkit dan tak marah, karena ia bisa memaklumi kejengkelan Karina Tosi Kusuma Sirna yang disingkat Karto Kusir itu. Tapi senyum geli tersembunyi masih saja mekar di bibir Suto.
"Oh, senyumnya menawan sekali," gumam Harimau Jantan dengan suara lirih yang didengar Suto. Pandangan matanya berbinar-binar bagaikan merasakan debaran hati yang sedang berbunga indah.
"Ganteng sekali kau, Cah Bagus. Siapa namamu, Sayang?" tanyanya setelah mendekat dan menatap penuh bunga-bunga kemesraan yang membuat Soto merinding.
"Namaku... Suto," jawab Pendekar Mabuk singkat saja.
"Oh, sebuah nama yang bagus, sebagus berlian dari dasar bumi," puji Karto Kusir dengan gaya seorang perempuan perayu, ia melangkah ke samping Suto dengan langkahnya yang meliuk-liuk genit mirip perempuan gendut cari perhatian. Setelah di samping Suto, Harimau Jantan yang tidak pantas menjadi harimau itu berkata dengan gaya perempuannya,
"Suto, Sayang... apakah kau tadi berbicara dengan seseorang yang berjuluk Urat Setan?"
"Dari mana kau tahu?" dahi Suto mulai berkerut serius.
"Kulihat dikejauhan, sepertinya orang yang bicara denganmu tadi adalah Urat Setan, dari Perguruan Hantu Terbang."
"Ya, memang benar. Apakah kau ada keperluan dengannya?"
"Sangat ada," jawab Karto Kusir sambil meremas-remas jemarinya sendiri. "Aku sedang memburunya untuk menagih hutang nyawa padanya. Eh, kau tahu ke mana perginya Urat Setan itu, Sayang?" sambil ia mendekat, membelai rambut Suto.
Pendekar Mabuk mundur sedikit, karena merinding dibelai orang sangar bergaya puteri raja itu. Lalu, Suto pun menjawab,
"Arahnya ke selatan. Tapi aku tak tahu ke mana tujuannya. Dugaanku mengatakan, Urat Setan pergi mencari Lancang Puri dan bibinya yang bernama Nyai Gandrik."
"Hmm... memang tak salah dugaanku. Sama persis dengan dugaanmu," kata Harimau Jantan sambil melenggok manja. "Kalau begitu aku harus menyusulnya. Aku tahu ke mana ia pergi. Pasti ke Biara Damai!"
Suto Sinting menyahut dengan cepat, "Biara Damai telah musnah, hilang bagaikan tertelan bumi bersama seluruh penghuninya yang telah menjadi mayat itu! Apakah kau belum mengetahuinya, Harimau Jantan?"
"O, ya...?!" ucapnya ganjen sekali. "Kalau begitu ia pasti pergi ke Biara Genta untuk temui Pendeta Jantung Dewa, adik Pendeta Mata Lima!"
Hati sang pendekar tampan tersentak kecil, ia baru ingat bahwa Pendeta Mata Lima yang menjadi guru di Biara Damai itu memang mempunyai adik di Biara Genta, bernama Pendeta Jantung Dewa. Jika sekarang Biara Damai telah lenyap, tentunya Pendeta Jantung Dewa bisa menjelaskan apa penyebabnya dan siapa pelaku pembunuhan sadis di Biara Damai itu.
"Aku akan pergi ke sana," kata Harimau Jantan dengan suara wanitanya, kepalanya pun ikut melenggok-lenggok jika bicara. Kemayu!
"Harimau Jantan, tahukah kau mengapa Urat Setan pergi ke Biara Genta?"
"Yah, sebab ia mengejar Lancang Puri dan Nyai Gandrik."
"Apakah kau yakin Lancang Puri dan Nyai Gandrik pergi ke Biara Genta?"
"Yakin sekalilah yaow...!" jawabnya ganjen. Suto menahan tawa.
"Mengapa kau yakin mereka ke sana?"
"Kalau menurutmu tadi Biara Damai sudah lenyap, berarti sasaran mereka ke Biara Genta. Sebab di sanalah kemungkinan pusaka itu disimpannya. Tapi...."
Suto Sinting yang mau bertanya tak jadi bersuara karena kata-kata Harimau Jantan bagaikan sulit diputus.
"Tapi aku ke sana bukan karena ingin merebut pusaka itu. Aku ke sana untuk selesaikan urusan perguruanku dengan perguruannya si Urat Setan itu. Dia harus membayar tiga nyawa muridku yang dibantai seenaknya oleh Urat Setan!"
"Apakah...."
"Aku tidak takut kepada Urat Setan! Aku berani adu nyawa. Dan aku merasa akan unggul melawannya."
"Ya. Tapi bolehkah aku...."
"Ilmunya tak terlalu tinggi menurutku. Walaupun perguruanku hanya perguruan kecil dengan jumlah murid empat orang, tapi aku merasa sanggup menumbangkan si Urat Setan."
"Begini, maksudku...."
"Aku punya dua jurus andalan yang sanggup menumbangkan Urat Setan. Bahkan jika Lancang Puri dan Nyai Gandrik ikut membelanya, kuhancurkan juga mereka berdua dengan jurus 'Lamunan Sakti'-ku itu."
Harimau Jantan berhenti berceloteh. Tapi Suto tidak mau bicara lagi. Hatinya sedang dongkol karena setiap perkataannya selalu dipotong oleh celoteh Harimau Jantan, sehingga ia selalu gagal mengutarakan maksudnya. Kini mereka sama-sama diam. Harimau Jantan memandang ke arah lautan. Sebentar kemudian melirik Suto Sinting dan menghampirinya dengan gaya seorang wanita penuh kemesraan dan kesetiaan. Rambutnya dikibaskan ke belakang dengan sentuhan tangan gemulai.

"Bocah bagus, susullah Bibi ke sana jika kau rindu. Jangan bertahan memendam rindu, karena memendam rindu sama saja memendam borok yang tak akan pernah sembuh kalau belum jumpa dengan orang yang kau rindukan. Bibi akan menunggumu di sana. Dan kau akan lihat sendiri bagaimana Bibi melawan Urat Setan. Kau pasti kagum dengan jurus mautku yang bernama 'Lamunan Sakti' itu, Sayang."
Rasa-rasanya Suto Sinting ingin meludah pada saat itu karena jijik dengan sentuhan tangan genit si Harimau Jantan itu. Tapi tentunya hal itu tak mau dilakukan oleh Suto karena takut menyinggung perasaan lelaki banci itu. Suto hanya tersenyum-senyum tawar sampai akhirnya membiarkan Harimau Jantan pergi menyusul Urat Setan untuk bikin perhitungan pribadi.
"Selamat jumpa lagi. Dah, Sutooo...!" ucapnya seraya berjalan melenggok-lenggok seperti bebek keberatan pantat, lalu tahu-tahu melesat cepat bagaikan kapas terhembus angin pantai. Wuuuttt...!
"Tinggi juga ilmu peringan tubuhnya," pikir Suto.
"Tapi benarkah Urat Setan ada di Biara Genta? Pusaka apa yang ingin diperebutkan oleh mereka?"
*
* *

4
RASA penasaran membuat Pendekar Mabuk segera menuju ke Lembah Canang, tempat Biara Genta berada. Ketika ia pulang dari negeri dasar laut untuk membantu Pendeta Agung Dewi Rembulan yang terkena kutuk itu, ia sempat mampir ke Biara Damai dan Biara Genta. Sebab itulah Suto tahu ke mana arah Lembah Canang, tempat berdirinya bangunan dengan dua kuil yang cukup luas dan lebar, berpagar tembok kokoh warna kuning bertepian merah. Pendeta Jantung Dewa adalah ketua sekaligus guru di biara tersebut. Jumlah muridnya konon ada tujuh puluhan lebih. Aliran silat mereka sangat terkenal di kalangan Lembang Canang dan sekitarnya.
Perjalanan ke Lembah Canang ditempuh dalam waktu satu malam, karena Suto harus bermalam di sebuah desa sekaligus mengisi bumbung tuaknya dengan tuak baru hingga penuh. Pagi hari Suto lanjutkan perjalanan itu dengan hati tenang sebab bumbung tuaknya terisi penuh, tak merasa takut kehabisan.
Namun perjalanan pagi itu sempat terhenti karena melihat sekelebatan sosok seorang wanita yang sudah dikenalnya. Wanita itu berlari dengan cepat sepertinya terburu-buru. Bergerak dari lereng bukit menuju ke hutan yang ada di sebelah timur, berarti yang ada di depan Pendekar Mabuk. Maka Pendekar Mabuk pun buru-buru menyusul perempuan itu dengan rasa ingin tahu.
"Lancang Puri," ucap Suto dalam hati. "Ada apa dia? Kelihatannya terburu-buru dan tegang sekali?"
Untuk sesaat Suto sempat kehilangan jejak Lancang Puri yang agaknya sudah dibebaskan oleh Nyai Gandrik dari pengaruh Racun Kuda Binal-nya Dewa Rayu. Beberapa saat kemudian, Lancang Puri ditemukan Sutokembali tapi dalam keadaan tidak sendirian. Perempuan cantik berjubah putih itu sedang berhadapan dengan orang tinggi besar berkulit hitam dan hanya mengenakan cawat. Pendekar Mabuk terkejut melihat sosok tinggi besar dan berkulit hitam itu.
"Logo...?! Anak jin itu ada di sini?!"
Orang tinggi besar berkepala botak tapi mempunyai kuncir di tengahnya itu memang anak jin hasil perpaduan cinta antara Sumbaruni dengan Jin Kazmat yang kala itu menjelma menjadi manusia. Tetapi seingat Suto, Logo dikabarkan jatuh ke Jurang Petaka. Mengapa sekarang masih hidup dan dalam keadaan ganas, tidak seperti biasanya? (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu Tanpa Tapak" dan "Bandar Hantu Malam").
Anak jin itu mempunyai ilmu silat cukup tinggi, tentunya ilmu itu diperoleh dari ibunya; Sumbaruni, yang pernah menjadi panglima perangnya negeri Ringgit Kencana di dasar laut dengan nama Pelangi Sutera. Menurut dugaan Suto, Lancang Puri akan tumbang jika berhadapan langsung dengan Logo. Tenaga yang dimiliki anak jin itu sangat besar, apalagi sekarang kelihatan menjadi liar dan ganas. Berulangkali terdengar suara geramnya yang menggetarkan pepohonan di kanan-kiri mereka.
Namun agaknya Lancang Puri tidak merasa takut atau gentar sedikit pun. Dengan keberaniannya yang luar biasa ia melompat dan menyabetkan pedangnya di udara. Pedang yang disabetkan itu menyebarkan asap kehitaman. Asap itu membentuk semacam jala yang segera menyergap tubuh Logo.
Tetapi sebelum Logo terperangkap asap kehitaman itu, kedua pipinya segera mengembung dan dihebuskanlah napas dari mulutnya itu. Wuuusss...! Yang keluar angin besar mengguncangkan pepohonan, mematahkan beberapa dahan. Asap kehitaman itu lenyap dalam sekejap, sedangkan tubuh Lancang Puri sendiri terpental tujuh langkah jauhnya.
Buuuhg...! Tubuh perempuan cantik itu jatuh terpuruk tanpa bisa menjaga keseimbangan badan. Logo segera menerjang dengan satu lompatan kaki yang telapakannya satu setengah lebih besar dari telapak kaki manusia biasa. Kaki besar itu ingin menginjak tubuh Lancang Puri. Sekali injak pasti remuk tulang-tulang di tubuh Lancang Puri.
Melihat keadaan seperti itu, Pendekar Mabuk segera bertindak. Berkelebat dengan pergunakan gerak silumannya dan menyambar tubuh yang terpuruk itu. Wuuusss...! Zlaapp...! Dalam sekejap saja Suto Sinting sudah berada di sisi lain, sekitar enam langkah dari Logo.
"Oh, kau lagi yang selamatkan aku, Suto?!" ucap Lancang Puri setelah dilepaskan dari pelukan Pendekar Mabuk.
"Jangan hadapi dia. Larilah. Dia anak jin yang berilmu tinggi."
"Tapi...."
"Larilah, lekas! Biar kujinakkan anak jin itu! Aku kenal dengannya!"
Lancang Puri segera melesat berlari melalui jalan ke belakang Suto Sinting. Logo berteriak dengan suaranya yang menggema memenuhi hutan itu.
"Jangan lari kau! Jangan lari....!"
Bluk, bluk, bluk, bluk...! Langkah Logo mengejar Lancang Puri mengguncangkan bumi, walau hanya berupa getaran-getaran kecil, namun terasa jelas bagi manusia yang ada di sekitarnya. Suto Sinting segera melompat menghadang langkah anak jin itu.
"Hentikan pengejaranmu, Logo! Pandanglah aku!"
"Gggrrr...!" Logo memandang dengan liar dan buas. Mulutnya menggeram dengan menganga, seakan memamerkan giginya yang besar-besar dan kuning itu.
"Siapa kau?! Aku tidak mengenalmu, Monyet!"
Suto Sinting terkesiap. "Tak biasanya ia berlaku sekasar itu padaku; bahkan sampai tak mengenaliku?
Ada apa pada dirinya?"
"Minggir kau! Atau kuremukkan seluruh tulangmu, Monyet!"
"Logo!" sentak Pendekar Mabuk bermaksud menyadarkan kemarahan Logo. "Ingatlah padaku! Aku Pendekar Mabuk! Suto Sinting, teman dari ibumu!"
"Aku tak punya ibu! Minggat kau, heaaaah...!"
Tangan Logo menampar wajah Pendekar Mabuk dengan gerakan cepat. Wuuuss...! Pendekar Mabuk bermaksud menghindar dengan menarik kepala ke belakang. Tapi tarikannya itu kurang cepat, sehingga wajahnya pun terkena tamparan tangan kanan Logo yang bergerak dari kiri ke kanan. Ploookk...!
Bruus...! Suto Sinting terlempar ke semak-semak, ia buru-buru bangkit sambil kibaskan kepala. Pandangan matanya sempat berkunang-kunang. Tamparan tangan besar itu sungguh keras. Jika orang tak berilmu yang terkena tamparan itu, pasti seluruh giginya akan rontok dan orang tersebut langsung kelenger. Untung Suto punya lapisan tenaga dalam, sehingga ia hanya terjungkal dan merasa pening sedikit.
"Edan! Bocah itu benar-benar menyerangku. Kupikir hanya main-main?!" pikir Pendekar Mabuk.
"Tamparannya seperti kayu balok menghantam pipi kananku. Oh, jangan-jangan rahangku pecah?"
Suto segera memeriksa rahangnya, menggerak-gerakkan dengan ternganga-nganga. Pada saat itu Logo mendekatinya dengan suara geram menggetarkan pepohonan. Suto Sinting kaget, dan segera mundur dua tindak lalu bersiap siaga jika sewaktu-waktu tamparan keras itu datang lagi.
"Tahan amukanmu, Logo!"
"Setan! Kau membuatku kehilangan buronan! Kau harus bertanggung jawab, Monyet...! Heaaah...!"
Logo melepaskan pukulan bersinar merah dari telapak tangan kirinya. Claapp...! Sinar merah itu segera dikembalikan oleh Pendekar Mabuk dengan menghadangkan bumbung tuaknya yang terbuat dari bambu sakti itu. Dees...! Zlaap...! Sinar itu berubah lebih besar dan berbalik arah lebih cepat. Akibatnya mengenai perut besar Logo dengan telak. Buuuhg...!
Wuuuss...! Tubuh Logo terlempar bagai diseruduk banteng. Tubuh itu melayang dalam keadaan telentang dan jatuh berdebam di bumi bagai sebatang pohon besar yang rubuh. Blaaamm...! Daun-daun pohon berguguran sebagian karena terguncang oleh getaran jatuhnya Logo itu.
"Gggraaaoww...!" Rupanya ia jatuh dalam keadaan yang menyakitkan hingga menggeram dengan mulut terbuka, mengerang kesakitan. Tetapi perutnya yang terkena sinar merah itu tidak menjadi jebol, hanya saja dari mulut itu keluar darah merah kehitaman. Matanya terbeliak-beliak walau tetap berusaha untuk bangkit dengan sempoyongan.
Suto Sinting membiarkan hal itu terjadi sambil membatin setelah menenggak tuaknya beberapa teguk untuk menghilangkan rasa sakit di wajahnya.
"Ada perubahan yang tak beres dalam jiwa anak itu. Dia menjadi liar dan ganas, tak mengenaliku dan tak mengenali ibunya. Hmm... apakah Sumbaruni sudah mengetahui keadaan Logo yang sekarang?"
Kabar terakhir yang diterima Suto setelah ia dan Sumbaruni melawan Raja Tumbal demi selamatkan negeri Muara Singa, konon Sumbaruni masih kebingungan mencari anaknya itu. Sekarang waktu sudah lewat beberapa purnama, apakah Sumbaruni masih belum bertemu dengan anaknya, atau memang sang anak sudah dididik untuk menjadi liar dan ganas? Suto Sinting tak berani lakukan penyerangan yang berbahaya, karena jika ia membunuh Logo maka urusannya akan panjang. Sumbaruni pasti akan menuntut kematian Logo dan bisa jadi perempuan sakti itu akan membencinya seumur hidup.
Suto Sinting mencoba menyadarkan keganasan Logo lagi dengan mendekatinya penuh kewaspadaan. Sikapnya masih tidak bermusuhan, hal itu dilakukan demi memperlihatkan sikap bersahabat kepada Logo agar kemarahan Logo berkurang. Tetapi agaknya anak jin yang bermata lebar dan berhidung lebar pula itu masih memancarkan sinar permusuhan dari pandangan matanya dan geraman mulutnya.
"Mengapa kau mengejar perempuan itu, Logo? Ada persoalan apa?"
"Kau tak perlu tahu, Monyet!"
"Namaku Suto, bukan Monyet."
"Tidak. Aku lebih suka memanggilmu Monyet!" geram Logo penuh nafsu membunuh.
"Biasanya ia tak bicara sekasar itu dan sebanyak itu. Pasti ada sesuatu yang membuat jiwanya menjadi tak beres. Aku harus menyadarkannya. Rupanya aku perlu melumpuhkan dia agar bisa menjinakkan kembali," pikir Suto sambil pandang segala gerakan tangan dan kaki anak jin itu.
"Logo, sadarlah. Jangan turuti dorongan murka yang menguasai jiwamu. Kuasailah dorongan murka itu supaya...."
"Heaaahh...!"
Suto belum selesai bicara, tahu-tahu Logo sudah melompat bagaikan singa raksasa ingin menerkam Suto. Wuutt...! Suto terpaksa bersalto ke belakang dua kali. Plak, plak...! Dengan sikap berdiri sedikit merendah dan miring jari tangan Pendekar Mabuk menyentil ke depan dua kali. Tes, tes...! Jurus 'Jari Guntur' dipergunakan.
Sentilan itu keluarkan tenaga dalam cukup besar. Deeb, deeb...! Pukulan tenaga dalam dari sentilan itu tepat kenai ketiak kanan-kiri. Tubuh Logo yang sedang melayang berjumpalitan di udara dan jatuh dengan tengkuk membentur tanah lebih dulu.
Bluukk...!
Wwrrr...! Daun-gaun berguncang dan bergetaran kembali akibat jatuhnya tubuh besar itu. Seandainya bukan Logo yang bertulang leher keras dan besar, pasti tulang leher itu sudah patah karena terjungkal keras. Tapi agaknya tulang leher Logo tidak mengalami cedera. Hanya saja, ia terkapar tak berkutik karena ternyata sentilan bertenaga besar itu telah menotok jalan darah anak jin tersebut.
"Gggrr...! Ggrrr...!" Logo hanya bisa mengerang dengan mulut terbuka, dan mulut itu agaknya sudah sulit tertutup. Persendian tulang rahangnya mengunci dalam keadaan ternganga. Matanya membelalak liar ke sana-sini, seakan ingin luapkan amarah karena tubuhnya dibuat lemas seperti tak bertulang dan tak berurat lagi.
Tiba-tiba seberkas sinar hijau berkelebat dari balik semak-semak. Sinar hijau itu mengarah ke dada Logo. Dengan cepat Pendekar Mabuk melompat melintasi tubuh besar yang telentang tak berdaya itu. Bumbung tuaknya disodokkan ke depan sehingga sinar hijau itu membentur bumbung tuak dan membalik arah dengan lebih cepat dan lebih besar. Zlaapp...! Blegaaarrr...!
Semak-semak itu langsung hancur dan menyebar kemana-mana. Tempat yang rimbun itu menjadi terang benderang tanpa tanaman semak sedikit pun. Tapi orang yang lepaskan sinar hijau itu tidak terlihat ada di sana.
 "Seseorang kehendaki Logo mati dalam keadaan seperti ini. Hmm... siapa orang itu? Di mana dia sekarang. Kudengar detak jantung orang lain masih ada di sekitar sini."
Mata Pendekar Mabuk melirik ke sana-sini penuh selidik. Lalu ia merasakan datangnya gelombang panas yang bergerak dengan cepat bagaikan tertuju ke arah kepalanya. Dengan cepat Pendekar Mabuk mendongak dan sentakkan tangan kanannya hingga melepaskan pukulan tenaga dalam cukup besar tanpa sinar.
Wuuukkk...!
Blegaarr...!
Gelombang itu membentur pukulan tak bersinar dan menimbulkan ledakan yang dahsyat. Jika gelombang hawa panas itu tidak besar dan tak seberapa hebat, ledakannya tak akan membuat pohon tumbang. Tapi karena kedua pukulan tenaga dalam itu ternyata sangat besar, maka tiga-empat pohon segera tumbang bagaikan dihempas badai maha dahsyat. Bahkan pohon-pohon lainnya ada yang mengalami patah dahan dan ada pula yang miring ke salah satu sisi dalam keadaan akarnya tercongkel naik.
Ledakan itu membuat tubuh Suto terjungkal ke belakang, namun segera berdiri tegak kembali dengan satu sentakan pinggul, ia berdiri di samping tubuh besar yang terkapar, sengaja menjaga keselamatan Logo. Sedangkan dari atap pohon yang tumbang itu segera meluncur sesosok bayangan hitam yang kemudian mendarat di tanah seberang Suto.
Seseorang yang mengenakan kerudung kain hitam dari kepala sampai kaki berdiri tegak dengan menggenggam tongkat berujung sabit lengkung. Itulah yang dikenal dengan nama senjata pusaka El Maut. Wajah dingin, pucat pasi dengan bibir membiru tampak tersumbul dari balik kain kerudung hitamnya. Melihat kehadiran tokoh yang tak asing lagi bagi Suto itu, sang Pendekar Mabuk sempat terperanjat namun segera bersiap untuk lakukan penyerangan, sebab tokoh itu tak lain adalah Siluman Tujuh Nyawa.
"Durmala Sanca...! Akhirnya kau muncul juga dari tempat persembunyianmu selama ini!" ucap Suto dengan nada dingin, wajahnya memancarkan semangat untuk menumbangkan tokoh sesat yang ditakuti oleh para tokoh golongan hitam itu.
Di hati Suto sempat membatin, "Pantas pukulan tenaga dalamnya besar sekali! Rupanya dia yang menghendaki kematian Logo. Atau... oh, ya! Aku tahu sekarang. Dialah orang yang membuat jiwa Logo menjadi liar dan ganas. Entah dengan cara bagaimana, maka ia bisa mengendalikan jiwa Logo menjadi sejahat itu. Hmm... sayang sekali saat ini aku tak membawa Pedang Kayu Petir. Tapi akan kucoba untuk memancingnya dengan caraku sendiri."
Saat itu terdengar Siluman Tujuh Nyawa perdengarkan suaranya yang tenang, kalem, tanpa perasaan. Wajahnya datar dan dingin. Nada bicaranya tak bisa jelas dipahami, apakah marah, benci, senang, atau kecewa.

"Sepak terjangmu selama ini sudah membuatku semakin benci padamu, Suto! Namamu semakin dikenal dan menjadi kebanggaan para gadis cantik di mana pun berada. Agaknya memang sekaranglah saatnya kuhancurkan seluruh kehidupanmu dengan ilmu baruku!"
 "Kalau kau merasa mampu, lakukanlah sekarang juga, Durmala Sanca!"
Tantangan itu bagaikan tidak mendapat balasan. Wajah putih berkesan muda dan tampan tapi pucat dan bengis itu tetap datar-datar saja. Matanya menatap bagai ingin membekukan darah. Pendekar Mabuk sudah siap hadapi serangan lawannya, karena Siluman Tujuh Nyawa adalah musuh utama Suto yang dikejar-kejarnya selama ini. Kepala manusia paling sesat dan kejam itu adalah maskawin bagi Suto untuk diberikan kepada Ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi yang selama ini menjadi kekasih Suto dan calon istrinya; Gusti Mahkota Sejati yang bernama asli Dyah Sariningrum.
Saling bungkam dan saling beradu pandang ternyata merupakan pertarungan batin mereka dalam kadar ilmu tinggi. Suto merasakan hawa panas mulai mengalir bersama darahnya. Semakin lama darahnya terasa semakin mendidih dan menyengat anggota dalam tubuhnya. Jantung menjadi lemah dan pernapasan menjadi sesak. Suto mulai sadar bahwa Siluman Tujuh Nyawa telah melepaskan serangan melalui pandangan matanya. Maka Suto Sinting pun tak mau kalah serang.
Pertama-tama yang dilakukan adalah menyalurkan hawa murni agar menguasai tubuhnya. Hawa es mulai meresap ke dalam darah dan memadamkan rasa panas yang nyaris melumerkan jantung, paru-paru, hati, limpa dan sebagainya. Hawa panas itu juga hampir saja memutuskan seluruh otot dan urat nadi. Tapi segera kuat serta kokoh kembali setelah Suto menyalurkan hawa es sebagai tandingannya.
Dengan kekuatan pandangan mata pula, hawa es itu disalurkan oleh Suto dan menyerang Siluman Tujuh Nyawa. Tubuh orang berkerudung hitam itu tampak bergerak-gerak menggigil. Bibirnya pun mulai kelihatan bergetar. Tetapi genggaman tangannya pada tongkat tampak kian kuat, pertanda Siiuman Tujuh Nyawa juga melawan kekuatan hawa es yang nyaris membekukan semua cairan dalam tubuhnya itu.
Tiba-tiba dari kedua mata dingin itu keluar dua berkas sinar merah yang melesat cepat menuju ke tubuh Suto. Dua berkas sinar merah itu sangat pendek, dan ketika melintasi perbatasan jarak warna sinarnya hilang, berubah menjadi dua mata pisau tanpa gagang. Mata pisau itu bagaikan terbuat dari logam anti karat yang ujungnya runcing dan gerakannya cepat.
Suto Sinting tak mau kalah gertak, ia segera berkelebat, tangannya yang sudah berkuku merah bara itu bagaikan memercikkan air ke depan. Ternyata yang keluar adalah percikan bunga api warna merah bintik-bintik, itulah jurus 'lintang Kesumat' yang jarang digunakan oleh Pendekar Mabuk. Percikan bunga api yang keluar dari ujung-ujung kuku itu menyergap dua benda runcing. Seketika itu kedua benda tersebut meledak dengan keluarkan gelombang ledakan yang cukup besar, sentakan anginnya membuat tubuh Pendekar Mabuk terjungkal ke belakang dan tubuh Siluman Tujuh Nyawa terpelanting mundur tiga tindak.
Blegaaar...!
Pendekar Mabuk jatuh terguling-guling. Rupanya daya sentak lebih kuat ke arahnya daripada ke arah Siluman Tujuh Nyawa. Akibatnya, tokoh sangat kejam dan berdarah dingin itu lebih dulu berdiri tegak ketimbang Suto Sinting. Pada saat Pendekar Mabuk bangkit setengah badan, Siluman Tujuh Nyawa segera angkat tongkat El Maut-nya dan dari ujung mata sabit tajamnya itu memancarkan tiga larik sinar biru berkelok-kelok bagaikan tiga benang yang menyergap tubuh Pendekar Mabuk. Clap, crat, crat, crat...! Jraab...!
Kilatan cahaya biru kenai tubuh Suto. Pendekar Mabuk pejamkan mata kuat-kuat dengan tubuh kejang berlutut. Kepalanya mendongak dan mulutnya mengerang.
"Aaahg...!" kulit tubuh Pendekar Mabuk mulai merah, makin lama makin matang, bahkan berwarna kebiru-biruan. Tubuh itu bergetar kuat, dan Suto berusaha menahannya, ia meraih bumbung tuaknya yang sempat jatuh di tanah dekat lututnya. Ia ingin meminum tuaknya, namun tiba-tiba tubuh Siluman Tujuh Nyawa berkelebat menerjangnya. Wuuutt...! Praak...! Bumbung tuak itu disamparnya dan terlempar ke belakang Suto Sinting, jauh dari jangkauan.
"Sudah saatnya kau mati di tanganku, Bocah Dungu!" kata Siluman Tujuh Nyawa dengan suara datar, bagai tak mempunyai tekanan kebencian. Tetapi senjata pusaka El Maut segera diangkat dan diayunkan untuk menebas leher Suto.
Wuuutt...!
Duaaar...! Tiba-tiba sinar perak berkelebat menghantam ujung senjata El Maut. Sinar perak itu yang membuat gerakan tongkat yang diayunkan menjadi terhenti dan memantul balik, menyentak kuat sekali sehingga tubuh Siluman Tujuh Nyawa terpelanting ke belakang.

Sekelebat bayangan melintas di atas tubuh Logo yang masih terkapar tak berdaya. Bayangan yang berkelebat cepat sekali itu menerjang tubuh Siluman Tujuh Nyawa. Braass...! Entah dengan tendangan atau pukulan, tak terlihat dengan jelas serangan yang dilancarkan. Yang bisa dilihat jelas, tubuh Siluman Tujuh Nyawa terlempar beberapa tindak dari tempatnya berdiri. Namun tokoh sesat itu tak sampai jatuh terkapar, ia hanya jatuh berlutut dan menyangga tubuh dengan berpegangan pada tongkat El Maut-nya.
Kaki orang yang berkelebat itu segera menendang bumbung tuak, dan bumbung tuak itu meluncur di permukaan tanah berumput lalu membentur lutut Suto. Deeg! Dengan susah payah Suto berusaha gerakkan tangannya untuk ambil bumbung tuaknya dan menenggak tidak beraturan. Air tuak meleleh ke mana-mana membasahi wajah dan sebagian tubuhnya. Tapi beberapa bagian tuak sudah bisa diteguknya.
Siluman Tujuh Nyawa segera tegakkan kepala, pandangi tokoh yang baru datang itu. Tapi ia sempat terperanjat melihat tokoh itu ternyata sudah bergerak amat dekat dengannya dengan menebaskan pedangnya dalam gerakan yang nyaris tak bisa terlihat. Secepatnya tongkat El Maut dihadangkan sebagai jurus penangkis pedang lawan. Dan pedang itu tiba-tiba tersentak mental sebelum menyentuh dan beradu dengan senjata pusaka Ei Maut.
Wuuttt...! Gelombang sentakan dari senjata El Maut begitu besar, membuat pedang itu lepas dari tangan pemiliknya dan melayang jatuh di seberang sana. Dengan cepat Siluman Tujuh Nyawa bangkit dan sodokkan tongkatnya ke arah depan. Keluarlah segepok jarum merah dari ujung tongkat bersabit lengkung panjang itu. Gerombolan jarum merah itu menerjang tubuh lawan. Namun dengan gerakan cepat sang lawan menghindar. Tiba-tiba ia telah melompat dan berada di atas pohon. Jarum-jarum merah yang menggerombol itu menerjang pohon di seberang, dan pohon itu lenyap menjadi debu-debu coklat yang berserakan. Zrrrub...! Jraab...
Jraasss...! Debu-debu coklat berhamburan, mengerikan jika dibayangkan seandainya tubuh manusia yang terkena jarum-jarum merah tadi. Tetapi tokoh yang ada di atas pohon itu tak mau terlalu lama membayangkan hal itu, maka secepatnya ia lepaskan pukulan bersinar putih perak lagi ke arah Siluman Tujuh Nyawa. Clap, clap...! Kali ini dua sinar putih perak dilepaskannya.
Siluman Tujuh Nyawa hanya menudingkan satu jari telunjuk kirinya. Jari itu keluarkan gelombang getar yang tak terlihat wujudnya. Gelombang getar menangkap dua sinar putih, lalu mengadukan di udara sehingga dua sinar tersebut saling berbenturan sendiri.
Blaarr...!
Akibatnya ledakan dahsyat kembali terdengar berkat benturan dua sinar sejenis itu. Gelombang ledaknya membuat tubuh si tokoh di atas pohon terpental dan jatuh ke tanah dalam keadaan hilang keseimbangan. Siluman Tujuh Nyawa segera menyambarnya dengan tebasan sabit lengkung di ujung tongkat El Maut-nya. Tetapi gerakan tersebut menjadi berbeda arah Karena Suto kirimkan pukulan jarak jauhnya yang dinamakan jurus 'Pecah Raga'. Sinar hijau melesat dari telapak tangan Suto. Sinar itu tepat kenai lambung Siluman  Tujuh Nyawa.
Tubuh berkerudung hitam itu terjungkal hingga membentur pohon dan kayu pohon itu menjadi retak sampai di bagian atas, di persimpangan dahan.
Duuurr...! Kraakk...!
Biasanya jurus 'Pecah Raga' adalah jurus yang membuat lawan menjadi pecah raganya jika terkena sinar hijau itu. Tetapi tokoh yang satu ini memang kuat dan alot, sukar dikalahkan. Tubuhnya masih utuh, bahkan masih mampu berdiri dengan sedikit libmung. Tentu saja ia mempunyai lapisan tenaga dalam yang amat tebal dan besar sehingga bisa menjadi perisai bagi serangan bersinar seperti tadi. Namun keadaannya sudah tak setegar tadi. Agaknya ia mengalami luka dalam akibat sinar hijau dari tangan Suto Sinting tadi. Mulutnya yang berbibir biru itu melelehkan darah kental walau bibir tersebut tetap terkatup.
Suto Sinting yang sudah segar kembali akibat minum tuaknya segera persiapkan jurus 'Manggala' untuk menyerang Siluman Tujuh Nyawa. Jurus 'Manggala' adalah gerakan tangan menyentak ke depan dalam keadaan miring dan mampu keluarkan pisau-pisau kecil yang jumlahnya tergantung hentakan napas pada saat itu.Jurus 'Manggala' dapat membuat lawan mati berdiri dalam keadaan tubuh sudah menjadi gumpalan debu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bandar Hantu Malam" dan "Cermin Pemburu Nyawa"). Jurus itu adalah jurus sakti pemberian Ratu Kartika Wangi, calon mertua Pendekar Mabuk yang menjadi ratu di negeri alam gaib.
Tetapi gerakan Suto itu terlambat setengah kedipan. Siluman Tujuh Nyawa lebih dulu sentakkan kakinya dan melesat pergi. Gerakannya begitu cepat, lalu hilang bagai memasuki lapisan udara yang tak bisa terlihat mata manusia biasa. Pendekar Mabuk menggeram kesal.
"Dia masuk ke alam gaib! Aku harus mengejarnya!"
Sebenarnya Pendekar Mabuk bisa mengejar masuk ke alam gaib, karena ia mempunyai tanda merah di keningnya yang hanya bisa dilihat oleh tokoh berilmu tinggi. Dengan mengusap tanda merah di keningnya menggunakan tangan kanannya. Tetapi niat itu tertunda karena suara erangan lirih yang terdengar menyayat kalbu. Erangan itu datang dari tokoh yang tadi sempat jatuh dari atas pohon dan kini sedang terkapar dengan mulut dan hidung berdarah.
"Dia telah selamatkan aku dari kematian yang mengerikan. Jika bumbung tuakku tidak ditendangnya,  aku tak bisa meraihnya lagi dan tak mungkin bisa terhindar dari luka dalam yang amat parah tadi. Sebaiknya aku harus selamatkan dulu jiwanya sebelum kukejar kembali Durmala Sanca, si manusia sesat itu!"
Tokoh yang punya keberanian tinggi, dan berhasil membuat Siluman Tujuh Nyawa nyaris tumbang tadi, terpaksa mau meneguk tuak dari bumbungnya. Sebab keadaan tokoh itu sangat parah. Jika tidak menenggak tuak maka diperkirakan nyawanya akan lenyap dari tubuh dalam waktu dua puluh helaan napas lagi.
Rupanya pertarungan itu ada yang mengintainya. Orang yang mengintai pertarungan tersebut hanya bertanya dalam hati, "Siapa tokoh yang berani menyerang Siluman Tujuh Nyawa itu? Hampir saja ia mati kalau Suto tidak segera lepaskan sinar hijaunya tadi. Dan... ternyata Pendekar Mabuk memang mempunyai kesaktian tinggi, dapat sembuh dari luka separah itu dengan meminum tuaknya. Sungguh-sungguh mengagumkan. Lalu... orang hitam yang hanya bercawat itu bagaimana? Apakah dia sekarang sudah mati karena serangan Suto tadi?"

* * *