Pendekar Mabuk 31 - Pedang Kayu Petir(2)


6
TELAGA Jompo terletak di tanah datar yang mendekati puncak bukit. Tanaman di sekelilingnya membuat rindang tempat itu. Berbatu-batu dan tidak begitu lebar. Airnya sedikit keruh berwarna kekuning- kuningan. Dilihat letaknya mendekati puncak bukit, sudah terbayang keanehan telaga yang ada di situ. Airnya yang kekuning-kuningan mempunyai kesan sebagai air yang punya khasiat penyembuhan. Entah mungkin bercampur belerang, atau endapan tanahnya yang mengandung obat, yang jelas sebuah danau ada di puncak bukit merupakan keajaiban tersendiri.
Pandangan Suto Sinting tertuju ke beberapa tempat di sekitar telaga. Ternyata tak ada seorang pun di sana.
Angon Luwak tidak kelihatan, orang lain pun tak ada. Benar-benar tempat yang sunyi, tanpa kicau burung dan suara binatang apa pun kecuali desau angin.
"Luwaaak...!" seru Suto memanggil. "Angon
Luwaaak...!"
Tak ada jawaban. 'Lacak Jantung' digunakan. Ternyata memang tak ada suara detak jantung siapa- siapa kecuali jantungnya sendiri. Akhirnya Suto Sinting duduk di salah satu tepi danau itu. Ia menenggak tuaknya beberapa teguk. Setelah itu hatinya membatin,
"Ke mana anak itu? Jika tak ada di sini, berarti dia berlari dan bersembunyi di tempat lain. Tapi di mana kira-kira? Haruskah kutanyakan kembali kepada Sabani, kakaknya? Ah, capek kalau harus bolak-balik ke sana."
Sesaat kemudian di hati Pendekar Mabuk timbul kecemasan yang samar-samar.
"Jangan-jangan dia terperosok di jurang sebelah timur tadi? Ah, mudah-mudahan tidak demikian. Biarlah kedua pendeta bodoh itu yang terperosok di jalanan tepi jurang timur itu. Kalau tidak terperosok pasti mereka sudah mengejar dan menemukanku di sini. Seandainya mereka menemukanku di sini dan menyerangku, apakah aku harus melumpuhkan mereka?"
Pikiran Suto sempat melayang-layang tak tentu arah. Tapi segera dikembalikan pada pokok persoalannya, ia masih merasa tak habis pikir, mengapa kedua pendeta itu yakin betul bahwa dirinya telah melihat pedang maha sakti?
"Apakah benar di mataku ada bayangan pedang maha
sakti itu? Jangan-jangan mereka hanya cari gara-gara? Untuk apa dua orang itu menjadi pendeta di dua biara jika kerjanya cari gara-gara? Kurasa... tak mungkin. Pasti mereka memang punya kepentingan dengan pedang itu, hanya saja dugaan mereka terlalu mengada- ada. Eh, tapi... kata mereka, tongkat penunjuk arah milik Resi Wulung Gading mengarah kemari? Hmm... kalau begitu pusaka tersebut memang benar-benar muncul kembali dan ada di sekitar sini? Lho, tapi... menurut Delima Gusti, Pedang Kayu Petir itu ada di tangan Raja Tumbal dan akan diserahkan sebagai maskawinnya. Ah, yang benar yang mana kalau begini?"
Suto Sinting garuk-garuk kepala. Minum tuaknya lagi, dan melepaskan napas panjang sebagai tanda kelegaan dan kepuasan minum tuaknya.
"Sebaiknya aku ke Lembah Sunyi saja. Jika memang pertemuan para tokoh tua itu sudah usai, berarti Resi Wulung Gading sudah sampai di Lembah Sunyi. Pasti terjadi pembicaraan dengan Delima Gusti. Sebaiknya aku ikut dalam pembicaraan itu!"
Baru saja Suto Sinting berdiri, tiba-tiba di samping kirinya telah muncul sesosok tubuh yang tak asing lagi baginya. Perempuan cantik berkesan liar dengan rambut acak-acakan. Siapa lagi kalau bukan Angin Betina yang kecewa karena gagal membujuk Suto untuk tidur bersamanya.
"Hai, Tampan...!" sapa Angin Betina dengan mata tajam menantang cumbuan. Tangan kirinya menggenggam pedang bersarung. Kapan saja siap
dicabutnya.
"Dari mana kau tahu aku ada di sini?"
"Aku tidak tahu kau ada di bukit ini. Tapi aku sempat lihat dirimu diserang pendeta kakak-beradik itu." Angin Betina mendekat.
Suto diam di tempat sambil matanya perhatikan ke arah kaki kiri Angin Betina yang ditumpangkan di atas sebuah batu setinggi satu betis. Kaki yang kanan tetap menapak di tanah, tangan kirinya yang memegang pedang bertolak pinggang. Sungguh suatu sikap yang menantang kemesraan dipamerkan dengan tonjolan dadanya yang benar-benar membuat lelaki bisa sesak napas.
"Kusangka kau mati digempur mereka berdua, ternyata kebalikannya."
"Apakah kau mengenal mereka?"
"Cukup kenal, karena perguruanku tak jauh dari Biara Genta," jawab Angin Betina dengan senyum tipis dan mata memandang mesra.
"Kau juga bertemu dengan mereka saat menuju kemari?"
"Ya. Tapi mereka sempat kurobohkan dengan jurus
'Mustika Perak' yang sukar ditandingi itu." "Maksudmu, kau membunuh mereka?"
"Tidak. Hanya sekadar melumpuhkan mereka agar
tak mengejarmu sampai sini," ia bersikap acuh tak acuh sebentar, memandang arah kedatangannya dan kembali menatap Suto Sinting.
"Mengapa tak kau bunuh saja mereka itu?" pancing
Suto.
"Aku punya niat lain. Aku ingin berguru dengan salah satu dari mereka."
"Mengapa? Apa keistimewaan mereka, sehingga kau ingin berguru pada mereka?"
"Mereka punya Kitab Lorong Zaman. Aku ingin mempelajarinya."
Suto Sinting berkerut, berjalan dekati Angin Betina hingga dalam jarak dua langkah di depan perempuan itu baru berhenti.
"Apa itu Kitab Lorong Zaman?" tanya Suto bersuara lirih.
"Ilmu yang membuat kita bisa melompat dari zaman sekarang ke zaman yang lalu, atau zaman akan datang."
Kerutan di dahi menghilang, berganti senyum geli yang disertai pandangan tertuju ke arah air telaga. Senyum itu berkesan meremehkan, sehingga Angin Betina terpaksa ngotot agar ucapannya dipercaya.
"Mereka benar-benar punya kitab tersebut! Guruku dulu pernah mau mencurinya, tapi selalu gagal. Sekarang aku akan berguru kepada mereka sampai dapatkan ilmu- ilmu yang ada dalam Kitab Lorong Zaman itu. Selama ini, hanya mereka berdua yang bisa mental ke zaman lalu atau zaman mendatang seperti orang lakukan tamasya saja."
Tawa yang terdengar dari Suto seperti gumam terputus-putus. Tetapi hati Angin Betina berkata, "Aku suka dengan tawanya. Gila! Ada yang berdenyut-denyut di bagian tubuhku begitu mendengar tawanya."
Sesaat kemudian, Suto Sinting memandang ke arah
Angin Betina dan berkata,
"Kalau memang benar mereka punya Kitab Lorong Zaman, dan kalau benar kau ingin jadi muridnya, berarti kau harus menjadi seperti mereka. Artinya, harus berjalan di jalur yang benar. Menjadi bagian dari tokoh aliran putih. Sebab aku yakin sebenarnya mereka adalah tokoh sakti dari aliran putih. Hanya karena sedang hadapi masalah bahaya, maka mereka paksa aku untuk tunjukkan benda itu. Kurasakan mereka sangat terpaksa melakukannya demi selamatkan biara mereka."
"Tak keberatan bagiku untuk masuk ke aliran putih, sebab selama ini naluriku kupaksakan untuk mengikuti aliran hitam dari guruku; mendiang Nini Pancungsari. Dan... aku tahu bahaya yang mereka hadapi. Sayang sekali aku tak akan mampu menolong mereka."
"Apa bahaya itu?"
"Mereka terancam oleh orang-orang Lumpur Maut." Suto berkerut dahi secepatnya. "Raja Tumbal,
maksudmu?"
"Ya. Raja Tumbal bermaksud menaklukkan kedua biara itu, sebab kedua biara itu dianggap perguruan yang berbahaya jika sampai bersatu. Selama ini kedua biara itu tidak bisa bersatu karena ada perbedaan pendapat mengenai aliran kepercayaan mereka. Ancaman dari Raja Tumbal itulah yang membuat mereka harus bisa mendapatkan Pedang Kayu Petir, sebab mereka tahu bahwa Raja Tumbal telah memiliki pusaka Seruling Malaikat."
"Bukankah Pedang Kayu Petir sudah ada di tangan
Raja Tumbal?"
Angin Betina gelengkan kepala dengan tenang.
"Tidak mungkin, sebab jika Raja Tumbal sudah memiliki pedang yang asli, tentunya kedua biara sudah diserangnya, negeri Muara Singa sudah direbutnya, dan negeri-negeri lain sudah ditumbangkannya. Sampai sekarang Raja Tumbal belum mau bergerak, sebab ia punya firasat munculnya pedang maha sakti itu. Ia harus mencarinya lebih dulu agar tak menjadi penghalang gerakan makarnya nanti."
Suto diam dan manggut-manggut. "Agaknya kau cukup banyak mengetahui tentang Raja Tumbal."
"Guru pernah menugaskanku untuk menyusup ke sana guna mencuri Seruling Malaikat-nya. Tapi sebelum niat itu terlaksana, sudah kudengar kabar tentang kematian Guru, sehingga aku pun meninggalkan Lumpur Maut!" jawab Angin Betina jujur tapi tegas.
"Perempuan itu jujur sekali," pikir Suto. "Sepertinya dia tak pernah merasa takut sedikit pun dengan kejujurannya. Tak punya malu dengan kesalahannya, ia berani menghadapi akibat apa pun dari semua tindakannya, bahkan ia tampak sebagai orang yang siap dikecam oleh siapa pun. Sikap itu sebenarnya sangat baik. Seandainya dia benar-benar telah masuk sebagai tokoh beraliran putih, sikap itu pasti lebih membantunya dalam merebut simpati dari para tokoh tua!"
Pendekar Mabuk kini tahu apa yang ada pada Raja
Tumbal. Kabar tentang Pedang Kayu Petir di tangan
Raja Tumbal hanya sebuah kebohongan semata. Jelas bahwa Raja Tumbal sengaja memancing minat sang Adipati dengan janji maskawin pedang pusaka hanya untuk merebut perhatian sang Adipati dan dapat mengawini Delima Gusti. Berarti Delima Gusti akan tertipu mentah-mentah oleh siasat Raja Tumbal. Hal ini harus dicegah, dan Suto harus beberkan kepada sahabatnya itu; Delima Gusti.
Tetapi sebelumnya, Suto perlu tanyakan sesuatu kepada Angin Betina yang mengaku pernah menyamar sebagai anggota Lumpur Maut.
"Apakah kau tahu kehebatan Seruling Malaikat?" "Sangat tahu. Sebab aku pernah lihat sendiri Raja
Tumbal membantai lawan-lawannya dengan Seruling
Malaikat itu."
"Dan kau tahu kelemahannya?"
Angin Betina diam sebentar. Matanya yang jeli itu memandang permukaan air telaga sebentar, lalu beralih ke wajah Suto Sinting sambil menjawab,
"Tidak. Aku tidak tahu kelemahannya. Dan kurasa... tak ada kelemahan pada pusaka itu, sebab dihancurkan pun tak bisa."
"Dihancurkan pun tak bisa?!" gumam Suto sambil manggut-manggut. Satu lagi kekuatan Seruling itu diketahuinya. Paling tidak jika nantinya ia harus berhadapan dengan Raja Tumbal, maka ia tidak akan mencoba menghancurkan Seruling itu, agar tidak buang- buang waktu dan tenaga.
"Kurasa hanya bisa dikalahkan dengan Pedang Kayu
Petir yang sudah kau temukan itu, Suto."
Tentu saja Pendekar Mabuk terkejut mendengar kata- kata Angin Betina yang diperdengarkan secara tiba-tiba itu. Dengan cepat mata yang semula memandang ke tempat lain, kini menatap mata jeli si rambut amburadul itu.
"Kau sangka aku telah mendapatkan pedang maha sakti itu?"
"Apa yang dikatakan kedua pendeta tadi kudengar jelas dari tempat persembunyianku. Sengaja aku mengikuti langkah mereka dari kejauhan ketika kulihat mereka meninggalkan Bukit Lajang. Aku memang terlambat tiba di sana. Mereka telah bubar. Tapi percakapan kedua pendeta itu akan kujadikan sumber beritaku mengenai hasil pertemuan para tokoh sakti tersebut. Dan kudengar dengan jelas bahwa pedang itu ada di arah bukit ini, atau wilayah sekitarnya. Aku juga mendengar mereka melihat bayangan pedang ada di bola matamu. Itu benar. Sebab setahuku, mereka bisa melihat apa yang pernah dilihat seseorang sebelum lewat tengah malam."
"Aku tidak tertarik untuk mempercayai kata-kata itu." "Karena kau belum tahu persis siapa mereka," sergah Angin Betina sambil turunkan kakinya yang nangkring di atas batu itu. Bahkan ia sengaja dekati Suto kurang dari satu langkah. Beradu pandang dengan tegar, berkata
dengan suara bisik yang memiliki nada tegas.
"Kau memang pernah melihat pedang itu. Kau pasti merahasiakannya!"
"Percakapan ini semakin tidak menarik bagiku, sebab aku makin tak tahu harus bilang apa padamu jika kebenaranku kau sanggah, Angin Betina!"
"Aku tidak bermaksud merebutnya. Percayalah, aku hanya bermaksud membantumu menjaga pedang itu asal kau jujur padaku!"
"Maaf, kejujuranku sudah kau remehkan. Tak ada lagi kejujuran. Aku harus segera pergi. Sampai jumpa lagi, Angin Betina!"
"Tunggu...!" Wuuut...!
Tangan perempuan itu cepat sekali mencekal lengan
Suto yang keras dan kekar itu. Suto Sinting tak jadi bergerak. Wajahnya kembali menatap dalam jarak sangat dekat. Angin Betina berkata lirih,
"Ada satu hal yang ingin kukatakan padamu." "Tentang apa?"
"Kau tampan!"
Pegangan tangan dilepaskan, seakan Angin Betina sudah tak keberatan jika terpaksa ditinggal pergi Pendekar Mabuk. Tapi si Pendekar Mabuk sendiri justru diam bagaikan terpaku di tempat. Ucapan itu pelan, penuh kesungguhan dalam mengungkapkan penilaian hatinya. Diamnya Suto dimanfaatkan oleh Angin Betina untuk berkata lagi,
"Aku suka padamu, dan berjanji akan melindungimu!"
"Berani sekali kau berkata begitu padaku. Apakah kau tak merasa malu, sebagai perempuan menyatakan isi
hatimu di depanku?"
"Aku lebih malu jika kau yang menyatakan rasa suka padaku lebih dulu!"
"Aneh!" Suto Sinting tertawa, tapi tiba-tiba Angin
Betina menyentak lirih, "Jangan tertawa!"
"Kenapa? Aku tertawa pakai mulutku sendiri?!"
"Tawamu makin memancing gairahku," jawabnya dalam desah yang menggiring khayalan kepada sebentuk kehangatan. Suto Sinting hanya tersenyum, matanya sempat melirik nakal ke dada Angin Betina. Perempuan itu pun berkata lirih lagi,
"Jangan hanya melirik kalau kau berani! Lakukanlah! Tunjukkan keberanianmu sebagai seorang lelaki yang mestinya mampu tundukkan wanita sepertiku!"
Suto kian lebarkan senyum dan menggeleng. "Tidak. Anggap saja aku pengecut untuk urusan ini! Selamat tinggal!"
Zlaaap...! Weesss...!
Suto Sinting segera pergi, tak mau memperpanjang percakapan dan pertemuan dengan Angin Betina. Hati kecilnya mulai tergelitik. Darah asmaranya mulai terbakar. Suto takut tak mampu menahan tuntutan batinnya yang ingin memegang dada itu, sekadar mengukur seberapa kebesarannya.
"Melawan nafsu lebih sulit daripada melawan Siluman Tujuh Nyawa. Daripada aku mati berdiri dengan kaku, lebih baik kutinggalkan saja si penggoda yang pemberani itu!" pikirnya dalam perjalanan kilatnya
menuju Lembah Sunyi, ia tak tahu bahwa Angin Betina mengikuti dari belakang dengan gerakannya yang juga menyerupai angin badai, sehingga ia berjuluk Angin Betina.
Sampai di pondok Resi Wulung Gading, ternyata Suto Sinting sudah tidak bertemu dengan Delima Gusti. Menurut Sukat, Delima Gusti pergi ke Jurang Lindu mencari Suto. Ia berangkat tadi pagi, setelah ayam berkokok karena gembira melihat matahari lagi.
"Apakah Resi Wulung Gading sudah tiba di tempat?" "Sudah," jawab Sukat. "Guru sedang murung, sekarang duduk sendirian di taman belakang. Mari
kuantar menemui Guru."
Memang benar apa kata Sukat, wajah sang tokoh tua keponakan dari Nini Galih, gurunya Bidadari Jalang itu sedang murung. Tapi ketika ia mengetahui kedatangan Suto Sinting, kemurungan tersebut segera ditekan dalam-dalam dan disembunyikan di belakang paru- parunya. Wajah tenang dan berkharisma kembali terlihat nyata.
"Menyesai sekali Delima Gusti pergi selang beberapa saat sebelum aku pulang dari Bukit Lajang," kata Resi Wulung Gading. "Pasti anak itu punya masalah yang ingin dibicarakan denganku. Kudengar dari Dul, kau yang mengantarnya."
"Benar. Memang saya yang mengantarnya kemari...," lalu Suto menceritakan masalah yang dihadapi Delima Gusti. Cerita itu membuat Resi Wulung Gading tersenyum tipis sekali.
"Tidak. Pusaka itu tidak ada di tangan Raja Tumbal," katanya sambil melangkah, tongkatnya berwarna hitam kecoklatan itu digunakan sebagai penopang tubuh pada saat berjalan pelan. Suto Sinting menyertainya dari samping. Mereka mengelilingi taman yang tidak terlalu luas namun ditata rapi oleh Sukat.
"Pedang itu masih tetap tidak bisa diteropong di mana letaknya. Tapi tongkatku ini sejak tadi menunjuk ke arah kedatanganmu. Aku yakin pusaka itu ada di utara. Dan aku yakin, kau sudah melihat pusaka itu."
Suto Sinting diam, tapi batinnya menggumam heran, "Mengapa Resi Wulung Gading berpendapat seperti kedua pendeta itu? Aku lagi yang jadi sasarannya. Padahal aku merasa tidak pernah melihat pedang sesakti itu. Andai kukatakan yang sebenarnya, apakah Resi Wulung Gading mau percaya?"
Langkah sang Resi terhenti, ia sengaja memandang
Suto dan berkata,
"Mengapa pedang itu tidak kau ambil?"
"Resi, sesungguhnya apa yang terjadi pada diri saya, sehingga Pendeta Jantung Dewa dan Pendeta Mata Lima juga berpendapat seperti itu? Padahal saya merasa belum pernah melihat pedang pusaka itu."
Resi Wulung Gading tertegun sejenak, setelah itu berkata, "Jantung Dewa dan Mata Lima menduga hal yang sama denganku? Berarti benarlah dugaanku, karena Mata Lima bisa melihat bayangan yang ada di mata seseorang, demikian pula adiknya; si Jantung Dewa. Cuma...," Resi Wulung Gading diam sebentar.
Langkahnya diteruskan dengan pelan-pelan.
"Apakah menurutmu kedua pendeta itu menghendaki pedang tersebut?"
"Benar, Resi!"
"Bahaya!" gumam Resi Wulung Gading. "Mereka bisa membawa lari pedang itu ke masa akan datang di saat aku telah tiada. Mereka punya ilmu 'Tembus Waktu' yang tidak dimiliki orang lain."
"Mereka memerlukan pedang itu untuk melawan Raja Tumbal, sebab biara mereka terancam oleh Raja Tumbal, Resi."
"Hmmm...!" Resi Wulung Gading manggut-manggut. "Kalau begitu mereka tidak bermaksud jahat. Mereka hanya membutuhkan keamanan dan keselamatan, baik keselamatan jiwa maupun keselamatan biara mereka! Mengapa tak kau bantu, Suto?"
"Bagaimana saya harus membantu, saya tidak punya pedang itu, Resi! Raja Tumbal punya Seruling Malaikat yang dapat menghancurkan raga saya dari kejauhan, atau dari tempat yang tersembunyi."
Langkah sang Resi terhenti lagi. "Percayalah, apa yang dikatakan mereka itu benar. Mata Lima memang sedikit galak, tapi hatinya baik. Kau pasti sudah melihat pedang itu."
Suto Sinting tarik napas. "Baiklah kalau anggapan itu memang benar. Tapi tolong jelaskan seperti apa ciri-ciri pedang itu, Resi Wulung Gading?"
"Pedang itu bergagang coklat kusam, seperti mau keropos. Mata pedangnya terbuat dari kayu warna putih
kusam, seperti lapuk. Tepiannya geripis, dan... pokoknya bentuknya tidak menarik. Semua terbuat dari kayu sederhana dan kasar. Seperti pedang buat mainan anak- anak!"
Seketika itu pula Suto terperanjat kaget. "Angon Luwak...?!" gumamnya dalam hati, karena yang terbayang di otaknya adalah pedang yang dipakai perang-perangan oleh Angon Luwak. Pedang itulah Pedang Kayu Petir. Suto gemetar dan berdebar-debar sambil bertanya dalam hati, "Di mana anak itu berada
sekarang?!"
*
* *

7
RESI Wulung Gading mengatakan, bahwa Seruling Malaikat tidak mempunyai kelemahan. Satu-satunya cara menghadapi Seruling Malaikat adalah, "Jangan beri kesempatan Raja Tumbal meniup Seruling itu!"
Pendekar Mabuk punya kesimpulan, "Harus menyerang lebih dulu sebelum diserang. Karena jika Raja Tumbal diserang lebih dulu, maka ia tidak punya persiapan untuk meniup serulingnya. Syukur bisa membuat dia tidak punya kesempatan untuk mengambil pusaka itu!"
Itu berarti Suto Sinting harus lakukan penyerangan mendadak ke Lumpur Maut. Padahal ia tidak mengetahui di mana wilayah Lumpur Maut. Maka,
hatinya pun membatin,
"Aku harus minta bantuan Angin Betina! Di mana perempuan itu sekarang?"
Pendekar Mabuk dihadapkan pada beberapa persoalan yang memusingkan kepala. Pertama, ia harus mencari di mana Angon Luwak, agar Pedang Kayu Petir yang ada di tangan anak itu tidak jatuh ke tangan orang sesat. Kedua, ia harus temukan Delima Gusti dan memberi tahu tentang siasat Raja Tumbal yang ingin memperistrinya dengan maskawin Pedang Kayu Petir palsu. Sebab Suto yakin, jika sampai Raja Tumbal serahkan sebuah pedang yang menurutnya adalah Pedang Kayu Petir, maka pedang tersebut adalah pedang palsu.
Selain itu Suto Sinting juga harus segera temukan Angin Betina. Perempuan itulah yang bisa membawanya ke Lumpur Maut, dan perempuan itulah yang akan digunakan sebagai pancingan. Sebab Suto percaya bahwa Angin Betina pasti benar-benar pernah menyusup ke Lumpur Maut, karena ia tahu banyak tentang rencana- rencana Raja Tumbal. Kekuatan Angin Betina pun dapat dimanfaatkan untuk menggempur kekuatan Raja Tumbal.
Jika usaha itu berhasil, Raja Tumbal berhasil ditumbangkan, maka negeri Muara Singa akan bebas dari ancaman maut penguasa Lumpur Maut. Di samping itu Biara Damai dan Biara Genta juga akan terbebas dari ancaman kehancuran tangan keji Raja Tumbal.
Tetapi agaknya kedua Pendeta kakak-beradik itu
terpaksa harus berhadapan dengan utusan Lumpur Maut sebelum berhasil mendengar rencana Pendekar Mabuk. Karena Raja Tumbal diam-diam mengikuti perkembangan gejolak dunia persilatan yang meributkan kemunculan pedang maha sakti itu. Orang yang diutus itu bukan lagi Ki Wirogo, yang kini justru telah dibunuh oleh Raja Tumbal sendiri karena gagal melawan Tandu Terbang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Tandu Terbang"). Orang yang diutus Raja Tumbal kali ini mempunyai tingkat ilmu yang lebih tinggi dari Ki Wirogo. Tentu saja nyawa tetap menjadi jaminan bagi keberhasilan tugas.
Rajang Lebong dan Pangkas Caling adalah dua orang Lumpur Maut kepercayaan Raja Tumbal. Mereka berdua mempunyai ilmu 'Ludah Iblis', sebuah ilmu yang membuat mereka sulit dibunuh. Jika salah satu mati, yang satunya lagi meludahi mayat temannya itu, maka sang mayat akan bangkit dan hidup kembali. Hanya mereka berdua yang menekuni ilmu 'Ludah Iblis', sehingga dari sekian banyak anak buah Raja Tumbal, hanya merekalah yang memiiiki ilmu tersebut. Biasanya mereka ditempatkan di kanan-kiri Raja Tumbal sebagai orang kepercayaannya. Tapi kali ini agaknya Raja Tumbal merelakan mereka pergi dari sampingnya demi mendapatkan Pedang Kayu Petir itu.
Tugas Rajang Lebong dan Pangkas Caling adalah mencari tahu di mana Pedang Kayu Petir itu berada. Jika memungkinkan untuk merebut dan membawa pulang Pedang Kayu Petir, mereka akan diberi wilayah
kekuasaan sendiri. Setidaknya mereka mengetahui siapa pemegang Pedang Kayu Petir sekarang, sehingga Raja Tumbal bisa menghadapinya dengan siasatnya sendiri dan tentu saja menggunakan Seruling Malaikat-nya. Tapi jika mereka gagal membawa pulang Pedang Kayu Petir dan tidak mengetahui siapa pemiliknya, tugas ketiga bagi mereka adalah bunuh diri dengan cara sendiri-sendiri.
Mereka berdua berhasil menyadap pembicaraan para tokoh di Bukit Lajang, sehingga mereka tahu ke mana harus bergerak, yaitu ke arah utara. Dalam perjalanan menuju utara itulah mereka berpapasan dengan dua pendeta dari Biara Damai dan Biara Genta. Pada waktu itu, Pendeta Mata Lima dan Pendeta Jantung Dewa baru saja selesai sembuhkan diri akibat serangan sinar perak yang tak diketahui pemiliknya. Mereka tak tahu bahwa pemiliknya adalah Angin Betina. Mereka hanya berlari menuju ke puncak bukit, melintasi Telaga Jompo, sampai menuruni bukit dari puncaknya. Jalan itu adalah jalan yang mereka tempuh semula saat datang dari arah Bukit Lajang.
Melihat kedua pendeta itu tampak terburu-buru, Rajang Lebong segera hentikan langkah, tangan kanannya direntangkan sedikit yang berarti menyuruh Pangkas Caling berhenti pula.
"Ada apa?" tanya Pangkas Caling yang berbadan kurua, berpakaian hijau dengan wajah layak dikatakan runcing karena dagunya lancip.
"Jantung Dewa dan Mata Lima baru saja dari bukit
itu! Mereka tampak tergesa-gesa. Ada apa kira-kira?" "Hmmm...!" Pangkas Caling mengusap-usap
kumisnya yang panjang melengkung ke bawah. Lalu
berkata dengan suara mirip orang menggumam,
"Pasti mereka sudah dapatkan keterangan tentang di mana pedang pusaka itu dan siapa pemegangnya! Pasti mereka sedang mengejar si pemilik pedang itu!"
Rajang Lebong yang berpakaian merah, berikat kepala merah dengan rambut botak depan dan sisanya panjang lewat pundak itu segera berkata,
"Hadang mereka! Paksa supaya buka mulut!" Wuss, wuus...!
Keduanya segera berkelebat menghadang langkah kedua pendeta itu. Sapaan kedua utusan Lumpur Maut yang pertama kali adalah melesatnya selarik sinar kuning ke arah punggung Pendeta Jantung Dewa. Claaap...! Tetapi Pendeta Jantung Dewa ternyata mempunyai gerak naluri yang cukup peka, karena dalam keadaan penuh waspada. Tak mau kecolongan lagi seperti tadi.
"Awas...!" serunya sambil jejakkan kaki dan tubuhnya melenting di udara. Wuuus...!
Pendeta Mata Lima mendengar seruan itu tanpa banyak tanya lagi, sentakkan kakinya dan, wuuut...! Wuk, wuuk...! Bersalto di udara dua kali masih merupakan kelincahan yang dimiliki orang setua dia.
Kini keduanya sudah kembali mendarat di tanah dan langsung menghadang lawannya, tak pedulikan sinar kuning tadi kenai pohon itu langsung kering dari pucuk sampai akarnya.
"Rajang Lebong dan Pangkas Caling, mau apa kalian menyerang kami!" tegur Pendeta Jantung Dewa dengan kalem.
Senyum Pangkas Caling diperlihatkan kesinisannya, tapi bagi Pendeta Jantung Dewa, yang dipamerkan adalah dua gigi taring yang sedikit lebih panjang dari barisan gigi lainnya. Pangkas Caling menyeringai mirip hantu tersipu malu.
Sekalipun yang menyeringai Pangkas Caling, tapi yang bicara adalah Rajang Lebong yang punya badan agak gemuk, bersenjata golok lengkung terselip di depan perutnya. Beda dengan Pangkas Caling yang bersenjata parang panjang di pinggang kirinya.
"Kulihat kalian berdua tadi ada di Bukit Lajang!" "Memang benar!" jawab Pendeta Jantung Dewa.
Tegas dan jujur.
"Tentunya kalian telah berhasil peroleh keterangan tentang pedang pusaka itu. Terbukti kalian berbalik arah dan sangat terburu-buru."
"Jika benar, mau apa kalian?" sahut Pendeta Mata Lima. Ia bersikap lebih tegas lagi, dan sikapnya langsung menentang tanpa basa-basi.
"Beri tahu kami, di mana pedang itu dan siapa pemegangnya yang sekarang!" Pangkas Caling segera menyambar percakapan sebelum Rajang Lebong bicara.
"Kami hanya melihat bayangan pedang itu saja," kata Pendeta Jantung Dewa. "Kami tak tahu persis di mana pedang itu dan siapa sekarang yang memiiikinya!"
"Apakah aku harus memaksa mulut kalian agar
bicara?!" ujar Rajang Lebong dengan nada sinis. Pendeta
Mata Lima tak sabar dan berkata sinis juga, "Apakah kalian mampu?"
"Rajang Lebong!" sentak Pangkas Caling, "Kita disepelekan! Hajar dia!" Wuuut...! Craaak...!
Pendeta Mata Lima mendahului gerakan Rajang Lebong yang sudah siap-siap lakukan serangan. Pendeta Mata Lima kibaskan tasbihnya ke depan dan memerciklah bunga api warna hijau terang yang langsung menerjang tubuh Rajang Lebong. Tetapi tangan Pangkas Caling cepat-cepat menyentak ke depan dan menghembuslah angin badai kecil yang berkecepatan tinggi. Wuuussss...!
Cahaya hijau yang memercik-mercik itu menyingkir arah dan terhempas badai dari tangan Pangkas Caling. Sinar itu menghantam gugusan batu. Praak...! Gugusan batu hancur menjadi butiran-butiran sebesar biji pepaya.
Seperti biasa, jika terjadi pertarungan, Pendeta Jantung Dewa menyingkir lebih dulu. Seakan memberikan kesempatan kepada kakaknya untuk menangani lawan mereka dan mempercayakan perlawanan kepada sang kakak. Pendeta Jantung Dewa diam di bawah pohon dengan tenang, memperhatikan kakaknya menghadapi kedua utusan Lumpur Maut itu.
"Kalian memang pendeta yang bodoh! Kalian pikir usia kalian masih mampu melampau batas dua tahun lagi? Tidak! Usia kalian tinggal sejengkal. Untuk apa kalian paksakan diri melawan kami? Lebih baik kalian katakan di mana pedang itu daripada kami percepat
kematian kalian berdua!" kata Rajang Lebong.
"Jangan banyak bicara! Buktikan saja kemampuanmu."
"Keparat! Benar-benar orang tua tak bisa diberi ampun kau! Heaaah..!"
Rajang Lebong segera melompat sambil cabut golok lengkungnya. Wees...! Golok ditebaskan ke wajah Pendeta Mata Lima. Tapi orang yang mau ditebas wajahnya lompat mundur satu kali. Suuut...! Jauhnya bisa empat langkah. Lalu dari mata kirinya melesat sinar biru lima larik kecil-kecil seperti benang.
Slaaap...! Jraab...!
Lima sinar itu menghantam tubuh Rajang Lebong. Melesatnya lima sinar biru adalah sesuatu yang sangat tidak diduga-duga, sehingga Rajang Lebong sempat terkejut. Namun belum selesai rasa kagetnya ia sudah harus terjungkal ke belakang dan jatuh di depan kaki Pangkas Caling. Bruuuhk...!
"Uuhhgg...! Rajang Lebong mengerang. Matanya yang lebar mendelik. Tubuhnya menjadi merah matang. Demikian pula wajahnya. Alisnya lenyap terbakar, demikian pula rambut belakangnya. Tinggal sisa bagian belakang, itu pun menjadi keriting bagai disambar petir. Tubuh itu mengejang sesaat, untuk kemudian terkulai lemas dengan napas terhempas. Tapi selanjutnya Rajang Lebong bagai orang malas bernapas karena nyawanya melayang meninggalkan raga.
"Bangsat kau, Mata Lima!" geram Pangkas Caling
dengan mata melebar penuh amukan dendam. Sebelum ia lakukan serangan balasan, lebih dulu mayat Rajang Lebong itu diludahi satu kali. "Cuih...!"
Plok! Ludah menempel di wajah mayat. Segera Pangkas Caling melompat tak seberapa jauh. Maju ke depan dengan kedua tangan yang saling merapat segera disentakkan membuka ke kanan-kiri.
"Heaah...!"
Dari dada kurus Pangkas Caling melesat sinar lebar warna merah terang. Sinar itu menyembur ke arah Pendeta Mata Lima sampai merangkup ke tempat berdirinya Pendeta Jantung Dewa. Plaaass...!
Seketika itu pula dua pendeta lepaskan jurus pukulan yang sama tanpa berunding lebih dulu. Tangan kiri mereka terangkat ke atas dan tangan kanan mereka menghentak ke kiri bagaikan mendorong sesuatu dari kanan ke kiri.
Wuuut...!
Secara bersamaan pula dari lengan kanan mereka melesat sinar lebar pula berwarna hijau bening. Wuuus...!
Kedua sinar hijau bening itu menghantam sinar merahnya Pangkas Caling, dan akibatnya sungguh dahsyat. Kedua sinar itu pecah dan timbulkan ledakan besar.
Bleeng...!
Gemanya memenuhi hutan lereng bukit. Tanah yang dipijak mereka berguncang. Bukit itu bagaikan gunung yang akan meletus. Lebih dari lima pohon tumbang.
Batu-batu yang ada di atas berhamburan bergulir saling kejar-kejaran. Gemuruh suara yang timbul bagaikan suara langit mau roboh. Angin datang, berhembus menyerupai badai. Awan di angkasa yang semula terang menjadi gelap. Menggumpal hitam dan bergulung- gulung. Karena benturan dua jenis sinar itu tadi menyebarkan asap hitam yang membumbung tinggi bagaikan mendung tanpa petir.
Tubuh Pangkas Caling tak kelihatan setelah terjadi kilatan cahaya terang warna ungu akibat benturan tadi. Tubuh kedua pendeta itu terjungkal lima langkah dari jarak tempat berdiri mereka tadi. Hidung mereka sama- sama keluarkan darah, dan wajah mereka sama-sama menjadi pucat. Mereka sendiri tak sangka kalau akan terjadi ledakan sedahsyat itu.
"Jantung Dewa, apakah kita masih hidup atau sudah di nirwana?"
"Kukira kita masih ada di bumi, Mata Lima," jawab Pendeta Jantung Dewa dengan suara berat dan napas sesak.
Getaran bumi terhenti, angin membadai hilang. Gemuruh bebatuan yang longsor bersama tanahnya pun tinggal sisanya. Kedua pendeta itu sudah tegak berdiri walau sesak napasnya belum teratasi. Tapi pandangan mata para orang tua itu sudah cukup terang untuk memandang alam sekitarnya.
Pada waktu itu, keadaan Rajang Lebong yang sudah mati ternyata bisa bernapas dan bangkit lagi. Sebab sebelum Pangkas Caling menyerang, terlebih dulu
meludahi wajah Rajang Lebong. Tetapi ia menjadi bingung melihat keadaan sekeliling yang rusak bagai dilanda kiamat setempat. Lebih bingung lagi ia mencari- cari di mana Pangkas Caling berada.
Bagi kedua pendeta tua itu, kebangkitan Raja Lebong dari kematian bukan sesuatu yang aneh. Sebab mereka berdua sudah mengetahui kekuatan ilmu mereka. Tapi bagi sepasang mata yang mengintai dari kejauhan dan ikut terkena percikan tanah saat terjadi ledakan dahsyat tadi, sungguh heran melihat Rajang Lebong bangkit kembali.
"Pangkas Caling...!" seru Rajang Lebong dengan terbungkuk-bungkuk karena masih sempoyongan. "Pangkas Caling, di mana kau?!"
"Di sini...!" seru sebuah suara dari arah timur. Bukan hanya Rajang Lebong yang berpaling ke timur, melainkan kedua pendeta dan sepasang mata pengintai itu juga memandang ke arah timur. Rajang Lebong kaget melihat keadaan Pangkas Caling yang hanya kelihatan kepaianya saja, sekujur tubuhnya terkubur tanah longsor. Kepala itu berwajah kotor penuh tanah, nyaris tak dapat dikenali sebagai kepala manusia, karena mirip dengan kelapa kering yang terkelupas sabutnya secara acak- acakan.
"Maling kuntet!" geram Rajang Lebong. "Kenapa kau diam saja di situ?! Lekas bangun! Lawan kita masih tegar!" sambil Rajang Lebong bergegas menghampiri Pangkas Caling. Begitu ia mendekat, Pangkas Caling yang jengkel karena dikecam itu segera meludah.
Cuih...! Plok!
"Monyet!" sentak Rajang Lebong memaki sambil mengusap wajahnya yang kena ludah lagi itu. "Aku sudah hidup. Tak perlu kau ludahi lagi!"
"Aku tahu! Tapi kau jangan mengecamku! Cepat bantu aku keluar dari timbunan tanah longsor ini!" sentak Pangkas Caling. Matanya mau mendelik tapi buru-buru berkedip-kedip karena tanah di alisnya rontok dan masuk ke mata.
Sementara Rajang Lebong membongkar timbunan tanah untuk keluarkan tubuh Pangkas Caling, di sisi lain Pendeta Mata Lima berkata kepada adiknya,
"Kita serang mereka saat begitu biar mati bersama. Jika mereka mati bersama maka tak ada yang bisa saling meludahi!"
"Tentu saja, sebab tak pernah ada mayat yang bisa saling meludahi. Tapi itu licik namanya. Beri kesempatan mereka bangkit dan berhadapan kembali dengan kita! Seandainya mereka harus mati bersama, biarlah mati secara ksatria, dan kita menang pun dengan hormat!"
Rajang Lebong menarik tubuh Pangkas Caling. Bruuus...! Tubuh itu terangkat ke atas dan berhasil keluar dari timbunan tanah. Tetapi keduanya sama-sama kaget, matanya memandang ke bawah. Ternyata kaki kiri Pangkas Caling terpotong sebatas lutut.
Pangkas Caling menyeringai memandangi Rajang Lebong, antara menahan sakit, marah, dan sedih. Rajang Lebong salah pengertian dan berkata,
"Jangan tersenyum!"
"Matamu itu yang tersenyum!" makinya dengan kasar. "Lihat... kakiku ketinggalan di dalam sana!" Pangkas Caling ingin menangis.
Rajang Lebong bingung. "Mau diambii percuma juga, nyambungnya bagaimana?!" ucapnya pelan dan hati- hati.
"Balas! Buntungi kepala dua pendeta itu! Balas...!" teriaknya dengan marah bercampur sedih.
"Heaaat..!" Rajang Lebong berlari dengan geram kemarahan terpancing. Tab, tab, tab...! ia melompat dengan gerakan jungkir balik yang cepat. Jleeg! Tiba di depan kedua pendeta itu dengan napas terengah-engah. Golok lengkungnya ketinggalan di tempat timbunan tanah yang mengubur tubuh Pangkas Caling. Tapi hal itu tidak jadi masalah buat Rajang Lebong. Niatnya membalaskan kebuntungan kaki temannya sangat besar, sehingga dengan geram ia berkata, "Sudah saatnya kaki dibalas kepala! Heaaat...!" Rajang Lebong keluarkan sinar dari kedua telapak tangan yang selesai digosokkan dan disentakkan ke depan. Sinar biru itu melesat terputus-putus bagaikan senjata yang dilepaskan dari tempatnya. Clap, clap, clap, clap...!
Duaaar! Blaar! Daaar..! Taar...! Blaar...! Sinar biru itu terus-terusan keluar dari telapak tangan Rajang Lebong. Pemiliknya bersalto ke sana-sini, melompat kian kemari. Kedua pendeta itu dihujani sinar biru yang bagaikan peluru tanpa ada habisnya. Teriakan Rajang Lebong bagai orang kesurupan yang mengamuk ganas.
"Heaaat...! Hiaaah ..! Heeeaaah. .!' Clap, clap, clap...! Gerakan memutari kedua pendeta membuat Rajang
Lebong sulit diserang baiik. Bahkan sinar biru yang
berbenturan dengan sinar sinar dari kedua pendeta itu hanya hasilkan ledakan-ledakan yang tak mampu membuat tubuh Rajang Lebong terpental. Jraab...! Dees...!
Dua sinar biru itu akhirnya berhasil kenai punggung Pendeta Jantung Dewa, dan mengenai pinggang Pendeta Mata Lima. Keduanya sama-sama jatuh dengan tubuh mengejang dan menjadi hitam. Tetapi agaknya Rajang Lebong belum puas. Lebih-lebih Pangkas Caling berseru dari tempatnya yang agak jauh,
"Hancurkan! Jadikan mereka debu dengan jurus 'Pasir
Neraka'! Cepaaat...!"
Tetapi tiba-tiba sekelebat sinar hijau dari telapak tangan sang pengintai melesat lebih dulu sebelum Rajang Lebong lepaskan jurus 'Pasir Neraka' andalannya. Zlaaap...! Sinar hijau yang dinamakan jurus
'Pecah Raga' itu tepat kedai dada Rajang Lebong. Deeub...! Blaaarrr...!
Apa yang terjadi sungguh tak diduga-duga oleh Pangkas Caling. Tubuh Rajang Lebong hancur. Pecah menjadi serpihan-serpihan daging dan tulang yang menyebar ke mana-mana. Bahkan darahnya sendiri tak bisa terkumpulkan. Ada yang membasahi batu, pohon, daun, ilalang, dan ke mana saja tak jelas bentuknya, hanya warna merah yang membuat alam sekitarnya bagai berbunga indah. Sedangkan Pangkas Caling
gemetar antara takut dan memendam murka, ia sempat berkata pada dirinya sendiri,
"Kalau begini matinya, bagaimana aku bisa meludahi
Rajang Lebong? Apanya yang harus kuludahi?! Celaka! Ada orang yang membantu kedua pendeta itu! Ilmunya pasti lebih tinggi! Sebaiknya aku harus lekas-lekas kabur saja!"
Pangkas Caling larikan diri dengan satu kaki. Sedikit lambat, tapi termasuk cepat bagi orang awam. Sentakan kakinya mengayunkan tubuh dengan ringan bagaikan terbang. Wuus...! Wuuuus...! Wuuus...! Dalam beberapa waktu saja ia sudah tidak kelihatan.
Sang pengintai segera muncul. Gerakannya sangat cepat. Zlaaap...! Tahu-tahu ia sudah berada di samping dua pendeta yang masih sekarat dalam keadaan tubuh hangus tapi pakaian tidak terbakar sedikit pun. Pengintai itu tak lain adalah Pendekar Mabuk, Suto Sinting, yang bertujuan menemui Sabani, kakak Angon Luwak melalui bukit itu seperti perjalanan saat menuju Lembah Sunyi.
"Agaknya masih bisa kutolong. Mereka masih punya napas!" kemudian Suto Sinting segera meminumkan tuaknya ke mulut kedua pendeta itu dengan sedikit susah payah karena kedua pendeta itu bergigi rapat, menggigit kuat menahan rasa sakit yang luar biasa.
Setelah keduanya berhasil diminumi tuak, beberapa saat kemudian kulit yang hangus terbakar itu mulai pudar, kian lama kian kembali ke warna aslinya. Napas mereka pun mulai teratur. Tapi badan mereka masih lemah. Mereka didudukkan oleh Suto Sinting.
Kedua pendeta itu terkejut setelah menyadari orang yang menolongnya adalah Suto Sinting, yaitu orang yang sedang dikejar-kejar untuk didesak agar memberitahukan letak benda pusaka itu. Mereka jadi tertegun beberapa saat memandangi Pendekar Mabuk. Hati mereka gundah karena bingung harus bersikap bagaimana terhadap Suto Sinting.
Akhirnya Pendeta Jantung Dewa berkata, "Terima kasih atas pertolonganmu. Sempat kulihat sinar hijaumu kenai dada Rajang Lebong dan pecahlah raga orang itu. Tapi ketahuilah, ini sebuah kesempatan emas bagi Raja Tumbal untuk menyerang biara kami dengan alasan pembalasan terhadap kematian Rajang Lebong!"
"Jangan takut, saya akan membantu memperkuat biara!" kata Suto Sinting.
"Apakah kau akan serang Raja Tumbal dengan
pedang pusaka itu?"
"Ya. Tapi aku harus cari pedang itu dulu. Eyang! Aku tahu siapa yang membawa pedang itu. Dan aku tak sadar kalau aku telah melihat pedang pusaka itu!"
Pendeta Mata Lima berusaha bangkit dengan pelan- pelan. Ia berhasil berdiri tegak setelah dibantu oleh Suto Sinting.
"Sebaiknya katakan pada kami siapa yang membawa pedang itu!" kata Pendeta Mata Lima. "Jangan bikin persoalan lagi dengan kami, Suto Sinting."
Suto Sinting tarik napas menahan rasa jengkel. Pendeta Jantung Dewa pun bangkit berdiri dan berkata kepada kakaknya,
"Dia sudah selamatkan jiwa kita! Mengapa kau masih mendesaknya dengan cara seperti itu, Mata Lima?!"
"Karena kita butuh pedang itu!"
"Serahkan saja semuanya pada Pendekar Mabuk, tentunya dia tidak akan tinggal diam melihat orang sesat ingin hancurkan kita!"
"Bagaimana kalau dia ingkar janji setelah dapatkan pedang itu?"
"Kalau dia mau ingkar janji, dia tidak akan mau tolong kita saat ini!"
Akhirnya sang kakak mengalah dan tarik napas dalam-dalam. "Baiklah, kuserahkan kepadamu tentang keganasan Raja Tumbal itu!" katanya kepada Suto. "Tetapi izinkan kami membantumu mencari pedang itu, supaya jika kau temui kesulitan kami bisa membantu."
"Eyang berdua sebaiknya beristirahat saja. Biar aku yang mencarinya!" Suto tetap bicara dengan ramah.
Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan bernada mengejek. Plok, plok, plok, plok, plok, plok...! Lalu sesosok tubuh muncul dari balik pohon yang tumbuh miring dan hampir roboh akibat amukan badai tadi. Kedua pendeta itu dan Suto Sinting segera memandang kemunculan tokoh sakti yang sudah mereka kenal sebelumnya. Mereka sedikit terkejut karena ternyata tokoh itu hadir pula di bukit tersebut, seakan ingin ikut campur urusan Suto dan dua pendeta.
*
* *
8
TOKOH yang baru muncul itu berpakaian serba merah, sabuknya hitam. Di sabuknya itu terselip kipas putih. Rambutnya putih, sedikit ikal. Ia mengenakan ikat kepala warna hitam. Kumis dan jenggotnya tak begitu banyak, tapi berwarna putih rata. Usianya sekitar tujuh puluh tahun. Kulitnya agak hitam dengan badan sedikit gemuk.
Ketika berjalan mendekati Suto dan dua pendeta itu, kepalanya terkulai miring, matanya terpejam. Tak ada gambaran apa pun di wajahnya itu, sebab ia dalam keadaan sedang tidur. Siapa lagi yang bisa tidur sambil lompat sana-sini kalau bukan Ki Gendeng Sekarat, bekas pelayannya si Gila Tuak. Pendeta Jantung Dewa dan kakaknya tidak heran melihat Ki Gendeng Sekarat berjalan dalam keadaan tidur, sebab mereka sudah lama mengetahui ketinggian ilmu Ki Gendeng Sekarat.
"Apa maksudmu bertepuk tangan, Gendeng Sekarat?" tegur Pendeta Mata Lima.
Dengan suara parau karena dalam keadaan tidur, KI Gendeng Sekarat menjawab,
"Aku memuji kehebatan Gusti Manggala-ku ini!" seraya tangannya menuding Suto dengan lemas. "Masih muda, tapi justru akan menjadi pelindung kalian yang sudah tua dan berilmu tinggi!"
"Jaga bicaramu agar jangan menyinggung perasaanku, Gendeng Sekarat!" hardik Pendeta Mata Lima. Ki Gendeng Sekarat tertawa pendek, seperti orang mengigau, ia menepuk pundak Suto dan berkata,
"Pendeta yang satu ini memang cepat panas hati dan mudah tersinggung!"
"Ki Gendeng Sekarat, apa maksud Ki Gendeng
Sekarat datang menemuiku di sini? Apakah ada utusan dari Puri Gerbang Surgawi?"
Mendengar nama Puri Gerbang Surgawi disebutkan, kedua pendeta itu tetap tenang. Sebab mereka tahu, bahwa Suto Sinting adalah orang Puri Gerbang Surgawi. Noda merah di kening Suto sudah dilihat sejak awal jumpa. Semestinya mereka merasa sungkan, karena mereka tahu siapa penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi baik yang di alam gaib maupun yang di alam nyata, yaitu di Pulau Serindu. Tapi karena terpaksa sekali, demi pedang pusaka itu, maka kedua pendeta tersebut melupakan tentang siapa Suto sebenarnya.
Ki Gendeng Sekarat menjawab pertanyaan Suto tadi, "Aku datang bukan karena tugas dari calon istrimu; Dyah Sariningrum. Aku datang karena aku dengar ribut- ribut tentang Pedang Kayu Petir yang sudah puluhan tahun dianggap lenyap tak berbekas itu. Tentunya kepergianku atas seizin Ratu Gusti Mahkota Sejati, ya calon istrimu itu."
Pendeta Mata Lima berkata, "Apakah kau juga ingin memiliki pedang pusaka itu, Gendeng Sekarat?"
"Pedang itu milik Resi Wulung Gading," jawab Ki
Gendeng Sekarat sambil bersandar di pohon samping Suto supaya tidurnya enak. Tapi ia tetap bicara walau masih tertidur.
"Untuk apa aku memiliki pusaka yang bukan hakku?
Kalau aku punya keperluan dengan pusaka itu, lebih baik aku meminta izin kepada yang memilikinya, dan meminjam dengan kerelaan hati si pemilik. Tidak dengan mencari dan merebut sendiri pedang itu!" .
Pendeta Jantung Dewa yang kalem itu menatap kakaknya. Mereka tahu sedang disindir. Tapi mereka memang mengakui kesalahan langkah mereka, sehingga Pendeta Mata Lima hanya tarik napas memendam penyesalan.
Ki Gendeng Sekarat sedikit melorot sandarannya. Dengkurnya terdengar pelan sekali. Sepertinya ia tak ingin bicara lagi dan lelap dalam mimpi. Namun ketika Suto Sinting buka mulut untuk ucapkan kata, Ki Gendeng Sekarat buru-buru berkata,
"Wulung Gading adalah temanku. Aku tahu persis bahwa pusaka itu adalah pusaka leluhurnya. Gunanya untuk membantai keangkaramurkaan yang sulit dimusnahkan. Wulung Gading persiapkan pedang itu untuk melawan Siluman Tujuh Nyawa. Tapi pedang itu tahu-tahu lenyap secara gaib, dan sejak itu kami pun tak mau membicarakannya lagi."
Ki Gendeng Sekarat makin melorot, akhirnya duduk di rumput dan bersandar santai dengan kaki melonjor kepala kian miring ke kiri, sedikit agak ke depan. Dengkurnya terdengar lirih sekali.
"Tapi...," Suto mau bicara dipotong lagi oleh suara KI Gendeng Sekarat,
"Tapi sekarang kudengar pedang maha sakti itu muncul lagi. Entah siapa yang menemukannya, yang
jelas kemunculan pedang itu punya makna sendiri bagi kehidupan orang banyak. Bukan bagi kepentingan pribadi."
"Sejak tadi kau menyindir kami terus!" sambar Pendeta Mata Lima. "Apa maksudmu sebenarnya, Gendeng Sekarat?!"
"Maksudku, mengingatkan kalian. Yah, namanya saja sudah pada tua-tua begitu, maklum kalau lupa dan kami yang muda perlu mengingatkan," jawabnya dengan nada seenaknya walau masih bersuara parau. "Kalau kalian ingin menggunakan pedang itu, pinjamlah kepada Wulung Gading. Minta izin dulu kepada pemiliknya! Setidaknya jika memang kalian berhasil menumbangkan lawan dengan pedang itu, tidak akan timbul salah pengertian di pihak Wulung Gading!"
"Saranmu itu memang benar," kata Pendeta Jantung Dewa. "Kami salah langkah karena keadaan panik. Tapi kami akan segera ke Lembah Sunyi sekarang juga untuk bicara dengan Wulung Gading!"
Kemudian Pendeta Jantung Dewa bicara kepada kakaknya, "Kita berangkat sekarang saja. Biarkan masalah pencarian pedang itu kita percayakan kepada Pendekar Mabuk!"
"Dan urusan kita dengan Raja Tumbal?"
"Kutangani secepatnya, Eyang!" sahut Suto Sinting. "Baiklah!" akhirnya Pendeta Mata Lima menyetujui
rencana adiknya. Mereka pun segera pergi setelah Suto berkata,
"Begitu pedang itu kudapatkan, sudah tentu
kuberikan dulu kepada Resi Wulung Gading. Atas seizin beliau aku berani gunakan pedang itu!"
"Semoga kita bertemu di Lembah Sunyi, Anak
Muda!" kata Pendeta Jantung Dewa.
Setelah kedua pendeta itu pergi, Suto berkata kepada
Ki Gendeng Sekarat,
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu, Ki. Sangat rahasia sekali. Karena itu, aku butuh tempat aman yang tak tersadap oleh telinga siapa saja."
"Mudah saja, Gusti Manggala!" kata Ki Gendeng Sekarat dengan sebutan terhormat kepada Suto, karena kedudukan Suto lebih tinggi darinya jika mereka berada di negeri Puri Gerbang Surgawi.
Ki Gendeng Sekarat segera keraskan dua jari tangannya. Dua jari tangan itu disentakkan ke langit. Wuuut...! Melesatlah sinar hijau memercik-mercik seperti kumpulan kembang api. Sinar itu melesat di udara tak seberapa tinggi, hanya sekitar lima jengkal dari kepala mereka. Sinar itu memecah, menjadi lebar dan akhirnya bergerak turun dalam bentuk kabut putih. Wuuuss...! Kabut itu membungkus sekeliling mereka berdua. Kejap berikut kabut itu lenyap. Kedua tubuh mereka pun lenyap. Tak terlihat oleh mata siapa pun.
"Kita lenyap dari pandang mata siapa pun, Gusti Manggala. Suara kita pun tak akan didengar oleh siapa pun walau orang itu berilmu tinggi."
Suto memandangi alam sekeliling dengan kagum, sebab dalam pandangannya alam sekeliling bercahaya hijau semua. Mulut Suto pun menggumam heran. "Luar
biasa! Hebat sekali! Ilmu apa namanya, Ki?" "Namanya ilmu... jurus 'Surya Kasmaran'." "Aneh sekali namanya itu?"
"Jurus ini untuk menutupi kita jika sewaktu-waktu kita ingin bermesraan dengan kekasih."
Gelak tawa Suto terlepas tak terlalu panjang. "Agaknya jurus ini adalah jurus baru. Aku baru sekarang tahu kau memiliki ilmu ini, Ki!"
"Memang jurus baru! Calon istrimu itulah yang menghadiahkan jurus ini padaku sebagai hadiah kesetiaanku yang menjadi penghubung antara kau dan dia!"
"Menakjubkan sekali! Aku akan minta jurus ini darinya jika aku pulang nanti."
"Itu urusan nanti. Sekarang bicaralah dulu hal yang ingin kau bicarakan!"
"Soal Pedang Kayu Petir itu, Ki!"
"Apa yang ingin kau ketahui? Kesaktiannya?"
"Ya. Pertama-tama aku ingin tahu sejelas-jelasnya tentang kesaktian Pedang Kayu Petir itu."
Ki Gendeng Sekarat menguap setelah tubuhnya
bagaikan tersentak kaget, ia juga menggeliat dengan tangan direntangkan. Satu tangan yang merentang keatas nyaris kenai pipi Suto kalau Suto tak segera undurkan kepala.
'Hati-hati, Ki...!"
"Lain kali kalau ada orang menggeliat jangan di sampingnya!" gerutunya.
Ki Gendeng Sekarat mengusap wajahnya.
Tampaknya ia telah selesai tidur dan puas menikmati kenyenyakannya. Pandangan matanya terasa segar. Tapi segera berkerut dahi.
"Lho... kok semuanya serba hijau?"
"Kau yang bikin semuanya jadi hijau dengan jurus barumu itu!"
"O, iya!" ia manggut-manggut sambil garuk-garuk
kepala. "Hmm... kau tanya apa tadi? Oh, kesaktian pedang itu?!"
"Benar, Ki. Aku ingin tahu semuanya yang ada pada pedang itu."
"Pedang itu sebenarnya roh dari Eyang Agung
Ciptamangkurat!"
"Siapa itu Eyang Agung Ciptamangkurat?" "Kakeknya... hmmm... kakeknya manusia tanpa pusar
yang menjelma menjadi pohon bambu dan bambu itu
menjadi bumbung tuakmu yang sekarang. Aku tak berani sebutkan namanya, karena jika namanya kusebutkan akan terjadi hujan badai dan hujan petir!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut, ia mengerti maksud Ki Gendeng Sekarat, bahwa Pedang Kayu Petir adalah jelmaan kakeknya Wijayasura, manusia tanpa pusar, guru dari Purbapati dan Nini Galih, kakek gurunya si Gila Tuak. Padahal Suto sendiri adalah bocah tanpa pusar juga, sehingga seluruh ilmu Wijayasura mengalir dengan sendirinya ke tubuh Suto walau melalui si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Nama Wijayasura memang tak boleh disebut sembarangan karena bisa datangkan hujan petir dan badai, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Pedang Guntur Biru", "Bocah
Tanpa Pusar", dan "Pusaka Tombak Maut"). "Terus letak keampuhannya, Ki?"
"Orang sesakti apa pun bisa dilukai oleh pedang itu. Sebab siapa pun orangnya, jika melihat pedang itu, maka seluruh kesaktiannya lenyap seketika dan menjadi orang polos tanpa ilmu secuil pun. Tapi jika ia jauh dari pedang itu dan tidak melihatnya, maka kesaktian orang tersebut muncul kembali seperti sediakala."
Suto kembali manggut-manggut, lalu terbayang saat ia melihat Angon Luwak bermain pedang-pedangan bersama Saladin dan teman-teman lainnya. Saat itu, Suto ingin menolong Saladin yang terluka, tapi gerakannya menjadi lamban, ia tak bisa gunakan gerak siluman, bahkan untuk bersalto pun tak mampu, malah jatuh tersungkur memalukan. Rupanya saat itu ilmu Suto hilang seketika karena melihat Pedang Kayu Petir. Buktinya setelah Angon Luwak lari ketakutan karena menyangka dirinya telah membunuh Saladin, Suto mampu lakukan gerakan bersalto dan gerak silumannya pun bisa digunakan kembali sebagaimana mestinya.
Ki Gendeng Sekarat berkata lagi, "Menurut cerita Wulung Gading, pedang itu jika digoreskan ke kulit tubuh manusia, maka lukanya akan menyala hijau pendar-pendar, si korban kejang-kejang, tubuhnya menjadi hijau berpijar-pijar, sesaat kemudian sinar itu lenyap bersama hilangnya nyawa korban."
"Persis," gumam Suto sambil membayangkan keadaan Saladin.
"Jika pedang itu disentakkan ke langit, keluar puluhan petir berpencar ke segala arah dari ujung pedang. Langit menjadi merah menggelegar bagaikan mau pecah. Jika di langit ada bulan dan pedang itu disentakkan ke arah rembulan, maka rembulan akan menjadi semerah saga. Jika disentakkan ke arah matahari, maka matahari akan redupkan sinarnya dan tampak merah sehari penuh."
"Luar biasa...?!" Suto penuh kekaguman dalam decaknya.
"Pedang itu dari kayu biasa. Sepertinya kayu rapuh. Tapi itulah kayu petir. Tanaman kayu petir sudah tidak tumbuh lagi di masa sekarang. Sekalipun dari kayu, tapi pedang itu tak bisa patah. Pedang itu sangat enteng, baunya wangi cendana campur pandan. Bisa untuk memotong baja setebal apa pun. Jika ditebangkan pada satu pohon, maka dua-tiga pohon di kanan-kirinya ikut terpotong dengan sendirinya. Pedang itu tanpa sarung pedang. Konon, para leluhur Wulung Gading membungkusnya dengan sarung pedang dari kain biasa." "Pantas para tokoh di rimba persilatan menginginkan
pedang itu?!" kata Suto bagai bicara sendiri.
"Satu lagi keistimewaan pedang itu, jika ditusukkan keluar sinar ungu dari ujungnya. Sinar itu bisa menembus empat atau lima pohon sekaligus! Jadi kalau ditusukkan ke tubuh lawan harus hati-hati. Bisa-bisa mengenai teman sendiri yang kebetulan ada dalam satu arah tusukan dengan lawan."
Gumam lirih Suto memanjang dengan kepala manggut-manggut. Kini kelihatannya Ki Gendeng
Sekarat mulai memperhatikan segala sikap Suto yang tadi terjadi saat ia menceritakan kehebatan pedang maha sakti itu. Ki Gendeng Sekarat bertanya pada pemuda tanpa pusar itu,
"Tadi kudengar kau mengatakan 'persis', maksudnya persis bagaimana?"
"Aku melihat pedang itu ada di tangan muridmu."
Ki Gendeng Sekarat kerutkan dahi, pandangi Suto penuh curiga dan keheranan.
"Aku tak punya murid. Semua muridku sudah mati ketika Pulau Mayat diobrak-abrik oleh Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa!"
Suto tersenyum. "Kau mempunyai murid baru yang hanya mempunyai satu ilmu, yaitu ilmu 'Genggam Buana'. Apakah kau sudah tak ingat lagi?"
Segera raut wajah Ki Gendeng Sekarat berubah tegang. "Maksudmu... maksudmu pedang itu ada di tangan Angon Luwak, bocah penggembala kambing itu?"
"Benar!" lalu Suto Sinting pun ceritakan kembali tentang apa yang dilihatnya saat Angon Luwak bermain perang-perangan dengan Saladin dan yang lainnya. Ki Gendeng Sekarat jadi terbengong-bengong dengan mulut melompong. Dalam hatinya timbul kesangsian antara percaya dan tidak. Tapi Suto Sinting mencoba meyakinkan Ki Gendeng Sekarat, sehingga orang bermata agak sipit karena kebanyakan tidur itu berkata,
"Kalau begitu Angon Luwak pasti dalam bahaya. Sebab pada umumnya, para tokoh tua mengenali ciri-ciri
pedang tersebut. Pasti mereka berusaha merebutnya dari
Angon Luwak."
"Justru aku sampai di sini karena sedang mencari
Angon Luwak!"
"Kalau benar begitu," kata Ki Gendeng Sekarat serius sekali. "Aku akan menarik bocah itu agar datang kemari."
"Caranya bagaimana, Ki?"
"Menarik ilmu 'Genggam Buana' yang ada padanya. Kekuatan batinku masih tetap bertalian dengan ilmu
'Genggam Buana'. Jika kekuatan batinku menariknya, maka bocah itu akan melangkah sendiri kemari tanpa disadarinya!"
"Bagus!" Suto menyambar dengan cepat dan penuh semangat. "Lakukan sekarang juga, Ki!"
"Tapi kita harus keluar dulu dari lapisan jurus 'Surya
Kasmaran' ini!"
Suto hanya angkat bahu pertanda tidak keberatan. Ki Gendeng Sekarat sentakkan dua jarinya ke langit. Jari itu menjadi merah memercik-mercik seperti bunga api. Sinar merah yang mengumpul itu naik lima jengkal di atas kepala mereka, kemudian turun berbentuk asap yang menyebar membungkus diri mereka. Asap lenyap dan mereka berdua dalam keadaan wujud kembali, bisa dilihat dan didengar orang lain. Pandangan mata Suto pun sudah tidak serba hijau lagi. Seperti biasa saja. Itu pertanda mereka sudah keluar dari pengaruh jurus 'Surya Kasmaran' yang dikagumi Suto Sinting.
"Aku akan lakukan semadi beberapa saat," kata Ki
Gendeng Sekarat. "Tolong jaga aku, jangan sampai ada yang mengganggu keheningan batinku!"
"Ada baiknya kalau kita di bawah pohon sana, Ki.
Letaknya lebih tersembunyi!" kata Suto sambil menunjuk tempat yang dimaksud.
"Baik. Kita ke sana!"
Di bawah pohon yang tak menjadi korban angin badai pertarungan tadi, Ki Gendeng Sekarat bersila di rerumputan. Kedua tangannya siap-siap untuk saling merapat di dada. Namun baru saja tangan digerakkan, Suto Sinting segera terkejut memandang ke arah lereng bukit lebih tinggi lagi.
"Tunggu, Ki! Bukankah bocah yang berlari-lari itu
Angon Luwak?!"
Ki Gendeng Sekarat cepat berdiri. Matanya sedikit mengecil. Pandangannya tertuju ke arah lereng di mana seorang bocah sedang berlari menuruni bukit.
"Benar! itu dia anaknya!"
Suto tampak ceria. Bahkan tak sadar menepuk-nepuk pundak Ki Gendeng Sekarat sambil berkata, "Hebat sekali ilmumu, Ki. Baru duduk bersila saja sudah bisa panggil anak itu!"
"Ini hanya kebetulan saja! Aku belum memulai semadiku!" Ki Gendeng Sekarat bersungut-sungut.
"Hei, lihat...! Ternyata dia dikejar seseorang, Ki!"
kata Suto tegang.
"Ya. Ada yang mengejarnya. Bukan seseorang, tapi... lihat di seberang sana, ada yang ingin menghadang Angon Luwak."
"Hmmm... benar! Satu, dua, tiga... empat! Sepertinya empat orang yang mengejarnya, Ki!"
"Kurang ajar! Tak kuizinkan siapa pun menyentuh
muridku itu!" Ki Gendeng Sekarat bergegas pergi untuk menolong Angon Luwak, tapi tangannya segera dicekal oleh Suto Sinting.
"Tunggu sebentar! Kau lindungi bocah itu, aku akan hadapi mereka!"
"Baik! Kita bergerak sekarang!"
Suto Sinting segera berlari sambil berseru, "Luwak...! Angon Luwak...!"
Bocah itu berhenti, memandang ke arah Suto, lalu
berseru sambil berlari ke arah Suto Sinting. "Kaaang...! Tolong, Kang...! Guruuu...!"
Wuuut...! Ki Gendeng Sekarat berkelebat cepat, lalu menyambar bocah itu. Wuus...! Dibawanya salto bocah itu dan mereka telah tiba di bawah pohon yang mau dipakai untuk bersemadi tadi. Sementara itu, Suto Sinting berdiri tegak, menenggak tuak sebentar, lalu siap hadapi empat orang pengejar itu. Dilihat dari penampilannya yang berwajah dingin, mereka jelas tokoh sakti dari berbagai penjuru. Dilihat dari ketuaan usianya, mereka tentunya para guru dari beberapa
perguruan.
*
* *
9
JUBAH hitam berambut putih panjang terurai sebatas punggung adalah tokoh sakti dari Nusa Garong. Biar badannya kurus, wajahnya bengis, matanya cekung, tapi kesaktiannya tak diragukan lagi. Ia dikenal sebagai ketua perguruan aliran hitam, yaitu Perguruan Lumbung Darah. Namanya cukup dikenal di kalangan aliran sesat sebagai Tengkorak Liar.
Anak buahnya pernah berhadapan dengan Suto Sinting ketika Suto selamatkan Sabani, kakak Angon Luwak dalam peristiwa Keris Setan Kobra. Orang kurus bersenjata cambuk pendek warna merah itu berdiri tepat berhadapan dengan Suto. Usianya diperkirakan sama dengan orang yang berpakaian serba hijau, sampai ikat kepalanya juga hijau, sabuknya hijau, gagang rencongnya hijau dan pakaian dalamnya hijau lebih tua dari jubah lengan panjangnya. Orang itu dikenal dengan nama Tongkang Lumut, dari Perguruan Tambak Wesi. Dalam usia sekitar delapan puluh tahun ke atas ia masih mempunyai mata tajam dan rambut serta kumisnya abu- abu. Badannya masih tegap, walau tak seberapa gemuk.
Orang ketiga adalah seorang perempuan tua berusia sekitar sembilan puluh tahun, sedikit bungkuk, peot, keriput. Rambutnya putih rata. Jubahnya biru tua dengan pakaian dalam hitam. Membawa tongkat yang ujungnya berbentuk kepala bayi. Dia penguasa Teluk Dukun, yang menghasilkan banyak dukun santet kelas berat. Namanya dikenal di rimba persilatan sebagai tokoh sesat berjuluk si Tongkat Bayi.
Sedangkan orang keempat seusia dengan Ki Gendeng Sekarat. Termasuk lelaki berbadan tegap walau tak berarti gemuk. Berambut abu-abu dibungkus kain merah. Pakaiannya coklat muda, tapi jubahnya hijau tua. Tenang, tapi dingin. Konon ia penguasa Hutan Cadas berjuluk Beruang Tebing.
"Kalau tak salah penglihatanku," kata si Tongkat Bayi, "Kau adalah murid si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk! Sebab kulihat ciri-ciri bumbung tuakmu itulah yang jadi pembicaraan para tokoh di rimba persilatan!"
"Benar. Aku adalah murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!" jawab Suto dengan tegas. Lalu suara tua si Tongkat Bayi terdengar lagi,
"Namamu dan kesaktianmu memang sedang jadi bahan pembicaraan para tokoh. Tapi aku tak peduli. Kalau kau halangi niatku mengambil bocah itu, kucabut nyawamu sekarang juga."
"Bukan kuasamu mencabut nyawa orang, Tongkat Bayi! Jangan bicara semudah itu!" ujar Tongkat Lumut yang bernada sepelekan ilmu si Tongkat Bayi.
"Diam mulutmu, Lumut Jamban!" hardik sang nenek. "Kalau kau merasa bisa kalahkan dia, majulah sana! Hadapi dia, biar kuhadapi si Gendeng Sekarat yang mau ikut campur urusan orang itu!"
Ki Gendeng Sekarat hanya tersenyum kecil, ia memang sudah mengenal keempat tokoh itu. Dia pula yang menjelaskan satu persatu tentang keempat tokoh itu kepada Pendekar Mabuk, sementara Angon Luwak
selalu ada tak jauh darinya. Tengkorak Liar juga sangat kenal dengan Ki Gendeng Sekarat karena beberapa tahun yang lalu pernah terlibat bentrokan antara perguruannya dengan murid-murid Ki Gendeng Sekarat yang kala itu belum dibantai habis Siluman Tujuh Nyawa. Karenanya, Tengkorak Liar berseru seenaknya kepada Ki Gendeng Sekarat,
"Gendeng Sekarat! Serahkan bocah itu padaku dan akan kulupakan kekalahanku waktu itu! Tak kan kutuntut nyawamu untuk gantikan kematian istriku!"
Dari bawah pohon berjarak delapan langkah di belakang Suto Sinting, Ki Gendeng Sekarat berseru, "Kalahkan dulu Pendekar Mabuk, baru ambil anak ini! Siapa yang mampu kalahkan dia, berarti berhak memiliki anak ini! Karena aku tahu kalian mengincar Pedang Kayu Petir yang dimiliki bocah ini!"
"Memang!" sahut Tongkat Lumut. "Bocah itu licin seperti belut. Tapi aku melihatnya sendiri ia membawa- bawa Pedang Kayu Petir yang sekarang disimpannya entah di mana! Jika memang kehendakmu begitu, akulah orang pertama yang akan tumbangkan Pendekar Mabuk ini! Apa susahnya menumbangkan bocah kemarin sore yang masih ingusan ini?!"
"Biar aku dulu yang maju melawannya," kata Beruang Tebing dengan tenang, tapi wajahnya, sorotan matanya, melebihi es kutub utara dinginnya.
"Tidak bisa! Aku dulu yang hadapi bocah kencur itu!" sentak Tengkorak Liar sambil maju dua langkah.
Ki Gendeng Sekarat berseru, "Begini saja! Siapa yang
menang dialah musuh kalian yang harus kalian tumbangkan untuk dapatkan bocah ini!"
"Baik. Aku setuju!" seru Tongkat Bayi. "Siapa pun
yang menang melawan murid Gila Tuak, dialah yang harus ditumbangkan oleh penantang berikutnyal"
Rupanya keempat tokoh itu sama-sama melihat Angon Luwak memegang Pedang Kayu Petir. Mereka diam-diam ingin menangkap anak itu, tapi ingat kekuatan pedang yang dapat lumpuhkan semua ilmu, maka dicari kesempatan yang baik, menunggu bocah itu simpan pedangnya lalu baru disergap. Mereka lakukan hal itu di luar rencana, bahkan saling tidak tahu. Mereka saling mengetahui setelah Angon Luwak dikejar-kejar oleh Tengkorak Liar, lalu Tongkang Lumut, Beruang Tebing, dan terakhir yang muncul ikut mengejar adalah si Tongkat Bayi. Sedangkan Angon Luwak hanya andalkan kelincahan berlarinya, sehingga mereka sulit menangkap hidup-hidup. Tentu saja mereka tak mau lepaskan pukulan karena takut membuat bocah itu mati dan tak bisa dikorek keterangannya tentang pedang itu.
Tapi rupanya nasib mujur masih mengikuti Angon Luwak. Para pengejarnya terpaksa berhadapan dengan Pendekar Mabuk yang selalu dibangga-banggakan itu. Lebih gembira lagi setelah Angon Luwak bertemu dengan gurunya, rasa aman bocah itu lebih besar lagi karena ia pun mengagumi ilmu silat Ki Gendeng Sekarat.
Orang pertama yang menghadapi Suto Sinting adalah
Tongkang Lumut yang bersenjata rencong terselip di
depan perutnya. Yang lain mundur, memberikan tempat untuk pertarungan maut itu. Tongkang Lumut mulai buka kuda-kudanya, tapi Suto Sinting malahan menenggak tuaknya dengan seenaknya saja. Ketenangan itu sengaja dipamerkan Suto untuk membuat ciut nyali lawannya, sekalipun hanya sedikit saja kedutan nyali itu dialami oleh lawan, tapi punya sisi menguntungkan bagi Suto Sinting.
Tongkang Lumut rendahkan kakinya. Kedua tangan terangkat, yang kanan ada di atas kepala dengan bergetar pertanda tenaga dalam mulai disalurkan pada tangan tersebut. Tangan kirinya menghadang di depan dada. Menggenggam keras dan kuat sekali.
Slaaap...! Tiba-tiba Tongkang Lumut bagai menghilang dari hadapan Suto. Tahu-tahu dia sudah berpindah tempat di belakang Suto dalam jarak satu jangkauan tangan. Tentu saja punggung Pendekar Mabuk dijadikan sasaran tangan yang sudah berasap itu.
Menyadari hal itu, Suto Sinting cepat robohkan badan. Dua tangannya menapak di tanah dalam keadaan rendah, dua kakinya masuk di sela-sela langkah lawannya. Lalu secepat kilat, kedua kaki itu merentang dalam satu sentakan kuat Wuuut...! Prak...!
Kedua kaki Suto Sinting yang jatuh mirip orang mabuk berat itu berhasil menendang kedua kaki Tongkang Lumut. Akibatnya kaki Tongkang Lumut sama-sama merenggang dengan sentakan kuat bagaikan dirobek ke kanan dan ke kiri.
"Auhh...!" Tongkang Lumut mendelik, langsung
pegangi 'Jimat Lelakinya' yang terasa robek itu. Ia memang masih sempat berdiri setelah kedua kaki tersentak lebar-lebar ke samping kanan-kiri, tapi tak mampu bertahan lama. Karena Suto Sinting berguling cepat satu kali, dan kakinya menjejak ke atas dalam keadaan masih berbaring di rumput. Wuuut...! Deegh...!
Dada Tongkang Lumut jadi sasaran tendangan kaki Suto yang bertenaga dalam tinggi itu. Akibatnya tubuh Tongkang Lumut terpental bagai dilemparkan badai. Wuuus...! Bruuk...! Ia jatuh di semak-semak. Jatuhnya tak membuat parah, tapi tendangan itu membuat dadanya bagaikan pecah. Napasnya seakan terhenti seketika. Namun toh ia masih berusaha untuk bangkit walau dengan satu lutut, lalu lepaskan pukulan dari telapak tangan kanannya. Wuuut...! Slaaap...!
Sinar biru sebesar jempol kakinya melesat lurus ke arah Suto Sinting. Panjang sinar yang hanya satu depa itu ditangkis dengan bumbung tuak. Traak! Sinar itu berbalik arah dengan lebih lebih cepat dan lebih besar.
Tentu saja si pemilik pukulan maut itu amat terkejut, ia segera menghindar dengan satu lompatan dengan lutut. Wuuut...! Tapi terlambat, karena saat itu sinarnya lebih cepat menghantam tulang rusuk kirinya. Jraab...!
Tubuh Tongkang Lumut kepulkan asap. Kulitnya mulai bergerak-gerak mengelupas. Sekalipun demikian, Tongkang Lumut tak mau segera lari, melainkan berusaha berdiri dengan sempoyongan dan segera cabut rencongnya. Seet!
Dengan terhuyung-huyung ia hampiri Suto Sinting
yang berdiri tegak itu. Dalam jarak empat langkah rencong itu dikibaskan ke depan bagai merobek udara dari kanan ke kiri. Wuuut...!
Suto rasakan ada gelombang panas yang mampu mendidihkan baja berkelebat ke arahnya. Tanpa sinar dan tanpa wujud apa pun. Pendekar Mabuk cepat tanggap. Itu adalah gelombang hawa sakti yang lepas dari rencong tersebut. Maka dengan cepat Suto Sinting sentakkan kaki dan melesatlah tubuhnya ke atas.
Wuuut...!
Gelombang hawa panas itu menerabas tempat kosong, hampir saja kenai Tongkat Bayi kalau saja nenek itu tak segera ikut lompat ke atas seperti Suto. Sementara itu, sebelum tubuh bergerak turun, Suto Sinting lepaskan pukulan dari atas yang dinamakan
'Pukulan Gegana'. Dua jarinya dikibaskan ke depan dan keluarkan sinar kuning patah-patah yang langsung menghantam bagian bawah pundak kiri lawan. Zraaab...! Sinar patah-patah itu bagaikan masuk dalam satu titik, membuat tubuh lawan terdorong mundur satu tindak, tapi untuk kemudian diam tak bergerak. Matanya menatap tajam ke arah depan. Kulit tubuhnya mulai kian terkelupas dengan sendirinya. Rambut rontok semua, demikian pula rambut alis dan kumis abu-abunya. Pakaiannya pun ternyata cepat berubah menjadi abu keputih-putihan. Pada akhirnya, Tongkat Lumut tumbang dalam keadaan tubuh kering tanpa darah setetes pun.
Melihat Tongkang Lumut tumbang dan menjadi
sekering itu, mirip kayu bakar, si Tongkang Bayi segera berseru dengan suaranya yang cempreng,
"Aku lawanmu berikutnya, Anak Ingusan!"
Wuuut...! Si Tongkat Bayi maju bagaikan masuk dalam arena. Suto Sinting berbalik arah dan pandangi mata si Tongkat Bayi yang buram itu. Batin Suto berkata, "Tak tega aku melawannya. Terlalu tua untuk kutandingi. Tapi... apa boleh buat kalau memang ini pilihan yang tak bisa dibatalkan lagi!"
Tongkat Bayi menunggungikan kepala tongkatnya dan menghentakkan ke tanah. Duuhg...! Seketika itu tubuh Pendekar Mabuk bagaikan terlempar terbang. Sepertinya ada tenaga yang amat besar menyodok keluar dari dalam tanah dan melemparkan tubuh Pendekar Mabuk.
Tubuh yang terlempar tinggi itu hampir-hampir kehilangan keseimbangan. Oleh si Tongkat Bayi kesempatan itu digunakan untuk melemparkan tongkatnya dengan sentakan tenaga dalam yang tinggi. Wuuus...! Tongkat pun melayang dengan cepat seperti laju kecepatan anak panah. Hampir saja mengenai kepala Pendekar Mabuk jika bumbung tuak tidak segera berkelebat di depan wajah dan tongkat berkepala tengkorak bayi itu menghantam bumbung tuak tersebut.
Blaaar...!
Gelombang ledakan menghentak sangat kuat membuat tubuh Pendekar Mabuk sebelum sempat mendarat sudah terlempar lagi bagaikan terbuang ke arah belakang. Wuuus...! Brrukk...!
Benturan tersebut bukan saja hasilkan gelombang ledakan tinggi, namun juga kerliapan cahaya merah yang lebar dan menyilaukan. Tongkat itu sendiri pecah dan terpotong-potong tidak beraturan. Pandangan mata Suto Sinting menjadi gelap bagaikan menemui kebutaan.
Ketika ia jatuh terpuruk dan mencoba untuk bangkit, ia tak melihat apa-apa kecuali kegelapan yang pekat. Tetapi bumbung tuak masih ada di tangannya, talinya masih melilit di telapak tangan kanan, sehingga Suto Sinting buru-buru menenggak tuaknya dua teguk. Glek, glek...! Maka dalam beberapa kejap saja pandangan matanya sudah kembali seperti semula. Kesesakan dadanya mulai lancar, dan rasa sakit pada sekujur tubuh serta tulang-tulangnya yang merasa patah telah pulih segar seperti semuia.
"Edan! Kekuatannya begitu tinggi. Hampir saja aku celaka!" pikirnya sambil berdiri tegak memandang si Tongkat Bayi. Hatinya teperanjat melihat si Tongkat Bayi ternyata masih memegang tongkatnya.
"Bukankah tongkat itu tadi pecah bersama ledakan dahsyat itu? Tapi mengapa ternyata masih ada di tangan si nenek ganas itu? Hmm... jelas ini permainan ilmu sihirnya yang agaknya cukup tinggi!"
Pendekar Mabuk langkahkan kaki maju dekati lawan. Si Tongkat Bayi segera hadang langkah itu dengan melepaskan pukulan bersinar kuning panjang dan lurus dari sodokan tongkatnya ke depan. Wuuut...! Slaaap...! Sinar kuning lurus mengarah ke dada Suto Sinting.
Dengan cepat Suto Sinting segera sentakkan
bumbung tuaknya sambil tubuhnya miring bagai orang mabuk yang menggeloyor. Tubuh yang miring itu akhirnya terbawa terbang oleh sodokan bumbungnya. Wuuueeess...! Sinar kuning itu membentur pangkal bumbung yang disodokkan ke depan. Blaaar...! Ledakan pun terjadi sedahsyat tadi. Tapi kali ini tubuh Suto Sinting masih tetap menembus asap ledakan dan akhirnya bumbung itu menghantam kepala tongkat. Duaar...!
Bersamaan dengan itu Suto Sinting liukkan badan ke depan dan bersalto pendek dan kakinya menendang wajah si nenek dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Dees...!
"Auuhg...!" terdengar pekikan pendek yang tertahan. Wajah si nenek tersentak amat kuat bersama-sama terbangnya tubuh ke belakang. Tubuh yang terlempar itu membentur sebatang pohon kering dan, kraaak...! Brrruk...! Pohon itu patah di pertengahan batang, lalu roboh berdebum di bumi. Bersamaan dengan itu tubuh si Tongkat Bayi jatuh terpuruk, hidungnya mengucurkan darah, demikian pula lubang telinga dan mulutnya yang memuntahkan darah hitam kemerahan.
"Mati aku," pikir sang nenek. "Kepalaku retak, mataku bagaikan pecah. Ohh... berat! Berat sekali lukaku ini. Aku tak bisa memandang dengan jelas. Makin lama makin buram dan gelap. Aku harus segera keluar dari pertarungan ini untuk bikin perhitungan sendiri di lain waktu!"
Tak ada pilihan lain bagi si Tongkat Bayi. Ia segera
melesat pergi tanpa tinggalkan pesan apa pun, karena kepalanya berderak- derak bagai ingin pecah ke berbagai penjuru. Wajahnya biru legam, pandangan matanya kian suram. Bahkan ketika ia berlari untuk tinggalkan tempat, sebatang pohon ditabraknya lagi.
Bruuss...!
"Mati lagi aku, Mak!" keluhnya sambil terpental dan jatuh ke belakang, lalu bangkit lagi dan larikan diri. Di seberang sana ia menabrak pohon lagi. Brus...!
"Mati juga akhirnya aku, Mak...!" ia bangkit lagi, lari lagi, dan menabrak pohon lagi. Begitu seterusnya sampai akhirnya Tongkat Bayi hilang dari pandangan mata Suto.
Ki Gendeng Sekarat dan Angon Luwak tertawa melihat nasib si Tongkat Bayi yang melarikan diri. Sementara itu Suto Sinting hanya tersenyum tipis, kemudian menenggak tuaknya lagi. Dan pada saat menenggak tuak itulah, Beruang Tebing tanpa berkata- kata langsung menyerang Suto dengan kedua tangan membentuk cakar. Kedua tangan berjari menyala merah bara itu dihantamkan ke dada Pendekar Mabuk, bersamaan dengan itu tubuhnya melompat cepat dan menerjang Suto Sinting.
Tetapi tiba-tiba sekelebat bayangan melintas di depannya. Weess...! Bayangan bagai angin badai itu mengejutkan Suto Sinting, juga Tengkorak Liar dan Ki Gendeng Sekarat. Karena kejap berikutnya, tubuh Beruang Tebing ternyata telah roboh, terpotong menjadi dua bagian di atas perutnya.
Bayang itu berhenti di sisi kanan Tengkorak Liar.
Ternyata seorang perempuan yang diam di tempat dengan kuda-kuda kokoh, menggenggam pedang dengan kedua tangan. Pedang itu masih dalam keadaan miring ke samping karena habis ditebaskan. Darah yang melumuri pedang itu masih menetes satu persatu.
"Angin Betina!" gumam Suto Sinting merasa kaget dan kagum melihat kecepatan gerak pedang yang benar- benar menyerupai angin itu. Beruang Tebing yang baru saja mau bergerak tahu-tahu sudah roboh terpotong dua bagian. Tentu saja sejak saat itu Beruang Tebing enggan bernapas lagi karena nyawanya pergi entah ke mana.
"Istirahatlah, Suto! Biar kutangani sisanya yang satu ini!" kata Angin Betina sambil mata tajamnya berkesan liar itu menatap tajam ke arah ketua Perguruan Lambung Darah yang ternyata sudah mengenalnya pula.
"Angin Betina! Rupanya kau pun bermaksud ingin memiliki pedang pusaka itu! Hemm...! Apa kau mampu?!"
"Bagiku lebih berharga memiliki Pendekar Mabuk daripada pedang pusaka itu!"
"O, jadi kau membela Suto dengan pertaruhkan
nyawamu untuk melawanku?!"
"Ya. Karena aku mencintai Suto!" jawabnya tegas, jelas, keras. Suto sendiri sampai tersipu malu seraya melirik sekejap ke arah Ki Gendeng Sekarat yang tersenyum-senyum.
"Bocah bodoh kau! Gurumu saja tak mampu kalahkan aku, apalagi kau yang hanya muridnya!" geram Tengkorak Liar.
"Mendiang Guru tidak mempunyai ilmu 'Pedang Bintang', tapi aku punya jurus itu dari seorang guru pedang tersohor: Ki Argapura alias si Penggal Jagat! Tentunya kau kenal, Tengkorak Liar!"
"Persetan dengan Argapura!" geram Tengkorak Liar. "Buktikan kehebatannya di depanku! Hiaaah...!"
Tengkorak Liar sentakkan kedua tangannya ke depan.
Dua larik sinar merah yang melingkar-lingkar pada ujungnya bagaikan mata bor itu melesat ke arah Angin Betina. Kecepatannya amat tinggi, membahayakan sekali bagi Angin Betina. Dihindari akan terlambat, ditangkis akan telat.
Untung Suto Sinting selalu siap siaga. Begitu sinar merah itu terlepas, sinar birunya pun keluar dari sentakan kedua tangan Suto. Claaap...! Jurus 'Tangan Guntur' yang biasanya membuat lawan hangus dan keropos itu menghantam sinar merahnya Tengkorak Liar.
Blegaaarrr...!
Dentumam itu menggelegar. Kedua sinar yang beradu pecah menjadi satu warna jingga dalam sekejap saja. Sentakan gelombang ledaknya menjungkirbalikkan Tengkorak Liar, karena ia tak menyangka akan ada yang mampu lebihi kecepatan gerak sinar merahnya. Angin Betina sendiri juga terjungkal ke belakang dengan jatuh berlutut dan setengah merangkak. Kepalanya yang berambut acak-acakan itu dikibaskan dua kali. Ia menghilangkan rasa pusing dan pandangan mata yang berkunang-kunang. Setelah itu bangkit bersamaan
berdirinya Tengkorak Liar yang berwajah merah matang. "Memang jahanam busuk kalian semua!" geram Tengkorak Liar sambil mencabut cambuk pendeknya yang hanya empat jengkal kurang itu. Cambuk itu segera dilecutkan di udara. Taaarrr...! Seberkas sinar biru
melesat menuju ke tubuh Suto Sinting.
Bumbung tuak disilangkan dengan kedua tangan dan kakinya berlutut satu. Sinar biru berkerliap itu menghantam bumbung tuak. Duaar...! Ternyata sinar tersebut kembali ke arah semula dengan lebih besar lagi dan masuk melalui ujung cambuk pendek. Jraaab...!
"Aaahg...!" Tengkorak Liar memekik. Tangannya menjadi hangus seketika karena kekuatan dahsyat mengalir masuk melalui cambuknya.
Wuuusss...!
Kembali sekelebat bayangan melintas cepat menerjang Tengkorak Liar yang sedang sibuk menahan rasa sakit pada tangannya. Sekelebat bayangan itu tak lain adalah Angin Betina yang lancarkan jurus 'Pedang Bintang' dengan tebasan lima sisi yang bisa dilihat oleh mata orang biasa. Lima tebasan dalam sekelebatan itu telah membuat Tengkorak Liar tumbang berlumur darah. Salah satu luka terparahnya adalah bagian dada yang terbelah. Tentu saja nyawa pun segera minggat dan pertarungan pun berhenti saat itu juga.
"Angin Betina, kuakui cukup hebat ilmu pedangmu. Tapi seharusnya kau tak perlu ikut campur urusanku ini!" kata Suto Sinting sambil mendekati perempuan yang wajahnya masih tampak angker-angker cantik itu.
"Sudah kubilang, aku akan melindungimu karena aku suka padamu!" katanya terang-terangan. Suto Sinting memberi tanggapan dengan senyum ramah yang amat menawan dan membuat hati Angin Betina berdenyut- denyut lagi. Mereka segera hampiri Ki Gendeng Sekarat dan Angon Luwak yang merasa puas menyaksikan tontonan hebat secara gratis. Wajah bocah itu berseri- seri saat memuji Suto.
"Hebat sekali kamu, Kang. Nenek ini juga hebat," tudingnya pada Angin Betina. Si perempuan menggeram dongkol.
"Nenek?! Gundulmu itu yang pantas dibilang nenek!" Suto tertawa selintas, lalu berkata kepada Angon Luwak, "Kulihat kau bermain pedang-pedangan dengan
Saladin dan...."
Angon Luwak kaget, "Aku... aku tak sengaja membunuh Saladin, Kang. Sumpah!"
"Saladin tidak mati!" kata Suto. "Aku telah berhasil obati lukanya itu. Cuma, aku ingin tahu di mana kau peroleh pedang-pedanganmu itu?"
"Di... di Telaga Jompo, Kang. Ketika aku duduk merenungimu karena kehilangan jejakmu, tiba-tiba pedang kayu itu muncul dari dalam telaga dan mengambang. Lalu kuambil dan kugunakan untuk bermain pedang-pedangan. Ak... aku tak menyangka kalau orang-orang setua lawan-lawanmu tadi juga masih kepingin mempunyai pedang-pedangan dari kayu, Kang."
Ki Gendeng Sekarat menyahut, "Itu bukan sekadar
pedang dari kayu biasa, Angon Luwak! itu pedang pusaka bertenaga hebat. Sangat sakti."
"Benar kata gurumu, Angon Luwak," kata Suto.
"Pedang itulah yang menjadi rebutan para tokoh berilmu tinggi. Pedang itulah yang dinamakan Pedang Kayu Petir. Kesaktiannya sudah kau lihat sendiri saat kau melukai Saladin."
Bocah itu terbengong melompong. Ki Gendeng
Sekarat bertanya lagi,
"Sekarang di mana pedang itu?"
"Pedang itu...," Angon Luwak berhenti bicara, memandang Suto, Ki Gendeng Sekarat, Angin Betina, dan kepada Suto lagi. Sepertinya ada keraguan yang membuatnya bingung untuk mengatakannya.
"Kau simpan di mana pedang itu?" desak Suto dengan nada pelan.
"Pedang itu... jatuh, Kang." "Jatuh di mana?"
"Di sana... di tempat kau membuang asap Iblis Naga
Pamungkas."
"Hahhh. .?! Jadi...?!" Suto Sinting terbelalak kaget, ia segera menatap Ki Gendeng Sekarat yang tak mengerti maksud Angon Luwak. Suto jelaskan dengan suara lemah bagaikan kehilangan harapan.
"Pedang itu jatuh ke... Sumur Tembus Jagat!"
"Gila! Sumur itu tak ada dasarnya!" Ki Gendeng Sekarat pun menjadi tegang. Suto Sinting tarik napas dalam-dalam, sementara Angon Luwak tundukkan kepala dengan rasa takut dan bersalah.
Terdengar gumam Suto bagaikan diliputi kecemasan. "Lantas, bagaimana caranya aku menandingi Raja Tumbal nanti? Seruling Malaikatnya tak bisa dilawan kecuali dengan Pedang Kayu Petir itu."
Angin Betina memandang Suto, kemudian mendekatinya dan menepuk-nepuk pundak Suto. Apa artinya, Suto sendiri tak mengerti.

SELESAI
ikuti kisah selanjutnya :
SERULING MALAIKAT