Pendekar Mabuk 28 - Bandar Hantu Malam(1)

1
Angin berhembus bersama mega mendung di langit. Kian lama hembusannya kian cepat. Sebuah bukit berhutan tipis disapu angin senja.
Cahaya matahari memerah di cakrawala. Tapi cahaya itu masih mampu tampakkan sosok manusia kurus berjubah putih. Manusia kurus itu berambut putih, panjangnya sebatas punggung tanpa ikat kepala. Rambut putih itu milik seorang lelaki yang diperkirakan berusia hampir delapan puluh tahun. Jenggot dan kumisnya pun telah memutih rata. Rambut itu meriap-riap disapu angin senja.
Kian lama hembusan angin kian kencang. Pohon- pohon meliuk nyaris patah bagian tengah batangnya. Angin kencang itu seakan ingin tumbangkan tokoh tua yang berdiri tegak di puncak bukit bertanah lapang. Nyatanya tokoh tua itu tetap diam saja tak bergeming.
Tetap berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada, membiarkan tubuhnya dihembus angin kencang. Jika bukan tokoh berilmu tinggi, tentu ia sudah tumbang sejak tadi.
Hembusan angin itu jelas bukan sembarang angin. Pasti ada yang mengirimkan kekuatan tenaga dalamnya melalui hembusan angin. Karena angin itu ternyata mempunyai hawa panas. Kian lama kian terasa jelas hawa panasnya. Bahkan dedaunan pohon, ilalang, dan rumput menjadi layu. Sekalipun tidak sampai kering, namun kehijauan dedaunan itu telah mulai berkeriput dan layu. Unggas yang mendiami bukit itu lari ketakutan diterpa angin panas tersebut. Toh nyatanya tokoh tua berjubah putih masih tetap diam berlipat tangan didada, seakan menahan serangan dari lawannya yang mengancam keselamatan jiwa.
Kreseeek... Brrruuk...!
Pohon mulai tumbang. Itu tandanya kekuatan angin cukup tinggi. Bahkan sebongkah batu sebesar kerbau pun mulai retak. Traak...! Praak...! Dan akhirnya pecah terbelah menjadi lebih dari delapan bagian. Tetapi tubuh kurus tua itu masih tetap berdiri tegak tanpa bergeser sedikit pun dari tempatnya berpijak.
Bukit itu mempunyai jurang dalam sekali. Di seberang jurang ada bukit lain tanpa tanaman tinggi. Hanya batu-batuan yang saling bertonjolan sebagai ganti tanaman. Bukit yang gersang itu dinamakan orang Puncak Karang. Tanah dan bebatuannya berbentuk seperti karang laut.
Di Puncak Karang itu terlihat seorang pemuda berambut lurus sepanjang lewat bahu. Orang muda itu mengenakan baju coklat tanpa lengan, celananya putih kusam karena kotor oleh tanah. Entah berapa lama tidak dicuci. Pemuda tampan dan gagah itu menggendong bambu tempat tuak yang panjangnya sedepa. Bambu itu adalah jenis bambu besi berwarna coklat kehijauan dengan tali coklat kehitam-hitaman.
Melihat ciri pada bambu bumbung tuak itu, setiap tokoh di dunia persilatan pasti mengenali pemuda ganteng tersebut. Dia adalah Pendekar Mabuk, bernama Suto, murid sinting si Gila Tuak. Ilmunya yang sering dibilang edan-edanan itulah yang membuat Suto dikatakan murid sinting dan akhirnya dikenal dengan nama Suto Sinting.
Di Puncak Karang itu si murid sinting Gila Tuak memandangi bukit seberang jurang. Hatinya menyimpan rasa heran dan kecamuk yang didengar oleh telinga batinnya sendiri.
"Hembusan angin itu jelas bukan angin sembarangan. Seseorang sedang menyerang kakek berjubah putih itu. Tapi di mana penyerangnya? Siapa orangnya? Aku tak menemukan hal-hal yang mencurigakan di sana. Yang jelas penyerangnya pasti ada di timur, karena angin itu berhembus dari timur ke barat. Aku merasakan hawa panas yang sepertinya mengandung tusukan seribu jarum. Ini pasti ilmu tinggi yang dikuasai seseorang sebagai ilmu andalannya. Kalau kakek berjubah putih itu bukan orang sakti, pasti ia sudah muntah darah atau
menjadi hancur karena tenaga dalam yang cukup tinggi itu. Hmmm... siapa kakek berkalung batuan merah itu?"
Tokoh tua berjubah putih itu memang kenakan
kalung batu-batuan warna merah kecoklat-coklatan. Warna kalungnya itu sangat menyolok karena ada di antara jubah putih dan jenggot panjang yang putih pula. Sejauh ini Suto Sinting hanya bertindak sebagai penonton yang baik. Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk justru duduk dengan satu kaki masih menapak di tanah dan satu kaki menumpang di atas batu seukuran pinggangnya.
"Pertarungan ini merupakan tontonan yang menarik sekali. Aku ingin tahu akhir dari pertarungan aneh itu. Apakah kakek berjenggot putih itu mampu menahan serangan lawannya yang tak kelihatan itu? Hmm... kulihat saja bagaimana jadinya."
Gemuruh suara angin bagaikan banjir datang dari kejauhan. Kecepatan angin sungguh besar, sampai- sampai pohon yang telah tumbang terseret ke barat bagaikan didorong dan ditarik tenaga yang amat kuat.
Batu-batuan mulai menggelinding jatuh ke jurang. Tetapi kakek berjubah putih itu masih diam tanpa bergerak, kecuali jubahnya yang melambai-lambai dan rambutnya yang meriap-riap seakan ingin copot dari kulit kepalanya. Hawa panas yang hadir bersama angin itu sudah membuat dedaunan menjadi menguning dengan cepat. Mungkin tak lama lagi semua dedaunan akan menjadi kering berwarna coklat.
Keadaan Suto Sinting tidak tepat berada di belakang
kakek kurus itu. Ia berada di sebelah selatan. Tapi ketinggian tempatnya berpijak membuat pandangan matanya mampu melihat jelas keadaan sang kakek sakti itu. Sekalipun demikian, hawa panas yang hadir bersama angin sempat terasa menyengat kulit lengannya. Padahal angin berhawa panas itu tidak terarah kepadanya.
"Kalau tubuh orang awam yang menerima hembusan angin panas itu, pasti tubuhnya menjadi melepuh bagai terbakar," pikir Suto dalam kebungkamannya. "Angin panas itu harus dilawan dengan gelombang hawa dingin. Dengan begitu rasa panasnya tidak akan terasa dan... dan oh, mungkin si kakek itu sedang melawannya dengan gelombang hawa dingin?!"
Pertarungan tanpa gerak itu semakin menarik perhatian. Mata Suto Sinting lebih melebar lagi karena ia melihat kalung batu-batuan merah yang melingkar di leher sang kakek kurus itu mulai menyala, memancarkan cahaya kebiru-biruan. Cahaya itu indah dipandang mata, tapi mempunyai makna keselamatan yang sangat besar.
"Dia mulai melepaskan kekuatan gelombang hawa dinginnya," gumam Suto lirih, seperti bicara pada diri sendiri.
Dugaan Pendekar Mabuk itu memang benar. Sebab kejap berikutnya, daun-daun pohon atau ilalang di kaki bukit itu menjadi berubah warna. Yang semula menguning layu kini mulai segar kembali. Warna kuningnya berubah menjadi hijau pupus. Kian lama dedaunan itu kian tampak lebih hijau lagi pada saat kalung merah tersebut masih memancarkan sinar biru
indah.
Mata Pendekar Mabuk kian melebar kagum melihat pohon-pohon yang tumbang bergerak pelan-pelan, berdiri kembali bagai diatur seperti awalnya. Pohon yang telah terseret dari tempatnya kini kembali bergeser pada tempat semula. Pohon itu pun berdiri lagi dengan gerakan yang amat pelan. Batu-batu yang sudah beterbangan kembali ke tempatnya, yang pecah kembali melayang dan menyatu lagi. Tanah yang terbongkar karena sentakan akar pohon tumbang pun kembali menimbun lubangnya dan menjadi rapat seperti semula.
"Gila?! Dia telah pulihkan keadaan alam yang sudah berantakan menjadi tertata seperti awalnya. Luar biasa tinggi ilmu si kakek itu?!" gumam Suto dengan wajah tegang.
Cahaya pendar-pendar biru masih keluar dari kalung batu-batuan merah. Semakin tercengang Suto Sinting melihat adegan berikutnya. Daun-daun mulai berbusa tipis. Bintik-bintik putih yang dilihatnya dari seberang jurang itu tak lain adalah busa-busa salju. Bebatuan yang hitam pun mulai dilapisi warna putih lembut. Bertambah lama bertambah tebal busa putih itu.
"Sungguh mengagumkan!" gumam Suto bermata lebar. "Alam sekelilingnya kini menjadi penuh salju. Tanah pun bersalju, bergumpal-gumpal dan menutupi kedua kakinya. Wow...! Hebat sekali ilmu si kakek itu. Angin kencang dihentikan, hawa panas dilawannya. Oh, siapa sebenarnya kakek sakti itu?"
Langit berawan mendung hitam ikut-ikutan
menyingkir. Kini langit menjadi cerah, walau masih memancarkan warna merah saga karena matahari mulai tenggelam ke peraduannya. Tetapi lenyapnya awan hitam itu membuat hati Suto Sinting seolah-olah mengalami perasaan lega dan tenang. Lenyapnya awan hitam itu sudah tentu karena kekuatan dahsyat sang kakek berjubah putih yang berpengaruh sampai ke langit di atas kepalanya.
"Sayang Guru tidak ada di sini. Kalau ada di sini akan kutanyakan kepada Guru, siapa kakek kurus berjubah putih berkalung merah itu? Apakah ilmunya masih lebih tinggi dari ilmu guruku? Hmmm... kurasa sejajar. Ya, setidaknya Guru punya ilmu sejajar tingginya dengan kakek itu. Atau mungkin Guru lebih tinggi lagi, hanya tidak pernah diperlihatkan padaku ketinggian ilmunya yang melebihi ilmu kakek berjubah putih itu?" kata Suto dalam kecamuk batinnya.
Duaaar...!
Suara ledakan terdengar di kejauhan. Bukan berasal dari bukti seberang jurang. Bukan berasal dari tempat kakek sakti itu melakukan pertarungan gelap, tapi berasal dari kaki Puncak Karang. Suto Sinting pun segera berpaling ke belakang, memandang ke bawah, melihat kepulan asap tipis yang segera hilang.
"Ada apa di sana? Jangan-jangan Rindu Malam dan Kelana Cinta bertarung sendiri adu kehebatan ilmu masing-masing?"
Kelana Cinta dan Rindu Malam adalah dua wanita cantik yang berasal dari negeri Ringgit Kencana.
Kemunculan Rindu Malam dan Kelana Cinta dari negerinya adalah sebagai utusan sang Ratu yang bernama Asmaradani. Rindu Malam ditugaskan menjemput Suto Sinting, sekaligus membantu menghadapi masalah yang waktu itu hampir membuat Suto kehilangan gelar kependekarannya. Sedangkan Kelana Cinta adalah orang kepercayaan Ratu Asmaradani yang bertindak sebagai wakil sang Ratu dalam menghadiri pertemuan tokoh tingkat tinggi dalam memecahkan masalah persoalan kematian Empu Sakya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Keris Setan Kobra"). Kedudukan Kelana Cinta lebih tinggi dari Rindu Malam, sebab Kelana Cinta mempunyai jabatan atau pangkat perwira di negeri Ringgit Kencana itu.
Ketika mereka bermaksud membawa Suto Sinting ke negeri Ringgit Kencana untuk menghadap Ratu Asmaradani yang pernah hadir lewat mimpi Suto, tiba- tiba keduanya mempunyai selisih pendapat. Mereka terpaksa berhenti di perjalanan dan menyuruh Suto agak menjauh, karena mereka ingin lakukan perdebatan yang tak boleh didengar siapa pun. Karenanya, Suto Sinting naik ke Puncak Karang dan terkesima oleh pertarungan kakek sakti yang aneh itu, sementara Rindu Malam dan Kelana Cinta lakukan perdebatan sengit di kaki Puncak Karang tersebut.
Apa yang diperdebatkan oleh kedua wanita cantik berpotongan rambut cepak seperti lelaki itu adalah sesuatu yang tak disangka-sangka oleh Suto Sinting.
"Sekalipun kau telah pertaruhkan nyawamu beberapa kali untuknya, tapi kau tetap tidak diizinkan untuk jatuh cinta padanya, Rindu Malam."
"Gusti Ratu Asmaradani tidak keluarkan larangan seperti itu, Perwira! Larangan yang dikeluarkan oleh Gusti Ratu Asmaradani adalah tidak boleh menyakiti atau melukai Suto!"
"Memang. Tapi jatuh cinta pada Suto itu pun merupakan larangan yang tak perlu dijelaskan. Mestinya kau sudah mengetahui tanpa mendapat penjelasan lebih dulu!"
"Kurasa kau sendiri yang mengincarnya, sehingga kau takut kalau Suto lebih tertarik kepadaku daripadamu kepadamu, Perwira!"
Mata Kelana Cinta yang indah itu sedikit menyipit memandang Rindu Malam. Ia menahan kemarahan dalam hatinya. Suaranya mulai menggeram lirih.
"Jalankan tugasmu saja. Jangan bicara soal cinta." "Tapi aku tak bisa menahannya dan ingin mengatakan
padanya bahwa aku menaruh hati padanya. Kau pun tidak berhak melarangku, Perwira. Karena tugasmu bukan melarang orang jatuh cinta tapi memberikan suara pembelaan dalam menghadiri sidang para tokoh tingkat tinggi itu!"
"Rindu Malam, jangan pancing kemarahanku sekali lagi. Jangan kau buat kesabaranku habis dengan kekerasan hatimu itu! Aku pun bertugas menyelamatkan Suto dari gangguan siapa pun, baik gangguan raganya maupun gangguan hati dan jiwanya. Kalau kau nyatakan
dirimu jatuh cinta kepada Suto, maka pendekar tampan itu akan punya penilaian lain terhadap kita. Dia tidak mau datang ke negeri kita jika dia tidak berkenan menerima cintamu!"
Rindu Malam masih ngotot. "Dia pasti berkenan menerima cintaku. Dia pasti membalas cintaku. Yang penting aku harus bicara apa yang ada di dalam hatiku. Aku tak tahan jika harus memendamnya lama-lama."
"Rindu Malam!" sentak Kelana Cinta. "Jangan rendahkan dirimu gara-gara rasa cinta pada seorang lelaki! Biarkan lelaki itu yang bicara, tapi kau jangan mengawalinya!"
"Tidak bisa! Untuk lelaki seperti Suto aku harus berani mengawalinya, supaya ia segera mengetahui apa isi hatiku sebenarnya!"
"Aku akan menjatuhkan hukuman untukmu jika kau nekat mengatakan isi hatimu! Aku bisa menuduhmu sebagai warga Ringgit Kencana yang menjatuhkan citra dan harga diri seluruh rakyat negeri Ringgit Kencana dengan caramu itu!"
"Aku tak peduli hukumanmu, Perwira Kelana Cinta! Kalau kau mau hukum aku, silakan saja, yang penting Suto harus tahu kalau aku mencintainya!" tegas Rindu Malam. Tapi tiba-tiba sebuah suara segera menyahut dari belakang mereka.
"Manusia bodoh!"
Kedua utusan dari negeri Ringgit Kencana itu terkejut dan cepat palingkan wajah dengan masing-masing paaang kuda-kuda secepatnya. Rindu Malam siap
lepaskan serangan jika keadaan membahayakan. Sedangkan Kelana Cinta segera kendurkan ketegangan karena ia mengenal siapa perempuan muda yang datang berpakaian ungu muda dengan jubah warna ungu lebih tua lagi itu. Wanita muda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu menyandang pedang di punggung yang dililit kain ungu pula pada bagian sarung dan gagangnya. Rambutnya di sanggul sebagian di bagian tengah, matanya indah tapi berkesan galak.
"Sumbaruni?!" geram Kelana Cinta yang merasa tak suka perdebatannya dicampuri oleh orang lain. Karenanya sikap Kelana Cinta terhadap Sumbaruni saat itu kurang bersahabat. Tetapi wanita muda yang sebenarnya sudah berusia sekitar delapan puluh tahun lewat itu sengaja sunggingkan senyum sinis sebagai sikap tenangnya.
Sumbaruni yang juga sering disebut Pelangi Sutera adalah bekas istri jin Kazmat, yang mendapat ilmu turunan dari seorang petapa sakti yang cukup disegani pada masanya. Dari perkawinannya dengan jin Kazmat yang merubah wujud sebagai pemuda tampan itu, Sumbaruni mendapatkan seorang anak bertubuh tinggi, besar, gundul, berkuncir, hitam kulitnya, dan hanya memakai cawat. Anak itu bernama Logo, yang sering disebut sebut sebagai anak jin. Sumbaruni terpikat oleh Suto Sinting, karena ia merindukan seorang kekasih dan suami dalam hidupnya selanjutnya. Bahkan ia sanggup beradu kesaktian dengan Ratu Gusti Mahkota Sejati, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi, yang punya
nama asli Dyah Sariningrum dan menjadi calon istri Suto itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Tanpa Tapak").
Sebab itulah Pelangi Sutera tidak menyukai perdebatan itu dan segera ikut campur dengan sikap kurang bersahabat. Pelangi Sutera atau Sumbaruni mempunyai ilmu yang dapat dipakai untuk mengukur ketinggian ilmu seseorang dengan melihat wajahnya atau mendengar namanya saja. Tak heran jika Sumbaruni berkesan meremehkan kedua utusan dari negeri Ringgit Kencana itu, karena ia sadar bahwa ilmunya lebih tinggi dari kedua orang tersebut.
"Apa maksudmu ikut campur dalam percakapan kami, Sumbaruni?!" tegur Kelana Cinta dengan ketus.
"Karena aku tak izinkan gadis mana pun jatuh cinta kepada Suto Sinting."
"Apa alasannya?!" sentak Rindu Malam merasa tertantang oleh jawaban itu.
Sumbaruni sunggingkan senyum sinis semakin lebar. "Aku lebih dulu jatuh cinta kepada Suto dan bermaksud ingin memiliki Suto!"
"Lancang betul mulutmu!" geram Rindu Malam sambil melangkah menyamping mencari kesempatan untuk lakukan penyerangan. Sumbaruni tetap tenang. Matanya kian tajam memandangi Rindu Malam yang terus bicara dengan suara geram yang pelan, tanpa sentakan keras sedikit pun.
"Aku tak peduli siapa dirimu, yang jelas aku pun siap bertanding adu kekuatan denganmu untuk dapatkan
Pendekar Mabuk itu!"
"Tahan!" potong Kelana Cinta. "Jangan kalian menjadi orang-orang konyol gara-gara cinta! Sangat memalukan!"
"Cinta punya harga diri sendiri, Kelana Cinta!" sahut Sumbaruni. "Aku setuju dengan usul temanmu itu! Aku bersedia adu kesaktian dengan gadis itu!"
Kelana Cinta masuk ke pertengahan jarak antara Sumbaruni dan Rindu Malam. Wajahnya tegang karena menyimpan kejengkelan.
"Kalau kalian ingin bertanding kesaktian, silakan saja! Tapi jangan karena cinta, jangan karena merebutkan seorang lelaki! Seberapa pun tingginya harga diri sebuah cinta, tetap akan memalukan jika didengar orang-orang yang tidak menyukai kita. Sadarlah kalian!"
"Minggirlah, Perwira...!" geram Rindu Malam dengan mulai mencabut pedangnya. Kelana Cinta semakin dongkol dengan sikap Rindu Malam. Ia menghardik orang yang termasuk bawahannya itu,
"Kuperintahkan padamu untuk pulang lebih dulu. Rindu Malam!"
"Aku tidak mau!"
"Kau membangkang perintahku?!"
"Aku terpaksa membangkang, karena perintahmu tidak beralasan!"
Agaknya Rindu Malam tak merasa takut menghadapi Kelana Cinta. Semua demi maksud hatinya yang ingin menyampaikan rasa cintanya kepada Suto Sinting. Hal
itu membuat Kelana Cinta segera menghampiri Rindu Malam dengan berang, lalu menampar wajah gadis itu dengan gerakan cepat. Deeg...! Kelebatan tangan itu ditangkis cepat pula oleh Rindu Malam, sehingga pergelangan tangan mereka saling beradu kuat.
"Jangan memerintahku dalam keadaan seperti saat ini, Perwira! Siapa pun bisa kulawan tanpa peduli menang dan kalah!"
"Rindu Malam!" hardik Kelana Cinta dengan wajah kian tampakkan kemarahan.
"Biarkan aku bertanding kekuatan dengan perempuan itu!" sahut Rindu Malam, sangat ngotot dan tak bisa dicegah lagi.
"Tidak! Tidak kuizinkan!"
Deeg...! Tiba-tiba Rindu Malam memukul rusuk Kelana Cinta dengan telapak tangannya. Pukulan itu sangat cepat dan tak sempat ditangkis oleh Kelana Cinta. Akibatnya tubuh Kelana Cinta terlempar ke samping, empat langkah jauhnya. Dan pada saat itulah Rindu Malam segera berseru kepada Sumbaruni,
"Majulah kalau kau ingin tahu seberapa besar hasratku mencintai Suto!"
"Kulayani tantanganmu!" kata Sumbaruni tanpa gentar.
Tapi baru saja Sumbaruni hendak langkahkan kaki
untuk maju, tiba-tiba tangan kiri Rindu Malam telah lepaskan pukulan tenaga dalam bersinar putih bagaikan sekeping logam bundar. Slaaap...! Sinar putih itu segera disambut oleh lompatan Sumbaruni ke atas sambil
lepaskan pukulan dari genggaman tangan kanannya yang memancarkan sinar hijau menggumpal tak beraturan.
Duaar...!
Ledakan sinar putih dan sinar hijau itulah yang didengar Suto Sinting dari Puncak Karang, itulah sebabnya Pendekar Mabuk segera lari turun dari Puncak Karang untuk mengetahui apa yang terjadi di kaki puncak itu. Namun sebelum Pendekar Mabuk tiba di kaki puncak, Rindu Malam sudah lebih dulu melompat dengan menebaskan pedangnya ke dada Sumbaruni. Wuuutt...!
Sumbaruni bersalto mundur satu langkah. Begitu mendarat di tanah ia langsung merendah. Tangannya menapak tanah, kaki kanannya menendang pergelangan tangan Rindu Malam yang menggenggam pedang. Wuuut...! Deess...!
Wees...! Pedang pun terlepas dari tangan, terlempar ke atas. Tapi Rindu Malam segera sentakkan kakinya begitu tiba di tanah, sehingga tubuhnya kembali melesat ke atas dan menyambar gagang pedangnya kembali dengan tangan kiri. Tabb...!
Waktu itu bertepatan dengan Sumbaruni lepaskan pukulan mautnya melalui sodokan dua jari kanan. Suuut...! Dan terlepaslah selarik sinar biru dari ujung dua jari itu. Karena tubuh Rindu Malam sudah telanjur melesat naik, maka sinar biru itu tidak mengenai sasaran, melainkan justru mengarah ke dada Kelana Cinta.
Dengan cepat Kelana Cinta sentakkan kedua tangannya ke depan. Lalu sinar merah bergelombang
memancar keluar dan dihantam oleh sinar birunya
Sumbaruni.
Blaaar...!
Ledakan ini cukup kuat. Sumbaruni terpental ke belakang, demikian pula Kelana Cinta. Sedangkan Rindu Malam terpelanting ke samping dengan melayang tanpa keseimbangan badan. Bruuk...! Mereka saling jatuh ke tanah hampir bersamaan. Dan pada waktu itulah Suto Sinting tiba di tempat tersebut. Jleeg!
"Sumbaruni?!" Suto Sinting memandang heran terhadap Sumbaruni yang tak disangka-sangka sudah ada di tempat itu. Mata Pendekar Mabuk yang bagus dan jeli menurut para wanita itu, segera menatap Kelana Cinta dan Rindu Malam yang sedang bergegas bangkit dari kejatuhan mereka.
"Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa kalian saling bertarung?"
"Hmmm... anu... hanya salah paham sedikit," jawab
Kelana Cinta menutupi persoalan sebenarnya. "Salah paham bagaimana?"
"Rindu Malam menyangka Sumbaruni orangnya
Raden Udaya, dan Sumbaruni menyangka Rindu Malam anaknya Malaikat Beku. Kurasa... kurasa bisa kami selesaikan sendiri, Suto."
"Benarkah begitu, Sumbaruni?" tanya Suto.
"Hmm... eh... iya," Jawab Sumbaruni sambil melirik Rindu Malam. Dan ketika Suto menanyakan kepada Rindu Malam, gadis itu pun akhirnya dengan berat hati menganggukkan kepala.
"Memang... memang hanya salah paham saja."
Suto Sinting tertawa, tapi Rindu Malam dan Sumbaruni saling lirik penuh hasrat untuk saling menyerang. Hasrat itu sama-sama mereka tahan supaya tidak membuat si pendekar tampan besar kepala, karena merasa diperebutkan.
Tiba-tiba sekelebat bayangan datang dari arah belakang Sumbaruni. Bayangan itu tahu-tahu sudah berwujud di depan mereka, membuat Sumbaruni dan Suto sedikit tercengang melihat penampilan seorang tokoh tua berambut panjang abu-abu, berbadan kurus dan berjubah putih kusam. Orang itu bukan orang tua yang bertarung aneh di puncak bukit seberang tadi, melainkan seorang tokoh tua yang amat dikenal Suto dan Sumbaruni. Dia adalah Raja Maut, tokoh beraliran putih yang tidak sempat hadir dalam pertemuan di Jurang Lindu untuk membicarakan pelaku pembunuhan Ki Empu Sakya.
"Sumbaruni, syukurlah kau bisa kutemui di sini!" kata Raja Maut.
"Ada apa, Prasonco?" tanya Sumbaruni menyebutkan
nama asli Raja Maut.
"Anakmu... terpeleset jatuh ke Jurang Petaka saat mencarimu!"
"Hah...?! Logo jatuh ke Jurang Petaka?!" sentak
Sumbaruni dengan kaget.
Suto berkerut dahi dan berkata membatin, "Jurang Petaka?! Bukankah jurang itu adalah jurang yang amat dalam dan tak akan membuat siapa pun bisa selamat jika
masuk ke sana?! Oh, celaka! Kalau begitu Logo dalam bahaya besar!"
Tetapi Raja Maut segera berkata kepada Sumbaruni
dan amat mengejutkan Pendekar Mabuk,
"Cepatlah cari anakmu itu sebelum ia dimanfaatkan oleh Siluman Tujuh Nyawa! Sebab kudengar Siluman Tujuh Nyawa bersemayam di Jurang Petaka sudah beberapa waktu lamanya."
Detak jantung Pendekar Mabuk menjadi cepat dan menghentak-hentak. Nama Siluman Tujuh Nyawa adalah nama yang mengobarkan kemarahan dalam dadanya. Tokoh sesat yang paling sakti dan mampu menembus dunia gaib itu adalah tokoh yang sedang dikejar-kejar oleh Pendekar Mabuk selama ini. Ia tak akan mengawini Dyah Sariningrum sebelum berhasil membunuh tokoh paling kejam dan ganas itu. Tetapi selama ini Suto kehilangan Jejak Siluman Tujuh Nyawa yang selalu menghindar jika bertemu dengan Suto.
"Sayang aku sedang dalam perjalanan ke negeri Ringgit Kencana!" geram Suto dalam hatinya. "Apakah sebaiknya kubatalkan saja rencana kunjunganku ke negeri Ringgit Kencana itu? Tapi, Ratu Asmaradani sangat membutuhkan pertolonganku, ia dalam bahaya yang agaknya sangat menyedihkan. Atau... biarlah kukerjakan dulu rencana pergi ke Ringgit Kencana, setelah itu baru memburu Siluman Tujuh Nyawa ke Jurang Petaka?!"
Kebimbangan Pendekar Mabuk membuat si murid sinting Gila Tuak itu tertegun beberapa saat dalam
keadaan tetap berdiri memandangi Rindu Malam. Yang dipandang dengan tatapan kosong itu justru menyangka Suto sedang mengagumi kecantikannya dan mulai berhasrat untuk mendekati hatinya. Tak heran jika Rindu Malam akhirnya berdebar-debar panik dan salah tingkah mendapat tatapan mata si pendekar tampan itu.
*
* *

2
UNTUK mencapai negeri Ringgit Kencana, mereka harus terlebih dulu menemukan Pulau Bayangan. Pulau itu terletak di Selat Buaya. Sebuah selat di antara dua pulau besar yang berair tenang. Gelombang lautan seakan enggan melintasi Selat Buaya. Konon, di perairan itu dulunya hidup binatang yang mirip buaya dan dinamakan Buaya Laut. Tetapi binatang itu sekarang sudah punah dan tak pernah terlihat lagi.
Pulau Bayangan adalah sebuah pulau kecil, luasnya kurang dari sepuluh langkah. Bentuknya seperti mangkok terbalik, tanpa tanaman apa pun kecuali hanya rumput laut. Mereka mencapai Pulau Bayangan dengan sebuah sampan yang terbuat dari batang kelapa. Sampan itu panjang, tapi sempit. Dibuat secara mendadak oleh Rindu Malam dan Kelana Cinta. Suto Sinting hanya memperhatikan sambil sesekali meneguk tuak dari bumbungnya, ia memang tidak diizinkan bekerja oleh kedua utusan Ratu Asmaradani itu.
"Di mana sebenarnya letak negeri Ringgit Kencana
itu?" tanya Suto ketika mereka tinggal beberapa saat lagi mencapai Pulau Bayangan.
"Di Pulau Bayangan," jawab Kelana Cinta
mendahului mulut Rindu Malam yang ingin menjawab pertanyaan itu.
"Katamu, Pulau Bayangan adalah pulau yang ada di depan kita itu?"
"Memang."
"Pulaunya kecil begitu?!" Suto Sinting heran. "Memang kecil," jawab Kelana Cinta lagi membuat
Rindu Malam kembali tak jadi bicara.
"Lalu, mana istananya? Mana negerinya?" "Negerinya...."
"Ada di sana!" sahut Kelana Cinta.
Rindu Malam bersungut-sungut. Merasa jengkel dengan sikap Kelana Cinta yang selalu mendahuluinya dalam bicara. Padahal dia ingin sekali menjawab apa-apa yang ditanyakan oleh Suto. Ia ingin menjadi pemandu Pendekar Mabuk. Dan melihat Rindu Malam cemberut dan bersungut-sungut, Kelana Cinta sunggingkan senyum geli, sebab ia sengaja menggoda hati Rindu Malam agar jengkel oleh sikapnya. Hal itu dilakukan oleh Kelana Cinta sekedar untuk melemparkan canda dan menghilangkan ketegangan yang tadi terjadi di antara mereka sebelum Sumbaruni datang.
Ketika Sumbaruni pergi bersama Raja Maut mencari Logo, anaknya yang jatuh ke Jurang Petaka itu, Kelana Cinta berhasil membujuk Suto Sinting agar tetap meneruskan perjalanan ke negeri Ringgit Kencana.
Padahal waktu itu Rindu Malam sudah mau bicara dan membujuk Suto, tapi didahului oleh Kelana Cinta. Gadis itu hanya bisa menyimpan kedongkolan saja.
Sampan dari batang kelapa dibuang begitu mereka tiba di pulau kecil seperti tempurung terbalik itu. Sampan dibiarkan hanyut terbawa arus lemah, entah menuju ke pantai sebelah mana. Yang jelas Kelana Cinta segera menyuruh Suto ke tengah pulau kecil tersebut.
"Aneh sekali?!" gumam Suto Sinting sambil memandang pulau gundul yang seolah-olah tempat pengasingan amat menyedihkan. Tak ada tonggak, tak ada pohon, tak ada atap, tak ada apa-apa. Tentu saja Pendekar Mabuk bingung mencari di mana negeri Ringgit Kencana itu.
Rindu Malam membawa Suto persis ke tengah pulau. Kelana Cinta segera lakukan gerakan aneh. Kedua tangannya direntangkan, lalu mengeras, dan bergerak saling mendekat di depan dada. Kedua tangan itu saling bertemu, tapi hanya ujung telunjuk dan ujung jempolnya saja yang bertemu, jari lainnya menggenggam rapat.
Kelana Cinta memusatkan pikirannya, mengerahkan tenaga untuk keluarkan kekuatan aneh dari ujung pertemuan dua telunjuk tersebut. Kejap berikut, ujung telunjuk itu lepaskan selarik sinar warna-warni, bagaikan sinar pelangi. Sinar itu melesat tanpa putus, mengarah ke tanah cadas berumput laut.
Sinar itu bergerak sesuai dengan langkah kaki Kelana Cinta yang mengelilingi tubuh Rindu Malam dan Suto Sinting. Sinar warna-warni itu mengingatkan Suto pada
setangkai bunga mawar warna-warni yang hadir dalam mimpinya dan sempat menjadi kenyataan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Keris Setan Kobra").
Sinar itu begitu mengenai tanah membekas seperti warna dan nyala aslinya. Langkah kaki Kelana Cinta yang bergerak berkeliling itu membuat tanah menjadi bersinar dalam bentuk lingkaran, Kelana Cinta ada dalam lingkaran tersebut. Dan ia segera hentikan tindakan itu setelah bentuk sinar di tanah menjadi lingkaran yang saling bertaut ujungnya.
Kini Kelana Cinta mendekati Suto dan Rindu Malam. Sinar di tanah masih menyala warna pelangi, makin lama makin berkobar seperti api, dan tahu-tahu bergerak cepat naik ke atas. Wuuusst...!
Pendekar Mabuk kaget dan sempat ditertawakan kedua gadis itu. Wajah Suto terheran-heran memandang sinar itu telah membentuk dinding tinggi warna-warni di bagian atasnya saling merapat, meruncing seperti kerucut. Kini mereka berada di dalam kurungan sinar warna-warni.
Tak sepatah kata pun terlepas dari mulut Suto yang sedikit ternganga karena kagum dan heran. Bahkan Pendekar Mabuk itu kian kerutkan dahi ketika rasakan pulau yang dipijaknya itu bergerak amblas ke dalam laut secara pelan-pelan. Gerakan itu terjadi cukup lama, sehingga Suto dapat memperkirakan bahwa dirinya bersama dua utusan negeri Ringgit Kencana itu sedang dibawa menyelam ke dalam laut oleh pulau kecil tersebut. Hal yang mengherankan Suto adalah tak ada air
yang masuk ke dalam lingkaran itu, tapi telinganya sempat mendengar bunyi gemuruh air samar-samar.
"Dibawa ke mana aku ini?" pikir Suto dengan was-
was. "Jangan-jangan aku diajak bunuh diri bersama- sama?"
Rindu Malam sempat tersenyum tipis, menertawakan keheranan Suto Sinting. Tapi anehnya, baik Rindu Malam maupun Kelana Cinta tak ada yang bicara sepatah kata pun. Hal itu membuat Suto sendiri tak berani bicara apa-apa.
Claaap...!
Sinar pelangi itu lenyap begitu saja. Juga sempat mengejutkan Suto Sinting. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata saat itu Suto sudah berada di pelataran sebuah istana yang dihuni olah wanita-wanita cantik berambut pendek seperti potongan lelaki. Bentuk kecantikannya memang berbeda, tapi agaknya ada satu keharusan bagi mereka untuk memangkas rambutnya sependek mungkin hampir mirip seorang lelaki.
Pendekar Mabuk itu celingak-celinguk kebingungan. Ia buru-buru meneguk tuaknya sambil membatin, "Siapa tahu setelah minum tuak aku tidak terlalu bingung begini!"
Namun setelah meneguk tuak, ternyata Suto Sinting semakin tambah bingung. Hal yang membuatnya bingung adalah munculnya sejumlah gadis cantik berpakaian macam-macam warna, namun mempunyai bentuk pedang yang sama, bergagang bentuk bunga mawar. Sedangkan di tepian pelataran Istana itu, terdapat
tanaman bunga mawar berjajar. Mawar-mawar di sana berwarna seperti pelangi. Keharumannya yang khas menyebar membuat Pendekar Mabuk merasa seperti hidup di alam mimpi. Bunga-bunga mawar itu pun mempunyai tangkai yang tanpa duri, seperti bunga mawar yang diberikan kepadanya oleh seorang ratu bernama Asmaradani di dalam mimpinya beberapa waktu yang lalu.
Suto masih tidak berani bergerak. Bingung memandangi wajah-wajah cantik yang segera membentuk satu barisan memanjang dari dalam istana sampai ke gerbang yang ada di belakang Suto Sinting itu. Rupanya kehadiran Suto disambut dengan penghormatan khusus, tak bedanya seorang tamu agung mengunjungi sebuah negeri. Sekalipun Pendekar Mabuk mencoba tenangkan diri, tapi masih saja tampak keheranannya ketika memperhatikan wajah-wajah cantik penuh senyum menawan kepadanya, dan segera disadari bahwa tak satu pun ada orang lelaki di sekelilingnya. Satu-satunya orang lelaki yang ada di antara mereka adalah dirinya sendiri. Suto Sinting mulai grogi merasa dirinya tunggal ada di antara gadis-gadis cantik.
"Di... di mana aku ini?" tanya Suto dalam bisik kepada Rindu Malam.
"Di negeri Ringgit Kencana," jawab Rindu Malam
seiring senyum manisnya.
Kelana Cinta menambahkan kata, "Kita berada di dasar laut, Suto!"
"Di dasar laut?! Aneh?!" gumam Suto yang memang
merasa aneh, karena ia tidak melihat ciri-ciri kehidupan dasar laut. Tanah yang dipijak seperti tanah di permukaan bumi. Pakaian mereka ataupun kulit mereka tidak ada yang bersisik. Bagian atas tampak ada langit bermega putih. Langit dalam keadaan terang walau tak terlihat di mana letak mataharinya.
"Sebuah negeri yang aneh," katanya pelan. "Seperti negeri di atas permukaan sebuah pulau saja!"
"Gusti Ratu kami mempunyai ilmu 'Latar Bayangan' yang membuat semua pemandangan di sini seperti pemandangan di permukaan pulau," kata Kelana Cinta.
"Apakah di sini juga ada siang dan malam?"
"Ya. Kami juga mengenal siang dan malam, tapi kami tak punya matahari dan rembulan," jawab Rindu Malam. "Hanya orang berilmu tinggi dan mempunyai kepekaan indera keenam saja yang bisa sampai di tempat kami ini. Tetapi jika kau tinggal di sini, kau akan dibekali ilmu tersendiri yang bisa membuatmu keluar- masuk ke negeri kami, seperti contohnya ilmu yang kugunakan membawamu kemari tadi," kata Kelana
Cinta. "Seandainya ada...."
Kelana Cinta tak jadi teruskan kata, ia melihat seorang wanita berjubah perak muncul di serambi istana. Wanita berambut pendek itu membungkukkan badannya, memberi hormat kepada Suto Sinting. Maka Kelana Cinta berkata,
"Sebaiknya kita segera masuk ke istana. Pendeta Agung Dewi Rembulan sudah mempersilakan kita untuk menghadap sang Ratu."
"O, perempuan cantik itu juga punya jabatan tinggi di sini?" sambil Suto memandangi pendeta Agung Dewi Rembulan yang kepalanya dihiasi rantai emas dengan batu-batu kecil warna hijau bening, sejenis batu giok.
"Dia adalah pemimpin upacara suci bagi rakyat kami sekaligus penasihat Ratu Asmaradani," bisik Rindu Malam. "Ayolah, sang Ratu sudah menunggu."
Sambil melangkah menuju Istana bertangga sepuluh baris itu, Suto sempat berpikir curiga, "Jangan-jangan aku dibawa ke sini mau dikawinkan? Wah, gawat kalau begitu. Kalau toh aku lari, tak akan bisa timbul di permukaan laut. Aku tak tahu jalan keluar dari negeri ini."
Pilar-pilar istana terbuat dari batuan bening. Lantainya bagaikan kaca yang memantulkan bayangan orang di atasnya. Pilar bening itu memantulkan sinar warna-warni yang mempunyai nilai keindahan tersendiri. Hawanya sejuk, tapi tidak membuat tubuh sampai menggigil. Suto melangkah menaiki tangga serambi sambil memandang kagum kepada kemegahan di sekitarnya.
Ruang paseban sangat luas, hening dan bersuasana penuh kharisma. Di ruang paseban itulah Suto dipertemukan dengan seorang wanita berambut panjang. Hanya dialah wanita yang mempunyai rambut panjang dari sekian banyak wanita yang ada di negeri tersebut.
Wanita itu seperti masih berusia dua puluh lima tahun. Cantik, dadanya montok menggiurkan, senyum tipisnya menampakkan lesung pipit yang memikat,
hidungnya tidak terlalu mancung namun bangir dan indah. Bibirnya pun seperti kuncup mawar yang selalu basah. Wanita itu mengenakan jubah biru sutera tipis, dilengkapi dengan perhiasan mewah, termasuk mahkota separo lingkaran yang dipajang di rambutnya, membuat ia tampak berwibawa dan anggun. Wanita itu duduk di sebuah kursi dari bebatuan bening warna hijau. Bagian depannya tertutup meja dari marmer putih tak tembus pandang, sehingga yang terlihat hanya sebatas dada ke atas saja.
Hal yang membuat Pendekar Mabuk menjadi terbengong-bengong adalah kenyataan yang nyaris tak dipercayainya, bahwa wanita berjubah biru tipis itu adalah wanita cantik yang hadir dalam mimpinya beberapa waktu yang lalu. Tentu saja Suto Sinting segera ingat nama wanita yang memberikan bunga mawar dua kali dalam mimpinya itu.
"Dia pasti Ratu Asmaradani...," ucapnya dalam hati. Lalu sang Ratu berkata, "Selamat datang di negeriku.
Tentunya kau heran tapi tidak asing dengan wajahku yang pernah hadir dalam mimpimu itu, Pendekar Mabuk."
Suto Sinting menelan ludahnya. "Iiy... iya...," jawabnya dengan kikuk antara malu dan kagum. "Boleh aku minum tuak sedikit?"
"Silakan," jawab Ratu Asmaradani dengan penuh keramahan dan senyum yang amat menawan, ia tetap duduk di singgasananya, ia memandangi Suto meneguk tuaknya dengan wajah penuh keceriaan, seakan amat
gembira menerima kedatangan Pendekar Mabuk.
Pendeta Agung Dewi Rembulan juga memandang dengan senyum keramahan, ia berdiri lima langkah di samping tempat duduk sang Ratu. Wajahnya yang cantik dan sepertinya baru berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu, sebenarnya wajah yang terawat oleh sebuah ilmu kecantikan. Padahal Pendeta Agung Dewi Rembulan sebenarnya berusia di atas sembilan puluh tahun. Sedangkan Ratu Asmaradani sebenarnya berusia di atas tujuh puluh tahun.
Rindu Malam dan Kelana Cinta ada di samping kanan kiri Suto dalam jarak masing-masing tujuh langkah. Mereka berdiri tegak bagaikan sepasang pengawal setia sang tamu. Sedangkan di pinggiran sana berlututlah wanita-wanita muda dan cantik yang menjadi prajurit istana negeri tersebut. Semua mata tertuju kepada Suto Sinting dengan wajah berseri-seri.
Suto duduk di atas batuan marmer putih, seperti marmer meja di depan Ratu Asmaradani. Batuan marmer itu berbentuk kotak kubus yang agaknya sengaja disediakan untuk seorang tamu. Batu marmer itu diberi bantalan warna merah jambu yang empuk dan sangat enak untuk diduduki.
"Suto Sinting, sebelumnya aku minta maaf padamu karena telah hadir dalam mimpimu menggunakan Ilmu
'Rambah Batin' yang kumiliki itu."
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Aku tidak merasa terganggu," kata Suto Sinting menampakkan ketegasan sikapnya.
"Aku sengaja memanggilmu dan ingin meminta bantuan padamu, Suto."
"Kurasa kau salah orang, Nyai Ratu. Aku bukan dewa
yang bisa dimintai bantuan. Aku hanya manusia biasa dengan kemampuan yang sangat terbatas."
"Tapi firasat yang datang padaku mengatakan, kaulah satu-satunya orang yang bisa menolongku, Suto Sinting. Apakah kau keberatan?"
Suara merdu yang lembut itu bergema di ruangan berlangit-langit tinggi. Suara gemanya membuat suasana di situ semakin berkesan sakral dan penuh penghormatan. Suara Suto sendiri, menurut mereka, juga enak didengar dan menimbulkan keindahan tersendiri di batin mereka.
"Jika demi kebaikan, aku tak pernah keberatan menolong siapa pun semasa aku mampu melakukannya, Nyai Ratu."
"Terima kasih sebelumnya, Pendekar Mabuk." Ratu Asmaradani masih belum mau mendekati Suto, hanya duduk dengan sunggingan senyum kian indah dan ceria.
"Perlu kau ketahui," kata sang Ratu, "Sebelumnya aku juga sudah meminta izin kepada gurumu; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang melalui mimpi juga."
Suto terperanjat, "Kau mengenal guruku, Nyai
Ratu?!"
"Sangat kenal," jawabnya penuh rasa bangga. "Aku adalah adik sepupu Nawang Tresni atau Bidadari Jalang, Bibi gurumu itu"
"Ooo...?!" Suto Sinting melongo dengan rasa kaget.
Selama ini bibi gurunya tak pemah menceritakan tentang saudara sepupu yang bernama Asmaradani. Maka Suto pun dapat menduga berapa usia Asmaradani sebenarnya jika ia adalah adik sepupu Bidadari Jalang, gurunya juga itu.
"Ibuku adalah adik dari ibunya Bidadari Jalang. Jadi cukup dekat hubunganku dengan bibi gurumu itu, Suto Sinting."
Pendekar tampan angguk-anggukkan kepala. Senyumnya kian mekar berseri menggoda hati para prajurit di pinggiran ruang pertemuan itu. Pendekar Mabuk merasa lega dan bangga bisa bertemu dengan Ratu Asmaradani, yang dalam urutan silsilah termasuk orang yang patut dihormati dan dilindungi, sebab adik dari gurunya sendiri. Tetapi Suto Sinting diam-diam menyimpan keheranan kecil.
"Tentunya dia punya ilmu tinggi. Tapi mengapa dia tak bisa selesaikan persoalannya sendiri? Mengapa harus meminta bantuan padaku?"
Kemudian Suto Sinting pun bertanya, "Jadi, bagai mana aku harus memanggilmu, Nyai Ratu? Bibi atau...." "Terserah kau. Bukan panggilan hormatmu yang kubutuhkan, tapi kesaktianmu yang kuharapkan bisa
menolongku."
"Boleh aku tahu apa kesulitanmu, Nyai Ratu?" "Beberapa waktu yang lalu, seorang lelaki berilmu
tinggi dapat masuk ke negeri ini. Ia mengaku berjuluk Bandar Hantu Malam, ia ingin mengawiniku, bahkan memaksaku menerima lamarannya. Aku menolak, dia
sakit hati, lalu terjadilah pertarungan antara aku dan dia. Aku kalah, Suto Sinting. Dan sampai sekarang dia masih menginginkan diriku. Sampai sekarang aku pun belum mampu menemukan lawan tanding ilmunya yang dijatuhkan padaku yang bernama ilmu 'Racun Siluman' itu. Kekuatan ilmu 'Racun Siluman' tak bisa hilang sebelum disembuhkan olehnya atau si pemilik 'Racun Siluman' itu mati."
Murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu membatin di hatinya, "Sehebat apakah ilmu yang dimiliki Bandar Hantu Malam itu, sehingga Asmaradani tak bisa mengatasinya? Jangan-jangan ilmu Asmaradani hanya pas-pasan? Ah, kurasa tidak! Buktinya ia bisa membangun istana di dasar laut yang bersuasana seperti di permukaan bumi begini. Lalu, mengapa ia tak bisa kalahkan ilmu 'Racun Siluman' itu? Jangan-jangan dia hanya menguji kesaktianku?"
Suara merdu yang enak didengar itu kembali dilontarkan dengan lembuat,
"Orang-orangku tak mungkin mampu tandingi ilmunya Bandar Hantu Malam. Jadi tak kuizinkan mereka menyerang Bandar Hantu Malam. Dalam teropong batinku yang kupadukan dengan ilmu 'Getar Sukma' itu, aku melihat sebentuk kesaktian yang dahsyat dan tertinggi di antara ilmu-ilmu lainnya ada padamu. Salah satu hal yang bisa kulihat dalam teropong batinku adalah jurus-jurus mautmu yang bernama jurus 'Yudha' dan jurus 'Manggala' pemberian Ratu Kartika Wangi dari Puri Gerbang Surgawi di alam gaib itu."
Hati sang pendekar tampan tersentak lembut mendengar nama Kartika Wangi, calon mertuanya disebut-sebut. Suto tak perlu meminta penjelasan lebih lanjut, ia sudah dapat mengetahui bahwa Asmaradani adalah orang berilmu tinggi, terbukti bisa mengetahui Ilmu jurus 'Manggala' dan jurus 'Yudha' tersebut. Tentunya Suto pun yakin, Asmaradani mampu melihat titik merah di dahinya sebagai tanda bahwa Suto adalah orang terhormat di negeri alam gaib tersebut.
Tetapi agaknya ada sesuatu yang membuat Suto heran. "Aku mendengar kau menyebut-nyebut nama Ilmu 'Getar Sukma'. Seingatku ilmu itu juga dimiliki oleh bekas istri jin bernama Sumbaruni atau Pelangi Sutera. Apakah ada hubungannya denganmu, Nyai Ratu?"
"Memang. Sumbaruni adalah bekas pengawalku. Jelasnya, dulu dia pernah mengabdi di sini sebagai panglimaku. Tetapi karena dia sangat mencintai anaknya, maka ia tinggalkan jabatan itu dan mengembara mencari anaknya yang bernama Logo. Aku memberinya julukan nama: Pelangi Sutera."
"Ooo... pantas!" gumam Suto, tapi juga gumam hati Rindu Malam. Karena Rindu Malam merasa baru sekarang mendengar bahwa Sumbaruni adalah bekas panglima negeri Ringgit Kencana itu. Rindu Malam menjadi gentar hatinya setelah mengetahui hal itu dan tak mau sesumbar menantang Pelangi Sutera lagi. Sedangkan Kelana Cinta hanya melirik Rindu Malam dan tersenyum tipis, sebagai tanda mencemooh. Sebab ia
sengaja tidak beri tahu lebih dulu kepada Rindu Malam tentang siapa Sumbaruni itu. Kini Kelana Cinta puas melihat Rindu Malam terbengong menyadari kelancangan dan sesumbarnya.
"Apakah Sumbaruni tidak bisa ditarik kembali dan dimintai bantuannya untuk melawan Bandar Hantu Malam, Nyai?" usul Suto dalam bentuk tanya.
Dengan senyum manis sang Ratu gelengkan kepala. "Ilmunya tak bisa kalahkan 'Racun Siluman' milik Bandar Hantu Malam. Seandainya Bandar Hantu Malam tak memiliki 'Racun Siluman', tentunya Kelana Cinta sendiri bisa kalahkan dia."
Suto melirik Kelana Cinta, wanita itu diam saja dan pura-pura tidak merasa dilirik. Lalu, Suto Sinting kembali pandangi Ratu Asmaradani yang masih duduk di balik meja marmer itu.
"Bagaimana kalau kita coba meminta bantuan Sumbaruni? Mungkin Sumbaruni punya ilmu simpanan yang...."
"Tidak akan bisa, Suto!" potong Ratu Asmaradani dengan tetap tersenyum. "Jangan menambah korban dengan cara coba-coba. Aku tak mau Sumbaruni atau yang lainnya temui nasib sepertiku."
"Kulihat kau baik-baik saja dan sehat, Nyai Ratu." "Kelihatannya begitu. Tapi coba perhatikan diriku...,"
kata sang Ratu, lalu ia berdiri dan berjalan sampai di depan meja, berhadapan dengan Suto.
Pendekar Mabuk kagat bukan kepalang. Matanya mendelik lebar-lebar melihat keadaan ratu cantik dan
menggairahkan itu. Ternyata Ratu Asmaradani kehilangan tubuh bagian bawahnya dari batas pusar sampai ke telapak kaki. Tubuh itu hanya sepotong, yang tersisa dari perut sampai ke kepala. Andai saja Ratu Asmaradani tidak mempunyai ilmu peringan tubuh cukup tinggi, tentunya ia tak dapat berjalan karena tak punya kaki.
Pada saat Pendekar Mabuk tercengang, wajah Ratu Asmaradani tertunduk malu dan sedih. Tapi suaranya terdengar jelas,
"Paksa dia untuk sembuhkan diriku, Suto. Jika memang sangat terpaksa, kalahkan dia dengan caramu. Aku mohon bantuanmu. Pendekar Mabuk...!"
Suto Sinting masih tertegun merinding melihat keganasan ilmu 'Racun Siluman', ia dapat bayangkan alangkah menderitanya hidup tanpa bagian perut ke
bawah.
*
* *

3
RINDU Malam hanya diizinkan oleh Ratu Asmaradani mengantar Suto sampai di permukaan laut saja. Ia harus segera kembali, karena sang Ratu punya firasat adanya rasa cinta di hati Rindu Malam. Bahkan sebelum ia ditugaskan mengantarkan Suto ke permukaan laut, sang Ratu sudah berpesan kepada semua rakyat dan orang-orang bawahannya,
"Tak satu pun boleh mencintai Suto dan merayunya.
Dia orang terhormat, murid dari kakak sepupuku. Apalagi kalau dia berhasil kalahkan Bandar Hantu Malam, kalian semua, termasuk aku, berhutang budi kepadanya. Jadi jangan paksa dia jatuh cinta kepada kalian. Karena aku pun tahu, bahwa dia sudah punya calon istri tersendiri. Jika terjadi perkawinan antara dia dan salah satu dari kita, maka Ratu Kartika Wangi jelas akan menuntut dan kita akan bermusuhan dengan penguasa negeri alam gaib itu."
Memang menyedihkan keputusan itu bagi Rindu Malam. Mau tak mau ia harus membantai habis rasa cintanya kepada Suto Sinting, ia tak berani melanggar larangan dari ratunya. Sekalipun membantai cinta adalah pekerjaan yang paling sulit dilakukan bagi setiap insan, tetapi Rindu Malam punya keyakinan, sedikit demi sedikit ia akan mampu melakukannya.
Suto Sinting diberi kunci untuk keluar masuk ke negeri Ringgit Kencana tanpa melalui cahaya warna- warni seperti saat ia dibawa ke situ oleh Kelana Cinta dan Rindu Malam. Kunci itu berupa setangkai bunga mawar warna pelangi tanpa duri. Bunga itu akan tetap segar dan menyebarkan bau harum jika direndam dalam tabung tuaknya Suto. Bunga itu dapat membuat Suto sampai ke negeri Ringgit Kencana dengan hanya berdiri di atas Pulau Bayangan dan menghirup aroma bunga dengan napas panjang dan mata terpejam. Demikian pula yang harus dilakukan jika ia akan keluar atau pergi tinggalkan negeri itu.
"Jika dari sini kau menghirup bunga dengan napas
panjang dan pejamkan mata, kau akan muncul di pantai utara tanah Jawa yang tak seberapa jauh dari Pulau Bayangan. Tapi jika ingin masuk ke sini, kau harus berdiri di pulau kecil itu lebih dulu," kata sang Ratu menjelaskan. "Sebetulnya aku sudah kirimkan dua kali kunci menuju kemari kepadamu melalui mimpi, tapi rupanya kau belum mengetahui bagaimana caranya menggunakan kunci itu. Aku bisa memakluminya."
Kini pikiran Suto tertuju pada tokoh keji yang mempunyai jurus 'Racun Siluman' itu. Ratu Asmaradani tidak bisa mengetahui di mana Bandar Hantu Malam itu berada. Karenanya sang Ratu hanya memberi perintah kepada Suto,
"Cari dan temukan! Kau pasti akan berhasil menemukannya. Bandar Hantu Malam kurasa bukan nama yang asing bagi para tokoh dunia persilatan, terutama para tokoh tuanya. Sayang sekali sebelumnya aku tak pernah dengar nama itu dan tak pernah jumpa. Satu kali berjumpa langsung dia melamarku dan memaksaku menjadi istrinya. Kulacak dengan ilmu teropong batinku juga tak bisa ketemu, ia punya kekuatan yang mampu sembunyikan diri dari teropong indera keenam para tokoh tingkat tinggi."
Buat Suto Sinting, melacak tokoh sakti tidaklah sulit. Kenalannya, para tokoh tua berilmu tinggi, tentu bisa dimintai bantuan untuk melacak tempat tinggal Bandar Hantu Malam itu. Maka untuk itu, Pendekar Mabuk segera temui Tabib Awan Putih yang tinggal tak jauh dari pantai utara. Tabib bermata kecil dengan pakaian
serba putih, kurus, bungkuk, berusia sekitar delapan puluh tahun itu, segera manggut-manggut ketika Suto menanyakan tentang orang bernama Bandar Hantu Malam. Tabib Awan Putih yang berjenggot panjang lurus ke bawah itu segera berkata dengan suara bijaknya, "Setahuku, orang yang berjuluk Bandar Hantu Malam
itu tinggalnya di Gunung Keong Langit, arah timur dari sini."
"Apakah dia orang sakti yang berbahaya, Tabib Awan
Putih?"
"Dulu memang ia berbahaya, ketika hidupnya sesat dan belum beristri, ia bekas seorang perampok yang mencari korban malam hari, sehingga berjuluk Bandar Hantu Malam, karena kehadirannya bagaikan hantu tanpa jejak. Cepat datang juga cepat pergi," tutur sang Tabib sambil menghisap pipa tembakaunya.
"Kudengar dia punya Ilmu 'Racun Siluman'. Apa benar itu?"
"Karena dia termasuk murid Warok Guci Wangsit, sedangkan ilmu 'Racun Siluman' hanya milik Warok Guci Wangsit pada masa itu, maka bisa saja ia mewarisi ilmu tersebut dari gurunya. Dan ilmu itu sangat berbahaya, Suto."
Suto Sinting angguk-anggukkan kepala. Sebelum ia ucapkan kata, Tabib Awan Putih sudah bicara lagi dengan tenang.
"Tapi sejak ia punya istri, sang istri mampu membuatnya bertobat dan pelajari ilmu-ilmu aliran putih. Sayang istrinya sudah meninggal, sehingga bisa
jadi ia kambuh menjadi sesat kembali. Namun sejauh ini aku tak pernah dengar si Bandar Hantu Malam bikin ulah yang menggegerkan dunia persilatan. Namanya pun bagaikan telah lenyap ditelan bumi. Itulah sebabnya aku merasa heran mengapa kau tanyakan nama Bandar Hantu Malam?"
"Hmmm... aku hanya sekadar ingin temui dia saja. Ada persoalan sedikit yang harus kuselesaikan dengannya," jawab Suto tak mau berterus terang, karena takut membuat nama Ratu Asmaradani dilecehkan oleh siapa saja. Karena wanita itu saudara sepupu bibi gurunya, maka Pendekar Mabuk merasa perlu melindungi nama baik wanita itu juga.
Dalam perjalanannya menuju Gunung Keong Langit, yang menurut keterangan Tabib Awan Putih, bentuk gunung itu seperti rumah keong raksasa itu, Suto Sinting sempat berpikir tentang semua kata-kata dan penjelasan tabib bungkuk itu.
"Mungkin memang karena tak beristri lagi, maka Bandar Hantu Malam kembali ke jalan yang sesat karena tak ada orang yang mengingatkannya. Tapi mengapa diawali dari dasar laut? Mengapa sasaran pertamanya Ratu Asmaradani? Apakah dengan begitu tingkah lakunya tidak mudah tercemar di permukaan bumi? Atau karena Bandar Hantu Malam tak bisa menahan hasratnya untuk beristri lagi dan sudah lama mengincar Ratu Asmaradani yang masih tampak muda itu?"
Renungan itu patah. Langkah pun terhenti. Pandangan Suto segera tertuju ke arah kirinya. Di sana
ada tanah lega berpohon jarang. Di atas tanah itu tampak dua orang mengadu kesakitan dengan letupan-letupan yang kadang menjadi ledakan mengguncang tanah. Suto Sinting segera bergegas ke pertarungan dua perempuan yang jaraknya lebih dari lima puluh langkah orang biasa. "Sumbaruni...?!" gumam Suto Sinting, lalu matanya beralih kepada perempuan yang satunya lagi, yang kenakan baju dalam warna kuning kunyit dan dirangkap baju jubah hijau. Perempuan yang ini berkuku runcing, walau tak terlalu panjang. Dadanya kelihatan montok sekali, wajahnya pun cantik, matanya indah tapi berkesan jalang dan kulitnya putih mulus bagai tanpa cacat. Melihat kakinya tak menyentuh tanah, maka Suto Sinting segera tahu bahwa perempuan bersenjata kipas bulu merak itu tak lain adalah Nila Cendani yang
disebut-sebut sebagai Ratu Tanpa Tapak.
Perempuan itulah yang membuat Suto dikejar-kejar para pembunuh bayaran karena disangka memegang pusaka Keris Setan Kobra pada waktu keris itu belum ditemukan. Perempuan itu mempunyai dendam yang begitu tinggi, karena ia pernah dikalahkan oleh Suto Sinting dalam satu pertarungan di Gunung Sesat. Niatnya yang ingin menaklukkan seluruh tokoh persilatan dan menguasai dunia membuat Nila Cendani tak peduli lagi bahwa Sumbaruni adalah neneknya jika diurutkan sesuai silsilah sebenarnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu Tanpa Tapak").
Untuk sementara waktu Pendekar Mabuk tidak ikut campur dalam pertarungan tersebut, ia berdiri di atas
gundukan tanah yang ditutupi bayangan pohon besar hingga tampak teduh. Suto Sinting justru menenggak tuaknya beberapa teguk, setelah itu memperhatikan pertarungan tersebut dengan tenang. Jarak pertarungan itu dengan tempatnya duduk sekitar lima belas langkah.
Melihat kehadiran Suto Sinting di situ, Nila Cendani segara hentikan pertarungan sejenak. Matanya memandang sipit kepada Pendekar Mabuk pertanda sedang memendam dendam. Suto Sinting yang merasa dipandangi segera sunggingkan senyum menawan, seakan sengaja menggoda Nila Cendani yang tak bisa disentuh oleh orang yang bukan perawan atau bukan jejaka.
Itulah sebabnya Sumbaruni sejak tadi hanya menghindari serangan-serangan Nila Cendani sambil mencari akal bagaimana untuk menyerang balik. Sebab Nila Cendani tak bisa disentuh oleh Sumbaruni yang sudah tidak perawan lagi itu. Bahkan pukulan-pukulan tenaga dalam Sumbaruni tidak bisa kenai Nila Cendani, tapi pukulan Nila Cendani dapat sampai ke tubuh Sumbaruni. Untuk sementara itu Sumbaruni hanya memanfaatkan pukulan Nila Cendani yang melesat ke arahnya dan diadu dengan pukulan tenaga dalamnya. Gelombang ledakan itulah yang dimanfaatkan oleh Sumbaruni dan diharapkan dapat menumbangkan tubuh lawannya.
"Memang susah melawan orang itu bagi Sumbaruni atau orang yang sudah tidak perawan lagi," pikir Suto Sinting. "Kurasa biar sebesar apa pun kekuatan
Sumbaruni jika terus-terusan hanya menghindari serangan Ratu Tanpa Tapak itu, lama-lama ia akan tumbang juga di tangan sang Ratu sesat itu. Agaknya aku tak boleh biarkan pertarungan itu menjadi lebih lama lagi, karena Sumbaruni sudah mulai kehilangan akalnya."
Terdengar seruan Sumbaruni menantang Ratu Tanpa Tapak yang hentikan pertarungan karena pandangi Suto Sinting.
"Nila Cendani! Lanjutkan perterungan kita, karena aku tak sabar lagi ingin segera mengalahkan dirimu!"
Mata Nila Cendani masih tertuju pada Suto Sinting.
Bahkan sikap berdirinya pun terang-terangan menghadap ke arah Pendekar Mabuk. Diam-diam Sumbaruni khawatir jika Nila Cendani lepaskan Ilmu 'Serap Sukma Asmara' lewat gigitan bibirnya sendiri yang dapat membuat Suto Sinting jatuh cinta dalam sekejap. Karenanya, Sumbaruni segera lepaskan pukulan tenaga dalamnya berbentuk kilatan cahaya merah ke arah wajah Nila Cendani. Claap...! Zruub...! Cahaya merah itu padam sebelum menyentuh wajah Nila Cendani. Hal itu dilakukan berulang-ulang oleh Sumbaruni atau Pelangi Sutera untuk memancing perhatian lawannya. Tetapi agaknya Nila Cendani tidak mau terpancing dan justru melangkah dekati Suto Sinting. Sumbaruni ketakutan dan segera berseru kepada Suto,
"Pergi kau! Jangan di situ, Suto! Pergiii...!"
Karena Suto Sinting tak mau pergi, maka Sumbaruni segera sentakkan kaki dan melenting ke udara, melesat
ke arah pertengahan jarak antara Suto dan Nila Cendani. Wuuut...! Jleeg...! Kakinya menapak di tanah dengan mantap dan langsung dalam keadaan berdiri menghadang Nila Cendani.
"Kau tak akan bisa menyentuhnya. Nila Cendani!" gertak Sumbaruni.
Perempuan itu diam saja, tapi tahu-tahu mencabut
kipasnya dari pinggang dan menyentakkan ke depan. Suuut...! Claap...! Sinar hijau menyebar lebar bagaikan mata pedang yang melesat ke arah leher Sumbaruni.
"Minggir, Sumbaruni!" teriak Suto dengan tegang. Tetapi Sumbaruni andalkan jurus mautnya dengan
lepaskan sinar warna-warni dari sentakan kedua tangannya. Sinar warna-warni itu membentuk perisai di depannya dan dihantam oleh sinar hijau lebar milik Nila Cendani.
Blaaarrr...!
Ledakan menggelagar begitu dahsyat mengguncang bumi. Sinar terang menyilaukan melesat dalam sekejap, nyaris membuat pandangan mata menjadi buta. Gelombang ledakan yang sempat membuat beberapa dahan pohon patah itu ternyata membuat Sumbaruni tumbang terkapar dalam jarak delapan langkah dari tempatnya berdiri. Tubuhnya berlumur darah yang keluar menyembur dari tiap lubang di tubuhnya.
"Parah!" gumam Suto dalam kecemasan melihat keadaan Sumbaruni. Ia sendiri tadi sempat terpelanting jatuh dan terguling-guling saat merasakan hentakan gelombang ledakan. Tapi keadaan Suto tidak mengalami
cedera apa pun. Ia segera bangkit dan mencari Ratu
Tanpa Tapak.
O, rupanya Ratu Tanpa Tapak juga tersentak mundur beberapa langkah sampai ke belakang sebuah pohon akibat ledakan dahsyat tadi. Namun keadaannya masih tetap segar, tidak mengalami luka apa pun. Bahkan kini ia melesat maju tanpa melangkah. Kakinya yang tidak menginjak tanah itu membuat gerakannya bagaikan melayang mendekati Suto Sinting.
"Kuhancurkan tubuh Sumbaruni jika kau tak mau tunduk padaku, Suto!" kata Nila Cendani mengancam dengan suara dingin.
"Aku tak akan pernah tunduk pada orang sesat sepertimu, Nila Cendani!"
"Bagus. Kalau begitu kau ingin lihat tubuh
Sumbaruni hancur sekarang juga!" Wuuut...! Claaap...!
Dari mata Nila Cendani melesat selarik sinar biru bening ke arah tubuh Sumbaruni yang terkapar tak berdaya itu. Suto Sinting cepat patahkan sinar biru itu dengan lepaskan jurus 'Surya Dewata', yaitu sinar ungu yang keluar dari telapak tangan yang disatukan di dada dan disentakkan ke depan. Claap...!
Blegaaarrr...!
Ledakan lebih dahsyat dari yang tadi telah membuat tanah bagaikan diguncang gempa hebat. Tiga pohon di seberang sana tumbang, akarnya terdongkel keluar dari tanah. Dua gugusan batu sempat pecah akibat gelombang panas yang menghentak dahsyat dari ledakan
yang timbul akibat perpaduan sinar birunya Nila
Cendani dan sinar ungunya Suto Sinting.
Akibat ledakan itu, Nila Cendani terlempar kuat ke belakang dalam jarak tujuh langkah. Ia terbaring ke sana-sini, dan akhirnya terpuruk di bawah sebuah pohon dengan suara rintih yang samar-samar. Sedangkan Suto Sinting sendiri juga terpental ke belakang, bahkan bumbung bambunya sempat terlepas dari pundak. Mulut Suto sempat lelehkan darah segar karena dadanya terasa dihantam gunung pada saat terjadi ledakan maha dahsyat tadi. Pandangan mata Pendekar Mabuk sempat berkunang-kunang dan buram. Samar-samar ia mencari bambu tuaknya dan segera berhasil menemukannya. Lalu ia buru-buru menenggak tuaknya beberapa teguk, setelah itu baru merasa tenang. Pandangan matanya terang kembali, rasa sakit di dada berangsur-angsur reda.
Pendekar Mabuk berdiri dengan tegak dan tegap. Matanya memandang tajam ke arah Nila Cendani yang baru saja bangkit di bawah pohon. Wajahnya berlumur darah. Kakinya sudah bisa menapak di tanah. Tetapi darah dari kedua matanya masih mengucur terus membuatnya bersandar di batang pohon.
"Oh, dia buta...?!" gumam Suto dalam hati sambil kian mendekati lawan untuk melihat lebih jelas lagi.
Kedua biji mata Nila Cendani itu hancur akibat sinar
birunya yang keluar dari mata tadi merusak biji mata sendiri setelah diadu dengan sinar ungunya Pendekar Mabuk. Akibatnya Nila Cendani tak bisa melihat apa- apa lagi. Dan tangannya mulai meraba-raba ketika ingin
melangkah berpindah ke tempat yang menurutnya lebih aman, yaitu di balik pohon besar tersebut.
"Celaka! Keadaanku sangat parah. Tak mungkin bisa
menang melawan pemuda tampan yang mirip setan alas itu!" geram Nila Cendani.
"Nila Cendani!" seru Suto, "Jika kau ingin bertobat, jika kau mau tinggalkan alam sesatmu, aku sanggup sembuhkan biji matamu itu, Nila Cendani!"
"Persetan denganmu, Suto! Suatu saat aku akan datang membalas kekalahan ini! Kau harus menebusnya dengan dua biji matamu, Suto!"
Setelah berseru begitu, Nila Cendani melesat dari balik pohon, meninggalkan tempat itu. Gerakan larinya sangat cepat. Tapi karena matanya buta, maka ia pun menghantam pohon di depannya. Bruus...! Bruk! Ia jatuh, lalu bangkit lagi dan berlari lagi ke arah lain. Tapi ia tak tahu di depannya ada semak berduri sehingga ia pun menerabas semak berduri itu. Bruus...!
"Aauh...!" pekiknya dengan terengah-engah. Sekujur tubuhnya tergores duri, membuat pakaiannya pun menjadi robek-robek begitu keluar dari semak-semak itu. Tapi Nila Cendani tak mau mengeluh berkepanjangan, ia larikan diri lagi dengan agak mengurangi kecepatannya dan tangannya meraba-raba.
Sementara itu, Suto Sinting tak pedulikan lagi lawannya yang telah menjadi buta itu. Perhatian Pendekar Mabuk tercurah kepada Sumbaruni yang terkapar dalam keadaan parah.
"Sumbaruni, bertahanlah...!" sambil Suto
mempersiapkan bumbung tuaknya.
"Tinggalkan aku. Aku... aku sudah tak kuat lagi. Pergilah sana...," rintih Sumbaruni dengan napas mulai menipis.
"Tidak. Kau harus minum tuak ini, Sumbaruni! Ayo, minumlah...! Minum!"
"Ak... aku... aku tak bisa menelan," katanya kian lirih
dan serak.
"Kau harus bisa menelan tuak ini! Kau harus meminumnya. Lukamu akan sembuh, Sumbaruni! Ayo, minumlah! Usahakan menelan tuak ini!"
Sumbaruni yang gagal menemukan anaknya di Jurang Petaka, akhirnya harus menderita separah itu dalam pertarungannya melawan perempuan sesat tersebut. Suto Sinting tak tega membiarkan Sumbaruni tanpa daya. Ia paksakan perempuan itu agar mau meminum tuaknya. Tapi mulut Sumbaruni terasa makin kaku, sulit untuk dibuka. Suto Sinting buru-buru memaksa mulut itu agar terbuka dan bisa dituangi tuak bagian dalamnya. Namun mata Sumbaruni sudah mulai sayu, menyipit, dan napasnya pun kian menipis.
"Ayo, minum tuak ini sedikit saja, Sumbaruni! Jangan menyerah kepada keparahanmu! Ayo, berusaha melawan keparahan ini!" desak Suto Sinting sambil berusaha membuka mulut Sumbaruni walau agar kasar
caranya.
*
* *
4
SEBUAH desa yang penduduknya cukup padat menjadi tempat persinggahan Suto Sinting. Desa itu terletak di kaki Gunung Keong Langit. Sebenarnya Suto Sinting ingin tetap lakukan perjalanan, mendaki gunung itu untuk tiba di pondok Bandar Hantu Malam. Tetapi agaknya ia membutuhkan sebuah kedai untuk beristirahat dan mengisi tabung bambu tuak yang telah menipis isinya itu.
Suasana awal petang menyertai kehadiran Suto di desa itu. Sebuah kedai yang tak seberapa besar menjadi tempat tujuan pertama. Namun pada saat itu kedai tersebut sudah mau ditutup oleh pemiliknya; Ki Rosowelas. Orang itu bertubuh kurus, rambutnya pendek bercampur uban lebat, wajahnya penuh kesan seorang yang sabar dan ramah. Tapi saat itu Suto melihat lelaki berbaju abu-abu itu menyimpan perasaan takut ketika didatangi Suto.
"Baru menjelang petang kenapa sudah mau tutup, Pak Tua?!" tanya Suto sebagai teguran ramah kepada lelaki berusia sekitar enam puluh tahun itu. Senyum Ki Rosowelas menjadi kaku. Pandangan matanya penuh selidik. Suto tahu ia dipandang dengan curiga, tapi Suto tidak merasa tersinggung, hanya merasa heran dan menjadi penasaran.
Ki Rosowelas mencoba bicara seramah mungkin, "Anu... maaf, Nak. Saya tidak berani buka sampai malam hari. Hmm... maklum, sedang tidak aman."
"Tidak aman bagaimana? Maukah kaujelaskan
padaku, Pak Tua?"
Ki Rosowelas tampak bimbang, membuat Suto perlu yakinkan diri sebagai orang yang tak perlu dicurigai dan ditakuti.
"Aku hanya ingin beristirahat sebentar sambil mengisi bumbung tuakku. Jangan takut, aku bukan orang jahat seperti kecurigaanmu, Pak Tua."
Karena tutur katanya sopan dan wajah Suto tidak kelihatan bengis, maka Ki Rosowelas pun mempersilakan Suto untuk masuk ke kedainya. Kedai itu tidak ditutup semua, melainkan disisakan satu pintu untuk keluarnya Suto nanti. Selain mengisi bumbung tuaknya, Suto juga memesan secangkir tuak untuk diminumnya di situ. Dua potong ketan bakar dinikmati pula sebagai pengisi perutnya. Ki Rosowelas menemani Suto dengan ikut menikmati secangkir tuak pula.
Seorang gadis manis berkulit hitam segera bergegas ke belakang setelah menyerahkan tuak untuk diisikan ke bumbung bambu itu oleh Suto. Gadis manis berusia sekitar dua puluh tahun itu adalah anak tunggal Ki Rosowelas yang terlambat lahir. Gadis itu bernama Sunari, yang lahir pada saat Ki Rosowelas sudah berusia empat puluh tahun. Mulanya Ki Rosowelas dan mendiang istrinya merasa tidak akan punya keturunan, karena sudah bertahun-tahun hidup berumah tangga tapi tidak pernah mempunyai anak. Ketika mereka sudah berusia separo baya, sang istri justru hamil. Tapi sayang sang istri harus meninggalkan bayi dan suaminya untuk menghadap Yang Maha Kuasa saat melahirkan Sundari.
Ki Rosowelas tampak menyimpan keharuan saat menceritakan hal itu kepada Suto Sinting. Suto pun tak tega melihat wajah tua itu menyimpan duka karena kenangan lama. Maka Suto segera alihkan pembicaraan ke masalah lain.
"Ki Rosowelas belum ceritakan padaku apa yang membuat Ki Rosowelas mengatakan keadaan di sini sedang tidak aman tadi?"
"O, itu...?" Ki Rosowelas terkekeh lirih. "Biasa, Nak. Di mana-mana selalu ada orang jahat. Tidak di kota, tidak di desa, orang jahat bagaikan disebarkan oleh raja iblis untuk membuat keonaran, membenci kedamaian, mengacaukan ketenangan. Begitu pula dengan desa Pucangan ini, Nak," kata Ki Rosowelas sambil melinting tembakau. Pada masa itu masih jarang orang melinting tembakau. Umumnya tembakau digunakan untuk campuran sirih, baik lelaki maupun wanita. Orang menggunakan tembakau sebagai rokok hanya apabila mempunyai pipa cangklong, dan hal itu hanya dilakukan oleh para bangsawan atau tokoh tua seperti Tabib Awan Putih. Umumnya tembakau yang dihisap sebagai rokok menggunakan campuran madat. Tapi Ki Rosowelas tidak demikian, ia melinting tembakau untuk dijadikan rokok yang bagi Suto merupakan pemandangan yang aneh. Tak heran jika sejak tadi Suto mengikuti gerakan jari melinting tembakau, dan tersenyum kagum melihat Ki Rosowelas menghisap tembakau itu.
"Sudah dua hari ini desa kami dikacaukan oleh kehadiran bayangan hitam yang menculik pemuda desa.
Ia melumpuhkan seorang pemuda yang tampak bertubuh kekar, lalu membawanya lari entah ke mana. Dalam dua hari ini, sudah dua pemuda yang hilang pada malam hari. Beberapa keluarga mereka melihat sendiri pemuda tersebut dilarikan oleh orang berpakaian serba hitam, wajahnya tertutup kain hitam sampai hanya kelihatan bagian matanya saja."
"Apakah tak ada yang berusaha mencegah atau melawan bayangan hitam itu?"
Ki Rosowelas gelengkan kepala. "Tak ada yang berani mencobanya, karena bayangan itu bergerak dengan cepat bagaikan kilat."
"Apakah ada korban nyawa?"
"Tidak ada. Tapi penduduk desa menjadi selalu ketakutan jika malam tiba. Tak ada kedai atau rumah yang masih buka pintunya jika petang tiba. Itulah sebabnya aku tadi buru-buru menutup kedai karena takut disambangi bayangan hitam yang tak diketahui dari mana asalnya."
Pendekar Mabuk meneguk tuak dalam cangkir keramik kasar. Ki Rosowelas juga ikut meneguk tuaknya. Setelah itu ia berkata dengan suara pelan bagaikan takut didengar orang lain.
"Terus terang saja, ada beberapa orang yang curiga pada tokoh sakti yang bermukim di Gunung Keong Langit itu."
"Bandar Hantu Malam maksudmu, Ki?"
"Ya. Kau mengenalnya?!" Ki Rosowelas sedikit terperanjat dan cepat memandang Pendekar Mabuk.
"Aku hanya mengenal namanya saja, belum pernah jumpa orangnya."
"Para sesepuh di sini ada yang mengetahui riwayat
hidup Bandar Hantu Malam semasa orang itu masih muda. Tapi menurut para sesepuh, Bandar Hantu Malam sudah tidak seganas dulu. Sejak mempunyai istri, dia menjadi orang bijak dan suka menolong kepada siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Para sesepuh pun mempunyai praduga, barangkali karena tidak beristri lagi maka Bandar Hantu Malam kembali ganas dan suka membuat kekacauan. Tapi beberapa sesepuh juga menyangsikan hal itu, karena Bandar Hantu Malam sudah beberapa kali menyelamatkan desa ini dari gangguan siapa saja."
"Lalu mengapa sekarang dia tidak menyelamatkan desa ini dari gangguan yang kau sebut bayangan hitam itu tadi, Ki?"
"Justru itulah yang dipertanyakan oleh para sesepuh di desa Pucangan ini, Suto. Maka timbul dua pendapat, mungkin Bandar Hantu Malam belum mendengar peristiwa yang menakutkan penduduk desa ini, mungkin juga dialah pelaku sebenarnya. Semuanya belum bisa jelas."
Pendekar Mabuk manggut-manggut. Hatinya berkata, "Jika benar bayangan hitam itu adalah Bandar Hantu Malam, maka suatu hal yang sangat kebetulan bagiku, tak perlu harus mendaki ke lereng gunung itu. Ada baiknya kalau malam ini aku bermalam di desa ini sambil menunggu kemunculan bayangan hitam itu.
Tapi..., apakah Ki Rosowelas dan yang lainnya tidak akan curiga kepadaku? Nanti jangan-jangan malah aku sendiri yang disangka orang berpakaian serba hitam itu?"
Maka, pendekar tampan yang ternyata sejak tadi diintip oleh Sundari dari celah pintu dapur itu, mencoba mengutarakan maksudnya kepada Pak Tua pemilik kedai tersebut.
"Apakah kau menyediakan kamar untuk penginapan, Ki?"
"Tidak. Maksudmu bagaimana, Suto?"
"Kalau ada kamar, aku akan bermalam di sini. Aku ingin tahu siapa bayangan hitam itu. Karena..., terus terang saja, kedatanganku kemari adalah dalam perjalanan menemui Bandar Hantu Malam."
"Hahh...?!" Ki Rosowelas terkejut. Suto memang tidak jelaskan pokok masalah sebenarnya agar tak mengundang perhatian terlalu besar bagi si pemilik kedai itu. Suto hanya berkata,
"Aku punya sedikit urusan dengan Bandar Hantu Malam dan harus segera kuselesaikan. Jika bayangan hitam itu memang Bandar Hantu Malam, berarti aku tak perlu susah-susah mendaki Gunung Keong Langit. Jika memang bukan dia, maka kita semua akan tahu siapa sebenarnya bayangan hitam itu."
"Tapi dia berbahaya, Suto. Bayangan hitam itu, baik dia adalah Bandar Hantu Malam atau bukan, tapi dilihat dari gerakan cepatnya, jelas dia orang berilmu tinggi. Kau bisa celaka jika melawannya."
"Kau tak perlu takut, Ki Rosowelas. Bukankah bayangan hitam tidak mau membunuh, dan sejak dua hari ini tidak ada korban nyawa?"
"Memang. Tapi hal itu dikarenakan tidak ada orang yang berani menghalanginya Jika ada yang nekat menghalanginya, tentunya dia tidak akan segan-segan melenyapkan nyawa orang itu."
"Aku hanya ingin mengetahui siapa dia sebenarnya. Mungkin tidak harus menghadapi dia. Aku bisa lakukan dengan sembunyi-sembunyi," kata Suto dengan berbisik. "Kalau kau punya kamar, aku akan menyewanya untuk satu malam saja."
Ki Rosowelas menatap Suto mencoba mempalajari siapa diri anak muda itu. Lewat pancaran mata tajam tapi bersuasana lembut, lewat kegagahan dan ketegapan tubuh Suto, lewat cara meminum tuak dengan santai tanpa mabuk, Ki Rosowelas mulai punya kesimpulan, bahwa anak muda yang dihadapi setidaknya punya ilmu yang lumayan tinggi. Setidaknya ilmu untuk melarikan diri dari kejaran lawan dimiliki oleh Suto. Kecemasan Ki Rosowelas terhadap bahaya yang akan mencelakakan Suto mulai berkurang.
"Jika ia berani bertekad menemui Bandar Hantu Malam sendirian seperti saat ini, tentunya ia punya landasan ilmu cukup kuat. Orang berilmu ringan tak akan berani punya tekad temui Bandar Hantu Malam di puncak Gunung Keong Langit itu!" pikir Ki Rosowelas yang akhirnya memanggil Sundari dan menyuruhnya mempersiapkan kamar untuk Pendekar Mabuk.
"Kau tidur bersamaku saja," kata sang Ayah kapada putrinya. "Biar tamu kita ini tidur di kamarmu untuk semalam."
"Terserah apa putusanmu, Pak. Aku ikut saja," jawab Sundari sambil tampak tersipu dan tak berani terang- terangan pandangi Suto Sinting. Namun dalam hati gadis itu sempat berkata, "Alangkah bangganya, alangkah senang hatiku jika mempunyai kekasih seperti si tampan ini. Hmm... hatiku sejak tadi berdebar-debar jika kebetulan beradu pandang dengannya. Daya tarik yang dimilikinya sangat besar. Aku jadi tak sabar dan ingin bicara berduaan dengannya."
Di dalam kamar yang disewanya itu, Suto Sinting sengaja baringkan badan di atas dipan beralaskan kain penutup kapas sebagai ganti kasur. Kedua tangannya direntangkan, ditindih dengan kepala. Ia sengaja menunggu malam kian kelam, setelah itu baru bergerak memeriksa keadaan desa.
"Kuharap orang yang disebut-sebut sebagai bayangan hitam itu memang benar Bandar Hantu Malam. Aku harus segera bereskan orang itu dan cepat kembali kepada Ratu Asmaradani. Jika orang itu bukan Bandar Hantu Malam, akan kugunakan untuk memancing Bandar Hantu Malam supaya turun gunung dan temui aku di sini. Dengan begitu aku tak perlu susah payah mendaki gunung."
Selagi asyik berkecamuk sendiri dalam hatinya, tiba- tiba Suto mendengar suara ketukan pintu kamarnya. Ketukan itu pelan sekali. Suto sudah dapat menduga
siapa yang punya ketukan selembut itu. Maka ia sudah siap dengan senyum ramah di bibirnya ketika bergegas membukakan pintu kamar.
"Sundari?" sapanya pelan.
"Ssst...!" Sundari menempalkan jarinya di bibir, memberi isyarat agar Suto mengurangi suaranya. "Bapak sedang tidur, jangan keras-keras bicaramu, nanti Bapak tahu kalau aku kemari."
"Ada apa kau datang kemari?"
"Mengapa kau tanyakan hal itu? Apakah kau belum tahu bahwa kamar ini sebenarnya kamarku?"
"Ya, aku tahu," jawab Suto yang akhirnya tak bisa
mencegah gadis itu menyusup masuk ke dalam. "Tapi apakah kau lupa bahwa kamar ini sedang disewa untuk satu malam?"
"Aku tidak lupa. Tapi ketahuilah, bahwa aku tak bisa tidur jika tidak di dalam kamarku sendiri."
"Kenapa begitu?"
"Jiwaku dengan kamar ini telah menyatu."
"Kalau begitu aku akan tidur di luar saja. Di bangku kedai."
"Kalau kau mau, siiakan ke sana. Uang sewa mu bisa kukembalikan. Tapi perlu kau ketahui juga, aku datang kemari ada yang ingin kubicarakan denganmu Suto. Ini menyangkut masalah keselamatanmu."
"Apa makaudmu?" Suto Sinting akhirnya duduk di tepian dipan.
Gadis berkulit hitam manis dengan senyum yang juga manis itu, kini ikut duduk di tepian dipan. Jaraknya
kurang dari satu jangkauan dari Suto. Ia beranikan diri menatap Suto beberapa saat, seakan memanfaatkan waktu untuk menikmati ketampanan Suto dan menikmati debar-debar indah di hatinya.
"Apa yang ingin kau katakan?" tegur Suto merasa tak enak dipandangi terus-terusan, ia sempat meneguk tuak dari cangkir yang dibawanya dari kedai ke kamar. Tuak di cangkir itu adalah tuak yang kelima kalinya. Sundari menyimpan perasaan heran melihat Suto kuat minum sampai lima cangkir tanpa mabuk sedikit pun.
Gadis itu berkata pelan, "Kudengar kau mau hadapi bayangan hitam itu?"
"Dari siapa kau mendengarnya?" "Cerita Bapak di kamar tadi."
Suto tersenyum tipis, "Tak salah pendengaranmu itu." "Kalau boleh kuingatkan, jangan lakukan hal itu." "Kenapa?"
'Sangat berbahaya. Kau bisa mati."
"O, ya?" Suto Sinting tertawa kecil, berkesan meremehkan peringatan itu. "Apakah kau yakin aku akan mati jika berhadapan dengan bayangan hitam itu?'
"Ya. Sebab dia orang sakti, ilmunya tinggi dan keji. Tak kenal ampun!"
"Dari mana kau tahu bahwa dia berilmu tinggi?" "Karena akulah orang itu!"
Suto Sinting terkejut, tangannya melayang cepat menampar wajah Sundari.
Plook...!
"Ooh...!" Sundari tersentak dan jatuh ke dipan karena
tamparan itu. Ia menyeringai kesakitan sambil mengusap-usap pipinya, wajahnya memerah, bibirnya digigit menahan sakit yang membuatnya mau menangis.
Suto Sinting memandang dengan penuh sesal. "Untung hanya sebuah tamparan," kata Suto dalam hati. "Jika memang dia berilmu tinggi tentunya dia sangat mudah menangkis gerakan tanganku dalam menampar tadi. Jika ia berlimu tinggi, tak mungkin pipinya menjadi merah, karena tamparanku tak begitu keras untuk ukuran orang berilmu tinggi. Aku tak percaya kalau dia adalah bayangan hitam."
"Kau kasar sekali, Suto," ucapnya dengan suara bergetar karena menahan tangis. Suto Sinting tarik napas panjang-panjang jauhi dipan.
"Untuk apa kau membohongiku, Sundari? Aku tahu bukan kau orang yang disebut-sebut sebagai bayangan hitam itu."
"Memang aku orangnya!" Sundari cemberut. "Karena itu, kuharap kau jangan hadapi dia karena itu sama saja kau berhadapan denganku dan aku tak tega jika harus membunuhmu."
Suto Sinting sunggingkan senyum tak percaya. "Kalau memang kau bayangan hitam yang dikatakan sakti dan mampu bergerak secepat kilat hingga seperti bayangan lewat, maka kau pasti akan mampu menangkis gerakan tanganku tadi. Ternyata kau tidak mampu menangkisnya, itu berarti kau tidak punya gerak firasat, sebagaimana yang dimiliki oleh para tokoh berilmu tinggi. Pipimu tak akan merah, karena tamparanku tadi
belum apa-apa untuk ukuran orang berilmu tinggi, Sundari."
Gadis itu diam, masih cemberut dan mengusap-usap
pipi dengan memandang ke arah lain. Suto Sinting kembali dekati Sundari, ia sedikit membungkuk ketika berkata dengan nada suara pelan,
"Apa makaudmu menipuku, Sundari? Apa maksudmu mengaku-aku sebagai bayangan hitam itu?!"
Sundari masih diam cemberut. Suto Sinting meraih dagu gadis desa itu. Pelan-pelan sekali dagu itu diputar hingga matanya saling pandang. Wajah manis itu sedikit mendongak dalam menatap Suto, dan Suto mengulangi pertanyaannya tadi.
"Apa maksudnya, jelaskan!"
"Karena... karena aku takut kau celaka." "Mengapa kau takut aku celaka?" desak Suto. "Entahlah. Pokoknya aku takut kau celaka dan mati.
Aku tak ingin kau mengalami nasib seperti itu. Karenanya aku mengaku sebagai bayangan hitam, supaya kau tak jadi temui dia malam ini."
Suto tersenyum, kali ini berkesan ramah, ia mulai tahu perasaan Sundari. Ada rasa suka yang disimpan di hati gadis itu. Ada rasa cemas di sana. Sebab jika Suto sampai mati, sama saja harapan untuk dapat lebih dekat dengan Suto ikut mati juga. Rupanya gadia itu tak ingin kehilangan harapan.
"Apakah malam ini bayangan hitam akan muncul lagi?" tanya Suto.
"Aku tak tahu. Tapi menurut dugaanku, juga dugaan
beberapa orang, ia akan muncui lagi untuk menculik seorang pemuda. Aku sangat takut, karena di sini sekarang ada seorang pemuda tampan yang menggetarkan hatiku. Aku takut pemuda tamuku akan diculiknya. Kuharap kau tidak keluar rumah, Suto."
"Baiklah," jawab Suto sambil hempaskan napas. "Aku akan turuti kemauanmu. Sekarang cepatlah kembali ke kamar bersama bapakmu, supaya kehadiranmu di sini tidak dicurigai. Aku tak enak kalau dinilai buruk olehnya karena dugaan yang bukan-bukan terhadap diri kita berdua."
"Apakah... apakah kau tidak suka kalau aku menemanimu di kamar ini?"
"Aku tidak akan bisa tidur jika ditemani seorang gadis secantik dirimu," jawab Suto.
"Mengapa kau justru tak bisa tidur?"
"Hanya lelaki bodoh yang tidur dengan nyenyak jika ada teman wanita cantik di sampingnya. Umumnya lelaki akan sulit tidur jika ditemani wanita cantik, karena tangannya pasti akan punya kesibukan sendiri sampai pagi."
Sundari tersenyum malu, karena gadis itu tahu maksud Suto Sinting. Ia bahkan mengatakan, "Kesibukan itu kutunggu sejak lama. Aku ingin bersuami. Tapi tak pernah tertarik dengan lelaki mana pun. Sekarang aku punya rasa tertarik. Kurasa jika tanganmu sibuk lakukan pekerjaan aku tak akan menolak."
"Semudah itukah kau serahkan dirimu kepada orang
yang baru dikenal?"
Wajah Sundari cepat-cepat berubah menjadi merah jambu karena menahan malu. Ia menyesal dalam hati, "Seharusnya aku tidak berkata begitu. Seharusnya aku tidak boleh bersikap mengejar. Aku pasti dinilai sebagai gadis desa yang murahan. Ah, tak enak jadinya. Sebaiknya aku segera kembali ke kamar Bapak saja, biar penilaian buruknya terhadapku hilang."
Sebenarnya kenyataan di hati Sundari memang demikian, ingin punya pendamping hidup, tapi tidak pernah tertarik dengan pemuda desanya, ia sering menolak rayuan pemuda desanya, ia bahkan pernah mengubur hasratnya untuk bersuami. Tapi ketika melihat Suto Sinting, hasrat itu menjadi kambuh kembali. Akhirnya ia beranikan diri untuk nekat temui Suto, karena menurutnya kesempatan seperti itu belum tentu datang lagi jika Suto sudah pergi dan ia terlambat menjerat hati pemuda itu. Untunglah ia segera sadari tindakannya tidak sesuai dengan sikap gadis desa pada umumnya, sehingga ia pun segera kembali ke kamar ayahnya.
Kepergian Sundari membuat Suto lega. Lalu secara pelan-pelan ia pun keluar dari kamarnya, menghamburkan diri di tengah kegelapan malam, menyusuri jalan-jalan sepi dengan gerakan yang menyelinap dari tempat tersembunyi ke tempat aman lainnya.
Hampir seluruh desa diputari. Tapi Suto tidak temukan hal-hal yang mencurigakan. Sementara itu
malam semakin kelam dan kesunyian amat mencekam. Desa itu bagaikan kuburan yang tak berpenghuni makhluk bernyawa lagi. Tak ada suara apa pun yang bisa didengar oleh Pendekar Mabuk.
"Barangkali bayangan hitam itu tidak muncul pada malam ini. Ah, sayang sekali jika memang begitu. Mau tak mau esok aku harus mendaki gunung dan mencari kediaman Bandar Hantu Malam," pikir Suto yang sudah bertengger di salah satu pohon tinggi. Sebab dari sana ia bisa memandang keadaan desa dalam keremangan malam.
Angin berhembus ke utara. Awan pun bergerak ke arah yang sama. Ternyata di balik awan ada rembulan. Sekalipun tidak penuh dan tampak jauh, tapi cahayanya cukup membuat malam menjadi pucat. Batu dan tanaman rumput mulai bisa terlihat. Keadaan remang membuat Suto merasa senang, karena dengan begitu matanya dapat memandang sekeliling dengan lebih jelas lagi.
"Hei, ada gerakan di sebelah barat sana? Hmmm... apa itu? Oh, seseorang melesat menuju sela-sela rumah penduduk? Nah, itu dia! Bayangan hitam itu akhirnya datang juga. Aku harus segera mengejarnya ke sana!"
Zlaaap...! Suto pergunakan gerakan peringan tubuh yang mampu melesat dengan cepat tanpa suara. Dalam waktu singkat ia tiba di belakang sebuah rumah, tempat bayangan tadi menghilang di sela-sela dua rumah. Suto merunduk di balik tanaman singkong yang tingginya baru sebatas dada manusia dewasa. Matanya
memandang dengan waspada ke berbagai arah.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari seberang. Braaak...!
"Aaaa...!" jerit suara wanita. "Lepaskan anakku! Lepaskan anakku! Tolong...! Tolooong...!" suara wanita yang diperkirakan berusia separo baya itu kian terdengar jelas. Suto pindah tempat persembunyian, dan di sana ia melihat sekelebat bayangan yang memanggul sesosok tubuh di pundaknya.
"Itu dia si bayangan hitam. Pakaiannya memang serba hitam dan... kurasa yang dipanggul di pundaknya itu adalah seorang pemuda yang sudah ditotoknya!"
Zlaaap...! Suto Sinting segera mengejar, tak mempedulikan jeritan minta tolong yang membuat penduduk desa menjadi bangun dan suasana pun kian tegang. Bayangan hitam itu memang bergerak dengan cepat, menandakan ia orang berilmu tinggi. Kecepatan bayangan hitam itu hampir menyamai kecepatan gerak Suto Sinting, ia tidak sadar ada orang yang berani mengejarnya. Bahkan ia menjadi sangat kaget ketika tahu-tahu bagian atas tubuhnya dilompati oleh seseorang dalam gerakan bersalto ringan, lalu langkahnya pun terhadang oleh orang yang melompatinya itu. Jleeg...!
Suto Sinting si Pendekar Mabuk itulah yang menghadang langkahnya. Mau tak mau bayangan hitam hentikan langkah. Ia mulai sadar datangnya bahaya. Tak mau menunda waktu lagi karena takut kepergok penduduk desa yang terbangun karena jeritan ibu si pemuda yang dipanggulnya itu, maka tangannya segera
melemparkan sesuatu yang diambil dari balik baju hitamnya. Slaaap...! Wuuut...! Suto Sinting cepat hadangkan bumbung tuaknya. Benda yang dilemparkan itu menghantam bumbung tuak. Traak...! Weesss...!
Benda itu ternyata sebuah pisau kecil yang memantul balik ke arah pelempamya begitu kenai bumbung keramat itu. Gerakan pisau yang dua kali lebih cepat dari lemparan pertama membuat orang yang berpakaian serba hitam menjadi terkejut, ia segera hindari pisaunya sendiri. Tapi gerakannya sedikit terlambat. Pisau itu akhirnya menancap di pinggang kanannya. Jruub...!
"Uuhg...!" ia terpekik dengan suara tertahan.
Melihat lawannya mengejang dengan pegangan pada sosok di pundaknya melemah, maka Suto pun segera berkelebat cepat dalam satu lompatan tinggi ke arah orang berpakaian hitam. Wuuut...! Wees...!
Pemuda yang tertotok jalan darahnya kini sudah berpindah tangan. Suto Sinting segera membawanya lari ke jalanan desa menuju rumah penduduk. Di sana Suto Sinting segera berhenti, meletakkan pemuda itu di tanah, dan menunggu kejaran orang berpakaian serba hitam.
Dengan menahan sakit karena pisau beracun menancap di pinggangnya, dan sampai saat itu belum bisa dicabut karena terlalu menyakitkan, orang berpakaian mirip ninja itu segera berhenti di depan Pendekar Mabuk. Napasnya terangah-engah. Ia bermaksud merebut pemuda yang berhasil diculiknya itu. Tentunya ia harus merobohkan pemuda tampan yang ada di depannya.
Maka orang itu pun segera menyerang Suto dengan lepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauh. Ia kibaskan tangannya bagai melempar sesuatu, dan ternyata gumpalan api sebesar genggaman tangan melesat cepat menerjang Suto.
Wuuusss...!
Suto menghajar bola api dengan jurus yang dinamakan 'Pukulan Gegana' pemberian Bidadari Jalang, Bibi Gurunya itu. Dari dua jari Suto melesat sinar patah- patah warna kuning. Sinar itu menghantam bola api dan menimbulkan ledakan yang lebih mengagetkan penduduk desa.
Blaaarrr...! Glegeeerrr...!
Ledakan menggema itu hadirkan gelombang hawa panas yang mampu mengeringkan sebuah pohon dalam waktu satu helaan napas. Mestinya orang berkerudung kain hitam itu akan mati kering jika terkena langsung pukulan tersebut. Tetapi karena gelombang ledakan saja, maka orang itu terjungkal ke belakang dan berguling- guling hingga tak sengaja kain penutup kepalanya terlepas. Ketika bangkit dan mencoba berdiri lagi, sinar rembulan menampakkan wajah cantiknya. Ternyata ia seorang wanita bermata indah tapi punya kesan jalang. Usianya diperkirakan sekitar dua puluh tujuh tahun. Dari hidungnya yang bangir tampak ada cairan merah mengalir, itulah darah dari luka dalamnya akibat ledakan tadi. Sementara Suto Sinting sama sekali tidak terpengaruh oleh ledakan tadi, ia hanya terdesak mundur dua tindak.
Beberapa orang datang membawa obor dari dua arah, selatan dan timur. Perempuan cantik itu menjadi sangat tegang dan gusar, ia hanya berkata kepada Pendekar Mabuk,
"Suatu saat kita akan bertemu, dan akan kubalas kekalahan ini!"
Beberapa penduduk desa yang sempat melihat raut
wajah wanita itu menjadi tercengang. Salah seorang menyebut dengan nada heran sekali.
"Nyai Sedah...?!"
Begitu suara orang yang menyebutkan namanya itu lenyap, Nyai Sedah cepat sentakkan kaki dan pergi dalam keadaan luka. Ia masih mampu bergerak cepat. Suto sengaja tidak mau mengejarnya, karena ia hanya ingin tahu apakah orang itu Bandar Hantu Malam atau bukan. Ternyata orang itu adalah Nyai Sedah.
"Siapa Nyai Sedah itu?' tanya Suto kepada Ki Rosowelas yang ternyata ikut hadir dalam kerumunan tersebut bersama Sundari, anaknya.
"Nyai Sedah adalah mantan istri lurah kami," jawab
Ki Rosowelas.
Salah satu orang berambut putih yang usianya diperkirakan sudah mencapai tujuh puluh tahun itu ikut menimpali jawaban Ki Rosowelas.
"Nyai Sedah adalah wanita yang tak pernah puas dengan seribu lelaki. Dulu suaminya adalah mantan lurah kami yang sudah tiada. Dia terusir dari desa ini karena sering mengganggu para suami, membuat para istri resah. Mungkin selama tujuh tahun dia menghilang
itu, dia pelajari beberapa ilmu dari seseorang, sehingga ia mampu lebih sakti dari sebelumnya. Pantas jika ia menculik para pemuda. Pasti di tempatnya sana dijadikan pemuas gairahnya."
"Apakah ada hubungannya dengan Bandar Hantu Malam?" tanya Suto. Tapi orang-orang itu hanya diam dan saling pandang. Lalu, Ki Rosowelas pun menjawab,
"Bisa jadi... dia adalah murid Bandar Hantu Malam. Karena di daerah ini hanya ada satu orang sakti, yaitu Bandar Hantu Malam. Tapi... tapi apakah Bandar Hantu Malam mau punya murid sesat seperti Nyai Sedah?!" Ki Rosowelas menyanggah pendapatnya sendiri, sebab segalanya memang belum jelas tentang keadaan Bandar Hantu Malam. Bagi Suto, semua itu akan menjadi lebih jelas jika ia sudah temui Bandar Hantu Malam di puncak
Gunung Keong Langit.
*
* *