Pendekar Mabuk 28 - Bandar Hantu Malam(2)


5
SUARA ledakan yang disusul dengan rontoknya dedaunan hutan membuat langkah Suto Sinting terhenti di lereng gunung itu.
Sebagian daun pohon sempat merontoki kepala Suto. Sehelai daun diambilnya dari atas kepala, diperhatikan beberapa saat, lalu dahinya pun berkerut tajam.
"Gila!" gumam Suto setelah mengetahui daun itu ternyata sudah menjadi debu namun masih membentuk
warna dan serat aslinya. Daun itu hanya ditekan dengan dua jari sudah hancur dengan sendirinya.
"Tenaga dalam siapa yang sehebat ini? Aku yakin tak
jauh dari sini ada pertarungan hebat. Hmmm...! Aku mendengar detak jantung di sebelah barat. Aku ingin tahu siapa pemilik ilmu tenaga dalam yang mampu membuat daun-daun berubah menjadi debu!" Ia pun segera melesat ke arah barat.
Alangkah terkejutnya Pendekar Mabuk ketika mengetahui siapa orang yang bertarung pada saat itu. Seorang kakek berjubah putih, rambut putih, kumis dan jenggotnya putih, bertubuh kurus, mengenakan kalung batu-batuan warna merah kecoklat-coklatan. Suto ingat lelaki tua itu adalah orang yang dilihatnya melakukan pertarungan di seberang jurang dengan lawan yang tak diketahui letak kedudukannya.
"Dia lagi...?!" gumam Suto dalam keheranan. "Sikapnya masih sama seperti tempo hari. Diam, tenang, berdiri tegak dengan kaki sedikit renggang, kedua tangannya terlipat di dada. Oh, benar-benar seorang tokoh sakti tingkat tinggi yang baru kali ini kulihat begitu tenangnya menghadapi lawan yang ganas."
Lawan si kakek berjubah putih itu adalah seorang perempuan tua berusia sekitar tujuh puluh tahun, tapi masih lincah dan gesit. Nenek itu berjubah merah, kurus, dan kempot. Rambutnya yang putih digulung menjadi konde di tengah kepala, ia menggenggam senjata logam putih mengkilat berbentuk seperti kipas yang bagian tangannya berlubang untuk tempat jari-jarinya. Piringan
itu punya bagian tepi yang tajam sekali. Lebarnya satu jengkal. Jika dipakai untuk menebas leher bisa putus seketika. Tapi agaknya senjata yang mirip kipas rata pinggirnya itu tidak akan sampai digunakan menebas seluruh bagian. Suto melihat jurus menggunakan senjata itu sangat sederhana.
Nenek tersebut mencoba menyerang sang kakek berjubah putih dengan satu lompatan cepat. Tapi tahu- tahu sang kakek sudah ada di belakangnya tanpa diketahui gerakannya. Keadaan sang kakek tetap diam dan melipat tangan di dada. Sedangkan gerakan sang nenek yang cepat itu menemui tempat kosong. Tapi ketika ia mengibaskan senjatanya itu, sebuah pohon besar segera tumbang bagai habis terpotong dengan senjata amat tajam dan besar. Pohon itu tumbang dalam keadaan terpotong rata bagian tengahnya. Padahal pohon itu hanya berjarak dua langkah dari tempat sang nenek mengibaskan senjatanya.
"Senjata itu tak sampai menyentuh pohon, tapi kekuatan tenaga tebas yang terpancar dari tepian senjata itu sudah mampu memotong batang pohon yang lumayan besar," gumam Suto dalam hati. "Tentunya nenek itu punya ilmu tinggi yang dapat disalurkan melalui angin tebasan senjata aneh itu. Tapi gerakan kakek berjubah putih itu juga sangat hebat. Tak tahu kapan dan ke mana ia bergerak, tahu-tahu sudah ada di belakang sang nenek."
Pendekar Mabuk masih tetap diam dari persembunyiannya. Matanya memandang pertarungan
hebat itu tanpa mau berkedip. Lagi-lagi ia dibuat tercengang melihat sang nenek lakukan serangan dengan mengibas-ngibaskan tangannya yang bersenjata. Gerakannya cepat dan sepertinya tak beraturan. Dari gerakan tangan ke sana-sini itu memancarlah sinar hijau yang tiada putusnya hingga menyerupai benang atau tali hijau yang awut-awutan. Tapi dalam sentakan terakhir, sang nenek putarkan tubuhnya. Wuuusss...! Sinar hijau yang mirip tali itu berkelebat menjerat tubuh kakek berjubah putih. Zraab...!
Dalam sekejap tubuh kakek itu telah terjerat kuat oleh tali sinar hijau. Namun orang berjenggot panjang itu tetap diam, tetap melipat tangan di dada. Sedangkan mata Suto memandang kian tegang, tali sinar hijau itu makin lama makin menjerat kuat, seakan mulai masuk ke daging tubuh sang kakek.
"Celaka! Kenapa dia diam saja?! Dia bisa terpotong oleh tali sinar itu!" pikir Suto Sinting mulai tak sabar ingin segera turun ke pertarungan tersebut
Wajah sang kakek mulai merah kebiru-biruan. Seperti orang tercekik kuat-kuat, sebab tali sinar hijau itu juga ada yang melilit di lehernya. Agaknya ia sedang mengimbangi kekuatan tali sinar hijau itu dengan tenaga dalam yang dikerahkan sekuat tenaga, namun masih belum berhasil memutuskan atau memecahkan tali sinar hijau itu.
"Hik, hik, hik, hik...!" nenek itu tertawa. "Tak akan mampu kau lakukan! Tak ada orang yang bisa melawan jurus 'Tambang Akhirat' milikku itu! Sekarang sudah
waktunya kau modar dengan tubuh terpotong-potong, Manusia Bodoh! Hik, hik, hik, hik...!"
Hati Pendekar Mabuk menggerutu kesal. "Memang
bodoh kakek itu. Kenapa diam saja? Cepat lakukan sesuatu?!" Suto Sinting menjadi gemas sendiri. Sementara itu tali sinar hijau kian menjerat kuat, sebagian mulai menembus daging tubuh sang kakek yang kurus itu.
Tiba-tiba nenek berjubah merah itu melompat dengan satu teriakan nafsu membunuh. "Hiaaaahhh...!"
Melihat keadaan seperti itu, Suto Sinting berani pastikan sang kakek pasti akan tumbang di tangan sang nenek, sebab keadaannya tak berdaya menghadapi tali sinar hijau. Sedangkan sang nenek sudah jelas akan mengibaskan senjatanya untuk mempercepat terpotongnya tubuh sang kakek. Maka dengan gerakan secepat anak panah, Suto Sinting segera melesat dari persembunyiannya menerjang tubuh sang nenek dari samping. Bambu bumbung tuak digunakan untuk menyodok tubuh sang nenek. Wuuuttt...!
Buuuhg...!
"Aaahg...!" nenek itu terpekik, terlempar keras dan membentur sebatang pohon besar akibat terkena sodokan bambu tuaknya Suto. Jika ia tidak punya ilmu tinggi, maka ia akan mengalami patah tulang di sekujur tubuhnya. Dan Suto berani lakukan hal itu karena ia hanya ingin menahan serangan sang nenek kepada kakek jubah putih yang sudah tak berdaya itu. Suto berani lakukan hal itu karena ia tahu sodokan bambunya tidak
akan membuat sang nenek menjadi parah. Sodokan bambu itu hanya akan membuat tubuh sang nenek menjadi ngilu, mungkin juga memar biru pada bagian yang terkena sodokan.
"Bocah ingusan!" sentak sang nenek. "Apa maksudmu ikut campur urusanku?! Apakah kau ingin mati di tangan Nini Pancungsari, hah?!"
Suto Sinting tidak pedulikan keadaan sang nenek yang berang itu. Ia segera bergegas untuk menolong kakek berjubah putih yang diam-diam telah dikaguminya sejak pertama dilihat di atas Puncak Karang. Tetapi alangkah kagetnya Suto Sinting ketika mau bergerak, ternyata tubuh sang kakek pecah terjerat tali sinar hijau. Tubuh itu menjadi terpotong-potong dan berserakan di tanah. Mata Suto Sinting sangat sulit dikedipkan bahkan kian lebar memandang potongan-potongan tubuh sang kakek.
"Hik, hik, hik, hik...! Bocah ingusan terheran-heran. Kasihan sekali kau, Nak. Kalau kau ingin tahu, itulah yang dinamakan jurus 'Tambang Akhirat'. Tak ada yang punya selain diriku; Nini Pancungsari! Hik, hik, hik, hik...!"
Napas kedongkolan ditarik kuat-kuat oleh Pendekar Mabuk, ia memandangi Nini Pancungsari dengan penuh kegeraman. Tangan kirinya yang tidak menenteng bumbung bambu itu menggenggam kuat-kuat pertanda ia sedang menahan gejolak nafsu amarah terhadap nenek sadis itu.
Tetapi tiba-tiba Pendekar Mabuk dan Nini
Pancungsari dikejutkan oleh suara bernada penuh wibawa.
"Apa yang kau tertawakan, Pancungsari?!"
Suto dan nenek itu sama-sama memandang ke arah selatan, ternyata kakek berjubah putih itu ada di sana, berdiri dengan tangan terlipat di dada. Suto dan nenek itu kembali pandangi potongan tubuh yang berserakan di tanah, dan mereka sama-sama terperanjat karena ternyata yang ada di tanah bukan potongan tubuh manusia melainkan potongan kayu jati yang masih bertahan tapi sudah kering. Ternyata apa yang dijerat oleh tali sinar hijau tadi adalah sebatang kayu jati yang sudah lama tumbang.
Tentu saja murka sang nenek kembali menyala-nyala. "Kuhabisi kau sekarang juga, Manusia Bodoh! Heaaah...!"
Nini Pancungsari lepaskan pukulan bersinar biru, besar dan lurus, seperti sebuah kayu balok. Sinar biru itu keluar dari telapak tangan kirinya. Wooss...! Sang kakek pun keluarkan pukulan penangkis. Kali ini tangan kirinya juga menyodok ke depan dan dari telapak tangan itu keluar sinar besar, sama ukurannya, beda warnanya. Warna sinar besar lurus itu seperti warna merah batu kalungnya. Sinar itu menghantam sinar biru di pertengahan jarak. Gemuruh pertemuan dua sinar itu bagaikan sesuatu yang siap meledak. Di pertengahan jarak mereka memancar sinar ungu, perpaduan antara sinar merah dengan biru. Sinar ungu itu berpijar-pijar lebar, bergerak maju mundur, seakan mengikuti
kekuatan dorong yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Nini Pancungsari rendahkan kedua kakinya sambil kerahkan tenaga pendorong agar sinar ungu itu bergerak mendekati tubuh lawannya, kalau bisa menghantam telak tubuh itu. Tapi kakek berjubah putih pun lakukan dorongan dengan sikap tetap berdiri tegak, tak kentara keluarkan tenaga. Sedangkan Nini Pancungsari tubuhnya sampai gemetaran karena kerahkan tenaganya habis- habisan.
Pertemuan dua sinar itu makin mendekati tubuh sang kakek, itu tandanya sang kakek terdesak dan kekuatannya berkurang. Suto Sinting menjadi cemas, sebab ia tak rela jika kakek yang menjadi kebanggaan hatinya itu hancur oleh sinar ungu tersebut. Maka dengan cepat Suto Sinting segera sodokkan bambunya ke depan. Suuut...! Dan memancarlah sinar kuning lurus yang menuju ke pertengahan jarak kedua tokoh sakti itu. Sinar kuning Suto bagaikan menyangga pertemuan kedua sinar tersebut, lalu dengan perlahan-lahan mengangkat pertemuan sinar yang memercikkan warna ungu itu. Makin lama makin ke atas, sehingga dengan kaki menghentak Suto dapat ledakkan kedua sinar itu di angkasa sana. Blegaaarrrr...!
Jurus 'Naga Sontok' milik Pendekar Mabuk telah selamatkan kedua tubuh tokoh tua tersebut. Tak ada yang hancur karena ledakan sinar ungu itu. Tapi akibat dari ledakan tersebut, delapan pohon tumbang dalam keadaan rusak berat, belum yang mengalami patah dahan di sana-sini. Tanah tempat mereka berpijak bagaikan
ditunggingbalikkan. Ketiganya sama-sama terpelanting jatuh tak tentu arah. Sama-sama mengalami sesak napas beberapa saat karena gelombang ledakan tadi bagaikan seekor banteng yang menerjang dada masing-masing. Suto sendiri merasakan nyeri di ulu hatinya, seperti ditusuk-tusuk oleh paku sebesar kelingking, ia buru-buru meneguk tuaknya, glek, glek, glek.
Kakek berjubah putih itu sempat terpuruk di bawah kerimbunan semak ilalang. Tapi agaknya ia mampu kendalikan diri, dalam waktu singkat sudah bisa berdiri walaupun wajahnya tampak pucat, bibirnya membiru pertanda mengalami luka dalam yang lumayan parah. Berulang kali ia tarik napas untuk mengatasi luka di dalam tubuhnya.
Sedangkan Nini Pancungsari dalam keadaan berdarah. Lubang hidung dan mulutnya sempat lelehkan darah segar. Wajahnya lebih pucat dari sang kakek. Dadanya kepulkan asap tipis, ia lebih parah dari sang kakek. Karenanya, ketika ia sudah mampu berdiri, ia segera berkata dengan nada geram dan bergetar sambil matanya tertuju pada sang kakek dan Suto Sinting secara bergantian.
"Baik. Sekarang kalian unggul! Tapi ingat, akan kubalas kalian lebih kejam lagi. Dan kau, Manusia Bodoh! Sampai kapan pun masih tetap akan kutuntut nyawamu!"
Wuuut...!
Nini Pancungsari segera berkelebat pergi. Suto
Sinting bergegas mengejar, tapi sang kakek segera
berseru, "Tahan...!"
Pendekar Mabuk hentikan langkah, berpaling memandang sang kakak yang sedang melangkah dekati dirinya. Suaranya terdengar sedikit serak, mungkin karena menahan luka di dalam dadanya.
"Jangan mengejar orang yang telah mengaku kalah dan menyerah."
"Maaf, aku gemas sekali dengannya."
"Apakah kau punya urusan dengan Nini
Pancungsari?"
"Tidak, Kek. Tapi... entah mengapa aku gemas sekali dengannya, ia tadi nyaris membunuhmu."
"Mengapa kau membelaku, Anak Muda?"
"Aku mengagumi ilmu kesaktianmu yang tenang sekali itu, Kek," jawab Suto jujur, tak ada kesan memuji atau menyindir, tapi lebih berkesan polos.
"Siapa namamu?' tanya kakek itu setelah tarik napas dengan berat
"Namaku Suto. Banyak yang memanggilku Suto
Sinting."
"Hmmm...," kakek itu manggut-manggut dengan mata menatap tajam namun tak menakutkan. Bersifat tegas dan bersahabat. "Kalau tak salah dugaanku, kau adalah murid Ki Sabawana yang berjuluk si Gila Tuak itu!"
Suto Sinting berkerut dahi. "Benar, Kek. Apakah kau kenal dengan beliau?"
"Ya. Kenal."
"Apakah...," Suto tak lanjutkan kata, karana saat itu
sang kakek terbatuk-batuk, lalu keluarkan darah dari mulutnya.
"Kek...?! Kau terluka dalam dan agaknya cukup
parah. Minumlah tuakku ini seteguk atau dua teguk." Kakek itu terengah-engah, badannya jadi lemas, ia
berpegangan pada batang pohon. Suto Sinting segera menolong, menopang tangannya, lalu dengan pelan- pelan membawanya ke tempat teduh dan mendudukkannya di situ.
"Ledakan tadi menyebarkan racun, karena pukulanku dan pukulan Pancungsari sama-sama beracun tinggi. Dalam waktu kurang dari setengah hari tempat ini akan menjadi gersang, tanaman mati dan rumput tak bisa tumbuh lagi," katanya sambil berusaha kendalikan napasnya yang berat dihela.
Untung Suto Sinting segera memberikan tuaknya, sehingga luka dalam yang berbahaya itu sangat menolong jiwa sang kakek. Beberapa saat setelah meneguk tuak dari bumbung itu, napas sang kakek mulai terasa ringan. Tidak seberat tadi. Rasa nyeri di dada sampai ke perut pun terasa berangsur-angsur reda. Tubuh sang kakek lebih enak dari sebelum meneguk tuak Suto.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Suto Sinting," ucapnya setelah ia berdiri lagi, mencoba menggerak- gerakkan tangan, kaki, dan badannya yang ternyata terasa lebih enak dari sebelum itu.
"Tuakmu ini sangat mujarab dan kukatakan sebagai tuak sakti. Aku yakin racun di dalam tubuhku akan
menjadi tawar setelah minum tuakmu."
Suto Sinting hanya tersenyum sedikit malu mendengar pujian itu. Ia berkata dengan pandangan mata ke arah bumbung tuaknya.
"Tuak ini kubeli dari desa Pucangan. Kurasa tuak biasa-biasa saja, Kek."
"Memang. Tapi bumbungnya jelas bukan dari
sembarang bambu."
"Guruku yang memberikan bumbung ini."
Kakek itu berkerut dahi. "Kalau begitu... kalau tak salah ingatanku...," ia seperti ragu-ragu mengatakannya. "Bumbung tuak ini pasti dari bambu ajaib."
"Mungkin begitu," jawab Suto merendahkan diri. "Bukan mungkin saja, tapi pasti!" kata kakek itu.
"Jika memang ini bambu pemberian gurumu, berarti bambu ini jenis bambu besi yang diperoleh Gila Tuak di dasar Gunung Karak Kato."
Suto kaget, "Dari mana kau mengetahuinya, Kek?" "Semasa muda Sabawana, gurumu, adalah sahabat
dekatku. Memang dia lebih tua dariku, tapi dia dan aku bersahabat seperti orang berusia sebaya. Sabawana pernah cerita padaku, ia memperoleh bambu tempat tuaknya dari dasar Gunung Karak Kato yang disebut Penjara Bumi. Bambu itu jelmaan dari eyang gurunya yang bernama Wijayasura...."
Blegaaarrr...!
Terdengar suara petir menggelegar di angkasa tanpa mendung tanpa hujan. Bahkan langit terang tiba-tiba menjadi redup, kemudian mendung hitam datang
bersama badai di langit. Mendung hitam bergulung- gulung membuat bumi makin temaram. Sinar matahari tak mampu menembus kepekatan warna hitam sang mendung. Angin bumi pun bertiup kencang. Jubah dan rambut sang kakek berkelebat, demikian pula rambut Pen-dekar Mabuk yang meriap-riap dihempas angin kencang.
Kakek itu tertegun sebentar, wajahnya berubah menjadi penuh sesal, seperti punya perasaan bersalah. Suto Sinting sudah tak heran lagi dengan keadaan alam yang tiba-tiba menjadi seperti mau kiamat itu, karena memang begitulah keadaan yang terjadi jika seseorang menyebutkan nama Wijayasura, eyang gurunya Gila Tuak, yang sebenarnya menjelma menjadi bumbung tuaknya Suto itu.
"Maaf, aku telah menyebutkan namanya. Aku tak berani bicara tentang beliau lagi," kata kakek itu. "Yang jelas, aku tahu betul silsilah guru-gurumu sampai kepadamu, tapi aku tak berani beberkan. Takut alam menjadi murka." (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pedang Guntur Biru").
Dalam hati Suto merasa beruntung bisa bertemu kakek itu. "Ilmunya pasti sedikit lebih rendah dari guruku. Aku bisa minta bantuan padanya untuk mengalahkan Bandar Hantu Malam. Kurasa dia pasti mau membantuku, aku yakin dia orang sakti beraliran putih."
"Apa yang kau renungkan, Nak?" tanya kakek itu. Suto menggeragap malu, lalu menjawab, "Aku
sedang memikirkan persoalan yang kau hadapi bersama Nini Pancungsari itu, Kek. Aku tak habis pikir, mengapa Nini Pancungsari selalu menyebutkan manusia bodoh dan berkamauan keras untuk membunuhmu?"
"Itu persoalan lama. Aku pernah mengalahkan suaminya, dan ia menyimpan dendam serta ingin menebus kematian suaminya dengan nyawaku. Lupakan tentang itu. Sekarang kalau boleh kutahu, ada urusan apa kau datang ke lereng gunung ini? Apakah hanya kebetulan lewat saja atau memang punya tujuan lain?"
"Aku ingin mencari Bandar Hantu Malam, Kek!" Kakek beralis tebal dan putih itu berkerut dahi
dengan tajam, ia menggumam, "Bandar Hantu
Malam...?!"
"Benar. Apakah kau mengenalnya?"
Kakek itu manggut-manggut seperti ragu menjawab. "Hmmm... yah, aku mengenalnya. Tapi untuk apa kau
mencari Bandar Hantu Malam? Apakah kau punya urusan dengan Bandar Hantu Malam?"
"Benar!"
"Kau sudah pernah bertemu dengan Bandar Hantu
Malam?"
"Belum. Justru itu aku ingin minta tolong padamu untuk mempertemukan aku dengan Bandar Hantu Malam jika kau tahu di mana pondoknya berada. Yang kudengar, ia tinggal di puncak gunung ini, tapi di sebelah mana aku kurang tahu secara pasti. Apakah kau bersedia menolongku mempertemukan dengan Bandar Hantu Malam?"
"Sangat bersedia, karena kebetulan kau sudah berhadapan dengan Bandar Hantu Malam," jawab kakek itu membuat Suto menjadi heran, sangsi, dan bingung.
"Maksudmu bagaimana. Kak?"
"Akulah yang bernama Bandar Hantu Malam!" Deeg...! Jantung Suto bagaikan tersentak kuat dan
berhenti sekejap. Dipandanginya wajah tua kakek yang
membuat hatinya terkagum-kagum itu. Ia berharap salah dengar, ia bagai tak mau percaya bahwa yang dihadapinya itu adalah orang yang dicari-cari, yaitu
Bandar Hantu Malam.
*
* *

6
PENDEKAR Mabuk dibawa oleh kakek yang mengaku bernama Bandar Hantu Malam itu ke pondoknya. Letak pondok itu hampir mendekati puncak gunung. Suasana di sekitarnya berkabut dan berhawa dingin. Pondok itu dibangun dari belahan kayu-kayu pohon yang sangat sederhana tapi tampak kokoh. Rupanya di situ sang kakek hidup seorang diri, konon ia mengasingkan diri dari keramaian kehidupan di muka bumi.
"Julukan itu sudah lama melekat dalam kehidupanku," kata sang kakek. "Namaku sebenarnya adalah Randu Papak. Ada yang memanggilku dengan sebutan Ki Randu Papak. Namun sejak hidupku sesat,
aku mendapat julukan dari para tokoh rimba persilatan dengan nama Bandar Hantu Malam. Waktu itu, aku memang seperti hantu yang bergentayangan menyebarkan maut di malam hari. Pengaruh ilmu-ilmu dari guruku; Ki Warok Guci Wangsit, membuat hidupku menjadi sesat dan berpisah dengan gurumu; si Gila Tuak. Aku pun sempat dibenci oleh Gila Tuak. Namun sejak aku menikah dengan istriku tercinta, aku bisa merubah sikap dan menyadari kesesatanku. Lalu, aku berhenti menjadi manusia sesat demi istriku tercinta. Sayang sekali dia lebih dulu pergi menghadap Yang Maha Kuasa. Sekalipun begitu, aku tetap menjaga sikapku untuk tetap menjadi orang baik, supaya roh istriku tidak menangis di alam sana," tutur Ki Randu Papak dengan wajah murung dicekam duka karena terkenang istrinya.
Suto Sinting memperhatikan tak berkedip. Pikirannya sempat dibuat kacau oleh pendapat dan kesimpulannya sendiri. Tapi untuk sementara waktu ia sengaja tidak banyak bicara, karena ia ingin dengar semua pengakuan Ki Randu Papak.
"Sekalipun aku sudah menjadi orang baik, tapi julukan itu sepertinya masih melekat pada diriku, sehingga sampai sekarang masih banyak yang memanggilku dengan julukan Bandar Hantu Malam. Padahal aku lebih suka jika dipanggil dengan nama Ki Randu Papak saja. Di sini aku mengasingkan diri, sekadar untuk membuat mereka lupa dengan nama Bandar Hantu Malam. Ternyata cara itu belum bisa
dikatakan berhasil, buktinya kau datang kemari dan mencariku dengan nama Bandar Hantu Malam. Mau tak mau aku harus mau menyandang julukan yang sudah tak kusukai itu. Aku sengaja mengasingkan diri di sini untuk menebus tingkah lakuku masa lalu dan menjauhi pertikaian dengan siapa pun. Tapi nyatanya masih ada yang mengusikku, seperti halnya Nini Pancungsari dan yang lainnya."
"Aku pernah melihatmu bertarung di seberang
Puncak Karang, Ki."
"Ya. Beberapa waktu yang lalu aku memang terlibat pertikaian dengan seseorang di sana. Aku mencoba untuk tidak melawan, tapi aku hampir saja mati konyol, sehingga mau tak mau memberikan balasan sekadar mengusirnya."
Suto Sinting tarik napas dalam-dalam. Tak tega untuk utarakan maksud sebenarnya. Tapi Ki Randu Papak memaksanya bicara dengan ajukan pertanyaan,
"Apa perlumu mencari dan menemuiku, Suto?" Dengan gelisah dan susah payah akhirnya Suto
menjawab, "Aku diutus oleh Ratu Asmaradani untuk...."
"Siapa itu Ratu Asmaradani?" potong Ki Randu Papak dengan dahi berkerut dan wajah penuh keheranan. "Ratu yang menguasai negeri Ringgit Kencana di dasar laut. Apakah kau tidak pernah jumpa dengannya?"
pancing Suto.
"Mendengar namanya saja baru sekarang," jawab Ki Randu Papak. "Apa tugas yang kau emban dari ratu itu?" Kembali Pendekar Mabuk dibuat bingung oleh
jawaban yang harus diberikan kepada Ki Randu Papak. Hatinya segera membatin, "Jangan-jangan Asmaradani salah menyebutkan namanya? Bandar Hantu Malam tak punya tanda-tanda melakukan perbuatan sejahat itu. Tutur katanya yang berwibawa dan berkesan ramah, sikapnya yang tenang dan penuh kharisma, membuatku tak yakin dengan penjelasan Ratu Asmaradani. Apa benar orang sebijak ini memaksa Ratu Asmaradani untuk menjadi istrinya dengan cara melukai sang Ratu sekejam itu? Ah, batinku menjadi bimbang sekali. Tak tega untuk menjelaskan kepada Ki Randu Papak."
Karena jawaban Suto yang ditunggu-tunggu tak datang jua, maka Ki Randu Papak pun kembali perdengarkan suaranya.
"Aku melihat kebimbangan di matamu, Suto. Ada baiknya jika kau katakan saja terus terang padaku, apa yang menjadi tugasmu sebagai utusan Ratu Asmaradani itu? Setidaknya aku akan mempertimbangkan segala sesuatunya, karena kau adalah murid sahabatku, aku punya kewajiban membantumu. Apalagi kau tadi kuanggap telah selamatkan jiwaku dengan tuakmu itu, jadi aku juga harus balas kebaikanmu itu dengan kebaikan pula. Katakanlah, Suto, jangan ragu!"
Tapi Pendekar Mabuk tetap tak tega mengatakan yang sebenarnya, ia hanya bisa memancing dengan pertanyaan-pertanyaan yang nanti akan bisa disimpulkan sendiri oleh kecerdasannya.
"Apakah... apakah Ki Randu Papak mempunyai jurus
'Racun Siluman'?"
Pertanyaan itu membuat Bandar Hantu Malam tarik kepala sedikit ke belakang, ia terperanjat dan tak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Karenanya, ia diam untuk sesaat, setelah itu baru menjawab dengan suara pelan.
"Ya, memang aku mempunyai jurus 'Racun Siluman' warisan dari guruku: Ki Warok Guci Wangsit. Tapi jurus itu tidak pernah kugunakan sejak aku meninggalkan kehidupan sesatku. Jurus itu juga tak bisa kuberikan kepada siapa pun, Suto. Sebab aku takut orang itu akan menggunakan jurus 'Racun Siluman' untuk perbuatan- perbuatan yang tercela."
Pendekar Mabuk membatin, "Dari kesimpulan jawaban yang ini saja sudah bisa diketahui, bahwa Ki Randu Papak tak ingin lakukan kejahatan dengan menggunakan jurus itu. Tapi mengapa Ratu Asmaradani mengatakan, bahwa orang yang mencelakainya dengan
'Racun Siluman' itu adalah Bandar Hantu Malam?" Diamnya Pendekar Mabuk membuat Ki Randu Papak
punya dugaan lain, sehingga akhirnya ia bertanya, "Apakah kau ingin memiliki jurus itu?"
Suto malahan punya gagasan untuk alihkan pembicaraan agar tak ketahuan menaruh kecurigaan kepada sang tokoh sakti itu.
"Seandainya aku ingin memiliki jurus itu, bagaimana?"
"Perlu kutanyakan dulu untuk apa?"
"Hmmm...," Suto berpikir sejenak. "Untuk... untuk melawan seorang tokoh sesat," jawabnya hanya sekadar
mencari alasan yang sebenarnya tidak dimiliki oleh hatinya. Tapi alasan itu ditanggapi oleh Bandar Hantu Malam dengan kata-kata yang cukup jelas dan tenang.
'Tokoh sesat yang mana maksudmu? Setahuku, di dunia ini banyak tokoh sesat. Tapi aku yakin ilmu kesaktianmu cukup mampu kalahkan mereka. Tak perlu gunakan jurus 'Racun Siluman'. Apakah kau punya lawan yang tak bisa kau kalahkan?"
Tiba-tiba otak Suto segera teringat dengan lawan yang sampai sekarang masih dalam pengejarannya. Maka Suto pun menjawab dengan tegas,
"Ya. Ada lawan yang belum bisa kukalahkan karena licin seperti belut, dan dia sangat tinggi ilmunya. Tokoh sesat itu adalah Siluman Tujuh Nyawai"
"Durmala Sanca, maksudmu?"
"Ki Randu Papak tahu nama asli tokoh itu rupanya?" Bandar Hantu Malam manggut-manggut "Sudah
kukatakan, aku tahu silsilah guru-gurumu, sampai pada anak-anak Purbapati dan Nini Galih, guru dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu. Purbapati dan Nini Galih mempunyai tujuh anak, tapi yang hidup hanya tiga orang, yaitu Durmagati, Begawan Sangga Mega, dan Raja Nujum. Durmagati mempunyai anak Wicara Sanca dan Durmala Sanca. Tetapi Durmala Sanca menjadi manusia sesat, dan berjuluk Siluman Tujuh Nyawa, ia membunuh kakaknya sendiri, juga ayah ibunya dibunuhnya pula. Durmala Sanca terkena kutuk dari kakeknya menjadi orang sesat selama tiga ratus tahun, karena ia memperkosa neneknya sendiri. Sekarang usia
Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa baru mencapai dua ratus lima belas tahun, jadi ia masih punya waktu menjadi orang sesat selama delapan puluh lima tahun lagi."
Suto manggut-manggut, membenarkan cerita itu, karena ia pernah mendengar cerita tersebut dari mulut Hantu Laut yang tak sadar akan segala apa yang diucapkannya itu, (Baca serial pendekar Mabuk dalam episode: "Cermin Pemburu Nyawa").
"Kalau kau ingin kalahkan Siluman Tujuh Nyawa," kata Ki Randu Papak alias Bandar Hantu Malam, "Kau harus gunakan sebuah senjata khusus yang bernama Pedang Kayu Petir."
"Pedang Kayu Petir?" ucap Suto mengingat-ingat nama pusaka itu.
"Pemilik pusaka Pedang Kayu Petir adalah Resi
Wulung Gading, anak dari adiknya Nini Galuh, istri
Purbapati yang diperkosa oleh Durmala Sanca itu!"
Suto Sinting kian tertegun bengong. Tapi semua kata- kata Bandar Hantu Malam itu dicatat dalam otaknya dan diresapinya. Bahkan Bandar Hantu Malam tambahkan kata,
"Jika kau ingin dapatkan Pedang Kayu Petir, kau harus temui Resi Wulung Gading dan meminjamnya. Karena pedang itu mungkin tak akan diberikan atau diturunkan oleh siapa pun. Resi Wulung Gading tinggal di Lembah Sunyi, sebelah selatan gunung ini arahnya. Kusarankan pergilah ke sana dan temui Resi Wulung Gading lebih dulu sebelum kau hadapi Siluman Tujuh
Nyawa."
Kejadian ini sungguh aneh bagi Suto Sinting. Orang yang dicari dan dianggap sebagai lawannya, sekarang justru memberikan jalan keluar untuk melawan musuh utamanya. Semestinya Pendekar Mabuk memaksa Bandar Hantu Malam untuk mengobati Ratu Asmaradani, jika tidak mau maka Suto Sinting harus mengalahkannya dalam pertarungan. Tetapi kenyataan itu ternyata sangat berat dilakukan oleh Suto Sinting, ia merasa seperti diharuskan melawan orang baik dan bijak. Kalau dia bukan seorang pendekar, maka hal itu sangat mudah dilakukan. Tapi jiwa pendekar yang ada di dalam darah Suto itu membuat ia tak mampu bertarung dan membunuh orang bijak seperti Ki Randu Papak.
"Kejahatan memang harus dibantai dan dihilangkan, tapi pelaku kejahatan tidak harus dibumi-hanguskan. Karena seseorang yang berbuat jahat, berjalan di jalur yang sesat, suatu saat akan kembali sebagai manusia sejati manakala kesadaran hati nuraninya telah timbul kembali. Jadi kalau kau mau bertarung melawan siapa saja, kalahkanlah kejahatannya tanpa harus mematikan pelakunya."
Petuah Bandar Hantu Malam itulah yang membuat Suto Sinting menilainya sebagai orang bijak. Bahkan ketika Suto memancingnya dengan pertanyaan,
"Apakah Ki Randu Papak tidak ingin menikah lagi?" Tokoh tua itu menjawab, "Usiaku tinggal beberapa
saat lagi. Kalau aku menikah lagi dan mempunyai istri, maka pada saat kutemui ajalku aku sama saja
mengecewakan istriku. Jadi menurutku lebih baik bersuci diri agar punya persiapan menyambut datangnya kematian nanti."
"Tapi perkawinan dan kemesraan itu dibutuhkan setiap orang sampai saat ia menjelang dimakamkan, Ki." "Orang yang memburu perkawinan menjelang saat dimakamkan adalah orang yang tidak sadar telah melukai hati pasangannya," jawab Bandar Hantu Malam. "Bukankah kematian itu sudah merupakan suatu kepastian dalam perjalanan hidup kita. Seandainya toh kematian itu tiba pada saat kita baru menikah dua
purnama, itu toh bukan kesalahan kita, Ki?"
"Itu kesalahan kita, sebab kita tidak punya perhitungan ke masa depan, yaitu masa-masa setelah kita mati dan meninggalkan istri."
Suto Sinting mencoba lagi memancingnya dengan pertanyaan, "Kurasa orang setua Ki Randu Papak masih bisa mencari wanita cantik dan muda."
"Hanya perempuan bodoh yang mau menikah dengan lelaki setua diriku dan semiskin aku ini."
"Bisa saja terjadi, kalau wanita itu terancam
keselamatannya, mau tak mau dia menerima lamaran si lelaki."
"Cinta yang hadir karena ancaman tidak pernah punya nilai kehidupan dan kebahagiaan yang hakiki. Sama saja kita memuaskan diri dengan diri sendiri. Cinta yang timbul karena ancaman hanya akan menghadirkan sejuta kecemasan dan kecurigaan. Pada akhirnya yang diperoleh hanyalah kesia-siaan."
Lewat percakapan itulah Suto Sinting akhirnya mempunyai kecurigaan terhadap Ratu Asmaradani. Dalam hatinya Suto Sinting berkata,
"Jangan-jangan Ratu Asmaradani memfitnah Bandar Hantu Malam karena suatu alasan yang tak kuketahui? Jangan-jangan Ratu Asmaradani punya dendam kepada Bandar Hantu Malam, tapi tak bisa mengalahkannya, sehingga ia menggunakan tanganku untuk membalaskan dendamnya itu? Sebab menurut hasil percakapanku tadi, Bandar Hantu Malam bukan laki-laki yang gila wanita, ia tak ingin melukai hati wanita, bahkan perkawinan di ambang kematian dianggapnya suatu perbuatan keji, yaitu mengecewakan dan melukai hati sang istri. Bandar Hantu Malam juga menganggap cinta yang hadir karena ancaman hanya akan menghadirkan penderitaan batin yang terselubung senyum bagi keduanya. Jadi menurutku, Bandar Hantu Malam sebenarnya tidak melakukan apa-apa kepada Ratu Asmaradani. Dia bukan orang jahat dan kejam seperti yang diceritakan Ratu negeri Ringgit Kencana itu. Aku tak bisa melukai orang seperti dia."
Melihat kenyataan seperti itu, Suto Sinting merasa perlu menemui Ratu Asmaradani dan mengungkapkan isi hatinya. Tapi terlebih dulu ia ingin sempatkan singgah ke Lembah Sunyi untuk temui Resi Wulung Gading, ia ingin perkenalkan diri kepada tokoh sakti yang termasuk keponakan Eyang Nini Galih, yaitu guru dari Bidadari Jalang.
Menurut penjelasan Bandar Hantu Malam, padepokan
Resi Wulung Gading terletak di seberang sungai berair kuning, alias sungai belerang. Sungai air kuning itu kini telah ditemukan Pendekar Mabuk, tinggal mencari jembatan untuk menyeberangi sungai tersebut dan mencari padepokan itu.
Karena jembatan penyeberangan itu tidak ditemukan oleh Pendekar Mabuk, maka ia terpaksa memetik beberapa daun yang lebarnya seukuran telapak tangan. Dengan melemparkan daun-daun itu ke permukaan sungai, Suto melompat dari daun ke daun menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Sambil berpijak pada daun yang satu, daun yang lain dilemparkan ke depan dan menjadi pijakan berikutnya. Cara itulah yang membuat Pendekar Mabuk tiba di seberang sungai.
"Ilmunya cukup tinggi? Siapa dia?" gumam hati seseorang yang berada di balik kerimbunan pohon bambu. Rupanya kehadiran Suto ke tanah Lembah Sunyi sudah diperhatikan oleh seseorang sejak tadi. Orang tersebut juga melihat kehebatan Suto menyeberang sungai tanpa gunakan jembatan, dan hanya melompati daun-daun selebar telapak tangan. Orang yang bersembunyi itu menjadi kagum dan panasaran, lalu mengikuti langkah Suto secara diam-diam.
Tetapi Pendekar Mabuk bukan orang bodoh, ia mampu dengarkan suara detak jantung seseorang yang ada dalam jarak dua puluh langkah lebih dalam kitaran sekelilingnya. Suara jantung itu berdetak-detak cepat bagaikan orang dalam ketegangan. Jika detak jantung itu cepat, maka Suto dapat menyimpulkan orang yang
menguntitnya pasti punya maksud tak baik. Maksud tak baik itulah yang menegangkan jiwanya dan memacu jantung menjadi deg-degan. Karena itu, Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah dan berpura-pura menenggak tuak dalam bumbung bambunya. Tapi pada saat itu sebenarnya mata Suto melirik ke arah datangnya suara detak jantung.
"Hmmm... dia ada di balik pohon berakar gantung itu," pikir Suto dengan sikap masih tenang, seakan-akan tak merasa curiga apa-apa. "Kulihat di sana ada potongan pohon kering yang akarnya masih terpendam. Aku harus manfaatkan batang pohon kering itu agar orang tersebut terkecoh oleh tingkahnya sendiri."
Pendekar Mabuk tetap melangkah dengan kalem, tapi arahnya membelok ke kumpulan bambu Wulung lainnya. Di situ memang banyak tanaman bambu Wulung yang menggerombol di sana-sini, hidup dengan liar tanpa ada yang merawat.
Slaap..!
Suto Sinting segera berlindung di balik kerimbunan pohon bambu itu. Orang yang mengikutinya sempat dibuat bingung sesaat. Matanya mencari-cari Suto dengan rasa penasaran. Tapi kejap berikutnya ia menjadi lega karena orang yang diikutinya kembali terlihat oleh pandangan mata. Orang tersebut melihat Suto sedang duduk merenungkan sesuatu di seberang serumpun bambu.
Orang itu menunggu tindakan Suto selanjutnya, ia memperhatikan terus ke arah Suto dengan hati bertanya-
tanya karena tak mengenai siapa orang yang diikutinya itu.
"Jangan-jangan ia sedang memikirkan sesuatu yang
dapat membuat suasana lebih kacau lagi? Kurasa... kurasa dia mata-mata yang bingung mencari jalan untuk menyusup," pikir orang itu. ''Sebaiknya kuserang dulu orang itu, supaya ia panik dan akhirnya mengaku apa yang sedang dilakukannya dan siapa dirinya. Aku tak mau kalah gerak dengannya."
Orang berpakaian hitam dengan rambut ikal sebatas tengkuk dan berusia sekitar tiga puluh tahun itu segera mencabut senjatanya. Sebuah golok bergagang hitam telah tergenggam di tangannya sebagai persiapan datangnya bahaya pada saat lakukan gertakan nanti.
Tetapi orang kurus itu tiba-tiba terkajut setelah rasakan ada seseorang yang mencoleknya dari belakang. Mulanya ia menyangka yang mencolek itu teman sendiri, sehingga tanpa berpaling ia segera berkata lirih,
"Diam dulu! Aku sedang perhatikan orang itu. Kurasa dia mata-mata! Sergap saja dia dan paksa supaya mengaku. Setuju?"
Orang yang mencoleknya itu menjawab, "Tidak." Jawaban tersebut membuatnya merasa aneh dan
akhirnya berpaling ke belakang. Maka seketika itulah orang berpakaian hitam itu mendelik dan menjadi gagap karena orang yang mencoleknya ternyata orang yang sedang diintainya. Suto Sinting sudah berdiri di belakang orang itu dengan senyum ramah dan sikap tenangnya. Orang itu tidak tahu kalau Suto Sinting telah pergunakan
sebuah ilmu kesaktiannya yang bernama ilmu 'Seberang Raga', yaitu sebuah ilmu yang mampu membuat benda atau makhluk apa pun bisa menyerupai dirinya, ilmu itu sering digunakan untuk menipu lawannya apabila Suto merasa tidak ingin melayani orang tersebut.
Tetapi kali ini Suto pergunakan ilmu itu untuk mengecoh penguntitnya, sekaligus suatu pernyataan bahwa orang itu tak perlu menguntitnya, karena ia bisa saja berbuat tak baik jika ia inginkan. Dengan mencolek orang tersebut Suto berharap bahwa orang itu menyadari kekalahannya, dan mengakui keunggulan Suto yang mampu mengecoh dirinya.
"Kampret! Orang ini sudah berada di belakangku?" pikir si baju hitam. "Kalau dia tadi tahu-tahu menyerangku, aku bisa mati sejak tadi. Tapi agaknya ia tak mau lakukan hal itu? Lantas...? Lantas siapa yang ada di seberang sana tadi?"
Orang itu berpaling memandang ke arah Suto yang tadi dilihatnya duduk merenung, ia terkejut, karena ternyata apa yang dilihatnya sebagai Suto adalah sebatang kayu pohon kering yang tumbang dan tersisa sebatas perut. Orang tersebut menjadi gemataran kaki dan tangannya. Wajahnya pucat, napasnya tampak lebih cepat dari biasanya.
"Mana mata-mata yang kau maksud tadi?" goda Suto
Sinting.
"Hmmm... eh... anu... eh, ini!" jawabnya sambil memegang kedua matanya sendiri. Orang itu takut, malu, dan terheran-heran, sehingga tak mampu menjaga
ketenangan batinnya.
"Mengapa kau mengikutiku?"
"Hmm... anu... hanya... hanya sekadar... hanya kebetulan saja."
"Tapi kudengar kau tadi menyangkaku sebagai mata- mata? Mata-mata dari mana maksudmu?"
"Dar... dari... yah, dari mana sajalah," jawabnya salah
tingkah.
Suto lebarkan senyum geii. Matanya melirik ke golok yang digenggam orang itu. Suto pun bertanya, "Untuk apa golok itu?"
"Untuk... hmmm... yah... anu... untuk tebang-tebang bambu," jawabnya, lalu ia menebang bambu yang ada di dekatnya. Tapi hanya anak bambu yang ditebanginya sebagai tindakan salah tingkah pada diri sendiri. Suto Sinting akhirnya tertawa geli walau tanpa suara.
"Siapa namamu, Sobat?" tanya Suto mengakrabkan diri.
"Dul," jawabnya singkat tanpa berani memandang. "Dul siapa?"
"Dul ya Dul," jawabnya makin merasa terpojok, ia
berhenti menebangi anak bambu dan memasukkan goloknya. Lalu tanpa memandang lagi ia pergi meninggalkan Suto Sinting, ia merasa lebih baik segera tinggalkan tempat itu karena merasa cemas kalau-kalau orang yang tadi dikuntitnya tiba-tiba menyerang ganas. Dalam hatinya mengakui bahwa orang yang dikuntitnya itu ilmunya sangat tinggi, tidak sebanding dengan ilmunya sendiri.
Mulanya Dul melangkah pelan-pelan, berlagak santai. Makin lama melirik ke belakang, melihat Suto masih di tempat memandanginya. Langkahnya sedikit cepat, tapi masih dibuat sesantai mungkin. Lama-lama, wuuut..! ia melarikan diri secepat-cepatnya dan ingin memberitahukan kehadiran Suto kepada seorang teman.
Zlaaap...!
Suto pun cepat tinggalkan tempat, bergerak bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Dalam waktu singkat ia sudah bisa tiba di jalanan yang sedang dituju oleh Dul tadi. Sedangkan Dul berlari sambil sesekali memandang ke belakang, merasa aman dan lega karena ia tidak dikejar oleh orang yang dianggapnya mata-mata itu. Hanya saja, ketika ia kembali memandang ke depan, ia menjadi sangat terkejut karena Suto Sinting ternyata sudah berdiri di tengah jalan dalam jarak kurang dari lima langkah.
"Hahhh...?!" ia terpekik lirih tanpa sengaja. Hatinya membatin, "Orang itu tahu-tahu sudah ada di depanku? Kurang ajar! Gerakannya sangat cepat. Jangan-jangan dia bukan manusia?"
"Kau tak perlu melarikan diri, Sobat. Aku bukan orang jahat seperti dugaanmu. Aku datang kemari untuk mencari padepokannya Resi Wulung Gading."
Dul tampak terperanjat dan lebih tegang lagi. "Sssi... siapa kau?"
"Namaku Suto Sinting. Kau boleh memanggilku Suto saja." Wajah dan senyum Pendekar Mabuk dipamerkan seramah mungkin agar Dul tidak merasa takut.
"Untuk apa kau mencari padepokan kami?" tanya
Dul. Suto sedikit berkerut dahi, lalu segera bertanya, "Apakah kau orangnya Resi Wulung Gading?" "Hmmm... eeh... iya... eh, tidak! Eh... anu... iya...!"
Agaknya Dul serba salah dalam menjawab pertanyaan itu. Ada kecemasan lain yang ditemukan Suto di balik pancaran mata orang kurus itu. Ada niat berlindung demi keselamatan dari jawaban tersebut. Suto Sinting menjadi curiga dan bertanya dengan mendekati si Dul, sedangkan si Dul mundur dua langkah penuh kecemasan.
"Mengapa kau kelihatannya tegang sekali? Kau takut mengakui sebagai orangnya Resi Wulung Gading. Ada apa sebenarnya, Dul?"
"Hmm... eh... tidak ada apa-apa," jawab Dul masih serba bingung.
"Katakan saja terus terang. Sekali lagi kukatakan
padamu, aku bukan orang jahat. Aku datang ingin bertamu kepada Resi Wulung Gading secara baik-baik. Justru kalau kau punya kesulitan aku siap membantumu, Dul. Karena ketahuilah, bahwa Resi Wulung Gading adalah keponakan dari Eyang Guruku, yaitu Eyang Nini Galih. Tentunya kau pernah mendengar nama Eyang Nini Galih, bukan?"
Napas si Dul terhempas panjang menandakan rasa lega. Wajahnya tidak setegang tadi. Berangsur-angsur ia menjadi tenang, karena Suto menyebut-nyebut nama Eyang Nini Galih yang dikenal oleh Dul melalui cerita Resi Wulung Gading, ia mulai percaya bahwa Suto bukan orang jahat.
"Maaf, aku terpaksa curiga padamu dan merasa takut. Karena kami baru saja mengalami musibah."
"Musibah bagaimana, maksudmu?"
Dul diam sebentar, wajahnya mulai kelihatan sedih. Akhirnya ia berkata sambil melangkah, "Ikutlah aku ke padepokan...."
Suto akhirnya mengikuti Dul dari belakang. Agaknya Dul tak mau diajak bicara, karena ia berjalan dengan cepat menuju padepokan dengan rona wajah dukanya. Suto Sinting hanya bertanya-tanya dalam hati tanpa mau mencoba menanyakan beberapa hal kepada Dul, sebab tadi dua kali Suto bertanya tentang sesuatu, tapi Dul diam saja dan tetap melangkah.
Bau busuk sudah sejak tadi menyebar dan tercium oleh Suto Sinting. Makin mendekati padepokan semakin tajam baunya. Hati Pendekar Mabuk sudah menaruh curiga sejak awal terciumnya bau busuk. Kecurigaannya itu ternyata benar, bahwa di padepokan terdapat mayat dalam jumlah banyak yang belum sempat dikubur. Ada yang di luar gerbang padepokan, ada di depan pintu gerbang, dan semakin masuk ke dalam halaman padepokan semakin banyak mayat yang dilihat Suto Sinting.
Seorang lelaki seusia Dul datang dari samping gerbang. Orang itu berlumur tanah liat dan napasnya terengah-engah. Matanya memandang curiga pada Suto.
"Kita kedatangan tamu, Sukat. Tapi tamu kita ini orang baik-baik," kata Dul kepada temannya yang agaknya habis melakukan kerja keras itu. Sukat terpaksa
anggukkan kepala dan tersenyum ramah namun kaku. Suto membalas dengan kaku pula, sebab hatinya masih bertanya-tanya melihat keadaan di padepokan itu amat berantakan. Tembok-tembok jebol, pagar ambrol, tiang dan pohon tumbang. Keadaan padepokan seperti habis mengalami kiamat. Mayat bergelimpangan di sana-sini, membusuk dan menjijikkan.
"Beginilah keadaan padepokan kami," kata Dul dengan nada sedih.
"Siapa yang membantai mereka itu? Siapa yang mengobrak-abrik tempat ini?"
"Entahlah," jawab Dul. "Tadi pagi kami tiba dari
bepergian kami yang diutus Guru Resi Wulung Gading ke pesisir kidul untuk temui seseorang di sana. Kami pergi selama lima hari. Ketika kami tiba di sini keadaan sudah seperti ini. Teman kami mati semua. Sampai sekarang kami belum selesai menguburkan mereka. Kami capek dan terlalu sedih melihat kenyataan ini."
Sukat menimpali kata, "Waktu kami tiba, masih ada yang bertahan hidup dalam luka parah. Dia sempat memberi tahu bahwa musibah ini terjadi dua hari yang lalu. Seseorang telah datang dan mengamuk ganas di sini."
"Mana temanmu yang terluka parah itu? Aku ingin menanyainya."
"Tidak bisa," jawab Sukat dengan sedih. "Hanya menanyakan sesuatu saja." "Tetap tidak bisa."
"Kenapa?"
"Karena dia sudah pergi, nyawanya terbang sebelum siang tiba," jawab Sukat yang berambut cepak dan berwajah cengeng itu. Ia menangis walau tak terdengar suara isakannya.
"Apakah dia tahu siapa orang yang membantai teman-temanmu ini?"
Dul yang menjawab, "Menurut keterangannya, orang
itu berjuluk Bandar Hantu Malam. Datangnya pada malam hari."
Seketika itu alis mata Suto beradu, dahi berkerut, dan mata menatap tajam, ia sangat terkejut mendengar nama itu disebutkan oleh si Dul. Ia hampir-hampir tidak mempercayainya. Dengan segera napas pun ditarik dan dihirup panjang-panjang. Suto menahan getaran hatinya yang bergemuruh karena mendengar nama Bandar Hantu Malam.
"Resi Wulung Gading sendiri bagaimana?"
Dul geleng-geleng kepala. "Mungkin tewas di tempat lain, mungkin diculik oleh Bandar Hantu Malam, atau mungkin bersembunyi di suatu tempat yang tidak kami ketahui."
Sukat menambahkan kata, "Menurut cerita teman kami yang sekarang sudah meninggal itu, Bandar Hantu Malam menyerang sendirian, membantai siapa saja yang ditemuinya. Tapi pada waktu itu, guru kami memang tidak ada di tempat. Katanya sedang semadi di Gua Getah Tumbal."
"Di mana itu Gua Getah Tumbal?"
"Kami berdua tidak tahu. Makanya kami tidak bisa
mencari di mana Guru berada. Teman kami ini tidak jelaskan di mana letak Gua Getah Tumbal, ia sudah pergi meninggalkan dunia," jawab Sukat dengan nada sedih sekali.
Suto Sinting tertegun dengan hati iba bercampur gusar. "Apa yang harus kulakukan kalau begini?" pikirnya dalam kegusaran itu.
*
* *

7
SANGAT wajar jika pikiran Pendekar Mabuk menjadi kacau bagaikan benang-benang kusut. Di matanya ia melihat Bandar Hantu Malam adalah orang bijak yang bersikap tenang, berwibawa, namun tidak angker. Di matanya, Bandar Hantu Malam adalah orang yang mengagumkan. Tapi kini Suto harus menghadapi kenyataan yang senada dengan cerita Ratu Asmaradani, bahwa Bandar Hantu Malam orang kejam dan jahat.
"Berarti pada saat kemarin aku bertamu dengan Bandar Hantu Malam, rupanya ia baru saja pulang dari membantai semua murid Resi Wulung Gading. Pantas ia mendesakku untuk mampir ke padepokan Resi Wulung Gading, rupanya ia ingin unjuk gertakan terhadapku tentang kekejamannya yang bagai orang tak kenal ampun terhadap sesama."
Suto Sinting sengaja hentikan perjalanannya yang sudah jauh dari padepokan Resi Wulung Gading, ia
sengaja duduk di bawah pohon rindangan dengan satu kaki melonjor dan satu kaki ditekuk, memijak tanah, ia perlu merenungkan kenyataan tersebut agar tak sampai salah langkah jika lakukan sesuatu.
"Kakek itu memang mengagumkan sekali. Bukan hanya ilmunya, tapi juga kepura-puraannya. Hampir saja ia tampil sebagai tokoh bijaksana yang baik hati dan layak dihormati secara utuh. Kuakui, aku telah tertipu mentah-mentah oleh kepura-puraannya. Jika Bandar Hantu Malam atau Ki Randu Papak itu orang baik-baik, tentunya ia tidak diserang oleh Nini Pancungsari, ia juga tidak lakukan pertarungan di seberang Puncak Karang, tempo hari. Tentunya rakyat desa Pucangan pun tidak menaruh curiga padanya. Ah, bodohnya diriku ini. Mengapa aku mudah mempercayai kata-katanya? Mengapa aku tidak bisa melihat kepura-puraannya?"
Sebatang rumput dicabut, dihisap-hisap sarinya sebagai keisengan dalam lakukan renungan tersebut. Suto Sinting mengecam dirinya sendiri yang dianggap bodoh dan mau saja dibodohi.
"Ratu Asmaradani tak mungkin menipuku jika kekejian Bandar Hantu Malam tidak benar-benar terjadi. Lalu, Dul dan Sukat..., apa urusannya, apa untungnya mereka berbohong padaku? Kurasa mereka bicara yang sebenarnya. O, ya... aku ingat ancaman Nini Pancungsari saat perempuan itu belum pergi, ia berjanji untuk membalas dendam kepada Bandar Hantu Malam dengan nyawa, ia menganggap Bandar Hantu Malam berhutang nyawa padanya. Apakah Nini Pancungsari punya
hubungan dengan pihak padepokan Resi Wulung Gading? Apakah gara-gara pembantaian itu maka Nini Pancungsari bersikeras menghabisi Bandar Hantu Malam? Atau mungkin Nini Pancungsari ada di pihak lain yang merasa dirugikan seperti kerugian yang dialami Resi Wulung Gading?"
Siang dibiarkan kian tenggelam. Matahari semakin condong ke cakrawala barat. Suto Sinting masih diam di tempatnya, sambil sesekali meneguk tuak. Ia sempat rasakan hatinya yang menyesal telah membantu Bandar Hantu Malam dan membuat Nini Pancungsari menderita luka dalam cukup parah, ia ingin temui Nini Pancungsari, tapi tak tahu di mana perempuan itu tinggal.
"Ada baiknya kalau aku kembali ke pondok Bandar Hantu Malam. Aku akan desak dia dan membongkar kepura-puraannya! Akan kubeberkan tanpa ragu-ragu lagi kejahatannya yang sempat kudengar dan kulihat kenyataannya. Aku tak peduli dia mengaku teman baik guruku, aku tak mau terkecoh lagi olehnya. Kejahatan memang harus ditumpas habis. Jika kejahatan itu bermukim dalam jiwa seseorang, maka jiwa itu pun harus disirnakan!"
Dengan gemuruh kemarahan mulai membakar darah dan menyesakkan dada, Pendekar Mabuk segera jejakkan kaki ke tanah dan melesat pergi menuju puncak Gunung Keong Langit itu. ia harus bisa mencapai pondok Bandar Hantu Malam sebelum bumi menjadi gelap dan malam pun tiba.
"Tapi tunggu dulu," katanya sendiri. "Jika benar kata Dul, bahwa pembantaian itu dilakukan pada malam hari, maka ada baiknya aku justru mengintai di dekat pondoknya, apakah ia keluar pada malam hari atau tetap di tempat?"
Sampai puncak gunung suasana telah gelap. Hawa dingin begitu mencekam kuat. Namun Suto berusaha tetap di balik kerimbunan semak, mengawasi pondok Bandar Hantu Malam. Berulang kali ia meneguk tuak untuk menghalau hawa dingin yang hadir bersama kabut putih. Untung saja Suto seorang peminum tuak. Seandainya bukan, maka tubuhnya akan berubah menjadi gumpalan salju dan darahnya akan membeku dicekam hawa dingin yang amat tinggi itu. Tuak yang ada di bambu keramat itu mampu hadirkan kehangatan yang membuat Suto tak terlalu menggigil walaupun pakaiannya mulai dilapisi busa salju.
Sampai sekian lama ditunggu, Bandar Hantu Malam belum tampakkan diri. Suto agak sangsi dengan dugaannya. "Jangan-jangan malam ini ia tidak bermaksud keluar rumah?" pikirnya diliputi kebimbangan yang menjengkelkan hati.
Pondok itu gelap. Tanpa penerangan di dalamnya. Tak terlihat biasa lampu minyak yang mestinya terlihat dari celah-celah suasana kayu dindingnya. Suto makin punya kecurigaan yang bukan-bukan.
"Jangan-jangan Bandar Hantu Malam sedang berbuat sesuatu dengan seorang perempuan di dalam pondoknya?! Apakah sebaiknya kudobrak saja pondok
itu? Tapi... bisa jadi dia sudah keluar dari pondok sejak tadi, sebelum aku ada di sini? Hmm...! Ya, mungkin dia sudah keluar sejak tadi dan tidak jumpa denganku di kaki gunung. Sial! Lantas untuk apa kubiarkan diriku dicekam salju sejak tadi? Ini pekerjaan yang sia-sia! Sebaiknya kuperiksa dulu pondok itu, jika memang tak ada tanda-tanda kehidupan, aku segera turun gunung!"
Dengan langkah tanpa suara, Suto Sinting dekati pondok itu. Semakin dekat semakin dipasang baik-baik telinganya. Bahkan pendengaran hati sanubarinya juga digunakan. Ternyata di dalam pondok tidak ada tanda- tanda kehidupan. Tak ada denyut jantung yang terdengar dari dalam pondok. Suto menggerutu dan jengkel sendiri.
"Sial! Pondok kosong ditunggui?! Aku harus segera turun gunung dan mencari orang itu. Pasti dia lakukan keganasan lagi pada malam ini di tempat lain. Mungkin desa Pucangan juga sedang disambangi. Sebaiknya aku ke sana dan bicara dengan para sesepuh desa yang tahu tentang Bandar Hantu Malam!"
Malam itu rembulan mengintip di balik awan. Hanya separo yang tampak dari permukaan bumi, namun cahayanya cukup mampu membuat bumi menjadi remang-remang. Rumput dan batu kerikil bisa terlihat jelas. Suasana ini sungguh menguntungkan bagi Pendekar Mabuk, sehingga ia bisa berjalan melalui jalan setapak yang tadi dilewati, tanpa harus takut tergelincir ke jurang yang cukup dalam di tepi lereng gunung itu.
Sebelum mencapai perbatasan desa Pucangan, kedua
kaki Suto Sinting terhenti serentak dan matanya memandang penuh waspada, ia sempat melihat sekelebat bayangan melintas jalanan di depannya. Gerakannya cukup cepat, membuat Suto yakin bahwa sekelebatan bayangan itu pasti milik orang berilmu tinggi. Siapa orangnya, Suto tak bisa melihat dengan jelas. Tapi ia punya dua kemungkinan dalam hatinya.
"Nyai Sedah, atau Bandar Hantu Malam?" pikirnya dalam pertimbangan langkah. "Mungkinkah Nyai Sedah sedang menuju desa Pucangan lagi? Ya, mungkin saja. Barangkali dia tahu bahwa aku hanyalah seorang tamu di desa itu, sehingga ia menduga desa itu aman bagi dirinya karena ia menganggap aku sudah pergi dari desa tersebut. Tapi mungkin saja bayangan itu adalah Bandar Hantu Malam yang sedang menuju ke tempat lain tanpa mengetahui diriku di sini? Sebaiknya kukejar saja dia ke arah lenyapnya bayangan tadi! Aku jadi penasaran sekali!"
Bayangan yang melintas dari barat ke timur segera dikejar ke arah timur. Suto mengejarnya tidak melalui jalan darat, melainkan melalui pohon demi pohon, ia melesat bagaikan seekor burung yang mencari tempat untuk tidur. Gerakannya tidak timbulkan bunyi sedikit pun, sebab Suto gunakan ilmu peringan tubuhnya yang membuat ranting pun tidak berbunyi saat diinjak kakinya.
"Sial! Ke mana bayangan tadi? Aku kehilangan jejaknya!" gerutu Suto sambil memandang sekeliling dari atas pohon. Napasnya terjaga hingga tak terlalu
ngos-ngosan.
"Sebaiknya aku mengarah ke desa Pucangan saja dengan jalan kaki," pikirnya. Lalu ia bergegas turun dari atas pohon. Tapi alangkah terkejutnya Suto begitu melihat ke bawah, ternyata di sana ada bayangan hitam yang dikejar-kejarnya. Bayangan hitam itu adalah orang berkerudung kain hitam sekujur tubuhnya, dan sedang berbicara bisik-bisik dengan seseorang.
"Siapa orang yang diajaknya bicara itu?" pikir Suto sambil kian hati-hati lakukan gerakan, bahkan bernapas pun sangat hati-hati. Matanya memandang ke bawah dengan sedikit disipitkan. Lalu ia temukan seraut wajah yang cukup dikenalinya.
"Sundari...?!" gumam Suto Sinting dalam hatinya dengan nada terkejut. "Ternyata dia kenal dengan orang berselubung kain hitam itu? Hmm... apakah orang berkain hitam itu masih sama seperti malam itu? Apakah dia Nyai Sedah? Kalau begitu, Sundari punya hubungan dengan Nyai Sedah? Sejauh mana hubungan mereka sebenarnya?"
Tiba-tiba terdengar suara wajah ditampar. Plaaak...! Suto Sinting terperanjat melihat Sundari ditampar orang berpakaian serba hitam itu. Terdengar pula pekik kecil dari Sundari yang kesakitan, lalu suara tangis pun terdengar samar-samar.
"Katakan!" sentak orang berkerudung hitam. Kini Suto yakin orang itu adalah Nyai Sedah, sebab suara yang terdengar menyentak adalah suara perempuan.
"Katakan, Sundari! Atau kau menerima upah maut
dariku, hah?!"
Suto Sinting masih belum bergerak dan tidak lakukan apa-apa. Walaupun ia melihat rambut Sundari dijambak dengan kasar oleh orang berpakaian hitam itu, tapi Suto masih tetap menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu, ia masih ingin tahu apa yang dilakukan oleh kedua orang di bawahnya itu.
"Kesabaranku habis pada hitungan ketiga, Sundari! Satu... dua...."
"Dia ke puncak! Carilah di puncak sana!" jawab Sundari dengan rasa marah yang tak mampu dilampiaskan. Tangisnya kian terdengar jelas dari tempat Suto bersembunyi di atas pohon.
"Tidak mungkin, Sundari! Aku bukan orang bodoh yang bisa kau bohongi! Kau ingin menjebakku di puncak sana, bukan?!"
"Ttt... tidak!"
"Kau bohong! Aku jadi muak padamu!"
Sreeet...! Orang berkerudung hitam itu mencabut pisau sepanjang dua jengkal dari balik baju hitamnya. Pisau itu hendak ditikamkan ke dada Sundari. Tapi Suto Sinting segera lepaskan pukulan 'Jari Guntur'-nya lewat sentilan tangan. Taaas...!
Tenaga dalam yang dilepaskan lewat sentilan tangannya itu tepat kenai pelipis orang berpakaian hitam. Dees...! Orang itu pun tersentak dan terpelanting ke samping bagaikan terkena tendangan kuda binal. Ia berguling-guling tiga kali, lalu cepat ambil sikap berdiri lagi.
Wuuut...! Jleeg...!
Suto Sinting turun dari atas pohon langsung berhadapan dengan perempuan berkerudung hitam itu. Sundari terkejut girang, sedangkan perempuan berkerudung hitam menjadi cemas.
"Suto, syukurlah kau ada di sini!" Sundari segera hampiri Suto dan memeluknya dari belakang.
"Siapa dia, Sundari? Nyai Sedah?"
"Ya. Dia orang yang kemarin juga!" jawab Sundari dengan takut.
"Menjauhlah, biar kuhadapi orang itu." Wuuul...!
Tiba-tiba pisau di tangan Nyai Sedah dilemparkan ke arah dada Suto. Tapi tangan Suto berkelebat cepat dan berhasil tangkap pisau itu dengan jepitan dua jari tangannya. Teeb...!
"Sudah kuduga kau bisa menangkapnya!" kata Nyai
Sedah yang hanya kelihatan bagian matanya saja. "Apakah kau ingin aku berbuat lebih kejam dari
malam itu, Nyai Sedah?"
"Aku sengaja kembali untuk bikin perhitungan denganmu!" geram Nyai Sedah, lalu ia lepaskan pukulan dari tangan kosongnya. Slaap...! Sinar putih perak melesat dari telapak tangan itu. Suto segera meraih bumbung tuaknya dan menangkisnya. Sinar putih perak itu menghantam bumbung tuak dengan kuat. Trak...! Dan ternyata sinar itu membalik arah menjadi lebih besar dan lebih cepat.
"Celaka!" geram Nyai Sedah. Ia segera sentakkan
kaki dan tubuhnya pun melenting di udara. Tetapi gerakan itu terlambat. Akibatnya sinar perak itu kenai betis Nyai Sedah. Jraaas...! Suaranya seperti bara masuk ke dalam air.
"Auh...!" Nyai Sedah memekik kesakitan. Kulit betis sampai telapak kakinya menjadi hangus. Sayang cahaya malam kurang kuat sehingga tak bisa dilihat dengan jelas oleh Suto dan Sundari.
Tubuh Nyai Sedah jatuh terpuruk tak mampu berdiri lagi. Ia mengerang kecil sambil memperhatikan kakinya yang berasap. Suto Sinting segera mendekatinya, Sundari menjadi cemas melihat Suto mendekat.
"Awas, jangan dekati dia! Kukunya beracun!" seru
Sundari.
Wuuut...!
Nyai Sedah ternyata cepat menyambar kaki Suto dengan cakarnya. Tapi tubuh Pendekar Mabuk segera lompat ke atas dan cakaran itu mengenai tempat kosong. Suto Sinting sempat bersalto mundur satu kali.
"Aku dapat menyembuhkanmu sekarang juga jika kau bersedia tinggalkan segala perbuatan terkutukmu. Nyai Sedah," kata Suto mencoba menawarkan kebaikan demi kesadaran perempuan itu.
"Persetan dengan tawaranmu! Hiaah...!" Claap...!
Selarik sinar hijau melesat dari telapak tangan Nyai Sedah. Suto Sinting segera menangkisnya kembali dengan bumbung tuaknya. Traak...! Sinar itu berubah menjadi besar dan akhirnya menghantam balik tubuh
Nyai Sedah.
Zraaabb..! Bluub..! "Aahhg...! Aaahg...!"
Nyai Sedah tak mampu berteriak, tubuhnya segera terbungkus api karena terkena sinar hijaunya sendiri, ia berguling-guling mencoba memadamkan api itu, tapi usahanya tak berhasil. Sundari sendiri sempat palingkan wajah tak tega memandang Nyai Sedah. Suto Sinting cepat meneguk tuaknya, sebagian disimpan pada mulut, lalu ia semburkan tuak di mulutnya ke tubuh yang terbungkus api itu.
Bwwrruss...!
Blaaab...! Api padam seketika, tinggal kepulan asapnya. Tapi tubuh Nyai Sedah telah tak bernyawa. Rupanya sinar hijau tadi bukan membakar tubuh saja, melainkan membakar bagian dalam tubuh, merusakkan jantung, paru-paru, dan yang lainnya. Pertolongan Suto terlambat, tapi ia merasa telah lakukan hal yang benar, yaitu memberikan tawaran baik sebelum ajal merenggut nyawa. Tapi tawaran itu ditolak, bahkan dibalas dengan kemurkaan, akibatnya Nyai Sedah menerima nasib yang ditentukan oleh tindakannya sendiri.
Suto mendengar suara isak yang meratap. Ternyata Sundari saat itu menangis di balik pohon melihat kematian Nyai Sedah. Pendekar Mabuk heran dalam hatinya, tapi ia tak berani tanyakan dulu sebab tangis Sundari. Ia membujuk Sundari untuk diam dan segera tinggalkan tempat itu untuk laporkan kepada pihak kepala desa.
"Mengapa dia kau bunuh?" Sundari bagaikan menuntut Suto.
"Dia yang membunuh dirinya sendiri dengan sinar
hijaunya tadi."
"Aku... aku jadi kehilangan calon guru!" "Calon guru?"
"Dia calon guruku. Setelah aku bisa memberi kabar
tentang pemuda-pemuda yang aman diculiknya sebanyak sepuluh orang, aku akan diangkatnya sebagai murid! Tapi sekarang baru tiga pemuda dia sudah mati. Sia-sia saja aku mencarikan tiga pamuda pemuas gairahnya yang mungkin... mungkin sekarang sudah dibunuh setelah diserap habis darah kejantanannya," tutur Sundari dalam tangisnya. Suto Sinting jadi tertegun beberapa saat mengetahui hal itu.
"Jadi... selama ini kaulah yang memberi kabar tentang pemuda-pemuda yang aman diculiknya?"
"Ya. Karena itu syarat untuk menjadi muridnya."
"Kau salah, Sundari. Kau tidak boleh membantu pihak yang sesat seperti Nyai Sedah itu."
"Tapi aku ingin memiliki ilmu seperti yang
dimilikinya!"
"Ada jalan lain, tanpa harus membantunya melakukan kejahatan."
Sundari kian menangis di sela malam bercahaya
rembulan. Suto mencoba memahami jalan pikiran lugu gadis desa itu. Akhirnya ia bertanya,
"Lalu mengapa kau tadi mau dibunuhnya?"
"Sejak kemarin ia mencarimu, tapi aku tak mau kasih
tahu di mana dirimu! Aku takut kau dijadikan korban seperti pemuda lainnya. Lalu, malam ini ia mendesakku lagi, tapi tidak percaya kalau kukatakan bahwa kau ke puncak. Rupanya dia bermaksud serahkan dirimu kepada suaminya, yang juga sebagai gurunya, ia merelakan diperistri oleh suaminya itu hanya untuk dapatkan ilmu- ilmu sakti seperti yang dimilikinya sekarang ini. Tapi menurutnya, ia tak pernah mendapatkan kepuasan cinta dengan suaminya, sehingga ia perlu mencari pemuda yang masih perjaka untuk diajaknya bercinta di tempat khusus di tengah hutan sebelah utara sana."
Suto Sinting manggut-manggut. Lalu setelah diam beberapa saat ia pun ajukan tanya, "Siapa suaminya itu?" "Seorang tokoh sakti berilmu tinggi. Namanya
Dampu Sabang."
Suto berkerut dahi. "Dambu Sabang?" ia menggumam penuh tanda tanya. Lalu pikirannya segera melayang pada peristiwa beberapa waktu yang lalu. Ia ingat, Dambu Sabang adalah guru dari Wiratmoko, si Iblis Naga Pamungkas, yang telah dikalahkan olehnya dan dibuang ke Sumur Tembus Jagat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Naga Pamungkas").
"Apakah kau tahu kenapa dia ingin serahkan diriku kepada Dampu Sabang?"
"Baru tadi kuketahui, katanya kau telah membunuh
murid tunggalnya yang bernama Iblis Naga Pamungkas." "Ya, memang aku yang menghabisi Wiratmoko alias
si Iblis Naga Pamungkas," kata Suto Sinting dengan suara pelan. "Tapi hal itu kulakukan demi kedamaian di
antara sesama. Hanya saja... bagaimana dia bisa mengenaliku sebagai Suto Sinting?"
"Kemarin malam aku menceritakan siapa dirimu dan
apa tujuanmu. Maafkan aku, Suto. Semua kulakukan karena aku ingin memiliki ilmunya," Sundari mengisak penuh sesal. "Aku tak menyangka kalau dia juga mengincarmu, lebih tak menyangka lagi setelah tadi dia bilang mau menangkapmu dan menyerahkannya kepada Dampu Sabang."
"Apakah kau tahu di mana Dampu Sabang berada saat ini?"
Sundari menggeleng. Tangisnya ditahan sesaat, lalu
ia berkata, "Tadi sore kutemui Nyai Sedah di hutan sebelah utara. Dia sempat bilang padaku, bahwa Dampu Sabang pergi ke suatu tempat untuk lakukan pertarungan dengan Bandar Hantu Malam. Dia merasa makin punya banyak waktu jika suaminya sibuk mengejar musuh- musuhnya."
"Pertarungan?!" gumam Suto bagaikan bicara sendiri. "Apakah malam ini Bandar Hantu Malam sedang berhadapan dengan Dampu Sabang? Di mana mereka mengadakan pertarungan itu? Aku ingin menyusulnya!"
*
* *

8
URUSAN Suto bukan dengan Dampu Sabang, melainkan dengan Bandar Hantu Malam. Karena itu,
yang dicari dalam pertarungan dua tokoh itu adalah Bandar Hantu Malam. Apakah Bandar Hantu Malam tumbang di tangan Dampu Sabang, atau unggul dalam pertarungan ini? Jika Ki Randu Papak ternyata unggul melawan Dampu Sabang, berarti Suto yang akan menumbangkannya. Tapi jika Ki Randu Papak atau Bandar Hantu Malam itu sudah roboh di tangan Dampu Sabang, berarti Suto tidak perlu repot-repot lagi kerahkan tenaga untuk melawan tokoh sakti itu.
Tentang dendam Dampu Sabang yang ingin membalas kematian muridnya, Suto sudah siap pertahankan diri dengan sebaris alasan. Jika ternyata alasan itu tidak bisa diterima oleh Dampu Sabang, maka Suto pun siap dengan pertarungan demi membela kebenaran dan kedamaian di antara sesama. Bagi Pendekar Mabuk, melawan Bandar Hantu Malam atau Dampu Sabang sama saja. Tak ada yang ditakuti, tak ada yang dianggap ringan, tapi tak ada pula yang harus dikasihani. Kedua tokoh sakti itu sama-sama kejam, ganas, dan jahat. Kejahatan itulah yang harus ditumbangkan Suto dengan cara apa pun.
Tetapi ternyata cukup sulit mencari tempat pertarungan bagi dua tokoh sakti itu. Sepanjang malam hingga pagi Suto mencari, tapi tempat pertarungan mereka tidak ditemukan. Untung Pendekar Mabuk tidak membawa Sundari, walaupun gadis itu sangat ingin menyertai Suto, tapi oleh Suto diantar pulang ke rumah Ki Rosowelas. Seandainya ia membawa Sundari, maka gadis itu akan mengeluh dan justru merepotkan Suto.
Sebab pencarian itu tidak hanya sampai pagi saja, melainkan dilanjutkan hingga menuju siang hari. Rasa kantuk dan lelah bisa diatasi Suto dengan menenggak tuak agak banyak.
Mendekati pertengahan siang, Suto mendengar suara ledakan menggelegar di sebelah barat. Ledakan itu juga membuat tanah tempat Suto berpijak menjadi berguncang bagai dilanda gempa kecil. Asap hitam membubung naik dari sebuah bukit yang ada di barat. Asap itu menggumpal dalam bentuk kelompok tersendiri dan memercikkan bunga api beberapa kali.
"Dua pukulan tenaga dalam dahsyat telah beradu di sana. Pasti di bukit itulah Dampu Sabang bertarung melawan Bandar Hantu Malam. Aku harus segera menuju bukit itu dan melihat keadaan mereka secara sembunyi-sembunyi dulu."
Bukit itu tidak terlalu tinggi. Tanamannya tidak begitu rimbun. Bagian puncak bukit termasuk datar dan mempunyai tempat yang enak untuk sebuah pertarungan. Rimbunan semaknya tumbuh secara berkelompok- kelompok. Dan di salah satu rimbunan semak berdaun lebar itulah Suto bersembunyi mengintai sebuah pertarungan.
Ternyata pertarungan itu adalah pertarungan yang tidak disangka-sangka oleh Suto Sinting. Bukan pertarungan Bandar Hantu Malam melawan Dampu Sabang, melainkan pertarungan antara Sumbaruni dengan orang berkerudung kain hitam dan membawa senjata tombak El Maut yang ujungnya mirip sabit.
Orang itu adalah tokoh sesat yang diburu-buru oleh Pendekar Mabuk selama ini. Dia tak lain adalah Siluman Tujuh Nyawa, yang mempunyai wajah pucat dan dingin.
Tentu saja Pendekar Mabuk terkejut sekali melihat tokoh sesat itu muncul di bukit tersebut dan lakukan pertarungan dengan Sumbaruni. Apa persoalan mereka, Suto tidak tahu secara pasti. Tetapi sebagai orang yang sudah beberapa kali bertarung melawan Siluman Tujuh Nyawa, Suto dapat mengukur ketinggian ilmu si wajah pucat itu yang melebihi ketinggian ilmu Sumbaruni atau Pelangi Sutera. Tentu saja hati Suto Sinting mencemaskan keselamatan Sumbaruni, sehingga ia perlu segera ikut campur membela Sumbaruni.
Pada saat Sumbaruni terjatuh karena pukulan sinar merahnya Siluman Tujuh Nyawa, orang berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki itu segera melompat dan mengibaskan tombak El Mautnya untuk memancung leher Sumbaruni. Namun Suto Sinting segera lepaskan pukulan 'Pecah Raga' berupa sinar hijau yang melesat dari telapak tangannya.
Claap...!
Sinar hijau itu diarahkan ke tubuh Siluman Tujuh Nyawa, tapi karena gerakan orang tersebut melesat dengan cepat, akibatnya sinar itu justru menghantam tombak yang hendak ditebaskan memancung leher Sumbaruni. Trang!
Weeesss...!
Tombak itu tidak pecah, melainkan tersentak kuat- kuat ke arah samping kiri dari pemegangnya. Sentakan
yang amat kuat itu membuat tubuh Siluman Tujuh Nyawa terbawa terbang dan terpelanting enam langkah jauhnya dari tempat semula. Siluman Tujuh Nyawa merasa diterjang badai yang amat kuat, sehingga ia tidak mampu pertahankan keadaannya.
Sumbaruni yang segera bangkit dalam keadaan mulut melelehkan darah secepatnya memandang ke arah datangnya sinar hijau. Tentunya ia ingin tahu siapa orang yang telah selamatkan jiwanya dalam keadaan kritis tadi. Dan pada saat itulah Pendekar Mabuk melenting di udara, bersalto dua kali, lalu mendarat tepat di samping Sumbaruni, menghadap ke arah Siluman Tujuh Nyawa. Jleeg...!
Suto...!" desah Sumbaruni bernada lega. "Untung kau datang tepat pada waktunya!"
"Apa persoalanmu dengan setan itu?"
"Logo disembunyikan olehnya, aku harus merampas anakku itu agar tidak dijadikan budak sesatnya!"
"Hmmm...!" Suto Sinting hanya menggumam, tapi matanya masih memandang ke arah Siluman Tujuh Nyawa yang menggeram penuh luapan amarah. Orang itu telah bangkit dan menatap Suto. Namun wajahnya tetap dingin dan tidak berperasaan. Matanya sedikit menyipit menandakan dadanya kian kuat menjerat jiwa.
"Kita bertemu lagi, Durmala Sanca!" kata Suto Sinting tampak bangga dan senang. Tapi dalam hatinya berkata, "Sayang aku belum bertemu Resi Wulung Gading, sehingga tak sempat membawa Pedang Kayu Petir. Tapi akan kucoba lagi melumpuhkannya dengan
kekuatan yang ada padaku!"
"Kali ini kau akan binasa di tanganku, Pendekar
Mabuk!" ucap Siluman Tujuh Nyawa dengan datar.
"Kita buktikan siapa yang unggul saat ini juga! Jangan sampai kau lari dari pertarungan ini, Durmala Sanca!" sambil Suto melangkah ke samping kiri dan Siluman Tujuh Nyawa melangkah ke samping kanan. Sumbaruni segera tarik diri, mundur ke bawah pohon, karena ia merasa yakin bahwa Suto mampu menangani tokoh sesat berilmu tinggi itu.
"Aku harus mencari kesempatan untuk menghantamnya dari belakang," pikir Sumbaruni. "Memang curang, tapi tak ada salahnya berbuat curang kepada orang sesat yang termasuk raja curang itu. Akan kupukul dia dengan jurus 'Anak Rembulan' agar ia lumpuh tak punya tenaga lagi!"
Durmala Sanca segera sabetkan tombak El Mautnya dari kanan ke kiri, jaraknya dengan Suto sekitar tujuh langkah. Wuuung...! Dari sabetan itu melesat sinar bergelombang bagai spiral yang berwarna merah terang dan semakin mendekati lawan semakin lebar bentuk lingkarannya.
Pendekar Mabuk tidak menghindari serangan itu, melainkan mengadu dengan jurus 'Tapak Guntur', yaitu sinar biru yang keluar dari telapak tangan kiri yang disentakkan ke depan. Suuuut...! Duaarrr...!
Perpaduan dua sinar tersebut hasilkan satu ledakan yang mengguncang bumi dengan hebat. Tiga pohon segera tumbang, satu di antaranya nyaris menjatuhi
tubuh Sumbaruni. Tanah di sekitar tempat itu menjadi retak-retak di beberapa bagian. Kulit-kulit pohon terkelupas bagai dilanda angin lahar dari magma gunung berapi.
Sentakan daya ledak itu sangat besar. Tak heran jika Suto Sinting sendiri terlempar jatuh ke belakang dalam jarak empat langkah dari tempat semula. Sedangkan Siluman Tujuh Nyawa terhempas ke belakang bagaikan terbang. Tubuhnya membentur sebuah dahan pohon seukuran paha manusia dewasa. Duhg! Kraak! Dahan itu patah seketika karena ditabrak punggung Siluman Tujuh Nyawa. Tentunya itu sebuah tanda bahwa tubuh Siluman Tujuh Nyawa mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar, sehingga apa pun yang disentuhnya dapat hancur atau petah. Tubuh itu setelah membentur dahan segera turun dengan keseimbangan yang terjaga. Kakinya menapak di tanah dengan tegap dan sigap. Jleeg...!
Melihat Suto Sinting belum bangkit dari jatuhnya, Siluman Tujuh Nyawa segera lepaskan pukulan mautnya yang keluar dari lima jari kiri berkuku runcing itu. Slaaap...! Lima larik sinar hijau seukuran bambu seruling itu meluncur dengan cepat ke arah dada Suto Sinting.
Suto baru saja ingin menangkisnya dengan jurus lain, tapi tiba-tiba dari arah belakangnya muncul sinar merah berbentuk lingkaran besar. Wuuut...! Sinar berbentuk lingkaran besar itu menghadang sinar hijau lima larik, dan ketika sinar itu masuk ke dalam lingkaran, maka sinar mereka segera mengecil dengan cepat, bagaikan
menjerat kuat, tapi gerakan sinar masih tetap maju. Mendorong lima larik sinar yang kini telah menjadi satu ujungnya itu. Dan sinar tersebut membalik arah menghantam pemiliknya.
Blaaar...!
Sinar hijau itu pecah menjadi lebar, lalu padam seketika. Tubuh Siluman Tujuh Nyawa terpelanting dalam keadaan mengepulkan asap. Kerudung kain hitamnya hangus sebagian. Mulutnya keluarkan darah kental. Matanya menjadi merah bagai digenangi cairan darah. Tongkat El Mautnya menjadi putih bagaikan dilapisi busa-busa salju.
"Keparat!" gumamnya lirih, lalu ia sentakkan kaki dan lari tinggalkan tempat itu secepatnya. Suto Sinting pun bergegas mengejar, tetapi Sumbaruni segera berseru, "Biar kubereskan dia!" dan perempuan cantik itu segera melesat dengan cepat mengejar Siluman Tujuh Nyawa. Sedangkan Suto segera berpaling ke belakang untuk melihat siapa orang yang telah selamatkan
jiwanya dari serangan lima larik sinar hijau tadi.
"Oh, kau...?!" Suto Sinting terkejut bukan kepalang. Ternyata orang yang melepaskan sinar merah berbentuk lingkaran tadi adalah Bandar Hantu Malam, alias Ki Randu Papak.
"Kau terlambat sedikit, Suto! Sinar hijau itu harus dibarengi dengan pukulan penangkis. Sedikit lambat tak akan mampu ditembus oleh pukulan penangkis apa pun. Itu yang dinamakan jurus 'Lima Dewa Kilat'. Hanya dia yang memiliki jurus berbahaya itu," kata Bandar Hantu
Malam dengan sikapnya yang tenang, penuh wibawa, dan kharisma.
Pendekar Mabuk menenangkan diri, hatinya yang
resah dan jiwanya yang guncang akibat kebimbangan dalam benak membuat Suto terpaksa menenggak tuaknya beberapa saat. Sambil menenggak tuak ia membatin,
"Lagi-lagi aku dibuat bimbang oleh sikap dan penampilannya yang tenang dan menyerupai seorang berjiwa bijak. Lagi-lagi aku tak tega untuk lakukan serangan terhadapnya. Ah, kenapa begini? Ia tampil tanpa permusuhan, bahkan termasuk telah selamatkan jiwaku. Lalu apa yang harus kulakukan jika begini?"
Bandar Hantu Malam masih melangkah ke arah larinya Siluman Tujuh Nyawa, tapi segera berhenti dalam jarak lima langkah dari tempat Suto berdiri. Dengan memandang ke arah kepergian Siluman Tujuh Nyawa, Ki Randu Papak yang melipat kedua tangan di dada itu perdengarkan suaranya, seakan bicara pada dirinya sendiri.
"Jika Sumbaruni berhasil kejar Durmala Sanca, pasti dia dapat kalahkan tokoh sesat itu. Tapi Jika Durmala Sanca berhasil lolos, lalu mereka bertemu kembali, maka Sumbaruni akan hancur di tangan Durmala Sanca. Sebab jika Siluman Tujuh Nyawa diserang dalam keadaan sedang terluka seperti tadi, kekuatannya tak akan bisa menandingi kekuatan Sumbaruni."
Suto segera ajukan tanya, "Apakah kau juga tahu tentang Sumbaruni?"
"Pernah mendengar namanya, pernah melihat jurus- jurusnya. Tapi jauh dari semua itu...," Bandar Hantu Msiam balikkan badan dengan kalem, menatap Pendekar Mabuk tanpa senyum, tapi tanpa keangkuhan sedikit pun.
"... pada umumnya para tokoh seusiaku mengetahui bahwa Sumbaruni adalah pelayan seorang petapa sakti yang mendapat titisan ilmu dan akhirnya kawin dengan jin yang bernama Jin Kazmat. Dari perkawinan itu lahirlah anak jin yang bernama Logo."
Mata si pendekar tampan terkesiap walau hatinya membenarkan keterangan tersebut. Cara bicara yang kalem membuat Suto Sinting kembali ragu-ragu untuk melontarkan tuduhan kepada Bandar Hantu Malam. Bahkan untuk lakukan serangan mendadak pun terasa sulit, seakan bertentangan dengan hati kecilnya. Padahal sebelum bertemu Bandar Hantu Malam, semangatnya menggebu-gebu untuk lakukan penyerangan terhadap tokoh tua itu.
"Kurasa dia mempunyai ilmu penjinak kemarahan orang," pikir Suto dalam kebungkaman mulutnya. "Siapa pun akan menjadi segan bila berhadapan dengannya. Amarah siapa pun akan menjadi reda jika sudah bertatap muka dengannya. Begitulah keadaanku sekarang ini. Tapi... tapi mengapa Nyai Pancungsari tidak mempunyai keraguan saat ingin menghabisi nyawanya? Apakah ilmu penjinak kemarahan orang tidak berlaku bagi Nyai Pancungsari? Ah, membingungkan sekali keadaan ini. Dia pintar sekali berpura-pura menjadi tokoh yang
tenang dan disegani. Rasa hormatku kepadanya masih saja ada, padahal aku sudah melihat sendiri keganasannya dalam membantai murid-murid Resi Wulung Gading?!"
Bandar Hantu Malam dekati Suto, berdiri dalam jarak satu tombak, ia segera ajukan tanya, "Mengapa kau tak meminjam Pedang Kayu Petir kepada Resi Wulung Gading? Bukankah sudah kukatakan padamu, jika iIngin kalahkan Siluman Tujuh Nyawa, kau harus gunakan Pedang Kayu Petir?"
Kesempatan itu digunakan oleh Suto untuk lontarkan kekecewaannya terhadap keadaan yang ditemui di padepokan Resi Wulung Gading.
"Kau menipuku, Ki Randu Papak." Suto bicara agak datar, menimbulkan perasaan aneh dalam hati kakek berjubah putih itu, sehingga dahi sang kakek pun tampak berkerut dalam memandangi Suto.
"Apakah menurutmu aku punya niat jahat padamu?" "Bisa saja begitu!" jawab Suto bernada ketus. "Yang
jelas aku kecewa mengikuti saranmu untuk pergi ke
Lembah Sunyi menemui Resi Wulung Gading."
"Apa yang membuatmu kecewa, Nak?" sambil Ki Randu Papak dekati Suto yang menjauh tiga langkah. Suto sengaja bicara tanpa memandang kakek itu.
"Apakah kau harus berpura-pura bijak selamanya, Ki
Randu Papak?"
Kerutan dahi Bandar Hantu Malam tampak kian tajam. "Aku semakin tak mengerti maksudmu."
Suto menatap dengan berani, "Padepokan di Lembah
Sunyi telah hancur. Dua hari sebelum aku sampai di sana, seseorang telah datang dan membantai semua murid Resi Wulung Gading."
Perubahan wajah yang ada pada Ki Randu Papak tampak jelas sebagai ungkapan rasa kaget, namun juga rasa tidak percaya. Suto Sinting sengaja diam untuk menunggu kata-kata dari sang kakek itu.
"Apa maksudmu dengan mengatakan aku menipumu, Pendekar Mabuk? Kata-katamu menyimpang dari watak kependekaranmu yang harus bicara jujur."
"Aku bicara yang sebenarnya, Ki Randu Papak. Kau boleh buktikan sendiri ke Lembah Sunyi. Hanya ada dua murid yang selamat dari pembantaian sadis itu, karena mereka sedang diutus ke pesisir selatan."
"Sepertinya kau bicara mengigau. Tapi baiklah, kucoba untuk mempercayai kata-katamu. Lalu, bagaimana dengan Resi Wulung Gading sendiri? Apakah dia ikut menjadi korban?"
Suto menggeleng berkesan dingin, "Resi Wulung Gading bertapa di Gua Getah Tumbal. Mungkin sampai sekarang belum mengetahuinya."
"Kalau begitu aku harus ke Gua Getah Tumbal untuk memberitahukan hal itu kepada Resi Wulung Gading!" tegas Ki Randu Papak.
Tiba-tiba terbersit kecemasan dalam hati Suto. Ia pun membatin, "Celaka! Aku telah sebutkan tempat itu. Pasti Ki Randu Papak mau ke sana bukan untuk kabarkan musibah tersebut, tapi untuk membunuh Resi Wulung Gading yang kala itu tak ditemui di padepokan.
Tentunya kata-kataku tadi merupakan berita bagus baginya. Oh, aku harus mencegahnya agar tidak pergi ke Gua Getah Tumbal!"
Maka ketika Bandar Hantu Malam hendak bergerak pergi, Suto Sinting segera melompat dan menghadang di depannya. Sikap itu sangat mengherankan bagi Bandar Hantu Malam, ia memandang penuh perasaan ingin tahu.
"Mengapa kau menghadangku?"
"Tak kuizinkan siapa pun pergi ke Gua Getah
Tumbal!"
"Kau pikir aku akan berbuat jahat kepada Resi
Wulung Gading?"
"Ya Pasti kau akan membunuhnya, Ki Randu Papak." Mata tua itu terbelalak kaget mendengar ucapan Suto.
Ia mendekati Pendekar Mabuk dengan pandangan mata tajam bagaikan menembus ke hati Suto.
"Tega-teganya kau mencurigaiku begitu, Pendekar
Mabuk?! Apa alasanmu menduga begitu padaku?" "Karena menurut saksi dalam pembantaian di
padepokan itu, orang yang datang malam hari dan menjagal semua murid Resi Wulung Gading itu bernama Bandar Hantu Malam!" jawab Suto tegas dan jelas.
Ki Randu Papak kian tampakkan rasa kagetnya. Dengan suara menggeram pertanda menahan kemarahan, Ki Randu Papak berucap kata,
"Itu fitnah! Tak benar!"
"Itu benar, Ki. Karena Ratu Asmaradani pun mengutusku membunuhmu sebab kau ingin mengawininya, dan menggunakan ilmu 'Racun Siluman'
untuk memperdaya sang Ratu agar mau menjadi istrimu!"
Gemetaran sekujur tubuh Ki Randu Papak. Hawa
panas mulai naik ke dada dan bermukim di kepala. Wajah tuanya tampak merah pertanda menahan murka. Tapi Suto Sinting hanya memperhatikan dengan tenang, penuh keisengan, ia melihat gigi tokoh tua itu menggeletuk, bola matanya mengecil bagaikan menyimpan dendam atau kemarahan yang tak jelas arahnya.
"Fitnaaah...!" geramnya dengan napas mulai memberat. Jari-jari tangannya tampak bergetar. Jari-jari tangan itu akhirnya disentakkan ke samping dan melesatlah sinar biru pecah, menyebar ke seluruh penjuru. Praaass...!
Suto kaget dan melompat mundur, pasang kuda-kuda. Tapi kuda-kudanya segera mengendur ketika melihat enam pohon yang terkena percikan sinar biru itu lenyap tinggal debunya yang menggunduk di tanah. Suto Sinting tertegun takjub untuk beberapa saat. Bandar Hantu Malam hembuskan napas panjang, tundukkan kepala, kedua tangan menggenggam kuat-kuat, menahan luapan murka yang hampir-hampir tak bisa dikendalikan. Suto diam beberapa saat, memberi kesempatan kepada tokoh tua itu untuk menenangkan diri.
Setelah merasa cukup tenang, Bandar Hantu Malam segera angkat kepala pelan-pelan dan pandangi Suto dalam keadaan menoleh ke samping.
"Aku tidak sejahat itu," katanya dengan suara gemetar. "Aku bukan orang sesat seperti dulu, Suto!"
"Dua peristiwa kulihat sendiri, Ki Randu Papak. Dua
orang menjadi saksi keganasanmu. Ratu Asmaradani hilang tubuh bagian perut ke bawah karena terkena Ilmu
'Racun Siluman'-mu, Ki Randu Papak."
"Aku tidak kenal dengan Asmaradani! Bawa aku ke sana dan kubuktikan padamu apakah orang aku yang menyerangnya!" sentak Bandar Hantu Malam dengan nada jengkel dan gemas sekali. Suto jadi berkerut dahi, mulai bimbang lagi. Tapi Ki Randu Papak memandang
bagai menuntut pembuktian.
*
* *

9
SEBERKAS sinar merah terang melesat ke langit, lalu melatup di angkasa. Letupannya memercikkan bunga api berasap tebal. Ki Randu Papak segera pandangi sinar merah itu, demikian pula Suto Sinting. Pada saat Suto mendongak ke atas, Ki Randu Papak tahu-tahu telah lenyap dari tempatnya, ia bergerak luar biasa cepatnya sehingga seperti menghilang gaib. Suto Sinting kaget dan menjadi tegang karena merasa kehilangan buruannya.
Tapi pendengar batinnya masih mampu melacak suara detak jantung yang kian menjauh. Suto Sinting segera melesat bagaikan anak panah lepas dari busurnya,
ia berlari mengejar suara detak jantung milik Bandar Hantu Malam. Sambil berlari hatinya menggeram penuh gerutu,
"Ke mana pun kau pergi akan kukejar, Bandar Hantu Malam. Tak akan kubiarkan kau lolos begitu saja! Kau harus pertanggungjawabkan perbuatanmu di depanku. Setinggi apa pun ilmumu aku harus tetap melawanmu, Bandar Hantu Malam!"
Rupanya Ki Randu Papak berlari menuju arah datangnya sinar merah yang meletup di angkasa tadi. Tetapi gerakannya mampu dipatahkan oleh Suto Sinting yang tahu-tahu menghadang langkahnya. Jleeg...!
"Mau lari ke mana kau, Bandar Hantu Malam?!" tegur Suto tak ramah lagi.
"Suto, minggirlah dulu. Aku punya urusan dengan seseorang! Setelah kuselesaikan urusanku ini, kita bicara lagi mencari kebenaran fitnah itu!"
"Tak kubiarkan kau lari tinggalkan tanggung jawabmu. Bandar Hantu Malam!"
"Jangan paksa aku melukaimu, Suto!"
"Tidak. Aku hanya ingin paksa dirimu mengobati
Ratu Asmaradani yang terkena 'Racun Siluman' itu!"
"Itu bukan tanggung jawabku, Suto! Aku tidak melakukannya!" sentak Ki Randu Papak. "Tapi kalau kau ingin aku membantumu, aku sanggup membantumu. Tapi nanti, setelah kuselesaikan urusanku dengan Dampu Sabang!"
"Sekarang juga kau harus lakukan penyembuhan terhadap Ratu Asmaradani!"
"Tidak bisa! Aku sudah punya janji untuk lakukan pertarungan terakhir dengan adik seperguruanku: Dampu Sabang!"
"Aku akan memaksamu, Ki Randu Papak!"
"Bocah nekat!" geramnya dengan gusar. Tapi ia tidak lakukan penyerangan. Ia justru melesat ke arah lain untuk larikan diri.
Suto Sinting segera lepaskan pukulan 'Jari Guntur' nya dengan sentilan tangan ke arah tubuh Ki Randu Papak. Teess...! Sentilan tangan yang mengeluarkan tenaga dalam besar itu menghantam punggung Ki Randu Papak. Deeb...!
"Ahg...!" orang itu tersentak, tubuhnya segera tumbang ke tanah, namun ia segera berdiri lagi dan hendak lanjutkan pelariannya. Ia tidak memberikan serangan balasan, membuat Suto semakin penasaran dan beranggapan bahwa Bandar Hantu Malam sengaja ingin menghindari tuntutannya.
Suto Sinting akhirnya melompat dan bersalto di udara satu kali, lalu tiba di punggung Bandar Hantu Malam dengan sebuah tendangan kuat bertenaga dalam cukup tinggi. Duuhg...!
"Aaahg...!" kakek tua itu terlempar jauh dan terguling-guling di tanah.
Suto Sinting cepat-cepat menyergapnya, seakan tidak
berikan kesempatan kepada Bandar Hantu Malam untuk lakukan serangan balik. Tetapi ketika Suto menerjang mendekati tokoh tua yang baru saja bangkit dari jatuhnya, tiba-tiba tubuhnya terpental ke belakang
manakala kalung merah yang dikenakan Bandar Hantu
Malam itu menyala kuning seperti emas.
Gusraak...!
"Edan! Dia punya lapisan tenaga dalam yang sangat besar membentengi dirinya. Apakah dia tidak ingin diserang lagi. Tapi kenapa ia tidak mau menyerangku?" pikir Pendekar Mabuk sambil berusaha bangkit dari jatuhnya.
Ketika ia berdiri, ternyata Bandar Hantu Malam sudah tidak ada di tempat. Suto Sinting sempat kehilangan jejak. Tapi ia ingat arah datangnya sinar merah yang tadi melesat ke langit itu. Pasti Bandar Hantu Malam pergi ke arah sana. Sinar merah itu sepertinya sebuah tanda bahwa Bandar Hantu Malam ditunggu lawannya di sana.
Dugaan Suto tidak salah. Bandar Hantu Malam ada di kaki bukit ia sedang berhadapan dengan seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun, berambut abu-abu, wajahnya nyaris tertutup brewok lebat warna abu-abu juga. Orang itu kenakan pakaian hitam dirangkap dengan baju jubah lengan panjang warna hijau tua. Tubuhnya agak gemuk, mengenakan gelang akar bahar hitam di tangan kirinya. Matanya lebar dan tajam memandang, berkesan bengis.
Suto Sinting bersembunyi di balik dua pohon yang tumbuh merapat. Dari sana ia bukan saja bisa melihat pertarungan itu melainkan juga bisa mendengar percakapan kedua tokoh tua tersebut.
"Sejak semalam kucari kau di Bukit Cadas, tapi
ternyata kau tak hadir di sana, Dampu Sabang!" kata
Bandar Hantu Malam.
Suto menggumam dalam hati, "Ooo... dia yang bernama Dampu Sabang?!"
Terdengar suara Dampu Sabang terkekeh dalam tawa besarnya, ia berkata dengan nada angkuh.
"Maaf, aku harus temui kekasihku yang baru, yang
tak bisa kutinggalkan walau sekejap saja. Sekaranglah saatnya kita bertemu dan tentukan nasib kita, Bandar Hantu Malam!"
"Sebenarnya aku enggan melakukannya, Dampu Sabang. Tapi demi wasiat dari guru kita, Cambuk Getar Bumi harus tetap di tanganku. Karena akulah yang diwarisi pusaka itu!"
"Aku tetap ingin memiiiki pusaka Cambuk Getar Bumi. Kita sama-sama murid Ki Warok Guci Wangsit, kita mempunyai ilmu yang sama, tapi belum tentu kita mempunyai kelicikan sama pula, Bandar Hantu Malam! Jalanmu sudah membelok dari arah yang semestinya. Mendiang Guru akan kecewa melihat kau menjadi orang sok suci dan berlagak menjadi pahlawan kebenaran. Kurasa pusaka Cambuk Getar Bumi tidak pantas lagi ada di tanganmu."
"Apakah kita harus saling bunuh untuk perebutkan pusaka itu, Dampu Sabang?"
"Kurasa itulah jalan yang terbaik bagi kita, Bandar Hantu Malam! Bersiaplah menerima seranganku, Tua Bangka! Heaaah...!"
Dampu Sabang menggerakkan tangannya ke atas,
mengembang lebar bagai sayap burung garuda, kakinya yang kiri terangkat lurus hingga lututnya hampir dekati bagian dada. Lalu dengan cepat kaki kanan mengayun naik dan tubuhnya pun melayang cepat ke arah Bandar Hantu Malam. Sementara orang yang diserangnya pun menggunakan jurus seperti burung bangau, yang melesat menuju sasaran dengan cepat Wuuut...!
Di udara mereka beradu kecepatan pukulan tangan. Dahk, dahk, dahk...! Dan setiap benturan tangan dengan tangan menimbulkan percikan bunga api berwarna merah kebiru-biruan. Kecepatan itu sempat membuat Bandar Hantu Malam kecolongan jurus, sehingga dada di bawah pundak kirinya berhasil dihantam dengan telapak tangan Dampu Sabang. Baaaahg...!
Wuuut..!
Bandar Hantu Malam jatuh terpental dan berguling- guling, sedangkan Dampu Sabang berhasil mendarat dengan kaki tegak dan kekar. Suto melihat Bandar Hantu Malam memuntahkan darah kental dari mulutnya. Bekas pukulan Dampu Sabang tampak hitam dan berasap. Kain jubah bolong, kulit dada terlihat melepuh warna hitam kebiru-biruan.
"Saatnya kau menuju ke neraka menyusul guru kita, Randu Papak! Heaaat...!"
Dampu Sabang lepaskan pukulan dari telapak
tangannya yang bersinar biru melingkar-lingkar. Pada saat itu Bandar Hantu Malam segera bangkit dan kalungnya menyala kuning emas. Suto tahu jika kalung menyala kuning emas menyilaukan itu berarti Bandar
Hantu Malam melapisi tubuhnya dengan perisai tenaga dalam yang tak bisa ditembus serangan lawan.
Tetapi di luar dugaan, ternyata sinar biru melingkar-
lingkar itu berhasil menembus lapisan perisai tenaga dalamnya. Praaak...! Terdengar seperti suara cermin pecah. Lalu sinar biru itu menghantam tubuh Bandar Hantu Malam. Zruub! Tepat mengenai iga kanan Bandar Hantu Malam.
"Aaahhhg...!" Bandar Hantu Malam mengejang dengan kepala terdongak dan kedua kakinya menekuk ke depan. Sekujur tubuhnya berasap, warna kulitnya menjadi merah retak-retak.
Suto Sinting terbelalak melihat keadaan Bandar Hantu Malam. Lukanya sangat parah, tapi agaknya ia bertahan untuk tetap lakukan serangan ke arah Dampu Sabang. Tapi serangannya sangat lunak dan mudah dihindari Dampu Sabang yang tertawa terbahak-bahak kegirangan.
Suto dalam kebimbangan. Mau menolong, tapi yang ditolong adalah yang menjadi musuhnya dan ingin dibinasakan jika tak mau tawarkan racun yang mengenal Ratu Asmaradani. Jika ia tidak menolong, ia tak tega melihat orang yang pernah dikagumi itu menderita siksaan begitu keji.
Dalam keadaan bimbang itu, tiba-tiba Suto Sinting dikejutkan oleh gerakan halus yang datang dari arah belakangnya. Suto cepat-cepat genggamkan tangan untuk lepaskan pukulan kepada orang yang datang dari belakangnya dengan mengendap-endap itu. Tetapi
pukulan itu segera dikendurkan, napas Pendekar Mabuk segera dihembuskan dengan lega begitu tahu siapa yang datang.
"Kelana Cinta...?i"
"Ssst...!" Kelana Cinta, perwira negeri Ringgit Kencana justru menempelkan telunjuk ke bibirnya yang ranum itu. Ia mendekati Suto, sedikit merapatkan badan agar terhalang dua pohon berjajar itu.
"Kenapa kau kemari?' bisik Suto.
"Ratu menyuruhku menjagamu dari kejauhan." "Kenapa justru mendekat?"
"Karena saatnya telah tiba."
Suto kembali memandang Bandar Hantu Malam sebentar yang semakin menderita itu. Lalu ia memandang Kelana Cinta dan berkata dalam nada bisik,
"Sejak kapan kau mengikutiku?"
"Sejak kau pergi dari Lembah Sunyi. Aku sempat melihat mereka terbantai. Kupikir semula ingin temui Resi Wulung Gading, sahabatku itu, tapi keadaannya tidak memungkinkan. Lalu kulihat kau tinggalkan tempat itu dan aku mengikutimu. Sekarang berbuatlah!"
"Apa yang harus kuperbuat?!" "Hadapi Bandar Hantu Malam itu!"
"Untuk apa? Dia sudah hampir mati karena serangan adik seperguruannya."
"Kasihan Pak Tua yang sekarat itu kalau kau tidak segera turun tangan."
"Kenapa kasihan? Bukankah dia adalah Bandar Hantu
Malam?!"
"Salah!" sentak Kelana Cinta dalam bisik. "Bandar
Hantu Malam adalah lelaki brewok itu!"
"Hahh...?!" Suto terkejut. "Apakah kau tak salah lihat?"
"Tidak. Aku melihat jelas ia bertingkah seenaknya di istana kami! Dia yang mengaku Bandar Hantu Malam dan melepaskan pukulan 'Racun Siluman' ke tubuh Ratu Asmaradani."
"Tapi... tapi yang bernama Bandar Hantu Malam adalah orang yang sedang sekarat itu!"
"Tapi yang datang ke istana adalah si brewok itu!" bantah Kelana Cinta.
Suto bimbang sejenak. Tapi kebimbangan itu segera temui kepastiannya setelah Dampu Sabang berkata penuh kemenangan kepada Bandar Hantu Malam.
"Randu Papak... akan kupercepat ajalmu tiba dengan satu jurus pelebur ragamu! Tapi sebelumnya perlu kau ketahui, seandainya kau hidup pun akan sia-sia, sebab nama Bandar Hantu Malam telah kugunakan untuk menyerang beberapa rekanmu, termasuk melukai ratu dasar laut dengan 'Racun Siluman'. Seandainya kau hidup, kau akan banyak musuh dan tak akan diakui sebagai orang aliran putih lagi! Mereka tak akan percaya padamu, Randu Papak. Ha, ha, ha, ha...!" Dampu Sabang tertawa lepas.
Suto Sinting menggeram. Tangannya mulai gemetar penuh hasrat menyerang Dampu Sabeng. Napasnya membuat tanah di bawahnya menjadi melesak ke dalam. Karena napas yang keluar pada saat ia sedang marah
adalah napas tuak satan yang dapat hadirkan badai dahsyat mengerikan.
"Sekarang terimalah ajalmu, Randu Papak!
Hiaaat....!"
Sinar merah sebesar telapak tangan dihantamkan ke arah tubuh Bandar Hantu Malam dalam jarak lima langkah. Tapi sebelum sinar itu melesat jauh dari telapak tangan Dampu Sabang, Suto Sinting lebih dulu lepaskan pukulan 'Pecah Raga' dari tangannya. Sinar hijau itu menghantam sinar merah dan terjadilah ledakan dahsyat yang mengguncangkan tanah sekitarnya.
Blegaaar...!
Burung-burung yang hinggap di pohon jauh dari tempat itu berlarian. Beberapa pohon besar tumbang tak karuan. Tanah sempat retak di beberapa tempat. Kelana Cinta terjungkal sendiri ke belakang karena hentakan daya ledak tadi. Sedangkan Suto Sinting hanya terdesak mundur satu tindak, tapi Dampu Sabang terpental jauh dan berguling-guling.
Dampu Sabang segera bangkit walau wajahnya menghitam legam, mulutnya berdarah dan brewoknya rontok dengan sendirinya. Dampu Sabang menjadi sangat murka dan berteriak keras-keras.
"Bangsat! Siapa yang mau ikut campur urusanku ini, hah?!"
"Aku!" jawab Suto sambil lompat dari persembunyiannya. "Aku, Suto Sinting yang kalahkan muridmu Wiratmoko dan telah bunuh istrimu yang sesat itu; Nyai Sedah!"
Mata Dampu Sabang merah dan menjadi liar, ia menggeram sambil melangkah maju dengan penuh nafsu membunuh.
"Bangsat busuk! Kuleburkan ragamu menjadi satu dengan tanah, murid Gila Tuak! Hiaaah...!"
Tapi Suto Sinting lebih dulu sentakkan tangannya ke depan. Telapak tangannya dalam keadaan miring. Maka, puluhan pisau kecil melesat dari telapak tangan itu. Claaap...! Zrruubb...! Pisau-pisau kecil itu menancap tepat di dada sampai perut Dampu Sabang.
"Ahg...!" Dampu Sabang tersentak dan diam seketika dengan tangan masih mau disentakkan. Lama sekali dia tak bergerak. Kelana Cinta dan Bandar Hantu Malam sempat merasa heran melihat Dampu Sabang bagaikan menjadi patung. Tetapi ketika angin berhembus kencang, mereka terkejut melihat tubuh Dampu Sabang berhamburan ke mana-mana. Rupanya pada saat itu Dampu Sabang sudah tak bernyawa lagi. Pisau-pisau kecil itu telah membuat Dampu Sabang berubah menjadi debu yang masih saling bergumpalan. Itulah kehebatan dan kedahsyatan jurus 'Manggala' milik Pendekar Mabuk, pemberian dari Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya itu.
Dengan terbunuhnya tubuh Dampu Sabang, maka persoalan Bandar Hantu Malam palsu pun terselesaikan. Ki Randu Papak segera ditolong olah Suto menggunakan tuak saktinya, dan Suto meminta maaf kepada tokoh tua yang bijak itu. Sedangkan Ratu Asmaradani tubuhnya menjadi pulih seperti sediakala, terbebas dari pengaruh
'Racun Siluman' yang juga dimiliki oleh Dampu Sabang. Hubungan Suto dengan Ratu Asmaradani semakin akrab, namun hanya sebatas sahabat saja. Tak ada yang berani jatuh cinta kepada Suto, sebab Suto sudah ada yang punya. Dialah Dyah Sariningrum, Gusti Mahkota
Sejati.

SELESAI
Ikuti kisah selanjutnya: CAMBUK GETAR BUMI