Pendekar Mabuk 24 - Malaikat Jubah Keramat(1)




 DARI balik kerimbunan hutan berpohon rapat, terdengar suara jeritan yang panjang dan memilukan. Siapa yang menjerit, itu tak jelas.
Yang pasti jeritan itu adalah jeritan kematian. Suaranya yang melengking menggema panjang itu bagaikan membangunkan setiap jasad yang sudah terkubur mati.

Sementara itu, hembusan angin cukup kencang dan menderu. Gumpalan awan hitam bergulung-gulung di langit, menyekap matahari, membuat alam terasa mati. Sesekali terdengar gelegar petir melecutkan lidahnya bagai ingin membelah langit.

Agaknya alam yang memberikan tanda-tanda bagai kiamat datang itu tak dihiraukan oleh tiga orang berusia sebaya itu. Satu di antaranya telah terkapar mati tanpa darah. Dua dari mereka masih melanjutkan pertarungannya dengan sengit.

Rupanya mereka bertarung di atas dataran berbatu rata. Dataran tersebut adalah lantai dari sebuah petilasan keraton yang telah hancur sekian puluh tahun yang lalu, bahkan mungkin sekian ratus tahun yang lalu. Sisa pilar- pilarnya masih tertinggal sebagian, namun tak ada yang utuh. Sisa dinding-dindingnya juga masih tertinggal sebagian, tak ada yang utuh sampai ke atap. Petilasan itu ibarat pohon tua yang sedang meranggas untuk menunggu tumbang.

Tak ada atap, tak ada pagar, tak ada pula ruangan. Reruntuhan itu hampir rata dengan tanahnya. Bongkahan batu bekas dinding dan pilar masih terlihat berserakan di sana-sini.

Salah satu dari dua orang yang bertarung di atas reruntuhan keraton itu tiba-tiba menghentikan serangannya. Orang itu memakai pakaian biru tua, berbadan sedikit gemuk, dan berkumis tebal, berusia sekitar lima puluh tahun. Matanya yang lebar memandang temannya yang telah tak bernyawa. Sebentar kemudian mata itu kembali menatap lawannya yang berbadan kurus, berwajah lonjong dengan dagu sedikit panjang. Orang yang berbaju biru tua itu berkata,

"Tega betul kau membunuh temanmu sendiri Tapak Getih!"

"Siapa pun yang menghalangi langkahku pasti kubunuh, Julung Boyo! Tak peduli dia teman sendiri, tak peduli orang lain. Tapak Getih pantang diganggu langkahnya!" kata orang kurus berwajah lonjong itu. Dia dikenal dengan nama Tapak Getih, karena setiap lawan yang terkena pukulan telapak tangannya, langsung mati tanpa memiliki darah setetes pun di dalam tubuhnya.

Tapak Getih yang mengenakan jubah merah dan pakaian dalam serba hitam itu berkata lagi kepada Julung Boyo.

"Sebab itu kuingatkan padamu, Julung Boyo.... Pergilah lekas dari hadapanku dan jangan memaksaku membunuhmu, seperti yang dialami oleh Cakar Macan itu!"

"Kau benar-benar manusia picik, Tapak Getih! Kau bujuk kami untuk menunjukkan tempat ini, sekarang kau mau bunuh kami di sini juga! Kau binatang dan aku binatang, tapi aku masih punya sisa jiwa manusia yang tak akan tega bertindak seperti dirimu, Tapak Getih!"

"Hem...!" Tapak Getih sunggingkan senyum tipis yang lebih berkesan sebagai hinaan. "Manusia-manusia bodoh itu adalah kau dan Cakar Macan, Julung Boyo! Sudah tahu aku berjiwa binatang yang keji, masih saja nekat mau menahan langkahku untuk mencari pintu masuk petilasan ini! Kalau aku menjadi kau, lebih baik aku pergi dan tak mau korbankan nyawa buat petilasan seperti ini!"

"Mulanya aku hanya ingin mencegahmu agar tidak diterkam maut yang ada di petilasan ini! Kau adalah sahabatku, dan juga sahabat si Cakar Macan. Sikap kami hanya semata-mata ingin melindungi seorang sahabat dari maut yang mengancam! Kami tahu, sudah dua orang hilang di sini dan tak pernah muncul lagi. Kami tak ingin kau menjadi seperti itu. Tapi rupanya mata hatimu buta, Tapak Getih! Dan sekarang sikapku bukan untuk melindungi kamu, tapi untuk membalas kematian si Cakar Macan!"

"Haii...! Saudara bukan, adik pun bukan, mengapa kau menjadi sebodoh itu, Julung Boyo! Hubungan kita bertiga hanya sebatas sahabat! Tak ada ikatan darah apa pun! Kenapa kau menuntut kematian si Cakar Macan?"

"Karena nyawaku pernah diselamatkan olehnya! Dua kali aku hampir mati terancam bahaya, dan Cakar Macan berhasil meloloskan aku dari maut itu! Wajar rasanya kalau aku pun punya rasa bela pati terhadap dia, Tapak Getihi"

"O, jadi kau ingin ikut-ikutan mati seperti Cakar Macan? Baiklah kalau kau memang ingin ikut-ikutan mati! Bersiaplah, aku akan mendekatkan arwahmu dengan arwah si Cakar Macan!"

Orang kurus berambut abu-abu panjang tak terikat kepala itu mulai mengangkat kedua tangannya. Kakinya pun bersikap untuk melakukan satu lompatan menyerang.

Julung Boyo mencabut goloknya. Srekk...! Sambil menggeram dan menggenggam kencang gagang goloknya, Julung Boyo ucapkan kata,

"Buatku kau sudah bukan lagi manusia utuh, melainkan iblis yang harus kubantai sekarang juga!"
"Mampukah kau membantai iblis, Orang Bodoh?! Hiaaah...!"
"Heeaaah....!"

Julung Boyo ternyata melompat lebih dulu, kemudian Tapak Getih pun melompat menyerang. Julung Boyo segera tebaskan goloknya membacok kepala Tapak Getih. Tapi golok itu tidak bisa mengenai sasaran karena Tapak Getih menangkisnya dengan telapak tangannya. Dess...! Golok tajam itu bagai memukul benda keras yang kenyal. Dan karena goloknya tertahan di atas, maka rusuk Julung Boyo terbuka dan saat itulah Tapak Getih menghantamkan tangan kanannya dengan cepat.

Wuttt... ! Blukk... !

"Aaahg...!" Julung Boyo memekik keras. Tubuhnya limbung dan jatuh ke tanah tak bisa menjaga keseimbangan lagi. Ia rubuh begitu saja bagaikan barang mati yang tak berguna lagi. Sedangkan Tapak Getih masih bisa kendalikan keseimbangannya, sehingga ia menapakkan kakinya tepat di atas sebongkah batu reruntuhan yang agak besar dan tinggi itu. Jlegg...!

Dari atas batu itu, ia melihat Julung Boyo menggelinjang beberapa saat dengan mulut ternganga- nganga dan mata terpejam kuat. Lalu tubuh itu kejang beberapa saat dalam keadaan terkapar, setelah itu lemas seluruh uratnya, dan Julung Boyo akhirnya menghembuskan napas terakhir dengan wajah pucat seputih kapas dan sekujur tubuhnya pun demikian. Julung Boyo mati tanpa ada darah setetes pun dalam jasadnya.

Tapak Getih menghempaskan napas lega. Ia melompat turun sambil membatin dalam hatinya,

"Tak ada lagi perintangku! Aku harus cepat mencari pintu masuk ke dalam reruntuhan ini! Pasti ada jalan menuju ruang bawah tanah! Harus cepat kucari sebelum hujan turun!"

Baru tiga langkah Tapak Getih tinggalkan tempat, tiba-tiba sebuah gerakan berkelebat dari arah kanannya. Wuttt...! Crapp...!

Sebatang tombak berujung garpu tiga mata menancap di sela-sela bebatuan yang menjadi lantai petilasan itu. Tombak tersebut datangnya dari arah atas pohon. Kalau Tapak Getih tidak cepat hentakkan kaki dan melompat mundur, ia akan dihujam tombak tersebut tanpa ampun lagi. Beruntung ia mempunyai gerakan bagus sehingga mampu menghindari maut yang hampir merenggut nyawa itu.

Cepat-cepat Tapak Getih melemparkan pandangannya ke arah pohon, tempat datangnya tombak tersebut. Dari atas pohon melayang sesosok tubuh berpakaian serba kuning. Rambutnya panjang diikat memakai tali warna coklat. Orang itu ternyata seorang pemuda yang mempunyai wajah lumayan ganteng. Usianya sekitar dua puluh delapan tahun,

"Marta Kumba...!" sapa Tapak Getih dengan suara ketus, lalu ia tersenyum sinis. Marta Kumba, pemuda yang mempunyai badan tegap itu, segera menghampiri Tapak Getih dengan senyum sinisnya pula.

"Kau mau membunuhku, Marta Kumba?!"

"Ya!" jawab Marta Kumba. "Tapi kau menghindar. Sayang sekali! Seharusnya kau jangan menghindar supaya kau mati!"

"Bocah goblok!" geram Tapak Getih.
"Memang goblok!" jawab Marta Kumba seenaknya.
"Untuk apa kau datang ke sini, hah?"

"Mengikuti pamanku, yang ternyata sudah kau bunuh itu!" Marta Kumba memandang Julung Boyo, pamannya.

"Kau mau ikut-ikutan mati seperti pamanmu?"
"Tidak! Aku mau mencari jubah keramat itu!"
"Cuih...!" Tapak Getih jengkel dan meludah.
"Cuih...!" Marta Kumba ikut meludah tanpa mengerti maknanya.
"Urungkan niatmu! Kau masih muda, Marta! Jangan mau mati gara-gara tergiur oleh jubah keramat itu!"

Marta Kumba memandangi tombak berujung tiga mata seperti garpu itu, kemudian memandang Tapak Getih dan berkata dengan nada polos,

"Maksudku kemari juga ingin mengantarkan senjatamu yang ketinggalan, Paman Tapak Getih! Kau lupa membawanya waktu makan di kedai sana, jadi aku menyusui kemari! Terimalah...!"

Wusss...! Dengan gerakan begitu cepat, Marta Kumba melemparkan tombak itu ke arah Tapak Getih. Gerakan itu datang dengan sangat tiba-tiba dan mengejutkan Tapak Getih. Karena cepatnya tombak itu melesat, Tapak Getih tak bisa menghindari, ia hanya berusaha menahan dengan kedua telapak tangan terbuka.

Tetapi hentakan tombak itu sangat kuat, sehingga telapak tangan yang bagaikan kebal tak bisa tertusuk tombak itu mendesak ke belakang, akibatnya ujung tombak yang tengah menancap di bawah leher Tapak Getih. Jrabb...!

"Agrrr...!" Tapak Getih tak bisa berteriak. Matanya mendelik dan mulutnya menyemburkan darah. Tombak itu menancap begitu kuatnya dalam keadaan telapak tangan si Tapak Getih tergencet antara ujung tombak kanan-kiri dengan dada kanan-kiri. Punggungnya sendiri beradu dengan sisi dinding petilasan yang masih tersisa agak tinggi itu.

Marta Kumba melangkah santai mendekati Tapak Getih. Rupanya orang kurus itu belum mati secara tuntas, ia masih punya usaha untuk mendorong tombak itu agar lepas dari lehernya. Tapi tenaganya begitu lemah dan tak punya daya untuk mendorong lebih keras lagi. Sedangkan Marta Kumba hanya memandanginya saja, bertolak pinggang sambil geleng-geleng kepala dan tersenyum.

"Kau ini bagaimana?" katanya dengan santai, seenaknya saja bicara, "Kukembalikan tombakmu malah dipakai buat bunuh diri?"

Tapak Getih melorot turun dari berdirinya yang rapat ke sisi dinding, lalu jatuh terduduk, dan akhirnya menggeloso mati. Marta Kumba hanya tertawa geli. Kembali ia geleng-geleng kepala.

"Payah betul kau ini, Paman Tapak Getih! Akhirnya kalau begini kau mati juga, bukan? Makanya kalau ada orang melemparkan tombak, jangan ditangkap dari depannya, tapi tangkaplah gagangnya! Wah, wah, wah... sudah tua tapi masih bodoh juga kau, Paman! Ya, sudah! Terserah maumu sajalah...!"

Pemuda berpakaian kuning dengan kumis tipis menambah ketampanannya itu segera melangkah dengan pelan, memandangi keadaan sekeliling. Ia memperhatikan petilasan yang sudah lama dicari- carinya, yaitu Petilasan Teratai Dewa. Percakapan Tapak Getih dengan si Cakar Macan dan Julung Boyo di sebuah kedai ternyata disadap oleh telinga pemuda berambut ikal sebatas punggung itu. Diam-diam ia menguntit ketiga orang tua yang menuju ke Petilasan Teratai Dewa, dan akhirnya ia menemukan tempat itu.

"Lewat mana kalau mau masuk ke ruang bawah tanah? Tak ada pintu di sini?!" gumamnya sendiri sambil memandangi lantai, mencari pintu masuk ruang bawah tanah.

Sementara itu, langit tergores kilatan cahaya biru. Petir menyambar, bunyi menggelegar bagai mengguncangkan reruntuhan itu. Marta Kumba masih tetap santai, tidak tampak tergesa-gesa dan tegang, ia masih pandangi tiap jengkal tempat yang sudah berantakan itu.

Tiba-tiba ekor matanya menangkap sekilas cahaya di balik rerimbunan semak. Sekilas cahaya itu seperti sepasang mata yang mengintainya dari sana. Marta Kumba berlagak tidak melihat ada yang mengintipnya, ia berjalan pelan sambil pandang sana-pandang sini. Begitu tiba di depan semak tempat bersembunyinya sepasang mata itu, Marta Kumba duduk di atas sebongkah batu yang menjadi bagian dari reruntuhan petilasan itu. Dari sana ia berkata dengan keras, tapi nadanya acuh tak acuh, seperti bicara pada diri sendiri,

"Sepi sekali tempat ini! Sayang tak ada manusia lain. Kalau saja ada manusia lain, bisa kuajak kerja sama untuk menemukan apa yang kucari! Atau... barangkali ada orang yang malu-malu menampakkan diri di depanku! Mungkin dia punya hidung gerumpung, sehingga tak berani menampakkan diri di depanku. Atau... mungkin bibirnya sumbing dan sulit diajak bicara?!"

Marta Kumba duduk memunggungi semak yang dipakai bersembunyi sepasang mata itu. Sengaja ia duduk begitu, memancing diri supaya diserang dari belakang. Tetapi sejak tadi ia tidak merasakan serangan atau tanda-tanda akan diserang. Ia kembali bicara sendiri.

"Sebentar lagi hujan turun! Biasanya kalau mau hujan begini, ular-ular yang ada di semak-semak akan keluar menunggu katak atau mangsa yang akan disantapnya! Tempat seperti ini tidak mungkin tidak dihuni oleh ular- ular berbisa! Biasanya semak-semak adalah tempat yang dipakai bersarang oleh ular-ular ganas. Tak lama lagi pasti akan keluar satu atau dua ekor ular dari salah satu semak di sini...!"

Marta Kumba sengaja bicara seperti itu untuk menakut-nakuti orang yang mengintai dari balik semak- semak. Paling tidak akan membuat cemas dan waswas orang tersebut, sehingga mereka menampakkan diri. Tapi karena beberapa saat ditunggu tak kunjung muncul juga si pengintai itu, maka Marta Kumba kembali bicara sendiri dengan keras,

"Biasanya, kalau ular ganas mencium bau darah manusia, ia akan datang secara tiba-tiba dan mematuk kaki, atau mungkin melilit leher dari atas sebuah pohon. Dan kalau ular... kalau ular...."

Marta Kumba berhenti bicara. Matanya terkesiap, kepalanya tegak, tak berani menengok ke bawah. Karena ia merasakan ada gerakan lembut yang menjalar mendekati kakinya. Mata yang terkesiap itu segera memandang ke bawah pelan-pelan. Marta Kumba menahan napas. Ada ular sedang merayap melingkari kakinya. Ular itu sebesar lengannya sendiri.

"Mati aku..!" keluhnya dalam hati. Ia tak berani bergerak sedikit pun. Keringat dinginnya mengucur deras dari kening dan leher. Jantungnya berdetak-detak cepat. Wajahnya menjadi pucat pasi. Ular itu berwarna merah kehitam-hitaman. Jenis ular ganas yang bisa mengejar lawan dengan satu sentakan terbang. Marta Kumba tahu, ular itu mempunyai bisa yang luar biasa mautnya. Sekali gigit orang, dalam lima hitungan orang itu pasti mati. Ular itu bernama Ular Welang Jantan.

Marta Kumba gemetar, napasnya bagai hilang ketika ular tersebut merayap sampai ke betis, iklannya terjulur- julur naik. Matanya yang merah memancarkan keganasan. Oh, Marta Kumba tak berani menatap mata ular itu. Sekujur tubuhnya telah dingin, bulu kuduknya pun merinding. Hatinya berucap kata,

"Mati aku... matilah sekarang aku.... Aduh, kenapa dia jadi benar-benar nongol di sini... mati aku... mati sudah riwayatku...!"

Tiba-tiba sebuah tangan berkelebat menyambar ular tersebut dan menghantamkan ke salah sebuah dinding batu. Plokk...! Ular sebesar lengan itu hancur kepalanya dengan sekali sabet. Kemudian bangkainya yang masih mengggerinjal-gerinjal itu dibuang begitu saja oleh tangan yang menyambarnya tadi.

Tangan itu milik seorang gadis berpakaian merah jambu sebatas dada. Pundak dan punggungnya yang terbuka memancarkan warna kulit kuning langsat itu ditutup dengan baju jubah tak berlengan. Baju jubahnya itu berwarna hijau muda, tipis, dari bahan kain sutera.

Marta Kumba memandang bengong kepada gadis cantik berhidung mancung yang punya rambut digulung naik, tapi sisanya masih meriap ke bawah. Gadis itu tersenyum, dan senyumnya sungguh elok menawan hati. Marta Kumba tak mampu bicara sepatah kata pun setelah ia sadar, ternyata si pengintai yang ditakut-takuti ular tadi adalah seorang perempuan muda yang cantik yang berani memegang ular. Perempuan yang menyelipkan pedang di pinggangnya itu berkata,

"Kalau hari mau turun hujan, memang banyak ular keluar dari sarangnya. Hati-hati, nanti kau mampus ditelan ular!"

Malu sekali Marta Kumba mendengar kata-kata itu. Ia mengusap wajahnya yang berkeringat dan memenangkan jantungnya yang masih berdebar-debar dengan kaki dan tangan masih gemetar. Marta Kumba malu pada ucapannya sendiri, menakut-nakuti tentang ular, begitu ada ular dia sendiri yang ketakutan setengah mati. Sebagai penutup rasa malunya, Marta Kumba berkata,
"Aku bukan takut sama ular, cuma merasa jijik!"

"Ya. Jijik boleh-boleh saja, tapi tak perlu sampai berkeringat dingin begitu. Tak perlu sampai sepucat mayat begitu. Dan, jijik pun tak perlu sampai gemetaran kaki dan tangannya begitu...!" gadis cantik berdada sekal itu memalingkan wajah sambil tersenyum, matanya memandang bangkai ular yang sudah tidak bergerak lagi.

Seribu kata, sejuta bahasa, bagaikan hilang lenyap dari mulut Marta Kumba menghadapi rasa malu di depan seorang gadis. Kalau yang menyambar ular tadi seorang kakek atau lelaki berbadan kurus sekalipun, Marta Kumba tidak akan malu. Tapi kenyataannya yang menyelamatkan nyawanya dari ular ganas dan berbahaya itu justru seorang gadis cantik yang usianya sebaya dengannya. Sungguh sulit melukiskan rasa malu yang ada pada diri Marta Kumba, karena sebagai pemuda berbadan tegap, kekar, ganteng, berkumis, tapi sama ular saja menjadi pucat pasi dan gemetaran.

"Siapa namamu?" tanya gadis yang tampak berjiwa tegas dan pemberani itu.
"Namaku...? Oh, namaku Marta Kumba!"
"Mau apa datang kemari dan membunuh orang tua itu?"
"Mau... mau... mau mencari sesuatu," jawab Maria Kumba dengan sisa kepanikannya.
"Maksudmu, mencari jubah keramat?"
"Ya. Benar. Jubah keramat."
"Kalau begitu, kau harus tarung dulu denganku!"
"Hah...?!"

* * *2

LIMA ekor kuda berderap lari menuju ke sebuah lereng bukit. Penunggangnya orang-orang gagah yang berpakaian me wah. Dua kuda di depan, dua lagi di belakang, satu kuda ada di tengah-tengah keempatnya. kuda yang di tengah itu berwarna bulu putih, dan ditunggangi seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun dengan pakaian rapat berwarna ungu, hiasan emas pada bagian dada, berupa rantai yang melengkung pendek. Kancing pada bagian pergelangan baju juga terbuat dari emas. Celananya juga berwarna ungu dari bahan mahal yang dihiasi sulaman benang emas pada tepiannya.

Kelima kuda ini agaknya melaju dengan terburu-buru karena mendung telah menggantung. Orang yang ada di atas punggung kuda putih itu agaknya tak mau dirinya sampai kehujanan. Sebagai orang yang berpenampilan mewah, menyandang keris di depan perutnya, orang ini menampakkan dirinya sebagai orang terhormat, yang kaya akan harta dan punya suatu kedudukan. Keempat kuda di sekelilingnya itu adalah para pengawalnya yang terpilih.

Orang berpakaian ungu itu mempunyai mata sedikit besar tapi tajam, memancarkan cahaya kewibawaan , kumisnya tebal tapi teratur rapi, menambah kesan tegas dalam jiwanya, ia mengenakan ikat kepala dari kain batik gelap yang mempunyai bros pada bagian tengahnya dari emas berbatu berlian tepat di tengah bros bentuk bunga mawar kecil itu.
Derap kaki kuda itu mulai melamban setelah satu orang pengawal di depan mengangkat tangan memberi isyarat. Orang itu berpakaian hijau menyandang pedang di punggungnya, dan pengawal sebelahnya berpakaian putih, dengan pedang di punggung juga. Mereka berambut agak panjang tapi rapi. Diikat dengan logam berbentuk rantai emas dengan hiasan batu merah pada bagian tengah keningnya .
Rupanya kelima kuda itu menuju ke sebuah tanah lapang yang tidak banyak ditanami pepohonan. Di sana se seorang sudah menunggu dengan berdiri tegak, dan kedua tangan terlipat di dada. Orang itu berwajah angker, dingin, rambutnya kucai, tipis tapi panjang, bertubuh kurus. Tubuh kurusnya itu dibungkus dengan pakaian abu-abu rangkap jubah hijau tua.

Orang ini tergolong serakah, karena mempunyai dua pedang, satu pedang di pinggang bergagang cula badak, satu pedang lagi di punggung berlogam emas sampai pada bagian gagang dan sarungnya. Pedang itu berukir gambar naga. Dan pedang itulah yang dinamakan Pusaka Pedang Wukir Kencana, milik Ki Padmanaba. Pedang itulah yang dicuri orang tersebut dengan menyamar sebagai Embun Salju, guru dari Perguruan Kuil Elang Putih. Orang itulah yang bernama Rangka Cula, bekas anak buah Logayo dari Perguruan Kobra Hitam (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Rahasia Pedang Emas").

Lima kuda berhenti di depan Rangka Cula. Orang berpakaian ungu itu menghentikan kudanya sejajar dengan pengawalnya yang bersenjata pedang di punggung, sedangkan dua pengawal yang bersenjata tombak dan panah di punggung, mengenakan pakaian putih-putih itu, tetap mengambil posisi di belakang mereka bertiga. Matanya memandang ke belakang, ke samping dan sekeliling, penuh pangawasan ketat.

Orang berpakaian ungu itu segera berkata kepada Rangka Cula,

"Kaukah yang bernama Rangka Cula?"
"Benar," jawab Rangka Cula yang termasuk orang yang jarang bicara itu.
"Sudah tahu tugasmu?"
"Mencari jubah keramat!"

"Betul! Aku sangat membutuhkan jubah itu. Dan aku sudah siapkan hadiah buatmu!" Orang berpakaian ungu itu mengambil kantong uang dari dalam bajunya, kantong itu berwarna merah beludru, memakai tali khusus pada bagian penutupnya. Kantong itu segera dilemparkan.

Wuttt... !

Diterima oleh tangan kiri Rangka Cula dengan mata tetap memandang dingin ke arah orang berpakaian ungu itu. Crikk...! Rupanya di dalam kantong merah itu berisi uang kepingan dari emas.

"Separo bagianmu sudah kuberikan, Rangka Cula! Separo lagi akan kuberikan setelah kau serahkan jubah keramat itu padaku!"

Rangka Cula menganggukkan kepala.

"Sudah tahu tempatnya di mana jubah keramat itu bisa kau dapatkan?"
"Petilasan Teratai Dewa!" jawab Rangka Cula dengan suara datar.
"Bagus! Kapan bisa kudapatkan jubah itu?"
"Secepatnya!"
"Dua hari?"
"Tidak pasti," jawab Rangka Cula tetap dingin dan datar.
"Baiklah. Tapi bagaimana kau bisa menyampaikannya padaku? Apakah kau tahu di mana aku tinggal?"
"Kadipaten Lambungbumi!"

Orang berpakaian ungu itu sedikit berkerut dahi.

"Kalau begitu, kau sudah tahu siapa aku?"
"Adipati Lambungbumi!"

Maka orang yang berpakaian ungu itu pun saling pandang dengan pengawalnya yang berpakaian hijau, lalu ia berkata,
"Kalau begitu, Sirpakana tidak bisa dipercaya! Dia menyebutkan siapa diriku sebenarnya kepada Rangka Culai Padahal sudah kuwanti-wanti agar jangan menyebutkan siapa diriku!"

"Sirpakana membutuhkan jaminan kepercayaan untuk Rangka Cula. Mungkin begitulah yang terjadi, Kanjeng Adipati, sehingga ia terpaksa menyebutkan siapa orang yang membutuhkan jubah keramat itu!"

"Baiklah. Sudah telanjur, yang penting jubah itu harus benar-benar terbukti ada di tanganku!"

Kemudian Adipati Lambungbumi segera berkata kepada Rangka Cula,

"Apa jaminanmu kalau ternyata kau gagal mendapatkan jubah itu?"
"Nyawa!" jawab Rangka Cula. Singkat, tegas, tapi berkesan ganas.
"Baik. Mudah-mudahan kau berhasil dan nyawamu tidak melayang!"

Rangka Cula diam saja, memandang dengan lirikan matanya kepada dua orang pengawal Adipati Lambungbumi.

"Kami pamit!" ucap Adipati Lambungbumi sebelum pergi, dan Rangka Cula yang berwajah kaku itu hanya menganggukkan kepala tanpa senyum sedikit pun. Bahkan ia tetap diam bagaikan patung ketika rombongan Adipati Lambungbumi meninggalkan tempat, semakin jauh dan jauh sekali. Tak lama kemudian, Rangka Cula segera melesat pergi juga setelah memasukkan kantong uang emas ke dalam balik bajunya yang hijau itu. Tetapi dalam kejap berikutnya, langkahnya terhenti karena kemunculan seorang nenek yang berusia antara tujuh puluh tahunan.

Jleggg... !

Lompatan nenek itu masih mantap ketika mendaratkan kakinya ke tanah. Rambutnya sudah memutih semua, badannya sedikit bungkuk, ia membawa tongkat penyangga tubuhnya jika berdiri dan berjalan. Matanya sama cekungnya dengan Rangka Cula. Nenek itu memakai jubah hitam lusuh dan pakaian dalamnya putih kusam. Rambutnya yang putih rata itu dibiarkan meriap tanpa disanggul atau diikat. Wajahnya yang berpipi cekung kempot itu kelihatan berkulit kisut, berlipat-lipat walau tidak terlalu jelas lipatannya. Nenek itu berbadan kurus kering, bagian tangan dan kakinya bergusik putih.

"Masih kenal aku, Rangka Cula?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Nyai Cungkil Nyawa!"

"Betul! Hik hik hik hik...! Rupanya otakmu masih ada gunanya, Rangka Cula! Dan aku dengar apa yang kau bicarakan dengan orang berpakaian ungu itu! Rupanya kau menjadi orang upahan sang Adipati. Rangka Cula!"

"Benar!" jawab Rangka Cula, setelah itu diam saja.
"Kau mau mencari jubah keramat itu?"
"Ya!"
"Hi hi hi hik... ! Tak mungkin bisa kau mendapatkannya! Tak mungkin berhasil, Rangka Cula!"
"Bisa!"

"Tidak akan bisa! Selama aku masih hidup, tidak akan bisa kau mendapatkan jubah itu! Sebab akulah juru taman Keraton Teratai Dewa yang bertugas menjaga segala sesuatu yang...."

Buhgg...! Plokk...!

Belum habis Nyai Cungkil Nyawa bicara, pukulan dan tendangan Rangka Cula sudah menyerang dengan tiba-tiba. Nenek tua itu terlempar dari tempatnya berdiri, sekitar lima tombak jauhnya. Rangka Cula memandang dengan mata ganasnya, ia biarkan nenek itu bangkit dan terhuyung-huyung bersama tongkatnya.

"Bocah sapi!" makinya dari kejauhan. "Mau menyerang tidak bilang-bilang. Benar-benar bocah tak tahu sopan! Hih...!"

Wessst...! Sinar merah bagaikan kilatan cahaya petir melesat dari ujung jari yang dikibaskan. Sinar merah itu cepat sekali sampai di depan hidung Rangka Cula. Tapi ia bergerak cepat menjatuhkan diri dalam posisi melayang. Tubuhnya melengkung ke belakang dan tangannya menyanggah di atas tanah. Ketika sinar merah itu melesat lewat, tubuh Rangka Cula bangkit kembali dengan gerakan cepat.

Begitu ia bangkit tegak, tahu-tahu Nyai Cungkil Nyawa sudah ada di depannya. Tangan nenek itu menghantam dengan telapak tangan yang terbuka. Desss...! Tepat mengenai mulut Rangka Cula, sehingga Rangka Cula terpental ke belakang dan terhuyung- huyung nyaris jatuh. Ada antara lima tindak ia tersentak ke belakang, setelah itu kembali berdiri tegak walau ia merasakan ada sesuatu yang mengalir dari dalam hidungnya. Sesuatu itu tak lain adalah darah. Pukulan nenek tua itu jelas dibarengi dengan tenaga dalam. Jika tidak, tak mungkin bisa membuat hidung Rangka Cula mengucurkan darah.

Rangka Cula diam saja memandangi Nyai Cungkil Nyawa. Mata nenek itu mulanya berseri-seri karena bisa membuat hidung Rangka Cula berdarah. Tapi mata itu jadi menyipit heran begitu melihat darah yang mengalir dari hidung itu tiba-tiba meresap hilang, seperti masuk ke dalam pori-pori kulit. Dan wajah Rangka Cula menjadi bersih tanpa setitik noda merah pun. Bahkan tangannya yang tadi dipakai mengusap darah itu juga kering tanpa bekas darah setetes pun.

"Semakin sakti saja kau rupanya!" gumam Nyai Cungkil Nyawa dengan pelan, seakan bicara pada dirinya sendiri.

Dan tiba-tiba, wukkk...! Api menyala membakar tanah mengelilingi Nyai Cungkil Nyawa. Api yang membuat lingkaran besar itu berkobar-kobar dan tetap dipandangi oleh Rangka Cula dengan mata menyorot dingin. Nyai Cungkil Nyawa terkurung, sementara api makin lama semakin besar dan nyaris membakar tanaman sekelilingnya.

"Ilmu sihirmu cukup lumayan, Rangka Cula!" kata Nyai Cungkil Nyawa. "Tapi sama sekali tidak membuatku gentar!"

Setelah bicara begitu, nenek bungkuk itu menegakkan badan serta memejamkan mata. Mulutnya berkomat- kamit beberapa saat dengan gerakan bibir yang cepat. Dan tiba-tiba lingkaran api yang mengurungnya itu padam seketika. Zrubbb...! Tanah mengepulkan asap, dan angin meniup asap itu ke arah Rangka Cula.

Kejap berikutnya, Rangka Cula jatuh terlutut. Tanaman di belakang Rangka Cula layu, dan segera mengerut. Pohon besar menjadi berkeriput dan mengerti. Rumput menjadi keriting kecil-kecil, batu menjadi rapuh dan berguguran bagai gundukan abu.

Rangka Cula menundukkan kepalanya. Menahan napas dengan keringat mulai membasah di tubuhnya. Nyai Cungkil Nyawa masih berkomat-kamit dalam sikap berdiri tegak, seakan menghilangkan bungkuk badannya. Sedangkan tanah masih mengepulkan asap putih yang terbawa angin menerpa tubuh Rangka Cula.

"Tak ada yang bisa menghindari 'Asap Kematian' ini, Rangka Cula!" geram Nyai Cungkil Nyawa dengan suara tuanya.

Tiba-tiba Rangka Cula yang berlutut lemas itu menghentakkan tangannya, memukul tanah satu kali. Blukkk...! Dan seketika itu pula tubuh Nyai Cungkil Nyawa terlonjak terbang bersamaan dengan tubuh Rangka Cula yang terlonjak ke atas juga.

Tapi pada saat itu Rangka Cula segera bersalto satu kali, dan kakinya menjejak tubuh Nyai Cungkil Nyawa dengan keras. Beggh...! Tepat mengenai dadanya.

Tak heran jika tubuh kering yang tua renta itu terlempar cukup jauh dan membentur batang pohon dengan kerasnya. Buhggg...! Wrrr...! Pohon itu terguncang hebat. Daun-daunnya berguguran. Tubuh Nyai Cungkil Nyawa melorot sampai ke tanah dalam keadaan memuntahkan darah pada bagian mulut dan hidungnya. Jelas tendangan itu adalah tendangan bertenaga dalam tinggi. Masih untung dada itu tidak jebol. Jika Nyai Cungkil Nyawa tidak memiliki lapisan tenaga dalam cukup tinggi pula, maka dadanya akan jebol oleh tendangan kedua kaki Rangka Cula.

Tubuh tua yang telah terluka parah itu segera dihantam oleh pukulan jarak jauh Rangka Cula yang berwarna hijau berpendar-pendar. Pukulan sinar hijau itu keluar dari genggaman tangan Rangka Cula. Zlappp...!

Cepat sekali gerakannya, sehingga tak punya waktu lagi Nyai Cungkil Nyawa menghindarinya. Tetapi tiba- tiba sekelebat bayangan menyambar tubuhnya dari samping kanan. Wutt...!

Blarrr...!

Sinar hijau itu menghantam pohon yang tadi rontok daunnya. Pohon itu pecah terbelah memanjang dari bawah sampai ke atas, menjadi potongan-potongan kayu panjang antara sepuluh bagian.

Rangka Cula menggerakkan matanya memandang ke arah hilangnya Nyai Cungkil Nyawa. Tapi tak terlihat lagi seseorang di sana, tak terlihat pula bayangan yang berkelebat menyelamatkan tubuh Nyai Cungkil Nyawa itu. Rangka Cula masih diam di tempat, menyapu keadaan sekelilingnya dengan lirikan mata ganasnya.

"Ha ha ha ha...!" tiba-tiba terdengar suara tawa dari arah belakang Rangka Cula. Segera orang kurus berjubah abu-abu itu berpaling ke belakang. Gerakannya cukup gesit dan tampak liar. Ia memandang seorang lelaki yang berbadan agak gemuk mengenakan pakaian dari kulit rusa. Celana dan rompi tanpa lengan berwarna coklat kulit rusa. Tapi diberi sabuk hitam besar pada pinggangnya. Sabuk hitam itu digunakan untuk menyelipkan sebilah golok besar bergagang hitam. Golok itu adalah golok pemenggal leher, bukan untuk membeset kulit. Tetapi tentu saja jika keadaan memaksa, bisa saja dipakai untuk membeset kulit. Panjang golok itu antara separo tombak lebih sedikit, dan besarnya seukuran paha manusia.

"Kau kehilangan mangsamu, Rangka Cula? Ha ha ha ha...!" orang berkumis lebat dan berambut pendek tanpa ikat kepala itu tertawa geli melihat Rangka Cula kebingungan mencari mangsanya tadi.

Mendengar orang itu menertawakan dirinya, Rangka Cula diam saja. Wajahnya tak ada kesan damai sedikit pun. Ia menatap orang itu tanpa berkedip. Tajam sekali pandangan matanya itu, sehingga sulit dilawan dengan sinar matahari.

"Kau pasti lupa padaku, Rangka Cula, karena cukup lama kita tidak bertemu!"
"Setan Bangkai."

"Oh ohh... oho oho ho ho...!" orang itu semakin tertawa. "Ternyata kau masih ingat namaku, Rangka Cula?! Ya. Benar. Akulah si Setan Bangkai! Syukurlah kalau kau masih ingat aku. Berarti kau masih ingat dengan istriku yang kau bunuh seenaknya di Rawa Kebo itu, hah?! Masih ingat?!"

"Masih!" jawab Rangka Cula dengan tegas.

"Bagus!" Setan Bangkai segera mencabut goloknya pelan-pelan dan berkata tanpa senyum, juga tanpa tawa. "Kalau begitu kau masih ingat, bahwa kau punya hutang nyawa padaku, Rangka Cula?!"

"Ya!"

"Kalau waktu itu aku terluka oleh ilmumu, tapi sekarang kau tak akan bisa melukaiku lagi! Sudah kusiapkan jurus istimewa untuk memenggal kepalamu, Rangka Cula!"

"Silahkan!"
"Tapi terlebih dulu aku ingin kau menjawab pertanyaanku!"
"Katakan."
"Mana si raksasa yang bergelar Dewa Murka itu?! Mana Logayo?!"
"Sudah mati!"
"Setan!" geram orang yang wajahnya mulai sama- sama ganas itu.

"Siapa yang berani lancang membunuh Logayo?! Apakah orang itu tidak tahu bahwa nyawa Logayo itu jatahku?! Siapa yang membunuhnya?! Jawaaab...!"

"Kirana!"
"Siapa itu Kirana?!" bentaknya lagi.
"Entah!"

"Biadab! Kalau begitu, aku hanya bisa membunuh satu musuhku! Kau...!" mulutnya sambil maju ke depan dengan penuh dendam. "Kaulah satu-satunya musuhku yang belum mati, dan sekarang akan mati!"

Rangka Cula tetap berwajah dingin dan diam saja. Matanya tak beralih pandang sedikit pun, sehingga ia tahu kaki Setan Bangkai mulai mau bergerak maju untuk melompat. Maka, Rangka Cula mendahului melompat dengan pedang tercabut seketika.

Wut...! Crasss...!

"Aaah...!" Setan Bangkai menyeringai kesakitan. Rangka Cula bagaikan angin lewat di samping kirinya dan berhasil melukai lengan kirinya. Tahu-tahu orang kurus itu sudah ada di belakang Setan Bangkai dan memunggunginya. Pedang bergagang Cula badak masih digenggam dengan satu tangan. Dan seketika Setan Bangkai berbalik arah sambil mengibaskan golok besarnya ke arah leher Rangka Cula, berkelebatlah tangan Rangka Cula yang memegangi pedangnya itu. Gerakannya cepat, kelebatan itu tepat mengenai golok besar. Trangng...! Wess...! Golok tersingkirkan dari arah leher Rangka Cula.

Lalu, dengan tersingkirnya golok besar itu, Rangka Cula punya kesempatan membabatkan pedangnya ke arah perut Setan Bangkai. Wutt! Crasss...!

"Aahg...!"

Robek perut Setan Bangkai seketika itu pula. Darah meluap keluar. Tapi isi perut tak sempat keluar. Setan Bangkai masih bertahan dengan mundur dua tindak, dan segera mendekap lukanya. Luka itu diusap dengan telapak tangan kirinya. Seet...! Luka itu hilang dan perutnya kembali utuh. Demikian pula lengan kiri yang terluka tadi, diusap memakai tangan kanan. Seet...! Luka tersebut lenyap, lengan kiri itu kembali utuh, seperti tak pernah terluka.

Rupanya itulah ilmu andalan Setan Bangkai dalam melawan Rangka Cula kali ini. Ia menyeringai dengan bangga memamerkan kesaktian barunya. Rangka Cula diam saja, tanpa ada rasa heran ataupun kagum. Terkesiap pun tidak.

Tapi Rangka Cula segera memasukkan pedangnya ke tempat semula. Agaknya ia merasa percuma melawan Setan Bangkai memakai pedang, karena setiap luka dapat disembuhkan seketika dengan usapan tangan.

"Ayo, majulah! Tebas tubuhku yang mana saja, silahkan pilih!" kata Setan Bangkai sambil memajukan perutnya.

"Ayo, maju! Pilih sendiri mana yang mau kau tebas...!"

Wutt...! Dasss...!

Tanpa banyak bicara, tahu-tahu pukulan tenaga dalam dilepaskan oleh Rangka Cula. Pukulan yang memancarkan sinar merah itu dengan telaknya mengenai dada Setan Bangkai. Dada itu menjadi hitam sebesar piring nasi. Setan Bangkai menyeringai kesakitan. Kali ini ia terluka dalam dan tak mungkin bisa dijamah tangannya.

"Bangsat kau!" geramnya. "Tunggu beberapa waktu lagi...!"

Wuttt...! Setan Bangkai pun cepat menghilang pergi, ia tak sanggup melawan Rangka Cula, karena Rangka Cula tidak menggunakan pedang, ia tak mampu mengobati lukanya jika Rangka Cula melukai bagian dalam tubuhnya. Rangka Cula sendiri diam saja
memandangi kepergian lawannya.
*
* *

LANGIT tak jadi sebarkan hujan ke bumi. Entah mengapa, mendung berjalan santai meninggalkan matahari. Tapi karena sore telah tiba, sinar mentari pun surut ditelan senja.

Di dalam sebuah gubuk kosong yang reot tanpa penghuni itu, Nyai Cungkil Nyawa dibaringkan. Tergeletak di lantai beralaskan tikar dari anyaman daun kelapa kering. Orang yang membawanya ke gubuk itu adalah pemuda tampan berpakaian coklat putih, menyandang bumbung tuak. Siapa lagi jika bukan Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang tak pernah pakai ikat kepala itu.

Nyai Cungkil Nyawa diberi minum tuak dalam keadaan setengah pingsan. Tuak diteguk oleh nenek bungkuk, beberapa saat kemudian luka-luka di dalam tubuhnya pun mulai membaik. Napasnya mulai lancar, kepucatan wajahnya mulai sirna, dan menjadi tampak segar.

Pertama kali membuka matanya, ia menyipit memandang pemuda tampan yang ada di sampingnya, ia berkata seperti bicara pada dirinya sendiri,

"Apakah aku sudah berada di surga...?!"

Pemuda tampan yang tak lain adalah Suto Sinting itu hanya tersenyum menahan geli. Tanpa bicara ia segera menjauhkan diri dari nenek bergusik itu.

Sang nenek segera berkata,

"Dewa, jangan tinggalkan aku...!"

"Kau belum mati, Nek!" kata Suto sambil tertawapelan. "Kau masih hidup di bumi!"
"Masih hidup...?! Bukankah... bukankah aku tadi dibunuh oleh Rangka Cula?!"
"Belum sempat!" jawab Suto, kemudian ia menenggak tuaknya.
"Jadi, kau menyelamatkan aku?"

"Yang kuasa yang menyelamatkan kamu, Nek. Cuma, akulah yang dijadikan perantara sementara ini!" kata Suto merendahkan diri. Nenek itu pelan-pelan bangkit dan duduk sambil menghembuskan napas kelegaan.

"Kamu siapa, Nak?" tanyanya.
"Namaku Suto Sinting!"
"Ooo... bocah sinting."
"Suto Sinting, Nek! Bukan bocah sinting!"
"Lha, iya...! Suto itu anak, sinting itu..., ya sinting! Jadi Suto Sinting itu bocah sinting!"

Tawa pun terdengar pelan. Pendekar Mabuk segera menutup bumbung tuaknya. Nenek itu bertanya setelah memandang keadaan gubuk tersebut,

"Ini rumahmu, Suto?"
"Bukan."
"Lalu, rumah siapa yang begini bagusnya?" sindir Nyai Cungkil Nyawa. Suto tersenyum sambil menjawab.

"Aku sendiri tidak tahu, Nek. Kutemukan gubuk reot ini dalam keadaan kosong. Kupikir tadi mau hujan, jadi untuk sementara kau kubawa kemari! Kalau kau tak suka tinggal di sini, aku tak keberatan kalau kau mau cari penginapan di desa terdekat sini, Nek."

"Aku tidak bilang begitu. Aku cuma tanya saja!" katanya sambil bersungut-sungut, lalu bangkit dengan menggunakan tongkatnya. Rupanya tongkat itu pun tetap tergenggam di tangan saat ia terlempar dan membentur pohon tadi. Dan Suto pun menyelamatkan nenek itu tanpa sadar kalau sang nenek masih menggenggam tongkatnya.

"Suto Sinting...."
"Ada apa?"

"Aku hanya menggumam sendiri! Aku seperti pernah mendengar nama Suto Sinting! Nyai Cungkil Nyawa berkerut dahi sambil mengulang-ulang menyebut nama Suto Sinting.

"Sudahlah, tak perlu diingat-ingat," kata Suto. "Yang penting aku pun tahu namamu adalah Nyai Cungkil Nyawa."
"Dari mana kau tahu namaku?"
"Kudengar percakapanmu dengan Rangka Cula sebelum kalian saling beradu kesaktian dan ilmu sihir tadi!"
"O, begitu?! Lalu, mengapa kau tidak segera menolongku?"

"Karena kulihat tadinya kau imbang melawan Rangka Cula. Aku sendiri sedang mengincarnya. Pikirku, kalau kau lari darinya, aku akan maju menghadapi dia! Tapi kulihat kau kewalahan dan dalam bahaya, Nek. Jadi, kuutamakan menyelamatkan nyawamu lebih dulu."

"Manusia yang satu itu sukar dikalahkan! Tapi suatu saat dia akan mati di tanganku!"
"Mudah-mudahan harapanmu terkabul, Nek!"
Tiba-tiba nenek itu menatap Suto dengan curiga dan bertanya,
"Apa maksudmu menolong nyawaku?"
"Apa itu hal yang buruk?" Suto ganti bertanya.
"Kurasa kau punya maksud-makaud tertentu! Kurasa kau ingin memiliki jubah keramat itu!"

Ails Pendekar Mabuk itu berkerut hingga nyaris beradu. Heran sekali Suto dituduh begitu, sementara dia sendiri ingin tahu apa yang dimaksud jubah keramat dalam percakapan Nyai Cungkil Nyawa dengan Rangka Cula dipertarungkan itu. Maka, Suto pun bertanya,

"Jubah apa maksudmu, Nek?"
"Jubah keramat! Apa kau belum dengar tentang jubah keramat?"

Suto menggelengkan kepala. "Aku justru ingin dengar dari mulutmu, Nek! Ceritakanlah, karena aku percaya kau tokoh tua di rimba persiiatan yang tahu banyak tentang jubah keramat itu!"

"Ya, memang aku tahu banyak tentang jubah keramat! Karena akulah penjaga Petilasan Teratai Dewa itu!"
"Apa pula Teratai Dewa itu?" tanya Suto semakin heran.

"Banyak orang menyangka, Petilasan Teratai Dewa adalah sebuah keraton yang sudah runtuh. Mungkin karena luasnya dan ada bekas pilar-pilarnya, maka orang menyangka petilasan itu adalah reruntuhan sebuah istana. Padahal bukan!"

"Dari mana kau tahu kalau petilasan itu bukan reruntuhan sebuah istana?" tanya Suto semakin terpancing ingin tahu.

"Karena akulah penjaga Teratai Dewa! Dari sejak cicitku, canggahku, buyutku, kakekku, bapakku, sampai akhirnya aku... adalah juru kunci atau penjaga makam tersebut."

"Makam yang mana?"

"Ya makam Teratai Dewa itu!" sentak nenek bergusik rada dongkol. "Petilasan Teratai Dewa itu sebenarnya sebuah makam. Jelasnya, sebuah makam yang di atasnya dibangun pesanggrahan bagi para leluhur dan ahli waris berkumpul. Lalu, di situ menjadi suatu tempat untuk mengolah ilmu kanuraga dan tenaga batin. Maka muncullah sebuah nama perguruan yang pada masa itu disegani orang, yaitu Perguruan Teratai Dewa!"

"Hmmm...!" Suto manggut-manggut. "Lalu, makam yang ada di bawahnya itu makam siapa, Nek?"

"Itu makam Prabu Indrabayu, seorang raja dari Lereng Gangga yang melarikan diri karena serangan musuh, hingga sampai di tanah Jawa dan kawin dengan puteri raja di tanah Jawa ini. Ketika beliau wafat, sang puteri, yaitu istrinya, minta supaya jenazah suaminya dimakamkan di tanah tempat pertama kali mereka berjumpa. Maka dibangunlah makam di dalam hutan sana, dan menjadi sebuah pesanggrahan keramat. Menurut kabarnya, pada masa tempat itu menjadi pesanggrahan, para murid Perguruan Teratai Dewa itu, sering didatangi arwah Prabu Indrabayu, atau melihat kelebatan sang Prabu memakai jubah saktinya!"

"Ooo... jadi Prabu Indrabayu itu mempunyai jubah sakti?"
"Iya! Dan jubah itu ikut dimakamkan juga di kuburannya itu!"
"Seberapa tinggi kesaktian jubah itu, Nek?"
"Tinggi sekali, sampai bisa disambar petir segala!" jawab nenek itu seenaknya saja.

"Maksudku, kesaktiannya itu bagaimana? Seberapa hebatnya kok sampai kelihatannya diincar betul oleh Rangka Cula?!"

"Rangka Cula hanya orang upahan sang Adipati Lambungbumi! Dan karena ulah mulut sang Adipati itulah maka jadi banyak orang mengincar jubah keramat itu! Sebab sang Adipati tahu adanya jubah keramat peninggalan Prabu Indrabayu, karena dulu kakek moyangnya ikut membangun makam Prabu Indrabayu."

"Yang kutanyakan, kehebatan jubah itu!" tegas Suto lagi.
"Ooo... kehebatannya?" nenek itu terbatuk sebentar, setelah itu melanjutkan ceritanya,
"Jubah itu mampu menciptakan khayalan menjadi kenyataan "
"Maksudnya... maksudnya bagaimana?" Suto mendekat semakin tertarik.
"Seseorang yang mengenakan jubah itu, bisa mempunyai kekuatan indera ketujuh, yaitu kekuatan menghadirkan sesuatu yang ada dalam pikirannya. Dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada, yang ada bisa menjadi tidak ada! Jadi misalnya begini...," nenek bergusik itu pun bersemangat sekali menuturkan kehebatan Jubah Keramat tersebut.
"Misalnya kau memakai jubah itu, maka apa yang kau bayangkan dalam benakmu bisa menjadi kenyataan. Kalau misalnya kau menghadapi lawanmu, lalu kau membayangkan lawanmu terpenggal kepalanya, maka dalam beberapa kejap saja lawanmu benar-benar terpenggal kepalanya tanpa ada yang menyentuhnya, tanpa ada yang memenggalnya. Misalnya lagi, kau membayangkan batu di depan gubuk ini pecah, maka tanpa kau ucapkan, tanpa kau sentuh, batu itu akan pecah sendiri seperti apa yang kau bayangkan. Mungkin pecah menjadi dua atau menjadi seratus, itu tergantung yang ada dalam benakmu!"

"Wah, hebat sekali jubah itu!" gumam Suto dengan kagum.

"Kalau tak hebat, tak akan jadi bahan rebutan!" kata sang nenek dengan cepat dan merasa bangga bisa menceritakan kehebatan jubah keramat itu. Lalu, sambungnya lagi,

"Jubah itu diperoleh sang Prabu Indrabayu ketika bertapa di kedalaman Gunung Wijayakusuma, yaitu tempat asal tanaman kembang Wijayakusuma. Jadi kalau kau memakai jubah itu, lalu kau membayangkan perempuan cantik maka kau bisa benar-benar mendapatkan perempuan cantik sesuai dalam bayangan benakmu. Orang yang mempunyai jubah keramat itu harus orang yang bersih pikirannya, bersih hatinya, bersih pula khayalannya. Kalau tidak, akan menimbulkan malapetaka di mana-mana! Kalau setiap orang dibayangkan buntung kepalanya, maka di tanah Jawa ini akan penuh dengan manusia tanpa kepala! Nah, jadi hanya orang yang berjiwa bersih yang pantas memiliki atau memakai jubah tersebut! Tugas leluhurku adalah menjaga agar jangan sampai jubah itu dicuri maling! Tapi karena mulut Adipati Lambungbumi berkoar ke mana-mana, mengupah setiap orang untuk mencari jubah keramat itu, nah... akhirnya banyak maling yang mengincar Jubah keramat itu!"

Pendekar Mabuk manggut-manggut, lalu ia merenung panjang ketika matahari makin surut dan petang pun tiba. Nenek bergusik itu keluar sebentar dari gubuk. Ketika ia kembali lagi sudah membawa sebongkah batu satu genggaman tangan. Batu itu cekung di permukaannya, lalu diberinya tuak sedikit dengan meminta tuaknya Suto, diberi pula kain sedikit dari sobekan ikat pinggangnya sendiri, dan dengan satu kali tunjuk jari, terpeciklah api yang segera menyambar kain bagaikan sumbu lentera itu, lalu menyala kain tersebut menjadi sebuah pelita yang cukup ajaib. Dengan bahan bakar tuak, bisa menyala sampai beberapa saat lamanya, bahkan sampai besok pagi pun bisa, begitu kata si nenek bergusik itu.

Rupanya percakapan itu ada yang menyadap dari luar gubuk. Nenek bergusik itu berkata lirih pada Pendekar Mabuk.

"Ada maling!"

Suto berkerut dahi, menelengkan telinganya, mencari dengar suara yang mencurigakan. Nenek itu berkata lagi dengan lirih,

"Kau mendengar degub jantungnya?"
"Tidak."
"Bodoh kamu!" ucap nenek itu seenaknya saja. "Aku mendengar degub jantungnya. Keras. Itu tandanya dia deg-degan!"
"Aku hanya mendengar desir darahnya mengalir di sekujur tubuh."
"Wah, itu lebih hebat! Suara desiran darah bisa sampai di telingamu, itu hebat!"
"Tapi sepertinya darahmu sendiri yang kudengar, Nek!"

"Wah, itu bodoh namanya! Karena aku berada di dekatmu jadi kau mendengar desir darahku! Eh, tapi... tadi agaknya maling itu makin mendekati kita, Suto! Degub j antungnya makin kudengar jelas!"

Pendekar Mabuk bergegas keluar dari gubuk itu. Tapi Nyai Cungkil Nyawa segera menahannya dan berbisik makin pelan,

"Diam saja di tempat. Seolah-olah kita tidak mengetahui kehadirannya. Diam saja! Kita bicara soal lain!"
Suto manggut-manggut tanda setuju. Kemudian, Suto segera bertanya,
"Sebenarnya, nama aslimu siapa, Nek?"
"Nama asliku sewaktu masih gadis cantik adalah Sendang Katon."
"Kenapa diganti dengan nama Nyai Cungkil Nyawa?"

"Biar seram! Hik hik hik...!" nenek itu tertawa. Lalu tambahnya lagi, "Pekeijaanku dulu tukang mencungkil nyawa orang yang mau mengganggu makam Prabu Indrabayu. Jadi kuberi nama julukan Cungkil Nyawa."

"Apa sekarang kau masih bisa mencungkil nyawa orang?"
"Kalau ada yang berbuat kurang ajar padaku, tentu saja aku bisa mencungkil sepuluh nyawa dalam satu kali cungkilan!"

Setelah bicara begitu, Nyai Cungkil Nyawa berbisik di dekat telinga Suto. "Dia semakin dekat. Sekarang ada di pintu masuk!"

Suto tetap tenang dan melirik sekejap ke arah pintu masuk, ia kembali berpura-pura asyik ngobrol dengan nenek itu.

"Apa kerjamu sehari-hari ini, Nyai?"

"Yah, tidak tentu! Kadang-kadang aku menjadi dukun bayi, atau tukang masak jika ada orang punya hajat dan...," Nyai Cungkil Nyawa tidak melanjutkan bicaranya. Matanya memandang ke arah pintu masuk. Suto Sinting pun ikut memandang ke sana, dan menjadi sangat terkejut begitu melihat 'maling' yang dikatakan Nyai Cungkil Nyawa itu sudah ada di depan pintu dan sedang memandang ke arah Suto.

Maling itu adalah seekor harimau loreng bermain merah.

Jantung Suto hampir saja putus karena kagetnya. Harimau itu tampak ganas dan mulai menggeram dengan kepala merendah, itu tandanya dia siap menerkam mangsanya. Suto Sinting berkata dengan sedikit cemas,

"Ini bukan saja maling, Nek! Ini lebih berbahaya daripada maling!"

"Ggrrrr...!" harimau loreng berbadan besar itu menggeram dengan mulut menyeringai, menampakkan taringnya yang menyeramkan.

"Tenang saja... tenang...," ucap nenek itu. Ia sendiri kelihatan agak gemetar. Lalu mulutnya komat-kamit entah membaca mantera apa, Suto tak tahu. Yang dilakukan Suto adalah memandang mata harimau yang berwarna merah itu. Maka timbul keyakinan dalam diri Suto Sinting bahwa harimau itu bukan sembarang harimau.

"Gggrrr... aaaoow...!" harimau itu mengaum, suaranya bagai mau merubuhkan bambu-bambu penyangga atap gubuk itu. Nenek bergusik itu gemetar dan tetap membaca mantera. Sedangkan Pendekar Mabuk buru-buru meraih bumbung tuaknya, dan menenggak tuak dengan cepat. Tuak tidak ditelan tapi ditampung di mulut. Maka ketika harimau itu pada akhirnya benar-benar melompat dan menerkam ke arah si nenek, Suto segera menyemburkan tuak di dalam mulutnya yang dinamakan ilmu 'Sembur Siluman'. Brusss...!

Clappp... !

Brukkk...! Nenek itu jatuh telentang ditindih oleh sesosok tubuh manusia berpakaian hitam-hitam. Lelaki berpakaian hitam itu segera disentakkan tubuhnya oleh nenek bergusik dan jatuh terlempar di dekat pintu masuk tadi. Brakkk...!

Gubuk hampir saja ambruk. Tubuh orang berpakaian hitam itu membentur tiang penyangga pintu. Nenek bergusik segera memaki,
"Monyet kusut! Rupanya kau yang berubah menjadi harimau tadi, Sonokeling?!"

Orang berpakaian hitam itu tertawa terkekeh-kekeh. Usianya hampir sama dengan Nyai Cungkil Nyawa. Rambutnya juga putih dan kulitnya sudah keriput. Tubuhnya pun sama kurusnya dengan nenek bergusik itu.

"Memang aku, Nyai," kata orang yang ternyata bernama Sonokeling itu.

"Kambing bandot kumis kucing!" serapah nenek itu. "Sekali lagi kau berusaha menciumku dengan cara apa pun kubunuh kau saat itu juga, Sonokeling!"

"Siapa dia, Nek?" tanya Suto.
"Orang gila!" jawab Nyai Cungkil Nyawa dengan seenaknya saja.
Kemudian nenek itu bicara kepada orang yang bernama Sonokeling,
"Apa maksudmu datang kemari, hah?!"
"Aku... aku rindu padamu, Nyai!"

"Puih...! Rindu, rindu...!" Nyai Cungkil Nyawa bersungut-sungut cemberut. Suto Sinting segera paham siapa orang itu, lalu ia tersenyum, dan Nyai Cungkil Nyawa melirik Pendekar Mabuk, kemudian berkata kepada orang berpakaian hitam itu,

"Tidak malu sama anak muda ini! Sudah tua peot masih bicara soal rindu! Mengacalah dulu, Sonokeling?! Lihatlah dirimu, masih muda atau sudah tua?!"

"Apa yang boleh punya rindu hanya anak muda?!" Ki Sonokeling duduk melonjorkan kaki seenaknya saja.
"Sudah tak pantas orang seusia kita bicara soal rindu!"

"Kalau tak pantas ya sudah!" kata Ki Sonokeling kemudian. "Aku ke sini juga mau kasih tahu kamu, Nyai! Tempatmu disatroni pencuri!"

"Apa...?!" nenek bergusik kaget.

"Kulihat ada tiga mayat lagi yang tergeletak di atas petilasan itu! Dan kulihat juga ada sepasang muda-mudi di sana!"

"Siapa mereka?!"

"Entah. Aku tak menegur muda-mudi itu! Waktu kutinggalkan mencari kamu, mereka sedang bertarung! Pokok masalahnya sudah pasti soal jubah keramat itu!"

"Suto!" kata nenek itu kemudian, "Aku harus segera ke petilasan! Aku harus mencegah kedua anak muda itu saling berebut jubah keramat! Mereka harus kuberi pelajaran agar tidak seenaknya menginjak-injak Pesanggrahan Teratai Dewa!"

"Kalau begitu, aku ikut de...."

Clappp... !

Suto terkejut, nenek itu lenyap begitu saja. Entah kemana perginya dan entah bagaimana bergeraknya. Suto hanya merasakan hembusan angin melesat di depannya. Tetapi Ki Sonokeling masih ada di tempatnya sedang garuk-garuk kepala.

* * *4

SEPERTI apa yang dikatakan Ki Sonokeling, di pelataran Petilasan Teratai Dewa terdapat tiga mayat. Tentu saja mayat itu adalah mayat si Cakar Macan, Julung Boyo dan Tapak Getih. Tetapi dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ada.

Nyai Cungkil Nyawa mencari-cari kedua muda-mudi itu ke beberapa tempat sambil menggerutu,
"Jangan-jangan mereka sedang mesra-mesraan di sini! Kugepruk habis kalau ketemu! Tempat suci kok mau dipakai remas-remasan?!"

Dalam keremangan cahaya langit yang sudah menjadi cerah dengan rembulan kece mengintip sangat sedikit, Nyai Cungkil Nyawa menyusuri tempat-lempat yang paling tidak memungkinkan dijamah manusia. Tetapi tetap saja dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ia temukan.

Akhirnya Nyai Cungkil Nyawa kembali ke reruntuhan bagian depan. Mayat-mayat itu diseretnya satu persatu untuk dibuang ke jurang yang jaraknya tak seberapa jauh dari petilasan itu. Sambil menyeret mayat- mayat itu Nyai Cungkil Nyawa menggerutu,

" Sampai kapan orang-orang bodoh ini habis dari permukaan bumi?! Semakin banyak orang bodoh, maka akan semakin banyak lagi pekerjaanku menyeret mayat, membuangi mayat, menjadikan mereka mayat dan semua ini sungguh pekerjaan yang membosankan bagiku! Dari hari ke hari pekerjaanku hanya urusan kematian terus. Padahal aku tidak pernah punya cita-cita untuk menjadi petugas kematian!"

Nyai Cungkil Nyawa tertidur di pelataran reruntuhan, ia kecapekan menyeret tiga mayat sambil menggerutu.
Suara dengkurnya samar-samar terdengar berirama naik turun. Kadang tinggi, kadang rendah, kadang pelan, kadang keras. Sesekali di sela sepinya malam ia terbatuk-batuk, lalu lelap lagi dan hadir kembali suara naik turun dari dengkurnya yang tidak punya kemerduan sama sekali itu.

Sebenarnya Suto Sinting sudah bisa sampai di petilasan sebelum nenek itu tertidur. Tapi agaknya Suto jadi punya urusan lain dengan Ki Sonokeling. Lelaki berpakaian serba hitam itu merasa kagum terhadap ilmu 'Sembur Siluman' milik Suto yang bisa membuat penyamarannya dari seekor harimau loreng menjadi pudar dan membuatnya kembali ke wujud manusia. Padahal selama ini tak ada manusia yang bisa memudarkan ilmu 'Siluman Macan'-nya. Nyai Cungkil Nyawa belum tahu bahwa harimau itu jelmaan Ki Sonokeling. Jika harimau loreng itu belum mengajaknya bicara dalam bahasa manusia, nenek itu belum bisa memastikan bahwa harimau itu jelmaan Ki Sonokeling.

"Aku heran padamu, Anak Muda! Kau bisa dengan mudah mengetahui bahwa harimau itu jelmaanku, dari mana kau menandainya?"

"Dalam penglihatanku, mata harimau itu merah. Jadi aku tahu harimau itu hanya siluman seseorang."

"Dan kau bisa mengubah wujud manusia diriku yang sebenarnya dengan hanya menyemburkan tuak, sungguh itu suatu ilmu yang langka. Setahuku ilmu sembur tuak begitu hanya dimiliki oleh tokoh tua yang dikenal dengan nama si Gila Tuak!"

"Aku muridnya si Gila Tuak, Ki Sonokeling!"

"Oh...?!" orang kurus berkulit hitam itu terkejut, ia memandangi Pendekar Mabuk dengan tatapan mata terheran-heran dan merasa kagum, ia berkata,

"Jadi, kau... kau muridnya si Gila Tuak itu?"
"Benar, Ki!"
"Waaah... pantas!"
"Ki Sonokeling mengenal Guru?"

"Ya. Aku kenal dengan gurumu. Dia orang baik. Dia tahu aku punya ilmu 'Siluman Macan', tapi ia tak pernah menggangguku. Hanya saja, aku pernah melihat dia menyemburkan tuak kepada seekor buaya yang ternyata adalah jelmaan si Gunomukti, teman seperguruanku dulu.

Dan dari situlah aku menjadi ciut nyali kalau ketemu si Gila Tuak, dalam keadaan sedang menjelma menjadi harimau! He he he...!" Ki Sonokeling tertawa sendiri membayangkan rasa takutnya jika ia sedang menjadi harimau dan berpapasan dengan si Gila Tuak. Ilmu itu biasanya digunakan oleh Ki Sonokeling untuk menakut-nakuti lawannya, biar tidak terjadi pertarungan antara dirinya dengan lawan tersebut. Hanya jika terpaksa sekali, karena diserang terus, maka sebagai wujud siluman harimau, Ki Sonokeling terpaksa
memangsa lawannya hingga mati.

"Boleh aku tahu namamu, Murid Gila Tuak?"
"Namaku Suto Sinting, Ki."

"O, Suto Sinting...? Ya ya ya... aku pernah dengar namamu dibicarakan oleh para tokoh di dunia persilatan ini. Kalau tidak salah kau yang berjuluk Pendekar Mabuk?"

"Benar, Ki."

"Berarti tak salah pula dugaanku, bahwa kaulah orangnya yang bisa menyembuhkan seseorang dengan tuakmu itu?"

"Aku hanya mencobanya, dan jika orang itu sembuh berarti Yang Maha kuasa memakaiku untuk menyembuhkannya. Aku hanya manusia biasa tanpa kekuatan apa-apa jika bukan kekuatan datang dari-Nya, Ki."

"Luar biasa jiwamu! Rupanya kau menjadi pewaris jiwa gurumu juga!"
"Guru selalu mendidikku begitu, Ki!"
"Ya, ya... aku percaya itu. Dan sekarang bisakah aku minta tolong padamu, Suto?"
"Tentang apa, Ki?"
"Aku mempunyai keponakan, dan keponakan itu punya anak, jadi anak itu termasuk cucuku, bukan?"
"Benar."

"Cucuku sedang sakit saat ini, Suto. Ia terkena racun pada waktu bertarung melawan orang sesat dari Perguruan Kobra Hitam, dan sampai sekarang racun itu masih merusak raganya, tak dapat kusembuhkan dengan berbagai cara."

"Siapa orang Kobra Hitam yang bertarung dengan cucumu itu?"
"Rangka Cula! Dia memang orang jahat dan...."
"Dan sedang kukejar-kejar, Ki!"

"O, ya?!" Ki Sonokeling terperanjat. "Kalau begitu, kau bisa tanyakan kepada cucuku itu ke mana larinya Rangka Cula!"

"Baiklah. Kita pergi ke tempat cucumu, Ki!"

Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Suto Sinting sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa.

"Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil Nyawa?"

"Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat bersahabat."

"Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa menghilang begitu."

"Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu. Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu tinggi ingin merusak makam tersebut.

Tapi... Sendang Kedaton memang sakti dan ,,,,,,, "
"Lho, namanya Sendang Kedaton atau Sendang Katon?!" potong Suto Sinting.

"Sendang Kedaton, itu nama sebenarnya. Tapi dia sering mengubahnya sendiri menjadi Sendang Katon. Maksudnya Katon adalah kelihatan, sedangkan maksudnya Kedaton adalah keraton atau istana. Sendang adalah air bening sejenis dengan air telaga."

"Ooo... terus, terus bagaimana kisah percintaan Ki Sonokeling dengan Nyai Cungkil Nyawa itu?"

"Ya tidak ada...!" jawabnya sambil melangkah dan garuk-garuk kepala. "Kisah percintaanku hanya berat sebelah. Tapi aku cukup puas dan senang, walau ia tidak membalas cintaku, tapi ia bersikap baik padaku! Padahal dulu dia seperti orang gila."

"Maksudnya?"

"Sering mencaci-maki aku dengan seribu kata makian tanpa sebab. Tapi karena aku tetap tabah, akhirnya dia jadi bosan bersikap galak padaku, dan berubah menjadi baik. Yaah... namanya saja perempuan, kalau kita tekun dan tabah, suatu saat akan tunduk juga!"

Ki Sonokeling terkekeh di tengah kegelapan malam yang remang itu, dan Pendekar Mabuk pun tertawa geli. Mereka masih melangkah menyusuri jalan setapak menuju tempat kediaman cucunya Ki Sonokeling. Pendekar Mabuk kembali mengajukan pertanyaan untuk mengisi waktu dalam perjalanan, biar tak sepi.

"Sebenarnya apa betul ada jubah keramat di dalam makam itu?"

"Betul! Banyak tokoh tua yang membicarakannya dan Nyai Cungkil Nyawa pun sering bercerita tentang hal itu kepadaku. Tapi sejauh ini, aku tak pernah diberitahu di mana letak pintu masuk menuju ruang bawah tanah. Aku pun tak ingin mendesaknya karana takut disangka punya maksud jahat separti mereka yang ingin memiliki jubah itu!"

"Apakah ia punya anak atau keluarga?"

"Tidak. Sejak pertama aku jumpa dia, dia tinggal di petilasan itu dan tak pernah punya anak, juga tak pernah punya suami. Dia selalu menolak ajakan kawin siapa pun, termasuk aku sendiri!"

"Barangkali itu sudah menjadi sumpahnya untuk menjadi penjaga makam Prabu Indrabayu, tidak boleh kawin dan tidak boleh punya anak! Mungkin juga tidak boleh punya murid!"

"Mungkin. Mungkin memang begitu. Aku tak bisa pastikan, sebab menurutku dia perempuan misterius yang menggemaskan hati, ingin mencubitnya setiap saat!"

"Ha ha ha ha...!" Suto Sinting tertawa geli mendengar ucapan seperti itu meluncur dari mulut orang setua Ki Sonokeling. Lalu, Suto sendiri segera berkata,

"Biar misterius, tapi kau tentu bahagia walau hanya merawat taman di sana, Ki! Karena dengan begitu kau bisa jumpa dia setiap hari!"

"Ya, tapi... tapi sekarang taman itu sudah tidak ada! Hancur dirusak orang-orang serakah yang ingin memiliki jubah itu, sehingga aku tidak punya kesibukan di sana. Tak ada yang kuurus kecuali hanya mengurus cintaku padanya."

"Ha ha ha ha...!" Pendekar Mabuk melepaskan tawa yang membuat Ki Sonokeling tampak senang ditertawakan soal cintanya.

Suto terpaksa bermalam di rumah cucunya Ki Sonokeling. Ia telah berhasil menyembuhkan cucunya Ki Sonokeling itu, dan racun yang membuat kakinya busuk perlahan-lahan itu telah menjadi tawar.

Esoknya, pagi-pagi sekali, mereka telah berangkat kembali menuju ke petilasan untuk menjumpai Nyai Cungkil Nyawa. Ki Sonokeling bernafsu sekali ingin segera menemui Nyai Cungkil Nyawa, sehingga pagi- pagi sekali ia sudah mengajak Suto berangkat, dan Suto yang sebenarnya masih mengantuk itu pun terpaksa menuruti ajakan tersebut, karena Ki Sonokeling berkata,

"Bumbung tuakmu sudah kupenuhi dengan tuak Mojolangu!"

"Oh, terima kasih! Terima kasih sekali, Ki!" jawab Suto kegirangan. Dan itulah penyebab mata Suto yang masih mengantuk menjadi melek.

Mata Nyai Cungkil Nyawa pun menjadi melek, tapi bukan karena mendengar tentang tuak, melainkan karena mendengar suara langkah kaki orang yang menuju ke Petilasan Teratai Dewa itu. Tapi nenek itu masih berlagak tidur.

Orang yang mendekati petilasan itu sudah bisa diduga oleh Nyai Cungkil Nyawa, karena ia sudah hafal bau keringat orang itu. Tapi orang itu tidak tahu bahwa kedatangannya sengaja ditunggu oleh Nyai Cungkil Nyawa dalam lagak tidurnya.

Orang tersebut berpakaian merah-merah dengan bajunya yang tanpa pernah dikancingkan bagian depannya. Orang itu mempunyai badan tergolong besar dengan perut sedikit buncit. Wajahnya kasar, berkesan bengis. Alisnya tebal, kumisnya pun tebal. Matanya lebar dan kulit matanya sedikit mengendur ke bawah. Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan.

Di pinggangnya terselip kapak bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya itu.

Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke petilasan itu bukan untuk maksud yang baik. Terbukti ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.

Wusss... !

Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-tiba batu itu berhenti di udara, maju tidak, mundur pun tidak.

Zepp...!

Orang bermata lebar itu semakin memperlebar matanya lagi melihat batu bisa berhenti di udara, ia mundur dua tindak. Dan tiba-tiba batu itu berkelebat cepat, melesat ke arahnya sendiri. Orang itu menggeragap bingung, kemudian melompat ke samping dan batu pun lolos dari sasarannya, menghantam sisa pilar. Durrr..! Bruss...! Sisa pilar itu hancur, padahal lebih besar dari batu itu sendiri.

Nyai Cungkil Nyawa menggeliat bangun pelan-pelan. Mulutnya menguap lebar dengan kedua tangan direntangkan. Pada waktu mulutnya menguap lebar, orang berpakaian merah itu cepat mengambil sebatang kayu yang agak runcing, lalu dilemparkan ke arah mulut itu.

Wuttt!Tab...!

Kayu itu cepat ditangkap dengan tangan kiri Nyai Cungkil Nyawa. Bersamaan dengan itu, Nyai Cungkil Nyawa membuka mata dan bangkitlah ia dengan sedikit limbung.

"O, kamu lagi yang datang, Gandarwo! Apa belum jera melawanku?"

Orang yang ternyata bernama Gandarwo itu menggeram gemas. Dua kali usahanya membunuh Nyai Cungkil Nyawa tidak berhasil, ia segera mencabut kapak dua mata dari pinggangnya.

"Aku belum puas kalau belum membunuhmu, Nyai!" geramnya.

"Ya silakan bunuh, biar kamu puas!" kata Nyai Cungkil Nyawa dengan seenaknya saja. Ia mulai melangkah dengan menggunakan tongkatnya yang tak seberapa panjang itu. Ia mendekat, tapi Gandarwo mundur dua tindak.

"Apa kau sudah punya ilmu baru, sehingga berani datang kemari?" kata Nyai Cungkil Nyawa.
"Sudah!" jawabnya membentak. "Kali ini kau tak akan bisa menghindari ilmu pukulanku yang terbaru! Heaaah...!"

Gandarwo menyentakkan kapaknya ke depan. Tiba- tiba ujung kapak yang berupa logam merah membara seperti mata tombak itu meluncur cepat, belakangnya berantai panjang. Rantai itu kecil dan mengikuti gerakan ujung kapak tersebut. Suttt...! Zerrrr...!

Wut wut wut wut wut... !

Benda kecil yang berwarna merah itu bergerak terbang mengitari tubuh Nyai Cungkil Nyawa. Rantai tersebut akhirnya melilit-lilit di tubuh Nyai Cungkil Nyawa dan menjadikan sang Nyai terikat dari lengan sampai kaki. Ia tak dapat bergerak. Terjerat kuat sekujur tubuhnya.

Sedangkan mata tombak yang merah itu melesat kembali ke pemiliknya dan ditangkap dengan tangan kiri Gandarwo. Serrrtt...!

Mata tombak itu ditarik, membuat rantainya mengencang dalam ikatan yang tak mudah dilepaskan itu. Gandarwo tertawa terbahak-bahak melihat Nyai Cungkil Nyawa terjerat begitu kuat.

"Ha ha ha ha... ! Sekarang kau tak akan bisa berkutik, Nyai! Kau akan mati jika rantai ini kutarik dengan sentakan kuat, dan tubuhmu akan terpotong oleh rantai kecil ini! Ha ha ha ha...!"

"Husy! Berisik!" bentak Nyai Cungkil Nyawa yang membuat tawa itu lenyap seketika. Kini Gandarwo menggeram penuh nafsu membunuh, ia berkata dengan mata angkernya yang memandang tajam,

"Semua ilmuku sudah kulepaskan untuk membunuhmu tapi kau bisa mengimbanginya. Namun sekarang, jurus 'Rantai Pemotong Baja' ini, tidak akan bisa kau hindari lagi, Nyai. Tidak akan bisa kau lawan! Hanya ada satu yang bisa menyelamatkan kamu, yaitu sebutkan di mana letak pintu masuk ke ruang bawah tanah tempat ini!"

Dengan tenang, seakan tak menghiraukan tubuhnya yang terikat, Nyai Cungkil Nyawa berkata kepada Gandarwo,

"Kau benar-benar manusia paling bodoh dari yang terbodoh, Gandarwo! Sejak kau masih muda, sampai usiamu sekarang sudah lewat dari lima puluh tahun, kerjamu hanya mengejar-ngejar jubah keramat saja! Apa tidak ada pekerjaan lain, hah?! Daripada mengejar- ngejar jubah yang belum kau tahu di mana letak pintu masuknya! Bodoh amat kau ini!"

"Persetan dengan omonganmu! Sekarang aku akan dapatkan letak pintu itu dari mulutmu! Kalau kau tidak sebutkan, kutarik rantai ini, dan terpotonglah tubuhmu menjadi beberapa potong!"

"Ilmu seperti ini kok mau diandalkan untuk melawanku, Gandarwo? Carilah ilmu lain yang bisa untuk membunuhku!"

"Nyatanya kau tak bisa meloloskan diri dari jeratanku!"
"Siapa bilang?! Aku ada di belakangmu, Gandarwo!"

Terkejut bukan kepalang tanggung Gandarwo mendengar suara berkata begitu di belakangnya. Ketika ia berpaling ke belakang, ternyata Nyai Cungkil Nyawa sudah berdiri di belakangnya. Gandarwo semakin membelalakkan matanya lebar-lebar, ia kembali memandang ke arah rantai yang mengikat tubuh Nyai Cungkil Nyawa.

"Lho...?!" Gandarwo terpekik, karena rantai itu ternyata dalam keadaan tergeletak menumpuk di lantai tanpa ada orang yang dijeratnya. Rantai itu mudah ditarik dan tak memiliki hambatan penjerat apa pun, malah nyaris kusut sendiri.

Dalam satu sentakan, rantai itu bergerak sendiri masuk ke lubang gagang kapak, sehingga kini ujung rantai yang berupa logam merah seperti mata tombak itu telah kembali merapat di ujung kapak.

Belum sempat Gandarwo berbalik ke arah Nyai Cungkil Nyawa, punggungnya telah dihantam memakai telapak tangan kiri nenek bergusik itu. Dan seketika itu juga, tubuh besar melayang ke depan bagaikan daun pisang dilemparkan. Wuttt...! Bruskk...!

"Woaaow...!" teriak Gandarwo karena ia membentur dinding sisa reruntuhan. Wajahnya beradu dengan kuat, membuat hidungnya berdarah dan tulang pipinya menjadi memar membiru.

Ia membalik dengan terengah-engah, kemudian menggeram,

"Manusia setan! Tunggu saatnya aku kembali lagi!" Dan setelah itu Gandarwo melesat pergi, melarikan diri. Nyai Cungkil Nyawa hanya memandang sambil geleng-geleng kepala dan menggerutu,

"Pagi-pagi cari penyakit saja anak itu...?!"

***5

PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi.

Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.

Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta
Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil.

"Sudah kukatakann kau tak akan berhasil melukaiku, Ratna! Karena itu, berhentilah menyerangku dan biarkan aku mencari jubah keramat itu sendiri! Jangan menyerangku lagi. Hematlah tenagamu, Ratna. Lebih baik kau bantu aku mencari pintu masuk ke dalam ruang bawah tanah itu, supaya aku bisa mendapatkan jubah tersebut dan kau akan kuberi hadiah sesuka permintaanmu!"

Gadis memakai pakaian merah jambu sebatas dada dengan kain jubah tipis warna hijau muda tanpa lengan itu, memang menghentikan serangannya, namun masih tetap menggenggam pedangnya untuk sewaktu-waktu dikibaskan ke arah Marta Kumba. Matanya masih tajam memandang penuh rasa penasaran, tapi tak terlalu banyak cahaya permusuhan.

"Sebelum aku berhasi! memukul atau melukaimu, aku tak akan berhenti menyerangmu, Marta Kumba!" geram gadis itu, yang ternyata bernama Ratna Prawitasari.

"Baiklah," kata Marta Kumba. "Kau boleh memukulku, tapi jangan melukaiku!"
"Aku ingin kau melawanku, Marta Kumba!"
"Aku tak tega, Ratna! Tak tega...!"

"Harus tega!" sentak Ratna Prawitasari. "Karena kau adalah lawanku dalam memperebutkan jubah keramat itu! Kita harus bertarung sampai mati bila perlu!"

"Kurasa tak perlu," kata Marta Kumba sambil mengangkat bahu sekejap. "Kurasa kita lebih baik bersatu daripada bermusuhan!"

"Karena kau menginginkan jubah itu dan aku pun menginginkannya, maka tak akan bisa kita bersatu!"
"Kalau begitu, kita cari jubah itu biar dipakai anak kita nanti?!"

"Hmm...!" Ratna Prawitasari mencibir. "Kau sangka aku mau menjadi istrimu?!"

"Kalau kau tidak mau, pasti kau sudah serang aku dengan jurus-jurus mautmu! Bukan dengan jurus main- main!" Marta Kumba tersenyum.

"Untuk apa menggunakan jurus maut melawan orang semacam kau! Kalau kau menyerangku, baru akan kugunakan jurus mautku! Seranglah aku sekarang juga, Marta Kumba!"

"Tak mau, ah!" jawab Marta Kumba sambil duduk di sebuah batu.

Pemuda tampan itu sengaja melirik dalam tersenyum. Ratna Prawitasari mendengus kesal, karena hatinya selalu berdebar-debar jika melihat lirikan mata dan senyuman bibir Marta Kumba, ia menjadi jengkel pada hatinya sendiri yang sering berbunga kagum dan terpesona menatap ketampanan Marta Kumba. Rasa jengkel dan kesalnya itu dilampiaskan dalam setiap serangan yang bertujuan menghajar Marta Kumba, agar tidak memancing asmara dalam hatinya lagi.

"Seranglah aku, Marta Kumbaaa...!" teriak Ratna Prawitasari dengan keras. Pedangnya masih siap melintang di atas kepala. Marta Kumba hanya memandang dengan sorot mata yang menakjubkan hati Ratna Prawitasari.

"Jahanam kau!" geram Ratna Prawitasari. "Jangan tatap aku begitu!"
"Haruskah aku memejamkan mata melawanmu?"
"Tidak perlu! Tapi cara memandangmu aku tak suka!"
"Kenapa?"
"Kau menghadirkan asmara dalam hatiku dan aku tidak mau punya asmara bersamamu!"
"Kalau begitu, tinggalkan aku di sini! Pergilah sana!"

"Tidak bisa! Kau sainganku untuk mendapatkan jubah keramat dan kau harus kulenyapkan dulu! Hiaaat...!"

Wutt ........ ! Trangng ....... !

Pedang yang ditebaskan Ratna Prawitasari mengenai batu tempat duduk Marta Kumba, karena pemuda itu tiba-tiba melesat sebelum pedang sampai melukai tubuhnya.