Siluman Ular Putih 6 - Lembah Kodok Perak(2)


5

Sosok yang menyelamatkan Siluman Ular
Putih dari kematian adalah seorang lelaki bertu-
buh tinggi kurus terbalut pakaian putih. Usianya
sudah sangat renta, bahkan sulit sekali  ditaksir.
Rambutnya panjang memutih tergerai di bahu.
Wajahnya tirus. Sepasang matanya mencorong ta-
jam, pertanda tenaga dalamnya sudah mencapai
tingkat yang sulit sekali diukur! 
Dengan sinar mata tajam, lelaki tua itu te-
rus memandangi keempat orang pengeroyok Silu-
man Ular Putih. Kedua bibirnya berkemik-kemik.
Jari-jari tangannya terus memilin-milin biji-biji
tasbih putih yang tadi digunakan untuk mengha-
lau serangan keempat tokoh sesat itu terhadap Si-
luman Ular Putih!
"Siapa aku?" kata lelaki tua ini. 
"Aku hanyalah segumpal tanah. Mengapa
kalian meributkan aku? Dan mengapa pula kalian
tidak mau mencuci bersih otak dan hati? Mengapa
kalian malah mengumbar kegilaan? Bila semua
yang ada di alam semesta ini musnah, apakah arti
kegilaan kalian? Alangkah indahnya bila berpe-
gang teguh pada tali kasih sayang. Sebab hanya
tali kasih sayang sajalah yang dap...."
"Setan Alas!" Potong Iblis Kelabang Merah,
membentak. "Kematian sudah di depan mata ma-
sih banyak bacot! Di sini bukanlah tempat berk-
hotbah, tahu?!"
Saat itu juga Iblis Kelabang Merah meng-
hentakkan kedua telapak tangannya yang telah

berwarna merah darah ke depan. Maka seleret si-
nar merah dari kedua telapak tangannya melesat
menyerang tubuh ringkih orang tua berbalut kain
putih. Padahal, jangankan tubuh ringkih. Batu
gunung sebesar gajah pun akan hancur berkep-
ing-keping terkena pukulan 'Racun Kelabang Me-
rah'.
Wesss!
Bukkk!
Seleret sinar merah itu telak sekali meng-
hantam dada. Namun anehnya, lelaki tua kurus
itu masih tetap tegak di tempatnya! Jangankan
hancur berkeping-keping, seperti yang telah di-
bayangkan Iblis Kelabang Merah. Bergeming dari
tempat berdirinya pun tidak! Malah, pada kain pu-
tih pembalut tubuh lelaki tua itu tampak cairan
merah berwarna merah darah! Namun, itu bukan-
nya darah lelaki tua itu, melainkan racun kela-
bang merah yang berbau amis bukan kepalang.
Bukan main kagetnya tokoh sesat itu meli-
hat kesaktian orang tua berkain putih. Bahkan Si-
luman Ular Putih sampai melongo dibuatnya, sak-
ing herannya.
"Bolehkah aku mengetahui nama besarmu,
Orang Tua?" cetus Soma, saking penasarannya.
"Pergilah! Jangan terlalu banyak mem-
buang waktu dengan pertanyaan bodoh mu! Sam-
paikan saja salamku pada eyang mu, Adi Begawan
Kamasetyo!" ujar lelaki tua sakti itu dengan se-
nyum arif terkembang di bibir.
Siluman Ular Putih terkesiap. Ia tidak me-
nyangka kalau orang tua sakti di hadapannya
mengenal eyangnya, sekaligus gurunya!
"Baik. Tapi kalau eyangku bertanya salam
dari mana, aku mesti jawab apa?"
"Adi Begawan Kamasetyo pasti tahu dari

siapa salam itu. Sekarang lekaslah tinggalkan
tempat ini! Nampaknya kau sedang menghadapi
urusan besar."
"Benar, Orang Tua. Dan aku pun mengu-
capkan terima kasih atas pertolonganmu ini."
"Sudahlah! Jangan terlalu banyak berbasa-
basi! Lekas tinggalkan tempat ini!"
"Se.... Sebenarnya aku ingin sekali melihat
bagaimana caramu menghajar empat ekor nyamuk
hutan itu. Tapi, baiklah. Sekarang juga aku akan
pergi ke Lembah Kodok Perak. Selamat tinggal,
Orang Tua!" kata Soma, lalu cepat berkelebat dari
tempat itu.
"Setan Alas! Kau harus bertanggung jawab
atas lenyapnya kunyuk gondrong itu, Orang Tua!"
bentak Iblis Kelabang Merah penuh kemarahan
seraya mendorongkan kedua telapak tangannya
yang berwarna merah.
Bersamaan dengan itu, ketiga orang tokoh
sesat lainnya telah mengurung lelaki tua berbalut
kain putih dengan senjata tergenggam di tangan.
Sedikit pun lelaki tua arif itu tidak gentar
melihat serangan-serangan para pengeroyoknya. Ia
hanya menjentikkan ujung telunjuk kanannya.
Wesss! 
Maka, seleret sinar putih menyilaukan ma-
ta melesat, memapak seleret sinar merah menyala
dari kedua telapak tangan Iblis Kelabang Merah.
Lalu....
Bummm...! 
Iblis Kelabang Merah terpental beberapa
tombak ke belakang. Tubuhnya berputar-putar,
sebelum akhirnya jatuh bergedebuk di tanah tan-
pa dapat bergerak-gerak lagi. Mati!
Bukan main kagetnya ketiga tokoh sesat
yang belum sempat melepas serangan. Namun

kematian Iblis Kelabang Merah bukannya mem-
buat hati mereka jera. Seketika mereka segera
menyerang lelaki tua tinggi kurus itu dengan ju-
rus-jurus andalan.
Anehnya, lelaki sakti itu hanya berkelebat
ke sana kemari menghindari serangan sambil te-
rus memperhatikan gerakan-gerakan kaki dan
tangan ketiga lawannya. Hingga tiga jurus berlalu,
ia masih terus asyik memperhatikan jurus-jurus
para pengeroyoknya.
"Keparat! Mengapa kau hanya menghindar
saja, Orang Tua? Hayo, lekas balas serangan kami
sebelum nyawa busukmu melayang!" teriak Teng-
korak Serigala penasaran.
"Baik-baik! Kalau kalian memang meng-
hendakinya. Tapi sebelumnya jangan kaget dengan
jurus-jurus yang akan ku  keluarkan. Nan, lihat-
lah! Apa kau mengenali jurus ini?" sahut lelaki tua
kurus itu, kalem.
Kedua lututnya segera ditekuk sedemikian
rupa. Tangan kirinya mendorong ke depan. Tan-
gan kanannya membuat cengkeraman dari bawah
ke atas, seperti yang tadi telah dilakukan Tengko-
rak Serigala.
Tentu saja Tengkorak Serigala kaget bukan
main, melihat jurus-jurus yang dikeluarkan lelaki
tua sakti berbalut kain putih itu. Karena, itu ada-
lah jurus-jurus miliknya sendiri yang tadi diper-
gunakan untuk menyerang si tua berbalut kain
putih itu.
Lebih anehnya lagi, jurus 'Tongkat Putih
Penggebuk Dewa' milik Tengkorak Serigala yang
dikeluarkan lelaki tua sakti itu malah jauh lebih
hebat disbanding jurus yang dikeluarkannya tadi!
"Jahanam! Dari mana kau pelajari jurus
'Tongkat Putih Penggebuk Dewa'-ku, Orang Tua?"

pekik Tengkorak Serigala kaget bukan main. Tidak
menyangka kalau lelaki tua sakti di hadapannya
mampu mengeluarkan jurus-jurus andalannya
jauh lebih hebat dibanding miliknya.
Lelaki tua sakti itu hanya tersenyum tipis.
Dengan menggunakan jurus sakti yang dipelajari
dalam sekali lihat saja, ia terus mendesak Tengko-
rak Serigala! Bahkan mampu pula menahan se-
rangan-serangan Tengkorak Serigala dan Ki Ju-
lung Pucut.
Kemudian setelah menyerang Tengkorak
Serigala, lelaki tua sakti itu pun kembali menye-
rang Raja Toya dan Ki Julung Pucut hebat. Dan
hebatnya lagi, serangannya pun menggunakan ju-
rus-jurus yang tadi dikeluarkan Raja Toya dan Ki
Julung Pucut! Bahkan pula jauh lebih hebat!
Seperti yang dialami Tengkorak Serigala,
Raja Toya dan Ki Julung Pucut kaget bukan alang
kepalang. Mereka tidak menyangka kalau musuh-
nya mampu menirukan jurus-jurus andalan mere-
ka yang demikian hebat. Padahal jurus-jurus itu
hanya mereka sajalah yang mengetahuinya. Tapi,
lelaki tua itu?
Diam-diam Ki Julung Pucut mengerutkan
keningnya dalam-dalam. Ia tadi baru saja dapat
keluar dari tekanan-tekanan lelaki tua sakti itu.
"Hm...! Kalau tidak salah, di dunia persila-
tan ini hanya ada satu orang yang mampu meni-
rukan jurus-jurus sakti seseorang dalam sekali li-
hat saja. Tokoh sakti itu tidak lain adalah, Eyang
Bromo!" gumam Ki Julung Pucut dalam hati.
Sehabis menggumam begitu, Ki Julung Pu-
cut menatap tajam lelaki tua sakti itu. 
"Eyang Bromo! Di antara kita tidak pernah
ada silang sengketa. Tapi, mengapa kali ini kau
memusuhi kami?!" bentaknya, garang.

Bukan main kagetnya hati Raja Toya dan
Tengkorak Serigala mendengar disebut-sebutnya
tokoh sakti nomor satu di dunia persilatan. Maka,
seketika itu juga nyali mereka pun kontan ciut.
"Benar! Di  antara kita memang tidak ada
silang sengketa. Tapi, mengapa kalian belum jera
juga menebar angkara murka di muka bumi ini?
Lekaslah kembali ke jalan kebenaran! Dan cucilah
hati dan otak kalian dengan kasih sayang!" ujar le-
laki tua berbalut kain putih bernama Eyang Bro-
mo diiringi senyum arif.
"Jahanam! Tua bangka bau tanah! Hari ini
kami mengaku kalah. Tapi, awas! Tunggulah pem-
balasanku nanti!" teriak Tengkorak Serigala den-
gan rahang menggembung.
Sehabis berkata begitu, Tengkorak Serigala
pun segera berkelebat cepat meninggalkan tempat
itu. Selang beberapa saat, Ki Julung Pucut dan
Raja Toya pun ikut menyusul kepergian kawannya
setelah menyambar mayat Ki Julung Kencono dan
Iblis Kelabang Merah.
"Bagaimana mungkin mampu menjadi kafi-
lah di muka bumi, kalau hati mereka masih jauh
dari rasa kasih dan sayang...," desah Eyang Bromo
seraya menggeleng-geleng.
Sepasang mata lelaki tua ini sempat meli-
hat bayangan ketiga orang itu menghilang di se-
buah tikungan di depan sana. Kemudian setelah
menghela napas panjang, kakinya menjejak tanah.
Maka dalam sekejapan mata saja, sosoknya telah
jauh berkelebat ke dalam hutan jati!

***
6

Setelah bersemadi selama dua hari untuk

memulihkan tenaga dalamnya, yang terkuras sete-
lah bertarung dengan beberapa tokoh sesat, Silu-
man Ular Putih kini telah berdiri di sebuah tang-
gul. Matanya tak lepas memandang ke arah bukit
kecil di kejauhan sana. Sinar matahari sore ini
berwarna jelaga menyapu sebagian badan bukit.
"Semprul! Di mana sih letaknya Lembah
Kodok Perak? Apa di balik bukit sana? Kalau tidak
salah waktu itu Bunda Kurawa memang mengata-
kan demikian. Yah yah...! Sebaiknya sekarang juga
aku pergi ke sana," kata Soma dengan mata seolah
mencari-cari.
Di saat Soma bermaksud turun dari tang-
gul, mendadak matanya melihat sesosok tubuh
berpakaian hitam-hitam tengah melenggang santai
sepuluh tombak di bawah sana. Tubuh orang itu
tinggi besar dengan rambut gondrong sebahu.
Usianya kira-kira tiga puluh lima tahun. Namun
anehnya wajah kotaknya tampak demikian kaku,
seperti mayat hidup!
Soma seperti bergidik melihat tampang
angker orang itu. Namun toh akhirnya murid
Eyang Begawan Kamasetyo ini cepat meloncat tu-
run. Langsung dijajarinya langkah orang itu.
"Maaf, Paman! Apa benar letak Lembah
Kodok Perak itu di belakang bukit sana itu?" tanya
Soma seraya menuding ke arah seonggok bukit hi-
jau di kejauhan sana. 
Namun anehnya orang tua tinggi besar itu
sama sekali tidak mempedulikan. Malah langkah-
nya makin dipercepat
Soma penasaran sekali. Buru-buru lang-
kahnya dipercepat. Sekali tangannya terulur, pun-
dak lelaki itu pun telah tertepuk.
"Maaf, Paman! Apa benar Lembah Kodok
Perak itu letaknya di belakang bukit sana?" ulang

Soma.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu memaling-
kan kepalanya. Diperhatikannya pemuda gon-
drong di sampingnya dengan seksama. Kemudian
dengan sikapnya yang kaku seperti mayat hidup,
langkahnya kembali diteruskan. 
"Sontoloyo! Manusia apa dedemit sawah?
Ditanya malah melotot?" gerutu Soma kesal.
Lelaki berpakaian hitam-hitam itu tetap ti-
dak mempedulikan ucapan murid Eyang Begawan
Kamasetyo. Malah langkahnya semakin dipercepat
Sementara Soma hanya menggeleng-geleng
saja. Namun pemuda ini tak patah semangat. Se-
ketika tubuhnya berkelebat. Dan kini ia kembali
menjajari langkah lelaki aneh berpakaian hitam-
hitam itu.
Lelaki aneh berpakaian hitam-hitam  itu
menghentikan langkahnya. Keningnya berkerut-
kerut. Sepasang matanya yang besar terus mena-
tap tajam Siluman Ular Putih tanpa berkedip.
"Pergilah kau ke tempat asalmu, Bocah!
Dari mana kau datang, ke sana pulalah kau kem-
bali. Dan, jangan bermimpi untuk dapat masuk ke
dalam Lembah Kodok Perak!" dengus lelaki berpa-
kaian hitam-hitam itu.
Secepat lelaki ini berbalik, secepat itu pula
tubuhnya kembali berkelebat cepat meninggalkan
Siluman Ular Putih seorang diri. 
"Tunggu dulu, Paman! Hup!"
Begitu habis kata-katanya, Siluman Ular
Putih cepat meloncat jauh. Langsung dihadangnya
langkah lelaki itu. Sepasang mata birunya terus
menatap tajam tak berkedip. 
Wajah kaku lelaki berpakaian hitam-hitam
itu demikian mengerikan. Tak sepatah kata pun
terucap dari kedua bibirnya yang berkemik-kemik.

Hanya matanya saja yang balas memandang So-
ma.
"Mengapa kau tak menjawab pertanyaan-
ku, Paman?" tegur Soma.
"Karena kau punya maksud yang tidak
baik, Bocah!" jawab lelaki berpakaian hitam-hitam
itu pendek.
Soma melengak kaget.
Bagaimana  mungkin lelaki aneh ini dapat
mengetahui maksud kedatangannya ke Lembah
Kodok Perak? Memang Soma sedikit punya mak-
sud tidak baik di Lembah Kodok Perak. Tapi, ba-
gaimana mungkin dia dapat mengetahuinya? So-
ma bertanya-tanya dalam hati.
"Kalau memang iya, apa pedulimu? Dan
sebenarnya, kau ini siapa? Mengapa usil dengan
urusanku segala?" kata Soma kesal.
Wajah kaku berkumis itu tampak demikian
garang. Mulutnya berkemik-kemik menahan gejo-
lak amarah.
"Percuma saja kukatakan. Karena kau sen-
diri juga tidak mungkin dapat mengetahuinya!"
jawab lelaki berkumis lebat itu ketus.
Soma tertawa bergelak. Telunjuk jarinya di-
tudingkan ke muka lelaki berkumis itu seraya
menggeleng-geleng.
"Bagaimana mungkin kau dapat mengata-
kan percuma kalau kau sendiri belum menye-
butkan namamu? Dan jika dugaanku tidak salah,
kau ini tentu salah seorang dari Tiga Jenggot, Em-
pat Brewok dan Tujuh Kumis dari Lembah Kodok
Perak. Atau setidak-tidaknya, mempunyai hubun-
gan yang erat sekali dengan orang-orang Lembah
Kodok Perak," cecar Siluman Ular Putih.
Wajah kaku laki-laki berkumis lebat itu
tampak menegang. Sepasang matanya berkilat-

kilat. Kedua bibirnya berkemik-kemik pertanda
tengah menahan amarah menggelegak.
Tanpa mempedulikan kemarahan lelaki di
hadapannya, Soma maju setindak.
"Kau tidak mau mengatakannya juga, Pa-
man?!" cecar Soma lagi dengan suara agak keras.
"Orang-orang dari golongan Lembah Kodok
Perak belum pernah memberitahukan namanya,
tahu?!" bentak laki-laki berkumis lebat itu, tak ka-
lah keras.
Soma tertawa ganda, saking jengkelnya
melihat sikap kaku lelaki di hadapannya. Namun
mendadak suara tawanya berhenti  ketika tanpa
banyak cakap, laki-laki berkumis lebat itu ber-
jongkok sampai pantatnya menyentuh tanah.
"Kok...! Kok...!"
Aneh! Lelaki ini mendadak mengeluarkan
suara mirip kodok. Bersamaan dengan itu, kedua
jari-jari tangannya didorongkan ke depan
Wesss...!
Maka seketika itu juga serangkum angin
dingin dari kedua jari-jari tangan lelaki berkumis
itu telah meluruk ke arah Siluman Ular Putih he-
bat!
Pemuda ini terkesiap kaget. Sungguh tidak
disangka kalau lelaki berkumis lebat itu akan me-

nyerang dirinya demikian hebatnya. Saking terke-
simanya Siluman Ular Putih, tak sempat lagi me-
mapak.
"Hup!"
Hanya melempar tubuhnya ke belakang
yang dapat dilakukan Soma. Namun tetap saja ge-
rakan tubuhnya masih kalah cepat. Sehingga tan-
pa ampun lagi.
Tuk! Tuk!
Dada Siluman Ular Putih kontan terhan-

tam sambaran angin dingin dari jari-jari tangan le-
laki berkumis tebal itu! Seketika itu juga tubuhnya
makin terlempar beberapa tombak ke belakang.
Sebentar pemuda itu berputar-putar sebelum ak-
hirnya jatuh mencium tanah.
Siluman Ular Putih mengeluarkan sumpah
serapah dalam hati. Wajahnya pucat pasi. Kedua
bibir meringis menahan nyeri.
"Sontoloyo! Bagaimana mungkin aku dapat
dirobohkan dalam segebrakan?" maki Siluman
Ular Putih dalam hati. 
Bersama dengan itu hawa dingin akibat to-
tokan jarak jauh lelaki berkumis tebal itu pun mu-
lai menjalar ke dalam tubuhnya! Siluman Ular Pu-
tih tidak tahan lagi. Sekujur tubuhnya menggigil
kedinginan.
"Kampret! Benar-benar kampret! Mengapa
tadi aku bertindak ayal-ayalan?" rutuk Soma.
Siluman Ular Putih kini mencoba bangkit.
Namun anehnya sekujur tubuhnya terasa beku!
Jangankan untuk meloncat bangun. Untuk meng-
gerakkan kedua tangannya pun rasanya sulit!
"Celaka! Mengapa bisa begini?!" gumam
Soma kalang kabut.
"Heh! Kepandaian cuma seujung kuku,
mau nekat ingin datang ke Lembah Kodok Perak,"
dengus lelaki berkumis itu. "Tapi kalau kau pena-
saran juga ingin pergi ke sana, berjalanlah ke be-
lakang bukit sebelah selatan sana. Cuma syarat-
nya, bebaskan dirimu dulu dari totokanku."
Siluman Ular Putih menggerutkan gera-
hamnya kuat-kuat. Diam-diam ia pun mulai men-
gerahkan kekuatan tenaga dalamnya. Namun baru
saja ia mengambil napas, mendadak lelaki berku-
mis lebat itu pun telah berkelebat cepat mening-
galkan tempat ini.

Soma melengak, kaget mendapati dirinya
ternyata dalam keadaan tertotok. Tapi Siluman
Ular Putih yakin, lelaki tadi tidak bermaksud jahat
terhadapnya. Padahal kalau mau, bukan mustahil
Siluman Ular Putih dapat dibunuh dengan mudah.
Dan Soma cuma tertotok.
"Siapa sebenarnya lelaki berkumis lebat
itu? Apakah ia juga termasuk salah seorang dari
Tiga Jenggot, Empat Brewok, dan Tujuh Kumis
dari Lembah Kodok Perak? Kalau memang iya,
sungguh hebat kesaktian orang-orang Lembah Ko-
dok Perak. Menghadapi seorang dari mereka saja,
aku tak berdaya. Apalagi menghadapi mereka se-
mua. Ah...! Bagaimana ini?" gumam Soma gelisah.
Namun begitu teringat akan keselamatan
Angkin Pembawa Maut, Soma pun lantas mencoba
membebaskan dirinya dari pengaruh totokan. Na-
mun  tubuhnya sama sekali tak bisa digerakkan,
Bahkan terasa beku.
"Sontoloyo! Mengapa tubuhku jadi beku
seperti ini?" rutuk Soma gelisah bukan main. Apa-
lagi ketika dilihatnya tiba-tiba awan hitam bergu-
lung-gulung di angkasa, pertanda sebentar lagi
akan turun hujan. Maka tak henti-hentinya pe-
muda ini menyumpah serapah.
"Sialan! Terpaksa aku harus berdiam diri dalam
keadaan beku seperti ini. Kehujanan lagi! Huh!"

***
7

Baru setelah matahari menampakkan si-
narnya di ufuk timur, Soma mulai dapat mele-
paskan diri dari pengaruh totokan. Itu pun secara
bertahap, setelah ia melepaskan pukulan sakti
'Tenaga Inti Api'.

"Hyaaat!"
Begitu pengaruh totokan telah benar-benar
sirna, Siluman Ular Putih meloncat bangun. Meski
demikian gerakannya masih terasa kaku. Maka
kembali dicobanya kerahkan pukulan sakti
'Tenaga Inti Api'-nya. Dan saat itu pula tubuhnya
terasa enteng sekali.
"Sontoloyo! Tak kusangka akibat totokan si
kumis tadi demikian hebat. Untung saja ia tidak
menginginkan nyawaku. Huh! Awas nanti kalau
ketemu!" gerutu Siluman Ular Putih jengkel, se-
raya berkelebat dari tempat ini.
Siluman Ular Putih mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Seperti
yang dikatakan lelaki tadi, Soma kini menuju bu-
kit sebelah selatan. Karena, memang di sanalah le-
tak Lembah Kodok Perak.    
Kini Soma tiba di sebuah hutan lebat. Sak-
ing lebatnya, matahari sampai tidak mampu me-
nembuskan sinar-sinarnya. Pohon-pohon besar
berusia ratusan tahun tumbuh berjajar dengan
akar-akarnya yang bertonjolan di sana-sini. Setin-
dak demi setindak, pemuda ini mulai menyusuri
jalan setapak di pinggiran hutan. Di tempat asing
seperti ini, Siluman Ular Putih merasa perlu me-
ningkatkan kewaspadaannya. Mata dan telinganya
dipasang tajam-tajam.
"Okh...!"
"Hah...?!"
Tiba-tiba pendengaran Siluman Ular Putih
yang sudah sangat terlatih samar-samar menden-
gar rintihan seseorang. Langkahnya langsung di-
hentikan sebentar. Sepasang matanya bergerak-
gerak, mencari asal suara rintihan tadi.
Namun sebentar kemudian, Soma menge-
luh. Entah karena apa, tiba-tiba suara rintihan itu

menghilang. Kalau saja mengingat urusannya di
Lembah Kodok Perak, ingin rasanya pemuda itu
cepat meninggalkan hutan itu. Namun jiwa kepen-
dekarannya menuntut lain. Perlahan-lahan ka-
kinya kembali melangkah menuju ke arah datang-
nya suara rintihan itu.
Setelah menemukan sumber suara, sepa-
sang mata biru Siluman Ular Putih pun kontan
membelalak lebar. Di balik semak-semak belukar
tampak olehnya sesosok lelaki berpakaian hitam-
hitam tengah menggeletak dengan sekujur tubuh
matang biru. Wajahnya pucat pasi. Tampak darah
segar membasahi sudut-sudut bibirnya. Dan ia ti-
dak lain dari lelaki berkumis lebat yang telah
mencelakakan Soma tadi malam!
Soma langsung melompat dan menyingkap
semak-semak belukar di hadapannya. Kemudian
tanpa banyak cakap, langsung diangkatnya tubuh
tinggi besar lelaki itu ke tepi jalan. Dan sekali lihat
saja, murid Eyang Begawan Kamasetyo tahu kalau
orang yang telah menganiaya lelaki berkumis itu
lebih dari satu orang. 
"Hm ! Kalau melihat luka-lukanya pasti
akibat terkena pukulan tongkat putih milik Teng-
korak Serigala. Dan yang di dada kiri ini pasti aki-
bat terkena pukulan Raja Toya. Sedang pada ulu
hatinya, pasti akibat terkena lecutan cemeti di
tangan Ki Julung Pucut. Pasti!" gumam Soma.
"Berarti semalam lelaki ini dikeroyok pula
oleh orang-orang suruhan Teratai Emas"
Kening Soma berkerut dalam. Rasa ibanya
terhadap lelaki ini langsung muncul. Padahal, se-
mula Siluman Ular Putih mau membuat perhitun-
gan bila berjumpa lagi. Tapi begitu melihat kea-
daan lelaki berkumis ini sangat memprihatinkan,
keinginannya pun sirna. Apalagi lelaki ini tidak

bermaksud jahat terhadap dirinya. Hanya sekadar
memberi peringatan. Buktinya akhirnya lelaki itu
menjelaskan letak Lembah Kodok Perak
"Yah...! Bagaimanapun juga, aku memang
patut berterima kasih pada lelaki ini. Meski ting-
kah lakunya aneh, tapi aku yakin kalau orang-
orang penghuni Lembah Kodok Perak bukanlah
dari golongan sesat. Sekarang, sebaiknya aku ha-
rus secepatnya mengantarnya ke Lembah Kodok
Perak. Sekalian, menyelidiki suasana lembah itu!"
pikir Soma dalam hati. 
Dan sehabis berpikir demikian, Soma pun
cepat memondong tubuh tinggi besar itu ke pun-
daknya. Dan secepatnya Siluman Ular Putih ber-
kelebat menuju bukit hijau di sebelah selatan sa-
na.
Setelah melewati jalan berkelok-kelok, ak-
hirnya Siluman Ular Putih mulai memasuki dae-
rah Lembah Kodok Perak. Sebuah lembah luas
jauh di luar muara Kali Angkrik. Semak-semak be-
lukar tampak tumbuh liar di sana-sini. Tingginya
hampir setinggi badan manusia. Sementara di se-
kitar lembah pun masih banyak kubangan lumpur
hidup. Sedang jauh di ujung lembah, tampak dua
bukit kembar tegak di sana. Pada bagian tengah-
nya, terdapat pula dataran berumput hijau. Sa-
mar-samar pada dinding-dinding bukit tampak
pula titik-titik hitam kecil. Entah titik-titik apa itu.
Soma tidak tahu. Dan ia pun tidak berani main-
main. Meski ilmu meringankan tubuhnya sudah
mencapai tingkat tinggi, sikapnya tetap hati-hati.
Apalagi, saat ini masih memanggul sosok lelaki
berpakaian hitam-hitam yang diduga keras adalah
salah seorang penghuni Lembah Kodok Perak.
Semakin pemuda gondrong itu masuk ke
dalam Lembah Kodok Perak, kegelisahan semakin

menjadi-jadi. Tangan kanannya sebentar-sebentar
menggaruk-garuk kepala. Memang, Soma yakin
kalau itu Lembah Kodok Perak. Namun bagaima-
napun juga ia masih bingung untuk memastikan
tempat tinggal Tiga Jenggot, Empat Brewok dan
Tujuh Kumis dari Lembah Kodok Perak. Sedang
untuk menanyakan orang dalam pondongannya
jelas tidak mungkin. Jangankan untuk memberi
keterangan sepanjang itu. Untuk mengeluarkan
sepatah kata pun, lelaki berkumis tebal itu tidak
mampu. Di samping itu pula, belum tentu orang
dalam pondongannya mau memberi keterangan.
"Ah...! Bagaimana ini? Aku kok merasakan
tubuh orang dalam pondongan  ku  semakin lama
semakin dingin? Ah...! Jangan-jangan ia sudah..."
Soma tidak meneruskan bicaranya. Tangan
kanannya cepat meraih pergelangan tangan si
kumis. Lantas keningnya berkerut heran. Ternyata
orang dalam pondongannya sudah tewas!
Sejenak Siluman Ular Putih menghentikan
langkahnya. Diperhatikannya sosok dalam pon-
dongannya dengan perasaan tidak menentu. Lalu
sepasang mata birunya beralih ke lembah di ha-
dapannya.
"Ah...! Apa yang harus kulakukan? Orang
berpakaian hitam-hitam dalam pondongan ku  ini
sudah tewas. Perlukah aku membawa masuk ke
dalam Lembah Kodok Perak? Tapi jika mengingat
besar kemungkinan kalau orang dalam pondongan
ku ini adalah orang dari penghuni Lembah Kodok
Perak, mengapa aku harus menelantarkannya? Di
samping itu, aku yakin kalau tempat tinggal
orang-orang Lembah Kodok Perak tentu tidak jauh
lagi. Yah yah...! Mengapa aku harus menelantar-
kannya? Sebaiknya kubawa saja sekalian mayat
ini," pikir Soma dalam hati.

Berpikir demikian, kembali murid Eyang
Begawan Kamasetyo berkelebat cepat menyusuri
jalan setapak di depannya. Dan ketika sampai di
lereng sebelah selatan bukit hijau di sampingnya,
mendadak mata birunya kontan bersinar-sinar.
Kelebatan tubuhnya berhenti mendadak. Di de-
pannya, tak jauh dari tempatnya berdiri, tampak
dua buah gubuk kecil beratap anyaman daun-
daun jati. Letak kedua gubuk itu pun agak ber-
pencaran. Dari gubuk satu ke gubuk lainnya, kira-
kira berjarak dua puluh tombak.
"Mungkinkah gubuk-gubuk itu merupakan
tempat tinggal para penghuni Lembah Kodok Pe-
rak? Hm...! Bisa jadi!"
Kepala Soma terangguk-angguk. Sepasang
mata birunya lekat memperhatikan dua buah gu-
buk kecil di hadapannya. Kemudian, entah men-
dapat kekuatan dari mana, kedua kakinya pun
mulai berjalan mendekati salah satu dari gubuk
itu.
***

Tiba di depan salah satu gubuk, Siluman
Ular Putih jadi ragu-ragu. Pintu gubuk itu me-
mang terkunci. Meski demikian, Soma tidak berani
sembarangan nyelonong ke dalam. Diletakkannya
mayat orang dalam pondongannya dengan hati-
hati sekali. Lalu ia berjalan mendekati pintu.
"Permisi! Apa di dalam ada orang?!" teriak-
nya.
"Kau mau mencari siapa?!"
Tiba-tiba terdengar satu bentakan garang
dari belakang, membuat Soma terlonjak kaget. Se-
ketika itu juga badannya berbalik. Tampak di ha-
dapannya seorang lelaki bertubuh tinggi besar
dengan pakaian warna hitam-hitam. Usianya kira-

kira empat puluh tahunan. Rambutnya panjang
sebahu. Wajahnya kaku berbentuk persegi. Ra-
hangnya bertonjolan. Dan sepasang matanya yang
besar sebesar jengkol terus memandang Siluman
Ular Putih tajam.
Siluman Ular Putih mengerutkan kening
dalam-dalam. Bukan hanya heran melihat tam-
pang kaku lelaki di hadapannya, melainkan juga
heran. Bagaimana mungkin langkah kaki orang itu
tidak dapat terdengar telinganya? Padahal dalam
jarak seratus tombak pun, ia masih dapat men-
dengar langkah kaki orang. Namun lelaki berku-
mis lebat di hadapannya, benar-benar mengagum-
kan! Itu saja sudah membuktikan kalau ilmu me-
ringankan tubuh lelaki berkumis lebat itu tinggi
sekali!
Soma tersenyum seramah mungkin. Seo-
lah-olah senyum itulah, senyumnya yang paling
manis yang pernah diberikan kepada orang. Kedua
tangannya merangkap di depan dada.
"Maaf, Paman! Mau numpang tanya. Be-
narkah lembah ini adalah Lembah Kodok Perak?"
Wajah kaku lelaki berkumis lebat di hada-
pan Siluman Ular Putih tampak demikian garang.
Sepasang matanya yang sebesar jengkol tak ber-
kedip terus pandangi pemuda gondrong di hada-
pannya. 
Diperlakukan seperti itu Soma jadi gusar.
Entah kenapa, lagi-lagi tangannya sudah garuk-
garuk kepala. Senyum nakalnya pun tampak ter-
kembang di bibir
"Aku ingin bertemu beberapa orang peng-
huni Lembah Kodok Perak. Dapatkah kau menun-
jukkan jalannya padaku, Paman?" jelas Soma se-
dikit memperkeras nada bicaranya, seolah-olah
takut tidak terdengar. 

Lelaki berkumis lebat itu tetap diam mem-
bisu. Tak sepatah kata pun terucap dari kedua bi-
birnya yang kaku. Kemudian dengan tidak mem-
pedulikan pertanyaan Siluman Ular Putih, kakinya
mulai dilangkahkan masuk ke dalam gubuk dan
menguncinya rapat-rapat dari dalam.
Soma hanya melongo saking herannya.
"Jangkrik buntung! Sungguh tidak ramah
sekali tingkahnya!" gerutu Soma dalam hati.
Namun pemuda ini masih penasaran den-
gan tingkah lelaki tadi. Lantas kedua kakinya ce-
pat bergerak mendekati pintu gubuk. Namun baru
beberapa langkah, mendadak dari lubang gubuk
itu melesat cepat sebuah benda putih ke arahnya.
Wesss!
Soma terkesiap kaget. Tentu saja tubuhnya
tidak ingin terkena hantaman benda putih yang
melesat menyerang dirinya. Maka tanpa banyak
pikir lagi, Siluman Ular Putih cepat melompat be-
berapa kali ke samping. Akan tetapi anehnya, lesa-
tan benda putih itu mendadak berhenti di udara!
Sekali lagi, Soma terkesiap kaget. Dan be-
lum hilang kagetnya, benda putih yang tadi sem-
pat berhenti di udara, kini malah mulai melayang
turun! Ternyata, benda putih itu adalah secarik
kertas putih!
"Semprul! Ternyata hanya sebuah kertas!"
gerutu Soma kesal.
Dengan sekali loncat, tahu-tahu kertas pu-
tih yang masih melayang-layang di udara pun te-
lah tersambar tangan murid Eyang Begawan Ka-
masetyo. Kemudian dengan perasaan mendongkol
mulai dibukanya lipatan kertas dan membacanya.

Lekas lemparkan mayat si kumis ke depan
pintu gubukku! Dan cepat lari menyingkir dari sini!


Kening Soma berkerut jengkel membaca tu-
lisan itu. Lalu tanpa banyak pikir panjang lagi, se-
gera diangkatnya mayat lelaki berkumis dan di-
lemparkannya ke arah pintu gubuk!
Brakkk!
Terdengar satu benturan keras. Pintu gu-
buk itu terbuka. Sepasang mata besar lelaki ber-
kumis itu mencorong tajam dari balik pintu gu-
buknya yang terbuka.
Sementara Siluman Ular Putih bertolak
pinggang di depan pintu gubuk. Senyum nakalnya
tampak terkembang di bibir.
"Hei, Paman! Apa kau juga salah  seorang
dari penghuni Lembah Kodok Perak? Dan apa kau
juga tidak mengenali temanmu yang sudah habis
masa kontraknya di dunia?" kata Soma seenak
dengkul
Pemuda itu masih mengumbar senyum na-
kalnya. Telunjuk jari tangan kanannya dituding-
tudingkan ke arah laki-laki berkumis di dalam gu-
buk. Sementara itu mulutnya terus mengoceh
panjang pendek. Namun... 
"Kok...! Kok...!"
Tidak disangka-sangka, tiba-tiba dari da-
lam gubuk terdengar dua kali bunyi mirip suara
kodok! Bersamaan dengan itu mendadak serang-
kum angin kencang yang hebat luar biasa telah
menyerang ke arah Siluman Ular Putih!
Wesss! Wesss!
Soma yang pernah merasakan kehebatan
pukulan seperti itu, tentu saja tidak mau celaka
untuk kedua kalinya. Tanpa banyak cakap lagi,
cepat tubuhnya melompat ke atas dahan  pohon
tak jauh dari tempatnya berdiri.
Bummm...! Bummm...!

Terdengar dua kali benturan keras meme-
nuhi lembah itu. Selang beberapa saat, terdengar
bunyi berderak dari batang pohon jati sebesar dua
lingkaran tangan manusia dewasa tumbang, aki-
bat terkena pukulan lelaki berkumis lebat di da-
lam gubuk!
Biarpun Soma dapat bergerak cepat dan
melompat ke atas dahan pohon, namun tentu saja
masih merasakan desir angin pukulan tadi. Tanah
di sekitar tempat itu pun bergetar hebat. Batang
pohon kayu jati yang jadi sasaran berlubang be-
sar, mengepulkan uap putih tipis!
Soma termenung beberapa saat. Melihat
kehebatan orang berkumis di dalam gubuk, entah
mengapa hatinya jadi ragu-ragu akan dapat me-
nyelesaikan urusannya di Lembah Kodok Perak.
Baru satu orang berkumis dari Lembah Kodok Pe-
rak saja, belum tentu dapat dikalahkannya. Belum
lagi dengan penghuni-penghuni lainnya. Kalau
mereka maju satu persatu, mungkin Siluman Ular
Putih mampu mengalahkannya. Namun kalau me-
reka maju bersama-sama?
"Kau ini kenapa sih, Paman? Kenapa uring-
uringan begini? Jangan salah paham, dong! Orang
yang membunuh si kumis itu bukannya aku. Jika
kau masih tidak percaya, coba periksa mayat te-
manmu itu!" ujar Siluman Ular Putih kesal.
Dari sela-sela daun jati yang tumbuh lebat,
Soma dapat melihat lelaki berkumis itu mulai ke-
luar dari gubuknya. Sepasang matanya yang besar
jelalatan ke sana kemari, mencari-cari ke arah
mana pemuda tadi melarikan diri. Tidak lama ke-
mudian lelaki berkumis itu pun mulai membopong
mayat kawannya. Sejenak matanya yang besar se-
perti jengkol mulai memeriksa tubuh temannya
yang sudah menjadi mayat.

"Kau jangan salah paham, Paman! Aku bu-
kannya pembunuh temanmu itu. Aku hanya men-
gantarkan mayatnya itu kemari," kata Soma dari
atas pohon.
"Turun kau, Bocah Sinting! Aku ada sedikit
pertanyaan untukmu," bentak lelaki bermata jeng-
kol itu garang.
Soma tertawa bergelak. 
"Kau ini lucu sekali, Paman. Jika aku su-
dah turun, kau pasti akan menyerangku dengan
pukulan maut mu, bukan? Mana sudi aku turun.
Enakan di sini sambil melihat-lihat pemandan-
gan," kata Soma di antara tawanya.
Lelaki bermata jengkol melotot lebar-lebar.
Wajahnya yang kaku tampak demikian garangnya.
"Cepat turun, Bocah! Aku tidak akan me-
nyerangmu lagi," sungut orang berkumis itu kesal.
"Baik. Tapi, kau harus janji dulu, Paman!
Janji tidak boleh menyerangku lagi!" kata Soma,
masih ogah-ogahan beranjak dari tempat duduk-
nya.
"Iya! Aku berjanji!" sahut lelaki itu kesal.
"Awas, kalau kau mungkir! Kau pasti akan
kualat! Arwah temanmu itu akan mencungkil ma-
ta jengkol mu!" celoteh Soma seraya melayang tu-
run.
Lelaki berkumis lebat itu menggeram pe-
nuh kemarahan. Namun anehnya, ia mau saja
menuruti perintah pemuda gondrong murid Eyang
Begawan Kamasetyo. Hanya sepasang matanya sa-
ja yang menatap tajam Siluman Ular Putih.
"Jawab pertanyaanku dengan benar, Bo-
cah!" ujar lelaki itu kaku. "Apa maksudmu sehing-
ga kau mau mengantar mayat temanku ini kemari,
Bocah?" tanya lelaki itu.
Soma tidak langsung menjawab. Malah

tangannya sibuk menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Sepertinya ia sengaja ingin men-
gulur-ulur waktu.
"Jawab, Bocah! Jangan garuk-garuk kepala
saja!" bentak orang berkumis itu kesal.
"Sabar dong, Paman! Aku memang tidak
punya niatan apa-apa dengan menolong temanmu.
Tapi aku pikir, sudah cukup rasanya kalau kau
mengetahui bukannya aku  yang membunuh te-
manmu itu," sahut Soma, agak berdusta. Karena
kedatangannya ke Lembah Kodok Perak jelas ada
maksudnya.
"He...!" lelaki berkumis itu menggumam tak
jelas. Selangkah demi selangkah mulai didekati
pemuda gondrong di hadapannya.
Soma terkesiap kaget, buru-buru menying-
kir ngeri.
"Lantas, dari mana kau dapat mengetahui
kalau ia adalah salah seorang penghuni Lembah
Kodok Perak?" susul lelaki itu seraya menuding-
kan telunjuknya ke arah mayat temannya.   
"Yeh...! Mudah sekali. Karena ia pun per-
nah menyerangku dengan ilmu yang kau gunakan
barusan," jawab Siluman Ular Putih tanpa pikir
panjang lagi.
Bukan main gusarnya lelaki berkumis lebat
itu mendengar jawaban-jawaban Siluman Ular Pu-
tih yang sepertinya tengah meledek. Namun, ba-
gaimanapun juga, amarahnya masih dapat diken-
dalikan.
"Baik, baik! Kuterima alasanmu, Bocah.
Lantas, mengapa kau sudi datang kemari mengan-
tarkan mayat temanku itu?" cecar lelaki mata
jengkol itu.
"Sebenarnya tadi aku ingin membuangnya
ke semak belukar. Tapi kupikir, kok kasihan. Lan-

tas kubawa saja kemari. Apa itu salah, Paman?"
kata Soma berpura-pura bodoh.
"Hm...!" lelaki bermata besar ini menggu-
mam tak jelas. Tampak sekali kalau ia tidak puas
mendengar jawaban Soma. "Kalau begitu, kau pun
tahu siapa orang yang telah membunuhnya, Bo-
cah. Di manakah orang-orang yang telah membu-
nuh adik seperguruanku ini?"
"Yah...! Mana aku tahu? Aku tidak melihat
dengan mata kepalaku sendiri," sahut Soma see-
naknya. "Tapi jangan khawatir, Paman! Yang pasti
temanmu itu pasti terkena pukulan 'Tongkat Pu-
tih' Tengkorak Serigala. Juga terkena pukulan Ra-
ja Toya. Sedang pada ulu hatinya pasti terkena le-
cutan cemeti berekor sembilan milik Ki Julung Pu-
cut dari Gunung Srandil, Paman."
Lelaki Mata Jengkol membelalakkan ma-
tanya liar. Rahangnya yang bertonjolan menggem-
bung, pertanda tengah menahan, gejolak amarah
yang menggelegak.
"Hm...! Orang-orang Lembah Kodok Perak
belum pernah keluar dari sarangnya menyatroni
tokoh-tokoh dunia persilatan mana pun. Tapi,
mengapa tiga orang tokoh sesat itu malah memu-
suhi kami?" gumam lelaki berkumis ini, entah di-
tujukan pada siapa.
Soma hanya tersenyum senang. Dibiarkan-
nya lelaki bermata besar itu mengoceh seorang di-
ri.
Dan melihat ketenangan sikap pemuda
gondrong di hadapannya, lelaki berkumis itu pun
jadi curiga
"Baik. Kuterima semua alasanmu, Bocah.
Tapi biar bagaimanapun juga aku tetap mencuri-
gai kedatanganmu kemari Bocah," desisnya. 
Soma tersenyum lebar. 

"Kau memang pantas mencurigai kedatan-
ganku, Paman. Karena kedatanganku kemari sen-
gaja untuk meminta sedikit petunjuk bagaimana
caranya mempelajari ilmu 'Kok-kokan'mu yang
hebat itu. Sekaligus meminjam Kitab Kodok Perak
Sakti milik kalian," ujar Soma, terus terang.
Lelaki berkumis dan bermata besar itu me-
lotot. Dipandanginya pemuda gondrong di hada-
pannya dengan tajam. Lalu entah karena apa,
mendadak ia tertawa dengan bergelak-gelak. 
"Jangan mimpi, Bocah Sinting!" kata lelaki
itu di antara tawa bergelaknya "Jangankan bocah
ingusan macam kau! Kami, Tiga Jenggot, Empat
Brewok dan Tujuh Kumis dari Lembah Kodok Pe-
rak pun belum mampu menamatkan semua pela-
jaran yang terdapat di dalam Kitab Kodok Perak
Sakti.  Apalagi  kau! Mana mungkin kau mampu
mempelajari kitab itu. Kau tahu! Hanya karena in-
gin mempelajari kitab itu saja, kami penghuni
Lembah Kodok Perak dilarang keras keluar ke du-
nia  ramai. Tapi sayang. Daksiro tidak tahan dan
melarikan diri. Dan biarpun telah menjadi mayat,
hukuman atas pelanggaran Daksiro pun akan te-
tap dilaksanakan. Kalau sudah begitu, bagaimana
mungkin kau dapat betah tinggal bertahun-tahun
di tempat ini, Bocah?"
Soma terkesiap kaget. Namun hanya se-
bentar. Sejurus kemudian ia telah dapat mengata-
si keterkejutannya.
"Alaaah...! Itu kan hanya alasanmu saja,
Paman. Pokoknya kujamin, aku pasti dapat mem-
pelajari Kitab Kodok Perak Sakti itu dalam waktu
singkat. Dan yang lebih penting lagi, kau pasti
akan kubantu bagaimana menguasai ilmu yang
terkandung di dalamnya. Kau mau, kan?" oceh Si-
luman Ular Putih.

Lelaki berkumis tebal ini mendengus.
"Sudah kubilang jangan mimpi, Bocah! Kau
tidak akan dapat mempelajari kitab milik kami.
Dan satu lagi ingat! Kami orang-orang Lembah
Kodok Perak tetap akan menuntut atas tewasnya
Daksiro," tegas lelaki berkumis ini. "Sekarang,
mumpung urusannya, belum berlarut-larut! Ce-
patlah tinggalkan tempat ini! Kalau kau masih
bersikeras tidak mau meninggalkan tempat ini,
jangan salahkan kami, kalau terpaksa harus
membunuhmu di sini!"
Soma menggaruk-garuk kepala. Keningnya
berkerut-kerut. Namun akalnya yang cerdik tentu
saja tidak mau membenturkan diri pada orang-
orang Lembah Kodok Perak. Ia malah lebih senang
mengambil jalan lain.
"Baik, baik! Kalau kalian memang kebera-
tan, aku juga nggak apa-apa. Paling aku hanya
menggerutu kesal dalam perjalanan pulang," geru-
tu Soma kesal.
Lalu tanpa banyak cakap lagi, Siluman
Ular Putih berkelebat cepat meninggalkan Lembah
Kodok Perak
Lelaki berkumis dan bermata besar itu
sempat tersenyum mendengar apa yang dikatakan
pemuda gondrong murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu barusan. Aneh sekali memang senyum-
nya. Namun sayang hanya sebentar. Karena raut
kakunya kembali menghiasi wajahnya ketika
bayangan putih keperakan Siluman Ular Putih
menghilang di sebuah tikungan. Kemudian tanpa
banyak membuang waktu lagi, sambil memanggul
mayat adik seperguruannya, ia segera berlari ma-
suk ke dalam Lembah Kodok Perak.

***

8

Benarkah Soma  alias Siluman Ular Putih
meninggalkan Lembah Kodok Perak? Apakah ia
sudah tega membiarkan Angkin Pembawa Maut te-
rancam bahaya maut di Istana Ular Emas? 
Ternyata tidak. Begitu lelaki bermata besar
tadi berkelebat, Siluman Ular Putih cepat berbalik
kembali, Dengan, mengerahkan ilmu lari cepatnya
'Menjangan Kencono', tubuhnya terus berkelebat.
Hingga akhirnya, bayangan hitam lelaki bermata
besar yang sedang memanggul adik seperguruan-
nya kini terlihat di kejauhan sana.
Soma terus berkelebat mengikuti lelaki di
depannya. Dengan cara itu, berarti Siluman Ular
Putih akan lebih mudah dapat menemukan letak
persembunyian Tiga Jenggo, Empat Brewok dan
Tujuh Kumis para penghuni Lembah Kodok Perak.
Siluman Ular Putih menghentikan larinya
ketika lelaki yang diikutinya berhenti di depan se-
buah gubuk kecil yang kira-kira jaraknya dua pu-
luh tombak dari gubuknya. Kemudian setelah me-
letakkan mayat adik seperguruannya, lelaki ber-
mata besar itu menendang pintu gubuk. Lalu tu-
buhnya kembali berkelebat cepat menuju tempat-
nya semula.
Dari jarak sekitar lima puluh tombak di
tempat persembunyiannya, Soma melihat, dari da-
lam gubuk muncul seorang lelaki berkumis lebat.
Usianya, tidak berselisih jauh dengan lelaki ber-
mata besar tadi. Dan tanpa banyak cakap pula,
dibopongnya mayat di depan gubuk, lalu berkele-
bat cepat menuju gubuk berikutnya. 
Dengan, hati-hati sekali Soma kembali ber-
kelebat cepat mengikuti lelaki berpakaian serba hi-
tam di depan. Dari ternyata apa yang dilakukan le-

laki itu pun sama persis dengan apa yang dilaku-
kan lelaki bermata besar tadi. Yakni, meletakkan
mayat lelaki bernama Daksiro di depan pintu gu-
buk berikutnya, lalu menendang pintu gubuk dan
cepat berkelebat menuju tempatnya semula. 
Siluman Ular Putih yang baru saja meng-
hentikan kelebatannya memandang dengan kening
berkerut. Sebentar kemudian baru ia paham. Ter-
nyata dengan cara berantai demikian, mayat Dak-
siro terus dibawa masuk ke dalam Lembah Kodok
Perak oleh lelaki berkumis lainnya. Tanpa mengu-
rangi kewaspadaannya, Soma terus membayang-
bayangi apa yang tengah dilakukan orang-orang
penghuni Lembah Kodok Perak. Hingga akhirnya,
sampailah pemuda gondrong murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo di sebuah dataran luas. 
Dataran itu terletak diantara dua buah bu-
kit kecil di kanan kiri. Dari terangnya sinar mata-
hari siang itu, tampak pula kalau dataran itu di-
penuhi berpuluh-puluh kubangan besar, berisi ra-
tusan kodok besar berwarna putih keperakan! Di
kanan kiri dinding-dinding bukit pun banyak se-
kali terdapat lubang besar tempat keluar masuk
kodok-kodok perak itu!
Dengan sangat hati-hati sekali Siluman
Ular Putih terus mengikuti sosok lelaki berpakaian
hitam-hitam di depan. Namun mendadak lelaki di
depan sana menghentikan langkahnya.
"Hm... rupanya Tongkat Serigala, Raja
Toya, dan Ki Julung Pucut," gumam Soma seraya
menghentikan langkahnya dan segera mencari
tempat persembunyian. "Tapi di mana Iblis Kela-
bang Merah? Apa mungkin ia telah tewas di tan-
gan lelaki tua sakti, yang waktu itu menolongku?
Ah, masa bodoh. Ingin kulihat, apa yang hendak
mereka lakukan terhadap lelaki berpakaian hitam

itu. Hm.... Ketiga tokoh sesat itu kini ditemani dua
lelaki lain yang sekali lihat saja bisa tertebak, ke-
pandaian mereka tak bisa dianggap sepele..." 
Memang, tiga lelaki yang menghadang tak
lain dari para tokoh sesat yang tempo hari menge-
royok Soma. Sedang dua sosok yang lain, Soma
belum dapat mengetahuinya dengan pasti.
Sementara itu lelaki berpakaian hitam yang
tengah memondong mayat Daksiro tampak masih
tegak memandangi kelima sosok yang mengha-
dangnya. Tampak sekali kalau lelaki yang juga
berkumis lebat itu tengah ragu-ragu. Sebentar ter-
lihat melangkah maju, namun sebentar kemudian
menghentikan langkahnya. Tapi, tiba-tiba ia su-
dah mengambil keputusan. Perlahan-lahan dile-
takkannya mayat Daksiro di atas rerumputan. La-
lu seketika diserangnya kelima penghadangnya
tanpa banyak cakap lagi.
Pertarungan tak seimbangpun berlangsung
seru. Masing-masing mengandalkan kepandaian-
nya. Sebetulnya kepandaian mereka seimbang.
Tapi karena lelaki berkumis itu dikeroyok lima,
maka sebentar saja ia sudah jadi bulan-bulanan
para tokoh sesat itu.

***

Siluman Ular Putih bukannya tak mau
membantu lelaki berkumis yang tengah dikeroyok
oleh lima tokoh sesat itu. Karena pada saat yang
gawat, ternyata lelaki itu bisa melarikan diri wa-
laupun dengan susah payah. Untung saja larinya
ke arah Soma. Maka begitu dekat, Siluman Ular
Putih langsung menyambar tubuhnya dan mem-
bawanya ke tempat yang aman.
Lalu dengan gerakan cepat luar biasa, So-

ma menotok beberapa jalan darah di tubuh lelaki
berpakaian hitam itu.
"Maaf, Paman! Terpaksa aku  harus  mem-
perlakukan mu begini. Karena kalau tidak, celaka-
lah dirimu nanti!" ucap Soma, seraya meletakkan
lelaki itu di tanah.
Walau lelaki ini nampak menunjukkan ke-
marahannya, Soma tidak peduli. Pemuda itu ma-
lah mulai membuka pakaian hitam milik lelaki itu
dan memeriksanya. Tampak tiga bekas pukulan
maut yang berbeda di dadanya. Diam-diam Silu-
man Ular Putih menggeram dalam hati. Kemudian
tanpa banyak cakap lagi, pemuda gondrong ini se-
gera menempelkan kedua telapak tangannya ke
dada lelaki itu.
Perlahan-lahan hawa dingin dari kedua te-
lapak tangan Soma mulai menjalar masuk ke da-
lam tubuh lelaki itu. Dan perlahan-lahan pula, lu-
ka dalam penghuni Lembah Kodok Perak itu pun
mulai sembuh. Namun Soma terus memaksakan
diri untuk mengobati. Dan, tanpa disadari di bela-
kangnya kini telah berdiri tegak lima orang tokoh
sesat yang tadi telah mencelakakan lelaki berku-
mis lebat penghuni Lembah Kodok Perak. 
"Kunyuk Gondrong! Rupanya kau sudah
sampai kemari! Kebetulan sekali. Memang kami
berlima sedang mencari-cari mu!" 
Soma terkesiap kaget mendengar bentakan
barusan. Untung saja Siluman Ular Putih sudah
selesai menyembuhkan luka dalam lelaki penghu-
ni Lembah Kodok Perak itu. Kemudian dengan te-
nang sekali, jari-jari tangan pemuda itu. Cepat
menotok pulih lelaki yang ditolongnya.
Lelaki itu memandang cerah pada Soma. 
"Terima kasih, Anak Muda. Aku Daksapati.
Kau siapa?" tanya lelaki berkumis yang ternyata

bernama Daksapati. 
"Aku Soma, simpan dulu terima kasih mu
itu, Paman. Rupanya kelima tokoh sesat yang
menghadangmu tak suka dengan tindakanku. Li-
hat! Mereka mulai bersiap-siap menyerang."
Daksapati menatap tajam lima tokoh sesat
itu yang mulai menggerakkan tangannya. Namun
belum sempat terjadi sesuatu...
"Siapa kalian berani mengotori Lembah Ko-
dok Perak?! Apa kalian semua tidak tahu peratu-
ran di sini?!"

***

Semua yang ada di Lembah Kodok Perak
ini kaget begitu mendengar bentakan yang disertai
tenaga dalam tinggi. Bahkan tak lama kemudian,
berlompatan beberapa sosok berpakaian serba hi-
tam.
Berdiri paling depan adalah seorang lelaki
tua bertubuh kurus kering. Wajahnya pucat pasi
seperti mayat. Jenggot putihnya panjang menjun-
tai. Disampingnya berdiri dua orang lelaki tua ku-
rus kering yang juga mempunyai jenggot putih
panjang menjuntai sampai ke dada. Di belakang-
nya, berdiri empat orang lain yang juga berusia
tua. Mereka semua memiliki brewok tebal berwar-
na hitam mengkilat!
Siluman Ular Putih membelalakkan ma-
tanya. Ia yakin, ketujuh orang berpakaian hitam
itu tidak lain dari Tiga Jenggot, dan Empat Brewok
penghuni Lembah Kodok Perak yang sangat dita-
kuti orang-orang Istana Ular Emas! Sedangkan
Tujuh Kumis adalah yang memiliki gubuk-gubuk
tadi.
"Harap kalian orang-orang tua penghuni

Lembah Kodok Perak jangan terlalu menaruh curi-
ga padaku. Aku memang sengaja datang ke Lem-
bah Kodok Perak ini. Namun ketika aku menemu-
kan Paman berkumis ini tengah menderita luka
parah, maka aku pun memberanikan diri mencoba
memberi pengobatan," kilah Soma penuh hormat
seraya rangkapkan kedua telapak tangannya ke
depan dada.
"Benar, Kakang Pangestu. Aku baru saja
diobatinya setelah...."
"Diam kau, Daksapati! Aku tak bertanya
padamu!"
Kata-kata Daksapati terputus oleh benta-
kan lelaki berjenggot yang paling tua, bernama
Pangestu.
"Kau datang dari mana, Bocah? Apa kau
tidak tahu peraturan kami yang tidak mengizinkan
orang luar masuk kemari?!" bentak Pangestu lagi
garang.
Soma menghela napasnya panjang. Entah
karena apa, tiba-tiba tangan kanannya sudah ga-
ruk-garuk kepala. 
"Maafkan kelancanganku, Orang Tua! Aku
hanyalah seorang pengembara miskin. Namaku
Soma dari Gunung Bucu," ucap murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo kalem. "Dikarenakan satu hal
yang sangat mendesak, terpaksa aku memberani-
kan diri masuk ke Lembah Kodok Perak ini untuk
mempelajari Kitab Kodok Perak Sakti. Tentu saja
hal ini bukan untuk tujuan pribadi semata,  me-
lainkan hanya untuk membasmi orang-orang go-
longan Ular Emas yang sangat kejam luar biasa."
Salah satu dari Tiga Jenggot yang beram-
but dikuncir kontan tertawa bergelak.
"Kau rupanya sedang bermimpi, Bocah
Sinting! Apa tidak salah pendengaranku ini?" ka-

tanya.
Soma hanya tersenyum kecil.
Sementara itu, lima tokoh sesat yang men-
ginginkan nyawa Siluman Ular Putih tampak su-
dah tak sabar untuk membunuh buruannya.
Tengkorak Serigala, Raja Toya, dan Ki Julung Pu-
cut maju selangkah dengan senjata di tangan. Se-
dang dua orang lainnya yang belum dikenal Silu-
man Ular Putih tampak masih tenang-tenang di
tempatnya. Mereka malah lebih senang memper-
hatikan ketujuh orang penghuni Lembah Kodok
Perak yang baru datang.
Kedua tokoh yang berpakaian seperti per-
tapa itu berusia tidak kurang dari tujuh puluh ta-
hun. Yang sebelah kanan adalah seorang lelaki
bertubuh tinggi kurus. Pakaiannya hanya berupa
libatan kain berwarna coklat tua. Sedang laki-laki
di sampingnya bertubuh tinggi besar. Pakaiannya
juga dari libatan kain berwarna merah jingga. Wa-
lau berpakaian pertapa, namun wajah mereka
tampak kaku dan dingin, menyiratkan kelicikan
dan kekejaman. Di dunia persilatan mereka ber-
dua dikenal sebagai Dua Pertapa Iblis Dari Gu-
nung Tugel!
"Bocah Sinting! Sebaiknya lekas tinggalkan
tempat ini. Kau pikir gampang mempelajari Kitab
Kodok Perak Sakti milik kami, heh?! Jangan ber-
mimpi, Bocah! Cepat tinggalkan tempat ini!" ben-
tak Pangestu.
"Tapi bagaimana dengan kelima kunyuk
sesat yang nyasar kemari itu, Orang Tua? Apa me-
reka juga tidak diperbolehkan masuk kemari?"
tanya Soma, bermaksud mengadu domba mereka. 
Tiga Jenggot dan Empat Brewok dari Lem-
bah Kodok Perak menggeram penuh kemarahan.
Wajah mereka menegang. Dan sepasang mata me-


reka yang mencorong kini pun mulai beralih ke
arah lima tokoh sesat yang berdiri tak jauh dari
tempat itu. 
"Hm...! Apa kalian berlima juga tidak tahu
peraturan dalam Lembah Kodok Perak ini? Men-
gapa kalian berani lancang masuk ke dalam Lem-
bah Kodok Perak?!" tegur satu dari Tiga Jenggot
yang berambut panjang bergerai 
"Orang Tua! Kelima kunyuk kesasar itu
bukan saja bermaksud mengotori Lembah Kodok
Perak, tapi juga telah membunuh Paman Daksiro.
Mereka juga yang telah mencelakakan Paman
Daksapati. Untung saja aku segera menolongnya!"
jelas Soma semakin mengipasi kemarahan orang-
orang penghuni Lembah Kodok Perak. 
"Kau tidak berbohong, Bocah?" tukas satu
dari Empat Brewok yang berkepala botak.
"Buat apa aku berbohong? Sebenarnya me-
reka berlima datang kemari memang ingin mencari
aku. Maka, biarkan aku menggebuk mereka,
Orang Tua," kata Soma cerdik.
"Jangan banyak bacot, Bocah! Kau sendiri
pun harus lekas menyingkir dari tempat ini!" ben-
tak si botak kesal
"Kalian mengapa memusuhi orang-orang
penghuni Lembah Kodok Perak? Bertahun-tahun
kami sengaja tidak menampakkan diri ke dunia
persilatan, tapi mengapa kalian malah mengotori
Lembah Kodok Perak? Apa kalian pikir kekuatan
kami tidak cukup untuk membasmi kalian, he?!"
timpal satu dari Empat Brewok yang bertubuh
gempal 
"Sebenarnya kami tidak bermaksud memu-
suhi orang-orang Lembah Kodok Perak. Tapi, kami
hanya ingin membunuh bocah sinting itu!" kilah
Tengkorak Serigala seraya menunjuk Soma

"Tutup bacotmu!" bentak lelaki brewok
yang bertubuh sedang dengan mata berkilat-kilat.
"Kalau kalian tidak bermusuhan dengan kami,
mengapa membunuh dan melukai adik sepergu-
ruan kami?!" 
Sehabis berkata begitu, lelaki brewok ber-
tubuh sedang itu pun sudah. menekuk kedua lu-
tutnya. Kedua tangannya dibentangkan demikian
rupa. Dan dengan setengah berjongkok, Tengkorak
Serigala siap diserangnya.
"Kok...! Kok...!"
Terdengar dua kali bunyi mirip kodok dari
mulut lelaki brewok bertubuh sedang. Bersamaan
dengan itu, mendadak serangkum angin dingin
dari kedua telapak tangannya menyerang ke arah
Tengkorak Serigala. 
Tengkorak Serigala kaget bukan main. Se-
belum pukulan lelaki brewok itu mengenai sasa-
ran, terlebih dahulu sudah terasa angin dingin
yang menyerang sekujur tubuh. Tentu saja Teng-
korak Serigala tidak ingin dirinya celaka. Maka
tanpa pikir panjang lagi, segera dikeluarkannya
pukulan Tongkat Putih Penggebuk Dewa-nya.'
Wesss! Wesss!  
Blarrr...! 
Terdengar satu letusan hebat di udara aki-
bat pertemuan dua tenaga dalam di udara tadi.
Tubuh Tengkorak Serigala terpental beberapa
tombak ke belakang! Wajahnya pucat pasi! Tam-
pak darah segar pun membasahi sudut-sudut bi-
birnya!
Sementara itu lelaki brewok bertubuh se-
dang hanya sempat tergetar hebat. Kedua kakinya
melesak beberapa jari ke dalam tanah. Kemudian
dengan menggeram penuh kemarahan, kembali di-
terjangnya Tengkorak Serigala. Namun sayangnya,

keempat orang kawan Tengkorak Serigala segera
menghadang dengan pukulan-pukulan jarak jauh.
Wesss!
Tentu saja hal ini tidak dibiarkan oleh para
penghuni Lembah Kodok Perak lainnya. Maka se-
ketika mereka memapak serangan-serangan keji
itu dengan pukulan jarak jauh pula.
Blarrr! Blarrr...! 
Terdengar beberapa kali letusan di udara.
Tubuh masing-masing terjajar beberapa langkah.
Begitu terjadi benturan tenaga dalam, mereka kini
kembali saling serang. Maka seketika itu pula ter-
jadi pertarungan sengit dengan menggelar ilmu-
ilmu tingkat tinggi.

***

"Ah...! Mengapa aku tidak segera menyeli-
nap ke dalam Lembah Kodok Perak selagi mereka
bertarung. Mungkin untuk sementara waktu aku
dapat bersembunyi di dalam lubang-lubang kecil
di dinding-dinding bukit itu. Kalau saja lubang-
lubang kecil itu saling bertembusan, mana mung-
kin orang-orang penghuni Lembah Kodok Perak
tahu kalau aku bersembunyi di sana?" pikir Soma
dalam hati.
"Tapi.... Tapi, bagaimana kalau akhirnya
mereka tahu? Dan, bagaimana pula kalau dalam
lubang-lubang kecil itu ternyata banyak jebakan
maut? Ah...! Tidak ada pilihan lain. Kupikir, me-
mang itulah satu-satunya jalan terbaik untuk
menghindari bentrokan dengan orang-orang Lem-
bah Kodok Perak...."
Sehabis berpikir demikian, diam-diam So-
ma pun mulai bergerak hati-hati sekali mendekati
lubang-lubang kecil di dinding bukit. Namun apa

yang dilakukan Siluman Ular Putih ternyata telah
menolong lima orang tokoh sesat itu dari gempu-
ran-gempuran orang-orang penghuni Lembah Ko-
dok Perak.
"Tunggu! Mengapa kalian menyerang kami
habis-habisan?  Apa kalian tidak lihat? Kalau ku-
nyuk gondrong itu tengah kabur. Jelas, dia adalah
pembunuh adik seperguruan kalian. Jika bukan
dia, mengapa bocah itu harus lari dari sini?"   
Pangestu dan juga enam orang penghuni
Lembah Kodok Perak yang lainnya kontan meng-
hentikan serangan. Kepala mereka langsung ber-
paling ke belakang. Tampak pemuda gondrong
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu memang
tengah berlari cepat luar biasa menuju ke lubang-
lubang kecil di dinding bukit. Tentu saja mereka
tidak membiarkan pemuda gondrong itu masuk ke
dalam Lembah Kodok Perak. Maka tanpa banyak
cakap lagi, ketujuh orang penghuni Lembah Kodok
Perak itu segera berkelebat menyusul Siluman
Ular Putih.
Dan kenyataannya ilmu meringankan tu-
buh ketujuh orang Lembah Kodok Perak itu me-
mang luar biasa hebatnya. Untungnya, Soma telah
bergerak terlebih dahulu. Jika tidak, sudah pasti
dapat terkejar oleh mereka. 
Soma menyadari kalau dirinya tengah dike-
jar. Maka kecepatan larinya makin ditambah, Na-
mun, tanpa disangka-sangkanya sama sekali, tiba-
tiba  di belakangnya terasa serangkum angin din-
gin yang bukan alang kepalang... 

***




9

Slap! 
Blarrr...! 
Sebelum Siluman Ular Putih terhantam
pukulan jarak jauh berhawa dingin, tubuhnya te-
lah lebih dulu melompat. Sehingga pukulan itu
hanya menghantam tanah  yang dipijak sebelum-
nya 
Dua kali pemuda itu berputaran di udara,
lalu menukikkan tubuhnya ke salah satu lubang
di dinding bukit. Saat itu juga suasana gelap dan
pengap menyambutnya. 
Perlahan-lahan pandang mata Siluman
Ular Putih mulai dapat menyesuaikan diri dengan
suasana gelap dalam lorong bukit itu. Dan waktu
berjalan terasa kalau tanah dalam gua itu tidak
rata. Banyak bertebaran kubangan-kubangan be-
sar kecil. Entah berisi apa. Yang jelas lebar dan
tinggi lorong bukit itu cukup untuk dilalui dua
orang manusia dewasa.
"Sontoloyo! Mengapa aku bisa nyasar sam-
pai ke mari?" gerutu Soma dalam hati 
Samar-samar Siluman Ular Putih, menden-
gar suara langkah kaki beberapa orang pengejar-
nya yang mulai memasuki di lorong bukit. Karena
untuk keluar melalui mulut lubang masuk tadi je-
las tidak mungkin, maka Soma terus berjalan ke
dalam lorong bukit. Sambil berjalan dipungutnya
sebuah batu kerikil. Lalu dilemparkannya ke lo-
rong lain, tak jauh dari para pengejarnya.
Plukkk!
Begitu terdengar suara di lorong lain, bebe-
rapa orang pengejar buru-buru berlari ke arah da-
tangnya suara.
Soma sedikit merasa lega karena siasatnya

berhasil. Dan ia segera membawa tubuhnya ke da-
lam lorong lain. Dan semakin dalam Soma mema-
suki lorong, semakin bingung dibuatnya. Di hada-
pannya kini banyak sekali lorong gua yang entah
menembus ke mana? Padahal di belakangnya, Tiga
Jenggot dan Empat Brewok penghuni Lembah Ko-
dok Perak terus saja melakukan pengejaran.
Sejenak Siluman Ular Putih memperhati-
kan lorong-lorong gua bawah tanah ini seksama.
Satu di antara tujuh lorong gua bawah tanah itu
tampak gelap sekali dan berkesan angker. Sedang
enam lorong lainnya tampak sedikit agak terang
dan mungkin tembus keluar. Dan sungguh aneh.
Ternyata yang dipilihnya malah lorong gua yang
tampak gelap pekat.
Seperti ada yang menuntun langkahnya,
perlahan-lahan Siluman Ular Putih membawa tu-
buhnya masuk ke dalam lorong gua yang paling
gelap. Jika saja pemuda ini lebih seksama, tentu
akan berpikir tujuh kali untuk memasuki gua itu.
Seperti yang tercantum dalam mulut dinding gua,
di situ tertulis Jalan Kematian. Namun rupanya
hal ini tidak disadarinya.
"Bocah sinting itu mencari penyakit saja.
Beraninya ia masuk ke dalam 'Jalan Kematian'."
Terdengar salah seorang pengejar mengge-
rutu panjang pendek, membuat Soma melengak
kaget. Apa yang didengar barusan membuat ha-
tinya bergidik ngeri. Betapa dalam lorong gua itu
samar-samar terlihat beberapa buah kubangan
besar yang menghadang jalannya. Maka segera
langkahnya dihentikan. Tubuhnya langsung me-
rapat di dinding lorong yang membentuk ular.
"Mungkinkah bocah sinting itu masuk ke-
mari?" terdengar suara bernada ragu-ragu.
"Kurasa bocah sinting itu tidak mungkin

mengambil jalan tolol ini, Manduro," sahut salah
seorang.
Di tempat persembunyiannya, Soma mena-
han jalan pernapasannya sebentar. Dengan cara
ini, para pengejarnya yang berkepandaian tinggi
dapat dikecohnya. Karena hanya mendengar tari-
kan napas saja, bukan mustahil para pengejar
akan dapat menemukan tempat persembunyian-
nya.
Samar-samar dari tempat persembunyian-
nya Soma dapat melihat berkelebatnya beberapa
orang pengejar di depan mulut lorong Jalan Kema-
tian. Dan ketika para pengejarnya sudah melewati
tempat persembunyiannya, pemuda ini baru dapat
menghela napas lega.
Perlahan-lahan Soma kembali membawa
tubuhnya menyusuri lorong gelap  di depannya.
Namun tiba-tiba kakinya menjejak kosong! Seketi-
ka itu juga kedua tangannya bergerak menarik
apa saja. Untung saja tangan kanannya dapat me-
raih tonjolan batu di dinding-dinding lorong gua.
Sehingga, tubuhnya dapat bertahan. Kemudian
tubuhnya pun cepat-cepat ditarik ke atas.
"Kampret! Hampir saja aku kejeblos ke da-
lam kubangan!" gerutu Siluman Ular Putih.
Didasari rasa ingin tahu, Siluman Ular Pu-
tih melongok ke dalam lubang. Samar-samar ma-
tanya melihat dua buah benda putih keperakan di
tengah-tengah dasar kubangan. Tapi, ia harus me-
lanjutkan perjalanannya. Kalau ingin meneruskan
perjalanan, mau tidak mau harus melewati ku-
bangan besar di hadapannya.    
Maka dengan cara merayap Soma berusaha
melewati kubangan. Telapak-telapak tangannya di-
tancapkan  ke dinding-dinding gua. Dengan men-
gerahkan ilmu meringankan tubuh, perlahan-

lahan Soma mulai merayap. Sementara itu, kedua
kakinya meraba-raba ke bawah, mencari tempat
berpijak.
"Hup!"
Hanya sekali lompat, Siluman Ular Putih
berhasil mendarat di bibir seberang kubangan.
Namun lagi-lagi Soma terpaksa nyengir sendiri.
Karena baru berjalan sepuluh, sebuah kubangan
kembali menghadang....  

***

Soma perlahan-lahan menjulurkan kepala
ke dalam kubangan. Ketika Siluman Ular Putih
menajamkan pandangan, tampak di dasar kuban-
gan dua ekor kodok raksasa putih keperakan se-
besar tempayan tengah berjongkok berhadapan.
Ketika kodok di sebelah kanan berbunyi sekali,
tampak uap kuning dari mulutnya.
Siluman Ular Putih berpikir keras, bagai-
mana caranya melewati kubangan ini tanpa mem-
buang tenaga...
"Hm... dapat!" soraknya begitu menemukan
akal. Soma cepat meraih dua buah batu. Dengan
pengerahan tenaga dalam lumayan, dilemparkan-
nya batu-batu itu ke masing-masing kodok 
Duk! Duk!
"Kok!"
"Kok!" 
Mungkin karena dikira mendapat serangan
dari kodok yang satu, kodok yang lain langsung
menyerang. Maka saat itu pula terjadilah perta-
rungan antara dua kodok. 
Masing-masing kodok tak mau menyerah
kalah. Seperti yang telah dilakukan kodok lawan-
nya, kodok yang satu lantas mengeluarkan uap

kuning. 
Soma yang tengah asyik menyaksikan per-
tarungan dua ekor kodok perak raksasa itu men-
dadak tersenyum sendiri dengan mata berbinar.
"Itulah gerakan-gerakan yang digunakan
orang-orang Lembah Kodok Perak! Ya ya ya...! Aku
masih ingat betul. Paman Daksiro juga pernah
menyerangku dengan jurus-jurus seperti itu. Se-
karang tahulah aku, mengapa kodok-kodok perak
ini disimpan di dalam kubangan ini. Rupanya me-
reka adalah guru dari orang-orang Lembah Kodok
Perak!!" gumam Soma dalam hati.
Kemudian Soma pun kembali  perhatikan
dua ekor kodok perak di dasar kubangan yang
tengah bertarung. Namun kini kedua ekor kodok
itu sudah sama-sama tak bergerak dalam keadaan
terlentang. Mati. Di leher masing-masing tampak
melilit sejenis benang warna kuning.
"Hei? Benda apakah itu...?" gumam Soma
dalam hati. Sepasang mata birunya yang tajam
kembali memperhatikan dua ekor kodok perak
yang telah jadi mayat itu.
Tanpa banyak pikir lagi, Soma cepat me-
lompat turun ke dasar kubangan. Segera diambil-
nya untaian benang-benang kuning yang melilit
leher kedua ekor kodok perak itu. 
Soma hendak meloncat ke atas. Namun be-
lum juga niatnya terlaksana....
"Hei... rupanya di sini pun masih ada lo-
rong...."
Sepasang mata biru Siluman Ular Putih ja-
di berbinar-binar. Dilihatnya di dinding sebelah ki-
ri kubangan terdapat sebuah lorong memanjang
yang entah menembus ke mana. Kembali didasari
sifat ingin tahu, pemuda ini segera memasuki lo-
rong itu. Tubuhnya merayap hati-hati sekali me-

nyusuri lorong.
Tiba di lorong yang agak luas, Siluman Ular
Putih menghentikan langkahnya. Bulu kuduknya
kontan merinding melihat sebuah kerangka ma-
nusia! 
Kening Soma berkerut dalam. Sepasang
mata birunya tak henti-hentinya terus menatap
kerangka itu. Sedang tak jauh dari kerangka, tam-
pak sebilah tombak panjang. Dan samar-samar
tampak pula pada batang tombak itu beberapa
buah huruf Jawa Kuno yang berbunyi: Tombak Ra-
ja Akhirat! 
"Tombak bagus! Tombak bagus!" gumam
Soma dalam hati. Tangan kanannya segera diju-
lurkan meraih tombak itu. Namun buru-buru di-
batalkannya. Tiba-tiba hatinya merasa ragu-ragu
sekali. Entah mengapa. Kembali diperhatikannya
tombak di hadapannya dengan sinar mata penuh
kagum. Dan karena kekagumannya inilah yang
membuat murid Eyang Begawan Kamasetyo ak-
hirnya memungut tombak itu.
Dan sejenak itu pula Soma terus perhati-
kan tombak.
Kemudian sembari memegang Tombak Raja
Akhirat di tangan kanannya, Soma kembali melan-
jutkan perjalanannya. Namun anehnya, semakin
jauh menyusuri lorong bawah tanah, maka lorong
makin menyempit. Dan hingga akhirnya, langkah
Siluman Ular Putih terhenti!
Di hadapannya kini terlihat sebuah lorong
kecil yang tidak mungkin dilalui. Namun samar-
samar sepasang matanya yang tajam melihat se-
buah lubang kecil sebesar lubang bambu di sudut
lorong. Dan entah mengapa, hatinya jadi girang
bukan main. 
Sret!

Begitu tombak diarahkan, ke lubang, sinar
kuning keemasan seketika itu juga meluncur dari
mata Tombak Raja Akhirat.
Soma mengangguk-angguk penuh kagum.
Tombak di tangan kanannya digerak-gerakkan se-
demikian rupa. Dan anehnya, tanah lubang kecil
tadi berguguran begitu terkena sambaran-
sambaran sinar tombak di tangan Soma. 
Soma makin kagum. Sekali lagi Tombak
Raja Akhirat di tangan kanannya digerak-
gerakkan. Dan akibatnya lubang gua itu semakin
hebat berguguran, membentuk lorong kembali.
Dan kini pemuda itu bisa masuk ke dalam lorong
selanjutnya.

***

"Ah...! Harta benda milik siapakah itu?" de-
sah Soma seraya menggaruk-garuk kepala, begitu
tiba di sebuah ruangan yang terang-benderang.
"Jangan-jangan aku malah nyasar masuk ke sa-
rangnya para rampok?"
Siluman Ular Putih kini memang tiba di
ruangan bawah tanah yang diterangi cahaya obor
dari minyak jarak. Yang membuat Soma terka-
gum-kagum, ternyata di dalam ruangan ini terda-
pat tumpukan-tumpukan batu permata dari ber-
bagai ukuran.
Perlahan-lahan Siluman Ular Putih mulai
menggerakkan kedua kakinya mendekati tumpu-
kan-tumpukan batu permata itu. Begitu sampai,
sejenak pandangannya menebar. Dan sepasang
mata birunya kini tertumbuk pada sesosok tubuh
tua renta tengah khusuk bersemadi di sudut
ruangan. Usianya mungkin lebih dari delapan pu-
luh tahun. Itu bisa dibuktikan dari rambut pan-

jangnya yang memutih sebatas bahu. Belum lagi
bila menilik wajahnya yang kepucatan penuh ke-
rutan. Sedang tubuhnya yang tinggi kurus dibalut
pakaian ketat warna putih.
Soma tidak tahu, siapa laki-laki tua renta
yang sedang bersemadi di sudut ruangan. Yang je-
las, entah mengapa Siluman Ular Putih jadi segan
sekali melihatnya. Maka dengan langkah mantap
didekatinya orang tua itu. Lalu, dia duduk bersila
di hadapannya.
"Terimalah hormatku, Orang Tua! Aku So-
ma dari Gunung Bucu sengaja menghaturkan sa-
lam hormatku padamu," ucap Soma penuh hor-
mat.
Tapi lelaki tua berpakaian itu       tetap di-
am di tempatnya, tanpa bergerak-gerak sama se-
kali. Demikian juga dadanya yang kurus kerem-
peng!
Soma heran bukan main. Sekali lagi dipan-
danginya dada orang tua itu seksama. Ternyata,
dada itu memang tidak bergerak sama sekali! Ka-
rena terdorong rasa ingin tahunya, Siluman Ular
Putih mengulur tangannya. Dipegangnya denyut
nadi orang tua itu. Dingin!
Namun tiba-tiba saja tangan kurus kering
lelaki tua renta itu bergerak cepat sekali memapak
tangan Soma! 
Plakkk! 
"Auwww...!" 
Soma meringis kesakitan. Tangannya yang
terkena papakan tadi terasa mau remuk! 
"Ah...! Kau masih hidup, Orang Tua! Lan-
tas, mengapa mempermainkan  ku  demikian ru-
pa?" sungut Soma kesal 
"Bocah bau kencur! Apa kau ingin mencari
mati di sini, he?!" bentak lelaki tua itu garang me-

rasa terganggu dengan apa yang telah dilakukan
Soma.
"Orang Tua! Terus terang aku cuma heran,
mengapa kau sampai bisa terkurung di sini?"
Lelaki itu malah melotot lebar. Keningnya
berkerut-kerut saking herannya. 
"Apakah kau membutuhkan tenagaku,
Orang Tua?"
Lelaki renta itu mengangguk-angguk. 
"Katakan, tugas apa yang harus kujalan-
kan, Orang Tua! Aku pasti akan menjalankan tu-
gasmu," sambung Soma cepat. 
"Apa kau dapat menangkap mereka untuk
dibawa kemari, Bocah?" 
Belum sempat Soma memberi jawaban, ti-
ba-tiba sepasang mata mencorong lelaki tua renta
itu memandangi Tombak Raja Akhirat di pinggang
Soma. Kemudian tanpa banyak, cakap lagi, dilan-
carkannya satu pukulan maut ke tubuh Siluman
Ular Putih! 
Wesss! 
Sebelum serangan lelaki tua renta itu men-
genai sasaran, terlebih dahulu telah terasa hawa
dingin yang meluruk cepat. Maka tanpa banyak
pikir lagi, Siluman Ular Putin langsung menghan-
tamkan tangannya. Dilepaskannya pukulan sakti
'Tenaga Inti Bumi'-nya untuk memapak.
Wesss! 
Blarrr...!   
Soma memekik setinggi langit. Tubuhnya
mental beberapa tombak ke belakang, langsung
membentur dinding ruangan. Seketika itu juga wa-
jahnya pucat pasi! Tampak darah segar membasa-
hi sudut-sudut bibirnya! Sedang sekujur tubuh-
nya terasa beku! Jangankan untuk meloncat ban-
gun. Untuk menggerakkan kedua tangannya saja

tidak mampu!
Siluman Ular Putih mengeluh pasrah. Na-
mun anehnya, entah karena apa, tiba-tiba saja se-
pasang mata prang tua renta yang membelalak le-
bar itu bersinar-sinar penuh kegembiraan! Dan
belum sempat Soma membuka suara....
"Bocah! Cepat katakan! Ada hubungan apa
kau dengan Adi Begawan Kamasetyo?" 
Soma terkesiap kaget. Sungguh tidak dis-
angka kalau orang tua renta, yang terkurung di
dalam gua bawah tanah Lembah Kodok Perak itu
kenal dengan eyangnya. 
"Beliau adalah eyang sekaligus guruku,
Orang Tua," jawab Soma terpatah-patah dengan
mulut menyeringai   
"Hm... Jadi kau cucu Adi Begawan Kama-
setyo," gumam orang tua renta itu seraya men-
gangguk-angguk. "Ketahuilah, Cucuku! Sebenar-
nya aku ini adalah kakak ipar dari eyang mu. Aku
Eyang Prana Supit."
"Ja..., Jadi kalau begitu kau masih terhi-
tung eyangku, Orang Tua? Ah...! Maafkan ketidak-
tahuan ku, Orang Tua!" ucap Soma girang bukan
main. 
Namun ketika hendak bangun, Soma jadi
mengeluh. Tubuhnya yang beku sedikit pun tidak
bisa digerakkan! 
Lelaki tua bernama Eyang Prana Supit itu
tahu apa yang tengah dialami pemuda gondrong di
hadapannya. Maka cepat dikeluarkannya sebuah
obat pulung berwarna kuning dari dalam saku ba-
junya. Segera dia bangkit dan berjalan mendekati
Soma. "Telanlah obat ini, Cucuku!" ujarnya 
Tanpa banyak cakap, Siluman Ular Putih
membuka mulutnya. Dan Eyang Prana Supit pun
memasukkan obat itu ke dalam mulut si pemuda. 

Soma menelannya dengan susah payah.
Sementara lelaki tua renta itu sudah menotok be-
berapa jalan darah di tubuh Soma. 
Selang beberapa saat, Soma pun mulai da-
pat menggerak-gerakkan tubuhnya. Luka dalam-
nya akibat pukulan lelaki tua ini pun sirna begitu
menelan obat barusan. 
"Terima kasih, Eyang. Kau baik sekali,"
ucap Soma.
"Sudahlah! Jangan terlalu banyak perada-
tan! Sekarang ceritakan, mengapa Tombak Raja
Akhirat itu sampai jatuh ke tanganmu, Cucuku?"
"Aku hanya menemukannya di salah se-
buah lorong bawah tanah di Lembah Kodok Perak
ini, Eyang" 
Eyang Prana Supit mengangguk-
anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia ingin mena-
nyakan, bagaimana caranya Soma masuk ke da-
lam tempat kurungan itu. Akan tetapi entah kare-
na apa yang keluar dari mulutnya malah mengenai
persoalan pribadinya
"Cucuku! Mungkin waktu pertemuan kita
ini hanya sebentar. Maukah kau menuruti permin-
taanku?"
"Tentu saja, Eyang. Mengapa Eyang berka-
ta demikian?" 
"Baiklah! Sudah kuduga kau pasti akan
berkata demikian," kata Eyang Prana Supit seraya
menyunggingkan senyum "Tapi sebelum mengata-
kan permintaanku, terlebih dahulu aku akan me-
wariskan sesuatu padamu, Cucuku"
"Apa itu, Eyang?" tanya Soma girang bukan
main
Lelaki renta itu hanya tersenyum. Tangan
kanannya cepat mengeluarkan dua buah lembaran
kain sutera berwarna kuning kemerah-merahan

"Kedua benda inilah yang akan kuwariskan
padamu, Cucuku. Kami, orang-orang Lembah Ko-
dok Perak menamakan kedua benda ini adalah Ki-
tab Kodok Perak Sakti. Karena, bila lembaran-
sutera ini dicelup ke dalam air panas maka tam-
paklah jurus-jurus 'Kodok Perak Sakti' dalam ke-
dua lembaran sutera ini. Meski hanya terdiri dan
tiga jurus. Tapi, kau harus mempelajarinya nanti
sepulangnya dari sini,"
"Mengapa demikian, Eyang?" tanya Soma
tak mengerti 
"Sudahlah! Sebaiknya turuti saja perintah-
ku, Cucuku! Sekarang kau mendekatlah dan den-
garlah permintaanku, Cucuku! Aku hanya minta,
setelah dapat menguasai jurus-jurus 'Kodok Perak
Sakti', kau jangan mengganggu orang-orang peng-
huni Lembah Kodok Perak! Kau paham, Cucuku?"
"Paham, Eyang," sahut Soma seraya men-
dekat 
"Dan  permintaanku  yang kedua, berikan
Kitab Kodok Perak Sakti yang asli itu kepada
orang-orang penghuni Lembah Kodok Perak! Se-
benarnya tadi aku memang ingin kau membantu-
ku menangkapi orang-orang penghuni Lembah
Kodok Perak guna untuk membalas sakit hatiku.
Termasuk juga kakak seperguruanku, Ki Cucuk
Prana yang menjadi ketua Lembah Kodok Perak
ini. Merekalah yang membuatku berada di tempat
ini. Tapi, entah mengapa setelah bertemu den-
ganmu pikiranku jadi berubah."
"Mengapa demikian, Eyang?"
"Sebenarnya ceritanya panjang. Tapi, baik-
lah! Untuk lebih jelasnya, kau boleh mendengar
ceritaku."
Soma mengangguk pasti,
"Dengarlah, Cucuku! Di samping aku ini

eyang mu, sebenarnya aku ini adalah orang hu-
kuman Lembah Kodok Perak. Berpuluh-puluh ta-
hun lalu, aku telah diusir pergi karena berani ke-
luar dari Lembah Kodok Perak. Tapi hal itu karena
waktu itu Raja Iblis dari Istana Ular Emas datang
kemari. Salah seorang adik seperguruanku yang
mencoba menghadang sepak terjangnya tewas di
tangan Raja Iblis. Maka begitu mendengar kalau
adik seperguruanku tewas, Maka aku nekat ke-
luar. Kucari Raja Iblis. Dan akhirnya aku dapat
menyeretnya kemari. Sehingga ia menemui ajal di
sini. Kerangka yang kau lihat di lorong gua itulah
kerangka mayat Raja Iblis."
"Hm...! Jadi hanya karena nekat keluar da-
ri Lembah Kodok Perak inilah, Eyang sampai dita-
wan di sini," tebak Soma sambil mengangguk-
angguk.
"Nah, kalau kau sudah paham duduk per-
soalannya, sebaiknya sekarang lekas cepat kau
balikkan badanmu ke belakang. Agar kau lebih
cepat menguasai jurus-jurus yang terkandung da-
lam Kitab Kodok Perak Sakti itu. Dan aku ingin
menyalurkan tenaga 'Kodok Perak Sakti'-ku ke da-
lam tubuhmu, Cucuku," ujar Eyang Prana Supit.
"Baiklah, Eyang," sahut Soma. Tanpa ba-
nyak cakap, Soma segera berbalik ke belakang.
Kemudian Eyang Prana Supit segera menempelkan
kedua telapak tangan ke punggung Soma. 
Seketika itu, Siluman Ular Putih merasa-
kan hawa dingin yang bukan kepalang menerabas
ke dalam tubuhnya. 
Soma menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat. Sambil terus mengalihkan tenaga 'Kodok Pe-
rak Sakti' ke tubuh Soma, Eyang Prana Supit te-
rus memberi petunjuk pada Soma bagaimana ca-
ranya mengendalikan hawa dingin yang berputar-

putar di bawah perutnya. 
"Nah! Sekarang kau sudah dapat mempela-
jari jurus-jurus yang terkandung dalam Kitab Ko-
dok Perak Sakti itu dengan mudah. Aku sudah
mengalihkan tenaga 'Kodok Perak Sakti' ke dalam
tubuhmu. Sekarang lekas tinggalkan tempat ini!
Kau boleh lewat pintu sebelah sana! Tapi jangan
lupa tutup lagi pintunya!" ujar Eyang Prana Supit,
begitu selesai mengalihkan tenaga 'Kodok Perak
Sakti' ke dalam tubuh Soma dan kembali duduk
bersemadi seperti semula. 
"Tapi, Eyang...?"
Begitu bangkit Soma cemas sekali melihat
wajah Eyang Prana Supit demikian pucat. Napas-
nya terengah-engah seperti orang habis lari jauh.
Kedua tangannya pun gemetaran.
"Sudahlah! Jangan banyak membantah,
Cucuku! Lekas kau tinggalkan tempat ini!" ujar le-
laki tua itu terengah-engah. 
Soma melangkah ragu-ragu. Sejenak di-
pandanginya wajah pias di hadapannya dengan
perasaan bingung. Namun akhirnya pemuda gon-
drong itu tidak dapat menolak permintaan lelaki
tua itu. Kemudian sambil sesekali memalingkan
kepala ke belakang, Soma mulai keluar dari ruan-
gan.
Eyang Prana Supit memejamkan matanya
rapat-rapat. Dadanya terlihat makin naik turun.
Kemudian ketika pintu ruangan tertutup dari luar,
lelaki tua ini telah menghembuskan napasnya
yang terakhir dalam keadaan masih duduk berse-
madi! 
SELESAI

Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com