Sosok
yang menyelamatkan Siluman Ular
Putih
dari kematian adalah seorang lelaki bertu-
buh
tinggi kurus terbalut pakaian putih. Usianya
sudah
sangat renta, bahkan sulit sekali
ditaksir.
Rambutnya
panjang memutih tergerai di bahu.
Wajahnya
tirus. Sepasang matanya mencorong ta-
jam,
pertanda tenaga dalamnya sudah mencapai
tingkat
yang sulit sekali diukur!
Dengan
sinar mata tajam, lelaki tua itu te-
rus
memandangi keempat orang pengeroyok Silu-
man
Ular Putih. Kedua bibirnya berkemik-kemik.
Jari-jari
tangannya terus memilin-milin biji-biji
tasbih
putih yang tadi digunakan untuk mengha-
lau
serangan keempat tokoh sesat itu terhadap Si-
luman
Ular Putih!
"Siapa
aku?" kata lelaki tua ini.
"Aku
hanyalah segumpal tanah. Mengapa
kalian
meributkan aku? Dan mengapa pula kalian
tidak
mau mencuci bersih otak dan hati? Mengapa
kalian
malah mengumbar kegilaan? Bila semua
yang
ada di alam semesta ini musnah, apakah arti
kegilaan
kalian? Alangkah indahnya bila berpe-
gang
teguh pada tali kasih sayang. Sebab hanya
tali
kasih sayang sajalah yang dap...."
"Setan
Alas!" Potong Iblis Kelabang Merah,
membentak.
"Kematian sudah di depan mata ma-
sih
banyak bacot! Di sini bukanlah tempat berk-
hotbah,
tahu?!"
Saat
itu juga Iblis Kelabang Merah meng-
hentakkan
kedua telapak tangannya yang telah
berwarna
merah darah ke depan. Maka seleret si-
nar
merah dari kedua telapak tangannya melesat
menyerang
tubuh ringkih orang tua berbalut kain
putih.
Padahal, jangankan tubuh ringkih. Batu
gunung
sebesar gajah pun akan hancur berkep-
ing-keping
terkena pukulan 'Racun Kelabang Me-
rah'.
Wesss!
Bukkk!
Seleret
sinar merah itu telak sekali meng-
hantam
dada. Namun anehnya, lelaki tua kurus
itu
masih tetap tegak di tempatnya! Jangankan
hancur
berkeping-keping, seperti yang telah di-
bayangkan
Iblis Kelabang Merah. Bergeming dari
tempat
berdirinya pun tidak! Malah, pada kain pu-
tih
pembalut tubuh lelaki tua itu tampak cairan
merah
berwarna merah darah! Namun, itu bukan-
nya
darah lelaki tua itu, melainkan racun kela-
bang
merah yang berbau amis bukan kepalang.
Bukan
main kagetnya tokoh sesat itu meli-
hat
kesaktian orang tua berkain putih. Bahkan Si-
luman
Ular Putih sampai melongo dibuatnya, sak-
ing
herannya.
"Bolehkah
aku mengetahui nama besarmu,
Orang
Tua?" cetus Soma, saking penasarannya.
"Pergilah!
Jangan terlalu banyak mem-
buang
waktu dengan pertanyaan bodoh mu! Sam-
paikan
saja salamku pada eyang mu, Adi Begawan
Kamasetyo!"
ujar lelaki tua sakti itu dengan se-
nyum
arif terkembang di bibir.
Siluman
Ular Putih terkesiap. Ia tidak me-
nyangka
kalau orang tua sakti di hadapannya
mengenal
eyangnya, sekaligus gurunya!
"Baik.
Tapi kalau eyangku bertanya salam
dari
mana, aku mesti jawab apa?"
"Adi
Begawan Kamasetyo pasti tahu dari
siapa
salam itu. Sekarang lekaslah tinggalkan
tempat
ini! Nampaknya kau sedang menghadapi
urusan
besar."
"Benar,
Orang Tua. Dan aku pun mengu-
capkan
terima kasih atas pertolonganmu ini."
"Sudahlah!
Jangan terlalu banyak berbasa-
basi!
Lekas tinggalkan tempat ini!"
"Se....
Sebenarnya aku ingin sekali melihat
bagaimana
caramu menghajar empat ekor nyamuk
hutan
itu. Tapi, baiklah. Sekarang juga aku akan
pergi
ke Lembah Kodok Perak. Selamat tinggal,
Orang
Tua!" kata Soma, lalu cepat berkelebat dari
tempat
itu.
"Setan
Alas! Kau harus bertanggung jawab
atas
lenyapnya kunyuk gondrong itu, Orang Tua!"
bentak
Iblis Kelabang Merah penuh kemarahan
seraya
mendorongkan kedua telapak tangannya
yang
berwarna merah.
Bersamaan
dengan itu, ketiga orang tokoh
sesat
lainnya telah mengurung lelaki tua berbalut
kain
putih dengan senjata tergenggam di tangan.
Sedikit
pun lelaki tua arif itu tidak gentar
melihat
serangan-serangan para pengeroyoknya. Ia
hanya
menjentikkan ujung telunjuk kanannya.
Wesss!
Maka,
seleret sinar putih menyilaukan ma-
ta
melesat, memapak seleret sinar merah menyala
dari
kedua telapak tangan Iblis Kelabang Merah.
Lalu....
Bummm...!
Iblis
Kelabang Merah terpental beberapa
tombak
ke belakang. Tubuhnya berputar-putar,
sebelum
akhirnya jatuh bergedebuk di tanah tan-
pa
dapat bergerak-gerak lagi. Mati!
Bukan
main kagetnya ketiga tokoh sesat
yang
belum sempat melepas serangan. Namun
kematian
Iblis Kelabang Merah bukannya mem-
buat
hati mereka jera. Seketika mereka segera
menyerang
lelaki tua tinggi kurus itu dengan ju-
rus-jurus
andalan.
Anehnya,
lelaki sakti itu hanya berkelebat
ke
sana kemari menghindari serangan sambil te-
rus
memperhatikan gerakan-gerakan kaki dan
tangan
ketiga lawannya. Hingga tiga jurus berlalu,
ia
masih terus asyik memperhatikan jurus-jurus
para
pengeroyoknya.
"Keparat!
Mengapa kau hanya menghindar
saja,
Orang Tua? Hayo, lekas balas serangan kami
sebelum
nyawa busukmu melayang!" teriak Teng-
korak
Serigala penasaran.
"Baik-baik!
Kalau kalian memang meng-
hendakinya.
Tapi sebelumnya jangan kaget dengan
jurus-jurus
yang akan ku keluarkan. Nan, lihat-
lah!
Apa kau mengenali jurus ini?" sahut lelaki tua
kurus
itu, kalem.
Kedua
lututnya segera ditekuk sedemikian
rupa.
Tangan kirinya mendorong ke depan. Tan-
gan
kanannya membuat cengkeraman dari bawah
ke
atas, seperti yang tadi telah dilakukan Tengko-
rak
Serigala.
Tentu
saja Tengkorak Serigala kaget bukan
main,
melihat jurus-jurus yang dikeluarkan lelaki
tua
sakti berbalut kain putih itu. Karena, itu ada-
lah
jurus-jurus miliknya sendiri yang tadi diper-
gunakan
untuk menyerang si tua berbalut kain
putih
itu.
Lebih
anehnya lagi, jurus 'Tongkat Putih
Penggebuk
Dewa' milik Tengkorak Serigala yang
dikeluarkan
lelaki tua sakti itu malah jauh lebih
hebat
disbanding jurus yang dikeluarkannya tadi!
"Jahanam!
Dari mana kau pelajari jurus
'Tongkat
Putih Penggebuk Dewa'-ku, Orang Tua?"
pekik
Tengkorak Serigala kaget bukan main. Tidak
menyangka
kalau lelaki tua sakti di hadapannya
mampu
mengeluarkan jurus-jurus andalannya
jauh
lebih hebat dibanding miliknya.
Lelaki
tua sakti itu hanya tersenyum tipis.
Dengan
menggunakan jurus sakti yang dipelajari
dalam
sekali lihat saja, ia terus mendesak Tengko-
rak
Serigala! Bahkan mampu pula menahan se-
rangan-serangan
Tengkorak Serigala dan Ki Ju-
lung
Pucut.
Kemudian
setelah menyerang Tengkorak
Serigala,
lelaki tua sakti itu pun kembali menye-
rang
Raja Toya dan Ki Julung Pucut hebat. Dan
hebatnya
lagi, serangannya pun menggunakan ju-
rus-jurus
yang tadi dikeluarkan Raja Toya dan Ki
Julung
Pucut! Bahkan pula jauh lebih hebat!
Seperti
yang dialami Tengkorak Serigala,
Raja
Toya dan Ki Julung Pucut kaget bukan alang
kepalang.
Mereka tidak menyangka kalau musuh-
nya
mampu menirukan jurus-jurus andalan mere-
ka
yang demikian hebat. Padahal jurus-jurus itu
hanya
mereka sajalah yang mengetahuinya. Tapi,
lelaki
tua itu?
Diam-diam
Ki Julung Pucut mengerutkan
keningnya
dalam-dalam. Ia tadi baru saja dapat
keluar
dari tekanan-tekanan lelaki tua sakti itu.
"Hm...!
Kalau tidak salah, di dunia persila-
tan
ini hanya ada satu orang yang mampu meni-
rukan
jurus-jurus sakti seseorang dalam sekali li-
hat
saja. Tokoh sakti itu tidak lain adalah, Eyang
Bromo!"
gumam Ki Julung Pucut dalam hati.
Sehabis
menggumam begitu, Ki Julung Pu-
cut
menatap tajam lelaki tua sakti itu.
"Eyang
Bromo! Di antara kita tidak pernah
ada
silang sengketa. Tapi, mengapa kali ini kau
memusuhi
kami?!" bentaknya, garang.
Bukan
main kagetnya hati Raja Toya dan
Tengkorak
Serigala mendengar disebut-sebutnya
tokoh
sakti nomor satu di dunia persilatan. Maka,
seketika
itu juga nyali mereka pun kontan ciut.
"Benar!
Di antara kita memang tidak ada
silang
sengketa. Tapi, mengapa kalian belum jera
juga
menebar angkara murka di muka bumi ini?
Lekaslah
kembali ke jalan kebenaran! Dan cucilah
hati
dan otak kalian dengan kasih sayang!" ujar le-
laki
tua berbalut kain putih bernama Eyang Bro-
mo
diiringi senyum arif.
"Jahanam!
Tua bangka bau tanah! Hari ini
kami
mengaku kalah. Tapi, awas! Tunggulah pem-
balasanku
nanti!" teriak Tengkorak Serigala den-
gan
rahang menggembung.
Sehabis
berkata begitu, Tengkorak Serigala
pun
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat
itu.
Selang beberapa saat, Ki Julung Pucut dan
Raja
Toya pun ikut menyusul kepergian kawannya
setelah
menyambar mayat Ki Julung Kencono dan
Iblis
Kelabang Merah.
"Bagaimana
mungkin mampu menjadi kafi-
lah
di muka bumi, kalau hati mereka masih jauh
dari
rasa kasih dan sayang...," desah Eyang Bromo
seraya
menggeleng-geleng.
Sepasang
mata lelaki tua ini sempat meli-
hat
bayangan ketiga orang itu menghilang di se-
buah
tikungan di depan sana. Kemudian setelah
menghela
napas panjang, kakinya menjejak tanah.
Maka
dalam sekejapan mata saja, sosoknya telah
jauh
berkelebat ke dalam hutan jati!
***
6
Setelah
bersemadi selama dua hari untuk
memulihkan
tenaga dalamnya, yang terkuras sete-
lah
bertarung dengan beberapa tokoh sesat, Silu-
man
Ular Putih kini telah berdiri di sebuah tang-
gul.
Matanya tak lepas memandang ke arah bukit
kecil
di kejauhan sana. Sinar matahari sore ini
berwarna
jelaga menyapu sebagian badan bukit.
"Semprul!
Di mana sih letaknya Lembah
Kodok
Perak? Apa di balik bukit sana? Kalau tidak
salah
waktu itu Bunda Kurawa memang mengata-
kan
demikian. Yah yah...! Sebaiknya sekarang juga
aku
pergi ke sana," kata Soma dengan mata seolah
mencari-cari.
Di
saat Soma bermaksud turun dari tang-
gul,
mendadak matanya melihat sesosok tubuh
berpakaian
hitam-hitam tengah melenggang santai
sepuluh
tombak di bawah sana. Tubuh orang itu
tinggi
besar dengan rambut gondrong sebahu.
Usianya
kira-kira tiga puluh lima tahun. Namun
anehnya
wajah kotaknya tampak demikian kaku,
seperti
mayat hidup!
Soma
seperti bergidik melihat tampang
angker
orang itu. Namun toh akhirnya murid
Eyang
Begawan Kamasetyo ini cepat meloncat tu-
run.
Langsung dijajarinya langkah orang itu.
"Maaf,
Paman! Apa benar letak Lembah
Kodok
Perak itu di belakang bukit sana itu?" tanya
Soma
seraya menuding ke arah seonggok bukit hi-
jau
di kejauhan sana.
Namun
anehnya orang tua tinggi besar itu
sama
sekali tidak mempedulikan. Malah langkah-
nya
makin dipercepat
Soma
penasaran sekali. Buru-buru lang-
kahnya
dipercepat. Sekali tangannya terulur, pun-
dak
lelaki itu pun telah tertepuk.
"Maaf,
Paman! Apa benar Lembah Kodok
Perak
itu letaknya di belakang bukit sana?" ulang
Soma.
Lelaki
bertubuh tinggi besar itu memaling-
kan
kepalanya. Diperhatikannya pemuda gon-
drong
di sampingnya dengan seksama. Kemudian
dengan
sikapnya yang kaku seperti mayat hidup,
langkahnya
kembali diteruskan.
"Sontoloyo!
Manusia apa dedemit sawah?
Ditanya
malah melotot?" gerutu Soma kesal.
Lelaki
berpakaian hitam-hitam itu tetap ti-
dak
mempedulikan ucapan murid Eyang Begawan
Kamasetyo.
Malah langkahnya semakin dipercepat
Sementara
Soma hanya menggeleng-geleng
saja.
Namun pemuda ini tak patah semangat. Se-
ketika
tubuhnya berkelebat. Dan kini ia kembali
menjajari
langkah lelaki aneh berpakaian hitam-
hitam
itu.
Lelaki
aneh berpakaian hitam-hitam itu
menghentikan
langkahnya. Keningnya berkerut-
kerut.
Sepasang matanya yang besar terus mena-
tap
tajam Siluman Ular Putih tanpa berkedip.
"Pergilah
kau ke tempat asalmu, Bocah!
Dari
mana kau datang, ke sana pulalah kau kem-
bali.
Dan, jangan bermimpi untuk dapat masuk ke
dalam
Lembah Kodok Perak!" dengus lelaki berpa-
kaian
hitam-hitam itu.
Secepat
lelaki ini berbalik, secepat itu pula
tubuhnya
kembali berkelebat cepat meninggalkan
Siluman
Ular Putih seorang diri.
"Tunggu
dulu, Paman! Hup!"
Begitu
habis kata-katanya, Siluman Ular
Putih
cepat meloncat jauh. Langsung dihadangnya
langkah
lelaki itu. Sepasang mata birunya terus
menatap
tajam tak berkedip.
Wajah
kaku lelaki berpakaian hitam-hitam
itu
demikian mengerikan. Tak sepatah kata pun
terucap
dari kedua bibirnya yang berkemik-kemik.
Hanya
matanya saja yang balas memandang So-
ma.
"Mengapa
kau tak menjawab pertanyaan-
ku,
Paman?" tegur Soma.
"Karena
kau punya maksud yang tidak
baik,
Bocah!" jawab lelaki berpakaian hitam-hitam
itu
pendek.
Soma
melengak kaget.
Bagaimana mungkin lelaki aneh ini dapat
mengetahui
maksud kedatangannya ke Lembah
Kodok
Perak? Memang Soma sedikit punya mak-
sud
tidak baik di Lembah Kodok Perak. Tapi, ba-
gaimana
mungkin dia dapat mengetahuinya? So-
ma
bertanya-tanya dalam hati.
"Kalau
memang iya, apa pedulimu? Dan
sebenarnya,
kau ini siapa? Mengapa usil dengan
urusanku
segala?" kata Soma kesal.
Wajah
kaku berkumis itu tampak demikian
garang.
Mulutnya berkemik-kemik menahan gejo-
lak
amarah.
"Percuma
saja kukatakan. Karena kau sen-
diri
juga tidak mungkin dapat mengetahuinya!"
jawab
lelaki berkumis lebat itu ketus.
Soma
tertawa bergelak. Telunjuk jarinya di-
tudingkan
ke muka lelaki berkumis itu seraya
menggeleng-geleng.
"Bagaimana
mungkin kau dapat mengata-
kan
percuma kalau kau sendiri belum menye-
butkan
namamu? Dan jika dugaanku tidak salah,
kau
ini tentu salah seorang dari Tiga Jenggot, Em-
pat
Brewok dan Tujuh Kumis dari Lembah Kodok
Perak.
Atau setidak-tidaknya, mempunyai hubun-
gan
yang erat sekali dengan orang-orang Lembah
Kodok
Perak," cecar Siluman Ular Putih.
Wajah
kaku laki-laki berkumis lebat itu
tampak
menegang. Sepasang matanya berkilat-
kilat.
Kedua bibirnya berkemik-kemik pertanda
tengah
menahan amarah menggelegak.
Tanpa
mempedulikan kemarahan lelaki di
hadapannya,
Soma maju setindak.
"Kau
tidak mau mengatakannya juga, Pa-
man?!"
cecar Soma lagi dengan suara agak keras.
"Orang-orang
dari golongan Lembah Kodok
Perak
belum pernah memberitahukan namanya,
tahu?!"
bentak laki-laki berkumis lebat itu, tak ka-
lah
keras.
Soma
tertawa ganda, saking jengkelnya
melihat
sikap kaku lelaki di hadapannya. Namun
mendadak
suara tawanya berhenti ketika tanpa
banyak
cakap, laki-laki berkumis lebat itu ber-
jongkok
sampai pantatnya menyentuh tanah.
"Kok...!
Kok...!"
Aneh!
Lelaki ini mendadak mengeluarkan
suara
mirip kodok. Bersamaan dengan itu, kedua
jari-jari
tangannya didorongkan ke depan
Wesss...!
Maka
seketika itu juga serangkum angin
dingin
dari kedua jari-jari tangan lelaki berkumis
itu
telah meluruk ke arah Siluman Ular Putih he-
bat!
Pemuda
ini terkesiap kaget. Sungguh tidak
disangka
kalau lelaki berkumis lebat itu akan me-
nyerang
dirinya demikian hebatnya. Saking terke-
simanya
Siluman Ular Putih, tak sempat lagi me-
mapak.
"Hup!"
Hanya
melempar tubuhnya ke belakang
yang
dapat dilakukan Soma. Namun tetap saja ge-
rakan
tubuhnya masih kalah cepat. Sehingga tan-
pa
ampun lagi.
Tuk!
Tuk!
Dada
Siluman Ular Putih kontan terhan-
tam
sambaran angin dingin dari jari-jari tangan le-
laki
berkumis tebal itu! Seketika itu juga tubuhnya
makin
terlempar beberapa tombak ke belakang.
Sebentar
pemuda itu berputar-putar sebelum ak-
hirnya
jatuh mencium tanah.
Siluman
Ular Putih mengeluarkan sumpah
serapah
dalam hati. Wajahnya pucat pasi. Kedua
bibir
meringis menahan nyeri.
"Sontoloyo!
Bagaimana mungkin aku dapat
dirobohkan
dalam segebrakan?" maki Siluman
Ular
Putih dalam hati.
Bersama
dengan itu hawa dingin akibat to-
tokan
jarak jauh lelaki berkumis tebal itu pun mu-
lai
menjalar ke dalam tubuhnya! Siluman Ular Pu-
tih
tidak tahan lagi. Sekujur tubuhnya menggigil
kedinginan.
"Kampret!
Benar-benar kampret! Mengapa
tadi
aku bertindak ayal-ayalan?" rutuk Soma.
Siluman
Ular Putih kini mencoba bangkit.
Namun
anehnya sekujur tubuhnya terasa beku!
Jangankan
untuk meloncat bangun. Untuk meng-
gerakkan
kedua tangannya pun rasanya sulit!
"Celaka!
Mengapa bisa begini?!" gumam
Soma
kalang kabut.
"Heh!
Kepandaian cuma seujung kuku,
mau
nekat ingin datang ke Lembah Kodok Perak,"
dengus
lelaki berkumis itu. "Tapi kalau kau pena-
saran
juga ingin pergi ke sana, berjalanlah ke be-
lakang
bukit sebelah selatan sana. Cuma syarat-
nya,
bebaskan dirimu dulu dari totokanku."
Siluman
Ular Putih menggerutkan gera-
hamnya
kuat-kuat. Diam-diam ia pun mulai men-
gerahkan
kekuatan tenaga dalamnya. Namun baru
saja
ia mengambil napas, mendadak lelaki berku-
mis
lebat itu pun telah berkelebat cepat mening-
galkan
tempat ini.
Soma
melengak, kaget mendapati dirinya
ternyata
dalam keadaan tertotok. Tapi Siluman
Ular
Putih yakin, lelaki tadi tidak bermaksud jahat
terhadapnya.
Padahal kalau mau, bukan mustahil
Siluman
Ular Putih dapat dibunuh dengan mudah.
Dan
Soma cuma tertotok.
"Siapa
sebenarnya lelaki berkumis lebat
itu?
Apakah ia juga termasuk salah seorang dari
Tiga
Jenggot, Empat Brewok, dan Tujuh Kumis
dari
Lembah Kodok Perak? Kalau memang iya,
sungguh
hebat kesaktian orang-orang Lembah Ko-
dok
Perak. Menghadapi seorang dari mereka saja,
aku
tak berdaya. Apalagi menghadapi mereka se-
mua.
Ah...! Bagaimana ini?" gumam Soma gelisah.
Namun
begitu teringat akan keselamatan
Angkin
Pembawa Maut, Soma pun lantas mencoba
membebaskan
dirinya dari pengaruh totokan. Na-
mun tubuhnya sama sekali tak bisa digerakkan,
Bahkan
terasa beku.
"Sontoloyo!
Mengapa tubuhku jadi beku
seperti
ini?" rutuk Soma gelisah bukan main. Apa-
lagi
ketika dilihatnya tiba-tiba awan hitam bergu-
lung-gulung
di angkasa, pertanda sebentar lagi
akan
turun hujan. Maka tak henti-hentinya pe-
muda
ini menyumpah serapah.
"Sialan!
Terpaksa aku harus berdiam diri dalam
keadaan
beku seperti ini. Kehujanan lagi! Huh!"
***
7
Baru
setelah matahari menampakkan si-
narnya
di ufuk timur, Soma mulai dapat mele-
paskan
diri dari pengaruh totokan. Itu pun secara
bertahap,
setelah ia melepaskan pukulan sakti
'Tenaga
Inti Api'.
"Hyaaat!"
Begitu
pengaruh totokan telah benar-benar
sirna,
Siluman Ular Putih meloncat bangun. Meski
demikian
gerakannya masih terasa kaku. Maka
kembali
dicobanya kerahkan pukulan sakti
'Tenaga
Inti Api'-nya. Dan saat itu pula tubuhnya
terasa
enteng sekali.
"Sontoloyo!
Tak kusangka akibat totokan si
kumis
tadi demikian hebat. Untung saja ia tidak
menginginkan
nyawaku. Huh! Awas nanti kalau
ketemu!"
gerutu Siluman Ular Putih jengkel, se-
raya
berkelebat dari tempat ini.
Siluman
Ular Putih mengerahkan seluruh
kemampuan
ilmu meringankan tubuhnya. Seperti
yang
dikatakan lelaki tadi, Soma kini menuju bu-
kit
sebelah selatan. Karena, memang di sanalah le-
tak
Lembah Kodok Perak.
Kini
Soma tiba di sebuah hutan lebat. Sak-
ing
lebatnya, matahari sampai tidak mampu me-
nembuskan
sinar-sinarnya. Pohon-pohon besar
berusia
ratusan tahun tumbuh berjajar dengan
akar-akarnya
yang bertonjolan di sana-sini. Setin-
dak
demi setindak, pemuda ini mulai menyusuri
jalan
setapak di pinggiran hutan. Di tempat asing
seperti
ini, Siluman Ular Putih merasa perlu me-
ningkatkan
kewaspadaannya. Mata dan telinganya
dipasang
tajam-tajam.
"Okh...!"
"Hah...?!"
Tiba-tiba
pendengaran Siluman Ular Putih
yang
sudah sangat terlatih samar-samar menden-
gar
rintihan seseorang. Langkahnya langsung di-
hentikan
sebentar. Sepasang matanya bergerak-
gerak,
mencari asal suara rintihan tadi.
Namun
sebentar kemudian, Soma menge-
luh.
Entah karena apa, tiba-tiba suara rintihan itu
menghilang.
Kalau saja mengingat urusannya di
Lembah
Kodok Perak, ingin rasanya pemuda itu
cepat
meninggalkan hutan itu. Namun jiwa kepen-
dekarannya
menuntut lain. Perlahan-lahan ka-
kinya
kembali melangkah menuju ke arah datang-
nya
suara rintihan itu.
Setelah
menemukan sumber suara, sepa-
sang
mata biru Siluman Ular Putih pun kontan
membelalak
lebar. Di balik semak-semak belukar
tampak
olehnya sesosok lelaki berpakaian hitam-
hitam
tengah menggeletak dengan sekujur tubuh
matang
biru. Wajahnya pucat pasi. Tampak darah
segar
membasahi sudut-sudut bibirnya. Dan ia ti-
dak
lain dari lelaki berkumis lebat yang telah
mencelakakan
Soma tadi malam!
Soma
langsung melompat dan menyingkap
semak-semak
belukar di hadapannya. Kemudian
tanpa
banyak cakap, langsung diangkatnya tubuh
tinggi
besar lelaki itu ke tepi jalan. Dan sekali lihat
saja,
murid Eyang Begawan Kamasetyo tahu kalau
orang
yang telah menganiaya lelaki berkumis itu
lebih
dari satu orang.
"Hm
! Kalau melihat luka-lukanya pasti
akibat
terkena pukulan tongkat putih milik Teng-
korak
Serigala. Dan yang di dada kiri ini pasti aki-
bat
terkena pukulan Raja Toya. Sedang pada ulu
hatinya,
pasti akibat terkena lecutan cemeti di
tangan
Ki Julung Pucut. Pasti!" gumam Soma.
"Berarti
semalam lelaki ini dikeroyok pula
oleh
orang-orang suruhan Teratai Emas"
Kening
Soma berkerut dalam. Rasa ibanya
terhadap
lelaki ini langsung muncul. Padahal, se-
mula
Siluman Ular Putih mau membuat perhitun-
gan
bila berjumpa lagi. Tapi begitu melihat kea-
daan
lelaki berkumis ini sangat memprihatinkan,
keinginannya
pun sirna. Apalagi lelaki ini tidak
bermaksud
jahat terhadap dirinya. Hanya sekadar
memberi
peringatan. Buktinya akhirnya lelaki itu
menjelaskan
letak Lembah Kodok Perak
"Yah...!
Bagaimanapun juga, aku memang
patut
berterima kasih pada lelaki ini. Meski ting-
kah
lakunya aneh, tapi aku yakin kalau orang-
orang
penghuni Lembah Kodok Perak bukanlah
dari
golongan sesat. Sekarang, sebaiknya aku ha-
rus
secepatnya mengantarnya ke Lembah Kodok
Perak.
Sekalian, menyelidiki suasana lembah itu!"
pikir
Soma dalam hati.
Dan
sehabis berpikir demikian, Soma pun
cepat
memondong tubuh tinggi besar itu ke pun-
daknya.
Dan secepatnya Siluman Ular Putih ber-
kelebat
menuju bukit hijau di sebelah selatan sa-
na.
Setelah
melewati jalan berkelok-kelok, ak-
hirnya
Siluman Ular Putih mulai memasuki dae-
rah
Lembah Kodok Perak. Sebuah lembah luas
jauh
di luar muara Kali Angkrik. Semak-semak be-
lukar
tampak tumbuh liar di sana-sini. Tingginya
hampir
setinggi badan manusia. Sementara di se-
kitar
lembah pun masih banyak kubangan lumpur
hidup.
Sedang jauh di ujung lembah, tampak dua
bukit
kembar tegak di sana. Pada bagian tengah-
nya,
terdapat pula dataran berumput hijau. Sa-
mar-samar
pada dinding-dinding bukit tampak
pula
titik-titik hitam kecil. Entah titik-titik apa itu.
Soma
tidak tahu. Dan ia pun tidak berani main-
main.
Meski ilmu meringankan tubuhnya sudah
mencapai
tingkat tinggi, sikapnya tetap hati-hati.
Apalagi,
saat ini masih memanggul sosok lelaki
berpakaian
hitam-hitam yang diduga keras adalah
salah
seorang penghuni Lembah Kodok Perak.
Semakin
pemuda gondrong itu masuk ke
dalam
Lembah Kodok Perak, kegelisahan semakin
menjadi-jadi.
Tangan kanannya sebentar-sebentar
menggaruk-garuk
kepala. Memang, Soma yakin
kalau
itu Lembah Kodok Perak. Namun bagaima-
napun
juga ia masih bingung untuk memastikan
tempat
tinggal Tiga Jenggot, Empat Brewok dan
Tujuh
Kumis dari Lembah Kodok Perak. Sedang
untuk
menanyakan orang dalam pondongannya
jelas
tidak mungkin. Jangankan untuk memberi
keterangan
sepanjang itu. Untuk mengeluarkan
sepatah
kata pun, lelaki berkumis tebal itu tidak
mampu.
Di samping itu pula, belum tentu orang
dalam
pondongannya mau memberi keterangan.
"Ah...!
Bagaimana ini? Aku kok merasakan
tubuh
orang dalam pondongan ku semakin lama
semakin
dingin? Ah...! Jangan-jangan ia sudah..."
Soma
tidak meneruskan bicaranya. Tangan
kanannya
cepat meraih pergelangan tangan si
kumis.
Lantas keningnya berkerut heran. Ternyata
orang
dalam pondongannya sudah tewas!
Sejenak
Siluman Ular Putih menghentikan
langkahnya.
Diperhatikannya sosok dalam pon-
dongannya
dengan perasaan tidak menentu. Lalu
sepasang
mata birunya beralih ke lembah di ha-
dapannya.
"Ah...!
Apa yang harus kulakukan? Orang
berpakaian
hitam-hitam dalam pondongan ku ini
sudah
tewas. Perlukah aku membawa masuk ke
dalam
Lembah Kodok Perak? Tapi jika mengingat
besar
kemungkinan kalau orang dalam pondongan
ku
ini adalah orang dari penghuni Lembah Kodok
Perak,
mengapa aku harus menelantarkannya? Di
samping
itu, aku yakin kalau tempat tinggal
orang-orang
Lembah Kodok Perak tentu tidak jauh
lagi.
Yah yah...! Mengapa aku harus menelantar-
kannya?
Sebaiknya kubawa saja sekalian mayat
ini,"
pikir Soma dalam hati.
Berpikir
demikian, kembali murid Eyang
Begawan
Kamasetyo berkelebat cepat menyusuri
jalan
setapak di depannya. Dan ketika sampai di
lereng
sebelah selatan bukit hijau di sampingnya,
mendadak
mata birunya kontan bersinar-sinar.
Kelebatan
tubuhnya berhenti mendadak. Di de-
pannya,
tak jauh dari tempatnya berdiri, tampak
dua
buah gubuk kecil beratap anyaman daun-
daun
jati. Letak kedua gubuk itu pun agak ber-
pencaran.
Dari gubuk satu ke gubuk lainnya, kira-
kira
berjarak dua puluh tombak.
"Mungkinkah
gubuk-gubuk itu merupakan
tempat
tinggal para penghuni Lembah Kodok Pe-
rak?
Hm...! Bisa jadi!"
Kepala
Soma terangguk-angguk. Sepasang
mata
birunya lekat memperhatikan dua buah gu-
buk
kecil di hadapannya. Kemudian, entah men-
dapat
kekuatan dari mana, kedua kakinya pun
mulai
berjalan mendekati salah satu dari gubuk
itu.
***
Tiba
di depan salah satu gubuk, Siluman
Ular
Putih jadi ragu-ragu. Pintu gubuk itu me-
mang
terkunci. Meski demikian, Soma tidak berani
sembarangan
nyelonong ke dalam. Diletakkannya
mayat
orang dalam pondongannya dengan hati-
hati
sekali. Lalu ia berjalan mendekati pintu.
"Permisi!
Apa di dalam ada orang?!" teriak-
nya.
"Kau
mau mencari siapa?!"
Tiba-tiba
terdengar satu bentakan garang
dari
belakang, membuat Soma terlonjak kaget. Se-
ketika
itu juga badannya berbalik. Tampak di ha-
dapannya
seorang lelaki bertubuh tinggi besar
dengan
pakaian warna hitam-hitam. Usianya kira-
kira
empat puluh tahunan. Rambutnya panjang
sebahu.
Wajahnya kaku berbentuk persegi. Ra-
hangnya
bertonjolan. Dan sepasang matanya yang
besar
sebesar jengkol terus memandang Siluman
Ular
Putih tajam.
Siluman
Ular Putih mengerutkan kening
dalam-dalam.
Bukan hanya heran melihat tam-
pang
kaku lelaki di hadapannya, melainkan juga
heran.
Bagaimana mungkin langkah kaki orang itu
tidak
dapat terdengar telinganya? Padahal dalam
jarak
seratus tombak pun, ia masih dapat men-
dengar
langkah kaki orang. Namun lelaki berku-
mis
lebat di hadapannya, benar-benar mengagum-
kan!
Itu saja sudah membuktikan kalau ilmu me-
ringankan
tubuh lelaki berkumis lebat itu tinggi
sekali!
Soma
tersenyum seramah mungkin. Seo-
lah-olah
senyum itulah, senyumnya yang paling
manis
yang pernah diberikan kepada orang. Kedua
tangannya
merangkap di depan dada.
"Maaf,
Paman! Mau numpang tanya. Be-
narkah
lembah ini adalah Lembah Kodok Perak?"
Wajah
kaku lelaki berkumis lebat di hada-
pan
Siluman Ular Putih tampak demikian garang.
Sepasang
matanya yang sebesar jengkol tak ber-
kedip
terus pandangi pemuda gondrong di hada-
pannya.
Diperlakukan
seperti itu Soma jadi gusar.
Entah
kenapa, lagi-lagi tangannya sudah garuk-
garuk
kepala. Senyum nakalnya pun tampak ter-
kembang
di bibir
"Aku
ingin bertemu beberapa orang peng-
huni
Lembah Kodok Perak. Dapatkah kau menun-
jukkan
jalannya padaku, Paman?" jelas Soma se-
dikit
memperkeras nada bicaranya, seolah-olah
takut
tidak terdengar.
Lelaki
berkumis lebat itu tetap diam mem-
bisu.
Tak sepatah kata pun terucap dari kedua bi-
birnya
yang kaku. Kemudian dengan tidak mem-
pedulikan
pertanyaan Siluman Ular Putih, kakinya
mulai
dilangkahkan masuk ke dalam gubuk dan
menguncinya
rapat-rapat dari dalam.
Soma
hanya melongo saking herannya.
"Jangkrik
buntung! Sungguh tidak ramah
sekali
tingkahnya!" gerutu Soma dalam hati.
Namun
pemuda ini masih penasaran den-
gan
tingkah lelaki tadi. Lantas kedua kakinya ce-
pat
bergerak mendekati pintu gubuk. Namun baru
beberapa
langkah, mendadak dari lubang gubuk
itu
melesat cepat sebuah benda putih ke arahnya.
Wesss!
Soma
terkesiap kaget. Tentu saja tubuhnya
tidak
ingin terkena hantaman benda putih yang
melesat
menyerang dirinya. Maka tanpa banyak
pikir
lagi, Siluman Ular Putih cepat melompat be-
berapa
kali ke samping. Akan tetapi anehnya, lesa-
tan
benda putih itu mendadak berhenti di udara!
Sekali
lagi, Soma terkesiap kaget. Dan be-
lum
hilang kagetnya, benda putih yang tadi sem-
pat
berhenti di udara, kini malah mulai melayang
turun!
Ternyata, benda putih itu adalah secarik
kertas
putih!
"Semprul!
Ternyata hanya sebuah kertas!"
gerutu
Soma kesal.
Dengan
sekali loncat, tahu-tahu kertas pu-
tih
yang masih melayang-layang di udara pun te-
lah
tersambar tangan murid Eyang Begawan Ka-
masetyo.
Kemudian dengan perasaan mendongkol
mulai
dibukanya lipatan kertas dan membacanya.
Lekas
lemparkan mayat si kumis ke depan
pintu
gubukku! Dan cepat lari menyingkir dari sini!
Kening
Soma berkerut jengkel membaca tu-
lisan
itu. Lalu tanpa banyak pikir panjang lagi, se-
gera
diangkatnya mayat lelaki berkumis dan di-
lemparkannya
ke arah pintu gubuk!
Brakkk!
Terdengar
satu benturan keras. Pintu gu-
buk
itu terbuka. Sepasang mata besar lelaki ber-
kumis
itu mencorong tajam dari balik pintu gu-
buknya
yang terbuka.
Sementara
Siluman Ular Putih bertolak
pinggang
di depan pintu gubuk. Senyum nakalnya
tampak
terkembang di bibir.
"Hei,
Paman! Apa kau juga salah seorang
dari
penghuni Lembah Kodok Perak? Dan apa kau
juga
tidak mengenali temanmu yang sudah habis
masa
kontraknya di dunia?" kata Soma seenak
dengkul
Pemuda
itu masih mengumbar senyum na-
kalnya.
Telunjuk jari tangan kanannya dituding-
tudingkan
ke arah laki-laki berkumis di dalam gu-
buk.
Sementara itu mulutnya terus mengoceh
panjang
pendek. Namun...
"Kok...!
Kok...!"
Tidak
disangka-sangka, tiba-tiba dari da-
lam
gubuk terdengar dua kali bunyi mirip suara
kodok!
Bersamaan dengan itu mendadak serang-
kum
angin kencang yang hebat luar biasa telah
menyerang
ke arah Siluman Ular Putih!
Wesss!
Wesss!
Soma
yang pernah merasakan kehebatan
pukulan
seperti itu, tentu saja tidak mau celaka
untuk
kedua kalinya. Tanpa banyak cakap lagi,
cepat
tubuhnya melompat ke atas dahan pohon
tak
jauh dari tempatnya berdiri.
Bummm...!
Bummm...!
Terdengar
dua kali benturan keras meme-
nuhi
lembah itu. Selang beberapa saat, terdengar
bunyi
berderak dari batang pohon jati sebesar dua
lingkaran
tangan manusia dewasa tumbang, aki-
bat
terkena pukulan lelaki berkumis lebat di da-
lam
gubuk!
Biarpun
Soma dapat bergerak cepat dan
melompat
ke atas dahan pohon, namun tentu saja
masih
merasakan desir angin pukulan tadi. Tanah
di
sekitar tempat itu pun bergetar hebat. Batang
pohon
kayu jati yang jadi sasaran berlubang be-
sar,
mengepulkan uap putih tipis!
Soma
termenung beberapa saat. Melihat
kehebatan
orang berkumis di dalam gubuk, entah
mengapa
hatinya jadi ragu-ragu akan dapat me-
nyelesaikan
urusannya di Lembah Kodok Perak.
Baru
satu orang berkumis dari Lembah Kodok Pe-
rak
saja, belum tentu dapat dikalahkannya. Belum
lagi
dengan penghuni-penghuni lainnya. Kalau
mereka
maju satu persatu, mungkin Siluman Ular
Putih
mampu mengalahkannya. Namun kalau me-
reka
maju bersama-sama?
"Kau
ini kenapa sih, Paman? Kenapa uring-
uringan
begini? Jangan salah paham, dong! Orang
yang
membunuh si kumis itu bukannya aku. Jika
kau
masih tidak percaya, coba periksa mayat te-
manmu
itu!" ujar Siluman Ular Putih kesal.
Dari
sela-sela daun jati yang tumbuh lebat,
Soma
dapat melihat lelaki berkumis itu mulai ke-
luar
dari gubuknya. Sepasang matanya yang besar
jelalatan
ke sana kemari, mencari-cari ke arah
mana
pemuda tadi melarikan diri. Tidak lama ke-
mudian
lelaki berkumis itu pun mulai membopong
mayat
kawannya. Sejenak matanya yang besar se-
perti
jengkol mulai memeriksa tubuh temannya
yang
sudah menjadi mayat.
"Kau
jangan salah paham, Paman! Aku bu-
kannya
pembunuh temanmu itu. Aku hanya men-
gantarkan
mayatnya itu kemari," kata Soma dari
atas
pohon.
"Turun
kau, Bocah Sinting! Aku ada sedikit
pertanyaan
untukmu," bentak lelaki bermata jeng-
kol
itu garang.
Soma
tertawa bergelak.
"Kau
ini lucu sekali, Paman. Jika aku su-
dah
turun, kau pasti akan menyerangku dengan
pukulan
maut mu, bukan? Mana sudi aku turun.
Enakan
di sini sambil melihat-lihat pemandan-
gan,"
kata Soma di antara tawanya.
Lelaki
bermata jengkol melotot lebar-lebar.
Wajahnya
yang kaku tampak demikian garangnya.
"Cepat
turun, Bocah! Aku tidak akan me-
nyerangmu
lagi," sungut orang berkumis itu kesal.
"Baik.
Tapi, kau harus janji dulu, Paman!
Janji
tidak boleh menyerangku lagi!" kata Soma,
masih
ogah-ogahan beranjak dari tempat duduk-
nya.
"Iya!
Aku berjanji!" sahut lelaki itu kesal.
"Awas,
kalau kau mungkir! Kau pasti akan
kualat!
Arwah temanmu itu akan mencungkil ma-
ta
jengkol mu!" celoteh Soma seraya melayang tu-
run.
Lelaki
berkumis lebat itu menggeram pe-
nuh
kemarahan. Namun anehnya, ia mau saja
menuruti
perintah pemuda gondrong murid Eyang
Begawan
Kamasetyo. Hanya sepasang matanya sa-
ja
yang menatap tajam Siluman Ular Putih.
"Jawab
pertanyaanku dengan benar, Bo-
cah!"
ujar lelaki itu kaku. "Apa maksudmu sehing-
ga
kau mau mengantar mayat temanku ini kemari,
Bocah?"
tanya lelaki itu.
Soma
tidak langsung menjawab. Malah
tangannya
sibuk menggaruk-garuk kepalanya
yang
tidak gatal. Sepertinya ia sengaja ingin men-
gulur-ulur
waktu.
"Jawab,
Bocah! Jangan garuk-garuk kepala
saja!"
bentak orang berkumis itu kesal.
"Sabar
dong, Paman! Aku memang tidak
punya
niatan apa-apa dengan menolong temanmu.
Tapi
aku pikir, sudah cukup rasanya kalau kau
mengetahui
bukannya aku yang membunuh te-
manmu
itu," sahut Soma, agak berdusta. Karena
kedatangannya
ke Lembah Kodok Perak jelas ada
maksudnya.
"He...!"
lelaki berkumis itu menggumam tak
jelas.
Selangkah demi selangkah mulai didekati
pemuda
gondrong di hadapannya.
Soma
terkesiap kaget, buru-buru menying-
kir
ngeri.
"Lantas,
dari mana kau dapat mengetahui
kalau
ia adalah salah seorang penghuni Lembah
Kodok
Perak?" susul lelaki itu seraya menuding-
kan
telunjuknya ke arah mayat temannya.
"Yeh...!
Mudah sekali. Karena ia pun per-
nah
menyerangku dengan ilmu yang kau gunakan
barusan,"
jawab Siluman Ular Putih tanpa pikir
panjang
lagi.
Bukan
main gusarnya lelaki berkumis lebat
itu
mendengar jawaban-jawaban Siluman Ular Pu-
tih
yang sepertinya tengah meledek. Namun, ba-
gaimanapun
juga, amarahnya masih dapat diken-
dalikan.
"Baik,
baik! Kuterima alasanmu, Bocah.
Lantas,
mengapa kau sudi datang kemari mengan-
tarkan
mayat temanku itu?" cecar lelaki mata
jengkol
itu.
"Sebenarnya
tadi aku ingin membuangnya
ke
semak belukar. Tapi kupikir, kok kasihan. Lan-
tas
kubawa saja kemari. Apa itu salah, Paman?"
kata
Soma berpura-pura bodoh.
"Hm...!"
lelaki bermata besar ini menggu-
mam
tak jelas. Tampak sekali kalau ia tidak puas
mendengar
jawaban Soma. "Kalau begitu, kau pun
tahu
siapa orang yang telah membunuhnya, Bo-
cah.
Di manakah orang-orang yang telah membu-
nuh
adik seperguruanku ini?"
"Yah...!
Mana aku tahu? Aku tidak melihat
dengan
mata kepalaku sendiri," sahut Soma see-
naknya.
"Tapi jangan khawatir, Paman! Yang pasti
temanmu
itu pasti terkena pukulan 'Tongkat Pu-
tih'
Tengkorak Serigala. Juga terkena pukulan Ra-
ja
Toya. Sedang pada ulu hatinya pasti terkena le-
cutan
cemeti berekor sembilan milik Ki Julung Pu-
cut
dari Gunung Srandil, Paman."
Lelaki
Mata Jengkol membelalakkan ma-
tanya
liar. Rahangnya yang bertonjolan menggem-
bung,
pertanda tengah menahan, gejolak amarah
yang
menggelegak.
"Hm...!
Orang-orang Lembah Kodok Perak
belum
pernah keluar dari sarangnya menyatroni
tokoh-tokoh
dunia persilatan mana pun. Tapi,
mengapa
tiga orang tokoh sesat itu malah memu-
suhi
kami?" gumam lelaki berkumis ini, entah di-
tujukan
pada siapa.
Soma
hanya tersenyum senang. Dibiarkan-
nya
lelaki bermata besar itu mengoceh seorang di-
ri.
Dan
melihat ketenangan sikap pemuda
gondrong
di hadapannya, lelaki berkumis itu pun
jadi
curiga
"Baik.
Kuterima semua alasanmu, Bocah.
Tapi
biar bagaimanapun juga aku tetap mencuri-
gai
kedatanganmu kemari Bocah," desisnya.
Soma
tersenyum lebar.
"Kau
memang pantas mencurigai kedatan-
ganku,
Paman. Karena kedatanganku kemari sen-
gaja
untuk meminta sedikit petunjuk bagaimana
caranya
mempelajari ilmu 'Kok-kokan'mu yang
hebat
itu. Sekaligus meminjam Kitab Kodok Perak
Sakti
milik kalian," ujar Soma, terus terang.
Lelaki
berkumis dan bermata besar itu me-
lotot.
Dipandanginya pemuda gondrong di hada-
pannya
dengan tajam. Lalu entah karena apa,
mendadak
ia tertawa dengan bergelak-gelak.
"Jangan
mimpi, Bocah Sinting!" kata lelaki
itu
di antara tawa bergelaknya "Jangankan bocah
ingusan
macam kau! Kami, Tiga Jenggot, Empat
Brewok
dan Tujuh Kumis dari Lembah Kodok Pe-
rak
pun belum mampu menamatkan semua pela-
jaran
yang terdapat di dalam Kitab Kodok Perak
Sakti. Apalagi
kau! Mana mungkin kau mampu
mempelajari
kitab itu. Kau tahu! Hanya karena in-
gin
mempelajari kitab itu saja, kami penghuni
Lembah
Kodok Perak dilarang keras keluar ke du-
nia ramai. Tapi sayang. Daksiro tidak tahan dan
melarikan
diri. Dan biarpun telah menjadi mayat,
hukuman
atas pelanggaran Daksiro pun akan te-
tap
dilaksanakan. Kalau sudah begitu, bagaimana
mungkin
kau dapat betah tinggal bertahun-tahun
di
tempat ini, Bocah?"
Soma
terkesiap kaget. Namun hanya se-
bentar.
Sejurus kemudian ia telah dapat mengata-
si
keterkejutannya.
"Alaaah...!
Itu kan hanya alasanmu saja,
Paman.
Pokoknya kujamin, aku pasti dapat mem-
pelajari
Kitab Kodok Perak Sakti itu dalam waktu
singkat.
Dan yang lebih penting lagi, kau pasti
akan
kubantu bagaimana menguasai ilmu yang
terkandung
di dalamnya. Kau mau, kan?" oceh Si-
luman
Ular Putih.
Lelaki
berkumis tebal ini mendengus.
"Sudah
kubilang jangan mimpi, Bocah! Kau
tidak
akan dapat mempelajari kitab milik kami.
Dan
satu lagi ingat! Kami orang-orang Lembah
Kodok
Perak tetap akan menuntut atas tewasnya
Daksiro,"
tegas lelaki berkumis ini. "Sekarang,
mumpung
urusannya, belum berlarut-larut! Ce-
patlah
tinggalkan tempat ini! Kalau kau masih
bersikeras
tidak mau meninggalkan tempat ini,
jangan
salahkan kami, kalau terpaksa harus
membunuhmu
di sini!"
Soma
menggaruk-garuk kepala. Keningnya
berkerut-kerut.
Namun akalnya yang cerdik tentu
saja
tidak mau membenturkan diri pada orang-
orang
Lembah Kodok Perak. Ia malah lebih senang
mengambil
jalan lain.
"Baik,
baik! Kalau kalian memang kebera-
tan,
aku juga nggak apa-apa. Paling aku hanya
menggerutu
kesal dalam perjalanan pulang," geru-
tu
Soma kesal.
Lalu
tanpa banyak cakap lagi, Siluman
Ular
Putih berkelebat cepat meninggalkan Lembah
Kodok
Perak
Lelaki
berkumis dan bermata besar itu
sempat
tersenyum mendengar apa yang dikatakan
pemuda
gondrong murid Eyang Begawan Kama-
setyo
itu barusan. Aneh sekali memang senyum-
nya.
Namun sayang hanya sebentar. Karena raut
kakunya
kembali menghiasi wajahnya ketika
bayangan
putih keperakan Siluman Ular Putih
menghilang
di sebuah tikungan. Kemudian tanpa
banyak
membuang waktu lagi, sambil memanggul
mayat
adik seperguruannya, ia segera berlari ma-
suk
ke dalam Lembah Kodok Perak.
***
8
Benarkah
Soma alias Siluman Ular Putih
meninggalkan
Lembah Kodok Perak? Apakah ia
sudah
tega membiarkan Angkin Pembawa Maut te-
rancam
bahaya maut di Istana Ular Emas?
Ternyata
tidak. Begitu lelaki bermata besar
tadi
berkelebat, Siluman Ular Putih cepat berbalik
kembali,
Dengan, mengerahkan ilmu lari cepatnya
'Menjangan
Kencono', tubuhnya terus berkelebat.
Hingga
akhirnya, bayangan hitam lelaki bermata
besar
yang sedang memanggul adik seperguruan-
nya
kini terlihat di kejauhan sana.
Soma
terus berkelebat mengikuti lelaki di
depannya.
Dengan cara itu, berarti Siluman Ular
Putih
akan lebih mudah dapat menemukan letak
persembunyian
Tiga Jenggo, Empat Brewok dan
Tujuh
Kumis para penghuni Lembah Kodok Perak.
Siluman
Ular Putih menghentikan larinya
ketika
lelaki yang diikutinya berhenti di depan se-
buah
gubuk kecil yang kira-kira jaraknya dua pu-
luh
tombak dari gubuknya. Kemudian setelah me-
letakkan
mayat adik seperguruannya, lelaki ber-
mata
besar itu menendang pintu gubuk. Lalu tu-
buhnya
kembali berkelebat cepat menuju tempat-
nya
semula.
Dari
jarak sekitar lima puluh tombak di
tempat
persembunyiannya, Soma melihat, dari da-
lam
gubuk muncul seorang lelaki berkumis lebat.
Usianya,
tidak berselisih jauh dengan lelaki ber-
mata
besar tadi. Dan tanpa banyak cakap pula,
dibopongnya
mayat di depan gubuk, lalu berkele-
bat
cepat menuju gubuk berikutnya.
Dengan,
hati-hati sekali Soma kembali ber-
kelebat
cepat mengikuti lelaki berpakaian serba hi-
tam
di depan. Dari ternyata apa yang dilakukan le-
laki
itu pun sama persis dengan apa yang dilaku-
kan
lelaki bermata besar tadi. Yakni, meletakkan
mayat
lelaki bernama Daksiro di depan pintu gu-
buk
berikutnya, lalu menendang pintu gubuk dan
cepat
berkelebat menuju tempatnya semula.
Siluman
Ular Putih yang baru saja meng-
hentikan
kelebatannya memandang dengan kening
berkerut.
Sebentar kemudian baru ia paham. Ter-
nyata
dengan cara berantai demikian, mayat Dak-
siro
terus dibawa masuk ke dalam Lembah Kodok
Perak
oleh lelaki berkumis lainnya. Tanpa mengu-
rangi
kewaspadaannya, Soma terus membayang-
bayangi
apa yang tengah dilakukan orang-orang
penghuni
Lembah Kodok Perak. Hingga akhirnya,
sampailah
pemuda gondrong murid Eyang Bega-
wan
Kamasetyo di sebuah dataran luas.
Dataran
itu terletak diantara dua buah bu-
kit
kecil di kanan kiri. Dari terangnya sinar mata-
hari
siang itu, tampak pula kalau dataran itu di-
penuhi
berpuluh-puluh kubangan besar, berisi ra-
tusan
kodok besar berwarna putih keperakan! Di
kanan
kiri dinding-dinding bukit pun banyak se-
kali
terdapat lubang besar tempat keluar masuk
kodok-kodok
perak itu!
Dengan
sangat hati-hati sekali Siluman
Ular
Putih terus mengikuti sosok lelaki berpakaian
hitam-hitam
di depan. Namun mendadak lelaki di
depan
sana menghentikan langkahnya.
"Hm...
rupanya Tongkat Serigala, Raja
Toya,
dan Ki Julung Pucut," gumam Soma seraya
menghentikan
langkahnya dan segera mencari
tempat
persembunyian. "Tapi di mana Iblis Kela-
bang
Merah? Apa mungkin ia telah tewas di tan-
gan
lelaki tua sakti, yang waktu itu menolongku?
Ah,
masa bodoh. Ingin kulihat, apa yang hendak
mereka
lakukan terhadap lelaki berpakaian hitam
itu.
Hm.... Ketiga tokoh sesat itu kini ditemani dua
lelaki
lain yang sekali lihat saja bisa tertebak, ke-
pandaian
mereka tak bisa dianggap sepele..."
Memang,
tiga lelaki yang menghadang tak
lain
dari para tokoh sesat yang tempo hari menge-
royok
Soma. Sedang dua sosok yang lain, Soma
belum
dapat mengetahuinya dengan pasti.
Sementara
itu lelaki berpakaian hitam yang
tengah
memondong mayat Daksiro tampak masih
tegak
memandangi kelima sosok yang mengha-
dangnya.
Tampak sekali kalau lelaki yang juga
berkumis
lebat itu tengah ragu-ragu. Sebentar ter-
lihat
melangkah maju, namun sebentar kemudian
menghentikan
langkahnya. Tapi, tiba-tiba ia su-
dah
mengambil keputusan. Perlahan-lahan dile-
takkannya
mayat Daksiro di atas rerumputan. La-
lu
seketika diserangnya kelima penghadangnya
tanpa
banyak cakap lagi.
Pertarungan
tak seimbangpun berlangsung
seru.
Masing-masing mengandalkan kepandaian-
nya.
Sebetulnya kepandaian mereka seimbang.
Tapi
karena lelaki berkumis itu dikeroyok lima,
maka
sebentar saja ia sudah jadi bulan-bulanan
para
tokoh sesat itu.
***
Siluman
Ular Putih bukannya tak mau
membantu
lelaki berkumis yang tengah dikeroyok
oleh
lima tokoh sesat itu. Karena pada saat yang
gawat,
ternyata lelaki itu bisa melarikan diri wa-
laupun
dengan susah payah. Untung saja larinya
ke
arah Soma. Maka begitu dekat, Siluman Ular
Putih
langsung menyambar tubuhnya dan mem-
bawanya
ke tempat yang aman.
Lalu
dengan gerakan cepat luar biasa, So-
ma
menotok beberapa jalan darah di tubuh lelaki
berpakaian
hitam itu.
"Maaf,
Paman! Terpaksa aku harus mem-
perlakukan
mu begini. Karena kalau tidak, celaka-
lah
dirimu nanti!" ucap Soma, seraya meletakkan
lelaki
itu di tanah.
Walau
lelaki ini nampak menunjukkan ke-
marahannya,
Soma tidak peduli. Pemuda itu ma-
lah
mulai membuka pakaian hitam milik lelaki itu
dan
memeriksanya. Tampak tiga bekas pukulan
maut
yang berbeda di dadanya. Diam-diam Silu-
man
Ular Putih menggeram dalam hati. Kemudian
tanpa
banyak cakap lagi, pemuda gondrong ini se-
gera
menempelkan kedua telapak tangannya ke
dada
lelaki itu.
Perlahan-lahan
hawa dingin dari kedua te-
lapak
tangan Soma mulai menjalar masuk ke da-
lam
tubuh lelaki itu. Dan perlahan-lahan pula, lu-
ka
dalam penghuni Lembah Kodok Perak itu pun
mulai
sembuh. Namun Soma terus memaksakan
diri
untuk mengobati. Dan, tanpa disadari di bela-
kangnya
kini telah berdiri tegak lima orang tokoh
sesat
yang tadi telah mencelakakan lelaki berku-
mis
lebat penghuni Lembah Kodok Perak.
"Kunyuk
Gondrong! Rupanya kau sudah
sampai
kemari! Kebetulan sekali. Memang kami
berlima
sedang mencari-cari mu!"
Soma
terkesiap kaget mendengar bentakan
barusan.
Untung saja Siluman Ular Putih sudah
selesai
menyembuhkan luka dalam lelaki penghu-
ni
Lembah Kodok Perak itu. Kemudian dengan te-
nang
sekali, jari-jari tangan pemuda itu. Cepat
menotok
pulih lelaki yang ditolongnya.
Lelaki
itu memandang cerah pada Soma.
"Terima
kasih, Anak Muda. Aku Daksapati.
Kau
siapa?" tanya lelaki berkumis yang ternyata
bernama
Daksapati.
"Aku
Soma, simpan dulu terima kasih mu
itu,
Paman. Rupanya kelima tokoh sesat yang
menghadangmu
tak suka dengan tindakanku. Li-
hat!
Mereka mulai bersiap-siap menyerang."
Daksapati
menatap tajam lima tokoh sesat
itu
yang mulai menggerakkan tangannya. Namun
belum
sempat terjadi sesuatu...
"Siapa
kalian berani mengotori Lembah Ko-
dok
Perak?! Apa kalian semua tidak tahu peratu-
ran
di sini?!"
***
Semua
yang ada di Lembah Kodok Perak
ini
kaget begitu mendengar bentakan yang disertai
tenaga
dalam tinggi. Bahkan tak lama kemudian,
berlompatan
beberapa sosok berpakaian serba hi-
tam.
Berdiri
paling depan adalah seorang lelaki
tua
bertubuh kurus kering. Wajahnya pucat pasi
seperti
mayat. Jenggot putihnya panjang menjun-
tai.
Disampingnya berdiri dua orang lelaki tua ku-
rus
kering yang juga mempunyai jenggot putih
panjang
menjuntai sampai ke dada. Di belakang-
nya,
berdiri empat orang lain yang juga berusia
tua.
Mereka semua memiliki brewok tebal berwar-
na
hitam mengkilat!
Siluman
Ular Putih membelalakkan ma-
tanya.
Ia yakin, ketujuh orang berpakaian hitam
itu
tidak lain dari Tiga Jenggot, dan Empat Brewok
penghuni
Lembah Kodok Perak yang sangat dita-
kuti
orang-orang Istana Ular Emas! Sedangkan
Tujuh
Kumis adalah yang memiliki gubuk-gubuk
tadi.
"Harap
kalian orang-orang tua penghuni
Lembah
Kodok Perak jangan terlalu menaruh curi-
ga
padaku. Aku memang sengaja datang ke Lem-
bah
Kodok Perak ini. Namun ketika aku menemu-
kan
Paman berkumis ini tengah menderita luka
parah,
maka aku pun memberanikan diri mencoba
memberi
pengobatan," kilah Soma penuh hormat
seraya
rangkapkan kedua telapak tangannya ke
depan
dada.
"Benar,
Kakang Pangestu. Aku baru saja
diobatinya
setelah...."
"Diam
kau, Daksapati! Aku tak bertanya
padamu!"
Kata-kata
Daksapati terputus oleh benta-
kan
lelaki berjenggot yang paling tua, bernama
Pangestu.
"Kau
datang dari mana, Bocah? Apa kau
tidak
tahu peraturan kami yang tidak mengizinkan
orang
luar masuk kemari?!" bentak Pangestu lagi
garang.
Soma
menghela napasnya panjang. Entah
karena
apa, tiba-tiba tangan kanannya sudah ga-
ruk-garuk
kepala.
"Maafkan
kelancanganku, Orang Tua! Aku
hanyalah
seorang pengembara miskin. Namaku
Soma
dari Gunung Bucu," ucap murid Eyang Be-
gawan
Kamasetyo kalem. "Dikarenakan satu hal
yang
sangat mendesak, terpaksa aku memberani-
kan
diri masuk ke Lembah Kodok Perak ini untuk
mempelajari
Kitab Kodok Perak Sakti. Tentu saja
hal
ini bukan untuk tujuan pribadi semata,
me-
lainkan
hanya untuk membasmi orang-orang go-
longan
Ular Emas yang sangat kejam luar biasa."
Salah
satu dari Tiga Jenggot yang beram-
but
dikuncir kontan tertawa bergelak.
"Kau
rupanya sedang bermimpi, Bocah
Sinting!
Apa tidak salah pendengaranku ini?" ka-
tanya.
Soma
hanya tersenyum kecil.
Sementara
itu, lima tokoh sesat yang men-
ginginkan
nyawa Siluman Ular Putih tampak su-
dah
tak sabar untuk membunuh buruannya.
Tengkorak
Serigala, Raja Toya, dan Ki Julung Pu-
cut
maju selangkah dengan senjata di tangan. Se-
dang
dua orang lainnya yang belum dikenal Silu-
man
Ular Putih tampak masih tenang-tenang di
tempatnya.
Mereka malah lebih senang memper-
hatikan
ketujuh orang penghuni Lembah Kodok
Perak
yang baru datang.
Kedua
tokoh yang berpakaian seperti per-
tapa
itu berusia tidak kurang dari tujuh puluh ta-
hun.
Yang sebelah kanan adalah seorang lelaki
bertubuh
tinggi kurus. Pakaiannya hanya berupa
libatan
kain berwarna coklat tua. Sedang laki-laki
di
sampingnya bertubuh tinggi besar. Pakaiannya
juga
dari libatan kain berwarna merah jingga. Wa-
lau
berpakaian pertapa, namun wajah mereka
tampak
kaku dan dingin, menyiratkan kelicikan
dan
kekejaman. Di dunia persilatan mereka ber-
dua
dikenal sebagai Dua Pertapa Iblis Dari Gu-
nung
Tugel!
"Bocah
Sinting! Sebaiknya lekas tinggalkan
tempat
ini. Kau pikir gampang mempelajari Kitab
Kodok
Perak Sakti milik kami, heh?! Jangan ber-
mimpi,
Bocah! Cepat tinggalkan tempat ini!" ben-
tak
Pangestu.
"Tapi
bagaimana dengan kelima kunyuk
sesat
yang nyasar kemari itu, Orang Tua? Apa me-
reka
juga tidak diperbolehkan masuk kemari?"
tanya
Soma, bermaksud mengadu domba mereka.
Tiga
Jenggot dan Empat Brewok dari Lem-
bah
Kodok Perak menggeram penuh kemarahan.
Wajah
mereka menegang. Dan sepasang mata me-
reka
yang mencorong kini pun mulai beralih ke
arah
lima tokoh sesat yang berdiri tak jauh dari
tempat
itu.
"Hm...!
Apa kalian berlima juga tidak tahu
peraturan
dalam Lembah Kodok Perak ini? Men-
gapa
kalian berani lancang masuk ke dalam Lem-
bah
Kodok Perak?!" tegur satu dari Tiga Jenggot
yang
berambut panjang bergerai
"Orang
Tua! Kelima kunyuk kesasar itu
bukan
saja bermaksud mengotori Lembah Kodok
Perak,
tapi juga telah membunuh Paman Daksiro.
Mereka
juga yang telah mencelakakan Paman
Daksapati.
Untung saja aku segera menolongnya!"
jelas
Soma semakin mengipasi kemarahan orang-
orang
penghuni Lembah Kodok Perak.
"Kau
tidak berbohong, Bocah?" tukas satu
dari
Empat Brewok yang berkepala botak.
"Buat
apa aku berbohong? Sebenarnya me-
reka
berlima datang kemari memang ingin mencari
aku.
Maka, biarkan aku menggebuk mereka,
Orang
Tua," kata Soma cerdik.
"Jangan
banyak bacot, Bocah! Kau sendiri
pun
harus lekas menyingkir dari tempat ini!" ben-
tak
si botak kesal
"Kalian
mengapa memusuhi orang-orang
penghuni
Lembah Kodok Perak? Bertahun-tahun
kami
sengaja tidak menampakkan diri ke dunia
persilatan,
tapi mengapa kalian malah mengotori
Lembah
Kodok Perak? Apa kalian pikir kekuatan
kami
tidak cukup untuk membasmi kalian, he?!"
timpal
satu dari Empat Brewok yang bertubuh
gempal
"Sebenarnya
kami tidak bermaksud memu-
suhi
orang-orang Lembah Kodok Perak. Tapi, kami
hanya
ingin membunuh bocah sinting itu!" kilah
Tengkorak
Serigala seraya menunjuk Soma
"Tutup
bacotmu!" bentak lelaki brewok
yang
bertubuh sedang dengan mata berkilat-kilat.
"Kalau
kalian tidak bermusuhan dengan kami,
mengapa
membunuh dan melukai adik sepergu-
ruan
kami?!"
Sehabis
berkata begitu, lelaki brewok ber-
tubuh
sedang itu pun sudah. menekuk kedua lu-
tutnya.
Kedua tangannya dibentangkan demikian
rupa.
Dan dengan setengah berjongkok, Tengkorak
Serigala
siap diserangnya.
"Kok...!
Kok...!"
Terdengar
dua kali bunyi mirip kodok dari
mulut
lelaki brewok bertubuh sedang. Bersamaan
dengan
itu, mendadak serangkum angin dingin
dari
kedua telapak tangannya menyerang ke arah
Tengkorak
Serigala.
Tengkorak
Serigala kaget bukan main. Se-
belum
pukulan lelaki brewok itu mengenai sasa-
ran,
terlebih dahulu sudah terasa angin dingin
yang
menyerang sekujur tubuh. Tentu saja Teng-
korak
Serigala tidak ingin dirinya celaka. Maka
tanpa
pikir panjang lagi, segera dikeluarkannya
pukulan
Tongkat Putih Penggebuk Dewa-nya.'
Wesss!
Wesss!
Blarrr...!
Terdengar
satu letusan hebat di udara aki-
bat
pertemuan dua tenaga dalam di udara tadi.
Tubuh
Tengkorak Serigala terpental beberapa
tombak
ke belakang! Wajahnya pucat pasi! Tam-
pak
darah segar pun membasahi sudut-sudut bi-
birnya!
Sementara
itu lelaki brewok bertubuh se-
dang
hanya sempat tergetar hebat. Kedua kakinya
melesak
beberapa jari ke dalam tanah. Kemudian
dengan
menggeram penuh kemarahan, kembali di-
terjangnya
Tengkorak Serigala. Namun sayangnya,
keempat
orang kawan Tengkorak Serigala segera
menghadang
dengan pukulan-pukulan jarak jauh.
Wesss!
Tentu
saja hal ini tidak dibiarkan oleh para
penghuni
Lembah Kodok Perak lainnya. Maka se-
ketika
mereka memapak serangan-serangan keji
itu
dengan pukulan jarak jauh pula.
Blarrr!
Blarrr...!
Terdengar
beberapa kali letusan di udara.
Tubuh
masing-masing terjajar beberapa langkah.
Begitu
terjadi benturan tenaga dalam, mereka kini
kembali
saling serang. Maka seketika itu pula ter-
jadi
pertarungan sengit dengan menggelar ilmu-
ilmu
tingkat tinggi.
***
"Ah...!
Mengapa aku tidak segera menyeli-
nap
ke dalam Lembah Kodok Perak selagi mereka
bertarung.
Mungkin untuk sementara waktu aku
dapat
bersembunyi di dalam lubang-lubang kecil
di
dinding-dinding bukit itu. Kalau saja lubang-
lubang
kecil itu saling bertembusan, mana mung-
kin
orang-orang penghuni Lembah Kodok Perak
tahu
kalau aku bersembunyi di sana?" pikir Soma
dalam
hati.
"Tapi....
Tapi, bagaimana kalau akhirnya
mereka
tahu? Dan, bagaimana pula kalau dalam
lubang-lubang
kecil itu ternyata banyak jebakan
maut?
Ah...! Tidak ada pilihan lain. Kupikir, me-
mang
itulah satu-satunya jalan terbaik untuk
menghindari
bentrokan dengan orang-orang Lem-
bah
Kodok Perak...."
Sehabis
berpikir demikian, diam-diam So-
ma
pun mulai bergerak hati-hati sekali mendekati
lubang-lubang
kecil di dinding bukit. Namun apa
yang
dilakukan Siluman Ular Putih ternyata telah
menolong
lima orang tokoh sesat itu dari gempu-
ran-gempuran
orang-orang penghuni Lembah Ko-
dok
Perak.
"Tunggu!
Mengapa kalian menyerang kami
habis-habisan? Apa kalian tidak lihat? Kalau ku-
nyuk
gondrong itu tengah kabur. Jelas, dia adalah
pembunuh
adik seperguruan kalian. Jika bukan
dia,
mengapa bocah itu harus lari dari sini?"
Pangestu
dan juga enam orang penghuni
Lembah
Kodok Perak yang lainnya kontan meng-
hentikan
serangan. Kepala mereka langsung ber-
paling
ke belakang. Tampak pemuda gondrong
murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu memang
tengah
berlari cepat luar biasa menuju ke lubang-
lubang
kecil di dinding bukit. Tentu saja mereka
tidak
membiarkan pemuda gondrong itu masuk ke
dalam
Lembah Kodok Perak. Maka tanpa banyak
cakap
lagi, ketujuh orang penghuni Lembah Kodok
Perak
itu segera berkelebat menyusul Siluman
Ular
Putih.
Dan
kenyataannya ilmu meringankan tu-
buh
ketujuh orang Lembah Kodok Perak itu me-
mang
luar biasa hebatnya. Untungnya, Soma telah
bergerak
terlebih dahulu. Jika tidak, sudah pasti
dapat
terkejar oleh mereka.
Soma
menyadari kalau dirinya tengah dike-
jar.
Maka kecepatan larinya makin ditambah, Na-
mun,
tanpa disangka-sangkanya sama sekali, tiba-
tiba di belakangnya terasa serangkum angin din-
gin
yang bukan alang kepalang...
***
9
Slap!
Blarrr...!
Sebelum
Siluman Ular Putih terhantam
pukulan
jarak jauh berhawa dingin, tubuhnya te-
lah
lebih dulu melompat. Sehingga pukulan itu
hanya
menghantam tanah yang dipijak sebelum-
nya
Dua
kali pemuda itu berputaran di udara,
lalu
menukikkan tubuhnya ke salah satu lubang
di
dinding bukit. Saat itu juga suasana gelap dan
pengap
menyambutnya.
Perlahan-lahan
pandang mata Siluman
Ular
Putih mulai dapat menyesuaikan diri dengan
suasana
gelap dalam lorong bukit itu. Dan waktu
berjalan
terasa kalau tanah dalam gua itu tidak
rata.
Banyak bertebaran kubangan-kubangan be-
sar
kecil. Entah berisi apa. Yang jelas lebar dan
tinggi
lorong bukit itu cukup untuk dilalui dua
orang
manusia dewasa.
"Sontoloyo!
Mengapa aku bisa nyasar sam-
pai
ke mari?" gerutu Soma dalam hati
Samar-samar
Siluman Ular Putih, menden-
gar
suara langkah kaki beberapa orang pengejar-
nya
yang mulai memasuki di lorong bukit. Karena
untuk
keluar melalui mulut lubang masuk tadi je-
las
tidak mungkin, maka Soma terus berjalan ke
dalam
lorong bukit. Sambil berjalan dipungutnya
sebuah
batu kerikil. Lalu dilemparkannya ke lo-
rong
lain, tak jauh dari para pengejarnya.
Plukkk!
Begitu
terdengar suara di lorong lain, bebe-
rapa
orang pengejar buru-buru berlari ke arah da-
tangnya
suara.
Soma
sedikit merasa lega karena siasatnya
berhasil.
Dan ia segera membawa tubuhnya ke da-
lam
lorong lain. Dan semakin dalam Soma mema-
suki
lorong, semakin bingung dibuatnya. Di hada-
pannya
kini banyak sekali lorong gua yang entah
menembus
ke mana? Padahal di belakangnya, Tiga
Jenggot
dan Empat Brewok penghuni Lembah Ko-
dok
Perak terus saja melakukan pengejaran.
Sejenak
Siluman Ular Putih memperhati-
kan
lorong-lorong gua bawah tanah ini seksama.
Satu
di antara tujuh lorong gua bawah tanah itu
tampak
gelap sekali dan berkesan angker. Sedang
enam
lorong lainnya tampak sedikit agak terang
dan
mungkin tembus keluar. Dan sungguh aneh.
Ternyata
yang dipilihnya malah lorong gua yang
tampak
gelap pekat.
Seperti
ada yang menuntun langkahnya,
perlahan-lahan
Siluman Ular Putih membawa tu-
buhnya
masuk ke dalam lorong gua yang paling
gelap.
Jika saja pemuda ini lebih seksama, tentu
akan
berpikir tujuh kali untuk memasuki gua itu.
Seperti
yang tercantum dalam mulut dinding gua,
di
situ tertulis Jalan Kematian. Namun rupanya
hal
ini tidak disadarinya.
"Bocah
sinting itu mencari penyakit saja.
Beraninya
ia masuk ke dalam 'Jalan Kematian'."
Terdengar
salah seorang pengejar mengge-
rutu
panjang pendek, membuat Soma melengak
kaget.
Apa yang didengar barusan membuat ha-
tinya
bergidik ngeri. Betapa dalam lorong gua itu
samar-samar
terlihat beberapa buah kubangan
besar
yang menghadang jalannya. Maka segera
langkahnya
dihentikan. Tubuhnya langsung me-
rapat
di dinding lorong yang membentuk ular.
"Mungkinkah
bocah sinting itu masuk ke-
mari?"
terdengar suara bernada ragu-ragu.
"Kurasa
bocah sinting itu tidak mungkin
mengambil
jalan tolol ini, Manduro," sahut salah
seorang.
Di
tempat persembunyiannya, Soma mena-
han
jalan pernapasannya sebentar. Dengan cara
ini,
para pengejarnya yang berkepandaian tinggi
dapat
dikecohnya. Karena hanya mendengar tari-
kan
napas saja, bukan mustahil para pengejar
akan
dapat menemukan tempat persembunyian-
nya.
Samar-samar
dari tempat persembunyian-
nya
Soma dapat melihat berkelebatnya beberapa
orang
pengejar di depan mulut lorong Jalan Kema-
tian.
Dan ketika para pengejarnya sudah melewati
tempat
persembunyiannya, pemuda ini baru dapat
menghela
napas lega.
Perlahan-lahan
Soma kembali membawa
tubuhnya
menyusuri lorong gelap di depannya.
Namun
tiba-tiba kakinya menjejak kosong! Seketi-
ka
itu juga kedua tangannya bergerak menarik
apa
saja. Untung saja tangan kanannya dapat me-
raih
tonjolan batu di dinding-dinding lorong gua.
Sehingga,
tubuhnya dapat bertahan. Kemudian
tubuhnya
pun cepat-cepat ditarik ke atas.
"Kampret!
Hampir saja aku kejeblos ke da-
lam
kubangan!" gerutu Siluman Ular Putih.
Didasari
rasa ingin tahu, Siluman Ular Pu-
tih
melongok ke dalam lubang. Samar-samar ma-
tanya
melihat dua buah benda putih keperakan di
tengah-tengah
dasar kubangan. Tapi, ia harus me-
lanjutkan
perjalanannya. Kalau ingin meneruskan
perjalanan,
mau tidak mau harus melewati ku-
bangan
besar di hadapannya.
Maka
dengan cara merayap Soma berusaha
melewati
kubangan. Telapak-telapak tangannya di-
tancapkan ke dinding-dinding gua. Dengan men-
gerahkan
ilmu meringankan tubuh, perlahan-
lahan
Soma mulai merayap. Sementara itu, kedua
kakinya
meraba-raba ke bawah, mencari tempat
berpijak.
"Hup!"
Hanya
sekali lompat, Siluman Ular Putih
berhasil
mendarat di bibir seberang kubangan.
Namun
lagi-lagi Soma terpaksa nyengir sendiri.
Karena
baru berjalan sepuluh, sebuah kubangan
kembali
menghadang....
***
Soma
perlahan-lahan menjulurkan kepala
ke
dalam kubangan. Ketika Siluman Ular Putih
menajamkan
pandangan, tampak di dasar kuban-
gan
dua ekor kodok raksasa putih keperakan se-
besar
tempayan tengah berjongkok berhadapan.
Ketika
kodok di sebelah kanan berbunyi sekali,
tampak
uap kuning dari mulutnya.
Siluman
Ular Putih berpikir keras, bagai-
mana
caranya melewati kubangan ini tanpa mem-
buang
tenaga...
"Hm...
dapat!" soraknya begitu menemukan
akal.
Soma cepat meraih dua buah batu. Dengan
pengerahan
tenaga dalam lumayan, dilemparkan-
nya
batu-batu itu ke masing-masing kodok
Duk!
Duk!
"Kok!"
"Kok!"
Mungkin
karena dikira mendapat serangan
dari
kodok yang satu, kodok yang lain langsung
menyerang.
Maka saat itu pula terjadilah perta-
rungan
antara dua kodok.
Masing-masing
kodok tak mau menyerah
kalah.
Seperti yang telah dilakukan kodok lawan-
nya,
kodok yang satu lantas mengeluarkan uap
kuning.
Soma
yang tengah asyik menyaksikan per-
tarungan
dua ekor kodok perak raksasa itu men-
dadak
tersenyum sendiri dengan mata berbinar.
"Itulah
gerakan-gerakan yang digunakan
orang-orang
Lembah Kodok Perak! Ya ya ya...! Aku
masih
ingat betul. Paman Daksiro juga pernah
menyerangku
dengan jurus-jurus seperti itu. Se-
karang
tahulah aku, mengapa kodok-kodok perak
ini
disimpan di dalam kubangan ini. Rupanya me-
reka
adalah guru dari orang-orang Lembah Kodok
Perak!!"
gumam Soma dalam hati.
Kemudian
Soma pun kembali perhatikan
dua
ekor kodok perak di dasar kubangan yang
tengah
bertarung. Namun kini kedua ekor kodok
itu
sudah sama-sama tak bergerak dalam keadaan
terlentang.
Mati. Di leher masing-masing tampak
melilit
sejenis benang warna kuning.
"Hei?
Benda apakah itu...?" gumam Soma
dalam
hati. Sepasang mata birunya yang tajam
kembali
memperhatikan dua ekor kodok perak
yang
telah jadi mayat itu.
Tanpa
banyak pikir lagi, Soma cepat me-
lompat
turun ke dasar kubangan. Segera diambil-
nya
untaian benang-benang kuning yang melilit
leher
kedua ekor kodok perak itu.
Soma
hendak meloncat ke atas. Namun be-
lum
juga niatnya terlaksana....
"Hei...
rupanya di sini pun masih ada lo-
rong...."
Sepasang
mata biru Siluman Ular Putih ja-
di
berbinar-binar. Dilihatnya di dinding sebelah ki-
ri
kubangan terdapat sebuah lorong memanjang
yang
entah menembus ke mana. Kembali didasari
sifat
ingin tahu, pemuda ini segera memasuki lo-
rong
itu. Tubuhnya merayap hati-hati sekali me-
nyusuri
lorong.
Tiba
di lorong yang agak luas, Siluman Ular
Putih
menghentikan langkahnya. Bulu kuduknya
kontan
merinding melihat sebuah kerangka ma-
nusia!
Kening
Soma berkerut dalam. Sepasang
mata
birunya tak henti-hentinya terus menatap
kerangka
itu. Sedang tak jauh dari kerangka, tam-
pak
sebilah tombak panjang. Dan samar-samar
tampak
pula pada batang tombak itu beberapa
buah
huruf Jawa Kuno yang berbunyi: Tombak Ra-
ja
Akhirat!
"Tombak
bagus! Tombak bagus!" gumam
Soma
dalam hati. Tangan kanannya segera diju-
lurkan
meraih tombak itu. Namun buru-buru di-
batalkannya.
Tiba-tiba hatinya merasa ragu-ragu
sekali.
Entah mengapa. Kembali diperhatikannya
tombak
di hadapannya dengan sinar mata penuh
kagum.
Dan karena kekagumannya inilah yang
membuat
murid Eyang Begawan Kamasetyo ak-
hirnya
memungut tombak itu.
Dan
sejenak itu pula Soma terus perhati-
kan
tombak.
Kemudian
sembari memegang Tombak Raja
Akhirat
di tangan kanannya, Soma kembali melan-
jutkan
perjalanannya. Namun anehnya, semakin
jauh
menyusuri lorong bawah tanah, maka lorong
makin
menyempit. Dan hingga akhirnya, langkah
Siluman
Ular Putih terhenti!
Di
hadapannya kini terlihat sebuah lorong
kecil
yang tidak mungkin dilalui. Namun samar-
samar
sepasang matanya yang tajam melihat se-
buah
lubang kecil sebesar lubang bambu di sudut
lorong.
Dan entah mengapa, hatinya jadi girang
bukan
main.
Sret!
Begitu
tombak diarahkan, ke lubang, sinar
kuning
keemasan seketika itu juga meluncur dari
mata
Tombak Raja Akhirat.
Soma
mengangguk-angguk penuh kagum.
Tombak
di tangan kanannya digerak-gerakkan se-
demikian
rupa. Dan anehnya, tanah lubang kecil
tadi
berguguran begitu terkena sambaran-
sambaran
sinar tombak di tangan Soma.
Soma
makin kagum. Sekali lagi Tombak
Raja
Akhirat di tangan kanannya digerak-
gerakkan.
Dan akibatnya lubang gua itu semakin
hebat
berguguran, membentuk lorong kembali.
Dan
kini pemuda itu bisa masuk ke dalam lorong
selanjutnya.
***
"Ah...!
Harta benda milik siapakah itu?" de-
sah
Soma seraya menggaruk-garuk kepala, begitu
tiba
di sebuah ruangan yang terang-benderang.
"Jangan-jangan
aku malah nyasar masuk ke sa-
rangnya
para rampok?"
Siluman
Ular Putih kini memang tiba di
ruangan
bawah tanah yang diterangi cahaya obor
dari
minyak jarak. Yang membuat Soma terka-
gum-kagum,
ternyata di dalam ruangan ini terda-
pat
tumpukan-tumpukan batu permata dari ber-
bagai
ukuran.
Perlahan-lahan
Siluman Ular Putih mulai
menggerakkan
kedua kakinya mendekati tumpu-
kan-tumpukan
batu permata itu. Begitu sampai,
sejenak
pandangannya menebar. Dan sepasang
mata
birunya kini tertumbuk pada sesosok tubuh
tua
renta tengah khusuk bersemadi di sudut
ruangan.
Usianya mungkin lebih dari delapan pu-
luh
tahun. Itu bisa dibuktikan dari rambut pan-
jangnya
yang memutih sebatas bahu. Belum lagi
bila
menilik wajahnya yang kepucatan penuh ke-
rutan.
Sedang tubuhnya yang tinggi kurus dibalut
pakaian
ketat warna putih.
Soma
tidak tahu, siapa laki-laki tua renta
yang
sedang bersemadi di sudut ruangan. Yang je-
las,
entah mengapa Siluman Ular Putih jadi segan
sekali
melihatnya. Maka dengan langkah mantap
didekatinya
orang tua itu. Lalu, dia duduk bersila
di
hadapannya.
"Terimalah
hormatku, Orang Tua! Aku So-
ma
dari Gunung Bucu sengaja menghaturkan sa-
lam
hormatku padamu," ucap Soma penuh hor-
mat.
Tapi
lelaki tua berpakaian itu tetap di-
am
di tempatnya, tanpa bergerak-gerak sama se-
kali.
Demikian juga dadanya yang kurus kerem-
peng!
Soma
heran bukan main. Sekali lagi dipan-
danginya
dada orang tua itu seksama. Ternyata,
dada
itu memang tidak bergerak sama sekali! Ka-
rena
terdorong rasa ingin tahunya, Siluman Ular
Putih
mengulur tangannya. Dipegangnya denyut
nadi
orang tua itu. Dingin!
Namun
tiba-tiba saja tangan kurus kering
lelaki
tua renta itu bergerak cepat sekali memapak
tangan
Soma!
Plakkk!
"Auwww...!"
Soma
meringis kesakitan. Tangannya yang
terkena
papakan tadi terasa mau remuk!
"Ah...!
Kau masih hidup, Orang Tua! Lan-
tas,
mengapa mempermainkan ku demikian ru-
pa?"
sungut Soma kesal
"Bocah
bau kencur! Apa kau ingin mencari
mati
di sini, he?!" bentak lelaki tua itu garang me-
rasa
terganggu dengan apa yang telah dilakukan
Soma.
"Orang
Tua! Terus terang aku cuma heran,
mengapa
kau sampai bisa terkurung di sini?"
Lelaki
itu malah melotot lebar. Keningnya
berkerut-kerut
saking herannya.
"Apakah
kau membutuhkan tenagaku,
Orang
Tua?"
Lelaki
renta itu mengangguk-angguk.
"Katakan,
tugas apa yang harus kujalan-
kan,
Orang Tua! Aku pasti akan menjalankan tu-
gasmu,"
sambung Soma cepat.
"Apa
kau dapat menangkap mereka untuk
dibawa
kemari, Bocah?"
Belum
sempat Soma memberi jawaban, ti-
ba-tiba
sepasang mata mencorong lelaki tua renta
itu
memandangi Tombak Raja Akhirat di pinggang
Soma.
Kemudian tanpa banyak, cakap lagi, dilan-
carkannya
satu pukulan maut ke tubuh Siluman
Ular
Putih!
Wesss!
Sebelum
serangan lelaki tua renta itu men-
genai
sasaran, terlebih dahulu telah terasa hawa
dingin
yang meluruk cepat. Maka tanpa banyak
pikir
lagi, Siluman Ular Putin langsung menghan-
tamkan
tangannya. Dilepaskannya pukulan sakti
'Tenaga
Inti Bumi'-nya untuk memapak.
Wesss!
Blarrr...!
Soma
memekik setinggi langit. Tubuhnya
mental
beberapa tombak ke belakang, langsung
membentur
dinding ruangan. Seketika itu juga wa-
jahnya
pucat pasi! Tampak darah segar membasa-
hi
sudut-sudut bibirnya! Sedang sekujur tubuh-
nya
terasa beku! Jangankan untuk meloncat ban-
gun.
Untuk menggerakkan kedua tangannya saja
tidak
mampu!
Siluman
Ular Putih mengeluh pasrah. Na-
mun
anehnya, entah karena apa, tiba-tiba saja se-
pasang
mata prang tua renta yang membelalak le-
bar
itu bersinar-sinar penuh kegembiraan! Dan
belum
sempat Soma membuka suara....
"Bocah!
Cepat katakan! Ada hubungan apa
kau
dengan Adi Begawan Kamasetyo?"
Soma
terkesiap kaget. Sungguh tidak dis-
angka
kalau orang tua renta, yang terkurung di
dalam
gua bawah tanah Lembah Kodok Perak itu
kenal
dengan eyangnya.
"Beliau
adalah eyang sekaligus guruku,
Orang
Tua," jawab Soma terpatah-patah dengan
mulut
menyeringai
"Hm...
Jadi kau cucu Adi Begawan Kama-
setyo,"
gumam orang tua renta itu seraya men-
gangguk-angguk.
"Ketahuilah, Cucuku! Sebenar-
nya
aku ini adalah kakak ipar dari eyang mu. Aku
Eyang
Prana Supit."
"Ja...,
Jadi kalau begitu kau masih terhi-
tung
eyangku, Orang Tua? Ah...! Maafkan ketidak-
tahuan
ku, Orang Tua!" ucap Soma girang bukan
main.
Namun
ketika hendak bangun, Soma jadi
mengeluh.
Tubuhnya yang beku sedikit pun tidak
bisa
digerakkan!
Lelaki
tua bernama Eyang Prana Supit itu
tahu
apa yang tengah dialami pemuda gondrong di
hadapannya.
Maka cepat dikeluarkannya sebuah
obat
pulung berwarna kuning dari dalam saku ba-
junya.
Segera dia bangkit dan berjalan mendekati
Soma.
"Telanlah obat ini, Cucuku!" ujarnya
Tanpa
banyak cakap, Siluman Ular Putih
membuka
mulutnya. Dan Eyang Prana Supit pun
memasukkan
obat itu ke dalam mulut si pemuda.
Soma
menelannya dengan susah payah.
Sementara
lelaki tua renta itu sudah menotok be-
berapa
jalan darah di tubuh Soma.
Selang
beberapa saat, Soma pun mulai da-
pat
menggerak-gerakkan tubuhnya. Luka dalam-
nya
akibat pukulan lelaki tua ini pun sirna begitu
menelan
obat barusan.
"Terima
kasih, Eyang. Kau baik sekali,"
ucap
Soma.
"Sudahlah!
Jangan terlalu banyak perada-
tan!
Sekarang ceritakan, mengapa Tombak Raja
Akhirat
itu sampai jatuh ke tanganmu, Cucuku?"
"Aku
hanya menemukannya di salah se-
buah
lorong bawah tanah di Lembah Kodok Perak
ini,
Eyang"
Eyang
Prana Supit mengangguk-
anggukkan
kepalanya. Sebenarnya ia ingin mena-
nyakan,
bagaimana caranya Soma masuk ke da-
lam
tempat kurungan itu. Akan tetapi entah kare-
na
apa yang keluar dari mulutnya malah mengenai
persoalan
pribadinya
"Cucuku!
Mungkin waktu pertemuan kita
ini
hanya sebentar. Maukah kau menuruti permin-
taanku?"
"Tentu
saja, Eyang. Mengapa Eyang berka-
ta
demikian?"
"Baiklah!
Sudah kuduga kau pasti akan
berkata
demikian," kata Eyang Prana Supit seraya
menyunggingkan
senyum "Tapi sebelum mengata-
kan
permintaanku, terlebih dahulu aku akan me-
wariskan
sesuatu padamu, Cucuku"
"Apa
itu, Eyang?" tanya Soma girang bukan
main
Lelaki
renta itu hanya tersenyum. Tangan
kanannya
cepat mengeluarkan dua buah lembaran
kain
sutera berwarna kuning kemerah-merahan
"Kedua
benda inilah yang akan kuwariskan
padamu,
Cucuku. Kami, orang-orang Lembah Ko-
dok
Perak menamakan kedua benda ini adalah Ki-
tab
Kodok Perak Sakti. Karena, bila lembaran-
sutera
ini dicelup ke dalam air panas maka tam-
paklah
jurus-jurus 'Kodok Perak Sakti' dalam ke-
dua
lembaran sutera ini. Meski hanya terdiri dan
tiga
jurus. Tapi, kau harus mempelajarinya nanti
sepulangnya
dari sini,"
"Mengapa
demikian, Eyang?" tanya Soma
tak
mengerti
"Sudahlah!
Sebaiknya turuti saja perintah-
ku,
Cucuku! Sekarang kau mendekatlah dan den-
garlah
permintaanku, Cucuku! Aku hanya minta,
setelah
dapat menguasai jurus-jurus 'Kodok Perak
Sakti',
kau jangan mengganggu orang-orang peng-
huni
Lembah Kodok Perak! Kau paham, Cucuku?"
"Paham,
Eyang," sahut Soma seraya men-
dekat
"Dan permintaanku
yang kedua, berikan
Kitab
Kodok Perak Sakti yang asli itu kepada
orang-orang
penghuni Lembah Kodok Perak! Se-
benarnya
tadi aku memang ingin kau membantu-
ku
menangkapi orang-orang penghuni Lembah
Kodok
Perak guna untuk membalas sakit hatiku.
Termasuk
juga kakak seperguruanku, Ki Cucuk
Prana
yang menjadi ketua Lembah Kodok Perak
ini.
Merekalah yang membuatku berada di tempat
ini.
Tapi, entah mengapa setelah bertemu den-
ganmu
pikiranku jadi berubah."
"Mengapa
demikian, Eyang?"
"Sebenarnya
ceritanya panjang. Tapi, baik-
lah!
Untuk lebih jelasnya, kau boleh mendengar
ceritaku."
Soma
mengangguk pasti,
"Dengarlah,
Cucuku! Di samping aku ini
eyang
mu, sebenarnya aku ini adalah orang hu-
kuman
Lembah Kodok Perak. Berpuluh-puluh ta-
hun
lalu, aku telah diusir pergi karena berani ke-
luar
dari Lembah Kodok Perak. Tapi hal itu karena
waktu
itu Raja Iblis dari Istana Ular Emas datang
kemari.
Salah seorang adik seperguruanku yang
mencoba
menghadang sepak terjangnya tewas di
tangan
Raja Iblis. Maka begitu mendengar kalau
adik
seperguruanku tewas, Maka aku nekat ke-
luar.
Kucari Raja Iblis. Dan akhirnya aku dapat
menyeretnya
kemari. Sehingga ia menemui ajal di
sini.
Kerangka yang kau lihat di lorong gua itulah
kerangka
mayat Raja Iblis."
"Hm...!
Jadi hanya karena nekat keluar da-
ri
Lembah Kodok Perak inilah, Eyang sampai dita-
wan
di sini," tebak Soma sambil mengangguk-
angguk.
"Nah,
kalau kau sudah paham duduk per-
soalannya,
sebaiknya sekarang lekas cepat kau
balikkan
badanmu ke belakang. Agar kau lebih
cepat
menguasai jurus-jurus yang terkandung da-
lam
Kitab Kodok Perak Sakti itu. Dan aku ingin
menyalurkan
tenaga 'Kodok Perak Sakti'-ku ke da-
lam
tubuhmu, Cucuku," ujar Eyang Prana Supit.
"Baiklah,
Eyang," sahut Soma. Tanpa ba-
nyak
cakap, Soma segera berbalik ke belakang.
Kemudian
Eyang Prana Supit segera menempelkan
kedua
telapak tangan ke punggung Soma.
Seketika
itu, Siluman Ular Putih merasa-
kan
hawa dingin yang bukan kepalang menerabas
ke
dalam tubuhnya.
Soma
menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat.
Sambil terus mengalihkan tenaga 'Kodok Pe-
rak
Sakti' ke tubuh Soma, Eyang Prana Supit te-
rus
memberi petunjuk pada Soma bagaimana ca-
ranya
mengendalikan hawa dingin yang berputar-
putar
di bawah perutnya.
"Nah!
Sekarang kau sudah dapat mempela-
jari
jurus-jurus yang terkandung dalam Kitab Ko-
dok
Perak Sakti itu dengan mudah. Aku sudah
mengalihkan
tenaga 'Kodok Perak Sakti' ke dalam
tubuhmu.
Sekarang lekas tinggalkan tempat ini!
Kau
boleh lewat pintu sebelah sana! Tapi jangan
lupa
tutup lagi pintunya!" ujar Eyang Prana Supit,
begitu
selesai mengalihkan tenaga 'Kodok Perak
Sakti'
ke dalam tubuh Soma dan kembali duduk
bersemadi
seperti semula.
"Tapi,
Eyang...?"
Begitu
bangkit Soma cemas sekali melihat
wajah
Eyang Prana Supit demikian pucat. Napas-
nya
terengah-engah seperti orang habis lari jauh.
Kedua
tangannya pun gemetaran.
"Sudahlah!
Jangan banyak membantah,
Cucuku!
Lekas kau tinggalkan tempat ini!" ujar le-
laki
tua itu terengah-engah.
Soma
melangkah ragu-ragu. Sejenak di-
pandanginya
wajah pias di hadapannya dengan
perasaan
bingung. Namun akhirnya pemuda gon-
drong
itu tidak dapat menolak permintaan lelaki
tua
itu. Kemudian sambil sesekali memalingkan
kepala
ke belakang, Soma mulai keluar dari ruan-
gan.
Eyang
Prana Supit memejamkan matanya
rapat-rapat.
Dadanya terlihat makin naik turun.
Kemudian
ketika pintu ruangan tertutup dari luar,
lelaki
tua ini telah menghembuskan napasnya
yang
terakhir dalam keadaan masih duduk berse-
madi!
SELESAI
Scan/E-Book:
Abu Keisel
Juru
Edit: Fujidenkikagawa
convert
txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon