SATU
LOLONGAN
anjing menggema memecah kesunyian dan keheningan malam. Angin bertiup kencang
menaburkan hawa dingin menggigilkan tulang. Suasana malam ini begitu mencekam.
Apalagi saat itu hujan jatuhnya rintik-rintik menyirami seluruh permukaan
Gunung Palang Sewu. Hanya ada satu perkampungan di lereng gunung itu.
Keadaannya sunyi, bagai sebuah perkampungan mati.
Tapi
dari kerlipnya pelita di tiap-tiap rumah, menandakan kalau desa itu masih
berpenghuni. Suara kentongan peronda malam menghalau kesunyian yang menyelimuti
seluruh perkampungan itu. Terlihat dua orang laki-laki berjalan menyusuri jalan
tanah Desa Palang Sewu itu.
"Huh!
Sial tuh si Saprin. Pura-pura encoknya kambuh!" salah seorang yang memukul
kentongan dari bambu menggerutu.
"Ah...,
paling-paling juga lagi tandang ke rumah janda di ujung jalan sana,"
seorang lagi menimpali.
"Ha
ha ha...!"
"Kenapa,
tertawa?"
"Lucu."
"Apanya
yang lucu?"
"Saprin
itu kan orangnya gendut, tua, jelek lagi. Mana mungkin Katila mau sama orang
macam si Saprin itu? Mendingan juga sama aku! Masih bujangan, wajah..., tidak
begitu jelek. Punya mainan lagi!"
"Lalu,
kenapa kau kaitkan dengan masalah ini?" tanya Wandara. "Lagakmu,
Rin.... Baru lihat kerbau ngamuk saja sudah lari paling dulu."
"Eee
... ! Kamu mau coba, Dut!" Birin jadi gusar.
Endut
hanya cengar-cengir saja. Bukannya tidak berani, tapi dia tidak suka ribut
dengan teman sendiri. Apalagi dalam tugas ronda yang hanya berdua saja malam
ini. Kalau ribut, bisa-bisa harus meronda sendiri. Endut tidak bisa
membayangkan, jika harus berada di luar rumah malam-malam sendirian. Lebih baik
mengalah, daripada meronda sendirian keliling desa.
Tidak
terasa mereka berkeliling sudah hampir ke ujung jalan desa. Secara bersamaan,
mereka berhenti melangkah tepat di depan sebuah rumah yang kecil, namun
terlihat indah. Halaman rumah itu dipenuhi berbagai macam tanaman kembang.
Sesaat kedua peronda itu saling berpandangan. Rumah itu kelihatan terang oleh
pelita yang berada di setiap sudut.
"Katila
belum tidur, Dut," kata Birin setengah berbisik.
"Biar
sajalah! Yuk, jalan lagi," sahut Endut.
"Eh,
tunggu dulu. Siapa tahu ada laki-laki di dalam sana. Kan bisa buat hiburan
macam ini, Dut," Birin menarik tangan temannya.
"Jangan
cari gara-gara, ah!" Endut menolak.
Birin
tidak peduli, lalu melangkah mendekati rumah itu. Sedangkan Endut jadi serba
salah. Ingin melarang, tapi temannya sudah demikian dekat dengan rumah itu.
Endut mengayunkan kakinya mengikuti Birin yang telah sampai di bawah sebuah
jendela kayu.
"Ssst...!"
Birin menempelkan jari telunjuk ke bibirnya sendiri.
Endut
merundukkan kepalanya di belakang Birin. Entah kenapa, Endut merasakan
jantungnya jadi berdetak lebih kencang dari biasanya. Sementara Birin mulai
menjulurkan kepalanya, mengintip dari celah-celah daun jendela kayu itu.
"Rin...,"
suara Endut terdengar berbisik.
"Ssst,
diam. Aku belum lihat apa-apa," kata Birin.
"Rin...,"
suara Endut agak keras.
"Ada
apa sih?!" Birin jadi kesal.
Dan
begitu Birin menolehkan kepalanya, matanya langsung membeliak lebar dan
mulutnya ternganga. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Keringat sebesar butiran
jagung langsung menitik membasahi wajah dan lehernya.
Entah
apa yang terjadi selanjutnya, tiba-tiba saja kedua peronda itu mengejang kaku,
lalu tubuhnya melorot turun. Dan begitu tubuhnya menyentuh tanah, darah
mengucur dari leher. Mereka langsung tewas tanpa mengeluarkan suara sedikit
pun. Saat itu sebuah bayangan hijau berkelebat cepat menyambar kedua tubuh
peronda itu, dan segera lenyap bagaikan hilang saja.
Tak
ada yang menyaksikan. Semua berlangsung cepat tanpa terdengar suara sedikit
pun. Suasana malam itu tetap sunyi. Desir angin terdengar kencang membawa
rintik air hujan, membuat udara semakin menggigilkan. Lolongan anjing tidak
lagi terdengar, sementara hujan pun tumpah dengan deras, bagaikan bendungan
jebol terlanda badai.
***
Seluruh
penduduk Desa Palang Sewu gempar. Mereka menemukan dua, mayat peronda malam
tergeletak di tengah jalan dengan leher hampir putus. Darah bersimbah,
bercampur genangan air hujan dan tanah berlumpur. Ki Ageng Sela, orang tertua
sekaligus sesepuh desa memerintahkan penduduk untuk mengurus kedua mayat
peronda itu.
Pagi
itu juga, seluruh penduduk menguburkan mayat kedua peronda malang itu.
Sementara Ki Ageng Sela, dan beberapa sesepuh Desa Palang Sewu berkumpul di
rumah kepala desa. Tentu saja pembicaraan mereka terpusat pada dua orang
peronda yang ditemukan sudah menjadi mayat dengan leher terkoyak hampir putus.
"Ini
kejadian pertama setelah sepuluh tahun desa ini tenteram dan damai," kata
Ki Ageng Sela.
"Apakah
hanya mereka berdua, saja yang meronda semalam?" tanya seorang laki-laki
tua berbaju hijau yang duduk di samping Ki Petel, Kepala Desa Palang Sewu.
"Sebenarnya
tiga orang, Paman Waku," sahut Ki Petel. "Tapi yang seorang memang
sudah meminta ijin. Penyakit encoknya kambuh! Istrinya yang datang
padaku."
"Aku
merasakan ini awal dari malapetaka... gumam Ki Ageng Sela, seolah-olah bicara
untuk dirinya sendiri.
Ki
Petel, Paman Waku, dan tiga orang sesepuh desa lainnya memandang dalam-dalam
pada orang yang tertua di Desa Palang Sewu ini. Sedangkan Ki Ageng Sela
mengelus-elus janggutnya yang panjang dan putih. Dia seperti tidak peduli
dengan pandangan lima orang itu.
"Rasanya
tidak mungkin kalau hanya seorang pencuri yang kepergok, lalu membunuh mereka.
Aku tahu kalau Endut dan Birin mempunyai ilmu olah kanuragan, meskipun tidak
begitu tinggi tingkatannya. Tapi mereka masih mampu menghadapi pencuri
kecil," kata Ki Ageng Sela lagi, masih dengan suara bergumam.
"Maksud
Ki Ageng?" tanya seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun
yang duduk di samping Ki Petel. Dia adalah Pranata, ketua padepokan yang hanya
satu-satunya ada di Desa Palang Sewu ini.
"Pranata!
Apa kau tidak melihat luka di leher mereka?" Ki Ageng Sela batik bertanya
dengan menatap Pranata.
"Lihat,
Ki," sahut Pranata.
"Bagaimana
menurutmu?"
Pranata
tidak segera menjawab. Dia memang melihat luka yang hampir memutuskan leher
kedua peronda malang itu. Luka tebasan senjata tajam yang cukup rapi. Dan lagi,
tampaknya hanya sekali tebas yang disertai pengerahan tenaga dalam sangat
tinggi. Dia seorang ketua padepokan, jadi tentunya bisa mengenali jenis-jenis
luka akibat senjata tajam.
"Seorang
yang berilmu rendah, tidak mungkin dapat membuat tebasan begitu rapi dan
sempurna. Aku yakin, pelakunya seorang yang berilmu tinggi dan punya maksud
tertentu," sambung Ki Ageng Sela.
"Aku
juga sudah menduga begitu, Ki. Tapi... apa maksudnya membunuh dua orang
peronda? Sedangkan tidak ada seorang pun penduduk yang melaporkan adanya
kecurian. Tidak ada perampokan atau pencurian semalam," sambut Pranata.
"Itu
berarti desa kita kemasukan seorang tokoh hitam rimba persilatan," selak
Paman Waku.
"Terlalu
dini kalau menyimpulkan sampai ke situ, Waku," bantah Ki Ageng Sela.
"Sudah
jelas, Ki. Dan orang itu pasti punya maksud tertentu di sini!" Paman Waku
tetap pada pendiriannya...
"Sebentar
... !" seru Ki Petel tiba-tiba.
Semua
orang yang ada di ruangan rumah kepala desa itu. memandang Ki Petel. Sedangkan
kepala desa itu malah bangkit berdiri dan melangkah mendekati jendela.
Tampaknya sedang berpikir, atau mengingat ingat sesuatu. Agak lama juga
laki-laki setengah baya itu diam memandang keluar dari jendela besar yang
terbuka lebar. Perlahan-lahan dibalikkan tubuhnya, dan dipandangi lima orang
tetua desa itu satu persatu.
"Aku
baru menjabat kepala desa tiga tahun yang lalu. Tapi aku tahu persis keadaan
Desa Palang Sewu, karena sejak lahir aku sudah berada di sini. Selama sepuluh
tahun terakhir ini, Desa Palang Sewu memang terlihat aman dan damai. Tidak ada
satu pun kejahatan yang terjadi. Tapi sekarang kita dihadapkan pada satu
persoalan dengan terbunuhnya dua orang peronda malam secara misterius...,"
Ki Petel terdiam beberapa saat.
Sementara
lima orang tetua desa, menunggu kelanjutannya dengan sabar. Mereka menyimak
setiap kata yang diucapkan kepala desa itu. Mereka menduga-duga, ke mana arah
tujuan pembicaraan Ki Petel sebenarnya.
"Sepuluh
tahun yang lalu, pernah terjadi peristiwa yang tidak akan dapat kulupakan.
Tentunya saudara-saudara semua tidak akan melupakannya," sambung Ki Petel.
"Rasanya
tidak ada hubungannya, Ki Petel, " selak Paman Waku, mulai mengerti arah
pembicaraan kepala desa itu.
"Paman
Waku! Tidak sedikit saudara-saudara kita yang tewas saat itu. Bahkan ayahku,
kakakku, dan teman-teman baikku ikut tewas. Masih untung aku bisa selamat,
seperti kalian juga yang masih bisa bernapas sampai saat ini," kata Ki Petel
lagi.
"Apa
maksud pembicaraanmu sebenarnya?" tanya Ki Ageng Sela kurang tanggap.
"Waktu
itu, kita semua terlalu yakin kalau perempuan iblis itu sudah mati di dasar
jurang. Begitu yakinnya, sehingga tidak ada yang memeriksa ke dasar
jurang," kata Ki Petel.
"Adik
Petel! Semua orang tahu kalau Nyai Dadap sudah tewas sebelum masuk ke dalam
jurang. Tidak mungkin dia bisa bertahan hidup setelah terkena aji 'Walang
Sungsang'ku, ditambah tusukan Tombak Sangkal Putung milik Pranata," bantah
Ki Ageng Sela.
"Nyai
Dadap masuk ke jurang juga akibat dari pukulan 'Tapak Sakti択u," sambung
Wandara yang sejak tadi diam saja.
"Aku
tahu. Bahkan juga kutambahkan dengan aji 'Belah Raga'," selak Ki Petel.
"Sedangkan Nyi Senah sendiri menambahkannya dengan pukulan 'Racun Merah'
yang terkenal ganasnya."
Ki
Petel melirik satu-satunya wanita tua sesepuh di desa ini. Nyi Senah hanya
tersenyum saja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Bisa
saja Nyai Dadap tidak tewas, dan sekarang datang untuk membalas dendam!"
Ki Petel mengemukakan alasan praduganya.
"Mustahil...!"
Memang
tidak ada yang sepakat dengan jalan pikiran Ki Petel. Bagaimanapun tangguhnya
seseorang, tidak mungkin akan bertahan hidup setelah menerima berbagai macam
ilmu kesaktian dan pukulan maut di tubuhnya. Kemudian ditambah dengan
terjatuhnya orang itu ke jurang yang amat dalam.
Lima
orang tetua Desa Palang Sewu menganggap Ki Petel dipengaruhi perasaan khawatir
yang amat sangat, sehingga mempunyai dugaan yang tidak masuk akal itu. Atau
mungkin ada alasan-alasan tertentu yang tidak diketahui mereka, sehingga Kepala
Desa Palang Sewu itu mempunyai pemikiran yang dirasakan sangat mustahil.
Ki
Petel masih berdiri membelakangi jendela, meskipun lima orang sesepuh Desa
Palang Sewu sudah meninggalkan rumahnya. Meskipun tidak ada yang menanggapi
jalan pemikirannya, tapi Ki Petel masih juga memikirkan kemungkinan Nyai Dadap
masih hidup. Dan semalam muncul lagi dengan menewaskan due peronda.
"Kau
terlalu bodoh mengungkapkan dugaan itu, Kakang!"
"Eh!"
Ki Petel tersentak dari lamunannya. Langsung diangkat kepalanya.
Seorang
wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun tahu-tahu sudah berdiri di depan
Ki Petel. Kepala desa itu menarik napas panjang, kemudian duduk di kursi yang
tidak jauh di samping kanannya. Wanita yang ternyata adalah istri Ki Petel itu
mengambil tempat di sampingnya.
"Kudengar
semua pembicaraan tadi, Kakang. Terus terang, aku juga tidak mengerti, mengapa
kau punya pikiran semacam itu? Mustahil Nyai Dadap masih bisa, hidup,"
kata Nyai Petel.
"Justru
keyakinan itu yang membuat keraguan di hatiku, Nyai. Keyakinan yang tebal dapat
membuat kelengahan, dan akibatnya sangat fatal. Kita semua sudah lengah karena
terlalu yakin, sampai-sampai tidak melihat lagi, apakah Nyai Dadap sudah mati
atau masih hidup," kata Ki Petel mengemukakan pendapatnya.
"Kalau
Kakang ragu-ragu, kenapa waktu itu tidak memeriksa sendiri?"
"Aku
juga terlalu yakin waktu itu, Nyai. Tapi dengan kejadian semalam, keyakinanku
luntur."
"Jangan
terlalu terpusat pada Nyai Dadap Kakang."
"Sejak
kematian Nyai Dadap, tidak ada lagi kejadian menggemparkan di desa ini. Bahkan
kejahatan kecil saja tidak pernah kujumpai. Rasanya mustahil kalau ada orang
lain yang mencari keributan di sini tanpa punya alasan yang pasti. Desa Palang
Sewu ini terlalu kuat untuk dijamah gerombolan perampok kejam sekalipun. Hanya
orang seperti Nyai Dadaplah yang mampu mengusik lelapnya desa ini. Terlalu
banyak orang tangguh berilmu tinggi di sini. Seorang tokoh hitam rimba
persilatan saja harus berpikir seribu kali untuk menjarah di sini."
"Tapi
kenyataannya dua orang peronda tewas semalam."
"Itulah
yang menjadi masalahnya. Luka yang menewaskan mereka terlalu rapi, dan mustahil
yang melakukannya hanya seorang pencuri kecil. Birin dan Endut bukan orang
kosong. Mereka memiliki ilmu olah kanuragan yang lumayan. Mustahil kalau mereka
tidak mengadakan perlawanan sama sekali, sehingga dengan mudah ditewaskan"
Nyai
Petel diam. Dia bangkit berdiri, tidak ingin lagi memperpanjang pembicaraan
ini. Dia tahu watak suaminya yang terlalu kuat kalau punya pendirian. Sulit
untuk dirubah kembali. Seribu macam bantahan tidak akan bisa menggoyahkan
pendiriannya.
"Mau
kopi?" Nyai Petel menawarkan.
"Boleh..."
"Aku
yang buat, atau anakmu?"
"Kau
sajalah! Sudah lama aku tidak menikmati kopi buatanmu."
Nyai
Petel tersenyum mencibir, kemudian melangkah masuk ke ruangan belakang.
Sementara Ki Petel masih duduk di kursinya. Pandangannya tidak berkedip menatap
keluar melalui pintu depan rumahnya.
Beberapa
orang terlihat lalu-lalang di depan rumahnya. Namun pikiran kepala desa itu
masih tetap terpusat pada kejadian yang menggemparkan semalam.
***
DUA
Siang
itu udara di sekitar Desa Palang Sewu terasa hangat. Matahari bersinar cerah
dengan sedikit awan tipis menggantung di langit. Keadaan desa Lereng Gunung
Palang Sewu itu kelihatan tenang, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Orang-orang tua bekerja di ladang seperti biasanya, sedangkan anak-anak bermain
ceria.
Di
sebuah kedai yang cukup besar, tampak ramai dikunjungi orang. Meskipun mereka
semua kelihatan cerah, namun pembicaraan yang terdengar tidak jauh berkisar
dari tewasnya dua peronda malang semalam. Tapi di wajah mereka tidak tercermin
perasaan takut atau segala macam kecemasan. Mereka bicara seperti tidak
mempunyai beban sama sekali.
Namun
pembicaraan mereka terhenti ketika dua orang laki-laki berusia hampir mencapai
tujuh puluh tahun masuk ke kedai itu. Dilihat dari cara berpakaian dan caranya
memandang, tidak disangkal lagi kalau kedua laki-laki itu tokoh rimba
persilatan.
Kedua
laki-laki tua yang Baru masuk itu duduk di kursi dekat jendela. Mereka membuka
caping besar yang menutupi kepalanya. Tampak dengan jelas kalau wajah mereka
begitu mirip. Pengunjung kedai lainnya. Yang memperhatikan, segera mengalihkan
pandangannya. Mereka semua tahu kalau dua orang kembar itu dari kalangan rimba
persilatan golongan hitam, yang dikenal dengan nama Kera Kembar dari Karang
Setan.
"Pelayan!"
seru salah seorang laki-laki tua yang mengenakan jubah merah.
Seorang
laki-laki muda datang menghampiri terbungkuk-bungkuk. Dibungkukkan tubuhnya
beberapa kali setelah sampai di depan kedua laki-laki yang berjuluk Kera Kembar
dari Karang Setan itu.
"Kenapa
baru datang?" bentak laki-laki tua yang memakai jubah merah itu. Dia
dikenal dengan nama Kera Merah. Sedangkan yang seorang lagi memakai jubah warna
biru. Namanya. Kera Biru. Dan yang pasti, itu bukan nama asli mereka berdua.
Tidak ada yang tahu siapa nama asli mereka berdua.
"Maaf,
Tuan. Hari ini banyak pengunjung, jadi harus sabar menunggu," sahut
laki-laki muda yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu.
"Aku
tidak peduli dengan cacing-cacing! Cepat sediakan makanan dan minuman
terbaikmu!" bentak Kera Merah keras.
"Baik...,
baik, Tuan."
"Cepat!"
"Trak!
Si
Kera Merah menggebrak meja di depannya. Akibatnya cawan dan kendi di atas meja
itu terpental ke atas, lalu terbanting pecah di lantai. Semua orang yang berada
di dalam kedai itu terkejut, langsung menatap tidak senang ke arah dua
laki-laki tua itu. Namun. si Kera Kembar dari Karang Setan tidak
memperdulikannya. Sedangkan pelayan tadi bergegas meninggalkannya dengan sikap
ketakutan.
"Tamu
adalah raja. Tapi raja yang tidak sopan, tidak patut mendapat layanan
istimewa," terdengar suara bergumam.
Semua
orang di dalam kedai itu tersentak kaget. Suara gumaman itu demikian jelas
terdengar seolah-olah datang dari segala sudut ruangan kedai ini. Lebih-lebih
lagi si Kera Kembar dari Karang Setan. Mereka begitu tersentak kaget, karena
suara gumaman bertenaga dalam itu jelas ditujukan kepadanya.
"Kakang
Kera Merah! Rupanya di kedai ini ada juga tikus busuk yang mengganggu selera
makan kita," kata si Kera Biru setengah bergumam. Namun suaranya terdengar
menggema, karena disalurkan melalui pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Menyadari
suasana yang semakin tidak menguntungkan, beberapa orang pengunjung kedai mulai
meninggalkan meja mereka. Sedangkan para pelayan kedai itu, menyembunyikan diri
di balik dinding yang memisahkan ruangan makan itu dengan bagian belakang. Satu
persatu pengunjung kedai meninggalkan tempatnya.
Kini
di dalam kedai itu tinggal si Kera Kembar dari Karang Setan, lalu seorang
perempuan lanjut usia berbaju kuning gading yang longgar, dan seorang pemuda
tampan mengenakan baju rompi putih dengan pedang di punggung.
Tidak
jauh dari pemuda tampan itu, ada tiga, orang lagi yang kelihatannya juga dari
kalangan rimba persilatan, terlihat seorang pemuda perlente yang mengenakan
baju dari bahan sutra halus dengan sulaman benang emas. Di sampingnya duduk
seorang wanita cantik mengenakan baju warna biru ketat, dengan rambut panjang
terikat menyampir di pundak.
"Hhh
... ! Aku tidak suka suasana seperti ini. Sebaiknya kita pergi saja,
Kakang," terdengar suara mengeluh.
Seorang
dari tiga orang yang duduk satu meja, bangkit berdiri, kemudian dua orang
lainnya ikut berdiri. Sejenak mereka menatap orang-orang yang masih duduk di
tempatnya masing-masing. Tanga banyak bicara lagi, ketiga orang itu melangkah
keluar setelah meninggalkan beberapa, keping uang logam di atas meja. Tidak
lama berselang, pasangan muda-mudi pun bangkit dan meninggalkan kedai ini.
"Tinggal
dua orang lagi, Kakang Kera Merah," gumam Kera Biru.
"Ya.
Dan sepertinya suara perempuan," sahut Kera Merah.
Setelah
berkata demikian, si Kera Merah langsung mengibaskan tangan kirinya ke arah
perempuan tua yang memakai baju kuning gading. Entah bagaimana awalnya,
tahu-tahu sebuah gelas dari batang bambu telah melayang cepat ke arah perempuan
tua itu.
Sat!
Tap!
Hanya
dengan mengangkat tangannya sedikit saja, gelas itu berhasil ditangkap
perempuan tua itu. Dia tersenyum dan melirik pada si Kera Kembar dari Karang
Setan, kemudian menenggak arak di dalam gelas itu.
"Terima
kasih," ucapnya pelan. "Kalau boleh, aku minta lagi. Hih!"
Gelas
di tangannya langsung melesat begitu tangannya berkibas ringan. Gelas itu
meluncur deras ke arah si Kera Merah. Tentu saja si Kera Kembar dari Karang
Setan itu terkejut. Kera Merah buru-buru mengangkat tangannya, dan menangkap
gelas itu. Namun tanpa diduga sama sekali, tubuhnya terdorong keras ke belakang
hingga jatuh terguling dari kursi yang didudukinya.
"Setan...!"
umpat Kera Merah seraya melompat bangkit.
Suasana
di dalam kedai itu semakin terasa panas. Si Kera Kembar dari Karang Setan
segera berdiri tegak berdampingan. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke
arah perempuan tua berbaju kuning gading itu. Sementara pemuda berbaju rompi
putih, masih tetap duduk sambil menikmati araknya, seolah-olah tidak peduli
dengan keadaan sekelilingnya.
"Perempuan
busuk! Siapa kau?" bentak Kera Merah keras.
"Kau
bertanya padaku, Kisanak?" perempuan tua itu balik bertanya. Nada suaranya
kalem.
"Keparat!
Kau tahu, sedang berhadapan dengan siapa, he?!" si Kera Merah semakin
berang.
"Aku
tahu, kalian adalah monyet-monyet tua yang hampir mampus," sahut perempuan
tua berbaju kuning gading itu, suaranya tetap tenang.
"Bangsat...!
Hiyaaa...!"
Si
Kera Merah tidak dapat lagi membendung amarahnya. Dengan cepat dia melompat
sambil mengirimkan dua pukulan bertenaga dalam tinggi ke arah perempuan tua
itu. Namun dengan manis sekali, perempuan tua berbaju kuning gading
menggerakkan tubuhnya menghindari dua pukulan beruntun itu. Dia tetap duduk di
kursinya. Dan tanpa diduga, sama sekali, tangan kanannya menyodok cepat ke
perut si Kera Merah.
"Hugh!"
Kera Merah melenguh pendek.
Dan
selagi tubuhnya sedikit membungkuk, tangan kiri perempuan tua itu melayang
menghantam wajah si Kera Merah. Seketika itu juga si Kera Merah terdongak, lalu
terpental ke belakang beberapa tombak jauhnya. Sebuah meja langsung hancur
berantakan tertimpa tubuhnya.
"Perempuan
keparat! Sebutkan namamu, sebelum kukirim ke neraka!" bentak si Kera Biru.
"Hi
hi hi...! Kalian tahu ini?" perempuan tua itu mengeluarkan sekuntum bunga
melati dari balik lipatan bajunya.
"Dewi
Melati...!" si Kera Kembar dari Karang Setan itu terkejut melihat sekuntum
bunga di tangan perempuan tua itu.
"Sebaiknya
enyah dari sini, sebelum aku bertindak lebih jauh!" kata Dewi Melati
ketus.
Kedua
laki-laki tua itu saling berpandangan sejenak, lalu tanpa berkata-kata lagi,
mereka bergegas melangkah keluar dari kedai ini. Sedangkan Dewi Melati segera
mengalihkan pandangannya pada pemuda tampan yang duduk tidak jauh darinya.
"Kau
tidak pergi, Anak Muda?" tanya Dewi Melati berubah lembut suaranya.
"Makanku
belum selesai," jawab pemuda itu tanpa mengangkat wajahnya.
"Aku
sedang menunggu seseorang di sini. Jika tidak keberatan, aku tidak ingin ada
seorang pun di kedai ini," kata Dewi Melati.
Suara
perempuan tua itu terdengar lembut, namun nadanya jelas tidak menghendaki
kehadiran pemuda itu di kedai ini. Namun pemuda berbaju rompi putih itu tetap
saja duduk menikmati hidangannya, sama sekali tidak mempedulikan pengusiran
secara halus itu.
"Anak
Muda, kau bisa mendengar kata-kataku, bukan?" nada suara Dewi Melati
terdengar ketus tidak sabaran.
"Dengar,"
sahut pemuda itu singkat dan tenang. "Mengapa tidak segera angkat kaki
dari sini?"
"Maaf,
aku juga sedang menunggu seseorang di sini."
"Anak
Muda! Jangan menunggu kesabaranku habis!" bentak Dewi Melati mulai berang.
"Semua
orang bisa sabar, juga bisa berang. Maaf, aku tidak ingin selera makanku
terganggu," kata pemuda itu tetap tenang suaranya.
"Keparat!
Kau tidak memandangku, heh?!" Dewi Melati semakin berang.
"Kita
sama-sama membutuhkan kedai ini. Kau menikmati makanmu sambil menunggu
seseorang, dan aku pun begitu. Kenapa mesti mengusik satu sama lainnya? Aku
tidak merasa terganggu meskipun kau ada di sini," kata pemuda itu sambil
mengangkat kepalanya. Pandangannya langsung tertuju pada Dewi Melati.
"Kau
hanya beralasan saja, Anak Muda!" dengus Dewi Melati.
"Sama
sekali tidak, kalau benar desa ini bernama Desa Palang Sewu," sahut pemuda
itu tetap tenang.
Dewi
Melati mengernyitkan alisnya. Kata-kata pemuda tampan berbaju rompi putih itu
demikian tenang, dan nada suaranya juga tidak main-main. Perempuan tua itu
memperhatikan dalam-dalam wajah pemuda itu. Pandangannya terpaku pada gagang
pedang yang menonjol keluar dari balik punggung pemuda di, depannya.
"Siapa
kau, Anak Muda?" tanya Dewi Melati tanpa berkedip memandang pedang di
punggung pemuda itu.
"Untuk
apa kau tahu namaku?" pemuda itu balik bertanya.
"Kau
angkuh juga rupanya, Anak Muda. Baiklah, Mungkin dengan cara lain aku bisa
mengetahui siapa dirimu, dan sekaligus mengusirmu dari sini," kata Dewi
Melati dingin.
Setelah
berkata demikian, Dewi Melati menjentikkan ujung jarinya yang menjepit sekuntum
bunga melati. Bunga itu meluncur deras ke arah pemuda berbaju rompi putih itu.
Hanya sedikit saja memiringkan tubuh, dan mengangkat tangan kirinya, bunga
melati itu berhasil dijepit dengan dua jari tangan pemuda itu.
Namun
belum juga pemuda itu sempat menarik kembali tubuhnya, Dewi Melati sudah
melontarkan pukulan jarak jauh yang mengandung kekuatan tenaga dalam sangat
tinggi. Mau tidak mau pemuda itu melentingkan tubuhnya ke udara, lalu berputar
dua kali sebelum kakinya dengan manis hinggap di atas meja. Dan seketika itu
juga, tangan kirinya mengibas melontarkan bunga melati yang berhasil
ditangkapnya dengan dua jari tadi.
"Hup!
Dewi
Melati melompat ke samping, seraya tangannya menjulur menangkap bunganya
sendiri. Secepat kilat dia melesat menerjang pemuda itu. Dewi Melati langsung
menyerang dengan jurus-jurus sangat dahsyat dan berbahaya. Pemuda itu
menghadapinya de-ngan jurus-jurus dahsyatnya pula. Seluruh isi kedai itu
seketika porak-poranda terlanda dua tokoh rimba persilatan yang bertarung
dahsyat.
"Cukup
... !" seru Dewi Melati sambil melesat ke belakang.
"Kenapa
berhenti?" dengus pemuda itu.
"Aku
tahu siapa dirimu, Anak Muda. Kutunggu kau di Puncak Gunung Palang Sewu."
Dewi
Melati segera melesat cepat meninggalkan kedai itu. Sedangkan pemuda itu hanya
bengong tidak mengerti. Sementara bayangan tubuh Dewi Melati sudah lenyap,
tidak terlihat lagi. Lesatannya bagaikan kilat, pertanda memiliki kepandaian
yang tidak rendah tingkatannya.
Pemuda
tampan berbaju rompi putih itu melemparkan sekantung uang, kemudian segera
melesat pergi. Para pelayan dan pemilik kedai bergegas keluar dari
persembunyiannya. Mereka hanya bisa bengong melihat keadaan kedai yang
berantakan, seperti baru saja diamuk gajah liar.
***
Puncak
Gunung Palang Sewu tampak indah pada senja hari ini. Matahari yang hampir
tenggelam, memantulkan cahayanya yang merah jingga. Namun di balik semua
keindahan itu, tersimpan sejuta misteri yang tak pernah terungkapkan.
Suasana
yang tersaput tirai misteri itu terasa sekali bagi seorang pemuda berbaju rompi
putih yang baru tiba di Puncak Gunung Palang Sewu itu. Dia berdiri tegak
memandang ke arah matahari terbenam. Kesunyian begitu mencekam, bahkan sedikit
pun tidak terdengar suara binatang. Hanya desiran angin senja saja yang terasa
dingin menyapu kulit.
"Kau
datang juga, Pendekar Rajawali Sakti...!"
"Heh!"
pemuda berbaju rompi putih itu terkejut, langsung dibalikkan tubuhnya.
Seorang
perempuan tua berbaju kuning gading tahu-tahu sudah berdiri di bawah pohon
rindang, tidak jauh darinya. Pemuda itu tahu, kalau perempuan tua itu adalah
Dewi Melati yang dijumpainya di kedai siang tadi.
"Dari
mana kau tahu namaku?" tanya pemuda berbaju rompi putih itu agak heran.
"Mudah
sekali mengenalimu, Pendekar Rajawali Sakti. Dari pedangmu yang sudah kuduga
sebelumnya. Dan aku bertambah yakin setelah kau mengeluarkan dua dari rangkaian
lima jurus 'Rajawali Sakti'," sahut Dewi Melati.
"Hm...,
kau sudah tahu siapa diriku. Lalu, apa maksudmu mengundangku ke sini?"
tanya pemuda tampan itu yang memang tidak lain dari Rangga, atau Pendekar
Rajawali Sakti.
"Kau
bisa paham kata-kataku di kedai tadi?" Dewi Melati malah balik bertanya.
"Aku
tidak percaya kau yang mengundangku ke Desa Palang Sewu," sahut Rangga.
"Kau
terima undanganku?"
"Ya.
Tapi sayang sekali, orang yang kau kirim tewas."
"Kenapa?"
"Aku
tidak tahu, apa sebabnya. Tapi yang jelas dia bertarung dengan seorang wanita.
Dia terluka parah, tapi sempat memberikan undangan yang kau titipkan untukku.
Maaf. Aku terlambat menolongnya, sehingga nyawanya tidak bisa tertolong
lagi," jelas Rangga.
"Ah,
sudahlah. Yang penting kau sudah memenuhi undanganku, Pendekar...
"Rangga.
Panggil saja aku Rangga," selak Rangga cepat.
"Baiklah.
Namamu sangat bagus, Rangga."
"Terima
kasih," ucap Rangga tersenyum. "Tapi jelaskanlah maksud undanganmu
itu, Nini Dewi," kata Rangga mengingatkan pada pokok persoalannya.
"Rupanya
kau termasuk orang yang tidak bisa menahan sabar juga, Rangga," kata Dewi
Melati seraya duduk bersila di bawah pohon itu.
"Tergantung,"
sahut Rangga sambil ikut duduk di depan perempuan tua itu.
"Masih
ada satu orang lagi yang akan datang ke sini," kata Dewi Melati kalem.
"Siapa?"
tanya Rangga.
"Ki
Petel, Kepala Desa Palang Sewu. Dia bukan orang lain bagiku. Dia adik
seperguruanku. Kau tidak perlu menaruh curiga padanya, karena Ki Petel punya
tujuan yang sama denganku," sahut Dewi Melati menjelaskan.
"Aku
selalu curiga pada setiap orang. Maaf, juga padamu," sahut Rangga.
"Seorang
pendekar besar dan ternama memang selalu mempunyai sikap seperti itu. Tidak
heran lagi kalau kau mencurigaiku. Tapi itu tidak jadi masalah bagiku,"
balas Dewi Melati memaklumi.
Rangga
tidak bicara lagi. Dari kata-kata yang diucapkan Dewi Melati, Rangga sudah bisa
menilai kalau perempuan tua ini orang yang arif dan bijaksana. Tentunya dia
sudah berpengalaman dalam dunia persilatan, sehingga bisa memaklumi segala
tindak dan sikap orang-orang rimba persilatan.
Pada
saat mereka tengah terdiam, terdengar suara langkah kaki menuju ke arah mereka.
Begitu kepala mereka menoleh, tampak seorang laki-laki berusia di atas lima
puluh tahun melangkah keluar dari semak. Langkahnya bergegas, dan segera
menghampiri dua orang yang tengah duduk di bawah pohon. Dia segera duduk di
samping Dewi Melati. Keringat masih terlihat menitik di wajah dan lehernya.
"Kau
datang terlambat, Ki Petel," kata Dewi Melati.
"Maaf,
Nini Dewi. Ada sedikit urusan yang harus kuselesaikan. Kedai Paman Japur
diobrak-abrik orang," sahut Ki Petel beralasan.
Dewi
Melati hanya tersenyum saja, dan matanya sempat melirik pada Pendekar Rajawali
Sakti.
"Nini
Dewi. Apakah dia yang kau undang?" tanya Ki Petel seraya menatap pada
Rangga.
"Benar,"
sahut Dewi Melati.
"Sungguh
tidak kusangka kalau orangnya masih begini muda. Maaf, Tuan. Aku tidak sempat
memberi penghormatan padamu," kata Ki Petel.
"Ah,
sudahlah. Tidak perlu sungkan begitu", sambut Rangga merendah.
"Bagaimana?
Apakah sudah kau ceritakan pada Tuan Pendekar ini, Nini Dewi?" tanya Ki Petel.
"Belum," sahut Dewi Melati.
"Katakanlah,
kalau tidak menunggu orang lain lagi," kata Rangga cepat-cepat.
"Tidak,
hanya kita bertiga," sahut Dewi Melati.
"Hm...,"
Rangga bergumam tidak jelas.
***
TIGA
"Sepuluh
tahun yang lalu Desa Palang Sewu kedatangan seorang tokoh rimba persilatan yang
sangat kejam dan telengas. Dia bernama Nyai Dadap... kata Dewi Melati memulai
pada pokok persoalannya.
"Hm...,"
Rangga bergumam pelan dan tidak jelas. Pandangannya tidak berkedip menatap
lurus pada wanita tua di depannya.
"Tidak
sedikit para pendekar dan tokoh-tokoh ternama Desa Palang Sewu yang tewas di
tangannya. Tapi kami semua tidak menyerah begitu saja. Kami bersatu dan
menghadapi Nyai Dadap hingga ia tewas. di dasar jurang," sambung Dewi
Melati.
"Lalu,
apa hubungannya dengan undanganmu?" tanya Rangga.
"Belum
lama ini dua orang peronda malam ditemukan tewas dengan leher koyak hampir
putus. Padahal kejadian seperti itu tidak pernah ada setelah kematian Nyai
Dadap. Aku dan Ki Petel mengambil kesimpulan yang sama, tapi seluruh tetua desa
tidak ada yang mendukung," jelas Dewi Melati.
"Kesalahan
kecil yang berakibat fatal... gumam Ki Petel yang sejak tadi diam saja.
"Maksudmu,
Ki?" Rangga tidak mengerti.
"Kami
semua terlalu yakin kalau Nyai Dadap tewas di dasar jurang, sehingga tidak lagi
memeriksa mayatnya, ada atau tidak di sana," sahut Ki Petel.
"Hm...,
jadi kalian menduga kalau Nyai Dadap masih hidup dan kini membalas
kekalahannya, begitu?" tebak Rangga.
"Benar!"
sahut Dewi Melati cepat.
"Tidakkah
itu terlalu dini?"
"Aku
dan Ki Petel tidak mungkin menyimpulkan begitu kalau tidak melihat luka di
leher dua orang peronda yang malang itu. Lehernya koyak hampir putus, terbabat
rapi dan sempurna. Juga pada tepian lukanya terdapat noda hitam kehijauan yang
mirip tebasan senjata milik Nyai Dadap," jelas Dewi Melati.
"Maksudmu,
senjata itu beracun?" Rangga ingin menegaskan.
"Benar,"
sahut Ki Petel.
"Hm...,
terlalu banyak senjata beracun digunakan tokoh rimba persilatan. Bahkan
rata-rata mempunyai ciri yang hampir sama pada setiap korbannya, meskipun racun
yang digunakan berbeda. Tapi dalam hal ini, semua racun sebenarnya sama,
meskipun berbeda jenis. Aku sendiri belum yakin benar dengan kesimpulan
itu," kata Rangga membeberkan pengetahuannya tanpa maksud menggurui.
"Aku
percaya, kau memang ahli dan kebal dari segala jenis racun, Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi aku bisa membedakan akibat pedang beracun milik Nyai Dadap dengan
orang lain," bantah Ki Petel.
"Bukannya
aku sangsi, tapi hanya tidak ingin mengambil kesimpulan atau memutuskan
cepat-cepat sebelum mendapatkan bukti yang cukup," kata Rangga tegas.
Ki
Petel ingin membantah lagi, tapi keburu dicegah oleh Dewi Melati. Sedangkan
Pendekar Rajawali Sakti sudah bangkit berdiri. Dia menjura memberi hormat,
kemudian melangkah mundur dua tindak.
"Aku
senang dengan pertemuan ini. Tapi maaf, aku tidak bisa lama-lama," kata
Rangga sopan.
Dewi
Melati membiarkan saja Pendekar Rajawali Sakti itu pergi. Sedangkan Ki Petel
ingin mencegah, tapi Dewi Melati mencekal tangannya. Mereka juga berdiri dan
memandang kepergian Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh!
Angkuh...!" dengus Ki Petel.
"Jangan
salah duga, Ki Petel. Aku tahu, maksudnya baik, dan tidak ingin menyinggung
perasaan kita," Dewi Melati menyabarkan.
"Aku
sudah bilang, percuma saja mengundang dia! Tidak ada gunanya...!" dengus
Ki Petel masih bersungut-sungut.
"Jangan
berkata begitu, aku yakin Pendekar Rajawali Sakti punya cara sendiri."
"Terserah
kau sajalah."
***
Malam
itu Desa Palang Sewu kelihatan tidak seperti biasanya. Di tempat-tempat yang
cukup gelap dan di jalan-jalan terlihat beberapa orang bersenjata membentuk
kelompok dengan sikap berjaga-jaga. Mereka adalah murid-murid Padepokan Soka
Palang Sewu yang diketuai oleh Pranata, dan rata-rata masih berusia muda.
Malam
itu Pranata juga terlihat bersama beberapa orang di depan rumah Kepala Desa
Palang Sewu. Mereka adalah Ki Ageng Sela, Wandara, dan Ki Petel. Tidak jauh
dari mereka terlihat Paman Waku dan Nyi Senah bersama beberapa orang murid
Pranata. Pembicaraan yang terdengar tidak jauh berkisar kejadian mengerikan
malam itu.
"Aku
lihat saudara seperguruanmu ada di sini siang tadi," kata Ki Ageng Sela
menatap pada Ki Petel.
"Benar,"
sahut Ki Petel.
"Ke
mana dia sekarang?" tanya Ki Ageng Sela.
"Ada,
di rumah anaknya," sahut Ki Petel pelan. Nada suaranya terdengar kurang
bergairah.
"Kau
sudah menemuinya Ki Petel?" tanya Ki Ageng Sela lagi.
"Sudah.
"Dia
tahu keadaan di sini?"
"Jangan
menaruh kecurigaan, Ki Ageng!" dengus Ki Petel. Tatapan matanya tajam,
langsung ke bola mata Ki Ageng Sela. Bisa dirasakan adanya nada tidak suka pada
suara laki-laki tua yang sangat disegani itu.
"Aku
hanya bertanya saja," kata Ki Ageng Sela semakin jelas kesinisannya.
"Nyai
Dewi tidak ada urusan dengan keadaan di sini!" ketus nada suara Ki Petel.
"Bagus,
memang itu yang kuharapkan."
"Ki
Ageng. Kau boleh tidak suka pada Nyai Dewi Melati. Tapi kuminta kau tidak
membuat keruh suasana yang memang sudah kelam ini. Kehadiran saudara
seperguruanku tidak ada hubungannya dengan kejadian itu. Dia hanya mengunjungi
anaknya, lain, tidak!" kata Ki Petel tegas dan tajam suaranya.
"Ah,
sudahlah. Jangan diperpanjang lagi, " Pranata menengahi.
Ki
Petel mendengus keras, kemudian berbalik dan melangkah pergi. Ki Ageng Sela
memandanginya tidak berkedip. Sampai tubuh Ki Petel lenyap di dalam rumahnya,
laki-laki tua itu masih memandanginya tidak berkedip. Sedangkan Paman Waku dan
Pranata yang berada tidak begitu jauh dari tempat itu, hanya memandangi tidak
mengerti.
"Ada
apa?" tanya Nyi Senah begitu menghampiri.
"Tidak
ada apa-apa," sahut Pranata.
"Kudengar
nama Dewi Melati disebut-sebut," sambung Paman Waku.
Pranata
hanya mengangkat bahunya, kemudian melangkah pergi. Sedangkan Wandara mengajak
Ki Ageng Sela untuk pergi dari tempat itu. Tinggal Paman Waku dan Nyi Senah
saling berpandangan tidak mengerti.
Sementara
itu Ki Ageng Sela dan Wandara berjalan menyusuri jalan utama Desa Palang Sewu.
Sepanjang jalan yang dilalui hanya kesunyian yang didapatkan. Tak ada seorang
penduduk pun yang berada di luar rumah. Beberapa orang bersenjata masih
terlihat bejaga-jaga di tempat-tempat yang telah ditentukan.
"Keadaan
makin bertambah buruk...!" gumam Ki Ageng Sela seperti bicara untuk
dirinya sendiri.
"Apa
maksudmu, Ki?" tanya Wandara.
"Aku
yakin, kedatangan Dewi Melati punya maksud tertentu. Aku tahu betul siapa
wanita itu," sahut Ki Ageng Sela.
"Kau
mencurigai kalau Dewi Melati yang melakukan semua itu?" tebak Wandara.
"Mungkin,"
sahut Ki Ageng Sela.
"Itu
berarti kau juga mencurigai Ki Petel."
Ki
Ageng Sela tidak menyahut, tapi terus saja melangkah pelahan-lahan. Sedangkan
Wandara menghentikan langkahnya. Dia tidak mengerti, kenapa Ki Ageng Sela punya
pikiran seperti itu. Tidak sedikit pun terlintas di benaknya untuk mencurigai
orang-orang yang dikenalnya baik. Tapi Wandara tahu siapa Ki Ageng Sela. Sekali
orang tua itu menaruh kecurigaan pada seseorang, sudah pasti punya alasan
tersendiri yang sangat kuat.
Wandara
kembali mengayunkan langkahnya. Tapi baru saja kakinya terayun beberapa
langkah, mendadak matanya melihat sebuah bayangan berkelebat ke arah Ki Ageng
Sela.
"Ki
Ageng, awas...!"
"Uts!"
Ki
Ageng Sela melompat ke samping begitu menoleh. Bayangan itu berkelebat cepat
hampir menyambarnya. Dan belum lagi Ki Ageng sempat menyadari apa, yang baru
terjadi, bayangan itu sudah berbalik cepat menyerangnya kembali. Laki-laki tua
itu sempat membanting dirinya ke tanah dan bergulingan beberapa kali.
Secepat
kilat Ki Ageng Sela bangkit berdiri, dan langsung bersiap-siap. Namun dia jadi
terkejut. Bayangan itu mendadak saja berubah haluan, langsung menyerang Wandara
yang masih diliputi keterkejutan.
"Hup!
Wandara
melompat mundur sambil mengangkat tangannya ke depan. Dan bayangan itu langsung
menerjangnya dengan kecepatan bagai kilat.
"Akh!"
Wandara memekik tertahan.
Seketika
itu juga tubuhnya terlempar beberapa batang tombak ke belakang, lalu dengan keras,
punggungnya menghajar sebuah pohon besar hingga tumbang. Bayangan itu kembali
berkelebat cepat ke arah Wandara yang tengah berusaha bangkit berdiri. Pada
saat yang sama, Ki Ageng Sela melentingkan tubuhnya. Segera dia melesat cepat
memotong arah sambil mengirimkan satu pukulan bertenaga dalam tinggi ke arah
bayangan itu.
"Hyaaat..."
Bug!
Bayangan
itu terlontar jauh begitu pukulan Ki Ageng Sela menghajarnya. Namun dengan
kecepatan yang sukar diikuti oleh mata, bayangan itu cepat melesat pergi. Ki
Ageng Sela mengurungkan niatnya untuk mengejar, begitu mendengar suara rintihan
lirih. Bergegas dihampiri Wandara yang tengah duduk bersila dekat pohon yang
tumbang terhantam benturan tubuhnya. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah
kental berwarna agak kehitaman.
"Wandara...,"
Ki Ageng Sela berlutut di depan Wandara.
"Ugh,
dadaku...." keluh Wandara sambil mendekap dadanya.
"Kau
terluka dalam, Wandara," kata Ki Ageng Sela setelah memeriksa dada
Wandara.
"Uhk..."
Wandara
memuntahkan darah kental kehitaman. Ki Ageng Sela terperanjat, dan langsung
melompat bangkit begitu melihat ada warn kehijauan dalam muntahan darah itu.
Matanya menatap tidak berkedip pada gumpalan darah yang dimuntahkan dari mulut
Wandara. Kemudian pandangannya beralih ke wajah Wandara. Terlihat wajah itu
berubah pucat bagai mayat. Keringat mengucur deras di wajah dan lehernya.
"Pukulan
Racun Hijau...!" desis Ki Ageng Sela sedikit tercekat suaranya.
Ki
Ageng Sela benar-benar terkejut melihat muntahan darah dari mulut Wandara yang
berwarna kehitaman dengan bintik-bintik hijau. Dia tahu betul kalau itu akibat
'Pukulan Racun Hijau'. Sebuah ilmu pukulan yang hanya dimiliki oleh Nyai Dadap.
Tidak ada seorang pun yang mampu bertahan hidup terkena pukulan dahsyat itu.
"Akh
... !" Wandara memekik tertahan.
Seketika
itu juga tubuh Wandara ambruk dan menggelepar di tanah. Dari mulutnya
mengeluarkan busa berwarna kehijauan. Kedua bola matanya membeliak lebar. Sementara
Ki Ageng Sela hanya memperhatikan, tidak mampu berbuat apa-apa. Di saat itu
beberapa orang berdatangan. Tampak Pranata, Nyi Senah, Ki Petel, dan Paman Waku
bersama sekitar sepuluh orang lainnya tergopoh-gopoh.
Mereka
semua terkejut melihat Wandara menggelepar dengan mulut mengeluarkan busa
kehijauan. Tangannya mendekap dada erat-erat. Sesaat kemudian, tubuhnya
mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Semua orang yang berada di
tempat itu terpaku.
"Ki
Ageng, apa, yang terjadi?" tanya Pranata memecah kekakuan.
"Aku
tidak tahu, kejadiannya begitu cepat," sahut Ki Ageng Sela pelan.
Sementara
itu Ki Petel dan Paman Waku memeriksa Wandara yang sudah menghembuskan napas
terakhir. Kedua orang itu saling melempar pandang, kemudian bangkit berdiri
hampir bersamaan. Mereka sama-sama memandang Ki Ageng Sela yang tampak pucat
wajahnya.
"Wandara
terkena 'Pukulan Racun Hijau'," kata Paman Waku pelan.
"Apa
... ?!" Pranata dan Nyi Senah terperanjat kaget.
Untuk
sesaat lamanya tidak ada yang bicara. Mereka dicekam perasaan kaget dan
ketidakpercayaan yang amat sangat. Hanya Ki Petel yang kelihatan begitu,
tenang. Memang sudah diduga sejak semula kalau Wandara terkena 'Pukulan Racun
Hijau'. Dan semua orang yang berada di sini tahu, siapa pemilik jenis pukulan
yang amat berbahaya dan dahsyat itu.
Pranata
memerintahkan murid-muridnya untuk membawa mayat Wandara, kemudian menghampiri
Ki Petel. Ketua Padepokan Soka Palang Sewu itu mengajak Ki Petel menjauh dari
tempat itu. Sementara Nyi Senah dan Paman Waku masih berbicara dengan Ki Ageng
Sela.
"Rasanya
sukar dipercaya kalau Nyai Dadap masih hidup," kata Pranata pelan,
seolah-olah bicara pada dirinya sendiri.
"Kau
percaya dengan dugaanku, Pranata?" nada suara Ki Petel terdengar sinis.
"Bagaimana
kau bisa begitu yakin?" tanya Pranata.
"Luka
pada mayat kedua peronda yang membuatku begitu yakin," sahut Ki Petel
mantap.
"Aku
tidak tahu lagi harus berkata apa, kalau memang benar Nyai Dadap masih hidup.
Bahkan sekarang muncul untuk membalas dendam," lenguh Pranata.
"Hal
ini tidak akan terjadi kalau kita tidak lengah," sahut Ki Petel.
"Ya.
Kita terlalu yakin dengan kemampuan diri sendiri waktu itu," desah Pranata
mulai goyah pendiriannya.
Mereka
terdiam saat Nyi Senah, Paman Waku, dan Ki Ageng Sela menghampiri. Terlihat
jelas kalau wajah mereka dirundung kegelisahan dan kecemasan. Agak lama juga
mereka saling berdiam diri, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Sementara
malam terus merayap semakin tinggi. Keheningan semakin mencekam menyelimuti
seluruh permukaan bumi Desa Palang Sewu. Di kejauhan sana, terlihat Gunung
Palang Sewu yang gelap terselimut kabut. Kematian Wandara membuat seluruh tetua
desa dirundung kecemasan dan kekhawatiran yang amat sangat.
Pagi-pagi
sekali Ki Petel sudah memacu kudanya mendaki Lereng Gunung Palang Sewu. Debu
mengepul tersepak kaki kuda yang dipacu cepat, berbaur jadi satu dengan kabut
yang masih menyelimuti permukaan lereng gunung itu.
"Hooop...!"
Ki
Petel menarik tali kekang kudanya, maka kuda putih berbelang coklat tua itu
meringkik keras sambil berhenti berpacu. Dengan satu gerakan manis, kepala desa
itu melompat turun dari punggung kudanya. Tidak jauh di depan, seorang wanita
berparas cantik berdiri mengepit sebuah keranjang dari anyaman bambu.
Ki
Petel melangkah menghampiri wanita itu. Dibiarkan saja kudanya yang kini
merumput. Kepala desa itu berhenti tidak jauh di depan wanita cantik yang
mengenakan baju hijau agak ketat itu. Sebagian wajahnya hampir tertutup kain
kerudung berwarna hijau pula. Namun tetap saja tidak sanggup menyembunyikan
parasnya yang cantik menawan.
"Dari
sendang, Nyai Katila?" tegur Ki Petel. "Iya," sahut wanita itu
yang dipanggil Nyai Katila. Suaranya terdengar pelan dan lembut.
"Pagi-pagi
begini kau sudah ke sendang. Apa tidak takut berjalan sendirian?"
"Aku
selalu sendiri, Ki. Lagi pula tidak ada orang yang bermaksud buruk padaku di
sini."
"Aku
yakin, kau mengetahui keadaan Desa Palang Sewu"
"Betul,
Ki..."
"Untuk
keselamatanmu sendiri, sebaiknya jangan bepergian seorang diri," Ki Petel
memperingatkan.
"Terima
kasih."
"Hm...,
cepatlah pulang. Atau kuantar saja, bagaimana?"
"Tidak
usah, Ki. Terima kasih."
Katila
buru-buru melangkah pergi. Sementara Ki Petel memandanginya. Kepala desa itu
masih tetap berdiri memandang kepergian wanita cantik itu, meskipun telah jauh,
kemudian baru melangkah menghampiri kudanya. Namun tiba-tiba dia tidak jadi
naik ke punggung kudanya. Matanya menatap lurus ke arah datangnya Nyai Katila
tadi, seperti teringat sesuatu.
"Hm...,
bukankah itu arah ke Karang Setan?" gumam Ki Petel seperti baru menyadari.
"Heh! Kenapa aku jadi seperti bermimpi...?!"
Ki
Petel buru-buru melompat naik ke punggung kudanya. Diputarkan arah kudanya dan
dipacunya cepat mengejar Nyai Katila. Ki Petel mengurungkan niatnya menemui
Dewi Melati di Puncak Gunung Palang Sewu. Dia baru sadar kalau wanita cantik
itu tadi datang dari arah Karang Setan yang berada di sebelah Timur Lereng
Gunung Palang Sewu. Daerah yang sa-ngat angker dan tidak seorang pun berani
mendatanginya, dan kini dikuasai dua orang kembar yang sangat kejam dengan
julukan Kera Kembar dari Karang Setan.
Kening
laki-laki tua itu jadi berkerut, karena tidak lagi menjumpai Nyai Katila.
Padahal dia hampir memasuki perbatasan desanya dengan hutan Lereng Gunung
Palang Sewu! Dan belum lama Katila berlalu, sedangkan Ki Petel memacu kudanya
begitu cepat menyusulnya.
"Huh!
Tidak mungkin kalau aku terlewat!" dengus Ki Petel sambil menghentikan
lari kudanya.
Ki
Petel mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak ada seorang pun terlihat di
daerah perbatasan ini. Hanya kesunyian yang mengelilinginya. Tampak rumah-rumah
penduduk masih terlihat sunyi, belum ada seorang pun yang keluar dari rumahnya.
Ini memang masih terlalu, pagi benar, matahari belum lagi menampakkan dirinya
dengan penuh. Hanya cahaya merah jingga saja yang memancar dari balik gunung.
Perlahan-lahan
Ki Petel kembali menjalankan kudanya. Bola matanya terus berputar memandangi
sekitarnya. Tapi sebentar kemudian, dihentikan kembali langkah kaki kudanya.
Pandangan matanya lurus ke depan, menatap sebuah pondok kecil yang berdiri agak
jauh dari rumah-rumah penduduk lainnya. Pondok itu kelihatan sunyi, seperti
tidak berpenghuni.
"Ada
yang bisa aku bantu?" tiba-tiba terdengar teguran halus dari arah
belakang.
Tapi
belum juga Ki Petel bisa melihat orang yang menegurnya dengan halus, tiba-tiba
saja sebuah bayangan hijau berkelebat cepat menyambarnya. Kepala desa itu tidak
mungkin lagi berkelit. Sambaran bayangan hijau itu demikian cepat, dan
tahu-tahu tubuh Ki Petel sudah terlempar keras dari punggung kudanya.
Brak!
Tubuh
Ki Petel menghantam sebuah pohon yang cukup besar, sehingga pohon itu hancur
berkeping-keping. Dan belum lagi Ki Petel dapat bangkit berdiri bayangan hijau
itu telah menyerang kembali dengan kecepatan luar biasa. Buru-buru Ki Petel
menjatuhkan tubuhnya dan bergulingan beberapa kali di tanah. Tanpa menghiraukan
rasa sakit pada seluruh tubuhnya, laki-laki tua itu bergegas melompat bangkit.
"Siapa
kau?" bentak Ki Petel keras.
Tidak
ada sahutan sama sekali. Namun Ki Petel jadi bergidik ketika orang yang seluruh
tubuhnya mengenakan pakaian hijau dengan kepala dan wajahnya terselubung kain
hijau itu mengeluarkan sebuah pedang yang amat dikenalnya. Pedang itu
seluruhnya berwarna hijau, berbentuk menyerupai seekor ular yang meliuk-liuk
membuat kelukan lima buah.
"Kau
pasti bukan Nyai Dadap! Katakan, siapa, dirimu sebenarnya?!" dengus Ki
Petel tidak lepas menatap orang itu tajam-tajam.
"Aku
senang kau masih mengenaliku, Ki Petel," kata orang itu dengan suara
halus, namun bernada ancaman.
"Tidak
mungkin...! Mustahil...!" Ki Petel jadi bergetar hatinya.
Memang
sudah diduga kalau Nyai Dadap masih hidup, dan sekarang muncul lagi untuk balas
dendam atas kekalahannya. Semula keyakinannya itu belum sepenuhnya mendasar di
dalam hati. Dan kini, setelah berhadapan dengan orang yang telah menggemparkan
desanya selama ini, keraguan dan kebimbangan yang bercampur dengan perasaan
kecemasan Mulai menggerogoti hatinya. Suara itu mirip sekali dengan suara Nyai
Dadap. Sedangkan pedang yang tergenggam di tangannya, adalah pedang beracun
milik Nyai Dadap yang terkenal dahsyat dan bernama Pedang Beracun Ular Hijau.
Hanya
yang menjadi keraguannya, Nyai Dadap tidak pernah muncul dalam pakaian berwarna
hijau. Terlebih lagi menggunakan selubung penutup kepala hingga wajahnya tidak
terlihat.
"Terimalah
kematianmu, keparat! Hiyaaa...!"
Ki
Petel tidak sempat lagi berpikir lebih jauh. Orang berbaju hijau itu sudah
menyerang kembali dengan gerakan yang sangat cepat. Pedang berbentuk ular
berwarna hijau itu berkelebatan cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh yang
mematikan. Ki Petel melayani, namun pikirannya masih diliputi berbagai macam
pertanyaan.
"Hiya!
Hiyaaa...!"
"Uts!"
Ki
Petel merundukkan kepalanya ketika pedang hijau itu mengibas ke arah kepalanya.
Namun tanpa diduga sama sekali, sebuah tendangan keras melayang dan mendarat
telak di perutnya. Ki Petel mengeluh pendek. Tubuhnya terbungkuk menahan rasa
mual pada perutnya. Dan belum lagi sempat mengontrol dirinya, satu pukulan
telak menghajar wajahnya hingga terdongak ke atas.
"Hiya...!"
Buk!
Satu
pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi mendarat telak di dada Ki Petel. Tak
pelak lagi, tubuh Kepala Desa Palang Sewu itu terjengkang ke belakang beberapa
tombak jauhnya. Kesempatan itu digunakan orang yang berbaju serba hijau untuk
melompat menyerang sambil berteriak keras melengking tinggi.
"'Yaaa...!"
"Mati
aku...!" lenguh Ki Petel tanpa daya.
Pedang
terhunus berbentuk ular dan berwarna, hijau itu meluruk deras ke arah dada Ki
Petel. Dan pada saat ujung pedang itu hampir menembus dada, mendadak sebuah
bayangan putih berkelebat cepat memapak serangan itu.
Trak!
"Akh!"
satu pekikan tertahan terdengar.
Ki
Petel yang sudah pasrah dengan mata terpejam, jadi terbengong. Ternyata ajal
yang sudah dinantinya tidak kunjung datang. Ki Petel semakin bertambah bengong,
karena, begitu matanya terbuka, terlihat seorang laki-laki gagah mengenakan
baju rompi putih sudah berdiri di depannya. Sedangkan orang berpakaian serba
hijau, berdiri tegak di depannya dengan senjata melintang di depan dada.
"Setan!
Berani kau mencampuri urusanku!" bentak orang berbaju serba hijau itu
geram.
"Seorang
ksatria tidak akan membunuh lawan yang sudah tidak berdaya," sambut pemuda
itu kalem.
"Phuih!
Kau juga harus mampus, keparat"
"Hm...."
"Hyaaat..."
***
EMPAT
Ki
Petel beringsut menjauh, tepat pada saat orang berbaju hijau yang hampir
membunuhnya menyerang pemuda berbaju rompi putih yang menolong menyelamatkan
nyawanya. Sebentar diatur jalan napasnya, Ialu disalurkan hawa murni ke seluruh
tubuhnya. Kini dia berdiri tegak di bawah pohon yang cukup rindang. Saat itu
matahari mulai menampakkan dirinya, namun keadaan di Desa Palang Sewu masih
terlihat sunyi.
Sementara
pertarungan terus berjalan semakin sengit. Tanpa disadari, pertarungan
berlangsung dengan jurus-jurus tingkat tinggi. Sekarang yang terlihat hanya dua
bayangan berkelebatan saling menyambar dan berkelit menghindar. Namun Ki Petel
masih dapat melihat jelas jalannya pertarungan itu. Kepala Desa Palang Sewu itu
semakin tercekat hatinya, karena orang berbaju serba hijau itu menggunakan
jurus-jurus yang amat dikenalnya, yang hanya dimiliki Nyai Dadap! Du-lu Nyai
Dadap hampir menghancurkan desa-desa di Kaki Lereng Gunung Palang Sewu ini,
terutama Desa Palang Sewu yang hampir rata dengan tanah.
"Hup!"
Orang
berbaju serba hijau itu melompat mundur, keluar dari arena pertarungan.
Sedangkan pemuda gagah berbaju rompi putih, berdiri tegak dengan mata tajam
menatap ke depan.
"Kau
cukup tangguh, Anak Muda. Tapi itu bukan berarti kau menang," kata orang
berbaju hijau itu. dingin.
"
Hm.... pemuda gagah berbaju rompi putih itu hanya bergumam tidak jelas.
"Sayang,
waktuku tidak banyak."
Setelah
berkata demikian, orang berbaju hijau itu memasukkan pedang ke dalam sarungnya
di punggung. Dengan kecepatan bagai kilat, dia melesat pergi.
"Kita
akan bertemu lagi, Anak Muda!"
"Aku
tunggu!" balas pemuda berbaju rompi putih itu mantap.
Ki
Petel bergegas menghampiri setelah bayangan hijau lenyap dari pandangan.
Sedangkan pemuda gagah itu tetap berdiri tegap tanpa menoleh. Dia baru menarik
napas panjang setelah Ki Petel berada di depannya.
"Kau
hebat, Pendekar Rajawali Sakti," puji Ki Petel tulus. Tentu saja ia kenal,
karena pernah bertemu dan sempat berbicara dengan orang yang berada di depannya
ini.
"Kau
tidak apa-apa, Ki?" tanya Pendekar Rajawali Sakti seraya tersenyum.
"Tidak.
Terima kasih atas pertolonganmu," sahut Ki Petel.
"Siapa
orang itu?" tanya Rangga.
"Dia
yang kita bicarakan kemarin."
"Nyai
Dadap?"
"Entahlah,
aku sendiri pun sangsi. Nyai Dadap tidak pernah memakai baju warna hijau dan
menyelubungi wajahnya. Tapi jurus-jurus dan senjata yang digunakan memang
kepunyaan Nyai Dadap," sahut Ki Petel ragu-ragu.
Rangga
diam, tapi sedikit heran juga dengan sikap, Ki Petel yang begitu cepat berubah.
Semula laki-laki tua itu begitu yakin dengan pendiriannya, tapi kini malah
ragu-ragu. Tapi Rangga tidak menanyakannya. Dia bisa mengambil kesimpulan
sendiri akan sikap Ki Petel. Seseorang memang bisa cepat berubah, jika sudah
mengalaminya sendiri. Dan itu dialami oleh Ki Petel.
"Tuan
Pendekar..."
"Rangga.
Panggil saja aku. Rangga," potong Rangga cepat.
"Hhh...,
aku mau minta maaf atas sikapku tempo hari," kata Ki Petel yang pernah
menyangsikan dan menganggap lain pada Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Lupakan,"
sahut Rangga tersenyum maklum.
"Ternyata
pilihan Dewi Melati tidak meleset. Aku yakin, kau adalah orang yang tepat untuk
menghadapi orang misterius itu," ajar Ki Petel lagi.
Lagi-lagi
Rangga hanya tersenyum saja. Sudah terlalu Sering didengar pujian seperti ini.
Tapi, pujian itu tidak membuatnya jadi besar kepala atau berbangga hati.
Meskipun dia seorang tokoh yang amat disegani kawan maupun lawan, tapi sikapnya
tetap merendah dan tidak melambung karena pujian.
"Ki
Petel! Boleh aku tahu siapa Nyai Dadap itu?" tanya Rangga membelokkan
kembali pada pokok persoalannya.
"Nyai
Dadap seorang tokoh hitam yang sangat kejam," sahut Ki Petel.
"Kenapa
ingin menguasai Desa Palang Sewu?" tanya Rangga lagi.
"Sebenarnya
dia tidak bermaksud menguasai Desa Palang Sewu. Bukannya di sini saja dia
bersikap begitu, tapi desa-desa lain pun terbabat habis oleh polahnya yang
tidak punya belas kasihan."
"Aneh!
Seseorang bisa berbuat begitu pasti ada sebabnya," gumam Rangga pelan.
"Memang,"
sahut Ki Petel seraya melangkah menghampiri kudanya.
"Bisa
kau jelaskan?" pinta Rangga.
"Tentu
saja! Kau memang harus tahu, Rangga."
Rangga
melangkah di samping Ki Petel yang sudah berjalan sambil menuntun kudanya.
Laki-laki tua itu berjalan menyusuri jalan utama desa yang mulai ramai oleh
orang-orang yang baru keluar dari rumahnya. Para penduduk desa itu membungkuk
memberikan hormat pada Ki Petel.
"Akan
kujelaskan di rumahku, nanti," kata Ki Petel.
Rangga
hanya mengangkat bahunya saja. Sementara Desa Palang Sewu mulai terlihat hidup
kembali. Para penduduk sudah mulai keluar dari rumahnya masing-masing.
Kehidupan kembali berjalan seperti biasa, meskipun di wajah mereka masih
tersirat perasaan cemas dan ketakutan. Bahkan mereka mulai berbisik-bisik
tentang kejadian semalam yang mengambil korban Wandara, seorang tetua desa yang
disegani. Berita itu cepat tersebar dari mulut ke mulut. Berita itu datang dari
para murid Padepokan Soka Palang Sewu yang berasal dari desa itu. juga. Tidak
heran kalau setiap ada peristiwa selalu dapat tersebar luas di desa yang kecil
ini.
Rangga
mengangkat kepalanya ketika seorang gadis keluar dari dalam rumah membawa
sebuah baki berisi dua gelas minuman yang masih mengepulkan uap panas. Gadis
itu, tersenyum dan mengangguk sedikit. Diletakkan gelas-gelas minuman itu di
depan Rangga dan Ki Petel. Tanpa berkata-kata lagi, gadis itu berbalik, lalu
masuk kembali ke dalam rumahnya.
Pendekar
Rajawali Sakti itu kembali melayangkan pandangannya ke depan, memandangi orang
yang lalu-lalang di depan rumah kepala desa ini. Sedangkan Ki Petel asyik
dengan lintingan rokoknya. Cukup lama juga mereka hanya diam duduk di beranda depan
tanpa berkata-kata.
"Silakan
diminum," Ki Petel mempersilakan sambil mengambil gelas minumannya.
"Terima
kasih," ucap Rangga, lalu mengambil gelas minumannya pula. Dihirup sedikit
minuman berwarna kecoklatan yang mengepulkan asap itu.
"Minuman
kopi khas Desa Palang Sewu," ujar Ki Petel memberi tahu.
"Nikmat,"
sambut Rangga meletakkan kembali gelasnya.
"Kopi
Desa Palang Sewu memang terkenal nikmatnya. Tapi sayang sekali penduduknya
enggan menanamnya."
"Kenapa?"
"Biayanya
mahal. Sedangkan menunggu panen terlalu lama. Padahal, harganya cukup lumayan
juga."
Rangga
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia memang tidak tahu-menahu seluk beluk
pertanian. Tapi selama berada di Desa Palang Sewu ini, dia memang tidak melihat
adanya tanaman kopi. Hanya ada beberapa saja yang terlihat. Itu pun sudah
berada di daerah perbatasan yang agak tinggi datarannya, dan dimiliki oleh
orang yang mampu.
"Ah,
jadi melantur," desah Ki Petel, "Oh, ya. Sampai di mana pembicaraan
kita tadi?"
"Persoalan
Nyai Dadap," Rangga mengingatkan.
"Hm...
ya. Tentang Nyai Dadap datang ke Desa Palang Sewu ini," gumam Ki Petel
kembali teringat pada pokok permasalahannya.
Rangga
kembali mengangkat kepalanya. Pada saat itu di depan melintas seorang wanita cantik
mengenakan baju hijau sambil membawa keranjang dari anyaman bambu. Kepala yang
tertutup kerudung hijau itu, sempat menoleh seraya memberikan senyuman manis
pada Pendekar Rajawali Sakti. Seketika Rangga merasakan sesuatu di dalam
dadanya. Namun belum sempat dia berpikir jauh, Ki Petel sudah membuka suara
lagi.
Hanya
sebentar Rangga memalingkan mukanya pada Ki Petel. Dan begitu menatap ke depan
kembali, wanita cantik berbaju hijau itu sudah tidak terlihat lagi. Lenyap di
antara banyak orang yang berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing.
"Nyai
Dadap sebenarnya berasal dari Desa Palang Sewu ini...," kata Ki Petel
memulai.
"Hm...,"
Rangga hanya menggumam tidak jelas. Matanya terus menatap ke depan, memandangi
orang-orang yang lalu-lalang.
"Entah
berapa puluh tahun dia menghilang. Tapi sepuluh tahun lalu kembali dengan
membawa petaka, menjadikan Desa Palang Sewu bagai terpanggang api neraka,"
lanjut Ki Petel.
"Ke
mana dia pergi?" tanya Rangga tanpa menoleh.
"Tidak
ada yang tahu pasti. Tapi yang kudengar dari kabar burung, dia pergi menuntut
ilmu. Entah di mana dan siapa gurunya.,Yang jelas Nyai Dadap datang dengan
membawa segudang ilmu olah kanuragan dan kesaktian yang sukar dicari
tandingannya."
"Lantas,
apa yang diinginkannya di sini?"
"Balas
dendam."
Rangga
memalingkan mukanya menatap pada kepala desa di sampingnya. Keningnya agak
berkerut mendengar jawaban Ki Petel barusan. Jawaban yang tidak diduga sama
sekali sebelumnya.
"Orang
tua Nyai Dadap seorang tokoh sakti rimba persilatan beraliran hitam. Dia datang
ke Desa Palang Sewu dan menikah dengan gadis desa ini. Saat Nyai Dadap lahir,
orang tuanya tewas terbunuh.
"0h...!"
Rangga tersentak agak terkejut.
"Meskipun
telah berkeluarga, orang tua Nyai Dadap tidak meninggalkan kebiasaan buruknya.
Banyak gadis menjadi korban nafsu setannya. Bahkan banyak pendekar yang tewas
terbunuh di tangannya. Hal ini membuat cemar nama Desa Palang Sewu,"
lanjut Ki Petel.
"Hm....
Siapa yang berhasil membunuhnya?" tanya Rangga.
"Ki
Ageng Sela, Pranata, Wandara, Paman Waku, Nyi Senah, dan aku sendiri,"
sahut Ki Petel.
"Dan
kalian juga yang menghadapi Nyai Dadap sepuluh tahun lalu?"
"Ya,
dan kami berhasil menewaskannya. Tapi..., yah, saat itu kami semua terlalu
yakin dan tidak memeriksa lagi ke dasar jurang. Sama sekali tidak kusangka
kalau Nyai Dadap masih hidup dan sekarang membalas dendam yang belum
tertuntaskan. Tapi aku sendiri juga ragu-ragu setelah bentrok dengannya tadi,"
nada suara Ki Petel memang terdengar sumbang.
"Apa
ada kejanggalan pada orang itu, Ki?" tanya Rangga, namun matanya tidak
lepas memandang ke arah sebuah pohon ara yang cukup besar di samping sebuah
kedai.
Di
bawah pohon itu terlihat seorang wanita berparas cantik tengah menatap ke
arahnya. Bajunya hijau, agak ketat dengan kerudung hijau pula. Wanita itulah
yang tadi sempat dilihat Rangga melintas di depan rumah ini. Hati Pendekar
Rajawali Sakti itu pun jadi bertanya-tanya.
"Aku
memang melihat adanya kejanggalan, meskipun jurus dan senjata yang digunakan
sama persis dengan Nyai Dadap," sahut Ki Petel tidak menyadari kalau
Rangga tengah terpusat perhatiannya pada seorang wanita yang berdiri di bawah
pohon ara.
"Hm...,"
lagi-lagi Rangga bergumam tidak jelas.
Namun
mendadak, Pendekar Rajawali Sakti itu tersentak. Tiba-tiba saja wanita yang
tengah menjadi perhatiannya lenyap pada saat sebuah pedati melintas di
depannya. Rangga kontan bangkit berdiri dan melangkah ke depan, keluar dari
beranda rumah kepala desa ini. Matanya beredar tajam memandang ke sekeliling.
Ki Petel jadi terheran-heran, lalu bergegas bangkit dan menghampiri.
"Ada
apa?" tanya Ki Petel setelah berada di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak,"
sahut Rangga pelan.
Ki
Petel melayangkan pandangannya ke arah pandangan Pendular Rajawali Sakti itu.
Dia jadi heran karena pendekar muda itu menatap lurus ke arah pohon ara, dan
sesekali pandangannya beredar ke sepanjang jalan.
Pelahan-lahan
Rangga mengayunkan kakinya, sedangkan Ki Petel tetap diam dengan kening
berkerut dalam. Tatapan matanya tidak lepas ke punggung Rangga yang melangkah
pelahan-lahan semakin jauh menyusuri jalan utama Desa Palang Sewu ini. Sikap
Rangga yang terasa aneh, membuat Kepala Desa Palang Sewu itu bertanya-tanya.
***
Waktu
terus berputar sejalan dengan beredarnya bumi. Siang perlahan-lahan merayap
berganti malam. Cahaya matahari meredup, dan akhirnya menghilang. Kini
kedudukannya digantikan oleh bulan dengan cahayanya yang redup lembut menambah
keindahan suasana malam. Namun semua keindahan itu tidak dapat dinikmati lagi
oleh seluruh penduduk Desa Palang Sewu. Mereka kini tengah dilanda suatu
kegelisahan yang menyelimuti setiap hati.
Saat
itu, terlihat sebuah bayangan berkelebatan cepat menyelinap dari satu rumah ke
rumah lainnya. Bayangan itu bergerak cepat menuju sebuah pondok kecil yang
berada agak menyendiri di antara rumah penduduk lainnya. Sosok bayangan itu
berhenti bergerak tepat di depan pondok kecil itu. Sebagian besar tubuhnya
terlindung bayangan sebuah pohon besar sehingga hampir tidak memperlihatkan
bentuk tubuhnya yang hitam pekat.
"Hup!"
Sosok
bayangan itu melesat cepat ke atas, dan tahu-tahu sudah di atas dahan pohon
yang cukup rimbun daunnya. Tampak kedua bola mata yang tajam, bersinar terang
merayapi sekitar pondok kecil itu. Tatapan matanya semakin tajam ketika melihat
dua bayangan berkelebat menyelinap ke bagian belakang rumah.
Namun
belum sempat mengamati lebih jauh, mendadak dari bagian belakang rumah kecil
itu melesat dua bayangan merah dan biru ke arah sosok hitam di atas pohon itu.
"Hup!
Hiyaaa...!"
Sosok
tubuh hitam itu melentingkan tubuhnya, langsung meluruk ke bawah. Dan begitu
kakinya mendarat di tanah, dua bayangan merah dan biru itu kembali meluruk
menerjang dengan kecepatan bagai kilat. Sosok hitam itu kembali melentingkan
tubuhnya dan bersalto dua kali di udara, lalu manis sekali mendarat agak jauh
dari dua bayangan merah dan biru yang sudah berbalik hendak menyerangnya.
"Kera
Kembar dari Karang Setan...!" desis orang itu saat mengenali dua orang
yang menyerangnya tanpa banyak berbicara lagi itu.
"He
he he...! Ternyata penglihatanmu cukup tajam juga, Ki Petel," celetuk Kera
Merah terkekeh.
Sosok
bayangan hitam yang ternyata memang Ki Petel itu, hanya mendengus seraya
mempersiapkan diri untuk menerima serangan berikutnya. Dia tahu kalau dua orang
yang dihadapinya ini adalah tokoh-tokoh rimba persilatan yang tidak bisa
dianggap remeh. Hanya saja Ki Petel belum bisa mengetahui maksud kemunculan dua
orang yang berjuluk Kera Kembar dari Karang Setan itu., Julukan yang sangat
cocok, karena wajah mereka memang lebih mirip kera daripada manusia.
"Kalian
Kera Kembar dari Karang Setan, apa maksudnya datang ke Desa Palang Sewu
ini?" tanya Ki Petel dengan nada suara dingin.
"Karang
Setan tidak seberapa jauh dari sini. Sudah selayaknya kami berdua berkunjung
hanya untuk melihat-lihat," sahut Kera Biru dengan suara dibuat sopan.
"Tidak
biasanya kalian keluar dari sarang tanpa tujuan yang pasti," terdengar
sinis nada suara Ki Petel.
"Rupanya
orang tua ini tidak bisa diajak bersahabat, Kera Biru," dengus Kera Merah.
"Hm...,"
Kera Biru hanya menggumam pelan tidak jelas.
"Bukan
hanya aku, tapi seluruh penduduk Desa Palang Sewu tidak akan sudi menerima
kalian!" makin ketus nada suara Ki Petel.
"Keparat!
Kau harus jaga mulutmu, Ki Petel!" geram Kera Biru tidak bisa lagi menahan
amarahnya.
Kalau
saja Kera Merah tidak segera mencegah, mungkin Kera Biru sudah menerjang kepala
desa itu. Kera Biru hanya bisa menggerutu menahan amarahnya. Sementara Ki Petel
sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
"Ki
Petel! Apa maksudnya kau mengintai pondok itu?" tanya Kera Merah masih
bisa bersabar.
"Seharusnya
aku yang bertanya pada kalian!" dengus Ki Petel.
"Aku
masih bisa bersabar, Ki Petel. Tapi saudaraku ini tidak bisa lagi," ancam
Kera Merah.
"Jangan
harap aku mundur sebelum kalian enyah dari desa ini!" tantang Ki Petel.
"Sombong!
Orang tua tidak tahu diuntung!" geram Kera Biru yang telah meluap
kesabarannya. "Kau harus mampus, keparat! Hiyaaa...!"
Kera
Merah tidak bisa lagi menahan amukan saudara kembarnya. Bagaikan kilat, Kera
Biru melompat menerjang Ki Petel. Serangan yang cepat dan bertenaga dalam cukup
tinggi itu, dengan mudah dapat dielakkan oleh Ki Petel. Bahkan dengan satu
gerakan yang manis, sodokan tangan kepala desa itu membuat Kera Biru harus
melenguh pendek.
"Phuih!"
Kera Biru menyemburkan ludahnya, menahan rasa mual pada perutnya yang terkena
sodokan tangan kiri Ki Petel.
Namun
dengan cepat, Kera Biru kembali menghambur menyerang kepala desa itu. Hanya
dengan merundukkan kepalanya sedikit, Ki Petel berhasil mengelakkan pukulan
bertenaga dalam penuh dari Kera Biru. Balikan satu dupakan kaki kanannya
berhasil membuat Kera Biru harus melompat mundur menghindarinya.
Meskipun
dua kali Ki Petel berhasil menghindari serangan lawannya, namun belum bisa
berbangga diri. Dia tahu kalau lawannya tidak akan berarti jika hanya bertarung
seorang diri saja. Kekuatan Kera Kembar dari Karang Setan itu terletak pada
kerja sama penyerangan yang terpadu rapi. Mereka tidak akan mampu menghadapi
lawan hanya seorang diri saja, meskipun serangan-serangannya sangat berbahaya.
"Sepasang
Kera Gila...!"
Tiba-tiba
saja Kera Merah berteriak lantang sambil melompat ke arah samping kanan Ki Petel.
Dan pada saat yang sama, Kera Biru pun melesat ke arah samping kiri kepala desa
itu. Ki Petel sudah bisa meraba kalau serangan yang akan dilakukan manusia
kembar berwajah mirip kera itu sangat berbahaya.
Sambil
memperdengarkan suara-suara aneh bagai kera kelaparan, kedua manusia itu
membuat gerakan-gerakan aneh dan sukar diterima akal sehat. Mereka
berjingkrakan, berlompatan seperti dua orang badut tengah melucu. Suara-suara
yang terdengar begitu mirip dengan dua ekor kera yang tengah bercanda memperebutkan
pisang. Ki Petel jadi sedikit kebingungan juga melihat dua orang lawannya yang
seperti gila itu.
"Hhh!
Apa yang akan mereka lakukan?" Ki Petel bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Dan
belum lagi pertanyaan itu bisa terjawab, tiba-tiba saja tangan-tangan si Kera
Kembar dari Karang Setan itu tumbuh bulu yang sangat lebat dan berwarna hitam
pekat. Kemudian hampir bersamaan, mereka Mengebutkan tangan-tangannya ke arah
Ki Petel. Dari tangan-tangan itu meluncur deras bulu-bulu berwarna hitam. Ki
Petel sempat terperangah sesaat, namun dengan cepat bisa menyadari apa yang
terjadi.
"Hup!"
Laki-laki
tua kepala desa itu cepat melesat lalu berputaran di udara, menghindari
terjangan bulu-bulu hitam yang halus itu. Sungguh di luar dugaan sama sekali,
bulu-bulu yang kelihatannya lemas itu mampu menembus pohon dan bebatuan hingga
berlubang-lubang dalam. Bulu-bulu itu beterbangan cepat bagaikan hujan saja,
meluruk mengurung ruang gerak Ki Petel.
"Huh!
Kalau begini terus, bisa kehabisan napas aku!" dengus Ki Petel sengit.
Memang
tidak ada cara lain yang bisa dilakukan, kecuali berlompatan dan berputaran di
udara menghindari hujan bulu yang merupakan senjata ampuh si Kera Kembar dari
Karang Setan itu. Meskipun Ki Petel sudah mencabut senjatanya, namun dia masih
kelihatan kewalahan juga menghadapi serbuan yang aneh dari lawannya.
Lebih-lebih lagi sekarang ini kedua orang berwajah mirip kera itu bergerak
berputar mengelilinginya.
Dalam
beberapa gebrakan saja, telah terlihat kalau Ki Petel semakin terdesak. Sudah
dapat dipastikan, kalau dalam waktu yang tak lama lagi, kepala desa itu tidak
akan mampu menahan gempuran hujan bulu yang amat berbahaya dari si Kera Kembar
dari Karang Setan itu. Tapi di saat keadaan Ki Petel semakin mengkhawatirkan,
mendadak bertiup angin kencang bagai topan. Angin itu menghamburkan bulu-bulu
yang beterbangan deras mengarah kepada Ki Petel.
"Hup!
Hiyaaa...!"
Ki
Petel mengambil kesempatan ini untuk melompat keluar dari kurungan lawannya.
Tiga kali tubuhnya berputar di udara, kemudian mendarat manis di luar kurungan
manusia-kembar berwajah mirip kera itu. Sedangkan si Kera Kembar dari Karang
Setan kelihatan kebingungan begitu menyadari serangannya pecah berhamburan
terterjang angin topan yang datang secara tiba-tiba itu.
"Setan
keparat!" maki Kera Biru segera menghentikan serangannya.
"Hait!"
Kera Merah melompat ke samping saudaranya.
"Setan
Belang! Siapa berani mencampuri urusanku, heh!" bentak Kera Biru keras
menggelegar.
Seketika
itu juga, badai topan berhenti dihempas oleh suara bentakan yang mengandung
pengerahan tenaga dalam cukup tinggi itu. Si Kera Kembar dari Karang Setan itu
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sementara Ki Petel juga mencari-cari
orang yang baru saja membantunya keluar dari bahaya.
"Siapa
pun kau, keluar!" bentak Kera Biru lagi.
"Aku
di sini..."
***
LIMA
Bukan
main terkejutnya si Kera Kembar dari Karang Setan begitu mendengar jawaban yang
berada di belakangnya. Mereka kontan berbalik dan melompat mundur begitu
melihat seorang pemuda gagah berwajah tampan dengan baju rompi putih sudah
berdiri tidak jauh darinya.
Sementara
Ki Petel yang mengetahui kehadiran pemuda itu, jadi berseri-seri wajahnya. Dia
tahu dan kenal betul dengan pemuda gagah berbaju rompi putih itu. Ki Petel
segera melompat melewati kepala si Kera Kembar dari Karang Setan, lalu mendarat
di samping pemuda itu dengan manisnya.
"Kau
datang tepat pada waktunya, Rangga," kata Ki Petel.
"Hm...!
Kenapa mereka menyerangmu, Ki?" tanya Rangga tanpa mengalihkan
perhatiannya pada dua orang berwajah kembar seperti kera di depannya.
"Aku
tidak tahu. Tiba-tiba saja mereka datang menyerang, bahkan hampir membunuhku,
" sahut Ki Petel.
"Hm...,"
Rangga hanya bergumam pelan.
"Anak
Muda, siapa kau?" tanya Kera Merah memotong pembicaraan Rangga dan Ki
Petel.
"Namaku
Rangga, dan biasa dipanggil Pendekar Rajawali Sakti. Aku sudah pernah melihat
kalian sebelumnya, jadi tidak perlu mengenalkan diri lagi padaku," sahut
Rangga lugas.
"Bagus!
Dan sebaiknya kau segera enyah dari hadapanku!" dengus Kera Biru.
"Mengapa
tidak kalian saja yang angkat kaki dari sini? Kurasa Kepala Desa Palang Sewu
sudah berkata tegas tadi," kata, Rangga tenang.
"Setan
keparat!" geram Kera Biru terasa panas telinganya mendengar kata-kata yang
tenang namun menyakitkan itu.
"Anak
Muda, aku peringatkan sekali lagi. Cepat tinggalkan tempat ini!" bentak
Kera Merah masih bisa menahan kesabarannya.
"Rasanya
kata-kataku sudah cukup jelas," sambut Rangga kalem.
"Jangan
salahkan kami, jika kau harus mampus hari ini!" Kera Merah jadi geram
mendapat tantangan seperti itu.
"Hup!
Hup!
"Hait...!"
Kera
Kembar dan Karang Setan itu serentak berlompatan mengurung Pendekar Rajawali
Sakti dari dua jurusan di kanan dan kiri. Sedangkan Ki Petel beringsut mundur
menjauh. Sementara Rangga memperhatikan kedua orang itu dari sudut matanya.
Setiap gerak yang dilakukan dua orang kembar itu menjadi perhatiannya. Sudah
disaksikan pertarungan kedua orang itu dengan Ki Petel, sehingga hal ini
membuatnya jadi berhati-hati. Rangga sudah dapat mengukur kalau tingkat
kepandaian manusia kembar berwajah seperti kera itu tidak bisa dianggap remeh.
Dan Pendekar Rajawali Sakti memang tidak pernah menganggap enteng setiap
lawannya.
"Hiyaaa..."
"Haaa...!"
Si
Kera Kembar dari Karang Setan itu melompat secara bersamaan menerjang Pendekar
Rajawali Sakti. Pukulan-pukulan beruntun bertenaga dalam cukup tinggi,
dilepaskan secara bersamaan. Rangga menarik mundur kakinya ke belakang
setindak, kemudian dengan cepat merentangkan tangannya. Sungguh luar biasa
kecepatan gerak tangan Pendekar Rajawali Sakti itu. Bagaikan sepasang sayap
seekor rajawali, tangan itu mengepak cepat memapak setiap pukulan yang datang.
Plak!
Plak...!
Dua
orang kembar itu berlompatan mundur sejauh satu batang tombak begitu
tangan-tangan mereka beradu dengan tangan Rangga. Wajah mereka tampak memerah,
seperti tengah merasakan sakit yang amat sangat pada tangannya. Jelas dalam adu
kekuatan tenaga dalam, mereka kalah.
"Pasukan
Kera Menggempur Gunung!" seru Kera Merah tiba-tiba. Seketika itu juga si
Kera Kembar dari Karang Setar, berlompatan kembali sambil membuat gerakan
mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti. Pukulan dan tendangan keras datang beruntun
secara teratur. Namun Rangga dengan manis berhasil mengelakkannya dengan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'. Gerakan kakinya begitu lincah dan cepat, diimbangi
gerakan tubuh yang meliuk-liuk bagai seekor ular menghindari penggebuk.
Merasa
serangannya tidak ada hasilnya, si Kera Kembar dari Karang Setan mengganti
dengan serangan berikutnya. Namun tetap saja mereka tidak berhasil menyentuh
tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa jurus telah terlewati. Dan setiap
berganti jurus, serangan manusia kembar itu semakin bertambah dahsyat dan
berbahaya. Dan setelah lima belas jurus terlewati cepat, dapat dipastikan kalau
manusia kembar dari Karang Setan itu memang masih bukan tandingan Pendekar
Rajawali Sakti.
Sret!
Cring!
Si
Kera Kembar dari Karang Setan mencabut senjatanya, berupa tongkat melengkung
dan berujung runcing. Dengan senjata di tangan, serangan si Kera Kembar dari
Karang Setan bertambah dahsyat. Bahkan kini diimbangi dengan gerakan tubuh yang
lincah dan cepat. Namun Rangga masih melayaninya dengan tangan kosong.
"Uts,
hap!"
Rangga
menarik setengah tubuhnya ke belakang ketika dari kanan dan kirinya menyambar
dua senjata tongkat melengkung. Dengan satu gerakan yang cepat luar biasa,
tangan Rangga terangkat ke atas, dan langsung menangkap dua senjata itu
sekaligus di depan dadanya.
Tap!
"Hih!"
"Uh!"
Si
Kera Kembar dari Karang Setan berusaha menarik pulang senjatanya disertai
pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Namun cekalan tangan Rangga
demikian kuat, sehingga terjadi adu kekuatan tenaga dalam. Sesaat kemudian,
terlihat kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut.
"Racun...!"
desis Rangga dalam hati.
Rangga
dapat merasakan adanya aliran hawa beracun yang sangat dahsyat, keluar dari
tongkat yang dipegangnya kuat. Seketika itu juga dikerahkan hawa murni dan
langsung dipusatkan pada kedua tangannya yang menggenggam dua senjata lawannya
dari kanan dan kiri.
Hawa
murni yang disalurkan Rangga sungguh luar biasa kuatnya, sehingga hawa panas
beracun yang tersebar dari dua senjata itu, perlahan-lahan bergerak membalik.
Dan ini sangat dirasakan si Kera Kembar dari Karang Setan. Mereka sungguh
terkejut, lalu berusaha mendorong racun itu dengan kekuatan tenaga dalamnya.
Namun semakin berusaha keras, semakin kuat racun itu terdorong balik.
"Aaakh...!"
tiba-tiba saja Kera Biru memekik keras
Seketika
itu juga tubuhnya terlontar sejauh tiga batang tombak, dan pegangan pada
senjatanya terlepas. Belum lagi Kera Biru mampu bangkit, Kera Merah menjerit
melengking dan tubuhnya bergetar hebat.
Kera
Biru buru-buru melompat dan menendang tepat di tengah-tengah tongkat melengkung
yang berada di tangan Kera Merah dan Pendekar Rajawali Sakti.
Trak!
"Akh!"
Kera
Biru memekik tertahan, dan tubuhnya terpental keras. Bersamaan dengan itu, Kera
Merah pun terpental sejauh dua batang tombak. Pohon-pohon yang terlanda tubuh
mereka langsung hancur berkeping-keping. Rangga melemparkan senjata yang patah
kena tendangan Kera Biru. Sementara itu kedua manusia kembar mirip kera itu
bergegas bangkit. Dari mulut dan hidung mengucurkan darah kental agak
kehitaman.
"Hoek!"
Hampir
bersamaan si Kera Kembar dari Karang Setan memuntahkan darah kental berwarna
kehitaman. Saat itu juga, tubuh mereka ambruk ke tanah. Rupanya racun yang
dikeluarkan dari senjata mereka telah berbalik menyerang mereka berdua. Tubuh
mereka menggelepar kejang kaku, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.
Dan
pada saat yang tepat, sebuah bayangan hijau berkelebat cepat bagai kilat
menyambar tubuh dua orang itu. Begitu cepatnya, sehingga tidak sempat disadari.
Tahu-tahu sudah lenyap dengan membawa dua manusia kembar itu.
"Heh!"
Rangga tersentak kaget.
Namun
di saat kesadarannya bekerja, saat itu pula bayangan itu sudah lenyap dari
pandangan matanya. Rangga hanya bisa memandang ke arah kepergian bayangan hijau
yang membawa tubuh si Kera Kembar dari Karang Setan itu. Sedangkan Ki Petel
yang menyaksikan sejak tadi, juga tidak kalah terkejutnya.
"Hm...,
siapa dia...?" gumam Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.
***
Saat
itu matahari sudah menampakkan dirinya. Cahayanya hangat menerangi mayapada
ini. Sebuah bayangan hijau berkelebatan cepat di antara pepohonan menuju ke
sebuah lereng berbatu karang yang terjal dan kelihatan rapuh. Sosok bayangan
hijau itu berlompatan ringan mendaki lereng sebelah Timur Gunung Palang Sewu
yang berbatu karang rapuh itu.
Sosok
bayangan hijau itu melesat masuk ke dalam sebuah goa di antara celah-celah batu
yang agak menonjol keluar dari lereng gunung itu. Sebuah goa yang tidak begitu
besar, dan terhalang oleh batu-batu karang yang menonjol keluar. Tidak ada yang
dapat melihat mulut goa itu dari kaki Gunung Palang Sewu sebelah Timur
sekalipun.
Sosok
bayangan hijau itu terus bergerak masuk semakin jauh menelusuri lorong goa yang
nampak panjang dan berliku. Dia baru berhenti setelah sampai pada suatu rongga
yang cukup luas dan terang. Cahaya matahari menerobos melalui lubang-lubang di
atas rongga goa itu.
Dua
sosok tubuh mengenakan baju berwarna merah dan biru bergulir jatuh dari
pundaknya yang terlihat kecil. Sesaat orang berbaju hijau itu memandangi dua
sosok tubuh kembar berwajah seperti kera itu. Terdengar tarikan napasnya yang
panjang dan berat. Kemudian dia berlutut memeriksa dua tubuh yang ternyata
adalah si Kera Kembar dari Karang Setan itu.
"Hhh...!"
kembali dia menarik napas panjang setelah memeriksa kedua orang kembar itu.
Dengan
gerak perlahan, kepalanya menoleh saat mendengar langkah kaki ringan
menghampiri. Tampak seraut wajah cantik mengenakan kerudung berwarna hijau
tengah memandang ke arah langkah kaki tadi. Orang itu berdiri begitu matanya
melihat seorang laki-laki tua berpakaian longgar dan kumal melangkah ringan
menghampirinya. Sebatang tongkat berkeluk tergenggam erat menyangga tubuhnya
yang hampir bungkuk. Seluruh rambut, janggut, dan kumisnya yang panjang
berwarna putih.
"Ada
apa dengan pamanmu, Katila?" tanya laki-laki tua itu setelah duduk bersila
di atas batu ceper Wanita cantik berbaju serba hijau dengan kerudung hijau pula
itu segera duduk bersila di depan laki-laki tua itu. Sebentar dia menoleh ke
arah dua sosok tubuh kembar yang tergeletak tidak bergerak-gerak lagi. Seluruh
tubuhnya sudah mulai membiru. Tak ada sedikit pun gerakan yang menandakan
kehidupan.
"Tewas,"
sahut wanita cantik yang dipanggil Katila itu. Suaranya pelan, hampir tidak
terdengar.
"Apa...?!"
laki-laki tua itu tersentak kaget, dan langsung melompat bangun dan menghampiri
si Kera Kembar yang menggeletak dengan tubuh membiru.
Laki-laki
tua itu memeriksa manusia kembar berwajah mirip kera itu. Kepalanya bergoyang
menggeleng-geleng beberapa kali. Terdengar tarikan napasnya yang panjang dan
berat, kemudian berbalik dan kembali duduk di atas batu ceper.
"Maafkan
aku, Ki Dadap. Aku terlambat menolongnya," kata Katila pelan dengan kepala
tertunduk.
Laki-laki
tua berbaju kumal itu memandangi Katila dengan tatapan mata kosong. Dua kali
dia menarik napas panjang, seakan-akan ingin melonggarkan rongga dadanya yang
mendadak jadi sesak mendapati dua manusia kembar itu tewas terkena racunnya
sendiri.
"Siapa
yang membunuhnya?" tanya Ki Dadap datar nada suaranya.
"Aku
tidak tahu namanya. Dia seorang pemuda berbaju rompi putih. Tapi di sana aku
lihat ada Ki Petel, Ki," sahut Katila.
"Apa
orang itu juga yang menyelamatkan Ki Petel darimu?"
"Benar,
Ki."
"Kedua
pamanmu bukan orang sembarangan. Ilmu olah kanuragannya cukup tinggi, dan
jarang ada yang menandinginya. Hm... aku tidak bisa meramalkan tingkat
kepandaian orang itu," ujar Ki Dadap bergumam pelan, seolah-olah bicara
pada dirinya sendiri.
"Tapi
bagaimanapun juga, kematian Nyai Dadap harus dibalas, Ki. Aku rela menyabung
nyawa demi Nyai Guru," kata Katila mantap.
"Sebagai
seorang murid yang baik, kau memang harus membalaskan sakit hati gurumu. Aku
juga tidak akan tinggal diam saja melihat istriku tewas dibantai
manusia-manusia pengecut itu. Rasanya dosa seumur hidup jika tidak membalas
sakit hati istriku. Padahal dia hanya menuntut kematian orang tuanya sampai dia
sendiri tewas dikeroyok secara licik!" ada tekanan haru pada nada suara Ki
Dadap.
"Aku
juga dendam pada Pranata, Ki. Dialah yang menyebabkan suamiku tewas. Kalau
bukan karena perintahnya untuk mengusir babi-babi hutan, suamiku tidak bakal
tewas oleh binatang keparat itu. Hatiku tidak tenteram jika belum mengunyah
jantung si Pranata itu, Ki!" sambut Katila geram.
"Hm...,
mungkin sudah saatnya aku harus turun tangan sendiri," gumam Ki Dadap
pelan.
"Beri
aku kesempatan sekali lagi, Ki. Rasanya aku masih mampu menghadapi
mereka," sergah Katila cepat.
Ki
Dadap menatap tajam pada wanita cantik di depannya. Sedangkan yang ditatap
hanya menundukkan kepalanya saja. Sesaat kebisuan menyelimuti mereka berdua.
"Kau
memang mampu menghadapi mereka, Katila. Tapi rasanya kau tidak mampu menghadapi
orang yang membunuh kedua pamanmu, pelan suara Ki Dadap.
"Ki,"
Katila ingin membantah.
"Dengar,
Katila. Kau memang sudah menguasai sepenuhnya seluruh ilmu istriku. Bahkan kau
memiliki senjatanya dan menguasainya dengan baik. Bukannya aku menyangsikan
kemampuanmu, tapi orang yang satu ini... nada suara Ki Dadap terdengar
ragu-ragu.
"Ki
Dadap kenal dengan orang itu?"
"Coba
kau sebutkan sekali lagi ciri-cirinya yang jelas," pinta Ki Dadap.
"Dia
masih muda, Ki. Gagah dan tampan seperti seorang pangeran. Ilmunya, sangat
tinggi sekali. Dia memakai baju rompi putih..."
"Pedang
bergagang kepala burung di punggung!" serobot Ki Dadap cepat.
"Benar,
Ki!" sentak Katila terkejut.
"Pendekar
Rajawali Sakti...!" gumam Ki Dadap pelan.
"Kau
kenal dia, Ki?" tanya Katila keheranan.
"Aku
hanya menduga saja. Tapi ciri-ciri yang kau sebutkan sangat mirip dengan
Pendekar Rajawali Sakti. Hm..., aku memang belum pernah bertemu langsung dengannya.
Tapi sering kudengar nama dan sepak terjangnya. Saat ini memang tidak ada orang
yang mampu menandingi kepandaiannya," kata Ki Dadap setengah bergumam.
"Aku
akan mencari keterangan tentang itu," kata Katila mantap.
"Kalau
memang benar dugaanku, rasanya sulit bagi kita untuk membalaskan dendam Nyai
Dadap dan suamimu, Katila. Aku tidak menyangsikan kalau paman-pamanmu tewas
olehnya. Pendekar Rajawali Sakti memang sukar dicari tandingannya," masih
dengan nada bergumam Ki Dadap berkata.
Katila
jadi terdiam. Dia heran juga melihat suami gurunya diliputi keraguan.
Sebelumnya belum pernah dilihat Ki Dadap yang begitu ragu-ragu dan tidak yakin
akan dirinya sendiri. Dan Katila sendiri juga diliputi keraguan. Mungkinkah
dendamnya akan terlaksana?
Katila
berjalan cepat, menggunakan ilmu meringankan tubuh menuruni lereng Gunung
Palang Sewu yang berbatu karang terjal dan rapuh. Wanita cantik yang selalu
mengenakan baju hijau itu baru berhenti mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya,
setelah sampai di kaki lereng gunung itu. Kaki lereng yang banyak ditumbuhi
pohon besar.
"Hm
Hm"... bibirnya menyunggingkan senyum melihat seekor ular yang cukup besar
merayap di rerumputan.
Perlahan-lahan
Katila mendekati ular itu. Sikapnya begitu hati-hati, karena tahu kalau ular
itu sangat berbahaya. Bahkan bisanya sangat mematikan.
"Hup,
hop!
Dengan
satu gerakan cepat, wanita itu menangkap tepat leher ular itu. Sedangkan
sebelah tangannya memegang ekornya. Ular itu tidak berdaya meskipun berusaha
menggeliat-geliat melepaskan diri dari cengkeraman tangan yang halus lentik
itu. Katila tersenyum memandangi ular yang besarnya sama besarnya dengan
tangannya sendiri.
"Hup!"
Hanya
dengan satu lompatan mengandung ilmu meringankan tubuh, wanita itu melesat
cepat ke arah Desa Palang Sewu. Begitu cepatnya bergerak, sehingga yang
terlihat hanya bayangan hijau berkelebatan dari balik pepohonan.
Hanya
dalam waktu sebentar saja, Katila sudah sampai di samping sebuah pondok kecil
yang agak terpencil dari rumah-rumah penduduk Desa Palang Sewu Wanita itu
langsung masuk ke dalam pondok itu. Dilemparkan ular hasil tangkapannya ke atas
pembaringan. Ular itu menggeliat-geliat dan mendesis-desis mengangkat
kepalanya. Katila tersenyum memandangi ular yang nampak marah itu.
"Aku
perlu bantuanmu, sobat," kata Katila lembut.
Tanpa
menghiraukan ular yang mulai merayap turun dari pembaringan, Katila membuka
baju dan menyimpannya dalam lemari. Kini dia hanya mengenakan selembar kain
agak lusuh dan pudar warnanya. Rambutnya dibiarkan meriap tak teratur, kemudian
mundur mendekati jendela. Katila membuka jendela itu lebar-lebar. Sementara
ular yang sudah merayap perlahan-lahan di lantai pondok, mendekatinya.
"Tolooong...!"
tiba-tiba saja Katila menjerit sekuat-kuatnya.
Mendengar
jeritan wanita itu, ular yang ditangkapnya mengangkat kepalanya tinggi-tinggi.
Katila terus menjerit-jerit seperti orang ketakutan melihat ular. Jeritannya
keras dan melengking tinggi. Sementara ular itu semakin mendekat saja.
Brak!
Mendadak
saja pintu pondok itu hancur berantakan. Katila memekik tertahan. Tampak di
ambang pintu berdiri seorang pemuda gagah berwajah tampan memakai baju rompi
putih. Pemuda itu agak terkesiap, melihat Katila hanya mengenakan kain lusuh
tengah ketakutan melihat ular yang merayap, menghampirinya.
"Oh,
tolong.... Ular itu ingin menggigitku," rintih Katila memelas.
"Hap!"
Pemuda
itu segera melompat, dan mencekal leher ular itu. Hanya dengan satu lompatan
lagi, tubuhnya melesat keluar sambil membawa ular itu. Dia berhenti di bawah
sebuah pohon yang cukup rindang. Dipandanginya sejenak ular itu.
"Rangga,
hati-hati....!"
"Heh...!"
Pemuda itu terkejut "Kau..., kau bisa berbicara?"
"Jangan
kaget! Kau bisa berbicara dengan bangsa ular di mana pun, karena kau telah
menjadi keluarga Satria Naga Emas." (Untuk jelasnya baca serial Pendekar
Rajawali Sakti dalam episode Asmara Maut).
Rangga
tertegun sesaat, kemudian, diletakkan ular itu dengan hati-hati di atas
rerumputan. Ular itu menjulurkan kepalanya ke atas. Matanya yang bulat merah
menatap langsung ke bola mata pemuda tampan berbaju rompi putih itu.
"Gunakan
pendekatan batinmu. Hanya kau dan aku yang bisa berbicara," kata ular itu
lagi.
Rangga
mengerahkan kekuatan batinnya. Dia memang pernah lama tinggal dalam Istana
Satria Naga Emas, yang menjadi raja segala jenis ular di atas bumi ini. Dan
memang tidak mengherankan kalau Rangga bisa berbicara dengan bangsa ular
melalui kekuatan batin, karena Satria Naga Emas adalah sahabat karib Pendekar
Rajawali, guru tunggal Rangga. Dan itu berarti Rangga adalah murid keponakan
'Satria Naga Emas.
"Dengarkan
kata-kataku, Rangga. Jangan mempercayai wanita, itu! Dia sengaja menangkapku,
lalu, berpura-pura takut untuk memancingmu. Ini dilakukan hanya untuk
menjebakmu," kata ular itu.
"Hm...
siapa dia?" tanya Rangga di dalam batinnya.
"Namanya
Katila! Dia seorang janda dan murid tunggal Nyai Dadap. Tidak ada seorang pun
yang tahu hubungannya dengan Nyai Dadap dan suaminya yang tinggal di Karang
Setan bersama dua orang manusia kembar berjuluk si Kera Kembar dari Karang
Setan. Dia punya tujuan tertentu, dan aku bisa merasakan hawa dendam pada
hatinya," kata ular itu.
"Hm...,
aku mengerti sekarang," gumam Rangga.
"Aku
pergi dulu, dia sudah keluar."
Ular
itu bergegas merayap masuk ke semak belukar. Rangga membalikkan tubuhnya.
Tampak Katila berdiri di ambang pintu masih mengenakan kain yang menutupi
tubuhnya. Bagian atas dadanya terlihat lebar, menampakkan kulitnya yang putih
halus. Dua buah bukit kembar nampak sedikit menonjol seakan hendak menyembul
keluar.
Rangga
melangkah menghampiri, dan berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga
langkah lagi di depan Katila. Wanita itu memberikan senyum manis, tapi Rangga
hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Di dalam hatinya, sulit untuk bisa
mempercayai kalau wanita secantik ini punya maksud buruk terhadapnya. Tapi
peringatan ular tadi tidak bisa dianggap main-main.
"Terima
kasih kau telah menyelamatkan aku," ucap Katila lembut.
"Hm...,"
Rangga hanya menggumam saja.
"Kau
hebat sekali. Kau pasti seorang pendekar," kata Katila dengan bola mata
berbinar.
Rangga
hanya tersenyum tipis, kemudian membalikkan tubuhnya hendak berlalu. Tapi
Katila dengan cepat menghampiri dan menghadangnya di depan. Jarak antara mereka
begitu dekat, sehingga bau harum tubuh wanita itu menyebar menyeruak hidung.
"Aku
akan berterima kasih sekali jika kau bersedia singgah sebentar," Katila
mulai merajuk.
"Terima
kasih," ucap Rangga bernada menolak.
Rangga
menggeser kakinya ke samping, kemudian melangkah tanpa berkata-kata lagi.
Katila ingin menghalangi, tapi cepat diurungkan niatnya. Wanita itu hanya
memandangi punggung Rangga saja yang terus berjalan semakin jauh
meninggalkannya.
"Hhh,
tampan sekali. Sayang dia, jadi penghalangku yang utama. Hhh...! Katila
mendesah pelan.
Wanita
itu mengeluarkan sebilah pisau kecil berwarna, keperakan dari batik lipatan
kainnya. Dia sudah mengangkat tangannya hendak melemparkan pisau itu, tapi
niatnya diurungkan. Perlahan-lahan tangannya turun kembali. Bola matanya yang
bulat bening bagai mata bocah tak berdosa itu memandangi Rangga yang semakin
jauh meninggalkannya.
"Aku
harus bisa menaklukkannya. Harus...!" gumam Katila dalam hati.
Katila
benar-benar terpaut hatinya melihat ketampanan dan kegagahan Pendekar Rajawali
Sakti. Niatnya untuk membunuh pendekar muda itu pupus seketika. Naluri
kewanitaannya bergolak. Dan dia memang sudah lama tak terjamah tangan laki-laki
sejak suaminya tewas diterjang babi hutan yang merusak ladang penduduk Desa Palang
Sewu. Dan kematian suaminya itu menjadikan Katila, dendam terhadap Pranata yang
telah menyuruh suaminya mengusir babi hutan itu.
"Kau
harus takluk, Pendekar Rajawali Sakti. Harus...." desis Katila.
***
ENAM
Sebuah
bayangan hijau berkelebat cepat keluar dari pondok kecil yang terpencil di
antara rumah penduduk Desa Palang Sewu. Dari balik rerimbunan semak, sepasang
mata memperhatikan bayangan hijau Yang melesat cepat bagai kilat tadi. Sesaat
kemudian, dari dalam semak itu melesat satu bayangan putih menuju ke arah
bayangan hijau tadi berkelebat.
Bayangan
hijau itu terus bergerak cepat menuju ke sebuah bangunan besar dikelilingi
pagar tembok benteng yang kokoh. Bangunan itu adalah padepokan yang dipimpin
Pranata. Bayangan hijau itu berhenti setelah tiba di samping pagar tembok yang
tinggi dan terlindung bayang-bayang pohon. Keadaan di sekitar Padepokan Soka
Palang Sewu itu tampak sepi, hanya beberapa orang murid saja yang berjaga-jaga
di depan pintu gerbang.
"Sepi...,
kesempatanku untuk membuat perhitungan dengan Pranata."
Sosok
bayangan hijau itu ternyata adalah Katila. Meski seluruh kepala dan wajahnya
terlindung selubung kain hijau, namun bentuk matanya yang indah masih dapat
menggambarkan jati dirinya. Katila tidak menyadari kalau ada sepasang mata
bening bersinar bagai bintang, tengah mengawasinya sejak keluar dari dalam
pondoknya.
Slap!
Katila
melesat naik ke atas pagar tembok benteng padepokan itu. Tubuhnya agak
membungkuk dengan lutut tertekuk hampir menyentuh dinding atas tembok. Sebentar
diamati keadaan di dalam benteng padepokan itu. Kemudian dengan satu gerakan
ringan tanpa menimbulkan suara, tubuh ramping itu meluruk turun.
"Siapa
itu?" terdengar bentakan keras begitu kaki Katila menjejak tanah.
"Sial!"
dengus Katila.
Dengan
gerakan cepat, Katila mengebutkan tangannya ketika seorang laki-laki muda
bersenjata golok datang berlari-lari. Seberkas cahaya hijau melesat cepat ke
arah orang itu, dan langsung menerjangnya tanpa ampun.
"Akh!"
laki-laki muda itu memekik keras.
Seketika
itu juga tubuhnya terjungkal ambruk. Hanya sebentar mampu bergerak, sesaat
kemudian tidak bergerak-gerak lagi. Sebilah pisau berwarna hijau tertancap
dalam tepat di jantungnya.
"Hup!"
Katila melompat cepat ke arah laki-laki muda yang sudah tergeletak tak bernyawa
lagi. Tangannya menjulur mencabut pisau yang tertanam di dada. Pisau berwarna
hijau itu diselipkan di balik ikat pinggangnya. Katila mendongakkan kepalanya
ketika mendengar suara-suara langkah kaki menuju ke arahnya.
"Huh!
Mereka sudah tahu kedatanganku!" dengus Katila memberengut.
Katila
membalikkan tubuhnya, dan langsung. terkejut Di belakangnya kini telah berdiri
sekitar sepuluh orang bersenjata golok terhunus. Dan ketika menoleh ke
belakang, sudah ada sekitar sepuluh orang lagi. Mereka adalah murid dari
Padepokan Soka Palang Sewu. Semuanya sudah menghunus golok telanjang di tangan.
Tanpa menunggu komando lagi, mereka serentak bergerak mengepung.
"Ternyata
dugaanku benar, kaulah yang selama ini membuat kerusuhan."
"Pranata...
!" desis Katila ketika menoleh.
Pranata
melangkah mendekat dengan bibir tersungging senyuman. Sedangkan Katila
memandangnya penuh kebencian. Tidak kurang dari tiga puluh orang bersenjata
golok mengepung di sekitar tempat itu.
"Kau
menaruh dendam padaku, mengapa orang lain kau ikut sertakan, Katila?" agak
bergetar suara Pranata.
"Bukan
hanya kau, tapi seluruh penduduk desa ini harus mati!" sahut Katila dingin
"Hm....
kau membawa senjata Nyai Dadap. Ada hubungan apa kau dengan iblis betina
itu?" mata Pranata tidak berkedip memandang senjata yang tersandang di
tubuh Katila.
"Nyai
Dadap guruku! Sekarang suaminya, dan aku muridnya akan menuntut balas!"
jawab Katila tegas.
Pranata
mengerutkan keningnya. Jawaban tegas wanita cantik itu membuatnya terkejut.
Sungguh tidak pernah terpikirkan kalau Nyai Dadap mempunyai suami dan seorang
murid wanita yang cantik. Wanita yang selama ini dikenal baik oleh penduduk
Desa Palang Sewu, ternyata adalah murid Nyai Dadap! Dia itu dulu seorang tokoh
hitam rimba persilatan yang menjadi momok menakutkan bagi seluruh penduduk desa.
"Demi
arwah guruku, terimalah kematianmu, Pranata!"
Setelah
berkata lantang, Katila langsung melompat menerjang Ketua Padepokan Soka Palang
Sewu itu. Terjangannya begitu cepat, sehingga membuat Pranata sempat
terperangah. Namun dengan cepat dia melompat mundur menghindari terjangan
wanita berbaju serba hijau itu.
"Hiya!
Hiya! Hiyaaa...!"
Katila
berteriak keras melengking, dan tangannya mengibas cepat beberapa kali.
Beberapa cahaya hijau meluncur bagai hujan ke arah orang yang mengepungnya.
Begitu cepatnya cahaya hijau itu melesat, sehingga tidak ada yang sempat
menghindarinya. Jeritan melengking terdengar beberapa kali Baling susul begitu
cahaya hijau yang berasal dari beberapa jarum kecil itu menembus orang yang
mengepung dengan senjata terhunus.
Tidak
kurang dari sepuluh orang, ambruk bergulingan di tanah. Kejadian yang cepat dan
tidak terduga itu, membuat yang lainnya jadi terperangah. Terlebih lagi
Pranata. Dia terkejut sekali mendapati sepuluh orang muridnya tewas hanya dalam
satu gebrakan saja.
"Iblis!
Perempuan keparat...!" geram Pranata gusar.
"Yat..!
Haaa..."
Katila
kembali mengebutkan tangannya. Dan jeritan melengking kembali terdengar
menyayat memecah kesunyian malam ini. Kembali delapan orang terjungkal roboh
tertembus jarum-jarum beracun yang dilepaskan wanita cantik berbaju hijau itu.
"Keparat!
Kubunuh kau! Hiyaaa... !"
Pranata
tidak dapat lagi mengendalikan amarahnya. Langsung dicabut goloknya seraya
melompat menerjang ganas. Katila mengegoskan tubuhnya sedikit ke kiri, maka
tusukan golok Pranata lewat sedikit di pinggangnya.
Secepat
Pranata menarik goloknya kembali, secepat itu pula dikibaskannya ke arah
pinggang. Katila menarik kakinya ke belakang satu langkah, lalu membungkukkan
sedikit tubuhnya sambil menarik perutnya ke belakang. Kembali serangan Pranata
luput dari sasaran. Ujung goloknya hanya lewat sedikit di depan perut Katila.
"Hap!"
Cepat
sekali katila memutar tubuhnya sambil mengangkat kaki kanannya. Satu serangan
balasan yang cepat, membuat Pranata sulit menghindarinya. Tapi dengan cepat
Ketua Padepokan Soka Palang Sewu itu mengibaskan goloknya menyilang di depan
dada.
"Uts!"
Katila
langsung menekuk kakinya. Dan begitu golok Pranata berada di bawah perut,
dengan cepat tangan kiri wanita itu melayang ke depan, mengarah ke dada lawan
yang kosong.
Dug!
"Akh!"
Pranata memekik tertahan.
Kepalan
tangan Katila telak masuk ke dada Ketua Padepokan Soka Palang Sewu itu. Tubuh
Pranata terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Tangan kirinya mendekap
dada yang terkena pukulan bertenaga dalam cukup tinggi itu.. Dan belum lagi
Pranata dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, Katila cepat melompat sambil
mencabut senjatanya berupa sebilah pedang berbentuk ular berwarna hijau.
Sret!
"Mampus
kau, Pranata! Yaaat...! Katila menjerit keras melengking.
Sementara
Pranata yang masih dalam keadaan limbung, hanya bisa terkesiap melihat serangan
selanjutnya yang datang begitu. cepat. Tidak ada waktu lagi untuk berkelit.
Pranata kontan mengangkat goloknya, cepat membentengi tubuhnya.
Trang!
Dua
senjata beradu keras.
"lkh!"
Pranata terperanjat. Tangannya bergetar hebat, dan golok kebanggaannya
terpotong jadi dua bagian.
Belum
lagi hilang rasa terkejutnya, secercah cahaya hijau berkelebat cepat ke
arahnya. Buru-buru Pranata melompat mundur. Namun ujung senjata Katila masih
sempat menggores dadanya. Kembali Pranata memekik tertahan. Darah pun mengucur
dari luka yang cukup panjang di dada Ketua Padepokan Soka Palang Sewu itu.
"Hi
hi hi...!" Katila tertawa terkikih melihat darah mengucur dari dada
lawannya.
"Serang...!"
seru Pranata keras sambil menahan rasa nyeri.
Dua
belas orang muridnya serentak berlompatan menyerang dengan ganas begitu
mendapat perintah dari gurunya. Namun Katila bukanlah orang sembarangan.
Gerakan jurus-jurusnya demikian cepat, sukar diikuti pandangan mata biasa.
Apalagi kini memegang senjata yang sangat ampuh dan dahsyat. Murid-murid
Padepokan Soka Palang Sewu sungguh dibuat tidak berdaya. Mereka tumbang satu
persatu dalam waktu cepat.
Hanya
dalam waktu setegukan air teh saja, tinggal enam orang yang masih hidup. Katila
benar-benar tidak memberi ampuh lagi pada lawan-lawannya. Dibabatnya habis
siapa saja yang berani menghalanginya.
"Hiya!
Yeaaah..."
Sambil
berteriak keras, Katila melompat berputar mengibaskan pedangnya yang berbentuk
seekor ular hijau itu. jerit dan pekik kematian mewarnai suasana malam ini.
Jeritan terakhir dari murid-murid Padepokan Soka Palang Sewu. Katila berdiri
tegak di, antara bergelimpangannya mayat-mayat. Pedangnya menyilang di depan
dada. Pandangan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata Pranata. Saat itu
Pranata sudah bisa menghentikan darah yang mengucur keluar dari luka di
dadanya. Napasnya pun sudah teratur kembali.
Cring!
Katila
memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya yang tergantung di pinggang. Seolah-olah
ingin menunjukkan bahwa dirinya seorang ksatria yang berani menghadapi lawan
tanpa menggunakan senjata, di saat lawannya juga tidak memegang senjata.
Perlahan-lahan Katila menggeser kakinya ke samping, dan pandangan matanya tetap
tajam menusuk tidak berkedip.
Sementara
Pranata juga telah bersiap-siap menghadapi wanita berbaju hijau yang penuh
dendam di hatinya itu. Kini Pranata tidak dapat bermain-main lagi. Dia sudah
merasakan, bagaimana pahitnya menganggap remeh lawan yang hanya seorang wanita.
Dia juga tidak berkedip mengamati setiap gerak wanita di depannya.
"Hup!"
"Hya...!"
Hampir
bersamaan, Katila dan Pranata melompat saling menerjang. Kedua tangan mereka
terpentang ke depan, disertai pengerahan ilmu andalan masing-masing. Tepat pada
satu titik di tengah, kedua tangan mereka bertemu. Satu ledakan keras terdengar
menggelegar disertai memijarnya bunga api, di saat kedua pasang telapak tangan
bertemu di udara.
Kedua
tangan yang mengadu ilmu itu tampak terpental ke belakang dengan keras.
Masing-masing jatuh bergulingan di tanah. Namun Katila cepat dapat bangkit
kembali. Tampak darah mengalir keluar dari mulutnya. Sedangkan Pranata tetap
menggeletak dengan tubuh menghitam bagai terbakar. Ketua Padepokan Soka Palang
Sewu itu tidak bergerak-gerak lagi. Mati.
"Hhh...!"
Katila menarik napas panjang dan berat.
Namun
wajahnya langsung memerah begitu menarik napas. Tangan kirinya menekan dadanya
kuat-kuat Sesaat kemudian dimuntahkan darah kental agak kehitaman. Raut
wajahnya berubah memucat, dan tubuhnya bergetar. Buru-buru dia duduk bersila,
lalu menyilangkan tangannya di depan dada dengan jari telunjuk merapat menunjuk
ke atas. Matanya terpejam rapat, kemudian diatur napasnya.
"Hsss...,
" dari mulutnya keluar suara mendesis bagai seekor ular.
Katila
menyadari kalau dirinya terkena pengaruh ilmu yang dikeluarkan Pranata tadi.
Dipusatkan seluruh jiwanya lalu disalurkan hawa murni untuk memulihkan bagian
dalam tubuhnya. Sedikit demi sedikit hawa panas menjalar ke seluruh tubuhnya.
Dua kali dia memuntahkan darah kental kehitaman. Dan pada muntahan yang ketiga
kalinya, darahnya kembali berwarna merah.. Perlahan-lahan kelopak, matanya
kembali terbuka.
"Uh!
Sungguh hebat ilmunya," lenguh Katila seraya bangkit berdiri. "Hampir
saja aku tidak kuat menahannya."
Sejenak
dipandangi keadaan sekitarnya yang dipenuhi mayat bergelimpangan bersimbah darah.
Tatapan matanya langsung tertumbuk pada mayat Pranata yang terbujur kaku dengan
seluruh tubuh menghitam hangus.
"Hhh...!
Kalau saja tidak kugunakan aji 'Pati Geni', entah apa yang terjadi pada
diriku... gumam Katila pelan.
Katila
berbalik dan langsung melompat melewati pagar tembok benteng yang tinggi dan
tebal. Tubuhnya melesat ringan, dan cepat meluruk ke bawah begitu melewati
bagian atas tembok benteng itu. Dan begitu kakinya berhasil menjejak tanah,
matanya membeliak lebar.
Katila
memandangi laki-laki muda berwajah tampan di depannya seperti hampir tidak
percaya dengan pandangan matanya sendiri. Pemuda tampan berbaju rompi putih pun
membalas tatapan itu dengan tajam pula.
"Mau
apa kau ke sini?" tanya Katila agak ketus nada suaranya.
"Seharusnya
kau sudah bisa menjawab sendiri, Katila," sahut pemuda itu dingin.
"Kau
orang asing di sini. Jangan mencampuri urusanku!"
"Aku
memang tidak akan mencampuri urusanmu, jika kau tidak berlaku kejam dengan
membantai orang-orang tidak bersalah. Sayang sekali, tidak bisa kubiarkan
kekejaman berlangsung di depan mataku."
"Siapa
kau sebenarnya?" tanya Katila sengit.
"Namaku
Rangga, dan biasa dipanggil Pendekar Rajawali Sakti," pemuda berbaju rompi
putih itu memperkenalkan diri.
"Heh!
Ternyata memang benar dugaan guruku. Kau memang akan menjadi batu sandungan
besar bagiku," dengus Katila. Dia memang sudah pernah bertemu pemuda itu, namun
belum mengenal namanya. Katila jadi teringat kata-kata Ki Dadap, suami gurunya
yang telah memperingatkannya agar tidak mengambil urusan dengan orang yang
bernama Pendekar Rajawali Sakti.
"Bukan
hanya penghalang, tapi akan menghentikan tindakanmu," tegas Rangga.
"Cobalah,
kalau kau mampu," tantang Katila.
Belum
pernah Rangga ditantang seorang wanita seperti ini, meskipun wanita itu
memiliki ilmu olah kanuragan dan kesaktian yang cukup tinggi. Dan tantangan
Katila membuat darahnya mendidih. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu masih dapat
menahan diri. Dia yakin, di belakang wanita ini masih ada orang lain yang pasti
sangat dihormatinya.
Rangga
sendiri menginginkan orang yang berada di belakang semua kejadian ini. Baginya
tidak ada gunanya jika hanya menghadapi orang yang tidak berkepentingan secara
mutlak. Pendekar Rajawali Sakti tidak akan merasa puas jika belum bertemu
dengan biang keladi yang sebenarnya.
"Katila.
Siapa yang menyuruhmu melakukan semua pekerjaan ini?" tanya Rangga
diperlunak nada suaranya.
"Diriku
sendiri!" sahut Katila tegas.
"Kau
memiliki ilmu-ilmu Nyai Dadap, dan kau juga menyandang senjatanya. Apakah dia
gurumu? Diakah yang menyuruhmu membalaskan sakit hatinya?" desak Rangga.
"Jangan
bawa-bawa nama guruku!" bentak Katila berang.
"Aku
tahu, kau menyimpan dendam terhadap Pranata. Dan malam ini telah kau lampiaskan
dendammu. Tapi aku yakin, tidak hanya sampai di sini tindakanmu, Katila. Dan
itu bukan dari hati nuranimu sendiri. Kau Jangan berdusta di depanku,
Katila," desak Rangga.
"Kau
orang asing di sini. Apa untungnya mencampuri urusan orang lain, heh?!"
bentak Katila.
Aku
memang selalu mencampuri urusan orang lain, terutama orang yang berhati iblis
dan bermaksud buruk pada orang yang tidak berdosa!" tegas nada suara
Rangga.
"Huh!
Tidak ada gunanya kau bicara padaku! Hih..."
Tiba-tiba
saja Katila mengebutkan tangan kanannya ke depan. Dan saat itu juga,
jarum-jarum beracun dahsyat bertebaran, melesat cepat. Yang terlihat kini hanya
pancaran cahaya hijau yang meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hey!
Hup...!"
Rangga
tersentak kaget, dan cepat melompat ke atas menghindari sergapan jarum-jarum
beracun itu. Dan pada saat itu juga, Katila melesat pergi sambil menebarkan
puluhan jarum beracunnya kembali. Hal ini membuat Rangga harus berputar di
udara menghindari terjangan senjata rahasia itu.
"Hap"
Rangga jadi celingukan begitu kakinya mendarat di tanah. Katila sudah tidak
terlihat di tempat ini. Sedangkan jarum-jarum beracun itu menancap di tanah dan
pepohonan. Rangga mengumpat dalam hati. Dia tidak sempat memperhatikan ke arah
mana wanita itu pergi.
"Cerdik
sekali dia...!" dengus Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti itu
melayangkan pandangannya berkeliling. Tidak ada sebuah bayangan pun yang
terlihat. Yang ada hanya kegelapan malam dan udara dingin menusuk kulit.
"Dia
pasti ada di pondoknya," gumam Rangga dalam hati.
Mendapat
pikiran demikian, Pendekar Rajawali Sakti itu segera melentingkan tubuhnya
meninggalkan tempat itu. Sungguh cepat luar biasa! Dalam sekejapan mata saja,
bayangan tubuhnya lenyap ditelan kegelapan malam. Dan keadaan di sekitar
Padepokan Soka Palang Sewu jadi lengang, tidak terdengar lagi suara sedikit
pun.
***
TUJUH
Pendekar
Rajawali Sakti terus berlari cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Begitu
cepatnya sehingga yang terlihat hanya bayangan putih berkelebat menembus
kegelapan malam. Tidak berapa lama, dia sudah sampai di pondok Katila yang
kelihatan sepi. Hanya sebuah pelita saja yang menerangi bagian dalam pondok
itu. Nyala apinya kecil, dan hampir padam tertiup angin yang berhembus agak
kencang.
Perlahan-lahan
Rangga mengayunkan kakinya mendekati pondok itu. Telinganya dipasang
tajam-tajam, dan matanya tidak berkedip menatap ke arah pondok itu. Rangga
mengerutkan keningnya begitu telah berjarak tiga langkah lagi di depan pintu
pondok. Meskipun ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara' sudah dikerahkan namun tidak
terdengar satu pun suara yang mencurigakan. Hanya desiran angin saja yang
terdengar.
"Tidak
ada orang yang datang ke pondok itu."
"Eh...!"
Rangga terkejut bukan main ketika tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.
Cepat-cepat
Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh. Tampaklah seorang laki-laki setengah baya
tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Di samping laki-laki itu udah berdiri
seorang wanita tua mengenakan baju longgar serba hitam. Rangga kenal, siapa
mereka. Ki Petel dan Dewi Melati.
"Sejak
tadi kami berada di sini, tapi tidak ada seorang pun yang kelihatan keluar atau
masuk ke pondok itu," kata Dewi Melati seraya menghampiri.
"Jadi
kalian juga mencurigai Katila?" tanya Rangga.
"Sudah
lama aku mencurigainya, hanya belum mendapatkan bukti yang kuat," sahut Ki
Petel.
"Bukti
sudah ada."
Ki
Petel dan Dewi Melati saling berpandangan tidak mengerti.
"Pranata
dan murid-muridnya tewas terbantai di padepokannya malam ini," sambung
Rangga.
"Apa...?!"
bukan main terkejutnya. Ki Petel mendengar Pranata dan murid-muridnya tewas.
"Siapa
yang melakukannya?" tanya Dewi Melati juga terkejut.
"Katila,"
sahut Rangga. "Sayang, aku terlambat menolongnya. Aku dapati Katila sudah
keluar dari padepokan itu. Aku yakin kalau Pranata dan murid-muridnya
tewas," kata Rangga lagi
"Keparat!
Benar-benar iblis perempuan itu!" geram Ki Petel.
"Bukan
dia, tapi orang yang berada di belakangnya," ralat Rangga.
"Apa
maksudmu?" tanya Dewi Melati minta penjelasan.
"Aku
yakin ada orang lain di belakang Katila. Wanita itu mempunyai jurus dan senjata
yang pernah dimiliki Nyai Dadap. Memang diakuinya kalau Nyai Dadap itu gurunya.
Tapi selain itu masih ada orang lain lagi yang aku tidak tahu," jelas
Rangga.
"Aku
tidak mengerti maksudmu, Rangga," kata Ki Petel.
"Seberapa
jauh kalian mengenal Nyai Dadap?" Rangga malah balik bertanya.
Kembali
Ki Petel dan Dewi Melati saling berpandangan. Pertanyaan Pendekar Rajawali
Sakti itu sungguh di luar dugaan sama sekali. Tidak mudah untuk menjawab
pertanyaan itu.
"Maaf,
kalau aku terlalu banyak bertanya. Tapi aku hanya tidak ingin ada penyesalan di
kemudian hari. Semua yang kulakukan selalu kupikirkan masak-masak. Bagiku,
seorang yang dianggap melakukan kejahatan, belum tentu dilakukan oleh hati yang
diliputi nafsu kejahatan. Bahkan pembunuhan bisa terjadi bukan karena
kejahatan," kata Rangga kalem tanpa bermaksud menggurui.
"Aku
bisa memahami maksudmu, Rangga. Tapi... apa mungkin Nyai Dadap masih
hidup?" ujar Dewi Melati ragu-ragu.
"Nyai
Dadap sudah meninggal, tapi masih ada suaminya. Katila sendiri memang sudah
lama menjadi murid Nyai Dadap sebelum kalian berhasil membunuhnya. Dendamnya
bertambah setelah Pranata memerintahkan suaminya mengusir babi hutan yang
menjarah desa ini. Aku tidak tahu siapa suami Katila."
"Suami
Katila adalah murid Pranata. Murid utama Padepokan Soka Palang Sewu. Kematiannya
memang masih diragukan. Tidak mungkin dia tewas oleh babi-babi hutan itu,"
sambung Ki Petel.
Sesaat
mereka terdiam.
"Sebentar...!"
sergah Ki Petel cepat. "Aku menangkap nada lain pada pembicaraanmu,
Rangga. Apa kau mencurigai salah seorang dari...."
"Tidak
sejauh itu, Ki Petel," sergah Rangga cepat. "Tapi kemungkinan untuk
hal itu bisa saja terjadi."
"Sungguh
tidak pernah terpikirkan olehku..." gumam Ki Petel mulai menangkap maksud
pembicaraan ini.
"Itu
baru dugaan, Ki Petel. Dan kebenarannya harus dicari sebelum jatuh korban lebih
banyak lagi," ujar Rangga.
"Dan
kebenaran itu bisa didapat di Karang Setan!" sergah Ki Petel menyambung.
"Karang
Setan...?!" Rangga mengerutkan dahinya.
"Benar.
Aku pernah melihat Katila datang dari arah Karang Setan. Daerah itu selalu
dijauhi penduduk. Tempat itu dekat dengan jurang di mana kami berhasil
mengalahkan Nyai Dadap sepuluh tahun lalu. Aku yakin kalau selama ini Karang
Setan menjadi tempat persembunyian mereka," lanjut Ki Petel.
"Aku
akan melihat ke sana," kata Rangga.
"Rangga...."
"Dan
sebaiknya kalian menyelidiki siapa pengkhianat itu, " Rangga berkata cepat
sebelum Dewi Melati melanjutkan ucapannya.
Sebelum
kedua orang itu mencegah, Rangga telah melesat. cepat meninggalkan tempat itu.
Sementara Ki Petel dan Dewi Melati hanya berpandangan, dan sama-sama mengangkat
bahunya. Kemudian mereka berbalik, meninggalkan halaman pondok Katila. Tapi
baru saja mereka berjalan beberapa langkah, Dewi Melati berhenti.
"Ada
apa?" tanya Ki Petel.
"Kau
teruskan saja mencari pengkhianat itu. Aku akan menyusul Pendekar Rajawali
Sakti," sahut Dewi Melati.
"Dewi..."
Tapi
Dewi Melati sudah cepat melesat meninggalkan Ki Petel seorang diri. Laki-laki
setengah baya Kepala Desa Palang Sewu itu hanya bisa bengong, kemudian bergegas
kembali berjalan menuju ke desanya yang tidak berapa jauh dari tempat ini.
Pondok Katila memang masih termasuk wilayah Desa Palang Sewu, tapi letaknya
menyendiri dari lingkungan perumahan penduduk lainnya. Ki Petel berjalan cepat
dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dalam waktu sebentar saja pondok
kecil itu sudah jauh ditinggalkan.
Sementara
itu Rangga sudah tiba di Kaki Lereng Gunung Palang Sewu yang berbatu. Daerah
inilah yang dinamakan Karang Setan. Suasananya memang sangat menyeramkan. Sunyi
lengang. Bahkan angin pun seakan-akan enggan berhembus. Sesekali terdengar
lolongan anjing hutan di kejauhan. Rangga memandangi lereng gunung yang berbatu
tanpa satu pohon pun terlihat.
Sungguh
aneh daerah ini. Hanya pada bagian tengah lereng saja yang berbatu karang dan
kelihatan rapuh. Sedangkan pada bagian lain tampak subur dipenuhi pepohonan
besar dan kecil. Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati setiap jengkal bagian
lereng yang berbatu. Keningnya agak berkerut melihat asap tipis mengepul dari
salah satu bagian batu yang menjorok keluar.
"Hm...,
asap apa itu?" tanya Rangga dalam hati. "Mungkin di sana ada sebuah
tempat tersembunyi."
Mendapat
pikiran demikian, Pendekar Rajawali Sakti itu segera melentingkan tubuhnya,
mendaki lereng gunung berbatu karang yang rapuh itu. Gerakannya ringan, bagai
seekor burung. Namun ketika kakinya menginjak sebuah batu, mendadak batu itu
longsor.
"Hup!
Rangga
buru-buru melentingkan tubuhnya, dan meluruk turun ke atas sebuah batu besar.
Batu yang kelihatan kuat itu, kontan ambrol berantakan begitu kaki Pendekar
Rajawali Sakti hinggap di atasnya. Kembali Rangga melentingkan tubuhnya, agar
tidak ikut jatuh bersama batu-batu yang longsor. Suara gemuruh terdengar
bersama longsoran batu-batu dari lereng gunung itu.
Beberapa
kali Rangga harus berputaran di udara, sebelum hinggap di atas tanah berumput
di kaki lereng. Kepalanya menggeleng beberapa kali menyaksikan batu-batu yang
berguguran ke bawah menimbulkan suara menggemuruh hebat. Beberapa batu hampir
menghantam tubuhnya, namun dengan manis sekali Pendekar Rajawali Sakti itu
menghindarinya.
Agak
lama juga batu-batu, itu berguguran. Bumi yang dipijak bergetar hebat bagai
terjadi gempa. Rangga memandangi dengan mata tidak berkedip. Asap tipis yang
mengepul di tengah lereng itu hilang, bersamaan dengan berhentinya longsoran
batu. Rangga mengerutkan keningnya. Dia yakin kalau di tengah-tengah lereng
gunung ini ada satu tempat yang dijadikan persembunyian. Hanya saja, rasanya
tidak mungkin mendaki lereng itu, meskipun mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Dia yakin kalau batu-batu itu dapat longsor karena disengaja oleh orang
yang berada di lereng gunung itu.
"Terpaksa,
aku harus meminta bantuan sahabatku," gumam Rangga dalam hati.
Sebentar
dia memandang sekitarnya. Sepi! Tak ada seorang pun yang terlihat. Kemudian
pandangannya kembali terarah ke lereng gunung yang berbatu rapuh itu.
"Suiiit...!"
Satu
siulan panjang melengking tinggi dan bernada datar terdengar memecahkan
kesunyian Kaki Lereng Gunung Palang Sewu ini. Rangga menatap lurus ke arah
Timur. Cukup lama juga menunggu. Dari kejauhan sana, terlihat satu titik hitam
keperakan melayang di angkasa. Semakin lama titik itu semakin membesar dan
semakin jelas terlihat.
"Khraghk...!"
"Rajawali
sahabatku! Kemarilah!" seru Rangga keras disertai pengerahan tenaga dalam
cukup sempurna.
"Khraghk!"
Burung
Rajawali Raksasa itu menukik turun, lalu hinggap tepat di depan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum dan merangkul kepala burung sahabatnya
itu, sepertinya rindu sekali. Ditepuk-tepuknya leher burung itu penuh kasih
sayang.
"Apa
kabarmu, Sahabat?" tanya Rangga lembut.
Rajawali
Raksasa menatap lurus ke bola mata Rangga. Sepertinya ingin bertanya sesuatu.
"Tidak
sulit, Sahabat. Kita akan menyelidiki lereng gunung itu," kata Rangga
seperti mengetahui apa yang ada di dalam benak Rajawali Raksasa sahabatnya ini.
"Grhhhk...!"
"Ya,
aku juga sudah berpikir begitu. Ayolah! Kita tidak banyak punya waktu!"
Rangga
bergegas melompat naik ke punggung Burung Rajawali Raksasa itu. Sebentar
kemudian, burung raksasa itu telah melayang ke angkasa dengan Pendekar Rajawali
Sakti berada di punggungnya. Rangga menunjuk ke arah tengah lereng berbatu
karang. Burung Rajawali Raksasa itu melayang-layang memutari bagian tengah
lereng berbatu karang.
"Ada
goa di depan sana, Rajawali!" seru Rangga mengalahkan kebisingan angin
yang menderu di telinga.
"Khraghk!"
Rajawali
Raksasa menukik menghampiri titik hitam di tengah-tengah batu karang yang
menjorok keluar dari Lereng Gunung Palang Sewu itu. Semakin dekat, semakin
jelas terlihat kalau titik hitam itu merupakan mulut goa yang letaknya sangat
tersembunyi. Sejenak Rangga mengamati keadaan mulut goa yang terlihat jelas
itu. Tidak begitu besar, namun tampaknya cukup dalam dan panjang. Tidak
terlihat cahaya sedikit pun. Itu tandanya kalau goa itu sangat panjang dan
dalam.
"Aka
akan melihat ke dalam, Rajawali!" kata Rangga keras.
"Khraghk!"
Burung Rajawali Raksasa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa?"
tanya Rangga mengetahui isyarat itu. Dan belum lagi pertanyaannya terjawab,
mendadak seberkas cahaya hijau melesat ke arahnya. Burung Rajawali Raksasa
memiringkan posisi tubuh sambil mengepakkan kuat-kuat sayapnya yang lebar. Dan
sinar hijau itu melesat lewat di bawah sayap burung raksasa itu.
"Gila!"
Rupanya mereka sudah mengetahui kedatangan kita, Rajawali," rungut Rangga.
"Grrrhk...!"
Rajawali Raksasa memekik geram.
Saat
itu, kembali sinar hijau melesat. Kali ini jumlahnya tiga buah, dan mengarah
pada tiga jurusan yang hampir bersamaan. Rajawali Raksasa meraung keras, lalu
dengan cepat melesat ke udara. Dan cahaya hijau itu pun lewat di bawah kakinya.
Namun pada saat yang bersamaan, kembali melesat dua cahaya hijau ke arah burung
raksasa itu.
Kali
ini Rangga tidak bisa tinggal diam saja. Segera dicabut pedang pusakanya. Dan
seketika itu juga sekelilingnya menjadi terang oleh cahaya biru berkilau yang
memancar dari Pedang Rajawali Sakti.
"Hyaaa...!"
Sambil
berteriak keras, Rangga mengayunkan pedangnya ke depan. Dan saat itu juga,
kepala burung rajawali raksasa merunduk ke bawah. Dua cahaya hijau yang meluruk
deras ke arah kepala burung raksasa itu, langsung dihadang oleh Pedang Rajawali
Raksasa yang mengibas cepat bagai kilat!
Trang!
Tring!
"Heh!"
Rangga
tersentak kaget setengah mati. Jari-jari tangannya bergetar kaku ketika
pedangnya menghantam dua cahaya hijau itu. Kedua bola matanya membeliak lebar,
saat melihat di mata pedangnya menempel dua buah pisau kecil berwarna hijau.
Sulit
dipercaya kalau pisau itu menempel karena terbabat mata Pedang Rajawali Sakti.
Pisau itu tidak buntung, melainkan hanya terpotong sedikit bagian tengahnya,
sehingga menjepit pedang pusaka itu. Rangga mencabut kedua pisau berwarna hijau
itu dan memperhatikannya dengan seksama.
"Racun..."
desisnya terkejut.
"Khraghk...!"
Rangga
kembali memasukan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya. Dia berpegangan
keras pada leher burung raksasa sahabatnya ini. Seketika itu juga Rajawali
Sakti meluruk turun dengan cepat. Sekejap mata saja, burung raksasa itu telah
hinggap di atas tanah berumput, jauh dari lereng gunung yang berbatu karang
rapuh itu. Rangga bergegas melompat turun dari punggung Rajawali Raksasa. Dalam
genggaman tangannya masih tersimpan dua bilah pisau yang membuatnya belum bisa
berpikir tenang.
"Kenapa
kau mengajakku ke sini?" tanya Rangga, seraya memandang burung raksasa
sahabatnya itu.
"Grrrrhk....!"
"Apa...?!
Rangga
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Baru disadari kalau tempat ini adalah
Puncak Gunung Palang Sewu. Pandangan matanya langsung terpaku ketika menatap ke
arah lereng gunung yang berbatu. Rasanya sukar dipercaya kalau di lereng
berbatu itu ada seseorang tengah berlompatan ringan. Arahnya mendaki. Begitu
ringan berlompatan, seakan-akan hanya seonggok kapas tertiup angin.
"Nyi
Senah..." Rangga mendesis pelan begitu mengenali orang yang berlompatan
mendaki lereng gunung yang berbatu itu.
Kening
Pendekar Rajawali Sakti itu berkerut, begitu melihat Nyi Senah tiba-tiba
menghilang tepat di tengah-tengah lereng yang berbatu itu. Dan Rangga tahu
kalau tempat itu adalah mulut goa yang panjang dan gelap. Di mulut goa itulah
dia mendapat serangan yang cukup membuatnya kerepotan tadi. Bahkan Burung
Rajawali Raksasa hampir tidak sanggup menghadapinya.
"Hm...
apa tujuan Nyi Senah ke sana? Apakah dia yang mengkhianati seluruh penduduk
Desa Palang Sewu?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.
Tentu
saja pertanyaan itu tidak bisa terjawab kalau Burung Rajawali Raksasa tidak
mematuki Punggungnya. Rangga menoleh dan langsung menatap ke bola mata burung
raksasa itu. Kembali keningnya berkerut dalam melihat Burung Rajawali itu
menggerak-gerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
"Ada
apa?" tanya Rangga.
"Khrrrk...!"
"Kenapa
kau pergi?" tanya Rangga seperti mengerti setiap gerakan dan suara yang
dikeluarkan burung raksasa itu.
Rajawali
Raksasa itu mengepakkan sayapnya, lalu perlahan-lahan membumbung tinggi. Kini
kepalanya menyorong lurus ke arah belakang Rangga, sehingga Pendekar Rajawali
Sakti itu pun membalikkan tubuhnya. Meskipun dia dapat berkomunikasi dengan
burung raksasa itu, tapi masih juga sulit untuk mengartikan secara keseluruhan.
Dan
ketika Rangga menoleh lagi ke arah sahabatnya itu. Burung Rajawali Raksasa itu
telah melambung jauh. Kini hanya titik hitam keperakan yang tampak. Entah
kenapa, Rangga menyunggingkan senyum ketika Rajawali Raksasa tidak
meninggalkannya, tapi malah mengawasi dari jarak yang cukup jauh dan tidak
terlihat. Rangga menduga, pasti ada sesuatu sehingga Rajawali Raksasa
sahabatnya itu menjauhkan diri.
Dan
jawaban itu didapat ketika telinganya mendengar suara langkah kaki yang sangat
ringan. Bahkan hampir tidak terdengar sama sekah. Kalau saja bukan Rangga,
pasti langkah kaki itu tidak akan terdengar. Langkah kaki itu disertai
pengerahan ilmu meringan-kan tubuh yang cukup tinggi tingkatannya.
"Hm...
siapa dia...?" tanya Rangga dalam hati.
Dan
pada saat langkah kaki itu terdengar dekat, Rangga segera melentingkan tubuhnya
ke udara. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan segumpal kapas, begitu
ringan dan cepat bagai terhembus angin. Tahu-tahu dia sudah hinggap di atas
dahan pohon yang cukup tinggi dan rimbun daunnya.
Tidak
lama berselang, dari kelebatan hutan di Puncak Gunung Palang Sewu ini muncul
seorang wanita tua yang usianya sekitar tujuh puluh tahun. Rangga yang berada
di atas dahan, langsung mengenali wanita tua itu yang tidak lain adalah Dewi
Melati.
"Hup!"
Rangga segera meluruk turun dari dahan pohon.
"Uts!"
Dewi Melati kontan melompat sambil menyilangkan tangannya di depan dada.
Namun
begitu melihat siapa yang berada di depannya, wanita tua itu tersenyum, dan
melangkah menghampiri. Rangga juga memberikan senyuman.
Maaf,
aku telah mengagetkanmu," ucap Rangga lembut.
"Tidak.
Aku hanya terlalu waspada," sahut Dewi Melati.
"Kau
pasti mengikutiku ke sini," tebak Rangga langsung. "Kenapa melalui
jalan memutar?"
"Tidak
ada seorang pun yang bisa melintasi Karang Setan, kecuali seijin
penghuninya," sahut Dewi Melati lagi. "Kau sendiri, kenapa berada di
sini? Bukankah tadi melewati kaki gunung ini.
Rangga
tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Tidak mungkin dijawab pertanyaan itu
terus terang. Selama ini belum ada seorang pun yang mengetahui tentang Rajawali
Raksasa, kecuali orang yang berarti khusus. Atau juga dalam keadaan terpaksa.
"Aku
tadi sempat melihat Nyi Senah," kata Dewi Melati langsung melupakan
pertanyaannya tadi.
"Oh...!
Rangga agak terkejut juga.
"Terus
terang, sejak munculnya Nyi Dadap, sepuluh tahun lalu, dia kucurigai bersekutu
dengannya. Kini kecurigaanku terbukti. Tapi aku tidak tahu, ada hubungan apa
Nyi Senah dengan Nyai Dadap," sambung Dewi Melati.
"Hm...
gumam Rangga tidak jelas.
"Pernah
kukatakan hal ini pada Ki Petel dan yang lainnya, tapi mereka tidak
mendengarkannya. Mereka memang tidak bisa disalahkan, karena masa laluku memang
suram. Dulu, aku seorang tokoh beraliran sesat, tapi suka juga membantu yang
lemah. Kau tahu, mengapa kulakukan itu?"
Pendekar
Rajawali Sakti menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kepandaian
yang kuperoleh memang dari orang beraliran sesat. Tapi hatiku tidak! Hal ini
menjadikan diriku berada dalam dunia yang berlawanan. Seperti juga saudara
seperguruanku, Ki Petel. Dia pun tidak menggunakan ilmunya untuk jalan sesat,
meskipun semua yang dimilikinya tidak jauh berbeda denganku.
"Aku
bisa mengerti," ucap Rangga setengah mendesah.
"Aku
ingin meninggalkan semua kehidupanku yang suram di masa lalu. Tapi rupanya
semua orang masih menilaiku buruk."
"Mungkin
dengan kejadian ini, mata hati mereka terbuka, " Rangga membesarkan hati
wanita tua itu.
"Kau
hanya menghiburku saja, Rangga."
"Tidak!
Bagiku semua orang bisa berubah. Aku sendiri tidak melihat kalau dirimu
beraliran sesat. Bahkan kalau memang benar apa yang kau katakan tadi, aku malah
kagum.
"Terima
kasih."
"Hm...,
bagaimana sekarang?" tanya Rangga membelokkan kembali ke pokok persoalan
yang. tengah dihadapi.
"Kita
tidak mungkin bisa ke Karang Setan. Tapi satu-satunya cara ke tempat itu hanya
dengan memancing mereka keluar dari sana," sahut Dewi Melati.
"Caranya?"
Dewi
Melati mengangkat bahunya setelah berpikir sejenak. Kemudian Rangga membalikkan
tubuhnya. Dia mendongak ke atas, memandang titik hitam keperakan yang masih
melayang di angkasa. Memang, satu-satunya jalan hanya minta bantuan Rajawali
Raksasa.
"Suiiit...!"
***
DELAPAN
Dewi
Melati terpaku hampir tidak percaya begitu melihat seekor Burung Rajawali
Raksasa meluruk turun setelah mendengar siulan panjang melengking bernada aneh.
Perempuan tua itu terheran-heran menyaksikan Rangga begitu akrab dengan burung
raksasa itu.
"Nyai
Dewi..!"
"Oh!
Eh..., ya," Dewi Melati tergagap.
"Ini
Rajawali Sakti, sahabatku," Rangga memperkenalkan sahabatnya itu.
Hati
Dewi Melati masih diliputi perasaan heran bercampur tidak percaya. Dia hanya
bisa mengangguk dengan mata tidak berkedip memandangi burung yang begitu besar
dan terlihat sangat menakutkan. Sedangkan Rajawali Raksasa menyorongkan
kepalanya kepada wanita tua itu. Hal ini membuat Dewi Melati terkejut setengah
mati, sehingga tanpa sadar melompat ke belakang.
"Ha
ha ha...!" Rangga tidak dapat menahan rasa gelinya melihat Dewi Melati
ketakutan.
"Khrrrrk...!"
Rajawali Raksasa mengkirik sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jangan
takut, Nyai Dewi. Sahabatku ini akan membantu kita memancing mereka
keluar," kata Rangga setelah reda tawanya.
Dewi
Melati masih belum bisa berkata-kata. Selama hidupnya, belum pernah dia melihat
seekor burung begitu besar, melebihi besarnya seekor gajah dewasa.
Berpuluh-puluh tahun malang melintang dalam rimba persilatan, tapi baru kali ini
menyaksikan sesuatu yang sukar untuk dipercaya. Sering didengar sepak terjang
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, dia tidak tahu sama sekali kalau pendekar muda
itu mempunyai sahabat seekor burung raksasa. Rasanya saat ini tengah bermimpi
saja!
"Ayo,
Rajawali Sakti. Kita pancing mereka keluar!" seru Rangga tidak ingin
membuat Dewi Melati semakin bengong keheranan.
"Khraghk!"
"Hap!"
Rangga melompat naik ke punggung Rajawali Sakti.
Begitu
Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di punggungnya, burung raksasa itu
langsung melesat terbang ke angkasa. Tapi Rangga menepuk leher sahabatnya.
"Pindahkan
dulu Nyai Dewi ke Kaki Lereng Gunung Palang Sewu," kata Rangga agak keras.
Rajawali
Sakti melesat naik lebih tinggi, kemudian meluruk turun dengan cepat ke Puncak
Gunung Palang Sewu. Tepat pada saat itu, sebongkah batu besar berguling dari
semak belukar. Kalau saja Rajawali Sakti tidak cepat-cepat melesat naik, batu
itu mungkin akan menghimpitnya.
"Khraghk...!"
"Kau
tetap di sini! Aku akan turun! " seru Rangga.
"Grrrhk...!"
"Hup!"
Rangga
melompat turun dari punggung Rajawali Sakti. Namun belum juga kakinya mendarat
di tanah, sebuah cahaya hijau meluruk cepat bagai kilat menerjangnya. Pendekar
Rajawali Sakti itu cepat memutar tubuhnya di udara seraya mengibaskan
pedangnya, menyampok pisau yang berwarna hijau itu.
Tring!
Dari
balik batu besar yang terguling tadi, melesat sesosok tubuh berbaju hijau ketat
yang menampakkan gambaran tubuhnya yang ramping. Rangga menjejak tanah dengan
ringan. Pedangnya disilangkan di depan dada
"Kau
hebat, Pendekar Rajawali Sakti. Mampu memaksaku keluar," kata wanita yang
ternyata adalah Katila.
"Bukan
hanya kau, tapi dua orang yang berada di belakangmu!" sahut Rangga dingin.
"Ha
ha ha...!"
Rangga
melompat mundur beberapa tindak begitu terdengar suara tawa menggelegar.
Sebentar kemudian, dua sosok tubuh melesat keluar dari semak belukar tempat
batu besar tadi terdapat. Rupanya semak belukar itu merupakan pintu penutup gua
Karang Setan.
Ki
Dadap dan Nyi Senah berdiri mengapit Katila.
Saat
yang sama dari arah lain muncul Dewi Melati yang segera menghampiri Pendekar
Rajawali Sakti.
Dan
dari arah lain. Pula, muncul Ki Petel bersama baberapa orang penduduk dan tetua
Desa Palang Sewu. Rangga memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya
di punggung. Cahaya biru langsung lenyap seketika.
"Nyi
Senah! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ki Petel keheranan melihat Nyi
Senah berdiri di samping Katila.
"Kau
sudah dapat menjawabnya sendiri, Ki Petel. Atau kau tanyakan pada Ki Ageng
Sela," jawab Nyi Senah kalem, seraya sudut matanya melirik Ki Ageng Sela
yang, berdiri di samping Wandara.
Ki
Petel memalingkan muka ke arah Ki Ageng Sela. Bahkan semua orang yang ada di
tempat itu menatap pada salah seorang tetua Desa Palang Sewu itu. Hal ini
membuat laki-laki tua itu sedikit kelabakan. Wajahnya berubah-ubah tidak
menentu. Dan tiba-tiba saja, dikibaskan tangannya cepat. Wandara yang berada di
sampingnya terperangah sesaat. Belum sempat disadari apa yang bakal terjadi,
tahu-tahu lambungnya sudah sobek mengucurkan darah.
"Ki
Ag...."
Wandara
tidak bisa melanjutkan ucapannya. Tubuhnya kontan ambruk, berkelojotan di
tanah. Sebentar kemudian tidak bergerak-gerak lagi. Darah yang keluar dari
lambungnya berubah berwarna hijau kehitaman. Sedangkan dari mulutnya merembes
busa berwarna hijau.
"Ki
Ageng... kau...!" Ki Petel terpana menyaksikan kejadian yang begitu cepat
dan tidak diduga sama sekali.
"Hup!"
Ki
Ageng Sela melompat menghampiri Nyi Senah, lalu, mendarat manis di samping
wanita tua itu. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis, menatap orang-orang
yang masih terpana tidak mengerti.
"Seharusnya
aku tidak terlalu percaya padamu, Ki Ageng," kata Ki Petel datar.
"Terlambat,"
dengus Ki Ageng sinis.
"Sejak
aku jadi kepala desa, kau selalu menentang setiap keputusanku. Semula kusangka
kau hanya mendebatku saja. Ternyata ada, maksud-maksud tertentu di balik
hatimu, Ki Ageng," dingin dan datar nada suara Ki Petel.
"Kalian
semua memang manusia bodoh! Memiliki ilmu yang tinggi, tapi tidak dapat
menjabarkan setiap ilmu. Kau mendaratkan pukulan aji 'Belah Raga' pada Nyai
Dadap, tapi kau tidak menyadari kalau ajianmu itu akan luntur oleh 'Pukulan
Racun Merah' milik Nyi Senah, Ki Petel. Juga, Tombak Sangkal Putung milik
Pranata tidak ada artinya dengan aji 'Pukulan Tapak Saketi' milik Wandara.
Ditambah lagi dengan aji Walang Sungsang' milikku. Nyai Dadap tidak akan tewas,
meskipun dihujani dengan berbagai macam ajian yang dahsyat, karena semua ajian
itu bertentangan dan saling menghancurkan," kata Ki Ageng Sela.
"Jagat
Dewa Batara..." desis Ki Petel Baru menyadari kalau kata-kata yang
diuraikan Ki Ageng Sela, memang benar.
"Tapi
kau boleh bangga, Ki Petel. Saudara seperguruanmu telah menewaskan Nyai Dadap
sebelum sampai terjerembab ke dasar jurang," lanjut Ki Ageng Sela.
"Ki
Ageng Sela! Apa sebenarnya yang kau, inginkan?" tanya Dewi Melati
menyelak.
"Aku...?
Ha ha ha...!" Ki Ageng Sela malah tertawa "Tanyakan saja pada Nyi
Senah."
"Kami
semua bersaudara. Nyai Dadap adalah adik tiriku. Dan Ki Ageng Sela adalah
saudara seperguruan dengan Nyai Dadap. Kami berpisah sejak kecil. Aku dan Ki
Ageng Sela sengaja membantu kalian mengeroyok Nyai Dadap, karena kami tahu
kalau ilmu yang kalian miliki bertentangan dan saling melumpuhkan dengan
kami," jelas Nyi Senah.
"Dan
suami Nyai Dadap menginginkan kematian istrinya terbalaskan. Sekaranglah
saatnya pembalasan itu!" sambung Ki Ageng Sela.
"Keparat!
iblis kalian semua!" geram Ki Petel.
"Terimalah
pembalasan dari arwah Nyai Dadap!" seru Ki Ageng Sela.
Seketika
itu juga Ki Ageng Sela melompat menerjang Ki Petel. Sedangkan Nyi Senah
menerjang Dewi Melati. Ki Dadap yang sejak tadi diam saja, hanya jadi penonton
bersama Katila. Juga begitu pula dengan Pendekar Rajawali Sakti. Dia belum
berbuat apa-apa. Semua yang terjadi sungguh di luar dugaan sama sekali.
Pertarungan
antara Ki Petel dan Ki Ageng Sela langsung mencapai tingkat yang tinggi. Begitu
pula dengan Nyi Senah dengan Dewi Melati. Di saat mereka tengah bertarung, Katila
melesat ke arah beberapa penduduk yang berada di sekitar tempat itu. Katila
mengamuk bagai singa betina kehilangan anaknya. Para penduduk yang rata-rata
hanya memiliki ilmu silat rendahan itu tidak mungkin mampu menghadapi amukan
Katila.
"Hiyaaa...!"
tiba-tiba saja Ki Dadap berteriak keras.
Dan
pada saat Ki Petel baru saja menerima satu pukulan telak dari lawannya, Ki
Dadap siap menghunjamkan sebilah keris hitam ke arah dada kepala desa itu.
Melihat ini, Rangga tidak tinggal diam, dan langsung melesat sambil mengerahkan
jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Plak!
"Ahk!"
Ki Dadap memekik tertahan ketika merasakan pergelangan tangannya nyeri.
Buru-buru
dia melompat, mundur, membatalkan terjangannya pada Ki Petel. Laki-laki tua itu
menggereng, membatalkan terjangannya pada Ki Petel. Laki-laki itu menggereng
marah melihat Rangga sudah berdiri tegak di depan Ki Petel.
"Keparat!
Kau cari mampus, Anak Muda!" geram Ki Dadap.
"Aku
tidak bisa diam melihat kekejian dan kecurangan berlangsung di depan
mataku!"
"Phuih!
Aku sering mendengar namamu, Pendekar Rajawali Sakti. Majulah, biar kupatahkan
batang lehermu!" geram Ki Dadap.
Setelah
berkata demikian, Ki Dadap segera saja melesat cepat menyerang Pendekar
Rajawali Sakti. Sedangkan Ki Ageng Sela kembali bertarung melawan Ki Petel.
Rangga melayani serangan laki-laki tua itu dengan menggunakan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib'. Gerakan kakinya demikian lincah, sehingga, setiap serangan yang
dilancarkan Ki Dadap berhasil dielakkannya dengan manis.
Hal
ini tentu saja membuat Ki Dadap semakin geram, dan semakin memperhebat
serangannya dengan menggunakan jurus-jurus andalan. Jurus demi jurus berlalu
cepat. Dan pada saat Pendekar Rajawali Sakti tengah melayani Ki Dadap, Katila
telah menyelesaikan pertarungannya. Dia langsung menghambur membantu Ki Dadap
mengeroyok Rangga. Menghadapi Ki Dadap saja, Rangga sudah harus jatuh bangun.
Apalagi kini ditambah lagi dengan Katila yang telah membantai habis penduduk
Desa Palang Sewu yang ikut bersama kepala desanya.
"Huh!
Mereka benar-benar iblis!" dengus Rangga mengetahui sekitar tiga puluh
penduduk tewas terbantai.
"Suiiit..."
Tiba-tiba
saja Rangga bersuit nyaring melengking. Nada siulannya panjang dan terdengar
aneh di telinga. Tidak berapa lama kemudian dari angkasa meluncur seekor Burung
Rajawali Raksasa. Semua orang yang sedang bertarung seketika berlompatan mundur
menghentikan pertarungannya. Di saat itu, Rangga melesat tinggi dan hinggap di
punggung Rajawali Raksasa itu.
Sret!
Begitu
Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya, terpancar cahaya biru berkilau
menerangi sekitar Puncak Gunung Palang Sewu ini. Rangga benar-benar marah
melihat kekejaman yang terjadi di depan matanya. Dengan menunggang Burung
Rajawali Raksasa, diterjangnya empat orang berhati iblis itu.
Dewi
Melati dan Ki Petel segera melompat menjauhi tempat itu. Tinggal empat orang
yang memiliki dendam dan hati penuh kekejaman yang kini berjumpalitan
menghindari setiap serangan Pendekar Rajawali Sakti dan Burung Rajawali Sakti
tunggangannya. Rangga mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma', sehingga tempat
di sekitar pertarungan porak-poranda, bagai terlanda topan yang amat dahsyat.
"Aaakh...!"
satu jeritan melengking tinggi terdengar.
Tampak
Ki Ageng Sela terjungkal keras menghantam sebongkah batu hitam yang keras.
Paruh Rajawali Raksasa yang besar dan keras telah mengoyak dadanya hingga
hancur berantakan. Di saat yang bersamaan, pedang Pendekar Rajawali Sakti
mengibas cepat ke arah leher Nyi Senah.
"Aaa...!"
Nyi Senah menjerit melengking.
Melihat
tumbangnya dua orang dalam waktu yang bersamaan, Katila jadi kecut juga
hatinya. Dia segera melompat jauh ke belakang dan segera berbalik hendak
melarikan diri. Namun Dewi Melati dan Ki Petel lebih gesit lagi, dan langsung
melesat menghadang. Tanpa berkata-kata lagi mereka segera menyerang Katila
dengan gencar.
"Mampus
kau, iblis keparat! Hiyaaa... seru Ki Petel nyaring.
Ki
Petel melontarkan tangan kanannya ke depan disertai pengerahan aji 'Belah
Raga'. Pada saat itu Katila tengah sibuk menghindari serangan Dewi Melati,
sehingga dia tidak mempunyai kesempatan lagi menghindari serangan Ki Petel.
Telapak tangan Kepala Desa Palang Sewu itu telak menghantam dada Katila.
"Ugh"
Hanya
sedikit Katila mengeluh pendek, lalu tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Di
saat itu, Dewi Melati melompat cepat ke belakang Katila dan langsung menghajar
punggung wanita cantik itu disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Tubuh
Katila kontan terpental keras, menghantam pohon besar hingga tumbang. Hanya
sebentar mampu bergerak, kemudian diam tidak bernyawa lagi.
Sementara
itu Rangga telah turun dari punggung, Rajawali Sakti. Dan kini dia bertarung
sengit melawan Ki Dadap. Dengan Pedang Pusaka Rajawali Sakti di tangan, Rangga
bagaikan malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Setiap tebasan pedangnya
menimbulkan udara panas menyengat disertai desiran angin menggemuruh bagai
topan.
"Awas
kepala ... !" tiba-tiba Rangga berseru keras.
Secepat
itu pula, pedangnya berkelebat cepat ke arah kepala Ki Dadap. Laki-laki tua itu
cepat-cepat merundukkan kepalanya. Dan begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti
lewat di atas kepala Ki Dadap, tanpa diduga sama sekali Rangga menghantamkan
tangan kirinya ke arah dada. Namun Ki Dadap mampu menghindarinya cepat.
Tubuhnya dimiringkan ke kanan, dan tangan kanannya menepak tangan kiri Rangga.
"Hup!"
"Hiya...!"
Kedua
tokoh sakti itu berlompatan mundur. Mereka berdiri saling berhadapan. Ki Dadap
mengepalkan kedua tangannya di depan mukanya, kemudian perlahan-lahan turun
sampai di depan dada. Melihat lawannya mengerahkan ajian, Rangga segera
menyilangkan pedangnya di depan dada. Segera dimasukkan pedang ke dalam
warangkanya, karena akan menggunakan ajian.
Cring!
Pedang
Pusaka Rajawali Sakti masuk dengan cepat ke dalam warangkanya. Dan Rangga
langsung mempersiapkan diri dengan pengerahan aji' Cakra Buana. Sukma'.
"Hiyaaa..."
"Aji
'Cakra Buana Sukma'...!"
Dua
tokoh sakti itu berlompatan saling menerjang. Dan pada satu titik tengah, kedua
telapak tangan mereka bertemu dengan keras. Akibatnya terjadi satu ledakan
dahysat, disertai berpijarnya bunga api. Rangga mencengkeram kuat jari-jari
tangan Ki Dadap. Mereka berdiri berhadapan saling berpegangan tangan. Terlihat
jelas kalau mereka sama-sama mengerahkan ajian yang diandalkan.
"Uhk!"
Ki Dadap mulai mengeluh.
Dirasakan
adanya satu aliran yang sangat kuat menyedot tenaganya. Gumpalan cahaya biru
yang terpancar dari tangan Pendekar Rajawali Sakti mulai menyelimuti kedua
tangan laki-laki tua itu. Dan kini perlahan-lahan cahaya biru itu merayap ke
pangkal lengan, dan terus menjalar menyelimuti tubuh Ki Dadap.
"Uh!
Ahk...!"
Tubuh
Ki Dadap mulai bergetar. Tenaga dalam dan seluruh kekuatannya tersedot tanpa
mampu dicegah lagi. Seluruh tubuhnya terselubung cahaya biru yang semakin pekat
mengaburkan. Getaran pada tubuh Ki Dadap semakin bertambah hebat. Dia berusaha
melepaskan tangannya dari cengkeraman tangan Pendekar Rajawali Sakti. Namun
semakin kuat dikerahkan kekuatannya, semakin kuat pula tenaganya tersedot.
"Hiyaaat...!"
tiba-tiba Rangga berteriak keras.
Seketika
itu juga dihentakkan tangannya. Akibatnya tubuh Ki Dadap terpental keras ke
belakang. Bersamaan dengan itu terdengar satu jeritan panjang disertai suara
ledakan dahsyat. Tubuh Ki Dadap hancur berkeping-keping jadi tepung. Rangga
berdiri tegak memandangi onggokan daging yang berhamburan hangus bagai
terbakar.
Pendekar
Rajawali Sakti itu telah memantapkan dan menyempurnakan aji 'Cakra Buana
Sukma', sehingga hasilnya sungguh dahsyat luar biasa. Sebentar dia menarik
napas panjang, kemudian melesat naik ke atas punggung Rajawali Sakti yang
bertengger tidak jauh darinya. Pendekar Rajawali Sakti itu memandang Ki Petel
dan Nyai Dewi Melati sesaat, kemudian memerintahkan rajawali tunggangannya
untuk pergi. Masih ada tugas yang menunggu bantuan Pendekar Rajawali Sakti.
"Khraghk!"
Rangga
melambaikan tangan pada Ki Petel dan Nyai Dewi Melati.
TAMAT
EPISODE
SELANJUTNYA:
PENYAIR
MAUT
Emoticon