LIMA
MASIH ingat Janda Keramat? itu
tuh yang dulu pernah berskandal dengan
Pandu Puber sampai teler-teler segala
tuh. Gara-garanyakan dulu Pandu dis-
erang pakai jurus 'Rendang Belatung'
yang membuat Pandu nyaris mati dike-
royok para belatung, tapi waktu itu
segera dapat disembuhkan oleh si Janda
Keramat. Upahnya adalah kehangatan
Pandu yang diberikan dengan segenggam
kemesraan darah mudanya.
Nah, dulu kan Janda Keramat sam-
pai ketagihan asmara Pandu, karena di
dalam darah kemesraan Pandu terdapat
racun 'Pemikat Surga' yang bikin pe-
rempuan jika pernah tidur sama Pandu
pasti 'celeng' seumur hidup. Maunya
cuma bermesraan dengan Pandu. Tapi
waktu itu Pandu segera lumpuhkan Janda
Keramat dan perempuan itu diserahkan
kepada Sultan Danuwija di kesultanan
Sangir. Masih ingat kan? (Kalau nggak
ingat, baca deh serial Pandu Puber da-
lam kisah: "Skandal Hantu Putih" han-
tunya sexy banget lho).
Nah, sekarang rupanya si Janda
Keramat yang punya nama asli Hapsari
dengan usia banyak tapi masih seperti
usia tiga puluhan itu, punya maksud
tertentu dalam membawa lari Pandu Pu-
ber. Tentu saja Pandu dilumpuhkan dulu
pakai jurus 'Rendang Belatung'. Sebe-
lum pengaruh jurus itu membusukkan tu-
buh, Pandu sudah disembuhkan. Ia diba-
wa ke sebuah gua yang selama ini dipa-
kai tempat bersembunyi si Janda Kera-
mat dari kejaran orang-orang kesulta-
nan Sangir. Sebab dia kan tawanan yang
berhasil meloloskan diri dari kesulta-
nan. Nggak jadi dihukum gantung. Ha-
bis, gimana mau digantung kalau belum-
belum udah kabur, malah tali gantun-
gannya dibawa kabur juga. Mungkin mau
dipakai tali jemuran atau untuk apa,
entahlah. Itu urusan si Janda Keramat
sendiri. Yang jelas, sekarang ia ber-
hasil menyekap Pandu di dalam sebuah
gua.
Ingat, Janda Keramat itu murid-
nya Tabib Teh Kolak dan punya kekuatan
pembangkit gairah lelaki. Dengan keku-
atan PLTA-nya, Pusat Listrik Tenaga
Asmara, si pemuda bertato mawar itu
dibangkitkan gairahnya. Tentunya si
Janda Keramat juga menggunakan jurus
rayuan lidah, hingga Pandu Puber men-
jadi gemetar dan panas dingin menda-
patkan rayuan itu.
"Hapsari," kata Pandu mencoba
bertahan, "Sekarang bukan saatnya lagi
bagi kita untuk saling bercumbu seper-
ti dulu. Aku nggak mau, Hapsari!"
"Kau akan menyesal kalau menolak
keinginanku, Pandu. Karena aku seka-
rang punya jurus baru. Ada dua jurus
baru yang berhasil kupelajari baru-
baru ini."
"Jurus apa itu?"
"Yang satu kunamakan jurus
'Lampah Lumpuh', yang satunya lagi
kunamakan jurus 'Asmara Semberani'.
Aku dapat membuat dirimu lumpuh tak
berdaya dengan sekali pandang dalam
jarak satu langkah seperti saat ini.
Itu yang dinamakan jurus 'Lampah Lum-
puh'. Sedangkan yang dinamakan jurus
'Asmara Semberani' itu begini.... Kau
tahu kekuatan apa yang ada dalam besi
semberani?"
"Mempunyai daya magnit tinggi,
dapat menyedot benda logam dan menjadi
melekat pada besi semberani itu."
"Betul," Janda Keramat terse-
nyum. "Asmaraku kali ini pun akan de-
mikian. Seperti magnit yang mampu me-
nyedot logam dengan kuat. Kalau kau
nggak mau bercinta denganku, kau akan
merasa rugi tujuh turunan dan tujuh
tanjakan. Pengalaman ini belum pernah
kuberikan kepada lelaki mana pun, Pan-
du. Karena selama ini yang kurindukan
hanya dirimu," sambil Janda Keramat
menciumi tengkuk Pandu dari belakang,
tapi tangannya menjelajah ke mana-
mana, sesekali kesasar, sesekali lewat
jalan tol untuk mempercepat tujuan.
Pandu bagaikan terpantek nggak biasa
menolak. Ia memang ingin tahu sampai
di mana kesungguhan Janda Keramat da-
lam mengancam dirinya. Ia biarkan da-
rah asmara si Janda Keramat berkobar
dulu, baru nanti akan meninggalkannya
sebagai pembalasan atas serangan dari
belakang yang tadi melumpuhkan dirinya
itu.
"Pandu," bisiknya sambil mencium
di sekitar telinga. "Kau lihat sendi-
ri, badanku menjadi kurus karena memi-
kirkan dirimu, Pandu. Karena sangat
berharap mendapatkan kehangatan dari-
mu. Aku nggak bisa berselera dengan
pria lain, atau dengan wanita lain se-
perti dulu lagi. Kurasakan seleraku
hanya tumbuh apabila kubayangkan wa-
jahmu atau dekat denganmu seperti saat
ini!"
Memang perempuan itu agak kurus
dari dulu. Kulit tubuhnya yang putih
mulus pun tampak tak segar. Kayak po-
hon cabe nggak pernah disiram air.
Layu dan kusam. Janda Keramat kan ter-
masuk wanita dengan dua cinta; artinya
sama lelaki oke, sama perempuan juga
yes. Tapi sejak ia berskandal dengan
Pandu, hal itu tak bisa dilakukan la-
gi. Itu disebabkan oleh racun 'Pemikat
Surga' yang ada pada darah kemesraan
Pandu sudah menyatu dengan darahnya si
janda.
Kasihan sebetulnya, tapi apa bo-
leh buat, Pandu sendiri nggak tahu sih
kalau darah kemesraannya bisa bikin
perempuan 'celeng' seumur hidup. Be-
gonya Pandu, sampai saat ini dia masih
belum sadar bahwa darahnya mengandung
racun 'Pemikat Surga', sebab racun itu
hanya dipunyai oleh orang berdarah
campuran dewa dengan jin.
Makanya Pandu sendiri nggak per-
caya dengan omongan Janda Keramat. Ia
menyangka Janda Keramat sudah mengum-
bar cinta dengan pria lain. Walaupun
si janda sudah sumpah sengotot mung-
kin, tapi Pandu Puber nggak yakin. Ha-
bis wataknya si janda itu memang doyan
lelaki sih. Mana mungkin dia akan be-
tah hidup tanpa kemesraan lelaki. Be-
gitu mendapat Pandu, sehingga kini ia
pun berkata kepada Hapsari yang sudah
mirip bisul mau pecah itu,
"Aku nggak mau melayanimu lagi
seperti dulu."
"Pandu, jangan begitu!" rengek-
nya. "Mendekatlah kemari, Pandu. Aku
benar-benar masih suci"
"Kupingmu itu yang suci," ujar
Pandu setengah geli.
"Maksudku, selama aku nggak ke-
temu kamu, aku nggak pernah melayani
lelaki mana pun. Dilayani juga nggak
pernah. Swear! Berani sumpah kejatuhan
langit deh!"
"Kalau kamu kejatuhan langit,
aku juga ikut kejatuhan dong! Bego
lu!"
"Tapi benar kok, Say... aku
nggak pernah berbuat sama siapa pun.
Cuma kamulah harapanku sebagai pemuas
dahagaku selama ini, Pandu. Makanya
aku mencarimu ke mana-mana, makanya
aku nggak mau membenci dan memusuhimu
walau kau telah hampir bikin aku cela-
ka di tangan Sultan Danuwija, tapi aku
memaafkanmu asal aku dapatkan secawan
anggur kehangatanmu, Pandu."
"Ah, ngomongmu kayak pujangga
aja!" sambil Pandu menjauh karena Jan-
da Keramat mendekat. "Aku nggak mau!
Nggak mau. Titik!"
"Hapuslah titiknya, Pandu."
"Baik, titiknya kuganti koma!
Pokoknya aku nggak mau layani kamu.
Aku ini pendekar lho! Masa' pendekar
kok kerjanya gituan melulu, nanti di-
kecam orang gimana?"
"Pendekar bukan hanya penakluk
kejahatan saja, tapi juga penakluk
cinta, Pandu."
Pandu diam sebentar, merenung,
lalu bertanya, "Gimana, gimana...?"
"Pendekar itu memang kerjanya
menaklukkan kejahatan, berjaya di per-
tarungan, tapi pendekar juga harus
berjaya di atas kemesraan lawan jenis-
nya. Kalau kau nggak bisa berjaya di
atas kemesraanku, kau bukan pendekar
lagi namanya." Pandu menggumam,
"Masa' gitu sih?"
"Iya! Kalau kau takut menghadapi
tantangan kemesraanku, kau sama seper-
ti banci yang baru lahir."
"Banci apa bayi?"
"Bayi yang banci!" jawab si jan-
da. Pandu mencibir setengah senyum.
Cibirannya merupakan tantangan buat
Janda Keramat. Perempuan itu pun makin
mendekat. Pandu sudah bosan menghin-
dar. Dibiarkan tangannya mulai diraih.
Dibiarkan pangkal lengan dekat pundak
yang tak tertutup kain baju ungunya
itu digigit-gigit kecil oleh Janda Ke-
ramat. Mata si janda melirik nakal.
Nakal sekali. Tak salah Pandu andaika-
ta saat itu Pandu mencolok mata terse-
but pakai telunjuknya. Cuma, Pandu kan
orangnya nggak mau sekasar itu. Ia cu-
ma bilang dengan sikap lembut,
"Sudahlah, lupakan masa lalu ki-
ta dan hiduplah normal. Jangan jadi
orang sesat lagi. Apa sih untungnya
jadi orang sesat? Malah banyak musuh-
nya, salah-salah cepat mati. Apa nggak
bosan jadi orang sesat? Hiduplah yang
wajar-wajar saja dan baik-baik."
"Iya, Iya...! Aku mau jadi orang
baik-baik, tapi... tapi aku minta
stempel dulu darimu."
"Memangnya aku petugas kelura-
han, pakai minta stempel padaku sega-
la!" Pandu bersungut-sungut, menggeli-
kan Janda Keramat. Malahan si janda
meremas pundak, meraih dagu, lalu di-
kecupnya bibir Pandu Puber dengan ne-
kat.
Cup.... Wuuss...!
Terbang deh tuh khayalan penuh
cinta. Melayang-layang di udara, ka-
dang membentur langit-langit gua, ka-
dang singgah di pucuk api unggun yang
dibuat Janda Keramat sebelum sembuhkan
Pandu. Pokoknya sang gairah melayang-
layang terus. Habis, Pandu kasih bala-
san juga sih. Makanya si janda makin
ditikam sejuta tombak cinta. Nyut-
nyutan banget deh... kepalanya!
Gelora cinta yang menggebu itu
tiba-tiba diputus oleh Pandu Puber.
Pendekar Romantis sengaja hentikan ke-
romantisannya dan jauhi Janda Keramat
tiga langkah ke samping. Ia nyengir,
kentara sekali kalau mempermainkan
Janda Keramat. Sedangkan napas Janda
Keramat sudah ngos-ngosan, matanya su-
dah sayu, pakaiannya sudah 'open air',
pokoknya sudah mabuk deh. Tentu saja
sang janda jadi kesal hatinya.
"Panduuu...!" rengeknya kayak
anak kecil minta permen coklat.
Pandu menggeleng, "Aku nggak bi-
sa lagi berbuat kayak dulu. Aku punya
calon istri yang menuntut sikapku men-
jadi benar dan nggak mudah jatuh dalam
pelukan perempuan. Aku harus menjaga
harga diriku sebagai pendekar."
"Pandu, kau tega menyiksaku, ya?
Tega?"
"Terpaksa tega, habis aku sendi-
ri juga harus menahan siksaan jiwa
agar nggak dianggap pendekar 'maruk',
doyan gituan dan...."
"Nggak deh, nggak...! Kamu nggak
maruk, Pandu. Kamu tetap pendekar ga-
gah perkasa penuh selera. Aku nggak
bakalan ngomong sama siapa-siapa ten-
tang hubungan intim kita ini. Sumpah
deh! Nggak bakal bocor sampai ke te-
linga calon istrimu. Siapa sih calon
istrimu?"
"Bidadari," jawab Pandu tegas.
"Terserah deh, mau bidadari atau
daribida, pokoknya aku nggak bakalan
bocorkan skandal kita. Pandu, dekatlah
kemari, jangan siksa batinku seperti
ini, Pandu...!"
"Nggak mau!" tegas Pandu dengan
suara agak keras. "Nanti kalau aku
layani kamu, aku dikritik orang. Pen-
dekar kok digitukan aja langsung KO,
hmm... pendekar cap apa tuh? Nah, ka-
lau aku dikecam dan dikritik orang
kayak gitu kan bisa nggak laku seumur
hidup!"
"Pandu!" sentak Janda Keramat
yang rupanya sudah kehabisan kesaba-
ran. Hatinya disumbat kedongkolan yang
menyesakkan pernapasan. Matanya mulai
menatap tegas-tegas dengan mulut mulai
cemberut mirip marmut.
"Kau benar-benar menolak keingi-
nanku, Pandu?!"
"Ya," jawab Pandu tegas juga.
"Jangan menyesal kalau akhirnya
aku bertindak kasar padamu!"
"Mau apa kau? Ngajakin tarung?
Boleh! Aku bersedia tarung sama kamu
demi menjaga mahkotaku dan perjakaku."
"Hidungmu itu yang perjaka!"
sentak Janda Keramat. "Kalau begitu,
rupanya kau memang nggak bisa diajak
hidup damai dan mesra lagi. Nggak sa-
lah kalau aku berbuat keji padamu. Ku-
balas kekejianmu dulu yang membuat aku
hampir mati ditiang gantungan kesulta-
nan Sangir!"
Tiba-tiba ketika Janda Keramat
ada dalam jarak dekat dengan Pandu,
matanya mengeluarkan sekilas cahaya
merah kecil mirip kacang tanah.
Claap...!
"Eit, apa itu tadi?!" Pandu ka-
get, dan lebih kaget lagi setelah ia
jatuh terpuruk dalam keadaan duduk.
Brruk...!
"Lho, kenapa aku ini?" ucapnya
bingung. Kepalanya masih tegak, tapi
tangan dan kakinya seperti kehilangan
tulang. Ia menjadi pendekar presto,
berduri lunak kayak bandeng presto.
Hanya tulang leher saja yang masih be-
lum dilunakkan oleh Janda Keramat.
"Hei, kau apakah aku ini?!"
Janda Keramat tersenyum sinis.
"Itulah yang kukatakan tadi sebagai
jurus 'Lampah Lumpuh'. Kau akan kehi-
langan tenaga, urat dan semangat. Satu
kali lagi kulepaskan jurus itu, maka
lehermu tak bisa dipakai berdiri tegak
seperti saat ini!"
"Apa maksudmu, Janda Keramat?!
Jangan gitu, ah! Ayo pulihkan lagi
keadaanku, Hapsari sayang...!"
"Hemm... merayu! Kalau sudah gi-
ni baru berani merayu kamu, ya? Aku
sudah telanjur muak padamu, walau se-
benarnya... ngebet juga sih. Tapi aku
punya rencana sendiri untukmu, Pende-
kar Romantis. Sayang sekali jurus
'Lampah Lumpuh' juga akan melumpuhkan
bagian tertentu yang kubutuhkan, jadi
sia-sia saja kalau aku berusaha mem-
bangkitkan semangat cintamu. Sebaiknya
kulampiaskan dendamku padamu yang se-
benarnya sudah kukubur jauh ke dasar
hati."
"Dendam apaan? Jangan gitu dong,
Sayang...!"
"Kau pernah menangkapku dan me-
nyerahkan diriku kepada Sultan Danuwi-
ja. Nah, sekarang aku pun akan menang-
kapmu dan menyerahkan kepada Ratu Ca-
dar Jenazah...!"
"Ah, bercanda kamu!"
"Beberapa hari yang lalu aku su-
dah temui sang Ratu dan kubicarakan
tentang hadiah istimewa untukku! Ratu
setuju akan mengangkat diriku sebagai
tangan kanannya alias menjadi wakil
Ratu. Aku akan diberi kekuasaan penuh
apabila aku bisa tangkap kamu dan se-
rahkan kamu kepadanya! Sekaranglah
saatnya untuk serahkan dirimu yang su-
dah banyak membuat aku kecewa, Pandu!"
"Hei, hei... tunggu dulu! Kita
bisa menyusun kesepakatan baru lagi.
Hmmm... hmmm... anu, mungkin aku me-
mang harus berikan kehangatan yang kau
butuhkan. Aku... terus terang saja,
aku tadi hanya sekadar menggodamu su-
paya kau tambah galak, Hapsari," sam-
bil Pandu tersenyum-senyum, lalu ter-
tawa pelan. Hapsari memandanginya da-
lam kebimbangan. Pandu berkata lagi,
"Aku jadi geli kalau lihat kau
marah dan sewot begitu! Aku tahu kau
pun nggak bakalan berani serahkan aku
kepada Ratu Cadar Jenazah. Nggak mung-
kin kau tega. Sebab aku pun juga nggak
benar-benar tega membiarkan kau kehau-
san. Ayolah, Hapsari..., mumpung hari
masih sore, kita bisa berlayar sampai
pagi."
"Kau... kau...," Hapsari ragu-
ragu. Pandu menertawakan.
"Buktikan jurus barumu yang ber-
nama 'Asmara Semberani' itu. Kayak apa
sih, aku jadi kepingin merasakannya."
"Tapi, kau...."
"Ayolah, jangan anggap candaku
tadi serius, Hapsari! Kalau kau selalu
anggap candaku serius, lain kali aku
nggak mau bercanda lagi denganmu lho!"
"Oh, Pandu...."
Janda Keramat memeluk Pandu, bi-
bir Pandu sengaja disodorkan. Janda
Keramat menangkap bibir itu, ternyata
Pandu memberikan reaksi yang menggugah
gairah. Hapsari rasakan kesungguhan
Pandu, maka ia pun pulihkan kekuatan
Pandu.
Siasat Pandu menemui kegagalan.
Pikirannya, kalau ia dipulihkan kemba-
li, ia akan lumpuhkan Janda Keramat
dan dengan begitu ia selamat dari pe-
nangkapan juga terhindar dari tuntutan
mesra sang janda. Namun begitu Pandu
menjadi kuat dan menghantamkan puku-
lannya, ternyata pukulan itu bisa di-
tangkap oleh Janda Keramat.
Plak, plak, plak...! Buuhg!
Pandu Puber malah melintir kare-
na dapat tendangan Janda Keramat yang
sudah benar-benar bersifat terbuka
itu. Siasat Pandu ketahuan, maka Janda
Keramat pun menggeram penuh kemarahan.
"Rupanya kau mau main licik,
ya?!"
"Ah, aku cuma bercanda kok!"
"Nggak ada canda-candaan! Keme-
sraan apa itu kalau pakai acara main
pukul segala!" bentak Janda Keramat.
Ia masih diamkan tubuhnya bersifat
terbuka tanpa jendela. Ia mendekati
Pandu Puber yang cengar-cengir memanc-
ing keluluhan hati sang janda. Tapi
tiba-tiba sang janda keluarkan sinar
merah dari matanya setelah ia pun ter-
senyum dan berlagak mau mencium Pandu.
Claap...! Brruk...!
"Yah, kena lagi gue," pikir Pan-
du dalam keluh, karena tubuhnya lang-
sung jatuh terpuruk dalam keadaan du-
duk bersimpuh. Jurus 'Lampah Lumpuh'
kembali kenai dirinya karena tertipu
oleh senyuman kalem sang janda.
"Sekarang nggak ada ampun lagi
bagimu, Pandu Puber! Aku akan membawa
ke Bukit Guiana, menyerahkanmu kepada
sang Ratu Cadar Jenazah!"
"Hapsari, kau anggap candaku se-
lalu serius, ya?"
"Persetan dengan candamu! Hatiku
telanjur luka dengan tipu muslihatmu
yang nyaris membuatku celaka tadi!"
Malam itu juga, Pandu Puber di-
panggul Hapsari yang cantik dan berda-
da montok itu meninggalkan gua. Mereka
menuju ke Bukit Guiana. Mulut Pandu
sudah tak bisa bicara apa-apa. Soalnya
sebelum dibawa pergi, Janda Keramat
telah menotok pita suara Pandu. Jadi
pemuda tampan itu hanya bisa ah-uh,
ah-uh, tanpa suara yang jelas.
Cahaya rembulan yang muncul se-
paro bagian membuat Janda Keramat da-
pat melihat dengan jelas jalanan yang
menuju ke Bukit Guiana. Tetapi cahaya
rembulan itu pun membuat sepasang mata
melihat keadaan Pandu dipanggul Janda
Keramat. Sepasang mata itu langsung
melompat dari atas pohon bagaikan bu-
rung terbang dalam satu ayunan gerak
yang indah. Wuuttt...!
Kaki orang yang melompat dari
pohon itu langsung kenai kepala Janda
Keramat. Plook...!
Wuuss, bruuss...!
Janda Keramat jatuh terjungkal,
tubuh Pandu pun terpental, lepas dari
gendongannya. Cahaya rembulan menam-
pakkan sosok penyerang yang berdiri
tegak memandangi si Janda Keramat se-
bentar, lalu ia segera menghampiri
Pandu yang terkapar tanpa daya. Mulut-
nya ternganga-nganga mirip mujair ke-
kurangan air.
"Jangan sentuh dia atau kau mati
sekarang juga?!" gertak Janda Keramat
dengan suara keras.
ENAM
OTAK si tampan Pandu masih be-
kerja. Ia sempat melihat sosok yang
menyerang Janda Keramat. Orangnya
tinggi, badannya sekal. Dia seorang
perempuan cantik berhidung mancung.
Rambutnya disanggul rapi. Usianya
yaah... sekitar tiga puluhanlah.
Keremangan cahaya rembulan me-
nampakkan wajah cantiknya pucat. Tapi
biar pucat, terlihat jelas bentuk bi-
birnya yang sensual, agak tebal namun
indah. Sekali caplok pantang dile-
paskan oleh lawan jenisnya. Pandu pun
sempat berpikiran begitu. Padahal ia
sendiri dalam keadaan bahaya, tapi
sempat-sempatnya berpikir begitu.
Perempuan itu mengenakan jubah
tipis dari sutera warna hijau berbin-
tik-bintik merah mengkilap. Kalau pa-
kaian Pandu kan ungu berbintik-bintik
putih mirip embun bening, tapi kalau
perempuan itu hijau berbintik merah
mengkilap. Pakaian itu menampakkan be-
lahan dadanya yang membusung kencang,
penuh tantangan. Dalam keadaan parah
begitu mata Pandu Puber masih sempat-
sempatnya memandangi bagian ujung dada
yang kelihatan berani itu. Dasar mata
romantis, memang nggak boleh lihat ba-
rang begituan. Bawaannya kepingin
menggasak habis aja
Janda Keramat agaknya belum ken-
al dengan perempuan itu. Pandu pun ma-
sih merasa asing, karenanya ia menyi-
mak jawaban perempuan itu ketika Janda
Keramat bertanya dengan nada menyen-
tak,
"Siapa kau dan ada urusan apa
tahu-tahu menyerangku, hah?!"
"Kau lupa padaku, Hapsari? Per-
hatikan baik-baik, kenanglah masa tu-
juh tahun yang lalu kala kita berebut
Kembang Ayu Abadi!"
Suara perempuan itu penuh wiba-
wa. Janda Keramat memperhatikan sambil
mengenang masa lalunya. Tapi ketika ia
ingat Kembang Ayu Abadi sebagai bunga
berkhasiat bikin awet muda dan awet
cantik sepanjang masa, Janda Keramat
pun segera kenali perempuan itu.
"O, jadi kau yang dulu merebut
Kembang Ayu Abadi dari tanganku itu?
Ya, ya... aku masih ingat tentang di-
rimu, Payung Cendana!"
"Busyet!" kata Pandu dalam ha-
tinya."Rupanya perempuan itulah yang
bernama Payung Cendana, gurunya Bunga
Taring Liar?! Kusangka sudah tua, se-
tidaknya berusia nggak jauh dari Ki
Parma Tumpeng, sebab dia adiknya. Tapi
kok nyatanya masih cantik dan montok
begitu? Aih, gila! Murid sama guru kok
sama-sama cantiknya. Gawat, bisa-bisa
murid dan guru saling berebut kekasih
kalau gini caranya?!"
Payung Cendana memang sosok pe-
rempuan yang masih membangkitkan gai-
rah cinta bagi kaum lelaki mana saja,
kecuali yang perabotnya sudah nggak
normal. Suaranya pun masih tegas dan
jelas. Mestinya usia sudah banyak, se-
bab kakaknya saja sudah setua Ki Parma
Tumpeng. Tapi karena dulu Payung Cen-
dana berhasil memakan Kembang Ayu Ab-
adi, maka ia menjadi cantik seperti
kecantikan masa usia tiga puluh tahu-
nan. Badannya pun berisi dan penampi-
lannya pun masih menampakkan gairah
mudanya.
"Muridku kasih laporan padaku
tentang pencuri lelaki tampan berambut
putih perak," kata Payung Cendana.
"Sudah kuduga kaulah perempuan beram-
but putih perak itu, Hapsari! Dan aku
segera melacak dengan teropong batin-
ku. Kulihat kau sedang merayunya di
sebuah gua. Maka aku pun menuju ke gua
itu, tapi ternyata kita bertemu di si-
ni! Sangat kebetulan sekali!"
"Lalu apa maumu, hah?! Kau telah
menendang kepalaku dengan tenaga dalam
yang kau simpan di kaki. Untung aku
orang keras kepala, jadi kepalaku
nggak sampai pecah. Tendanganmu bisa
kutepiskan dengan hawa murniku. Seka-
rang kita sama-sama sehat dan berhada-
pan. Kamu mau apa?!"
Perempuan yang menyandang sesua-
tu di punggungnya, tapi bukan pedang,
segera berkata dengan tetap tenang.
Sebelumnya matanya melirik ke arah
Pandu, dan kebetulan dalam keadaan te-
lentang Pandu sempat melirik ke wajah
perempuan itu.
Shrr...! Hati Pandu berdesir ka-
rena digoda oleh daya pikat yang ada
di wajah cantik berhidung mancung itu.
"Hapsari! Kurasa kau sudah tahu
apa yang kuinginkan. Aku akan membawa
pulang pemuda itu agar selamat dari
tangan kotor si Wulandita, alias Ratu
Cadar Jenazah itu!"
"Hmm...!" Janda Keramat mencibir
berkesan meremehkan. "Rupanya kamu
nggak kuat menahan kesepian, akhirnya
ingin memperoleh kemesraan juga dari
seorang lelaki, ya? Kenapa kamu nggak
cari lelaki lain saja? Pemuda ini
punya harga tinggi, nilainya sama den-
gan satu takhta di dalam sebuah ista-
na!"
"Tak perlu banyak kujelaskan pa-
damu, yang penting aku membutuhkan pe-
muda ini. Serahkan padaku supaya kita
tidak saling mencelakai!"
"Enak aja! Dapatnya susah payah
kok mau diserahkan begitu aja! Langka-
hi dulu mayat orang mati, baru kuse-
rahkah pemuda itu!"
Pandu membatin, "Ngapain mau ta-
rung pakai melangkahi mayat orang mati
dulu? Hapsari bermaksud sesumbar apa
memang bego sih? Mestinya kan
'Langkahi dulu mayatku', gitu. Baru
namanya sesumbar penuh tantangan! Ah,
masa bodolah. Yang penting aku menung-
gu hasil akhirnya saja. Siapa dari me-
reka yang menang dan bisa bawa kabur
aku. Harapanku sih Nyai Payung Cendana
yang menang, tapi kalau memang Janda
Keramat yang unggul ya apa boleh buat!
Gimana nanti aja!"
Gurunya si Bunga Taring Liar
punya senjata antik, yaitu sebuah
payung. Payung itulah yang ada di
punggungnya dalam keadaan menguncup,
punya tempat sendiri seperti tempat
pedang. Gagangnya yang nongol lewat
pundak itu mirip gagang pedang. Ketika
gagang itu dicabut, langsung payungnya
mengembang, jrrab...!
Payung itu mempunyai rumbai-
rumbai di tepiannya dari benang manik-
manik bening. Payung itu terbuat dari
semacam lempengan baja yang tersusun
rapi baris demi baris. Ujung payung
berbentuk runcing mirip mata tombak.
Tentu saja ujung payung itu berbahaya
sekali bagi lawan yang nggak tahu soal
senjata tersebut.
Sambil memutar-mutarkan payung
dengan santai, gurunya Bunga Taring
Liar berkata kepada Janda Keramat,
"Kalau memang syarat untuk mem-
bawa Pendekar Romantis harus menum-
bangkan dirimu, aku terpaksa lakukan,
Hapsari! Lebih baik aku kehilangan da-
rah daripada membiarkan anak sebaik
Pandu kau serahkan kepada si rakus Wu-
landita!"
"Rupanya kau memaksaku untuk
membalas kekalahanku tujuh tahun yang
lalu, Payung Cendana! Terimalah jurus
'Sigar Nyawa'ku. Hiaah...!"
Slappp...! Sinar merah seperti
laser yang keluar dari ujung telunjuk
Janda Keramat itu menghantam Payung
Cendana. Tapi dengan tetap tenang di
tempat, Payung Cendana hanya menadah-
kan payung pusakanya yang berwarna pe-
rak itu ke depan dalam keadaan mengem-
bang. Payung itu diputar gagangnya,
wuusss...! Memancarlah bau wangi cen-
dana yang segar dan harum. Sinar merah
itu memantul balik ketika menghantam
payung perak tersebut. Debb...!
Clapp...!
Janda Keramat melompat dengan
sentakkan kaki ke tanah. Tubuhnya me-
lenting di udara untuk hindari kemba-
linya sinar merah yang dinamakan jurus
'Sigar Nyawa' itu. Akibatnya, sebong-
kah batu di jajaran belakang Janda Ke-
ramat menjadi sasaran sinar merah ter-
sebut. Duarrr...!
Batu itu pecah menjadi delapan
bongkahan. Warna batu yang merah men-
jadi menyala berpijar merah, seperti
batu dari dalam endapan lumpur lahar.
Mengerikan sekali. Bau hangus tak se-
dap juga menyebar ke mana-mana.
"Heaat...!" Janda Keramat lompat
kembali ke udara dalam gerakan salto.
Tiba-tiba ia hinggap di atas payung
dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya
ke arah bawah. Payung yang ditegak lu-
ruskan oleh pemiliknya itu cukup kuat
menyangga tubuh Janda Keramat. Tapi
sempat tersentak dalam guncangan kuat
ketika sinar merah terlepas dari tela-
pak tangan Janda Keramat.
Blarrr...!
Bunyi ledakan memecah keheningan
malam. Payung itu guncang dan berasap,
tapi tidak sampai rusak. Sedangkan tu-
buh Janda Keramat terlempar ke atas
lebih tinggi lagi karena hentakan ge-
lombang daya ledak yang memantul dari
permukaan payung perak tersebut.
Wuuttt...!
Nyai Payung Cendana sedikit
oleng ke kiri, tapi tak sampai jatuh.
Melihat lawannya melenting di udara,
ia segera lepaskan satu serangan dalam
keadaan payung yang tiba-tiba mengun-
cup sendiri itu. Srubb...! Dan ujung
payung yang berbentuk mata tombak
runcing itu tiba-tiba melesat keluar
dari tempatnya. Rupanya logam runcing
itu mempunyai rantai yang dikaitkan
dengan bagian dalam payung. Zrakkk...!
Ketika mata tombak runcing itu
melesat, rantai pun tertarik keluar.
Mata tombak runcing itu berkelebat
dengan cepatnya hingga mengenai Janda
Keramat. Jrubb...!
"Aaahg...!" pekik si Janda Kera-
mat dalam keadaan melayang turun ke
tanah. Rupanya logam runcing itu men-
genai betisnya dengan telak. Logam itu
dapat kembali sendiri bagaikan ditarik
oleh rantainya, hingga dalam sekejap
sudah berada di ujung payung lagi.
Srakk...!
"Uuhg...!" Janda Keramat mengge-
liat tak mampu berdiri. Dia menahan
rasa sakit yang menyerang sekujur tu-
buh, seakan juga meretakkan tulang-
tulangnya. Itu akibat racun berbahaya
yang ada di logam putih runcing tadi.
Bahkan beberapa kejap berikutnya Janda
Keramat benar-benar tak mampu berdiri
selain hanya mengerang kesakitan sam-
bil menggelepar di tanah.
"Kubunuh kau, Payung Cendana!
Setan alas! Aaaoww...!" Janda Keramat
menjerit-jerit sendiri. Tapi Nyai
Payung Cendana nggak mau peduli lagi.
Cuek dengan jeritan itu. Ia segera me-
masukkan payung pada tempatnya di
punggung, lalu dengan gerakan cepat
yang mengagetkan tahu-tahu tubuh Pandu
sudah ada di pundaknya mirip handuk
mau dipakai buat mandi di sungai.
Wesss...! Payung Cendana pergi
tinggalkan tempat. Suara Janda Keramat
penuh makian dan ancaman, tapi tetap
dicuekin oleh Payung Cendana.
"Mau dibawa ke mana nih?" pikir
Pandu Puber yang masih belum bisa apa-
apa, mirip bayi rindu mimik sang Ibu.
Rupanya ia dibawa Payung Cendana
ke sebuah pondok yang ada di atas bu-
kit berbatu karang. Bukit itulah yang
dinamakan Tebing Galah. Mencuat tinggi
mirip menara sehingga dikatakan seper-
ti galah. Makanya bukit itu disebut
Tebing Galah.
Pondok itu tidak terlalu lebar,
tapi mempunyai tiga kamar. Salah satu
kamar sering dipakai semadi Nyai Guru
Payung Cendana. Dua kamar lainnya un-
tuk tidur sang guru dan sang murid;
Bunga Taring Uar. Gadis cantik itu
nggak ada di tempat. Pondok itu sepi,
hanya Pandu dan Payung Cendana yang
ada. Maka ketika Payung Cendana sudah
berhasil pulihkan kekuatan Pandu yang
bikin Pandu segar kembali, pemuda ber-
mata kebiru-biruan mirip bule itu pun
ajukan pertanyaan,
"Ke mana Bunga Taring Liar?"
"Dia kuutus ke Pantai Bunga Dam-
par untuk temui kakakku; Parma Tum-
peng. Ada sesuatu yang harus kami bi-
carakan, karenanya Bunga kusuruh minta
kepastian kepada kakakku, kapan aku
dan dia bisa bicara berduaan saja."
"Masalah pribadikah?"
"Setengah pribadi," jawab Payung
Cendana dengan tegas. "Tapi barangkali
kakakku nggak keberatan kalau kau pun
mengetahui masalahnya."
"Aku siap mendengarnya, Nyai
Payung Cendana."
"Panggil aku Widuri saja."
"Widuri...?"
"Itu nama asliku. Aku suka di-
panggil nama asliku oleh orang-orang
tertentu."
"Ooo...," Pandu Puber manggut-
manggut, membiarkan wajahnya dipandan-
gi oleh perempuan cantik yang punya
postur tubuh mengguncangkan iman dan
bibir menggetarkan kalbu itu. Pandu
menambahkan kata dengan senyum yang
menawan dan menambah ketampanannya.
"Nama aslimu bagus sekali, se-
perti judul sebuah tembang."
"Begitukah?" Payung Cendana mu-
lai tersenyum tipis sebagai sikap ma-
lu-malu mendengar pujian itu.
"Ada syair tembang 'Widuri' yang
kusukai; 'Widuri, elok bagai telaga,
oh kasih. Widuri, indah bagai pelangi,
oh sayang...."
Pandu diam dalam senyuman, dan
bibir sensual itu kian mekar dalam ke-
ceriaan. Bahkan bibir sensual itu se-
gera bergerak-gerak menyebutkan kata,
"Suaramu merdu sekali. Enak di-
dengar, melenakan bila disimak. Menga-
pa nggak jadi pesinden saja?"
Pandu Puber tertawa dalam gumam
yang membuat tubuhnya berguncang-
guncang. Payung Cendana ikut tertawa
bersuara lirih, masih menjaga wibawa
dan karismanya. Lalu perempuan itu me-
lempar pandangan ke arah lain, seper-
tinya tak tahan jika harus beradu pan-
dang terus dengan si mata biru itu.
Kejap berikutnya Pandu Puber
perdengarkan suaranya dalam kelembutan
tanya, "Jelaskan persoalan yang ingin
kau katakan tadi."
"Ada hubungannya dengan Ratu Ca-
dar Jenazah."
"O, ya...? Kebetulan sekali, ka-
rena aku punya masalah dengannya."
"Itulah sebabnya Bunga Taring
Liar, muridku, kuutus membawamu kema-
ri, tapi ia gagal karena keusilan Hap-
sari."
Payung Cendana tarik napas se-
bentar, menampakkan keseriusannya, la-
lu berkata lagi dengan pandangan mata
lebih sering memandang ke arah lain.
"Bukit Gulana dulu merupakan ke-
kuasaan kakakku; Parma Pratikta alias
Parma Tumpeng itu. Istana yang diban-
gun di sana sebenarnya bekas pe-
sanggrahan tempat kakakku mendirikan
Perguruan Candra Baruna. Kedatangan
Ratu Cadar Jenazah membumihanguskan
perguruan itu, membantai semua murid
kakakku, tapi kakakku berhasil kusela-
matkan. Kini ia hanya punya satu murid
yang tidak tahu-menahu sejarah Bukit
Gulana. Aku bermaksud merebut Bukit
Gulana kembali melalui bantuanmu."
"Bantuanku?"
"Karena kau adalah orang terkuat
untuk masa sekarang. Kesaktianmu sudah
kudengar dari berbagai mulut para sak-
si mata. Kebetulan juga kau punya uru-
san dengan Ratu Cadar Jenazah itu, ja-
di kau punya alasan untuk menyerang-
nya."
"Mengapa bukan kau saja yang me-
nyerangnya, Widuri?"
"Ilmuku kalah tinggi dengan il-
munya Wulandita atau Ratu Cadar Jena-
zah. Kakakku pun kalah tinggi ilmunya.
Dia mempunyai ilmu yang bernama' Aji
Baja Geni', salah satu ilmu andalan
utamanya."
"Apa kehebatan 'Aji Baja Geni'
itu?"
"Kebal senjata, kebal tenaga da-
lam apa pun. Jika ilmu itu dipakai,
maka tangannya bisa menghanguskan ba-
rang apa saja yang dipegangnya. Hanya
dipegang saja tanpa kekuatan apa-apa,
sebatang pohon bisa hangus dari akar
sampai pucuknya. Itulah kehebatan 'Aji
Baja Geni'-nya Wulandita."
Pandu manggut-manggut, menampak-
kan antusias sekali dengan penjelasan
Payung Cendana. Perempuan itu tampak
senang melihat sikap Pandu yang men-
dengarkan dengan serius apa yang dije-
laskannya itu. Maka ia pun menyambung
kata,
"Tapi belakangan ini aku menda-
pat wangsit dari dewata yang menye-
butkan, bahwa kelemahan 'Aji Baja Ge-
ni' ada di pusarnya."
"Pusarnya?!" Pandu Puber menggu-
mam heran. Matanya memandang dalam te-
rawang, membayangkan sebentuk pusar
perempuan. Lalu ia tertawa geli sendi-
ri. Payung Cendana seperti tahu apa
yang terbayang di benak Pendekar Ro-
mantis yang ganteng menawan hati itu.
Maka, Payung Cendana pun segera berka-
ta dengan suara pelan bercampur senyum
menawan pula,
"Jangan bayangkan lebih dari pu-
sar. Nanti kau terjebak oleh bayangan-
mu sendiri."
"Apa maksudmu?"
"Aku ingin kau bayangkan perta-
runganmu dengan Ratu Cadar Jenazah.
Apakah kau berani melawannya?"
"Mengapa tidak?"
Payung Cendana manggut-manggut.
"Sekalipun dia punya kelemahan di pu-
sarnya, tapi tak semua senjata mampu
menembus pusarnya. Hanya senjatamu
yang bisa menembusnya."
"Senjata yang mana?" Pandu ber-
lagak bingung.
"Pedang Siluman!"
Kini si tampan Pandu terperan-
jat. Agaknya rahasia kekuatannya juga
sudah diketahui oleh Payung Cendana,
dan Pandu nggak bisa bohong lagi. Per-
cuma saja ia berlagak bego, karena
kayaknya perempuan itu punya teropong
batin cukup kuat. Bahkan si cantik
bernama asli Widuri itu berkata lagi,
"Wangsit dari dewata yang kute-
rima beberapa waktu yang lalu mengata-
kan, bahwa pusar itu bisa dilukai atau
ditembus oleh Pedang Siluman milik
seorang pendekar bertato mawar di da-
danya. Ingatanku kembali ke cerita
orang-orang tentang Pendekar Romantis
yang bertato bunga mawar. Karenanya,
ketika kudengar ada sayembara menang-
kap dirimu, aku segera mengutus murid-
ku untuk membawamu kemari, bersembunyi
di sini sambil mengatur siasat."
"Ya, ya... aku mengerti, karena
Bunga Taring Liar pernah bilang begi-
tu. Cuma, apa hubungannya dengan Ki
Parma Tumpeng tentang rencanamu ini,
Widuri?"
"Aku hanya ingin minta bantuan-
nya jika ia setuju merebut tanah keku-
asaannya kembali. Bantuan yang kuha-
rapkan adalah menemukan lorong bawah
tanah yang bisa tembus ke kamar Wulan-
dita."
"Oh, ada lorong tembus ke kamar-
nya Ratu?" Pandu kaget.
"Kakakku pernah menggali lorong
itu buat meloloskan diri sewaktu-
waktu. Tapi ketika disergap Wulandita,
dia tidak sedang ada di kamar. Bahkan
sedang ada di pantai melatih para mu-
ridnya. Kabarnya, lorong itu kini be-
rada di kamar pribadi sang Ratu. Kau
harus masuk melalui lorong itu dan
membunuhnya tanpa harus menghadapi be-
berapa pengawalnya."
"Apakah kau tak bisa meneropong
dengan kekuatan batinmu tentang di ma-
na lorong itu berada?"
"Lorong itu sudah diberi kekua-
tan getaran batin yang sukar ditero-
pong dengan mata batinku. Hanya kakak-
ku yang tahu tempat itu!"
Pemuda ganteng. berambut cepak
depan itu manggut-manggut. Renungannya
berkepanjangan. Sementara itu Payung
Cendana memandangi secara diam-diam,
lalu mendesah lirih karena ada kegeli-
sahan di hatinya.
Payung Cendana sengaja keluar
dari pondok, menikmati semilir angin
dan suara deburan ombak karena bukit
itu memang dekat dengan laut. Cahaya
rembulan masih memancar, bahkan lebih
terang dari sebelumnya. Bintang-
bintang bertengger memancar di langit,
seakan anak sekolah yang sedang menik-
mati jam istirahat.
Pandu Puber ikut keluar setelah
dia bengong-bengong terus di dalam
pondok. Matanya menemukan Payung Cen-
dana sedang berdiri dengan tubuh ber-
sandar pada sebuah pohon berdaun lebat
mirip payung itu. Perempuan tersebut
memandang ke arah laut, sepertinya se-
dang menghitung berapa ikan yang teng-
gelam karena nggak bisa berenang.
Pandu Puber mendekati dengan ha-
ti-hati. Langkahnya didengar Payung
Cendana, sehingga perempuan itu sem-
patkan diri melirik pemuda yang mende-
katinya. Senyumnya tersungging tipis.
Cahaya rembulan yang sempat menerobos
celah dedaunan membuat senyum itu tam-
pak jelas di mata Pandu Puber.
"Ada sesuatu yang kau sedihkan,
ya?" tanya Pandu Puber mencoba meya-
kinkan dugaan hatinya.
"Nggak ada," jawab Payung Cenda-
na.
"Atau mungkin ada sesuatu yang
mengelisahkan hatimu?"
"Kenapa kau tanyakan hal itu?"
ia menatap Pandu yang jaraknya satu
langkah di sampingnya.
"Kulihat senyummu agak hambar.
Mungkin kau memikirkan seorang keka-
sih? Begitu?"
Senyum hambar sengaja diperle-
bar. Lalu pandangan mata berbulu len-
tik itu mengarah ke lautan. Suaranya
terdengar lirih.
"Aku sudah lupa bagaimana wujud-
nya kekasih."
"Sudah lupa? Apakah... apakah
kau...." Pandu bingung, apa yang mau
dikatakannya? Seakan semua rencana
yang tadi muncul di otak sirna secara
mendadak. Heningnya malam membuat
Payung Cendana bersuara jelas walau
diucapkan dengan pelan,
"Tiga kali aku dikhianati oleh
kekasih. Tiga kali aku ditipu dan di-
buang begitu saja. Selanjutnya aku
nggak pernah mau lagi punya kekasih."
"Ooo... kau wanita yang patah
hati rupanya."
"Mungkin begitu, Sejak aku dino-
dai oleh kekasihku yang terakhir, aku
jadi benci pada lelaki. Tapi setelah
beberapa tahun kemudian, kebencian itu
sirna sendiri dan sadar bahwa nggak
semua lelaki gemar menodai dan menya-
kiti hati wanita. Buktinya, kakakku
sendiri justru dikhianati oleh is-
trinya, padahal ia seorang suami yang
sayang pada istri dan sangat setia."
"Lalu apa tindakanmu setelah kau
sadari hal itu?"
"Nggak bertindak apa-apa. Rasa-
rasanya masih trauma jika harus paca-
ran lagi."
"Jadi sampai sekarang kau belum
pernah bersuami?"
Payung Cendana menggeleng sambil
memandang Pandu Puber. "Nggak ada co-
wok yang bisa melekat di hatiku. Jadi
aku nggak pernah merasakan nikmatnya
jatuh cinta dan indahnya kemesraan
sang kekasih. Hanya saja...."
Payung Cendana sengaja berhenti
bicara. Kenapa coba? Karena ada sesua-
tu yang mengganjal hatinya dan mem-
buatnya takut meneruskan ucapannya.
Namun bagi Pandu Puber itu sesuatu
yang menjengkelkan. Ia harus tahu apa
kelanjutan ucapan itu supaya hatinya
nggak penasaran, supaya kalau makan
pun bisa habis banyak. Maka Pandu Pu-
ber mendesak agar Payung Cendana mau
teruskan kata-katanya...
"Rasanya nggak ada yang perlu
kau ketahui lagi tentang pribadiku."
"Kalau kamu nggak mau teruskan
ucapanmu, aku akan terjun ke bawah dan
mati di lautan sana!"
"Terjunlah," kata Payung Cendana
sambil sunggingkan senyum. Tapi Pandu
Puber toh nggak benar-benar berani
terjun. Dia malah tersenyum dan berka-
ta penuh kelembutan,
"Kalau aku terjun, aku akan ma-
ti. Kalau aku mati, lalu siapa yang
akan menangisi kematianku? Wanita mana
yang akan merasa kehilangan diriku?
Aku nggak mau, ah! Kecuali kalau me-
mang ada wanita yang mau menangisi ke-
matianku, mau merasa kehilangan diri-
ku, maka aku akan terjun ke bawah dan
mati di sana!"
"Aku mau...!" kata Payung Cenda-
na. "Aku mau menangisimu, aku mau me-
rasa kehilangan kamu. Sebab itu, ter-
junlah sana! Nanti mayatmu akan kutan-
gisi tujuh hari tujuh malam!"
Pandu cengar-cengir salah ting-
kah sambil bergeser memperpendek ja-
rak. Ia berkata sambil memandang ke
lautan,
"Kalau aku mati, dan kau menan-
gisiku, sama saja aku menyiksa batin-
mu. Aku nggak ingin hatimu luka oleh
kematianku. Aku juga nggak kepingin
batinmu menderita karena nasibku. Roh-
ku akan bergentayangan jika aku melu-
kai hatimu dan membuat batinmu mende-
rita."
Payung Cendana serius sekali me-
natap ke arah Pandu. Perempuan itu ba-
gai terkunci mulutnya karena suatu ra-
sa yang mendesah haru di hatinya.
Pandu yakin perempuan itu terpa-
ku oleh kata-kata manisnya. Buktinya
ketika Pandu kian mendekati wajah, pe-
rempuan itu diam saja, bahkan bersan-
dar lekat-lekat di pohon. Pandu pun
bisikkan kata lirih untuknya,
"Kau perempuan yang menggemaskan
sebenarnya. Tapi hatimu sudah terlan-
jur tertutup untuk lelaki, sehingga
aku harus melawan keinginanku untuk
mengecup bibirmu yang menggoda sejak
tadi."
"Jangan dilawan," ucapnya lirih
sekali.
"Maksudnya bagaimana?"
Setelah diam tiga hitungan dan
saling pandang, Payung Cendana pun le-
paskan kata lirihnya, nyaris tak ter-
dengar oleh Pandu Puber.
"Kecuplah kalau kau ingin."
"Kau seorang guru."
"Tapi aku manusia juga," katanya
sambil sedikit mendongakkan kepala dan
memejamkan mata. Bibir itu pun merekah
dengan sendirinya. Pandu gemetar seku-
jur tubuhnya. Tapi dengan tekad bulat
dan keberanian yang besar, akhirnya ia
pun menempelkan bibirnya ke bibir
Payung Cendana. Cup...!
"Oh, hangat dan indah sekali!"
desah hati Payung Cendana yang tak sa-
dar telan jatuh dalam rayuan Pandu Pu-
ber si Pendekar Romantis. Hati yang
selama ini membeku tiba-tiba menjadi
cair dan luluh oleh kehadiran Pendekar
Romantis. Apalagi Pandu pintar memper-
mainkan rasa dan lidahnya yang lincah
itu terasa bikin betah, Payung Cendana
bagaikan tak bertulang lagi. Lemas se-
kali.
Bahkan ketika Pandu melepas ke-
cupannya, bibir itu masih merekah ten-
gadah. Mata indah menatap sayu seakan
terkesima mendapat kemesraan seindah
itu. Kejap berikut terdengar suara
Payung Cendana berkata pelan,
"Jangan lakukan hal ini kepada
Ratu Cadar Jenazah jika kau bertemu
dengannya nanti."
"Mengapa kau sangsikan diriku?"
"Karena dia lebih cantik dari-
ku."
"O, ya...?!" Pandu sunggingkan
senyum menawan. Ia menyentil pelan hi-
dung mancung itu dan berkata, "Jangan
berpikiran nakal! Aku datang ke Bukit
Gulana untuk membunuhnya."
"Sungguh?"
"Lebih dari sungguh, Widuri. Se-
bab kalau aku nggak mau membunuhnya,
maka aku yang akan dibunuh olehnya."
"Kau... kau berjanji akan datang
lagi setelah dari sana?"
"Gagal atau berhasil, aku pasti
akan menemuimu lagi, Widuri!"
"Doaku menyertaimu secara diam-
diam, Pandu."
"Doa yang secara diam-diam bi-
asanya cepat dikabulkan daripada doa
yang berisik," kata Pandu dalam can-
danya. Lalu ia meraih kepala Payung
Cendana, dan kepala itu disandarkan di
dada bidang sang pendekar. Pandu meme-
luknya seraya berbisik,
"Kita seperti sudah lama saling
kenal, ya?"
"Barangkali roh kita pernah sal-
ing bertemu dan bercumbu," balas
Payung Cendana.
Pelukan itu saling merenggang,
sama-sama melepaskan diri dengan satu
sentakan menegang. Ketegangan meliputi
mereka bukan karena gigitan mesra
Payung Cendana, tetapi suara orang
mendaki bukit batu karang itu semakin
jelas didengar oleh mereka. Pandu Pu-
ber segera mengikuti Payung Cendana
yang bergegas ke luar pagar pondok
yang tingginya sebatas perut itu.
Hanya pagar sederhana saja, bukan pa-
gar pelindung. Dan dari depan pintu
pagar mereka memandang ke arah tangga
yang berkelok-kelok dari bawah menuju
ke atas. Dua orang sedang berlari sal-
ing lompat meniti tangga.
"Oh, itu dia muridku dan kakakku
datang," ujar Payung Cendana merasa
tegang, karena semula ia menyangka ada
musuh yang datang menyergapnya sedang
bercinta.
"Ada apa malam-malam begini me-
manggilku dengan memaksa, Payung Cen-
dana?!" ujar Ki Parma Tumpeng sedikit
dongkol dipaksa datang malam-malam be-
gitu. Tapi kedongkolannya segera sirna
ketika matanya menatap Pandu Puber ada
di situ. Bunga Taring Liar pun tampak
lega melihat Pandu sudah ada di dekat
gurunya.
"Kau telah berhasil selamatkan
anak itu dari tangan perempuan beram-
but perak rupanya?"
"Benar. Perempuan yang melarikan
dia adalah Hapsari, dan aku sudah ber-
hasil merebutnya dari tangan Hapsari,
seperti aku merebut Kembang Ayu Abadi
dulu!"
"Bagus, bagus...!" Ki Parma Tum-
peng manggut-manggut. "Aku sempat ce-
mas ketika muridmu ceritakan tentang
si rambut perak yang menggondol bocah
tampan itu!" '
"Justru sekarang aku ingin bica-
ra denganmu, Kakang Parma. Maaf kalau
aku memanggilmu, karena kupikir aku
sibuk merebut Pandu Puber dari tangan
penggondolnya. Kalau aku nggak sibuk
merebut Pandu, pasti aku sendiri yang
akan datang ke Pantai Buaya Dampar.
Tapi karena Pandu digondol oleh...."
Pandu memotong, "Tunggu, tung-
gu...! Dari tadi kok soal gondol-
menggondol, apa disangkanya aku ini
tulang yang digondol anjing?!"
Payung Cenda tertawa tanpa suara
dan tundukkan wajah, Bunga Taring Liar
tersenyum takut kedengaran suaranya.
Ki Parma Tumpeng sendiri terkekeh pe-
lan, merasa lucu melihat Pandu bersun-
gut-sungut. Kemudian, tawa mereka ber-
ganti keseriusan. Payung Cendana kemu-
kakan maksudnya. Ki Parma Tumpeng se-
tuju dan segera memberi penjelasan
tentang rahasia jalan tembus lorong
yang bisa sampai ke kamar pribadi sang
Ratu Cadar Jenazah.
"Hanya ada enam jebakan di lo-
rong itu. Semua jebakan bisa dihindari
dengan tidak menginjak lantai berhias
bunga putih. Karena lantai berhias
bunga putih itu adalah kunci pembuka
jebakan maut. Jangan diinjak, ya?!"
ujar Ki Parma Tumpeng kepada Pandu Pu-
ber.
Pesan itu diingat betul oleh
Pandu Puber. Maka ketika Pandu Puber
temukan lorong tersebut, ia sudah tahu
bagaimana caranya masuk lorong. Letak
lorong itu ada di celah tebing karang.
Jalan menuju mulut lorong terhi-
tung sempit. Hanya cukup untuk satu
orang. Kanan-kirinya dinding tebing
yang tinggi. Tak ada orang jualan apa-
apa di sana.
Lorong itu sendiri juga bermulut
kecil. Hanya cukup dimasuki satu orang
dalam keadaan merundukkan kepala. Kea-
daan di dalamnya memang gelap, sebab
nggak ada yang pasang patromaks di sa-
na. Tapi Pandu sudah siapkan obor dari
pelepah daun pepaya. Obor itu disulut
dengan menggunakan ilmu tenaga dalam
yang bisa keluarkan api.
Dengan menggunakan obor itu,
Pandu Puber menyusuri lorong bongkok.
Dikatakan oleh Ki Parma Tumpeng bahwa
lorong pertama adalah 'Lorong Bong-
kok', karena orang yang masuk ke situ
harus tahan berbongkok ria selama tiga
puluh langkah. Setelah itu barulah me-
nemukan lorong beratap tinggi dan bisa
berdiri. Maksudnya yang berdiri orang-
nya, bukan 'obornya'. Keadaan lorong
pun agak luas. Bisa dipakai jalan tiga
orang berjejeran.
Karena sudah dapat penjelasan
tempat-tempat berbahaya dan arah yang
harus ditempuh, maka Pendekar Romantis
nggak sulit-sulit untuk mencapai ujung
lorong rahasia itu. Dari tanah lorong
yang tidak berlantai sampai yang ber-
lantai ubin keramik sudah dilalui.
Ubin yang bergambar bunga warna putih
dilompati. Tentu saja ia selamat,
nggak kena jebakan. Coba kalau belum
diberitahu Ki Parma Tumpeng, bisa mam-
pus kena jebakan.
Apalagi jebakannya serem. Menu-
rut cerita Ki Parma Tumpeng, jebakan
pertama dari mulut lorong adalah dela-
pan tombak runcing turun dari atas ke-
pala. Menancap di lantai dan menutup
jalan, di samping tentu saja membuat
orang yang terjebak menjadi sate men-
dadak. Jebakan kedua, dari dinding lo-
rong keluar seekor kelabang kecil, ta-
pi temannya berjumlah ratusan ekor dan
besar-besar. Ada pula jebakan yang ta-
hu-tahu keluar asap berbau kemenyan
bisa bikin mati orang. Sebab begitu
asap bau kemenyan menyembur dari dind-
ing tembok, batu sebesar kerbau yang
dipasang di langit-langit turun dengan
mengagetkan. Jatuh di kepala orang
itu, lalu orang itu mati bukan karena
kaget tapi karena gepeng mendadak. Po-
koknya macam-macam deh ide Ki Parma
Tumpeng saat bikin lorong jebakan itu.
"Mengapa Ki Parma Tumpeng nggak
membunuh Ratu Cadar Jenazah melalui
jalan lorong itu?"
"Masalahnya bukan nggak mau, ta-
pi nggak bisa. Karena sang Ratu punya
'Aji Baja Geni' itu tadi!" jawab Ki
Parma Tumpeng kala ditanya oleh Pandu.
Sekarang Pandu sudah sampai ke
lorong bertangga. Nah, lorong bertang-
ga itu tembusnya ke kamar pribadi sang
Ratu. Jumlah anak tangga ada tiga pu-
luh dua. Sudah dihitung oleh Ki Parma
Tumpeng. Pada anak tangga ke sepuluh
dan kedua puluh ada jebakan kecil tapi
bikin mampus orang, yaitu menyemburnya
paku beracun dari samping tangga dan
lobang di bawah anak tangga yang akan
menjebloskan orang masuk ke sumur tua
dalamnya bukan main. Tapi jebakan itu
bisa dihindari Pandu berkat pelajaran
dari Ki Parma Tumpeng.
Ujung tangga ternyata berdinding
pintu. Cara membuka pintu itu pun su-
dah diajarkan oleh Ki Parma Tumpeng.
Pelan-pelan Pandu Puber membuka pintu
tersebut. Pertama dibuka sedikit lalu
diintip dengan mata merem satu. Sebab
kalau merem dua-duanya nggak bisa me-
lihat. Setelah itu pintu dilebarkan,
karena suasana kamar tampak sepi. Hari
masih pagi, sekitar pukul lima kurang,
untuk ukuran zaman sekarang. Tapi tem-
pat tidur sudah kosong. Bau aroma di
kamar itu adalah bau bawang. Pandu cu-
riga, "Wah, jangan-jangan ini kamar
pembantunya? Tempat tidurnya juga se-
derhana tuh. Alat riasnya juga cuma
sisir dan gincu. Wah, aku yakin ini
kamar pembantunya. Jadi, kamar yang
dulunya dipakai sebagai kamar pribadi
ratu, ternyata sudah diganti sebagai
kamar pembantu. Lalu di mana kamar
sang Ratu sendiri?" pikir Pandu sambil
garuk-garuk kepala.
"O, ya... kata Ki Parma Tumpeng,
kamar ini mempunyai pintu tembus ke
kamar lain. Nah, berarti pintu yang
itu adalah pintu tembus ke kamar lain.
Coba kubuka pelan-pelan, ah...!"
Pintu dibuka pelan-pelan, diusa-
hakan tanpa ada suara. Pintu memang
tidak bersuara tapi Pandu sempat batuk
satu kali.
"Uhuk...!" Pandu kaget sendiri.
Mestinya yang kaget orang lain, tapi
malah dia sendiri yang kaget dan men-
jadi tegang. Untung suara batuk itu
tak didengar oleh siapa pun, sehingga
Pandu lanjutkan membuka pintu terse-
but, lalu masuk ke kamar tembusannya.
Ternyata di samping kamar pe-
layan pribadi itu memang kamar sang
Ratu. Susunan perabot dan jenis keme-
wahannya menampakkan betul bahwa kamar
itu adalah kamar seorang ratu. Masa-
lahnya sekarang, di mana letak ra-
tunya? Maksudnya, si Ratu ada di mana
kalau keadaan kamar menjadi kosong
tanpa manusia secuil pun? Di ranjang
yang empuk berlapis kain lembut warna
merah muda itu nggak ada siapa-siapa.
Tapi kondisi seprai memang lusuh, tam-
pak bekas ditiduri orang.
Selagi Pandu clingak-clinguk,
tiba-tiba terdengar langkah seseorang
menuju pintu utama kamar. Pandu segera
sembunyi di dalam almari yang ting-
ginya sekitar satu tombak setengah
itu. Almari itu menghadap ke cermin
rias dan ranjang. Pintunya sedikit di-
buka sehingga Pandu bisa mengintip
keadaan di luar almari.
"Astaga! Ternyata bukan sang Ra-
tu. Ditilik dari pakaiannya yang se-
derhana, pasti dia pelayan pribadi
sang Ratu. Apalagi badannya gemuk
kayak kaleng kerupuk gitu, pasti bukan
ratulah yaow...! Eit... dia menuju ke-
mari? Waduh, gawat nih...!"
Sang pelayan melihat pintu alma-
ri terbuka sedikit. Ia bicara sendiri
sambil menghampiri almari tersebut.
"Gusti Ratu memang sering teledor.
Pintu almari nggak dikunci, nanti ka-
lau ada maling masuk gimana? Pasti
yang dituduh aku juga kan, karena cuma
aku yang diizinkan masuk kamar ini?!
Ah, sebaiknya kukunci saja biar nggak
jadi masalah!"
Klik...! Pintu almari ditutup
rapat lalu dikunci. Yang di dalam al-
mari jadi kelabakan.
"Sial! Pintunya malah dikunci
dari luar! Gimana nih? Nggak bisa ke-
luar dong?!" gerutu Pandu Puber di da-
lam almari yang khusus untuk menggan-
tungkan pakaian.
Pandu membatin lagi, "Wah, kacau
kalau gini! Pendekar kok terjebak ma-
suk dalam almari. Malu-maluin aja! Mau
nggak mau harus kujebol dengan kekua-
tan tenaga dalamku! Tapi, eh... tunggu
dulu. Aku seperti mendengar suara per-
cakapan seseorang. Pasti ada yang bi-
cara di sekitar almari ini."
Terdengar percakapan antara pe-
layan dengan sang Ratu yang bersuara
sedikit serak itu.
"Hari ini, Gusti jadi berangkat
berburu Pandu Puber?"
"Jadi. Siapkan pakaian perang-
ku."
"Pakaian perang yang mana?"
"Yang seronok, Goblok! Yang ke-
lihatan dadanya sedikit dan pahaku bi-
ar tampak menantang pria. Itu namanya
pakaian perang!"
"O, iya! Baik, saya siapkan,
Gusti Ratu. Tapi... bukankah Gusti Ra-
tu mau berburu Pandu Puber lalu mau
membunuhnya? Kenapa harus pakai pa-
kaian yang seksi?"
"Kudengar yang namanya Pandu Pu-
ber itu orangnya tampan dan menggai-
rahkan. Kalau omongan orang-orang itu
ternyata benar maka pemuda itu nggak
jadi kubunuh. Setidaknya nggak secepat
itu aku harus membunuhnya. Tapi kalau
kenyataannya ia bukan pria yang mena-
wan, maka kesalahannya itu nggak bisa
kuampuni lagi. Harus kubunuh dengan
tanganku sendiri!"
"Apa sih kesalahan orang itu se-
benarnya, Gusti Ratu?"
"Mau tahu? Kesalahannya cukup
banyak. Pertama, dialah orang yang
menghancurkan Kitab Panca Longok, se-
hingga aku nggak bisa mempelajari ju-
rus maut yang ada di dalamnya. Sebagai
pelampiasan kemarahanku; temannya yang
bernama Ken Warok itu kubunuh dan ku-
gantung di pinggir hutan sana."
"Kesalahan kedua apa, Gusti?"
"Kesalahan kedua, dia telah mem-
bunuh Dalang Setan, sehingga aku nggak
jadi memiliki pusaka 'Cemeti Mayat'
milik Nyai Titah Bumi, neneknya Dalang
Setan. Yang ketiga, dia menyuruh teman
gembrotnya untuk melukaiku. Teman wa-
nitanya yang gemuk dan mengaku bernama
Dewi Lemakwati itu yang bikin aku mur-
ka kepada Pandu Puber. Sebab gadis
gembrot itu bisa mengetahui kelemahan-
ku dan aku diserang dengan racun ganas
tepat di bagian kelemahanku. Hampir
saja aku mati jadi serpihan abon kan?
Untung aku punya obat penangkal racun
itu! Pokoknya semua itu gara-gara Pan-
du Puber. Maka anak itu harus kule-
nyapkan biar kelak nggak bikin kacau
rencanaku lagi!"
Di dalam almari Pandu Puber
menggumam dalam hati, "Ooo... jadi itu
masalahnya? Pantas dia benci banget
sama aku sampai bikin sayembara kayak
gitu? Aku harus segera bertindak. Cu-
ma, gimana cara keluarnya nih?"
Persoalannya sudah jelas, apa
sebab Pandu jadi buronan Ratu Cadar
Jenazah, yaitu karena tiga persoalan
yang hadir dalam kisah: "Kitab Panca
Longok" dan "Dendam Dalang Setan",
tinggal bagaimana cara menyelesaikan
kemurkaan sang Ratu.
Pendekar Romantis punya dua pi-
lihan, melawan sang Ratu dengan keke-
rasan atau dengan kemesraan? Keduanya
bisa mematikan sang Ratu, tapi kedua-
nya juga punya bahaya besar bagi di-
rinya sendiri. Lalu, apa jadinya jika
sang Ratu buka almari dan menemukan
buronannya sudah ada di dalam almari
itu?
Kalau mau tahu lanjutannya, si-
lakan baca serial Pendekar Romantis
dalam kisah: "Ratu Cadar Jenazah".
Bayangin aja, Ratu kok memakai cadar
jenazah, kayak apa jadinya tuh orang,
ya?
SELESAI
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon