5
Lereng Gunung Batu terlihat menju-
lang tinggi di kejauhan, berselimut awan
putih. Sedang matahari belum begitu ting-
gi pada garis edarnya. Cahayanya yang
keemasan hangat menyinari bumi. Dari arah
timur Lembah Kidung, Soma sedang berlari
kencang menuju lereng Gunung Batu.
Tiba-tiba di hadapan pemuda itu
menghadang seorang gadis cantik. Umurnya
kira-kira dua puluh delapanan. Tubuhnya
yang ketat dibungkus pakaian warna kun-
ing. Rambutnya yang hitam panjang dikun-
cir ke atas dengan pita warna kuning pu-
la. Sebenarnya cantik sekali gadis itu.
Tapi karena dandanannya agak menor, mem-
buat bedaknya yang tebal luntur oleh ke-
ringat.
"Tunggu dulu, Pemuda Tampan! Mau ke
mana sih? Kok, buru-buru?" sapa gadis ini
genit. Matanya yang jelita mengerling
nakal ke arah Soma.
Soma menghentikan langkahnya.
"Aku? Aku tidak ke mana-mana? Toh,
apa bedanya sih ke mana-mana dan tidak ke
mana-mana?" jawab Soma seenak hati. "Ta-
pi, ngomong-ngomong ada keperluan apa?
Kok menghadang langkahku? Apa tidak ada
kerjaan lain kecuali menghadang perjala-
nanku?!"
Wanita cantik itu tersenyum manis.
"Ahh...! Mengapa kau jadi sewot be-
gini?"
Soma menautkan sepasang alisnya
yang tebal. "Kalau dia wanita baik-baik,
mengapa kelakuannya begini? Aku harus ha-
ti-hati. Jangan-jangan dia wanita nakal?"
gumamnya dalam hati.
"Lho, lho...! Kok, malah bengong?
Memangnya ada apa? Apa tadi kau belum di-
beri makan ayahmu?" ledek wanita itu se-
raya meraih lengan Soma.
"Hei?! Apa-apaan, sih?!" sergah So-
ma seraya mengibaskan tangannya kasar.
"Aduh! Lagakmu seperti orang suci
saja! Tapi aku yakin, sekali saja kenal
aku, kau pasti akan tergila-gila," kata
gadis ini ceriwis. "Ayolah, Pemuda Tam-
pan! Tunggu apalagi?"
"Ah...! Aku mau lewat!"
Soma nekat menerjang. Namun wanita
cantik itu kembali menghalangi langkah-
nya. Malah tangannya yang putih bersih
berani memeluk lengan Soma.
"Kau sebenarnya mau apa, sih? Aku
mau lewat. Ayolah, beri aku jalan," kata
Soma kewalahan juga melihat kenekatan wa-
nita itu.
"Gampang. Soal memberi jalan itu
gampang," jawab gadis itu dengan senyum
menyebalkan. "Tapi, ada syaratnya?"
Soma menggerutu. Kedua lengan wani-
ta itu makin erat memegangi lengannya.
"Huh! Mimpi apa aku semalam, sehingga Tu-
han mengirimkan manusia sundal ini? Can-
tiknya sih memang bolehlah. Tapi, buat
apa kalau membawa penyakit?" gerutu Soma.
"Hey, kau ngomong apa?! Apa kau ti-
dak pernah diajarkan sopan santun oleh
ibumu?" bentak wanita itu tersinggung.
Tanpa sadar kedua tangannya yang memegang
lengan Soma dilepaskan, siap melontarkan
pukulan mautnya.
"Jangan terlalu perasa.... Aku ti-
dak menyindir mu. Aku hanya mengatakan,
wanita secantik apa pun bisa juga membawa
penyakit. Jadi, aku tidak mengatakan ka-
lau kau yang membawa penyakit," sergah
Soma seraya bergerak mundur selangkah.
"Hen?! Itu sama saja mengatakan ka-
lau aku pembawa penyakit!" tukas wanita
cantik itu marah. "Apa kau belum tahu,
siapa aku sehingga kau berani berkata se-
lancang ini?!"
"Siapa kau? Ah, gampang saja. Kau
tak ubahnya seperti perampok yang mengha-
dang perjalanan orang, masa' kau lupa?"
tukas Soma enteng. Sama sekali tidak ta-
kut menghadapi ancaman wanita itu.
Padahal kalau pemuda ini tahu siapa
wanita di hadapannya, pasti akan terke-
jut. Wanita cantik di hadapannya saat ini
adalah Denok Supi, salah seorang tokoh
sesat yang merajai daerah barat. Usia se-
benarnya sudah sangat tua. Tapi karena
memiliki semacam ilmu awet muda, sehingga
nampak seperti seorang gadis.
"Dua kali kau menghinaku, Bocah!
Kau harus membayar penghinaanmu ini!"
Sehabis berkata begitu, Denok Supi
mengangkat tangannya tinggi-tinggi, siap
melancarkan pukulan mautnya.
"Tunggu!" cegah Soma. "Sebenarnya
kau mau apa? Bukankah di antara kita ti-
dak ada silang sengketa? Mengapa kau ma-
rah-marah begini?"
Denok Supi menggeram marah. Kedua
tangannya, yang sudah gatal tidak dapat
lagi ditahan. Untungnya Soma sudah siap
siaga.
Wuuttt...!
"Uts!"
Begitu tangan Denok Supi bergerak
menampar pipinya, Soma cepat berkelebat
ke samping kiri. Meski serangan wanita
itu dapat dihindari dengan mudah, namun
hatinya sempat kaget. Betapa tidak? Ru-
panya pukulan Denok Supi penuh dengan ha-
wa racun. Dan ini dapat dirasakan dan ha-
wa dingin yang berbau amis sebelum tangan
itu mengenai sasaran.
"Hm...! Rupanya kau punya sedikit
kepandaian sehingga berani berkata selan-
cang tadi. Bagus! Akan kulihat sampai di
mana kepandaianmu, Bocah!"
Tanpa banyak cakap lagi, Denok Supi
cepat menyerang. Hatinya merasa penasaran
sekali melihat serangan pertamanya tadi
dapat dihindari dengan mudah.
"Wah, wah, wah...! Apa-apaan kau
ini? Mengapa urusan jadi runyam begini?
Sungguh aku tidak bermaksud menghinamu,"
kata Soma sambil berloncatan ke samping
kiri menghindari serangan.
"Jangan banyak bacot! Aku harus me-
nelanjangimu atas penghinaanmu ini, Bocah
Tampan!" dengus Denok Supi langsung men-
gerahkan jurus-jurus mautnya untuk mende-
sak Soma.
Pemuda ini kewalahan bukan main da-
lam menghindar. Dan tak henti-henti mu-
lutnya mengoceh.
"Sungguh aku tidak bermaksud meng-
hinamu. Tapi, baiklah! Kalau kau memang
tersinggung atas ucapanku tadi, aku akan
cabut kembali ucapanku tadi."
"Enak saja! Omonganmu sudah telan-
jur keluar! Tidak! Kau harus membayar
penghinaanmu!" dengus Denok Supi benar-
benar penasaran bukan main. Sudah tiga
jurus lebih namun belum dapat juga me-
nyentuh tubuh pemuda itu
"Waduh...! Maaf, deh! Aku benar-
benar menyesal."
Denok Supi tidak mempedulikan oce-
han Soma lagi. Sebagai seorang ahli silat
tingkat tinggi yang sudah cukup pengala-
man malang melintang di dunia persilatan,
hatinya merasa penasaran bukan main dapat
dipermainkan lawannya yang kelihatannya
masih hijau. Dan agaknya, tokoh sesat da-
ri barat itu kini tidak sekadar memberi
pelajaran pada Soma, melainkan membunuh-
nya. Dan pada satu kesempatan yang tidak
mungkin dihindari Soma, kedua telapak
tangan Denok Supi yang penuh racun kemba-
li mengancam dada.
Wuuttt...!
Soma kaget bukan main. Serangan ini
jelas sangat membahayakan bagi keselama-
tannya. Apalagi dalam jarak sedekat itu.
Tak ada pilihan lain, harus ditangkisnya
kedua telapak tangan Denok Supi.
Duk! Duk!
Terdengar suara benturan keras dari
dua tenaga dalam tinggi di udara. Akibat-
nya tubuh Soma bergoyang-goyang. Kedua
kakinya melesak beberapa rambut ke dalam
tanah. Sedang Denok Supi terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Wajahnya
pucat pasi. Dan dari bibirnya mengelua-
rkan darah segar.
"Pukulan 'Tenaga Inti Bumi'...!"
desis Denok Supi kaget.
Soma sendiri kaget bukan main. Ti-
dak disangka pukulannya tadi menyebabkan
musuhnya terluka. Dan lebih kagetnya la-
gi, musuhnya mengenali jurus pukulannya
tadi.
Soma tersenyum-senyum bagai orang
bodoh.
"Benar! Itu memang yang dinamakan
pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'. Apa kau
masih penasaran? Tapi, sayang. Aku tidak
punya waktu meladenimu. Selamat tinggal!"
Sehabis berkata begitu, pemuda ini
segera mengerahkan ilmu meringankan tu-
buhnya meninggalkan tempat itu. Dan dalam
sekejap saja, tubuhnya telah menghilang
dari balik kerimbunan pohon cemara.
Denok Supi menggeram marah. Dalam
hatinya bertanya-tanya, siapa pemuda tam-
pan berbaju rompi bersisik berwarna putih
keperakan tadi?
"Jahanam? Dia pasti murid si tua
bangka Begawan Kamasetyo! Siapa lagi?"
desis Denok Supi penuh kemarahan, sebelum
akhirnya meninggalkan tempat itu.
***
Di kaki langit sebelah barat, mata-
hari sebentar lagi tenggelam. Sinarnya
yang keemasan mulai pudar, menebar ke se-
bagian lereng barat Gunung Batu. Keadaan
di sekitar puncak gunung itu sunyi. Hanya
terdengar beberapa kicauan burung yang
hendak pulang ke sarang.
Dan dalam terpaan angin lembut sore
itu, Soma berdiri mematung bagai tonggak
tak bernyawa. Matanya yang tajam menge-
darkan pandangan ke segenap penjuru. Ke-
dua bibirnya berkemik-kemik, seperti me-
nyesali sesuatu.
"Aku sudah sampai di puncak Gunung
Batu. Tapi, mengapa sepi sekali? Mana Ma-
hesa, si Pendekar Kujang Emas, ayahku
itu? Kok dia tak muncul-muncul?" gumam
Soma kecewa.
Sebatas mata memandang, Soma hanya
menemukan hamparan batu besar kecil. Tak
ada satu tumbuhan pun yang tumbuh di sa-
na. Pemuda ini tidak putus asa. Dia terus
mencari orang yang dimaksudkan ibunya.
Sehingga tak terasa senja mulai berganti
malam.
Bulan sepotong di langit sebelah
timur, tidak cukup menerangi tempat itu.
Soma akhirnya memutuskan untuk melan-
jutkan pencariannya esok hari.
***
Dua tahun ke belakang, sebelum Soma
menginjakkan kakinya di tempat yang sama,
di puncak Gunung Batu, Mahesa atau yang
lebih terkenal sebagai Pendekar Kujang
Emas tengah duduk berhadap-hadapan dengan
seorang pemuda tampan di atas bongkahan
batu
Wajah pemuda itu tampan, berbentuk
bulat telur. Kulitnya putih bersih. Sepa-
sang matanya yang tajam dihiasi alis mata
tebal. Hidungnya mancung, pas sekali den-
gan bentuk bibirnya yang tipis. Tubuhnya
tinggi kekar, dibalut pakaian rapi seka-
li, seperti pakaian terpelajar saat itu.
Sedang rambutnya yang gondrong dikuncir
sebagian ke belakang, semakin menambah
ketampanannya.
Gerak-gerik sikap pemuda itu pun
lembut. Sehingga membuat Mahesa sangat
menyayanginya. Bahkan pemuda di hadapan-
nya sudah dianggap seperti anak kandung
sendiri. Maka tak heran kalau semua ke-
pandaian ilmu silatnya diturunkan kepada
pemuda itu. Seorang pemuda malang yang
dulu ditemukan dalam pelukan ibunya yang
sudah menjadi mayat, sewaktu Mahesa se-
dang mencari istrinya yang hilang entah
ke mana.
"Prameswara...!" panggil Mahesa me-
mecah keheningan malam. "Aku kira semua
kepandaian silatku telah kuturunkan semua
padamu. Sekarang sudah saatnya kita ber-
pisah. Kalau kau tidak keberatan, tolong
carikan istriku, Prameswara! Namanya Ra-
tri. Aku sudah terlalu tua untuk turun
gunung. Apa kau tidak keberatan?"
"Tentu saja tidak, Guru. Seberat
apa pun tugas Guru, akan kulaksanakan,"
jawab Prameswara, santun dan tegas.
"Ya, ya...! Aku percaya. Aku berpe-
san, gunakanlah semua kepandaianmu untuk
membela yang lemah dan menegakkan kebena-
ran. Tetaplah berpegang teguh pada apa
yang kuajarkan di sini. Mengerti?"
"Mengerti, Guru. Aku akan menjun-
jung tinggi semua yang Guru ajarkan pada-
ku," sahut Prarpeswara mantap.
"Nah, sekarang teruskanlah latihan-
mu! Besok pagi kau boleh turun gunung!"
"Baik, Guru."
***
Siang di Desa Ganggurdi. Matahari
tersaput awan. Beberapa orang petani nam-
pak baru pulang dari sawah. Suara canda
dan tawa mereka mengusik kesunyian desa.
Dari ujung desa yang lain, Prames-
wara mulai memperlambat langkahnya. Sedi-
kit pun tidak nampak keringat membasahi
wajahnya, pertanda ilmu meringankan tu-
buhnya sudah mencapai tingkat tinggi. Pa-
dahal dia baru saja menempuh perjalanan
jauh. Sejak turun gunung, desa itulah
yang pertama kali dijumpainya.
Saat mulai memasuki jalan desa itu,
Prameswara melihat suasana desa itu agak
ramai dibanding di ujung desa tadi. Bebe-
rapa orang petani yang tadi asyik bercan-
da mulai berpisah, pulang ke rumah mas-
ing-masing.
Prameswara masuk ke dalam sebuah
kedai, agak terpisah dari perumahan pen-
duduk. Dua orang pelayan cantik menyambut
kedatangannya. Kebetulan suasana sedang
sepi. Yang ada hanya Prameswara seorang.
"Silakan duduk, Tuan! Mau makan
apa?" sambut salah seorang gadis cantik
itu senang. Sepasang matanya yang jeli
menatap Prameswara penuh kagum.
Prameswara memperhatikannya sekilas
dengan senyum terkembang di bibir.
"Tolong sediakan makanan dan arak
yang paling enak di kedai ini!" ujar Pra-
meswara dengan suara santun. Namun aneh-
nya, sikap pemuda itu sungguh tidak cocok
dengan tutur sapanya yang santun.
"Ba..., baik" sahut pelayan itu gu-
gup. Sejenak pandangan matanya melirik
Prameswara.
Prameswara mengacuhkannya,
Pelayan itu menghela napas panjang.
"Sayang! Dia memang tampan, tapi
sombongnya tidak ketulungan," kata batin
pelayan itu, sebelum akhirnya masuk ke
dalam
"Tuaaaampan sekali pemuda itu. Sia-
pa namanya, Yu?" tanya pelayan lain penuh
kagum.
"Huh! Sombongnya minta ampun. Boro-
boro tahu namanya. Aku jadi sebel! Seper-
tinya dia saja yang paling tampan," geru-
tu pelayan yang tadi menyambut kedatangan
Prameswara kesal. "Sudah! Sekarang gili-
ran mu mengantarkan makanan ke depan!"
"Benar, nih? Apa kau tidak menyesal
kalau pemuda itu jatuh cinta padaku?" ka-
ta pelayan yang satunya, senang dapat me-
layani tamunya yang tampan.
"Siapa peduli!"
"Baik, baik! Kalau begitu, aku akan
mengantar makanan ini padanya. Lihat sa-
ja, Mbakyu! Aku pasti dapat menaklukkan
pemuda yang katamu sombong itu," kata pe-
layan berpakaian. Kebaya warna kuning itu
senang. Kemudian bergegas dia menyediakan
makanan yang dipesan Prameswara.
"Silakan dimakan, Tuan! Ini arak
dan makanan yang paling lezat di kedai
ini. Juga di kedai-kedai lainnya. Sila-
kan! Silakan!" kata pelayan itu genit.
Lagi-lagi Prameswara hanya memper-
hatikan pelayan itu sekilas. Sama sekali
tidak ada senyum. Bahkan matanya sinis
sekali memperhatikan pelayan itu. Lalu
tanpa banyak cakap lagi, araknya mulai
ditenggak. Tidak seperti para tokoh dunia
persilatan lainnya, arak putih itu di-
tuang dulu ke dalam gelas dari batu me-
rah. Lalu ditenggaknya sedikit demi sedi-
kit.
Pelayan berbaju kuning itu mengedu-
mel diperlakukan seperti itu. Namun dia
tidak putus asa.
"Bagaimana, Tuan? Bukankah cukup
enak arak di kedai ini?" kata pelayan ini
ceriwis.
Prameswara memandang pelayar itu
tajam.
"Beginikah caramu menyambut tamu
yang makan di sini?" gerendeng Prameswa-
ra.
"I.... Iya! Eh, ti... tidak, Tuan!"
jawab pelayan berkebaya kuning itu gugup.
"Kalau begitu, cepatlah enyah dari
hadapanku!" usir Prameswara dingin.
"Ba...,baik!"
Pelayan berkebaya kuning itu ber-
maksud beranjak dari tempatnya. Namun ti-
ba-tiba saja langkahnya berhenti, saat
dua orang lelaki aneh masuk ke dalam ke-
dainya. Sejenak pelayan berkebaya kuning
itu memperhatikan heran ke arah kedua
orang tamu anehnya. Yang satu bertubuh
pendek, berkulit hitam legam. Matanya bu-
lat berwarna hitam. Hidungnya bundar. Bi-
birnya yang berwarna hitam agak dlawer
dengan gigi berwarna kuning. Rambutnya
pun awut-awutan, cocok sekali dengan pa-
kaian hitam-hitamnya yang kumal.
Sedang laki-laki satunya bertubuh
tinggi kurus. Mukanya tirus dengan mata
besar berwarna hitam. Hidungnya mancung
sekali, seperti hidung betet. Demikian
juga giginya yang mancung menjorok ke de-
pan. Rambut dan pakaian laki-laki itu pun
sama-sama kumalnya. Dan sembari tertawa
mengakak, mereka langsung menghenyakkan
pantatnya tak jauh dari kursi Prameswara.
"Ayo, kita rayakan pertemuan kita
di sini, Sorogompo! Kamu mau pesan apa?"
tanya laki-laki bertubuh tinggi kurus ke-
pada laki-laki bertubuh pendek yang di-
panggil Sorogompo.
"Baik, Mayang Kekek. Rupanya hampir
selama lima belas tahun kita berpisah,
sekarang kau sudah kaya, ya? Aku mau pe-
san arak yang paling wangi di sini. Juga,
makanan yang paling enak. Tapi kalau ada,
aku lebih suka daging kambing. Biar kuat
itu.... Ha ha ha...!" sahut Sorogompo.
"Mintalah daging kambing dan arak
yang paling wangi. Bahkan minta bintang
pun, aku pun tidak keberatan. Tapi bayar
sendiri! Ha ha ha...! jawab laki-laki
tinggi kurus yang dipanggil Mayang Kekek,
langsung disambung suaranya yang sember.
"Apa? Kau mau mempermainkan aku,
Mayang Kekek? Kau tidak jadi mentraktir
ku?!" tukas Sorogompo mendelik gusar.
"Lho? Siapa peduli? Kau makan untuk
mengisi perutmu sendiri. Aku juga. Siapa
peduli? Memangnya aku bapak moyangmu?!"
jawab Mayang Kekek acuh tak acuh.
"Kau menjatuhkan harga diriku,
Mayang Kekek. Kalau saja tidak ada gadis
cantik di sampingku, aku tak akan marah.
Tapi sekarang, kau harus menerima akibat
dari bacotmu yang lancang ini!"
Sorogompo cepat meraih asbak ter-
buat dari pangkal pohon bambu, langsung
dilemparkannya ke arah muka Mayang Kekek.
Cepat sekali lemparan yang dilaku-
kan Sorogompo itu. Apalagi dalam jarak
yang demikian dekatnya. Namun, Mayang Ke-
kek hanya tertawa-tawa saja melihat se-
rangan kawannya. Dan begitu asbak itu
hendak menghajar wajahnya, jari telunjuk
tangan kanannya terangkat. Cepat diteri-
manya asbak itu, dan diputar-putarnya
dengan tangan kirinya.
"Seranganmu lamban sekali, Sorogom-
po! Buat apa bertapa bertahun-tahun kalau
tenaga dalammu tetap seperti ini. Nih,
asbakmu kukembalikan!" ejek Mayan Kekek,
seraya melontarkan kembali asbak itu ke
muka Sorogompo.
Asbak itu terdorong ke depan.
Mayang Kekek penasaran sekali. Segera te-
naga dalamnya dikerahkan. Dan akibatnya
asbak itu kembali lagi. Tentu saja Suro-
gompo tidak mau kalah dalam adu tenaga
dalam itu. Demikian pula Mayang Kekek.
Kedua orang itu terus mengemposkan tenaga
dalam hingga akhirnya asbak itu tertahan
di udara!
Pelayan berkebaya kuning yang sudah
cukup berpengalaman berhadapan dengan to-
koh-tokoh sakti dunia persilatan hanya
berdiri menggigil di tempatnya. Namun ti-
dak demikian Prameswara. Semula kedua
orang tua itu memang dibiarkan menjual
lagak di depannya. Namun lama kelamaan
merasa terganggu juga.
"Kalian ini orang tua tak tahu di-
ri! Sudah bau tanah masih menjual lagak
di depanku!" bentak Prameswara sambil
menggerakkan tangan kanannya santai, seo-
lah-olah sedang mengusir lalat di depan
hidungnya. Akibatnya....
Prak!
Asbak yang terkena pukulan jarak
jauh pemuda itu kontan pecah berantakan.
Dan akibatnya pula, tenaga dalam Mayang
Kekek dan Sorogompo jadi saling serang
secara langsung.
Duk!
Terdengar benturan tenaga dalam di
udara. Akibatnya, tubuh kedua orang itu
bergetar hebat. Bangku tempat berpijak
langsung hancur berantakan.
Pelayan berkebaya kuning itu menje-
rit-jerit ketakutan, langsung ngacir ke
dalam.
Kedua orang itu kontan menoleh ke
arah Prameswara. Mereka yakin pemuda itu-
lah yang membuat ulah. Mata mereka kontan
membelalak lebar
"Anak muda?! Mengapa kau berani
lancang mencampuri urusan kami?!" hardik
Mayang Kekek. Prameswara mendengus.
"Aku tidak bermaksud mencampuri
urusan kalian? Tapi berhubung kalian te-
lah menjual lagak di depanku, aku tidak
dapat membiarkannya. Apalagi, kalian te-
lah mengganggu selera makanku. Apa itu
salah?"
"Salah! Itu jelas salah! Mau meng-
ganggu selera makanmu, kek. Mau membunuh-
mu sekalipun, kek. Apa pedulimu?!" dengus
Sorogompo. Tak dapat lagi amarah ditahan.
Dia melompat ke hadapan Prameswara. Kedua
tangannya yang sudah gatal-gatal langsung
bergerak menampar.
Prameswara sedikit menarik tubuhnya
ke belakang. Sedang tangan kanannya me-
nyambar mangkuk sopnya, menyerang Soro-
gompo.
Pyarrr...!
"Aaakh...!"
Sorogompo memekik kaget. Untunglah
Mayang Kekek segera membantu menahan se-
rangan Prameswara. Malah kalau pemuda itu
tidak cepat melempar tubuhnya ke bela-
kang, bisa jadi tubuhnya sudah dibasahi
kuah sopnya.
"Kau jangan turut campur, Mayang
Kekek! Aku masih sanggup menghadapi bocah
ini!"
Sorogompo cepat melesat ke depan.
Langsung diserangnya Prameswara dengan
jurus-jurus andalan. Hebat sekali seran-
gan kakek bertubuh kerdil itu, membuat
pemuda ini kewalahan bukan main. Tubuhnya
sudah beberapa kali berjumpalitan ke uda-
ra. Dan akhirnya mereka berdua telah be-
rada di luar kedai.
"Bagus! Rupanya kau punya sedikit
kepandaian!" dengus Sorogompo gusar. Su-
dah tiga jurus berlalu, namun belum juga
dapat menyentuh tubuh lawan.
"Tidak usah banyak bacot dulu,
Orang Tua! Lihat saja bagaimana aku meng-
hajarmu nanti," kata Prameswara.
"Bocah sombong!" geram Sorogompo
penuh kemarahan.
"Ayo, Sorogompo! Hajar saja bocah
itu! Gebuk pantatnya!" teriak Mayang Ke-
kek dari luar kancah pertarungan.
Sorogompo meloncat ke depan. Pra-
meswara cepat membabat pedang. Segera
disambutnya serangan itu. Tanpa membuang-
buang waktu lagi, Prameswara langsung me-
mainkan jurus-jurus pedangnya yang pernah
dipelajari dari Pendekar Kujang Emas.
"Hm...! Kau pasti muridnya Pendekar
Kujang Emas. Tapi, sayang. Kau tidak
punya sopan santun pada orang tua. Apa
kau belum pernah diajari sopan santun
oleh gurumu?!" kata Sorogompo mulai men-
genali jurus-jurus andalan Prameswara.
"Syukur kalau kau sudah tahu nama
guruku. Jadi sudah seharusnya kau berte-
kuk lutut dan memohon maaf atas kelancan-
ganmu!" desis Prameswara.
"Hm...! Kau memang patut diajari
sopan santun Bocah. Biarlah aku yang me-
wakili gurumu mengajari sopan santun,"
kata Sorogompo kesal.
Meski hanya bersenjata tangan ko-
song, Sorogompo sama sekali tidak kewala-
han menghadapi Prameswara yang bersenjata
pedang. Perlahan namun pasti, Sorogompo
dapat mendesak. Bahkan sudah beberapa
kali tangannya berhasil mendarat telak di
tubuh pemuda itu.
Prameswara menggeram penuh kemara-
han. Kedua tangannya kini telah berubah
menjadi biru, siap melontarkan pukulan
mautnya.
"Apa kau mengenali pukulan ini,
Orang Tua?" ejek Prameswara.
"Hanya pukulan 'Cahaya Kilat Bi-
ru'," desis Soro gompo. "Sayangnya puku-
lan maut itu kau pergunakan dengan seme-
na-mena. Kau memang tidak layak menjadi
murid Pendekar Kujang Emas. Sebagai te-
mannya, aku merasa bertanggung jawab un-
tuk memberimu pelajaran."
"Jangan banyak bacot, Orang Tua!
Pukulan inilah yang akan mengantar nyawa-
mu ke neraka!" bentak Prameswara.
"Lakukanlah! Akan kulihat, sampai
di mana kehebatan pukulanmu," tantang So-
rogompo berani.
Bukan main marahnya Prameswara.
Ternyata pemuda ini memang berwatak som-
bong. Hatinya tidak terima direndahkan
sedemikian rupa. Maka dengan menggunakan
jurus sakti 'Kilat Menyambar Bumi', Pra-
meswara kembali menerjang Sorogompo. Tan-
gan kirinya yang telah berubah menjadi
biru, beberapa kali menyambar-nyambar ga-
nas, Namun Sorogompo dapat menghindari
dengan mudah.
"Terus pukul aku, Bocah! Mengapa
berhenti?!" ejek Sorogompo.
"Jahanam! Hari ini adalah hari ke-
matianmu, Orang Tua!"
Prameswara mempercepat gerakan pe-
dangnya. Tubuhnya yang tinggi kekar me-
lenting ke udara. Dan ketika menukik ke
bawah, tahu-tahu ujung pedang di tangan-
nya telah mengancam ubun-ubun Sorogompo.
Sedang tangan kirinya siap melontarkan
pukulan 'Cahaya Kilat Biru'.
Hebat sekali serangan Prameswara.
Malah Sorogompo sendiri sempat terkejut
dibuatnya. Namun sebagai seorang tokoh
silat yang sudah cukup berpengalaman, dia
tidak jadi gugup, walau saat itu kurang
menguntungkan. Dengan miringkan tubuhnya
ke kiri menghindari tusukan pedang, tan-
gan kanannya cepat memapak pukulan
'Cahaya Kilat Biru' di tangan kiri Pra-
meswara. Bahkan juga dilontarkannya puku-
lan saktinya yang diberi nama 'Orang Gila
Mengamuk'.
Duk!
Blarrr...!
Hebat bukan main akibat pertemuan
dua tenaga dalam di udara itu. Bahkan tu-
buh Sorogompo yang pendek bergoyang-
goyang. Kedua kakinya melesak beberapa
rambut ke dalam tanah. Sedang tubuh Pra-
meswara yang masih melayang-layang di
udara kembali terlempar ke udara. Sekujur
tubuhnya menggigil. Wajahnya pucat pasi.
Dan dari kedua bibirnya mengalir darah
segar, pertanda menderita luka dalam cu-
kup parah.
"Bagaimana, Anak Muda? Apa kau ma-
sih punya muka melawan aku?" ejek Soro-
gompo puas. "Kalau saja kau bukan murid
Pendekar Kujang Emas sahabatku, tidak se-
gan-segannya aku membunuhmu. Tapi, kali
ini kau kumaafkan. Sekarang pergilah! Aku
muak melihatmu!"
"Hey, tunggu! Jangan biarkan bocah
itu pergi dulu, Sorogompo! Aku harus
menghajar pantatnya dulu!" teriak Mayang
Kekek gemas.
Prameswara yang sudah tidak mempu-
nyai muka, cepat kabur dari tempat itu.
Meski menderita luka dalam yang cukup pa-
rah, namun dia dapat melangkah cepat dan
tempat ini.
Mayang Kekek menghentak-hentakkan
kaki kanannya kesal bukan main.
"Ini semua gara-gara kau, Sorogom-
po! Kau harus membayar hutang pemuda itu!
Aku harus menggebuk pantatmu!" maki
Mayang Kekek gemas.
6
Prameswara kecewa bukan main. Ma-
rah, benci dendam bercampur menjadi satu.
Apa yang dipelajarinya hampir delapan be-
las tahun lebih, ternyata hanya menemui
kesia-siaan belaka. Dia tidak dapat ber-
buat banyak dihina oleh Sorogompo. Watak
pemuda ini yang memang tinggi hati, tak
ingin ada seorang pun melebihi dirinya,
merasa harus membalaskan sakit hatinya.
Namun karena belum mampu, dia ingin men-
cari seorang guru tangguh.
Itulah rencana yang sudah tersusun
dalam benak Prameswara. Padahal kalau mau
mawas diri, kepandaiannya saat itu sudah
jauh dari lumayan. Dia tidak berpikir ka-
lau musuh yang dihadapi tadi adalah seo-
rang tokoh sakti. Jangankan dirinya. Gu-
runya pun, belum tentu sanggup mengalah-
kan Sorogompo. Akan tetapi, rupanya Pra-
meswara tidak berpikir demikian. Yang di-
pikirkan hanya kekalahan dan balas dendam
saja.
"Untuk apa aku belajar silat berta-
hun-tahun kalau hanya menemukan kesia-
siaan seperti ini!" dengus Prameswara ge-
lisah sambil melangkah gontai di pinggi-
ran Hutan Sawo Kembar. Berhari-hari dia
melakukan perjalanan tanpa arah tujuan.
Penasarannya terlalu tenggelam dalam ke-
sedihan, karena dipermalukan Sorogompo.
Dan ini membuat apa yang ditugaskan gu-
runya jadi terabaikan!
Menurut desas-desus yang sempat di-
dengar Prameswara di sepanjang perjala-
nan, di sebelah barat Hutan Sawo Kembar
ada seorang tokoh sakti berjuluk Manusia
Rambut Merah. Konon, ilmu silatnya tinggi
sekali sehingga sulit sekali dicari tan-
dingannya. Maka, kesanalah pemuda itu me-
langkah menemui tokoh sesat itu.
Begitu sampai di sebelah barat hu-
tan ini tiba-tiba Prameswara merasa tanah
tempatnya berpijak bergetar hebat, mem-
bentuk garis seperti galian pasir mende-
katinya. Belum hilang rasa kagetnya, ti-
ba-tiba kedua kakinya seperti terbetot
dari dalam tanah.
Prameswara cepat mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya. Namun anehnya, ke-
dua kakinya sulit sekali digerakkan. Dan
ini membuatnya, kalang kabut. Seketika
itu juga tenaga dalamnya dikerahkan. Tan-
gan kanannya kini berwarna biru dan lang-
sung dihantamkan ke tanah, Kemudian den-
gan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai tingkat tinggi, Pra-
meswara cepat meloncat ke ranting pohon
dibelakangnya.
Gundukan pasir di bawah terus men-
gejar ke akar pohon tempat Prameswara
bertengger. Dalam beberapa kejap kemu-
dian, pohon itu tersedot dari dalam ta-
nah.
"Heh?!"
Prameswara kaget bukan kepalang,
Pohon tempatnya berpijak hampir setengah-
nya melesak ke dalam tanah. Cepat pemuda
itu meloncat ke ranting pohon lainnya.
Dan anehnya, gundukan tanah yang berge-
rak-gerak seperti punya mata saja dan te-
rus mengejar.
Dalam hati murid Pendekar Kujang
Emas ini berdecak kagum. Dia menduga,
pasti ada orang pintar yang sedang unjuk
kepandaian padanya. Namun Prameswara ti-
dak bisa menebak, ilmu apa yang dipergu-
nakan orang dalam tanah itu. Mungkin se-
macam ilmu 'Amblas Bumi' atau semacam il-
mu apa.
"Hup...!"
Prameswara kembali meloncat ke
ranting pohon lain. Dan kini gundukan ta-
nah di bawahnya tidak mengejarnya. Tapi
bergetar-getar hebat. Dan tidak lama ke-
mudian.....
Broll...!
"Hyaaat...!"
Gundukan pasir itu membuncah seir-
ing teriakan seseorang yang melengking
tinggi dari dalam gundukan tanah itu!
Terkejut bukan main Prameswara ke-
tika melihat dari dalam gundukan tanah
muncul seorang laki-laki berpakaian merah
darah dengan satu lentingan cantik seka-
li. Setelah berputaran di udara, kakinya
mendarat mantap di tanah.
Orang itu tinggi besar. Rambutnya
berwarna merah menyala. Dia sekarang ber-
diri beberapa tombak di depan Prameswara.
Wajahnya menampakkan kegarangan dengan
mata besar. Hidungnya pun besar dipadu
alis mata dan kumis tebal yang berwarna
kemerah-merahan.
"Pasti orang inilah yang berjuluk
Manusia Rambut Merah," gumam Prameswara
dalam hati.
Pemuda ini merasa harus menggunakan
akalnya agar dapat membujuk orang tua
yang nampak baru berumur lima puluh lima
tahunan itu untuk menjadi gurunya. Dia
sudah melihat ilmu yang sudah diperagakan
orang itu. Tapi bagaimanapun juga, Pra-
meswara harus mengujinya! Dia tidak ingin
hanya membuang-buang waktu kalau ternyata
orang ini berilmu rendah.
"Siapa pun yang berani melewati
daerah kekuasaanku harus modar!" dengus
lelaki yang memang berjuluk Manusia Ram-
but Merah garang. Tubuhnya yang tinggi
besar tahu-tahu berkelebatan cepat ke
ranting pohon tempat Prameswara berteng-
ger. Sedang tangannya yang berwarna merah
menyala telah melontarkan pukulan maut-
nya.
Wesss...!
Prakk!
Ranting pohon tempat Prameswara
berpijak hancur berantakan. Sebagian yang
lainnya layu! Untungnya, pemuda itu cepat
meloncat turun. Saat ini pikiran Prames-
wara mulai bekerja keras.
"Sabar, Orang Tua! Soal membunuhku
itu gampang. Tapi kedatanganku kemari,
justru ingin bertemu denganmu...," cegah
Prameswara santun.
"Jadi, kau menantangku?! Kau yang
membangunkan tapa pendemku, Bocah?" har-
dik Manusia Rambut Merah garang. Kedua
tangannya yang berwarna merah menyala
hingga ke lengan kembali menyambar-
nyambar tubuh Prameswara ganas.
Prameswara kewalahan bukan main da-
lam menghindari. Jangankan terkena puku-
lannya, terkena sambaran anginnya saja
Prameswara sudah merasakan hawa panas me-
nyengat kulitnya.
"Aku tidak bermaksud demikian,
Orang Tua. Terus terang, aku hanya ingin
melihat kebenaran desas-desus yang kuden-
gar di sepanjang perjalananku tentang ke-
hebatanmu, Orang Tua. Bukankah kau yang
berjuluk Manusia Rambut Merah?" oceh Pra-
meswara, mulai menjalankan siasatnya.
"Benar. Tapi itu bukan berarti aku
harus mengurungkan niatku untuk membunuh-
mu, Bocah!" hardik tokoh itu lagi garang.
"Aku tahu. Tapi percuma saja kalau
ingin membuktikan kehebatanmu padaku. Aku
hanyalah anak kemarin sore. Sudah pasti
akan kalah," sahut Prameswara merendah.
Manusia Rambut Merah gusar bukan
main dipanas-panasi seperti itu. Kedua
kakinya yang besar bergetar-getar. Demi-
kian pula tanah yang dipijaknya.
"Jadi, tokoh silat mana yang pantas
menjadi lawanku, Bocah?" kata Manusia
Rambut Merah gusar.
"Banyak. Tapi, bukan itu maksud ke-
datanganku, Orang Tua!"
"Bedebah! Kau mulai mempermainkan-
ku, Bocah?!"
"Tidak ada gunanya aku mempermain-
kanmu, Orang Tua. Aku percaya kehebatan-
mu. Untuk itu aku datang kemari. Maksudku
tidak lain ingin berguru padamu," tutur
Prameswara semakin mantap dengan renca-
nanya.
"Anjing kurap! Kau hanya memper-
mainkanku! Kau pikir gampang menjadi mu-
ridku?!"
Bukan main marahnya Manusia Rambut
Merah mendengar penuturan Prameswara. Ke-
dua kaki dan tangannya yang sudah lama
sekali tidak memakan korban terasa sudah
gatal-gatal ingin dilampiaskannya. Kemu-
dian dengan satu gerakan sebat, kembali
Manusia Rambut Merah menyerang Prameswa-
ra.
Nyali Prameswara tidak ciut. Sambil
berloncatan menghindari serangan, mulut-
nya tak henti-hentinya mengejek.
"Heh?! Kau pikir aku pun gampang
menerimamu sebagai guruku, Orang Tua!
Jangan harap dengan kehebatanmu ini aku
mau menerima guru begitu saja!" kata Pra-
meswara sengaja memanas-manasi.
"Jahanam...! Sekarang katakan, sia-
pa gurumu?! Biar aku patahkan batang le-
hernya?!" dengus Manusia Rambut Merah pe-
nasaran bukan main.
"Tidak segampang itu, Orang Tua.
Ada syaratnya," tangkis Prameswara makin
membuat Manusia Rambut Merah penasaran.
Manusia Rambut Merah menghentikan
serangannya. Wajahnya kelam membesi den-
gan rahang bertonjolan.
"Katakanlah! Apa syaratmu, Bocah?!"
ujar Manusia Rambut Merah, keras.
"Tidak terlalu sulit sebenarnya.
Jika kau dapat membunuh guruku, aku hanya
ingin agar kau mengangkatku sebagai mu-
rid," sahut Prameswara penuh kemenangan.
"Anjing kurap! Babi gempul! Kau
hanya mempermainkanku, Bocah?!"
Bukan main marahnya Manusia Rambut
Merah. Kedua telapak tangannya yang ber-
warna merah menyala kembali dihantamkan.
Hebat bukan main serangan-serangan
Manusia Rambut Merah itu. Kalau saja Pra-
meswara tidak cepat membuang tubuhnya be-
berapa kali ke samping kanan, sudah pasti
terkena sambaran pukulan maut dari tangan
Manusia Rambut Merah. Dan melihat seran-
gan-serangannya dapat dihindari, Manusia
Rambut Merah makin penasaran saja.
"Bilang saja kau tidak berani,
Orang Tua! Pakai berdalih ingin membunuh-
ku segala! Jangankan membunuh guruku.
Menghadapi aku saja, kau masih kewala-
han," pancing Prameswara, makin membuat
Manusia Rambut Merah penasaran.
Padahal, Prameswara sendiri sudah
mengeluarkan keringat dingin menghadapi
serangan-serangan Manusia Rambut Merah
yang sangat ganas dan keji. Kalau saja
tokoh sesat itu tidak menghentikan seran-
gan-serangannya. mungkin dalam satu atau
dua jurus kemudian pemuda ini akan tewas.
Siasat menjual nama gurunya inilah satu-
satunya yang paling ampuh untuk mengobar-
kan amarah Manusia Rambut Merah.
"Jahanam...! Sekarang katakan siapa
nama gurumu, Bocah! Aku sudah gatal-gatal
ingin menghajar gurumu!" bentak Manusia
Rambut Merah, gusar bukan main.
"Tapi, kau mau menerima syaratku,
bukan?" tukas Prameswara senang
"Baik. Aku terima syaratmu!"
"Hm.... Kalau begitu...," Prameswa-
ra cepat memutar otaknya. "Sekarang begi-
ni saja. Kau tidak perlu repot-repot men-
datangi puncak Gunung Batu. Tapi sebaik-
nya tantang saja guruku di puncak Gunung
Merapi, tepat pada malam purnama bulan
ini. Apa kau menerimanya, Orang Tua?"
"Baik. Di mana pun tempatnya, aku
siap meladeninya. Tapi, siapa nama gurumu
itu?!" bentak Manusia Rambut Merah ber-
tanya penuh penasaran.
Prameswara tersenyum licik.
"Kau harus hati-hati kalau mengha-
dapi guruku nanti. Guruku bernama Mahesa,
atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar
Kujang Emas. Apa kau masih berani melan-
jutkan tantangan setelah kau tahu nama
besar guruku?"
"Jahanam! Jangankan Pendekar Kujang
Emas! Ditambah sepuluh orang seperti dia
pun aku tak akan mundur! Cepat sekarang
sampaikan tantanganku pada gurumu, Bo-
cah!"
"Baik! Sekarang juga aku akan pu-
lang ke Gunung Batu untuk menyampaikan
tantanganmu ini. Tapi, ingat! Kau tidak
boleh lupa dengan syarat yang telah kua-
jukan!"
"Baik. Apa pun syaratnya, bukan ma-
salah bagiku," geram Manusia Rambut Me-
rah, seakan-akan tidak sabar ingin segera
bertemu Pendekar Kujang Emas.
Prameswara tersenyum. Hatinya ter-
senyum penuh kemenangan, membayangkan Ma-
nusia Rambut Merah dapat memenangkan per-
tandingannya nanti. Dan dia berharap,
akan menemukan seorang guru yang tangguh
agar dapat menguasai dunia persilatan!
* * *
Puncak Gunung Batu berselimut awan
putih. Matahari yang baru saja menampak-
kan sinar keemasannya hangat memanasi le-
reng sebelah timur. Dari arah sebelah ti-
mur Prameswara tengah berlari kencang me-
nuju puncak. Gerakan kedua kakinya cepat
sekali, menandakan kalau ilmu meringankan
tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi.
Sebenarnya perasaan pemuda ini ge-
lisah sekali. Memang ada sesuatu yang
mengganjal dirinya. Bagaimana dia akan
menceritakan pada gurunya kalau habis
bentrok dengan Manusia Rambut Merah, dan
apakah gurunya sudi menerima tantangan?
Pemuda ini memeras otaknya. Bagaimanapun
juga, rencananya harus berjalan lancar.
Kini Prameswara sudah tiba di pun-
cak Gunung Batu. Pemuda itu melihat Mahe-
sa yang berjuluk Pendekar Kujang Emas se-
dang bercakap-cakap dengan eyangnya, Pen-
dekar Pedang Kilat Buana. Segera Prames-
wara bersimpuh di hadapan kedua orang tua
itu.
"Guru...!"
Mahesa menautkan kedua alisnya.
"Prameswara? Kau sudah pulang? Apa
kau sudah menemukan Ratri?" tanya Mahesa
heran.
Prameswara menggelengkan kepala.
Lemah.
"Maaf, Guru! Aku belum menemukan-
nya."
"Lantas, mengapa pulang? Kulihat
kau gelisah sekali. Pakaianmu compang-
camping. Ada apa?"
Prameswara memperhatikan pakaiannya
yang compang-camping sebentar. Tadi sebe-
lum naik ke puncak Gunung Batu. dia sem-
pat merobek pakaiannya agar berkesan ha-
bis bertempur dengan seseorang.
"Begini, Guru. Aku malu sekali. Se-
seorang telah membuatku malu," lapor Pra-
meswara gugup namun tetap menjaga kesan-
tunannya.
"Maksudmu? Kau..., kau habis ber-
tempur dengan seseorang?" tebak Mahesa.
"Benar, Guru. Kepandaian orang itu
tinggi sekali. Aku tidak sanggup mengha-
dapinya," lapor Prameswara memelas.
"Hm...!"
Mahesa mengelus-elus janggutnya.
Seseorang yang dapat mengalahkan kepan-
daian muridnya, berarti kepandaian orang
itu sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
"Kepandaianmu memang sudah tinggi,
Prameswara. Tapi, kau juga harus sadar.
Di atas langit, masih ada langit. Jadi,
wajar saja kalau masih ada seseorang yang
mengalahkanmu, Muridku," lanjut Pendekar
Kujang Emas.
"Aku mengerti, Guru. Tapi, bukan
itu saja persoalan yang sebenarnya,
Guru," sahut Prameswara mulai menjalankan
siasatnya. "Untuk itulah aku pulang mene-
mui Guru."
"Maksudmu...?"
"Orang itu telah menantang Guru,
nanti pada malam purnama bulan ini," je-
las Prameswara.
Mahesa terperanjat dari tempat du-
duknya. Pandangan matanya sempat melirik
ke arah eyangnya, Pendekar Pedang Kilat
Buana yang lebih banyak diam mendengar-
kan.
Melihat itu Prameswara diam-diam
jadi menyesal.
"Mengapa aku tidak meminta barang
satu atau dua jurus pada Eyang Guru?!"
pikir Prameswara. "Tapi, tidak! Eyang
Guru pernah bersumpah tidak ingin mempu-
nyai murid lagi. Dan aku dulu juga pernah
membujuknya untuk menurunkan ilmu-ilmu
andalannya padaku. Dan dia tidak mau."
Prameswara menghela napas sesak se-
kali. Kalau saja Eyang Guru mau menurun-
kan ilmunya padanya, belum tentu dia mem-
punyai niat sejahat itu.
"Siapa nama orang itu, Prameswara?"
tanya Mahesa akhirnya.
"Aku tidak tahu, Guru. Tapi, aku
masih ingat ciri-cirinya. Orang itu ting-
gi besar berpakaian serba merah. Rambut-
nya pun juga berwarna merah, Guru," jelas
Prameswara.
"Hm...! Manusia Rambut Merah...,"
gumam Mahesa.
"Jadi, Guru sudah mengenalnya?"
"Belum. Aku hanya pernah mendengar
tokoh itu. Konon, kepandaiannya tinggi
sekali. Tapi, bukankah sudah lama sekali
menghilang dari dunia persilatan?" tukas
Mahesa, entah ditujukan pada siapa.
Prameswara diam membisu.
"Dia memang sudah lama sekali meng-
hilang dari dunia persilatan, Muridku.
Tapi, bisa jadi muncul kembali di dunia
persilatan untuk menebar dosa," sela Pen-
dekar Pedang Kilat Buana, membuka sua-
ranya.
"Benar, Eyang. Seandainya yang
Eyang katakan benar, dunia persilatan
pasti akan gempar," kata Mahesa pada
eyangnya.
"Benar!" sambut Pendekar Pedang Ki-
lat Buana singkat. "Tapi, bagaimana den-
gan tantangannya? Apa kau akan menerima,
Muridku?"
"Itulah yang sedang aku pikirkan,
Eyang," desah Mahesa. "Apa Eyang mengi-
zinkanku menerima tantangannya?"
Pendekar Pedang Kilat Buana yang
sudah sangat tua menghela napas panjang-
nya. Jenggotnya yang panjang memutih di-
elus-elus dengan tangan kanan.
"Sebagai seorang pendekar, pantang
tidak menerima tantangan seseorang."
"Jadi, Eyang mengizinkanku menerima
tantangan itu?" tanya Mahesa.
"Begitulah...."
"Baik!"
Mahesa menggeretakkan gerahamnya.
Pandangan matanya kali ini kembali ditu-
jukan pada muridnya.
"Lantas, di mana aku harus menerima
tantangannya, Muridku?" tanya Mahesa pada
Prameswara.
"Dia..., dia menantang Guru untuk
bertanding di puncak Gunung Merapi pada
malam purnama bulan ini Guru."
"Baik. Kuterima tantangannya!"
***
Udara dingin menusuk puncak Gunung
Merapi. Alam disekitarnya seolah mati
terbawa suasana tegang. Cahaya bulan yang
bersinar purnama cukup menerangi puncak-
nya. Sinarnya yang berwarna keperakan,
menimpa dua raut wajah dua orang laki-
laki tua yang berdiri saling berhadap-
hadapan siap menyabung nyawa.
Yang satu berpakaian serba merah
dengan rambut berwarna merah menyala. Di-
alah yang terkenal sebagai Manusia Rambut
Merah. Sedang di hadapannya adalah seo-
rang laki-laki berusia sekitar empat pu-
luh lima tahun dengan pakaian berwarna
biru-biru. Wajahnya yang berbentuk segi
empat masih menampakkan sisa-sisa ketam-
panannya di waktu muda. Orang ini tak
lain Mahesa alias Pendekar Kujang Emas.
Dan sesuai julukannya, orang ini pun
menggenggam sebilah kujang yang memantul-
kan sinar keemasan.
"Di antara kita tidak ada silang
sengketa. Mengapa kau menantangku berta-
rung?" tanya Mahesa kalem. Sama sekali
tidak gentar menghadapi tantangan itu.
"Betul! Di antara kita memang tidak
ada silang sengketa. Tapi, aku penasaran
mendengar nama besarmu. Apa kau takut me-
nerima tantanganku?" balas Manusia Rambut
Merah, bernada mengejek.
"Aku tidak pernah takut menerima
tantangan siapa pun. Hanya aku heran,
mengapa kau menantangku? Untuk apa?!"
tanya Mahesa lagi, kalem.
"Tidak untuk apa-apa. Yang penting
sekarang, cepat kita bertarung sampai ada
yang mampus. Kau atau aku!" dengus Manu-
sia Rambut Merah garang.
"Baik! Lakukanlah! Kau yang menan-
tangku. Kau pula yang memulainya!" sambut
Mahesa.
"Bagus! Bersiap-siaplah menerima
kematianmu, Pendekar! Aku tidak ingin
bersilat lidah denganmu. Hiyaaat...!"
Sehabis berkata begitu, Manusia
Rambut Merah langsung menyerang Mahesa
dengan senjatanya yang berupa cambuk.
Tarrr! Tarrr!
Hebat sekali serangan Manusia Ram-
but Merah dipadu gerakan kaki dan tangan-
nya yang cepat sekali. Mahesa cepat putar
kujangnya, memapak serangan. Dan dalam
sekejap saja kedua orang itu telah ber-
tempur hebat dengan jurus-jurus andalan.
Kini yang terlihat hanya bayangan merah
dan biru yang berkelebat. Kadang saling
bertemu, dan kadang terpisah beberapa
tombak.
Prameswara sendiri yang diam-diam
menyaksikan pertarungan hidup mati antara
gurunya dengan Manusia Rambut Merah, sam-
pai berdecak kagum beberapa kali. Dan di-
am-diam pula dia memuji kehebatan Manusia
Rambut Merah. Perlahan namun pasti, tokoh
sesat itu berhasil mendesak Mahesa. Gu-
lungan-gulungan cambuk hitamnya terus me-
maksa sinar kuning yang berpendar-pendar
di tangan Mahesa untuk terus bertahan.
"Hyaaa!"
Mahesa cepat putar kujangnya me-
nangkis serangan Manusia Rambut Merah.
Kemudian dalam sekejap saja, Pendekar Ku-
jang Emas telah memainkan jurus maut Pen-
dekar Pedang Kilat Buana. Akibatnya,
sungguh hebat bukan main. Tubuh Manusia
Rambut Merah terpaksa harus berjumpalitan
di udara. Bahkan pada jurus ke sebelas
tadi, hampir saja tubuhnya terkena samba-
ran kujang di tangan Mahesa.
"Gerrr!"
Manusia Rambut Merah menggeram ma-
rah. Cambuknya cepat dilipat di balik
pinggangnya. Sementara Pendekar Kujang
Emas sendiri keheranan melihat lelaki itu
tidak menggunakan senjatanya.
Namun dalam beberapa kejap kemu-
dian, tubuh Manusia Rambut Merah berputar
cepat seperti gasing. Dan anehnya lagi,
tempat berpijaknya berhamburan menyerang
Mahesa seperti hendak menguruk.
Kini Pendekar Kujang Emas benar-
benar dibuat bingung bukan main. Entah
dengan menggunakan ilmu apa, tahu-tahu
tubuh tinggi besar Manusia Rambut Merah
melesak ke dalam tanah.
Belum sempat kekagetan Mahesa hi-
lang, tahu-tahu gundukan pasir di hada-
pannya bergerak cepat mendekatinya. Kemu-
dian kedua kakinya terasa seperti terbe-
tot ke dalam tanah.
"Ah...!"
Bukan main kagetnya Pendekar Kujang
Emas mendapati ilmu yang dikeluarkan Ma-
nusia Rambut Merah. Dia memang pernah
mendengar ilmu 'Amblas Bumi" seperti yang
dilakukan Manusia Rambut Merah. Namun ba-
ru kali ini melihatnya. Seketika itu juga
tubuh laki-laki setengah baya ini menge-
luarkan keringat dingin. Betotan di kedua
kakinya begitu kuat.
"Hiih...!"
Mahesa tak sempat berpikir panjang
lagi. Dengan menggunakan ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
tinggi, Pendekar Kujang Emas berhasil me-
lepaskan diri dari betotan Manusia Rambut
Merah.
"Hyaaat...!"
Bersamaan teriakan Mahesa yang mem-
bahana, tiba-tiba saja tanah tempatnya
berpijak membuncah ke udara. Tampak seso-
sok tubuh tinggi besar keluar dari dalam
tanah. Dan tanpa diduga, tahu-tahu Manu-
sia Rambut Merah telah melontarkan puku-
lan maut ke tubuh Pendekar Kujang Emas.
"Pukulan 'Kelabang Geni'!"
Mahesa tersentak kaget melihat se-
leret sinar merah melesat dari kedua te-
lapak tangan Manusia Rambut Merah. Cepat
dipapaknya serangan Manusia Rambut Merah
dengan pukulan andalannya, 'Cahaya Kilat
Biru'.
Blarrr...!
Terdengar benturan dua tenaga dalam
di udara. Akibatnya sungguh hebat. Tanah
di sekitar pertarungan bergetar hebat.
Tumbuh-tumbuhan dalam jarak sepuluh meter
langsung layu! Sedang tubuh Manusia Ram-
but Merah bergetar hebat. Sementara, tu-
buh Mahesa terlempar beberapa tombak ke
belakang, pertanda tenaga dalamnya kalah
satu atau dua tingkat,
"Huaaah...!"
Mahesa muntahkan darah segar. Wa-
jahnya kontan pucat pasi.
"He he he...! Kau harus merasakan
pukulan 'Kelabang Geni'ku, Pendekar?"
ejek Manusia Rambut Merah. "Sekarang te-
rimalah kematianmu! Hiyaaat...!"
Kembali seleret sinar merah melun-
cur, begitu kedua telapak tangan Manusia
Rambut Merah menghentak.
Pendekar Kujang Emas tidak berani
bertindak ayal-ayalan untuk memapak se-
rangan. Apalagi benturan tenaga dalam ta-
di sudah membuktikan kalau tenaga dalam-
nya kalah satu atau dua tingkat. Maka ce-
pat tubuhnya melenting menghindari puku-
lan yang mengandung hawa panas. Dan saat
tubuhnya melayang di udara, Mahesa cepat
meluncur tajam. Kujangnya diputar-putar
mengancam ubun-ubun kepala Manusia Rambut
Merah.
Hebat sekali serangan Mahesa ini.
Tetapi sayangnya, Manusia Rambut Merah
bukanlah tokoh silat kemarin sore. Dia
sudah cukup berpengalaman malang melin-
tang di dunia persilatan. Maka begitu ma-
ta ujung kujang di tangan Pendekar Kujang
Emas mendekati kepalanya, cambuknya cepat
dicabut kembali. Langsung ditangkisnya
serangan kujang dengan cambuk yang tiba-
tiba saja berubah keras seperti lempengan
baja.
Cring!
Bunga api berpijar dengan bunyi
mendenting yang mengiringi. Tangan Manu-
sia Rambut Merah terasa kesemutan. Se-
dangkan tubuh Mahesa bergetar hebat. Sial
sekali nasib Pendekar Kujang Emas. Semula
dia bermaksud menghindari benturan tenaga
dalam dengan Manusia Rambut Merah. Tapi
kini malah kembali mengalami kejadian se-
rupa. Dan di saat tubuhnya bergetar hebat
Manusia Rambut Merah kembali menyerang
dengan pukulan 'Kelabang Geni'nya.
"Hyaaat...!"
Mahesa cepat berjumpalitan ke uda-
ra. Tubuhnya yang tadi terkena sambaran
pukulan Manusia Rambut Merah tadi terasa
nyeri bukan main. Pendekar Kujang Emas
sadar kalau dirinya mulai terpengaruh ha-
wa racun akibat pukulan lawannya. Dan ini
tentu saja menghambat gerakannya.
"Ha ha ha...! Kau terluka, Pende-
kar? Apa kau tidak mau mengakui keheba-
tanku?" ejek Manusia Rambut Merah.
Mahesa menggeretakkan gerahamnya.
Gerakan kujang di tangan kanannya makin
dipercepat. Namun tetap saja sia-sia. Ge-
rakannya tidak lagi selincah tadi. Dan
kesempatan ini segera dimanfaatkan Manu-
sia Rambut Merah. Pada satu kesempatan
yang tidak mungkin dihindari Mahesa, Ma-
nusia Rambut Merah menghentakkan kedua
tangannya ke depan. Dan....
Duk!
"Augh...!"
Mahesa memekik nyeri begitu tubuh-
nya terhantam pukulan telak Manusia Ram-
but Merah. Tubuhnya yang tinggi terlempar
beberapa tombak ke belakang. Wajahnya pu-
cat pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat.
Dari mulutnya keluar darah segar kehitam-
hitaman. Dan beberapa saat kemudian tubuh
Mahesa pun mengejang, lalu diam dan tak
berkutik lagi. Mati!
Manusia Rambut Merah tertawa terba-
hak-bahak. Suaranya menggema ke segenap
penjuru.
"Bagus! Kau memang hebat, Orang
Tua!" Prameswara bertepuk tangan menyam-
but kemenangan Manusia Rambut Merah.
"Tak sia-sia aku mempunyai calon
sepertimu, Orang Tua!"
"Ha ha ha...! Sekarang baru kau li-
hat kehebatanku, ya!" kata Manusia Rambut
Merah, jumawa. "Benar, Guru."
"Heh?!" dengus Manusia Rambut Me-
rah. "Jangan seenaknya memanggilku
'guru', Bocah. Ada syaratnya?"
Prameswara gusar bukan main, takut
Manusia Rambut Merah akan mengingkari
janji. Karena bukan mustahil orang sesat
macam dia mengingkari janji.
"Apa syaratnya, Guru?" tanya Pra-
meswara berharap-harap cemas.
"Carikan aku empat puluh perawan
yang masih suci, baru kau kuanggap murid-
ku!" ujar Manusia Rambut Merah, kemudian
disusul suara tawanya yang lantang.
"Baik, Guru! Baik!"
7
Pagi menjelang. Kicau burung jalak
yang mulai keluar dari sarang untuk men-
cari makan meramaikan sua-sana pagi. Ki-
caunya merdu, saling bersahutan satu den-
gan yang lain. Sementara matahari perla-
han bergerak pada garis edarnya.
Soma yang tertidur pulas di balik
batu besar mengerjap-ngerjapkan matanya
pedih ketika sinar matahari tepat menyi-
nari wajahnya.
"Busyet! Mati apa tidur, aku ini?!"
gerutu Soma.
Pemuda ini cepat meloncat bangun.
Badannya terasa segar sudah setelah ham-
pir semalam beristirahat panjang. Kemu-
dian dengan bermalas-malasan dia mengge-
liat.
"Huaaahhh!"
Ingin sebenarnya Soma meneruskan
tidurnya kalau saja tidak teringat tugas
di pundaknya. Sejenak pandangan matanya
beredar ke segenap penjuru. Tidak menemu-
kan apa-apa. Hanya hamparan pasir dan ba-
tu besar kecil yang memenuhi puncak Gu-
nung Batu.
Soma meloncat ke atas batu sebesar
kerbau. Pandangan matanya kembali menelu-
suri sekitar tempat itu. Tetap saja tidak
ditemukan apa-apa, selain hamparan pasir
dan bebatuan besar kecil. Pemuda ini ti-
dak putus asa. Dia terus mencari kebera-
daan Mahesa dan gurunya, Pendekar Pedang
Kilat Buana.
"Kau mencari siapa, Anak Muda?!"
Tiba-tiba terdengar teguran lembut
dari belakang.
Soma cepat berbalik. Tampak kini di
hadapannya berdiri seorang lelaki tua
renta berpakaian serba putih, tengah me-
mandang curiga. Usianya sulit sekali di-
tafsirkan. Rambutnya panjang memutih. De-
mikian juga jenggotnya yang panjang.
Dahi Soma berkernyit. Dia memang
belum begitu mengenali ciri-ciri ayahnya.
Eyang Begawan Kamasetyo dan Ratri,
ibunya, hanya mengatakan kalau ayahnya
bernama Mahesa. Atau lebih terkenal seba-
gai Pendekar Kujang Emas yang tinggal di
puncak Gunung Batu. Itu saja! Keterangan
berikutnya Soma tidak begitu memahaminya.
"Inikah ayahku? Kok, sudah tua se-
kali?" gumam Soma sambil menggaruk-garuk
kepala. "Tapi, bukan mustahil kalau orang
tua inilah ayahku. Sebab Begawan Kama-
setyo pun sudah sangat tua. Bisa jadi
orang tua inilah ayahku?" pikir Soma ke-
bingungan.
"Hm...! Anu, Orang Tua! Aku..., aku
mau tanya. Benarkah ini puncak Gunung Ba-
tu?" tanya Soma hati-hati.
"Seperti yang kau lihat, Anak Muda.
Di sini bayak bebatuan, sesuai namanya.
Ada apa? Nampaknya kau sedang mencari se-
suatu?" tukas orang tua bertubuh tinggi
kurus itu tetap lembut.
"Benar! Benar sekali, Orang Tua!
Aku memang sedang mencari seseorang. Apa
kau bisa membantuku?" sorak Soma kegiran-
gan.
"Aku belum bisa mengatakan iya, ka-
lau kau belum mengatakannya, Anak Muda,"
kata orang tua itu kalem.
"Terima kasih, Orang Tua. Kau baik
sekali. Aku jauh-jauh datang kemari tidak
lain hanya ingin mencari ayahku. Menurut
keterangan ibuku, ayahku bernama Mahesa.
Atau lebih terkenal sebagai Pendekar Ku-
jang Emas. Apa kau mengenalnya, Orang
Tua?" jelas Soma.
"Anak muda...! Ja..., jadi? Kau
anak Mahesa?"
Orang tua berpakaian serba putih
yang tidak lain Pendekar Pedang Kilat Bu-
ana terperanjat kaget.
"Ada apa, Orang Tua? Mengapa kau
pandangi aku seperti melihat iblis berku-
mis?! Ada apa?!" tanya Soma seenak ha-
tinya.
Pendekar Pedang Kilat Buana tidak
menanggapi ocehan Soma. Kini dia sudah
dapat tersenyum kenakalan Soma.
"Kau tadi bilang anak Mahesa, Anak
Muda? Apa kau anak Ratri? Cucu Adi Bega-
wan Kamasetyo?"
"Hey?! Bagaimana kau bisa mengenali
ibu dan eyangku, Orang Tua?" tanya Soma
terperanjat kaget. "Ah...! Jangan-jangan,
kau ini tukang nujum atau tukang ramal,
ya? Iya?!"
"Hush! Aku bukan tukang nujum atau
tukang ramal. Aku Ki Ageng Banaran, gu-
runya ayahmu."
Kali ini Soma benar-benar dibuat
terkejut bukan kepalang. Matanya yang
agak kebiru-biruan membelalak lebar.
"Ya, ampun! Ibu pasti akan marah
besar kalau aku tidak bersikap hormat pa-
damu, Orang Tua!" Soma menepuk jidatnya
sendiri. "Maafkan aku, Orang Tua! Ah...!,
Bagaimana, ya, aku harus memanggilmu?"
Ki Ageng Banaran tersenyum.
"Panggil saja aku Eyang, Anak Mu-
da!"
"Terima kasih. Tapi, kau juga tidak
boleh memanggilku anak muda lagi, Eyang!
Namaku Soma," ucap Soma mulai kambuh pe-
nyakitnya.
"Ya, ya, ya...! Pasti Eyang akan
memanggilmu Soma. Nah! Sekarang, cerita-
kan bagaimana kabar ibu dan eyangmu! Apa
mereka baik-baik saja?"
"Curang! Curang! Eyang curang!
Eyang sendiri belum mau bercerita, menga-
pa Eyang harus menyuruhku bercerita ter-
lebih dahulu?" tukas Soma bersungut-
sungut.
"Baik! Baik! Sekarang apa yang in-
gin kau tanyakan, Soma?" tanya Ki Ageng
Banaran mengalah.
"Nah, begitu dong! Itu baru namanya
eyangku!" goda Soma. "Sekarang, tolong
katakan di mana Ayah, Eyang? Itu saja!"
Ki Ageng Banaran menghela napas
panjang. Dia sudah menduga kalau Soma me-
nanyakan hal itu.
"Ayo duduk dulu, Cucuku! Nanti
Eyang ceritakan di mana ayahmu berada."
Ki Ageng Banaran meraih bahu Soma.
Diajaknya pemuda itu duduk di sebuah
bongkahan batu besar.
"Ketahuilah, Cucuku! Sesungguhnya
ayahmu sudah lama mati. Seseorang yang
mengaku bernama Manusia Rambut Merah te-
lah membunuhnya di puncak Gunung Merapi,"
jelas Ki Ageng Banaran, melanjutkan.
"Manusia Rambut Merah?!" ulang So-
ma.
"Benar, Cucuku."
"Oh...!"
Soma mengeluh sedih. Sikap nakalnya
seketika hilang. Dan tanpa sadar lengan
Ki Ageng Banaran dipegangi erat-erat. Wa-
jahnya pucat pasi. Bibirnya bergetar-
getar hebat menahan pukulan batinnya yang
tiba-tiba.
"Aku harus membuat perhitungan den-
gan Manusia Rambut Merah! Aku harus me-
nuntut balas! Aku harus menuntut ba-
las...!" geram Soma penuh kemarahan.
"Tapi, cobalah selidiki Prameswara!
Barangkali dia tahu sebab musababnya ten-
tang kematian ayahmu itu," ujar Pendekar
Pedang Kilat Buana lagi.
"Siapa Prameswara itu, Eyang?"
tanya Soma ingin tahu.
"Prameswara adalah murid, sekaligus
anak angkat Mahesa, Cucuku. Tapi, sejak
Mahesa melayani tantangan Manusia Rambut
Merah, dia tidak muncul lagi kemari."
Soma mengangguk-angguk. Hatinya
saat itu rusuh sekali. Kerinduannya untuk
bertemu ayahnya sirna, berganti amarah
membuncah! Hanya ada satu keinginan dalam
diri Soma. Membalas dendam!
***
Hutan Randu Blatung adalah salah
satu daerah kekuasaan Manusia Rambut Me-
rah. Letaknya, tidak begitu berjauhan
dengan Hutan Sawo Kembar tempatnya bermu-
kim. Sesuai namanya, hutan ini memang ba-
nyak ditumbuhi pohon randu. Konon, dulu
di tengah hutan itu terdapat sebuah pohon
randu raksasa yang banyak sekali dihuni
blatung. Sehingga hutan itu diberi nama
Hutan Randu Blatung.
Pada akhir-akhir ini, sejak Manusia
Rambut Merah muncul kembali ke dunia per-
silatan, hampir tidak ada seorang pendu-
duk desa pun yang berani masuk ke dalam
hutan itu. Pernah ada beberapa orang kam-
pung yang nekat masuk ke dalam hutan un-
tuk mencari kayu bakar, namun anehnya ti-
dak pernah pulang lagi ke desanya. Bahkan
akhir-akhir ini kegelisahan penduduk di
sekitar Hutan Randu Blatung makin bertam-
bah. Seseorang yang mengaku utusan Manu-
sia Rambut Merah sering menyambangi kam-
pung-kampung di sekitarnya untuk menculik
gadis-gadis cantik.
Orang yang mengaku utusan Manusia
Rambut Merah itu masih muda. Menurut ke-
terangan beberapa orang penduduk yang
pernah melihat, orang itu berwajah tam-
pan. Pakaiannya seperti pakaian seorang
terpelajar saat itu. Sepak terjangnya pun
menggiriskan. Tidak peduli siang maupun
malam. Layaknya seperti setan saja, pemu-
da itu datang dan pergi begitu saja. Dan
kepergian orang itu selalu ditandai jeri-
tan seorang gadis dalam pondongan.
Siang ini matahari di luar Hutan
Randu Blatung panas menyengat bumi. Musim
kemarau yang berkepanjangan menyebabkan
tanah di sekitar hutan merekah. Pohon-
pohon di sekitarnya pun mengering. Hampa-
ran sawah yang membentang di luar Desa
Wonodadi tak dapat lagi diandalkan hasil-
nya. Pohon-pohon padi yang sudah mengun-
ing rusak dimakan tikus. Menyedihkan se-
kali nasib penduduk desa yang terancam
paceklik itu. Belum lagi menghadapi pen-
deritaan yang datangnya dari utusan Manu-
sia Rambut Merah!
Dan dalam terpaan angin lembut
siang itu, seorang pemuda gondrong berpa-
kaian rompi dan celana bersisik1 warna
putih keperakan tengah melangkah santai
masuk ke Desa Wonodadi. Sebuah rajahan
bergambar ular putih di dada kanannya
nampak terlihat nyata dari rompinya yang
terkuak tanpa kancing. Dan sambil ber-
siul-siul kecil, kakinya terus melangkah
masuk ke desa itu. Entah, lagu apa yang
dinyanyikan. Yang jelas pemuda tampan
yang tidak lain Soma nampak riang sekali.
"Berhenti!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyar-
ing yang datangnya dari arah luar desa.
Dan bersamaan dengan teriakan, dari balik
rindangnya pepohonan di luar desa segera
bermunculan beberapa orang penduduk desa
menghadang perjalanan Soma dengan senjata
apa pun.
Soma menautkan kedua alisnya tajam.
"Ada apa ini? Mengapa kalian meng-
hadangku?" tanya Soma heran.
"Jangan banyak bacot! Kau pasti
orangnya! Kau pasti orang yang mengaku
utusan Manusia Rambut Merah!" hardik
orang yang membentak tadi, garang.
Orang itu tinggi kurus berpakaian
seperti seorang pemuda desa. Rambutnya
yang panjang memutih digelung ke atas.
Wajahnya yang sebenarnya ramah, terlihat
garang. Sedang di sampingnya, berdiri
seorang gadis cantik berpakaian merah.
Dari sikapnya jelas, kalau gadis itu tak
bisa dianggap sembarangan. Umurnya seki-
tar delapan belas tahun. Dan gadis cantik
yang telah memegang pedangnya terus me-
mandangi Soma. Demikian pula beberapa
orang penduduk kampung yang berdiri di
belakangnya.
"Aku? Aku utusan Manusia Rambut Me-
rah?" tukas Soma sambil menunjuk dadanya
sendiri. "Ah...! Kalian ini bagaimana
sih? Jangan-jangan kalian ini sedang men-
gigau ya? Tapi masa' sih, mengigau ramai-
ramai begini?"
Sehabis berkata begitu, Soma terse-
nyum-senyum sendiri mirip orang kurang
waras.
"Bocah edan! Jangan seenak udelmu
mengumbar suara! Mengaku sajalah kalau
kau utusan Manusia Rambut Merah?!" bentak
gadis cantik berbaju merah ikut-ikutan
garang.
"Nona Pendekar ini betul. Sebaiknya
kau mengaku saja! Jangan mungkir! Kaulah
yang menculik dan memperkosa gadis-gadis
desa ini?!" lanjut yang lain.
Soma garuk-garuk kepala.
"Aduuuh...! Pantesan tadi malam aku
mimpi dikejar-kejar orang gila. Eh...,
tak tahunya memang benar mimpiku itu,"
oceh Soma lagi-lagi.
"Apa kau bilang? Kau mengatakan ka-
lau kami ini orang-orang gila?!" hardik
gadis cantik berbaju merah mulai kehabi-
san kesabaran.
"Ah...! Siapa bilang begitu? Aku
hanya bilang, aku tadi mimpi!" jawab Soma
enteng. "Kau jangan terlalu perasa
dong?!"
"Setan! Buat apa meladeni omongan
bocah sinting ini, Ki Lurah! Kita cincang
saja bocah ini ramai-ramai, biar tidak
mengganggu ketenangan desa!" ujar salah
seorang penduduk desa yang memegang golok
besar, tak sabar.
"Benar, Ki Lurah! Tunggu apa lagi?
Kita cincang saja bocah ini!" sahut yang
lain penuh kemarahan.
"Setuju, Ki Lurah. Kita cincang sa-
ja bocah ini...!" sahut penduduk kampung
yang lain kompak.
"Wah, wah, wah...! Ini namanya pe-
merkosaan hak! Tidak bagus! Tidak bagus!"
khotbah Soma, sok tahu. Tapi otaknya yang
cerdik cepat mencium sesuatu yang tidak
beres di batik semua ini.
"Serang,..!"
Terdengar teriakan bernada memerin-
tah. Seketika itu juga penduduk kampung
yang sudah kalap menyerang Soma dengan
senjata di tangan.
Soma menggeretakkan gerahamnya kes-
al. Dan sambil berloncatan ke sana kemari
menghindari serangan-serangan, tak henti-
hentinya mulut Soma mengoceh.
"Kasihan sekali kalian ini! Apa ka-
lian sudah mulai kemasukkan setan hutan
ini, ya? Mengapa kalian liar begini?"
"Jangan banyak bacot! Terima saja
kematianmu hari ini, Bocah Edan!" teriak
gadis berbaju merah gusar bukan main. Dan
gadis ini merasa paling kesal, melihat
serangannya dapat dihindarkan Soma dengan
mudah. Padahal jurus-jurus andalan sudah
dikeluarkan.
"Nona manis! Mengapa kau jadi ikut-
ikutan latah seperti mereka? Apa kau ha-
bis putus cinta, ya? Iya?! Pantesan...!"
ejek Soma.
"Bedebah! Belum puas aku kalau be-
lum merobek-robek mulutmu, Bocah!" pekik
gadis cantik berbaju merah penuh kemara-
han. Cepat diterjangnya Soma. Tangan ka-
nannya yang memegang pedang ditusukkan ke
arah dada. Sementara tangan sebelah kiri
siap mengirimkan pukulan maut.
Soma cepat berjumpalitan menghinda-
ri serangan-serangan, terutama sekali se-
rangan gadis cantik berbaju merah yang
tidak bisa dianggap enteng. Dengan meng-
gunakan ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah mencapai tingkat tinggi, semua se-
rangan dapat dihindari dengan mudah.
"Nona manis! Dari tadi kau memakiku
'bocah-bocah' melulu. Apa kau pikir aku
ini anakmu? Tapi, tak apa-apalah! Aku se-
nang kok menjadi anakmu. Apalagi menjadi
anak dari gadis secantikmu. He he he...!"
goda Soma. "Ayo, dong! Katanya belum puas
kalau belum mencium mulutku. He he
he...!"
Bukan main marahnya gadis cantik
berbaju merah itu mendengar godaan Soma.
Tangan kirinya yang berubah menjadi hijau
sampai ke pangkal lengan siap dipukulkan.
"Ih...! Mengerikan! Kau sudah mulai
main-main dengan pukulan maut segala. Ibu
macam apaan ini!" celoteh Soma, tak hen-
ti-hentinya.
Melihat ketangguhan pemuda yang di-
keroyoknya, orang yang tadi dipanggil Ki
Lurah segera mengisyaratkan penduduk kam-
pung untuk mundur, namun tetap dalam kea-
daan mengurung.
Melihat hal ini, kening Soma ber-
kernyit.
"Mau apa mereka? Kok mundur semua?
Apa sudah takut menghadapiku?" gumam So-
ma.
"Pasukan pemanah! Siap laksanakan
tugas! Cincang tubuh bocah itu sampai lu-
mat!" teriak Ki Lurah memerintah.
Puluhan penduduk kampung dengan bu-
sur panah di tangan segera bermunculan
dari balik semak dalam jarak dua puluh
tombak dari Soma.
Pemuda ini terkejut bukan main. Na-
mun diam-diam dia memuji siasat perang
yang telah diterapkan Ki Lurah.
"Alamak! Mati aku! Mengapa kau de-
mikian keji padaku, Ki Lurah. Sumpah mam-
pus aku bukan utusan Manusia Rambut Me-
rah!" teriak Soma kebingungan.
Bukannya Soma bingung menghadapi
serangan anak panah dari beberapa orang
penduduk kampung, melainkan bingung meli-
hat kekalapan mereka. Dan begitu aba-aba
serang keluar dari mulut Ki Lurah, pulu-
han anak panah di tangan para penduduk
kampung segera melesat, siap mencincang
tubuh Soma.
Set! Set!
Tak! Tak!
Begitu pemuda ini mengibaskan tan-
gan kanan. Maka puluhan anak panah pun
jatuh berserakan di tanah. Sebenarnya mu-
dah saja bagi Soma untuk melumpuhkan me-
reka kalau memang punya niat jahat. Namun
justru karena tidak ingin melukai orang
lemah, membuatnya kebingungan sendiri
menghadapi kekalapan mereka. Dan sekarang
sudah saatnya bagi pemuda ini untuk me-
nyadarkan mereka dari kekalapan.
Berpikir demikian, Soma pun cepat
bertindak sebelum puluhan anak panah pen-
duduk kampung kembali menyerang. Tubuhnya
seketika berkelebat cepat. Dengan gerakan
tangan yang sulit diikuti pandangan mata
penduduk kampung, Soma cepat menotok tu-
buh gadis cantik berbaju merah yang kebe-
tulan paling dekat dengannya. Dan....
Tuk!
"Ahh...!"
Jari-jari tangan kanan Soma tepat
menotok jalan darah di punggung gadis
itu. Maka tanpa ampun lagi, tubuh gadis
berbaju merah langsung roboh. Untungnya
cepat disambar tubuh gadis itu hingga ti-
dak jatuh ke tanah.
"Maafkan aku, Ibu! Bukan maksudku
lancang padamu. Tapi, jangan melotot be-
gitu, dong! Nanti aku carikan kayu bakar.
Tenang-tenang saja, ya! Pokoknya Ibu ma-
sak saja yang enak. Jangan terlalu pedas,
jangan terlalu manis, ya?!" kata Soma,
menggoda.
Ki Lurah dan beberapa orang pendu-
duk kampung yang ada di tempat itu jadi
kalang kabut melihat gadis penolong mere-
ka yang bisa diharapkan bantuannya berada
dalam cengkeraman Soma.
"Serang bocah keparat itu! Tapi,
jangan sampai melukai gadis itu!" perin-
tah Ki Lurah penuh kemarahan.
"Tunggu, Ki Lurah! Soal serang-
menyerang gampang. Tapi, apa Ki Lurah ti-
dak pernah berpikir, mengapa aku tidak
melarikan gadis ini? Padahal, gampang sa-
ja kalau aku mau," cegah Soma bermaksud
mempengaruhi Ki Lurah.
"Omong kosong! Apa kau tidak lihat
penduduk kampung yang sudah mengepungmu,
he?! Mereka semua siap merajam tubuhmu,
tahu?!" bentak salah seorang penduduk
kampung menyahuti.
Soma menggaruk-garuk kepala, persis
orang kehilangan akal.
"Bagaimana, Ki Lurah? Apa kau per-
caya pada keteranganku tadi atau keteran-
gan pendudukmu?"
Ki Lurah bukanlah orang bodoh. Dulu
sebelum menjabat sebagai lurah, dia juga
seorang tokoh persilatan. Dan melihat se-
pak terjang pemuda yang dicurigainya se-
bagai penculik, pikirannya jadi lain.
"Hm...! Apa yang dikatakan pemuda
ini benar. Kalau dia mau, bukanlah hal
yang sulit untuk melarikan Ratih dari ke-
pungan. Buktinya saja, meski aku dibantu
beberapa orang penduduk kampung, tetap
saja belum bisa meringkusnya. Malah seka-
rang, Ratih berada dalam tawanannya," gu-
mam Ki Lurah dalam hati.
"Bagaimana, Ki? Jangan diam mema-
tung saja! Aku ngeri melihat panah-panah
di tangan penduduk kampungmu, Ki. Aku ta-
kut, Ki. Aku masih ingin hidup. Aku juga
masih doyan makan nasi tempe, Ki!" oceh
Soma seolah-olah takut melihat beberapa
orang penduduk kampung siap merajam tu-
buhnya.
Mau tidak mau Ki Lurah yang sedang
kebingungan tersenyum juga melihat ting-
kah Soma yang ugal-ugalan. Namun dia juga
tidak gampang percaya mendengar keteran-
gan Soma.
"Menurut keterangan salah seorang
penduduk, orang yang membuat keonaran
adalah seorang pemuda berwajah tampan.
Rambutnya hitam panjang digelung sebagian
ke belakang. Pakaiannya rapi sekali, se-
perti pakaian terpelajar saat ini. Namun
sikapnya tidak ugal-ugalan seperti pemuda
ini. Juga, tidak memiliki rajahan bergam-
bar ular putih di dada kanannya?" pikir
Ki Lurah dalam hati.
"Bagaimana, Ki? Kok, malah diam sa-
ja?! Ayo, dong, Ki! Tolong aku! Lihat
tuh! Penduduk sudah tidak sabar merajam
tubuhku! Cepat usir mereka pulang, Ki!"
ratap Soma.
"Tahan serangan! Kita memburu orang
yang salah!" teriak Ki Lurah pada para
penduduk.
Ki Lurah melebarkan senyumnya.
"Maaf, Anak Muda. Kami semua telah
salah mencurigai orang. Aku yakin, kau
bukan orang yang kami maksudkan. Dan kami
juga minta maaf atas kebodohan kami."
"Maksud Ki Lurah...? Apakah Ki Lu-
rah sudah tidak mencurigaiku lagi?" tanya
Soma.
"Ya."
"Wah...! Terima kasih sekali, Ki!
Terima kasih!"
Soma bersorak-sorak kegirangan per-
sis anak kecil mendapat permainan baru.
Dan akibatnya kedua tangannya yang dari
tadi memegang tubuh gadis cantik berbaju
merah itu terlepas. Lalu...
Buk!
"Augh...!"
Gadis cantik bernama Ratih itu me-
mekik tertahan. Matanya yang indah mende-
lik ke arah Soma penuh kemarahan.
"Auow...! Maaf, aku tidak sengaja,
Ibu! Jangan marah, ya?!"
Soma cepat tersadar. Kemudian tan-
gannya cepat menotok. Begitu gadis itu
terlepas dari totokannya, tangan mungil-
nya langsung menampar pipi Soma dua kali.
Plak! Plak!
"Wadaouuuh...! Mengapa Ibu jadi ga-
lak begini? Aku sudah menolongmu, Ibu,"
rintih Soma seraya memegang pipinya yang
terkena tamparan.
Beberapa orang penduduk kampung
yang melihat hanya tersenyum-senyum saja.
Namun tidak demikian Ratih. Dengan kema-
rahan meluap-luap, gadis itu langsung me-
nyerang Soma.
Soma berlari-lari ketakutan.
"Ibu! Ibu! Siapa sudi jadi ibumu!"
teriak Ratih penuh kemarahan.
"Sudahlah, Ratih! Paman yakin pemu-
da ini bukanlah orang jahat," kata Ki Lu-
rah melerai.
Soma cengar-cengir.
"Oh, jadi nama Ibu, Ratih, ya?
Hm..., manis sekali kedengarannya, seper-
ti orangnya," kata Soma ceriwis.
"Sekali lagi kau panggil Ibu, aku
tidak segan-segan merobek mulutmu, Bo-
cah!" geram Ratih.
"Nah..., nah! Kau sendiri memang-
gilku bocah. Mengapa aku tidak boleh me-
manggilmu Ibu?" kata Soma.
"Sudahlah, Tuan Pendekar! Sebaiknya
ur...."
"Namaku bukan Tuan Pendekar, Ki!
Namaku Soma!" potong Soma.
"Ya, ya, ya...! Kau sudah mengenal-
kan namamu, Nak Soma. Aku juga harus men-
genalkan diri, bukan?" kata Ki Lurah
ikut-ikutan latah.
Sambil tersenyum-senyum kecil, Ki
Lurah mengulurkan tangannya pada Soma.
Soma menerima uluran tangan Ki Lu-
rah.
"Aku memang lurah di Desa Wonodadi
inf. Namaku, Ki Suroloyo. Dan sebagai lu-
rah di sini, rasanya tak enak kalau tidak
minta maaf padamu atas kebodohan kami ta-
di."
Soma gerah sekali diperlakukan se-
perti itu. Tangannya yang masih dalam
cengkeraman Ki Lurah Suroloyo buru-buru
dilepaskan.
"Lupakan saja, Ki! Aku sendiri juga
sudah melupakannya, kok," jawab Soma dis-
ertai senyum manis. Lalu matanya mengerl-
ing nakal ke arah Ratih. Ratih mendelik
gusar.
Ki Lurah Suroloyo yang melihat itu
hanya tersenyum-senyum saja.
"Sudahlah, Nak Soma! Kalau Nak Soma
tidak keberatan, bolehkah kami meminta
pertolonganmu?"
"Oh, ya? Hampir aku lupa!" Soma me-
nepuk jidatnya sendiri. "Sebenarnya ada
apa sih? Kok, sampai Ki Lurah membawa
penduduk kampung kemari? Pakai bawa-bawa
pedang lagi? Apa ada ayam Ki Lurah yang
dicolong maling?"
Ki Lurah tersenyum. Sama sekali ti-
dak tersinggung atas ucapan Soma.
"Tidak, Nak Soma. Sebenarnya ceri-
tanya begini...."
Ki Lurah menghela napas panjang,
kemudian dengan suara sedikit bergetar
diceritakannya kejadian yang sedang di-
alami. Tidak lain, mengenai penculikan
beberapa orang gadis di desanya. Dan Ki
Lurah Suroloyo juga menceritakan kalau
hari ini, penculik itu akan menculik anak
gadisnya.
"Hm...! Jadi begitu persoalannya,
ya?" gumam Soma mengangguk-anggukkan ke-
pala. "Pantas kalian jadi kalap begini.
Tapi ngomong-ngomong, bagaimana Ki Lurah
tahu kalau hari ini si penculik itu akan
mengambil anak gadismu?"
"Seperti biasa, penculik itu selalu
menancapkan bunga mawar merah di pintu
depan rumah calon korban. Dan pagi tadi,
bunga mawar menancap di pintu depan rumah
kami, Nak Soma."
"Ya, ya, ya... Aku mengerti," Soma
lagi-lagi mengangguk-anggukkan kepala.
"Tapi.... Tapi, ma..., maukah Nak
Soma membantu kami menangkap penculik
itu?" tanya Ki Lurah Suroloyo malu-malu.
Soma garuk-garuk kepala. Matanya
yang nakal kembali mengerling ke arah Ra-
tih
"Bagaimana, Nak Soma? Apa kau kebe-
ratan?"
"Tidak! Sama sekali tidak. Tapi ada
syaratnya, Ki!" sahut Soma.
"Syarat?" Ki Lurah Suroloyo membe-
lalakkan matanya, gelisah. "Apa syarat
itu?"
Soma tertawa.
"Jangan gusar, Ki. Syaratnya tidak
berat kok. Hanya tolong perkenalkan aku
pada Ratih! Itu saja. Tidak berat, kan?"
"Apa?!"
Suara itu adalah pekikan melengking
dan mulut Ratih. Gadis itu gusar bukan
main melihat kenakalan Soma. Tangannya
yang gatal-gatal kembali menampar pipi,
namun Soma cepat berkelit ke samping.
"Wah, wah, wah...! Kenapa jadi ga-
lak begini, Ki?"
"Habis kau sendiri yang usil, sih?"
kata Ki Lurah Suroloyo tak dapat lagi
membendung tawanya. Demikian juga bebera-
pa orang penduduk kampung yang melihat
kejadian itu.
"Syaratnya aku cabut, Ki! Gadis
yang ingin kukenal ngamuk. Aku tidak in-
gin berkenalan dengan gadis pemarah!" te-
riak Soma di antara serangan-serangan Ra-
tih.
Ki Lurah Suroloyo dan beberapa
orang penduduk kampung hanya bisa mele-
barkan tawanya.
"Aneh sekali! Dalam keadaan tegang
seperti itu, masih saja membuat ulah,"
pikir Ki Lurah.
8
Soma diam membisu di tempat duduk-
nya. Matanya yang nakal lebih senang mem-
perhatikan Ratih yang duduk di samping Ki
Lurah Suroloyo. Terlihat sesekali gadis
itu mendelik gusar. Dan pemuda itu hanya
cengar-cengir saja. Malah matanya kembali
mengerling nakal ke arah gadis itu.
Beberapa orang penduduk kampung
yang sedang mengikuti jalannya rapat yang
dipimpin langsung Ki Lurah Suroloyo hanya
tersenyum-senyum saja memperhatikan ting-
kah Soma. Lelaki tua ini sebenarnya tahu
apa yang dilakukan Soma. Tapi dia lebih
senang membicarakan tentang kekhawatiran
akan kemunculan orang yang akan menculik
anak gadisnya. Juga membicarakan tentang
kegelisahan penduduk kampung yang akan
mencari kayu bakar di Hutan Randu Bla-
tung.
"Untuk sementara, saudara-saudara
sekalian harap jangan keluar masuk dulu
ke dalam Hutan Randu Blatung. Terlalu
berbahaya. Bukannya aku menghalang-
halangi kalian untuk mencari kayu bakar.
Sama sekali tidak. Ini semua demi kesela-
matan kalian. Dan nanti, bila orang yang
telah membuat keonaran di desa tertang-
kap, baru kalian boleh mencari kayu bakar
kembali. Apa kalian setuju?" sambung Ki
Lurah Suroloyo di antara kerumunan pendu-
duk di pendopo kelurahan.
"Setujuuu...!" sahut penduduk Desa
Wonodadi, serempak.
"Terima kasih atas pengertian ka-
lian. Sekarang, tindakan apa yang akan
kita lakukan dengan kemunculan tokoh pem-
buat onar di kampung kita? Apa kalian ada
yang mempunyai pendapat?" kata Ki Lurah
Suroloyo penuh wibawa.
"Tidak ada tindakan apa pun selain
meringkus orang yang membuat onar di kam-
pung kita, Ki Lurah!" kata seorang pemuda
bertubuh tinggi tegap di antara kerumunan
penduduk itu. Suaranya terdengar lantang.
"Maksudmu apa, Sembodo? Apa kau te-
tap menghendaki pembuat onar itu dihabi-
si?" tanya Ki Lurah Suroloyo.
"Benar, Ki Lurah. Aku kira itulah
jalan satu-satunya yang terbaik," sahut
orang yang dipanggil Sembodo lantang.
"Baik, baik. Aku mengerti perasaan-
mu, Sembodo. Tapi bagaimana dengan sauda-
ra-saudara yang lain? Apa setuju dengan
usul Sembodo?" tanya Ki Lurah Suroloyo
meminta pertimbangan penduduknya.
"Setujuuu...!" teriak penduduk kam-
pung serempak.
"Terima kasih. Sekali lagi aku
ucapkan terima kasih. Tapi, aku kira ti-
dak ada jeleknya kalau meminta pendapat
dari kedua tamu kita. Kalian setuju, bu-
kan?"
"Setujuuu...!"
"Nah, Nak Soma! Sekarang silakan
kau memberi pengarahan pada kami. Apa kau
mempunyai pendapat yang bagus?" ujar Ki
Lurah Suroloyo.
Soma tergagap. Tadi telinganya sama
sekali tidak mendengar percakapan antara
Ki Lurah Suroloyo dan penduduk kampung,
saking asyiknya memperhatikan kecantikan
Ratih. Dan sekarang ditanya Ki Lurah Su-
roloyo demikian, Soma jadi geragapan.
"Apa? Ki Lurah menanyakan aku ten-
tang soal apa? Soal pendapatku? Ah...!
Kukira, kecantikan Ratih sungguh menga-
gumkan, Ki. Cuaaantik sekali. Aku sangat
menyukainya! Terutama sekali matanya itu.
Coba perhatikan! Cantik bukan?" oceh Soma
ngelantur tak ketahuan juntrungan
Dan sehabis berkata begitu, Soma
jadi menautkan alisnya yang tebal dalam-
dalam. Dia merasa aneh, mengapa semua
penduduk kampung memandangi dirinya se-
perti itu. Malah sebagian ada yang terta-
wa terbahak-bahak.
"Pemuda edan!" desis Ratih penuh
kemarahan.
Sekarang Ratih tidak berani lagi
memaki Soma dengan makian 'bocah edan'
Dia takut, akan membuat sikap Soma makin
ugal-ugalan.
"Lho, lho? Mengapa marah-marah pa-
daku, Ratih? Ada apa ini? Memang kenya-
taannya begitu, kok. Kau cantik, cantik
sekali!"
"Tidak lucu, tahu?!" hardik Ratih
penuh kemarahan.
"Lho, lho...?! Apa-apaan pula ini?
Aku tak sedang melucu? Aku memang tak ta-
hu mengapa kalian menertawakan aku, kok,"
jawab Soma tanpa dosa.
"Begini, Nak Soma...," ujar Ki Lu-
rah mencoba bersabar. Namun tetap saja
orang tua itu tidak dapat menyembunyikan
senyumnya. "Tadi aku minta pendapatmu
mengenai akan munculnya si Pembuat Onar
di kampung ini. Semua penduduk kampung
sudah sepakat untuk menghabisinya. Lan-
tas, bagaimana dengan pendapatmu sendi-
ri?"
"Oh...! Aku kira meminta pendapatku
tentang kecantikan Ratih," desah Soma sa-
ma sekali tidak menghiraukan kemarahan
Ratih. "Tapi, kalau Ki Lurah meminta pen-
dapatku ya, lakukan saja! Toh, buat apa
buang-buang waktu begini? Rapat..., ra-
pat! Apa itu? Yang penting tindakan! Bu-
kan omongan. Betul, kan?" kata Soma pan-
jang lebar.
"Betul!" sahut penduduk kampung itu
serempak.
"Dan satu lagi, kalian tidak perlu
takut mencari kayu bakar di Hutan Randu
Blatung. Aku jamin aman. Manusia Rambut
Merah itu bukan bermukim di hutan itu,
melainkan di Hutan Sawo Kembar. Aku cukup
tahu itu."
Soma berdiri dari tempat duduknya.
Sejenak pandangannya menyapu Ki Lurah Su-
roloyo dan Ratih.
"Sekarang maafkan aku, saudara-
saudara sekalian. Aku mau ke belakang se-
bentar. Silakan saudara-saudara mene-
ruskan rapat. Silakan! Silakan!" lanjut
Soma.
Sehabis berkata begitu, tanpa mem-
pedulikan pandangan mata penduduk, Soma
langsung ngeloyor keluar. Ratih dan pen-
duduk kampung itu terus memperhatikan ke-
pergian pemuda sinting itu. Dan kemarahan
gadis ini makin bertambah ketika dari ba-
lik jendela ruang pendopo, Soma tampak
masuk ke dalam kamarnya!
"Anjing kurap! Mau apa pemuda gila
itu masuk ke kamarku?!" rutuk batin Ra-
tih, gusar bukan main.
Ki Lurah Suroloyo hanya bisa meng-
geleng-geleng. Kemudian setelah keadaan
tenang, rapat pun kembali dilanjutkan.
Namun belum begitu lama lelaki tua ini
membicarakan tentang siasatnya menghadapi
orang yang membuat onar, tiba-tiba sa-
ja....
"Aaa...!"
Kesunyian desa itu dikejutkan oleh
lengking kematian beberapa penduduk yang
sedang berjaga di luar pendopo kelurahan.
Kemudian disusul pula jeritan penduduk
kampung yang lari tunggang langgang entah
ke mana.
Ki Lurah Suroloyo dan juga beberapa
orang penduduk Desa Wonodadi hanya bisa
saling berpandangan. Mulut mereka terkun-
ci, membayangkan ketakutan luar biasa.
"Dia datang...," desah Ki Lurah Su-
roloyo lirih.
Semua penduduk kampung yang ada di
pendopo kelurahan makin tercekat. Wajah
mereka menegang membayangkan kematian.
***
Apa yang dikatakan Ki Lurah Suro-
loyo memang benar. Orang yang disebut-
sebut sebagai si Pembuat Onar memang te-
lah muncul di desa itu. Empat orang pen-
duduk desa yang ditugaskan menjaga di de-
pan pendopo telah roboh tak dapat bangun
lagi. Dua orang mati dengan keadaan kepa-
la retak. Dua orang lainnya mati dengan
usus terburai.
Suasana berubah menjadi mengerikan
sekali. Beberapa orang penduduk desa yang
melihat kejadian itu lebih senang melari-
kan diri meninggalkan desanya. Sedang
yang mempunyai anak gadis, buru-buru me-
nyelamatkannya ke tempat aman.
"Ki Lurah Suroloyo! Cepat serahkan
anak gadismu! Kalau tidak, semua penduduk
desa ini akan kubantai!" teriak orang
yang menebarkan maut barusan itu lantang.
Dalam keremangan malam masih terli-
hat kalau orang itu masih muda. Wajahnya
tampan dengan kulit putih bersih. Rambut-
nya yang hitam panjang digelung sebagian
ke belakang. Pakaiannya pun rapi sekali,
persis seperti pakaian orang terpelajar.
Dia tidak lain Prameswara! Murid tunggal
Pendekar Kujang Emas!
Ki Lurah Suroloyo keluar dari pen-
dopo. Matanya yang tua memandang pemuda
di hadapannya garang. Ratih dan beberapa
orang penduduk kampung yang tadi mengiku-
ti jalannya rapat berdiri di belakang Ki
Lurah Suroloyo.
"Langkahi dulu mayatku, sebelum
mengambil anak gadisku, Bocah Edan!" har-
dik Ki Lurah Suroloyo penuh kemarahan.
"Kau kedengarannya galak sekali,
Ki. Apa kegalakan mulutmu dapat menyela-
matkan nyawa tuamu?" ejek Prameswara si-
nis. Pandangan matanya lembut. Namun da-
lam kelembutan matanya tersimpan kekejian
luar biasa!
"Jangan banyak bacot, Pemuda Edan!
Bersiap-siaplah sebelum pedangku mencin-
cang tubuhmu!" bentak Ratih, tak dapat
mengendalikan amarahnya. Mungkin dikare-
nakan kekesalannya terhadap Soma itulah
yang membuat amarahnya cepat naik.
"Ah...! Rupanya kau cantik juga,
Manis. Sungguh beruntung guruku menda-
patkan dua orang gadis cantik seperti
ini. Tapi, tidak! Guruku tidak boleh men-
dapatkan kedua gadis ini. Aku harus men-
gambilnya satu. Dan, kaulah pilihanku,
Manis!"
"Keparat! Kau harus merasa kan aki-
bat mulut kotormu, Kunyuk Edan!"
Ratih tidak dapat lagi mengendali-
kan amarahnya. Tangan kanannya cepat men-
cabut gagang pedangnya. Dan tanpa banyak
cakap lagi langsung diserangnya Prameswa-
ra.
"Wah, wah, wah...! Hebat sekali
permainan pedangmu, Manis. Tapi nanti aku
ingin lihat, apakah kehebatan permainan
pedangmu juga sehebat permainanmu di ran-
jang, Manis," ejek Prameswara.
Bukan main marahnya gadis itu. Ge-
rahamnya dikeretakkan kuat-kuat. Gerakan
putaran pedangnya pun makin dipercepat,
membentuk gulungan putih mendesak tubuh
Prameswara.
Namun Prameswara bukanlah tokoh
sembarangan. Dia adalah murid tunggal
Pendekar Kujang Emas, sekaligus juga mu-
rid Manusia Rambut Merah yang berhasil
dikelabuinya. Dan kini pemuda itu diang-
kat menjadi murid.
Menghadapi serangan Ratih yang ne-
kat, Prameswara hanya tersenyum-senyum
kecil. Sama sekali tidak terlihat kewala-
han.
Ki Lurah Suroloyo geram bukan main.
Melihat Ratih telah turun tangan, tidak
ada pilihan baginya kecuali cepat meme-
rintahkan penduduk untuk menyerang Pra-
meswara.
Seketika itu juga, beberapa orang
penduduk kampung yang kalap menerjang
Prameswara dengan berbagai macam senjata.
Ki Lurah Suroloyo sendiri memegang senja-
ta rantai baja. Tak heran kalau dulu dia
sangat disegani di dunia persilatan den-
gan julukannya Baja Setan.
"Kalian manusia-manusia tak tahu
diri! Apa kalian sudah bosan hidup? Baik!
Jangan salahkan kalau aku sedikit kasar
pada kalian. Lihat seranganku!" bentak
Prameswara halus.
Suara pemuda itu membahana, mengge-
tarkan hati penduduk kampung. Karena te-
riakannya diiringi tenaga dalam tinggi.
Bahkan Ki Lurah Suroloyo dan Ratih sendi-
ri pun merasakan getaran pada gendang te-
linga akibat teriakan Prameswara tadi
"Ha...ha...ha...!"
Prameswara tertawa. Kedua tangannya
yang berkulit putih bersih mulai berkele-
bat kesana kemari. Dan setiap kelebatan
tangannya diikuti lengking kematian pen-
duduk kampung.
Dugh! Dugh!
"Augh...!"
Jerit para penduduk kampung yang
terkena tamparan dan cengkeraman tangan
Prameswara terdengar memilukan. Dan ber-
samaan itu, tubuh para penduduk kampung
pun roboh tak mampu bangun lagi. Darah
segar langsung keluar dari kepala dan pe-
rut yang robek lebar. Darah segar kembali
menggenang membasahi tanah depan pendopo
yang kering.
"Lihat teman-teman kalian! Apa ka-
lian belum kapok!" bentak Prameswara mem-
buat nyali sebagian penduduk kampung men-
ciut.
"Jahanam! Aku akan mengadu nyawa
denganmu, Bocah Setan!" pekik Ki Lurah
Suroloyo membahana. Tangan kanannya yang
memegang rantai baja cepat digerakkan ke
depan mengarah ke kepala Prameswara.
Pemuda itu tersenyum mengejek. Ran-
tai baja yang mengarah ke lengannya di-
tangkis dengan tangan kiri.
Prak!
Rantai baja di tangan Ki Lurah Su-
roloyo terpental ke belakang. Dan ini
membuat mata lelaki tua itu terbelalak
liar. Tangannya yang memegang rantai ter-
getar hebat. Selama malang melintang di
dunia persilatan, belum pernah ada seo-
rang tokoh silat pun yang mampu menerima
pukulan rantai bajanya. Bahkan tadi tena-
ga dalamnya sudah dikerahkan sepenuhnya.
"Sekarang terimalah seranganku, Ki
Lurah! Lihat!"
Prameswara bergerak cepat mendesak
Ki Lurah Suroloyo. Sementara Ratih dan
beberapa orang penduduk kampung cepat
membantu. Akan tetapi, sayang gerakan
Prameswara terlalu cepat bagi mereka. Dan
dalam sekejap saja....
Duk!
"Augh...!"
Ki Lurah Suroloyo memekik menyayat
terkena tamparan tangan Prameswara. Tu-
buhnya yang tinggi kurus terbanting keras
ke dinding pendopo.
"Jahanam...! Kau melukai lurah ka-
mi!" bentak salah seorang penduduk kam-
pung itu berani.
"Minggirlah kalau masih sayang nya-
wa!" bentak Prameswara garang. Tubuhnya
yang tinggi ramping berkelebat cepat se-
kali menampar dan menendang para pendu-
duk.
Ratih yang ikut membantu serangan
nyaris tak bisa berbuat apa-apa. Beberapa
kali sabetan pedangnya hanya mengenai
tempat kosong. Bahkan sudah beberapa kali
hampir saja terkena tamparan tangan Pra-
meswara. Untung tubuhnya dapat cepat ber-
kelit.
"He he he..., Manis! Mengapa kau
galak sekali? Padahal aku tak ingin kasar
padamu. Tapi, baik! Aku akan melumpuhkan-
mu dulu, baru nanti kau melayaniku. Ha ha
ha...!"
"Jahanam! Aku akan mengadu nyawa
denganmu!" dengus Ratih penuh kemarahan.
Gerakan pedang di tangan kanannya makin
dipercepat. Sedang tangan kirinya pun mu-
lai berubah menjadi kehijau-hijauan hing-
ga ke pangkal lengan.
Prameswara mendengus.
"Jangan salahkan kalau aku sedikit
kasar padamu, Manis!"
"Jangan banyak bacot! Aku muak me-
lihat tampangmu, Kunyuk Edan!" bentak Ra-
tih penuh kemarahan.
"He he he...! Kau nekat juga, Ma-
nis!"
Prameswara menggerakkan tangannya
menyambut serangan Ratih. Namun, anehnya.
Begitu tangannya hendak membentur pedang
Ratih, Prameswara cepat memutar tangan-
nya. Dan tahu-tahu tangannya bergerak me-
notok tubuh Ratih.
Tuk!
"Ah...!"
Ratih terpekik kaget bukan kepa-
lang. Tubuhnya yang terkena totokan lang-
sung roboh ke tanah. Beberapa orang pen-
duduk kampung yang melihat jadi ciut nya-
linya. Satu persatu para penduduk kampung
berjalan mundur menjauhi pertempuran.
Prameswara tertawa berkakakan. Tu-
buh Ratih yang kaku tak dapat digerakkan,
dipeluknya erat-erat.
"Ahh...! Mengapa Kakang bermain se-
rong begini?! Katanya ingin menjemputku,
Kang?"
Tiba-tiba dari arah belakang Pra-
meswara terdengar suara cempreng, mirip
suara perempuan. Namun jelas sekali kalau
suara itu sengaja dibuat-buat.
Prameswara menggeretakkan geraham-
nya seraya berbalik. Di depannya nampak
seorang gadis berpakaian merah mirip pa-
kaian gadis dalam pelukan Prameswara.
Anehnya gadis itu bertubuh tinggi kekar.
Sikapnya sengaja dibuat genit. Dan ketika
melangkah mendekati Prameswara, maka nam-
paklah penampilannya yang norak. Bibirnya
yang agak tebal diolesi gincu warna merah
menyala. Demikian pula pipinya. Rambutnya
yang panjang sebatas bahu dikuncir ke be-
lakang. Namun lucunya, bedaknya yang me-
nutupi wajah tidak rata. Mungkin karena
terburu-buru!
Mata Ratih terbelalak liar.
"Pemuda sinting! Mengapa masih ber-
sikap ugal-ugalan dalam keadaan tegang
begini? Pakai pakaianku lagi?" gumam Ra-
tih dalam hati.
Prameswara sendiri pun terkejut bu-
kan main melihat kemunculan gadis aneh
itu. Sekali pandang saja dia tahu kalau
gadis ini adalah seorang pemuda.
"Aih..., Kakang? Mengapa bengong
saja? Katanya ingin menjemputku? Ayo
dong, Kang?" oceh gadis itu merajuk manja
bukan main.
"Bocah edan! Apa kau sudah bosan
hidup?!" bentak Prameswara garang.
"Aih..., Kakang? Mengapa jadi galak
begini? Ayo dong lepaskan gadis itu! Aku
bisa cemburu, lho? Katanya Kakang ingin
menculikku? Ayo dong, Kang! Aku juga in-
gin merasakan, seperti apa sih enaknya
diculik dan diperkosa. Hik hik hik...."
Bukan main marahnya Prameswara. Dia
merasa telah dipermainkan gadis aneh itu
"Kau mempermainkanku, Bocah Edan?!
Apa kau mempunyai nyawa rangkap, sehingga
berani mempermainkanku, he?!" bentak Pra-
meswara garang. Tangan kanannya yang me-
meluk Ratih dilepaskannya.
Ratih memekik kecil ketika tubuhnya
jatuh ke tanah.
"Aku tidak mempunyai nyawa rangkap,
Kakang. Tadi sudah kubuang ke kakus!" ja-
wab gadis aneh yang tak lain Soma seenak
hati.
Bukan main marahnya Prameswara.
Seumur hidup belum pernah dia diperlaku-
kan seperti itu. Dan saking marahnya,
tanpa sadar kedua telapak tangannya telah
berubah menjadi kebiru-biruan hingga ke
pangkal lengan. Itu pertanda pukulan maut
'Cahaya Kilat Buana'nya siap dilontarkan.
"Wah, wah, wah...! Kang Mas ini ke-
napa sih? Kok, kedua tangannya berubah
menjadi biru? Apa Kang Mas tadi habis
membuat tikar pandan? Cuci dulu dong tan-
gannya biar tidak belepotan tinta!" ejek
Soma makin membuat Prameswara murka.
"Jangan banyak tingkah, Bocah Teng-
kik! Hari ini adalah hari kematianmu!"
"Lho, lho...? Kok, malah bicara
soal kematian segala? Apa Kang Mas tidak
cinta lagi padaku?" kata gadis aneh itu
makin sulit dikendalikan.
Prameswara menggeram marah. Tak se-
patah kata pun keluar dari bibirnya yang
bergetar. Sepasang matanya yang tajam
mendelik gusar, seperti akan loncat dari
tempatnya. Kemudian dengan kemarahan me-
luap-luap, Prameswara melontarkan pukulan
maut ke arah tubuh gadis aneh itu.
Wesss!
Seleret sinar biru kontan melesat
dari kedua telapak tangan Prameswara, me-
nyambar ganas ke tubuh Soma yang berwujud
gadis aneh.
Soma berloncatan ke sana kemari
menghindari pukulan maut Prameswara. Sem-
bari berloncatan, mulutnya tak henti-
hentinya mengoceh.
"Panas! Panas! Ih...! Mengerikan
sekali! Apakah Kang Mas ingin membunuh-
ku?"
Prameswara tidak peduli. Melihat
serangan pertamanya dapat dihindari, ha-
tinya semakin terbakar. Kedua tangannya
yang berwarna biru kembali menyerang Soma
tanpa ampun. Hebat sekali serangannya,
karena segenap kekuatan tenaga dalamnya
dikerahkan.
Wess! Wesss!
Kali ini Soma sulit sekali menghin-
dari pukulan-pukulan maut Prameswara.
Meski sesekali berhasil menghindari, na-
mun hal ini jelas tidak mungkin terus
bertahan. Maka ketika tangannya berwarna
keputihan tahu-tahu Soma telah membalas
serangan-serangan Prameswara.
Wesss!
Seleret sinar putih terang seketika
melesat dari kedua telapak tangan Soma,
bergerak cepat sekali memapak cahaya biru
yang meledak-ledak dari kedua telapak
tangan Prameswara. Akibatnya....
Blar! Blarrr!
Soma bergetar hebat. Tubuhnya ber-
goyang-goyang. Sedang Prameswara ter-
huyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang. Wajahnya kontan pucat pasi. Bibir-
nya bergetar-getar hebat, pertanda tenaga
dalamnya masih kalah satu tingkat di ba-
wah Soma.
"Kenapa, Kang Mas? Kok, hanya ben-
gong saja? Wajahmu pucat pasi. Mengapa
Kang Mas memandangku seperti itu? Aku bu-
kan naga gondrong, Kang Mas. Jangan ta-
kut!" ejek Soma habis-habisan.
Prameswara menggeram marah. Disada-
ri kalau lawan yang dihadapinya bukan to-
koh sembarangan. Melihat hal itu, tanpa
malu-malu lagi, senjata andalannya segera
dicabut. Kujang Emas!
"Hey...! Bukankah itu Kujang Emas?
Jangan-jangan itu senjata andalan ayah-
ku?!" gumam Soma. "Tunggu! Apa hubunganmu
dengan Pendekar Kujang Emas, he?"
"Jangan banyak bacot! Hari ini ada-
lah hari kematianmu!"
Sehabis berkata begitu, tanpa mem-
buang-buang waktu lagi Prameswara lang-
sung menyerang Soma hebat.
Sembari berjumpalitan ke sana kema-
ri, Soma terus berpikir. Bagaimana pemuda
lawannya ini menggunakan senjata andalan
ayahnya? Mungkinkah dia Prameswara? Bisa
jadi?!
"Hm...! Kau pasti Prameswara! Pas-
ti! Tak salah lagi!" gumam Soma.
Prameswara yang sedang mendesak So-
ma hebat jadi terkesiap. Sejenak dipan-
danginya Soma heran.
"Bagaimana mungkin pemuda sinting
itu bisa mengenali namaku?" pikir Prames-
wara.
Namun keterkejutan Prameswara diha-
pus dengan kepongahannya.
"Kalau iya, kau mau apa?!" tantang
Prameswara.
"Aku ingin menanyakan beberapa per-
tanyaan padamu," kata Soma bersungguh-
sungguh.
Sikap ugal-ugalan pemuda ini lenyap
entah ke mana begitu melihat senjata an-
dalan ayahnya.
"Aku yakin kau pasti murid Pendekar
Kujang Emas! Tapi, mengapa senjata kujang
ini bisa jatuh ke tanganmu? Kau pasti ada
sangkut pautnya dengan kematian ayahku!"
"Kalau iya, kau mau apa?!" kata
Prameswara, lagi-lagi dengan kalimat sa-
ma.
"Hm...! Kalau benar, aku harus mem-
bunuhmu. Juga, Manusia Rambut Merah!" ge-
ram Soma penuh kemarahan,
"Lakukanlah! Jangan banyak bacot!"
Soma cepat mengeluarkan senjata
anehnya dari balik pinggangnya. Anak Pa-
nah Bercakra Kembar yang berbentuk aneh
sekali, seperti batang anak panah yang
berlubang. Mata anak panah itu berbentuk
kepala ular, hingga sampai ke tangkainya.
Dan di kanan-kiri kepala ular itu terda-
pat dua gerigi terbuat dari besi baja.
Begitu mengeluarkan senjata anda-
lannya, Soma langsung menyerang Prameswa-
ra dengan jurus 'Terjangan Maut Ular Pu-
tih'. Seketika itu juga angin kencang da-
ri dua gerigi di kepala senjatanya berde-
sir ke arah Prameswara.
Prameswara terkejut bukan main.
Pemuda sesat ini sadar kalau musuh-
nya mempunyai kepandaian sangat tinggi.
Untuk itu, kujangnya cepat diputar. Sege-
ra dihadapinya kehebatan serangan lawan
dengan jurus sakti 'Kilat Menyambar Bu-
mi'. Namun tetap saja Prameswara kewala-
han. Gulungan kujang di tangan kanannya
tetap saja tertindih gulungan putih di
tangan Soma.
Bahkan pada jurus ke sepuluh, ham-
pir saja Prameswara terkena sambaran sen-
jata di tangan Soma. Untungnya, dia cepat
berkelit ke samping. Sehingga serangan
Soma gagal.
Sekarang dalam keadaan terdesak se-
perti itu, Prameswara cepat meloncat jauh
ke belakang. Pada saat tubuhnya melayang
tinggi ke udara, Prameswara cepat putar
tubuhnya seperti gasing. Dan ketika dua
kakinya menginjak ke tanah, seketika itu
juga tanah yang dipijak membuncah ke uda-
ra. Dan tubuhnya pun langsung lenyap da-
lam tanah yang membuncah. Itulah ilmu an-
dalan guru barunya, Manusia Rambut Merah!
Soma terkejut. Dia belum tahu, ilmu
apa yang dikeluarkan Prameswara. Namun
belum sempat berpikir lebih jauh, tahu-
tahu terasa angin kencang berdesir ken-
cang yang datangnya dari dalam tanah. So-
ma tak sempat lagi mengelak. Dan...
Duk!
"Augh...!"
Soma memekik nyeri. Tubuhnya yang
terkena pukulan 'Cahaya Kilat Biru' itu
langsung melambung tinggi ke udara.
Pada saat yang bersamaan, tanah di
bawah kembali membuncah ke udara. Dari
dalamnya muncul Prameswara, kedua telapak
tangannya yang biru kembali menyerang So-
ma ganas.
Dan Soma yang baru saja mendarat
cepat memapak dengan pukulan saktinya
'Tenaga Inti Bumi'!
Duk!
"Uhh...!"
Prameswara terhuyung-huyung ke be-
lakang. Dan Soma tidak menyia-nyiakan ke-
sempatan ini. Terus diserangnya Prameswa-
ra dengan hebat. Namun sebelum niatnya
terlaksana, tahu-tahu tanah di hadapannya
kembali membuncah ke udara. Tidak lama
Soma merasakan sepasang kakinya seperti
dibetot dari dalam tanah. Kuat sekali!
Soma kewalahan bukan main. Perlahan
namun pasti, kedua kakinya terus melesak
ke dalam tanah. Tidak ada pilihan lain.
Dia harus mengerahkan ilmu pamungkasnya.
'Titisan Siluman Ular Putih'!
Sejenak Soma memusatkan pikirannya.
Dan dalam beberapa kejap kemudian asap
putih tipis telah menyelimuti tubuhnya,
hingga hilang sama sekali. Beberapa saat
kemudian....
"Gggeeerrr...!"
Seketika itu juga, mata penduduk
kampung yang melihat kejadian itu jadi
membelalak lebar, seolah tak percaya den-
gan apa yang terlihat. Begitu asap putih
yang menyelimuti tubuh Soma menghilang,
tampak seekor Ular Putih sebesar pohon
kelapa.'
"Ular Putih...!" desis penduduk
kampung yang menonton pertempuran itu
takjub.
Bentuk Ular Putih itu mengerikan
sekali. Taringnya besar bertonjolan siap
memangsa tubuh lawannya.... Sedang seba-
gian ekornya yang terpendam ke dalam ta-
nah menggeliat-geliat seperti sedang men-
cari sesuatu.
Prameswara yang saat itu masih be-
rada dalam tanah, merasakan kalau ekor
Siluman Ular Putih mulai mengepit tubuh-
nya kuat-kuat. Dia memberontak, namun
sia-sia saja. Tubuhnya yang terjepit ta-
hu-tahu terangkat ke atas. Dan tanpa am-
pun lagi....
Tubuh Prameswara yang dikepit ekor
Siluman Ular Putih terbanting-banting di
tanah. Dalam beberapa kejap kemudian tu-
buhnya pun kembali terlontar ke udara.
Siluman Ular Putih kembali mengejar
musuhnya. Namun sayangnya, Prameswara
yang sedang kalang kabut itu langsung
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai tingkat tinggi, me-
ninggalkan tempat itu.
Siluman Ular Putih meloncat tinggi
ke udara mengejar Prameswara. Sayang, pe-
muda berpakaian pelajar telah jauh me-
ninggalkannya. Sejenak Siluman Ular Putih
nampak ragu-ragu melanjutkan pengejaran-
nya. Dilihatnya Ki Lurah Suroloyo yang
terluka parah tengah tertatih-tatih meng-
hampirinya.
"Ah, Ki Lurah Suroloyo terluka pa-
rah. Aku harus mengobatinya dulu," pikir
Siluman Ular Putih.
"Gggeeerrr...!"
Asap putih tipis kembali menyelimu-
ti tubuh Ular Putih, hingga tidak keliha-
tan sama sekali. Dan ketika asap putih
menghilang, maka yang nampak di hadapan
penduduk kampung bukan lagi Siluman Ular
Putih, melainkan seorang gadis aneh ber-
pakaian merah. Soma! Dan kini, gadis aneh
itu sedang bersungut-sungut kesal melihat
buruannya kabur.
"Kau. Kaukah Ular Putih itu. Soma?"
tanya Ratih bergidik membayangkan tubuh
Siluman Ular Putih tadi.
Soma hanya tersenyum saja. Kemudian
didekatinya Ratih. Segera dibebaskannya
gadis itu dari totokan Prameswara.
"Ah, iya?! Kau pasti Siluman Ular
Putih itu?" timpal salah seorang penduduk
kampung. "Tak kusangka pemuda itu dapat
menjelma menjadi Ular Putih," lanjutnya
lagi bergumam.
"Ya, ya, ya...! Kau.... Kau pantas
sekali mendapat julukan itu, Nak Soma!"
kata Ki Lurah Suroloyo di antara napasnya
yang tersengal.
"Ya, ya, ya...! Ki Lurah benar! Kau
pantas mendapat julukan itu, Saudara So-
ma," sahut Ratih. "Tapi, mengapa kau men-
curi pakaianku?"
Soma tidak menyahuti. Dia hanya
tertawa-tawa saja. Namun begitu menyadari
kalau Ki Lurah Suroloyo mengalami luka
parah, pemuda itu segera mendekatinya.
Dibawanya tubuh lelaki itu masuk ke dalam
rumahnya.
Sementara itu beberapa orang pendu-
duk yang masih tercekat melihat kejadian
aneh tadi masih terus berteriak-teriak
kegirangan dari halaman pendopo.
"Hidup Soma...! Hidup Siluman Ular
Putih...!"
"Hidup Siluman Ular Putiiihhh...!"
SELESAI
Segera terbit:
MANUSIA RAMBUT MERAH
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon