Siluman Ular Putih 1 - Misteri Bayi Ular(2)


Lereng Gunung Batu terlihat menju-
lang tinggi di kejauhan, berselimut awan 
putih. Sedang matahari belum begitu ting-
gi pada garis edarnya. Cahayanya yang 
keemasan hangat menyinari bumi. Dari arah 
timur Lembah Kidung, Soma sedang berlari 
kencang menuju lereng Gunung Batu. 
Tiba-tiba di hadapan pemuda itu 
menghadang seorang gadis cantik. Umurnya 
kira-kira dua puluh delapanan. Tubuhnya 
yang ketat dibungkus pakaian warna kun-
ing. Rambutnya yang hitam panjang dikun-
cir ke atas dengan pita warna kuning pu-
la. Sebenarnya cantik sekali gadis itu. 
Tapi karena dandanannya agak menor, mem-
buat bedaknya yang tebal luntur oleh ke-
ringat. 
"Tunggu dulu, Pemuda Tampan! Mau ke 
mana sih? Kok, buru-buru?" sapa gadis ini 
genit. Matanya yang jelita mengerling 
nakal ke arah Soma. 
Soma menghentikan langkahnya. 
"Aku? Aku tidak ke mana-mana? Toh, 
apa bedanya sih ke mana-mana dan tidak ke 
mana-mana?" jawab Soma seenak hati. "Ta-
pi, ngomong-ngomong ada keperluan apa? 
Kok menghadang langkahku? Apa tidak ada 
kerjaan lain kecuali menghadang perjala-
nanku?!" 
Wanita cantik itu tersenyum manis. 
"Ahh...! Mengapa kau jadi sewot be-
gini?" 
Soma menautkan sepasang alisnya 
yang tebal. "Kalau dia wanita baik-baik, 
mengapa kelakuannya begini? Aku harus ha-
ti-hati. Jangan-jangan dia wanita nakal?" 
gumamnya dalam hati. 
"Lho, lho...! Kok, malah bengong? 
Memangnya ada apa? Apa tadi kau belum di-
beri makan ayahmu?" ledek wanita itu se-
raya meraih lengan Soma. 
"Hei?! Apa-apaan, sih?!" sergah So-
ma seraya mengibaskan tangannya kasar. 
"Aduh! Lagakmu seperti orang suci 
saja! Tapi aku yakin, sekali saja kenal 
aku, kau pasti akan tergila-gila," kata 
gadis ini ceriwis. "Ayolah, Pemuda Tam-
pan! Tunggu apalagi?" 
"Ah...! Aku mau lewat!" 
Soma nekat menerjang. Namun wanita 
cantik itu kembali menghalangi langkah-
nya. Malah tangannya yang putih bersih 
berani memeluk lengan Soma. 
"Kau sebenarnya mau apa, sih? Aku 
mau lewat. Ayolah, beri aku jalan," kata 
Soma kewalahan juga melihat kenekatan wa-
nita itu. 
"Gampang. Soal memberi jalan itu 
gampang," jawab gadis itu dengan senyum 
menyebalkan. "Tapi, ada syaratnya?" 
Soma menggerutu. Kedua lengan wani-
ta itu makin erat memegangi lengannya. 
"Huh! Mimpi apa aku semalam, sehingga Tu-
han mengirimkan manusia sundal ini? Can-
tiknya sih memang bolehlah. Tapi, buat 
apa kalau membawa penyakit?" gerutu Soma. 
"Hey, kau ngomong apa?! Apa kau ti-
dak pernah diajarkan sopan santun oleh 
ibumu?" bentak wanita itu tersinggung. 
Tanpa sadar kedua tangannya yang memegang 
lengan Soma dilepaskan, siap melontarkan 
pukulan mautnya. 
"Jangan terlalu perasa.... Aku ti-
dak  menyindir mu. Aku hanya mengatakan, 
wanita secantik apa pun bisa juga membawa 
penyakit. Jadi, aku tidak mengatakan ka-
lau kau yang membawa penyakit," sergah 
Soma seraya bergerak mundur selangkah. 
"Hen?! Itu sama saja mengatakan ka-
lau aku pembawa penyakit!" tukas wanita 
cantik itu marah. "Apa kau belum tahu, 
siapa aku sehingga kau berani berkata se-
lancang ini?!" 
"Siapa kau? Ah, gampang saja. Kau 
tak ubahnya seperti perampok yang mengha-
dang perjalanan orang, masa' kau lupa?" 
tukas Soma enteng. Sama sekali tidak ta-
kut menghadapi ancaman wanita itu.  
Padahal kalau pemuda ini tahu siapa 
wanita di hadapannya, pasti akan terke-
jut. Wanita cantik di hadapannya saat ini 
adalah Denok Supi, salah seorang tokoh 
sesat yang merajai daerah barat. Usia se-
benarnya sudah sangat tua. Tapi karena 
memiliki semacam ilmu awet muda, sehingga 
nampak seperti seorang gadis. 
"Dua kali kau menghinaku, Bocah! 
Kau harus membayar penghinaanmu ini!" 
Sehabis berkata begitu, Denok Supi 
mengangkat tangannya tinggi-tinggi, siap 
melancarkan pukulan mautnya. 
"Tunggu!" cegah Soma. "Sebenarnya 
kau mau apa? Bukankah di antara kita ti-
dak ada silang sengketa? Mengapa kau ma-
rah-marah begini?" 
Denok Supi menggeram marah. Kedua 
tangannya, yang sudah gatal tidak dapat 
lagi ditahan. Untungnya Soma sudah siap 
siaga. 
Wuuttt...! 
"Uts!" 
Begitu tangan Denok Supi bergerak 
menampar pipinya, Soma cepat berkelebat 
ke samping kiri. Meski serangan wanita 
itu dapat dihindari dengan mudah, namun 
hatinya sempat kaget. Betapa tidak? Ru-
panya pukulan Denok Supi penuh dengan ha-
wa racun. Dan ini dapat dirasakan dan ha-
wa dingin yang berbau amis sebelum tangan 
itu mengenai sasaran. 
"Hm...! Rupanya kau punya sedikit 
kepandaian sehingga berani berkata selan-
cang tadi. Bagus! Akan kulihat sampai di 
mana kepandaianmu, Bocah!" 
Tanpa banyak cakap lagi, Denok Supi 
cepat menyerang. Hatinya merasa penasaran 
sekali melihat serangan pertamanya tadi 
dapat dihindari dengan mudah.  
"Wah,  wah, wah...! Apa-apaan kau 
ini? Mengapa urusan jadi runyam begini? 
Sungguh aku tidak bermaksud menghinamu," 
kata Soma sambil berloncatan ke samping 
kiri menghindari serangan. 
"Jangan banyak bacot! Aku harus me-
nelanjangimu atas penghinaanmu ini, Bocah 
Tampan!" dengus Denok Supi langsung men-
gerahkan jurus-jurus mautnya untuk mende-
sak Soma. 
Pemuda ini kewalahan bukan main da-
lam menghindar. Dan tak henti-henti mu-
lutnya mengoceh. 
"Sungguh aku tidak bermaksud meng-
hinamu. Tapi, baiklah! Kalau kau memang 
tersinggung atas ucapanku tadi, aku akan 
cabut kembali ucapanku tadi." 
"Enak saja! Omonganmu sudah telan-
jur keluar! Tidak! Kau harus membayar 
penghinaanmu!" dengus Denok Supi benar-
benar penasaran bukan main. Sudah tiga 
jurus lebih namun belum dapat juga me-
nyentuh tubuh pemuda itu 
"Waduh...! Maaf, deh! Aku benar-
benar menyesal." 
Denok Supi tidak mempedulikan oce-
han Soma lagi. Sebagai seorang ahli silat 
tingkat tinggi yang sudah cukup pengala-
man malang melintang di dunia persilatan, 
hatinya merasa penasaran bukan main dapat 
dipermainkan lawannya yang kelihatannya 
masih hijau. Dan agaknya, tokoh sesat da-
ri barat itu kini tidak sekadar memberi 
pelajaran pada Soma, melainkan membunuh-
nya. Dan pada satu kesempatan yang tidak 
mungkin dihindari Soma, kedua telapak 
tangan Denok Supi yang penuh racun kemba-
li mengancam dada. 
Wuuttt...! 
Soma kaget bukan main. Serangan ini 
jelas sangat membahayakan bagi keselama-
tannya. Apalagi dalam jarak sedekat itu. 
Tak ada pilihan lain, harus ditangkisnya 
kedua telapak tangan Denok Supi. 
Duk! Duk! 
Terdengar suara benturan keras dari 
dua tenaga dalam tinggi di udara. Akibat-
nya tubuh Soma bergoyang-goyang. Kedua 
kakinya melesak beberapa rambut ke dalam 
tanah. Sedang Denok Supi terhuyung-huyung 
beberapa langkah ke belakang. Wajahnya 
pucat pasi. Dan  dari bibirnya mengelua-
rkan darah segar. 
"Pukulan 'Tenaga Inti Bumi'...!" 
desis Denok Supi kaget. 
Soma sendiri kaget bukan main. Ti-
dak disangka pukulannya tadi menyebabkan 
musuhnya terluka. Dan lebih kagetnya la-
gi, musuhnya mengenali jurus pukulannya 
tadi.         
Soma tersenyum-senyum bagai orang 
bodoh. 
"Benar! Itu memang yang dinamakan 
pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'. Apa kau 
masih penasaran? Tapi, sayang. Aku tidak 
punya waktu meladenimu. Selamat tinggal!" 
Sehabis berkata begitu, pemuda ini 
segera mengerahkan ilmu meringankan tu-
buhnya meninggalkan tempat itu. Dan dalam 
sekejap saja, tubuhnya telah menghilang 
dari balik kerimbunan pohon cemara. 
Denok Supi menggeram marah. Dalam 
hatinya bertanya-tanya, siapa pemuda tam-
pan berbaju rompi bersisik berwarna putih 
keperakan tadi? 
"Jahanam? Dia pasti murid si tua 
bangka Begawan Kamasetyo! Siapa lagi?" 
desis Denok Supi penuh kemarahan, sebelum 
akhirnya meninggalkan tempat itu. 
*** 
Di kaki langit sebelah barat, mata-
hari sebentar lagi tenggelam. Sinarnya 
yang keemasan mulai pudar, menebar ke se-
bagian lereng barat Gunung Batu. Keadaan 
di sekitar puncak gunung itu sunyi. Hanya 
terdengar beberapa kicauan burung yang 
hendak pulang ke sarang. 
Dan dalam terpaan angin lembut sore 
itu, Soma berdiri mematung bagai tonggak 
tak bernyawa. Matanya yang tajam menge-
darkan pandangan ke segenap penjuru. Ke-
dua bibirnya berkemik-kemik, seperti me-
nyesali sesuatu. 
"Aku sudah sampai di puncak Gunung 
Batu. Tapi, mengapa sepi sekali? Mana Ma-
hesa, si Pendekar Kujang Emas, ayahku 
itu? Kok dia tak muncul-muncul?" gumam 
Soma kecewa. 
Sebatas mata memandang, Soma hanya 
menemukan hamparan batu besar kecil. Tak 
ada satu tumbuhan pun yang tumbuh di sa-
na. Pemuda ini tidak putus asa. Dia terus 
mencari orang yang dimaksudkan ibunya. 
Sehingga tak terasa senja mulai berganti 
malam. 
Bulan sepotong di langit sebelah 
timur, tidak cukup menerangi tempat itu. 
Soma akhirnya memutuskan untuk melan-
jutkan pencariannya esok hari. 
*** 
Dua tahun ke belakang, sebelum Soma 
menginjakkan kakinya di tempat yang sama, 
di  puncak Gunung Batu, Mahesa atau yang 
lebih terkenal sebagai Pendekar Kujang 
Emas tengah duduk berhadap-hadapan dengan 
seorang pemuda tampan di atas bongkahan 
batu 
Wajah pemuda itu tampan, berbentuk 
bulat telur. Kulitnya putih bersih. Sepa-
sang matanya yang tajam dihiasi alis mata 
tebal. Hidungnya mancung, pas sekali den-
gan bentuk bibirnya yang tipis. Tubuhnya 
tinggi kekar, dibalut pakaian rapi seka-
li, seperti pakaian terpelajar saat itu. 
Sedang rambutnya yang gondrong dikuncir 
sebagian ke belakang, semakin menambah 
ketampanannya.  
Gerak-gerik sikap pemuda itu pun 
lembut. Sehingga membuat Mahesa sangat 
menyayanginya. Bahkan pemuda di hadapan-
nya sudah dianggap seperti anak kandung 
sendiri. Maka tak heran kalau semua ke-
pandaian ilmu silatnya diturunkan kepada 
pemuda itu. Seorang pemuda malang yang 
dulu ditemukan dalam pelukan ibunya yang 
sudah menjadi mayat, sewaktu Mahesa se-
dang mencari istrinya yang hilang entah 
ke mana. 
"Prameswara...!" panggil Mahesa me-
mecah keheningan malam. "Aku kira semua 
kepandaian silatku telah kuturunkan semua 
padamu. Sekarang sudah saatnya kita ber-
pisah. Kalau kau tidak keberatan, tolong 
carikan istriku, Prameswara! Namanya Ra-
tri. Aku sudah terlalu tua untuk turun 
gunung. Apa kau tidak keberatan?"         
"Tentu saja tidak, Guru. Seberat 
apa pun tugas Guru, akan kulaksanakan," 
jawab Prameswara, santun dan tegas.  
"Ya, ya...! Aku percaya. Aku berpe-
san, gunakanlah semua kepandaianmu untuk 
membela yang lemah dan menegakkan kebena-
ran. Tetaplah berpegang teguh pada apa 
yang kuajarkan di sini. Mengerti?" 
"Mengerti, Guru. Aku akan menjun-
jung tinggi semua yang Guru ajarkan pada-
ku," sahut Prarpeswara mantap. 
"Nah, sekarang teruskanlah latihan-
mu! Besok pagi kau boleh turun gunung!"  
"Baik, Guru." 
*** 
Siang di Desa Ganggurdi. Matahari 
tersaput awan. Beberapa orang petani nam-
pak baru pulang dari sawah. Suara canda 
dan tawa mereka mengusik kesunyian desa.  
Dari ujung desa yang lain, Prames-
wara mulai memperlambat langkahnya. Sedi-
kit pun tidak nampak keringat membasahi 
wajahnya, pertanda ilmu meringankan tu-
buhnya sudah mencapai tingkat tinggi. Pa-
dahal dia baru saja menempuh perjalanan 
jauh. Sejak turun gunung, desa itulah 
yang pertama kali dijumpainya. 
Saat mulai memasuki jalan desa itu, 
Prameswara melihat suasana desa itu agak 
ramai dibanding di ujung desa tadi. Bebe-
rapa orang petani yang tadi asyik bercan-
da mulai berpisah, pulang ke rumah mas-
ing-masing.  
Prameswara masuk ke dalam sebuah 
kedai, agak terpisah dari perumahan pen-
duduk. Dua orang pelayan cantik menyambut 
kedatangannya. Kebetulan suasana sedang 
sepi. Yang ada hanya Prameswara seorang. 
"Silakan duduk, Tuan! Mau makan 
apa?" sambut salah seorang gadis cantik 
itu senang. Sepasang matanya yang jeli 
menatap Prameswara penuh kagum. 
Prameswara memperhatikannya sekilas 
dengan senyum terkembang di bibir. 
"Tolong sediakan makanan dan arak 
yang paling enak di kedai ini!" ujar Pra-
meswara dengan suara santun. Namun aneh-
nya, sikap pemuda itu sungguh tidak cocok 
dengan tutur sapanya yang santun. 
"Ba..., baik" sahut pelayan itu gu-
gup. Sejenak pandangan matanya melirik 
Prameswara. 
Prameswara mengacuhkannya, 
Pelayan itu menghela napas panjang. 
"Sayang! Dia memang tampan, tapi 
sombongnya tidak ketulungan," kata batin 
pelayan itu, sebelum akhirnya masuk ke 
dalam 
"Tuaaaampan sekali pemuda itu. Sia-
pa namanya, Yu?" tanya pelayan lain penuh 
kagum.  
"Huh! Sombongnya minta ampun. Boro-
boro tahu namanya. Aku jadi sebel! Seper-
tinya dia saja yang paling tampan," geru-
tu pelayan yang tadi menyambut kedatangan 
Prameswara kesal. "Sudah! Sekarang gili-
ran mu mengantarkan makanan ke depan!"  
"Benar, nih? Apa kau tidak menyesal 
kalau pemuda itu jatuh cinta padaku?" ka-
ta pelayan yang satunya, senang dapat me-
layani tamunya yang tampan. 
"Siapa peduli!"  
"Baik, baik! Kalau begitu, aku akan 
mengantar makanan ini padanya. Lihat sa-
ja, Mbakyu! Aku pasti dapat menaklukkan 
pemuda yang katamu sombong itu," kata pe-
layan berpakaian. Kebaya warna kuning itu 
senang. Kemudian bergegas dia menyediakan 
makanan yang dipesan Prameswara.  
"Silakan dimakan, Tuan! Ini arak 
dan makanan yang paling lezat di kedai 
ini. Juga di kedai-kedai lainnya. Sila-
kan! Silakan!" kata pelayan itu genit. 
Lagi-lagi Prameswara hanya memper-
hatikan pelayan itu sekilas. Sama sekali 
tidak ada senyum. Bahkan matanya sinis 
sekali memperhatikan pelayan itu. Lalu 
tanpa banyak cakap lagi, araknya mulai 
ditenggak. Tidak seperti para tokoh dunia 
persilatan lainnya, arak putih itu di-
tuang dulu ke dalam gelas dari batu me-
rah. Lalu ditenggaknya sedikit demi sedi-
kit.       
Pelayan berbaju kuning itu mengedu-
mel diperlakukan seperti itu. Namun dia 
tidak putus asa. 
"Bagaimana, Tuan? Bukankah cukup 
enak arak di kedai ini?" kata pelayan ini 
ceriwis.    
Prameswara memandang pelayar itu 
tajam. 
"Beginikah  caramu  menyambut tamu 
yang makan di sini?" gerendeng Prameswa-
ra. 
"I.... Iya! Eh, ti... tidak, Tuan!" 
jawab pelayan berkebaya kuning itu gugup. 
"Kalau begitu, cepatlah enyah dari 
hadapanku!" usir Prameswara dingin.  
"Ba...,baik!" 
Pelayan berkebaya kuning itu ber-
maksud beranjak dari tempatnya. Namun ti-
ba-tiba saja langkahnya berhenti, saat 
dua orang lelaki aneh masuk ke dalam ke-
dainya. Sejenak pelayan berkebaya kuning 
itu memperhatikan heran ke arah kedua 
orang tamu anehnya. Yang satu bertubuh 
pendek, berkulit hitam legam. Matanya bu-
lat berwarna hitam. Hidungnya bundar. Bi-
birnya yang berwarna hitam agak dlawer 
dengan gigi berwarna kuning. Rambutnya 
pun awut-awutan, cocok sekali dengan pa-
kaian hitam-hitamnya yang kumal. 
Sedang laki-laki satunya bertubuh 
tinggi kurus. Mukanya tirus dengan mata 
besar berwarna hitam. Hidungnya mancung 
sekali, seperti hidung betet. Demikian 
juga giginya yang mancung menjorok ke de-
pan. Rambut dan pakaian laki-laki itu pun 
sama-sama kumalnya. Dan sembari tertawa 
mengakak, mereka langsung menghenyakkan 
pantatnya tak jauh dari kursi Prameswara. 
"Ayo, kita rayakan pertemuan kita 
di sini, Sorogompo! Kamu mau pesan apa?" 
tanya laki-laki bertubuh tinggi kurus ke-
pada laki-laki bertubuh pendek yang di-
panggil Sorogompo. 
"Baik, Mayang Kekek. Rupanya hampir 
selama lima belas tahun kita berpisah, 
sekarang kau sudah kaya, ya? Aku mau pe-
san arak yang paling wangi di sini. Juga, 
makanan yang paling enak. Tapi kalau ada, 
aku lebih suka daging kambing. Biar kuat 
itu.... Ha ha ha...!" sahut Sorogompo. 
"Mintalah daging kambing dan arak 
yang paling wangi. Bahkan minta bintang 
pun, aku pun tidak keberatan. Tapi bayar 
sendiri! Ha ha ha...! jawab laki-laki 
tinggi kurus yang dipanggil Mayang Kekek, 
langsung disambung suaranya yang sember. 
"Apa? Kau mau mempermainkan aku, 
Mayang Kekek? Kau tidak jadi mentraktir 
ku?!" tukas Sorogompo mendelik gusar. 
"Lho? Siapa peduli? Kau makan untuk 
mengisi perutmu sendiri. Aku juga. Siapa 
peduli? Memangnya aku bapak moyangmu?!" 
jawab Mayang Kekek acuh tak acuh. 
"Kau menjatuhkan harga diriku, 
Mayang Kekek. Kalau saja tidak ada gadis 
cantik di sampingku, aku tak akan marah. 
Tapi sekarang, kau harus menerima akibat 
dari bacotmu yang lancang ini!" 
Sorogompo cepat meraih asbak ter-
buat dari pangkal pohon bambu, langsung 
dilemparkannya ke arah muka Mayang Kekek. 
Cepat sekali lemparan yang dilaku-
kan Sorogompo itu. Apalagi dalam jarak 
yang demikian dekatnya. Namun, Mayang Ke-
kek hanya tertawa-tawa saja melihat se-
rangan kawannya. Dan begitu asbak itu 
hendak menghajar wajahnya, jari telunjuk 
tangan kanannya terangkat. Cepat diteri-
manya asbak itu, dan diputar-putarnya 
dengan tangan kirinya. 
"Seranganmu lamban sekali, Sorogom-
po! Buat apa bertapa bertahun-tahun kalau 
tenaga dalammu tetap  seperti ini. Nih, 
asbakmu kukembalikan!" ejek Mayan Kekek, 
seraya melontarkan kembali asbak itu ke 
muka Sorogompo.    
Asbak itu terdorong ke depan. 
Mayang Kekek penasaran sekali. Segera te-
naga dalamnya dikerahkan. Dan akibatnya 
asbak itu kembali lagi. Tentu saja Suro-
gompo tidak mau kalah dalam adu tenaga 
dalam itu. Demikian pula Mayang Kekek. 
Kedua orang itu terus mengemposkan tenaga 
dalam hingga akhirnya asbak itu tertahan 
di udara! 
Pelayan berkebaya kuning yang sudah 
cukup berpengalaman berhadapan dengan to-
koh-tokoh sakti dunia persilatan hanya 
berdiri menggigil di tempatnya. Namun ti-
dak demikian Prameswara. Semula kedua 
orang tua itu memang dibiarkan menjual 
lagak di depannya. Namun lama kelamaan 
merasa terganggu juga. 
"Kalian ini orang tua tak tahu di-
ri! Sudah bau tanah masih menjual lagak 
di depanku!" bentak Prameswara sambil 
menggerakkan tangan kanannya santai, seo-
lah-olah sedang mengusir lalat di depan 
hidungnya. Akibatnya.... 
Prak! 
Asbak yang terkena pukulan jarak 
jauh pemuda itu kontan pecah berantakan. 
Dan akibatnya pula, tenaga dalam Mayang 
Kekek dan Sorogompo jadi saling serang 
secara langsung. 
Duk! 
Terdengar benturan tenaga dalam di 
udara. Akibatnya, tubuh kedua orang itu 
bergetar hebat. Bangku tempat berpijak 
langsung hancur berantakan. 
Pelayan berkebaya kuning itu menje-
rit-jerit ketakutan, langsung ngacir ke 
dalam. 
Kedua orang itu kontan menoleh ke 
arah Prameswara. Mereka yakin pemuda itu-
lah yang membuat ulah. Mata mereka kontan 
membelalak lebar 
"Anak muda?! Mengapa kau berani 
lancang mencampuri urusan kami?!" hardik 
Mayang Kekek. Prameswara mendengus. 
"Aku tidak bermaksud mencampuri 
urusan kalian? Tapi berhubung kalian te-
lah menjual lagak di depanku, aku tidak 
dapat membiarkannya. Apalagi, kalian te-
lah mengganggu selera makanku. Apa itu 
salah?" 
"Salah! Itu jelas salah! Mau meng-
ganggu selera makanmu, kek. Mau membunuh-
mu sekalipun, kek. Apa pedulimu?!" dengus 
Sorogompo. Tak dapat lagi amarah ditahan. 
Dia melompat ke hadapan Prameswara. Kedua 
tangannya yang sudah gatal-gatal langsung 
bergerak menampar. 
Prameswara sedikit menarik tubuhnya 
ke belakang. Sedang tangan kanannya me-
nyambar mangkuk sopnya, menyerang Soro-
gompo. 
Pyarrr...! 
"Aaakh...!" 
Sorogompo  memekik kaget. Untunglah 
Mayang Kekek segera membantu menahan se-
rangan Prameswara. Malah kalau pemuda itu 
tidak cepat melempar tubuhnya ke bela-
kang, bisa jadi tubuhnya sudah dibasahi 
kuah sopnya. 
"Kau jangan turut campur, Mayang 
Kekek! Aku masih sanggup menghadapi bocah 
ini!" 
Sorogompo cepat melesat ke depan. 
Langsung diserangnya Prameswara dengan 
jurus-jurus andalan. Hebat sekali seran-
gan kakek bertubuh kerdil itu, membuat 
pemuda ini kewalahan bukan main. Tubuhnya 
sudah beberapa kali berjumpalitan ke uda-
ra. Dan akhirnya mereka berdua telah be-
rada di luar kedai. 
"Bagus! Rupanya kau punya sedikit 
kepandaian!" dengus Sorogompo gusar. Su-
dah tiga jurus berlalu, namun belum juga 
dapat menyentuh tubuh lawan. 
"Tidak usah banyak bacot dulu, 
Orang Tua! Lihat saja bagaimana aku meng-
hajarmu nanti," kata Prameswara. 
"Bocah sombong!" geram Sorogompo 
penuh kemarahan. 
"Ayo, Sorogompo! Hajar saja bocah 
itu! Gebuk pantatnya!" teriak Mayang Ke-
kek dari luar kancah pertarungan. 
Sorogompo meloncat ke depan. Pra-
meswara cepat membabat pedang. Segera 
disambutnya serangan itu. Tanpa membuang-
buang waktu lagi, Prameswara langsung me-
mainkan jurus-jurus pedangnya yang pernah 
dipelajari dari Pendekar Kujang Emas. 
"Hm...! Kau pasti muridnya Pendekar 
Kujang Emas. Tapi, sayang. Kau tidak 
punya sopan santun pada orang tua. Apa 
kau belum pernah diajari sopan santun 
oleh gurumu?!" kata Sorogompo mulai men-
genali jurus-jurus andalan Prameswara. 
"Syukur kalau kau sudah tahu nama 
guruku. Jadi sudah seharusnya kau berte-
kuk lutut dan memohon maaf atas kelancan-
ganmu!" desis Prameswara. 
"Hm...! Kau memang patut diajari 
sopan santun Bocah. Biarlah aku yang me-
wakili gurumu mengajari sopan santun," 
kata Sorogompo kesal. 
Meski hanya bersenjata tangan ko-
song, Sorogompo sama sekali tidak kewala-
han menghadapi Prameswara yang bersenjata 
pedang. Perlahan namun pasti, Sorogompo 
dapat mendesak. Bahkan sudah beberapa 
kali tangannya berhasil mendarat telak di 
tubuh pemuda itu. 
Prameswara menggeram penuh kemara-
han. Kedua tangannya kini telah berubah 
menjadi biru, siap melontarkan pukulan 
mautnya. 
"Apa kau mengenali pukulan ini, 
Orang Tua?" ejek Prameswara. 
"Hanya pukulan 'Cahaya Kilat Bi-
ru'," desis Soro gompo. "Sayangnya puku-
lan maut itu kau pergunakan dengan seme-
na-mena. Kau memang tidak layak menjadi 
murid Pendekar Kujang Emas. Sebagai te-
mannya, aku merasa bertanggung jawab un-
tuk memberimu pelajaran." 
"Jangan banyak bacot, Orang Tua! 
Pukulan inilah yang akan mengantar nyawa-
mu ke neraka!" bentak Prameswara. 
"Lakukanlah! Akan kulihat, sampai 
di mana kehebatan pukulanmu," tantang So-
rogompo berani. 
Bukan main marahnya Prameswara. 
Ternyata pemuda ini memang berwatak som-
bong. Hatinya tidak terima direndahkan 
sedemikian rupa. Maka dengan menggunakan 
jurus sakti 'Kilat Menyambar Bumi', Pra-
meswara kembali menerjang Sorogompo. Tan-
gan kirinya yang telah berubah menjadi 
biru, beberapa kali menyambar-nyambar ga-
nas, Namun Sorogompo dapat menghindari 
dengan mudah.  
"Terus pukul aku, Bocah! Mengapa 
berhenti?!" ejek Sorogompo.       
"Jahanam! Hari ini adalah hari ke-
matianmu, Orang Tua!" 
Prameswara mempercepat gerakan pe-
dangnya. Tubuhnya yang tinggi kekar me-
lenting ke udara. Dan ketika menukik ke 
bawah, tahu-tahu ujung pedang di tangan-
nya telah mengancam ubun-ubun Sorogompo. 
Sedang tangan kirinya siap melontarkan 
pukulan 'Cahaya Kilat Biru'. 
Hebat sekali serangan Prameswara. 
Malah Sorogompo sendiri sempat terkejut 
dibuatnya. Namun sebagai seorang tokoh 
silat yang sudah cukup berpengalaman, dia 
tidak jadi gugup, walau saat itu kurang 
menguntungkan. Dengan miringkan tubuhnya 
ke kiri menghindari tusukan pedang, tan-
gan kanannya cepat memapak pukulan 
'Cahaya Kilat Biru' di tangan kiri Pra-
meswara. Bahkan juga dilontarkannya puku-
lan saktinya yang diberi nama 'Orang Gila 
Mengamuk'. 
Duk!  
Blarrr...! 
Hebat bukan main akibat pertemuan 
dua tenaga dalam di udara itu. Bahkan tu-
buh Sorogompo yang pendek bergoyang-
goyang. Kedua kakinya melesak beberapa 
rambut ke dalam tanah. Sedang tubuh Pra-
meswara yang masih melayang-layang di 
udara kembali terlempar ke udara. Sekujur 
tubuhnya menggigil. Wajahnya pucat pasi. 
Dan dari kedua bibirnya mengalir darah 
segar, pertanda menderita luka dalam cu-
kup parah. 
"Bagaimana, Anak Muda? Apa kau ma-
sih punya muka melawan aku?" ejek Soro-
gompo puas. "Kalau saja kau bukan murid 
Pendekar Kujang Emas sahabatku, tidak se-
gan-segannya aku membunuhmu. Tapi, kali 
ini kau kumaafkan. Sekarang pergilah! Aku 
muak melihatmu!" 
"Hey, tunggu! Jangan biarkan bocah 
itu pergi dulu, Sorogompo! Aku harus 
menghajar pantatnya dulu!" teriak Mayang 
Kekek gemas. 
Prameswara yang sudah tidak mempu-
nyai muka, cepat kabur dari tempat itu. 
Meski menderita luka dalam yang cukup pa-
rah, namun dia dapat melangkah cepat dan 
tempat ini. 
Mayang Kekek menghentak-hentakkan 
kaki kanannya kesal bukan main. 
"Ini semua gara-gara kau, Sorogom-
po! Kau harus membayar hutang pemuda itu! 
Aku harus menggebuk pantatmu!" maki 
Mayang Kekek gemas. 
Prameswara kecewa bukan main. Ma-
rah, benci dendam bercampur menjadi satu. 
Apa yang dipelajarinya hampir delapan be-
las tahun lebih, ternyata hanya menemui 
kesia-siaan belaka. Dia tidak dapat ber-
buat banyak dihina oleh Sorogompo. Watak 
pemuda ini yang memang tinggi hati, tak 
ingin ada seorang pun melebihi dirinya, 
merasa harus membalaskan sakit hatinya. 
Namun karena belum mampu, dia ingin men-
cari seorang guru tangguh. 
Itulah rencana yang sudah tersusun 
dalam benak Prameswara. Padahal kalau mau 
mawas diri, kepandaiannya saat itu sudah 
jauh dari lumayan. Dia tidak berpikir ka-
lau musuh yang dihadapi tadi adalah seo-
rang tokoh sakti. Jangankan dirinya. Gu-
runya pun, belum tentu sanggup mengalah-
kan Sorogompo. Akan tetapi, rupanya Pra-
meswara tidak berpikir demikian. Yang di-
pikirkan hanya kekalahan dan balas dendam 
saja. 
"Untuk apa aku belajar silat berta-
hun-tahun kalau hanya menemukan kesia-
siaan seperti ini!" dengus Prameswara ge-
lisah sambil melangkah gontai di pinggi-
ran Hutan Sawo Kembar. Berhari-hari dia 
melakukan perjalanan tanpa arah tujuan. 
Penasarannya terlalu tenggelam dalam ke-
sedihan, karena dipermalukan Sorogompo. 
Dan ini membuat apa yang ditugaskan gu-
runya jadi terabaikan! 
Menurut desas-desus yang sempat di-
dengar Prameswara di sepanjang perjala-
nan, di sebelah barat Hutan Sawo Kembar 
ada seorang tokoh sakti berjuluk Manusia 
Rambut Merah. Konon, ilmu silatnya tinggi 
sekali sehingga sulit sekali dicari tan-
dingannya. Maka, kesanalah pemuda itu me-
langkah menemui tokoh sesat itu. 
Begitu sampai di sebelah barat hu-
tan ini tiba-tiba Prameswara merasa tanah 
tempatnya berpijak bergetar hebat, mem-
bentuk garis seperti galian pasir mende-
katinya. Belum hilang rasa kagetnya, ti-
ba-tiba kedua kakinya seperti terbetot 
dari dalam tanah.  
Prameswara cepat mengerahkan ilmu 
meringankan tubuhnya. Namun anehnya, ke-
dua kakinya sulit sekali digerakkan. Dan 
ini membuatnya, kalang kabut. Seketika 
itu juga tenaga dalamnya dikerahkan. Tan-
gan kanannya kini berwarna biru dan lang-
sung dihantamkan ke tanah, Kemudian den-
gan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya 
yang sudah mencapai tingkat tinggi, Pra-
meswara cepat meloncat ke ranting pohon 
dibelakangnya.  
Gundukan pasir di bawah terus men-
gejar ke akar pohon tempat Prameswara 
bertengger. Dalam beberapa kejap kemu-
dian, pohon itu tersedot dari dalam ta-
nah. 
"Heh?!"       
Prameswara kaget bukan kepalang, 
Pohon tempatnya berpijak hampir setengah-
nya melesak ke dalam tanah. Cepat pemuda 
itu meloncat ke ranting pohon lainnya. 
Dan anehnya, gundukan tanah yang berge-
rak-gerak seperti punya mata saja dan te-
rus mengejar. 
Dalam hati murid Pendekar Kujang 
Emas ini berdecak kagum. Dia menduga, 
pasti ada orang pintar yang sedang unjuk 
kepandaian padanya. Namun Prameswara ti-
dak bisa menebak, ilmu apa yang dipergu-
nakan orang dalam tanah itu. Mungkin se-
macam ilmu 'Amblas Bumi' atau semacam il-
mu apa.  
"Hup...!" 
Prameswara kembali meloncat ke 
ranting pohon lain. Dan kini gundukan ta-
nah di bawahnya tidak mengejarnya. Tapi 
bergetar-getar hebat. Dan tidak lama ke-
mudian.....  
Broll...!  
"Hyaaat...!" 
Gundukan pasir itu membuncah seir-
ing teriakan seseorang yang melengking 
tinggi dari dalam gundukan tanah itu! 
Terkejut bukan main Prameswara ke-
tika melihat dari dalam gundukan tanah 
muncul seorang laki-laki berpakaian merah 
darah dengan satu lentingan cantik seka-
li. Setelah berputaran di udara, kakinya 
mendarat mantap di tanah. 
Orang itu tinggi besar. Rambutnya 
berwarna merah menyala. Dia sekarang ber-
diri beberapa tombak di depan Prameswara. 
Wajahnya menampakkan kegarangan dengan 
mata besar. Hidungnya pun besar dipadu 
alis mata dan kumis tebal yang berwarna 
kemerah-merahan. 
"Pasti orang inilah yang berjuluk 
Manusia Rambut Merah," gumam Prameswara 
dalam hati. 
Pemuda ini merasa harus menggunakan 
akalnya agar dapat  membujuk orang tua 
yang nampak baru berumur lima puluh lima 
tahunan itu untuk menjadi gurunya. Dia 
sudah melihat ilmu yang sudah diperagakan 
orang itu. Tapi bagaimanapun juga, Pra-
meswara harus mengujinya! Dia tidak ingin 
hanya membuang-buang waktu kalau ternyata 
orang ini berilmu rendah. 
"Siapa pun yang berani melewati 
daerah kekuasaanku harus modar!" dengus 
lelaki yang memang berjuluk Manusia Ram-
but Merah garang. Tubuhnya yang tinggi 
besar tahu-tahu berkelebatan cepat ke 
ranting pohon tempat Prameswara berteng-
ger. Sedang tangannya yang berwarna merah 
menyala telah melontarkan pukulan maut-
nya. 
Wesss...!  
Prakk! 
Ranting pohon tempat Prameswara 
berpijak hancur berantakan. Sebagian yang 
lainnya layu! Untungnya, pemuda itu cepat 
meloncat turun. Saat ini pikiran Prames-
wara mulai bekerja keras.  
"Sabar, Orang Tua! Soal membunuhku 
itu gampang. Tapi kedatanganku kemari, 
justru ingin bertemu denganmu...," cegah 
Prameswara santun. 
"Jadi, kau menantangku?! Kau yang 
membangunkan tapa pendemku, Bocah?" har-
dik Manusia Rambut Merah garang. Kedua 
tangannya yang berwarna merah menyala 
hingga ke lengan kembali menyambar-
nyambar tubuh Prameswara ganas.  
Prameswara kewalahan bukan main da-
lam menghindari. Jangankan terkena puku-
lannya, terkena sambaran anginnya saja 
Prameswara sudah merasakan hawa panas me-
nyengat kulitnya. 
"Aku tidak bermaksud demikian, 
Orang Tua. Terus terang, aku hanya ingin 
melihat kebenaran desas-desus yang kuden-
gar di sepanjang perjalananku tentang ke-
hebatanmu, Orang Tua. Bukankah kau yang 
berjuluk Manusia Rambut Merah?" oceh Pra-
meswara, mulai menjalankan siasatnya. 
"Benar. Tapi itu bukan berarti aku 
harus mengurungkan niatku untuk membunuh-
mu, Bocah!" hardik tokoh itu lagi garang.  
"Aku tahu. Tapi percuma saja kalau 
ingin membuktikan kehebatanmu padaku. Aku 
hanyalah anak kemarin sore. Sudah pasti 
akan kalah," sahut Prameswara merendah. 
Manusia Rambut Merah gusar bukan 
main dipanas-panasi seperti itu. Kedua 
kakinya yang besar bergetar-getar. Demi-
kian pula tanah yang dipijaknya. 
"Jadi, tokoh silat mana yang pantas 
menjadi lawanku, Bocah?" kata Manusia 
Rambut Merah gusar. 
"Banyak. Tapi, bukan itu maksud ke-
datanganku, Orang Tua!" 
"Bedebah! Kau mulai mempermainkan-
ku, Bocah?!" 
"Tidak ada gunanya aku mempermain-
kanmu, Orang Tua. Aku percaya kehebatan-
mu. Untuk itu aku datang kemari. Maksudku 
tidak lain ingin berguru padamu," tutur 
Prameswara semakin mantap dengan renca-
nanya. 
"Anjing kurap! Kau hanya memper-
mainkanku! Kau pikir gampang menjadi mu-
ridku?!" 
Bukan main marahnya Manusia Rambut 
Merah mendengar penuturan Prameswara. Ke-
dua kaki dan tangannya yang sudah lama 
sekali tidak memakan korban terasa sudah 
gatal-gatal ingin dilampiaskannya. Kemu-
dian dengan satu gerakan sebat, kembali 
Manusia Rambut Merah menyerang Prameswa-
ra. 
Nyali Prameswara tidak ciut. Sambil 
berloncatan menghindari serangan, mulut-
nya tak henti-hentinya mengejek. 
"Heh?! Kau pikir aku pun gampang 
menerimamu sebagai guruku, Orang Tua! 
Jangan harap dengan kehebatanmu ini aku 
mau menerima guru begitu saja!" kata Pra-
meswara sengaja memanas-manasi. 
"Jahanam...! Sekarang katakan, sia-
pa gurumu?! Biar aku patahkan batang le-
hernya?!" dengus Manusia Rambut Merah pe-
nasaran bukan main. 
"Tidak segampang itu, Orang Tua. 
Ada syaratnya," tangkis Prameswara makin 
membuat Manusia Rambut Merah penasaran. 
Manusia Rambut Merah menghentikan 
serangannya. Wajahnya kelam membesi den-
gan rahang bertonjolan. 
"Katakanlah! Apa syaratmu, Bocah?!" 
ujar Manusia Rambut Merah, keras. 
"Tidak terlalu sulit sebenarnya. 
Jika kau dapat membunuh guruku, aku hanya 
ingin agar kau mengangkatku sebagai mu-
rid," sahut Prameswara penuh kemenangan. 
"Anjing kurap! Babi gempul! Kau 
hanya mempermainkanku, Bocah?!" 
Bukan main marahnya Manusia Rambut 
Merah. Kedua telapak tangannya yang ber-
warna merah menyala kembali dihantamkan. 
Hebat bukan main serangan-serangan 
Manusia Rambut Merah itu. Kalau saja Pra-
meswara tidak cepat membuang tubuhnya be-
berapa kali ke samping kanan, sudah pasti 
terkena sambaran pukulan maut dari tangan 
Manusia Rambut Merah. Dan melihat seran-
gan-serangannya dapat dihindari, Manusia 
Rambut Merah makin penasaran saja. 
"Bilang saja kau tidak berani, 
Orang Tua! Pakai berdalih ingin membunuh-
ku segala! Jangankan membunuh guruku. 
Menghadapi aku saja, kau masih kewala-
han," pancing Prameswara, makin membuat 
Manusia Rambut Merah penasaran. 
Padahal, Prameswara sendiri sudah 
mengeluarkan keringat dingin menghadapi 
serangan-serangan Manusia Rambut Merah 
yang sangat ganas dan keji. Kalau saja 
tokoh sesat itu tidak menghentikan seran-
gan-serangannya. mungkin dalam satu atau 
dua jurus kemudian pemuda ini akan tewas. 
Siasat menjual nama gurunya inilah satu-
satunya yang paling ampuh untuk mengobar-
kan amarah Manusia Rambut Merah. 
"Jahanam...! Sekarang katakan siapa 
nama gurumu, Bocah! Aku sudah gatal-gatal 
ingin menghajar gurumu!" bentak Manusia 
Rambut Merah, gusar bukan main. 
"Tapi, kau mau menerima syaratku, 
bukan?" tukas Prameswara senang 
"Baik. Aku terima syaratmu!" 
"Hm.... Kalau begitu...," Prameswa-
ra cepat memutar otaknya. "Sekarang begi-
ni saja. Kau tidak perlu repot-repot men-
datangi puncak Gunung Batu. Tapi sebaik-
nya tantang saja guruku di puncak Gunung 
Merapi, tepat pada malam purnama bulan 
ini. Apa kau menerimanya, Orang Tua?" 
"Baik. Di mana pun tempatnya, aku 
siap meladeninya. Tapi, siapa nama gurumu 
itu?!" bentak Manusia Rambut Merah ber-
tanya penuh penasaran. 
Prameswara tersenyum licik. 
"Kau harus hati-hati kalau mengha-
dapi guruku nanti. Guruku bernama Mahesa, 
atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar 
Kujang Emas. Apa kau masih berani melan-
jutkan tantangan setelah kau tahu nama 
besar guruku?" 
"Jahanam! Jangankan Pendekar Kujang 
Emas! Ditambah sepuluh orang seperti dia 
pun aku tak akan mundur! Cepat sekarang 
sampaikan tantanganku pada gurumu, Bo-
cah!"    
"Baik! Sekarang juga aku akan pu-
lang ke Gunung Batu untuk menyampaikan 
tantanganmu ini. Tapi, ingat! Kau tidak 
boleh lupa dengan syarat yang telah kua-
jukan!" 
"Baik. Apa pun syaratnya, bukan ma-
salah bagiku," geram Manusia Rambut Me-
rah, seakan-akan tidak sabar ingin segera 
bertemu Pendekar Kujang Emas. 
Prameswara tersenyum. Hatinya ter-
senyum penuh kemenangan, membayangkan Ma-
nusia Rambut Merah dapat memenangkan per-
tandingannya nanti. Dan dia berharap, 
akan menemukan seorang guru yang tangguh 
agar dapat menguasai dunia persilatan! 
* * * 
Puncak Gunung Batu berselimut awan 
putih. Matahari yang baru saja menampak-
kan sinar keemasannya hangat memanasi le-
reng sebelah timur. Dari arah sebelah ti-
mur Prameswara tengah berlari kencang me-
nuju puncak. Gerakan kedua kakinya cepat 
sekali, menandakan kalau ilmu meringankan 
tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi. 
Sebenarnya perasaan pemuda ini ge-
lisah sekali. Memang ada sesuatu yang 
mengganjal dirinya. Bagaimana dia akan 
menceritakan pada gurunya kalau habis 
bentrok dengan Manusia Rambut Merah, dan 
apakah gurunya sudi menerima tantangan? 
Pemuda ini memeras otaknya. Bagaimanapun 
juga, rencananya harus berjalan lancar. 
Kini Prameswara sudah tiba di pun-
cak Gunung Batu. Pemuda itu melihat Mahe-
sa yang berjuluk Pendekar Kujang Emas se-
dang bercakap-cakap dengan eyangnya, Pen-
dekar Pedang Kilat Buana. Segera Prames-
wara bersimpuh di hadapan kedua orang tua 
itu.  
"Guru...!" 
Mahesa menautkan kedua alisnya. 
"Prameswara? Kau sudah pulang? Apa 
kau sudah menemukan Ratri?" tanya Mahesa 
heran. 
Prameswara menggelengkan kepala. 
Lemah. 
"Maaf, Guru! Aku belum menemukan-
nya." 
"Lantas, mengapa pulang? Kulihat 
kau gelisah sekali. Pakaianmu compang-
camping. Ada apa?" 
Prameswara memperhatikan pakaiannya 
yang compang-camping sebentar. Tadi sebe-
lum naik ke puncak Gunung Batu. dia sem-
pat merobek pakaiannya agar berkesan ha-
bis bertempur dengan seseorang. 
"Begini, Guru. Aku malu sekali. Se-
seorang telah membuatku malu," lapor Pra-
meswara gugup namun tetap menjaga kesan-
tunannya. 
"Maksudmu? Kau..., kau habis ber-
tempur dengan seseorang?" tebak Mahesa. 
"Benar, Guru. Kepandaian orang itu 
tinggi sekali. Aku tidak sanggup mengha-
dapinya," lapor Prameswara memelas. 
"Hm...!" 
Mahesa mengelus-elus janggutnya. 
Seseorang yang dapat mengalahkan kepan-
daian muridnya, berarti kepandaian orang 
itu sudah mencapai tingkat tinggi sekali. 
"Kepandaianmu memang sudah tinggi, 
Prameswara. Tapi, kau juga harus sadar. 
Di atas langit, masih ada langit. Jadi, 
wajar saja kalau masih ada seseorang yang 
mengalahkanmu, Muridku," lanjut Pendekar 
Kujang Emas. 
"Aku mengerti, Guru. Tapi, bukan 
itu saja persoalan yang sebenarnya, 
Guru," sahut Prameswara mulai menjalankan 
siasatnya. "Untuk itulah aku pulang mene-
mui Guru." 
"Maksudmu...?" 
"Orang itu telah menantang Guru, 
nanti pada malam purnama bulan ini," je-
las Prameswara. 
Mahesa terperanjat dari tempat du-
duknya. Pandangan matanya sempat melirik 
ke arah eyangnya, Pendekar Pedang Kilat 
Buana yang lebih banyak diam mendengar-
kan. 
Melihat itu Prameswara diam-diam 
jadi menyesal. 
"Mengapa aku tidak meminta barang 
satu atau dua jurus pada Eyang Guru?!" 
pikir Prameswara. "Tapi, tidak! Eyang 
Guru pernah bersumpah tidak ingin mempu-
nyai murid lagi. Dan aku dulu juga pernah 
membujuknya untuk menurunkan ilmu-ilmu 
andalannya padaku. Dan dia tidak mau." 
Prameswara menghela napas sesak se-
kali. Kalau saja Eyang Guru mau menurun-
kan ilmunya padanya, belum tentu dia mem-
punyai niat sejahat itu. 
"Siapa nama orang itu, Prameswara?" 
tanya Mahesa akhirnya. 
"Aku tidak tahu, Guru. Tapi, aku 
masih ingat ciri-cirinya. Orang itu ting-
gi besar berpakaian serba merah. Rambut-
nya pun juga berwarna merah, Guru," jelas 
Prameswara. 
"Hm...! Manusia Rambut Merah...," 
gumam Mahesa. 
"Jadi, Guru sudah mengenalnya?" 
"Belum. Aku hanya pernah mendengar 
tokoh itu. Konon, kepandaiannya tinggi 
sekali. Tapi, bukankah sudah lama sekali 
menghilang dari dunia persilatan?" tukas 
Mahesa, entah ditujukan pada siapa. 
Prameswara diam membisu. 
"Dia memang sudah lama sekali meng-
hilang dari dunia persilatan, Muridku. 
Tapi, bisa jadi muncul kembali di dunia 
persilatan untuk menebar dosa," sela Pen-
dekar Pedang Kilat Buana, membuka sua-
ranya. 
"Benar, Eyang. Seandainya yang 
Eyang katakan benar, dunia persilatan 
pasti akan gempar," kata Mahesa pada 
eyangnya. 
"Benar!" sambut Pendekar Pedang Ki-
lat Buana singkat. "Tapi, bagaimana den-
gan tantangannya? Apa kau akan menerima, 
Muridku?" 
"Itulah yang sedang aku pikirkan, 
Eyang," desah Mahesa. "Apa Eyang mengi-
zinkanku menerima tantangannya?" 
Pendekar Pedang Kilat Buana yang 
sudah sangat tua menghela napas panjang-
nya. Jenggotnya yang panjang memutih di-
elus-elus dengan tangan kanan. 
"Sebagai seorang pendekar, pantang 
tidak menerima tantangan seseorang." 
"Jadi, Eyang mengizinkanku menerima 
tantangan itu?" tanya Mahesa. 
"Begitulah...." 
"Baik!" 
Mahesa menggeretakkan gerahamnya. 
Pandangan matanya kali ini kembali ditu-
jukan pada muridnya. 
"Lantas, di mana aku harus menerima 
tantangannya, Muridku?" tanya Mahesa pada 
Prameswara. 
"Dia..., dia menantang Guru untuk 
bertanding di puncak Gunung Merapi pada 
malam purnama bulan ini Guru." 
"Baik. Kuterima tantangannya!" 
*** 
 
Udara dingin menusuk puncak Gunung 
Merapi. Alam disekitarnya seolah mati 
terbawa suasana tegang. Cahaya bulan yang 
bersinar purnama cukup menerangi puncak-
nya. Sinarnya yang berwarna keperakan, 
menimpa dua raut wajah dua orang laki-
laki tua yang berdiri saling berhadap-
hadapan siap menyabung nyawa. 
Yang satu berpakaian serba merah 
dengan rambut berwarna merah menyala. Di-
alah yang terkenal sebagai Manusia Rambut 
Merah. Sedang di hadapannya adalah seo-
rang laki-laki berusia sekitar empat pu-
luh lima tahun dengan pakaian berwarna 
biru-biru. Wajahnya yang berbentuk segi 
empat masih menampakkan sisa-sisa  ketam-
panannya di waktu muda. Orang ini tak 
lain Mahesa alias Pendekar Kujang Emas. 
Dan sesuai julukannya, orang ini pun 
menggenggam sebilah kujang yang memantul-
kan sinar keemasan. 
"Di antara kita tidak ada silang 
sengketa. Mengapa kau menantangku berta-
rung?" tanya Mahesa kalem. Sama sekali 
tidak gentar menghadapi tantangan itu. 
"Betul! Di antara kita memang tidak 
ada silang sengketa. Tapi, aku penasaran 
mendengar nama besarmu. Apa kau takut me-
nerima tantanganku?" balas Manusia Rambut 
Merah, bernada mengejek. 
"Aku tidak pernah takut menerima 
tantangan siapa pun. Hanya aku heran, 
mengapa kau menantangku? Untuk apa?!" 
tanya Mahesa lagi, kalem. 
"Tidak untuk apa-apa. Yang penting 
sekarang, cepat kita bertarung sampai ada 
yang mampus. Kau atau aku!" dengus Manu-
sia Rambut Merah garang. 
"Baik! Lakukanlah! Kau yang menan-
tangku. Kau pula yang memulainya!" sambut 
Mahesa. 
"Bagus! Bersiap-siaplah menerima 
kematianmu, Pendekar! Aku tidak ingin 
bersilat lidah denganmu. Hiyaaat...!" 
Sehabis berkata begitu, Manusia 
Rambut Merah langsung menyerang Mahesa 
dengan senjatanya yang berupa cambuk. 
Tarrr! Tarrr! 
Hebat sekali serangan Manusia Ram-
but Merah dipadu gerakan kaki dan tangan-
nya yang cepat sekali. Mahesa cepat putar 
kujangnya, memapak serangan. Dan dalam 
sekejap saja kedua orang itu telah ber-
tempur hebat dengan jurus-jurus andalan. 
Kini yang terlihat hanya bayangan merah 
dan biru yang berkelebat. Kadang saling 
bertemu, dan kadang terpisah beberapa 
tombak. 
Prameswara sendiri yang diam-diam 
menyaksikan pertarungan hidup mati antara 
gurunya dengan Manusia Rambut Merah, sam-
pai berdecak kagum beberapa kali. Dan di-
am-diam pula dia memuji kehebatan Manusia 
Rambut Merah. Perlahan namun pasti, tokoh 
sesat itu berhasil mendesak Mahesa. Gu-
lungan-gulungan cambuk hitamnya terus me-
maksa sinar kuning yang berpendar-pendar 
di tangan Mahesa untuk terus bertahan. 
"Hyaaa!" 
Mahesa cepat putar kujangnya me-
nangkis serangan Manusia Rambut Merah. 
Kemudian dalam sekejap saja, Pendekar Ku-
jang Emas telah memainkan jurus maut Pen-
dekar Pedang Kilat Buana. Akibatnya, 
sungguh hebat bukan main. Tubuh Manusia 
Rambut Merah terpaksa harus berjumpalitan 
di udara. Bahkan pada jurus ke sebelas 
tadi, hampir saja tubuhnya terkena samba-
ran kujang di tangan Mahesa. 
"Gerrr!" 
Manusia Rambut Merah menggeram ma-
rah. Cambuknya  cepat dilipat di balik 
pinggangnya. Sementara Pendekar Kujang 
Emas sendiri keheranan melihat lelaki itu 
tidak menggunakan senjatanya. 
Namun dalam beberapa kejap kemu-
dian, tubuh Manusia Rambut Merah berputar 
cepat seperti gasing. Dan anehnya lagi, 
tempat berpijaknya berhamburan menyerang 
Mahesa seperti hendak menguruk. 
Kini Pendekar Kujang Emas benar-
benar dibuat bingung bukan main. Entah 
dengan menggunakan ilmu apa, tahu-tahu 
tubuh tinggi besar Manusia Rambut Merah 
melesak ke dalam tanah. 
Belum sempat kekagetan Mahesa hi-
lang, tahu-tahu gundukan pasir di hada-
pannya bergerak cepat mendekatinya. Kemu-
dian kedua kakinya terasa seperti terbe-
tot ke dalam tanah. 
"Ah...!" 
Bukan main kagetnya Pendekar Kujang 
Emas mendapati ilmu yang dikeluarkan Ma-
nusia Rambut Merah. Dia memang pernah 
mendengar ilmu 'Amblas Bumi" seperti yang 
dilakukan Manusia Rambut Merah. Namun ba-
ru kali ini melihatnya. Seketika itu juga 
tubuh laki-laki setengah baya ini menge-
luarkan keringat dingin. Betotan di kedua 
kakinya begitu kuat. 
"Hiih...!" 
Mahesa tak sempat berpikir panjang 
lagi. Dengan menggunakan ilmu meringankan 
tubuhnya yang sudah mencapai tingkat 
tinggi, Pendekar Kujang Emas berhasil me-
lepaskan diri dari betotan Manusia Rambut 
Merah. 
"Hyaaat...!" 
Bersamaan teriakan Mahesa yang mem-
bahana,  tiba-tiba saja tanah tempatnya 
berpijak membuncah ke udara. Tampak seso-
sok tubuh tinggi besar keluar dari dalam 
tanah. Dan tanpa diduga, tahu-tahu Manu-
sia Rambut Merah telah melontarkan puku-
lan maut ke tubuh Pendekar Kujang Emas. 
"Pukulan 'Kelabang Geni'!" 
Mahesa tersentak kaget melihat se-
leret sinar merah melesat dari kedua te-
lapak tangan Manusia Rambut Merah. Cepat 
dipapaknya serangan Manusia Rambut Merah 
dengan pukulan andalannya, 'Cahaya Kilat 
Biru'. 
Blarrr...! 
Terdengar benturan dua tenaga dalam 
di udara. Akibatnya sungguh hebat. Tanah 
di sekitar pertarungan bergetar hebat. 
Tumbuh-tumbuhan dalam jarak sepuluh meter 
langsung layu! Sedang tubuh Manusia Ram-
but Merah bergetar hebat. Sementara, tu-
buh Mahesa terlempar beberapa tombak ke 
belakang, pertanda tenaga dalamnya kalah 
satu atau dua tingkat, 
"Huaaah...!" 
Mahesa muntahkan darah segar. Wa-
jahnya kontan pucat pasi. 
"He he he...! Kau harus merasakan 
pukulan 'Kelabang Geni'ku, Pendekar?" 
ejek Manusia Rambut Merah. "Sekarang te-
rimalah kematianmu! Hiyaaat...!" 
Kembali seleret sinar merah melun-
cur, begitu kedua telapak tangan Manusia 
Rambut Merah menghentak. 
Pendekar Kujang Emas tidak berani 
bertindak ayal-ayalan untuk memapak se-
rangan. Apalagi benturan tenaga dalam ta-
di sudah membuktikan kalau tenaga dalam-
nya kalah satu atau dua tingkat. Maka ce-
pat tubuhnya melenting menghindari puku-
lan yang mengandung hawa panas. Dan saat 
tubuhnya melayang di udara, Mahesa cepat 
meluncur tajam. Kujangnya diputar-putar 
mengancam ubun-ubun kepala Manusia Rambut 
Merah. 
Hebat sekali serangan Mahesa ini. 
Tetapi sayangnya, Manusia Rambut Merah 
bukanlah tokoh silat kemarin sore. Dia 
sudah cukup berpengalaman malang melin-
tang di dunia persilatan. Maka begitu ma-
ta ujung kujang di tangan Pendekar Kujang 
Emas mendekati kepalanya, cambuknya cepat 
dicabut kembali. Langsung ditangkisnya 
serangan kujang dengan cambuk yang tiba-
tiba saja berubah keras seperti lempengan 
baja. 
Cring! 
Bunga api berpijar dengan bunyi 
mendenting yang mengiringi. Tangan Manu-
sia Rambut Merah terasa kesemutan. Se-
dangkan tubuh Mahesa bergetar hebat. Sial 
sekali nasib Pendekar Kujang Emas. Semula 
dia bermaksud menghindari benturan tenaga 
dalam dengan Manusia Rambut Merah. Tapi 
kini malah kembali mengalami kejadian se-
rupa. Dan di saat tubuhnya bergetar hebat 
Manusia Rambut  Merah kembali menyerang 
dengan pukulan 'Kelabang Geni'nya. 
"Hyaaat...!" 
Mahesa cepat berjumpalitan ke uda-
ra. Tubuhnya yang tadi terkena sambaran 
pukulan Manusia Rambut Merah tadi terasa 
nyeri bukan main. Pendekar Kujang Emas 
sadar kalau dirinya mulai terpengaruh ha-
wa racun akibat pukulan lawannya. Dan ini 
tentu saja menghambat gerakannya.  
"Ha ha ha...! Kau terluka, Pende-
kar? Apa kau tidak mau mengakui keheba-
tanku?" ejek Manusia Rambut Merah. 
Mahesa menggeretakkan gerahamnya. 
Gerakan kujang di tangan kanannya makin 
dipercepat. Namun tetap saja sia-sia. Ge-
rakannya tidak lagi selincah tadi. Dan 
kesempatan ini segera dimanfaatkan Manu-
sia Rambut Merah. Pada satu kesempatan 
yang tidak mungkin dihindari Mahesa, Ma-
nusia Rambut Merah menghentakkan kedua 
tangannya ke depan. Dan.... 
Duk! 
"Augh...!" 
Mahesa memekik nyeri begitu tubuh-
nya terhantam pukulan telak Manusia Ram-
but Merah. Tubuhnya yang tinggi terlempar 
beberapa tombak ke belakang. Wajahnya pu-
cat pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat. 
Dari mulutnya keluar darah segar kehitam-
hitaman. Dan beberapa saat kemudian tubuh 
Mahesa pun mengejang, lalu diam dan tak 
berkutik lagi. Mati! 
Manusia Rambut Merah tertawa terba-
hak-bahak. Suaranya menggema ke segenap 
penjuru. 
"Bagus! Kau memang hebat, Orang 
Tua!" Prameswara bertepuk  tangan menyam-
but kemenangan Manusia Rambut Merah. 
"Tak sia-sia aku mempunyai calon 
sepertimu, Orang Tua!"     
"Ha ha ha...! Sekarang baru kau li-
hat kehebatanku, ya!" kata Manusia Rambut 
Merah, jumawa. "Benar, Guru." 
"Heh?!" dengus Manusia Rambut Me-
rah. "Jangan seenaknya memanggilku 
'guru', Bocah. Ada syaratnya?" 
Prameswara gusar bukan main, takut 
Manusia Rambut Merah akan mengingkari 
janji. Karena bukan mustahil orang sesat 
macam dia mengingkari janji. 
"Apa syaratnya, Guru?" tanya Pra-
meswara berharap-harap cemas.  
"Carikan aku empat puluh perawan 
yang masih suci, baru kau kuanggap murid-
ku!" ujar Manusia Rambut Merah, kemudian 
disusul suara tawanya yang lantang. 
"Baik, Guru! Baik!" 
Pagi menjelang. Kicau burung jalak 
yang mulai keluar dari sarang untuk men-
cari makan meramaikan sua-sana pagi. Ki-
caunya merdu, saling bersahutan satu den-
gan yang lain. Sementara matahari perla-
han bergerak pada garis edarnya. 
Soma yang tertidur pulas di balik 
batu besar mengerjap-ngerjapkan matanya 
pedih ketika sinar matahari tepat menyi-
nari wajahnya. 
"Busyet! Mati apa tidur, aku ini?!" 
gerutu Soma. 
Pemuda ini cepat meloncat bangun. 
Badannya terasa segar sudah setelah ham-
pir semalam beristirahat panjang. Kemu-
dian dengan bermalas-malasan dia mengge-
liat. 
"Huaaahhh!" 
Ingin sebenarnya Soma meneruskan 
tidurnya kalau saja tidak teringat tugas 
di pundaknya. Sejenak pandangan matanya 
beredar ke segenap penjuru. Tidak menemu-
kan apa-apa. Hanya hamparan pasir dan ba-
tu besar kecil yang memenuhi puncak Gu-
nung Batu. 
Soma meloncat ke atas batu sebesar 
kerbau. Pandangan matanya kembali menelu-
suri sekitar tempat itu. Tetap saja tidak 
ditemukan apa-apa, selain hamparan pasir 
dan bebatuan besar kecil. Pemuda ini ti-
dak putus asa. Dia terus mencari kebera-
daan Mahesa dan gurunya, Pendekar Pedang 
Kilat Buana. 
"Kau mencari siapa, Anak Muda?!" 
Tiba-tiba terdengar teguran lembut 
dari belakang. 
Soma cepat berbalik. Tampak kini di 
hadapannya berdiri seorang lelaki tua 
renta berpakaian serba putih, tengah me-
mandang curiga. Usianya sulit sekali di-
tafsirkan. Rambutnya panjang memutih. De-
mikian juga jenggotnya yang panjang. 
Dahi Soma berkernyit. Dia memang 
belum begitu mengenali ciri-ciri ayahnya. 
Eyang Begawan Kamasetyo dan Ratri, 
ibunya, hanya mengatakan kalau ayahnya 
bernama Mahesa. Atau lebih terkenal seba-
gai Pendekar Kujang Emas yang tinggal di 
puncak Gunung Batu. Itu saja! Keterangan 
berikutnya Soma tidak begitu memahaminya. 
"Inikah ayahku? Kok, sudah tua se-
kali?" gumam Soma sambil menggaruk-garuk 
kepala. "Tapi, bukan mustahil kalau orang 
tua inilah ayahku. Sebab Begawan Kama-
setyo pun sudah sangat tua. Bisa jadi 
orang tua inilah ayahku?" pikir Soma ke-
bingungan. 
"Hm...! Anu, Orang Tua! Aku..., aku 
mau tanya. Benarkah ini puncak Gunung Ba-
tu?" tanya Soma hati-hati. 
"Seperti yang kau lihat, Anak Muda. 
Di sini bayak bebatuan, sesuai namanya. 
Ada apa? Nampaknya kau sedang mencari se-
suatu?" tukas orang tua  bertubuh  tinggi 
kurus itu tetap lembut. 
"Benar! Benar sekali, Orang Tua! 
Aku memang sedang mencari seseorang. Apa 
kau bisa membantuku?" sorak Soma kegiran-
gan. 
"Aku belum bisa mengatakan iya, ka-
lau kau belum mengatakannya, Anak Muda," 
kata orang tua itu kalem. 
"Terima kasih, Orang Tua. Kau baik 
sekali. Aku jauh-jauh datang kemari tidak 
lain hanya ingin mencari ayahku. Menurut 
keterangan ibuku, ayahku bernama Mahesa. 
Atau lebih terkenal sebagai Pendekar Ku-
jang Emas. Apa kau mengenalnya, Orang 
Tua?" jelas Soma. 
"Anak muda...! Ja..., jadi? Kau 
anak Mahesa?" 
Orang tua berpakaian serba putih 
yang tidak lain Pendekar Pedang Kilat Bu-
ana terperanjat kaget. 
"Ada apa, Orang Tua? Mengapa kau 
pandangi aku seperti melihat iblis berku-
mis?! Ada apa?!" tanya Soma seenak ha-
tinya. 
Pendekar Pedang Kilat Buana tidak 
menanggapi ocehan Soma. Kini dia sudah 
dapat tersenyum kenakalan Soma. 
"Kau tadi bilang anak Mahesa, Anak 
Muda? Apa kau anak Ratri? Cucu Adi Bega-
wan Kamasetyo?" 
"Hey?! Bagaimana kau bisa mengenali 
ibu dan eyangku, Orang Tua?" tanya Soma 
terperanjat kaget. "Ah...! Jangan-jangan, 
kau ini tukang nujum atau tukang ramal, 
ya? Iya?!" 
"Hush! Aku bukan tukang nujum atau 
tukang ramal.  Aku Ki Ageng Banaran, gu-
runya ayahmu." 
Kali ini Soma benar-benar dibuat 
terkejut bukan kepalang. Matanya yang 
agak kebiru-biruan membelalak lebar.  
"Ya, ampun! Ibu pasti akan marah 
besar kalau aku tidak bersikap hormat pa-
damu, Orang Tua!" Soma menepuk jidatnya 
sendiri. "Maafkan aku, Orang Tua! Ah...!, 
Bagaimana, ya, aku harus memanggilmu?" 
Ki Ageng Banaran tersenyum. 
"Panggil saja aku Eyang, Anak Mu-
da!" 
"Terima kasih. Tapi, kau juga tidak 
boleh memanggilku anak muda lagi, Eyang! 
Namaku Soma," ucap Soma mulai kambuh pe-
nyakitnya. 
"Ya, ya, ya...! Pasti Eyang akan 
memanggilmu Soma. Nah! Sekarang, cerita-
kan bagaimana kabar ibu dan eyangmu! Apa 
mereka baik-baik saja?" 
"Curang! Curang! Eyang curang! 
Eyang sendiri belum mau bercerita, menga-
pa Eyang harus menyuruhku bercerita ter-
lebih dahulu?" tukas Soma bersungut-
sungut. 
"Baik! Baik! Sekarang apa yang in-
gin kau tanyakan, Soma?" tanya Ki Ageng 
Banaran mengalah. 
"Nah, begitu dong! Itu baru namanya 
eyangku!" goda Soma. "Sekarang, tolong 
katakan di mana Ayah, Eyang? Itu saja!" 
Ki Ageng Banaran menghela napas 
panjang. Dia sudah menduga kalau Soma me-
nanyakan hal itu. 
"Ayo duduk dulu, Cucuku! Nanti 
Eyang ceritakan di mana ayahmu berada." 
Ki Ageng Banaran meraih bahu Soma. 
Diajaknya pemuda itu duduk di sebuah 
bongkahan batu besar. 
"Ketahuilah, Cucuku! Sesungguhnya 
ayahmu sudah lama mati. Seseorang yang 
mengaku bernama Manusia Rambut Merah te-
lah membunuhnya di puncak Gunung Merapi," 
jelas Ki Ageng Banaran, melanjutkan. 
"Manusia Rambut Merah?!" ulang So-
ma. 
"Benar, Cucuku." 
"Oh...!" 
Soma mengeluh sedih. Sikap nakalnya 
seketika hilang. Dan tanpa sadar lengan 
Ki Ageng Banaran dipegangi erat-erat. Wa-
jahnya pucat pasi. Bibirnya bergetar-
getar hebat menahan pukulan batinnya yang 
tiba-tiba. 
"Aku harus membuat perhitungan den-
gan Manusia  Rambut Merah! Aku harus me-
nuntut balas! Aku harus menuntut ba-
las...!" geram Soma penuh kemarahan. 
"Tapi, cobalah selidiki Prameswara! 
Barangkali dia tahu sebab musababnya ten-
tang kematian ayahmu itu," ujar Pendekar 
Pedang Kilat Buana lagi. 
"Siapa Prameswara itu, Eyang?" 
tanya Soma ingin tahu. 
"Prameswara adalah murid, sekaligus 
anak angkat Mahesa, Cucuku. Tapi, sejak 
Mahesa melayani tantangan Manusia Rambut 
Merah, dia tidak muncul lagi kemari." 
Soma mengangguk-angguk. Hatinya 
saat itu rusuh sekali. Kerinduannya untuk 
bertemu ayahnya sirna, berganti amarah 
membuncah! Hanya ada satu keinginan dalam 
diri Soma. Membalas dendam! 
*** 
Hutan Randu Blatung adalah salah 
satu daerah kekuasaan Manusia Rambut Me-
rah. Letaknya, tidak begitu berjauhan 
dengan Hutan Sawo Kembar tempatnya bermu-
kim. Sesuai namanya, hutan ini memang ba-
nyak ditumbuhi pohon randu. Konon, dulu 
di tengah hutan itu terdapat sebuah pohon 
randu raksasa yang banyak sekali dihuni 
blatung. Sehingga hutan itu diberi nama 
Hutan Randu Blatung. 
Pada akhir-akhir ini, sejak Manusia 
Rambut Merah muncul kembali ke dunia per-
silatan, hampir tidak ada seorang pendu-
duk desa pun yang berani masuk ke dalam 
hutan itu. Pernah ada beberapa orang kam-
pung yang nekat masuk ke dalam hutan un-
tuk mencari kayu bakar, namun anehnya ti-
dak pernah pulang lagi ke desanya. Bahkan 
akhir-akhir ini kegelisahan penduduk di 
sekitar Hutan Randu Blatung makin bertam-
bah. Seseorang yang mengaku utusan Manu-
sia Rambut Merah sering menyambangi kam-
pung-kampung di sekitarnya untuk menculik 
gadis-gadis cantik. 
Orang yang mengaku utusan Manusia 
Rambut Merah itu masih muda. Menurut ke-
terangan beberapa orang penduduk yang 
pernah melihat, orang itu berwajah tam-
pan. Pakaiannya seperti pakaian seorang 
terpelajar saat itu. Sepak terjangnya pun 
menggiriskan.  Tidak peduli siang maupun 
malam. Layaknya seperti setan saja, pemu-
da itu datang dan pergi begitu saja. Dan 
kepergian orang itu selalu ditandai jeri-
tan seorang gadis dalam pondongan. 
Siang ini matahari di luar Hutan 
Randu Blatung panas menyengat bumi. Musim 
kemarau yang berkepanjangan menyebabkan 
tanah di sekitar hutan merekah. Pohon-
pohon di sekitarnya pun mengering. Hampa-
ran sawah yang membentang di luar Desa 
Wonodadi tak dapat lagi diandalkan hasil-
nya. Pohon-pohon padi yang sudah mengun-
ing rusak dimakan tikus. Menyedihkan se-
kali nasib penduduk desa yang terancam 
paceklik itu. Belum lagi menghadapi pen-
deritaan yang datangnya dari utusan Manu-
sia Rambut Merah! 
Dan dalam terpaan angin lembut 
siang itu, seorang pemuda gondrong berpa-
kaian rompi dan celana bersisik1 warna 
putih keperakan tengah melangkah santai 
masuk ke Desa Wonodadi. Sebuah rajahan 
bergambar ular putih di dada kanannya 
nampak terlihat nyata dari rompinya yang 
terkuak tanpa kancing. Dan sambil ber-
siul-siul kecil, kakinya terus melangkah 
masuk ke desa itu. Entah, lagu apa yang 
dinyanyikan. Yang jelas pemuda tampan 
yang tidak lain Soma nampak riang sekali.  
"Berhenti!" 
Tiba-tiba terdengar bentakan nyar-
ing yang datangnya dari arah luar desa. 
Dan bersamaan dengan teriakan, dari balik 
rindangnya pepohonan di luar desa segera 
bermunculan beberapa orang penduduk desa 
menghadang perjalanan Soma dengan senjata 
apa pun. 
Soma menautkan kedua alisnya tajam. 
"Ada apa ini? Mengapa kalian meng-
hadangku?" tanya Soma heran. 
"Jangan banyak bacot! Kau pasti 
orangnya!  Kau pasti orang yang mengaku 
utusan Manusia Rambut Merah!" hardik 
orang yang membentak tadi, garang. 
Orang itu tinggi kurus berpakaian 
seperti seorang pemuda desa. Rambutnya 
yang panjang memutih digelung ke atas. 
Wajahnya yang sebenarnya ramah, terlihat 
garang. Sedang di sampingnya, berdiri 
seorang gadis cantik berpakaian merah. 
Dari sikapnya jelas, kalau gadis itu tak 
bisa dianggap sembarangan. Umurnya seki-
tar delapan belas tahun. Dan gadis cantik 
yang telah memegang pedangnya terus me-
mandangi Soma. Demikian pula beberapa 
orang penduduk kampung yang berdiri di 
belakangnya. 
"Aku? Aku utusan Manusia Rambut Me-
rah?" tukas Soma sambil menunjuk dadanya 
sendiri. "Ah...! Kalian ini bagaimana 
sih? Jangan-jangan kalian ini sedang men-
gigau ya? Tapi masa' sih, mengigau ramai-
ramai begini?" 
Sehabis berkata begitu, Soma terse-
nyum-senyum sendiri mirip orang kurang 
waras. 
"Bocah edan! Jangan seenak udelmu 
mengumbar suara! Mengaku sajalah kalau 
kau utusan Manusia Rambut Merah?!" bentak 
gadis cantik berbaju merah ikut-ikutan 
garang.  
"Nona Pendekar ini betul. Sebaiknya 
kau mengaku saja! Jangan mungkir! Kaulah 
yang menculik dan memperkosa gadis-gadis 
desa ini?!" lanjut yang lain. 
Soma garuk-garuk kepala.  
"Aduuuh...! Pantesan tadi malam aku 
mimpi dikejar-kejar  orang gila. Eh..., 
tak tahunya memang benar mimpiku itu," 
oceh Soma lagi-lagi. 
"Apa kau bilang? Kau mengatakan ka-
lau kami ini orang-orang gila?!" hardik 
gadis cantik berbaju merah mulai kehabi-
san kesabaran. 
"Ah...! Siapa bilang begitu? Aku 
hanya bilang, aku tadi mimpi!" jawab Soma 
enteng. "Kau jangan terlalu perasa 
dong?!" 
"Setan! Buat apa meladeni omongan 
bocah sinting ini, Ki Lurah! Kita cincang 
saja bocah ini ramai-ramai, biar tidak 
mengganggu ketenangan desa!" ujar salah 
seorang penduduk desa yang memegang golok 
besar, tak sabar. 
"Benar, Ki Lurah! Tunggu apa lagi? 
Kita cincang saja bocah ini!" sahut yang 
lain penuh kemarahan. 
"Setuju, Ki Lurah. Kita cincang sa-
ja bocah ini...!" sahut penduduk kampung 
yang lain kompak. 
"Wah, wah, wah...! Ini namanya pe-
merkosaan hak! Tidak bagus! Tidak bagus!" 
khotbah Soma, sok tahu. Tapi otaknya yang 
cerdik cepat mencium sesuatu yang tidak 
beres di batik semua ini. 
"Serang,..!" 
Terdengar teriakan bernada memerin-
tah. Seketika itu juga penduduk kampung 
yang sudah kalap menyerang Soma dengan 
senjata di tangan. 
Soma menggeretakkan gerahamnya kes-
al. Dan sambil berloncatan ke sana kemari 
menghindari serangan-serangan, tak henti-
hentinya mulut Soma mengoceh. 
"Kasihan sekali kalian ini! Apa ka-
lian sudah mulai kemasukkan setan hutan 
ini, ya? Mengapa kalian liar begini?" 
"Jangan banyak bacot! Terima saja 
kematianmu hari ini, Bocah Edan!" teriak 
gadis berbaju merah gusar bukan main. Dan 
gadis ini merasa paling kesal, melihat 
serangannya dapat dihindarkan Soma dengan 
mudah. Padahal jurus-jurus andalan sudah 
dikeluarkan. 
"Nona manis! Mengapa kau jadi ikut-
ikutan latah seperti mereka? Apa kau ha-
bis putus cinta, ya? Iya?! Pantesan...!" 
ejek Soma. 
"Bedebah! Belum puas aku kalau be-
lum merobek-robek mulutmu, Bocah!" pekik 
gadis cantik berbaju merah penuh kemara-
han. Cepat diterjangnya Soma. Tangan ka-
nannya yang memegang pedang ditusukkan ke 
arah dada. Sementara tangan sebelah kiri 
siap mengirimkan pukulan maut. 
Soma cepat berjumpalitan menghinda-
ri serangan-serangan, terutama sekali se-
rangan gadis cantik berbaju merah yang 
tidak bisa dianggap enteng. Dengan meng-
gunakan ilmu meringankan tubuhnya yang 
sudah mencapai tingkat tinggi, semua se-
rangan dapat dihindari dengan mudah. 
"Nona manis! Dari tadi kau memakiku 
'bocah-bocah' melulu. Apa kau pikir aku 
ini anakmu? Tapi, tak apa-apalah! Aku se-
nang kok menjadi anakmu. Apalagi menjadi 
anak dari gadis secantikmu. He he he...!" 
goda Soma. "Ayo, dong! Katanya belum puas 
kalau belum mencium mulutku. He he 
he...!" 
Bukan main marahnya gadis cantik 
berbaju merah itu mendengar godaan Soma. 
Tangan kirinya yang berubah menjadi hijau 
sampai ke pangkal lengan siap dipukulkan. 
"Ih...! Mengerikan! Kau sudah mulai 
main-main dengan pukulan maut segala. Ibu 
macam apaan ini!" celoteh Soma, tak hen-
ti-hentinya. 
Melihat ketangguhan pemuda yang di-
keroyoknya, orang yang tadi dipanggil Ki 
Lurah segera mengisyaratkan penduduk kam-
pung untuk mundur, namun tetap dalam kea-
daan mengurung. 
Melihat hal ini, kening Soma ber-
kernyit. 
"Mau apa mereka? Kok mundur semua? 
Apa sudah takut menghadapiku?" gumam So-
ma. 
"Pasukan pemanah! Siap laksanakan 
tugas! Cincang tubuh bocah itu sampai lu-
mat!" teriak Ki Lurah memerintah. 
Puluhan penduduk kampung dengan bu-
sur panah di tangan segera bermunculan 
dari balik semak dalam jarak dua puluh 
tombak dari Soma. 
Pemuda ini terkejut bukan main. Na-
mun diam-diam dia memuji siasat perang 
yang telah diterapkan Ki Lurah. 
"Alamak! Mati aku! Mengapa kau de-
mikian keji padaku, Ki Lurah. Sumpah mam-
pus aku bukan utusan Manusia Rambut Me-
rah!" teriak Soma kebingungan. 
Bukannya Soma bingung menghadapi 
serangan anak panah dari beberapa orang 
penduduk kampung, melainkan bingung meli-
hat kekalapan mereka. Dan begitu aba-aba 
serang keluar dari mulut Ki Lurah, pulu-
han anak panah di tangan para penduduk 
kampung segera melesat, siap mencincang 
tubuh Soma. 
Set! Set! 
Tak! Tak! 
Begitu pemuda ini mengibaskan tan-
gan kanan. Maka puluhan anak panah pun 
jatuh berserakan di tanah. Sebenarnya mu-
dah saja bagi Soma untuk melumpuhkan me-
reka kalau memang punya niat jahat. Namun 
justru karena tidak ingin melukai orang 
lemah, membuatnya kebingungan sendiri 
menghadapi kekalapan mereka. Dan sekarang 
sudah saatnya bagi pemuda ini untuk me-
nyadarkan mereka dari kekalapan. 
Berpikir demikian, Soma pun cepat 
bertindak sebelum puluhan anak panah pen-
duduk kampung kembali menyerang. Tubuhnya 
seketika berkelebat cepat. Dengan gerakan 
tangan yang sulit diikuti pandangan mata 
penduduk kampung, Soma cepat menotok tu-
buh gadis cantik berbaju merah yang kebe-
tulan paling dekat dengannya. Dan.... 
Tuk! 
"Ahh...!" 
Jari-jari tangan kanan Soma tepat 
menotok jalan darah di punggung gadis 
itu. Maka tanpa ampun lagi, tubuh gadis 
berbaju merah langsung roboh. Untungnya 
cepat disambar tubuh gadis itu hingga ti-
dak jatuh ke tanah. 
"Maafkan aku, Ibu! Bukan maksudku 
lancang padamu. Tapi, jangan melotot be-
gitu, dong! Nanti aku carikan kayu bakar. 
Tenang-tenang saja, ya! Pokoknya Ibu ma-
sak saja yang enak. Jangan terlalu pedas, 
jangan terlalu manis, ya?!" kata Soma, 
menggoda. 
Ki Lurah dan beberapa orang pendu-
duk kampung yang ada di tempat itu jadi 
kalang kabut melihat gadis penolong mere-
ka yang bisa diharapkan bantuannya berada 
dalam cengkeraman Soma. 
"Serang bocah keparat itu! Tapi, 
jangan sampai melukai gadis itu!" perin-
tah Ki Lurah penuh kemarahan. 
"Tunggu, Ki Lurah! Soal serang-
menyerang gampang. Tapi, apa Ki Lurah ti-
dak pernah berpikir, mengapa aku tidak 
melarikan gadis ini? Padahal, gampang sa-
ja kalau aku mau," cegah Soma bermaksud 
mempengaruhi Ki Lurah. 
"Omong kosong! Apa kau tidak lihat 
penduduk kampung yang sudah mengepungmu, 
he?! Mereka semua siap merajam tubuhmu, 
tahu?!" bentak salah seorang penduduk 
kampung menyahuti. 
Soma menggaruk-garuk kepala, persis 
orang kehilangan akal. 
"Bagaimana, Ki Lurah? Apa kau per-
caya pada keteranganku tadi atau keteran-
gan pendudukmu?" 
Ki Lurah bukanlah orang bodoh. Dulu 
sebelum menjabat sebagai lurah, dia juga 
seorang tokoh persilatan. Dan melihat se-
pak terjang pemuda yang dicurigainya se-
bagai penculik, pikirannya jadi lain. 
"Hm...! Apa yang dikatakan pemuda 
ini benar. Kalau dia mau, bukanlah hal 
yang sulit untuk melarikan Ratih dari ke-
pungan. Buktinya saja, meski aku dibantu 
beberapa orang penduduk kampung, tetap 
saja belum bisa meringkusnya. Malah seka-
rang, Ratih berada dalam tawanannya," gu-
mam Ki Lurah dalam hati. 
"Bagaimana, Ki? Jangan diam mema-
tung saja! Aku ngeri melihat panah-panah 
di tangan penduduk kampungmu, Ki. Aku ta-
kut, Ki. Aku masih ingin hidup. Aku juga 
masih doyan makan nasi tempe, Ki!" oceh 
Soma seolah-olah takut melihat beberapa 
orang penduduk kampung siap merajam tu-
buhnya. 
Mau tidak mau Ki Lurah yang sedang 
kebingungan tersenyum juga melihat ting-
kah Soma yang ugal-ugalan. Namun dia juga 
tidak gampang percaya mendengar keteran-
gan Soma.  
"Menurut keterangan salah seorang 
penduduk, orang yang membuat keonaran 
adalah seorang pemuda berwajah tampan. 
Rambutnya hitam panjang digelung sebagian 
ke belakang. Pakaiannya rapi sekali, se-
perti pakaian terpelajar saat ini. Namun 
sikapnya tidak ugal-ugalan seperti pemuda 
ini. Juga, tidak memiliki rajahan bergam-
bar ular putih di dada kanannya?" pikir 
Ki Lurah dalam hati. 
"Bagaimana, Ki? Kok, malah diam sa-
ja?! Ayo, dong, Ki! Tolong aku! Lihat 
tuh! Penduduk sudah tidak sabar merajam 
tubuhku! Cepat usir mereka pulang, Ki!" 
ratap Soma. 
"Tahan serangan! Kita memburu orang 
yang salah!" teriak Ki Lurah pada para 
penduduk. 
Ki Lurah melebarkan senyumnya. 
"Maaf, Anak Muda. Kami semua telah 
salah mencurigai orang. Aku yakin, kau 
bukan orang yang kami maksudkan. Dan kami 
juga minta maaf atas kebodohan kami." 
"Maksud Ki Lurah...? Apakah Ki Lu-
rah sudah tidak mencurigaiku lagi?" tanya 
Soma.  
"Ya." 
"Wah...! Terima kasih sekali, Ki! 
Terima kasih!" 
Soma bersorak-sorak kegirangan per-
sis anak kecil mendapat permainan baru. 
Dan akibatnya kedua tangannya yang dari 
tadi memegang tubuh gadis cantik berbaju 
merah itu terlepas. Lalu... 
Buk! 
"Augh...!" 
Gadis cantik bernama Ratih itu me-
mekik tertahan. Matanya yang indah mende-
lik ke arah Soma penuh kemarahan. 
"Auow...! Maaf, aku tidak sengaja, 
Ibu! Jangan marah, ya?!" 
Soma cepat tersadar. Kemudian tan-
gannya cepat menotok. Begitu gadis itu 
terlepas dari totokannya, tangan mungil-
nya langsung menampar pipi Soma dua kali. 
Plak! Plak! 
"Wadaouuuh...! Mengapa Ibu jadi ga-
lak begini? Aku sudah menolongmu, Ibu," 
rintih Soma seraya memegang pipinya yang 
terkena tamparan. 
Beberapa orang penduduk kampung 
yang melihat hanya tersenyum-senyum saja. 
Namun tidak demikian Ratih. Dengan kema-
rahan meluap-luap, gadis itu langsung me-
nyerang Soma. 
Soma berlari-lari ketakutan.  
"Ibu! Ibu! Siapa sudi jadi ibumu!" 
teriak Ratih penuh kemarahan. 
"Sudahlah, Ratih! Paman yakin pemu-
da ini bukanlah orang jahat," kata Ki Lu-
rah melerai. 
Soma cengar-cengir. 
"Oh, jadi nama Ibu, Ratih, ya? 
Hm..., manis sekali kedengarannya, seper-
ti orangnya," kata Soma ceriwis. 
"Sekali lagi kau panggil Ibu, aku 
tidak segan-segan merobek mulutmu, Bo-
cah!" geram Ratih. 
"Nah..., nah! Kau sendiri memang-
gilku bocah. Mengapa aku tidak boleh me-
manggilmu Ibu?" kata Soma. 
"Sudahlah, Tuan Pendekar! Sebaiknya 
ur...." 
"Namaku bukan Tuan Pendekar, Ki! 
Namaku Soma!" potong Soma. 
"Ya, ya, ya...! Kau sudah mengenal-
kan namamu, Nak Soma. Aku juga harus men-
genalkan diri, bukan?" kata Ki Lurah 
ikut-ikutan latah. 
Sambil tersenyum-senyum kecil, Ki 
Lurah mengulurkan tangannya pada Soma. 
Soma menerima uluran tangan Ki Lu-
rah. 
"Aku memang lurah di Desa Wonodadi 
inf. Namaku, Ki Suroloyo. Dan sebagai lu-
rah di sini, rasanya tak enak kalau tidak 
minta maaf padamu atas kebodohan kami ta-
di." 
Soma gerah sekali diperlakukan se-
perti itu. Tangannya yang masih dalam 
cengkeraman Ki Lurah Suroloyo buru-buru 
dilepaskan. 
"Lupakan saja, Ki! Aku sendiri juga 
sudah melupakannya, kok," jawab Soma dis-
ertai senyum manis. Lalu matanya mengerl-
ing nakal ke arah Ratih. Ratih mendelik 
gusar. 
Ki Lurah Suroloyo yang melihat itu 
hanya tersenyum-senyum saja. 
"Sudahlah, Nak Soma! Kalau Nak Soma 
tidak keberatan, bolehkah kami  meminta 
pertolonganmu?" 
"Oh, ya? Hampir aku lupa!" Soma me-
nepuk jidatnya sendiri. "Sebenarnya ada 
apa sih? Kok, sampai Ki Lurah membawa 
penduduk kampung kemari? Pakai bawa-bawa 
pedang lagi? Apa ada ayam Ki Lurah yang 
dicolong maling?" 
Ki Lurah tersenyum. Sama sekali ti-
dak tersinggung atas ucapan Soma. 
"Tidak, Nak Soma. Sebenarnya ceri-
tanya begini...." 
Ki Lurah menghela napas panjang, 
kemudian dengan suara sedikit bergetar 
diceritakannya kejadian yang sedang di-
alami. Tidak lain, mengenai penculikan 
beberapa  orang gadis di desanya. Dan Ki 
Lurah Suroloyo juga menceritakan kalau 
hari ini, penculik itu akan menculik anak 
gadisnya. 
"Hm...! Jadi begitu persoalannya, 
ya?" gumam Soma mengangguk-anggukkan ke-
pala. "Pantas kalian jadi kalap begini. 
Tapi ngomong-ngomong, bagaimana Ki Lurah 
tahu kalau hari ini si penculik itu akan 
mengambil anak gadismu?" 
"Seperti biasa, penculik itu selalu 
menancapkan bunga mawar merah di pintu 
depan rumah calon korban. Dan pagi tadi, 
bunga mawar menancap di pintu depan rumah 
kami, Nak Soma." 
"Ya, ya, ya... Aku mengerti," Soma 
lagi-lagi mengangguk-anggukkan kepala. 
"Tapi.... Tapi, ma..., maukah Nak 
Soma membantu kami menangkap penculik 
itu?" tanya Ki Lurah Suroloyo malu-malu. 
Soma garuk-garuk kepala. Matanya 
yang nakal kembali mengerling ke arah Ra-
tih 
"Bagaimana, Nak Soma? Apa kau kebe-
ratan?" 
"Tidak! Sama sekali tidak. Tapi ada 
syaratnya, Ki!" sahut Soma. 
"Syarat?" Ki Lurah Suroloyo membe-
lalakkan matanya, gelisah. "Apa syarat 
itu?"  
Soma tertawa. 
"Jangan gusar, Ki. Syaratnya tidak 
berat kok. Hanya tolong perkenalkan aku 
pada Ratih! Itu saja. Tidak berat, kan?" 
"Apa?!" 
Suara itu adalah pekikan melengking 
dan mulut Ratih. Gadis itu gusar bukan 
main melihat kenakalan Soma. Tangannya 
yang gatal-gatal kembali menampar pipi, 
namun Soma cepat berkelit ke samping. 
"Wah, wah, wah...! Kenapa jadi ga-
lak begini, Ki?" 
"Habis kau sendiri yang usil, sih?" 
kata Ki Lurah Suroloyo tak dapat lagi 
membendung tawanya. Demikian juga bebera-
pa orang penduduk kampung yang melihat 
kejadian itu. 
"Syaratnya aku cabut, Ki! Gadis 
yang ingin kukenal ngamuk. Aku tidak in-
gin berkenalan dengan gadis pemarah!" te-
riak Soma di antara serangan-serangan Ra-
tih. 
Ki Lurah Suroloyo dan beberapa 
orang penduduk kampung hanya bisa mele-
barkan tawanya. 
"Aneh sekali! Dalam keadaan tegang 
seperti itu, masih saja membuat ulah," 
pikir Ki Lurah. 
Soma diam membisu di tempat duduk-
nya. Matanya yang nakal lebih senang mem-
perhatikan Ratih yang duduk di samping Ki 
Lurah Suroloyo. Terlihat sesekali gadis 
itu mendelik gusar. Dan pemuda itu hanya 
cengar-cengir saja. Malah matanya kembali 
mengerling nakal ke arah gadis itu. 
Beberapa orang penduduk kampung 
yang sedang mengikuti jalannya rapat yang 
dipimpin langsung Ki Lurah Suroloyo hanya 
tersenyum-senyum saja memperhatikan ting-
kah Soma. Lelaki tua ini sebenarnya tahu 
apa yang dilakukan Soma. Tapi dia lebih 
senang membicarakan tentang kekhawatiran 
akan kemunculan orang yang akan menculik 
anak gadisnya. Juga membicarakan tentang 
kegelisahan penduduk kampung yang akan 
mencari kayu bakar di Hutan Randu Bla-
tung. 
"Untuk sementara, saudara-saudara 
sekalian harap jangan keluar masuk dulu 
ke dalam Hutan Randu Blatung. Terlalu 
berbahaya. Bukannya aku menghalang-
halangi kalian untuk mencari kayu bakar. 
Sama sekali tidak. Ini semua demi kesela-
matan kalian. Dan nanti, bila orang yang 
telah membuat keonaran di desa tertang-
kap, baru kalian boleh mencari kayu bakar 
kembali. Apa kalian setuju?" sambung Ki 
Lurah Suroloyo di antara kerumunan pendu-
duk di pendopo kelurahan. 
"Setujuuu...!" sahut penduduk Desa 
Wonodadi, serempak. 
"Terima kasih atas pengertian ka-
lian. Sekarang, tindakan apa yang akan 
kita lakukan dengan kemunculan tokoh pem-
buat onar di kampung kita? Apa kalian ada 
yang mempunyai pendapat?" kata Ki Lurah 
Suroloyo penuh wibawa. 
"Tidak ada tindakan apa pun selain 
meringkus orang yang membuat onar di kam-
pung kita, Ki Lurah!" kata seorang pemuda 
bertubuh tinggi tegap di antara kerumunan 
penduduk itu. Suaranya terdengar lantang. 
"Maksudmu apa, Sembodo? Apa kau te-
tap menghendaki pembuat onar itu dihabi-
si?" tanya Ki Lurah Suroloyo. 
"Benar, Ki Lurah. Aku kira itulah 
jalan satu-satunya yang terbaik," sahut 
orang yang dipanggil Sembodo lantang. 
"Baik, baik. Aku mengerti perasaan-
mu, Sembodo. Tapi bagaimana dengan sauda-
ra-saudara yang lain? Apa setuju dengan 
usul Sembodo?" tanya Ki Lurah Suroloyo 
meminta pertimbangan penduduknya. 
"Setujuuu...!" teriak penduduk kam-
pung serempak. 
"Terima kasih. Sekali lagi aku 
ucapkan terima kasih. Tapi, aku kira ti-
dak ada jeleknya kalau meminta pendapat 
dari kedua tamu kita. Kalian setuju, bu-
kan?" 
"Setujuuu...!" 
"Nah, Nak Soma! Sekarang silakan 
kau memberi pengarahan pada kami. Apa kau 
mempunyai pendapat yang bagus?" ujar Ki 
Lurah Suroloyo. 
Soma tergagap. Tadi telinganya sama 
sekali tidak mendengar percakapan antara 
Ki Lurah Suroloyo dan penduduk kampung, 
saking asyiknya memperhatikan kecantikan 
Ratih. Dan sekarang ditanya Ki Lurah Su-
roloyo demikian, Soma jadi geragapan. 
"Apa? Ki Lurah menanyakan aku ten-
tang soal apa? Soal pendapatku? Ah...! 
Kukira, kecantikan Ratih sungguh menga-
gumkan, Ki. Cuaaantik sekali. Aku sangat 
menyukainya! Terutama sekali matanya itu. 
Coba perhatikan! Cantik bukan?" oceh Soma 
ngelantur tak ketahuan juntrungan 
Dan sehabis berkata begitu, Soma 
jadi menautkan alisnya yang tebal dalam-
dalam. Dia merasa aneh, mengapa semua 
penduduk kampung memandangi dirinya se-
perti itu. Malah sebagian ada yang terta-
wa terbahak-bahak. 
"Pemuda edan!" desis Ratih penuh 
kemarahan. 
Sekarang Ratih tidak berani lagi 
memaki Soma dengan makian 'bocah edan' 
Dia takut, akan membuat sikap Soma makin 
ugal-ugalan. 
"Lho,  lho? Mengapa marah-marah pa-
daku, Ratih? Ada apa ini? Memang kenya-
taannya begitu, kok. Kau cantik, cantik 
sekali!" 
"Tidak lucu, tahu?!" hardik Ratih 
penuh kemarahan. 
"Lho, lho...?! Apa-apaan pula ini? 
Aku tak sedang melucu? Aku memang tak ta-
hu mengapa kalian menertawakan aku, kok," 
jawab Soma tanpa dosa. 
"Begini, Nak Soma...," ujar Ki Lu-
rah mencoba bersabar. Namun tetap saja 
orang tua itu tidak dapat menyembunyikan 
senyumnya. "Tadi aku minta pendapatmu 
mengenai akan munculnya si Pembuat Onar 
di kampung ini. Semua penduduk kampung 
sudah sepakat untuk menghabisinya. Lan-
tas, bagaimana dengan pendapatmu sendi-
ri?" 
"Oh...! Aku kira meminta pendapatku 
tentang kecantikan Ratih," desah Soma sa-
ma sekali tidak menghiraukan kemarahan 
Ratih. "Tapi, kalau Ki Lurah meminta pen-
dapatku ya, lakukan saja! Toh, buat apa 
buang-buang waktu begini? Rapat..., ra-
pat! Apa itu? Yang penting tindakan! Bu-
kan omongan. Betul, kan?" kata Soma pan-
jang lebar. 
"Betul!" sahut penduduk kampung itu 
serempak. 
"Dan satu lagi, kalian tidak perlu 
takut mencari kayu bakar di Hutan Randu 
Blatung. Aku jamin aman. Manusia Rambut 
Merah itu bukan bermukim di hutan itu, 
melainkan di Hutan Sawo Kembar. Aku cukup 
tahu itu." 
Soma berdiri dari tempat duduknya. 
Sejenak pandangannya menyapu Ki Lurah Su-
roloyo dan Ratih. 
"Sekarang maafkan aku, saudara-
saudara sekalian. Aku mau ke belakang se-
bentar. Silakan saudara-saudara mene-
ruskan rapat. Silakan! Silakan!" lanjut 
Soma. 
Sehabis berkata begitu, tanpa mem-
pedulikan pandangan mata penduduk, Soma 
langsung ngeloyor keluar. Ratih dan pen-
duduk kampung itu terus memperhatikan ke-
pergian pemuda sinting itu. Dan kemarahan 
gadis ini makin bertambah ketika dari ba-
lik jendela ruang pendopo, Soma tampak 
masuk ke dalam kamarnya! 
"Anjing kurap! Mau apa pemuda gila 
itu masuk ke kamarku?!" rutuk batin Ra-
tih, gusar bukan main. 
Ki Lurah Suroloyo hanya bisa meng-
geleng-geleng. Kemudian setelah keadaan 
tenang, rapat pun kembali dilanjutkan. 
Namun belum begitu lama lelaki tua ini 
membicarakan tentang siasatnya menghadapi 
orang yang membuat onar, tiba-tiba sa-
ja.... 
"Aaa...!" 
Kesunyian desa itu dikejutkan oleh 
lengking kematian beberapa penduduk yang 
sedang berjaga di luar pendopo kelurahan. 
Kemudian disusul pula jeritan penduduk 
kampung yang lari tunggang langgang entah 
ke mana. 
Ki Lurah Suroloyo dan juga beberapa 
orang penduduk Desa Wonodadi hanya bisa 
saling berpandangan. Mulut mereka terkun-
ci, membayangkan ketakutan luar biasa. 
"Dia datang...," desah Ki Lurah Su-
roloyo lirih. 
Semua penduduk kampung yang ada di 
pendopo kelurahan makin tercekat. Wajah 
mereka menegang membayangkan kematian. 
*** 
Apa yang dikatakan Ki Lurah Suro-
loyo memang benar. Orang yang disebut-
sebut sebagai si Pembuat Onar memang te-
lah muncul di desa itu. Empat orang pen-
duduk desa yang ditugaskan menjaga di de-
pan pendopo telah roboh tak dapat bangun 
lagi. Dua orang mati dengan keadaan kepa-
la retak. Dua orang lainnya mati dengan 
usus terburai. 
Suasana berubah menjadi mengerikan 
sekali. Beberapa orang penduduk desa yang 
melihat kejadian itu lebih senang melari-
kan diri meninggalkan desanya. Sedang 
yang mempunyai anak gadis, buru-buru me-
nyelamatkannya ke tempat aman. 
"Ki Lurah Suroloyo! Cepat serahkan 
anak gadismu! Kalau tidak, semua penduduk 
desa ini akan kubantai!" teriak orang 
yang menebarkan maut barusan itu lantang. 
Dalam keremangan malam masih terli-
hat kalau orang itu masih muda. Wajahnya 
tampan dengan kulit putih bersih. Rambut-
nya yang hitam panjang digelung sebagian 
ke belakang. Pakaiannya pun rapi sekali, 
persis seperti pakaian orang terpelajar. 
Dia tidak lain Prameswara! Murid tunggal 
Pendekar Kujang Emas! 
Ki Lurah Suroloyo keluar dari pen-
dopo. Matanya yang tua memandang pemuda 
di hadapannya garang. Ratih dan beberapa 
orang penduduk kampung yang tadi mengiku-
ti jalannya rapat berdiri di belakang Ki 
Lurah Suroloyo. 
"Langkahi dulu mayatku, sebelum 
mengambil anak gadisku, Bocah Edan!" har-
dik Ki Lurah Suroloyo penuh kemarahan. 
"Kau kedengarannya galak sekali, 
Ki. Apa kegalakan mulutmu dapat menyela-
matkan nyawa tuamu?" ejek Prameswara si-
nis. Pandangan matanya lembut. Namun da-
lam kelembutan matanya tersimpan kekejian 
luar biasa! 
"Jangan banyak bacot, Pemuda Edan! 
Bersiap-siaplah sebelum pedangku mencin-
cang tubuhmu!" bentak Ratih, tak dapat 
mengendalikan amarahnya. Mungkin dikare-
nakan kekesalannya terhadap Soma itulah 
yang membuat amarahnya cepat naik. 
"Ah...! Rupanya kau cantik juga, 
Manis. Sungguh beruntung guruku menda-
patkan dua orang gadis cantik seperti 
ini. Tapi, tidak! Guruku tidak boleh men-
dapatkan kedua gadis ini. Aku harus men-
gambilnya satu. Dan, kaulah pilihanku, 
Manis!" 
"Keparat! Kau harus merasa kan aki-
bat mulut kotormu, Kunyuk Edan!" 
Ratih tidak dapat lagi mengendali-
kan amarahnya. Tangan kanannya cepat men-
cabut gagang pedangnya. Dan tanpa banyak 
cakap lagi langsung diserangnya Prameswa-
ra. 
"Wah, wah, wah...! Hebat sekali 
permainan pedangmu, Manis. Tapi nanti aku 
ingin lihat, apakah kehebatan permainan 
pedangmu juga sehebat permainanmu di ran-
jang, Manis," ejek Prameswara. 
Bukan main marahnya gadis itu. Ge-
rahamnya dikeretakkan kuat-kuat. Gerakan 
putaran pedangnya  pun makin dipercepat, 
membentuk gulungan putih mendesak tubuh 
Prameswara. 
Namun Prameswara bukanlah tokoh 
sembarangan. Dia adalah murid tunggal 
Pendekar Kujang Emas, sekaligus juga mu-
rid Manusia Rambut Merah yang berhasil 
dikelabuinya. Dan kini pemuda itu diang-
kat menjadi murid. 
Menghadapi serangan Ratih yang ne-
kat, Prameswara hanya tersenyum-senyum 
kecil. Sama sekali tidak terlihat kewala-
han. 
Ki Lurah Suroloyo geram bukan main. 
Melihat Ratih telah turun tangan, tidak 
ada pilihan baginya kecuali cepat meme-
rintahkan penduduk untuk menyerang Pra-
meswara. 
Seketika itu juga, beberapa orang 
penduduk kampung yang kalap menerjang 
Prameswara dengan berbagai macam senjata. 
Ki Lurah Suroloyo sendiri memegang senja-
ta rantai baja. Tak heran kalau dulu dia 
sangat disegani di dunia persilatan den-
gan julukannya Baja Setan. 
"Kalian manusia-manusia tak tahu 
diri! Apa kalian sudah bosan hidup? Baik! 
Jangan salahkan kalau aku sedikit kasar 
pada kalian. Lihat seranganku!" bentak 
Prameswara halus. 
Suara pemuda itu membahana, mengge-
tarkan hati penduduk kampung. Karena te-
riakannya diiringi tenaga dalam tinggi. 
Bahkan Ki Lurah Suroloyo dan Ratih sendi-
ri pun merasakan getaran pada gendang te-
linga akibat teriakan Prameswara tadi 
"Ha...ha...ha...!" 
Prameswara tertawa. Kedua tangannya 
yang berkulit putih bersih mulai berkele-
bat kesana kemari. Dan setiap kelebatan 
tangannya diikuti lengking kematian pen-
duduk kampung. 
Dugh! Dugh! 
"Augh...!" 
Jerit para penduduk kampung yang 
terkena tamparan dan cengkeraman tangan 
Prameswara terdengar memilukan. Dan ber-
samaan itu, tubuh para penduduk kampung 
pun roboh tak mampu bangun lagi. Darah 
segar langsung keluar dari kepala dan pe-
rut yang robek lebar. Darah segar kembali 
menggenang membasahi tanah depan pendopo 
yang kering.  
"Lihat teman-teman kalian! Apa ka-
lian belum kapok!" bentak Prameswara mem-
buat nyali sebagian penduduk kampung men-
ciut. 
"Jahanam! Aku akan mengadu nyawa 
denganmu, Bocah Setan!" pekik Ki Lurah 
Suroloyo membahana. Tangan kanannya yang 
memegang rantai baja cepat digerakkan ke 
depan mengarah ke kepala Prameswara. 
Pemuda itu tersenyum mengejek. Ran-
tai baja yang mengarah ke lengannya di-
tangkis dengan tangan kiri. 
Prak! 
Rantai baja di tangan Ki Lurah Su-
roloyo terpental ke belakang. Dan ini 
membuat mata lelaki tua itu terbelalak 
liar. Tangannya yang memegang rantai ter-
getar hebat. Selama malang melintang di 
dunia persilatan, belum pernah ada seo-
rang tokoh silat pun yang mampu menerima 
pukulan rantai bajanya. Bahkan tadi tena-
ga dalamnya sudah dikerahkan sepenuhnya. 
"Sekarang terimalah seranganku,  Ki 
Lurah! Lihat!" 
Prameswara bergerak cepat mendesak 
Ki Lurah Suroloyo. Sementara Ratih dan 
beberapa orang penduduk kampung cepat 
membantu. Akan tetapi, sayang gerakan 
Prameswara terlalu cepat bagi mereka. Dan 
dalam sekejap saja.... 
Duk! 
"Augh...!" 
Ki Lurah Suroloyo memekik menyayat 
terkena tamparan tangan Prameswara. Tu-
buhnya yang tinggi kurus terbanting keras 
ke dinding pendopo. 
"Jahanam...! Kau melukai lurah ka-
mi!" bentak salah seorang penduduk kam-
pung itu berani. 
"Minggirlah kalau masih sayang nya-
wa!"  bentak Prameswara garang. Tubuhnya 
yang tinggi ramping berkelebat cepat se-
kali menampar dan menendang para pendu-
duk. 
Ratih yang ikut membantu serangan 
nyaris tak bisa berbuat apa-apa. Beberapa 
kali sabetan pedangnya hanya mengenai 
tempat kosong. Bahkan sudah beberapa kali 
hampir saja terkena tamparan tangan Pra-
meswara. Untung tubuhnya dapat cepat ber-
kelit. 
"He he he..., Manis! Mengapa kau 
galak sekali? Padahal aku tak ingin kasar 
padamu. Tapi, baik! Aku akan melumpuhkan-
mu dulu, baru nanti kau melayaniku. Ha ha 
ha...!" 
"Jahanam! Aku akan mengadu nyawa 
denganmu!" dengus Ratih penuh kemarahan. 
Gerakan pedang di tangan kanannya makin 
dipercepat. Sedang tangan kirinya pun mu-
lai berubah menjadi kehijau-hijauan hing-
ga ke pangkal lengan. 
Prameswara mendengus. 
"Jangan salahkan kalau aku sedikit 
kasar padamu, Manis!" 
"Jangan banyak bacot! Aku muak me-
lihat tampangmu, Kunyuk Edan!" bentak Ra-
tih penuh kemarahan. 
"He he he...! Kau nekat juga, Ma-
nis!" 
Prameswara menggerakkan tangannya 
menyambut serangan Ratih. Namun, anehnya. 
Begitu tangannya hendak membentur pedang 
Ratih, Prameswara cepat memutar tangan-
nya. Dan tahu-tahu tangannya bergerak me-
notok tubuh Ratih. 
Tuk! 
"Ah...!" 
Ratih terpekik kaget bukan kepa-
lang. Tubuhnya yang terkena totokan lang-
sung roboh ke tanah. Beberapa orang pen-
duduk kampung yang melihat jadi ciut nya-
linya. Satu persatu para penduduk kampung 
berjalan mundur menjauhi pertempuran. 
Prameswara tertawa berkakakan. Tu-
buh Ratih yang kaku tak dapat digerakkan, 
dipeluknya erat-erat. 
"Ahh...! Mengapa Kakang bermain se-
rong begini?! Katanya ingin menjemputku, 
Kang?" 
Tiba-tiba dari arah belakang Pra-
meswara terdengar suara cempreng, mirip 
suara perempuan. Namun jelas sekali kalau 
suara itu sengaja dibuat-buat. 
Prameswara menggeretakkan geraham-
nya seraya berbalik. Di depannya nampak 
seorang gadis berpakaian merah mirip pa-
kaian gadis dalam pelukan Prameswara. 
Anehnya gadis itu bertubuh tinggi kekar. 
Sikapnya sengaja dibuat genit. Dan ketika 
melangkah mendekati Prameswara, maka nam-
paklah penampilannya yang norak. Bibirnya 
yang agak tebal diolesi gincu warna merah 
menyala. Demikian pula pipinya. Rambutnya 
yang panjang sebatas bahu dikuncir ke be-
lakang. Namun lucunya, bedaknya yang me-
nutupi wajah tidak rata. Mungkin karena 
terburu-buru! 
Mata Ratih terbelalak liar. 
"Pemuda sinting! Mengapa masih ber-
sikap ugal-ugalan dalam keadaan tegang 
begini? Pakai pakaianku lagi?" gumam Ra-
tih dalam hati. 
Prameswara sendiri pun terkejut bu-
kan main melihat kemunculan gadis aneh 
itu. Sekali pandang saja dia tahu kalau 
gadis ini adalah seorang pemuda. 
"Aih..., Kakang? Mengapa bengong 
saja? Katanya ingin menjemputku? Ayo 
dong, Kang?" oceh gadis itu merajuk manja 
bukan main. 
"Bocah edan! Apa kau sudah bosan 
hidup?!" bentak Prameswara garang. 
"Aih..., Kakang? Mengapa jadi galak 
begini? Ayo dong lepaskan gadis itu! Aku 
bisa cemburu, lho? Katanya Kakang ingin 
menculikku? Ayo dong, Kang! Aku juga in-
gin merasakan, seperti apa sih enaknya 
diculik dan diperkosa. Hik hik hik...." 
Bukan main marahnya Prameswara. Dia 
merasa telah dipermainkan gadis aneh itu 
"Kau mempermainkanku, Bocah Edan?! 
Apa kau mempunyai nyawa rangkap, sehingga 
berani mempermainkanku, he?!" bentak Pra-
meswara garang. Tangan kanannya yang me-
meluk Ratih dilepaskannya. 
Ratih memekik kecil ketika tubuhnya 
jatuh ke tanah. 
"Aku tidak mempunyai nyawa rangkap, 
Kakang. Tadi sudah kubuang ke kakus!" ja-
wab gadis aneh yang tak lain Soma seenak 
hati. 
Bukan main marahnya Prameswara. 
Seumur hidup belum pernah dia diperlaku-
kan seperti itu. Dan saking marahnya, 
tanpa sadar kedua telapak tangannya telah 
berubah menjadi kebiru-biruan hingga ke 
pangkal lengan. Itu pertanda pukulan maut 
'Cahaya Kilat Buana'nya siap dilontarkan. 
"Wah, wah, wah...! Kang Mas ini ke-
napa sih? Kok, kedua tangannya berubah 
menjadi biru? Apa Kang Mas tadi habis 
membuat tikar pandan? Cuci dulu dong tan-
gannya biar tidak belepotan tinta!" ejek 
Soma makin membuat Prameswara murka. 
"Jangan banyak tingkah, Bocah Teng-
kik! Hari ini adalah hari kematianmu!" 
"Lho, lho...? Kok, malah bicara 
soal kematian segala? Apa Kang Mas tidak 
cinta lagi padaku?" kata gadis aneh itu 
makin sulit dikendalikan. 
Prameswara menggeram marah. Tak se-
patah kata pun keluar dari bibirnya yang 
bergetar. Sepasang matanya yang tajam 
mendelik gusar, seperti akan loncat dari 
tempatnya. Kemudian dengan kemarahan me-
luap-luap, Prameswara melontarkan pukulan 
maut ke arah tubuh gadis aneh itu. 
Wesss! 
Seleret sinar biru kontan melesat 
dari kedua telapak tangan Prameswara, me-
nyambar ganas ke tubuh Soma yang berwujud 
gadis aneh. 
Soma berloncatan ke sana kemari 
menghindari pukulan maut Prameswara. Sem-
bari berloncatan, mulutnya tak henti-
hentinya mengoceh. 
"Panas! Panas! Ih...! Mengerikan 
sekali! Apakah Kang Mas ingin membunuh-
ku?" 
Prameswara tidak peduli. Melihat 
serangan pertamanya dapat dihindari, ha-
tinya semakin terbakar. Kedua tangannya 
yang berwarna biru kembali menyerang Soma 
tanpa ampun. Hebat sekali serangannya, 
karena segenap kekuatan tenaga dalamnya 
dikerahkan.  
Wess! Wesss! 
Kali ini Soma sulit sekali menghin-
dari pukulan-pukulan maut Prameswara. 
Meski sesekali berhasil menghindari, na-
mun hal ini jelas tidak mungkin terus 
bertahan. Maka ketika tangannya berwarna 
keputihan tahu-tahu Soma telah membalas 
serangan-serangan Prameswara. 
Wesss! 
Seleret sinar putih terang seketika 
melesat dari kedua telapak tangan Soma, 
bergerak cepat sekali memapak cahaya biru 
yang meledak-ledak dari kedua telapak 
tangan Prameswara. Akibatnya.... 
Blar! Blarrr! 
Soma bergetar hebat. Tubuhnya ber-
goyang-goyang. Sedang Prameswara ter-
huyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang. Wajahnya kontan pucat pasi. Bibir-
nya bergetar-getar hebat, pertanda tenaga 
dalamnya masih kalah satu tingkat di ba-
wah Soma. 
"Kenapa, Kang Mas? Kok, hanya ben-
gong saja? Wajahmu pucat pasi. Mengapa 
Kang Mas memandangku seperti itu? Aku bu-
kan naga gondrong, Kang Mas. Jangan ta-
kut!" ejek Soma habis-habisan. 
Prameswara menggeram marah. Disada-
ri kalau lawan yang dihadapinya bukan to-
koh sembarangan. Melihat hal itu, tanpa 
malu-malu lagi, senjata andalannya segera 
dicabut. Kujang Emas! 
"Hey...! Bukankah itu Kujang Emas? 
Jangan-jangan itu senjata andalan ayah-
ku?!" gumam Soma. "Tunggu! Apa hubunganmu 
dengan Pendekar Kujang Emas, he?" 
"Jangan banyak bacot! Hari ini ada-
lah hari kematianmu!" 
Sehabis berkata begitu, tanpa mem-
buang-buang waktu lagi Prameswara lang-
sung menyerang Soma hebat. 
Sembari berjumpalitan ke sana kema-
ri, Soma terus berpikir. Bagaimana pemuda 
lawannya ini menggunakan senjata andalan 
ayahnya? Mungkinkah dia Prameswara? Bisa 
jadi?! 
"Hm...! Kau pasti Prameswara! Pas-
ti! Tak salah lagi!" gumam Soma.  
Prameswara yang sedang mendesak So-
ma hebat  jadi terkesiap. Sejenak dipan-
danginya Soma heran. 
"Bagaimana mungkin pemuda sinting 
itu bisa mengenali namaku?" pikir Prames-
wara. 
Namun keterkejutan Prameswara diha-
pus dengan kepongahannya. 
"Kalau iya, kau mau apa?!" tantang 
Prameswara. 
"Aku ingin menanyakan beberapa per-
tanyaan padamu," kata Soma bersungguh-
sungguh. 
Sikap ugal-ugalan pemuda ini lenyap 
entah ke mana begitu melihat senjata an-
dalan ayahnya. 
"Aku yakin kau pasti murid Pendekar 
Kujang Emas! Tapi, mengapa senjata kujang 
ini bisa jatuh ke tanganmu? Kau pasti ada 
sangkut pautnya dengan kematian ayahku!" 
"Kalau iya, kau mau apa?!" kata 
Prameswara, lagi-lagi dengan kalimat sa-
ma. 
"Hm...! Kalau benar, aku harus mem-
bunuhmu. Juga, Manusia Rambut Merah!" ge-
ram Soma penuh kemarahan, 
"Lakukanlah! Jangan banyak bacot!" 
Soma cepat mengeluarkan senjata 
anehnya dari balik pinggangnya. Anak Pa-
nah Bercakra Kembar yang berbentuk aneh 
sekali, seperti batang anak panah yang 
berlubang. Mata anak panah itu berbentuk 
kepala ular, hingga sampai ke tangkainya. 
Dan di kanan-kiri kepala ular itu terda-
pat dua gerigi terbuat dari besi baja. 
Begitu mengeluarkan senjata anda-
lannya, Soma langsung menyerang Prameswa-
ra dengan jurus 'Terjangan Maut Ular Pu-
tih'. Seketika itu juga angin kencang da-
ri dua gerigi di kepala senjatanya berde-
sir ke arah Prameswara. 
Prameswara terkejut bukan main. 
Pemuda sesat ini sadar kalau musuh-
nya mempunyai kepandaian sangat tinggi. 
Untuk itu, kujangnya cepat diputar. Sege-
ra dihadapinya kehebatan serangan lawan 
dengan jurus sakti 'Kilat Menyambar Bu-
mi'. Namun tetap saja Prameswara kewala-
han. Gulungan kujang di tangan kanannya 
tetap saja tertindih gulungan putih di 
tangan Soma. 
Bahkan pada jurus ke sepuluh, ham-
pir saja Prameswara terkena sambaran sen-
jata di tangan Soma. Untungnya, dia cepat 
berkelit ke samping. Sehingga serangan 
Soma gagal. 
Sekarang dalam keadaan terdesak se-
perti itu, Prameswara cepat meloncat jauh 
ke belakang. Pada saat tubuhnya melayang 
tinggi ke udara, Prameswara cepat putar 
tubuhnya seperti gasing. Dan ketika dua 
kakinya menginjak ke tanah, seketika itu 
juga tanah yang dipijak membuncah ke uda-
ra. Dan tubuhnya pun langsung lenyap da-
lam tanah yang membuncah. Itulah ilmu an-
dalan guru barunya, Manusia Rambut Merah! 
Soma terkejut. Dia belum tahu, ilmu 
apa yang dikeluarkan Prameswara. Namun 
belum sempat berpikir lebih jauh, tahu-
tahu terasa angin kencang berdesir ken-
cang yang datangnya dari dalam tanah. So-
ma tak sempat lagi mengelak. Dan... 
Duk! 
"Augh...!" 
Soma memekik nyeri. Tubuhnya yang 
terkena pukulan 'Cahaya Kilat Biru' itu 
langsung melambung tinggi ke udara. 
Pada saat yang bersamaan, tanah di 
bawah kembali membuncah ke udara. Dari 
dalamnya muncul Prameswara, kedua telapak 
tangannya yang biru kembali menyerang So-
ma ganas. 
Dan Soma yang baru saja mendarat 
cepat memapak dengan pukulan saktinya 
'Tenaga Inti Bumi'! 
Duk! 
"Uhh...!" 
Prameswara terhuyung-huyung ke be-
lakang. Dan Soma tidak menyia-nyiakan ke-
sempatan ini. Terus diserangnya Prameswa-
ra dengan hebat. Namun sebelum niatnya 
terlaksana, tahu-tahu tanah di hadapannya 
kembali membuncah ke udara. Tidak lama 
Soma merasakan sepasang kakinya seperti 
dibetot dari dalam tanah. Kuat sekali! 
Soma kewalahan bukan main. Perlahan 
namun pasti, kedua kakinya terus melesak 
ke dalam tanah. Tidak ada pilihan lain. 
Dia harus mengerahkan ilmu pamungkasnya. 
'Titisan Siluman Ular Putih'! 
Sejenak Soma memusatkan pikirannya. 
Dan dalam beberapa kejap kemudian asap 
putih tipis telah menyelimuti tubuhnya, 
hingga hilang sama sekali. Beberapa saat 
kemudian.... 
"Gggeeerrr...!" 
Seketika itu juga, mata penduduk 
kampung yang melihat kejadian itu jadi 
membelalak lebar, seolah tak percaya den-
gan apa yang terlihat. Begitu asap putih 
yang menyelimuti tubuh Soma menghilang, 
tampak seekor Ular Putih sebesar pohon 
kelapa.' 
"Ular Putih...!" desis penduduk 
kampung yang menonton pertempuran itu 
takjub. 
Bentuk Ular Putih itu mengerikan 
sekali. Taringnya besar bertonjolan siap 
memangsa tubuh lawannya.... Sedang seba-
gian ekornya yang terpendam ke dalam ta-
nah menggeliat-geliat seperti sedang men-
cari sesuatu. 
Prameswara yang saat itu masih be-
rada dalam tanah, merasakan kalau ekor 
Siluman Ular Putih mulai mengepit tubuh-
nya kuat-kuat. Dia memberontak, namun 
sia-sia saja. Tubuhnya yang terjepit ta-
hu-tahu terangkat ke atas. Dan tanpa am-
pun lagi.... 
Tubuh Prameswara yang dikepit ekor 
Siluman Ular Putih terbanting-banting di 
tanah. Dalam beberapa kejap kemudian tu-
buhnya pun kembali terlontar ke udara. 
Siluman Ular Putih kembali mengejar 
musuhnya. Namun sayangnya, Prameswara 
yang sedang kalang kabut itu langsung 
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya 
yang sudah mencapai tingkat tinggi, me-
ninggalkan tempat itu. 
Siluman Ular Putih meloncat tinggi 
ke udara mengejar Prameswara. Sayang, pe-
muda berpakaian pelajar telah jauh me-
ninggalkannya. Sejenak Siluman Ular Putih 
nampak ragu-ragu melanjutkan pengejaran-
nya.  Dilihatnya Ki Lurah Suroloyo yang 
terluka parah tengah tertatih-tatih meng-
hampirinya. 
"Ah, Ki Lurah Suroloyo terluka pa-
rah. Aku harus mengobatinya dulu," pikir 
Siluman Ular Putih.     
"Gggeeerrr...!" 
Asap putih tipis kembali menyelimu-
ti tubuh Ular Putih, hingga tidak keliha-
tan sama sekali. Dan ketika asap putih 
menghilang, maka yang nampak di hadapan 
penduduk kampung bukan lagi Siluman Ular 
Putih, melainkan seorang gadis aneh ber-
pakaian merah. Soma! Dan kini, gadis aneh 
itu sedang bersungut-sungut kesal melihat 
buruannya kabur. 
"Kau. Kaukah Ular Putih itu. Soma?" 
tanya Ratih bergidik membayangkan tubuh 
Siluman Ular Putih tadi. 
Soma hanya tersenyum saja. Kemudian 
didekatinya Ratih. Segera dibebaskannya 
gadis itu dari totokan Prameswara. 
"Ah, iya?! Kau pasti Siluman Ular 
Putih itu?" timpal salah seorang penduduk 
kampung. "Tak kusangka pemuda itu dapat 
menjelma menjadi Ular Putih," lanjutnya 
lagi bergumam. 
"Ya, ya, ya...! Kau.... Kau pantas 
sekali mendapat julukan itu, Nak Soma!" 
kata Ki Lurah Suroloyo di antara napasnya 
yang tersengal. 
"Ya, ya, ya...! Ki Lurah benar! Kau 
pantas mendapat julukan itu, Saudara So-
ma," sahut Ratih. "Tapi, mengapa kau men-
curi pakaianku?" 
Soma tidak menyahuti. Dia hanya 
tertawa-tawa saja. Namun begitu menyadari 
kalau Ki Lurah Suroloyo  mengalami luka 
parah, pemuda itu segera mendekatinya. 
Dibawanya tubuh lelaki itu masuk ke dalam 
rumahnya. 
Sementara itu beberapa orang pendu-
duk yang masih tercekat melihat kejadian 
aneh tadi masih terus berteriak-teriak 
kegirangan dari halaman pendopo. 
"Hidup Soma...! Hidup Siluman Ular 
Putih...!"  
"Hidup Siluman Ular Putiiihhh...!" 
SELESAI 
Segera terbit: 
MANUSIA RAMBUT MERAH 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com