TIGA
BARU saja Balak Lima ingin me-
lompat menghantamkan cangkulnya ke
pundak Pandu Puber, tiba-tiba seberkas
sinar merah mirip meteor siang hari,
melesat dari arah timur dan menghantam
rusuk kanan Balak Lima yang mengangkat
tangan memegangi cangkul. Clapp...!
Dess...!
"Aaahg...!" pekik Balak Lima
dengan mata mendelik. Ada asap putih
mengepul dari rusuk kanannya. Pakaian
merahnya terbakar hangus tapi tak ke-
tahuan nyala apinya. Yang jelas, Balak
Lima jatuh berlutut dengan tubuh geme-
tar dan wajah berkeringat seperti me-
nahan mules.
Duda Dadu terkejut, demikian pu-
la Pendekar Romantis. Mata mereka sa-
ma-sama memandang ke arah munculnya
sinar merah tadi. Ternyata sinar Itu
dilepaskan dari tangan berjari lentik
milik seorang gadis berusia muda, se-
kitar dua puluh dua tahun, sama dengan
usia Pandu Puber. Tapi Pandu masih as-
ing dengan wajah cantik berhidung ban-
gir dengan kulit kuning mulus itu.
"Sudah kuduga sejak kau meron-
tokkan dedaunan, kau pasti yang berna-
ma Pandu Puber itu. Kukenali tato dan
anting-antingmu, dan kutahan rasa ge-
liku untuk menertawakan kebodohan si
orang tua itu. Tapi aku terpaksa mun-
cul dari persembunyian karena kau ber-
maksud diam saja menerima serangan
orang konyol itu!"
Suara gadis berpakaian biru muda
itu enak sekali. Empuk dan bening.
Pandu Puber terkesima sesaat memandan-
gi kecantikan si gadis. Apalagi gadis
itu mengenakan pakaian aneh; kain ti-
pis mirip selendang menyilang di dada,
menutupi dua gugusan tabu yang tampak
montok dan kencang itu. Sisa bagian
dadanya terbuka, hingga tampak kulit
punggungnya dan perutnya yang kuning
mulus berkesan halus lembut itu. Tak
ada tahi lalat satu pun di sana, pa-
dahal Pandu sudah memandanginya dengan
teliti. Walaupun gadis itu mengenakan
kain rangkapan berbentuk jubah warna
biru tua yang tak dikancingkan dan
panjangnya sebatas lutut, tapi kemulu-
san kulit tubuhnya masih kelihatan.
Celana biru tuanya yang tipis transpa-
ran itu pun menampakkan kain penutup
lain yang hanya secuil itu demi menye-
lamatkan 'mahkota'-nya dari pandangan
lelaki nakal.
Gadis itu berambut panjang, tapi
disanggul sebagian, sehingga sisanya
seperti ekor kuda yang berjuntai ke
belakang sampai tengkuk. Lehernya tam-
pak jenjang, diberi kalung emas seder-
hana dengan hiasan liontin batu merah
segar. Matanya bundar, indah, dan ben-
ing, bulu matanya lentik dan lebat.
Bibirnya bagus sekali. Tidak berkesan
jalang, namun menantang untuk digigit
pelan-pelan. Bentuk wajahnya yang semi
oval membuat kecantikannya tampak ma-
tang dan penuh daya pesona. Ia menyan-
dang pedang di punggung dengan gagang
pedang berukir dari gading. Keren deh
pokoknya. Nggak norak.
"Sebentar lagi darahmu akan pe-
cah menyembur keluar karena mendidih,
Balak Lima!" kata si gadis tanpa se-
nyum sedikit pun, tapi lagaknya tetap
tenang, kalem, seakan penuh wibawa.
"Kau ikut campur... ikut campur
urusanku, Bunga Taring Liar!" kata Ba-
lak Lima dengan tersendat dan berat.
Ia masih gemetar dan keringatnya makin
membanjir di sekujur tubuh.
"Terpaksa kulakukan daripada kau
akan mati bunuh diri, Balak Lima!"
"Aku mau tangkap Pendekar Roman-
tis itu! Buk... bukan... bukan mau bu-
nuh diri, Setan!"
"Buat dirimu yang punya ilmu
pas-pasan, melawan Pandu Puber sama
saja bunuh diri! Kau pikir dia anak
kemarin sore yang bisa kau cangkul ke-
palanya dengan mudah?!"
"Uuhg...! Aku... aku tidak kuat,
Bunga!" Balak Lima merintih.
"Tentu saja, sebab jurus 'Duta
Brama'-ku membuat darahmu mendidih dan
makin lama makin panas."
"Tolonglah aku...," ucapnya den-
gan suara berat dan gemetar.
"Mudah saja menolongmu. Tapi kau
harus berjanji tak akan coba-coba me-
nangkap Pandu Puber lagi. Kalau kau
nggak mau janji, aku nggak mau tolong
kamu, Balak Lima!"
"Bbba... baik! Baik aku janji
nggak akan ganggu dia lagi!"
"Clapp...! Tiba-tiba Pandu Puber
lebih dulu sentakkan tangannya ke de-
pan. Jari tangan itu mengejang keras,
dan dari ujung jari itu melesat sinar
putih bening. Itulah jurus 'Hawa Ben-
ing' yang hanya dimiliki oleh manusia
berdarah campuran dewa dengan jin.
Hanya Pandu yang memiliki jurus 'Hawa
Bening'. Jurus itu dapat untuk sembuh-
kan luka dalam waktu singkat.
Buktinya setelah sinar putih
bening seperti kaca itu melesat dan
menghantam dada Balak Lima, maka pemu-
da berpakaian merah itu mulai dapat
bernapas lancar. Wajahnya yang pucat
berangsur-angsur normal kembali. Bunga
Taring Liar sedikit terkejut melihat
sinar bening itu dapat membuat Balak
Lima tampak mulai segar.
"Sinar penyembuh yang luar biasa
ampuhnya," gumam Bunga Taring Liar da-
lam hati. "Balak Lima cepat menjadi
segar, padahal jika aku yang menangga-
ninya membutuhkan waktu agak lama un-
tuk menjadi segar kembali. Benar-benar
si tampan itu punya ilmu tinggi yang
jarang dimiliki manusia!"
Balak Lima terengah-engah, lalu
engahan napasnya mereda setelah bebe-
rapa saat. Ia bangkit berdiri dengan
hempasan napas panjang. Badannya tidak
lesu lagi, keringatnya berhenti, warna
hangus di bagian rusuk kanannya le-
nyap. Tak ada asap lagi di bagian ru-
suk kanannya itu. Kain yang berwarna
hangus menjadi noda hitam dengan kea-
daan bolong, tapi kulit tubuhnya tam-
pak normal kembali. Hal inilah yang
mengagumkan Bunga Taring dan Duda Da-
du. Bahkan mantan bandar dadu itu ber-
bisik kepada Pandu,
"Kamu apakan anak itu kok jadi
segar kembali?"
"Dia kukutuk jadi orang sehat!"
jawab Pandu sekenanya, karena ia kebu-
ru ingin bicara dengan Bunga Taring
Liar.
Namun sebelum Pandu Puber bica-
ra, tiba-tiba dari arah samping kanan-
nya muncul sesosok tubuh tua berjeng-
got panjang. Ki Parma Tumpeng melompat
dari balik semak-semak dan dengan ge-
rakan cepatnya tahu-tahu sudah berada
di samping Balak Lima.
"Guru..., saya tadi di...."
Plokk...! Balak Lima ditabok gu-
runya. Melintir separo lingkaran sam-
bil menyeringai sakit. Rupanya Ki Par-
ma Tumpeng kesal sama muridnya, se-
hingga ia terpaksa bertindak sedikit
kasar.
"Bocah otak lele!" geramnya ke-
pada Balak Lima. "Ngapain kamu bawa-
bawa cangkul itu? Itu bukan cangkul
pusaka! Itu cangkul biasa, tahu?! Yang
pusaka sudah kusimpan di tempat ter-
sendiri, biar kalau ada maling salah
ambil! Eh, malah muridku sendiri yang
salah ambil!"
Plakk...! Kepala Balak Lima di-
tampar lagi, "Pulang sana! Jangan sok
jago kamu, ya? Mau coba-coba melawan
Pandu Puber sama saja coba-coba makan
ikan hiu hidup-hidup, ngerti?!"
"Maaf, Guru!"
"Pulang, dan bawa kembali cang-
kul itu. Kalau aku mati nanti kamu mau
gali liang kubur pakai apa? Pakai gi-
gimu?!"
Pandu Puber dan Duda Dadu hanya
cengar-cengir dengan saling lirik. Ba-
lak Lima segera pulang karena takut
kena tampar gurunya lagi. Dua kali
tamparan sang Guru sudah cukup bikin
kepala Balak Lima seperti mau pecah
mirip telur menetas.
"Kau yang bernama Pandu Puber,
si Pendekar Romantis itu, bukan?" sapa
Ki Parma Tumpeng, dan Pandu Puber
hanya anggukkan kepala dengan sopan
penuh senyum menawan. Senyumnya itu
sejak tadi dipandangi oleh Bunga Tar-
ing Liar secara diam-diam. Lalu, Ki
Parma Tumpeng berkata lagi,
"Maafkan kelancangan muridku ta-
di. Dia memang murid songong! Resek
banget tuh anak, kayak gurunya aja!"
"Lho, gurunya kan situ?" celetuk
Duda dadu.
"O, iya. Maksudku, reseknya mi-
rip guru tetangganya!"
Pandu Puber tersenyum tipis,
berwibawa dan menampakkan kerennya,
soalnya sejak tadi mata bundar bening
itu memandanginya terus dengan maksud
amat pribadi. Bahkan gadis bermata
bundar bening itu tak terasa kalau dia
sudah didekati Ki Parma Tumpeng dan
dipandanginya dari samping. Ketika ia
mendengar Ki Parma Tumpeng menyapanya,
ia baru terkejut dan sadar bahwa ma-
tanya tadi tak selayaknya menatap se-
demikian nanapnya. Malu juga sih, tapi
dia berlagak cuek.
"Bunga Taring Liar, apakah kau
juga punya maksud seperti Balak Lima,
yaitu menangkap Pandu Puber ini?!"
"Paman Guru, sebenarnya saya in-
gin datang ke pondok Paman Guru, tapi
saya tertarik dengan suara-suara dari
sini, lalu saya sempatkan datang kema-
ri. Ternyata di sini ada Pendekar Ro-
mantis, dan...."
Duda Dadu menyambar, "Dan dia
tadi pukul muridmu. Eh, berasap lho...
kayak singkong bakar. Tapi muridku ini
mengobatinya dengan jurus ampuhnya.
Situ nggak tahu sih. Terlambat datang.
Kalau muridku ini terlambat mengobati
muridmu, maka kau akan kehilangan mu-
rid bodohmu itu!"
"Kau keroco dari mana sih kok
ngomongnya nyerocos aja?" tanya Ki
Parma Tumpeng menunjukkan sikap tak
sukanya dengan kata-kata Duda Dadu.
"Apa benar Pendekar Romantis ini
muridmu?"
"Iya. Benar kok! Tanya aja sen-
diri padanya. Tadi habis kuajari jurus
'Paruh Bebek' dan...."
"'Paruh Bebek' apa 'Paruh Ban-
gau'?!" sahut Bunga Taring Liar.
"O, iya... 'Paruh Bangau' yang
benar!" ujar Duda Dadu sambil nyengir
karena malu salah sebutkan jurus bua-
tannya sendiri. Rupanya gadis cantik
itu lebih ingat dengan nama jurus itu
walau hasil dari mencuri percakapan
Pandu dengan Duda Dadu.
"Pendekar Romantis, benarkah dia
gurumu?"
Pandu hanya tersenyum. "Aku tak
pernah punya guru!"
"Lho, perjanjiannya tadi dari
kedai kau kubawa kemari kan untuk kua-
jarkan jurus-jurusku. Kok sekarang
nggak mau ngakuin kalau aku gurumu?"
protes Duda Dadu dengan bersungut-
sungut cemberut.
"Kalau Paman Duda Dadu bisa ka-
lahkan ilmuku, Paman baru bisa jadi
guruku!" kata Pandu.
"Ya sulit dong! Ah, nggak masuk
akal omonganmu itu!" Duda Dadu makin
bersungut-sungut. "Mau jadi gurunya
kok suruh ngalahkan ilmunya, sedangkan
Ilmunya sendiri ampuhnya kayak gitu,
mana bisa!" mulutnya maju dua meter.
"Bunga," sapa Ki Parma Tumpeng
setelah tersenyum menertawakan kebodo-
han Duda Dadu, "Apakah niatmu datang
ke pondokku diutus oleh gurumu atau
inisiatifmu sendiri?"
"Saya diutus Nyai Guru Payung
Cendana untuk menemui Paman Guru Parma
Tumpeng, guna membicarakan persoalan
munculnya sayembara dari Ratu Cadar
Jenazah itu. Pada mulanya saya disuruh
untuk menanyakan pada Paman Guru men-
genai perkiraan di mana tempat tinggal
Pandu Puber, tapi...."
"Lha, ini malah sudah ketemu
sendiri kok!"
"Benar, Paman. Karena itu kayak-
nya saya nggak perlu menanyakan kepada
Paman Guru. Saya akan bicara sendiri
kepada yang bersangkutan, Paman."
"Ya, sudah. Mau bicara di pon-
dokku atau di sini saja?"
Bunga Taring Liar pandangi Pandu
sebentar. Ia berharap timbul reaksi
dari Pandu dan usul mengenai tempat,
tapi agaknya Pandu sengaja berlagak
tidak tahu-menahu masalah itu, ia pu-
ra-pura bicara dengan Duda Dadu dalam
suara pelan. Maka si gadis pun lan-
jutkan kata dengan pelan juga,
"Rasa-rasanya cukup di sini sa-
ja, Paman Guru."
"Baiklah. Kalau begitu kuting-
galkan kalian di sini. Aku harus sege-
ra ke pondok. Balak Lima pasti sewot
karena habis kumarahi. Gigi palsuku
bisa dibuang ke laut kalau dia sedang
sewot begitu!"
Kemudian tokoh tua yang beralis
putih itu berkata kepada Pandu, "Per-
kenalkan, aku Ki Parma Tumpeng, dan
ini murid dari adikku si Payung Cenda-
na. Gadis ini namanya Bunga Taring
Liar."
"Aku sudah dengar namanya, Ki
Parma Tumpeng. Malahan sudah kucatat
dalam hatiku."
"Namaku juga dicatat nggak?"
tanya Ki Parma Tumpeng.
"Ya, sudah kucatat tapi bukan di
hati, melainkan di tepi paru-paruku."
Ki Parma Tumpeng terkekeh tipis,
Bunga Taring Liar buang muka karena
tersenyum. Lalu Ki Parma Tumpeng ber-
kata,
"Pantas kalau pemuda setampan
kamu mencatat nama gadis secantik Bun-
ga Taring Liar. Kurasa dia juga menca-
tat nama Pandu Puber. Tapi perlu kau
ketahui, biar namanya Bunga Taring
Liar, namun ia bukan gadis bertaring
seperti iblis. Cuma kalau sudah marah,
memang bisa keluar taring di giginya
dan...."
"Paman Guru," sahut Bunga Taring
Liar sengaja memutus kata-kata kakak
dari gurunya itu. "Sebaiknya Paman se-
gera atasi Balak Lima supaya nggak me-
rusak pondok karena kesewotannya. Bi-
arkan kami bicara di sini, Paman."
"Iya, iya...! Aku tahu kok. Me-
mangnya aku nggak pernah muda?" ujar
Ki Parma Tumpeng, lalu ia mohon diri
dengan baik-baik kepada Pandu Puber,
setelah itu melesat pergi meninggalkan
tempat itu.
"Paman Duda Dadu," kata Pandu
Puber, "Maukah Paman menolongku?"
"Boleh aja! Demi menjadi pengi-
kut pendekar sakti, aku bersedia dis-
uruh apa saja."
"Paman, tolong belikan aku ketan
bakar di kedai tempat kita bertemu
itu. Mau kan?"
"Hmmm... eeh... ya mau saja. Ta-
pi... tapi kedai tadi kan jauh dari
tempat ini, Pandu!"
"Paman mau nggak?"
"Iya deh!" Duda Dadu akhirnya
pergi dengan suara gerutu yang lirih,
"Bilang aja aku diusir, takut meng-
ganggu kemesraanmu, gitu! Pakai dis-
uruh ke kedai alasan beli ketan bakar
segala. Huuh...! mentang-mentang anak
muda kalau lagi dapat 'gondolan' main
singkirkan orang tua aja!"
Sekalipun mendengar gerutuan
itu, Pandu Puber berlagak tuli. Yang
penting Duda Dadu cepat pergi dari
tempat itu, sehingga ia bisa ngomong
bebas sama si cantik berbibir mirip
kuncup mawar itu. Apalagi si cantik
sudah sejak tadi memandanginya penuh
makna, Pandu Puber tak sabar untuk le-
bih mengakrabkan diri lagi.
"Kudengar kau tadi diutus oleh
gurumu untuk membicarakan diriku den-
gan Ki Parma Tumpeng, apa benar?"
"Memang benar!" jawab Bunga Tar-
ing Liar berkesan tegas.
"Tapi kupikir karena sudah kete-
mu kau sendiri di sini, lebih baik aku
bicara langsung saja padamu."
"Sampaikan pesan gurumu itu, wa-
lau sebenarnya aku belum mengenal ka-
lian."
"Guruku salah satu tokoh tua
yang mengagumi kependekaranmu. Banyak
cerita yang telah didengarnya dari se-
sama tokoh tua seangkatan, termasuk Ki
Parma Tumpeng sendiri." Bunga Taring
Liar melangkah dekati tanaman rendah
yang berbunga ungu seperti terompet.
Bunga kecil itu dipetik sambil melan-
jutkan kata-katanya.
"Sayembara yang dikeluarkan Ratu
Cadar Jenazah membuat kami menjadi ce-
mas. Sebab kami tahu siapa Ratu Cadar
Jenazah itu; tokoh sesat yang cantik
jelita namun kejam dan berdarah din-
gin. Agaknya kau punya masalah dengan
Ratu Cadar Jenazah. Dia pasti ingin
bunuh kamu. Karena itu dibuka sayemba-
ra dengan hadiah menjadi suaminya bagi
laki-laki yang berhasil membawamu hi-
dup-hidup. Pasti perkara yang kalian
hadapi cukup penting bagi sang Ratu."
Gadis itu sempatkan diri menatap
Pandu sambil pegangi bunga ungu yang
dipetik bersama tangkainya. Pandu Pu-
ber memandang dengan wajah memancarkan
pesona yang menggetarkan hati si ga-
dis. Tapi si gadis berlagak cuek dan
tetap bicara pokok persoalan yang se-
benarnya.
"Mengingat sayembara itu merang-
sang minat cukup banyak, Nyai Guru ya-
kin kau dalam pengejaran orang-orang
yang bernafsu ingin menjadi suami si
cantik keji itu. Karenanya, Nyai Guru
tugaskan aku untuk mencarimu dan mem-
bawamu bersembunyi di tempat kami."
"Di mana?" tanya Pandu setelah
biarkan Bunga Taring Liar diam sesaat.
"Kami tinggal di Tebing Galah."
Pandu kerutkan dahi karena mera-
sa belum pernah mendengar nama itu dan
belum pernah tahu tempat tersebut.
Sambil merenungkan tempat itu, Pandu
Puber juga pertimbangkan keputusan ha-
tinya. Sebab tawaran Bunga Taring Liar
punya unsur lain yang membuat hati
Pandu Puber tertarik. Unsur lain itu
kini dikecamukkan dalam batin Pandu,
"Gadis ini kecantikannya sangat
menarik hati. Ah, bibirnya itu benar-
benar menggoda. Kalau saja aku mau me-
nuruti tawarannya, pasti aku akan le-
bih akrab dan lebih dekat lagi dengan-
nya. Tapi haruskah aku bersembunyi
hanya karena takut dikejar-kejar orang
banyak? Haruskah aku bersembunyi hanya
karena takut menghadapi ulah si Ratu
Cadar Jenazah itu? Tapi... tapi gadis
ini agaknya sangat berharap sekali
agar aku mau ikut dengannya. Hmm...
bagaimana kalau kuturuti keinginannya
untuk kali ini saja? Maksudku, biarlah
aku ikut dengannya ke Tebing Galah,
kalau sudah bisa mengecup bibirnya,
baru kutinggal pergi menyelesaikan
urusanku dengan Ratu Cadar Jenazah.
Tapi... kalau kutinggal pergi nanti
dia nangis. Jangan, ah. Kasihan kalau
dia nangis. Cantik-cantik kok nangis?
Nanti malah tulang-tulangku rapuh se-
mua jika lihat ia menangis. Lalu, ba-
gaimana dong? Ikut dia atau menolak,
atau bagaimana? Ah, kok jadi bingung
sendiri sih aku ini? Kayak orang pikun
aja?!"
Lamunan batin terhenti setelah
suara empuk yang enak didengar itu
kembali berucap kata, "Guru menawarkan
tempat berlindung, sekaligus ada yang
ingin dibicarakan tentang Ratu Cadar
Jenazah itu. Kalau kau bersedia, seka-
rang juga kita berangkat ke Tebing Ga-
lah."
Mata si gadis memandang penuh
kesabaran. Ia sangat berharap menden-
gar jawaban Pandu. Tapi yang ditunggu-
tunggu hanya cengar-cengir salah ting-
kah dan menggumam.
"Bagaimana, ya?" sambil garuk-
garuk kepala yang berambut panjang di
belakang itu.
"Kalau kau nggak bersedia, kami
nggak memaksa kok. Cuma perlu kau ke-
tahui, di Tebing Galah aku tinggal
hanya berdua dengan guruku. Guruku
sendiri lebih sering lakukan semadi
ketimbang ngobrol bersamaku. Kadang
aku merasa kesepian, bingung mencari
teman bicara"
"Kesepian? Oh, kasihan sekali
dia?" pikir Pandu. "Tapi... tapi kalau
sudah kesepian apa berarti ada kesem-
patan buat menciumnya? Aih, gila! Aku
cuma ingin menciumnya saja kok, masa'
harus ragu-ragu sih? Lagi pula; gu-
runya dia kan mau bicara soal Si Ratu
keji itu, ada untungnya juga lho kalau
aku mau diajak ke Tebing Galah. Lalu,
bagaimana dengan Paman Duda Dadu? Per-
lu ditunggu atau ditinggalkan
saja?"
"Selagi sore belum berubah pe-
tang, masih cukup sinar untuk berjalan
menuju ke Tebing Gairah. Tentukan pi-
lihanmu, Pandu. Kalau kau bertele-tele
kuputuskan kau menolak dan aku akan
pulang."
"Apa kau senang tinggal dalam
kesepian?"
"Memang tidak, tapi...."
"Kau pernah punya kekasih?"
"Belum, tapi berharap untuk
punya."
"Apakah... apakah kau suka dite-
mani pemuda kayak aku begini?"
"Jawabannya akan kau dengar jika
kau berada di Tebing Galah."
"Wah berarti aku harus ke sana
dong?"
Bunga Taring Liar angkat pundak
dan berkata, "Terserah...!"
Pandu segera membatin, "Ah,
nggak usahlah! Aku seorang pendekar,
nggak boleh punya pikiran nakal terus-
terusan. Aku harus bisa jaga diri dan
tahan harga. Biar dia cantik dan ber-
dada 'wow' tapi aku nggak boleh ter-
giur oleh keadaan seperti itu. Apalagi
aku punya calon istri yang harus kubu-
ru; Dian Ayu Dayen. Kalau aku hanya
menuruti keinginan batinku yang menun-
tut kecupan hangat gadis itu, wah...
harga diriku sebagai seorang pendekar
bisa jatuh sih! Cuma... nah, cumanya
ini yang bikin aku bingung. Kalau ke-
sempatan ini nggak kumanfaatkan, kira-
kira aku bakal menyesal tujuh turunan
nggak, ya?"
EMPAT
PERJALANAN dari Pantai Buaya
Dampar menuju Tebing Galah memakan
waktu separo hari lebih. Itu bagi ma-
nusia biasa. Tapi bagi para tokoh si-
lat yang memiliki ilmu peringan tubuh
dan dapat berlari seperti angin, ten-
tunya perjalanan tersebut dapat ditem-
puh dalam waktu lebih singkat lagi.
Jarak itu bisa lebih pendek jika di-
tempuh lewat utara, dan itu berarti
harus melewati kaki Bukit Guiana. Se-
dangkan kaki Bukit Guiana merupakan
wilayah kekuasaan Ratu Cadar Jenazah.
"Jangan lewat utara. Berbahaya
bagi dirimu jika lewat utara. Sebaik-
nya kita lewat selatan saja. Agak
jauh, tapi aman bagimu!" ujar Bunga
Taring Liar. Gadis ini bersifat melin-
dungi Pandu Puber, seolah-olah ia me-
rasa keselamatan Pandu Puber adalah
tanggung jawabnya. Sebegitu tanggung
jawabnya si gadis sampai-sampai Pandu
merasa heran dan menanyakan alasannya.
Gadis itu hanya menjawab,
"Tugasku hanya menyelamatkan di-
rimu sampai di Tebing Galah, karena
nyawamu merupakan nyawaku yang paling
depan. Begitu pesan Nyai Guru saat aku
ditugaskan mencarimu, Pandu!"
"Apa alasan gurumu sampai membe-
bani tanggung jawab begitu berat pada
muridnya?"
"Kau bisa tanyakan sendiri pada
Guru setibanya di Tebing Galah!" jawab
Bunga Taring Liar yang selalu berkesan
tegas, jarang tersenyum, sekali terse-
nyum bikin jantung nyaris rontok.
"Aku ingin segera bertemu dengan
gurumu. Jadi kita lewat arah utara sa-
ja!" kata Pandu sambil menguji kebole-
han si gadis cantik itu. ternyata ga-
dis itu nggak mau banyak berdebat, ia
menurut saja apa kata Pandu walau da-
lam hatinya segera meningkatkan kewas-
padaan karena yakin akan ada bahaya
yang merintanginya.
Keyakinan itu terbukti ketika
mereka berada di sebuah lembah, tak
jauh dari kaki Bukit Guiana sebelah
utara. Hambatan pertama datang dari
tokoh yang sudah tidak asing lagi bagi
Bunga Taring Liar. Tokoh yang muncul
di hadapan Pandu Puber adalah seorang
lelaki berbadan gemuk namun berwajah
angker. Kulit wajahnya hitam dan teb-
al, mirip kulit badak.
"Pucuk dicinta ulam tiba," ujar
orang bergelang bahar besar itu dengan
suaranya yang besar pula.
"Mundurlah, biar kuhadapi dia!"
bisik Bunga Taring Liar.
"Siapa orang ini, Bunga?"
"Badak Gemulai, mantan nakhoda
kapal bajak laut yang dipensiun karena
sering memotong jatah pembagian awak
kapalnya. Kerjanya sekarang jadi pem-
bunuh bayaran."
"Mau apa dia menghadang kita?"
"Mau apa lagi kalau bukan me-
nangkapmu dan menyerahkannya kepada
Ratu Cadar Jenazah?" jawab Bunga Tar-
ing Liar dengan suara bisik. "Tetaplah
di tempatmu, aku akan maju menghada-
pinya."
Badak Gemulai memakai pakaian
serba hitam dengan ikat kepala merah
dan sabuk merah. Di pinggangnya terse-
lip sebilah golok besar, sesuai dengan
potongan tubuhnya yang tinggi dan ge-
muk itu. Ketika matanya menatap Pandu,
sepasang mata lebarnya itu tampak be-
ringas dan ganas. Kumisnya yang lebat
diusap dengan mantap, seakan yakin be-
tul bahwa ia telah menemukan mang-
sanya. Ia memang tampak angker, mena-
kutkan bagi orang bernyali ciut. Len-
gannya yang tampak besar dan tidak
mengenakan kain baju berlengan itu
tampak besar, ada tato gambar rantang
susun yang melambangkan keserakahan
jiwanya.
Namun gadis secantik Bunga Tar-
ing Liar tampak tegar dan tenang meng-
hadapi orang angker itu. Bahkan dengan
lantangnya Bunga Taring Liar menyapa
Badak Gemulai dalam jarak lima langkah
dari tempat Pandu berdiri.
"Matamu memancarkan kebuasan,
Badak Gemulai. Aku tahu kau menyimpan
harapan besar untuk menjadi suami Ratu
Cadar Jenazah!"
"Tepat sekali dugaanmu, murid
Payung Cendana! Baru saja aku bertemu
dengan sang Ratu dan meyakinkan sayem-
baranya itu. Harapanku sangat besar
untuk mempunyai istri secantik dia.
Sebab itu, tak peduli apa hubunganmu
dengan pemuda bertato mawar di dadanya
itu, yang jelas aku harus menangkapnya
hidup-hidup dan menyerahkan kepada ca-
lon istriku!"
"Kau harus melangkahi mayatku
dulu, Badak Gemulai!"
"Ha, ha, ha, ha...!" tawanya
menggelegar bagai ingin memecah beba-
tuan yang ada di sekitar situ. "Pihak-
mu nggak ada masalah apa-apa dengan
pribadiku, Bunga! Tapi jika kau memang
ingin membuka masalah dengan menjadi
penghalang niatku, maka aku pun nggak
bakalan mundur darimu! Majulah kalau
kau ingin segera menjadi mayat!"
"Aku hanya ingin mengingatkan
kebodohanmu, Badak Gemulai. Sebaiknya
urungkan niatmu menangkap Pandu Puber
karena ia dalam tanggung jawabku! Tapi
jika kau nggak mau dengar peringatanku
ini, maka jangan salahkan aku kalau
sampai kehilangan masa depanmu, Badak
Gemulai!"
Badak Gemulai merasa ditantang
terang-terangan. Ia menggeram dalam
ucapan, "Perempuan bermulut besar kau,
Bunga! Kau perlu dapat pelajaran dari-
ku biar tahu betul siapa Badak Gemulai
ini! Heeaat...!"
Badak Gemulai menerjang dengan
kecepatan tinggi. Wuusss...! Gerakan-
nya seperti hembusan angin topan yang
membuat orang biasa akan terpental
hanya karena hembusan angin gerakannya
saja. Tapi Bunga Taring Liar nggak mau
terpental, sebab ia segera kerahkan
tenaga dalamnya yang tersalur melalui
tangan dan kaki. Terjangan orang ber-
tubuh gemuk dengan perut mirip beduk
itu dihadapinya menggunakan jurus pu-
kulan jarak jauh. Sebelum terjangan
itu sampai, kedua tangan Bunga Taring
Liar menghentak ke depan bersamaan.
Wuttt...! Buhhkk... Blammm...!
Badak Gemulai bagai dihantam
dengan sebongkah batu gunung sebesar
kerbau. Tenaga dalam yang dilepaskan
Bunga Taring Liar membuat tubuhnya
membalik arah dan jatuh berguling-
guling di tanah. Wajahnya menghantam
akar pohon pipih dengan keras.
"Aaow...!" pekiknya ketika wajah
mencium akar pohon yang mirip lempen-
gan baja itu. "Bangsat kau, Bunga! Ku-
remukkan wajah cantikmu biar nggak la-
ku kawin seumur hidup! Heaat...!"
Tiba-tiba tubuh gemuk itu mampu
melenting tinggi ke udara dalam kea-
daan bertumpu dengan kedua tangan.
Hentakan tangan yang menapak di tanah
itu membuat tubuh gemuknya seperti se-
lembar daun ringan yang melayang di
udara dan bersalto dua kali menuju ke
arah Bunga Taring Liar. Wutt,
wuttt...!
Tendangan kakinya beruntun ke
arah kepala Bunga Taring Liar. Gerakan
tendangan kaki beruntun termasuk ce-
pat, sukar dilihat arah gerakannya.
Tetapi mata gadis cantik itu ternyata
setajam mata kucing. Tendangan itu
berhasil ditangkis semua. Plak, plak,
plak, plak...!
Jleng...! Badak Gemulai yang
ternyata bertubuh elastis itu mampu
mendaratkan kakinya dengan tegak di
belakang Bunga Taring Liar. Mereka
saling beradu punggung, namun sebelum
Bunga Taring Liar berpaling, kaki Ba-
dak Gemulai yang bertelapak lebar dan
jeber itu menendang ke belakang,
wuttt.,.! Buhkk!
Lengan kiri gadis itu terkena
tendangan. Ternyata tendangan tersebut
berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Tubuh gadis cantik itu terlempar enam
langkah jauhnya seperti kapas dihempas
badai. Brruk...! Tubuh sexy yang sekal
itu membentur pohon dan jatuh terpuruk
sambil menahan rasa sakit.
"Tulangku terasa ngilu semua.
Tendangannya mengandung hawa pembeku
darah!" pikir si gadis sambil kerahkan
hawa murninya
"Ajalmu telah tiba sekarang ju-
ga, Bunga! Heeaaah...!"
Srett...! Badak Gemulai mencabut
golok besarnya. Ia menerjang si gadis
dengan mengibaskan goloknya dari atas
ke samping bawah. Sasarannya adalah
merobek dada Bunga Taring Liar yang
menonjol bagai penuh tantangan untuk
dirobek dengan golok itu. Tetapi ter-
nyata gadis itu lebih cepat menyambar
gagang pedang di punggungnya, sehingga
dalam gerakan yang hampir tak terli-
hat, pedang itu sudah di tangannya dan
berkelebat menangkis senjata lawan.
Trangng...!
Wuttt...! Bunga Taring Liar ber-
guling ke depan, menerobos gerakan la-
wan. Pedangnya sempat berkelebat dalam
gerakan kedua tangan membuka. Ia ber-
lutut satu kaki pada saat pedang me-
nyambar ke samping. Brett...!
"Uuhg...!" Badak Gemulai terpe-
kik kaget. Ia bu-ru-buru mendekap
pinggang kirinya dengan tangan kiri.
Pinggang itu robek karena sabetan pe-
dang Bunga Taring Liar. Bekas lukanya
menyemburkan darah, darah itu bukan
merah segar melainkan kehitam-hitaman.
Pandu Puber berkerut dahi dan berkata
dalam hati,
"Pedangnya beracun! Kurasa racun
itu berbahaya bagi si Geladak Gemulai.
Tuh!, wajahnya mulai tampak pucat kan?
Pasti darahnya sudah dicemari oleh ra-
cun yang ada di pedang Bunga! Hmmm...
hebat juga jurus pedang si Bunga itu.
Kusangka ia hanya akan menghindari se-
rangan lawan, nggak tahunya punya ge-
rak tipuan yang membuat lawan nggak
menduga akan dirobek punggungnya. Bo-
leh, boleh...!" Pandu manggut-manggut
sendiri.
Badak Gemulai makin terbakar
emosinya. Dengan teriakan buas ia maju
menyerang menebaskan goloknya tanpa
peduli akan luka lebarnya yang mengu-
curkan darah terus itu.
"Modar kau, Bungaaa...!
Heeaaahh...!
Trang, trang, wuttt, trang,
wuss...! Crasss...!
"Aahg...!" suara Badak Gemulai
memekik tertahan jelas sekali. Perta-
rungan golok dengan pedang membuat da-
danya robek dari kanan bawah ke kiri
atas dekat pundak. Sabetan pedang Bun-
ga Taring Liar hanya kenai ujungnya,
tapi justru di ujung pedang itulah
terdapat racun yang paling berbahaya
dari racun bagian tepian pedang.
"Jahanam kau!" geram Badak Gemu-
lai dengan mata mendelik menyeramkan.
Napasnya terengah-engah, wajahnya yang
hitam menjadi pucat pasi. Lukanya sih
nggak dalam, cuma menggores saja. Tapi
kekuatan racun pedang Bunga yang mem-
buat sekujur tubuh Badak Gemulai ba-
gaikan dirajang ratusan mata pisau ta-
jam.
"Kalau nggak cepat-cepat cari
obat penawar, aku bisa mampus dimakan
racun pedangnya itu! Bangsat betul itu
anak! Terpaksa kabur deh, daripada ma-
ti di ujung pedangnya!" pikir Badak
Gemulai sambil pandangi Bunga Taring
Liar yang diam bagaikan patung dengan
kedua tangan masih menggenggam gagang
pedang yang diangkat ke samping atas
kanan, siap tebas kembali.
"Tunggu pembalasanku, Iblis be-
tina! Tunggu pembalasanku, itu pun ka-
lau aku selamat!" lanjutnya dalam ha-
ti, lalu Badak Gemulai melesat pergi
tinggalkan mangsanya."
"Hebat sekali jurus pedangmu.
Aku mengaguminya, Bunga!" ujar Pandu
memberi pujian supaya si gadis terse-
nyum bangga. Tapi gadis itu nggak mau
senyum. Ia membersihkan pedangnya yang
terkena darah lawan memakai dedaunan,
lalu memasukkan ke sarungnya yang ada
di punggung, sambil berkata,
"Tak sampai petang tiba, Badak
Gemulai akan kehilangan nyawanya jika
ia nggak berhasil mencari obat penawar
racun pedangku!"
Pandu manggut-manggut sambil
sunggingkan senyum menawan. Matanya
nggak mau berkedip memandangi Bunga
Taring Liar. Mata itu memancarkan ke-
lembutan, dan kelembutan tersebut me-
nembus ke hati Bunga Taring Liar. Si
gadis jadi gelisah, lalu menutup kege-
lisahan itu dengan sebuah kata, "Kita
lanjutkan perjalanan!" Menurut peni-
laian Pendekar Romantis, gadis cantik
berpantat sekal menonjol itu memang
pantas menjadi seorang pengawal. Rasa
tanggung jawabnya terhadap tugas yang
dibebankan cukup tinggi. Sampai-sampai
Pandu Puber merasa malu sendiri dikaw-
al oleh gadis secantik Bunga Taring
Liar yang siap mati demi tugas penga-
walannya. Padahal tanpa gadis itu pun
Pandu merasa cukup aman walau harus
berhadapan dengan para 'pemburu' ha-
diah sayembara itu. Dalam perhitungan
Pandu, menghadapi Badak Gemulai seper-
ti tadi cukup dengan satu jurus saja.
Satu gebrakan si gendut berkumis tebal
itu dapat ditumbangkan dengan mudah.
Tapi, Pandu nggak mau kecewakan hati
si cantik berbibir menggemaskan itu.
Pandu memberi kesempatan pada si can-
tik untuk menunjukkan kebolehannya,
dan Pandu memberi upah dengan sebaris
pujian yang membanggakan hati Bunga
Taring Liar.
Namun kali ini, ketika mereka
melintasi kaki Bukit Guiana, Pandu Pu-
ber sempat rasakan kecemasan dalam ha-
tinya. Kecemasan itu timbul karena
munculnya seorang penghadang yang su-
dah dikenalnya.
"Malaikat Bisu...?" gumam Pandu
yang didengar Bunga Taring Liar.
"Kau kenal dengannya?" bisik
Bunga Taring Liar.
"Ya. Dia ketua Perguruan Musang
Terbang. Aku pernah berurusan dengan
anak buahnya yang bernama Raga Paksa
dalam kasus rebutan patung pusaka. Dia
sendiri sebenarnya juga ingin merebut
patung itu, tapi nggak sempat berhada-
pan denganku, patungnya sudah kuhan-
curkan." Pandu Puber segera mengenang
masa rebutan patung pusaka yang muncul
dari dalam makam tokoh sakti, (Muncul-
nya dalam serial Pendekar Romantis ep-
isode: "Patung Iblis Banci"-kalau
nggak percaya, baca aja sendiri).
Orang berusia sekitar enam puluh
tahun itu masih tampak gagah dan se-
gar. Rambutnya abu-abu diikat kain me-
rah. Pakaian dalamnya coklat muda, ta-
pi jubahnya ungu tua. Ia membawa tong-
kat setinggi dada berkepala tengkorak.
Matanya yang sedikit kecil memandang
dengan dingin.
Pandu Puber memandangnya bebera-
pa saat, dan bisa menangkap maksud ha-
ti si Malaikat Bisu itu. Namun sebagai
basa-basinya, Pandu tetap mengajukan
tanya kepada orang berwajah kaku itu,
"Apa maksudmu menghadangku, Ma-
laikat Bisu?"
"Menangkapmu!" jawabnya dalam
satu kata. "Kau ingin ikut sayembara
itu?"
"Ya!" jawabnya lagi dengan suara
dingin.
"Apakah kau tertarik dengan ha-
diah dari sang Ratu itu?"
"Tertarik!"
"Batalkan saja niatmu. Sayembara
itu hanya bikin kita saling musuhan
saja, Malaikat Bisu!"
"Biarin!"
Bunga Taring Liar menggumam kes-
al, "Konyol juga orang tua ini. Ming-
gir, Pandu... biar kuhadapi dia!"
"Yang ini berat lho!"
"Aaah... persetan dengannya. Bi-
ar dia pakai nama julukan malaikat
atau iblis, aku nggak takut menghada-
pinya!" sambil Bunga Taring Liar maju
satu langkah di depan Pandu Puber. La-
lu menyapa Malaikat Bisu dengan sua-
ranya yang tegas.
"Kau harus berhadapan denganku
jika masih nekat mau tangkap dia, Ma-
laikat Bisu!"
"Baik!" jawabnya, dan tiba-tiba
tangan kirinya menyentak ke depan.
Wuttt...!
Gelombang hawa panas dilepaskan
dari tangan itu. Bunga Taring Liar
nggak sangka sama sekali kalau lawan-
nya lepaskan serangan secepat itu. Ia
pikir si Malaikat Bisu akan tantang-
tantangan dulu. Nggak tahunya langsung
serang, dan gelombang panas yang ber-
kekuatan tinggi itu menghantam tubuh
Bunga Taring Liar.
Bahgg...!
"Heghh...!"
Bunga Taring Liar terpental ke
belakang menabrak Pandu. Keduanya ja-
tuh bersama. Tapi Bunga Taring Liar
segera berguling ke samping, bermaksud
bangkit untuk membalas serangan lawan.
Sayangnya ia jatuh tersungkur lagi.
Tubuhnya terasa lemas karena dicekam
rasa panas yang luar biasa. Kulitnya
yang berwarna kuning mulus itu menjadi
merah dan memar membiru di beberapa
tempat. Darah pun keluar dari mulut si
centil bermata bening itu.
"Hoekk…!"
"Bunga...?!" Pandu menegang ce-
mas melihat darah dimuntahkan dari mu-
lut Bunga Taring Liar. Napas gadis itu
tampak berat, sorot matanya pun mulai
sayu bagaikan pelita kehabisan minyak.
"Celaka! Ia terluka parah!" ucap
Pandu Puber dalam hatinya.
Tanpa berkata apa pun Malaikat
Bisu segera kirimkan pukulan jarak
jauhnya. Kali ini pukulan itu berupa
sinar merah memanjang bagaikan sinar
laser yang menghantam tubuh Bunga Tar-
ing Liar. Clappp...!
Pendekar Romantis yang ada di
dekat gadis itu segera lepaskan puku-
lan bersinar biru dari pergelangan
tangannya. Jurus 'Cakram Biru' mele-
sat. Wuttt...! Sinarnya yang biru ber-
bentuk cakram itu menghantam sinar me-
rahnya lawan.
Blarrr...!
Ledakan yang timbul seakan ingin
memecah bumi. Pandu Puber sempat ter-
dorong ke belakang namun tak sampai
jatuh terguling. Sedangkan Malaikat
Bisu terlempar membentur pohon dengan
keras.
Buhgg...!
Pandu Puber membatin, "Gadis ini
akan mati dalam waktu singkat. Harus
kusembuhkan dulu untuk menyelamatkan
jiwanya!"
Clapp...! Sinar putih bening se-
perti kaca keluar dari ujung jari ten-
gah Pandu, menghantam perut Bunga Tar-
ing Liar. Sinar itu memancar beberapa
saat, seperti selang bensin mengisi
bahan bakar pada sebuah mobil. Tapi
mata Pandu sesekali pandangi Malaikat
Bisu yang sedang berusaha bangkit den-
gan merayap berpegangan pohon dan me-
nopang diri dengan tongkatnya. Agaknya
gelombang ledakan tadi mempunyai daya
sentak yang amat kuat, hingga sekujur
tubuhnya terasa ngilu, bagai habis di-
hantam dengan kayu balok besar.
Curahan jurus 'Hawa Bening' di-
hentikan oleh Pandu dan dirasakan su-
dah cukup mengobati luka parahnya Bun-
ga Taring Liar. Saat itu si Malaikat
Bisu sudah berdiri tegak, sudah mena-
rik napas dalam-dalam untuk mengatasi
rasa sakit di tubuhnya. Kini ia ber-
siap-siap melepaskan jurus berikutnya.
Tapi Pandu Puber maju dua langkah dan
mendului menyerang dengan penuh ke-
dongkolan.
Clapp...! Sepasang sinar merah
menyambar tubuh Malaikat Bisu. Jurus
yang digunakan Pandu adalah jurus
'Sepasang Sayap Cinta' yang keluar da-
ri dua jari tangan kanan-kirinya. Ju-
rus itu mampu menghancurkan baja men-
jadi berkeping-keping. Tapi oleh Ma-
laikat Bisu dilawan menggunakan tong-
katnya yang berkepala tengkorak.
Tongkat itu hanya dikibaskan da-
ri kanan ke kiri, maka memancarlah si-
nar bergelombang kelok-kelok setengah
lingkaran yang memagari bagian depan
tubuhnya. Sinar hijau itu dihantam
dengan dua sinar merahnya Pandu, se-
hingga ledakan dahsyat terdengar kem-
bali menggetarkan bumi.
Blegarrr...!
Malaikat Bisu terlempar dalam
keadaan berputar seperti gangsing.
Pandu sendiri hanya tersentak mundur
satu langkah karena hentakan gelombang
ledak itu. Tapi dedaunan pohon di ka-
nan-kiri mereka menjadi gugur dan ber-
hamburan. Dua pohon tak jauh dari me-
reka rubuh dalam keadaan akarnya ter-
dongkel keluar dari tanah. Malaikat
Bisu sendiri tak bisa kendalikan diri,
hingga membiarkan tubuhnya terpelant-
ing jauh dan masuk ke sela-sela dua
pohon yang tumbuhnya berjajar rapat.
Bruskk...!
Bunga Taring Loar yang segera
sehat kembali setelah beberapa saat
menerima 'Hawa Bening' dari Pandu, se-
gera bangkit dan menampakkan keberan-
gannya. Saat itu Malaikat Bisu sedang
berusaha melepaskan diri dari dua po-
hon yang menjepitnya.
"Kubalas kau, Setaaan...!" geram
Bunga Taring Liar sambil menggeram,
lalu dari mulutnya tumbuh sepasang gi-
gi runcing memanjang. Itulah taring
kemarahan yang hanya keluar bila gadis
itu menjadi murka oleh suatu hal. Mata
Pandu sedikit terkesiap melihat mun-
culnya taring tersebut. Kecantikan si
gadis menjadi berkurang dan berubah
seram hanya karena tumbuhnya sepasang
taring kemarahan tersebut.
"Mengerikan sekali wajahnya ka-
lau sudah marah begitu, ya?" pikir
Pandu sambil memperhatikan langkah
Bunga Taring Liar yang mendekati Ma-
laikat Bisu.
Orang yang didekati itu kebin-
gungan meloloskan diri dari jepitan
dua pohon. Akhirnya ia sentakkan kedua
lengannya ke kanan-kiri dan tenaga da-
lam yang disalurkan membuat kedua po-
hon itu retak, lalu tumbang dalam kea-
daan pecah bagian tengahnya.
"Kraak...! Brrruuk...! Bruss...!
Malaikat Bisu berhasil lolos da-
ri jepitan pohon. Tapi begitu ia ber-
balik ingin menghadap lawannya, tiba-
tiba sekelebat benda putih mengkilat
menyambar dadanya dengan cepat.
Wuuttt...! Crass...!
Bunga Taring Liar menebaskan pe-
dangnya. Kehadiran pedang itu sangat
di luar dugaan Malaikat Bisu, sehingga
ia tak sempat menghindar atau menang-
kisnya. Walau ia sudah mencoba menang-
kis dengan tongkatnya, tapi gerakan
tangkisnya terlambat, sehingga pedang
lawan lebih dulu berhasil menggores
dadanya.
Darah merah kehitam-hitaman men-
galir dari dada Malaikat Bisu. Wajah
tua tersebut mulai tampak pucat. Racun
di ujung pedang telah menyebar ke se-
luruh tubuh dengan cepatnya. Malaikat
Bisu berusaha keraskan semua urat un-
tuk keluarkan tenaga intinya. Tenaga
Inti itu disalurkan ke tongkat, se-
hingga ujung tongkatnya mempunyai ke-
kuatan dahsyat untuk menghantam atau
menyodok lawan dari jarak jauh. Tapi
sayangnya sebelum hal itu dilakukan,
Bunga Taring Liar sudah jauh lebih du-
lu menghujamkan pedangnya ke ulu hati
Malaikat Bisu. Jrrubb...!
"Bhheeerrg...! Bunga Taring Liar
menggerang dengan mata mendelik liar,
tampak ganas dan lebih buas dari Ma-
laikat Bisu. Pedang yang menancap di
ulu hati itu sampai tembus ke bela-
kang, membuat Malaikat Bisu tak bisa
memekik kecuali hanya membuka mulutnya
dengan mata mendelik.
Saat Malaikat Bisu meregang den-
gan sekarat, tiba-tiba Pandu Puber
mendapat serangan dari belakang berupa
sinar hijau bening yang bergerak lu-
rus. Slappp...! Dess...!
"Oohg...!" Pandu jatuh berlutut.
Tubuhnya menjadi lemas bagai tak ber-
tulang. Tapi ia masih punya kekuatan
untuk menegakkan kepala dan memandang
si penyerang yang datang dengan gerak
berkelebat bagaikan kilat.
"Janda Keramat...?!" ucap Pandu
dengan suara lemah, tapi sempat diden-
gar oleh Bunga Taring Liar.
Gadis itu terkejut melihat Pandu
terkulai lemas di samping seorang wa-
nita berusia sekitar tiga puluh dua
tahun, berambut perak sepunggung tanpa
diikat apa-apa. Bunga Taring Liar se-
gera mencabut pedangnya dari tubuh Ma-
laikat Bisu.
Tapi gerakan itu terlambat, ka-
rena pada saat pedang dicabut, perem-
puan berambut putih perak itu sudah
lebih dulu menyambar Pandu dan memba-
wanya lari dari tempat tersebut. Bunga
Taring Liar menjadi berang lagi. Ta-
ringnya yang sudah mulai hendak hilang
itu terpaksa muncul kembali. Ia berse-
ru dengan suara serak, tak sebening
biasanya.
"Tinggalkan dia, Setan! Kubunuh
kau kalau mencurinya!"
Emoticon