Siluman Ular Putih 2 - Manusia Rambut Merah(1)


Cersil Siluman Ular Putih
Episode : Manusia Rambut Merah

 Ada satu pepatah kuno yang mengatakan, 
satu musuh itu terlalu banyak. Lantas? Mengapa 
dunia persilatan selalu diwarnai permusuhan? Itu 
tidak lain karena ulah mereka yang mengaku se-
bagai golongan hitam. Mereka terlalu mengobral 
nafsu dan keserakahan. Nafsu membunuh, nafsu 
menguasai dunia persilatan, ataupun nafsu men-
gincar harta dan pangkat. 
Sebaliknya, kaum pendekar selalu dibekali 
kekuatan batin. Suatu kehendak suci yang mulia, 
yakni menegakkan kebenaran. Dan jika mereka 
berurusan dengan para tokoh golongan sesat. Itu 
didasari hanya untuk membela yang lemah, serta 
menegakkan kebenaran. Sedikit pun tak ada ha-
srat untuk menguasai dunia persilatan. 
Dan apa yang dialami Prameswara memang 
sungguh memprihatinkan. Ia bukan saja berkein-
ginan membunuh ataupun menguasai dunia per-
silatan, bahkan juga berkeinginan mendapatkan 
apa saja. Termasuk, harta dan pangkat. Setelah 
dikalahkan Soma, nafsu amarah pemuda berpa-
kaian rapi murid Mahesa itu makin berkobar saja. 
Rupanya apa yang didapat dari guru sebelumnya 
maupun guru yang sekarang yang dikenal sebagai 
Manusia Rambut Merah, belum cukup. Jangan-
kan untuk menguasai dunia persilatan. Untuk 
membunuh Soma saja belum sanggup (Baca : 
"Misteri Bayi Ular"}. 
Di tepi barat Hutan Sawo Kembar, Pra-
meswara berlari cepat seperti berpacu dengan 
senja yang mulai merayap. Kegelapan sebentar la-
gi akan menguasai alam mayapada. Beberapa bu-
rung jalak ramai berkicau menuju ke sarang di 
ranting-ranting pohon besar yang menjulang ting-
gi. 
Meski senja belum terlelap dalam pera-
duannya, namun suasana dalam hutan itu sudah 
mulai gelap. Cahaya sinar matahari yang merah 
tembaga di ufuk sebelah barat sana, hampir tidak 
mampu menerobos masuk ke dalam rimbunnya 
Hutan Sawo Kembar. 
Tanpa peduli semak belukar yang mengha-
dang, pemuda berpakaian seperti seorang terpela-
jar zamannya itu terus berlari kencang menuju 
dalam hutan. Ilmu meringankan tubuhnya me-
mang sudah mencapai tingkat tinggi. Rambutnya 
yang gondrong dan dikuncir sebagian ke belakang 
berkibaran diterpa angin. Wajahnya yang berben-
tuk bulat telah dipenuhi peluh. Sorot matanya 
yang lembut terus memperhatikan jalan di de-
pannya. 
Begitu tiba di depan sebuah pohon randu 
besar, Prameswara menghentikan larinya. Ia ber-
diri mematung, seperti sedang mengawasi pohon 
itu. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya yang agak ke-
biru-biruan menahan luka dalam berkemik-
kemik. 
"Guru...!" desis pemuda itu bergetar. Nada 
suaranya terdengar menghiba. 
Tidak ada sahutan. Hanya dirasakannya 
tanah yang dipijak bergetar. Prameswara yakin, 
gurunya mendengar panggilan. Dan kenyataan-
nya memang demikian. Tanah yang semula berge-
tar-getar, tiba-tiba saja membuncah tinggi ke 
udara. Bersamaan dengan itu, menyembul satu 
sosok bayangan serba merah ke permukaan ta-
nah. 
Kini tampak jelas kalau sosok bayangan itu 
adalah seorang laki-laki tua bertubuh tinggi be-
sar, terbungkus pakaian serba merah. Rambut-
nya berwarna merah menyala. Demikian pula alis 
mata, kumis tebal, dan jenggotnya. Hidungnya 
besar. Juga bibirnya. Dan laki-laki tua itu nam-
pak masih duduk khusuk dalam semedinya. Ke-
dua matanya yang terpejam perlahan-lahan ter-
buka. Siapa lagi tokoh ini kalau bukan Manusia 
Rambut Merah, guru baru Prameswara! 
"Guru...!" desis pemuda itu lagi masih tetap 
dalam sikap berdiri! 
Dari sikapnya jelas membuktikan kalau 
Prameswara memiliki watak tinggi hati. Tak mau 
dia direndahkan oleh siapa pun. Meski oleh gu-
runya sendiri sekalipun. Kalaupun ia mau bersi-
kap menghormat pada Mahesa guru pertamanya, 
itu karena merasa sungkan saja. Bagaimanapun 
juga Mahesa adalah orang yang merawat dan 
mendidiknya hingga menjadi seorang pemuda. 
Tapi setelah gurunya meninggal, sekarang tidak 
ada lagi orang yang pantas dihormatinya di dunia 
ini! 
Manusia Rambut Merah menggeram. Bu-
kannya kesal melihat muridnya tidak berlaku so-
pan padanya. Melainkan kesal melihat Prameswa-
ra tidak membawa calon korban untuknya, seper-
ti biasanya. 
"Mengapa kau tidak menjalankan perin-
tahku, Bocah?! Mana gadis terakhir yang akan 
kau jadikan korban?!" tuntut Manusia Rambut 
Merah. Matanya yang memerah itu terus menatap 
tajam muridnya. Kemudian keningnya berkerut 
melihat keadaan muridnya yang memelaskan. 
"Kali ini tidak ada korban terakhir untuk-
mu, Guru!" jawab Prameswara tegas. Suaranya 
memang lembut. Namun, sangat menyinggung 
perasaan Manusia Rambut Merah. 
"Apa maksudmu bicara begitu, Bocah?! 
Apa kau lupa siapa aku?!" desis laki-laki tua ber-
pakaian serba merah, merasa gusar sekali. 
"Tidak. Kau adalah guruku," sahut Pra-
meswara, kalem. 
"Nah...," Manusia Rambut Merah men-
gangkat alisnya. 
"Jangan potong pembicaraanku dulu, 
Guru!" sergah Prameswara. "Kau memang guru-
ku. Tapi, aku pikir percuma berguru padamu. Un-
tuk itu, aku tidak sudi mencarikan gadis calon 
korban untukmu!" 
"Keparat!" Manusia Rambut Merah cepat 
mengangkat tangan kanannya, siap mengirimkan 
pukulan maut 'Kelabang Geni' ke tubuh Prames-
wara. 
"Tunggu dulu, Guru!" tahan pemuda ini. 
"Kau jangan marah dulu! Kau harus tahu, ternya-
ta apa yang diajarkan padaku selama ini hanya-
lah ilmu picisan! Percuma aku belajar padamu, 
Guru!" 
Bukan main geramnya Manusia Rambut 
Merah mendengar penuturan muridnya yang san-
gat merendahkan harkatnya sebagai tokoh sesat 
berkesaktian tinggi. Tangan kanannya yang su-
dah terangkat tinggi-tinggi langsung digerakkan 
ke depan. Maka seketika seleret sinar merah dari 
telapak tangan manusia Rambut Merah meluruk 
ke tubuh Prameswara. 
"Uts!" 
Derrr...! 
Prameswara meloncat ke samping kiri. Aki-
batnya, pukulan 'Kelabang Geni' gurunya meng-
hantam pohon besar di belakangnya hingga lang-
sung berderak roboh. 
Sementara bagian yang terkena pukulan 
hangus terbakar. 
"Jangan cepat naik darah, Guru! Pukulan 
'Kelabang Geni'-mu memang hebat. Tapi, bagiku 
tetap sama saja. Tidak  ada artinya sama sekali 
kalau ternyata aku tidak sanggup merobohkan 
musuhku!" cibir Prameswara, melecehkan. 
"Jadi? Kau..., kau dikalahkan seseorang?" 
tanya Manusia Rambut Merah, sekaligus terkejut. 
"Malah orang yang mengalahkan aku ma-
sih muda. Sebaya denganku," tambah Prameswa-
ra lagi memanas-manasi. "Apa itu tidak membuk-
tikan ilmumu picisan, Guru?!" 
"Tidak mungkin!" sentak laki-laki bertubuh 
tinggi besar itu. "Kau jangan sembarangan ngo-
mong, Bocah! Tokoh silat mana pun tidak mung-
kin mampu menerima pukulan 'Kelabang Geni'ku. 
Apalagi kalau digabung dengan ilmu 'Amblas Bu-
mi'-ku. Tak mungkin! Sulit dipercaya kau dika-
lahkan oleh siapa pun! Hayo! Sekarang, katakan 
siapa orang yang telah mengalahkanmu Bocah?!" 
Prameswara tersenyum kecut. "Jangan ter-
lalu bayak bermimpi, Guru! Kau pasti mudah da-
pat dikalahkannya. Kepandaian silatnya tinggi 
sekali. Sulit diukur." 
"Bedebah! Aku tidak menanyakan itu!" 
bentak Manusia Rambut Merah, seperti kebaka-
ran jenggot. "Cepat katakan! Siapa nama orang 
yang telah mengalahkanmu!" 
"Aku tidak tahu namanya, Guru. Yang je-
las, ia seorang pemuda. Waktu itu ia menyamar 
sebagai seorang gadis. Dan satu lagi, Guru. Pe-
muda itu dapat menjelma menjadi Siluman Ular 
Putih!" 
"Apa?! Siluman Ular Putih?!" mata Manusia 
Rambut Merah kontan terbelalak liar. 
"Benar, Guru. Apa kau takut menghada-
pinya?" Prameswara memanas-manasi. Dan ini 
semakin membuat kemarahan Manusia Rambut 
Merah berkobar-kobar. 
"Jahanam! Aku tidak takut menghada-
pinya, tahu?!" 
Manusia Rambut Merah seketika meloncat 
bangun dari tempat duduknya saking gusarnya. 
Gerakan kedua kakinya ringan sekali, sehingga 
hampir tidak menimbulkan suara sedikit pun. 
Padahal daun-daun kering di bawahnya yang te-
rinjak seharusnya hancur. Tapi tubuh tinggi be-
sar itu seperti tidak berbobot saja kala kedua ka-
kinya menginjak daun-daun kering. 
"Kau sendirilah yang bodoh, Bocah! Men-
gapa tidak ditarik dari dalam tanah?!" tuding laki-
laki berpakaian serba merah ini. 
"Percuma! Tetap saja ilmu Guru tidak ada 
artinya dibanding kepandaiannya. Aku akan te-
was di tangannya, Guru!" 
"Setan! Kau terlalu merendahkan ilmuku, 
Bocah?! Apa kau sudah bosan hidup?!" bentak 
Manusia Rambut Merah, saking gusarnya. Kedua 
telapak tangannya yang berwarna merah hingga 
ke lengan siap melontarkan pukulan maut 
'Kelabang Geni' ke tubuh Prameswara. 
"Aku tidak bermaksud demikian, Guru. 
Tapi kalau kenyataannya ilmu Guru masih ren-
dah, apa aku harus membesar-besarkan? Tidak! 
Aku tidak sudi membesar-besarkan ilmu picisan 
seperti itu. Bahkan mulai saat ini juga, aku me-
mutuskan hubungan kita. Kau bukan lagi guru-
ku!" 
Kali ini kemarahan Manusia Rambut Me-
rah benar-benar bagai bisul yang siap meletus. 
Wajahnya menegang. Rahangnya yang keras 
menggemelutuk. Dan kedua telapak tangannya 
yang berwarna merah menyala tidak dapat dita-
han lagi. 
"Setan! Kau terlalu merendahkanku, Bo-
cah! Kau layak modar di tanganku!" bentak laki-
laki tua itu sambil mengibaskan tangannya. 
Wesss...! 
Dua leret sinar merah menyala melesat 
saat kedua telapak tangan Manusia Rambut Me-
rah siap menghantam Prameswara. 
Pemuda ini terkejut bukan main. Meski se-
jak tadi sudah bersiap-siap, namun melihat se-
rangan gurunya yang demikian hebatnya, tak 
urung juga langsung berkeringat dingin. Apalagi 
serangan laki-laki tua itu dilancarkan dalam jarak 
demikian dekatnya. Tak ada pilihan lain, pukulan 
'Kelabang Geni' dipapaknya. 
Werrr! 
Bunyi bergemuruh langsung memenuhi 
tempat itu, begitu Prameswara menghentak kedua 
tangannya melepaskan pukulan 'Cahaya Kilat Bi-
ru'. Dari kedua telapak tangannya yang berwarna 
biru berpendar-pendar melesat sinar biru. Lalu.... 
Blarrr...! 
Sungguh dahsyat akibat pertemuan dua 
tenaga dalam tingkat tinggi barusan. Tanah ber-
getar-getar. Pohon-pohon dalam jarak sepuluh 
tombak seperti tersengat petir dan langsung men-
jadi layu. Manusia Rambut Merah sendiri sampai 
tergetar hebat. Tubuhnya yang tinggi besar ber-
goyang-goyang. Kedua kakinya melesak beberapa 
jari ke dalam tanah. 
Sedang Prameswara langsung terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Wajahnya 
pucat pasi. Jantungnya seperti akan rontok aki-
bat benturan tenaga dalam tadi. Dan saking tidak 
tahannya....  
"Hoeeekh...!" 
Prameswara pun muntahkan darah segar. 
"Ha ha ha...! Itu baru pukulan 'Kelabang 
Geni'ku, Bocah! Apa kau akan sanggup bertahan 
kalau aku mengeluarkan ilmu 'Wejangan Iblis'?!" 
ejek Manusia Rambut Merah penuh kemenangan. 
"Jangan  bangga dulu, Guru! Ilmu 
'Wejangan Iblis' memang hebat. Tapi, apa kau lu-
pa kalau aku sedang terluka dalam yang parah? 
Hmm.... Kalau aku tidak sedang terluka, belum 
tentu kau dapat mengalahkanku demikian mu-
dahnya! Belum lagi kalau kau menghadapi orang 
yang telah mengalahkanku. Apa kau sanggup ber-
tahan dalam tiga jurus?!" ejek Prameswara, makin 
keterlaluan. 
"Bajingaaannn...! Kau tidak tahu diuntung, 
Bocah! Belum puas aku kalau belum menghirup 
darahmu!" 
Sungguh tak dapat dibayangkan kemara-
han dalam dada laki-laki tua guru Prameswara. 
Kedua tangannya yang berwarna merah semakin 
menyala, disertai uap hitam terus menyelimuti. 
Memang belum sempurna ilmu 'Wejangan 
Iblis'-nya, karena belum genap mendapatkan em-
pat puluh darah perawan suci sebagai korban. 
Kendati demikian, Prameswara tidak mau gega-
bah. Apalagi masih dalam keadaan terluka parah. 
Maka tanpa banyak pikir lagi, kedua kakinya 
langsung menjejak tanah, dan berkelebat mening-
galkan tempat itu. Dalam sekejap saja tubuhnya 
telah menghilang di antara kegelapan Hutan Sawo 
Kembar.  
Manusia Rambut Merah menyumpah sera-
pah. Cepat ilmu meringankan tubuhnya dikerah-
kan untuk mengejar muridnya. Dalam beberapa 
kali hentakan kaki ke tanah, tokoh sesat itu da-
pat menyusul Prameswara. Namun baru saja 
menjejakkan kakinya di tanah mendadak serang-
kum angin dingin telah meluruk ke arah Manusia 
Rambut Merah. 
Laki-laki tua itu cepat mengerahkan puku-
lan 'Kelabang Geni'. Kedua telapak tangannya 
yang telah berubah merah darah cepat dorongkan 
ke depan. Seketika itu juga, seleret sinar merah 
dari kedua telapak tangannya keluar untuk me-
nyambut seleret sinar biru di depannya!  
Blarrr...! 
Terdengar gelegar hebat ketika pukulan 
'Kelabang Geni' milik Manusia Rambut Merah 
bentrok dengan pukulan 'Cahaya Kilat Biru' milik 
Prameswara. Bunga api kontan  berpijar. Pohon-
pohon di sekitarnya pun layu! Dan saat itu juga 
terdengar pula satu pekik tertahan di depan sana. 
Tubuh tegap murid murtad Pendekar Pedang Kilat 
Buana terhuyung-huyung sebentar, lalu cepat 
menjejakkan kakinya ke tanah. Seketika diting-
galkannya tempat itu. 
Manusia Rambut Merah menggeram. Sua-
ranya yang lantang menggetar-getarkan tanah di 
sekitarnya. Sedang tubuhnya yang tinggi besar 
sedikit bergetar akibat bentrokkan tadi. Namun.... 
Kali ini ia tidak lagi bernafsu mengejar 
Prameswara. Hanya saja hatinya masih penasa-
ran pada orang yang telah mengalahkan bekas 
muridnya. Teringat itu, Manusia Rambut Merah 
kembali menjejakkan kedua kakinya ke tanah. 
Dan dalam sekejap saja, bayangan merahnya te-
lah menghilang di antara kegelapan Hutan Sawo 
Kembar. 
*** 
Malam mulai merambah Desa Wonodadi. 
Sentir-sentir (lampu minyak) di sepanjang jalan 
desa mulai dinyalakan. Beberapa orang penduduk 
nampak masih asyik membicarakan tentang ke-
hebatan Siluman Ular Putih di serambi pendopo 
kelurahan.     
Sedang di dalam rumahnya, Ki Lurah Suro-
loyo sedang menjamu kedua orang tamunya. So-
ma dan Ratih. Wajah Ki Lurah Suroloyo yang ba-
ru saja disembuhkan Soma alias Siluman Ular 
Putih nampak masih pucat pasi. Namun, ia tetap 
memaksakan diri untuk menemani bersama anak 
dan istrinya. 
Soma yang saat itu masih berpakaian me-
rah milik Ratih bingung sekali memperhatikan 
kecantikan dua orang gadis di hadapannya. Ma-
tanya yang tajam seperti mata rajawali, sesekali 
melirik putrid tunggal Ki Lurah Suroloyo penuh 
kagum. 
Ki Lurah Suroloyo hanya  tersenyum saja. 
Penampilan Soma kali ini benar-benar menggeli-
kan. Rambutnya yang gondrong dikuncir dua ke 
belakang. Bibirnya diberi gincu warna merah me-
nyala. Demikian pula kedua pipinya. Sedang wa-
jahnya yang putih dipupuri bedak putih. Cuma 
sayangnya bedaknya tidak rata menyapu wajah-
nya. Malah berkesan clemongan. 
"Adik manis, siapa namamu?" tanya Soma 
pada putri tunggal Ki Lurah Suroloyo. 
"Kustini, Tu..., Tuan," jawab putri Ki Lurah 
Suroloyo malu-malu. Wajahnya yang cantik kem-
bali menunduk setelah tadi menengadah sebentar 
menjawab pertanyaan Soma. 
"Ah...! Jangan panggil aku Tuan, dong! Kan 
tak enak didengar. Panggil saja aku mbakyu! Kan 
lebih enak kedengarannya," sergah Soma genit. 
Suaranya sengaja dibuatnya kecil mirip perem-
puan. Sembari berkata begitu kedua bibirnya pun 
diplenceng-plencengkan ke sana kemari. 
Kustini tertawa cekikikan. 
"Jangan cekikikan begitu dong! Ayo, pang-
gil aku mbakyu!" goda Soma semakin menjadi-
jadi. 
"I..., iya, Mbak.... Mbakyu," jawab Kustini 
malu-malu. 
Soma tertawa geli dalam hati.  Dengan 
panggilan 'mbakyu' pada dirinya malah semakin 
membuat tingkahnya berlebihan. Bibirnya terus 
dimencong-mencongkan ke sana kemari. 
"Aih...! Mengapa malu-malu, Adik Manis? 
Kita kan sesama wanita? Ayo, dong! Bersikaplah 
yang santai!" kata Soma lagi. 
"Sudah, sudah! Muak aku mendengar oce-
hanmu, Pemuda Sinting!" bentak Ratih. Gadis ini 
tak berani memaki pemuda itu dengan makian 
'bocah edan' lagi. Takut malah dirinya yang akan 
dikerjai Soma. 
"Aih...! Mengapa Mbakyu Ratih jadi uring-
uringan begini?! Apa Mbakyu Ratih cemburu? 
Jangan begitu, dong! Kita kan sesama wanita. 
Bukan begitu, Dik Kustini?" 
"Tak lucu!" semprot Ratih sewot. 
"Aduuuh...! Aku tidak sedang melucu, 
Mbakyu Ratih! Aku sedang bertanya pada Dik 
Kustini, kok?" jawab Soma makin menyebalkan 
hati Ratih. 
"Jangan cerewet! Kau pikir ini lucu? Ayo, 
cepat lepas pakaianku!" bentak Ratih kesal. 
"Aduuuh...! Mbakyu Ratih kok jadi pelit 
amat sih? Aku pinjam dulu dong?" goda Soma. 
Ratih mendelik gusar. Ujung pedangnya 
tahu-tahu menyambar kepala Soma. 
Tak! 
"Aduuhh...! Mbak Ratih, kok jadi galak 
amat sih?!" Soma alias Siluman Ular Putih cen-
gar-cengir memegangi kepalanya yang cenat-
cenut digetok ujung gagang pedang. 
"Cepat lepaskan pakaianku! Atau kuhan-
curkan kepalamu dengan pedang ini?!" ancam Ra-
tih seraya mengacung-acungkan pedangnya. 
"Ja..., jangan!" Soma menyingkir ngeri. 
Ki Lurah Suroloyo beserta anak istrinya 
hanya tersenyum saja melihat sikap Soma yang 
nakal. Sedang Soma yang sudah menjauh dari 
ruang tamu mulai menanggalkan pakaian merah 
milik Ratih. 
"Awas! Kau jangan mengintipku, Ratih! 
Nanti kau bisa naksir beneran sama aku, lho!" ce-
loteh Soma. 
Ratih tidak mempedulikan ocehan pemuda 
itu lagi. 
Namun diam-diam dalam hatinya mulai 
timbul rasa suka pada Soma. 
"Sekarang tindakan apa yang harus kami 
lakukan, Nak Ratih? Meskipun si Pembuat Onar 
di kampung kami sudah pergi, namun kami tetap 
merasa cemas kalau-kalau dia muncul lagi ke de-
sa ini," ungkap Ki Lurah Suroloyo membuka per-
cakapan. 
"Aku mengerti kekhawatiran Ki Lurah. 
Hanya aku sendiri belum tahu bagaimana harus 
bertindak, Ki," sahut Ratih, terus-terang. 
"Mengapa kalian jadi bingung begini?! Apa 
ada ayam kalian yang dicuri maling?" sela Soma. 
Kali ini si pemuda sudah mengenakan pa-
kaian kebesarannya. Rompi dan celana bersisik 
putih keperakan. Dan dari rompinya yang terbu-
ka, tampak rajahan bergambar ular putih di dada 
kanan. Sedang tangan kanannya memegang baju 
merah milik Ratih. 
"Nih, kukembalikan pakaianmu! Tapi jan-
gan ditagih uang sewanya, ya! Aku tak punya 
duit," kata pemuda yang dijuluki Siluman Ular 
Putih ini seraya melemparkan baju merah di tan-
gan kanan pada pemiliknya. 
Ratih cepat menangkapnya. 
"Jangan dicium! Nanti kau bisa tidak dapat 
tidur selama tujuh malam kalau mencium bau 
keringatku!" goda Soma. 
"Jangan bercanda! Kami sedang bersung-
guh-sungguh, tahu?!" hardik Ratih jengkel. 
"Oh...! Jadi ceritanya sedang seru, nih?!" 
Siluman Ular Putih mengolok-olok. 
Ratih mendelik gusar. Tangan kanannya 
kembali mencabut gagang pedangnya siap meng-
getok kepala pemuda itu. 
"Jangan mendelik begitu, ah! Nanti mata-
mu bisa loncat keluar. Kalau sudah begitu, siapa 
yang sudi mencintai gadis buta? Iya, kan?" celo-
teh Soma semakin ngelantur tak karuan juntrun-
gannya. 
"Pemuda sinting! Apa aku tidak tahu kami 
sedang bersungguh-sungguh?!" hardik Ratih, sak-
ing gusarnya. 
"Oh..., maaf! Kalau begitu, aku tinggal saja, 
ya. Sel...." 
"Tunggu!" teriak Ratih, menghentikan 
langkah Siluman Ular Putih. 
"Apa lagi?" kata pemuda itu, menjengkel-
kan. 
"Kau benar-benar memuakkan, Soma! Apa 
kau tidak tahu, utusan Manusia Rambut Merah 
sebentar lagi akan kemari? Malah mungkin ber-
sama Manusia Rambut Merah sendiri?" 
"Ah...! Sok tahu, kau! Mana mungkin Ma-
nusia Rambut Merah berani kemari? Apa kuping-
nya ingin ku jewer sampai menjerit-jerit minta 
ampun?" tukas Soma seenak perut. Padahal di-
am-diam omongan Ratih diakui kebenarannya. 
Tapi, mana mungkin ia mau mengakuinya begitu 
saja. Malah lebih senang menurutkan kehendak 
hatinya. 
"Tapi...," kata Ki Lurah Suroloyo. 
"Sudahlah, Ki!" potong pemuda itu. "Tak 
usah dicemaskan Manusia Rambut Merah dan 
urusannya! Aku yakin, mereka tidak akan kemari. 
Malah aku sendiri yang akan ke sana untuk men-
carinya. Aku masih mempunyai sedikit urusan 
dengan mereka. Selamat tinggal!" 
Sehabis berkata begitu, tanpa banyak ca-
kap lagi Siluman Ular Putih langsung keluar dari 
rumah Ki Lurah Suroloyo. Dan tubuhnya cepat 
berkelebat pergi dari tempat ini. 
"Tunggu, Nak Soma!" teriak Ki Lurah Suro-
loyo kecewa. 
"Jangan khawatir, Ki! Kunyuk-kunyuk itu 
tidak bakal kembali ke kampung mu. Percayalah! 
Oh, ya tolong sampaikan salam manisku pada 
Kustini, Ki!" 
Tiba-tiba terdengar suara menggema me-
menuhi ruang tamu rumah Ki Lurah Suroloyo. 
Sedang si empunya suara entah sudah sampai di 
mana. 
Sementara Ratih kecewa sekali. Sebenar-
nya ia ingin sekali melakukan perjalanan bersama 
pemuda sinting itu. Namun sayangnya Soma su-
dah meninggalkannya. Dan ketika bermaksud 
berpamitan pada Ki Lurah Suroloyo, tiba-tiba sa-
ja.... 
"Kau jangan cemburu, Ratih! Aku memang 
menyukai putri Ki Lurah Suroloyo. Tapi, terus te-
rang aku lebih menyukaimu. Percayalah!" 
Terdengar bisikan lembut yang hanya bisa 
ditangkap telinga gadis itu sendiri 
"Pemuda sinting...!" desis Ratih, diam-diam 
mengakui kehebatan Soma dalam mengirimkan 
suara jarak jauhnya. 
"Ada apa, Nak Ratih? Kok, Nak Ratih ma-
rah-marah sendiri...?" tanya Ki Lurah Suroloyo 
heran. 
Ratih jadi tersipu malu. Pipinya yang ber-
warna keputihan langsung memerah. 
"Ah.... Tidak ada apa-apa kok, Ki. Izinkan 
aku menyusul kepergian Soma. Tadi aku lupa 
menanyakan sesuatu padanya," kilah gadis itu 
beralasan. 
Ki Lurah Suroloyo maklum. Pandangan 
mata gadis di hadapannya tak dapat lagi didustai 
nya. Laki-laki ini tahu, apa yang sebenarnya se-
dang berkecamuk dalam hati tamunya. 
"Aku mengerti, Nak Ratih. Kalau memang 
kau masih mempunyai urusan dengan Soma, si-
lakan meneruskan perjalanan. Tapi, bukan berar-
ti ini pengusiran, lho?" kata Ki Lurah Suroloyo di 
antara senyumnya. 
"Terima kasih, Ki. Selamat tinggal semua-
nya!"  
Tanpa banyak cakap lagi Ratih segera me-
ninggalkan rumah Ki Lurah Suroloyo. Dan dalam 
beberapa saat saja, bayangan tubuhnya pun su-
dah menghilang di antara kegelapan malam. 
Ki Lurah Suroloyo menggeleng-gelengkan 
kepala penuh kagum. Kemudian digandeng nya 
anak dan istrinya masuk ke dalam kamar. Namun 
anehnya, kali ini Kustini tidak menuruti ajakan 
ayahnya. Matanya yang indah terus memperhati-
kan ke arah Soma tadi menghilang dengan sorot 
aneh. 
Sekali lagi Ki Lurah Suroloyo menggeleng-
gelengkan kepala heran. Bukannya heran melihat 
kehebatan Ratih dan Soma, melainkan heran me-
lihat perubahan sikap putri tunggalnya. 
Menuju Hutan Sawo Kembar bukan satu 
perjalanan gampang. Bagi mereka yang tidak 
memiliki ilmu meringankan tubuh jangan harap 
bisa selamat sampai tujuan. Di samping tempat-
nya susah untuk dilewati, di hutan itu juga masih 
banyak berkeliaran kawanan perampok yang ber-
kepandaian tinggi. Namun hal itu bukanlah men-
jadi halangan bagi Soma. Ilmu meringankan tu-
buh murid Eyang Begawan Kamasetyo itu sudah 
mencapai taraf tinggi. Demikian juga kepandaian 
silatnya. Hanya saja, Siluman Ular Putih belum 
tahu seluk-beluk Hutan Sawo Kembar. Ditambah 
lagi malam yang pekat tanpa sinar rembulan. Hal 
ini cukup membuat Soma kebingungan untuk 
menentukan letak persembunyian Manusia Ram-
but Merah. 
Sebenarnya ada keinginan untuk menunda 
perjalanannya besok hari. Namun si pemuda te-
tap memaksakan diri menemui musuh besarnya 
itu malam ini juga. Akibatnya hampir semalaman 
Soma hanya bisa mondar-mandir di seputar hu-
tan itu. Dan karena belum juga menemukan tem-
pat persembunyian Manusia Rambut Merah, ak-
hirnya diputuskan pencariannya dilanjutkan esok 
hari. 
Kebetulan sekali saat itu ada sebatang po-
hon randu yang cukup nyaman untuk beristira-
hat sementara. Maka tanpa banyak pikir lagi, 
Soma pun segera meloncat ke ranting pohon. 
Mungkin karena saking lelah setelah hampir se-
harian menempuh perjalanan panjang, akhirnya 
si pemuda tertidur juga. 
Pagi menjelang. Burung berkicau ramai di 
ranting-ranting pohon, menyambut indahnya pagi 
ini. Cahaya sinar matahari hanya membentuk ri-
buan titik berkilau bak permata, tak mampu me-
nembus kerimbunan Hutan Sawo Kembar. Se-
mentara itu, angin yang bertiup semilir semakin 
membuat Soma terbuai dalam mimpi. Mulutnya 
menyeringai kegelian seperti membayangkan be-
laian jari-jari tangan para bidadari. Namun entah 
mengapa, sesuatu yang tadinya menggerayangi 
tubuhnya, kini mulai berani menggigit dan nyeri 
sekali! 
Soma membuka  mata. Dan betapa terke-
jutnya hatinya ketika dilihatnya puluhan semut 
merah tengah berpesta pora menikmati kulit tu-
buhnya. Seketika itu juga ia berteriak kalang ka-
but. Bagian-bagian yang digigit semut beracun 
pedih bukan main. Soma tidak tahan lagi. Ia ber-
jingkrak ke sana kemari tanpa disadari kalau di-
rinya masih berada di ranting pohon. Dan akibat-
nya.... 
Bukkk! 
"Aduuuhh...!" 
Si pemuda terjatuh berdebam ke tanah. 
Kebetulan sekali bagian tubuh yang membentur 
tanah itu tepat pada tulang ekornya. 
"Emak, tolooong...!" teriak murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo alias Siluman Ular Putih itu ka-
lang kabut. Bagian tulang ekor yang membentur 
tanah terasa nyeri bukan kepalang. Perutnya te-
rasa mulas seperti orang telat buang hajat. Belum 
lagi sekujur tubuhnya yang digigit puluhan semut 
merah. Dan lebih menyebalkan lagi ada satu-dua 
ekor semut merah yang nakal menggigit 
'perkutut'nya. 
Bukan main kalang kabutnya si pemuda. 
Saking tidak tahannya menerima gigit-gigitan se-
mut merah akhirnya semua pakaian yang menu-
tupi tubuhnya dilepaskan. Dan satu persatu se-
mut merah yang menempel di sekujur tubuhnya 
disapu dengan tangannya. 
"Sekarang sudah beres. Tak ada satu se-
mut sialan itu di tubuhku lagi. Aman...," desah 
Soma sambil celingukan ke sana kemari, khawatir 
kalau ada orang lain yang melihat.  
"Hik hik hik.... Untungnya tidak ada orang 
yang melihat. Kalau ada, wah! Bisa berabe! Sial 
sekali nasibku hari ini. Aku kira seorang bidadari 
cantik yang sedang membelai-belai tubuhku. Eh, 
nggak tahunya malah semut keparat itu. Sial! Si-
al!" 
Selesai mengomel, buru-buru Siluman Ular 
Putih mengenakan kembali pakaiannya. 
Lega sudah sekarang hati Soma. Sejenak 
diperhatikannya tempat itu seksama.  
"Semua ini gara-gara Manusia Rambut Me-
rah! Awas kalau ketemu nanti! Aku pasti akan 
menjejalinya dengan semut merah! Biar tahu rasa 
dia!" omel pemuda itu lagi belum puas. 
Tiba-tiba pandangan mata Soma tertum-
buk pada sebatang pohon randu yang tumbang. 
Sedang keadaan di sekitar tempat itu terlihat po-
rak-poranda, seperti ratusan gajah ngamuk. Si 
pemuda berjalan mendekati pohon randu yang 
tumbang. Semakin dekat jidatnya berkernyit ma-
kin dalam. 
"Jelas pohon randu ini tumbang dengan 
cara tidak wajar. Pasti ada seseorang yang mero-
bohkannya dengan pukulan maut. Ya, ya, ya.... 
Buktinya saja, bagian yang terkena pukulan ini 
hangus terbakar. Demikian juga daun-daunnya 
yang layu," gumam Soma dalam hati. "Lantas, 
siapa yang melakukan ini semua?" 
Soma semakin tajam menautkan kedua 
alisnya. 
"Menilik bagian yang terkena pukulan, pas-
ti kejadiannya belum lama. Mungkin kemarin 
sore. Atau, tadi malam sebelum aku datang. Dan 
mengenai siapa yang melakukannya, harus dis-
elidiki dulu!" 
Siluman Ular Putih terus meneliti keadaan 
sekitarnya. Dan tak jauh dari pohon randu yang 
tumbang itu, ditemukannya muntahan darah ker-
ing. Langsung ditelitinya dengan seksama. 
"Hm.... Jelas.... Rupanya tadi malam telah 
terjadi pertarungan. Mungkin Manusia Rambut 
Merah dengan orang lain. Atau bisa jadi dengan 
utusan nya sendiri yang telah gagal menjalankan 
perintahnya!" 
Soma mengangguk-anggukkan kepalanya. 
Pandangan matanya kembali terus mengamati 
tempat itu. Tidak menemukan apa-apa, selain ta-
nah di sekitar tempat itu yang berantakan. Na-
mun, tiba-tiba saja.... 
Trang! Trang! 
"Heh?!" 
Pendengaran si pemuda yang tajam men-
dadak mendengar dentingan suara senjata tajam 
beradu yang datangnya dari sebelah barat Hutan 
Sawo Kembar. Dia tersentak sejenak, sebelum 
akhirnya menjejakkan kakinya meninggalkan 
tempat itu. Tubuhnya cepat berkelebat di antara 
pohon-pohon di dalam hutan ini.  
* * * 
Begitu tiba, Soma malah duduk ongkang-
ongkang kaki di sebatang ranting pohon. Matanya 
yang tajam terus memperhatikan pertempuran di 
bawahnya. Mulutnya yang ceriwis terus saja ber-
celoteh meramaikan jalannya pertarungan. Pa-
dahal ia tahu gadis cantik berbaju merah-merah 
yang sedang dikeroyok sekawanan begal berpa-
kaian hitam-hitam itu tidak lain dari Ratih, yang 
baru saja dikenalnya di Desa Wonodadi. 
"Wah, wah, wah...! Pagi-pagi saja sudah 
pada tawuran. Apa sih, yang kalian ributkan? Se-
perti anak kecil yang belum dikasih makan saja" 
celoteh Soma seenak perut. 
Lima orang perampok Hutan Sawo Kembar 
seketika itu juga menghentikan serangan. Demi-
kian pula Ratih. Dan gadis cantik berbaju merah-
merah itu menggeram marah, melihat Soma ten-
gah asyik duduk ongkang-ongkang kaki di atas 
ranting pohon randu, tak jauh dari tempat perta-
rungan. Penampilan nya cukup norak, masih se-
perti kemarin sore. Rambutnya yang gondrong di-
kuncir dua ke belakang. Kedua bibirnya masih 
berwarna kemerahan. Hanya bedanya sekarang, 
pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo itu ti-
dak lagi berpakaian merah-merah milik Ratih, ta-
pi memakai baju rompi dan celana bersisik warna 
putih keperakan. Dan  rompinya yang terbuka 
tanpa kancing terlihat sebuah rajahan bergambar 
ular putih di dada kanan. 
"Pemuda sinting...!" geram Ratih jengkel. 
Hatinya jengkel bukan main melihat kelakuan 
pemuda itu. Bukannya membantu melihat dirinya 
dikeroyok sekawanan perampok, malah ngeledek. 
"Ayo, teman-teman! Kita serang gadis som-
bong ini! Biar aku dan Bergodo yang melindungi 
kalian," teriak salah seorang, yang agaknya men-
jadi kepala rampok itu garang. 
Sedikit pun Ratih tidak gentar menghadapi 
keroyokan itu. Dan begitu ketiga orang perampok 
mulai menyerang kedua kakinya, pedangnya ce-
pat berputar menangkis. Sementara kepala ram-
pok dan seorang anak buahnya menyerang tubuh 
bagian atas gadis itu. 
"Wah, wah, wah...! Benar-benar satu ton-
tonan menarik. Lumayanlah buat mengganjal pe-
rutku yang keroncongan," celoteh Soma lagi. 
Ratih geram bukan main. Untuk sementa-
ra, serangan-serangan para pengeroyoknya masih 
dapat dibendungnya. Tapi, lama kelamaan, bukan 
mustahil dirinya akhirnya roboh juga. 
"Hik hik hik...! Rasain sekarang, Gadis 
Sombong! Terus desak gadis itu!" teriak Soma ke-
girangan. 
"Pemuda sinting...! Mengapa ongkang-
ongkang kaki saja, he?! Cepat bantu aku!" bentak 
Ratih penuh kemarahan. 
Sambaran-sambaran pedang gadis berpa-
kaian merah-merah itu makin ganas saja. Sedang 
tangan kirinya yang berwarna putih berkali-kali 
menghentak, melontarkan pukulan maut. 
"Ha ha ha...! Baik, baik! Satu permintaan 
yang bagus sekali! Aku akan segera turun. Seka-
lian melihat, bagaimana caranya kunyuk-kunyuk 
bodoh ini menghajarmu, ya?!" celoteh Soma se-
raya meloncat turun dari ranting pohon itu. 
Gerakannya ringan sekali. Sama sekali ti-
dak menimbulkan suara kala kedua kakinya 
menginjak tanah berdebu. 
Ratih memberengut. Matanya yang indah 
sempat membelalak lebar ke arah Soma. 
"Sudah, sudah! Jangan cemberut saja! 
Awas, lihat serangan! Jaga kepalamu baik-baik! 
Ah...! Bukan begitu cara menangkisnya. Tapi, be-
gini nih...." 
Soma mengambil ranting kering di bawah 
kakinya. Dan tiba-tiba tubuhnya meluruk ke da-
lam kancah pertarungan. Kebetulan sekali salah 
seorang dari pengeroyok sedang menggerakkan 
pedangnya, membabat Ratih dari atas ke bawah. 
Tanpa banyak cakap lagi, Siluman Ular Putih me-
nangkis serangan dengan ranting di tangannya.  
Prakkk! 
Aneh sekali! Ranting kecil di tangan Soma 
sama sekali tidak patah terbabat pedang di tan-
gan salah seorang pengeroyok Ratih. Malah, si 
pengeroyok yang meringis kesakitan. 
"Nah, nah...! Kalau sudah begitu, baru kita 
balas serangannya. Begini nih caranya menye-
rang," ujar Soma sok tahu sembari menggerakkan 
ranting di tangan kanannya menotok tubuh orang 
yang meringis kesakitan itu. 
Tuk!  
"Aaah...!" 
Ujung ranting di tangan Soma tepat meno-
tok punggung. Dan tanpa ampun lagi, orang itu 
langsung roboh tak dapat bergerak lagi. Matanya 
yang tajam membelalak liar memandangi Soma. 
"Ha ha ha...! Salah sendiri mengapa tidak 
mau menangkis seranganku. Sekarang rasain 
akibatnya," celoteh Soma. 
Laki-laki berkumis tebal yang menjadi 
pimpinan perampok itu membelalakkan matanya. 
Ia tak percaya kalau pemuda aneh yang tadi 
memberi semangat kepada mereka kini malah 
berbalik membela mangsanya. Bahkan meroboh-
kan pula salah seorang kawannya. Melihat itu, ia 
menggeram marah, karena merasa telah diper-
mainkan. Maka dengan garangnya pedangnya di-
gerakkan membabat tubuh Soma. 
Soma alias Siluman Ular Putih yang hen-
dak keluar dari arena pertempuran terperanjat 
kaget. 
"Eh..., eh! Kok, malah menyerang aku? Itu, 
tuh, musuhmu!" 
Sambil menunjuk Ratih yang sedang sibuk 
menghadapi para pengeroyoknya, si pemuda 
menggeser tubuhnya ke kanan, menghindari se-
rangan pedang.  
"Ah! Kau bandel rupanya! Apa kau ingin ku 
jewer hingga telingamu panjang sebelah?" ejek 
Soma yang tak membalas serangan pimpinan pe-
rampok itu. 
Si pemuda bermaksud meloncat keluar 
kancah pertarungan. Namun sambaran pedang di 
tangan pimpinan perampok itu kembali mengan-
cam tubuhnya. 
"Baik baik! Kau memang bandel sekali. Aku 
bukan saja ingin menjewer kuping mu, tapi juga 
ingin mencabuti kumismu sampai rontok, tahu?!" 
Dengan gerakan cepat Soma bergerak ke 
samping kiri. Dan ketika pedang di tangan pimpi-
nan perampok terus mengejar ke kiri, Siluman 
Ular Putih cepat meloncat tinggi ke udara. Sambil 
berputaran, tangan kirinya segera menjewer telin-
ga, sedang tangan kanannya siap meraih kumis 
tebal pimpinan perampok itu. 
Rrrtt...! 
"Aaau...!" 
Pimpinan perampok itu memekik, begitu 
kedua tangan nakal Siluman Ular Putih tepat 
mengenai sasaran. Kupingnya terasa panas bu-
kan main. Sementara kumisnya rontok sebagian 
dengan darah segar keluar dari lukanya. Bahkan 
tubuhnya langsung tersuruk di tanah, akibat 
kuatnya tarikan yang dilakukan Siluman Ular Pu-
tih. 
"Ha ha ha...! Lucu, lucu sekali! Kau tak 
ubahnya seperti anak kecil yang menunggu gili-
ran di jamban, Orang Tua!" teriak Siluman Ular 
Putih kegirangan begitu mendarat di tanah. Ke-
dua tangannya mendekap ke perut, saking tidak 
tahannya melihat tingkah pimpinan perampok 
itu. 
Laki-laki berkumis itu meraung-raung ke-
sakitan. 
Sebagian wajahnya yang garang berlepotan 
darah dari kumisnya yang rontok sebagian. 
Dan bersamaan dengan jatuhnya laki-laki 
berkumis lebat itu, Ratih pun berhasil meroboh-
kan salah seorang dari tiga pengeroyoknya. Meli-
hat hal ini, kepala perampok itu gusar bukan 
main. Kini baru disadari, siapa lawan yang se-
dang dihadapi. Maka dengan satu isyarat mata 
kepada kawan-kawannya, dia segera bangkit dan 
berlari tunggang langgang meninggalkan tempat 
itu. Gerakannya diikuti teman-temannya, setelah 
membawa dua orang yang terluka. 
"Nah, nah, nah...! Begitu juga lebih baik. 
Aku takut kawanku yang cantik ini bisa tambah 
murka kalau kalian tidak cepat-cepat enyah dari 
hadapannya," celoteh Soma. 
Ratih bersungut-sungut. Hatinya masih 
kesal dengan kelakuan Siluman Ular Putih tadi. 
Bukannya tadi membantu dirinya, malah mem-
bantu kawanan rampok itu. 
"Nah! Sekarang, apa lagi yang harus aku 
perbuat? Kawanan begal itu sudah enyah dari 
hadapan kita. Apa kau ingin meneruskan perjala-
nan? Atau...." 
Soma menggaruk-garuk kepala tanpa me-
lanjutkan bicara. Entah mengapa tiba-tiba saja 
kepalanya ingin digaruk-garuk Padahal, rambut-
nya tidak gatal. Sementara matanya yang cerdik 
bergerak-gerak nakal. 
"Oh, ya? Ngomong-ngomong, kau masih 
penasaran padaku, ya? Lantas, kau menyusulku 
kemari?" baru Soma melanjutkan bicaranya 
"Memangnya, kau sendiri yang punya uru-
san dengan Manusia Rambut Merah?! Huh! Dasar 
pemuda edan!" sungut Ratih sinis. 
"Oh...! Jadi, kau punya urusan dengan 
Manusia Rambut Merah, ya? Aku kira kau masih 
penasaran padaku? Ya, sudah! Kalau begitu, se-
lamat tinggal!" 
Soma alias Siluman Ular Putih sempat 
menghadiahi gadis itu dengan seulas senyum 
manis sebelum akhirnya berkelebat pergi. Gera-
kan kedua kakinya cepat sekali. 
Sebentar saja, bayangan tubuhnya lenyap 
di antara kerimbunan pohon randu. 
Ratih sebenarnya ingin sekali mencegah 
kepergian pemuda itu. Akan tetapi entah menga-
pa, ia hanya membanting-bantingkan kaki ka-
nannya dengan kesal. Pandangan matanya masih 
tertuju ke arah lenyapnya bayangan pemuda yang 
diam-diam mulai mencuri sekeping hatinya. 
Siang terik. Matahari tepat pada titik ten-
gahnya, seperti  hendak memanggang siapa saja 
yang ada di bawahnya. Debu-debu di sepanjang 
jalan diluar Hutan Sawo Kembar beterbangan ka-
la dua ekor kuda jantan tak begitu kencang me-
nelusuri jalanan itu. Penunggangnya adalah dua 
orang wanita. 
Melihat dari pakaian ringkas dan cara me-
nunggang kuda yang lincah, kedua orang itu pasti 
bukanlah wanita sembarangan. Yang sebelah ka-
nan adalah seorang wanita berpakaian biru tua, 
dengan cadar penutup wajah berwarna biru. 
Usianya belum terlalu tua. Paling baru berumur 
empat puluh lima tahunan. Namun menilik tu-
buhnya yang padat dan sintal, mungkin orang 
akan mengira wanita itu baru berumur tiga pulu-
han tahun. Orang ini dijuluki Perempuan Berca-
dar Biru. 
Sedang di sebelah Perempuan Bercadar Bi-
ru adalah seorang gadis cantik yang juga berpa-
kaian biru tua. Usianya kira-kira delapan belas 
tahun. Wajahnya yang cantik tampak kemerah-
merahan tertimpa panasnya sinar matahari. Se-
dang rambutnya yang hitam panjang sebatas ba-
hu dikuncir dua ke belakang. Dan sambil terus 
memacu kudanya kencang, ia terus  saja ber-
nyanyi riang. Kepalanya digoyang-goyangkan ke 
kanan-kiri seirama lagu yang sedang dinyanyi-
kan. 
"Tutup mulutmu, Ayuni! Tuli aku menden-
gar suaramu," hardik Perempuan Bercadar Biru 
pada gadis bernama Ayuni. 
"Ah..., Guru! Mengapa sih, Guru selalu 
mengusik kesenanganku?!" tukas Ayuni. 
"Diam! Kalau aku bilang tutup mulut, kau 
harus tutup mulut, mengerti?!" hardik Perempuan 
Bercadar Biru lagi galak. 
Ayuni mengedumel. Kedua bibirnya yang 
indah memberengut. 
"Apa enaknya sih, melakukan perjalanan 
jauh dengan  berdiam diri begini?" sahut gadis 
berbaju biru itu masih saja membantah. 
Perempuan Bercadar Biru mendelik gusar. 
Kedua bibirnya berkemik-kemik, siap melontar-
kan makian. Namun belum sempat bibirnya ter-
buka, tiba-tiba saja 
"Benar! Benar sekali apa yang dikatakan 
muridmu itu, Perempuan Bercadar Biru! Mengapa 
sih kamu usil amat?!" 
Kedua orang wanita cantik itu dikejutkan 
oleh suara sumbang yang datangnya entah dari 
mana, menyahuti ucapan Ayuni. Suaranya meng-
gemuruh, menggetarkan tanah di sekitarnya. 
Perempuan Bercadar Biru dan Ayuni saling 
berpandangan. Tanpa melihat sosoknya pun, me-
reka tahu kalau ada seorang tokoh berkepandaian 
tinggi sedang menghadang perjalanan. Ayuni 
mengedarkan pandangan ke segenap penjuru, 
namun tetap saja tidak menemukan siapa-siapa. 
"Apa yang kau cari, Anak Muda? Aku di si-
ni!" 
Suara sumbang itu kembali terdengar 
menggemuruh dari tanah yang bergetar di seki-
tarnya. Beberapa saat lamanya kemudian, tanah 
yang bergetar ini tiba-tiba saja membuncah tinggi 
ke udara. Bersamaan dengan itu, sesosok bayan-
gan merah menyala keluar dari tanah. 
Seketika itu juga, dua ekor kuda jantan 
tunggangan Perempuan Bercadar Biru dan Ayuni 
meringkik ketakutan. Kedua kakinya terangkat 
tinggi-tinggi ke atas. Untungnya mereka tangkas 
sekali, sehingga tidak terlempar dari punggung 
kuda. 
"Siapa kau?! Mengapa menghadang perja-
lanan kami?!" bentak Perempuan Bercadar Biru 
pada seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang 
terbungkus pakaian merah-merah yang keluar 
dan dalam tanah. 
Laki-laki berpakaian merah-merah itu ter-
senyum sinis. Rambutnya yang juga berwarna 
merah menyala dibiarkan riap-riapan menutupi 
sebagian wajahnya yang garang. Matanya bulat 
memerah dengan hidung besar. Sementara alis 
mata, kumis, dan jenggot berwarna merah menya-
la. Usia sebenarnya sudah sangat tua. Namun 
anehnya tubuhnya masih nampak kekar seperti 
orang baru berumur setengah baya. 
"Kau..., kaukah Manusia Rambut Merah 
dari Hutan Sawo Kembar?" tebak Perempuan Ber-
cadar Biru setelah mengenali ciri-ciri orang yang 
menghadang itu. Dan hatinya kaget bukan main 
melihat siapa sebenarnya tokoh sesat ini. 
"Ha ha ha...! Syukur kalau kau masih in-
gat, Perempuan Bercadar Biru. Berhubung aku 
tidak berurusan denganmu, sebaiknya kau me-
nyingkir saja! Aku ada sedikit urusan dengan mu-
ridmu yang cantik ini," ujar Manusia Rambut Me-
rah angkuh sambil mengerling ke arah Ayuni 
dengan matanya yang nakal. 
Ayuni bergidik melihat pandangan mata 
Manusia Rambut Merah. Biarpun belum berpen-
galaman di dunia persilatan, namun naluri kewa-
nitaannya menangkap kalau orang di hadapannya 
punya niat tidak baik. 
"Siapa peduli?! Aku tidak pernah punya 
urusan denganmu, Badut Merah!" bentak Ayuni 
ketus. 
"Aku memang tidak pernah punya urusan 
denganmu, Cah Ayu. Tapi aku sendiri yang akan 
mengurusmu. Ha ha ha...!" 
Perempuan Bercadar Biru menggeretakkan 
gerahamnya pertanda amarah yang tengah bergo-
lak. Ia memang belum pernah berurusan dengan 
Manusia Rambut Merah yang menjadi momok 
dunia persilatan beberapa puluh tahun lalu. Na-
mun melihat muridnya hendak diganggu, pe-
dangnya pun cepat diloloskan. Walaupun, sebe-
narnya diam-diam sempat terkejut juga menden-
gar nama besar Manusia Rambut Merah! 
"Kunyuk Merah besar kepala! Apa kau be-
lum pernah merasakan tajamnya pedangku, he?! 
Nih, rasakan kalau kau ingin menjilat tajamnya 
pedangku!" bentak Ayuni sambil mencabut pe-
dangnya. Seketika tubuhnya melompat ringan, 
langsung menyerang Manusia Rambut Merah. 
"Aku paling senang berurusan dengan ga-
dis galak sepertimu, Cah Ayu. Cuma aku sangsi, 
apa kau juga bisa galak di atas ranjang?!" leceh 
Manusia Rambut Merah seraya berkelit ke samp-
ing menghindari serangan. 
"Bajingaaan...! Kau terlalu merendahkan-
ku, Kunyuk Merah!" teriak Ayuni kalap. Samba-
ran-sambaran pedangnya semakin dipercepat, 
mengurung Manusia Rambut Merah. 
Laki-laki berpakaian merah-merah tokoh 
sesat dunia persilatan ini  tersenyum dingin. Se-
rangan-serangan Ayuni dilayani hanya dengan 
meliuk-liukkan tubuhnya. Malah begitu ada ke-
sempatan, tubuhnya menerobos pertahanan Ayu-
ni, dengan tangan siap menotok Lalu.... 
Tukkk! 
"Aaakh...!" 
Ayuni memekik kecil begitu jari-jari tangan 
Manusia Rambut Merah mendarat di punggung-
nya. Dan seketika itu juga, tubuhnya yang ramp-
ing jatuh berdebam ke tanah tanpa dapat dige-
rakkan lagi. 
Perempuan Bercadar Biru kaget bukan 
main. Sungguh tidak disangka sama sekali kalau 
muridnya akan sedemikian mudahnya diroboh-
kan. Ia sendiri belum tentu mampu merobohkan 
dalam waktu sesingkat itu! Tapi Manusia Rambut 
Merah? 
"Bedebah! Kalau kau mengganggu murid-
ku, demi Tuhan aku akan mengadu nyawa den-
ganmu!" teriak Perempuan Bercadar Biru kalap. 
"Ha ha ha...! Sudah kubilang, aku tidak 
punya urusan denganmu. Aku hanya mempunyai 
urusan dengan muridmu yang cantik ini. Sekali-
gus, untuk menyempurnakan ilmu 'Wejangan Ib-
lis'-ku!" ujar Manusia Rambut Merah seraya ber-
kelebat, mendekati tubuh Ayuni. Namun sayang-
nya, Perempuan Bercadar Biru telah terlebih da-
hulu mendekatinya. 
Manusia Rambut Merah geram bukan 
main. Dan sebelum gadis itu dibebaskan dari to-
tokan, Manusia Rambut Merah cepat lancarkan 
pukulan 'Kelabang Geni' dengan tangan menghen-
tak.  
Wessss! 
Seketika seleret sinar merah dari kedua te-
lapak tangan Manusia Rambut Merah menyambar 
ganas ke tubuh Perempuan Bercadar Biru. 
Perempuan Bercadar Biru mengurungkan 
niatnya. Tak mungkin niatnya diteruskan kalau 
masih ingin berumur panjang. Dan begitu melihat 
seleret sinar merah dari kedua telapak tangan 
Manusia Rambut Merah, tubuhnya langsung ber-
kelit ke samping kiri sambil menghentakkan ke-
dua tangannya, memapaki pukulan 'Kelabang 
Geni'. 
Wesss! 
Blarrr...! 
Bukan main hebatnya akibat pertemuan 
dua tenaga dalam tingkat tinggi itu. Tanah di se-
kitar kancah pertarungan bergetar hebat. Pohon-
pohon dalam jarak sepuluh tombak bergoyang-
goyang terkena sambaran angin yang keluar dari 
benturan tadi. Sementara itu tubuh Perempuan 
Bercadar Biru terhuyung-huyung beberapa lang-
kah ke belakang. Cadar biru penutup wajahnya 
sudah diremasi cairan berwarna merah darah. Je-
las, tokoh sakti dari Pulau Karimunjawa itu terlu-
ka dalam. 
Namun tidak demikian halnya Manusia 
Rambut Merah. Tokoh sesat dari Hutan Sawo 
Kembar itu hanya sedikit bergetar, namun sama 
sekali tidak membahayakan bagi keselamatan ji-
wanya. 
"Huh! Untung saja aku tidak menghendaki 
nyawamu, Perempuan Bercadar Biru! Kalau saja 
aku mau, apa kau masih bisa menghirup napas 
seperti ini? Tapi berhubung kau telah lancang be-
rani mencampuri urusanku, terpaksa sekali aku 
harus menghukummu. Biarlah kau jadi mangsa 
binatang-binatang buas hutan ini," ejek Manusia 
Rambut Merah, dingin menggetarkan. 
Perempuan Bercadar Biru memasang ku-
da-kudanya kuat-kuat, menunggu jurus apa lagi 
yang akan dikeluarkan Manusia Rambut Merah. 
Sementara, Manusia Rambut Merah kini 
menyilangkan kedua tangannya ke depan dada. 
Kedua kakinya dirapatkan dalam-dalam. Kemu-
dian tiba-tiba saja tubuhnya berputar cepat seka-
li, seperti putaran gasing. Dan ketika tanah mem-
buncah tinggi ke udara, tubuh Manusia Rambut 
Merah pun amblas ke dalam tanah! 
Perempuan Bercadar Biru semakin me-
ningkatkan kewaspadaan. Ia tidak ingin bertindak 
ceroboh seperti tadi. Ia lebih senang menunggu, 
apa yang akan dilakukan musuhnya. Dan dalam 
beberapa kejap kemudian... 
"Auuww...!" 
Tiba-tiba saja Perempuan Bercadar Biru 
memekik kaget. Kedua kakinya mendadak terasa 
seperti sedang dibetot seseorang dari dalam ta-
nah. 
Perempuan Bercadar Biru jadi kebingun-
gan. Perlahan-lahan tubuhnya semakin melesak 
ke dalam tanah. Cepat tenaga dalamnya dikerah-
kan untuk melepaskan betotan. Namun, rupanya 
sia-sia saja. Bukan saja ia tak mampu mele-
paskan diri dari betotan, tapi juga merasakan 
tangan Manusia Rambut Merah telah menotoknya 
dari dalam tanah! 
"Ah...!" pekik Perempuan Bercadar Biru ka-
get bukan alang kepalang. Tiba-tiba saja sekujur 
tubuhnya lemas tak dapat; digerakkan sama se-
kali! 
"Ha ha ha...! Sekarang rasakan hukuman-
ku, Perempuan Usil!" leceh Manusia Rambut Me-
rah masih dari dalam tanah. Suaranya mengge-
ma, menggetarkan tanah di sekitarnya. 
Tidak lama kemudian, Manusia Rambut 
Merah pun kembali keluar dari dalam tanah yang 
tiba-tiba membuncah tinggi ke udara. Setelah 
berputaran beberapa kali, kakinya mendarat ma-
nis di dekat tubuh Ayuni. 
"Bajingan...! Jangan ganggu muridku!" te-
riak Perempuan Bercadar Biru yang terpendam 
hingga sebatas leher, tanpa bisa bergerak. 
"Jangan banyak bacot! Urus saja dirimu 
baik-baik!" dengus Manusia Rambut Merah sam-
bil mengangkat tubuh Ayuni ke dalam pondon-
gannya. 
"Demi Tuhan, aku akan mengejarmu sam-
pai ke ujung akhirat  pun kalau kau berani me-
nyentuh muridku!" geram Perempuan Bercadar 
Biru garang. 
"Lakukanlah! Lakukanlah, kalau kau me-
mang bisa!" tantang Manusia Rambut Merah me-
nyakitkan. 
Dalam pondongan tokoh sesat itu, Ayuni 
pun menjerit-jerit kalap. Namun hanya sebentar 
saja, karena Manusia Rambut Merah buru-buru 
menotok lehernya. Sehingga, gadis itu tidak dapat 
berteriak-teriak lagi. 
"Silakan menikmati hukumanku, Perem-
puan Bercadar Biru! Selamat tinggal!" 
Manusia Rambut Merah cepat berkelebat 
meninggalkan tempat itu. Gerakan kedua kakinya 
ringan sekali. Dan dalam sekejap saja, bayangan-
nya lenyap di antara rimbunnya hutan di depan 
sana. 
Sementara itu Perempuan Bercadar Biru 
itu terus menyumpah-nyumpah penuh kemara-
han. Hampir sekujur tubuhnya yang tertotok di-
pendam dalam tanah, hingga sampai ke pangkal 
leher. 
*** 
Manusia Rambut Merah terus berlari ke 
arah utara. Gerakannya ringan sekali seperti ka-
pas, meski tengah memondong tubuh Ayuni. Na-
mun anehnya kali ini, gadis itu tidak dilarikan ke 
tempat persembunyiannya di Hutan Sawo Kem-
bar, melainkan ke sebuah gua tersembunyi di 
pantai utara. 
Jarak yang ditempuh sebenarnya cukup 
jauh. Namun dengan ilmu meringankan tubuhnya 
yang sudah mencapai tingkat tinggi, Manusia 
Rambut Merah dapat menempuh perjalanan 
hanya dalam waktu setengah malam saja. Kini 
mulut gua itu sudah terlihat oleh matanya, ter-
samar dari tepi pantai. Letaknya di atas lereng 
sebelah barat batu karang raksasa berbentuk se-
perti pedang. Agaknya sulit sekali bagi manusia 
biasa mendaki lereng bukit batu karang itu. Di 
samping letaknya yang condong ke utara, batu 
karang itu juga licin sekali. 
Sejenak Manusia Rambut Merah berdiri 
mematung di bawah batu karang itu. Pandangan 
matanya tajam mengamati keadaan sekeliling, se-
perti takut kelihatan orang lain. Setelah dirasanya 
aman, baru tokoh sesat dari Hutan Sawo Kembar 
itu meloncat ke batu karang. 
"Hup!" 
Sekali sentak saja, Manusia Rambut Merah 
dapat mencapai dinding sebelah barat batu ka-
rang. Dan sekarang, nampaklah mulut gua. Tidak 
terlalu besar memang. Hanya pas untuk satu 
orang saja. Itu saja sempit sekali bagi Manusia 
Rambut Merah yang memiliki badan tinggi besar. 
"Guru...! Aku datang memenuhi panggi-
lanmu, Guru. Ini adalah perawan suci yang 
keempat puluh untukmu...," desis Manusia Ram-
but Merah. 
Tak ada sahutan. Hanya dinding-dinding 
batu karang itu bergetar-getar dan dalam, lalu 
perlahan-lahan terbuka lebar. 
"Kau mendengar suaraku, Guru? Terima 
kasih," lanjut Manusia Rambut Merah lagi, masih 
dengan desisan. 
Aneh memang bila kedua kaki tokoh sesat 
ini gemetar kala masuk ke dalam gua. Entah, 
mengapa. Mula-mula jalan masuk gua datar saja. 
Tapi dua tombak kemudian, jalan telah menukik 
tajam ke bawah. Manusia Rambut Merah melon-
gokkan kepalanya ke bawah. Tampak jalanan gua 
itu berkelok-kelok ke bawah. Dan langkahnya 
pun kembali diteruskan. Dan, sampailah ia di sa-
tu tempat datar yang cukup luas. Dinding-dinding 
batu gua itu bukan lagi terbuat dari batu karang, 
tapi dari tanah merah biasa. Maka bisa disimpul-
kan kalau gua itu berhubungan dengan daratan. 
Keadaan di sekitar gua cukup menyeram-
kan. Tak ada penerangan sama sekali, sehingga 
suasana tampak gelap. Manusia Rambut Merah 
memandang ke satu tempat dengan sinar mata 
aneh. Entah siapa yang sedang ditunggu tokoh 
sesat itu. Orang yang tadi dipanggil guru pun ti-
dak menampakkan batang hidungnya. 
Drrr...! 
Brolll...! 
Namun tiba-tiba saja tanah di dalam gua 
itu bergetar hebat. Bersamaan dengan itu, me-
nyembul satu sosok berpakaian putih-putih dari 
permukaan tanah. 
Begitu menginjakkan kakinya di tanah, 
tampak jelas kalau sosok itu adalah seorang laki-
laki sangat tua. Usianya sulit sekali ditafsirkan. 
Rambutnya yang panjang berwarna putih telah 
rontok di sana sini di makan usia. Wajahnya 
mengerikan sekali. Kedua matanya melesak ke 
dalam tanpa hidung. Kedua bibirnya tipis sekali, 
hampir tidak kelihatan. Tubuhnya pun kurus, 
hanya tinggal kulit pembalut tulang. 
Pada zamannya, tokoh tua ini sangat dita-
kuti dalam rimba persilatan. Julukannya pun 
sangat mengerikan. Jerangkong Hidup! Dan kini, 
laki-laki bertubuh kurus kering itu membuka ma-
tanya yang melesak ke dalam perlahan-lahan. Ta-
jam sekali pandangannya, menandakan tenaga 
dalamnya sudah mencapai tingkat yang sangat 
tinggi. 
"Kau tahu, mengapa aku menyuruhmu 
membawa korbanku kemari, Jarkasi?" tanya Je-
rangkong Hidup langsung memanggil nama asli 
Manusia Rambut Merah. Suaranya menggema, 
seperti suara dari dalam alam gaib. Dan anehnya 
lagi, kedua bibirnya yang tipis sama sekali tidak 
bergerak-gerak saat berbicara. 
"Belum, Guru," sahut Manusia Rambut 
Merah alias Jarkasi. 
"Bodoh! Apa kau lupa, malam apa sekarang 
ini?" bentak Jerangkong Hidup kasar. 
"Ma..., malam Jumat Kliwon, Guru," jawab 
Manusia Rambut Merah, gugup. 
"Kalau sudah tahu, mengapa kau tidak ce-
pat membawa korbanmu itu kemari?!" 
"Ba.., baik, Guru." 
Manusia Rambut Merah cepat menurun-
kan tubuh Ayuni dari pondongannya. Dan dile-
takkan tubuh gadis yang tertotok itu di atas batu 
pipih tak jauh dan Jerangkong Hidup. 
Ayuni hanya bergidik ngeri tanpa bisa ber-
teriak, apalagi bergerak. Sekujur tubuhnya diba-
sahi keringat dingin. Ia tidak tahu, nasib apa 
yang akan dialaminya nanti. Semuanya serba 
menakutkan, serba menegangkan. Tidak tahu la-
gi, apa yang harus diperbuatnya. Ia hanya bisa 
menunggu datangnya waktu. 
"Cepat lakukan upacara!" perintah Jerang-
kong Hidup, tegas. 
"Baik, Guru," sahut Jarkasi, patuh. 
Manusia Rambut Merah duduk bersila di 
hadapan gurunya yang juga segera bersila. Kedua 
matanya terpejam. Bibirnya berkemik-kemik me-
lantunkan sebaris mantra. 
Sementara Jerangkong Hidup memperhati-
kan muridnya seksama, Kedua bibirnya juga ber-
kemik-kemik, membacakan mantra. Entah dari 
mana, perlahan-lahan asap hitam tebal mulai 
bergulung-gulung di hadapan Jerangkong Hidup 
dan muridnya. Beberapa kejap kemudian, asap 
hitam tebal itu pun mulai membentuk sesosok te-
ramat mengerikan! Sepasang matanya berwarna 
merah saga. Hidungnya lancip memanjang. Kedua 
bibirnya berwarna merah menyala. Giginya tam-
pak putih berkilau dengan kedua taring panjang. 
Tak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang kurus 
dan perut buncit. Makhluk itu adalah jelmaan da-
ri alam kegelapan yang menjadi pujaan Jerang-
kong Hidup dan muridnya. 
Ayuni bergidik ngeri dan memekik dalam 
hati. Apa yang dilihatnya benar-benar membuat 
nyali gadis itu menciut. Untungnya ia masih ta-
bah. Hanya matanya saja yang bergerak-gerak liar 
mencari jalan keluar. 
"Ia ingin meminjam jazadmu, Jarkasi. Ber-
siap-siaplah menerima kehadirannya! Nanti kau 
akan mendapatkan ilmu 'Wejangan Iblis' yang kau 
idam-idamkan itu," jelas Jerangkong Hidup kem-
bali membuka suaranya. 
Kali ini matanya tidak lagi dipejamkan. 
Namun kedua bibirnya yang tipis itu terus saja 
berkemik-kemik. 
"Baik, Guru. Aku sudah siap." 
Manusia Rambut Merah tetap diam dalam 
duduk semedinya. Kedua matanya pun tetap ter-
tutup rapat-rapat, menunggu makhluk yang men-
jadi pujaannya masuk ke dalam raganya. 
Slep!    
Bayangan makhluk hitam itu cepat sekali 
masuk ke dalam raga Manusia Rambut Merah. 
Seketika itu juga, tubuh tokoh sesat ini bergetar 
hebat. Kedua matanya yang terpejam kontan ter-
belalak liar memandang tubuh Ayuni. Kalau saja 
gadis itu tidak dalam keadaan tertotok, sudah 
pasti akan menjerit ngeri. Wajahnya pucat bagai 
mayat. Bibirnya bergetar-getar membayangkan 
kengerian luar biasa! 
Perlahan Manusia Rambut Merah yang su-
dah menyatu dengan jasad makhluk hitam yang 
sangat mengerikan itu, mulai berjalan mendekati 
Ayuni. Tak terasa gadis itu mulai meneteskan air 
mata saking tidak kuatnya melihat bahaya maut 
yang akan datang menjemput. 
Kali ini suasana tegang dalam gua benar-
benar sudah mencapai puncaknya. Ayuni tak ta-
han lagi. Ia langsung tak sadarkan diri saat Ma-
nusia Rambut Merah mulai bergerak menyentuh 
tubuhnya. Menanggalkan pakaiannya, dan... 
Tak ada satu orang pun yang dapat menye-
lamatkan Ayuni dari cengkeraman kedua manu-
sia pemuja iblis itu. 
Korban terakhir telah terlaksana. Suara 
tawa sumbang Jerangkong Hidup dan muridnya 
terdengar susul-menyusul, seperti nyanyian pu-
luhan iblis yang sedang asyik berpesta pora di da-
lam kegelapan! 
*** 
Malam baru saja berlalu. Kini alam maya-
pada sepenuhnya dikuasai kegelapan. Rindang-
nya pepohonan dan cahaya bulan yang tersuruk-
suruk di ufuk barat, tak mampu menerangi jagat 
raya ini. 
Sementara dari arah timur ujung jalan di 
luar Hutan Sawo Kembar, terlihat seorang pemu-
da berpakaian rompi dan celana bersisik warna 
putih keperakan tengah berlari kencang ke arah 
selatan. Kini rambut pemuda itu tidak lagi dikun-
cir dua ke belakang, melainkan dibiarkan tergerai 
di bahu. Tubuhnya yang tinggi tegap bergerak 
ringan sekali, menyusuri jalanan. Siapa lagi pe-
muda tampan itu kalau bukan murid tunggal 
Eyang Begawan Kamasetyo. Soma yang dijuluki 
orang Siluman Ular Putih. 
Saat Siluman Ular Putih tengah asyik me-
lenggang di tengah jalan, tiba-tiba saja.... 
Tak! 
"Aahh...!" 
Soma memekik kaget, ketika kakinya me-
nendang sesuatu. Hampir saja pemuda itu ter-
sungkur, kalau saja tidak cepat meloncat tinggi 
ke udara, lalu mendarat manis di tanah. Namun 
belum sempat hilang rasa kagetnya.... 
"Keparat! Siapa lagi yang usil mengganggu-
ku, he?!" 
Tiba-tiba pemuda itu kembali dikejutkan 
oleh bentakan seseorang. 
"Eh, eh...! Siapa lagi ini? Kok, kedengaran-
nya seperti sedang marah-marah padaku?" Soma 
celingukan ke sana kemari, namun tidak mene-
mukan siapa-siapa. 
"Anjing kurap budukan! Matamu ditaruh di 
mana, he?! Apa kau tidak lihat?!" bentak suara 
itu lagi kalap. 
Jelas, suara bentakan barusan di sekitar 
sini. Soma mengedarkan pandangannya ke seki-
tarnya sambil garuk-garuk kepala. Dan tiba-tiba 
saja pandangan matanya tertumbuk pada kepala 
seseorang yang tertutup kain cadar biru, seperti 
tergolek di tengah jalan. 
"Ha?! Apa itu? Kau.... Kau...! Set..., se-
taaaann...!" pekik Soma kaget bukan alang kepa-
lang. 
Seketika itu juga sambil sesekali menoleh 
ke belakang si pemuda langsung lari tunggang-
langgang meninggalkan tempat itu. Mulutnya tak 
henti-hentinya berteriak-teriak, persis orang ke-
surupan. Watak kependekarannya lenyap, entah 
ke mana. Yang jelas ia betul-betul terkejut. 
"Bocah edan! Mengapa kau lari?! Aku bu-
kan setan," teriak kepala yang tergolek kebingun-
gan sendiri melihat orang yang menendangnya 
tadi kabur. 
Mendengar teriakan itu, Soma menghenti-
kan larinya. Hatinya jadi bimbang. Dan dengan 
hati berdebar, kepalanya dipaksakan untuk me-
noleh. 
"Bocah edan! Aku manusia sepertimu. To-
longlah aku, Anak Muda!" pinta orang itu. Dia 
khawatir, kalau Soma benar-benar akan men-
ganggapnya hantu dan akan meninggalkannya. 
"Aku ini manusia biasa sepertimu. Seseorang te-
lah menguburku macam begini, tahu?" 
"Jadi..., jadi? Kau..., kau manusia? Bukan 
setan?"  
"Bukan!" 
"Ba..., baik! Kalau begitu aku akan meno-
longmu...," kali ini Soma tidak berlagak bodoh la-
gi. Dia kasihan juga pada orang yang dipendam 
itu. "Apa yang harus kulakukan untukmu, 
Mbakyu. Eh...?! Bagaimana ya, aku harus me-
manggilmu?" 
"Jangan cerewet! Cepat gali tanah ini!" ben-
tak orang yang ternyata terpendam itu kesal. 
"Aduuuh...!" Soma garuk-garuk kepala. 
"Jangan garuk-garuk kepala saja! Ayo, le-
kas gali tanah ini!" bentak orang terpendam, tak 
sabar. 
"Tapi, nanti kau harus buka cadarmu, ya! 
Aku ingin lihat, kau pantas mendampingiku atau 
tidak?" kata Soma mulai kambuh penyakit usil-
nya. 
Orang yang ternyata seorang wanita itu 
mengedumel, tak menyahuti ocehan Soma. Hanya 
matanya saja yang membelalak lebar. 
Soma tahu, wanita itu malas meladeni oce-
hannya. Namun ia tidak peduli. Mulutnya terus 
saja nyerocos seperti nenek-nenek kehilangan si-
rih. 
"Cuma begini saja kau tak bisa mengata-
sinya. Lantas, buat apa bawa-bawa pedang sega-
la? Oh, ya? Kulihat tadi ada dua bilah pedang ter-
geletak di sana. Kau pasti seorang pendekar. Tapi, 
mengapa kau tak bisa keluar dari tempat ini? 
Hm.... Jangan-jangan kau sedang bertelur di da-
lam tanah? Lihat nih, jurus apa yang akan kuke-
luarkan!" 
Siluman Ular Putih tiba-tiba menggerakkan 
kedua tangannya, seperti hendak meraup. Gera-
kan kedua tangannya kelihatan seperti orang 
main-main. Namun anehnya, begitu kedua tan-
gannya menyentuh tanah, seketika itu juga tanah 
langsung berhamburan ke udara. 
"Augh...!" 
Dan bersamaan tanah yang berhamburan 
ke udara, tampak sesosok tubuh ramping berpa-
kaian biru tua ikut terbawa keluar. Orang itu 
memekik lirih kala tubuhnya membentur tanah. 
Soma tidak mempedulikannya. Pemuda ini 
tengah asyik mengebut-ngebutkan kedua tangan-
nya dari kotoran tanah. Sedang matanya mem-
perhatikan kubangan tanah, tempat wanita ber-
pakaian biru tua itu tadi terkubur. Senyumnya 
tampak terkembang di bibir. Dan setelah ditung-
gu beberapa saat lamanya, Siluman Ular Putih 
jadi mengernyitkan dahinya karena tidak men-
dengar suara apa pun dari orang yang baru dito-
longnya. 
"Dasar manusia tak tahu diri! Setelah dito-
long langsung kabur! Huh!" rutuk Soma. 
"Aku tidak kabur, tahu?!" 
"Hei, kau dimana...? Ya, ampun! Kenapa 
kau tiduran di situ?" teriak Soma menghardik. 
"Aku tertotok, tahu!" kata wanita itu kesal. 
"Oh oh oh...!" Soma melenguh mirip tikus 
kena cuka. "Maaf..., maaf! Aku tidak mengira ka-
lau kau tertotok. Pantas saja kau hanya tiduran 
saja." 
"Jangan banyak bacot! Ayo, cepat lepaskan 
totokanku!" hardik wanita ini tak sabar.  
"Enak saja! Memangnya aku budakmu. 
Buka dulu cadarmu. Baru aku melepaskan toto-
kanmu," goda Soma. 
"Bocah edan! Bagaimana aku bisa melepas 
kain penutup wajahku, kalau aku masih dalam 
keadaan tertotok begini!" 
"Oh iya, ya? Hampir saja aku lupa!"Soma 
cengar-cengir mirip orang sinting. Namun, toh 
akhirnya mau juga membukakan totokan wanita 
itu. "Sudah sekarang cepat buka cadarmu! Aku 
ingin lihat, cantikkah wajah yang ditutup cadar 
itu!" 
Perempuan Bercadar Biru tidak mempedu-
likan ocehan Soma. Ia hanya menggerak-
gerakkan tangan dan kakinya setelah hampir se-
tengah hari tubuhnya tak dapat digerakkan di da-
lam tanah. 
"Lambat amat sih! Seperti pesinden saja! 
Ayo, cepat buka cadarmu!" desak Soma, tak sa-
bar. 
Perempuan Bercadar Biru kesal sekali. Dan 
mendadak tangan  kanannya berkelebat cepat, 
menampar pipi pemuda nyinyir di hadapannya. 
Plak! 
Plak! 
Dua kali pipi Soma terkena tamparan tan-
gan mungil Perempuan Bercadar Biru, membuat-
nya memaki tak karuan. Ia tadi menyangka Pe-
rempuan Bercadar Biru itu akan menuruti kein-
ginannya membuka cadar. Akan tetapi, yang di-
dapat malah tamparan keras pada pipinya. 
"Huh! Orang macam apa ini! Sudah dito-
long, pakai main tampar lagi!" gerutu Soma.  
"Diam kau!" 
"Kau yang diam, perempuan tak tahu diri!" 
balas Soma kesal. "Kenapa kau tampar pipiku?!" 
"Kau menyebalkan sekali, Anak Muda!" 
"Baik, baik! Mungkin kau benar. Aku me-
mang menyebalkan. Tapi, aku mau tanya, sung-
guh-sungguh. Mengapa kau berendam di dalam 
tanah tadi? Apa kau sedang mencari ilmu sakti?" 
tanya Soma ingin tahu. 
"Kau cerewet sekali! Aku tak sudi meladeni 
omonganmu. Sekarang juga, aku akan menyela-
matkan muridku. Selamat tinggal, dan terima ka-
sih!" 
"Hei, tunggu dulu!" tahan Soma, cepat 
memegang lengan wanita itu sebelum sempat 
berkelebat pergi. 
"Apalagi?!" 
"Jangan begitu, ah! Kau kan belum menja-
wab pertanyaanku. Pertama, kau belum menceri-
takan mengapa tadi terkubur seperti itu? Kedua, 
mengapa kau tidak mengatakan padaku, siapa 
orang yang telah menculik muridku? Ketiga, kau 
belum mau membuka cadarmu? Keempat, kau 
belum me...." 
"Sudah, sudah! Pusing aku mendengar 
ocehanmu!" penggal Perempuan Bercadar Biru 
memberontak dari cengkeraman tangan Soma ka-
sar. 
"Ah! Kau tidak sabaran amat, sih?!" goda 
Soma. "Apa kau takut pada aku?" 
Perempuan Bercadar Biru mendengus kes-
al. "Kau mau dengar ceritaku apa tidak?!" 
"Oh...! Ya, ya...! Cepat katakan, siapa yang 
telah mencelakakanmu dan muridmu itu!" 
Perempuan Bercadar Biru tidak langsung 
menjawab pertanyaan Soma. Ia sebenarnya kesal 
sekali melihat tingkah pemuda ini. Namun toh 
akhirnya mulutnya tersenyum juga melihat ting-
kah pemuda yang ugal-ugalan ini. 
"Manusia Rambut Merah...," desis Perem-
puan Bercadar Biru penuh kemarahan. 
"Manusia Rambut Merah?!" ulang Soma. 
Matanya kontan terbeliak lebar. 
"Ya. Dialah yang telah mencelakakanku 
dan menculik muridku!" 
"Hm...!" 
Soma menggeram penuh kemarahan. Gi-
ginya gemeletukan. Rahangnya bertonjolan me-
nahan amarah menggelegak. 
"Sudah, ya! Selamat tinggal! Dan, terima 
kasih atas bantuanmu tadi!" 
Sehabis berkata begitu, tanpa banyak ca-
kap lagi Perempuan Bercadar Biru langsung 
menggenjot kedua kakinya meninggalkan tempat 
ini. 
Soma sendiri masih asyik dengan pikiran-
nya sampai lupa kalau wanita itu telah jauh me-
ninggalkan dirinya. 
"Eh..., tunggu dulu! Kau belum membuka 
cadarmu...!" teriak Soma, begitu teringat Perem-
puan Bercadar Biru lagi. Namun sayangnya wani-
ta itu sudah lenyap dari pandangan matanya. 
Soma memaki panjang pendek. Lalu den-
gan satu tekad mantap Siluman Ular Putih pun 
cepat mengikuti Perempuan Bercadar Biru. Kare-
na, yakin kalau orang itu pasti akan mencari Ma-
nusia Rambut Merah di sarangnya, di Hutan Sa-
wo Kembar. 
Dengan sekali hentak saja, si pemuda telah 
jauh melesat ke depan. Ia terus berlari, menyusu-
ri hutan yang cukup lebat itu. 
*** 
Soma menggeram marah. Di Hutan Sawo 
Kembat ternyata tidak ditemukan siapa-siapa, ke-
cuali tanah di sekitar hutan itu yang hancur be-
rantakan. Siluman Ular Putih terus memutar 
otaknya. Mungkinkah Manusia Rambut Merah ti-
dak membawa calon korbannya kemari? 
"Ah, keparat! Bisa juga tikus merah itu ti-
dak membawa calon korbannya kemari? Lantas, 
ke manakah calon korbannya dibawa?" Soma ga-
ruk-garuk kepala, coba berpikir keras.   
Si pemuda penasaran sekali. Tanah di seki-
tar hutan itu berantakan. Bisa jadi Manusia 
Rambut Merah membawa calon korbannya ke da-
lam tanah. Bukankah ia dapat amblas bumi? 
Soma cengar-cengir mirip tikus kena cuka. 
Otaknya yang cerdik segera bekerja. Namun be-
lum sempat niatnya terlaksana, tiba-tiba saja 
pendengarannya yang tajam mendengar gemere-
sek daun-daun kering terinjak kaki seseorang. 
Dengan gerakan cepat, tubuhnya menyelinap ke 
balik sebuah pohon. 
"Ah..., ternyata dia!" gumam Soma dalam 
hati. 
Di hadapan Siluman Ular Putih saat itu 
terlihat seorang perempuan berpakaian biru tua 
dengan wajah tertutup cadar warna biru tua pula. 
Kakinya melangkah hati-hati dengan sebilah pe-
dang di tangan. 
Soma cengar-cengir di tempat persembu-
nyiannya. Dengan menggunakan ilmu meringan-
kan tubuh 'Menjangan Kencana', pemuda ini tadi 
dapat mendahului Perempuan Bercadar Biru. 
"Huaaa ha ha...! Apa yang kau cari, Tikus 
Pemalu? Mengapa kau tidak membuka cadarmu? 
Ayo, cepat buka cadarmu! Kau masih hutang pa-
daku!" teriak Soma lantang di tempat persembu-
nyiannya. Suaranya membahana memenuhi Hu-
tan Sawo Kembar. 
Perempuan Bercadar Biru celingukan. Ia 
seperti mengenal suara pemuda ceriwis itu. 
"Ah..., tak mungkin! Mana mungkin pemu-
da sinting itu dapat mendahului ke tempat ini?" 
gumam Perempuan Bercadar Biru, yakin. Meski 
sudah mengenal suara itu, namun sikapnya tetap 
waspada kalau-kalau si empunya suara adalah 
orang yang menculik muridnya. 
"Huaaa ha ha,..! Baru kali ini kulihat orang 
setolol kau, Perempuan Bercadar Biru? Apa kau 
ingin buang hajat di tempat ini?" teriak Soma lagi 
lantang. 
Perempuan Bercadar Biru mengedarkan 
pandangan ke segenap penjuru. Gagang pedang-
nya tergenggam erat-erat, siap melindungi diri da-
ri serangan musuh 
"Anjing kurap! Lekas tampakkan hidung-
mu!" bentak Perempuan Bercadar Biru penuh 
kemarahan. 
"Ah... Kau ingin melihat hidungku? Tidak, 
ah! Aku malu. Aku harus pinjam cadarmu dulu. 
Bukankah kau masih hutang padaku? Ya ya ya...! 
Kau masih hutang padaku. Sekarang juga, aku 
ingin kau membayarnya kontan. Tapi, sayangnya 
aku bukan lintah darat. Aku tak ingin menagih-
mu berikut bunganya." 
Perempuan Bercadar Biru gemas bukan 
main. Kini si empunya suara mulai dikenali, jelas 
suara itu tidak lain  milik pemuda nyinyir yang 
menolongnya tadi. Namun belum sempat bertin-
dak lebih lanjut, tiba-tiba saja pendengarannya 
yang sangat terlatih mendengar angin berkesiur 
menyambar cadar penutup wajahnya. Dan belum 
sempat berkelit menghindar, tahu-tahu cadar bi-
ru penutup wajahnya telah tergenggam, di tangan 
pemuda penolongnya. 
"Ah...! Ternyata kau sudah tua, Perem-
puan! Tapi tak apa-apa. Wajahmu masih lumayan 
kok, masih cantik. Ha ha ha...!" 
Bukan main kagetnya Perempuan Bercadar 
Biru. Sungguh tidak disangka gerakan pemuda 
penolongnya begitu cepat, melebihi kecepatannya. 
Buktinya, dalam satu gebrakan saja ia telah kehi-
langan cadar penutup wajahnya. Kalau saja pe-
muda itu bermaksud jahat, bukan mustahil nya-
wanyalah yang melayang. 
Tapi, Perempuan Bercadar Biru tak meng-
hiraukan itu semua. Kemarahan telah membuat 
tokoh dari Pulau Karimunjawa itu gusar bukan 
main. Wajahnya yang cantik seperti wajah seo-
rang gadis berusia tiga puluh tahun nampak ke-
merah-merahan saking gusarnya. Sementara bi-
birnya bergetar-getar. 
"Kau.... Kau...! Jahanam! Kau harus mem-
bayar mahal atas kekurangajaranmu ini, Bocah!" 
bentak Perempuan Bercadar Biru penuh kemara-
han. Seketika tubuhnya berkelebat. Pedang di 
tangan kanannya cepat menyambar-nyambar ga-
nas menyerang Soma. 
"Pengibul! Kau..., kau tukang ngibul! Kau 
sendiri sudah berjanji akan melepaskan cadarmu 
kalau aku melepaskan totokanku tadi. Tapi, men-
gapa kau tak mengakuinya? Ah, dasar pengibul!" 
teriak Soma lantang sembari berloncatan ke sana 
kemari menghindari sambaran-sambaran pedang. 
Gerakan kedua kakinya asal-asalan saja, seperti 
bukan gerakan seorang ahli silat. Namun aneh-
nya, sambaran-sambaran pedang Perempuan 
Bercadar Biru itu hanya menemui tempat kosong.  
"Cepat kembalikan cadarku! Atau kupeng-
gal batang lehermu, Bocah!" bentak Perempuan 
Bercadar Biru, berapi-api. 
"Ah, dasar pengibul! Curang! Curang!" te-
riak Soma, terus menghindari. 
Perempuan Bercadar Biru tak mempeduli-
kan ocehan Soma. Pemuda penolongnya terus sa-
ja didesak dengan serangan ganas. Namun aneh-
nya serangan-serangannya selalu dapat dihindari 
dengan mudah. Padahal jurus-jurus andalannya 
sudah dikeluarkan. 
"Wah wah wah...! Mengapa urusannya jadi 
begini?! Apa salahku, he?! Dasar, Perempuan Tu-
kang Kibul!" oceh Soma seenak perut. 
"Pemuda sinting tak tahu adat! Cepat kem-
balikan cadarku! Kalau tidak aku akan mengadu 
nyawa denganmu!" teriak Perempuan Bercadar 
Biru. 
"Sabar dikit kenapa, sih? Orang sabar itu 
disayang Tuhan lho?" ledek Soma. 
Perempuan Bercadar Biru menggeram ma-
rah. Nampak kesabarannya sudah habis. Dan pe-
dang di tangan kanannya siap kembali menyerang 
Soma dengan jurus-jurus andalan. 
"Heit! Tunggu! Daripada jadi biang penyakit 
sawan, lebih baik kukembalikan saja. Nih! Teri-
malah cadar jelekmu ini!" 
Soma melemparkan cadar itu asal-asalan 
saja sembari menjejakkan kaki kanannya me-
ninggalkan tempat itu. 
Perempuan Bercadar Biru itu menangkap-
nya dengan tangan kiri. Namun anehnya, begitu 
berhasil meraih cadar, tangan kirinya yang untuk 
menangkap terasa bergetar hebat. Seketika itu ju-
ga wajah wanita ini pucat pasi. Bibirnya bergetar-
getar. Sedang matanya yang membelalak liar te-
rus memperhatikan cadar biru di tangan kirinya. 
Dan begitu kepalanya menengadahkan kembali, 
bayangan tubuh pemuda penolongnya tadi sudah 
menghilang di antara kerimbunan Hutan Sawo 
Kembar. 
"Pemuda hebat...! Tapi sayang, sikapnya 
ugal-ugalan...," desis Perempuan Bercadar Biru 
dengan bibir bergetar-getar. 
Matahari sudah sejak tadi tenggelam di ka-
ki langit sebelah barat. Sementara angkasa raya 
tampak cerah, tak ada awan mengembang. Bulan 
purnama perlahan-lahan merayap ke tengah-
tengah cakrawala dari sebelah selatan, membuat 
suasana lingkaran bumi makin terang benderang. 
Di bawah pancaran sinar bulan, di lereng 
sebelah selatan Gunung Merapi nampak sebuah 
bayangan hitam tengah berlari kencang menaiki 
puncak. Gerakan kedua kakinya aneh sekali, se-
perti bersejingkat. Namun dalam waktu sebentar 
saja, ia sudah sampai ke puncak yang dituju. 
Begitu menghentikan gerakannya, tampak 
jelas kalau bayangan itu adalah seorang laki-laki 
pendek gempal. Dan dari pakaian hitamnya yang 
kedodoran, nampak tersembul gagang golok hing-
ga ke pangkal leher. Kepalanya botak. Usianya 
sekitar tujuh puluh tahun. Dialah yang di kalan-
gan persilatan dikenal sebagai Raja Golok Dari 
Utara. 
Raja Golok Dari Utara langsung mengedar-
kan pandangan dengan alis berkerut.... Cukup 
lama juga ia diam termenung seperti itu. 
"Ah...! Keparat! Jangan-jangan mereka ti-
dak datang ke Puncak Merapi ini! Hm.... Rupanya 
Raja Racun Dari Selatan, Denok Supi, dan Algojo 
Dari Timur telah membohongiku. Ah...! Benar-
benar keparat! Awas! Kalau kalian benar-benar 
membohongiku! Jangan salahkan kalau terpaksa 
tempat persembunyian kalian kuobrak-abrik satu 
persatu!" gerutu Raja Golok Dari Utara penuh 
kemarahan dengan bibir berkemik-kemik. 
Wajah bulat laki-laki pendek gempal ini 
menegang. 
Rahangnya yang keras bertonjolan. Namun 
entah mengapa sehabis mengeluarkan gerutuan-
nya, mendadak ia jadi terkesiap sendiri. Seketika 
itu matanya membelalak liar. Bibirnya pun kem-
bali berkemik-kemik. 
"Ah...! Jangan-jangan malah aku sendiri 
yang salah menghitung tanggal, sehingga mereka 
belum datang. Tapi..., tapi..., ah! Tidak mungkin! 
Tidak mungkin aku salah menghitung tanggal. 
Malam ini adalah tepat malam purnama di bulan 
Asyuro tahun ini. Ya ya ya...! Aku yakin betul...," 
desah laki-laki pendek yang di daerah utara di-
kenal sebagai tokoh sesat ini seraya mengangguk-
anggukkan kepala. 
Memang, seperti tahun-tahun sebelumnya, 
antara Raja Golok Dari Utara dengan Raja Racun 
Dari Selatan, Denok Supi, dan Algojo Dari Timur 
selalu mengadakan uji laga dan kepandaian seca-
ra persahabatan, guna menjadi tokoh sesat nomor 
satu di dunia persilatan. Untuk itu, pada tahun 
ini keempat tokoh datuk sesat itu kembali men-
gadakan pertemuan di puncak Gunung Merapi. 
Dan rupanya kali ini Raja Golok Dari Utara 
datang lebih awal. Setelah puas dengan keyaki-
nannya, maka tokoh sesat dari utara ini pun se-
gera menghenyakkan pantatnya di sebuah batu 
besar. Namun baru saja niatnya terlaksana, men-
dadak pendengarannya yang tajam mendengar 
gerakan-gerakan mencurigakan di balik semak-
semak di depannya. 
"Siapa yang bersembunyi di balik semak? 
Keluaaarrr...!" bentak Raja Golok Dari Utara ga-
lak. Suaranya yang disertai tenaga dalam mem-
bahana, mengusik ketenangan malam di puncak 
Gunung Merapi. 
Tidak ada sahutan. 
Raja Golok Dari Utara menggeram. Dari 
duduknya, tubuhnya yang pendek gempal tahu-
tahu telah melenting tinggi ke udara dengan golok 
di tangan. Dari udara, ia melihat di balik semak-
semak beberapa orang berpakaian compang-
camping tengah saling berpandangan. Karena me-
reka melihat orang yang sejak tadi diperhatikan 
sudah tidak ada di tempatnya. Beberapa saat me-
reka celingukkan dengan wajah terkejut. Namun 
belum sempat hilang rasa heran mereka....  
"Hyaaat...!" 
Tahu-tahu sebuah bayangan hitam pendek 
itu telah mengayunkan goloknya ke salah seorang 
berpakaian pengemis disertai bentakan menggele-
gar. Dan.... 
Crasss! 
"Aaakh...!" 
Terdengar satu jeritan menyayat yang dis-
usul robohnya satu orang berpakaian pengemis. 
Perutnya yang terkena sambaran golok robek 
dengan isi terburai. Tanpa ampun lagi, pengemis 
bertubuh kurus itu pun langsung ambruk ke ta-
nah tak dapat bergerak-gerak lagi. Darah lang-
sung bersimbah di tanah. 
"Raja Golok! Di antara kita tidak ada silang 
sengketa. Mengapa kau membunuh seorang ang-
gota Pengemis Tongkat Hitam?!" teriak salah seo-
rang pengemis berpakaian compang-camping 
yang pada lengan kanannya mengenakan pita 
warna kuning penuh kemarahan. 
"Apa pedulimu, Pengemis Penjelajah! Di an-
tara kita memang tidak ada silang sengketa. Tapi 
kalau aku menginginkan nyawa kalian, kau mau 
apa, he?!" hardik sosok bayangan pendek yang 
memang Raja Golok Dari Utara angkuh, setelah 
mendarat di tanah dengan manis sekali.  
Pengemis berpita warna kuning yang di-
panggil Pengemis Penjelajah itu menggeram. Se-
bagai tokoh Pengemis Tongkat Hitam yang bertu-
gas mengawasi dan bertanggung jawab atas kea-
manan wilayah bagian tengah, Pengemis Penjela-
jah tak mau bertindak ayal-ayalan. Segera tong-
kat hitamnya digerakkan, memberi aba-aba pada 
teman-temannya. 
Maka dalam sekejap saja, Raja Golok Dari 
Utara telah dikepung dua puluh orang berpakaian 
pengemis. 
"Jembel-jembel tak tahu diri! Suruh seka-
lian Ki Samiaji, ketua kalian kemari! Biar sekalian 
kubasmi!" ujar Raja Golok Dari Utara tertawa 
pongah. 
"Jangan terlalu banyak mengumbar suara, 
Raja Golok! Ketua kami tak pantas berhadapan 
muka denganmu.  Lekaslah menyerah sebelum 
kami mencincang tubuhmu!" kata Pengemis Pen-
jelajah yang kira-kira berusia tiga puluh tahunan 
itu berani. 
"Setan alas! Kau harus membayar mahal 
atas penghinaanmu ini, Jembel Busuk!" geram 
Raja Golok Dari Utara murka. 
Golok di tangan kanan laki-laki pendek itu 
kembali menyambar-nyambar ganas. Gerakannya 
cepat sekali, sehingga sulit diikuti mata para pen-
geroyoknya. Sehingga.... 
Cras! Cras!  
"Aaah...!" 
Dan dalam waktu tidak lama, sepuluh 
orang pengemis telah berjatuhan ke tanah dengan 
usus terburai oleh sambaran golok tokoh sesat 
dari utara itu. 
Bukan main marahnya Pengemis Penjela-
jah melihat sepuluh orang anak buahnya roboh 
tak dapat bangun lagi dengan luka mengerikan. 
Maka dengan satu lengkingan tinggi, pengemis 
yang menguasai wilayah tengah itu bergerak me-
nerjang hebat tanpa menghiraukan keselamatan 
dirinya. 
Raja Golok Dari Utara tersenyum menge-
jek. Serangan Pengemis Penjelajah dilayaninya 
dengan sambaran golok yang semakin mengga-
nas. Terpaksa Pengemis Penjelajah bergerak 
mundur. Dan  itu tidak disia-siakan Raja Golok 
Dari Utara. Sasarannya kini adalah para penge-
mis lainnya. Setiap sambaran goloknya selalu 
meminta korban para pengeroyoknya. Lalu den-
gan gerakan tak terduga, tubuhnya berkelebat ke 
arah Pengemis Penjelajah sambil mengebutkan 
golok. Dan.... 
Crasss! 
"Ah...!" pekik Pengemis Penjelajah dengan 
wajah pucat pasi, ketika tangannya tersambar go-
lok hingga putus sampai siku. Darah, langsung 
mengucur deras. Sambil berdiri sempoyongan, 
Pengemis Penjelajah menotok urat tangannya 
yang buntung agar aliran darah berhenti. 
Melihat hal itu, beberapa orang pengemis 
yang masih hidup segera berteriak memanggil 
kawan-kawannya yang lain. Namun sayangnya, 
bantuan yang diharapkan tidak kunjung datang 
juga. Para pengemis itu hanya mendengar jeritan-
jeritan kematian yang datangnya dari arah utara. 
Jelas itu berasal dari mulut para pengemis yang 
berada di puncak gunung sebelah utara! 
Pengemis Penjelajah jadi menggeram penuh 
kemarahan. Dengan melupakan keselamatan di-
rinya, ia jadi nekat menyerang Raja Golok Dari 
Utara. 
"Iblis! Aku ingin mengadu nyawa dengan-
mu!" teriak Pengemis Penjelajah kalap. 
Laki-laki pendek yang merupakan tokoh 
sesat dari utara itu tertawa-tawa senang. Samba-
ran-sambaran goloknya semakin menggila. Dan di 
saat bermaksud menghabisi nyawa Pengemis Pen-
jelajah, mendadak.... 
"Hik hik hik...! Aku jadi iri melihat kesera-
kahanmu, Raja Golok! Si Tua kurus Raja Racun 
pun sedang asyik berpesta pora di sebelah sana. 
Mengapa kau tidak membagi-bagi rejeki padaku? 
Ayo cepat minggir! Beri aku jalan!" 
Dari arah berlawanan terdengar suara 
merdu seorang wanita yang bernada melecehkan. 
Belum hilang gaung suara merdu itu, tahu-
tahu di hadapan Raja Golok Dari Utara telah ber-
diri seorang wanita cantik berpakaian serba kun-
ing. Rambutnya yang hitam panjang digelung ke 
atas. Sebenarnya usia wanita ini sudah sangat 
tua. Namun karena memiliki ilmu awet muda, se-
hingga nampak seperti seorang gadis yang baru 
berusia dua puluh delapan tahun. Dandanannya 
pun menyolok. Wajahnya yang putih bersih diole-
si bedak tebal yang agak luntur, karena keringat. 
Bibir dan kedua pipinya berwarna kemerah-
merahan. Nampak menor sekali penampilannya. 
Sedang di pinggangnya yang ramping nampak 
terselip gagang gunting senjata andalannya. 
"Kau makin nampak cantik saja, Denok 
Supi! Apa resepmu sehingga nampak awet muda 
begini?" sambut Raja Golok Dari Utara, langsung 
mengenali siapa yang datang. 
"Hik hik hik..!! Kau mau tahu saja," jawab 
sosok wanita genit yang ternyata Denok Supi. 
Tingkahnya pun makin dibuat-buat semenarik 
mungkin. 
"Hm...! Kau pasti sering mengurung pemu-
da-pemuda tampan sebagai obat awet muda-
mu...." 
"Kau sudah tahu, mengapa bertanya? Apa 
kau naksir aku? Hik hik hik...," jawab wanita ge-
nit itu lagi. 
Sementara itu Pengemis Penjelajah tersen-
tak kaget. Sungguh tidak disangka kalau wanita 
cantik di hadapannya adalah Denok Supi, tokoh 
sesat dari wilayah barat yang sudah sangat ter-
kenal di dunia persilatan. Ia memang belum per-
nah bertemu muka dengannya. Namun sebagai 
seorang tokoh pengemis yang bertugas menjelaja-
hi wilayah tengah, telinganya sudah terlalu sering 
mendengar kekejian tokoh sesat di hadapannya. 
Melihat hal itu Pengemis Penjelajah jadi 
berpikir lain. Jelas kedua tokoh sesat itu tidak 
mungkin sanggup dihadapi seorang diri. Jangan-
kan menghadapi keduanya. Menghadapi Raja Go-
lok Dari Utara pun, ia dan kawan-kawannya ma-
sih belum sanggup. Apalagi saat ini anak buah-
nya hanya tinggal dua orang saja. 
Tanpa banyak pikir panjang lagi, di saat 
Raja Golok Dari Utara sedang bercakap-cakap 
dengan Denok Supi, Pengemis Penjelajah segera 
memberi aba-aba pada kedua orang temannya 
untuk segera meninggalkan puncak Gunung Me-
rapi. Namun sayangnya baru beberapa langkah, 
kembali terdengar suara tawa Raja Golok Dari 
Utara. 
"Ha ha ha...! Jembel-jembel busuk! Kalian 
mau lari ke mana?!" 
Raja Golok Dari Utara tersenyum dingin. 
Tangan kirinya cepat bergerak ke muka. Dan dari 
kekuatan yang tidak nampak saat tangan kiri Ra-
ja Golok Dari Utara mengibas ke dalam, tahu-
tahu tubuh Pengemis Penjelajah itu sudah terbe-
tot ke arahnya. Dan dengan suara tawa yang ber-
derai, tokoh sesat itu menyentakkan tangannya 
ke atas. 
Wuuttt! 
"Aaakh...!" 
Seketika itu juga tubuh Pengemis Penjela-
jah melambung tinggi ke udara tanpa tersentuh. 
Dan dengan enaknya, Raja Golok Dari Utara me-
mutar-mutar tubuh pengemis itu di udara! Suatu 
pertunjukan tenaga dalam yang sangat tinggi! 
"Raja Golok! Kau jangan serakah! Itu ba-
gianku!" bentak Denok Supi kesal. 
"Ha ha ha...! Kalau saja aku tidak meman-
dang wajahmu yang cantik ini, mana sudi aku 
memberikan rejekiku ini padamu. Nih, terimalah 
pemberianku." 
Raja Golok Dari Utara menggerakkan tan-
gan kirinya. Dilemparkannya tubuh Pengemis 
Penjelajah itu kepada Denok Supi. Cepat sekali 
tubuh pengemis itu meluncur ke muka Denok 
Supi. 
Denok Supi tahu, itu bukanlah sembarang 
lemparan. Dan ia tidak ingin kalah ujuk gigi. Ma-
ka dengan tangkasnya segera ditahannya seran-
gan Raja Golok dengan sentakan tangannya yang 
berisi tenaga dalam tak kalah tinggi. Sehingga, 
tubuh Pengemis Penjelajah mengambang di uda-
ra! 
Raja Golok Dari Utara tertawa berkakakan. 
Merasa tak mau kalah, setelah menyelipkan kem-
bali goloknya ke pinggang, kekuatan tenaga da-
lamnya segera ditambahkan. 
Pengemis Penjelajah menjerit-jerit hebat 
mendapat dorongan dua tenaga dalam dari arah 
berlawanan. Tubuhnya yang mengambang di uda-
ra sudah mengeluarkan bunyi bergemeretak dari 
tulang-tulangnya yang hancur berantakan. Men-
genaskan sekali nasibnya di tangan kedua orang 
tokoh sesat itu. Tubuhnya yang tadi berkelojotan, 
sekarang diam tak bergerak-gerak sama sekali. 
Rupanya tokoh pengemis ini telah mati di udara. 
Denok Supi dan Raja Golok Dari Utara tak 
peduli. Mereka terus saja mengadu tenaga dalam 
dengan perantara tubuh Pengemis Penjelajah 
yang sudah membeku! 
Mendadak di saat Denok Supi dan Raja Go-
lok Dari Utara sedang mengadu kekuatan tenaga 
dalam. 
"Memalukan sekali perbuatan kalian! Se-
perti anak-anak kecil yang sedang berebut mai-
nan saja!" 
Kedua orang itu mendadak mendengar su-
ara sember yang diiringi berkesiurnya hawa din-
gin menyerang tubuh Pengemis Penjelajah yang 
sudah menjadi mayat! 
Wesss! 
Bukkk! 
Begitu terkena pukulan jarak jauh, seketi-
ka itu juga tubuh Pengemis Penjalajah yang su-
dah menjadi mayat terlempar beberapa tombak ke 
depan dalam keadaan hancur berantakan. Sedang 
akibat dari serangan itu, Denok Supi dan Raja 
Golok Dari Utara jadi saling serang sendirian. Un-
tungnya begitu merasakan hawa dingin berkesiur 
tadi, mereka sudah bersiap-siap mengurangi ke-
kuatan tenaga dalam. Sehingga begitu tubuh 
Pengemis Penjelajah terkena pukulan pembo-
kongnya, mereka cepat melempar tubuh ke bela-
kang. 
Sekarang di hadapan Denok Supi dan Raja 
Golok Dari Utara telah berdiri seorang kakek tua 
bertubuh tinggi kurus dengan pakaian compang-
camping, mirip pengemis. Rambutnya panjang 
awut-awutan. Wajahnya tirus kepucatan, tak ber-
kumis dan berjenggot. Dan sepasang matanya le-
bar berwarna merah. Tokoh ini tidak lain dari 
seorang tokoh sesat yang merajai di daerah sela-
tan. Julukannya pun cukup seram. Raja Racun 
Dari Selatan! 
"Hm...! Rupanya kau yang usil mengganggu 
keasyikan kami, Raja Racun!" dengus Denok Supi 
penuh kemarahan. 
"Kalau memang iya, kalian mau apa?!" tan-
tang Raja Racun Dari Selatan dengan suara 
sember. 
"Setan alas! Apa kau belum pernah mera-
sakan tajamnya golokku, Raja Racun!" bentak Ra-
ja Golok Dari Utara gusar, tak mau kalah gertak. 
"Heh! Siapa takut?! Menghadapi kalian 
berdua saja, aku masih sanggup. Majulah kalau 
kalian ingin merasakan pukulan 'Telapak Tangan 
Kelabang Hitam'-ku!" 
Bukan main marahnya Denok Supi dan 
Raja Golok Dari Utara mendengar tantangan Raja 
Racun Dari Selatan yang pongah itu. Seketika itu 
juga, kedua orang tokoh sesat itu siap melancar-
kan serangan. Namun tiba-tiba saja.... 
"Tunggu!" 
Ketiga orang itu dikagetkan oleh suara te-
riakan yang disertai suara berdebum menggetar-
getarkan tanah di sekitarnya. Tanpa sadar mere-
ka mengalihkan pandangan ke arah datangnya 
suara.  
"Hmm.... Algojo Dari Timur...!" 
*** 
Dari arah timur muncul seorang laki-laki 
tinggi besar berpakaian norak sekali, berwarna 
merah dan kuning. Rambut kepalanya dikuncir 
ke atas. Hanya itu saja rambutnya, selebihnya 
plontos! Sebuah anting bundar besar nampak 
menghiasi telinga kirinya. Wajahnya dingin mem-
bayangkan kekejian luar biasa, dengan mata be-
sar dan hidung besar, serta rahangnya yang ke-
ras. 
Orang tinggi besar itu memang seorang to-
koh sesat yang merajai wilayah timur. Julukan-
nya, Algojo Dari Timur. Dan sekarang tokoh sesat 
dari timur itu terus melangkah disertai suara 
berdebum menggetar-getarkan tanah di sekitar-
nya! 
"Algojo Dari Timur! Apa kau pikir kepan-
daianmu sudah dapat menundukanku?!" kata Ra-
ja Golok Dari Utara yang paling berangasan di an-
tara keempat tokoh sesat itu. Nada suaranya ter-
dengar pongah. 
"Ha ha ha...! Kau pintar sekali mengumbar 
suara, Raja Golok. Apa kau pikir kau juga sang-
gup menahan pukulan 'Badai Gurun Pasir'-ku?!" 
Raja Golok Dari Utara mengerutukkan ge-
rahamnya. Saking gusarnya goloknya segera dilo-
loskan. 
Sret! 
"Ha ha ha...! Bagus! Bagus! Rupanya kau 
sudah tidak sabar menunggu pertandingan ini, 
ya?! Baik! Tapi, tunggu dulu! Apa pertandingan 
ini masih tetap dengan cara lama?" kata Algojo 
Dan Timur. 
"Jangan banyak bacot! Dengan cara apa 
pun,  aku tidak peduli. Golokku ini sudah gatal-
gatal ingin merobek mulutmu yang lebar, tahu?! 
Heaaa...!" 
Raja Golok Dari Utara tak dapat menahan 
diri lagi. Segera diserangnya Algojo Dari Timur 
dengan jurus-jurus andalannya. Gerakan kedua 
kaki dan tangannya cepat sekali, menyebabkan 
pepohonan di puncak Gunung Merapi bergoyang-
goyang terkena sambaran angin serangan. Namun 
musuh yang dihadapinya kali ini adalah tokoh se-
sat yang merajai daerah timur. Maka wajar saja 
kalau serangan-serangan Raja Golok pari Utara 
dapat dihindari dengan mudah. 
"Baik! Mulai sekarang pertandingan untuk 
menentukan siapa yang paling pantas mendapat 
sebutan datuk sesat nomor satu kali ini, masih 
tetap dengan cara lama. Yakni, kita harus saling 
serang. Entah, siapa musuh kita. Setuju atau tak 
setuju, kalian semua harus menyetujuinya!" te-
riak Algojo Dari Timur lantang setelah berhasil 
menghindari serangan Raja Golok Dari Utara. 
Dan setelah berkata demikian Algojo Dari 
Timur pun segera melolos senjata andalannya. 
Yakni sebuah parang besar. Panjangnya hampir 
satu jengkal lebih. 
"Kau pongah sekali kedengarannya, Setan 
Gundul! Apa dipikir, kau sendiri yang paling jago 
di antara kami?!" kata Denok Supi seraya men-
gerling ke arah Raja Racun Dari Selatan. 
Raja Racun Dari Selatan memahami mak-
sud isyarat kerlingan itu. 
"Benar sekali apa yang dikatakan Denok 
Supi! Jangan dikira dengan kepandaianmu yang 
sedengkul dapat mengalahkan kami, Setan Gun-
dul!" tambah Raja Racun Dari Selatan. 
"Ha ha ha...! Kalian ini terlalu perasa be-
nar. Siapa yang bilang demikian? Aku tidak ber-
maksud meremehkan kalian. Tapi kalau kalian 
takut, sebaiknya pulang saja sebelum parangku 
meminta korban," teriak Algojo Dari Timur di an-
tara gerakan-gerakan bayangan Raja Golok Dari 
Utara yang terus mendesaknya. 
"Setan gundul! Kau terlalu memandang 
rendah kami. Jangan salahkan kalau gunting 
mautku ini memenggal lehermu!" teriak Denok 
Supi penuh kemarahan seraya mencabut senjata 
andalannya yang berupa gunting raksasa sepan-
jang setengah tombak. 
Sehabis berkata begitu, tanpa banyak bica-
ra lagi tokoh sesat dari barat itu langsung menye-
rang Algojo Dari Timur yang sedang bertempur 
hebat melawan Raja Golok. 
Raja Racun Dari Selatan yang tadi menye-
tujui isyarat mata Denok Supi pun segera menye-
rang Algojo Dari Timur dengan jurus-jurus anda-
lan. Meski hanya menggunakan tangan kosong, 
namun serangan-serangan tokoh tua dari selatan 
ini tidak kalah hebat. 
Melihat ketiga orang saingannya maju 
mengeroyok, Algojo Dari Timur jadi kewalahan 
bukan main. Entah sudah berapa kali tubuhnya 
yang tinggi besar itu berjumpalitan di udara sam-
bil menangkis dengan parangnya yang besar. 
Crak! Crak! 
Denok Supi terus mendesak ganas Algojo 
Dari Timur. Guntingnya yang besar tak henti-
hentinya menyerang bagian-bagian yang paling 
membahayakan di tubuh musuhnya. Pada saat 
yang sama, Raja Golok Dari Utara dan Raja Ra-
cun Dari Selatan terus mendesak tak kalah sen-
gitnya. 
"Hyaaat!" pekik Raja Racun Dari Selatan 
dan Raja Golok Dari Utara hampir bersamaan. 
Algojo Dari Timur terperangah. Tak mung-
kin serangan kedua saingan utamanya dihindari 
dalam waktu bersamaan. Keadaannya saat ini ku-
rang menguntungkan, setelah menghindari se-
rangan-serangan Denok Supi tadi. Namun, tentu 
saja ia juga tidak ingin mati konyol. 
Untuk itu, segera ditangkisnya serangan 
golok di tangan kanan Raja Golok Dari Utara den-
gan menggunakan parangnya. 
Trang! 
Pada saat yang sama, Algojo Dari Timur 
menahan pukulan 'Telapak Tangan Kelabang Hi-
tam' milik Raja Racun Dari Selatan dengan puku-
lan 'Badai Gurun Pasir' di tangan kirinya. 
Blarrr...! 
Algojo Dari Timur tak sanggup lagi mena-
han pukulan 'Telapak Tangan Kelabang Hitam'. Di 
samping saat itu tenaga dalamnya harus dipecah 
jadi dua karena harus menahan golok di tangan 
Raja Golok keadaannya memang tak mengun-
tungkan. Maka tanpa ampun lagi tubuh tinggi be-
sar itu terlempar beberapa tombak ke belakang, 
dan jatuh berdebam di tanah yang kering. Seketi-
ka dari mulutnya mengeluarkan darah segar. Je-
las, tokoh sesat dari timur itu menderita luka da-
lam yang hebat. 
Algojo Dari Timur menggeram penuh kema-
rahan. Matanya yang merah mengerikan seperti 
hendak memangsa saingan-saingan utamanya.... 
* * * 
Sementara itu jauh dari puncak Gunung 
Merapi yang menjadi ajang pertempuran tokoh-
tokoh sesat dunia persilatan, Siluman Ular Putih 
tengah berlari kencang menuju puncak Gunung 
Merapi. Sebenarnya hatinya masih ragu-ragu 
dengan tujuannya. Ia hanya menggunakan pera-
saan hatinya saja, kalau-kalau di puncak Gunung 
Merapi dapat menemukan orang yang sedang di-
cari-carinya. Manusia Rambut Merah! 
Ketika sedang berlari kencang di Lembah 
Batu Ular, mendadak pemuda murid  Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu menghentikan langkahnya. 
Matanya yang agak kebiru-biruan membelalak 
ngeri.  
Di hadapannya saat itu tampak berpuluh-
puluh ular hitam berukuran sebesar ibu jari kaki 
orang dewasa tengah berdiam saling melingkar 
seperti onggokan mie; di bawah sebuah batu be-
sar berbentuk kepala ular. Sedang di hadapan se-
kumpulan ular, nampak seorang kakek tua ber-
caping pandan tengah asyik meniup seruling. 
Namun begitu mendengar langkah kaki seseorang 
yang mendekati, kepala puluhan ular yang semu-
la mengikuti alunan suara suling jadi mengalih-
kan perhatian ke arah Soma dengan tatapan liar. 
"Eh...?! Mengapa ular-ular itu jadi mem-
perhatikanku seperti itu?" gumam Soma, seraya 
menarik mundur tubuhnya. 
Orang tua bercaping pandan itu tidak 
mempedulikan ocehan  Soma. Serulingnya terus 
saja ditiup, memberi aba-aba untuk menyerang 
pemuda pendatang yang telah mengganggu kea-
syikan mereka. Maka saat itu juga, puluhan ular 
hitam perlahan-lahan mulai bergerak mendekati 
Siluman Ular Putih. 
"Lho, lho...? Mengapa jadi begini?" gumam 
Soma heran. "Eh, Orang Tua! Mengapa ular-
ularmu kau suruh kemari?! Ayo, lekas suruh pu-
lang mereka, Orang Tua! Hush! Hush! 
Hussshhh...!'" Soma mendesis sambil menggerak-
gerakkan kedua tangannya, bermaksud mengusir 
ular-ular itu. 
Orang tua bercaping pandan itu sekali lagi 
meniup serulingnya dengan suara aneh. Maka 
puluhan ular yang mulai mendekati Soma makin 
beringas jadinya. Kepalanya diangkat tinggi-
tinggi, siap mematuk mangsa. 
"Ya, ampun! Mengapa jadi begini?! Apa do-
saku, sehingga hari ini aku bertemu dengan ular-
ular tak tahu diri ini?" gumam Soma mulai ber-
siap-siap menghadapi serangan. 
Orang tua bercaping pandan dan ular-ular 
hitam itu sepertinya tidak menghiraukan ocehan 
pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo. Bah-
kan gerakan-gerakan ular itu satu-dua mulai me-
nyerang Soma! 
"Jangan salahkan aku kalau aku mengha-
bisi ular-ular peliharaanmu ini, Orang Tua!" ben-
tak Soma marah, karena omongannya sedari tadi 
hanya dianggap seperti angin lalu.  
Plak! Plak! 
Sambil berkata begitu, pemuda ini pun 
mulai bergerak menampar kesana kemari disertai 
tenaga dalam, menangkis serangan-serangan ular 
yang makin mengganas. Namun anehnya ular-
ular hitam itu tidak mati. 
Siluman Ular Putih penasaran sekali. Tak 
mungkin pukulan tenaga dalamnya tidak sanggup 
memukul hancur ular-ular itu. Jangankan hanya 
ular sebesar ibu jari kaki orang dewasa, batu se-
besar gajah pun akan hancur bila terkena samba-
ran tangannya. Namun ular-ular ini? Tubuh ular-
ular hitam itu hanya terlempar ke kanan kiri ter-
kena tamparan-tamparan tangannya, setelah itu 
kembali menyerang ganas. 
"Ah... ! Kau ini bagaimana sih, Orang Tua 
?! Apa kau tidak mendengar omonganku?! Ayo, 
lekas suruh ular-ularmu ini kembali! Atau..., jan-
gan-jangan kau sendiri budek, ya? Iya?" 
Meski sibuk menghadapi serangan pulu-
han ular hitam itu, Soma tak henti-hentinya terus 
mengoceh. Namun orang tua aneh bercaping 
pandan itu terus saja meniup suling, menyuruh 
ular-ularnya menyerang. 
Habis sudah kesabaran Soma. Kini ia tidak 
segan-segan lagi menambah kekuatan tenaga da-
lamnya, menampar ular-ular hitam itu. Akibatnya 
ular-ular hitam yang nekat terlempar ke kanan 
dan kiri dengan kepala retak dan mengeluarkan 
darah segar. 
"Jangan salahkan kalau aku menghabisi 
ular-ular hitam peliharaanmu, Orang Tua!" den-
gus Soma. 
Orang tua bercaping pandan tersenyum 
dingin. Sama sekali tidak terpengaruh ucapan 
Soma. Bibirnya yang berwarna kehitaman tak 
henti-hentinya terus meniup sulingnya. 
Dalam beberapa kejap kemudian, mata Si-
luman Ular Putih jadi terbelalak lebar, tak per-
caya dengan apa yang dilihat. Darah ular-ular hi-
tam yang menetes-netes dan kepalanya yang re-
tak, secara ajaib kembali menjelma ular-ular hi-
tam baru. Maka semakin lama tempat itu sema-
kin dipenuhi ular hitam berjumlah tak terkira! 
"Ah...!" pekik Soma kaget bukan kepalang. 
Jelmaan-jelmaan ular hitam itu mengge-
liat-geliat. Kepalanya diangkat tinggi-tinggi me-
mandang Soma. Kemudian dengan gerakan cepat 
sekali, ular-ular hitam baru itu menyerang Soma 
dengan tak kalah ganas! 
Siluman Ular Putih kewalahan bukan 
main. Ia tidak berani lagi memukul hancur ular-
ular hitam yang hanya akan menambah jumlah 
ular jelmaan milik orang tua bercaping pandan 
itu. Maka tubuhnya hanya bergerak ke kanan-kiri 
menghindari serangan-serangan dengan otak be-
kerja keras mencari jalan keluar! 
Sret! 
Saat itu juga Soma mengeluarkan  senjata 
andalannya dari balik pinggang. Anak Panah Ber-
cakra Kembar! Sebuah senjata pusaka yang tak 
ada duanya baik dari bentuknya yang aneh mau-
pun kehebatannya. 
Namun setelah mengeluarkan senjata 
pemberian Eyang Begawan Kamasetyo, Siluman 
Ular Putih bukannya menyerang, melainkan ma-
lah meloncat tinggi ke udara. Setelah berputaran 
beberapa kali ke belakang, tubuhnya mendarat 
dalam keadaan duduk bersila di rerumputan. 
Sementara ular-ular hitam itu bergerak 
mendekati Soma. Tanpa banyak pikir panjang la-
gi, pemuda ini segera menempelkan pangkal Anak 
Panah Bercakra Kembar. Dan, mulailah pangkal 
anak panah itu ditiup seperti apa yang dilakukan 
orang tua bercaping pandan. 
Perlahan namun pasti, suara anak panah 
di tangan Soma yang juga dapat digunakan seba-
gai suling segera menindih suara suling orang 
bercaping pandan. Akibatnya, ular-ular hitam itu 
jadi kebingungan. Sebentar kepala mereka berge-
rak memandang Soma, sebentar kemudian balik 
memandang orang tua bercaping pandan. 
Dalam hati, Siluman Ular Putih tersenyum. 
Ia memang sudah menduga kalau ular-ular hitam 
itu hanya ular jejadian. Maka setelah berpikir 
demikian, ia mengambil keputusan untuk mela-
wan dengan menggunakan tiupan anak panah-
nya. Dan ketika tiupan anak panahnya semakin 
dapat menindih suara suling di tangan orang tua 
bercaping pandan, ular-ular hitam itu pun mulai 
bergerak membalik. Mereka, mendekati orang tua 
bercaping pandan itu dengan mata beringas! 
Dahi orang tua bercaping pandan ini ber-
kernyit dalam-dalam saat ular-ular hitam cip-
taannya mulai berani menyerangnya! 
"Ha ha ha...! Inilah mungkin yang dinama-
kan senjata makan tuan, Orang Tua. Sekarang 
rasakan pembalasanku!" teriak Soma kegirangan. 
Orang tua bercaping pandan itu cepat me-
nyimpan sulingnya ke balik pinggang. Namun te-
tap diam di tempatnya dalam keadaan bersila. 
Hanya kedua bibirnya saja yang berkemik-kemik 
membacakan mantra. Sedang tangan kirinya te-
lah meraih caping pandannya. Diletakkannya 
caping itu di hadapannya seperti orang memasang 
bubu. 
Slup! Slup! 
Aneh sekali! Begitu orang tua itu selesai 
membacakan mantra, satu persatu ular-ular hi-
tam yang jumlahnya tak terkira mulai masuk ke 
dalam caping pandan. Ban perlahan-lahan mere-
ka menghilang dari pandangan mata Soma! 
Soma berdecak kagum saking takjubnya, 
tangan kanannya pun sudah menggaruk-garuk 
rambut kepalanya. 
"He he he...! Apa yang kau lihat, Anak Mu-
da? Mengapa matamu melotot seperti itu?" tanya 
orang tua bercaping sambil menunggu ular-ular 
hitamnya untuk masuk ke dalam caping pandan-
nya seluruhnya. Dan ketika seluruh ular hitam 
itu menghilang, caping pandannya kembali dike-
nakan tanpa seekor ular pun terlihat di sana! 
"Kau..., kau pasti orang tua yang berjuluk 
Raja Penyihir...," desis Soma takjub. 
Pemuda ini tidak menyangka akan bertemu 
tokoh dunia persilatan yang sudah sangat terken-
al itu. Menurut cerita ibunya dan Eyang Begawan 
Kamasetyo, orang yang berjuluk Raja Penyihir 
mempunyai watak aneh. Sulit sekali diduga, apa 
golongannya. Kadang ia membela golongan lurus 
yang sedang terdesak oleh golongan sesat. Namun 
juga sebaliknya. Tak segan-segan pula ia membu-
nuh golongan para pendekar meski tanpa sebab 
yang pasti. Dan hebatnya lagi, orang tua bercap-
ing pandan itu juga memiliki ilmu silat cukup be-
rarti. Tak kalah dengan ilmu sihirnya yang sudah 
mencapai tingkat sangat tinggi. 
"He he he...! Rupanya kau telah mengenal-
ku, Anak Muda...," kata orang tua bercaping pan-
dan berjuluk Raja Penyihir seraya bangkit berdiri. 
Dan perlahan-lahan ia mulai mendekati Soma. 
Tinggi orang tua bercaping pandan itu bi-
asa-biasa saja. Paling hanya setinggi sebatang 
tombak. Wajahnya tirus dengan rahangnya ber-
tonjolan. Matanya agak sipit dengan hidungnya 
kecil. Sementara bibirnya agak tebal berwarna hi-
tam. Sedang tubuhnya yang kurus kering itu di-
balut pakaian tambal-tambalan yang sudah com-
pang-camping di sana-sini. 
"Nama besarmu sudah tersiar ke segenap 
penjuru mata angin. Siapa pun yang berkecim-
pung di dunia persilatan, pasti mengenalmu, 
Orang Tua. Tapi, mengapa kau menyuruh ular-
ularmu itu menyerangku?!" sahut Soma, bernada 
tak suka. 
"Ha ha ha...!" 
Orang tua bercaping pandan itu tertawa 
bekakakan. 
"Huh! Apa kau tidak menggangguku, he?! 
Apa dengan kedatanganmu ini, kau tidak meng-
ganggu keasyikkanku bermain-main dengan ular-
ularku?" hardik orang tua bercaping pandan ini 
galak. 
"Enak saja kau menuduhku seperti itu, 
Orang Tua! Memangnya lembah ini milik nenek 
moyangmu!" 
"Mau milik nenek moyangku, kek. Milik 
nenek moyangmu, kek. Siapa peduli?! Yang jelas, 
kau telah mengganggu keasyikkanku. Kau harus 
bertanggung jawab!" 
"Heh! Kau pikir aku takut dengan permai-
nan anak kecilmu itu?!" 
"Lihatlah baik-baik, kalau kau tidak takut 
padaku!" kata Raja Penyihir itu mulai berubah 
nada suaranya. 
Soma merasakan getaran-getaran halus 
mempengaruhi hatinya, namun tak mempeduli-
kannya. Ia terus saja memandangi Raja Penyihir 
lekat-lekat. Dan beberapa kejap kemudian, ma-
tanya jadi terbelalak lebar. Dilihatnya, perlahan-
lahan tubuh orang tua bercaping pandan itu mu-
lai membesar. Bahkan berubah menjadi makhluk 
raksasa yang mengerikan sekali! Wajahnya hitam 
legam. Matanya mencorong berwarna merah saga. 
Dan dua buah taring besar mencuat di kanan-kiri 
ujung-ujung giginya yang putih bersih! 
Soma bergidik ngeri. Kepalanya terus saja 
mendongak memandang ke atas. 
"Ha ha ha...! Apa lagi yang akan kau laku-
kan, Anak Muda? Apa kau belum mau menye-
rah?" kata raksasa hitam mengerikan jelmaan Ra-
ja Penyihir mengejek. Suaranya bukan lagi milik 
orang tua itu, melainkan suara seseorang yang 
entah dari mana asalnya. Seperti suara dari da-
lam liang kubur! 
"Sudah berapa kali kukatakan, hanya per-
mainan anak kecil saja. Siapa takut?!" sahut Si-
luman Ular Putih, enteng. 
Soma tak lagi memperhatikan raksasa 
tinggi besar di hadapannya. Kini buru-buru di-
tiupnya pangkal anak panahnya yang sekaligus 
juga sebagai suling. Dengan suara sulingnya, ia 
bermaksud mengusir raksasa tinggi besar jelmaan 
Raja Penyihir. 
"Tiuplah senjata andalanmu itu sampai 
mulutmu berbusa. Kalau aku kalah, aku akan 
berguru padamu. Tapi kalau kau yang kalah, kau 
harus menjadi muridku, Bocah!" 
"Heh! Siapa sudi menjadi muridmu. Paling-
paling aku akan dijadikan tumbalmu saja," celo-
teh Soma, tak gentar sedikit pun. 
"Apa kau bilang, Bocah? Kau tidak mau 
menjadi muridku? Kalau begitu, kau harus kuberi 
pelajaran terlebih dahulu!" 
Soma tidak mempedulikan ocehan raksasa 
hitam yang amat mengerikan itu. Senjata anda-
lannya terus ditiup seperti tadi. 
Sementara raksasa hitam tinggi besar itu 
sama sekali tidak terpengaruh oleh tiupan suling 
Soma. Malah kini bergerak mendekati pemuda 
itu. Dan tahu-tahu kakinya yang sebesar pohon 
kelapa telah menendang tubuh Siluman Ular Pu-
tih telak sekali. 
Bukkk! 
"Augh...!" jerit Soma. 
Tubuh si pemuda yang terkena tendangan 
raksasa hitam itu langsung terpental beberapa 
tombak ke samping kanan. Ulu hatinya terasa 
nyeri sekali. Namun ia tak pedulikan lagi dan se-
gera bangkit duduk. Senjata andalannya terus sa-
ja ditiup. Namun lagi-lagi tubuhnya dapat dijadi-
kan bulan-bulanan raksasa hitam tinggi besar 
itu. 
Bukkk! 
Bukkk! 
Soma menggeram. Tak ada lagi nafsu un-
tuk meniup senjata andalannya. Kini matanya 
memandang raksasa tinggi besar di hadapannya 
dengan penuh kemarahan. Dan saking tak kuat-
nya menahan kemarahan dalam dada, perlahan-
lahan sekujur tubuhnya mulai diselimuti asap 
putih tipis. Sehingga, akhirnya bayangan tubuh-
nya tidak kelihatan sama sekali! 
Mata raksasa hitam tinggi besar itu terbela-
lak liar, ia memang belum tahu, ilmu apa yang 
akan dikeluarkan anak muda itu. Dan belum 
sempat ia bertindak lebih lanjut, tiba-tiba saja 
terlihat seekor ular putih sebesar pohon kelapa 
tengah menggeliat-geliat di antara kepulan asap 
putih tipis. 
"Ggggeeerrr...!" 
Raksasa hitam tinggi besar jelmaan Raja 
Penyihir mundur beberapa langkah ke belakang. 
Sama sekali tidak disangka kalau pemuda itu da-
pat menjelma menjadi seekor ular putih raksasa! 
Raja Penyihir tak tahu kalau yang dihadapinya 
adalah Siluman Ular Putih. 
"Eh...! Rupanya kau pintar juga main ba-
dut-badutan seperti ini ya, Anak Muda. Pantas..., 
pantas!" kata Raja Penyihir sama sekali tidak ta-
kut melihat Siluman Ular Putih di hadapannya. 
Malah selangkah demi selangkah raksasa hitam 
itu mulai mendekati ular raksasa tersebut. 
"Gggeeerrr...!" 
Siluman Ular Putih menggeram penuh ke-
marahan. Tubuhnya yang sebesar pohon kelapa 
tahu-tahu telah mencelat ke depan, menyerang 
raksasa hitam di hadapannya. Dalam sekejap sa-
ja, tubuh raksasa Raja Penyihir sudah dibelit Si-
luman Ular Putih. Bahkan tanpa ampun lagi, tu-
buh tinggi besar raksasa hitam itu mulai dibant-
ing-bantingkan ke tanah. Sedang mulut ular rak-
sasa yang runcing itu telah mencabik-cabik tubuh 
Raja Penyihir. 
"Augh...!" 
Raksasa hitam tinggi besar itu melolong se-
tinggi langit. Dari luka-lukanya  yang mengelua-
rkan darah segar mulai menetes-netes ke tanah. 
Namun saat itu juga darah yang menyentuh ta-
nah terjadi kejadian serupa, saat Soma mengha-
dapi ular-ular hitam buatan orang bercaping pan-
dan. Hanya saja, kali ini tetesan-tetesan darah itu 
menjelma  menjadi puluhan raksasa hitam tinggi 
besar. Bentuknya sama persis dengan raksasa hi-
tam tinggi besar yang dilukai Siluman Ular Putih. 
"Gggeeerrr...!" 
Siluman Ular Putih menggeram hebat. Kali 
ini tubuhnya mulai dibuat rebutan oleh raksasa 
hitam tinggi besar  yang jumlahnya makin mem-
bengkak, tak dapat dihitung. Bahkan beberapa 
kali dibuat bulan-bulanan, hingga menyebabkan 
debu-debu beterbangan memenuhi arena perta-
rungan itu. 
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba saja 
sekujur tubuh Siluman Ular Putih yang tidak 
sanggup menghadapi keroyokan raksasa-raksasa 
hitam, mulai diselimuti asap putih tipis. Sehingga 
bayangan tubuhnya tidak kelihatan sama sekali. 
Sejenak raksasa-raksasa hitam itu seperti 
terpaku. Mereka hanya menunggu, apa yang akan 
dilakukan Siluman Ular Putih. Dan ketika asap 
putih tipis itu tersapu angin, terlihat seorang pe-
muda berambut gondrong bercelana dan rompi 
bersisik warna putih keperakan, tengah meman-
dangi raksasa-raksasa hitam yang masih mengeli-
lingi dirinya dengan sinar mata ngeri. 
"Set..., setaaaan...! Ada setaaan...!" 
Tanpa banyak pikir lagi, Soma yang berge-
lar Siluman Ular Putih segera menyelinap di anta-
ra laki-laki sebesar pohon kelapa. Tubuhnya ber-
kelebat cepat meninggalkan tempat itu dengan 
mengerahkan ilmu meringankan tubuh 
'Menjangan Kencana'. 
Raksasa-raksasa hitam tinggi besar itu ber-
lari-lari mengejarnya. Namun baru beberapa 
langkah saja, bayangan Soma telah menghilang di 
antara rimbunnya pohon bambu di depan sana. 
Melihat hal itu, raksasa-raksasa hitam 
tinggi besar ini hanya tertawa berkakakan, saling 
sahut-menyahut memenuhi Lembah Batu Ular. 
Suaranya terus menggema seperti ribuan setan 
berpesta pora. 
Dan beberapa saat lamanya kemudian, tu-
buh raksasa-raksasa hitam tinggi besar itu mulai 
menyatu ke dalam raksasa hitam yang pertama. 
Sehingga, akhirnya tinggal menjadi satu raksasa 
hitam tinggi besar di tengah-tengah Lembah Batu 
Ular. Dan, kini raksasa hitam tinggi besar itu pun 
mulai menyusut, menjadi sosok orang tua bercap-
ing pandan yang sedang tertawa-tawa kegirangan! 
Sosok Raja Penyihir!