Pendekar Rajawali Sakti 17 - Perawan Rimba Tengkorak(2)


Pandan Wangi baru bangun ketika matahari sudah naik tinggi di ufuk Timur. Dia segera menimbuni sisa-sisa kayu bakar dengan tanah kering berdebu. Sejenak dia menggeliat-geliatkan tubuhnya, kemudian matanya mengamati sebuah pohon, di mana ular hitam menjaganya semalam. Tapi ular hitam itu sudah tidak ada lagi di sana.

Pelan-pelan Pandan Wangi melangkahkan kakinya mendekati bibir tebing batu itu. Dari tempat dia berdiri, tampak sebagian dari Hutan Jati Jarak yang luar biasa luasnya, hingga melingkupi sebagian dari Lereng Gunung Puting bagian Barat dan Utara. Gadis itu segera berbalik dan melangkah menuju sebuah mata air yang mengucur dari sela-sela batu. Air itu terus mengalir turun dan menyatu dengan sungai kecil di bawah sana.

Di dekat mata air itu, terdapat sebuah cekungan batu yang cukup besar dan penuh dengan air bening. Tanpa ragu-ragu lagi Pandan Wangi segera melepaskan pakaiannya satu persatu. Kemudian dengan tubuh polos tanpa penutup sehelai benang pun, gadis itu langsung menceburkan tubuhnya ke dalam cekungan batu itu. Air jernih yang berada dalam cekungan batu itu sangat sejuk dan segar. Pandan Wangi membersihkan diri sambil bernyanyi dengan irama lagu yang sendu.

"Indah sekali lagumu..."

"Oh!" Pandan Wangi terkejut sekali mendengar suara yang begitu tiba-tiba datangnya.

Buru-buru gadis itu langsung menyambar sepotong kain yang ada di antara tumpuan kakinya, dan langsung melilitkan ke tubuhnya yang polos, Dia baru menarik napas lega setelah melihat ular hitam melingkar di pinggir batu yang bercekung itu.

"Huh! Bikin kaget saja!" dengus Pandan Wangi.

"Maaf, kalau ucapanku tadi membuatmu terkejut "

"Kainku jadi basah, nih. Aku harus menunggunya sampai kering," keluh Pandan Wangi.

"Bisa aku bantu menjemurkan?"

Pandan Wangi mengernyitkan keningnya.

"Aku memang tidak bisa berbuat banyak dengan ujudku seperti ini," Dewi Naga Hitam menyadari.

Pandan Wangi segera naik dari dalam cekungan batu itu. Lalu dia melepaskan kainnya begitu saja, dan segera mengenakan pakaiannya kembali.

"Aku melihat dua kereta kuda sedang melintasi bagian Timur Hutan Jati Jarak ini," kata Dewi Naga Hitam.

"Orang-orang Partai Tengkorak?"

"Iya, kau akan merampasnya?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Ini bukan waktunya mereka menarik upeti."

"Perubahan bisa saja terjadi secara tiba-tiba, Pandan. Siapa tahu mereka sengaja merubah waktunya, setelah menyadari, kalau kau sudah tahu saat-saat penarikan upeti."

"Mungkin, tapi aku yakin kereta itu bukan membawa upeti. Itu cuma jebakan untuk memancing supaya aku keluar."

"Kenapa kau begitu yakin?"

"Aku pernah terjebak sekali, untunglah mereka dapat segera kuatasi."

"Aku tidak menduga, ternyata kau punya perhitungan juga "

"Rangga yang mengajarkan begitu."

Mendadak Pandan Wangi merenung diam. Dia jadi teringat saat-saat bersama Pendekar Rajawali Sakti. Begitu banyak pelajaran yang telah dia dapatkan. Dan semua itu sangat bermanfaat bagi pengembaraannya orang diri.

"Apa yang kau lamunkan?" tegur Dewi Naga Hitam.

"Ah, tidak," Pandan Wangi terkejut juga. Gadis itu kemudian segera melangkah mendekati bibir tebing batu itu.

"Aku akan segera membuktikan, bahwa kereta kuda itu hanya jebakan, ayo!" ajak Pandan Wangi.

Gadis itu langsung lompat menuruni tebing batu itu. Sedangkan ular hitam jelmaan Dewi Naga Hitam segera merayap cepat mengikuti dari belakang.
********************

LIMA

Dua pasang mata indah tampak sedang mengawasi dua kereta kuda yang berjalan pelan-pelan depannya. Dua kereta kuda yang tertutup kain terpal yang tebal itu, masing-masing ditarik oleh dua ekor kuda. Sementara semua pengawalnya yang kurang lebih dua puluh orang berkuda itu, berada di belakangnya.

"Kau lihat, Dewi Naga Hitam? Mereka seperti sengaja menunggu kedatanganku," kata Pandan Wan setengah berbisik.

"Ternyata kau cukup berpengalaman juga, Pandan," puji Dewi Naga Hitam.

"Aku yakin, di dalam kereta itu pasti tokoh-tokoh berilmu tinggi dari rimba persilatan," Pandan Wangi menduga dengan penasaran.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?"

"Lihatlah!"

Pandan Wangi segera memungut tiga batang ranting kayu yang lumayan tajam. Sejenak dia menimang-nimang tiga benda itu, lalu dengan disertai pengerahan tenaga dalam yang cukup sempurna, dia langsung melemparkan ketiga ranting itu ke arah kereta kuda yang berada di depannya.

Crab! Crab! Crab!

Langsung saja ketiga batang ranting itu menancap ke kain terpal. Dan seketika itu juga terdengarlah jeritan kesakitan yang melengking tinggi! Dan rombongan kereta kuda tersebut langsung berhenti. Tak lama kemudian, dari dalam kereta itu berlompatan sosok-sosok tubuh manusia dengan pakaian beraneka ragam dan dengan senjata yang berbagai macam bentuknya.

"Bagaimana, Dewi Naga Hitam?" Pandan Wangi tersenyum lebar.

"Kau benar-benar cerdik, pantas saja kalau Ketua Partai Tengkorak benar-benar merasa terancam," lagi-lagi Dewi Naga Hitam memuji.

"Lihat! Jumlah mereka begitu banyak, lebih dari lima puluh orang," kata Pandan Wangi lagi.

"Kau mampu menghadapi mereka semua, Pandan?" pancing Dewi Naga Hitam.

"Kalau mau mati konyol, sudah kuhajar sejak tadi."

"Kalau begitu, biar aku yang membereskan," Dewi Naga Hitam buru-buru mempersiapkan diri.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Pandan Wangi kaget.

"Lihat saja!"

Ular hitam pekat itu langsung mendesis berkali-kali. Kepalanya terangkat naik ke atas seraya bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan.


Pandan Wangi tertegun memperhatikan dengan pandangan tidak mengerti. Tapi.... "Oh...!"

Ia sangat terkejut begitu menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba orang-orang Partai Tengkorak yang dibantu oleh tokoh-tokoh rimba persilatan sudah dikepung ribuan ular berbisa, baik besar maupun kecil. Suara-suara mendesis langsung terdengar memenuhi udara sekitarnya. Bau amis pun segera menyeruak me-nusuk hidung dengan tajam.

Ular-ular yang semakin bertambah jumlahnya itu pelan-pelan bergerak mendekati orang orang yang mengelilingi kereta kuda itu. Sedangkan kuda-kuda yang menarik kereta mereka, meringkik-ringkik ketakutan melihat ular-ular itu. Aneh! Ular-ular itu seperti sengaja memberikan jalan keluar bagi kuda-kuda yang lari ketakutan itu.

Pandan Wangi benar-benar kagum menyaksikan pemandangan yang aneh dan mengerikan itu. Sementara lima puluh orang yang terkepung tampak menggigil ketakutan, melihat ular-ular yang begitu banyak semakin rapat mengepungnya.

"Ulurkan tanganmu ke arahku, Pandan," kata Dewi Naga Hitam.

"Oh!" Pandan Wangi terkejut mendengar permintaan itu.

Sungguh! Seumur hidupnya gadis itu belum pernah memegang ular. Bahkan dia paling jijik dengan binatang yang satu ini. Tapi dengan permintaan Dewi Naga Hitam tadi.... Dengan ragu ragu Pandan Wangi mengulurkan tangannya, dan memegang tubuh ular hitam pekat itu. Mendadak saja, rasa takut dan jijik hilang seketika begitu tubuh ular itu membelit pinggangnya. Bahkan Pandan Wangi membiarkan saja ketika kepala ular hitam itu berada di pundaknya.

"Ayo ke luar, Pandan. Kau bisa memanfaatkan mereka untuk menghancurkan Partai Tengkorak," kata Dewi Naga Hitam.

"Tapi..."

"Jangan takut, rakyatku tidak akan mengganggumu. Dengan aku berada bersamamu, kau akan dianggap sebagai wakil Satria Naga Emas. Mereka akan langsung tunduk pada perintahmu!" Dewi Naga Hitam meyakinkan.

Pandan Wangi percaya saja pada kata-kata Dewi Naga Hitam. Dan tanpa ragu-ragu lagi, dia langsung melompat dari persembunyiannya. Setelah beberapa kali berputaran di udara, dengan mudah Pandan Wangi menjejakkan kaklnya tepat di barisan belakang ular-ular yang mengurung sekitar lima puluh orang itu. Kedatangan Pandan Wangi yang tiba-tiba itu langsung membuat orang-orang itu terkejut. Apalagi di tubuh pendekar wanita itu terbelit seekor ular hitam yang besar.

"Jadikan mereka pengikutmu, Pandan," kata Devi Naga Hitam.

"Untuk apa?" tanya Pandan Wangi berbisik.

"Kau perlu pengikut untuk menghancurkan Partai Tengkorak. Paling tidak mereka bisa meringankan pekerjaanmu."

"Baiklah!" kata Pandan Wangi menyetujui gagasan itu.
********************

Ular-ular di depan Pandan Wangi segera menyingkir memberi jalan begitu mendengar perintah dari gadis itu. Dan dengan langkah anggun bagaikan seorang putri kerajaan, dia mendekati lima puluh orang yang rata-rata sudah pucat pasi semua itu.

"Siapa di antara kalian yang jadi pemimpinnya?' tanya Pandan Wangi lantang.

Sepi! Tidak ada seorang pun yang menyahut pertanyaannya.

"Siapa pemimpinnya? Jawab! Atau ular-ularku yang akan memaksa!" gertak Pandan Wangi bersungut.

"A..., aku...," salah seorang maju ke depan dengan takut-takut.

"Hm...," Pandan Wangi memperhatikan laki-laki yang usianya sekitar lima puluh tahun itu.

"Siapa namamu?" tanya Pandan Wangi.

"Su..., Su..., Sura Praba," jawab orang itu terbata-bata.

"Dengar, Sura Praba! Dan kalian semua! Hari ini aku bermurah hati tidak akan melenyapkan kalian," Pandan Wangi mulai membuka taktiknya.

"Oh, terima kasih.... Terima kasih, Den Ayu," kata Sura Praba seraya membungkuk beberapa kali.

"Tapi kalian harus berjanji, tidak akan kembali lagi pada Partai Tengkorak!" sambung Pandan Wangi tegas.

Seperti ada yang memberi komando saja, mereka semua langsung melepaskan segala macam tanda yang berhubungan dengan Partai Tengkorak. Sehingga mereka hanya mengenakan celana sebatas lutut saja.

"Kami berjanji, kami akan setia kepada perintah Gusti Ayu," kata Sura Praba seraya menjatuhkan diri berlutut. Yang lainnya segera saja ikut berlutut dan menundukkan kepala.

"Bagus! Aku tidak akan segan-segan menjatuhkan tangan, jika di antara kalian ada yang coba-coba membangkang!" ancam Pandan Wangi.

Sejenak Pandan Wangi memberikan isyarat, serta-merta ular-ular yang mengepung mundur, begitu Dewi Naga Hitam yang membelit pinggang Pandan Wangi mendesis. Sementara lima puluh orang tersebut masih berlutut, sampai ular-ular yang memenuhi tempat itu hilang ke dalam semak-semak belukar.

"Ada satu hal lagi yang perlu kalian ketahui, siapa yang mencoba lari dariku, pasti akan akan mati oleh ular-ularku. Mengerti?!"

"Mengerti, Gusti Ayu," jawab mereka serempak.

Pandan Wangi segera tersenyum senang. Dalam hati dia berterima kasih sekali atas bantuan yang diberikan oleh Dewi Naga Hitam. Dia yakin, tanpa ular hitam itu, mustahil bisa menaklukkan lima puluh orang tersebut. Tapi Pandan Wangi pun segera menyadari bahwa orang-orang seperti mereka mudah untuk berpihak pada siapa saja. Tegasnya, mereka juga tidak segan-segan untuk berkhianat demi kepentingan dirinya sendiri. Makanya Pandan Wangi tidak ingin berlama-lama berhubungan dengan orang-orang seperti mereka.

Dengan langkah tenang, Pandan Wangi segera berjalan kembali menuju sungai kecil dekat goa. Dia memang menjadikan tempat itu sebagai markas untuk menyusun kekuatan dalam menghadapi Partai Tengkorak. Tekadnya sudah bulat sekarang, dia hanya menghancurkan partai itu sampai ke akar-akarnya. Darahnya jadi mendidih, kalau mengingat kepalanya hanya dihargai seribu keping uang emas.

"Aku rasa, lima puluh orang belum cukup untuk menghadapi Partai Tengkorak, Dewi Naga Hitam," kata Pandan Wangi berbisik.

"Memang, dan kau harus berusaha lagi untuk menambah lebih banyak. Sekarang, anggota Partai Tengkorak bukan lagi puluhan, tapi sudah mencapai ratusan. Apalagi ditambah tokoh-tokoh berilmu tinggi rimba persilatan yang tergiur oleh hadiah itu," sahut Dewi Naga Hitam.

"Apakah aku perlu minta bantuan pada padepokan-padepokan yang ada di sekitar lereng Gunur Puting?" Pandan Wangi minta pendapat.

"Tidak perlu, Pandan. Kau memang harus menambah jumlah pengikutmu, tapi aku rasa tidak perlu. Kecuali jika kau mau"

"Apa?'' Pandan Wangi penasaran.

"Bergabung dengan Rangga!"

Pandan Wangi langsung terdiam.

"Aku pikir, itu satu-satunya jalan, Pandan. Kau akan makan waktu yang lama untuk mengumpulkan pengikut, sementara kekuatan Partai Tengkorak akan semakin bertambah besar."

"Sebenarnya aku tidak ingin mengandalkan kekuatan dia, Dewi Naga Hitarn," Pandan Wangi mendesah.

"Baiklah kalau kau tidak mau," Dewi Naga Hitam menyerah "Aku akan membantumu dengan mengerahkan bangsa ular."

"Dewi Naga Hitam..." panggil Pandan Wangi lirih.

"Apa?" sahut Dewi Naga Hitam.

"Boleh aku bertanya?"

"Kenapa tidak?

"Kelihatannya kau bernafsu sekali untuk menghancurkan Partai Tengkorak. Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan dirimu?" tampak jelas ada nada kecurigaan pada kata-kata Pandan Wangi barusan.

"Kau akan mengetahuinya sendiri nanti."

"Apakah kau punya dendam?" desak Pandan Wangi menebak.

Pertanyaan itu tetap tak dijawab. Terpaksa Pandan Wangi tidak mendesak lagi. Dia sudah merasakan sendiri kalau ada sesuatu yang telah terjadi antara Dewi Naga Hitam dengan Partai Tengkorak.
********************

Entah apa yang meresahkan hati Pandan Wangi, sehingga sampai larut malam tubuhnya hanya bergulingan ke sana kemari, tanpa bisa memejamkan mata sedikit pun juga. Sudah sejak tadi Pandan Wangi merebahkan tubuhnya di atas jerami kering di dalam goa yang hangat oleh siraman cahaya api unggun. Dia benar-benar tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ada sesuatu yang sangat mendesak-desak di dalam dadanya.

Dia terngiang kembali kata-kata Rangga kemarin malam. Jelas sekali dia mendengar semua itu dari atas bukit batu. Dan dia merasa begitu terharu mendapatkan kenyataan bahwa cinta Rangga begitu besar pada dirinya. Dan itu berarti, apa yang ditakutkan selama ini tidak beralasan.

"Rangga..., seandainya kau tahu, bahwa aku juga benar-benar mencintaimu...," desah Pandan Wangi lirih.

Pelan-pelan dia beranjak dari tidurnya. Kemudian melangkahkan kakinya ke luar dari goa itu. Dia hanya berdiri mematung sambil menyandarkan tubuhnya di dinding mulut goa yang dingin. Semilir angin malam yang membelainya dengan lembut, membuat tubuh Pandan Wangi kedinginan. Sejenak dia mengedarkan pandangannya berkeliling pada sekitar goa tersebut. Tampak lima puluh orang yang sudah menyatakan setia padanya, sedang tidur pulas. Dan beberapa di antaranya berjaga-jaga di dekat perapian.

Pandangan gadis itu mendadak terpaku pada satu sudut yang agak tinggi. Tampak samar-samar sesosok tubuh putih sedang berdiri tegak memandang ke arahnya. Meskipun dalam jarak yang cukup jauh, namun Pandan Wangi dapat memastikan siapa orang itu.

"Rangga...," desisnya pelan. Ingin rasanya dia menghampiri pemuda itu. Tapi kakinya terasa berat untuk melangkah. Dia begitu yakin, kalau orang itu adalah Rangga, kekasih yang sangat dicintainya.

"Oh!"

Mendadak gadis itu tersentak ketika tiba-tiba orang yang dipandanginya itu lenyap! Segera dia berlari ke tengah-tengah lapangan yang ada di depan goa. Sejenak dia mengedarkan pandangannya berkeliling, tapi tidak ada seorang pun yang terlihat di atas sana, hanya kegelapan yang menyelimuti sekitarnya.

"Apakah itu cuma khayalanku saja...," Pandan Wangi jadi ragu-ragu dengan penglihatannya.

Kembali dia mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi tetap sia-sia saja. Gadis itu cuma bisa mengeluh panjang. Dia begitu yakin, kalau yang dilihatnya tadi adalah Rangga, dan bukan semata-mata khayalannya saja. Didorong oleh rasa penasarannya yang dalam, gadis itu langsung melompat ke arah bukit di mana tadi dia telah melihat Rangga berdiri memandanginya. Hanya dengan dua kali lompatan saja, Pandan Wangi telah mencapai puncaknya.

"Benar! Aku tidak bermimpi, dia memang ada sini tadi," Pandan Wangi memeriksa tanah ya tergambar bekas pijakan kaki manusia.

Pandan Wangi cepat-cepat berdiri lagi. Matanya yang tajam kembali meneliti setiap jengkal tanah sekitarnya. Dia terus berlompatan mengikuti jejak-jejak kaki yang jaraknya sangat berjauhan antara yang satu dengan lainnya. Sama sekali dia tidak menyadari kalau dia sudah jauh meninggalkan tempat persembunyiannya.

Pandan Wangi langsung berhenti pada jejaknya tiba-tiba saja hilang. Dia heran karena tapak-tapak kaki itu benar-benar berhenti di tempat itu. Beberapa saat gadis itu masih kebingungan, tiba-tiba...

"Pandan...," sebuah suara halus terdengar.
********************

Bukan main kagetnya Pandan Wangi! Dia langsung membalikkan tubuhnya. Tapi tidak ada seorang pun di sekitar tempat itu. Padahal tadi jelas sekali suara itu datang dari belakangnya. Tapi kenyataan yang dihadapinya kini, dia tetap sendirian di tempat itu.

"Siapa kau? Aku bosan main kucing-kucingan begini!" seru Pandan Wangi kesal.

"Kau sudah tidak suka lagi dengan mainan lamamu, Pandan?" suara misterius itu kembali terdengar.

Untuk kedua kalinya Pandan Wangi benar-benar dibuat kaget setengah mati! Suara itu sangat jelas terdengar, bahkan seakan-akan begitu dekat. Pandan Wangi sadar, kalau dia sedang berhadapan dengan seseorang yang memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi. Segera saja dia mengerahkan ilmu pembeda gerak dan suara. Tapi..., gadis itu hanya terperangah sendiri, karena dia tetap tidak bisa melacak di mana sumber suara tadi.

"Keluarlah, kalau perlu kita bertarung sampai ada di antara kita mati di sini!" geram Pandan Wangi sedikit putus asa.

"Sayang sekali, kau tidak mengenal suaraku lagi," terdengar lagi suara tanpa wujud.

Langsung saja Pandan Wangi tersentak! Wajahnya langsung memerah seketika! Dia baru menyadari kalau suara itu...

"Rangga..." desisnya pelan. "Kakang...! Di mana kau?"

Suara Pandan Wangi terdengar menggema karena disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Kemudian gadis itu memutar tubuhnya sambil mengedarkan pandangannya berkeliling. Ya, ampun! Hampir saja dia mati lemas begitu melihat laki-laki yang sudah berdiri di dekatnya.

"Kakang...." Pandan Wangi melongo, seperti tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.

"Akhirnya aku dapat menemukanmu juga, Pandan," kata Rangga seraya mendekat.

"Oh, Kakang...."

Pandan Wangi tidak mampu lagi menguasai dirinya. Dia langsung memeluk Rangga! Rasa rindu yang dalam dan hanya terpendam saja, langsung ditumpahkan saat itu juga. Gadis itu memeluk Rangga erat-erat seakan-akan tidak ingin melepaskan pemuda itu lagi. Dan tanpa disadarinya, setitik air mata bahagia menggulir jatuh ke pipinya.

Sementara Rangga membiarkan saja gadis itu menangis dalam pelukannya, bahkan dia makin merapatkan pelukannya! Lama sekali mereka berpelukan menumpahkan berbagai macam perasaan yang sekian lama hanya terpendam di dalam dada. Beberapa saat kemudian, dengan pelan-pelan sekali Rangga melepaskan pelukannya. Kedua tangannya mencengkeram gadis itu. Seketika dipandanginya wajah cantik itu lekat-lekat.

"Aku mencintaimu, Pandan," bisik Rangga lembut.

"Kakang..., jangan tinggalkan aku lagi," balas Pandan Wangi tersedak.

"Tidak, Sayang. Aku pun ingin selalu bersama denganmu."

Sementara itu di atas sana, sang dewi malam seakan-akan tersenyum melihat kebahagiaan mereka. Sejenak Rangga merenggangkan pelukannya kembali kedua tangannya mencengkeram bahu gadis itu. Beberapa saat lamanya mereka hanya saling berpandangan saja. Tidak ada lagi kata-kata yang mampu terucapkan. Rasa bahagia yang telah meledak di dalam dada, membuat mulut mereka terkunci. Namun saan dan sinar mata mereka lebih berarti dalam menyiratkan kata-kata indah yang tak bisa terucapkan.

Sejenak Rangga membelai-belai lembut pipi gadis itu. Pandan Wangi diam saja, bahkan dia memejamkan mata untuk lebih menikmati belaian pemuda itu.

"Pandan...," bisik Rangga lembut.

"Hm...," Pandan Wangi membuka matanya perlahan-lahan.

Banyak yang ingin dikatakan Rangga saat itu, tapi sulit untuk diucapkannya. Tenggorokannya mendadak serasa kering, dan lidahnya jadi kaku seketika. Perlahan-lahan dia mendekatkan wajahnya ke wajah Pandan Wangi. Semakin dekat wajah mereka, semakin terasa hangat napas mereka menerpa wajah.

Kembali Pandan Wangi memejamkan matanya. Bibirnya yang selalu merah bergerak-gerak menggeletar setengah terbuka. Mendadak Rangga merasakan tubuh Pandan Wangi bergetar hebat dalam pelukannya.

"Pandan, kau kenapa?" tanya Rangga cemas.

"Aku..., aku..., oh!" Pandan Wangi segera menyurutkan wajahnya ke dada pemuda itu. Rasa malu langsung menghinggapi dirinya.

Rangga hanya tersenyum tipis. Dia menyadari kalau gadis itu belum pernah disentuh laki-laki.

"Aku mencintaimu, Sayang," bisik Rangga pelan.

"Kakang...."
********************

ENAM

Mimik wajah Rangga biasa-biasa saja ketika Pandan Wangi menceritakan, bahwa dirinyalah yang dijuluki si Perawan Rimba Tengkorak di sekitar Hutan Jati Jarak. Dia memang sudah menduga sebelumnya. Hanya saja yang membuat Rangga jadi bertanya-tanya, bagaimana Pandan Wangi sampai berhasil menaklukkan lima puluh orang anggota Partai Tengkorak hingga menjadi pengikutnya. Setiap kali Rangga menanyakan hal tersebut, Pandan Wangi hanya mengatakan, kalau dia mempunyai cara tersendiri.

"Bagaimana kau bisa tahu jadwal penarikan upeti oleh Partai Tengkorak?" tanya Rangga penasaran.

"Ada seseorang yang telah memberi tahu. Aku punya orang-orang yang berada di desa-desa sekitar Lereng Gunung Puting ini," sahut Pandan Wangi bernada bangga.

"Aku percaya, seluruh warga di desa-desa sekitar Lereng Gunung Puting ini sangat menyanjungmu, bahkan mereka juga mengharapkan agar kau segera dapat menghancurkan Partai Tengkorak," kata Rangga.

"Hal itu hanya bisa kulakukan kalau kau mau membantuku, Kakang," sahut Pandan Wangi berharap.

"Tentu saja, aku juga punya perhitungan sendiri dengan mereka," sambut Rangga.

"Dewi Naga Hitam juga."

"Dewi Naga Hitam...!?" Rangga terkejut mendengarnya. "Kau kenal dia, Pandan?"

"Ya. Dia banyak membantu dalam pertemuan kita," kata Pandan Wangi terus terang.

"Di mana dia sekarang?" tanya Rangga.

"Aku tidak tahu, katanya sih mau menyelidiki sarang Partai Tengkorak."

"Untuk apa? Aku sudah tahu tempatnya, dan aku juga sudah mempelajari situasinya. Kalau mau, kita bisa langsung menggempurnya, dan mereka tidak akan bisa berbuat banyak!"

"Aku percaya, karena kau punya tunggangan burung rajawali raksasa."

Lagi-lagi Rangga dibuat terkejut. Belum pernah sekali pun dia menceritakan tentang burung rajawali raksasa itu pada Pandan Wangi. Mungkinkah Dewi Naga Hitam telah menceritakannya? Ah, tidak mungkin. Jelas hal itu sangat bertentangan dengan perjanjian Pendekar Rajawali Sakti dengan bangsa ular!

"Kemarin aku melihatnya sendiri ketika kau turun dari punggung burung raksasa itu di dekat goa. Aku tahu, kau pasti akan mencariku sampai ke sana. Tapi waktu itu aku bingung untuk berhadapan denganmu, lalu aku memutuskan untuk menghindarimu," ujar Pandan Wangi terus terang.

"Jadi, kemarin kau ada di sekitar tempat itu?" tanya Rangga tak habis pikir.

"Iya, dan dari situlah aku yakin, bahwa memang benar-benar mencintaiku, Kakang. Terus terang, tadinya aku sudah ragu akan cintamu. Aku sadar kau sekarang telah menjadi seorang raja besar Karang Setra. Dan aku tidak pantas lagi untuk memperoleh cintamu," Pandan Wangi makin menelanjangi dirinya sendiri.

"Pandanganmu picik sekali, Pandan!" Rangga menyesali sikap Pandan Wangi.

"Memang..., tapi sekarang tidak lagi, kok," Pandan Wangi mengakui.

Rangga hanya tersenyum mendengar pengakuan yang begitu terus terang dari gadis itu.

"Kakang...," desah Pandan Wangi.

"Ada apa?" sahut Rangga lembut.

"Kau tahu, bahwa Dewi Naga Hitam juga bernafsu sekali menghancurkan Partai Tengkorak?"

"Tidak, memangnya kenapa?"

"Aku menduga, pasti ada sesuatu yang dirahasiakannya."

"Kau yakin?"

"Meskipun dia tidak mengatakannya, tapi aku yakin akan hal itu."

"Entahlah, setahuku bangsa ular tidak akan pernah mendendam kalau tidak disakiti lebih dulu. Cukup lama aku bersama mereka dan memahami tentang kehidupannya, sampai-sampai aku diangkat menjadi saudara oleh Satria Naga Emas, raja dari segala jenis bangsa ular."

"Ya, aku sudah tahu semua itu, Kakang. Dewi Naga Hitam telah menceritakan, bahwa kakang pernah tinggal beberapa lama di Istana Ular. Dan Kakang bisa berhubungan langsung dengan raja mereka melalui meditasi. Kenapa Kakang tidak mencoba untuk menanyakan masalah itu?"

"Tidak, Pandan. Aku sudah berjanji tidak akan mencampuri urusan pribadi, kecuali mereka yang meminta. Demikian juga sebaliknya. Kau mengerti maksudku, kan?"

"Sulit, tapi aku coba untuk mengerti," sahut Pandan Wangi sedikit bergurau.

Lagi-lagi Rangga tersenyum.

"Sudah hampir pagi, sebaiknya kita kembali ke goa," kata Pandan Wangi seraya bangkit.

"Kau tetap akan menghancurkan Partai Tengkorak dengan pengikut barumu?" tanya Rangga yang sudah berdiri.

"Ya," sahut Pandan Wangi mantap sambil melangkahkan kakinya.

"Kau yakin akan berhasil dengan lima puluh orang, Pandan?" tanya Rangga.

"Dengan adanya kau, dan bantuan dari Dewi Naga Hitam, aku yakin bisa berhasil."

"Tidak, seandainya kau dan Dewi Naga Hitam sudah mengetahui letak sarang mereka, pasti akan berpikir dua kali."

"Kenapa?"

"Nanti kita bicarakan bersama Dewi Naga Hitam.
********************

Apa yang dibicarakan Rangga memang benar. Dewi Naga Hitam yang telah berubah menjadi manusia juga mengakui, memang sulit untuk menggempur sarang Partai Tengkorak. Meskipun dia bisa mengerahkan seluruh ular-ular yang ada di sekitar Hutan Jati Jarak, tapi pasti akan menimbulkan banyak korban. Dalam satu perjuangan memang dibutuhkan satu pengorbanan yang tidak kecil, tapi Dewi Naga Hitam tidak menghendaki kesia-siaan yang terlalu berlebihan.

"Kita harus lebih dahulu bergerak, sebelum mereka menyerang, Rangga," kata Dewi Naga Hitam saat berembuk di dalam goa.

"Aku malah berpendapat lain," sahut Rangga bergumam.

"Maksudmu?" Dewi Naga Hitam tidak mengerti.

"Saat ini kekuatan mereka bukan tandingan kita lagi! Kita memang memiliki lima puluh orang yang berkemampuan cukup tinggi, tapi itu bukan jaminan untuk bisa menerobos ke sarang mereka. Sedangkan untuk mengambil para prajurit dari Karang Setra, rasanya akan menyita waktu," kata Rangga.

"Lantas, apa yang harus kita lakukan?" sergah Pandan Wangi.

"Diam."

"Diam...?" Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam mendelik.

"Kau jangan main-main, Rangga. Ini persoalan serius!" dengus Dewi Naga Hitam gusar.

"Apa kelihatannya aku main-main?"

"Tapi..."

"Maksudku, diam itu bukan berarti tidak melakukan kegiatan sama sekali. Kita harus bikin strategi untuk melemahkan kekuatan mereka," Rangga mencoba menjelaskan.

"Aku tidak tahu maksudmu, Kakang," celetuk Pandan Wangi.

"Kau bisa tetap menjadi si Perawan Rimba Tengkorak, Pandan. Tapi sekarang siasatmu harus diubah, jangan hanya menghabisi setiap anggota Partai Tengkorak yang kau temui, tapi kau harus mampu mengajak mereka untuk bergabung. Dan tentunya dengan bantuan Dewi Naga Hitam," Rangga menjelaskan.

"Terus, akan kita apakan mereka?" tanya Pandan Wangi ingin tahu lebih lanjut.

"Pertama, menyadarkannya, bahwa mereka berada di jalan yang salah. Tapi kalau mereka berasal dari golongan hitam, terserah mau diapakan. Yang aku tahu, banyak dari para penduduk yang menjadi anggota Partai Tengkorak karena tekanan dan ancaman. Padahal mereka sama sekali tidak tahu tujuannya."

"Dari mana kau tahu semua itu, Rangga?" tanya Dewi Naga Hitam.

"Selama ini aku telah mempelajari dan menyelidiki kegiatan mereka. Dan saat ini mereka sedang menyusun kekuatan untuk menghancurkan Kerajaan Karang Setra, terutama aku yang akan mereka lenyapkan," Rangga membuka rahasia tujuan Partai Tengkorak.

"Aku tidak menyangka, tujuan mereka sampai sejauh itu," gumam Pandan Wangi.

"Semua itu sudah aku ketahui dan aku selidiki sejak mereka menghancurkan padepokan milik Resi Wanapati di Gunung Puting, dan mereka juga telah mengancam Padepokan Baja Hitam yang telah aku bubarkan demi keselamatan murid-muridnya," kembali Rangga menjelaskan (Untuk lebih jelasnya, bacalah serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah: Rahasia Kalung Keramat)

"Kalau begitu kau sudah lama berada di sini?" Dewi Naga Hitam ingin meyakinkan.

"Hampir dua purnama."

"Kau kan sudah tahu segala perbuatan terkutuk yang dilakukan Partai Tengkorak, kenapa tidak kau hancurkan saja dengan prajuritmu?" tanya Dewi Naga Hitam lagi ingin tahu.

"Itu bukan tindakan bijaksana, Dewi Naga Hitam. Yang kita hadapi bukanlah kekuatan prajurit, tapi kelompok manusia liar dari rimba persilatan yang dengan nafsu setannya ingin menguasai suatu wilayah besar."

"Apa kau tidak berpikir ada maksud lain di belakang tindakan-tindakan mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Ya. Ketua Partai Tengkorak Hitam adalah adik kandung dari Iblis Lembah Tengkorak. Ada kemungkinan dia ingin membalas dendam atas kematian kakaknya yang tewas di tanganku dengan menghancurkan Kerajaan Karang Setra. Perlu kalian ketahui, bahwa usaha pertama yang mereka lancarkan telah gagal "

"Usaha apa?" tanya Pandan Wangi.

"Menyusupkan anak si Tengkorak Putih ke Istana kerajaan Karang Setra! Tetapi niat mereka itu tidak terlaksana, karena mereka tidak berhasil mencuri kalung yang menjadi lambang kebesaran dari Kerajaan Karang Setra, yang sedianya akan dipakai anak tersebut untuk menyamar," Rangga menjelaskan.

Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam saling berpandangan dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini mereka sudah mengerti semuanya. Tapi di dada Pandan Wangi masih ada ganjalan, dia belum tahu penjelasan yang tepat, kenapa Dewi Naga Hitam begitu bernafsu untuk menghancurkan Partai Tengkorak?

Tapi Pandan Wangi sudah segan untuk menanyakannya kembali.
********************

"Kau yakin, mereka akan lewat sini?" tanya Pandan Wangi yang pagi-pagi sekali sudah berada di atas pohon besar bersama Dewi Naga Hitam yang ujudnya menjadi seekor ular hitam yang membelit pinggang Pandan Wangi!

"Kau tidak boleh mengabaikan laporan dari si Kadut," sahut Dewi Naga Hitam meyakinkan.

"Berapa orang kira-kira jumlah mereka?" tanya Pandan Wangi.

"Sekitar tiga puluh orang. Mereka semua berkuda dan membawa lima kereta yang cukup besar."

"Masih berani juga mereka merampas milik rakyat," dengus Pandan Wangi.

"Bukan."

"Bukan...? Maksudmu?" Pandan Wangi tak mengerti.

"Mereka tidak merampas apa-apa. Mereka baru saja menjemput anggota-anggota yang tersebar desa-desa."

"Jadi, yang di dalam kereta itu...?"

"Iya, anggota Partai Tengkorak yang kebanyakan dari penduduk desa."

"Hm..., rupanya mereka mulai menarik semua anggota untuk memperkuat pertahanannya," gumam Pandan Wangi.

"Ya, karena kekuatan mereka sudah mulai berkurang."

"Kau tahu, apa yang akan dilakukan Kakang Rangga selanjutnya, Dewi Naga Hitam?" tanya Pandan Wangi.

"Tidak."

Pandan Wangi yang sudah membuka mulutnya lagi untuk bertanya, segera mengurungkan niatnya begitu dari kejauhan tampak serombongan orang-orang yang berkuda mengawal lima kereta yang masing-masing ditarik oleh dua ekor kuda. Pandan Wangi segera mengamati rombongan yang hampir mencapai celah bukit di bawahnya. Dia hampir tidak bisa menahan diri lagi, ketika mereka mulai memasuki celah bukit itu. Untung saja Dewi Naga Hitam segera mencegahnya.

"Tunggu, sampai mereka berada di tengah-tengah," cegah Dewi Naga Hitam.

Pandan Wangi menurut, dia masih bisa menunggu dengan sabar. Tapi, begitu rombongan itu mencapai tengah-tengah celah bukit, gadis yang kini dijuluki si Perawan Rimba Tengkorak itu, langsung melompat turun dan menghadang!

"Berhenti!" bentak Pandan Wangi keras.

Seketika rombongan berkuda itu langsung berhenti! Bukan main terkejutnya mereka ketika tiba-tiba di depan mereka telah menghadang seorang gadis yang dijuluki Perawan Rimba Tengkorak dengan seekor ular hitam yang melilit pinggangnya.
********************

"Siapa di antara kalian yang jadi pemimpinnya?" tanya Pandan Wangi dengan lantang.

"Aku!" tiba-tiba orang yang berkuda paling depan langsung melompat turun.

"Bagus! Perintahkah pada anak buahmu untuk meletakkan senjata!"

"Tidak semudah itu kau memerintahku, Bocah! Namamu memang sanggup menggemparkan Partai Tengkorak, tapi bagiku kau tak berarti apa-apa!" sahut orang itu congkak.

"Bagus! Nyalimu cukup memenuhi syarat untuk menghadapi Perawan Rimba Tengkorak!" gertak Pandan Wangi menggeram.

"Tidak ada kata gentar bagi Ruyung Maut!" orang itu tak mau kalah sengitnya.

"Ayo siapa lagi di antara kalian yang ingin piknik ke neraka bersama cecunguk ini?" lantang suara Pandan Wangi.

Mendengar tantangan yang bernada mengejek itu, langsung saja orang-orang yang masih berada di atas punggung kuda berlompatan turun. Kemudian mereka segera berdiri berjajar dengan sikap menantang. Sementara dari dalam kereta juga bermunculan kepala-kepala manusia. Ruyung Maut tersenyum melihat kesetiaan teman-temannya.

"Bagaimana, Dewi Naga Hitam?" bisik Pandan Wangi lirih.

"Sebentar lagi, kau sudah dengar suaranya?"

"Ya," Pandan Wangi cerah wajahnya. Tentu saja orang-orang Partai Tengkorak itu langsung terlonjak kaget ketika tiba-tiba kuda-kuda mereka meringkik keras, sambil berlarian serabutan! Seketika suasana jadi gaduh! Tampak beberapa orang berusaha mengendalikan kuda-kuda yang mendadak liar tersebut. Tapi kuda-kuda itu benar-benar tidak dapat dikendalikan lagi.

Sementara Pandan Wangi malah tertawa terbahak-bahak melihat suasana yang kacau-balau tersebut!

"Siapkan senjata kalian, jangan hiraukan kuda-kuda tersebut!" bentak Ruyung Maut.

Mendengar perintah tersebut, mereka langsung berhenti mengendalikan kuda-kuda yang mendadak jadi liar itu. Kini semua orang yang tadinya berada di atas kereta sudah berkumpul dengan senjata terhunus.

"Masih jauh perjalanan kalian, sedangkan kuda-kuda kalian sudah tidak ada lagi, bagaimana?" kata Pandan Wangi tersenyum sinis.

"Keparat! Kubunuh kau, Perempuan Iblis!" geram Ruyung Maut.

"Tidak ada waktu lagi, Ruyung Maut. Lihatlah...," Pandan Wangi kembali tersenyum cerah.

"Hsss...!"

"Ular..., ular...!" seru orang-orang yang ada di celah bukit itu berteriak panik.

Pelan-pelan ribuan ular tersebut langsung mengurung dari segala jurusan. Semakin lama ular-ular itu semakin bertambah banyak jumlahnya.

"Kalian yang masih sayang nyawa, cepat menyingkir! Ular-ular itu akan memberi jalan, tapi jangan coba-coba melarikan diri!" teriak Pandan Wangi sambil menunjuk ke depan.

Orang-orang yang berasal dari para penduduk desa yang ada di sekitar lereng Gunung Puting itu, langsung melemparkan senjata mereka dan berlari dari kepungan ular-ular tersebut. Dan seperti ada yang mengkomando saja, ular-ular itu segera menyingkir memberi jalan.

Kini yang tersisa hanya tinggal tiga puluh orang saja. Dan mereka semua adalah orang-orang yang berpangkat dalam Partai Tengkorak, terbukti dari tanda yang mereka kenakan.


"Jangan hiraukan binatang-binatang laknat itu! Dia cuma main sihir!" teriak Ruyung Maut.

"Bagaimana Dewi Naga Hitam?" bisik Pandan Wangi pelan meminta pendapat.

"Biarkan mereka bergerak lebih dahulu," sahut Dewi Naga Hitam juga berbisik.

"Mereka memang manusia-manusia bodoh! Tidak bisa melihat keadaan!" dengus Pandan Wangi menggeram.

"Serang perempuan iblis itu, hiyaaa...!"

"Hiyaaa...! Hiyaaa...!"

Serentak tiga puluh orang itu langsung berlompatan hendak menyerbu Pandan Wangi, tapi bersamaan dengan itu, ular-ular yang mengepung juga langsung bergerak sambil mendesis-desis. Dapat diduga, serangan-serangan mereka langsung terhalang oleh ular-ular yang ganas tersebut.

Pandan Wangi sedikit meringis melihat tiga puluh orang tersebut mengamuk dengan senjata masing-masing dan membabat ular-ular yang terus merangseknya! Dalam waktu singkat saja, sudah lima orang yang menggeletak digerogoti ular-ular yang haus darah tersebut.

"Mereka terus membabati ular-ular itu! Kalau begini terus, rakyatmu bisa habis, Dewi Naga Hitam," ;ata Pandan Wangi cemas.

"Tidak, lihatlah!"

Mata Pandan Wangi langsung membeliak lebar! Ular-ular yang terbabat buntung, ternyata bisa menyambung dan hidup lagi begitu menyentuh tanah. Dan yang benar-benar ajaib, percikkan darahnya langsung menimbulkan ular baru lagi. Hal itu tentu saja sangat merepotkan musuh-musuh Pandan Wangi.

Tidak lama kemudian, tampak tubuh-tubuh mulai bergelimpangan dikerubuti ular-ular yang semakin ganas tersebut. Dan langsung disusul oleh jerit-jerit kematian yang mengerikan.

"Ayo kita hampiri orang-orang desa yang telah menyingkir itu. Suruh mereka kembali ke desa masing-masing," ajak Dewi Naga Hitam.

"Bagaimana dengan orang-orang tersebut?" tanya Pandan Wangi.

"Biarkan saja, mereka akan mati!"
********************

"Gila! Ini benar-benar edan!" geram si Tengkorak Putih memuncak amarahnya.

"Keadaan kita benar-benar terjepit, Tengkorak Putih. Lebih dari separuh orang-orang kita telah memilih mencari selamat dan meninggalkan partai," kata Tengkorak Biru mengeluh.

"Bahkan belakangan ini, si Perawan Rimba Tengkorak selalu beraksi dengan menggunakan ular-ular berbisa," sambung Tengkorak Hijau.

"Dan kita selalu kalah, begitu kan?" serobot Tengkorak Putih gusar.

"Itu bukan ular biasa, Ayah, Tapi ular siluman," celetuk seorang anak muda yang berwajah tampan dengan kulit putih bersih.

"Dari mana kau tahu, Purbaya?" dengus Tengkorak Putih.

"Aku telah melihatnya sendiri, orang-orang kita dibantai di celah bukit yang menjadi pintu gerbang masuk ke sini," sahut Purbaya.

"Benar, Tengkorak Putih. Saat itu aku bersama Purbaya. Ular-ular itu bisa hidup lagi meskipun sudah buntung. Dan tiga puluh orang kita yang berkepandaian cukup tinggi, tewas semua tanpa sisa," sambung Tengkorak Biru.

"Kalau memang demikian, mengapa mereka tidak langsung menggempur ke sini?" rungut Tengkorak Putih.

"Hal itu tidak akan terjadi, Tengkorak Putih," sahut Tengkorak Hijau.

"Apa maksudmu?" Tengkorak Putih tak sabar.

"Tempat ini dikelilingi oleh pohon bambu kuning welung. Bangsa ular siluman jenis apa pun, tidak akan berani melewati pagar bambu kuning welung. Karena begitu tubuhnya menyentuh, mereka akan langsung mati," Tengkorak Hijau menjelaskan.

"Hm..., jadi si Perawan Rimba Tengkorak itu makhluk siluman?" gumam Tengkorak Putih menduga-duga.

"Aku tidak tahu pasti, Tengkorak Putih. Tapi cawan saktiku mengatakan bahwa dia ditemani sebangsa makhluk siluman yang berujud seekor ular hitam sebesar tangan orang dewasa," sahut Tengkorak Hijau lagi.

Tengkorak Putih mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Ada satu lagi, Tengkorak Putih," sambung Tengkorak Hijau.

"Apa?"

"Si Perawan Rimba Tengkorak dibantu Pendekar Rajawali Sakti."

"Rangga...," desis Tehgkorak Putih, gerahamnya bergemeletuk menahan geram.

"Menurut cawan saktiku, keadaan kita akan semakin sulit dengan campur tangannya Pendekar Rajawali Sakti dalam masalah ini. Mungkin kita bisa menandingi si Perawan Rimba Tengkorak, tapi sulit untuk menandingi pendekar itu," sambung Tengkorak Hijau yang matanya tidak pernah lepas memandang ke dalam cawan emas di tangannya.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Tengkorak Putih kebingungan.

"Persenjatai sisa-sisa orang kita dengan bambu kuning welung, juga senjata berlapis batu pualam hijau."

"Untuk apa batu pualam hijau?"

"Menandingi pedang Rajawali Sakti. Tapi aku sendiri juga tidak yakin, kalau senjata itu mampu membendungnya. Sebab batu pualam hijau tidak tahan oleh panas yang berasal dari inti tenaga dalam. Dan itu justru yang sudah dikuasai oleh Pendekar Rajawali Sakti."

"Tengkorak Kuning, ada berapa orang lagi kekuatan kita?" tanya Tengkorak Putih yang menjadi pimpinan tertinggi Partai Tengkorak itu.

"Tidak lebih dari lima puluh orang lagi," sahut Tengkorak Kuning sambil menunduk.

"Apa...?" Tengkorak Putih terkejut bukan kepalang mendengarnya.

"Banyak dari anggota kita yang telah melarikan diri, lagi pula semua tokoh-tokoh sakti yang kita undang juga mengundurkan diri, begitu mengetahui bahwa Pendekar Rajawali Sakti ikut campur tangan dalam persoalan ini," lapor Tengkorak Kuning.

"Gila! Ini benar-benar gila," geram Tengkorak Putih.

"Hanya ada satu cara untuk menyelamatkan diri, Tengkorak Putih," celetuk Tengkorak Hijau.

"Apa?"

"Tinggalkan tempat ini, dan susun lagi kekuatan baru di luar."

"Tidak!" bentak Tengkorak Putih. "Sudah cukup lama aku telah membangun Partai Tengkorak dengan susah payah, dan itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar!"

"Aku mengerti, Tengkorak Putih. Tapi keadaan kita benar-benar tidak menguntungkan lagi. Dan kita harus segera mencari jalan lain untuk menghancurkan Kerajaan Karang Setra," sergah Tengkorak Hijau.

"Tapi berapa lama lagi? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun? Atau seratus tahun lagi?"

Semua terdiam membisu. Mereka memaklumi, bahwa Tengkorak Putih bersusah-payah membangun Partai Tengkorak hanya untuk membalas dendam kematian kakaknya, si Iblis Lembah Tengkorak yarlg tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti (Baca Serial pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah Iblis Lembah Tengkorak)

Tengkorak Putih memang sudah bersumpah untuk menghancurkan Kerajaan Karang Setra serta membunuh Rangga si Pandekar Rajawali Sakti yang kini menjadi rajanya. Berbagai macam cara sudah dilakukannya, tapi selalu menemui kegagalan. Dan dia tidak ingin gagal lagi untuk kesekian kalinya.
********************

"Purbaya...," panggil Tengkorak Putih saat di berada berdua saja dengan putra tunggalnya itu.

"Ada apa, Ayah?" sahut Purbaya.

"Kau tahu, tidak ada yang dapat Ayah banggakan lagi selain dirimu. Dan hanya kaulah satu-satunya harapanku untuk dapat meneruskan cita-cita ayahmu ini, dan juga cita-cita leluhurmu," pelan suara Tengkorak Putih.

Purbaya hanya tertunduk diam mendengarkan. Dari nada bicaranya, dia dapat menebak, bahwa ayahnya sudah putus asa untuk mempertahankan Partai Tengkorak yang telah dirintisnya dengan susah payah. Kemarin, Tengkorak Hijau juga sudah meramalkan, bahwa saat-saat kehancuran Partai Tengkorak sudah semakin dekat.

Hal itu terbukti dengan sumber batu pualam hijau yang kini sudah dikuasai ole siluman-siluman ular. Sedangkan malam kemarin seluruh pohon bambu kuning welung yang membentengi bangunan Partai Tengkorak, juga sudah habis terbakar, tanpa ada yang mengetahui siapa yang telah membakarnya.

Berbagai malapetaka yang terjadi secara beruntun tersebut, tentu saja sangat mengurangi jumlah anggota Partai Tengkorak. Bahkan lebih sial lagi, tidak ada satu pun partai dari golongan hitam yang mau membantu dengan mengirimkan anggotanya. Mereka seakan-akan tertawa menyaksikan saat saat kehancuran yang bakal terjadi pada partai itu. Partai yang terbesar dan menguasai seluruh wilayah di sekitar Lereng Gunung Puting. Partai yang dulunya sangat ditakuti oleh partai-partai kecil lainnya.

"Aku merasakan, bahwa saat saat kehancuran Partai Tengkorak sudah semakin dekat. Tapi aku tidak ingin hancur seluruhnya. Kau mengerti maksudku, Purbaya?" sambung Tengkorak Putih

"Aku mengerti, Ayah," sahut Purbaya agak tersedak suaranya.

"Sebelum terlambat, aku ingin kau segera meninggalkan tempat ini. Pergilah bersama paman-pamanmu, dan susun kekuatan baru, kemudian rongrong kewibawaan Kerajaan Karang Setra. Aku akan bangga jika kau berhasil meruntuhkan musuh besar leluhurmu itu," kata Tengkorak Putih berapi-api.

"Ayah sendiri...?"

"Aku akan menghadapi mereka. Hanya aku yang mereka cari, bukan kau atau yang lainnya!"

Purbaya kembali menundukkan kepalanya. Sebenarnya dia ingin membantah perintah itu, tapi dia tidak berani mengucapkannya. Dia tahu, kalau semua itu sudah dipertimbangkan masak-masak oleh ayahnya. Belum pernah Purbaya melihat ayahnya pesimis seperti itu. Biasanya ayahnya begitu tegar dan selalu percaya diri dengan kekuatan dan kemampuannya. Tapi yang dilihat Purbaya sekarang, sungguh sangat lain sekali. Sepertinya dia tidak lagi melihat sosok ayahnya yang begitu dihormati dan ditakuti baik oleh lawan maupun kawan. Ibaratnya, ayahnya kini bagaikan ekor macan tua yang sudah tidak mempunyai gigi lagi.

Mendadak Tengkorak Biru datang dengan tergopoh-gopoh. Dan dia segera menjura hormat begitu sampai di depan pemimpin tertinggi Partai Tengkorak tersebut. Purbaya menarik napas dalam-dalam, tidak ingin kelihatan lemah di depan pamannya itu.

"Semua persiapan sudah selesai, Tengkorak Putih," lapor Tengkorak Biru.

"Bagus," sambut Tengkorak Putih dengan senyum yang dipaksakan.

"Persiapan apa?" tanya Purbaya mengerutkan kening.

"Kau harus berangkat sekarang juga, Purbaya. Tengkorak Biru dan Tengkorak Kuning akan bersamamu," Tengkorak Putih menjelaskan.

"Benar, Purbaya. Selama dalam perjalanan nanti kita semua akan berganti nama, kecuali kau. Sebab di dunia luar, tidak ada seorang pun yang mengenalimu. Selama ini kau kan hanya berada di dalam sini saja," sambung Tengkorak Biru.

"Tapi kenapa harus sekarang?" Purbaya tak mengerti.

"Tengkorak Hijau telah mengatakan, bahwa saatnya sudah semakin dekat. Dan kita harus segera berangkat, sebelum mereka menghancurkan tempat ini," sahut Tengkorak Biru.

"Tapi..."

"Purbaya.... Kau tidak ingin mengecewakan harapanku, kan? Sudah kukatakan tadi, bahwa masa depan Partai Tengkorak sudah kuserahkan ke tanganmu. Pergilah, bukan untuk kalah, tapi pergi untuk memperoleh kemenangan yang tertunda," selak Tengkorak Putih memberi semangat.

Purbaya diam merenung beberapa saat.

"Jangan hiraukan semua yang ada di sini. Kelak jika aku selamat, kita pasti akan bertemu lagi. Dan aku ngin melihat kau sebagai pemimpin besar di Karang Setra," Tengkorak Putih tersenyum masam.

"Baiklah," sahut Purbaya seraya bangkit dari duduknya.

"Berangkatlah untuk menang, Anakku."

"Aku pergi, Ayah," pamit Purbaya seraya menjura hormat.

Tengkorak Putih segera menganggukkan kepalan-ya dengan senyum yang dipaksakan. Tengkorak Biru pun menjura hormat, dan segera berlalu mengikuti Purbaya yang sudah melangkah lebih dulu.

Tengkorak Putih masih memandangi kepergian putranya dengan hati trenyuh, namun dia harus bisa menguatkan diri. Kepergian Purbaya diharapkan bisa meneruskan cita-citanya.
********************

Purbaya menunggang seekor kuda putih yang kakinya berbelang hitam. Sementara di belakangnya tampak Tengkorak Biru dan Tengkorak Kuning juga menunggang kuda. Tidak ada seorang pun anggota Partai Tengkorak yang ikut bersama mereka, hal ini memang disengaja untuk menghindari orang-orang yang mungkin akan mengenali.

Semua barang-barang yang menandakan bahwa mereka berasal dari Partai Tengkorak ditanggalkan. Mereka semua mengenakan pakaian biasa seperti layaknya pengembara. Bahkan Purbaya pun hanya mengenakan kalung lambang kepemimpinan tertinggi yang tersembunyi di balik pakaiannya.

"Mulai saat ini, kami akan memanggilmu dengan sebutan Raden Purbaya, dan kau bisa memanggilku dengan sebutan Paman Kampar," kata Tengkorak Biru.

"Aku pun cukup kau panggil Paman Lebak saja," sambung Tengkorak Kuning.

"Memangnya asal kita dari mana?" tanya Purbaya.

"Padepokan Bambu Kuning," jawab Tengkorak Biru.

"Di mana itu?"

"Hanya nama rekaan saja, untuk mengingat Partai Tengkorak yang tinggal di hutan yang penuh dengan bambu kuning welung."

"Kenapa tidak menggunakan nama Lembah Welung Kuning saja? Bukankah itu malah lebih bagus kedengarannya?" saran Purbaya.

"Ah, benar!" seru Tengkorak Biru.

"Partai Tengkorak memang berada di dasar lembah. Dan tempat itu dulunya banyak ditumbuhi dengan pohon bambu kuning welung. Satu nama yang tepat dan bisa dijadikan sandi bagi anggota Partai Tengkorak yang mejarikan diri," sambung Tengkorak Kuning.

"Sandi untuk mengumpulkan kembali, atau membinasakan mereka?" celetuk Purbaya.

"Kami kan hanya menurut perintahmu, Raden," gurau Tengkorak Biru.

"Kalau begitu, langkah pertama kita adalah membinasakan anggota Partai Tengkorak yang melarikan diri, terutama mereka yang memiliki kedudukan dalam partai!"

"Kami laksanakan, Raden," sahut kedua laki-laki setengah baya itu serempak.

Purbaya langsung tertawa mendengar sebutan raden pada dirinya. Sedangkan Tengkorak Biru dan Tengkorak Kuning hanya tersenyum-senyum saja. Mereka terus saja memacu kudanya pelan-pelan untuk menghindari perhatian, karena mereka masih berada di wilayah Hutan Jati Jarak. Suatu kawasan yang sudah dikuasai oleh si Perawan Rimba Tengkorak, bersama ular-ular silumannya.

"Ke mana tujuan kita sekarang, Paman Kampar?" tanya Purbaya.

"Desa terdekat, sekalian mencari keterangan," sahut Kampar alias si Tengkorak Biru. "Keterangan apa?"

"Mencari bekas anggota Partai Tengkorak yang melarikan diri, dan membunuhnya."

"Bagus! Untuk sementara ini kita jelajahi dulu desa-desa di sekitar Lereng Gunung Puting," sambung Purbaya.

"Tapi tindakan kita jangan terlalu menyolok, dan jangan terlalu banyak bertanya yang nantinya justru dapat menimbulkan kecurigaan," sahut Tengkorak Kuning yang kini memakai nama Lebak.

"Aku setuju, tapi apakah nanti tidak ada yang mengenali Paman berdua?"

"Tidak, kami tidak pernah menampakkan diri pada anggota tingkat rendah," sahut Tengkorak Biru.

"Kalau begitu, kita bisa bergerak lebih leluasa tanpa khawatir ada yang mengenali," sambut Purbaya.

"Jelas, Raden."

Ketiga orang itu pun segera mengendalikan kudanya lebih cepat menuju Desa Salapan yang paling dekat dengan Hutan Jati Jarak ini Tidak ada lagi ya berbicara. Mereka khawatir kalau pembicaraan mereka didengar oleh siluman ular.
DELAPAN

Saat itu Rangga bersama rajawali raksasa sudah berada di atas sarang Partai Tengkorak. Dia tersenyum menyaksikan Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam usdah mulai memasuki daerah itu. Mereka memang sudah mulai melancarkan strategi untuk menggempur partai yang sangat meresahkan masyarakat desa-desa di sekitar Lereng Gunung Puting itu.

Sejenak Rangga teringat saat ia berbicara berdua dengan Dewi Naga Hitam. Saat itu Rangga menggunakan kesempatan untuk mengetahui maksud sebenarnya, mengapa Dewi Naga Hitam begitu bernafsu sekali menghancurkan Partai Tengkorak. Mulanya Dewi Naga Hitam memang tidak mau berterus terang. Tapi setelah didesak terus-menerus, akhirnya dia mau juga berterus terang asalkan Rangga tidak membicarakannya pada siapa pun.

"Aku sadar, kalau tindakan ini mengandung resiko yang sangat besar terhadap diriku," kata Dewi Naga Hitam saat itu.

"Tapi kenapa kau lakukan juga?" tanya Rangga.

"Kurasa kau sudah tahu, apa arti cinta sebenarnya, tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang tak mengenal cinta. Bedanya hanya kadar cinta yang diukur menurut golongannya masing-masing. Termasuk juga aku, bangsa siluman ular," Dewi Naga Hitam alasan.

Rangga diam merenung beberapa saat. Dia mulai bisa menebak arah pembkaraan yang dikemukakan oleh Dewi Naga hitam. Ternyata dugaannya hampir mendekati kebenaran. Bahwa Dewi Naga Hitam menyimpan dendam! Dan dia harus menumpahkan dendamnya, meskipun hal itu akan membahayakannya.

"Cinta memang dapat mengalahkan segalanya. Bahkan nyawa pun seperti tidak ada harganya sama sekali. Seperti juga yang kau alami, Rangga. Kau meninggalkan tahta kerajaan hanya untuk mendapatkan cinta," lanjut Dewi Naga Hitam.

"Ya, sebagian," Rangga mengakui.

"Begitu juga aku. Aku rela mengambil resiko tinggi, bahkan aku pun rela kalau memang harus lenyap selamanya demi cinta suciku."

"Kau mencintai seseorang?" pancing Rangga.

"Bukan orang, tapi sesama makhluk siluman," Dewi Naga Hitam meralat.

"Oh, maaf," buru-buru Rangga menyadari.

"Kau pasti kenal dengan Ula Ireng, kan?"

"Tentu saja, aku tidak mungkin melupakannya. Dia banyak membantuku sewaktu aku berada di Istana Ular," jawab Rangga.

"Nah, aku dan Ula Ireng adalah pasangan suami istri yang saling mencintai. Tapi ternyata kemudian nasib telah menentukan lain. Disaat anak pertama kami lahir, Ula Ireng mendapat tugas rahasia dari Satria Naga Emas, raja kami. Aku sendiri tidak tahu tugas apa itu, dan bahkan sampai sekarang pun aku tidak juga mengetahuinya. Raja kami tidak pernah memberitahukan setiap tugas rahasia yang dilimpahkan pada abdinya," Dewi Naga Hitam mulai bercerita.

"Terus?" desak Rangga tidak sabaran. Dia memang sudah tahu kalau Dewi Naga Hitam dan Ula Ireng adalah pasangan yang paling serasi.

"Takdir memang sudah digariskan pada setiap makhluk apa pun juga. Ula Ireng tewas dalam menunaikan tugas!"

"Oh!" Rangga terkejut.

"Dan aku tidak akan pernah menerima kematiannya! Kemudian aku segera meninggalkan istana kerajaan siluman ular. Tekadku, menyelidiki dan ingin mengetahui sebab-sebab kematiannya. Hal itu memang tidak mudah, apalagi dengan ujudku sebagai ular, tapi toh akhirnya aku tahu juga, bahwa suamiku ternyata tewas dibunuh oleh Tengkorak Hijau, salah eorang pembantu utama Tengkorak Putih, Ketua Partai Tengkorak."

"Hm.... Jadi kau ingin membalas dendam?"

"lya, selain suamiku juga ada sekitar tiga puluh siluman ular lainnya yang ikut tewas."

"Bagaimana dia bisa mengalahkan suamimu?"

"Tengkorak Hijau ternyata tahu kelemahan bangsa siluman ular. Dan dia menggunakan senjata dari bambu kuning welung. Kau tahu, Rangga. Bangsa kami akan musnah jika tersentuh bambu kuning welung. Itu memang sudah takdir, dan kami semua tak bisa menolaknya."

"Ah, kalau begitu, kau tidak mungkin bisa masuk ke sarang mereka."

"Aku tahu, sarang mereka memang dikelilingi pohon bambu kuning welung. Tapi aku sudah meminta pada burung rajawalimu untuk membakar semua pohon bambu itu."

Rangga tidak kaget lagi mendengarnya. Dia tahu antara siluman ular dengan burung rajawali raksasa memang sudah saling mengenal. Pendekar Raja Sakti itu juga memuji tindakan Dewi Naga Hitam yang cepat dan penuh perhitungan. Tapi sayangnya, tindakannya itu sangat bertentangan dengan aturan yang berlaku di kerajaan siluman ular. Satria Naga Emas tidak pernah mengizinkan rakyatnya untuk bermusuhan dengan manusia. Dan setiap pelanggaran yang dilakukan, bisa mengakibatkan kematian.

Tapi bagaimanapun juga, Rangga tidak bisa saja menyalahkan tindakan Dewi Naga Hitam, berjanji dalam hati, bahwa dia akan membela wanita siluman ular itu di depan rajanya nanti.

"Hukuman yang akan dijatuhkan padaku pasti akan bertambah berat, karena aku telah melibatkan rakyat ular untuk kepentingan pribadiku," kata Dewi Naga Hitam.

"Kau merasa dirimu bersalah?" tanya Rangga.

"Tidak!" tegas jawaban Dewi Naga Hitam.

"Kalau begitu, kenapa kau takut menghadapi kenyataan itu?"

"Aku tidak takut, aku hanya memikirkan anakku. Dia pasti akan terlantar karena tidak ada yang mengurusnya nanti."

"Dalam beberapa segi, kau memang berhak untuk membalas kematian suamimu. Tapi dari segi lainnya, kau telah melanggar aturan bangsamu sendiri. Aku rasa, Satria Naga Emas akan bertindak bijaksana dalam menentukan keputusan untukmu nanti," kata Rangga membesarkan hati wanita siluman itu.

"Aku tahu maksudmu, Rangga. Tapi lupakanlah, bahwa kau tidak akan berhasil," sergah Dewi Naga Hitam bisa menebak jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Aku akan mencoba, percayalah."

"Terima kasih, jangan menyusahkan dirimu sendiri. Aku tidak perlu pembelaan oleh siapa pun juga. Hukuman mati tetap akan dijatuhkan kepadaku, Rangga."

"Aku banyak berhutang budi pada suamimu. Dan kupikir, inilah saat terbaik aku membalas sedikit budi baik Ula Ireng. Kau tidak akan menolak pembelaanku nanti, kan?"

"Aku tidak tahu harus berkata apa padamu, Rangga."

"Sudahlah, memang sudah selayaknya kalau kita saling bantu."

Mendadak lamunan Rangga tentang pembicaraannya dengan Dewi Naga Hitam itu buyar karena tiba- tiba ia mendengar suara ribut-ribut di bawah. Segera tampak olehnya, Pandan Wangi sudah sibuk bertarung melawan beberapa orang bersenjata di halaman depan markas Partai Tengkorak. Sedangkan Dewi Naga Hitam yang berubah wujud jadi manusia, tengah kerepotan menghindari serangan-serangan dari beberapa orang yang memegang bambu kuning welung.

"Rajawali, cepat turun!" perintah Rangga.

"Khraaaghk...!"
********************

Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat turun meskipun burung raksasa tunggangannya itu belum sempat mendarat di tanah. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga langsung terjun dalam kancah pertempuran. Sedangkan burung rajawali raksasa itu juga tidak mau kalah, dia langsung mengepak-ngepakkan sayapnya menghajar orang-orang dari Partai Tengkorak itu. Tampak beberapa kali dia mencengkeram dan membanting setiap orang yang berhasil ditangkapnya.

Tentu saja Rangga yang sudah terjun ke dalam kancah pertempuran jadi bengong, karena dia tidak mendapat lawan satu pun juga. Semua lawan lawannya sudah kocar-kacir diamuk burung raksasa yang kebal terhadap segala jenis senjata. Bahkan Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam pun jadi menganggur. Mereka menonton pertarungan yang aneh dan tidak seimbang itu.

"Rajawali, cukup!" teriak Rangga begitu melihat lawannya sudah tergeletak semua di tanah.

"Khraaaghk...!"

Burung raksasa itu segera mengangguk-anggukkan kepalanya seakan ingin mengatakan, bahwa dia masih sanggup untuk membunuh seribu orang lagi. Rangga segera mendekati dan menepuk-nepuk lehernya yang agak tertunduk. Kemudian dia berbisik pelan.

"Khraghk!"

Burung raksasa itu kembali mengepakkan sayapnya. Kemudian dia langsung terbang dan melambung tinggi ke udara. Sesaat kemudian Rangga mendekati Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam yang masih tertegun memandang burung raksasa yang sudah tinggi di angkasa.

"Sepertinya tempat ini sudah dikosongkan," kata Rangga sedikit bergumam.

"Ya, hanya mereka yang kami temukan," sahut Pandan Wangi.

"Kau tidak melihat si Tengkorak Hijau, Dewi Naga Hitam?" tanya Rangga ketika melihat sahabatnya itu tampak lesu.

"Tidak, bahkan ketua partainya pun juga tidak ada," sahut Dewi Naga Hitam lemas.

"Kita cari dulu ke dalam atau kita langsung hancurkan saja bangunan itu?" Rangga meminta pendapat.

"Aku pilih yang kedua," sahut Pandan Wangi lebih dulu.

"Memang sebaiknya begitu," Dewi Naga Hitam menyetujui.

"Pandan, kau hancurkan sebelah kiri, dan Dewi Naga Hitam sebelah kanan, sedangkan aku bangunan yang paling besar itu," Rangga memberi tugas masing-masing.

"Beres...!" sambut kedua wanita itu serempak.

Dan tanpa menunggu waktu lagi, ketiga orang itu langsung mengerahkan ajiannya masing-masing untuk menghancurkan sasaran yang sudah ditentukan. Tak berapa lama kemudian, suara-suara ledakan langsung terdengar saling sambut. Debu-debu segera mengepul dibarengi dengan percikkan bunga api dari bangunan-bangunan yang hancur akibat gempuran ketiga orang itu. Sampai-sampai seluruh permukaan bumi yan mereka pijak bergetar dengan hebatnya!

Bukan saja bangunan-bangunan itu yang mereka hancurkan, tapi dinding-dinding yang melindungi tempat itu pun tak luput dari sasaran. Debu-debu semakin tebal saja mengepul ke udara. Di lembah bambu kuning wulung itu bagai terjadi kiamat. Semua hancur berantakan, batu-batu tebing pun ikut runtuh dan menimbun puing-puing bangunan yang menjadi markas utama Partai Tengkorak.

"Cukup...!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggelegar.

Seketika itu juga tiga orang yang sedang melancarkan aksinya langsung berhenti. Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam segera mendekati Rangga. Tampak dari kepulan debu yang semakin memudar itu, dua sosok tubuh tengah berdiri di atas reruntuhan batu-batu yang mengubur puing-puing bangunan itu. Dan begitu kepulan debu itu semakin menipis, terlihat jelas kalau mereka adalah Tengkorak Putih dan Tengkorak Hijau!
********************

Pelan-pelan Rangga melangkahkan kakinya tiga tindak ke depan. Sedangkan Tengkorak Putih pun segera melompat turun dari tumpukan batu diikuti oleh Tengkorak Hijau. Mereka langsung berhadap-hadapan dalam jarak sekitar dua batang tombak. Tatapan mata Rangga sangat tajam penuh kebencian pada Tengkorak Putih.

Pendekar Rajawali Sakti itu memang pernah bertemu sekali dengan si Tengkorak Putih, tapi waktu itu mereka belum sempat bertarung. Hal itu terjadi karena Rangga percaya saja pada kata-kata Tengkorak Putih, sehingga hampir saja menimbulkan salah pengertian antara dia dan Resi Balung Gading (Baca Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah: Rahasia Kalung Keramat)

"Apakah kalian datang hanya untuk menghancurkan hasil jerih payahku?" tanya Tengkorak Putih penuh nada dendam.

"Terpaksa kami lakukan, karena kau juga berniat buruk pada rakyat Karang Setra. Dan yang lebih memuakkan lagi, kau telah menyengsarakan penduduk desa sekitar Lereng Gunung Puting. Yang terakhir kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu menghancurkan Padepokan Gunung Puting!" kata Rangga berapi-api.

"Ha ha ha, hebat! Tuduhanmu benar-benar hebat, Pendekar Rajawali Sakti. Bagaimana kau bisa mengetahui semua itu?" Tengkorak Putih tidak kaget lagi, dia sudah menduga kalau semua itu pada akhirnya akan diketahui juga.

"Kau tidak perlu tahu dari mana aku dapat mengetahuinya, Tengkorak Putih," sahut Rangga datar.

"Aku memang tidak perlu tahu, hiyaaa...!"

Tengkorak Putih langsung saja menerjang ke arah Rangga dengan jurus-jurus tangan kosong. Sedang Rangga segera melayaninya dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Pertarungan seru segera terjadi di bekas reruntuhan bangunan partai itu. Debu-debu bertaburan terkena sambaran-sambaran angin dari mereka. Sementara itu Pandan Wangi dan Dewi Naga Hitam hanya menonton saja sambil berjaga-jaga. Tapi mata Dewi Naga Hitam tidak lepas menatap Tengkorak Hijau. Darahnya langsung mendidih melihat laki-laki tua pembunuh suaminya itu.

Pertarungan antara Rangga dengan Tengkorak Putih terus berlangsung cepat. Hingga belum begitu lama mereka telah mengeluarkan jurus-jurus maut andalannya masing-masing. Sudah beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti merubah jurus-jurusnya, baik dari lima jurus rangkaian rajawali sakti yang digabungkan, ataupun jurus-jurus yang dipelajarinya dari Satria Naga Emas. Pertarungan semakin berjalan cepat dan menegangkan. Kini yang terlihat hanyalah dua bayangan tubuh yang berkelebatan saling serang.

Sekitar tempat itu yang memang sudah berantakan, kini semakin porak-poranda akibat pertarungan maut itu. Namun sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda yang bakal terdesak. Kekuatan mereka masih tetap seimbang!

Bahkan dalam pertarungan yang sudah meningkat menjadi adu senjata pun, mereka tetap tampak seimbang. Rangga sendiri tidak mengerti, kenapa pedang pusaka rajawali tidak mampu menandingi tongkat lawannya yang berlapiskan batu pualam hijau! Pedang pusaka Rajawali Sakti seperti lumpuh, tapi Rangga masih bisa mengatasinya dengan mengerahkan jurus Pedang Pemecah Sukma'.

"Huh! Pedang itu memancarkan hawa panas. Aku harus segera mengeluarkan aji 'Petir Membelah Angkasa'!" dengus Tengkorak Putih.

Dan begitu Tengkorak Putih mengeluarkan ajian terakhirnya, Rangga langsung memasukkan pedang Rajawali Sakti kembali ke warangkanya dan seketika itu juga ia segera mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.

"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" teriak Rangga lantang.

Satu ledakan keras terdengar menggelegar begitu cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Rangga berbenturan dengan kilatan petir yang memancar cepat dari ujung tongkat si Tengkorak Putih.

"Hup, hiyaaa...!"

Seketika itu juga Rangga langsung melompat cepat dengan kedua telapak tangan yang masih terbuka mendorong ke depan. Dan kemudian tampaklah cahaya biru yang memancar dari kedua tangannya itu mengalahkan kilatan petir yang menyambar-nyambar.

"Aaakh..!" Tengkorak Putih langsung menjerit melengking tinggi.

"Yeaaah...!" teriak Rangga nyaring sambil menghunus kembali pedang yang baru dikeluarkannya.

Dan secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti langsung menancapkan pedangnya ke dada Tengkorak Putih! Dan tanpa sempat mengeluarkan suara lagi tubuh Tengkorak Putih ambruk ke tanah dengan dada yang berlumuran darah!

Trek!

Rangga segera memasukkan kembali pedang pusakanya ke dalam warangkanya di punggung. Sejenak dia masih berdiri tegak memandangi tubuh Tengkor Putih yang sudah tidak bernyawa itu. Beberapa saat kemudian dia segera menoleh begitu mendengar suara teriakan-teriakan keras. Tampak agak jauh dari tempatnya, Dewi Naga Hitam sedang menggempur Tengkorak Hijau dengan sengitnya!
********************

"Kapan pertarungan itu mulai berlangsung?" tanya Rangga setelah dia berada di dekat Pandan Wangi yang tak kebagian musuh.

"Baru saja," sahut Pandan Wangi.

"Hm..., tampaknya Tengkorak Hijau terdesak terus," gumam Rangga sambil menatap serius ke arah pertarungan itu.

Pengamatan Pendekar Rajawali Sakti itu memang tepat! Tengkorak Hijau sedang kewalahan menghadapi gempuran Dewi Naga Hitam. Bahkan tampaknya dia sulit untuk memberikan serangan balik. Tapi begitu tangannya mencabut tongkat bambu kuning weiung dari balik bajunya, Dewi Naga Hitam langsung melompat mundur beberapa langkah.

"Kau tidak bisa mengelabui penglihatanku, Siluman!" dengus Tengkorak Hijau seraya memutar-mutar tongkat bambu kuning welungnya.

Sejenak Dewi Naga Hitam agak kebingungan. Dia sadar, sedikit saja dia tersentuh bambu kuning welung itu, tubuhnya akan musnah. Memang dalam beberapa jurus lagi, sebenarnya dia bisa mengalahkan Tengkorak Hijau, tapi begitu tongkat bambu kuning welung telah berada di tangan lawannya...?

"Dewi Naga Hitam, mundur...!" seru Pandan Wangi seketika.

Tanpa menunggu jawaban lagi, Pandan Wang langsung melompat bagaikan kilat menerjang Tengkorak Hijau. Tentu saja laki-laki tua itu terkejut. Buru-buru dia melentingkan tubuhnya ke udara, dan melemparkan tongkat bambu kuning welung itu ke arah Dewi Naga Hitam.

"Hiyaaa...!" Rangga langsung melompat cepat.

Untung saja Pendekar Rajawali Sakti itu cepat tanggap menghadapi keadaan, dan dengan mudah menangkap tongkat bambu kuning welung itu. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam yang sangat sempurna, Rangga segera melontarkan kembali tongkat bambu kuning welung itu ke arah tubuh Tengkorak Hijau.

"Hait!"

Secepat kilat Tengkorak Hijau mengibaskan tangannya, dan berhasil menghalau tongkat yang meluncur deras mengancam jiwanya itu. Dan pada saat yang bersamaan pula, Pandan Wangi langsung mencabut pedangnya! Kemudian dengan satu lentingan yang manis dan cepat, dia segera membabatkan pedangnya ke dada laki-laki tua itu.

"Aaakh...!" Tengkorak Hijau menjerit melengking.

Dan sebelum tubuh Tengkorak Hijau itu ambruk ke tanah, secepat kilat Dewi Naga Hitam yang sudah berubah wujud menjadi ular, menerjang tubuh yang masih sempoyongan itu.

Crab!!

Kepala ular hitam itu langsung menembus ke dalam dada si Tengkorak Hijau. Darah segar segera muncrat dari dalam dada yang terkoyak itu, disusul dengan menggeleparnya tubuh laki-laki tua itu di tanah. Sesaat kemudian, ular hitam itu melata dari dalam dada Tengkorak Hijau. Tampak dia mengunyah sesuatu, sedang lidahnya yang bercabang menjilati darah yang membasahi kepalanya!

Tapi belum sempat Dewi Naga Hitam berubah wujud menjadi manusia kembali, tiba-tiba terdengar suara riuh langkah-langkah kaki manusia yang mendekat ke arah tempat pertarungan itu. Tak berapa lama kemudian, muncullah orang-orang yang sudah takluk pada Pandan Wangi tempo hari. Tampak mereka membawa seorang pemuda tampan yang diikat erat pada kedua tangannya, hingga menyatu rapat dengan tubuhnya.

Pemuda itu tak lain adalah Purbaya, putra tunggal si Tengkorak Putih. Wajahnya yang tampan itu sudah biru lebam oleh bekas-bekas pukulan benda-benda tumpul. Pemuda itu hanya tertunduk pasrah saja menghadapi kenyataan yang sangat tidak diharapkan itu. Dia sudah tidak perlu lagi menangis dan meraung keras. Dia sudah bisa merasakan apa yang akan terjadi.

Suara-suara yang menggelegar dan menggemuruh disertai asap tebal yang melambung tinggi ke angkasa, telah dilihatnya sendiri bersama Tengkorak Biru dan Tengkorak Kuning yang saat itu memang masih berada belum begitu jauh dari Lereng Gunung Puting.

Dia sudah tidak membayangkan lagi bahwa ayahnya masih bisa bertahan hidup, di tengah-tengah hancurnya bangunan yang begitu megah dan kuat, dan yang merupakan pusat pemerintahan Partai Tengkorak yang dipimpin ayahnya sendiri.

Tampak Sura Praba berjalan paling depan di antara rombongan yang berjalan cepat tersebut. Bukan hanya Pandan Wangi yang terkejut melihat rombongan yang sedang menuju ke arahnya itu, tapi Rangga dan Dewi Naga Hitam yang sudah berujud manusia itu pun, sampai membelalakkan matanya.

Mereka memang telah mengenali wajah wajah yang ada dalam rombongan itu, wajah-wajah yang sudah takluk pada Panda Wangi, si Perawan Rimba Tengkorak. Tapi seorang pemuda yang berkulit halus dan putih bersih serta tampan itu? Dan kenapa pula dia diikat dan diperlakukan kasar?

Belum lagi rombongan itu sampai di depan ketiga orang tersebut, buru-buru Sura Praba berlari-lari kecil sambil membungkuk-bungkuk ke arah mereka.

"Gusti, maaf beribu maaf. Kami telah lancang datang ke sini," kata Sura Praba sedikit ketakutan.

"Ada apa, Sura Praba? Dan siapa orang itu?" tanya Pandan Wangi keras suaranya.

"Pemuda itu Purbaya, Gusti Ayu. Putra satu-satunya Tengkorak Putih. Kami telah menangkapnya ketika dia lewat bersama dua orang pengawalnya Tengkorak Biru dan Tengkorak Kuning. Tadinya kami memang hanya berjaga-jaga di sekitar goa, tapi begitu kami mendengar suara yang menggelegar dan menggemuruh disertai asap tebal yang melambung ke angkasa, kami segera berkumpul dan menunggu kejadian selanjutnya," Sura Praba menjelaskan.

Tampak Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia segera mengerti, rupanya pemuda itu adalah anak Tengkorak Putih yang sedianya akan disusupkan ke Istana Karang Setra untuk merongrong dan mengacaukan kewibawaan kerajaan. Tapi semua itu ternyata gagal total. Karena kalung yang akan dipakai untuk mengelabui para pembesar kerajaan, tidak berhasil mereka dapatkan dari Resi Wanapati. Dan memang, Resi Wanapati telah menyerahkan kalung tanda kebesaran Adipati Karang Setra itu, pada pemilik aslinya yaitu Danupaksi, adik tiri Rangga.

"Terus bagaimana kau dapat menangkap mereka?" tanya Pandan Wangi.

"Saat kami sedang menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya dengan adanya suara bergemuruh itu, tiba-tiba kami melihat tiga orang berkuda berkelebat cepat menuju ke arah suara itu. Setelah kami mengetahui siapa mereka, langsung saja kami semua menghadang mereka. Dan terjadilah pertempuran sengit yang menewaskan dua puluh orang teman-teman kami dan dua orang pimpinan Partai Tengkorak, yaitu Tingkorak Biru dan Tengkorak Kuning. Sedangkan Purbaya, pemuda itu, langsung menyerah begitu melihat kedua pengawalnya tewas," lanjut Sura Praba menjabarkan seluruh kejadian yang mereka alami.

Pandan Wangi segera mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak dia menoleh ke arah Rangga dan Dewi Naga Hitam, tampak mereka juga tengah menatapnya dengan mengangguk-anggukkan kepala.

"Apa yang harus kami lakukan selanjutnya, Gusti Ayu?" Sura Praba menunggu perintah selanjutnya.

"Ikat pemuda itu erat-erat pada kereta yang masih tampak utuh, aku akan membawanya ke Kerajaan Karang Setra untuk dihadapkan pada pengadilan tertinggi kerajaan. Walaupun aku sudah tahu pasti, bahwa hukuman gantung langsung akan dijatuhkan pada pemuda itu," kata Rangga tegas.

"Kami semua ikut ke Kerajaan Karang Setra?" Sura Praba berkata ragu-ragu.

"Perintahkan pada anak buahmu untuk mengikat pemuda itu dalam kereta! Setelah itu kalian boleh kembali ke desa masing-masing. Dan ingat! Jadikan peristiwa ini sebagai pengalaman yang sangat berharga buat kalian, bahwa segala nafsu dendam dan amarah harus disingkirkan jauh-jauh dan jangan sampai hinggap di hati kalian semua," kata Pandan Wangi lantang.

Sura Praba segera mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian setelah dia menjura hormat pada Pandan Wangi, Rangga serta Dewi Naga Hitam, dia langsung berbalik dan melaksanakan apa yang telah diperintahkan padanya.

"Aku mengucapkan terima kasih pada kalian yang telah membantuku," kata Dewi Naga Hitam.

"Pertolonganmu padaku juga tidak kalah besar," sambut Rangga sambil melirik ke arah Pandan Wangi.

"Kalian akan langsung ke Kerajaan Karang Setra?"

"Iya, dan aku akan merasa senang sekali, jika kau mau ikut serta," jawab Rangga.

"Tidak, aku harus kembali. Sampai ketemu lagi, Rangga, Pandan."

Belum sempat Rangga membuka mulut, mendadak tubuh Dewi Naga Hitam telah lenyap dari pandangan. Dia tahu, kalau Dewi Naga Hitam harus segera menghadap rajanya, Satria Naga Emas. Untuk memohon pengampunan karena telah meluapkan rasa dendamnya kepada bangsa manusia.

"Ayo, kita pergi, Pandan," ajak Rangga sambil menggenggam tangan gadis itu.


"Kemana, Kakang?"

"Ke mana saja! Yang penting kita harus melepaskan kerinduan yang sudah lama terpendam dalam hati kita ini! Iya nggak?" tanya Rangga terus terang mengeluarkan isi hatinya.

"Ha ha ha...," Pandan Wangi tertawa malu. Wajahnya sampai berubah merah. Lalu sebelum ia sempat menghentikan tawanya. Rangga segera menyumpal mulut gadis itu dengan bibirnya!

EPISODE SELANJUTNYA DARAH PENDEKAR