SATU
PARA pengunjung kedai ramai mem-
bicarakan tentang selebaran. Pemuda
tampan bertato bunga mawar di dadanya
ada di situ, ia ikut dengerin omongan
orang-orang di kanan kirinya. Pemuda
yang pakai anting-anting satu dan be-
rambut punk-rock itu tak lain adalah
Pandu Puber si Pendekar Romantis, tapi
para pengunjung kedai nggak ada yang
tahu kalau pemuda berpakaian ungu itu
adalah Pandu Puber.
Pandu diam saja, tidak kasih ko-
mentar apa-apa kepada siapa pun. Dia
tetap menikmati sarapan paginya yang
sederhana; nasi pecel tanpa lele. Tapi
kupingnya nyadap ke mana-mana. Orang-
orang kedai nggak ada yang tahu kalau
percakapan mereka disadap oleh pemuda
beranting-anting sebelah kiri.
Pokok pembicaraan mereka berki-
sar tentang isi selebaran yang terse-
bar di mana-mana itu. Selebaran terse-
but ditulis di atas kertas karton teb-
al lalu ditempelkan di pohon-pohon,
batu-batu, dinding-dinding rumah pen-
duduk, bahkan ada yang ditempelkan di
pintu-pintu gua. Ada juga yang ditem-
pelkan di layar sebuah perahu. Yang
dibagi-bagikan kepada sekelompok ma-
syarakat pun ada juga.
Pandu Puber sendiri sebelum ma-
suk ke kedai sempat membaca selebaran
yang ditemukan di jalanan tergeletak
begitu saja. Pasti kertas selebaran
itu disebarkan lewat udara, mungkin
dengan cara menunggang seekor burung
atau si petugas penyebar kertas itu
terbang ke sana-sini mirip tupai. Dan
isi selebaran itu tadi sempat bikin
Pandu kaget. Cuma kaget sebentar sih,
nggak sampai bikin jantungnya berhenti
berdetak. Soalnya isi selebaran itu
menyangkut nama Pandu Puber. Bunyi se-
lebaran itu begini:
Sayembara
Kepada khalayak ramai maupun
khalayak sepi, terutama bagi mereka
yang tidak buta huruf dan bisa membaca
tulisan ini tanpa salah, diberitahukan
bahwa Penguasa Bukit Gulana yang ber-
nama Ratu Cadar Jenazah adalah perem-
puan cantik yang serba sexy dan moy.
Terima kasih.
Lalu dibawahnya ada tambahan la-
gi yang bunyinya begini:
NB:
Barang siapa bisa menangkap dan
menyerahkan Pendekar Romantis yang
bergelar Pandu Puber, atau Pandu Puber
yang bergelar Pendekar Romantis, jika
yang menangkap itu wanita akan diang-
kat sebagai saudara kandung Ratu, jika
yang menangkap seorang lelaki, ganteng
ataupun jelek, maka dia akan diberi
kesempatan untuk menjadi suami Ratu
tanpa mas kawin apa-apa.
Barang siapa berminat menjadi
suami Ratu Cadar Jenazah dipersilakan
menangkap dan menyerahkan Pendekar Ro-
mantis hidup-hidup. Sayembara ini ter-
tutup bagi staf istana Bukit Gulana.
Sekian dan terima kasih.
Tertanda: Panitia penangkap Pan-
du Puber,
Ratu Cadar Jenazah sendiri.
Cherio.
Beberapa orang ada yang berpen-
dapat, "Ini pengumuman sayembara apa
daftar riwayat hidup sih? Kok bertele-
tele begini?"
Seseorang lantas nyeletuk, "Mak-
lum, namanya aja ratunya jenazah, mana
bisa menyusun pengumuman dengan be-
nar."
Yang lain menimpali, "Mungkin
semasa sekolahnya dulu dia sering
'cabut' alias bolos pada saat pelaja-
ran Ilmu Pengumuman, sehingga ia nggak
tahu metode dasar penyusunan pengumu-
man."
Memang aneh. Pada umumnya mereka
tidak langsung bicarakan tentang Pandu
Puber, tapi soal susunan pengumuman
itu dulu. Lama-lama mereka baru bica-
rakan tentang Pandu Puber.
Tadi waktu Pandu membaca seleba-
ran itu sambil jalan, dia juga
mengkritik susunan bahasanya dulu, se-
telah itu baru ingat karena sadar bah-
wa dirinya kini menjadi seorang buro-
nan bagi Ratu Cadar Jenazah. Setelah
kaget, baru bertanya dalam hati,
"Mengapa aku dianggap buronan
oleh Ratu Cadar Jenazah? Apa yang ia
kehendaki dari diriku?
Apakah ada hubungannya dengan
kasus kematian si Dalang Setan itu?
Memang kata orang-orang sih Dalang Se-
tan punya hobi melamar sang Ratu, tapi
toh selalu ditolaknya. Berarti sang
Ratu nggak suka sama Dalang Setan. Ta-
pi kenapa setelah Dalang Setan kuka-
lahkan, kok sang Ratu menyebar sayem-
bara kayak begitu? Apa dia ingin mene-
bus kematian Dalang Setan sebab dia
secara diam-diam naksir Dalang Setan?
Wah, perempuan ini kayaknya memang ca-
ri penyakit aja! Apakah aku harus
ngumpet? Ah, cuek ajalah! Ngapain pake
ngumpet segala. Pendekar kok ngumpet,
nggak seru dong!" (Eh, kalau mau tahu
Dalang Setan, baca aja serial Pendekar
Romantis episode: "Dendam Dalang Se-
tan" nggak usah malu-malu deh),
Karena sudah diputuskan untuk
cuek terhadap sayembara itu, maka Pan-
du Puber nggak sungkan-sungkan makan
di kedai tanpa ngumpet di kolong meja.
Memang ia cari tempat buat mojok, tapi
bukan berarti takut kelihatan mereka,
melainkan biar dapat memandang lebih
leluasa lagi siapa-siapa yang punya
rencana mau tangkap dirinya.
Salah seorang yang tergabung da-
lam tiga lelaki kurus di meja kiri
berkata, "Pendekar Romantis itu kayak
apa sih? Kalau aku tahu orangnya sih,
bisa kutangkap dalam waktu yang se-
singkat-singkatnya!"
"Sok lu!" ujar temannya yang ku-
rus juga. "Pendekar Romantis itu be-
rilmu tinggi. Dicucup ubun-ubunmu in-
feksi parah lu!"
Yang kurus berkumis bilang juga,
"Gue sih nggak mau ikut-ikutan tangkap
Pandu Puber. Masalahnya ilmu gue ce-
kak. Baru dibentak sudah merangkak.
Kan 'mokal' juga, ya nggak Kak?"
Yang sok jago tadi ngomong,
"Percuma jadi preman dong kalau sama
Pandu Puber aja takut?!"
"Yaah... elu Jang! Elu jangan
sok jago gitu. Tahu nggak, Dalang Se-
tan aja mati di tangannya, apalagi
elu, yang cuma dalang pencurian. Bisa
mati di ujung jempol kakinya, Jang!"
"Aaah... gue nggak takut! Gue
kan punya jurus baru."
"Jurus apaan?"
"Langkah Seribu Setan."
"Wih, angker juga nama jurusnya.
Itu jurus untuk apaan, Jang?"
"Untuk melarikan diri. Sebelum
kita adu muka dengan musuh, kita harus
melarikan diri lebih dulu, cari sela-
mat!"
"Kapan tarungnya?!" ujar si ku-
rus berkumis sambil bersungut-sungut.
Pandu Puber mendengar obrolan
itu. Ia hanya senyum-senyum saja sam-
bil sesekali melirik kelompok tiga
orang kurus itu. Lalu, matanya melirik
di meja lain. Di sana ada dua orang
berbadan gemuk. Keduanya berkumis le-
bat, wajahnya menyeramkan. Yang satu
berambut pendek, botak tengahnya, yang
satu berambut panjang agak berombak.
"Aku pernah mengidam-idamkan in-
gin jadi kekasih Ratu Cadar Jenazah,
tapi aku tahu ilmu perempuan itu ting-
gi. Jadi aku nggak berani melamar dia.
Nah, dengan adanya sayembara ini sama
saja kesempatan baik untuk menjadi ke-
kasih sang Ratu terbuka lebar di depan
mataku. Akan kutangkap orang yang ber-
nama Pandu Puber itu, akan kuserahkan
kepada sang Ratu dan hadiahnya akan
kuambil saat itu juga di depan tawa-
nanku. Paling tidak, yaah... ciuman di
pipi aja boleh dong, ya nggak, ya
nggak? He, he, he...!" sambil alis le-
batnya tersendat-sendat naik.
Yang berambut pendek ikut terke-
keh dan berkata, "Aku pernah bayang-
kan, kalau seandainya aku jadi sua-
minya si ratu cantik dan montok itu,
wah... mungkin aku nggak bisa membeda-
kan mana celanaku dan mana selimutku.
Pasti enjoy terus, he, he, he...!"
"Kamu juga mau tangkap buronan
itu?"
"Iya dong! Dengan ilmu 'Sendok
Sakti' akan kulumpuhkan pendekar itu!"
"Wah, nggak bisa! Pendekar Ro-
mantis itu jatahku. Aku yang harus
tangkap dia! Kalau kamu serobot buro-
nan itu, aku bisa tega sama kamu!"
"Lho, siapa saja kan boleh tang-
kap dia? Emangnya cuma kamu aja yang
boleh tangkap buronan itu?" orang itu
agak melotot. Temannya juga melotot.
"Iya. Emang cuma aku yang boleh
tangkap dia, sebab cuma aku yang boleh
jadi suami Ratu Cadar Jenazah! Mau apa
lu?!"
"Eh, kamu jangan ngotot gitu di
depanku, Min?! Bisa kena tampar mukamu
yang kayak codot itu!"
"Coba! Coba kalau kamu memang
berani tampar aku? Nih...!" orang itu
sodorkan wajahnya. Tentu saja wajah
ekstra begitu sangat enak buat ditam-
par. Maka temannya pun segera menampar
dengan keras.
Plookk...!
"Aduh...!" orang yang ditampar
kaget dan usap-usap pipinya. "Kok be-
naran sih?!"
"Biar kamu tahu kalau aku pun
mampu tangkap pendekar celeng itu!"
bentaknya yang membuat semua orang me-
mandang kepada kedua orang tersebut.
"Jadi kamu benar-benar nantang
aku nih?! Boleh! Kita tarung di luar,
kita tentukan siapa yang berhak tang-
kap Pendekar Romantis!"
"Oke...! Ayo, keluar!"
Kedua orang berkumis itu sama-
sama pergi cari tempat lega buat ta-
rung. Pandu Puber dan beberapa orang
hanya senyum-senyum sambil geleng-
gelengkan kepala. Ada seorang lelaki
yang baru datang dan sedang bingung
cari tempat duduk. Orang itu sempat
mendengar cekcok kedua orang berkumis
tadi. Ia juga geleng-geleng kepala,
lalu segera memperhatikan tempat ko-
song di depan Pandu. Orang itu pun se-
gera duduk di depan Pandu Puber, lalu
memesan makanan kepada pemilik kedai.
Sambil tersenyum-senyum lelaki
berusia sekitar lima puluh tahun itu
berkata, tujuannya kepada Pandu tapi
pandangannya ke arah pintu kedai yang
dipakai keluar dua orang tadi.
"Manusia bodoh! Belum apa-apa
kok sudah mau tarung sendiri. Padahal
yang mestinya dilawan kan si Pendekar
Romantis itu. Bukan temannya sendiri.
Ya, nggak?" sambil berpaling memandang
Pandu, maka Pandu pun memberi jawaban
cukup dengan menganggukkan kepala da-
lam senyuman nya.
Orang yang baru datang itu agak
pendek. Badannya nggak begitu gemuk,
juga nggak kurus. Pakaiannya abu-abu.
Pakai ikat kepala merah, rambut pen-
dek, kumis tipis. Ia membawa bungkusan
kain yang tadi dipikul pakai bambu ke-
cil seperti tongkat pramuka, tapi
ujungnya lancip. Kulitnya hitam, me-
nandakan ia sering menjemur diri di
bawah terik sinar matahari.
"Orang mau tangkap buronan kok
banyak omong. Bisa-bisa dibacok sama
si buronan sendiri, ya nggak?"
"Iya," jawab Pandu seperti ma-
las-malasan.
"Kamu juga berminat ikuti sayem-
bara itu, Dik?"
"Nggak, Pak," jawab Pandu berna-
da sopan karena menghormati orang yang
lebih tua darinya itu.
"Kenapa nggak mau ikut sayemba-
ra? Siapa tahu kamu bisa tangkap orang
yang bernama Pandu Puber itu. Kamu bi-
sa jadi Suami Ratu Cadar Jenazah lho.
Jadi suami seorang ratu kan enak, apa-
lagi ratu itu seksi dan cantik. Kamu
kayaknya pantas deh jadi suami Ratu
Cadar Jenazah."
"Ah, Paman bisa aja," Pendekar
Romantis tersipu dipaksakan.
"Benar kok. Kamu pantas jadi su-
ami ratu, soalnya kamu ganteng. Maaf,
ini pengakuan jujur lho. Biasanya pe-
muda ganteng kayak kamu itu disukai
para ratu."
"Ah, kata siapa?"
"Lho, soalnya dulu aku pernah
punya sahabat yang jadi juru taman di
sebuah negeri. Negeri itu dipimpin
oleh seorang ratu, jadi aku tahu pria
yang membuat seorang ratu berselera.
Yah, model-modelnya kayak situlah!"
Senyum sekilas mengesankan kera-
mahan Pandu, walau dalam hati sebenar-
nya Pandu tertawa mendengar ucapan
orang berkumis tipis itu. Pandu berla-
gak cuek kembali dengan sayembara-
sayembara itu. Malah ia bertanya ten-
tang diri orang tersebut.
"Paman dari mana?"
"O, aku...? Aku dari tempat
jauh. Jauh sekali deh pokoknya. Dan
aku punya nama; Duda Dadu. Pasti baru
sekarang kau dengar nama Duda Dadu.
iya, kan?"
"Betul, Paman. Nama itu agak
aneh buat telingaku. Mengapa namanya
Duda Dadu?"
"Itu cuma julukan saja," ujarnya
sambil menerima pesanan dari si pemi-
lik kedai. "Nama asliku sih bukan Duda
Dadu. Tapi karena dulunya aku sejak
remaja sampai setua ini gemar main da-
du koprok, bahkan jabatanku terakhir
adalah bandar dadu, sedangkan statusku
adalah seorang duda, maka teman-teman
banyak yang panggil aku Duda Dadu."
Sambil menuang ten dari poci ke
cangkir, Duda Dadu tertawa sendiri se-
perti orang menggumam. "Aku menjadi
duda gara-gara dadu juga. Istriku
nggak suka aku jadi bandar dadu, ak-
hirnya kuceraikan. Waktu itu aku ber-
pikir, lebih baik jadi duda daripada
jadi suami tanpa dadu."
"Rupanya Paman suka dengan judi,
ya?"
"Ya. Tapi itu dulu. Sekarang aku
sudah tobat kok. Nggak mau berjudi la-
gi. Benar. Berani taruhan berapa deh,
aku nggak bakalan tertarik sama judi
lagi."
Sambil tertawa Pandu berkata,
"Kata-kata Paman saja masih mengandung
judi. Buktinya Paman bilang 'berani
taruhan', itukan judi juga, Paman.
Nggak baik tuh."
"Eh, iya, ya...? He, he, he...."
Duda Dadu tertawa sendiri. "Tapi itu
hanya spontanitas saja. Maklum, lagak-
lagu masa laluku belum hilang secara
tuntas. Jadi ngomongnya masih nggak
jauh dari taruhan."
Duda Dadu meneguk teh hangatnya.
Sepotong pisang rebus bertabur kelapa
parutan dicaploknya. Kaki kanannya
naik ke bangku dan tampaknya cuek-cuek
aja dengan sikap noraknya itu. Pandu
Puber hanya memperhatikan dengan te-
nang, sambil sesekali mendengarkan
percakapan orang-orang kedai.
"Menurutku, sebaiknya kau ikut
sayembara itu saja, Dik."
"Nggak berani, Paman," jawab
Pandu melemah.
"Kok nggak berani? Tinggal cari
yang namanya Pandu Puber atau Pendekar
Romantis, lalu tangkap dia dan bawa ke
Ratu, jadilah kau suami Ratu. Mudah
kan?"
Pendekar Romantis hanya nyengir.
"Menangkap Pandu Puber itu sama saja
menangkap seribu petir."
"Kok gitu?"
"Dia bukan orang sembarangan.
Ilmunya tinggi. Dia kan anak dewa, Pa-
man!"
"Ya memang sih, kemarin kudengar
percakapan orang-orang pantai juga se-
but-sebut 'anak dewa', tapi itu kan
cuma isu. Jangan percaya dengan isu.
Nggak ada dewa beranak di bumi. Berte-
lurnya aja di kayangan, masa' beranak-
nya di bumi?" Duda Dadu tertawa. "Lagi
pula, dia belum tentu berilmu tinggi
benaran, Dik. Itu pun menurutku juga
cuma isu."
"Apakah Paman belum pernah den-
gar cerita kehebatan Pandu Puber?"
"Pernah sih, tapi yaah... kua-
nggap itu sekadar dongeng di dunia
persilatan saja. Sebab kalau memang
dia sakti, tentunya Ratu Cadar Jenazah
sudah dilabraknya karena nyebarin
sayembara kayak gitu. Sebagai seorang
pendekar mestinya dia tersinggung
dong. Ya, nggak? Masa' dia diam saja?
Masa' nggak ada kabar kalau Pendekar
Romantis melabrak sang Ratu? Aaah...
sudahlah, jangan takut. Ikut sayembara
saja sana. Aku kasih spirit deh buat
kamu. Tapi kalau kamu berhasil jadi
suaminya Ratu, jangan lupa komisi un-
tukku, Dik. Syukur kamu bisa usulkan
supaya aku kerja di istana."
Geli sekali hati Pandu menden-
garnya. Orang itu bicara seenak bo-
dongnya saja. Dia nggak tahu kalau
yang diajak bicara adalah si buronan
sendiri.
Malahan dia berkata lagi, "Kalau
memang dia berilmu tinggi, kamu nggak
usah khawatir. Aku punya banyak ilmu."
"Begitukah?" Pandu berlagak ter-
tarik.
"Sebelum aku jadi bandar dadu
dan suka judi, dulunya aku pernah ber-
guru dan pernah bikin perguruan sendi-
ri. Tapi murid-muridku habis karena
kubuat taruhan dengan perguruan lain."
Pendekar Romantis tertawa pen-
dek, masih berpenampilan tenang, ka-
lem, dan senyumnya selalu memancarkan
keramahan. Enak dipandang mata. Nggak
seperti senyumnya Duda Dadu yang enak
ditendang kuda.
"Justru sekarang ini aku berto-
bat," kata Duda Dadu lagi, "... aku
berhenti berjudi, dalam rangka ingin
menurunkan ilmuku kepada salah seorang
yang mau jadi muridku."
"O, jadi Paman Duda Dadu cari
murid?"
"Iya! Dan menurut teropong inde-
ra keenamku, kau adalah seorang pemuda
yang pantas menjadi muridku dan akan
kuat menerima warisan ilmu-ilmuku. Ja-
di kalau kau mau, akan kuajarkan ilmu-
ku padamu dalam waktu singkat. Nggak
susah-susah kok. Sehari saja kau bisa
dapat serap ilmuku sekitar tiga atau
empat jurus. Dan ilmuku itu ampuh-
ampuh. Kalau cuma buat kalahkan Pende-
kar Romantis sih, keciiil...!" Duda
Dadu menjentik pakai kelingkingnya.
Senyum Pandu masih mewakili hati
yang ingin tertawa geli. Tapi sikapnya
seolah-olah sangat antusias dengan ka-
ta-kata Duda Dadu. Walaupun dalam hati
Pandu mengecam orangtua itu terlalu
sombong, tapi ia tidak menampakkan si-
kap mengecamnya itu. Akibatnya Duda
Dadu makin bersemangat dalam mempromo-
sikan ilmunya.
"O, ya... namamu siapa, Dik?"
"Hmmm... namaku sederhana, Pa-
man..."
"Jadi begini, Sederhana. Ka-
lau...."
"Maksudku, sederhana itu kata
sifat, bukan sebuah nama, Paman. Nama-
ku sangat sederhana."
"Ooo... gitu. Kukira namamu si
Sederhana."
Pandu redakan tawa dalam gumam
sebentar, lalu berkata, "Namaku... Pe-
ro, Paman."
"Pero...? Wah, itu nama yang ha-
dir dalam wangsitku," kata Duda Dadu.
"Waktu aku tidur di hutan, aku mimpi
ditemui kakek tua berjenggot panjang
sampai ke tanah. Kata kakek itu, aku
hanya boleh turunkan ilmuku kepada pe-
muda yang bernama Pero. Tapi aku nggak
mau peduli dengan wangsit itu. Ternya-
ta benar juga, bahwa akhir dari perja-
lananku ini aku bertemu dengan pemuda
bernama Pero. Berarti kau cocok mene-
rima ilmuku."
Duda Dadu sangat bersemangat,
sedangkan Pandu hanya manggut-manggut
saja, itu pun dilakukan sesekali sam-
bil menahan tawa di hati. Duda Dadu
makin dekatkan wajah agar bicaranya
tak didengar orang lain.
"Gini aja, Pero.... Kuajarkan
jurus-jurus mautku kepadamu dalam tem-
po singkat. Lalu, cari orang yang ber-
nama Pandu Puber dan lawan dia. Kalah-
kan dia dengan jurus maut dariku itu.
Lumpuhkan dia, lalu bawa dia ke ista-
nanya Ratu Cadar Jenazah. Tapi jangan
lupa... komisi untukku harus kau bica-
rakan pula kepada sang Ratu. Bilang
saja, aku adalah gurumu, dan gurumu
butuh biaya untuk bikin padepokan, gi-
tu! Setuju nggak?!"
"Boleh juga," jawab Pandu yang
jadi penasaran dan ingin tahu seberapa
tinggi ilmunya Duda Dadu itu.
DUA
SAYEMBARA itu ternyata menyebar
sampai ke seberang tanah Jawa. Bagi
tokoh silat yang cukup kawakan maupun
yang setengah kawakan saling tertarik
untuk membicarakannya. Bagi tokoh le-
laki yang masih doyan cinta, tertarik
pula untuk mengikuti sayembara terse-
but. Sebab mereka tahu, seperti apa
kecantikan dan keseksian Ratu Cadar
Jenazah itu.
Menurut orang yang pernah meli-
hat, perempuan berjuluk Ratu Cadar Je-
nazah itu mempunyai wajah yang meman-
carkan gelombang cinta begitu besar.
Lelaki mana pun yang memandang bibir-
nya akan dibakar oleh hasrat untuk
mencumbunya. Pria yang menatap matanya
tergugah gairahnya dan sulit dipadam-
kan sebelum mendapat 'mangsanya'. Po-
koknya, wajah dan potongan tubuh Ratu
Cadar Jenazah mempunyai kekuatan gaib
berupa getaran gelombang yang dapat
mempengaruhi otak dan saraf lelaki da-
ri yang punya niat membunuhnya menjadi
berniat mencumbunya. Karena itu sang
Ratu mengenakan cadar kain tipis warna
hitam transparan untuk menutupi wajah-
nya. Cadar itu untuk mengurangi geta-
ran gaib yang keluar dari wajahnya.
Sekalipun sudah diberi cadar, eh...
masih saja punya pancaran gaib seperti
itu walaupun bertaraf kecil-kecilan.
Habis cadarnya dari kain tipis trans-
paran sih. Coba kalau dari kain ter-
pal, pasti getaran gaibnya terbendung
total.
Setiap lelaki yang sudah bertemu
muka dengan Ratu Cadar Jenazah, pasti
punya hasrat ingin menjadi suaminya.
Nggak tua, nggak muda, kalau sudah
pernah beradu muka dengan sang Ratu,
khayalannya tak jauh dari ranjang dan
kemesraan. Kecuali bagi yang berilmu
tinggi, ia dapat menahan getaran ge-
lombang asmara itu dengan kekuatan te-
naga dalamnya. Kekuatan getaran gelom-
bang asmara itu begitu besarnya, se-
hingga tak heran Dalang Setan mati-
matian ingin menjadi suami sang Ratu
walau akhirnya memang mati benaran.
Kabarnya sih yang jadi korban
kayak Dalang Setan itu cukup banyak.
Pria yang mati gara-gara jatuh cinta
pada sang Ratu lebih dari seratus,
terhitung dari tiga dasawarsa belakan-
gan ini. Ada yang matinya bunuh diri
dengan mengantongi selembar surat cin-
ta untuk sang Ratu. Ada yang matinya
karena duel untuk mendapatkan sang Ra-
tu. Ada pula yang matinya di tangan
sang Ratu sendiri karena ngotot ingin
diterima lamarannya.
"Perempuan itu bukan saja penye-
bar asmara, namun juga penyebar maut
bagi kaum pria," ujar salah seorang
tokoh tua yang cukup beken juga di ka-
langan para tokoh rimba persilatan.
Katanya lagi,
"Jangan coba-coba ingin menemui
perempuan itu, dan jangan coba-coba
ingin membuka cadarnya untuk melihat
kecantikannya. Sebab kecantikannya
adalah liang kubur bagi setiap lelaki.
Pada tubuhnya terdapat liang surga
yang menyemburkan api neraka bagi pria
mana saja."
"Tapi saya berminat mengikuti
sayembara itu, Guru. Saya akan mencari
Pendekar Romantis dan menangkapnya."
"Muridku, menangkap Pendekar Ro-
mantis sendiri sudah merupakan bencana
alam bagi sejarah hidupmu. Apakah kau
lupa bahwa Pendekar Romantis itu ada-
lah anak dewa yang mendapatkan ilmu
titisan dari ayahnya, yaitu Batara Ka-
ma? Dia adalah cucu raja Jin yang ber-
nama Kala Bopak."
"Ya, ya, saya tahu soal kakeknya
itu, Guru. Saya pernah dengar Guru ce-
ritakan hal itu. Tapi apakah Guru ang-
gap saya nggak bisa menandingi kesak-
tiannya dengan pergunakan jurus-jurus
maut yang Guru ajarkan itu? Lagi pula,
bukankah Guru punya pusaka yang berna-
ma 'Cangkul Bedah Guntur', dan ten-
tunya Guru akan izinkan saya meminjam
cangkul itu, bukan?"
"Muridku, 'Cangkul Bedah Guntur'
memang pusaka yang dahsyat. Tapi jika
kau berhadapan dengan Pendekar Roman-
tis, walau kau bersenjatakan pusaka
'Cangkul Bedah Guntur', kau tetap akan
kalah. Sebab Pendekar Romantis mempu-
nyai pusaka maha dahsyat yang bernama
'Pedang Siluman', yaitu pedang ungu
jelmaan kakeknya; si raja Jin itu.
Bayangkan saja, tempat penyimpanan pe-
dang itu saja sudah termasuk hebat,
yaitu disimpan di dalam kulit kakinya.
Kelihatannya Pendekar Romantis tak
pernah membawa senjata, tapi sebenar-
nya dari dalam kulit kaki kanannya bi-
sa keluar pedang sakti yang bernama
'Pedang Siluman', dan pedang itu mampu
menghancurkan pusaka apa pun, termasuk
pusaka 'Cangkul Bedah Guntur'."
"Ah, itu tergantung kecepatan
kita menggunakan senjata saja, Guru.
Kalau dia lengah dan saya lebih cepat,
maka dia pun akan mati di ujung
'Cangkul Bedah Guntur'."
"Kalau dia sudah mati apakah be-
rarti kau bisa kawin dengan Ratu Cadar
Jenazah? Bukankah sang Ratu kehendaki
Pendekar Romantis ditangkap dan dis-
erahkan padanya dalam keadaan hidup-
hidup?"
"O, iya, ya...?" sang murid tun-
dukkan pandangan matanya merenungi
perhitungannya yang nyaris salah total
itu.
"Sudahlah, lupakan saja sayemba-
ra itu, Muridku. Nanti kau mati di
tangan Pendekar Romantis. Kalau kau
ingin kawin dan sudah tak dapat dita-
han lagi, cari gadis lain aja yang
nggak mengandung risiko, syukur yang
nggak mengandung lemak babi," kata
sang Guru. "Pilihlah gadis yang mana
saja asal bukan Ratu Cadar Jenazah,
maka aku akan melamarkannya untukmu.
Kecuali kalau memang gadis itu nggak
mau dilamar olehmu, maka aku akan me-
lamarnya sendiri."
"Ah, Guru ini tua-tua kok masih
berminat juga melamar wanita?" ujar
sang murid sambil bersungut-sungut
sambil menahan geli.
Tokoh tua berjenggot sepanjang
dada warna putih itu dikenal dengan
nama Ki Parma Tumpeng. Kepalanya ber-
bentuk kerucut seperti nasi tumpeng,
jadi ia dijuluki Ki Parma Tumpeng. As-
linya sih bernama Ki Parma Pratikta.
Orangnya tinggi, badannya kurus, gemar
memakai pakaian jubah kuning, rambut-
nya tipis yang tumbuh di bagian tepi
kepala saja, bagian tengah kepala bo-
tak. Wajahnya kalem-kalem konyol. Ar-
tinya, kelihatannya kalem tapi sering
berbuat konyol. Misalnya, kalau ada
perempuan yang tampaknya sekal, mulus,
dan menggiurkan, suka melirik dan ber-
suit menggoda. Lalu mengajaknya terse-
nyum. Biar usianya sudah mencapai de-
lapan puluh tahun, tapi ia masih keli-
hatan segar dan gagah. Jiwa mudanya
masih suka muncul terutama jika ada
cewek di sekitarnya.
Muridnya bernama Balak Lima. Pe-
muda berusia dua puluh empat tahun itu
adalah anak kelima dari keluarga Wira
Balak, mantan saudagar kaya yang ke-
luarganya mati dibantai oleh kawanan
perampok, dan hanya Balak Lima yang
selamat dari pembantaian tersebut.
Waktu anak kelima itu masih berusia
delapan tahun. Ia ditemukan Ki Parma
Tumpeng di reruntuhan rumahnya yang
dibakar habis oleh kawanan perampok
tersebut.
Balak Lima tergolong murid yang
bandel dan malas. Karena itu ilmunya
Ki Parma Tumpeng nggak bisa dikuasai
semuanya oleh Balak Lima. Hanya bebe-
rapa saja yang berhasil dikuasai Balak
Lima, padahal usianya sudah cukup ba-
nyak untuk ukuran seorang pemuda. Mak-
lum, pemuda yang gemar memakai pakaian
serba merah itu lebih suka menangkap
ikan di laut ketimbang menekuni pela-
jaran silat yang diturunkan oleh gu-
runya. Mungkin memang cita-citanya in-
gin jadi nelayan, sehingga sang Guru
pun mau tak mau harus memaklumi kelam-
banan sang murid dalam menerima aja-
rannya.
"Tamatkan dulu pelajaranmu, baru
pergilah berkelana!" kata sang Guru.
Tapi Balak Lima sudah telanjur
tergoda oleh sayembara itu. Maka seca-
ra diam-diam, Balak Lima pergi dari
Pantai Buaya Dampar, tempat kediaman
gurunya itu. Ia sengaja nggak mau pa-
mit dan mohon doa restu dari gurunya,
sebab dia nggak mau dicegah oleh sang
Guru. Selain membawa golok di ping-
gang, ia juga membawa cangkul andalan
yang akan digunakan melawan Pandu Pu-
ber nanti.
Pantai Buaya Dampar mempunyai
perbukitan bercadas. Cadas itu bercam-
pur unsur karang sehingga keras. Di
salah satu perbukitan yang sepi, tam-
pak seorang lelaki berambut abu-abu
sedang memberi pelajaran jurus-jurus
maut kepada seorang anak muda. Anak
muda itu memperhatikan dengan tenang,
berdiri di bawah pohon teduh. Ia men-
genakan gelang kulit hitam berpaku
metal. Tato bunga mawarnya kelihatan
jelas karena baju ungunya selalu tidak
dikancingkan, walau sebagian bawahnya
diikat rapi dengan sabuk hitam. Pemuda
itulah yang dicari Balak Lima.
Pandu Puber sengaja dibawa oleh
Duda Dadu ke tempat itu, sebab tempat
itu sepi, cocok untuk belajar ilmu ka-
nuragan. Duda Dadu tampak bersemangat
memberikan pelajaran ilmunya kepada
Pandu.
"Ini namanya jurus 'Paruh Ban-
gau'," kata Duda Dadu sambil mengem-
bangkan kedua tangan dengan ujung tan-
gan saling menguncup seperti paruh
siap mematuk. Kakinya diangkat satu,
seperti anjing mau pipis. Badannya se-
dikit dimiringkan.
"Gerakan kedua tanganmu nanti
harus cepat dan punya arah tertentu;
ke kiri dua kali, ke kanan dua kali,
membuka dua kali, ke bawah dua kali,
ke depan dua kali, lalu kedua tangan
menyodok dari bawah ke depan secara
bersamaan. Nah, pada saat menyodok ke
depan, sentakkan napasmu dalam keadaan
tertahan di perut. Maka tenaga dalam
dahsyat akan keluar dari ujung-ujung
tanganmu yang menguncup begini!"
"Contohnya bagaimana?"
"Nih, lihat...! Hiaaat, hiiiat,
heeaah...!"
Wut, wut, wut, wuutt... bruutt!
"EH, kok yang keluar bagian be-
lakang, ya?" sambil Duda Dadu menang-
kap pantatnya sendiri dengan senyum
malu karena buang gas dengan suara ke-
ras. Pandu Puber tertawa geli hingga
badannya terguncang-guncang.
"Tenaga dalamnya kok keluar dari
belakang, Paman? Katanya dari ujung
tangan?"
Duda Dadu menjawabnya dengan
berlagak dongkol, "Itu bukan tenaga
dalam. Itu tadi bagian dalamnya tena-
ga."
Pandu buru-buru hentikan ta-
wanya. Duda Dadu berkata lagi, "Lihat,
kekuatan tenaga dalam yang terpusat di
ujung jari-jari yang menguncup ini da-
pat untuk menjebolkan benda keras. Mi-
salnya batang pohon di sebelahmu itu.
Nih, perhatikan...! Hiaaatt...!"
Wuuttt... duug, duug, duug,
duug, duug!
Pohon dihantam dengan kedua tan-
gan yang menguncup berkali-kali. Den-
gan cepat Duda Dadu menarik diri, juga
menarik tangannya di kebelakangkan,
berdirinya tegak, senyumnya mengem-
bang.
"Nah, lihat... pohon itu hampir
jebol, kan?"
Pandu memeriksa pohon itu lalu
berkata, "Mananya yang jebol, Paman?"
"Ya bagian yang kupukul tadi.
Tapi jebolnya nggak sekarang. Pohon
itu menerima luka dalam, dua-tiga hari
lagi akan mati kekeringan! Percaya
deh!"
"Ooo...," Pandu Puber berlagak
percaya dengan manggut-manggut. "Te-
rus, tangan yang buat memukul pohon
itu apa nggak sakit, Paman?"
"O, nggak dong! Aku sudah terla-
tih untuk menghantam benda sekeras ba-
ja sekalipun. Nantinya kau juga nggak
akan rasakan sakit walau memukul pohon
seratus kali."
Tangan yang di belakangkan itu
mengembang pelan dan bergerak-gerak.
Duda Dadu membatin, "Sialan! Jari ten-
gahku kayaknya patah nih? Uh, sakitnya
bukan main."
"Coba Paman pukul lagi pohon ini
biar langsung jebol."
"O, nggak bisa! Jurus itu tadi
harus dilakukan dengan sabar. Penggu-
naannya cukup satu kali dalam sehari."
Lalu, batinnya melanjutkan sendiri.
"Kalau lebih dari satu kali bisa remuk
jarimu, Nak! Jariku aja sekarang
kayaknya remuk tiga nih?!"
Duda Dadu berkata sambil mendon-
gak ke atas, "Lihat, sudah ada dua
daun yang langsung kering dan yang se-
belah sana itu langsung membusuk, kan?
Nah, itu akibat tenaga dalam yang ke-
luar dari tanganku saat memukul pohon
ini tadi!"
"Wah, hebat juga, ya?" gumam
Pandu sambil manggut-manggut, lalu
membatin, "Padahal sebelumnya aku me-
mang sudah lihat ada dua daun menger-
ing di sana dan yang di sana berwarna
coklat busuk. Ah, orang tua ini banyak
ngibulnya. Tapi menarik juga untuk di-
permainkan, bisa buat hiburan diriku
agar tak memikirkan sayembara itu."
"Pero," panggil Duda Dadu dengan
suara dipertegas biar kelihatan wiba-
wa. "Sekarang coba tirukan gerakan ju-
rus yang kuajarkan tadi!"
"Pakai mukul pohon segala, Pa-
man?"
"Iya dong! Biar tanganmu terla-
tih memukul benda keras!"
Pendekar Romantis segera tirukan
gerakan jurus tadi. Hanya sekali lihat
saja ia sudah bisa menirukan karena
gerakan jurus tadi sangat mudah. Lalu
dengan langkah kaki selalu merendah,
Pandu Puber dekati pohon yang lebih
besar dari yang dipukul Duda Dadu ta-
di. Dengan kedua tangan menguncup, po-
hon itu dihantamnya dua kali.
Duub, duub...!
Duurr...! Pohon itu guncang,
bergetar dari akar sampai puncaknya.
Daun pohon berhamburan bagaikan hujan
serentak. Tubuh mereka ditaburi daun
kecil-kecil itu. Kejap berikutnya,
ternyata pohon itu sudah tidak berdaun
sedikit pun. Tak ada selembar daun
yang tersisa di tangkainya. Pohon itu
menjadi gundul, plontos! Bahkan rant-
ing-ranting kecilnya pun ikut rontok
berhamburan. Tanah jadi kotor penuh
daun dan ranting kecil.
Duda Dadu diam terbengong melom-
pong nyaris tak bisa bicara melihat
pukulan Pandu mengakibatkan pohon men-
jadi polos, bagai ditelanjangi secepat
itu. Dalam hati Duda Dadu membatin,
"Edan! Kok jadi sehebat ini, ya?
Padahal aku sendiri nggak mampu laku-
kan begini? Bikin kulit pohon lecet
aja belum mampu, tapi si Pero kok udah
mampu bikin pohon ini gundul seketika?
Padahal hanya dua pukulan saja lho?
Kalau begitu, jurus ciptaanku tadi
ternyata punya kekuatan sehebat ini,
ya? Wah, kayaknya aku memang pantas
jadi guru silat nih!"
Sementara itu Pandu sendiri mem-
batin, jurus apa yang kugunakan tadi?
Yang jelas kekuatan tenaga dalam yang
keluar dari gerakan tadi bukan lanta-
ran keluar dari jurus ajaran Paman Du-
da Dadu. Pasti ini jurusnya Ayah nih!
Ayah nggak bilang kalau aku punya ju-
rus titisan kayak gini. Hmm... sebaik-
nya jurus ini kuberi nama jurus 'Duda
Gundul' aja deh. Habis munculnya saat
aku bertemu Paman Duda Dadu dan kekua-
tannya bisa bikin pohon jadi gundul
begitu sih. Tapi, kalau kenai tubuh
orang jadi apa, ya? Masa' bisa bikin
orang gundul juga? Ah, kapan-kapan ku-
coba pada lawan yang bandel...."
Melihat mantan bandar dadu itu
terbengong mirip sapi ompong lihat po-
cong, Pandu Puber segera menyapa den-
gan mendekatinya lebih dulu. "Pa-
man...! Paman Duda Dadu!"
"Oh, eh, emm... iya, kenapa?"
Duda Dadu menggeragap.
"Jurusmu hebat sekali, Paman.
Pohon itu bisa gundul seketika. Kalau
boleh kuusulkan, jurus itu akan kuberi
nama jurus 'Duda Gundul' saja, Paman."
"Nggak boleh! Nama jurus yang
kusebutkan tadi mengandung mantera
gaib, jadi nggak boleh diganti. Na-
manya tetap jurus 'Paruh Bangau'!"
"Baik, Paman," jawab Pandu walau
dalam hatinya ia tetap ingin namakan
jurus itu 'Duda Gundul'.
Duda Dadu bersuara bisik sambil
pandangi pohon itu, "Ngomong-ngomong
kamu apakan sih pohon itu tadi, kok
jadi gundul begitu?"
"Cuma menyentakkan napas yang
tertahan di perut, Paman."
"Masa'...? Kok bisa gitu ya?"
Keheranan Duda Dadu tiba-tiba
buyar dengan munculnya sesosok tubuh
dari balik semak ilalang di belakang
mereka. Gusraak...! Jlug...! Dan kedua
orang itu berbalik ke belakang. Duda
Dadu sempat terlonjak kaget karena ke-
munculan orang tersebut yang secara
tiba-tiba. Lompatan kaki yang mendarat
di tanah menimbulkan suara pelan tapi
mengejutkan hati yang sedang terheran-
heran itu.
Seorang pemuda berpakaian merah
memanggul cangkul di pundaknya. Dia
adalah Balak Lima yang secara kebetu-
lan tadi lewat di dekat tempat situ,
lalu mendengar suara getaran pohon
yang dihantam Pandu tadi. Rasa ingin
tahu Balak Lima membawanya muncul di
situ dan membuat Pandu Puber berkerut
dahi, tapi kerutan dahinya lebih tajam
milik Duda Dadu yang benar-benar mera-
sa asing dengan wajah dan sosok Balak
Lima. Sekalipun Pandu Puber sendiri
belum kenal dan baru jumpa Balak Lima
kali itu, tapi keheranannya tidak ter-
lalu menonjol. Bahkan ia segera bersi-
kap tenang dengan menghilangkan keru-
tan dahi dan membiaskan seulas senyum
tipis. Sangat tipis sekali. Hampir
nggak kelihatan kalau lagi tersenyum.
Yang tampak cuma wajah ramahnya saja.
Tetapi Duda Dadu bersikap ang-
ker. Angker yang dipaksakan sih. Ia
ingin tampakkan wibawanya di depan
Pandu dalam menghadapi orang tak di-
kenal. Ia maju tiga langkah dari depan
Pandu, lalu bertolak pinggang dan me-
nyapa Balak Lima dengan sok galak.
"Siapa kau? Nak? Mau apa kemari?
Kesasar apa sengaja mau temui kami?
Atau... jangan-jangan kau tak tahu ja-
lan menuju ke sawah, sehingga kau ne-
kad mau bikin sawah di sini?"
"Siapa kau, Pak Tua?"
"Lho, kok malah ganti nanya?"
sambil Duda Dadu memandang Pandu Pu-
ber. Lalu segera memandang Balak Lima
dan bicara lebih ketus lagi,
"Eh, yang kutanyakan tadi adalah
siapa namamu? Kenapa kau malah ganti
bertanya?" Ia menoleh Pandu, "Wah, ini
anak kayaknya nggak ngerti tata baha-
sa, Pero!"
"Sebaiknya kita perkenalkan diri
lebih dulu, Paman. Mungkin memang be-
gitulah kemauannya."
"Nggak bisa! Kita sudah sejak
tadi di sini kok, kenapa mesti kita
yang perkenalkan diri? Mestinya dia
dong, sebab dia kan kaum pendatang?!"
"Kaum pendatang, Dengkulmu som-
plak!" bentak Balak Lima dengan som-
bongnya. "Justru kalianlah yang jadi
kaum pendatang. Kalian memasuki wi-
layah kekuasaan kami tanpa izin! Masih
untung kutanyakan namamu dulu, Pak
Tua, daripada tahu-tahu ku cangkul le-
hermu dengan cangkul pusaka ini!"
"Eh, kamu bicara sama orangtua
yang sopan, ya?" hardik Duda Dadu.
"Biar jelek-jelek gini, aku ini gu-
runya muridku! Jangan bicara begitu di
depan muridku ini! Bisa ditabok satu
kali, celeng tujuh kali kau!"
"Kau...? Kau gurunya dia?
Hmm...!" Balak Lima mencibir. "Nggak
mungkin! Nggak mungkin deh, Cing!"
"Lho, nggak mungkin gimana? Mau
bukti? Mau bukti, hah?!" bentak Duda
Dadu sambil dekati Balak Lima dengan
nada tersinggung. "Nih, kalau kau mau
bukti, huup...!"
Duda Dadu menghantamkan tangan
kanannya ke wajah Balak Lima, lurus ke
depan. Tapi tangan kiri Balak Lima se-
gera menangkis, badannya memutar dan
kakinya menendang ke belakang.
Wuuut...! Duug...!
"Uhg...!" Duda Dadu terpental
karena jejakan kaki itu tepat mengenai
dadanya. Tubuh yang terpental itu sam-
pai di tangan Pandu dan segera dito-
pang dari belakang, sehingga Duda Dadu
tak jadi rubuh. Tapi napasnya sesak
dan tersendat-sendat.
"Sialan. Anak itu kurang ajar
sekali sama orang tua! Dadaku sakit
sekali, Pero. Coba periksa, apakah bo-
long sampai belakang atau... ouh...!
Gila! Buat bernapas terasa panas lho!"
"Paman nyodok duluan sih, jadi
akibatnya ya kena sodok sendiri."
"Lawan, Pero! Lawan dia! Kau
adalah muridku, masa' kau diam saja
lihat gurumu dibuat bengek mendadak
kayak gini! Lawan dia pakai jurus yang
tadi, Pero!"
"Hei, Pak Tua... apakah kau tak
salah panggil?" kata Balak Lima. "Men-
gapa kau panggil dia dengan nama Pero?
Bukankah nama aslinya adalah Pandu Pu-
ber, dan bergelar Pendekar Romantis?!"
"Apa...?!" Duda Dadu kaget, me-
lotot dan menganga mulutnya.
"Hei, Bung... kau yang bernama
Pandu Puber, kan?! Ngaku aja! Iya,
kan?!" bentak Balak Lima.
"Apakah kau yakin aku Pandu Pu-
ber?"
"Yakin sekali. Sebab aku tahu
ciri-cirimu, pakaian ungu, ada tato
bunga mawar di dada, pakai anting se-
belah kiri, dan ciri-cirimu itu sudah
menyebar di mana-mana! Kau pasti Pandu
Puber. Ngaku aja sebelum ku cangkul
kepalamu!"
Pandu tersenyum tenang. Mencabut
sehelai rambut dan digigit-gigitnya.
Setelah memandang lawannya sesaat,
Pandu Puber berkata,
"Ya, memang aku Pandu Puber! Mau
apa kau?!"
"Edaaan...!" sentak Duda Dadu
dengan mendelik super melotot. "Jadi
kamu yang namanya Pandu Puber?! Kok
ngakunya bernama Pero?"
"Pero singkatan dari kata Pende-
kar Romantis, Paman!"
"Sapi lu!" sentak Duda Dadu lagi
merasa dongkol dikelabuhi begitu.
"Pandu Puber, jujur saja kukata-
kan padamu, aku akan mengikuti sayem-
baranya Ratu Cadar Jenazah!" seru Ba-
lak Lima. "Untuk itu, demi keselamatan
jiwa dan ragamu, kuharap kau menurut
padaku, kutangkap dan kuserahkan kepa-
da Ratu Cadar Jenazah! Jangan melawan-
ku supaya nyawamu agak awet sedikit,
Pandu!"
"Aku nggak akan melawanmu, tapi
aku ingin tahu seberapa tingginya il-
mumu hingga berani berkoar seenak bo-
dongmu di depanku."
Tiba-tiba kaki si tampan Pandu
menghentak ke tanah satu kali.
Jluug...! Tubuh Balak Lima tiba-tiba
terpental ke atas dan menerabas dahan-
dahan pohon. Guzraak...! Kraak...!
Bluukk...! Tubuh itu jatuh terbanting
tanpa keseimbangan badan.
Jurus 'Sentak Bumi' telah mem-
buat Balak Lima bagaikan dilemparkan
ke atas tanpa bisa kuasai diri. Kepa-
lanya menjadi sakit karena dahan pohon
yang bersilang-silang itu diterabasnya
hingga ada yang patah, lalu tubuh itu
pun jatuh ke tanah bagaikan dibanting
oleh tangan raksasa. Untung saja mata
cangkul yang dibawanya tak sampai lu-
kai punggung.
Namun keadaan itu cukup membuat
Balak Lima menyeringai kesakitan dan
Duda Dadu membelalakkan mata dengan
terheran-heran.
"Gila! Dengan sekali menghentak
ke tanah saja sudah bisa bikin lawan-
nya terpental sekuat itu, apalagi ka-
lau sentakan kakinya kayak orang baris
di tempat, mungkin lawannya akan me-
luncur cepat menembus matahari di lan-
git!" pikir Duda Dadu dengan mulut me-
lompong mirip lubang tikus.
Balak Lima tersengat api amarah.
Ia segera bangkit dan menahan rasa sa-
kitnya. Cangkul segera digenggam kuat,
terangkat ke atas dengan satu tangan,
sementara tangan yang satunya siap-
siap membantu memegangi gagang cangkul
juga.
"Bangsat kau Pandu! Belum tahu
siapa si Balak Lima ini, hah?! Rasakan
cangkul pusaka guruku yang bernama
'Cangkul Bedah Guntur' ini, hah?! Ber-
siaplah hancur di ujung cangkul ini!"
Pandu Puber diam tak bergerak.
Emoticon