Serial Siluman Ular Putih
Dalam Episode :
Pedang Kelelawar Putih
1
"Kau sekarang paham, siapa dalang dari
semua peristiwa ini, Anak Muda?"
Suara serak namun cukup menggema
meluncur dari seorang laki-laki tua di dalam
sebuah ruangan bawah tanah.
Laksana akar-akar pepohonan yang
mencengkeram ke dalam tanah, rambut laki-
laki tua itu menjuntai dan menancap kokoh
ke dalam tanah. Nyala lampu di atas batu pu-
tih semakin memperjelas kalau lelaki tanpa
anggota tubuh itu ditopang oleh rambut-
rambut kakunya agar bisa berdiri tegak.
Wajah si tua ini penuh kerut merut di
kening. Matanya sayu, pertanda sudah terlalu
banyak mengalami penderitaan batih. Hi-
dungnya mancung. Kumis dan jenggotnya
panjang, tak terawat dan berwarna putih. Pa-
kaian putih-putihnya pun sudah compang-
camping tidak karuan. Memelaskan sekali
keadaannya walau sebenarnya baru berusia
lima puluh lima tahunan, namun karena su-
dah terlalu lama mengalami penderitaan ba-
tin, membuat keadaannya seperti itu.
Kata-kata laki-laki buntung itu dituju-
kan pada seorang pemuda tampan berusia
delapan belas tahun. Rambutnya yang gon-
drong dibiarkan tergerai di bahu. Wajahnya
tampan dengan kulit putih bersih. Matanya
agak kebiru-biruan. Pas sekali dengan alis
matanya yang tebal serta hidungnya yang
mancung. Tubuhnya tinggi kekar dibalut
rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Dan dari rompinya yang terbuka tanpa
kancing, di dada kanannya tampak sebuah
rajahan bergambar ular putih. Sementara pa-
da bagian belakang rompinya menyembul se-
buah senjata pusaka. Dan pemuda tampan
yang mempunyai ciri-ciri seperti itu tidak lain
dari Soma yang lebih terkenal sebagai Silu-
man Ular Putih.
Memang, saat itu Soma berada di dalam
Sumur Kematian. Pendekar berjuluk Siluman
Ular Putih ini tengah berusaha memecahkan
suatu teka-teki yang terjadi dalam Sumur
Kematian. Sebuah sumur yang tengah dis-
ayembarakan oleh seorang tokoh sesat yang
kini menjadi biang keladi kekisruhan di dunia
persilatan. (Untuk mengetahui awal mula So-
ma berada di Sumur Kematian, baca serial Si-
luman Ular Putih dalam episode: "Sumur Ke-
matian").
"Paham Ki Lowo Kuru. Siapa lagi kalau
bukan Kelelawar Hutan?!" jawab Soma. "Tapi
aku belum mengerti semuanya, mengapa Ke-
lelawar Hutan membuat sayembara untuk
menyelidiki Sumur Kematian ini?"
"Seperti yang diceritakan, Kelelawar Hu-
tan menginginkan pasangan Pedang Kelelawar
Putih yang dulu terlempar ke dalam Sumur
Kematian ini. Dan aku memang sudah me-
nemukannya di balik tumpukan mayat yang
berserakan," jelas laki-laki tua yang bernama
Lowo Kuru.
"Jadi, kau sudah menemukan Pedang
Kelelawar Putih yang hilang itu, Ki?"
"Sudah."
"Lantas, mengapa tidak digunakan keti-
ka menghadapi aku tadi?"
"Aku memang tidak pernah mengguna-
kan Pedang Kelelawar Putih, Anak Muda. Ka-
rena sebenarnya, pedang itu memang tidak
cocok kugunakan, maupun murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih lainnya. Hanya mu-
rid-murid perempuan Perguruan Kelelawar
Putih sajalah yang berhak memiliki sepasang
Pedang Kelelawar Putih, sekaligus berhak
mewarisi Kitab Inti Sari Jurus 'Kelelawar Sak-
ti' peninggalan mendiang guru kami, Pende-
kar Lowo Putih."
"Hmm...," gumam Siluman Ular Putih
sambil mengangguk-angguk. Keningnya ber-
kerut-kerut. Ada sesuatu yang masih meng-
ganjal dalam hatinya. "Lantas, mengapa Kele-
lawar Hutan sendiri tidak mau masuk ke da-
lam Sumur Kematian? Rasanya aneh? Bu-
kankah ia sendiri mampu mengalahkanmu?
Jadi, apa yang ditakutkan?"
"Selama aku mendekam dalam Sumur
Kematian, sebenarnya sudah dua kali Jaha-
nam Kelelawar Hutan itu menemuiku. Berun-
tung sekali, waktu itu aku dapat memunah-
kan ilmu sihirnya. Sekaligus, membuatnya la-
ri terbirit-birit keluar dari Sumur Kematian.
Dan mungkin karena merasa kapok, Kele-
lawar Hutan mengundang banyak tokoh per-
silatan untuk memaksaku supaya menyerah-
kan Pedang Kelelawar Putih."
"Tunggu, Ki! Bagaimana caranya kau
mengalahkan Kelelawar Hutan? Bukankah
dulu kau dapat dikalahkannya dengan mu-
dah?" ujar Siluman Ular Putih, menukas.
"Sebenarnya yang ku takutkan hanyalah
ilmu sihirnya. Selama aku mendekam dalam
Sumur Kematian, aku terus bertapa sekaligus
meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa
agar dapat menggunakan rambutku sebagai
senjata, setelah Kelelawar Hutan membun-
tungi kedua tangan dan kakiku. Beruntung
sekali, Yang Maha Kuasa sudi mengabulkan
permintaanku. Maka begitu Kelelawar Hutan
dan orang-orang suruhannya masuk ke da-
lam Sumur Kematian, aku sudah tidak punya
pikiran lain, Mereka harus kubunuh. Dan
kau pun hampir jadi sasaranku. Apalagi, ku-
lihat kau pun dapat menggunakan ilmu sihir."
"Ya ya ya...! Sekarang aku mulai paham,
Ki," Soma mengangguk-angguk.
"Berarti, jantung para korban murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih memang
sengaja digunakan untuk tumbal ilmu hitam-
nya...."
"Bisa jadi begitu, Anak Muda. Eh, kau
bilang tadi yang menjadi korban adalah mu-
rid-murid Perguruan Kelelawar Putih?" tanya
Lowo Kuru dengan kening berkerut dalam.
"Jadi, kau belum tahu kalau murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih yang men-
jadi korban, Ki?" tukas Soma.
Lowo Kuru menggeleng. Matanya yang
sayu menatap tajam pemuda gondrong di ha-
dapannya. Rahangnya mendadak mengeras.
Kedua pelipisnya bergerak-gerak pertanda
orang tua buntung itu sedang menahan gejo-
lak amarah.
"Kau tahu siapa yang telah membantai
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih,
Anak Muda?" tanya Lowo Kuru mulai berubah
nada bicaranya menjadi garang.
"Aku belum tahu pasti, Ki. Tapi menurut
keterangan Aryani, orang yang membunuh
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih
mempunyai kepandaian sangat tinggi. Ia juga
menguasai jurus-jurus sakti 'Cengkeraman
Maut Kelelawar Sakti' dan juga jurus-jurus
'Cakar Maut Kelelawar Hutan?".
"Bedebah! Lagi-lagi manusia jahanam itu
yang membuat ulah!" dengus Lowo Kuru pe-
nuh kemarahan.
"Siapa maksudmu, Ki?"
"Siapa lagi kalau bukan si Jahanam Ke-
lelawar Hutan itu".
Lowo Kuru memandang beringas pada
Soma. Matanya memerah penuh api dendam.
Lalu kepalanya mendongak memandangi
dinding-dinding Sumur Kematian. Kedua ba-
hunya tampak bergetar. Napasnya turun
naik.
"Anak Muda! Terus terang aku sangat
khawatir dengan keselamatan istriku. Dan
mungkin juga dengan anaknya yang dikan-
dung dulu. Oh...! Sungguh aku tak dapat
membayangkan, bagaimana penderitaan batin
istri dan anakku. Apa kau pernah bertemu is-
triku, Anak Muda?" keluh Lowo Kuru dengan
suara bergetar. Bahunya terguncang-guncang
keras. Kini kepalanya tidak lagi mendongak
seperti tadi, melainkan menunduk dalam-
dalam.
"Mungkin aku pernah melihatnya sekilas
saja, Ki. Tapi yang jelas, aku cukup mengenal
Aryani yang mengaku sebagai anak kandung
Kelelawar Hutan, Orang Tua."
"Oh...," desah Lowo Kuru menyedihkan.
"Mungkinkah gadis yang kau katakan itu
anak kandungnya.
Kelelawar Hutan dengan Surtini, istriku?
Atau, jangan jangan Aryani yang kau katakan
justru anak kandungku sendiri?"
"Bisa jadi Aryani itu anak kandungmu
sendiri, Ki. Sebab menurut keterangannya
Aryani sudah beberapa kali akan dibunuh
oleh Kelelawar Hutan. Jadi, bisa jadi Aryani
anak kandungmu sendiri. Kalau tidak, mana
mungkin ada ayah yang tega akan membu-
nuh anak kandungnya?"
"Kau benar, Anak Muda! Gadis yang kau
maksudkan pasti anakku!" tandas orang tua
buntung itu dengan mata berbinar. "Kalau
kau cukup mengenalnya, tolonglah kau ajak
gadis itu kemari! Aku ingin sekali melihatnya.
Kau mau menolongku, Anak Muda?"
"J angan khawatir, Ki! Aku pasti akan
membantumu. Sekarang kau tenangkan ha-
timu dulu! Aku akan keluar sebentar. Dan
yang jelas, aku pasti akan mengajak putri
kandungmu kemari."
Siluman Ular Putih cepat meloncat ban-
gun. Pandangan matanya sejenak menyapu
ke seputar ruangan dalam lorong bawah ta-
nah.
"Oh ya, Ki. Kalau boleh tahu, apakah ju-
rus-jurus silat yang tertulis di dinding-dinding
ini yang tadi kau pergunakan untuk mela-
wanku?" tanya Soma sebelum melangkah ke-
luar.
"Benar, Anak Muda. Itulah jurus-jurus
sakti 'Sumur Kematian' ciptaanku."
"Jurus-jurus yang hebat, Ki. Hampir saja
aku tidak sanggup menghadapinya."
"Sudahlah jangan banyak omong! Buk-
tinya saja, aku tidak sanggup meremukkan
batok kepalamu seperti orang-orang yang ma-
suk ke dalam Sumur Kematian ini. Sekarang
cepat panggilkan putri ku kemari, syukur ka-
lau kau bisa mengajak istriku sekalian."
"Kau sudah mulai berani memerintahku,
Ki? Aneh! Padahal, kita baru saja saling ken-
al," seloroh Soma seraya menutulkan kaki
kanannya ke tanah. Dan seketika tubuhnya
berkelebat cepat menuju ke dasar Sumur Ke-
matian.
Lowo Kuru mendelik gusar. Namun be-
lum sempat memaki, bayangan pemuda be-
rambut. gondrong yang berjuluk Siluman Ular
Putih itu telah lenyap dari pandangan.
Lowo Kuru sempat melongokkan kepa-
lanya ke dasar Sumur Kematian. Di sana, ti-
dak ada siapa-siapa kecuali mayat-mayat dan
tulang-tulang yang berserakan, menebarkan
bau anyir menusuk hidung. Lantas matanya
pejamkan rapat-rapat. Dalam beberapa saat
kemudian, dia sudah tenggelam dalam sema-
dinya.
* * *
2
Sejak ditinggal pergi anak dan istrinya,
Kelelawar Hutan makin keranjingan mempela-
jari kitab peninggalan gurunya, yang direbut
dari kakak seperguruannya delapan belas ta-
hun lalu. Berhari-hari, ia terus membolak-
balik kitab dengan perasaan tegang. Kalau-
pun keluar dari rumah batunya hanya seper-
lunya saja.
Namun sampai sejauh ini, Kelelawar Hu-
tan tetap saja menjalani kesulitan untuk
mempelajari isi kitab. Gambar-gambar dalam
kitab bukannya berisi gerakan-gerakan orang
bersilat, melainkan beberapa buah gambar
gerakan kelelawar. Itu saja acak-acakkan dan
tidak jelas. Tapi, laki-laki yang kini memimpin
Perguruan Kelelawar Putih itu terus memak-
sakan diri sambil memperhatikan gambar,
tangan dan kakinya mengikuti petunjuk da-
lam gambar kitab itu. Namun sebentar-
sebentar gerakan gerakannya harus dihenti-
kan, karena selanjutnya seperti tak tahu apa
yang harus dilakukan.
Kelelawar Hutan menggeram penuh ke-
marahan. Wajahnya menegang. Matanya yang
beringas terus memperhatikan gambar-
gambar dalam kitab dengan perasaan gemas.
Selang beberapa saat kemudian....
Brakk!
Laki-laki ini mendadak menggebrakkan
kedua tangannya kemeja. Seketika itu juga
meja batu dalam rumah batu itu hancur be-
rantakan.
Tangan kanan Kelelawar Hutan gemeta-
ran saking penasarannya. Segera dimasuk-
kannya kitab kuning peninggalan gurunya ke
dalam pakaian hitam-hitamnya. Dan dengan
mata beringas, tubuhnya berkelebat keluar
dari rumah batunya.
Hanya beberapa kali hentakan kaki,
sampailah Ketua Perguruan Kelelawar Putih
itu di Sumur Kematian yang memang tak be-
gitu jauh. Dan baru saja Kelelawar Hutan be-
rada di atasnya, mendadak terdengar alunan
suling yang sangat lembut menyayat hati dari
dalam lubang Sumur Kematian.
"He he he...!"
Kelelawar Hutan tertawa dingin. Dipan-
danginya lubang Sumur Kematian.
"Kakang Lowo Kuru! Kau telah meniup
seruling hitammu lebih dari delapan belas ta-
hun. Bukannya masa yang pendek kau bera-
da di dalam sumur ini. Tapi, mengapa tidak
mau menyerah, Kakang?"
Kelelawar Hutan tampak puas sekali me-
lihat penderitaan Lowo Kuru yang ternyata
kakak seperguruannya. Sementara itu alunan
seruling dari dalam lubang Sumur Kematian
telah berubah. Dari lembut menyayat hati
menjadi tiupan angin kencang menerjang lan-
git tinggi.
Di angkasa raya, sang bulan juga telah
ditelan oleh tebalnya awan hitam yang bera-
rak-arak. Dan diiringi pekikan seruling yang
melengking tinggi, serangkum angin puyuh
menderu-deru dari dalam Sumur Kematian
terus menerabas keluar, sebagai tanda kalau
Lowo Kuru sedang marah besar.
"Kakang! Sudah sejak dulu kukatakan,
jangan mempelajari hal-hal yang tak berguna,
kalau akhirnya pun kau harus mengakui ke-
pandaianku. Bahkan istrimu si Bidadari Baju
Putih pun tidak dapat kau jaga, hingga akhir-
nya jatuh ke tanganku. Sekarang, lekaslah
serahkan Pedang Kelelawar Putih mumpung
anak dan istrimu masih selamat di tangan-
ku," ujar Kelelawar Hutan sengaja berdusta.
Padahal, Aryani dan Bidadari Putih telah lama
meninggalkannya.
"Manusia Pengecut! Siapa peduli omon-
gan mu! Ayo! Kalau kau memang laki-laki se-
jati, lekaslah turun! Kita bertarung sampai
ada yang mampus!”
Terdengar satu bentakan nyaring penuh
tenaga dalam dari dalam Sumur Kematian.
Suaranya menggema, merambat dan terus
menerabas keluar dari lubang sumur.
Kelelawar Hutan menggeram penuh ke-
marahan. Berkali-kali ia mondar-mandir di
pinggir sumur. Kemudian kepalanya dilon-
gokkan ke bawah.
"Siapa sudi menuruti keinginan orang
putus asa? Kalau kau ingin mampus, mam-
puslah sendiri di bawah sana! Tapi, kau ha-
rus menyerahkan Pedang Kelelawar Putih itu
padaku!" kata Kelelawar Hutan, jerih juga
mendengar tantangan Lowo Kuru.
"Ha ha ha...! Bilang saja kau tidak bera-
ni!" Kelelawar Hutan menggereng. Kedua peli-
pisnya bergerak-gerak. Gigi-gigi gerahamnya
bergemeletukan, menahan amarah menggele-
gak. Namun laki-laki licik itu tidak mau me-
nurutkan hawa amarahnya.
"Aku tahu, kali ini kau bisa bicara pon-
gah seperti ini. Tapi, tunggu sebentar, Ka-
kang! Kau tentu akan menyesal dengan kata-
katamu!"
"Hidupku sudah hancur. Buat apa me-
nyesali?" teriak Lowo Kuru nyaring, namun
suaranya kali ini sedikit melemah. Mungkin
terpengaruh juga dengan ancaman Kelelawar
Hutan.
Kelelawar Hutan tidak lagi meladeni
omongan-nya. Hanya matanya saja yang ber-
kilat-kilat, memperhatikan lubang Sumur
Kematian. Kemudian dengan perasaan panas,
segera ditinggalkan tempat ini.
Begitu kaki kanannya menutul ke tanah,
bayangan tinggi besar Kelelawar Hutan pun
tahu-tahu telah berkelebat cepat keluar dari
Pekarangan Terlarang. Gerakan kedua ka-
kinya cepat sekali laksana terbang, pertanda
ilmu meringankan tubuhnya telah sangat
tinggi
Sebentar saja Kelelawar Hutan telah
sampai di padepokannya. Beberapa orang
murid asuhannya berlari-lari menyambut ke-
datangannya, ia langsung duduk berlutut
mengitari.
"Semuanya berkumpul di ruang utama!"
perintah Kelelawar Hutan galak.
"Baik, Guru!" sahut murid-murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih serempak
Dan sehabis berkata begitu, murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih segera me-
nuju ruang utama. Dengan langkah angkuh-
nya Kelelawar Hutan mengikuti dari belakang.
Tepat ketika murid-murid Perguruan Kelela-
war Putih sudah duduk bersila di ruang uta-
ma, Kelelawar Hutan masuk.
"Selamat memasuki ruang utama.
Guru!" sambut para murid.
Kelelawar Hutan mengangguk-angguk
angkuh. Langkahnya tegap kala. Mendekati
tempat duduknya. Sejenak pandangannya
menyapu ke seputar ruangan. Seluruh murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih diam mem-
bisu dengan kepala menunduk dalam-dalam.
Kelelawar Hutan menghenyakkan pan-
tatnya kasar di kursi kebesarannya.
"Kalian semua murid-murid Perguruan
Kelelawar Putih, kuperintahkan untuk me-
nangkap hidup-hidup Bidadari Kecil dan Bi-
dadari Putih! Siapa saja yang dapat menang-
kap mereka hidup-hidup, cepat beri tahu aku
di rumah batu, Kalian paham?!" ujar Kelela-
war Hutan, dengan pandangannya menebar
ke sekeliling.
"Paham, Guru!" sahut murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih serempak.
"Tapi... tapi, bagaimana kalau mereka
melawan, Guru?" tanya salah seorang murid
yang mengenakan pita warna kuning berani.
"Kau lancang sekali, Panuluh! Kapan
kau kusuruh bertanya, he?.!" hardik Kelela-
war Hutan garang.
"Ma... maaf, Guru! Aku tidak sabar," ja-
wab murid yang dipanggil Panuluh itu geme-
tar. Wajahnya seketika pucat pasi.
"Baik. Kali ini kau ku maafkan, Panuluh.
Tapi tidak untuk yang kedua kalinya," kata
Kelelawar Hutan angkuh. Sejenak pandangan
matanya kembali menyapu paras murid-
muridnya. Tak ada satu pun yang berani
membuka suara. Semuanya diam dengan pe-
rasaan tegang.
Kelelawar Hutan angguk-anggukkan ke-
palanya.
"Baik. Kalau mereka melawan, bunuh!
Paham?! Aku perintahkan kalian semua un-
tuk membunuh mereka!"
Semua murid Perguruan Kelelawar Hu-
tan terkesiap. Sejenak mereka mendongak,
memandang Kelelawar Hutan, kemudian bu-
ru-buru diam membisu seperti semula. Dalam
hati, mereka tidak henti-hentinya menduga-
duga apa kesalahan Bidadari Kecil dan Bida-
dari Putih sehingga harus dibunuh. Namun
keheranan mereka hanya dapat disimpan da-
lam hati.
Sekarang, lekas kalian semua enyah dari
hadapanku! Dan jangan lupa lakukan semua
perintahku!" tegas Kelelawar Hutan garang.
* * *
3
Kaki langit sebelah timur terusap sinar
matahari yang berwarna merah jingga. Ayam
jantan liar sejak tadi mengumandangkan ko-
koknya yang gagah, menyapa pagi. Gumpalan
awan putih laksana kapas berserakan di ca-
krawala. Sementara, tiupan angin lembut te-
rasa. semakin menambah indahnya suasana.
Di sebuah hutan bambu yang tak jauh
dari Lembah Kruisan, berkelebat sesosok
bayangan putih-putih melalui jalan setapak di
pinggiran hutan. Gerakannya cepat sekali
laksana terbang, pertanda ilmu meringankan
tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi.
Sosok itu adalah seorang wanita cantik
berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Ram-
butnya panjang sebahu, dengan ikat kepala
warna putih. Wajahnya berbentuk lonjong
dengan sepasang mata lebar dan alis tebal.
Hidungnya mancung. Pas sekali dengan ben-
tuk bibirnya yang tipis. Sedang tubuhnya
yang langsing dibalut pakaian warna putih-
putih. Siapa lagi sosok itu kalau bukan Surti-
ni atau yang lebih terkenal sebagai Bidadari
Putih. Wanita ini telah pergi meninggalkan
markas Perguruan Kelelawar Putih karena in-
gin mencari obat pemunah racun yang ham-
pir delapan belas tahun mengeram dalam tu-
buhnya.
Tanpa mengenal lelah, Bidadari Putih te-
rus berlari kencang menuju puncak Gunung
Perahu, tempat petapaan Tabib Agung. Na-
mun ketika wanita itu sampai di persimpan-
gan jalan di luar hutan bambu, mendadak....
"Berhenti!"
Terdengar bentakan keras menggelegar
yang membuat Bidadari Putih kontan berhen-
ti. Dan belum hilang gaung bentakan itu, ta-
hu-tahu di hadapan Bidadari Putih telah ber-
diri seorang wanita cantik berpakaian kuning
keemasan. Usianya kira-kira sama dengan-
nya, Rambutnya panjang digelung ke atas.
Wajahnya yang putih kepucatan berbentuk
bulat telur. Sepasang matanya lebar, alis ma-
tanya tebal. Bulu-bulu matanya lentik, hi-
dungnya pun mancung. Dan tokoh wanita ini
pun sudah cukup banyak malang melintang
di dunia persilatan. Gelarnya cukup menye-
ramkan, Setan Cantik!
Melihat siapa yang menghadang, gera-
kan Bidadari Putih langsung berkerut. Pe-
rempuan yang menghadangnya tidak lain dari
orang yang menyebabkan suaminya merana
dalam Sumur Kematian. Karena. dia adalah
salah seorang tokoh sesat yang turut mem-
bantu Kelelawar Hutan mengeroyok Lowo Ku-
ru, hingga akhirnya dicemplungkan ke dalam
Sumur Kematian dalam keadaan sangat men-
genaskan.
"Bedebah! Rupanya kau, Setan Cantik!
Kebetulan sekali kau mengirim nyawa bu-
sukmu kemari," desis Bidadari Putih, penuh
kemarahan.
"Hm...! Rupanya kau pun masih galak
juga seperti dulu, Bidadari Putih. Baik. Akan
kulihat, sampai di mana kegalakan mu ini!"
ejek Setan Cantik sinis.
"Keparat! Dosamu sudah bertumpuk,
Setan Cantik! Kau tidak layak lagi berkeliaran
di muka bumi ini!" hardik Bidadari Putih ga-
rang.
Kedua tangan Bidadari Putih yang sudah
membentuk cengkeraman cepat bergerak me-
nyerang. Tidak tanggung-tanggung, langsung
dikeluarkannya jurus sakti 'Cengkeraman
Maut Kelelawar Sakti' yang merupakan salah
satu jurus andalan Perguruan Kelelawar Pu-
tih. Sebelum serangan Bidadari Putih itu sen-
diri mengenai sasaran, terlebih dahulu berke-
siur angin dingin mengarah ke beberapa jalan
darah Setan Cantik.
"Hup..,!"
Setan Cantik cepat melempar tubuhnya
ke belakang. Dan sambil berloncatan, tan-
gannya mengibas cepat.
Set! Set!
Seketika, beberapa sinar keemasan me-
luncur ke arah tubuh Bidadari Putih. Begitu
dahsyat, dan nampak berkeredepan memba-
wa maut.
Namun Bidadari Putih tidak gentar di-
buatnya. Melihat Sinar-sinar keemasan yang
berupa puluhan jarum-jarum emas itu, baju
putihnya cepat dikebutkan secara memutar.
"Hih...!"
Dan begitu jarum-jarum emas rontok ke
tanah, Bidadari Putih cepat meloncat tinggi ke
udara. Begitu meluruk tangan kanannya
membentuk cengkeraman ke arah ubun-ubun
kepala Setan Cantik. Sedang tangan kirinya
siap mencengkeram pula dada perempuan
itu.
Hebat bukan main serangan-serangan
Bidadari Putih ini. Apalagi tenaga dalamnya
dikerahkan sepenuhnya.
Setan Cantik tidak berani memandang
remeh. Cepat tubuhnya digulingkan ke samp-
ing. Dan lagi-lagi, sambil berguling-gulingan
seperti itu, kembali tangannya mengibas. Ma-
ka, kembali jarum-jarum emas berkeredepan
meluncur deras.
Wess! Wesss!
Di udara Bidadari Putih mengebutkan
baju putihnya sekali, membuat jarum-jarum
emas kembali rontok Dan begitu kedua ka-
kinya memapak ke tanah, tubuhnya kembali
melompat tinggi ke udara. Gerakannya cepat
sekali, laksana seekor kelelawar yang sedang
mengejar mangsa dengan kedua tangan men-
garah ubun-ubun kepala Setan Cantik.
Setan Cantik yang baru saja melompat
bangun, merasa tidak ada pilihan lagi. Kalau
ingin selamat serangan-serangan Bidadari Pu-
tih harus ditangkisnya. Apalagi, saat itu kea-
daannya kurang begitu menguntungkan.
Plak! Plak!
Terdengar benturan dua telapak tangan
di udara, yang disusulnya dengan bergetarnya
dua sosok tubuh. Namun keseimbangan Bi-
dadari Putih sedikit lebih menguntungkan.
Sedangkan Setan Cantik tampak sempat ter-
huyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang.
Tentu saja Bidadari Putih tidak menyia-
nyiakan kesempatan saat melihat tubuh Se-
tan Cantik terhuyung-huyung. Maka tenaga
dalamnya cepat dikerahkan saat mengirim se-
rangan berikutnya, Namun....
"Hoeekkhh.”
Mendadak saja begitu mengerahkan te-
naga dalamnya, Bidadari Putih memuntahkan
darah segar berwarna merah kehitaman den-
gan wajah pucat pasi. Kedua tangannya me-
megangi dada yang terasa sesak. Bibirnya
bergetar-getar dan mulut meringis menahan
nyeri di dada.
Di tempatnya, Setan Cantik yang semula
ciut nyalinya melihat gebrakan Bidadari Putih
jadi tersenyum senang.
"Ha..! Rupanya racun kelelawar putih
masih mengeram dalam tubuhmu, Bidadari
Putih. Sekarang jangan harap bisa jual lagak
di depanku, he?!" ejek Setan Cantik dingin.
Bidadari Putih hanya bisa menggerutkan
gerahamnya. Memang racun kelelawar putih
akibat pukulan 'Tangan Hitam Kelelawar Hu-
tan' delapan belas tahun lalu masih menge-
ram dalam tubuhnya. Dan sekarang, karena
terlalu banyak mengeluarkan tenaga dalam,
membuat racun yang mengeram dalam tu-
buhnya semakin bekerja hebat.
"Hoeekh...!"
Bidadari Putih kembali memuntahkan
darah segar berwarna merah kehitaman. Wa-
jahnya kian pucat pasi. Bibirnya bergetar-
getar menahan nyeri di dada.
"Ha ha ha...! Sekarang rasakan pemba-
lasanku, Bidadari Putih! Agar kau tidak seng-
sara dengan racun dalam tubuhmu, aku ingin
membantumu menemui Malaikat Kematian di
dasar neraka. Sekarang terimalah kematian-
mu, Bidadari Putih!" desis Setan Cantik sinis.
Wajah Setan Cantik yang cantik menda-
dak berubah menjadi bengis. Matanya berki-
lat-kilat, menyembunyikan kekejaman luar
biasa. Dan sehabis berkata begitu, tubuhnya
meluruk ke arah Bidadari Putih dengan ju-
rus-jurus andalan dari Istana Ular Emas yang
diiringi jarum-jarum emas berkeredepan.
Bed! Bed!
Set! Set!
"Utss...!"
Bidadari Putih kewalahan bukan main
saat menghindar dengan melompat ke sana
kemari. Bahkan berapa kali dia harus ber-
jumpalitan. Perlahan namun pasti, kini Bida-
dari Putih mulai terdesak hebat. Jangankan
untuk membalas serangan. Untuk meng-
hindar saja harus mengerahkan segenap ke-
mampuannya.
Sedang Setan Cantik malah semakin ga-
nas mengurung pertahanan Bidadari Putih.
Jarum-jarum emasnya yang berkeredepan
benar-benar membuat Bidadari Putih kewala-
han. Dalam beberapa jurus lagi, Bidadari Pu-
tih tentu akan sulit menghindar dari tangan
maut Setan Cantik.
Plak! Plak!
Dua buah tamparan mendarat telak di
wajah, membuat Bidadari Putih terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Se-
dang kedua pipinya yang terkena tamparan
tadi terasa nyeri bukan main.
Setan Cantik tersenyum senang. Pada
saat tubuh Bidadari Putih terhuyung-huyung
cepat dilontarkannya tendangan maut ke pe-
rut.
Bukkk!
"Aaakhh...!"
Bidadari Putih memekik tertahan. Seke-
tika itu juga tubuhnya mencelat beberapa
tombak ke belakang, langsung membentur
batang pohon di belakangnya. Perutnya yang
terkena terasa mau jebol dan nyeri bukan
main. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya ber-
getar-getar hebat. Dan dari sudut-sudut bi-
birnya nampak menggulir darah merah, per-
tanda tengah menderita luka dalam yang cu-
kup parah.
Melihat musuhnya terkapar tak berdaya,
Setan Cantik makin beringas. Kedua tangan-
nya yang berwarna kuning keemasan hingga
sampai ke siku, siap melontarkan pukulan
maut 'Ular Emas' ke arah tubuh Bidadari Pu-
tih.
Wesss!.
Wuuttt...!
Satu tombak lagi pukulan itu mengenai
sasaran, mendadak berkelebat sesosok
bayangan putih-putih menyambar tubuh Bi-
dadari Putih.
Blarm..!
Pukulan sakti 'Ular Emas' milik Setan
Cantik terus menerabas ke belakang, lang-
sung menghantam batang pohon di belakang-
nya hingga langsung hangus terbakar. Bebe-
rapa saat kemudian terdengar derak pohon
yang jatuh melintang di tengah jalan.
"Keparat! Siapa yang berani main-main
dengan Setan Cantik!" hardik Setan Cantik
penuh kemarahan. Matanya yang tajam terus
memperhatikan sosok berpakaian putih-putih
yang menolong Bidadari Putih. Dan kini sosok
itu telah melangkah ke arah tiga sosok lain
yang juga telah berada di tempat ini.
* * *
4
Setan Cantik kini terkepung oleh empat
orang gagah berpakaian putih-putih yang ra-
ta-rata berusia empat puluhan. Di kepala me-
reka melingkar ikat kepala berwarna putih.
"Kakang Sindu! Sebaiknya Kakang urus
saja Bibi Bidadari Putih! Biar kami bertiga
yang mencincang wanita sundal ini!" kata sa-
lah satu dari empat laki-laki berpakaian pu-
tih-putih pada temannya yang masih memon-
dong tubuh Bidadari Putih.
"Baiklah, Naroko. Harap kalian hati-hati
dengan jarum-jarum emasnya!" sahut laki-
laki bernama Sindu yang memondong Bidada-
ri Putih. Kemudian dengan sekali mengempos
tubuhnya, dia berkelebat membawa Bidadari
Putih.
"Hm...! Murid-murid utama Lowo Kuru!
Apa kalian belum kapok kugebuk delapan be-
las tahun lalu, he?! Menyesal sekali aku dulu
membiarkan pergi. Tapi, jangan harap kali ini
aku melepaskan nyawa busuk kalian!"
Sehabis berkata begitu, Setan Cantik se-
gera meloloskan pedang tipisnya yang ber-
warna kuning keemasan di pinggang. Gagang
pedang berbentuk kepala ular emas. Begitu
pedang terangkat, bias-bias sinar keemasan
memendar akibat jilatan sinar matahari.
Seperti yang dikatakan Setan Cantik,
keempat orang berpakaian putih-putih itu
memang murid utama Lowo Kuru. Delapan
belas tahun yang lalu ketika terjadi pertem-
puran hebat antara Lowo Kuru dengan Kele-
lawar Hutan yang dibantu oleh beberapa
orang tokoh sesat dunia persilatan, mereka
pun turut membantu sang guru. Cuma
sayangnya, mereka yang dibantu beberapa
murid lainnya belum sanggup menghadapi ja-
rum-jarum beracun milik Setan Cantik dan
Cantrik Tudung Pandan. Akibatnya ketika
Lowo Kuru dan Bidadari Putih roboh di tan-
gan Kelelawar Hutan, keempatnya dapat diro-
bohkan pula.
Namun pada saat tubuh keempat orang
murid utama Lowo Kuru itu hendak di buang
ke dalam Sumur Kematian oleh beberapa
orang adik seperguruan yang secara terpaksa
menjadi anak buah Kelelawar Hutan, Sindu
tersadar dari pingsannya. Dan karena terdo-
rong rasa iba tanpa sepengetahuan Kelelawar
Hutan, Sindu diperbolehkan memeriksa keti-
ga orang temannya. Tidak disangka sama se-
kali, ketiga temannya ternyata masih hidup,
walau keadaannya sangat mengenaskan!
Sindu lantas meminta kepada adik-adik
seperguruannya untuk membawa pergi ketiga
temannya. Sekali lagi karena terdorong rasa
iba, Sindu akhirnya diperbolehkan. Dan me-
nyadari akan kehebatan pukulan 'Tangan Hi-
tam' ketiga orang temannya dibawa ke Gu-
nung Perahu tempat tinggal Tabib Agung.
Setelah dapat disembuhkan Tabib
Agung, Sindu dan ketiga orang murid utama
Lowo Kuru tidak langsung turun gunung. Se-
lama berpuluh-puluh tahun, mereka mem-
perdalam ilmu silat, hingga dapat menguasai
jurus-jurus sakti 'Cengkeraman Maut Kele-
lawar Sakti' dan 'Cakar Maut Kelelawar Hu-
tan'. Baru kemudian, mereka turun gunung.
Kebetulan sekali, di tengah perjalanan mereka
bertemu Bidadari Putih yang tengah terdesak
menghadapi Setan Cantik.
Kini menghadapi salah seorang yang du-
lu turut mengeroyok guru mereka, tiga dari
empat murid utama Lowo Kuru pun tak dapat
lagi menahan amarahnya lagi. Apalagi ketika
melihat bibi gurunya, Bidadari Putih pun
hampir celaka di tangan Setan Cantik. Maka
tanpa banyak membuang-buang waktu lagi,
ketiga orang itu pun segera melolos pedang
dari balik pinggang masing-masing.
Sret! Sret! Sret!
"Demi Tuhan kami akan membalaskan
sakit hati guru dan bibi guru kami, Setan
Cantik! Untuk itu, lekaslah serahkan nyawa
busukmu untuk menebus dosa-dosamu yang
sudah bertumpuk!" dengus laki-laki yang
bernama Naroko penuh kemarahan sambil
mengisyaratkan kepada kedua orang kawan-
nya untuk bersiap-siap.
"Majulah! Kalau kalian ingin mencari
mati di tempat ini, Tikus-tikus busuk!" tan-
tang Setan Cantik pongah.
"Jahanam! Terimalah kematianmu hari
ini, Setan Cantik!"
Naroko tak dapat lagi mengendalikan
amarahnya, tanpa banyak cakap lagi kakinya
menjejak tanah. Dan tahu-tahu, tubuh tinggi
kekarnya telah melesat. Pedang di tangan ka-
nannya bergetaran, mengancam ubun-ubun
kepala Setan Cantik. Sedang tangan kirinya
telah membentuk cengkeraman, siap men-
cengkeram ulu hati.
Melihat Naroko telah mendahului me-
nyerang, kedua orang murid utama Lowo Ku-
ru itu pun segera membantu. Gerakan-
gerakan mereka cepat sekali dengan bacokan-
bacokan pedang yang mengurung pertahanan
Setan Cantik.
Setan Cantik tersenyum dingin. Pedang
Ular Emasnya digerakkan sedemikian rupa,
menangkis serangan-serangan ketiga murid
utama Lowo Kuru.
Trang! Trang!
Terdengar suara berdentang disertai pi-
jaran bunga api ketika pedang di tangan Se-
tan Cantik berbenturan saat menangkis se-
rangan, Kontan tangan wanita ini terasa ke-
semutan. Sungguh tidak disangka kalau keti-
ga orang murid utama Lowo Kuru ini telah
mengalami kemajuan pesat. Maka tanpa be-
rani memandang ringan lagi, cepat dikelua-
rkannya jurus-jurus dari Istana Ular Emas.
Pedang di tangan kanannya mendadak berge-
rak menusuk ulu hati Naroko.
Wuttt!
Naroko berkelit ke samping. Namun
sungguh tidak disangka kalau gerakan pe-
dang di tangan Setan Cantik mendadak me-
nyerong ke samping, lantas bergerak ke leher.
Naroko makin mengkelap, karena di
samping harus menghadapi bacokan pedang,
ia pun juga harus siap pula menghadapi pu-
kulan sakti 'Ular Emas'.
"Hyaaattt...!"
Akhirnya dengan nekat Naroko memutar
pedangnya menangkis serangan bacokan pe-
dang Setan Cantik. Sedang tangan kirinya
yang berwarna putih menyilaukan mata siap
menangkis pukulan 'Ular Emas'.
Trang!
Bunga api berpijar disertai suara ber-
dentang keras, kala pedang di tangan kanan
Naroko berkelebat menangkis bacokan pe-
dang Setan Cantik. Akibatnya, tangan laki-
laki bergetar hebat. Sedang pada saat itu dari
telapak tangan kiri lawan cepat menerjang.
Namun pada saat yang paling genting
bagi keselamatan Naroko, dua larik sinar pu-
tih menyilaukan mata melabrak ke arah Se-
tan Cantik
Wesss! Wesss!
Setan Cantik terpaksa menarik seran-
gannya. Tubuhnya cepat melompat ke bela-
kang beberapa tombak Namun begitu menje-
jak tanah, ia segera menerjang ke arah kedua
orang murid utama Lowo Kuru yang tadi
menghalang-halangi niatnya.
Naroko yang baru saja diselamatkan ke-
dua orang kawannya segera datang memban-
tu. Sehingga dalam waktu sebentar saja,
kembali Setan Cantik dibuat sibuk mengha-
dapi serangan-serangan ketiga murid Lowo
Kuru. Beberapa kali pedangnya berusaha di-
putar untuk menekan ketiga lawannya. Na-
mun tetap saja ia terdesak. Padahal Setan
Cantik telah mengeluarkan jurus-jurus
mautnya.
* * *
Sementara tak jauh dari pertarungan,
Sindu, baru saja berhasil menyadarkan Bida-
dari Putih dari pingsannya. Meski telah luka
dalam wanita itu dapat berkurang, namun te-
tap saja wajahnya masih nampak kepucatan.
Kening Sindu berkerut dalam. Ia tidak
mengerti, mengapa wajah bibi gurunya masih
nampak kepucatan. Di samping itu juga dira-
sakannya hawa dingin mengaliri jalan darah
Bidadari Putih. Bisa ditebak kalau dalam tu-
buh bibi gurunya terkandung satu hawa ra-
cun yang keji sekali.
"Nampaknya Bibi Guru terkena pukulan
yang mengandung hawa racun jahat. Tapi...,
tapi menurut pandanganku bukan Racun
Ular Emas yang mengeram dalam tubuh Bibi.
Lantas, siapa yang telah mencelakakan Bibi
Guru hingga seperti ini, Bibi?" tanya Sindu
tak mengerti.
"Aku, memang terkena racun, Sindu.
Seperti pendapatmu, aku memang tidak ter-
kena Racun Ular Emas. Melainkan, terkena
racun keji milik Kelelawar Hutan. Entah, ra-
cun apa itu. Yang jelas racun ini sudah men-
geram dalam tubuhku selama delapan belas
tahun," jelas Bidadari Putih seraya menggigit
bibir bawahnya. menahan nyeri dalam dada.
"Ah...! Tak kusangka Paman Kelelawar
Hutan demikian keji menyiksa Bibi seperti ini.
Lantas, bagaimana aku harus membantu Bibi
mengeluarkan racun yang mengeram dalam
tubuhmu?" keluh Sindu sedih.
"Sudahlah! Jangan kau terlalu mence-
maskan ku! Sebaiknya, cepat bantu kawan-
kawanmu menghadapi Setan Cantik!" ujar Bi-
dadari Putih seraya mengibaskan tangan ka-
nannya.
Sindu sebenarnya ingin membantah
omongan bibi gurunya. Namun ketika melihat
Bidadari Putih mulai pejamkan mata, niatnya
diurungkan. Rasanya tak tega mengganggu
bibi gurunya yang sedang bersemadi untuk
memulihkan tenaga dalam. Maka ketika meli-
hat ketiga adik seperguruannya terus meng-
gempur Setan Cantik, tanpa banyak pikir
panjang lagi pedangnya segera diloloskan.
Dan seketika tubuhnya berkelebat membantu
serangan.
Setan Cantik yang sudah kewalahan,
makin repot saja begitu Sindu itu membantu
mengeroyoknya. Dalam beberapa gebrakan
saja entah sudah berapa kali Setan Cantik
terpaksa harus berjumpalitan di udara. Ja-
rum-jarum emasnya seolah-olah tidak ber-
manfaat menghadapi serangan keempat orang
murid utama Lowo Kuru. Malah entah sudah
berapa kali pula tubuhnya hampir saja terke-
na sambaran pedang di tangan para penge-
royoknya.
"Hiaaa...!"
Disertai teriakan membelah angkasa, Se-
tan Cantik mengibaskan tangannya. Seketika
jarum-jarum beracunnya meluncur ke arah
empat orang pengeroyoknya. Bersamaan den-
gan itu tangan kirinya yang sudah berwarna
kuning keemasan sampai ke pangkal lengan
menghentak ke arah Sindu melontarkan pu-
kulan 'Racun Ular Emas'.
Wesss! Weesss!
Keempat orang murid utama Lowo Kuru
cepat memutar pedangnya demikian rupa,
menangkis rontok jarum-jarum emas yang
berkeredepan. Sementara Sindu yang baru
saja memutar pedangnya, segera menghen-
takkan tangannya melepas pukulan 'Kepakan
Kelelawar Sakti' untuk memapak sinar kuning
dari pukulan 'Racun Ular Emas'.
Blarrr...!
Tubuh Sindu sempat terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Sedang Setan
Cantik sendiri pun sempat bergetar hebat.
Kemudian sebelum sempat ketiga orang mu-
rid Lowo Kuru menyusul serangan berikut-
nya, wanita itu cepat. mengempos tubuhnya.
Langsung berkelebat meninggalkan keempat
orang pengeroyoknya.
Naroko yang merasa paling gemas den-
gan sepak terjang Setan Cantik cepat berkele-
bat menyusul. Namun baru beberapa tom-
bak....
"Naroko! Biarkan wanita sundal itu me-
larikan diri! Kita sebagai ksatria tak pantas
mengejar musuh yang melarikan diri!" cegah
Sindu.
Naroko menghentikan larinya. Laki-laki
itu berbalik seraya menatap heran pada Sin-
du.
"Tapi, wanita sundal itulah yang telah
mencelakakan guru kita, dan bibi guru kita,
Kakang," kata Naroko kecewa.
"Yayaya.,.! Aku tahu. Tapi lebih baik kita
menolong bibi guru!"
"Baiklah kalau begitu. Tapi lain kali, aku
berjanji tidak akan melepaskan wanita sundal
itu! Belum puas rasanya kalau aku belum
membalaskan sakit hati Guru," geram Naroko
penuh kemarahan.
"Hm...! Lain kali aku juga akan membuat
perhitungan dengan tokoh sesat itu. Seka-
rang, sebaiknya cepat kita menolong bibi
guru," ujar Sindu lagi.
Di tempatnya, Bidadari Putih masih
tenggelam dengan semadinya. Wajahnya yang
cantik nampak makin kepucatan. Melihat hal
ini, Sindu merasa gelisah sekali. Kemudian
dia buru-buru berlutut di samping wanita
cantik itu. Dan seperti ada kata sepakat, keti-
ga orang adik seperguruannya pun ikut pula
duduk berlutut, menunggu Bidadari Putih se-
lesai dengan semadinya.
Beberapa saat kemudian, Bidadari Putih
pun kembali membuka kelopak matanya per-
lahan-lahan. Namun, wajahnya tetap pucat
pasi. Bibirnya bergetar-getar, pertanda racun
yang mengeram dalam tubuhnya tengah be-
kerja hebat.
"Bibi Guru! Kau kenapa?" tanya Sindu
tak sabar.
"Racun itu kembali bekerja menggerogoti
tubuhku...," desah Bidadari Putih seraya
menggigit bibirnya menahan nyeri di ulu hati.
"Lantas, apa yang harus kami perbuat
untuk menolong Bibi Guru mengeluarkan ra-
cun itu?" tanya Sindu putus asa.
Bidadari Putih menggeleng-geleng. Ia
sendiri pun sepertinya sudah mulai putus asa
dengan racun yang mengeram dalam tubuh-
nya.
"Aku tidak tahu pasti, Sindu. Aku hanya
ingin menemui Tabib Agung. Barang kali saja
tokoh sakti dari Gunung Perahu itu mau
mengeluarkan racun yang hampir delapan be-
las tahun mengeram dalam tubuhku. Sebab
untuk mengambil Daun Lontar Merah di da-
sar Sumur Kematian, rasanya tidak mungkin.
Aku tidak tega melihat keadaan suamiku. Di
samping itu, aku pun tidak tahu jebakan apa
yang ada di Sumur Kematian."
"Ya ya ya.... Aku dapat memahami pera-
saanmu, Bibi," sahut Sindu. Tapi kupikir, ti-
dak ada pilihan lain. Kita harus secepatnya
mengambil Daun Lontar Merah itu. Kalau Bibi
ragu-ragu, biar kami berempat yang men-
gambilnya.
* * *
5
"He he he...! Rupanya kau penurut juga,
Aryani! Ayo, lekas bangun! Masa' anak pera-
wan bangun sesiang ini?!" tegur pemuda ber-
pakaian rompi dan celana bersisik warna pu-
tih keperakan yang tidak lain Soma alias Si-
luman Ular Putih dengan senyum menggoda.
Suaranya pun terdengar bergetar-getar aneh
mempengaruhi jalan pikiran Aryani.
Ajaib sekali! Aryani yang tertidur pulas
mendadak tersentak bangun. Matanya meme-
rah. Wajahnya kuyu. Namun anehnya, sepa-
sang matanya yang memerah mendelik gusar.
Mulutnya bersungut-sungut pertanda sedang
jengkel.
"Tidak ada angin tidak ada hujan, men-
gapa kau bersungut-sungut seperti ini?"
tanya si pemuda kalem.
"Manusia kampret! Rupanya kau ber-
main-main dengan ilmu sihiran lagi! Kau mau
mempermainkan aku ya?!" hardik Aryani pe-
nuh kemarahan.
"Siapa? Siapa yang mau mempermain-
kan mu? Tadi malam kulihat kau mengantuk,
lalu tertidur. Apa aku salah kalau meninggal-
kanmu sebentar? Jangan menuduhku semba-
rangan begitu, dong!" tukas Soma memungki-
ri perbuatannya semalam.
Aryani bangkit. Matanya mendelik gusar.
"Apa kau bilang?! Kau pikir aku tidak
tahu apa yang kau perbuat semalam sebelum
meninggalkan ku, he?!" hardik Aryani lagi.
Soma yang dibentak seperti itu hanya
tersenyum. Malah matanya mengerjap-
ngerjap nakal.
"Sudahlah, jangan marah-marah seperti
ini! Aku takut nanti kau malah bisa cepat tua.
Ayo, sekarang lekas ikut aku! Ada seseorang
ingin bertemu denganmu," ajak Soma kalem.
"Enak saja kau main perintah. Pikir mu,
kau ini siapa, he?!" sungut Aryani jengkel.
Tangan kanannya tahu-tahu telah menyodok
keras perut Soma. Pada bagian pusar.
Dukkk!
Soma meringis. Bukannya sakit karena
sodokan Aryani, melainkan bagian pusarnya
itu merupakan bagian yang sangat peka dari
ilmu pamungkasnya. Ajian 'Titisan Siluman
Ular Putih'! Maka seketika itu, Soma pun mu-
lai merasakan sesuatu yang berputar-putar
aneh pada perutnya. Dan benar saja. Belum
sempat hawa panas yang berpusar-pusar da-
lam perutnya dikendalikan, mendadak saja
sekujur tubuhnya mulai dipenuhi uap putih
tipis. Sehingga, akhirnya bayangan tubuhnya
tidak kelihatan sama sekali.
"Hah?"
Aryani terbelalak heran. Dan ketika asap
putih tipis yang menyelimuti sekujur tubuh
Soma sirna tertiup angin, seketika itu juga...
"Gggeerrr...!"
Aryani kaget bukan alang kepalang
mendengar suara gerengan yang keras luar
biasa. Wajahnya pucat pasi. Matanya kini ter-
belalak ngeri. Di hadapannya saat itu terlihat
seekor ular putih sebesar pohon kelapa den-
gan taring-taring mencuat berkilauan, sebesar
tanduk kerbau liar. Matanya pun berwarna
merah saga!
"Sil... Siluman Ular Putih...!" desis Arya-
ni dengan suara bergetar.
Siluman Ular Putih sebesar pohon kela-
pa menggeliat-geliat membuat debu-debu be-
terbangan terkena kibasan-kibasan ekornya.
Sebentar kemudian, sekujur tubuh ular rak-
sasa itu kembali diselimuti uap putih tipis,
hingga bayangan besar memanjangnya tidak
kelihatan sama sekali.
Wesss...!
Dan saat asap putih tipis itu sirna ter-
tiup angin, maka tampak seorang pemuda be-
rambut gondrong dengan pakaian rompi dan
celana bersisik warna putih keperakan. Soma!
"Kau... kaukah Sil..., Siluman Ular Putih
itu, Soma?" tanya Aryani masih dengan mata
terbelalak.
Soma tidak menjawab. Hanya dipandan-
ginya gadis itu dengan senyum terkembang di
bibir sembari garuk-garuk kepala.
"Ah...! Tak kusangka kau Pendekar Si-
luman Ular Putih yang sedang diperbincang-
kan orang banyak itu," desah Aryani lagi.
Namun kali ini gadis itu mulai sedikit dapat
menenangkan hatinya.
Soma masih tersenyum-senyum nakal.
Dalam hatinya sendiri pun juga merasa heran
dengan kejadian barusan. Ia belum begitu ta-
hu, mengapa ketika gadis itu menyodok pu-
sarnya, mendadak saja jadi berubah menjadi
Siluman Ular Putih.
"Mungkinkah bagian pusar ku merupa-
kan salah satu kelemahan atau pantangan-
ku?" gumam Soma dalam hati. Sebab eyang-
nya di Gunung Bucu belum menjelaskan hal
itu.
"Kau ini bagaimana, sih? Mengapa kau
menatap ku seperti itu? Ayo, lekas ikut aku!
Ada seseorang yang ingin sekali bertemu den-
ganmu," tukas Soma.
"Tapi... tapi, kau kan yang bergelar Si-
luman Ular Putih itu?"
"Ya, ampun! Kenapa kau jadi nyinyir se-
perti ini, Aryani?! Apa kau tidak ingin berte-
mu seseorang yang sangat merindukan mu?"
tegur Soma.
"Ya ya ya...! Tapi, siapa?"
"Ayahmu! Ayah kandungmu yang sebe-
narnya. Lowo Kuru."
"Maksudmu, orang tua buntung yang
berada di dalam Sumur Kematian?" tanya
Aryani, dengan kening berkerut heran.
"Apakah..., apakah orang tua buntung
yang berada di dalam Sumur Kematian itu
ayah kandungku? Bukankah ayah kandung-
ku Kelelawar Hutan?"
"Nanti bisa kau tanyakan padanya. Se-
karang, ayo lekas ikut aku!"
"Ya ya ya...! Tapi, aku harus mandi du-
lu."
"Ya, ampun! Dalam keadaan seperti ini
kau pun masih sempat berpikir untuk man-
di?!" tegur Soma, lalu berkelebat cepat me-
ninggalkan Aryani.
"Baiklah!" kata Aryani akhirnya.
Walau merasa agak jengkel, toh Aryani
mau juga diajak menemui orang tua kan-
dungnya dalam Sumur Kematian. Dengan se-
kali menutulkan kakinya gadis itu pun telah
berkelebat di samping Soma.
* * *
Baru saja Soma dan Aryani hendak
membelokkan langkahnya menuju ke Peka-
rangan Terlarang, mendadak...
"Berhenti!"
Bersamaan dengan bentakan itu, men-
dadak pula dari balik semak-semak belukar
telah berloncatan puluhan murid Perguruan
Kelelawar Putih dengan pedang di tangan.
Mereka langsung membuat lingkaran, mengu-
rung kedua anak muda itu.
Kening Aryani berkerut dalam. Satu per-
satu dipandanginya murid Perguruan Kelela-
war Putih yang masih terhitung adik sepergu-
ruannya dengan alis berkerut.
"Ada apa ini? Mengapa kalian berani ku-
rang ajar menyuruh kami berhenti, heh?!"
bentak Aryani galak.
"Maaf, Nona Bidadari Kecil! Terus terang,
kami, mendapat perintah Guru untuk me-
nangkapmu serta Bidadari Putih hidup-
hidup," jelas murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih yang tadi membentak.
"Kurang ajar!" desis Aryani penuh kema-
rahan.
"Sekali lagi maafkan kelancangan kami,
Nona Bidadari Putih. Terpaksa kami harus
menangkapmu," kata murid Perguruan Kele-
lawar Putih itu lagi seraya mengisyaratkan
teman-temannya untuk menangkap Aryani
dan Soma.
"Minggirlah kalian semua! Kami tidak
ada urusan dengan kalian!" ujar Soma, te-
nang.
"Maaf! Kami benar-benar tidak berdaya,"
ucap murid itu lagi.
"Keparat! Lekaslah kalau kalian ingin
menangkapku! Mengapa hanya berkoar-koar
saja?!" teriak Aryani yang berjuluk Bidadari
Kecil garang. Tangan kanannya cepat meraih
pedang di pinggang.
Sret!
"Majulah, kalau kalian ingin mencari
mampus!" tantang Aryani sengit.
"Kuharap kau jangan terlalu kasar pada
mereka, Aryani! Mereka terpaksa menjalan-
kan perintah," bisik Soma lirih.
Aryani mengangguk-angguk. Meski ha-
tinya panas dengan kekurang ajaran adik-
adik seperguruannya, namun masih dapat
mengendalikan perasaannya. Dan ketika mu-
rid-murid Perguruan Kelelawar Putih itu mu-
lai menyerang, Aryani dan Soma pun segera
menghadapi
"Heasa...!"
Maka dalam waktu sebentar saja, di luar
markas sebelah timur Perguruan Kelelawar
Putih telah terjadi pertempuran seru. Murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih yang men-
dapat tugas untuk menangkap hidup-hidup
Aryani dengan gigih berusaha menjalankan
tugas. Padahal, sebenarnya dalam hati mere-
ka tidak menyetujui keputusan gurunya. Na-
mun berhubung takut hukuman yang akan
dijatuhkan Kelelawar Hutan, maka tak heran
kalau akhirnya mereka menyerang Aryani dan
Soma dengan sungguh-sungguh.
"Keparat! Apa kalian benar-benar ingin
mencari mampus, he?!" bentak Aryani penuh
kemarahan.
Sementara itu dari balik tembok markas
Perguruan Kelelawar Putih telah berdatangan
puluhan murid perguruan itu. Bahkan mere-
ka langsung menyerang. Hal ini tentu saja
sangat merepotkan kedua anak muda itu. Di
samping enggan menurunkan tangan kasar,
Aryani dan Soma pun tidak ingin membuang-
buang waktu.
"Bagaimana ini, Aryani? Apa tidak se-
baiknya kita tinggalkan saja tempat ini?"
tanya Soma di antara gerakan-gerakan tangan
dan kakinya yang berkelebat cepat mengha-
lang para pengeroyok
Dess!
Plak!
Beberapa orang murid Perguruan Kele-
lawar Putih langsung roboh begitu terkena
tendangan dan tamparan Siluman Ular Putih.
Untung saja Soma tidak mengerahkan tenaga
dalamnya, karena hanya ingin membuat jera
para pengeroyoknya saja.
Namun rupanya para pengeroyok bu-
kannya menjadi jera, malah semakin bertam-
bah kalap dalam menyerang. Tentu saja hal
ini membuat gemas Aryani dan Soma. Bagai-
manapun juga lama kelamaan mereka bisa
tertangkap juga kalau hanya sekadar mena-
han gempuran murid-murid Perguruan Kele-
lawar Putih.
"Aryani! Kita tidak mungkin terus-
terusan begini. Ayo, lekas tinggalkan tempat
ini!" teriak Soma di antara tebasan-tebasan
pedang murid-murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih.
Aryani yang merasa jengkel, tak dapat
lagi membantah omongan Soma. Kemudian
ketika melihat pemuda itu mengamuk hebat
di bagian utara untuk membuka jalan, ia pun
segera melakukan hal sama. Dengan meng-
gunakan jurus-jurus 'Cengkeraman Maut Ke-
lelawar Sakti' akhirnya gadis itu dapat mengi-
kuti jejak Soma keluar dari kepungan.
Namun begitu Aryani dan Soma dapat
keluar dari kepungan, mendadak sepuluh
orang murid Perguruan Kelelawar Putih yang
baru saja keluar dari markas telah kembali
mengepung.
Mau tidak mau, Aryani dan Soma harus
menghadapi para pengeroyoknya yang baru
datang. Hal ini tentu saja digunakan para
pengeroyoknya yang sebelumnya untuk sege-
ra mengepung kembali.
"Setan Alas! Rupanya kalian benar-benar
ingin mencari mampus, he?!" bentak Aryani
jengkel, melihat tidak kurang dari empat pu-
luh orang murid Perguruan Kelelawar Putih
telah mengepung dengan senjata di tangan.
Soma yang melihat kenekatan para pen-
geroyoknya tak urung juga jadi jengkel di-
buatnya. Maka diam-diam kekuatan batinnya
mulai dikerahkan untuk melumpuhkan para
pengeroyoknya. Setelah memusatkan pikiran-
nya sebentar, bibirnya berkemik-kemik. La-
lu....
"Murid-murid tak tahu diri! Apa mata
kalian buta, he?! Berani benar kalian menge-
royok guru kalian? Lihat baik-baik! Buka ma-
ta lebar-lebar! Aku ini Kelelawar Hutan, guru
kalian!" bentak Soma dengan suara bergetar-
getar aneh, menyerang jalan pikiran murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih.
Seketika itu juga, hampir empat puluh
murid Perguruan Kelelawar Putih terbelalak
lebar-lebar. Apa yang terlihat di hadapan me-
reka bukan lagi sosok pemuda berpakaian
rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan, melainkan sosok Kelelawar Hutan!
Saat itu juga para pengeroyok Aryani
dan Soma langsung berlutut.
"Guru! Maafkan kelancangan kami!"
ucap murid yang pertama membentak tadi se-
raya menyembah-nyembah diikuti murid-
murid lainnya.
Aryani yang melihat perubahan sikap
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih sem-
pat juga heran dibuatnya. Dan ketika pan-
dangan matanya dialihkan ke samping, kon-
tan matanya terbelalak liar. Apa yang dilihat
di sampingnya bukan lagi sosok pemuda gon-
drong yang diam-diam mulai mengusik ha-
tinya, melainkan sosok ayah kandungnya, Ke-
lelawar Hutan!
"Keparat! Ternyata kau..., kau orang
yang mengaku sebagai ayah kandungku, Ke-
lelawar Hutan! Sekarang, aku akan mengadu
nyawa denganmu!" bentak gadis berpakaian
putih-putih itu kalap.
"Aryani! Aku bukan Kelelawar Hutan!
Aku Soma. Sahabat barumu!" cegah sosok
yang menyerupai Kelelawar Hutan itu kaget
melihat perubahan sikap Aryani.
Mata Aryani makin terbelalak lebar. Ia
memang cukup mengenal suara itu. Suara
seorang pemuda tampan yang sering menggo-
da hatinya. Siapa lagi kalau bukan Soma yang
pandai ilmu sihir?
Berpikir demikian, gadis ini jadi sedikit
lega. Meskipun, ia belum sepenuhnya mem-
percayai kalau sosok di hadapannya adalah
Soma.
"Be..., benarkah kau Soma...?" tanya
Aryani masih ragu-ragu.
"Ya, ampun! Kenapa kau jadi linglung
seperti ini? Ayo, lekas tinggalkan tempat ini
mumpung murid-murid blo'on itu masih ber-
lutut!" ujar Soma, setengah menghardik
Sembari berkata demikian, Soma cepat
meraih lengan Aryani. Tubuhnya langsung
berkelebat meninggalkan tempat itu, bersama
Aryani.
Beberapa orang murid Perguruan Kele-
lawar Putih yang mulai tersadar dari penga-
ruh sihir Perguruan Kelelawar Putih kontan
terperangah.
"Teman-teman! Ia bukan guru kita, tapi
pemuda yang tadi bersama Nona Bidadari Ke-
cil!" teriak salah seorang.
"Iya, benar! Lekas tangkap mereka! Kita
cincang mereka!" timpal yang lain, menyadar-
kan teman-temannya.
"Iya! Tangkap mereka! Kita cincang me-
reka!"
"Tangkap mereka!"
Saat itu juga, murid-murid Perguruan
Kelelawar Putih segera berkelebat mengejar.
Aryani dan Soma yang melihat para pen-
geroyok mulai melakukan pengejaran, tanpa
membuang-buang waktu lagi makin memper-
cepat lari menuju ke Pekarangan Terlarang.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh yang sudah mencapai tingkat tinggi, se-
bentar kemudian kedua anak muda itu pun
sampai di bibir lubang Sumur Kematian.
Namun ketika mereka hendak masuk ke
dalam Sumur Kematian, tiba-tiba Aryani me-
lihat satu sosok hitam-hitam berkelebat dari
rumah batu, tak jauh dari Sumur Kematian.
"Manusia Jahanam! Aku ingin mengadu
nyawa denganmu!" teriak Aryani penuh kema-
rahan begitu melihat laki-laki berpakaian hi-
tam-hitam dan berikat kepala yang juga hitam
yang tidak lain Kelelawar Hutan.
"Sudahlah! Buat apa membuang-buang
waktu percuma?! Tak ada gunanya kita mela-
deni tikus hitam itu. Ayo, lekas kita menemui
ayahmu!" ujar Soma seraya menarik lengan
Aryani.
Agaknya, pemuda itu belum mengenali
laki-laki berpakaian serba hitam yang sedang
menuju ke Sumur Kematian ini. Segera di-
ajaknya gadis itu meloncat ke dalam lubang
Sumur Kematian.
Aryani memberontak dari genggaman
tangan Soma. Namun berhubung saat itu tu-
buhnya mulai melayang-layang dalam Sumur
Kematian, terpaksa diturutinya kemauan So-
ma.
Sebenarnya tidak mudah mengajak
Aryani masuk ke dalam Sumur Kematian da-
lam keadaan seperti itu. Di samping memang
dalam, gerakan-gerakan tangan si gadis pun
dapat membuat keseimbangan tubuh mereka
hilang. Untung saja sebelum keluar dari da-
lam Sumur Kematian tadi, Soma sempat me-
nancapkan berpuluh-puluh tulang ke dind-
ing-dinding sumur. Sehingga dengan bantuan
tulang-tulang yang menancap di dinding-
dinding Sumur Kematian, mereka akhirnya
sampai ke dasar.
Sementara itu Kelelawar Hutan yang ba-
ru sampai di Sumur Kematian hanya mengge-
ram penuh kemarahan. Wajahnya yang ga-
rang menegang dengan rahang bertonjolan.
Untuk beberapa saat, Kelelawar Hutan
hanya dapat memandangi lubang Sumur Ke-
matian. Bibirnya berkemik-kemik siap melon-
tarkan makian. Namun belum sempat mem-
buat suara, mendadak terdengar suara gaduh
dari belakang.
Laki-laki tinggi besar ini segera mema-
lingkan kepala ke belakang. Tampak beberapa
orang muridnya tengah berloncatan ke atas
tembok Pekarangan Terlarang yang kemudian
disusul yang lain. Dengan menahan amarah
menggelegak, Kelelawar Hutan menunggu
murid-muridnya mendekat.
"Guru! Maafkan kami! Kami belum ber-
hasil menangkap Nona Bidadari Kecil," ucap
salah seorang murid Kelelawar Hutan, lang-
sung berlutut di hadapan laki-laki tinggi be-
sar itu.
Kelelawar Hutan mengangguk-angguk
garang. Wajahnya menegang. Sedang ma-
tanya yang memerah memperhatikan murid-
muridnya yang sudah berlutut di hadapan-
nya.
"Kenapa sampai gagal, he?!" bentak Kele-
lawar Hutan garang.
"Non... Nona Bidadari Kecil tidak datang
sendirian. Melainkan, dengan seorang pemu-
da sakti yang dapat menjelma menyerupai
Guru. Terus terang, kami belum tahu menga-
pa pemuda itu dapat merubah wujud menjadi
sosok yang mirip Guru," jelas murid yang ber-
lutut paling depan, melaporkan.
"Hm...! Kau bilang pemuda itu dapat
menjelma menjadi aku, Sungkono?" gumam
Kelelawar Hutan menggiriskan seraya menge-
lus-elus jenggot panjangnya.
"Benar, Guru," jawab murid yang di-
panggil Sungkono, sedikit agak lega melihat
perubahan sikap Kelelawar Hutan.
"Tapi, bukan berarti kalian harus gagal
dengan tugas kalian, mengerti?!" bentak Kele-
lawar Hutan tiba-tiba.
Sungkono dan beberapa orang murid
Perguruan Kelelawar Putih yang berlutut di
hadapan Kelelawar Hutan kontan pucat pasi.
Tubuh mereka gemetaran saking takutnya
menghadapi hukuman yang akan dijatuhkan
Kelelawar Hutan.
"Ma..., maafkan kami, Guru! Kami...,
kami sedang melakukan pengejaran. Tadi
kami lihat Nona Bidadari Kecil dan pemuda
itu berlari menuju Pekarangan Terlarang,"
ucap Sungkono gemetaran.
"Mereka masuk ke dalam Sumur Kema-
tian!" bentak Kelelawar Hutan seperti tidak
tahu apa yang harus diucapkan.
"Masuk ke dalam Sumur Kematian...?!"
ulang beberapa orang murid-murid Perguruan
Kelelawar Hutan dengan paras makin pias.
Kelelawar Hutan jengkel sekali melihat
perubahan sikap murid-muridnya. Namun ke-
tika hendak menjelaskan, laki-laki tinggi be-
sar itu buru-buru mengurungkannya. Dengan
wajah beringas ia mondar-mandir di bibir
Sumur Kematian. Sesekali pula kepalanya
melongok ke dalam Sumur Kematian.
"Ham...! Kalau begini terus caranya, tak
mungkin aku bisa mendapatkan pasangan
Pedang Kelelawar Putih. Rasanya, aku harus
menemui beberapa orang sahabat lamaku un-
tuk meminta bantuannya. Hm...! Tunggulah
pembalasanku, Lowo Kuru!" gumam Ke-
lelawar Hutan dalam hati.
* * *
6
Bau anyir darah, tumpukan tulang-
belulang dan mayat-mayat berserakan me-
warnai suasana dalam Sumur Kematian. Be-
gitu Soma dan Aryani menjejakkan kaki di
dasarnya, langsung disambut bau yang me-
mualkan perut. Untung saja, Soma yang sebe-
lumnya sudah merasakan bau seperti itu te-
lah mengatur jalan pernapasannya. Sementa-
ra Aryani agaknya belum terbiasa dengan
keadaan gelap dalam dasar Sumur Kematian.
Sehingga ia harus menyesuaikan diri seben-
tar, baru kemudian dapat melihat jelas.
Dan gadis itu jadi terpekik ngeri, melihat
dasar sumur yang dipenuhi tumpukan tu-
lang-belulang manusia dan mayat-mayat bu-
suk berserakan. Aryani juga tidak menyangka
kalau dasar Sumur Kematian ini demikian
luasnya dengan beberapa lorong yang me-
manjang.
Sejenak Aryani mengedarkan pandangan
keseputar ruangan, dan tiba-tiba berhenti pa-
da sebuah kerlip nyala lampu berpijar di sa-
lah sebuah lorong.
"Di... di sanakah A... Ayah berada, So-
ma?" tanya Aryani. Suaranya tergagap karena
lidahnya terasa kelu.
"Benar. Mari kuantar kau menemuinya!"
Soma berjalan lebih dahulu. Sementara
dengan hati berdebar-debar, Aryani berjalan
ke belakangnya.
Selang beberapa saat, sampailah mereka
di dalam lorong yang dimaksudkan. Aryani
menghentikan langkahnya sebentar. Tubuh-
nya tegak tak bergerak. Wajahnya pucat pasi.
Kedua bibirnya bergetar. Inikah ayahnya, se-
perti yang diceritakan Soma? Kalau memang
betul, sosok di hadapannya itu benar-benar
membuat hatinya terpukul!.
Betapa sosok buntung di hadapan si ga-
dis demikian menyedihkan. Wajahnya tua
yang penuh kerutan di kening sebagai per-
tanda kalau laki-laki bermuka tirus itu sudah
terlalu banyak mengalami penderitaan batin.
Pakaian putih- putihnya sudah compang-
camping tak karuan. Demikian juga kumis
dan jenggotnya yang memanjang berwarna
putih. Dan dengan menggunakan rambutnya
yang putih panjang berjuntaian menancap
kokoh ke dalam tanah itulah sosok tanpa kaki
dan tangan itu tengah 'duduk' bersemadi.
"A.. Ayah...?!" desis Bidadari Kecil agak
ragu-ragu. Air matanya yang merembang di
kelopak matanya pun mulai merembes mem-
basahi pipi.
Sosok buntung yang tidak lain Lowo Ku-
ru itu perlahan-lahan mulai membuka kelo-
pak matanya. Sepasang matanya sayu, tak
berkedip memandang Aryani.
"Kau... kaukah anaknya Surtini, Nak?"
tanya Lowo Kuru dengan suara bergetar.
"Ayaaah…!" pekik Aryani tak ragu lagi.
Suaranya pecah menjadi tangis yang me-
nyayat. Dan tahu-tahu gadis itu telah menu-
bruk sosok buntung di hadapannya seraya
memeluk erat-erat.
“Be... benar, Ayah. Aku..., aku Aryani.
Anakmu, Ayah," tangis Aryani semakin ter-
dengar memilukan.
"Oh...!" keluh Lowo Kuru dengan sege-
nap perasaan. Laksana sepasang tangan
rambut-rambut yang berjuntaian ke tanah itu
telah memeluk Aryani erat-erat. "Tidak ku-
sangka kau sudah sebesar ini, Anakku. Lan-
tas, di mana ibumu? Mengapa tidak kau ajak
kemari sekalian?"
Aryani tidak menjawab pertanyaan
ayahnya. Namun tangisnya malah semakin
bertambah. Kedua bahunya bergerak turun
naik. Wajahnya terus disembunyikan ke da-
lam dada kurus Lowo Kuru.
Sementara itu Soma yang melihat ade-
gan memelaskan di depannya, pura-pura ti-
dak melihat. Ia justru lebih senang memper-
hatikan keadaan dalam dasar Sumur Kema-
tian.
"Ibu... Ibu pergi, Ayah. Si Jahanam Kele-
lawar Hutan itulah yang membuat Ibu me-
ninggalkan Perguruan Kelelawar Putih. Mari
kita cari Ibu, Ayah!" ratap Aryani.
Lowo Kuru melepaskan pelukannya. Ke-
palanya menggeleng-geleng lemah. Bibirnya
bergetar.
"Maafkan Ayah, Anakku! Ayah tidak bi-
sa. Ayah malu. Dalam keadaan buntung se-
perti ini, aku tidak berani menampakkan diri
ke dunia ramai. Di samping itu. Ayah juga
sudah bersumpah tidak akan keluar dari da-
lam Sumur Kematian ini. Inilah tempat ting-
galku selama-lamanya. Dan di dalam Sumur
Kematian ini pulalah aku ingin dikuburkan,"
ucap Lowo Kuru sedih.
Suara laki-laki buntung itu terdengar
bergetar. Wajahnya kuyu. Sepasang matanya
berair. Namun, buru-buru orang tua buntung
itu mengeraskan hatinya.
"Sekali lagi maafkan Ayah, Anakku! Aku
tidak bisa," ucap Lowo Kuru, bergetar.
Aryani membelalakkan matanya lebar.
Wajahnya yang cantik itu penuh air mata.
"Kenapa, Ayah?"
"Aku sudah bersumpah, tak mungkin
menjilat ludah sendiri," jawab Lowo Kuru ke-
lu.
"Jadi? Ayah tega membiarkan ibu pergi
begitu saja?" .
Lowo Kuru tak mampu menjawab perta-
nyaan putri tunggalnya. Ia hanya mampu
menggeleng lemah. ...
"Bukannya aku tega, Anakku. Namun
aku sudah terikat sumpah, Jangan paksa
Ayah, Anakku! Sekarang sebaiknya duduklah
di atas batu putih itu! Ada sesuatu yang ingin
kuberikan padamu," ujar Lowo Kuru.
Sehabis berkata begitu, dengan meng-
gunakan ujung rambutnya yang mendadak
menjadi kaku laksana puluhan batang-batang
ijuk, sosok buntung Lowo Kuru pun melang-
kah mendekati dinding utara. Di sana, terda-
pat gambar orang sedang memperagakan ge-
rakan-gerakan ilmu silat.
Aryani terharu sekali melihat cara ayah-
nya melangkah mendekati dinding sebelah
utara. Pantas saja ayahnya enggan keluar da-
ri Sumur Kematian. Namun ketika pandangan
matanya tertumbuk pada gambar orang yang
sedang memperagakan gerakan-gerakan ilmu
silat, mendadak keterharuan terhadap ayah-
nya pun sirna. Sebagai orang persilatan,
Aryani sangat tertarik dengan jurus-jurus
yang terdapat pada dinding-dinding Sumur
Kematian. Sekali lihat saja, ia tahu kalau itu
adalah jurus-jurus hebat.
"Jurus-jurus apakah itu, Ayah? Kok, da-
sar-dasar ilmu silatnya mirip jurus-jurus sak-
ti 'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti' dan
'Cakar Maut Kelelawar Hutan'?" tunjuk Aryani
saking herannya.
"Itulah jurus-jurus sakti Sumur Kema-
tian, Anakku. Berpuluh-puluh tahun aku
mencoba menciptakan jurus-jurus baru se-
suai keadaanku yang buntung. Kukira jurus-
jurus itu pun sangat cocok denganmu. Coba
perhatikan baik-baik! Jurus-jurus itu hanya
mengandalkan rambut sebagai senjata uta-
manya. Kalau memang tertarik, kau boleh
mempelajarinya sekarang. Tapi sebelumnya,
ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu,
Anakku."
"Apa itu, Ayah?"
Lowo Kuru tersenyum. Mungkin itulah
senyumnya yang pertama kali sejak mende-
kam dalam Sumur Kematian. Lagi, Ujung-
ujung rambutnya yang kaku seperti ijuk baja
mendadak bergerak meraih tonjolan batu ke-
cil di samping kiri pintu masuk dalam lorong.
Bed!
Begitu melingkari tonjolan batu, lantas
ujung-ujung rambut Lowo Kuru pun menyen-
takkan ke bawah. Maka mendadak terdengar
bunyi berkerit. Dan, perlahan-lahan keluar
sebuah kotak kayu dari dalam dinding Sumur
Kematian di samping tonjolan batu kecil. Ke-
mudian dengan ujung-ujung rambutnya Lowo
Kuru membuka kotak kayu itu, lalu mengam-
bil isinya.
Aryani melongo. Ternyata isi dalam ko-
tak kayu adalah sebuah pedang terbuat dari
baja putih murni.
Sedang pada gagangnya terdapat kepala
dan badan kelelawar yang juga berwarna pu-
tih. Itulah pasangan Pedang Kelelawar Putih
yang selama ini dicari-cari Kelelawar Hutan.
Dan begitu dikeluarkan dari dalam kotak
kayu, seketika ruangan dalam dasar Sumur
Kematian dipenuhi cahaya putih yang ber-
pendar-pendar dari batang pedang.
"Itukah pasangan Pedang Kelelawar Pu-
tih yang selama ini dicari-cari Kelelawar Hu-
tan, Ayah?" tanya Aryani.
"Benar, Anakku," jawab Lowo Kuru se-
raya menutup kotak kayu itu dan mendorong
kembali ke dinding seperti semula. "Dan pe-
dang ini pulalah yang akan kuwariskan pa-
damu, Anakku. Kau tahu, untuk apa pedang
ini, bukan?"
"Tahu, Ayah. Pasangan pedang itu ada-
lah untuk membuka kitab peninggalan Eyang
Guru, Ayah. Tapi, tapi mengapa pedang itu
diberikan padaku?" tanya Aryani tak dapat
menyembunyikan keheranan hatinya.
"Sebenarnya pedang ini akan diberikan
pada ibumu. Cuma sayang, ibumu tidak begi-
tu berbakat. Dan kebetulan sekali, kau berjo-
doh mempelajari Kitab Kelelawar Sakti pe-
ninggalan Eyang gurumu. Di samping itu, Ki-
tab Kelelawar Sakti memang hanya diperun-
tukkan bagi murid-murid perempuan Pergu-
ruan Kelelawar Putih. Dan kulihat, susunan
tulang-tulang dalam tubuhmu sangat cocok
dengan ketentuan yang sudah ditetapkan da-
lam kitab peninggalan Eyang gurumu itu,"
papar Lowo Kuru.
"Apa ini berarti aku harus merebut kitab
peninggalan Eyang Guru dari tangan Kelela-
war Hutan, Ayah?" tanya Aryani menggebu-
gebu.
"Ya! Namun di samping itu, kau pun ha-
rus membalaskan sakit hatiku. Apa kau mau
menjalankan tugas ini, Anakku?"
"Tentu, Ayah! Tentu. Biarpun Ayah tidak
menyuruh pun, aku pasti akan mengadu jiwa
dengannya. Aku tak mungkin dapat mem-
biarkan iblis tua itu berkeliaran menebar
maut di Perguruan Kelelawar Putih ini," sahut
Aryani penuh semangat.
"Bagus! Aku senang sekali mende-
ngarnya, Anakku. Sekarang terimalah pedang
ini!"
Lowo Kuru 'melangkah' mendekati pu-
trinya yang telah tegak di hadapannya. Dan
dengan menggunakan rambut-rambutnya
yang kaku, pasangan Pedang Kelelawar Putih
diulurkan kepada Aryani.
Aryani menerimanya dengan tangan ge-
metar. Sejenak dipandanginya sarung pedang
itu seksama. Lalu, perlahan-lahan dicabutnya
dari dalam sarungnya.
Aryani angguk-anggukkan kepalanya.
"Aku bersumpah akan mengadu nyawa
dengan manusia jahanam itu dengan meng-
gunakan pedang ini, Ayah!" desis Aryani alias
Bidadari Kecil penuh kemarahan.
"Yayaya,,.!Tapi, kau harus ingat, Anak-
ku. Kelelawar Hutan bukanlah lawan enteng.
Terutama sekali, ilmu sihirnya. Dan sebelum
menemui Kelelawar Hutan terlebih dahulu,
kau harus mempelajari jurus-jurus sakti
'Sumur Kematian' yang tertulis di dinding-
dinding ini, Anakku!"
"Dengan senang hati aku akan mempela-
jarinya, Ayah," sahut Aryani bersemangat.
Lowo Kuru mengangguk-angguk. Pan-
dangan matanya sejenak dialihkan ke arah
Soma.
"Anak Muda! Kau temanilah putri ku
mempelajari jurus-jurus 'Sumur Kematian'
itu! Aku ingin melanjutkan bersemadi."
Soma yang dari tadi diam-diam mengi-
kuti apa yang dibicarakan Lowo Kuru dan pu-
trinya, pura-pura kaget. Segera badannya
berbalik.
"Apa, Ki?"
"Aku minta sudilah kau temani putri ku
mempelajari jurus-jurus 'Sumur Kematian'.
Aku akan melanjutkan bersemadi," ulang Lo-
wo Kuru agak meninggi nada bicaranya.
Soma menggaruk-garuk kepala. Nampak
sekali kalau pemuda gondrong murid Eyang
Begawan Kamasetyo itu ogah-ogahan.
"Kau keberatan, Anak Muda?"
"Satu tindakan bodoh kalau menyia-
nyiakan kesempatan baik ini, Ki," sahut Soma
alias Siluman Ular Putih seraya tersenyum ke
arah Aryani.
Mata Aryani melotot lebar-lebar.
Soma tertawa bergelak.
"Kalau kau keberatan, ya sudah. Aku
malah senang menemani ayahmu bersemadi."
"Jadi... jadi, kau tidak mau menemaniku
berlatih, Soma?" tukas Aryani gemas sekali.
Entah mengapa hatinya jadi resah sekali.
"Habis kau tak menyukaiku sih!" jawab
Soma seenak dengkul.
"Kau... kau..," ujar Aryani jengkel bukan
main.
Lagi-lagi Soma tertawa bergelak
"Baik-baik! Aku akan menemanimu ber-
latih. Tapi, kau jangan marahi aku, ya!" kata
Soma menggoda. Lalu kepalanya menoleh pa-
da orang tua buntung di sampingnya. "Nah,
sekarang kau boleh melanjutkan semadi mu,
Ki!"
Lowo Kuru tersenyum. Dalam hati, ia
merasa geli juga melihat tingkah laku pemuda
gondrong di hadapannya.
"Ya ya ya...! Aku memang akan melan-
jutkan semadi ku. Kalau kalian ingin menca-
riku, carilah di lorong nomor tiga!" kata Lowo
Kuru.
"Baik, Ayah."
Lowo Kuru sempat memandangi pemuda
gondrong di sampingnya, sebelum akhirnya
'melangkah' meninggalkan tempat itu.
Sedang Soma hanya menggaruk-garuk
kepala melihat cara orang tua buntung itu
melangkah meninggalkan mereka.
"Sudah! Buruan kalau kau mau berlatih.
Tunggu apalagi?!" sentak Soma.
“Tapi.... Tapi, kau beri tahu kalau ada
yang salah ya?" pinta Aryani. Entah mengapa,
suaranya jadi sedikit manja.
"Yah...! Mana aku bisa? Mengenal jurus-
jurus itu pun tidak. Pelajari saja sendiri!" de-
sah Soma ogah-ogahan.
Sekali lagi Aryani melotot.
Soma tidak mempedulikannya. Si pemu-
da hanya berjalan mendekati batu putih di
pinggir ruangan. Seketika tubuhnya dijatuh-
kan seenaknya sembari menonton Aryani ber-
latih.
* * *
Emoticon