1
Panas menyengat menjilati dataran hijau
menghampar di sebelah timur muara Kali Angkrik. An-
gin berhembus sangat kencang, seakan-akan ingin
memporak-porandakan pepohonan yang tumbuh rin-
dang di sekitar. Keriyut-keriyut bunyi pepohonan yang
saling bergesekan terdengar menggiriskan.
Satu sosok bayangan hitam bertubuh ramping
terlihat tengah berlari kencang di jalan setapak. Pa-
kaian dan rambutnya yang panjang tergerai di bahu
berkibar-kibar tertiup angin. Meski demikian, larinya
terus dipercepat. Gerakan kedua kakinya ringan sekali
laksana terbang!
Srak!
"Heh...?!"
Mendadak sosok serba hitam itu menghentikan
langkahnya dengan wajah terkejut. Matanya yang in-
dah bak bintang kejora jelalatan ke sana kemari. Tadi
samar-samar, sosok ramping yang ternyata seorang
gadis cantik itu mendengar langkah-langkah halus di
balik rindangnya sebuah pohon di samping. Bahkan
matanya tadi pun sempat melihat sesuatu yang berge-
rak-gerak. Gadis cantik itu mendengus penuh kema-
rahan. Sepasang mata tajamnya langsung memperha-
tikan pohon besar di sampingnya.
"Monyet-monyet tua, Tiga Setan Ruyung Baja!
Keluaaar...!" bentak gadis cantik itu.
Tidak ada jawaban.
Wajah gadis cantik itu tampak tegang. Sinar
matanya mencorong tajam. Kedua pelipisnya bergerak-
gerak pertanda tengah menahan amarah yang mengge-
legak
"Sekali lagi kuperingatkan! Kalau kalian tak
mau keluar, jangan salahkan kalau aku akan memak-
sa kalian keluar!"
Habis berkata begitu sang gadis menghimpun
tenaga dalamnya dengan membuat beberapa gerakan
tangan setelah membuat kuda-kuda kokoh. Maka se-
ketika kedua telapak tangannya berubah putih berki-
lauan hingga ke pangkal. Kemudian tanpa banyak ca-
kap lagi kedua telapak tangannya segera didorongkan
ke depan.
Wesss! Wesss!
Saat itu pula, dua larik sinar putih berkilauan
melesat dari kedua tangan gadis itu ke arah pohon
yang dicurigai.
Blarrr!
Brakkk!
Pohon yang jadi sasaran kontan berderak dan
jatuh berdebum menimpa tanah! Debu-debu beterban-
gan! Batang pohon yang terkena pukulan gadis cantik
itu hangus berlubang, mengepulkan uap putih tipis!
Daun-daunnya rontok dalam keadaan kering!
Bersamaan dengan tumbangnya pohon tadi,
tampak melompat keluar tiga sosok bayangan serba hi-
tam dari tempat persembunyian, Begitu melihat siapa
ketiga sosok itu, si gadis menggerutkan gerahamnya
kuat-kuat. Matanya tajam memandang tiga sosok yang
ternyata tiga lelaki berpakaian serba hitam yang kini
berdiri tegak di hadapannya.
"Bidadari Kecil! Berani benar kau mengejar ka-
mi? Apa nyawamu rangkap, he?!" bentak salah seorang
lelaki berwajah kotak. Sepasang matanya berwarna
merah menyala. Hidungnya besar, rahangnya bertonjo-
lan. Rambutnya yang gondrong dibiarkan awut-awutan
di bahu. Tubuhnya yang tinggi besar dibalut pakaian
ketat warna hitam.
Di samping lelaki itu berdiri pula dua orang le-
laki lain yang juga berperangai kasar. Wajah mereka
kokoh dengan sepasang mata berwarna merah menya-
la. Hidung mereka besar. Rambut mereka pun awut-
awutan. Yang satu bertubuh tinggi kurus, tapi yang
satu lagi bertubuh tinggi besar.
Ketiga orang berpakaian hitam-hitam itu me-
mang tidak lain dari Tiga Setan Ruyung Baja, musuh
besar Perguruan Kelelawar Putih. Dan gadis yang ter-
nyata Bidadari Kecil ini merasa berkewajiban untuk
menuntut balas atas tewasnya lima orang murid Per-
guruan Kelelawar Putih di tangan Tiga Setan Ruyung
Baja.
Sebenarnya agak janggal bila Aryani yang kini
sebagai Ketua Perguruan Kelelawar Putih sampai tu-
run tangan sendiri untuk menghadapi Tiga Setan
Ruyung Baja. Tapi lebih dari itu ternyata di dalam ha-
tinya yang paling dalam, sebenarnya niatan semula
bukan ingin mengejar Tiga Setan Ruyung Baja. Me-
lainkan, ingin sekali bertemu Soma, pemuda tampan
murid Eyang Begawan Kamasetyo yang diam-diam mu-
lai mengusik hatinya!
"Keparat! Hutang nyawa harus dibayar nyawa!
Kalian bertiga telah berbuat onar di Perguruan Kelela-
war Putih. Bahkan telah menewaskan beberapa orang
murid. Maka, nyawa busuk kalianlah sebagai tebu-
sannya!" bentak Aryani penuh kemarahan, menutupi
hasratnya yang ingin bertemu Soma.
Tiga Setan Ruyung Baja tertawa bergelak.
"Boleh-boleh! Kalau kau memang ingin modar
di tangan kami. Tapi, ngomong-ngomong, sayang juga
kalau kau yang begini cantik harus mampus di tangan
kami" sahut lelaki kasar yang bertubuh tinggi kurus.
"Keparat! Kali ini aku benar-benar tidak ingin
melepaskan kalian dari tangan maut ku! Hyaaat...!"
Aryani memekik penuh kemarahan. Sekali ka-
kinya menjejak ke tanah, tubuh tinggi rampingnya te-
lah meloncat tinggi. Begitu berada di udara, segera di-
lontarkannya pukulan 'Kelelawar Sakti'-nya.
Seketika itu dua larik sinar putih berkilauan
melesat ke arah lelaki tinggi kurus. Hebatnya sebelum
sinar putih berkilauan itu mengenai sasaran, terlebih
dahulu telah berkesiur angin dingin.
"Awas, Damar Suto!" teriak lelaki kurus.
"Tenang, Karto Marmo," sahut lelaki tinggi be-
sar yang dipanggil Damar Suto.
Lelaki tinggi kurus yang dipanggil Karto Marmo
segera membuang tubuhnya ke kanan. Sementara
Damar Suto membuang tubuhnya ke kiri.
Blarrr!
Dua larik sinar putih itu langsung menghantam
tanah tempat mereka berpijak tadi hingga kontan ber-
hamburan ke udara! Bahkan menciptakan dua lubang
besar yang mengepulkan uap putih tipis!
Begitu bangkit, Karto Marmo dan Damar Suto
hanya menggeleng-geleng melihat pukulan Aryani tadi.
Sementara lelaki berbaju hitam satunya tak urung cu-
kup terkejut juga. Untung saja dia tadi berdiri agak
jauh. Sehingga tak perlu repot-repot menyelamatkan
diri.
"Uluk Sabrang! Kau jangan diam saja! Ringkus
gadis itu!" teriak Damar Suto kepada lelaki berbaju hi-
tam yang bernama Uluk Sabrang.
Uluk Sabrang segera menyiapkan jurusnya, be-
gitu mendapat perintah dari lelaki tinggi kurus yang
merupakan kakak seperguruannya.
Aryani sendiri yang melihat serangan perta-
manya gagal sudah jadi kalap bukan main. Sementara,
kedua kakinya mendarat di tanah, pedang kembarnya
yang menggelantung di pinggang segera diloloskan.
Itulah sepasang Pedang Kelelawar Putih. Dan dengan
menggunakan jurus-jurus 'Pedang Kelelawar Sakti',
Bidadari Kecil itu segera menerjang Uluk Sabrang.
"Hiaaat...!"
Serangan-serangan Aryani yang telah mencapai
tingkat tinggi membuat Uluk Sabrang kewalahan bu-
kan main. Melihat hal ini, segera Damar Suto dan Kar-
to Marmo ikut membantu serangan.
Namun tetap saja serangan-serangan Aryani
demikian hebatnya. Apalagi setelah mengerahkan ju-
rus-jurus gabungan antara jurus 'Pedang Kelelawar
Sakti' dengan jurus 'Sumur Kematian'. Akibatnya, Tiga
Setan Ruyung Baja benar-benar kewalahan bukan
main. Berkali-kali baik pedang maupun gulungan
rambut gadis itu mengancam keselamatan mereka.
"Hea...! Hea...!"
Damar Suto dan kedua orang adik sepergu-
ruannya cepat memutar ruyung baja. Dan ketika tan-
gan kiri mereka menghentak, meluncur tiga rangkaian
angin dahsyat saling susul.
Wesss! Wesss!
Aryani yang sudah siap menerima serangan se-
gera menghentakkan kedua tangannya.
Bummm...!
Aryani terjengkang beberapa tombak ke bela-
kang begitu terjadi benturan tenaga dalam yang me-
nimbulkan ledakan dahsyat. Wajahnya pucat pasi. Sei-
si dadanya serasa berguncang.
Dan sewaktu bentrokan itu tadi, tubuh Tiga Se-
tan Ruyung Baja sempat terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang. Wajah mereka pucat pasi! Seku-
jur tubuhnya menggigil kedinginan!
Aryani gusar bukan main. Sepasang matanya
berkilat-kilat penuh kemarahan. Sekali tubuhnya ber-
gerak tahu-tahu gadis cantik itu telah berdiri tegak
kembali di hadapan Tiga Setan Ruyung Baja. Bahkan
kemudian, sepasang pedang di tangannya langsung
berkelebatan mengincar bagian-bagian tubuh Tiga Se-
tan Ruyung Baja hebat.
Di tempatnya, Tiga Setan Ruyung Baja yang
tengah mengerahkan tenaga dalam untuk mengusir
hawa dingin yang terus menerabas ke dalam tubuh
hanya bisa membelalakkan mata lebar. Sulit rasanya
bagi ketiga orang itu untuk menyelamatkan diri. Apa-
lagi saat itu Aryani sendiri pun telah mengerahkan ju-
rus saktinya yang dipelajari dari kitab peninggalan
Pendekar Lowo Putih, eyang gurunya.
Namun di saat yang gawat bagi Tiga Setan
Ruyung Baja, mendadak dari arah samping telah ber-
kelebatan berpuluh-puluh sinar kuning keemasan
yang langsung mengarah ke tubuh Aryani!
Wesss! Wesss!
Bidadari Kecil cepat memutar pedangnya demi-
kian rupa.
Cring! Cring!
Berpuluh-puluh sinar keemasan itu pun jatuh
berguguran. Dan ketika sepasang mata Aryani melihat
sinar kuning keemasan yang menyerang dirinya ter-
nyata adalah jarum-jarum emas, kemarahannya kon-
tan menggelegak!
"Bedebah! Lagi-lagi murid-murid Istana Ular
Emas yang menghalangi maksudku!" bentak Aryani
penuh kemarahan. Sepasang matanya yang indah ber-
kilat-kilat memandangi sosok perempuan cantik di
samping sejauh tujuh tombak.
2
Perempuan cantik berpakaian kuning keema-
san dengan rambut digelung di hadapan Aryani sama
sekali tak menggubris bentakan barusan gadis itu.
Hanya senyum liciknya saja yang tersungging di bibir.
"Teratai Emas! Kuhargai bantuanmu. Tapi ra-
sanya, kami masih sanggup menghadapi gadis bengal
ini. Untuk itu, sudilah kau menyingkir barang seje-
nak!" ujar Karto Marmo.
Aryani terkesiap. Ia memang pernah mendengar
sepak terjang murid tertua dari Istana Ular Emas yang
bergelar Teratai Emas. Dan sungguh tak disangka ka-
lau orang yang sangat licik di dunia persilatan itu kini
telah berdiri tegak di hadapannya.
Mendengar ucapan Karto Marmo, lagi-lagi Tera-
tai Emas hanya menyunggingkan senyum kecut
"Siapa yang membantu? Aku tidak membantu
siapa-siapa? Aku memang ada sedikit urusan dengan
gadis ini," kilah gadis cantik yang memang Teratai
Emas seraya menunjuk Aryani.
Sekali lagi Aryani terkesiap kaget.
Teratai Emas tersenyum dingin. Wajahnya tam-
pak membawa perbawa maut.
"Jangan kaget, Nona Cantik! Aku memang ingin
berurusan denganmu," kata Teratai Emas masih den-
gan senyum dingin.
"Langsung saja, apa maksudmu? Apa kau pikir
aku takut menghadapimu?" tukas Aryani jengkel.
Teratai Emas menggeretakkan gerahamnya
jengkel. Ia memang sempat mendengar percakapan,
sewaktu Soma alias Siluman Ular Putih membantu
Aryani menghadapi Tiga Setan Ruyung Baja dari jarak
jauh. Dan begitu kedua anak muda itu berpisah, Tera-
tai Emas yang cerdik diam-diam segera mengikuti
Aryani. Ia memang punya rencana, yakni memaksa
murid Eyang Begawan Kamasetyo menuruti perintah-
nya.
"Kau akan menyesal dengan apa yang kau
ucapkan barusan, Nona!" dengus Teratai Emas.
Habis mendengus begitu, tanpa banyak cakap
Teratai Emas segera mengibaskan tangannya. Dan....
Werrr! Werrr!
Aryani cepat putar pedangnya begitu melihat
sinar-sinar keemasan yang tak lain jarum-jarum bera-
cun.
Tring!
Tiga batang jarum emas Teratai Emas itu kon-
tan berguguran.
Teratai Emas menggeram penuh kemarahan,
Namun belum sempat bertindak lebih lanjut...
"Tunggu, Teratai Emas! Kau tidak boleh men-
campuri urusan kami!" bentak Damar Suto, garang.
Teratai Emas mendengus gusar.
"Siapa pun yang berani menentangku, berarti
mati!"
Habis berkata begitu, tanpa banyak cakap Tera-
tai Emas kembali mengibaskan tangannya, melempar
jarum-jarum emasnya. Dan....
Werrr! Werrr!
Tiga batang sinar kuning keemasan yang berke-
redepan cepat melesat menyerang Damar Suto.
Orang pertama dari Tiga Setan Ruyung Baja itu
terkesiap kaget. Sungguh tidak disangka dirinya akan
diserang sedemikian hebat. Maka tanpa banyak cakap
lagi, ruyung bajanya segera diputar sedemikian rupa.
Cring! Cring!
Crap!
"Augh...!"
Damar Suto menjerit setinggi langit. Salah satu
jarum emas Teratai Emas ternyata lolos dari tangkisan
ruyung bajanya. Bahkan langsung amblas ke dalam
dada. Tubuhnya langsung mengejang hebat. Racun
ular emas di dalam jarum-jarum murid tertua Bunda
Kurawa itu mulai menyerang peredaran darahnya.
"Ohh...!"
Damar Suto tidak tahan lagi. Seketika itu tu-
buh tinggi kekarnya ambruk. Sebentar ia melejang-
lejang, lalu tidak bergerak-gerak sama sekali dengan
dada berwarna kuning!
"Setan Alas! Berani kau membunuh Damar Su-
to di hadapan kami, Perempuan Sundal?!" bentak Kar-
to Marmo penuh kemarahan.
Tangan kanannya yang memegang ruyung baja
segera berkelebat cepat menyerang Teratai Emas. De-
mikian juga Uluk Sabrang.
Teratai Emas mendengus. Begitu melihat se-
rangan-serangan dua orang dari Tiga Setan Ruyung
Baja hampir mengenai tubuhnya, segera kakinya men-
jejak ke tanah, meloncat tinggi ke udara. Sembari me-
loncat tinggi ke udara inilah, mendadak tangannya te-
lah meraih bunga-bunga teratai yang mengandung
hawa racun keji dari sakunya. Seketika dilontarkannya
bunga-bunga itu disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi
Wesss! Wesss!
Karto Marmo dan Uluk Sabrang terkesiap ka-
get. Mereka sudah cukup tahu, bunga-bunga teratai
itu mengandung racun keji sekali. Ini terbukti dari bau
anyir racun yang menebar ke sekitarnya.
Karto Marmo dan Uluk Sabrang tentu tidak in-
gin jadi korban bunga-bunga teratai itu. Maka seketika
mereka segera memutar ruyung sedemikian rupa.
Tras! Tras...!
Bunga-bunga teratai emas itu pun berguguran
ke tanah. Hebatnya, tanah itu pun kontan mengepul-
kan uap kekuningan!
Sementara Teratai Emas yang melihat seran-
gan-serangannya dapat dihindari kembali melontarkan
bunga-bunga teratainya. Bersamaan dengan itu, sege-
ra pula tangan kirinya menghentak melepas pukulan
maut 'Racun Ular Emas' ke arah dua orang musuhnya!
Wesss! Wesss!
Hebat bukan main serangan-serangan Teratai
Emas kali ini. Aryani yang melihat jalannya pertarun-
gan pun, mendesis penuh kagum.
Bles...! Bles...!
Karto Marmo dan Uluk Sabrang yang tak kuasa
menahan gempuran, akhirnya roboh ke tanah begitu
terkena bunga-bunga teratai beracun itu. Dada mereka
kontan berlubang besar, mengeluarkan darah merah
kekuningan!
"Ja.... Jahanam...!" kata Karto Marmo dengan
napas tersengal. Tangannya menggapai-gapai sebentar,
lalu ambruk tak dapat bangun lagi. Begitu pula Uluk
Sabrang yang tengah melejang-lejang meregang nyawa
"Itulah akibat orang yang berani menentang Te-
ratai Emas!" desis murid tertua Istana Ular Emas din-
gin.
Aryani bergidik ngeri. Rasanya belum pernah
melihat racun sekeji itu.
"Sekarang giliranmu, Nona!" desis Teratai Emas
lagi. "Kalau kau menurut, aku tidak akan menyakiti-
mu. Tapi kalau rewel, hm.... Terpaksa aku pun harus
menyakitimu!"
"Kalau perempuan keji di hadapanku ini berla-
ku baik padaku, bukan mustahil tentu menginginkan
sesuatu padaku. Tapi apa yang diinginkannya? Aku ti-
dak punya apa-apa yang berarti...," gumam Aryani da-
lam hati
Aryani menautkan kedua alisnya dalam-dalam.
Sepasang matanya yang indah tak henti-hentinya me-
mandangi perempuan cantik di hadapannya.
"Aku tahu kelicikanmu, Teratai Emas. Kalau
kau memang ingin berurusan denganku, majulah! Kau
pikir aku takut menghadapi bunga-bunga terataimu?!"
tantang Aryani.
Teratai Emas mendengus penuh kemarahan.
Wajah dinginnya tampak makin menampakkan kebe-
ringasan.
"Sudah kuduga. Kau pasti akan bertingkah.
Hm.... Tak ada pilihan lain, terpaksa aku harus me-
lumpuhkanmu!"
Habis berkata begitu, Teratai Emas pun segera
mengibaskan tangannya, melempar bunga-bunga tera-
tai emasnya menyerang Aryani. Bersamaan dengan itu,
tubuh tinggi rampingnya pun segera menerjang dengan
totokan-totokan maut!
Aryani mendesah lirih. Apalagi ketika hidung-
nya mengendus bau anyir yang bukan alang-kepalang.
Namun Bidadari Kecil segera membuang tubuhnya ke
samping.
Wuttt! Wutt...!
Blarrr!
Lesatan-lesatan bunga teratai itu pun langsung
menerabas ke belakang, menghantam beberapa batang
pohon di belakang Aryani. Batang-batang pohon itu
kontan berlubang besar, mengepulkan uap tipis ke-
kuning-kuningan. Dan seketika itu pula daun-daun
pohon itu pun layu.
Melihat serangan-serangannya dapat dihindari
dengan demikian mudah, Teratai Emas pun kembali
menyerang hebat Aryani yang baru saja bangkit. Ke-
dua telapak tangannya yang telah berwarna kuning
keemasan hingga ke pangkal siku segera mengibas,
melepas pukulan mautnya 'Racun Ular Emas'!
Wesss! Wesss!
Dua larik sinar kuning keemasan dari kedua te-
lapak tangan Teratai Emas segera melesat cepat me-
nyerang Aryani.
Bidadari Kecil cepat mengerahkan tenaga
'Kelelawar Sakti'-nya. Seketika itu kedua telapak tan-
gannya berubah jadi putih berkilauan, Dan sekali di-
dorongkan ke depan.
Wesss...!
Terlihat dua larik sinar putih berkilauan dari
kedua telapak tangan Bidadari Kecil melesat cepat
memapak pukulan 'Racun Ular Emas'.
Bummm...!
Terdengar satu letusan hebat di udara ketika
terjadi bentrokan dua tenaga dalam di udara. Bumi
bergetar hebat. Angin berkesiur kencang memporak-
porandakan ranting-ranting pohon di sekitar tempat
pertarungan!
Teratai Emas tersenyum dingin. Meski tubuh-
nya sempat tergetar hebat namun keadaan ini masih
jauh lebih menguntungkan dibanding Aryani yang
sempat terhuyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang dengan wajah pucat pasi. Tampak pula darah se-
gar membasahi sudut-sudut bibir, pertanda putri
tunggal Pendekar Lowo Kuru itu mengalami luka da-
lam cukup parah!
"Apa kubilang?! Lebih baik turuti permintaan-
ku, mumpung kau belum modar di tanganku!" ejek Te-
ratai Emas.
Begitu habis kata-kata ejekannya, Teratai Emas
berkelebat cepat sekali. Jari-jari tangannya bergerak
cepat menotok beberapa jalan darah Aryani yang
hanya terkesiap. Sehingga....
Tukkk! Tukkk!
"Oh...!"
Aryani mengeluh. Seketika itu juga tubuhnya
terasa lemas tak bertenaga begitu terkena totokan-
totokan jari-jari tangan Teratai Emas!
"Sudah kubilang! Jangan bertingkah di hada-
panku!" ejek Teratai Emas sinis.
Aryani melotot garang, namun tak mampu ber-
buat apa-apa. Sementara dengan sekali menggerakkan
tangannya, tahu-tahu Teratai Emas telah menyambar
tubuhnya, lalu cepat berkelebat meninggalkan tempat
itu.
3
Di bentangan langit sebelah timur, matahari
baru saja menampakkan sinarnya yang kuning keme-
rahan. Terasa hangat, memudarkan embun-embun
pagi. Beberapa kicauan burung di ranting-ranting po-
hon pun turut menyemarakkan suasana pagi ini. Se-
mentara, angin perbukitan terasa semilir mengelus ta-
nah rerumputan, tak jauh dari dua bukit kecil di Lem-
bah Kodok Perak.
Dalam terpaan lembut angin perbukitan, tam-
pak seorang pemuda berpakaian rompi dan celana ber-
sisik warna putih keperakan tengah berlatih ilmu silat.
Meski telah berlatih sekian lama, namun wajahnya
yang tampan tampak masih segar. Hanya sedikit ke-
ringat membasahi ujung hidungnya. Tubuhnya yang
tinggi kekar pun bergerak lincah ke sana kemari, mirip
gerakan-gerakan seekor katak. Dan berkali-kali pula
pemuda tampan yang memiliki rambut panjang sebahu
itu mengeluarkan suara mirip kodok dari mulutnya.
Hebatnya, sehabis pemuda tampan yang memi-
liki rajahan bergambar ular putih kecil di dada itu
mengeluarkan suara demikian, tiba-tiba dari kedua te-
lapak tangannya berkesiur serangkum angin dingin
bukan kepalang yang terus menerabas ke depan.
Brakkk...!
Begitu angin itu menghantam batang pohon se-
besar dua lingkaran tangan manusia dewasa, terden-
gar suara riuh dari pohon yang tumbang. Pada bagian
batang pohon yang terkena pukulan jarak jauh tampak
lubang besar dengan kepulan uap putih tipis! Lebih
hebatnya lagi, ranting-ranting pohon itu pun kontan
keropos! Dan ketika batang pohon itu menimpa tanah,
ranting-rantingnya hancur berantakan jadi abu!
Sejenak pemuda tampan yang tidak lain Soma
menghentikan latihannya. Sepasang matanya yang ta-
jam terus memandangi hasil pukulannya barusan pe-
nuh kagum.
"Hm...! Tak kusangka hasil pukulan 'Kodok Pe-
rak Sakti' ini demikian hebatnya. Benar-benar menga-
gumkan! Malah melebihi pukulan-pukulan yang per-
nah dilakukan orang-orang Lembah Kodok Perak
ini...," gumam murid Eyang Begawan Kamasetyo dalam
hati, lalu pemuda berjuluk Siluman Ular Putih itu ber-
siap-siap kembali berlatih jurus-jurus silat yang ter-
kandung dalam lembaran sutera merah pemberian
Prana Supit. Dan karena lembaran sutera berwarna
merah itu telah direndam ke dalam air, Soma dapat
melihat jurus-jurus 'Kodok Perak Sakti' yang sangat di-
ingini Bunda Kurawa, Ketua Istana Ular Emas dengan
jelas.
Sejenak Soma memperhatikan jurus-jurus yang
terkandung dalam lembaran sutera merah itu seksa-
ma. Setelah mantap, baru kembali melatih jurus-jurus
'Kodok Perak Sakti' yang hanya terdiri dari tiga jurus.
(Untuk mengetahui siapa Prana Supit, baca serial Si-
luman Ular Putih dalam episode: "Lembah Kodok Pe-
rak").
"Hea...! Hea...!"
Soma berloncatan ke sana kemari. Gerakan-
gerakan kedua kaki maupun kedua tangannya benar-
benar menyerupai gerakan seekor katak. Berkali-kali
tendangan kakinya mampu membuat tanah di sekitar
tempat latihan berhamburan seperti terjadi gempa! Be-
lum lagi tamparan-tamparan tangannya dan suara ko-
dok yang dikeluarkan dari mulutnya.
Kalau saja Soma mau lebih teliti, sebenarnya
suara mirip bunyi kodok miliknya jauh berbeda den-
gan yang sering dilakukan orang penghuni Lembah
Kodok Perak. Suara pemuda gondrong itu jauh lebih
bergema. Di samping itu hasil pukulannya pun jauh
lebih hebat.
Soma kini menutup latihannya dengan kedua
tangan menakup di dada. Sebentar pandangannya be-
redar ke seputar tempat latihan dengan sinar mata
menyesal. Karena tempat latihan tampak tak karuan
lagi. Di samping itu, suara hiruk-pikuk yang diaki-
batkan sambaran-sambaran angin pukulannya bisa
mengundang orang-orang penghuni Lembah Kodok Pe-
rak berdatangan ke tempat itu.
"Ah, iya! Kenapa aku berlaku tolol begini? Seha-
rusnya aku bisa mengendalikan diri untuk menahan
keinginanku berlatih jurus-jurus 'Kodok Perak Sakti'
barang sejenak. Tapi, sudah telanjur. Pokoknya seka-
rang aku harus secepatnya meninggalkan tempat ini.
Eh...! Tapi, mana Tombak Raja Akhirat ku...?!" gumam
Soma dalam hati.
Dan ketika melihat Tombak Raja Akhirat yang
ditemukan dalam lorong bawah tanah di dalam Lem-
bah Kodok Perak masih tertancap di tempat semula,
Soma jadi lega. Dengan tersenyum-senyum senang, di-
lihatnya tombak sakti milik mendiang suami Bunda
Kurawa yang tewas di dalam lorong bawah tanah Lem-
bak Kodok Perak. Namun di saat hendak melangkah
pergi, tiba-tiba.
"Pencuri cilik! Hendak lari ke mana kau?!"
Terpaksa Soma menghentikan langkahnya begi-
tu mendengar bentakan dahsyat. Bersamaan dengan
itu berlompatan turun sosok berpakaian hitam-hitam
yang langsung mengurungnya.
Tujuh sosok berpakaian hitam-hitam yang kini
telah tegak di hadapan Siluman Ular Putih adalah
orang-orang penghuni Lembah Kodok Perak! Tiga dari
mereka adalah lelaki tua berjenggot putih panjang
menjuntai. Rambut mereka memutih digelung ke atas.
Wajah mereka kaku tanpa seulas pun senyum.
Sedang empat orang lain adalah empat lelaki
tua dengan brewok lebat berwarna putih. Wajah mere-
ka pun tak jauh berbeda dengan ketiga lelaki berjeng-
got. Sama-sama memiliki wajah dingin tanpa seulas
senyum.
Soma sendiri pun sempat terkejut melihat siapa
yang menghadang langkahnya. Diam-diam dalam ha-
tinya ragu apakah mampu menghadapi tiga lelaki ber-
jenggot dan empat lelaki brewok yang tak lain para
penghuni Lembah Kodok Perak itu. Namun keterkeju-
tan pemuda itu hanya sebentar. Karena sejurus kemu-
dian di bibirnya telah terhias seulas senyum.
"Salah sendiri kenapa kalian tidak mengizin-
kanku mempelajari Kitab Kodok Perak Sakti milik ka-
lian!" kata Siluman Ular Putih, acuh tak acuh.
"Keparat! Kau berani mengotori Lembah Kodok
Perak, berani pula lancang mencuri Kitab Kodok Perak
Sakti milik kami. Kau pantas modar di tangan kami,
Bocah!" bentak lelaki tua berjenggot yang tak lain Pan-
gestu, garang. (Untuk mengetahui para penghuni Lem-
bah Kodok Perak, baca serial Siluman Ular Putih da-
lam episode: "Lembah Kodok Perak").
"Satu hal yang patut kalian ingat, sebenarnya
aku tidak bermusuhan dengan kalian. Apalagi setelah
Eyang Prana Supit berpesan agar aku tidak menggang-
gu orang-orang penghuni Lembah Kodok Perak. Maka
sebelum dan sesudahnya, maafkanlah atas kelancan-
ganku ini, Pak Tua."
"Jadi..., jadi..., kau sudah bertemu Paman Pra-
na Supit, Bocah?" tukas Pangestu tak percaya.
"Sudah. Bahkan Eyang Prana Supit sendirilah
yang telah mengajarkan ku melatih jurus-jurus 'Kodok
Perak Sakti'"
"Hm...! Kalau begitu, kau harus mengembalikan
ilmu 'Kodok Perak Sakti' yang telah diajarkan Paman
Prana Supit, Bocah!" dengus salah seorang lelaki bre-
wok penuh kemarahan.
"Apa kau bilang, Orang Tua? Aku harus men-
gembalikan ilmu yang telah ku kuasai? Ah...! Jangan-
jangan kau sedang melawak. Mana mungkin aku dapat
mengembalikan ilmu yang telah ku kuasai!" sahut Si-
luman Ular Putih, tenang.
"Kalau tidak bisa, nyawamulah sebagai gan-
tinya!"
Soma tersenyum nakal. Lalu tangannya meng-
garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal
"Ah...! Kalian memaksaku, Orang Tua. Padahal
Eyang Prana Supit telah menganjurkan agar aku me-
nyerahkan Kitab Kodok Perak Sakti yang asli ini pada
kalian. Tapi, entah kenapa kalian masih saja memu-
suhi ku? Apa beginikah watak orang-orang gagah
penghuni Lembah Kodok Perak?" cibir murid Eyang
Begawan Kamasetyo.
"Kalau begitu, lekas berikan Kitab Kodok Perak
Sakti pemberian Paman Prana Supit itu pada kami!"
terabas Pangestu geram.
Sekali lagi Soma menggaruk-garuk kepalanya
bingung. Pusing juga menghadapi kekerasan sikap
orang-orang penghuni Lembah Kodok Perak.
"Apes benar nasibku hari ini! Kenapa aku ber-
temu orang-orang berkepala batu? Ugh...! Menyebal-
kan! Tapi, baiklah. Aku pasti akan menyerahkan Kitab
Kodok Perak Sakti itu pada kalian. Nih, terimalah!"
Soma langsung melemparkan salah sebuah Ki-
tab Kodok Perak Sakti yang berupa selembar kain su-
tera berwarna merah kepada Pangestu.
Tap!
Pangestu cepat menangkap lembaran sutera
berwarna merah itu dengan tangan kiri. Lalu dengan
teliti sekali mulai diamatinya lembaran sutera merah
itu. Dan kepalanya mengangguk-angguk puas.
"Aku percaya. Lembaran Kitab Kodok Perak
Sakti ini memang asli. Tapi kenapa ada dua buah?"
tanya Pangestu curiga.
"Ini palsu. Justru yang palsu inilah yang akan
kuberikan kepada Bunda Kurawa."
Orang tertua dari Tiga Jenggot itu mengangguk-
angguk.
Soma lega sekali. Dikiranya Pangestu dan kee-
nam adik seperguruannya telah melupakan kelancan-
gannya memasuki wilayah Lembah Kodok Perak begitu
menerima lembaran Kitab Kodok Perak Sakti itu. Na-
mun...
"Nah! Sekarang kami menginginkan kematian-
mu!" lanjut Pangestu, membuat Siluman Ular Putih
terkejut setengah mati.
"Ah...! Aku masih doyan tempe. Aku juga masih
senang melihat jenggot dan brewok kalian. Mana sudi
aku menyerahkan nyawaku?" tukas Soma.
"Kalau begitu, kami akan memaksamu, Bocah!"
geram Pangestu.
"Ah, bagaimana ini? Kenapa kalian masih me-
minta nyawaku? Apa selembar, Kitab Kodok Perak
Sakti itu masih kurang cukup? Apa kalian juga men-
ginginkan lembaran Kitab Kodok Perak Sakti yang pal-
su ini?"
"Jangan berlagak pilon, Bocah! Kami tak men-
ginginkan lembaran Kitab Kodok Perak Sakti palsu itu.
Kami menginginkan nyawamu!" sahut satu dari Empat
Brewok.
"Ya, ampun! Kalian ini benar-benar manusia
keras kepala. Hayo maju! Kalau kalian ingin melihat
ilmu 'Kodok Perak Sakti' yang asli!" tantang Soma sak-
ing jengkelnya.
Pangestu mendengus marah sambil mengi-
baskan tangannya.
Wuttt...!
Seketika serangkum angin dingin dari kibasan
tangan Pangestu telah menyerang hebat Siluman Ular
Putih. Dan bersamaan dengan kibasan tangannya,
keenam adik seperguruannya langsung menyerang
Wesss! Wesss!
Sebelum serangan-serangan ketujuh penghuni
Lembah Kodok Perak itu mengenai sasaran, terlebih
dahulu telah berkesiur angin dingin yang bukan kepa-
lang ke arah Siluman Ular Putih!
Siluman Ular Putih keretakkan gerahamnya
kuat-kuat. Sekali kakinya menjejak tanah, tubuh ting-
gi kekarnya telah berjumpalitan beberapa kali di uda-
ra, menghindari gempuran-gempuran ketujuh penge-
royoknya.
Kok...!
Pangestu mengeluarkan pukulan andalannya
'Kodok Perak Sakti' yang didahului oleh suara mirip
kodok. Maka seketika itu serangkum angin yang dingin
bukan main meluncur cepat menyerang Siluman Ular
Putih. Dan tubuhnya yang semula dalam keadaan se-
tengah berjongkok, telah meloncat cepat bak seekor
katak menangkap mangsa!
Sementara itu Siluman Ular Putih yang tadi
meloncat menghindar telah siap di tanah dengan ke-
dua lutut tertekuk. Kedua tangannya pun direntang-
rentangkan sedemikian rupa. Selang beberapa saat....
Kok...!
Ketujuh orang penghuni Lembah Kodok Perak
itu terkesiap kaget. Mereka benar-benar tidak me-
nyangka kalau pemuda gondrong itu mampu menggu-
nakan pukulan 'Kodok Perak Sakti'. Meski, tadi Silu-
man Ular Putih telah menjelaskannya, namun tetap
saja kaget. Apalagi ketika melihat angin dingin dari se-
rangan Siluman Ular Putih yang jauh lebih hebat di-
banding serangan Pangestu yang terus meluncur de-
ras. Dan...
Bummm...!
Terdengar satu ledakan hebat di udara begitu
pukulan 'Kodok Perak Sakti' Pangestu berbentrokan
dengan pukulan 'Kodok Perak Sakti' Soma. Tanah di
sekitar tempat pertarungan pun bergetar hebat! Rant-
ing-ranting pohon saling berderak terkena sambaran-
sambaran angin pukulan mereka! Malah ada beberapa
batang pohon besar yang kontan tumbang!
Sementara itu tubuh Pangestu sendiri pun kon-
tan terjajar beberapa langkah ke belakang akibat ben-
trokan tadi. Wajahnya pucat pasi. Tampak darah segar
membasahi sudut-sudut bibirnya! Bahkan sekujur tu-
buhnya pun menggigil hebat!
Melihat hal ini keenam orang penghuni Lembah
Kodok Perak pun makin terkesima melihat hasil puku-
lan 'Kodok Perak Sakti' Siluman Ular Putih. Karena,
itulah pukulan 'Kodok Perak Sakti' yang asli!
Pangestu dan keenam adik seperguruannya
merasa gusar bukan main. Padahal, mereka telah
mempelajari pukulan 'Kodok Perak Sakti' selama ber-
tahun-tahun. Namun ternyata masih kalah hebat di-
banding pemuda kemarin sore yang baru selesai men-
guasai pukulan 'Kodok Perak Sakti'.
Di tempatnya, setelah mampu mengusir hawa
dingin yang menyerang sekujur tubuhnya, Pangestu
lantas kembali menekuk kedua lututnya dalam-dalam.
Kedua tangannya direntang-rentangkan sedemikian
rupa, siap kembali lontarkan pukulan 'Kodok Perak
Sakti'.
Sedangkan keenam lelaki penghuni Lembah
Kodok Perak lainnya pun telah mengepung Siluman
Ular Putih. Sikap mereka persis Pangestu.
Namun sebelum terjadi pertarungan kembali...
"Kesalahan tidak selamanya ditebus dengan
kematian. Kematian pun tidak selamanya dikarenakan
kesalahan. Buat apa kalian manusia penghuni alam
mayapada ini saling menghakimi satu sama lain? Toh
orang yang menghakimi itu sendiri pun punya rasa
bersalah!"
Tiba-tiba terdengar ucapan seseorang di kejau-
han sana, dari sebelah barat bukit kecil di Lembah Ko-
dok Perak.
Mendengar ucapan itu, orang-orang penghuni
Lembah Kodok Perak segera mengalihkan perhatian ke
arah datangnya suara.
Siluman Ular Putih sendiri pun merasa heran
bukan main. Dan seketika pandangannya dialihkan ke
arah datangnya suara. Tampak di kejauhan sana seso-
sok bayangan hitam tengah berkelebat cepat menuju
ke tempat pertempuran. Gerakan kedua kakinya cepat
sekali.
Selang beberapa saat, sosok serba hitam-hitam
itu pun telah berdiri tegak di hadapan ketujuh orang
penghuni Lembah Kodok Perak.
"Guru...!" desis ketujuh penghuni Lembah Ko-
dok Perak hampir bersamaan. Dan habis berkata begi-
tu, mereka duduk berlutut di hadapan sosok yang ter-
nyata seorang lelaki tua berpakaian hitam-hitam.
4
Soma menautkan alis matanya dalam-dalam,
melihat lelaki tua berpakaian serba hitam yang kini te-
lah berdiri tegak di hadapannya. Usia lelaki itu mung-
kin sudah mencapai sembilan puluh atau seratus ta-
hun. Rambutnya yang panjang berwarna putih dige-
lung ke atas. Wajahnya tirus dengan rahang bertonjo-
lan. Sepasang matanya yang mencekung ke dalam me-
nyorot tajam ke arah murid Eyang Begawan Kama-
setyo, dengan sinar penuh selidik.
Diam-diam Soma mengeluh dalam hati.
"Ah... Bagaimana ini? Menghadapi keroyokan
ketujuh orang tua ini saja sulit, apalagi sekarang den-
gan munculnya guru mereka. Ah...! Mampuslah aku
sekarang...," desah Soma dalam hati gelisah.
Sambil menggaruk-garuk kepalanya, Siluman
Ular Putih balas menatap lelaki tua itu. Lalu bibirnya
tersenyum manis.
"Terimalah hormatku, Orang Tua! Kalau tidak
salah, bukankah sekarang aku tengah berhadapan
dengan Ketua Lembah Kodok Perak yang bernama Cu-
cuk Prana?" sapa Soma. Bukan hanya sekadar berba-
sa-basi, melainkan juga untuk menenangkan hatinya.
"Benar! Akulah Ketua Lembah Kodok Perak.
Tapi, dari manakah kau tahu namaku? Karena hampir
seumur hidup aku tak pernah keluar dari Lembah Ko-
dok Perak. Sehingga jarang sekali orang-orang dunia
persilatan yang mengetahui siapa aku. Dan, apakah
kau tadi yang telah mengeluarkan pukulan 'Kodok Pe-
rak Sakti' yang asli? Lalu, dari mana kau dapat mem-
pelajarinya, Bocah?" tanya lelaki tua yang tak lain Cu-
cuk Prana dengan suara lantang. Dia memang Ketua
Lembah Kodok Perak.
"Aku mengetahui namamu dari Eyang Prana
Supit yang masih terhitung adik seperguruanmu. Dan
aku dapat menguasai ilmu pukulan 'Kodok Perak Sak-
ti' juga dari Eyang Prana Supit," jelas Soma.
"Hm...!" Cucuk Prana mengangguk-angguk.
"Sudah lama sekali aku tidak melihat pukulan mau-
pun jurus-jurus 'Kodok Perak Sakti' yang asli. Maka
begitu aku mendengar suara bunyi kodok yang mirip
bunyi kodok yang pernah kudengar dari Adi Prana Su-
pit, aku jadi penasaran sekali. Untuk itulah aku keluar
dari tempatku bertapa."
Sepasang matanya yang cekung tak henti-
hentinya memandangi pemuda gondrong di hadapan-
nya. Lalu kepalanya kembali mengangguk-angguk.
"Pantas...! Pantas..,! Rupanya kau telah mewa-
risi semua kepandaian Adi Prana Supit. Lalu, apakah
Tombak Raja Akhirat di tanganmu juga pemberian Adi
Prana Supit, Bocah?"
Sejenak Siluman Ular Putih memperhatikan
tombak bergagang kuning di tangannya. Ia tadi me-
mang tidak sempat menggunakan senjata andalan
mendiang suami Bunda Kurawa itu. Karena gempu-
ran-gempuran para pengeroyoknya yang lebih senang
mengandalkan pukulan-pukulan 'Kodok Perak Sakti',
tidak memungkinkannya untuk menggunakan senjata
itu. Di samping itu Soma pun tahu, betapa dahsyatnya
senjata andalan mendiang suami Bunda Kurawa itu.
Jangankan terkena ujung runcing tombak di tangan-
nya yang berwarna merah. Terkena kilatan sinar me-
rah dari ujung tombak dalam jarak satu tombak saja,
orang akan terluka. Apalagi kalau terkena langsung!
"Kalau yang ini tidak, Eyang. Sewaktu aku ter-
sesat masuk ke dalam lorong kematian, di situlah aku
menemukan tombak ini, tak jauh dari kerangka Raja
Iblis mendiang suami Bunda Kurawa," jelas Siluman
Ular Putih, terus terang. Soma langsung merubah
panggilan dengan menyebut 'Eyang' pada Cucuk Pra-
na.
"Hm...! Kesalahan memang tidak selamanya di-
akhiri dengan kematian. Raja Iblis telah tewas di tan-
gan Adi Prana Supit, karena sepak terjangnya yang
menggiriskan. Sedang aku? Oh...! Aku terlalu larut da-
lam perasaan bersalah ku pada Adi Prana Supit. Seha-
rusnya, aku tidak menghukumnya sekejam itu. Ba-
gaimanapun juga, ia sudah sangat berjasa terhadap
Lembah Kodok Perak ini...," keluh Cucuk Prana meng-
harukan.
Wajahnya yang tirus itu tampak demikian mu-
rung. Sepasang matanya yang cekung memerah. Da-
danya pun turun naik, seolah-olah sedang menahan
perasaan sesal yang teramat sangat.
Cucuk Prana mengangguk-angguk.
"Sudah kuduga. Kau memang pantas mewarisi
kepandaian Adi Prana Supit Tulang-tulangmu kuat se-
kali. Dan kau pun sangat berbakat. Saat ini, belum
tentu aku dapat mengalahkanmu, Bocah," cetus Eyang
Cucuk Prana.
"Terima kasih atas pujian mu, Eyang," ucap
murid Eyang Begawan Kamasetyo disertai senyum
manis.
Cucuk Prana lantas mengarahkan perhatian
pada tujuh orang muridnya yang masih duduk berlu-
tut di hadapannya. Lalu segera diperintahkannya me-
reka untuk kembali ke tempatnya semula.
Tanpa banyak cakap, tujuh orang itu segera
meloncat bangun dan cepat berkelebat menuju Lem-
bah Kodok Perak tanpa menoleh lagi ke belakang.
"Sekali lagi aku minta maaf atas kelancanganku
mengotori tempat kediamanmu, Eyang! Sekarang aku
mohon pamit. Selamat tinggal," ucap Soma lagi.
Habis berkata begitu, murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu pun segera berkelebat cepat meninggal-
kan tempat itu. Namun baru beberapa kelebatan....
"Bagus! Rupanya kau sudah mendapatkan Ki-
tab Kodok Perak Sakti berikut Tombak Raja Akhirat
yang sangat ku ingini. Sekarang, kutunggu kau di
simpang jalan luar Lembah Kodok Perak. Kalau kau ti-
dak datang, jangan salahkan kalau aku terpaksa
membunuh gadismu yang cantik ini!"
Soma terkesiap kaget. Samar-samar telinganya
mendengar seseorang tengah menyusupkan suara dari
jarak jauh.
"Semprul! Mau apa lagi mereka?" sungut Silu-
man Ular Putih kesal seraya mempercepat langkahnya.
"Tunggu, Bocah!"
Kali ini terdengar teriakan dari mulut Eyang
Cucuk Prana. Terpaksa Soma menghentikan langkah-
nya. Tampak orang pertama Lembah Kodok Perak ten-
gah berkelebat menghampirinya. Sebentar saja, ia su-
dah tiba di depan Soma.
"Siapa orang yang telah menyusupkan suara ke
telingamu, Bocah?" tanya Cucuk Prana langsung se-
raya menautkan kedua alis matanya dalam-dalam.
Diam-diam Soma jadi terkejut dibuatnya. Tak
disangka kalau orang tua renta di hadapannya mampu
mendengar bisikan halus yang dikirimkan dari jarak
jauh.
"Aku tidak tahu pasti, Eyang. Yang jelas orang
yang telah mengirimkan suara dari jarak jauh itu ada-
lah orang-orang golongan Ular Emas. Mungkin Bunda
Kurawa sendiri. Mungkin juga murid-muridnya."
"Lagi-lagi golongan Ular Emas yang selalu
membuat onar. Berhati-hatilah, Bocah! Orang-orang
macam Bunda Kurawa dan murid-muridnya memang
patut dienyahkan dari muka bumi. Tapi sayang, aku
tidak dapat membantumu, aku sudah terlalu tua un-
tuk mengotorkan diri dengan darah. Selamat tinggal,
Bocah!"
Habis berkata begitu, lelaki tua ini pun segera
berkelebat cepat menuju tempat pertapaannya di sebe-
lah barat bukit kecil di Lembah Kodok Perak.
Sejenak Soma memperhatikan Eyang Cucuk
Prana itu penuh kagum. Ilmu meringankan tubuh le-
laki tua renta itu memang sangat luar biasa. Gerakan
kedua kakinya tampak seperti orang melangkah biasa.
Namun dalam beberapa kelebatan saja, sosoknya telah
sangat jauh.
Soma sendiri juga tidak ingin berlama-lama di
tempat itu. Saat itu juga tubuhnya pun berkelebat
kembali meninggalkan tempat itu. Dalam beberapa ke-
lebatan saja sosoknya telah menghilang di balik kerim-
bunan hutan di depan sana.
Emoticon