6
Kendati
sinar matahari berusaha menembus
kerimbunan
hutan di Bukit Karang Kajen, tetap saja
suasana
dalam hutan terasa lengang dan lembab.
Di
bawah sebuah pohon besar yang tumbuh
rindang
di tengah hutan, seorang pemuda berambut
gondrong
tergerai di bahu tengah asyik menikmati dag-
ing
kelinci panggang. Sepasang mata pemuda berpa-
kaian
rompi dan celana bersisik warna putih kepera-
kan
itu sebentar-sebentar mengerjap-ngerjap penuh
nikmat.
Lalu begitu daging kelinci telah pindah ke da-
lam
perutnya, buru-buru dipotesnya paha kelinci yang
sedikit
hangus dan menebarkan aroma kurang sedap.
"Semprul!
Tak seharusnya paha kelinci kesu-
kaanku
ini terlalu hangus. Tapi, tak apa-apalah! Biar
hangus,
toh masih terasa daging," celoteh pemuda
yang
tak lain Soma pada diri sendiri.
Sehabis
mengoceh begitu, pemuda berjuluk Si-
luman
Ular Putih ini segera menyantap paha kelinci
panggang.
Terlalu panas memang, tapi tidak dipeduli-
kannya.
Meski lidahnya terasa seperti terbakar, mu-
lutnya
terus mengunyah lahap.
Namun
di saat Siluman Ular Putih tengah asyik
menikmati
paha kelinci kesukaannya, tiba-tiba kesu-
nyian
hutan terusik oleh suara tangis seseorang.
Sejenak
Soma pun menghentikan kunyahan-
nya.
Sepasang matanya bergerak-gerak ke arah da-
tangnya
suara sambil beranjak bangun.
"Eh...!
Siapa yang menangis di hutan sesepi ini?
Menilik
suara tangisnya, tampaknya ia seorang gadis.
Ya
ya ya...! Benar seorang gadis. Sebaiknya, kulihat sa-
ja
sebentar. Siapa tahu ia gadis cantik? Atau malah,
jangan-jangan
peri hutan ini yang tengah kesepian
mencari
mangsa? Hih.... Jadi ngeri aku! Tapi, tak ada
jeleknya
kalau aku melihatnya sebentar," gumam Si-
luman
Ular Putih dalam hati.
Segera
Soma melemparkan paha kelincinya ke
semak-semak
belukar di depannya. Lalu dengan ilmu
meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
tinggi,
tubuhnya berkelebat cepat ke arah datangnya
suara.
Tidak
lama kemudian, Soma segera menemu-
kan
asal suara tangis tadi. Dan rupanya, harapan Si-
luman
Ular Putih terkabul. Ternyata, yang tengah me-
nangis
di balik batang pohon adalah seorang gadis
cantik!
"Huh!
Baik benar nasibku kali ini. Tak kusang-
ka
harapanku terkabul. Tak kuduga, ternyata yang
menangis
seorang gadis cantik!" oceh Siluman Ular Pu-
tih
lagi dalam hati.
Namun,
Soma belum juga beranjak dari tem-
patnya
bersembunyi. Malah dengan senyum nakal ter-
kembang
di bibir, sepasang mata tajamnya terus men-
jilati
gadis cantik di hadapannya, penuh kagum.
Sosok
gadis yang tengah diperhatikan memang
cantik.
Usianya paling baru delapan belas tahun. Na-
mun
wajahnya yang berbentuk bulat telur terlihat
kuyu
dengan air mata membasahi pipi. Bentuk kedua
bibirnya
tipis kemerah-merahan bak delima merekah.
Bentuk
hidungnya mancung. Belum lagi dengan ram-
butnya
yang hitam panjang dikuncir dua ke belakang!
Sementara
bentuk tubuhnya yang ramping dibalut pa-
kaian
ringkas warna hijau.
"Bukan
main! Benar-benar cantik gadis satu
ini.
Tak kusangka di tengah hutan sesepi ini ternyata
ada
penghuninya seorang gadis cantik!" celoteh Soma
dalam
hati.
Lalu
dengan langkah hati-hati, Siluman Ular
Putih
pun mulai mendekati si gadis.
Mendengar
langkah-langkah halus mendekati,
si
gadis buru-buru mengangkat wajahnya seraya me-
nyeka
airmata dengan sedikit agak gugup. Lalu kepa-
lanya
menoleh ke arah Soma.
"Kenapa
kau hapus air matamu, Nona? Kukira
kau
malah tambah manis dengan airmata bercucuran
begitu,"
usik Soma mulai membuka percakapan.
Si
gadis kembali menunduk, menyembunyikan
kepalanya
dalam-dalam. Sewaktu bersitatap dengan
pemuda
tampan di hadapannya, tiba-tiba saja hatinya
jadi
berdegup aneh. Namun secepat itu pula ia berusa-
ha
menguasai perasaannya. Segera kepalanya diangkat
kembali.
Sepasang matanya pun lantas bergerak-gerak
aneh,
memperhatikan sosok Siluman Ular Putih sek-
sama.
"Jangan
buang air matamu percuma, Nona!
Aku
takut burung-burung akan beterbangan dan ma-
tahari
malas bersinar begitu mendengar suara tangis-
mu
yang teramat menyayat hati," usik Siluman Ular
Putih
lagi, mulai kambuh penyakitnya.
"Diam!
Namaku bukan Nona! Aku Ningtyas!
Dan
lagi, tak seharusnya kau mencampuri urusanku,
Pemuda
Usil! Mau aku menangis di sini kek, di tempat
lain
kek. Apa pedulimu?" bentak si gadis yang ternyata
Ningtyas,
murid tunggal si Raja Pedang.
"Cccck...!
Cccckkk...! Oh... jadi namamu Ning-
tyas?
Bagus juga namamu. Oh, ya Ningtyas. Apa kau
tidak
lihat kalau burung-burung kontan beterbangan,
begitu
mendengar suara tangismu?" goda Siluman Ular
Putih.
"Pemuda
nyinyir! Apa telingamu budek? Aku bi-
lang
diam! Kenapa kau masih ngoceh tidak karuan?"
sungut
si gadis jengkel.
Si
pemuda tersenyum-senyum nakal. Lalu tan-
pa
mempedulikan kemarahan si gadis, Soma meletak-
kan
pantat di depannya.
"Uh...
genit!"
Sambil
memaki begitu, si gadis menyingkir
agak
menjauh. Sementara Soma hanya garuk-garuk
kepala
melihat sikap Ningtyas.
"Ah...!
Kenapa menyingkir, Ningtyas? Apa kau
tak
tahan dengan bau tubuhku? Sudah dua hari ini
aku
memang tak sempat mandi. Jadi, ya maklumlah
kalau
bau badanku sedikit kurang sedap. Tapi, kau
mau
kan kalau aku ingin bersahabat denganmu?" celo-
teh
Soma seolah-olah tidak menyadari kejengkelan
Ningtyas.
"Atau...? Jangan-jangan kau sewot melihat
pemuda
setampan aku ini? Jangan begitu, ah! Nanti
aku
jadi besar kepala, lho!"
"Tak
ada gunanya bicara dengan pemuda sint-
ing
macam kau!" sungut Ningtyas jengkel, seraya
bangkit.
Namun
di saat gadis itu hendak beranjak me-
ninggalkan
tempat ini, entah bagaimana tiba-tiba len-
gan
tangan kanannya telah terpegang oleh tangan Si-
luman
Ular Putih.
"Eh...!
Mau apa kau ini, he?! Beruntung aku ti-
dak
merobek-robek mulutmu. Pakai pegang-pegang
tangan
lagi. Lepaskan!" bentak Ningtyas kesal.
Tangan
kanan si gadis yang terpegang Soma
segera
disentakkan keras-keras. Namun sedikit pun Si-
luman
Ular Putih tidak mau mengendurkan pegangan-
nya.
Begitu Ningtyas kembali menyentakkan tangan-
nya,
si pemuda makin memperketat pegangannya. Se-
hingga,
gadis cantik itu meringis kesakitan.
Siluman
Ular Putih tidak peduli. Malah bibirnya
terus
mengumbar senyum nakal.
"Aku
paling ngenes kalau mendengar suara
tangis.
Apalagi suara tangisnya gadis cantik sepertimu,
Ningtyas,"
"Sekali
ini kau tidak mau lepaskan tanganku,
jangan
dikira aku tidak berani menamparmu, Keparat!"
bentak
Ningtyas penuh kemarahan.
"Namaku
bukan Keparat. Namaku Soma. Kau
sendiri,
kenapa menangis seorang diri di tengah hutan
sunyi
ini?" tukas Siluman Ular Putih, terus menggoda
seraya
memamerkan giginya yang putih-putih.
Ningtyas
gusar bukan main. Sepasang matanya
yang
indah berkilat-kilat penuh kemarahan,
"Ah...!
Kenapa kau tampak uring-uringan begi-
ni?
Baiklah. Aku akan melepaskan pegangan tangan-
mu.
Tapi tolong ceritakan, kenapa kau menangis di si-
ni!"
susul Soma sambil melepaskan tangannya
"Pemuda
sinting! Mana sudi aku bicara den-
ganmu?!"
sentak Ningtyas kasar.
Soma
garuk-garuk kepala. Entah kenapa, meli-
hat
sikap gadis cantik di hadapannya, tiba-tiba saja
rambut
murid Eyang Begawan Kamasetyo yang berge-
lar
Siluman Ular Putih itu jadi gatal.
Ningtyas
mencibir sinis. Mungkin muak melihat
sikap
Soma. Kemudian tanpa banyak cakap lagi, si ga-
dis
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat ini
Kembali
Soma hanya bisa menggaruk-garuk
kepala.
Sementara matanya masih menatapi sosok
tinggi
ramping yang terus berkelebat.
"Ah...!
Dasar nasib sial! Sebenarnya aku ingin
bercakap-cakap
barang sebentar untuk sekedar men-
gusir
sepi. Tapi, sayang. Rupanya gadis cantik itu tidak
tertarik
padaku. Baiklah. Kukira, lain waktu aku ma-
sih
bisa menemuinya. Sekarang, sebaiknya aku meng-
habiskan
daging kelinciku dulu, baru meneruskan per-
jalanan,"
desah Soma dalam hati.
***
7
Ningtyas
terus berkelebat cepat meninggalkan
puncak
Bukit Karang Kajen. Saat ini, rasa dendam
bercampur
kekecewaan berkecamuk dalam hati murid
Raja
Pedang itu. Gurunya tewas di tangan Dewa Lan-
git.
Dan ia sebagai murid, merasa harus berbakti ter-
hadap
gurunya. Makanya, kini Ningtyas bertekad men-
cari
Dewa Langit untuk meminta pertanggung-
jawabannya.
"Dewa
Langit...!" desis Ningtyas penuh kemara-
han.
"Kini tak ada pilihan lain lagi. Terpaksa aku ha-
rus
menuruti keinginanmu. Tapi, ingat! Walau sebe-
narnya
aku tak sealiran dengan guruku, tapi sebagai
murid
bagaimanapun juga harus berbakti. Aku harus
meminta
pertanggungjawabanmu Dewa Langit atas te-
wasnya
guruku!"
Ningtyas
sejenak menghentikan langkahnya.
Dadanya
yang membusung bergerak turun naik, me-
mendam
kemarahan membludak. Udara segar di luar
hutan
Bukit Karang Kajen terasa sesak.
"Tapi,
ke mana aku harus mencari orang. Seo-
rang
anak manusia yang terlahir dengan cara aneh,
sekaligus
memiliki ilmu aneh pula seperti yang di in-
ginkan
Dewa Langit? Hm...! Rasanya mustahil. Mana
mungkin
di dunia ini ada anak manusia yang terlahir
aneh?
Huh! Aku bagai mencari jarum ditumpukan je-
rami
saja! Sungguh bukan satu pekerjaan mudah,"
dengus
murid Raja Pedang gelisah.
Dan
baru saja Ningtyas akan melanjutkan per-
jalanan,
mendadak telinganya mendengar suara angin
berkesiur
kencang ke arahnya,
Werrr!
Werrr!
Bagaikan
ada angin puting beliung, ranting-
ranting
pohon, debu-debu jalanan bercampur daun-
daun
kering kontan beterbangan tinggi ke udara. Po-
hon-pohon
besar di sekitar tempat itu pun meliuk-liuk
ke
sana kemari mengikuti arah angin.
Tubuh
Ningtyas pun mulai limbung dipermain-
kan
angin. Pakaian hijau-hijaunya berkibar-kibar
membuat
beberapa kancing baju bagian atasnya tang-
gal.
Sehingga menampakkan sebagian dadanya yang
membusung
indah. Tapi si gadis tidak menyadarinya.
Perhatiannya
saat ini tengah dipusatkan pada angin
puting
beliung yang tiba-tiba menyerangnya. Bahkan
pusaran
angin itu makin kencang. Sementara tubuh-
nya
pun mulai limbung tak terkendali. Padahal tenaga
dalamnya
pun telah dikerahkan.
"Setan
alas! Pasti ada orang sakti yang usil di
sekitar
tempat ini!" maki Ningtyas, ketika setangan an-
gin
puting beliung mulai berhenti.
Dan
baru saja murid Raja Pedang itu menarik
napas
lega, tiba-tiba....
"Ha
ha ha...! Selamat datang di tempatku, Ga-
dis
Cantik! Senang sekali aku menerima kedatangan-
mu!"
Ningtyas
menggeram penuh kemarahan ketika
mendengar
suara berat ditingkahi suara tawa yang
menggetarkan.
Suara tawa itu terdengar menggema ke
segenap
penjuru. Seketika si gadis mengedarkan pan-
dangan
mencari sumber suara. Namun sayang, asal
suara
tawa itu seperti berubah-rubah. Terkadang ter-
dengar
di timur, namun sebentar kemudian seperti da-
tang
dari barat. Bahkan kemudian sudah pindah ke
sebelah
lain, sebelum si gadis bisa menentukannya.
"Keparat!
Tunjukkan dirimu, Manusia Penge-
cut!"
bentak Ningtyas penuh kemarahan, disertai pen-
gerahan
tenaga dalam pada suaranya.
Tapi
suara tawa itu kian terdengar bergelak.
Dan
karena disertai dorongan tenaga dalam, membuat
sekujur
tubuh Ningtyas menggigil hebat. Namun buru-
buru
murid Raja Pedang itu mengerahkan hawa murni
hingga
sedikit dapat mengusir pengaruh suara baru-
san.
"Hm...!
Sudah jelas, orang itu pasti memiliki te-
naga
dalam hebat. Kukira aku harus berhati-hati
menghadapinya,"
keluh si gadis perlahan sekali.
Sejenak
Ningtyas menunggu kemunculan orang
yang
menyerangnya lewat suara tawa barusan. Namun
yang
ditunggu tak juga menampakkan batang hidung-
nya.
"Bedebah!
Kau belum juga menunjukkan ba-
tang
hidungmu, he?! Baik! Kalau begitu. Makanlah
pukulan
'Bara Neraka'-ku! Heaaa...!"
Dikawal
bentakan nyaring, mendadak Ningtyas
mendorongkan
kedua telapak tangannya yang telah
berubah
jadi merah kekuningan ke arah semak-semak
belukar.
Seketika dua buah sinar merah kekuningan
meluncur
cepat menghantam semak-semak belukar.
Prasss!
Semak
belukar yang jadi sasaran kemarahan
gadis
cantik itu terpapas habis. Sebagian lainnya han-
gus
terbakar, dan masih mengobarkan api di sana-sini!
Geraham
Ningtyas bergemeletak penuh kema-
rahan.
Sedikit pun tidak ada tanda-tanda kalau si pe-
milik
suara terpengaruh oleh sambaran pukulan 'Bara
Neraka'.
Malah selang beberapa saat....
"Bagus,
bagus! Rupanya kau punya sedikit ke-
pandaian
juga, Nona? Senang sekali kalau Algojo Dari
Timur
dapat berkenalan denganmu. Apalagi, kalau
mau
menemaniku barang dua atau tiga malam," lanjut
suara
tanpa wujud itu.
Ningtyas
muak sekali mendengar ocehan suara
yang
berbau cabul itu. Namun kali ini mendadak kepa-
lanya
berpaling ke belakang. Dan betapa terkejutnya
gadis
itu ketika melihat di atas ranting kecil sebesar ja-
ri
kelingking tampak seorang lelaki tinggi besar ter-
bungkus
pakaian merah dan kuning. Rambut kepa-
lanya
dikuncir ke atas. Hanya itu saja rambutnya. Se-
lebihnya,
plontos! Sebuah anting besar pun tampak
menghiasi
telinga kirinya. Wajahnya dingin mem-
bayangkan
kekejian luar biasa. Hidungnya besar den-
gan
mata bulat besar. Rahangnya besar menyiratkan
kelicikan.
Ia tak lain memang Algojo Dari Timur. (Un-
tuk
mengetahui siapa Algojo Dari Timur silakan baca:
"Misteri
Bayi Ular" dan "Manusia Rambut Merah").
"Kenapa
menghadang langkahku, he?!" bentak
Ningtyas
mengkelap.
Algojo
Dari Timur hanya memperdengarkan su-
ara
sumbang. Dan begitu tawanya mereda, tubuhnya
segera
melenting tinggi ke udara, membuat pakaiannya
yang
kedodoran berkibar-kibar.
Tepat
ketika lelaki kasar itu mendarat, seketika
tanah
di sekitar tempat ini bergetar hebat! Pada bagian
yang
terkena injakan kontan berlobang besar!
"Kenapa?
Kau tanyakan kenapa, Cah Ayu?" tu-
kas
Algojo Dari Timur disusul suara tawa bergelak.
"Baik,
baik! Aku Algojo Dari Timur yang menguasai
Hutan
Karang Kajen ini tentu saja mengharapkan upe-
ti
dari orang yang melintas!"
Ningtyas
mengeluh dalam hati. Meski belum
pernah
bertemu, namun menurut keterangan dari
mendiang
gurunya, tokoh sesat dari timur itu memiliki
kesaktian
tinggi. Bahkan sama sekali tidak mengenal
belas
kasihan.
"Hm...!
Rupanya hari ini aku tengah berhada-
pan
dari tokoh sesat dari timur itu. Agaknya aku harus
hati-hati.
Sebab menurut keterangan Guru, tokoh se-
sat
ini sangat licik dan keji!" kata Ningtyas dalam hati.
"Hm...!
Algojo Dari Timur! Kukira, dosamu su-
dah
bertumpuk. Alangkah akan nyamannya bila
orang-orang
macam kau ini lekas-lekas enyah dari
bumi.
Dan akulah yang akan mengirim nyawa busuk-
mu
menemui kakek moyangmu di alam kubur!" den-
gus
murid Raja Pedang ketus.
Algojo
Dari Timur tertawa bergelak. Saking ge-
linya,
tokoh sesat dari Hutan Karang Kajen ini sampai
mengeluarkan
airmata!
"Lucu!
Lucu sekali! Baru kali ini aku melihat
seorang
gadis segalak dirimu. Baik, baik! Tunjukkan
kebolehanmu,
bagaimana caranya menghajarku! Tapi
kalau tak sanggup, kau harus membalas serangan-
serangan
di atas tempat itu, Nona."
Ningtyas
mengkelap bukan main. Saking ama-
rahnya
tak dapat dikendalikan segera kedua telapak
tangannya
yang telah berubah jadi merah kekuningan
didorongkan
ke depan.
Wesss!
Wesss!
Seketika
meluruk dua sinar merah kekuningan
dari
kedua telapak tangan murid Raja Pedang siap me-
labrak
tubuh tinggi besar Algojo Dari Timur!
Tentu
saja tokoh sesat bertubuh tinggi besar itu
tak
sudi tubuhnya dijadikan sasaran. Ketika sedikit la-
gi
kedua sinar itu melabrak tubuhnya, secepatnya ke-
dua
tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi dihen-
takkan.
"Aji
'Pemecah Bumi'! Heaaa...!"
Bummm...!
Terjadi
ledakan hebat bukan main ketika dua
kekuatan
dahsyat bertemu. Seketika bumi pun ber-
guncang!
Ranting-ranting pohon berderak dengan
daun-daun
hangus terbakar!
Algojo
Dari Timur yang baru saja melepas ajian
'Pemecah
Bumi' tertawa bergelak. Kedua kakinya sem-
pat
melesak beberapa dim ke dalam. Sedang sewaktu
terjadinya
bentrokan tadi, tubuh si gadis kontan lim-
bung.
Melihat
calon mangsanya belum bisa mengen-
dalikan
keseimbangan, tokoh sesat dari Hutan Karang
Kajen
itu pun segera melompat cepat. Jari-jari tangan-
nya
terkembang, siap menotok tubuh Ningtyas. Begitu
cepat
gerakannya, sehingga....
Tukkk!
Tukkk!
"Aaahh...!"
Ningtyas memekik tertahan saat to-
tokan Algojo
Dari Timur mendarat di atas dadanya.
Seketika
tubuh murid Raja Pedang itu pun kaku tak
dapat
bergerak
"Ha
ha ha...!"
Saat
mendarat, Algojo Dari Timur tertawa ber-
gelak.
Sepasang matanya berkilat-kilat terus menjilati
tubuh
Ningtyas tanpa berkedip. Apalagi ketika sepa-
sang
mata bengisnya tertumbuk pada bagian membu-
sung
di dada murid Raja Pedang yang sedikit terbuka.
Seolah
gejolak hatinya tak kuasa lagi ditahan untuk
segera
menikmati tubuh Ningtyas.
"Kau
cantik sekali, Nona! Rasanya tak mungkin
lagi
kubiarkan tubuhmu yang montok begini," desah
Algojo
Dari Timur sambil menelan ludahnya sendiri
Habis
berkata begitu, tokoh sesat dari Hutan
Karang
Kajen ini segera mendekati tubuh Ningtyas. Ja-
ri-jari
tangannya yang besar segera bergerak cepat.
Dan....
Bret!
Bret!
"Aauww...!"
Ningtyas
menjerit ngeri. Tanpa ampun lagi pa-
kaian
hijaunya di bagian dadanya robek, menampak-
kan
sepasang buah dadanya yang besar menggairah-
kan.
"Bajingan!
Lepaskan aku! Lepaskan aku...!!!" te-
riak
Ningtyas kalang kabut.
Algojo
Dari Timur tak peduli lagi. Begitu meli-
hat
sepasang buah dada yang terasa mengundang,
tangan-tangan
kekarnya segera meraih tubuh Ning-
tyas.
Langsung direbahkannya gadis itu di atas rerum-
putan.
Ningtyas
berteriak-teriak menyayat, menyadari
kalau
sebentar lagi sebuah petaka bakal merenggut
kehormatannya.
Gigi-giginya yang runcing berkali-kali
mencoba
menggigit ke sana kemari. Namun dengan
mudahnya
Algojo Dari Timur mempermainkannya.
Bahkan
kemudian tangannya bergerak-gerak liar,
menjamah dua bukit kembar milik Ningtyas setelah
menindihnya.
Menyadari
kehormatannya terancam, murid
Raja
Pedang itu mulai putus asa. Tanpa disadari air-
mata
pun menitik. Dengan suara tersendat-sendat,
berkali-kali
Ningtyas minta dirinya dilepaskan. Namun
suara-suara
itu dianggap sebagai rintihan penuh nik-
mat
oleh lelaki kasar itu.
"Jangan
menangis, Cah Ayu! Kau tidak akan ku
sakiti.
Aku malah akan membawamu terbang jauh ke
langit
tingkat tujuh," desis Algojo Dari Timur.
"Boleh-boleh
saja kau ajak gadis cantik itu ter-
bang
jauh. Tapi, hati-hati! Nanti malah kau sendiri
yang
jatuh ke comberan!"
"Heh...?!"
Tiba-tiba
terdengar suara dari arah samping
yang
disertai serangkum angin dingin ke arah Algojo
Dari
Timur. Lelaki sesat ini cepat menggulingkan tu-
buhnya,
kalau tak ingin celaka.
Brakkk!
Batang
pohon sebesar satu lingkaran tangan
manusia
yang tak jauh dari tempat itu kontan tum-
bang
dan jatuh berdebam ke tanah terkena serangan
nyasar.
Debu-debu pun langsung membubung tinggi
menyelimuti
tempat itu!
Sewaktu
menggulingkan tubuhnya ke samping,
sial
bagi Algojo Dari Timur. Ternyata di sampingnya te-
lah
menunggu sebuah kubangan Lumpur
"Nah
nah...! Kubilang apa? Akhirnya jatuh ke
comberan,
kan?" ejek sosok penyerangnya.
Algojo
Dari Timur marah bukan main. Apalagi
ketika
mendengar suara tawa yang mencemooh di-
rinya.
Melihat
siapa yang datang menolong, Ningtyas
tak
dapat lagi kendalikan perasaannya. Airmatanya
yang
membasahi pipinya pun makin dibiarkan mem-
banjir.
Kedua bibirnya bergetar-getar. Matanya terus
memandangi
sosok pemuda yang berdiri tak jauh da-
rinya.
"Kau....
Kau! Terima kasih atas pertolonganmu,
Soma,"
ucap murid Raja Pedang bergetar.
***
8
Sosok
pemuda berambut gondrong yang me-
mang
Soma alias Siluman Ular Putih hanya terse-
nyum-senyum
nakal. Sementara sepasang matanya
yang
tajam pun terus menatap sepasang bukit kembar
Ningtyas
yang membusung indah.
Sementara
Ningtyas yang tidak menyadari kea-
daan
dirinya hanya menangis sesenggukan. Namun
sepasang
matanya yang indah pun sesekali mencuri
pandang
pada sesosok pemuda tampan di hadapan-
nya.
Algojo
Dari Timur yang sudah cukup mengenal
siapa
pemuda tampan di hadapannya kontan membe-
liakkan
matanya liar. Selang beberapa saat, kedua pe-
lipisnya
bergerak-gerak penuh kemarahan.
"Bangsat!
Lagi-lagi kau yang menghalang-
halangi
niatku, Siluman Ular Putih!" bentak Algojo Da-
ri
Timur, langsung meloncat bangun.
Mendengar
nama pemuda tampan itu disebut,
kekaguman
Ningtyas pun makin bertambah. Meski be-
lum
pernah bertemu sebelumnya, namun dari kabar
yang
tersiar ia tahu kalau pemuda itu adalah seorang
pendekar
muda yang akhir-akhir ini menggemparkan
dunia
persilatan.
"Selamat
bertemu kembali, Algojo Dari Timur.
Aku
memang senang menghalang-halangi maksud bu-
sukmu.
Juga maksud orang-orang yang telengas lain-
nya,"
kata Soma, kalem.
"Setan alas! Kali ini aku tidak akan mele-
paskanmu
lagi, Siluman Gondrong! Jangan dikira sete-
lah
kau mengalahkan aku waktu itu, aku sudi mene-
rima
kekalahan begitu saja, he?! Sekaranglah saatnya
untuk
membalas kekalahanku!" dengus Algojo Dari
Timur,
kalap.
Memang,
setelah dikalahkan oleh Siluman Ular
Putih
di puncak Gunung Merapi, diam-diam tokoh se-
sat
dari Hutan Karang Kajen itu pulang ke tempat per-
sembunyiannya.
Dan di tempat itu, giat melatih jurus-
jurus
silat dan kesaktian selama berbulan-bulan tanpa
mengenal
lelah. Dan kini setelah jurus-jurus silatnya
dan
kesaktiannya dapat disempurnakan, maka tak he-
ran
kalau Algojo Dari Timur kini tidak merasa gentar
menghadapi
Siluman Ular Putih.
"Sekarang
kau muncul di hadapanku, Siluman
Ular
Putih! Kebetulan sekali. Tangan-tanganku sudah
lama
sekali ingin membeset jantungmu," geram Algojo
Dari
Timur penuh kemarahan.
Algojo
Dari Timur segera mementangkan ka-
kinya
lebar-lebar. Perlahan-lahan, tangan kanannya
yang
terkepal bergerak menyilang di atas kepala. Tan-
gan
kirinya yang juga terkepal diletakkan di sisi ping-
gang.
Lalu....
"Hea...!
Hea...!"
Diiringi
bentakan nyaring, tubuh tinggi besar
Algojo
Dari Timur segera berkelebat cepat menyerang
Siluman
Ular Putih. Tangan kanannya yang terkepal
erat
cepat melepas bogem mentah ke wajah si pemuda.
Sedang
tangan kiri yang juga terkepal erat siap pula
didaratkan
ke ulu hati.
Hebat
bukan main serangan-serangan tokoh
sesat
dari Hutan Karang Kajen itu. Sebelum serangan-
nya
tiba, terlebih dahulu telah berkesiur angin dingin
menyambar-nyambar
kulit tubuh Siluman Ular Putih.
Melihat
datangnya serangan, murid Eyang Be-
gawan
Kamasetyo itu segera membuka jurus-jurus
'Terjangan
Maut Ular Putih' yang menjadi andalannya.
Sedang
kedua telapak tangannya yang kini berubah
jadi
putih terang siap melontarkan pukulan maut te-
naga
'Inti Bumi'.
"Heaaa...!"
Dan
begitu serangan-serangan Algojo Dari Ti-
mur
mulai mendekati sasaran, kedua telapak tangan
Siluman
Ular Putih yang membentuk dua kepala ular
pun
segera bergerak lincah.
Plakkk!
Plakkk!
Begitu
terjadi benturan tangan, dengan gerakan
sulit
terduga Algojo Dari Timur melayangkan bogem
mentah
ke beberapa bagian yang mematikan di tubuh
Siluman
Ular Putih. Namun pada saat itu, si pemuda
segera
dapat membaca arah gerakan. Cepat bagai kilat
segera
dipapakinya pukulan-pukulan Algojo Dari
Ti-
mur
dengan gerakan patukan-patukan kedua telapak
tangannya.
Plakkk!
Plakkk!
Serangan-serangan
Algojo Dari Timur berhasil
ditangkis
oleh patukan-patukan kedua tangan Siluman
Ular
Putih. Seketika buku-buku tangan lelaki sesat
membiru
seperti membentur lempengan baja yang kuat
sekali!
Algojo
Dari Timur menggeram penuh kemara-
han.
Namun sebelum sempat melancarkan serangan
susulan,
tanpa terduga-duga tubuh Siluman Ular Pu-
tih
telah berkelebat cepat. Patukan-patukan kedua
tangannya
tahu-tahu telah mengancam dada lelaki se-
sat
itu.
Tukkk!
Tukkk!
Telak
sekali patukan kedua telapak tangan Si-
luman
Ular Putih yang membentuk dua kepala ular
mendarat
di dada Algojo Dari Timur. Seketika tubuh
tokoh
itu terjajar beberapa langkah ke belakang. Pa-
rasnya
pucat pasi! Seisi dadanya yang terkena patukan
tadi
terasa mau jebol!
Algojo
Dari Timur menggeram penuh kemara-
han.
Sepasang matanya yang besar berkilat-kilat. Lalu
dengan
kasar, senjata andalannya yang berupa parang
besar
dikeluarkan. Kilatan-kilatan mata parang yang
terkena
sinar matahari memendarkan cahaya mengi-
riskan.
Lalu disertai teriakan membelah langit, Algojo
Dari
Timur kembali menerjang Siluman Ular Putih
dengan
parang berputar-putar kencang.
"Ah...!
Kau ini tak ubahnya seperti penjagal sa-
pi
saja, Algojo Dari Timur. Hei! Ingat, ya!
Aku bukan
sapi
yang seenaknya dapat dijagal!" ejek Siluman Ular
Putih.
Algojo
Dari Timur sedikit pun tak tertarik untuk
meladeni
ocehan murid Eyang Begawan Kamasetyo.
Malah
parang di tangannya makin bergerak-gerak
mengiriskan.
Namun anehnya, Siluman Ular Putih
enak-enakan
berkelit ke sana kemari sambil bersiul-
siul
gembira. Bahkan sesekali disusupkannya patu-
kan-patukan
kedua tangannya ke tubuh Algojo Dari
Timur.
"Hia...!
Kena!"
Tukkk!
Tukkk!
"Aaakh...!"
Algojo
Dari Timur menjerit kesakitan. Batok ke-
palanya
yang terkena patukan tangan Siluman Ular
Putih
terasa mau pecah. Untung saja tadi tenaga da-
lamnya
telah dikerahkan. Sehingga patukan-patukan
Siluman
Ular Putih tidak terlalu membahayakan, wa-
lau
kepalanya masih berdenyut-denyut.
Menyadari
serangan-serangannya hanya me-
nemui
kesia-siaan, Algojo Dari Timur menggembor pe-
nuh
kemarahan. Kedua telapak tangannya yang telah
berubah
kuning berkilauan siap melontarkan pukulan
'Badai
Gurun Pasir'. Dan begitu kedua telapak tangan-
nya
dihantamkan ke depan. Seketika serangkum angin
panas
yang bukan kepalang meluncur dari kedua tela-
pak
tangannya.
Melihat
serangan yang demikian hebat, Silu-
man
Ular Putih tak berani lagi bersikap ayal-ayalan.
Segera
dikeluarkannya pukulan maut tenaga 'Inti Bu-
mi'.
Seketika kedua telapak tangannya pun berubah
jadi
putih terang. Kemudian dengan menggunakan se-
pertiga
bagian tenaga dalamnya, segera dipapakinya
serangan
Algojo Dari Timur.
Wesss!
Wesss!
Memang
tak ada ledakan hebat dari bentrokan
dua
tenaga dalam barusan. Namun selang beberapa
saat,
tiba-tiba angin panas dari kedua telapak tangan
Algojo
Dari Timur telah buyar, langsung menyambar-
nyambar
ranting-ranting dan daun-daun di sekitar
tempat
pertarungan. Seketika di sekitar tempat perta-
rungan
pun bagai hangus terbakar!
"Hup...!"
Algojo
Dari Timur segera buang tubuhnya ke
samping.
Dan ketika kembali tegak, wajah garang to-
koh
sesat dari Hutan Karang Kajen itu berubah pias-
nya.
Telapak tangannya pun mendekap erat ke dada,
seolah-olah
ingin menahan guncangan dalam tubuh-
nya.
Namun sayangnya Algojo Dari Timur tak kuasa.
Dari
rahangnya yang mengembung pun segera me-
nyemburkan
darah segar!
"Nah!
Sekarang baru aku pinjam parangmu.
Aku
ingin lihat seperti apa sih, enaknya jadi pejagal
manusia-manusia
sapi macammu," celoteh Siluman
Ular
Putih menggoda, lalu segera mendekati Algojo Da-
ri
Timur.
Paras
Algojo Dari Timur tampak makin pucat
bagai
mayat. Seketika nyalinya pun lumer. Dan saat
melihat
Siluman Ular Putih mulai melangkah mende-
kati,
segera tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan
tempat
ini.
Siluman
Ular Putih tak berhasrat mengejar.
Perhatiannya
kini tertuju pada gadis cantik yang sem-
pat
menggoda hatinya dan masih terbaring di atas re-
rumputan.
***
Wajah
cantik murid si Raja Pedang mendadak
jadi
berseri-seri. Senyum manisnya pun tampak ter-
sungging
di bibir. Namun ketika menyadari sikapnya
tadi
sewaktu mereka masih berada di puncak Bukit
Karang
Kajen, mendadak sikapnya jadi salah tingkah.
"Ah...!
Aku benar-benar minta maaf, Soma.
Demi
Tuhan, aku tidak menduga kalau kau adalah Si-
luman
Ular Putih yang sedang banyak dibicarakan
orang,"
ucap Ningtyas gugup.
Soma
alias Siluman Ular Putih hanya terse-
nyum.
Sementara sepasang matanya yang tajam tak
henti-hentinya
memandangi buah dada Ningtyas yang
membusung
indah. Dan tanpa sadar, si pemuda jadi
menelan
ludahnya sendiri.
Ningtyas
yang kini menyadari keadaan dirinya
jadi
malu bukan main. Semburat rona merah pun kon-
tan
menghiasi kedua pipinya. Namun ketika hendak
menutupi
buah dadanya, gadis cantik itu jadi menge-
luh.
Ternyata tubuhnya masih kaku tak dapat dige-
rakkan.
"To....
Tolonglah bebaskan totokanku, Soma!"
pinta
Ningtyas malu-malu.
Soma
yang masih terpaku pada sepasang buah
dada
yang terpentang di depan mata itu mendadak jadi
tersentak
kaget dan salah tingkah. Saking kagetnya,
tanpa
sadar dadanya ditarik ke belakang.
"Ah,
ya? Apa tadi kau bilang, Ningtyas?" Ning-
tyas
mengeluh. Sebenarnya, mulutnya ingin sekali
mengeluarkan
cacian. Namun buru-buru niatnya di-
urungkan.
"Aku
tertotok. Tolonglah bebaskan totokanku,
Soma,"
pinta Ningtyas sedikit lebih lancar.
"Oh...!"
Soma menepuk jidatnya. "Kenapa aku
jadi
lupa begini? Baiklah!"
Dengan
menahan perasaan jengah, terpaksa
Ningtyas
hanya memejamkan kedua bola matanya se-
waktu
murid Eyang Begawan Kamasetyo menotok pu-
lih
tubuhnya. Dan begitu terbebas, murid Raja Pedang
segera
menggulingkan tubuhnya ke samping.
"Tolong
belakangi aku sebentar, Soma! Aku in-
gin
membetulkan pakaianku," ujar Ningtyas.
"Baik."
Tanpa
banyak cakap, Soma segera berbalik.
Sambil
menunggu gadis itu membetulkan pakaian,
murid
Eyang Begawan Kamasetyo mencoba membuka
percakapan.
"Sebenarnya,
kenapa tadi kau menangis demi-
kian
menyedihkan di dalam hutan?"
Ningtyas
yang tengah sibuk membetulkan pa-
kaian
sengaja tidak langsung menjawab. Dan dengan
agak
gugup pakaiannya yang robek memanjang di sa-
na
sini diikat. Memang tidak begitu rapi dan masih
menampakkan
sebagian lekuk-lekuk tubuhnya. Tapi
itu
sudah cukup. Baru kemudian Ningtyas segera
mendekati
pemuda penolongnya.
"Sebelumnya
aku minta maaf atas kelakuanku
tadi,
Soma! Aku memang sedang bersedih.
Guruku,
Raja
Pedang tewas di tangan manusia durjana yang
bergelar
Dewa Langit."
"Ya
ya ya...! Tapi, sekarang aku sudah diperbo-
lehkan
melihat tubuh..., eh! Maksudku, bolehkah aku
berbalik?"
kata Soma buru-buru mengulangi ucapan-
nya.
Sebenarnya
sewaktu gadis cantik di belakang-
nya
tadi berbicara, murid Eyang Begawan Kamasetyo
masih
sangat terkesan dengan tubuh Ningtyas yang te-
rus
membayang di benaknya.
"Tentu!
Tentu! Kenapa tidak?"
Soma
pun segera berbalik. Senyum nakalnya
pun
kontan tersungging di bibir begitu melihat gadis
cantik
di hadapannya. Sejenak pandang matanya pun
terus
menelusuri tubuh tinggi ramping di hadapannya.
"Kau...
kau tampak cantik sekali dalam kea-
daan
begini, Ningtyas."
Sekali
lagi Ningtyas tersenyum. Hatinya merasa
tersanjung
mendengar perkataan pemuda tampan di
hadapannya.
"Oh,
iya. Tadi kau menyebut-nyebut Raja Pe-
dang
dan Dewa Langit. Ada apa sih sebenarnya? Kena-
pa
kau tadi menangis demikian menyedihkan?" ulang
Soma.
Ningtyas
bungkam. Kedua bibirnya yang tipis
berwarna
kemerahan tampak bergetar bila teringat se-
pak
terjang Dewa Langit yang telah menewaskan gu-
runya,
sekaligus membuat dirinya menderita.
Sementara
itu Soma yang kurang memperhati-
kan
gadis cantik di hadapannya sudah meletakkan
pantatnya
di atas rerumputan. Lalu ditariknya lengan
Ningtyas.
"Hayo,
duduk! Kan enak kalau bicara sambil
duduk
begini," ujarnya.
Ningtyas
yang merasa lamunannya dibuyarkan
oleh
tarikan tangan Soma pun segera tersadar. Namun
untuk
sesaat, ia belum juga buka suara. Perasaannya
yang
menggemuruh sejenak dibiarkan bermain dalam
hati.
Namun perlahan ia mulai dapat kendalikan pera-
saannya
yang galau. Dan mulailah si gadis bercerita.
Selama
Ningtyas bercerita, Soma hanya men-
gangguk-angguk
saja. Tak ada keinginan untuk memo-
tong
cerita Ningtyas. Namun ketika Ningtyas berkali-
kali
menyebut nama Dewa Langit, si pemuda jadi mu-
lai
tertarik.
"Apa?
Kau bilang, kau diberi tugas untuk dapat
menemukan
seorang anak manusia yang dilahirkan
secara
aneh dan sekaligus memiliki ilmu aneh pula,
Ningtyas?"
"Iya.
Dan untuk itu pula manusia durjana De-
wa
Langit itu melukaiku. Entah kenapa, sejak terkena
totokan
tua bangka keparat itu, ulu hatiku terasa nyeri
bukan
main. Tapi, tak apalah. Nanti kalau aku sudah
menemukan
orang yang dicari Dewa Langit, baru aku
boleh
menemuinya di Hutan Watu Malang," sungut
murid
Raja Pedang.
"Dewa
Langit...? Rasa-rasanya aku pernah
mendengar
nama itu. Kalau tidak salah, dulu eyang
pernah
bercerita. Dewa Langit adalah serang tokoh
sakti
yang jarang sekali mendapat lawan tanding. Ko-
non
hanya Eyang Bromo sajalah yang dapat menan-
dingi
kesaktiannya. Tapi, kenapa menebar angkara
murka
di dunia persilatan? Bukankah ia dari golongan
putih?
Ah...! Bisa jadi bukan Dewa Langit yang seperti
diceritakan
Eyang. Sebab menurut cerita Eyang, tokoh
itu
sudah sangat tua. Dan kini sudah lama tidak me-
nampakkan
diri di dunia persilatan. Entah ia menyem-
bunyikan
diri, atau memang sudah mati. Tapi menurut
perkiraanku,
pasti bukan Dewa Langit yang dicerita-
kan
Eyang," gumam murid Eyang Begawan Kamasetyo
dalam
hati.
Sambil
melamun begitu, Soma mengangguk-
anggukkan
kepalanya.
"Memang
sulit untuk mencari anak manusia
yang
seperti diinginkan Dewa Langit. Tapi, tak apa-
apalah!
Aku pasti akan membantumu. Cuma sekarang,
ke
mana aku mesti mencari manusia yang bergelar
Dewa
Langit itu, Ningtyas?" tanya Soma.
"Aku
sendiri tidak tahu, Soma. Tapi, kau berha-
ti-hatilah
kalau bertemu dengannya. Kesaktiannya
tinggi
sekali. Bahkan guruku pun dapat ditewaskan-
nya
hanya dalam satu gebrakan. Sungguh tidak ma-
suk
akal. Guruku yang sakti itu dapat dirobohkan
hanya
dalam satu gebrakan. Kuharap kau... kau...."
Ningtyas
tak jadi melanjutkan kata-katanya.
Tiba-tiba
lidahnya terasa kelu. Semburat rona merah
pun
kembali menghiasi pipi.
"Kau
berharap apa, Ningtyas? Kenapa kau tidak
melanjutkan?"
usik Soma.
"Aku....
Aku...." Ningtyas gelagapan. Debar-
debar
aneh dalam hatinya makin membuat rona merah
di
kedua pipinya terlihat jelas.
Mendadak
Soma pun tertawa bergelak, mem-
buat
Ningtyas memandangi dengan kening berkerut.
"Apa
kau mengkhawatirkan keselamatanku,
Ningtyas?
Kulihat wajahmu selalu merona merah. Pasti
kau
mengkhawatirkan keselamatanku. Tak mungkin
meleset
tebakanku, bukan?" tebak murid Eyang Bega-
wan
Kamasetyo, besar kepala.
Ningtyas
gelisah sekali. Tapi memang benar apa
yang
diucapkan pemuda tampan di sampingnya. Dan
untuk
mengakuinya, mana mungkin gadis cantik ini
berani.
Dan hal ini pula yang membuat tawa murid
Eyang
Begawan Kamasetyo makin bergelak.
Dan
di saat Soma hendak membuka suara
kembali,
mendadak pendengarannya yang tajam me-
nangkap
gerakan-gerakan halus beberapa orang ten-
gah
mendekati tempat ini.
"Kalau
ada apa-apa tenang saja, Ningtyas!
Tampaknya
ada dua orang tengah mendengarkan
pembicaraan
kita."
***
9
Ningtyas
melengak kaget. Diam-diam hatinya
makin
kagum pada pemuda tampan di sampingnya.
Namun,
rupanya ia pun tak dapat menahan rasa ingin
tahunya.
Dan ketika kepalanya berpaling ke samping,
keningnya
lantas berkerut.
Tak
jauh dari tempat mereka, tampak dua
orang
lelaki tua tengah tegak mengamati. Kedua orang
lelaki
tua itu sama-sama sudah berusia lanjut. Yang
sebelah
kanan mengenakan pakaian kafan warna pu-
tih.
Tubuhnya tinggi kurus. Rambutnya yang panjang
memutih
digelung ke atas. Wajahnya pun pucat mirip
mayat.
Sedang
lelaki tua di sebelahnya memiliki paras
lucu
menyerupai wajah bayi. Rambutnya putih dibiar-
kan
riap-riapan di bahu. Tubuhnya yang pendek kurus
dibalut
pakaian ringkas warna hitam. Melihat ciri-
cirinya,
mereka tidak lain dari Hantu Pocong dan Iblis
Muka
Bayi.
Sejak
mereka dikalahkan oleh Dewa Langit,
Hantu
Pocong dan Iblis Muka Bayi jadi kesal sekali.
Untung
saja mereka dapat membebaskan diri dari to-
tokan
Dewa Langit. Kemudian mereka sepakat untuk
mencari
Siluman Ular Putih.
"Cepat
jawab pertanyaanku! Benarkah kau ber-
gelar
Siluman Ular Putih!" bentak Hantu Pocong ga-
rang.
Soma
alias Siluman Ular Putih tenang saja, se-
perti
tak mempedulikan kehadiran kedua orang tua
itu.
"Kau
ini bertanya pada siapa, Pak Tua," kata
Soma,
kalem.
"Keparat!
Aku bertanya padamu, tahu?" bentak
Hantu
Pocong lagi. "Sekarang katakan! Benarkah kau
yang
bergelar Siluman Ular Putih?"
"Oh...!
Jadi kau bertanya padaku? Kenapa ka-
sar
amat? Sopan sedikit dong?"
"Jangan
banyak bacot! Apa kau tidak tahu ten-
gah
berhadapan dengan siapa, he?!" bentak Iblis Muka
Bayi
garang.
Siluman
Ular Putih sebenarnya heran, karena
kedua
orang tua itu seperti mempunyai maksud yang
tidak
baik. Lebih heran lagi, karena rasa-rasanya ia be-
lum
pernah bertemu mereka. Jadi, tak ada alasan me-
reka
memusuhinya.
"Heran-heran!
Kenapa selalu saja ada orang
yang
meributkan siapa aku? Hey, dengar! Kenapa sih
kalian
usil bertanya tentang siapa aku sengaja? Dasar
kurang
kerjaan! Sudah tua bukannya sadar, malah
mau
cari penyakit!" gerutu si pemuda kesal.
"Bedebah!
Kau bilang apa, Bocah?!" sentak Iblis
Muka
Bayi gusar bukan main.
"Aku
tidak ingin apa-apa. Kenapa kalian uring-
uringan
begini? Maaf deh kalau bicaraku tadi sedikit
menyinggung
perasaan. Makanya omonganku jangan
dimasukin
ke hati. Coba dimasukkan ke mulut, aku
jamin
pasti kalian kenyang," celoteh Soma seenak
dengkul.
"Bajingan!
Kau jangan berlagak pilon, Bocah!
Melihat
ciri-cirimu, pasti kaulah kunyuk kudisan ber-
gelar
Siluman Ular Putih!" bentak Hantu Pocong.
Soma
sejenak hanya cengar-cengir sambil ga-
ruk-garuk
kepala. Namun belum sempat murid Eyang
Begawan
Kamasetyo buka suara, tiba-tiba....
"Goblok!
Dasar orang tua-orang tua goblok! Ke-
napa
pakai tanya-tanya segala?! Kunyuk gondrong itu-
lah
yang bergelar Siluman Ular Putih!"
Sebuah
bentakan keras terdengar, disertai ber-
kelebatnya
satu bayangan biru ke arah mereka.
***
Seketika
paras Hantu Pocong dan Iblis Muka
Bayi
memerah. Keningnya pun berkerut-kerut melihat
seorang
lelaki tua berpakaian biru telah berdiri tegak
di
tempat itu. Rambutnya awut-awutan tak terawat.
Wajahnya
kasar dipenuhi tonjolan daging. Sedang tu-
buhnya
yang tinggi kurus dibalut pakaian ketat warna
biru.
"Peramal
Maut! Berani kau menghinaku seperti
itu?!"
bentak Hantu Pocong garang.
"Apa
kau sudah bosan hidup hingga berani
membacot
begitu, Peramal Maut?!" bentak pula Iblis
Muka
Bayi tak kalah garang.
Lelaki
tua yang memang Peramal Maut hanya
tertawa
bergelak seraya ketuk-ketukkan tongkat di
tangan
kanannya ke tanah. Aneh! Meski tongkatnya
diketuk-ketukkan.
Perlahan, namun seketika tanah di
sekitar
tempat itu bergetar! Pada bagian yang terkena
ketukan
tongkat pun kontan berlobang!
Sementara
Siluman Ular Putih merasa dongkol
bukan
main melihat kemunculan Peramal Maut. De-
mikian
juga Ningtyas. Meski mulutnya terkunci rapat-
rapat,
namun menilik kilatan sepasang matanya yang
indah
itu jelas kalau murid Raja Pedang ini tak me-
nyukai
kehadiran lelaki tua jago meramal itu.
"Kenapa
tak berani? Memang kenyataannya ka-
lian
semua tolol. Pemuda yang sedang kalian cari-cari
itulah
yang berjuluk Siluman Ular Putih; Hayo, kenapa
kalian
hanya memandangi aku! Kunyuk gondrong itu
masih
punya hutang barang satu dua gebukan pada-
ku.
Dan aku tak sabar lagi untuk menagih, berikut
bunganya,"
teriak Peramal Maut nyaring.
Habis
berteriak begitu, Peramal Maut segera
menerjang
Siluman Ular Putih hebat. Dalam sekali ke-
lebatan
saja, tongkat hitam di tangan kanannya telah
berubah
jadi gulungan hitam yang terus mendesak la-
wannya.
Melihat
Peramal Maut mendahului, tentu saja
Hantu
Pocong dan Iblis Muka Bayi tak mau ketingga-
lan.
Dengan senjata masing-masing, mereka pun sege-
ra
menyerang hebat.
"Hea...!
Hea...!"
Dikeroyok
bertiga begitu, Siluman Ular Putih
kewalahan
bukan main. Gempuran-gempuran ketiga
lawannya,
berkali-kali mengancam beberapa jalan ke-
matian
di tubuhnya. Untung saja sampai sejauh ini se-
rangan-serangan
ketiga orang pengeroyoknya dapat
dihindari
dengan melompat ke sana kemari.
Tapi,
tentu saja murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu tidak ingin diserang habis-habisan.
Apalagi
paduan
serangan ketiga orang pengeroyok makin be-
ringas
saja. Maka tidak ada pilihan lagi, kecuali mem-
balas
ketiga serangan. Namun kali ini jurus-jurus an-
dalan
yang dipelajarinya dari eyangnya di Gunung Bu-
cu
tidak dikeluarkan, justru si pemuda kini berniat
mengerahkan
ilmu yang dipelajarinya di Lembah Ko-
dok
Perak untuk membalas serangan ketiga orang
pengeroyoknya.
Begitu
Soma terbebas dari serangan dengan
membuat
lentingan tubuh menjauh, Siluman Ular Pu-
tih
pun segera menekuk kedua lututnya. Lalu sambil
berloncatan
ke sana kemari mirip seekor kodok, segera
diserang
ketiga lawannya.
"Kooook...!!!"
Tiba-tiba
terdengar bunyi mirip kodok dari mu-
lut
Siluman Ular Putih. Bersamaan dengan itu, kedua
telapak
tangannya cepat didorong ke depan. Maka se-
ketika
serangkum angin dingin dari ilmu 'Kodok Perak
Sakti'
melesat cepat.
Wesss!
Wesss!
Bumm...!!!
Hebat
bukan main bunyi ledakan barusan, saat
'Kokok
Perak Sakti' Siluman Ular Putih hanya meng-
hantam
tanah. Untung saja ketiga orang pengeroyok-
nya
bisa menghindar dengan membuang tubuh mas-
ing-masing.
Seketika bumi pun bergetar hebat laksana
ada
gempa!
Selagi
Siluman Ular Putih hendak menyerang
kembali,
tiba-tiba Ningtyas meluruk menyerang para
pengeroyok
Siluman Ular Putih yang telah bangkit ber-
diri.
Pedang di tangan kanannya segera berkelebat liar
mencari
sasaran. Namun sayangnya yang dihadapi ga-
dis
cantik itu bukan tokoh sembarangan.
Ketiga
tokoh itu adalah para dedengkot dunia
persilatan
yang memiliki kepandaian tinggi. Sehingga
tak
heran bila serangan gadis itu mudah sekali dimen-
tahkan.
Wesss!
Bahkan
pada saat Ningtyas hendak melontar-
kan
pukulan maut 'Bara Neraka', tiba-tiba melesat an-
gin
berkesiur menyerang. Seketika Ningtyas segera
mengurungkan
serangan. Lalu, melirik ke belakang.
Ternyata
punggungnya tengah terancam gebukan
tongkat
di tangan Peramal Maut.
"Uts!"
Si
gadis cepat berkelit ke samping. Namun
sayangnya,
saat itu Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi
telah
menunggu dengan sambaran tulang paha manu-
sia
dan cemeti berekor sembilan.
"Ah...!"
pekik Ningtyas gugup.
Belum
sempat Si gadis bertindak lebih lanjut,
tahu-tahu
senjata-senjata kedua tokoh sesat itu telah
menghantam
tubuh Ningtyas.
Bukkk!
Ctarr...!
"Augh...!"
Siluman
Ular Putih hanya bisa terpana melihat
tubuh
Ningtyas jatuh berdebam ke tanah dan tak da-
pat
bangun lagi. Soma yang semula sengaja memberi
kesempatan
gadis itu untuk mengumbar serangan jadi
menyesali
kebodohannya. Maka hatinya kontan tersa-
put
kemarahan. Saking tak dapat mengendalikan ama-
rah,
mendadak rambut kepalanya telah berubah jadi
ratusan
ular putih hidup yang meliuk-liuk!
"Jahanam!
Kalian benar-benar manusia jaha-
nam
tak tahu malu! Demi Tuhan aku tidak akan mem-
biarkan
kalian menebar angkara murka di depan ma-
taku!"
bentak Siluman Ular Putih penuh kemarahan.
Srat!
Saat
itu pula Siluman Ular Putih mengeluarkan
senjata
andalan, sebuah anak panah berbentuk aneh.
Bagian
ujung runcing anak panah yang sedikit me-
lengkung
ke atas berbentuk kepala ular. Di kanan kiri
kepala
ular terdapat dua buah cakra kembar dari besi
putih.
Sedang pada bagian badan yang berupa badan
ular,
terdapat beberapa lobang suling. Itulah Anak Pa-
nah
Bercakra Kembar, sebuah senjata pusaka yang ja-
rang
tandingannya.
Bahkan
begitu murid Eyang Begawan Kama-
setyo
ini mengerahkan tenaga dalam, seketika hawa
dingin
yang bukan kepalang telah memenuhi tempat
itu.
Entah bagaimana, baik ilmu meringankan tubuh
maupun
tenaga dalam si pemuda kontan bertambah
begitu
senjata andalannya dikeluarkan.
"Heaaa...!"
Dan
dengan teriakan membelah angkasa, Silu-
man
Ular Putih kembali menerjang ketiga orang penge-
royoknya.
Telapak tangan kirinya yang berwarna putih
terang
siap melontarkan pukulan tenaga 'Inti Bumi'.
Tangan
kanannya yang memegang Anak Panah Berca-
kra
Kembar berputar-putar menerbitkan angin panas.
Begitu
murid Siluman Ular Putih menerjang,
senjata
Anak Panah Bercakra Kembar segera dilem-
parkan
ke arah Iblis Muka Bayi. Tepat saat senjata itu
melesat,
Siluman Ular Putih pun melancarkan seran-
gan
dengan kedua telapak tangannya yang telah penuh
tenaga
'Inti Bumi' dan tenaga ‘Inti Api’. Arahnya tertuju
pada
Hantu Pocong dan Peramal Maut.
Wesss!
Wesss!
Seketika
melesat dua larik sinar merah dan si-
nar
putih terang dari kedua telapak tangan Siluman
Ular
Putih. Hantu Pocong dan Peramal Maut tentu saja
tidak
ingin jadi sasaran empuk. Maka dengan ajian
andalan
mereka pun segera memapaki.
Wesss!
Wesss!
Bummm...!!!
Hebat
bukan main ledakan yang terjadi ketika
satu
kekuatan dahsyat bertemu kekuatan dahsyat
lainnya.
Bumi pun bergetar. Tanah-tanah berhambu-
ran
tinggi ke udara. Bahkan batang-batang pohon di
sekitar
tempat pertarungan hangus terbakar!
Sementara
sewaktu Siluman Ular Putih melem-
parkan
senjata pusakanya, Iblis Muka Bayi hanya ter-
senyum
dingin seperti meremehkan. Tetapi ketika sen-
jata
anak panah itu berhasil dihindari, Iblis Muka Bayi
kontan
terperanjat. Ternyata senjata itu mampu berba-
lik,
dan menyerangnya kembali. Meski demikian Iblis
Muka
Bayi tidak gugup. Segera cemeti di tangan ka-
nannya
digerakkan beberapa kali.
Ctarrr!
Ctaaarrr!
Taakkk!
Telak
sekali senjata anak panah itu tertangkis
lecutan
cemeti di tangan Iblis Muka Bayi. Seketika sen-
jata
andalan Siluman Ular Putih melesat ke samping.
Kebetulan
sekali arahnya menuju ke tubuh
Soma
yang sempat terhuyung-huyung beberapa lang-
kah
ke belakang. Maka dengan napas tersengal, murid
Eyang
Begawan Kamasetyo itu kembali dapat menang-
kap
senjata andalannya.
Siluman
Ular Putih kini telah berdiri tegak di
luar
pertarungan. Senjata anak panahnya telah dis-
elipkan
kembali ke balik rompi. Kemudian jalan piki-
rannya
mulai dipusatkan, siap mengerahkan ajian
pamungkas
‘Titisan Siluman Ular Putih’. Namun
sayangnya
baru saja hendak membacakan mantra
ajian....
"Sungguh
memalukan! Tua bangka-tua bangka
memalukan!
Beraninya cuma mengeroyok anak ingu-
san!" Terdengar bentakan nyaring yang disusul mele-
satnya
angin dingin ke arah tiga orang pengeroyok Si-
luman
Ular Putih.
***
10
Tiga
orang pengeroyok Siluman Ular Putih seke-
tika
melengak kaget. Dan ketika merasakan angin
dahsyat
yang mendadak menyerang, tanpa pikir pan-
jang
lagi mereka membuang tubuh masing-masing ke
samping.
Sehingga, lesatan angin itu terus menerabas
ke
belakang, menghantam batang-batang pohon di be-
lakang.
Brakkk!!!
Batang
pohon di belakang ketiga orang penge-
royok
Siluman Ular Putih kontan berderak, lalu jatuh
berdebam
ke tanah. Daun-daunnya pun membeku.
Begitu
ketiganya terbebas dari serangan maut,
ketiga
tokoh sesat itu pun kontan membeliakkan mata
lebar-lebar.
Saat itu di hadapan mereka telah berdiri
tegak
seorang lelaki amat tua berpakaian putih-putih.
Rambutnya
memutih digelung ke atas. Wajahnya telah
penuh
keriput. Namun tubuhnya yang kurus kering
tak
bertenaga, ternyata menyimpan kekuatan luar bi-
asa!
"Dewa
Langit...!!!" desis ketiga orang pengeroyok
Siluman
Ular Putih hampir bersamaan
Siluman
Ular Putih sendiri pun sempat terke-
jut.
Ia tidak menyangka kalau lelaki tua renta di sam-
pingnya
itulah yang tadi menyerang ketiga orang pen-
geroyoknya
dengan demikian hebat.
"Sungguh
tak kusangka orang tua renta. Tam-
paknya
tak bertenaga, tapi mampu melancarkan se-
rangan
hebat. Dan tampaknya ketiga orang tokoh sesat
di
hadapanku ini jerih sekali menghadapi orang tua
renta
ini. Dewa Langit...! Hm...! Inikah manusia durja-
na
yang dimaksudkan Ningtyas? Tapi, kenapa ia meno-
longku?"
gumam hati Siluman Ular Putih.
"Dewa
Langit! Apa matamu buta?! Pemuda yang
sedang
kami keroyok itulah yang sedang kau cari-cari!
Dialah
yang bergelar siluman Ular Putih. Tapi, kenapa
kau
malah menyerang kami?" teriak Peramal Maut
nyaring.
"Hm...!" lelaki tua yang tak lain Dewa Langit
menggumam
tak jelas. Kepalanya pun segera berpaling
ke
arah Siluman Ular Putih sambil mengangguk-
angguk.
"Jadi?
Pemuda inikah yang telah dilahirkan
dengan
cara aneh? Sungguh kebetulan sekali...," desis
Dewa
Langit dalam hati.
"Bagaimana,
Dewa Langit? Kenapa diam saja?
Bukankah
kau menginginkan pemuda itu? Hayo, kita
hajar
kunyuk gondrong ini ramai-ramai! Atau kau in-
gin
menghajarnya sendiri? Jadi biarlah kami menonton
saja,"
kata Peramal Maut lagi.
Siluman
Ular Putih terkesiap kaget.
"Ah...!
Bagaimana ini kalau sampai orang tua
renta
di sampingku termakan kata-kata Peramal Maut.
Benar-benar
celaka tiga belas! Menghadapi Peramal
Maut
yang dibantu kedua orang temannya saja ra-
sanya
sulit. Apalagi sekarang ditambah lelaki renta di
sampingku
yang tampaknya sangat ditakuti Peramal
Maut
dan kedua orang kawannya? Ah...! Bagaimana
mungkin
aku dapat menghadapi mereka?!" gumam ha-
ti
Siluman Ular Putih.
"Aku
paling benci melihat cara bertarung ke-
royokan.
Dengan dalih apa pun juga, aku tak sudi me-
nuruti
keinginan kalian. Malah, justru sebaliknya aku
ingin
melindunginya!" tunjuk Dewa Langit pada Silu-
man
Ular Putih. "Dan bagi siapa saja yang mengingin-
kan
nyawa pemuda ini, maka akulah orang yang per-
tama
akan membelanya. Apa kalian bertiga masih in-
gin
mengeroyoknya?"
Hantu
Pocong, Iblis Muka Bayi, dan Peramal
Maut
terperanjat. Mereka tidak menyangka kalau De-
wa
Langit malah justru melindungi Siluman Ular Pu-
tih.
"Sungguh
aneh watak manusia sinting ini. Ke-
marin
ingin mencari Siluman Ular Putih. Tapi begitu
ketemu,
kenapa mendadak pikirannya berubah? Dasar
orang
tua sinting!" gerutu Iblis Muka Bayi penuh ke-
marahan.
Dewa
Langit tersenyum hambar. Selangkah
demi
selangkah mulai didekati Hantu Pocong dan ke-
dua
orang kawannya.
Siluman
Ular Putih yang merasa di atas angin
membusungkan
dada. Lalu dengan langkah mantap, ia
berjalan
mengekor di belakang Dewa Langit.
"Hayo,
sekarang kalian mau apa lagi?! Aku ti-
dak
takut lagi menghadapi keroyokan kalian. Majulah
kalau
ingin kugebuk pantat kalian!" ejek Siluman Ular
Putih.
Peramal
Maut dan Hantu Pocong mengkelap
bukan
main. Kalau saja di situ tidak ada Dewa Langit,
sudah
pasti akan kembali diserangnya Siluman Ular
Putih.
Namun berhubung tokoh sakti itu berada pada
pihak
Siluman Ular Putih, terpaksa mereka hanya bisa
melotot
gusar.
Namun
rupanya tidak demikian halnya Iblis
Muka
Bayi. Meski telah merasakan kehebatan Dewa
Langit,
namun ia sedikit pun tidak gentar.
"Dewa
Langit! Kuakui, waktu itu aku kalah da-
rimu.
Namun, sedikit aku tidak gentar menghadapimu!
Sekarang
kalau kau ingin melindungi pemuda tengil
itu,
majulah! Aku siap melayanimu!"
Mendengar
ucapan Iblis Muka Bayi, seketika
nyali
Hantu Pocong dan Peramal Maut yang semula
menciut
kini mendadak berkobar-kobar.
"Setan
alas! Kau boleh ditakuti banyak tokoh
dunia
persilatan, Dewa Langit! Tapi seperti yang dika-
takan
Iblis Muka Bayi, sekali lagi kami belum kalah!"
"Nah!
Sekarang, kau bisa berbuat apa, Dewa
Langit?
Apa kau sanggup menghadapi kami?" tantang
pula
Peramal Maut.
"Jangan
banyak bacot, Peramal Maut! Akulah
lawanmu,"
teriak Siluman Ular Putih jengkel.
Habis
berteriak begitu, Siluman Ular Putih me-
lompat
menerjang Peramal Maut. Kedua telapak tan-
gannya
yang membentuk dua kepala ular segera berke-
lebat
cepat ke arah tubuh Peramal Maut. Namun
sayangnya
baru saja Siluman Ular Putih berada di
udara,
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi segera da-
tang
menghadang.
"Makanlah
cemetiku, Bocah Gondrong!" teriak
Iblis
Muka Bayi garang.
Ctarrr...!
Wuttt...!
Cemeti
berekor sembilan di tangan kanan Iblis
Muka
Bayi pun segera menyambar-nyambar ganas
menyerang
Siluman Ular Putih yang terpaksa harus
menarik
serangannya. Sedang tulang paha manusia di
tangan
Hantu Pocong menyambar deras ke arah Silu-
man
Ular Putih.
"Hea...!
Hea...!"
Dikawal
teriakan nyaring, Peramal Maut pun
turut
pula mengeroyok Siluman Ular Putih. Dalam se-
kali
kelebatan saja, mendadak tongkat hitam di tangan
kanannya
telah berubah jadi gulungan hitam yang te-
rus
mendesak sosok putih keperakan si pemuda.
"Manusia-manusia
durjana tak tahu malu! Ka-
lian
semua memang patut diberi pelajaran!" geram De-
wa
Langit murka.
Maka
dengan ilmu meringankan tubuh yang
sudah
mencapai tingkat tinggi, Dewa Langit berkele-
bat.
Segera diserangnya ketiga orang pengeroyok Silu-
man
Ular Putih. Jari-jari tangannya yang telah beru-
bah
putih berkilauan pun segera menyosor-nyosor ke
sana
kemari siap menotok tubuh ketiga tokoh sesat
itu.
Wesss!
Wesss!
Ketiga
orang pengeroyok Siluman Ular Putih se-
rentak
menghentikan serangan. Tubuh mereka segera
dibuang
ke belakang. Namun meski totokan-totokan
Dewa
Langit hanya mengenai tempat kosong, tak
urung
ketiga tokoh sesat itu pun masih saja merasa-
kan
hawa dingin menyambar-nyambar dada.
"Mampuslah
kalian! Sekarang aku pun juga in-
gin
menghajar kalian. Tapi mana ya lawan yang akan
ku
pilih? Ah, iya? Sebaiknya aku akan menghajar ma-
nusia
culas bergelar Peramal Maut saja!" celoteh Silu-
man
Ular Putih, setelah beberapa saat mendarat di ta-
nah
seraya memperhatikan pertarungan.
Habis
berceloteh, Siluman Ular Putih pun sege-
ra
meluruk ke arah Peramal Maut. Kedua telapak tan-
gannya
yang telah berubah jadi putih terang segera di-
dorong
ke depan. Seketika dua larik sinar putih terang
melesat
dari kedua telapak tangannya.
Wesss!
Wesss!
Tentu
saja Peramal Maut tidak ingin jadi sasa-
ran
empuk serangan-serangan Siluman Ular Putih.
Dengan
mengandalkan pukulan 'Gelap Ngampar' pun
segera
dipapaki serangan Siluman Ular Putih. Saat itu
pula
kedua tangannya menghentak disertai tenaga da-
lam
tinggi.
Blaaar...!
Seketika
tubuh Peramal Maut mencelat ke be-
lakang.
Sekujur tubuhnya menggigil kedinginan! Pa-
rasnya
pun tampak pucat pasi, pertanda menderita lu-
ka
dalam cukup hebat.
Sementara
begitu Siluman Ular Putih kembali
menerjang
Peramal Maut, Dewa Langit telah mencecar
Hantu
Pocong dan Iblis Muka Bayi. Dengan ajian
'Sukma
Sejati' kedua telapak tangannya yang telah be-
rubah
jadi putih berkilauan menghentak ke arah ke-
dua
tokoh sesat itu.
Tentu
saja Iblis Muka Bayi dan Hantu Pocong
tidak
ingin jadi sasaran empuk serangan-serangan
Dewa
Langit. Begitu melihat dua sinar putih berki-
lauan
menyerang, mereka segera menggabungkan te-
naga
dalam. Lalu secara bersamaan, mereka menghen-
takkan
kedua telapak tangannya, memapak pukulan
'Sukma
Sejati' milik Dewa Langit.
Wesss!
Wesss!
Bumm...!
Bummm...!
Terdengar
dua kali ledakan hebat di udara.
Bumi
laksana diguncang angin prahara! Ranting-
ranting
pohon di sekitar pertarungan kontan berderak!
Sebagian
daun-daunnya ada yang hangus terbakar.
Sebagian
lainnya membeku!
Sewaktu
terjadinya bentrokan tadi, seketika tu-
buh
Iblis Muka Bayi dan Hantu Pocong kontan lim-
bung
ke samping dengan wajah pucat pasi. Seisi dada
mereka
terasa terguncang hebat!
Dewa
Langit tersenyum kecut. Dan ia memang
tidak
ingin membiarkan kedua tokoh sesat itu berting-
kah
di muka bumi. Segera diserangnya kedua lawan-
nya.
Hantu
Pocong dan Iblis Muka Bayi yang belum
bisa
menguasai keadaan kontan mengeluarkan kerin-
gat
dingin. Mereka berusaha menghindar, namun ge-
rakan
Dewa Langit lebih cepat. Akibatnya....
Bukkk!
Bukkk!
"Aaah...!"
"Akh...!"
Telak
sekali tepukan kedua tangan Dewa Langit
mendarat
di ulu hati Hantu Pocong dan Iblis Muka
Bayi.
Disertai semburan darah segar mereka berteriak
menyayat
dengan tubuh terjajar beberapa langkah ke
belakang.
Ketika tubuh mereka membentur batang po-
hon,
langsung luruh ke atas tanah. Pingsan!
Sejenak
Dewa Langit memperhatikan dua tokoh
sesat yang terbujur pingsan. Lalu pandang matanya
dialihkan
ke arah Siluman Ular Putih yang tengah ber-
tarung
hebat melawan Peramal Maut.
Dalam
pertarungannya murid Eyang Begawan
Kamasetyo
tengah melontarkan pukulan tenaga 'Inti
Bumi'.
Peramal Maut yang tampak kewalahan meng-
hadapi
Siluman Ular Putih terpaksa harus memapak
pukulan
maut 'Gelap Ngampar'.
Blarrr...!
Karena
Peramal Maut ragu-ragu, tubuhnya pun
kontan
melayang-layang bak layangan putus begitu
terjadi
bentrokan di udara yang menimbulkan ledakan
dahsyat.
Kemudian begitu kedua kakinya menjejak ta-
nah,
tubuhnya segera berkelebat meninggalkan tempat
ini.
Sebenarnya
Siluman Ular Putih ingin sekali
mengejar.
Namun karena teringat akan keselamatan
Ningtyas
niatnya diurungkan. Dan meski tampaknya
merelakan
kepergian Peramal Maut, namun tidak de-
mikian
mulutnya.
"Jangkrik!
Kalau saja aku tidak ingat akan ke-
selamatan
Ningtyas, sudah pasti kubuat pepesan teri
tubuhmu,
Peramal Maut!" teriak Siluman Ular Putih
seraya
berbalik. Kakinya segera melangkah lebar men-
dekati
tubuh Ningtyas, Namun baru saja melangkah,
mendadak....
"Tetap
di tempatmu, Siluman Ular Putih! Kalau
tidak,
biarkan gadis itu mati sekarang juga!"
Terdengar
bentakan keras, membuat langkah
Soma
terhenti.
11
Kening
Siluman Ular Putih berkerut dalam me-
natap
sosok yang mengeluarkan bentakan. Sosok yang
tak
lain Dewa Langit itu kini malah melangkah mende-
kati
tubuh Ningtyas. Semula si pemuda merasa cemas
bukan
main. Namun ketika dilihatnya orang tua renta
itu
menotok beberapa jalan darah dan mengurut teng-
kuk
tubuh gadis itu, baru Soma merasa lega.
"Aneh...!
Rasanya belum pernah aku bertemu
orang
macam dia. Ternyata Ningtyas yang telah dicela-
kakan,
eh, malah sekarang diobati," gumam Soma da-
lam
hati
Selang
beberapa saat, Ningtyas pun mulai si-
uman.
Perlahan-lahan kelopak matanya pun mulai
membuka.
Namun saat itu pula, Ningtyas memekik
tertahan.
Sepasang matanya yang semula bersinar in-
dah,
mendadak berkilat-kilat penuh kemarahan.
"Jangan
terlalu banyak bergerak, Cah Ayu...!
Luka
dalammu belum begitu pulih. Minumlah
obat
ini!"
kata Dewa Langit lembut seraya menyerahkan ob-
at
pulung yang diambil dari dalam saku bajunya.
Sejenak
Ningtyas membelalak heran melihat pe-
rubahan
sikap orang tua renta yang telah menewaskan
gurunya.
Dan ketika Dewa Langit mengulurkan obat
pemunah
racun, Ningtyas pun tampak masih ragu-
ragu.
"Ambillah,
Cah Ayu." Ujar Dewa Langit lembut.
"Mungkin
kau tidak menyadari kalau sebenarnya toto-
kanku
tempo hari masih mempengaruhi tubuhmu.
Aku
menyesal sekali, Cah Ayu. Untuk itu telanlah obat
pemunah
racun ini"
Ningtyas
masih membisu. Hanya sepasang ma-
tanya
yang berkilat-kilat, terus memandang paras De-
wa
Langit tak percaya.
"Hm...!
Apakah kau masih ingat mendiang gu-
rumu,
Cah Ayu?" lanjut Dewa Langit, seolah-olah da-
pat
menebak jalan pikiran Ningtyas. "Ah...! Aku me-
nyesal
sekali Aku sendiri tidak tahu, kenapa sampai
demikian
keji aku mencelakakan gurumu. Mungkin
aku
terlalu kecewa dengan jalan hidupku akhir-akhir
ini,
sehingga membuatku jadi khilaf. Maka, kalau kau
tidak
keberatan, sebagai tebusan atas kesalahanku,
sudilah
kau mempelajari kitab-kitab peninggalan
ku.
Dan
kau bisa mengambilnya sendiri di goa kecil, di
luar
Hutan Watu Malang"
Ningtyas
yang semula merasa geram bukan
main
melihat gurunya tewas di tangan Dewa Langit,
entah
kenapa kemarahannya lumer. Malah kini
ha-
tinya
sangat terharu dengan apa yang diucapkan orang
tua
renta di hadapannya.
"Kau...
Kau mau ke mana, Orang Tua? Tam-
paknya
kau ingin pergi jauh?" tanya Ningtyas dengan
suara
bergetar.
Dewa
Langit tersenyum gusar. Namun ketika
sepasang
matanya yang berwarna kelabu tertumbuk
pada
pemuda berpakaian putih keperakan yang masih
berada
di tempatnya, Dewa Langit pun melebarkan se-
nyum.
"Tetaplah
tenang di tempatmu, Cah Ayu! Kuha-
rap
kau jangan terlalu banyak ulah bila terjadi sesuatu
denganku,"
ujar Dewa Langit, lalu buru-buru meloncat
bangun.
Soma
yang masih berdiri di tempatnya hanya
menggaruk-garuk
kepala seraya berpaling ke tempat
lain.
Seolah-olah, ia tidak menyadari dirinya tengah
diperhatikan
Dewa Langit dan Ningtyas!
"Siluman
Ular Putih! Demi Tuhan aku senang
sekali
bertemu denganmu. Sekarang kuminta tun...."
Dewa
Langit menghentikan bicaranya. Namun
sepasang
matanya yang berwarna kelabu terus perha-
tikan
pemuda tampan di hadapannya.
"Ah...!
Kukira tidak seharusnya aku berterus
terang
mengatakan maksud tujuanku. Bila aku berke-
ras
kepala meminta pemuda itu menunjukkan ilmu
anehnya
untuk membunuhku, sudah pasti pemuda ini
keberatan.
Dan bisa jadi malah tidak mau menuruti
keinginanku.
Sedang aku tidak menginginkannya. Ya
ya
ya...! Memang sebaiknya aku tak usah memberita-
hukannya,"
gumam Dewa Langit dalam hati.
Mendengar
Dewa Langit menghentikan bicara,
murid
Eyang Begawan Kamasetyo tetap saja tenang di
tempatnya.
Seolah-olah, tak ingin lagi bicara dengan
orang
tua renta di hadapannya.
"Anak
muda! Kukira sudah saatnya kita berta-
rung.
Aku tak ingin kita buang-buang waktu lagi!" kata
Dewa
Langit, mengejutkan.
"Eh...!
Apa tadi kau bilang, Orang Tua? Kita
bertarung?
Yang benar, ah?! Mana berani aku kurang
ajar
padamu. Toh, di antara kita tak ada silang sengke-
ta.
Kau ini ada-ada saja, Orang Tua! Tadi kau sibuk
membantuku
menghadapi keroyokan. Tapi sekarang,
kau
malah memintaku untuk bertarung!" tukas Soma
tak
dapat menahan perasaan herannya lagi.
"Terserah
kau mau omong apa, Anak Muda!
Pokoknya,
aku harus menantangmu bertarung!" tan-
das
Dewa Langit.
"Kenapa
harus?"
"Karena
aku...," hampir saja Dewa Langit kele-
pasan
bicara. Untung saja ia segera teringat akal bu-
lusnya.
"Karena... karena memang aku menginginkan
nyawamu,
Anak Muda."
"Kau
plintat-plintut, Orang Tua! Aku tak per-
caya
omonganmu. Kalau memang iya, pasti kau men-
ginginkan
sesuatu dariku. Entah apa? Yang jelas, ma-
na
sudi aku bertarung denganmu tanpa sebab pasti,"
tolak
Soma.
"Sudah
kuduga! Pemuda di hadapanku ini pasti
akan
keberatan," gumam Dewa Langit lagi dalam hati.
"Kalau
begitu aku harus memaksamu Bocah?!"
"Kau
ini sebenarnya menginginkan apa, sih?
Kenapa
nafsu sekali ingin bertarung denganku?"
"Jangan
banyak tanya! Cepat sambut pukulan-
ku!"
teriak Dewa Langit lantang.
Habis
berkata begitu, Dewa Langit pun segera
membuka
jurusnya. Jari-jari tangannya yang telah be-
rubah
jadi putih berkilauan telah terangkat. Namun
sayangnya
baru saja bermaksud akan menyerang, ti-
ba-tiba
Ningtyas telah berkelebat menghadang lang-
kahnya.
"Jangan,
Orang Tua! Kalau kau benar-benar
menyesal
telah menewaskan guruku, kau tidak boleh
menyerang
Soma. Kalau kau tetap keras kepala, lang-
kahi
dulu mayatku. Baru kau boleh menyerang Soma!"
teriak
Ningtyas lantang
Dewa
Langit menggeram penuh kemarahan.
Tampak
sekali kalau hatinya sangat bimbang. Namun,
bila
teringat akan maksud tujuannya, kebimbangan di
hatinya
pun sirna.
"Kau
tetap tenang di tempatmu, Cah Ayu! Aku
tidak
bermaksud mencelakakan pemuda itu," ujar De-
wa
Langit, tandas.
"Aku
tak percaya. Kau pasti akan mencelaka-
kan
Soma," sergah si gadis.
"Ah...!
Kau hanya menghalang-halangi mak-
sudku
saja. Sebaiknya tonton saja, apakah aku ingin
membunuh
Siluman Ular Putih atau tidak," kata Dewa
Langit
lagi.
Lalu
dengan ilmu meringankan tubuhnya yang
luar
biasa, tahu-tahu tubuh Dewa Langit telah berke-
lebat
cepat, langsung menotok tubuh Ningtyas.
Tuk!
Tuk!
Begitu
tubuhnya terkena totokan, seketika itu
juga
kaku, tak dapat digerakkan. Kemudian dengan
menahan
perasaan gusar, Ningtyas pun terpaksa
hanya
dapat menonton apa yang akan dilakukan Dewa
Langit.
"Sekarang
tunjukkan kehebatanmu, Bocah!
Kudengar
kau memiliki ilmu aneh, hingga mendapat
julukan
Siluman Ular Putih. Hayo, sekarang tunjukkan
ilmu
anehmu padaku!" teriak Dewa Langit tak sabar
lagi.
Saat
itu pula, Dewa Langit meluruk deras me-
nyerang
Siluman Ular Putih. Ia yang ingin segera me-
nemui
kematian, tidak tanggung-tanggung lagi untuk
mengeluarkan
ajian 'Sukma Sejati' agar Siluman Ular
Putih
mau mengerahkan ilmu pamungkasnya. Maka
begitu,
'Sukma Sejati' dikerahkan, seketika kedua tela-
pak
tangan Dewa Langit telah berubah jadi putih ber-
kilauan
hingga sampai ke pangkal siku! Kemudian
dengan
sebagian tenaga dalamnya, lelaki tua itu segera
menghantamkan
kedua tangannya ke depan.
Wesss!
Wesss!
Hebat
bukan main serangan Dewa Langit. Sebe-
lum
pukulan 'Sukma Sejati' mengenai sasaran, terlebih
dahulu
berkesiur angin dingin mendahului!
Diam-diam
Siluman Ular Putih mengeluh dalam
hati.
Kendati tak berhasrat untuk bertarung, tentu sa-
ja
tubuhnya tidak ingin jadi sasaran empuk serangan-
serangan
Dewa Langit. Maka begitu menyadari da-
tangnya
bahaya, segera tubuhnya melenting ke samp-
ing.
Sehingga dua larik sinar putih terang dari kedua
telapak
tangan Dewa Langit terus menerabas ke bela-
kang,
menghantam batang pohon.
Brakkk!!!
Seketika
batang pohon di belakang Siluman
Ular
Putih tumbang, lalu jatuh berdebam ke tanah!
Debu-debu
membubung tinggi, memenuhi tempat per-
tarungan!
Begitu
Siluman Ular Putih mendarat, Dewa
Langit
yang sudah merasa geram karena serangannya
hanya
dihindari, kembali menerjang. Jurus-jurus sak-
tinya
langsung digelar, diiringi pukulan 'Sukma Sejati'.
"Jangkrik!
Rupanya orang tua sinting ini benar-
benar
menginginkan nyawaku! Padahal dari tadi aku
sudah
berusaha mengalah. Tapi entah kenapa, Dewa
Langit
terus mendesakku seperti orang kesurupan!"
"Ah...!
Kalau begini terus, bisa modar aku!" ke-
luh
Siluman Ular Putih dalam hati.
Serangan-serangan
Dewa Langit makin meng-
hebat.
Malah dengan kekuatan tenaga dalam sepe-
nuhnya,
tokoh sakti dari Hutan Watu Malang ini kem-
bali
melontarkan pukulan 'Sukma Sejati'.
"Hea...!
Hea...!"
Dikawal
teriakan nyaring, Dewa Langit segera
mendorong
kedua telapak tangan ke depan. Seketika,
melesat
dua larik sinar putih berkilauan dari kedua te-
lapak
tangannya.
"Sontoloyo!
Rupanya orang tua renta ini me-
maksaku
bertarung! Baiklah! Daripada mati konyol,
kukira
tak ada jeleknya meladeni serangan-serangan
orang
tua sinting ini!" omel murid Eyang Begawan Ka-
masetyo
dalam hati.
Saat
itu Siluman Ular Putih mendorongkan ke-
dua
telapak tangannya yang telah penuh tenaga 'Inti
Bumi'
ke depan. Maka melesat pula dua larik sinar pu-
tih
terang dari kedua telapak tangan Soma, memapaki
pukulan
‘Sukma Sejati’.
Blaammm...!
Hebat
bukan main bentrokan dua tenaga dalam
di
udara kali ini! Bumi berguncang hebat. Tanah-tanah
di
sekitar pertarungan kontan terbongkar ke udara!
Bak
karung basah, tubuh Siluman Ular Putih
mencelat
beberapa tombak ke belakang. Untung saja
tubuhnya
mampu membuat putaran. Sehingga, daya
luncur
tubuhnya bisa dipatahkan. Namun begitu ke-
dua
kakinya menjejak tanah, tetap saja keseimbangan
tubuhnya
tak dapat dikendalikan. Malah parasnya pun
tampak
demikian pias dengan darah segar berleleran
di
sudut-sudut bibir. Jelas murid Eyang Begawan Ka-
masetyo
itu mengalami luka dalam.
"Semprul!
Tak kusangka aku dapat dirobohkan
tua
bangka di hadapanku ini hanya dalam satu gebra-
kan!"
dengus hati Siluman Ular Putih.
Saat
itu, Dewa Langit pun kembali menyerang
hebat.
Diam-diam Siluman Ular Putih mengeluh dalam
hati.
Kali ini sulit rasanya menghindari gempuran-
gempuran
lawan. Dan kenyataannya memang demi-
kian.
Belum sempat murid Eyang Begawan Kamasetyo
ini
bertindak, tiba-tiba tepukan tangan Dewa Langit te-
lah
mengancam dadanya. Dan....
Bukkk!
Bukkk!
Telak
sekali hantaman tangan Dewa Langit
mendarat
di dada Siluman Ular Putih. Seketika tubuh
si
pemuda limbung ke samping, lalu jatuh berdebam
ke
tanah! Parasnya kian pucat bagai mayat! Sedang
dadanya
yang terkena hantaman tangan terasa mau
jebol!
Siluman
Ular Putih mengerang hebat. Dan begi-
tu
meloncat bangun, darah segar tersembur dari mu-
lutnya.
"Slompret!
Benar-benar slompret! Tua bangka
ini
rupanya benar-benar menginginkan nyawaku. Ku-
kira
sudah saatnya aku mengeluarkan ajian 'Titisan
Siluman
Ular Putih' seperti yang diinginkan orang tua
itu,"
pikir Soma dalam hati.
Maka
tanpa banyak cakap lagi, Soma segera
memusatkan
jalan pikirannya. Sementara itu, kedua
bibirnya
mulai berkemik-kemik, membaca mantra
ajian
'Titisan Siluman Ular Putih'. Dan begitu selesai,
seketika
itu pula sekujur tubuhnya diselimuti asap pu-
tih
tipis. Sehingga, bayangan tinggi kekarnya tidak ke-
lihatan
sama sekali!
Melihat
ilmu aneh yang tengah dikeluarkan Si-
luman
Ular Putih, sejenak Dewa Langit pun menghen-
tikan
serangan. Sepasang matanya yang berwarna ke-
labu
terus memandangi asap putih yang bergulung-
gulung
di hadapannya tanpa berkedip. Dan ketika
asap
yang menyelimuti sekujur tubuh Siluman Ular
Putih
sirna, seketika itu pula....
"Ggggeeerrr...!!!"
*
* *
"Si....
Siluman Ular Putih...!" pekik Dewa Lan-
git.
Ningtyas
pun tak urung terperangah dengan
mata
melotot. Namun ketika gadis ini berniat berlari
karena
ngeri, tetap saja tubuhnya masih terpaku kare-
na
tertotok,
"Hm...!
Rupanya inikah yang disebut-sebut il-
mu
aneh yang dapat membunuhku...?" gumam Dewa
Langit
menegang, saking gembiranya melihat ilmu
yang
tengah dikeluarkan murid Eyang Begawan Kama-
setyo.
Sejenak
tokoh sakti dari Hutan Watu Malang
itu
belum melanjutkan serangan. Hanya sepasang ma-
tanya
saja yang terus memandang takjub pada sosok
panjang
sebesar pohon kelapa berwarna putih.
"Oh...!
Hyang Widi! Rupanya kau telah menga-
bulkan
permintaanku. Terima kasih, Hyang Widi. Se-
karang
juga aku siap menerima jalan kematianku," de-
sah
Dewa Langit seraya mendongakkan kepala.
Dan
dengan wajah berseru, Dewa Langit kem-
bali
memperhatikan sosok mengerikan di hadapannya.
Hatinya
kini lapang. Apalagi saat itu sosok panjang Si-
luman
Ular Putih mulai mengibas-ngibaskan ekornya
ke
sana kemari, siap menyerang Dewa Langit.
Diam-diam
Dewa Langit jadi gembira. Dan se-
perti
dugaannya, ternyata ular putih raksasa itu kini
menerjang
hebat dengan terkaman-terkaman mengi-
riskan.
Aneh!
Dengan senyum terkembang, Dewa Lan-
git
siap menerima serangan-serangan Siluman Ular
Putih
tanpa sedikit pun berusaha mengelak. Hal ini
tentu
saja sangat mencemaskan hati Ningtyas yang
menonton
jalannya pertarungan tanpa dapat mengge-
rakkan
tubuhnya.
Buk!
Buk!
"Ohh...!"
Ketika
terjangan Siluman Ular Putih mengenai
sasaran,
Ningtyas memekik lirih. Matanya terpejam ra-
pat-rapat.
Lalu....
"Aaa...!"
Saat
mata murid si Raja Pedang terpejam tiba-
tiba
terdengar satu lengking kematian yang teramat
menyayat
hati.
Ningtyas
penasaran bukan main. Buru-buru
kelopak
matanya kembali dibuka. Dan saat itu pula, si
gadis
memekik, melihat tubuh bersimbah darah milik
Dewa
Langit yang telah terkapar di atas tanah di sam-
pingnya.
Dadanya bergerak turun naik. Kembali terjadi
keanehan.
Meski mendapat luka teramat parah, Dewa
Langit
tampak berusaha tersenyum.
"Kau....
Kau, kenapa tidak berusaha menghin-
dar,
Orang Tua?" tanya Ningtyas, tak dapat menahan
perasaan
heran.
"Me...
memang inilah yang kuinginkan, Cah
Ayu.
Aku sudah jenuh. Aku sudah muak melihat kehi-
dupan
ini. Dan hanya dengan cara inilah aku dapat
menemukan
kematian," jelas Dewa Langit, tersengal.
Ningtyas
terharu sekali. Tak disangka, Dewa
Langit
memang menginginkan kematian di tangan Si-
luman
Ular Putih.
Saat
yang sama sekujur tubuh Siluman Ular
Putih
mulai diselimuti asap putih tipis. Sehingga,
bayangan
sosok panjang sebesar pohon kelapa itu ti-
dak
kelihatan sama sekali. Lalu saat asap putih itu
sirna
tertiup angin, maka yang tampak kini hanya so-
sok
pemuda berambut gondrong murid Eyang Bega-
wan
Kamasetyo!
"Ah...!
Kenapa jadi begini?" teriak Soma begitu
kembali
menjelma jadi manusia biasa.
Habis
berteriak begitu, Siluman Ular Putih se-
gera
berlari ke arah Dewa Langit. Rasa menyesal yang
teramat
sangat tiba-tiba membaluri hatinya. Lalu den-
gan
agak gugup, segera diraihnya kepala Dewa Langit
ke
atas pangkuannya.
Meski
dengan susah payah, Dewa Langit tetap
berusaha
tersenyum.
"Terima
kasih, Anak Muda. Kau baik sekali.
Kau
telah antarkan aku menemui Pendampingku Yang
Setia.
Kalau kau tertarik, sekalian ajak gadis itu mem-
pelajari
kitab-kitab peninggalan ku. Asal, jangan Kitab
Sukma
Sejati! Itu amat berbahaya, Anak Muda. Kukira
hanya
itu pesanku, Anak Muda! Selamat tinggal!" ucap
Dewa
Langit lirih.
Dan
perlahan-lahan, Dewa Langit pun meme-
jamkan
matanya rapat-rapat. Dadanya yang tadi ter-
sengal,
perlahan-lahan tenang kembali. Tokoh sakti
dari
Hutan Watu Malang ini pun telah berangkat ke
tempat
kekal yang diinginkannya.
"Sungguh
orang tua hebat! Tak kusangka ia
menginginkan
kematian dari tanganku," desah Silu-
man
Ular Putih dalam hati.
Siluman
Ular Putih lantas bangkit sambil
membopong
tubuh Dewa Langit yang telah menjadi
mayat.
Murid Eyang Begawan Kamasetyo ini segera
mendekati
Ningtyas yang masih tertotok.
"Bagaimana
ini, Ningtyas? Apa tidak sebaiknya
kita
kuburkan saja di tempat kediamannya, di Hutan
Watu
Malang? Kukira ini akan lebih baik bagi ketente-
raman
arwahnya?" tanya Soma meminta pendapat.
"Baiklah.
Aku menurut saja. Asal...."
"Asal
apa?" potong Soma. "Asal berduaan den-
ganku,
kan?"
"Apa?!
Enak saja!" sungut Ningtyas kesal.
"Lantas?"
"Aku
memang ingin mengikutimu. Tapi, aku ju-
ga
ingin mempelajari kitab-kitab peninggalannya," jelas
Ningtyas.
"Oh,
begitu...?" desah Soma.
"Iya.
Makanya cepat bebaskan totokanku!"
"Baik."
Soma
cepat menotok tubuh Ningtyas, hingga
dapat
kembali menggerakkan tubuhnya. Kemudian si
pemuda
segera mengajak pergi meninggalkan tempat
ini.
Kedua tangannya masih memondong jasad Dewa
Langit
yang perlahan-lahan mulai dingin dan kaku.
Angin
pun berbisik-bisik, seolah membicarakan
keanehan
Dewa Langit yang menginginkan kematian-
nya
di tangan seorang pendekar yang dilahirkan secara
aneh,
serta memiliki ilmu aneh.
SELESAI
Segera
hadir kembali!!!
Serial
Siluman Ular Putih dalam episode:
PERSEKUTUAN
MAUT
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru
Edit: Fujidenkikagawa
convert
txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon