Siluman Ular Putih 4 - Pedang Kelelawar Putih(2)


Malam merambah perlahan. Kerlip ber-
juta bintang dan pancaran sinar rembulan di 
cakrawala membuat suasana permukaan 
mayapada terang benderang. Di bawah usa-
pan sinar rembulan, tampak lima sosok 
bayangan putih-putih tengah mengendap-
endap memasuki Pekarangan Terlarang mela-
lui tembok sebelah utara yang jarang sekali 
dilalui murid-murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih. 
Gerakan mereka ringan sekali ketika me-
loncat dan kembali turun ke dalam Pekaran-
gan Terlarang, Namun tiba-tiba sosok yang 
paling depan menghentikan langkahnya. Ke-
dua tangannya cepat dikibaskan ke belakang, 
memberi isyarat agar keempat sosok lainnya 
bersembunyi. 
Tanpa banyak  cakap, keempat sosok 
yang diperintahkan segera menyelinap ke ba-
lik dinding tembok Pekarangan Terlarang. Ke-
betulan sekali warna tembok itu putih, se-
hingga ketika keempat sosok berpakaian pu-
tih-putih itu merapat ke tembok tidak begitu 
kentara. 
Sedang sosok paling depan yang bertu-
buh ramping segera menyelinap dengan cara 
berjongkok ke balik sebatang pohon kecil di 
sampingnya. Sepasang mata tajamnya terus 
memperhatikan beberapa orang murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih yang sedang berjaga-
jaga tak jauh dari Sumur Kematian yang ter-
nyata berjumlah tidak kurang dari dua belas 
orang. 
Buru-buru sosok ramping berpakaian 
serba putih yang berjongkok di balik sebuah 
pohon itu memberikan isyarat kepada keem-
pat sosok di belakangnya. Namun ketika hen-
dak melaksanakan niatnya, mendadak dari 
tembok Pekarangan Terlarang sebelah selatan 
berkelebat sesosok bayangan putih-putih lain 
yang menuju rumah batu tak jauh dari Su-
mur Kematian. 
"Kakang Sungkono! Mengapa kau berlari 
seperti dikejar setan, Kakang?" tegur salah 
seorang murid penjaga Sumur Kematian lan-
tang. 
Sosok bayangan yang ternyata laki-laki 
berpakaian putih-putih bernama Sungkono 
cepat menghentikan langkahnya. Sepasang 
matanya yang tajam sejenak memperhatikan 
kerlip lampu di rumah batu. Lalu kembali 
matanya memperhatikan adik-adik sepergu-
ruannya yang bertugas menjaga Sumur Ke-
matian. 
"Ada apa, Kang? Kok, nampaknya kau 
gelisah sekali?" tanya salah  seorang murid 
penjaga yang berpita hijau. 
"Aku tidak sedang gelisah. Aku hanya 
ingin melapor pada Guru. Apa Guru ada di 
dalam rumah batunya, Wongso?" sahut 
Sungkono. 
"Ada. Sejak tadi pagi guru tidak keluar 
dari rumah batunya. Memangnya kau mau 
melapor apa, Kakang?" tuntut murid berpita 
hijau yang dipanggil Wongso itu heran. 
"Aku hanya ingin melapor kalau Setan 
Cantik dan Cantrik Tudung Pandan dari Ista-
na Ular Emas tengah menunggu Guru di pen-
dopo." 
"Oh...! Aku kira ada apa Rupanya tokoh 
dari Istana Ular Emas itu yang ingin menemui 
Guru. Aku kok jadi tidak mengerti, mengapa 
Guru mau berkawan akrab dengan mereka? 
Bukankah Setan Cantik dan Cantrik Tudung 
Pandan itu adalah orang-orang licik?" tanya 
Wongso setengah berbisik, seperti takut kalau 
suaranya terdengar Kelelawar Hutan yang se-
dang berada di dalam rumah batunya. 
"Hush! Jaga mulutmu, Wongso! Apa kau 
sudah bosan hidup, he?!" tegur Sungkono 
memperingatkan. 
"Tidak, Kakang. Aku..., aku cuma men-
gungkapkan keheranan ku saja," elak Wongso 
ketakutan. 
"Sudah! Sekarang jangan membicarakan 
Guru lagi! Sebaiknya jalankan saja apa yang 
Guru perintahkan!" ujar Sungkono, tegas. 
"Baik, Kakang," 
"Nah, sekarang teruskan saja tugas ka-
lian. Aku akan segera melaporkan kedatangan 
Setan Cantik dan Cantrik Tudung Pandan ke-
pada Guru." 
Sehabis berkata begitu, Sungkono segera 
berkelebat cepat menuju ke rumah batu tak 
jauh dari Sumur Kematian. 
Sementara itu, kelima sosok berpakaian 
serba putih yang sedang bersembunyi di dind-
ing sebelah utara Pekarangan Terlarang 
hanya bisa saling berpandangan ketika tadi 
Sungkono menyebut-nyebut Setan Cantik dan 
Cantrik Tudung Pandan. Dari sorot mata jelas 
sekali kalau nyali mereka kontan surut men-
dengar disebut-sebutnya kedua tokoh sesat 
dari Istana Ular Emas itu. 

Sebelum mereka berbuat sesuatu, dari 
arah rumah batu telah berkelebat cepat seso-
sok tinggi besar berpakaian hitam-hitam den-
gan ikat kepala juga berwarna hitam. Ia tidak 
lain dari Kelelawar Hutan. Sementara jauh di 
belakangnya adalah Sungkono, murid berpita 
kuning yang tadi melaporkan kedatangan Se-
tan Cantik dan Cantrik Tudung Pandan. 
Melihat berkelebatnya dua sosok bayan-
gan itu, sosok ramping berpakaian putih-
putih yang dari tadi bersembunyi di balik se-
batang sebuah pohon segera mengisyaratkan 
keempat sosok berpakaian putih-putih lain-
nya di belakang. 
"Nanti dulu, Bibi Guru Bidadari Putih. 
Biarkan si Keparat Kelelawar Hutan menemui 
kedua orang tamunya dulu," cegah salah satu 
sosok berpakaian putih-putih yang bersem-
bunyi di dinding tembok Pekarangan Terla-
rang lirih. 
"Kenapa, Sindu? Apa kau takut meng-
hadapi kedua belas penjaga itu?" tukas sosok 
ramping berpakaian putih yang tak lain Bida-
dari Putih, berbisik. 
Memang, keempat sosok kekar berpa-
kaian putih-putih di belakang Bidadari Putih 
adalah empat orang murid utama Lowo Kuru. 
Setelah berhasil mengusir Setan Cantik ketika 
sedang bertarung melawan Bidadari Putih, 
keempat orang murid utama Lowo Kuru itu 
lantas mengajak Bidadari Putih untuk mene-
mui Lowo Kuru, suaminya. 
"Bukannya aku takut menghadapi mere-
ka, Bibi Guru. Terus terang aku khawatir ka-
lau Kelelawar Hutan keburu datang kemari 
sebelum kita berhasil meringkus kedua belas 
orang murid penjaga itu. Ya, kalau Kelelawar 
Hutan datang sendirian. Tapi, kalau ia datang 
bersama Setan Cantik dan Cantrik Tudung 
Pandan. Bagaimana kita harus menghadapi 
mereka,  Bibi," kilah laki-laki yang tak lain 
Sindu. 
"Baiklah kalau begitu," sahut Bidadari 
Putih akhirnya. 
Namun mendadak kasak-kusuk kedua 
orang itu telah diketahui salah seorang murid 
penjaga. Maka sejenak perhatiannya dialih-
kan ke arah tempat persembunyian Bidadari 
Putih dan keempat Orang murid utama Lowo 
Kuru. 
"Siapa bersembunyi di situ?!" bentak 
murid itu lantang. 
Yang kaget mendengar bentakan itu bu-
kan saja Bidadari Putih dan keempat murid 
utama Lowo Kuru, melainkan juga murid-
murid penjaga lainnya. 
"Ada apa, Kakang Penggalih? Apa kau 
melihat sesuatu yang mencurigakan?" tanya 
Salah seorang murid penjaga lainnya heran. 
"Benar Panuluh. Tadi aku mendengar 
orang berkasak-kusuk di sebelah sana!" sahut 
laki-laki yang dipanggil Penggalih seraya me-
nunjuk ke tempat Bidadari Putih dan keem-
pat orang murid utama Lowo Kuru bersem-
bunyi. 
"Baik. Kalau begitu, mari kita lihat ke 
sana!" ajak Panuluh bersemangat. 
Di tempat persembunyiannya, Sindu jadi 
cemas. 
"Celaka! Rupanya kedatangan kita telah 
diketahui murid-murid penjaga itu!" desah 
Sindu. 
"Hm...! Tidak ada pilihan lain. Mumpung 
selagi Kelelawar Hutan keluar menemui Setan 
Cantik dan Cantrik Tudung Pandan, kita ha-
rus secepatnya merobohkan mereka. Ayo, ce-
pat. serang mereka!" ujar Bidadari Putih se-
raya dengan gesitnya keluar dari tempat per-
sembunyiannya. 
"Baik!" sahut keempat orang murid uta-
ma Lowo Kuru serempak. 
Sehabis berkata begitu, keempat orang 
murid utama Lowo Kuru segera menyusul Bi-
dadari Putih. Begitu mereka mendarat, kedua 
belas orang murid penjaga itu segera mengu-
rung dengan pedang yang berkilat-kilat ter-
timpa sinar rembulan. 
"Penggalih, Panuluh! Siapa suruh kalian 
berani lancang seperti ini, he?" bentak Bida-
dari Putih garang. 
"Bi..., Bibi Guru? Kaukah Bibi  Guru?" 
kata Penggalih gemetar. Samar-samar dari te-
rangnya sinar rembulan, matanya dapat me-
nangkap sosok berpakaian putih-putih yang 
memang Bidadari Putih. 
"Kalau sudah tahu, mengapa tidak lekas 
angkat kaki meninggalkan tempat ini!" hardik 
Bidadari Putih lagi garang.- 
"Ma..., maafkan kami, Bibi Guru! Ka..., 
kami diperintahkan Guru Kelelawar Hutan 
untuk me..., menangkap Bibi Guru hidup 
atau mati," kata Penggalih gemetar. 
"Apa?! Kelelawar Hutan menyuruh ka-
lian menangkapku?!" sentak Bidadari Putih 
kaget bukan alang kepalang. 
Sungguh wanita ini tak menyangka ka-
lau Kelelawar Hutan telah memerintahkan 
murid-muridnya untuk menangkap dirinya. 
Ini jelas di luar perkiraannya. Semula, ia me-
mang sengaja datang ke Sumur Kematian 
dengan cara bersembunyi, karena tidak ingin 
bertemu Kelelawar Hutan. Tapi, siapa sangka 
justru Kelelawar Hutan malah memerintah-
kan murid-muridnya untuk menangkap di-
rinya. 
"Be..., benar Bibi Guru. Bahkan kami 
pun diperintahkan untuk menangkap Nona 
Bidadari Kecil hidup atau mati," jelas Pengga-
lih, merasa rikuh juga. 
"Keparat! Ayo, sekarang laksanakan tu-
gas kalian kalau tidak mau menyingkir dari 
hadapanku!" geram Bidadari Putih penuh 
kemarahan. 
"Maaf. Sekali lagi kami mohon maaf, ka-
lau terpaksa lancang terhadap Bibi Guru," 
ucap Penggalih seraya mengisyaratkan kese-
belas teman-temannya untuk menangkap Bi-
dadari Putih. 
"Baik, baik! Laksanakanlah tugas kalian! 
Tunggu apa lagi?!" tantang Bidadari Putih tak 
dapat lagi mengendalikan amarahnya. 
Sehabis berkata begitu, Bidadari Putih 
segera berkelebat cepat menyerang Penggalih 
dan Panuluh. Demikian juga keempat orang 
murid utama Lowo Kuru. 
Meski hanya dengan tangan kosong, ter-
nyata dalam waktu singkat keempat murid 
utama Lowo Kuru sudah dapat mendesak pa-
ra pengeroyoknya dengan mudah. Dan seben-
tar kemudian, para penjaga itu pun dapat di-
robohkannya dengan mudah. Termasuk juga, 
Penggalih dan Panuluh yang tak sadarkan diri 
di tangan Bidadari Putih. 
"Mari! Sebaiknya kita langsung masuk 
ke dalam Sumur Kematian, Bibi! Mumpung 
Kelelawar Hutan dan murid-muridnya belum 
kemari," ajak Sindu, setelah tak satu pun 
penjaga yang bergerak bangkit. 
"Baik. Mari!" sahut Bidadari  Putih me-
nyetujui. 
Dan sekali menutulkan kakinya ke ta-
nah, tahu-tahu sosok ramping Bidadari Putih 
telah berkelebat cepat menuju ke Sumur Ke-
matian. 
Tanpa banyak membuang-buang waktu, 
keempat orang murid utama Lowo Kuru pun 
segera menyusul. Namun ketika mereka hen-
dak masuk ke dalam Sumur Kematian, tiba-
tiba Bidadari Putih melihat berkelebatnya tiga 
bayangan di atas tembok Pekarangan Terla-
rang. 
"Kelelawar Hutan...," desis Bidadari Pu-
tih. 
Keempat orang murid utama Lowo Kuru 
cepat berpaling ke belakang. Satu di antara 
tiga sosok bayangan yang sedang berlari ken-
cang menuju Sumur Kematian memang Kele-
lawar Hutan. Sedang dua sosok di samping-
nya adalah dua orang perempuan berpakaian 
kuning keemasan. 
"Hm...! Menilik pakaian yang dikenakan, 
kedua orang itu pasti Setan Cantik dan Can-
trik Tudung Pandan. Siapa lagi kalau bukan 
dua tokoh sesat dari Istana Ular Emas itu? 
Mari, sebaiknya kita segera masuk ke dalam 
Sumur Kematian!" ajak Sindu jerih juga meli-
hat siapa yang datang. Dan tanpa banyak ca-
kap lagi, ia segera masuk ke dalam Sumur 
Kematian, diikuti ketiga orang adik sepergu-
ruannya. 
Hanya Bidadari Putih sajalah yang seje-
nak memperhatikan ketiga sosok bayangan 
yang sedang mendekatinya. 
"Manusia Laknat! Tunggulah pembala-
sanku!" desis Bidadari Putih. 
Dan sehabis berkata begitu, wanita ini 
pun segera meloncat ke dalam Sumur Kema-
tian. 
Begitu masuk, kening Bidadari Putih 
sempat berkerut ketika melihat berpuluh-
puluh tulang manusia tertancap rapi di dind-
ing-dinding Sumur Kematian. Dan ini tentu 
saja dapat memudahkan dirinya dan keempat 
orang murid Lowo Kuru masuk ke dalam. 
Tanpa begitu mempedulikannya, Bidadari Pu-
tih segera meneliti tulang-tulang yang tertan-
cap rapi di dinding-dinding lalu meloncat ke 
dasarnya. 
* * * 
Sesuai julukannya, sosok di belakang 
Kelelawar Hutan dan di samping Setan Cantik 
memang seorang perempuan bercaping lebar 
terbuat dari anyaman daun pandan. Rambut-
nya hitam panjang dibiarkan tergerai di bahu. 
Wajahnya cantik berbentuk lonjong. Sepasang 
matanya tajam, alis matanya tebal. Hidung-
nya mancung dengan kulit wajahnya kuning 
langsat. Sedang tubuhnya yang tinggi ramp-
ing dibalur pakaian warna kuning keemasan. 
Konon dulu sebelum diangkat menjadi 
murid perguruan Istana Ular Emas, wanita 
yang  merupakan kakak seperguruan Setan 
Cantik adalah seorang cantrik di Kadipaten 
Kuripan. Berhubung waktu itu terjadi pembe-
rontakan, Cantrik Tudung Pandan yang ber-
nama asli Sumi ini mendapat tugas untuk 
menyelamatkan putra Adipati Kuripan. Cuma 
sayang, di tengah perjalanan ia  dan putra 
Adipati Kuripan dihadang pasukan pemberon-
tak. Untung saja pada saat pasukan pembe-
rontak tengah memaksa putra Adipati Kuri-
pan untuk dibawa ke kadipaten, mendadak 
muncul Bunda Kurawa pemilik Istana Ular 
Emas. Sehingga, akhirnya Sumi dan putra 
Adipati Kuripan itu menjadi murid Bunda Ku-
rawa. 
Karena selalu mengenakan tudung lebar 
terbuat dari anyaman daun pandan maka 
oleh Bunda Kurawa, Sumi mendapat julukan 
Cantrik Tudung Pandan. 
Sejenak Kelelawar Hutan berdiri tegak 
tak bergerak. Hanya matanya saja yang berge-
rak-gerak liar, memandangi Sumur Kematian 
dan beberapa orang muridnya  yang roboh. 
Wajahnya menegang. Rahangnya bertonjolan 
pertanda tengah menahan amarahnya yang 
menggelegak. Lalu dengan kemarahan me-
muncak tahu-tahu tubuh tinggi besarnya 
berkelebat cepat, langsung menotok kedua 
belas  muridnya yang roboh. Dalam waktu 
yang tidak lama, kedua belas murid Kelelawar 
Putih itu pun terbangun. 
“Panuluh! Apa yang terjadi di sini? Cepat 
katakan!" tanya Kelelawar Hutan garang. 
"Bibi Guru Bidadari Putih dan empat 
orang laki-laki berpakaian putih-putih datang 
kemari. Kami mencoba menangkap, ta..., tapi 
gagal. Kami..., kami dapat dirobohkan mere-
ka, Guru," lapor Panuluh dengan suara berge-
tar saking takutnya. 
"Keparat!  Murid-murid tak berguna! 
Mampuslah kalian semua!" bentak Kelelawar 
Hutan dengan wajah bengis. Kedua tangan-
nya yang telah berubah menjadi hitam legam 
mendadak mengibas, melepas pukulan Tan-
gan Hitam ke arah dua belas orang muridnya. 
Wesss! 
"Aaakh...!" 
Seleret sinar hitam legam yang during 
berkesiurnya hawa dingin dari kedua telapak 
tangan  Kelelawar  Hutan cepat melabrak ke-
dua belas tubuh muridnya. Laksana daun-
daun kering yang berguguran tertiup angin, 
tubuh kedua belas orang itu jatuh berpelan-
tingan tanpa mampu bergerak lagi dengan tu-
buh hangus terbakar! 
"Satu pukulan hebat, Tapi aku ragu, 
apakah dengan pukulan 'Tangan Hitam'-mu 
itu kau sanggup merobohkan Lowo Kuru?" 
ejek Cantrik Tudung Pandan. 
"Apa maksudmu bicara demikian, Can-
trik Tudung Pandan?!" sentak Kelelawar Hu-
tan gusar. Sepasang matanya yang memerah 
melotot lebar. 
"Sudah jelas yang kukatakan, bukan? 
Pukulan 'Tangan Hitam'-mu memang hebat. 
Cuma, terus terang aku meragukan apa kau 
sanggup menghadapi Lowo Kuru. Salahkah 
kalau aku meragukan kehebatan pukulanmu, 
Kelelawar Hutan?" jawab Cantrik Tudung 
Pandan lebih menyakitkan. 
Kelelawar Hutan menggereng penuh ke-
marahan. Wajahnya yang  garang menegang. 
Kedua pelipisnya bergerak- gerak. Sedang ke-
dua telapak tangannya telah berubah menjadi 
hitam legam sampai ke pangkal siku, siap 
menghanguskan tubuh Cantrik Tudung Pan-
dan. 
"Ha ha ha...! Di antara kawan sendiri, 
mengapa bersitegang begini?" sela Setan Can-
tik menengahi. 
Kelelawar Hutan menurunkan kedua 
tangannya. Dalam hatinya diam-diam dia me-
nyesali kebodohannya. Apalagi, saat itu ia 
memang sedang membutuhkan bantuan dua 
tokoh sesat dari Istana Ular Emas itu. Berpi-
kir demikian, amarah Kelelawar Hutan pun 
mulai sedikit berkurang. 
"Kau benar, Setan Cantik. Aku pikir di 
antara kawan sendiri memang tidak perlu 
bersitegang begini. Tapi, aku  yakin pukulan 
'Tangan Hitam'-ku sanggup meremukkan tu-
buh buntung Lowo Kuru." 
"Lantas, mengapa kau tidak masuk saja 
ke dalam Sumur Kematian? Mengapa malah 
meminta bantuan kami berdua untuk meng-
hadapi orang tua buntung itu?" tukas Cantrik 
Tudung Pandan, lagi-lagi membuat merah te-
linga Kelelawar Hutan. 
"Bukannya  aku tidak berani masuk ke 
dalam Sumur Kematian, Cantrik Tudung 
Pandan. Tapi, ketahuilah! Menurut keteran-
gan beberapa orang muridku, selain Lowo Ku-
ru, di dalam Sumur Kematian juga ada seo-
rang pemuda sakti yang dapat melumpuhkan 
puluhan muridku dengan mudah. Apalagi se-
karang ditambah lagi Bidadari Putih dan em-
pat orang laki-laki berpakaian putih-putih se-
perti yang dikatakan muridku tadi. Untuk itu-
lah aku mengharap bantuan kalian," tukas 
Kelelawar Hutan merendah. 
"Hm...! Jadi begitu persoalannya. Tapi 
kalau menurut hematku, lebih baik kau pun 
harus memanggil teman-teman lain. Sebab, 
tadi siang sewaktu aku sedang menuju kema-
ri, kulihat Lelaki Berkumis Kucing pun tengah 
menuju kemari. Entah, ada urusan apa." 
"Hm...! Ya ya ya...! Terima kasih atas ke-
teranganmu, Setan Cantik! Dan aku pun 
akan mempertimbangkan usulmu tadi. Tapi 
sekarang, sebaiknya kita melanjutkan perbin-
cangan di pendopo saja. Tak enak rasanya ki-
ta bicara sambil berdiri begini. Mari!" 
"Baiklah!" sahut Setan Cantik dan Can-
trik Tudung Pandan, hampir bersamaan. 
Dan tanpa banyak cakap lagi ketiga 
orang itu pun segera berkelebat keluar dari 
Pekarangan Terlarang. Gerakan kaki mereka 
cepat sekali laksana terbang. Sehingga dalam 
waktu singkat sosok bayangan mereka lenyap 
di antara kegelapan malam. 
*** 
"Manusia-manusia jahanam! Siapa be-
rani mencari mati di dalam Sumur Kematian, 
he?!" 
Belum hilang gaung suara bentakan, 
mendadak dari salah sebuah lorong di dalam 
Sumur Kematian meluruk angin kencang 
yang disusul gulungan sinar hitam ke arah 
Bidadari Putih dan keempat orang murid 
utama Lowo Kuru. 
Wesss! 
Bukkk! Bukkk! 
Tanpa ampun, dua orang murid Lowo 
Kuru terpental beberapa tombak ke belakang. 
Dadanya yang terkena hantaman gulungan-
gulungan hitam terasa mau jebol dan nyeri 
bukan main. Sementara itu untung saja Bi-
dadari Putih dan dua orang murid Lowo Kuru 
lainnya cepat membuang tubuh ke samping. 
Sehingga, selamatlah  ketiga orang itu dari 
hantaman gulungan-gulungan hitam yang 
menyerang. 
Sedang gulungan-gulungan hitam yang 
ternyata rambut hitam dari sosok buntung itu 
terus menerabas ke depan, langsung menan-
cap kokoh di dinding Sumur Kematian. Ke-
mudian, meluncur satu sosok buntung yang 
berkelebat cepat menyerang Bidadari Putih 
yang baru saja bangkit. 
"Suamiku! Hentikan seranganmu!" teriak 
Bidadari Putih, lantang. 
Gulungan-gulungan hitam yang tengah 
melayang-layang di udara mendadak berhen-
ti. Namun sosok buntung itu terus menerabas 
ke depan, membuat rambut-rambut hitam itu 
kembali menancap kokoh di dinding-dinding 
Sumur Kematian. 
"Siapa kau?!" bentak sosok buntung 
yang tidak lain Lowo Kuru. 
"Aku... Aku Surtini, istrimu, Kakang," 
sahut Bidadari Putih gemetar. 
Apa yang terlihat benar-benar membuat 
hati wanita itu nyeri. Ia tidak menyangka su-
aminya dalam keadaan mengenaskan Seperti 
itu. Meski dapat membayangkan penderitaan 
suaminya yang hidup di dalam Sumur Kema-
tian, namun begitu menyaksikan dengan ma-
ta kepala sendiri, tak urung air mata Bidadari 
Putih pun merembes membasahi pipi. 
Lowo Kuru membelalakkan matanya 
sungguh tidak diduga kalau istrinya akan 
muncul dalam Sumur Kematian. 
Pada saat yang sama, Soma dan Bidada-
ri Kecil tengah berkelebat cepat ke dasar Su-
mur Kematian. Sesampainya di sana, tampak 
beberapa orang yang tak dikenal tengah ber-
diri berhadapan dengan Lowo Kuru. Siluman 
Ular Putih bersiap-siap membantu Lowo Ku-
ru. Namun tidak demikian halnya Bidadari 
Kecil. Begitu melihat sosok perempuan berpa-
kaian putih-putih yang sangat dikenalnya, 
Aryani segera menghambur. Langsung ditu-
bruknya Bidadari Putih. 
"Ibu...!" 
Bidadari Putih tersentak kaget. Suara 
gadis itu begitu sangat dikenalnya. Maka be-
gitu melihat Bidadari Kecil tengah berlari ke 
arahnya, Bidadari Putih pun cepat menyam-
butnya. 
"Aryani...!" 
Bidadari Putih memeluk putri tunggal-
nya erat-erat. Air matanya semakin memban-
jiri membasahi pipi. 
"Ba..., bagaimana kau bisa sampai ke-
mari, Anakku? Siapa yang mencemplungkan 
kau kemari?" tanya Bidadari Putih dengan bi-
bir bergetar. 
"Aku... aku ingin bertemu Ayah, Ibu," 
kata Aryani dengan tangis memelas di dalam 
pelukan ibunya. 
"Istriku! Kasihan kau. Aku benar-benar 
telah menelantarkan kalian berdua. Aku laki-
laki tak bertanggung jawab. Rasanya, aku tak 
layak lagi hidup lebih lama di alam mayapada 
ini. Ma... maafkanlah aku, istriku!" ucap Lowo 
Kuru dengan segenap perasaan sesalnya. 
Suara laki-laki tua ini pun terdengar 
bergetar-getar. Seolah-olah, ia tidak kuat lagi 
menahan guncangan batinnya yang hebat. 
Bahkan tanpa diduga sama sekali, tahu-tahu 
orang tua buntung yang memang sebenarnya 
kurang waras, karena bertahun-tahun men-
derita dalam Sumur Kematian itu menggerak-
kan kepalanya ke dinding. 
"Guru...! Jangaaan...!" pekik keempat 
orang murid utama Lowo Kuru hampir ber-
samaan. 
Dan sebelum  keempat orang murid itu 
bertindak, mendadak sesosok bayangan putih 
keperakan telah berkelebat cepat mengha-
dang gerakan Lowo Kuru yang hendak mem-
benturkan kepalanya ke dinding. Maka sebe-
lum peristiwa mengenaskan itu terjadi.... 
Bukkk!  
"Heekkk..!" 
Aneh sekali. Entah mengapa, kepala Lo-
wo Kuru seperti menghantam kantong kapas 
yang lunak. Sehingga selamatlah nyawanya. 
Namun karena gerakan kepala orang tua bun-
tung itu begitu keras, maka tak urung juga 
Soma sempat meringis kesakitan. Perutnya 
mendadak terasa diaduk-aduk, hendak me-
muntahkan isinya. 
"Orang tua tak berperasaan! Bagaimana 
kau dapat mengerti perasaan anak dan istri-
mu kalau kau sendiri belum tahu perasaan-
mu sendiri!" bentak Soma alias Siluman Ular 
Putih garang. 
Dengan menggunakan Ujung-ujung 
rambutnya yang menotol ke badan pemuda 
penghadangnya, Lowo Kuru cepat menarik 
kepalanya. Dan ia segera berdiri seperti semu-
la, menggunakan ujung-ujung rambutnya 
yang menancap kokoh ke tanah. 
Pada saat rambut-rambut Lowo Kuru 
menotol ke badan Soma itulah Siluman Ular 
Putih menggelinjang kegelian. 
"Eh eh...! Dasar orang tua tak tahu diri! 
Sudah ditolong, pakai menggelitiki lagi!" 
Mata Lowo Kuru terbelalak lebar. Bu-
kannya tersinggung oleh makian barusan, 
melainkan heran melihat pemuda penolong-
nya mampu menguasai 'Tenaga Inti Kapas' 
yang hanya dikuasai beberapa gelintir orang 
di dunia persilatan. Satu di antaranya orang 
yang menguasai 'Tenaga Inti Kapas' adalah 
Eyang Bromo. Ia adalah salah seorang tokoh 
sakti yang jarang sekali menampakkan diri ke 
dunia ramai. 
"Kau...? Apa hubunganmu dengan 
Eyang Bromo, Anak Muda? Apakah kau..., 
kau murid orang tua sakti dari Gunung Bro-
mo itu?" tanya Lowo Kuru dengan mata terbe-
liak lebar saking kagumnya. 
"Aku?" Soma menunjuk dadanya sendiri. 
"Ah...! Kau ini mengada-ada saja, Ki! Mana 
aku tahu orang tua sakti yang kau sebut-
sebutkan itu. Mendengar namanya pun baru 
kali ini." 
"Tidak mungkin! Kau pasti mengenal 
orang tua sakti itu. Sebab, siapa lagi yang 
mampu menguasai Tenaga Inti Kapas' kalau 
bukan murid orang tua sakti dari Gunung 
Bromo itu. Tapi..., tapi kalau tidak salah, bisa 
jadi kau murid Eyang Begawan Kamasetyo 
dari Gunung Bucu. Sebab hanya dua orang 
tua sakti itu sajalah yang mampu menguasai 
'Tenaga Inti Kapas'. Ya yaya...! Kau pasti mu-
rid dari salah satu orang tua sakti yang kuse-
butkan tadi," tebak Lowo Kuru seraya men-
gangguk-angguk. 
Soma menggaruk-garuk kepala. Sung-
guh tidak disangka kalau orang tua buntung 
penghuni Sumur Kematian itu mempunyai 
pengetahuan cukup luas tentang dunia persi-
latan. Diam-diam Soma yang bergelar Silu-
man Ular Putih pun mulai mengagumi orang 
tua buntung di hadapannya. 
"Sudahlah, Ki! Buat apa membicarakan 
tentang diriku? Apa tidak sebaiknya kau urus 
saja anak dan istrimu. Juga, keempat orang 
yang menyebutmu Guru itu!" ujar Soma se-
raya menunjuk ke arah empat orang laki-laki 
yang kini telah berlutut tak jauh dari Lowo 
Kuru. 
Lowo Kuru terkejut. Seketika itu juga, 
kepalanya berpaling ke arah empat laki-laki 
berpakaian putih-putih yang kini telah berlu-
tut di hadapannya 
"Terimalah hormat kami, Guru! Maaf, 
kalau baru sekarang kami bisa  menemui 
Guru," ucap Sindu penuh hormat. 
Lowo Kuru mengangguk-angguk. 
"Bangunlah kalian semua!" perintah Lo-
wo Kuru berwibawa. 
Dengan tangkas, keempat orang murid 
Lowo Kuru melompat bangun. Sejenak pan-
dangan mata keempat orang itu memperhati-
kan pemuda gondrong di samping gurunya 
penuh kagum. 
Lagi-lagi Soma hanya menggaruk- garuk 
kepalanya. Namun belum sempat membuka 
suara.... 
"Aryani! Ajaklah ibumu beristirahat di 
lorong sebelah! Nanti aku menyusul!" sela 
Lowo Kuru. 
"Baik, Ayah!" sahut Aryani tangkas. "Ma-
ri, Bu!" 
Aryani alias Bidadari Kecil cepat meraih 
lengan ibunya. Dan diajaknya Bidadari Putih 
menuju ke lorong sebelah. Namun tiba-tiba 
saja gadis itu menghentikan langkahnya. 
"Eh...! Mau apa kau di situ? Ayo, ikut 
aku!" ajak Aryani. 
"Habis kau tak mengajakku, sih?!" sahut 
Soma, asal bunyi. 
"Dasar kolokan!" 
Dalam ruangan berukuran tiga kali em-
pat tombak, Bidadari Kecil dan keempat orang 
murid utama Lowo Kuru terus berlatih jurus-
jurus 'Sumur Kematian' yang tergurat di dind-
ing-dinding lorong. Tak jauh dari mereka 
tampak pula Lowo Kuru yang tengah membu-
ka kotak kecil yang disimpan di dinding sebe-
lah utara. 
Begitu kotak kecil berwarna hitam ter-
buka, maka berpendarlah cahaya merah yang 
berasal dari sesuatu di dalam kotak itu. Ben-
da itu tak lain adalah pohon Lontar Merah be-
rukuran sangat kecil. Panjangnya kira-kira 
satu jengkal tangan manusia dewasa. Sesuai 
namanya, daun-daun lontar itu pun berwarna 
merah. Sedang, batang-batangnya berwarna 
putih bersih mirip tulang. 
Soma yang duduk tak jauh  dari Lowo 
Kuru sempat berdecak kagum beberapa kali. 
Sepasang matanya membelalak lebar. 
"Pohon apa itu, Ki? Kok  berwarna me-
rah?" tanya Soma, saking herannya. 
"Mungkin kau baru kali ini mendengar-
nya, Anak Muda. Inilah yang dinamakan 
Daun Lontar Merah. Khasiatnya sungguh luar 
biasa. Tak hanya untuk menyembuhkan pe-
nyakit menahun, tapi juga bisa untuk me-
nyembuhkan orang mati jika Tuhan memang 
menghendaki demikian." 
Bidadari Putih yang dari tadi memang 
sudah kagum melihat Daun Lontar Merah 
semakin membelalakkan matanya. Pohon itu-
lah yang selama ini diidam- idamkannya. 
"Suamiku! Kalau boleh izinkan. aku 
memakan Daun Lontar Merah itu," pinta Bi-
dadari Putih tak sabar. 
"Tentu saja, Istriku. Dari  cerita Aryani, 
aku tahu kalau kau keracunan. Dan kalau 
melihat racun yang mengeram dalam tubuh-
mu pasti Kelelawar Hutanlah yang telah men-
celakakanmu!" kata Lowo Kuru. 
"Ya...! Siapa lagi... kalau bukan Manusia 
Jahanam Kelelawar Hutan itu. Begitu kau da-
pat dirobohkan jahanam itu, tidak lama ke-
mudian aku pun terkena pukulan 'Tangan Hi-
tam'. Untung, waktu itu aku sudah menge-
rahkan tenaga dalam sebelum pukulan itu 
mendarat di tubuhku. Namun tetap saja aku 
tidak dapat menghindar dari hawa racun yang 
diakibatkan pukulan itu, Suamiku," tutur Bi-
dadari Putih. Napasnya sampai terengah-
engah saking tidak kuatnya menahan ama-
rahnya menggelegak. 
"Makanlah Daun Lontar Merah ini, Istri-
ku!" ujar Lowo Kuru seraya menjulurkan 
ujung-ujung rambutnya yang 'memegang' 
Daun Lontar Merah kepada istrinya. 
Bidadari Putih menerimanya dengan 
tangan bergetar. Daun Lontar Merah di tela-
pak tangan kanannya sejenak dipandanginya 
seksama. Tidak terlalu kecil memang. Paling, 
hanya sebesar kuku ibu jari manusia dewasa. 
Demikian dengan segenap pengharapannya, 
perlahan-lahan segera dimakannya Daun 
Lontar Merah. 
Ajaib sekali. Selang beberapa saat, seke-
tika itu juga wajah Bidadari Putih yang kepu-
catan berubah menjadi kemerah -merahan! 
Lowo Kuru yang saat sudah menyimpan 
kotak kecil berisi Daun  Lontar Merah pada 
tempatnya semula, tak henti-hentinya terus 
memandangi istrinya dengan mata berseri. 
"Lekas bersemadi, Istriku! Kendalikan 
hawa racun yang mengeram dalam tubuhmu 
dan muntahkanlah!" ujar Lowo Kuru lagi. 
"Baik, Suamiku," sahut Bidadari Putih 
patuh.  Sehabis berkata begitu, perlahan-
lahan Bidadari Putih pun mulai memejamkan 
matanya. Napasnya yang semula memburu 
kini mulai agak tenang. Dan tidak lama ke-
mudian, wanita ini telah  tenggelam dalam 
semadinya. 
* * * 
Kabut pagi hari perlahan-lahan tersing-
kap oleh matahari  yang baru saja menam-
pakkan diri dengan sinarnya yang kuning 
keemasan di ufuk sebelah timur. Dari lereng 
sebelah barat Gunung Sumbing, tepatnya di 
Pekarangan Terlarang, cahaya matahari terus 
menerabas jauh ke ufuk sebelah barat sana. 
Sejak kegagalan menangkap Bidadari 
Putih tiga hari yang lalu, Kelelawar Hutan 
memerintahkan murid-muridnya untuk 
memperketat penjagaan di Pekarangan Terla-
rang. Segala siasat dan  jebakan telah diper-
siapkan disana, Dan tidak kurang dari empat 
puluh murid Perguruan Kelelawar Putih di 
tempatkan di Pekarangan Terlarang dengan 
senjata lengkap. 
Sepintas suasana di atas Pekarangan 
Terlarang, terutama sekali di sekitar Sumur 
Kematian, terasa begitu mencekam. Dua pu-
luh orang murid penjaga  tampak  siap siaga 
dengan senjata di tangan. Sepasang mata me-
reka tak pernah lepas dari mulut Sumur Ke-
matian. Di saat kedua puluh orang murid 
penjaga tengah bersiap siaga, mendadak dari 
mulut Sumur Kematian muncul sesosok 
bayangan putih yang kemudian disusul pula 
oleh beberapa sosok bayangan putih lainnya. 
Dan yang terakhir muncul adalah sosok 
pemuda berambut gondrong dengan pakaian 
rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Sosok itu tidak lain dari Soma alias Si-
luman Ular Putih. 
Begitu Soma berada di atas Sumur Ke-
matian, keningnya berkerut dalam  -dalam. 
Sepasang matanya yang berwarna biru terus 
memperhatikan kedua puluh orang murid 
penjaga. 
"Tangkap Nona Bidadari Kecil dan Bibi 
Guru Bidadari Putih!" teriak salah seorang 
murid penjaga, lantang. 
Mendengar teriakan lantang itu, dua pu-
luh orang murid penjaga yang sedari tadi te-
lah bersiap siaga segera mengepung rombon-
gan kecil dari Sumur Kematian. Senjata ter-
hunus di tangan langsung diputar-putar. 
"Keparat! Kalian benar-benar ingin men-
cari mampus. Jangan salahkan kalau aku 
terpaksa berlaku kasar pada kalian!" bentak 
Bidadari Kecil penuh kemarahan. 
"Aryani! Jangan terlalu kasar pada me-
reka! Mereka hanyalah orang-orang suruhan," 
tegur Bidadari Putih. 
Aryani menggerutkan gerahamnya. Se-
pasang matanya memancarkan rasa tidak 
puas terhadap ucapan ibunya barusan. 
"Baik, Ibu," sahut Aryani akhirnya. 
"Kunyuk-kunyuk tak tahu diri! Mengapa 
tidak kau suruh sekalian Kelelawar Hutan 
kemari, he?!" bentak Sindu kesal. 
Sehabis berkata begitu, Sindu yang tidak 
sabar melihat tingkah murid-murid penjaga 
segera menyerang. Kedua tangannya berkele-
bat cepat dengan jari-jari terkembang, siap 
menotok. 
Melihat Sindu telah mendahului menye-
rang, ketiga orang murid Lowo Kuru pun se-
gera menerjang para pengepungnya. Demi-
kian juga Aryani, Bidadari Putih, dan Siluman 
Ular Putih. Sehingga dalam waktu yang tidak 
lama, kedua puluh orang murid Kelelawar 
Hutan sudah terdesak hebat. Malah hampir 
separonya roboh tak mampu bangun lagi ter-
kena totokan. 
Tiba-tiba murid yang tadi mengeluarkan 
bentakan nyaring, bersuit panjang. Menden-
gar isyarat itu, beberapa orang murid penjaga 
yang belum roboh segera menyeret teman-
temannya yang tertotok keluar dari arena per-
tempuran. 
Soma dan  yang  lainnya  hanya saling 
berpandangan. Mereka belum tahu, apa yang 
akan dilakukan kedua puluh orang murid 
penjaga. Namun ketidak mengertian mereka 
kini terjawab. Begitu kedua puluh penjaga itu 
menyingkir jauh, mendadak dari balik tembok 
Pekarangan Terlarang telah berloncatan ber-
puluh-puluh murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih dengan busur panah tergenggam di tan-
gan. 
"Setan alas! Mereka benar-benar meng-
hendaki nyawa kita!" desis Aryani penuh ke-
marahan. 
Memang benar apa  yang  dikatakan 
Aryani. Begitu murid-murid pembawa busur 
itu hinggap di atas tembok memutar Pekaran-
gan Terlarang, segera membentangkan bu-
surnya. 
Twang! Twang! 
Selang beberapa saat, berpuluh-  puluh 
anak panah melesat cepat bagai hujan me-
nyerang Soma dan kawan-kawan. 
"Keparat! Ini tidak main-main lagi. 
Hihhh...!" dengus Bidadari Putih, mulai tidak 
dapat mengendalikan amarahnya. 
Dan begitu lincahnya, Bidadari Putih 
yang kini sudah sembuh seperti ketika masih 
gadis cepat menyampok rontok beberapa ba-
tang anak panah. Demikian juga yang lain-
nya. Namun rupanya murid-murid pembawa 
busur itu telah mempersiapkan semuanya. 
Begitu serangan pertama gagal, yang lain se-
gera menarik busur kembali. 
Twang! Twang! 
Selang beberapa saat, kembali berpuluh-
puluh batang anak panah meluncur ke atas 
tubuh Soma dan kawan-kawan. Tidak ada pi-
lihan lain, terpaksa Siluman Ular Putih dan 
kawan kawan cepat menangkis dengan senja-
ta di tangan sambil perlahan-lahan bergerak 
mendekati. 
Tak! Tak! 
"Edan...!" 
Soma alias Siluman Ular Putih kesal ju-
ga dibuatnya. Sambil terus menangkis rontok 
puluhan batang anak panah, Siluman Ular 
Putih cepat berkelebat mendekati murid-
murid pembawa busur. Gerakan kedua ka-
kinya ringan sekali, laksana seekor capung 
yang bergerak lincah menangkap mangsa. 
Dan dalam waktu tidak lama, pemuda gon-
drong murid Eyang Begawan Kamasetyo pun 
berhasil mencapai tembok Pekarangan Terla-
rang. 
Beberapa orang murid bersenjata panah 
segera mengarahkan busur ke arah Siluman 
Ular Putih. Soma tentu saja tidak ingin kalah 
cepat. Begitu kedua kakinya menjejak tembok 
Pekarangan Terlarang, segera ilmu meringan-
kan tubuh diarahkan. Dan dengan jari-jari 
terkembang cepat ditotoknya tubuh beberapa 
orang murid bersenjata panah. 
Tukkk! Tuukk! Tukkk! 
Tiga kali tangan Siluman Ular Putih ber-
gerak. Maka seketika itu juga tubuh tiga 
orang murid bersenjata  panah terpelanting 
roboh tak dapat bangun lagi terkena totokan. 
"Heaaat.,.! 
Tuk! Tuk! 
Dan rupanya serangan Siluman Ular Pu-
tih pun tidak hanya sampai di sini. Dengan 
mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya 
yang sudah mencapai tingkat tinggi, kembali 
jari-jari tangannya bergerak menotok roboh 
beberapa orang murid bersenjata panah. Se-
hingga dalam waktu yang tidak lama, barisan 
murid-murid pembawa panah di tembok ba-
gian sela-tan berhasil dibuat kocar-kacir. 
Melihat sepak terjang pemuda gondrong 
murid Eyang Begawan Kamasetyo  dari Gu-
nung Bucu, Bidadari Putih dan Aryani pun 
segera menjejakkan kakinya ke tembok Peka-
rangan Terlarang bagian barat. Meski berpu-
luh-puluh. batang panah menghujam ibu dan 
anak itu mampu meliuk-liukkan tubuh. Se-
hingga, akhirnya di tembok Pekarangan Terla-
rang bagian barat. Kedua tangan mereka yang 
sudah gatal-gatal segera berkelebat menotok 
roboh beberapa orang murid pembawa panah. 
Tukkk! Tukkk! 
Beberapa orang murid bersenjata panah 
langsung terpelanting roboh begitu terkena 
totokan jari-jari tangan Bidadari Putih dan 
anaknya. 
"Heaaa...!" 
Aryani yang sudah tidak dapat mengen-
dalikan amarahnya berteriak ganas. Tubuh-
nya kembali berkelebat cepat menyerang be-
berapa orang murid pembawa panah lainnya. 
Kali ini gadis itu bukan hanya sekadar meno-
tok, melainkan melepas tamparan dan ten-
dangan. 
Plak! Desss...! 
"Aaakh...!" 
Dalam waktu yang tidak lama, murid-
murid bersenjata panah di bagian barat tem-
bok Pekarangan Terlarang dapat dibuat ko-
car-kacir. 
Di saat murid-murid bersenjata panah 
dapat dibuat kocar-kacir, mendadak... 
"Manusia-manusia pencari mati! Lekas-
lah serahkan diri kalian baik-baik!" 
Dari arah barat tembok Pekarangan Ter-
larang terdengar bentakan garang dari seseo-
rang.   . 
Belum hilang suara bentakan tadi, tahu-
tahu di tempat itu telah berdiri tegak sesosok 
bayangan hitam-hitam dengan wajah garang. 
Tidak lama kemudian, hinggap pula dua so-
sok bayangan berpakaian kuning keemasan. 
Sosok bayangan berpakaian hitam-hitam 
tak lain adalah seorang lelaki bertubuh tinggi 
besar. Di kepalanya tampak melingkar ikat 
kepala juga berwarna hitam. Wajahnya bengis 
dengan sepasang mata mencorong menyi-
ratkan kekejaman. Siapa lagi dia kalau bukan 
manusia durjana yang bergelar Kelelawar Hu-
tan?! 
Sedang di belakang Kelelawar Hutan 
adalah dua orang wanita cantik berpakaian 
kuning keemasan. 
Yang sebelah kanan bercaping lebar dari 
anyaman daun pandan. Sedang di samping-
nya adalah seorang wanita cantik berusia tiga 
puluh lima tahun. Rambutnya yang hitam 
panjang digelung ke atas. Dua orang wanita 
cantik itu tidak lain dari dua orang tokoh se-
sat dari Istana Ular Emas. Setan Cantik dan 
Cantrik Tudung Pandan! 
"Kelelawar Hutan! Dosamu telah ber-
tumpuk. Demi Tuhan aku akan membalaskan 
sakit hati kedua orangtuaku!" bentak Aryani 
dengan kemarahan memuncak. 
"Bocah lancang! Beraninya  kau berkata 
demikian?!" bentak Kelelawar Hutan garang. 
"Mandra...! Hari inilah aku akan memba-
las sakit hatiku dan juga sakit hati suamiku!" 
desis Bidadari Putih. 
Sret! Sret! 
Tangan kanan wanita itu cepat melepas 
pedang di balik pinggangnya. Demikian juga 
Aryani. 
"Ha ha ha...! Majulah kalian anak-anak 
setan! Kebetulan sekali kalian muncul secara 
bersamaan. Sehingga, aku tidak perlu bersu-
sah payah mencari!" ejek Kelelawar Hutan di 
antara tawanya. 
Aryani yang berada paling depan cepat 
menerjang orang tua tinggi besar itu. Tangan 
kanannya yang memegang pedang digerakkan 
sedemikian rupa, menusuk ulu hati Kelelawar 
Hutan. Sedang tangan kirinya siap pula me-
lancarkan totokan ke jalan darah Kelelawar 
Hutan. 
Hebat sekali serangan Bidadari Kecil ini. 
Bidadari Putih yang berada di belakang Arya-
ni tidak dapat berbuat apa-apa karena saat 
itu, sedang berada di atas tembok Pekarangan 
Terlarang. 
Melihat serangan Aryani, Kelelawar Hu-
tan hanya tersenyum dingin sinis. Tusukan 
pedang yang mengarah ulu hatinya cepat di-
elakkan  dengan satu liukan  indah. Bersa-
maan dengan itu, tiba-tiba jari-jari tangannya 
cepat mengirimkan totokan ke pergelangan 
tangan Aryani. 
"Ah...!" pekik Aryani kaget bukan alang 
kepalang. 
Si gadis tidak  menyangka serangannya 
dapat dimentahkan demikian mudah. Jari-jari 
tangan kirinya yang semula bermaksud me-
notok, buru-buru digerakkan ke samping be-
gitu totokannya hanya mengenai tempat ko-
song. Sedang tangan kanannya yang teran-
cam totokan segera diputar cepat. Dan pe-
dangnya langsung membabat lengan Kelela-
war Hutan. 
Wesss! Wesss! 
Pedang di tangan Aryani hanya menem-
bus angin kosong beberapa jengkal dari tem-
pat sasaran. Namun tiba-tiba saja, Kelelawar 
Hutan menjejakkan kakinya ke tempat Peka-
rangan Terlarang. Dan seketika itu juga, tu-
buhnya mencelat tinggi ke udara. 
Setelah dua kali berputaran, Kelelawar 
Hutan cepat menukik tajam. Kedua  jari-jari 
tangannya yang terkembang siap meremuk-
kan batok kepala Aryani dari atas. Di tempat 
lain Bidadari Putih yang melihat putri tung-
galnya dalam keadaan mengkhawatirkan, 
hanya memekik cemas tanpa bisa berbuat 
banyak. 
Aryani bukannya tidak tahu dirinya da-
lam keadaan bahaya. Melihat serangan yang 
datang demikian cepatnya, cepat tubuhnya 
dilempar ke samping. Sembari bergerak demi-
kian, tiba-tiba rambutnya yang tergerai di ba-
hu telah  bergerak cepat, menangkis jari-jari 
tangan kanan Kelelawar Hutan yang siap me-
remukkan kepalanya. 
Wesss! 
Plakkk! 
Gulungan-gulungan rambut hitam Arya-
ni  berhasil menangkis tangan kanan Kelela-
war Hutan. Bahkan dengan menggunakan ju-
rus 'Sumur Kematian' yang baru saja dipela-
jarinya, gulungan rambut gadis itu pun ber-
hasil menghajar telak dada Kelelawar Hutan. 
Bukkk!  
"Aaakh...!" 
Kelelawar Hutan memekik kaget. Seketi-
ka itu juga, tubuhnya yang terkena hantaman 
terjajar ke belakang. Karena masih berada di 
atas tembok Pekarangan Terlarang, maka Ke-
lelawar Hutan segera membuat salto beberapa 
kali di udara dan mendarat empuk di tanah. 
"Jahanam! Rupanya kau telah mampu 
menguasai jurus 'Sumur Kematian', Bocah! 
Pantas saja kau berani menjual lagak di de-
panku. Tapi, jangan harap aku takut meng-
hadapi jurus-jurusmu, Bocah!" dengus Kele-
lawar Hutan penuh kemarahan. 
"Hiaaat...!" 
Aryani yang penasaran sekali dengan 
Kelelawar Hutan cepat berkelebat menyusul. 
Pedang di tangan kanannya digunakan untuk 
menusuk  ubun-ubun dari atas.  Sedang tan-
gan kirinya digunakan untuk menangkis ka-
lau-kalau ada serangan balik. 
Melihat putri tunggalnya telah bergerak 
lebih dahulu, Bidadari Putih yang juga mera-
sa geram melihat sepak terjang Kelelawar Hu-
tan hendak berkelebat, menyusul dengan sen-
jata di tangan. Namun sayang, baru saja ka-
kinya menjejak tanah, tiba-tiba saja di hada-
pannya telah menghadang dua orang wanita 
berpakaian kuning keemasan. 
"Biarkan bocah lancang itu bermain-
main dengan Kelelawar Hutan, Bidadari Pu-
tih! Sekarang, hadapi saja aku!" desis Setan 
Cantik sinis. 
"Keparat! Lagi-lagi kalian yang membuat 
ulah di Perguruan Kelelawar Putih! Apa kalian 
sudah bosan hidup, he?!" bentak Bidadari Pu-
tih garang. 
"Ha ha ha...! Sungguh pintar sekali kau 
berkoar, Bidadari Putih! Aku jadi ingin lihat, 
apakah kau sanggup mewujudkan kata-
katamu itu?!" ejek Cantrik Tudung Pandan. 
Sehabis berkata begitu, tokoh sesat dari 
Istana Ular Emas itu pun segera mencabut 
pedang tipisnya yang melilit di pinggang. Dan 
seketika Cantrik Tudung Pandan telah berke-
lebat cepat menyerang Bidadari Putih. 
Melihat kakak seperguruannya telah 
mendahului, Setan Cantik pun segera menca-
but pedang tipisnya yang melilit di pinggang. 
Dan dengan garang-nya, tubuhnya berkelebat 
cepat ikut menyerang Bidadari Putih. Sedang 
tangan kirinya telah mengibas, melepas ja-
rum-jarum emasnya. Dan.... 
Serrr! Serrr! 
Hebat bukan  main serangan-serangan 
dua orang tokoh sesat dari Istana Ular Emas 
itu.  Tebasan-tebasan pedang dan jarum-
jarum emas yang berkeredepan itu sungguh 
merepotkan Bidadari Putih, meski telah sem-
buh seperti sedia kala. Dan entah sudah be-
rapa kali tubuhnya yang tinggi kurus harus 
berjumpalitan di udara. Jangankan untuk 
membalas serangan, untuk menghindar saja 
rasanya sulit sekali. 
Kalau keadaan ini dibiarkan beberapa 
saat lamanya, bukan mustahil dalam bebera-
pa jurus Bidadari Putih pun dapat diroboh-
kan. Namun di saat Bidadari Putih terdesak 
hebat, tahu-tahu tiga orang murid utama Lo-
wo Kuru telah berkelebat cepat membantu. 
"Manusia-manusia tengik  dari Istana 
Ular Emas! Enyahlah kalian dari sini! Ini bu-
kanlah tempat kalian!" bentak Naroko garang. 
Sembari berkata demikian, pedang di 
tangan kanan lelaki itu cepat membabat leher 
Setan Cantik. Sedang dua orang temannya 
menyerang dari samping kanan dan kiri. Se-
hingga selamatlah Bidadari Putih dari teka-
nan-tekanan dua tokoh sesat dari Istana Ular 
Emas itu. 
Sementara itu, Sindu tak dapat keluar 
dari kepungan berpuluh-puluh murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih. Meski dikeroyok demi-
kian hebatnya, tak henti-hentinya murid ter-
tua Lowo Kuru ini terus mencoba mempenga-
ruhi murid- murid Perguruan Kelelawar Putih. 
"Ketahuilah,  adik-adik ku! Sesungguh-
nya pemilik Perguruan Kelelawar Putih ini 
bukanlah guru kalian, si Manusia Pecundang 
Kelelawar Hutan! Tapi, Lowo Kuru. Kalian 
dengar?! Lowo Kuru yang berada  dalam Su-
mur Kematian itulah pemilik Perguruan Kele-
lawar Putih yang sebenarnya!" teriak  Sindu, 
lantang. 
"Setan alas! Siapa peduli omongan mu!" 
teriak salah seorang murid Perguruan Kelela-
war Putih lantang. 
"Ya! Siapa peduli omongan orang yang 
mau mampus!" teriak yang lain menyahuti. 
"Dasar otak bebal! Tahu apa kalian den-
gan segala macam urusan rumit ini! Justru 
guru kalian Kelelawar Hutan itulah yang 
membuat urusan jadi rumit! Guru kalian itu-
lah yang telah mencelakakan pemilik sah Per-
guruan Kelelawar Putih ini ke dalam Sumur 
Kematian!" teriak Sindu sengit, 
"Siapa saja yang mempercayai ocehan ti-
kus comberan itu berarti mati! Kalian dengar! 
Hanya kematianlah bagi murid- muridku yang 
tidak patuh!" 
Sungguh hebat sekali pengaruh teriakan 
Kelelawar Hutan. Beberapa orang murid Per-
guruan Kelelawar Putih yang sempat terpen-
garuh ucapan Sindu langsung menegang. Wa-
jah mereka pucat pasi, membayangkan hu-
kuman yang akan dijatuhkan bila memban-
tah. 
Berpikir sampai demikian, tanpa banyak 
membuang waktu lagi murid-murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih kembali menyerang Sin-
du dengan garang. 
Kali ini bukan saja Sindu saja yang kesal 
melihat perubahan sikap murid- murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih, tapi juga, Siluman Ular 
Putih. Pemuda itu saat ini sedang sibuk 
menghajar beberapa orang  murid Perguruan 
Kelelawar Putih. 
"Sontoloyo! Dasar murid-murid sonto-
loyo! Apa mata kalian tidak melek? Ayo lekas 
hentikan serangan.  Cincang kunyuk hitam 
guru kalian itu!" bentak Siluman Ular Putih, 
diam-diam mulai mengerahkan kekuatan ba-
tinnya. 
Suara bentakan yang bernada bercanda 
itu terdengar bergetar-getar aneh, menyerang 
jalan pikiran para pengeroyok. Maka seketika 
itu juga murid-murid Perguruan Kelelawar 
Putih menghentikan serangan. Dan dengan 
wajah beringas, pandangan mereka beralih ke 
arah Kelelawar Hutan yang sedang bertempur 
hebat melawan Aryani. 
Kelelawar Hutan kaget bukan alang ke-
palang. Meski tengah. bertempur hebat, na-
mun masih dapat merasakan suara bentakan 
Siluman Ular Putih yang bergetar-getar aneh. 
Dan lebih terkejutnya lagi, ketika melihat mu-
rid-muridnya kini mulai mengalihkan seran-
gan ke arahnya. 
"Setan alas! Siapa suruh kalian menye-
rangku, he?! Apa kalian sudah bosan hidup?!" 
bentak Kelelawar Hutan, laksana suara dari 
dalam kubur. 
Suara Kelelawar Hutan terdengar begitu 
menyeramkan, Rupanya, diam-diam kekuatan 
sihirnya pun telah dikerahkan untuk menan-
dingi kekuatan batin Siluman Ular Putih. Dan 
begitu mendengar teriakan Kelelawar Hutan, 
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih jadi 
celingukan. Mereka seperti terombang-  amb-
ing dua kekuatan batin yang sama-sama 
kuat. 
Dan kini murid-murid Perguruan Kele-
lawar Putih pun mulai bersiap-siap menye-
rang Sindu kembali. Namun belum sempat 
mereka bertindak, Siluman Ular Putih kemba-
li mengeluarkan satu bentakan nyaring. Se-
hingga, murid-murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih kembali terombang-ambing kekuatan sihir 
Siluman Ular Putih. 
Kelelawar Hutan geram bukan main. Ke-
kuatan sihirnya kembali tersaingi oleh kekua-
tan sihir Siluman Ular Putih. Maka diiringi 
satu lengkingan setinggi langit, serangan-
serangannya semakin dipercepat ke beberapa 
jalan darah yang mematikan di tubuh Aryani. 
Bahkan tak segan-segan pula kedua tangan-
nya yang telah berubah menjadi hitam legam 
siap melontarkan pukulan Tangan Hitam  ke 
tubuh gadis itu. 
Meski Aryani telah mampu menguasai 
jurus-jurus sakti 'Sumur Kematian' dalam 
waktu singkat, namun tetap saja belum 
mampu menandingi kehebatan Kelelawar Hu-
tan. Jangankan untuk membalas serangan. 
Untuk menghindari tekanan-  tekanan Kele-
lawar Hutan pun rasanya sulit. Dan entah 
sudah berapa kali tubuhnya harus berjumpa-
litan di udara menghindari tekanan-tekanan 
Kelelawar Hutan. 
Wesss! Wesss! 
Hebat bukan main serangan-serangan 
Kelelawar Hutan kali ini Dan pada saat tubuh 
Aryani melayang-layang di udara, mendadak 
saja seleret sinar hitam legam  dari telapak 
tangan kiri Kelelawar Hutan menerabas me-
nyerang. Itulah pukulan 'Tangan Hitam' yang 
sangat di agung-agungkan Kelelawar Hutan 
Aryani kaget bukan alang kepalang. Apa-
lagi, tubuhnya saat ini berada di udara. Gadis 
itu kali ini benar-benar mati  kutu. Sulit ra-
sanya menghindari serangan. Namun di saat 
yang gawat bagi si gadis, tiba-tiba melesat si-
nar putih terang. 
Wesss! 
Bummm...! 
Sinar putih terang yang entah dari mana 
datangnya langsung memapak pukulan 
'Tangan Hitam' Kelelawar Hutan. Maka seke-
tika itu juga Kelelawar Hutan membelalakkan 
matanya lebar-lebar. Tangan kirinya bergetar 
hebat akibat bentrokan tadi. 
"Manusia Sontoloyo! Beraninya hanya 
terhadap seorang gadis. Ayo, lekas hadapi 
aku, si gondrong dari dasar neraka!" 
* * * 
 
10 
Sepasang mata merah saga Kelelawar 
Hutan terbelalak liar. Di hadapannya kini 
berdiri tegak seorang pemuda berambut gon-
drong dengan pakaian rompi dan celana ber-
sisik  warna putih keperakan. Di dadanya 
tampak sebuah rajahan bergambar ular pu-
tih. Saat ini pemuda gondrong yang tidak lain 
Soma alias Siluman Ular Putih tengah berto-
lak pinggang. Kedua kakinya terpentang le-
bar-lebar, pura-pura bersikap galak. 
"Setan alas! Lagi-lagi kau yang mengha-
lang-halangi maksudku! Apa kau tidak tahu 
sedang  berhadapan dengan siapa, he?!" ben-
tak  Kelelawar Hutan penuh kemarahan. Ke-
dua pelipis nya bergerak-gerak. Gigi-gigi gera-
hamnya pun bergemeletukan, pertanda ten-
gah menahan amarah menggelegak. 
"Lho? Bukankah aku sedang berhada-
pan dengan manusia pecundang yang berge-
lar Tikus Comberan?" ejek Siluman Ular Pu-
tih. 
"Setan alas! Beraninya kau menjual la-
gak di depanku, he?! Sudah bosan hidup kau 
rupanya?!" geram Kelelawar Hutan. 
Sehabis membentak begitu, Kelelawar 
Hutan mencelat tinggi ke udara. Tidak tang-
gung-tanggung, tangan kirinya yang berwarna 
hitam legam siap dilontarkan ke arah tubuh 
Soma. Sedang tangan kanannya telah mem-
bentuk cengkeraman siap menjebol dada Si-
luman Ular Putih. Itulah jurus 'Cengkeraman 
Maut Kelelawar Sakti', andalan Pendekar Lo-
wo Putih yang hanya diajarkan oleh ketiga 
orang muridnya. Yakni, Lowo Kuru, Kelelawar 
Hutan, dan yang terakhir Bidadari Putih. 
Sungguh hebat bukan main serangan-
serangan Kelelawar Hutan. Aryani yang berdi-
ri beberapa tombak di luar arena pertarungan 
hanya dapat menahan napasnya tegang. Di-
am-diam gadis ini pun siap membantu pemu-
da gondrong penolongnya. 
Melihat serangan-serangan Kelelawar 
Hutan yang demikian hebatnya, Siluman Ular 
Putih pun tidak berani memandang remeh. 
Maka cepat dikeluarkannya jurus-jurus sakti 
'Ular Kembar Mengejar Mangsa'. Sedang tan-
gan kirinya yang telah berubah menjadi putih 
terang, siap pula memapaki pukulan 'Tangan 
Hitam' dengan pukulan sakti Tenaga Inti Bu-
mi'. 
Plakkk! Plakkk! 
Blaaar...! 
Beberapa kali tangan kanan Siluman 
Ular Putih menangkis serangan-serangan Ke-
lelawar Hutan. Tak lama, terjadi benturan 
dua telapak tangan kedua orang itu. Akibat-
nya, tubuh tinggi besar Kelelawar Hutan 
kembali mencelat tinggi ke udara. Tangan ki-
rinya tergetar hebat. 
Kelelawar Hutan kaget bukan main. Ia 
tidak menyangka kalau pemuda gondrong itu 
dapat menangkis serangan-  serangannya. 
Bahkan kedua telapak tangan Siluman Ular 
Putih yang membentuk  kepala ular berhasil 
menyerang balik Kelelawar Hutan demikian 
hebatnya. 
"Aryani! Mengapa hanya menonton saja? 
Lekas bantu Sindu menghadapi murid-murid 
itu!" teriak Siluman Ular Putih di antara se-
rangan-serangannya. 
Aryani mengerutkan gerahamnya kuat-
kuat. Sebenarnya ingin rasanya gadis ini me-
lampiaskan dendam kepada Kelelawar Hutan. 
Hanya sayangnya, ia belum mampu menan-
dingi kehebatan laki-laki itu.  Sedang ibunya 
dan ketiga orang murid ayahnya tidak begitu 
kewalahan menghadapi musuh-musuhnya. 
Malah, ketiga orang murid utama ayahnya 
dapat mendesak hebat Setan Cantik. Hanya 
Sindu saja yang tampak kewalahan mengha-
dapi gempuran murid-murid Perguruan Kele-
lawar Putih yang dapat dikuasai kembali oleh 
Kelelawar Hutan. 
Maka  tanpa banyak pikir panjang lagi, 
Aryani pun segera berkelebat membantu Sin-
du. Sehingga murid pertama Lowo Kuru tidak 
begitu kewalahan lagi. Meski demikian, Aryani 
tetap dapat mengendalikan  amarahnya.  Ba-
gaimanapun juga, ia enggan menurunkan 
tangan mautnya kepada murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih yang masih terhitung 
adik seperguruan. 
Dan di saat Aryani dan Sindu tengah si-
buk mendesak  murid-murid Perguruan Kele-
lawar Putih, mendadak... 
"Keparat...!" 
Kelelawar Hutan mengeluarkan satu ge-
rengan yang dapat pecahkan gendang telinga. 
Sedang tubuhnya yang tinggi besar terjajar 
beberapa langkah ke belakang. Matanya 
membelalak liar. Hampir saja ia celaka di tan-
gan musuh mudanya. Untung saja ketika 
tendangan kaki Siluman Ular Putih mendarat 
telak di dadanya, tenaga dalamnya telah dike-
rahkan. Sehingga, selamatlah Kelelawar Hu-
tan dari tendangan mematikan Siluman Ular 
Putih. 
Meski demikian, di sudut-sudut bibir 
Kelelawar Hutan tampak terbersit darah se-
gar, pertanda telah terluka dalam. Dalam 
keadaan seperti itu, lelaki itu jadi murka. Se-
pasang matanya tiba-tiba mencorong aneh. 
Bibirnya berkemik-kemik. Dan dari bibirnya 
yang berkemik-kemik. 
"Siapa suruh kau membuat onar di tem-
pat ini, Bocah? Ayo lekas berlutut! Mungkin 
aku masih mengampuni nyawa busukmu!" 
bentak Kelelawar Hutan, laksana suara dari 
dalam liang kubur. 
Siluman Ular Putih tersentak kaget. Ke-
dua lututnya goyah. Hampir saja kata-kata 
Kelelawar Hutan dituruti, kalau  tidak buru-
buru mengerahkan kekuatan batinnya. Se-
hingga, kekuatan sihir Kelelawar Hutan dapat 
dipunahkan. 
"Ah...! Hampir  saja aku lupa! Rupanya 
kau pintar juga bermain sulap, Tikus Combe-
ran?" ujar Soma diam-diam kembali menge-
rahkan kekuatan batinnya. "Tapi mana sudi 
aku menuruti perintahmu? Justru kaulah 
yang patut berlutut di hadapanku. Ayo, lekas 
lakukan! Tunggu apa lagi!" 
Kelelawar Hutan kaget bukan alang ke-
palang. Suara teriakan-teriakan pemuda gon-
drong itu terdengar demikian aneh menyerang 
jalan pikirannya. Dan tanpa disadari tiba-tiba 
Kelelawar Hutan telah berlutut di hadapan Si-
luman Ular Putih! 
"Ha ha ha..! Rupanya kau penurut juga, 
Tikus Comberan! Bagus-bagus! Mungkin Raja 
Akhirat sudi mengampuni nyawa busukmu!" 
celoteh Siluman 
Ular Putih di antara gelak tawa. 
Bukan main kagetnya Kelelawar Hutan. 
Padahal, tadi pun kekuatan sihirnya telah di-
kerahkan. Namun anehnya, tetap saja tidak 
dapat menahan kedua lututnya yang goyah 
hingga akhirnya jatuh berlutut di hadapan Si-
luman Ular Putih. 
"Keparat! Berani kau mempermainkan 
Kelelawar Hutan, Bocah!" bentak Kelelawar 
Hutan murka. 
Sembari  berteriak lantang begitu, Kele-
lawar Hutan cepat meloncat bangun. Dan 
dengan menggunakan kedua telapak tangan-
nya yang telah berubah menjadi hitam legam 
sampai ke pangkal, cepat diserangnya Silu-
man Ular Putih. Kini, ia tidak berani main-
main lagi terhadap musuh mudanya. Baik il-
mu sihir maupun ilmu silat. 
Berpikir demikian, Kelelawar Hutan ma-
kin mempercepat serangan-serangan. Ia beru-
saha mengurung pertahanan Siluman Ular 
Putih. Hingga dalam beberapa jurus kemu-
dian, yang terlihat hanyalah bayangan sosok 
hitam yang terus berusaha mendesak bayan-
gan putih. 
Tak! Tak! 
Namun selang beberapa jurus kemu-
dian, gantian bayangan putih keperakan Si-
luman Ular Putih yang mendesak bayangan 
hitam Kelelawar Hutan. Bahkan tak jarang, 
patokan-patokan kedua telapak tangan Soma 
berhasil melukai kulit tubuh Kelelawar Hu-
tan. Namun anehnya begitu tubuhnya terlu-
ka, maka seketika itu juga asap hitam tipis 
yang datang dari ubun-ubun kepala perlahan-
lahan bergerak menyelimuti ke bagian-bagian 
tubuh Kelelawar Hutan yang terluka. Selang 
beberapa saat, luka-luka itu pun sembuh se-
perti sedia kala! 
"Ha ha ha...! Selihai apa pun, kau tetap 
tidak dapat mengalahkanku, Bocah! Cepatlah 
tinggalkan tempat ini.  Mumpung pikiranku 
belum berubah!" ejek Kelelawar Hutan di an-
tara gelak tawanya. 
Kini gantian mata Siluman Ular Putih 
yang terbelalak lebar-lebar. Apa yang dilihat-
nya benar-benar membuat hatinya tercekat. 
Entah ilmu iblis apa yang digunakan Kelela-
war Hutan. 
Dan belum sempat hilang rasa heran Si-
luman Ular Putih, tahu-tahu tubuh tinggi be-
sar Kelelawar Hutan telah berkelebat cepat 
menyerang dengan pedang di tangan. 
Soma tidak begitu memperhatikan ka-
pan laki-la-ki tua tinggi besar itu mencabut 
pedangnya. Yang jelas, tahu-tahu cahaya pu-
tih menyilaukan mata setelah berkelebat ce-
pat. Jurus-jurus yang dikeluarkan Kelelawar 
Hutan tampak aneh sekali. Terkadang laki-
laki tinggi besar itu mencelat tinggi di udara 
laksana seekor kelelawar murka. Namun en-
tah karena apa, tiba-tiba saja serangan-
serangannya bisa terhenti. 
Meski demikian, serangan-serangan Ke-
lelawar Hutan tidak dapat dianggap enteng. 
Tendangan dan cengkeraman cengkeraman 
tangannya  penuh jebakan-  jebakan maut. 
Bahkan sebelum tendangan dan cengkera-
mannya mengenai sasaran, terlebih dahulu 
berkesiur hawa panas menyerang tubuh Si-
luman Ular Putih. 
"Mungkin inilah jurus-jurus sakti yang 
terkandung dalam kitab peninggalan Pende-
kar Lowo Putih," gumam Siluman Ular Putih 
dalam hati. "Tapi..., tapi mengapa terkadang 
Kelelawar Hutan menghentikan serangan-
serangannya secara tiba-tiba, seperti bingung 
dengan kelanjutan jurus-jurus itu? Ah...! 
Mengapa aku jadi bodoh begini?! Itu bisa saja 
terjadi, karena Kelelawar Hutan memaksakan 
diri mempelajari jurus-jurus dalam kitab. Pa-
dahal ia belum mendapatkan pasangan pe-
dang Kelelawar Putih sebagai kunci pembuka 
kitab  itu.  Jadi,  ya! Jurus-jurus kacau balau 
itulah hasilnya!" 
Begitu telah mendapat kesimpulan, Si-
luman Ular Putih tersenyum senang. 
"Ah! Sayang sekali! Mengapa jurus-jurus 
yang terkandung dalam kitab Kelelawar Sakti 
kau ubah jadi jurus-jurus kacau balau begi-
ni?!" ejek Siluman Ular Putih sambil berjum-
palitan menghindari serangan-serangan Kele-
lawar Hutan. 
Sehabis berkata begitu, Siluman Ular 
Putih pun cepat mencabut senjata pusaka da-
ri balik punggung. Anak Panah Bercakra 
Kembar! Sesuai namanya, senjata itu me-
mang berbentuk sebatang anak panah. 
Ujungnya melengkung ke atas, berbentuk ke-
pala ular dengan sebuah taring mencuat ke 
depan berupa sebilah pisau. Sebagian batang 
anak panah itu juga berbentuk badan ular 
yang memiliki dua lubang mirip lubang sul-
ing. Sedang di kanan kiri ujung anak panah 
berbentuk kepala itu terdapat dua buah cakra 
kembar terbuat dari lempengan baja! 
Aneh  sekali! Begitu senjata pusaka itu 
terpegang di tangan kanan Siluman Ular Pu-
tih, tiba-tiba arena pertarungan itu dipenuhi 
hawa dingin menusuk kulit. Di samping itu 
Soma pun merasakan tubuhnya jadi ringan 
sekali. Bahkan tenaga dalamnya pun bertam-
bah! 
Melihat senjata aneh di tangan musuh 
mudanya, Kelelawar Hutan hanya tersenyum 
dingin. Hatinya  sama sekali tidak gentar 
menghadapi senjata pusaka di tangan Silu-
man Ular Putih. 
"Bocah edan! Lihat serangan!" ejek Kele-
lawar Hutan. 
Sejenak Kelelawar Hutan menggerak-
gerakkan pedang di tangan kanannya mem-
buat jurus-jurus kembangan, sebelum melan-
carkan serangan sesungguhnya. 
Cit! Cit! 
Benar saja. Begitu jurus-jurus kemban-
gan selesai dimainkan, tiba-tiba terdengar pe-
kik mencicit mirip seekor kelelawar. Dan ta-
hu-tahu, tubuh tinggi besar Kelelawar Hutan 
telah mencelat tinggi ke udara. Ujung pe-
dangnya ditusukkan demikian rupa. Sedang 
tangan kirinya siap meremukkan batok kepa-
la Siluman Ular Putih dengan jurus 
'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti'. 
Tentu saja Siluman Ular Putih tidak sudi 
batok kepalanya menjadi sasaran empuk se-
rangan-serangan Kelelawar Hutan. Dengan 
mengerahkan jurus 'Terjangan Maut Ular Pu-
tih' cepat senjata pusakanya bergerak mema-
pak. 
Wesss! Wesss! 
Dan begitu Siluman Ular Putih mengge-
rakkan senjata pusakanya. maka seketika itu 
juga berkesiur angin dingin dari dua cakra 
kembar yang berputar menyerang Kelelawar 
Hutan. 
"Uts!" 
Kelelawar Hutan sedikit memiringkan 
tubuhnya ke samping. Sedang pedang di tan-
gan kanannya menusuk ubun-ubun kepala 
Siluman Ular Putih. Tidak ada pilihan  lain 
bagi Siluman Ular Putih. Cepat senjata pusa-
kanya digerakkan untuk menangkis pedang di 
tangan Kelelawar Hutan.  
Cring! 
Terlihat bunga api berpijar di udara begi-
tu dua senjata berbenturan. Tangan Kelelawar 
Hutan sedikit bergetar akibat bentrokan tadi. 
Sementara tubuhnya agak limbung ke kiri. 
Maka segera dia bersalto beberapa kali di 
udara, sebelum akhirnya menjejak ke tanah. 
Wesss...! 
Namun baru saja Kelelawar Hutan men-
darat di tanah, mendadak berkesiur angin 
dingin menyerang. Bersamaan dengan itu, se-
leret sinar putih terang dari telapak tangan 
kiri Siluman Ular Putih telah menerabas cepat 
siap menghantam tubuhnya. 
"Hih...!" 
Kelelawar Hutan cepat mengangkat tan-
gan kirinya yang telah berubah menjadi hitam 
legam hingga sampai ke pangkal, lalu mendo-
rongkannya ke depan. 
Srattt! 
Maka seketika itu juga terlihat seleret 
sinar hitam legam dari telapak tangan kiri Ke-
lelawar Hutan, menerabas cepat memapaki 
pukulan 'Inti Bumi Siluman Ular Putih'. 
Bummm...! 
Hebat bukan main pertemuan dua tena-
ga dalam di udara itu. Akibatnya tanah di se-
kitar arena pertarungan bergetar hebat. Se-
dang tubuh Kelelawar Hutan terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. 
Pada saat itu Siluman Ular Putih yang 
sempat limbung akibat bentrokan tadi cepat 
mendesak Kelelawar Hutan dengan jurus-
jurus 'Terjangan Maut Ular Putih'. Sedang 
tangan kirinya siap pula melancarkan puku-
lan 'Tenaga Inti Bumi' 
Kali ini Kelelawar Hutan kewalahan bu-
kan main. Tubuhnya yang tengah terhuyung-
huyung ke belakang cepat dilempar ke samp-
ing. 
"Heaaa...!" 
Namun, rupanya Siluman Ular Putih ti-
dak ingin tanggung-tanggung dalam melan-
carkan serangan. Sambil sesekali melancar-
kan pukulan 'Tenaga Inti Bumi' terus dide-
saknya Kelelawar Hutan. Berkali-kali senjata 
pusaka di tangannya mengancam bagian yang 
paling membahayakan di tubuh Kelelawar 
Hutan. Untung laki-laki tinggi besar itu selalu 
dapat menghindari. 
Diam-diam  Kelelawar Hutan mengelua-
rkan keringat dingin. Wajahnya pucat pasi. 
Sungguh tak disangka kalau pemuda gon-
drong musuhnya itu demikian lihainya Na-
mun di saat Kelelawar Hutan terdesak hebat, 
meluncur angin dingin ke arah Siluman Ular 
Putih. 
"Memalukan sekali! Mengapa kau bisa 
dibuat pontang-panting oleh bocah kemarin 
sore, Kelelawar Hutan?!" 
"Uts...!" 
Siluman Ular Putih cepat melempar tu-
buhnya ke kiri. Sehingga, hawa dingin yang 
menyerang dirinya hanya mengenai tempat 
kosong. Kini, di hadapan Siluman Ular Putih 
telah berdiri tegak seorang lelaki tinggi kurus 
berpakaian ringkas warna ungu. Usianya ki-
ra-kira enam puluh tahun. Rambutnya pan-
jang memutih tak terawat. Wajahnya garang 
tanpa kumis dan jenggot. Hidungnya besar, 
bibirnya tebal kehitaman.  Sementara sepa-
sang matanya yang sipit terus memandang 
beringas pada Siluman Ular Putih. 
"Jangan sembarangan membacot, Iblis 
Penebar Maut! Sebaiknya, mari kita cincang 
kunyuk gondrong ini!" bentak Kelelawar Hu-
tan tersinggung. 
"He he he...! Rupanya kau ketakutan ju-
ga, Kelelawar Hutan. Baik! Tapi kau juga ha-
rus ingat perjanjian kita! Kau harus memin-
jamkan kitab itu padaku!" sahut sosok tua 
berambut panjang warna putih yang ternyata 
berjuluk Iblis Penebar Maut. 
"Jangan khawatir, Iblis Penebar Maut! 
Pokoknya begitu urusan ini selesai dan aku 
sudah selesai mempelajari kitab itu, kau bo-
leh datang mengambilnya!" 
"Baik!" 
Iblis Penebar  Maut langsung berkelebat 
menerjang Siluman Ular Putih seolah me-
mandang sebelah mata. 
Plak! 
"Heh?" 
Begitu jotosan tangan kanannya beradu 
dengan tangan kiri Siluman Ular Putih, maka 
terkejutlah tokoh sesat dari Gunung Wilis itu. 
Tangannya bergetar hebat akibat bentrokan 
tadi. Bahkan tendangan Siluman Ular Putih 
hampir saja mendarat telak di dada. 
"Aku bilang apa? Ayo, lekas cincang ku-
nyuk gondrong ini!" ujar Kelelawar Hutan lagi. 
Sehabis berkata begitu, Kelelawar Hutan 
semakin mempercepat serangannya dengan 
jurus-jurus yang dipelajari dari kitab pening-
galan gurunya. Demikian juga Iblis Penebar 
Maut, tokoh sesat dari Gunung Wilis itu. Ia 
yang sempat terkejut pada gebrakan pertama 
tadi, kini tidak berani memandang ringan la-
wan mudanya lagi. 
Diam-diam Siluman Ular Putih menge-
luh dalam hati. Pemuda ini benar-benar ke-
walahan  menghadapi gempuran-gempuran 
dua tokoh sesat tua itu. Padahal jurus-jurus 
saktinya telah dikeluarkan. Bahkan tak ja-
rang senjata pusakanya yang melesat cepat 
laksana rencong selalu saja dapat dihindari 
dengan mudah. Hingga tak heran kalau per-
lahan namun pasti, pemuda gondrong murid 
Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung Bu-
cu itu terdesak hebat. 
Sementara itu, Aryani dan Sindu masih 
dikeroyok puluhan orang murid Perguruan 
Kelelawar Putih. Namun, mereka masih dapat 
melayani. Dipihak lain, Cantrik Tudung Pan-
dang dan Setan Cantik tampak mulai terde-
sak oleh tiga orang murid utama Lowo Kuru 
dan Bidadari Putih. 
"Cantrik Tudung Pandan! Di antara kita 
tidak ada silang sengketa. Lekaslah tinggal-
kan tempat ini, mumpung pikiranku belum 
berubah!" bentak Bidadari Putih garang, di 
antara tebasan-tebasan pedang yang terus 
mengurung pertahanan Cantrik Tudung Pan-
dan. 
"Bedebah! Jangan seenaknya membacot, 
Bidadari Putih! Awas, lihat serangan!" dengus 
Cantrik Tudung Pandan sinis. 
Dari pancaran mata jelas kalau tokoh 
sesat dari Istana Ular Emas itu sangat me-
mandang rendah pada Bidadari Putih.  Bah-
kan dengan jarum-jarum emasnya yang ber-
keredepan, Cantrik Tudung Pandan pun 
kembali menerjang. Sementara kilatan-  kila-
tan pedangnya terus berusaha mengurung 
pertahanan Bidadari Putih. 
Namun sayangnya yang dihadapi Can-
trik Tudung Pandan kali ini bukanlah tokoh 
kemarin sore. Melainkan, Bidadari Putih yang 
merupakan salah seorang murid Pendekar 
Lowo Putih yang sangat disegani di dunia per-
silatan. Hingga tak heran kalau serangan-
serangan Cantrik Tudung Pandan tak berarti 
apa-apa di depan Bidadari Putih. Bahkan kini 
malah Bidadari Putih yang dapat mendesak-
nya. 
Cantrik Tudung Pandan menggeram pe-
nuh kemarahan. Wajahnya menegang. Kedua 
pelipisnya bergerak-gerak, pertanda tengah 
menahan amarah menggelegak. Dan sambil 
berkelebat cepat, tangan kirinya cepat mero-
goh kantong kecil yang melilit di pinggang. La-
lu.... 
Serrr! Serrr! 
Tiba-tiba melesat dua bayangan kecil 
memanjang berwarna kuning keemasan ke 
arah Bidadari Putih. 
Di tempatnya, Bidadari Putih terkesiap. 
Dari bau amis yang menebar mendahului le-
satan  dua benda memanjang berwarna kun-
ing keemasan, Bidadari Putih tahu kalau itu 
adalah seekor ular berwarna emas! Ya, ular 
emas! 
"Ah...!" pekik Bidadari Putih kaget bukan 
alang kepalang. 
Jarak lesatan dua benda memanjang 
berwarna keemasan itu memang demikian 
dekat. Sehingga, tak mungkin Bidadari Putih 
menggerakkan pedangnya untuk membabat. 
Maka tanpa banyak pikir panjang lagi, tu-
buhnya cepat dilempar ke samping, sekaligus 
menghindari tebasan- tebasan pedang di tan-
gan Cantrik Tudung Pandan. 
Dua benda memanjang berwarna kee-
masan yang memang dua ekor ular emas kini 
merayap cepat dengan kepala terangkat ting-
gi-tinggi. 
Cantrik Tudung Pandan tersenyum din-
gin. Sss... sss...! Disertai suara mendesis, dua 
ekor ular emas itu pun kembali melesat cepat 
menyerang Bidadari Putih. 
Set! Set! 
Bidadari Putih cepat mencelat tinggi. Di 
udara, pedangnya cepat digerakkan dua kali. 
Dan  
Crakkk! Crakkk! 
Terlihat dua kali darah muncrat di uda-
ra. Dan dua benda memanjang berwarna kun-
ing keemasan itu pun terbabat buntung, Begi-
tu jatuh di tanah. Kedua ular emas itu meng-
geliat-geliat sebentar lalu tak bergerak-gerak 
sama sekali. Mati! 
"Bangsat...! Heaaa...!" 
Bukan main marahnya Cantrik Tudung 
Pandan. Disertai pekikan setinggi langit, tu-
buh tingginya tahu-tahu telah berkelebat ce-
pat menyerang Bidadari Putih. Pedang di tan-
gan kanannya berkilat-kilat tertimpa sinar 
matahari, siap merajam. 
Bidadari Putih cepat menggerakkan pe-
dangnya untuk menangkis. Kemudian dengan 
menggunakan  jurus-jurus sakti 'Cengkera-
man Maut Kelelawar Sakti', cepat diterjangnya 
Cantrik Tudung Pandan. Gerakan-gerakan 
pedangnya yang sulit diduga sungguh mere-
potkan lawan. Malah beberapa kali pedangnya 
merobek kulit tubuh Cantrik Tudung Pandan. 
Sementara Bidadari Putih yang sedang 
kalap itu malah semakin mempercepat seran-
gannya. Dan di saat Cantrik Tudung Pandan 
terdesak hebat, mendadak... 
"Siapa pun adanya kau, tak boleh mem-
bunuh Cantrik Tudung Pandan! Akulah yang 
berhak membunuhnya!" 
* * * 
11 
Di hadapan Bidadari Putih dan Cantrik 
Tudung Pandan tahu-tahu telah berdiri tegak 
seorang lelaki berjubah kuning kedodoran 
sampai lutut. Tubuhnya pendek kurus. Wa-
jahnya polos dengan rambut awut-awutan. 
Pipinya cekung. Giginya kuning, menjorok ke 
depan. Usianya kira-kira enam puluh tahu-
nan. Dan lucunya, lelaki ini memiliki kumis 
yang mirip kumis kucing! Dan di dunia persi-
latan pun ia mendapat julukan Lelaki Berku-
mis Kucing. (Untuk mengetahui siapa Lelaki 
Berkumis Kucing ini lebih lanjut, silakan baca 
episode: "Sumur Kematian"). 
"Hm...! Kalau melihat ciri-ciri  mu, kau 
pasti orang tua yang bergelar Lelaki Berkumis 
Kucing. Untuk apa kau mencegah aku mem-
bunuh Cantrik Tudung Pandan?" gumam Bi-
dadari Putih dengan tatapan tajam. 
Lelaki Berkumis Kucing mengangguk- 
angguk. 
"Bidadari Putih! Sebaiknya kau bantu 
saja bocah gondrong itu! Tampaknya ia kewa-
lahan sekali menghadapi Kelelawar Hutan 
dan Iblis Penebar Maut. Lekas! Aku ada sedi-
kit urusan dengan wanita sundal ini!" 
Bidadari Putih berpaling ke arah Silu-
man Ular Putih. Dan memang, benar pemuda 
gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo 
dari Gunung Bucu itu tengah terdesak hebat 
di tangan dua orang pengeroyoknya. 
"Baiklah!" sahut Bidadari Putih, akhir-
nya. 
Sehabis berkata begitu, Bidadari Putih 
pun segera berkelebat cepat, menyerang Iblis 
Penebar Maut. Kebetulan, tokoh sesat itulah 
yang lebih dekat  dengannya. Dengan  meng-
gunakan sebilah pedang, dimainkannya jurus 
'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti'. Sedang 
tangan kirinya yang membentuk cakar siap 
pula mencengkeram dengan jurus 'Cakar 
Maut Kelelawar Hutan'. 
Melihat Bidadari Putih telah membantu 
Siluman Ular Putih, Lelaki Berkumis Kucing 
jadi senang sekali. Namun sejurus kemudian, 
matanya telah menatap tangan Cantrik Tu-
dung Pandan. 
"Cantrik Tudung Pandan! Lima belas ta-
hun lalu, kau boleh pecundangi aku. Tapi 
jangan harap sekarang dapat lolos dari gebu-
kan tongkat  hitam  ku. Lekas maju! Aku su-
dah tidak sabar ingin menggebuk pantatmu." 
Wajah pucat pasi Cantrik Tudung Pan-
dan terlihat semakin pias. Rahangnya berge-
meletukan. Kedua pelipisnya pun bergerak-
gerak, pertanda tak dapat lagi mengendalikan 
gelegak amarahnya. Maka tanpa banyak ca-
kap lagi, segera tangannya mengibas. Dan..., 
Serrr! Serrr! 
Tidak kurang dari sepuluh jarum emas 
Cantrik Tudung Pandan melesat cepat menye-
rang sekujur tubuh Lelaki Berkumis Kucing. 
Sinar emasnya yang berkeredepan tampak 
menggiriskan. 
"Heaaa...!" 
Bett! Bettt! 
Bersamaan dengan itu, tebasan-tebasan 
pedang tipis Cantrik Tudung Pandan segera 
menyusul menyerang musuh bebuyutannya. 
"Ah...! Dari dulu kau selalu main-main 
dengan jarum emasmu, Cantrik Tudung Pan-
dan. Aku jadi heran, apa kau tidak  bosan? 
Mengapa tidak kau gunakan untuk menjahit 
pakaianmu yang compang-camping?" celoteh 
Lelaki Berkumis Kucing sembari berkelebat 
kesana kemari, menghindari  jarum-jarum 
emas Cantrik Tudung Pandan. Sedang gulun-
gan-gulungan tongkat hitamnya segera me-
nangkis tebasan-tebasan pedang. 
Tlakkk! Tlakkk! 
Terdengar beberapa kali benturan di 
udara. Tubuh kedua orang itu sama-sama 
terjajar beberapa langkah ke belakang dengan 
tangan terasa bergetar hebat. Namun Lelaki 
Berkumis Kucing yang sangat mendendam 
pada Cantrik Tudung Pandan segera kembali 
berkelebat cepat untuk menyerang. Gulun-
gan-gulungan tongkat hitamnya terlihat terus 
berusaha mengurung pertahanan Cantrik Tu-
dung Pandan, 
"Heaaa..?" 
Namun selang beberapa saat kemudian, 
gantian gulungan-gulungan sinar kuning 
keemasan pedang tipis Cantrik Tudung Pan-
dan yang mendesak hebat Lelaki Berkumis 
Kucing. Bahkan mendadak satu pukulan wa-
nita sesat itu meluncur deras ke dada. Begitu 
cepatnya, sehingga, 
Bukkk! Bukkk! 
"Aughhh...!" pekik Lelaki Berkumis Kuc-
ing. Dadanya yang  terkena pukulan tangan 
kiri Cantrik Tudung Pandan terasa mau jebol. 
Tubuh pendeknya limbung ke kiri. Meski de-
mikian tongkat hitamnya berhasil disarang-
kan di punggung lawan. Sehingga membuat 
Cantrik Tudung Pandan terjajar ke samping. 
"Aaakh...." 
Bersamaan  dengan terjajarnya tubuh 
Cantrik Tudung Pandan, tiba-tiba terdengar 
pekikan Bidadari Putih yang tengah ter-
huyung-huyung akibat bentrokan dengan pu-
kulan Iblis Penebar Maut. Bahkan pada saat 
yang demikian, secara curang Kelelawar Hu-
tan langsung hantamkan pukulan Tangan Hi-
tam. 
Desss...! 
"Aaakh...!" 
Seketika itu juga tubuh Bidadari Putih 
terlempar beberapa tombak ke samping, lalu 
jatuh berdebukan di tanah tak mampu ban-
gun lagi. Punggungnya yang terkena pukulan 
'Tangan Hitam' Kelelawar Hutan langsung 
menghitam dan mengepulkan asap hitam ti-
pis. 
"Ibuuu...!" pekik Aryani menyayat. 
Namun serangan-serangan pukulan mu-
rid Perguruan Kelelawar Putih membuat gadis 
berpakaian putih-putih itu tetap berada di 
tempatnya. Jangankan untuk menolong. Un-
tuk keluar dari kepungan pun rasanya sulit 
Sementara itu, Kelelawar Hutan hanya 
tertawa sumbang melihat Bidadari Putih ro-
boh dengan punggung hangus terbakar. 
Bukan main murkanya Siluman Ular Pu-
tih melihat kejadian itu. Saking tidak dapat 
mengendalikan gelegak amarahnya, pemuda 
gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo 
itu sampai tidak dapat berkata-kata lagi. Wa-
jahnya menegang. Rahangnya bergemeletuk. 
Bahkan tiba-tiba sekujur tubuhnya telah di-
penuhi uap putih tipis. Sehingga, akhirnya 
bayangan tubuh pemuda gondrong itu tidak 
kelihatan sama sekali! 
Sejenak Kelelawar Hutan dan Iblis Pene-
bar Maut menghentikan  serangan. Sepasang 
mata mereka terbelalak lebar, tak  tahu ilmu 
apa yang akan dikeluarkan musuh mudanya. 
Dan ketika uap putih yang menyelimuti seku-
jur tubuh Soma pudar tertiup angin, maka 
seketika itu juga.... 
"Gggeeerrr...!" 
* * * 
Berpuluh-puluh pasang mata yang be-
rada di Pekarangan Terlarang seketika terbe-
lalak melihat seekor ular putih sebesar pohon 
kelapa. Terkadang badannya menyembul ke 
atas. Sebentar kemudian, baru  disusul den-
gan kepalanya. Sepasang matanya yang ber-
warna merah saga terus memandang beringas 
pada Kelelawar Hutan dan Iblis Penebar. 
Maut. Seolah siap memangsa calon korban 
dengan kedua taringnya! 
"Si..., Siluman Ular Putih...!" teriak Kele-
lawar Hutan dan Iblis Penebar Maut dengan 
sepasang mata terbeliak saking terkejutnya. 
Sehabis menggereng, Soma yang kini te-
lah menjelma menjadi Siluman Ular Putih ce-
pat menerjang Kelelawar Hutan dan Iblis Pe-
nebar Maut garang. Kepalanya digerakkan se-
demikian rupa, menyerang Kelelawar Hutan. 
Sedang ekornya dikibaskan, siap me-
remukkan tubuh Iblis Penebar Maut. 
Kelelawar Hutan dan Iblis Penebar Maul 
tentu saja tidak ingin menjadi sasaran empuk 
serangan-serangan Siluman Ular Putih. Maka 
pedang di tangan kanan Kelelawar Hutan ce-
pat bergerak memapak serangan-serangan Si-
luman Ular Putih. 
Tak! Tak! 
Tebasan-tebasan pedang itu beberapa 
kali mengenai tubuh Siluman Ular Putih. Na-
mun anehnya seperti membentur lempengan 
baja yang kuat sekali! Jangankan membabat 
buntung. Untuk melukai kulit tubuh Siluman 
Ular Putih saja, Kelelawar Hutan tidak sang-
gup. Bahkan setiap mata pedangnya berben-
turan dengan tubuh Siluman Ular Putih, sela-
lu saja Kelelawar  Hutan merasakan tangan-
nya kesemutan. 
Sedang Iblis Penebar Maut pun terpaksa 
harus berdecak kagum. Berkali-kali pukulan-
pukulan  mautnya  menghantam tubuh Silu-
man Ular Putih. Namun tetap saja hasilnya 
sia-sia. Paling, ia hanya dapat membuat tu-
buh memanjang sebesar pohon kelapa itu ter-
lempar beberapa tombak ke samping. Setelah 
itu, Siluman Ular Putih pun kembali mener-
jang garang. 
Kibasan-kibasan ekor dan terkaman-
terkaman Siluman Ular Putih sungguh hebat 
bukan main membuat debu-debu beterban-
gan. Hingga pada suatu saat... 
Bukkk! Bukkk! 
Tiba-tiba kibasan-kibasan ekor Siluman 
Ular Putih itu menghantam telak dada Kele-
lawar Hutan. Seketika itu juga tubuh  tinggi 
besar itu terlempar beberapa tombak ke bela-
kang. Sedang dadanya yang terkena kibasan 
terasa mau jebol dengan mata berkunang-
kunang. 
Sejenak Kelelawar Hutan menggapai- 
gapaikan tangan kanannya.  Sedangkan  tan-
gan kirinya menekan dada. Tak lama, tubuh-
nya ambruk ke tanah tak dapat bangun lagi. 
Di sudut-sudut bibirnya tampak terbersit da-
rah segar, pertanda mengalami luka dalam 
cukup parah! 
Melihat itu, nyali Iblis Penebar Maut jadi 
lumer. Sepasang mata sipitnya  terbelalak le-
bar. Maka sebelum kibasan-kibasan ekor Si-
luman Ular Putih menghantam tubuhnya, ka-
ki kanannya cepat menjejak, Seketika tubuh-
nya berkelebat meninggalkan arena pertarun-
gan. 
Siluman Ular Putih hanya memandangi 
Iblis Penebar Maut dengan sepasang mata 
mencorong. Sama sekali tidak ada keinginan 
untuk mengejar. Apalagi, saat itu dilihatnya 
Bidadari Putih masih tergeletak dengan pung-
gung hangus terbakar. 
Siluman Ular Putih hanya menggereng 
panjang. Dan ketika bayangan tubuh Iblis Pe-
nebar Maut menghilang di balik tembok me-
mutar Pekarangan Terlarang, tiba-tiba seku-
jur tubuh ular raksasa itu telah dipenuhi uap 
putih tipis hingga tidak kelihatan sama sekali. 
Wesss...! 
Dan ketika uap putih tipis yang menye-
limuti tubuh Siluman Ular Putih pudar ter-
tiup angin, maka yang tampak kini adalah se-
sosok pemuda berpakaian rompi dan celana 
bersisik warna putih keperakan. Siapa lagi 
kalau bukan Soma alias Siluman Ular Putih? 
"Jangkrik! Rupanya manusia sontoloyo 
ini sakti juga," gerutu Soma ketika pandangan 
matanya tertumbuk pada Kelelawar Hutan 
yang tergeletak tak berdaya. 
Sehabis menggerutu demikian, Soma 
berjalan mendekati Bidadari Putih. Namun 
baru beberapa langkah, tiba-tiba ia dike-
jutkan satu auman dahsyat yang memekak-
kan gendang telinga. 
"Meooong...!" 
Siluman Ular Putih sejenak menghenti-
kan langkahnya. Dilihatnya Lelaki Berkumis 
Kucing tengah meloncat tinggi ke udara. Gu-
lungan-gulungan tongkat hitamnya tampak 
berkelebat cepat sekali, menyerang ubun-
ubun kepala Cantrik Tudung Pandan. Sedang 
tangan  kirinya yang berkuku panjang warna 
hitam, siap pula mencengkeram dada Cantrik 
Tudung Pandan. 
Hebat bukan main serangan Lelaki Ber-
kumis Kucing, membuat Cantrik Tudung 
Pandan terkesiap kaget.  Serangan-serangan 
itu sungguh di luar dugaannya. Bahkan sebe-
lum serangan Lelaki Berkumis Kucing men-
genai sasaran telah didahului oleh angin din-
gin yang menyerang tubuh Cantrik Tudung 
Pandan. 
Tidak ada pilihan lain. Terpaksa Cantrik 
Tudung Pandan menggerakkan pedang tipis-
nya untuk menangkis tongkat hitam di tan-
gan Lelaki Berkumis Kucing. 
Wuttt! 
"Heh?!" 
Tapi apa lacurnya? Ternyata serangan 
tongkat di tangan Lelaki Berkumis Kucing 
hanyalah tipuan belaka. Sedang serangan 
yang sesungguhnya justru dari cengkeraman 
tangan kiri Lelaki Berkumis Kucing. Sehing-
ga.... 
"Hyaaat! Hyaaat!" 
Crakkk! 
"Auuugh...!" pekik Cantrik Tudung Pan-
dan setinggi langit, ketika kuku-kuku jari Le-
laki Berkumis Kucing menjebol dada. 
Seketika itu juga, tubuh Cantrik Tudung 
Pandan limbung ke samping dengan darah 
mengucur dari dada yang berlubang. Bersa-
maan dengan itu, tahu-tahu kaki kanan Lela-
ki Berkumis Kucing telah meluncur cepat ke 
dada. 
Bukkk! 
Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi ramping 
Cantrik Tudung Pandan terlempar beberapa 
tombak ke belakang, lalu jatuh berdebuk ke 
tanah tak dapat bangun lagi. Mati! 
Setan Cantik terkesiap kaget. Wajahnya 
kelam membesi. Dilihatnya Cantrik Tudung 
Pandan sudah tidak bernyawa lagi. Hal ini 
semakin membuat amarahnya tak dapat di-
kendalikan. Apalagi dari tadi, ia belum mam-
pu merobohkan satu orang murid utama Lo-
wo Kuru. Malah,  kini dirinya yang terdesak 
hebat. 
"Setan alas! Siapa pun juga yang ada di 
sini, harus bertanggung jawab atas mening-
galnya Kakak Cantrik Tudung Pandan! 
Hyaaat! Hyaaat!" 
Setan Cantik cepat menggerakkan pe-
dangnya. Tebasan-tebasan pedangnya terlihat 
semakin menggiriskan. Apalagi diiringi jarum-
jarum emasnya yang berkeredepan, menye-
rang tiga orang pengeroyoknya. 
"Kematian sudah di depan mata, masih 
saja berkoar-koar!" ejek Naroko. 
"Kurang ajar! Kalian pikir, akan semu-
dah itukah merobohkan ku!" maki Setan Can-
tik garang. 
Meski membentak garang demikian, se-
benarnya diam-diam Setan Cantik jerih juga. 
Apalagi Kelelawar Hutan sudah roboh di tan-
gan lawan. Sedang Iblis Penebar Maut pun 
entah sudah lenyap ke mana. Maka, tak he-
ran kalau diam-diam ia mulai mencari jalan 
untuk melarikan diri. 
Dan kesempatan itu akhirnya ditemukan 
Setan Cantik juga. Di saat ketiga orang murid 
utama Lowo Kuru menerjang dengan senjata 
di tangan, Setan Cantik cepat mengibaskan 
tangan kirinya. Dan.... 
Serrr! Serer! 
Seketika itu juga, puluhan jarum-jarum 
emas Setan Cantik yang berkeredepan mele-
sat menyerang ketiga orang murid utama Lo-
wo Kuru. 
Ketiga orang yang jadi sasaran cepat 
menggerakkan pedangnya menangkis rontok 
jarum-jarum emas Setan Cantik. Dan kesem-
patan itu pun digunakan Setan Cantik untuk 
berkelebat cepat meninggalkan arena perta-
rungan. 
Naroko menggeram penuh kemarahan. 
Sekali menjejak tanah, tahu-tahu,  tubuh 
tinggi besarnya cepat berkelebat mengejar Se-
tan Cantik.  
Namun sayangnya, bayangan wanita tadi 
telah lenyap di balik tembok Pekarangan Ter-
larang. 
Naroko cepat meloncat ke atas tembok 
Pekarangan Terlarang. Sedang bayangan Se-
tan Cantik telah jauh meninggalkan lereng 
barat Gunung Sumbing. Dengan sangat ter-
paksa Naroko yang berwatak kasar menghen-
tikan pengejarannya. 
"Hentikan pertempuran! Dan cepat ka-
lian berlutut memohon ampun pada Nona Bi-
dadari Kecil yang kalian keroyok!" teriak Na-
roko, garang. 
* * * 
12 
Puluhan murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih yang sedang mengeroyok Bidadari Kecil 
dan Sindu seketika itu juga menghentikan se-
rangan. Sejenak mereka saling berpandangan. 
Kemudian, entah siapa yang terlebih dahulu 
memulainya, tahu-tahu mereka telah berlutut 
di hadapan Bidadari Kecil dan Sindu. 
"Ma... maafkan kami, Nona Bidadari Ke-
cil! Kami benar-benar tidak berdaya," ucap 
salah seorang murid berpita kuning yang ber-
lutut tak jauh dari Aryani seraya membentur-
benturkan jidatnya ke tanah. 
"Benar, Nona Bidadari Kecil. Kami be-
nar-benar tidak berdaya. Kami... kami takut 
menerima hukuman dari Kelelawar Hutan bila 
membangkang...," sahut murid lainnya. 
"Benar, Nona Bidadari Kecil. Sekarang 
kami pasrah. Silakan menjatuhkan hukuman 
terhadap kami." 
Bidadari Kecil tak pedulikan. Ia saat ini 
sangat mencemaskan keselamatan ibunya. 
Seketika tubuhnya berkelebat cepat ke tempat 
ibunya. Di situ Soma tampak  tengah sibuk 
menotok beberapa jalan darah di tubuh Bida-
dari Putih yang masih tergeletak pingsan. 
"Ibuuu...!" desah Aryani di sisi ibunya. 
Wajahnya pucat pasi. Kedua bibirnya berge-
tar-getar. 
Soma mengerdipkan sebelah matanya, 
menyuruh Aryani diam. Lalu kembali jari-jari 
tangannya bergerak lincah menotok tiga jalan 
darah di tubuh Bidadari Putih. Dua totokan 
pada bagian punggung dan yang terakhir pa-
da tengkuk. 
Selang beberapa saat, perlahan-  lahan 
Bidadari Putih pun mulai membuka kelopak 
matanya. Namun begitu, matanya terbuka da-
ri mulutnya. muntahkan darah berwarna me-
rah kehitaman. 
"Ibu...!" pekik Aryani cemas bukan main. 
"Sudahlah, Aryani! Jangan terlalu ce-
mas. Nanti malah aku jadi ikut-ikutan ping-
san. Ya, kalau kau mau menolongku. Kalau 
tidak..., matilah aku!" goda Soma. 
Aryani melotot matanya lebar-lebar. Na-
mun belum sempat mengeluarkan makian, 
Bidadari Putih telah mendahuluinya. 
"Kau tidak apa-apa, Nak?" tanya Bidada-
ri Putih dengan napas tersengal. 
"Tidak, Ibu." 
"Syukurlah. Sekarang sebaiknya kita ke 
tempat Sindu. Kulihat ia tengah sibuk mem-
berikan pengarahan kepada adik-adik seper-
guruannya." 
"Tapi... tapi.,.! Tunggu dulu, Bu!" ujar 
Aryani tiba-tiba. Seketika gadis ini berdiri dan 
berkelebat ke arah Kelelawar Hutan. 
Sepasang mata jeli si gadis mendadak 
jadi beringas, begitu melihat orang yang pal-
ing dibencinya. Sekali tangan kanannya ber-
gerak, tubuh tinggi besar Kelelawar Hutan te-
lah terangkat tinggi-tinggi. Sedang tangan ki-
rinya cepat menotok beberapa jalan darah di 
tubuh Kelelawar Hutan. 
Perlahan-lahan Kelelawar Hutan mulai 
membuka matanya. Kembali Aryani cepat 
menotok punggung membuat Kelelawar Hu-
tan tidak dapat menggerakkan tubuhnya lagi. 
"Sekarang katakan pada murid-  murid-
mu yang bodoh, Kelelawar Hutan! Katakan 
kalau kaulah yang telah mencelakakan Lowo 
Kuru pemilik Perguruan Kelelawar Putih yang 
sebenarnya! Cepat!" bentak Aryani seraya 
menodongkan mata pedangnya ke leher Kele-
lawar Hutan. 
Kelelawar Hutan melotot. Lalu tiba-tiba 
saja ia tertawa bergelak- gelak. 
"Bocah Setan! Akulah yang memang 
mencelakakan Lowo Kuru. Sekarang kau mau 
apa, he?!" bentak Kelelawar Hutan garang. 
Aryani geram bukan main. Kegeraman-
nya ini telah membuatnya kalap. Maka ujung 
pedang yang semula menempel di leher Kele-
lawar Hutan tiba-tiba saja berkelebat cepat. 
Lalu.... 
"Jangan, Aryani!" pekik Bidadari Putih. 
Craasss! 
Namun Aryani yang sedang kalap mana 
mau menuruti teriakan ibunya. Malah gera-
kan pedangnya semakin cepat. Sehingga tan-
pa ampun lagi kepala Kelelawar Hutan jatuh 
menggelinding di tanah. 
Sejenak Aryani memandang beringas ke-
pala yang menggelinding itu. Sepasang mata 
jelinya tiba-tiba dialihkan ke puluhan murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih yang sedang 
berlutut di hadapan Sindu. 
"Kalian sudah tahu, apa yang kalian li-
hat, he? Apa kalian belum mengakui kalau 
Lowo Kuru adalah pemilik Perguruan Kelela-
war Putih yang sebenarnya?" 
"Ampuuun...! Ampunkan kami, Nona Bi-
dadari Kecil! Kami...  kami benar-benar tidak 
berdaya. Kami tidak berani menolak perintah 
Kelelawar Hutan," jelas salah seorang murid 
berpita kuning dengan suara bergetar-getar. 
Aryani menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat. Sepasang mata jelinya masih berkilat-
kilat liar. 
"Sudahlah, Aryani! Jangan terlalu kasar 
pada mereka! Mereka tidak bersalah. Mereka 
hanya sekadar menjalankan perintah," ujar 
Bidadari Putih lagi dengan napas tersengal. 
"Baik, Ibu," sahut Aryani akhirnya. 
Walau masih jengkel dengan ulah mu-
rid-murid Perguruan Kelelawar Putih, namun 
begitu melihat wajah ibunya yang penuh da-
mai, membuat kemarahan Aryani jadi lumer. 
"Sekarang, apa yang harus kita lakukan, 
Ibu?" tanya Aryani meminta pendapat ibunya. 
Sejenak Bidadari Putih diam membisu, 
tak tahu harus berkata apa kepada putri 
tunggalnya. Namun di saat tengah termangu-
mangu.... 
"Ah...! Mengapa repot-repot? Teruskan 
saja Perguruan Kelelawar Putih ini seperti bi-
asanya. Dan biarkan Lowo Kuru atau Bidada-
ri Putih sendiri yang memimpin," kata Lelaki 
Berkumis Kucing. 
"Tak mungkin. Tak mungkin kami me-
mimpin Perguruan Kelelawar Putih ini. Kami 
sudah enggan untuk berkecimpung dalam 
urusan padepokan. Malah, kami ingin meng-
habiskan masa tua di dalam Sumur Kema-
tian," tolak Bidadari Putih, halus. 
"Kalau begitu, suruh saja putri mu yang 
ayu itu memimpin. Kan  beres?! Cuma sebe-
lumnya, kalau kau tidak keberatan, aku..., 
aku ingin sekali menda..., eh, salah! Maksud-
ku, su... sudilah kau membagi Daun Lontar 
Merah itu padaku, Bidadari Putih!" tutur Le-
laki Berkumis Kucing kacau-balau. 
"Setan alas! Jadi, ini ya maksud keda-
tanganmu yang sebenarnya?! Ingin merebut 
Daun Lontar Merah dari tangan kami? Apa 
matamu buta, Orang Tua? Ibuku sendiri ma-
sih membutuhkannya. Jadi, mana sudi kami 
membagi-bagikannya!" hardik Aryani garang. 
Tangan kanannya cepat melolos pedangnya 
kembali.  
"Sabar, Anakku! Tak baik membentak-
bentak orang tua!" tegur Bidadari Putih ka-
lem. 
"Tapi, Ibu...." 
"Sudahlah! Aku pikir, Ibu hanya tinggal 
membutuhkan beberapa lembar saja. Jadi, 
berikan saja sisa-nya kepada Lelaki Berkumis 
Kucing. Kan beres?!" kata Bidadari Putih di-
iringi senyum. 
"Ah...! Tak kusangka kau demikian baik 
hatinya padaku, Bidadari Putih. Terima kasih! 
Terima kasih!" ucap Lelaki Berkumis Kucing 
seraya menelungkupkan kedua telapak tan-
gan ke depan dada. Tubuhnya langsung men-
jura hormat beberapa. kali di hadapan Bida-
dari Putih dan Aryani. 
Bidadari  Putih  dan Aryani  sungkan se-
kali diperlakukan seperti itu. 
"Sudahlah! Jangan terlalu berlebihan 
begini, Lelaki Berkumis Kucing. Hanya kalau 
boleh tahu, sebenarnya untuk siapakah Daun 
Lontar Merah itu? Kulihat kau tidak menderi-
ta suatu penyakit apa pun."" 
"Ah, iya! Sampai aku lupa mengatakan-
nya! Pantas saja kalian jadi mencurigaiku!" 
desah Lelaki Berkumis Kucing seraya mene-
puk jidatnya sendiri. "Seperti yang kau kata-
kan, aku memang sehat-sehat saja. Tapi, ke-
tahuilah! Daun Lontar Merah itu sebenarnya 
untuk menyembuhkan penyakit kakak seper-
guruanku Penjaga Pintu di Gunung Anjasmo-
ro. Aku sendiri belum tahu sakit  apa dia.... 
Eh,.. ?! Mau ke manakah bocah gondrong itu? 
Kok, tidak pamit?" 
Tiba-tiba Lelaki Berkumis Kucing men-
galihkan perhatian ke tempat lain. 
Aryani dan Bidadari Putih segera berpal-
ing ke belakang. Tampak pemuda gondrong 
yang dimaksudkan Lelaki Berkumis Kucing 
tengah menggaruk-garuk kepala. Ia tadi sebe-
narnya akan pergi begitu saja. Tapi sayang, 
Lelaki Berkumis Kucing keburu mengeta-
huinya. 
"Kau mau ke mana, Soma?" tanya Arya-
ni. 
"Aku..., aku mau pergi. Kupikir aku su-
dah terlalu lama tinggal di sini." 
"Kau... hendak meninggalkan ku?" tanya 
Aryani. Entah mengapa tiba-tiba saja nada bi-
caranya jadi bergetar. 
“Tidak boleh! Tidak boleh! Aku bilang ti-
dak boleh! Jasamu terhadap Perguruan Kele-
lawar Putih terlalu besar. Kau tidak boleh 
meninggalkan tempat ini begitu saja. Bukan-
kah begitu, Bidadari Putih?" tukas Lelaki Ber-
kumis Kucing. 
"Ya ya ya...!" jawab Bidadari Putih gela-
gapan, tak menyangka kalau akan dilibatkan 
dalam pembicaraan. 
"Nah...! Kau  dengar, Bocah! Kau tidak 
boleh meninggalkan tempat ini sebelum  aku 
menyematkan tanda mata untukmu. Ya ya 
ya...! Aku harus mengalungkan kembang atas 
jasa-jasamu ini. Tapi..., tapi apa ada kem-
bang-kembang yang kubutuhkan di sekitar 
sini, ya?" kata Lelaki Berkumis Kucing seperti 
pada diri sendiri. "Oh, ya! Tak ada kembang di 
sekitar sini pun tak jadi soal. Kulihat di seki-
tar sini banyak berserakan jarum emas milik 
wanita-wanita sundal itu. Kau tidak kebera-
tan kan kalau kembang-kembang itu ku gan-
tikan dengan jarum-jarum emas itu, Bocah?" 
Tunggu, Orang Tua! Terus terang bu-
kannya aku keberatan. Tapi kalau boleh me-
milih, aku malah lebih senang kau menggu-
nakan gigi-gigi kuning mu yang mancung itu, 
Orang Tua," kata Soma, seenak dengkul. 
Sejenak Lelaki Berkumis Kucing melotot. 
Lalu tanpa disadarinya  tangan kanannya te-
lah meraba-raba gigi-gigi kuningnya yang 
menjorok ke depan. 
Melihat itu, mau tidak mau Aryani dan 
Bidadari Putih pun tersenyum tipis. 
"Sudahlah! Tak perlu kalian melan-
jutkan geguyonan ini. Dan seperti yang dika-
takan Lelaki Berkumis Kucing, kau tidak bo-
leh meninggalkan tempat ini begitu saja, So-
ma! Rasanya belum puas kalau kami belum 
memberikan sesuatu padamu," tegas Bidadari 
Putih. 
"Sayang! Sayang sekali aku tidak bisa, 
Bidadari Putih. Malam ini aku harus tiba di 
suatu tempat. Ada satu urusan penting yang 
harus segera ku tangani," tolak Soma berdus-
ta. 
Dan sehabis berkata begitu, Siluman 
Ular Putih pun segera berkelebat cepat me-
ninggalkan Pekarangan Terlarang. Namun ke-
tika pemuda gondrong murid Eyang Begawan 
Kamasetyo sampai di tembok memutar Peka-
rangan Terlarang, sejenak langkahnya terhen-
ti. 
"Selamat tinggal. Aryani!" teriak Soma 
seraya mengacungkan jempol. Lalu tubuhnya 
cepat berkelebat kembali, dan menghilang di 
balik tembok Pekarangan Terlarang. 
Aryani mendesis sedih. Tanpa disadari 
bibirnya menyebutkan nama pemuda itu be-
rulang kali. Sedang sepasang mata jelinya tak 
henti-hentinya menatap ke arah menghilang-
nya Soma tadi. 
SELESAI 
http://duniaabukeisel.blogspot.com/ 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: mybenomybeyes
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com