6
Sejak Soma
meninggalkan kedai ia merasa se-
seorang terus
mengikutinya. Ilmu meringankan tubuh
sosok di
belakangnya itu cukup lumayan. Terbukti
penguntitnya
itu mampu mengikuti terus walau Soma
telah
mengerahkan setengah dari ilmu meringankan
tubuhnya.
Tiba-tiba
Soma menyelinap ke balik rindangnya
sebatang
pohon. Kemudian tubuhnya meloncat tinggi
ke udara dan
mendarat di salah satu ranting pohon
sambil
matanya terus memperhatikan sosok bayangan
di bawahnya.
Ia bermaksud ingin menjebak penguntit-
nya. Tetapi
sosok bayangan itu pun ikut menyelinap ke
balik
rindangnya pohon. Dan tanpa diduga-duga ikut
pula memanjat
ke atas.
"Cerdik
juga penguntit ku itu. Baik Aku akan
menjebaknya,"
gumam Soma dalam hati.
Diam-diam ia
mengerahkan seluruh ilmu me-
ringankan tubuhnya. Laksana seekor tupai tubuh
tinggi kekar
murid Eyang Begawan Kamasetyo berlon-
catan dari
ranting satu ke ranting pohon yang lain. Ge-
rakan kedua
kakinya ringan sekali hingga tidak me-
nimbulkan
suara.
Sosok
bayangan yang menguntit Soma tiba-tiba
merasa telah
terjebak. Belum sempat ia berpikir kema-
na lenyapnya
pemuda yang dibuntuti, dari atas ranting
pohon lain ia
dikejutkan dengan teriakan seseorang.
"Cekitir...!
Rupanya kau gadis cantik yang tadi
duduk
sendirian di kedai!" teriak Soma lantang.
Samar-samar
dari balik remangnya sinar bulan,
Soma dapat
melihat sosok penguntitnya. Dia seorang
gadis cantik
berpakaian kuning. Usianya kira-kira tu-
juh belas
tahun. Wajahnya yang bulat telur tampak
manis sekali
dengan sepasang mata indah. Bibirnya ti-
pis
kemerah-merahan.
Gadis cantik
berbaju kuning yang sebenarnya
bernama Putri
Sekartaji kontan terbelalak kaget.
"Ah...!
Bagaimana mungkin aku tidak menden-
gar
langkah-langkah halus pemuda ini? Tak mungkin!"
rutuk Putri
Sekartaji kesal.
"Nah,
sekarang aku sudah di sini. Untuk apa
kau
menguntitku, Gadis?" kata Soma setelah meloncat
turun dan
duduk di sebatang ranting di mana Putri
Sekartaji
duduk.
Soma yang
duduk demikian dekatnya dengan
Putri
Sekartaji tampak terpesona melihat kecantikan
gadis itu.
Dilihatnya sepasang mata yang indah berki-
lat-kilat.
Kedua bibirnya merekah kemerahan. Sung-
guh sangat
membuat murid Eyang Begawan Kama-
setyo betah
memandangi.
"Cerewet!
Siapa yang menguntitmu? Aku juga
sedang menuju
ke timur!" terucap juga kata-kata gadis
itu setelah
beberapa saat lamanya terpesona melihat
ketampanan
Soma.
"Ya,
sudah. Kukira kau ada perlu denganku,"
kata Soma
diiringi senyum.
Tanpa
berkata-kata lagi, Soma lalu meloncat
turun dari
atas pohon. Langkahnya terayun mening-
galkan tempat
itu. Tapi samar-samar mendadak pen-
dengarannya
menangkap denting suara senjata bera-
du. Soma
melesat menuju ujung Hutan Gudean di
mana
suara-suara tadi berasal.
"Hei,
tunggu!" teriak Putri Sekartaji. Bergegas ia
melompat
turun. Diam-diam ia menyesal telah berkata
kasar pada
pemuda tampan yang membuat hatinya
terpesona
itu. "Pemuda brengsek!" sungut gadis itu
kesal.
Sosok Soma
telah menghilang di balik kegela-
pan malam.
Putri Sekartaji jengkel sekali.
"Ada
apa, Gadis? Kudengar tadi kau memang-
gilku. Ada
apa?"
Secepat kilat
Putri Sekartaji membalikkan ba-
dan. Suara
itu datang dari arah belakangnya.
"Ah,
kau!" keluh gadis cantik itu kebingungan.
"Ya,
aku. Tadi kau memanggilku. Ada apa?" ka-
ta Soma
menggoda. Rupanya tadi setelah mendengar
panggilan
Putri Sekartaji, Soma tidak jadi meneruskan
niatnya
mencari sumber suara denting senjata. Dia
membelokkan
larinya menuju arah belakang Putri Se-
kartaji.
"Ah,
tidak! Sana kalau mau pergi!" kata Putri
Sekartaji tak
dapat menyembunyikan perasaan gugup-
nya.
Soma tertawa
bergelak.
"Kau ini
bagaimana sih? Tadi memanggilku. Se-
telah aku
berada di dekatmu, malah mengusir. Heran!
Ada apa
sebenarnya? Jangan-jangan kau mulai naksir
sama aku,
ya?"
"Kunyuk
gondrong tak tahu malu! Lekas ting-
galkan
aku!" bentak Putri Sekartaji tiba-tiba.
"Baik!
Aku memang akan meninggalkanmu.
Tapi jangan
melotot begitu dong! Sayangkan kalau ma-
tamu yang
indah meloncat keluar?"
Putri
Sekartaji menggeram jengkel.
Soma hanya
tertawa bergelak. Di saat gadis
cantik itu
hendak melontarkan pukulan karena saking
jengkelnya,
Soma telah berkelebat menuju datangnya
suara senjata
tajam beradu tadi.
* * *
Di luar Hutan
Gudean memang tengah terjadi
pertarungan
sengit. Dua orang gadis cantik bertarung
hebat melawan
dua orang kakek nenek sakti. Tampak
sekali kalau
kedua gadis itu terdesak hebat mengha-
dapi
gempuran-gempuran lawan.
Kakek-nenek
sakti itu berpenampilan begitu
mengerikan.
Wajah mereka pucat pasi mirip mayat.
Rambutnya
yang panjang memutih digelung ke atas.
Mereka
bertubuh kurus kering tinggal kulit pembalut
tulang.
Keringkihan sosok itu dibungkus jubah merah
darah. Usia
keduanya belum terlalu tua. Yang kakek
berusia lima
puluh lima tahun. Si nenek sekitar lima
puluh
tahunan. Di dunia persilatan kakek-nenek sakti
ini dikenal
dengan julukan Sepasang Mayat Merah dari
Lembah Duka.
Di hadapan
Sepasang Mayat Merah dari Lem-
bah Duka
adalah dua orang gadis kembar dari wilayah
timur.
Keduanya berpakaian ringkas warna hijau mu-
da. Rambutnya
hitam panjang dikuncir ke belakang.
Wajah mereka
bulat telur dengan sepasang mata ber-
binar-binar
indah. Cocok sekali dengan bentuk hi-
dungnya yang
mancung dan bibirnya yang tipis keme-
rahan.
Sungguh sulit
membedakan kedua gadis kem-
bar itu. Baik
bentuk wajah, potongan tubuh, pakaian
yang
dikenakan, bahkan rambutnya yang dikuncir ke
belakang,
semua sama. Hanya tahi lalat kecil di
pipi
kiri gadis
cantik di sebelah kanan yang dapat membe-
dakan mereka.
Yang bertahi lalat kecil itu bernama
Ken Umi.
Sedang di sebelahnya Ken Sari.
Menghadapi
gempuran Sepasang Mayat Merah
dari Lembah
Duka tampak kedua gadis cantik itu san-
gat
kewalahan. Jangankan untuk membalas serangan,
menghindar
saja rasanya sulit sekali. Malah berkali-
kali pedang
merah di tangan Sepasang Mayat Merah
dari Lembah
Duka mengenai kulit tubuh mereka. Na-
mun Ken Umi
dan Ken Sari terus melakukan perlawa-
nan dengan
gigih.
Trang! Trang!
Bunga api
berpijaran ketika pedang di tangan
Ken Umi
tertangkis pedang Kakek Mayat Merah. Aki-
batnya pedang
gadis cantik itu terpental. Tubuhnya
sendiri
terhuyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang.
Tak jauh dari
Ken Umi yang tengah terhuyung-
huyung
seorang laki-laki berpakaian serba hitam den-
gan wajah
tertutup kain hitam pula terdengar menge-
rang
kesakitan. Luka-luka bekas bacokan pedang di
tubuhnya
mengeluarkan darah segar.
"Manusia-manusia
dajal! Terkutuklah kalian
semua! Lekas
tinggalkan tempat ini! Kalau tidak, jan-
gan harap
Adipati Pleret akan mengampuni dosa ka-
lian!"
geram laki-laki berpakaian hitam tiba-tiba. Tapi
apa yang bisa
diperbuat. Tubuhnya terluka parah.
Dengan sangat
terpaksa ia hanya dapat mengerang ke-
sakitan
sambil menonton jalannya pertarungan.
Sepasang
Mayat Merah dari Lembah Duka ter-
tawa bergelak.
Tebasan-tebasan pedangnya makin
menggiriskan.
Berkali-kali pedang di tangan Sepasang
Mayat Merah
dari Lembah Duka mengancam tubuh
kedua gadis
kembar dari wilayah timur.
Bret!
Tiba-tiba pedang Kakek Mayat Merah berhasil
merobek baju
bagian atas Ken Umi. Seketika tampak-
lah kulit
dada yang membusung dari gadis cantik itu.
Melihat
pemandangan indah di depannya, Kakek
Mayat Merah
kontan tertawa bergelak. Jakunnya ber-
gerak turun
naik. Lalu sambil tertawa-tawa senang ka-
kek itu
kembali menyerang Ken Umi.
Bret! Bret!
Ken Umi
memekik tertahan. Kembali pedang
Kakek Mayat
Merah berhasil merobek baju gadis can-
tik itu. Ken
Umi kelabakan bukan main. Baju bagian
atasnya robek
lebar menampakkan sebagian lekuk-
lekuk
tubuhnya yang putih bersih. Keadaan ini mem-
buat serangan
Ken Umi jadi kacau. Sebentar ia meme-
gangi robekan
bajunya untuk menutupi tubuhnya, se-
bentar
kemudian dengan kemarahan meluap menye-
rang Kakek
Mayat Merah.
Kakek Mayat
Merah hanya tertawa kegirangan.
Sepasang
matanya tak henti-hentinya memperhatikan
lekuk-lekuk
tubuh Ken Umi. Tanpa sadar tokoh sesat
dari Lembah
Duka itu menelan ludahnya sendiri.
"Sudah
kuduga kau tentu memiliki tubuh yang
menggiurkan,
Gadis!" kata Kakek Mayat Merah.
"Iblis
Mayat Merah! Jangan kau makan sendiri
gadis cantik
itu!" teriak nenek bertubuh sintal yang
bergelar
Setan Mayat Merah memperingatkan.
"Apa
maksudmu, Setan Mayat Merah?!" teriak
Kakek Mayat
Merah yang ternyata bergelar Iblis Mayat
Merah.
"Aku
ingin kedua gadis cantik ini diserahkan,
pada Pangeran,
Pemimpin dan Pelajar Agung sebagai
tanda setia!
Lekas tangkap gadis itu!"
"Ah...!
Mengapa demikian, Setan Mayat Merah?"
teriak Iblis
Mayat Merah keberatan. "Kupikir Pangeran
Pemimpin dan
Pelajar Agung tidak keberatan kalau
aku
mengambilnya seorang. Kau serahkan saja gadis
cantik di
tanganmu itu pada Pangeran Pemimpin dan
Pelajar
Agung!"
Setelah
berkata begitu, Iblis Mayat Merah kem-
bali
mempermainkan Ken Umi. Sambil terus mendesak
gadis cantik
itu mata Iblis Mayat Merah tak henti-henti
memperhatikan
sepasang dada membusung Ken Umi
dengan jakun
bergerak turun naik.
"Bajingan!
Manusia-manusia bajingan! Berani
kalian
menyentuh tubuh kedua gadis itu, demi Tuhan
aku akan
mengadu nyawa dengan kalian!" teriak lelaki
berpakaian
hitam penuh kemarahan. Ia mencoba un-
tuk meloncat
bangun. Namun sayang tubuhnya kem-
bali luruh ke
tanah dan memuntahkan darah segar.
"Manusia-manusia
iblis! Demi Tuhan aku men-
gadu nyawa dengan
kalian!" teriak Ken Umi.
Kedua telapak
tangan gadis itu yang telah be-
rubah merah
hingga ke pangkal lengan siap melontar-
kan pukulan
‘Kelabang Api’. Iblis Mayat Merah menyu-
rutkan
langkahnya setindak ke belakang. Sepasang
matanya terus
memandangi kedua telapak tangan Ken
Umi yang
semakin memerah.
"Pukulan
'Kelabang Api'...!" desis Iblis Mayat
Merah
mengenali pukulan yang akan dilontarkan gadis
cantik itu.
Buru-buru Iblis Mayat Merah mengerahkan
tenaga dalam
sepenuhnya. Ia siap mengirimkan puku-
lan maut
'Racun Darah Mayat' yang tak kalah ampuh
dengan
pukulan 'Kelabang Api' ciptaan Ki Rombeng.
"Bagus!
Rupanya kau mengenali pukulanku, Ib-
lis Mayat
Merah! Tentu kau tidak akan menyesal bila
terpaksa aku
mengirim nyawamu ke dasar neraka. Se-
karang
makanlah pukulan 'Kelabang Api'-ku, Manusia
Iblis!
Hea...!"
Diawali
teriakan nyaring Ken Umi mendorong-
kan kedua
telapak tangannya ke depan. Seketika dua
larik sinar
merah menyala melesat cepat melabrak tu-
buh Iblis
Mayat Merah.
Blaaarrr...!!!
Hebat bukan
main pertemuan dua tenaga da-
lam itu.
Tempat pertarungan terguncang hebat. Rant-
ing-ranting pohon berderak terkena sambaran angin
panas.
Daun-daunnya langsung hangus terbakar!
Tubuh Ken Umi
terpental ke belakang begitu
pukulan
'Kelabang Api'-nya dipapaki pukulan 'Racun
Darah Mayat'
milik Iblis Mayat Merah. Seketika paras
gadis cantik
itu jadi pucat pasi. Darah segar memba-
sahi
sudut-sudut bibir. Tampaknya gadis cantik itu
menderita
luka dalam.
Demikian juga
yang dialami Iblis Mayat Merah.
Akibat
bentrokan tadi kedua tokoh sesat dari Lembah
Duka itu
terguncang hebat. Kedua kakinya melesak
beberapa jari ke dalam tanah. Parasnya pun tampak
pucat pasi.
Keadaan Ken
Sari tak jauh berbeda dengan
saudara
kembarnya. Berkali-kali tubuh gadis cantik
itu
berjumpalitan ke udara menghindari gempuran Se-
tan Mayat
Merah. Malah tubuhnya telah terkena teba-
san pedang
Setan Mayat Merah hingga mengeluarkan
darah segar.
"Nasibmu
tak jauh berbeda dengan saudara
kembarmu,
Gadis! Sekarang makanlah pukulan
'Racun
Mayat'-ku! Hea...!"
Setan Mayat
Merah tak sabar lagi untuk segera
merobohkan
lawannya. Begitu mengeluarkan teriakan
nyaring, dua
larik sinar kuning yang disertai berke-
siurnya angin
dingin dari kedua telapak tangannya
meluruk
deras.
Ken Sari
cemas bukan main. Apalagi saat itu
kedudukannya
kurang menguntungkan. Maka begitu
melihat dua
larik sinar kuning hampir melabrak tu-
buhnya, Ken
Sari siap mengirimkan pukulan 'Kelabang
Api'. Baru
saja mengangkat kedua telapak tangan, ti-
ba-tiba dua
larik sinar putih terang memapaki pukulan
'Racun Darah
Mayat'.
Wesss! Wesss!
Bummm...!!!
Terdengar
satu ledakan di udara. Tubuh Setan
Mayat Merah terjajar beberapa langkah ke belakang.
Sepasang
matanya berkilat-kilat penuh kemarahan
memandangi
sosok berpakaian putih keperakan.
"Setan!
Siapa berani mencampuri urusanku?!"
teriak Setan
Mayat Merah sambil terus memandangi
sosok di
hadapannya.
***
7
Sosok di
hadapan Setan Mayat Merah adalah
seorang
pemuda tampan berpakaian rompi dan celana
bersisik
putih keperakan. Rambut gondrongnya dibiar-
kan tergerai
di bahu. Usia pemuda itu tak lebih dari
delapan belas
tahun. Wajahnya yang tampak polos ke-
kanak-kanakan. Pada dadanya terdapat rajahan ular
putih kecil.
Dialah murid Eyang Begawan Kamasetyo
yang bergelar
Siluman Ular Putih.
Ken Sari yang
baru saja diselamatkan Soma
buru-buru
menyingkir. Dihampirinya saudara kem-
barnya yang
menggeletak tak sadarkan diri, tak jauh
dari lelaki
berpakaian serba hitam.
"Kalian
ini iblis-iblis tua tak tahu malu. Bera-
ninya cuma
mengganggu gadis-gadis cantik saja. Ka-
lian ini
sudah tua. Kenapa tidak cepat-cepat bertobat
dan mohon
ampun pada Yang Maha Kuasa. Barangkali
saja Yang di
Atas Sana masih sudi mengampuni dosa
kalian!"
kata Soma sok berkhotbah.
"Tutup
bacotmu, Bocah! Karena kau berani
lancang
mencampuri urusan kami, maka kau harus
modar di
tanganku!" teriak Iblis Mayat Merah dengan
amarah yang
meluap-luap.
"Modar
ya modar. Tapi jangan galak-galak begi-
tu, ah!
Seperti pengantin baru yang tidak sabaran sa-
ja!"
celoteh Soma menggoda.
"Bangsat!
Berani kau bertindak ayal-ayalan di
depan
Sepasang Mayat Merah!"
"Sudahlah.
Buat apa buang-buang waktu. Kita
cincang saja
kunyuk gondrong ini!" desis Setan Mayat
Merah
menimpali.
Setan Mayat
Merah langsung saja melancarkan
serangan
mautnya. Iblis Mayat Merah segera datang
membantu.
Kedua telapak tangannya yang berubah
kuning
dihantamkan ke depan. Empat larik sinar kun-
ing dari
kedua telapak tangan Iblis Mayat Merah dan
Setan Mayat
Merah melesat cepat menyerang Siluman
Ular Putih.
Wesss! Wesss!
Hebat bukan
main serangan kedua tokoh sesat
dari Lembah
Duka itu. Sebelum serangan mereka
mengenai
sasaran angin dingin telah lebih dahulu me-
nyambar-nyambar
tubuh Soma.
Siluman Ular
Putih tidak berani menganggap
enteng kedua
lawannya. Melihat datangnya serangan
yang demikian
hebat, buru-buru murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo
mengeluarkan pukulan tenaga “Inti
Bumi’. Kedua
telapak tangan Siluman Ular Putih beru-
bah putih
terang hingga ke pangkal lengan. Kemudian,
dengan
mengerahkan sepertiga kekuatan tenaga da-
lam, kedua
telapak tangannya disorongkan ke depan.
Terdengar
satu ledakan dahsyat ketika bentu-
ran dua
tenaga dalam itu terjadi.
Tubuh Iblis
Mayat Merah dan Setan Mayat Me-
rah
terguncang hebat! Kedua kaki mereka melesak be-
berapa jari
ke dalam tanah. Sedang tubuh Siluman
Ular Putih
tersurut mundur beberapa langkah dengan
paras pias.
"Hm...!
Kalau tak salah dugaanku, kau tadi
menggunakan
pukulan tenaga ‘Inti Bumi’, Bocah!"
dengus Iblis
Mayat Merah yang mengenali jenis puku-
lan andalan
Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung
Bucu.
"Dan
tentu kau murid si tua bangka dari Gu-
nung Bucu
itu!" kata Setan Mayat Merah.
Usai berkata
begitu pedang di tangan kanan Se-
tan Mayat
Merah menusuk ke arah Siluman Ular Putih
dengan
menggunakan jurus 'Delapan Penjuru Mata
Pedang'.
Iblis Mayat Merah melancarkan jurus 'Tangan
Maut Mayat
Hidup' yang tak kalah hebatnya. Meski
hanya
menggunakan tangan kosong, namun serangan
Iblis Mayat
Merah tidak boleh dipandang ringan. Tam-
pak kedua
telapak tangan Iblis Mayat Merah berwarna
merah dan
dipenuhi oleh racun keji.
Melihat kedua
pengeroyoknya tidak main-main,
Siluman Ular
Putih mengeluarkan jurus andalannya
pula. Jurus
'Terjangan Maut Ular Putih'. Kedua telapak
tangan Soma
membentuk dua kepala ular. Kemudian,
murid Eyang
Begawan Kamasetyo itu menerjang para
pengeroyoknya.
"Hea...!
Heaa...!"
Tukkk! Tukkk!
Patukan dua
kepala ular Soma dipapaki dengan
dua telapak
tangan Iblis Mayat Merah yang penuh ra-
cun.
Bersamaan dengan itu pedang Setan Mayat Me-
rah bergerak
cepat dari atas ke bawah, bermaksud
membelah
tubuh Siluman Ular Putih.
Tentu saja
Soma tidak ingin tubuhnya jadi sa-
saran empuk.
Begitu melihat berkelebatnya mata pe-
dang, Siluman
Ular Putih melancarkan jurus
'Sepasang
Ular Kembar Mengejar Mangsa'. Soma
menggeser
kedua kakinya beberapa tindak ke samping
untuk
menghindari bacokan pedang. Lalu tubuh kekar
Siluman Ular
Putih meloncat lurus ke depan.
Tukkk! Tukkk!
Telak sekali
dua patukan telapak tangan Silu-
man Ular
Putih mendarat di dada Iblis Mayat Merah.
Seketika
tubuh kakek itu terhuyung-huyung ke bela-
kang. Dadanya
serasa hancur terkena patukan tangan
Siluman Ular
Putih.
Iblis Mayat
Merah menggeram penuh kemara-
han. Kakinya
dihentakkan ke tanah. Tubuh tinggi ku-
rus tokoh
sesat itu melayang cepat menyerang Siluman
Ular Putih.
Soma yang tengah sibuk menghindari se-
rangan pedang
Setan Mayat Merah sama sekali tidak
menduga
datangnya serangan. Ia hanya sempat mera-
sakan
berkesiurnya angin dingin menyerang pung-
gung.
Dughhh!
Dughhh!
Dua kali punggung
Siluman Ular Putih terkena
hantaman
telapak tangan Iblis Mayat Merah. Soma
terhuyung-huyung
ke depan. Punggungnya yang ter-
kena hantaman
langsung berwarna kemerahan. Kepa-
lanya
tiba-tiba pening dan perutnya terasa mual.
Ken Umi dan
Ken Sari tampak mencemaskan
keadaan
Siluman Ular Putih. Karena di saat tubuh
Soma
terhuyung-huyung, pedang Setan Mayat Merah
kembali siap
merajam tubuhnya. Sementara kedua te-
lapak tangan
Iblis Mayat Merah yang berwarna merah
darah siap
pula melancarkan pukulan maut.
Saking
tegangnya melihat keadaan kritis pemu-
da tampan
yang diam-diam telah merebut hatinya itu,
Ken Umi dan
Ken Sari saling berpegangan tangan den-
gan perasaan
tegang. Sungguh sayang sekali kalau
pemuda setampan
dia harus mati di tangan kedua
pengeroyoknya.
Hati mereka makin tidak karuan keti-
ka dilihatnya
Siluman Ular Putih terdesak hebat.
"Ah...!"
desis Ken Umi dan Ken Sari hampir ber-
samaan.
"Alamak!
Bisa modar aku kalau begini!" teriak
murid Eyang
Begawan Kamasetyo masih sempat-
sempatnya
melucu. Padahal keadaannya saat itu san-
gat
memprihatinkan.
Ketika
serangan kedua pengeroyoknya hampir
mengenai
sasaran, dengan mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh
'Menjangan Kencono' Siluman Ular Pu-
tih membuang
tubuhnya keluar dari tempat pertarun-
gan.
Akibatnya serangan kedua orang lawannya pun
luput. Malah
hampir saja kakek-nenek itu saling se-
rang sendiri
kalau tidak buru-buru mencabut seran-
gannya. Namun
dalam jarak yang demikian dekat tak
mungkin mereka
mampu mencabut serangannya begi-
tu saja. Dan
kenyataannya, pada akhirnya Iblis Mayat
Merah dan
Setan Mayat Merah tetap saling serang
"Bocah
edan!" teriak Setan Mayat Merah yang
terkena
pukulan Iblis Mayat Merah.
"Bedebah!
Belum puas aku kalau belum men-
guliti batok
kepalamu, Bocah!" pekik Iblis Mayat Merah
dengan rahang
mengembung.
Ken Umi dan
Ken Sari yang semula sangat
mencemaskan
keadaan Siluman Ular Putih kontan ter-
tawa
terpingkal-pingkal. Sedang Soma yang kini telah
tegak di luar
arena pertarungan hanya tersenyum-
senyum saja.
"Hey...!
Aku di sini! Kenapa kalian malah jadi
saling serang
sendirian? Apa kalian sudah gila?" ejek
Siluman Ular
Putih.
Soma kemudian
mengeluarkan senjata pusa-
kanya yang terselip
di pinggang. Murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu
mengerahkan tenaga dalam. Seketika
hawa dingin
yang menggigilkan tubuh dari senjata an-
dalan di
tangan Siluman Ular Putih memenuhi sekitar
tempat
tersebut.
Sejenak Iblis
Mayat Merah dan Setan Mayat
Merah
menghentikan serangan. Sepasang mata mere-
ka
memperhatikan senjata pusaka di tangan musuh-
nya
"Nah,
sekarang dengarlah baik-baik. Dengan
menggunakan
senjata ini aku ingin mengantar nyawa
kalian
menemui Raja Akhirat. Kukira kalian berdua
tak pantas
lagi hidup lebih lama di alam mayapada ini.
Dosa kalian
sudah bertumpuk. Nah, kalau sudah siap
lekaslah
mendekat! Biar aku gampang mengetok kepa-
la
kalian!"
"Kunyuk
sinting! Justru kaulah yang akan
modar di
tangan kami!" bentak Iblis Mayat Merah.
"Tidak
mungkin! Tidak mungkin! Tadi pagi aku
sudah bertemu
Raja Akhirat kok. Malah dia berpesan
agar aku
mencabut nyawa busuk kalian!" ejek Siluman
Ular Putih.
Iblis Mayat
Merah dan Setan Mayat Merah
menggeretakkan
gerahamnya penuh kemarahan. Per-
cuma saja
meladeni omongan pemuda sinting murid
Eyang Begawan
Kamasetyo. Mereka lebih senang cepat
menyerang
pemuda itu.
Siluman Ular
Putih mengerahkan tenaga 'Inti
Bumi'-nya
yang digabungkan dengan tenaga 'Inti Api'.
Seketika
telapak tangan kiri Soma yang berubah putih
terang
dipenuhi tenaga 'Inti Bumi'. Tangan kanannya
merah menyala
karena tenaga ‘Inti Api’.
"Hea...!"
Diiringi teriakan keras, murid Eyang Begawan
Kamasetyo
melemparkan senjata anak panahnya ke
arah Iblis
Mayat Merah. Kemudian, Siluman Ular Putih
meloncat
tinggi ke udara. Dengan tubuh melayang
Soma
melontarkan pukulan tenaga 'Inti Api' ke arah
Setan Mayat
Merah.
Wesss! Wesss!
Setan Mayat
Merah memekik tertahan. Ia tidak
menyangka
dirinya akan diserang. Padahal jarak se-
rangan itu
demikian dekat. Tak ada pilihan lain. Setan
Mayat Merah
segera membuang tubuhnya ke samping,
hingga
pukulan tenaga 'Inti Api' Siluman Ular
Putih
menghantam
tanah.
Bummm...!
Tanah yang
terkena pukulan berlobang besar
dan
mengepulkan asap putih tipis.
Bersamaan
dengan itu Iblis Mayat Merah men-
dengus sinis
melihat senjata anak panah Siluman Ular
Putih
meluncur ke arah dirinya. Dengan menggeser
tubuhnya ke
samping, senjata itu terus melesat ke be-
lakang.
Kemudian Iblis Mayat Merah menyerang Soma.
Ketika itu
Siluman Ular Putih menukik tajam ke arah-
nya dengan
patukan-patukan kedua telapak tangan.
"Ah...!"
pekik Iblis Mayat Merah kaget bukan
main.
Ia merasakan
hawa dingin datang dari arah be-
lakangnya
mengancam punggung. Seketika tokoh sesat
dari Lembah
Duka itu memalingkan kepala. Ternyata
anak panah
Siluman Ular Putih telah membalik dan
menyerang
Iblis Mayat Merah dengan kecepatan luar
biasa.
Clep!
Tanpa ampun
lagi lengan kanan Iblis Mayat
Merah terkena
lesatan senjata anak panah.
Iblis Mayat
Merah meraung setinggi langit len-
gan kanannya
yang tertancap mata anak panah terasa
nyeri bukan
main dan mengeluarkan darah segar. Se-
mentara
patukan-patukan tangan Siluman Ular Putih
mengancam
ubun-ubun kepala.
Pelipis Iblis
Mayat Merah mengeluarkan kerin-
gat dingin.
Wajahnya pun pucat pasi! Namun ia tidak
kehilangan
akal. Buru-buru tubuhnya dibuang samp-
ing. Sayang,
gerakannya terlalu lambat.
Prokkk!
Iblis Mayat
Merah meraung keras. Pundaknya
yang terkena
patukan Siluman Ular Putih serasa re-
muk. Iblis
Mayat Merah tidak tahan lagi. Tubuhnya
bergerak
limbung dan jatuh tak sadarkan diri.
Melihat Iblis
Mayat Merah tak berdaya, wajah
Setan Mayat
Merah langsung berubah. Soma dengan
tenang
mencabut senjata anak panahnya dari lengan
Iblis Mayat
Merah, dan siap menyerang Setan Mayat
Merah. Nenek
itu terlihat ciut nyalinya. Tokoh sesat
dari Lembah
Duka ini segera mengeluarkan pelor-pelor
beracun, lalu
dilemparkannya ke arah Soma.
Seperti yang
telah diduga Setan Mayat Merah,
Siluman Ular
Putih pasti akan menangkis pelor-pelor
beracunnya.
Dan kenyataannya memang demikian.
Soma
menangkis pelor-pelor beracun itu.
Blaaarrr...!!!
Begitu
terdengar ledakan seketika asap hitam
dari
pelor-pelor beracun bergulungan memenuhi tem-
pat
pertarungan. Diam-diam Siluman Ular Putih men-
geluh. Dari
gulungan asap hitam tercium bau harum
yang tidak
sewajarnya. Buru-buru murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo
menahan napas. Dikebutkannya ujung
rompi untuk
mengusir gulungan. Bersamaan dengan
lenyapnya
asap itu lenyap pula Sepasang Mayat Merah
dari Lembah
Duka.
"Jangkrik
buntung! Kenapa tadi ku tangkis pe-
lor-pelor
beracun itu? Huh, sial! Awas kalau ketemu
nanti! Pasti
aku akan menjewer telingamu, Nenek-
nenek
Keriput!" omel Siluman Ular Putih sebelum me-
loncat tinggi
ke udara dan hinggap di salah satu rant-
ing pohon.
Pandangan
Soma diedarkan mencari sosok
bayangan
Sepasang Mayat Merah dari Lembah Duka.
Namun sayang,
ia tidak menemukan kedua tokoh se-
sat itu.
Siluman Ular Putih menggeretakkan geraham-
nya menahan
rasa jengkel.
***
8
"Wah
wah...! Hebat sekali ilmu silatmu, Sobat.
Tak kusangka
kau dapat mengusir Sepasang Mayat
Merah dari
Lembah Duka!" kata Ken Sari begitu murid
Eyang Begawan
Kamasetyo mendaratkan kakinya ke
tanah.
Matanya yang jenaka bergerak-gerak nakal.
Kemudian,
tahu-tahu gadis cantik itu telah bergelayu-
tan manja di
lengan Soma.
Soma hanya
dapat menggaruk-garuk kepalanya
melihat
kemanjaan gadis cantik itu.
"Kalau
kau tidak cepat-cepat datang menolong,
tak tahulah
nasib apa yang akan kami alami," lanjut
Ken Sari
tanpa diminta.
"Kenapa
memang?" tanya Soma seraya men-
gumbar
senyum. Sepasang matanya memperhatikan
wajah cantik
di sampingnya. Namun sebentar kemu-
dian sepasang
mata Soma dialihkan pada Ken Umi
yang tampak
tenang-tenang di tempatnya. Lalu kemba-
li murid
Eyang Begawan Kamasetyo mengamati wajah
Ken Sari.
"Ah...!
Mujur benar nasibku hari ini. Tak ku-
sangka akan
bertemu dengan dua orang gadis kembar
yang
sama-sama cantik. Hm...! Menyenangkan sekali
rasanya kalau
disuruh memilih aku tak sanggup. Me-
reka
benar-benar memikat," gumam Soma dalam hati
sambil
menggaruk-garuk kepalanya. Entah kenapa ia
senang sekali
menggaruk-garuk kepala. Padahal ram-
butnya tidak
gatal.
"Jangan
pandangi aku seperti itu dong!" rajuk
Ken Sari
manja.
"Kenapa
memang?"
"Kalau
kau terus memandangi aku seperti itu,
aku
takut...," Ken Sari sengaja menggantung ucapan-
nya
"Takut
apa?" tanya Soma penasaran.
"Takut...
jatuh cinta," kata Ken Sari sekenanya.
Kemudian
disusul dengan tawanya yang berderai.
"Ken
Sari! Jangan kurang ajar!" bentak Ken
Umi.
"Ah...!
Mbakyu Ken Umi ini Siapa sih yang ku-
rang ajar?
Aku kan bicara apa adanya?" sahut Ken Sa-
ri membela
diri.
"Tapi
kan bukan begitu caranya!" kata Ken Umi
jengkel.
"Habis
bagaimana caranya?"
"Caranya....
Caranya ya...," Ken Umi tak melan-
jutkan
ucapannya. Tiba-tiba kedua pipinya dipenuhi
rona merah.
Soma yang
tadi sempat terkejut melihat sikap
Ken Sari
hanya tersenyum senang. Apalagi ketika dili-
hatnya kedua
gadis kembar itu sibuk membicarakan
dirinya.
Bukan main senang hati murid Eyang Bega-
wan
Kamasetyo. Dengan senyum masih tersungging di
bibir Soma
memberi komentar.
"Sudahlah.
Kenapa kalian jadi ribut sendiri,
sih? Kenapa
kalian tidak menceritakan bagaimana bisa
bentrok
dengan Sepasang Mayat Merah dari Lembah
Duka
itu?" kata Soma setelah menghenyakkan pantat-
nya di atas
rerumputan.
Sejenak Ken
Sari dan Ken Umi saling berpan-
dangan. Tanpa
diminta kedua gadis cantik itu ikut du-
duk di
samping Soma. Ketika dilihatnya Ken Sari du-
duk
berhimpitan dengan Soma, Ken Umi mendelikkan
kedua bola
mata. Namun Ken Sari pura-pura tidak me-
lihat. Malah
dengan sikap manja gadis cantik itu mulai
bercerita.
"Sebenarnya
kami berdua sedang diutus guru
kami Ki
Rombeng untuk menyelidiki orang yang berge-
lar Pangeran
Pemimpin. Tokoh itu menurut desas-
desus tengah
menghimpun kekuatan untuk merebut
takhta
Adipati Pleret. Untuk itu kami menyelidiki ke-
benaran
berita tersebut. Bilamana memang benar ma-
ka para
pendekar telah bersepakat akan membantu
pihak
kadipaten. Tapi di tengah perjalanan, kami meli-
hat seorang
prajurit sandi Kadipaten Pleret tengah di-
keroyok oleh
Sepasang Mayat Merah dar.., eh! Mana
prajurit
sandi itu?"
Tiba-tiba Ken
Sari teringat akan prajurit sandi
yang terluka
parah. Seketika matanya jelalatan menca-
ri-cari.
"Huaaah...!"
Tiba-tiba
terdengar suara seseorang muntah
tak jauh dari
tempat mereka duduk. Cepat ketiganya
meloncat
bangun dan mendatangi arah munculnya
suara. Dari
balik remang sinar bulan tampak seorang
laki-laki
berpakaian serba hitam tengah mengerang
menahan
sakit. Di depannya banyak darah segar ber-
ceceran di
atas rerumputan.
Soma
buru-buru menghampiri. Diperiksanya
luka-luka
prajurit sandi itu. Cukup parah luka yang
dideritanya.
Soma tak ingin kehilangan waktu. Dito-
toknya
beberapa jalan darah di tubuh prajurit yang
malang itu
lalu mengurut tengkuknya beberapa kali.
"Ah...!"
Beberapa saat kemudian, prajurit itu
mengerjap-ngerjapkan
mata. "Terima kasih. Engkau te-
lah
menolongku, Tuan Pendekar."
"Jangan
banyak bergerak dulu, Paman. Lekas
minum pil
ini. Sebentar lagi luka-luka dalammu pasti
akan
sembuh," kata murid Eyang Begawan Kamasetyo
seraya
menyerahkan pil kuning yang diambilnya dari
dalam saku.
Soma sendiri menelan pil kuning pembe-
rian gurunya
untuk mengusir pengaruh racun dari
pukulan Iblis
Mayat Merah tadi.
"Terima
kasih, Tuan Pendekar. Kau baik seka-
li,"
kata prajurit sandi itu lagi. Mereka bertiga kini te-
lah duduk
berhadapan.
"Minumlah
dulu pil pemberianku itu, Paman.
Nanti kalau
luka dalammu sudah sembuh baru kau
boleh
bercerita."
"Baiklah!"
kata prajurit sandi itu. Dengan pa-
tuhnya
laki-laki itu menelan pil kuning pemberian So-
ma.
Lalu
perlahan-lahan ia mulai menanggalkan
kain hitam
yang menutupi wajahnya.
"Sebenarnya
kami sebagai prajurit sandi dila-
rang keras
membuka kain hitam penutup wajah ini.
Namun karena
kalian bertiga telah berbuat baik mau
menolongku,
rasanya tak enak kalau aku tetap men-
genakan kain
ini,"
Soma
mengangguk-anggukkan kepala. Cukup
tampan dan
gagah laki-laki di hadapannya itu. Wajah-
nya keras
dengan rahang bertonjolan. Namun sedikit
pun tidak
mengurangi kegagahannya. Usianya belum
terlalu tua.
Paling-paling empat puluh tahunan.
"Baiklah!"
prajurit sandi itu kembali mengena-
kan kain
hitam penutup wajah. "Aku ingin bercerita
banyak, namun
sayang waktuku sempit. Malah seka-
rang juga aku
harus melaporkan hasil penyelidikanku
pada Adipati
Pleret. Kalau boleh tahu, siapakah nama
Tuan
Pendekar?"
"Namaku
Soma, Paman. Aku lebih senang ka-
lau kau
memanggil nama saja. Jangan Tuan Pende-
kar."
"Baiklah.
Kalau ada waktu mainlah ke Kadipa-
ten Pleret.
Kanjeng Adipati tentu akan senang meneri-
ma
kedatanganmu. Selamat berpisah, Kawan-kawan
Muda-ku!"
Dengan
menahan luka dalam yang belum sem-
buh benar
prajurit sandi itu meninggalkan Hutan Gu-
dean. Dalam
beberapa kelebatan saja sosok tinggi be-
sar prajurit
Kadipaten Pleret itu lenyap ditelan gelapan
malam.
"Prajurit
perkasa," gumam Soma.
"Prajurit-prajurit
sandi Kadipaten Pleret me-
mang prajurit
sejati. Mereka berjuang demi keselama-
tan Adipati
Pleret walau nyawa taruhannya. Ah, tadi
aku lupa
menanyakan namanya," kata Ken Sari kece-
wa.
"Iya-ya....
Kenapa tadi aku juga lupa menanya-
kan namanya?
Sayang sekali. Dan lebih sayang lagi
kalau aku
juga tidak menanyakan siapa nama gadis-
gadis cantik
di sampingku ini?" kata murid Eyang Be-
gawan
Kamasetyo setengah menyindir.
"Huh...!
Bilang saja mau berkenalan dengan
kami. Pakai
berdalih!" tukas Ken Sari seraya mencibir-
kan bibir.
"Memang!
Habis siapa yang nggak senang ber-
kenalan
dengan gadis-gadis cantik seperti kalian? Ru-
gi!"
kata Soma seraya memamerkan giginya yang putih
bersih.
"Rugi?
Memangnya jualan kok pakai rugi?" go-
da Ken Sari.
"Tapi baiklah. Aku juga tidak rugi kalau
mengenalkan
namaku padamu. Namaku Ken Sari. Dan
ini saudara
kembarku. Namanya Ken Umi. Sudah je-
las?"
"Ya
ya.... Sangat jelas," Soma mengangguk-
anggukkan
kepala. "Lalu setelah kalian tadi bentrok
dengan
Sepasang Mayat Merah dari Lembah Duka, apa
penyelidikan
kalian sudah cukup?" lanjut murid Eyang
Begawan
Kamasetyo ingin tahu.
Ken Sari yang
ditanya oleh Soma hanya men-
gangkat bahu.
Ia mengalihkan pandangan matanya ke
arah Ken Umi.
Gadis yang tampaknya lebih senang
berdiam diri
itu menghela napasnya sebentar sebelum
membuka
suara.
"Sebenarnya
memang belum cukup. Tapi me-
nurut
desas-desus yang kami dengar di sepanjang per-
jalanan dan
juga yang dikatakan Setan Mayat Merah
tadi, sudah
cukup jelas kalau Pangeran Pemimpin
memang tengah
menyusun kekuatan. Kukira tak ada
jeleknya
kalau sekarang kami memberikan laporan pa-
da
Guru."
"Jadi
sekarang juga kita melapor pada Guru,
Mbak?"
tanya Ken Sari kecewa.
"Ya!
Memangnya kenapa?"
Ken Sari
memberengut. Tampak sekali ia tidak
puas dengan
keputusan saudara kembarnya.
"Kau
keberatan, Ken Sari?" tanya Ken Umi yang
dapat membaca
jalan pikiran saudara kembarnya.
"Sebenarnya
sih memang iya. Tapi sudahlah.
Kalau memang
mau melapor sekarang, ya... tak apa-
apa."
"Kenapa
kalian terburu-buru? Aku kan belum
sempat berbincang-bincang
dengan kalian," kata So-
ma.
"Ini
masalah penting, Soma. Masalah pembe-
rontakan. Aku
tak berani main-main. Guru pasti akan
marah besar
kalau kami menjalankan tugas dengan
setengah
hati," jawab Ken Umi tegas.
"Siapa
sih Pangeran Pemimpin itu?" kata Soma
lagi.
"Ia
kakak tiri Adipati Pleret yang sekarang. Ka-
rena merasa
iri melihat adik tirinya diangkat menjadi
Adipati
Pleret, ia pun bermaksud memberontak. Konon
sudah banyak
tokoh sesat dunia persilatan yang ber-
sedia
membantu perjuangan Pangeran Pemimpin. Ma-
lah seorang
bekas murid mendiang Pendekar Kujang
Emas telah
dengan terang-terangan membantu per-
juangannya."
"Siapa?!
Bekas murid mendiang Pendekar Ku-
jang
Emas?" kata Soma tak dapat menyembunyikan
rasa
herannya. "Apa yang kau maksudkan Prameswa-
ra, Ken
Umi?"
"Kurang
tahu. Yang jelas ia bergelar Pelajar
Agung."
"Pelajar
Agung? Siapa lagi orang satu ini? Ra-
sanya
Pendekar Kujang Emas tidak mempunyai murid
yang bergelar
Pelajar Agung," gumam Soma seperti pa-
da dirinya
sendiri. "Tapi bukan mustahil, kalau Pra-
meswara-lah
yang bergelar Pelajar Agung. Ah...! Kukira
aku harus
secepatnya menyelidiki. Selamat tinggal se-
muanya!"
kata Soma tak sabar.
Tanpa
basa-basi lagi, Soma meloncat bangun
dan berkelebat
cepat meninggalkan tempat itu. Gera-
kan kedua
kakinya ringan laksana terbang. Hingga da-
lam waktu
yang tidak lama sosok putih keperakan mu-
rid Eyang
Begawan Kamasetyo hilang di balik kerim-
bunan hutan.
Ken Umi dan
Ken Sari melihat perubahan sikap
Soma yang
demikian mendadak hanya dapat menge-
leng-gelengkan
kepala.
***
9
Plak!
"Goblok!
Goblok sekali kau, Setan Mayat Me-
rah! Percuma
saja kau minta kerjasama dengan kami!"
Diiringi
bentakan keras tangan kekar berkulit
kuning
Pangeran Pemimpin melayang cepat, menam-
par pipi
Setan Mayat Merah.
Setan Mayat
Merah memekik tertahan. Tubuh-
nya
terjengkang ke belakang dengan darah segar ke-
luar dari
lobang hidung. Sepasang matanya berkilat-
kilat penuh
kemarahan. Namun untuk membalaskan
sakit hati
pada orang yang tegak di hadapannya, ia tak
berani.
Saat itu
mereka berada di tengah-tengah ruang
pendopo
markas Partai Kawula Sejati. Pangeran Pe-
mimpin
berdiri tegak di antara para anggota partai.
Sepasang
matanya yang mencorong tajam menatap Se-
tan Mayat
Merah. Kini nenek itu duduk berlutut di ha-
dapannya.
"Kau
benar-benar tidak berguna, Setan Mayat
Merah.
Padahal kalian pergi berdua. Masa' untuk me-
nangkap
prajurit sandi yang terluka saja kalian tak be-
cus!"
geram Pangeran Pemimpin murka.
"Maafkan
aku, Ketua. Kami berdua telah beru-
saha keras.
Namun sayang sewaktu kami akan me-
ringkus
prajurit itu beserta dua orang gadis cantik pe-
nolongnya,
tiba-tiba muncul seorang pemuda sakti
yang datang
menolong dan mengalahkan kami. Bah-
kan saudara
seperguruanku terluka parah. Dan kini
sedang dalam
perawatan tabib," kata Setan Mayat Me-
rah berusaha
melunakkan kemarahan Pangeran Pe-
mimpin.
"Pemuda
sakti? Hanya seorang pemuda. Se-
mentara
kalian berdua yang terkenal dengan julukan
Sepasang
Mayat Merah dari Lembah Duka dapat dika-
lahkan?
Memalukan! Buat apa kau kemari kalau tak
dapat
menjalankan tugasmu dengan baik? Lebih baik
bunuh diri
saja!"
"Tapi,
Ketua. Pemuda itu benar-benar sakti.
Melihat jenis
pukulan kunyuk gondrong itu pasti mu-
rid si tua
bangka Eyang Begawan Kamasetyo dari Gu-
nung
Bucu!" kata Setan Mayat Merah.
"Siluman
Ular Putih...!" desis seseorang dari
samping.
Pangeran
Pemimpin cepat memalingkan kepala
ke arah
datangnya suara. Di tempat duduknya tampak
Pelajar Agung
menggeretakkan geraham penuh keben-
cian. Kedua
telapak tangannya mencengkeram lengan
kursi
kuat-kuat. Dari sela-sela telapak tangan Pelajar
Agung
mengepulkan asap tipis. Bilamana telapak tan-
gan itu
terangkat, akan terlihat lengan kursi hangus
terbakar
dengan membekaskan lekukan-lekukan jema-
ri tangan.
"Ya!
Dialah musuh besarku yang sedang kuca-
ri-cari!"
kata Pelajar Agung. Lalu beranjak dari tempat
duduk.
"Hm...!"
Pangeran Pemimpin mengangguk-
anggukkan
kepala. "Kau boleh kembali ke tempatmu,
Setan Mayat
Merah!" kata Pangeran Pemimpin pada
Setan Mayat
Merah yang masih duduk berlutut. Tokoh
sesat dari
Lembah Duka itu segera kembali ke tempat
duduknya.
"Sekarang
apa yang tengah kau pikirkan, Pela-
jar
Agung?" kata Pangeran Pemimpin lagi
"Aku
ingin sekali meremukkan batok kepa-
lanya. Namun
setelah kupikir-pikir lebih baik ku tang-
guhkan dulu
untuk sementara waktu dendam ku pada
Siluman Ular
Putih. Saat ini aku lebih mengutamakan
perjuangan,"
kata Prameswara tanpa maksud menjilat.
Pangeran
Pemimpin melengak kaget. Bukannya
kaget
mendengar Pelajar Agung tidak menyebut dirinya
'Ketua',
melainkan terkejut melihat ambisi besar dalam
sepasang mata
Pelajar Agung. Namun Pangeran Pe-
mimpin segera
tersenyum untuk menutupi rasa kaget-
nya.
"Ya!
Kita memang harus mementingkan per-
juangan...,"
kata Pangeran Pemimpin seraya mengang-
guk-anggukkan
kepala. "Di samping itu kita harus te-
rus
menghimpun kekuatan sebelum bertindak nanti."
"Jangan
khawatir! Aku telah memerintahkan
beberapa anak
buah Partai Kawula Sejati yang berke-
pandaian
tinggi untuk membujuk tokoh-tokoh sesat
dunia
persilatan," kata Pelajar Agung menjanjikan.
"Bagus!
Aku senang sekali mendengar gaga-
sanmu ini.
Kalau boleh tahu siapa saja tokoh-tokoh
yang akan
kita bujuk, Sobatku?"
"Mereka
adalah empat tokoh sesat yang men-
guasai empat
penjuru mata angin. Algojo Dari Timur,
Denok Supi,
Raja Racun, dan Raja Golok Dari Utara!"
"Hebat!
Keempat tokoh yang kau sebutkan ada-
lah
tokoh-tokoh sakti yang mempunyai nama besar di
dunia
persilatan. Aku harap mereka sudi membantu
perjuangan
kita."
"Aku
berani menjamin mereka akan bersedia
membantu
perjuangan kita. Cuma aku sangsi apakah
kita mampu
mendapatkan dana besar untuk perjuan-
gan
ini."
"Hm...!
Memang itu yang sedang kupikirkan.
Sampai saat
ini aku belum menemukan jalan keluar.
Kalau dari
hasil rampokan rasanya itu masih jauh dari
cukup. Apa
kau mempunyai pendapat lain, Sobatku?"
"Kita
harus mencari harta karun. Konon dalam
sebuah
lukisan yang digambar dengan darah perawan
terdapat
sebuah peta penyimpanan harta karun bekas
Kerajaan
Kahuripan."
"Lukisan
Darah!" Terdengar sahutan seseorang.
"Ya!
Lukisan Darah," ujar Pelajar Agung seraya
melemparkan
pandangan ke arah datangnya suara.
Di bangku
pojok seorang laki-laki bertubuh
tinggi besar
dengan wajah dipenuhi cambang dan ku-
mis lebat
tengah menatap Pelajar Agung. Prameswara
hanya
menganggukkan kepala.
"Tapi
sayang sampai saat ini aku belum tahu di
mana Lukisan
Darah itu berada...."
"Aku
tahu di mana Lukisan Darah itu, Wakil
Ketua!"
Lagi-lagi orang bercambang lebat membuka
suara. Dialah
tokoh sesat yang bergelar Raja Maling.
"Oh, ya?
Di mana tersimpannya Lukisan Darah
itu, Raja
Maling?" kata Pelajar Agung penuh minat.
"Di
Kadipaten Pleret ini sendiri, Wakil Ketua."
"Dari
mana kau mengetahuinya, Raja Maling?"
Kali ini yang
berkata Pangeran Pemimpin. Sebagai
orang
kadipaten sudah tentu ia cukup mengetahui se-
luk beluk
kadipaten. Namun sungguh ia tidak me-
nyangka kalau
justru di Kadipaten Pleret itulah letak
Lukisan Darah
yang amat keramat itu tersimpan.
"Aku
mengetahui ini dari mendiang guruku.
Dan atas
pesan beliau aku harus secepatnya mencuri
lukisan itu
untuk mencoba ilmu 'Aji Sirap Sukma'-ku"
"Bagus!
Kalau begitu cepat laksanakan pesan
gurumu
sekarang juga. Bawa lukisan itu kemari!" kata
Pelajar
Agung. "Tapi ingat. Kalau kau mencoba berk-
hianat, ke
ujung neraka pun aku akan mengejarmu!"
Raja Maling
tertawa bergelak. Perutnya yang
buncit tampak
bergoyang-goyang.
"Aku
sudah berjanji akan membantu perjuan-
gan kalian.
Maka aku pun harus setia!" kata Raja Mal-
ing di antara
suara tawanya
"Kalau
begitu cepat laksanakan tugasmu, Raja
Maling!"
kata Pelajar Agung lagi.
"Baik!
Sekarang juga aku berangkat."
Raja Maling
beranjak dari tempat duduknya
Langkahnya
terayun cepat meninggalkan ruang pen-
dopo Partai
Kawula Sejati. Gerakan kedua kakinya be-
gitu ringan.
Sosok Raja Maling menghilang di balik
pintu gerbang
markas.
Di ruang
pendopo markas Partai Kawula Sejati,
Pangeran
Pemimpin membubarkan jalannya rapat.
Kemudian
sambil tersenyum-senyum gembira Pange-
ran Pemimpin
menuju ke ruangan sebelah. Digan-
dengnya
seorang gadis cantik untuk diajak masuk ke
kamar.
***
10
Di belahan
langit sebelah barat awan hitam
masih dironai
cahaya merah tembaga. Padahal mata-
hari sudah
rebah dalam pangkuan bumi. Cahaya bu-
lan purnama
di ufuk timur pun mulai menerangi jagat
raya.
Dalam
terangnya cahaya bulan yang berpendar
sesosok tubuh
berpakaian hitam dengan wajah tertu-
tup kain
berkelebat cepat menuju Kadipaten Pleret.
Meski sambil
menahan luka dalam yang belum sem-
buh, namun
gerakan kaki sosok itu masih cukup lin-
cah.
Mendadak
sosok berpakaian hitam menghenti-
kan
langkahnya. Sepasang mata dari balik kain hitam
yang menutupi
wajah, memperhatikan sesosok bayan-
gan kuning
yang tiba-tiba melintas tak jauh dari tem-
patnya.
Sosok hitam
itu tak lain prajurit sandi Kadipa-
ten Pleret.
Terus diperhatikannya sosok bayangan kun-
ing di
hadapannya. Beruntung cahaya sinar rembulan
sedikit dapat
membantu penglihatannya.
Sosok
bayangan kuning yang tengah berkelebat
itu ternyata
seorang gadis. berpakaian kuning. Ram-
butnya yang
hitam panjang digelung ke atas. Usianya
sekitar tujuh
belas tahun.
"Kanjeng
Putri! Benarkah sosok bayangan kun-
ing itu
Kanjeng Putri Sekartaji?" gumam laki-laki ber-
pakaian
hitam.
Akhirnya
sosok bayangan kuning hilang di ba-
lik kegelapan
malam.
"Tampaknya
sosok bayangan kuning itu me-
mang Kanjeng
Putri Sekartaji. Tapi untuk apakah Kan-
jeng Putri
sampai keluar dari lingkungan kadipaten?
Pasti ada
apa-apa. Kalau tidak, tak mungkin Kanjeng
Putri yang meski
memiliki kepandaian lumayan sampai
keluar dari
kadipaten. Bagaimana ini? Apakah aku ha-
rus terus
pulang ke kadipaten atau mengikuti Kanjeng
Putri?"
Sejenak
laki-laki berpakaian serba hitam bim-
bang untuk
menentukan pilihan. Kalau menurutkan
perasaan
ingin sekali mengikuti kepergian gadis cantik
itu. Namun
kalau mengingat tugasnya selaku prajurit
kadipaten,
tak mungkin ia melalaikan tugas begitu sa-
ja. Apalagi
saat ini keamanan Kadipaten Pleret tengah
terancam. Di
saat prajurit sandi itu tengah kebingun-
gan,
pendengarannya yang tajam dikagetkan oleh ben-
takan garang
seseorang yang kemudian disusul ber-
dentingan
suara senjata beradu. Suara itu datang dari
arah sosok
Putri Sekartaji menghilang.
"Kukira
aku harus melihat apa yang terjadi di
sana. Aku
khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu pada
diri Kanjeng
Putri Sekartaji!" pikir prajurit Kadipaten
Pleret mulai
menurutkan perasaan hatinya.
Prajurit itu
lalu menutulkan kakinya ke tanah.
Tubuhnya berkelebat
cepat ke arah menghilangnya so-
sok bayangan
Putri Sekartaji.
* * *
Ternyata
dugaan prajurit sandi itu benar. Begi-
tu sosok
Putri Sekartaji menghilang di balik kerimbu-
nan hutan,
tiba-tiba gadis cantik itu dikejutkan oleh
bentakan
seseorang.
"Berhenti!"
Belum lagi
gema suara bentakan itu hilang dari
balik
kegelapan malam, berkelebat dua sosok bayan-
gan
menghadang langkah Putri Sekartaji. Mereka dua
orang
laki-laki berwajah kasar. Yang sebelah kanan
bertubuh
tinggi kurus dengan pakaian ringkas warna
biru. Di
kepalanya melingkar ikat kepala biru. Sosok di
sebelahnya
seorang kakek berusia enam puluh tahu-
nan. Tubuhnya
yang pendek dibalut pakaian ketat
warna hitam.
Putri
Sekartaji terkejut bukan main melihat ke-
dua laki-laki
itu. Ketenangannya merasa terusik, Putri
Sekartaji
langsung membentak penuh kemarahan.
"Bedebah!
Mau apa kau menghadang langkah-
ku, Bajing
Ireng?!" Rupanya Putri Sekartaji telah men-
genali siapa
para penghadangnya.
Kakek
berpakaian hitam yang dipanggil Bajing
Ireng hanya
terkekeh senang. Tongkat hitam di tangan
kanannya
diketuk-ketukkan ke tanah. Meski tampak-
nya orang tua
sesat dari Gunung Lawu itu hanya biasa
saja
mengetuk-ngetukkan tongkatnya, namun tanah di
sekitar
tempat itu bergetar. Bagian yang terkena ketu-
kan pun
berlobang.
"He he
he...! Rupanya kita mendapat rezeki be-
sar, Bajing
Biru," kata Bajing Ireng pada muridnya.
Pemuda yang
dipanggil Bajing Biru hanya mengang-
guk-anggukkan
kepala. Sepasang matanya tak henti-
henti melahap
lekuk-lekuk membusung sepasang
buah dada
Putri Sekartaji. Tanpa sadar Bajing Biru
menelan
ludahnya sendiri.
"Ya!
Kita memang beruntung, Guru. Tak dis-
angka kita
akan bertemu dengan seorang gadis cantik
di tengah
hutan sepi ini. Benar-benar satu keberun-
tungan yang
besar. Rasanya aku sudah tak sabar ingin
menemani
tidur gadis cantik di hadapan kita ini"
"Kau
yang dipikir hanya masalah begituan saja
Bajing Biru!
Apa matamu buta? Gadis cantik di hada-
pan kita ini
seorang putri Adipati Pleret!" hardik Bajing
Ireng
jengkel.
"Wah...!
Itu malah lebih menyenangkan, Guru!
Aku
ingin sekali merasakan hangatnya pelukan
putri
Adipati
Pleret. Hayo, lekas kita tangkap putri Adipati
Pleret ini,
Guru. Aku sudah tak sabar lagi!" Bajing Biru
gembira bukan
main.
"Tunggu!"
Bajing Ireng cepat menyambar lengan
muridnya yang
hendak menyerang Putri Sekartaji
"Kita
memang akan menangkap gadis cantik
ini, Muridku.
Tapi bukan untuk kita nikmati. Kita
akan menyerahkannya
pada Pangeran Pemimpin seba-
gai tanda
persetujuan kita."
"Tapi
aku menginginkan gadis itu, Guru!"
"Aku
tahu. Tapi apa kau lupa? Bukankah kau
ingin menjadi
seorang pejabat di Kadipaten Pleret?"
"Memang
aku ingin sekali menjadi salah seo-
rang petinggi
di Kadipaten Pleret. Tapi aku juga men-
ginginkan
gadis cantik ini, Guru!" Bajing Biru tetap
bersikeras
dengan keinginannya.
"Nanti
kalau kau sudah menjadi petinggi di Ka-
dipaten
Pleret, kau dapat mencari beberapa orang ga-
dis cantik
yang tak kalah dengan Putri Adipati Pleret
ini,
Muridku," kata Bajing Ireng berusaha menenang-
kan.
Perhatiannya dialihkan pada Putri Sekartaji. "Ga-
dis! Kalau
tidak salah bukankah kau Putri Sekartaji
yang menjadi
murid Pendekar Bintang Emas? Ngo-
mong-ngomong,
bagaimana kabar gurumu itu?"
Putri
Sekartaji geram bukan main. Selama guru
dan murid itu
membicarakan dirinya tadi tak henti-
hentinya ia
memperhatikan. Merah telinganya men-
dengar ucapan
Bajing Ireng. Maka, Putri Sekartaji pun
membentak
galak.
"Kau tak
pantas menyebut-nyebut nama guru-
ku, Bajing
Ireng! Malah Guru berpesan kalau aku ber-
temu
denganmu, aku disuruh cepat-cepat membu-
nuhmu!"
"He he
he...! Galak juga gadis cantik di hadapan
kita ini,
Muridku. Aku senang sekali melihat kegalakan
gadis ini.
Sayang, aku belum mempunyai keinginan
untuk
membuktikan apakah kegalakannya juga mem-
buatnya galak
di atas ranjang. Mungkin nanti kalau
Pangeran
Pemimpin sudah bosan baru aku akan diberi
kesempatan.
Yang jelas sekarang aku ingin menang-
kapnya dan
menyerahkannya pada Pangeran Pemim-
pin.
Menurutlah, Gadis! Kalau kau tak ingin disaki-
ti...."
"Bedebah!
Tua bangka bermulut kotor! Kau
akan
berkalang tanah terlebih dahulu sebelum berha-
sil
menangkapku!" bentak Putri Sekartaji tak dapat lagi
mengendalikan
amarah.
Bajing Ireng
terkekeh senang. Sambil mencolek
lengan
muridnya orang tua sesat dari Gunung Lawu
itu segera
berkata, "Hayo, Muridku! Kita tangkap gadis
cantik
ini!"
Habis berkata
begitu, Bajing Ireng berkelebat
cepat
menyerang Putri Sekartaji. Tongkat hitam di tan-
gan kanannya
digunakan untuk menyerang batok ke-
pala. Tangan
kiri yang tersembunyi, di pinggang siap
melontarkan
totokan ke arah iga lawan. Dengan meng-
gunakan jurus
itu, Bajing Ireng hendak menangkap
Putri
Sekartaji dalam satu gebrakan.
Melihat
gurunya telah bertindak, Bajing Biru
pun segera
meloncat ke depan. Kedua telapak tangan-
nya yang
membentuk cengkeraman bergerak cepat
menyerang
dada Putri Sekartaji,
Putri
Sekartaji mendengus marah. Gadis cantik
murid
Pendekar Bintang Emas itu bergegas meloloskan
pedang.
Sret!
Bajing Ireng
terkekeh. Tongkat hitam di tangan
kanannya
berkelebat cepat membentuk gulungan hi-
tam yang
mengarah batok kepala Putri Sekartaji
Putri Adipati
Pleret itu cepat membuang tubuh-
nya ke
samping. Bersamaan dengan itu, pedang di
tangan
kanannya berkelebat menyambar tongkat di
tangan Bajing
Ireng.
Trang! Trang!
Bunga api
berpijar kala pedang Putri Sekartaji
tertangkis
tongkat hitam Baji Ireng. Tubuh Putri Se-
kartaji
bergetar. Telapak tangan kanannya terasa ke-
semutan.
Agaknya tenaga dalam gadis cantik itu masih
jauh di bawah
tokoh sesat dari Gunung Lawu.
Tentu saja
putri Adipati Pleret jadi terkejut. Le-
bih terkejut
lagi ketika tiba-tiba dengan kecepatan luar
biasa, jemari
tangan kiri Bajing Ireng telah siap meno-
tok iganya.
Sedang saat itu cengkeraman tangan Baj-
ing Biru yang
mengarah sepasang buah dadanya ham-
pir menyentuh
sasaran.
Putri
Sekartaji menggeram marah. Tanpa pikir
panjang lagi,
segera dibuangnya tubuh ke samping.
Sayang
gerakan tubuh Putri Sekartaji kalah cepat den-
gan luncuran
jemari tangan Bajing Ireng
Tuk!
Telak sekali
iga kiri Putri Sekartaji terkena to-
tokan kakek
itu. Seketika tubuhnya kaku tak dapat di-
gerakkan.
Dan....
"Laki-laki
pengecut! Lepaskan gadis itu!"
Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring. Disusul
berkesiurnya
angin dingin menyerang Bajing Ireng dan
Bajing
Biru.
Brakkk!
Pohon di
belakang Bajing Ireng dan Bajing Biru
jatuh
berdebam ke tanah begitu terkena pukulan jarak
jauh. Untung
saja tadi Bajing Ireng dan Bajing Biru
cepat
membuang tubuh sambil memeluk tubuh Putri
Sekartaji.
"Setan
alas! Siapa berani main gila dengan Baj-
ing
Ireng!"
***
11
Bajing Ireng
menggeram penuh kemurkaan.
Sepasang
matanya berkilat-kilat seolah ingin menelan
hidup-hidup
lelaki berpakaian hitam yang telah tegak
di
hadapannya.
Sosok yang
baru datang itu tidak lain prajurit
sandi
Kadipaten Pleret. Karena tak dapat lagi menahan
perasaan
cemasnya ia segera berkelebat menuju tem-
pat
menghilangnya Putri Sekartaji. Putri junjungannya
tersebut
ternyata tengah terancam keselamatannya
oleh Bajing
Ireng dan Bajing Biru.
"Lepaskan
gadis itu!" bentak prajurit sandi.
"Enak
saja kau membacot! Tinggalkan tempat
ini kalau
tidak ingin nyawamu minggat!" sahut Bajing
Ireng tak
kalah garang.
Putri
Sekartaji yang tengah tertotok agak sulit
untuk
mengenali siapa laki-laki berpakaian hitam di
hadapannya.
Namun ketika mendengar suara prajurit
sandi itu,
baru Putri Sekartaji teringat sesuatu.
"Kaukah
Paman Pringgondani?" kata Putri Se-
kartaji masih
ragu.
"Benar,
Kanjeng Putri. Aku memang Pringgon-
dani,"
kata prajurit sandi seraya menganggukkan ke-
pala.
"Kenapa Kanjeng Putri sampai tertangkap? Bu-
kankah
Kanjeng Putri diminta oleh Kanjeng Adipati
untuk
menggeledah rumah Raden Sembodo yang kini
bergelar
Pangeran Pemimpin?"
"Benar,
Paman. Tapi sewaktu aku menggeledah
rumah Kangmas
Sembodo ternyata rumah itu sudah
kosong. Maka
tanpa sepengetahuan Romo aku telah
menyelidiki
ke mana perginya Kangmas Sembodo. Tak
kusangka sama
sekali Kangmas Sembodo bermaksud
memberontak
pada kekuasaan Adipati Pleret, Paman."
"Iya,
Kanjeng Putri. Aku pun telah mendapat
bukti kalau
Raden Sembodo memang bermaksud
memberontak
pada Adipati Pleret."
Putri
Sekartaji dan Pringgondani berbincang-
bincang tanpa
menghiraukan Bajing Ireng serta mu-
ridnya. Kedua
tokoh sesat itu pun hanya diam men-
dengarkan
percakapan tersebut.
"Kenapa
Paman tidak lekas-lekas melapor pada
Romo?"
kata Putri Sekartaji menyesalkan.
"Aku
bermaksud melaporkan hasil penyelidi-
kanku pada
Kanjeng Adipati. Tapi aku harus menye-
lamatkan
Kanjeng Putri terlebih dahulu."
"Jangan
pikirkan aku, Paman! Lekaslah Paman
melaporkan
hasil penyelidikan pada Romo!"
"Tidak,
Kanjeng Putri. Bagiku keselamatan
Kanjeng Putri
pun sangat penting. Aku akan mele-
paskan
Kanjeng Putri dari cengkeraman manusia-
manusia gila
pangkat ini!"
"Lakukanlah
kalau kau memang bisa, Prajurit
Sandi!"
bentak Bajing Ireng tiba-tiba.
"Memang
itu yang akan kulakukan, Bajing
Ireng.
Sekarang lekas lepaskan gadis itu. Kalau tidak,
demi Tuhan
aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Bajing Ireng
tertawa bergelak.
"Kau
jagalah baik-baik gadis cantik itu, Murid-
ku! Lihat
bagaimana gurumu akan menghajar manusia
pongah
ini!" kata Bajing Ireng pada muridnya.
"Baik,
Guru. Aku memang lebih senang meme-
luk gadis
cantik ini daripada mengotori tanganku den-
gan tubuh laki-laki
itu!" sahut Bajing Ireng senang.
"Keparat!
Kalian guru dan murid sama saja. Ka-
lian memang
patut mampus di tanganku!" bentak
Pringgondani
penuh kemarahan.
Pringgondani
segera mencabut pedang yang
tergantung di
pinggang. Kemudian, dengan pedang di
tangan
prajurit sandi Kadipaten Pleret itu menyerang
Bajing Ireng.
Tebasan pedangnya hanya tinggal gulun-
gan putih
yang terus mendesak pertahanan lawan.
Sayang, yang
dihadapi prajurit sandi Kadipaten
Pleret itu
bukanlah tokoh kemarin sore. Bajing Ireng
seorang tokoh
sakti yang sudah cukup pengalaman
malang-melintang
di dunia persilatan. Hanya dalam
beberapa
jurus saja Pringgondani dapat mendesak Baj-
ing Ireng.
Selebihnya tokoh itu yang ganti mendesak
Pringgondani
dengan hebatnya.
"Hea...!
Hea...!"
Bajing Ireng
berteriak nyaring sebelum kembali
menyerang
Pringgondani. Sekali kakinya menjejak ke
tanah tubuh
Bajing Ireng telah berkelebat lincah di an-
tara gulungan
pedang Pringgondani. Sambil berkelebat
tongkat hitam
di tangan Bajing Ireng menerobos ma-
suk ke dalam
pertahanan lawan.
Pringgondani
cepat memutar pedangnya sede-
mikian rupa.
Tapi gerakan pedangnya kalah cepat
dengan
serangan tongkat di tangan Bajing Ireng.
Buk!
Buk!
Pringgondani
memekik kesakitan. Punggungnya
begitu telak
terkena hantaman tongkat di tangan Baj-
ing Ireng.
Prajurit sandi itu limbung ke samping lalu
jatuh
berdebam ke tanah. Dan ketika prajurit Kadipa-
ten Pleret
itu meloncat bangun, darah segar merembes
keluar dari
balik kain hitam penutup wajahnya. Tam-
paknya
Pringgondani menderita luka dalam.
Lelaki itu
menggembor penuh kemarahan. Ia
mulai
mengerahkan pukulan mautnya. Kedua telapak
tangan
prajurit sandi itu terlihat berubah jadi hijau
berkilauan.
Kemudian, dengan mendorongkan kedua
telapak
tangannya ke depan dua larik sinar hijau ber-
kilauan
melesat cepat melabrak tubuh Bajing Ireng.
Wesss! Wesss!
Hebat bukan
main serangan Pringgondani kali
ini. Bahkan
tiupan angin kencang telah menampar-
nampar kulit
tubuh Bajing Ireng sebelum dua larik si-
nar hijau
berkilauan mengenai sasaran.
Melihat
datangnya pukulan maut yang siap me-
labrak
tubuhnya, Bajing Ireng segera menghantamkan
kedua telapak
tangannya ke depan. Seketika serang-
kum angin
menggemuruh berkesiur kencang memapa-
ki pukulan
Pringgondani.
Anehnya, di
saat kedua tenaga dalam mereka
beradu di
udara sedikit pun tidak terdengar bunyi le-
dakan. Hanya
tampak wajah Pringgondani bergetar
hebat.
Keringat dingin bercucuran membasahi kening.
Dan begitu
Bajing Ireng mengempos tenaga dalamnya
lebih kuat,
tubuh Pringgondani terpental beberapa
tombak ke
belakang, berputar-putar sebentar lalu ja-
tuh
terbanting ke tanah.
Bajing Ireng
terkekeh senang. Dilihatnya Pring-
gondani
menggapai-gapaikan tangan kanannya ke
atas. Sayang,
tubuhnya keburu luruh kembali ke ta-
nah dan
memuntahkan darah segar.
"Kepandaian
baru sebatas dengkul tapi dengan
beraninya
menjual lagak di depan Bajing Ireng. Mam-
puslah kau!
Hea...!"
Diiringi
bentakan nyaring kedua telapak tangan
Bajing Ireng
kembali melontarkan pukulan mautnya.
Serangkum
angin kencang untuk kesekian kalinya me-
lesat cepat
siap melabrak tubuh Pringgondani.
Prajurit
sandi itu hanya dapat mengeluh dalam
hati.
Dirasakannya kesiuran angin dari kedua telapak
tangan Bajing
Ireng mulai menyambar-nyambar tubuh.
Pringgondani
membuka matanya lebar-lebar.
Putri
Sekartaji terdengar berteriak-teriak histe-
ris.
Tiba-tiba, serangkum angin dingin yang entah dari
mana
datangnya memapaki pukulan Bajing Ireng.
Blaaarrr...!!!
Bumi
berguncang hebat laksana dilanda gem-
pa. Angin
dingin berkesiur kencang memporak-
poradakan
semua yang ada di tempat pertarungan.
Tubuh Bajing
Ireng terjajar beberapa langkah.
Parasnya
tampak pucat pasi. Bajing Ireng menggembor
penuh
kemarahan. Sepasang matanya berkilat-kilat
menatap
sesosok tubuh yang kini telah tegak di hada-
pannya.
* * *
Sosok di
hadapan Bajing Ireng itu adalah seo-
rang
laki-laki tua berusia lima puluh tahun. Wajahnya
tirus dengan
rambut panjang digelung ke atas. Tubuh
tinggi kurus
itu dibalut jubah besar warna kuning
dengan
rumbai-rumbai dari benang sutera merah. Dia
adalah
seorang tokoh sakti yang sangat ditakuti Bajing
Ireng.
"Tabib
Agung...!" desis Bajing Ireng dengan hati
kecut.
Sosok yang
dipanggil Tabib Agung hanya terse-
nyum arif.
Sepasang matanya yang kelabu sebentar-
sebentar
memperhatikan Bajing Ireng, Putri Sekartaji,
dan
Pringgondani yang tergeletak tak sadarkan diri.
"Bajing
Ireng! Apa yang kau lakukan di sini?
Kenapa kau
belum juga bertobat dan menyesali dosa-
dosamu?"
kata Tabib Agung dengan suara yang lembut
namun
terdengar berwibawa.
"Aku
tidak menginginkan apa-apa. Aku hanya
menginginkan
gadis itu," kata Bajing Ireng. Lalu dibe-
rikannya
isyarat rahasia pada muridnya untuk me-
ninggalkan
tempat itu.
"Dia
akan bersekongkol dengan kaum pembe-
rontak, Orang
Tua!" lapor Putri Sekartaji.
"Hm...!
Tak kusangka kau semakin terperosok
dalam
kubangan, Bajing Ireng. Lekaslah bertobat sebe-
lum
terlambat. Kukira itu akan membuat hidupmu
aman
sejahtera."
"Jangan
banyak bacot, Tabib Agung! Di sini
bukan
tempatnya untuk berkhotbah. Lekaslah kau
tinggalkan
tempat ini. Kalau tidak, jangan harap aku
akan
mengampuni nyawamu!" bentak Bajing Ireng ga-
rang.
"Aku
paling benci dengan kekerasan. Tapi kalau
dipaksa, apa
boleh buat?" kata Tabib Agung kalem.
Bajing Ireng
menggeram. Kedua pelipisnya ber-
gerak-gerak,
pertanda tokoh sesat dari Gunung Lawu
itu tak dapat
lagi mengendalikan amarahnya.
"Bangsat!
Jadi kau menginginkan mampus di
tanganku.
Nah, makanlah pukulan 'Prahara Angin To-
pan'-ku.
Hea...!"
Tokoh sesat
dari Gunung Lawu itu segera me-
lontarkan
pukulan 'Prahara Angin Topan' dengan selu-
ruh kekuatan
tenaga dalamnya. Serangkum angin
kencang
meluruk dari kedua telapak tangan Bajing
Ireng.
Tabib Agung
hanya menggeleng-gelengkan ke-
pala. Setelah
dirasakannya angin kencang mulai me-
nampar-nampar
kulit tubuh, baru tokoh sakti dari
Gunung Perahu
itu mendorongkan kedua telapak tan-
gannya ke
depan.
Bummm...!!!
Terdengar
satu ledakan hebat kala dua tenaga
dalam beradu
di udara. Bumi bergetar. Debu-debu
membubung
tinggi memenuhi tempat pertarungan.
Tabib Agung
cepat mengebutkan jubahnya. Se-
rangkum angin
kencang dari kebutan jubah mengusir
pemandangan
gelap di hadapannya. Dan Tabib Agung
menemukan
sosok Bajing Ireng serta Bajing Biru yang
tadi tengah
memeluk Putri Sekartaji sudah lenyap dari
tempat itu.
Demikian juga dengan sosok Putri Sekarta-
ji.
"Manusia-manusia
licik! Tak kusangka mereka
akan membawa
gadis itu," gumam Tabib Agung kece-
wa. Tiba-tiba
ia teringat akan prajurit sandi yang ten-
gah
tergeletak tak sadarkan diri. Kepalanya berpaling
menatap tubuh
Pringgondani.
"Kukira
aku harus menunda maksudku untuk
mengunjungi
sahabatku, Ki Rombeng. Rasanya aku
tak tega
meninggalkan prajurit sandi itu begitu saja."
Sebagai
seorang tabib tentu ia tidak menemui
kesulitan
untuk mengobati. Dengan beberapa kali to-
tokan pada
jalan darah di tubuh Pringgondani, prajurit
sandi itu pun
membuka kelopak matanya.
"Minumlah
obat ini, Sobat. Luka dalammu pasti
akan cepat
sembuh," kata Tabib Agung sebelum Pring-
gondani
sempat membuka suara.
"Terima
kasih, Orang Tua."
Pringgondani
mengulurkan tangannya meneri-
ma obat
pemberian Tabib Agung. Tanpa banyak cakap
ia menelan
obat itu. Tak berapa lama Pringgondani
merasakan
hawa dingin menjalari sekujur tubuhnya.
Hanya dalam
waktu sepeminum teh luka dalam praju-
rit sandi itu
pulih seperti sediakala.
Sekali lagi
Pringgondani menghaturkan terima
kasih. Tabib
Agung hanya mengibaskan tangan ka-
nannya.
"Celaka!
Mereka pasti telah membawa pergi
Kanjeng
Putri!" teriak Pringgondani tiba-tiba ketika ia
tidak melihat
Putri Sekartaji berada di tempatnya.
"Kanjeng
Putri?! Apa gadis cantik tadi yang kau
maksud,
Sobat?" kata Tabib Agung tak dapat menyem-
bunyikan
perasaan terkejutnya.
"Iya. Ke
manakah mereka membawanya pergi,
Orang
Tua?" Pringgondani cemas bukan main.
"Sayang
sekali aku tidak tahu. Mungkin ke
tempat
persembunyian mereka."
"Ah...!
Mereka pasti membawa Kanjeng Putri ke
markas kaum
pemberontak. Aku harus menolongnya.
Maaf, Orang
Tua. Terpaksa aku harus meninggalkan-
mu!"
kata Pringgondani tak sabar. Lalu cepat ia melon-
cat bangun
dan berkelebat meninggalkan tempat itu.
Kini ia dapat
mengerahkan seluruh ilmu meringankan
tubuhnya.
Hingga dalam beberapa kelebatan saja
bayangan
Pringgondani telah menghilang.
"Tampaknya
ada sesuatu yang tidak beres di
sini. Aku
harus secepatnya menemui Ki Rombeng,"
gumam Tabib
Agung sendirian.
Tabib Agung
pun meloncat bangun. Dengan
mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi,
sosok Tabib
Agung berkelebat pergi. Tinggallah tempat
itu sunyi
sendiri.
***
12
Malam semakin
merayap. Cahaya bulan yang
ditingkahi
kerlip berjuta bintang membuat suasana ja-
gat raya
terasa terang-benderang.
Dalam
terangnya sinar rembulan, sesosok
bayangan
hitam terus berkelebat masuk ke dalam Hu-
tan Gudean.
Gerakan kaki sosok bayangan hitam itu
sangat
ringan. Langkahnya terayun dengan cepat.
Agaknya ia
mengerahkan seluruh ilmu peringan tu-
buhnya.
Di saat
tengah berkelebat itulah mendadak
pendengarannya
yang tajam mendengar erangan se-
seorang dari
arah semak belukar di sampingnya. Seje-
nak sosok
bayangan yang tidak lain Pringgondani
menghentikan
langkah. Sepasang matanya bergerak-
gerak mencari
arah datangnya suara. Pringgondani la-
lu meloncat
ke balik semak belukar di sampingnya. Le-
laki itu
tertegun sesaat ketika didapatinya sesosok tu-
buh
berpakaian hitam-hitam sama persis dengan pa-
kaian yang
dikenakannya. Melihat tanda sulaman me-
rah di dada
sosok itu, tahulah Pringgondani kalau so-
sok yang
tengah terkapar adalah temannya.
"Pemanahan!
Apa yang terjadi di sini?" teriak
Pringgondani
kaget bukan main.
Laki-laki
berpakaian hitam yang dipanggil Pe-
manahan hanya
mengeluh pendek, lalu kepalanya ja-
tuh terkulai
ke samping. Pringgondani sangat cemas.
Buru-buru
didekatinya laki-laki itu. Keadaan sesama
prajurit
sandi Kadipaten Pleret itu sangat menge-
naskan.
Parasnya pucat pasi. Tubuhnya dipenuhi
lo-
bang-lobang
kecil sebesar jari dan mengeluarkan da-
rah segar.
"Ah...!"
Tanpa sadar Pringgondani memekik. La-
lu dengan
gerakannya yang tergopoh-gopoh ditotoknya
beberapa
jalan darah di tubuh Pemanahan.
Agak susah
memang. Di samping luka dalam
Pemanahan
teramat parah, Pringgondani pun buta
masalah
pengobatan. Hingga ia perlu waktu lama un-
tuk
menyadarkan prajurit sandi itu. Namun setelah
beberapa kali
dilakukan totokan pada jalan darah ak-
hirnya
Pemanahan siuman juga.
"Ugh...!"
erang laki-laki itu seraya membuka ke-
lopak mata.
Dadanya yang terasa nyeri buru-buru di-
dekap dengan
tangan kanan.
Pringgondani
cepat memangku kepala sahabat-
nya. Karena
meski sudah siuman keadaan Pemanahan
tetap sangat
mencemaskan. Napasnya terdengar mem-
buru tak
teratur.
"Katakan
apa yang terjadi di sini, Pemanahan?"
kata
Pringgondani tak dapat mengendalikan perasaan
gugupnya.
"Bajingan-bajingan
itu. Dia.... Pelajar Agung.
Dialah yang
menyerangku...."
Selesai
berkata begitu, kepala Pemanahan oleng
ke samping
dan tidak bergerak-gerak lagi. Perlahan-
lahan sekujur
tubuhnya pun mulai membeku.
Pringgondani
menggeram marah. Diguncang-
guncangnya
tubuh sahabatnya keras-keras. Namun te-
tap saja
tubuh kawannya itu kaku tak dapat bergerak
lagi.
"Bajingan!"
geram Pringgondani dengan gigi
bergemeletukkan.
Setelah dapat meredakan guncan-
gan jiwanya,
prajurit sandi itu hendak membawa tu-
buh sahabatnya. Tapi telinganya terusik oleh
suara
langkah-langkah
halus mendekati tempat itu.
Dengan
kemarahan meluap tubuh Pemanahan
kembali
direbahkan ke tanah. Pringgondani mengedar-
kan pandangan
matanya ke segenap penjuru. Tata-
pannya tampak
begitu beringas. Namun ia tidak me-
nemukan
seseorang pun kecuali langkah-langkah ha-
lus di balik
semak belukar di depannya.
"Siapa
di situ? Keluaaar...!" bentak Pringgonda-
ni.
Tidak ada
sahutan. Tanda-tanda adanya sosok
yang tengah
bersembunyi di balik semak pun tidak ter-
lihat.
"Setan
alas! Kalau kau tidak menunjukkan ba-
tang
hidungmu, jangan salahkan aku kalau terpaksa
memaksamu
keluar!" bentak Pringgondani lagi.
Tetap tidak
ada sahutan.
Pringgondani
tak dapat lagi mengendalikan
amarahnya
yang membuncah. Kedua telapak tangan-
nya seketika
berubah hijau berkilauan. Diiringi teria-
kan nyaring
kedua telapak tangan itu didorongkan ke
depan.
Wesss!
Wesss!
Prasss...!!!
Dua larik
sinar hijau berkilauan menghantam
semak-semak
belukar. Kerimbunan semak di depan
prajurit
sandi itu pun hancur berantakan. Sebagian
lainnya
hangus terbakar.
Namun tetap
saja tidak ada tanda-tanda orang
yang
bersembunyi di balik semak itu akan keluar.
Pringgondani
kalap bukan main. Kembali kedua tela-
pak tangannya
siap melontarkan pukulan. Baru saja ia
hendak
mendorongkan kedua tangannya, terdengar te-
riakan
seseorang dari arah belakang.
"Ooooi...!
Kenapa kau uring-uringan begini,
Paman? Ada
apa? Apa kau kehilangan sesuatu hingga
balik kemari?
Iya, Paman?"
Sepasang mata
mencorong tajam dari balik
kain hitam
Pringgondani berkilat-kilat penuh kemara-
han. Seketika
kepalanya dipalingkan ke belakang. Dan
betapa
terkejutnya prajurit sandi Kadipaten Pleret itu.
Dilihatnya
seorang pemuda berambut gondrong den-
gan pakaian
rompi dan celana bersisik putih kepera-
kan tengah
asyik duduk ongkang-ongkang kaki di atas
sebatang
ranting pohon
"Pemuda
sinting itu...!" desis Pringgondani seo-
lah tak
mempercayai pandangan matanya. Dan entah
kenapa begitu
melihat kemunculan murid Eyang Be-
gawan
Kamasetyo, mendadak kemarahan Pringgondani
berganti
dengan rasa gembira. Meskipun ia masih he-
ran bagaimana
pemuda itu tahu-tahu telah duduk di
atas ranting.
Padahal tadi jelas ia mendengar langkah-
langkah halus
itu datang dari arah semak belukar di
depannya.
"Kenapa
kau uring-uringan begini, Paman? Ku-
dengar tadi
kau berteriak-teriak mirip orang keseta-
nan. Lalu
iseng-iseng aku ingin menggoda. Tapi kau
malah akan
melontarkan pukulan maut. Aku segera
menyelinap
keluar dari semak dan naik ke atas pohon.
Ada apa sih
sebenarnya, Paman? Kok kau malah melo-
totiku?"
kata pemuda itu seraya tersenyum-senyum.
Pringgondani
menghela napas lega.
"Bagaimana
aku dapat menjelaskan kalau kau
masih duduk
di atas pohon, Anak Muda?"
"Oh...!
Yaya! Aku lupa. Aku akan segera melon-
cat turun.
Tapi jagai aku, ya? Nanti aku jatuh tersung-
kur!"
kata Soma asal bunyi. Lalu dengan mengguna-
kan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai
tingkat
tinggi, murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
meloncat
turun.
Pringgondani
mengangguk-anggukkan kepala.
Sedikit pun
gerakan kedua kaki murid Eyang
Begawan
Kamasetyo tidak menimbulkan suara. Pa-
dahal telapak
kakinya menginjak daun-daun kering di
depan
Pringgondani.
"Nah,
sekarang aku sudah turun. Kau bisa mu-
lai
bercerita, Paman. Tapi... eh, mayat siapakah ini?
Kok pakaian
yang dikenakannya mirip dengan pa-
kaianmu?
Temanmu ya, Paman?" kata Soma ketika
melihat mayat
Pemanahan yang tergeletak di tanah.
"Iya,"
sahut Pringgondani singkat. Namun kali
ini prajurit
sandi Kadipaten Pleret itu mulai dapat ter-
senyum.
Mungkin karena senang dapat bertemu kem-
bali dengan
Soma. Atau merasa geli mendengar kece-
rewetan
pemuda itu.
"Kalau
begitu cepat ceritakan dong!" kata Soma
merajuk.
Sejenak
Pringgondani menghela napas panjang.
Sepasang
matanya yang tajam memperhatikan pemu-
da tampan di
hadapannya.
"Waktuku
sangat sempit, Soma," kata Pring-
gondani
kemudian. "Saat ini aku benar-benar sedang
membutuhkan
bantuanmu. Tapi aku tak tahu apakah
aku salah
memilihmu atau tidak. Yang jelas persoalan
ini
menyangkut keamanan Kadipaten Pleret."
"Katakan
saja terus terang, Paman. Kenapa
berbelit-belit
segala?" tukas Soma tak sabar.
"Baik,"
Pringgondani menghentikan bicaranya
sebentar.
Tampaknya ia tengah mencari kata-kata
yang tepat
untuk mewakili kebingungannya. "Aku
menginginkan
kau dapat menyelamatkan Kanjeng Pu-
tri
Sekartaji. Ia dibawa lari oleh Bajing Ireng menuju
markas Partai
Kawula Sejati."
"Baik.
Lantas, Paman sendiri mau ke mana?"
"Setelah menguburkan
mayat temanku, aku
akan segera
melaporkan semua kejadian ini pada Kan-
jeng Adipati.
Untuk itu sekarang aku minta bantuan-
mu,
Soma," kata Pringgondani yang sedikit merasa lega
mendengar
kesanggupan murid Eyang Begawan Ka-
masetyo untuk
menyelamatkan Putri Sekartaji.
"Oh....
Jadi mayat yang kau ratapi itu mayat
temanmu? Tapi
siapakah yang telah membunuhnya,
Paman?"
"Pelajar
Agung!"
"Pelajar
Agung...," gumam Soma. Paras wajah-
nya tiba-tiba
menegang. "Lagi-lagi manusia durjana itu
yang membuat
ulah!"
"Kau
mengenalnya, Soma?"
"Ia
musuh besarku, Paman."
"Hm....
Baiklah. Aku akan pergi melaporkan ke-
jadian ini
pada Kanjeng Adipati. Baik-baiklah kau
menjaga diri, Soma. Semoga kau berhasil menyela-
matkan
Kanjeng Putri Sekartaji."
"Aku
bukan saja ingin menyelamatkan Kanjeng
Putri Aku
juga ingin membantu prajurit-prajurit kadi-
paten
menumpas gerombolan pemberontak itu, Pa-
man!"
sahut Soma bersemangat.
"Aku
senang sekali mendengar tekadmu. Kura-
sa demikian
pula dengan Kanjeng Adipati. Semoga
maksud mulia
mu ini diberkahi oleh Yang Maha Kua-
sa."
"Baiklah,
Paman. Sekarang juga aku akan me-
nyelamatkan
Kanjeng Putri Sekartaji. Selamat tinggal!"
Soma
berpamitan untuk pergi.
Usai
berpamitan, Soma menutulkan kakinya
tanah lalu
berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Pringgondani
sendiri segera mencari tempat yang di-
anggapnya
baik untuk menguburkan mayat temannya.
SELESAI
Segera ikuti
kelanjutannya!!!
Serial
Siluman Ular Putih dalam episode:
LUKISAN DARAH
Emoticon