Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Perawan Rimba Tengkorak
SATU
HIDUP tak lain adalah seperti sebuah lakon dalam pewayangan.
Semua sudah ada yang mengatur, yang menentukan, yaitu dalangnya! Semakin kita
merenungi tentang kehidupan, bukannya semakin mengerti, tapi malah bertambah
bingung. Apa yang kita harapkan, kadang-kadang seperti air yang tersumbat, tak
kunjung tiba jua. Namun adakalanya, sesuatu yang telah kita lupakan, tiba-tiba
datang dengan sendirinya. Hidup memang penuh misteri!
Mungkin seperti itulah keadaan yang sekarang sedang dialami
oleh Pandan Wangi. Sampai sejauh ini mengembara, bertualang dan malang
melintang di rimba persilatan, tak banyak kepuasan yang diperoleh dalam
batinnya!
Semakin dia merambah ke dalam dunia persilatan secara
menyeluruh, semakin merasa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya. Dia
benar-benar tak mengerti, dari mana dan mau ke mana sebenarnya hidup ini. Yang
dia lakukan selama ini hanya mengalir dan terus mengalir, lewat jalur yang
sebenarnya, yang hakiki! Dan dia tak tahu, kapan semua itu akan berakhir.
"Hm..., tampaknya ada sebuah desa di depan," gumam
Pandan Wangi dalam hati, "Tapi kok sepi sekali...."
Perlahan-lahan kuda yang ditungganginya me-masuki desa yang
kelihatan sepi itu. Tampak rumah-rumah di kanan kin jalan, kosong melompong,
sedang pintu-pintu maupun jendelanya, terbuka berderak-derak ditiup angin.
Beberapa saat kemudian dia melompat turun dari kudanya.
Pelan-pelan dia melangkah sambil menuntun kuda putih yang tinggi tegap. Matanya
yang tajam mengamati keadaan yang menurutnya aneh itu. Pengalaman yang telah
didapatnya membuat dia selalu berhati-hati dalam setiap keadaan yang
bagaimanapun juga.
"Hey...!" serunya tiba-tiba.
Pandan Wangi menangkap sebuah bayangan yang berkelebat di
depan matanya! Tapi belum lagi dia sempat melihatnya dengan jelas, bayangan itu
telah lenyap di antara rumah-rumah yang berjejer. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, dia langsung melompat cepat ke atas atap di mana bayangan tadi lenyap.
Untunglah dia masih sempat menangkap kelebatan bayangan itu kembali menyelinap
di antara rumah-rumah yang kosong tak berpenghuni itu.
"Hup...!" Kembali tubuh gadis itu melenting cepat
dan bersalto beberapa kali di udara. Kemudian dengan manis sekali, dia segera
menjejakkan kakinya tepat di depan bayangan tadi. Tentu saja kehadirannya yang
tidak disangka-sangka itu, membuat pemuda yang berpakaian kumal dan
compang-camping tersebut terkejut sekali!
"Oh...!" sejenak pemuda itu beringsut mundur.
Tampak sekali dari wajah dan sinar matanya, kalau dia ketakutan.
Melihat keadaan tersebut, Pandan Wangi segera bersikap
manis. "Kisanak...," Pandan Wangi mencoba menegur lembut.
"Jangan! Pergi kau.... Pergi! Tidak ada apa-apa lagi di
sini, pergi!" teriak pemuda itu makin ketakutan.
"Kisanak, kenapa kau ketakutan begitu! Apakah aku
seperti hantu atau peri jahat yang akan membinasakanmu? Aku hanya ingin
bertanya padamu," kata Pandan Wangi heran sendiri melihat sikap orang itu.
"Siapa, kau?" tanya pemuda itu. Sikapnya belum
menunjukkan persahabatan.
"Aku Pandan Wangi. Dan kau siapa, Kisanak?" Pandan
Wangi tetap bersikap lembut.
"Kau benar-benar bukan orang jahat?" agak melemah
nada suara orang itu.
"Bukan," sahut Pandan Wangi tersenyum tipis sambil
menggelengkan kepalanya.
"Aku..., aku Parmin. Aku sama sekali tidak melakukan
apa-apa di sini. Aku hanya mencari sisa-sisa makanan. Ini, ambillah. Hanya ini
yang aku temukan. Asal kau membiarkan aku hidup."
Pandan Wangi kembali tersenyum dan segera menolakkan
buntalan yang disodorkan Parmin. Hatinya masih diliputi keheranan dengan sikap
Parmin yang aneh itu.
"Aku tidak akan merampok, menyakitimu, apalagi sampai
membunuhmu," kata Pandan Wangi dibuat sedemikian lembut.
Mata Parmin menunjukkan keheranan, sepertinya dia tidak
mempercayai apa yang telah didengarnya. Dia mengamati gadis cantik di depannya
dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Parmin masih
penasaran.
"Aku hanya pengembara yang kebetulan lewat di daerah
ini," sahut Pandan Wangi apa adanya.
"Kau..., benarkah kau bukan anggota mereka?" sikap
Parmin tetap waspada.
"Aku benar-benar bingung dengan apa yang kau bicarakan.
Sudah kukatakan, bahwa aku cuma seorang pengembara yang kebetulan lewat. Aku
sendiri tidak tahu apa nama desa ini, dan kenapa keadaannya seperti ini?"
kata Pandan Wangi berusaha meyakinkan.
"Kau benar-benar bukan dari gerombolan mereka?"
Parmin seakan ingin benar-benar memastikan.
Pandan Wangi segera menggeleng dan tersenyum, meskipun
kepalanya makin pusing oleh berbagai macam tanda tanya yang tercermin dari
sikap Parmin itu. Beberapa saat kemudian, pemuda yang bertubuh kurus dan kotor
itu segera menengok ke kanan dan ke kiri. Lalu dengan cepat tangannya langsung
menyambar tangan Pandan Wangi.
"Ada apa?" sentak Pandan Wangi kaget dan bingung.
"Ayo, ikut aku! Desa ini dalam keadaan bahaya!"
kata Parmin buru-buru.
"Tapi, kudaku..."
"Di mana kudamu? Ayo, bawa!"
"Suit...!" Pandan Wangi segera bersiul kecil.
Mendadak terdengar suara ringkik kuda yang disusul dengan
derap langkah kaki kuda menghampiri.
"Ayo...!" seru Parmin.
Pandan Wangi segera mengikuti saja kemana Parmin akan
membawanya, walaupun dia semakin heran karena Parmin mengajaknya masuk ke dalam
hutan yang sangat lebat dan ditumbuhi dengan tumbuhan merambat.
"Kita mau ke mana?" tanya Pandan Wangi.
"Ke tempat yang aman," sambut Parmin singkat
sambil terus saja melangkah.
Pandan Wangi tidak sempat bertanya-tanya lagi. Dia sibuk
menyibakkan semak, agar kudanya bisa terus berjalan di tempat yang sulit
begitu.
********************
Pandan Wangi benar-benar terkejut ketika tiba-tiba di
sekitarnya bermunculan orang-orang yang berpakaian kumal dan compang-camping.
Mereka semua membawa alat-alat pemukul dari macam-macam bentuk yang terbuat
dari kayu. Ada sekitar sepuluh orang laki-laki yang rata-rata berusia cukup
tua.
"Parmin...," bisik Pandan Wangi.
"Tenang, Kak Pandan. Mereka bukan orang-orang
jahat," sahut Parmin seraya menghampiri salah seorang laki-laki yang
mengepung.
Sejenak Parmin berbisik-bisik pada laki-laki dengan janggut
dan kumis panjang yang nyaris jadi satu. Laki-laki tua itu segera
mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian dia melangkah menghampiri Pandan Wangi
dengan didampingi Parmin. Sedang yang lain tetap mengepungnya dengan sikap
bermusuhan.
"Kak Pandan, ini pamanku. Paman Sempana," Parmin
mengenalkan.
"Benar, kau bukan anggota Partai Tengkorak?" tanya
Paman Sempana sambil mengulurkan tangannya.
"Siapa Partai Tengkorak itu?" Pandan Wangi malah
balik bertanya.
"Mereka adalah gerombolan penjahat yang telah menghancurkan
desa kami, juga desa-desa di sekitar lereng Gunung Puting ini," Parmin
menjelaskan.
Pandan Wangi mulai mengerti permasalahannya sekarang.
Rupanya orang-orang tersebut korban dari keganasan sekelompok manusia yang
tidak bertang-gung jawab. Dan dia segera bisa memaklumi, bila sikap mereka
penuh curiga dan tidak bersahabat padanya. Gadis itu kemudian mencoba
meyakinkan mereka, bahwa dia hanya pengembara yang kebetulan lewat dan bertemu
dengan Parmin. Dan bukanlah anggota Partai Tengkorak seperti yang mereka kira.
"Kau membawa pedang, apakah kau seorang pendekar?"
tanya Paman Sempana.
"Bukan, aku menggunakan pedang ini hanya untuk menjaga
diri dan membantu mereka yang memerlukan," sahut Pandan Wangi merendah.
Paman Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. "Parmin,
apa saja yang telah kau dapatkan di desa?" tanya Paman Sempana sambil
menoleh ke arah Parmin.
"Hanya beberapa potong kain dan besi-besi karat,
Paman," sahut Parmin.
"Tidak ada bahan makanan?" Paman Sempana mendesah
lesu.
"Sama sekali tidak ada, Paman. Semua ladang telah
rusak, sedangkan lumbung padi telah kosong."
"Sebentar, aku punya sedikit persediaan bahan
makanan," kata Pandan Wangi memotong.
"Untuk dua atau tiga orang mungkin kamu punya, Nak
Pandan. Tapi kami perlu untuk sekitar tiga puluh orang," kata Paman
Sempana belum hilang rasa gelisahnya.
"Tiga puluh orang?" Pandan Wangi mengerutkan
keningnya.
"Mereka semua adalah anak-anak dan wanita yang
kelaparan di tempat persembunyiannya," Paman Sempana menjelaskan.
"Kenapa tidak mencari? Saya lihat, hutan ini cukup
banyak menyediakan bahan makanan. Kalian semua bisa berburu, kan?" kata
Pandan Wangi.
"Kami tidak mungkin melakukan perburuan. Mereka,
orang-orang Partai Tengkorak sewaktu-waktu bisa muncul dan membunuh siapa saja
yang mereka lihat di hutan ini."
"Kalau begitu, aku akan membantu kalian mencari bahan
makanan. Dan untuk sementara, aku kira bahan makanan yang aku bawa cukup
banyak. Parmin, kau bisa mengambil bahan makanan itu di punggung kudaku,"
kata Pandan Wangi.
Setelah berkata demikian, Pandan Wangi langsung melompat
cepat meninggalkan tempat itu. Hanya dalam sekejap mata, bayangannya sudah
tidak terlihat lagi. Hal itu tentu saja membuat orang-orang yang berada di situ
melongo keheranan. Mereka langsung berkumpul dengan wajah pucat pasi.
"Parmin, coba lihat. Apa benar di punggung kuda itu ada
bahan makanan," perintah Paman Sempana.
Tanpa banyak komentar, Parmin segera meng-hampiri kuda putih
yang tak jauh dari tempat itu. Kemudian dia langsung memeriksa buntalan yang
berada di punggungnya. Tiba-tiba mata Parmin membeliak lebar begitu melihat
bahan makanan yang cukup banyak dalam buntalan itu.
"Paman..., lihat!" teriak Parmin.
Paman Sempana segera berlari menghampiri dengan diikuti
lainnya. Wajah mereka langsung cerah melihat bahan makanan tergelar di kain
yang dibuka oleh Parmin. Kemudian anak muda itu segera membungkusnya kembali
dan menyandangnya di pundak.
"Aku yakin, Tuhan telah mengirimkan dia untuk menolong
kita," kata Paman Sempana bergumam.
"Bagaimana dengan makanan ini, Paman," tanya
Parmin.
"Berikan pada mereka, dan suruh para wanita memasaknya.
Kau dan aku menunggu saja di sini," kata Paman Sempana.
Parmin segera memberikan buntalan bahan makanan itu pada
salah seorang. Setelah Paman Sempana memberikan beberapa perintah lagi,
orang-orang yang berpakaian kumal dan kotor itu langsung meninggalkan tempat
itu.
"Kau lapar, Parmin?" tanya Paman Sempana lembut.
Parmin hanya meringis saja. Sejak kemarin perutnya memang
belum kemasukan sebutir nasi pun. Hanya air sungai dan daun-daun muda saja yang
mengganjal perutnya.
"Sebagai bekas murid Resi Wanapati, kau harus tahan
menderita, Parmin," kata Paman Sempana lagi.
"Aku mengerti, Paman. Sayang, aku belum sempat
menamatkan pelajaran, jadi belum mampu melawan mereka," Parmin setengah
bergumam, seakan menyesali keadaan.
"Jangankan kau yang baru tiga tahun belajar, gurumu
saja tidak mampu menghadapi mereka."
"Itu karena ada seorang murid yang berkhianat,
memberikan racun pada makanan Eyang Resi."
"Bukan berkhianat, tapi memang ada salah seorang
anggota Partai Tengkorak yang menyusup ke sana untuk melemahkan gurumu!"
"Huh! Kalau saja waktu itu aku tahu, sudah kubunuh
dia!"
"Percuma saja, Parmin. Ah, sudahlah! Yang penting kau
selamat dan bisa lolos dari kepungan mereka."
"lya, tapi karena kesalahanku juga, Desa Giling Watu
jadi hancur," ada nada penyesalan dalam suara Parmin.
"Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri, Parmin. Kau
lihat, bukan hanya desa kita yang hancur, tapi desa-desa lain di lereng Gunung
Puting ini juga hancur oleh keganasan mereka."
Parmin hanya terdiam lesu. Dia segera menghenyakkan tubuhnya
pada pohon besar yang berlumut tebal. Sedangkan Paman Sempana juga segera duduk
di depan anak muda itu. Ada rasa iba melihat keponakannya yang telah berubah
jauh dibandingkan dengan ketika masih menuntut ilmu di Padepokan Resi Wanapati.
Kini Parmin kelihatan kurus dan tidak berdaya apa-apa. Rasa
bersalahnya yang terlalu besar membuat dia mengalami tekanan batin! Dan semua
ini akibat dari tangan-tangan kotor yang telah merusak ketentraman hidup manusia
di dunia.
*** Sudah tiga hari Pandan Wangi tinggal bersama orang-orang
yang mengasingkan diri, menghindari keganasan mereka yang menamakan dirinya
Partai Tengkorak. Setiap hari dia mengumpulkan makanan Ian berburu binatang.
Wajah wajah yang tadinya lesu tanpa semangat hidup, kini sedikit demi sedikit
menampakkan keceriaannya kembali. Mereka tidak perlu lagi takut kekurangan
makanan, karena Pandan Wangi telah mencukupinya, bahkan kini mereka mempunyai
persediaan bahan makanan yang cukup banyak.
Dan selama tiga hari itu pula, Pandan Wangi selalu memantau
keadaan di sekitar lereng Gunung Puting itu. Dan sudah beberapa kali gadis itu
harus bentrok dengan beberapa orang yang mengenakan sabuk berkepala tengkorak,
bahkan sudah dua kali dia merampas kereta yang membawa perbekalan bahan makanan
mereka. Dia juga mengajarkan beberapa jurus dasar ilmu olah kanuragan pada
laki-laki yang masih kuat dan muda, dibantu oleh Parmin yang sempat belajar di
Padepokan Resi Wanapati.
"Apakah Kak Pandan hari ini mau berburu lagi?"
tanya Parmin ketika melihat Pandan Wangi sedang mempersiapkan kudanya.
"Tidak, aku akan membersihkan kuda saja," sahut
Pandan Wangi sambil menoleh ke arah Parmin.
"Oh..., aku kira Kak Pandan mau pergi lagi," kata
Parmin sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Memangnya kenapa kalau aku pergi?" Pandan Wangi
tersenyum manis.
"Tidak apa apa. Aku cuma mau menyarankan, sebaiknya Kak
Pandan istirahat saja hari ini. Soalnya persediaan bahan makanan masih cukup
banyak, bahkan cukup untuk dua purnama," Parmin memberitahu.
Pandan Wangi kembali tersenyum. Sebenarnya dia jengah
dipanggil dengan sebutan kakak, karena Parmin kelihatannya lebih tua dari
dirinya. Bahkan semua orang yang ada di dalam goa itu memanggilnya dengan
sebutan Den Ayu. Padahal sejak semula Pandan Wangi sudah melarang, tapi mereka
tetap saja memanggilnya begitu.
"Kemarin aku menemukan tujuh orang yang hampir mati
kelaparan di dekat jurang," kata Parmin memberitahu.
"Ya, aku sudah mendengar dari Paman Sempana. Mereka
dari desa lain yang tidak jauh dari desamu, kan?" sahut Pandan Wangi.
"lya, bahkan aku mengenal tiga orang di antara mereka
itu."
"Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Pandan
Wangi.
"Sudah sehat, bahkan tadi pagi sudah ikut latihan olah
kanuragan bersama yang lain," jawab Parmin.
"Bagus, kita memang masih banyak membutuhkan tenaga
untuk melawan Partai Tengkorak."
"Ada berita bagus lagi, Kak," kata Parmin lagi.
"Berita apa?" tanya Pandan Wangi penasaran.
"Orang-orang tua dan wanita sudah mulai bercocok tanam.
Katanya mereka malu hanya mengandalkanmu mencari bahan makanan."
Pandan Wangi tidak dapat menahan tawanya lagi. Suara tawanya
merdu dan enak terdengar di telinga. Parmin jadi tersenyum-senyum sendiri
mendengarnya. Sedangkan matanya sedikit nakal merayapi wajah cantik di
depannya. Seumur hidup, belum pernah dia melihat gadis secantik itu, apalagi
bercakap-cakap. Makanya, setiap ada kesempatan, Parmin selalu menyempatkan
untuk bercakap-cakap dengan Pandan Wangi. Hatinya sudah cukup senang hanya
dengan melihat senyuman yang manis dan mendengar suara yang merdu
menghanyutkan.
"Ada apa, Parmin? Kenapa kau memandangku
demikian?" tegur Pandan Wangi yang merasa tidak enak dipandang begitu.
"Oh...! Eh, tid..., tidak ada apa-apa...," sahut
Parmin tergagap.
"Apakah ada yang salah pada diriku?" Pandan Wangi
merentangkan tangannya.
"Tidak..., tidak ada, Kak. Aku..., aku hanya...."
"Kenapa?" Pandan Wangi cepat memotong.
"Ah, tidak ada apa-apa," Parmin mulai sedikit
tenang.
Pandan Wangi masih memandangi wajah Parmin yang mendadak
jadi berubah merah. Sedangkan Parmin terus merutuki dirinya sendiri dalam hati.
Secara jujur Pandan Wangi mengakui, kalau Parmin adalah pemuda yang cukup
tampan meskipun tubuhnya kurus. Hanya saja, Pandan Wangi tidak bisa melupakan
Rangga. Sedikit pun dia tidak pernah merasa tertarik pada setiap pemuda yang
dijumpainya.
Cintanya pada Rangga tidak akan pernah pudar sampai kapan
pun, dan dalam keadaan bagaimanapun juga! Dan dia bertekad untuk mencari
Pendekar Rajawali Sakti itu sampai ketemu. Karena Pandan Wangi yakin kalau
Rangga juga mencintainya.
"Aku akan jalan-jalan sebentar, Parmin. Kau harus
melatih mereka hari ini, kan?" kata Pandan Wangi mengusir kekakuan yang
ada.
"Eh, iya..., iya," sahut Parmin yang belum hilang
gugupnya.
"Latih mereka dengan sungguh-sungguh. Kalau ada perlu,
cari aku di dekat sungai."
"Iya, Kak."
Pandan Wangi segera melangkahkan kakinya meninggalkan pemuda
itu. Sedangkan Parmin masih berdiri saja memandangi punggung Pandan Wangi yang
semakin menjauh.
********************
DUA
Siang itu udara sangat cerah, di atas sana tidak tampak
sedikit pun tanda tanda akan turun hujan. Sementara angin yang bertiup semilir,
menambah hawa sejuk dan menyegarkan. Tampak Pandan Wangi sedang berjalan
pelan-pelan menyusuri tepian sungai kecil yang aimya jernih. Beberapa ekor ikan
tampak berenang hilir-mudik di antara batu-batuan. Sejenak bibir gadis itu
menyunggingkan senyuman saat melihat dua ekor burung parkit tengah memadu kasih
di cabang pohon.
Tiba-tiba saja senyum di bibir gadis itu langsung lenyap!
Buru-buru Pandan Wangi menghentikan langkahnya dan memasang telinganya
baik-baik. Segera dia dapat menangkap suara yang mencurigakan di sekitar tempat
itu. Tapi belum sempat dia melakukan apa-apa, mendadak dari balik pohon dan
gerumbul semak di depannya, bermunculan enam orang laki-laki yang bersenjatakan
golok yang besar dan panjang.
"Hm...," Pandan Wangi bergumam kecil sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gadis itu segera mengetahui, kalau keenam orang itu adalah
anggota Partai Tengkorak. Sabuk dengan kepala tengkorak yang mereka kenakan,
cukup untuk mengetahui siapa mereka sebenarnya.
"He he he..., nasib kita benar-benar mujur hari
ini," kata salah seorang sambil terkekeh.
"Benar, Tengkorak Putih pasti akan senang sekali
mendapatkan kepala perempuan ini," sambut lainnya.
"Ah, sayang sekali! Bagaimana kalau kita nikmati dulu
tubuh perempuan ini sebelum memenggal kepalanya?" kata seorang lagi sambil
menelan air liurnya.
"He he he..., sebuah usul yang bagus!" sambut yang
lainnya.
Tentu saja kuping Pandan Wangi menjadi merah mendengar
kata-kata kotor tersebut. Gerahamnya segera bergemeletuk menahan marah! Dia
benar-benar muak dengan pandangan mata yang penuh nafsu dari keenam laki-laki
di depannya.
"Ayo, maju kalian semua! Aku ingin tahu, bagai-mana
rasanya bersenang-senang dengan bangsat-bangsat macam kalian!" dengus
Pandan Wangi meng-geram.
"He he he..., rupanya kau tak sabar juga ingin segera
menikmati kenikmatan surga dunia, Cah Ayu," kata yang agak gemuk sambil
memelototkan matanya.
"Sudah, jangan banyak omong! Tangkap dia!" sentak
yang lainnya tak sabar.
Tiba-tiba salah seorang langsung menerjang! Tapi dengan
secepat kilat Pandan Wangi memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan. Sedangkan
tangannya langsung berkelebat menghajar perut lawannya tersebut.
"Hugh...! Sialan!" orang itu itu menggeram seraya
melompat mundur. Tampak dia meringis merasakan mual pada perutnya.
"Ayo, siapa lagi yang ingin merasakan belaian
tanganku?" tantang Pandan Wangi dengan suara lantang.
Dengan penuh emosi salah seorang lagi menerjang! Secepat
kilat Pandan Wangi melompat ke udara menghindari terjangan orang itu yang
menerjangnya sambil mengibaskan golok. Sedangkan kaki gadis itu bergerak cepat
dan menghantam lawannya. Kontan saja lawannya itu meraung keras dan ambruk di
tanah terkena tendangan yang beruntun dengan disertai tenaga dalam yang cukup
tinggi.
"Hih...!" Pandan Wangi menjejakkan kakinya tepat
di dada orang yang menggelepar itu.
Seketika itu juga darah langsung muncrat ke luar dari
mulutnya! Sedangkan kepalanya terkulai dengan nyawa yang telah lepas dari
badannya.
"Serang! Bunuh perempuan setan itu...!" kata salah
seorang memberi komando.
Kelima orang temannya segera meluruk dan menerjang ke arah
Pandan Wangi. Sedangkan Pandan Wangi dengan cepat berlompatan ke sana kemari
menghindari setiap terjangan, sambil sesekali membalas dengan pukulan dan
tendangan mautnya! Lima orang lawannya itu memanglah bukan tandingan Pandan
Wangi, sehingga dalam waktu singkat saja, satu persatu dari mereka segera
bergelimpangan dengan tubuh tak bernyawa lagi.
Tiba-tiba tanpa sepengetahuan Pandan Wangi, satu orang
meninggalkan tempat itu.
"Huh! Ke mana yang satunya lagi...?" dengus Pandan
Wangi sengit setelah menyadari satu orang lawannya berhasil lolos.
"Kak...! Kak Pandan...!"
Pandan Wangi segera membalikkan tubuhnya. Tampak di kejauhan
Parmin sedang berlari-lari menghampirinya.
"Ada apa kau kemari?" tanya Pandan Wangi
mengerutkan keningnya.
"Aku..., aku mendengar ada pertarungan. Syukurlah kalau
kau tidak apa-apa," sahut Parmin masih sedikit tersengal napasnya.
"Mereka cuma kroco," kata Pandan Wangi.
Parmin segera memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di
depannya. Tanpa berkata-kata lagi, buru-buru dia menyeret mayat-mayat tersebut
dan menceburkannya ke sungai. Kemudian dia segera membersihkan darah yang
memercik pada ranting-ranting kering, sehingga tidak ada kesan, bahwa di tempat
tersebut baru saja terjadi pertempuran.
"Untuk apa kau lakukan semua itu, Parmin?" Pandan
Wangi tidak mengerti apa maksud pemuda itu.
"Biar tidak kelihatan bekasnya, Kak. Tempat ini kan
dekat dengan goa dan sungai, jadi sangat penting bagi kita semua," sahut
Parmin menjelaskan.
"Percuma saja, Parmin. Daerah ini masih termasuk dalam
wilayah Hutan Jati Jarak, yang mereka namakan Rimba Tengkorak dan masih dalam
kekuasaan mereka."
"Aku tahu, Kak. Tapi paling tidak bisa memperlambat
mereka untuk mengetahui tempat ini," kata Parmin.
"Aku malah punya pikiran lain, Parmin," Pandan
Wangi punya usul.
"Pikiran apa?" tanya Parmin.
"Sebelah Selatan ini ada sebuah desa. Dan tampaknya
desa itu tidak terjamah Partai Tengkorak," kata Pandan Wangi.
"Maksud Kak Pandan, Desa Salapan?"
"Bukan."
"Memang ada dua desa di sekitar Lereng Gunung Puting
ini, Kak. Sebelah Selatan dari Hutan Jati Jarak adalah Desa Salapan, sedangkan
sebelah Utara, Desa Batu Ceper. Kedua desa itu memang sengaja tidak dijamah
oleh Partai Tengkorak, karena sebagian penduduknya anggota partai itu. Dan
desa-desa itu letaknya sangat strategis, karena sebagai penghubung dengan
desa-desa lainnya," Parmin menjelaskan.
"Begitu besamya pengaruh Partai Tengkorak,
sampai-sampai bisa menarik para penduduk untuk masuk menjadi anggotanya,"
gumam Pandan Wangi kesal.
"Memang sulit bagi desa-desa di sekitar Lereng Gunung
Puting ini untuk tetap hidup, kalau tidak diperlukan lagi oleh Partai
Tengkorak, Kak."
"Pasti ada alasan lain, mengapa mereka mengistimewakan
kedua desa itu dengan desa-desa lainnya, kan?" Pandan Wangi meraba.
"Memang, Desa Salapan adalah penghubung langsung ke
Kerajaan Karang Setra, sedangkan Desa Batu Ceper jadi gerbang utama menuju ke
Kadipaten Galuh," jelas Parmin lagi.
Pandan Wangi segera merenung beberapa saat, setelah
mendengar keterangan itu.
********************
Pandan Wangi tidak menduga sama sekali, kalau ternyata dia
sudah berada dekat sekali dengan Kerajaan Karang Setra. Mendengar nama kerajaan
itu, dia jadi ingat akan cerita Rangga, bahwa Pendekar Rajawali Sakti itu
berasal dari keluarga Karang Setra. Tapi Rangga pernah mengatakan bahwa Karang
Setra adalah sebuah kadipaten, bukan sebuah kerajaan seperti yang dikatakan
Parmin.
Rasa ingin tahu yang begitu besar dalam diri Pandan Wangi
tentang Kerajaan Karang Setra, mem-buat dia memacu kudanya menuju ke Desa
Salapan. Dia tahu, desa itu tidak terlalu jauh letaknya, paling-paling cuma
makan waktu kurang dari setengah hari dengan menunggang kuda. Di tengah
perjalanan, Pandan Wangi tidak begitu banyak mendapatkan hambatan, karena dia
tidak menemui anggota Partai Tengkorak.
"Sampurasun...," Pandan Wangi memberikan salam
pada seseorang setelah sampai di desa yang dia tuju.
"Oh, rampes," jawab orang tua yang sedang
beristirahat di dangau.
"Aku mau numpang tanya, Kisanak?" kata Pandan
Wangi.
"Oh, boleh..., silakan."
"Apa nama desa ini?" tanya Pandan Wangi ramah.
"Desa Salapan," jawab orang tua itu singkat.
Pandan Wangi kemudian mengedarkan pandangannya berkeliling.
Bibirnya segera menyunggingkan senyum begitu melihat tanaman padi yang sudah
menguning dan siap untuk dipanen. Tampak beberapa anak kecil berlarian ke sana
kemari mengusir burung-burung yang mengganggu tanaman mereka.
"Tampaknya Nisanak baru tiba di desa ini. Apakah ada
yang perlu saya bantu?" kata laki-laki tua itu setelah memperkenalkan
dirinya yang bernama Ki Karuning.
"Iya, Ki," sahut Pandan Wangi yang juga telah
menyebutkan namanya.
"Tujuan Nak Pandan ke mana?" tanya Ki Karuning.
"Ke Kadipaten Karang Setra," jawab Pandan Wangi
terus terang.
Ki Karuning tampak tersenyum-senyum mendengar Pandan Wangi
menyebutkan Karang Setra dengan sebutan kadipaten.
"Ada apa, Ki? Apa ada sesuatu yang salah?" Pandan
Wangi jadi keheranan sendiri.
"Dulu Karang Setra memang sebuah kadipaten, Nak Pandan.
Tapi sekarang sudah berubah menjadi sebuah kerajaan. Desa ini juga masuk dalam
wilayah Kerajaan Karang Setra. Juga Kerajaan Galuh yang sudah takluk dan berubah
jadi sebuah kadipaten," Ki Karuning menjelaskan.
"Oh...," Pandan Wangi segera mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Memang belum lama Kerajaan Karang Setra berdiri, jadi
wajar kalau belum banyak dikenal dan orang-orang masih menganggapnya sebuah
kadipaten," sambung Ki Karuning.
"Kenapa bisa berubah, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Ceritanya begini, Nak. Pewaris satu-satunya Karang
Setra yang telah hilang selama dua puluh tahun, telah kembali lagi. Dan itu
merupakan anugerah bagi Gusti Prabu Galuh yang sudah mangkat. Berarti pewaris
Karang Setra yang telah kembali itu adalah cucu satu-satunya Gusti Prabu Galuh
dari putri tunggalnya yang tewas dalam musibah di Danau Cubung."
"Danau Cubung...?" gumam Pandan Wangi.
"Iya, memangnya Nak Pandan tidak pernah mendengar
ceritera tentang rombongan Gusti Adipati Karang Setra yang di..."
"Sudah..., sudah, Ki," potong Pandan Wangi cepat.
Dia tidak ingin lagi mendengar cerita yang mengerikan itu. Dia sudah
mendengarnya dari Rangga sendiri.
"Cerita itu memang tersebar luas, dan semua orang pasti
telah mengetahuinya."
"Lalu, siapa yang menjadi raja di Kerajaan Karang Setra
sekarang, Ki?" tanya Pandan Wangi dengan dada bergemuruh.
"Gusti Prabu Rangga. Beliau juga seorang pendekar yang
sangat digdaya dengan gelar Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Karuning
kalem.
Kalau bukan Pandan Wangi, pastilah dia sudah terlonjak oleh
perasaan yang telah meledak di dalam dada!
"Rangga...," desis Pandan Wangi pelan. Begitu
pelannya sampai tidak terdengar suaranya.
Pandan Wangi benar-benar tak menyangka, kalau Rangga
ternyata kembali ke Karang Setra dan kini bahkan telah menjadi seorang raja.
Berbagai macam perasaan segera berkecamuk di dada gadis itu. Dia jadi sangsi,
apakah Rangga masih mengenali dirinya lagi? Apa mungkin malah akan
mencampakkannya? Dalam perasaannya, Rangga yang sekarang bukanlah Rangga yang
dikenalnya dulu. Tapi kini pemuda itu telah menjadi seorang raja yang besar.
Dan Pandan Wangi sadar, bahwa dirinya sudah tidak berarti apa-apa lagi.
Setelah berbasa-basi sebentar, Pandan Wangi langsung
berpamitan pada Ki Karuning yang telah memberikan keterangan sangat berharga
sekali. Tanpa membuang waktu lagi, Pandan Wangi segera menggebah kudanya
kembali menuju Hutan Jati Jarak.
"Nak Pandan...! Itu bukan jalan menuju Kerajaan Karang
Setra!" teriak Ki Karuning memberi tahu.
Namun Pandan Wangi tidak mempedulikan suara teriakan itu
lagi. Dia terus saja memacu kudanya dengan cepat bagai kilat! Hatinya kini
benar-benar diliputi berbagai macam kekecewaan yang berat. Perjalanannya
mencari kekasih yang sangat dicintainya terasa sia-sia! Tanpa terasa,
titik-titik air bening menggulir membasahi pipi gadis itu.
"Hey! Berhenti..:!" tiba-tiba terdengar suara
teriakan lantang.
Pandan Wangi langsung menarik tali kekang kudanya! Kuda
putih itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya.
********************
Pandan Wangi segera melompat turun dari punggung kudanya.
Seketika itu juga, dari gerumbul semak di sekitarnya, bermunculan enam orang
yang bersenjata golok. Tampak sabuk kepala tengkorak melilit di pinggang mereka
masing-masing. Seperti dikomando saja, mereka langsung bergerak mengurung.
"Kalian memang binatang-binatang keparat! Ayo, maju!
Biar kurobek perut kalian semua!" geram Pandan Wangi.
Rasa putus asa dan kekecewaan langsung meluap begitu
menyadari bahwa enam orang anggota Partai Tengkorak itu mengepungnya. Rasa
kecewa yang terlalu besar di hatinya, segera disalurkan menjadi kemarahan yang
tidak bisa dibendung lagi.
"Mampus kalian semua, hiyaaa...!"
Pandan Wangi segera menggebrak dan menerjang dengan
jurus-jurus mautnya. Bahkan tidak tanggung-tanggung lagi, dia langsung
menghunus pedang pusakanya! Seketika itu juga cahaya merah keluar dari
pedangnya, dan langsung ia membabat enam orang yang masih terperangah melihat
pamor pedang yang begitu dahsyat. Dapat diduga, enam orang yang mengeroyoknya
tadi langsung menggelepar dengan dada dan leher yang terbelah! Darah segera
segera mengucur membasahi tanah berumput.
"Nah! Pergilah kalian semua ke neraka! Kalian semua
memang tidak pantas untuk hidup!" dengus Pandan Wangi menggeram.
Gadis itu segera memasukkan Pedang Naga Geni ke dalam
warangkanya kembali. Sejenak dia masih berdiri tegak di antara enam mayat yang
sudah menggeletak malang-melintang. Mendadak insting Pandan Wangi merasakan ada
orang lain yang sedang mengintainya dari tempat tersembunyi. Matanya yang tajam
segera mengamati sekitarnya, sedang telinganya yang terlatih segera menangkap
tarikan napas halus, namun terdengar cukup jelas.
"Keluarlah kalian, manusia-manusia keparat!"
teriak Pandan Wangi keras. Suara yang dibarengi pengerahan tenaga dalam yang
cukup tinggi itu, segera menggema dan menerobos lebatnya hutan. Tampak
burung-burung langsung beterbangan karena terkejut mendengar suara itu!
"Kalau kalian memang orang-orang Partai Tengkorak,
keluarlah! Hadapi aku, Perawan Rimba Tengkorak!" seru Pandan Wangi lebih
keras lagi.
Pandan Wangi benar-benar tidak dapat lagi mengendalikan
emosinya. Dia melampiaskan kekecewaannya pada Partai Tengkorak dengan amarah
yang meluap-luap. Beberapa kali dia berteriak dan menantang, tapi tidak ada
sahutan sama sekali. Gadis itu segera terduduk lesu. Tanpa terasa, air mata
kembali membasahi pipinya yang putih halus itu.
Untuk beberapa saat Pandan Wangi hanya menangis dan
menangis. Padahal sebenarnya dia tidak tahu, apa sebenarnya yang ditangisi.
Cintanya yang begitu besar pada Rangga, kini harus musnah! Dia merasa tidak
pantas lagi dicintai oleh seorang raja besar nan agung. Pencariannya yang
begitu berat dengan mengarungi rimba persilatan yang tidak kecil tantangannya,
kini musnah seketika setelah...
"Rangga...," rintihnya lirih.
Dia masih saja terduduk berlutut dengan kepala lemas
terkulai ke bawah. Berkali-kali bibirnya merintih lirih menyebut nama Rangga.
Sampai-sampai dia tidak menyadari sama sekali, kalau ada seseorang yang
mendekatinya perlahan-lahan. Orang tersebut berdiri tegak di belakang Pandan
Wangi yang belum menyadari kedatangannya.
"Kak..."
"Oh!" Pandan Wangi tersentak kaget.
Bergegas dia menghapus air matanya, dan langsung berbalik.
Segera tampak di belakangnya, Parmin telah berdiri dengan pandangan yang tidak
mengerti. Pemuda itu segera berlutut dan menatap dalam-dalam ke bola mata
gadis. di depannya.
"Kak Pandan menangis...?" tanya Parmin masih diliputi
keheranan.
"Oh, tidak..., tidak! Mengapa kau ada di sini?"
Pandan Wangi segera menyembunyikan kesedihannya.
Parmin tidak segera menjawab. Kepalanya langsung tertunduk
lemas. Beberapa saat keadaan menjadi sepi, tidak ada yang mengeluarkan suara
sedikit pun.
"Parmin, ada apa? Ada apa sebenarnya?" tanya
Pandan Wangi jadi tidak enak perasaannya.
"Mereka datang lagi, Kak. Dan mereka telah membantai
habis...," suara Parmin tersekat di tenggorokkan.
Betapa terkejutnya Pandan Wangi mendengar berita itu. Tanpa
bertanya apa-apa lagi, dia langsung bangkit dan melompat ke punggung kudanya.
Dan dengan cepat digebahnya kuda itu bagai kesetanan!
"Kak Pandan, tunggu...!" teriak Parmin.
Tapi Pandan Wangi tidak mendengar lagi. Dia sudah begitu
jauh melarikan kudanya dan menerobos lebatnya Hutan Jati Jarak. Sementara
Parmin segera menengok ke kanan dan ke kiri beberapa kali, lalu tanpa
membuang-buang waktu lagi, Parmin pun langsung meninggalkan tempat itu.
********************
Pandan Wangi segera turun dari kudanya begitu sampai di
tempat pengasingan para penduduk. Matanya membeliak lebar menyaksikan
mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar tempat itu. Tak ada seorang pun yang
masih hidup, semua tewas dengan luka lebar di tubuhnya.
Pandan Wangi menggeleng-gelengkan kepalanya. Darahnya
langsung mendidih menyaksikan pembantaian kejam yang tak berperikemanusiaan
itu. Hal itu jelas menambah kekecewaan dalam hatinya, dia yang telah
bersusah-payah melindungi dan menuntun mereka agar selalu sabar dalam
menghadapi semua cobaan, tiba-tiba harus menyaksikan kesia-siaan kembali segala
jerih payahnya. Tidak peduli wanita, anak-anak maupun orang tua, semuanya tewas
dengan mengenaskan!
Tidak bisa dibayangkan lagi, berapa kadar dendamnya yang
meluap-luap di dalam dadanya! Dia segera menerobos masuk ke dalam goa untuk
mengetahui lebih lanjut pembantaian yang dilakukan Partai Tengkorak. Mendadak
matanya makin membeliak begitu dia melihat mayat-mayat yang bertumpuk di dalam
goa itu. Semua bahan-bahan makanan maupun barang-barang yang telah diperolehnya
dengan susah-payah, ludes!
"Ha ha ha...!" tiba-tiba terdengar suara tawa yang
menggelegar memekakkan telinga.
"Hup!" Pandan Wangi langsung melompat ke luar dari
goa.
Mata gadis itu segera menyipit begitu di luar goa sudah
berdiri tidak kurang dari dua puluh orang dengan senjata golok yang terhunus.
Jelas sekali siapa mereka, dan dari sabuk yang mereka kenakan. Pandan Wangi
merasa tidak perlu banyak tanya lagi. Dia langsung yakin, bahwa merekalah yang
telah membantai para penduduk itu.
"Akhirnya kau datang juga, perempuan liar," kata
salah seorang yang berdiri paling depan. Orang itu mengenakan baju berwarna
kuning gading dengan gambar kepala tengkorak di bagian dadanya. Sementara di
bawahnya terdapat gambar tulang berjumlah dua buah. Menurut Paman Sempana,
semakin banyak gambar jumlah tulang di dada, maka semakin tinggi tingkatan dan
kedudukannya di dalam Partai Tengkorak.
Pandan Wangi langsung menggeram. Dengan tajam matanya segera
merayapi wajah-wajah kasar di depannya. Tampak jari-jari tangannya sudah
terkepal kaku, gerahamnya bergemeletuk menahan amarah yang sudah meluap-luap
dan tak terbendung lagi.
"Anak-anak, habisi perempuan itu!" teriak orang
yang mungkin pemimpinnya.
Mendengar perintah itu, dua puluh orang yang sudah siap
tempur tersebut, langsung melompat seraya mengibaskan golok-goloknya. Sedangkan
Pandan Wangi yang juga sudah siap dari tadi, langsung melenting sambil mencabut
pedang pusaka Naga Geni. Seketika cahaya merah yang ke luar dari pedangnya,
berkelebat cepat seirama dengan gerakan tubuhnya yang cepat bagai kilat. Begitu
cepatnya gerakan tubuh Pandan Wangi, sehingga sulit diikuti oleh pandangan mata
biasa.
Beberapa saat kemudian, jerit dan pekik kematian langsung
terdengar saling susul, bersamaan dengan beberapa tubuh yang ambruk bersimbah
darah.
Pandan Wangi benar-benar mengamuk bagaikan banteng yang
terluka. Sedikit pun dia tidak memberi kesempatan pada lawan untuk meloloskan
diri dan berkelit. Begitu pedangnya luput, langsung disusul dengan tendangan
atau sodokan tangan yang bertenaga dalam cukup tinggi.
Dalam waktu sebentar saja, separuh dari mereka sudah
menggeletak tak bernyawa lagi. Hal itu tentu saja membuat pemimpin mereka jadi
gusar. Dan tanpa menunggu korban di pihaknya bertambah lagi, dia langsung
melompat seraya mencabut senjatanya yang berupa tongkat pendek bercabang dua
bagai garpu.
Tring!
Dua senjata langsung beradu! Sejenak Pandan Wangi terkejut
ketika tangannya jadi kesemutan, tapi dengan cepat dia langsung bisa menguasai
diri. Kembali dia mengamuk bagai kesetanan, membabat siapa saja yang mencoba
melawannya! Tentu saja amukannya itu membuat lawan-lawannya makin banyak yang
bergeletakan mandi darah. Pandan Wangi berusaha menghindari bentrok langsung
dengan laki-laki yang memimpin orang-orang ini. Tapi ketika jumlah mereka
tinggal lima orang lagi, Pandan Wangi terpaksa melayaninya juga.
"Mundur kalian semua...!" bentak laki-laki itu.
Seketika lima orang yang tersisa langsung melompat mundur.
Kemudian laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun itu, langsung
merangsek Pandan Wangi dengan jurus-jurus yang cepat dan berbahaya. Dalam
beberapa jurus saja, Pandan Wangi langsung merasa kalau tingkat kepandaian
orang itu cukup tinggi.
Namun setelah beberapa kali senjata mereka berbenturan,
Pandan Wangi bisa tersenyum. Ternyata tenaga dalam lawannya masih berada di
bawahnya. Hal itu terbukti setiap kali senjata mereka berbenturan, tangan orang
itu ditarik mundur dengan bibir menyeringai kesakitan.
"Serang, bunuh dia!" teriak orang itu sambil
mundur beberapa langkah.
Lima orang yang tadinya cuma menonton, langsung berlompatan
menyerang Pandan Wangi. Dan dalam waktu yang bersamaan, orang itu segera
melompat dan kabur meninggalkan tempat itu. Tentu saja Pandan Wangi yang
menyaksikan hal itu menyumpah-nyumpah tak karuan.
"Pengecut! Minggir kalian!" dengus Pandan Wangi
nenggeram.
Seketika itu juga tubuhnya berputar cepat ke udara dan
membabat orang-orang yang mencoba menghalanginya. Langsung saja jeritan yang
menyayat hati kembali terdengar, disusul dengan rubuhnya lima orang yang
mencoba menghalanginya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi langsung
melompat dan mengejar laki-laki yang melarikan diri tadi, tapi laki-laki
tersebut sudah lebih cepat menghilang tanpa bekas. Sementara Pandan Wangi hanya
berdiri tegak mengawasi sekitarnya.
"Huh!" Pandan Wangi mendengus kesal.
********************
TIGA
Siang itu panasnya begitu menyengat, seakan-akan akan hendak
membakar seluruh isi alam ini. Angin yang biasanya berhembus semilir, seperti
enggan mengusik keluar. Udara benar-benar panas! Di atas sana tak ada awan yang
mengisyaratkan hujan akan turun.
Sementara itu di sebuah kedai kecil dekat perbatasan Desa
Salapan dengan Desa Jati Jarak, tampak seorang pemuda dengan baju rompi putih
sedan duduk dengan mengangkat sebelah kakinya di bangku panjang yang
didudukinya. Sedangkan di sebelah mejanya, duduk seorang laki-laki tua sambil
terkantuk-kantuk. Sesekali tangannya mengibas, mengusir lalat yang mencoba
mengganggunya.
Beberapa saat kemudian, tampak dua orang anak muda dengan
golok terselip di pinggang, masuk ke kedai itu. Mereka langsung duduk berjajar
dengan pemuda yang tak lain adalah Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Namun
Rangga sama sekali tidak mempedulikan kedatangan kedua pemuda tersebut, dia
asyik makan dengan lahapnya. Dua orang muda yang baru datang itu langsung
memesan makanan pada laki-laki tua pemilik kedai.
"Tadinya aku mengira kedai ini sudah tutup, Ki
Salman," kata salah seorang dari anak muda itu.
"Ah, tidak. Kalau kedai ini tutup, dari mana Aki dapat
makan, Den Jabar?" sahut Ki Salman, pemilik kedai itu.
"Apa Ki Salman tidak takut?" celetuk salah seorang
lagi.
"Takut sama siapa, Den Garot?"
"Sama perempuan itu...," suara Jabar sedikit
berbisik.
"Aki rasa, si Perawan Rimba Tengkorak itu tidak
jahat."
"Tapi kan sudah banyak korban yang jatuh di tangannya,
Ki," serobot Garot.
"Ah, biar saja. Mereka yang mati kan orang-orang dari
Partai Tengkorak. Kalau si Perawan Rimba Tengorak sih tidak pernah mengganggu
penduduk desa. Dia hanya membunuh orang-orang yang dianggapnya jahat."
"Memang benar, Ki. Tapi kita harus selalu
waspada!" Jabar memperingatkan.
Ki Salman hanya tersenyum kecut. Dia kembali duduk di
tempatnya setelah menyediakan makanan yang dipesan kedua anak muda itu. Semua
pem-bicaraan tadi didengar oleh Rangga yang sejak tadi diam saja menikmati
makanannya.
Sampai kedua anak muda itu meninggalkan kedai, Rangga masih
tetap diam saja. Dia memang masih berada di Desa Salapan itu untuk mengetahui
lebih jauh sepak terjang Partai Tengkorak. Dia masih curiga, bahwa kelompok
itulah yang kabarnya akan menghancurkan Kerajaan Karang Setra. Dan selama
berada di desa itu, Rangga telah memperoleh banyak keterangan yang sangat
berarti.
"Ki Salman...," panggil Rangga.
"Iya, Den. Araknya tambah lagi?"
"Cukup, Ki."
"Ada apa, Den?" tanya Ki Salman penasaran.
"Siapa Perawan Rimba Tengkorak itu?" tanya Rangga
langsung.
"Menurut kabar yang Aki dengar, dia adalah seorang
gadis cantik yang sangat tinggi ilmunya. Dan sampai saat ini, tak seorang pun
yang tahu nama aslinya. Tapi yang jelas, dia selalu membantu para penduduk yang
lemah di sekitar Lereng Gunung Puting ini. Dan katanya, sudah banyak anggota
Partai Tengkorak yang tewas di tangannya," ujar Ki Salman menjelaskan
panjang lebar.
"Kenapa dia menggunakan nama Perawan Rimba Tengkorak?
Apakah dia memang berasal dari Hutan Jati Jarak juga?" tanya Rangga ingin
tahu.
"Wah, tidak ada yang tahu asalnya, Den. Tahu-tahu dia
sudah muncul begitu saja, dan membunuh setiap anggota Partai Tengkorak yang
ditemuinya," sahut Ki Salman.
"Apa selama ini Partai Tengkorak mengganggu penduduk Desa
Salapan ini, Ki?"
"Secara langsung sih tidak, Den. Tapi kami semua harus
menyisihkan sepertiga dari hasil panen, agar desa ini tetap aman katanya. Tidak
tahu kalau desa-desa lain. Memang yang Aki dengar, desa yang tidak bisa
membayar upeti, langsung dihancurkan. Seperti yang belum lama ini menimpa Desa
Giling Watu. Desa itu hancur, karena salah seorang penduduknya ada yang
menentang Partai Tengkorak."
"Kejam...!" dengus Rangga bergumam.
"Memang, kadang-kadang Partai Tengkorak berlaku amat
kejam. Tapi kalau kita menuruti apa yang dikehendakinya, mereka juga bersikap
baik dan ramah. Yang penting, jangan coba-coba menunjukkan diri kalau kita
tidak suka pada mereka, meskipun dalam hati kita selalu mengutuki perbuatan
mereka," lanjut Ki Salman.
"Kelihatannya kau tidak menyukai mereka, Ki?"
Rangga memancing.
"Aku sudah tua, Den. Rasanya, tak perlu lagi menyimpan
dendam di hati. Paling-paling Aki membiarkan saja kalau mereka makan di sini
tanpa bayar. Demi keselamatan Aki juga."
"Seperti dua orang muda tadi?"
"Sebenarnya mereka bukan anggota Partai Tengkorak. Tapi
mereka memanfaatkan kekuatan itu untuk kesenangan pribadi mereka sendiri."
Rangga hanya tersenyum tipis mendengarnya. Dia kembali
menghirup sisa araknya yang terakhir, lalu segera bangkit dari duduknya.
Setelah membayar semua makanan dan minuman yang dinikmatinya, Pendekar Rajawali
Sakti itu pelan-pelan melangkah keluar. Kemudian dia langsung melompat naik
pada kuda hitamnya yang tertambat di bawah pohon.
********************
Rupanya sepak terjang Pandan Wangi di sekitar Hutan Jati
Jarak, telah menggemparkan semua orang. Gadis itu dikenal dengan nama julukan
Perawan Rimba Tengkorak, yang mampu membuat merinding setiap orang yang
mendengarnya. Kehadirannya, bukanlah suatu ancaman bagi penduduk di sekitar
Leren Gunung Puting atau yang berdekatan dengan Hutan Jati Jarak. Tapi justru
dia telah membuat orang-orang anggota Partai Tengkorak jadi kelabakan.
Si Perawan Rimba Tengkorak selalu muncul di mana-mana. Dia
selalu menghadang dan merampok barang-barang upeti yang ditarik dari desa-desa
untuk kepentingan Partai Tengkorak. Dan dia segera mengembalikan barang-barang
tersebut pada penduduk desa lagi. Semua sepak terjang si Perawan Rimba
Tengkorak tersebut tentu saja tidak luput dari perhatian Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi sampai sejauh ini, dia belum bisa menjumpai orang yang dijuluki
Perawan Rimba Tengkorak tersebut.
"Sudah dengar berita baru lagi, Den?" tanya Salman
ketika suatu hari Rangga datang ke kedainya.
"Berita apa?" tanya Rangga penasaran.
"Si Perawan Rimba Tengkorak telah beraksi lagi. Dua
puluh orang anggota Partai Tengkorak, habis dibabat ketika mereka membawa
kereta upeti dari Desa Karang Hawu," Ki Salman berkata dengan nada
gembira.
"Oh, ya," Rangga tidak terkejut lagi mendengarnya,
karena sudah sering dia mendengar berita seperti itu setiap kali dia datang ke
kedai Ki Salman.
"Iya, Den. Bahkan kali ini tiga anggota tingkat dua
juga ikut tewas."
"Hebat sekali dia," Rangga segera
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sekarang, Ketua Partai Tengkorak malah memberikan
hadiah seribu keping uang emas, untuk yang berhasil memenggal kepalanya,"
sambung Ki Salman.
Sejenak Rangga tertegun mendengarnya. Dia jadi ingat
pengalaman yang pernah dialaminya dulu. Kepalanya dihargai seribu keping uang
emas. Dan hal itu rupanya akan terjadi lagi pada si Perawan Rimba Tengkorak.
Rangga jadi semakin penasaran, siapa sebenarnya si Perawan Rimba Tengkorak itu?
Hadiah yang begitu besar tersebut pasti akan menarik minat
tokoh-tokoh sakti golongan hitam. Mengingat itu, Rangga jadi merasa bahwa dia
harus bergerak untuk membantu si Perawan Rimba Tengkorak itu.
Selera makan Rangga jadi hilang seketika. Dia segera membayar
makanannya yang tidak jadi dimakannya itu, dan melangkah keluar dari kedai.
Kemudian dia menuntun kudanya sambil berjalan pelan-pelan menuju Hutan Jati
Jarak. Pikirannya terus terpusat pada si Perawan Rimba Tengkorak yang belum dia
ketahui secara pasti siapa orangnya. Tanpa terasa, dia sudah begitu jauh masuk
ke dalam Hutan Jati Jarak. Sejenak dia berhenti, mengamati keadaan hutan yang
sangat sepi dan lengang sekali.
"Heh!" mendadak Rangga tersentak. Telinga Pendekar
Rajawali Sakti yang sudah cukup terlatih itu, langsung menangkap suara
pertempuran yang cukup jauh letaknya. Tanpa buang-buang waktu lagi, dia
langsung melompat ke punggung kudanya, dan menggebahnya agar berpacu cepat ke
arah sumber suara penempuran itu. Dalam sekejap mata saja, kuda hitam itu sudah
lenyap ditelan pepohonan yang rapat.
********************
Di bagian sebelah Barat Hutan Jati Jarak, di sebuah padang
rumput yang cukup luas, tampak seorang perempuan muda tengah bertarung dengan
sengitnya melawan tidak kurang dari sepuluh orang laki-laki. Dilihat dari
pedang yang dipegang wanita cantik itu jelaslah kalau dia adalah Pandan Wangi
alias Perawan Rimba Tengkorak. Pedang yang memancarkan sinar merah itu
berkelebat cepat dan memorak-porandakan kepungan sepuluh orang yang semuanya mengenakan
jubah kuning gading, dengan gambar tengkorak di dada.
"Serang terus! Jangan biarkan dia hidup!"
terdengar teriakan menggelegar memberi semangat.
"Huh! Mereka semua cukup tangguh, aku harus segera
mengeluarkan aji 'Naga Wisa'," gumam Pandan Wangi dalam hati.
Cepat sekali gadis itu langsung merubah jurus-jurusnya! Dan
dia segera merapalkan ajian yang sangat diandalkannya itu, dengan pedang Naga
Geni. Seketika itu juga Pandan Wangi berkelebatan sangat cepat bagai sebuah
bayangan saja Sedangkan pedangnya yang memancarkan warna merah menyala bagai
besi terbakar, berkelebat cepat membabat musuh-musuhnya.
"Aaakh...!" satu teriakan terdengar melengking
tinggi, bersamaan dengan ambruknya salah seorang lawannya dengan dada terbelah!
Belum hilang suara jeritan tadi, langsung disusul dengan
satu pekikan melengking tinggi! Dan disusul lagi dengan dua orang yang roboh
sekaligus! Pandan Wangi benar-benar mengamuk bagai singa betina yang kehilangan
anak. Dia tidak lagi memberikan kesempatan pada lawannya untuk balas menyerang.
Pedang pusaka yang ada di tangannya terus-menerus berkelebat cepat seirama
dengan gerak tubuhnya yang sulit diikuti oleh mata biasa.
Setiap kibasan pedangnya, berarti satu nyawa! Kalaupun
sempat mengelak, pasti sudah terluka oleh sambaran cahaya merah yang memancar
dari pedang Naga Geni. Meskipun mereka rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup
tinggi, namun tidak kuasa membendung arus emosi yang meledak-ledak dalam dada
Pandan Wangi. Lebih-lebih melawan aji 'Naga Wisa' dan pedang Naga Geni yang
tergabung jadi satu!
Maka dalam waktu yang tidak berapa lama, Pandan Wangi telah
merobohkan enam orang dari sepuluh orang yang mengeroyoknya. Sementara dua
orang yang masih hidup, berhasil meloloskan diri! Dan kini tinggal dua orang
lagi yang masih mampu bertahan meskipun tubuh mereka sudah berlumuran darah.
"Ini yang terakhir, hiyaaa...!" teriak Pandan
Wangi keras.
Secepat kilat tubuh gadis itu melompat dan bersalto beberapa
kali di udara sambil mengibaskan pedangnya. Tak berapa lama kemudian, pekikan-pekikan
yang melengking tinggi terdengar menyayat hati disusul dengan ambruknya dua
orang yang tersisa! Sejenak Pandan Wangi menarik napas panjang dan berdiri
beberapa saat di antara mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.
"Huh, sial! Dua orang lolos lagi!" dengus Pandan
Wangi pelan.
Tiba-tiba gadis itu mengangkat kepalanya. Sedang telinganya
bergerak-gerak mendengar suara derap langkah kaki kuda yang semakin dekat
menghampirinya. Tanpa pikir panjang lagi, dia langsung melentingkan tubuhnya ke
udara, dan bagaikan disapu angin saja tubuhnya langsung lenyap dalam sekejap
mata!
Tepat pada saat Pandan Wangi menghilang, seekor kuda hitam
yang dikendalikan oleh seorang pemuda berbaju rompi putih, tiba di tempat
pertarungan tadi. Penunggang kuda yang tidak lain adalah Pendekar Rajawali
Sakti itu langsung melompat turun dari punggung kudanya. Tampak keningnya
berkerut ketika meneliti luka-luka yang ada pada tubuh mayat-mayat yang
bergelimpangan bermandikan darah.
"Pandan Wangi...," desis Rangga langsung mengenali
bekas-bekas luka sabetan pedang, pukulan, dan tendangan yang membekas pada
tubuh mayat-mayat tersebut.
Rangga langsung bangkit berdiri. Matanya yang tajam segera
mengawasi daerah sekitarnya. Tak satu makhluk pun yang tampak, keadaan sepi!
Kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu berusaha mencari jejak-jejak kaki di
rerumputan. Tapi yang dia dapatkan hanya jejak-jejak kaki dari bekas
pertempuran tadi.
Dia segera menghampiri kereta kuda yang tertinggal di
sekitar mayat-mayat itu. Langsung saja dia memeriksa isinya. Kembali keningnya
berkerut begitu melihat bahan-bahan makanan pokok dan juga sayur-sayuran serta
buah-buahan memenuhi kereta kuda tersebut.
"Apakah si Perawan Rimba Tengkorak itu Pandan
Wangi...?" gumamnya bertanya pada dirinya sendiri.
Melihat dari identitas mereka yang tewas, sudah jelas kalau
mereka adalah anggota Partai Tengkorak yang mempunyai kedudukan tingkat dua.
Sedangkan melihat dari bekas-bekas luka di tubuh mereka, Rangga tidak dapat
menyangsikan lagi, itu adalah luka-luka akibat tebasan Pedang Naga Geni dan
pukulan Naga Wisa.
"Aku harus menemukannya, dia pasti Pandan Wangi!"
desah Rangga seraya beranjak pergi.
Pendekar Rajawali Sakti segera menghampiri kudanya yang
tengah merumput tidak jauh dari tempat itu. Sejenak kepalanya menengok ke kiri
dan ke kanan tak seorang pun terlihat di sekitar tempat itu. Keadaannya masih
tetap sepi dan lengang. Kemudian dia segera mengelus-elus kepala kuda hitamnya,
serasa berat untuk mengatakan sesuatu.
Seakan mengerti apa yang dikatakan Rangga kuda itu segera
meringkik dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Rangga lalu melepaskan tali
kekang kuda itu dan melemparkannya jauh-jauh. Secepat kilat kuda itu langsung
berlari menembus lebatnya hutan. Sejenak Rangga masih memandangi kudanya sampai
lenyap dari pandangan matanya.
"Suiiit...!" Rangga segera bersiul nyaring dengan
irama tertentu.
Beberapa saat kemudian dia mendongakkan ke lanya ke atas.
Bibirnya langsung tersenyum melihat satu titik hitam di atas kejauhan sana.
Titik hitam semakin lama semakin membesar, dan semakin jelas bentuknya. Rupanya
Rangga telah memanggil burung rajawali raksasa untuk membantunya mencari Pandan
Wangi, yang dia yakini pasti berada di sekitar Hutan Jati Jarak ini.
"Khraaaghk...!"
"Maaf, kalau aku mengganggu istirahatmu,
Rajawali," kata Rangga begitu burung rajawali itu telah mendarat di
depannya.
Burung rajawali raksasa segera mengangguk-anggukkan
kepalanya, seakan mengerti perasaan Rangga. Perlahan-lahan Rangga mendekati dan
mengusap-usap kepala burung tunggangannya itu.
"Aku perlu bantuanmu sekali lagi, Rajawali," kata
Rangga.
"Argh!"
"Iya, nanti akan kuceritakan di atas."
Burung itu seakan mengerti, dan segera merendahkan tubuhnya.
Buru-buru Rangga melompat naik dan duduk di punggung burung raksasa itu.
Setelah Rangga meminta burung itu segera terbang, maka burung raksasa itu
langsung mengepakkan sayapnya dan melesat ke angkasa dengan kecepatan tinggi
sekali.
********************
"Jangan terlalu jauh meninggalkan lokasi hutan ini,
Rajawali," kata Rangga agak keras untuk mengalahkan deru angin yang begitu
membisingkan telinga.
"Khraghk...!"
"Bagus! Berputar-putar saja, ya..., coba sedikit rendah
lagi," kata Rangga.
Burung rajawali raksasa itu segera menuruti perintah Rangga.
Sementara Rangga yang berada di punggung burung raksasa itu, terus-menerus
mengarahkan pandangannya ke bawah. Sedikit pun matanya tak berkedip mengamati
daerah sekitar hutan itu. Dia berharap, dari tempat yang tinggi, bisa melihat
sesuatu yang menunjukkan keberadaan Pandan Wangi.
"Berhenti dulu, Rajawali," perintah Rangga
tiba-tiba.
Burung raksasa itu segera memperlambat kepakan sayapnya,
agar tetap berada di udara. Rangga lebih menajamkan penglihatannya. Tampak di
bawah sana terdapat beberapa bangunan yang dikelilingi pagar batu yang tebal
dan tinggi bagai sebuah benteng. Di luar tembok batu itu, dibangun parit yang
sangat besar dan dalam.
"Partai Tengkorak ..," desah Rangga begitu melihat
kibaran bendera dengan lambang gambar kepala tengkorak.
Tempat itu berada di dasar lembah yang tidak terlalu dalam,
namun sangat sulit dicapai karena dikelilingi oleh bukit-bukit batu dan
rawa-rawa yang bisa menenggelamkan siapa saja yang belum tahu daerah itu. Dan
hanya ada satu jalan untuk masuk ke daerah itu, yaitu dengan melompati
batu-batu yang berjajar dengan jarak tidak terlalu jauh.
"Berputar sebentar, Rajawali," kata Rangga.
Burung rajawali raksasa itu bergerak memutari daerah yang di
bawahnya merupakan sebuah lembah kecil itu. Sejenak Rangga mempelajari situasi
daerah itu dengan teliti. Setiap kemungkinan yang dapat dilalui untuk ke luar
masuk ke tempat itu dia pelajari, dan tempat-tempat yang berbahaya juga
dihapalkan di kepalanya. Ternyata tempat itu benar-benar sangat strategis untuk
dijadikan daerah pertahanan. Tapi jika digempur dari atas tebing, mereka tidak
akan bisa berbuat banyak. Satu-satunya jalan keluar hanya melewati rawa-rawa
itu. Menyadari hal itu Rangga segera tersenyum sendiri.
"Ayo, Rajawali. Kita jelajahi lagi Hutan Jati Jarak
ini," ajak Rangga.
"Khraghk...!"
Burung rajawali raksasa itu segera meninggalkan daerah
lembah yang dijadikan benteng pertahanan Partai Tengkorak. Di atas punggung
burung itu Rangga tidak henti-hentinya menceritakan tentang Pandan Wangi. Dia
juga tidak malu-malu lagi menceritakan perasaan cintanya pada Pandan Wangi di
hadapan burung raksasa itu.
"Aku yakin gadis itu ada di sekitar hutan ini,
Rajawali. Dan aku harus menemukannya, harus...!" Kata Rangga.
"Khraghk!"
"Kau pasti akan menyukai gadis itu juga, kalau kau
sudah kenal dengannya, Rajawali."
Lagi-lagi burung itu hanya berkaokan saja menyahuti
kata-kata Rangga. Dan anehnya, antara makhluk yang sangat berbeda jenis itu
seperti saling mengerti apa yang dibicarakan.
Hampir seharian Rangga dan burung raksasa itu terus mencari
Pandan Wangi dari atas. Namun sampai matahari tenggelam di ufuk Barat, mereka
tidak juga menemukan Pandan Wangi. Bahkan tanda-tandanya saja tidak kelihatan
sama sekali. Namun begitu, Rangga tetap yakin, kalau si Perawan Rimba Tengkorak
itu adalah Pandan Wangi.
********************
EMPAT
Rangga tampak duduk merenung di depan api anggun kecil yang
sengaja dibuatnya untuk mengusir hawa dingin yang menerpa kulit tubuhnya. Tidak
jauh darinya, burung rajawali raksasa meringkuk menghangatkan tubuh dekat api
unggun itu juga. Rangga sudah tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya.
Segala daya dan upaya telah dilakukannya untuk mencari gadis yang sangat
dicintainya itu, tapi sampai kini belum juga berhasil ditemukannya.
"Rangga...," tiba-tiba terdengar suara lirih
memanggilnya.
Rangga langsung tersentak dan segera menoleh ke arah burung
rajawali raksasa di sampingnya. Tapi burung itu sedang tertidur dengan kepala
tersembunyi di balik sayapnya. Sementara di sekelilingnya tidak tampak seorang
pun! Tapi suara tadi jelas sekali terdengar di telinganya.
"Rangga...," terdengar lagi suara halus itu.
"Siapa kau? Tunjukkan dirimu!" suara Rangga
terdengar sedikit berbisik. Dia tahu, mendengar dari nada suaranya, makhluk
yang memanggilnya bukanlah makhluk yang jahat.
"Lihatlah ke samping kirimu, aku ada di situ."
Betapa terkejutnya Rangga begitu dia memalingkan kepalanya
ke kin! Sampai-sampai dia terlonjak sedikit dari duduknya. Tampak seekor ular
hitam sebesar lengan sedang melingkar di atas batu. Belum juga hilang rasa
terkejutnya, tiba-tiba dari tubuh ular itu mengepul asap tipis, yang semakin
lama semakin menggumpal tebal. Perlahan-lahan asap itu kemudian menipis. Kini
di atas batu itu tampak duduk seorang wanita cantik dengan mengenakan pakaian
hitam yang tipis, sehingga membentuk tubuhnya yang indah dalam siraman cahaya
api unggun.
"Oh, kau.... Dewi Naga Hitam...?" Rangga segera
mengenali wanita cantik jelmaan dari ular hitam tadi.
"Rupanya kau hanya mengenali diriku, kalau ujudku
seperti ini, Rangga," kata wanita itu.
"Maafkan, aku memang lupa," Rangga mengakui terus
terang.
Dewi Naga Hitam hanya tersenyum tipis dengan kejujuran
Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan dia bisa memaklumi, karena sekarang ini Rangga
sedang kacau pikirannya.
Lagipula sudah sangat lama mereka tidak pernah saling jumpa
lagi, setelah Rangga meninggalkan jurang tempat bangsa ular bersemayam. (Untuk
lebih jelas, bacalah serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah: Asmara Maut).
"Aku tahu kalau kau sedang dalam kesulitan, tapi tidak
baik sampai melupakan sahabat. Bukankah kau bisa meminta bantuanku, atau yang
lain?" kata Dewi Naga Hitam.
"Aku malu mengatakannya, Dewi Naga Hitam," Rangga
mengakui.
"Kenapa harus malu? Tanpa kau ceritakan pun, kami semua
sudah tahu persoalanmu. Jiwamu sudah terpahat di hati bangsa kami."
"Terima kasih. Kau memang baik sekali, Dewi Naga
Hitam," puji Rangga.
"Sudahlah. Aku tahu, kau membutuhkan bantuanku,
kan?" Dewi Naga Hitam menebak.
"Ya...," desah Rangga terus terang.
"Gadismu tidak akan kau temukan dalam satu tempat saja,
Rangga. Dia selalu berpindah-pindah, meskipun masih dalam satu wilayah, yaitu
di sekitar Hutan Jati Jarak ini," kata Dewi Naga Hitam.
"Lantas, di mana aku bisa menemukannya?" tanya
Rangga berharap.
"Tadi, sebelum gelap aku telah melihatnya di dekat
sungai kecil. Tapi sekarang aku tidak tahu, apakah dia masih berada di sana,
atau sudah pergi," kata Dewi Naga Hitam memberi tahu.
"Kalau ternyata dia sudah tidak berada di sana lagi, ke
mana aku harus mencarinya lagi?" tanya Rangga sedikit mengeluh.
"Jangan putus asa, Rangga. Aku akan membantumu dengan
memerintahkan seluruh ular-ular yang ada di sini, untuk memberitahumu kalau
mereka melihat gadis itu. Tapi..., bagaimana caranya menghubungimu?"
Rangga berpikir sebentar. Dia memang mencari Pandan Wangi
dari atas dengan menggunakan burung rajawali raksasa, dan hal itu tentunya
sulit untuk kelancaran komunikasi.
"Baiklah, aku akan mencarinya lewat darat saja. Tapi
malam ini aku tidak ingin rajawali pulang. Terbang malam hari terlalu
berbahaya."
"Kau lupa, Rangga? Dia bukan burung biasa! Tidak ada
masalah baginya untuk terbang dalam keadaan apa pun juga!"
"Khraghk...!"
Rangga langsung menoleh mendengar suara burung raksasa itu.
Tampak burung itu berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah
dia mengerti, apa yang telah dikatakan oleh Dewi Naga Hitam.
"Maafkan aku, Rajawali," kata Rangga sambil
mengelus-elus kepala burung raksasa itu.
"Arghk!"
Burung raksasa itu lalu menggosok-gosokkan kepalanya ke
tubuh Rangga. Kembali burung itu sepertmengisyaratkan sesuatu kepada Rangga.
"Oh, terima kasih. Kau akan tetap mencari dari atas,
sedangkan aku dan Dewi Naga Hitam mencari dari bawah," kata Rangga bisa
membaca arti pandangan burung raksasa itu.
"Arghk!"
"Ayo, Dewi Naga Hitam. Rajawali mengajak kita ke goa
itu," kata Rangga mengajak.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Rangga langsung melompat ke
punggung burung raksasa itu. Sedang-kan Dewi Naga Hitam masih belum beranjak
dari duduknya. Sejenak Rangga memandang wanita cantik jelmaan ular hitam itu.
"Aku akan berada di sana nanti," kata Dewi Naga
Hitam mengerti arti pandangan Rangga.
"Kenapa tidak sama-sama saja?"
"Tidak, aku tidak tahan dengan ketinggian."
"Kalau begitu, baiklah. Kita bisa bertemu lagi di
sungai dekat goa itu," Rangga mengalah.
Kemudian Rangga segera memerintahkan rajawali aksasa itu
untuk terbang. Dengan beberapa kali kepak saja, burung itu sudah melesat ke
angkasa.
********************
"Pandan...!" panggil Rangga berteriak.
Tapi tidak ada sahutan sama sekali. Keadaan di sekitar
sungai kecil itu tetap sunyi. Hanya desah angin aja yang terdengar mengusik
telinga. Rangga terus saja mengayunkan langkah kakinya menyusuri daerah itu.
Kemudian dia segera berhenti melangkah begitu di depannya terpampang mulut goa
yang besar dan Iekat.
"Pandan..., kau di situ?" teriak Rangga keras.
Tidak ada sahutan sama sekali. Pelan-pelan Rangga melangkah masuk ke dalam goa.
Tidak ada tanda-tanda kehidupan sedikit pun di dalamnya. Rangga segera
mengerahkan aji 'Tatar Netra' untuk mengatasi kegelapan di dalam goa.
Segera tampak olehnya bekas-bekas yang membuktikan, bahwa
goa itu belum lama ditinggalkan. Dia terus melangkah lebih dalam lagi, dan
mendekati kayu bakar yang masih mengepulkan asapnya yang tipis. Kayu itu masih
menyimpan bara, pertanda belum lama dimatikan. Melihat hal itu, bergegas dia ke
luar dari goa.
"Pandan, aku Rangga, di mana kau...?" teriak
Rangga keras. Suaranya menggema ke seluruh penjuru mata angin, karena disertai
pengerahan tenaga dalam yang sempurna.
"Da sudah tidak ada di sini lagi, Rangga,"
terdengar suara pelan.
"Oh, Dewi Naga Hitam..," Rangga sedikit terkejut.
"Aku sudah memeriksa sekitar tempat ini, tapi gadismu
tidak ada," kata Dewi Naga Hitam yang. sudah menjelma kembali menjadi
manusia.
"Apakah dia sengaja menghindariku?" keluh Rangga
tidak mengerti.
"Tampaknya begitu."
"Kenapa? Kenapa dia menghindariku? Apakah dia tidak
tahu kalau aku benar-benar mencintainya? Apakah dia...," Rangga
benar-benar kecewa dan hampir putus asa.
"Rangga...," Dewi Naga Hitam memotong cepat.
Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian jatuh terduduk lemas. Dia tidak tahu lagi,
apa yang harus dilakukannya? Semua usahanya terasa sia-sia saja! Pandan Wangi
sengaja menghindarinya.
"Kau sungguh-sungguh mencintainya, Rangga?" tanya
Dewi Naga Hitam.
"Kenapa kau tanyakan itu?" Rangga balik bertanya
seraya mengangkat kepalanya.
"Aku memang tidak tahu tentang cinta manusia, tapi
mungkin tidak jauh dari bangsaku," gumam Dewi Naga Hitam mendesah.
"Memang sulit untuk menjabarkan arti cinta. Tapi aku
sungguh-sungguh mencintainya. Kau tahu! Pandan Wangi adalah gadis pertama yang
aku cintai. Aku tidak tahu, kenapa perasaan itu datang justru setelah kami
berpisah. Aku yakin, dia juga mempunyai perasaan yang sama denganku. Dan aku
tidak percaya kalau dia sengaja menghindariku. Pasti ada sesuatu yang telah
terjadi pada dirinya, atau...," Rangga tidak jadi meneruskan kata-katanya.
"Mungkin dia sudah tahu kalau kau sekarang sudah
menjadi seorang raja, dan dia merasa tidak pantas lagi untuk
mendampingimu," sambung Dewi Naga Hitam.
"Apa bedanya aku yang dulu dengan yang sekarang? Itu
bukan alasan yang tepat!" dengus Rangga.
"Meskipun aku dari jenis makhluk yang berbeda, tapi aku
bisa mengerti perasaan wanita, Rangga. Sampai kapan pun kau tidak akan bisa
membuka tabir misteri yang terselubung pada diri wanita. Seperti juga Pandan
Wangi, dia pasti punya alasan tertentu, kenapa dia menghindarimu?"
"Persetan dengan semua itu, Dewi Naga Hitam. Sampai
kapan pun aku tetap akan mencarinya. Dia harus tahu, kalau aku benar-benar
mencintainya. Kalaupun dia tidak mencintaiku aku harus mendengar dari mulutnya
sendiri."
"Gadis yang beruntung, tapi malang," desah Dewi
Naga Hitam seakan menyesalkan keadaan.
"Apa maksudmu?" Rangga tidak mengerti.
"Tidak apa-apa, aku hanya bicara pada diriku
sendiri."
"Jangan mengejekku, Dewi Naga Hitam!" dengus
Rangga kesal.
"Untuk apa aku mengejekmu? Seandainya aku manusia,
tentu akan sangat bahagia sekali mendapatkan cinta dari seorang laki-laki
sepertimu."
"Jangan menghiburku, Dewi Naga Hitam. Penghibur hatiku
hanyalah Pandan Wangi, hanya dia satu-satunya!"
"Ah, sudahlah! Kau tidak akan berhenti mencari gadismu,
bukan?"
"Ya!" jawab Rangga tegas.
"Kalau begitu, kenapa harus menuruti kata hati? Dia
pasti belum jauh dari tempat ini. Dan kau bisa segera menelusuri jejaknya!"
kata Dewi Naga Hitam.
Pendekar Rajawali Sakti tidak menyadari kalau dia sudah
ditinggalkan oleh Dewi Naga Hitam. Dia terus saja melangkah meninggalkan goa
dekat sungai kecil itu. Sedang ular hitam itu pun terus melata ke arah yang
berlawanan dengan Rangga.
Ular hitam itu terus merayap mendaki bukit batu yang terjal
di belakang goa. Gerakannya cepat, tidak seperti ular-ular biasa yang lamban.
Maka dalam waktu sebentar saja, dia sudah berada di puncak tebing batu itu.
Kemudian langsung merubah diri menjadi seorang wanita cantik yang mengenakan
baju hitam tipis hampir tembus pandang.
"Kau dengar semuanya, Pandan?" tanya Dewi Naga
Hitam. Dia duduk di depan Pandan Wangi. Hanya api unggun kecil yang membatasi
mereka.
"Yaaah...," desah Pandan Wangi panjang.
"Dia seorang laki-laki sejati, Pandan. Seharusnya kau
beruntung mendapatkan cinta dari seorang laki-laki seperti Rangga," kata
Dewi Naga Hitam lagi.
Pandan Wangi hanya diam saja.
"Kau mencintainya, Pandan?" pancing Dewi Naga
Hitam.
"Ya," sahut Pandan Wangi mendesah lagi.
"Lalu, kenapa kau menghindarinya?" Dewi Naga Hitam
pura-pura tidak tahu.
"Aku tidak tahu, aku..., aku..."
"Kau malu karena dia sudah menjadi seorang raja,
begitu?"
"Mungkin."
"Dengar, Pandan. Kau sudah tahu siapa aku, kan? Juga
hubunganku dengan Rangga. Semua bangsa ular di dunia ini tunduk padanya, karena
Rangga adalah murid dari sahabat karib raja kami, Satria Naga Emas. Sehingga
Rangga dianggapnya sebagai keponakannya sendiri. Percayalah padaku, Pandan. Aku
mengatur semua ini demi kebaikanmu, demi kalian berdua. Sekarang kau sudah
tahu, kalau cinta Rangga padamu begitu besar dan suci. Dia tidak akan menyerah
sebelum mendengar dari mulutmu sendiri. Aku tidak melihat jurang pemisah antara
kau dengan Rangga. Meskipun aku baru mengenalmu sore tadi, tapi aku sudah tahu
latar belakang kehidupanmu, juga keluargamu," panjang lebar Dewi Naga
Hitam menguraikan pandangannya.
"Dari mana kau tahu semua itu...?" agak terkejut
juga Pandan Wangi.
"Ya, aku bisa tahu karena kau mempunyai hubungan batin
dengan Rangga."
Pandan Wangi terdiam. Dia merasa, tidak ada gunanya lagi
menutup diri pada Dewi Naga Hitam. Semua yang menjadi rahasia pribadinya sudah
di ketahui oleh wanita jelmaan ular hitam itu.
"Kaulah satu-satunya seorang pendekar wanita yang
sangat dicintainya, Pandan. Dan aku rasa kau pantas untuk mendampinginya
sebagai seorang permaisuri raja. Aku yakin, kau pasti lebih mengetahui tentang
hal itu," sambung Dewi Naga Hitam.
"Tapi tidak seorang pun yang tahu Dewi Naga Hitam. Juga
Rangga sendiri, dia tidak tahu apa-apa tentang keluargaku, dan semua orang di
Karang Setra. Aku tidak ingin membuat Rangga malu di depan rakyatnya sendiri.
Kau tahu, Dewi Naga Hitam. Cinta suci yang sejati tidak harus bersatu dan
berani berkorban untuk kebahagiaan yang dicintainya. Aku pun rela berkorban
asalkan Rangga bahagia," kata Pandan Wangi.
"Kau terlalu larut terbawa emosi, Pandan," Dewi
Naga Hitam menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak, aku telah memikirkannya dalam beberapa hari
terakhir ini. Setelah aku tahu, bahwa Rangga telah nenjadi seorang raja."
"Sungguh?"
"Ya!"
"Kau tidak perlu berdusta. Pandan. Aku bisa menangkap
nada dusta dalam getar suaramu. Kau merasa kecewa, dan semuanya kau limpahkan
pada Partai Tengkorak. Kau seorang pendekar, Pandan. Tapi tindakanmu sekarang
ini tidak mencerminkan takaran jiwa seorang pendekar."
"Dewi...!"
"Akuilah dengan jujur, Pandan. Tidak ada gunanya kau
berdusta padaku," sergah Dewi Naga Hitam cepat.
Pandan Wangi menundukkan wajahnya. Dia benar-benar tidak
tahu lagi, apa yang dilakukannya. Perasaannya jadi tidak menentu, otaknya juga
serasa beku, tidak mau lagi untuk berpikir jernih. Pandan Wangi merasa
dihadapkan pada satu pilihan yang amat sulit. Hati kecilnya menjerit karena
tidak mampu lagi memendam rasa cintanya pada Rangga, sementara dari sudut
lainnya dia tidak ingin membuat Pendekar Rajawali Sakti malu di depan
rakyatnya. Semua orang di Karang Setra pasti akan menentang hubungan ini.
Meskipun dia keturunan pendekar golongan putih ternama, tapi tidak ada seorang
pun yang tahu.
"Sudah larut malam, Pandan. Tidurlah, kau masih harus
menghadapi banyak rintangan. Ketua Partai Tengkorak menghargai kepalamu dengan
seribu keping uang emas. Dan aku sudah melihat, banyak tokoh-tokoh sakti dari
rimba persilatan telah berdatangan ke Hutan Jati Jarak ini," kata Dewi
Naga Hitam.
"Iya, aku sudah tahu," desah Pandan Wangi.
"Dan kau tidak akan mampu menghadapi mereka, kecuali
kau bergabung dengan Rangga!"
"Tidurlah, aku akan menjagamu," terdengar suara
Dewi Naga Hitam.
"Terima kasih," bisik Pandan Wangi.
********************
Emoticon