Siluman Ular Putih 3 - Sumur Kematian(2)


Pekarangan Terlarang kembali dicekam se-
pi. Para undangan telah mohon pamit. Sementara 
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih sudah 
kembali ke perguruan. Kini yang ada hanyalah 
tinggal dua buah pohon asam tua berusia ratusan 
tahun yang tumbuh rindang, laksana dua raksasa 
kembar penjaga Sumur Kematian yang menyim-
pan sejuta teka-teki. 
Sementara itu, di pinggiran Pekarangan 
Terlarang, nampak empat pemuda murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih tengah berdiri mematung 
tak jauh, menjaga sebuah bangunan tembok. Me-
reka sama-sama mengenakan pakaian warna pu-
tih-putih. Di kepala masing-masing melingkar pi-
ta kuning, pertanda kedudukan mereka sudah 
mencapai tingkat menengah di Perguruan Kelela-
war Putih. 
Pandangan empat pemuda itu beredar ke 
sekeliling. Dan setiap kali memandang ke arah 
Sumur Kematian, jantung mereka berdebar keras. 
Ada perasaan ngeri di hati mereka bila mengingat 
korban yang jatuh akibat Sumur Kematian. 
Tiba-tiba  sesosok bayangan putih-putih 
berkelebat cepat melompati pagar tembok bangu-
nan besar itu. Gerakannya ringan sekali seperti 
kapas tertiup angin. Dalam sekejap saja, bayan-
gan itu sudah sampai di depan bangunan yang di-
jaga empat murid Perguruan Kelelawar Putih. 
Melihat siapa yang datang, keempat orang 
murid berpita kuning itu langsung menjura hor-
mat. 
"Maaf, Nona Aryani. Ada keperluan apa da-
tang kemari?" tanya salah seorang murid itu den-
gan suara tegas. 
Sosok yang ternyata Aryani bersungut-
sungut. 
"Aku ingin bertemu Ayah. Ibu yang menyu-
ruhku datang kemari," sahut gadis itu berdusta. 
"Tapi, Guru sudah memberi perintah pada 
kami. Siapa pun juga tidak boleh mengganggu ke-
tenangannya." 
"Apa termasuk aku?" pancing Aryani gusar. 
"Sekali lagi kukatakan, siapa pun tidak bo-
leh mengganggu Guru. Biarpun istri Guru sekali-
pun!" 
"Keparat! Pokoknya aku harus bertemu 
Ayah sekarang juga!" bentak Aryani galak. 
Sehabis membentak begitu, Aryani bersiap 
menerjang ke depan. Namun baru saja akan ber-
gerak.... 
"Aryani! Siapa yang menyuruhmu datang 
ke sini?!" 
Mendadak terdengar bentakan keras 
menggelegar. Begitu kerasnya, membuat gadis itu 
berjingkat dengan pandangan tertuju ke arah pin-
tu bangunan, tempat asal suara. 
Di depan pintu bangunan tembok batu itu 
berdiri satu sosok tubuh tinggi besar berpakaian 
serba hitam. Ia tak lain dari Kelelawar Hutan, 
ayah Aryani sendiri. 
"Eh...! Aku.... Aku tidak ada yang menyu-
ruh, Ayah. Aku..., aku ingin bertemu dengan-
mu...," jawab Aryani gelagapan.  
Kelelawar Hutan mengerutkan keningnya 
dalam-dalam. Matanya yang merah terus meman-
dangi putrinya tak berkedip.  
"Apa kau tidak mendengar peringatan 
keempat orang muridku, Aryani?!" tukas Kelela-
war Hutan, dingin.     
"Sudah, Ayah"  
"Lantas, mengapa tidak cepat-cepat enyah 
dari hadapanku?!"   
Aryani menggigit bibirnya dengan perasaan 
kelu. Rasa-rasanya baru kali ini ia melihat tam-
pang seram ayahnya yang biasanya bersikap lem-
but. Entah mengapa ayahnya beberapa hari ini te-
lah berubah sikapnya. Terutama sejak diadakan-
nya sayembara berdarah itu. Belum lagi dengan 
kata-kata kasarnya tadi. Diam-diam gadis ini 
membenarkan ucapan ibunya tadi.  
"Nanti, Ayah. Aku ada beberapa pertanyaan 
yang harus dijawab," tolak Aryani membandel. 
Kerutan di kening Kelelawar Hutan makin 
tajam. Kedua pelipisnya pun turut bergerak-gerak 
saking gusarnya. 
"Anak Setan! Apa kau tidak tahu apa yang 
sedang Ayah lakukan?" bentak Kelelawar Hutan 
garang. 
Bukan main kagetnya hati Aryani menden-
gar bentakan ayahnya barusan. Ia tidak me-
nyangka akan dimaki dengan sebutan 'Anak Se-
tan'. Dan karena saking kagetnya, matanya sam-
pai terbelalak liar, seolah tak mempercayai pen-
dengarannya barusan. 
"Maaf Ayah! Bukan maksudku menggang-
gu. Tapi..., tapi ketahuilah! Setelah memeriksa 
mayat Kakang Jalu, Kakang Suro, Kakang Simo, 
dan Kakang Permadi, aku dapat menyimpulkan 
kalau mereka terkena cakaran dan cengkeraman 
jurus-jurus sakti 'Cengkeraman Maut Kelelawar 
Sakti' dan 'Cakar Maut Kelelawar Hutan' dari per-
guruan kita," tegas si gadis, berani 
Kelelawar Hutan mendengus sinis. Diam-
diam hatinya gusar sekali, karena tidak me-
nyangka kalau putrinya mengetahui jurus-jurus 
maut simpanannya yang tidak pernah diajarkan-
nya kepada murid-muridnya. Kendati belum ditu-
runkan, namun Aryani tahu nama jurus-jurus itu 
dari ayahnya. 
"Bagus kalau kau sudah mengetahui itu 
semua! Berarti, kau pun telah menemukan Gua 
Kematian di tepi barat lereng Gunung Sumbing. 
Dan kalau kau sudah mengetahui, lantas mau 
apa he?!" desis Kelelawar Hutan,  
"Aku ingin tahu, siapa orang yang telah 
menebarkan maut di perguruan kita ini, Ayah." 
"Kau ingin bertanya padaku?"  tanya Kele-
lawar Hutan dengan wajah dingin.  
"Betul, Ayah!" 
Kelelawar Hutan tertawa terbahak-bahak. 
Matanya yang merah sebentar memperhatikan 
putrinya tajam. Sebentar kemudian, pandangan 
matanya dialihkan ke angkasa sambil tetap terta-
wa. 
"Kalau kukatakan aku tidak tahu, apa kau 
puas?" Kelelawar Hutan balik bertanya. 
"Jadi, Ayah tidak tahu?" tukas Aryani  
"Ya." 
"Mustahil!" tukas Aryani makin berani. 
Kelelawar Hutan mendelik murka. 
"Kau mau tanya aku, atau mau menggu-
ruiku, he?! Lekas tinggalkan tempat ini!" hardik-
nya kasar. 
"Aku tidak akan meninggalkan tempat ini 
kalau Ayah belum memberi tahu siapa orang yang 
telah menebar maut di perguruan kita!" teriak 
Aryani, kalap. 
"Dasar Anak Setan! Jangan salahkan kalau 
ayahmu harus menghajarmu. Bahkan mencabut 
nyawa busukmu, Bocah!" bentak Kelelawar Hutan 
murka. Saat itu juga, Ketua Perguruan Kelelawar 
Putih melompat ke depan. Begitu mendarat tu-
buhnya yang tinggi besar sedikit didoyongkan ke 
depan. Sementara kedua telapak tangannya dis-
entakkan ke depan. 
Aryani cepat melompat ke samping kiri, 
menghindari serangan Kelelawar Hutan. Namun 
dugaannya meleset. Karena Kelelawar Hutan tiba-
tiba memutar tubuhnya. Kaki kanannya siap 
menghantam tubuh anak tunggalnya. 
"Hiaaa...!" 
Seketika itu juga, Aryani mempercepat lon-
catannya. Namun lagi-lagi Kelelawar Hutan men-
gejarnya dengan kecepatan luar biasa. Tubuhnya 
terus berputar-putar melepas tendangan. 
Si gadis terperangah. Apalagi saat merasa-
kan deru angin keras. Dan tahu-tahu ia melihat 
tendangan ayahnya telah di depan mata! Tidak 
ada pilihan lain bagi Aryani kecuali harus me-
nyentakkan kedua tangannya, menghadang ten-
dangan. Namun ternyata tendangan kaki itu lebih 
cepat datangnya. Akibatnya.... 
Bukkk! 
"Aaakh...!"  
Aryani terpekik keras. Tubuhnya ter-
huyung-huyung sampai lima langkah ke bela-
kang. Untungnya tubuhnya masih sempat dis-
orongkan ke samping, hingga tendangan itu 
hanya menghantam pahanya. Kain bagian pa-
hanya robek. Sementara kulit paha di baliknya 
membiru. Gadis cantik ini merasakan pahanya 
seakan remuk. Seketika itu juga wajahnya pucat 
pasi. Bibirnya bergetar-getar. Sungguh tidak dis-
angka kalau ayahnya benar-benar akan menye-
rang demikian hebatnya. 

Dalam keadaan murka seperti itu, Kelela-
war Hutan geram bukan main. Ia tidak puas den-
gan hasil serangan pertamanya tadi. Kini tubuh-
nya kembali cepat melesat ke depan. Kedua tan-
gannya dihantamkan sekaligus ke arah Aryani!  
Wuttt...! 
Aryani mencoba mengangkat kedua tan-
gannya hendak menangkis pukulan Kelelawar 
Hutan. Karena disadari, tak mungkin serangan 
ayahnya dihindari. Akibatnya.... 
Prakkk! Prakkk!  
"Aaa...!" 
Terdengar bunyi dua pasang beradu di 
udara. 
Aryani memekik setinggi langit. Kedua tan-
gannya terasa remuk dan ngilu bukan main. Na-
mun rupanya serangan-serangan Kelelawar Hu-
tan tidak hanya sampai di sini. Begitu melihat pu-
trinya memekik, kaki kanannya cepat diangkat. 
Bukan main hebatnya serangan Kelelawar 
Hutan kali ini. Belum sempat tendangannya ber-
sarang terlebih dahulu angin berkesiur kencang 
telah melesat lebih dulu. 
Aryani terperangah. Tak mungkin serangan 
ayahnya dihindari. Apalagi dalam jarak demikian 
dekatnya. Namun.... 
"Tunggu, Mandra!" bentak seseorang ga-
rang. Bersamaan dengan itu, melesat angin dingin 
ke arah tubuh Kelelawar Hutan. 
Kelelawar Hutan mendengus. Dan secepat 
kilat dipapakinya serangan yang datang ke arah-
nya dengan kedua tangan menghentak. Sementa-
ra kaki kanannya, tetap diteruskan menyerang 
Aryani!  
Dukkk! Dukkk! Buukk!  
"Augh...!" 
Aryani memekik tertahan. Seketika tubuh-
nya terpelanting bagai layang-layang putus ta-
linya, berputar-putar sebentar dan jatuh bergede-
buk di tanah. Pingsan dengan mulut dan hidung 
mengeluarkan darah segar. 
"Aryani..!" pekik sesosok bayangan putih-
putih telah berkelebat ke arah gadis itu. Lalu di-
periksanya tubuh Aryani yang terkapar tak sa-
darkan diri itu seksama. 
"Keparat kau, Mandra! Kau boleh melukai-
ku. Tapi, tidak dengan putri ku!" bentak sosok 
yang tak lain Bidadari Putih garang. 
Sehabis berkata begitu perempuan berpa-
kaian putih-putih itu berdiri dan meloncat ke de-
pan. Tubuhnya sedikit didoyongkan ke depan 
dengan kedua tangan disentakkan ke bawah. 
Kelelawar Hutan cepat mengangkat kedua 
tangannya menyilang ke depan dada. Mengira ka-
lau perempuan yang tak lain istrinya akan me-
nyerang dengan tangan, lelaki itu merundukkan 
kepalanya sedikit. 
Namun rupanya dugaan Kelelawar Hutan 
meleset. Bidadari Putih tiba-tiba memutar kaki 
kanannya menyerang dada. 
Kelelawar Hutan geram bukan main. Kali 
ini ia tidak mau tertipu cepat badannya dirunduk 
hingga hampir menyentuh tanah. Maka serangan 
istrinya pun lewat beberapa rambut di atas tu-
buhnya. 
Pada saat itu pula, tangan kanan Kelelawar 
Hutan cepat menyusup di antara gerakan kaki is-
trinya. Dan.... 
Bukkk! 
Tangan kanan Kelelawar Hutan berhasil 
menepuk paha istrinya hingga memekik tertahan. 
Keseimbangan tubuh perempuan itu sedikit 
goyah. Untungnya tubuhnya cepat diputar bebe-
rapa kali di udara, lalu mendarat tak jauh dari 
Aryani. 
"Ha ha ha...! Kau tidak mungkin dapat me-
nandingiku, Istriku. Dalam tubuhmu telah dela-
pan belas tahun bersemayam racun yang akan 
menggerogoti tubuhmu. Sebaiknya lekas urus 
anakmu itu!" 
Bidadari Putih menggeram penuh kemara-
han. Disadari, dalam tubuhnya memang menge-
ram Racun Kelelawar Putih yang sulit sekali dicari 
obat penawarnya. Dan tentu saja ini membuat ge-
rakannya lamban. Tenaga dalamnya pun berku-
rang. Terpaksa kedua tangannya yang sudah siap 
mengeluarkan tenaga dalam diurungkan. Namun 
tiba-tiba dadanya terasa nyeri sekali. Tanpa sadar 
perempuan berpakaian putih-putih itu meringis 
ngilu. Wajahnya pias. Bibirnya bergetar-getar. 
Dan ia hanya bisa memandangi suaminya dengan 
mata melotot. 
Kelelawar Hutan mendengus. 
"Seranglah aku sepuasmu, Istriku! Mung-
kin kau ingin cepat modar?!" 
Bidadari Putih mendelik gusar. Walau se-
marah apa pun, tak mungkin menyerang sua-
minya. Di samping belum tentu mampu menan-
dingi, ia pun takut kalau racun yang mengeram 
dalam  tubuhnya selama delapan belas tahun 
akan lebih cepat menggerogoti tubuhnya. Dan 
akhirnya, mati! 
"Sudahlah! Tak usah terlalu kau pikirkan! 
Pokoknya selama masih berada di sisiku, kau 
pasti masih dapat menghirup indahnya udara 
dunia lebih lama lagi. Sekarang, urus sajalah 
anakmu!" 
Sehabis berkata begitu, Kelelawar Hutan 
masuk kembali ke dalam bangunan itu. 
Bidadari Putih kini telah membopong tu-
buh Aryani. Dan tanpa menoleh lagi, kedua ka-
kinya menutul tanah. Seketika tubuhnya berkele-
bat cepat menuju Perguruan Kelelawar Putih. 
Sang raja siang saat ini merayap menuju 
puncaknya. Panas terasa mulai tidak bersahabat. 
Di bawah sebuah pohon di padang yang cukup 
luas, terlihat seorang pemuda tampan berpakaian 
rompi dan celana bersisik warna putih keperakan 
tengah asyik menyantap daging ayam bakar. Ma-
tanya mengerjap-ngerjap penuh nikmat. Mulut-
nya terus bergoyang-goyang, melumat daging di 
tangan sampai ludes. Sementara di hadapannya 
daging ayam yang dibakar terlihat mulai hangus. 
Sembari mengomel panjang pendek buru-
buru pemuda itu melemparkan tulang di tangan 
sembarangan. Dan belum sempat tangan yang 
lain memontes paha ayam bakar di hadapannya, 
mendadak.... 
"Adaaww...!" teriak seseorang dari balik 
semak. Mungkin terkena timpukan tulang ayam 
yang baru saja dilempar. 
Pemuda berambut gondrong yang tidak lain 
Soma itu makin mempertajam pendengarannya. 
Matanya yang agak biru menghunjam ke balik 
semak. 
"Sontoloyo! Siapa yang berani kurang ajar 
padaku, he?!" bentak seseorang dari balik semak. 
Belum hilang gaung suara makian orang 
itu, tiba-tiba semak belukar di samping murid 
Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar Siluman 
Ular Putih itu bergerak-gerak. Dan tahu-tahu 
berkelebat sesosok bayangan kuning, lalu menda-
rat dua tombak di depan Siluman Ular Putih. Kini 
tampak seorang lelaki tua bertubuh pendek ber-
jubah kuning yang kedodoran sampai ke tanah. 
Di tangan kanannya masih memegang tulang 
ayam yang baru saja dilemparkan Soma. 
Soma bangkit sambil memandangi sosok di 
depannya, mirip orang linglung. Bukannya Silu-
man Ular  Putih heran melihat orang itu masih 
memegangi tulang ayam yang dilemparkannya ta-
di, maupun penampilannya yang lucu dengan dua 
batang gigi kuningnya yang mancung ke depan. 
Tapi ia heran melihat kumis orang itu yang mirip 
kumis kucing! Itulah yang membuatnya melongo 
untuk beberapa saat. 
"Bocah Edan! Apa kau tidak pernah diajar-
kan ibumu tata krama, he?! Nih, kukembalikan 
tulang ayammu!" hardik orang tua pendek yang 
tidak lain Lelaki Berkumis Kucing garang. Tangan 
kanannya yang memegang tulang ayam mengibas 
ke depan.  
Wuttt...! 
Laksana senjata rahasia tulang ayam di 
tangan Lelaki Berkumis Kucing cepat melesat 
menyerang Soma. 
"Heh?!" 
Soma yang sedang melongo terkesiap. Na-
mun bukan berarti ia lengah. Secepatnya tubuh-
nya dibuang ke samping kiri. 
"Eh eh eh...! Maaf, kalau tulangku tadi 
nyasar ke kepalamu! Aku tak sengaja kok," kata 
si pemuda. 
Apa yang dikatakan Siluman Ular Putih itu 
memang benar. Tulang itu mengenai kening Lela-
ki Berkumis Kucing. Buktinya, kening lelaki tua 
pendek itu masih belepotan air liur. 
Lelaki Berkumis Kucing mengerutkan ge-
rahamnya. Matanya mendelik saking gusarnya. 
"Bocah Edan! Kau pasti begundalnya si ke-
parat Kelelawar Hutan itu! Jangan dikira aku ta-
kut menghadapimu, Bocah! Lekas bersujud di 
kakiku. Kalau tidak, biar aku yang memenggal le-
hermu!" bentak Lelaki Berkumis Kucing garang 
seraya kembali menyerang. Kesepuluh jarinya 
yang berkuku panjang bergerak mencabik-cabik 
di udara. Sedang kedua gigi kuningnya yang men-
jorok ke depan bergerak-gerak liar seperti hendak 
mencabik-cabik bangkai tikus. 
Siluman Ular Putih tersenyum geli. Entah 
mengapa, ia jadi senang sekali melihat gigi man-
cung dan kumis orang tua pendek itu. Dan begitu 
merasakan angin dingin berkesiur menyerang di-
rinya, tubuhnya cepat dimiringkan ke kiri sembari 
diam-diam mulai mengerahkan kekuatan batin-
nya. 
Lelaki Berkumis Kucing menggereng penuh 
kemarahan. Hatinya penasaran sekali melihat se-
rangan pertamanya dapat dimentahkan pemuda 
lawannya dengan mudah. Padahal tadi ia menge-
luarkan salah satu jurus andalannya yang diberi 
nama jurus 'Sakti Kucing Hutan'. 
Melihat serangan pertamanya gagal, Lelaki 
Berkumis Kucing kembali menerjang ke depan. 
Kesepuluh jarinya yang berkuku panjang semakin 
bergerak-gerak liar menyerang. 
"Giman Kuning! Mengapa kau jadi galak 
begini? Jangan galak-galak begini, ah! Ayo, lekas 
hentikan seranganmu!" bentak Soma dengan sua-
ra bergetar-getar aneh. 
Lelaki Berkumis Kucing terkesiap. Entah 
mengapa, tiba-tiba saja terasa gelombang kekua-
tan gaib yang entah dari mana datangnya menye-
rang jalan pikirannya! Seketika itu juga tubuhnya 
tergetar hebat. Kedua kaki dan tangannya yang 
sedang bergerak menyerang sulit sekali digerak-
kan. Dan akhirnya tak dapat digerakkan sama 
sekali! 
Bukan main kagetnya Lelaki Berkumis 
Kucing melihat kenyataan ini. Kedua bola ma-
tanya terbelalak liar saking herannya. 
"Kau... kau...!" ucap Lelaki Berkumis Kuc-
ing menggantung. 
Soma tertawa perlahan. Mata birunya 
mengerjap-ngerjap nakal.  
"Kau heran dengan makianku tadi, ya? 
Memang kenyataannya begitu, kok. Habis aku ha-
rus bilang apa? Gigimu kuning, mancung lagi. 
Apa itu bukan Giman Kuning namanya? Hik hik 
hik...!" ejek Soma, mengira kalau Lelaki Berkumis 
Kucing marah mendengar makiannya tadi.  
Lelaki bertubuh pendek menggereng hebat. 
Kedua pelipisnya bergerak-gerak pertanda ama-
rahnya sudah mencapai puncaknya. Lalu dengan 
kemarahan memuncak diserangnya Siluman Ular 
Putih. Namun baru saja tenaga dalamnya dike-
rahkan, tiba-tiba ia terbatuk-batuk hebat. 
"Hoek!" 
Lelaki Berkumis Kucing memuntahkan da-
rah segar akibat luka-lukanya yang belum sem-
buh sekeluarnya dari dalam Sumur Kematian! 
Soma terkesiap. Matanya terbelalak lebar 
seolah tidak percaya apa yang dilihatnya. Sebe-
narnya ia tadi sudah tahu kalau lelaki tua pendek 
di hadapannya sedang terluka dalam, tapi sung-
guh tidak disangka lukanya separah itu. 
"Ah...! Ternyata lukamu cukup parah juga, 
Orang Tua. Tadi kukira kau hanya terluka dalam 
saja. Ayo, sekarang biarkan aku mengobatimu 
dulu!" ujar Soma seraya mendekati Lelaki Berku-
mis Kucing. 
Lelaki Berkumis Kucing melotot lebar. Ke-
dua kakinya dipentangkan lebar-lebar.  Sedang 
kesepuluh jarinya telah mencabik-cabik udara 
siap keluarkan jurus-jurus mautnya. Bagaimana-
pun juga ia masih mencurigai Soma. 
"Kenapa kau marah-marah begini, Orang 
Tua? Aku bukan orang yang kau maksudkan. 
Aku hanyalah seorang pengembara yang kebetu-
lan lewat di hutan ini. Hayo, sekarang lekaslah 
merebah! Biarkan aku mengobatimu," ujar Soma 
lagi, diam-diam kembali mengerahkan kekuatan 
batinnya. 
Tubuh Lelaki Berkumis Kucing bergoyang-
goyang, tidak kuat melawan kekuatan gaib dari 
bentakan Soma tadi. Akibatnya perlahan-lahan 
tubuhnya pun melorot dan jatuh menggeloso di 
tanah! 
Melihat hal itu, Soma pun segera mendeka-
ti tubuh Lelaki Berkumis Kucing. Cepat ditotok-
nya beberapa jalan darahnya yang tersumbat. La-
lu kedua telapak tangannya ditempelkan ke 
punggung Lelaki Berkumis Kucing. Dan mulailah 
tenaga dalamnya dikerahkan. 
"Nah, sudah! Sekarang kau bangunlah dan 
ceritakan mengapa sampai kau terluka seperti 
ini!" 
Siluman Ular Putih menepuk-nepukkan 
kedua telapak tangannya, lalu duduk menggeloso 
di depan Lelaki Berkumis Kucing. 
"Terima kasih, Bocah. Sebenarnya aku tak 
sudi menerima pertolonganmu ini," ucap Lelaki 
Berkumis Kucing seraya duduk bersila berhadap-
hadapan dengan pemuda penolongnya. Kini kese-
hatannya telah pulih seperti sedia kala. 
"Apa kau bilang tadi? Kau tidak sudi kuto-
long?" sentak Soma, melotot gusar. 
"Sebenarnya, iya. Tapi, sudahlah! Seka-
rang, bukalah telingamu lebar-lebar, jika kau ter-
tarik dengan teka-teki Sumur Kematian di lereng 
sebelah barat Gunung Sumbing." 
"Baik! Baik! Aku akan mendengarkan ceri-
tamu, Orang Tua. Kedengarannya menarik seka-
li." 
Lelaki Berkumis Kucing menghela napas-
nya sebentar, lalu menceritakan kejadian yang 
menimpanya di Perguruan Kelelawar Putih. 
Soma mendengarkan dengan seksama. Se-
bagai seorang pendekar, jiwanya langsung tersen-
tak begitu mendengar cerita lelaki tua bertubuh 
pendek itu. 
"Terima kasih atas keteranganmu, Orang 
Tua. Sekarang juga aku akan menyelidiki Sumur 
Kematian yang penuh teka-teki itu. Selamat ting-
gal!" kata Soma. Seketika kedua kakinya menjejak 
tanah, lalu berkelebat ke arah timur. 
Sebaliknya Lelaki Berkumis Kucing sendiri 
pun segera berkelebat ke arah barat, untuk men-
cari musuh bebuyutannya. Cantrik Tudung Pan-
dan! 
Matahari sudah lama tenggelam di kaki 
langit sebelah barat. Sementara awan hitam ber-
gerombol-gerombol, memenuhi angkasa raya 
hingga tampak semakin pekat. Kerlipan berjuta 
bintang dan terangnya sinar rembulan tak kuasa 
menembusnya, membuat suasana alam mayapa-
da ini semakin mencekam. 
Di lereng sebelah barat Gunung Sumbing, 
satu sosok bayangan putih-putih tengah mengen-
dap-endap di atas tembok Pekarangan Terlarang. 
Setelah merasa aman, sosok ini pun cepat berke-
lebat ke arah Sumur Kematian. Sesampainya di 
sana ia celingukan ke sana kemari sebentar. 
Layaknya seorang maling yang takut dike-
tahui orang, buru-buru sosok bayangan putih-
putih ini mengeluarkan sebuah bungkusan dari 
balik pakaian dan segera menceplungkannya ke 
dalam Sumur Kematian. Namun belum juga tu-
buhnya berbalik, mendadak.... 
"Ibu...! Apa yang Ibu lakukan di sini?"  
Sosok yang tak lain Bidadari Putih ini ter-
kesiap kaget mendengar suara halus dari bela-
kangnya. Buru-buru kepalanya dipalingkan. 
Tampak satu bayangan putih tengah berkelebat 
cepat ke arahnya. Dan sebentar saja sosok ini te-
lah tiba di depan Bidadari Putih. 
"Kenapa kau menyusulku kemari, Aryani?" 
tanya perempuan berpakaian putih-putih itu, pa-
da sosok yang ternyata Aryani. 
"Tadi kulihat Ibu tengah berlari kencang 
menuju kemari. Aku khawatir sekali akan kese-
lamatanmu. Makanya aku menyusul kemari, Bu," 
jawab Aryani, jujur. 
Sejenak si gadis memperhatikan wajah 
ibunya heran. Lalu kepalanya melongok ke dalam 
lubang Sumur Kematian. 
"Apa yang tadi Ibu lemparkan tadi?" tanya 
Aryani heran. 
Perempuan berpakaian putih-putih tak 
menjawab pertanyaan putrinya. Ia hanya menghe-
la napasnya resah, sambil melangkah pelan-
pelan.  
"Mari kita pulang, Anakku!"  
"Tunggu, Ibu! Ibu belum menjawab perta-
nyaanku." Aryani cepat menangkap lengan ibunya 
hingga berhenti melangkah. Matanya menatap ta-
jam Bidadari Putih. 
Perempuan berusia sekitar empat puluh 
tahun itu tampak gelisah. Sebentar matanya me-
mandang putrinya, sebentar kemudian beralih ke 
arah Sumur Kematian. 
"Kenapa Ibu kelihatannya takut sekali? Apa 
yang Ibu takutkan? Katakanlah padaku, Bu!" 
Bidadari Putih menggeleng-gelengkan ke-
palanya dengan bibir bergetar. Kembali kakinya 
melangkah. Kali ini agak cepat. 
"Ibu... Ibu tidak berani. Ibu sudah bersum-
pah...," keluh Bidadari Putih. 
"Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak berani 
mengatakannya padaku?" desak Aryani mengejar. 
"Jangan paksa Ibu, Anakku! Ibu...Ibu tidak 
berani...." 
"Katakanlah, Bu! Barangkali saja keteran-
gan Ibu dapat berguna untuk melacak orang yang 
telah membantai murid-murid perguruan kita!" 
desak Aryani 
Bidadari Putih kembali menggeleng-geleng. 
"Tidak, Anakku! Tidak...!" 
Aryani melongo, tak percaya kalau ibunya 
tetap tidak mau bicara. Namun belum sempat 
membuka mulutnya.... 
"Dasar perempuan-perempuan setan! Siapa 
suruh kalian mendekati Sumur Kematian, heh?!" 
Tiba-tiba saja anak beranak itu dikejutkan 
bentakkan kasar dari seseorang. 
"Celaka!" keluh perempuan berpakaian pu-
tih-putih gelisah, begitu mengenali siapa sosok 
yang kini telah tegak di hadapan mereka. 
*** 
Orang yang barusan membentak adalah 
seorang lelaki bertubuh tinggi besar dengan pa-
kaian warna putih-putih. Rambutnya panjang. Di 
kepalanya tampak melingkar ikat kepala juga 
warna hitam. Kumisnya lebat. Demikian pula 
cambang dan jenggotnya. Sepasang matanya ta-
jam seperti serigala. Dan kini sepasang mata itu 
berkilat-kilat penuh kemarahan. Dialah Kelelawar 
Hutan! 
"Mandra...!" desah Bidadari  Putih ketaku-
tan. Aryani yang melihat perubahan sikap ibunya 
jadi gelisah sekali. Sejak peristiwa di bangunan 
besar dekat Pekarangan Terlarang kemarin siang, 
gadis ini jadi benci sekali kepada ayahnya. Apala-
gi ia hampir saja celaka di tangan orang yang ber-
gelar Kelelawar Hutan itu. Maka begitu melihat 
ayahnya berlaku kasar terhadap ibunya, pera-
saannya tidak dapat dikendalikan lagi. 
"Ayah...! Sebenarnya ada urusan apa di ba-
lik ini semua, sehingga sudah hampir dua minggu 
Ayah berlaku kasar begini terhadap Ibu?! Apa, 
Ayah?!" teriak Aryani lantang, seraya menghampi-
ri Mandra alias Kelelawar Hutan hingga bergerak 
setengah tombak. 
"Tutup mulutmu, Aryani! Ini bukan uru-
sanmu!" hardik Kelelawar Hutan, garang. 
"Tidak, Ayah! Selama Ayah belum menceri-
takan semua urusan ini padaku, aku tidak akan 
tinggal diam! Aku akan terus mencari siapa biang 
keladi di balik semua peristiwa ini." 
"Keparat! Kau lancang sekali, Bocah! Apa 
kau belum kapok dengan kejadian kemarin siang, 
he?!" 
"Biar Ayah membunuhku sekalipun, aku 
tidak akan pernah merasa kapok! Aku harus 
mencari siapa yang telah menebar maut di pergu-
ruan kita, Ayah!" tandas Aryani, berani. 
"Anjing kurap! Jangan salahkan aku kalau 
terpaksa aku membunuhmu, Bocah!" bentak Ke-
lelawar Hutan garang seraya mengibaskan tangan 
kanannya  dengan gerakkan sulit sekali diikuti 
pandangan mata.  
Plakkk! Plakkk! 
Bidadari kecil terhuyung-huyung beberapa 
langkah ke belakang mendapat tamparan seba-
nyak dua kali. Pipinya yang terkena tamparan ba-
rusan terasa nyeri bukan main. 
Kelelawar Hutan menggeram penuh kema-
rahan. Belum puas rasanya ia menghajar anak-
nya yang dianggap telah lancang mencampuri 
urusannya. Maka dengan kedua tangan terkem-
bang seperti sayap kelelawar, cepat diterjangnya 
gadis itu. 
Aryani yang sedang terhuyung-huyung 
hanya bisa membelalakkan matanya lebar. Sulit 
sekali rasanya menghindari serangan ayahnya 
kali ini. Namun belum sempat berpikir bagaimana 
harus mengatasi serangan, tahu-tahu di hada-
pannya berkelebat bayangan putih yang langsung 
menghadang serangan Kelelawar Hutan! 
Wesss! 
Prakkk! 
Terdengar benturan keras di udara disertai 
pekikan keras. Tubuh perempuan berpakaian pu-
tih-putih yang memapaki serangan Kelelawar Hu-
tan limbung ke kiri. Tangannya yang tadi buat 
memapak terasa remuk. Namun tanpa menghi-
raukan lukanya, kembali dihadangnya serangan-
serangan Kelelawar Hutan yang terus ditujukan 
pada Aryani! 
"Tunggu, Mandra! Sekali lagi kau berani 
menyentuh anakku, demi Tuhan aku akan men-
gadu nyawa denganmu!" bentak Bidadari Putih 
garang. 
Kelelawar Hutan terpaksa menghentikan 
serangannya. Parasnya yang kasar menegang. 
Kedua pelipisnya bergerak-gerak, pertanda se-
dang dilanda amarah menggelegak. 
"Baik, Surtini! Sekali ini aku masih men-
gampuni nyawa anakmu. Tapi tidak untuk yang 
kedua kalinya!" dengus Mandra, menyebut nama 
asli istrinya. 
"Apa pun  ancamanmu, aku tetap akan 
membela anak kandungku, Mandra! Walau aku 
harus mati di tanganmu," desis Surtini, dingin. 
Kelelawar Hutan mendengus kembali. Ma-
tanya yang tajam berkilat liar pandangi Aryani. 
"Kalau saja aku. tidak memandang muka 
ibumu, sudah kulumat habis tubuhmu, Bocah!" 
dengusnya. 
"Siapa takut dengan ancamanmu, Orang 
Tua?!" sahut Aryani tak lagi memanggil Kelelawar 
Hutan dengan sebutan 'Ayah'. 
"Kau tidak lagi menyebutku ayah, Bocah?!" 
"Tidak ada gunanya menyebutmu ayah, 
Orang Tua. Malah mulai saat ini aku mulai me-
nyangsikanmu kalau kau ayah kandungku!" tegas 
Aryani berani. 
"Apa kau bilang, Bocah?!" hardik Kelelawar 
Hutan murka. Kedua tangannya kembali terang-
kat tinggi-tinggi, siap menyerang Aryani. 
"Hentikan seranganmu, Mandra!" bentak 
Bidadari Putih seraya maju selangkah melindungi 
putrinya. 
"Keparat, kalian! Ibu dan anak sama saja! 
Cepat kalian enyah dari hadapanku sebelum piki-
ranku berubah!" bentak Mandra penuh kemara-
han. 
Surtini cepat menyambar lengan putrinya. 
Dan dalam sekali hentakan saja, tahu-tahu anak 
beranak itu telah melesat ke depan, dan menghi-
lang di balik tembok Pekarangan Terlarang. 
Kelelawar Hutan memperhatikan kepergian 
anak beranak itu dengan wajah garang. Lalu en-
tah kenapa, tiba-tiba pandangannya ditujukan ke 
arah Sumur Kematian. 
"Sayang sekali kau tidak mau bicara den-
ganku...," gumam Kelelawar Hutan entah dituju-
kan kepada siapa. 
Dan setelah berkata begitu, Kelelawar Hu-
tan segera menutulkan kedua kakinya ke tanah, 
lalu cepat berkelebat menuju ke Perguruan Kele-
lawar Putin. 
*** 
"Kenapa Ayah bersikap aneh begitu, Bu? 
Mengapa tega hendak membunuhku?" tangis 
Aryani di ruang utama perguruan. 
Surtini memeluk putrinya erat. Tak sepa-
tah kata pun terucap dari bibirnya yang bergetar. 
Hanya pandangannya dialihkan ke beberapa mu-
rid di ruang ini. Dengan tarikan dagunya ia men-
gisyaratkan agar mereka pergi. 
Empat orang murid yang tegak di ruang 
utama itu menjura hormat sebentar, lalu keluar. 
"Kenapa Ibu diam saja?" desak Aryani me-
melas.  
"Sudahlah, Aryani! Jangan cengeng! Kau 
nanti akan tahu sendiri, siapa ayahmu," ujar pe-
rempuan berpakaian putih-putih ini gusar. 
"Jadi dia bukan ayahku, Bu?" 
"Aku tidak mengatakannya demikian!" 
"Tapi...." 
"Sudahlah! Jangan paksakan ibumu, Arya-
ni! Sekarang tidurlah!" tukas Bidadari Putih. 
Sehabis berkata begitu, Surtini segera 
membimbing Aryani masuk ke dalam kamar. 
*** 
"Mandra! Kau boleh memperlakukan aku 
dan Kakang Bagaskara sesuka hatimu. Tapi, demi 
Tuhan! Sekali lagi kau ganggu Aryani, aku akan 
mengadu jiwa denganmu!" teriak Bidadari Putih 
begitu Kelelawar Hutan muncul di kamarnya. 
"Heh! Kau pikir gampang mengalahkanku, 
he?! Biar tua bangka Bagaskara itu kemari, tak 
bakalan sanggup menghadapi ilmu 'Tabir Kegela-
pan'-ku!" 
"Keparat kau, Mandra! Watakmu telah jauh 
berubah setelah menganut ilmu sesat itu! Tunggu 
pembalasanku nanti!" teriak Bidadari Putih panik. 
Kelelawar Hutan tertawa bergelak-gelak. 
Kepalanya didongakkan ke langit-langit kamar. 
"Jangan mimpi, Surtini! Tak ada seorang 
pun di dunia ini yang mampu mengusir Racun 
Kelelawar Putihku dari dalam tubuhmu selain 
aku. Untung saja aku masih sedikit menaruh iba 
padamu. Kalau tidak, jangan harap dapat meng-
hirup udara alam mayapada ini, he?!" 
"Manusia laknat kau telah sesat, Mandra!" 
geram Bidadari Putih penuh kemarahan. Tubuh-
nya yang tinggi kurus itu cepat mencelat ke uda-
ra. Kedua tangannya terkembang seperti sayap 
kelelawar, siap menembus ubun-ubun Kelelawar 
Hutan. 
Mandra cepat memiringkan tubuhnya sedi-
kit ke samping menghindari serangan. Dan begitu 
angin dingin berkesiur beberapa rambut di sisi 
tubuhnya, Kelelawar Hutan cepat menggerakkan 
tangan kanannya, menyamplok pinggang Bidadari 
Putih 
Dukkk! 
Tubuh tinggi kurus Bidadari Putih kontan 
terlempar ke samping, membentur dinding dan ja-
tuh ke tanah. Wajahnya semakin pucat pasi. Mu-
lutnya meringis menahan nyeri pada pinggangnya 
yang terkena pukulan tangan Kelelawar Hutan. 
"Ha ha ha...! Semakin kau sering mengelu-
arkan  tenaga dalam, semakin cepat pula Racun 
Kelelawar Putihku menggerogoti tubuh kurusmu, 
Surtini. Mungkin dalam dua tiga tahun lagi racun 
itu akan bekerja lebih hebat lagi. Tunggu dan ra-
sakan saja saat datangnya tiba itu, Surtini!" 
"Manusia laknat! Aku akan mengadu jiwa 
denganmu!" geram Bidadari Putih dengan kema-
rahan membuncah. Tubuhnya yang tinggi kurus 
kembali menerjang Kelelawar Hutan kalap. 
Namun sayangnya, Mandra sudah berkele-
bat keluar dari kamarnya. Di samping itu, tiba-
tiba saja Bidadari Putih merasakan dadanya se-
sak sekali. 
"Hoeeekh...!" 
Darah segar berwarna merah kehitaman 
keluar dari mulut Surtini, dan berhamburan di 
lantai kamar. Tubuhnya gemetar. Wajahnya pucat 
pasi. Bibirnya bergetar-getar, pertanda Racun Ke-
lelawar Putih yang mengeram dalam tubuhnya 
hampir delapan belas tahun lebih, kembali meng-
gerogoti tulang-tulang dalam tubuhnya hebat. 
Bidadari Putih mengeluh pendek. Matanya 
terpejam rapat-rapat menahan nyeri. Cepat diam-
bilnya sikap semadi. Lalu ditariknya napasnya 
dalam-dalam. Sebentar kemudian perempuan ini 
sudah tenggelam dalam semadi. 
Aryani yang sudah bangun pagi-pagi berge-
gas ke kamar ibunya. Kali ini ia bertekad akan 
memaksa ibunya untuk bicara. Tapi apa yang di-
ketemukannya? Ternyata kamar itu kosong. En-
tah ke mana ibunya pergi. 
Aryani jadi melongo. Satu perasaan cemas 
tiba-tiba menyeruak dalam benaknya. Hatinya 
berdebar-debar keras. Hampir saja ia menangis, 
kalau matanya yang indah tidak menangkap se-
suatu di atas meja rias ibunya. Buru-buru dide-
katinya meja itu. Ternyata sebuah surat. Cepat 
disambarnya kertas surat itu, dan dibacanya. 
Untuk anakku: Aryani 
Sudah saatnya Ibu meninggalkanmu, Anak-
ku. Ibu tidak kuat lagi menanggung penderitaan 
ini.  Ibu akan mencari seseorang yang barangkali 
dapat mengeluarkan racun yang selama ini menge-
ram dalam tubuh ibumu. Selamat tinggal, Anakku! 
Jagalah dirimu baik-baik! 
Dari ibumu 
Seketika itu juga mata Aryani jadi berku-
nang-kunang. Kepalanya seperti terkena pukulan 
benda keras. Dipandanginya kertas surat itu den-
gan tangan bergetar. Mendadak ditemukannya 
kejanggalan. Surat itu seperti ditulis terburu-
buru. Terlihat tintanya masih basah. Dan berarti, 
ibunya belum lama meninggalkan kamar. 
Tanpa pikir panjang lagi, Aryani segera ber-
lari keluar dari dalam kamar ibunya. Dalam bebe-
rapa kali loncatan saja, gadis itu sudah berada di 
luar. 
"Ibuuu...! Kau berada di mana?!" teriak 
Aryani. 
Tidak ada jawaban. Aryani terus mengu-
langi teriakannya keras-keras. Tetap saja tidak 
ada jawaban. Hal ini membuatnya penasaran se-
kali. Kedua telapak kakinya segera menjejak. Ma-
ka dalam beberapa saat kemudian, gadis berpa-
kaian putih-putih itu telah melesat jauh mening-
galkan Perguruan Kelelawar Putih. 
Mendadak mata Aryani sudah menjadi ber-
sinar terang. Dilihatnya satu bayangan putih ten-
gah berlari kencang, menuruni Lembah Klidung 
yang membentang luas di antara kaki Gunung 
Sumbing dan Gunung Sindoro. Seketika cepat di-
kerahkannya segenap ilmu meringankan tubuh 
untuk mengejar bayangan putih di kejauhan sa-
na. 
Sebentar saja Aryani sudah sampai di tem-
pat bayangan putih tadi berada. Namun bayangan 
putih tadi juga tidak tinggal diam. Kini ia sudah 
tidak berada di tempatnya. 
Aryani kembali menggenjot tubuhnya, lalu 
bergerak cepat mengejar bayangan putih tadi. Se-
bentar saja ia telah melihat samar-samar bayan-
gan putih-putih yang diyakini ibunya. 
"Ibu...! Tunggu...!" teriak si gadis. 
Aryani cepat menambah kecepatan larinya. 
Begitu mendengar teriakan tadi, bayangan putih-
putih itu segera berhenti. Badannya berbalik den-
gan sikap menunggu. Dan sebentar saja, Aryani 
sudah sampai, langsung menjatuhkan diri dalam 
pelukan bayangan putih yang memang ibunya 
sambil menangis sesenggukan. 
Namun mendadak Aryani merasakan tu-
buh ibunya bergetar. Cepat dilepaskannya pelu-
kan, lalu melangkah mundur beberapa tindak. Di-
lihatnya, ibunya tengah memandangi dirinya den-
gan air mata bercucuran. 
"Ibu...! Kenapa Ibu meninggalkan aku tan-
pa pamit?!" tanya Aryani, penuh tuntutan. 
"Maafkan ibumu, Nak! Ibumu tidak tahan 
dengan semua penderitaan ini Ibu ingin mencari 
seseorang agar mau menolong. Sekarang juga. 
Bukankah kau sudah membaca surat Ibu?" 
Aryani menangkap kata-kata ibunya seper-
ti memastikan akan kepergiannya. Dan seketika 
ia pun kembali menangis tersedu. 
"Mengapa kau tidak  mengajakku?" tanya 
Aryani dengan suara bergetar. 
Bidadari Putih tidak menyahuti ucapan pu-
trinya. Hanya dipandanginya putrinya sebentar. 
Dan tanpa banyak cakap lagi, kedua kakinya te-
lah menjejak tanah, dan cepat melesat pergi. 
"Kau mempunyai masa depan yang pan-
jang, Aryani. Pergunakanlah kesempatan itu baik-
baik, Anakku! Selamat tinggal!" 
"Ibuuu...!" panggil Aryani dengan suara 
memilukan. 
Namun Bidadari Putih tidak mempedulikan 
panggilan putrinya lagi. Dengan mengerahkan il-
mu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai 
tingkat tinggi, tahu-tahu bayangannya telah le-
nyap di antara rimbunnya pepohonan di hutan 
depan sana. 
Aryani berdiri mematung di tempatnya. Air 
matanya terus mengucur deras membasahi pipi. 
Kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin ra-
sanya ia mengejar ibunya ke mana saja. Namun 
bila teringat ayahnya, entah mengapa hati gadis 
itu jadi panas sekali. Untuk itu, diputuskannya 
untuk kembali ke Perguruan Kelelawar Putih gu-
na melacak siapa orang yang telah menebar maut 
di perguruannya itu. 
Namun belum sempat gadis cantik berpa-
kaian putih-putih itu menggerakkan kedua ka-
kinya meninggalkan tempat itu, mendadak.... 
"Ck ck ck...! Macam-macam saja kehidu-
pan yang menyelimuti bumi mayapada ini...." 
Aryani mendadak menghentikan langkah-
nya dengan wajah terkejut ketika mendengar sua-
ra dari atas pohon. Matanya yang membelalak liar 
segera menghunjam ke arah datangnya suara. La-
lu keningnya berkerut dalam, seperti menatap he-
ran. 
*** 
Ternyata di atas pohon tak jauh dari Aryani 
berdiri, seorang pemuda tampan berpakaian rom-
pi dan celana bersisik warna putih keperakan 
tengah asyik duduk ongkang-ongkang kaki di sa-
lah satu ranting. Tampak pula rambutnya yang 
gondrong berkibar-kibar tertiup angin. Sedangkan 
mulutnya terus komat-kamit tanpa mempeduli-
kan keadaan sekitarnya. Tangan  kirinya meme-
gang beberapa untai buah jamblang hutan yang 
besar dan berwarna merah kehitaman. Buah itu-
lah yang tengah dilahapnya ketika bicara, sehing-
ga suaranya tadi terdengar seperti orang bergu-
mam. 
Kening Aryani makin berkerut dalam. Apa-
lagi ketika melihat di bawah pohon banyak berse-
rakan buah jamblang. Gadis ini jadi tidak habis 
pikir kenapa kehadiran si pemuda tidak diketa-
huinya. Dengan adanya buah jamblang yang ber-
serakan sudah membuktikan kalau pemuda itu 
sudah cukup lama berada di atas pohon. Dan 
yang membuatnya heran, mengapa telinganya tak 
dapat menangkap gerakan kaki pemuda itu, sebe-
lum berada di atas pohon?! 
"Huh! Kenapa aku harus pusing-pusing 
memikirkan kedatangannya? Bisa jadi pemuda 
sinting itu sudah lama berada di atas pohon," 
dengus Aryani dalam hati. 
Dan begitu teringat akan gerutuan pemuda 
itu tadi, Aryani pun menudingkan telunjuknya. 
"Keparat! Mengapa kau usil mencampuri 
urusanku, he?!" bentaknya, garang. 
"Eh...! Siapa yang usil? Aku hanya sedang 
merenungi kehidupan ini, kok," tangkis si pemu-
da kalem. Dia tak lain dari Soma alias Siluman 
Ular Putih. 
Sehabis berkata begitu, Soma mengelap 
mulutnya yang celemongan dengan kedua tangan. 
Lalu dilemparnya buah jamblang ke arah Aryani. 
"Tapi, sudahlah! Tak usah bersitegang be-
gini! Kulihat wajahmu pucat. Mungkin kau belum 
sarapan. Ambillah buah jamblang yang tadi ku-
lempar. Enak, kok," lanjut si pemuda. 
Gadis itu dongkol bukan main diambilnya 
buah-buah jamblang yang tadi dilemparkan pe-
muda sinting itu. Satu persatu, segera dijentik-
kannya dengan jari-jari tangan. 
"Ah...! Dalam keadaan sulit begini, ketemu 
orang gendeng lagi! Nih, makanlah buah-buah 
jamblangmu!" maki Aryani. 
Wesss! 
Wesss! 
Buah-buah jamblang itu kini melesat ke 
arah Soma. Bahkan menyerang ke beberapa arah 
jalan darah di tubuh si pemuda dengan kecepatan 
dahsyat. 
Siluman Ular Putih melotot gusar. Bukan-
nya karena melihat buah-buah jamblangnya me-
nyerang dirinya, melainkan melihat dirinya dima-
ki 'orang gendeng'. Maka, mulutnya yang masih 
penuh kunyahan-kunyahan buah jamblang sege-
ra disemburkan, memapaki serangan buah-buah 
jamblang yang dijentikkan Aryani. 
Buueerrr...! 
Seketika itu juga buah-buah jamblang yang 
dijentikkan Aryani jatuh berserakan ke tanah. 
Sedang semburan kunyahan buah jamblang So-
ma terus menerabas ke depan. 
Tapi sayang, Aryani sudah tidak berada di 
tempatnya. Sehingga semburan kunyahan buah 
jamblang Soma hanya mengenai tempat kosong 
belaka! Sedang gadis itu telah berkelebat cepat. 
"Oooi...! Tunggu...! Kau tidak boleh me-
ninggalkanku begitu saja!" 
Soma cepat menjejakkan kedua kakinya ke 
ranting pohon. Sekali berkelebat, Siluman Ular 
Putih telah melewati si gadis. Dan dengan satu 
gerakan indah, ia telah berdiri menghadang lang-
kah Aryani. 
Si gadis terpaksa menghentikan langkah-
nya. Matanya yang indah melotot gusar. 
"Apa maksudmu menghadang langkahku, 
he?!" bentak Aryani kasar. 
Soma cengar-cengir seenak perutnya. Tan-
gannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak 
gatal. 
"Ada dua hal yang membuatku menahan 
langkahmu, Cah Ayu. Pertama, kenapa kau me-
nyebutku orang gendeng?! Kedua, karena aku in-
gin meminta sedikit keterangan darimu," sahut 
Siluman Ular Putih menirukan gaya bicara Aryani 
tadi. 
"Pemuda sinting! Siapa peduli dengan oce-
hanmu?! Minggir!" bentak Aryani gusar bukan 
main. Kedua tangannya bergerak kasar mendo-
rong Soma. 
"Heit...! Tidak boleh! Tidak boleh! Kau tetap 
tidak boleh meninggalkanku begitu saja! Apalagi, 
telah memakiku tadi!" tegas Soma seraya mem-
bentangkan  kedua tangan menghadang langkah 
Aryani. 
"Kunyuk gondrong sinting! Sekali lagi tidak 
mau memberiku jalan, akan kutebas batang le-
hermu! Minggiiir...!"  
"Mana bisa?" 
Siluman Ular Putih kembali membentang-
kan kedua tangannya menghadang jalan Aryani. 
Dan didorong perasaan usilnya diam-diam kekua-
tan batinnya yang baru saja dipelajarinya dari Ra-
ja Penyihir mulai dikerahkan. 
"He he he...! Aku memang gondrong, Gadis 
galak. Tapi, aku bukan kunyuk gondrong. Kalau 
tak percaya, cobalah perhatikan aku baik-baik!" 
ujar Soma dengan suara bergetar-getar aneh, me-
nyerang jalan pikiran Aryani. 
Begitu mendengar suara yang menggema-
gema dalam pikiran, mendadak wajah Aryani jadi 
pucat pasi. Tubuhnya kontan gemetar. Apa yang 
dilihatnya saat itu sungguh membuat hatinya jadi 
ciut. Kini, rambut gondrong pemuda sinting di 
hadapannya mendadak saja telah berubah men-
jadi puluhan ekor ular yang tengah menggeliat-
geliat mengerikan dengan kepala terangkat tinggi-
tinggi!  
"Kau..., kau...." 
Sekujur tubuh si gadis mulai dibanjiri ke-
ringat dingin saking takutnya. Sedangkan Soma 
tertawa bergelak-gelak. Belum puas rasanya ia 
mengerjai gadis galak di hadapannya. 
"Ha ha ha...! Apa yang kau lihat sekarang, 
Gadis galak? Mengapa tubuhmu gemetar seperti 
itu? Ayo, lekas bangun! Itu ibumu yang tadi kau 
tangisi sudah datang!" 
Kembali terdengar suara Soma yang berge-
tar-getar aneh, menyerang jalan pikiran Aryani. 
Malah suaranya kali ini terdengar begitu meng-
gema. Dan sambil berkata begitu, telunjuk jari 
tangan si pemuda menunjuk ke batang sebuah 
pohon. 
Ajaib sekali! Batang pohon yang ditunjuk 
Siluman Ular Putih, seketika berubah menjadi se-
sosok perempuan berpakaian putih-putih yang 
tadi dikejar-kejar Aryani! 
Mata Aryani terbelalak lebar begitu melihat 
ke arah yang ditunjuk pemuda itu. Seolah-olah ia 
tak percaya dengan apa yang dilihat. Gadis itu se-
gera mengucek-ngucek kedua bola matanya. Na-
mun tetap saja apa yang dilihatnya adalah sosok 
ibunya. 
"Kenapa bengong saja, Gadis galak? Bu-
kankah itu ibumu? Tapi, kok tubuhnya semakin 
membesar? Coba deh perhatikan baik-baik!" 
Bukan main kagetnya hati gadis cantik itu. 
Apa yang dilihatnya kali ini benar-benar membuat 
hatinya makin ciut. Seperti yang dikatakan pe-
muda sinting di sampingnya, sosok tubuh Bida-
dari Putih entah mengapa perlahan-lahan menja-
di berubah sesosok raksasa putih berwajah men-
gerikan. Dua taringnya yang sebesar tanduk ker-
bau tampak berkilauan tertimpa sinar matahari. 
"Kau... kau...! Sil... siluman...!" pekik Arya-
ni penuh rasa takut. 
Dan tanpa banyak pikir lagi, gadis itu sege-
ra mengambil langkah seribu meninggalkan tem-
pat itu.  
"Hey... hey! Tunggu! Kau belum menjawab 
pertanyaan-pertanyaanku!" teriak Siluman Ular 
Putih tetap dengan suara bergetar-getar aneh me-
nyerang jalan pikiran Aryani. 
Si gadis semakin membelalakkan matanya 
liar. Entah kenapa, kedua kakinya sulit sekali di-
gerakkan. Ilmu meringankan tubuhnya dicoba 
untuk dikerahkan. Namun tetap saja sia-sia. 
"Hehehe...!Bagaimana perasaanmu kali ini, 
Gadis cantik?" tanya Siluman Ular Putih tahu-
tahu telah berdiri tegak di depan Aryani. 
Aryani semakin ketakutan. Wajahnya pias. 
Bibirnya bergetar-getar hebat. Dan saking tidak 
tahannya, tak terasa pakaian bagian bawahnya 
mulai basah! 
Siluman Ular Putih tertawa terpingkal-
pingkal. Tangan kanannya menunjuk-nunjuk pa-
kaian bawah Aryani. 
"Eh eh he...! Lihat, Gadis galak. Pakaian 
bawahmu basah. Kau... kau terkencing-kencing. 
Ha ha ha...!" 
Bukan main kagetnya hati Aryani! Ketika 
matanya melirik, pakaian bawahnya memang ba-
sah dan terasa hangat. 
Aryani kembali memandang Soma dengan 
wajah pias. Ingin rasanya ia menangis saat itu ju-
ga. Dan kalau bisa berlari sekencang-kencangnya 
meninggalkan pemuda sinting di depannya. Na-
mun sayang, kedua kakinya tak dapat digerak-
kan! 
"Oh...!" keluh gadis berpakaian putih-putih 
memelas. 
"Aduuuh...! Kasihan! Kalau aku melihatmu 
dalam keadaan seperti ini aku jadi tidak tega. Ta-
pi, sudahlah! Sekarang jawab pertanyaanku baik-
baik! Dan, jangan takut!" ujar Soma seperti biasa. 
Kini baru si gadis dapat menghela napas 
lega. Dilihatnya rambut Soma tidak lagi berupa 
puluhan ular-ular putih yang mengerikan, me-
lainkan sudah berbentuk seperti rambut biasa. 
Namun, tetap saja Aryani masih khawatir kalau 
tiba-tiba saja pemuda itu kembali mengeluarkan 
ilmu sihirnya. 
"Kau sudah siap menjawab pertanyaanku, 
Gadis galak?" tanya Siluman Ular Putih kalem. 
Senyum nakalnya nampak masih terkembang di 
bibir. 
"Sud... sudah!" jawab Aryani, bergetar sua-
ranya. 
"Hik hik hik...! Mengapa masih takut saja 
padaku? Ayo, sekarang jawab pertanyaanku! Per-
tama, sebutkan siapa namamu? Cepat!" bentak 
Soma, pura-pura galak. 
"I... iya! Na..., namaku Aryani!" jawab si ga-
dis gugup. 
"Aryani? Bagus! Satu nama yang indah, se-
suai orangnya," puji Soma seraya mengangguk-
angguk. 
Aryani tak menyahuti ucapan pemuda 
tampan di hadapannya. Hanya matanya saja yang 
terbelalak liar. 
"Sekarang jawab pertanyaanku yang ke-
dua! Apakah kau tahu, di mana letak Sumur Ke-
matian?!" lanjut Siluman Ular Putih tetap berpu-
ra-pura galak. 
"Ta... tahu. Di..., di lereng sebelah barat 
Gunung Sumbing. Te..., tepatnya di Pekarangan 
Terlarang tak jauh dari Perguruan Kelelawar Pu-
tih," jawab Aryani sedikit lebih lancar daripada 
yang pertama. 
"Ya ya ya...! Sekarang pertanyaan yang be-
rikutnya. Apakah kau juga tahu, siapa orang yang 
berjuluk Kelelawar Hutan?" 
"Di..., dia ayah kandungku!" 
"Apa?! Kelelawar Hutan ayah kandungmu?" 
sentak Siluman Ular Putih tak percaya. 
"Iya," jawab si gadis seraya mengangguk. 
"Ah...! Mungkinkah ini yang dinamakan 
pucuk dicinta ulam tiba...," desah Soma lucu. 
Entah mengapa tiba-tiba saja pemuda itu 
telah menggaruk-garuk rambut kepalanya. Pa-
dahal ia tahu, rambutnya tidak gatal. Sementara 
hidungnya cengar-cengir mirip kucing kejepit. 
Melihat tingkah pemuda di depannya, 
Aryani jadi tidak dapat menahan senyumnya. 
Namun mendadak saja sikapnya jadi tegang kem-
bali ketika.... 
"Siapa yang suruh senyum-senyum begitu, 
he?! Ayo sekarang jelaskan, apa hubungan Kele-
lawar Hutan dan Sumur Kematian yang kata 
orang menyimpan teka-teki itu! Sekalian juga je-
laskan, mengapa kau mengejar-ngejar ibumu 
yang kabur itu! Jelas!" bentak Siluman Ular Pu-
tih. 
Aryani menelan ludahnya sebentar. Seje-
nak dipandanginya pemuda itu. Dan kini ia tahu, 
sebenarnya pemuda di depannya hanya pura-
pura bersikap galak saja. Maka setelah menghela 
napas panjang-panjang, mulai diceritakannya 
tentang maut di Sumur Kematian. Juga tentang 
keanehan-keanehan sikap Kelelawar Hutan yang 
menyebabkan ibunya lari dari Perguruan Kelela-
war Putih. 
Soma mendengarkan cerita gadis cantik di 
hadapannya dengan seksama. Sesekali kepalanya 
mengangguk-angguk. 
"Yayaya...! Sekarang aku mulai samar-
samar dapat menangkap ceritamu itu. Terus te-
rang, aku agak mencurigai Kelelawar Hutan yang 
menurutmu beberapa minggu ini berkelakuan 
aneh. Tapi aku juga belum berani  mengatakan 
kalau Kelelawar Hutan itulah yang telah menebar 
maut di perguruan yang dipimpinnya. Ayo, seka-
rang antarkan aku ke gua yang kau maksudkan 
itu, Aryani! Aku ingin sekali menyelidiki keempat 
mayat kakak seperguruanmu itu."  
"Ba... baik!" 
Soma palingkan kepala ke kiri dan ke ka-
nan mencari-cari Gua Kematian yang dimaksud-
kan Aryani begitu mereka berhenti berkelebat ce-
pat. Matanya yang agak kebiruan beredar ke seki-
tar lembah yang membentang luas di depannya. 
Soma heran sekali, karena tidak menemukan gua 
yang dimaksudkan Aryani. 
"Mana gua yang kau maksudkan itu, Arya-
ni?" tanya pemuda murid Eyang Begawan Kama-
setyo bingung. 
Aryani tidak menyahut. Saat itu, gadis ini 
sedang termenung memikirkan mulut pintu gua 
yang tertutup. Bukannya bingung cara menggeser 
batu sebesar kerbau yang menutupi mulut gua, 
melainkan heran melihat mulut gua yang telah 
tertutup kembali. Karena ia yakin, kemarin siang 
belum menutupkan pintunya kembali. 
"Pasti ayahku telah menyuruh murid-
muridnya untuk menyelidiki gua ini,  begitu aku 
memberitahu kalau telah menyelidiki tempat ini. 
Dan kemungkinan besar murid-murid suruhan 
Ayah itulah yang telah menutupnya," gumam 
Aryani dalam hati. 
"Aryani! Sedang apa kau di situ? Mana gua 
yang kau maksudkan? Apa kau tidak mendengar 
ucapanku tadi, he?" teriak Siluman Ular Putih 
kesal. 
"Inilah gua yang kumaksudkan!" teriak 
Aryani jengkel. 
"Mana?" Soma melototkan matanya lebar-
lebar. 
"Ini! Yang tertutup batu ini!" 
Soma mengangguk-anggukkan kepalanya. 
"Lantas, bagaimana cara membukanya? Apa kau 
bisa membukanya, Aryani?" 
Mungkin karena masih merasa jengkel 
dengan ulah Soma tadi, si gadis hanya mem-
bungkam. Tangannya yang mungil segera meraih 
tonjolan batu kecil di samping batu sebesar ker-
bau yang menutupi mulut gua. 
Begitu tangan mungil Aryani menyentak 
turun batu kecil itu, mendadak terdengar suara 
gemuruh dari batu sebesar kerbau yang bergeser 
ke kiri. Dan kini, tampaklah mulut gua itu. Na-
mun bersamaan dengan bergesernya batu penu-
tup gua, mendadak menyeruak keluar bau amis 
yang luar biasa. 
Semula Soma melongo begitu melihat batu 
sebesar kerbau itu bergeser menampakkan mulut 
gua. Namun begitu mencium bau amis langsung 
memencet hidungnya rapat-rapat. 
"Jangkrik! Kenapa, baunya amis begini?!" 
Aryani hanya tersenyum-senyum saja. Ia 
yang sudah merasakan tajamnya bau amis yang 
menusuk hidung sudah terlebih dahulu memen-
cet hidungnya rapat-rapat. 
"Ayo, masuk!" ajak Aryani dengan suara 
sengau karena hidungnya masih dipencet rapat-
rapat. 
Dan sehabis berkata begitu, si gadis pun 
bergegas masuk ke dalam gua. 
Soma mengikutinya dari belakang. Kini ia 
tidak memencet hidungnya lagi, tapi menahan 
napas agar tidak mencium bau itu. 
Sebentar saja, mereka telah berada di da-
lam, dan bau amis mulai sedikit berkurang. Na-
mun apa yang dilihat dalam gua itu sungguh 
mengerikan. Malah Soma membelalakkan ma-
tanya tanpa mampu berkata-kata. Tumpukan-
tumpukan tengkorak manusia dan darah-darah 
merah yang mengering, mewarnai suasana dalam 
Gua Kematian. Tak jauh dari tumpukan-
tumpukan tengkorak, terlihat empat buah peti 
mati yang terbuka tutupnya. 
Soma berjalan mendekati keempat peti 
mayat itu. 
"Inikah keempat mayat kakak sepergu-
ruanmu yang kau maksudkan itu, Aryani?"  
"Iya." 
Soma memperhatikan seksama keempat 
mayat itu. Sesekali kepalanya digeleng-gelengkan 
cepat seperti orang paling ahli saja! 
"Hm...! Yang manakah pacarmu itu, Arya-
ni?" tanya Soma seraya mengangguk-angguk. 
Aryani kernyitkan jidatnya dalam-dalam. 
Sungguh tidak disangka kalau pemuda sableng di 
depannya akan bertanya demikian. 
"Aku harap, kau jangan mempermainkan 
aku!" kata Aryani ketus. 
"Ya ya ya...! Tapi kau harus katakan dulu 
dong, siapa nama pacarmu! Nanti baru kuberita-
hu siapa namaku. Barangkali saja kau dapat be-
rubah pikiran," olok Siluman Ular Putih tetap 
membandel.  
"Berubah pikiran apa?!" Aryani melotot le-
bar. Soma cengar-cengir. Sejurus matanya mem-
perhatikan gadis cantik di hadapannya dengan 
sinar mata nakal. 
"Yah...! Barangkali saja kau mau menerima 
tawaranku. Menerimaku sebagai pacarmu. He he 
he...!" 
"Sekali lagi kau mempermainkanku, aku 
akan segera pergi dari sini dan menguncinya dari 
luar!" ancam Aryani saking kesalnya. 
Entah mengapa Soma membelalakkan ma-
tanya liar. 
"Jangan! Aku tak sudi menemani mayat-
mayat busuk ini!" ujar Soma, seolah-olah ketaku-
tan. 
Mau tidak mau Aryani tersenyum. Dalam 
hatinya merasa geli sekali melihat sikap pemuda 
sinting di hadapannya. 
"Kalau begitu, cepatlah periksa keempat 
mayat ini! Katanya ingin memeriksanya?!" 
"Ya ya ya...! Tapi apa aku tidak boleh tahu, 
siapa nama mayat pemuda ini? Namaku Soma," 
kata Siluman Ular Putih kalem. 
Aryani tersenyum. Entah mengapa, ia me-
rasa dekat dengan Soma yang baru saja dikenal-
nya. Dan ini membuatnya jadi senang sekali. Seo-
lah-olah kesedihannya telah dapat dilupakan se-
telah ditinggal kekasihnya, dan juga ibunya. 
"Namanya, Kakang Jalu.... Hm... jadi kau 
sendiri bernama Soma?" kata Aryani mulai men-
gagumi pemuda tampan di hadapannya. 
"Iya. Naksir, ya?" goda Soma.  
Si gadis tersenyum malu. Kedua pipinya 
kontan memerah seperti kepiting rebus 
"Oh, ya. Tadi kau mengeluarkan ilmu apa? 
Mengapa kau tega sekali mengerjai aku seperti 
itu?" lanjut Aryani penasaran. Tadi pun si gadis 
sempat mampir ke Curug untuk membersihkan 
diri, setelah terkencing-kencing melihat kedahsya-
tan ilmu Siluman Ular Putih. Setelah pakaiannya 
kering, ia segera melanjutkan perjalanan menuju 
tempat ini bersama Siluman Ular Putih. 
"Ah... sudahlah! Aku ingin segera memerik-
sa keempat mayat seperguruanmu ini," ujar Si-
luman Ular Putih, mengalihkan pertanyaan si ga-
dis. 
Sehabis berkata begitu, Siluman Ular Putih 
langsung memeriksa keempat mayat murid-murid 
Perguruan Kelelawar Putih dengan seksama. Ter-
lihat pula sesekali kepalanya menggeleng-geleng 
heran. 
"Kau.... Kau mulai menemukan apa, So-
ma?" tanya Aryani tidak canggung lagi seperti ta-
di. Hatinya merasa penasaran melihat sikap So-
ma.  
"Hm...!" 
Soma kini mengangguk-angguk  
"Tidak banyak yang kuketahui sebenarnya. 
Aku hanya tahu kalau yang membunuh keempat 
mayat ini adalah seseorang yang berkepandaian 
tinggi sekali. Apalagi menurut keteranganmu, me-
reka adalah empat murid utama di perguruan 
ayahmu. Coba perhatikan baik-baik, Aryani! Aku 
yakin, wajah mereka pasti terkena cakaran-
cakaran maut yang mengandung racun keji. Ka-
lau tidak percaya, coba perhatikan wajah  mereka 
baik-baik. Memang wajah keempat mayat ini ti-
dak matang biru seperti terkena racun pada 
umumnya. Ini saja sudah membuktikan kalau ca-
ra kerja racun itu keji sekali, dengan menyerang 
urat-urat saraf si korban. Sayang sekali aku bu-
kan ahli racun. Sehingga, aku tidak mengetahui 
jenis racun apa yang menyerang mereka." 
Aryani menghela napasnya resah. Entah 
mengapa, tiba-tiba saja ia jadi teringat akan pen-
deritaan ibunya yang juga terkena racun keji. 
"Mungkinkah racun-racun keji yang men-
geram dalam tubuh Ibu juga digunakan untuk 
menyerang keempat mayat kakak sepergurua-
nku? Kalau iya, berarti pembunuh itu tidak lain 
adalah Kelelawar Hutan, ayah kandungku! Tapi..., 
mungkinkah ayah kandungku yang melakukan 
perbuatan  keji ini? Bisa jadi! Buktinya saja, 
ayahku tega meracuni ibuku!" gumam Aryani da-
lam hati gelisah sekali 
Si gadis lalu menatap Siluman Ular Putih 
dengan wajah penasaran.  
"Lantas..., lantas bagaimana dengan jan-
tung-jantung para korban yang hilang ini, Soma?" 
"Hm, sebentar...."    
Soma sejenak menghentikan bicaranya. 
Pandangan matanya ditujukan kembali ke arah 
dada salah seorang mayat korban yang berlu-
bang. 
"Ketahuilah, Aryani! Raja Penyihir pernah 
berkata padaku, Seseorang yang mempunyai ke-
biasaan mengambil jantung si korban dan mema-
kannya, sudah pasti memiliki satu ilmu keji. Ilmu 
sesat! Mungkin itu sebagai syarat dari ilmu yang 
dipegangnya, atau apa.... Aku tidak tahu. Yang je-
las pembunuh keji itu juga memakan jantung 
korbannya. Kalau tidak, buat apa mengambil jan-
tung korbannya?" 
"Lalu apakah kau juga masih mencurigai 
Kelelawar Hutan, ayah kandungku sebagai pem-
bunuh keji itu?" tanya Aryani mengambang. Ra-
gu-ragu dalam kecurigaannya dalam hati tadi, 
"Bisa saja aku mencurigai Kelelawar Hu-
tan. Atau kau sekalipun!" 
"Tapi Kelelawar Hutan dan aku tidak memi-
liki jurus-jurus yang mengandung hawa racun, 
Soma!" sergah Aryani.   
"Begitu?" tanya Soma tajam. "Mungkin kau 
benar tidak memiliki jurus-jurus yang mengan-
dung hawa racun. Tapi entah mengapa, aku ragu-
ragu dengan ayahmu!" 
Sejenak Aryani tersentak. Tiba-tiba ia kem-
bali diingatkan tentang racun-racun yang menge-
ram dalam tubuh ibunya. Dan ia tahu, siapa pe-
lakunya. Siapa lagi kalau bukan ayah kandung-
nya, Kelelawar Hutan?! 
"Beberapa minggu ini watak ayahku me-
mang berubah aneh. Bahkan aku sendiri hampir 
celaka di tangan ayahku. Tapi, aku rasa-rasanya 
masih ragu kalau ayah kandungkulah yang mem-
bunuhi murid-murid perguruan Kelelawar Putih. 
Untuk apa?" 
"Aku belum mencurigai ayah kandungmu 
sejauh itu, Aryani. Aku belum mempunyai alasan 
kuat." 
"Kalau begitu apa yang akan kau lakukan, 
Soma?" tanya Aryani ingin tahu. 
"Aku belum tahu. Mungkin aku akan me-
nyelidiki Sumur Kematian. Atau mungkin, malah 
akan menyelidiki Kelelawar Hutan terlebih dahu-
lu." 
"Harap kau berhati-hati kalau mau menye-
lidiki Sumur Kematian maupun Kelelawar Hutan. 
Keduanya sama-sama berbahaya. Apalagi Kelela-
war Hutan. Kau bisa celaka di tangannya, meski 
tanpa sebab-sebab yang jelas, Soma!" ingat Arya-
ni, entah mengapa tiba-tiba saja jadi sangat 
mengkhawatirkan keselamatan pemuda tampan 
di hadapannya. 
"Terima kasih atas peringatanmu, Aryani. 
Aku pasti akan lebih berhati-hati." 
"Oh, ya. Sampai aku lupa! Kau tadi menye-
but-nyebut nama Raja Penyihir. Apa kau murid 
orang tua gagah itu, Soma?" tanya Aryani. 
"Yah...! Bisa dibilang begitu, bisa juga ti-
dak. Aku hanya pernah diberi pelajaran sedikit 
oleh orang tua itu." 
"Oh...! Pantas saja ilmu sihirmu tinggi se-
kali...."  
"Yah...! Yang jelas belum seperti yang kau 
duga, Aryani." 
Soma tersenyum senang. Matanya menger-
jap-ngerjap nakal memperhatikan wajah Aryani 
yang cantik jelita.  
"Tapi sudahlah! Sebaiknya cepat kita ting-
galkan tempat ini! Kulihat di luar sinar matahari 
sudah mulai meredup, pertanda sebentar lagi ma-
lam akan tiba. Ayo, cepat kita keluar!"  
"Baik." 
Soma dan Aryani cepat berkelebat keluar. 
Si gadis sempat menarik tonjolan batu kecil di 
samping batu besar yang digunakan menutup 
mulut gua, ketika tiba di luar. Sebentar kemudian 
terdengarlah suara menggemuruh dari batu sebe-
sar kerbau yang bergeser ke kanan. Dan bersa-
maan dengan itu, maka mulut pintu gua tertutup. 
Sedang bayangan Soma dan Aryani sendiri pun 
juga telah lenyap di antara rimbunnya pepohonan 
di hutan depan sana. 
10 
Matahari baru saja tenggelam di kaki langit 
sebelah barat. Angkasa raya dihiasi rona merah 
tembaga. Diiringi kicauan burung-burung jalak 
yang pulang ke sarang masing-masing, perlahan-
lahan rona merah yang mewarnai angkasa raya 
pun menghilang. Dan kini alam mayapada sepe-
nuhnya dikuasai kegelapan. 
Kegelapan ini terlihat makin pekat di hutan 
belantara jauh dari Perguruan Kelelawar Putih. 
Karena selain dirambahi semak belukar tinggi-
tinggi, hutan belantara itu ditumbuhi pula pohon-
pohon pinus berusia puluhan tahun. Dan mung-
kin karena tak ada angin yang berhembus, mem-
buat suasana hutan jadi sunyi. 
Dalam kesunyian mencekam itulah tampak 
dua sosok tubuh tengah duduk berhadap-
hadapan. Hanya nyala api unggun yang tidak ter-
lalu besar sajalah yang membatasi mereka. Dan 
dalam remangnya nyala api unggun tampak pula 
wajah-wajah mereka. Yang satu seorang gadis 
cantik berpakaian putih-putih. Sedang di sebe-
rang lainnya seorang pemuda tampan berambut 
gondrong dengan mengenakan pakaian rompi dan 
celana bersisik warna keperakan. Mereka tidak 
lain tidak bukan adalah Soma dan Aryani. 
"Mengapa kau tidak mau pulang, Aryani?" 
tanya murid Eyang Begawan Kamasetyo membu-
ka suara. 
"Aku tidak sudi pulang ke rumah lagi So-
ma! Aku benci! Benci sekali!" sahut Aryani ber-
sungut-sungut.  
"Mengapa?" 
"Ibu sudah pergi. Buat apa pulang ke sa-
na?" 
"Kan masih ada ayah kandungmu?" 
Kini mata Aryani terbelalak lebar. Dipan-
danginya Soma tajam 
"Apa maksudmu sebenarnya, Soma? Kau 
kedengarannya tak suka kalau aku di sini?" 
"Ya, sudahlah! Kalau kau memang tak mau 
pulang, tak apa-apa. Sekarang, sebaiknya tidur 
saja duluan! Biar aku yang menjagamu di sini," 
kata Soma alias Siluman Ular Putih malas berde-
bat dengan gadis itu. 
"Aku belum ingin tidur. Justru aku sedang 
mencari jalan keluar, bagaimana aku harus me-
nyelidiki peristiwa-peristiwa maut di Sumur Ke-
matian yang telah meminta banyak korban itu," 
sahut Aryani bersikeras. 
"Ah...!" keluh Soma kesal. 
Padahal diam-diam pemuda ini telah mem-
punyai rencana untuk menyelidiki Sumur Kema-
tian tanpa melibatkan gadis ini. Tapi melihat ke-
kerasan hati Aryani, tak urung membuat Siluman 
Ular Putih jadi kesal juga. 
"Mengapa kau tidak mau tidur sekarang, 
Aryani? Kulihat matamu sudah ngantuk. Lekas-
lah tidur duluan!" ujar pemuda ini diam-diam te-
lah mengerahkan kekuatan batinnya. Suaranya 
yang mengundang perintah terdengar bergetar-
getar aneh, mempengaruhi jalan pikiran Aryani  
Aryani terkejut. Tiba-tiba saja matanya jadi 
ngantuk sekali. Tubuhnya limbung, sulit dikenda-
likan. Dan akhirnya ia rebah di atas tanah re-
rumputan. 
"Me..., mengapa mataku jadi ngantuk begi-
ni..? Ah...! Kau... kau pasti mengerjaiku lagi, So-
ma...," ucap Aryani makin melemah, sebelum ak-
hirnya tertidur pulas. 
Soma tertawa perlahan. Sejenak dipandan-
ginya Aryani yang sudah terlelap dengan begitu 
manisnya. Lalu, ia pun segera beranjak dari tem-
pat duduknya. 
"Baik-baik bobo di sini, ya! Jangan ke ma-
na-mana! Awas, kalau ke mana-mana! Nanti ku-
sentil kupingmu, lho!" ujar pemuda murid Eyang 
Begawan Kamasetyo itu, persis seseorang yang 
sedang menggoda anak kecil. 
Dan sehabis berkata begitu, Siluman Ular 
Putih segera mengangkat kedua kakinya ke ta-
nah, lalu berkelebat meninggalkan tempat itu. 
Siluman Ular Putih telah mengendap-
endap di atas atap bangunan Perguruan Kelela-
war Putih. Matanya jelalatan ke sana kemari, 
mencari-cari di mana letak Pekarangan Terlarang. 
Meski telah berada di bangunan Perguruan Kele-
lawar Putih yang dimaksudkan, namun belum ju-
ga menemukan letak Pekarangan Terlarang. 
Soma jadi menggaruk-garukkan kepalanya 
jengkel. 
"Ah...! Di mana sih, letaknya Pekarangan 
Terlarang? Padahal aku sudah mencari-carinya ke 
sana kemari. Tapi, kenapa belum juga menemu-
kan letaknya? Ah...! Kenapa aku tadi tidak mena-
nyakannya pada Aryani? Bodohnya aku!" 
Soma menepuk jidatnya sendiri dua kali. 
Plakkk! 
Plakkk!   
Empat orang murid Perguruan Kelelawar 
Putih yang sedang berjaga-jaga di bawah kontan 
berbalik. Serentak keempat pasang mata mereka 
terpasang tajam dengan kepala mendongak ke 
arah datangnya suara tadi. Ke atas atap. 
"Siapa yang bersembunyi di atas atap?!" 
bentak salah seorang murid itu galak. Suaranya 
membahana, memecahkan kesunyian malam.  
"Celaka! Kedatanganku sudah ketahuan 
mereka," gumam Soma alias Siluman Ular Putih 
dalam hati, seraya merebahkan diri. 
"Hei...! Siapa yang bersembunyi di atas 
wuwungan? Cepat  turun! Atau kupontes batang 
lehermu, he?!" bentak orang yang tadi garang. 
Mana sudi Soma menuruti perintah murid 
penjaga itu. Malah pandangannya dialihkan ke 
tembok, jauh memutar di belakang bangunan 
Perguruan Kelelawar Putih. 
"Lho...? Di sana kok masih ada bangunan 
tembok? Apakah di sana letaknya Pekarangan 
Terlarang?" gumam Soma lagi dalam hati. 
"Keparat! Apa kau benar-benar ingin ku-
pontes , kepalamu, he?" teriak penjaga itu lagi ga-
rang.      
"Kakang Sembodo! Buat apa buang-buang 
waktu segala?! Cepat ringkus orang itu!" kata 
yang lain, menimpali. 
"Baik! Ayo kita kejar tikus itu!" 
Sehabis berkata begitu, seorang pemuda 
berperawakan tinggi kekar segera menghentakkan 
kakinya ke atas atap, yang diikuti ketiga orang 
kawannya. 
"Runyam! Runyam! Mengapa urusannya 
jadi begini? Ah.. Tak ada pilihan lain. Aku harus 
cepat menyingkir, mumpung keempat orang itu 
belum memanggil teman-temannya," rutuk Silu-
man Ular Putih. 
Berpikir demikian, tanpa membuang-buang 
waktu lagi Siluman Ular Putih segera bangkit 
berdiri. Begitu kedua kakinya menjejak atap, tu-
buhnya telah berkelebat ke arah tembok memutar 
di depan sana. 
"Kejar, Kang! Tikus itu menuju ke Pekaran-
gan Terlarang!" teriak Salah seorang murid penja-
ga ketika melihat berkelebatnya bayangan Soma. 
Siluman Ular Putih yang mendengar teria-
kan murid penjaga itu malah tersenyum girang. 
"Aku sedang berlari menuju ke Pekarangan 
Terlarang yang kucari-cari itu? Ah masa' sih? 
Jangan-jangan di dalam tembok memutar itulah 
letaknya pekarangan itu?" gumam Soma sambil 
terus berlari kencang menuju ke arah tembok 
memutar.    
Dan sesampainya di tembok memutar, So-
ma pun segera melompat ke atas tembok. Seketi-
ka itu juga hatinya jadi tersenyum girang, saat di-
lihatnya ke arah dua buah pohon asam tua di 
tengah-tengah Pekarangan Terlarang. Di bawah 
kedua pohon itu terdapat pagar memutar terbuat 
dari bambu. 
"Ah...! Pasti itulah Sumur Kematian yang 
dimaksudkan Aryani dan Lelaki Berkumis Kucing 
itu! Habis mana lagi kalau bukan itu?" pikir Si-
luman Ular Putih girang bukan main. 
"Kang...! Benar, Kang! Tikus itu lari menu-
ju Pekarangan Terlarang. Ayo Kita cincang ramai-
ramai, Kang!" teriak salah seorang sembari me-
nunjuk-nunjuk ke arah tembok Pekarangan Ter-
larang. 
Siluman Ular Putih tidak lagi mempeduli-
kan teriakan-teriakan keempat murid penjaga itu, 
melainkan sudah melompat dan melesat ke arah 
Sumur Kematian. 
Sebentar saja pemuda itu telah sampai di 
sana. Sejenak diamatinya keadaan Sumur Kema-
tian yang dipagari dengan kayu bambu. Lubang 
Sumur Kematian tidak terlalu besar. 
Soma melongokkan kepalanya ke dalam 
lubang Sumur Kematian. Namun mendadak saja 
hawa anyir yang bukan alang kepalang menyere-
bak keluar! Dan ini membuat si pemuda tidak ta-
han lagi. 
"Hoekkk...!" 
Seketika itu juga cairan kuning dari mulut 
Siluman Ular Putih berhamburan keluar. 
"Jangkrik budik! Lagi-lagi bau bangkai! La-
gi-lagi bau bangkai! Bikin mual perutku saja! 
Ih...!" omel Soma panjang pendek. 
Mulut si pemuda tak henti-hentinya melu-
dah ke sana kemari. Dan tiba-tiba saja matanya 
melihat sesosok bayangan putih-putih yang baru 
saja meloncat ke atas tembok Pekarangan Terla-
rang. 
"Kunyuk-kunyuk itu lagi! Bikin runyam 
urusanku saja!" 
Sekali lagi mulut nyinyir pemuda murid 
Eyang Begawan Kamasetyo mengeluarkan geru-
tuan kesal. Namun, toh akhirnya menyingkir juga 
ke balik batang pohon asam yang berukuran 
hampir  sepuluh kali lipat dari tubuhnya. Kemu-
dian tanpa banyak cincong lagi, mulutnya pun 
berkemik-kemik membacakan mantera ajian ‘Titi-
san Siluman Ular Putih’. 
Seketika itu juga asap putih tipis memenu-
hi sekujur tubuh Soma, dan akhirnya bayangan 
tubuh pemuda itu  tidak kelihatan sama sekali. 
Dan begitu uap putih itu sirna tertiup angin, 
bayangan tubuhnya pun telah menjelma menjadi 
seekor ular putih sebesar ibu jari kaki manusia 
dewasa! Ini pun merupakan keistimewaan ajian 
'Titisan Siluman Ular Putih' yang mampu menga-
tur besar kecilnya jelmaan ular putih sesuai ke-
hendak Soma. 
"Ssssst...!!!"  
Ular putih kecil itu cepat merayap mende-
kati Sumur Kematian. Kepalanya melongok-
longok ke dalam lubang. Kemudian tepat ketika 
keempat murid penjaga Sumur Kematian muncul, 
ular putih kecil itu pun telah menyemplungkan 
diri 
"Ke mana kunyuk itu? Kok, tak ada? Tadi 
aku benar-benar melihat kalau ia menyelinap ke 
balik pohon ini. Tapi, sekarang kok tak terlihat?" 
tanya murid penjaga yang berada paling depan 
seraya menunjuk ke batang pohon asam tua di 
depannya. 
"Oh...! Jangan-jangan kunyuk itu setan 
gentayangan penunggu Sumur Kematian ini?! 
Ih...! Ngeri...!" duga salah seorang murid yang lain 
ketakutan. Wajahnya seketika itu juga pucat pasi. 
Matanya memandang ngeri ke arah lubang Sumur 
Kematian. 
"Maaf, Kawan-Kawan! Aku pergi dulu. Aku 
tak sudi jadi tumbal...!" teriak yang lain langsung 
mengambil langkah seribu. 
Tiga  orang murid lain sejenak hanya bisa 
saling pandang. Kemudian entah siapa yang me-
mulai, tahu-tahu mereka telah lari meninggalkan 
Sumur Kematian. 
11 
Tubuh kecil memanjang ular putih jelmaan 
Soma terus melesat ke dalam lubang Sumur Ke-
matian. 
Kecepatan merayapnya sungguh menga-
gumkan. Padahal dinding yang dilaluinya sangat 
curam. Dan sambil mendesis-desis khas, sosok 
kecil memanjang sebesar ibu jari kaki manusia 
dewasa itu pun sampai di dasar Sumur Kematian. 
Begitu menyentuh tanah di dasar Sumur 
Kematian, mendadak tubuh kecil itu tampak 
menggeliat-geliat. Lalu....  
Sssttt...!  
Sekujur tubuh ular putih kecil itu kini di-
penuhi uap tipis. Dan akhirnya, bayangan tubuh 
kecil memanjang ular putih itu perlahan-lahan 
sirna, tampak sesosok pemuda gondrong berpa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih ke-
perakan!  
Itulah sosok Soma alias Siluman Ular Pu-
tih.  
Samar-samar, Soma kini mulai terbiasa 
dengan keadaan gelap di sekitarnya. Dan ia meli-
hat kalau dasar Sumur Kematian itu, ternyata 
cukup luas. Kira-kira hampir enam atau tujuh 
tombak. Ini jelas di luar perkiraannya semula. 
Dan di samping memiliki dasar yang cukup luas, 
juga memiliki banyak lorong! 
Soma bergidik ngeri. Suasana dalam Su-
mur Kematian benar-benar mengerikan. 
Bau anyir darah menyeruak, menyergap 
hidungnya. Tumpukan-tumpukan tulang manu-
sia yang berserakan, serta mayat-mayat bergelim-
pangan yang kulit dan dagingnya masih membu-
suk, menjadi pemandangan di sekitarnya. Mayat-
mayat busuk inilah yang menebarkan hawa anyir 
dan bau bangkai. 
Sambil memencet hidungnya rapat-rapat, 
perlahan-lahan Soma melangkah ke depan. Kepa-
lanya dia palingkan ke kanan kiri. Tiba di salah 
satu lorong, pemuda murid Eyang Begawan Ka-
masetyo itu samar-samar melihat satu titik nyala 
api. Cahayanya samar menerabas masuk ke da-
lam dasar Sumur Kematian. Dan kini dibantu 
nyala api yang berkerlip-kerlip itu, Siluman Ular 
Putih dapat melihat dasar Sumur Kematian den-
gan lebih jelas. 
Kening Soma berkerut dalam-dalam. Entah 
mengapa hatinya merasa heran sekali melihat 
keadaan Sumur Kematian. Bagaimana di tempat 
ini terdapat banyak sekali mayat berserakan? 
Namun belum sempat pemuda ini berpikir lebih 
lanjut, mendadak.... 
"Keparat! Siapa yang berani mencari mati 
lagi di tempat ini?!"        
Siluman Ular Putih tersentak kaget ketika 
mendengar bentakan keras menggelegar. 
Belum hilang rasa kagetnya, mendadak ia 
terasa angin dingin berkesiur kencang datang dari 
arah depan. 
"Hup!" 
Soma cepat berkelit ke samping. Namun 
bersamaan dengan itu, kembali datang angin din-
gin yang datangnya dari sesuatu yang berjuntai-
juntai!  
Wesss! 
Soma terkejut, namun cepat mengangkat 
tangan kanannya mencoba menangkis angin ber-
kesiur dari bayangan hitam yang berjuntai-juntai. 
Namun Siluman Ular Putih kontan membelalak-
kan matanya liar. Karena tiba-tiba bayangan hi-
tam-hitam yang berjuntai-juntai itu tiba-tiba saja 
merubah serangannya. Kemudian si pemuda ta-
hu-tahu merasakan sesuatu yang menghantam 
dadanya. 
Buk! 
Seketika itu juga dada Soma serasa mau 
jebol. Tubuhnya limbung beberapa langkah ke be-
lakang. Untung saja tubuhnya cepat membuat 
salto beberapa kali di udara, sehingga terhindar 
dari serangan berikutnya. 
"Bedebah! Rupanya kau punya sedikit ke-
pandaian juga, ya? Pantas saja kau berani masuk 
ke dalam Sumur Kematian!" bentak bayangan hi-
tam-hitam itu garang. 
Sekali lagi mata Soma terbelalak lebar, seo-
lah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. 
*** 
Bayangan hitam-hitam yang menyerang Si-
luman Ular Putih tadi ternyata Seorang lelaki tua 
yang buntung kaki dan tangannya. Wajahnya ti-
rus. Kedua pipinya cekung dengan rahang yang 
bertonjolan. Kerut-kerut di keningnya tajam, me-
nyiratkan penderitaan batin yang dalam. Sedang 
tubuh buntungnya dibalut pakaian putih-putih 
yang sudah compang-camping tidak karuan. 
Rambutnya panjang tergerai ke tanah. Dan kini 
lelaki berusia enam puluh tahunan itu tengah 
'berdiri' menggunakan ujung-ujung rambutnya 
yang tegak menancap di tanah! 
"Bukan main!" diam-diam Soma mendesah 
penuh kagum. Rupanya rambut panjang itulah 
yang menyerangnya tadi! 
"Orang Tua! Aku kemari bukannya mencari 
mati! Buat apa susah-susah ke tempat ini kalau 
cuma mau mati?!" kata Soma seenak dengkulnya. 
"Apa pun alasanmu! Aku tetap akan mem-
bunuhmu!" dengus orang tua buntung itu penuh 
kemarahan. 
Mendadak, lelaki ini menekan rambutnya 
yang menjuntai ke tanah disertai pengerahan te-
naga dalam tingkat tinggi. Sehingga rambut itu 
kini melengkung mirip sapu lidi yang ditekan. 
Dan dengan sekali genjot, orang tua buntung itu 
segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya 
yang sudah mencapai tingkat tinggi. Maka seketi-
ka tubuhnya melesat cepat bagai kilat. 
"Hyaaat...!"  
Disertai teriakan membahana, tubuh bun-
tung itu melesat mengancam Siluman Ular Putih. 
Rambut-rambutnya yang semula menancap ke 
tanah, kini mendadak berubah menjadi gulun-
gan-gulungan hitam laksana ijuk baja yang men-
gincar beberapa jalan darah Soma. 
Dan belum juga gulungan-gulungan ram-
but orang tua buntung itu mengenai sasaran, 
Soma telah merasakan  angin dingin berkesiur 
menyerang beberapa jalan darah di tubuhnya! 
Melihat serangan-serangan rambut yang 
mengeras sekeras baja, Siluman Ular Putih tidak 
berani memandang ringan lagi. Cepat tubuhnya 
dilempar beberapa kali ke samping. Rasanya ia 
masih sungkan membalas serangan-serangan 
aneh orang tua buntung itu. 
"Sungguh aku patut mengagumimu, Orang 
Tua! Dalam keadaan seperti ini saja kau dapat 
menyerang demikian hebatnya. Apalagi kalau 
memiliki kedua tangan dan kaki. Sungguh aku ti-
dak dapat membayangkannya!" decak Soma alias 
Siluman Ular Putih penuh kagum, begitu menda-
rat di tanah. 
"Tutup mulut, Bocah! Aku tidak pernah 
membiarkan  calon korbanku banyak mengelua-
rkan suara! Terima saja kematianmu hari ini!" 
bentak lelaki tua itu garang setelah berbalik. Dan 
diam-diam sebenarnya dalam hati ia mulai men-
gagumi kepandaian musuh mudanya. 
Dan sehabis berkata begitu, tubuh lelaki 
tua itu kembali melesat dengan kecepatan luar 
biasa, bagai sebatang anak panah meluncur dari 
busurnya. Rambutnya yang memencar bagai pu-
luhan ijuk baja menyerang tubuh Soma penuh 
tenaga dalam tinggi. 
Wesss!  
"Uts...!" 
Soma cepat melenting ke atas, hingga se-
rangan-serangan orang tua buntung itu mengenai 
tempat kosong. Hebatnya, begitu rambut-rambut 
yang menjuntai-juntai  itu menancap ke dinding 
Sumur Kematian, maka seketika tubuh buntung 
orang tua itu kembali melenting menyerang. 
"Ya, ampun! Kalau begini terus caranya, 
aku bisa modar!" gerutu Soma yang baru saja 
mendarat. Kesal juga hatinya. Diam-diam kekua-
tan batinnya pun mulai dikerahkan untuk meng-
hadapi serangan. "Sabar sedikit, Orang Tua! Men-
gapa kau jadi beringas begini? Ayo, lekas henti-
kan serangan-seranganmu!" 
Suara Siluman Ular Putih bergetar-getar 
aneh, menggema memenuhi ruangan. Bahkan te-
rus menyerang jalan pikiran orang tua buntung 
aneh itu. 
Lelaki tua itu mengeluh panjang pendek. 
Tubuhnya yang masih melayang-layang bergetar-
getar hebat. Dan serangan-serangannya pun jadi 
kacau! Lalu, mendadak luncuran tubuhnya pun 
terhenti. Tubuh buntungnya yang ditopang ram-
but hitam berjuntai-juntai, tergetar-getar hebat. 
Matanya membelalak liar memandangi Soma! 
"He he he...! Rupanya kau penurut juga, 
Orang Tua!" kekeh Soma kegirangan. 
Sejenak lelaki tua buntung itu memejam-
kan matanya rapat-rapat. Tubuhnya yang berge-
tar-getar perlahan-lahan mulai tenang. Kemudian 
matanya kembali dibuka. 
"Kau dan Kelelawar Hutan sama saja! Sa-
ma-sama tukang sulap! Kau pikir Lowo Kuru ti-
dak mampu mencabut nyawamu, he?!" 
Kini giliran Soma yang membelalakkan ma-
tanya. Sungguh tidak percaya kalau ilmu sihirnya 
yang dipelajari dari Raja Penyihir tidak mampu 
mengendalikan orang tua buntung yang ternyata 
bernama Lowo Kuru. Dan lebih hebatnya lagi, tu-
buh buntung itu kembali menyerang ganas! 
Soma penasaran sekali. Kembali kekuatan 
batinnya dilipatgandakan. 
"Orang Tua! Hentikan seranganmu! Apa 
kau tidak takut melihatku? Kau memiliki rambut 
hebat. Tapi, aku juga memiliki rambut lebih he-
bat!" 
Lowo Kuru hanya sempat melihat betapa 
rambut pemuda musuhnya telah berubah menja-
di puluhan ekor ular putih yang menggeliat-geliat 
dengan kepala mendongak tinggi-tinggi. Tapi hal 
itu hanya sebentar saja. Dengan pengalamannya, 
ia jadi tidak terpengaruh dengan apa yang dili-
hatnya! Bahkan masih melayang-layang di udara, 
terus melanjutkan serangannya yang cepat dan 
tak tertahankan. 
Wesss! Wosss! 
Bukkk! Bukkk!    
Soma yang sedang tertawa-tawa senang 
melihat orang tua buntung itu kembali terpenga-
ruh ilmu sihirnya, mendadak memekik kaget. Se-
ketika itu juga tubuhnya terlempar beberapa 
tombak ke belakang, membentur dinding Sumur 
Kematian! Sedang dadanya yang terkena pukulan 
rambut-rambut Lowo Kuril terasa nyeri bukan 
main. Napasnya sesak. Cairan berwarna merah 
nampak menyembul di bibirnya! 
Siluman Ular Putih mengusap darah yang 
mengalir di bibirnya dua kali. Kini baru disadari 
kalau orang tua buntung itu tak mungkin dapat 
dipengaruhi dengan ilmu sihirnya. Maka tanpa 
banyak pikir panjang lagi, senjata pusakanya se-
gera dicabut dari balik punggung, 
Senjata Siluman Ular Putih berbentuk 
anak panah. Ujungnya yang melengkung ke atas 
berbentuk kepala ular, serta terdapat pisau kecil 
yang mencuat tajam. Dan batang anak panah itu 
juga berbentuk badan ular yang memiliki dua lu-
bang mirip lubang suling. Sedang di kanan kiri 
kepala ular ujung anak panah itu terdapat dua 
buah cakra kembar terbuat dari lempengan baja. 
Itulah senjata Siluman Ular Putih yang tidak lain 
Anak Panah Bercakra Kembar! 
Seketika itu juga hawa dingin yang teramat 
menusuk kulit memenuhi ruangan begitu senjata 
pusaka Soma dikeluarkan dari balik punggung-
nya. Lelaki tua buntung itu sempat menggigil ke-
dinginan, namun hanya sebentar. Setelah tenaga 
dalamnya dikerahkan hawa dingin menusuk itu 
mulai dapat dilawan. 
Begitu dapat mengatasi pengaruh hawa 
dingin dari senjata Soma, Lowo Kuru mencelat 
tinggi ke udara. Gulungan-gulungan rambutnya 
kali ini bergerak-gerak liar penuh jebakan-
jebakan maut. Dan gerakan-gerakannya pun sulit 
sekali ditebak. Tidak seperti pada jurus-jurusnya 
yang pertama. 
Siluman Ular Putih cepat mengeluarkan ju-
rus andalannya 'Terjangan Maut Ular Putih'. Tan-
gan kirinya telah berubah menjadi keputihan, 
siap melancarkan pukulan 'Inti Bumi'. Sedang 
tangan kanannya yang memegang senjata pusaka 
telah berubah menjadi merah darah, siap pula 
melancarkan pukulan 'Inti Api'. 
Maka pertarungan sengit yang menggelar 
jurus-jurus ampuh dan berbahaya pun tak dapat 
dielakkan lagi. 
Namun setelah sekian jurus, Soma tetap 
saja belum mampu menghadapi desakan-desakan 
gulungan rambut Lowo Kuru. Bahkan kini Silu-
man Ular Putih tampak terdesak hebat. Padahal 
jurus-jurus 'Ular Kembar Mengejar Mangsa' telah 
dikeluarkan. Diam-diam pemuda ini mengeluh 
dalam hati. Rasa-rasanya sulit sekali keluar dari 
kepungan gulungan-gulungan rambut orang tua 
buntung itu. 
Tanpa ampun Lowo Kuru terus mendesak 
hebat Soma dengan jurus-jurus sakti tingkat 
tinggi. Perlahan-lahan, pertahanan Soma jadi ko-
car-kacir. Entah sudah berapa kali tubuhnya ha-
rus jumpalitan tidak karuan. Bahkan senjata pu-
sakanya yang sesekali melesat cepat laksana se-
buah anak panah pun seolah-olah tidak ada gu-
nanya lagi. Sementara gulungan-gulungan ram-
but orang tua buntung itu terus mendesaknya 
hebat! 
Wesss! Wesss! 
Soma terkejut bukan main. Kali ini rasa-
rasanya Siluman Ular Putih tak mungkin me-
nangkis maupun menghindari serangan. Apalagi 
saat itu keadaannya sangat tidak menguntung-
kan. Dalam keadaan melayang-layang seperti itu, 
gulungan-gulungan rambut Lowo Kuru tidak ter-
duga-duga telah mengancam punggungnya. Dan 
akibatnya,...  
Wesss! 
Bukkk! Bukkk! 
Tanpa ampun lagi punggung Siluman Ular 
Putih pun terhantam telak gulungan rambut 
orang tua buntung itu dua kali. Seketika itu juga, 
pemuda ini memekik tertahan. Tubuhnya terlem-
par berputar-putar sebentar, dan akhirnya meng-
hantam dinding-dinding Sumur Kematian!  
  "Hoekkkk...!"  
Siluman Ular Putih tidak tahan lagi, lang-
sung muntahkan darah segar. Punggungnya yang 
terkena hajaran rambut orang tua buntung tadi 
terasa remuk dari nyeri bukan alang kepalang. 
Wajahnya pucat pasi. Bibirnya berkemak-kemik. 
Dan dari bibirnya yang berkemak-kemik, diam-
diam si pemuda mulai merapalkan ajian 'Titisan 
Siluman Ular Putih'-nya. 
Sebentar kemudian tubuh Siluman Ular 
Putih yang  menggelosor  di tanah telah dipenuhi 
asap putih tipis sehingga, akhirnya bayangan tu-
buh pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo 
itu tidak kelihatan sama sekali. 
Sejenak Lowo Kuru menghentikan seran-
gan. Matanya membelalak lebar, tak tahu ilmu 
apa yang akan dikeluarkan musuh mudanya. Dan 
saat asap putih tipis yang menyelimuti tubuh 
Soma pudar, maka seketika itu juga.... 
Gggeeerrr...! 
12 
Apa yang dilihat Lowo Kuru di hadapannya 
itu benar-benar membuat hatinya ciut. Matanya 
semakin terbelalak lebar. Mulutnya melongo tak-
jub. Sosok yang menggeliat-geliat di balik asap 
putih itu demikian menggiriskannya! Yakni, see-
kor ular raksasa putih sebesar pohon kelapa! Dan 
kini mata biru ular raksasa putih itu tengah me-
mandang beringas ke arahnya. Kedua taringnya 
yang sebesar tanduk kerbau mencuat keluar, siap 
menerkam mangsanya! 
"Sil... Siluman Ular Putih..,!" desis Lowo 
Kuru tanpa sadai. 
"Gggeeerrr...!"  
Sekali lagi terdengar gerengan Siluman 
Ular Putih itu hingga menggetar-getarkan dinding 
Sumur Kematian. Dan seketika tubuh besar me-
manjang ular raksasa itu langsung menerjang ga-
rang Lowo Kuru. 
Orang tua buntung itu cepat meloncat ke 
samping menghindari terjangan dengan sekali 
menghentakkan ujung-ujung rambutnya ke ta-
nah. Kemudian dengan mengerahkan jurus-jurus 
saktinya dibalasnya serangan Siluman Ular Putih. 
Siluman Ular Putih ini pun tidak kalah 
cerdik. Melihat serangan-serangan orang tua bun-
tung yang demikian hebatnya, cepat dipapakinya 
dengan sabetan-sabetan ekor. 
Wuttt! Prattt! 
Tentu saja hal ini sangat merepotkan Lowo 
Kuru. Apalagi ketika disadari, pukulan-pukulan 
rambutnya yang mengenai tubuh siluman ular 
raksasa itu hanya seperti membentur lempengan 
baja yang keras! Tak urung juga matanya me-
mandang penuh kagum. Rambutnya yang berben-
turan dengan tubuh raksasa Siluman Ular Putih 
itu serasa pedih bukan main. Bahkan kepalanya 
sampai berdenyut-denyut tidak karuan.      
Namun Lowo Kuru tidak mau menyerah 
begitu saja. Dengan mengeluarkan jurus-jurus 
saktinya, kembali diterjangnya Siluman Ular Pu-
tih. 
"Gerrr...!"  
Siluman Ular Putih menggereng penuh ke-
marahan. Kibasan-kibasan ekornya telah menye-
babkan debu-debu dalam Sumur Kematian beter-
bangan. 
Perlahan-lahan serangan-serangan Lowo 
Kuru mulai terdesak hebat. Malah entah sudah 
berapa kali tubuhnya yang buntung terpental ke 
sana kemari terkena sabetan-sabetan Siluman 
Ular Putih. Dan pada satu kesempatan yang tidak 
mungkin dihindari, tiba-tiba saja ekor Siluman 
Ular Putih itu kembali menyabet tubuh buntung 
Lowo Kuru. 
Wesss! 
Bukkk! Bukkk! 
"Augh...!"  
Lowo Kuru memekik tertahan. Tubuh bun-
tungnya yang terkena sabetan ekor Siluman Ular 
Putih langsung terlempar ke samping, membentur 
dinding Sumur Kematian. Seketika ia melorot ro-
boh ke tanah tak mampu bangun lagi. Pingsan! 
Sejenak Siluman Ular Putih mengeluarkan 
gerengannya. Dinding-dinding Sumur Kematian 
kembali bergetar hebat. Tidak lama kemudian ter-
lihat asap putih tipis kembali menyelimuti Silu-
man Ular Putih. Sehingga, akhirnya bayangan tu-
buh memanjang ular raksasa putih itu pudar, 
tampaklah sesosok pemuda gondrong berpakaian 
rompi dan celana bersisik warna putih keperakan 
tengah tertawa renyah dengan kedua tangan ber-
kacak pinggang! 
"Ha ha ha.,.! Apa yang kubilang tadi, Orang 
Tua? Untung saja rambut landakmu tidak protol. 
He he he.... Kini kau tidak berani galak lagi," kata 
Soma  gemas juga menghadapi kelihaian rambut 
orang tua buntung bergelar Lowo Kuru. 
Dan sehabis berkata begitu,, Siluman Ular 
Putih pun berjalan mendekati sosok buntung 
yang menggeletak tak sadarkan diri. Sejenak di-
pandanginya Lowo Kuru penuh kagum. Tampak 
olehnya darah segar membasahi bibir dan hidung 
lelaki tua ini 
Entah mengapa si pemuda jadi terharu se-
kali melihat sosok buntung yang mengenaskan 
itu. Lalu, diangkatnya sosok Lowo Kuru menuju 
ke sebuah lorong yang terdapat nyala api di ke-
jauhan sana.  
Begitu sampai, Soma tidak percaya kalau 
ternyata ujung lorong itu adalah sebuah ruangan 
yang luasnya kira-kira tiga atau empat tombak. 
Dasarnya terbuat dari batu-batu kecil yang ditata 
rapi. Dan ketika pandangan matanya tertumbuk 
pada gambar-gambar di dinding-dinding  sumur, 
tak urung juga ia berdecak kagum. Ternyata 
gambar-gambar di seputar dinding Sumur Kema-
tian adalah petunjuk ilmu silat tinggi!     
Sekali lihat saja Siluman Ular Putih tahu 
kalau gambar jurus-jurus di dinding-dinding su-
mur itu adalah yang tadi juga dikeluarkan orang 
tua buntung itu ketika bertarung dengannya. 
Namun Soma hanya memperhatikannya sebentar. 
Tidak ada keinginan di hatinya untuk mencuri il-
mu silat tingkat tinggi itu, walau sebenarnya 
mampu melakukannya. Pemuda ini cepat mere-
bahkan tubuh buntung Lowo Kuru ke batu bun-
dar di tengah ruangan, dan cepat menotok bebe-
rapa jalan darahnya. 
Tuk! Tuk! Tuk!  
Tiga kali telunjuk jari tangan Soma meno-
tok jalan darah di dada dan tengkuk Lowo Kuru. 
Beberapa saat kemudian, perlahan-lahan 
Lowo Kuru pun mulai membuka kelopak ma-
tanya. Namun ketika melihat Soma masih berada 
di hadapannya, cepat rambut kepalanya digerak-
kan untuk menyerang! 
"Heit...! tunggu, Orang Tua!" 
Soma cepat berguling-gulingan ke samping. 
Namun rupanya kali ini Lowo Kuru tidak 
lagi bernafsu menyerang anak muda itu. Hanya 
dipandanginya Soma dengan mata terbelalak le-
bar. Lalu entah mengapa, tiba-tiba saja pandan-
gan matanya jadi berkaca-kaca! 
"Anak Muda! Mengapa kau tidak membu-
nuhku?" tanya Lowo Kuru lirih.   
Soma alias Siluman Ular Putih cepat ban-
gun. Melihat orang tua buntung itu menangis, 
pemuda ini tidak merasa heran lagi. Namun ba-
gaimanapun juga, hatinya sempat terusik juga 
dengan keadaan Lowo Kuru yang memelaskan. 
"Sebenarnya aku tidak ada keinginan 
membunuhmu, Orang Tua. Tapi kalau kau benar-
benar terbukti telah membunuhi murid-murid 
Perguruan Kelelawar Putih, jangan harap aku ti-
dak tega menurunkan tangan mautku padamu." 
"Percuma saja aku menjelaskan padamu, 
Anak Muda! Kau tidak mungkin mempercayai 
omonganku. Sebaiknya, lekaslah bunuh aku! 
Buat apa kau menyiksaku dengan pertanyaan-
pertanyaanmu ini?" keluh Lowo Kuru, meme-
laskan. 
Mau tidak mau kening Soma jadi berkerut 
dalam. Ia tidak percaya kalau orang tua buntung 
yang tadi bersikap garang ini, tiba-tiba saja beru-
bah demikian memelaskan. Bahkan  rela menye-
rahkan selembar nyawanya begitu saja. Padahal 
kalau mau, ia masih sanggup melawan Soma. 
Kendati, tubuhnya masih belum sembuh benar 
dari luka dalamnya. 
"Soal membunuhmu itu gampang, Orang 
Tua. Tapi sebelumnya aku harus mengajukan be-
berapa pertanyaan padamu. Maukah kau menja-
wabnya?" 
Lowo Kuru hanya menarik napasnya pan-
jang. Tak menggubris omongan Siluman Ular Pu-
tih. Malah pandangan matanya dialihkan ke tem-
pat lain. 
Soma tidak pedulikan sikap acuh Lowo Ku-
ru. 
"Dengar Orang Tua! Apa benar, kaukah 
yang  telah membunuhi murid-murid Perguruan 
Kelelawar Putih?" tanya Soma.  
Lowo Kuru masih memperhatikan ke arah 
lorong di depannya dengan bibir berkemik-kemik. 
"Baiklah, Bocah! Masalah percaya atau ti-
dak, itu terserahmu saja. Mau dibunuh sekarang 
pun, aku rela. Tapi, dengar! Buka telingamu le-
bar-lebar! Aku belum pernah membunuh satu 
orang murid pun dari Perguruan Kelelawar Putih. 
Apa kau puas, Bocah?" tegas Lowo Kuru akhir-
nya. 
"Tapi, mengapa di dasar Sumur Kematian 
ini banyak sekali kutemukan mayat murid-murid 
Perguruan Kelelawar Putih?" tukas Siluman Ular 
Putih. 
"Memang. Tapi bukan aku pelakunya. Aku 
hanya membunuh beberapa orang saja. Dan itu 
semua bukan dari Perguruan Kelelawar Putih. 
Kau paham?" 
"Lantas? Siapa yang telah membunuhi mu-
rid-murid Perguruan Kelelawar Putih itu? Dan 
siapa pula orang-orang yang telah kau bunuhi 
itu...?" 
"Orang yang telah membunuhi murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih tidak lain dari 
orang yang bergelar Kelelawar Hutan."  
"Apa? Kelelawar Hutan...?" sentak Soma 
seraya menarik mundur dadanya, seolah-olah ti-
dak mempercayai keterangan Lowo Kuru. 
Kali ini Lowo Kuru memandangi Siluman 
Ular Putih seksama. 
"Benar. Memang Kelelawar Hutan-lah pela-
kunya," tegas Lowo Kuru, seraya mengangguk. 
"Tapi..., tapi, bukankah murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih itu adalah murid-murid 
Kelelawar Hutan sendiri?" tukas si pemuda den-
gan kening berkerut. 
"Tidak! Sebenarnya tidak demikian. Mung-
kin untuk sekarang ini, murid-murid Perguruan 
Kelelawar Putih memang muridnya. Murid-murid 
Kelelawar Hutan maksudku. Tapi, tidak untuk 
sebelum masa delapan belas tahun lalu, Bocah!" 
jelas Lowo Kuru.  
"Aku belum mengerti maksudmu, Orang 
Tua."  
Lowo Kuru menghela napasnya sebentar. 
"Singkatnya begini, Bocah. Sebenarnya 
Perguruan Kelelawar Putih bukanlah milik Kele-
lawar Hutan, melainkan, milik seseorang." 
"Milik seseorang...? Siapakah dia, Orang 
Tua?" tanya Soma heran. 
Lowo Kuru menyunggingkan senyum. "Ten-
tu kau akan kaget kalau kukatakan bahwa orang 
yang memiliki Perguruan Kelelawar Putih sebe-
narnya sedang duduk di hadapanmu, Anak Mu-
da." 
Mata Soma kontan terbelalak lebar, seolah-
olah tidak mempercayai keterangan orang di ha-
dapannya.  
"Maksudmu...? Kau.... Kaukah, Orang 
Tua?"  
Sekali lagi Lowo Kuru menyunggingkan se-
nyum dengan kepala mengangguk perlahan. 
"Lantas? Ba..., bagaimana kau bisa terku-
rung dalam Sumur Kematian ini?" 
"Ceritanya panjang, Anak Muda!" sambar 
Lowo Kuru cepat. "Maukah kau mendengarkan 
ceritaku, Anak Muda?" 
Soma tidak menjawab pertanyaan Lowo 
Kuru, kecuali hanya menganggukkan kepala tan-
da setuju. 
Sejenak Lowo Kuru menghela napasnya 
panjang-panjang seraya memejamkan matanya 
rapat-rapat. Seolah-olah, ia sedang mengingat 
kembali kejadian delapan belas tahun lalu. Ke-
mudian dari bibirnya yang bergetar-getar itu sua-
ranya mulai terdengar menceritakan kejadian de-
lapan belas tahun lalu.... 
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode: 
PEDANG KELELAWAR PUTIH 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 

convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com