5
Pekarangan Terlarang kembali dicekam se-
pi. Para undangan telah mohon pamit. Sementara
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih sudah
kembali ke perguruan. Kini yang ada hanyalah
tinggal dua buah pohon asam tua berusia ratusan
tahun yang tumbuh rindang, laksana dua raksasa
kembar penjaga Sumur Kematian yang menyim-
pan sejuta teka-teki.
Sementara itu, di pinggiran Pekarangan
Terlarang, nampak empat pemuda murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih tengah berdiri mematung
tak jauh, menjaga sebuah bangunan tembok. Me-
reka sama-sama mengenakan pakaian warna pu-
tih-putih. Di kepala masing-masing melingkar pi-
ta kuning, pertanda kedudukan mereka sudah
mencapai tingkat menengah di Perguruan Kelela-
war Putih.
Pandangan empat pemuda itu beredar ke
sekeliling. Dan setiap kali memandang ke arah
Sumur Kematian, jantung mereka berdebar keras.
Ada perasaan ngeri di hati mereka bila mengingat
korban yang jatuh akibat Sumur Kematian.
Tiba-tiba sesosok bayangan putih-putih
berkelebat cepat melompati pagar tembok bangu-
nan besar itu. Gerakannya ringan sekali seperti
kapas tertiup angin. Dalam sekejap saja, bayan-
gan itu sudah sampai di depan bangunan yang di-
jaga empat murid Perguruan Kelelawar Putih.
Melihat siapa yang datang, keempat orang
murid berpita kuning itu langsung menjura hor-
mat.
"Maaf, Nona Aryani. Ada keperluan apa da-
tang kemari?" tanya salah seorang murid itu den-
gan suara tegas.
Sosok yang ternyata Aryani bersungut-
sungut.
"Aku ingin bertemu Ayah. Ibu yang menyu-
ruhku datang kemari," sahut gadis itu berdusta.
"Tapi, Guru sudah memberi perintah pada
kami. Siapa pun juga tidak boleh mengganggu ke-
tenangannya."
"Apa termasuk aku?" pancing Aryani gusar.
"Sekali lagi kukatakan, siapa pun tidak bo-
leh mengganggu Guru. Biarpun istri Guru sekali-
pun!"
"Keparat! Pokoknya aku harus bertemu
Ayah sekarang juga!" bentak Aryani galak.
Sehabis membentak begitu, Aryani bersiap
menerjang ke depan. Namun baru saja akan ber-
gerak....
"Aryani! Siapa yang menyuruhmu datang
ke sini?!"
Mendadak terdengar bentakan keras
menggelegar. Begitu kerasnya, membuat gadis itu
berjingkat dengan pandangan tertuju ke arah pin-
tu bangunan, tempat asal suara.
Di depan pintu bangunan tembok batu itu
berdiri satu sosok tubuh tinggi besar berpakaian
serba hitam. Ia tak lain dari Kelelawar Hutan,
ayah Aryani sendiri.
"Eh...! Aku.... Aku tidak ada yang menyu-
ruh, Ayah. Aku..., aku ingin bertemu dengan-
mu...," jawab Aryani gelagapan.
Kelelawar Hutan mengerutkan keningnya
dalam-dalam. Matanya yang merah terus meman-
dangi putrinya tak berkedip.
"Apa kau tidak mendengar peringatan
keempat orang muridku, Aryani?!" tukas Kelela-
war Hutan, dingin.
"Sudah, Ayah"
"Lantas, mengapa tidak cepat-cepat enyah
dari hadapanku?!"
Aryani menggigit bibirnya dengan perasaan
kelu. Rasa-rasanya baru kali ini ia melihat tam-
pang seram ayahnya yang biasanya bersikap lem-
but. Entah mengapa ayahnya beberapa hari ini te-
lah berubah sikapnya. Terutama sejak diadakan-
nya sayembara berdarah itu. Belum lagi dengan
kata-kata kasarnya tadi. Diam-diam gadis ini
membenarkan ucapan ibunya tadi.
"Nanti, Ayah. Aku ada beberapa pertanyaan
yang harus dijawab," tolak Aryani membandel.
Kerutan di kening Kelelawar Hutan makin
tajam. Kedua pelipisnya pun turut bergerak-gerak
saking gusarnya.
"Anak Setan! Apa kau tidak tahu apa yang
sedang Ayah lakukan?" bentak Kelelawar Hutan
garang.
Bukan main kagetnya hati Aryani menden-
gar bentakan ayahnya barusan. Ia tidak me-
nyangka akan dimaki dengan sebutan 'Anak Se-
tan'. Dan karena saking kagetnya, matanya sam-
pai terbelalak liar, seolah tak mempercayai pen-
dengarannya barusan.
"Maaf Ayah! Bukan maksudku menggang-
gu. Tapi..., tapi ketahuilah! Setelah memeriksa
mayat Kakang Jalu, Kakang Suro, Kakang Simo,
dan Kakang Permadi, aku dapat menyimpulkan
kalau mereka terkena cakaran dan cengkeraman
jurus-jurus sakti 'Cengkeraman Maut Kelelawar
Sakti' dan 'Cakar Maut Kelelawar Hutan' dari per-
guruan kita," tegas si gadis, berani
Kelelawar Hutan mendengus sinis. Diam-
diam hatinya gusar sekali, karena tidak me-
nyangka kalau putrinya mengetahui jurus-jurus
maut simpanannya yang tidak pernah diajarkan-
nya kepada murid-muridnya. Kendati belum ditu-
runkan, namun Aryani tahu nama jurus-jurus itu
dari ayahnya.
"Bagus kalau kau sudah mengetahui itu
semua! Berarti, kau pun telah menemukan Gua
Kematian di tepi barat lereng Gunung Sumbing.
Dan kalau kau sudah mengetahui, lantas mau
apa he?!" desis Kelelawar Hutan,
"Aku ingin tahu, siapa orang yang telah
menebarkan maut di perguruan kita ini, Ayah."
"Kau ingin bertanya padaku?" tanya Kele-
lawar Hutan dengan wajah dingin.
"Betul, Ayah!"
Kelelawar Hutan tertawa terbahak-bahak.
Matanya yang merah sebentar memperhatikan
putrinya tajam. Sebentar kemudian, pandangan
matanya dialihkan ke angkasa sambil tetap terta-
wa.
"Kalau kukatakan aku tidak tahu, apa kau
puas?" Kelelawar Hutan balik bertanya.
"Jadi, Ayah tidak tahu?" tukas Aryani
"Ya."
"Mustahil!" tukas Aryani makin berani.
Kelelawar Hutan mendelik murka.
"Kau mau tanya aku, atau mau menggu-
ruiku, he?! Lekas tinggalkan tempat ini!" hardik-
nya kasar.
"Aku tidak akan meninggalkan tempat ini
kalau Ayah belum memberi tahu siapa orang yang
telah menebar maut di perguruan kita!" teriak
Aryani, kalap.
"Dasar Anak Setan! Jangan salahkan kalau
ayahmu harus menghajarmu. Bahkan mencabut
nyawa busukmu, Bocah!" bentak Kelelawar Hutan
murka. Saat itu juga, Ketua Perguruan Kelelawar
Putih melompat ke depan. Begitu mendarat tu-
buhnya yang tinggi besar sedikit didoyongkan ke
depan. Sementara kedua telapak tangannya dis-
entakkan ke depan.
Aryani cepat melompat ke samping kiri,
menghindari serangan Kelelawar Hutan. Namun
dugaannya meleset. Karena Kelelawar Hutan tiba-
tiba memutar tubuhnya. Kaki kanannya siap
menghantam tubuh anak tunggalnya.
"Hiaaa...!"
Seketika itu juga, Aryani mempercepat lon-
catannya. Namun lagi-lagi Kelelawar Hutan men-
gejarnya dengan kecepatan luar biasa. Tubuhnya
terus berputar-putar melepas tendangan.
Si gadis terperangah. Apalagi saat merasa-
kan deru angin keras. Dan tahu-tahu ia melihat
tendangan ayahnya telah di depan mata! Tidak
ada pilihan lain bagi Aryani kecuali harus me-
nyentakkan kedua tangannya, menghadang ten-
dangan. Namun ternyata tendangan kaki itu lebih
cepat datangnya. Akibatnya....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Aryani terpekik keras. Tubuhnya ter-
huyung-huyung sampai lima langkah ke bela-
kang. Untungnya tubuhnya masih sempat dis-
orongkan ke samping, hingga tendangan itu
hanya menghantam pahanya. Kain bagian pa-
hanya robek. Sementara kulit paha di baliknya
membiru. Gadis cantik ini merasakan pahanya
seakan remuk. Seketika itu juga wajahnya pucat
pasi. Bibirnya bergetar-getar. Sungguh tidak dis-
angka kalau ayahnya benar-benar akan menye-
rang demikian hebatnya.
Dalam keadaan murka seperti itu, Kelela-
war Hutan geram bukan main. Ia tidak puas den-
gan hasil serangan pertamanya tadi. Kini tubuh-
nya kembali cepat melesat ke depan. Kedua tan-
gannya dihantamkan sekaligus ke arah Aryani!
Wuttt...!
Aryani mencoba mengangkat kedua tan-
gannya hendak menangkis pukulan Kelelawar
Hutan. Karena disadari, tak mungkin serangan
ayahnya dihindari. Akibatnya....
Prakkk! Prakkk!
"Aaa...!"
Terdengar bunyi dua pasang beradu di
udara.
Aryani memekik setinggi langit. Kedua tan-
gannya terasa remuk dan ngilu bukan main. Na-
mun rupanya serangan-serangan Kelelawar Hu-
tan tidak hanya sampai di sini. Begitu melihat pu-
trinya memekik, kaki kanannya cepat diangkat.
Bukan main hebatnya serangan Kelelawar
Hutan kali ini. Belum sempat tendangannya ber-
sarang terlebih dahulu angin berkesiur kencang
telah melesat lebih dulu.
Aryani terperangah. Tak mungkin serangan
ayahnya dihindari. Apalagi dalam jarak demikian
dekatnya. Namun....
"Tunggu, Mandra!" bentak seseorang ga-
rang. Bersamaan dengan itu, melesat angin dingin
ke arah tubuh Kelelawar Hutan.
Kelelawar Hutan mendengus. Dan secepat
kilat dipapakinya serangan yang datang ke arah-
nya dengan kedua tangan menghentak. Sementa-
ra kaki kanannya, tetap diteruskan menyerang
Aryani!
Dukkk! Dukkk! Buukk!
"Augh...!"
Aryani memekik tertahan. Seketika tubuh-
nya terpelanting bagai layang-layang putus ta-
linya, berputar-putar sebentar dan jatuh bergede-
buk di tanah. Pingsan dengan mulut dan hidung
mengeluarkan darah segar.
"Aryani..!" pekik sesosok bayangan putih-
putih telah berkelebat ke arah gadis itu. Lalu di-
periksanya tubuh Aryani yang terkapar tak sa-
darkan diri itu seksama.
"Keparat kau, Mandra! Kau boleh melukai-
ku. Tapi, tidak dengan putri ku!" bentak sosok
yang tak lain Bidadari Putih garang.
Sehabis berkata begitu perempuan berpa-
kaian putih-putih itu berdiri dan meloncat ke de-
pan. Tubuhnya sedikit didoyongkan ke depan
dengan kedua tangan disentakkan ke bawah.
Kelelawar Hutan cepat mengangkat kedua
tangannya menyilang ke depan dada. Mengira ka-
lau perempuan yang tak lain istrinya akan me-
nyerang dengan tangan, lelaki itu merundukkan
kepalanya sedikit.
Namun rupanya dugaan Kelelawar Hutan
meleset. Bidadari Putih tiba-tiba memutar kaki
kanannya menyerang dada.
Kelelawar Hutan geram bukan main. Kali
ini ia tidak mau tertipu cepat badannya dirunduk
hingga hampir menyentuh tanah. Maka serangan
istrinya pun lewat beberapa rambut di atas tu-
buhnya.
Pada saat itu pula, tangan kanan Kelelawar
Hutan cepat menyusup di antara gerakan kaki is-
trinya. Dan....
Bukkk!
Tangan kanan Kelelawar Hutan berhasil
menepuk paha istrinya hingga memekik tertahan.
Keseimbangan tubuh perempuan itu sedikit
goyah. Untungnya tubuhnya cepat diputar bebe-
rapa kali di udara, lalu mendarat tak jauh dari
Aryani.
"Ha ha ha...! Kau tidak mungkin dapat me-
nandingiku, Istriku. Dalam tubuhmu telah dela-
pan belas tahun bersemayam racun yang akan
menggerogoti tubuhmu. Sebaiknya lekas urus
anakmu itu!"
Bidadari Putih menggeram penuh kemara-
han. Disadari, dalam tubuhnya memang menge-
ram Racun Kelelawar Putih yang sulit sekali dicari
obat penawarnya. Dan tentu saja ini membuat ge-
rakannya lamban. Tenaga dalamnya pun berku-
rang. Terpaksa kedua tangannya yang sudah siap
mengeluarkan tenaga dalam diurungkan. Namun
tiba-tiba dadanya terasa nyeri sekali. Tanpa sadar
perempuan berpakaian putih-putih itu meringis
ngilu. Wajahnya pias. Bibirnya bergetar-getar.
Dan ia hanya bisa memandangi suaminya dengan
mata melotot.
Kelelawar Hutan mendengus.
"Seranglah aku sepuasmu, Istriku! Mung-
kin kau ingin cepat modar?!"
Bidadari Putih mendelik gusar. Walau se-
marah apa pun, tak mungkin menyerang sua-
minya. Di samping belum tentu mampu menan-
dingi, ia pun takut kalau racun yang mengeram
dalam tubuhnya selama delapan belas tahun
akan lebih cepat menggerogoti tubuhnya. Dan
akhirnya, mati!
"Sudahlah! Tak usah terlalu kau pikirkan!
Pokoknya selama masih berada di sisiku, kau
pasti masih dapat menghirup indahnya udara
dunia lebih lama lagi. Sekarang, urus sajalah
anakmu!"
Sehabis berkata begitu, Kelelawar Hutan
masuk kembali ke dalam bangunan itu.
Bidadari Putih kini telah membopong tu-
buh Aryani. Dan tanpa menoleh lagi, kedua ka-
kinya menutul tanah. Seketika tubuhnya berkele-
bat cepat menuju Perguruan Kelelawar Putih.
6
Sang raja siang saat ini merayap menuju
puncaknya. Panas terasa mulai tidak bersahabat.
Di bawah sebuah pohon di padang yang cukup
luas, terlihat seorang pemuda tampan berpakaian
rompi dan celana bersisik warna putih keperakan
tengah asyik menyantap daging ayam bakar. Ma-
tanya mengerjap-ngerjap penuh nikmat. Mulut-
nya terus bergoyang-goyang, melumat daging di
tangan sampai ludes. Sementara di hadapannya
daging ayam yang dibakar terlihat mulai hangus.
Sembari mengomel panjang pendek buru-
buru pemuda itu melemparkan tulang di tangan
sembarangan. Dan belum sempat tangan yang
lain memontes paha ayam bakar di hadapannya,
mendadak....
"Adaaww...!" teriak seseorang dari balik
semak. Mungkin terkena timpukan tulang ayam
yang baru saja dilempar.
Pemuda berambut gondrong yang tidak lain
Soma itu makin mempertajam pendengarannya.
Matanya yang agak biru menghunjam ke balik
semak.
"Sontoloyo! Siapa yang berani kurang ajar
padaku, he?!" bentak seseorang dari balik semak.
Belum hilang gaung suara makian orang
itu, tiba-tiba semak belukar di samping murid
Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar Siluman
Ular Putih itu bergerak-gerak. Dan tahu-tahu
berkelebat sesosok bayangan kuning, lalu menda-
rat dua tombak di depan Siluman Ular Putih. Kini
tampak seorang lelaki tua bertubuh pendek ber-
jubah kuning yang kedodoran sampai ke tanah.
Di tangan kanannya masih memegang tulang
ayam yang baru saja dilemparkan Soma.
Soma bangkit sambil memandangi sosok di
depannya, mirip orang linglung. Bukannya Silu-
man Ular Putih heran melihat orang itu masih
memegangi tulang ayam yang dilemparkannya ta-
di, maupun penampilannya yang lucu dengan dua
batang gigi kuningnya yang mancung ke depan.
Tapi ia heran melihat kumis orang itu yang mirip
kumis kucing! Itulah yang membuatnya melongo
untuk beberapa saat.
"Bocah Edan! Apa kau tidak pernah diajar-
kan ibumu tata krama, he?! Nih, kukembalikan
tulang ayammu!" hardik orang tua pendek yang
tidak lain Lelaki Berkumis Kucing garang. Tangan
kanannya yang memegang tulang ayam mengibas
ke depan.
Wuttt...!
Laksana senjata rahasia tulang ayam di
tangan Lelaki Berkumis Kucing cepat melesat
menyerang Soma.
"Heh?!"
Soma yang sedang melongo terkesiap. Na-
mun bukan berarti ia lengah. Secepatnya tubuh-
nya dibuang ke samping kiri.
"Eh eh eh...! Maaf, kalau tulangku tadi
nyasar ke kepalamu! Aku tak sengaja kok," kata
si pemuda.
Apa yang dikatakan Siluman Ular Putih itu
memang benar. Tulang itu mengenai kening Lela-
ki Berkumis Kucing. Buktinya, kening lelaki tua
pendek itu masih belepotan air liur.
Lelaki Berkumis Kucing mengerutkan ge-
rahamnya. Matanya mendelik saking gusarnya.
"Bocah Edan! Kau pasti begundalnya si ke-
parat Kelelawar Hutan itu! Jangan dikira aku ta-
kut menghadapimu, Bocah! Lekas bersujud di
kakiku. Kalau tidak, biar aku yang memenggal le-
hermu!" bentak Lelaki Berkumis Kucing garang
seraya kembali menyerang. Kesepuluh jarinya
yang berkuku panjang bergerak mencabik-cabik
di udara. Sedang kedua gigi kuningnya yang men-
jorok ke depan bergerak-gerak liar seperti hendak
mencabik-cabik bangkai tikus.
Siluman Ular Putih tersenyum geli. Entah
mengapa, ia jadi senang sekali melihat gigi man-
cung dan kumis orang tua pendek itu. Dan begitu
merasakan angin dingin berkesiur menyerang di-
rinya, tubuhnya cepat dimiringkan ke kiri sembari
diam-diam mulai mengerahkan kekuatan batin-
nya.
Lelaki Berkumis Kucing menggereng penuh
kemarahan. Hatinya penasaran sekali melihat se-
rangan pertamanya dapat dimentahkan pemuda
lawannya dengan mudah. Padahal tadi ia menge-
luarkan salah satu jurus andalannya yang diberi
nama jurus 'Sakti Kucing Hutan'.
Melihat serangan pertamanya gagal, Lelaki
Berkumis Kucing kembali menerjang ke depan.
Kesepuluh jarinya yang berkuku panjang semakin
bergerak-gerak liar menyerang.
"Giman Kuning! Mengapa kau jadi galak
begini? Jangan galak-galak begini, ah! Ayo, lekas
hentikan seranganmu!" bentak Soma dengan sua-
ra bergetar-getar aneh.
Lelaki Berkumis Kucing terkesiap. Entah
mengapa, tiba-tiba saja terasa gelombang kekua-
tan gaib yang entah dari mana datangnya menye-
rang jalan pikirannya! Seketika itu juga tubuhnya
tergetar hebat. Kedua kaki dan tangannya yang
sedang bergerak menyerang sulit sekali digerak-
kan. Dan akhirnya tak dapat digerakkan sama
sekali!
Bukan main kagetnya Lelaki Berkumis
Kucing melihat kenyataan ini. Kedua bola ma-
tanya terbelalak liar saking herannya.
"Kau... kau...!" ucap Lelaki Berkumis Kuc-
ing menggantung.
Soma tertawa perlahan. Mata birunya
mengerjap-ngerjap nakal.
"Kau heran dengan makianku tadi, ya?
Memang kenyataannya begitu, kok. Habis aku ha-
rus bilang apa? Gigimu kuning, mancung lagi.
Apa itu bukan Giman Kuning namanya? Hik hik
hik...!" ejek Soma, mengira kalau Lelaki Berkumis
Kucing marah mendengar makiannya tadi.
Lelaki bertubuh pendek menggereng hebat.
Kedua pelipisnya bergerak-gerak pertanda ama-
rahnya sudah mencapai puncaknya. Lalu dengan
kemarahan memuncak diserangnya Siluman Ular
Putih. Namun baru saja tenaga dalamnya dike-
rahkan, tiba-tiba ia terbatuk-batuk hebat.
"Hoek!"
Lelaki Berkumis Kucing memuntahkan da-
rah segar akibat luka-lukanya yang belum sem-
buh sekeluarnya dari dalam Sumur Kematian!
Soma terkesiap. Matanya terbelalak lebar
seolah tidak percaya apa yang dilihatnya. Sebe-
narnya ia tadi sudah tahu kalau lelaki tua pendek
di hadapannya sedang terluka dalam, tapi sung-
guh tidak disangka lukanya separah itu.
"Ah...! Ternyata lukamu cukup parah juga,
Orang Tua. Tadi kukira kau hanya terluka dalam
saja. Ayo, sekarang biarkan aku mengobatimu
dulu!" ujar Soma seraya mendekati Lelaki Berku-
mis Kucing.
Lelaki Berkumis Kucing melotot lebar. Ke-
dua kakinya dipentangkan lebar-lebar. Sedang
kesepuluh jarinya telah mencabik-cabik udara
siap keluarkan jurus-jurus mautnya. Bagaimana-
pun juga ia masih mencurigai Soma.
"Kenapa kau marah-marah begini, Orang
Tua? Aku bukan orang yang kau maksudkan.
Aku hanyalah seorang pengembara yang kebetu-
lan lewat di hutan ini. Hayo, sekarang lekaslah
merebah! Biarkan aku mengobatimu," ujar Soma
lagi, diam-diam kembali mengerahkan kekuatan
batinnya.
Tubuh Lelaki Berkumis Kucing bergoyang-
goyang, tidak kuat melawan kekuatan gaib dari
bentakan Soma tadi. Akibatnya perlahan-lahan
tubuhnya pun melorot dan jatuh menggeloso di
tanah!
Melihat hal itu, Soma pun segera mendeka-
ti tubuh Lelaki Berkumis Kucing. Cepat ditotok-
nya beberapa jalan darahnya yang tersumbat. La-
lu kedua telapak tangannya ditempelkan ke
punggung Lelaki Berkumis Kucing. Dan mulailah
tenaga dalamnya dikerahkan.
"Nah, sudah! Sekarang kau bangunlah dan
ceritakan mengapa sampai kau terluka seperti
ini!"
Siluman Ular Putih menepuk-nepukkan
kedua telapak tangannya, lalu duduk menggeloso
di depan Lelaki Berkumis Kucing.
"Terima kasih, Bocah. Sebenarnya aku tak
sudi menerima pertolonganmu ini," ucap Lelaki
Berkumis Kucing seraya duduk bersila berhadap-
hadapan dengan pemuda penolongnya. Kini kese-
hatannya telah pulih seperti sedia kala.
"Apa kau bilang tadi? Kau tidak sudi kuto-
long?" sentak Soma, melotot gusar.
"Sebenarnya, iya. Tapi, sudahlah! Seka-
rang, bukalah telingamu lebar-lebar, jika kau ter-
tarik dengan teka-teki Sumur Kematian di lereng
sebelah barat Gunung Sumbing."
"Baik! Baik! Aku akan mendengarkan ceri-
tamu, Orang Tua. Kedengarannya menarik seka-
li."
Lelaki Berkumis Kucing menghela napas-
nya sebentar, lalu menceritakan kejadian yang
menimpanya di Perguruan Kelelawar Putih.
Soma mendengarkan dengan seksama. Se-
bagai seorang pendekar, jiwanya langsung tersen-
tak begitu mendengar cerita lelaki tua bertubuh
pendek itu.
"Terima kasih atas keteranganmu, Orang
Tua. Sekarang juga aku akan menyelidiki Sumur
Kematian yang penuh teka-teki itu. Selamat ting-
gal!" kata Soma. Seketika kedua kakinya menjejak
tanah, lalu berkelebat ke arah timur.
Sebaliknya Lelaki Berkumis Kucing sendiri
pun segera berkelebat ke arah barat, untuk men-
cari musuh bebuyutannya. Cantrik Tudung Pan-
dan!
7
Matahari sudah lama tenggelam di kaki
langit sebelah barat. Sementara awan hitam ber-
gerombol-gerombol, memenuhi angkasa raya
hingga tampak semakin pekat. Kerlipan berjuta
bintang dan terangnya sinar rembulan tak kuasa
menembusnya, membuat suasana alam mayapa-
da ini semakin mencekam.
Di lereng sebelah barat Gunung Sumbing,
satu sosok bayangan putih-putih tengah mengen-
dap-endap di atas tembok Pekarangan Terlarang.
Setelah merasa aman, sosok ini pun cepat berke-
lebat ke arah Sumur Kematian. Sesampainya di
sana ia celingukan ke sana kemari sebentar.
Layaknya seorang maling yang takut dike-
tahui orang, buru-buru sosok bayangan putih-
putih ini mengeluarkan sebuah bungkusan dari
balik pakaian dan segera menceplungkannya ke
dalam Sumur Kematian. Namun belum juga tu-
buhnya berbalik, mendadak....
"Ibu...! Apa yang Ibu lakukan di sini?"
Sosok yang tak lain Bidadari Putih ini ter-
kesiap kaget mendengar suara halus dari bela-
kangnya. Buru-buru kepalanya dipalingkan.
Tampak satu bayangan putih tengah berkelebat
cepat ke arahnya. Dan sebentar saja sosok ini te-
lah tiba di depan Bidadari Putih.
"Kenapa kau menyusulku kemari, Aryani?"
tanya perempuan berpakaian putih-putih itu, pa-
da sosok yang ternyata Aryani.
"Tadi kulihat Ibu tengah berlari kencang
menuju kemari. Aku khawatir sekali akan kese-
lamatanmu. Makanya aku menyusul kemari, Bu,"
jawab Aryani, jujur.
Sejenak si gadis memperhatikan wajah
ibunya heran. Lalu kepalanya melongok ke dalam
lubang Sumur Kematian.
"Apa yang tadi Ibu lemparkan tadi?" tanya
Aryani heran.
Perempuan berpakaian putih-putih tak
menjawab pertanyaan putrinya. Ia hanya menghe-
la napasnya resah, sambil melangkah pelan-
pelan.
"Mari kita pulang, Anakku!"
"Tunggu, Ibu! Ibu belum menjawab perta-
nyaanku." Aryani cepat menangkap lengan ibunya
hingga berhenti melangkah. Matanya menatap ta-
jam Bidadari Putih.
Perempuan berusia sekitar empat puluh
tahun itu tampak gelisah. Sebentar matanya me-
mandang putrinya, sebentar kemudian beralih ke
arah Sumur Kematian.
"Kenapa Ibu kelihatannya takut sekali? Apa
yang Ibu takutkan? Katakanlah padaku, Bu!"
Bidadari Putih menggeleng-gelengkan ke-
palanya dengan bibir bergetar. Kembali kakinya
melangkah. Kali ini agak cepat.
"Ibu... Ibu tidak berani. Ibu sudah bersum-
pah...," keluh Bidadari Putih.
"Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak berani
mengatakannya padaku?" desak Aryani mengejar.
"Jangan paksa Ibu, Anakku! Ibu...Ibu tidak
berani...."
"Katakanlah, Bu! Barangkali saja keteran-
gan Ibu dapat berguna untuk melacak orang yang
telah membantai murid-murid perguruan kita!"
desak Aryani
Bidadari Putih kembali menggeleng-geleng.
"Tidak, Anakku! Tidak...!"
Aryani melongo, tak percaya kalau ibunya
tetap tidak mau bicara. Namun belum sempat
membuka mulutnya....
"Dasar perempuan-perempuan setan! Siapa
suruh kalian mendekati Sumur Kematian, heh?!"
Tiba-tiba saja anak beranak itu dikejutkan
bentakkan kasar dari seseorang.
"Celaka!" keluh perempuan berpakaian pu-
tih-putih gelisah, begitu mengenali siapa sosok
yang kini telah tegak di hadapan mereka.
***
Orang yang barusan membentak adalah
seorang lelaki bertubuh tinggi besar dengan pa-
kaian warna putih-putih. Rambutnya panjang. Di
kepalanya tampak melingkar ikat kepala juga
warna hitam. Kumisnya lebat. Demikian pula
cambang dan jenggotnya. Sepasang matanya ta-
jam seperti serigala. Dan kini sepasang mata itu
berkilat-kilat penuh kemarahan. Dialah Kelelawar
Hutan!
"Mandra...!" desah Bidadari Putih ketaku-
tan. Aryani yang melihat perubahan sikap ibunya
jadi gelisah sekali. Sejak peristiwa di bangunan
besar dekat Pekarangan Terlarang kemarin siang,
gadis ini jadi benci sekali kepada ayahnya. Apala-
gi ia hampir saja celaka di tangan orang yang ber-
gelar Kelelawar Hutan itu. Maka begitu melihat
ayahnya berlaku kasar terhadap ibunya, pera-
saannya tidak dapat dikendalikan lagi.
"Ayah...! Sebenarnya ada urusan apa di ba-
lik ini semua, sehingga sudah hampir dua minggu
Ayah berlaku kasar begini terhadap Ibu?! Apa,
Ayah?!" teriak Aryani lantang, seraya menghampi-
ri Mandra alias Kelelawar Hutan hingga bergerak
setengah tombak.
"Tutup mulutmu, Aryani! Ini bukan uru-
sanmu!" hardik Kelelawar Hutan, garang.
"Tidak, Ayah! Selama Ayah belum menceri-
takan semua urusan ini padaku, aku tidak akan
tinggal diam! Aku akan terus mencari siapa biang
keladi di balik semua peristiwa ini."
"Keparat! Kau lancang sekali, Bocah! Apa
kau belum kapok dengan kejadian kemarin siang,
he?!"
"Biar Ayah membunuhku sekalipun, aku
tidak akan pernah merasa kapok! Aku harus
mencari siapa yang telah menebar maut di pergu-
ruan kita, Ayah!" tandas Aryani, berani.
"Anjing kurap! Jangan salahkan aku kalau
terpaksa aku membunuhmu, Bocah!" bentak Ke-
lelawar Hutan garang seraya mengibaskan tangan
kanannya dengan gerakkan sulit sekali diikuti
pandangan mata.
Plakkk! Plakkk!
Bidadari kecil terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang mendapat tamparan seba-
nyak dua kali. Pipinya yang terkena tamparan ba-
rusan terasa nyeri bukan main.
Kelelawar Hutan menggeram penuh kema-
rahan. Belum puas rasanya ia menghajar anak-
nya yang dianggap telah lancang mencampuri
urusannya. Maka dengan kedua tangan terkem-
bang seperti sayap kelelawar, cepat diterjangnya
gadis itu.
Aryani yang sedang terhuyung-huyung
hanya bisa membelalakkan matanya lebar. Sulit
sekali rasanya menghindari serangan ayahnya
kali ini. Namun belum sempat berpikir bagaimana
harus mengatasi serangan, tahu-tahu di hada-
pannya berkelebat bayangan putih yang langsung
menghadang serangan Kelelawar Hutan!
Wesss!
Prakkk!
Terdengar benturan keras di udara disertai
pekikan keras. Tubuh perempuan berpakaian pu-
tih-putih yang memapaki serangan Kelelawar Hu-
tan limbung ke kiri. Tangannya yang tadi buat
memapak terasa remuk. Namun tanpa menghi-
raukan lukanya, kembali dihadangnya serangan-
serangan Kelelawar Hutan yang terus ditujukan
pada Aryani!
"Tunggu, Mandra! Sekali lagi kau berani
menyentuh anakku, demi Tuhan aku akan men-
gadu nyawa denganmu!" bentak Bidadari Putih
garang.
Kelelawar Hutan terpaksa menghentikan
serangannya. Parasnya yang kasar menegang.
Kedua pelipisnya bergerak-gerak, pertanda se-
dang dilanda amarah menggelegak.
"Baik, Surtini! Sekali ini aku masih men-
gampuni nyawa anakmu. Tapi tidak untuk yang
kedua kalinya!" dengus Mandra, menyebut nama
asli istrinya.
"Apa pun ancamanmu, aku tetap akan
membela anak kandungku, Mandra! Walau aku
harus mati di tanganmu," desis Surtini, dingin.
Kelelawar Hutan mendengus kembali. Ma-
tanya yang tajam berkilat liar pandangi Aryani.
"Kalau saja aku. tidak memandang muka
ibumu, sudah kulumat habis tubuhmu, Bocah!"
dengusnya.
"Siapa takut dengan ancamanmu, Orang
Tua?!" sahut Aryani tak lagi memanggil Kelelawar
Hutan dengan sebutan 'Ayah'.
"Kau tidak lagi menyebutku ayah, Bocah?!"
"Tidak ada gunanya menyebutmu ayah,
Orang Tua. Malah mulai saat ini aku mulai me-
nyangsikanmu kalau kau ayah kandungku!" tegas
Aryani berani.
"Apa kau bilang, Bocah?!" hardik Kelelawar
Hutan murka. Kedua tangannya kembali terang-
kat tinggi-tinggi, siap menyerang Aryani.
"Hentikan seranganmu, Mandra!" bentak
Bidadari Putih seraya maju selangkah melindungi
putrinya.
"Keparat, kalian! Ibu dan anak sama saja!
Cepat kalian enyah dari hadapanku sebelum piki-
ranku berubah!" bentak Mandra penuh kemara-
han.
Surtini cepat menyambar lengan putrinya.
Dan dalam sekali hentakan saja, tahu-tahu anak
beranak itu telah melesat ke depan, dan menghi-
lang di balik tembok Pekarangan Terlarang.
Kelelawar Hutan memperhatikan kepergian
anak beranak itu dengan wajah garang. Lalu en-
tah kenapa, tiba-tiba pandangannya ditujukan ke
arah Sumur Kematian.
"Sayang sekali kau tidak mau bicara den-
ganku...," gumam Kelelawar Hutan entah dituju-
kan kepada siapa.
Dan setelah berkata begitu, Kelelawar Hu-
tan segera menutulkan kedua kakinya ke tanah,
lalu cepat berkelebat menuju ke Perguruan Kele-
lawar Putin.
***
"Kenapa Ayah bersikap aneh begitu, Bu?
Mengapa tega hendak membunuhku?" tangis
Aryani di ruang utama perguruan.
Surtini memeluk putrinya erat. Tak sepa-
tah kata pun terucap dari bibirnya yang bergetar.
Hanya pandangannya dialihkan ke beberapa mu-
rid di ruang ini. Dengan tarikan dagunya ia men-
gisyaratkan agar mereka pergi.
Empat orang murid yang tegak di ruang
utama itu menjura hormat sebentar, lalu keluar.
"Kenapa Ibu diam saja?" desak Aryani me-
melas.
"Sudahlah, Aryani! Jangan cengeng! Kau
nanti akan tahu sendiri, siapa ayahmu," ujar pe-
rempuan berpakaian putih-putih ini gusar.
"Jadi dia bukan ayahku, Bu?"
"Aku tidak mengatakannya demikian!"
"Tapi...."
"Sudahlah! Jangan paksakan ibumu, Arya-
ni! Sekarang tidurlah!" tukas Bidadari Putih.
Sehabis berkata begitu, Surtini segera
membimbing Aryani masuk ke dalam kamar.
***
"Mandra! Kau boleh memperlakukan aku
dan Kakang Bagaskara sesuka hatimu. Tapi, demi
Tuhan! Sekali lagi kau ganggu Aryani, aku akan
mengadu jiwa denganmu!" teriak Bidadari Putih
begitu Kelelawar Hutan muncul di kamarnya.
"Heh! Kau pikir gampang mengalahkanku,
he?! Biar tua bangka Bagaskara itu kemari, tak
bakalan sanggup menghadapi ilmu 'Tabir Kegela-
pan'-ku!"
"Keparat kau, Mandra! Watakmu telah jauh
berubah setelah menganut ilmu sesat itu! Tunggu
pembalasanku nanti!" teriak Bidadari Putih panik.
Kelelawar Hutan tertawa bergelak-gelak.
Kepalanya didongakkan ke langit-langit kamar.
"Jangan mimpi, Surtini! Tak ada seorang
pun di dunia ini yang mampu mengusir Racun
Kelelawar Putihku dari dalam tubuhmu selain
aku. Untung saja aku masih sedikit menaruh iba
padamu. Kalau tidak, jangan harap dapat meng-
hirup udara alam mayapada ini, he?!"
"Manusia laknat kau telah sesat, Mandra!"
geram Bidadari Putih penuh kemarahan. Tubuh-
nya yang tinggi kurus itu cepat mencelat ke uda-
ra. Kedua tangannya terkembang seperti sayap
kelelawar, siap menembus ubun-ubun Kelelawar
Hutan.
Mandra cepat memiringkan tubuhnya sedi-
kit ke samping menghindari serangan. Dan begitu
angin dingin berkesiur beberapa rambut di sisi
tubuhnya, Kelelawar Hutan cepat menggerakkan
tangan kanannya, menyamplok pinggang Bidadari
Putih
Dukkk!
Tubuh tinggi kurus Bidadari Putih kontan
terlempar ke samping, membentur dinding dan ja-
tuh ke tanah. Wajahnya semakin pucat pasi. Mu-
lutnya meringis menahan nyeri pada pinggangnya
yang terkena pukulan tangan Kelelawar Hutan.
"Ha ha ha...! Semakin kau sering mengelu-
arkan tenaga dalam, semakin cepat pula Racun
Kelelawar Putihku menggerogoti tubuh kurusmu,
Surtini. Mungkin dalam dua tiga tahun lagi racun
itu akan bekerja lebih hebat lagi. Tunggu dan ra-
sakan saja saat datangnya tiba itu, Surtini!"
"Manusia laknat! Aku akan mengadu jiwa
denganmu!" geram Bidadari Putih dengan kema-
rahan membuncah. Tubuhnya yang tinggi kurus
kembali menerjang Kelelawar Hutan kalap.
Namun sayangnya, Mandra sudah berkele-
bat keluar dari kamarnya. Di samping itu, tiba-
tiba saja Bidadari Putih merasakan dadanya se-
sak sekali.
"Hoeeekh...!"
Darah segar berwarna merah kehitaman
keluar dari mulut Surtini, dan berhamburan di
lantai kamar. Tubuhnya gemetar. Wajahnya pucat
pasi. Bibirnya bergetar-getar, pertanda Racun Ke-
lelawar Putih yang mengeram dalam tubuhnya
hampir delapan belas tahun lebih, kembali meng-
gerogoti tulang-tulang dalam tubuhnya hebat.
Bidadari Putih mengeluh pendek. Matanya
terpejam rapat-rapat menahan nyeri. Cepat diam-
bilnya sikap semadi. Lalu ditariknya napasnya
dalam-dalam. Sebentar kemudian perempuan ini
sudah tenggelam dalam semadi.
8
Aryani yang sudah bangun pagi-pagi berge-
gas ke kamar ibunya. Kali ini ia bertekad akan
memaksa ibunya untuk bicara. Tapi apa yang di-
ketemukannya? Ternyata kamar itu kosong. En-
tah ke mana ibunya pergi.
Aryani jadi melongo. Satu perasaan cemas
tiba-tiba menyeruak dalam benaknya. Hatinya
berdebar-debar keras. Hampir saja ia menangis,
kalau matanya yang indah tidak menangkap se-
suatu di atas meja rias ibunya. Buru-buru dide-
katinya meja itu. Ternyata sebuah surat. Cepat
disambarnya kertas surat itu, dan dibacanya.
Untuk anakku: Aryani
Sudah saatnya Ibu meninggalkanmu, Anak-
ku. Ibu tidak kuat lagi menanggung penderitaan
ini. Ibu akan mencari seseorang yang barangkali
dapat mengeluarkan racun yang selama ini menge-
ram dalam tubuh ibumu. Selamat tinggal, Anakku!
Jagalah dirimu baik-baik!
Dari ibumu
Seketika itu juga mata Aryani jadi berku-
nang-kunang. Kepalanya seperti terkena pukulan
benda keras. Dipandanginya kertas surat itu den-
gan tangan bergetar. Mendadak ditemukannya
kejanggalan. Surat itu seperti ditulis terburu-
buru. Terlihat tintanya masih basah. Dan berarti,
ibunya belum lama meninggalkan kamar.
Tanpa pikir panjang lagi, Aryani segera ber-
lari keluar dari dalam kamar ibunya. Dalam bebe-
rapa kali loncatan saja, gadis itu sudah berada di
luar.
"Ibuuu...! Kau berada di mana?!" teriak
Aryani.
Tidak ada jawaban. Aryani terus mengu-
langi teriakannya keras-keras. Tetap saja tidak
ada jawaban. Hal ini membuatnya penasaran se-
kali. Kedua telapak kakinya segera menjejak. Ma-
ka dalam beberapa saat kemudian, gadis berpa-
kaian putih-putih itu telah melesat jauh mening-
galkan Perguruan Kelelawar Putih.
Mendadak mata Aryani sudah menjadi ber-
sinar terang. Dilihatnya satu bayangan putih ten-
gah berlari kencang, menuruni Lembah Klidung
yang membentang luas di antara kaki Gunung
Sumbing dan Gunung Sindoro. Seketika cepat di-
kerahkannya segenap ilmu meringankan tubuh
untuk mengejar bayangan putih di kejauhan sa-
na.
Sebentar saja Aryani sudah sampai di tem-
pat bayangan putih tadi berada. Namun bayangan
putih tadi juga tidak tinggal diam. Kini ia sudah
tidak berada di tempatnya.
Aryani kembali menggenjot tubuhnya, lalu
bergerak cepat mengejar bayangan putih tadi. Se-
bentar saja ia telah melihat samar-samar bayan-
gan putih-putih yang diyakini ibunya.
"Ibu...! Tunggu...!" teriak si gadis.
Aryani cepat menambah kecepatan larinya.
Begitu mendengar teriakan tadi, bayangan putih-
putih itu segera berhenti. Badannya berbalik den-
gan sikap menunggu. Dan sebentar saja, Aryani
sudah sampai, langsung menjatuhkan diri dalam
pelukan bayangan putih yang memang ibunya
sambil menangis sesenggukan.
Namun mendadak Aryani merasakan tu-
buh ibunya bergetar. Cepat dilepaskannya pelu-
kan, lalu melangkah mundur beberapa tindak. Di-
lihatnya, ibunya tengah memandangi dirinya den-
gan air mata bercucuran.
"Ibu...! Kenapa Ibu meninggalkan aku tan-
pa pamit?!" tanya Aryani, penuh tuntutan.
"Maafkan ibumu, Nak! Ibumu tidak tahan
dengan semua penderitaan ini Ibu ingin mencari
seseorang agar mau menolong. Sekarang juga.
Bukankah kau sudah membaca surat Ibu?"
Aryani menangkap kata-kata ibunya seper-
ti memastikan akan kepergiannya. Dan seketika
ia pun kembali menangis tersedu.
"Mengapa kau tidak mengajakku?" tanya
Aryani dengan suara bergetar.
Bidadari Putih tidak menyahuti ucapan pu-
trinya. Hanya dipandanginya putrinya sebentar.
Dan tanpa banyak cakap lagi, kedua kakinya te-
lah menjejak tanah, dan cepat melesat pergi.
"Kau mempunyai masa depan yang pan-
jang, Aryani. Pergunakanlah kesempatan itu baik-
baik, Anakku! Selamat tinggal!"
"Ibuuu...!" panggil Aryani dengan suara
memilukan.
Namun Bidadari Putih tidak mempedulikan
panggilan putrinya lagi. Dengan mengerahkan il-
mu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai
tingkat tinggi, tahu-tahu bayangannya telah le-
nyap di antara rimbunnya pepohonan di hutan
depan sana.
Aryani berdiri mematung di tempatnya. Air
matanya terus mengucur deras membasahi pipi.
Kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin ra-
sanya ia mengejar ibunya ke mana saja. Namun
bila teringat ayahnya, entah mengapa hati gadis
itu jadi panas sekali. Untuk itu, diputuskannya
untuk kembali ke Perguruan Kelelawar Putih gu-
na melacak siapa orang yang telah menebar maut
di perguruannya itu.
Namun belum sempat gadis cantik berpa-
kaian putih-putih itu menggerakkan kedua ka-
kinya meninggalkan tempat itu, mendadak....
"Ck ck ck...! Macam-macam saja kehidu-
pan yang menyelimuti bumi mayapada ini...."
Aryani mendadak menghentikan langkah-
nya dengan wajah terkejut ketika mendengar sua-
ra dari atas pohon. Matanya yang membelalak liar
segera menghunjam ke arah datangnya suara. La-
lu keningnya berkerut dalam, seperti menatap he-
ran.
***
Ternyata di atas pohon tak jauh dari Aryani
berdiri, seorang pemuda tampan berpakaian rom-
pi dan celana bersisik warna putih keperakan
tengah asyik duduk ongkang-ongkang kaki di sa-
lah satu ranting. Tampak pula rambutnya yang
gondrong berkibar-kibar tertiup angin. Sedangkan
mulutnya terus komat-kamit tanpa mempeduli-
kan keadaan sekitarnya. Tangan kirinya meme-
gang beberapa untai buah jamblang hutan yang
besar dan berwarna merah kehitaman. Buah itu-
lah yang tengah dilahapnya ketika bicara, sehing-
ga suaranya tadi terdengar seperti orang bergu-
mam.
Kening Aryani makin berkerut dalam. Apa-
lagi ketika melihat di bawah pohon banyak berse-
rakan buah jamblang. Gadis ini jadi tidak habis
pikir kenapa kehadiran si pemuda tidak diketa-
huinya. Dengan adanya buah jamblang yang ber-
serakan sudah membuktikan kalau pemuda itu
sudah cukup lama berada di atas pohon. Dan
yang membuatnya heran, mengapa telinganya tak
dapat menangkap gerakan kaki pemuda itu, sebe-
lum berada di atas pohon?!
"Huh! Kenapa aku harus pusing-pusing
memikirkan kedatangannya? Bisa jadi pemuda
sinting itu sudah lama berada di atas pohon,"
dengus Aryani dalam hati.
Dan begitu teringat akan gerutuan pemuda
itu tadi, Aryani pun menudingkan telunjuknya.
"Keparat! Mengapa kau usil mencampuri
urusanku, he?!" bentaknya, garang.
"Eh...! Siapa yang usil? Aku hanya sedang
merenungi kehidupan ini, kok," tangkis si pemu-
da kalem. Dia tak lain dari Soma alias Siluman
Ular Putih.
Sehabis berkata begitu, Soma mengelap
mulutnya yang celemongan dengan kedua tangan.
Lalu dilemparnya buah jamblang ke arah Aryani.
"Tapi, sudahlah! Tak usah bersitegang be-
gini! Kulihat wajahmu pucat. Mungkin kau belum
sarapan. Ambillah buah jamblang yang tadi ku-
lempar. Enak, kok," lanjut si pemuda.
Gadis itu dongkol bukan main diambilnya
buah-buah jamblang yang tadi dilemparkan pe-
muda sinting itu. Satu persatu, segera dijentik-
kannya dengan jari-jari tangan.
"Ah...! Dalam keadaan sulit begini, ketemu
orang gendeng lagi! Nih, makanlah buah-buah
jamblangmu!" maki Aryani.
Wesss!
Wesss!
Buah-buah jamblang itu kini melesat ke
arah Soma. Bahkan menyerang ke beberapa arah
jalan darah di tubuh si pemuda dengan kecepatan
dahsyat.
Siluman Ular Putih melotot gusar. Bukan-
nya karena melihat buah-buah jamblangnya me-
nyerang dirinya, melainkan melihat dirinya dima-
ki 'orang gendeng'. Maka, mulutnya yang masih
penuh kunyahan-kunyahan buah jamblang sege-
ra disemburkan, memapaki serangan buah-buah
jamblang yang dijentikkan Aryani.
Buueerrr...!
Seketika itu juga buah-buah jamblang yang
dijentikkan Aryani jatuh berserakan ke tanah.
Sedang semburan kunyahan buah jamblang So-
ma terus menerabas ke depan.
Tapi sayang, Aryani sudah tidak berada di
tempatnya. Sehingga semburan kunyahan buah
jamblang Soma hanya mengenai tempat kosong
belaka! Sedang gadis itu telah berkelebat cepat.
"Oooi...! Tunggu...! Kau tidak boleh me-
ninggalkanku begitu saja!"
Soma cepat menjejakkan kedua kakinya ke
ranting pohon. Sekali berkelebat, Siluman Ular
Putih telah melewati si gadis. Dan dengan satu
gerakan indah, ia telah berdiri menghadang lang-
kah Aryani.
Si gadis terpaksa menghentikan langkah-
nya. Matanya yang indah melotot gusar.
"Apa maksudmu menghadang langkahku,
he?!" bentak Aryani kasar.
Soma cengar-cengir seenak perutnya. Tan-
gannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal.
"Ada dua hal yang membuatku menahan
langkahmu, Cah Ayu. Pertama, kenapa kau me-
nyebutku orang gendeng?! Kedua, karena aku in-
gin meminta sedikit keterangan darimu," sahut
Siluman Ular Putih menirukan gaya bicara Aryani
tadi.
"Pemuda sinting! Siapa peduli dengan oce-
hanmu?! Minggir!" bentak Aryani gusar bukan
main. Kedua tangannya bergerak kasar mendo-
rong Soma.
"Heit...! Tidak boleh! Tidak boleh! Kau tetap
tidak boleh meninggalkanku begitu saja! Apalagi,
telah memakiku tadi!" tegas Soma seraya mem-
bentangkan kedua tangan menghadang langkah
Aryani.
"Kunyuk gondrong sinting! Sekali lagi tidak
mau memberiku jalan, akan kutebas batang le-
hermu! Minggiiir...!"
"Mana bisa?"
Siluman Ular Putih kembali membentang-
kan kedua tangannya menghadang jalan Aryani.
Dan didorong perasaan usilnya diam-diam kekua-
tan batinnya yang baru saja dipelajarinya dari Ra-
ja Penyihir mulai dikerahkan.
"He he he...! Aku memang gondrong, Gadis
galak. Tapi, aku bukan kunyuk gondrong. Kalau
tak percaya, cobalah perhatikan aku baik-baik!"
ujar Soma dengan suara bergetar-getar aneh, me-
nyerang jalan pikiran Aryani.
Begitu mendengar suara yang menggema-
gema dalam pikiran, mendadak wajah Aryani jadi
pucat pasi. Tubuhnya kontan gemetar. Apa yang
dilihatnya saat itu sungguh membuat hatinya jadi
ciut. Kini, rambut gondrong pemuda sinting di
hadapannya mendadak saja telah berubah men-
jadi puluhan ekor ular yang tengah menggeliat-
geliat mengerikan dengan kepala terangkat tinggi-
tinggi!
"Kau..., kau...."
Sekujur tubuh si gadis mulai dibanjiri ke-
ringat dingin saking takutnya. Sedangkan Soma
tertawa bergelak-gelak. Belum puas rasanya ia
mengerjai gadis galak di hadapannya.
"Ha ha ha...! Apa yang kau lihat sekarang,
Gadis galak? Mengapa tubuhmu gemetar seperti
itu? Ayo, lekas bangun! Itu ibumu yang tadi kau
tangisi sudah datang!"
Kembali terdengar suara Soma yang berge-
tar-getar aneh, menyerang jalan pikiran Aryani.
Malah suaranya kali ini terdengar begitu meng-
gema. Dan sambil berkata begitu, telunjuk jari
tangan si pemuda menunjuk ke batang sebuah
pohon.
Ajaib sekali! Batang pohon yang ditunjuk
Siluman Ular Putih, seketika berubah menjadi se-
sosok perempuan berpakaian putih-putih yang
tadi dikejar-kejar Aryani!
Mata Aryani terbelalak lebar begitu melihat
ke arah yang ditunjuk pemuda itu. Seolah-olah ia
tak percaya dengan apa yang dilihat. Gadis itu se-
gera mengucek-ngucek kedua bola matanya. Na-
mun tetap saja apa yang dilihatnya adalah sosok
ibunya.
"Kenapa bengong saja, Gadis galak? Bu-
kankah itu ibumu? Tapi, kok tubuhnya semakin
membesar? Coba deh perhatikan baik-baik!"
Bukan main kagetnya hati gadis cantik itu.
Apa yang dilihatnya kali ini benar-benar membuat
hatinya makin ciut. Seperti yang dikatakan pe-
muda sinting di sampingnya, sosok tubuh Bida-
dari Putih entah mengapa perlahan-lahan menja-
di berubah sesosok raksasa putih berwajah men-
gerikan. Dua taringnya yang sebesar tanduk ker-
bau tampak berkilauan tertimpa sinar matahari.
"Kau... kau...! Sil... siluman...!" pekik Arya-
ni penuh rasa takut.
Dan tanpa banyak pikir lagi, gadis itu sege-
ra mengambil langkah seribu meninggalkan tem-
pat itu.
"Hey... hey! Tunggu! Kau belum menjawab
pertanyaan-pertanyaanku!" teriak Siluman Ular
Putih tetap dengan suara bergetar-getar aneh me-
nyerang jalan pikiran Aryani.
Si gadis semakin membelalakkan matanya
liar. Entah kenapa, kedua kakinya sulit sekali di-
gerakkan. Ilmu meringankan tubuhnya dicoba
untuk dikerahkan. Namun tetap saja sia-sia.
"Hehehe...!Bagaimana perasaanmu kali ini,
Gadis cantik?" tanya Siluman Ular Putih tahu-
tahu telah berdiri tegak di depan Aryani.
Aryani semakin ketakutan. Wajahnya pias.
Bibirnya bergetar-getar hebat. Dan saking tidak
tahannya, tak terasa pakaian bagian bawahnya
mulai basah!
Siluman Ular Putih tertawa terpingkal-
pingkal. Tangan kanannya menunjuk-nunjuk pa-
kaian bawah Aryani.
"Eh eh he...! Lihat, Gadis galak. Pakaian
bawahmu basah. Kau... kau terkencing-kencing.
Ha ha ha...!"
Bukan main kagetnya hati Aryani! Ketika
matanya melirik, pakaian bawahnya memang ba-
sah dan terasa hangat.
Aryani kembali memandang Soma dengan
wajah pias. Ingin rasanya ia menangis saat itu ju-
ga. Dan kalau bisa berlari sekencang-kencangnya
meninggalkan pemuda sinting di depannya. Na-
mun sayang, kedua kakinya tak dapat digerak-
kan!
"Oh...!" keluh gadis berpakaian putih-putih
memelas.
"Aduuuh...! Kasihan! Kalau aku melihatmu
dalam keadaan seperti ini aku jadi tidak tega. Ta-
pi, sudahlah! Sekarang jawab pertanyaanku baik-
baik! Dan, jangan takut!" ujar Soma seperti biasa.
Kini baru si gadis dapat menghela napas
lega. Dilihatnya rambut Soma tidak lagi berupa
puluhan ular-ular putih yang mengerikan, me-
lainkan sudah berbentuk seperti rambut biasa.
Namun, tetap saja Aryani masih khawatir kalau
tiba-tiba saja pemuda itu kembali mengeluarkan
ilmu sihirnya.
"Kau sudah siap menjawab pertanyaanku,
Gadis galak?" tanya Siluman Ular Putih kalem.
Senyum nakalnya nampak masih terkembang di
bibir.
"Sud... sudah!" jawab Aryani, bergetar sua-
ranya.
"Hik hik hik...! Mengapa masih takut saja
padaku? Ayo, sekarang jawab pertanyaanku! Per-
tama, sebutkan siapa namamu? Cepat!" bentak
Soma, pura-pura galak.
"I... iya! Na..., namaku Aryani!" jawab si ga-
dis gugup.
"Aryani? Bagus! Satu nama yang indah, se-
suai orangnya," puji Soma seraya mengangguk-
angguk.
Aryani tak menyahuti ucapan pemuda
tampan di hadapannya. Hanya matanya saja yang
terbelalak liar.
"Sekarang jawab pertanyaanku yang ke-
dua! Apakah kau tahu, di mana letak Sumur Ke-
matian?!" lanjut Siluman Ular Putih tetap berpu-
ra-pura galak.
"Ta... tahu. Di..., di lereng sebelah barat
Gunung Sumbing. Te..., tepatnya di Pekarangan
Terlarang tak jauh dari Perguruan Kelelawar Pu-
tih," jawab Aryani sedikit lebih lancar daripada
yang pertama.
"Ya ya ya...! Sekarang pertanyaan yang be-
rikutnya. Apakah kau juga tahu, siapa orang yang
berjuluk Kelelawar Hutan?"
"Di..., dia ayah kandungku!"
"Apa?! Kelelawar Hutan ayah kandungmu?"
sentak Siluman Ular Putih tak percaya.
"Iya," jawab si gadis seraya mengangguk.
"Ah...! Mungkinkah ini yang dinamakan
pucuk dicinta ulam tiba...," desah Soma lucu.
Entah mengapa tiba-tiba saja pemuda itu
telah menggaruk-garuk rambut kepalanya. Pa-
dahal ia tahu, rambutnya tidak gatal. Sementara
hidungnya cengar-cengir mirip kucing kejepit.
Melihat tingkah pemuda di depannya,
Aryani jadi tidak dapat menahan senyumnya.
Namun mendadak saja sikapnya jadi tegang kem-
bali ketika....
"Siapa yang suruh senyum-senyum begitu,
he?! Ayo sekarang jelaskan, apa hubungan Kele-
lawar Hutan dan Sumur Kematian yang kata
orang menyimpan teka-teki itu! Sekalian juga je-
laskan, mengapa kau mengejar-ngejar ibumu
yang kabur itu! Jelas!" bentak Siluman Ular Pu-
tih.
Aryani menelan ludahnya sebentar. Seje-
nak dipandanginya pemuda itu. Dan kini ia tahu,
sebenarnya pemuda di depannya hanya pura-
pura bersikap galak saja. Maka setelah menghela
napas panjang-panjang, mulai diceritakannya
tentang maut di Sumur Kematian. Juga tentang
keanehan-keanehan sikap Kelelawar Hutan yang
menyebabkan ibunya lari dari Perguruan Kelela-
war Putih.
Soma mendengarkan cerita gadis cantik di
hadapannya dengan seksama. Sesekali kepalanya
mengangguk-angguk.
"Yayaya...! Sekarang aku mulai samar-
samar dapat menangkap ceritamu itu. Terus te-
rang, aku agak mencurigai Kelelawar Hutan yang
menurutmu beberapa minggu ini berkelakuan
aneh. Tapi aku juga belum berani mengatakan
kalau Kelelawar Hutan itulah yang telah menebar
maut di perguruan yang dipimpinnya. Ayo, seka-
rang antarkan aku ke gua yang kau maksudkan
itu, Aryani! Aku ingin sekali menyelidiki keempat
mayat kakak seperguruanmu itu."
"Ba... baik!"
9
Soma palingkan kepala ke kiri dan ke ka-
nan mencari-cari Gua Kematian yang dimaksud-
kan Aryani begitu mereka berhenti berkelebat ce-
pat. Matanya yang agak kebiruan beredar ke seki-
tar lembah yang membentang luas di depannya.
Soma heran sekali, karena tidak menemukan gua
yang dimaksudkan Aryani.
"Mana gua yang kau maksudkan itu, Arya-
ni?" tanya pemuda murid Eyang Begawan Kama-
setyo bingung.
Aryani tidak menyahut. Saat itu, gadis ini
sedang termenung memikirkan mulut pintu gua
yang tertutup. Bukannya bingung cara menggeser
batu sebesar kerbau yang menutupi mulut gua,
melainkan heran melihat mulut gua yang telah
tertutup kembali. Karena ia yakin, kemarin siang
belum menutupkan pintunya kembali.
"Pasti ayahku telah menyuruh murid-
muridnya untuk menyelidiki gua ini, begitu aku
memberitahu kalau telah menyelidiki tempat ini.
Dan kemungkinan besar murid-murid suruhan
Ayah itulah yang telah menutupnya," gumam
Aryani dalam hati.
"Aryani! Sedang apa kau di situ? Mana gua
yang kau maksudkan? Apa kau tidak mendengar
ucapanku tadi, he?" teriak Siluman Ular Putih
kesal.
"Inilah gua yang kumaksudkan!" teriak
Aryani jengkel.
"Mana?" Soma melototkan matanya lebar-
lebar.
"Ini! Yang tertutup batu ini!"
Soma mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Lantas, bagaimana cara membukanya? Apa kau
bisa membukanya, Aryani?"
Mungkin karena masih merasa jengkel
dengan ulah Soma tadi, si gadis hanya mem-
bungkam. Tangannya yang mungil segera meraih
tonjolan batu kecil di samping batu sebesar ker-
bau yang menutupi mulut gua.
Begitu tangan mungil Aryani menyentak
turun batu kecil itu, mendadak terdengar suara
gemuruh dari batu sebesar kerbau yang bergeser
ke kiri. Dan kini, tampaklah mulut gua itu. Na-
mun bersamaan dengan bergesernya batu penu-
tup gua, mendadak menyeruak keluar bau amis
yang luar biasa.
Semula Soma melongo begitu melihat batu
sebesar kerbau itu bergeser menampakkan mulut
gua. Namun begitu mencium bau amis langsung
memencet hidungnya rapat-rapat.
"Jangkrik! Kenapa, baunya amis begini?!"
Aryani hanya tersenyum-senyum saja. Ia
yang sudah merasakan tajamnya bau amis yang
menusuk hidung sudah terlebih dahulu memen-
cet hidungnya rapat-rapat.
"Ayo, masuk!" ajak Aryani dengan suara
sengau karena hidungnya masih dipencet rapat-
rapat.
Dan sehabis berkata begitu, si gadis pun
bergegas masuk ke dalam gua.
Soma mengikutinya dari belakang. Kini ia
tidak memencet hidungnya lagi, tapi menahan
napas agar tidak mencium bau itu.
Sebentar saja, mereka telah berada di da-
lam, dan bau amis mulai sedikit berkurang. Na-
mun apa yang dilihat dalam gua itu sungguh
mengerikan. Malah Soma membelalakkan ma-
tanya tanpa mampu berkata-kata. Tumpukan-
tumpukan tengkorak manusia dan darah-darah
merah yang mengering, mewarnai suasana dalam
Gua Kematian. Tak jauh dari tumpukan-
tumpukan tengkorak, terlihat empat buah peti
mati yang terbuka tutupnya.
Soma berjalan mendekati keempat peti
mayat itu.
"Inikah keempat mayat kakak sepergu-
ruanmu yang kau maksudkan itu, Aryani?"
"Iya."
Soma memperhatikan seksama keempat
mayat itu. Sesekali kepalanya digeleng-gelengkan
cepat seperti orang paling ahli saja!
"Hm...! Yang manakah pacarmu itu, Arya-
ni?" tanya Soma seraya mengangguk-angguk.
Aryani kernyitkan jidatnya dalam-dalam.
Sungguh tidak disangka kalau pemuda sableng di
depannya akan bertanya demikian.
"Aku harap, kau jangan mempermainkan
aku!" kata Aryani ketus.
"Ya ya ya...! Tapi kau harus katakan dulu
dong, siapa nama pacarmu! Nanti baru kuberita-
hu siapa namaku. Barangkali saja kau dapat be-
rubah pikiran," olok Siluman Ular Putih tetap
membandel.
"Berubah pikiran apa?!" Aryani melotot le-
bar. Soma cengar-cengir. Sejurus matanya mem-
perhatikan gadis cantik di hadapannya dengan
sinar mata nakal.
"Yah...! Barangkali saja kau mau menerima
tawaranku. Menerimaku sebagai pacarmu. He he
he...!"
"Sekali lagi kau mempermainkanku, aku
akan segera pergi dari sini dan menguncinya dari
luar!" ancam Aryani saking kesalnya.
Entah mengapa Soma membelalakkan ma-
tanya liar.
"Jangan! Aku tak sudi menemani mayat-
mayat busuk ini!" ujar Soma, seolah-olah ketaku-
tan.
Mau tidak mau Aryani tersenyum. Dalam
hatinya merasa geli sekali melihat sikap pemuda
sinting di hadapannya.
"Kalau begitu, cepatlah periksa keempat
mayat ini! Katanya ingin memeriksanya?!"
"Ya ya ya...! Tapi apa aku tidak boleh tahu,
siapa nama mayat pemuda ini? Namaku Soma,"
kata Siluman Ular Putih kalem.
Aryani tersenyum. Entah mengapa, ia me-
rasa dekat dengan Soma yang baru saja dikenal-
nya. Dan ini membuatnya jadi senang sekali. Seo-
lah-olah kesedihannya telah dapat dilupakan se-
telah ditinggal kekasihnya, dan juga ibunya.
"Namanya, Kakang Jalu.... Hm... jadi kau
sendiri bernama Soma?" kata Aryani mulai men-
gagumi pemuda tampan di hadapannya.
"Iya. Naksir, ya?" goda Soma.
Si gadis tersenyum malu. Kedua pipinya
kontan memerah seperti kepiting rebus
"Oh, ya. Tadi kau mengeluarkan ilmu apa?
Mengapa kau tega sekali mengerjai aku seperti
itu?" lanjut Aryani penasaran. Tadi pun si gadis
sempat mampir ke Curug untuk membersihkan
diri, setelah terkencing-kencing melihat kedahsya-
tan ilmu Siluman Ular Putih. Setelah pakaiannya
kering, ia segera melanjutkan perjalanan menuju
tempat ini bersama Siluman Ular Putih.
"Ah... sudahlah! Aku ingin segera memerik-
sa keempat mayat seperguruanmu ini," ujar Si-
luman Ular Putih, mengalihkan pertanyaan si ga-
dis.
Sehabis berkata begitu, Siluman Ular Putih
langsung memeriksa keempat mayat murid-murid
Perguruan Kelelawar Putih dengan seksama. Ter-
lihat pula sesekali kepalanya menggeleng-geleng
heran.
"Kau.... Kau mulai menemukan apa, So-
ma?" tanya Aryani tidak canggung lagi seperti ta-
di. Hatinya merasa penasaran melihat sikap So-
ma.
"Hm...!"
Soma kini mengangguk-angguk
"Tidak banyak yang kuketahui sebenarnya.
Aku hanya tahu kalau yang membunuh keempat
mayat ini adalah seseorang yang berkepandaian
tinggi sekali. Apalagi menurut keteranganmu, me-
reka adalah empat murid utama di perguruan
ayahmu. Coba perhatikan baik-baik, Aryani! Aku
yakin, wajah mereka pasti terkena cakaran-
cakaran maut yang mengandung racun keji. Ka-
lau tidak percaya, coba perhatikan wajah mereka
baik-baik. Memang wajah keempat mayat ini ti-
dak matang biru seperti terkena racun pada
umumnya. Ini saja sudah membuktikan kalau ca-
ra kerja racun itu keji sekali, dengan menyerang
urat-urat saraf si korban. Sayang sekali aku bu-
kan ahli racun. Sehingga, aku tidak mengetahui
jenis racun apa yang menyerang mereka."
Aryani menghela napasnya resah. Entah
mengapa, tiba-tiba saja ia jadi teringat akan pen-
deritaan ibunya yang juga terkena racun keji.
"Mungkinkah racun-racun keji yang men-
geram dalam tubuh Ibu juga digunakan untuk
menyerang keempat mayat kakak sepergurua-
nku? Kalau iya, berarti pembunuh itu tidak lain
adalah Kelelawar Hutan, ayah kandungku! Tapi...,
mungkinkah ayah kandungku yang melakukan
perbuatan keji ini? Bisa jadi! Buktinya saja,
ayahku tega meracuni ibuku!" gumam Aryani da-
lam hati gelisah sekali
Si gadis lalu menatap Siluman Ular Putih
dengan wajah penasaran.
"Lantas..., lantas bagaimana dengan jan-
tung-jantung para korban yang hilang ini, Soma?"
"Hm, sebentar...."
Soma sejenak menghentikan bicaranya.
Pandangan matanya ditujukan kembali ke arah
dada salah seorang mayat korban yang berlu-
bang.
"Ketahuilah, Aryani! Raja Penyihir pernah
berkata padaku, Seseorang yang mempunyai ke-
biasaan mengambil jantung si korban dan mema-
kannya, sudah pasti memiliki satu ilmu keji. Ilmu
sesat! Mungkin itu sebagai syarat dari ilmu yang
dipegangnya, atau apa.... Aku tidak tahu. Yang je-
las pembunuh keji itu juga memakan jantung
korbannya. Kalau tidak, buat apa mengambil jan-
tung korbannya?"
"Lalu apakah kau juga masih mencurigai
Kelelawar Hutan, ayah kandungku sebagai pem-
bunuh keji itu?" tanya Aryani mengambang. Ra-
gu-ragu dalam kecurigaannya dalam hati tadi,
"Bisa saja aku mencurigai Kelelawar Hu-
tan. Atau kau sekalipun!"
"Tapi Kelelawar Hutan dan aku tidak memi-
liki jurus-jurus yang mengandung hawa racun,
Soma!" sergah Aryani.
"Begitu?" tanya Soma tajam. "Mungkin kau
benar tidak memiliki jurus-jurus yang mengan-
dung hawa racun. Tapi entah mengapa, aku ragu-
ragu dengan ayahmu!"
Sejenak Aryani tersentak. Tiba-tiba ia kem-
bali diingatkan tentang racun-racun yang menge-
ram dalam tubuh ibunya. Dan ia tahu, siapa pe-
lakunya. Siapa lagi kalau bukan ayah kandung-
nya, Kelelawar Hutan?!
"Beberapa minggu ini watak ayahku me-
mang berubah aneh. Bahkan aku sendiri hampir
celaka di tangan ayahku. Tapi, aku rasa-rasanya
masih ragu kalau ayah kandungkulah yang mem-
bunuhi murid-murid perguruan Kelelawar Putih.
Untuk apa?"
"Aku belum mencurigai ayah kandungmu
sejauh itu, Aryani. Aku belum mempunyai alasan
kuat."
"Kalau begitu apa yang akan kau lakukan,
Soma?" tanya Aryani ingin tahu.
"Aku belum tahu. Mungkin aku akan me-
nyelidiki Sumur Kematian. Atau mungkin, malah
akan menyelidiki Kelelawar Hutan terlebih dahu-
lu."
"Harap kau berhati-hati kalau mau menye-
lidiki Sumur Kematian maupun Kelelawar Hutan.
Keduanya sama-sama berbahaya. Apalagi Kelela-
war Hutan. Kau bisa celaka di tangannya, meski
tanpa sebab-sebab yang jelas, Soma!" ingat Arya-
ni, entah mengapa tiba-tiba saja jadi sangat
mengkhawatirkan keselamatan pemuda tampan
di hadapannya.
"Terima kasih atas peringatanmu, Aryani.
Aku pasti akan lebih berhati-hati."
"Oh, ya. Sampai aku lupa! Kau tadi menye-
but-nyebut nama Raja Penyihir. Apa kau murid
orang tua gagah itu, Soma?" tanya Aryani.
"Yah...! Bisa dibilang begitu, bisa juga ti-
dak. Aku hanya pernah diberi pelajaran sedikit
oleh orang tua itu."
"Oh...! Pantas saja ilmu sihirmu tinggi se-
kali...."
"Yah...! Yang jelas belum seperti yang kau
duga, Aryani."
Soma tersenyum senang. Matanya menger-
jap-ngerjap nakal memperhatikan wajah Aryani
yang cantik jelita.
"Tapi sudahlah! Sebaiknya cepat kita ting-
galkan tempat ini! Kulihat di luar sinar matahari
sudah mulai meredup, pertanda sebentar lagi ma-
lam akan tiba. Ayo, cepat kita keluar!"
"Baik."
Soma dan Aryani cepat berkelebat keluar.
Si gadis sempat menarik tonjolan batu kecil di
samping batu besar yang digunakan menutup
mulut gua, ketika tiba di luar. Sebentar kemudian
terdengarlah suara menggemuruh dari batu sebe-
sar kerbau yang bergeser ke kanan. Dan bersa-
maan dengan itu, maka mulut pintu gua tertutup.
Sedang bayangan Soma dan Aryani sendiri pun
juga telah lenyap di antara rimbunnya pepohonan
di hutan depan sana.
10
Matahari baru saja tenggelam di kaki langit
sebelah barat. Angkasa raya dihiasi rona merah
tembaga. Diiringi kicauan burung-burung jalak
yang pulang ke sarang masing-masing, perlahan-
lahan rona merah yang mewarnai angkasa raya
pun menghilang. Dan kini alam mayapada sepe-
nuhnya dikuasai kegelapan.
Kegelapan ini terlihat makin pekat di hutan
belantara jauh dari Perguruan Kelelawar Putih.
Karena selain dirambahi semak belukar tinggi-
tinggi, hutan belantara itu ditumbuhi pula pohon-
pohon pinus berusia puluhan tahun. Dan mung-
kin karena tak ada angin yang berhembus, mem-
buat suasana hutan jadi sunyi.
Dalam kesunyian mencekam itulah tampak
dua sosok tubuh tengah duduk berhadap-
hadapan. Hanya nyala api unggun yang tidak ter-
lalu besar sajalah yang membatasi mereka. Dan
dalam remangnya nyala api unggun tampak pula
wajah-wajah mereka. Yang satu seorang gadis
cantik berpakaian putih-putih. Sedang di sebe-
rang lainnya seorang pemuda tampan berambut
gondrong dengan mengenakan pakaian rompi dan
celana bersisik warna keperakan. Mereka tidak
lain tidak bukan adalah Soma dan Aryani.
"Mengapa kau tidak mau pulang, Aryani?"
tanya murid Eyang Begawan Kamasetyo membu-
ka suara.
"Aku tidak sudi pulang ke rumah lagi So-
ma! Aku benci! Benci sekali!" sahut Aryani ber-
sungut-sungut.
"Mengapa?"
"Ibu sudah pergi. Buat apa pulang ke sa-
na?"
"Kan masih ada ayah kandungmu?"
Kini mata Aryani terbelalak lebar. Dipan-
danginya Soma tajam
"Apa maksudmu sebenarnya, Soma? Kau
kedengarannya tak suka kalau aku di sini?"
"Ya, sudahlah! Kalau kau memang tak mau
pulang, tak apa-apa. Sekarang, sebaiknya tidur
saja duluan! Biar aku yang menjagamu di sini,"
kata Soma alias Siluman Ular Putih malas berde-
bat dengan gadis itu.
"Aku belum ingin tidur. Justru aku sedang
mencari jalan keluar, bagaimana aku harus me-
nyelidiki peristiwa-peristiwa maut di Sumur Ke-
matian yang telah meminta banyak korban itu,"
sahut Aryani bersikeras.
"Ah...!" keluh Soma kesal.
Padahal diam-diam pemuda ini telah mem-
punyai rencana untuk menyelidiki Sumur Kema-
tian tanpa melibatkan gadis ini. Tapi melihat ke-
kerasan hati Aryani, tak urung membuat Siluman
Ular Putih jadi kesal juga.
"Mengapa kau tidak mau tidur sekarang,
Aryani? Kulihat matamu sudah ngantuk. Lekas-
lah tidur duluan!" ujar pemuda ini diam-diam te-
lah mengerahkan kekuatan batinnya. Suaranya
yang mengundang perintah terdengar bergetar-
getar aneh, mempengaruhi jalan pikiran Aryani
Aryani terkejut. Tiba-tiba saja matanya jadi
ngantuk sekali. Tubuhnya limbung, sulit dikenda-
likan. Dan akhirnya ia rebah di atas tanah re-
rumputan.
"Me..., mengapa mataku jadi ngantuk begi-
ni..? Ah...! Kau... kau pasti mengerjaiku lagi, So-
ma...," ucap Aryani makin melemah, sebelum ak-
hirnya tertidur pulas.
Soma tertawa perlahan. Sejenak dipandan-
ginya Aryani yang sudah terlelap dengan begitu
manisnya. Lalu, ia pun segera beranjak dari tem-
pat duduknya.
"Baik-baik bobo di sini, ya! Jangan ke ma-
na-mana! Awas, kalau ke mana-mana! Nanti ku-
sentil kupingmu, lho!" ujar pemuda murid Eyang
Begawan Kamasetyo itu, persis seseorang yang
sedang menggoda anak kecil.
Dan sehabis berkata begitu, Siluman Ular
Putih segera mengangkat kedua kakinya ke ta-
nah, lalu berkelebat meninggalkan tempat itu.
Siluman Ular Putih telah mengendap-
endap di atas atap bangunan Perguruan Kelela-
war Putih. Matanya jelalatan ke sana kemari,
mencari-cari di mana letak Pekarangan Terlarang.
Meski telah berada di bangunan Perguruan Kele-
lawar Putih yang dimaksudkan, namun belum ju-
ga menemukan letak Pekarangan Terlarang.
Soma jadi menggaruk-garukkan kepalanya
jengkel.
"Ah...! Di mana sih, letaknya Pekarangan
Terlarang? Padahal aku sudah mencari-carinya ke
sana kemari. Tapi, kenapa belum juga menemu-
kan letaknya? Ah...! Kenapa aku tadi tidak mena-
nyakannya pada Aryani? Bodohnya aku!"
Soma menepuk jidatnya sendiri dua kali.
Plakkk!
Plakkk!
Empat orang murid Perguruan Kelelawar
Putih yang sedang berjaga-jaga di bawah kontan
berbalik. Serentak keempat pasang mata mereka
terpasang tajam dengan kepala mendongak ke
arah datangnya suara tadi. Ke atas atap.
"Siapa yang bersembunyi di atas atap?!"
bentak salah seorang murid itu galak. Suaranya
membahana, memecahkan kesunyian malam.
"Celaka! Kedatanganku sudah ketahuan
mereka," gumam Soma alias Siluman Ular Putih
dalam hati, seraya merebahkan diri.
"Hei...! Siapa yang bersembunyi di atas
wuwungan? Cepat turun! Atau kupontes batang
lehermu, he?!" bentak orang yang tadi garang.
Mana sudi Soma menuruti perintah murid
penjaga itu. Malah pandangannya dialihkan ke
tembok, jauh memutar di belakang bangunan
Perguruan Kelelawar Putih.
"Lho...? Di sana kok masih ada bangunan
tembok? Apakah di sana letaknya Pekarangan
Terlarang?" gumam Soma lagi dalam hati.
"Keparat! Apa kau benar-benar ingin ku-
pontes , kepalamu, he?" teriak penjaga itu lagi ga-
rang.
"Kakang Sembodo! Buat apa buang-buang
waktu segala?! Cepat ringkus orang itu!" kata
yang lain, menimpali.
"Baik! Ayo kita kejar tikus itu!"
Sehabis berkata begitu, seorang pemuda
berperawakan tinggi kekar segera menghentakkan
kakinya ke atas atap, yang diikuti ketiga orang
kawannya.
"Runyam! Runyam! Mengapa urusannya
jadi begini? Ah.. Tak ada pilihan lain. Aku harus
cepat menyingkir, mumpung keempat orang itu
belum memanggil teman-temannya," rutuk Silu-
man Ular Putih.
Berpikir demikian, tanpa membuang-buang
waktu lagi Siluman Ular Putih segera bangkit
berdiri. Begitu kedua kakinya menjejak atap, tu-
buhnya telah berkelebat ke arah tembok memutar
di depan sana.
"Kejar, Kang! Tikus itu menuju ke Pekaran-
gan Terlarang!" teriak Salah seorang murid penja-
ga ketika melihat berkelebatnya bayangan Soma.
Siluman Ular Putih yang mendengar teria-
kan murid penjaga itu malah tersenyum girang.
"Aku sedang berlari menuju ke Pekarangan
Terlarang yang kucari-cari itu? Ah masa' sih?
Jangan-jangan di dalam tembok memutar itulah
letaknya pekarangan itu?" gumam Soma sambil
terus berlari kencang menuju ke arah tembok
memutar.
Dan sesampainya di tembok memutar, So-
ma pun segera melompat ke atas tembok. Seketi-
ka itu juga hatinya jadi tersenyum girang, saat di-
lihatnya ke arah dua buah pohon asam tua di
tengah-tengah Pekarangan Terlarang. Di bawah
kedua pohon itu terdapat pagar memutar terbuat
dari bambu.
"Ah...! Pasti itulah Sumur Kematian yang
dimaksudkan Aryani dan Lelaki Berkumis Kucing
itu! Habis mana lagi kalau bukan itu?" pikir Si-
luman Ular Putih girang bukan main.
"Kang...! Benar, Kang! Tikus itu lari menu-
ju Pekarangan Terlarang. Ayo Kita cincang ramai-
ramai, Kang!" teriak salah seorang sembari me-
nunjuk-nunjuk ke arah tembok Pekarangan Ter-
larang.
Siluman Ular Putih tidak lagi mempeduli-
kan teriakan-teriakan keempat murid penjaga itu,
melainkan sudah melompat dan melesat ke arah
Sumur Kematian.
Sebentar saja pemuda itu telah sampai di
sana. Sejenak diamatinya keadaan Sumur Kema-
tian yang dipagari dengan kayu bambu. Lubang
Sumur Kematian tidak terlalu besar.
Soma melongokkan kepalanya ke dalam
lubang Sumur Kematian. Namun mendadak saja
hawa anyir yang bukan alang kepalang menyere-
bak keluar! Dan ini membuat si pemuda tidak ta-
han lagi.
"Hoekkk...!"
Seketika itu juga cairan kuning dari mulut
Siluman Ular Putih berhamburan keluar.
"Jangkrik budik! Lagi-lagi bau bangkai! La-
gi-lagi bau bangkai! Bikin mual perutku saja!
Ih...!" omel Soma panjang pendek.
Mulut si pemuda tak henti-hentinya melu-
dah ke sana kemari. Dan tiba-tiba saja matanya
melihat sesosok bayangan putih-putih yang baru
saja meloncat ke atas tembok Pekarangan Terla-
rang.
"Kunyuk-kunyuk itu lagi! Bikin runyam
urusanku saja!"
Sekali lagi mulut nyinyir pemuda murid
Eyang Begawan Kamasetyo mengeluarkan geru-
tuan kesal. Namun, toh akhirnya menyingkir juga
ke balik batang pohon asam yang berukuran
hampir sepuluh kali lipat dari tubuhnya. Kemu-
dian tanpa banyak cincong lagi, mulutnya pun
berkemik-kemik membacakan mantera ajian ‘Titi-
san Siluman Ular Putih’.
Seketika itu juga asap putih tipis memenu-
hi sekujur tubuh Soma, dan akhirnya bayangan
tubuh pemuda itu tidak kelihatan sama sekali.
Dan begitu uap putih itu sirna tertiup angin,
bayangan tubuhnya pun telah menjelma menjadi
seekor ular putih sebesar ibu jari kaki manusia
dewasa! Ini pun merupakan keistimewaan ajian
'Titisan Siluman Ular Putih' yang mampu menga-
tur besar kecilnya jelmaan ular putih sesuai ke-
hendak Soma.
"Ssssst...!!!"
Ular putih kecil itu cepat merayap mende-
kati Sumur Kematian. Kepalanya melongok-
longok ke dalam lubang. Kemudian tepat ketika
keempat murid penjaga Sumur Kematian muncul,
ular putih kecil itu pun telah menyemplungkan
diri
"Ke mana kunyuk itu? Kok, tak ada? Tadi
aku benar-benar melihat kalau ia menyelinap ke
balik pohon ini. Tapi, sekarang kok tak terlihat?"
tanya murid penjaga yang berada paling depan
seraya menunjuk ke batang pohon asam tua di
depannya.
"Oh...! Jangan-jangan kunyuk itu setan
gentayangan penunggu Sumur Kematian ini?!
Ih...! Ngeri...!" duga salah seorang murid yang lain
ketakutan. Wajahnya seketika itu juga pucat pasi.
Matanya memandang ngeri ke arah lubang Sumur
Kematian.
"Maaf, Kawan-Kawan! Aku pergi dulu. Aku
tak sudi jadi tumbal...!" teriak yang lain langsung
mengambil langkah seribu.
Tiga orang murid lain sejenak hanya bisa
saling pandang. Kemudian entah siapa yang me-
mulai, tahu-tahu mereka telah lari meninggalkan
Sumur Kematian.
11
Tubuh kecil memanjang ular putih jelmaan
Soma terus melesat ke dalam lubang Sumur Ke-
matian.
Kecepatan merayapnya sungguh menga-
gumkan. Padahal dinding yang dilaluinya sangat
curam. Dan sambil mendesis-desis khas, sosok
kecil memanjang sebesar ibu jari kaki manusia
dewasa itu pun sampai di dasar Sumur Kematian.
Begitu menyentuh tanah di dasar Sumur
Kematian, mendadak tubuh kecil itu tampak
menggeliat-geliat. Lalu....
Sssttt...!
Sekujur tubuh ular putih kecil itu kini di-
penuhi uap tipis. Dan akhirnya, bayangan tubuh
kecil memanjang ular putih itu perlahan-lahan
sirna, tampak sesosok pemuda gondrong berpa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih ke-
perakan!
Itulah sosok Soma alias Siluman Ular Pu-
tih.
Samar-samar, Soma kini mulai terbiasa
dengan keadaan gelap di sekitarnya. Dan ia meli-
hat kalau dasar Sumur Kematian itu, ternyata
cukup luas. Kira-kira hampir enam atau tujuh
tombak. Ini jelas di luar perkiraannya semula.
Dan di samping memiliki dasar yang cukup luas,
juga memiliki banyak lorong!
Soma bergidik ngeri. Suasana dalam Su-
mur Kematian benar-benar mengerikan.
Bau anyir darah menyeruak, menyergap
hidungnya. Tumpukan-tumpukan tulang manu-
sia yang berserakan, serta mayat-mayat bergelim-
pangan yang kulit dan dagingnya masih membu-
suk, menjadi pemandangan di sekitarnya. Mayat-
mayat busuk inilah yang menebarkan hawa anyir
dan bau bangkai.
Sambil memencet hidungnya rapat-rapat,
perlahan-lahan Soma melangkah ke depan. Kepa-
lanya dia palingkan ke kanan kiri. Tiba di salah
satu lorong, pemuda murid Eyang Begawan Ka-
masetyo itu samar-samar melihat satu titik nyala
api. Cahayanya samar menerabas masuk ke da-
lam dasar Sumur Kematian. Dan kini dibantu
nyala api yang berkerlip-kerlip itu, Siluman Ular
Putih dapat melihat dasar Sumur Kematian den-
gan lebih jelas.
Kening Soma berkerut dalam-dalam. Entah
mengapa hatinya merasa heran sekali melihat
keadaan Sumur Kematian. Bagaimana di tempat
ini terdapat banyak sekali mayat berserakan?
Namun belum sempat pemuda ini berpikir lebih
lanjut, mendadak....
"Keparat! Siapa yang berani mencari mati
lagi di tempat ini?!"
Siluman Ular Putih tersentak kaget ketika
mendengar bentakan keras menggelegar.
Belum hilang rasa kagetnya, mendadak ia
terasa angin dingin berkesiur kencang datang dari
arah depan.
"Hup!"
Soma cepat berkelit ke samping. Namun
bersamaan dengan itu, kembali datang angin din-
gin yang datangnya dari sesuatu yang berjuntai-
juntai!
Wesss!
Soma terkejut, namun cepat mengangkat
tangan kanannya mencoba menangkis angin ber-
kesiur dari bayangan hitam yang berjuntai-juntai.
Namun Siluman Ular Putih kontan membelalak-
kan matanya liar. Karena tiba-tiba bayangan hi-
tam-hitam yang berjuntai-juntai itu tiba-tiba saja
merubah serangannya. Kemudian si pemuda ta-
hu-tahu merasakan sesuatu yang menghantam
dadanya.
Buk!
Seketika itu juga dada Soma serasa mau
jebol. Tubuhnya limbung beberapa langkah ke be-
lakang. Untung saja tubuhnya cepat membuat
salto beberapa kali di udara, sehingga terhindar
dari serangan berikutnya.
"Bedebah! Rupanya kau punya sedikit ke-
pandaian juga, ya? Pantas saja kau berani masuk
ke dalam Sumur Kematian!" bentak bayangan hi-
tam-hitam itu garang.
Sekali lagi mata Soma terbelalak lebar, seo-
lah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
***
Bayangan hitam-hitam yang menyerang Si-
luman Ular Putih tadi ternyata Seorang lelaki tua
yang buntung kaki dan tangannya. Wajahnya ti-
rus. Kedua pipinya cekung dengan rahang yang
bertonjolan. Kerut-kerut di keningnya tajam, me-
nyiratkan penderitaan batin yang dalam. Sedang
tubuh buntungnya dibalut pakaian putih-putih
yang sudah compang-camping tidak karuan.
Rambutnya panjang tergerai ke tanah. Dan kini
lelaki berusia enam puluh tahunan itu tengah
'berdiri' menggunakan ujung-ujung rambutnya
yang tegak menancap di tanah!
"Bukan main!" diam-diam Soma mendesah
penuh kagum. Rupanya rambut panjang itulah
yang menyerangnya tadi!
"Orang Tua! Aku kemari bukannya mencari
mati! Buat apa susah-susah ke tempat ini kalau
cuma mau mati?!" kata Soma seenak dengkulnya.
"Apa pun alasanmu! Aku tetap akan mem-
bunuhmu!" dengus orang tua buntung itu penuh
kemarahan.
Mendadak, lelaki ini menekan rambutnya
yang menjuntai ke tanah disertai pengerahan te-
naga dalam tingkat tinggi. Sehingga rambut itu
kini melengkung mirip sapu lidi yang ditekan.
Dan dengan sekali genjot, orang tua buntung itu
segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai tingkat tinggi. Maka seketi-
ka tubuhnya melesat cepat bagai kilat.
"Hyaaat...!"
Disertai teriakan membahana, tubuh bun-
tung itu melesat mengancam Siluman Ular Putih.
Rambut-rambutnya yang semula menancap ke
tanah, kini mendadak berubah menjadi gulun-
gan-gulungan hitam laksana ijuk baja yang men-
gincar beberapa jalan darah Soma.
Dan belum juga gulungan-gulungan ram-
but orang tua buntung itu mengenai sasaran,
Soma telah merasakan angin dingin berkesiur
menyerang beberapa jalan darah di tubuhnya!
Melihat serangan-serangan rambut yang
mengeras sekeras baja, Siluman Ular Putih tidak
berani memandang ringan lagi. Cepat tubuhnya
dilempar beberapa kali ke samping. Rasanya ia
masih sungkan membalas serangan-serangan
aneh orang tua buntung itu.
"Sungguh aku patut mengagumimu, Orang
Tua! Dalam keadaan seperti ini saja kau dapat
menyerang demikian hebatnya. Apalagi kalau
memiliki kedua tangan dan kaki. Sungguh aku ti-
dak dapat membayangkannya!" decak Soma alias
Siluman Ular Putih penuh kagum, begitu menda-
rat di tanah.
"Tutup mulut, Bocah! Aku tidak pernah
membiarkan calon korbanku banyak mengelua-
rkan suara! Terima saja kematianmu hari ini!"
bentak lelaki tua itu garang setelah berbalik. Dan
diam-diam sebenarnya dalam hati ia mulai men-
gagumi kepandaian musuh mudanya.
Dan sehabis berkata begitu, tubuh lelaki
tua itu kembali melesat dengan kecepatan luar
biasa, bagai sebatang anak panah meluncur dari
busurnya. Rambutnya yang memencar bagai pu-
luhan ijuk baja menyerang tubuh Soma penuh
tenaga dalam tinggi.
Wesss!
"Uts...!"
Soma cepat melenting ke atas, hingga se-
rangan-serangan orang tua buntung itu mengenai
tempat kosong. Hebatnya, begitu rambut-rambut
yang menjuntai-juntai itu menancap ke dinding
Sumur Kematian, maka seketika tubuh buntung
orang tua itu kembali melenting menyerang.
"Ya, ampun! Kalau begini terus caranya,
aku bisa modar!" gerutu Soma yang baru saja
mendarat. Kesal juga hatinya. Diam-diam kekua-
tan batinnya pun mulai dikerahkan untuk meng-
hadapi serangan. "Sabar sedikit, Orang Tua! Men-
gapa kau jadi beringas begini? Ayo, lekas henti-
kan serangan-seranganmu!"
Suara Siluman Ular Putih bergetar-getar
aneh, menggema memenuhi ruangan. Bahkan te-
rus menyerang jalan pikiran orang tua buntung
aneh itu.
Lelaki tua itu mengeluh panjang pendek.
Tubuhnya yang masih melayang-layang bergetar-
getar hebat. Dan serangan-serangannya pun jadi
kacau! Lalu, mendadak luncuran tubuhnya pun
terhenti. Tubuh buntungnya yang ditopang ram-
but hitam berjuntai-juntai, tergetar-getar hebat.
Matanya membelalak liar memandangi Soma!
"He he he...! Rupanya kau penurut juga,
Orang Tua!" kekeh Soma kegirangan.
Sejenak lelaki tua buntung itu memejam-
kan matanya rapat-rapat. Tubuhnya yang berge-
tar-getar perlahan-lahan mulai tenang. Kemudian
matanya kembali dibuka.
"Kau dan Kelelawar Hutan sama saja! Sa-
ma-sama tukang sulap! Kau pikir Lowo Kuru ti-
dak mampu mencabut nyawamu, he?!"
Kini giliran Soma yang membelalakkan ma-
tanya. Sungguh tidak percaya kalau ilmu sihirnya
yang dipelajari dari Raja Penyihir tidak mampu
mengendalikan orang tua buntung yang ternyata
bernama Lowo Kuru. Dan lebih hebatnya lagi, tu-
buh buntung itu kembali menyerang ganas!
Soma penasaran sekali. Kembali kekuatan
batinnya dilipatgandakan.
"Orang Tua! Hentikan seranganmu! Apa
kau tidak takut melihatku? Kau memiliki rambut
hebat. Tapi, aku juga memiliki rambut lebih he-
bat!"
Lowo Kuru hanya sempat melihat betapa
rambut pemuda musuhnya telah berubah menja-
di puluhan ekor ular putih yang menggeliat-geliat
dengan kepala mendongak tinggi-tinggi. Tapi hal
itu hanya sebentar saja. Dengan pengalamannya,
ia jadi tidak terpengaruh dengan apa yang dili-
hatnya! Bahkan masih melayang-layang di udara,
terus melanjutkan serangannya yang cepat dan
tak tertahankan.
Wesss! Wosss!
Bukkk! Bukkk!
Soma yang sedang tertawa-tawa senang
melihat orang tua buntung itu kembali terpenga-
ruh ilmu sihirnya, mendadak memekik kaget. Se-
ketika itu juga tubuhnya terlempar beberapa
tombak ke belakang, membentur dinding Sumur
Kematian! Sedang dadanya yang terkena pukulan
rambut-rambut Lowo Kuril terasa nyeri bukan
main. Napasnya sesak. Cairan berwarna merah
nampak menyembul di bibirnya!
Siluman Ular Putih mengusap darah yang
mengalir di bibirnya dua kali. Kini baru disadari
kalau orang tua buntung itu tak mungkin dapat
dipengaruhi dengan ilmu sihirnya. Maka tanpa
banyak pikir panjang lagi, senjata pusakanya se-
gera dicabut dari balik punggung,
Senjata Siluman Ular Putih berbentuk
anak panah. Ujungnya yang melengkung ke atas
berbentuk kepala ular, serta terdapat pisau kecil
yang mencuat tajam. Dan batang anak panah itu
juga berbentuk badan ular yang memiliki dua lu-
bang mirip lubang suling. Sedang di kanan kiri
kepala ular ujung anak panah itu terdapat dua
buah cakra kembar terbuat dari lempengan baja.
Itulah senjata Siluman Ular Putih yang tidak lain
Anak Panah Bercakra Kembar!
Seketika itu juga hawa dingin yang teramat
menusuk kulit memenuhi ruangan begitu senjata
pusaka Soma dikeluarkan dari balik punggung-
nya. Lelaki tua buntung itu sempat menggigil ke-
dinginan, namun hanya sebentar. Setelah tenaga
dalamnya dikerahkan hawa dingin menusuk itu
mulai dapat dilawan.
Begitu dapat mengatasi pengaruh hawa
dingin dari senjata Soma, Lowo Kuru mencelat
tinggi ke udara. Gulungan-gulungan rambutnya
kali ini bergerak-gerak liar penuh jebakan-
jebakan maut. Dan gerakan-gerakannya pun sulit
sekali ditebak. Tidak seperti pada jurus-jurusnya
yang pertama.
Siluman Ular Putih cepat mengeluarkan ju-
rus andalannya 'Terjangan Maut Ular Putih'. Tan-
gan kirinya telah berubah menjadi keputihan,
siap melancarkan pukulan 'Inti Bumi'. Sedang
tangan kanannya yang memegang senjata pusaka
telah berubah menjadi merah darah, siap pula
melancarkan pukulan 'Inti Api'.
Maka pertarungan sengit yang menggelar
jurus-jurus ampuh dan berbahaya pun tak dapat
dielakkan lagi.
Namun setelah sekian jurus, Soma tetap
saja belum mampu menghadapi desakan-desakan
gulungan rambut Lowo Kuru. Bahkan kini Silu-
man Ular Putih tampak terdesak hebat. Padahal
jurus-jurus 'Ular Kembar Mengejar Mangsa' telah
dikeluarkan. Diam-diam pemuda ini mengeluh
dalam hati. Rasa-rasanya sulit sekali keluar dari
kepungan gulungan-gulungan rambut orang tua
buntung itu.
Tanpa ampun Lowo Kuru terus mendesak
hebat Soma dengan jurus-jurus sakti tingkat
tinggi. Perlahan-lahan, pertahanan Soma jadi ko-
car-kacir. Entah sudah berapa kali tubuhnya ha-
rus jumpalitan tidak karuan. Bahkan senjata pu-
sakanya yang sesekali melesat cepat laksana se-
buah anak panah pun seolah-olah tidak ada gu-
nanya lagi. Sementara gulungan-gulungan ram-
but orang tua buntung itu terus mendesaknya
hebat!
Wesss! Wesss!
Soma terkejut bukan main. Kali ini rasa-
rasanya Siluman Ular Putih tak mungkin me-
nangkis maupun menghindari serangan. Apalagi
saat itu keadaannya sangat tidak menguntung-
kan. Dalam keadaan melayang-layang seperti itu,
gulungan-gulungan rambut Lowo Kuru tidak ter-
duga-duga telah mengancam punggungnya. Dan
akibatnya,...
Wesss!
Bukkk! Bukkk!
Tanpa ampun lagi punggung Siluman Ular
Putih pun terhantam telak gulungan rambut
orang tua buntung itu dua kali. Seketika itu juga,
pemuda ini memekik tertahan. Tubuhnya terlem-
par berputar-putar sebentar, dan akhirnya meng-
hantam dinding-dinding Sumur Kematian!
"Hoekkkk...!"
Siluman Ular Putih tidak tahan lagi, lang-
sung muntahkan darah segar. Punggungnya yang
terkena hajaran rambut orang tua buntung tadi
terasa remuk dari nyeri bukan alang kepalang.
Wajahnya pucat pasi. Bibirnya berkemak-kemik.
Dan dari bibirnya yang berkemak-kemik, diam-
diam si pemuda mulai merapalkan ajian 'Titisan
Siluman Ular Putih'-nya.
Sebentar kemudian tubuh Siluman Ular
Putih yang menggelosor di tanah telah dipenuhi
asap putih tipis sehingga, akhirnya bayangan tu-
buh pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu tidak kelihatan sama sekali.
Sejenak Lowo Kuru menghentikan seran-
gan. Matanya membelalak lebar, tak tahu ilmu
apa yang akan dikeluarkan musuh mudanya. Dan
saat asap putih tipis yang menyelimuti tubuh
Soma pudar, maka seketika itu juga....
Gggeeerrr...!
12
Apa yang dilihat Lowo Kuru di hadapannya
itu benar-benar membuat hatinya ciut. Matanya
semakin terbelalak lebar. Mulutnya melongo tak-
jub. Sosok yang menggeliat-geliat di balik asap
putih itu demikian menggiriskannya! Yakni, see-
kor ular raksasa putih sebesar pohon kelapa! Dan
kini mata biru ular raksasa putih itu tengah me-
mandang beringas ke arahnya. Kedua taringnya
yang sebesar tanduk kerbau mencuat keluar, siap
menerkam mangsanya!
"Sil... Siluman Ular Putih..,!" desis Lowo
Kuru tanpa sadai.
"Gggeeerrr...!"
Sekali lagi terdengar gerengan Siluman
Ular Putih itu hingga menggetar-getarkan dinding
Sumur Kematian. Dan seketika tubuh besar me-
manjang ular raksasa itu langsung menerjang ga-
rang Lowo Kuru.
Orang tua buntung itu cepat meloncat ke
samping menghindari terjangan dengan sekali
menghentakkan ujung-ujung rambutnya ke ta-
nah. Kemudian dengan mengerahkan jurus-jurus
saktinya dibalasnya serangan Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih ini pun tidak kalah
cerdik. Melihat serangan-serangan orang tua bun-
tung yang demikian hebatnya, cepat dipapakinya
dengan sabetan-sabetan ekor.
Wuttt! Prattt!
Tentu saja hal ini sangat merepotkan Lowo
Kuru. Apalagi ketika disadari, pukulan-pukulan
rambutnya yang mengenai tubuh siluman ular
raksasa itu hanya seperti membentur lempengan
baja yang keras! Tak urung juga matanya me-
mandang penuh kagum. Rambutnya yang berben-
turan dengan tubuh raksasa Siluman Ular Putih
itu serasa pedih bukan main. Bahkan kepalanya
sampai berdenyut-denyut tidak karuan.
Namun Lowo Kuru tidak mau menyerah
begitu saja. Dengan mengeluarkan jurus-jurus
saktinya, kembali diterjangnya Siluman Ular Pu-
tih.
"Gerrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng penuh ke-
marahan. Kibasan-kibasan ekornya telah menye-
babkan debu-debu dalam Sumur Kematian beter-
bangan.
Perlahan-lahan serangan-serangan Lowo
Kuru mulai terdesak hebat. Malah entah sudah
berapa kali tubuhnya yang buntung terpental ke
sana kemari terkena sabetan-sabetan Siluman
Ular Putih. Dan pada satu kesempatan yang tidak
mungkin dihindari, tiba-tiba saja ekor Siluman
Ular Putih itu kembali menyabet tubuh buntung
Lowo Kuru.
Wesss!
Bukkk! Bukkk!
"Augh...!"
Lowo Kuru memekik tertahan. Tubuh bun-
tungnya yang terkena sabetan ekor Siluman Ular
Putih langsung terlempar ke samping, membentur
dinding Sumur Kematian. Seketika ia melorot ro-
boh ke tanah tak mampu bangun lagi. Pingsan!
Sejenak Siluman Ular Putih mengeluarkan
gerengannya. Dinding-dinding Sumur Kematian
kembali bergetar hebat. Tidak lama kemudian ter-
lihat asap putih tipis kembali menyelimuti Silu-
man Ular Putih. Sehingga, akhirnya bayangan tu-
buh memanjang ular raksasa putih itu pudar,
tampaklah sesosok pemuda gondrong berpakaian
rompi dan celana bersisik warna putih keperakan
tengah tertawa renyah dengan kedua tangan ber-
kacak pinggang!
"Ha ha ha.,.! Apa yang kubilang tadi, Orang
Tua? Untung saja rambut landakmu tidak protol.
He he he.... Kini kau tidak berani galak lagi," kata
Soma gemas juga menghadapi kelihaian rambut
orang tua buntung bergelar Lowo Kuru.
Dan sehabis berkata begitu,, Siluman Ular
Putih pun berjalan mendekati sosok buntung
yang menggeletak tak sadarkan diri. Sejenak di-
pandanginya Lowo Kuru penuh kagum. Tampak
olehnya darah segar membasahi bibir dan hidung
lelaki tua ini
Entah mengapa si pemuda jadi terharu se-
kali melihat sosok buntung yang mengenaskan
itu. Lalu, diangkatnya sosok Lowo Kuru menuju
ke sebuah lorong yang terdapat nyala api di ke-
jauhan sana.
Begitu sampai, Soma tidak percaya kalau
ternyata ujung lorong itu adalah sebuah ruangan
yang luasnya kira-kira tiga atau empat tombak.
Dasarnya terbuat dari batu-batu kecil yang ditata
rapi. Dan ketika pandangan matanya tertumbuk
pada gambar-gambar di dinding-dinding sumur,
tak urung juga ia berdecak kagum. Ternyata
gambar-gambar di seputar dinding Sumur Kema-
tian adalah petunjuk ilmu silat tinggi!
Sekali lihat saja Siluman Ular Putih tahu
kalau gambar jurus-jurus di dinding-dinding su-
mur itu adalah yang tadi juga dikeluarkan orang
tua buntung itu ketika bertarung dengannya.
Namun Soma hanya memperhatikannya sebentar.
Tidak ada keinginan di hatinya untuk mencuri il-
mu silat tingkat tinggi itu, walau sebenarnya
mampu melakukannya. Pemuda ini cepat mere-
bahkan tubuh buntung Lowo Kuru ke batu bun-
dar di tengah ruangan, dan cepat menotok bebe-
rapa jalan darahnya.
Tuk! Tuk! Tuk!
Tiga kali telunjuk jari tangan Soma meno-
tok jalan darah di dada dan tengkuk Lowo Kuru.
Beberapa saat kemudian, perlahan-lahan
Lowo Kuru pun mulai membuka kelopak ma-
tanya. Namun ketika melihat Soma masih berada
di hadapannya, cepat rambut kepalanya digerak-
kan untuk menyerang!
"Heit...! tunggu, Orang Tua!"
Soma cepat berguling-gulingan ke samping.
Namun rupanya kali ini Lowo Kuru tidak
lagi bernafsu menyerang anak muda itu. Hanya
dipandanginya Soma dengan mata terbelalak le-
bar. Lalu entah mengapa, tiba-tiba saja pandan-
gan matanya jadi berkaca-kaca!
"Anak Muda! Mengapa kau tidak membu-
nuhku?" tanya Lowo Kuru lirih.
Soma alias Siluman Ular Putih cepat ban-
gun. Melihat orang tua buntung itu menangis,
pemuda ini tidak merasa heran lagi. Namun ba-
gaimanapun juga, hatinya sempat terusik juga
dengan keadaan Lowo Kuru yang memelaskan.
"Sebenarnya aku tidak ada keinginan
membunuhmu, Orang Tua. Tapi kalau kau benar-
benar terbukti telah membunuhi murid-murid
Perguruan Kelelawar Putih, jangan harap aku ti-
dak tega menurunkan tangan mautku padamu."
"Percuma saja aku menjelaskan padamu,
Anak Muda! Kau tidak mungkin mempercayai
omonganku. Sebaiknya, lekaslah bunuh aku!
Buat apa kau menyiksaku dengan pertanyaan-
pertanyaanmu ini?" keluh Lowo Kuru, meme-
laskan.
Mau tidak mau kening Soma jadi berkerut
dalam. Ia tidak percaya kalau orang tua buntung
yang tadi bersikap garang ini, tiba-tiba saja beru-
bah demikian memelaskan. Bahkan rela menye-
rahkan selembar nyawanya begitu saja. Padahal
kalau mau, ia masih sanggup melawan Soma.
Kendati, tubuhnya masih belum sembuh benar
dari luka dalamnya.
"Soal membunuhmu itu gampang, Orang
Tua. Tapi sebelumnya aku harus mengajukan be-
berapa pertanyaan padamu. Maukah kau menja-
wabnya?"
Lowo Kuru hanya menarik napasnya pan-
jang. Tak menggubris omongan Siluman Ular Pu-
tih. Malah pandangan matanya dialihkan ke tem-
pat lain.
Soma tidak pedulikan sikap acuh Lowo Ku-
ru.
"Dengar Orang Tua! Apa benar, kaukah
yang telah membunuhi murid-murid Perguruan
Kelelawar Putih?" tanya Soma.
Lowo Kuru masih memperhatikan ke arah
lorong di depannya dengan bibir berkemik-kemik.
"Baiklah, Bocah! Masalah percaya atau ti-
dak, itu terserahmu saja. Mau dibunuh sekarang
pun, aku rela. Tapi, dengar! Buka telingamu le-
bar-lebar! Aku belum pernah membunuh satu
orang murid pun dari Perguruan Kelelawar Putih.
Apa kau puas, Bocah?" tegas Lowo Kuru akhir-
nya.
"Tapi, mengapa di dasar Sumur Kematian
ini banyak sekali kutemukan mayat murid-murid
Perguruan Kelelawar Putih?" tukas Siluman Ular
Putih.
"Memang. Tapi bukan aku pelakunya. Aku
hanya membunuh beberapa orang saja. Dan itu
semua bukan dari Perguruan Kelelawar Putih.
Kau paham?"
"Lantas? Siapa yang telah membunuhi mu-
rid-murid Perguruan Kelelawar Putih itu? Dan
siapa pula orang-orang yang telah kau bunuhi
itu...?"
"Orang yang telah membunuhi murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih tidak lain dari
orang yang bergelar Kelelawar Hutan."
"Apa? Kelelawar Hutan...?" sentak Soma
seraya menarik mundur dadanya, seolah-olah ti-
dak mempercayai keterangan Lowo Kuru.
Kali ini Lowo Kuru memandangi Siluman
Ular Putih seksama.
"Benar. Memang Kelelawar Hutan-lah pela-
kunya," tegas Lowo Kuru, seraya mengangguk.
"Tapi..., tapi, bukankah murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih itu adalah murid-murid
Kelelawar Hutan sendiri?" tukas si pemuda den-
gan kening berkerut.
"Tidak! Sebenarnya tidak demikian. Mung-
kin untuk sekarang ini, murid-murid Perguruan
Kelelawar Putih memang muridnya. Murid-murid
Kelelawar Hutan maksudku. Tapi, tidak untuk
sebelum masa delapan belas tahun lalu, Bocah!"
jelas Lowo Kuru.
"Aku belum mengerti maksudmu, Orang
Tua."
Lowo Kuru menghela napasnya sebentar.
"Singkatnya begini, Bocah. Sebenarnya
Perguruan Kelelawar Putih bukanlah milik Kele-
lawar Hutan, melainkan, milik seseorang."
"Milik seseorang...? Siapakah dia, Orang
Tua?" tanya Soma heran.
Lowo Kuru menyunggingkan senyum. "Ten-
tu kau akan kaget kalau kukatakan bahwa orang
yang memiliki Perguruan Kelelawar Putih sebe-
narnya sedang duduk di hadapanmu, Anak Mu-
da."
Mata Soma kontan terbelalak lebar, seolah-
olah tidak mempercayai keterangan orang di ha-
dapannya.
"Maksudmu...? Kau.... Kaukah, Orang
Tua?"
Sekali lagi Lowo Kuru menyunggingkan se-
nyum dengan kepala mengangguk perlahan.
"Lantas? Ba..., bagaimana kau bisa terku-
rung dalam Sumur Kematian ini?"
"Ceritanya panjang, Anak Muda!" sambar
Lowo Kuru cepat. "Maukah kau mendengarkan
ceritaku, Anak Muda?"
Soma tidak menjawab pertanyaan Lowo
Kuru, kecuali hanya menganggukkan kepala tan-
da setuju.
Sejenak Lowo Kuru menghela napasnya
panjang-panjang seraya memejamkan matanya
rapat-rapat. Seolah-olah, ia sedang mengingat
kembali kejadian delapan belas tahun lalu. Ke-
mudian dari bibirnya yang bergetar-getar itu sua-
ranya mulai terdengar menceritakan kejadian de-
lapan belas tahun lalu....
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:
PEDANG KELELAWAR PUTIH
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon