1
Hari telah menjelang pagi. Puncak Gunung
Sumbing masih diselimuti kabut tipis, bagai tirai
yang terus bergerak. Dan seiring munculnya sinar
keemasan di ufuk timur sana, kabut tipis ini pun
mulai tersingkap perlahan tertiup angin dingin
pegunungan, lalu hilang entah ke mana.
Tong! Tong!
Pagi yang hening dipecahkan oleh suara
kentongan yang dipukul dua kali. Asalnya, dari
sebuah perguruan silat yang terletak di lereng ba-
rat Gunung Sumbing. Hanya ada satu perguruan
silat di kawasan gunung itu, yakni Perguruan Ke-
lelawar Putih.
Bunyi kentongan barusan merupakan isya-
rat agar semua orang yang ada di tempat ini ber-
kumpul. Konon beberapa hari ini, Ketua Pergu-
ruan Kelelawar Putih yang dikenal bergelar Kele-
lawar Hutan telah mengundang beberapa tokoh
persilatan untuk datang ke perguruannya. Dari
kabar yang tersiar di lunran, Kelelawar Hutan
tengah mengadakan sayembara.
Sayembara apa?
Sementara itu, baik para murid perguruan
ini maupun para tokoh persilatan yang diundang,
sudah memenuhi ruang utama perguruan. Mere-
ka ada yang tiba sejak beberapa hari yang lalu,
dan ada pula yang pagi buta tadi tiba di pergu-
ruan ini.
Tong! Tong! Tong!
Pada saat semua telah berkumpul, kenton-
gan kembali dipukul untuk yang kedua kalinya.
Namun bunyinya kali ini sedikit berbeda dari
yang pertama. Iramanya terdengar satu-satu, dan
dibiarkan menggema di angkasa. Seolah-olah
iramanya mengandung perasaan duka, sehingga
membuat para tamu seperti terbawa arus kesedi-
han.
Dan kini suasana dalam ruang utama itu
terlihat makin mencekam. Paras wajah para tamu
mendadak berubah tegang. Dada mereka berde-
bar lebih cepat dari biasa. Dan kasak-kusukpun
makin sulit dikendalikan.
"Jangan-jangan, Sumur Kematian mulai
meminta korban lagi?" duga salah seorang un-
dangan seperti berkata pada diri sendiri.
"Benar! Kalau tak salah, ada empat orang
yang sudah menjadi korbannya," sahut tamu
yang lain.
"Benarkah? Siapa?"
Sewaktu para undangan membicarakan
siapa keempat orang yang menjadi korban, men-
dadak...
"Saudara-saudara sekalian harap berdiri!
Yang Mulia Kelelawar Hutan telah tiba!" teriak sa-
lah seorang murid.
Para undangan langsung memasang wajah
meremehkan seruan itu.
"Keparat! Mentang-mentang di kandang
sendiri! Huh! Jangan dikira kami harus taati pe-
rintah kalian!" desis seorang tamu seraya berka-
cak pinggang.
Orang itu berusia kira-kira lima puluh lima
tahun. Rambutnya panjang digelung ke atas. Di
kepalanya tampak melingkar ikat kepala warna
kuning. Kumisnya lebat. Demikian pula jambang
dan jenggotnya. Sepasang matanya tajam dengan
alis tebal hitam. Tubuhnya yang kekar terbung-
kus jubah besar warna hitam.
"He he he...! Aku setuju sekali dengan pen-
dapatmu, Bayangan Malaikat. Mentang-mentang
di kandang sendiri, apa dipikir mereka bisa see-
nak udelnya menyuruh-nyuruh kita?!" sahut ta-
mu lain.
Dia adalah seorang lelaki tua bertubuh
pendek, terbalut jubah kuning yang kedodoran
hingga ke tanah. Rambutnya awut-awutan. Pi-
pinya cekung. Dua batang giginya yang berwarna
kuning bertonjolan ke depan. Namun yang mem-
buat aneh lelaki berusia enam puluh tahun itu
adalah kumisnya. Bukannya terlalu tebal atau
terlalu tipis, melainkan mirip kumis kucing!
Maka tak heran kalau orang tua ini men-
dapat julukan Lelaki Berkumis Kucing. Yang me-
rupakan salah seorang dari Sepasang Manusia
Aneh dari Gunung Kelud. Kepandaian lelaki ini
sebenarnya tinggi sekali. Jurus-jurus sakti 'Cakar
Kucing'-nya sangat ditakuti tokoh-tokoh golongan
sesat di wilayah timur. Hanya karena sudah terla-
lu lama menyembunyikan diri dari dunia persila-
tan sajalah yang membuatnya tidak begitu diken-
al. Dan orang tua itu kini terus menuding-
nudingkan tongkatnya ke arah murid Perguruan
Kelelawar Putih yang tadi pertama kali membuka
suara.
Murid Perguruan Kelelawar Putin dengan
kepala diikat pita merah itu maju selangkah. Ma-
tanya memandang tajam kakek pendek itu. Na-
mun belum sempat dia bersuara....
"Dua cecurut tua! Beraninya kalian cuma
menjual lagak di hadapan bocah kemarin sore!
Memalukan sekali!"
Terdengar bentakan lain yang begitu keras
menggelegar, yang pasti dialiri tenaga dalam ting-
kat tinggi. Malah beberapa orang murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih langsung gemetaran dengan
wajah pucat pasi. Gendang telinga mereka terasa
mau robek. Maka seketika itu kedua telapak tan-
gan mereka menutup lubang telinga.
"Elang Setan! Di hadapanmu pun aku akan
mengobral lagak!" sahut Lelaki Berkumis Kucing
penuh tenaga dalam, seraya menatap lelaki ber-
wajah lonjong berjubah merah.
"Benar apa yang dikatakan sobatku orang
tua pendek ini. Justru kaulah yang menjual lagak
di hadapan kami. Apa kau belum pernah merasa-
kan tajamnya pedangku, he?!" bentak lelaki tua
berjubah hitam yang dikenal sebagai Bayangan
Malaikat, disertai pengerahan tenaga dalam. Tan-
gan kanannya cepat melolos pedang dari ping-
gang.
Lelaki berjubah merah yang dikenal seba-
gai Elang Setan menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat, menahan amarah luar biasa. Kedua pelipis-
nya bergerak-gerak. Dan dengan tanpa banyak
cakap lagi dia segera bersalto ke hadapan Bayan-
gan Malaikat dan Lelaki Berkumis Kucing, se-
hingga jubahnya berkibar-kibar. Lalu mantap dan
ringan sekali kedua kakinya mendarat manis di
lantai tanpa menimbulkan suara sedikit pun!
Wajah lonjong tokoh yang konon dari Lem-
bah Serayu ini kelam membesi. Rambutnya pan-
jang riap-riapan. Matanya besar-dengan hidung
besar. Kedua bibirnya tebal kehitaman. Dan kini
tokoh dari golongan hitam yang terkenal dengan
jurus-jurus 'Elang Hitam' itu melotot lebar-lebar.
Kuku-kuku jarinya yang berwarna hitam mulai
bertonjolan keluar, siap mencabik-cabik kedua
musuhnya.
"Jahanam! Siapa yang berani bersilat lidah
di depan Elang Setan, berarti mampus!" dengus
Elang Setan penuh kemarahan. Tangan kanannya
yang berkuku panjang dan runcing siap mengibas
ke arah Bayangan Malaikat.
Tentu saja Bayangan Malaikat tak ingin
kehilangan muka. Maka tangan kanannya yang
sudah melolos pedangnya pun siap bergerak me-
mapak. Namun belum sempat masing-masing
bergerak mendadak....
"Tahan!"
Elang Setan dan Bayangan Malaikat seke-
tika itu juga mengurungkan niat. Dan kini semua
orang yang berada di ruangan ini berpaling ke
arah datangnya suara. Ternyata orang yang
membentak barusan adalah seorang lelaki beru-
sia setengah baya dengan pakaian ketat serba pu-
tih. Dia tak lain dari Kelelawar Hutan.
Dan tanpa menghiraukan sapaan murid-
murid yang menyambutnya gembira, Kelelawar
Hutan terus meneruskan langkah angkuhnya.
Perawakan si Kelelawar Hutan yang tinggi
besar tampak begitu gagah dengan sorot mata
memancarkan perbawa kuat. Rambutnya pan-
jang. Di kepalanya tampak melingkar ikat kepala
yang juga berwarna putih. Kumisnya lebat. Demi-
kian pula cambang dan jenggotnya.
Dan begitu Ketua Perguruan Kelelawar Pu-
tih ini sampai di mimbar. Sambil sepasang ma-
tanya yang mencorong aneh terus menatap
Bayangan Malaikat, Elang Setan, dan Lelaki Ber-
kumis Kucing.
"Kenapa kalian membuat keonaran di sini,
he?!" tegur Kelelawar Hutan angkuh. Sepasang
matanya yang tajam semakin mencorong aneh.
Baik Bayangan Malaikat, Elang Setan,
maupun Lelaki Berkumis Kucing seketika tersen-
tak kaget. Entah mengapa begitu balas meman-
dang sepasang mata Kelelawar Hutan yang men-
corong aneh, mendadak saja sekujur tubuh me-
reka jadi gemetar. Tulang-tulang terasa dilolosi
satu persatu oleh kekuatan aneh yang tersem-
bunyi di batik sepasang mata mencorong milik
Kelelawar Hutan. Menyadari hal itu, bukan main
kagetnya ketiga orang yang ditatap. Seketika itu
juga wajah mereka pucat pasi dengan kedua bola
mata membelalak liar. Malah tubuh Elang Setan
dan Bayangan Malaikat mulai limbung dan ter-
duduk di lantai. Hanya Lelaki Berkumis Kucing
sajalah yang masih bertahan.
Namun kali ini orang tua pendek itu tidak
berani lagi balas memandang sepasang mata Ke-
lelawar Hutan yang mencorong. Dan pandangan
matanya kini sedikit dinaikkan ke pusat kening
Ketua Perguruan Kelelawar Putih itu. Sehingga
dia terhindar dari pengaruh aneh yang semula
mengguncangkan dadanya.
"Hm...! Rupanya orang ini memiliki sema-
cam ilmu sihir," gumam Lelaki Berkumis Kucing
dalam hati. Lalu, "Meooong...!"
Sebuah suara kucing terdengar menyentak
semua orang yang ada di tempat ini. Itulah
'Raungan Maut Kucing Hutan' yang menjadi ilmu
andalan Lelaki Berkumis Kucing untuk melum-
puhkan musuh-musuhnya. Dan suaranya yang
melengking tinggi penuh tenaga dalam itu mampu
menggetarkan dinding ruangan ini. Bahkan bebe-
rapa orang murid Perguruan Kelelawar Putih dan
beberapa tamu undangan langsung memekik ter-
tahan dengan wajah pucat pasi. Gendang telinga
mereka terasa mau robek. Malah ada beberapa
orang murid yang langsung menggeletak tak sa-
darkan diri!
Sementara Kelelawar Hutan sendiri pun
sempat menyurutkan langkahnya ke belakang.
Seketika itu juga pengaruh sihirnya yang dike-
rahkan lewat matanya pun pudar.
"Ha ha ha...!"
Lelaki Berkumis Kucing tertawa bergelak-
gelak.
"Nama besar Kelelawar Hutan memang ti-
dak percuma. Aku Lelaki Berkumis Kucing patut
mengacungkan jempol untukmu. Tapi, jangan ha-
rap aku takut menghadapi permainan anak-
anakmu ini!"
Dahi Kelelawar Hutan berkernyit dalam.
Kemarin, Kelelawar Hutan tak melihat kehadiran
lelaki pendek itu. Berarti, Lelaki Berkumis Kucing
baru tiba pagi buta tadi. Dia memang pernah
mendengar tokoh berkumis mirip kucing ini. Na-
mun untuk bertemu baru kali ini.
Dan sebelum Kelelawar Hutan buka suara,
salah seorang undangan yang masih berusia mu-
da melompat ke hadapan Lelaki Berkumis Kucing.
Langsung dia berlutut di hadapan kakek pendek
ini.
"Paman...! Paman guru! Perkenalkanlah
aku, Kumbara yang rendah ini adalah murid
tunggal Orang Tua Aneh Penjaga Pintu. Maafkan
atas ketidak mengertianku ini, Paman!" ucap pe-
muda bernama Kumbara memperkenalkan diri.
Sebenarnya pemuda berpakaian ringkas
warna hitam-hitam ini sudah menduga begitu me-
lihat kemunculan orang tua bertubuh pendek itu.
Namun hatinya masih ragu kalau orang di hada-
pannya adalah paman seperguruannya yang su-
dah lama sekali menghilang dari dunia persilatan,
setelah dikalahkan seorang tokoh bergelar Can-
trik Tudung Pandan. Dan menurut keterangan
dari gurunya, begitu Lelaki Berkumis Kucing jadi
pecundang langsung menyembunyikan diri di Pu-
lau Nusa Kambangan. Konon untuk memperda-
lam kepandaiannya.
"Bangunlah! Aku paling benci dengan sega-
la macam tetek bengek peradatan. Sekarang ka-
takan, bagaimana kabar Kakang Penjaga Pintu?
Apakah baik-baik saja?" ujar orang tua bertubuh
pendek itu kasar, seraya mengangkat pundak
Kumbara.
"Sayang sekali guru sedang menderita sakit
parah, Paman. Aku diperkenankan turun gunung
untuk meminta bantuannya Tabib Agung," jelas
Kumbara.
Orang tua bertubuh pendek itu sempat
terkejut. Namun buru-buru dapat mengendalikan
perasaannya.
"Ya ya ya...! Aku mengerti. Nanti kubantu
kau mencari Tabib Agung. Sekarang, cepat kem-
bali ke tempatmu. Dan, dengarkan orang tua itu
melanjutkan ceritanya!" kata lelaki bertubuh pen-
dek itu seraya menudingkan tongkatnya ke arah
Kelelawar Hutan.
Jidat Kelelawar Hutan makin berkernyit.
Nampak sekali kalau kedatangan orang tua ber-
tubuh pendek itu tidak disukainya.
"Hem...! Rupanya aku sedang berhadapan
dengan Lelaki Berkumis Kucing yang sangat ter-
kenal di wilayah timur itu. Benar-benar tak ku-
sangka kalau kau dapat meloloskan diri dari ge-
bukan Cantrik Tudung Pandan. Sebab terus te-
rang, aku menyangka kau sudah mati di tangan
tokoh sakti dari Gunung Anjasmoro itu."
Lelaki tua bertubuh pendek itu tertawa
sumbang.
"Ah...! Bicaramu terdengar sengak Kelela-
war Hutan. Kulihat dari sorot matamu, kau nam-
paknya mulai mencurigai kedatanganku. Ketahui-
lah! Sebenarnya kedatanganku kemari hanyalah
untuk mencari keparat Cantrik Tudung Pandan.
Tapi berhubung aku sudah kepalang basah nya-
sar kemari, apa boleh buat? Aku pun juga merasa
penasaran sekali dengan rahasia Sumur Kema-
tianmu. Apa kau pikir aku takut masuk ke dalam
Sumur Kematian itu?"
Kelelawar Hutan tersenyum sinis.
"Jangan terlalu gegabah, Lelaki Berkumis
Kucing! Biarpun ada juga yang dapat keluar kem-
bali, namun toh tetap saja tidak dapat memperta-
hankan nyawanya!"
Sampai di sini, Kelelawar Hutan mendehem
sebentar untuk membetulkan suaranya.
"Buktinya, keempat orang murid utamaku
yang berkepandaian cukup tinggi pun menjadi
korbannya! Mereka sudah lama mengabdi untuk
kepentinganku. Namun, toh akhirnya harus me-
nerima kematian dengan sangat mengenaskan.
Bagaimana aku tidak menjadi sedih karenanya?"
lanjut Kelelawar Hutan, setelah sedikit menurun-
kan nada bicaranya.
Kelelawar Hutan kembali hentikan bica-
ranya sebentar. Pandangan matanya menyapu ke
arah semua yang hadir di ruangan ini.
"Maka kepada siapa saja yang berani ma-
suk ke dalam Sumur Kematian dan menganggap
mempunyai kepandaian yang dapat melebihi ke-
pandaian keempat orang murid utamaku, dipersi-
lakan masuk ke dalam Sumur Kematian untuk
melihatnya," tambah Ketua Perguruan Kelelawar
Putih. Suaranya ditinggikan tiba-tiba.
"Ah...! Ah...! Bagaimana, ya? Jika ceritamu
tadi betul semua, aku... aku mulai menjadi takut
juga...," ledek lelaki tua pendek itu sambil cengar-
cengir.
Mendengar kata-kata Lelaki Berkumis Kuc-
ing, semua orang yang hadir di ruangan itu jadi
tidak dapat menahan tawanya. Wajah Kelelawar
Hutan yang tadinya kaku, kini sedikit mulai me-
lunak. Tapi baru saja mau membuka mulutnya,
tiba-tiba saja,...
"Tapi, jangan khawatir. Aku si tua pendek
ini masih ada satu cara untuk memaksa orang
berani memasukinya!" lanjut Lelaki Berkumis
Kucing sambil menggerakkan kedua tangannya,
mirip orang menari.
"Dengan cara apa saudara dapat memaksa
orang masuk ke dalam Sumur Kematian, he?! Le-
kas katakan!" bentak salah seorang murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih.
Kelelawar Hutan membuka lebar sepasang
matanya. Sinar matanya yang tajam terus meng-
hunjam ke arah Lelaki Berkumis Kucing. Tapi
kemarahannya tidak ditunjukkan. Ia hanya sedi-
kit menggerak-gerakkan gerahamnya yang terka-
tup rapat.
Sementara Lelaki Berkumis Kucing hanya
tersenyum-senyum saja, lantas mendehem-dehem
beberapa kali seperti sedang mempermainkan Ke-
lelawar Hutan dan muridnya yang bicara tadi.
"Mengapa kau tidak cepat-cepat membuka
mulutmu, Orang Tua?!" teriak murid itu.
Lelaki Berkumis Kucing masih Saja terse-
nyum-senyum jenaka sembari menggerak-
gerakkan kedua pundaknya.
"Gampang saja untuk mengatakannya. Ta-
pi, aku harus mendapat persetujuan dari Kelela-
war Hutan dulu," katanya seraya mengerjap-
ngerjapkan matanya.
"Lekas katakan! Apa kau pikir, guruku ti-
dak ingin cepat-cepat membongkar rahasia Su-
mur Kematian ini, heh?! Asal saja kau tidak me-
minta yang bukan-bukan, guruku tentu dapat
menyetujui nya," bentak murid itu lagi tidak sa-
bar.
"Kelelawar Hutan! Benarkah apa yang dika-
takan muridmu yang galak ini?" tanya Lelaki Ber-
kumis Kucing seolah ingin menegaskan.
Kelelawar Hutan mengangguk. Matanya
yang tajam terus memperhatikan gerak-gerik lela-
ki tua pendek aneh ini.
"Hanya hadiah besar saja yang dapat me-
maksa orang mengadu jiwa," lanjut lelaki tua ber-
tubuh pendek itu.
Semua orang yang ada di ruangan ini
menggumam tak jelas mendengar kata-kata orang
tua pendek itu. Suara mereka bagaikan sekawa-
nan lebah saja.
"Kelelawar Hutan!" kata Lelaki Berkumis
Kucing, seraya merobah nada suaranya, lantang.
"Banyak tokoh sakti dunia persilatan tahu kalau
kau mempunyai Pedang Kelelawar Putih yang
pernah menggetarkan dunia persilatan. Jika
menggunakan Pedang Kelelawar Putih dicem-
plungkan ke dalam Sumur Kematian sebagai ha-
diah tambahan kepada siapa saja yang berani
memasukinya, aku yakin masih ada orang yang
berani mengadu jiwa seperti aku ini."
Paras Kelelawar Hutan sudah menjadi be-
rubah. Hatinya tergetar juga mendengarkan
omongan Lelaki Berkumis Kucing.
"Kau terlalu memojokkanku, Sobat. Aku
memang mempunyai Pedang Kelelawar Putih. Ta-
pi, bagaimana aku dapat menjadikannya sebagai
taruhan? Itu satu-satunya senjata andalanku un-
tuk menghadapi musuh. Tapi, baiklah. Sebagai
gantinya, aku akan mencemplungkan daun Lon-
tar Merah yang sangat ampuh untuk obat segala
macam penyakit. Kalian tahu semua, seberapa
ampuhnya khasiat daun itu, bukan?"
Mendengar disebut-sebutnya daun Lontar
Merah sebagai taruhan, Kumbara yang memang
sedang mencari obat untuk gurunya segera maju
ke depan. Namun sayangnya, Lelaki Berkumis
Kucing buru-buru memegangi lengannya. Sehing-
ga terpaksa sekali pemuda itu menahan langkah-
nya.
"Betul! Khasiat daun Lontar Merah me-
mang sangat ampuh. Di samping dapat menyem-
buhkan berbagai macam penyakit, konon dapat
pula membuat orang berumur panjang, walau
hanya memakan seiris saja," sela Lelaki Berkumis
Kucing. Kelelawar Hutan tertawa dingin.
"Justru karena keampuhannya yang tidak
dapat dinilai harganya itulah, aku jadi ragu-ragu
untuk memasukkan daun Lontar Merah ke dalam
Sumur Kematian. Coba pikir! Jika tidak ada
orang yang berani mengambilnya, bukankah itu
tindakan sia-sia?"
"Kau tak perlu mengkhawatirkannya, Kele-
lawar Hutan! Setelah kau memasukkan daun
Lontar Merah ke dalam lubang Sumur Kematian,
aku akan memberi kesempatan pada yang lain
untuk memasukinya. Tapi bila sampai tiga hari
tak ada yang berani, biarpun bakal tidak bernya-
wa lagi aku akan memasukinya," kata Lelaki Ber-
kumis Kucing, mantap.
"Bagus! Bagus! Sekali lagi aku patut men-
gagumi keberanianmu, Lelaki Berkumis Kucing.
Dan sekarang juga, Saudara-saudara dipersilakan
menunggu Pekarangan Terlarang," ujar Kelelawar
Hutan seraya bertepuk tangan.
Kemudian dengan tanpa banyak kata lagi,
Ketua Perguruan Kelelawar Putih itu pun segera
turun dari mimbar, langsung masuk ke ruangan.
2
Sebuah alunan suara suling terdengar
merdu, kendati kadang terputus-putus. Suaranya
menggema, memenuhi Lembah Batu Sudung.
Alunan suling itu dimainkan oleh seorang pemu-
da berparas tampan, berompi dan bercelana putih
penuh sisik. Jari-jari tangannya menari-nari di
atas lubang suling yang berbentuk seperti anak
panah.
Mendengar hasil tiupan sulingnya, mata si
pemuda yang agak kebiru-biruan mengerjap-
ngerjap nakal. Bibirnya berkemik-kemik. Sejenak
dipandanginya suling yang juga sebagai senjata
pusaka itu penuh kagum. Kepalanya menggeleng-
gelengkan lucu. Lalu ia duduk bersila di bawah
batu gunung sebesar rumput joglo, dan kembali
meniup sulingnya.
Wajah si pemuda yang berkulit putih ber-
sih tampak tampan sekali. Alis matanya tebal,
manis sekali dengan bentuk hidung yang man-
cung. Rambutnya gondrong dibiarkan tergerai di
bahu. Tubuhnya tinggi tegap. Dan dari rompi pu-
tih keperakan yang terbuka tanpa kancing, tam-
paklah rajahan bergambar ular putih di dada ber-
sisik warnanya.
Siapa lagi pemuda tampan yang mempu-
nyai ciri-ciri demikian kalau bukan Soma, murid
Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar Siluman
Ular Putih dari Gunung Bucu. Dan kini pemuda
tampan itu terus saja meniup suling yang juga
senjata anehnya. Dan diam-diam, dia mulai men-
gerahkan kekuatan batinnya yang baru saja dipe-
lajari dari orang tua bercaping pandan yang ber-
gelar Raja Penyihir! (Untuk lebih jelasnya menge-
nai pertemuan Soma dengan Raja Penyihir ini,
dapat dibaca pada serial Siluman Ular Putih da-
lam episode kedua berjudul: "Manusia Rambut
Merah").
Suara tiupan suling Soma kali ini aneh se-
kali. Terkadang terdengar melengking tinggi, ter-
kadang lirih hampir tidak terdengar. Dan dari ha-
sil tiupan suling pemuda murid Eyang Begawan
Kamasetyo ini, mendadak hamparan tanah re-
rumputan di hadapan Soma telah dipenuhi ber-
bagai macam jenis ular. Dari yang besar, sampai
yang kecil. Dari yang bercorak, sampai yang po-
los. Entah dari mana datangnya.
Melihat ini, Siluman Ular Putih pun terse-
nyum girang. Tiupan suling kali ini dirubah da-
lam irama tertentu. Sejenak, ular-ular itu terke-
sima. Tiupan-tiupan suling Soma seperti mengge-
litik binatang-binatang melata itu untuk menari.
Dan benar saja. Bersamaan dengan tiupan-tiupan
suling Soma yang melantun lembut, ular-ular itu
mulai menggeliat-geliatkan tubuhnya, mengang-
kat kepala tinggi-tinggi mengikuti alunan suling.
Soma tertawa gembira. Senjata aneh di
tangannya diketuk-ketukkan ke tangan sebelah-
nya. Dan entah kecewa karena alunan suling ter-
henti, atau memang Soma tidak mengerahkan
kekuatan batinnya lagi, mendadak ular-ular itu
berhenti menari.
"Mengapa kalian berhenti menari, heh?!
Ayo, lekas menari lagi!"
Puluhan ular-ular itu malah celingukkan,
tak mengerti maksud si pemuda.
"Hehe he...! Maaf, teman-teman! Aku lupa
tidak meniup sulingku. Nah, sekarang kalian ber-
siap-siaplah menari lagi," celoteh Soma, mirip
orang sinting.
Kemudian sembari duduk bersila begitu,
Soma pun mulai meniup sulingnya. Namun baru
beberapa alunan, tiba-tiba saja Siluman Ular Pu-
tih dikejutkan oleh melesatnya sesosok bayangan
dari batu besar di belakang. Dan tahu-tahu, so-
sok itu telah mendarat manis persis di depan So-
ma.
Sosok orang itu bertubuh tinggi kurus.
Usianya kira-kira tujuh puluh tahun. Mukanya ti-
rus. Matanya sipit. Hidungnya pun kecil dengan
kedua bibir menghitam. Kepalanya bercaping
pandan. Pakaiannya tambal-tambalan. Siapa lagi
kalau bukan Raja Penyihir!
"Ah...! Kau mengagetkanku saja, Orang
Tua! Pakai permisi dong, kalau mau kemari?!"
omel Siluman Ular Putih bersungut-sungut.
Orang tua bercaping pandan ini kontan
melotot lebar-lebar. Meski sebenarnya kagum me-
lihat kepandaian Soma dalam menangkap pelaja-
ran yang diberikan namun tetap saja tak dapat
menyembunyikan kemangkelannya. Memang
hanya dalam beberapa hari saja, Soma sudah da-
pat menyihir puluhan ular jejadian. Bahkan da-
lam sekali lihat tadi, Raja Penyihir tahu ular-ular
yang berserakan di tanah rerumputan itu bukan
saja ular jadian, melainkan juga benar-benar ular
benar! Inilah yang membuatnya terkagum-kagum.
Malah lelaki tua ini belum tentu sanggup menda-
tangkan puluhan ular benaran dalam jumlah se-
banyak itu.
"Kau sungguh tidak sopan, Orang tua! Su-
dah mengagetkan aku, pakai melotot lagi. Me-
mangnya aku salah apa?!" gerutu Soma.
Raja Penyihir makin melotot. Tongkat hi-
tamnya diketuk-ketukkan ke tanah.
"Berapa kali aku harus menyuruhmu me-
manggil aku Guru, Bocah?!" tukas lelaki tua itu
membentak.
Siluman Ular Putih memajukan bibir ba-
wahnya. Kepalanya dipalingkan ke tanah rerum-
putan. Dan ia kontan terkejut. Ternyata sebagian
ular yang dikumpulkan di tanah rerumputan mu-
lai bergerak ke balik semak. Buru-buru senjata
pusakanya ditiup, bermaksud mengumpulkan
ular-ular itu kembali.
Tuk! Tuk!
Raja Penyihir kembali mengetukkan tong-
kat hitamnya ke tanah. Hidungnya kembali kem-
pis saking gusarnya.
"Bocah Edan! Bukannya menjawab serua-
nku, malah bertingkah macam-macam! Ayo, lekas
suruh ular-ularmu itu pergi!"
"Tidak bisa! Tidak bisa! Malah, aku ingin
membalas perbuatanmu tempo hari, Orang Tua,"
sahut Soma kalem.
"Apa?" sentak Raja Penyihir gusar.
Soma tidak menyahut. Dan ia sudah kem-
bali tenggelam dengan permainan sulingnya.
"Kau... kau...!"
Raja Penyihir membelalakkan matanya le-
bar-lebar saat melihat ular-ular yang semula ber-
hamburan, kini mulai berkumpul. Kepalanya te-
rangkat tinggi-tinggi, memandang lelaki tua ini.
Dan dengan sorot mata yang mencorong beringas,
ular-ular itu bergerak cepat menyerang Raja Pe-
nyihir!
"Sontoloyo!" maki Raja Penyihir.
Kedua tangannya cepat bergerak menam-
par kepala ular-ular yang berani menyerangnya.
Plakkk!
Plakkk!
Aneh! Tubuh ular-ular yang berani menye-
rang Raja Penyihir langsung musnah tak berbe-
kas. Namun, ada sebagian ular lain yang memun-
cratkan darah segar begitu terkena tamparan
tangan Raja Penyihir pada bagian kepala Raja Pe-
nyihir menggeleng-geleng. Diam-diam kepandaian
pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo makin
dikagumi. Melihat darah yang muncrat berham-
buran ke sana kemari, lelaki tua bercaping pan-
dan ini tahu kalau ular-ular itu asli, bukan jeja-
dian.
Prakkk!
Prakkk!
Dan ketika pandangan matanya yang tajam
melihat berkelebatnya dua ekor ular betulan, Raja
Penyihir pun kembali menggerakkan tangannya,
menampar kepala ular-ular itu hingga mati.
Sial sekali nasib Raja Penyihir pagi itu
memang. Darah kepala ular yang terkena tampa-
ran tangannya barusan, malah muncrat mengenai
mukanya. Lelaki tua itu jadi uring-uringan.
"Ular-ular kurang ajar, enyahlah kalian
semua!" bentak Raja Penyihir garang. Suaranya
terdengar menggema memenuhi Lembah Batu
Sudung.
Seketika itu juga ular-ular buatan Soma
pun lenyap tak berbekas. Sedang ular-ular betu-
lan yang tadi dikumpulkan Soma pun buru-buru
menghilang di balik semak belukar.
Siluman Ular Putih tertawa bergelak-gelak.
Dilihatnya Raja Penyihir tengah sibuk member-
sihkan noda-noda darah ular menggunakan
ujung baju tambal-tambalannya.
"Hik hik hik...! Aku paling senang kalau
melihat wajahmu celemongan begitu, Orang Tua.
Mengapa dihapus? Kau makin tampan kok, kalau
celemongan begitu," celoteh Siluman Ular Putih,
seenaknya. Lantas ia berdiri.
"Keparat! Kau harus bertanggung jawab
atas perbuatanmu ini, Bocah!" bentak Raja Penyi-
hir geram.
"Makanya jadi orang itu jangan usil. Itulah
hasilnya!"
Raja Penyihir mengatupkan gerahamnya
rapat-rapat. Diam-diam ia telah mengerahkan ke-
kuatan batinnya. Sementara kedua bibirnya yang
menghitam pun mulai berkemik-kemik membaca
mantera.
Siluman Ular Putih mundur selangkah ke
belakang.
"Eh eh eh...! Kau mau apa, Orang Tua?
Mengapa bibir hitammu berkemik-kemik seperti
itu? Kau akan mengerahkan ilmu sulapmu, ya?"
Raja Penyihir tidak menggubris ocehan
Soma. Kedua bibirnya terus saja berkemik-kemik
membacakan mantera. Beberapa saat lamanya
berselang, perlahan-lahan tubuh lelaki tua ber-
caping pandan itu mulai membesar-membesar.
Dan jadilah ia raksasa hitam yang teramat men-
gerikan. Kedua taringnya yang sebesar tanduk
kerbau hutan berkilauan kala tertimpa sinar ma-
tahari.
Soma tertawa terpingkal-pingkal. Sama se-
kali hatinya tidak ngeri melihat raksasa hitam di-
hadapannya.
"Ha ha ha...! Lucu sekali kau, Orang Tua!
Persis topeng monyet di pasar. Untung saja kau di
sini. Kalau di pasar, sudah pasti akan jadi tonto-
nan orang banyak, Orang Tua!"
Raja Penyihir yang telah menjelma menjadi
raksasa hitam tinggi besar menggeram penuh
kemarahan. Matanya yang memerah berkilat-kilat
beringas. Dan kini ia mulai berjalan mendekati
Soma....
Sekali lagi Soma yang bergelar Siluman
Ular Putih menarik kakinya selangkah ke bela-
kang. Diam-diam ia pun sudah mengeluarkan ke-
kuatan batinnya.
"Tunggu dulu, Orang Tua! Kau tidak boleh
menakut-nakutiku seperti itu!" bentak Soma den-
gan suara bergetar.
Aneh sekali. Raksasa hitam tinggi besar itu
tiba-tiba menghentikan langkahnya. Tubuhnya
bergetar-getar hebat. Nampak sekali kalau uca-
pan Soma tadi sangat berpengaruh baginya. Na-
mun itu hanya sebentar. Kini raksasa hitam itu
kembali berjalan mendekati si pemuda. Malah ke-
dua tangannya yang sebesar pohon kelapa dige-
rakkan ke bawah, bermaksud menangkap tubuh
Siluman Ular Putih.
"Uts...!"
Soma cepat meloncat jauh ke belakang.
Raksasa hitam tinggi besar itu gusar bukan main.
Mulutnya yang memerah mengerikan telah men-
geluarkan gerengannya yang menggetarkan tanah
di sekitarnya.
"Ah...! Jelek sekali kalau kau seperti ini,
Orang Tua. Aku malah bisa takut nanti. Buruan
kembali berubah seperti wujudmu semula!" oceh
Soma dengan suara bergetar, membawa penga-
ruh.
Akibatnya sungguh hebat bukan main. Tu-
buh tinggi besar raksasa hitam itu bergetar-getar
hebat. Selang beberapa saat, tubuh itu mulai me-
nyusut. Dan kini kembali menjelma menjadi wu-
judnya semula. Raja Penyihir!
"Hebat! Hebat! Aku harus mengakui kehe-
batanmu, Bocah!" puji Raja Penyihir dengan raut
wajah sungguh-sungguh.
Sementara Soma mengipas-ngipaskan tan-
gannya bangga.
"Siapa dulu dong gurunya?" katanya seraya
mengumbar senyum.
Raja Penyihir mau tak mau tersenyum ju-
ga. Tongkat hitamnya diketuk-ketukkan ke tanah
dengan perasaan bangga.
"Bagaimana, Orang Tua? Apa kau juga se-
nang melihat kehebatanku ini?" tanya Soma, nyi-
nyir.
"Terus terang aku bangga melihat kepan-
daianmu ini, Bocah. Kau berbakat sekali. Tapi,
ketahuilah! Aku sudah tidak ingin bertemu den-
ganmu lagi. Cepatlah enyah dari hadapanku se-
karang juga!"
"Ha...?! Siluman Ular Putih tersentak he-
ran. "Mengapa demikian, Orang Tua? Apa kau
marah padaku?"
"Tidak! Sama sekali tidak. Aku hanya ingin
kau cepat enyah dari hadapanku. Dan amalkan-
lah semua kepandaianmu ini ke jalan yang benar.
Itu saja!"
"Ah...! Kau curang, Orang Tua! Kau pelit!
Mengapa tidak mengajarkan semua kepandaian-
mu kepadaku?" tukas Soma.
"Kau tidak mungkin sanggup, karena ma-
sih terlalu muda!" jelas lelaki tua itu.
Soma memberenggut.
"Kau meremehkan aku, Orang Tua! Apa
kau pikir, aku tidak sanggup mempelajari semua
kepandaianmu?" cibir si pemuda.
"Aku menyangsikannya, Bocah. Selama
kau masih suka melihat wajah cantik, dada mon-
tok dan paha mulus. Tak mungkin kau dapat
menguasai ilmuku. Apa kau sanggup?" tukas Raja
Penyihir.
Soma menggaruk-garuk kepalanya yang ti-
dak gatal. Hidungnya kembang kempis seperti ti-
kus kena cuka. Jelas, mana mungkin pemuda ini
menyanggupi syarat seberat itu.
"Mengapa syaratnya demikian berat? Ada-
kah syarat lain yang lebih mudah?" tanya Soma.
"Ada. Tapi, waktunya bukan sekarang.
Nanti kalau sudah masuk liang kubur, baru kau
sanggup menguasai semua ilmuku," sahut lelaki
tua ini, enteng.
"Ah...! Kau mempermainkanku saja, Orang
Tua! Lantas, buat apa kau mengejar-ngejar aku
untuk dijadikan murid?"
Raja Penyihir mengangguk-angguk.
"Semula aku memang sangat menyukaimu,
Bocah. Tapi ketika sadar kalau kau tidak mung-
kin mampu menguasai semua ilmuku, aku jadi
berpikir lain. Aku memang tidak sanggup menu-
runkan semua ilmuku padamu. Tapi, setidak-
tidaknya aku telah menurunkan sedikit kepan-
daianku padamu. Itu sudah cukup membuat ha-
tiku senang," jelas Raja Penyihir.
"Baiklah kalau begitu, Orang Tua. Terima
kasih atas segala petunjukmu. Selamat tinggal!"
Sehabis berkata begitu, Siluman Ular Putih
langsung menutulkan kedua kakinya ke tanah.
Seketika ia sudah berkelebat cepat meninggalkan
Lembah Batu Sudung. Dalam sekejap saja bayan-
gan tubuhnya telah berubah menjadi titik kecil di
kejauhan sana.
Raja Penyihir mengangguk-anggukkan ke-
palanya penuh kagum. Kemudian sekali meng-
hentakkan kakinya ke tanah, tahu-tahu tubuh
tinggi kurusnya telah melayang tinggi ke udara,
dan menghilang di balik batu gunung di bela-
kangnya.
3
Matahari pagi sudah mulai merayap tinggi
dari peraduannya di bentangan kaki langit sebe-
lah timur. Angkasa raya yang membiru tampak
cerah, karena tak ada awan mengembang. Dan
angin yang bertiup semilir seolah-olah mati ter-
bawa suasana sunyi.
Jauh di belakang bangunan Perguruan Ke-
lelawar Putih, tepatnya pada sebuah hamparan
tanah rerumputan berpagar tembok memutar,
terlihat dua sosok bayangan tengah berloncatan
ke tembok pagar. Yang satu bertubuh pendek
dengan jubah kuning kedodoran sampai ke lutut.
Di sebelahnya seorang pemuda bertubuh tinggi
kurus berpakaian ringkas warna hitam-hitam.
Kedua orang itu tak lain Lelaki Berkumis
Kucing dan Kumbara. Rupanya karena saking
penasarannya, mereka telah menempuh jalan pin-
tas melewati pintu belakang Pekarangan Terla-
rang. Dan kini kedua orang itu tengah mengedar-
kan pandangan ke hamparan tanah kosong yang
hanya terdapat sebuah sumur tua dan dua buah
pohon asem tua.
Agaknya Lelaki Berkumis Kucing dan
Kumbara sudah tidak sabar lagi untuk segera
berkelebat ke hamparan tanah kosong. Maka da-
lam beberapa loncatan saja, mereka telah sampai
di pinggiran Sumur Kematian yang terkenal ang-
ker itu.
Namun belum sempat mendekati lubang
sumur, mendadak mereka dikejutkan oleh alunan
suling yang sangat menyayat hati. Bersamaan
dengan itu, bertiup pula angin yang menebarkan
bau amis bukan alang kepalang.
Lelaki Berkumis Kucing buru-buru me-
mencet hidungnya.
"Aduh....! Mengapa amis begini, Kelelawar
Hutan? Ah..., kau hampir saja berhasil memba-
talkan perjanjian kita!"
Lelaki Berkumis Kucing masih memencet
hidungnya rapat-rapat. Lalu kembali kedua ka-
kinya ditutulkan ke tanah, dan mendarat ringan
di bibir Sumur Kematian. Sejenak kepalanya me-
longok-longokkan ke dalam lubang sumur.
"Aduh dalamnya. Kalau aku sudah telanjur
masuk, bagaimana dapat keluar lagi?" gumam Le-
laki Berkumis Kucing.
Saat itu Kumbara yang sudah berada di
sampingnya hanya bisa memandang heran.
"Paman. Apakah suara tiupan suling itu
datangnya dari dalam Sumur Kematian ini?"
tanya si pemuda, heran.
Lelaki Berkumis Kucing mengangguk. Na-
mun tiba-tiba saja orang tua bertubuh pendek itu
seperti teringat sesuatu.
"Ah...! Rasa-rasanya aku pernah menden-
gar lagu ini. Kalau tidak salah, kira-kira dua pu-
luh tahun yang lalu, sewaktu sedang lewat di
pinggiran Hutan Cemoro Grimpil. Dari kejauhan
aku dapat melihat dua sosok berpakaian hitam
dan putih sedang duduk berhadap-hadapan. Satu
di antara kedua orang itu sedang meniup suling
yang lagunya mirip benar dengan yang kudengar
kali ini. Ya ya ya...! Lagunya memang persis se-
perti yang kudengar kali ini. Tapi..., tapi mung-
kinkah orang itu lagi berada di dalam Sumur Ke-
matian?" gumam lelaki tua bertubuh pendek itu
lagi, kebingungan sendiri.
"Paman! Apakah Paman tahu asal usulnya
dua orang itu?" tanya Kumbara.
Lelaki Berkumis Kucing itu menggeleng le-
mah.
"Aku sudah berlari mengejarnya. Namun
hanya dalam sekejapan mata saja telah kehilan-
gan jejak mereka. Kedua orang itu seperti lenyap
ditelan bumi"
Kumbara menggeleng-geleng heran.
"Dengan kepandaian yang sudah mencapai
tingkat tinggi, apakah Paman tidak dapat juga
menduga siapa orang yang di dalam Sumur Ke-
matian ini?"
Kening Kumbara berkernyit dalam. Kata-
katanya tadi sama sekali tidak digubris lelaki tua
bertubuh pendek itu. Hanya dilihatnya paman
gurunya itu sudah membungkuk ke dalam mulut
Sumur Kematian.
"Auuung...!"
Dengan pengerahan tenaga dalamnya, Le-
laki Berkumis Kucing memekik panjang. Inilah
pekikan maut 'Raungan Maut Kucing Hutan' sa-
lah satu ilmu andalan orang tua bertubuh pendek
itu.
Kumbara yang mendengarnya dalam jarak
demikian dekat langsung menggigil. Gendang te-
linganya seperti terobek! Namun lebih anehnya
lagi, suara pekikan Lelaki Berkumis Kucing terus
amblas ke dalam Sumur Kematian dan tidak ber-
gema!
Lelaki Berkumis Kucing dan Kumbara sal-
ing berpandangan saking herannya. Terlihat Lela-
ki Berkumis Kucing itu melongo dengan mata
mendelik.
"Ah...! Jangan-jangan sumur ini tidak ada
dasarnya?" desah lelaki tua itu.
Kumbara yang sudah bersiap-siap mema-
suki Sumur Kematian jadi meragu. Dalam hatinya
bertanya-tanya. Mungkinkah Sumur Kematian ti-
dak mempunyai dasar sama sekali? Mustahil. Ta-
pi, mengapa suara pekikan barusan tidak berge-
ma?
Sementara Lelaki Berkumis Kucing me-
mandang Kumbara sebentar. Namun menda-
dak....
"Auuung...!"
Dari dalam lubang Sumur Kematian ter-
dengar suara pekikan orang tua bertubuh pendek
tadi.
Lelaki Berkumis Kucing ini tertawa berka-
kakan. Kumbara sendiri pun menunjukkan muka
girang. Pada saat yang sama para undangan dan
murid Perguruan Kelelawar Hutan baru saja tiba
di Pekarangan Terlarang mereka merasa heran
sekali melihat tingkah kedua orang itu.
Tidak lama kemudian muncul Ketua Pergu-
ruan Kelelawar Putih. Kali ini Kelelawar Hutan
muncul sambil membawa sebuah kotak besi di
tangan kanannya.
Setelah sampai di hadapan Lelaki Berku-
mis Kucing dan Kumbara, lelaki setengah baya itu
segera membuka kotak kecil di tangannya. Seben-
tar saja sudah terlihat isinya, sebuah pohon lon-
tar kecil yang mempunyai beberapa daun berwar-
na merah darah. Sedang akar-akarnya berwarna
putih bersih, mirip tulang manusia. Dan begitu
kotak besi itu dibuka lebar, seketika bau harum
menebar ke udara di sekitarnya.
Tanpa sadar Lelaki Berkumis Kucing dan
Kumbara terbelalak lebar. Sekedip pun mereka ti-
dak mengalihkan perhatian pada isi dalam kotak
kecil itu.
Perlahan-lahan Kelelawar Hutan kembali
menutup kotak kecil di tangannya.
"Apa kalian berdua sudah melihat isi kotak
ini?" tanya Kelelawar Hutan kepada Lelaki Ber-
kumis Kucing dan Kumbara
"Sudah. Aku yakin barang ini asli," sahut
Lelaki Berkumis Kucing seperti masih terpana.
"Bagus! Kalau begitu, sekarang saksikan-
lah! Aku akan mencemplungkan kotak kecil ini ke
dalam Sumur Kematian sebagai hadiah bagi siapa
saja yang dapat keluar dengan selamat dari su-
mur ini,"
Sehabis berkata begitu, perlahan-lahan Ke-
lelawar Hutan mulai berjalan mendekati lubang
Sumur Kematian. Begitu dekat, kotak kecil itu di-
angkat tinggi-tinggi. Sambil tersenyum-senyum,
pandangan matanya beredar kepada semua yang
berada di Pekarangan Terlarang. Kemudian segera
dicemplungkannya kotak kecil itu ke dalam mulut
Sumur Kematian.
Wsss...
Kotak kecil itu terus meluncur ke bawah.
Plung!
Beberapa saat, baru terdengar bunyi benda
menghantam air di dasar Sumur Kematian. Sua-
ranya lirih sekali, hampir tidak terdengar telinga.
Sementara Lelaki Berkumis Kucing hanya
menggaruk-garuk kepalanya. Entah mengapa ti-
ba-tiba saja ia ingin sekali menggaruk-garuk ke-
palanya.
Sedangkan Kelelawar Hutan kembali men-
gedarkan pandangan ke arah para undangan.
"Saudara-saudara sekalian! Bukankah te-
lah menyaksikan betapa besarnya perhatianku,
sampai-sampai rela mengorbankan pusaka turu-
nan Perguruan Kelelawar Putih? Nah! Sekarang,
harap-Saudara-saudara sekalian sudi menjadi
saksi kejadian ini!"
Sambil membetulkan pakaiannya, Kumba-
ra segera mencabut keluar belati kecilnya. Seje-
nak ia menjura ke arah Lelaki Berkumis Kucing.
"Paman! Aku sudah tidak sabar untuk se-
gera masuk ke dalam Sumur Kematian. Izinkan
aku mendahuluimu. Ini semata-mata hanya demi
kesembuhan guruku, Orang Tua Aneh Penjaga
Pintu," ucap Kumbara, masih menjura.
"Tetapkan hatimu, Kumbara" tegas Lelaki
Berkumis Kucing, mantap.
Kumbara menengadah sebentar. Sambil
menunjukkan ketabahan hatinya, tahu-tahu ka-
kinya telah menjejak tanah, dan mendarat ia di
pinggir lubang Sumur Kematian. Kepalanya me-
longok sebentar. Kemudian dengan begitu bera-
ninya, murid Orang Tua Aneh Penjaga Pintu ini
telah menuruni Sumur Kematian. Tangan kanan-
nya tetap memegang erat-erat belati kecilnya, se-
dang tangan kirinya menggapai-gapai dinding
sumur. Hal itu dilakukan untuk menahan tubuh-
nya yang terus meluncur ke dalam lubang Sumur
Kematian.
Hampir kurang lebih seratus orang di Pe-
karangan Terlarang menyambut keberanian
Kumbara dengan perasaan tegang. Semua dice-
kam perasaan gelisah yang sama. Jangankan un-
tuk berbicara. Untuk menarik napas panjang saja
tidak berani!
Sementara orang yang paling gelisah ada-
lah Lelaki Berkumis Kucing. Entah sudah berapa
kali lelaki tua bertubuh pendek itu mondar-
mandir di bibir sumur. Sebentar kepalanya me-
longok ke dalam Sumur Kematian. Bayangan tu-
buh Kumbara kini sudah tidak nampak lagi di ke-
gelapan dasar Sumur Kematian.
Kini Lelaki Berkumis Kucing terus mem-
perhatikan ke dalam lubang Sumur Kematian.
Dengan segenap kemampuan dicobanya menge-
rahkan pendengaran yang sudah terlatih, ke da-
lam lubang Sumur Kematian. Ia ingin tahu, keja-
dian apa yang tengah dialami murid tunggal ka-
kak seperguruannya.
Pagi ini, perjalanan sang waktu benar-
benar terasakan sangat lamban. Para undangan
dan murid-murid Perguruan Kelelawar Putih ma-
kin dicekam perasaan tegang. Dua belas orang
murid penjaga pintu dan delapan orang murid
penjaga perguruan berdiri laksana patung. Se-
dangkan Kelelawar Hutan sendiri pun kini sedang
mengusap-usapkan kedua tangannya.
Tak terasa satu penanakan nasi terlewat
sudah.
Keadaan di Sumur Kematian tetap
mengkhawatirkan. Semua orang yang berada di
atas terlihat makin dicekam perasaan gelisah.
Malah sudah ada beberapa orang mengeluarkan
suara keluhan.
Satu penanakan nasi kembali berlalu. Kali
ini Kelelawar Hutan sudah mulai mengalihkan
perhatian pada Lelaki Berkumis Kucing.
"Sobatku Lelaki Berkumis Kucing...," pang-
gilnya dengan suara perlahan.
"Tutup mulutmu, Kelelawar Hutan!"
Kelelawar Hutan tidak jadi melanjutkan ka-
ta-katanya, saat lelaki tua pendek itu seperti tak
ingin diganggu. Malah Lelaki Berkumis Kucing
kini mengangkat kepalanya, memandang tajam
Kelelawar Hutan. Kedua bibirnya yang bergetar-
getar dengan napas mendengus-dengus dari lu-
bang hidung. Dan sebelum perhatian Lelaki Ber-
kumis Kucing kembali ke sumur, mendadak....
"Aaakh...!"
Tiba-tiba saja dari dalam lubang Sumur
Kematian terdengar satu pekikan yang teramat
menyayat hati.
Buru-buru Lelaki Berkumis Kucing melon-
gokkan kepalanya lagi ke dalam lubang Sumur
Kematian. Dan ia melihat satu bayangan hitam
tengah berkelebat naik ke atas dengan susah
payah. Lelaki tua pendek ini tahu kalau Kumbara
sudah sampai di dasar, dan sedang berusaha
naik.
"Kelelawar Hutan! Lihat! Kumbara sedang
berusaha naik ke atas dengan membawa kotak
daun Lontar Merahmu!" teriak Lelaki Berkumis
Kucing kegirangan.
Paras Kelelawar Hutan kontan berubah
menyeramkan sekali
"Ia akan tergolong tokoh papan atas jika
benar-benar dapat naik kembali ke atas di Peka-
rangan Terlarang ini!"
Lelaki Berkumis Kucing tidak membantah
ucapan Kelelawar Hutan. Ia hanya tertawa-tawa
saja untuk menenangkan hatinya. Namun tiba-
tiba saja dari lubang Sumur Kematian telah me-
lompat satu bayangan hitam di atas pinggiran
Sumur Kematian. Itulah Kumbara!
Begitu pemuda murid tunggal Orang Tua
Aneh Penjaga Pintu itu menjejakkan kedua ka-
kinya di pinggiran Sumur Kematian, langsung
memandang Kelelawar Hutan beringas. Wajahnya
pucat pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat. Tangan
kirinya memegang kotak kecil berisi daun Lontar
Merah yang tadi dilemparkan ke dalam Sumur.
Sedang tangan kanannya masih tetap memegang
erat belati kecilnya yang ditudingkan ke arah Ke-
lelawar Hutan.
"Kelelawar Hutan! Kau... kau.... Aaakh...!"
Baru saja Kumbara mengucapkan kata-kata itu,
tiba-tiba saja sudah disusul jeritan keras disertai
memuntahan darah segar. Seketika itu juga ba-
dannya limbung dan tanpa ampun lagi, Kumbara
jatuh terpelanting ke dalam Sumur Kematian
sambil masih memegang erat kotak kecil berisi
daun Lontar Merah tadi.
Bukan main kagetnya semua orang yang
berada di Pekarangan Terlarang begitu melihat
perubahan yang teramat mendadak ini. Termasuk
juga, Lelaki Berkumis Kucing yang tadi sempat
juga merasa kegirangan.
Melihat hal itu, buru-buru lelaki tua bertu-
buh pendek ini segera mengulurkan kedua tan-
gannya, bermaksud menyambar tubuh Kumbara.
Namun sayangnya, ia hanya menangkap angin
kosong saja. Sementara tanpa ampun lagi, tubuh
Kumbara pun terus meluncur ke dasar dengan
kecepatan luar biasa!
Lelaki Berkumis Kucing hanya bisa berdiri
melompong di mulut Sumur Kematian. Matanya
terbelalak lebar, seolah tidak percaya dengan ke-
jadian yang baru saja dilihat. Dan tidak kurang
dari seratus orang yang berada di Pekarangan
Terlarang hanya bisa diam menundukkan kepala.
Seolah-olah mereka ingin mengucapkan kata be-
lasungkawa atas kejadian barusan.
"Keparat!"
Lelaki Berkumis Kucing yang telah menjadi
kalap, mendadak saja telah membentak keras
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Ada permusuhan apa antara kau dengan
Kumbara, Kelelawar Hutan?!" Begitu kata-
katanya habis, Lelaki Berkumis Kucing meluruk
menyerang Kelelawar Hutan. Namun dengan
tangkasnya, Ketua Perguruan Kelelawar Putih itu
meloncat ke samping kiri, menghindari serangan.
"Apa maksudmu, Orang Tua Pendek? Jan-
gan seenak perutmu menuduhku yang bukan-
bukan! Semua orang tahu, pemuda itu telah ter-
luka parah. Itulah yang menyebabkannya terjatuh
lagi ke dalam Sumur Kematian. Jadi mana aku
tahu? Apalagi sebelumnya telah ada perjanjian di
antara kita...," tangkis Kelelawar Hutan.
Kelelawar Hutan tidak jadi melanjutkan bi-
caranya. Karena saat itu, Lelaki Berkumis Kucing
telah mengeluarkan tawa sumbangnya. Beberapa
orang yang berada di atas Pekarangan Terlarang
sampai bergidik ngeri dibuatnya. Namun ada se-
bagian orang yang mengira kalau lelaki tua ber-
tubuh pendek ini telah menjadi gila, saking tidak
kuat menahan guncangan batinnya.
Saat itu Kelelawar Hutan pun tidak lagi
berlaku ramah seperti tadi. Wajahnya mendadak
berubah penuh ejekan. Hidungnya kembang
kempis saking gusarnya.
Sedang Lelaki Berkumis Kucing kini tidak
lagi mengumbar tawanya. Rupanya hatinya telah
dapat ditenangkan. Bahkan kini dadanya dite-
gakkan.
"Baiklah! Tulang tuaku pun akan segera
kupendam dalam dasar Sumur Kematian ini!" ka-
ta Lelaki Berkumis Kucing, tegas.
Sehabis berkata begitu, lelaki bertubuh
pendek itu menutulkan kedua kakinya ke tanah,
lalu mendarat manis di atas pinggiran Sumur
Kematian. Sejenak kepalanya melongok ke bawah.
"Hup!"
Dan dengan sekali loncat saja, tahu-tahu
tubuh orang tua pendek itu telah meluncur deras
ke dalam Sumur Kematian.
Kini suasana di atas Pekarangan Terlarang
kembali dicekam ketegangan. Beberapa orang
murid Perguruan Kelelawar Putih sudah ada yang
menggigil dengan sekujur tubuh dibasahi keringat
dingin. Matahari yang bersinar garang di cakra-
wala pun perlahan tertutup awan. Seolah tak ku-
asa melihat suasana mencekam. Semua terdiam
dalam kebisuan. Semua menanti kabar maut dari
dalam Sumur Kematian.
Dan tak terasa satu penanakan nasi terle-
wat sudah. Namun bayangan orang tua bertubuh
pendek pun belum muncul dari dalam Sumur
Kematian. Para undangan dan murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih mulai gelisah. Dari pan-
dangan mata mereka dapat terlihat kekecewaan
dan penyesalan.
Beberapa Saat berselang, dari dalam lu-
bang Sumur Kematian muncul sesosok bayangan
kuning. Begitu hinggap di atas bibir sumur, sosok
itu telah menjinjing mayat Kumbara dan kotak
kecil berisi daun Lontar Merah. Sosok yang me-
mang Lelaki Berkumis Kucing berusaha tetap ko-
koh di tempatnya berpijak. Namun wajahnya ter-
lihat pucat pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat.
Sepasang matanya yang tajam memandang berin-
gas Kelelawar Hutan.
Beberapa orang yang berada di Pekarangan
Terlarang sudah mulai dapat menghela napas le-
ga. Namun mereka semua tetap masih mengkha-
watirkan keselamatan orang tua bertubuh pendek
itu.
Lelaki Berkumis Kucing masih memandang
beringas Kelelawar Hutan. Namun entah menga-
pa, tiba-tiba saja ia merasakan kekuatan aneh
terpancar dari sepasang mata Ketua Perguruan
Kelelawar Putih.
Lelaki Berkumis Kucing mengeluh. Kekua-
tan gaib dari sepasang mata Kelelawar Hutan be-
gitu kuatnya mempengaruhi batinnya. Dan tanpa
sadar, dadanya makin bergetar-getar hebat. Wa-
jahnya makin pias seperti mayat. Dan dari kedua
bibirnya yang bergetar-getar...
"Kelelawar Hutan! Kau... kau...!"
Lelaki Berkumis Kucing tak dapat lagi me-
neruskan ucapannya. Kedua lututnya goyah pe-
gangan pada sosok mayat yang dikepit dan kotak
kecil berisi daun Lontar Merah itu melemah. Dan
akhirnya, kedua benda itu kembali terjatuh ke
dalam Sumur Kematian. Sepasang mata Kelela-
war Hutan begitu kuatnya mempengaruhi batin-
nya. Sehingga, membuat sukmanya seolah me-
layang entah ke mana.
Namun biar bagaimanapun juga, Lelaki
Berkumis Kucing bukanlah tokoh sembarangan.
Meski dalam keadaan sangat berbahaya, kedua
lututnya yang goyang masih dapat dikendalikan.
Kemudian tanpa banyak pikir lagi segera kedua
kakinya ditutulkan, lalu meloncat keluar dari lu-
bang Sumur Kematian.
Sembari meloncat demikian, sebelah tan-
gan Lelaki Berkumis Kucing berputaran cepat ke
depan. Maka seketika itu juga serangkum angin
dingin dari telapak tangan kanannya meluncur,
menyerang tubuh Kelelawar Hutan.
Wesss!
Kelelawar Hutan kaget bukan main. Sung-
guh tidak disangka Lelaki Berkumis Kucing akan
menyerang dirinya dalam jarak demikian dekat.
Tanpa berpikir lebih panjang lagi ia segera melon-
cat ke samping kiri. Maka selamatlah dirinya dari
serangan Lelaki Berkumis Kucing.
Ketua Perguruan Kelelawar Putih mengge-
ram penuh kemarahan. Kedua tangannya siap
melayangkan pukulan mautnya. Namun sayang-
nya, Lelaki Berkumis Kucing sudah merambat
naik ke atas pohon asem dengan kecepatan men-
gagumkan. Dan dalam sekejapan saja, lelaki ber-
tubuh pendek itu telah menutulkan kakinya di
atas tembok Pekarangan Terlarang. Lalu sekali
genjot lagi, tubuhnya pun lenyap dari pandangan
mata.
Maka, makin gemparlah kabar maut ten-
tang Sumur Kematian di Pekarangan Terlarang
itu. Dan pada siang hari itu pula, para undangan
mulai meninggalkan Perguruan Kelelawar Putih.
Ada apa sebenarnya di dalam Sumur Ke-
matian?
4
Suara kentongan yang dipukul bertalu-talu
di lereng sebelah barat Gunung Sumbing, me-
nyentak perhatian seorang gadis cantik berpa-
kaian putih-putih yang tengah melatih jurus-
jurusnya, di depan sebuah jurang kecil berair jer-
nih. Kepalanya menengadah sebentar, setelah
menghentikan gerakannya.
Memang betapa cantiknya gadis itu. Kulit-
nya kuning langsat. Rambutnya panjang dibiar-
kan tergerai di bahu. Matanya agak lebar, dihiasi
bulu mata lentik. Alis matanya tebal dengan mata
bak bintang kejora. Hidungnya mancung, bibirnya
merah tipis. Manis sekali dengan dua lesung pipit
di kanan kirinya.
Suara kentongan yang masih bertalu di
angkasa, membuat gadis cantik berpakaian putih-
putih ini bertanya-tanya dalam hati. Keningnya
berkerut dalam menduga apa yang tengah terjadi.
Tiba-tiba saja gadis berpakaian putih-putih
ini mendengar percakapan beberapa orang, tak
jauh dari tempatnya berlatih. Dan sekali kedua
kakinya menutul di batu hitam, tahu-tahu tu-
buhnya yang tinggi ramping telah hinggap di se-
buah ranting pohon di atasnya.
Dari atas ranting pohon, si gadis kembali
mengarahkan pandangan ke arah datangnya sua-
ra tadi. Dan matanya menangkap empat orang
bertubuh tegap yang tengah berlari kencang me-
nuruni lereng barat Gunung Sumbing. Mereka
sama-sama berpakaian putih-putih dengan ikat
kepala warna kuning. Di bahu masing-masing
bersandar sebuah peti mayat berwarna merah.
Sekali lagi si gadis kerutkan keningnya da-
lam-dalam.
"Hei? Bukankah mereka murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih? Apa yang dilakukan mu-
rid-murid ayahku ini? Apa yang mereka bawa di
dalam peti itu?" gumam si gadis yang ternyata pu-
tri dari Ketua Perguruan Kelelawar Putih.
Si gadis terus memperhatikan keempat
orang yang ternyata murid-murid ayahnya. Me-
mang beberapa hari ini, gadis yang dikenal ber-
nama Aryani ini mendengar kalau ayahnya tengah
mengadakan sayembara yang terbuka bagi siapa
saja untuk memasuki Sumur Kematian. Bagi
yang keluar dalam keadaan selamat, hadiah besar
akan menanti. Maka tak urung lagi, murid-murid
Perguruan Kelelawar Putih bertekad baja ikut pu-
la dalam sayembara. Namun sampai saat ini tak
seorang pun yang berhasil selamat. Demikian pu-
la yang terjadi dengan tokoh-tokoh persilatan
yang diundang. Hanya Lelaki Berkumis Kucing
saja yang berhasil selamat, tapi itu pun dalam
keadaan terluka. Sehingga ia tak sempat menda-
patkan hadiah
Putri Kelelawar Hutan itu selama ini me-
mang penasaran sekali. Siapakah sebenarnya bi-
ang kerok di balik semua kejadian ini? Mungkin-
kah hanya karena keberadaan Sumur Kematian
di Pekarangan Terlarang itu?
Itulah dua pertanyaan besar yang selalu
menghantui Aryani. Dan kali ini rasa penasaran-
nya tidak dapat lagi ditahan. Maka dengan ber-
loncatan dari ranting pohon yang satu ke ranting
pohon lain, ia pun mengikuti keempat orang itu
pergi.
Keempat orang murid Perguruan Kelelawar
Putih telah berlari kencang menuju tebing sebelah
barat Perguruan Kelelawar Putih. Karena tak
jauh, sebentar saja mereka tiba di tepi barat teb-
ing. Sebentar keempat orang murid itu celingu-
kan, seperti takut dilihat orang. Merasa aman, sa-
lah seorang yang berada paling depan segera
mengulurkan tangan kanan ke sebuah tonjolan
batu kecil. Sekali tarik, mendadak batu besar itu
bergeser ke kiri. Dan kini nampaklah sebuah gua
yang menganga lebar. Tanpa banyak membuang
waktu lagi, mereka segera masuk ke dalamnya.
Sementara dari tempat persembunyiannya,
Aryani mengangguk-angguk, namun belum juga
beranjak dari tempat persembunyiannya. Ia ingin
mengetahui lebih lanjut, rahasia apa pula yang
tersembunyi di dalam gua itu.
Selang beberapa saat keempat orang murid
Perguruan Kelelawar Putih telah kembali keluar
dari dalam mulut gua. Namun kali ini mereka ti-
dak lagi memanggul peti mati. Sementara salah
seorang yang berada paling belakang menarik
tonjolan batu kecil di samping mulut gua. Dan
perlahan-lahan pula batu sebesar kerbau itu,
menutupi mulut gua.
Setelah mulut gua tertutup, mereka segera
berkelebat cepat menuju markas Perguruan Kele-
lawar Putin.
Aryani masih dapat menangkap keempat
sosok bayangan putih yang makin menjauh, dan
akhirnya menghilang di antara kerimbunan hutan
pinus depart sana. Setelah dirasanya aman, baru
gadis cantik berpakaian putih-putih itu segera ke-
luar dari tempat persembunyiannya.
***
"Hup!"
Kedua kaki Aryani mendarat manis di jalan
setapak tanpa menimbulkan suara sama sekali.
Sekali menutulkan kedua kakinya ke tanah, tahu-
tahu tubuhnya melesat cepat menuju mulut gua
yang tertutup.
Begitu sampai, sejenak Aryani memperha-
tikan tonjolan batu kecil yang tadi digunakan oleh
keempat orang murid Perguruan Kelelawar Putih.
Tanpa ragu-ragu lagi segera diraih dan ditariknya
tonjolan itu. Seketika itu juga, terdengar suara
menggemuruh dari batu sebesar kerbau yang per-
lahan-lahan bergeser ke kiri, sehingga menam-
pakkan mulut gua yang menganga lebar.
Begitu mulut gua terbuka, mendadak hawa
anyir yang bukan alang kepalang menyeruak ke-
luar membuat perut si gadis terasa mual. Buru-
buru Aryani memencet hidungnya rapat-rapat.
Hampir saja ia tidak kuat menahan gejolak dalam
perutnya. Namun ia segera berkelebat masuk ke
dalam mulut gua.
Begitu sampai, Aryani kontan membelalak-
kan matanya. Dilihatnya di dalam gua itu banyak
sekali dijumpai tumpukkan tengkorak manusia.
Sedang di sampingnya terdapat empat peti mayat
warna merah yang tadi dibawa keempat orang
murid Perguruan Kelelawar Putih.
Aryani menenangkan perasaannya seben-
tar. Selanjutnya ia mulai bergerak mendekati sa-
lah satu peti mayat dan membukanya. Seperti
yang telah diduga sebelumnya, peti mayat itu ten-
tu berisi mayat. Dan gadis ini tidak begitu terke-
jut karenanya. Namun entah mengapa tiba-tiba
saja keningnya mulai berkerut dalam. Sosok
mayat itu memang sangat mengerikan. Raut wa-
jahnya penuh luka-luka cakaran yang mengelua-
rkan banyak darah sehingga sulit dikenali. Pa-
kaiannya yang putih-putih juga dipenuhi noda
darah yang sudah mulai mengering. Yang lebih
mengerikan lagi bagian dada kiri mayat itu berlu-
bang!
Aryani terus memeriksa mayat itu dengan
seksama. Di samping ingin mengetahui siapa na-
ma si korban, juga ingin mengenali sebab-sebab
kematian si korban. Dan ketika gadis ini mene-
mukan sebentuk cincin putih di jari manis mayat
itu, kontan saja terpekik.
"Kakang Jalu...! Oh...! Mengapa jadi begini?
Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?"
Aryani mengguncang-guncangkan sosok
mayat orang yang sangat dicintainya. Saat itu ju-
ga, air mata tidak dapat dibendung. Dan ketika
menyadari kalau jantung orang yang dicintainya
hilang, tangisnya pun jadi makin menggila.
Lalu dengan kalap Aryani pun segera
membuka ketiga peti mayat lainnya, Ternyata, ke-
tiga mayat itu pun mengalami nasib sama. Raut
wajah mereka hancur dengan dada sebelah kiri
berlubang.
"Oh...! Kakang Permadi, Kang Suro, Dan
kau Kakang Simo. Kasihan sekali nasib kalian.
Aku bersumpah akan membalas sakit hati kalian
semua, Kakang," keluh gadis ini dengan mata ber-
linang.
Perlahan-lahan Aryani mulai dapat men-
gendalikan perasaannya. Dan kini ia pun mulai
memeriksa luka keempat mayat kakak sepergu-
ruannya dengan seksama. Beberapa saat kemu-
dian matanya jadi terbelalak beringas. Seketika
itu juga wajahnya jadi pucat pasi. Bibirnya berge-
tar-getar hebat. Matanya terus memperhatikan
keempat sosok mayat di hadapannya.
"Dari luka mereka, rasa-rasanya aku per-
nah mengenali jurus-jurus maut seperti ini.
Hm.... Ya ya ya...! Pasti orang yang telah membu-
nuh mereka, adalah orang yang menguasai jurus
'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti' dan jurus
'Cakar Maut Kelelawar Hutan'! Yah...! Pasti dialah
orangnya!"
Sampai di sini Aryani tidak melanjutkan
ucapannya lagi, Hatinya mendadak gelisah sekali.
Tiba-tiba matanya yang indah mengerjap-ngerjap.
Kemudian sekali mengenjotkan kedua kakinya ke
tanah, tahu-tahu tubuhnya telah berkelebat cepat
keluar dari dalam gua tanpa menutup kembali
pintunya.
Aryani mendapati seorang wanita setengah
baya sedang duduk mematung memandangi
hamparan Pekarangan Terlarang dengan sinar
mata aneh. Perlahan didekatinya perempuan ber-
pakaian longgar warna putih-putih.
Mata si gadis tak berkedip memandangi so-
sok kurus di hadapannya. Wajah sosok itu me-
mang terlihat lebih tua dari usianya yang sebe-
narnya. Garis-garis wajahnya menyiratkan pende-
ritaan. Namun meski dibalut kemurungan, wa-
jahnya yang berkulit kuning langsat itu masih
menampakkan sisa-sisa kecantikannya.
Sejenak Aryani memandangi penuh haru.
Entah penderitaan apa yang membuat wajah wa-
nita itu dibalut kemurungan. Aryani benar-benar
tidak tahu. Hanya bibirnya yang bergetar-getar
mulai bergerak-gerak memanggil,
"Ibu...! Mengapa Ibu berada disini?"
Wanita yang ternyata ibu dari Aryani terke-
siap. Saking terlena dengan lamunannya, ia sam-
pai tidak tahu putrinya telah berada di sisinya.
Dan kini wanita berpakaian putih-putih itu
hanya memandang heran putrinya. Namun ketika
disadari ada aliran bening membasahi pipi, buru-
buru air matanya diseka dengan ujung sapu tan-
gannya.
"Mengapa Ibu menangis?" tanya Aryani ti-
dak begitu heran.
Memang si gadis sudah terbiasa melihat
ibunya dibalut kemurungan seperti ini. Terutama
sekali bila sedang duduk mematung memandangi
Pekarangan Terlarang. Hanya yang diherankan
mengapa ibunya harus bersedih bila sudah du-
duk menyendiri sambil terus memandangi Peka-
rangan Terlarang.
"Tidak apa-apa, Anakku. Kau sendiri dari
mana? Mengapa tidak ikut menonton di Pekaran-
gan Terlarang," tukas wanita itu buru-buru men-
galihkan pembicaraan.
Si gadis semula lupa akan tujuannya. Na-
mun begitu melihat kesedihan ibunya, ia seperti
diingatkan kembali.
"Ibu...! Aku ingin bertanya pada Ibu. Sebe-
narnya, siapakah yang telah membunuh murid-
murid perguruan kita ini? Apakah Ibu tahu?"
Kening wanita berpakaian putih-putih itu
berkerut dalam.
"Mengapa kau bertanya aneh seperti ini,
Anakku? Kalau ibumu tahu, buat apa menyem-
bunyikannya?" jawab wanita itu seraya meman-
dangi putrinya seksama.
Kini gantian Aryanilah yang mengerutkan
kening. Jawaban ibunya dirasakan tidak lembut
seperti biasanya.
"Sudahlah, Anakku! Buat apa bertanya
macam-macam begini? Sekarang, cepat tinggal-
kan ibumu! Ibu ingin menyendiri," sergah wanita
itu mendahului putrinya.
"Tidak, Ibu! Aku harus menanyakannya.
Aku harus tahu, siapa orang yang keji membunuh
murid-murid perguruan kita?" tegas gadis ini.
"Percuma."
"Tidak, Ibu. Aku sudah tahu siapa pembu-
nuh keji itu, Ibu."
Sekali lagi wanita berpakaian putih-putih
itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya pu-
trinya seksama.
"Siapa?"
"Aku memang belum mengetahui sepenuh-
nya. Tapi, aku tahu. Pembunuh keji itu pasti
orang-orang sekitar Perguruan Kelelawar Putih
sendiri," jawab Aryani berapi-api.
"Jangan sembarangan menuduh, Anakku!"
desis wanita cantik berpakaian putih-putih itu.
"Tidak, Ibu. Tadi aku sudah memeriksa
mayat Kakang Jalu, Kakang Permadi, Kakang Si-
mo dan Kakang Suro yang dibuang di gua ter-
sembunyi tak jauh dari Curug Kuripan di mana
aku biasa berlatih!"
Sampai di sini Aryani menghentikan bica-
ranya sebentar. Matanya kembali memerah begitu
teringat mayat orang yang dicintainya. Namun
buru-buru perasaannya dikendalikan.
Diam-diam wanita cantik berpakaian pu-
tih-putih itu mengeluh dalam hati. Entah menga-
pa tiba-tiba hatinya jadi berdebar tidak karuan.
Ada satu perasaan cemas menghantui pikirannya.
"Tahukah Ibu? Me..., mereka semua mati
karena terkena pukulan jurus-jurus sakti
'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti' dan jurus-
jurus sakti 'Cakar Maut Kelelawar Hutan'..."
Bola mata sayu wanita cantik itu membela-
lak lebar. Namun hanya sebentar. Buru-buru ia
berusaha mengendalikan perasaannya.
Aryani yang sudah merasa curiga sempat
menangkap bola mata ibunya yang membelalak
tadi.
"Mengapa Ibu terkejut? Apakah Ibu tahu
siapakah orang yang kumaksudkan itu?" desak si
gadis.
"Tid..., tidak! Ah...! Ibu benar-benar tidak
tahu, Anakku," jawab wanita berpakaian putih-
putih itu gelagapan.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin Ibu tidak
tahu! Ibu sendiri dari Perguruan Kelelawar Putih
dan dikenal sebagai Bidadari Putih. Mustahil ka-
lau Ibu tidak tahu siapa pembunuh keji itu. Apa-
lagi jurus-jurus sakti 'Cengkeraman Maut Kelela-
war Sakti' dan jurus-jurus 'Cakar Maut Kelelawar
Hutan' hanya dapat dikuasai tokoh-tokoh paling
atas Perguruan Kelelawar Putih, seperti Ibu sendi-
ri. Jadi mustahil kalau Ibu tidak tahu, Ibu."
Wajah wanita cantik berjuluk Bidadari Pu-
tih itu menegang. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya
bergetar-getar.
"Benar, Anakku. Ibu tidak tahu...," desah
Bidadari Putih dengan suara memelas.
"Baik! Aku akan bertanya pada Ayah," kata
Aryani kesal.
"Jangan. Anakku! Ayahmu mempunyai wa-
tak yang aneh sekali. Kau bisa celaka," cegah wa-
nita cantik berpakaian putih-putih itu cemas.
"Jangan khawatir, Ibu! Tak mungkin Ayah
tega membunuhku. Lagi pula, mana ada sih seo-
rang ayah tega membunuh anak kandungnya
sendiri."
Sehabis berkata begitu, si gadis segera me-
ninggalkan ibunya. Sekali menutulkan kedua ka-
kinya ke tanah, maka lenyaplah bayangan tubuh-
nya.
Bidadari Putih cemas bukan main. Air ma-
tanya yang hendak jatuh membasahi pipi segera
dihapus dengan sapu tangan. Setelah itu dalam
sekali genjot saja, tubuhnya berkelebat cepat ke
arah bangunan utama Perguruan Kelelawar Putih.
Emoticon