1
Pagi masih
berkabut. Udara dingin menyebar
ke segenap
penjuru. Sinar matahari di ufuk timur
tampak malas
beranjak dari garis edarnya. Sinarnya
yang kuning
keemasan tersuruk-suruk menembus te-
balnya kabut.
Yang tampak di ufuk timur sana hanya-
lah bulatan
besar berwarna kuning kemerahan.
Di Lembah
Kalierang embun pagi masih mem-
basahi
ranting-ranting serta dedaunan pohon, mem-
buat suasana
pagi terasa beku. Tak jauh dari batang
pohon asem tua
yang tumbuh rindang di sebelah barat
lembah,
tampak seorang pemuda tampan tengah giat
berlatih
jurus-jurus silat.
Pemuda itu
bertubuh tinggi kekar. Wajahnya
agak bulat.
Sepasang matanya tajam dengan alis tebal
bak sayap
rajawali. Hidungnya mancung. Kulit tubuh-
nya putih
kekuning-kuningan. Rambutnya yang pan-
jang digelung
sebagian ke belakang. Sedang tubuhnya
yang kekar
terbalut pakaian rapi seperti seorang yang
terpelajar
pada masa itu.
Tak jauh dari
pemuda itu berlatih, tampak ber-
diri memperhatikan
seorang kakek. Usia kakek itu ki-
ra-kira tujuh
puluh tahunan. Wajahnya putih bersih.
Sepasang
matanya kelabu dengan alis mata berwarna
putih. Di
atas kepala bertengger sebuah topi hitam
panjang.
Tubuhnya yang tinggi kurus terbalut jubah
hitam sampai
ke lutut.
Kalau saja di
tempat itu ada seorang tokoh tua
dunia
persilatan, tentu ia akan terkejut melihat kebe-
radaan si
kakek. Pada masa dua puluh lima tahun lalu
tokoh ini
sangat disegani kalangan dunia persilatan.
Sepak
terjangnya tak kenal ampun pada tokoh-tokoh
sesat. Maka
tak heran kalau kakek ini sangat ditakuti
kaum golongan
hitam.
Seperti
penampilannya, namun tokoh yang satu
ini pun cukup
unik. Marabunta! Lebih terkenal dengan
julukan
Pendidik Ulung! Kini Pendidik Ulung tengah
memperhatikan
pemuda tampan yang tengah giat me-
nempa diri
dengan jurus-jurus andalannya. Sepasang
matanya
berbinar-binar penuh kegembiraan. Lalu ke-
palanya
mengangguk-angguk penuh kagum.
Pemuda
berambut digelung ke belakang itu
tengah
memainkan jurus terakhir dari jurus 'Tangan
Maut Dewa
Kayangan'. Tampak kedua tangan pemuda
itu
direntangkan bak sayap burung rajawali. Lutut ka-
nannya
ditekuk ke atas dalam-dalam. Kemudian se-
raya
melemparkan kaki kanan ke belakang mendadak
pemuda itu
menerjang ke depan. Kedua tangannya
yang tadi
direntangkan kini menyambar cepat laksana
sepasang
tangan dewa.
Wesss!
Wesss!
Hebat bukan
main terjangan pemuda itu. Gera-
kan tangan
dan kakinya yang cepat mampu menim-
bulkan angin
dingin berkesiutan yang menyambar-
nyambar
ranting pohon. Ranting-ranting itu langsung
berguguran
dengan warna berubah jadi hitam.
"Bagus!
Tak kusangka kau dapat menguasai ju-
rus 'Tangan
Maut Dewa Kayangan' demikian cepat,
Prameswara.
Kau benar-benar berbakat dibandingkan
murid
murtadku Samber Nyawa. Coba sekarang kau
mainkan jurus
pamungkas 'Tulisan Maut Dewa
Kayangan'-ku.
Aku ingin melihat apakah kau sudah
mengalami
kemajuan?" puji kakek berjubah hitam itu
penuh kagum.
"Baik,
Guru!"
Pemuda tampan
yang ternyata Prameswara itu
segera
melakukan perintah gurunya. Kedua tangannya
sejenak
dirapatkan di depan hidung dengan penuh ra-
sa hormat,
baru kemudian memasang kuda-kuda. (Un-
tuk mengenal
siapa Prameswara, silakan baca : "Miste-
ri Bayi
Ular" dan "Manusia Rambut Merah")
Bekas murid
Pendekar Kujang Emas itu meng-
gurat-guratkan
telunjuk jarinya ke udara. Seketika
terdengar
bunyi mencicit yang teramat memekakkan
telinga.
Guratan kedua telunjuk jari Prameswara pun
agak aneh.
Telunjuk jari kanan menggurat dari kanan
ke kiri,
sementara telunjuk kiri menggurat dari kiri ke
kanan. Pada
saat kedua telunjuk jari itu menyatu, se-
bersit sinar
putih berkilauan melesat cepat.
Clesss!
Clesss!
Batu gunung
sebesar kerbau itu berlobang dua
buah sebesar
telunjuk jari! Selang beberapa saat batu
gunung yang
telah berubah hitam itu hancur berkep-
ing-keping.
Itulah
kehebatan jurus 'Tulisan Maut Dewa
Kayangan'.
Jumlah jurus itu tidak banyak. Hanya tiga
gerakan.
Namun meski hanya terdiri dari tiga jurus
jangan harap
seorang tokoh silat tinggi dapat melum-
puhkannya
dengan mudah. Malah justru sebaliknya,
tak kurang
dari tiga jurus tokoh sakti mana pun dapat
dilumpuhkan!
Melihat hasil
latihan Prameswara yang menga-
lami kemajuan
pesat, Pendidik Ulung mengangguk-
angguk puas.
Dan di saat Prameswara tengah menye-
lesaikan
jurus ketiga dari jurus 'Tulisan Maut Dewa
Kayangan',
tiba-tiba Pendidik Ulung menerjang murid-
nya.
Jari-jari kedua telunjuk tangannya yang putih
berkilauan
bergerak membuat guratan di udara. Saat
kedua
telunjuk jari Pendidik Ulung bertemu, kedua te-
lunjuk
Prameswara telah mengeluarkan seleret sinar
putih
berkilauan yang melabrak tubuh Pendidik Ulung.
Pendidik
Ulung berdecak penuh kagum. Kedua
telunjuk
tangannya yang telah saling bertemu segera
diarahkan
pada Prameswara. Seketika dua larik sinar
putih
berkilauan melesat cepat memapaki pukulan ja-
rak jauh
Prameswara.
Wesss!
Wesss!
Plaaarrr...!!!
Terdengar
letusan hebat di udara. Dua sinar
putih yang
berbentrokan itu langsung buyar. Sebagian
menyambar
ranting-ranting pohon di sekitar tempat
berlatih.
Daun ranting-ranting pohon itu berguguran
dengan warna
hitam.
Tubuh
Prameswara terjajar beberapa langkah
ke belakang.
Wajahnya pucat pasi. Akibat bentrokan
tadi kedua
telunjuk jari Prameswara seperti beku. Isi
dadanya pun
dijalari hawa dingin yang menyerang ja-
lan darah. Di
hadapannya, Pendidik Ulung sempat
bergetar
hebat. Keadaannya tidak separah muridnya.
Namun
kenyataan tadi sudah cukup membuktikan ka-
lau
Prameswara telah mampu menguasai jurus ‘Tuli-
san Maut Dewa
Kayangan’. Pendidik Ulung gembira
bukan main.
Namun ia belum puas kalau belum men-
coba
kepandaian Prameswara.
Begitu
dilihatnya tubuh Prameswara ter-
huyung-huyung
ke belakang, Pendidik Ulung segera
menggurat-guratkan
telunjuk jarinya ke udara. Meski
gerakannya
demikian lembut, jangan dikira guratan
tangan
Pendidik Ulung tidak berbahaya. Suara menci-
cit dari
setiap guratan kedua telunjuk jari itu dapat
membuat orang
lari ketakutan.
Prameswara
sendiri sampai terkesiap kaget. Ia
tidak
menyangka jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayangan'
yang
dikeluarkan Pendidik Ulung demikian hebatnya.
Prameswara
buru-buru mengeluarkan jurus "Tulisan
Maut Dewa
Kayangan' pula. Benturan keras seperti ta-
di terulang
kembali.
Prameswara
terjengkang ke belakang. Isi dada
pemuda bekas
murid Pendekar Kujang Emas itu ter-
guncang
hebat!
Tubuh kurus
Pendidik Ulung sendiri tergetar
hebat. Kedua
kakinya melesak cukup dalam masuk ke
tanah. Meski
parasnya tampak pucat namun Pendidik
Ulung
menyunggingkan senyum.
"Bagus!
Kau benar-benar mengalami kemajuan
pesat,
Prameswara. Aku bangga sekali mempunyai mu-
rid
sepertimu!"
Prameswara meloncat
bangun. Kedua telapak
tangannya
ditangkupkan sebentar di depan hidung se-
raya sedikit
membungkukkan badan.
"Kau
terlalu memujiku, Guru," sahut Prames-
wara santun.
Tampak sekali pemuda tampan itu eng-
gan mendengar
pujian guru barunya.
Kalau saja
Pendidik Ulung lebih seksama mem-
perhatikan
kilatan sepasang mata Prameswara, tentu
kakek itu
akan tersentak kaget. Apalagi jika ia menge-
tahui sepak
terjang pemuda itu sebelumnya. Belum
tentu
Pendidik Ulung akan bersedia menurunkan il-
mu-ilmu andalannya
pada Prameswara. Sayang Pendi-
dik Ulung
tidak tahu masa lalu murid barunya itu
"Tidak,
Prameswara. Aku tidak memujimu.
Memang
kenyataannya demikian," kata Pendidik Ulung
"Kuharap
kau dapat mengamalkan ilmu-ilmu yang kau
peroleh demi
tegaknya kebenaran. Jurus 'Tangan Maut
Dewa
Kayangan' dan jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayan-
gan' yang
telah digabungkan dengan ‘Totokan Jari Pu-
tih Dewa
Kayangan’ bukanlah ilmu sembarangan. Ku-
kira saat ini
hanya beberapa tokoh tingkat tinggi saja
yang dapat
merobohkanmu. Maka, sekali lagi kuminta
amalkanlah
ilmu-ilmu itu di jalan kebenaran. Tumpas
yang jahat
dan bantulah yang lemah!"
"Kukira
apa yang diucapkan Pendidik Ulung
memang benar.
Aku dapat merasakan kehebatan jurus
‘Tangan Maut
Dewa Kayangan’ dan jurus 'Tulisan Maut
Dewa
Kayangan' yang telah digabungkan dengan ‘To-
tokan Jari
Putih Dewa Kayangan’. Tapi... apakah ‘To-
tokan Jari
Putih Dewa Kayangan’ mampu melukai tu-
buh Siluman
Ular Putih yang kebal terhadap berbagai
macam pukulan
dan senjata tajam?" pikir Prameswara
gelisah.
"Maaf,
Guru. Bukannya aku meragukan kehe-
batan
jurus-jurus tersebut. Tapi benarkah setelah aku
dapat
menguasai semua itu hanya tinggal beberapa to-
koh sakti
yang dapat merobohkanku?" tanya Prames-
wara
kemudian.
"Itu
bukan jaminan. Semua tergantung kau
sendiri. Asal
giat berlatih, terutama jurus ‘Tulisan
Maut Dewa
Kayangan’ yang telah digabung dengan ‘To-
tokan Jari
Putih Dewa Kayangan’ kau akan menjadi
sakti
mandraguna. Baja setebal tembok pun akan
tembus
terkena totokan 'Jari Putih Dewa Kayangan'.
Meski
demikian sebenarnya bukan itu yang kuingin-
kan. Aku akan
murka kalau kau pamer ilmu kepada
sembarang
orang. Apalagi kalau sampai menyalah-
gunakannya.
Hm.... Jangan harap aku akan tinggal di-
am. Ingat
pesanku ini baik-baik, Prameswara!"
"Tentu,
Guru! Tentu. Aku akan menjalankan
pesan Guru
sebaik mungkin."
Meski mulut
Prameswara berkata demikian, ta-
pi sebenarnya
dalam hati yang paling dalam bekas mu-
rid Pendekar
Kujang Emas itu berkata lain.
"Peduli
amat dengan ocehan orang tua ini. Po-
koknya aku
harus membunuh Siluman Ular Putih. Ju-
ga siapa saja
yang berani menghalangiku untuk men-
guasai dunia
persilatan. Kalau Pendidik Ulung pun
menghalangi niatku,
tidak ada pilihan lain kecuali ha-
rus
membunuhnya!"
"Baik.
Aku senang sekali mendengar kesanggu-
pan ini,
Prameswara. Dan kukira mulai hari ini kau
boleh
meninggalkan Lembah Kalierang. Namun sebe-
lumnya kau
harus mengenakan pakaian ini."
Kakek sakti
dari Lembah Kalierang itu mema-
sukkan tangan
kirinya ke dalam jubah hitam. Dari sa-
na
dikeluarkannya sebuah buntalan besar.
"Apa
itu, Guru?" tanya Prameswara penuh rasa
ingin tahu.
"Melihat
sikap dan pembawaanmu yang halus
kukira kau
pantas sekali mengenakan pakaian ini. Ini
adalah jubah
dan topi kebesaranmu. Pakailah!" kata
Pendidik
Ulung seraya mengulurkan buntalan itu pada
Prameswara.
Tanpa banyak
tanya lagi Prameswara segera
meraih
buntalan hitam. Sejenak dipandanginya bunta-
lan itu, lalu
dibukanya. Prameswara mendapati sebuah
jubah hitam
besar beserta topi hitam yang memanjang
pada bagian
atasnya.
Prameswara
mendongakkan kepala meman-
dang Pendidik
Ulung. Orang tua sakti dari Lembah Ka-
lierang itu
hanya mengedikkan ujung dagunya sebagai
syarat agar Prameswara segera mengenakan pakaian
itu.
Agak
ragu-ragu Prameswara menanggalkan ju-
bahnya dan
membuangnya ke sembarang tempat. Lalu
perlahan-lahan
dikenakan jubah hitam pemberian gu-
runya. Pas
sekali! Prameswara merasa cocok dengan
jubah besar
itu. Demikian juga dengan topi hitamnya.
Pendidik
Ulung mengangguk-anggukkan kepa-
la,
Prameswara kini kelihatan lebih tampan dari sebe-
lumnya.
Sejenak Pendidik Ulung memperhatikan ke-
tampanan
muridnya.
"Kau
tampan sekali dengan pakaian itu, Pra-
meswara,"
puji Pendidik Ulung. "Dan kukira mulai saat
ini kau harus
meninggalkan namamu. Pakailah gelar
Pelajar
Agung. Kau cocok sekali dengan gelar itu. Aku
Pendidik
Ulung. Dan kau Pelajar Agung. Apa itu bukan
pasangan yang
serasi, muridku Pelajar Agung?" kata
Pendidik
Ulung gembira.
"Iya,
Guru," Prameswara yang kini bergelar Pe-
lajar Agung
menjawab dengan santun. "Sekarang izin-
kanlah aku
menimba pengalaman di dunia luar,
Guru."
"Pergilah!
Hanya pesanku jangan cemarkan
nama baikku
di dunia persilatan. Ingat ini baik-baik,
Muridku!"
"Tentu,
Guru. Aku pasti akan mengingat pe-
sanmu.
Selamat tinggal!"
Prameswara
segera menjejakkan kakinya ke ta-
nah dan
berkelebat cepat meninggalkan Lembah Kalie-
rang. Dalam
beberapa kelebatan saja, bayangan hitam
Pelajar Agung
telah jauh di ujung lembah, dan menghi-
lang di balik
rimbunnya hutan.
Pendidik
Ulung mengangguk-anggukkan kepala
dengan senyum
gembira terkembang di bibir.
***
2
Sebenarnya
apa yang telah terjadi dengan Pra-
meswara yang
kini bergelar Pelajar Agung? Bukankah
ia murid
Manusia Rambut Merah? Lalu, kenapa ia bisa
bertemu
dengan Pendidik Ulung yang kemudian men-
jadi guru
barunya.
Prameswara
merasa kecewa sekali karena dua
kali
berturut-turut dikalahkan oleh Siluman Ular Pu-
tih. Apalagi
ketika tahu kalau guru barunya, Manusia
Rambut Merah,
tewas di tangan Siluman Ular Putih.
Prameswara
benar-benar terpukul. Ia bertekad menca-
ri guru baru
guna menambah ilmu untuk membunuh
Siluman Ular
Putih dan kemudian menguasai dunia
persilatan.
Berhari-hari
Prameswara melakukan perjalanan
seorang diri
tanpa arah tujuan. Hanya keinginan un-
tuk mencari
guru sakti sajalah yang membuat dirinya
bersemangat.
Di saat Prameswara tengah melintasi se-
buah hutan
lebat di luar Kadipaten Pleret, tepatnya di
Hutan Gudean,
tiba-tiba ia dikejutkan oleh bentakan
garang
seseorang.
"Berhenti!"
Prameswara
mengangkat kedua alisnya. Dili-
hatnya lima
orang berpakaian hitam-hitam telah
menghadang
langkah pemuda itu dengan pedang di
tangan. Wajah
kelima penghadang itu tampak kasar.
Mata mereka
memandang liar penuh kecurigaan.
Prameswara
tersenyum sinis. Sedikit pun tidak
mempedulikan
bentakan para penghadangnya. Masih
dengan senyum
sinis terkembang di bibir Prameswara
kembali
meneruskan langkah.
"Bajingan!
Kau berani bertindak ayal-ayalan d
hadapan
anggota Partai Kawula Sejati!" bentak lelaki
berkumis
cablang garang.
Prameswara
mengangkat dagunya tinggi-tinggi.
Ekor matanya
melirik angkuh. Sedikit pun ia tidak
gentar
menghadapi kelima penghadangnya yang men-
gaku anggota
Partai Kawula Sejati. Saat itu memang
tersiar kabar
munculnya partai baru yang dipimpin
oleh Samber
Nyawa. Partai ini berkeinginan merun-
tuhkan
Kadipaten Pleret. Anggota Partai Kawula Sejati
tengah jadi
buruan para prajurit Kadipaten Pleret. Na-
mun,
Prameswara yang tinggi hati mana sudi tunduk
di bawah
gertakan mereka.
"Manusia-manusia
tak tahu diri! Aku sudah
bersikap
mengalah. Tapi kalian malah menjual lagak.
Apa kalian
tidak tahu tengah berhadapan dengan sia-
pa, he?!
Jangankan berlima, seluruh anggota Partai
Kawula Sejati
beserta ketua kalian yang bergelar
Samber Nyawa
tidak akan membuatku gentar!" kata
Prameswara.
"Bedebah!
Jaga bacotmu, Anak Muda! Apa kau
belum pernah
merasakan tajamnya pedang?! Makan-
lah
pedangku!"
Si kumis
cablang memberi isyarat dengan tan-
gan kanan
pada keempat orang kawannya untuk lang-
sung
menyerang.
Prameswara
mendengus sinis. Ia tidak gentar
melihat
kelebatan lima batang pedang di tangan para
pengeroyoknya.
"Kalian
benar-benar memalukan! Aku, Prames-
wara, tidak
pantas berhadapan dengan cecunguk-
cecunguk
seperti kalian!" dengus Prameswara sinis.
Tubuh pemuda
itu cepat berkelebatan di antara
kilatan-kilatan
mata pedang lawan. Sambil berkeleba-
tan begitu
telapak tangan Prameswara bergerak mene-
puk dada
kelima penghadangnya.
Bukkk!
Bukkk!
"Augh...!"
Terdengar
jerit kesakitan susul-menyusul. Se-
ketika tubuh
kelima penghadang Prameswara terjajar
ke belakang.
Dada mereka yang terkena tepukan tan-
gan terasa
mau jebol. Meski terlihat seperti tepukan
biasa, namun
tenaganya mampu meremukkan tulang-
tulang iga.
Kelima
pengeroyok Prameswara semakin mur-
ka, Sepasang
mata garang mereka memandangi Pra-
meswara penuh
selidik.
"Teman-teman!
Dia pasti mata-mata dari Kadi-
paten Pleret.
Hayo, kita tangkap mata-mata keparat
ini!"
teriak si kumis cablang.
Pedang di tangan
kanannya kembali menyerang
Prameswara.
Kemudian diikuti oleh keempat orang te-
mannya.
"Bukannya
berterima kasih karena aku telah
berlaku
lunak, malah kalian menuduhku sembaran-
gan! Kalian
benar-benar lancang. Beraninya menu-
duhku
mata-mata. Nyawa kalianlah sebagai tebusan-
nya.
Heaaa...!"
Diawali
teriakan keras tubuh tinggi kekar Pra-
meswara
kembali berkelebat cepat di antara gulungan
pedang para
penghadangnya. Kini tamparan-tamparan
Prameswara
tak segan-segan siap merenggut nyawa
mereka. Salah
seorang penghadangnya sudah ambruk
dan tak mampu
bangun lagi. Tulang-tulang iganya
berpatahan.
Bukkk! Bukkk!
Tanpa
mengenal ampun tangan Prameswara te-
rus bergerak
menepuk dada lawan. Dua orang peng-
hadangnya
memekik keras dan ambruk ke tanah. Na-
sibnya sama
seperti temannya tadi.
"Prajurit-prajurit
tak berguna! Menghadapi seo-
rang pemuda
saja tidak becus! Minggir! Kalian semua
telah
memalukan Partai Kawula Sejati!"
Tiba-tiba
terdengar bentakan keras. Disusul
berkelebatnya
sesosok bayangan hitam ke tengah are-
na
pertarungan. Belum hilang gaung suara tadi tahu-
tahu di
hadapan Prameswara telah berdiri seorang le-
laki empat
puluh tahunan.
"Ketua,
maafkan ketidakmampuan kami. Mata-
mata keparat
ini benar-benar lihai, Ketua," lapor si
kumis
cablang.
Lelaki
berpakaian hitam-hitam itu mendengus.
***
Prameswara
hanya memandang sinis. Sosok di
hadapannya
itu bertubuh tegap. Wajahnya kotak den-
gan jenggot
lebat. Sepasang matanya yang garang ber-
kilat-kilat
memandang penuh kemarahan.
"Anak
muda! Kau sungguh lancang berani
mengotori
tempatku. Apa nyawamu sudah rangkap,
he?!"
bentak Ketua Partai Kawula Sejati yang bergelar
Samber Nyawa
itu dengan angkuhnya.
Sekali lagi
Prameswara mendengus sinis. Ia
yang juga
berwatak tinggi hati mana sudi direndahkan
sedemikian
rupa. Meski di belakang Samber Nyawa te-
lah tegak dua
puluh orang anak buahnya yang berpa-
kaian
hitam-hitam, Prameswara tetap tidak bergeming
dari
tempatnya. Malah dengan sengit ia menyahuti
ucapan Samber
Nyawa.
"Bicaramu
sungguh merendahkanku, Samber
Nyawa! Apa
kau kira semua orang bersedia tunduk di
bawah
perintahmu?"
"Setan
alas! Jadi kau sudah mengetahui gelar-
ku!"
"Siapa
yang tak kenal manusia pemberontak
macammu,
Samber Nyawa! Kau tidak mungkin dapat
mewujudkan
impian gilamu. Jangankan merebut takh-
ta Kadipaten
Pleret, untuk merobohkanku saja kau be-
lum tentu
mampu. Hayo, sekarang buktikan ucapan-
mu kalau kau
memang mampu!"
"Keparat!
Kau akan menyesal dengan ucapan-
mu, Anak
Muda!" dengus Samber Nyawa murka bukan
main.
Beberapa anak
buahnya yang siap dengan pe-
dang di
tangan segera berloncatan ke depan. Namun
Samber Nyawa
mengibaskan tangan kanannya seraya
membentak
garang.
"Minggir!
Kalian semua tidak perlu membantu-
ku. Lihatlah
bagaimana ketua kalian menghajar ma-
nusia tak
tahu diri ini!"
"Sungguh
besar juga nyalimu, Samber Nyawa.
Apa kau tidak
ingin bersembunyi di balik ketiak anak
buahmu?"
ejek Prameswara.
"Jaga
bacotmu, Anak Muda! Justru kaulah
yang terlalu
besar nyali. Apa kau kira dapat keluar dari
hutan ini
dengan selamat?!"
"Jangan
banyak bacot. Hayo, buktikan saja!"
"Setan
alas! Kau benar-benar merendahkanku.
Makanlah
bogem mentahku. Anak Muda!" Samber
Nyawa tak
dapat mengendalikan amarahnya lagi.
Secepat kilat
bogem mentahnya melayang ke
muka
Prameswara. Ia ingin merobohkan pemuda ini
hanya dalam
satu gebrakan. Sayang hanya dengan
memiringkan
tubuhnya sedikit Prameswara berhasil
membuat
serangan Samber Nyawa mengenai angin ko-
song. Malah
dengan menggunakan jurus 'Kilat Me-
nyambar Bumi'
tangan kanan Prameswara telah men-
gancam ulu
hatinya!
"Ah...!"
Samber Nyawa
kaget bukan main. Buru-buru ia
membuang
tubuhnya ke belakang. Kini Samber Nyawa
baru sadar.
Pantas kelima anak buahnya tidak sang-
gup
menghadapi Prameswara. Maka tanpa banyak pi-
kir panjang
Samber Nyawa segera mengeluarkan jurus
andalannya.
"Pantas
kau berani jual lagak. Tak tahunya
punya sedikit
simpanan. Tapi sayang kau akan me-
nyesal seumur
hidup karena telah bertemu denganku.
Kau akan
mati, Anak Muda!"
Tangan Samber
Nyawa yang sudah gatal segera
direntangkan.
Kedua kakinya sedikit ditekuk ke depan.
Sementara
tubuhnya menyerong ke samping. Prames-
wara hanya
tersenyum sinis. Namun ketika Samber
Nyawa mulai
menerjang, Prameswara langsung menge-
rutkan
kening. Belum sempat serangan Samber Nyawa
mengenai
sasaran, terlebih dahulu meluruk angin din-
gin datang
mendahului serangannya.
"Bagus!
Rupanya kau memang pantas menda-
pat gelar
Samber Nyawa. Dan seperti yang kau
ucapkan, kau
pun akan menyesal telah bertemu aku.
Kau akan
mampus di tanganku!"
Samber Nyawa
tak menyahuti ucapan Prames-
wara. Ia hanya
mengeluarkan gerengan marah. Dengan
menggunakan
jurus ‘Tangan Maut Dewa Kayangan’
Samber Nyawa
menerjang Prameswara.
"Hea...!
Hea...!"
Tubuh Samber
Nyawa berkelebat lincah men-
gurung
pertahanan Prameswara. Berkali-kali kedua
tangannya
bergerak cepat mengancam bagian-bagian
tubuh yang
mematikan.
Diam-diam
Prameswara mengeluh dalam hati.
Tidak
menyangka kalau Samber Nyawa sedemikian
hebatnya.
Perlahan namun pasti ia mulai terdesak.
"Sialan!
Tak kusangka manusia pemberontak
ini demikian
lihainya. Aku memang belum mengenal
Jurus
serangannya. Namun dari hawa dingin yang
menyambar
tubuhku, jelas pemberontak ini tidak bisa
dianggap
main-main. Kukira aku harus lebih berhati-
hati,"
pikir Prameswara dalam hati.
Prameswara
segera mengeluarkan senjata an-
dalan milik
gurunya terdahulu, yakni Kujang Emas.
Kujang Emas
mengeluarkan kilatan cahaya kuning
keemasan itu
sempat mengejutkan Samber Nyawa.
Apalagi
ketika dilihatnya telapak tangan kiri Prames-
wara hingga
ke pangkal siku berubah menjadi biru.
"Hm...
Melihat senjata andalanmu, tentu kau
mempunyai
hubungan dengan Pendekar Kujang Emas.
Tangan kirimu
pun siap melontarkan pukulan 'Cahaya
Kilat Biru'.
Salah satu pukulan andalan Pendekar Ku-
jang Emas dan
Pendekar Pedang Kilat Buana!" dengus
Samber
Nyawa.
Prameswara
terkejut. Namun ia buru-buru ter-
senyum sinis
untuk menutupi keterkejutannya.
"Syukur
kalau kau sudah tahu. Lalu kenapa
kau tidak
cepat-cepat bunuh diri saja daripada aku
yang mencabut
nyawa busukmu!"
"Setan
alas! Jangan dikira aku takut menden-
gar nama
gurumu, Anak Muda. Jangankan gurunya,
Eyang gurunya
pun aku tidak takut. Hayo, majulah!
Aku ingin
lihat sampai di mana kehebatan murid men-
diang
Pendekar Kujang Emas!" Samber Nyawa tak ka-
lah gertak.
Prameswara
tersenyum sinis. Tarikan dagunya
menunjukkan
kalau ia sangat merendahkan lawan.
Samber Nyawa
menggeretakkan gerahamnya
kuat-kuat.
Kedua pelipisnya bergerak-gerak. Seraya
menahan
kemarahan, Samber Nyawa segera mengelu-
arkan jurus
pamungkasnya, ‘Tulisan Maut Dewa
Kayangan’!
Salah satu jurus andalan untuk mengha-
dapi
tokoh-tokoh sakti dunia persilatan. Kedua telun-
juk jari
Samber Nyawa yang telah berubah putih berki-
lauan
terlihat menggurat-gurat di udara membentuk
huruf gaib
ciptaan Pendidik Ulung! Telunjuk tangan
kanan
menggurat dari kanan ke kiri. Sedang telunjuk
jari kiri
menggurat dari kiri ke kanan. Gerakan tubuh-
nya kala
menggurat pun tampak lemah gemulai. Na-
mun anehnya
dari setiap guratan telunjuk jari Samber
Nyawa selalu
mengeluarkan bunyi mencicit yang tera-
mat
memekakkan telinga.
Prameswara
terkejut melihat jurus-jurus maut
yang demikian
hebatnya. Mau tak mau ia yang sudah
cukup
pengalaman di dunia persilatan pun kagum di-
buatnya. Di
saat Samber Nyawa masih menggurat-
gurat kedua
telunjuk jarinya, Prameswara melancar-
kan serangan.
Kujang di tangan kanannya melontar-
kan pukulan
'Cahaya Kilat Biru'!
"Hea...!"
Prameswara
kembali membuka serangan.
Samber Nyawa
yang masih menggurat-guratkan kedua
telunjuk
jarinya ke udara buru-buru menghindari se-
rangan. Lalu,
kedua telunjuk jarinya disatukan dan
diarahkan
pada Prameswara. Seketika seleret sinar pu-
tih
berkilauan melesat cepat ke arah pemuda itu!
Bummm...!!!
Terdengar
satu ledakan hebat di udara kala
Prameswara
memapaki serangan Samber Nyawa den-
gan pukulan
'Cahaya Kilat Biru'. Bumi terasa bergetar.
Angin bertiup
kencang memporak-porandakan pepo-
honan di
sekitar tempat pertarungan.
Tubuh
Prameswara terjajar beberapa langkah
belakang. Parasnya terlihat pias. Telapak tangan ki-
rinya pun
ngilu dan beku.
Samber Nyawa
tertawa bergelak. Akibat bentu-
ran pukulan
jarak jauh tadi ia hanya tergetar sesaat.
Kenyataan ini
membuktikan kalau tenaga dalamnya
masih di atas
Prameswara.
"Ha ha
ha...! Tak kusangka hanya seperti ini
kepandaian
murid mendiang Pendekar Kujang Emas.
Aku tak yakin
kau akan sanggup menerima jurus ke-
dua ku ini,
Anak Muda!"
Samber Nyawa
kembali menggurat-guratkan
kedua
telunjuk jarinya ke udara. Seperti yang pertama,
setiap ia
mengguratkan kedua telunjuknya selalu
mengeluarkan
suara mencicit tajam.
Prameswara
ciut nyalinya. Dari gebrakan per-
tama tadi
nyawanya hampir saja melayang. Ia tidak in-
gin mengulang
untuk kedua kali.
"Aku
harus berhati-hati. Jurus-jurus Samber
Nyawa amat
berbahaya. Kukira hanya dengan meng-
gunakan ilmu
dari Manusia Rambut Merah saja dapat
mengatasi
serangannya," pikir Prameswara.
Prameswara
bersiap-siap mengeluarkan ilmu
amblas bumi.
Sayang, belum sampai niat itu terlaksa-
na,
berkelebat sesosok tubuh bayangan hitam telah
menghentikan
pertarungan.
"Murid
murtad! Kau benar-benar telah menco-
reng arang di
mukaku!"
***
Samber Nyawa
terkesiap. Sepasang matanya
pun membeliak
liar menatap sosok di hadapannya.
Seorang kakek
berjubah panjang hingga ke lutut. Di
kepalanya
bertengger topi hitam yang memanjang pada
bagian atas.
Sosok orang tua itu mirip seorang terpela-
jar. Dialah
guru Samber Nyawa yang bergelar Pendidik
Ulung.
"Guru...!"
gumam Samber Nyawa dengan paras
pias.
"Di
antara kita tidak ada lagi ikatan guru dan
murid.
Perbuatanmu telah menyimpang jauh dari apa
yang
kupesankan. Malah kini kau ingin merebut takh-
ta Kadipaten
Pleret. Benar-benar memalukan! Sebagai
gurumu aku
berhak meminta pertanggungjawaban.
Dan sebagai
seorang pendekar, hayo lekas cabut senja-
tamu. Mungkin
tubuh rapuhku ini masih mampu
menghadapimu!"
Pendidik
Ulung lalu mengeluarkan sepasang
pena sebagai
senjata andalannya. Sepasang matanya
yang kelabu
sekejap memperhatikan Prameswara yang
tengah
memegang Kujang Emas.
"Hm...!
Rupanya pemuda ini ada sangkut paut-
nya dengan
Pendekar Kujang Emas," gumam Pendidik
Ulung.
Prameswara
sendiri tengah berkata-kata sendiri
di dalam
hati.
"Jadi
kakek ini gurunya Samber Nyawa? Hm...
Aku harus
mencari akal. Aku harus bisa menjadi mu-
ridnya.
Bagaimanapun juga kepandaian kakek itu ma-
sih di atas
Samber Nyawa. Ya! Kukira inilah saatnya
untuk
menemukan seorang guru sakti."
Melihat
keadaan yang kurang menguntungkan
itu kedua
puluh orang anak buah Samber Nyawa sege-
ra mengurung
tempat pertarungan. Pendidik Ulung
hanya melirik
sekilas.
"Anak
muda! Kau minggirlah sebentar! Kalau
kau mau,
usirlah cecunguk-cecunguk itu!" kata Pendi-
dik Ulung.
Kalau saja
Prameswara tidak sedang menjalan-
kan suatu
rencana, belum tentu ia sudi diperintah be-
gitu. Namun
karena ia tengah membutuhkan Pendidik
Ulung
terpaksa Prameswara mengalah.
"Baiklah,
Orang Tua. Bagaimanapun juga kau-
lah yang
berhak menghukum manusia pemberontak
ini!"
sahut Prameswara dengan suara santun.
Pendidik
Ulung mengangguk-anggukkan kepa-
la. Ia jadi
bersimpati pada Prameswara. Namun ketika
dilihatnya
Samber Nyawa belum juga mencabut senja-
ta, tak urung
kening Pendidik Ulung berkerut. "Lekas
cabut
senjatamu, Murid Murtad!"
"Jangan
paksa aku untuk melawanmu, Guru!
Aku tak
sanggup!" jawab Samber Nyawa kaku.
"Persetan!
Kau berani bertingkah maka harus
berani pula
bertanggung jawab. Hayo, lekas cabut sen-
jatamu!"
Semula Samber
Nyawa ragu-ragu. Namun keti-
ka dilihatnya
anak buahnya dibuat kocar-kacir oleh
Prameswara,
Samber Nyawa menggereng penuh kema-
rahan. Hendak
diterjangnya Prameswara. Tapi gurunya
segera
menghadang. Tak ada pilihan lain. Terpaksa ha-
rus
menghadapi gurunya.
"Bagus!
Itu namanya baru Ketua Partai Kawula
Sejati!"
ejek Pendidik Ulung.
Samber Nyawa
mulai gelap mata. Keinginannya
untuk merebut
takhta Kadipaten Pleret memaksanya
untuk
melakukan perlawanan. Dicabutnya beberapa
pedang hijau
yang bermanikan mutiara.
Melihat
Samber Nyawa telah mencabut senja-
tanya,
Pendidik Ulung tertawa bergelak. Hal ini makin
membuat
Samber Nyawa murka. Tanpa pikir panjang,
segera
diterjangnya Pendidik Ulung. Pedang hijau di
tangan kanan
diputar sedemikian rupa. Tangan kiri
yang
disembunyikan di pinggang siap dengan lontar-
kan pukulan
maut. Itulah salah satu jurus pembuka
'Tangan Maut
Dewa Kayangan'.
Pendidik
Ulung tak berani main-main. Ia tahu
betul
kepandaian Samber Nyawa. Maka dengan meng-
gunakan jurus
yang sama kakek itu melancarkan se-
rangan.
Sepasang pena di tangannya bergerak cepat
menindih
bayangan hijau pedang Samber Nyawa.
"Hea...!
Hea...!"
Samber Nyawa
berusaha keluar dari gulungan
sepasang pena
gurunya. Berkali-kali Samber Nyawa
mencoba
melancarkan serangan dengan menggunakan
jurus-jurus
tipuan. Namun sayang usahanya itu ber-
hasil
diketahui Pendidik Ulung.
"Makanlah
penaku, Murid Murtad!" bentak
Pendidik
Ulung.
Kedua penanya
yang semula bergerak lembut,
tiba-tiba
dengan satu sentakan keras ke belakang
mengancam ulu
hati Samber Nyawa. Tokoh hebat itu
hanya sempat
mengeluarkan pekik tertahan kala sepa-
sang pena
gurunya telak mengenai dada.
Tukkk! Tukkk!
Seketika
tubuh Samber Nyawa terpental ke be-
lakang. Dari
mulutnya menyemburkan darah segar.
Ketika ia
kembali tegak tampaklah wajah pias Samber
Nyawa.
Setelah mengusap darah yang membasahi su-
dut-sudut
bibir, Samber Nyawa menyimpan pedang-
nya. Lalu
kedua telunjuk jarinya yang telah berubah
putih
berkilauan siap mengeluarkan jurus ‘Tulisan
Maut Dewa
Kayangan’.
Pendidik
Ulung menarik langkahnya satu tin-
dak ke
belakang. Ia pun siap mengeluarkan jurus
'Tulisan Maut
Dewa Kayangan'.
Begitu
Pendidik Ulung menggurat-guratkan ke-
dua ujung
penanya ke udara, seketika angin dingin
berkesiur
menyambar-nyambar ke arah Samber Nya-
wa. Belum
lagi suara mencicit dari guratan ujung pe-
na.
"Hea...!"
Samber Nyawa
cepat menyatukan kedua telun-
juk jarinya
di udara. Tampak dua larik sinar putih
berkilauan
melesat cepat ke arah Pendidik Ulung.
Wesss!
Wesss!
Bummm...!!!
Hebat bukan
main bentrokan dua tenaga dalam
itu. Bumi
terpaksa bergetar. Sambaran angin pukulan
mampu
memporak-porandakan pepohonan dan me-
nerbangkan
bebatuan di sekitar tempat pertarungan.
Samber Nyawa
yang jatuh terjengkang perla-
han-lahan
mencoba bangkit. Wajahnya semakin pucat
pasi. Darah
segar membasahi sudut-sudut bibir.
Pendidik
Ulung menggeram. Ia merasa penasa-
ran sekali
dengan hasil serangannya. Padahal telah di-
kerahkan
sepertiga tenaga dalamnya. Namun Samber
Nyawa belum
mendapat luka yang berarti.
"Rupanya
kau sudah mengalami kemajuan,
Samber Nyawa.
Tapi jangan dikira nyawa busukmu
akan lepas
dari tanganku!" bentak Pendidik Ulung pe-
nuh
kemarahan. Wajahnya tampak menegang.
Samber Nyawa
tidak menyahuti ucapan gu-
runya. Ia
hanya mengeluarkan satu geraman hebat. Di
hadapannya
Pendidik Ulung kembali menggurat-
guratkan
kedua ujung penanya ke udara. Suara men-
cicit yang
ditimbulkan makin menggiriskan. Belum lagi
hawa dingin
yang berkesiuran mendahului.
Pendidik
Ulung mengerahkan segenap kekua-
tan tenaga
dalamnya. Terpaksa Samber Nyawa harus
meladeni.
Kedua telunjuk jarinya digerakkan dalam ju-
rus serangan
yang sama.
"Hea...!!!"
Pendidik
Ulung mengeluarkan teriakan keras.
Kedua ujung
penanya segera dipertemukan. Dan...
Kembali dua
tenaga dalam guru dan murid itu
saling
berbenturan.
Bak layangan
putus talinya tubuh Samber
Nyawa
terlempar jauh ke belakang, berputar-putar se-
bentar lalu
jatuh berdebam ke tanah. Darah segar
mengalir diri
sudut-sudut bibir dan lobang hidung.
Dengan
tertatih-tatih Samber Nyawa mencoba bangun.
Tangan
kanannya mendekap erat dada yang terasa
mau jebol.
Sementara tangan kirinya menggapai-gapai
mencari
sesuatu yang dapat dijadikan pegangan.
Sayang, tak
ada sesuatu yang dapat dipegang. Samber
Nyawa kembali
jatuh ke tanah, melejang-lejang seben-
tar kemudian
diam tidak bergerak lagi.
Pendidik
Ulung tertawa sumbang. Wajahnya
yang keriput
tampak menegang. Perlahan darah segar
mengalir dari
sudut-sudut bibir. Rupanya orang sakti
dari Lembah
Kalierang itu menderita luka dalam cu-
kup parah.
Melihat Ketua
Partai Kawula Sejati tak dapat
bangun lagi,
sisa-sisa anggota partai itu yang tengah
mengeroyok
Prameswara segera melarikan diri. Sebe-
narnya
Prameswara ingin mengejar namun mendadak
langkahnya
tertahan.
"Tunggu,
Anak Muda! Aku ingin bicara seben-
tar"
Prameswara
menghentikan langkah.
"Ada
apa, Orang Tua? Tampaknya kau ingin
mengatakan
sesuatu?" kata Prameswara santun.
Hal inilah
yang membuat Pendidik Ulung
menngagumi
Prameswara. Sikap pemuda itu tampak
halus dan
terpelajar.
"Aku
memang ingin bicara, Anak Muda. Aku
tak tahu
apakah kau akan sudi atau tidak. Tapi kuli-
hat susunan
tulang dalam tubuhmu bagus sekali. Ku-
kira kau
pantas untuk...."
"Untuk
apa, Orang Tua?" tukas Prameswara tak
sabar.
"Hm...!
Aku ingin kau menjadi muridku. Apa
kau
keberatan, Anak Muda?!" kata Pendidik Ulung se-
telah menelan
ludah. "Tapi, untuk itu kau harus ber-
sedia
menanggung beban berat. Kau harus dapat men-
gangkat
namaku kembali ke dunia persilatan setelah
tercoreng
oleh ulah Samber Nyawa."
"Apa?!
Menjadi muridmu?" Prameswara membe-
liakkan mata
tak percaya. Lalu ia melanjutkan kata-
kata di dalam
hati.
"Hm...!
Inikah yang dinamakan pucuk dicinta
ulam tiba?
Aku yang sedang kebingungan mencari
guru sakti,
eh... nggak tahunya malah ada yang me-
nawarkan
diri. Bukan main! Mujur benar nasibku hari
ini. Tentu
aku tidak mungkin menyia-nyiakannya. In-
ilah
kesempatan untuk melampiaskan pada Siluman
Ular
Putih!"
"Kau
keberatan, Anak Muda?"
"Aku
senang sekali menjadi muridmu, Orang
Tua. Tapi
apakah kau tidak salah pilih?"
"Semoga
saja aku tidak salah mengambil kepu-
tusan. Di
samping kau memang sangat berbakat, sikap
dan
pembawaanmu sangat bertolak belakang dengan
Samber Nyawa.
Kau tampak santun dan terpelajar.
Rasanya
kaulah yang paling pantas menjadi murid te-
rakhirku.
Ketahuilah, nama gurumu ini adalah Mara-
bunta. Di
dunia persilatan aku lebih dikenal dengan
julukan
Pendidik Ulung. Aku ingin sekali kelak kau
mengharumkan
namaku kembali. Apakah kau kebera-
tan?"
Prameswara
menangkupkan kedua tangannya
di depan
hidung.
"Tentu
saja tidak, Guru. Aku berjanji akan me-
menuhi
permintaanmu."
"Baik.
Kalau begitu tak ada lagi yang perlu kita
bicarakan.
Sekarang juga kau harus ikut aku ke Lem-
bah
Kalierang!"
"Baik,
Guru."
***
3
Siang yang
terik. Matahari tepat berada di ten-
gah
cakrawala. Udara yang panas karena angin malas
berhembus
membuat suasana siang itu terasa kaku.
Keadaan pasar
di Desa Wringin Anom tiba-tiba dike-
jutkan oleh
teriakan lantang seseorang. Seketika orang
sepasar
berhamburan melihat apa yang terjadi
Di sebelah
barat pasar tampak seorang gadis
tengah
meracau tidak karuan. Keadaannya sangat
memprihatinkan.
Pakaian kuningnya compang-
camping.
Wajahnya yang cantik kusut masai. Dari pa-
kaiannya yang
sudah tidak karuan tampak sebagian
auratnya.
Sepasang payudara yang montok itu me-
nyembul
keluar. Perutnya membuncit. Sepasang pa-
hanya yang
berkulit putih bersih tampak nyata sampai
hampir ke
pangkal paha.
"Jahanam!
Samber Nyawa, Jahanam! Kaulah
yang menghamiliku!
Kau harus bertanggung jawab.
Kau harus
bertanggung jawab! Hi hi hi...!"
Di akhir
teriakan-teriakannya yang lantang, ga-
dis cantik
berpakaian compang-camping itu menangis
sedih.
Berpuluh pasang mata yang melihat keadaan
gadis cantik
itu menjadi jengah. Lebih-lebih para ibu.
Mereka
menundukkan kepala dan bergegas pergi. Se-
bagian
lainnya kasak-kusuk membicarakan gadis itu.
"Bukankah
gadis itu Ni Luh, putri tunggal Ki
Lurah
Joyorono?"
"Ya. Dia
memang putri tunggal Ki Lurah Joyo-
rono,
Kang," terdengar satu suara menyahuti.
"Tapi
bukankah ia hendak menikah dengan
Purboyo. Lalu
kenapa mendadak menjadi sinting?"
"Ah...!
Jangan-jangan ia ditinggal Purboyo?" ka-
ta satu suara
lainnya menambahi.
"Tidak
mungkin! Purboyo itu orangnya baik.
Tak mungkin
ia memperlakukan Ni Luh seperti itu.
Apalagi
menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab.
Tak mungkin!
Aku cukup mengenal siapa Purboyo.
Pasti pemuda
edan yang disebut-sebutnya tadi yang
menghamili Ni
Luh! Siapa lagi kalau bukan ia?" kata
seorang
pemuda membela.
"Tapi
apa kau mengenai siapa Samber Nyawa?"
"Itulah
yang sedang kupikirkan. Rasanya di de-
sa ini tak
ada orang yang bernama seangker itu.
Samber Nyawa?
Hih! Bulu kudukku jadi berdiri," kata
pemuda itu
lagi.
"Ugh...!
Dasar penakut!" kata yang lainnya
mencemooh.
"Sudah,
sudah! Kenapa kalian jadi ribut sendi-
ri? Hayo,
kita tolong gadis itu!" kata seorang laki-laki
lain
membentak.
"Oh....
Samber Nyawa! Kau benar-benar manu-
sia dajal!
Setelah kau perkosa aku, kini teganya kau
meninggalkanku.
Hu hu hu..! Tak kuasa lagi rasanya
aku
menanggung beban berat ini, Samber Nyawa. Aku
tak tahan
lagi. Oh...!" teriak Ni Luh memelas.
Dadanya
terlihat turun naik. Kedua telapak
tangannya
menutupi wajah. Menangislah Ni Luh sam-
pai
terisak-isak. Ketika ia membuka tangannya tam-
paklah wajah
pias gadis cantik itu. Sepasang matanya
membelalak
liar.
"Aku tak
tahan lagi! Aku tak tahan lagi! Ra-
sanya tak
pantas aku hidup lebih lama lagi...!"
Ni Luh mulai
memukuli dadanya keras-keras.
Memang tidak
begitu membahayakan keselamatannya,
namun
penduduk kampung yang mengerumuni Ni Luh
makin panik
dibuatnya. Tangis Ni Luh makin memelas
kala penduduk
kampung memegangi lengannya. Dan
di saat gadis
itu tengah meraung-raung histeris, seo-
rang
laki-laki setengah baya menyeruak keramaian.
"Ni Luh,
Anakku. Kasihan sekali kau. Lihatlah
ini bapakmu,
Nak!" ujar laki-laki itu memelas.
"Siapa
kau?!" bentak Ni Luh. Sepasang ma-
tanya
mendadak beringas.
"Aku....
Bapakmu, Nak. Ki Lurah Joyorono," ka-
ta laki-laki
itu serak.
"Bapakku?
Tidak! Kau bukan bapakku! Kau
pasti
kambratnya Samber Nyawa. Ya...! Kau pasti
kambratnya
Samber Nyawa!"
"Lihatlah
baik-baik, Nak! Aku bapakmu. Aku Ki
Lurah
Joyorono."
Ni Luh tak
mempedulikan teriakan bapaknya.
Sepasang
matanya segera dialihkan ke sudut lain. Lalu
dengan kalap
gadis itu kembali berteriak-teriak.
"Dia...
dia itu Samber Nyawa! Ya...! Dialah
Samber Nyawa!
Dialah yang memperkosa dan meng-
hamiliku!"
tunjuk gadis itu dengan tangan gemetar pa-
da seorang
pemuda.
Seketika
orang-orang yang mengerumuni Ni
Luh
mengalihkan pandangan matanya. Tampak seo-
rang pemuda
asing dengan rambut gondrong sebahu
tengah
melenggang santai melewati jalan pasar.
"Ya
ya...! Dialah yang telah memperkosa dan
menghamiliku!
Aku harus segera menemuinya," kata
Ni Luh.
"Tangkap
pemerkosa itu...!"
* * *
Si pemuda
menautkan alis matanya dalam-
dalam.
Dilihatnya orang-orang sepasar mulai menge-
rumuni
dirinya.
"Eh
eh...! Ada apa ini? Kenapa kalian menge-
rumuniku?"
kata si pemuda heran.
Dia seorang
pemuda tampan dengan rambut
gondrong
tergerai di bahu. Pakaiannya rompi dengan
celana
bersisik warna putih keperakan. Di dadanya
tampak
rajahan bergambar ular putih kecil. Di perge-
langan tangan
melingkar gelang akar bahar. Senjata
andalannya
yang berupa anak panah bercakra kembar
melingkar di
pinggang. Melihat ciri-cirinya dia tidak
lain adalah
Soma yang bergelar Siluman Ular Putih.
"Jangan
berlagak pilon, Orang Asing! Kau yang
memperkosa
dan menghamili Ni Luh! Teman-teman!
Cepat tangkap
orang asing ini!" teriak orang pemuda
yang berada
paling depan.
"Ya,
ampun! Dunia sudah miring atau orang-
orang di
sekitarku yang miring? Enak saja main tuding
sembarangan.
Siapa yang memperkosa? Siapa yang
menghamili
anak orang?!" teriak Soma gusar bukan
main.
"Ya, ampun! Apes benar nasibku hari ini!" lanjut
Soma kesal.
"Bukan
kau yang apes, Orang Asing! Ni Luh
yang apes.
Enak saja kau tak mau bertanggung jawab
setelah
menghamili anak orang. Sekarang kau harus
bertanggung
jawab!"
"Hm...!
Pasti ada sesuatu yang tidak beres ter-
jadi di sini.
Diminta maupun tidak, aku harus sece-
patnya turun
tangan," gumam murid Eyang Begawan
Kamasetyo.
"Teman-teman!
Cepat tangkap orang asing ini!
Kalau perlu,
kita cincang sekalian juga tak mengaku!"
teriak pemuda
itu lagi.
Tanpa
diperintah sekali lagi orang sepasar yang
sudah tak
dapat mengendalikan amarah segera men-
gerumuni
Soma. Malah ada beberapa yang mulai men-
girimkan
bogem mentahnya.
"Jangan
bunuh pemuda itu! Dia harus bertang-
gung jawab
atas bayi yang ku kandung!" teriak Ni Luh.
Disibaknya
kerumunan orang.
Melihat
penampilan gadis itu, Soma langsung
menggaruk-garuk
kepala. Sepasang matanya yang
nakal sempat
singgah pada buah dada Ni Luh yang
membusung
keluar. Entah kenapa Soma kembali
menggaruk-garuk
kepalanya. Hal ini membuat kema-
rahan
orang-orang di pasar makin meledak.
"Bocah
jorok! Tak tahu malu! Matamu memang
patut ku
congkel!" geram seorang pemuda jengkel.
"Tunggu!
Kalian semua tidak boleh menyakiti
calon
suamiku!" bentak Ni Luh galak.
Soma bingung
bukan main. Dilihatnya gadis
cantik
berpakaian compang-camping itu mendeka-
tinya.
"Duh!
Apes benar nasibku hari ini. Masa' calon
istriku macam
begini?" gumam Soma dalam hati sam-
bil
menggaruk-garuk kepalanya.
"Kakang...!
Ah, ya! Mulai hari ini aku harus
memanggilmu
Kakang. Mari kita pulang, Kakang! Aku
sudah tak
sabar lagi menunggu kepulanganmu. Mari
pulang,
Kang!" kata Ni Luh makin membuat murid
Eyang Begawan
Kamasetyo kebingungan.
"Aku
bukan Samber Nyawa, Gadis. Aku Soma.
Seorang
pengembara miskin yang kebetulan melewati
jalan
ini."
Ni Luh
membelalakkan matanya.
"Jadi
kau ingin meninggalkanku lagi, Kang!" ka-
ta Ni Luh mulai
terisak.
"Maaf,
Gadis! Aku tak mengenal siapa dirimu.
Tapi aku
berjanji. Aku akan mencari calon suamimu.
Kalau boleh
aku tahu di manakah Samber Nyawa ting-
gal?"
"Omong
kosong! Kau pasti Ketua Partai Kawula
Sejati itu
sendiri!" bentak Ki Lurah Joyorono garang
"Aduh...!
Siapa lagi Ketua Partai Kawula Sejati?
Aku bukan
Samber Nyawa. Aku Soma. Masa kalian ti-
dak
percaya?"
"Ki
Lurah! Buat apa kita membuang-buang
waktu? Kita
hajar saja pemerkosa ini ramai-ramai. Bi-
ar tahu rasa!
Hayo, Teman-teman! Kita hajar orang-
asing ini
sampai lumat!" teriak seorang pemuda penuh
kemarahan.
Soma
menggaruk-garuk kepalanya. Dilihatnya
beberapa
penduduk kampung mulai menyerang. Tentu
saja Soma
tidak ingin tubuhnya jadi bulan-bulanan
amarah
penduduk. Dengan sekali menjejakkan kaki ke
tanah,
tahu-tahu Soma telah berada di atas atap ban-
gunan
pagar.
"Harap
kalian dengar baik-baik. Aku Soma. Aku
bukan Samber
Nyawa. Apalagi yang memperkosa gadis
itu! Tapi
baiklah! Dengan menjaga nama baik dan demi
membalaskan
sakit hati Ni Luh, sekarang juga aku
akan mencari
Samber Nyawa dan menyeretnya kemari.
Selamat
tinggal!"
Soma
berkelebat cepat meninggalkan tempat
itu.
Kemarahan penduduk kampung makin berkobar.
Namun untuk
mengejar Soma jelas tidak mungkin. So-
sok pemuda
itu telah menjadi titik putih kecil di ke-
jauhan sana.
***
4
Malam itu di
markas Partai Kawula Sejati tera-
sa lengang.
Sejak Samber Nyawa tewas di tangan gu-
runya,
Pendidik Ulung, tampuk Pimpinan Partai Kawu-
la Sejati
kini dipegang salah seorang tangan kanan
mendiang
Samber Nyawa. Dia seorang laki-laki angkuh
yang masih
terhitung keturunan Adipati Pleret. Di du-
nia
persilatan lebih dikenal dengan julukan Pangeran
Pemimpin.
Sebagai
seorang pangeran ia merasa tidak men-
jadi adipati
Kadipaten Pleret jika dibandingkan sauda-
ra tirinya
yang dilahirkan dari seorang selir. Maka ke-
tika melihat
adik tirinya kini menjadi Adipati Pleret,
Pangeran
Pemimpin merasa iri. Bagaimanapun juga ia
anak tertua
dari Adipati Pleret Tua. Meski Pangeran
Pemimpin juga
dilahirkan dari seorang selir, sang Per-
maisuri tidak
mempunyai anak, maka dialah yang ber-
hak duduk di
singgasana Kadipaten Pleret bukan adik
tirinya!
Ayahandanya,
Adipati Pleret Tua, lebih mencu-
rahkan kasih
sayangnya kepada selir terkasihnya yang
menjadi ibu
Adipati Pleret sekarang. Pangeran Pemim-
pin lalu
bertekad untuk memberontak. Pangeran Pe-
mimpin merasa
tersisih dari lingkungan kadipaten. Di-
am-diam ia
bergabung dengan Partai Kawula Sejati
yang dipimpin
oleh Samber Nyawa. Namun sejak
Samber Nyawa
tewas Pangeran Pemimpin mengambil
alih pucuk
Pimpinan Partai Kawula Sejati.
* * *
Seperti
malam-malam sebelumnya penjagaan di
markas Partai
Kawula Sejati selalu demikian ketat. Be-
berapa anak
buah Partai Kawula Sejati siap siaga di
pos
penjagaan. Hal ini tidaklah mengherankan. Akhir-
akhir ini
banyak mata-mata Kadipaten Pleret yang ber-
keliaran di
sekitar markas.
Samar-samar
sesosok bayangan hitam terlihat
berkelebat
cepat tak jauh dari markas Partai Kawula
Sejati.
Gerakan kedua kakinya begitu ringan laksana
terbang.
Sesampainya di ujung jalan dekat markas so-
sok bayangan
hitam itu menghentikan langkah. Kepa-
lanya tegak
lurus ke depan tanpa membuat gerakan
sedikit pun.
Hanya, sepasang matanya yang tajam bak
mata rajawali
bergerak-gerak memperhatikan keadaan
sekitar.
"Menurut
keterangan dari seorang penduduk,
Siluman Ular
Putih tengah menuju ke timur. Katanya
ingin mencari
Samber Nyawa yang menjadi Ketua Par-
tai Kawula
Sejati. Tapi bukankah Samber Nyawa telah
tewas di
tangan guru Pendidik Ulung beberapa pekan
lalu? Hm...!
Rasanya tak masuk akal," pikir sosok
bayangan
hitam.
Dia seorang
pemuda tampan. Jubah hitam pan-
jang sampai
ke lutut. Di kepalanya bertengger topi hi-
tam yang
memanjang pada bagian atas. Dialah Pra-
meswara yang
kini bergelar Pelajar Agung.
"Kukira
tak ada gunanya mengejar sampai ke-
mari kalau
aku sendiri ragu-ragu. Hm...! Kalau tak sa-
lah sekarang
aku berada di Hutan Gudean. Sebuah
hutan lebat
yang cocok sekali untuk markas kaum
pemberontak.
Di hutan inilah Partai Kawula Se..."
"Mata-mata
kadipaten! Tangkap mata-mata ka-
dipaten!"
Tiba-tiba
terdengar teriakan lantang. Prames-
wara tak dapat meneruskan kata hatinya. Sepasang
matanya yang
tajam mendadak berkilat-kilat penuh
kemarahan
melihat beberapa sosok bayangan menuju
ke arahnya
dengan pedang di tangan.
"Tangkap
mata-mata itu! Hidup atau mati!"
Pelajar Agung
mendengus.
"Manusia-manusia
tak tahu diri. Beraninya
mencari
mampus di depanku!"
Prameswara
segera bertindak. Kakinya dihen-
takkan ke
tanah. Tubuh tinggi kekar itu langsung
mencelat.
Jari-jari tangannya yang terkepal erat tak
sabar lagi
untuk bicara.
Bukkk! Bukkk!
Terdengar dua
pekik kesakitan di depan sana.
Tubuh dua
orang penghadang itu kontan terjungkal ke
tanah. Mereka
lalu mengerang-erang seraya memegan-
gi dada.
Pelajar Agung
tak mau bertindak tanggung-
tanggung.
Melihat dua orang penghadangnya roboh da-
lam sekali
gebrakan, pemuda bekas murid Pendekar
Kujang Emas
itu makin mengamuk hebat. Tak kurang
dari satu
jurus ketiga penghadang lainnya ambruk ke
tanah dan
tidak dapat bangun lagi.
Mendengar
ribut-ribut ini beberapa anggota
Partai Kawula
Sejati yang lainnya berhamburan datang
dan segera
mengurung Pelajar Agung.
"Keparat!
Berani kau melukai anggota Partai
Kawula
Sejati, Mata-mata Tengik!" bentak salah seo-
rang lelaki
berwajah garang.
Bentuk
wajahnya kotak dengan kulit berwarna
merah. Kedua
tangannya yang panjang berjuntai sam-
pai ke lutut.
Usia laki-laki berjubah merah ini sekitar
lima puluh
tahun. Rambutnya yang panjang di-biarkan
awut-awutan
di bahu. Di dunia persilatan ia terkenal
dengan
julukan Iblis Muka Merah. Salah seorang seku-
tu Pangeran
Pemimpin untuk menggulingkan kekua-
saan Adipati
Pleret.
Di samping
Iblis Muka Merah berdiri beberapa
tokoh sesat
yang tertarik dengan ambisi Pangeran Pe-
mimpin karena
janji-janji muluk.
"Setan
alas! Kalian benar-benar lancang! Kalian
memang patut
mendapat hukuman. Aku, Pelajar
Agung, mana
pantas jadi mata-mata? Apa mata kalian
buta,
he?!" hardik Pelajar Agung angkuh.
Iblis Muka
Merah menggeram penuh kemara-
han. Tangan
kanannya digerakkan memberi isyarat
pada anggota
Partai Kawula Sejati untuk menerjang
Prameswara.
Iblis Muka Merah sendiri ikut maju me-
nerjang.
"Makanlah
tongkatku, Bocah!" bentak Iblis Mu-
ka Merah
garang. Tongkat di tangan kanannya mende-
ru-deru
menyerang Pelajar Agung.
Prameswara mendengus
sinis. Ia tidak gentar
menghadapi
serangan Iblis Muka Merah yang dibantu
beberapa
anggota Partai Kawula Sejati. Dengan meng-
gunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah menca-
pai tingkat
tinggi, Prameswara kembali berkelebatan.
Kedua
telunjuk jarinya yang berwarna putih berki-
lauan siap
melontarkan 'Totokan Maut Dewa Kayan-
gan'!
Tukkk! Tukkk!
Telak sekali
totokan kedua telunjuk jari Pelajar
Agung
mengenai iga Iblis Muka Merah.
Lelaki
setengah baya itu meraung setinggi lan-
git. Iganya
yang terkena totokan langsung berlobang
dan
mengeluarkan darah segar. Belum hilang keterke-
jutan Iblis
Muka Merah, Pelajar Agung telah kembali
menyerang
lawannya. Untung saja beberapa anggota
Partai Kawula
Sejati menghadang serangan Prameswa-
ra.
Pelajar Agung
menggeram murka. Terpaksa
menghentikan
serangannya ke arah Iblis Muka Merah
kalau ingin
selamat. Dengan membuang tubuhnya ke
samping
serangan gencar para anggota Partai Kawula
Sejati
berhasil dihindari.
"Kalian
semua benar-benar memuakkan. Pela-
jar Agung
tidak akan memaafkan kelancangan kalian!"
dengus
Prameswara penuh kemarahan.
Prameswara
menjejakkan kakinya ke tanah dan
kembali
berkelebatan di antara gulungan serangan pa-
ra
pengeroyoknya. Senjata pusaka mendiang gurunya
Pendekar
Kujang Emas kini telah tergenggam di tan-
gan kanan.
Dengan menggunakan Kujang Emas itu,
Pelajar Agung
mengamuk hebat. Hampir dari setiap ke-
lebatan
senjatanya diakhiri pekik kematian salah seo-
rang
pengeroyok.
Kenyataan ini
tentu saja membuat lawan ciut
nyalinya.
Iblis Muka Merah sendiri dan beberapa tokoh
sesat yang
hadir di sana tidak menyangka kalau mata-
mata itu
memiliki kepandaian demikian hebat.
"Mata-mata
keparat! Kau patut mendapat hu-
kuman dariku.
Heaaa...!"
Iblis Muka
Merah mengeluarkan pukulan
mautnya.
Begitu kedua telapak tangan didorongkan ke
depan,
seketika serangkum angin dingin menderu-deru
melabrak
Pelajar Agung.
Prameswara
segera memapakinya dengan pu-
kulan 'Cahaya
Kilat Biru'. Dua larik sinar biru yang di-
iringi bunyi
bergemuruh memenuhi tempat pertarun-
gan melesat
dari kedua telapak tangan pemuda itu.
Blaaarrr...!!!
Bumi
terguncang hebat laksana dilanda gempa.
Angin dingin
berkesiur memporak-porandakan rant-
ing-ranting
pohon. Malah beberapa anggota Partai Ka-
wula Sejati
yang berkepandaian rendah terlihat meng-
gigil hebat.
Tubuh Iblis
Muka Merah terpental beberapa
tombak lalu
jatuh terbanting di tanah tanpa dapat
bangun lagi.
Pingsan! Prameswara tertawa dingin. Se-
pasang
matanya yang berkilat-kilat mengerikan me-
nyapu
beberapa orang pengeroyoknya.
"Siapa
lagi yang mau menjadi korban berikut-
nya?"
ejek Pelajar Agung.
Melihat Iblis
Muka Merah yang berkepandaian
tinggi saja
dapat dirobohkan dengan demikian mudah,
sejenak
mereka saling berpandangan satu sama lain.
Namun karena
takut nanti mendapat hukuman dari
pemimpin
mereka, para pengeroyok Pelajar Agung itu
pun kembali
menyerbu.
Prameswara
mendengus. Ia yang haus darah
senang sekali
melihat lawannya kembali maju. Namun
baru saja
bermaksud memapaki serangan mereka, ter-
dengar
bentakan seseorang yang begitu berwibawa.
"Tahan
senjata!"
* * *
Pelajar Agung
menautkan kedua alis matanya.
Di hadapannya
telah tegak sesosok tubuh berpakaian
bangsawan
lengkap. Wajahnya yang berkulit putih
bersih
sejenak diarahkan pada Iblis Muka Merah dan
anggota
Partai Kawula Sejati yang bergeletakkan di ta-
nah. Usia
laki-laki bertubuh tinggi kekar ini sekitar
empat puluh
tahun. Sebilah keris berlekuk tujuh terse-
lip di
belakang punggung.
"Pangeran
Pemimpin...!" desis para anggota Par-
tai Kawula
Sejati hampir bersamaan.
Sosok yang
dipanggil Pangeran Pemimpin itu
menggeretakkan
gerahamnya kuat-kuat. Sepasang ma-
tanya yang
tajam kini memandangi pemuda tampan di
hadapannya.
Diam-diam hati Pangeran Pemimpin
mengagumi
kepandaian pemuda itu yang telah diper-
tunjukkannya
tadi.
"Hm...!
Agaknya pemuda ini memiliki kepan-
daian yang
tinggi. Sayang sekali kalau aku sampai
bentrok
dengannya. Aku sendiri sedang membutuhkan
banyak tokoh
sakti untuk merebut kedudukan adipati.
Kukira tak
ada jeleknya jika aku dapat mengajak pe-
muda ini
untuk bekerja sama," ucap Pangeran Pemim-
pin dalam
hati.
Di saat
Pangeran Pemimpin tengah berpikir
demikian,
diam-diam hati Pelajar Agung pun tengah
membatin.
"Siapakah
sebenarnya laki-laki di hadapanku
ini?
Tampaknya ia sangat disegani oleh anggota Partai
Kawula
Sejati. Mungkinkah ia pemimpin partai itu?"
"Anak
muda! Di antara kita telah terjadi sedikit
kesalahpahaman.
Aku yakin kau pasti bukan mata-
mata
Kadipaten Pleret. Untuk itu selaku Ketua Partai
Kawula
Sejati, aku Pangeran Pemimpin memohon maaf
atas
kesalahan anak buahku!" kata Pangeran Pemim-
pin.
Pelajar Agung
tersenyum. Tampak sekali se-
nyum itu
sangat merendahkan Pangeran Pemimpin.
"Jadi
benar dugaanku. Ternyata laki-laki ber-
penampilan
lembut ini Ketua Partai Kawula Sejati. Tapi
kenapa
laki-laki ini tidak marah melihat aku banyak
membunuh
anggota partainya? Hm...! Aku ingat seka-
rang!
Bukankah Partai Kawula Sejati yang dulu dipim-
pin Samber
Nyawa adalah kumpulan orang-orang
pemberontak!
Aku yakin tentu laki-laki ini mengingin-
kan sesuatu
dariku!" gumam Pelajar Agung dalam hati.
"Aku
tidak akan begitu saja menerima maaf se-
seorang.
Apalagi ia telah seenaknya menuduhku seba-
gai mata-mata
Kadipaten Pleret. Aku akan menghu-
kum
kelancangan orang-orangmu, Pangeran Pemim-
pin!"
desis Pelajar Agung angkuh.
"Aku
maklum kalau kau marah pada anak bu-
ahku, Anak
Muda. Kau boleh saja menghukum mereka
kalau itu kau
anggap tindakan kurang ajar. Tapi sebe-
lumnya aku
ingin menawarkan sesuatu yang menarik
padamu. Apa
kau keberatan?" sahut Pangeran Pemim-
pin dengan
senyum terkembang.
"Aku tak
dapat memutuskan kalau kau belum
mengatakan
apa tawaranmu."
"Tawaranku
cukup menarik untuk kau pertim-
bangkan, Anak
Muda!" kata Pangeran Pemimpin sen-
gaja menunda
mengatakan maksud sebenarnya.
"Katakan
apa tawaranmu, Pangeran Pemimpin!"
Pangeran
Pemimpin tersenyum.
"Aku
ingin mengajakmu bekerja sama. Kalau
kau dapat
membantuku menggulingkan takhta Adipati
Pleret, aku
berjanji akan mengangkatmu menjadi peja-
bat tinggi di
Kadipaten Pleret kelak."
"Kalau
aku keberatan bagaimana?" pancing Pe-
lajar Agung.
"Kau
tidak akan keberatan. Aku malah akan
mengangkatmu
jadi patih Kadipaten Pleret. Jika per-
juangan kita
berhasil!" kata Pangeran Pemimpin mem-
buat hati
Pelajar Agung berbunga.
Prameswara
benar-benar tertarik dengan tawa-
ran tersebut.
Ia tidak ingin jadi orang kedua. Ia harus
jadi orang
pertama. Untuk itu Prameswara harus me-
nangguhkan
rencananya terhadap Siluman Ular Putih.
Toh kalau
sudah menjadi patih untuk menduduki
singgasana
Kadipaten Pleret hanya tinggal selangkah
lagi.
"Kau
jangan mengumbar janji seenakmu, Pan-
geran
Pemimpin. Sekali kau jilat ludahmu sendiri,
nyawamu-lah
taruhannya!" dengus Pelajar Agung
menghardik.
Pangeran
Pemimpin hanya tertawa bergelak. Ia
melihat
adanya kelicikan pada pemuda di hadapannya
ini. Melihat
ambisinya yang besar bisa jadi muda ini
akan jadi
bumerang di kemudian hari. Namun Kujang
Emas di
tangan pemuda itu telah menarik simpati
Pangeran
Pemimpin. Sayang kalau ia sampai mele-
watkan
kepandaiannya.
"Tentu,
tentu! Aku tidak mungkin akan menjilat
ludahku
sendiri. Tapi menilik Kujang Emas di tangan-
mu, apakah
kau murid orang tua gagah yang bergelar
Pendekar
Kujang Emas?"
"Ya!"
sahut Pelajar Agung singkat. Ia merasa ri-
sih mendengar
Pangeran Pemimpin menyebut-nyebut
nama mendiang
gurunya.
"Baik.
Kalau begitu tak ada lagi yang patut kita
bicarakan.
Sekarang aku ingin mengajakmu dan se-
mua anggota
Partai Kawula Sejati untuk membicara-
kan rencana
kita lebih lanjut di dalam."
"Baik!"
Pangeran
Pemimpin tertawa bergelak. Ketua
Partai Kawula
Sejati itu pun berkelebat cepat menuju
bangunan
markasnya. Anggota Partai Kawula Sejati
segera
menyusul kepergian ketuanya setelah men-
gangkat
beberapa orang temannya yang terluka. Diiku-
ti
tokoh-tokoh sesat yang tadi datang bersama Iblis
Muka Merah.
Prameswara tidak mempunyai pilihan
lain kecuali
mengikuti mereka.
***
5
Di bentangan
langit sebelah barat matahari
mulai rebah
dalam pangkuan bumi. Sebagian awan hi-
tam yang
bergulung-gulung di angkasa berlumuran
cahaya merah
tembaga. Sebentar lagi agaknya malam
akan tiba.
Dari ujung
jalan setapak di luar Kadipaten Ple-
ret tampak
sesosok bayangan berpakaian putih kepe-
rakan baru
saja keluar dari dalam hutan. Sosok
bayangan itu
menghentikan langkahnya di tengah ja-
lan setapak
mendongakkan kepalanya memandang ke
atas.
"Huh,
sial! Hampir seharian aku keluar masuk
hutan namun
belum juga menemukan markas Partai
Kawula
Sejati. Apalagi menemukan batang hidung
orang yang
bernama Samber Nyawa. Sial memang! Pa-
kai dituduh
menghamili anak orang lagi!" gerutu sosok
berpakaian
putih keperakan yang tidak lain murid
Eyang Begawan
Kamasetyo.
Habis
menggerutu begitu, Soma kembali mene-
ruskan
langkahnya. Tak jauh dari persimpangan jalan
dilihatnya
sebuah kedai makan. Soma tersenyum se-
nang.
Perutnya yang sejak tadi pagi belum diisi men-
dadak minta
jatah. Tanpa banyak cakap ia pun segera
menuju ke
sana.
Tak banyak
yang makan dan minum di kedai
itu. Hanya
empat orang laki-laki berwajah kasar dan
seorang gadis
cantik berpakaian kuning. Soma tidak
begitu
mempedulikan mereka. Tapi ia sempat terse-
nyum kala
salah seorang laki-laki berwajah kasar me-
melototi
dirinya yang hendak melangkah masuk ke da-
lam kedai.
Belum sempat Soma menghenyakkan pan-
tatnya di
kursi, lelaki tua pemilik kedai berlari-lari
menghampiri.
"Maaf,
Anak Muda. Demi keselamatanmu se-
baiknya cepat
tinggalkan tempat ini!" kata pemilik ke-
dai itu
gugup. Tampaknya ia takut terjadi sesuatu di
kedainya.
Soma
menautkan alisnya heran. Dipandanginya
lelaki tua
pemilik kedai dengan kening berkerut.
"Kenapa,
Paman? Tidak bolehkah aku beristi-
rahat
sebentar di kedaimu ini?"
"Boleh.
Tapi jangan sekarang. Mereka.... Mere-
ka...,"
mata pemilik kedai itu jelalatan. Sebentar-
sebentar memandang
ke arah Soma kemudian pada
empat orang
laki-laki berpakaian hitam yang sedang
asyik minum
tuak di salah satu sudut kedai.
"Siapa
mereka, Paman?" tanya Soma mulai cu-
riga.
"Mereka...,"
sekali lagi pemilik kedai melirik ke
arah empat
orang berwajah kasar. "Cepatlah tinggal-
kan tempat
ini, Anak Muda. Mereka adalah Empat
Elang Hitam
dari Gunung Wilis. Salah satu sekutu se-
tia Pangeran
Pemimpin."
Soma makin
menautkan alis matanya. Tiba-tiba
terdengar
bentakan garang yang datangnya dari arah
keempat
laki-laki berwajah kasar.
"Hey,
Jembel Busuk! Tidakkah kau tahu pera-
turan di
sini? Kalau Empat Elang Hitam sedang makan
dan minum di
kedai ini siapa pun juga tidak boleh ma-
suk!"
bentak salah seorang dari mereka yang terganggu
dengan
kemunculan murid Eyang Begawan Kama-
setyo.
"Ah...!"
desah laki-laki pemilik kedai "Cepatlah
kau
tinggalkan tempat ini, Anak Muda," lanjut lelaki
tua itu
setengah memohon.
"Huh!
Kenapa gadis cantik itu boleh makan di
sini? Kenapa
ia tidak kau usir sekalian?" sungut Soma
kesal.
"Karena
ia seorang gadis cantik, Anak Muda."
"Memangnya
kenapa kalau ia seorang gadis
cantik?
Apakah biar aku tidak bisa main mata den-
gannya?"
"Ah,
sudahlah. Sebaiknya cepat kau tinggalkan
tempat
ini" kata pemilik kedai gelisah.
"Baiklah,
Paman. Aku akan menunggunya di
luar."
"Ya
ya.... Tapi sebaiknya tinggalkan saja tempat
ini.
Berbahaya."
"Bedebah!
Belum juga enyah dari hadapan ka-
mi,
he?!" bentak salah seorang dari keempat
lelaki
berwajah
kasar.
"Iya,
iya!" sungut Soma kesal. "Tapi bolehkah
kalau aku
menanyakan sesuatu pada Paman yang baik
ini, Kawanku
Yang Galak?" lanjut Soma mengejek
"Bedebah!
Kau berani bertingkah dihadapan
kami. Apa kau
sudah bosan hidup?!" bentak lelaki
yang bermuka
codet.
Tiba-tiba
tangan kanan laki-laki itu menyambit
cawan tuak
kosong. Kemudian, dengan kecepatan yang
sulit diikuti
pandang mata cawan tuak kosong itu me-
luncur menuju
murid Eyang Begawan Kamasetyo den-
gan kecepatan
luar biasa.
Wesss!
"Paman...!"
ujar Soma seraya sedikit menundu-
kan kepalanya
di hadapan laki-laki pemilik kedai.
"Apakah
Paman tahu di mana markas Partai Kawula
Sejati?"
Bersamaan
dengan itu selesainya ucapan So-
ma, cawan
yang dilemparkan laki-laki bermuka mem-
bentur
dinding kedai. Seketika dinding kedai itu berge-
tar. Bagian
dinding yang terkena hantaman cawan
langsung
berlobang.
Sementara di
sudut kedai yang lain sepasang
mata indah,
gadis berbaju kuning melirik sebentar ke
arah Soma. Ia
mendengar murid Eyang Begawan Ka-
masetyo itu
menyebut-nyebut nama Partai Kawula Se-
jati. Sedang
laki-laki pemilik kedai membeliak matanya
begitu
melihat dinding kedai yang berlubang.
Keterkejutan
juga dialami empat orang sesat
dari Gunung
Wilis. Melihat serangan salah seorang
kawannya
dapat dihindarinya dengan begitu mudah,
mereka pun
segera sadar. Mereka bukanlah orang-
orang bodoh.
Keempatnya orang-orang berilmu tinggi
yang sudah
cukup malang-melintang di dunia persila-
tan. Empat
Elang Hitam dari Gunung Wilis berlonca-
tan bangun
lalu mengepung Soma dari empat penjuru.
"Jangan
melotot saja, Paman! Di mana letak
markas Partai
Kawula Sejati?" tanya Soma tanpa me-
noleh ke arah
Empat Elang Hitam.
"Aku....
Aku tidak tahu, Anak Muda. Aku....
Aku...,"
laki-laki pemilik kedai gemetaran saking ta-
kutnya.
"Huh!
Percuma saja aku bertanya padamu, Pa-
man,"
sahut Soma kesal. Lalu ia melangkahkan ka-
kinya keluar
kedai seperti tidak pernah terjadi sesuatu
pun.
Melihat sikap
Soma yang tidak memandang se-
belah mata,
merahlah wajah bengis keempat tokoh se-
sat dari
Gunung Wilis. Belum pernah mereka selama
malang-melintang
di dunia persilatan direndahkan se-
demikian
rupa. Apalagi oleh seorang pemuda yang
nampak kurang
waras.
"Setan
alas! Tahan langkahmu, Kunyuk Gon-
drong!"
bentak laki-laki bermuka codet yang rupanya
Pimpinan
Empat Elang Hitam dari Gunung Wilis!
"Ada apa
lagi, Kawan-kawan Yang Galak? Bu-
kankah kalian
menghendaki aku untuk keluar. Kenapa
sekarang
uring-uringan begini? Apa kalian nggak
punya uang
untuk membayar tuak? Lalu kalian ingin
merampokku,
begitu? Kalau memang iya, sayang seka-
li. Aku tidak
punya uang," kata Soma seenak perutnya.
"Jangan
banyak berlagak, Kunyuk Gondrong!
Apa kau tidak
tahu tengah berhadapan dengan siapa
he?!"
bentak si muka codet garang.
"Yah...!
Kalian ini bagaimana, sih? Apa telinga
kalian sudah
tuli? Bukankah Paman pemilik kedai tadi
sudah
mengatakan kalau kalian Empat Ekor Nyamuk
Hitam dari
Gunung Wilis yang paling senang meng-
ganggu orang
makan?" ejek Soma.
"Bangsat!
Sebelum kurobek-robek mulutmu,
cepat katakan
siapa kau sebenarnya?!"
Sepasang mata
lelaki bermuka codet yang ta-
jam terus
memperhatikan pemuda tampan di hada-
pannya. Ia
merasa harus berhati-hati. Jangan-jangan
muda sinting
itu seorang mata-mata Kadipaten Pleret
yang
akhir-akhir ini banyak berkeliaran di sekitar Hu-
tan Gudean.
"Aku?"
ujar Soma seraya tersenyum. "Mau apa
kalian menanyakan
tentang diriku? Apa kalian ingin
membagi-bagi
hasil rampokan? Nah, kalau iya, cepat
berikan!
Kebetulan sekali karena aku seorang pengem-
bara miskin
lagi bodoh. Namaku Soma. Sudah cukup?"
"Sangat
cukup untuk mengirim nyawa busuk-
mu ke dasar
neraka!" bentak si muka codet tak dapat
lagi
mengendalikan amarah.
Ia segera
memasang kuda-kuda. Tangan kanan
direntangkan
lurus ke depan. Tangan kiri disembunyi-
kan di balik
pinggang. Dengan menggunakan jurus itu
si muka codet
ingin merobohkan Siluman Ular Putih
dalam satu
gebrakan.
"Hea...!"
Si muka codet
membuka serangan. Tangan ka-
nannya
bergerak cepat ke arah dada Soma. Padahal
tangan kiri
yang sesungguhnya siap melontarkan pu-
kulan
mautnya.
Siluman Ular
Putih tersenyum menggoda. Ia ti-
dak terkecoh
melihat serangan tipuan itu. Begitu pu-
kulan tangan
kanan si muka codet bergerak menye-
rang dada,
Siluman Ular Putih hanya sedikit memi-
ringkan
tubuhnya ke samping. Kemudian di saat pu-
kulan tangan
kiri lawan siap dilontarkan, dengan gera-
kan yang
sulit diduga patukan tangan Siluman Ular
Putih
tahu-tahu mengancam dada si muka codet!
Tukkk! Tukkk!
Dua kali dada
lelaki berwajah kasar itu terkena
patukan
tangan kanan dan kiri Siluman Ular Putih.
Seketika si
muka codet melengking setinggi langit. Da-
danya yang
terkena patukan Siluman Ular Putih mera-
sa mau jebol.
Si muka codet tidak tahan lagi. Tubuh-
nya limbung
ke samping lalu jatuh berdebam ke tanah
dengan mulut
mengerang-erang. Tak tahan merasakan
sakit, lelaki
itu akhirnya jatuh pingsan!
Ketiga teman
si muka codet kontan membela-
lakkan mata
tak percaya. Guru mereka sendiri pun be-
lum tentu
mampu merobohkan si muka codet dalam
satu
gebrakan. Ketiganya terdengar menggeram penuh
kemarahan.
Tanpa banyak cakap lagi anggota, Empat
Elang Hitam
dari Gunung Wilis itu mencabut keluar
pedang
mereka.
Sret! Sret!
Sret!
Empat Elang
Hitam dari Gunung Wilis men-
gempos
semangatnya. Kemudian, pedang di tangan
kanan
dibabatkan menyerang Siluman Ular Putih.
Soma yang
tidak ingin membuang-buang waktu
segera
berkelebat di antara gulungan pedang. Sesekali
patukan
tangan Siluman Ular Putih meluncur datang.
Tukkk! Tukkk!
Patukan
tangan kanan dan kiri Siluman Ular
Putih akhirnya
mengenai iga dua orang pengeroyok-
nya. Kontan
tubuh kedua lelaki itu melintir ke samp-
ing dan
menghantam meja. Perkakas kedai yang terke-
na jatuhan
tubuh kedua pengeroyok Siluman Ular Pu-
tih hancur
berantakan.
Laki-laki tua
pemilik kedai berdiri menggigil di
pojok
ruangan. Dipandanginya isi kedai yang beranta-
kan dengan
paras pias. Melihat keadaan yang kurang
menguntungkan
bagi pemilik kedai, Siluman Ular Pu-
tih pun
kembali menyerang seorang pengeroyoknya
yang
bermaksud melarikan diri. Dengan sekali meng-
hentakkan
kaki tahu-tahu tubuhnya telah mengha-
dang langkah
laki-laki itu.
"Kalianlah
yang menyebabkan kekacauan ini.
Jadi kalian
pula yang harus bertanggung jawab!" ben-
tak Soma
jengkel.
Tangan kanan
Siluman Ular Putih bergerak
menampar muka
orang terakhir Empat Elang Hitam
dari Gunung
Wilis.
Plakkkk!
Plakkk!
Tanpa ampun
lagi kepala orang itu oleng ke
kanan kiri
searah tamparan tangan Siluman Ular Pu-
tih.
"Enak
saja mau kabur. Tinggalkan dulu uang
emas kalian
baru boleh pergi!"
Ketiga orang
dari Empat Elang Hantu dari Gu-
nung Wilis
sejenak saling berpandangan. Kemudian,
ketiga tokoh
sesat itu mengambil kantong hitam kecil
yang
menggantung di pinggang masing-masing dan
melemparkannya
ke arah Siluman Ular Putih. Soma
cepat
menangkap ketiga kantong hitam itu.
Sambil
menimang-nimang kantong hitam berisi
kepingan uang
emas, Siluman Ular Putih berkata.
"Nah, sekarang baru kalian boleh pergi. Tapi
kalau sekali
lagi kulihat membuat keonaran, jangan
harap aku
akan mengampuni nyawa kalian!"
Ketiga orang
dari Empat Elang dari Gunung Wi-
lis menggeram
penuh kemarahan. Namun menyerang
Siluman Ular
Putih mereka tidak memiliki keberanian
lagi. Ketiga
orang tokoh sesat itu segera menyambar
tubuh si muka
codet lalu bergegas meninggalkan tem-
pat itu.
Soma tertawa
pelan. Sepasang matanya yang
tajam
memperhatikan ketiga sosok berpakaian hitam
yang berjalan
cepat meninggalkan kedai. Setelah
bayangan
ketiga orang itu lenyap, Soma membalikkan
badannya dan
menghampiri laki-laki pemilik kedai
"Jangan
panik, Paman. Ini semua untuk ganti
rugi
kerusakan kedaimu. Nah, terimalah!" kata Soma
seraya
meletakkan ketiga kantong hitam berisi kepin-
gan uang emas
ke tangan laki-laki pemilik kedai
Paras pemilik
kedai yang semula pias langsung
berbinar-binar.
Dengan tangan gemetar dipandanginya
ketiga
kantong hitam.
"Te....
Terima kasih, Tuan. Tapi... apakah jum-
lah ini tidak
terlalu berlebihan. Bagaimana pula bila
ketiga orang
itu kembali kemari, apa yang harus kula-
kukan,
Tuan?" tanya laki-laki pemilik kedai dengan
suara
bergetar.
"Tenanglah!
Mereka tidak mungkin berani ke
sini lagi.
Kalau memang mereka kembali, bilang saja
kepingan uang
emas ini aku yang membawa. Beres
kan? Nah,
sekarang jika kau tidak keberatan sudikah
menjawab
pertanyaanku tadi?"
"Tentu,
Tuan. Tapi sayang aku tidak tahu pasti
di mana
markas Partai Kawula Sejati. Menurut desas-
desus yang
kudengar markas partai itu berada di Hu-
tan
Gudean."
"Hutan
Gudean...," ujar Soma seraya mengang-
guk-anggukkan
kepala. "Apakah Ketua Partai Kawula
Sejati ada di
markasnya?"
"Aku
tidak tahu, Tuan. Konon Pangeran Pe-
mimpin sering
keluar untuk menyelidiki Kadipaten Ple-
ret."
"Lho?
Bukankah Samber Nyawa yang menjadi
Ketua Partai
Kawula Sejati, Paman?" tanya Soma he-
ran.
"Dulu
memang iya. Tapi sejak Samber Nyawa
tewas di
tangan gurunya, pucuk Pimpinan Partai Ka-
wula Sejati
dipegang oleh Pangeran Pemimpin."
"Oh...!"
Soma kembali mengangguk-anggukkan
kepala.
"Jadi orang yang bernama Samber
Nyawa itu
sudah
tewas?"
"Iya,
Tuan."
"Sekarang
begini, Paman," kata Soma seperti
teringat
sesuatu. "Kalau Paman tidak keberatan, aku
ingin minta
tolong."
"Dengan
senang hati aku akan membantumu."
"Tolong
kau temui Ki Lurah Joyorono. Bilang
kalau orang
yang bernama Samber Nyawa telah tewas."
"Baik,"
kata pemilik kedai. "Tapi kalau misalnya
Ki Lurah
Joyorono bertanya siapa Tuan, bagaimana
aku harus
menjawabnya?" lanjut pemilik kedai.
"Ah...!"
ujar Soma lucu. Entah karena apa mu-
rid Eyang
Begawan Kamasetyo menggaruk-garuk kepa-
lanya yang
tidak gatal. "Bilang saja dari pemuda yang
dituduh
menghamili putrinya itu saja!" lanjut Soma
dengan nada
sungkan.
Habis berkata
begitu, murid Eyang Begawan
Kamasetyo
pergi meninggalkan kedai. Dengan sekali
lesatan
sosoknya telah lenyap di balik kegelapan ma-
lam.
Sewaktu
mendengar ucapan Soma tadi, tanpa
sadar gadis
cantik berbaju kuning yang duduk di
bangku pojok
melengak kaget. Hatinya tiba-tiba berde-
bar tidak
karuan. Sepasang matanya yang indah terus
memperhatikan
ke arah lenyapnya Siluman Ular Putih.
"Pemuda
hebat! Tapi sayang sikapnya terlalu
ugal-ugalan...,"
gumam gadis cantik. Lalu pergi me-
ninggalkan
kedai mengikuti ke arah mana Soma pergi
* * *
"Tidak!
Tidak! Kakang Samber Nyawa tidak bo-
leh
mati! Ia harus bertanggung jawab atas
bayi yang
ku
kandung!" jerit Ni Luh histeris kala pemilik kedai
mengabarkan
tentang kematian Samber Nyawa pada
Ni Luh dan Ki
Lurah Joyorono.
Ki Lurah Joyorono
dan pemilik kedai hanya di-
am membisu.
Tak sepatah kata pun terucap dari bibir
kedua orang
itu. Namun melihat paras mereka yang
pias, jelas
keduanya turut prihatin atas musibah yang
menimpa Ni
Luh, terutama sekali Ki Lurah Joyorono.
"Bertawakallah,
Anakku. Mungkin Tuhan me-
mang tidak
menghendaki kau mempunyai suami
Samber
Nyawa," hibur Ki Lurah Joyorono dengan hati
getir.
"Tidak!
Tidak! Dia tidak boleh mati!" teriak Ni
Luh kalap.
Sepasang
matanya mendadak jadi beringas. La-
lu dengan
tidak terduga-duga sama sekali Ni Luh men-
gamuk hebat.
Apa saja yang ada di hadapannya diten-
dang. Meja
kursi dibalikkan hingga isinya berhambu-
ran ke
mana-mana.
Ki Lurah
Joyorono panik bukan main! Buru-
buru ia
mencegah tindakan Ni Luh. Namun Ni Luh
memberontak.
Ki Lurah Joyorono sampai kewalahan.
Dengan
bantuan laki-laki pemilik kedai akhirnya Ni
Luh berhasil
digiring ke dalam kamar.
Tampak wajah
Ki Lurah Joyorono demikian ku-
sut. Meski ia
telah berusaha tabah, namun tetap saja
tidak dapat
memendam rasa nyeri di hatinya. Apalagi
ketika pada
kesekian harinya didapati Ni Luh telah te-
was gantung
diri....
***
Emoticon