1
Wajah
bulan di angkasa bagaikan berselimut
duka.
Awan-awan kelabu di sekitarnya membuat bulan
malas
tersenyum. Tak ada kegairahan terpancar pada
wajah
sang Dewi Malam. Sementara angin yang ber-
hembus
semilir seolah tak berdaya mengusir awan ke-
labu
di angkasa raya.
Cahaya
bulan yang demikian temaram seolah
tak
mampu menerangi sebuah dataran luas berumput
di
luar Hutan Watu Malang. Di pinggiran dataran, se-
buah
pohon randu tua tumbuh rindang dengan daun-
daunnya
yang berjuntaian berdiri kokoh. Batangnya
yang
sebesar dua lingkaran tangan manusia dewasa
telah
keropos di sana-sini termakan usia. Sebagian
akarnya
yang berwarna kuning bertonjolan keluar.
Di
sebuah celah pada batang pohon randu yang
kerowok
samar-samar terlihat sesosok tubuh terbung-
kus
pakaian putih-putih tengah khusuk bertapa.
Sungguh
aneh. Dalam ruangan di dalam pohon yang
luasnya
tak lebih dari setengah tombak didiami satu
sosok
yang tak lain seorang lelaki tua yang umurnya
sulit
ditaksir. Pintu masuknya pun sempit sekali. Tak
lebih
dari ukuran badan manusia. Dari, semak belukar
dan
lumut yang melapisi pohon maupun tubuhnya, je-
las
kalau lelaki itu telah berada cukup lama di dalam
celah
pohon.
Rambut
panjang lelaki itu digelung ke atas. Alis
mata
dan bulu mata semuanya berwarna putih. Wa-
jahnya
tirus kepucatan, karena sejak berada di dalam
celah
pohon ini jarang sekali terkena sinar matahari.
Tubuhnya
pun kurus kering seperti tak bertenaga.
Meski
demikian, wajahnya yang renta penuh keriput
masih
tetap menampakkan sisa-sisa ketampanannya
di
waktu muda.
Sebenarnya
siapakah lelaki berpakaian putih-
putih
itu? Mengapa ia bersemadi di dalam batang po-
hon?
Sejarah
rimba persilatan sebenarnya pernah
mencatat
adanya seorang tokoh sakti yang jarang se-
kali
menemui lawan tanding. Ia berjuluk Dewa Langit.
Tak
seorang pun tahu, siapa nama aslinya. Yang jelas,
Dewa
Langit adalah tokoh besar yang namanya sempat
tercatat
oleh para pujangga di tanah Jawa ini.
Hanya
beberapa gelintir orang saja yang sang-
gup
menandingi kesaktian Dewa Langit. Satu di anta-
ranya
adalah Eyang Bromo. Namun sejak Eyang Bro-
mo
menghilang dari dunia persilatan, Dewa Langit jadi
kebingungan
sendiri. Dengan ajian 'Sukma Sejati'-nya
yang
dimiliki justru membuat tokoh sakti itu kebin-
gungan.
Akibat memiliki ajian 'Sukma Sejati'-nya, De-
wa
Langit ini menemui kesulitan untuk menemui ke-
matian!
Dan,
sosok yang berada di dalam celah pohon
itu
lak lain adalah Dewa Langit. Dengan cara bertapa
di
dalam celah batang pohon, Dewa Langit berusaha
mencari
wangsit agar Hyang Widi sudi mengabulkan
keinginannya.
Sebelum mendapat wangsit, Dewa Lan-
git
bertekad untuk tidak keluar dari tempatnya.
Berpuluh-puluh
tahun Dewa Langit terus ber-
tapa.
Sayang, sampai saat ini Sang Hyang Widi belum
mengabulkan
keinginannya. Namun Dewa Langit tidak
putus
asa. Ia telah bertekad untuk menemui jalan ke-
matian
dengan cara bertapa. Telah sangat lama ia hi-
dup
di dunia. Telah banyak asam garam yang telah di-
telannya.
Sebagai tokoh teratas dunia persilatan, tak
ada
lagi lawan yang mampu menghadapinya.
Entah
karena apa, mendadak pohon itu berge-
tar
hebat laksana diguncang oleh sebuah kekuatan
dahsyat.
Padahal tanah di sekitarnya tetap tenang. Se-
dikit
pun tidak ada tanda-tanda kalau ada gempa. Cu-
kup
aneh memang! Malah sebagian daun-daunnya
mulai
berguguran!
Dan
sewaktu pohon randu tadi bergetar hebat,
tubuh
kurus kering Dewa Langit pun ikut bergetar he-
bat.
Parasnya mendadak tegang. Keringat dingin pun
mulai
membasahi sekujur tubuhnya. Sementara dari
alam
bawah sadarnya, mendadak....
"Wahai,
Anak Manusia! Bangunlah! Sesung-
guhnya
permintaanmu sangat mustahil. Kau tidak se-
patutnya
meminta mati sebelum waktunya! Kau sangat
lancang
dalam hal ini, Anak Manusia! Apa kau tidak
sadar
kalau mati dan hidup itu di tangan Sang Pencip-
ta?
Mengapa kau nekat mencari jalan di luar kehen-
dak-Nya?"
Sebuah
suara gaib yang entah dari mana da-
tangnya,
menelusup ke telinga Dewa Langit. Begitu
gaung
suara gaib itu sirna, batang pohon randu itu
pun
makin bergetar hebat. Bumi berguncang laksana
ada
gempa. Tubuh Dewa Langit sendiri pun tergetar-
getar
hebat. Parasnya yang tirus menegang. Kedua bi-
birnya
berkemik-kemik seperti ada sesuatu yang di-
ucapkan
dari alam bawah sadarnya.
"Siapa
kau sebenarnya? Mengapa kau melarang
caraku
dalam mencari kematian. Aku sudah bosan hi-
dup.
Aku sudah ingin bersanding dengan Pendamping
Setia
ku? Mengapa kau larang aku?"
"Adalah
orang pengecut bila meminta keinginan
di
luar kehendak-Nya. Tapi, baiklah. Berhubung kau
bersikeras
untuk menemui jalan kematian, aku pemi-
lik
Kitab Sukma Sejati yang kau temukan di batang
pohon
randu ini, terpaksa akan memberimu cara."
Kembali
suara gaib itu bergema ke segenap
penjuru
alam pikiran Dewa Langit.
Tubuh
Dewa Langit pun kembali bergetar he-
bat.
Parasnya
tampak demikian tegang. Kedua bi-
birnya
pun berkemik-kemik hebat.
"Ja....
Jadi? Kau.... Kau Eyang Parikesit?"
"Tak
usah banyak tanya, Muridku! Meski aku
belum
pernah bertemu denganmu, namun aku tetap
menganggapmu
sebagai muridku. Karena, kaulah yang
telah
mewarisi ajian 'Sukma Sejati'-ku. Dan karena
mendengar
permintaanmu ini, aku jadi tidak tenang di
alamku.
Maka, sekarang dengarlah apa yang kuterima
dari
kabar gaib."
"Terima
kasih, Eyang. Tak kusangka kau sudi
membantuku.
Dan sebelumnya, aku minta maaf kalau
keinginanku
membuatmu tidak dapat tenang di alam
mu.
Namun seperti yang tersirat dalam Kitab Sukma
Sejati,
aku tidak akan menemukan kematian walau di-
keroyok
oleh puluhan tokoh sakti. Untuk itu, aku ingin
sekali
dapat hidup tenang di sisi Hyang Widi seperti
Eyang
saat ini. Namun sayang, aku belum menemukan
caranya
Eyang," ucap Dewa Langit.
"Dengarlah,
Muridku! Sebenarnya ada dua ja-
lan
kematian yang telah kuterima. Namun, mungkin
hanya
jalan kedua saja yang dapat mewujudkan kein-
ginanmu,
Muridku," lanjut suara bergema itu.
"Katakan,
Eyang! Aku sudah tidak sabar men-
dengarnya."
"Baiklah.
Pertama, kau akan dapat menemui ja-
lan
kematian setelah menemukan dan menelan daun
lontar
merah seperti yang pernah kulakukan beratus-
ratus
tahun lalu. Dan kukira, jalan kedua yang harus
kau
tempuh adalah bila sudah terkena ilmu aneh dari
seorang
anak manusia yang juga dilahirkan dengan
cara
aneh. Kukira, hanya itu saja kabar gaib yang ku-
terima,
Muridku."
"Lalu,
apakah berarti aku harus menempuh ja-
lan
kedua, Eyang?"
"Kukira
hanya itu, Muridku. Sebab, aku dulu
pernah
melakukan jalan pertama. Dan sekarang, kuki-
ra
hanya jalan kedua itulah jika kau menginginkan
kematian."
"Tapi...
tapi, bagaimana aku dapat menemukan
anak
manusia yang dilahirkan dengan cara aneh seka-
ligus
juga memiliki ilmu aneh, Eyang?"
"Untuk
hal ini, sayang sekali aku tidak dapat
membantumu,
Muridku. Sebab hanya itu sajalah ka-
bar
gaib yang kuterima. Sekarang kau bangunlah dari
tempat
bertapa mu. Dan, cari anak manusia yang ku-
maksudkan.
Selamat tinggal, Muridku! Aku harus se-
cepatnya
kembali ke alamku. Nah, selamat tinggal...!"
"Tunggu,
Eyang!"
Namun
suara itu memang tak muncul-muncul
lagi.
Bahkan mendadak berkesiur angin kencang seba-
gai
pertanda kalau Eyang Parikesit benar-benar telah
kembali
ke alamnya. Padahal, ia pun masih membu-
tuhkan
beberapa keterangan yang mungkin dapat di-
butuhkan.
"Oh...,
Eyang! Kenapa kau siksa aku seperti
ini?
Bagaimana aku dapat menemukan jalan kema-
tian?
Aku sudah bosan hidup, Eyang! Aku tersiksa
memiliki
ajian 'Sukma Sejati' walau sebenarnya dulu
aku
sangat membutuhkannya," keluh Dewa Langit be-
gitu
kelopak matanya terbuka.
Wajahnya
yang semula kepucatan mendadak
berubah
kemerahan. Kedua pelipisnya pun bergerak-
gerak,
pertanda tokoh sakti tanpa tanding ini tak dapat
lagi
mengendalikan kegeraman hatinya.
"Tak
mungkin aku dapat menemukan orang
yang
kau maksudkan, Eyang. Mana mungkin, Eyang.
Mana
mungkin...!!!"
Dewa
Langit tak dapat lagi menahan kekesa-
lannya.
Kedua tangannya yang bergetar mendadak dis-
entakkan
ke samping. Kelihatannya seperti gerakan
biasa.
Namun setelah itu....
Brakkk...!!!
Batang
pohon randu sebesar lingkaran dua
tangan
manusia dewasa itu mendadak hancur beran-
takan
seperti terbelah jadi beberapa bagian. Bersa-
maan dengan itu, Dewa Langit mencelat keluar dari
dalam
batang pohon yang terbelah. Tubuhnya yang
tinggi
kurus tampak melayang-layang indah, sebelum
akhirnya
menjejak tanah membelakangi pohon.
Tepat
ketika sosok berpakaian putih-putih itu
mendarat,
batang pohon randu itu tumbang dan jatuh
berdebam
ke tanah. Bumi bergetar hebat. Debu-debu
kontan
membubung tinggi memenuhi sekitarnya.
Sedang
Dewa Langit tampak masih tegak di
tempatnya.
Sedikit pun juga tidak terpengaruh oleh
keadaan
di belakangnya. Kepalanya mendongak tinggi-
tinggi
menatap angkasa raya dengan kedua bibir ber-
getar.
Bulan
purnama di atas sana tetap bermuram
durja
oleh awan kelabu yang membungkusnya. Berjuta
bintang
di angkasa pun sepertinya malas tersenyum.
"Oh...,
Hyang Widi...! Kenapa jalan hidupku
demikian
buruk? Apa salahku, Hyang Widi? Apa kare-
na
aku mempelajari Kitab Sukma Sejati yang membuat
aku
begini? Tapi, bukankah Kau tahu! Ilmu yang ku
peroleh
ini hanya untuk membela jalan mu, jalan ke-
benaran?
Lantas, kenapa di saat aku ingin menemui-
Mu,
malah ini yang ku peroleh?" keluh
Dewa Langit
dalam
hati, seolah-olah ingin menyesali kiprahnya di
rimba
persilatan.
Namun
apa yang dikeluhkan Dewa Langit
hanya
bergema dalam relung-relung hatinya yang geli-
sah.
Sedikit pun tidak ada tanda-tanda akan mendapat
petunjuk
dari Yang Maha Kuasa.
Dewa
Langit kini menggereng hebat. Suaranya
yang
berat dan kasar sampai bergema keempat penju-
ru.
"Keparat...!
Semuanya membisu! Semuanya tak
mau
dengar keluhan! Semuanya tak berguna!" teriak
Dewa
Langit lantang. "Kini tak ada pilihan lain. Ter-
paksa
aku harus turun tangan sendiri. Aku harus
mencari
anak manusia yang dilahirkan secara aneh,
sekaligus
juga memiliki ilmu aneh. Persetan! Ke ujung
akhirat
pun aku harus dapat menemukan orang itu!
Tak
akan kubiarkan orang lain membunuhnya, sebe-
lum
keinginanku terkabul!"
Dewa
Langit sejenak masih mendongak ke atas.
Rahangnya
bergemeletukkan pertanda tak dapat lagi
mengendalikan
amarahnya yang menggelegak.
"Yah...!
Siapa pun juga tak boleh mengusik
orang
yang kumaksudkan," gumam Dewa Langit se-
raya
mengangguk-angguk.
Habis
menggumam begitu, Dewa Langit berke-
lebat
cepat meninggalkan tempat itu. Kedua kakinya
tampak
seperti menjejak biasa. Namun anehnya,
hanya
dalam beberapa kali jejak saja sosok tinggi ku-
rusnya
telah menghilang di balik kegelapan.
***
2
Siang
terik di Lembah Selaksa Pasir. Matahari
menyorot
garang memanggang bumi, membuat udara
panas
menebar ke segenap penjuru. Karena angin se-
perti
malas berhembus, maka suasana siang itu pun
tak
ubahnya seperti dalam kubangan bara api.
Di
luar lembah itu, tepatnya di jalanan setapak
yang
berdebu, angin malah berhembus kencang. Aki-
batnya
debu-debu dan daun-daun kering di sekitar ja-
lan
itu berhamburan tinggi ke udara, membuat seo-
rang
pemuda tampan yang melintas jalan ini mengi-
bas-ngibaskan
kedua tangannya. Sambil mengusir de-
bu-debu
dan daun-daun kering yang beterbangan den-
gan
kedua tangannya, mulutnya mengoceh tidak ka-
ruan.
Namun
rupanya pusaran angin seperti tidak
peduli
dengan ocehan si pemuda. Pusarannya malah
makin
kencang, memaksa pemuda berambut gondrong
itu
menyembunyikan wajah di balik kedua lengannya.
"Sontoloyo!
Dasar angin tak tahu diri! Bukan-
nya
berhembus semilir, eh... malah ngamuk! Mana bi-
sa
nyaman kalau begini?!" omel si pemuda sambil te-
rus
menyembunyikan wajahnya.
Selang
beberapa saat, pusaran angin pun ber-
henti.
Debu-debu dan daun-daun kering yang tadi di-
terbangkan
angin perlahan-lahan kembali jatuh ke
bumi.
Sementara si pemuda telah menurunkan tan-
gannya.
Sepasang matanya yang berwarna kebiruan
sejenak
memperhatikan keadaan sekitarnya.
"Busyet!
Tempat macam apa ini! Kok mirip ku-
bangan
pasir. Panas lagi!" celoteh pemuda itu lagi.
Si
pemuda kira-kira berusia delapan belas ta-
hun.
Wajahnya tampan kekanak-kanakan. Rambutnya
yang
gondrong dibiarkan tergerai di bahu. Tubuhnya
yang
tinggi kekar terbalut pakaian rompi dan celana
bersisik
warna putih keperakan. Di balik rompinya
yang
terbuka tampak sebuah rajahan bergambar ular
putih
kecil di dadanya yang kekar. Dan menilik ciri-
cirinya,
pemuda tampan itu tidak lain adalah murid
Eyang
Begawan Kamasetyo. Siapa lagi kalau bukan
Soma
alias Siluman Ular Putih?
"Ah...!
Bisa modar kalau kepanasan seperti ini.
Sebaiknya
aku beristirahat barang sejenak. Ah... di de-
pan
sana ada sebuah pohon. Kukira cukup untuk be-
ristirahat
barang sejenak," murid Eyang Begawan Ka-
masetyo
ini tersenyum senang dengan mata meman-
dang
tak berkedip ke arah yang dimaksud.
Habis
berkata begitu, Soma segera melangkah
mendekati
pohon tak jauh dari tempatnya berdiri.
Sembari
terus berjalan, terus diperhatikannya keadaan
sekitar
dengan kening berkerut. Hanya beberapa keja-
pan
si pemuda tiba di dekat batang pohon. Segera tu-
buhnya
direbahkan seenaknya di atas akar-akar pohon
yang
bertonjolan.
Namun
di saat murid Eyang Begawan Kama-
setyo
ini tengah menikmati semilir angin di bawah se-
buah
pohon rindang dengan mata terkantuk-kantuk,
mendadak....
Debu-debu
beterbangan – Prol
Daun-daun
kering beterbangan – Prol
Angin
tengik memang tidak tahu diri – Prol
Di
lembah berpasir lagi – Prol
Menyebalkan
- Prol
Panas
sekali - Prol
Prol-
Prooolll!
Kening
Siluman Ular Putih bertautan ketika
mendengar
suara cempreng dalam bentuk nyanyian
yang
tak enak didengar. Seketika matanya tertuju ke
ujung
jalan setapak sana. Tampak seorang lelaki tua
tengah
melenggang santai dengan tongkat terantuk-
antuk.
Usia lelaki itu kira-kira tujuh puluh tahun.
Rambutnya
yang panjang tampak awut-awutan tak te-
rawat.
Wajahnya kasar penuh tonjolan daging. Sedang
tubuhnya
yang tinggi kurus dibalut pakaian ketat
warna
biru.
"Siapakah
kakek tua berpakaian biru ini? Rasa-
rasanya
aku belum pernah mengenalnya...," tanya So-
ma
dalam hati.
Dan
begitu langkah si tua berpakaian biru ma-
kin
dekat, Soma pun hanya membiarkan Saja. Tak ada
keinginan
untuk menggoda. Ia malah lebih senang
menikmati
angin semilir yang mengelus-elus tubuh-
nya.
Namun
rupanya tidak demikian halnya sang
kakek.
Begitu berada di depan murid Eyang Begawan
Kamasetyo,
sejenak langkahnya berhenti. Sepasang
matanya
yang berwarna kelabu pun terus perhatikan
Soma
dengan seksama.
"Semprul!
Mau apa orang tua ini? Kenapa ia
memandangi
aku, seperti melihat gadis cantik? Heran?
Jangan-jangan
ia suka padaku? Wah, gawat kalau be-
gini...?"
bisik Siluman Ular Putih curiga dalam hati.
Habis
bergumam begitu, Soma menyelonjorkan
kedua
kaki seenaknya dengan tangan tetap bertelekan
menyangga
kepala. Tampak nyaman sekali. Namun
meski
terkantuk-kantuk menikmati semilirnya angin,
sebenarnya
murid Eyang Begawan Kamasetyo ini tetap
memperhatikan
gerak-gerik si tua aneh di hadapan-
nya.
"Heran-heran!
Rasa-rasanya hidungku men-
cium
bau bangkai di tempat ini. Hey, Anak Muda! Apa
kau
sumber bau bangkai ini?" tegur orang tua berpa-
kaian
biru itu buka suara.
Seketika
mengangkat kepalanya. Ditatapnya
orang
tua di hadapannya dengan sinar mata tak se-
nang.
Hatinya jadi mengkelap dikatakan sumber bau
bangkai.
"Ah,
iya! Kau pasti yang berbau bangkai itu,
Anak
Muda. Tak mungkin ramalanku salah. Dan kau
pun
harus mengakui kebenaran ramalanku. Kalau ti-
dak,
berarti mati!!" sentak lelaki tua itu mengagetkan.
Tanpa
sadar Soma pun segera mencium tu-
buhnya
sendiri. Namun sama sekali tidak tercium bau
bangkai
pada tubuhnya. Ia hanya mencium bau kecut,
karena
hampir dua hari belum mandi. Menyadari uca-
pan
orang tua berpakaian biru itu tidak benar, Soma
pun
lalu tersenyum.
"Maaf,
Orang Tua! Apa tidak salah penciuman-
mu?
Mana mungkin aku yang masih muda, berbau
bangkai?
Kalau kau mungkin pantas. Umurmu saja
sudah
berbau tanah? Sebab kau sudah tua peot lagi.
Rasa-rasanya
untuk membawa tubuh kurusmu saja
kau
tak sanggup. Jadi wajar saja kalau kaulah yang
berbau
bangkai, Orang Tua!" balas si pemuda tenang.
Orang
tua berpakaian biru itu melotot garang.
Tampak
sekali kalau hatinya gusar mendengar ucapan
pemuda
di hadapannya.
"Jadi,
kau tidak mempercayai ramalanku, Bo-
cah?"
desis si tua ini.
"Ah...!
Bukan begitu. Mana berani sih aku tidak
mempercayai
ramalanmu. Cuma seperti yang kukata-
kan
tadi, ramalanmu terbalik. Bukannya aku yang bau
bangkai. Tapi kau, Orang Tua!" kata Soma seraya
sunggingkan
senyum.
"Bedebah!
Bicaramu berbelit-belit, Bocah! Na-
mun
kau tetap saja tidak mempercayai ramalanku. Ke-
tahuilah,
Bocah Edan! Ramalan si Peramal Maut, tidak
akan
dan belum pernah luput dari kebenaran. Namun
kalau
kau tetap tidak mempercayaiku, berarti kau pun
layak
modar di tanganku!" dengus lelaki tua berpa-
kaian
biru-biru yang ternyata bergelar Peramal Maut
garang
Sekali
lagi Soma pun tersentak kaget begitu
mendengar
ucapan orang tua berpakaian biru ini. Sa-
ma
sekali tidak diduga kalau saat ini ia tengah berha-
dapan
dengan Peramal Maut yang namanya sudah
sangat
kondang di dunia persilatan.
"Ah...!
Tak kusangka hari ini aku akan bertemu
orang
tua sakti dari Gunung Kembang yang bergelar
Peramal
Maut. Menurut keterangan Eyang, aku harus
berhati-hati
terhadapnya. Namun Eyang pun juga me-
nyarankan
agar tidak menganggap enteng apa yang di-
katakan
Peramal Maut. Ya ya ya...! Ini berarti aku ha-
rus
setengah mempercayai ramalannya," gumam Soma
dalam
hati sambil mengangguk-angguk.
"Bagaimana,
Bocah? Apa kau masih belum
mempercayai
ramalanku?" usik Peramal Maut.
"Ah...!
Bagaimana, ya? Terserah kau sajalah.
Aku
sih nurut-nurut saja. Mau bau bangkai kek, bau
tanah
kek, atau bau apa saja, aku nurut orang tua,"
sahut
Soma seenaknya.
Namun
justru Peramal Maut mendengus penuh
kemarahan.
Rahangnya mengembung. Kedua pelipis-
nya
pun bergerak-gerak, pertanda amarahnya tak da-
pat
lagi dikendalikan.
"Kau
mempermainkanku, Bocah. Memang tam-
paknya
kau mempercayaiku. Tapi, jangan dikira aku
tidak
mengetahui isi hatimu. Dan karena hanya mem-
percayai
sebagian dari ramalanku, maka kau pun pa-
tut
modar di tanganku. Siapa pun juga harus modar di
tanganku,
kalau tidak mempercayai ramalanku. Seka-
rang,
terimalah kematianmu hari ini, Bocah!" bentak
Peramal
Maut penuh kemarahan.
Habis
menggeram begitu, Peramal Maut pun
segera
memasang kuda-kuda. Kedua telapak tangan-
nya
yang telah berubah jadi merah darah digerak-
gerakkan
sedemikian rupa di depan dada. Sedang se-
pasang
matanya yang tajam terus memperhatikan Si-
luman
Ular Putih.
"Ah...!
Pantas saja kau dijuluki Peramal Maut,
Orang
Tua. Rupanya kau selalu menginginkan nyawa
orang
yang tidak mempercayai ramalanmu. Tapi apa
kau
lupa kalau aku masih mempercayai ramalanmu,
Orang
Tua! Mengapa kau menginginkan nyawaku?"
kata
Soma masih tetap enak-enakan tiduran dengan
kepala
bertelekan sebelah lengan.
"Jangan
banyak bacot! Sikapmu pun menun-
jukkan
kalau kau hanya sebagian mempercayai rama-
lanku.
Sekarang, makanlah pukulan maut 'Gelap
Ngampar'-ku!
Heaaa...!"
Diiringi
teriakan lantang, Peramal Maut mendo-
rongkan
kedua telapak tangannya ke depan. Seketika
tampak
dua larik sinar merah darah melesat dari ke-
dua
telapak tangannya yang dikawal oleh angin panas
berkesiur
kencang. Namun dengan gerakan luar biasa
cepat,
si pemuda langsung bergulingan di tanah
menghindarinya.
Wesss!
Wesss!
Brakkk...!!!
Batang
pohon di belakang Siluman Ular Putih
tadi
kontan tumbang, dan jatuh berdebam ke tanah.
Seketika
debu-debu membubung tinggi memenuhi
tempat
itu.
Melihat
serangan pertamanya dapat dihindari
dengan
mudah, Peramal Maut pun jadi gusar bukan
main.
Dan dikawal bentakan nyaring, begitu kakinya
menjejak
tanah kembali diterjangnya Siluman Ular Pu-
tih.
Seketika tubuh tinggi kurusnya telah berubah jadi
bayangan
biru, terus merangsek Siluman Ular Putih.
"Hea...!
Hea...!"
Peramal
Maut berkah-kali mencoba dengan ju-
rus-jurus
tipuan. Namun, sayangnya Siluman Ular Pu-
tih
selalu saja dapat menghindarinya dengan mudah.
Malah
kalau si pemuda itu mau, tak jarang banyak ke-
sempatan
lowong untuk melancarkan serangan balik.
Maka,
hal ini pulalah yang membuat kemarahan Pe-
ramal
Maut makin menggelegak
"Setan
alas! Jangan dikira kau sudah di atas
angin
hingga tak mau balas seranganku, Bocah! Ba-
gaimanapun
juga, kau harus modar di tangan ku, Bo-
cah!
Heaaa...!"
Peramal
Maut terus menekan pertahanan Si-
luman
Ular Putih. Tangan kanannya membentuk
cengkeraman
berkelebatan hebat siap meremukkan
batok kepala Siluman Ular Putih. Sedang tangan ki-
rinya
yang terkepal erat, siap pula mendaratkan bogem
mentah.
"Hea...!
Hea...!"
"Ah...!
Kau ini bagaimana sih, Orang Tua? Ke-
napa
kau berhasrat sekali dengan nyawaku. Padahal di
antara
kita tidak ada silang sengketa. Apa tidak se-
baiknya
kita selesaikan urusan sampai di sini?" ujar
Soma
sambil terus berkelebatan menghindari seran-
gan.
"Boleh
boleh! Asal kepalamu kau tinggalkan di
sini!"
dengus Peramal Maut penuh kemarahan
"Ah...!
Kau terlalu memaksaku, Orang Tua. Pa-
dahal
aku sama sekali tidak ada hasrat untuk berta-
rung
denganmu."
"Peduli
setan! Mau bernafsu, kek! Tidak, kek!
Pokoknya
aku harus membunuhmu!"
Peramal
Maut makin memperhebat tekanan-
nya.
Kedua telapak tangannya yang. berubah jadi me-
rah
darah itu sesekali menyambar-nyambar ganas.
Dan
tentu saja lama-kelamaan Siluman Ular Putih jadi
kewalahan
sendiri. Kalau terus menghindar tanpa mau
membalas
serangan, bukan mustahil akan celaka. Ma-
ka
ketika serangan-serangan Peramal Maut makin
menghebat,
terpaksa jurus ‘Terjangan Maut Ular Putih’
harus
dikeluarkan
"Heaaa...!"
Disertai
bentakan membelah angkasa, Siluman
Ular
Putih mengeluarkan jurus andalannya. Segera di-
balasnya
serangan Peramal Maut. Kedua telapak tan-
gannya
yang membentuk kepala ular sesekali mengu-
sap
cepat melepas serangan balik yang tak kalah he-
bat.
Wuttt!
Wuttt!
Saking
cepatnya serangan Soma membuat Pe-
ramal
Maut agak terkesima. Dan ini membuat perta-
hanannya
lowong. Akibatnya, tanpa disadari patukan
telapak
tangan Siluman Ular Putih telah menyusup ce-
pat.
Lalu...
Bukkk!
Bukkk!
"Aaakh...!"
Telak
sekali dada Peramal Maut terkena patu-
kan
tangan kanan kiri Siluman Ular Putih. Tubuh
tinggi
kurusnya seketika terpental jauh ke belakang
disertai
teriakan kesakitan bercampur kemarahan. Se-
dang
dadanya yang terkena patukan terasa seperti
mau
jebol! Padahal, Siluman Ular Putih hanya sedikit
mengerahkan
tenaga dalam.
"Sudahlah,
Orang Tua! Sebaiknya kita akhiri
urusan
ini sampai di sini saja! Toh, sebenarnya di an-
tara
kita tidak ada silang sengketa," kata Siluman Ular
Putih
kurang bernafsu.
Peramal
Maut sedikit pun tidak mempedulikan
ucapan
Siluman Ular Putih sambil berusaha bangkit,
sejenak
dipandanginya Siluman Ular Putih dengan ra-
hang
mengembung. Begitu ia memasang kuda-kuda,
kedua
telapak tangannya makin berubah merah hing-
ga
sampai ke pangkal siku. Dan diiringi gemboran ke-
ras,
kembali kedua telapak tangannya didorongkan ke
depan
melepas pukulan 'Gelap Ngampar'.
Wesss!
Wesss!
Saat
itu pula melesat dua larik sinar merah da-
rah
dari kedua telapak tangan Peramal Maut ke arah
tubuh
Siluman Ular putih.
Soma
mendengus jengkel. Ia yang dari tadi su-
dah
bersikap mengalah. Maka tak mungkin tubuhnya
sudi
dijadikan sasaran empuk pukulan 'Gelap Ngam-
par'.
Maka demi untuk lindungi selembar nyawa, Soma
pun
segera mengerahkan tenaga dalam ke kedua tan-
gan.
Lalu disertai teriakan keras, tangan kanannya
menyentak
ke depan dengan pukulan tenaga 'Inti Bu-
mi'.
Wesss!
Wesss!
Blaaarrrr...!!!
Terdengar
ledakan hebat di udara saat dua te-
naga
dalam tingkat tinggi beradu. Bumi berguncang
hebat!
Debu-debu dan semua yang ada di sekitar tem-
pat pertarungan seketika berhamburan di udara!
Se-
dang
tubuh Peramal Maut pun kontan melayang jauh
ke
belakang! Parasnya tampak demikian piasnya, per-
tanda
telah mengalami luka dalam cukup hebat!
Sewaktu
terjadi bentrokan tadi, Siluman Ular
Putih
sendiri pun sempat terguncang hebat. Malah ke-
dua
kakinya tampak melesak beberapa dim ke dalam
tanah
berpasir!
"Maafkan
aku, Orang Tua! Demi Tuhan, aku ti-
dak
bermaksud mencelakakanmu. Selamat tinggal,
Orang
Tua!" kata Siluman Ular Putih penuh sesal.
Habis
berkata begitu, murid Eyang Begawan
Kamasetyo
ini segera berkelebat cepat meninggalkan
tempat
itu.
Peramal
Maut yang sudah bangkit, geram bu-
kan
main. Lalu sambil mendekap dadanya erat-erat,
segera
tubuhnya berkelebat cepat berusaha menyusul
Siluman
Ular Putih. Namun sayangnya baru saja bebe-
rapa
langkah, bayangan putih keperakan murid Eyang
Begawan
Kamasetyo telah begitu jauh melesat.
Sekali
lagi Peramal Maut hanya menggeram pe-
nuh
kemarahan. Dengan menderita luka dalam cukup
parah,
tak mungkin ia melanjutkan pengejaran. Maka
dengan
terpaksa langkahnya dihentikan tepat di ba-
wah
pohon. Segera lelaki ini duduk bersemadi untuk
menyembuhkan
luka dalamnya.
"Tunggulah
pembalasanku, Bocah Bau Bang-
kai!"
desis Peramal Maut sebelum mulai bersemadi.
***
3
Malam
berselimut awan, menutupi bintang
yang
seharusnya bertaburan di angkasa. Gemericik air
di
Grojogan Sewu terdengar sampai jauh keluar hutan
luas
yang mengelilinginya. Sebuah hutan yang ditum-
buhi
pohon-pohon besar dan menjulang tinggi ke ang-
kasa.
Seolah-olah, ingin menggapai cakrawala.
Sementara
tak jauh dari aliran Grojogan Sewu
terdengar
suara teriakan seperti orang berlatih silat.
Memang
di sebuah tanah datar yang tak begitu luas,
seorang
gadis berusia kira-kira delapan belas tahun
lengah
memantapkan jurus-jurusnya. Wajahnya ber-
bentuk
bulat telur dengan kulit putih bersih. Rambut-
nya
yang hitam lurus dikuncir dua ke belakang. Se-
dang
tubuhnya yang tinggi ramping dibalut pakaian
ringkas
warna hijau
"Hea...!
Hea...!"
Dengan
sebilah pedang di tangan kanan, gadis
cantik
itu meliuk-liuk indah serta berkelebat ke sana
kemari.
Seolah-olah ada musuh di hadapannya, pe-
dangnya
terus mengibas-ngibas laksana seekor kupu-
kupu
yang tengah menghisap madu bunga. Meski ter-
kadang
gerakan-gerakan pedangnya tampak lembut
dan
perlahan, namun sesungguhnya di situlah letak
kekuatan
jurusnya. Dan di saat musuh lengah, tiba-
tiba
gerakan pedangnya berubah cepat laksana kilat.
Lalu....
Wesss!
Wesss!
Crakkk!
Crakkk!
Berkali-kali
pedang di tangan si gadis bergerak-
gerak
lincah membabat batang pohon yang dibayang-
kan
sebagai seorang musuh. Hanya dalam waktu tidak
lama,
ranting-ranting pohon itu pun telah gundul ter-
tebas
pedangnya.
Sementara
tak jauh dari tempat si gadis berla-
tih
berdiri tegak seorang lelaki setengah baya yang ten-
gah mengamati. Sesekali kepalanya mengangguk-
angguk
penuh kagum, pertanda puas dengan jurus-
jurus
yang diperagakan si gadis.
"Bagus,
bagus! Tak kusangka kau dapat men-
guasai
jurus-jurus 'Pedang Kumbang Hitam'-ku den-
gan
baik, Ningtyas. Aku si Raja Pedang, bangga sekali
mempunyai
murid sepertimu," puji lelaki setengah
baya
itu.
Dia
adalah seorang lelaki berusia lima puluh
lima
tahun. Wajahnya berbentuk persegi penuh den-
gan
kumis dan jenggot. Sepasang matanya tajam, me-
nyimpan
ketelengasan yang nyaris tersembunyi. Ram-
butnya
panjang dikuncir sebagian ke belakang.
Sedang
tubuhnya yang tinggi besar dibalut pa-
kaian
ringkas berwarna kuning.
"Terima
kasih, Guru. Semua ini tak lepas dari
bimbingan
Guru," sahut gadis cantik yang dipanggil
Ningtyas
itu merendah.
Lelaki
setengah baya bertubuh tinggi besar
yang
berjuluk Raja Pedang ini tertawa gembira.
"Sekarang
coba peragakan pukulan 'Bara Nera-
ka'!"
ujar si Raja Pedang, sedikit jumawa.
"Baik,
Guru!"
Kepala
Ningtyas menunduk dengan tangan me-
rapat
di depan dada. Lalu tubuhnya digeser sedikit ke
samping.
Kini membuat kuda-kuda kokoh disertai
pengerahan
tenaga dalam. Kedua telapak tangannya
yang telah berubah jadi merah menyala segera dido-
rongkan
ke depan ke arah sebuah batang pohon. Seke-
tika
tampak dua leret sinar merah menyala melesat da-
ri
kedua telapak tangannya.
Wesss!
Wesss!
Brakkk...!!!
Batang
pohon sebesar satu lingkaran tangan
manusia
dewasa kontan berderak hebat begitu terhan-
tam
sinar-sinar merah dari kedua telapak tangan Ning-
tyas.
Pohon itu bergoyang-goyang sebentar, lalu jatuh
berdebam
ke tanah. Seketika debu-debu dan semua
yang
ada di dekat tempat itu berhamburan tinggi ke
udara
dalam keadaan kering terbakar. Pada bagian ba-
tang
pohon yang terkena pukulan 'Bara Neraka' tadi
kontan
berlobang besar, mengepulkan asap tipis keme-
rah-merahan.
Raja
Pedang terkekeh puas. Kepalanya men-
gangguk
penuh kegembiraan. Namun belum sempat le-
laki
setengah baya itu buka suara....
"Hem...!
Pukulan 'Bara Neraka'? Bagus! Serem
kedengarannya.
Tapi sayang gadis itu belum mengua-
sai
sepenuhnya!"
"Heh...?!"
***
Raja
Pedang tersentak kaget ketika terdengar
suara
dari belakang agak menyamping. Buru-buru ke-
palanya
berpaling ke arah datangnya suara. Tampak
tak
jauh dari pohon yang tumbang terkena pukulan
'Bara
Neraka' tampak telah berdiri seorang lelaki
tua
renta
berpakaian ringkas warna putih. Wajahnya tirus
kepucatan
saking jarangnya terkena sinar matahari.
Rambutnya
yang panjang telah memutih. Alis mata
dan
bulu matanya pun juga berwarna putih. Tubuhnya
kurus
kering seperti tak bertenaga. Meski demikian,
wajahnya
yang renta penuh keriput masih tetap me-
nampakkan
sisa-sisa ketampanannya di waktu muda.
"Siapa
kau, Orang Tua? Kenapa mengganggu
kami
berlatih?" tanya Raja Pedang berusaha mene-
nangkan
dirinya.
Melihat
kehadiran orang tua renta berpakaian
putih-putih
yang tidak diketahui sebelumnya, mem-
buat
Raja Pedang dan Ningtyas kagum setengah mati.
Betapa
tidak? Kehadiran yang tanpa suara itu me-
nandakan
kalau lelaki tua ini memiliki ilmu meringan-
kan
tubuh yang sudah sangat tinggi. Dan ini membuat
mereka
merasa harus berhati-hati. Tanpa sadar lelaki
setengah
baya itu meraba gagang pedang yang terselip
di
balik pinggang. Sedang Ningtyas makin mempererat
pegangan
pedang di tangan kanannya.
"Kukira
aku harus hati-hati. Melihat kemuncu-
lannya
yang tidak diketahui, bukan mustahil
kalau
orang
tua renta itu memiliki kepandaian di atasku. So-
rot
matanya yang tajam jelas membuktikan kalau te-
naga
dalamnya tinggi sekali," gumam Raja Pedang da-
lam
hati
"Bukan
main kemunculan orang tua renta ini!
Kenapa
aku maupun Guru tidak dapat mendengar
langkah-langkahnya
sebelum ia muncul? Hm...! Kukira
tak
ada jeleknya kalau aku harus hati-hati. Siapa tahu
orang
tua ini sengaja mencari penyakit?" gumam Ning-
tyas,
pada saat yang bersamaan.
"Maaf,
jika kedatanganku mengganggu kalian.
Sebenarnya
aku, Dewa Langit tidak ingin mengganggu
kalian
berlatih. Terus terang aku hanya ingin mena-
nyakan
beberapa pertanyaan. Barangkali, kalian dapat
membantuku,"
ucap lelaki tua yang ternyata Dewa
Langit.
Sekali
lagi Raja Pedang tersentak kaget. Sepa-
sang
matanya pun membelalak liar, mendengar nama
yang
disebutkan si tua renta itu.
"Hm...,
Dewa Langit! Rasa-rasanya aku pernah
mendengar
tokoh satu ini berpuluh tahun lalu. Konon
kesaktiannya
pun tinggi sekali. Jarang sekali menemui
lawan
tandingan. Tapi, kenapa ia mendadak
menda-
tangi
tempat tinggalku? Mau apa orang tua ini sebe-
narnya?
Ah, ia tak mungkin hanya ingin meminta be-
berapa
keterangan dariku. Pasti ada apa-apanya!"
Dengan
gigi bergemeretak, Raja Pedang me-
mandang
dingin pada Dewa Langit.
"Huh!
Rupanya kau Dewa Langit yang kesohor
itu!
Tapi siapa peduli dengan bacotmu?! Tanyakan saja
pada
setan-setan gentayangan penunggu hutan ini!"
sahut
Raja Pedang tajam menyengat.
Dewa
Langit tersenyum arif. Sedikit pun tidak
tersinggung
mendengar kata Raja Pedang.
"Guru...!
Kukira orang ini bermaksud baik. Tak
pantas
kalau kita memperlakukannya semena-mena,
Guru,"
sela Ningtyas turut angkat bicara.
"Diam
kau, Ningtyas! Sekali lagi buka suara,
aku
tak segan-segan lagi menghukummu!" hardik Raja
Pedang
kasar.
Dewa
Langit tetap tersenyum arif.
"Bicaramu
sungguh manis, Gadis. Tidak seperti
gurumu
itu. Dan kukira kau tidak pantas mempunyai
guru
macam dia, Gadis," kata Dewa Langit seraya
menggerakkan
ujung dagunya ke arah Raja Pedang.
Raja
Pedang kembali menggeretakkan gera-
hamnya
penuh kemarahan. Tampak kedua pelipisnya
bergerak-gerak
pertanda amarahnya tak terkendali.
"Setan
alas! Dulu aku memang pernah men-
dengar
nama besarmu di dunia persilatan, Dewa Lan-
git.
Tapi meski kesaktianmu setinggi langit, jangan di-
kira
aku takut menghadapimu, Orang Tua!" bentak Ra-
ja
Pedang.
"Sayang
sekali aku tidak butuh sesumbarmu,
Orang
Muda," tukas Dewa Langit. "Aku tahu, tentu ka-
lian
sangat terganggu melihat kedatanganku ini. Tapi
tak
apa-apa. Mungkin kalian masih sudi mendengar
pertanyaanku.
Apakah di antara kalian ada yang per-
nah
mendengar seorang anak manusia yang terlahir
dengan
cara aneh, sekaligus memiliki kesaktian aneh?"
Raja
Pedang dan Ningtyas sejenak menautkan
alis
mata.
"Pertanyaanmu
aneh, Orang Tua Sinting. Mana
mungkin
ada orang terlahir dengan cara aneh," jawab
Raja
Pedang, seenaknya.
"Kukira
jawabanku pun sama dengan Guru,
Orang
Tua. Sepanjang umur hidupku, rasanya belum
pernah
aku mendengar orang yang dilahirkan dengan
cara
aneh, sekaligus memiliki ilmu aneh," timpal Ning-
tyas.
"Baiklah
kalau kalian memang tidak tahu. Tapi,
apakah
barangkali kalian dapat membantuku pada
siapa
aku bertanya?"
"Keparat!
Sudah kubilang tidak tahu, masih sa-
ja
mengumbar bacot. Apa kau pikir aku takut men-
dengar
nama besarmu, he?!" bentak Raja Pedang
mengkelap
bukan main.
"Terserah
apa katamu. Yang jelas, aku tidak in-
gin
bermusuhan denganmu," jawab Dewa Langit en-
teng.
"Setan
alas! Aku jadi ingin lihat apa keheba-
tanmu
juga, sehebat bacotmu?!"
Si
Raja Pedang langsung melompat menyerang
dengan
jurus-jurus ganas.
Dewa
Langit mengeluh dalam hati. Tentu saja
ia
tidak ingin membiarkan tubuhnya jadi sasaran em-
puk
serangan-serangan Raja Pedang. Dengan sedikit
memiringkan
tubuhnya ke samping, tiba-tiba tepukan
tangannya
telah bergerak amat cepat. Bahkan sama
sekali
tak disadari oleh si Raja Pedang. Akibatnya....
Bukkk...!
"Aaa...!"
Raja
Pedang meraung hebat saat tangan Dewa
Langit
mendarat telak di dadanya. Darah segar kontan
menyembur
dari mulut. Tubuhnya pun terpental ke
belakang
dan jatuh berdebam ke tanah, melejang-
lejang
sebentar dan tidak bergerak-gerak lagi. Tewas!
Sejenak
Dewa Langit terpaku di tempatnya,
seolah
tak percaya dengan apa yang dilakukan.
"Ya
ampun! Kenapa aku bertindak kelewat ba-
tas.
Oh...! Hyang Widi! Maafkanlah aku! Aku tak me-
nyangka
pukulanku akan berakibat begini...," keluh
Dewa
Langit dalam hati penuh sesal.
"Guruuu...!"
Ningtyas
memekik menyayat melihat tubuh Ra-
ja
Pedang tahu-tahu sudah terkapar tak berdaya. Ke-
mudian
dengan mata liar ditatapnya Dewa Langit.
"Laknat!
Kau... kau harus bertanggung jawab
utas
kekejian ini, Orang Tua!" bentak Ningtyas.
"Heaaat...!"
Disertai
bentakan keras, Ningtyas yang telah
menghimpun
tenaga dalamnya segera menghentakkan
kedua
tangannya. Seketika dari kedua telapak tangan-
nya
yang telah berubah merah menyala, melesat dua
berkas
sinar merah. Jelas, gadis itu tengah mengerah-
kan
pukulan 'Bara Neraka'.
Wesss!
Wesss!
Brakkk...!!!
Batang
pohon di belakang Dewa Langit kontan
tumbang
begitu terkena pukulan 'Bara Neraka'. Rant-
ing-ranting
dan daun-daun pohon itu pun hangus ter-
bakar!
Sementara,
justru lelaki tua itu telah melayang
di
udara, lalu meluruk ke arah si gadis. Betapa ilmu
meringankan
tubuh Dewa Langit telah mencapai ting-
kat
yang tinggi, sehingga Ningtyas tak sempat melihat
gerakannya.
Ningtyas
baru sadar ketika mendengar suara
tawa
Dewa Langit yang entah tiba-tiba datangnya dari
belakang.
Bahkan belum sempat gadis cantik berpa-
kaian
hijau itu berpaling, tahu-tahu....
Tuk!
"Oh...!"
Si
gadis mendesah lirih ketika tengkuknya telah
terkena
totokan dari arah belakang. Namun anehnya
begitu
terkena totokan tubuhnya masih dapat digerak-
kan.
Hanya saja gadis ini merasakan hawa dingin aki-
bat
totokan jari-jari tangan Dewa Langit yang terus
menerabas
menyerang ulu hatinya!
"Keparat!
Demi Tuhan aku akan menuntut ba-
las
atas kematian guruku Raja Pedang, Manusia Lak-
nat!"
dengus Ningtyas penuh kemarahan.
Kedua
telapak tangannya yang masih berubah
merah
menyala kembali didorongkan ke arah Dewa
Langit.
Seketika tampak dua leret sinar merah menyala
melesat
dari kedua telapak tangannya.
Dewa
Langit menggeleng-gelengkan kepala. Ka-
lau
ia menginginkan nyawa gadis cantik di hadapan-
nya,
sudah dari tadi lawan dibuat terkapar di tanah.
Namun
rupanya lelaki tua ini memang tidak menghen-
dakinya.
"Jangan
terlalu gegabah, Gadis! Terus terang
aku
menyesal telah membunuh gurumu? Hayo, lekas
hentikan
seranganmu!"
Tapi,
mana mau Ningtyas yang tengah terpukul
melihat
gurunya tewas di tangan Dewa Langit menuru-
ti
perintah Dewa Langit? Malah dengan kemarahan
meluap
kembali diserangnya lelaki tua itu.
Melihat
datangnya serangan-serangan, Dewa
Langit
hanya sedikit menggeser tubuhnya ke samping.
Dan
pada saat Ningtyas kembali menerjang, jari-jari
tangannya
kembali melancarkan totokan ke arah ping-
gang.
Tukkk!
Tukkk!
"Ohh...!"
Dua
kali pinggang Ningtyas terkena totokan ja-
ri-jari
tangan Dewa Langit. Seketika tubuh si gadis ka-
ku
tak dapat digerakkan dengan mata melotot lebar-
lebar.
"Jahanam!
Hayo lepaskan totokanku. Dan kita
bertanding
sampai ada yang modar!" sentak si gadis.
"Aku
tahu, tentu kau sangat marah melihat aku
telah
menewaskan gurumu. Tapi dengarlah, Gadis! Se-
sungguhnya
kau tak pantas mempunyai guru macam
dia.
Kalau kau tak keberatan, aku ingin mewariskan
sesuatu
padamu. Tapi, aku pun juga minta agar kau
mencarikan
pemuda yang kumaksudkan. Ingat, Gadis!
Aku
menunggu kedatanganmu empat puluh hari di
muka,
di sebuah dataran berumput di luar Hutan Wa-
tu
Malang."
Ningtyas
tidak menyahut. Amarahnya yang
menggelegak
membuat sepasang matanya terus me-
mandangi
Dewa Langit penuh kemarahan.
Dewa
Langit sejenak memperhatikan Ningtyas.
Lalu
tanpa banyak cakap lagi, segera ditotok jalan da-
rah
di pinggang Ningtyas dua kali untuk membe-
baskan
pengaruh totokan. Dan begitu tubuh Ningtyas
terbebas,
Dewa Langit segera berkelebat cepat mening-
galkan
tempat ini.
Ningtyas
menggeram penuh kemarahan. Tak
mungkin
ia mengejar Dewa Langit. Hanya dalam bebe-
rapa
kelebatan saja, sosok tinggi kurus si tua itu telah
menghilang
di balik kegelapan malam.
***
4
Dewa
Langit terus berkelebat cepat tanpa tu-
juan
pasti. Ke mana kakinya melangkah, ke situlah
arah
tujuannya. Sementara dalam pikirannya terus
berkecamuk,
bagaimana agar secepatnya dapat mene-
mukan
pemuda aneh yang sekaligus memiliki ilmu
aneh
seperti kabar gaib yang diterimanya dari men-
diang
gurunya bernama Parikesit.
"Ah...!
Kukira ucapan Raja Pedang tadi benar.
Tak
mungkin aku menemukan anak manusia yang ter-
lahir
aneh sekaligus memiliki ilmu aneh. Hm...! Ba-
gaimana
ini? Rasanya mustahil. Tapi biar bagaimana-
pun,
aku harus dapat menemukannya. Aku sudah je-
nuh
hidup di dunia ini," desah Dewa Langit dalam ha-
ti.
Hampir
semalaman tokoh sakti dari Hutan Wa-
tu
Malang itu menempuh perjalanan yang tak jelas
juntrungannya.
Dan selama melakukan perjalanan,
banyak
sudah tokoh sakti dunia persilatan yang di-
mintai
keterangan. Namun, tak ada satu pun yang da-
pat
menunjukkan di mana anak manusia yang dimak-
sudkan.
"Sulit!
Bagaimana mungkin aku dapat mene-
mukan
anak manusia yang kumaksudkan? Dari se-
kian
banyak tokoh dunia persilatan yang sempat ku-
mintai
keterangan, tak ada satu pun juga memberikan
keterangan
pasti. Ah...! Jangan-jangan kabar gaib yang
diterima
Eyang Parikesit hanyalah mimpi kosong bela-
ka.
Kalau iya, ah...! Bagaimana aku dapat menemukan
jalan
kematian? Oh...!" keluh Dewa Langit merasa ga-
lau.
Dan
baru saja lelaki tua ini mengeluh begitu,
mendadak
pendengarannya yang tajam menangkap ge-
rakan
halus di belakang jauh dari tempatnya berlari.
Tanpa
banyak cakap segera langkahnya dihentikan.
Sementara
sepasang pendengarannya makin diperta-
jam.
"Hm...!
Kalau pendengaranku tidak salah, lang-
kah-langkah
halus yang terdengar terdiri dari dua
orang.
Dan kini mereka tengah berdiri di balik rin-
dangnya
sebuah pohon depan sana. Ya ya ya...! Se-
baiknya
aku ke sana. Siapa tahu mereka dapat mem-
berikan
keterangan," pikir Dewa Langit.
Saat
itu pula Dewa Langit pun segera meloncat
ke
atas pohon. Lalu dengan kecepatan dahsyat, tu-
buhnya
berkelebatan dari pohon satu ke pohon lain.
Dan
sebentar saja Dewa Langit sampai di pohon yang
dimaksudkan.
Begitu
sampai di pohon itu, Dewa Langit pun
segera
menjulurkan kepala ke bawah. Tampak di balik
pohon
yang dimaksudkan, dua orang laki-laki tua ten-
gah
celingukkan ke sana kemari seperti mencari se-
suatu.
Orang
di sebelah kanan adalah seorang lelaki
tua
berusia sekitar tujuh puluh tahun. Rambutnya
yang
panjang memutih digelung ke atas. Wajahnya pu-
cat
pasi mirip wajah mayat. Sedang tubuhnya yang
tinggi
kurus menyerupai jerangkong hidup dibalut kain
katun
warna putih.
Di
sebelahnya juga seorang lelaki tua renta be-
rusia
sekitar tujuh puluh lima tahun. Rambutnya yang
panjang
memutih dibiarkan tergerai di bahu. Bentuk
wajahnya
agak aneh, yakni menyerupai wajah bayi.
Sedang
tubuhnya yang pendek kurus dibalut pakaian
ringkas
warna hitam.
"Hantu
Pocong! Tak mungkin Siluman Ular Pu-
tih
lenyap begitu saja. Pasti ia masih bersembunyi di
sekitar
tempat ini!" kata lelaki tua berwajah bayi.
"Ya
ya ya...! Benar, Iblis Muka Bayi! Rupanya
kabar
yang kudengar ternyata benar. Pemuda murid
Eyang
Begawan Kamasetyo itu ternyata memiliki ke-
saktian
hebat. Buktinya saja kita sampai kehilangan
jejak.
Apalagi ilmu meringankan tubuhnya tadi. Bukan
main...!
Kita sendiri pun sampai kewalahan mengiku-
tinya,"
sahut lelaki tua berbalut kain kafan yang di-
panggil
Hantu Pocong.
Kedua
lelaki tua memang dedengkot dunia per-
silatan
golongan hitam. Dan mengenai kemunculan
mereka
yang secara mendadak, sebenarnya hanya ke-
betulan
saja. Sebagai tokoh-tokoh nomor satu di dunia
persilatan,
mereka merasa penasaran sekali dengan
tersiarnya
kabar gencar tentang munculnya seorang
pendekar
muda bergelar Siluman Ular Putih. Seperti
desas-desus
yang terdengar, konon kesaktian pende-
kar
muda itu tinggi sekali. Maka begitu mendengar de-
sas-desus
itu, Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi me-
rasa
penasaran bukan main. Mereka ingin sekali men-
jajal
kesaktian Siluman Ular Putih.
Namun
sewaktu Hantu Pocong dan Iblis Muka
Bayi
tengah beristirahat setelah melakukan pencarian,
tiba-tiba
melihat sesosok bayangan putih tengah ber-
kelebat
cepat melintasi tempat mereka. Apalagi ketika
menyadari
ilmu meringankan tubuh bayangan putih
yang
semula dikira Siluman Ular Putih tampak demi-
kian
hebat. Maka kedua tokoh hitam itu berkesimpu-
lan
kalau bayangan yang tengah diikuti itu adalah
orang
yang tengah dicari. Namun sayangnya di saat
tengah
melakukan pengejaran terhadap bayangan pu-
tih
yang sebenarnya Dewa Langit, mendadak mereka
kehilangan
jejak. Melihat buruannya lenyap bak dite-
lan
bumi, maka kedua orang itu pun memutuskan un-
tuk
beristirahat kembali.
"Ya
ya ya...! Harus kita akui kalau pemuda
yang
bergelar Siluman Ular Putih itu hebat. Tapi, aku
sedikit
pun tidak gentar menghadapinya. Pokoknya,
sekarang
kita lanjutkan pengejaran. Mungkin pemuda
tengik
itu telah berhasil mengecoh kita, lalu kembali
meneruskan
perjalanan," ajak Iblis Muka Bayi.
"Ya
ya ya...! Kalau begitu buat apa buang-
buang
waktu! Rasa-rasanya tanganku sudah gatal-
gatal
ingin menghajar pendekar muda itu. Hayo, kita
teruskan
pencarian kita, Iblis Muka Bayi!" kata Hantu
Pocong
menyahuti.
Namun
belum sempat kedua tokoh itu bertin-
dak
lebih lanjut, tiba-tiba dikejutkan oleh gerakan-
gerakan
halus tak jauh dari tempat itu. Sebagai tokoh
silat
tinggi sudah pasti Hantu Pocong dan Iblis Muka
Bayi
dapat merasakannya. Maka seketika, kepala me-
reka
segera berpaling ke samping.
Seketika
itu pula, mata kedua tokoh sesat ini
terbeliak
liar. Di hadapan mereka kini telah berdiri se-
sosok
lelaki tua renta dengan pakaian ringkas warna
putih-putih.
Rambutnya yang panjang memutih seba-
gian
digelung ke atas. Sosok itu tidak lain dari sosok
yang
tengah dikejar oleh mereka sendiri.
"Manusia-manusia
pengecut! Sebenarnya apa
yang
kau inginkan dariku? Kenapa kau buntuti aku?"
tegur
Dewa Langit kalem.
Hantu
Pocong dan Iblis Muka Bayi melengak
kaget.
Bukan saja kaget melihat kemunculan lelaki tua
renta
itu yang tidak terduga-duga sama sekali, namun
juga
kaget melihat kalau yang dikejar tadi jelas bukan
sosok
Siluman Ular Putih yang sedang mereka cari.
"Melihat
ciri-cirinya, jelas orang tua renta di
hadapan
kita bukan Siluman Ular Putih. Sebab, kabar
yang
tersiar mengatakan, Siluman Ular Putih adalah
seorang
pemuda dan berparas tampan. Tapi, bagaima-
na
mungkin kemunculannya sama sekali tidak terden-
gar
oleh ku? Dan siapa pula dia? Rasa-rasanya selama
malang
melintang di dunia persilatan aku belum per-
nah
melihatnya," gumam Hantu Pocong dalam hati se-
raya
menautkan alis.
Sedang
di samping Hantu Pocong, Iblis Muka
Bayi
itu pun tampak tengah berpikir keras. Agaknya ia
pun
cukup terkejut melihat kemunculan lelaki tua
yang
memang Dewa Langit.
"Hebat!
Kalau kedatangannya sampai tidak ter-
dengar,
berarti kepandaiannya tak bisa dianggap re-
meh.
Dan yang jelas lagi, orang tua renta ini bukanlah
Siluman
Ular Putih," kata batin Iblis Muka Bayi penuh
kagum.
"Siapa
kau, Orang Tua?!" bentak Hantu Pocong.
"Melihat
ciri-ciri, tampaknya kalian bukan
orang
baik-baik. Sungguh sayang, kalian yang sudah
tua
seperti ini masih suka membuat onar," sindir Dewa
Langit,
tanpa menjawab pertanyaan Hantu Pocong.
Hantu
Pocong dan Iblis Muka Bayi melengak
kaget.
Belum pernah rasanya mereka dipandang ren-
dah
demikian rupa selama malang melintang di dunia
persilatan.
Mendengar sindiran Dewa Langit.
Iblis
Muka Bayi sejenak mengalihkan pandang
matanya
ke arah Hantu Pocong. Dan seperti diberi
aba-aba,
mendadak kedua tokoh sesat itu tertawa ber-
gelak.
"Heran
heran! Beraninya kau mengumbar sua-
ra
demikian nyaringnya. Apa matamu sudah lamur
tengah
berhadapan dengan siapa, he?!" bentak Hantu
Pocong
lagi.
Dewa
Langit mengulas senyum. Tampak sekali
kalau
ia tidak gentar menghadapi kedua tokoh sesat di
hadapannya.
"Kau
akan menyesal seumur hidup berani ber-
tindak
lancang di hadapan Dewa Langit!" sahut Dewa
Langit,
tak kalah gertak.
Kali
ini rasa kaget Hantu Pocong dan Iblis Mu-
ka
Bayi tak dapat dibayangkan lagi mendengar nama
Dewa
Langit disebut. Namun kekagetan mereka hanya
sebentar.
Setelah dapat mengendalikan perasaan, ke-
dua
orang tua itu pun lantas tertawa bergelak. Sebagai
tokoh
tua dunia persilatan, mereka jelas pernah men-
dengar
tokoh sakti tanpa tanding yang bergelar Dewa
Langit,
walau belum pernah bertemu sebelumnya. Tapi
sifat
mereka yang sombong mengalahkan segalanya.
Apalagi
mereka juga belum pernah menjajal kesaktian
Dewa
Langit.
"Setan!
Tak kusangka Dewa Langit yang sudah
lama
menyembunyikan diri kini kembali muncul di
dunia
persilatan," dengus batin Hantu Pocong.
"Hm...!
Bukankah Dewa Langit sudah mati?
Tapi,
kenapa mendadak muncul ke dunia persilatan?
Ah...!
Jangan-jangan kabar bohong yang telah kuden-
gar
tentang kematian Dewa Langit hanyalah dusta be-
laka.
Dan tak kusangka sama sekali kalau hari ini aku
dapat
bertemu tokoh sakti yang sering digunjingkan
tokoh-tokoh
tua dunia persilatan," gumam Iblis Muka
Bayi
dalam hati.
Namun
untuk menutupi kegusaran, Iblis Muka
Bayi
dan Hantu Pocong malah makin melipat ganda-
kan
tawanya.
"Keparat!
Kau pikir hanya kau saja yang dita-
kuti
di dunia persilatan, he?! Jangan ngelindur, Orang
Tua
Bau Tanah! Aku, Iblis Muka Bayi, sedikit pun ti-
dak
gentar menghadapi nama besarmu. Malah hari ini
juga
aku akan menjajal kehebatanmu yang konon tan-
pa
tanding itu. Hayo kita bermain-main sebentar den-
gan
orang tua renta itu, Hantu Pocong! Tanganku su-
dah
lama karatan ingin menghajar orang," ajak Iblis
Muka
Bayi, disambut tawa bergelak.
"Maut
ada di tangan Hyang Widi. Sesungguh-
nya
kalian tidak pantas, kenapa kalian suka bicara
tentang
maut. Sebab hanya Yang Maha di Atas sajalah
yang
patut membicarakannya. Untuk, itu mari kita sal-
ing
bergandeng tangan, sama-sama melangkah dengan
kasih
sayang!" ujar Dewa Langit. "Tapi sebelumnya,
kalau
kalian tidak keberatan, aku ingin meminta bebe-
rapa
keterangan dari kalian...."
Sejenak
Dewa Langit menghentikan bicara. Se-
pasang
matanya yang berwarna kelabu, mendadak
mencorong
tajam ke arah Iblis Muka Bayi dan Hantu
Pocong.
"Apakah
kalian dapat membantuku di mana
aku
dapat menemukan anak manusia yang terlahir se-
cara
aneh sekaligus memiliki ilmu aneh?!" lanjut Dewa
Langit.
"Pertanyaan
aneh. Kukira jalan pikiranmu pun
aneh.
Kenapa tidak kau tanyakan saja pada Raja Akhi-
rat
nanti?!" ejek Iblis Muka Bayi sinis.
Habis
mengejek begitu, Iblis Muka Bayi segera
menutulkan
kaki kanannya ke tanah, seketika tubuh-
nya
berkelebat cepat menyerang Dewa Langit hebat.
Melihat
Iblis Muka Bayi telah bertindak, Hantu
Pocong
pun tak mau ketinggalan. Tubuhnya segera
berkelebat
menyerang.
"Hea...!
Hea...!"
Diiringi
bentakan keras, Dewa Langit meliuk-
liukkan
tubuhnya menghindari serangan. Dan begitu
serangan
lewat di sisinya, tubuhnya segera berbalik.
Begitu
berkelebat, segera dikeluarkannya jurus-jurus
andalan.
Tangan kanannya yang terkepal siap melepas
jotosan
ke arah muka Hantu Pocong. Sementara tan-
gan
kirinya dengan jari-jari membuka siap pula men-
daratkan
totokan-totokan.
Hebat
bukan main serangan-serangan balik
Dewa
Langit. Bahkan sebelum serangan-serangannya
mengenai
sasaran, terlebih dahulu berkesiur angin
dingin.
Wesss!
Wesss!
Tukkk!
Tukkk!
"Aakh...!"
Dua
kali totokan-totokan 'Jari-jari Suci' Dewa
Langit
dipapak oleh telapak tangan kanan Iblis Muka
Bayi.
Seketika tokoh sesat ini meraung keras. Telapak
tangan
kanannya yang memapak seraya mau remuk!
Sedang
Hantu Pocong yang terbebas dari joto-
san
tangan Dewa Langit, segera melancarkan serangan
balik.
Tangan kirinya mencengkeram dari bawah ke
atas.
Tangan kanannya yang membentuk cakar segera
membabat
cepat ke arah ulu hati lawannya.
Dewa
Langit hanya tersenyum dingin melihat
serangan-serangannya
dapat dimentahkan oleh kedua
orang
pengeroyoknya. Padahal kini Iblis Muka Bayi
pun
telah meloloskan senjata andalan berupa sebuah
cemeti
berekor sembilan.
Sebelum
Iblis Muka Bayi mengebutkan ceme-
tinya,
Dewa Langit telah berkelebat cepat ke arah Han-
tu
Pocong. Begitu cepatnya, sehingga Hantu Pocong
pontang-panting
dibuatnya. Bahkan tiba-tiba Dewa
Langit
mendapat kesempatan baik.
Begitu
Hantu Pocong melenting ke belakang.
Dewa
Langit segera mengikutinya. Dari atas, tokoh
berjiwa
arif ini langsung mematuk pinggang Hantu Po-
cong
dengan totokan ‘Jari-jari Suci’ Dan...
Tukkk!
Tukkk!!
Telak
sekali pinggang Hantu Pocong terkena to-
tokan.
Seketika tubuh tinggi kurusnya ambruk di ta-
nah
tanpa bisa mendarat empuk. Pinggang yang terke-
na
totokan terasa mau hancur!
"Heaaa...!"
Ctarrrr...!
Tepat
ketika Dewa Langit mendarat manis di
tanah,
cemeti Iblis Muka Bayi meluncur datang. Sece-
patnya
lelaki tua ini membuang tubuhnya ke samping.
Jdarri...!
Tanah
tempat Dewa Langit tadi berdiri kontan
terbongkar
oleh cemeti Iblis Muka Bayi. Namun pada
saat
itu, Dewa Langit telah melenting kembali. Bahkan
sebelum
Iblis Muka Bayi mengebutkan cemetinya, De-
wa
Langit telah berkelebat cepat
Bed!
Bed!
Jari-jari
tangan Dewa Langit kembali melancar-
kan
totokan-totokan maut ke ubun-ubun Iblis Muka
Bayi.
Tentu
saja lelaki tua bermuka bayi itu tidak in-
gin
tubuhnya jadi sasaran empuk. Seketika tubuhnya
diemposkan
ke samping.
Tetapi
baru saja tokoh sesat itu berkelit, men-
dadak
arah totokan Dewa Langit telah berubah, lang-
sung
mengancam dada Iblis Muka Bayi. Lalu....
Tukkk!
Tukkk!
"Aaakh...!"
Iblis
Muka Bayi memekik setinggi langit ketika
dadanya
terkena totokan Dewa Langit. Sakitnya bukan
main.
Tubuh pun kontan terpental beberapa tombak
ke
belakang tanpa dapat bergerak lagi.
Dewa
Langit tersenyum kecut. Dipandanginya
kedua
lawan yang tengah merintih-rintih.
"Sungguh
sayang sekali.... Kalian orang-orang
tua
yang berkepandaian, namun tak mau mengamal-
kannya
pada jalan kebenaran. Tapi, tak apa-apalah!
Barang
kali kalian masih bermurah hati untuk mem-
beritahukan,
di mana aku dapat menemukan pemuda
yang
kumaksudkan...," kata Dewa Langit, lembut.
Hantu
Pocong dan Iblis Muka Bayi yang nya-
linya
sudah ciut, mendapat kenyataan kalau kesaktian
Dewa
Langit amat tinggi, sejenak saling berpandangan.
"Mana
sudi aku memberi keterangan padamu,
Dewa
Langit! Tanyakan saja pada arwah-arwah gen-
tayangan
hutan ini!" sahut Iblis Muka Bayi, ketus.
Dewa
Langit tersenyum arif. Tentu saja ia ma-
sih
ingin membutuhkan keterangan dari Hantu Pocong
dan
Iblis Muka Bayi. Maka tanpa menghiraukan oce-
han
Iblis Muka Bayi, Dewa Langit melangkah tenang
mendekati.
"Maaf!
Bukannya aku yang menyakiti kalian.
Tapi,
apakah kalian tidak ingin memberitahu ku, pada
siapa
aku harus bertanya?" ucap Dewa Langit penuh
tekanan.
Kedua matanya menyorot tajam, penuh per-
bawa
menggetarkan.
Hantu
Pocong dan Iblis Muka Bayi seketika
makin
ciut nyalinya. Mereka tidak menyangka kalau
Dewa
Langit memiliki perbawa demikian hebatnya.
Maka
begitu melihat kedua bola mata lelaki arif itu,
tak
urung hati mereka bergetar.
"Mana
aku tahu? Kenapa kau tidak tanyakan
saja
pada Peramal Maut? Mungkin orang tua sinting
dari
Gunung Kembang itu tahu, di mana dan siapa
orang
yang tengah kau cari!" sahut Iblis Muka Bayi,
berusaha
memberanikan diri.
"Kalian
tahu, itu bukan jawaban!" sahut Dewa
Langit,
dingin dan penuh tekanan.
Hantu
Pocong dan Iblis Muka Bayi yang me-
nyadari
kalau keadaannya kurang menguntungkan
kembali
saling berpandangan.
"Demi
iblis! Aku tidak tahu. Mungkin Peramal
Maut
tahu, di mana dan siapa orang yang kau cari,"
tandas
Hantu Pocong gelagapan saking takutnya.
"Hm...!,
Peramal Maut! Lagi-lagi orang ini me-
nyebut
Peramal Maut. Bisa jadi aku dapatkan keteran-
gan
orang yang sedang kucari itu darinya. Ya ya ya.
Dari
sorot matanya, dia berkata jujur...!" gumam Dewa
Langit
dalam hati.
Puas
menatap Hantu Pocong, Dewa Langit me-
natap
Iblis Muka Bayi. Dari pancaran sinar mata, De-
wa
Langit yakin kalau tokoh sesat itu pun memang be-
rusaha
untuk jujur.
"Lalu
di mana aku dapat menemukan Peramal
Maut,
Hantu Pocong?!" kata Dewa Langit lebih lanjut
"Aku...
aku tidak tahu, Dewa Langit. Demi iblis,
aku
tidak tahu. Peramal Maut memang tak pernah
memiliki
tempat tinggal tetap. Ia selalu berkelana dari
tempat
yang satu ke tempat lain," jawab Hantu Pocong
seadanya.
"Terima
kasih! Akhirnya kau mau bermurah
hati
juga padaku," ujar Dewa Langit
Lalu
tanpa banyak cakap, Dewa Langit segera
berkelebat
cepat dan langsung menotok kedua tokoh
sesat
itu kembali. Dan seketika tubuhnya berkelebat
meninggalkan
tempat ini
Begitu
bebas dari totokan, Hantu Pocong dan
Iblis
Muka Bayi kesal bukan main. Api dendam makin
membara
dalam dada mereka setelah dibuat malu oleh
Dewa
Langit.
***
5
Tak
jauh dari Lembah Selaksa Pasir, tepatnya
di
bawah rindangnya sebuah pohon, seorang lelaki tua
berusia
tujuh puluh tahun tengah duduk bersila den-
gan
kedua telapak tangan merangkap di depan dada.
Setelah
hampir setengah harian lelaki berpakaian biru-
biru
yang tidak lain Peramal Maut ini bersemadi, da-
danya
terasa nyaman. Rupanya, ia baru saja dapat
menyembuhkan
luka dalamnya akibat pertarungannya
melawan
Siluman Ular Putih.
Namun
baru saja Peramal Maut menghentikan
semadi
dengan sebuah napas panjang, mendadak pen-
ciumannya
yang tajam merasakan bau busuk yang
sangat
luar biasa. Sambil tetap memejamkan mata,
ujung
hidungnya mencoba mengendus-endus. Kemu-
dian
seraya membuka kelopak matanya perlahan, ke-
palanya
berpaling ke arah datangnya bau busuk. Dan
anehnya
lagi, makin lama bau busuk itu makin me-
nyengat
hidung!
"Ah...!
Bau busuk apa lagi ini? Kok, terasa begi-
tu
menyengat?" gumam Peramal Maut.
Ketika
lelaki ini berpaling ke arah ujung jalan
sebelah
barat, sepasang mata kelabunya menangkap
sesosok
bayangan putih tengah melintas cepat ke
arahnya.
Makin dekat bayangan itu, Peramal Maut ya-
kin
kalau itu adalah seorang lelaki tua berpakaian pu-
tih-putih
yang tengah melintas jalan setapak menuju
ke
arahnya. Segera saja ia meloncat bangun, siap
menghadang
lelaki yang kian dekat ke arahnya.
"Tunggu!
Kau tidak boleh lewat begitu saja se-
belum
aku tahu siapa dirimu!" bentak Peramal Maut,
ketika
lelaki tua yang baru datang telah berjarak lima
tombak.
Lelaki
berpakaian putih-putih yang tak lain dari
Dewa
Langit menghentikan langkahnya. Sepasang ma-
tanya
yang tajam terus meneliti sosok berpakaian biru-
biru
di hadapannya dengan kening berkerut.
"Ada
apa, Sobat? Kenapa kau menahan lang-
kahku?"
sapa Dewa Langit, bertanya.
Peramal
Maut tersenyum angkuh. Sepasang
matanya
yang kelabu tak henti-hentinya memperhati-
kan
Dewa Langit.
"Hm...!
Bau busuk itu memang dari tubuhmu,
Orang Tua Keriput. Itu menandakan kalau sebentar
lagi
kau akan menemui kematian!" gumam Peramal
Maut,
enteng.
Dewa
Langit tersenyum tenang mendengar ka-
ta-kata
berbau ancaman. Matanya yang arif meman-
carkan
perbawa kuat.
"Benarkah
aku akan menemui kematian? Apa
bukan
orang tua ini mengada-ada? Tapi, kenapa uca-
pannya
demikian tepat?" tanya Dewa Langit dalam ha-
ti.
Mata
Dewa Langit bersinar cerah. Sungguh ia
kagum
dengan dugaan lelaki di hadapannya yang
mampu
merubah keinginannya.
"Ah...!
Benarkah?" tanya Dewa Langit penuh
minat.
"Eh...!
Jadi kau tidak percaya dengan ramalan
Peramal
Maut, he?!" bentak Peramal Maut. Kedua bola
matanya
terbeliak penuh kemarahan.
Sekali
lagi Dewa Langit dibuat terkesiap kaget.
Saking
kagetnya, kedua bola matanya kontan membe-
liak,
seolah-olah tak mempercayai pendengarannya.
"Jadi...
Jadi? Kaukah yang bergelar Peramal
Maut?"
tanya Dewa Langit.
"Sudah
tahu kenapa tanya-tanya segala! Dan
kenapa
kau tidak mempercayai ramalanku?! Kau me-
ragukan
ramalanku, ya? Kalau begitu, kau harus
modar
di tanganku!"
"Tunggu,
Peramal Maut! Justru aku ingin ber-
tanya
padamu. Kalau memang kau orang tua bergelar
Peramal
Maut, tentu dapat menunjukkan tentang anak
manusia
yang terlahir dengan cara aneh, sekaligus
memiliki
ilmu aneh pula. Cepat katakan di mana anak
manusia
yang kumaksudkan itu, Peramal Maut?" ujar
Dewa
Langit tak sabar.
Mendengar
pertanyaan Dewa Langit, entah ka-
rena
apa, mendadak ingatan Peramal Maut tertuju pa-
da
Siluman Ular Putih. Lelaki berpakaian biru-biru ini
pun
mendengar ada seorang pemuda sakti yang dila-
hirkan
dari rahim seekor ular betina!
"Hm...!
Aku yakin, tentu pemuda sakti itu yang
dimaksudkannya,"
gumam Peramal Maut seperti pada
diri
sendiri.
"Siapa
bocah sakti yang kau maksudkan, Pe-
ramal
Maut?" tanya Dewa Langit tak sabar.
"Dia
bergelar Siluman Ular Putih!" sahut Pe-
ramal
Maut dengan sepasang mata menerawang.
Sejenak
tubuh Dewa Langit tergetar hebat begi-
tu
mendengar julukan anak manusia yang terlahir se-
cara
aneh. Dan sejenak itu pula kepalanya mengang-
guk-angguk
dengan senyum tipis terkembang di bibir
keriputnya.
"Ya
ya ya...! Kukira ucapannya benar adanya.
Aku
harus secepatnya dapat menemukan pemuda itu,"
gumam
Dewa Langit dengan kepala mengangguk-
angguk. "Kalau begitu, kuucapkan terima kasih
atas
keteranganmu."
Baru
saja Dewa Langit akan berkelebat me-
ninggalkan
tempat itu, tiba-tiba....
"Dasar
orang tua tak tahu diri! Tadi kau ragu-
kan
ramalanku. Tapi, begitu kutunjukkan siapa pe-
muda
yang kau cari, kau malah seenak perutmu akan
meninggalkan
aku. Apa itu tidak menjengkelkan, he?!"
hardik
Peramal Maut, langsung menghadang.
"Ada
apa lagi, Sobat? Apa kau juga bermaksud
menghalang-halangi
langkahku?" pancing Dewa Lan-
git.
"Tua
bangka tak tahu diri! Kau harus mem-
bayar
mahal atas ramalanku. Lima puluh keping emas
pun
belum cukup ditambah kelancangan sikapmu. Se-
karang
bersiap-siaplah menerima kematianmu hari ini
Keparat!"
"Lakukan
saja kalau kau memang bisa. Malah
aku
senang sekali bila kau dapat membunuhku!" ujar
Dewa
Langit tanpa bermaksud menyinggung perasaan
Peramal
Maut.
"Keparat!
Kelancanganmu sudah bertumpuk!
Tak
mungkin aku membiarkanmu pergi begitu saja.
Makanlah
bogem mentahku ini, Tua Bangka Bau
Bangkai!"
Peramal
Maut yang sudah telanjur tersinggung
atas
ucapan Dewa Langit tadi, tanpa banyak cakap se-
gera
melayangkan bogem mentah ke arah rahang Dewa
Langit.
Wuttt!
Wuttt!
Dua
kali lontaran pukulan tangan kanan kiri
Peramal
Maut mengenai tempat kosong. Padahal Dewa
Langit
hanya sedikit menggeser tubuhnya. Lelaki ber-
baju
biru ini gusar bukan main. Rasanya belum per-
nah
serangan-serangan mautnya dapat dihindari mu-
suh
dengan demikian mudah. Dan ini membuatnya
mengkelap.
Saat itu juga daya serangnya ditingkatkan.
Tongkat
di tangan kanannya pun segera berkelebat ce-
pat
ke beberapa jalan kematian di tubuh Dewa Langit.
Wuttt!
Wuttt!
Plakkk!
Plakkk!
Dua
kali Dewa Langit mampu menahan tongkat
di
tangan Peramal Maut dengan telapak tangannya.
Sementara
Peramal Maut sama sekali tidak menduga
kalau
Dewa Langit berani menangkis serangan-
serangan
tongkatnya hanya menggunakan tangan ko-
song.
Dan hebatnya lagi, justru telapak tangan kanan-
nya
yang terasa bergetar hebat! Sementara tangan De-
wa
Langit seperti tak terpengaruh sama sekali.
Geraham
Peramal Maut menggeletak mengung-
kapkan
kemarahannya. Kedua pelipisnya bergerak-
gerak,
diamuk oleh amarah menggelegak. Kemudian....
"Terimalah
pukulan ‘Gada Akhirat’-ku ini!
Heaaat...!"
Disertai
teriakan keras, Peramal Maut segera
menyentakkan
kedua tangannya yang telah berisi te-
naga
dalam tinggi. Maka seketika dari kedua telapak
tangan
Peramal Maut melesat dua buah sinar merah
kekuningan.
Ketika
dua larik sinar merah kekuningan itu
dalam
luncurannya, tiba-tiba menjadi beberapa ba-
gian,
namun tetap mengarah ke tubuh Dewa Langit.
"Hm....
Kalau begini terus, ku tahan dengan
ajian
'Sukma Sejati'," gumam Dewa Langit segera me-
nyentakkan
kedua tangannya ke depan begitu sinar-
sinar
merah kekuningan setengah tombak lagi meng-
hajar
tubuhnya.
Wesss!
Wesss!
Bummm...!!!
Sinar-sinar
merah kekuningan dari kedua tela-
pak
tangan Peramal Maut mendadak buyar begitu ter-
papak
ajian 'Sukma Sejati'. Sedang tubuh Peramal
Maut
sendiri kontan terpental beberapa tombak ke be-
lakang.
Untung saja lelaki ini mampu membuat puta-
ran
di udara. Namun tetap saja keseimbangan tubuh-
nya
tidak dapat dikendalikan. Saat kedua kakinya me-
napak
ke tanah. Tubuhnya langsung saja terhuyung-
huyung
beberapa langkah ke belakang.
Peramal
Maut mengerang hebat. Telapak tan-
gan
kanannya mendekap dadanya yang terasa bergo-
lak.
Namun tetap saja usahanya sia-sia bila untuk
menahan
sesuatu yang menggedor-gedor dadanya.
"Hoeeekh...!"
Peramal
Maut kontan memuntahkan darah se-
gar.
"Cukup
sampai di sini kita main-main, Peramal
Maut!
Selamat tinggal!" kata Dewa Langit.
Habis
berkata demikian, Dewa Langit pun sege-
ra
menjejak tanah. Saat itu pula tubuhnya berkelebat
cepat
meninggalkan tempat ini. Hanya dalam beberapa
kelebatan
saja, sosok tinggi kurusnya telah jauh di
ujung
jalan depan sana.
"Setan
alas! Tak kusangka kesaktian tua bang-
ka
bau tanah itu demikian hebat! Siapakah dia sebe-
narnya?
Rasa-rasanya aku belum pernah mengenal-
nya?"
gumam Peramal Maut dalam hati.
Namun
setelah memeras daya ingatnya, Peram-
al
Maut belum juga tahu siapa lawan sebenarnya. Ke-
mudian
sambil menahan luka dalamnya yang belum
begitu
pulih akibat pertarungannya dengan Siluman
Ular
Putih, tubuhnya segera berkelebat cepat tinggal-
kan
tempat ini dengan mengerahkan ilmu meringan-
kan
tubuh sekadarnya.
***
Emoticon