6
Malam
bergerak merambat. Hawa dingin menu-
suk
kulit. Di atas Bukit Menjangan, tepatnya di pinggir
makam
Penghuni Alam Maut, duduk bersila satu so-
sok
tubuh terbungkus pakaian serba hitam. Sepasang
matanya
terpejam rapat-rapat. Kedua bibirnya berke-
mik-kemik.
Entah membacakan mantra apa.
Disaput
oleh sinar rembulan tampak jelas wa-
jah
tirus seorang lelaki tua. Rambutnya putih tergerai
di
bahu. Di depannya tampak asap putih kebiruan
mengepul
ke atas, menebarkan bau kemenyan yang
menyengat.
Memang, lelaki tua yang tengah duduk di
dekat
makam Penghuni Alam Maut itu tidak lain ada-
lah
Iblis Pemanggil Roh!
Ketika
malam telah mencapai titik tengahnya,
tiba-tiba
di hadapan Iblis Pemanggil Roh telah berdiri
sebuah
orang-orangan sawah. Namun kepala tempu-
rung
dan badan kayunya tampak seperti hidup! Ya, ia
tak
lain adalah si Jerangkong.
Begitu
matanya terbuka, Iblis Pemanggil Roh
tertawa
senang.
"Bagus,
bagus! Kau memang pesuruh baik, Je-
rangkong!"
sambut Iblis Pemanggil Roh.
Seperti
tak ingin menanggapi sosok aneh Je-
rangkong
tetap tenang di tempatnya. Sedikit pun tak
mengeluarkan
kata-kata. Sepasang tangan kayu dan
kepala
tempurungnya pun tidak bergerak. Tetap diam,
siap
menunggu perintah berikutnya.
"Baik,
baik! Tampaknya kau memang sudah ti-
dak
sabar untuk menjalankan perintahku lagi," ujar
Iblis
Pemanggil Roh seraya mengangguk-angguk. "Se-
karang,
dengarlah baik-baik. Tugas kali ini cukup be-
rat.
Kau harus dapat membunuh pemuda sakti yang
bergelar
Siluman Ular Putih. Kalau perlu, sekalian si-
kat
gurunya yang bernama Eyang Begawan Kamasetyo
di
puncak Gunung Bucu! Kau paham? Aku ingin men-
guasai
dunia persilatan!"
Jerangkong
tetap tidak mengeluarkan suara
sedikit
pun. Ia tetap berdiri tegak di tempatnya, tanpa
membuat
gerakan apa-apa.
"Nanti
kalau kau sudah membunuh kedua
orang
itu, baru kuberitahukan tokoh-tokoh mana yang
harus
ditundukkan. Sekarang, mendekatlah! Ada se-
suatu
yang ingin kuberikan padamu!" ujar Iblis Pe-
manggil
Roh lagi.
Seperti
memiliki nyawa si Jerangkong mende-
kati
Iblis Pemanggil Roh. Caranya aneh sekali! Bagian
bawah
tubuhnya yang berbentuk lancip terangkat, lalu
meluncur.
Dan ia berhenti persis di hadapan lelaki ti-
rus
itu.
Iblis
Pemanggil Roh tidak begitu memperhati-
kan
bagaimana caranya si Jerangkong mendekat tadi.
Saat
itu, tubuhnya sudah berbalik. Tangan kanannya
lalu
meraih cawan kayu berisi cairan kuning yang
mendidih!
"Menurutlah!
Aku ingin menyiramkan kuning
ini
ke sekujur tubuhmu. Kau tentu belum tahu. Hanya
dengan
cara inilah aku ingin menurunkan semua ke-
pandaianku
padamu. Sebab, orang-orang yang kau
hadapi
nanti bukanlah tokoh-tokoh sembarangan.
Nah,
sekarang bersiap-siaplah!"
Iblis
Pemanggil Roh beranjak berdiri. Sementa-
ra
tangan kanannya menggenggam cawan kayu. Kedua
bibirnya
sejenak berkemik-kemik, membacakan man-
tra-mantra.
Lalu dengan wajah menegang, mulai ditu-
angkannya
cairan kuning dari cawan kayu ke kelapa
tempurung
Jerangkong.
Ajaib
sekali! Begitu cairan kuning itu memba-
sahi
kepala tempurung, mendadak terdengar bunyi
bergemeletak
seperti terbakar! Namun anehnya sosok
Jerangkong
itu tidak rusak sedikit pun! Hanya kain
putih
pembalut badan kayunya sajalah yang berubah
berwarna
kuning yang menebarkan bau wangi keme-
nyan!
Iblis
Pemanggil Roh tertawa senang. Cawan di
tangan
kanannya dibuang ke semak belukar.
"Nah!
Sekarang, kau telah mewarisi semua ke-
pandaianku.
Kesaktianku sekarang berlipat ganda.
Kau
tidak dapat dikalahkan oleh tokoh sakti papan
atas
dunia persilatan mana pun! Biar sepuluh orang
sakti
maju bersamaan, kau tetap dapat mengalahkan
mereka.
Nah! Sekarang, cobalah pukulan maut 'Roh
Pembawa
Petaka'-ku!"
Jerangkong
memutar tubuhnya ke samping.
Kedua
tangan kayunya tiba-tiba telah berobah menjadi
hitam
legam! Dan sekali didorong ke depan, seketika
terlihat
dua leret sinar hitam legam melesat cepat ke
arah
pohon beringin tua di sampingnya.
Blaaarrr...!
Pohon
beringin sebesar dua lingkaran tangan
manusia
dewasa ini kontan tumbang! Bagian batang-
nya
yang terkena pukulan 'Roh Pembawa Petaka' ber-
lobang,
mengepulkan asap hitam! Lalu....
Brrrrukkk...!
Selang
beberapa saat, terdengar suara berge-
muruh
dari batang pohon beringin yang tumbang sal-
ing
tumpang tindih dengan pohon beringin yang tum-
bang
tempo hari. Debu-debu membubung tinggi. Bu-
rung-burung
yang bersarang di pohon beringin itu be-
terbangan!
Namun, mereka tidak dapat berbuat ba-
nyak
selain riuh berkicau, kemudian terbang tinggi di
antara
kegelapan malam.
Iblis
Pemanggil Roh tertawa bergelak. Kepa-
lanya
mendongak ke atas memandang angkasa biru!
"Bagus,
bagus! Dengan kesaktianmu sekarang
ini,
aku yakin kau dapat melaksanakan semua perin-
tahku,
Jerangkong! Kukira sekarang tidak ada lagi
yang
dikhawatirkan. Sebentar lagi aku pasti akan da-
pat
merajai dunia persilatan. Kini semua tugas berat
itu
terpikul di pundakmu, Jerangkong. Nah. Berang-
katlah!
Bunuh pemuda sakti yang bergelar Siluman
Ular
Putih!" perintah Iblis Pemanggil Roh penuh keku-
atan
sakti.
Dengan
gerakan kaku si Jerangkong segera
berbalik
ke samping. Kemudian dengan gerakan aneh,
badan
kayunya tahu-tahu telah melenting tinggi ke
udara.
Gerakannya kali ini makin bertambah ringan
dan
cepat. Dan begitu ujung kayu pada bagian bawah
tubuhnya
menyentuh tanah, Jerangkong kembali me-
lenting
tinggi ke udara. Dan sebentar kemudian
bayangan
pendeknya menghilang di antara kegelapan
malam.
Iblis
Pemanggil Roh tertawa bergelak. Kepa-
lanya
mendongak ke atas, memandang angkasa biru.
Seolah-olah
ia ingin menantang semua penghuni ang-
kasa
raya!
7
Tanah
kering pecah berpetak-petak oleh musim
kemarau
kali ini. Sesekali debu-debu beterbangan ter-
tiup
angin kering. Siang ini terasa lengang. Tiada suara
unggas
maupun binatang liar lainnya. Hanya desiran
angin
dataran tandus di luar Hutan Minden yang
membuat
suasana terasa sedikit nyaman.
Dalam
terpaan lembut angin pedataran, tam-
pak
dua sosok anak manusia tengah berkelebat menu-
ju
Hutan Minden. Yang berpakaian rompi dan celana
bersisik
warna putih keperakan adalah seorang pemu-
da
tampan berambut gondrong sebatas bahu. Di da-
danya
terdapat rajahan bergambar ular putih kecil
yang
terlihat dari balik rompi tanpa kancingnya. Ia tak
lain
dari Soma alias Siluman Ular Putih.
Di
sebelah Soma adalah seorang gadis cantik
berpakaian
ketat warna kuning. Usianya kira-kira de-
lapan
belas tahun. Rambutnya hitam panjang dikuncir
ke
belakang. Gadis cantik itu tidak lain dari Pulasari,
putri
angkat Malaikat Kaki Seribu.
Memang,
kini kedua anak muda itu tengah
mencari
orang yang tengah menebar maut di Pergu-
ruan
Kaki Angin. Setelah menguburkan mayat Malai-
kat
Kaki Seribu beserta kedelapan orang muridnya,
Soma
dan Pulasari sempat bermalam di Perguruan Ka-
ki
Angin. Baru pagi harinya mereka memulai penca-
rian.
"Kita
beristirahat sebentar, Soma. Aku letih,"
pinta
Pulasari.
Pulasari
menghentikan langkahnya di pinggiran
jalan
setapak di samping Hutan Minden. Keringat
membasahi
wajah gadis itu. Pipinya menjadi kemerah-
merahan
setelah hampir seharian berlari.
Tanpa
banyak cakap Soma pun menghentikan
langkahnya
di samping Pulasari. Sejenak dipandan-
ginya
gadis cantik di hadapannya disertai senyumnya
yang
dianggap paling manis. Namun belum sempat
membuka
suara....
"Jangan
cengengesan! Kau pikir aku senang
melihat
tampang jelek mu, he?!" bentak si gadis, ga-
rang.
Senyum
Soma berubah jadi cengiran. Tangan
kanannya
lalu menggaruk-garuk kepala.
"Mau
istirahat, mengapa pakai bentak-bentak
begitu?!"
tukas Soma seraya berjalan mendekati se-
buah
pohon rindang. Lalu dengan seenaknya, tubuh-
nya
direbahkan di tanah rerumputan. Sebelah tangan-
nya
dipergunakan untuk menopang kepala. Sedang
sepasang
matanya terus menatap Pulasari dengan se-
nyum
terkembang di bibir.
Pulasari
jengkel sekali ditatap seperti itu. Na-
mun
disadari, tak ada gunanya bertengkar mulut den-
gan
pemuda di hadapannya. Ia hanya berjalan mende-
kati
rindangnya sebuah pohon, lalu duduk merenung
membelakangi
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu.
Sepasang
matanya terus memperhatikan tanah kering
di
hadapannya dengan pikiran semrawut. Tampak pula
matanya
mulai merembang oleh air mata.
"Langit
cukup cerah. Matahari bersinar terang.
Tapi,
mengapa aku tidak merasa nyaman di tempat ini.
Debu-debu
beterbangan, membuat sesak napasku sa-
ja,"
celoteh Soma. Entah, ditujukan pada siapa.
Sepasang
matanya terus memperhatikan tanah
tandus
di hadapannya. Seolah-olah bicaranya dituju-
kan
pada tanah tandus itu.
Sementara,
tiba-tiba Pulasari balikkan tubuh-
nya.
Sepasang matanya yang indah berkilat-kilat pe-
nuh
kemarahan.
"Kau menyindir ku, he?!" bentak si gadis ter-
singgung.
Soma
tersentak kaget. Lebih kagetnya lagi keti-
ka
melihat sepasang mata indah Pulasari berkilat-kilat
penuh
kemarahan.
"Lho
lho...? Siapa yang menyindir? Aku tidak
menyindir
siapa-siapa. Aku hanya menyayangkan
keindahan
alam ini," kilah Soma.
"Menyayangkan...
menyayangkan! Tapi bicara-
mu
tadi menyindir ku, tahu!" dengus Pulasari ketus.
Soma
menggaruk-garuk kepala dengan sikap
bingung.
"Heran!
Mengapa kau selalu bicara ketus begi-
tu?
Apa salahku?" gumam Soma seraya menggeleng-
geleng.
"Hm...! Maunya aku sih ya... mbok bicaranya
sedikit
lembut. Sedikit mesra. Biar enak didengar
orang,
begitu."
Hati
Pulasari kian kesal. Sepasang matanya
makin
berkilat-kilat memandangi si gondrong di hada-
pannya.
Namun sayangnya, Soma sedang asyik mem-
perhatikan
dataran tandus di hadapannya. Lalu entah
karena
apa, tiba-tiba mata dan telinganya menegang,
seperti
ada sesuatu yang mengusiknya.
"Kau
jangan bertingkah macam-macam, Soma!
Apa
kau ingin aku mem...."
Pulasari
tidak dapat melanjutkan bicara ketika
melihat
tangan Soma mengisyaratkan dirinya agar di-
am.
"Tunggu,
Pulasari! Apa kau tidak mendengar
sesuatu?"
kata Soma dengan pendengaran dipertajam.
Pulasari
pun kontan diam. Diam-diam penden-
garannya
pun ikut dipertajam.
"Kalau
kau belum menemukan pemuda yang
bergelar
Siluman Ular Putih, sebaiknya lekas pergi ke
puncak
Gunung Bucu. Di sanalah orang tua sakti ber-
nama
Eyang Begawan Kamasetyo bertapa. Cepat ke
sana.
Dan bunuh tua bangka itu!"
Lapat-lapat
telinga kedua anak muda itu men-
dengar
suara seseorang tak jauh dari tempat mereka.
Suara
bisikan itu halus sekali, seperti suara desau an-
gin
pegunungan. Namun, cukup terdengar oleh Pula-
sari.
Kening
Pulasari berkerut dalam. Suara bisikan
itu
demikian halus seperti dikirim dari jarak jauh. Di-
am-diam
si gadis kagum sekali dengan sang empunya
suara
yang mampu mengirimkan dari jarak sejauh itu.
Lalu,
siapakah orang yang diperintahnya itu? Dan,
siapa
pula pemuda sakti bergelar Siluman Ular Putih?
Juga,
siapa pula orang tua sakti Eyang Begawan Ka-
masetyo?
"Hm...!
Jangan-jangan pemuda sakti yang dis-
ebut-sebut
dalam bisikan itu adalah pemuda sinting di
hadapanku
ini. Sebab, Ayah pun pernah bercerita ka-
lau
di rimba persilatan ada seorang pemuda sakti yang
bergelar
Siluman Ular Putih. Ciri-cirinya berpakaian
rompi
dan celana bersisik warna putih keperakan. Ju-
ga,
memiliki rajahan gambar ular putih kecil di da-
danya.
Ah... ya! Pemuda ini memiliki ciri-ciri yang co-
cok
dengan apa yang pernah diceritakan Ayah. Pasti
pemuda
sakti bergelar Siluman Ular Putih itu adalah
pemuda
sinting di hadapanku ini. Tapi, mengapa si-
kapnya
ugal-ugalan sekali...?"
"Pulasari!
Apa kau tidak mendengar bisikan ta-
di?"
Sebelum
pertanyaan Pulasari terjawab, Siluman
Ular
Putih telah. membuka suara.
"Hh...!"
Pulasari menghela napas panjang.
"Yah...!
Aku memang mendengar suara bisikan itu. Ta-
pi,
apakah... apakah, pemuda sakti yang bergelar Si-
luman
Ular Putih itu adalah kau, Soma?"
Soma
tidak menjawab pertanyaan Pulasari. Ka-
rena
saat ini perhatiannya tengah tertuju pada sesosok
bayangan
aneh yang tengah melintasi jalan setapak di
depannya.
Sosok yang tengah melesat cepat itu ber-
bentuk
orang-orang yang sering digunakan para petani
di
sawah untuk mengusir burung. Kepalanya terbuat
dari
tempurung kelapa. Sekujur badan dan kedua tan-
gan
dan kakinya terbuat dari kayu terbalut kain ber-
lumuran
bercak-bercak kuning. Dan anehnya lagi, so-
sok
benda aneh itu menebarkan bau kemenyan!
Soma
menggeleng-geleng saking takjubnya.
Dan
belum sempat pemuda murid Eyang Begawan
Kamasetyo
itu buka suara....
"Hentikan
langkahmu, Jerangkong! Kau tak
usah
repot-repot mencari pemuda sakti yang bergelar
Siluman
Ular Putih. Calon korbanmu itu kini berada di
depanmu
bersama seorang gadis cantik! Cepat bunuh
mereka!"
Kembali
terdengar bisikan halus yang sampai di
telinga
Soma dan Pulasari.
***
"Jerangkong...?!"
gumam Soma dan Pulasari
hampir
bersamaan.
Sejenak
Soma dan Pulasari saling bersitatap
penuh
keheranan. Sosok benda aneh yang kini tegak
di
hadapan mereka sungguh mengagumkan. Bagaima-
na
mungkin orang-orangan itu dapat berlari secepat
ini?!
Siapa pula yang telah mengendalikannya? Dan
bagaimana
mungkin si pengendali orang-orangan itu
mampu
melihat kalau orang yang sedang dicarinya?
"Hm...!
Tampaknya ada orang yang berkepan-
daian
tinggi yang akan membuat kacau dunia persila-
tan
dengan cara mengendalikan orang-orangan yang
disebut
Jerangkong ini?" gumam Soma dalam hati.
"Siapa
yang mengendalikan mu, Jerangkong?"
tanya
Soma, lalu cepat meloncat bangun.
Pulasari
pun cepat meloncat bangun. Sepasang
mata
jelinya terus memperhatikan si Jerangkong di
hadapannya
dengan kening berkerut.
Seperti
biasa, tak sepatah kata pun yang teru-
cap
dari sosok benda aneh di hadapan Soma dan Pula-
sari.
Bahkan kedua tangan kayunya yang sudah bero-
bah
menjadi kuning tahu-tahu mendorong ke depan.
Wesss!
Wesss!
Maka
seketika itu juga dua leret sinar kuning
dari
tangan kayu si Jerangkong melesat ke depan me-
nyerang
Soma dan Pulasari!
"Uts...!"
Brakkk!
Siluman
Ular Putih dan Pulasari sama-sama
membuang
tubuh ke samping. Dan dua sinar kuning
itu
terus melesat, langsung menghantam dua batang
pohon
minden besar hingga tumbang saling tumpang
tindih!
Debu-debu kontan membubung tinggi begitu
dua
pohon itu jatuh berdebam di tanah berdebu! Pada
bagian
batang pohon yang terkena sinar kuning tadi
tampak
berlobang besar mengepulkan asap kuning!
Itulah
pukulan 'Darah Mayat' yang mengiriskan dari si
Jerangkong.
"Hm...!
Jangan-jangan kesaktian Jerangkong
inilah
yang telah membuat Malaikat Kaki Seribu dan
kedelapan
orang muridnya tewas, sesuai hasil penyeli-
dikanku,"
gumam Soma dalam hati, begitu bangkit.
Dengan
gerakan ringan Siluman Ular Putih me-
lompat
ke hadapan si Jerangkong.
"Jangkrik!
Tak kusangka kau mampu melepas
kesaktian
demikian keji, Jerangkong!" kata Soma pe-
nuh
kagum. "Apa kesaktianmu itu yang telah mene-
waskan
Malaikat Kaki Seribu beserta kedelapan orang
muridnya,
Jerangkong?"
Pulasari
tersentak kaget. Tak disangka kalau
Jerangkong
itulah yang telah menewaskan ayah ang-
katnya
beserta kedelapan saudara seperguruannya.
"Jahanam!
Ternyata kau yang telah mene-
waskan
Ayah dan kedelapan orang saudara seperguru-
anku,
Jerangkong! Siapa yang menyuruhmu menebar
maut
di Perguruan Kaki Angin, he?!" bentak Pulasari,
tak
dapat lagi mengendalikan amarahnya.
Kedua
tangannya yang telah berobah menjadi
merah
menyala segera melontarkan pukulan 'Pulung
Geni'
ke arah sosok benda aneh di hadapannya!
Wesss!
Wesss!
Dua
leret sinar merah menyala melesat dari ke-
dua
telapak tangan Pulasari, siap menghancurkan so-
sok
benda aneh itu.
Namun
Jerangkong itu ternyata sudah bersiap-
siap
dari semula. Kedua tangan kayunya yang berwar-
na
kuning tahu-tahu telah mengibas, melepas pukulan
'Darah
Mayat'.
Wesss!
Wesss!
Bummm...!!!
Terdengar
ledakan hebat di udara ketika puku-
lan
'Pulung Geni' Pulasari terpapak oleh pukulan
'Darah
Mayat'. Tubuh Jerangkong sedikit bergoyang-
goyang.
Sedang tubuh tinggi ramping Pulasari lang-
sung
terpental beberapa tombak ke belakang, berpu-
tar-putar
sebentar dan akhirnya jatuh berdebuk di ta-
nah!
Wajahnya pucat pasi! Menderita sekali keadaan-
nya.
Perutnya pun terasa bergolak. Lalu....
"Hooeeekh...!"
Pulasari
muntahkan darah merah kekuningan
dari
mulutnya! Lalu tubuhnya terkulai ke tanah tak
bergerak-gerak
lagi!
Bukan
main terkejutnya Soma melihat Pulasari
dapat
dirobohkan sosok benda aneh itu hanya dalam
satu
gebrakan! Ia sendiri belum tentu mampu mero-
bohkan
Pulasari dalam satu gebrakan. Tapi, Jerang-
kong
ini...? Benar-benar mengagumkan!
"Semprul!
Tak kusangka kepandaianmu seting-
gi
ini, Jerangkong!" desis Soma.
Si
Jerangkong tak mengeluarkan sepatah kata
pun.
Kedua tangan kayunya yang kini telah berobah
menjadi
hitam legam siap melontarkan pukulan 'Roh
Pembawa
Petaka' yang telah diturunkan oleh Iblis Pe-
manggil
Roh. Dan begitu tangan kayunya mengibas.
Wesss!
Wesss...!
Seketika
itu dua leret sinar hitam legam dari
kedua
tangan kayu Jerangkong kontan melesat cepat
menyerang
murid Eyang Begawan Kamasetyo!
Soma
menggerendeng kesal. Dua kali perta-
nyaannya
tidak digubris sosok benda aneh di hada-
pannya.
Maka begitu dua leret sinar hitam legam dua
tombak
lagi menghantam tubuhnya, cepat pukulan te-
naga
'Inti Bumi' dikerahkan. Seketika melesat dua si-
nar
putih dari kedua tangannya.
Wesss!
Wesss!
Blaaarrr..!!!
Terdengar
satu letusan hebat kala empat buah
sinar
berlainan jenis saling bertemu di satu titik. Bumi
bergetar
hebat laksana gempa! Daun-daun minden
berguguran.
Malah sebagian layu!
Sosok
Jerangkong hanya sedikit bergoyang-
goyang.
Namun tidak demikian halnya Siluman Ular
Putih.
Saat itu pula tubuh tinggi kekarnya terjajar be-
berapa
langkah ke belakang dengan wajah berubah
seperti
kapas. Jelas, tenaga dalam Siluman Ular Putih
kalah
satu tingkat ketimbang si Jerangkong.
Sembari
membesut darah yang mengalir di su-
dut-sudut
bibir, Soma cepat meloncat ke depan. Begitu
tenaga
dalamnya dilipatgandakan, tangan kanannya
yang
mengandung tenaga 'Inti Api' telah berobah men-
jadi
merah menyala. Sementara tangan kirinya pun te-
lah
berobah menjadi putih terang penuh tenaga 'Inti
Bumi'.
"Chiaaat...!"
Dan
jurus 'Terjangan Maut Ular Putih' diguna-
kan,
Soma berkelebat cepat menyerang si Jerangkong
di
hadapannya hebat. Kedua telapak tangannya yang
membentuk
kepala ular mematuk-matuk, berusaha
menyelinap
di antara gulungan-gulungan kuning ke-
dua
tangan Jerangkong.
Wesss!
Wesss!
Namun
si Jerangkong pun tak mau kalah.
Sambil
berkelit menghindar ia terus mengurung Soma.
Sehingga
berkali-kali Siluman Ular Putih harus berke-
lit
ke sana kemari. Walaupun terus berusaha meng-
hindar,
tetap saja si pemuda belum mampu keluar dari
gulungan-gulungan
kuning kedua tangan kayu Je-
rangkong.
Sampai
sepuluh jurus berlalu, Siluman Ular
Putih
pun belum mampu balas menyerang. Jangankan
untuk
membalas. Untuk keluar dari kurungan sepa-
sang
tangan kayu Jerangkong pun tidak mampu!
"Hyaaat!
Hyaaat!"
Siluman
Ular Putih mencoba merubah gaya
bertarungnya.
Kedua telapak tangannya yang mem-
bentuk
kepala ular cepat ditekuk sedikit ke samping.
Lalu
ditangkisnya serangan tangan kayu Jerangkong!
Plakkk!
Kendati
tangan kayu si Jerangkong dapat ter-
tangkis,
tapi tak urung Siluman Ular Putih meringis
kesakitan.
Kedua telapak tangannya bahkan terasa
mau
remuk! Untungnya saat menangkis tadi tenaga
dalamnya
dikerahkan sepenuhnya. Hingga, ia hanya
menderita
kulit luarnya saja.
Wuuut...!
Di
saat telapak tangan kanan Siluman Ular Pu-
tih
hendak meneruskan serangan, tiba-tiba sembari
meloncat
tinggi ke udara tangan kayu kiri Jerangkong
telah
mengibas mengirimkan pukulan 'Darah Mayat'.
Wesss!
Siluman
Ular Putih terkesiap kaget! Tak mung-
kin
serangan maut Jerangkong dapat dihindari. Apala-
gi
dalam jarak demikian dekat. Maka tak ada pilihan
lain,
kecuali harus menangkis. Maka tanpa banyak pi-
kir
lagi, tangannya mengibas melepas pukulan sakti
tenaga
'Inti Api'!
Bummm...!!!
Hebat
bukan main pertemuan dua tenaga da-
lam
di udara kali ini. Sosok Jerangkong tergetar hebat.
Tubuhnya
bergoyang-goyang. Namun, yang dialami Si-
luman
Ular Putih lebih hebat lagi. Karena saat ini tu-
buh
tinggi kekarnya terpental beberapa tombak ke be-
lakang
bak layangan putus. Begitu tubuhnya memben-
tur
batang pohon di belakangnya, langsung melorot ke
tanah
berdebu.
"Hooeeekh...!"
Siluman
Ular Putih muntahkan darah merah
kekuningan
dari mulutnya. Wajahnya pias bagaikan
kapas.
Tampak sisa-sisa darah terlihat di sudut-sudut
bibir.
Siluman Ular Putih menggereng penuh kemara-
han.
Saking tidak kuatnya menahan amarah, tiba-tiba
sekujur
tubuhnya mulai dipenuhi asap putih tipis.
Sampai
akhirnya sosok bayangan tubuhnya tidak keli-
hatan
sama sekali!
Dan
ketika asap putih tebal yang menyelimuti
tubuh
Siluman Ular Putih hilang tertiup angin.
"Ggggeeerrr...!!!"
8
Laksana
petarung sejati yang ingin melihat apa
yang
akan dilakukan lawan selanjutnya, sejenak Je-
rangkong
menghentikan serangan. Di hadapannya kini
tampak
sesosok tubuh putih panjang sebesar pohon
kelapa!
Sepasang matanya berwarna merah saga den-
gan
taring-taring mengerikan! Terkadang di balik asap
putih
terlihat punggung ular putih sebesar pohon ke-
lapa
itu yang menyembul-nyembul. Sebentar kemu-
dian,
tampak kepala ular putih itu yang menyembul
tinggi
ke atas.
Dan
si Jerangkong ternyata hanya sebentar sa-
ja
menghentikan serangan. Kedua tangan kayunya kini
kembali
berwarna kuning sampai ke pangkal lengan.
Lalu
tahu-tahu si Jerangkong telah mengibaskan ke-
dua
tangan kayunya untuk melepas pukulan 'Darah
Mayat'.
Wesss!
Wesss!
Bukkk!
Bukkk!
Dua
sinar kuning dari tangan kayu Jerangkong
telak
sekali mengenai tubuh ular putih raksasa perwu-
judan
dari murid Eyang Begawan Kamasetyo. Tubuh
panjang
ular putih itu terpental ke samping, mencipta-
kan
debu-debu yang membubung tinggi memenuhi
tempat
pertempuran. Namun anehnya, tubuh Siluman
Ular
Putih tidak sedikit pun terluka.
Malah
kini sepasang matanya makin berwarna
merah
saga. Dan disertai gerengan panjang, ular putih
raksasa
itu menerjang garang si Jerangkong.
Wesss!
Wesss!
Sebelum
serangan-serangan Siluman Ular Pu-
tih
mengenai sasaran, terlebih didahului oleh angin
berkesiur
kencang. Namun, sosok Jerangkong sedikit
pun
tidak menunjukkan rasa takut. Malah dipapaknya
serangan-serangan
Siluman Ular Putih dengan puku-
lan
'Darah Mayat'.
Wesss!
Wesss!
Bukkk!
Bukkk!
Sekali
lagi tubuh besar Siluman Ular Putih ter-
pental
ke belakang. Bumi bergetar keras begitu tubuh-
nya
jatuh berdebum ke tanah! Debu-debu jalanan
kembali
membubung tinggi memenuhi tempat itu. Si-
luman
Ular Putih menggereng penuh kemarahan. Tar-
ing-taringnya
yang runcing tampak demikian mengeri-
kan.
Kembali disertai gerengan yang mampu mengge-
tarkan
tanah di sekitarnya, ular putih raksasa itu
kembali
menerjang dengan terkaman-terkaman dan
kibasan-kibasan
ekor.
"Ggggeceerrr...!!!"
Seperti
tak mengenal takut lagi-lagi si Jerang-
kong
mengibaskan kedua tangan kayunya. Maka,
kembali
dua larik sinar kuning melesat dari kedua
tangan
kayunya untuk memapaki serangan-serangan
Siluman
Ular Putih.
"Ggggeeerrrr...!"
Namun
kali ini Siluman Ular Putih sedikit ber-
tindak
cerdik. Begitu dua larik sinar kuning siap mela-
brak
tubuhnya, dengan gerakan lincah tubuhnya me-
rendah
untuk menghindar. Bersamaan dengan mele-
satnya
serangan-serangan si Jerangkong ekornya diki-
baskan
kuat-kuat.
Prakkk!
Kibasan
ekor Siluman Ular Putih telak sekali
menghantam
sasaran. Akibatnya, tubuh kayu dan ke-
pala
tempurung si Jerangkong hancur berantakan.
Kepalanya
terpental ke belakang. Kedua tangan dan
sebagian
tubuhnya berpencaran ke samping kanan ki-
ri!
Namun selang beberapa saat....
Tap!
Tap!
Tiba-tiba
terjadi sesuatu hal yang di luar piki-
ran
manusia! Tubuh aneh si Jerangkong yang hancur
berpencaran
mendadak berlompatan, lalu saling ber-
sambungan
seperti semula! Pertama, kedua tangan
kayunya.
Baru kemudian disusul kepala tempurung
yang
terlempar jauh ke belakang.
Sementara
sosok panjang ular putih raksasa
itu
pun sempat terlongong melihat kejadian aneh di
hadapannya.
Untuk beberapa saat, serangan-
serangannya
dihentikan.
Dan
kesempatan ini digunakan si Jerangkong
untuk
balas menyerang. Kini kedua tangan kayunya
telah
berubah menjadi hitam legam! Berarti ia telah
menyiapkan
pukulan maut 'Roh Pembawa Petaka'-nya
yang
diturunkan Iblis Pemanggil Roh.
Wesss!
Wesss!
Buukk!
Buuukk!
Sosok
panjang ular putih itu kembali terpental
beberapa tombak ke belakang. Tubuhnya berdebum
menciptakan
debu-debu yang membubung tinggi! Dan
sebelum
Siluman Ular Putih mampu bersiap kembali,
si
Jerangkong kembali melancarkan serangan-
serangan
maut.
"Gggeeeerrr...!!!"
Ular
putih raksasa itu menggereng hebat, lalu
segera
berkelit ke samping. Ujung ekornya dikibaskan,
berusaha
menghantam si Jerangkong.
Namun
dengan gesit sekali sosok Jerangkong
meloncat
tinggi ke udara. Dan begitu ujung runcing
bagian
bawah tubuhnya menyentuh tanah, tubuhnya
kembali
menyerang Siluman Ular Putih hebat!
Siluman
Ular Putih kewalahan bukan main.
Meski
tubuhnya kebal terhadap berbagai macam pu-
kulan
maut, namun keadaan ini tetap saja membuat-
nya
kewalahan! Berkali-kali tubuh panjangnya terkena
sambaran-sambaran
sinar kuning dari kedua tangan
kayu
si Jerangkong. Dan berkali-kali pula tubuhnya
jatuh
berdebam ke tanah!
Dan
pada saat Siluman Ular Putih tengah ter-
desak
hebat....
Kucari
tempat semayam yang nyaman di bumi
Tapi
bumi bukanlah tempat yang nyaman.
Berjalanlah
aku menurut kehendakku, dan aku
diperbudaknya.
Kalau
ku puas apa adanya, aku pun akan mer-
deka!
Terdengar
lantunan syair dari seseorang.
Belum
hilang gaung merdu suara sajak itu, ta-
hu-tahu
di luar tempat pertempuran telah berdiri tegak
seorang
lelaki tua tinggi kurus berpakaian putih-putih!
9
Tak
jauh di luar pertarungan antara Siluman
Ular
Putih melawan si Jerangkong, berdiri seorang le-
laki
tua renta berpakaian putih-putih! Wajahnya putih
bersih.
Sepasang matanya yang tajam bersinar terang.
Rambutnya
yang memutih dibiarkan meriap di bahu.
Usianya
sulit sekali ditaksir. Mungkin di atas delapan
puluhan
atau sembilan puluh tahunan. Yang jelas, le-
laki
tua renta tak lain adalah Penyair Sinting!
Habis
mendendangkan bait-bait sajaknya,
orang
tua itu pun lantas gerak-gerakkan lonceng di
tangan
kanannya ke sana kemari.
Klinting!
Klinting!
Aneh
sekali! Suara lonceng itu demikian keras-
nya
seperti hendak menulikan telinga, walau Penyair
Sinting
hanya menggerak-gerakkan biasa saja. Bahkan
kalau
yang mendengar hanya memiliki tenaga dalam
rendah,
bukan mustahil gendang telinganya akan pe-
cah.
Namun,
tentu saja hal itu sama sekali tidak
mempengaruhi
si Jerangkong. Jangankan terusik oleh
suara
lonceng, melihat kehadiran lelaki tua sakti dari
Gunung
Slamet itu tidak! Malah kini dengan kedua
tangan
kayunya berwarna kuning kembali diserangnya
Siluman
Ular Putih dengan hebat!
Dengan
segenap kemampuannya. Siluman Ular
Putih
terus melayani gempuran-gempuran si Jerang-
kong.
Sedang Penyair Sinting hanya menonton dengan
sikap
heran. Bagaimana mungkin sosok benda mati itu
dapat
menyerang Siluman Ular Putih dengan demikian
hebat?
Dan siapa pula yang mengendalikannya?
"Hm...!
Sungguh keji orang yang tega mengusik
arwah
yang sudah mati! Ini pasti perbuatan Iblis Pe-
manggil
Roh dari Lembah Duka. Kalau tidak, siapa lagi
tokoh
dunia persilatan yang mampu memanggil sekali-
gus
mengendalikan arwah orang mati! Hm...! Ya ya
ya...!
Dan kalau tidak salah, pukulan Jerangkong itu
bernama
pukulan 'Darah Mayat' milik mendiang Peng-
huni
Alam Maut...."
Sehabis
menggumam begitu, Penyair Sinting
memandang
liar Siluman Ular Putih.
"Bocah
tolol! Kenapa tidak lekas-lekas kau ba-
wa
gadismu yang cantik itu pergi dari sini. Lekas! Biar
aku
main-main sebentar dengan makhluk aneh ini,"
bentak
Penyair Sinting pada Soma yang masih berben-
tuk
Siluman Ular Putih.
Belum
habis gema bentakannya, Penyair Sint-
ing
segera berkelebat. Dipapaknya serangan-serangan
Jerangkong
dengan ajian andalan 'Pancar Surya'! Ke-
dua
tangannya yang telah berobah menjadi putih ber-
kilauan
bergerak-gerak laksana kitiran.
Bummm!
Terdengar
ledakan hebat di udara yang mem-
buat
bumi berguncang. Debu-debu pun beterbangan
menutupi
pandangan. Tubuh Penyair Sinting ter-
huyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Ia se-
perti
merasa dikeroyok dua tenaga dalam berbeda. Se-
dang
sosok Jerangkong hanya bergetar-getar sebentar.
Lalu
tanpa mempedulikan keadaan Penyair Sinting
kembali
diserangnya Siluman Ular Putih dengan hebat!
"Hm...!
Tak kusangka kalau Iblis Pemanggil Roh
telah
menurunkan ilmu andalannya pada Jerangkong
ini.
Sungguh dunia persilatan akan tertimpa petaka
kalau
aku tidak dapat mengatasinya. Tapi, bagaimana
caranya?
Rupanya tenaga dalam Penghuni Alam Maut
telah
menyatu dengan tenaga dalam Iblis Pemanggil
Roh.
Rasanya sulit sekali aku mengalahkannya...,"
gumam
Penyair Sinting dalam hati.
Sementara
saat itu, tubuh Siluman Ular Putih
tengah
diselimuti asap tebal. Sehingga, sosok panjang-
nya
tidak kelihatan sama sekali. Namun ketika dua la-
rik
sinar kuning menyerangnya, tak urung juga Silu-
man
Ular Putih menggereng hebat penuh kemarahan.
Sebab
pada saat hendak menjelma kembali menjadi
manusia
biasa, rasanya tidak mungkin membalas se-
rangan.
Wesss!
Wesss!
Untungnya
di saat Siluman Ular Putih kebin-
gungan,
mendadak dua larik sinar putih terang mele-
sat
dari kedua telapak tangan Penyair Sinting.
Cepat
dipapakinya
pukulan 'Darah Mayat' si Jerangkong.
Blarrr...!
Tepat
ketika terjadi ledakan, Siluman Ular Pu-
tih
telah menjelma kembali jadi manusia biasa. Namun
tak
urung tubuhnya terlempar, terkena pengaruh le-
dakan.
Sementara
lagi-lagi tubuh tinggi kurus Penyair
Sinting
terhuyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang.
Wajahnya pucat pasi. Tampak darah segar
membasahi
bibir, pertanda orang tua renta dari Gu-
nung
Slamet mendapat guncangan keras pada bagian
dada.
Sedang
si Jerangkong hanya sedikit bergoyang-
goyang.
Kemudian tanpa menghiraukan Penyair Sint-
ing,
kembali diserangnya Siluman Ular Putih. Untung
saja,
saat itu Soma telah kembali menjelma jadi manu-
sia
biasa, sehingga dapat menghindarinya dengan me-
liuk-liukkan
tubuhnya.
"Wah
wah wah...! Kenapa aku saja yang dis-
erang?
Hey, Jerangkong Goblok?! Tuh, serang orang
tua
yang sedang jual lagak itu! Cepat!" celoteh Soma
alias
Siluman Ular Putih terus meliuk-liuk ke sana
kemari
menghindari serangan
Namun
anehnya, si Jerangkong terus saja
menggempur
hebat Siluman Ular Putih. Hal ini tentu
saja
sangat mengherankan Soma dan Penyair Sinting
yang
telah kembali berdiri kokoh.
"Bocah
tolol! Tak mungkin kita mengalahkan
benda
aneh ini. Lekas bawa temanmu yang cantik itu
pergi!
Nanti aku menyusul! Lekas!"
Kening
Soma berkerut dalam.
"Benarkah
aku dan Penyair Sinting yang sakti
tidak
dapat mengalahkan benda aneh ini? Tapi... tapi
buktinya
saja aku tidak sanggup menghadapinya.
Bahkan
Penyair Sinting pun sudah terluka. Ah, bagai-
mana
ini?" gumam Soma sambil garuk-garuk kepala
dengan
sikap bingung.
"Hey,
tolol! Lekas bawa gadismu itu pergi! Nih,
nanti
minum obat pulung ini pada gadismu itu! Tapi,
ingat!
Jangan pakai air!" ujar Penyair Sinting, mem-
bentak
kesal.
Dan
ketika dua larik sinar kuning dari tangan
kayu
si Jerangkong kembali menyerang Siluman Ular
Putih,
Penyair Sinting mengibaskan kedua tangannya
dengan
pukulan andalan 'Pancar Surya'!
Wesss!
Wesss!
Bumm...!!!
Lagi-lagi
tubuh Penyair Sinting terhuyung-
huyung
beberapa langkah ke belakang. Darah segar
kembali
membasahi sudut-sudut bibirnya!
"Dasar
orang tua sinting! Bagaimana mungkin
aku
dapat meminumkan obat pulung pada temanku
kalau
tidak pakai air?!" gerutu Soma.
"Hm...!
Bocah goblok! Kalau saja bahaya maut
sedang
tidak menghadang kita, sudah kurobek-robek
mulut
dowermu itu! Lekas bawa gadismu itu pergi!
Kau
boleh meminumkan obat pulung itu pakai kayu
atau...
pakai mulutmu juga boleh!"
Soma
sebenarnya ingin tertawa. Namun ketika
melihat
wajah sungguh-sungguh Penyair Sinting, niat-
nya
segera diurungkan.
"Lantas?
Siapa sebenarnya yang telah mengen-
dalikan
benda sakti itu, Orang Tua?" tanya Soma pe-
nasaran.
"Dia....
Dia...."
"Ha
ha ha...! Kenapa kau bingung-bingung, Je-
rangkong?!
Sikat saja tua bangka keparat itu! Lekas!
Laksanakan
perintahku!"
Belum
sempat Penyair Sinting bicara, tiba-tiba
di
tempat pertempuran terdengar satu bisikan halus
mirip
desau angin!
Mendengar
bisikan halus dari orang yang men-
gendalikannya,
si Jerangkong sejenak menghentikan
serangan.
Tampak kalau ia tengah bersiap-siap meng-
hadapi
pengeroyoknya. Lalu dengan gerakan cepat, so-
sok
aneh itu pun kembali meloncat tinggi ke udara.
Tangan
kayunya sebelah kiri didorong ke arah Siluman
Ular
Putih. Sedang tangan kayu sebelah kanan diki-
baskan
ke arah Penyair Sinting.
"Siapa
orang yang mengendalikan Jerangkong
ini,
Orang Tua?" tanya Soma seraya membuang tu-
buhnya
ke samping menghindari serangan si Jerang-
kong.
Tanpa
menjawab, Penyair Sinting bertindak se-
rupa.
Dengan sekali menghentakkan kakinya ke tanah,
tahu-tahu
tubuh tinggi kurusnya telah melompat ke
samping.
Sehingga, serangan si Jerangkong hanya
menghantam
gundukan tanah di belakangnya.
Bummm...!
Gundukan
tanah itu hancur menciptakan ke-
pulan
debu amat pekat! Sisa-sisa gundukan tanah itu
hangus
terbakar, mengepulkan asap kekuningan!
"Siapa
lagi kalau bukan manusia laknat Iblis
Pemanggil
Roh?! Lekas cari dia! Ia pasti berada di ma-
kam
Penghuni Alam Maut di atas Bukit Menjangan tak
jauh
dari sini! Lekas sekalian bawa gadismu yang can-
tik
itu! Biar aku bermain-main sebentar dengan benda
edan
ini," buru Penyair Sinting menjawab seraya mem-
beri
perintah.
Siluman
Ular Putih bukannya berjiwa pengecut.
Tapi
bila mengingat keadaan Pulasari yang mengkha-
watirkan,
kekerasan hatinya untuk menghadapi si Je-
rangkong
lumer juga. Maka Soma pun segera berkele-
bat
menyambar tubuh si gadis, lalu cepat meninggal-
kan
tempat ini.
"Terima
kasih, Orang Tua. Hati-hatilah! Jan-
gan-jangan
pantatmu kena gebuk tangan kayu benda
edan
itu! Selamat tinggal, Orang Tua!"
Si
Jerangkong adalah budak yang taat. Melihat
salah
seorang calon korbannya kabur, segera ia me-
lompat
tinggi. Langsung dikejarnya Siluman Ular Putih
yang
tengah berlari kencang menuju timur sambil
memondong
tubuh Pulasari. Kedua tangannya yang te-
lah
berobah menjadi kuning itu segera mendorong ke
arah
Siluman Ular Putih.
Wesss!
Wesss!
Namun
pada saat yang mengkhawatirkan, Pe-
nyair
Sinting pun menghentakkan kedua tangannya.
Saat
itu pula dua larik sinar putih berkilauan melesat
dari
kedua telapak tangannya, langsung memapak si-
nar-sinar
kuning dari si Jerangkong.
Blaaarrr...!
Penyair
Sinting kembali terhuyung-huyung be-
berapa
langkah ke belakang begitu terjadi ledakan aki-
bat
bertemunya sinar-sinar berlainan jenis. Namun,
setidak-tidaknya
lelaki sinting itu telah memperlancar
Siluman
Ular Putih dalam melarikan diri. Dan kenya-
taannya
memang demikian. Siluman Ular Putih yang
tengah
memondong tubuh Pulasari kini telah menghi-
lang
ditelan kerimbunan hutan depan sana.
Kalau
saja si Jerangkong dapat bicara, sudah
pasti
akan memaki habis-habisan. Namun sayang, ia
hanyalah
benda mati. Hanya karena roh Penghuni
Alam Maut yang masuk ke dalam tubuhnya sajalah
yang
membuatnya jadi hidup!
Dan
ketika Soma telah jauh meninggalkan tem-
pat
pertempuran, si Jerangkong kembali menghadapi
Penyair
Sinting. Sebentar saja pertarungan sengit yang
mengandalkan
ajian-ajian tingkat tinggi pun berlang-
sung.
Kali
ini Penyair Sinting makin kewalahan saja.
Rasanya
sulit baginya untuk mengalahkan lawan
anehnya.
Sejengkal pun, si Jerangkong tidak pernah
memberi
kesempatan lolos bagi Penyair Sinting.
"Jangkrik!
Kalau begini terus caranya, malah
bisa
modar aku!" gerutu Penyair Sinting dalam hati.
Melihat
serangan-serangan demikian hebatnya,
Penyair
Sinting cepat memutar lonceng kecil di tangan
kanan.
Ditangkisnya serangan tangan kanan si Je-
rangkong.
Sedang tangan kirinya dipergunakan untuk
memapak
pukulan 'Darah Mayat'.
Wesss!
Wesss!
Prakkk!
Bummm!
Tangkisan
lonceng yang diakhiri dengan satu
letusan
hebat di udara, membuat wajah Penyair Sint-
ing
pucat pasi. Tampak darah segar menyembur dari
mulutnya.
Sedang tubuhnya yang sempat terhuyung-
huyung
cepat digulingkan ke samping. Sambil bergu-
lingan
begitu, kedua telapak tangannya yang telah be-
robah
menjadi putih berkilauan buru-buru dihentak-
kan
ke depan.
Wesss!
Wesss!
Serangan
Penyair Sinting berhasil dihindari si
Jerangkong
dengan memutar tubuhnya.
Namun
kesempatan baik ini tidak disia-siakan
lelaki
tua itu.
"Hup...!"
Saat
itu pula Penyair Sinting segera berkelebat
cepat
meninggalkan tempat ini.
"Kejar!
Jangan sampai lolos!"
Tiba-tiba
kembali terdengar bisikan halus mirip
angin
kepada si Jerangkong.
Meski
tanpa diperintah sekalipun si Jerangkong
pasti
menjalankan tugasnya hingga calon korbannya
tewas.
10
Soma
menghentikan larinya di pinggiran pa-
dang
rumput yang cukup luas. Sejenak matanya edar-
kan
ke segenap penjuru. Di hadapannya tampak se-
buah
bukit hijau. Entah bukit apa itu. Pemuda ini ti-
dak
begitu tertarik. Melihat Pulasari masih pingsan da-
lam
pondongannya, hatinya jadi gelisah sekali. Buru-
buru
diturunkannya tubuh Pulasari dan direbahkan di
tanah
rerumputan.
Wajah
cantik Pulasari tampak demikian pucat-
nya.
Kedua telapak tangannya hingga ke pangkal siku
berwarna
kuning terkena racun pukulan 'Darah Mayat'
si
Jerangkong. Rasanya Soma tidak tega membiarkan
gadis
itu tersiksa lebih lama. Maka buru-buru diro-
gohnya
obat pulung berwarna kuning pemberian Pe-
nyair
Sinting.
Besarnya
obat pulung itu kira-kira hampir se-
besar
biji kelengkeng. Cukup besar memang. Perlahan-
lahan
Soma pun mulai membuka mulut Pulasari. Dije-
jalkannya
obat itu ke mulut si gadis. Ajaib sekali! Ter-
nyata,
obat pemberian Penyair Sinting tidak dapat ter-
telan.
"Ah...!
Sebaiknya pakai air," desah Soma dalam
hati
sambil memasukkan kembali obat pulung itu ke
saku.
"Tapi... tapi Penyair Sinting pesan kalau obat ini
tidak
dapat ditelan dengan air? Ah...! Masa bodohlah!
Mana
ada sih menelan obat tidak pakai air? Ada-ada
saja
Penyair Sinting itu. Dasar orang tua sinting! Po-
koknya,
sekarang aku harus secepatnya mendapatkan
air!"
Habis
menggumam begitu, Siluman Ular Putih
segera
berkelebat mencari air. Kebetulan sekali tak
jauh
dari padang rumput tadi ia melewati sendang
dengan
sebuah pancuran. Maka kini larinya diarahkan
ke
sana.
Dalam
waktu singkat Soma telah tiba di sen-
dang
kecil yang dimaksudkan.
"Air
pancuran ini jernih sekali. Aku jadi ingin
mandi,"
gumam Soma lagi dalam hati.
Namun
ketika teringat akan keselamatan Pula-
sari,
si pemuda cepat urungkan niatnya. Sebentar ma-
tanya
beredar ke sekeliling seperti mencari sesuatu.
Dan
ketika melihat daun talas timbul gagasan untuk
memetiknya.
Daun talas itu akan digunakannya untuk
membawa
air. Dengan daun talas yang tangkupkan,
Soma
menadahi air pancuran. Tidak terlalu sulit me-
mang.
Sebentar saja daun talas itu sudah penuh air.
Soma
kini buru-buru kembali menemui Pulasa-
ri.
Sekali menjejakkan kaki ke tanah, tubuh tinggi ke-
karnya
pun telah berkelebat menuju tempat Pulasari
ditinggalkan.
Karena
jarak yang tak terlalu jauh, Siluman
Ular
Putih kini tiba di dekat Pulasari.
Ternyata,
si gadis masih terbaring di tempat-
nya.
Soma lega sekali. Padahal tadi ia khawatir sekali
kalau-kalau
ada orang jahat menculik gadis itu.
Dengan
sikap mantap Soma segera berjongkok
di
samping gadis itu. Tangan kirinya buru-buru mero-
goh
obat pulung kuning pemberian Penyair Sinting ta-
di.
Lalu sambil memegangi daun talas berisi air di tan-
gan
kanan, Soma berusaha menjejalkan obat itu ke da-
lam
mulut Pulasari. Setelah obat itu masuk, baru So-
ma
menuangkan air dalam daun talas ke dalam mulut
Pulasari.
Namun
apa yang terjadi? Ternyata obat kuning
itu
kembali mencelat keluar dari dalam mulut Pulasari.
Buru-buru
Soma memungutnya dan membersihkan-
nya
dengan baju.
"Aneh...!
Masa' sih, didorong pakai air obat ini
malah
menceliat keluar?" desah si pemuda sambil
menggeleng-geleng.
"Ah, coba ku ulang sekali lagi. Sia-
pa
tahu bisa."
Habis
menggumam begitu, Siluman Ular Putih
kembali
memasukkan obat pulung ke dalam mulut Pu-
lasari.
Lalu, segera dituangkannya air dalam daun ta-
las
hingga habis.
Namun
anehnya, obat kuning itu kembali men-
celat
keluar. Hal ini membuat Soma kembali garuk-
garuk
kepala dengan sikap bingung. Boro-boro obat
kuning
itu tertelan. Malah sebagian baju atas Pulasari
basah
terkena air, membuat lekuk-lekuk tubuh bagian
atasnya
tercetak.
"Ah...!
Dasar orang tua sinting. Membuat obat
pemunah
racun pun masih pakai cara sinting!" gerutu
Soma
lagi-lagi selalu menyalahkan Penyair Sinting.
Dan
ketika teringat ucapan Penyair Sinting ta-
di,
si pemuda jadi garuk-garuk kepala lagi. Pipinya me-
rona
merah saking jengahnya.
"Masa'
sih, aku harus memasukkan obat ini
dengan
cara meniup ke dalam mulut Pulasari?" gu-
mam
Soma bingung. "Tapi... tapi kalau ku dorong pa-
kai
kayu itu lebih tidak mungkin! Ah...!
Bagaimana
ini?"
Siluman
Ular Putih kembali garuk-garuk kepa-
la.
Bingung. Entah, sudah berapa kali murid Eyang
Begawan
Kamasetyo menggaruk-garuk kepala saking
bingungnya.
Padahal rambutnya tidak terasa gatal.
"Hm...!
Tak ada jalan lain. Mungkin ucapan
orang
tua sinting itu benar. Aku harus memasukkan
obat
keparat ini ke dalam mulut Pulasari dengan mu-
lut.
Berarti... berarti aku bisa juga dikatakan mencuri
cium?
Ah, bagaimana ini? Pasti Pulasari akan marah
besar
kalau aku berbuat tidak senonoh padanya!" lagi-
lagi
Soma menggumam bingung.
Sejenak
dipandanginya wajah cantik yang pu-
cat
itu dengan perasaan jengah. Bagaimana tidak jen-
gah
kalau baru pertama kali murid Eyang Begawan
Kamasetyo
itu harus menempelkan bibirnya ke bibir
seorang
gadis?!
"Hm...!
Tidak ada jalan lain! Terpaksa aku ha-
rus
menuruti saran orang tua sinting itu. Tapi, awas!
Kalau
aku bertemu orang tua sinting itu, pasti aku
akan
membalasnya!" ancam Soma jengkel.
Namun,
toh akhirnya Siluman Ular Putih mau
juga
menuruti saran Penyair Sinting. Maka dengan
menekan
perasaan jengahnya, mulai dimasukkannya
obat
pemberian Penyair Sinting ke dalam mulut Pula-
sari.
Namun,
meski Soma telah menekan perasaan
jengahnya,
tetap saja merasa ragu-ragu ketika akan
mendekatkan
mulutnya ke bibir merah Pulasari.
"Maafkan
aku, Pulasari! Demi Tuhan aku tidak
bermaksud
berlaku tidak senonoh padamu," ucap So-
ma.
Dan
sambil memejamkan matanya rapat-rapat,
murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu mulai mende-
katkan
bibirnya ke bibir Pulasari. Aneh sekali! Begitu
bibirnya
menempel, murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu
jadi enggan sekali melepaskannya. Betapa dari bibir
merah
Pulasari, Soma merasakan kehangatan yang be-
lum
pernah dirasakan seumur hidupnya. Sehingga, ia
sampai
lupa apakah obat tadi sudah tertelan oleh Pu-
lasari
atau belum. Yang jelas, perasaan Soma makin
melambung
tinggi. Apalagi ketika merasakan ada se-
suatu
yang bergerak-gerak dalam mulut Pulasari.
Soma
jadi benar-benar lupa diri. Namun di saat
si
pemuda tengah terbuai dalam kehangatan, tiba-tiba
Pulasari
terbangun. Lalu....
"Hih...!"
Plakkk!
Plakkk!
"Ohh...?!"
Setelah
mendorong tubuh Soma, si gadis cepat
menggerakkan
tangan kanannya. Dua kali. Maka, dua
kali
pula pipi Soma terkena tamparan tangannya.
Soma
membelalakkan matanya lebar. Bukan-
nya
sakit akibat tamparan Pulasari tadi, melainkan
kaget
melihat Pulasari ternyata sudah siuman!
"Kunyuk
gondrong tak tahu malu. Cih...! Begi-
nikah
caramu memperdayai seorang gadis? Memalu-
kan!
Pendekar macam apa kau ini?!" bentak Pulasari,
kalap
bukan main.
Sekali
menggerakkan tubuhnya, Pulasari telah
berdiri.
Sepasang mata jelinya berkilat-kilat penuh
kemarahan.
Kemudian dengan kemarahan meluap,
diserangnya
Soma yang tadi jatuh terduduk.
Bukkk!
Bukkk!
Entah
sudah berapa kali tendangan Pulasari
mendarat
telak di sekujur tubuh murid Eyang Bega-
wan
Kamasetyo. Namun, si pemuda masih tetap diam
saja.
Ia seolah-olah masih terpana melihat bibir merah
Pulasari
yang bergerak-gerak di hadapannya penuh
kemarahan.
"Aku....
Aku... ah! Demi Tuhan aku tidak ber-
maksud
berbuat tidak senonoh padamu, Pulasari. Per-
cayalah!"
sergah Soma gugup bukan main.
"Percuma
saja kau sebut-sebut Tuhan! Toh,
kau
melakukannya juga, kan?!" tukas Pulasari tak da-
pat
lagi menahan amarahnya yang menggelegak. Tu-
buhnya
kembali mencelat membawa serangan ganas.
Buk!
Bukk! Plakk!
Tendangan
dan tamparan gadis itu kembali
menghajar
sekujur tubuh murid Eyang Begawan Ka-
masetyo
tanpa ampun.
"Semprul!
Ini semua gara-gara orang tua sinting
itu!
Sial-sial!" gerutu Soma kesal dengan tubuh bergu-
lingan
tanpa melawan.
"Jangan
menyalahkan orang lain! Sekarang, ja-
wab!
Sudah kau apakan aku, he?!" dengus si gadis.
"Ya,
ampun! Kau masih belum percaya juga
dengan
keteranganku? Demi Tuhan, aku tidak ber-
maksud
berlaku tidak senonoh padamu. Tadi... tadi
Penyair
Sinting memang memberi ku sebuah obat kun-
ing
untuk memunahkan racun akibat pukulan 'Darah
Mayat'
si Jerangkong. Dan menurut keterangannya,
memang
dengan cara seperti tadi itulah aku mesti
memasukkan
obat ke dalam mulutmu," jelas Soma,
kali
ini terpaksa berkelebat ke sana kemari menghin-
dari
amukan Pulasari.
"Aku
tidak percaya! Mana ada meminumkan
obat
dengan cara sinting itu!" geram Pulasari penuh
kemarahan.
Tamparan-tamparan
dan tendangan kaki gadis
cantik
itu makin menghebat. Sementara Siluman Ular
Putih
harus berloncatan ke sana kemari, sambil men-
jelaskan
duduk persoalannya.
"Semula
aku sendiri juga tidak percaya, Pulasa-
ri.
Tapi setelah ku coba memang kenyataannya gagal.
Kalau
tidak percaya, coba lihat! Pakaian atasmu basah
semua,
kan? Nah! Itu tadi aku sudah mencoba mema-
sukkan
obat sinting itu dengan air. Tapi toh, aku tetap
saja
gagal. Maka dengan sangat terpaksa sekali, ter-
paksa
aku melakukan itu seperti yang telah disaran-
kan
Penyair Sinting!"
"Hm...!"
Pulasari menggumam tak jelas. Namun
amarahnya
masih belum reda. Dan ketika melihat baju
bagian
atasnya memang basah kuyup, hatinya jadi ra-
gu-ragu.
Maka seketika serangan-serangannya dihen-
tikan.
"Be...
benar kau... kau tidak bermaksud kurang
ajar
padaku, Soma?" tanya Pulasari ragu-ragu.
"Ya,
ampun! Memangnya aku sudah gila! Orang
yang
memberi obat pemunah racun itulah yang gila!"
"Tapi
kalau kau memang terbukti berlaku ku-
rang
ajar padaku, demi Tuhan aku akan membunuh-
mu,
Soma!" geram Pulasari akhirnya.
"Baik,
baik! Kalau tidak percaya, tanyakan saja
pada
orang tua gila itu!" sungut Soma kesal.
"Maksudmu,
orang tua sakti bergelar Penyair
Sinting?"
"Yah...!
Siapa lagi?!"
"Hm...!
Baik! Nanti kalau aku bertemu dengan-
nya,
aku pasti akan menanyakan hal ini padanya," ka-
ta
Pulasari. "Sekarang kita berada di mana? Dan mana
Jerangkong
yang telah mencelakakan ku itu?"
"Aku
tidak tahu, di mana kita sekarang. Yang
jelas,
sekarang benda edan Jerangkong itu tengah ber-
tempur
hebat melawan Penyair Sinting yang juga me-
nyarankan
agar aku mencari Iblis Penggali Roh. Kare-
na
tokoh sesat itulah yang telah mengendalikan si Je-
rangkong!"
"Lalu,
kita akan mencari ke mana?" tanya Pula-
sari,
sudah dapat mulai mengendalikan amarahnya.
"Kalau
menurut keterangan Penyair Sinting,
aku
harus mencari makam Penghuni Alam Maut di
atas
Bukit Menjangan. Tapi aku sendiri belum tahu, di
mana
letaknya Bukit Menjangan."
"Hm...!
Bukit di depan kita itulah Bukit Men-
jangan!"
sambut Pulasari cepat.
"Dari
mana kau tahu kalau bukit di depan kita
itu
Bukit Menjangan?"
"Letak
markas padepokan tidak berjauhan den-
gan
bukit itu. Jadi, kau tak perlu banyak tanya lagi.
Hayo,
sekarang kita ke sana. Aku sudah gatal ingin
menghajar
orang yang telah menebar maut di padepo-
kanku!"
ajak Pulasari.
"Baik,
baik! Tapi senyum dulu dong! Biar enak
dipandang
mata, begitu!" goda Soma.
"Apa
kau belum kapok kugebuk, he?!" dengus
Pulasari
dengan mata melotot lebar.
"Eh...!
Jangan, jangan! Maksudku, jangan ragu-
ragu
kalau ingin menggebuk ku!" goda Soma lagi.
Pulasari
makin melotot lebar. Namun belum
sempat
melayangkan tangan kanannya untuk menam-
par,
Soma telah menyingkir. Si pemuda segera berke-
lebat
meninggalkan Pulasari.
Pulasari
hanya dapat menahan jengkel. Kemu-
dian
dengan sekali menjejak tanah, gadis cantik putri
angkat
Malaikat Kaki Seribu itu pun telah berkelebat
cepat
menyusul Soma.
11
Dengan
menahan luka dalamnya, Penyair Sint-
ing
terus berkelebat cepat meninggalkan Hutan Min-
den.
Itu memang jalan satu-satunya. Tak mungkin Je-
rangkong
itu dilawan terus menerus.
Namun
sayangnya, si Jerangkong pun tidak
mau
membiarkan calon korbannya pergi begitu saja.
Begitu
melihat si tua berwajah tirus meninggalkan
tempat
pertarungan, tubuhnya pun segera melenting
tinggi
ke udara. Dan dengan caranya yang aneh, si Je-
rangkong
telah berkelebat cepat mengejar Penyair Sint-
ing.
Dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh
yang
sudah mencapai tingkat tinggi, Penyair Sinting te-
rus
berkelebat menuju timur. Namun ternyata ilmu
meringankan
tubuh si Jerangkong pun juga tak kalah
hebat.
Meski dengan cara melenting-melenting tinggi
ke
udara lalu menapak ke tanah, si Jerangkong akhir-
nya
dapat mendekati Penyair Sinting.
Begitu
berada beberapa tombak di belakang
Penyair
Sinting, kedua tangan Jerangkong yang ber-
warna
kuning segera mengibas.
Wesss!
Wesss!
Seketika
melesat dua larik sinar kuning dari
pukulan
'Darah Mayat', mengancam punggung Penyair
Sinting!
Lelaki
tua berwajah tirus tahu kalau di bela-
kang
ada bahaya mengancam. Sungguh ia tidak me-
nyangka
kalau Jerangkong mampu menyusul larinya.
Dan
begitu merasakan hawa panas menyambar pung-
gungnya,
tanpa banyak pikir panjang tubuhnya segera
dibuang
ke kiri.
"Hup!"
Brakkk...!
Dua
larik sinar kuning yang melesat dari tan-
gan
kayu Jerangkong menerabas ke depan, langsung
menghantam
batang pohon hingga berlobang dan han-
gus
terbakar! Tidak lama kemudian pohon itu pun
tumbang
dengan suara bergemuruh. Debu-debu beter-
bangan
begitu batang pohon itu menimpa tanah den-
gan
daun-daunnya layu!
Di
saat Penyair Sinting hendak bangkit, sosok
Jerangkong
tahu-tahu telah tegak di hadapannya pada
jarak
enam tombak. Kedua tangannya yang berwarna
kuning
kembali siap melontarkan pukulan 'Darah
Mayat'.
Penyair
Sinting mengeluh. Baru seumur hidup-
nya
ia menemui musuh setangguh itu. Dan musuhnya
kali
ini tak ubahnya seperti malaikat maut yang siap
merenggut
nyawanya!
"Jangkrik!
Benda edan ini benar-benar mengin-
ginkan
jiwaku!" dengus Penyair Sinting.
Dan
kenyataannya memang demikian. Sebelum
Penyair
Sinting bertindak, sosok Jerangkong telah ber-
kelebat
cepat menyerang dengan jurus-jurus andalan
milik
Penghuni Alam Maut! Kedua tangannya yang
berwarna
kuning sesekali melontarkan pukulan 'Darah
Mayat'!
Penyair
Sinting mengeluh. Keringat dingin telah
membasahi
sekujur tubuhnya. Sementara si Jerang-
kong
pun telah meningkatkan serangan-serangan
mautnya.
"Uts...!"
Penyair
Sinting kini jadi kalang kabut. Baju pu-
tihnya
sudah compang-camping tidak karuan terkena
sambaran-sambaran
tangan kayu Jerangkong. Namun
tokoh
sakti dari Gunung Slamet itu tampak sudah ne-
kat
akan mengadu nyawa. Kini, ia tidak lagi berusaha
menghindari
atau berkelit. Melainkan juga sudah be-
rani
membalas dengan cara sangat berani!
Begitu
kedua tangan kayu Jerangkong hendak
menghantam
dada, Penyair Sinting nekat menangkis
dengan
lonceng di tangan kanannya!
Prakkk!
Lonceng
di tangan kanan Penyair Sinting mele-
sak
dalam. Sedang tangannya terasa panas bukan
main.
Tapi lelaki tirus itu tidak begitu menghiraukan.
Begitu
si Jerangkong kembali menyerang den-
gan
pukulan 'Darah Mayat', Penyair Sinting nekat me-
mapak
dengan pukulan 'Pancar Surya'. Tentu saja un-
tuk
itu ia harus mengerahkan tenaga dalam sampai
puncaknya.
Wesss!
Wesss!
Bummm...!!!
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga da-
lam
kali ini. Dan karena Penyair Sinting mengerahkan
tenaga
dalam sepenuhnya, akibatnya tubuhnya kem-
bali
terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang!
Wajahnya
pucat pasi!
Sedang
si Jerangkong hanya terjajar dua tindak
ke
belakang. Namun begitu dapat menguasai keseim-
bangan
badannya, kembali diserangnya Penyair Sint-
ing.
Penyair
Sinting mengeluh. Keringat dingin ma-
kin
membanjiri tubuhnya. Rasanya hawa kematian
makin
dekat saja dengan dirinya....
12
Jarak
antara padang rumput tempat Siluman
Ular
Putih dan Pulasari beristirahat dengan Bukit
Menjangan
memang tidak begitu jauh. Tak heran ka-
lau
dalam waktu yang tidak lama kedua anak muda ini
telah
tiba di bukit yang dimaksudkan.
Di
atas Bukit Menjangan, matahari tampak mu-
lai
rebah di pangkuan cakrawala. Sinarnya yang merah
tembaga
menyinari sebagian puncak bukit. Soma dan
Pulasari
terus melangkah mencari makam Penghuni
Alam
Maut. Selang beberapa saat, sepuluh tombak da-
ri
mereka menghadang dua pohon beringin tua yang
telah
tumbang.
"Menilik
keadaannya, bisa jadi baru beberapa
hari
belakangan ini kedua pohon beringin itu tumbang.
Kalau
memang iya, berarti ada orang sakti yang telah
menumbangkannya,"
gumam murid Eyang Begawan
Kamasetyo
dalam hati.
"Ada
apa, Soma? Kok malah bengong saja?"
tanya
Pulasari, heran dengan sikap Siluman Ular Pu-
tih.
"Sssst...!"
Soma memalangkan telunjuk jari ke
depan
mulut, mengisyaratkan gadis itu untuk diam.
Lalu
dengan isyaratkan tangannya, si pemuda segera
berkelebat
ke arah reruntuhan pohon beringin. Se-
dangkan
Pulasari cepat mengikutinya.
Ternyata
apa yang dilihat di balik rindangnya
pohon
beringin yang tumbang benar-benar membuat
hati
dua anak muda itu tercekat. Di atas makam, tam-
pak
seorang lelaki tua berpakaian hitam-hitam kedo-
doran
tengah khusuk bersemadi. Usianya kira-kira tu-
juh
puluh atau delapan puluh tahun. Rambutnya pu-
tih
memanjang tergerai di bahu. Tampak sekali kalau
semadinya
tak ingin diganggu.
Soma
tercenung memperhatikan lelaki tua di
belakangnya
yang tak henti-hentinya berkemik-kemik.
Entah,
sedang membaca mantra apa. Yang jelas, sepa-
sang
matanya terpejam rapat-rapat.
"Heran?
Kalau dia orang sakti yang telah me-
numbangkan
dua pohon beringin besar ini, lalu men-
gapa
tidak mendengar kehadiranku?" gumam murid
Eyang
Begawan Kamasetyo tak dapat menahan rasa
heran.
Tapi,
kenyataannya memang demikian. Lelaki
tua
berpakaian hitam-hitam yang tidak lain Iblis Pe-
manggil
Roh saat ini memang tengah menajamkan ma-
ta
batinnya untuk mengikuti jalannya pertarungan an-
tara
Penyair Sinting dengan Jerangkong. Maka tak he-
ran
meski ia punya kepandaian tinggi, tetap saja tidak
dapat
mendengar kehadiran dua anak muda di bela-
kangnya.
Satu
hal yang menjadi kelemahannya, ternyata
Iblis
Pemanggil Roh tidak tahu kalau Penyair Sinting
telah
memerintahkan Soma untuk mencari tempat
persembunyiannya!
Karena dalam semadinya, ia hanya
dapat
melihat apa yang tengah dilakukan Jerangkong
dan
orang-orang di sekitarnya. Bahkan kalau Iblis Pe-
manggil
Roh mampu mengirim suara jarak jauh, tetap
saja
tidak mampu mendengar apa yang dibicarakan
orang-orang
di sekitar Jerangkong. Sehingga sewaktu
Penyair
Sinting memerintahkan Soma untuk menyeli-
nap
ke dalam tempat persembunyiannya, lelaki sesat
ini
tidak tahu!
"Orang
tua! Benarkah kau yang bergelar Iblis
Pemanggil
Roh?" tegur Soma.
Lelaki
berpakaian hitam-hitam itu tidak me-
nyahut
sepatah kata pun. Tampak keningnya makin
berkerut-kerut.
Kedua bibirnya pun terus berkemik-
kemik.
Soma
penasaran sekali. Meski demikian, ia te-
tap
yakin kalau lelaki tua di hadapannya adalah Iblis
Pemanggil
Roh. Apalagi, dalam papan nisan yang lapuk
jelas
terdapat tulisan 'KI DADUNG KAWUK alias
PENGHUNI
ALAM MAUT'. Maka, berarti itu adalah na-
ma
Penghuni Alam Maut. Dan seperti yang telah dika-
takan
Penyair Sinting, lelaki tua yang khusuk berse-
madi
di pinggir makam Penghuni Alam Maut itu tidak
lain
dari Iblis Pemanggil Roh!
"Orang
tua! Benarkah kau orang tua yang ber-
gelar
Iblis Pemanggil Roh?" tegur Soma sekali lagi sedi-
kit
mengeraskan suaranya.
Iblis
Pemanggil Roh terkesiap kaget. Entah
mengapa,
tiba-tiba wajahnya jadi pucat pasi. Mungkin
karena
pikirannya yang tengah terpusatkan pada ja-
lannya
pertarungan antara Jerangkong dengan Penyair
Sinting.
Sehingga, orang tua itu tersentak kaget!
"Jahanam!
Siapa yang berani datang mencari
mati
di tempat ini, he?!" bentak Iblis Pemanggil Roh ga-
rang.
"Lho...?
Siapa yang mau cari mati? Aku kan
hanya
tanya, apa benar kau orang tua sakti yang ber-
gelar
Iblis Pemanggil Roh?" tukas Soma seenak deng-
kul.
"Sudah
tahu kalau aku Iblis Pemanggil Roh,
mengapa
kalian tidak lekas-lekas angkat kaki dari
tempat
ini?!" bentak lelaki tua itu lagi garang.
Namun
ketika pandangan mata Iblis Pemanggil
Roh
tertumbuk pada wajah Pulasari yang berdiri agak
jauh
dari Siluman Ular Putih, entah kenapa tiba-tiba
jadi
gelisah sekali. Memang, ada sesuatu pada wajah
gadis
itu yang membuat hatinya tergugah.
"Hm....
Jangan-jangan, gadis cantik di hada-
panku
ini putri kandungku! Wajahnya mirip benar
dengan
Winarsih. Apalagi, setelah dibawa kembali oleh
Malaikat
Kaki Seribu, aku memang sering mengintai
perkembangan
istri dan putriku. Dan tak kusangka,
kini
ia telah jadi seorang gadis cantik mirip ibunya.
Tapi,
apa boleh buat? Kalau dia menghalangi niatku
untuk
menguasai dunia persilatan, terpaksa aku akan
melenyapkannya
juga...."
Sinar
kerinduan yang semula terpancar di wa-
jah
lelaki tua ini perlahan-lahan berubah menjadi si-
nar
kebengisan. Rupanya, nafsu untuk menguasai du-
nia
persilatan lebih menguasai nuraninya.
"Jahanam!
Kau mempermainkan ku, Bocah?!
Apa
kau sudah bosan hidup? Nih, makanlah pukulan
'Roh
Pembawa Petaka'-ku!" bentak Iblis Pemanggil Roh
seraya
mendorong kedua telapak tangannya yang telah
berobah
menjadi hitam legam ke arah soma alias Si-
luman
Ular Putih.
Wesss!
Wesss!
Seketika
itu, melesat dua larik sinar hitam dari
kedua
telapak tangan Iblis Pemanggil Roh ke arah Si-
luman
Ular Putih!
"Hup!"
Soma
cepat melenting tinggi ke udara sehingga
dua
larik sinar hitam legam itu hanya lewat di bawah
kakinya.
Kedua sinar hitam itu terus menerabas ke be-
lakang,
menghantam batang pohon beringin yang
tumbang.
Braakk!
Batang
pohon beringin yang terkena pukulan
'Roh
Pembawa Petaka' milik Iblis Pemanggil Roh kon-
tan
berlobang besar, mengeluarkan asap hitam!
"Setan!
Rupanya kau punya sedikit kepandaian
juga,
Bocah!" bentak Iblis Pemanggil Roh geram bukan
main.
Kemudian
dengan gerakan cepat laksana kilat,
tahu-tahu
orang tua sakti dari Lembah Duka itu telah
melenting
tinggi ke udara. Namun belum sempat me-
lontarkan
serangan....
"Tunggu,
Orang Tua! Apa benar kau yang telah
menewaskan
ayahku yang berjuluk Malaikat Kaki Se-
ribu
beserta kedelapan orang muridnya?"
Iblis
Pemanggil Roh menahan gerakannya, lalu
mendarat
empuk di tanah. Sepasang matanya lang-
sung
menatap gadis cantik di hadapannya seksama.
"Kalau
memang iya, kau mau apa?!" tantang Ib-
lis
Pemanggil Roh.
"Bedebah!
Kalau begitu aku akan menuntut
pertanggungjawaban
mu, Orang Tua!"
Habis
membentak begitu, kini Pulasari yang
menyerang
hebat Iblis Pemanggil Roh. Kedua telapak
tangannya
yang berobah jadi merah menyala meng-
hentak,
melontarkan pukulan 'Pulung Geni'.
Wesss!
Wesss!
Bersamaan
dengan melesatnya dua larik sinar
merah
menyala dari kedua telapak tangannya, gadis
itu
pun segera meluruk dengan kedua tangan mem-
buat
beberapa gerakan. Cepat dikirimkannya totokan-
totokan
maut ke ubun-ubun kepala Iblis Pemanggil
Roh.
Hebat
bukan main serangan-serangan Pulasari.
Namun
yang dihadapinya kali ini bukanlah tokoh ke-
marin
sore. Begitu dua larik sinar merah menyala
hampir
menghantam tubuhnya, Iblis Pemanggil Roh
pun
segera menghentakkan tangan kirinya yang telah
berobah
menjadi hitam legam! Dan begitu sinar hitam
melesat,
lelaki tua ini melenting ke udara, dengan tan-
gan
kanan menangkis totokan Pulasari!
Bumm...!
Plak!
Plak!
Tubuh
Pulasari yang masih melayang-layang
tinggi
di udara kembali mencelat tinggi ke udara. Ke-
dua
tangannya seperti membentur lempengan baja
yang
kuat sekali saat tertangkis tangan Iblis Pemanggil
Roh.
Iblis
Pemanggil Roh tertawa bergelak. Dan baru
saja
Pulasari mendarat di tanah, lelaki tua sakti dari
Lembah
Duka itu pun telah meluruk deras. Kembali
diserangnya
Pulasari. Namun sebelum serangan Iblis
Pemanggil
Roh tiba, Siluman Ular Putih telah mengha-
dangnya
dengan senyum terkembang di bibir! Maka
terpaksa
Iblis Pemanggil Roh menghentikan gerakan-
nya.
"Eh...!
Tunggu dulu, Orang Tua! Melihat sikap-
nya
yang pongah ini, aku malah jadi ingin menggebuk
pantatmu!
Awas! Bersiap-siaplah kau menerima gebu-
kanku,
Orang Tua!" ejek Soma.
Lalu
si pemuda bermaksud menyerang Iblis
Pemanggil
Roh. Namun sebelum niatnya terlaksana....
"Minggir
kau, Soma! Akulah yang berhak meng-
gebuk
pantat orang tua itu!" bentak Pulasari, garang.
"Tapi...
tapi...."
"Sudahlah!
Kau kan tahu, ayah kandungku te-
was
di tangan iblis tua ini. Untuk itu, aku akan me-
minta
pertanggungjawabannya! Hutang nyawa harus
dibayar
nyawa!"
Sebenarnya
Siluman Ular Putih ingin sekali
membantah.
Namun karena takut menyinggung pera-
saan
Pulasari, akhirnya mengalah. Dengan berat, So-
ma
keluar dari tempat pertempuran.
"Sekarang
kau bersiap-siaplah menerima kema-
tianmu,
Orang Tua!" desis Pulasari penuh kemarahan.
Iblis
Pemanggil Roh tertawa bergelak. Kepa-
lanya
mendongak tinggi-tinggi ke atas.
"Kenapa
kalian tidak maju sekalian? Aku masih
sanggup
mengirimkan nyawa kalian ke neraka!" ejek
Iblis
Pemanggil Roh sinis.
"Bedebah!
Kau pongah sekali, Orang Tua! Ma-
kanlah
pukulan 'Pulung Geni'-ku!" dengus Pulasari se-
raya
menghentakkan kedua tangannya yang berisi te-
naga
dalam tinggi.
Wusss...!
Wusss...!
Seketika
dua larik sinar merah menyala melesat
dari
kedua telapak tangan Pulasari.
Iblis
Pemanggil Roh masih sempat tertawa ber-
gelak
kala dua larik sinar merah menyala menyerang
dirinya.
Baru ketika dua serangan itu mendekat kedua
telapak
tangan yang berwarna hitam legam didorong-
kan.
Wesss!
Wesss!
Blaaarrr...!!!
Terdengar
ledakan hebat akibat pertemuan dua
kekuatan
dahsyat. Tanah di sekitarnya berhamburan
seperti
ada gempa! Angin panas akibat bentrokan dua
pukulan
membuat pohon-pohon di sekitarnya layu.
Tubuh
Pulasari tampak terjajar beberapa lang-
kah
ke belakang. Wajahnya kini bagaikan mayat. Da-
rah
segar mulai membasahi bibirnya yang indah.
Iblis
Pemanggil Roh yang hanya tergetar, terta-
wa
bergelak. Bahkan kini kedua telapak tangannya
yang
berwarna hitam legam kembali melepas serangan.
Pulasari
mengerutkan gerahamnya kuat-kuat.
Melihat
hasil bentrokan tadi, jelas kalau tenaga
dalamnya
kalah dua tingkat di bawah tokoh sesat dari
Lembah
Duka. Menyadari hal ini si gadis pun lebih se-
nang
mengandalkan jurus-jurus silatnya.
Ketika
meloncat tinggi, sepasang kaki Pulasari
segera
bergerak cepat menyambar-nyambar tubuh Iblis
Pemanggil
Roh. Sementara kedua tangannya sesekali
menyusup
di antara gulungan tangan lawannya.
Hebat
bukan main serangan-serangan Pulasari
kali
ini. Ia yang merasa penasaran melihat sepak ter-
jang
Iblis Pemanggil Roh tak sabar lagi untuk segera
mengerahkan
jurus 'Kaki Angin Menyambar Batang
Pohon'.
Meski
kepandaiannya masih berada di atas Pu-
lasari,
kali ini Iblis Pemanggil Roh tidak segan-segan
mengerahkan
jurus-jurus andalannya pula. Padahal,
yang
dihadapinya adalah anak kandungnya sendiri. Ini
terbukti
kalau mata hatinya telah tertutup oleh hawa
nafsu.
Soma
yang menonton pertarungan hidup mati
itu
jadi gelisah. Bagaimanapun, ia sangat mence-
maskan
keselamatan Pulasari. Namun untuk memban-
tu,
pemuda ini tidak berani. Karena, takut menying-
gung
perasaan Pulasari. Namun diam-diam murid
Eyang
Begawan Kamasetyo itu pun tengah mencari ja-
lan,
bagaimana caranya membantu Pulasari.
"Ah...!
Mengapa aku tidak menggunakan ilmu
sihir
ku?!" desah Soma seraya menepuk jidatnya sen-
diri,
ketika mendapat akal bagus.
Sejenak
pemuda gondrong itu memperhatikan
jalannya
pertarungan. Tampak sekali kalau perlahan-
lahan
namun pasti, Pulasari mulai terdesak hebat.
Kendati
begitu, Siluman Ular Putih belum juga bertin-
dak.
Agaknya, ia masih menunggu saat yang tepat.
Dan
tepat ketika Pulasari mulai menyerang
dengan
pukulan 'Pulung Geni', sementara Iblis Pe-
manggil
Roh masih tertawa-tawa pongah, Soma mulai
mengerahkan
kekuatan batinnya!
"Hey...,
Orang Tua! Lihat! Celanamu melorot!
Hik-hik-hik...!
Memalukan sekali! Pantatmu hitam,
Orang
Tua!" teriak Soma dengan suara bergetar-getar
aneh,
menyerang jalan pikiran Iblis Pemanggil Roh.
Iblis
Pemanggil Roh terkesiap kaget ketika ber-
maksud
memapaki pukulan maut Pulasari. Matanya
kontan
terbelalak lebar. Betapa tidak? Menurut pengli-
hatannya
ternyata celana hitamnya merosot ke bawah,
menampakkan
pantatnya yang hitam!
Iblis
Pemanggil Roh gugup bukan main. Tanpa
banyak
pikir panjang lagi, buru-buru celananya yang
melorot
dibetulkan kembali. Pada saat yang sama, pu-
kulan
Pulasari telah meluncur datang. Akibatnya....
Bukkk!
Bukkk!
Dua
larik sinar merah menyala dari kedua tela-
pak
tangan Pulasari mendarat telak di dada Iblis Pe-
manggil
Roh! Seketika tubuh tinggi kurus lelaki tua itu
terpental
beberapa tombak ke belakang. Setelah berpu-
tar-putar
sebentar, tubuhnya jatuh bergedebuk ke ta-
nah!
Wajahnya kontan pucat pasi. Darah segar tampak
menyembur
keluar!
Soma
tersenyum gembira. Sementara Iblis Pe-
manggil
Roh dan Pulasari sendiri pun tidak habis pikir.
Karena,
ternyata celana hitam lelaki tua itu masih te-
tap
seperti semula. Tidak melorot seperti yang dikata-
kan
Soma!
Lelaki
sesat dari Lembah Duka ini menggeram
penuh
kemarahan. Sepasang matanya mencorong be-
ringas
ke arah Siluman Ular Putih. Namun ketika hen-
dak
meloncat bangun, tubuhnya kembali limbung ke
samping.
Tangan kanannya buru-buru mendekap da-
danya
yang terasa mau jebol. Dan....
"Hoooeeekh...!"
Sedangkan
Pulasari yang menyangka kalau Ib-
lis
Pemanggil Roh hendak kembali menyerang kembali,
segera
melepas pukulan 'Pulung Geni'.
Wesss!
Wesss!
Bukkk!
Bukkk!
"Aaakh...!"
Tanpa
ampun lagi, dua larik sinar merah me-
nyala
yang melesat dari kedua telapak tangan Pulasari
kembali
menghantam dada, membuat Iblis Pemanggil
Roh
berteriak menyayat. Tubuhnya terpental deras,
dan
berhenti ketika menghantam sebuah pohon. Wa-
jahnya
tampak demikian pucatnya. Darah segar tam-
pak
menggembung dalam mulutnya, lalu
tersembur
keluar.
Lelaki
sesat dari Lembah Duka ini terkulai di
batang
pohon. Nafasnya turun naik tak berirama. Da-
danya
terasa sesak.
"Terimalah
kematianmu hari ini, Orang Tua!
Dosamu
sudah terlalu banyak bertumpuk!" kata Pula-
sari
penuh kemarahan.
Kedua
telapak tangan si gadis yang berwarna
merah
menyala telah membuka di sisi pinggang. Agak-
nya,
ia siap melepas pukulan 'Pulung Geni' kembali.
"Tunggu,
Pulasari!" cegah Iblis Pemanggil Roh
dengan
napas tersengal. "Aku memang keterlaluan,
Pulasari.
Tapi apa kau tega membunuh Ayah kan-
dungmu?"
"Apa?!"
Betapa
terkejutnya si gadis mendengar penutu-
ran
lelaki sesat yang berhasil dilumpuhkannya ini.
Iblis
Pemanggil Roh tertawa sumbang. Namun
mendadak
suara tawanya terhenti. Darah segar dalam
mulutnya
kembali menyembur keluar! Wajahnya tam-
pak
demikian mengerikan, saking pucatnya!
"Apa
tua bangka Malaikat Kaki Seribu itu tidak
pernah bercerita kalau Iblis Pemanggil Roh adalah
Ayah
kandungmu?" lanjut Iblis Pemanggil Roh.
"Bohong!
Aku tidak percaya ocehanmu, Orang
Tua!"
sentak Pulasari, berusaha mengenyahkan ke-
mungkinan-kemungkinan
yang tak diharapkan.
"Orang
yang mau modar memang biasanya su-
ka
bicara aneh-aneh, Pulasari! Biarkan ia mengigau
seenak
dengkulnya!" timpal Soma.
Pemuda
itu kini telah tegak di samping si gadis.
Senyum
nakalnya tampak masih terkembang di bibir.
"Kau
boleh percaya, boleh tidak, Pulasari! Yang
jelas,
kenyataannya memang demikian. Pertama, apa
kau
tidak heran kalau aku tadi memanggil namamu?"
lanjut
Iblis Pemanggil Roh.
"Terus
terang aku heran, Orang Tua. Tapi itu
bukan
merupakan alasan kuat untuk membuktikan
kalau
kau Ayah kandungku!" sergah Pulasari.
"Baik,
baik. Aku maklum kalau kau belum per-
caya.
Karena, memang itu bukan alasan kuat. Tapi,
apa
kau akan mungkir kalau di punggungmu terdapat
tanda
hitam sebesar jempol kaki?"
Pulasari
terkesiap kaget. Sepasang matanya
yang
indah langsung membelalak liar.
"Ah...!
Kau ini ada-ada saja, Orang Tua! Kema-
tian
sudah di depan mata saja masih bertingkah. Bi-
lang
saja kalau kau sering mengintip Pulasari mandi,"
gerutu
Soma kesal.
Iblis
Pemanggil Roh tertawa sumbang.
"Ini
alasan yang ketiga, Pulasari. Mungkin ka-
lau
kau sudah mendengar cerita ku, kau pasti akan
mengakui
kalau aku adalah Ayah kandungmu," lanjut
Iblis
Pemanggil Roh, tak mempedulikan ocehan Silu-
man
Ular Putih.
"Hm...!"
gumam Pulasari tak jelas. Ia yang me-
rasa
penasaran hanya diam sambil menunggu apa
yang
akan dikatakan Iblis Pemanggil Roh.
"Kau
tentu tidak akan mungkir kalau kukata-
kan
ibumu bernama Winarsih, bukan?"
Sekali
lagi Pulasari terkesiap kaget. Sepasang
matanya
yang indah kembali membelalak lebar.
"Jangan
kaget, Pulasari! Karena memang Wi-
narsih
adalah istriku! Tapi gara-gara tua bangka Ma-
laikat
Kaki Seribu, aku jadi merana seperti ini. Dialah
yang
menculik sekaligus membunuh istriku, Winarsih!
Juga
merampas kau dari pangkuanku!" tegas Iblis Pe-
manggil
Roh diiringi senyum licik.
"Aku
tidak percaya! Aku tidak percaya...," desis
Pulasari
gelisah. "Bagaimana aku dapat percaya kalau
aku
belum menanyakan pada Malaikat Kaki Seribu?"
"Kalau
begitu, kau boleh menanyakannya di
akhirat,
Pulasari!"
Habis
berkata begitu, tanpa diduga-duga Iblis
Pemanggil
Roh menghentakkan kedua tangannya den-
gan
sisa-sisa tenaga dalam ke arah Pulasari dan Soma!
Soma
dan Pulasari kaget bukan main. Dua larik
sinar
hitam legam dari kedua telapak tangan Iblis Pe-
manggil
Roh melesat dalam jarak demikian dekat.
Tapi
sebagai pendekar berkepandaian tinggi,
Soma
selalu siap siaga walau dalam keadaan bagaima-
napun.
Maka begitu dua larik sinar hitam legam itu
hampir
menghantam, kedua tangannya yang penuh
tenaga
'Inti Bumi' dihentakkan pula. Lalu....
Bummm...!!!
"Aaa...!"
Disertai
teriakan kematian, Iblis Pemanggil Roh
terlempar
beberapa tombak ke belakang. Begitu jatuh
ke
tanah, tubuhnya tidak dapat bergerak-gerak lagi!
Tewas!
Soma
dan Pulasari segera berkelebat mendekati
Iblis
Pemanggil Roh. Ternyata, tokoh sesat dari Lem-
bah
Duka itu telah tewas dengan mata membeliak le-
bar!
Ketika
berbalik, Pulasari justru makin gelisah.
"Bagaimanapun
juga, ocehan tua bangka itu membuat
hatiku
tidak tenang. Sekarang juga aku akan segera
pulang
ke padepokan. Siapa tahu ayah angkatku me-
nyimpan
surat untukku!"
Habis
berkata begitu, Pulasari pun segera ber-
kelebat
turun dari atas Bukit Menjangan!
Entah
kenapa, Soma malah garuk-garuk kepa-
la.
Padahal, rambutnya tidak gatal. Kemudian sambil
menggerutu
kesal, murid Eyang Begawan Kamasetyo
ini
segera berkelebat menyusul Pulasari.
13
Di
lain tempat, tepat saat nyawa Iblis Pemanggil
Roh
melayang, justru Penyair Sinting yang sudah di-
banjiri
keringat dingin menarik napas lega.
Karena
ketika si Jerangkong siap melepas pu-
kulan
terakhirnya untuk menghabisi Penyair Sinting
yang
siap dijemput maut, tiba-tiba kedua tangan
kayunya
terhenti di udara, lalu terkulai ke bawah!
Prak!
Selang
beberapa saat, tubuh kayu Jerangkong
yang
masih melayang-layang di udara ambruk ke ta-
nah!
Kepala tempurungnya menggelinding jauh! Kedua
tangan
kayunya pun berpencaran ke samping kanan-
kiri!
Mata
Penyair Sinting terbelalak tak percaya.
Seolah,
ia tidak percaya dengan apa yang dilihat. Sak-
ing
tak percaya kedua bola matanya dikucek-kucek. Di
saat
seperti ini mendadak seleret sinar kuning keluar
dari
dalam tubuh kayu Jerangkong. Lalu bak sebuah
bintang
jatuh, sinar kuning itu terus melesat tinggi ke
udara,
dan menukik tajam di atas Bukit Menjangan!
Tanpa
sadar, Penyair Sinting bergerak dengan
sisa-sisa
tenaganya, mengikuti ke arah hilangnya sinar
kuning
tadi. Sepasang matanya yang mencorong tajam
tak
berkedip memandangi bukit hijau di hadapannya.
Pakaian
putih-putihnya yang compang-camping tidak
karuan
berkibar-kibar tertiup angin sore.
"Hm...!
Rupanya arwah Penghuni Alam Maut
sudah
kembali ke tempatnya semula! Ke makamnya!"
Setelah
puas memperhatikan bukit hijau di ha-
dapannya,
Penyair Sinting berbalik. Lalu tubuhnya ce-
pat
berkelebat, meninggalkan tempat ini. Namun baru
saja
beberapa tombak bergerak....
"Orang
tua sinting! Kau tidak boleh meninggal-
kan
tempat ini seenak dengkulmu! Kau harus bertang-
gung
jawab atas ulah mu, Orang Tua!"
Penyair
Sinting tersentak mendengar bentakan
keras
dari belakang. Buru-buru badannya berbalik
kembali.
Tampak jauh di hadapannya tengah berkele-
bat
dua anak manusia mendekatinya. Dan dua anak
manusia
itu tidak lain dari Soma dan Pulasari yang ba-
ru
saja menewaskan Iblis Pemanggil Roh di atas Bukit
Menjangan.
Tak
sampai sepuluh kedipan mata, Soma dan
Pulasari
pun telah berdiri tegak di hadapan Penyair
Sinting.
"Kau
harus bertanggung jawab, Orang Tua!
Akibat
obat sintingmu itu, tubuhku jadi babak belur
begini!"
bentak Siluman Ular Putih, kalap.
"Tanggung
jawab? Apa yang harus kupertang-
gungjawabkan
padamu? Bukankah beruntung kau
kuberi
obat itu?" tukas Penyair Sinting dengan kening
berkernyit
dalam.
"Beruntung
kau bilang? Babak belur begini kau
bilang
beruntung?" sungut Soma kesal. "Akibat obat
sinting
itulah temanku jadi mengamuk hebat hingga
aku
babak belur begini!"
Penyair
Sinting terkekeh senang. Sekali lihat
saja,
ia tahu kalau gadis cantik di samping murid
Eyang
Begawan Kamasetyo tidak lagi marah pada So-
ma.
Lalu
entah kenapa orang tua sakti dari Gunung
Slamet
itu mendongak ke atas. Matanya asyik meman-
dang
awan hitam yang bergulung-gulung di angkasa,
Lalu
dari kedua bibirnya yang bergerak-gerak, terden-
gar
bait-bait sajaknya.
Pendaki
langit lintas
Beterbangan
debu di udara
Ia
tepis, lalu melesat
Debu
ditinggalkan dan mengangkasa.
"Dasar
orang tua sinting! Ditanya malah ber-
syair!"
sungut Soma mengkelap bukan main.
Penyair
Sinting sejenak menghentikan sajak-
nya.
Kepalanya berpaling ke samping.
"Bocah
tolol! Justru obat pemberianku itulah
yang
dapat memunahkan racun pukulan 'Darah
Mayat'
benda edan itu. Kalau tidak, apa kau pikir, te-
manmu
yang cantik ini masih dapat berdua-duaan
denganmu,
he?!" dengus si tua sinting.
"Tapi,
kenapa mesti dengan cara itu?!" tukas
Soma,
jengah kalau harus mengucapkan kata
'mencium’
"Jangan
kau tanyakan padaku! Justru, tanya-
lah
pada dirimu sendiri! Apa kau senang melakukan-
nya
atau tidak?!"
Habis
berkata begitu, Penyair Sinting menjejak-
kan
kakinya ke tanah. Lalu dengan caranya yang aneh,
tahu-tahu
orang tua sakti dari Gunung Slamet itu me-
lenggang
meninggalkan tempat ini. Hanya beberapa
saat,
sosok bayangannya telah lenyap di kejauhan sa-
na.
Namun bait-bait sajaknya masih menggema di
tempat
Soma dan Pulasari.
Soma
yang ditanya Penyair Sinting tadi hanya
menggaruk-garuk
kepala saja. Kalau mau jujur, tentu
ia
akan bilang senang saat mengobati Pulasari. Namun
untuk
mengatakannya jelas tidak mungkin. Karena bi-
sa
jadi Pulasari kembali mengamuk hebat.
"Kau
kenapa sih? Kok, sejak tadi garuk-garuk
kepala
saja?" tanya Pulasari.
"Aku....
Aku.... Ah...!" Sekali lagi Soma garuk-
garuk
kepalanya gelisah. "Hm...! kau.... Kau tidak ma-
rah
lagi, kan?"
"Kenapa
harus marah? Toh, kau melakukannya
atas
dasar ingin menolongku, bukan?" sahut Pulasari
dengan
senyum terkembang di bibir.
"Terima
kasih. Kau baik sekali, Pulasari. Tapi,
sayang.
Aku tidak dapat menemanimu pulang ke pa-
depokan.
Selamat tinggal, Pulasari!"
Habis
berkata begitu, Soma segera menjejakkan
kakinya
ke tanah, Saat itu pula tubuhnya berkelebat
meninggalkan
tempat ini. Namun baru beberapa lang-
kah....
"Soma...!
Apa kau tega membiarkan ku pulang
ke
padepokan sendiri?" teriak Pulasari dengan suara
bergetar.
Soma
menghentikan langkahnya. Tangannya
kembali
garuk-garuk kepala. Bingung.
"Aku....
Aku...! Ah! Bagaimana, ya? Terpaksa
sekali,
kali ini aku harus meninggalkanmu, Pulasari.
Selamat
tinggal!" ucap Soma agak gugup.
Walau
dalam hati murid Eyang Begawan Kama-
setyo
merasa kasihan terhadap Pulasari, namun tetap
terus
melangkah. Dan kini, bayangan putih keperakan
murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu menghilang di
kerimbunan
hutan depan sana.
Sementara
Pulasari tetap berdiri tegak di tem-
patnya.
Sepasang matanya tak henti-hentinya meman-
dangi
arah kepergian Soma tadi. Dan tanpa sadar, air
matanya
pun mulai merembes membasahi pipi!
SELESAI
Segera terbit!!!
Serial
Siluman Ular Putih dalam episode:
MISTERI
DEWA LANGIT
Emoticon